ANALISIS DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KABUPATEN BOGOR
Oleh : ANNISA IRDHANIA H14050761
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ANNISA IRDHANIA, Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kabupaten Bogor (dibimbing oleh BAMBANG JUANDA) Sebelum adanya otonomi daerah tahun 2001, negara Indonesia menganut sistem pemerintahan yang sentralistik. Kontrol pemerintah pusat yang berlebihan terhadap mobilisasi sumber daya daerah baik sumber daya alam, sumber daya fisik, maupun sumber daya sosial telah menyebabkan terjadinya pengurasan sumber daya daerah yang berakibat pada kebocoran bagi daerah dan akumulasi kapital yang terpusat. Sebagai langkah reformasi dan proses demokratisasi maka pada tanggal 1 Januari 2001 pemerintah secara resmi mulai melaksanakan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Desentralisasi fiskal adalah salah satu pendukung pelaksanaan otonomi daerah karena kemampuan keuangan daerah merupakan hal yang harus diperhitungkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Titik berat pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka implementasi UU No 22 dan UU No 25 Tahun 1999 berada di daerah kabupaten/kota. Selama periode 2003-2007, pendapatan daerah Kabupaten Bogor mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan, baik dilihat dari sisi target maupun realisasi, sementara itu dari sisi perekonomian, laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Dengan adanya desentralisasi fiskal tentunya akan terjadi perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah. Otonomi yang diberikan pada pemerintah daerah menuntun pemerintah daerah untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan daerahnya sendiri tanpa mengurangi harapan adanya grant (bantuan) dan sharing (bagian) dari pemerintah pusat serta dapat menggunakan dana publik dengan prioritas kepentingan serta aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan demikian implementasi desentralisasi fiskal akan berpengaruh terhadap perekonomian daerah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dampak dari penerapan desentralisasi fiskal dan faktor-faktor lainnya yang relevan terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan daerah Kabupaten Bogor. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series 15 tahun yang dianalisis dalam persamaan simultan dengan metode two step least square, dan alat analisis yang digunakan adalah EViews 4.1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik terhadap komponen PDRB, yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah. Konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah meningkat selama masa desentralisasi fiskal. Jadi, secara keseluruhan penerapan desentralisasi fiskal diduga memberikan pengaruh yang positif pada kinerja perekonomian. Artinya setelah diterapkan desentralisasi fiskal, kinerja perekonomian Kabupaten Bogor mengalami peningkatan yang signifikan.
Variabel pendapatan disposable, populasi, dan total penerimaan keuangan pemerintah daerah memberikan kontribusi dengan nilai elastisitas yang positif dan nyata secara statistik terhadap kinerja perekonomian. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap penerimaan retribusi Kabupaten Bogor, sedangkan dana transfer dipengaruhi secara positif dan nyata. Jika dikaitkan dengan kinerja perekonomian, penurunan pada retribusi ini akan membawa efek yang positif terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Bogor. Penerapan desentralisasi fiskal tidak mempengaruhi variabel potensi keuangan lainnya secara signifikan. Variabel pendapatan perkapita, jumlah kamar hotel, suku bunga, total pengeluaran keuangan pemerintah, dan jumlah penduduk miskin mempengaruhi potensi keuangan Kabupaten Bogor dengan nilai elastisitas yang positif dan nyata secara statistik. Pemerintah daerah Kabupaten Bogor hendaknya lebih berusaha meningkatkan kemampuan dan kemandirian daerahnya dengan menggali potensi pendapatan asli daerahnya sendiri namun tidak secara berlebihan serta mempertimbangan dampak negatif seminimal mungkin terhadap perekonomian daerah. Usaha meningkatkan potensi pariwisata seperti sarana hotel sehingga dapat berkontribusi besar pada pajak daerah juga perlu dilakukan. Selain itu pemerintah daerah Kabupaten Bogor diharapkan bisa lebih memperbaiki peran PDAM dengan lebih maksimal sehingga perusahaan daerah tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada penerimaan laba bersih perusahaan daerah.
ANALISIS DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KABUPATEN BOGOR
Oleh : ANNISA IRDHANIA H14050761
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama Mahasiswa
: Annisa Irdhania
Nomor Registrasi Pokok
: H14050761
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kabupaten Bogor
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr.Ir. Bambang Juanda. M.S. NIP. 196401011988031061
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 1964102319890320
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN POTENSI KEUANGAN KABUPATEN BOGOR” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI NEGERI LAIN MANAPUN UNTUK
TUJUAN MEMPEROLEH
GELAR AKADEMIK
TERTENTU.
Bogor, Agustus 2009
Annisa Irdhania H14050761
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Annisa Irdhania lahir pada tanggal 23 Mei 1987 di Jakarta. Penulis adalah anak terakhir dari empat bersaudara, dari pasangan Alm. Budhi Risatuanto dan Carla. Masa pendidikan telah penulis lewati dengan lancar, penulis menamatkan sekolah dasar di SD Cempaka Ria Jakarta, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Tambun dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1 Tambun. Selama masa SMA banyak kegiatan organisasi yang diikuti penulis yaitu antara lain KIR, LDK-Mukilas OSIS, dan PMR. Penulis mendapatkan penghargaan “Top 50 % High Achievement “ dalam ajang olimpiade fisika MOSI pada tahun 2004. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI, dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2006. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah mengikuti beberapa lomba karya tulis ilmiah, ataupun essay dan juga mendapatkan beasiswa PPA-BBM. Penulis juga pernah menjadi salah satu anggota klub belajar Hipotesa pada tahun 2007.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang berkat rahmat dan rahim-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “ Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kabupaten Bogor “. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat diselesaikan berkat semangat, bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda MS, yang telah memberikan bimbingan dan saran baik secara teoritis maupun teknis serta pembelajaran yang sangat berguna dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 2. Ibu Dr. Wiwiek Rindayanti selaku dosen penguji atas saran, kritik, dan masukan yang sangat membantu dan berarti dalam proses perbaikan skripsi ini. 3. Bapak Syamsul H. Pasaribu MS, selaku komisi pendidikan atas saran, kritik, dan masukan yang berarti tentang tata cara penulisan demi menyempurnakan penulisan skripsi ini. 4. Keluarga tercinta : Alm Budhi R, dan Carla selaku orang tua, serta ketiga kakak penulis (Alm Irka, Erir, dan Aldhi) atas kasih sayang, dukungan, serta doanya yang tiada henti. 5. Bapak-bapak dan ibu-ibu pegawai di BPS dan PEMDA Kabupaten Bogor yang telah berkenan membantu pencarian data-data untuk penelitian ini. 6. Aji dan keluarga, atas bantuannya selama penulis menjalankan kuliah di IPB, serta sahabat-sahabat penulis lainnya : Siti, Rian, Secha, Cindy, Luken,dan Dimas atas bantuan dan kebersamaannya selama ini.
7. Teman-teman satu bimbingan : Dhinta, Lala, dan Iqbal Valiri, atas kerjasama, masukan, serta saran-sarannya. Teman satu wilayah penelitian, Fahdy, atas kerjasama dan bantuaanya terhadap penulis selama penelitian. 8. Teman-teman di Ilmu Ekonomi 42 : Elby, Indra, Diki,dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya. 9. Teman-teman di Maharlika depan : Zil, Vina, Veza, Almira, Yuni, Ayu, Obi, dan Ninuk atas kebersamaannya di kosan selama enam bulan terakhir. 10. Mas Tian, Kak Yoga, dan Fikr, atas perhatian, semangat serta bantuannya selama melakukan penelitian ini 11. Semua pihak yang telah membantu proses penyembuhan penulis sehingga akhirnya dapat menyelesaikan seluruh kuliah dan skripsi ini dengan lancar. 12. Herie Maulana Saputra, atas bantuan, semangat, dan kesabarannya selama beberapa bulan terakhir menemani penulis menyusun skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca, baik dari segi materi maupun dari segi teknis penyajian. Akhir kata penulis mengharapkan semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Annisa Irdhania H14050761
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………… iv DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..
v
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………
viii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah............................................................................ 4 1.3 Tujuan Penelitian................................................................................ 6 1.4 Manfaat Penelitian.............................................................................. 6 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian....................................
7
II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................
9
2.1. Tinjauan Teori-teori..........................................................................
9
2.1.1. Konsep dan Pengertian Desentralisasi……………………….
9
2.1.2. Kebijakan Fiskal....................................................................... 10 2.1.3. Desentralisasi Fiskal................................................................. 11 2.1.4. Manfaat Desentralisasi Fiskal..................................................
12
2.1.5. Kerugian Desentralisasi Fiskal.................................................
13
2.1.6. Konsep Potensi Keuangan........................................................ 13 2.1.7. Keuangan Kinerja Perekonomian............................................. 17 2.1.8. Pendapatan Output Daerah…………………………………...
17
2.1.8.1 Teori Konsumsi............................................................
18
2.1.8.2. Investasi......................................................................
19
2.1.8.3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah............................. 20 2.2. Penelitian Terdahulu.......................................................................... 20 2.3. Kerangka Pemikiran..........................................................................
23
2.4. Hipotesis ...........................................................................................
25
III. METODE PENELITIAN.................................................................
27
3.1. Jenis dan Sumber Data.....................................................................
27
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................
27
3.3. Model Ekonometrika........................................................................
27
3.3.1. Kerangka Model Desentralisasi Fiskal.................................... 27 3.3.2. Spesifikasi Model....................................................................
29
3.3.3. Identifikasi Model dan Metode Estimasi Model.....................
32
3.3.4. Pengujian Model…………………………………………….. 34 3.4. Analisis Deskriptif Potensi Keuangan Daerah Kabupaten Bogor..... 36 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN........................
37
4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian.................................................
37
4.2. Geografi dan Pemerintahan..............................................................
37
4.3. Penduduk dan Ketenagakerjaan.......................................................
39
4.4. Sosial................................................................................................
40
4.5. Ketenagakerjaan dan Pengangguran.................................................
42
V. PEMBAHASAN……………………………………….…………...
44
5.1. Dampak Desentralisasi Fiskal dan Faktor-faktor lainnya terhadap Kinerja Perekonomian……………………………………………..
44
5.1. 1. Persamaan Dugaan Konsumsi Rumah Tangga......................
45
5.1.2. Persamaan Dugaan Investasi.................................................
49
5.1.3. Persamaan Dugaan Pengeluaran Konsumsi Pemerintah…...
52
5.2. Dampak Desentralisasi Fiskal dan Faktor-faktor Lainnya terhadap Potensi Keuangan Daerah................................................................
57
5.2.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD).............................................
61
5.2.1.1. Persamaan Dugaan Pajak Daerah................................
62
5.2.1.2. Persamaan Dugaan Retribusi Daerah...........................
70
5.2.1.3. Persamaan Dugaan Laba Bersih Perusahaan Daerah…
76
5.2.2. Persamaan Dugaan Dana Bagi Hasil....................................... 81 5.2.3. Persamaan Dugaan Dana Transfer..........................................
86
VI. PENUTUP.......................................................................................
92
6.1. Kesimpulan......................................................................................
92
6.2. Saran................................................................................................
93
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
96
LAMPIRAN...........................................................................................
98
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1 Identifikasi Model Persamaan Simultan.........................................
33
Tabel 5.1 PDRB Kabupaten Bogor 1993-2007 Atas Dasar Harga Konstan..........................................................................................
44
Tabel 5.2 Persamaan Dugaan Konsumsi Rumah Tangga...............................
45
Tabel 5.3 Persamaan Dugaan Investasi .........................................................
50
Tabel 5.4 Pengeluaran Konsumsi Pemerintah................................................
53
Tabel 5.5. Penerimaan Daerah Kabupaten Bogor 1993-2007 (Juta Rupiah)..
57
Tabel 5.6. Komposisi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah(Juta rupiah)......
61
Tabel 5.7. Persamaan Dugaan Pajak Daerah Kabupaten Bogor…………....
63
Tabel 5.8. Komposisi Penerimaan Pajak Daerah (Juta Rupiah).....................
69
Tabel 5.9. Persamaan Dugaan Retribusi Daerah Kabupaten Bogor………
71
Tabel 5.10. Persamaan Dugaan Laba Bersih Kabupaten Bogor…………...
76
Tabel 5.11. Komposisi Dana Bagi Hasil Tahun Anggaran 2007 (Juta Rupiah)…………………………………………………………...
81
Tabel 5.12.Persamaan Dugaan Dana Bagi Hasil Kabupaten Bogor..............
82
Tabel 5.13.Persamaan Dugaan Dana Transfer Kabupaten Bogor..................
86
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran.........................................................................
24
Gambar 5.1. Pola Hubungan Konsumsi Rumah Tangga (CT) dengan Populasi (POPT)...........................................................................................
46
Gambar 5.2. Pola Hubungan Konsumsi Rumah Tangga (CT) dengan Inflasi (INFT).............................................................................................
47
Gambar 5.3. Pola Hubungan Konsumsi Rumah Tangga (CT) dengan Pendapatan Disposable (INCOMT)..................................................
48
Gambar 5.4. Pola Konsumsi Rumah Tangga Kabupaten Bogor (Juta Rupiah)....
48
Gambar 5.5. Pola Pertumbuhan Konsumsi rumah Tangga (persen)...................... 49 Gambar 5.6. Pola Hubungan antara Investasi (IT) dengan PDRB........................ 50 Gambar 5.7. Pola Hubungan antara Investasi (IT) dengan Suku Bunga Riil (IRT).................................................................................................
51
Gambar 5.8. Pola Perubahan Investasi Kabupaten Bogor 1993-2007 (Juta Rupiah).............................................................................................
52
Gambar 5.9. Pola Hubungan Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (GT) dengan PDRB...............................................................................................
53
Gambar 5.10. Pola Hubungan antara Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (GT) dengan Inflasi (INFT).......................................................................
54
Gambar 5.11. Pola Hubungan antar Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (GT) dengan Total Penerimaan Pemerintah (LTRT)................................
56
Gambar 5.12. Pola Perubahan Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 1993-2007 (juta rupiah)....................................................................................... 54 Gambar 5.13. Persentase Kontribusi PAD dan Non PAD Terhadap Total Penerimaan Keuangan Kabupaten Bogor 1993-2007……………... 58 Gambar 5.14. Rasio PAD dan Dana Bagi Hasil Terhadap Total Penerimaan Sebelum dan Setelah Desentralisasi Fiskal....................................... 59
Gambar 5.15. Rasio Pendapatan Daerah Sendiri Terhadap Total Belanja Kabupaten Bogor Periode 1993-2007…………………………......
60
Gambar 5.16. Pola Hubungan antara Pajak Daerah (TAXT) dan Pendapatan Perkapita (PDRBCT)........................................................................
64
Gambar 5.17. Pola Hubungan antara Pajak Daerah (TAXT) dan Jumlah Kamar Hotel (HTLT)...................................................................................
65
Gambar 5.18. Pola Hubungan Pajak (TAXT) dengan Jumlah Perusahaan (PRST).............................................................................................
66
Gambar 5.19. Pola Hubungan antara Pajak Daerah (TAXT) dengan Inflasi (INFT).............................................................................................
67
Gambar 5.20. Pola Perubahan Pajak Daerah Kabupaten Bogor 1993-2007 (juta rupiah)……………………………………………………….……..
68
Gambar 5.21. Pola Hubungan antara Retribusi Daerah (NTAXT) dengan Pendapatan Perkapita......................................................................
72
Gambar 5.22. Pola Hubungan antara Retribusi Daerah (NTAXT) dengan Inflasi (INFT)..............................................................................................
73
Gambar 5.23. Pola Hubungan antara Retribusi Daerah (NTAXT) dengan Pertumbuhan Jumlah Wisatawan (GRECT)....................................
74
Gambar 5.24. Pola Perubahan Retribusi Daerah Kabupaten Bogor 1993-2007 (Juta Rupiah)………………………………………………………
74
Gambar 5.25. Pola Hubungan antara Laba Bersih (PRFTT) dengan Pendapatan Perkapita (PDRBCT)........................................................................
77
Gambar 5.26. Pola Hubungan antara Laba Bersih (PRFTT) dengan Jumlah Konsumsi Air Minum (WTRT).....................................................
78
Gambar 5.27. Pola Hubungan Laba Perusahaan Daerah (PRFTT) dengan Suku Bunga (INTT)................................................................................
79
Gambar 5.28. Pola Perubahan Laba Bersih Selama Periode 1993-2007 (Juta Rupiah)….......................................................................................
80
Gambar 5.29. Pola Hubungan antara Bagi Hasil (SHRT) dan Pendapatan Perkapita (PDRBCT) ..................................................................... 82
Gambar 5.30. Pola Hubungan antara Bagi Hasil (SHRT) dan Jumlah Kendaraan Bermotor (VEHT)………………………………………………...
83
Gambar 5.31. Pola Hubungan antara Bagi Hasil (SHRT) dan Inflasi (INFT)….
84
Gambar 5.32. Pola Perubahan Dana Bagi Hasil (Juta Rupiah).............................
85
Gambar 5.33. Pola Hubungan Dana Transfer (TRSFT) dengan PDRB..............
87
Gambar 5.34. Pola Hubungtan Transfer (TRSFT) dengan Total Pengeluaran (LTET)............................................................................................
88
Gambar 5.35. Pola Hubungan Transfer (TRSFT) dengan Pendapatan Daerah Sendiri (LOSHRT).......................................................................
89
Gambar 5.36. Pola Hubungan Dana Transfer (TRSFT) dengan Jumlah Penduduk Miskin (POV)..............................................................
90
Gambar 5.37. Pola Perubahan Dana Transfer Periode 1993-2007 (Juta Rupiah).........................................................................................
91
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Hasil Pengolahan Data Model Konsumsi rumah Tangga....
99
Lampiran 2. Hasil Pengolahan Data Model Investasi..............................
100
Lampiran 3. Hasil Pengolahan Data Model Pengeluaran Konsumsi Pemerintah..........................................................................
