DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA: SUATU PENDEKATAN EKONOMETRIKA
MANGASI PANJAITAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK MANGASI PANJAITAN. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara: Suatu Pendekatan Ekonometrika (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, KOOSWARDHONO MUDIKDJO, RUDOLF S. SINAGA dan ERNA MARIA LOKOLLO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Usaha pembangunan yang sentralistis selama Orde Baru ternyata tidak menghasilkan suatu pembangunan yang merata. Pembangunan lebih didominasi di pusat. Begitu juga halnya di daerah tingkat satu, pembangunan didominasi di kota propinsi dan hanya sebagian kecil yang menyentuh kabupaten dan juga antar kabupaten tidak terlihat adanya suatu pemerataan pembangunan. Disparitas pembangunan ekonomi mendorong meningkatnya tuntutan otonomi daerah. Tuntutan dimaksud diakomodir oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan mengeluarkan UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisa kinerja fiskal sebelum dan sesudah kebijakan desentralisasi fiskal, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal dan perekonomian daerah kabupaten dan kota, (3) mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah kabupaten dan kota tahun 1990-2003 dan (4) meramalkan dampak kebijakan fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah kabupaten dan kota tahun 2006-2008. Model Ekonometrika Desentralisasi Fiskal Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara yang dibangun terdiri dari tiga blok yaitu (1) blok fiskal daerah, (2) blok investasi dan infrastruktur, dan (3) blok kinerja perekonomian. Menggunakan pool data (cross section 17 kabupaten dan kota, serta time series 1990-2003). Model diestimasi dengan metoda 2 SLS (two stage least squares) prosedur SYSLIN dan simulasi (historis dan peramalan) dengan prosedur SIMNLIN. Kesimpulan penelitian adalah (1) sumber-sumber kebutuhan fiskal daerah baik sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, didominasi oleh dana perimbangan dari pemerintah pusat, (2), transfer ditentukan oleh tingkat perekonomian dan kondisi sosial dan fisik daerah, sedangkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja dipengaruhi oleh tingkat kepastian berusaha dan upah ( 3), peningkatan Dana Alokasi Umum ke daerah berhasil meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan (khususnya di kota), dan (4) peningkatan Dana Alokasi Umum diwaktu mendatang berhasil meningkatkan penerimaan, pengeluaran, pendapatan masyarakat, kesempatan kerja dan distribusi pendapatan (khususnya kota). Implikasi kebijakan adalah (1) pemerintah melakukan efisiensi pada pos pengeluaran rutin dan mengalokasikannya menjadi pengeluarn pembangunan karena memberikan dampak yang baik untuk kinerja fiskal dan perekonomian daerah, (2) mengelola dengan baik kebijakan pengupahan dengan hati-hati, karena penetapan upah yang salah berdampak buruk pada hampir seluruh kinerja fiskal dan perekonomian, dan (3) untuk menekan biaya transaksi dalam menanggulangi defisit fiskal, pemerintah pusat mengalihkan sumber-sumber penerimaan yang lebih besar ke daerah. Kata kunci:Desentralisasi fiskal, kabupaten dan kota, kinerja fiskal dan perekonomian, model ekonometrika.
ABSTRACT MANGASI PANJAITAN. The Impact of Fiscal Decentralization On Economic Performance of Districts and Municipalities in North Sumatera: An Econometric Approach (BONAR M. SINAGA as Chairman, KOOSWARDHONO MUDIKDJO, RUDOLF S. SINAGA and ERNA MARIA LOKOLLO as Members of the Advisory Committee). The history of economic development has shown that New Order built the strong governmental within the political stability as it is a necessary condition to accelerate development in all sectors especially in economic sector. In term of political stability, the government built the centralized political and governmental structure. However, the centralized development couldnot fairly distribute the output of development. The development was dominated by central region. Moreover, in provincial region, development was concentrated in its city, only few in some districts, besides that, there is not a fairly distributed between district. Disparity of economic development already pushed the regional autonomy movement. The movement accomodated by Government and Representatives by issues the Law No.22 Year 1999 and Law No.25 Year 1999. The research objectives are (1) to describe the fiscal performance before and after fiscal decentralization policy (2) to analyze the factors which influence districts and municipalities fiscal and economy performance (3) to evaluate the impact of fiscal decentralization policy and changes of non fiscal variable on district and municipalities fiscal and economy performance, and (4) to forecast the impact of fiscal decentralization on districts and municipalities fiscal and economy performance in 2006-2008 . Constructed North Sumatera’s Fiscal decentralization Econometric Model consists of three blocks that is (1) distric fiscal block (2) invesment and infrastructure block, and, (3) economic performance block. Using pool data (cross section 17 districts, and municipalities and time series 1990-2003). Model is estimated by 2SLS (two stage least squares) method, SYSLIN procedure and historical simulation and forecasting by SIMNLIN procedure. The research concludes that (1) districts and municipalities sources before and after fiscal decentralization policy are dominated by central government equalization transfer fund (2) the central government equalization transfer is determined by level of economy, social and physical condition of the districts and municipalities, on the other hand the income level and job opportunities are influenced by the degree of investment certainty and wage level (3) the increase General Transfer Fund (Dana Alokasi Umum) to the districts and municipalities has raised the level of income, job opportunities and distribution of income (especially in the districts), and (4) the increase of General Transfer Fund (Dana Alokasi Umum) in the future will be expected rise up the government revenue and expenditure, income, job opportunities and distribution of income (especially in districts). Policy Implications are (1) the government should reduce the routine expenditure and allocate them to be development expenditure because it results in region fiscal and economic performance positively (2) the government should managed wage policy properly and carefully, because inappropriate wage policy will cause to most of fiscal and economic performance, and (3) should decrease transaction cost in order to alleviate fiscal deficit and the central government should relocate higger revenue source to the region. Key words: fiscal decentralization , districts and municipalities, fiscal and economic performance,econometric model.
