Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak Anggaran Daerah Terhadap Pengembangan Ekonomi Daerah Kabupaten Malang Mokh Khusaini dan Ferry Prasetya Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang
PENDAHULUAN Dengan diimplementasikannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 pada bulan Januari tahun 2001, Indonesia telah melakukan transformasi tata pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi. Dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999, maka akan terjadi perluasan wewenang pemerintah daerah tingkat II, dan dengan UU No. 25 Tahun 1999 akan tercipta peningkatan kemampuan keuangan daerah. Oleh karena itu otonomi daerah diharapkan bisa menjadi formula terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui berbagai efek multiplier dari desentralisasi yang diharapkan bisa terwujud. Secara teoretis, kehadiran kedua undang-undang tersebut cukup menjanjikan bagi terwujudnya local accountability , yakni meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya. Meski demikian, perlu disadari bahwa tujuan ideal desentralisasi dan otonomi daerah tidak dengan serta merta dapat dicapai hanya dengan kehadiran kedua UU tersebut. Untuk mencapai atau paling tidak mendekati tujuan dari proses desentralisasi sedikitnya ada tiga persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian khusus dalam waktu dekat yaitu (1) political commitment dari pemerintah pusat dan political will dari pemerintah daerah itu sendiri untuk menata kembali hubungan kekuasaan pusat-daerah. (2) Pengaturan hubungan keuangan pusat-daerah yang lebih didasari oleh “itikad” untuk memperkuat kemampuan keuangan daerah (bukan sebaliknya). Dan (3) perubahan perilaku elite lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tanpa itu semua tujuan desentralisasi tidak akan pernah tercapai. Dengan diserahkannya beberapa kewenangan ke pemerintah daerah, diharapkan pelayanan masyarakat semakin efisien dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Fenomena di Indonesia menunjukkan bahwa setelah tiga tahun pelaksanaan desentralisasi, banyak masyarakat Indonesia merasa bahwa desentralisasi tidak membawa pada kondisi perekonomian yang lebih baik, bahkan muncul pandangan bahwa desentralisasi hanyalah persoalan hubungan antar pemerintahan tanpa menimbulkan efek positif bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Dan sebalikanya pelaksanaan desentralisasi fiskal tersebut juga justru menunjukkan “missing link” antara desentralisasi fiskal dengan pembangunan ekonomi daerah. Sehingga dalam penilitian ini peneliti mefokuskan penelitiannya pada beberapa hal seperti pola pengeluaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah kabupaten Malang yang dilihat dari APBD. Dampak anggaran daerah terhadap pengembangan ekonomi daerah dan juga komitmen pemerintah daerah dalam menggunakan APBD bagi proses pengembangan ekonomi lokal. Dan juga kinerja pelayanan publik sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal baik kuantitas maupun kualitasnya, serta bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah dan DPRD pada masyarakat lokal, terutama dalam proses pembuatan keputusan di daerah.
1
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALANG Kabupaten Malang memiliki luas wilayah sebesar 3347,87 Km2, di mana separuhnya merupakan wilayah daratan. Dari segi geografis, Jatim terletak pada 112° BT sampai 122°57 BT dan 7°044 LS sampai 8°026 LS. Jatim dibatasi oleh Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto di Sebelah Utara, sebelah Selatan : Samudra Hindia, Sebelah Timur oleh Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Lumajang dan Sebelah Barat adalah Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri. Berdasarkan prosentase persektor/sub sektor di wilayah Kabupaten Malang menunjukkan bahwa tidak lagi terdapat dominasi yang dominan dari sektor primer terhadap Produk Domestik Bruto yang tercipta. Peranan sektor lainnya yaitu Industri Pengolahan (14,89%), Perdagangan, Hotel dan restoran (22,98%) dan sektor jasa (13,74%) menandakan bahwa telah terjadi pergeseran struktur perekonomian dari sektor pertanian menuju pada suatu tahap perekonomian yang mulai ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya sektor industri. METODE PENELITIAN Untuk pengambilan data primer, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Daftar Pertanyaan (Questionnaire) b. Wawancara (Interview) Di dalam penelitian ini ada dua jenis data yang akan dikumpulkan, yaitu : a. Data Primer Data primer dikumpulkan langsung dari stakeholder di daerah melalui wawancara dan survei. Stakeholder yang dimaksud adalah pihak eksekutif daerah (mulai dari kepala daerah, muspida, hingga para kepala dinas terkait), pihak legislatif daerah (mulai dari pimpinan dewan, ketua komisi, hingga anggota dewan), masyarakat (mulai dari ketua kelompok profesi, ketua asosiasi pekerja, hingga anggota masyarakat biasa yang terkena dampak langsung dari kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah daerah), lembaga swadaya non pemerintah (LSM, dan perguruan tinggi) b. Data Sekunder Data sekunder yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari dokumentasi (catatancatatan) yang ada di Badan Statistik Daerah, BAPPEDA, terutama data APBD, kantor dinasdinas daerah, kantor dewan, dan sumber-sumber pustaka yang lain. Sedangkan Variabel-variabel yang akan diteliti meliputi : a. Variabel-variabel yang terkait dengan permasalahan pola pengeluaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah, yaitu : a.1. APBD dari Sisi Penerimaan - Pos PAD (Pendapatan Asli Daerah) - Lain-lain Penerimaan yang Sah - Dana Bagi Hasil - Dana Alokasi Umum - Dana Alokasi Khusus - Pinjaman Daerah a.2. APBD dari Sisi Pengeluaran - Pengeluaran Rutin (Pegawai, Non Pegawai, dan lain-lain) - Pengeluaran Pembangunan b. Variabel-variabel yang terkait dengan permasalahan dampak anggaran daerah terhadap pengembangan ekonomi daerah, yaitu :
2
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
b.1. b.2. b.3. b.4. b.5. b.6.