101
Lampiran 4. Hasil Pengolahan Data Model Pajak Daerah........................
102
Lampiran 5. Hasil Pengolahan Data Model Retribusi...............................
103
Lampiran 6. Hasil Pengolahan Data Model Laba Bersih........................... 104 Lampiran 7. Hasil Pengolahan Data Model Dana Bagi Hasil...................
105
Lampiran 8. Hasil Pengolahan Data Model Dana Transfer.......................
106
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa sebelum pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001, negara Indonesia menganut sistem pemerintahan yang sentralistik. Hal tersebut tercermin dari adanya dominasi pemerintah pusat dalam merencanakan dan menetapkan prioritas pembangunan di daerah, serta kurang melibatkan stakeholders di daerah. Sistem pengaturan keuangannya adalah model pengaturan keuangan yang sangat sentralistis dan lebih menguntungkan pemerintah pusat. Dampak ketergantungan daerah pada pusat ini yaitu tidak berkembangnya desentralisasi keuangan daerah dan ketidakberdayaan masyarakat lokal untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sebagai langkah reformasi dan proses demokratisasi maka pada tanggal 1 Januari 2001 pemerintah secara resmi mulai melaksanakan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Undang-undang ini merefleksikan pembagian kekuasaan di bidang pemerintahan yang lebih luas kepada daerah, memberikan kepastian sumber dana pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsinya, serta kebebasan dalam menggunakan dana-dana tersebut sesuai dengan fungsinya. Menurut UU No 25 Tahun 1999, konsekuensi otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengurus daerahnya sendiri, termasuk dalam hal penentuan sektor-sektor pembangunan yang paling tepat dan dibutuhkan masyarakat lokal. Desentralisasi fiskal adalah salah satu pendukung pelaksanaan otonomi daerah karena kemampuan keuangan daerah merupakan hal yang harus
diperhitungkan
dalam
pelaksanaan
otonomi
daerah.
Indikator
penting
keberhasilan kemampuan keuangan daerah tercermin dalam kemampuan suatu daerah dalam menggali pendapatan asli daerah (PAD) nya untuk membiayai belanja rutin dan pembangunan di daerah tersebut. Dilain pihak sebagai daerah otonom yang tetap menjadi bagian dari negara kesatuan, daerah masih harus tetap melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan pemerintah pusat. Kewenangan untuk melaksanakan tugas tersebut tentu saja disertai dengan pembiayaan dan bantuan dari pusat. Selain itu, mengingat kondisi dan potensi masing-masing daerah otonomi yang berbeda-beda,
pemerintah pusat juga
memberikan dana
perimbangan yang bertujuan untuk melakukan pemerataan dalam pembangunan. Dengan demikian kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan mampu membuka peluang
pemerintah
daerah
untuk
meningkatkan
efektifitas
pencapaian
kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan, selanjutnya diharapkan akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD-nya, sehingga daerah menjadi benar-benar otonom. Menurut Waluyo (2007), selama tahun 2001 hingga 2003
fenomena yang terjadi di
Indonesia adalah peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan total pengeluaran APBD semakin menurun. Menurunnya peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan pengeluaran total dalam APBD mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan peranan mekanisme transfer dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan (Mahi, 2005 dalam Waluyo, 2007). Selain itu menurut Mahroji (2005) dalam Waluyo (2007) menunjukkan bahwa masih terjadinya ketimpangan vertikal antara
pemerintah
pusat,
pemerintah
daerah
propinsi
dan
pemerintah
daerah
kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2001, yang disebabkan adanya kelebihan dana penerimaan di pemerintah pusat. Dari hasil penelitian Waluyo (2007) juga menunjukkan bahwa dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia diduga lebih didominasi oleh mekanisme dana alokasi umum yang berfungsi sebagai pemerata fiskal daerah sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Selain itu didapatkan juga bahwa Pulau Jawa dan Bali merupakan daerah yang paling rendah pertumbuhan ekonominya dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal. Titik berat pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka implementasi UU NO 22 dan UU No 25 Tahun 1999 berada di daerah kabupaten atau kota. Berdasarkan penelitian Hasugian (2006), terlihat bahwa terjadi peningkatan persentase penerimaan fiskal kabupaten dan kota di Jawa Barat yang didominasi oleh transfer DAU dengan kontribusi berkisar antara 40 persen hingga 84 persen. Pendapatan asli daerah sendiri cenderung mengalami penurunan yang bervariasi antara kabupaten dan kota. Sebagai contoh, terdapat hasil bahwa di wilayah Kota Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Karawang realisasi PAD terhadap total penerimaan sebelum desentralisasi fiskal berkisar antara 15 persen hingga 30 persen, tetapi sejak diterapkannya desentralisasi fiskal, kontribusinya menurun menjadi 5 persen hingga 10 persen. Hal tersebut bisa menjadi salah satu bukti bahwa tidak ada satupun kabupaten atau kota di provinsi Jawa Barat yang kontribusi PAD-nya diatas 50 persen.
Kabupaten Bogor merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Jakarta. Selama periode 2003-2007, pendapatan daerah Kabupaten Bogor mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan, baik dilihat dari sisi target maupun realisasi. Dari sisi target, kenaikan pendapatan daerah secara ratarata mencapai 15,59 persen, tetapi dari sisi realisasi rata-rata kenaikannya mencapai 17,85 persen. Komponen pendapatan daerah yang memberikan kontribusi terbesar terhadap realisasi pendapatan daerah tersebut berasal dari dana perimbangan sebesar 73,57 persen, kemudian dikontribusikan oleh pendapatan asli daerah sebesar 17,22 persen dan lain-lain pendapatan yang sah sebesar 9,21 persen . Sementara itu dari sisi perekonomiannya tampak bahwa kontribusi sektor industri dan perdagangan lebih dominan dibandingkan dengan sektor pertanian. Selama lima tahun terakhir setelah penerapan desentralisasi fiskal, laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, yaitu semula LPE adalah 4,81 persen pada tahun 2003, kemudian secara berurutan meningkat menjadi 5,56 persen pada tahun 2004, dan 5,85 persen pada tahun 2005 serta 5,95 persen pada tahun 2006, dan terakhir mencapai 6,04 persen pada tahun 2007. Kondisi ini mengungkapkan bahwa telah terjadi perkembangan ekonomi yang menggembirakan selama lima tahun terakhir pada masa desentralisasi fiskal di wilayah Kabupaten Bogor, Melihat kesemua itulah maka akan dilakukan penelitian lebih jauh tentang, Dampak Penerapan Desentralisasi Fiskal Terhadap Potensi Keuangan dan Perekonomian Daerah Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
1.2. Perumusan Masalah Instrument kebijakan desenralisasi fiskal melalui perimbangan keuangan daerah sesuai dengan UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, diharapkan dapat menjadikan pemerintah lebih meningkatkan perhatiannya kepada masyarakat dan memungkinkan daerah untuk memobilisasi sumbersumber penerimaan dan meningkatkan kapasitas keuangan. Dengan adanya desentralisasi fiskal maka tentunya akan terjadi perubahan dalam struktur keuangan daerah. Pendapatan asli daerah sebagai salah satu sumber penerimaan keuangan daerah harus dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah. Selain itu, pemanfaatannya juga digunakan benar-benar untuk pengeluaran pembangunan yang produktif sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Otonomi yang diberikan pada pemerintah daerah menuntun pemerintah daerah untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan daerahnya tanpa mengurangi harapan adanya grant (bantuan) dan sharing (bagian) dari pemerintah pusat serta dapat menggunakan dana publik dengan prioritas kepentingan serta aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan demikian
implementasi desentralisasi
fiskal
akan
berpengaruh
terhadap
perekonomian daerah. Kinerja perekonomian dan potensi keuangan daerah nyatanya tidak hanya dipengaruhi oleh desentralisasi fiskal saja, tetapi ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya. Dari kondisi yang ada, disertai dengan beberapa
permasalah riil mengenai pelaksanaan desentralisasi diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang ”Dampak Penerapan Desentralisasi Fiskal Terhadap Potensi Keuangan dan Perekonomian Daerah Kabupaten Bogor ”. Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : (1). Bagaimana dampak desentralisasi fiskal dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Bogor? (2). Bagaimana dampak desentralisasi fiskal dan faktor-faktor lainnya terhadap potensi keuangan daerah Kabupaten Bogor?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam perumusan masalah diatas, yaitu : (1). Mengkaji dampak penerapan desentralisasi fiskal dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Bogor. (2). Mengkaji dampak penerapan desentralisasi fiskal dan faktor-faktor lainnya terhadap potensi keuangan daerah Kabupaten Bogor.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masing-masing pihak sebagai berikut : (1).Bagi
peneliti
permasalahan pengetahuan.
sendiri,
penelitian
ini
yang ingin diketahui
menjadi dan
jawaban
atas
menjadi tambahan
(2). Bagi pemerintah daerah Kabupaten Bogor, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi tambahan dalam mengambil kebijakan menyangkut keuangan daerah serta kinerja ekonomi dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal di Kabupaten Bogor. (3). Bagi masyarakat, mahasiswa dan peneliti lain, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi, tambahan pengetahuan, dan sumber rujukan bagi penelitian terkait selanjutnya bagi peneliti yang berminat di keuangan daerah.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian (1). Penelitian ini memaparkan dampak desentralisasi fiskal yang hanya dilihat dari kondisi sebelum dan sesudah penerapan desentralisasi fiskal, yaitu melalui penggunaan variabel dummy. (2). Perekonomian daerah dalam penelitian ini diasumsikan dalam kondisi sistem ekonomi tertutup, tidak memasukkan pengaruh kegiatan ekspor impor. Pada kenyataannya dalam perekonomian regional, tenaga kerja, modal, barang, dan jasa bersifat dinamis antar wilayah. (3). Kinerja perekonomian dalam penelitian ini diperlihatkan oleh variabel konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah, sebagai komponen dari PDRB. (4). Potensi keuangan daerah dalam penelitian ini digambarkan sebagai komponen-komponen penerimaan daerah yang mempunyai peluang
untuk ditingakatkan kontribusinya terhadap APBD Kabupaten Bogor apabila faktor-faktor pendukungnya juga dioptimalkan. Komponenkomponen tersebut meliputi pajak, retribusi, laba perusahaan daerah, dana bagi hasil, dan dana transfer. (5). Dana transfer dalam penelitian ini meliputi dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK).Pada kenyataannya dana transfer juga terdiri atas dana bagi hasil, dana otonomi khusus dan dana penyesuaian. Dana bagi hasil dengan gabungan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dalam penelitian ini memiliki persamaan masing-masing.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori-teori 2.1.1. Konsep dan Pengertian Desentralisasi Desentralisasi (otonomi daerah) adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya dijelaskan bahwa daerah tersebut disebut daerah dengan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengurus kepentingan masyarakat di daerahnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI. Pengertian ini dijelaskan lagi dengan UU No 25 tahun 1999 yang berisi tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, desentralisasi (otonomi daerah) merupakan suatu masyarakat lokal yang mempunyai peran signifikan dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan erat dengan arah dan tujuan pembangunan masyarakat lokal itu sendiri. Pada hakekatnya pelaksanaan otonomi daerah merupakan penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah untuk mengelola potensi yang ada di daerah, yang diikuti dengan penyerahan personil, prasarana, pembiayaan, dan dokumen. Selain itu hubungan keuangan antara pusat dan daerah menyangkut masalah keadilan diwujudkan dengan alokasi dana bagi hasil, sedangkan pemerataan diimplementasikan dengan dana alokasi umum dan pembagian sumberdaya yang ada. Hubungan tersebut menyangkut pembagian kekuasaan dan pemerintahan. Hak untuk mengambil keputusan mengenai anggaran pemerintah merupakan unsur yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan. Elmi (2002)
menyatakan bahwa pada garis besarnya konsep desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga bagian besar, yaitu : desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal. Ketiganya saling berkaitan erat satu sama lain, dan semestinya dilaksanakan bersama-sama agar berbagai tujuan otonomi daerah seperti peningkatan kualitas layanan publik tidak terbengkalai. 2.1.2. Kebijakan Fiskal Menurut Jhingan (2000), kebijakan fiskal adalah penggunaan pajak, pinjaman masyarakat dan pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi dan pembangunan. Kebijakan fiskal ini merupakan sarana untuk menggalakkan pembangunan ekonomi yang bertujuan: (1) meningkatkan laju investasi, (2) mendorong investasi optimal secara sosial, (3) meningkatkan kesempatan kerja, (4) meningkatkan stabilitas ekonomi di tengah ketidakstabilan internasional, (5) menanggulangi inflasi, (6) meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional. Instrumen kebijakan fiskal adalah pajak, pengeluaran pemerintah, dan pembayaran transfer. Artinya, dalam melaksanakan kebijakan fiskal maka variabel-variabel tersebut bisa diubah-ubah besarnya sesuai dengan tujuan. Jika pemerintah ingin menciptakan stabilitas harga, maka kebijakan fiskal diusahakan kontraktif. Hal itu ditandai dengan penurunan pengeluaran pemerintah atau peningkatan pajak. Dengan demikian permintaan agregat di dalam perekonomian akan turun dan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga. Sebaliknya, jika pemerintah ingin meningkatkan tingkat lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran, maka kebijakan fiskal yang ditempuh adalah bersifat
ekspansif. Dimana pengeluaran pemerintah dinaikkan atau pajak diturunkan. Hal ini akan meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian sehingga terjadi ekspansi dalam perekonomian. 2.1.3. Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal berarti pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi baik secara administratif dan pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat (Elmi, 2003). Setidaknya terdapat empat agen yang berperan penting dalam desentralisasi fiskal, yaitu : pemerintah pusat, unit-unit administratif lokal, pemerintah daerah, dan penduduk setempat atau entitas politik. Dalam konteks ini, desentralisasi fiskal memiliki fungsifungsi sebagai berikut : (1) mengurangi peran dan tanggung jawab diantara pemerintah pada semua tingkat, (2) memperhitungkan bantuan atau transfer antar pemerintahan, (3) memperkuat sistem penerimaan daerah/lokal dan merumuskan jasa-jasa lokal, (4) memprivatisasi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), serta (5) menyediakan suatu jaringan pengaman bagi fungsi redistribusi. Oleh karena itu keberhasilan dari desentralisasi fiskal juga dapat dinilai dari sejauh mana fungsifungsi diatas tersebut telah dilaksanakan. Desentralisasi fiskal dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, dapat pula mendorong pertumbuhan melalui efisiensi alokasi sumberdaya pada level daerah. Wujud desentralisasi fiskal berupa : (1) pembagian peran dan tanggung jawab antar pemerintah, (2) transfer pembiayaan dari pemerintah pusat ke daerah, (3) penguatan sistem penerimaan dan sistem pelayanan publik pemerintah lokal, (4) privatisasi badan usaha milik
negara, yang terkadang merupakan tanggung jawab lokal, (5) penyediaan jaring pengaman (safety net), dan (6) ekspansi penerimaan lokal melalui pajak (Ebel,1999;Rondinelli,1997 dalam Yuliyati, 2002) 2.1.4. Manfaat Desentralisasi Fiskal Pentingnya desentralisasi fiskal menjadi wacana dua kelompok yang berbeda argumentasi. Pertama: desentralisasi fiskal itu penting karena dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas, dan peningkatan mobilisasi dana. Kelompok kedua : tak satupun dari manfaat tersebut yang akan berhasil dicapai oleh negara yang preferensi penduduknya hampir tidak mungkin diakomodir dalam anggaran pemerintah dan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah mendekati nihil. Dari perspektif ini, desentralisasi fiskal nampaknya cenderung meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah, dan mungkin bisa menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta ketidakstabilan makroekonomi (Prud’Homme, 1994 dalam Yuliyati, 2002). Beberapa dampak langsung terhadap pemerintah daerah seperti yang ditulis oleh Sinaga, et all (2005) adalah : (1). Bagi hasil dari pemerintah pusat makin besar seperti : Bagi hasil Sumber Daya Alam (BHSDA), Bagi Hasil Pajak (BHTX), DAU, dan DAK. (2). Kewenangan menarik pajak dan retribusi (3) Kebebasan menggunakan anggaran dasar dalam arti tanpa menunggu petunjuk pusat (4) Kewenangan menerbitkan perda dalam kepentingan pembangunan daerah. (5) Kewenangan melakukan pinjaman
2.1.5. Kerugian Desentralisasi Fiskal Menurut Kaho (2003) dalam Hermani (2007), ada beberapa kerugian yang bisa ditimbulkan akibat desentralisasi fiskal yaitu : (1) Karena besarnya organ-organ pemerintah maka struktur pemerintahan menjadi kompleks sehingga mempersulit koordinasi. (2) Keseimbangan dan keserasian antar kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu. (3) Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat menimbulkan apa yang disebut daerahisme. (4) Keputusan yang diambil dapat memakan waktu yang cukup lama. (5) Dalam menyelenggarakan desentralisasi diperlukan biaya yang lebih banyak. 2.1.6. Konsep Potensi Keuangan Pemerintah daerah dalam UU No 25 Tahun 1999 mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan kebijakan anggaran daerahnya. Potensi keuangan daerah dapat diartikan sebagai kekuatan yang ada di daerah untuk menghasilkan penerimaan. Komponen-komponen penerimaan daerah yang mempunyai peluang untuk ditingkatkan kontribusinya terhadap APBD Kabupaten Bogor apabila faktor-faktor pendukungnya juga dioptimalkan. Jadi, istilah potensi dalam penelitian ini erat dengan sumber-sumber penerimaan APBD yang memiliki peluang untuk dioptimalkan. Keberhasilan kinerja keuangan daerah dapat tercermin dari pos-pos penerimaan. Semakin besar porsi penerimaan daerah dari PAD, maka semakin kecil juga ketergantungan daerah terhadap APBN.
