LAPORAN AKHIR KAJIAN EVALUASI PROGRAM PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN KHUSUS DAN DAERAH TERTINGGAL
DIREKTORAT KAWASAN KHUSUS DAN DAERAH TERTINGGAL, KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) 2014
LAPORAN AKHIR KAJIAN EVALUASI PROGRAM PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN KHUSUS DAN DAERAH TERTINGGAL RPJMN 2010-2014
PENANGGUNG JAWAB: Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, M.Si, Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal TIM PENGARAH: Ir. Rohmad Supriyadi, MSi; Drs. Samsul Widodo, MA; Ir. Kuswiyanto, MSi; Diah Lenggogeni, ST, MSc TIM PENULIS: Dra. Widyawati, MSP, Arifin Bakti Nur, Osmar Shalih TIM PENDUKUNG: Sumarwan, Rudi Pakpahan, Hadid Japandu, Raditya Nugraha, Aida Nur Pratiwie, Suherman, Virgie Kharisma, Artha Purdiansyah, Andika Rizal Pramudia
KATA PENGANTAR Laporan Akhir Kajian Evaluasi Program Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal disusun dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban atas pelaksanaan Program/Kegiatan Pembangunan dan Pengembangan Kawasan, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 04/M.PPN/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kegiatan dan Anggaran di Lingkungan Kantor Kementerian PPN/Bappenas. Pelaksanaan Kajian Evaluasi Program Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Khusus ini tujuannya adalah untuk menilai kualitas hasil-hasil yang telah dicapai dalam penerapan proses perencanaan, koordinasi dan pelaksanaan program di lapangan untuk kemudian diidentifikasi permasalahan apa saja yang dihadapi, serta berupaya memberikan saran dan alternatif rekomendasi untuk perbaikan proses perencanaan dan pelaksanaan program/kegiatan pada tahun berikutnya. Laporan Kajian Evaluasi Program Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Khusus tahun 2014 ini masih ada beberapa kekurangan, oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritiknya sebagai upaya penyempurnaan dalam pelaksanaan Kajian Evaluasi Program Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Khusus pada tahun yang akan datang. Jakarta, Desember 2014 Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas
Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
i
DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................................................ i Daftar Isi ..................................................................................................... ii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2. Maksud dan Tujuan .............................................................................. 3 1.3 Sistematika Penulisan............................................................................. 3 BAB 2 METODOLOGI 2.1. Metode Pelaksanaan ............................................................................ 4 2.2. Tahap Analisis dan Evaluasi .................................................................. 5 2.3. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 6 2.4. Metode dan Lokasi FGD ....................................................................... 7 BAB 3 EVALUASI CAPAIAN DAN KINERJA KELEMBAGAAN BIDANG KKDT 3.1. Bidang Pembangunan Daerah Tertinggal............................................. 8 3.2. Bidang Pembangunan Kawasan Perbatasan ........................................ 17 3.3. Bidang Pembangunan Kawasan Strategis ............................................ 30 3.4. Bidang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat................. 44 3.5. Bidang Penanggulangan Bencana ........................................................ 48 BAB 4 EVALUASI KEBIJAKAN, KINERJA PELAKSANAAN,DAN STUDI KASUS 4.1. Evaluasi Kebijakan Percepatan Pembangunan Kawasan Khusus.........56 4.2. Evaluasi dan Implementasi Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan ................................................... 63 4.3. Evaluasi dan Implementasi Kebijakan Pembangunan Kawasan Strategis ............................................................................................... 77 4.4. Evaluasi dan Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana ........ 83 BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan..........................................................................................92 5.2. Rekomendasi.......................................................................................96 Daftar Pustaka...........................................................................................99
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Tahapan perencanaan pembangunan di dalam UndangUndang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri dari 4 (empat) tahapan, yakni: (1) penyusunan rencana; (2) penetapan rencana; (3) pengendalian pelaksanaan rencana; dan (4) evaluasi pelaksanaan rencana. Kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana merupakan bagian-bagian dari fungsi manajemen, yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keempatnya saling melengkapi dan masing-masing memberi umpan balik serta masukan kepada yang lainnya. Evaluasi adalah langkah strategis agar implementasi pelaksanaan program dan kegiatan sesuai dengan target yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Sejalan dengan itu, evaluasi juga berfungsi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas alokasi sumberdaya, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan program pembangunan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang tata cara pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan maka Kementerian PPN/Bappenas melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana kerja Kementerian/Lembaga dan Rencana Kerja Pemerintah berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam RPJMN 2010 – 2014. Hal ini diperjelas dengan Permen PPN/Kepala Bappenas Nomor: PER 005/M.PPN/10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PPN/Bappenas, bahwa Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal memiliki tugas melaksanakan penyusunan dan evaluasi perencanaan pembangunan nasional terkait rencana dan strategi pengembangan kawasan khusus dan perbatasan, daerah tertinggal, dan kawasan rawan bencana serta pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya. Permasalahan utama di dalam implementasi pelaksanaan kegiatan Kementerian/Lembaga adalah perbedaan pemahaman/persepsi stakeholder dalam implementasi perencanaan program/kegiatan prioritas nasional terutama bidang pembangunan kawasan khusus, Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
1
kawasan perbatasan, daerah tertinggal, dan kawasan rawan bencana. Selain itu, koordinasi yang masih lemah antar stakeholders baik pusat dan daerah. Bappenas (2013) menyebutkan, permasalahan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal, terluar dan pascakonflik, antara lain: (1) belum optimalnya tindakan afirmatif kepada daerah tertinggal dan terluar/terdepan; (2) masih lemahnya koordinasi antar pelaku pembangunan, (3) terbatasnya sarana dan prasarana dasar wilayah; (4) belum optimalnya perumusan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan dan program khusus dan alokasi pendanaan yang belum sesuai dengan kebutuhan spesifik daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik di lokasi-lokasi yang sudah ditetapkan. 1 Sementara dalam konteks penanggulangan bencana, Bappenas (2013) mengemukakan, permasalahan yang masih dihadapi kurangnya media komunikasi serta sarana dan prasarana yang efektif dalam penyebarluasan informasi pengurangan risiko bencana, serta keterbatasan, kapasitas lembaga serta alokasi pendanaan di daerah. 2 Berdasarkan tugas dan fungsi Bappenas, serta permasalahan yang ada dalam pembangunan kawasan selama periode RPJMN tahun 2010 – 2014, khususnya di kawasan perbatasan, daerah tertinggal, kawasan khusus (KAPET, KEK & KPBPB). Evaluasi RPJMN 2010 – 2014 diperlukan untuk melihat keberhasilan dan efektivitas penyusunan perencanaan dan perumusan serta implementasi program atau kegiatan yang telah disusun. Bahan evaluasi RPJMN 2010-2014 ini menjadi bahan masukan ke dalam Rancangan RPJMN 20152019, bersamaan dengan proses rancangan teknokratik menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
1
Permasalahan dan kendala pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal, terluar dan pascakonflik yang masuk ke dalam Prioritas Nasional 10. Permasasalah tersebut, khususnya meliputi bidang pembangunan daerah tertinggal dan kawasan perbatasan negara. Evaluasi tersebut dilakukan pada Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014 Kementerian PPN/Bappenas tahun 2013. 2 Permasalahan dan kendala pelaksanaan penanggulangan bencana masuk ke dalam Prioritas Nasional 9, yaitu Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
2
1.2 Maksud dan Tujuan
1.3 Sistematika Penulisan
Hasil dari evaluasi RPJMN 2010-2014 program pembangunan dan pengembangan kawasan khusus ini akan menjadi umpan balik dalam penyusunan rencana pembangunan 5 (lima) tahun berikutnya. Selain itu, bahan ini menjadi alternatif rekomendasi untuk meminimalisir permasalahan dan perbaikan program pembangunan kawasan pada masa yang akan datang. Tujuan dari kegiatan evaluasi kebijakan RPJMN 20102014 ini adalah: 1. Identifikasi permasalahan yang dihadapi, pengumpulan data dan informasi dalam penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan kawasan. 2. Identifikasi konsistensi perencanaan pembangunan yang terdapat dalam Renja K/L, RKP, dan RPJMN 2010 – 2014. 3. Menilai kualitas hasil perencanaan dengan pelaksanaan program/kegiatan pembangunan kementerian/lembaga dalam mendukung pembangunan kawasan di lapangan; 4. Melaksanakan rapat koordinasi, diskusi, dan melakukan analisis terhadap penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program pengembangan kawasan. 5. Merumuskan alternatif rekomendasi dan saran perbaikan untuk penyusunan rencana program pembangunan dan pengembangan kawasan sebagai bahan masukan dalam penyusunan perencanaan tahun berikutnya. Sistematika penulisan kajian evaluasi RPJMN 20102014 terdiri dari 5 (lima) bab, yang meliputi: Bab I Pendahuluan Bab II Metodologi Bab III Evaluasi Capaian dan Kinerja Kelembagaan RPJMN 2010-2014 Bidang Pembangunan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Bab IV Evaluasi Kebijakan, Kinerja Pelaksanaan, dan Studi Kasus Pengembangan Bidang Pembangunan Kawasan Khusus Dan Daerah Tertinggal Bab V Penutup: Kesimpulan dan Rekomendasi
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
3
BAB 2 METODOLOGI 2.1 Metode Pelaksanaan
Berdasarkan latar belakang, maksud, dan tujuan kajian evaluasi RPJMN 2010-2014 yang diuraikan pada bab sebelumnya, maka metode pelaksanaan penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan tiga metode pengumpulan data, yaitu: Desk study, Focus Group Discussions (FGD), dan kuesioner atau panduan wawancara. Desk study dilakukan pada tahap awal untuk mempelajari data, informasi, dan dokumen terkait dengan evaluasi pelaksanaan pembangunan bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal (KKDT). Desk study terdiri dari:
Review pelaksanaan RPJMN 2010-2014 melalui berbagai laporan Midterm Review RPJMN 2010-2014, Lampiran Pidato (Lampid) Presiden, Evaluasi Kinerja Pembangunan.
Berbagai kajian terkait pembangunan bidang kawasan khusus dan daerah tertinggal, yang dilakukan Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal (KKDT), kajian internal direktorat sektor di Bappenas maupun Mitra K/L seperti KPDT, BNPP, BNPB, BP-Batam, BP-Sabang.
Sementara Focus Group Discussion (FGD) dilakukan pada tahap awal maupun akhir dengan berbagai pihak (Instansi Pusat, Daerah, serta ahli dalam bidang pembangunan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal). Tujuan FGD adalah untuk mengetahui hasil pelaksanaan pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal pada periode RPJMN 2010-2014. Instrumen kuesioner ataupun panduan wawancara digunakan di Pusat dan di Daerah untuk mengidentifikasi kendala pelaksanaan pembangunan sektoral dan daerah di dalam pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal, serta mendapatkan masukan rekomendasi bentuk affirmative dalam pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal pada periode RPJMN 2015-2019 (dimasa yang akan datang).
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
4
2.2 Tahap Analisis dan Evaluasi
Data dan informasi, baik bersumber dari desk study, Focus Group Discussions (FGD), dan kuesioner atau panduan wawancara dianalisa secara deskriptif untuk mendapatkan hasil evaluasi pelaksanaan RPJMN bidang kawasan khusus dan daerah tertinggal (KKDT) yaitu meliputi: (1) Bidang Pembangunan Daerah Tertinggal; (2) Bidang Pembangunan Kawasan Perbatasan; (3) Bidang Pembangunan Kawasan Strategis; (4) Bidang Pengelolaan Kawasan Rawan Bencana. Dalam menganalisis evaluasi hasil pembangunan bidang pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal, kerangka berpikir analisis yang digunakan adalah kerangka teoritikal ROCCIPI (Rules, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Procces dan Ideology) dengan perpaduan analisa SWOT (strengths, weaknesses, opportunities and threats). Kerangka berpikir ROCCIPI digunakan untuk sebuah pemecahan masalah, meliputi hal: (1) mengenali suatu permasalahan; (2) mencari penyebab perilaku bermasalah; (3) menyusun solusi; (4) pemantauan dalam pelaksanaan. Sementara SWOT dititikberatkan pada peluang (opportunities) and tantangan (threats), untuk melihat peluang dan tantangan atas solusi dan permasalahan yang ada. 3 Dengan kerangka berpikir analisa tersebut, beberapa hal yang hendak dituju antara lain yaitu: (1) Teridentifikasinya sinkronisasi substansi kebijakan perencanaan bidang kawasan khusus dan daerah tertinggal; (2) Hasil evaluasi kinerja pelaksanaan program bidang pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal; serta (3) rekomendasi bentuk-bentuk affirmative action terhadap pembagunan kawasan khusus dan daerah tertinggal. Secara ringkas, diagram dibawah ini menggambarkan tahapan dan analisa kajian evaluasi RPJMN bidang kawasan khusus dan daerah tertinggal:
3
Metode ROCCIPI acapkali digunakan sebagai metode dalam kerangka penyusunan peraturan-perundangan. Namun, dalam konteks ini ROCCIPI digunakan sebagai alat bantu (guidance) untuk mengidentifikasi permasalahan dalam bidang kawasan khusus dan daerah tertinggal. Metode ROCCIPI dikombinasikan dengan SWOT untuk merumuskan pemecahan masalah.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
5
Sumber: Analisa Tim Evaluasi Kebijakan (2014)
2.3 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam pelaksanaan kajian evaluasi RPJMN 2010-2014 ini mencakup data primer dan data sekunder. Adapun jenis data yang akan dikumpulkan adalah sebagai berikut:
Data primer: yaitu data atau informasi yang diperoleh dari bahan Focus Group Discussions (FGD) di Pusat dan Daerah maupun in-depth interview dengan beberapa stakeholders terpilih. Data dan informasi didapatkan berupa informasi yang mendalam, hasil wawancara, maupun jawaban responden terhadap kuesioner (panduan wawancara). Data atau informasi diperoleh melalui kunjungan lapangan dan digali dalam diskusi intensif dengan pengambil keputusan dan stakeholders terkait dengan penerapan pelaksanaan bidang pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal (KKDT).
Data sekunder: berasal dari berbagai dokumen atau literatur terkait pelaksanaan pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal (KKDT) dari kajian terkait, serta laporan capaian pembangunan periode 2010-2014, maupun data Badan Pusat Statistik (BPS) berbagai tahun. Keragaman sumber data ini dibutuhkan untuk
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
6
menganalisis kemajuan pembangunan, kawasan khusus dan daerah tertinggal.
2.4 Metode dan Lokasi FGD
khususnya
Proses pengumpulan data primer dimulai dengan melakukan proses pemilihan lokasi sampel yang akan dikunjungi untuk melakukan Focus Group Discussion (FGD), dan wawancara mendalam (in-depth interview). Lokasi sampel yang akan ditetapkan berdasarkan kriteria, sebagai berikut:
Merupakan daerah yang termasuk 183 Daerah tertinggal periode RPJMN 2010-2014. Merupakan kawasan perbatasan, yaitu daerah yang berbatasan dengan negara lain. Merupakan daerah rawan bencana, yaitu memiliki indeks risiko bencana tinggi berdasarkan data IRBI tahun 2013. Merupakan bagian dari kawasan strategis ekonomi (KAPET atau KEK) maupun wilayah hinterlandnya.
Berdasarkan kategori tersebut, maka lokasi sampel yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian terdiri dari 2 (dua) kabupaten dan 2 (tiga) provinsi. Adapun lokasi Focus Group Discussion (FGD), terpilih adalah: 1) Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. 2) Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
7
BAB 3 EVALUASI CAPAIAN DAN KINERJA KELEMBAGAAN MITRA DALAM RPJMN 2010-2014 BIDANG PEMBANGUNAN KAWASAN KHUSUS DAN DAERAH TERTINGGAL
3.1 Bidang Pembangunan Daerah Tertinggal
Arah kebijakan pembangunan daerah tertinggal adalah untuk melakukan percepatan pembangunan daerah tertinggal dengan meningkatkan pengembangan perekonomian daerah dan kualitas sumberdaya manusia yang didukung oleh kelembagaan dan ketersediaan infrastruktur perekonomian dan pelayanan dasar. Kebijakan tersebut diharapkan agar daerah tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengatasi ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang sudah relatif lebih maju. Arah kebijakan ini selanjutnya ditempuh melalui strategi pembangunan yang disesuaikan dengan karakteristik ketertinggalan suatu daerah. Percepatan pembangunan daerah tertinggal dilakukan melalui strategi sebagai berikut: a. Pengembangan ekonomi lokal di daerah tertinggal; b. Penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal di daerah tertinggal; c. Peningkatan pelayanan kesehatan terjangkau di daerah tertinggal;
yang
berkualitas
dan
d. Peningkatan pelayanan pendidikan yang berkualitas di daerah tertinggal; e. Peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur daerah tertinggal serta peningkatan aksesibilitas daerah tertinggal dengan pusatpusat pertumbuhan. Pembangunan daerah tertinggal ini sesuai dengan substansi inti dari Prioritas Nasional 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan pasca Konflik, yaitu: Substansi Inti 1 Kebijakan: Pelaksanaan kebijakan khusus dalam bidang infrastruktur dan pendukung kesejahteraan lainnya yang dapat mendorong pertumbuhan di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik selambat‐lambatnya dimulai pada 2011; Substansi Inti 4 Daerah tertinggal: Pengentasan daerah tertinggal di sedikitnya 50 Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
8
kabupaten paling lambat 2014 Diharapkan dengan fokus pada tujuan dari pembangunan Prioritas Nasional 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan pasca konflik ini, dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antara daerah maju dengan daerah tertinggal. Capaian pembangunan daerah tertinggal selama periode RPJMN 20102014 dapat dilihat dari outcome pembangunan di bawah ini: Tabel 3.1 Indikator Capaian RPJMN 2010-2014 Bidang Pembangunan Daerah Tertinggal
Indikator
Satuan
Capaian
Status Awal (2009)
Target 2014
2010
2011
2012
2013 (*)
2014 (*)
Rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal
Persen (%)
5.84
7.1
5.76
5.68
6,16
6,64
7,1
Persentase penduduk miskin di daerah tertinggal
Persen (%)
20.19
14.2
21.17
19.46
18.43
17.4
16,64
65.77
72.2
66.26
66.57
67,48
68,39
68,46
-
50
-
-
41
-
70
Indeks pembangunan manusia (IPM) di daerah tertinggal Daerah Tertinggal yang terentaskan*
kab
*) Berdasarkan Keputusan Menteri PDT bahwa daerah tertinggal yang telah terentaskan periode RPJMN 2010-2014 sejumlah 70 kabupaten, angka bersifat baseline (Rancangan Awal RPJMN 2015-2019). Secara agregat, pengentasan Daerah Tertinggal dari target 50 Kabupaten terentaskan terlah tercapai (70 Terentaskan berdasarkan Permen KPDT). Namun, berdasarkan indikator capaian, hanya rata-rata pertumbuhan ekonomi (7,1 %) yang tercapai. Namun, angka kemiskinan (16,64 %) tidak tercapai dari target (14,2 %) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (68,46) juga tidak tercapai dari target (72,2).