PDRB Populasi Penduduk Rasio Pengeluaran Sektoral terhadap Total Pengeluaran Kontribusi Nilai Produksi UKM (Usaha Kecil Menengah Kontribusi Sektoral Potensi Ekonomi Daerah (Mata Pencaharian Pokok, Produksi Daerah dari Berbagai Sektor, Produk Unggulan Daerah)
b.7. Potensi Manusiawi (Keadaan Penduduk, Keadaan Pendidikan) b.8. Potensi Alam (Tanah, Ternak, Kebun, Tambak, Sawah, Tambang) b.9. Letak (Orbitasi) Desa c. Variabel-variabel yang terkait dengan studi komparasi proses pelayanan publik sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal : c.1. Prasarana (Perhubungan, Komunikasi, Produksi, Pemasaran, Sosial Budaya) c.2. Pelayanan Pemerintah : Meliputi kualitas dan kuantitas pelayanan public di daerah: - Perkembangan Jenis-jenis Pelayanan yang dapat Diberikan - Akses terhadap Pelayanan - Aktivitas Lembaga-lembaga Pelayanan - Perkembangan Pemanfaatan Pelayanan oleh Masyarakat Setempat - Sikap Aparat Penyedia Layanan c.3. Kesejahteraan Masyarakat Daerah : - Makanan (Gizi) - Sandang, Perumahan - Pendidikan - Kesehatan - Keamanan - Basic Infrastructure (road, water supply) d. Variabel-variabel yang terkait dengan permasalahan pertanggungjawaban pemerintah daerah dan DPRD pada masyarakat lokal : d.1. Tingkat Responsivitas Pemda dan DPRD di dalam Memenuhi Keinginan dan Kebutuhan Masyarakat d.2. Tingkat Partisipasi Publik di dalam Proses Pembuatan Kebijakan Lokal d.3. Tingkat Sinergitas antara Pemda dan DPRD di dalam Memaksimalkan Kepentingan Masyarakat Lokal e. Variabel-variabel yang terkait dengan local regulatory framework : e.1. Proses drafting dari peraturan daerah e.2. Kualitas dari produk peraturan yang dikeluarkan e.3. Dampak dari peraturan daerah yang telah diberlakukan saat ini terhadap iklim investasi di daerah dan aktivitas ekonomi secara umum. Di dalam penelitian ini digunakan analisis data secara deskriptif dan kuantitatif. Data tentang APBD (baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran) akan dianalisa secara kombinasi deskriptif dan kuantitatif untuk menjawab permasalahan yang terkait dengan pola pengeluaran (kebutuhan) dan kapasitas fiskal pemerintah daerah yang ditunjukan oleh penerimaan lokal maupun dari Dana Alokasi Umum (DAU). Selanjutnya, data time series tentang PDRB, Rasio pengeluaran, Populasi, DAU atau DAK, dan pajak daerah akan dianalisis secara kuantitatif dengan memanfaatkan model perhitungan regresi berganda (OLS) untuk menjawab perihal yang terkait dengan dampak anggaran daerah terhadap pengembangan ekonomi daerah. Model yang dibangun dapat dinyatakan sebagai :
3
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
PDRB = f(Pop, Rasio, DAU, PD, T, D1, D2) ……………………..…………..(1) Dimana PDRB Pop Rasio DAU PD T D1 D2
: : Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (harga konstan) : Populasi : Rasio pengeluaran daerah (APBD) Terhadap Total pengeluaran pemerintah pusat (APBN) : Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus (Transfer pemerintah) : Pajak Daerah : Time Period : Dummy variable sejak berlangsungnya UU No.22 dan 25 tahun 1999 : Dummy variable untuk krisis ekonomi 1997-1998
PEMBAHASAN Pola pengeluaran dan kapasitas fiskal Pemerintah daerah kabupaten Malang Struktur keuangan pemerintah daerah atau Anggaran daerah mempunyai peran penting dan strategis dalam upaya mengimplementasikan program pembangunan khususnya dalam era otonomi daerah. Ketika sistem desentralisasi diberlakukan sebagai konsekusensi dari otonomi daerah, telah terjadi beberapa perubahan mendasar dalam struktur (komposisi) anggaran pemerintah daerah yang ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999. Berdasarkan anggaran daerah Malang pada tahun 2003, yang ditunjukkan pada gambar 1 menunjukan bahwa total pendapatan daerah Malang adalah 587.4 milyar .yang terdiri dari: penerimaan . lokal sebanyak . 37 milyar ( 6.41%), dana berimbang 514.8 milyar ( 87.6%) penerimaan lainnya sebanyak 34.9 milyar ( 5.95%).