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara:Suatu Pendekatan Ekonometrika merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di peruguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, April 2006
Nama: MANGASI PANJAITAN NRP : 995010
wi
© Hak Cipta milik Mangasi Panjaitan, tahun 2006 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya.
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA: SUATU PENDEKATAN EKONOMETRIKA
MANGASI PANJAITAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Disertasi
: Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara: Suatu Pendekatan Ekonometrika
Nama
: Mangasi Panjaitan
NRP
: 995010
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Bonar M.Sinaga, MA Ketua
Prof. Dr. Kooswardhono Mudikdjo, MSc Anggota
Prof. Dr. Rudolf S. Sinaga, MSc Anggota
Dr. Erna M. Lokollo, MS Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Bonar M.Sinaga, MA
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc
Tanggal Ujian: 27 April 2006
Tanggal lulus:………………………..
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Batulima, Kisaran pada tanggal 15 Desember 1963 sebagai anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan Uluan Panjaitan dan Dina Manurung. Penulis lulus dari SD Negeri V Kampung Durian, Kisaran pada tahun 1975, lulus Sekolah Menengah Pertama Persiapan Negeri Desagajah - Kisaran pada Tahun 1978, dan lulus Sekolah Menengah Atas Yosua Medan pada Tahun 1981. Pada Tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor, Bogor dan lulus sebagai sarjana Ekonomi Pertanian pada Tahun 1986. Pada Tahun 1992 penulis mendapat kesempatan belajar di Program Pascasarjana (S2) Universitas Indonesia Jakarta pada program studi Ilmu Ekonomi dan lulus pada tahun 1996 sebagai Magister Ekonomi (ME). Pada Tahun 1999 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi S3 (program doktor) pada Institut Pertanian Bogor dengan dana bantuan pendidikan dari Forum Pusaka pada tahun I dan BPPS (Bea Siswa Pendidikan Pasca Sarjana) dari Dikti Jakarta selama enam semester. Bantuan selama proses penelitian dan penulisan disertasi diperoleh dari Hibah Pasca Sarjana Angkatan I, Tahun ke- 2 , kerjasama DIKTI Jakarta dan IPB Bogor , dalam proyek penelitian “Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi daerah Di Indonesia”. Penulis saat ini adalah Staf Pengajar di STEKPI (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia) Jakarta dan berbagai Perguruan
Tinggi Swasta di Jakarta serta menjadi peneliti paruh waktu di beberapa perusahaan konsultan juga di Jakarta. Sebelumnya penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Fisika (ketika mahasiswa S1) pada Fakultas Teknik Sipil dan Planologi Universitas Pakuan Bogor, dosen pada Fakultas Perikanan dan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, Universitas Darmawangsa Medan, peneliti dan pengajar pada LPEM-FEUI Jakarta, pengajar dan peneliti pada STIE IBII Jakarta , pengajar pada UNIKA Atmajaya Jakarta, STIE Trisakti Jakarta, UKI Jakarta, UNISMA 45 Bekasi, dan STIE SUPRA Jakarta. Penulis telah menikah dan mempunyai dua orang putri (Febrina Putri Madewi Panjaitan dan Nadya Asima Gravita Panjaitan) dan dua orang putra (Asido Aldion Yunior Panjaitan dan Aristo Adri Caprio Panjaitan).
PRAKATA
Puji Tuhan karena kasih karuniaNya jugalah disertasi dengan judul “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Kabupaten dan Kota di proinsi Sumatera Utara:
Suatu Pendekatan Ekonometrika” dapat
diselesaikan. Penelitian dan Disertasi ini merupakan salah satu syarat kelulusan dalam Program Doktor (S3) di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini meliputi seluruh 24
kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Utara. Namun kabupaten dan kota yang dimekarkan setelah tahun 1998 “dikembalikan” kepada kabupaten induk demi keperluan data, sehingga menjadi “hanya” 17 kabupaten dan kota. Penelitian menggunakan Pool data yaitu cross section 17 kabupaten dan kota time series tahun 1990-2003. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan fiskal kabupaten dan kota terhadap transfer fiskal dari pemerintah pusat semakin tinggi, sedangkan pada tingkat pemerintah provinsi semakin kecil. Penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) dipengaruhi oleh tingkat perekonomian, jumlah penduduk miskin dan luas daerah masing-masing kabupaten dan kota. Disisi lain DAU mempengaruhi tingkat Pengeluaran Daerah. Pembangunan Infrastruktur selama periode penelitian relatif lamban, investasi relatif
juga berkurang padahal
peningkatan kedua faktor ini relatif berdampak baik pada kemapuan fiskal dan kinerja perekonomian daerah.