Evaluasi capaian – capaian program/kegiatan yang dilakukan dalam rangka Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
9
Tabel 3.2 Capaian Program/Kegiatan Pembangunan Daerah Tertinggal RPJMN 2010-2014
Program/ Kegiatan
Indikator Output
Capaian 2010
2011
2012
2013
2014
Target Akhir 2014 (RPJMN)
Ket
Substansi Inti I: Kebijakan Pelaksanaan Kebijakan Khusus dalam Bidang Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan lainnya yang dapat Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca Konflik Pengembangan Jumlah rencana 27 27 27 27 27 27 Kebijakan, aksi koordinasi dan pengembangan fasilitasi daerah daerah tertinggal di *Target tahunan kawasan (tercapai) perbatasan Pelayanan Pemberdayaan dan Pemerataan Pembangunan Sarana dan Prasarana Informatika
Pembinaan Upaya Kesehatan Dasar
Pelayanan Kesehatan Dasar bagi Masyarakat Miskin (Jamkesmas)
Pembinaan Pelayanan Medik Spesialistik
Jumlah desa berdering
27.670
30.413
30.441
30.441
30.441
33.184
*Target kumulatif (tercapai) Jumlah desa Pusat Layanan Internet Kecamatan/ PLIK Jumlah puskesmas yang menjadi puskesmas perawatan di perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar berpenduduk Jumlah Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kesehatan di perbatasan dan pulau terluar Jumlah Kab/Kota yang dilayani oleh RS bergerak di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK)
4.269
5.706
6.694
6.694
6.694
5.748
*Target kumulatif (tercapai) 76
83
86
91
96
96
*Target kumulatif (tercapai)
101
101
101
101
101
101
*Target tahunan (tercapai) -
24
24
24
24
58
*Target kumulatif (tercapai)
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
10
Program/ Kegiatan
Indikator Output
Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan yang didayagunakan dan diberi insentif di DTPK dan di DBK
Capaian 2010
2011
2012
2013
2014
-
1.391
4.248
5.320
5.320
Target Akhir 2014 (RPJMN)
Ket
7.020
*Target kumulatif (tercapai)
Penyediaan dan Peningkatan Kesejahteraan Pendidik dan Tendik
Jumlah guru penerima tunjangan khusus
41,531
Peningkatan Akses, Mutu, Kesejahteraan, dan Subsidi RA/BA dan Madrasah Pendayagunaan pulau-pulau kecil
Tunjangan Khusus Guru non PNS (Orang)
3.500
Jumlah pulau kecil yang terfasilitasinya penyediaan infrastruktur memadai secara terintegrasi, termasuk pulau-pulau kecil terluar
19 pulau
46.896
53.954
50.100
50.100
30,000 *Target kumulatif (tercapai)
3.241
3.790
3.500
3.500
3.500
*Target kumulatif (tercapai) 30 pulau
102 pulau
60 pulau
60 pulau
205 pulau
*Target kumulatif (tercapai)
Substansi Inti IV: Daerah Tertinggal Pengentasan Daerah Tertinggal sedikitnya 50 Kabupaten paling lambat Tahun 2014 Pengembangan kebijakan pengelolaan komoditas unggulan
Pengembangan kebijakan, koordinasi, pengembangan kawasan perdesaan di daerah tertinggal
Jumlah daerah tertinggal yang mendapat bantuan stimulan dalam pengembangan produk unggulan Jumlah Kabupaten Tertinggal yang mendapatkan bantuan stimulan dalam rangka percepatan pembangunan kawasan perdesaan terpadu
-
-
64
73
73
105
*Target kumulatif (tercapai)
-
12
40
43
46
50
*Target kumulatif (tercapai)
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
11
Program/ Kegiatan
Pengembangan kebijakan, koordinasi dan fasilitasi pembangunan infrastruktur transportasi
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)
Indikator Output
Jumlah kabupaten yang mendapatkan bantuan stimulant pembangunan infrastruktur transportasi di daerah tertinggal Tersedianya permukiman dan infrastruktur (Unit)
Pemberian jaminan hidup (KK) Pengelolaan dan Penyelenggaraa n Kegiatan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Laut
Pembangunan kapal perintis dan penumpang (unit) Jumlah trayek subsidi angkutan laut perintis
Pembangunan dan pengelolaan prasarana dan fasilitas lalulintas angkutan jalan Pembangunan Sarana dan Prasaarana transportasi SDP dan pengelolaan prasarana lalulintas SDP
Bus perintis (unit)
Capaian 2010
2011
2012
2013
2014
28
53
64
64
64
Target Akhir 2014 (RPJMN)
35 *Target tahunan (tercapai)
2.303
2.431
2.671
2.671
2.671
4.250
*Target kumulatif (tercapai)
4.272
-
2.353
4
5.367
4
5.367
22
5.367
22
5.671
34
*Target tahunan (tercapai)
*Target tahunan (tercapai) 60
61
67
79
76
76 *Target tahunan (tercapai)
37
143
50
147
83
180
83
190
83
190
170
190
Lintas bus perintis (lintas) Jumlah lintas keperintisan angkutan sungai danau dan penyebrangan yang terlayani yang mendapatkan subsidi operasional keperintisan
Ket
*Target tahunan (tercapai)
*Target tahunan (tercapai) 99
99
135
110
120
120 *Target tahunan (tercapai)
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
12
Program/ Kegiatan
Indikator Output
Capaian 2010
2011
2012
2013
2014
112 rute
130 rute
130 rute
168 rute
168 rute
Target Akhir 2014 (RPJMN)
Ket
(lintas) Pelayanan Angkutan Udara Perintis
Jumlah rute perintis yang terlayani
115 rute *Target tahunan (tercapai)
*) Sumber: Midterm Review Bappenas (2013) dan Masukan Direktorat Sektor Bappenas (2014)
Permasalahan dan Kendala Dalam pelaksanaan Substansi Inti (1): Pelaksanaan Kebijakan Khusus dalam Bidang Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan lainnya yang dapat Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca Konflik (4) Pengentasan Daerah Tertinggal sedikitnya 50 Kabupaten paling lambat Tahun 2014, terdapat beberapa hal mendasar yang menjadi permasalahan dan kendala pelaksanaannya dalam periode 2010-2014. Secara umum capaian sasaran Daerah Tertinggal masih belum sesuai dengan target yang ditetapkan. Hal ini dapat dilihat dari indikator utama prioritas ini, yaitu rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal, tingkat kemiskinan di daerah tertinggal dan indeks pembangunan manusia (IPM), yang belum mencapai target 2014. Namun demikian, target pengentasan daerah tertinggal yang sedikitnya mencapai 50 Kabupaten pada 2014 telah terpenuhi. Belum dapat dicapainya indikator utama prioritas (Angka Kemisikinan dan Indeks Pembangunan Manusia), (sementara Pertumbuhan Ekonomi Tercapai) dikarenakan beberapa kendala pembangunan daerah tertinggal, diantaranya: 1. Masih minimnya ketersediaan sarana prasarana dasar kewilayahan dan akses terhadap pelayanan dasar khususnya pendidikan dan kesehatan (target IPM secara agregat belum tercapai); 2. Belum optimalnya pengelolaan potensi sumberdaya lokal, sehingga belum dapat mengangkat kemiskinan penduduk secara signifikan (target menurunnya angka kemiskinan Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
13
secara agregat belum tercapai); 3. Belum optimalnya tindakan afirmatif kepada daerah tertinggal dan terluar/terdepan (target-target sektor, angka kemiskinan dan IPM belum tercapai); 4. Masih lemahnya koordinasi antar pelaku pembangunan (masih banyak program/kegiatan tidak bermanfaat, tidak sesuai spesifikasinya, maupun misalnya tidak memiliki sumber energi/listrik karena tidak ada (minim) integrasi antar K/L, ataupun masalah lintas sektor lain) ; dan 5. Belum optimalnya perumusan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan dan program khusus dan alokasi pendanaan yang belum sesuai dengan kebutuhan spesifik daerah tertinggal. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion yang dilakukan Bappenas (2014), yang dihadiri para pakar dan stakeholders terkait seperti Kementerian PDT, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kemen Perekonomian, Kemen ESDM, Kemen PU, Kemenhub, terdapat permasalahan dalam konteks mewujudkan keutuhan wilayah, seperti dikemukakan oleh salah peserta satu FGD yaitu: “Sejauh ini proses pembangunan Daerah Tertinggal, khususnya di Papua masih lebih banyak yang bersifat fisik padahal yang menjadi penting adalah bagaimana membangun manusianya, yaitu di bidang kesehatan dan pendidikan agar lebih intens mengadakan program pembangunan disana”. Dalam konteks evaluasi kelembagaan Pembangunan Daerah Tertinggal, berikut ringkasan penilaian evaluasi kinerja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), sebagaimana tabel 3.3 sebagai berikut.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
14
Tabel 3.3 Ringkasan Penilaian Kinerja Kelembagaan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal No
Evaluasi Kelemb agaan
Indikator
Kesimpulan Hasil Evaluasi
Penilaian Kinerja 2012
Penilaian Kinerja 2013
1
KPDT
Capaian Target
Belum sesuai dengan target yang ditetapkan. Rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal, tingkat kemiskinan di daerah tertinggal dan indeks pembangunan manusia (IPM), yang belum mencapai target 2014. Target pengentasan daerah tertinggal yang sedikitnya mencapai 50 Kabupaten pada 2014 telah terpenuhi
Dari sisi pengentas an daerah tertinggal : Tercapai Dari sisi pencapaia n target indikator utama prioritas : Tidak Efektif
Tercapai
Kualitas
Kualitas Perencanaan dan Pelaksanaan Kegiatanoleh mitra.
Belum Baik
Belum Baik
Sinkronisasi
Sinkronisasi RKPRenja, &Sinkronisasi RKP-RKAKL
Kurang Sinkron
Kurang Sinkron
Kesesuaian
Banyak yang tidak sesuai karena satu sama lain kurang terkoordinasi dengan baik
Kurang Sesuai
Tidak Sesuai
Efektivitas
Ada beberapa
Kurang
Kurang
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
15
substansi dari RKP 2014, Renja 2014 dan RKA KL dari Kementerian Pembangunan Daerah tertinggal (KPDT) yang masih belum bisa menjawab sasaran dari RKP
Efektif
Efektif
Sinergitas
Perlu adanya peningkatan sinergi antara kegiatan Bedah Desa sebagai “lokus” dengan Prukab dan kegiatan stimulan lainnya sebagai “fokus”.
Kurang Sinergi
Kurang Sinergi
Konsistensi
Melakukan fungsi koordinasi/bukan implementing
Tidak Konsisten
Tidak Konsisten
Kesimpulan
Kinerja KPDT
Belum/Kurang Berhasil
Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)
Berdasarkan data dalam tabel ringkasan penilaian kinerja KPDT diatas, dapat diketahui bahwa kinerja KPDT menunjukkan kinerja yang belum/kurang berhasil, dimana diindikasikan dari penilaian kualitas perencanaan pada tahun 2012 dan tahun 2013 yang kurang baik, dari sisi efektivitas menunjukkan kinerja Kurang Efektif, dari sisi sinergitas menunjukkan kinerja yang Kurang Sinergi, dan dari sisi konsistensi menunjukkan kinerja yang kurang konsisten. Jadi meskipun dari sisi pencapaian target, KPDT mampu melewati target untuk mengangkat ketertinggalan daerah tertinggal menjadi daerah yang tidak tertinggal, tetapi beberapa indikator makro seperti IPM, Pertumbuhan ekonomi dan Tingkat Kemiskinan target tidak tercapai. Kinerja KPDT belum/kurang berhasil menjalankan peran dan fungsinya untuk mengkoordinasikan dan mensinergikan program dan kegiatan K/L di daerah tertinggal, diindikasikan dengan: 1) Tiadanya instrumen kebijakan seperti Strategi Nasional PDT Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
16
(STRANAS PDT) dan Strategi daerah PDT (STRADA PDT) yang memungkinkan K/L untuk mengarahkan program dan kegiatan di daerah tertinggal. 2) KPDT sebagai Kementerian Negara yang seharusnya lebih menekankan kepada fungsi koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, dalam prakteknya lebih cenderung mengarah menjalankan fungsi implementor kebijakan, atau menjadi kompetitor K/L sektoral yang semestinya menjalankan fungsi tersebut. Dengan tidak adanya Sinkronisasi RKP-Renja, Sinkronisasi RKP-RKAKL, KPDT belum mampu menjalankan fungsi perencanaan yang semestinya menjadi bagian dari tugas dan fungsinya. Efek lanjut dari kondisi tersebut, KPDT dalam menjalankan fungsi perencanaan dan sebagai subsistem/bagian dari sistem pemerintahaan yang memiliki tanggung jawab dalam mengimplementasikan sistim perencanaan pembangunan nasional, membawa implikasi tidak berfungsinya sistim perencanaan pembangunan nasional seperti yang semestinya.
3.2 Bidang Pembangunan Kawasan Perbatasan
Arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan adalah mempercepat pengembangan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara sekaligus pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga secara terintegrasi dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan nasional dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Pada periode RPJMN 2010-2014, pembangunan kawasan perbatasan masuk kedalam prioritas nasional, Prioritas 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik. Pembangunan kawasan perbatasan tidak terlepas/saling terkait dengan pembangunan bidang daerah tertinggal (Sub Bab 3.1 Bidang Pembangunan Daerah Tertinggal). Program aksi untuk daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik ditujukan untuk pengutamaan dan penjaminan pertumbuhan di daerah tertinggal, terdepan, terluar serta keberlangsungan kehidupan damai di wilayah pascakonflik dengan substansi inti sebagai berikut: (1) Kebijakan: Pelaksanaan kebijakan khusus dalam bidang infrastruktur dan pendukung kesejahteraan lainnya yang dapat
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
17
mendorong pertumbuhan di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik selambat-lambatnya dimulai pada 2011; (2) Kerjasama internasional: Pembentukan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam rangka pengamanan wilayah dan sumber daya kelautan; (3) Keutuhan wilayah: Penyelesaian pemetaan wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina pada 2010; (4) Daerah tertinggal: Pengentasan daerah tertinggal di sedikitnya 50 kabupaten paling lambat 2014. Pembangunan kawasan perbatasan ini sesuai dengan substansi inti dari Prioritas Nasional 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan pasca Konflik, yaitu: Substansi Inti 2 Kerjasama Internasional Pembentukan kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam rangka pengamanan wilayah dan sumber daya kelautan Dalam konteks kerjasama internasional terdapat 4 (empat) sasaran: (1) Meningkatnya wilayah pengelolaan perikanan bebas IUU Fishing; (2) Terpenuhinya sarana dan prasarana pengawasan dengan rancang bangun dan sistem pemantauan yang terintegrasi dan tepat sasaran; (3) Meningkatnya sarana dan prasarana pertahanan di wilayah perbatasan; (4) Terselenggaranya operasi wilayah pertahanan. Substansi Inti 3 Keutuhan Wilayah Penyelesaian pemetaan wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina pada 20102014 Dalam konteks keutuhan wilayah terdapat 3 (tiga) sasaran: (1) Terselenggaranya perundingan perbatasan RI-Malaysia, Singapura, Timor Leste, Filipina, Vietnam, dan Palau; (2) Tersusunnya kebijakan pemetaan batas wilayah dan meningkatnya cakupan peta batas wilayah; (3) Inventarisasi Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu (WP3WT). Capaian pembangunan dalam konteks mewujudkan keutuhan wilayah NKRI, dalam periode RPJMN 2010-2014 Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
18
pemerintah telah memperkuat diplomasi perbatasan melalui perundingan terkait dengan pembuatan perjanjian bilateral dan trilateral antara RI-Malaysia, Filipina, Singapura, Timor Leste, Vietnam, dan Palau selama telah mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Pemerintah secara berkesinambungan melaksanakan kebijakan Border Diplomacy. Permasalahan dan Kendala Dalam pelaksanaan Substansi Inti (2) Kerjasama Internasional dan pelaksanaan substansi Inti (3) Keutuhan Wilayah, terdapat beberapa hal mendasar yang menjadi permasalahan dan Kendala pelaksanaannya dalam periode 2010-2014. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion yang dilakukan Bappenas (2014), yang dihadiri para pakar dan stakeholder terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, Polri, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), terdapat permasalahan dalam konteks mewujudkan keutuhan wilayah, seperti dikemukakan oleh beberapa peserta FGD yaitu: “selain minimnya sarana prasarana, minimnya sumber daya manusia yang mau bertugas ke perbatasan juga merupakan isu tersendiri yang perlu diangkat”. Lebih jauh, diperkuat pula pernyataan bahwa “Insentif yang besar untuk petugas perbatasan, tidak signifikan mendorong aparat mau ditempatkan di daerah perbatasan”. Hal lain yang diangkat dalam FGD tersebut yaitu, “masih ada tumpang tindih antar sektor (ego sektor) dalam pengelolaan lintas batas negara maupun ketidakjelasan SOP keamanan perbatasan” Berdasarkan data Tempo.co dalam Bappenas (2014), praktik pencurian ikan (illegal fishing) dari tahun ke tahun bertambah banyak. Pada 2013 lebih dari 3.000 kapal asing mencuri ikan. Pencurian ikan rata-rata oleh 100 kapal asing setiap tahunnya, karena faktor tidak sebandingnya kapal pengawas dengan luas lautan Indonesia yang perlu diawasi (2/3 luas daratan).
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
19
Gambar 3.1 Ilegal Fishing di Indonesia tahun 2001-2013
Sumber: TEMPO.CO (8 Jan 2014), dalam Bappenas (2014) 100 Kapal Asing Curi Ikan di Indonesia Tiap Tahun. Perubahan kebijakan oleh Menteri KKP yang menyebabkan melonjaknya pencurian ikan
Ditinjau dari jumlah lembaga yang menangani pengelolaan wilayah perbatasan laut, setidaknya ada 13 Kementerian/Lembaga (KL) penegak hukum di laut dengan kewenangannya yang berbedabeda. Dari 13 K/L tersebut yang memiliki satuan tugas patroli di laut hanya TNI AL, Polri (Dit. Polo Air), Kementerian Perhubungan (Ditjen Hubla), Kementerian KKP (Ditjen PSDKP), Kementerian Keuangan (Ditjen Bea Cukai) dan Bakorkamla. Jumlah kapal yang beroperasi mencapai 923 Kapal. Namun, pelaksanaan pengamanan laut kita masih belum terkoordinasi dengan baik. Adanya Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dinilai belum optimal, karena setiap sektor bekerja sendiri tanpa melakukan koordinasi dengan sektor lain (ego sektoral). Dalam beberapa kasus dan informasi, banyaknya armada kapal yang tersedia, namun tidak dapat beroperasional karena kendala bahan bakar, maupun mengalami kerusakan. Dari Focus Group Discussion yang dilakukan Bappenas (2014) serta hasil analisis (2014), beberapa hal yang dapat dirumuskan sebagai evaluasi pelaksanaan RPJMN 2010-2014 khususnya untuk substansi inti kerjasama internasional dan substansi keutuhan wilayah, yaitu: (1) minimnya personil/aparatur, serta sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan; (2) masih lemahnya koordinasi antar pelaku pembangunan dalam membangun kawasan perbatasan, termasuk dalam menjaga keutuhan wilayah; (3) Belum efektifnya tim perunding dalam berdiplomasi dari berbagai tingkat teknis, strategi, dan kebijakan.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
20
Tabel 3.4 Capaian Program/Kegiatan Pembangunan Kawasan Perbatasan RPJMN 2010-2014
Program/ Kegiatan
Capaian Indikator Output
2010
2011
2012
2013
2014
Target Akhir 2014 (RPJMN)
Ket
Substansi Inti II: Kebijakan Pembentukan kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam rangka pengamanan wilayah dan sumber daya kelautan 3 3 5 5 5 5 Pengembangan Jumlah wilayah Peningkatan pengelolaan *Target operasional dan perikanan bagian tahunan pemeliharaan barat (WPP) (tercapai) kapal pengawas Jumlah wilayah 6 6 6 6 6 6 pengelolaan *Target perikanan bagian tahunan timur (WPP) (tercapai) Jumlah Pengembangan pemenuhan sarana dan sarana prasarana pengawasan 21 pengawasan dan yang memadai *Target pemantauan secara terintegrasi, tahunan kapal perikanan akuntabel (tercapai) Substansi Inti III: Keutuhan Wilayah Penyelesaian pemetaan wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina pada 20102014 Pelaksanaan Jumlah 12 58 51 10 32 12 perundingan pelaksanaan perbatasan perundingan RIMalaysia, perbatasan *Target Singapura, Timor maritim dan darat tahunan Leste, Filipina, (tercapai) Vietnam, dan Palau Pemetaan Batas Jumlah NLP peta 37 12 45 72 50 Wilayah Negara batas wilayah negara (Joint *Target Mapping) koridor kumulatif perbatasan darat (tercapai) RI-PNG, RIMalaysia skala 1:50.000 Jumlah NLP 89 15 pemetaan kecamatan kawasan *Target perbatasan darat kumulatif RI-PNG, (tercapai) RIMalaysia
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
21
dan RIRDTL skala 1:50.000 serta skala 1:25.000 Jumlah pemetaan pulau-pulau terluar Pengelolaan pertanahan provinsi dan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu (WP3WT)
Inventarisasi Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu (WP3WT) (SP)
-
200
-
394
74
578
10
154
114 *Target kumulatif (tercapai)
885
*Target kumulatif (tercapai)
*) Sumber: Midterm Review Bappenas (2013) dan Masukan Direktorat Sektor Bappenas (2014)
Dalam konteks penyelesaian batas maritim Indonesia dengan negara tetangga, belum ada satupun batas Indonesia yang jelas dan disepakati bersama (clear) sepenuhnya dengan negara lain. Hanya dengan Australia yang sudah selesai namun belum diratifikasi (lihat tabel 3.5). Berdasarkan capaian pada periode RPJMN 2010-2014, telah banyak jumlah perundingan yang dilaksanakan (rata-rata minimal 10-60 perundingan dalam setahun) dan telah sesuai target RPJMN 20102014 (lihat tabel 3.4). Namun, hasil perundingan tersebut belum dapat menyelesaikan overlapping claim areas dengan negara tetangga. Akan tetapi, walau belum tentu memberikan dampak positif, kemajuan dari perundingan batas wilayah negara pada RPJMN 2010-2014, sudah mengalami banyak kemajuan yang signifikan sebagaimana tabel dibawah ini.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
22
Tabel 3.5 Capaian Kemajuan Perundingan Batas Wilayah Negara Dalam RPJMN 2010-2014 No
Negara
Status Penyelesaian Batas Wilayah Maritim Indonesia Batas Wilayah Batas Wilayah Yurisdiksi Kedaulatan Batas Laut Teritorial
Batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Batas Landas Kontinen
1
Indonesia-India di Laut Andaman
-
Belum
Selesai
2
IndonesiaThailand di Selat Malaka
-
Belum
Selesai
3
IndonesiaMalaysia -
Belum
Selesai
- Selat Malaka Sebelah Selatan
Belum
Belum
Selesai
b. Selat Singapura bagian timur
Belum
Belum
Belum
-
Belum
Selesai
- Bagian Utara Pantai Serawak
Belum
Belum
Selesai
d. Laut Sulawesi
Belum
Belum
Belum
a. Bagian Tengah
Selesai
-
-
b. Bagian Barat
Selesai
-
-
Belum (Baru kesepakatan level teknis)
-
-
Belum
Belum
Belum
a. Selat Malaka: - Selat Malaka
c. Laut Cina Selatan: - Bagian timur semenanjung Malaysia
4
IndonesiaSingapura di Selat Singapura
c. Bagian Timur (1)
Bagian Timur (2)
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
23
No
Negara
Status Penyelesaian Batas Wilayah Maritim Indonesia Batas Wilayah Batas Wilayah Yurisdiksi Kedaulatan Batas Laut Teritorial
Batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Batas Landas Kontinen
5
IndonesiaVietnam di Laut Cina Selatan
-
Belum
Selesai
6
IndonesiaFilipina di Laut Sulawesi
-
Selesai (Dalam Proses Ratifikasi)
Belum
7
Indonesia-Palau di Samudera Pasifik
-
Belum
Belum
8
Indonesia-PNG di a.Samudera Pasifik
Selesai
Belum
Selesai
b. Laut Arafura
Selesai
Belum
Selesai
a.Selat ombai dan Selat Leti
Belum
Belum
Belum
b.Laut Timor
Belum
Belum
Belum
-
Selesai, namun belum diratifikasi
Selesai, namun belum diratifikasi
9
10
Indonesia – Timor Leste di:
IndonesiaAustralia: Sebagian Samudera Pasifik, Laut Timor, dan Laut Arafura
Sumber: BNPP 2014, Asdep Batas Wilayah Laut dan Udara
Berdasarkan tabel di atas pula menunjukan bahwa jumlah perundingan yang dilaksanakan tidak selalu sejalan dengan jumlah segmen batas yang terselesaikan (penyelesaian/penegasan overlapping claim areas). Hal ini dikarenakan beberapa faktor, antara lain keengganan negara tetangga yang memiliki overlapping claim areas untuk melakukan perundingan (karena dianggap tidak menguntungkan) maupun karena faktor tidak ada target yang Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
24
kuat untuk memaksa tim perunding untuk menyelesaikan segmen batas wilayah negara (saat ini target perundingan adalah jumlah pelaksanaan diplomasi). Kedepan, perlu targettarget yang bersifat outcomes seperti terselesaikan segmen batas wilayah (jumlah segmen yang terselesaikan). Tentunya target ini perlu dorongan politik yang kuat untuk penetapan targetnya dan impelentasinya di lapangan. Dalam konteks evaluasi kelembagaan Pembangunan Kawasan Perbatasan, berikut ringkasan penilaian evaluasi kinerja Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Tabel 3.6 Ringkasan Penilaian Kinerja Pembangunan Kawasan Perbatasan No
1
Evaluasi Kelemba gaan
BNPP
Indikator
Kesimpulan Hasil Evaluasi
Penilaian Kinerja 2012
Penilaian Kinerja 2013
Pencapaian Target
Mempercepat pengembangan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara sekaligus pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga secara terintegrasi
Tidak Tercapai
Tidak Tercapai
Kualitas
Sinkronisasi RKPRenja, Sinkronisasi RKPRKAKL dan Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
Belum Baik
Belum Baik
Kesesuaian
Kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan dari BNPP belum baik
Kurang Sesuai
Cukup Sesuai
Kesesuaian
Banyak yang tidak sesuai karena satu sama lain kurang terkoordinasi dengan baik
Kurang Sesuai
Tidak Sesuai
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
25
No
Evaluasi Kelemba gaan
Indikator
Konsistensi
Koordinasi
Efektivitas
Kesimpulan Hasil Evaluasi
Penilaian Kinerja 2012
Penilaian Kinerja 2013
Kegiatan tidak terdapat didalam Renja BNPP dan RKP 2013. Dalam penyusunan Renja BNPP dengan RKP 2014 sudah sesuai namun penjabaran Renja ke dalam RKAKL masih ditemukan ketidakkonsisten an. Koordinasi BNPP dengan mitra K/L dalam upaya sinkronisasi kegiatan pembangunan yang bersifat “filling the gap” belum optimal.