Penerimaan
5,95%
6,41%
PAD Dana Penyeimbang Peneriman Lainnya
87,64%
Sumber: Bappeda, kabupaten Malang, 2003 Gambar 1. Penerimaan Daerah Kab. Malang, 2003
4
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
Dari gambar 1. diatas secara detail penerimaan daerah kabupaten Malang terdiri dari : pajak daerah yang menyumbang sebesar 16.3 milyar (43.5%), biaya pengguna sebanyak 12.3 milyar ( 4.63%), asset lokal dan pendapatan perusahaan lokal 1.7 milyar ( 4.63%) dan penerimaan lokal lainnya sebanyak 2.68 milyar ( 19.12%). Data juga mengungkapkan bahwa sumbangan yang paling besar dari penerimaan lokal daerah malang [adalah pajak lokal yang menyokong 43.5%. [Sebaliknya, penerimaan perusahaan lokal menyokong hanya 1.7 ( 4.63%). Daerah Malang sampai saat ini mempunyai beberapa perusahaan lokal " BUMD" seperti PDAM, PD. JASA YASA, dll, bagaimanapun, kebanyakan dari perusahaan lokal mempunyai kinerja rendah sehingga perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa memberi kontribusi yang lebih tinggi ke penerimaan pemerintah lokal, bahkan kadang-kadang pemerintah lokal memberi subsidi pada sebagian dari perusahaan tersebut. Ini terjadi sebab korupsi masih ada dalam perusahaan lokal tersebut. Para manajer perusahaan lokal tersebut sering ditunjuk oleh Kepala daerah dalam hal ini Bupati. Bila dibandingkan dengan anggaran daerah Malang sebelumnya, penerimaan lokal pada tahun 2002 sebanyak 25.6 milyar, jadi ada peningkatan penerimaan lokal di tahun 2003. hal ini seperti yang ditunjukan oleh gambar 4.2. dibawah ini :
Penerimaan Lokal
4,63%
19,12%
Pajak daerah 43,50% Retribusi Pendapatan Prs Daerah Pendpatan Lainnya 32,74%
Sumber: Bappeda, kabupaten Malang, 2003 Gambar 2. Penerimaan Lokal Kab. Malang, 2003 Dalam kaitan dengan dana berimbang yang merupakan sumber penerimaan yang paling besar dari penerimaan lokal terdiri dari: sumbangan pajak dan sumbangan non pajak sebanyak 26.5 milyar ( 5.10%), Dana Alokasi Umum 464.3 ( 90.20%), Dana Alokasi Khusus 2.0 milyar ( 0.39%) dan dana berimbang provinsi 22.2 milyar rupiah (4.32%). Seperti yang terlihat pada gambar berikut :
5
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
Dana Berimbang
4,32% 0,39%
5,10% Tax Sharing and Non Tax Sharing General Allocation Fund Special Allocation Fund Province Balancing Fund 90,20%
Sumber: Bappeda, kabupaten Malang, 2003 Gambar 3. Dana Berimbang Daerah Malang, 2003 Pada umumnya, penerimaan daerah Malang di tahun 2003 secara riil tidak berubah secara signifikan, walaupun demikian, secara nominal telah meningkat. Sedangkan, struktur pengeluaran daerah Malang dalam anggarannya tahun 2003 terdiri dari: Biaya aparatur daerah, pengeluaran jasa publik 474.9 milyar, pembayaran hutang, dan biaya tak terduga seperti yang terlihat dalam gambar berikut : Pengeluaran Lokal
7,10%
0,31%
Pengeluaran aparatur Daerah 25,33%
Pengeluaran Jasa Publik Pengeluaran hutang
67,25%
Pengeluaran tak terduga
Sumber: Bappeda, kabupaten Malang, 2003 Gambar 4. Pengeluaran Daerah Malang, 2003 Dari gambar 4 diatas dapat diketahui bahwa biaya aparatur daerah sebesar 161.1 milyar (25.33%), pengeluaran jasa publik 474.9 milyar (67.25%), pembayaran hutang 45.1 milyar
6
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
97.10%, dan biaya tak terduga sebesar 2 milyar (0.31%). Berdasarkan datapengeluaran, jasa publik memberi sumbangan paling tinggidari pengeluaran anggaran daerah Malang (67.25%) di tahun 2003. Jumlah dari pengeluaran jasa publik, anggaran tersebut pemerintah daerah Malang telah memperhatikan jasa publik Di era otonomi daerah, pemerintah lokal dipaksa memberi jasa publik yang lebih baik untuk masyarakat dengan akses lebih mudah dan harga yang lebih rendah. Pengeluaran aparatur daerah menempati posisi kedua dalam pengeluaran local setelah pengeluaran jasa public. Pengeluaran aparatur daerah dapat dilihat dari gambar berikut : Pengeluaran Aparatur Daerah
Biaya Administrasi Umum
17,81% 8,68%
Biaya Operasi dan Pemeliharaan 73,52%
Biaya Modal
Sumber: Bappeda, kabupaten Malang, 2003 Gambar 5. Pengeluaran Aparatur Daerah Dalam kaitan dengan biaya aparatur Daerah, terdiri dari biaya administrasi umum sebanyak 118.4 milyar ( 73.52%), biaya operasi dan pemeliharaan 13.9 milyar 8.68%) dan biaya modal 28.7 milyar ( 17.81%). Data tersebut mengungkapkan biaya administrasi umum adalah biaya yang terbesar dari daerah Malang, sedang, biaya modal sangat rendah. Sedangkan,dari sisi pengeluaran jasa publik terdiri dari: biaya administrasi umum sebanyak 270.8 milyar ( 63.31%), biaya operasi dan pemeliharaan 67.3 milyar ( 15.75%) dan biaya modal 89.6 milyar ( 20.95%) seperti yang ditunjukan oleh gambar 5. Sebagai tambahan, biaya administrasi umum selalu menjadi biaya yang terbesar di dalam anggaran Malang. Pengeluaran Jasa Publik