Meningkatnya infrastruktur dan investasi akan
mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja di kabupaten dan kota di
Sumatera Utara. Terdapat respon yang berbeda antara kabupaten dan kota terhadap kebijakan fiskal yang diambil, khususnya pada aspek distribusi pendapatan. Pembangunan infrastruktur misalnya menyebabkan distribusi pendapatan di daerah kabupaten lebih baik dibanding di daerah kota. Disertasi ini tidak mungkin rampung tanpa bantuan berbagai pihak. Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu, terutama: 1.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai Ketua Komisi Pembimbing, yang telah memberikan banyak waktu untuk berkonsultasi khususnya dalam pembentukan model dan analisis. Terimakasih atas perhatian, dorongan moril dan materil yang besar sehingga penulis mampu melewati setiap proses penyelesaian studi.
2.
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, MSc sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu konsultasi bagi penulis.
Terimakasih atas juga atas bantuan semangat yang diberikan
selama proses penulisan. 3.
Prof. Dr. Ir. Rudolf S. Sinaga, MSc sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang membuka jalan studi S3 di IPB bagi penulis dengan mencarikan sponsor khususnya pada tahun pertama kuliah. Terimakasih atas perhatian yang
dengan
kesabaran
seorang
bapak
selalu
membimbing
dan
mengarahkan penulis dari awal hingga akhir studi. 4.
Dr. Ir. Erna Maria Lokollo, MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang tidak pernah bosan membesarkan hati sehingga penulis dapat melalui
beberapa “tahapan” yang sulit dalam penyelesaian disertasi. Terimakasih atas kesediaan beliau, ditengah kesibukan beliau, menyediakan waktu konsultasi dan juga mencarikan berbagai literatur mutakhir tentang desentralisasi fiskal. 5.
Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc sebagai Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka. Terimakasih atas masukan dan kritik yang membantu dalam penyempurnaan disertasi.
6.
Dr. B. Raksaka Mahi, Ketua Program Magister dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia Jakarta, yang bertindak sebagai Penguji Luar IPB pada Sidang Terbuka Doktor, telah memberikan masukan dan klarifikasi yang sangat berharga bagi penyempurnaan disertasi ini.
7.
Dr.Ir. Sri Hartojo MS, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen , Institut Pertanian Bogor yang menjadi pimpinan Sidang Terbuka. Terimakasih atas masukan-masukan yang bermakna.
8.
Dr. Miranda S. Gultom, Deputi Senior Bank Indonesia yang turut merekomendasikan penulis agar diterima menjadi mahasiswa S3 di IPB Bogor. Terimakasih atas dorongan dan kepercayaan yang diberikan.
9.
Dr. Sri Mulyani Indrawati, kini Menteri Keuangan, atas rekomendasi beliau agar penulis dapat diterima pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
10.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Jakarta atas beasiswa BPPS selama enam semester.
11.
Dr. Widadi W, yang atas usaha beliau penulis mendapat beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta.
12.
Forum Pusaka Jakarta atas kesediaan menjadi sponsor kuliah di awal tahun kuliah.
13.
Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Dikti Jakarta. Terimakasih atas bantuan dana penelitian dalam Proyek “Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Indonesia” dimana penulis menjadi salah satu anggota tim.
14.
Tim Hibah Pascasarjana IPB– Dikti Angkatan II Tahun 2003 s/d 2005. Terimakasih atas kerjasama yang baik selama proses penelitian.
15.
Teman-teman, teristimewa (menurut abjad): Ir.Budiman Marpaung, MM ; Ir. Mangatas Siagian; Muhamad Nur ,SE,ME ; dan Ir. Leo Nababan. Terimakasih atas bantuannya, terutama pada saat-saat sulit di masa studi penulis.
16.
Saudaraku Ir. Rasidin Karo-Karo, MS yang banyak membantu pengolahan data. Bersama beliau pekerjaan yang berat terasa menjadi lebih ringan. Terimakasih atas kebersamaannya dan kesabarannya.
17.
Bapak Dr.Agung Nur Fajar dan Bapak Venny F. Mandang, SE,MM berturut-turut adalah Wakil Ketua Bidang Akademik STEKPI, School of Business and Manajement, dan Ketua Jurusan Manajemen yang telah memberikan keringanan dalam tugas mengajar selama satu semester, khususnya pada tahap akhir penyelesaian disertasi ini.
18.
Bapakku Uluan Panjaitan dan Ibuku Dina Manurung (alm) tercinta. Terimakasih atas doanya yang tidak pernah berhenti buat penulis, tanpa doa restu bapak dan ibu mustahil tulisan ini rampung.
19.
Ompung Batulan boru Siahaan (alm) yang tersayang. Kasih sayangnya yang begitu kuat, tulus dan mendalam menginspirasi penulis sehingga mampu meraih pendidikan hingga ke jenjang tertinggi dunia akademik, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Kepadanya Tulisan ini
didedikasikan. 20.
Adik-adik tercinta; Rusman Panjaitan, Rimbun boru Panjaitan, Emmas boru Panjaitan, Rugun boru Panjaitan, Royal Panjaitan, Sopar Panjaitan dan si bungsu David Manarsar Panjaitan ,yang banyak membantu penulis terutama saat-saat paling sulit dalam proses perkuliahan dan penulisan disertasi.
21.
Istri dan anak anakku tercinta. Terimakasih atas cinta kasih mereka yang tidak pernah habis dan selalu menjadi sumber kekuatan baru bagi penulis.
22.
Kepada berbagai pihak yang tanpa sengaja tidak disebutkan namanya, terimakasih atas bantuan moril dan materil yang tidak kalah pentingnya dari pihak-pihak yang disebut sebelumnya, hingga tulisan ini selesai. Tulisan ini jauh dari sempurna sehingga membutuhkan kritik dan saran
untuk penyempurnaan. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi khalayak.