Tidak Konsisten
Tidak Konsisten
Belum Optimal
Belum Optimal
Pelaksanaan pengamanan laut masih belum terkoordinasi dengan baik. Belum efektifnya tim perunding dalam berdiplomasi dari berbagai tingkat teknis, strategi, dan kebijakan. Tidak sebandingnya kapal pengawas dengan luas lautan Indonesia yang perlu diawasi (2/3 luas daratan).
Tidak Efektif
Tidak Efektif
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
26
No
Evaluasi Kelemba gaan
Indikator
Kesimpulan
Kesimpulan Hasil Evaluasi Masih ada tumpang tindih antar sektor (ego sektor) dalam pengelolaan lintas batas negara maupun ketidakjelasan SOP keamanan perbatasan” Kinerja BNPP
Penilaian Kinerja 2012
Penilaian Kinerja 2013
Belum/Kurang Berhasil
Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)
Secara umum, kinerja pembangunan perbatasan yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Pembangunan Perbatasan (BNPP) menunjukkan kinerja yang Tidak Berhasil. Ketidakberhasilan pembangunan perbatasan di indikasikan dengan gagalnya BNPP untuk menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara Republik Indonesia, kualitas perencanaan yang belum baik, dan efektivitas perencanaan yang tidak efektif dalam menjawab sasaran RPJMN, kegagalan BNPP dalam melakukan fungsi koordinasi perencanaan K/L dan SKPD, serta terjebak menjalankan fungsi implementing yang semestinya tidak dijalankan. Ketidakberhasilan BNPP dalam melaksanakan fungsi koordinasi pembangunan perbatasan yang dilakukan oleh K/L cenderung banyak disebabkan oleh: 1. Ketiadaan instrumen koordinasi perencanaan pembangunan perbatasan yang dilakukan oleh K/L. Rakortas yang dilakukan oleh BNPP tidak efektif karena baru bisa ditangani setelah 2 (dua) dilaksanakannya Rakortas (H-2) dan hasilnya tidak dapat dipenuhi seluruhnya. Pada umumnya mekanisme perencanaan, mampu dilakukan/direspon K/L setelah 1 (satu) tahun dilaksanakan rapat koordinasi pembangunan khusus. Fungsi BNPP dan Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
27
2.
3.
4.
BPPD saat ini, cenderung sebagai lembaga pengumpul/collecting program dan kegiatan pembangunan perbatasan yang dilakukan oleh K/L dan SKPD. Efek lanjutan dari ketidakfokusan dalam pelaksanaan pembangunan perbatasan yang dilakukan oleh K/L dan SKPD dalam mengatasi masalah utama yang dialami kawasan perbatasan, terjadi baik pada aspek fokus pembangunan maupun lokasi pembangunan. Lokasi pembangunan perbatasan lebih banyak yang dilakukan pada level kabupaten perbatasan dibandingkan dengan kecamatan terdepan/terluar (Lokpri) yang seharusnya menjadi lokus sasaran utama pembangunan perbatasan. Fokus pembangunan perbatasan juga mengalami kekurangtepatan, seperti misalnya pembangunan Base Transceiver Station (BTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) komunal yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. BNPP cenderung terjebak menjadi implementor dan BPPD terjebak menjadi layaknya SKPD pelaksana DAK Perbatasan, menyebabkan kurang berjalannya fungsi koordinasi perencanaan pembangunan perbatasan yang seharusnya dilakukan oleh BNPP/BPPD dalam mengarahkan perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh K/L dan SKPD. Kondisi ini mengakibatkan desain kelembagaan BNPP dan BPPD yang diharapkan sebagai koordinator pembangunan perbatasan tidak berjalan optimal. Ketidakberhasilan
BNPP
dan
BPPD
dalam
melakukan fungsi koordinasi mengakibatkan terjadinya ketidakefektifan
program
K/L
dalam
membantu
memecahkan masalah pembangunan perbatasan dan kegagalan BNPP dalam menjadikan Kawasan Perbatasan sebagai beranda depan Negara Republik Indonesia.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
28
Buruknya kualitas perencanaan BNPP diantaranya diindikasikan dari adanya kegiatan yang tidak terdapat didalam Renja BNPP dan RKP 2013. Meskipun Renja BNPP dengan RKP 2014 sudah sesuai, namun penjabaran Renja ke dalam RKAKL masih ditemukan ketidakkonsistenan, membuktikan kapasitas perencanaan di BNPP sangat mendesak untuk ditingkatkan. Kualitas perencanaan BNPP kurang baik, sebagai subsistem
pemerintahan
bagian/subsistem
nasional
pemerintahan
dan
sebagai
yang
memiliki
tanggungjawab untuk memecahkan masalah nasional yaitu masalah pembangunan perbatasan, membawa implikasi terhadap kinerja pembangunan perbatasan nasional yang tidak memuaskan. Dalam
konteks
perencanaan
pembangunan
nasional, kurang baiknya kualitas perencanaan BNPP yang merupakan salah satu subsistem/bagian yang tidak terlepas dari sistem perencanaan pembangunan nasional memberikan
kontribusi
bagi
kurang
efektifnya
perencanaan pembangunan nasional yang dilakukan oleh pemerintah selama periode terakhir ini.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
29
3.3 Bidang Pembangunan Kawasan Strategis
Dalam rangka implementasi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Pemerintah melalui RPJMN Tahun 2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), menargetkan penetapan 5 (lima) lokasi KEK dan penyelesaian 95% Peraturan Pelaksana UndangUndang KEK ditargetkan selesai 95% pada tahun 2014. Sebagai catatan awal capaian penetapan sejumlah 6 (enam) KEK baru dilaksanakan pada tahun 2014 dan kelembagaan KEK baru tersebut belum
ditetapkan
sampai
sekarang.
Dengan
demikian 6 (enam) KEK baru tersebut belum berfungsi dan tidak dievaluasi pada kajian ini. Pada kajian ini, terdapat 2 (dua) KEK yang akan dievaluasi, yaitu KEK Sei Mangkei dan KEK Tanjung Lesung yang telah ditetapkan tahun 2012 dan telah ditetapkan lembaga pengelolanya. Saat ini, KEK yang ada sampai pada tahapan persiapan, maka analisis
yang
dilakukan
sebatas
pada
tahap
persiapan (On-going Evaluation). Berdasarkan penilaian kinerja pembangunan KEK yang dilakukan, dapat diketahui kinerja pembangunan KEK seperti pada (tabel 3.7) dibawah ini.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
30
Tabel 3.7 Ringkasan Penilaian Kinerja Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) N o
Evaluasi Kelemb agaan
1 KEK Tanjung Lesung
2 KEK Sei Mangkei
Indikator
Kesimpulan Hasil Evaluasi
Tahun 2012
Tahun 2013
Pencapaian Target
Target jangka pendek (Operasionalisa si)
Tercapai
Tercapai
Kualitas
Sinkronisasi RKP-Renja, Sinkronisasi RKP-RKAKL dan Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
Kurang Baik
Kurang Baik
Sinkronisasi
Sinkronisasi RKP– Renja & Sinkronisasi RKP -RKAKL
Kurang Sinkron
Kurang Sinkron
Kesesuaian
Kesesuaian antara RenjaRKA KL, dan pelaksanaan sudah bisa menjawab sasaran output dari RKP
Kurang Sesuai
Kurang Sesuai
Efektivitas
Efektivitas pelaksanaan Program KEK
Belum Efektif
Belum Efektif
Kesimpulan
KEK Tanjung Lesung
Pencapaian Target
Target jangka pendek (Operasionalisa si)
Tercapai
Tercapai
Kualitas
Sinkronisasi RKP-Renja, dan RKPRKAKLserta Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
Kurang Baik
Kurang Baik
Sinkronisasi
Sinkronisasi RKP– Renja & RKP - RKAKL
Sinkron
Kesesuaian
Kesesuaian antara RenjaRKA KL, dan pelaksanaan
Sesuai
Berpotensi Gagal
Sesuai
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
31
sudah bisa menjawab sasaran output dari RKP Kesimpulan
KEK Sei Mangkei
Indikasi Berhasil
Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)
Dalam
kaitan
pembangunani
dengan
evaluasi
perencanaan
kawasan
khusus
dan
tertinggal, secara umum
daerah
target RPJMN dan RKP
sampai dengan 2014 telah tercapai/terlampaui, diantaranya:
Penetapan KEK, telah ditetapkan 8 (delapan) KEK dari target 5 KEK, meliputi KEK Sei Mangkei, Tanjung
Lesung,
Palu,
Bitung,
Morotai,
Mandalika, Tanjung Api-Api, dan Maloy Batuta Trans Kalimantan (MBTK).
Penyelesaian Peraturan Pelaksana UndangUndang KEK, telah diselesaikan serangkaian peraturan meliputi pembentukan, kelembagaan, pelimpahan kewenangan dan peraturan terkait lainnya. Sebagai
sebuah
program
yang
lebih
menekankan aktivitas kegiatan pada peran swasta, sementara pemerintah hanya sebatas regulasi dan penyediaan infrastruktur wilayah, maka beberapa catatan perlu disampaikan terhadap implementasi program KEK ini, diantaranya:
KEK Sei Mangkei dan KEK Tanjung Langsung sampai saat ini baru tahap persiapan dan belum
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
32
sepenuhnya efektif beroperasional. Hal ini, masih dalam pentargetan RPJMN dan RKP 2010 -2014.
Oleh karena sampai pada tahap persiapan, evaluasi ini bersifat on going evaluation, maka penilaian kinerja yang dilakukan diarahkan untuk mengetahui indikasi kinerja /potensi keberhasilan/kegagalan
dari
kedua
KEK
memiliki
kinerja
yang
tersebut.
KEK
Sei
Mangkei
mengindikasikan potensi keberhasilan, karena telah masuk investor global PT. Unilever Oleochemical Indonesia (PT. UOI) dengan nilai investasi sebesar Rp1,45 Triliun. Namun, hal ini akan sangat rentan untuk mengalami kegagalan jikalau hanya mengandalkan 1 (satu) investor global.
Kebutuhan
dukungan
membutuhkan pemerintah
infrastruktur
investasi yang
wilayah
pembangunan
sangat
besar,
seperti
penanganan jalan, jalur kereta api, penyediaan listrik dan gas, serta pelabuhan.
KEK Tanjung Lesung memiliki kinerja yang memiliki kinerja indikasi
potensi kegagalan,
walaupun di kawasan tersebut telah beroperasi beberapa pelaku usaha antara lain: Kalicaa Villa, The Bay Villas, Beach Club, Sailing Club, Legon Dadap, Blue Fish Hotel dan telah melakukan MoU dengan Pelindo II dalam pengembangan marina dan pelabuhan wisata. Namun, dalam periode Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
33
kedepan
kebijakan
MP3EI
(akan
tidakdilanjutkan), serta kebijakan RPJMN 20152019 mendorong pusat-pusat pertumbuhan di luar
Jawa
(sementara
Tanjung
Lesung
merupakan wilayah Jawa).
Tantangan besar untuk mewujudkan menjadi sebuah potensi keberhasilan, pengembangan kawasan
ini
membutuhkan
dukungan
infrastruktur wilayah, diantaranya: Jalan Tol Serang Panimbang sepanjang 83 km. Peningkatan
dan
pelebaran
ruas
Jalan
Nasional Serang-Pandeglang-Saketi-Simpang Labuan-Cibaliung sepanjang 116,41 km. Pembangunan Bandar Udara Panimbang, Banten Selatan, Banten. Beberapa regulasi yang masih perlu dilakukan pemerintah agar KEK yang sudah ditetapkan bisa segera operasional, diantaranya. Percepatan Peraturan
penyelesaian Pemerintah
Rancangan
tentang
fasilitas
Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai di KEK. Percepatan penyelesaian regulasi tentang Fasilitas
Keimigrasian,
Pertanahan,
dan
ketenagakerjaan di KEK, diantaranya: Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga
Kerjasama
Tripartit
melalui
perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
34
Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit Rancangan Dewan
Keputusan
Presiden
Pengupahan
di
tentang
KEK
melalui
perubahan Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan Nasional. Rancangan Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang Forum Serikat Pekerja/Serikat Buruh di
Perusahaan
pada
Kawasan
Ekonomi
Khusus. Penyediaan terintegrasi,
infrastruktur seperti
wilayah
yang
pembangunan
jalan
nasional, jalur kereta api, pelabuhan, bandara, listrik, gas, dan air bersih. Percepatan pelimpahan kewenangan kepada Administrator Pemerintah
KEK
dari
Provinsi,
dan
Pemerintah, Pemerintah
Kabupaten. Pemerintah cq. Dewan Nasional KEK dalam menetapkan sebuah kawasan menjadi KEK semestinya lebih mempertimbangkan potensi dan
ketersediaan
infrastruktur
wilayah
sehingga memiliki potensi keberhasilan yang lebih tinggi dengan investasi pemerintah yang tidak terlalu tinggi, mengingat keterbatasan yang
dimiliki
pemerintah,
seperti
KEK
Mandalika dan KEK Bitung. Pemerintah
perlu
mempertimbangkan
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
35
skenario skema kemitraan dengan swasta dalam pendanaan pembangunan infrastruktur wilayah
pendukung
KEK,
seperti
untuk
pendanaan jalan toll, pengadaan pembangkit listrik, pembangunan jaringan kereta api dan pembangunan bandara internasional baru. Dalam konteks perencanaan pembangunan, kebijakan penetapan kawasan Sei Mangkei dan
Tanjung
Lesung
sebagai
KEK
menunjukkan secara kasat mata bahwa penetapan tersebut tanpa didasari oleh sebuah perencanaan yang matang dan kurang mempertimbangkan potensi keberhasilan dan tingkat kesulitan serta implikasi yang harus ditanggung pemerintah. Dalam konteks kebijakan publik, formulasi kebijakan penetapan KEK merupakan hal yang krusial dan harus dilakukan dengan rasional dan professional. Dalam kasus penetapan KEK Sei Mangkei dan KEK Tanjung Lesung menunjukkan adanya lingkungan kebijakan kepentingan tertentu “faktor politis” yang kuat mempengaruhi penetapan kebijakan dan kurangnya kapasitas yang dimiliki oleh perencana kebijakan tersebut. Pada penetapan
periode kawasan
berikutnya menjadi
KEK
kebijakan sudah
menunjukkan indikasi perbaikan, dengan adanya formulir usulan, prasyarat
dan skema alur
penetapan sebuah kawasan menjadi KEK. Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
36
Sementara
untuk
penilaian
kinerja
pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) yang dilakukan, dapat diketahui kinerja pembangunan KPBPB seperti dibawah ini: Tabel 3.8 Ringkasan Penilaian Kinerja Pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) N Evaluasi o Kelemba gaan
1 KPBPB Sabang
Indikator
Pencapaian Target
Kualitas
Kesimpulan Hasil Evaluasi
Tahun 2012
Tahun 2013
memaksimalk an pelaksanaan pengembanga n serta menjamin kegiatan usaha di bidang perekonomia n yang meliputi perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan bidangbidang lainnya dalam kawasan yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk ekspor di pasar global. Sinkronisasi RKP-Renja, Sinkronisasi RKP-RKAKL dan Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
Tidak Tercapai
Tidak Tercapai
Baik
Baik
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
37
Sinkronisasi
Sinkronisasi RKP– Renja & Sinkronisasi RKP -RKAKL
Sinkron
Sinkron
Kesesuaian
Kesesuaian antara RenjaRKA KL, dan pelaksanaan sudah bisa menjawab sasaran output dari RKP
Sesuai
Sesuai
Efektivitas
Pembebasan lahan yang dilakuakan terus menerus kurang dirasakan karena tidak didukung dengan pembangunan sarana dan prasarana.
Belum Efektif
Belum Efektif
Kesimpulan
KPBPB Sabang
Belum Berhasil
2
KPBPB Batam
Pencapaian Target
Memaksimalk an pelaksanaan pengem bangan serta men jamin kegiatan usaha di bidang perekono mian yang meliputi perdagangan, mari tim, industri, perhu bungan, perbankan, pariwisata, dan bi dangbidang lainnya dalam kawasan yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk ekspor di
Tercapai
Tercapai
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
38
pasar global. Kualitas
Sinkronisasi RKP-Renja, dan RKPRKAKLserta Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
Baik
Baik
Sinkronisasi
Sinkronisasi RKP– Renja & RKP - RKAKL
Cukup Sinkron
Cukup Sinkron
Kesesuaian
Kesesuaian antara RenjaRKA KL, dan pelaksanaan sudah bisa menjawab sasaran output dari RKP
Sesuai
Sesuai
Efektivitas
Kegiatan perizinan terpadu masih kurang efektif karena pelayanan yang diberikan bukan merupakan one stop service namun pelayanan perizinan masih harus mengurus kepada dinas terkait satu persatu.
Belum Efektif
Belum Efektif
Kesimpulan
BP Batam
Relatif Berhasil
Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)
Dari 4 (empat) KPBPB yang sudah ditetapkan dan 2 (dua) KPBPB yang dianalis menunjukkan kinerja dari KPBPB Batam lebih berhasil dibandingkan dengan KPBPB Sabang. Beberapa catatan yang perlu diberikan catatan terkait dengan Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
39
KPBPB diantaranya: Kepala Kawasan Pelabuhan Bebas (FTZ) umumnya dikelola oleh pemerintahan lokal kecuali IRDA (Malaysia) dimana Perdana Menteri dan Kementerian Khusus memimpin bersama (Co-Chair), dengan anggota pejabat pemerintah pusat dan negara bagian Johor. Sementara Badan Pengelola diisi dengan kalangan pebisnis dan profesional. Di Vietnam dan China, pemerintahan lokal mendapatkan otoritas lebih dalam mengelola kawasan pelabuhan bebas, pemerintah pusat hanya menetapkan arahan umum. Pemerintah lokal sangat efektif dalam menyelesaikan persoalan teknis disebabkan sistem satu komondo kepartaian (sosialis). Permasalahan perizinan usaha dan insentif bagi industri berteknologi tinggi diselesaikan di badan pengelola kawasan. Pemerintah pusat berperan aktif dalam memberikan promosi kawasan kepada pengusaha lokal maupun luar negeri khususnya yang dilakukan di Malaysia. Terdapat permasalahan dalam pengembangan kawasan bebas pelabuhan Batam-BintanKarimun seperti status hutan lindung, impor list dan lain-lain. Permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan di level lokal dan level nasional belum memberikan perhatian yang diharapkan. Umumnya permasalahan tersebut melibatkan multi sektor dan lintas kementerian. Persoalan-persoalan Kelembagaan : Ketidakpastian Hukum terkait pengembangan Batam-Bintan-Karimun, misalnya terkait dengan Konsistensi Aturan Beacukai dan BP Batam. Dalam perspektif perencanaan pembangunan keberhasilan KPBPB Batam, banyak dipengaruhi faktor kesejarahan dan potensi letak geografisnya Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
40
serta kebutuhan Negara tetangga Singapura yang memiliki wilayah yang sempit akan tetapi memiliki potensi investasi warga Negara Singapura yang sangat besar. Sebelum ditetapkan sebagai KPBPB, kawasan Batam dikembangkan oleh Badan Otorita Batam yang memiliki dukungan politik dan anggaran yang luar biasa sejak periode tahun 1980an. Dengan kondisi kepulauan Batam yang masih relative kosong pada waktu itu memudahkan pengelolanya dalam proses pengembangannya. Badan Pengusahaan Batam yang merupakan transformasi dari Badan Otorita Batam yang sebelumnya memiliki otoritas mengelola kawasan Batam sudah memiliki ‘modal’ dengan capaian kawasan batam ketika dikelola oleh Badan Otorita Batam. Sementara KPBPB Sabang yang relative lebih baru dikembangkan lebih mengandalkan sebagai jalur perlintasan kapal Internasional kurang terdukung oleh potensi investor luar yang relative sedikit karena potensi strategis wilayah dan kurang terdukung potensi sumber daya alamnya. Sementara badan pengusahaan KPBPB Batam tidak ‘mewarisi’ kondisi wilayah seperti yang dialami Badan Pengusahaan Batam, yang terjadi bahkan BP KPBPB Sabang mewarisi sisa sisa bencana Tsunami yang melanda aceh, karena sabang merupakan wilayah yang terkena bencana tsunami. Kondisi ini sebenarnya kurang bisa dibandingkan dan tidak bisa diambil kesimpulan atas kinerja KPBPB Dengan kinerja perencanaan KPBPB Batam dan KPBPB Sabang yang merupakan subsistem/bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional tentunya memberikan pengaruh terhadap skenario pembangunan nasional, dimana KPBPB Batam memberikan dukungan positip dan KPBPB Sabang memberikan dukungan negative dalam pencapaian tujuan pembangunan Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
41
nasional periode 2010-2014. Sementara untuk
penilaian
kinerja
pembangunan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang dilakukan, dapat diketahui kinerja pembangunan KPBPB seperti dibawah ini: Tabel 3.9 Ringkasan Penilaian Kinerja Pembangunan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) N Kawasan o
1 KAPET
Indikator
Kesimpulan Hasil Evaluasi
Tahun 2012
Tahun 2013
Pencapaian Target
Pengembanga n pusat-pusat pertumbuhan sebagai penggerak pemba ngunan di wilayah sekitar nya yang pada akhirnya diharapkan dapat peme rataan pembangunan dan hasilhasilnya dengan memacu pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia. Sinkronisasi RKP-Renja, Sinkronisasi RKP-RKAKL dan Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
Belum Tercapai
Belum Tercapai
-
-
Sinkronisasi
Sinkronisasi – RKAKL & Sinkronisasi RKP -RKAKL
-
-
Kesesuaian
Kesesuaian antara Renja, RKA KL, dan
-
-
Kualitas
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
42
pelaksanaan sudah bisa menjawab sasaran output dari RKP Efektivitas
Efektivitas pelaksanaan Program KAPET dalam menjawab sasaran RKP.