20,95% Biaya Administrasi Umum Biaya Operasi dan Pemeliharaan 15,75%
63,31%
Biaya Modal
Sumber: Bappeda, kabupaten Malang, 2003 Gambar 6. Pengeluaran Publik Kabupaten Malang, 2003
7
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
Jadi, anggaran Malang 2003 menunjuk Kepmendagri 29/2002 tersebut bisa dikatakan transparan, konsisten, dapat dipertanggungjawabkan, akurat, dan dapat dipercaya. Bagaimanapun, dalam kaitan dengan manajemen keuangan publik daerah Malang belum secara penuh menerapkan prinsip-prinsip yang terdapat didalam Kepmendagri tersebut didalam perumusan anggarannya, sebab belum ada bimbingan teknis dari pemerintah pusat. Dampak Anggaran Daerah Terhadap Pengembangan Ekonomi Lokal Dampak/pengaruh anggaran terhadap perkembangan ekonomi daerah dari hasil estimasi terhadap persamaan 1 yang dicerminkan oleh RASIO yang merupakan rasio antara pengeluaran daerah terhadap pengeluaran pusat, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap PDRB dengan nilai koefisiennya sebesar –0,023. Koefisien tersebut menunjukan bahwa setiap kenaikan pengeluaran daerah relative terhadap pengeluaran pusat sebesar satu satuan unit akan menyebabkan penurunan tingkat PDRB sebesar 0,023 satuan unit. Ada beberapa alasan yang menyebabkan nilai koefisien tersebut negatif, diantaranya adalah penggunaan anggaran daerah belum dialokasikan secara maksimal terhadap sektor-sektor produktif yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Dimana selama ini kecenderungan penggunaan anggaran lebih mengarah pada sektor konsumtif seperti belanja pegawai, belanja barang dan lain sebagainya. Selain itu juga faktor lain yang mempengaruhi yaitu kurang kondusifnya kondisi internal dan eksternal baik dari segi sistem maupun kebijakan(regulasi) mengenai desentralisasi fiskal yang terlalu cepat dan tidak tersosialisasi dengan baik, semakin memperjelas kurang berhasilnya penerapan desentralisasi fiskal. Pengalaman empiris di beberapa negara juga menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal ternyata mempunyai efek negative terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini biasanya terjadi karena proses desentralisasi tidak diikuti oleh kemampuan sumberdaya manusia yang profesional, aparatur pemerintah daerah yang responsible, public accountability yang kredibel, dan institusi daerah yang kondusif. Begitu pula hasil temuan Bank Dunia (1997), Martinez dan Mcnab (2001) yang mengemukakan bahwa desentralisasi fiskal selain berdampak positif, dapat juga berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Desentralisasi fiskal dapat mendorong kearah ketidakstabilan ekonomi makro, yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi, sebab desentralisasi dapat mengurangi pengeluaran pemerintah dan pajak yang berbasis pada pemerintah pusat yang dapat digunakan untuk melakukan fungsi stabilisasi. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dirancang dengan kurang baik dapat juga menciptakan suatu perangsang bagi pemerintah lokal untuk melakukan pengeluaran dangan kurang bertanggungjawab dan tidak sustainable. Begitu juga, desentralisasi justru akan merugikan pemerintah jika kebijakan desentralisasai diimplementasikan dengan cara tergesa-gesa tanpa diimbangi kesiapan institusi baik dari aspek administrasi dan birokrasi. Kinerja Pelayanan Publik Sebelum kebijakan otonomi daerah diberlakukan, bidang pelayanan pemerintah merupakan kewenangan pemerintah pusat, kecuali bidang-bidang yang diserahkan kepada daerah otonom. Kondisi itu berbeda sejak UU No. 22, 1999 diberlakukan mulai Januari 2001. Dalam UU yang baru ini secara umum dinyatakan bahwa semua bidang pelayanan pemerintah merupakan kewenangan daerah otonom (kabupaten dan kota), kecuali beberapa bidang saja1 yang sepenuhnya menjadi kewenangan pusat. Dengan demikian pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 1
Bidang-bidang yang dimaksud adalah politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, Moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain (Pasal 7 UU No. 22, 1999).