Kemudian kinerja keuangan yang efisien dapat dilihat dari rasio penerimaan terhadap pengeluaran, bila rasio penerimaan terhadap pengeluaran lebih besar dari tahun sebelumnya maka semakin efisien pengeluarannya. Sumber keuangan pemerintah kabupaten/kota sebelum berlakunya UU No 25 Tahun 1999 adalah ; i) sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, ii) pendapatan asli daerah (PAD), iii) bagi hasil pajak dan bukan pajak,
iv)
pemberian dari pemerintah atasnya yaitu berupa transfer dari pemerintah pusat meliputi subsidi daerah otonom dan bantuan serta bantuan pembangunan dari provinsi, dan v) pinjaman daerah. Sisa lebih perhitungan tahun lalu, PAD, dan bagi hasil pajak bukan pajak merupakan penerimaan pendapatan daerah sendiri sehingga keleluasaan penggunaan dana tersebut menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan transfer, bantuan pembangunan dari provinsi, dan pinjaman daerah merupakan penerimaan eksternal yang penggunaannya lebih banyak diatur oleh pemberi bantuan. Setelah berlakunya UU No 25 Tahun 1999, sumber penerimaan PAD tetap sedangkan penerimaan bagi hasil bertambah jenisnya yaitu bagi hasil sumber daya alam. Transfer yang semula berupa subsidi daerah otonom dan bantuan dilebur menjadi dana alokasi umum (DAU), selain itu juga terdapat dana alokasi khusus (DAK) yang merupakan specific grant diberikan kepada daerah dengan pengutamaan unttuk penyelenggaraan barang atau jasa publik skala nasional dan strategis. Berikut ini akan dijabarkan secara rinci bagian-bagian dari sumber keuangan daerah kabupaten atau kota.
a). Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan penerimaan dinas-dinas, laba bersih perusahaan daerah, dan penerimaan lain-lain. Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 disebutkan bahwa pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Beberapa variabel yang dapat dijadikan sebagai proxy dari basis pajak daerah adalah penjualan KWH listrik (pajak penerangan jalan), jumlah kamar hotel dan restoran (pajak hotel dan restoran), jumlah penonton bioskop (pajak hiburan), jumlah perusahaan (pajak reklame). Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Kemampuan membayar retribusi daerah atas konsumsi jasa publik berkaitan dengan pendapatan perkapita dan harga barang/jasa publik, sehingga dengan pendekatan tidak langsung kapasitas retribusi daerah mempunyai hubungan fungsional dengan biaya penyediaan jasa publik perkapita, PDRB perkapita, populasi dan konsumsi jasa publik seperti rekreasi, jumlah los/kios, dan lainnya. Laba perusahaan daerah adalah user charge yang dikenakan atas penyediaan jasa oleh perusahan daerah. Beberapa faktor yang bisa menjadi penentu laba perusahaan daerah adalah seperti PDRB perkapita, konsumsi jasa
publik yang dihasilkan oleh perusahaan daerah, populasi, dan faktor-faktor lain yang relevan seperti jumlah penjualan air minum (PDAM) dan suku bunga perbankan. Pendapatan asli daerah tidak seluruhnya memiliki kesamaan, terdapat pula sumber-sumber pendapatan lainnya, yaitu penerimaan lain-lain yang sah. Kelompok penerimaan lain-lain dalam pendapatan daerah Tingkat II mencakup berbagai penerimaan kecil-kecil, seperti hasil penjualan alat berat dan bahan jasa, penerimaan dari swasta, bunga simpanan giro dan bank serta penerimaan dari denda kontraktor. Namun walaupun demikian sumber penerimaan daerah sangat bergantung pada potensi daerah itu sendiri. b). Dana perimbangan atau transfer keuangan Transfer
keuangan
adalah
bentuk
perimbangan
keuangan
antara
pemerintah pusat dan daerah dalam suatu kebijakan pemerintah untuk membantu kinerja keuangan daerah mengatasi disparitas pembangunan. Transfer yang diberikan kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan yaitu mencakup pemberian dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, serta dana alokasi yang meliputi dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Selain itu bentuk dana transfer lainnya saat ini adalah dana otonomi khusus dan dana penyesuaian. Sumber bagi hasil pajak meliputi pajak bumi dan bangunan (PBBP), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB), pajak kendaraan bermotor (PKB), dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). PBB dan BPHTB merupakan bagi hasil pajak pusat, sedangkan PBBKB, PKB, dan BBNKB merupakan bagi hasil pajak
propinsi. Penerimaan bagi hasil bukan pajak terdiri dari bagi hasil pajak pusat (iuran hasil hutan =IHH) dan bagi hasil bukan pajak propinsi yang cukup banyak jenisnya tetapi sangat kecil jumlah penerimaannya. Dana alokasi yang diberikan sebelum desentralisasi dalam bentuk subsidi daerah otonom (SDO), dan instruksi presiden (Inpres). c). Pinjaman Daerah Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang
bersifat
meningkatkan
penerimaan
yang
dapat
digunakan
untuk
mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
2.1.7. Konsep Kinerja Perekonomian Kinerja perekonomian dalam penelitian ini diartikan sebagai gambaran bagus tidaknya perekonomian daerah yang terlihat dari variabel-variabel yang dapat mencerminkannya seperti variabel PDRB, indeks pembangunan manusia (IPM), dan gini ratio 2.1.8. Pendapatan Output Daerah Besarnya pendapatan daerah yang biasa disebut sebagai PDRB dapat diperoleh dengan menjumlahkan berbagai sektor pengeluaran yaitu dengan menjumlahkan seluruh komponen pengeluaran untuk konsumsi, pembentukan
modal (investasi), pengeluaran pemerintah,. Bentuk persamaannya dirumuskan sebagai berikut : Yi = Ci + Ii + Gi ………………………………………………………(2.1) dimana : Ci
: Pengeluaran untuk konsumsi di daerah i,
Ii
: Pengeluaran untuk investasi di daerah i,
Gi
: Pengeluaran pemerintah daerah i.
2.1.8.1. Teori Konsumsi Tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh daya beli yang dimiliki oleh rumah tangga, yaitu jumlah pendapatan yang siap untuk dibelanjakan (disposible income). Disposible income adalah pendapatan kotor dikurangi dengan pajak pendapatan. Yd = Y – Tax…………………………………………………………(2.2) dimana : Yd
: Pendapatan yang siap dibelanjakan (disposible income),
Y
: Pendapatan Nasional,
Tax
: Pajak.
Dalam menggunakan pendapatan ini, rumah tangga memiliki pilihan yaitu antara konsumsi saat ini atau menabung. Penentuan pilihan antara konsumsi dipengaruhi beberapa faktor antara lain tingkat suku bunga, nilai aset, ketidakpastian, dan lain-lain. Namun, dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang sederhana, dimana : C = a + b Yd……………………………………………………(2.3)
Dimana : C
: Nilai konsumsi
Yd
: Pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income)
a
: Autonomous consumption
2.1.8.2. Investasi Investasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan merupakan unsur yang paling penting dalam meningkatkan perekonomian. Investasi akan menambah jumlah (stock) dari kapital, tanpa investasi tidak ada ekspansi hal ini sesuai dengan pendapatan Jhingan (2000) menyatakan bahwa peran investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi adalah menciptakan pendapatan dan memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan modal. Selama investasi netto tetap berlangsung, maka pendapatan nyata dan output akan senantiasa membesar. Misalkan kenaikan rata-rata pendapatan : ΔY, kenaikan dalam investasi : ΔI dan kecenderungan menabung dengan α (=ΔS/ΔY), maka kenaikan itu akan sama dengan multiplier (1/α) kali kenaikan investasi. Persamaan tersebut sebagai berikut : ΔY = ΔI(1/α) atau ΔI(1/α) = Iσ..............................................................(2.4) dimana : ΔY
: Kenaikan rata-rata pendapatan,
ΔI
: Kenaikan Investasi,
α
: Kecenderungan menabung,
σ
: Potensi netto produktivitas rata-rata dari investasi (=ΔY/ΔI),
Iσ
: Jumlah Netto potensi kenaikan output perekonomian (efek sigma).
Menurut Norpin (1996) dalam Hermani (2007), ada beberapa faktor yang menyebabkan besar kecilnya suatu investasi, faktor-faktor tersebut adalah tingkat suku bunga, penyusutan, kebijakan perpajakan, dan perkiraan/peramalan tentang penjualan serta kebijakan ekonomi. Lebih lanjut Mankiw (2000) menyatakan bahwa fungsi investasi mengaitkan jumlah investasi pada tingkat bunga riil. Tingkat suku bunga riil adalah tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena pengaruh inflasi. Jika tingkat bunga nominal adalah 8 persen dan tingkat inflasi adalah 3 persen, maka tingkat bunga riil adalah 5 persen. 2.1.8.3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah Pengeluaran pemerintah merupakan belanja pemerintah untuk barang dan jasa. Komponen ini termasuk beberapa hal seperti pengeluaran pertahanan nasional, biaya pemeliharaan jalan oleh pemerintah negara bagian dan lokal, serta gaji pegawai pemerintah (Fischer, 2008).
2.2. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian telah dilakukan lebih jauh tentang keuangan daerah, serta dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan dan kinerja ekonomi daerah. Yuliati (2002) melakukan penelitian tentang Potensi Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Salah satu persamaan yang digunakan dalam analisis ini adalah penggunaan peubah bebas, seperti pendapatan perkapita, jumlah konsumsi listrik, dan dummy krisis ekonomi 1998. Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan model persamaan simultan
dan alat analisis SAS 6.0 menunjukkan bahwa kinerja ekonomi daerah lebih didorong oleh kecenderungan mengkonsumsi daripada investasi. Peningkatan perekonomian daerah akan meningkatkan pendapatan perkapita atau kapasitas pemajakan yang menggambarkan kemampuan penduduk dalam membayar pajak dan membeli jasa publik. Kebijakan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan mempengaruhi kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah, dan jika dibarengi dengan kebijakan peningkatan pengeluaran berdampak positif terhadap total penerimaan keuangan pemerintah daerah dan perekonomian. Selain itu juga ditemukan indikasi adanya inefisiensi dan inefektivitas alokasi anggaran akibat kurang optimalnya penerapan disiplin dan prioritas anggaran. Peluang untuk meningkatkan penerimaan daerah dipengaruhi oleh elastisitas pendapatan perkapita, kesesuaian basis pajak dengan basis ekonomi, elastisitas permintaan jasa publik, elastisitas harga publik, dan tingkat kebutuhan pengeluaran daerah. Penelitian Hasugian (2006) yaitu Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat menunjukan bahwa tingkat kemandirian daerah semakin rendah sesudah implementasi desentralisasi fiskal, hal ini terlihat dari kecenderungan pada umumnya menampakkan menurunnya rasio PAD terhadap
penerimaan.
Kontribusi DAU selama periode analisis (2001-2004) masih sangat tinggi, secara umum kontribusi DAU sangat tinggi dengan menyumbang rata-rata 60-90 persen dari penerimaan daerah. Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis memiliki tingkat kemandirian yang rendah, sedangkan Kota Bandung dan Kabupaten Bekasi tergolong mempunyai tingkat kemandirian yang tinggi. Kabupaten Bekasi
adalah wilayah dengan peningkatan PAD yang paling signifikan setelah penetapan dan pelaksanaan desentralisasi, yaitu sebesar 62 persen. Tetapi bagaimanapun juga, tingkat kemandirian di wilayah kabupaten-kota provinsi Jawa Barat masih tergolong rendah, karena kontribusi dana transfer yang masih tinggi. Wakuyo (2007) melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia dengan menggunakan metode estimasi two step least squares (2SLS). Hasil yang didapat menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya sumber daya alam daripada daerah bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam. Mekanisme transfer dana PKPD selama ini (UU No. 33 tahun 2000) lebih menguntungkan bagi daerah yang kaya sumber daya alam melalui mekanisme bagi hasil SDA. Alokasi dana bagi hasil SDA untuk investasi sektor kunci dalam perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Mekanisme DBHP lebih menguntungkan daerah kota yang merupakan pusat bisnis dan industri, karena basis pajak daerahnya lebih tinggi. Sedangkan daerah-daerah yang miskin SDA dan bukan pusat bisnis dan industri mengandalkan penerimaan daerahnya dari DAU dan DAK. Di samping itu desentralisasi fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah terutama antara daerah-daerah di Pulau Jawa dengan Luar Pulau Jawa dan Antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hermani (2007) meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kota Tegal dan Kabupaten Brebes. Hasil analisis menggunakan
persamaan simultan dan SAS 6.0 adalah kebijakan desentralisasi fiskal di kedua kota tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja fiskal daerah. Kebijakan peningkatan DAU, PAD, dan dana bagi hasil menunjukkan dampak yang besar terhadap peningkatan kinerja fiskal dan perekonomian daerah tersebut serta bisa mengurangi tingkat kemiskinan.
2.3. Kerangka Pemikiran Pelaksanaan otonomi daerah khususnya desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah Kabupaten Bogor untuk mengelola, mengatur, dan memanfaatkan keuangan daerahnya. Kenyataan inilah yang menjadi acuan dalam menyusun suatu kerangka pemikiran dalam penelitian analisis kinerja keuangan dan perekonomian daerah. Kinerja perekonomian Kabupaten Bogor dilihat dari besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dalam penelitian ini ditinjau dari nilai konsumsi rumah tangganya, investasi, dan pengeluaran pemerintah. Potensi keuangan daerah terlihat dari pajak, retribusi daerah, laba bersih perusahaan daerah, dan dana transfer dari pusat. Sumber-sumber pemasukan keuangan daerah ini membutuhkan suatu pengelolaan yang tepat dan efisien agar kinerja keuangannya juga baik dan dapat menyokong perekonomian daerah. Analisis dampak desentralisasi fiskal dan faktor- faktor lainnya terhadap potensi keuangan daerah dan kinerja ekonomi dilakukan dengan metode 2-SLS (Two Step Least Square) menggunakan alat bantu Eviews 4.1.
Sebelum Otonomi, Sistem Pemerintahan dan Manajemen Keuangan Yang Sentralistik Menjadikan Banyak Masalah
Penerapan UU No 22 dan No 25 Tahun 1999 khususnya tentang desentralisasi fiskal sejak tahun 2001 diharapkan membawa perubahan
Desentralisasi Fiskal diharapkan bisa memperbaiki kinerja keuangan , mengoptimalkan penerimaan potensi keuangan daerah dan memberikan dampak positif pada perekonomian
Periode 2003 hingga 2007 setelah desentralisasi, LPE Kabupaten Bogor tiap tahun meningkat, ada dominasi DAU dalam penerimaan daerah
Dampak Desentralisasi Fiskal dan faktor lainnya terhadap Potensi Keuangan dan Kinerja Ekonomi,
Kinerja Perekonomian (PDRB) : C, I, G
Potensi Keuangan Daerah : Komponen PAD, Bagi Hasil, Dana Transfer
Analisis ekonometrika : Model Persamaan Simultan (Metode 2SLS)
Analisis deskriptif kualitatif
Penarikan Kesimpulan dan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi permasalahan yang ada seputar kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah serta dampak desentralisasi fiskal
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis Penelitian Dari perumusan masalah dan tujuan penelitian yang pertama dapat dihipotesiskan bahwa : Penerapan desentralisasi fiskal diharapkan memberikan dampak positif pada kinerja perekonomian Kabupaten Bogor. Kinerja perekonomian dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yang terdiri atas oleh konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah. (1) Variabel pendapatan disposable, jumlah populasi, dan kebijakan desentralisasi fiskal diduga berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga, sedangkan suku bunga mempengaruhi konsumsi secara negatif. (2) Variabel PDRB, dan penerapan kebijakan desentralisasi fiskal diduga berpengaruh positif terhadap tingkat investasi daerah. Sedangkan variabel suku bunga rill berpengaruh negatif terhadap investasi daerah (3) Variabel PDRB, total penerimaan daerah, dan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi pemerintah. Variabel inflasi berpengaruh negatif terhadap pengeluaran konsumsi pemerintah. Penerapan desentralisasi fiskal juga diharapkan membawa perubahan yang positif pada potensi keuangan daerah. Potensi keuangan daerah bersumber dari pajak daerah, retribusi, laba bersih perusahaan daerah, dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, serta dana transfer.
(1) Variabel PDRB perkapita, jumlah kamar hotel, jumlah perusahaan, inflasi, dan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap tingkat penerimaan pajak daerah. (2) Variabel PDRB perkapita, jumlah pertumbuhan pengunjung tempat rekreasi, inflasi, dan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan retribusi daerah. (3) Variabel PDRB perkapita, jumlah konsumsi air minum, tingkat suku bunga, dan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan laba bersih perusahaan daerah. (4) Variabel PDRB perkapita,, jumlah kendaraan bermotor, inflasi, dan penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan bagi hasil pajak bukan pajak daerah. (5) Variabel total pengeluaran pemerintah, jumlah penduduk miskin, dan penerapan kebijakan fiskal membawa efek positif pada penerimaan transfer daerah, sedangkan pendapatan daerah sendiri akan bersifat substitutif jika memberikan pengaruh negatif dan bersifat stimulatif jika memberikan pengaruh positif pada transfer. Variabel PDRB diduga akan memberikan pengaruh yang negatif pada potensi penerimaan dana transfer.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series 1993 hingga 2007 yang mencakup periode sebelum dan sesudah kebijakan desentralisasi fiskal. Data yang akan digunakan berasal dari instansi terkait seperti Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Dispenda,
Dinas Perdagangan, Dinas
Pariwisata, Kantor Samsat UPP Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat wilayah II, Kantor Arsip, BAPPEDA Kabupaten Bogor, dan BPS Pusat.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menjadikan daerah Kabupaten Bogor sebagai unit analisis selama enam bulan yaitu dari bulan Februari hingga Juli 2009. Lokasi Kabupaten Bogor yang berada tidak jauh dengan Ibukota negara merupakan suatu potensi tersendiri bagi Kabupaten Bogor untuk memiliki kinerja perekonomian dan potensi keuangan daerah yang baik. Proses penelitian dimulai dari penelusuran sumber-sumber yang relevan, pengumpulan data, pengolahan data, hingga penyusunan skripsi.