Kesimpulan
KAPET
Belum Efektif
Belum Efektif
Belum Berhasil
Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa kinerja pembangunan KAPET menunjukkan adanya kegagalan, hal ini ditunjukkan dengan ketidakefektifan kinerja program pembangunan KAPET dalam menjawab sasaran pembangunan yang tercantum dalam dokumen perencanaan pembangunan RPJMN dan RKP. Disamping itu pula KAPET gagal untuk menjadi mencapai targetnya sebagai prime over kawasan disekitar. Kegagalan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Perpres 176 tahun 2014 yang mencabut berlakunya Perpres 150 tahun 2000. Dalam perspektif perencanaan, KAPET yang dirancang dan ditetapkan sejak tahun 1996 sampai tahun 2014 ini, baru menunjukkan kinerja yang memuaskan di KAPET Bitung, sementara yang lainnya tidak menunjukkan kinerja yang memuaskan. Tentunya banyak faktor yang menjadi penyebab kegagalan KAPET selama 18-19 tahun ini. Salah satunya adalah dukungan politik, isi kebijakan, dan lingkungan yang melingkupi KAPET. Faktorfaktor tersebut berkontribusi terhadap terjadinya kinerja KAPET seperti yang terjadi selama ini. KAPET yang dikembangkan selama hampir 4 (empat) periode pemerintahan selama ini sulit Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
43
berkembang diindikasikan karena dukungan politik yang minim, hal ini terlihat dari minimnya alokasi anggaran yang tersedia untuk pengembangan KAPET. Faktor lainnya, karena kerangka kelembagaan yang disusun juga tidak berjalan efektif. Badan Pengembangan (BP) KAPET kurang berfungsi secara optimal dan hanya Kementerian PU yang memberikan dukungan anggaran untuk operasionalisasi Badan Pengelola KAPET di daerah. Sementara kementerian lain yang menjadi anggota badan pengembangan KAPET kurang memberikan dukungan secara optimal. KAPET yang selalu menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah (Repelita/Propenas/RPMN, Renstra K/L) merupakan bagian/subsistem pemerintah khususnya pembangunan regional, secara otomatis memiliki kontribusi terhadap capaian dari pembangunan regional selama ini.
3.4 Bidang Percepatan Pembangunang an Papua dan Papua Barat
Dalam konteks Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal (KKDT) diberikan tugas khusus untuk mengawal percepatan pembangunan wilayah tersebut. Berdasarkan penilaian kinerja percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) yang dikoordinasikan oleh Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B), dapat diketahui kinerja pembangunan P4B seperti pada tabel dibawah ini:
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
44
Tabel 3.10 Ringkasan Penilaian Kinerja Pembangunan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B)
N o
Kawasan
1
UP4B
Indikator
Kesimpulan Hasil Evaluasi
Pencapaian Target
Tahun 2012
Tahun 2013
Renaksi P4B/Perpres 65 tahun 2011 Sinkronisasi RKP-Renja, Sinkronisasi RKP-RKAKL dan Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
Tidak Tercapai
Tidak Tercapai
Baik
Baik
Sinkronisasi
Sinkronisasi – RKAKL & Sinkronisasi RKP -RKAKL
Sinkron
Sinkron
Kesesuaian
Kesesuaian antara Renja, RKA KL, dan pelaksanaan sudah bisa menjawab sasaran output dari RKP
Sesuai
Sesuai
Efektivitas
Afirmasi Pendidikan umum/kedina an OAP
Belum Efektif
Belum Efektif
Konsisten
Sesuai Tupoksi/ Koordinasi
Konsiste n
Konsiste n
Kesimpulan
UP4B
Kualitas
Belum Berhasil
Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)
Berdasarkan data dalam tabel diatas, terlihat bahwa kinerja
P4B/UP4B
menunjukkan
kegagalan/tidak
berhasil, hanya yang perlu dijelaskan dari kegagalan P4B/UP4B ini adalah sebagai berikut: Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
45
1. Peraturan Presiden (Perpres) P4B dan UP4B baru ditetapkan pada akhir tahun 2011. Pada saat ini, kebijakan perencanaan pembangunan secara nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) K/L telah ditetapkan terlebih dahulu. Artinya Rencana Aksi P4B yang merupakan lampiran dari Perpres P4B menjadi kurang dapat diakomodir oleh RPJMN dan Renstra K/L secara optimal. 2. Pada saat Perpres P4B dan UP4B ditetapkan, rencana kegiatan dan anggaran K/L tahun 2012 sudah selesai ditetapkan, sehingga UP4B hanya dapat mempengaruhi APBN-Perubahan K/L tahun 2012 agar lebih mengarahkan kegiatan dan anggaran tersebut ke provinsi Papua dan Papua Barat. 3. Durasi waktu yang tersedia bagi UP4B untuk melaksanakan isi Renaksi P4B hanya sekitar 2,5 tahun efektif, sementara Renaksi P4B berisikan rangkaian kegiatan multisektor, sehingga secara rasional tidak mungkin bisa diimplementasikan dalam durasi masa tugas yang sekitar 3 tahun (hingga akhir tahun 2014). 4. Perpres P4B dan UP4B ditetapkan dalam suasana ketidakpercayaan yang tinggi dari masyarakat Papua terhadap pemerintah Republik Indonesia (lingkungan politis), dan kehadirannya P4B/UP4B disambut dengan demonstrasi pembubaran kegiatan sosialisasi P4B dan UP4B yang dilakukan oleh tokoh Gereja dan masyarakat asli Papua sebagai ekspresi ketidakpercayaan tersebut. Dalam kondisi tersebut, hampir tidak mungkin untuk melaksanakan kegiatan seperti dalam kondisi normal. Kondisi tersebut menimbulkan situasi yang tidak rasional apabila dilakukan penilaian Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
46
kinerja dari normal.
P4B/UP4B
dengan
perspektif
Dalam perspektif perencanaan pembangunan, langkah – langkah yang dilakukan UP4B telah mampu menciptakan kondisi yang kondusif sebagai prasyarat untuk pelaksanaan pembangunan, meskipun memiliki kelemahan karena tidak mampu melakukan koordinasi yang baik dengan pemerintah provinsi Papua dan provinsi Papua Barat. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa efek kehadiran UP4B telah mampu meningkatkan alokasi anggaran dari K/L untuk dialokasikan ke provinsi Papua dan provinsi Papua Barat secara signifikan. UP4B sebagai bagian dari bagian/subsistem pemerintahan nasional yang juga bagian dari system perencanaan pembangunan nasional meskipun tidak terakomodir dalam dokumen perencanaan RPJMN dan Renstra K/L akan tetapi terakomodir dalam dokumen perencanaan RKP 2013 dan RKP 2014, sebenarnya turut memberikan kontribusi positif terhadap capaian hasil pembangunan nasional dalam rentang waktu 20102014.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
47
3.5 Bidang
Penanggulan gan Bencana
Arahan kebijakan penanggulangan bencana diarahkan pada peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangan bencana nasional serta mewujudkan ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana, melalui: (1) Pengintegrasian kebijakan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas pembangunan nasional dan daerah; (2) Penguatan kapasitas penanggulangan bencana di pusat dan daerah; (3) Penanganan darurat bencana yang efektif dan pemberian bantuan kemanusiaan di wilayah yang terkena dampak bencana alam dan kerusuhan sosial; (4) Peningkatan sumber daya penanganan kedaruratan dan bantuan kemanusiaan yang dilengkapi dengan peralatan dan logistik yang memadai; dan (5) Percepatan pemulihan wilayah yang terkena dampak bencana. Dalam RPJMN 2010-2014, penanggulangan bencana nasional masuk sebagai prioritas nasional 9 yaitu Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam RPJMN 2010-2014 juga mencantumkan aspek mitigasi bencana alam dalam kaitannya dengan perubahan iklim sebagai prioritas bidang. Secara umum sasaran pembangunan dalam prioritas ini telah tercapai. Dari 10 indikator pencapaian Prioritas Nasional 9 yang disusun, tiga diantaranya terkait pengelolaan bencana yaitu: 1) kesinambungan sistem analisa data di bidang gempabumi dan tsunami; 2) terlaksananya pemenuhan kebutuhan logistik dan peralatan kebencanaan (Provinsi/Kabupaten/Kota); dan 3) terbentuknya satuan reaksi cepat/SRC-PB (Satuan Reaksi CepatPenanggulangan Bencana). Kemajuan pencapaian berdasarkan ketiga indikator terkait penanggulangan bencana ini ditunjukkan pada tabel berikut.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
48
Tabel 3.11 Capaian Program/Kegiatan Program Bencana Dalam RPJMN 2010-2014
Program/ Kegiatan
Indikator Output
Penanggulangan
Capaian 2010
2011
2012
2013
2014
Target Akhir 2014 (RPJMN)
Ket
Substansi Inti : Penanggulangan Bencana Peningkatan kemampuan penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 propinsi, dan 2) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. 90 100 100 100 160 90 Waktu yang Kesinambungan diperlukan sistem analisa data untuk di bidang menentukan gempabumi dan parameter *Target tsunami gempabumi tahunan dan tsunami. (tercapai) 16 Terlaksananya pemenuhan kebutuhan logistik dan peralatan kebencanaan (Prov/Kota)
Terlaksananya Pemenuhan kebutuhan logistik kebencanaan (Provinsi & kab/Kota)
Terbentuknya satuan reaksi cepat (SRC-PB)
Terbentuknya satuan reaksi cepat (SRCPB) yang terbentuk
265
160
160
160
77
*Target tahunan (tercapai) 2
2
2
2
2
2
*) Sumber: Midterm Review Bappenas (2013) dan Masukan Direktorat Sektor Bappenas (2014)
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
*Target tahunan (tercapai)
49
Berdasarkan tabel di atas pula, sebagian besar pencapaian untuk pengelolaan bencana sudah melebihi target yang seharusnya dicapai pada 2014. Hal ini menandakan bahwa usaha untuk penanggulangan bencana di Indonesia sudah dilaksanakan sesuai dengan target yang ingin dicapai. Namun, indikator untuk penanggulangan bencana masih terfokus pada pemenuhan sarana dan prasarana, sistem informasi dan usaha kesiapsiagaan. Namun, pengembangan kapasitas masih bukan prioritas dalam penanggulangan bencana, padahal untuk mengurangi risiko bencana, masyarakat harus mampu untuk melakukan adaptasi dan mitigasi bencana. Dari sisi kelembagaan, perangkat regulasi maupun kapasitas kelembagaan BNPB dan BPBD (SDM maupun implementasi dari tugas/fungsi sebagai Koordinator, Komando, dan Pelaksana) belum efektif. Permasalahan dan Kendala Dalam pelaksanaan Substansi Inti : Penanggulangan Bencana Peningkatan kemampuan penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 propinsi, dan 2) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia, terdapat beberapa hal mendasar yang menjadi permasalahan dan Kendala pelaksanaannya dalam periode 2010-2014. Seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana yang telah mengalami perubahan yang semula lebih berorientasi pada penanganan darurat, menjadi upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana, diharapkan dapat menyikapi permasalahan dalam penanggulangan bencana, seperti: (1) belum memadainya kinerja penanggulangan bencana karena keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia; (2) keterbatasan sumber daya rehabilitasi dan rekonstruksi, menyebabkan terhambatnya proses pemulihan wilayah pasca bencana; dan (3) besarnya ketergantungan pendanaan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dalam pendanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion yang dilakukan Bappenas (2014), yang dihadiri para pakar dan stakeholder terkait seperti Kementerian Sosial, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kemen ESDM, Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
50
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BMKG, LIPI, Kementerian PU, Kementerian Kehutanan, Mabes TNI, Kementerian PDT, Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, terdapat permasalahan dalam konteks mewujudkan keutuhan wilayah, seperti dikemukakan oleh peserta satu FGD yaitu: “Pelaksanaan penanganan darurat bencana dan pemulihan pascabencana telah mengalami peningkatan, sedangkan tingkat kerentanan tinggi yang disebabkan masih rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat”. Lebih jauh, bahwa ada isu utama terkait bidang penanggulangan bencana yang diangkat dalam FGD tersebut yaitu “Integrasi pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah sebagai upaya mendukung pembangunanberkelanjutan”. Sementara untuk penilaian kinerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dilakukan, dapat diketahui kinerja pembangunan BNPB seperti dibawah ini: Tabel 3.12 Ringkasan Penilaian Kinerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No
1
Evaluasi Kelemba gaan BNPB
Kesimpulan Hasil Evaluasi
Penilaian Kinerja 2012
Penilaian Kinerja 2013
Pencapaian Target
Sebagian besar pencapaian untuk pengelolaan bencana sudah melebihi target yang seharusnya dicapai pada 2014.
Tercapai
Tercapai
Kualitas
Sinkronisasi RKP-Renja, Sinkronisasi RKPRKAKL dan Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
Belum Baik
Koordinasi
BNPB dalam mengkoordinasikan seluruh pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana belum berjalan maksimal, termasuk koordinasi internal
Belum Terkoordinir
Belum Terkoordinir
Sinkronisasi
Sinkronisasi RKP-Renja,
Belum
Sinkron
Indikator
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
Baik
51
Sinkronisasi RKPRKAKL
Sinkron
Kesesuaian
Kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan dari program dan kegiatan BNPB
Belum Sesuai
Sesuai
Efektivitas
Efektivitas pelaksanaan Program Penanggulangan Bencana
Tidak Efektif
Tidak Efektif
Kesimpulan
Kinerja BNPB
Belum/Kurang Berhasil
Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi Kebijakan, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)
Berdasarkan data dalam ringkasan penilaian kinerja diatas dapat diketahui
bahwa
kinerja
dari
pembangunan
kawasan
bencana/BNPB menunjukkan kinerja yang tidak berhasil. Faktor penyebab utama dari ketidakberhasilan kinerja BNPB dikarenakan kualitas perencanaan pembangunan BNPB yang kurang baik dan tidak efektifnya perencanaan yang dilakukan dalam menjawab sasaran yang ditetapkan dalam RKP. Dalam perspektif sistem perencanaan pembangunan nasional, RPJMN yang diturunkan menjadi RKP dan diacu menjadi Renstra BNPB, serta diturunkan menjadi Renja dan RKAKL setiap tahunnya oleh BNPB tidak berjalan dengan semestinya sehingga dalam implementasi dari perencanaan yang disusun BNPB yang menjadi tidak efektif. Dari hasil analisis per bidang pembangunan kawasan khusus, dapat disusun rangkuman kinerja per bidang pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal seperti dalam tabel dibawah ini
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
52
Tabel 3.13
Rangkuman Hasil Penilaian Kinerja Perencanaan Pembangunan Kawasan Tertinggal dan Khusus Pembangunan Kawasan
Kinerja
Khusus dan Daerah Tertinggal
Perencanaan
No
1
Pembangunan
Daerah Belum Berhasil
Tertinggal/KPDT 2
Pembangunan
Kawasan Belum Berhasil
Perbatasan/BNPP 3
KPBPB
Berhasil/dengan catatan
4
Kawasan
Ekonomi
Khusus Terindikasi
(KEK)/Dewan Nasional KEK 5
Berhasil/
Tahap Penyiapan
Percepatan Pembangunan Provinsi Belum Berhasil Papua & Provinsi Papua Barat (P4B)/UP4B
6
KAPET/Bapeng KAPET
Belum Berhasil
7
KawasanBencana/BNPB
Belum Berhasil
Sumber: Hasil analisis Tim Evaluasi Kebijakan (2014)
Dari hasil analisis yang sudah dilakukan dapat diketahui bahwa
dalam periode
2010-2014 pada
perencanaan
pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang merupakan amanah UU nomor 25 tahun 2004 belum berjalan dengan baik dan menghasilkan kinerja yang berhasil.
Hanya KPBPB yang
mengindikasikan kinerja yang berhasil, dan itupun lebih Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
53
banyak dipengaruhi hasil program pendahunya/Badan Otorita Batam. Banyak faktor yang membuat kinerja perencanaan pembangunan nasional mencapai kinerja seperti saat ini, diantaranya: 1.
Isi Kebijakan:
Sistem perencanaan pembangunan nasional (UU nomor 25 tahun 2004)
2.
Keuangan Negara (UU nomor 17 tahun 2003) Kapasitas implementing agency (Lembaga & SDM)
Sistem dan mekanisme kontroling RPJMN – RKP
Sistem dan mekanisme kontroling RKP-Renja K/L yang tidak efektif
Sistem dan mekanisme kontroling Renja K/L – RKAKL yang tidak efektif
3.
Lingkungan yang kurang kondusif (Politik Anggaran DPR, Politik
Birokrasi,
keberpihakan
terhadap
kawasan
perbatasan, daerah tertinggal, dan Papua).
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
54
EVALUASI UMUM TARGET DAN CAPAIAN RPJMN 2010-2014 BIDANG PEMBANGUNAN KAWASAN KHUSUS DAN DAERAH TERTINGGAL Berdasarkan hasil evaluasi target dan capaian RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, pada dasarnya secara agregat telah tercapai, seperti pengentasan Daerah Tertinggal dari target 50 Kabupaten Terentaskan (tercapai 70 Kabupaten Terentaskan), pelaksanaan kerjasama dan diplomasi batas wilayah negara dan kawasan perbatasan, target terbentuknya 5 (lima) Kawasan Ekonomi Khusus (telah terbentuk 8 (delapan) Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) hingga 2014), kesinambungan sistem analisa data di bidang gempabumi dan tsunami, terlaksananya pemenuhan kebutuhan logistik dan peralatan kebencanaan, hingga terbentuknya tim reaksi cepat bencana. Namun, jika dilihat dari kualitas pencapaian, terdapat beberapa hal yang belum tercapai seutuhnya. Seperti Substansi Inti Pembangunan Daerah Tertinggal,indikator target Angka Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tidak tercapai (hanya pertumbuhan ekonomi yang tercapai).Untuk penegasan batas wilayah negara, hampir seluruh batas maritim belum terselesaikan (clear) dengan negara tetangga. Aktivitas illegal di perairan/laut maupun di darat masih tinggi. Sementara KEK belum berjalan secara optimal, masih terhambat dengan infrastruktur wilayah maupun kelembagaan. Dalam konteks kebencanaan, saat ini belum menjadi mainstream dalam pembangunan oleh seluruh stakeholder.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
55
BAB 4 EVALUASI KEBIJAKAN, KINERJA PELAKSANAAN, DAN STUDI KASUS PENGEMBANGAN BIDANG PEMBANGUNAN KAWASAN KHUSUS DAN DAERAH TERTINGGAL 4.1 Evaluasi Kebijakan Percepatan Pembangunan
Regionalisasi dalam pengembangan wilayah nasional dalam RPJMN 2010-2014 mengacu pada keserasian dan keseimbangan pembangunan ekonomi wilayah dengan kesejahteraan masyarakat, pembangunan infrastruktur, dan kelestarian lingkungan, sehingga terwujud pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks pembangunan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal (KKDT), maka tujuan utama pembangunan yaitu untuk mengurangi ketimpangan wilayah antar Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI), Daerah Tertinggal dengan Daerah Non Tertinggal, Kawasan Perbatasan Negara dengan wilayah negara tetangga. Kawasan rawan bencana maupun tata ruang seyogyanya menjadi landasan utama dalam konteks keterpaduan pembangunan mengurangi potensi resiko bencana, konflik kepentingan, pembangunan lintas wilayah dan lintas sektoral, yang pada akhirnya akan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tantangan untuk mengurangi ketimpangan wilayah di Indonesia, bukan suatu hal yang mudah. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, pembangunan cenderung mengarah di wilayah Jawa maupun Sumatera. Sementara wilayah Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi, Papua tetap tertinggal dalam pembangunan, sebagaimana data sebagai berikut. Tabel 4.1 Peran Wilayah Pulau Dalam Pembentukan PDB Nasional Dalam Kurun Waktu Tahun 1978- 2013 PULAU
1978 1983 1988 1993 1998 2003
2008
2013
Sumatera
27,6
28,7
24,9
22,8
22,0
22,4
22,9
23,8
Jawa
50,6
53,8
57,4
58,6
58,0
60,0
57,9
58,0
Kalimantan
10,2
8,7
8,9
9,2
9,9
8,9
10,4
8,7
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
56
Sulawesi
5,5
4,2
4,1
4,1
4,6
4,0
4,3
4,8
Bali dan Nusa Tenggara
3,1
2,8
3,0
3,3
2,9
2,8
2,5
2,5
Maluku dan Papua
2,9
1,8
1,7
2,0
2,5
1,8
2,0
2,2
Total
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
100,0
Sumber: BPS, diolah dari berbagai tahun
Tantangan untuk mewujudkan pemerataan dan keterpaduan pembangunan dalam suatu wilayah juga berkaitan dengan perlunya koordinasi kebijakan pembangunan nasional maupun kekuatan/kemauan politik (political will) yang terstruktur. Seperti diketahui bahwa, ketimpangan wilayah seringkali memberikan “kerugian” yang lebih besar bagi negara. Pembelajaran kasus di kawasan perbatasan negara (di klaimnya Sipadan-Ligitan) oleh negara lain (Malaysia), serta konflik horisontal, merupakan beberapa contoh mengapa pemerataan pembangunan wilayah menjadi tujuan pembangunan. Pemerataan pembangunan juga merupakan bagian dari kewajiban negara dan hak dasar masyarakat sebagaimana amanat undang-undang dasar 1945. Dengan memperhatikan tujuan pembangunan nasional dan berbagai tantangan tersebut, pembangunan berdimensi spasial atau wilayah menjadi penting, relevan dan mendesak dalam menjamin pembangunan secara merata ke seluruh wilayah. Pendekatan wilayah menegaskan perlunya pengembangan suatu kebijakan yang spesifik (affirmative policy) untuk membangun daerah tertinggal dan perbatasan, pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, serta kawasan rawan bencana sebagai landasan utama dalam pengembangan wilayah, maupun bencana sebagai pengarusutamaan (mainstream) pembangunan.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
57
Boks 4.1
Pentingnya Menyinergikan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kawasan Perbatasan, Kawasan Ekonomi dan Kawasan Khusus sebagai Percepatan Terciptanya Kesetaraan Kehidupan Ekonomi serta Kawasan Rawan Bencana Sebagai Landasan Utama Hubungan yang terbuka antar negara dan antar bangsa membawa perubahan struktur kelembagaan yang mendasar, termasuk lembaga negara. Namun perubahan tersebut belum diikuti dengan kesiapan negara untuk menjadi pengelola yang luwes dalam menjalankan fungsinya (Evans, 1997). Terbukanya komunikasi dan hubungan antar negara yang . dipermudah dengan adanya kemajuan infrastruktur transportasi, terutama terasa di wilayah perbatasan (Pongsawat, 2007; Blair, 2007; Wu, 2001). Untuk mengatasi berbagai kesenjangan kehidupan sosial dan ekonomi antar wilayah yang berada di dua atau lebih negara, diperlukan pendekatan dan metode yang mengutamakan kerjasama bilateral atau multilateral di antara para pemegang kekuasaan. Kerjasama dan pengembangan kebijakan bersama dapat dilakukan pada berbagai tingkatan aras wilayah administrasi (Li & Sculiion, 2006). Aras wilayah administrasi juga mempengaruhi bentuk perencanaan spatialnya (Blair, 2007), bentuk kerjasama yang akan dibangun (Lana-Valencia, 2002), dan dampak pembangunan yang akan dicapai (Sihaloho & Muna, tanpa tahun) Perlunya kesiapan negara dalam mengantisipasi perubahan kebutuhan juga terjadi pada perencanaan pembangunan wilayah ekonomi khusus maupun wilayah yang sensitif terhadap bencana. Wilayah dengan kerentanan bencana yang tinggi diharapkan menempatkan isu bencana dan dampak perubahan iklim sebagai pengarus utamaannya. Kebutuhan akan data dan teknologi merupakan salah satu kebutuhan dalam menghadapi bencana. Keberadaan data yang tepat dan dukungan teknologi GIS mampu menyediakan menyediakan informasi awal guna melakukan pengelolaan wilayah pantai guna mempersiapkan mitigasi bencana dan proses evakuasi dan strategi manajemen dalam menghadapi bencana (Sambah dan Miura, 2014).