8
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
secara mendasar telah mengubah pelaksana dan penanggungjawab pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Selain karena alasan yang mungkin bersifat politis, pemberlakuan otonomi daerah yang bertujuan untuk lebih meningkatkan pelayanan pemerintah sebenarnya mempunyai dasar pertimbangan yang sangat rasional. Sebagai bagian pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, maka Pemerintah Daerahlah yang lebih mempunyai kapasitas untuk mengetahui kebutuhan nyata yang diperlukan oleh masyarakat setempat. Dengan demikian maka sistem pelayanan publik yang dilakukan oleh pemda akan mempunyai peluang untuk lebih efisien, efektif, dan lebih luas jangkauannya. Oleh karena itu salah satu cara untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan otda dapat dilakukan melalui perubahan yang terjadi dalam aspek pelayanan kepada masyarakat. Dari hasil pengamatan dilapangan menunjukan bahwa secara umum pelayanan di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dinilai masih berjalan sebagaimana biasanya, dalam pengertian dampaknya belum terlihat pada kehidupan masyarakat luas. Namun, karena sarana dan prasarana pendukung pelayanan cenderung memburuk, maka proses pelayanannya juga terhambat. Selain itu kinerja ketiga sektor tersebut belum mengalami peningkatan yang signifikan lebih disebabkan oleh sumber daya yang kurang memadai dan juga sistem dan birokrasi yang mengikutinya juga kurang mengakomodir keinginan masyarakat. Uraian mengenai kondisi kinerja pelayanan publik (sektor pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur) sebelum dan sesudah otonomi daerah adalah sebagai berikut :
Sektor Pendidikan Desentralisasi fiskal telah memberikan sedikit ruang gerak bagi sebagian golongan tidak mampu dalam hal pembiayaan pendidikan. Hal ini dikarenakan terdapat sebagian sekolah yang menetapkan kebijakan terhadap pembayaran SPP bagi siswa tidak mampu, Namun demikian, kecilnya prosentase yang mendapat beasiswa maupun pembebasan SPP mengindikasikan bahwa kecilnya anggaran dana yang dialokasikan, padahal jumlah keluarga tidak mampu masih sangat besar. Hal ini berarti, program pemerintah terhadap pendidikan murah bagi rakyatnya masih belum dapat dirasakan oleh sebagian besar keluarga yang tidak mampu. Mahalnya biaya pendidikan yang dirasakan sebagian orang tua murid sangatlah wajar di era desentralisasi seperti sekarang ini, hal ini dikarenakan instansi pendidikan harus mencari dana sendiri disamping biaya dari pemerintah yang jumlahnya sangat tidak memadai. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah jika hal tersebut dibarengi dengan mutu pendidikan yang baik. Untuk menghasilkan mutu pendidikan yang berkualitas tidak terlepas dari tingkat pendidikan guru yang mengajarnya. Dari hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan guru SD di Kabupaten Malang, diketahui sekitar 54 % berpendidikan Sarjana, 33 % Diploma dan sisanya berpendidikan SMU dan SMK. Hal ini berarti berarti bahwa, dengan tingkat pendidikan seperti diatas, mutu dunia pendidikan seharusnya semakin baik. Adanya desentralisasi diharapkan dapat semakin meningkatkan mutu pendidikan guru pengajar, memberikan kemudahan bagi guru untuk melanjutakan studinya sehingga mutu siswa yang dihasilkannya kelak akan semakin baik. Kualitas yang baik, merupakan suatu hal yang mutlak harus dilakukan oleh pihak sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai sarana dan prasarana dibangun dan disediakan bagi murid untuk perkembangan wawasan berpikirnya, seperti pembangunan fasilitas perpustakaan, penyediaan buku-buku yang memadai, fasilitas laboratorium penunjang bidang studi dan sebagainya. Secara umum, masih
9
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