Penulis Mangasi Panjaitan
i
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR...........................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................
xiii
I. PENDAHULUAN …………………………...………...…………....
1
1.1. Latar Belakang ………………………………………………….
1
1.2. Perumusan Masalah......................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian...........................................................................
12
1.4. Ruang Lingkup Penelitian.............................................................
13
1.5. Manfaat Penelitian.........................................................................
15
1.6. Keterbatasan Penelitian.................................................................
16
II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………….........……...
17
2.1. Desentralisasi . Napak Tilas..…............................................…....
17
2.2. Desentralisasi Politik.....................................................................
26
2.3. Desentralisasi Fiskal.....................................................................
29
2.4. Formulasi Dana Alokasi Umum...................................................
41
2.4.1. Formulasi DAU 2001 ..................................................... ..
42
2.4.2. Formulasi DAU 2002..........................................................
43
2.5. Transfer Keuangan Pusat dan Daerah ……………………........
49
2.6. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian....................................
50
2.7. Studi-Studi Desentralisasi Fiskal ...............................................
57
2.7.2. Mancanegara......................................................................
57
2.7.1. Indonesia.............................................................................
62
2.7.1.1. Metodologi dan Tujuan Penelitian.......................
62
2.7.1.2. Ruang Lingkup Penelitian....................................
67
2.7.1.3. Hasil-Hasil Penelitian...........................................
70
ii
III.
METODOLOGI PENELITIAN…………………...........……….....
78
3.1. Lokasi Penelitian..........................................................................
78
3.2. Kinerja Fiskal Daerah ..................................................................
78
3.3. Konstruksi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara..............
79
3.4. Kerangka Berfikir dan Spesifikasi Model ..................................
81
3.5. Identifikasi Model........................................................................
97
3.6. Metoda Estimasi............................................................................
97
3.7. Validasi Model..............................................................................
99
3.8. Simulasi Kebijakan........................................................................
100
3.9. Peramalan......................................................................................
101
3.10. Jenis dan Sumber data.................................................................. IV.
V.
VI.
SUMATERA UTARA: KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN.............................................................................
102
104
4.1. Keadaan Umum............................................................................
104
4.2. Perekonomian Daerah Sumatera Utara..........................................
104
4.2.1. Tingkat Perekonomian........................................................
104
4.2.2. Kinerja Perdagangan Luar Negeri.....................................
109
4.2.3. Pembangunan Ekonomi Makro..........................................
111
EVALUASI KINERJA FISKAL DAERAH SUMATERA UTARA.................................................................................................
113
5.1. Penerimaan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara..........
114
5.2. Pengeluaran Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara .......
119
5.3. Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.......................
127
5.4. Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota......................
133
5.5. Derajat Desentralisasi Kabupaten/Kota...................................
138
5.6. Ringkasan Kinerja Fiskal ...........................................................
141
HASIL ESTIMASI MODEL DESENTRALISASI FISKAL SUMATERA UTARA.........................................................................
145
6.1. Keragaan Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara...............
145
6.2. Kinerja Fiskal Daerah..................................................................
147
6.2.1. Pajak daerah .......................................................................
147
6.2.2. Retribusi ............................................................................
151
iii 6.2.3. Dana Alokasi Umum...........................................................
154
6.2.4. Bagi Hasil Pajak ................................................................
157
6.2.5. Pengeluaran Rutin...............................................................
159
6.2.6. PengeluaranPembangunan...................................................
162
6.3. Kinerja Pembangunan Infrastruktur dan Investasi.......................
163
6.3.1. Pembangunan Infrastruktur................................................
164
6.3.2. Investasi...............................................................................
167
6.4. KinerjaPerekonomian....................................................................
169
6.4.1. Produk Domestik Regional Bruto ......................................
170
6.4.2. Kesempatan Kerja...............................................................
171
6.4.3. Inflasi ..................................................................................
173
6.5. Ringkasan Hasil Estimasi Model....................................................
174
6.5.1. Kinerja Fiskal...................................................................... 6.5.2. Kinerja Infrastruktur dan Investasi......................................
174 176
6.5.3. Kinerja Perekonomian.........................................................
176
VII. EVALUASI DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL DAN PERUBAHAN VARIABEL NON FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH TAHUN 1990-2003......
179
7.1. Hasil Validasi Model....................................................................
179
7.2. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal ......................................
180
7.2.1. Simulasi 1 : Peningkatan BHSDA 15%..........................
180
7.2.2. Simulasi 2 : Peningkatan BHP 15%..............................
183
7.2.3. Simulasi 3 : Kenaikan Dana Alokasi Umum 10%..........
186
7.2.4. Simulasi 4 : Peningkatan Pajak Daerah 15%..................
189
7.2.5. Simulasi 5 : Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60%...................
192
7.2.6. Simulasi 6 : Peningkatan Retribusi 15%.........................
194
7.2.7. Simulasi 7 : Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48%..................
197
7.2.8. Simulasi 8 : Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Rutin 1.25%.................................................
198
7.2.9. Simulasi 9 : Peningkatkan PAD 10% dan Pengeluaran Pembangunan 2.38%...................................
200
7.2.10. Simulasi 10: Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.1%..................
201
iv
7.3. Dampak Perubahan Variabel Non Fiskal...................................... 7.3.1.
Simulasi 11: Peningkatan Upah 10%...............................