3.3. Model Ekonometrika 3.3.1. Kerangka Model Desentralisasi Fiskal Model desentralisasi fiskal dibangun atas dasar kerangka teori ekonomi dan kajian empiris yang relevan yang diharapkan mampu untuk menunjukkan kinerja perekonomian dan keuangan secara sederhana dan jelas. Untuk menganalisis
hubungan antara kinerja ekonomi dan keuangan daerah maka digunakan model ekonometrik karena model ini lebih fleksibel dalam membangun hubungan antara peubah-peubahnya. Kelebihan dari model ekonometrik adalah dapat memasukkan persamaan-persamaan untuk mengestimasi perubahan peubah-peubah lain, model dapat dimodifikasi dan jika terdapat permasalahan yang tidak dapat diantisipasi maka persamaan baru dapat ditambahkan kedalam model inti. Analisis dengan menggunakan model ekonometrika ini diawali dengan spesifikasi model, identifikasi dan metode estimasi model, serta validasi model. Keterbatasan model ekonometrika dalam memecahkan permasalahan kebijakan adalah kesalahan pengukuran dan kesalahan spesifikasi. Kesalahan pengukuran disebabkan oleh penggunaan nilai parameter yang berdasarkan hasil pengamatan masa lalu dan juga karena adanya keterbatasan data yang tersedia, sehingga sering digunakan variabel pendekat (proxy) yang tentu saja memang tidak seakurat variabel yang sebenarnya. Kesalahan spesifikasi muncul dari kesalahpahaman terhadap teori ekonomi sehingga terjadi kesalahan dalam penyederhanaan model dan sebagai akibatnya model menjadi tidak spesifik. Model persamaan simultan sangat baik untuk mengestimasi variabel yang diduga saling mempengaruhi satu sama lain karena suatu ciri unik dari persamaan simultan adalah bahwa variabel tak bebas dalam satu persamaan mungkin muncul sebagai variabel yang menjelaskan dalam persamaan lain dalam sistem (Gujarati,2003).
3.3.2. Spesifikasi Model
Model merupakan simplifikasi dari dunia nyata, dimana setiap kegiatan dalam perekonomian yang akan dianalisis terangkum dalam model tersebut. Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model yang dimodifikasi dari penelitian terdahulu yaitu penelitian Yuliyati (2002). Model digunakan dengan variabel-variabel yang dirubah ke dalam bentuk logaritma natural (LN) agar dapat melihat hubungan antar variabel yang berbeda satuan dengan lebih teat, selain itu bisa digunakan untuk melihat elastisitasnya. Perumusan model ekonomi dan potensi keuangan pemerintah daerah di kabupaten yang diuji secara empiris dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (a). Kinerja Ekonomi (1). Persamaan Dugaan Konsumsi Rumah Tangga LN_Ct = a0 + a1 LN_INCOMt + a2 LN_POPt + a3INTt +a5D+ u1t…………(3.1) Parameter estimasi yang diharapkan : a1, a2, a4> 0 a3 < 0 (2). Persamaan Dugaan Investasi Daerah LN_It = b0 + b1 LN_PDRBt + b2 irt + b3D + u2t.............................................................(3.2) Parameter estimasi yang diharapkan : b1, b3 > 0 ; b2 < 0 (3). Persamaan Dugaan Pengeluaran Pemerintah LN_Gt = c0 + c1 LN_PDRBt + c2INFt + c3 LN_LTRt + c4D+ u3t...................(3.3) Parameter estimasi yang diharapkan : c1, c3, c4 > 0 ; c2< 0
(b). Potensi Keuangan Daerah (1). Persamaan Dugan Pajak Daerah LN_TAXt = d0 + d1 LN_PDRBCt + d2 LN_HTLt + d3INFt + d4 LN_PRSt + d5 D + u4t....................................................................................................................(3.4) Parameter estimasi yang diharapkan : d1, d2, d3, d4 , d5 > 0 (2). Persamaan Dugaan Retribusi Daerah LN_NTAXt = e0 + e1 LN_PDRBCt + e2 INFt + e3 LN_RECt + e4 D + u5t……………………………………………………………………………..…….…..(3.5) Parameter estimasi yang diharapkan : e1, e2, e3, e4, e5 > 0 (3). Persamaan Dugaan Laba Bersih Perusahaan Daerah LN_PRFTt = f0 + f1 LN_PDRBCt + f2 LN_WTRt + f3 INTt + f4 D + u6t…………………………………………………………………………….……..…..(3.6) Parameter estimasi yang diharapkan : f1, f2, f3,f4 > 0 (4). Persamaan Dugaan Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak LN_SHRt = g0 + g1 LN_PDRBCt + g2 LN_VEHt + g3 INFt + g4 D + u7t.....................................................................................................................................(3.7) Parameter estimasi yang diharapkan : g1, g2, g3, g4 > 0 (5). Persamaan Dugaan Transfer LN_TRSFt = h0 + h1 LN_ PDRBt + h2 LN_ LOSHRt + h3 LN_ LTEt + h4 LN_POVt +h5 D + u8t................................................................................(3.8) Parameter estimasi yang diharapkan : h1 < 0; ,h3,h4,h5 > 0 Dengan asumsi subtitutif, hipotesisnya : h2 < 0 Dengan asumsi subtitutif, hipotesisnya : h2 > 0
(c). Persamaan-persamaan Identitas (1). Persamaan Pendapatan Asli Daerah LN_LORt = LN (TAXt + NTAXt + PRFTt + OTHt)...........................(3.9) (2).Persamaan Total Penerimaan Daerah LN_LTRt = LN(LORt + SHRt + TRSFt +LTROTHERSt)................(3.10) (3). Persamaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) LN_PDRBt = LN (Ct + It + Gt).............................................................(3.11) (4). Pendapatan Disposable LN_INCOMt =LN ( PDRBt-TAXt)......................................................(3.12) (5). Pendapatan Per Kapita LN_PDRBCt = LN (PDRBt/ POPt).......................................................(3.13) Keterangan variabel dalam model : C
: Konsumsi rumah tangga (juta rupiah)
D
: Dummy desentralisasi fiskal
G
: Pengeluaran konsumsi pemerintah (juta rupiah)
HTL
: Jumlah kamar hotel (unit)
I
: Investasi Daerah (juta rupiah)
INCOM
: Pendapatan disposable (juta rupiah)
INF
: Inflasi (persen)
IPM
: Indeks Pembangunan Manusia
Ir
: Suku bunga riil (persen)
LOR
: Pedapatan asli daerah (juta rupiah)
LOSHR
: Pendapatan daerah sendiri , yaitu LOR+SHR (juta rupiah)
LTE
: Pengeluaran APBD (juta rupiah)
LTR
: Penerimaan APBD (juta rupiah)
LTR Others
: Penerimaan APBD lain-lain (juta rupiah)
NTAX
: Retribusi (juta rupiah)
OTHERS
: Penerimaan PAD lain-lain (juta rupiah)
PDRB
: Produk Domestik Regional Bruto (juta rupiah)
PDRBC
: PDRB perkapita (juta rupiah/orang)
POP
: Populasi ( juta orang)
POV
: Jumlah Penduduk Miskin (juta orang)
PRFT
: Laba Bersih perusahaan daerah (juta rupiah)
PRS
: Jumlah Perusahaan (unit)
PYS
: Sisa lebih perhitungan tahun lalu (juta rupiah)
REC
: Jumlah pengunjung tempat wisata (orang)
SHR
: Dana bagi hasil (juta rupiah)
TAX
: Pajak (juta rupiah)
TRSF
: Dana transfer, yaitu DAU dan DAK (juta rupiah)
VEH
: Jumlah kendaraan bermotor (unit)
WTR
: Jumlah konsumsi air minum ( Juta M3)
3.3.3. Identifikasi Model dan Metode Estimasi Model Identifikasi model adalah dasar untuk mespesifiikasi model dan menentukan metode estimasi model yang akan digunakan. Identifikasi model menggunakan order condition dan rank condition. menurut order condition adalah :
Rumusan identifikasi model struktural
(K-M) ≥ (G-1)...............................................................(3.14) dimana : K
: Total Peubah dalam model (peubah endogen dan peubah predetermined)
M
: Jumlah peubah endogen dan eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi
G
: Total persamaan dalam model (jumlah peubah endogen dalam model ) Jika suatu persamaan menunjukkan kondisi (K-M) > (G-1), maka
persamaan
teridentifikasi
berlebih
(over
identified),
apabila
persamaan
menunjukkan kondisi (K-M)=(G-1) maka persamaan teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan bila suatu persamaan menunjukkan kondisi(K-M)<(G-1) maka persamaan tidak teridentifikasi (unidentified). Hasil identifikasi dari suatu persamaan struktural harus exactly identified atau over identified agar dapat diduga parameternya. Tabel 3.1. Identifikasi Model Persamaan Simultan Persamaan Konsumsi Investasi Pengeluaran Konsumsi Pemerintah Pajak daerah Retribusi Daerah Laba Bersih Perusahaan Daerah
K-M > G-1 27-5 > 13-1 27-4 > 13-1 27-5 > 13-1
Hasil Identifikasi over identified over identified over identified
27 -5 > 13-1 27 -6 > 13-1 27-4 > 13-1
over identified over identified over identified
Bagi Hasil Pajak Bukan pajak Transfer
27-6 > 13-1 27-6 > 13-1
over identified over identified
Apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi exactly identified , maka metode pendugaan yang tepat adalah Indirect Least Squre (ILS). Sedangkan apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi over identified, agar diperoleh
nilai penduga yang unik, maka metode yang digunakan adalah Two Stage Least Square (2SLS). Dalam penelitian ini setelah didentifikasi, tampak bahwa model persamaan simultan berada dalam kondisi over identified sehingga dianalisis dengan metode Two Stage Least Square (2SLS). Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : (1).Lakukan pendugaan koefisien bentuk tereduksi untuk semua peubah endogen yang berada disebelah kanan dengan menggunakan metode OLS. (2).Menduga koefisien strukturalnya dengan menggunakan dugaan peubah endogen yang diperoleh pada langkah pertama. Dalam 2SLS, peubah endogen diganti dengan nilai dugaannya sendiri dengan memperhitungkan seluruh peubah-peubah eksogen, sehingga metode ini mengasumsikan bahwa peubah-peubah dalam model telah diketahui secara lengkap. Metode 2SLS dapat juga diterapkan pada kasus exactly identified. Jika metode OLS dipaksakan untuk menduga sistem persamaan simultan, maka akan menghasilkan nilai penduga yang bias dan tidak konsisten. 3.3.4. Pengujian Model (a). Uji Kesesuaian Model (1).Uji Koefisien Determinasi (R2) Untuk menjelaskan presentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebas yang digunakan pengujian R2. Nilai R2 berkisar dari nol sampai satu ( 0 ≤ R2 ≥ 1 ). Jika nilainya 0 maka tidak ada hubungan antara peubah bebas dengan tidak bebas. Namun jika nilainya
mendekati 1, maka terdapat hubungan yang erat antara peubah bebas dengan peubah tidak bebas. (2).P-Value Untuk melihat pengaruh masing-masing peubah bebas terhadap peubah tidak bebas digunakan nilai P-Value. Tingkat kesalahan yang ditolelir adalah 15 persen (α=0,15). Jika P-Value lebih kecil dari nilai α , maka peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebasnya. Namun jika nilai P-Value lebih besar dari nilai α ( P-Value > α ) , maka peubah bebas tidak berpengaruh terhadap peubah tidak bebas. (b). Pengujian Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi sosial yang terjadi antara anggota serangkaian observasi yang diurut menurut waktu (time series) atau ruang (cross section). Autokorelasi mempunyai potensi untuk menimbulkan masalah yang serius, sehingga menyebabkan varians residual yang diperoleh lebih rendah, sehingga nilai R2 terlalu tinggi dan pengujian hipotesis t statistik dan F statistik menjadi tidak meyakinkan. Uji yang sering digunakan untuk mendeteksi apakah pada data yang diamati terjadi autokorelasi atau tidak adalah uji Durbin-Watson. Uji ini juga dapat digunakan untuk data dengan jumlah pengamatan yang kecil. Hipotesis yang digunakan dalam uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut : H0
: tidak terdapat autokorelasi
H1
: terdapat autokorelasi
Nilai statistk Durbin-Watson dapat dihitung sebagai berikut : DW
et et 1 2 21 ˆ 2 et
............................................. (3.15) daerah keputusan statistik untuk uji DW adalah : (1). 4-dL < DW< 4, artinya tolak H0; ada autokorelasi negatif (2). 4-dU < DW< 4-dL, artinya tidak terdeteksi autokorelasi, coba uji yang lain (3). dU < DW< 4-dU, artinya terima H0; tidak terdapat autokorelasi (4). dL < DW< dU , artinya tidak terdeteksi autokorelasi, coba uji yang lain (5). 0 < DW< dL, artinya tolak H0; ada autokorelasi positif
3.4. Analisis Deskriptif Potensi Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Metode deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data hingga dapat memberikan informasi yang berguna. Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana. Proses analisis deskriptif dalam penelitian ini menggunakan alat analisis bantuan berupa software yaitu Microsoft Excel 2000 yang digunakan untuk menghitung nilai derajat desentralisaasi fiskal dan rasio-rasio lainnya. Analisis deskriptif yang dilakukan adalah untuk mengetahui potensi pendapatan daerah dan tingkat kemampuan keuangan daerah dengan menggunakan data time series 1993 hingga 2007 sehingga dapat diketahui besaran dan persentase perkembangan kontribusinya.
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Dahulu, pada awalnya Kabupaten Bogor menjadi satu dengan Kotamadya Bogor. Pada tahun 1975, pemerintah pusat menginstruksikan agar Kabupaten Bogor memiliki pusat pemerintahan sendiri. Selanjutnya pada tahun 1982 melalui peraturan pemerintah pusat No 6 Tahun 1982 menyetujui usulan DPRD tingkat II menyangkut hal ditetapkannya Kecamatan Cibinong menjadi ibukota Kabupaten Bogor.
4.2. Geografi dan Pemerintahan Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota Republik Indonesia dan secara geografis mempunyai luas sekitar 2.301,95 km2 terletak antara 6,190 – 6,470 lintang selatan dan 10601’ – 1070103’ bujur timur. Wilayah ini berbatasan dengan : Sebelah utara
: Kota Depok,
Sebelah Barat
: Kabupaten Lebak,
Sebelah Barat Daya
: Kabupaten Tanggerang,
Sebelah Timur
: Kabupaten Purwakarta,
Sebelah Timur Laut
: Kabupaten Bekasi,
Sebelah selatan
: Kabupaten Sukabumi,
Sebelah Tenggara
: Kabupaten Cianjur.
Berdasarkan data hasil PODES08, Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 428 desa atau kelurahan, 3.658 RW dan 14.400 RT. Dari jumlah tersebut, mayoritas desa yaitu sebanyak 235 desa berada pada ketinggian sekitar kurang dari 500 m terhadap permukaan laut, sedangkan 144 desa berada diantara 500-700 meter dari permukaan laut dan sisanya 49 desa berada pada kisaran 500 meter dari permukaan laut. Hampir sebagian besar desa pada Kabupaten Bogor sudah terklasifikasi sebagai desa Swakarya yaitu sebanyak 351 desa, lainnya sebanyak 77 desa merupakan desa swasembada, dan sudah tidak ada lagi yang tergolong dalam kategori desa Swadaya. Berdasarkan klasifikasi daerah yang dilihat dari aspek potensi lapangan usaha, kepadatan penduduk, dan sosial terdapat kategori desa perkotaan sebanyak 96 desa, dan desa pedesaan sebanyak 332 desa. Kabupaten Bogor dibagi dalam perwilayahan pembangunan yang merupakan dasar penyusunan agenda pembangunan dan rencana strategis setiap bidang dan program pembangunan dalam rangka penyeimbangan pembangunan antar wilayah. Maksud dan tujuan perwilayahan pembangunan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan berkesinambungan. Dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah, pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional serta kebijakan pengembangan dan penyebaran penduduk secara seimbang sesuai dengan daya dukung lingkungan, maka wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi 3 (tiga)
wilayah pembangunan, yaitu: wilayah pembangunan barat, tengah dan timur (RPJP, 2005-2025). Pembangunan wilayah barat meliputi 13 (tiga belas) kecamatan, yaitu Kecamatan Jasinga, Parung Panjang, Tenjo, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Tenjolaya, Cibungbulang, Ciampea, Pamijahan dan Kecamatan Rumpin, dengan luas wilayah sekitar 128.750 Ha. Pembangunan wilayah tengah meliputi 20 (dua puluh) kecamatan, yaitu Kecamatan
Gunung
Sindur,
Parung,
Ciseeng,
Kemang,
Rancabungur,
Bojonggede, Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas dan kecamatan Tamansari, dengan luas wilayah sekitar 87.552 Ha. Pembangunan wilayah timur meliputi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Putri, Cileungsi, Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Tanjungsari dan Kecamatan Cariu.