Peta Indeks Rawan Bencana Tsunami (Contoh Peta Tematik Kebencanaan Menggunakan Sistem Informasi Geografis)
Contoh Kerjasama China-India Dalam Menyelesaikan Permasalahan Perbatasan Negara
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
58
Boks 4.1 (Lanjutan)
Pentingnya Menyinergikan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kawasan Perbatasan, Kawasan Ekonomi dan Kawasan Khusus sebagai Percepatan Terciptanya Kesetaraan Kehidupan Ekonomi serta Kawasan Rawan Bencana Sebagai Landasan Utama Perencanaan pembangunan yang dapat diimplementasikan dengan baik dan memberikan hasil kepada para pemangku kepentingan sesuai dengan kebutuhannya, seharusnya memasukkan faktor bentang alam dan karakter sosial budaya msyarakat sebagai bagian dari masukan perencanaan (Li & Scullion, 2006). Penelitian yang mereka lakukan di Cina menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan hasil pembangunan pada wilayah perbatasan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan bentang alam antara satu wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan yang tidak menjadi pertimbangan dalam menyusun perencanaan menyebabkan melebarnya perbedaan hasil pembangunan. Pada wilayah yang ‘mudah” dibangun dan kaya akan sumber daya alam, hasil pembangunan dapat dimaksimalkan. Sementara wilayah yang “sulit” dan terbatas sumber daya alamnya membutuhkan pengetahuan dari pemerintah maupun pemangku kepentingan yang lain, untuk lebih aktif meningkatkan kapasitas institusinya dan mengelola pengetahuan akan wilayahnya, dengan lebih baik. Hal lain yang menjadi temuan dari Li & Scullion (2006) adalah dibutuhkannya beberapa lapis platform pengetahuan untuk mengelola wilayah perbatasan. Pemerintah maupun para pelaku kegiatan ekonomi (terutama) di wilayah perbatasan juga harus menguasai konsep wilayah perbatasan. Keterbatasan pengetahuan akan konsep ini akan menjadi salah satu faktor yang dapat menyurutkan kualitas pembangunan di wilayah tersebut. Selain Li dan Scullion, pengetahuan tentang kondisi geografis juga menjadi temuan dari Goodall & Roberts (2003). Mereka menyatakan bahwa faktor geografis dan potensi fisiknya merupakan hal yang harus menjadi pertimbangan dalam perencanaan wilayah perbatasan. Wilayah perbatasan yang dikuasai negara yang berbeda dan memiliki potensi yang berbeda mendorong terjadinya kesenjangan. Karena itu penguasaan akan potensi dan kondisi geografis menajdi kunci kesetaraan dalam pembangunan wilayah perbatasan. Kondisi fisik ruang muka bumi juga menjadi perhatian dari Johanson & Vahne (1977). Namun dalam penelitian mereka berdua, jarak juga menjadi kunci keberhasilan. Jarak pusat permukiman yang terbentang jauh antar dua negara, berbeda dampaknya dengan permukiman yang berjarak dekat. Kedekatan jarak menjadi pendorong munculnya berbagai kegiatan ekonomi dan berjalannya kegiatan perdagangan. Hal ini memunculkan bias kewarganegaraan karena sesungguhnya para pemukim tersebut dapat berasal dari satu suku bangsa, bahkan dapat juga mereka bersaudara.
Kondisi Geografis Wilayah Tertinggal dan Perbatasan yang Membutuhkan Penanganan Khusus
Kesenjangan Ekonomi Antara Masyarakat Perbatasan Indonesia dengan Malaysia
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
59
Berdasarkan sasaran pembangunan RPJMN 2010-2014, studi literatur, rangkaian diskusi, pengamatan lapang, dibawah ini merupakan evaluasi umum kebijakan bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal sebagai berikut: Tabel 4.2 Evaluasi Umum Kebijakan RPJMN 2010-2014 Terkait Bidang Pembangunan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal No
Kebijakan RPJMN 2010-2014 Terkait Bidang KKDT
1
“Pelaksanaan Kebijakan Khusus dalam Bidang Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan lainnya yang dapat Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca Konflik”
2
“Pembentukan kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam rangka pengamanan wilayah dan sumber daya kelautan”
Evaluasi Umum Kebijakan RPJMN 2010-2014 Terkait Bidang KKDT Kebijakan affirmative untuk daerah tertinggal, terpencil, dan kawasan perbatasan negara, harus tetap dilanjutkan. Namun, dari hasil evaluasi, didapati bahwa masih perlu perbaikan terhadap kebijakan affirmative sektoral maupun keuangan negara mulai dari tahap perencanaan, implementasi, hingga mekanisme evaluasi. Kebijakan terkait kerjasama dengan negara tetangga terkait pengamanan wilayah dan sumber daya kelautan perlu dilanjutkan pada periode RPJMN 2015-2019 mengingat kondisi geografis Indonesia yang luas. Namun, selain kerjasama pertahanan dan pengamanan, di wilayah perbatasan ke depan perlu didorong kerjasama lainnya, yaitu ekonomi, sosial-budaya, maupun lingkungan. Dalam konteks kebijakan kerjasama pertahanan dan keamanan negara juga perlu penguatan sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan, termasuk sarpras pengamanan perbatasan laut maupun keterlibatan masyarakat menjaga kedaulatan. Kerjasama di wilayah perbatasan hendaknya juga memperhatikan unsur ke-sukubangasa-an dan hubungan keluarga (kinship). Sebagai keluarga yang dipisahkan oleh batas negara, bentuk kesenjangan apapun akan memicu rasa ketidak adilan.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
60
No
3
Kebijakan RPJMN 2010-2014 Terkait Bidang KKDT Penyelesaian pemetaan wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina pada 2010-2014
Evaluasi Umum Kebijakan RPJMN 2010-2014 Terkait Bidang KKDT Dalam konteks menjaga keutuhan wilayah, pemetaan wilayah pada periode RPJMN 2010-2014 hampir sebagian besar tercapai. Ke depan, kebijakan pemetaan tersebut harus tetap didorong untuk kepentingan diplomasi batas yang masih (overlapping claim areas) maupun pemetaan tematik terkait sumber daya alam/kelautan maupun keperluan sosialisasi batas wilayah negara untuk masyarakat perbatasan. Dalam sasaran keutuhan wilayah, pada masa yang akan datang upaya diplomasi penetapan/penegasan batas wilayah negara maupun status kewarganegaraan di wilayah perbatasan harus menjadi prioritas.
4
“Pengentasan Daerah Tertinggal sedikitnya 50 Kabupaten paling lambat Tahun 2014”
Target Pengentasan daerah tertinggal 2010-2014, pada dasarnya telah tercapai secara agregat (70 Daerah Tertinggal dari target 50 Dearah Tertinggal) Berdasarkan hasil evaluasi, ditemukan beberapa hal terkait pengentasan daerah tertinggal, selain keberpihakan pada pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi lokal, hal penting lain yaitu: faktor kelembagaan, khususnya pengetahuan dari pemerintah maupun pemangku kepentingan yang lain, untuk lebih aktif meningkatkan kapasitas institusinya dan mengelola pengetahuan akan wilayahnya sehingga lepas dari ketertinggalan.
5
Peningkatan kemampuan penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 propinsi,
Peningkatan kemampuan penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah pada dasarnya telah membaik dengan hadirnya lembaga BNPB maupun BPBD. Namun, kebijakan ke depan, hal besar yang perlu ditangani yaitu menempatkan isu
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
61
No
Kebijakan RPJMN 2010-2014 Terkait Bidang KKDT dan 2) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Evaluasi Umum Kebijakan RPJMN 2010-2014 Terkait Bidang KKDT kebencanaan sebagai pengarusutamaan dalam pembangunan nasional. Kebutuhan akan data, teknologi, pengetahuan kebencanaan merupakan salah satu kebutuhan dalam antisipasi ancaman bencana. Untuk meningkatkan transparansi dan keterbukaan, perlu adanya sistem yang meningkatkan fungsi koordinasi antara lembaga di daerah, dan dengan pemangku kepentingan lain seperti lembaga keagamaan atau LSM/NGO. Selama ini sistem koordinasi belum berjalan dengan baik sehingga ada pemangku kepentingan yang tidak termonitor aktifitasnya Dalam menghadapi bencana, BPBD perlu memiliki kapasitas yang lebih besar. Peran BPBD bukan hanya sebagai koordinator tetapi leader dalam situasi kebencanaan
6
“Pembentukan dan Pengembangan termasuk peningkatan pembinaan, pengawasan,dan pengusahaan Kelembagaan pengelola KAPET, KPBPB, KEK dan kawasan strategis cepat tumbuh lainnya”
Target/sasaran terbentuknya pengembangan 5 KEK di RPJMN 20102014 telah tercapai (saat ini ada 8 KEK). Namun, dalam pengoperasionalisasinya masih terkendala beberapa hal seperti regulasi, infrastruktur, kelembagaan, dan sebagainya.
Dalam konteks pengembangan KAPET, telah didorong Raperpres perubahan atas Kepres 150 tahun 2000 Namun, posisinya hingga kini masih belum selesai.
Dalam konteks pengembangan KPBPB Sabang dan Batam-Bintan-Karimun, terdapat permasalahan antara masingmasing kawasan. KPBPB Sabang ingin mereorientasi menjadi kawasan wisata, sementara Batam mengalami berbagai kendala salah satunya terkait masalah kawasan hutan.
Dalam menjaga keberlanjutan Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
62
No
Kebijakan RPJMN 2010-2014 Terkait Bidang KKDT
Evaluasi Umum Kebijakan RPJMN 2010-2014 Terkait Bidang KKDT pengembangan pusat-pusat pertumbuhan (kawasan-kawasan yang telah dibentuk untuk pengembangan ekonomi) Bappenas bersama Kementerian Perekonomian menjadi leading untuk melakukan fasilitasi, pembinaan dan pengawasan maupun evaluasi terhadap kawasan yang telah ada. Hal ini untuk mengurangi ego sektor (kawasan-kawasan yang dibentuk sektor/K/L) maupun hambatan/permasalahan pembangunan kawasan.
Sumber: Hasil Analisis, 2014
4.2 Evaluasi dan Implementasi Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan Negara
“Pelaksanaan Kebijakan Khusus dalam Bidang Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan lainnya yang dapat Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca Konflik” Dalam konteks pelaksanaan kebijakan khusus pengembangan infrastruktur di daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik terdapat beberapa hal utama yang dievaluasi, antara lain: (1) masih minimnya akses masyarakat terhadap infrastruktur dasar wilayah (transportasi, energi/listrik, telekomunikasi-informasi, air bersih) serta pelayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan, dan perumahan), belum optimalnya affirmatif kebijakan sektor dan keuangan negara terhadap pengembangan daerah tertinggal dan perbatasan. Infrastruktur Transportasi Dalam perspektif global, daya saing infrastruktur Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara di kawasan regional. Berdasarkan hasil survei Logistics Performance Index (2012), di Negara ASEAN, kondisi logistik Indonesia di bawah Singapura,
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
63
Malaysia, Thailand, dan Filiphina. Rendahnya daya saing infrastruktur serta belum memadainya sistem logistik nasional memberikan kontribusi pada kurang lancarnya arus distribusi barang dalam menjangkau ke seluruh pelosok wilayah nusantara (national connectivity). Lebih jauh, berdasarkan data BPS (2011), kondisi jalan beraspal di daerah tertinggal juga masih minim, di Kabupaten Tertinggal Pulau Papua hanya 16,32% yang jalannya beraspal, sementara Pulau Kalimantan hanya 36,63% dari seluruh jalan di daerah tertinggal yang beraspal, berurutan ada Pulau Maluku (38,29%), Pulau Sulawesi (64,26%), Pulau Nusa Tenggara (67,75%), Pulau Sumatera (67,97%), dan Pulau Jawa (83,91%). Untuk kawasan perbatasan negara, berdasarkan data BPS (2011), 737 desa di kecamatan perbatasan masih mengalami keterisolasian (tidak dapat dilalui sepanjang tahun dan akses berupa jalan tanah). Sementara untuk transportasi laut, masih terdapat wilayah-wilayah kepulauan terpencil termasuk pulaupulau kecil terluar (PPKT) berpenduduk yang masih mengalami keterisolasian. Di wilayah studi, yaitu Kabupaten Rote Ndao, masyarakat besar bergantung dengan transportasi laut, yaitu kapal feri penyeberangan dari Kupang (Ibukota Provinsi) yang hanya melayani 1 (satu) hari sekali. Sama halnya dengan wilayah-wilayah tertinggal (pulau terpencil) dan perbatasan di wilayah Sangihe-Talaud (termasuk Pulau Miangas dan Marore), Kepulauan Riau (NatunaAnambas), Kepulauan Maluku (Maluku Barat Daya,Maluku Tenggara Barat, Kepulauan Aru), serta wilayah terpencil lainnya mengalami hal yang serupa, kualitas dan intensitas pelayanan transportasi keperintisan masih minim. Minimnya kondisi infrastruktur transportasi memicu terjadinya disparitas harga dan kesenjangan antarwilayah serta menghambat terjadinya akselerasi pembangunan infrastruktur untuk mendapatkan peningkatan kesejahteraan.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
64
Gambar 4.1 Kapal Penumpang Express Bahari (Tranportasi Kupang-Rote Ndao)
Hal ini yang perlu didorong menjadi prioritas RPJMN 2015-2019 kedepan, bahwa identitas negara maritim bukan hanya sebuah “label” ataupun “jargon”, tetapi mewujudkan negara maritim dengan sistem transportasi laut yang yang tangguh, pengamanan laut, maupun pengelolaan potensi maritim yang berkelanjutan.
Berdasarkan hasil evaluasi, minimnya infrastruktur transportasi ini ditenggarai beberapa hal, yaitu belum efektifnya pengelolaan affirmative terhadap daerah tertinggal dan perbatasan, seperti adanya regulasi pembagian kewenangan Jalan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten. Sementara, kondisi jalan di kabupaten Daerah Tertinggal, banyak yang mengalami kerusakan, sedangkan celah fiskal (kemampuan keuangan daerah tertinggal/perbatasan) membangun infrastruktur transportasi rendah. Sebagian besar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) habis untuk belanja pegawai (lebih dari 50%). Telah ada bentuk affirmative melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal maupun Sarana Prasarana Kawasan Perbatasan rata-rata untuk 1 (satu) kabupaten tertinggal/perbatasan tidak lebih dari 10 Milyar (Kemenkeu, diolah dari berbagai tahun 2010-2014). Sementara kebutuhan membangun daerah tertinggal dan perbatasan yang kondisi geografisnya relatif sulit membutuhkan dana yang lebih besar dibandingkan dana yang telah dialokasikan melalui dana DAK.
Infrastruktur Energi, Telekomunikasi/Informasi, dan Air Bersih Keberadan energi, telekomunikasi/informasi, dan air bersih sangat menunjang aktivitas masyarakat baik untuk pemenuhan pelayanan dasar maupun keperluan Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
65
dalam menunjang perekonomian. Dalam hal ketersedian energi, khususnya kelistrikan, ukuran ketersediaan tenaga listrik disuatu daerah dikenal dengan rasio elektrifikasi. Rata-rata rasio elektrifikasi daerah tertinggal yaitu sebesar 69.45%, sedangkan target Nasional yaitu 80% (Periode RPJMN 20102014). Berdasarkan capaian rasio elektrifikasi tersebut, terdapat setidaknya 34 Kabupaten di daerah tertinggal yang rasio elektrifikasinya kurang dari 50% atau tergolong kategori rendah.
Gambar 4.2 Rasio Elektrifikasi Daerah Tertinggal (Sumber BPS 2011, diolah)
Sama halnya dengan infrastruktur telekomunikasi dan informasi. Berdasarkan data BPS (2011), kondisi telekomunikasi di daerah tertinggal sebesar 6.351 desa (27,7%) yang tidak mempunyai sinyal seluler di daerahnya, terutama di wilayah Papua kurang lebih 16 kabupaten dengan 1.777 desa (90%) tidak ada sinyal seluler. Di wilayah perbatasan negara, sinyal telekomunikasi kondisinya lebih memprihatinkan. Sinyal di beberapa wilayah perbatasan negara, seperti di wilayah perbatasan Kalimantan dengan Malaysia, Kepulauan-Riau dengan Singapura, bahkan NTT dengan RDTL, mengalami roaming sinyal. Padahal secara wilayah, masih merupakan wilayah negara Indonesia. Sementara untuk air bersih, beberapa wilayah tertinggal maupun perbatasan kesulitan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk pertanian, seperti di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, maupun pulau-pulau terpencil dan terluar (perbatasan Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
66
negara). Di wilayah studi, yaitu Kabupaten Rote Ndao, hampir setiap tahun mengalami kekeringan (kekurangan sumberdaya air).
Gambar 4.3 Mobil Aparat Keamanan yang Memobilisasi Air Bersih Ke Warga dan Sumur Sumber Mata Air (Sumber: Hasil Survei, 2014)
Pelayanan Sosial Dasar Dalam hal peningkatan akses sosial dasar, kondisi daerah tertinggal dan kawasan perbatasan dalam RPJMN 2010-2014 masih memprihatinkan. Rata-rata tenaga kesehatan yang ada di suatu daerah tertinggal hanya setengah dari daerah maju. Sementara jumlah dokter dalam suatu daerah tertinggal perbandingannya 1:5 dibanding daerah maju (kabupaten non tertinggal). Perbandingan antara jumlah poskesdes di daerah tertinggal dengan daerah maju (non tertinggal) yaitu 1:2, sementara untuk jumlah puskesmas relatif sama kondisi antara daerah tertinggal dengan daerah maju. Namun, lebih jauh, jika dilihat dari akses ke puskesmas, terdapat 77 Kabupaten dengan 30% (persen) desanya mengalami kesulitan untuk menempuh akses ke puskesmas.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
67
Gambar 4.4 Rasio Jumlah Tenaga Kesehatan Nasional dengan Daerah Tertinggal ( Sumber: BPS, 2011)
Telah ada berbagai intervensi pembangunan terkait pengembangan Sumber Daya Manusia (Bidang Pendidikan dan Kesehatan) di daerah tertinggal dan perbatasan. Namun, intervensi tersebut belum berjalan efektif. Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan Bappenas (2014), disampaikan oleh peserta dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal bahwa “ada kegagalan dalam proyek kesehatan terutama pada daerah tertinggal. Perlu ditegaskan kembali bahwa KPDT diberikan mandat untuk melakukan percepatan dan penajaman kebijakan” Lebih jauh Kementerian Kesehatan, dalam FGD Bappenas (2014) juga menyampaikan telah banyak memberikan kontribusi kepada Infrastruktur Daerah Tertinggal, Perbatasan, Kepulauan (IDTPK) sebagaimana diungkapkan “upaya peningkatan status puskesmas di daerah terpencil dan sangat terpencil, pelayanan kesehatan bergerak. Untuk peningkatan status puskesmas menjadi puskesmas perawatan. Di daerah tertinggal diusulkan PUSTU . Di Papua-Papbar ada pengadaan puskesmas keliling, dokter kontrak, dan pelayanan kesehatan bergerak belum dicantumkan. Pada katas, ada pengadaan puskesmas keliling dengan mobil double garden” Dengan
adanya
Kementerian
Pembangunan
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
68
Daerah Tertinggal, untuk mencapai capaian-capaian indikator terkait Indeks Pembangunan Manusia, khususnya indikator kesehatan, Kementerian Kesehatan tidak lagi berdiri sendiri, namun dibentuk suatu Pokja untuk bersama-sama secara terintegrasi untuk memenuhi indikator sasaran yang telah ditetapkan. Kedepan yang perlu diefektifkan adalah membentuk Pokja yang kuat dalam mengidentifikasi kebutuhan daerah tertinggal dan perbatasan yang sesuai dengan kondisi wilayah. Sama halnya dengan Pendidikan, dalam FGD yang dilakukan Bappenas (2014) dikemukakan bahwa, Kementerian Pendidikan berupaya untuk memberikan affirmative policy sebagaimana berikut: “Pengembangan SDM di dating, katas, dan PapPapbar kami sudah jelas berpihak dan mendukung, dapat dilihat dari anggaran untuk tersebut sebesar 8 M dalam tahun 2014. Ada program sarjana masuk daerah tertinggal untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik di daerah tertinggal. Di samping itu ada program sekolah satu atap. Untuk 2015-2019, belum dapat disampaikan secara riil, hanya disampaikan berkisar 15 Triliun anggaran yang diperlukan. Ada program khusus untuk kawasan perbatasan yaitu ada pembangunan laboratorium IPA di sekolah perbatasan yang masih mencapai 50%, dan perpustakaan masih mencapai 60%, kekurangannya itu yang akan kami upayakan untuk terpenuhi hingga 100%. Untuk kejuruan akan disiapkan di kawasan perbatasan, termasuk juga Politeknik yang sudah mulai beroperasi dalam rangka menyiapkan SDM di kawasan perbatasan” Fakta didaerah studi, yaitu Kabupaten Rote Ndao mengalami kesulitan dalam pengembangan SDM. Berdasarkan hasil survei lapang (2014) dikemukakan oleh Narasumber bahwa pada dasarnya “Terbatasnya sumber daya manusia yang bersedia di tempatkan di daerah tertinggal dan wilayah perbatasan, seperti di Rote Ndao” Hal ini senada dengan data IPM di daerah Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
69
tersebut, walaupun terjadi peningkatan, namun dibandingkan wilayah-wilayah lainnya, Kabupaten Rote Ndao masih dibawah rata-rata provinsi maupun rata-rata nasional sebagaimana berikut.
Gambar 4.5 Perbandingan Laju IPM Rote Ndao dengan Provinsi NTT (Sumber: Rancangan RPJMD Rote Ndao, 2014)
Persoalan distribusi tenaga kesehatan dan tenaga pendidikan memang menjadi isu nasional dalam evaluasi RPJMN 2010-2014. Bappenas (2014) mengemukakan bahwa, jumlah dan distibusi guru masih perlu diperbaiki. Kedepan, gelombang pensiun yang akan datang beberapa tahun kedepan menjadi peluang untuk memenuhi dan membenahi pengadaan dan persebaran guru. Berdasarkan hasil evaluasi, selain minimnya infrastruktur sosial dasar (pendidikan dan kesehatan), permasalahan utama lainnya yaitu distrubusi tenaga pendidikan/kesehatan (terbatasnya sumber daya manusia yang bersedia di tempatkan di daerah teritnggal dan wialyah perbatasan). Berdasarkan survei lapang (2014), didapati bahwa sedikitnya sumber daya manusia dari luar daerah yang bersedia di tempatkan di daerah tertinggal dan di wilayah perbatasan. Telah ada insentif yang diberikan, berupa gaji yang berlipat dibandingkan dengan ditempatkan di daerah non tertinggal/perbatasan. Namun, faktanya belum efektif untuk menggerakan SDM ke daerah tertinggal dan perbatasan. Kedepan, berbagai alternatif untuk merumuskan kebijakan diusulkan seperti (1) perlu ada Insentif berupa hal yang lebih menarik seperti pendidikan luar negeri, penghargan (rewards) kepada guru/tenaga pendidik/kesehatan di daerah tertinggal/perbatasan; (2) pemahaman wawasan cinta tanah air (khususnya pentingnya mengapa daerah tertinggal dan perbatasan perlu dibina/dibangun) kepada calon tenaga pendidik/kesehatan yang lebih masif, (3) serta memperkecil “jarak sosial” dengan memperkuat jaringan komunikasi/informasi di daerah tertinggal dan perbatasan (misal internet super cepat) .