7.3.2.
Simulasi 12: Peningkatan Pembangunan Infrastruktur
20%.............................................................. 7.3.3.
204 204
205
Simulasi 13: Peningkatan Upah 10% dan Infrastruktur 20%..............................................................
207
7.3.4.
Simulasi 14: Peningkatan Investasi 20%..........................
208
7.3.5.
Simulasi 15: Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20%...............................................
7.4. Ringkasan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Perubahan Variabel Non fiskal.........
210
212
win.........................................
VIII.
7.4.1. Kebijakan Desentralisasi Fiskal.............................
212
7.4.2. Perubahan Variabel Non Fiskal..............................
215
HASIL PERALAMAN DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH TAHUN 2006-2008...............
217
8.1. Hasil Peramalan Tanpa Alternatif Kebijakan................................
217
8.1.1. Hasil Peramalan Daerah Kabupaten...................................
217
8.1.2. Hasil Peramalan Daerah Kota ...........................................
218
8.2. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal ........
219
8.2.1. Skenario 1: Peningkatan BHSDA 15%...........................
220
8.2.2. Skenario 2: Peningkatan DAU 10%................................
222
8.2.3. Skenario 3: Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60%....................
223
8.2.4. Skenario 4: Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48%...................
225
8.2.5. Skenario 5: Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Rutin 2.50%..................................................
226
8.2.6. Skenario 6: Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Pembangunan 4.76% ...................................
227
8.2.7. Skenario 7: Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.1% .................
229
v
IX.
8.3. Hasil Peramalan Dampak Perubahan Variabel Non Fiskal...........
230
8.3.1. Skenario 8: Peningkatan Upah 10% dan Infrastruktur 20% .............................................................
230
8.3.2. Skenario 9: Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20%................................................
232
8.4. Ringkasan Peramalan Dampak Desentralisasi Fiskal dan Perubahan Variabel Non Fiskal.....................................................
233
8.4.1. Kebijakan Desentralisasi Fiskal............................
233
8.4.2. Perubahan Variabel Non Fiskal.............................
236
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................
236
9.1. Kesimpulan...................................................................................
236
9.2. Implikasi Kebijakan......................................................................
238
9.3. Saran Penelitian Lanjutan............................................................
240
DAFTAR PUSTAKA ………………….....………………………
241
LAMPIRAN ………………………......……………………….....
247
vi
DAFTAR TABEL 32.anf
win Nomor
Halaman
1. Perkembangan Potensi Fiskal Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota se Sumatera Utara Tahun 1990/91 – 2003.............................................
9
2. Duapuluh empat Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun 2004.......
13
3. Historis Undang-Undang Otonomi Daerah Sebelum dan Sesudah Era Reformasi……………………………………………………………...
19
4. Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam Sebelum UU No.25 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 1956……………………………………...
21
5. Sumber Penerimaan Daerah Menurut UU No.32 Tahun 1956 dan UU No.25 Tahun 1999.................................................................................
22
6. Porsi Pengeluaran dan Pengeluaran Lokal terhadap Nasional pada Negara Berkembang dan Negara Lain Tahun 1990-an………………
23
7. Pajak dan Retribusi Daerah Menurut UU No.34 Tahun 2000………
24
8. Jenis Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota……………………………
32
9. Pembagian Blok dan Persamaan dalam Model Ekonometrika Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara...............................................…
82
10. Data Fiskal dan Makroekonomi dan Sumber data…………………….
102
11. Perbandingan PDRB Sumatera Utara dan Indonesia Tahun 19902003…………………………………………………….......................
105
12. Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Sektoral Sumatera Utara Tahun 1990-2003…………………………………………………….............
106
vii
13. Struktur Perekonomian Sumatera Utara Tahun 1990-2003…….........
108
14. Penerimaan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003……………………………………………………….
115
viii
15. Penerimaan, PAD dan Dana Perimbangan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003……………………
117
16. Perkembangan Dana Perimbangan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003……….....................……….
118
17. Pendapatan Asli Daerah, Pajak Daerah, Retribusi, Laba BUMD, dan PAD Lain Pemerintah Daerah Propinsi Tahun 1990/1991-2003..
120
18. Perkembangan Pengeluaran Total, Rutin dan Pembangunan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara 1990/1991-2003……..
122
19. Perkembangan Rasio Pengeluaran Rutin dan Pembangunan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara 1990/1991-2003……....
123
20. Belanja Pegawai, Non Belanja Pegawai, Angsuran Hutang, BantuanKeuangan, dan Belanja Tak Jelas Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003………….................
125
21. Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Bidang Ekonomi dan Sosial Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003……..........……………………………………….......
127
22. Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se Sumatera Utara Tahun 1990/1991- 2003………………………………………………
128
23. Penerimaan, PAD, dan Dana Perimbangan Pemerintah DaerahKabupaten/Kota se Sumatera Utara Tahun 1990/1991- 2003
130
24. Pendapatan Asli Daerah, Pajak Daerah, Retribusi, Laba BUMD,dan PAD Lain Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003………………………………………………..
131
25. Perkembangan Dana Perimbangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003……..…..
133
26. Perkembangan Pengeluaran Total, Rutin dan Pembangunan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003
134
27. Perkembangan Rasio Pengeluaran Rutin dan Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003……………………………………………………….
135
ix
28. Belanja Pegawai, Non Belanja Pegawai, Angsuran Hutang, BantuanKeuangan, dan Belanja Tak Jelas Pemda Kab/Kota se Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003……………………………..