4.3. Penduduk dan Ketenagakerjaan Salah satu aset pembangunan yang paling dominan yang dimiliki banyak negara berkembang pada umumnya adalah jumlah penduduk dan angkatan kerja yang demikian besar jumlahnya. Berdasarkan hasil Registrasi dari Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, dan Keluarga Berencana, pada tahun 2007 tercatat bahwa penduduk Kabupaten Bogor yaitu 4.251.838 jiwa dan jumlah ini relatif besar diantara kabupaten atau kota di Jawa Barat. Dari jumlah tersebut, penduduk
laki-lakinya berjumlah 2.185,809 jiwa dan perempuan 2.066.029 jiwa dengan rasio jenis kelamin 106. Besarnya jumlah penduduk akan membawa implikasi tertentu, terutama terhadap persebaran dan densitasnya (kepadatan). Salah satu upaya untuk mengurangi tingginya
densitas
penduduk dan
tingkat
perebaran maka
dilakukanlah program transmigrasi oleh Pemerintah Kabupaten Bogor baik melalui program transmigrasi umum, PIR, dan Non PIR. Pada tahun 2006 telah diberangkatkan sebanyak kurang lebih 115 kepala keluarga. Dari segi struktur penduduk, Kabupaten Bogor memliki penduduk umur muda sehingga berakibat pada semakin besarnya jumlah angkatan kerja. Pastisipasi angkatan kerja merupakan perbandingan antara jumlah Angkatan Kerja dengan Penduduk berumur 15 tahun lebih. Tahun 2007 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Kabupaten Bogor untuk laki-laki yaitu sebesar 84,39 persen, perempuan 35,75 persen, dan secara total 60,87 persen. Adapun jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 1.024.311 orang untuk laki-laki. Sedangkan jumlah pengangguran sebanyak 138.753 laki-laki dan 92.943 perempuan dari 231.696 untuk total Kabupaten Bogor.
4.4. Sosial Selama berlangsung kegiatan pembangunan telah ditekankan bahwa titik beratnya adalah pada bidang ekonomi walaupun pembangunan sosial tetap berlangsung. Telah disadari bahwa peningkatan sumber daya manusia menjadi sangat perlu untuk meningkatkan kualitas manusia dalam menghadapi tantangan
kehidupan di masa yang akan datang. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Bogor merupakan salah satu wujud nyata dalam bidang pendidikan. Pada tahun 2007, jumlah SD negeri ada 1.558 dengan jumlah guru 8.184 orang. SD Swasta berjumlah 110 dengan jumlah guru 10.136 orang. Adapun SLTP Negeri berjumlah 133 dengan jumlah guru 2.533 orang. SLTP Swasta ada 294 dengan jumlah guru 3.646 orang. Sedangkan untuk jenjang SLTA ada sebanyak 32 SLTA Negeri dengan jumlah guru 823 orang, dan SLTA Swasta berjumlah 104 dengan jumlah guru 1.292 orang. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat diupayakan dengan tersedianya fasilitas kesehatan yang terjangkau jaraknya dan baiaya yang relatif murah bagi kebanyakan penduduk. Pada tahun 2007, di Kabupaten Bogor telah tersedia tiga rumah sakit pemerintah, 5 rumah sakit khusus, dan 4 rumah sakit swasta. Sedangkan jumlah puskesmas sebanyak 101 puskesmas dan 80 puskesmas pembantu. Fasilitas tersebut ditunjang dengan jumlah dokter yang cukup memadai, yaitu ada sebanyak 206 dokter umum, 66 dokter gigi dan 474 dokter spesialis. Adapu dokter praktek di Kabupaten Bogor jumlahnya sangat banyak yaitu sebesar 1.025 dokter umum, 185 dokter gigi, dan 196 dokter spesialis. Usaha membina kesejahteraan keluarga melalui perencanan kelahiran merupakan upaya dari program keluarga berencana, upaya tersebut dicapai dengan pembentukkan klinik-klinik KB untuk pelayanan masyarakat. Banyaknya klinik KB tahun 2007 ada 143 klinik yang tersebar di 40 kecamatan. Penyediaan tempat ibadah bagi kalangan umat beragama merupakan salah satu media komunikasi antara hamba-Nya dengan Sang Pencipta dalam
meningkatkan keimanan seseorang. Pada tahun 2007 terdapat sebanyak 2.762 mesjid, 517 mushala, 29 gereja, 4 pura, dan 11 vihara. Tahun 2007 terdapat 3.144.724 penduduk yang beragama islam, kristen katolik sebanyak 24.446, kristen protestan sebanyak 21.665, hindu sebanyak 11.932, dan budha sebanyak 21.209 orang.
4.5. Ketenagakerjaan dan Pengangguran Jumlah penduduk dalam usia kerja (10-64 tahun) pada tahun 2007 berjumlah 3.334.930 orang, terdiri dari penduduk usia kerja (10-14 tahun) sebanyak 463.550 orang dan penduduk usia kerja (15-64 tahun) sebanyak 2.871.380 orang. Dari penduduk usia kerja 10-14 tahun, terdapat sebanyak 6.489 orang atau 1,4 persen, yang telah bekerja atau disebut sebagai pekerja anak. Sementara itu, pada penduduk usia kerja 15-64 tahun yang telah bekerja sebanyak 1.214.942 orang atau 42,31 persen, yang tidak atau belum bekerja, seperti mahasiswa atau pelajar, ibu rumah tangga dan lainnya sebanyak 346.055 orang (12,05 persen) dan yang sedang mencari kerja atau pengangguran terbuka berjumlah sebanyak 459.167 orang (15,99 persen). Sedang sisanya (29,65 persen) merupakan pengangguran terselubung. Pada tahun 2006, jumlah pengangguran terbuka di Kabupaten Bogor masih relatif tinggi, yaitu mencapai 193.244 orang atau proporsinya sebesar 11,73 persen dari total angkatan kerja sebanyak 1.646.811 orang (Suseda Jabar 2006). Jika dirinci berdasarkan jenis kelamin, maka tingkat pengangguran terbuka untuk laki-laki sebanyak 113.364 orang (6,88 persen) dan perempuan sebanyak 79.880
orang (4,85 persen). Bila dibandingkan dengan tahun 2005 (204.858 orang), angka tersebut sedikit mengalami penurunan. Sedangkan pada tahun 2007 mengalami kenaikan menjadi 459.167 orang atau 15,99 persen. Tingginya jumlah pengangguran ini disebabkan oleh rendahnya peluang dan kesempatan kerja yang bisa dimasuki oleh tenaga kerja yang ada di wilayah Kabupaten Bogor. Tingkat pengangguran terbuka di atas, bilamana dilihat berdasarkan latar belakang pendidikannya, maka komposisinya terdiri dari tamat SD atau sederajat sebanyak 282.137 orang (9,82 persen), tamat SLTP atau sederajat sebanyak 12.209 orang (0.43 persen), SLTA atau sederajat sebanyak 14.431 orang (0,5 persen), Diploma I atau II sebanyak 26.130 orang (0,91 persen), Diploma III atau Sarjana Muda sebanyak 10.698 orang (0,37 persen), Diploma IV atau Sarjana (S1) sebanyak 450 orang (0,02persen). Alasan-alasan yang dikemukakan berkenaan pengangguran terbuka tersebut diantaranya adalah sedang mencari kerja atau melamar, sementara belum atau tidak bekerja, merasa tidak akan memperoleh pekerjaan, merasa sudah cukup dan tidak ingin mencari kerja dan alasan lainnya
V. PEMBAHASAN 5.1. Dampak Desentralisasi Fiskal dan Faktor-faktor Lainnya terhadap Kinerja Perekonomian Kabupaten Bogor. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu daerah merupakan suatu alat indikator makro yang dapat menggambarkan derajat kesejahteraan masyarakat dan memperlihatkan pergeseran aktifitas perekonomian masyarakat. Dalam kegiatan perekonomian berbagai upaya dilakukan dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat melalui perbaikan dan pembenahan. Berikut adalah perubahan besar PDRB sebelum dan setelah penerapan desentralisasi fiskal. Tabel 5.1. PDRB Kabupaten Bogor 1993-2007 Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Juta Rupiah) TAHUN PDRB 1993 20647076,46 1994 22699395,86 1995 24651544,90 1996 27535374,54 1997 28857073,52 1998 17660528,38 1999 17943096,83 2000 18337845,96 2001 19061073,43 2002 19904551,70 2003 21077829,33 2004 23671429,21 2005 25056365,22 2006 26546187,63 2007 28150616,07 Sumber : BPS Kabupaten Bogor (1994-2007), diolah. Berdasarkan tabel diatas, tampak bahwa pada tahun 1998, besar PDRB Kabupaten Bogor mengalami penurunan yang drastis akibat terkena dampak dari
krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia saat itu. Kemudian setelah penerapan desentralisasi fiskal, yaitu mulai tahun 2001 PDRB-nya terus mengalami peningkatan begitu juga dengan pertumbuhan ekonominya yang meningkat dari 3,94 persen pada tahun 2003 menjadi 6,04 persen pada tahun 2007. Hal ini bisa menjadi suatu pertanda adanya perbaikan kondisi perekonomian Kabupaten Bogor pada masa setelah penerapan desentralisasi fiskal. Untuk melihat sejauh mana desentralisasi fiskal dan faktor lainnya mempengaruhi kinerja perekonomian Kabupaten Bogor, maka bisa dilihat dari dampaknya terhadap komponen-komponen PDRB berdasarkan pengeluaran yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah. 5.1.1. Konsumsi Rumah Tangga Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan komponen yang paling dominan nilainya dalam PDRB. Dalam pendugaan model konsumsi rumah tangga didasarkan pada hipotesis bahwa tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi positif oleh pendapatan disposable dan populasi, sedangkan tingkat suku bunga berhubungan negatif. Tabel 5.2. Persamaan Dugaan Konsumsi Rumah Tangga Variabel Parameter Intersep Suku bunga LN Populasi LN Pendapatan disposable Dummy desentralisasi fiskal R2 = 0,8738 F-Hitung = 25,3878( α = 0,00003) Ket : *) nyata pada taraf 5 persen.
7,820398 -3,58E-05 0,548937 0,499173 0,079924
Peluang (α) 0,9956 0,9956 0,0285* 0,0002* 0,0082 2 R -adjusted = 0,8394 DW = 0,9857
Berdasarkan hasil pengolahan pada tabel diatas, tampak bahwa populasi berpengaruh nyata pada taraf 5 persen secara positif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga. Hal ini mengartikan bahwa peningkatan populasi di Kabupaten Bogor sebesar 1 persen akan meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar 0,55 persen
(ceteris
paribus).
Koefisien
populasi
tampaknya
paling
elastis
dibandingkan koefisien dugaan lainnya. Populasi yang semakin banyak tampaknya memang akan meningkatkan konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga sehingga bisa diartikan kedua variabel tersebut cenderung memiliki pola hubungan yang positif, seperti yang juga ditampilkan dalam gambar scatter plot berikut ini : 4400000 4200000 4000000
POPT
3800000 3600000 3400000 3200000 3000000 2800000 1.0E+07
1.2E+07
1.4E+07
1.6E+07
CT
Sumber : Bappeda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.1. Pola Hubungan Konsumsi Rumah Tangga (CT) dengan Populasi (POPT)
Suku bunga berpengaruh negatif sesuai hipotesis namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Ketidaknyataan ini dapat disebabkan oleh kecenderungan masyarakat Kabupaten Bogor untuk melakukan konsumsi tetap tinggi walaupun
suku bunga meningkat Pola hubungan antara kedua variabel tersebut tampak pada gambar scatter plot berikut ini . 24 22
INTT
20 18 16 14 12 1.0E+07
1.2E+07
1.4E+07
1.6E+07
CT
Sumber : Bappeda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.2. Pola Hubungan Konsumsi Rumah Tangga (CT) dengan Suku Bunga (INTT) Pendapatan disposable mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga secara positif sesuai hipotesis dan nyata pada taraf 5 persen. Hal ini berarti peningkatan pendapatan disposable sebesar 1 persen akan meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar 0,50 persen. Pendapatan disposable perkapita merupakan pendapatan masyarakat yang siap untuk dibelanjakan karena telah memperhitungkan total pungutan pajak. Pola hubungan antara kedua variabel tersebut tampak pada gambar scatter plot berikut ini : 8.0 7.5
INCOMT
7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 1.0E+07
1.2E+07
1.4E+07 CT
Sumber : Bappeda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah.
1.6E+07
Gambar 5.3. Pola Hubungan Konsumsi Rumah Tangga (CT) dengan Pendapatan Disposable (INCOMT). Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal yang ditunjukkan oleh variabel dummy desentralisasi diduga secara nyata bepengaruh positif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga pada taraf 5 persen. Hal ini berarti penerapan desentralisasi fiskal membawa perubahan pada pola konsumsi rumah tangga yang sepertinya cenderung meningkat.
Sumber : BPS Kabupaten Bogor 1998-2007 (diolah). Gambar 5.4. Pola Konsumsi Rumah Tangga Kabupaten Bogor (Juta Rupiah) Berdasarkan
gambar
diatas,
tampak
bahwa
setelah
penerapan
desentralisasi fiskal konsumsi rumah tangga mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan nilai yang cukup besar. Pada tahun 2007, konsumsi rumah tangga berubah sebesar 39,80 persen dari tahun 2001. Fluktuasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebelum dan setelah desentralisasi fiskal ditunjukkan oleh gambar berikut :
Sumber : BPS Kabupaten Bogor 1993-2007 (diolah) Gambar 5.5. Pola Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga (persen) Rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebelum penerapan desentralisasi fiskal yaitu sebesar -0,35 persen. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan yang besar dan negatif pada tahun 1998. Setelah diterapkannya desentralisasi fiskal, rata-rata pertumbuhannya sebesar 5,09 persen. 5.1.2. Persamaan Dugaan Investasi Berdasarkan hipotesis tingkat investasi diduga dipengaruhi oleh PDRB yang berhubungan positif, dan variabel suku bunga yang berpengaruh negatif. Dalam pendugaan ini digunakan suku bunga riil (suku bunga dikurangi inflasi) untuk mendapatkan persamaan yang lebih baik. Tabel 5.3. Persamaan Dugaan Investasi Daerah Variabel Intersep LN PDRB Suku bunga rill Dummy desentralisasi fiskal R2 = 0,6297 F-Hitung = 6,2361( α = 0,0099) Ket : *) nyata pada taraf 5 persen.
Parameter Dugaan
Peluang (α)
12,52747 0,0675 0,156237 0,6774 -0,005647 0,2458 0,499557 0,0016* R2-adjusted = 0,5287 DW = 1,7204
Berdasarkan tabel diatas, tampak bahwa variabel PDRB diduga berpengaruh secara positif sesuai hipotesis namun tidak nyata pada taraf 5 persen. PDRB tampaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap investasi yang dapat disebabkan oleh PDRB yang didominasi oleh pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga. Pola hubungan antara investasi dan PDRB juga didukung oleh scatter plot berikut ini: 3.0E+07 2.8E+07
PDRBT
2.6E+07 2.4E+07 2.2E+07 2.0E+07 1.8E+07 1.6E+07 2000000
4000000
6000000
8000000
IT
Sumber : Bappeda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.6. Pola Hubungan antara Investasi (IT) dengan PDRB Suku bunga riil memberikan efek negatif yang tidak nyata pada taraf 5 persen. Pola hubungan antara investasi dan suku bunga riil yang cenderung negatif ini juga terlihat pada scatter plot berikut :
20 10 0
IRT
-10 -20 -30 -40 -50 2000000
4000000
6000000
8000000
IT
Sumber : BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.7. Pola Hubungan Investasi (IT) dengan Suku Bunga Riil (IRT)
Suku bunga riil tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat investasi daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa keputusan untuk berinvestasi di Kabupaten Bogor tidak terlalu dipengaruhi oleh suku bunga riil, tetapi lebih memperhatikan kondisi infrastuktur, kemudahan dan biaya perizinan, keamanan, serta faktor lainnya. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001 diduga memberikan pengaruh yang positif dan nyata pada taraf 5 persen. Hal ini bisa diartikan bahwa tingkat investasi daerah mengalami peningkatan setelah adanya desentralisasi fiskal. Hal ini bisa disebabkan oleh argumentasi bahwa pemerintah daerah Kabupaten Bogor tampaknya memperbaiki infrastruktur, dan memberikan kemudahan untuk perizinan seperti membatasa pungutan retribusi perizinan tertentu sehingga investor lebih tertarik untuk melakukan investasi. Fluktuasi investasi selama beberapa tahun akan digambarkan oleh grafik berikut :
Sumber : BPS Kabupaten Bogor 1993-2007 (diolah) Gambar 5.8. Pola Perubahan Investasi Kabupaten Bogor 1993-2007 (Juta Rupiah) Berdasarkan
gambar
diatas,
tampak
bahwa
investasi
mengalami
peningkatan setiap tahunnya pada masa setelah diterapkannya desentralisasi fiskal. Pertumbuhan pada tahun 2007 dari tahun 2001 adalah 42,89 persen. Hal ini bisa menjadi tanda bahwa investasi di Kabupaten Bogor saat ini sudah cukup baik dan lebih berkembang.