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
70
Pengamanan dan Pengelolaan Batas Wilayah Negara Pembentukan kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam rangka pengamanan wilayah dan sumber daya kelautan” serta Penyelesaian pemetaan wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina pada 2010-2014
Dalam konteks pengamanan dan pengelolaan batas wilayah negara, pengembangan infrastruktur di daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik terdapat beberapa hal utama yang dievaluasi antara lain: (1) belum optimalnya pengamanan kawasan perbatasan negara di darat maupun laut, serta (2) belum optimalnya diplomasi penyelesaian kejelasan batas wilayah negara. Sebagai negara yang luas, yang memiliki panjang garis pantai sekitar 95.181 Km, dengan luas lautan sekitar 5,8 Juta km² (0,8 juta km2 laut territorial, 2,3 juta km2 pada zona tambahan, 2,7 juta km2 laut zona ekonomi eksklusif, dan perairan pedalaman 2,1 juta km2), serta Luas wilayah daratan sekitar 2,01 juta km2, dengan 13.466 pulau, memiliki konsekuensi yang besar untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya untuk mencapai tujuan NKRI erat kaitannya dengan komponen seluruh penyelenggara negara dan rakyat Indonesia dalam mewujudkan nilai-nilai kebangsaan, nilai keragaman (pluralistik), perjuangan bangsa, serta terciptanya sistem dan kemampuan operasional pertahanan dan keamanan nasional yang memadai. Dengan kondisi geografis yang sedemikian rupa, disadari bahwa memelihara keamanan dan keutuhan wilayah serta menjaga kedaulatan negara, mempunyai tingkat kesulitan dan kerumitan yang berbeda dengan kondisi geografis negara daratan. Berdasarkan hal tersebut, pertahanan keamanan merupakan bagian integral dalam upaya menjaga persatuan, kesatuan dan keutuhan negara Indonesia. Berdasarkan hasil evaluasi RPJMN 2010-2014, Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
71
dalam hal pengamanan wilayah perbatasan dan kerjasama pengamanan wilayah dan sumber daya kelautan masih belum optimal. Hal ini didasari fakta bahwa masih tingginya aktivitas ilegal baik di wilayah laut maupun darat di perbatasan. Hampir seluruh laut wilayah perbatasan Indonesia, terjadi illegal fishing sebagaimana berikut:
Gambar 4.6 Wilayah Ilegal Fishing di Indonesia Sumber: KKP, 2014 diolah berbagai sumber
Sementara di wilayah perbatasan darat, terdapat aktivitas ilegal berupa penyelundupan BBM, drugs, senjata api, human trafickking, dan sebagainya di perbatasan RI-Malaysia, RI-RDTL, maupun RI-PNG. Telah ada upaya kerjasama pertahanan dan keamanan di wilayah perairan perbatasan antar negara. Di ASEAN, kerjasama pertahanan dan keamanan laut melalui ASEAN Political-Security Community (APSC). Didalam Blueprint tersebut, salah satu yang menjadi prioritas yaitu akan ada kerjasama untuk mengatasi kejahatan transnasional (transnational crimes) dalam kerangka kerjasama dalam isu keamanan non-tradisional, seperti ilegal fishing. Namun, faktanya masih tinggi jumlah aktivitas ilegal fishing di perairan Indonesia. Berdasarkan data Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
72
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2014), dalam satu tahun kerugian 101,040 triliun/tahun akibat IUU Fishing (sebagai perbandingan data FAO, 2001 kerugian Indonesia 30 Trilyun) dengan kapal yang melakukan aktivitas berkisar antara 2.500-5.000 kapal/tahun. Hal ini menandakan bahwa terjadi peningkatan yang drastis yang mengakibatkan kerugian negara yang besar dalam hal sumber daya kelautan. Tingginya aktivitas illegal fishing tersebut juga tidak diimbangi dengan armada pertahanan dan keamanan di laut. Berdasarkan data Kementerian Pertahananan, TNI AL (2014) memiliki 159 Kapal. Namun, BBM yang tersedia di bawah 50% dari total kebutuhan setahun 5,6 juta Kiloliter. Sementara KKP (2014), hanya memiliki 27 unit untuk mengawasi seluruh perairan Indonesia. Sama halnya dengan kondisi penegasan batas wilayah negara dengan negara tetatangga. Untuk batas teritorial, status penyelesaian batas laut teritorial sampai saat ini yaitu Batas Laut Teritorial Indonesia dengan Malaysia baru sekitar 50%, dengan Singapura sekitar 70%, dengan Papua Nugini sekitar 95% dan dengan Timor Leste belum ada kesepakatan (0%) (BNPP dan diolah dari berbagai sumber, 2014). Sementara status penyelesaian batas ZEE Indonesia dengan India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, Palau dan Timor Leste masih belum dilakukan (0%), sedangkan dengan Australia dan Papua Nugini sudah selesai sekitar 95% dengan catatan untuk batas dengan Australia, masih belum diratifikasi. Untuk batas landas kontinen antara Indonesia dengan negara India, Thailand, Vietnam, Papua Nugini dan Australia sudah selesai sekitar 95%, dengan Malaysia sudah sekitar 80%, dan dengan Filipina, Palau dan Timor Leste belum dilakukan (0%) (BNPP dan diolah dari berbagai sumber, 2014).
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
73
H
Gambar 4.7 Batas Negara Wilayah NKRI Sumber: Bappenas, 2014 diolah berbagai sumber
Hambatan belum diselesaikannya batas wilayah negara tersebut, dapat ditinjau dari 2 (dua) aspek, yaitu internal dan eksternal. Dari sisi internal, masih ada perbedaan pandangan antar tim perunding terkait penyelesaian batas negara, serta belum kuatnya data dukung dalam pengambilan keputusan. Sementara faktor eksternal, antara lain, keengganan negara tetangga untuk melakukan perundingan (karena dianggap merugikan), hingga faktor politik regional maupun dalam negara tersebut.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
74
Berdasarkan hasil evaluasi, terkait kebijakan pertahanan dan keamanan: permasalahan utama selain sarana dan prasarana penunjang pertahanan dan keamanan batas wilayah negara adalah ketidakefektifan kerjasama antar negara. Pada tataran konsep misalnya, telah ada ASEAN PoliticalSecurity Community (APSC). Namun pada tataran implementasi, masih banyak warga negara tetangga yang melakukan aktivitas ilegal di perairan Indonesia. Kedepan, perlu ada perjanjian yang lebih tegas dan konkret terhadap pengamanan batas wilayah negara. Masing-masing negara harus hadir mengawasi agar masyarakat tidak melakukan pelanggaran lintas batas. Terkait kerjasama pertahanan dan keamanan, juga harus menguntungkan kedua negara. Jika tidak menguntungkan, maka kerjasama lebih baik ditinggalkan. Terkait integrasi antara pengembangan pertahanan dan ekonomi wilayah perbatasan juga kedepan Pemerintah harus memfasilitasi nelayan wilayah perbatasan dengan teknologi dan infrastruktur penangkapan ikan yang modern sehingga mereka meajdi lebih produktif (dan dalam jangka panjang akan menjadi lebih sejahtera/meingkat standar ekonominya), sekaligus sebagai bagian dari pengawasan perairan laut indonesia, dan juga salah satu bentuk kepedulian terhadap wilayah perbatasan (tertinggal). Dalam konteks pemasaran produk, perlu juga dibangun tempat pelelangan ikan di tengah laut atau di salah satu pulau terluar yang memiliki interaksi tinggi dengan negara tetangga (terintegrasi didukung sarpras, seperti coldstorage, dsbg). Terkait penegasan batas wilayah negara, faktor eksternal umumnya menjadi penghambat penyelesaian overlapping claim areas keengganan negara tetangga untuk melakukan perundingan (karena dianggap merugikan), hingga faktor politik regional maupun dalam negara tersebut. Namun, faktor internal seperti penguatan koordinasi tim perunding, serta penguatan data dukung diplomasi juga perlu didorong pada prioritas RPJMN 2015-2019.
Faktor-Faktor Kunci Keberhasilan Pembangunan Kawasan Perbatasan/Tertinggal Dalam pembelajaran yang dilakukan dari berbagai kasus di negara lain, ada beberapa hal yang dapat menjadi faktor kunci keberhasilan pembangunan kawasan perbatasan, antara lain: (1) intensitas aktivitas ekonomi lintas batas antar kedua negara tetangga yang saling menguntungkan, (2) penataan aktivitas lintas batas negara, termasuk status kewarganegaraan, (3) kerjasama antar negara tetangga, (4) peran swasta, serta pemerintah dalam bentuk peraturan maupun infrastruktur, (5) keunggulan komparatif (kapasitas dan kebutuhan dari kedua negara), (6) pengembangan inovasi (capacities to innovate) Sumber Daya Manusia dan Alam, (7) kapasitas stakeholder (penyelenggara negara, maupun masyarakat) dalam mengidentifikasi modal “fisik dan sosial” (Geographical differentiation) (lihat boks 4.2)
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
75
Boks 4.2 Faktor Kunci Keberhasilan Pembangunan Kawasan Perbatasan Para peneliti dari berbagai disiplin ilmu telah melakukan penelitian tentang adanya masalah kesenjangan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial penduduk di wilayah perbatasan. Pongsawat (2007) dalam disertasinya mendapatkan hasil bahwa perjalanan sejarah ekonomi politik dan geopolitik pada wilayah perbatasan merupakan salah satu penyebab terjadinya kesenjangan. Kesenjangan ekonomi ini mendorong terjadinya perjalanan lintas batas antar negara. Perjalanan lintas batas menjadi semakin intensif apabila penduduk di kedua negara berasal dari satu rumpun budaya yang sama (Hadi, tanpa tahun). Bahkan ada di antara mereka yang memiliki hubungan keluarga atau hubungan pernikahan. Pada banyak kasus antara Thailand dan Myanmar, perjalanan antar negara ini tidak ada yang mengatur, mengawasi atau memfasilitasi. Negara sebagai yang paling bertanggungjawab atas kehidupan warganegaranyapun membiarkan perjalanan antar batas tersebut terjadi (Pongsawat, 2007). Aktivitas perjalanan antar batas negara ini bertujuan untuk memenuhi berbagai kegiatan ekonomi para penduduknya. Aktivitas ekonomi yang terjadi mampu mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi. Tidak dirasakan adanya batas negara bagi para penduduk perbatasan ini sesungguhnya membutuhkan sikap tegas dari pemerintah untuk melakukan penataan status kewarganegaraan. Status kewarganegaraan yang melekat pada kegiatan pada individu yang melakukan kegiatan ekonomi, pada saatnya dapat menjadi aset negara di wilayah perbatasan tersebut. Hubungan saling tergantung dan memberikan dampak positif pada kehidupan ekonomi penduduk perbatasan Thailand dan Myanmar, tidak terjadi pada wilayah perbaasan antara Amerika Serikat dan Mexico. Penelitian yang dihasilkan oleh Mac Lechuan & Aguilar (1998) menunjukkan bahwa kegiatan industri yang dibangun di wilayah perbatasan antara Amerika Serikat dengan Mexico tidak menghasilkan backward linkages bagi penduduk maupun perekonomian Mexico. Untuk mendorong berlangsungnya kegiatan industri, Mexico bahkan menjadi tergantung pada bahan baku yang diimport dari Amerika Serikat. Di sisi lain, kerjasama antar negara di wilayah perbatasan ini bukan hanya diawali oleh pengusaha swasta saja. Ada campur tangan pemerintah dalam bentuk peraturan dan juga adanya investasi pemerintah dalam bentuk infrastruktur. Dari kasus ini terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi lokal tidak dengan sendirinya dapat terjadi. Penduduk maupun wilayah setempat juga tidak dengan sendirinya dapat menikmati kegiatan yang telah diciptakan baik oleh pengusaha swasta maupun intervensi dan dukungan yang telah diberikan oleh pemerintah. Sementara itu Wu (1995) dalam evaluasinya terhadap hubungan ekonomi antara Shenzhen dan Hongkong menemukan bahwa keberhasilan dapat dicapai bila penetapan areanya sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan dari ke dua negara. Untuk itu dibutuhkan informasi dan analisis yang kuat akan keunggulan komparatif secara geografis. Ketertinggalan pembangunan ekonomi yang disebabkan karena adanya sejarah ekonomi politik dan geopolitik, dapat diatasi dengan kemampuan untuk melakukan inovasi (capacities to innovate). Inovasi dapat dilakukan apabila sumber daya yang ada dikaji sehingga menghasilkan geographical differentiation sesuai dengan potensi areanya, baik potensi Sumber Daya Manusia (SDM)-nya, maupun Sumber Daya Alam (SDA)-nya (Herod, 1997). Geographical differentiation ini dibutuhkan terutama dalam merancang kebutuhan tenaga kerja. Penduduk usia produktif yang tinggal di wilayah tersebut secara spatial adalah “pemilik” dan “pelaku’ di wilayah tersebut. Mereka melekat pada yang akan dibangun, bukan sebagai aset yang dapat dipindahkan apalagi diabaikan. Geographical differentiation menjadi modal dasar agar perencanaan pembangunan dan intervensi yang dilakukan, sesuai dengan identitas fisik dan manusia di tempat kegiatan akan dilakukan. Modal yang ada harus memberikan keuntungan bagi wilayah setempat.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
76
4.3 Evaluasi dan Implementasi Kebijakan Pembangunan Kawasan Strategis
“Pembentukan dan Pengembangan termasuk peningkatan pembinaan, pengawasan,dan pengusahaan Kelembagaan pengelola KAPET, KPBPB, KEK dan kawasan strategis cepat tumbuh lainnya”
Dalam konteks pelaksanaan kebijakan khusus terkait pengembangan pusat-pusat pertumbuhan kawasan, Pemerintah telah mendorong beberapa konsep pengembangan Kawasan Strategis Nasioanal (KSN) Bidang Ekonomi, antara lain: KAPET, KEK, KSCT, KPBPB. Dalam kajian evaluasi RPJMN 2010-2014 ini lokasi studi yang diambil yaitu, lokasi KEK Sei Mangkei di Simalungun, Sumatera Utara. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei merupakan salah satu konsep pengembangan Kawasan Strategis Nasional bidang Ekonomi (KSN) yang dinilai paling berhasil pada periode 2010-2014. KEK sendiri memiliki definisi sebagai kawasan yang diberikan perlakuan khusus berupa: (1) Pembebasan pabean; (2) Pengurangan pajak, (3) Kemudahan perijinan investasi; dan (4) Infrastruktur memadai. Penyelenggaraan KEK diatur dalam UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Hingga tahun 2014 ini, sudah terdapat 8 (delapan) KEK yang ditetapkan, yaitu: (1) KEK Tanjung Lesung; (2) KEK Sei Mangkei; (3) KEK Palu; (4) KEK Bitung; (5) KEK Morotai; (6) KEK Tanjung Api-Api; (7) KEK Mandalika; (8) KEK MBTKZ. KEK Sei Mangkei ditetapkan melalui PP No. 29 Tahun 2012 tentang KEK Sei Mangkei. Setelah ditetapkan, KEK diberi waktu selama 3 (tiga) tahun untuk membangun kawasan sampai siap dioperasikan. Pemilihan KEK Sei Mangkei sebagai lokasi kegiatan kajian evaluasi adalah mempertimbangkan bahwa KEK Sei Mangkei adalah salah satu contoh KEK yang telah ditetapkan dan telah siap menerima investor. Saat ini sudah ada satu perusahaan yang berinvestasi di dalam kawasan, yaitu PT. Unilever Oleochemical Indonesia (PT. UOI) dengan rencana nilai investasi mencapai Rp. 1,45 trilyun. Evaluasi dilakukan dengan cara survei lapangan serta mengadakan focus group discussion (FGD) dengan pengelola kawasan. Hasil evaluasi dirangkum dalam 3 poin utama yaitu: (1) Aspek Kelembagaan; (2) Aspek Regulasi; dan (3) Aspek Infrastruktur.
Aspek Kelembagaan Berdasarkan hasil survei (2014) pada lokasi wilayah kajian, terdapat beberapa kendala terkait kelembagaan dalam implementasi pengelolaan
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
77
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sei Mangkei, antara lain: (1) belum selesainya Rancangan Peraturan Daerah mengenai Administrator KEK Sei Mangkei yang akan menghambat proses pelimpahan wewenang dan proses perijinan di KEK; (2) Belum diterbitkannya sertifikat HPL yang berimplikasi pada belum diprosesnya sertifikat HGB. HPL yang telah diterbitkan saat ini masih berupa SK. Sementara dalam FGD yang dilakukan Bappenas (2014), terdapat beberapa hal, antara lain: (1) Perlunya penambahan Kementerian ESDM sebagai anggota Dewan Nasional KEK, karena saat ini Kementerian ESDM belum memberikan perhatian khusus dalam pengembangan KEK dibidang energi. Sementara di beberapa wilayah KEK seperti di Sei Mangkei masih kekurangan energi dan beberapa wilayah calon KEK lainnya juga mengalami hal yang serupa. Dalam konteks pengembangan pusat pertumbuhan, maupun suatu industri, kecukupan energi menjadi faktor utama keberhasilan pengembangan pusat pertumbuhan. (2) Penguatan kelembagaan di Daerah, untuk menguatkan strategi pengembangan KEK agar dapat menjual KEK. Rencana kedepan akan mengadakan pelatihan terhadap administrator (PTSP) dan pelimpahan kewenangan (perizinan).
Aspek Regulasi Berdasarkan hasil survei (2014) pada lokasi wilayah kajian, terdapat beberapa kendala terkait kelembagaan dalam implementasi pengelolaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sei Mangkei, antara lain: (1) belum efektifnya peran administrator saat ini. Sebagai contoh kasus: Administrator seharusnya memegang perananan dalam aspek perijinan, namun di lapangan ternyata pemerintah pusat belum melimpahkan sepenuhnya kewenangan perijinan. Administrator seakan-akan hanya menjadi kantor perwakilan. Berkas perijinan yang harusnya ditandatangan di kantor administrator, ternyata harus dibawa ke pusat untuk ditandatangan; (2) belum dilimpahkannya wewenang Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Simalungun dikarenakan masih menunggu keseriusan Pemerintah Pusat dalam
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
78
melimpahkan wewenang kepada Administrator KEK Sei Mangkei; (3) terhambatnya berbagai kewenangan yang perlu untuk dilimpahkan dari pemerintah pusat karena alasan administratif. Sementara dalam FGD yang dilakukan Bappenas (2014), terdapat beberapa hal yang menjadi evaluasi antara lain: (1) Belum dimasukannya KEK ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maupun Rencana Tata Ruang Wilayah. Hal ini merupakan salah satu kunci dalam mendapat dukungan pembangunan dari Kementerian/Lembaga teknis, khususnya pembangunan disekitar KEK. Faktor ini dikarenakan Undang-Undang KEK lahir setelah UU 26 tahun 2007 tentang Penataaan Ruang; (2) Regulasi terkait insentif saat ini masih bersifat generik. Kedepan pemberian insentif akan dibuat berdasarkan zonasi-zonasi; (3) Belum adanya regulasi terkait bagaimana standar operasi (SOP) agar KEK menjadi kawasan pendukung perekonomian yang profesional;
Aspek Infrastruktur Berdasarkan hasil survei (2014) pada lokasi wilayah kajian, terdapat beberapa kendala terkait kelembagaan dalam implementasi pengelolaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sei Mangkei, antara lain: (1) kurangnya pasokan listrik di Sumatera Utara menjadi hambatan besar dalam penyaluran listrik ke KEK Sei Mangkei. Apabila PLN mengalirkan listrik dengan kapasitas 10 MW ke KEK Sei Mangkei, dikhawatirkan wilayah Sumatera Utara akan padam ±3 kali dalam sehari; (2) Terhambatnya proses pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) akibat perubahan kebijakan nilai Standar Biaya Umum kontrak oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi Sumatera Utara; (3) Terbatasnya dana untuk pembangunan ruas jalan pendukung KEK Sei Mangkei; (4) Belum terbitnya surat persetujuan penggunaan lahan untuk pembangunan (SP2LP dari Gubernur Sumatera Utara untuk pembangunan Rel Kereta Api di beberapa ruas; (5) Terbatasnya akses masuk menuju pelabuhan kuala tanjung.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
79
Berdasarkan hasil evaluasi, terkait kebijakan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK): penetapan lokasi KEK masih bernuansa politis. Faktanya, untuk pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di luar jawa-sumatera, memerlukan dukungan politis yang kuat. KEK pertama dan kedua yang terbentuk berada di wilayah Jawa-Sumatera (Sei Mangkei, tahun 2012 dan Tanjung Lesung, tahun 2012). Hal ini dikarenakan wilayah tersebut lebih “menarik” bagi investor karena infrastruktur dan sumber daya manusia yang relatif tersedia. Terkait pengembangan KEK, terdapat beberapa usulan terhadap kebijakan berdasarkan hasil Evaluasi RPJMN 2010-2014, yakni: Perlu adanya keberlanjutan dan kesinambungan pengembangnan pusat pertumbuhan (termasuk KEK). Hal ini dilihat dari fakta masih tingginya ego sektoral, ditandai dengan (Kapet oleh PU), (KEK oleh Menko Perekonomian), (Kawasan Industri oleh Kemenperin), (KSCT oleh Kemendagri), (Regional Management oleh KPDT), dan kawasan-kawasan lain seperti minapolitan (KKP), agropolitan (Kementan). Bappenas harus kuat dan tegas dalam mendorong mana pusat-pusat pertumbuhan yang dapat memberikat dampak pertumbuhan yang paling besar, dan memberikan pemerataan pembangunan paling cepat. Faktanya banyaknya kawasan-kawasan yang ditetapkan oleh sektor di Pusat, telah banyak membingungkan daerah untuk menentukan arah pengembangan kewilayahan/kawasan.