137
29. Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Bidang Ekonomi dan Sosial Pemerintah Daerah Kab/Kota se Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003……............................................................................
139
30. Perkembangan Tingkat desentrallisasi Fiskal Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota Sumatera Utara 1990/1991-2003................................
140
31. Persentase Pengeluaran dan penerimaan Daerah terhadap Pusat di Berbagai Wilayah 2005......................................................................
141
32. Keragaan Umum Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara………
146
33. Hasil Estimasi Perilaku Pajak Daerah…………………………….…..
148
34. Rata-rata Pajak daerah Pemerintah Propinsi dan Kab/Kota se Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal Tahun 1990/1991-2003.....................................................................................
150
35. Peraturan Pajak dan Biaya Pelayanan Yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia Tahun 2000/2001…………………..
151
36. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Retribusi Daerah (RETRIB).......
151
37. Rata-rata Retribusi Propinsi dan Kabupaten/Kota se Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal Tahun 1990/1991-2003......
153
38. Hasil Estimasi Perilaku Dana Alokasi Umum (DAU)..........................
155
39. Rata-rata Dana Alokasi Umum Propinsi dan Kabupaten/Kota se Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal Tahun 1990/1991-2003.....................................................................................
157
40. Hasil Estimasi Perilaku Bagi Hasil Pajak (BHP)……………………..
158
41. Rata-rata Bagi Hasil Pajak Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota se Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal Tahun 1990/1991-2003.....................................................................................
159
42. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Rutin (RUEXP)..........................
160
x
43. Rata-rata Pengeluaran Rutin Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota se Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal Tahun 1990/1991-2003.....................................................................................
162
44. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP)..........
162
45. Rata-rata Pengeluaran Pembangunan Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota se Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal Tahun 1990/1991-2003.........................................
164
46. Hasil Estimasi Perilaku Pembangunan Infrastruktur di Daerah (INFRAS) .............................................................................................
165
47. Hasil Estimasi Perilaku Investasi di Daerah (INVDA).........................
168
48. Hasil Estimasi Perilaku Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).....
171
49. Hasil Estimasi Perilaku Kesempatan Kerja..........................................
172
50. Hasil Estimasi Perilaku Inflasi.............................................................
174
51. Perkembangan PDRB dan Distribusi Pendapatan Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara..........................................................
178
52. Dampak Peningkatan BHSDA 15% terhadap Kinerja Fiskal dan perekonomian daerah.............................................................................
182
53. Dampak Peningkatan BHP 15% terhadap Kinerja Fiskal dan perekonomian daerah.............................................................................
184
54. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum 10% terhadap Kinerja Fiskal dan perekonomian daerah...........................................................
187
55. Dampak Peningkatan Pajak Daerah 15% terhadap Kinerja Fiskal dan perekonomian daerah.............................................................................
190
56. Dampak Peningkatan Pajak Daerah 15 % dan Pengeluaran Pemerintah 0.60% terhadap Kinerja Fiskal dan perekonomian daerah....................................................................................................
193
57. Dampak Peningkatan Retribusi terhadap Kinerja Fiskal dan perekonomian daerah............................................................................
195
58. Dampak Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% terhadap Kinerja Fiskal dan perekonomian daerah...................
198
xi
59. Dampak Peningkatan Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Rutin 1.25% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah................
199
60. Dampak Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Pembangunan 2.38% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah................
201
61. Dampak Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.1 % Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah.................................................................................................
203
62. Dampak Peningkatan Upah 10% terhadap Kinerja Fiskal dan perekonomian daerah............................................................................
205
63. Dampak Peningkatan Infrastruktur 20% terhadap Kinerja Fiskal dan perekonomian daerah............................................................................
206
64. Dampak Peningkatan Upah 10 % dan Infrastruktur 20% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah……………….…………..
208
65. Dampak Peningkatan Investasi 20 % Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah………………………………………………..
210
66. Dampak Peningkatan Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20% Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah....................
211
67. Hasil Peramalan Peubah endogen tanpa kebijakan di Kabupaten.........
217
68. Hasil Peramalan Peubah Endogen tanpa kebijakan di Kota..................
219
69. Peramalan Dampak Peningkatan BHSDA 15% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah..........................................................
221
70. Peramalan Dampak Peningkatan DAU 10% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah....................................................................
223
71. Peramalan Dampak Peningkatan Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah...........................................................................
224
72. Dampak Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah..................
225
73. Peramalan Dampak Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Rutin 2.50% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah..................
227
xii
74. Peramalan Dampak Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Pembangunan 4.76% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah..................................................................................................
228
75. Peramalan Dampak Realokasi Anggaran Rutin20%menjadiAnggaran Pembangunan 38.1.% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah....................................................................................................
230
76. Dampak Peningkatan Upah 20% dan Infrastruktur 20% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah............................................
231
77. Peramalan Dampak Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20% Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah...................
232
xii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Prosedur Penyusunan DAU (Dana Alokasi Umum) 2001....................
42
2.
Prosedur Penyusunan DAU (Dana Alokasi Umum) 2002....................
44
3.
Desentralisasi Fiskal, Peranan Negara dan Kinerja Perekonomian......
51
4.
Tahapan Membangun Model Desenralisasi Fiskal...............................
80
5.
Keterkaitan Antar Blok dan Persamaan dalam Model.........................