5.1.3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah Dugaan persamaan pengeluaran pemerintah dalam penelitian ini didasarkan pada hipotesis dimana tingkat pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh PDRB, total penerimaan pemerintah daerah, inflasi, dan dummy desentralisasi fiskal. Tabel berikut ini menyajikan hasil dugaan untuk persamaan pengeluaran pemerintah :
Tabel 5.4.Dugaan Pengeluaran Konsumsi Pemerintah Peluang (α) Variabel Parameter Dugaan Intersep -5,337889 0,3247 LN PDRB 0,442266 0,0497* LN Total penerimaan pemerintah 0,836017 0,0025* Inflasi 0,005634 0,0746 Dummy Desentralisasi Fiskal 0,350500 0,0032* R2 = 0,8822 R2-adjusted = 0,8351 F-Hitung = 18,732( α =0,000122) DW = 2,1508 Ket : *) nyata pada taraf 5 persen. Berdasarkan tabel diatas, tampak bahwa PDRB diduga memberikan pengaruh yang positif dan nyata pada taraf 5 persen. Artinya adalah setiap kenaikan PDRB sebesar 1 persen maka akan meningkatkan pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 0,44 persen (ceteris paribus). Semakin besar PDRB, maka bagian untuk konsumsi pemerintah akan semakin besar. Pola hubungan yang cenderung positif ini juga ditunjukkan oleh gambar scatter plot berikut : 3.0E+07 2.8E+07
PDRBT
2.6E+07 2.4E+07 2.2E+07 2.0E+07 1.8E+07 1.6E+07 400000
800000
1200000
1600000
GT
Sumber : Bappeda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.9. Pola Hubungan Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (GT) dengan PDRB Inflasi dihipotesiskan memiliki hubungan yang negatif terhadap pengeluaran konsumsi pemerintah. Dari hasil persamaan dugaan di atas, tampak bahwa inflasi diduga berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi pemerintah namun
tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal ini bisa diargumentasikan bahwa inflasi membuat nilai pengeluaran konsumsi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah lebih besar, jadi diduga dengan adanya inflasi bukan berarti pemerintah secara langsung mengurangi pengeluaran konsumsinya. Pola hubungan kedua variabel tersebut digambarkan dalam scatter plot berikut ini : 70 60
INFT
50 40 30 20 10 0 400000
800000
1200000
1600000
GT
Sumber : Bappeda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.10. Pola Hubungan Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (GT) dengan Inflasi (INFT). Total penerimaan pemerintah diduga memberikan dampak positif yang nyata pada taraf 5 persen terhadap pengeluaran konsumsi pemerintah. Artinya adalah apabila total penerimaan pemerintah keuangan Kabupaten Bogor meningkat sebesar 1 persen maka akan meningkatkan pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 0,84 persen satuan (ceteris paribus). Tampaknya pengeluaran konsumsi pemerintah memang didorong oleh total penerimaan yang didapatkan. Hal ini mencerminkan bahwa keadaan pengeluaran pemerintah di Kabupaten Bogor sesuai untuk mendukung teori ekonomi baik dari sisi penawaran maupun sisi permintaan. Dari sisi penawaran, hasil persamaan dugaan pengeluaran
pemerintah mendukung hukum Say yang menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah didorong oleh ketersediaan penerimaan. Dari sisi permintaan, persamaan dugaan pengeluaran pemerintah ini mendukung hukum Wagner yang mnenyatakan bahwa semakin meningkatnya pendapatan, maka permintaan terhadap pemerintah juga semakin meningkat terutama disebabkan oleh kebutuhan teknologi industrialisasi. Pola hubungan antara kedua
variabel yang diduga
cenderung
berhubungan positif tersebut juga dapat digambarkan sebagai berikut : 1100000 1000000
LTRT
900000 800000 700000 600000 500000 400000 400000
800000
1200000
1600000
GT
Sumber : BPS dan Bappeda Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.11. Pola Hubungan Pengeluaran Konsumsi Pemerintah(GT) dengan Total Penerimaan Pemerintah (LTRT). Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal diduga mempengaruhi total pengeluaran konsumsi pemerintah secara positif dan nyata pada taraf 5 persen. Dari parameter dugaan, tampak bahwa dummy desentralisasi fiskal memiliki nilai parameter yang terbesar. Hal ini bisa diartikan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang dominan terhadap pengeluaran konsumsi
pemerintah. Pola perubahan variabel tersebut selama beberapa tahun adalah sebagai berikut :
Sumber : BPS Kabupaten Bogor 1993-2007 (diolah). Gambar 5.12. Pola Perubahan Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 1993-2007 (Juta Rupiah) Berdasarkan gambar diatas, tampak bahwa setelah desentralisasi fiskal tahun 2001, pengeluaran konsumsi pemerintah mengalami peningkatan yang cukup besar setiap tahunnya. Besar pertumbuhan pada tahun 2007 dari tahun 2001 adalah 56,16 persen. Hal ini semakin memperkuat alasan bahwa desentralisasi fiskal diduga memberikan pengaruh positif pada pengeluaran konsumsi pemerintah.
5.2.
Dampak Desentralisasi Fiskal dan Faktor-faktor Lainnya terhadap Potensi Keuangan Daerah Potensi keuangan daerah merupakan ukuran seberapa besar penerimaan
keuangan yang didapatkan oleh pemerintah daerah baik itu berupa pendapatan
dari daerah sendiri ataupun dana sumbangan dari pemerintah pusat. Penerimaan pemerintah daerah merupakan realisasi penerimaan pemerintah dari berbagai sumber pendapatan yang dapat digali oleh pemerintah daerah dan sah menurut undang-undang. Sumber penerimaan pemerintah daerah antara lain pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lainnya yang sah. Komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan daerah, dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil dan dana sumbangan atau transfer dari pusat. Tabel 5.5. Penerimaan Daerah Kabupaten Bogor 1993-2007 (Juta Rupiah) Tahun Total Penerimaan 1993 434813.29 1994 578979.24 1995 538820.02 1996 570265.55 1997 628858.69 1998 531968.54 1999 624595.88 2000 599139.28 2001 664565.09 2002 837768.03 2003 736580.77 2004 765028.67 2005 713378.99 2006 800501.40 2007 902001.00 Sumber :Statistik Keuangan Daerah, Kabupaten Bogor Dalam Angka (19932007),diolah. Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa sebelum penerapan desentralisasi fiskal, penerimaan pemerintah Kabupaten Bogor mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak tahun 1993 hingga tahun 2000, namun sempat mengalami penurunan di tahun 1998 akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat itu. Setelah diterapkannya desentralisasi fiskal tampak bahwa penerimaan daerah
melebihi penerimaan sebelum desentralisasi fiskal. Hal ini bisa disebabkan adanya peningkatan dominasi komponen dana perimbangan terutama dana alokasi umum yang dominasinya mencapai mencapai lebih dari 50 persen. Berikut ini adalah grafik persentase kontribusi PAD dan penerimaan Non PAD terhadap penerimaan total :
100 80 60 PAD
40
Non PAD
20 0
Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.13. Persentase Kontribusi PAD dan Non PAD Terhadap Total Penerimaan Keuangan Kabupaten Bogor 1993-2007 Berdasarkan gambar di atas, tampak bahwa baik sebelum maupun setelah diterapkannya desentralisasi fiskal, kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah ternyata masih rendah dan total penerimaan daerah masih didominasi oleh dana non PAD terutama bagian dana transfer yang berupa dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat, sehingga dapat diartikan bahwa Kabupaten Bogor belum bisa mengoptimalkan sumber daya daerahnya sendiri untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya. Selain itu tampak juga bahwa pendapatan asli daerah
setelah penerapan desentralisasi fiskal ternyata lebih kecil kontribusinya terhadap penerimaan total jika dibandingkan dengan masa sebelum desentralisasi. Untuk melihat sejauh mana kemampuan suatu daerah, dapat digunakan deskripsi derajat desentralisasi fiskal. Derajat desentralisasi fiskal memaparkan tingkat kemampuan suatu daerah dengan melihat rasio PAD dan bagi hasil terhadap total penerimaan daerah. Berikut adalah gambar yang menunjukkan pola perubahan rasio PAD dan bagi hasil terhadap total penerimaan selama periode sebelum dan setelah penerapan desentralisasi fiskal : 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
RPAD RBHBP
Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.14. Rasio PAD dan Dana Bagi Hasil Terhadap Total Penerimaan Sebelum dan Setelah Desentralisasi Fiskal Berdasarkan gambar di atas, tampak bahwa rasio PAD dan dana bagi hasil terhadap total penerimaan secara keseluruhan lebih rendah nilainya pada saat setelah penerapan desentralisasi fiskal. Adanya dominasi dana transfer dalam bentuk dana alokasi umum yang mengiringi peningkatan total penerimaan tampaknya dapat menjadi salah satu alasan atas kenyataan tersebut. Jadi secara ringkas, dapat diartikan bahwa sebelum desentralisasi fiskal pemerintah daerah
Kabupaten Bogor tampaknya lebih mampu menggali sumber dayanya sendiri untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya. Kemampuan PAD dan dana bagi hasil untuk membiayai kebutuhan pengeluaran daerahnya sendiri dapat dilihat sebagai ukuran kemandirian keuangan suatu daerah. Artinya adalah sejauh mana penerimaan yang berasal dari daerahnya sendiri dapat memenuhi kebutuhan daerahnya. Berikut adalah gambar yang menunjukkan pola perubahan rasio pendapatan daerah sendiri (penjumlahan PAD dan dana bagi hasil) terhadap total pengeluaran :
Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.15. Rasio Pendapatan Daerah Sendiri Terhadap Total Belanja Kabupaten Bogor Periode 1993-2007 Jika dilihat dari gambar di atas, tampak bahwa rasio pendapatan daerah sendiri terhadap total pengeluaran atau belanja mengalami fluktuasi sepanjang tahun 1993 hingga 2007. Sebelum desentralisasi fiskal, rata-ratanya adalah 0,38. Artinya rata-rata kontribusi pendapatan daerah sendiri terhadap total belanja sebesar 38 persen. Setelah penerapan desentralisasi fiskal, rata-ratanya adalah 0,30 yang berarti besar share pendapatan daerah sendiri dalam membiayai total belanja hanya 30 persen dari total keseluruhan.
5.2.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah. bagian laba usaha perusahaan milik daerah, dan pendapatan asli daerah yang sah lainnya Sumber PAD Kabupaten Bogor didominasi oleh pajak dan retribusi daerah seperti terlihat pada tabel berikut ini Tabel 5.6. Komposisi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (Juta Rupiah) Tahun Pajak Retribusi Laba Bersih Lain-lain 1993 23430,03 81545,44 453,68 18591,13 1994 33529,26 99335,49 572,76 14944,60 1995 31691,56 97585,68 1001,26 26992,67 14976,12 1996 48603,48 122916,97 5919,07 1997 50703,62 110434,71 5020,50 13005,23 19857,96 1998 54713,27 44203,42 3477,60 1999 66081,19 47366,78 912,12 16056,42 2000 70131,14 46460,59 2213,64 3837,86 13506,38 2001 48922,39 31242,48 1891,69 2002 55853,85 32499,61 2089,12 18311,27 13963,27 2003 58616,97 35587,99 2212,94 2004 70438,55 43912,06 2786,45 11122,44 9134,65 2005 70122,76 48291,59 3320,22 2006 71130,16 47927,27 4076,62 13236,02 2007 78310,79 51177,29 6687,10 11170,81 Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Berdasarkan tabel diatas, tampak bahwa sepanjang tahun 1993 hingga 2007 pendapatan pajak daerah dan retribusi mendominasi dibandingkan komponen lainnya. Pada tenggang waktu 1993 hingga 1997 sebelum penerapan desentralisasi fiskal, kontribusi retribusi daerah lebih dominan dibandingkan kontribusi pajak daerah. Pada masa itu, kontribusi retribusi berkisar diantara 18,9 persen hingga 28,3 persen, sedangkan kontribusi retribusi sebesar 61,6 persen hingga 66,9 persen. Setelah tahun-tahun tersebut, pajak daerah lebih besar kontribusinya dibandingkan dengan retribusi daerah termasuk pada saat setelah
diterapkannya desentralisasi fiskal. Untuk menduga bagaimana dampak penerapan desentralisasi fiskal dan faktor-faktor lainnya terhadap potensi keuangan daerah dari sisi PAD maka dilakukan analisis data dengan hasil pengolahan seperti penjabaran selanjutnya. 5.2.1.1. Persamaan Dugaan Pajak Daerah Pendugaan persamaan pajak daerah didasarkan pada hipotesis bahwa pajak daerah dipengaruhi secara positif oleh pendapatan perkapita, basis pajak daerah, inflasi, dan dummy desentralisasi fiskal. Kabupaten Bogor merupakan daerah yang juga berpotensi sebagai tempat wisata dimana terdapat daerah Ciawi, Megamendung, dan sekitarnya yang berada di wilayah Puncak yang merupakan tempat wisata. Hal ini menyebakan penarikan satu basis pajak daerah yaitu jumlah kamar hotel sebagai peubah penjelas. Selain tu juga digunakan jumlah perusahaan untuk pajak reklame. Tabel 5.7. Persamaan Dugaan Pajak Daerah Kabupaten Bogor Peluang (α) Variabel Parameter Dugaan Intersep -12,88629 0,073 LN Pendapatan Perkapita 1,180481 0,0314* LN Jumlah kamar hotel 2,358235 0,0003* LN Jumlah perusahaan 0,278148 0,1194 Inflasi 0,003291 0,3002 Dummy desentralisasi fiskal -0,116377 0,4163 2 2 R = 0, 8799 R -adjusted = 0,8131 F-Hitung = 13,2854 (α = 0,0006) DW = 1,7038 Ket : *) nyata pada taraf 5 persen. Pendapatan
perkapita
diduga
berpengaruh
secara
positif
terhadap
penerimaan pajak daerah dan nyata pada taraf 5 persen. Elastisitasnya sebesar 1,18, artinya apabila pendapatan perkapita meningkat sebesar 1 persen maka akan meningkatkan penerimaan pajak daerah sebesar 1,18 persen (ceteris paribus).
Semakin tingginya pendapatan perkapita masyarakat maka kemampuan untuk mengkonsumsi jasa publik juga semakin meningkat sehingga akan berakhir pada peningkatan
penerimaan
pajak
daerah.
Dugaan
pendapatan
perkapita
memperlihatkan nilai yang terbesar sehingga bisa diartikan pendapatan perkapita memberikan pengaruh yang dominan terhadap pajak daerah. Berikut ini adalah scatter plot yang menggambarkan pola hubungan antara pajak daerah dan pendapatan perkapita: 6.8
PDRBCT
6.4
6.0
5.6
5.2
4.8 20000
40000
60000
80000
TAXT
Sumber : Dispenda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.16. Pola Hubungan antara Pajak Daerah (TAXT) dan Pendapatan Perkapita (PDRBCT) Berdasarkan gambar diatas, tampak bahwa pada saat pendapatan perkapita meningkat, pajak daerah juga meningkat. Walaupun sempat ada beberapa tahun dimana pendapatan perkapita meningkat namun pajak daerah mengalami penurunan. Secara umum pola hubungan antara keduanya cenderung ke arah positif seperti juga ditunjukkan pada hasil dugaan parameter dalam pengolahan model.
Jumlah kamar hotel merupakan proxy dari pajak hotel. Dari hasil pengolahan data, maka jumlah kamar hotel mempengaruhi pendapatan pajak daerah secara positif dan nyata pada taraf 5 persen. Elastisitasnya sebesar 2,36 yang berarti apabila terjadi kenaikan jumlah kamar hotel sebesar 1 persen maka akan meningkatkan penerimaan pajak daerah sebesar 2,36 persen (ceteris paribus). Pola hubungan antara kedua variabel tersebut juga digambarkan dalam scatter plot berikut : 5200
4800
HTLT
4400
4000
3600
3200 20000
40000
60000
80000
TAXT
Sumber : Dispenda dan Dinas Pariwisata Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.17. Pola Hubungan antara Pajak Daerah (TAXT) dan Jumlah Kamar Hotel (HTLT) Berdasarkan gambar diatas, tampak bahwa peningkatan pada jumlah kamar hotel juga akan meningkatkan jumlah pajak yang diterima. Pada tahun 2002 dan 2003, jumlah kamar hotel mengalami penurunan namun jumlah penerimaan pajak tetap meningkat. Hal ini bisa disebabkan oleh kondisi dimana pada saat itu komponen utama pada pajak daerah yaitu pajak penerangan jalan dan pajak bahan galian golongan C diduga mengalami peningkatan sehingga penurunan pada pajak
hotel tidak secara langsung membuat penerimaan pajak menurun.
Secara
keseluruhan, pola hubungan keduanya memang cenderung ke arah positif. Selama tahun 2003, pajak hotel memberikan sumbangan terhadap total pajak sebesar 5732,560 juta rupiah atau sekitar 7,2 persen, dan di tahun anggaran 2007, pajak hotel berkontribusi sebesar 7,6 persen dari total pendapatan pajak daerah. Jumlah perusahaan diduga berpengaruh positif namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal ini menandakan bahwa pajak yang dihasilkan dari jumlah perusahaan yaitu pajak reklame memiliki kontribusi yang kecil terhadap total pajak daerah Kabupaten Bogor. Pola hubungan kedua variabel tersebut dapat juga digambarkan dalam scatter plot berikut ini: 3600 3200 2800
PRST
2400 2000 1600 1200 800 400 20000
40000
60000
80000
TAXT
Sumber : Dispenda dan Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5. 18. Pola Hubungan Pajak (TAXT) dengan Jumlah Perusahaan (PRST) Inflasi diduga memberikan pengaruh yang positif namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal ini berarti bahwa inflasi tidak terlalu berpengaruh terhadap penerimaan pajak daerah karena pemberi kontribusi terbesar adalah pajak
penerangan jalan yang tidak terlalu memperhitungkan inflasi. Alasannya adalah, penerangan jalan atau listrik merupakan bagian konsumsi publik yang pokok, sehingga walaupun terjadi inflasi tampaknya tidak mengurangi penurunan penerimaan pajak penerangan jalan secara signifikan. Selain itu, walaupun terjadi inflasi, pajak adalah kewajiban sehingga harus tetap dibayar. Pola hubungan kedua variabel tersebut dapat juga digambarkan dalam scatter plot berikut ini : 70 60
INFT
50 40 30 20 10 0 20000
40000
60000
80000
TAXT
Sumber : Dispenda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.19. Pola Hubungan antara Pajak Daerah (TAXT) dan Inflasi (INFT) Berdasarkan gambar diatas, tampak bahwa selama beberapa tahun inflasi mengalami peningkatan namun pajak daerah mengalami penurunan. Tetapi, ada kondisi dimana pada saat inflasi meningkat, pajak juga meningkat. Fluktuasi data ini membuat pola hubungan kedua variabel tersebut sepertinya sulit untuk diinterpretasikan. Namun, secara umum pola hubungan antara pajak dan inflasi cenderung ke arah yang positif. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal yang diwakili oleh variabel dummy desentralisasi dihipotesiskan memberikan pengaruh yang positif terhadap
penerimaan pajak daerah. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang negatif namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Ketidaknyataan ini bisa mengartikan bahwa penerapan desentralisasi fiskal tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah. Berikut ini adalah perubahan penerimaan pajak daerah sebelum maupun setelah penerapan desentralisasi fiskal :
Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.20. Pola Perubahan Pajak Daerah Kabupaten Bogor 1993-2007 (Juta Rupiah) Berdasarkan gambar di atas, tampak bahwa pajak daerah mengalami fluktuasi yang bervariasi selama periode tersebut. Pada tahun 2001, pajak daerah mengalami penurunan yang cukup besar namun kembali meningkat di tahun 2002 dan seterusnya hingga tahun 2007. Peningkatan yang terjadi setelah penerapan desentrallisasi fiskal tampaknya bukan disebabkan oleh kebijakan tersebut namun oleh peningkatan komponen-komponen pajak daerah. Berikut adalah komposisi penerimaan pajak daerah selama periode 2003 hingga 2007.