banyak SD yang masih belum memiliki fasilitas penunjang pendidikan. Hasil penelitian dilapangan menunjukan bahwa hingga saat ini, pemerintah masih belum memberikan anggaran yang jelas bagi penyediaan buku-buku wajib bagi para murid. Dimana hampir 84 % responden komite sekolah mengatakan bahwa hingga saat ini sekolah tidak mendapatkan anggaran dana dari pemerintah bagi penyediaan buku dan hanya sekitar 16 % yang mendapatkan anggaran penyediaan buku, namun bukan dari pemerintah melainkan dari swadaya sekolah yang jumlahnya sangat kecil dan tidak menentu adanya. Sektor Kesehatan Meskipun otonomi daerah telah berjalan sejak tahun 2000 tetapi berdasarkan pemahaman 12 responden menyatakan adanya perubahan pelayanan khususnya disektor kesehatan, justru terjadi di tahun 2003 dan tahun 2004. Dan dari sekian responden itu semuanya menyatakan bahwa perubahan yang ada banyak membawa manfaat. Sementara 12 orang sisanya menyatakan bahwa di puskemas tidak ada perubahan. Secara umum pendidikan pegawai puskemas relatif tinggi dimana pendidikan paling rendah adalah SMA/SMK, terutama para pegawai administrasi, sementara perawat ataupun bidan pendidikannya secara umum adalah lulusan diploma. Sedangkan untuk dokter merupakan lulusan sarjana dan lebih banyak menghabiskan waktu di Puskesmas induk/desa kecamatan. dimana jumlah dokter/tenaga medis berdasarkan hasil penelitian menyebutkan bahwa 75% puskesmas di Kabupaten Malang memiliki 2 dokter di tiap puskemas. Dari aspek perubahan sebagian petugas menyatakan bahwa tidak ada perubahan di puskesmas (37,5%). Namun demikian perubahanperubahan yang terjadi meliputi beberapa aspek dan relatif merata. Walaupun Otoda telah berjalan beberapa tahun, tapi perubahan yang terjadi menurut petugas-petugas yang dijadikan responden sebagian besar terjadi di tahun 2002, dan perubahan yang ada dinilai sangat bermanfaat. Dari paparan di atas secara umum pelayanan kesehatan yang ada di Kabupaten Malang telah mengalami peningkatan di era otonomi daerah, meskipun peningkatannya hanya sedikit. Sektor Infrastruktur Memasuki era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, kewenangan yang menyangkut sektor infrastruktur, khususnya prasarana jalan, masih ditangani oleh masing-masing tingkat pemerintahan sesuai dengan tingkat yang ada. Jalan yang dikategorikan sebagai jalan negara menjadi wewenang pemerintah pusat, jalan propinsi menjadi wewenang pemprop, jalan yang dikategorikan sebagai kelas jalan kabupaten/ kota menjadi kewenangan pemkab/pemkot yang bersangkutan. Dalam kategori kelas jalan yang terakhir ini termasuk pula jalan kolektor ataupun jalan-jalan di wilayah pemukiman. selama periode 1999/2000 hingga 2003, peningkatan pembangunan jalan mengalami perbaikan yang signifikan selama periode 2003 dibandingkan periode sebelumnya yakni sepanjang 156,674 kilometer. Pembangunan jalan sempat mengalami penurunan selama 1999/2000 hingga 2001 yang salah satu penyebabnya diantaranya adalah kondisi keuangan yang masih belum stabil. Tetapi kondisi tersebut tidak berlangsung lama, dimana pembangunan jalan mengalami peningkatan kembali pada tahun berikutnya. Hal ini menunjukkan adanya keinginan dari pemerintah untuk membangun dan melengkapi sarana dan prasarana khususnya jalan di daerah Kabupaten Malang. Kondisi perkembangan prasarana jalan pada masa Otonomi Daerah, berdasrakan penelitian dilapangan sebanyak 19 responden (61,3 %) berpendapat bahwa prasarana jalan yang ada, dinilai memiliki kriteria yang baik. Artinya langkah pemerintah dalam melaksanakan pembangunan prasarana jalan di era otonomi daerah telah menciptakan dampak yang
10
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
menguntungkan bagi masyarakat sebagai pengguna jalan umum, dimana realisasi yang ada selama ini telah menciptakan kondisi kelancaran transportasi, banyaknya jalan yang beraspal, banyaknya pembangunan jalan-jalan baru, dan kualitas jalan yang semakin bagus. Sedangkan sebanyak 10 responden (32,3 %) menyatakan bahwa kondisi prasarana jalan selama ini dinilai masyarakat mempunyai kondisi yang cukup baik. Dimana pembangunan prasarana yang dilakukan selama ini masih kurang adanya perhatian dari tanggung jawab pemerintah daerah baik dari segi pengawasan dan perawatan. Beberapa jalan umum di daerah yang mobilitasnya tinggi dinilai masih terjadi adanya kemacetan, juga di beberapa jalan di daerah pelosok dinilai kualitasnya masih kurang bagus walaupun perbaikan jalan juga terus dilakukan, dan sebaiknya pembangunan jalan umum harus terus direalisasikan. Selain itu juga kenyamanan dan keamanan yang dirasakan oleh pengguna jalan masih dirasakan kurang. Selain prasarana jalan kondisi sektor infrastruktur yang lainnya seperti air bersih, di era otonomi daerah menunjukan bahwa penyediaan air bersih di wilayah Kabupaten Malang dinilai sudah baik, dimana berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, sekitar 74,2 % dari total responden menyatakan penyediaan air bersih di kabupaten