Faktor-Faktor Kunci Keberhasilan Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Dalam pembelajaran yang dilakukan dari berbagai kasus/studi literatur, ada beberapa hal yang dapat menjadi faktor kunci keberhasilan pembangunan kawasan perbatasan, antara lain: (1) adanya kelembagaan yang kuat (national board) dalam menentukan lokasi KEK tanpa dipengaruhi faktor eksternal (kepentingan politis dan sebagainya) (penetapan berdasarkan keunggulan geografis: seperti jalur ALKI) (2) adanya kelembagaan otoritas penuh (badan pelaksana) yang profesional secara bisnis (3) adanya keberlanjutan kebijakan program (tahap penetapan hingga operasionalisasi) (4) adanya mekanisme insentif yang tepat sasaran serta berorientasi bersaing dengan negara tetangga di sekitar, (5) hubungan/pola kemitraan pemerintah-swasta yang kondusif (ramah investasi), termasuk pola pembiayaan infrastruktur, (6) pembangunan infrastruktur penunjang kawasan yang terintegrasi (7) serta penciptaan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat lokal (pembangunan inklusif) (lihat boks 4.3)
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
80
Boks 4.3
Faktor Kunci Keberhasilan Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Perkembangan ekonomi global Indonesia perlu memfokuskan pada peningkatan ekspor dan investasi pada beberapa kawasan khusus yang memang mendapatkan fasilitas perpajakan dan kepabeanan. Letak Indonesia yang strategis secara geopolitik menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik untuk investasi. Kawasan khusus dengan peran penting tersebut telah diterapkan di Indonesia melalui beberapa bentuk seperti keberapdaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas melalui UU NO. /1970, dilanjutkan pada tahun 1972 dikembangkan pula Kawasan Berikat (Bounded Warehouse), tahun 1989 dikembangkan Kawasan Industri, setelah itu pada tahun 1996 dikembangkan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), dan terakhir pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus pada tahun 2009. Istilah ini telah digunakan di berbagai negara, tetapi tidak setiap negara menggunakan istilah yang sama untuk menamai Kawasan Ekonomi Khusus, seperti di ShenZhen Cina menggunakan istilah Indutrial Park Zone, Dubai menggunakan istilah Free Zone, India dan Mesir menggunakan istilah Special Economic Zone, atau di Malaysia berbentuk koridor-koridor pembangunan South Johor Economic Region (SJER). Sementara di Indonesia sendiri mengadopsi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu yang tercangkup dalam wilayah Hukum RI yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui diterbitkannya Undangundang tentang Kawasan Ekonomi Khusus No. 39 Tahun 2009, merupakan salah satu strategi Pemerintah Indonesia untuk mendorong kegiatan ekspor, meningkatkan investasi serta dapat mendorong pertumbuhan wilayah sekitarnya. Secara luas, pengembangan KEK merupakan upaya peningkatan daya saing Indonesia yang masih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Berbeda dengan kawasan ekonomi dan kawasan strategis nasional di Indonesia seperti Kawasan Andalan, KAPET, Kawasan Berikat, KPBPB, dan KE yang dibentuk untuk pengembangan wilayah dengan skala nasional, KEK dipersiapkan untuk menjadi kawasan bertaraf internasional dengan fasilitas fiskal berupa perpajakan, kepabeanan dan cukai; perdagangan; pertanahan; keimigrasian; dan ketenagakerjaan serta fasilitas non fiskal berupa kemudahan dan keringanan antara lain: bidang perijinan usaha; kegiatan usaha; perbankan; permodalan; perindustrian; perdagangan; kepelabuhan dan keamanan.
KEK Sei Mangkei
Unit Boiler pada KEK Sei Mangkei
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
81
Boks 4.3 (Lanjutan)
Faktor Kunci Keberhasilan Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Berdasarkan penerapan KEK di beberapa negara, PU mengungkapkan bahwa pengembangan KEK di Indonesia sebaiknya menggunakan kriteria berikut ini: a. KEK memakai pola zone-within-zone dengan areal yang relatif luas; b. Dibentuknya national board yang bertanggung jawab di bidang kebijakan umum serta penetapan lokasi KEK di tingkat pusat; c. Otoritas penuh dari badan pelaksana yang dikelola secara bisnis/profesional; d. Untuk lebih menjamin keberhasilannya, pemilihan lokasi harus dilaksanakan melalui proses seleksi dengan kriteria yang ditetapkan; e. Penetapan lokasi KEK dapat mengikuti pola dua tahap, yaitu tahap pertama deklarasi dan tahap kedua operasionalisasi; f. Insentif yang diberikan seyogyanya juga dapat bersaing dengan yang diberikan oleh negara-negara tetangga; g. Kemitraan pemerintah dan swasta merupakan hal yang wajar dalam berbagai skema pembangunan, termasuk skema KEK. Indonesia hingga tahun 2014 memiliki tujuh KEK yang tersebar dari barat ke timur yaitu KEK Sei Mangkei, KEK Tanjung Lesung, KEK Palu, KEK Bitung, KEK Tanjung Api-Api, KEK Mandalika, dan KEK Morotai. Selain tujuh KEK tadi, terdapat 68 usulan KEK yang telah masuk dalam Sekertariat Dewan Nasional KEK. Pada pelaksanaannya KEK harus mencakup beberapa kegiatan yang sinergis antara Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone-FTZ) - Kawasan Berikat (Bonded Zone-BZ) - Kawasan Industri - Kawasan Penegembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Sinergisitas antara keempat kegiatan tadi di dalam KEK sangat diperlukan untuk terciptanya percepatan pembanguan KEK yang akan berpengaruh terhadap penciptaan lapangan kerja. Keberadaan lembaga otoritas pengelola KEK di Indonesia relatif beragam, ada yang dikelola oleh pemerintah (tingkat lokal maupun pusat) dan swasta. Penelitian di Cina mengungkapkan pengelolaan KEK haruslah mengikuti mekanisme pasar bebas sehingga identifikasi terhadap keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang unik di setiap KEK menjadi keharusan. Pengelolaan KEK dan infrastruktur yang ada di dalamnya membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga jika hanya memanfaatkan dana APBN pemerintah maka percepatan pembangunan KEK tidak terjadi. Kerjasama antar pemerintah melalui regulasi dan swasta sebagai penananam modal menjadi keharusan, bahakan penelitian menganai KEK dibeberapa negara menyebutkan KEK yang sepenuhnya dikelola oleh swasta memperlihatkan kemajuan yang lebih besar dibandingkan yang dikelola oleh pemerintah (Yesuari, 2010). Kesetaraan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan bukan hanya harus dinikmati oleh penduduk di wilayah perbatasan, namun juga bagi penduduk di wilayah yang mengembangkan kawasan ekonomi khusus. Studi yang dilakukan oleh Sihaloho & Muna menunjukkan bahwa dari 12 provinsi yang mengajukan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayahnya, hanya Jawa Barat dan Banten yang hasilnya lebih baik daripada ke 10 provinsi lain. Tujuan terciptanya peningkatan penanaman modal, peningkatan ekspor, dan penciptaan lapangan pekerjaan tidak sepenuhnya dapat dicapai. Hal ini terjadi karena ketersediaan infrastruktur yang belum memadai dan tidak terintegrasi, serta tidak tepatnya pemberian insentif fiskal bagi dunia usaha, yang tidak sesuai dengan kondisi daerah. Masih menurut Sihaloho dan Muna, keberhasilan pembangunan kawasan ekonomi khusus di Cina terjadi karena kegiatan ekonomi utama yang diusulkan adalah pada kegiatan tesier berupa manufaktur. Sementara itu KEK di Indonesia mengutamakan kegiatan pertanian. Adapun jenis tanaman atau produk unggulan pertanian yang akan diutamakan dalam KEK tidak ditentukan secara tepat berbasis penelitian yang mendalam sesuai dengan potensi wilayah dan posisi geografisnya, dan juga sesuai dengan kompetensi penduduk di wilayah setempat.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
82
4.4 Evaluasi dan Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana
Peningkatan kemampuan penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 propinsi, dan 2) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Dalam konteks pelaksanaan kebijakan terkait penanggulangan bencana dalam periode RPJMN 2010-2014 telah mendorong Badan Nasional Pengelola Bencana (BNPB) untuk mengefektifkan tugasnya yaitu, koordinasi, komando, dan pelaksana. Dalam pelaksanaan Substansi Inti tersebut, terdapat beberapa hal mendasar yang menjadi permasalahan dan kendala pelaksanaannya dalam periode RPJMN 2010-2014, yaitu (1) masih terbatasnya kapasitas sumber daya manusia dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, (2) belum efektifnya proses rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pasca bencana; dan (3) besarnya ketergantungan pendanaan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dalam pendanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Berikut 3 (tiga) apsek yang dievaluasi secara lebih mendalam, yaitu (1) Koordinasi dan Kelembagaan, (2) Implementasi Sistem Penanggulangan Bencana, (3) Pendanaan Penanggulangan Bencana
Aspek Koordinasi dan Kelembagaan Berdasarkan UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, BNPB merupakan lembaga yang memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu koordinasi, komando, dan pelaksanaan. Dalam hal pelaksanaan RPJMN 2010-2014, telah tercapai beberapa sasaran pembangunan terkait pemenuhan logistik, terbentuknya tim reaksi cepat, serta sistem peringatan dini gempa bumi dan tsunami. Secara capaian, dengan adanya BNPB sasaran yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014 telah tercapai seluruhnya, namun dalam konteks sistem penanggulangan bencana masih mengalami beberapa kendala. Beberapa hal yang dievaluasi dalam RPJMN 2010-2014 antara lain, terkait masih lemahnya koordinasi antara Pusat-Pusat, Pusat-Daerah, Daerah-Daerah, Pemerintah Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
83
dengan Masyarakat/LSM Atau NGO. Lemahnya koordinasi antar Pusat-Pusat misalnya, banyak terjadi overlapping bantuan dari Pusat ketika bencana, namun disatu sisi adapula korban bencana yang tidak mendapat bantuan. Lemahnya koordinasi antar Pusat-Daerah terlihat dari berbagai kasus bencana (seperti Sinabung, Merapi, serta bencana lain), yaitu lemahnya penanganan para korban yang mengungsi ke sejumlah lokasi yang relatif aman serta penanganan pascabencana (rehabilitasi dan rekonstruksi). Sementara hubungan koordinasi Daerah-Daerah, terlihat dari kasus Jabodetabekpunjur, Semarang dan wilayah sekitarnya, dan sebagainya. Kasus Jabodetabekpunjur misalnya, pengelolaan bencana banjir masih berjalan sendiri-sendiri. Padahal, bencana banjir di Jabodetabekpunjur, erat kaitannya dengan tata ruang wilayah. Persoalan tata kelola pembangunan sejak era desentralisasi ini yang membuat pengelolaan bencana dinilai menjadi lemah. Sama halnya dengan wilayah Semarang, yaitu Demak dan Jepara, penanganan bencana masih berjalan sendiri-sendiri (penanganan dararut bencana banjir berdasarkan hasil Monev Bappenas, 2014) karena tata kelola pemerintahan berbasis administrasi kabupaten. Lain halnya dengan kelembagaan pengelolaan bencana di suatu daerah. Hasil survei lapang di wilayah studi, yakni Kabupaten Rote Ndao (2014), ada persepsi dari SKPD-SKPD di daerah, bahwa Badan Penanggulangan Bencana Daearah (BPBD) menjadi penanggung jawab dalam hal penanggulangan bencana. Padahal, secara kapasitas kelembagaan, BPBD tidak mampu melakukan seluruh penyelenggaraan penanggulangan bencana. Anggaran BPBD Rote Ndao pun, hanya untuk sosialisasi kepada masyarakat. Bencana di Kabupaten Rote Ndao, belum menjadi mainstreaming bagi SKPD dalam pembangunan, walaupun dalam RPJMD maupun RTRW bencana telah diakomodir. Ego sektoral juga menjadi kendala dari penyelenggaraan penanggulangan bencana. Hal ini senada dengan penelitian Ristrini dkk (2012) tentang Analisis Implementasi Kebijakan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan Di Provinsi Sumatera Barat, yaitu dikemukakan bahwa Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
84
“Koordinasi sangat mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. ..... Setiap ada pertemuan setiap individu merasakan sekali bahwa koordinasi dalam hal penanggulangan bencana belum optimal dan harus ditingkatkan...”.
Gambar 4.8 Peta Rawan Bencana Rote Ndao dalam Integrasi Tata Ruang Wilayah dan RPJMD (Sumber: Draft RPJMD Rote Ndao)
Dalam konteks koordinasi Pemerintah dengan masyarakat ataupun LSM/NGO, dinilai belum diberdayakan dengan baik. Dalam hal tanggap darurat misalnya, diperlukan assesment yang cepat untuk identifikasi jumlah korban, jumlah pengungsi, dan sebagainya. Dengan memberdayakan masyarakat, aparatur camat/desa, tokoh masyarakat (tokoh adat), bantuan akan lebih cepat sampai, tepat sasaran, dan merata ke seluruh korban bencana. Dalam kajian Yadrison (2003) di Sumatera Barat, terdapat beberapa hal terkait lemahnya koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan Masyarakat, antara lain (1) kebijakan penanggulangan bencana tidak tersosialisasi secara efektif kepada masyarakat di daerah-daerah rawan bencana; (2) tidak ada penggalangan secara khusus sumber daya masyarakat di lokasi-lokasi bencana atau rawan bencana; (3) pemberian bantuan sangat terlambat, (4) jumlah bantuan tidak mencukupi, dan kontribusi Pemerintah Provinsi lebih kecil bila dibanding dengan kontribusi Pemerintah Kabupaten; Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
85
(5) penggalangan peran serta masyarakat di lokasilokasi bencana/rawan bencana dari pemerintah tidak ada. Berdasarkan hasil evaluasi, terkait kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana, aspek koordinasi dan kelembagaan masih menjadi titik lemah. Lemahnya koordinasi antara Pusat dengan Pusat, Pusat dengan Daerah, antar Daerah, antar Stakeholder di Daerah, maupun hubungan Pemerintah dengan masyarakat, LSM/NGO masih perlu dibenahi. Terhadap permasalahan dan kendala diusulkan beberapa perbaikan mekanisme koordinasi dan kelembagaan, antara lain: (1) Pelibatan peran serta seluruh aparatur negara hingga di tingkat desa harus digerakkan dalam penanggulangan bencana; (2) penyusunan SOP terkait tanggap darurat yang cepat untuk pendataan jumlah korban, jumlah pengungsi, dsbg untuk memberikan bantuan yang cepat dan tepat sasaran; (3) merubah paradigma bencana dari bersifat spontan (reaksional) menjadi antisipasi. Berbagai jenis bencana dapat diidentifikasi sejak dini, perlu cetak biru penanggulangan bencana di tiap wilayah bencana (rencana kontijensi, penanganan darurat); (4) penataan kembali hubungan kelembagaan antara BNPB dengan BPBD, BNPB dengan K/L, BPBD dengan SKPD, serta diiringi penguatan kelembagaan; (5) penguatan klaster/pokja kebencanaan agar tidak overlapping dan distribusi merata pemberian bantuan antar stakeholder; (6) integrasi antara BNPB, Basarnas, BPBD, Dinas Pemadam Kebakaran, serta pemberdayaan relawan (SOP);
Aspek Implementasi Penanggulangan Bencana Berdasarkan evaluasi RPJMN 2010-2014, implementasi dari penyelenggaraan penanggulangan bencana juga mengalami berbagai kendala. Salah satunya, yaitu masih banyak peraturan perundangan turunan dari UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Salah satu contohnya, yaitu peraturan terkait penetapan tingkatan dan status bencana, apakah merupakan bencana Nasional, Provinsi, ataupun Kabupaten. Menteri KKP, Susi Pudjiastuti (2014) pun mengeluhkan dengan ketidakjelasan penetapan status bencana tersebut. Waktu bencana di Tsunami di Pangandaran tahun 2006, bantuan kapal asing tidak masuk karena bencana tersebut bukan ditetapkan sebagai “Bencana Nasional”. Padahal kapal tersebut telah bersedia memberikan bantuan. Jumlah korban yang “hanya 1600 jiwa” yang membuat penetapan status bencana tersebut tidak menjadi status bencana nasional. Kesadaran akan ancaman bencana juga belum diterapkan dengan baik oleh Pemerintah maupun masyarakat. Berbagai kejadian bencana terakhir yang diamati, masih terdapat masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang rawan bencana seperti di bawah Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
86
bukit yang terjal (rawan longsor), bantaran sungai (rawan banjir), maupun wilayah rawan bencana tsunami (pinggir pantai), gunung berapi (lereng gunung, dan sebagainya). Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dinilai belum tegas menegakan aturan rencana tata ruang, maupun zonasi rawan bencana. Pembelajaran bencana tsunami Aceh misalnya, rehabilitasi dan rekonstruksi pembangunan pasca tsunami tetap mendekati pantai. Perkembangan wilayah jauh lebih pesat, dibandingkan sebelum tsunami tahun 2004 (pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2013 mencapai 4,18 persen). Catatan Kompas (2014), pertumbuhan kota ke daerah pesisir (pasar, kampung/permukiman, dan fasilitas lainnya) mulai memperlihatkan telah menyimpang dari prinsip mitigasi bencana. Hal ini menunjukan bahwa, kesadaran spasial belum terbangun baik oleh Pemerintah maupun masyarakat secara luas (seluruh stakeholders). Bencana belum menjadi pengarusutamaan pembangunan (mainstreaming). Disatu sisi, terdapat pula permasalahan regulasi dan kebijakan. Diidentifikasi bahwa terdapat tumpang tindih (disharmonis) peraturan terkait. Selain UndangUndang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, terdapat pula Undang-Undang yang berkaitan dengan upaya penanggulangan bencana antara lain Undang-Undang nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil dan Lingkungan Hidup.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
87
Berdasarkan hasil evaluasi, dalam impelemetansi UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta kebijakan RPJMN 2010-2014, terdapat beberapa kendala pada tataran implementasi penyelenggarannya. Terhadap permasalahan dan kendala diusulkan beberapa perbaikan pada tataran impelementasi antara lain: (1) Penyusunan peraturan perundangan terkait status kebencanaan (catatan: perlu diperhatikan aspek kewilayah dalam penetapan status bencana nasional, provinsi, kabupaten, serta dimensi jumlah penduduk (bukan sebagai angka absolut, tetapi menggunakan persentase penduduk terdampak (penduduk terdampak berbanding dengan jumlah penduduk d iwilayah tersebut, demikian pula dengan angka kerugian menggunakan persentase) dengan melihat aspek utama berdasarkan karakteristik wilayah bencana; (2) Harmonisasi terkait peraturan-perundangan penyelenggaraan penanggulangan bencana; (3) integrasi pengurangan resiko bencana ke dalam tata ruang, serta membangun kesadaran pengakan peraturan terkait tata ruang/zonasi rawan bencana; (4) pemaduan paradigma pengurangan resiko bencana dalam perencanaan pembangunan, penguatan kapasitas serta instrumen persyaratan analisis risiko bencana, pendidikan dan pelatihan, serta (SOP) persyaratan standar teknis penanggulangan bencana; (5) penguatan peta prediksi bencana sebagai dasar bahan rencana kontijensi bencana; (6) penegasan kembali fungsi dari stakeholder penyelenggara penanggulangan bencana (BNPB, K/L, BPBD, SKPD, LSM/NGO, Swasta, Masyarakat), melalui rencana aksi yang disusun bersama-sama dalam 3 (tiga) aspek manajemen bencana (pra, tanggap darurat, pasca).
Aspek Pendanaan Berdasarkan hasil Evaluasi RPJMN 2010-2014 yang dilakukan Bappenas, terdapat permasalahan yang relatif besar terkait pendanaan bencana. Berdasarkan data BNPB (2014), rata-rata tiap Kabupaten hanya mendanai penanggulangan bencana antara 1-2 % dari total APBD. Andaipun besar hingga 10% dari APBD, dana yang dialokasikan lebih kepada dana cadangan yang sifatnya reaktif (ketika bencana), bukan bersifat preventif (sebelum bencana/mengurangi resiko bencana). Padahal didalam amanat UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana “Pemerintah daerah juga turut memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yang salah satunya meliputi pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan belanja daerah yang memadai” Permasalahan lainnya, yaitu anggaran terkait penanggulangan bencana. Hampir seluruh kementerian/Lembaga memiliki alokasi anggaran penyelenggaraan bencana, namun acapkali terjadi tumpang-tindih dalam hal distribusi anggaran. Berdasarkan data BNPB (2013), terdapat Rp 30 Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
88
triliun yang berasal dari APBN. Dari jumlah tersebut, BNPB Rp 3 triliun, sementara lainnya dikelola oleh 37 kementerian yang mencapai Rp 13,5 triliun, serta dana lainnya. Persoalan lain, yaitu terkait transparansi anggaran penanggulangan bencana. Berdasarkan hasil pengamatan Bappenas, masih banyak BPBD yang menilai lambatnya pencairan dana bantuan bencana, sehingga penanganan darurat korban menjadi terbengkalai. Sama halnya dengan proses pendanaan pasca bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi). BNPB dinilai belum transparan terhadap berapa besar dana yang telah dialokasikan terhadap rehabilitasi dan rekonstruksi di suatu wilayah terdampak bencana. Berdasarkan hasil evaluasi, terkait pendanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana, terdapat beberapa kendala terhadap penyelenggaraannya. Terhadap permasalahan dan kendala diusulkan beberapa perbaikan terkait pendanaan, antara lain: (1) Kementerian Dalam Negeri melakukan penyusunan pedoman keuangan/pendanaan bagi wilayah rawan bencana tinggi yang tegas terkait kontribusi APBD terhadap penyelenggaraan bencana, bukan hanya dana cadangan, tetapi dana pengurangan resiko bencana; (2) Penataan kembali tugas/fungsi K/L terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana, serta penguatan pokja/klaster kebencanaan dalam hal perencanaan dan pendanaan; (3) Penyusunan sistem transparansi anggaran terkait pengurangan resiko bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi dan rekonstruksi oleh BNPB dengan bekerjasama dengan Kementerian Keuangan;
Faktor-Faktor Kunci Keberhasilan Pembangunan Kawasan Rawan Bencana Dalam pembelajaran yang dilakukan dari berbagai kasus/studi literatur, ada beberapa hal yang dapat menjadi faktor kunci keberhasilan penyelenggaraan penanggulangan bencana, yaitu antara lain: (1) adanya keterlibatan masyarakat (meliputi lembaga keagamaan, LSM/NGO, lembaga tradisional) maupun koneksi/networking modal sosial (remmitance) dari warga yang tinggal diluar wilayah tersebut dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, meliputi identifikasi wilayah rawan bencana, penyusunan tata ruang berbasis peta wilayah bencana, pengurangan resiko bencana, tanggap darurat, hingga rehabilitasirekonstruksi (2) integrasi pengarusutamaan perubahan iklim dan kebencanaan kedalam perencanaan pembangunan ; (3) Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
89
adanya penguatan science-based policy decision and management approach terhadap faktor risiko bencana, selain pendekatan regulasi dan ekonomi dalam membangun suatu wilayah (4) adanya perencanaan berbasis komunitas, serta pemanfaatan teknologi (termasuk GIS) dalam identifikasi wilayah rawan (menyusun prediksi potensi bencana) serta lokasi evakuasi (5) identifikasi pusat-pusat pertumbuhan yang berisiko tinggi terhadap bencana (dengan pre-disaster emergency evacuation zoning) yaitu mengoptimalkan lokasi evakuasi, dengan menggunakan variabel persebaran lokasi evakuasi, kapasitas ruang evakuasi, dan jarak terhadap persebaran pusat kehidupan penduduk (boks 4.4).