Tabel 5.8. Komposisi Penerimaan Pajak Daerah 2003-2007 (Juta Rupiah) No
Jenis Pajak
2003
2004
2005
2006
2007
1
Pajak Hotel
5.732,56
6.423,19
7.524,66
9.486,58
10.759,87
2
Pajak Restoran
5.534,17
6.616,04
8.106,41
8.566,74
9.903,01
3
Pajak Hiburan
2.296,93
2.725,33
2.974,90
3.150,48
3.894,78
4
Pajak Reklame
2.644,28
3.739,75
6.018,25
6.324,18
7.798,55
5
Pajak Penerangan Jalan Pajak Galian Gol.C Pajak Parkir
41.452,12
46.019,36
52.829,23
61.351,70
65.174,85
21.574,21
25.439,97
29.014,52
30.683,67
42.950,97
165,20
248,76
340,88
407,77
507,29
59,31
41,59
47,61
50,28
51,02
6 7 8
Pajak Sarang Walet
Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Menurut Realisasi APBD Tahun Anggaran 2003 hingga 2007, pajak yang memberikan kontribusi terbesar adalah pajak penerangan jalan dan pajak pengambilan bahan galian golongan C. Pada tahun anggaran 2003, pajak penerangan jalan berkontribusi sebesar 41452,127 juta rupiah sedangkan pajak pengambilan bahan galian golongan C berkontribusi sebesar 21574,217 juta rupiah. Kedua komponen utama tersebut setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan hingga tahun 2007. Dalam realisasi APBD Tahun Anggaran 2007, pajak penerangan jalan tetap memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar 65174,858 juta rupiah, dan pajak pengambilan bahan galian golongan C tetap berada di peringkat kedua dengan total pendapatan sebesar 42950,977 juta rupiah. Selain itu, komponen pajak lainnya seperti pajak hotel, restoran, reklame, pajak parkir, dan sarang
burung walet juga mengalami peningkatan setiap tahunnya selama masa desentralisasi fiskal. Selain itu, pengaruh pendapatan perkapita yang dominan juga menjadi salah satu penyebab nilai pajak daerah yang terus meningkat pada masa desentralisasi fiskal. Kesemua itulah yang diduga memberikan efek peningkatan pada total penerimaan pajak daerah. Jika dilihat dari pertumbuhannya maka setelah penerapan desentralisasi fiskal, rata-rata pertumbuhannya lebih rendah yaitu sebesar 2,9 persen daripada rata-rata pertumbuhan sebelum penerapan desentralisasi fiskal yaitu sebesar 18,6 persen. Jika dikaitkan dengan kondisi kinerja perekonomian Kabupaten Bogor yang mengalami peningkatan setelah diterapkannya desentralisasi fiskal, tampaknya pemerintah Kabupaten Bogor berusaha untuk membatasi pungutan pajaknya terutama setelah desentralisasi fiskal untuk memacu investasi, namun peran dominan pendapatan perkapita dan peningkatan komponen-komponen pajak daerah setiap tahunnya membuat nilai total pajak daerah tetap meningkat. 5.2.1.2 Persamaan Dugaan Retribusi Daerah Dugaan persamaan retribusi daerah didasarkan pada hipotesis bahwa penerimaan retribusi daerah diduga dipengaruhi oleh pendapatan perkapita, konsumsi jasa publik (rekreasi), inflasi, dummy desentralisasi yang memberikan pengaruh positif. Dalam hal ini, pendapatan perkapita menggambarkan kemampuan membayar masyarakat. Potensi retribusi yang cukup besar di Kabupaten Bogor adalah dari jasa pelayanan kesehatan (baik oleh Rumah Sakit Umum maupun Puskesmas). Karena adanya keterbatasan data maka basis retribusi daerah yang dipakai dalam pemodelan ini adalah jumlah pengunjung tempat rekreasi. Inflasi merupakan
proxy faktor ekonomi eksternal sedangkan peubah dummy digunakan untuk membedakan kondisi sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal yang mungkin dapat mempengaruhi penerimaan retribusi daerah. Tabel 5.9. Persamaan Dugaan Retribusi Daerah Kabupaten Bogor Variabel Parameter Peluang (α) Dugaan Intersep 7,112523 0,0003 Pendapatan Perkapita 2,462944 0,0088* Inflasi -0,010075 0,1693 Pertumbuhan Jumlah Pengunjung tempat 0,000954 0,5313 wisata Dummy desentralisasi fiskal -0,769823 0,0008* R2 = 0,7977 R2-adjusted = 0,7167 F-Hitung = 8,8299( α =< 0,0017) DW = 0,7796 Ket : *) nyata pada taraf 5 persen. Pendapatan perkapita diduga memberikan pengaruh yang positif dan nyata pada taraf 5 persen kepada pendapatan retribusi daerah Kabupaten Bogor. Nilai elastisitasnya sebesar 2,46 persen. Artinya apabila terjadi peningkatan pendapatan perkapita masyarakat sebesar 1 persen maka penerimaan retribusi daerah akan meningkat sebesar 2,46 persen (ceteris paribus). Pendapatan perkapita menggambarkan tingkat kemampuan masyarakat, sehingga apabila pendapatan perkapita semakin besar maka kemampuan konsumsi jasa publik juga akan semakin besar dan retribusi daerah akan mengalami peningkatan. Pola hubungan antara retribusi daerah dan pendapatan perkapita yang cenderung kearah positif juga dapat terlihat pada scatter plot berikut ini :
6.8
PDRBCT
6.4
6.0
5.6
5.2
4.8 0
40000
80000
120000
160000
NTAXT
Sumber: Dispenda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.21. Pola Hubungan antara Retribusi Daerah (NTAXT) dan PDRB Perkapita (PDRBCT) Inflasi diduga memberikan pengaruh yang negatif dan nyata pada taraf 5 persen. Hal ini mengartikan bahwa inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap retribusi daerah. Terjadinya inflasi akan mendorong msyarakan untuk menurunkan daya belinya terhadap barang dan jasa publik sehingga penerimaan retribusi juga menurun. Pola hubungan antara retribusi daerah dan inflasi yang cenderung berhubungan negatif dan nyata secara statistik juga digambarkan dalam scatter plot berikut ini :
70 60
INFT
50 40 30 20 10 0 0
40000
80000
120000
160000
NTAXT
Sumber : Dispenda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.22. Pola Hubungan antara Retribusi Daerah (NTAXT) dan Inflasi (INFT) Variabel jumlah wisatawan jika dimasukkan kedalam persamaan retribusi akan menghasilkan persamaan yang kurang baik sehingga digunakan variabel pertumbuhan jumlah wisatawan. Pertumbuhan jumlah pengunjung tempat wisata memberikan pengaruh yang positif sesuai hipotesis namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Komponen retribusi daerah yang paling besar kontribusinya adalah retribusi jasa pelayanan rumah sakit dan retribusi izin IMB. Jadi, pada saat pertumbuhan jumlah wisatawan yang menjadi proxy retribusi tempat rekreasi meningkat belum tentu akan membuat penerimaan retribusi total meningkat juga. Pola hubungan antar kedua variabel tersebut secara grafis dapat digambarkan seperti dibawah ini :
250 200
GRECT
150 100 50 0 -50 0
40000
80000
120000
160000
NTAXT
Sumber : Dispenda dan Dinas Pariwisata Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.23. Pola Hubungan antara Retribusi Daerah (NTAXT) dengan Pertumbuhan Jumlah Wisatawan (GRECT) Penerapan desentralisasi fiskal diharapkan akan memberikan pengaruh positif terhadap penerimaan retribusi daerah. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan bahwa dummy desentralisasi memberikan pengaruh yang negatif dan nyata pada taraf 5 persen. Berikut ini adalah pola perubahan penerimaan retribusi daerah pada saat sebelum dan setelah diterapkannya desentralisasi fiskal :
Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.24 . Pola Perubahan Retribusi Daerah Kabupaten Bogor 1993-2007 (Juta Rupiah)
Berdasarkan gambar di atas, tampak bahwa penerimaan retribusi daerah mengalami fluktuasi sepanjang tahun 1993 hingga 2007. Sebelum desentralisasi fiskal retribusi daerah berada diatas angka 80 juta rupiah hingga mengalami penurunan drastis pada tahun 1998 akibat pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada saat itu. Pada tahun 2001, retribusi daerah kembali menurun dan setelahnya mengalami peningkatan lagi hingga tahun 2007. Namun, penerimaan retribusi itu tidak pernah mencapai angka retribusi daerah sebelum tahun 1998. Hal ini yang mendukung hasil dugaan bahwa desentralisasi fiskal menurunkan retribusi daerah. Pada kenyataannya, peningkatan retribusi daerah yang terlalu besar juga dikhawatirkan akan meningkatkan biaya ekonomi sehingga tidak kondusif untuk pengembangan iklim usaha dan investasi, sehingga pada akhirnya dapat menurunkan kinerja ekonomi. Dalam realisasi APBD Tahun Anggaran 2006, retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan retribusi pelayanan kesehatan RSUD Cibinong merupakan sumber retribusi yang paling besar. Nilai penerimaan retribusi IMB adalah sebesar 30186, 038 juta rupiah dan retribusi pelayanan kesehatan RSUD Cibinong sebesar 17414.085 juta rupiah. Jadi peningkatan setiap tahunnya yang tampak pada masa desentralisasi fiskal bisa diakibatkan dukungan dari kedua komponen utama tersebut. Jika dikaitkan dengan kinerja perekonomian yang semakin baik setelah desentralisasi fiskal, tampaknya juga didukung oleh pembatasan retribusi. Jenis pungutan retribusi izin usaha dan perizinan lain yang dibatasi bisa memacu investasi. Selain itu, penurunan retribusi juga meningkatkan konsumsi rumah
tangga terhadap jasa publik. Jadi pada akhirnya penurunan retribusi juga berkontribusi pada peningkatan kinerja perekonomian Kabupaten Bogor. 5.2.1.3. Persamaan Dugaan Laba Bersih Perusahaan Daerah Laba perusahaan daerah yang diterima merupakan bagian dari laba bersih perusahaan. Perusahaan daerah yang ada terdiri dari PDAM dan perbankan daerah. Laba perusahaan yang bersumber dari PDAM merupakan keuntungan bersih yang diperoleh dari penjualan air minum. Dugaan persamaan laba bersih perusahaan daerah Kabupaten Bogor diduga dipengaruhi oleh pendapatan perkapita, konsumsi jasa publik perusahaan daerah, populasi, dan tingkat suku bunga secara positif. Variabel pendapatan perkapita mencerminkan kemampuan membayar, penjualan (konsumsi) air minum sebagai proxy konsumsi jasa publik. Tabel 5.10.Persamaan Dugaan Laba Bersih Perusahaan Daerah Kabupaten Bogor Peluang (α) Variabel Parameter Dugaan Intersep 2,39261 0,7968 LN Pendapatan Perkapita 10,26125 0,0012* LN Jumlah Konsumsi Air Minum -0,951454 0,2294 Suku bunga 0,165038 0,0236* Dummy desentralisasi fiskal 0,241916 0,3797 2 2 R = 0,7929 R -adjusted = 0,7101 F-Hitung = 9,5727( α =< 0,001890) DW = 2,4406 Ket : *) nyata pada taraf 5 persen. Pendapatan perkapita mempengaruhi penerimaan laba bersih perusahaan daerah secara nyata dan positif pada taraf 5 persen. Nilai elastisitas dari pendapatan perkapita sebesar 10,26. Hal ini mengartikan apabila terjadi peningkatan
pendapatan
perkapita
masyarakat
sebesar
1
persen
akan
meningkatkan penerimaan laba bersih perusahaan daerah sebesar 10,26 persen
(ceteris paribus). Pola hubungan kedua variabel tersebut yang cenderung positif juga dapat dilihat pada scatter plot berikut ini : 6.8
6.4
PDRBCT
6.0
5.6
5.2
4.8 0
2000
4000
6000
8000
PRFTT
Sumber : Dispenda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.25. Pola Hubungan antara Laba Bersih (PRFTT) dengan Pendapatan Perkapita (PDRBCT) Dugaan pendapatan perkapita memiliki nilai elastisitas yang paling besar sehingga bisa diartikan bahwa variabel tersebut memiliki pengaruh yang dominan terhadap penerimaan laba bersih perusahaan daerah. Pendapatan perkapita yang besar akan mendorong masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan perusahaan daerah sehingga pendapatan yang diterima oleh peusahaan tersebut juga meningkat. Jumlah konsumsi air minum diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan laba bersih perusahaan daerah namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal tersebut bisa disebabkan karena pelayanan air bersih yang dilakukan oleh PDAM di Kabupaten Bogor ternyata hanya 15 persen, dan peningkatan cakupan sarana air bersih yang dilakukan oleh unsur pemerintah hanya 1 persen hingga 2 persen pertahun. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan PDAM belum
maksimal untuk melayani kepentingan publik. Pola hubungan antara kedua variabel tersebut tergambarkan pada scatter plot berikut ini : 1.6E+07
WTRT
1.4E+07
1.2E+07
1.0E+07
8.0E+06
6.0E+06 0
2000
4000
6000
8000
PRFTT
Sumber : Dispenda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.26. Pola Hubungan antara Laba Bersih (PRFTT) dengan Jumlah Konsumsi Air Minum (WTRT) Variabel suku bunga memberikan efek positif dan nyata pada taraf 5 persen dengan nilai elasitisitas sebesar 0,16. Artinya, apabila suku bunga meningkat 1 persen maka laba yang diterima perusahaan daerah melalui perbankan daerah akan meningkat sebesar 0,16 persen. Pola hubungan antar kedua variabel tersebut juga digambarkan dalam scatter plot berikut ini :
24 22
INTT
20 18 16 14 12 0
2000
4000
6000
8000
PRFTT
Sumber : Dispenda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.27. Pola Hubungan Laba Perusahaan Daerah (PRFTT) dengan Suku Bunga (INTT) Pada tahun 2007, kontribusi Bank Jabar sebesar 4903,773 juta rupiah dan Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat atau Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan memberikan kontribusi sebesar 46710,185 juta rupiah. Sedangkan untuk pos lain-lain PAD yang sah terdiri dari hasil penjualan asset daerah yang tidak dipasarkan berupa penjualan kendaraan roda dua dan empat, penerimaan jasa giro dari Bank Jabar, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal diduga memberikan pengaruh yang positif namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Berikut ini adalah pola perubahan laba bersih perusahaan daerah sebelum dan setelah desentralisasi fiskal
Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor 1993-2007 (diolah) Gambar 5.28. Pola Perubahan Laba Bersih Selama Periode 1993-2007 (Juta Rupiah) Berdasarkan gambar di atas, tampak bahwa penerimaan laba bersih perusahaan daerah mengalami fluktuasi tajam pada masa sebelum desentralisasi fiskal, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 87,89 persen. Setelah diterapkannya desentralisasi fiskal, penerimaan laba bersih sempat menurun pada tahun 2001 namun mengalami peningkatan lagi hingga tahun 2007 dengan rata-rata pertumbuhannya sebesar 19,1 persen. Penerapan desentralisasi fiskal tampaknya belum bisa memperbaiki kinerja dan pengelolaan perusahaan daerah sehingga belum mampu untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat daan berkontribusi besar pada pendapatan asli daerah.
5.2.2. Persamaan Dugaan Dana Bagi Hasil Sumber bagi hasil pajak daerah kabupaten dan kota adalah PBB dan pajak kendaraan bermotor atau bea balik nama kendaraan bermotor, bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan serta pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Berikut ini adalah komposisi penerimaan dana bagi hasil pada tahun anggaran 2007 Tabel 5.11. Komposisi Dana Bagi Hasil Tahun Anggaran 2007 (Juta Rupiah) Bagi Hasil Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri Bagi Hasil Bukan Pajak/ Sumber Daya Alam Provisi Sumber Daya Hutan Iuran Tetap Iuran Eksploitasi Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan Penerimaan dari Sektor Pertambangan Minyak Bumi Penerimaan dari Sektor Pertambangan Gas Alam Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor (1993-2007).
194873,764 97301,189 67526,888 30045,686 15089,553 235,927 27,700 8476,024 528,324 5632,972 188,606
Tampak dari tabel diatas, penerimaan bagi hasil pajak lebih besar daripada penerimaan bagi hasil non pajak yaitu bagi hasil sumber daya alam. Komponen bagi hasil pajak yang bekontribusi besar pada tahun 2007 adalah komponen pajak bumi dan bangunan (PBB). Variabel yang dapat menjai proxy dari PBB sulit didapatkan. Dalam penelitian ini digunakan pendapatan perkapita sebagai ukuran kemampuan membayar pajak. Inflasi dan pertumbuhan populasi digunakan sebagai proxy faktor ekonomi eksternal, serta peubah dummy digunakan untuk membedakan kondisi sejauh mana kebijakan desentralisasi fiskal mempengaruhi penerimaan bagi hasil pajak bukan pajak.