84
xii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Prosedur Penyusunan DAU (Dana Alokasi Umum) 2001....................
42
2.
Prosedur Penyusunan DAU (Dana Alokasi Umum) 2002....................
44
3.
Desentralisasi Fiskal, Peranan Negara dan Kinerja Perekonomian......
51
4.
Tahapan Membangun Model Desenralisasi Fiskal...............................
80
5.
Keterkaitan Antar Blok dan Persamaan dalam Model.........................
84
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Halaman
Keterangan Variabel dalam Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara.......................................................................................................
247
Data Fiskal dan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990-2003.........................................................................
249
Program Komputer Estimasi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metoda 2SLS………………………………………………………..............…
309
Hasil Estimasi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metoda 2SLS…………………………………….............................................
311
Program Komputer Validasi Model (Kabupaten) Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton...……………………………..
320
Contoh Hasil Validasi (Kabupaten) , Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton……………………………….………….
321
Program Komputer Simulasi Model (Kabupaten), Skenario Peningkatan Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebesar 10% Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton…………………......................................................................
323
Contoh Hasil Simulasi Model (Kabupaten), Skenario Peningkatan Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebesar 10% Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton…..….
325
9
Simulasi, Uraian-Penjelasan dan Justifikasinya.................................
327
10.
Ringkasan Kinerja Fiskal Provinsi dan Kabupaten/Kota.....................
329
xiv
11.
Kinerja Fiskal Total dan Rata-Rata Kabupaten dan Kota Tahun 1990- 2003...........................................................................................
331
12.
Hasil Validasi Model Desentralisasi Fiskal Kabupaten dan Kota.....
332
13.
Hasil Estimasi Kinerja Fiskal dan Perekonomian Nasional dan Beberapa Daerah di Indonesia………………………………………
333
Ringkasan Hasil Estimasi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara.....................................................................................................
339
Ringkasan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Fiskal dan Ekonomi Daerah Sumatera Utara Tahun 19902003......................................................................................................
341
16.
Skenario Peramalan dan justifikasi pilihan skenario...........................
345
17.
Ringkasan Peramalan Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Sumatera Utara Tahun 2006-2008….
347
14.
15.
w
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Sejarah pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pemerintahan Orde Baru telah membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat proses pembangunan di berbagai bidang, terutama dalam bidang ekonomi. Dalam kerangka stabilitas tersebut pemerintah membangun struktur terpusat atau struktur yang sentralistis. Usaha pembangunan yang sentralistis ternyata tidak menghasilkan suatu pembangunan yang merata. Pembangunan lebih didominasi oleh pusat dan begitu juga halnya di daerah tingkat satu, pembangunan didominasi di kota provinsi dan hanya sebagian kecil yang menyentuh kabupaten dan juga antar kabupaten tidak terlihat adanya suatu pemerataan
pembangunan. Terjadinya
kepincangan dalam perolehan pembangunan antar wilayah dan terpusatnya sarana dan prasarana ekonomi di pusat dan di provinsi merupakan faktor utama yang mendorong meningkatnya tuntutan otonomi dalam mengelola daerahnya sendiri dan hal ini yang menyebabkan baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II ingin membentuk pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota yang baru. Perkembangan beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa masyarakat menuntut hasil pembangunan yang lebih merata dan mengharapkan agar potensi yang dimiliki daerah dimanfaatkan secara maksimal untuk kemaslahatan daerah. Untuk merespon keinginan tersebut
pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
2
Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah1. Melalui UndangUndang Nomor 22 tahun 1999, berdasarkan prinsip otonomi, daerah diberikan wewenang yang luas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah diikuti juga dengan penyerahan kewenangan pembiayaan bagi penyelenggaraan pemerintahan diberlakukannya
otonomi
daerah,
menuntut
kepada daerah. Dengan
kemandirian
daerah
dalam
menggerakkan roda pembangunan wilayahnya masing-masing, baik dari segi perencanaan, pembiayaan maupun pelaksanaannya. Partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan
tersebut secara langsung
berpotensi untuk
dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dengan demikian prioritas pembangunan di setiap daerah lebih dititikberatkan pada konsep bottom-up planning yang berpedoman pada kebutuhan daerah dengan mengacu pada potensi dan kemampuan daerah yang bersangkutan. Desentralisasi
fiskal memberikan kebebasan kepada daerah untuk
menyusun sendiri program-program kerja dan merealokasikan anggaran sesuai dengan
kebutuhan dan kapasitas daerah. Esensi dari perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah ini sesungguhnya adalah distribusi sumber daya keuangan
(financial sharing)
yang bertujuan memberdayakan dan
meningkatkan kemampuan ekonomi daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dalam kemampuan membiayai otonominya dan untuk menciptakan sistem
1
. Kedua Undang-Undang diatas telah direvisi masing-masing menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.33 Tahun2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah,dan diberlakukan secara nasional mulai 1 Januari 2006.