malang sudah memadahi. Artinya kebutuhan akan air bersih bagi masyarakat di Kabupaten Malang sudah tersedia dengan baik. Sedangkan sebagian lain, 25,8 % dari total responden mengatakan kurang memadai, karena mereka selama ini berada di kawasan yang pengelolaan airnya, secara teknis, kurang teratur terutama untuk kawasan pedalaman. Oleh karena itu perlu langkah yang lebih efektif bagi pemda untuk memperluas jaringan penyediaan air bersih ke pelosok seperti halnya yang dialami oleh sub-sektor prasarana jalan, karena 71 % dari total responden berpendapat bahwa perluasan jaringan air bersih masih dianggap kurang. Mengenai kinerja PDA sebagai penyuplai air bersih dinyatakan oleh 9 responden (29 %) bahwa penyediaan air bersih, khususnya melalui PDAM, pada masa otonomi daerah dinilai telah mengalami perbaikan dan telah memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat umum antara lain pengadaan air bersih menjadi lebih mudah, lancar, dan efisien,serta sangat memadai bagi kehidupan dan kesehatan masyarakat (air minum, MCK). Sedangkan 10 responden (32,3 %) menilai pengadaan air bersih sudah cukup baik, karena selama ini pengadaan air bersih, melalui PDAM, masih tergantung pada kondisi musim sehingga aliran air sering macet. Selain itu tarif yang dikenakan juga naik cukup signifikan tanpa diimbangi dengan pelayanan yang baik. Penilian tersebut sama seperti 12,9 % dari total responden menilai penyediaan air bersih masih kurang, antara lain kurangnya penyediaan fasiitas air bersih di daerah-daerah pelosok, kurangnya pelayanan, dan jatah air bersih yang terus berkurang. Pertanggungjawaban pemerintah daerah dan DPRD pada masyarakat lokal, terutama dalam proses pembuatan keputusan di daerah Penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan semangat otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna bagi penyelenggaraan pembangunan, pemerintah dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai daerah otonom, daerah memiliki kewenangan dan tanggung untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip demokratisasi, transparansi, akuntabilitas, good governance, efisiensi dan efiktifitas. Penerapan Prinsip-prinsip tersebut telah membawa paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah karena adanya kewenangan yang yang lebih terdesentralisasi pada daerah. Dengan adanya kewenangan daerah yang lebih besar dibanding tahun sebelumnya memerlukan konsekuensi logis bagaimana kewenangan daerah
11
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
dalam hal ini pemerintah daerah menjadi sebuah keharusan untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahannya kepada masyarakat. Terkait dengan responsibilitas Pemda dan DPRD dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan / aspirasi masyarakat lokal di Kabupaten Malang, dari informasi yang diperoleh dilapanangan dapat diketahui bahwa sebagian responden memberikan penilaian “semakin baik” dalam arti proses implementasi perlu lebih dioptimalkan. Disisi lain terdapat pula kritik-kritik terhadap mereka bahwa Pemda dan DPRD, semakin berkuasa, umumnya mementingkan ego masingmasing, mengesampingakan rakyat yang semestinya menjadi prioritas utama. Begitu juga dengan penilaian terhadap tingkat sinergitas antara Pemda dan DPRD dalam memaksimalkan kepentingan masyarakat lokal, nampaknya sebagian responden menilai DPRD ingin lebih berkuasa dengan dalih “wakil rakyat”. Kenyataannya antara Pemda dan DPRD terdapat tumpang tindih kepentingan atau deskripsi tugas dalam beberapa kasus. Di era otonomi daerah saat ini, partisipasi publik dinilai semakin meningkat didalam proses pembuatan kebijakan di daerah Kabupaten Malang. Hal ini didukung oleh tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten Malang yang semakin meningkat, sehingga tuntutan masyarakat untuk lebih kritis dan terlibat didalam proses pembuatan kebijakan daerah menjadi lazim untuk dilakukan. Menurut beberapa responden pola keterbukaan sudah mulai terlibat, akses terbuka, walaupn masih ada yang bersifat formalitas. Meskipun akses sudah terbuka, aspirasi masyarakat belum bisa diakomodir dengan baik oleh Pemda dan DPRD, karena wakil-wakil rakyat masih membawa kepentingan masing-masing. Aspirasi masyarakat mampu diakomodasi oleh eksekutif, tetapi setelah sampai di DPRD hal itu menjadi tergantung pada kepentingan Dewan. Komunikasi dengan publik dan