Tabel 5.12.Persamaan Dugaan Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak Pemerintah Kabupaten Bogor Peluang (α) Variabel Parameter Dugaan Intersep 8,647728 0,0016 LN Pendapatan Perkapita 2,250815 0,0212* LN Jumlah kendaraan bermotor -0,113875 0,6366 Inflasi 0,001216 0,7530 Dummy desentralisasi fiskal 0,261861 0,1855 2 2 R = 0,7986 R -adjusted = 0,6867 F-Hitung = 7,1391( α =0,0058) DW = 1,9721 Ket : *) nyata pada taraf 5 persen. Pendapatan perkapita memberikan pengaruh yang positif dan nyata pada taraf 5 persen kepada pendapatan bagi hasil Kabupaten Bogor. Nilai elastisitasnya sebesar 0,02, yang berarti apabila terjadi peningkatan pendapatan perkapita masyarakat sebesar 1 persen maka penerimaan bagi hasil akan meningkat sebesar 0,02 persen (ceteris paribus). Pola hubungan antara dana bagi hasil dan pendapatan perkapita terlihat pada scatter plot berikut ini : 6.8
PDRBCT
6.4
6.0
5.6
5.2
4.8 40000
60000
80000
100000
120000
SHRT
Sumber : Dispenda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.29. Pola Hubungan antara Bagi Hasil (SHRT) dan Pendapatan Perkapita (PDRBCT) Jumlah kendaraan bermotor diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan laba bersih perusahaan daerah namun tidak nyata pada taraf 5 persen.
Hal tersebut bisa disebabkan karena potensi bagi hasil yang besar bersumber dari PBB dan bea perolehan hak atas tanah bangunan (BPHTB) dimana persentase bagi hasilnya mencapai 90 persen, sehingga
jumlah kendaraan bermotor
tampaknya tidak terlalu mempengaruhi penerimaan bagi hasil.. Pola hubungan antara kedua variabel tersebut juga tergambarkan pada scatter plot berikut ini : 500000
400000
VEHT
300000
200000
100000
0 40000
60000
80000
100000
120000
S HRT
Sumber : Dispenda dan Kantor Samsat Kabupaten Bogor (993-2007), diolah. Gambar 5.30. Pola Hubungan antara Bagi Hasil (SHRT) dan Jumlah Kendaraan Bermotor (VEHT) Inflasi diduga memberikan pengaruh yang negatif namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal ini mengartikan bahwa inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan bagi hasil. Pola hubungan antara bagi hasil dan inflasi yang cenderung berhubungan negatif walaupun tidak nyata secara statistik juga digambarkan dalam scatter plot berikut ini :
70 60
INFT
50 40 30 20 10 0 40000
60000
80000
100000
120000
SHRT
Sumber : Dispenda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.31. Pola Hubungan antara Bagi Hasil (SHRT) dengan Inflasi (INFT) Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal yang diwakili oleh variabel dummy desentralisasi dihipotesiskan memberikan pengaruh yang positif terhadap penerimaan dana bagi hasil. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif dan namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Ketidaknyataan ini bisa mengartikan bahwa penerapan desentralisasi fiskal tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan dana bagi hasil daerah.
Berikut ini adalah perubahan penerimaan bagi hasil
daerah sebelum maupun setelah penerapan desentralisasi fiskal:
Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor 1993-2007 (diolah) Gambar 5.32. Pola Perubahan Dana Bagi Hasil (Juta Rupiah) Pada tahun 1996 dana bagi hasil pajak bukan pajak mengalami pertumbuhan, yang sangat besar hingga mencapai 108,67 persen dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan bagi hasil pajak bukan pajak pada tahun 2001 kembali tinggi yaitu sebesar 111,7 persen dari tahun sebelumnya. Rata-rata pertumbuhan bagi hasil pajak bukan pajak pada masa sesudah desentralisasi fiskal diterapkan yaitu 31,2 persen, dimana lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan bagi hasil pajak bukan pajak sebelum masa desentralisasi fiskal yaitu 29,41 persen.
5.2.3.Persamaan Dugaan Dana Transfer Transfer merupakan sumber penerimaan eksternal (non PAD) yang berasal dari pemberian pemerintah pusat yang terdiri dari sumbangan dan dana bantuan. Sumbangan yaitu berupa subsidi daerah otonom sebelum desentralisasi fiskal dialokasikan sebagian besar untuk membayar gaji pegawai dan biaya operasional bagi urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah. Bantuan
merupakan dana pemberian pemerintah pusat untuk membangun infrastruktur di daerah. Setelah masa desentralisasi fiskal, transfer dalam lingkup penelitian ini adalah dalam bentuk dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Pendugaan persamaan transfer dalam penelitian ini didasarkan pada hipotesis bahwa penerimaan transfer diduga dipengaruhi oleh PDRB, kapasitas pendapatan daerah sendiri, total pengeluaran pemerintah daerah, jumlah penduduk miskin, dan dummy desentralisasi fiskal. Jika pemberian transfer menggunakan asumsi stimulatif maka hubungan transfer dengan kapasitas pendapatan daerah sendiri adalah positif sedangkan jika asumsinya substitutif maka hubungan transfer dengan kapasitas pendapatan daerah sendiri adalah negatif. Tabel 5.13. Persamaan Dugaan Transfer Pemerintah Kabupaten Bogor Peluang (α) Variabel Parameter Dugaan Intersep -7,555323 0,1521 LN PDRB -0,070973 0,7169 LN Pengeluaran Pemerintah Daerah 0,508650 0,0022* LN Pendapatan daerah Sendiri 0,251241 0,1367 LN Penduduk miskin 0,854963 0,0005* Dummy desentralisasi fiskal 0,555730 0,0000* 2 2 R = 0,9658 R -adjusted = 0,9469 F-Hitung = 50,9426 (α =0,000002) DW = 2,9449 Ket : *) nyata pada taraf 5 persen. Berdasarkan hasil pengolahan data, diduga bahwa PDRB memberikan pengaruh yang negatif dan tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal ini dapat disebabkan karena PDRB tampaknya tidak dijadikan ukuran untuk menentukan besaran dana transfer yang diterima pemerintah Kabupaten Bogor. Semakin besar nilai PDRB bisa diartikan semakin besar nilai kapasitas fiskal daerah tersebut, sehingga dinilai dana transfer yang diterima juga semakin kecil. Pola hubungan antara kedua variabel tersebut juga dapat terlihat pada gambar berikut ini :
3.0E+07 2.8E+07
PDRBT
2.6E+07 2.4E+07 2.2E+07 2.0E+07 1.8E+07 1.6E+07 100000 200000 300000 400000 500000 600000 TRSFT
Sumber : Dispenda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.33. Pola Hubungan Dana Transfer (TRSFT) dengan PDRB Pengeluaran pemerintah daerah diduga memberikan pengaruh yang positif dan nyata pada taraf 5 persen terhadap total dana transfer yang diterima. Artinya apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 1 satuan maka akan meningkatkan penerimaan dana transfer sebesar 0,2821 satuan (ceteris paribus). Pola hubungan antara kedua variabel tersebut yang cenderung ke arah positif juga ditunjukkan oleh scatter plot berikut ini : 1100000 1000000
LTET
900000 800000 700000 600000 500000 400000 100000 200000 300000 400000 500000 600000 TRSFT
Sumber: Dispenda Kabupaten Bogor (1993-2007),diolah.
Gambar 5.34. Pola Hubungan Transfer (TRSFT) dengan Total pengeluaran (LTET) Jadi, besar dana transfer yang diterima oleh Kabupaten Bogor lebih didorong oleh besaran total pengeluarannya. Semakin besar total pengeluarannya maka semakin besar pula dana transfer yang diterima. Hal ini bisa menjadi alasan mengapa sisi kapasitas fiskal seperti PDRB dan pendapatan daerah sendiri tidak berpengaruh nyata terhadap penerimaan dana transfer. Ukuran kriteria pemberian dana tersebut tampakya terfokus pada faktor kebutuhan fiskalnya yaitu total pengeluaran. Nilai elastisitas dari tota pengeluaran sebesar 0,51. Hal ini berarti bahwa apabila jumlah pengeluaran pemerintah meningkat sebesar 1 persen maka total dana transfer yang diterima juga meningkat sebesar 0,51 persen. Pendapatan daerah sendiri merupakan penjumlahan dari PAD dan dana bagi hasil. Pendapatan daerah sendiri diduga memberikan pengaruh yang negatif namun tidak nyata pada taraf 5 persen. Hal ini mengartikan bahwa tampaknya penerimaan transfer di Kabupaten Bogor memberikan efek subtitutif terhadap pendapatan daerah sendiri walaupun nilainya tidak nyata. Berarti, semakin tinggi tingkat kapasitas pendapatan daerah sendiri maka semakin rendah besar dana transfer yang diterima. Pola hubungan antara dana transfer dan pendapatan daerah sendiri yang cenderung berhubungan negatif walaupun tidak nyata secara statistik juga digambarkan dalam scatter plot berikut ini :
340000 320000
LOSHRT
300000 280000 260000 240000 220000 200000 180000 100000 200000 300000 400000 500000 600000 TRSFT
Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.35. Pola Hubungan Transfer (TRSFT) dengan Pendapatan Daerah Sendiri (LOSHRT) Pendapatan daerah sendiri tidak berpengaruh nyata terhadap total penerimaan dana transfer karena pertimbangan yang tampaknya lebih terfokus pada sisi pengeluaran. Jadi penerimaan dana transfer diduga akan lebih besar jika pengeluarannya juga lebih besar tanpa memperhitungkan faktor kapasitas fiskalnya. Dengan kata lain, besarnya transfer lebih ditentukan oleh besarnya tingkat kebutuhan penyediaan fasilitas publik daripada kondisi potensinya. Jumlah penduduk miskin memberikan pengaruh yang positif dan nyata pada taraf 5 persen dengan elastisitas sebesar 0,85. Artinya adalah apabila jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 1 persen maka dana transfer yang diterima oleh pemerintah Kabupaten Bogor juga meningkat sebesar 0,85 persen. Pola hubungan antar kedua variabel tersebut yang cenderung positif juga terlihat pada gambar berikut ini :
760000 720000 680000
POV
640000 600000 560000 520000 480000 440000 100000 200000 300000 400000 500000 600000 TRSFT
Sumber : Dispenda dan BPS Kabupaten Bogor (1993-2007), diolah. Gambar 5.36. Pola Hubungan Dana Transfer (TRSFT) dengan Jumlah Penduduk Miskin (POV) Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal yang diwakili oleh variabel dummy desentralisasi dihipotesiskan memberikan pengaruh yang positif terhadap penerimaan dana transfer. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif dan nyata pada taraf 5 persen. Sehingga bisa diartikan bahwa penerapan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang dominan terhadap penerimaan dana transfer seperti terlihat juga pada parameter dugaannya yang paling besar dan nyata. Berikut adalah pola perubahan nilai dana transfer selama tenggang waktu 1993 hingga 2007 :
Sumber : Dispenda Kabupaten Bogor 1993-2007 (diolah) Gambar 5.37. Pola Perubahan Dana Transfer Periode 1993-2007 (Juta Rupiah) Berdasarkan gambar di atas, tampak bahwa penerimaan dana transfer setelah desentralisasi fiskal lebih besar daripada sebelumnya. Dana transfer setelah desentralisasi fiskal digunakan sebagai alat untuk menutup gap antara kapasitas dan kebutuhan fiskal sehingga tidak menimbulkan ketimpangan fiskal. Peningkatan alokasi DAU disebabkan karena penyerahan sebagian tanggung jawab pemerintah pusat ke daerah yang diikuti juga oleh perpindahan pegawai pusat ke daerah. Selain itu, DAU juga diharapkan dapat menjadi penjaga agar jangan
sampai
terjadi
penurunan
kemampuan
menurunkanketimpangan fiskal antar daerah.
fiskal
daerah,
dan
VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Penerapan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik terhadap komponen PDRB, yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah. Konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah meningkat selama masa desentralisasi fiskal . Jadi, secara keseluruhan penerapan desentralisasi fiskal diduga memberikan pengaruh yang positif pada kinerja perekonomian. Artinya setelah diterapkan desentralisasi fiskal, kinerja perekonomian Kabupaten Bogor mengalami
peningkatan yang signifikan. Variabel pendapatan
disposable, populasi, dan total penerimaan keuangan pemerintah daerah memberikan kontribusi dengan nilai elastisitas yang positif dan nyata secara statistik terhadap kinerja perekonomian. 2. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap penerimaan retribusi Kabupaten Bogor, sedangkan dana transfer dipengaruhi secara positif dan nyata. Jika dikaitkan dengan kinerja perekonomian, penurunan pada retribusi ini akan membawa efek yang positif terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Bogor. Penerapan desentralisasi fiskal tidak mempengaruhi variabel potensi keuangan lainnya secara signifikan. Variabel pendapatan perkapita, jumlah kamar hotel, suku bunga, total pengeluaran
keuangan
pemerintah,
dan
jumlah
penduduk
miskin
mempengaruhi potensi keuangan Kabupaten Bogor dengan nilai elastisitas yang positif dan nyata secara statistik.
6.2. Saran 1. Pemerintah daerah Kabupaten Bogor hendaknya berusaha mengoptimalkan peran perusahaan milik daerah sehingga laba bersih dari perusahaan daerah bisa berkontribusi besar meningkatkan pendapatan asli daerahnya. namun tidak secara berlebihan.serta mempertimbangan dampak negatif seminimal mungkin terhadap perekonomian daerah 2. Pemerintah Kabupaten Bogor hendaknya lebih giat meningkatkan fasilitas perekonomian daerah yang mendukung berkembangnya investasi seperti kemudahan perizinan, keamanan, infrastruktur, dan lainnya yang disertai dengan meningkatkan pelayanan jasa publik seperti jangka waktu pengurusan perizinan yang semakin singkat dan baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga kinerja perekonomian bisa lebih meningkat lagi. 3. Pemerintah
Kabupaten
Bogor
hendaknya
lebih
memperhatikan
perkembangan hotel terutama di kawasan hiburan. Dengan begitu, diharapkan penerimaan pajak dari sektor tersebut lebih bisa berkontribusi besar terhadap penerimaan total pajak. 4. Pemerintah daerah Kabupaten Bogor diharapkan bisa lebih memperbaiki peran, efisiensi, dan kualitas pelayanan PDAM dengan lebih maksimal seperti pemberdayaan dan ekspansi perusahaan daerah sehingga perusahaan daerah
tersebut bisa memberikan kontribusi yang signifikan pada penerimaan laba bersih perusahaan daerah. 5. Keterbatasan data yang ada dalam penelitian ini menjadikan analisis tidak terperinci dan menyeluruh, sehingga diharapkan ada penelitian lanjutan mengkaji dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan daerah dengan memasukkan variabel-variabel yang diduga berpengaruh besar. Variabel tersebut seperti tingkat upah untuk persamaan investasi, jumlah retribusi dari pelayanan rumah sakit, dan jumlah los atau kios di pasar untuk persamaan retribusi, serta jumlah wajib pajak bumi dan bangunan untuk persamaan bagi hasil. 6.
Pada penelitian selanjutnya diharapkan kinerja perekonomian juga digambarkan oleh persamaan Indeks Pembangunan Manusia dan persamaan untuk gini ratio sehingga lebih luas ruang lingkupnya dan bisa lebih bisa menggambarkan dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian secara menyeluruh.
7. Pada penelitian selanjutnya diharapkan persamaan untuk dana bagi hasil dibedakan menjadi dua persamaan yaitu untuk bagi hasil pajak, dan bagi hasil non pajak. Selain itu, pada dana transfer juga dibedakan menjadi persamaan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Hal ini karena faktor-faktor yang mempengaruhi masing-masing komponen tersebut memiliki perbedaan, sehingga dengan membuat masing-masing komponen dalam persamaan yang berbeda diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih spesifik.
8. Keterbukaan pihak PEMDA Kabupaten Bogor hendaknya lebih maksimal dalam pemberian data dan informasi kepada peneliti-peneliti yang ingin mengkaji Kabupaten Bogor lebih jauh sehingga bisa didapatkan data yang tepat sasaran dan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 1993-2007. Kabupaten Bogor Dalam Angka 1993-2008. BPS Kabupaten Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 1993-2007. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bogor Menurut Lapangan Usaha 1993-2007. BPS Kabupaten Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 1993-2007. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bogor Menurut Penggunaan 1995-2007. BPS Kabupaten Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik.1993-2007. Statistik Keuangan Daerah Tingkat II. BPS Jakarta, Jakarta. Brodjonegoro, B dan M. Sidik. 2002. Dana Alokasi Umum : Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Devas, N. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah Indonesia. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Dornbusch, R dan S. Fischer. 2008. Ekonomi Makro. Penerbit PT Media Global Edukasi, Jakarta. Elmi, B. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta. Haris, S. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. LIPI Press, Jakarta. Hasugian, A. 2006. Dampak Desentralisasi terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor Hermani, A. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Tesis Magíster Sains. Program Pasca Sarjana Intitut Pertanian Bogor, Bogor. Jhingan, M. L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Bogor.
Juanda, B. 2009. Ekonometrika : Pemodelan dan Peramalan . IPB Press, Bogor Mankiw, N.G. 2003.Teori Makroekonomi edisi Kelima. Penerbit Erlangga, Jakarta. Nurmaidah, I. 2004. Model Makroekonomi Untuk Mengkaji Potensi Keuangan Daerah dan Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi Daerah. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pemerintah Kabupaten Bogor. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Periode 2010-2025 Kabupaten Bogor. Bogor. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Siahaan, M.P. 2005. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sinaga, BM. dan H.Siregar. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Indonesia. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sukatendel, F. 2007. Analisis Keterkaitan Alokasi Anggaran dan Sektor Unggulan dalam Mengoptimalkan Kinerja Pembangunan Daerah di Kabupaten Bogor. Tesis Magíster Sains. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Waluyo, J. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Indonesia. Disampaikan dalam Seminar Paralel Session 1 A : Wisma Makara UI, Depok. Winarno, WW. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. UPP STIM YKPN, Yogyakarta. Yuliyati, T. 2002. Potensi Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Tesis Magíster Sains. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.