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
90
Boks 4.4 Kebencanaan sebagai pengarus-utamaan Indonesia merupakan sebuah negara yang berada di wilayah yang rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung berapi. Karena kegiatan manusia yang tidak pandai menjaga alam, ancaman bencana bertambah dengan munculnya kejadian banjir dan longsor. Perubahan iklim yang saat ini sangat dirasakan dampaknya, menambah lagi jumlah bencana yang harus dihadapi Indonesia, seperti angin ribut. Berbagai ancaman kejadian alam tersebut seharusnya menjadikan isu bencana sebagai arus utama dalam perencanaan pembangunan fisik di Indonesia. Bukan hanya potensi fisik dan sumber daya manusia saja yang menjadi pertimbangan, perencanaan tata ruang harus juga memasukkan isu bencana sebagai salah satu pilar perencanaannya. Untuk menjaga pantai dan lautan dari eksploitasi yang berlebihan O’Connel (2013) dalam disertasinya menggunakan pendekatan ecosistem sebagai dasar dalam menyusun perencanaan spatial wilayah Long Island Sound (LIS). Hasil perencanaan tata ruang di LIS memberikan dampak langsung terhadap kondisi lingkungan maupun kehidupan penduduknya. Hal utama yang diharapkan oleh penduduk dalam penyusunan perencanaan tata ruang adalah adanya kegiatan yang memungkinkan mereka untuk didengarkan, ditindak-lanjuti usulannya, dan diperhatikan kebutuhannya (O’Connel, 2006). Ada empat faktor yang digunakan dalam CMSP (Coastal and Marine Spatial Planning). Dari empat faktor tersebut disusunlah 29 pemanfaatan ekosistem (ecosystem services) di wilayah LIS. Salah satu temuan dari O’Conner adalah adanya pergeseran pemanfaatan ruang pesisir dan laut sebagai tempat melakukan kegiatan, seperti pemanfaatan angin dan ombak sebagai sumber energi, lokasi penempatan fasilitas gas cair, dan aquaculture (budidaya hasil laut). Kegiatan baru seperti ini memicu terjadinya konflik dengan kegiatan yang selama ini sudah berjalan seperti penangkapan ikan, rekreasi pantai, dan lainnya. Dalam penelitian O’Conner, kegiatan baru dan lama tidak direncanakan secara terintegrasi dan sinergis. Selain itu, isu perubahan iklim juga belum menjadi pertimbangan. Terjadinya badai pasir yang menghantam LIS telah beberapa kali menimbulkan kerugian. Untuk itu dibutuhkan science-based policy decision and management approach. Selama ini pendekatan yang dilakukan lebih mengedepankan peraturan perundangan dan keberhasilan diukur dari keuntungan ekonomi saja. Pengurangan faktor resiko belum menjadi priorotas. Kawasan Ekonomi Khusus yang merupakan strategi untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi juga harus mampu menunjukkan kesiapan dalam menghadapi bencana alam. Beberapa KEK di Indonesia memiliki kerentanan bencana yagn cukup tinggi. Sebagai pusat kegiatan ekonomi, KEK adalah pusat permukiman yagn bersifat perkotaan (urban), yakni luas kawasan yang terbatas dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi, dan ketersediaan infrastruktur yang memadai. Kawasan urban yang dipadati penduduk dan berbagai aset ekonomi membutuhkan pre-disaster emergency evacuation zoning (Ye et al, 2012). Dalam mengoptimalkan lokasi evakuasi, digunakanlah variabel persebaran lokasi evakuasi, kapasitas ruang evakuasi, dan jarak terhadap persebaran pusat kehidupan penduduk. Dengan menggunakan teknik Geographical Information System ditetapkanlah lokasi evakuasi sesuai dengan sebaran pusat kehidupan penduduknya. Perencanaan rinci dalam skala komunitas dapat membantu penyusunan rencana tata ruang dengan pengarus-utamaan kebencanaan. Penggunaan Geographical Information System (GIS) dan Global Positioning System(GPS) sebagai metode pengolahan data bagi berbagai metode pengambilan keputusan seperti Intelligent Decision Support System (IDSS) dan Spatial Decision Support System (SDSS) sudah menjadi kebutuhan dalam perencanaan pembangunan, dalam berbagai skalanya (Ahmad, 2002; Billa et al, 2006; Sambah & Miura, 2014). Selain belum terbiasanya menggunakan teknologi dengan pendekatan keruangan, belum semua perencanaan keruangan menggunakandynamic strategy yang merupakan pengembangan dari adaptive system theory (Roggema, et al., 2012).
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
91
BAB 5 PENUTUP : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan
Dengan mencermati rangkuman permasalahan pada BabBab sebelumnya, tersebut di atas maka hasil Evaluasi RPJMN 2010-2014 adalah sebagai berikut: Boks 5.1 a
Kesimpulan Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal 1. Munculnya program/kegiatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah, khususnya daerah tertinggal, perbatasan, kawasan rawan bencana, maupun kawasan strategis bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena kebijakan, program, maupun kegiatan banyak yang disusun dengan pendekatan top-down. Hal ini menimbulkan kesenjangan/ketidaksesuaian dengan kebutuhan daerah. Kebijakan dan program/kegiatan tidak harus selalu bersifat top down, walaupun program/kegiatan tersebut merupakan program/kegiatan milik K/L. 2. Insentif natura yang selama ini telah diberikan oleh pemerintah ternyata tidak menarik bagi tenaga kerja untuk bekerja di daerah tertinggal dan wilayah perbatasan. Keterbatasan sarana dan prasarana serta daya tarik daerah tertinggal dan wilayah perbatasan membuat sumber daya manusia dari daerah lain enggan untuk berbakti di lokasi tersebut. 3. Kebijakan pengembangan sarana dan prasarana yang belum seluruhnya sesuai dengan kebutuhan daerah. Seringkali sarana dan prasarana dikembangkan dengan sudut pandang “Jawa sentris” atau pulau besar. Padahal daerah/wilayah tertinggal/perbatasan biasanya berupa pulau-pulau kecil terpencil, ataupun memiliki topografi yang sulit. 4. Pemerintah Pusat perlu mendukung dan menjamin terlaksananya kebijakan dan program Pemerintah Daerah yang bertujuan untuk meningkatkan hasil pembangunan daerah, terutama yang bertujuan untuk mempercepat peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 5. Dalam pengembangan pusat-pusat pertumbuhan selain melalui proses teknokratik, juga memerlukan dukungan politik (political will). Kedepan, pengembangan pusat pertumbuhan harus didorong di luar Jawa-Sumatara dalam rangka pemerataan pembangunan wilayah.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
92
Boks 5.1 a (Lanjutan)
Kesimpulan Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal 6. Selama ini titik berat program penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah pada tahap upaya menghadapi bencana (tanggap darurat) dan mengatasi dampak bencana (pasca bencana). Sementara, pengarusutamaan (mainstreaming) bencana dalam berbagai program/kegiatan pembangunan di berbagai sektor maupun di masyarakat belum berjalan dengan baik.
Dalam konteks evaluasi kinerja mitra kerja bidang pembangunan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal (KKDT) dalam pelaksanaan RPJMN 2010-2014, adalah berikut: Boks 5.1 b
Kesimpulan Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal 1. Kinerja KPDT menunjukkankan kinerja yang Belum berhasil, dimana diindikasikan dari penilaian kualitas perencanaan pada tahun 2012 dan tahun 2013 yang kurang baik, dari sisi efektivitas menunjukkan kinerja Kurang Efektif, dari sisi sinergitas menunjukkan kinerja yang Kurang Sinergi, dan dari sisi konsistensi menunjukkan kinerja yang kurang konsisten. Meskipun dari sisi pencapaian target, KPDT mampu melewati target untuk mengangkat ketertinggalan daerah tertinggal menjadi daerah yang tidak tertinggal, tetapi indikator indikator makro seperti IPM, Pertumbuhan ekonomi dan Tingkat Kemiskinan, target tidak tercapai. 2. Kinerja pembangunan perbatasan yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Pembangunan Perbatasan (BNPP) menunjukkan kinerja yang Belum Berhasil, Ketidakberhasilan pembangunan perbatasan di indikasikan dengan gagalnya BNPP untuk menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara Republik Indonesia, dan kualitas perencanaan yang belum baik, dan efektivitas perencanaan yang Belum efektif dalam menjawab sasaran RPJMN, kegagalan BNPP dalam melakukan fungsi koordinasi perencanaan K/L dan SKPD, serta terjebak menjalankan fungsi implementing, yang semestinya tidak dijalankan.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
93
Boks 5.1 b (lanjutan)
Kesimpulan Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal 3. Kinerja KEK Sei Mangkei dan KEK Tanjung Langsung sampai saat ini baru tahap persiapan dan belum operasional, dan itu sesuai dengan target RPJMN dan RKP 2010 - 2014. KEK Sei Mangkei dan KEK Tanjung Lesung sudah ditetapkan tahun 2012 dan sudah ditetapkan lembaga pengelolanya, dan tahapnya baru Persiapan, maka analisis yang dilakukan, sebatas analisis pada tahap persiapan (On-going Evaluation). KEK Sei Mangkei memiliki kinerja yang mengindikasikan potensi keberhasilan, KEK Tanjung Lesung memiliki kinerja yang mengindikasikan potensi kegagalan, karena “political will” akan keberlanjutan pembangunan di Sei Mangkei (contoh Pembangunan Kuala Tanjung) akan dilanjutkan, sementara Tanjung Lesung, tidak didorong sebagai prioritas (karena pusat-pusat pertumbuhan di luar Jawa yang akan didorong pada RPJMN yang akan datang (2015-2019). 4. Kinerja pembangunan KAPET menunjukkan adanya kegagalan, hal ini ditunjukkan dengan ketidakefektifan kinerja program pembangunan KAPET dalam menjawab sasaran pembangunan yang tercantum dalam dokumen perencanaan pembangunan RPJMN dan RKP. Disamping itu juga KAPET gagal untuk menjadi mencapai targetnya sebagai prime over kawasan disekitar. Kegagalan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Perpres 176 tahun 2014 yang mencabut berlakunya Perpres 150 tahun 2000. 5. KPBPB menunjukkan kinerja 3 (tiga) KPBPB yang berhasil, sementara 1 KPBPB yang menunjukkan kinerja yang kurang berhasil, jadi bisa disimpulkan sebenarnya kinerja KPBPB menunjukkan kinerja yang Berhasil dengan catatan bahwa keberhasilan KPBPB Batam, banyak dipengaruhi faktor kesejarahan dan potensi letak geografisnya serta kebutuhan Negara tetangga Singapura yang memiliki wilayah yang sempit akan tetapi memiliki potensi investasi warga Negara Singapura yang sangat besar. 6. Kinerja dari pembangunan kawasan bencana/BNPB menunjukkan kinerja yang Belum berhasil. Faktor penyebab utama dari ketidakberhasilan kinerja BNPB dikarenakan kualitas perencanaan pembangunan BNPB yang kurang baik dan tidak efektifnya perencanaan yang dilakukan dalam menjawab sasaran yang ditetapkan dalam RKP.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
94
Boks 5.1 b (lanjutan)
Kesimpulan Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal 7. Kinerja UP4B apabila menggunakan tolok ukurnya Perpres nomor 65 tahun 2011 menunjukkan banyak indikator yang belum tercapai belum berhasil. Akan tetapi kalau perspektif kita sesuaikan dengan konteks pada saat P4B & UP4B ditetapkan, yang diwarnai dengan suasana ketidakpercayaan masyarakat Papua, yang ditandai dengan pengembalian Otsus oleh MRP maka kinerja dari P4B/UP4B adalah berhasil, dengan pertimbangan: a. Langkah – langkah yang dilakukan UP4B telah mampu menciptakan kondisi yang kondusif sebagai prasyarat untuk pelaksanaan pembangunan, meskipun memiliki kelemahan karena tidak mampu melakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi Papua dan provinsi Papua Barat. b. P4B & UP4B meskipun tidak terakomodir dalam dokumen perencanaan RPJMN dan Renstra K/L akan tetapi terakomodir dalam dokumen perencanaan RKP 2013 dan RKP 2014, karena ditetapkan dengan Perpres sebagai kebijakan khusus yang tidak terpisahkan dengan Perpres RPJMN. Efek kehadiran UP4B telah mampu meningkatkan alokasi anggaran dari K/L untuk dialokasikan ke provinsi Papua dan provinsi Papua Barat secara signifikan. c. Rentang waktu penugasan yang 2,5 tahun efektif sebenarnya tidak cukup dan tidak sesuai untuk menilai kinerja kebijakan pembangunan ini. 8. Dalam periode 2010-2014, pada perencanaan pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal, diketemukan adanya ketidakkonsistenan antar dokumen perencanaan RKP dengan Renja KL, dan Renja K/L dengan RKAKL, yang merupakan akar penyebab ketidakefektifan perencanaan yang dilakukan pemerintah selama ini. 9. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang merupakan amanah UU nomor 25 tahun 2004, khususnya untuk bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal tidak berjalan dan menghasilkan kinerja yang berhasil. Dari 7 (Tujuh) Program Utama Hanya KPBPB yang mengindikasikan kinerja yang berhasil, dan itupun lebih banyak dipengaruhi hasil program pendahulunya/Badan Otorita Batam.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
95
Boks 5.1 b (lanjutan)
Kesimpulan Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal 10. Banyak faktor yang membuat kinerja perencanaan pembangunan nasional mencapai kinerja seperti saat ini, diantaranya: a. Isi Kebijakan: Sistem perencanaan pembangunan nasional (UU nomor 25 tahun 2004) Keuangan Negara (UU nomor 17 tahun 2003) b. Kapasitas implementing agency (Lembaga & SDM) Sistem dan mekanisme kontroling RPJMN – RKP Sistem dan mekanisme kontroling RKP-Renja K/L yang tidak efektif Sistem dan mekanisme kontroling Renja K/L – RKAKL yang tidak efektif Kapasitas SDM di lembaga mitra KKDT c. Lingkungan yang kurang kondusif (Politik Anggaran DPR, Politik Birokrasi, Dukungan/keberpihakan terhadap kawasan perbatasan, daerah tertinggal, dan Papua).
5.2 Rekomendasi Berdasarkan hasil evaluasi kebijakan tersebut, beberapa hal yang dapat menjadi landasan dalam menyusun RPJMN kedepan, yaitu RPJMN 2015-2019, antara lain: Boks 5.2 a
Rekomendasi Hasil Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
1. Menyusun kebijakan yang menggabungkan pendekatan topdown dan bottom-up dengan lebih cermat; 2. Mendukung kebijakan daerah dengan cara mensinergikan program pusat sesuai dengan kebutuhan daerah 3. Selain insentif dalam bentuk natura, dapat pula diberikan insentif alam bentuk lain, seperti kesempatan mengembangkan dan meningkatkan diri dalam berbagai bentuk fasilitas (pendidikan jarak jauh, pendidikan di luar negeri, pendidikan keterampilan dan lainnya);
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
96
Boks 5.2 a (Lanjutan) Rekomendasi Hasil Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
4. Memperkecil jarak sosial daerah tertinggal dan wilayah perbatasan dengan meningkatkan sarana dan prasarana komunikasi dan informasi. Hal ini dapat dikembangkan dengan kebijakan kerjasama dengan swasta (Public Private Partnership); 5. Memberikan insentif bagi swasta/wira usaha yang menanamkan modal di daerah tertinggal dan wilayah perbatasan, melalui berbagai kebijakan pembangunan ekonomi, dengan cara yang lebih menarik 6. Pentingnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, mulai dari tahap pra-bencana, tanggap darurat, rehab-rekon. Pemanfaatan teknologi GIS untuk kebencanaan perlu didorong. 7. Penguatan kelembagaan KEK, mulai dari National Board, Badan Otorita (bisnis profesional), hingga peran swasta dan masyarakat (ekonomi inklusif). Sementara berdasarkan hasil evaluasi kinerja mitra kerja bidang pembangunan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal (KKDT) dalam pelaksanaan RPJMN 2010-2014 tersebut, beberapa hal yang dapat menjadi landasan dalam menyusun RPJMN 2015-2019, antara lain: Boks 5.2 b Rekomendasi Hasil Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal 1. Perlu sinkronisasi antara perencanaan dan penganggaran pembangunan, serta pembagian peran yang jelas dan saling melengkapi antara kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian keuangan. 2. Lingkungan politik yang menghambat pencapaian kinerja perencanaan pembangunan yang baik perlu diminimalisir, seperti: hanya konsentrasi pada dapil partai politik pemenang pemilu legislative sementara wilayah yang kalah tidak diberikan dukungan.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
97
Boks 5.2 b (lanjutan)
Rekomendasi Hasil Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal 3. Lingkungan politik yang mendukung pencapaian kinerja perencanaan pembangunan yang baik perlu ditingkatkan seperti dukungan dan keberfihakan stakeholder di tingkat nasional terhadap percepatan pembangunan kawasan perbatasan, daerah tertinggal dan papua. 4. Bappenas perlu melakukan evaluasi kinerja perencanaan masingmasing unit kerja secara independen dan profesional agar bisa diketahui kinerja kebijakan perencanaan secara keseluruhan, sehingga bisa diambil langkah – langkah kebijakan untuk memperbaiki kinerja perencanaan pembangunan yang kurang optimal selama ini. 5. Untuk meningkatkan kualitas perencanaan lembaga mitra Bappenas umumnya dan KKDT pada khususnya dirasakan sangat perlu untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas perencanaannya, diantaranya dengan : Menyediakan system dan mekanisme kontroling penurunan kebijakan RPJMN ke dalam kebijakan RKP dan meningkatkan kapasitas SDM yang menangani hal tersebut. Menyediakan sistem dan mekanisme kontroling penurunan kebijakan RKP ke dalam kebijakan Renja K/L dan meningkatkan kapasitas SDM yang menangani hal tersebut. Menyediakan System dan mekanisme kontroling Renja K/L – RKAKL dan meningkatkan kapasitas SDM yang menangani hal tersebut. Sistem dan mekanisme kontroling antar dokumen perencanaan semestinya terdesentralisasi, agar bisa dilakukan control yang lebih cermat dan akuran serta dan tidak ada penumpukan 6. Dalam perencanaan pembangunan daerah tertinggal, perbatasan dan Papua perlu lebih mengedepankan aspek focusing intervensi dengan cara: Untuk kawasan perbatasan diarahkan sasaran program K/L ke Lokpri Untuk Daerah Tertinggal diarahkan untuk memecahkan akar masalah utama ketertinggalan kabupaten tertinggal, khususnya kecamatan tertinggal di kabupaten tertinggal Untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dalam penetapan sebuah kawasan menjadi KEK perlu mempertimbangkan Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan 98 aspek potensi pengembangan, investasi infrastruktur dan Daerah Tertinggal kapasitas badan pengusahaan Untuk kawasan Papua, untuk menggantikan peran UP4B yang sudah berakhir masa tugasnya, perlu dipertimbangkan untuk
DAFTAR PUSTAKA Literatur Ahmad, S. 2002. Flood Management: A Spatial System Dynamics Approach. Dissertation: Civil and Environmental Engineering, The University of Western Ontario. London. Billa, L. et al. 2006. Comprhehensive Planning and the Role of SDSS in Flood Disaster Management in Malaysia. Disaster Prevention and Management. 15 (2). Blair, N. Et al. 2007. Delivering Cross-border Spatial Planning. Proposal for The Island of Ireland. TPR 78 (4). Goodal, K. & J. Robert. 2003. Repairing Managerial Knowledge Ability Over Distance. Organization Studies vol 24 (1153-1175). Evams, P. 1995. Embedded Autonomy: States and Industrial Transformation. Princeton University Press. Princeton. Hadi, S. Program Pembangunan Kawasan Perbatasan, Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, BAPPENAS. http://www.penataanruang.net/bulletin/upload/data_artikel/program%20pemba ngunan%20kawasan%20edisi%203.pdf. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2014. Herod, A. 1997. From a Geography of Labor to a Labor Geography: Labor’s Spatial Fix and the Geography of Capitalism. Antipode 29 (1): 1-31 Jacobs, J. 1993. The City Unbound: Qualitative Approach to the City. UrbanStudies 30 (4/5). Johanson, & Vahne. 1977. The Internationalization Process of The Firm. A Model of Knowledge Development and in Creating Foreign Market Commitment. Jpurnal of International Bussines Studies vol 8 (22-32). Li, S. & H. Scullion. 2006. Cross-border Knowledge. Bridging the Distance : Managing Cross-Border Knowledge Holders. Asia Pacific Journal Management 23: 71-92. O’Connel. C. 2006. White paper on Marine Zoning, an examination of some current marine zoning effects and their potential application in LIS. LIS STAC Fellowship Report. LIS Study. Milford. CT O’Connel. C. 2013. Coastal and marine Spatial Plan (CMSP) an Ecosystem-Based Approach to Conservation and Management in Long Island Sound. Disertation: Marine and Atmospheric Sciences. Stony Brook University. Pongsawat, P. 2007. BorderPartial Citizenship, Border Towns, and Thai-Myanmar Cross Border Development: Case Studies at the Thai Border Towns. Dissertation: City and Regional Planning. University of California, Berkeley. Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
99
Roggema, R. et al. 2012. Towards a Spatial Planning Framework for Climate Adaptation. Smart and Sustainable Built Environment. Vol I no 1 (29-58). Sambah, A.B. & F. Miura. 2014. Integration Spatial Analysis for Tsunami Inundation and Impact Assessment. Journal of Geographic Information System. 2014:6. p. 11-22 Sihaloho, T. & N. Muna. Kajian Dampak Ekonomi Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus. www.kemendag.go.id/files/pdf/2013/04/25/-1366882248.pdf. Diunduh pada 20 Agusutus 2014 Swanson, R.L. & D. Conover. 2006. Murky Wagers. The New York Times, editorial section. February 2006. New York. Tambunan. T. Kawasan Ekonomi Khusus dan Dampaknya terhadap Indstrialisasi di Batam. www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KDIN-98-260917032008.pdf. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2014 Wu. C.T. 1995. China’s South Economic Zone, five years after. The Asian Journal 7 (2). Ye, M. et. al. 2012. Methodology and Its Application for Community Scale Evacuation Planning Against Earthquake Disaster. Nat Hazard (61): 881-892. Yesuari, A.P. 2010. Mengenal Kawasan Ekonomi Khusus. Buletin online Tata Ruang. (Mei-Juni, 2010). http://www.penataanruang.net/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart=254 .Diakses pada 30 Agustus 2014. Dokumen Lainnya Midterm Review Bappenas RPJMN 2010-2014, tahun 2013. Kajian Evaluasi Kualitas Perencanaan Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Terttinggal, Bappenas. Tahun 2012. Kajian Evaluasi Kualitas Perencanaan Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Terttinggal, Bappenas. Tahun 2013.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
100