proses yang benarbenar melibatkan komponen masyarakat sangat kurang, terkadang hanya bersifat formalitas saja. Aspirasi yang tersalurkan didominasi pihak-pihak tertentu yang memilki konspirasi dengan mereka. Hal ini disebabkan, mereka tidak menganggap masyarakat sebagai bagian dari pemerintah, serta minimnya interaksi diantara ketiga pihak tersebut (yakni : Rakyat, DPRD, Pemda). KESIMPULAN 1. Sejak mengimplementasikan otonomi regional, pengeluaran rutin cenderung meningkat ke level yang lebih tinggi jika dbandingkan dengan periode sebelumya (sebelum otonomi daerah), sumbangan dari pengeluaran rutin pada era desentralisasi menunjukan nilai ratarata mencapai 77 persen dari total pengeluaran. Proporsi yang tinggi dari pengeluaran tersebut mengindikasikan bahwa sejak penerapan otonomi daerah telah terjadi peningkatan yang signifikan pada pengeluaran rutin, dimana sebagian besar pengeluaran rutin dialokasikan untuk belanja pegawai. 2. Dampak anggaran terhadap pengembangan ekonomi lokal pada era sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal dari hasil estimasi yang dilakukan menunjukan nilai yang negatif. Nilai yang negatif ini mengindikasikan bahwa desentralisasi fiskal kurang berpengaruh terhadapa pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa hal yang menyebabkan kondisi tersebut diantaranya adalah penggunaan anggaran daerah belum dialokasikan secara maksimal terhadap sektorsektor produktif yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Dimana selama ini kecenderungan penggunaan anggaran lebih mengarah pada sektor konsumtif seperti belanja pegawai, belanja barang dan lain sebagainya. Selain itu juga faktor lain yang mempengaruhi yaitu kurang kondusifnya kondisi internal dan eksternal baik dari segi sistem maupun
12
Kinerja Pemerintah DaerahDi Era Desentralisasi Fiskal :Analisis Dampak AnggaranDaerah Terhadap PengembanganEkonomi Daerah Kabupaten Malang Tahun 2004
kebijakan(regulasi) mengenai desentralisasi fiskal yang terlalu cepat dan tidak tersosialisasi dengan baik, semakin memperjelas kurang berhasilnya penerapan desentralisasi fiskal khususnya dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi daerah Kabupaten Malang. 3. Idealisme yang menyertai kebijakan otonomi daerah dalam prakteknya masih sulit dilaksanakan. Pelayanan publik yang diharapkan dapat makin membaik justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Di sektor pelayanan penyediaan kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, kualitas prasarana dan sarana yang ada cenderung makin menurun. Masalahnya tidak semata-mata terletak pada persolan ketersediaan dana, melainkan juga disebabkan oleh tiadanya perubahan paradigma aparat pemerintah dalam menjalankan otonomi daerah. Mekanisme sistem pemerintahan yang telah berubah tidak diikuti oleh perubahan prilaku pejabat publik. Kondisi demikian memperkuat dugaan bahwa aparat pemerintah daerah pada umumnya memang lebih menempatkan diri sebagai “penguasa”, dan bukan sebagai aparat yang siap melayani masyarakat. 4. Mekanisme sistem pemerintahan yang telah berubah belum diikuti oleh perubahan perilaku pejabat publik. Sehingga pertanggunggjaawaban kepada publik belum sepenuhnya mengikuti asas transparansi dan akuntabilitas. Sehingga dalam proses pembuatan keputusan Perda maupun APBD belum sepenuhnya melibatkan masyarakat secara luas. REKOMENDASI 1. Diperlukan program-program untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat berpartisipasi secara aktif di dalam proses perumusan kebijakan. Program-program ini seyogyanya difokuskan pada penyusunan rancangan perda, pemahaman terhadap APBD, dan advokasi yang efektif. 2. Dibutuhkan lebih banyak forum untuk mengorganisir masyarakat di dalam membahas seputar permasalahan dan kebutuhan daerah. 3. Perlu dibentuk sebuah lembaga penelitian dan layanan informasi yang independent guna membantu DPRD dalam menjalankan fungsinya dibidang penyusunan kebijakan dan pengawasan. 4. Diperlukan program-program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai proses tat pemerintahan daerah sehingga civil society organization dapat menemukan cara untuk mewujudkan tanggung jawab para pejabat daerah kepada masyarakat. 5. Diperlukan sebuah system yang mendukung bagi terlaksananya efisiensi pemerintahan khususnya dalam bidang keuangan/anggaran sehingga dapat meminimalisasi tingkat penyelewengan.
13