3
pembiayaan yang adil, proporsional, rasional serta kepastian sumber keuangan yang berasal dari wilayah yang bersangkutan. Dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan nantinya pemerintah daerah akan lebih efektif dan mampu untuk memenuhi pelayanan publik yang dibutuhkan, membangun sarana perekonomian serta dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Menanggapi kewenangan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua hal yang berbeda yaitu (1) lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan (revenue side) melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumberdaya yang belum optimal melalui bagi hasil, atau
(2) lebih berorientasi
pada peningkatan
efektifitas sisi pengeluaran (expenditure side) untuk menstimulasi dunia usaha melalui pengembangan iklim usaha yang lebih baik bagi daerahnya. Dari sudut pemerintahan daerah, pendekatan yang didasarkan pada penerimaan (revenue side) akan menguntungkan bagi daerah yang relatif kaya dengan sumber daya alam dan daerah dengan basis pajak yang besar, tetapi akan menjadi suatu beban pada daerah yang miskin. Dengan demikian desentralisasi fiskal yang didasarkan pada bagi hasil akan menyebabkan disparitas kapasitas diantara daerah-daerah. Menurut CESS (2001), pada saat ini sebagian besar kota dan kabupaten di Indonesia merespon desentralisasi fiskal secara tidak tepat dengan menggenjot kenaikan PAD melalui pajak dan retribusi tanpa diimbangi dengan peningkatan efektifitas pengeluaran APBD yang dapat berpengaruh buruk terhadap aktivitas
4
perdagangan dan investasi tingkat daerah, yang pada gilirannya akan menurunkan pendapatan daerah, dan kesempatan kerja.
Padahal pada masa pemulihan
ekonomi daerah yang saat ini sedang berlangsung, aktivitas perdagangan dan investasi lokal merupakan mesin penggerak pertumbuhan. Menurut Brojonegoro, et al (2001), modal merupakan komponen penting dalam pembangunan daerah di Indonesia dan berdasarkan hasil estimasi model pertumbuhan antar daerah yang dilakukannya, modal memberikan sumbangan sekitar 80 persen. Daerah dengan modal
yang lebih besar akan diuntungkan dalam proses produksi. Dengan
demikian disparitas kapasitas fiskal antar daerah akan mengakibatkan disparitas kepemilikan modal, dan pada gilirannya ketidakmerataan kepemilikan modal baik antar individu maupun antar daerah merupakan salah satu penentu kesenjangan produksi dan distribusi pendapatan antar daerah. Sebagai implementasi dari Perimbangan
Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah maka melalui
Keputusan Presiden nomor 181 tahun 2000 tentang Dana Alokasi Umum daerah provinsi dan kabupaten/kota tahun anggaran 2001 telah ditetapkan besarnya DAU untuk masing-masing kota/kabupaten. Salah satu tujuan keberadaan DAU dalam sistem perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah adalah sebagai equalization grant, terutama untuk menetralkan dampak yang ditimbulkan oleh transfer lain, yaitu Bagi Hasil Sumber Daya Alam dan Bagi Hasil Pajak. Salah satu tolak ukur keberhasilan DAU adalah tercapainya penerimaan daerah per kapita yang sebaik-baiknya. Selanjutnya
pemerataan total sebagai
dana
perimbangan lainnya (diluar DAU, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Sumber Daya
5
Alam) pemerintah pusat juga memberikan transfer kepada Pemerintah daerah berupa DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk membantu membiayai kebutuhan khusus yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus Dana Alokasi Umum. Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tersebut disebut juga bahwa DAU merupakan bantuan yang bersifat block (block grant), yaitu penggunaannya bebas ditentukan oleh daerah sendiri, sedangkan penggunaan Dana Alokasi Khusus digunakan sesuai prioritas nasional. Pengalokasian Dana Alokasi Umum adalah untuk belanja rutin dan belanja pembangunan, sedangkan Dana Alokasi Khusus adalah untuk prioritas nasional harus dimanfaatkan dan dikelola secara optimal, sehingga desentralisasi fiskal bisa efektif dan efisien di setiap daerah. Tuntutan reformasi, khususnya tentang desentralisasi fiskal di Indonesia, dulu maupun sekarang sebenarnya lebih bermuatan politis dibanding ekonomis. Sehingga justifikasi politik, lebih kuat daripada justifikasi ekonomi ( Simajuntak,20012). Oleh sebab itu keraguan berbagai pihak termasuk Bank Dunia akan kesuksesan desentralisasi itu sangat beralasan. melansir empat faktor penyebab
Bank Dunia (20033),
ketidaksuksesan implemetasi desentralisasi
fiskal di daerah di Indonesia, yaitu (1) bentuk pendelegasian yang belum jelas, (2) akuntabilitas pemerintah daerah, (3) ketidaksiapan sumber daya manusia, dan (4) sistem politik . Di berbagai belahan daerah di Indonesia fenomena yang dikemukakan oleh Bank Dunia tadi memang jamak ditemukan. Menurut Prud’homme (1995), program desentralisasi fiskal mirip dengan resep dan obat2 3
Harian Kompas ,10 Desember 2001 Harian Kompas , 9 Juli 2003
6
obatan.
Bila resep sesuai dengan penyakit, diberikan pada waktu yang tepat dan
takaran dosis yang sesuai akan menghasilkan efek yang baik. Namun bila situasi dan kondisi tidak tepat, maka resep bisa berbahaya , bahkan fatal. Bahayanya adalah (1) meningkatnya disparitas (kesenjangan) antar daerah ; karena adanya penyerahan wewenang dari pusat ke daerah , maka redistribusi secara nasional , yang adalah tugas pemerintah pusat, menjadi lebih sulit tercapai, (2) goyahnya sendi-sendi stabilitas ekonomi makro; karena program desentralisasi fiskal ini menyebabkan kebijakan ekonomi makro, yang adalah juga tugas pemerintah pusat (by sentral government) lebih sulit dilaksanakan ditataran pemerintah daerah (by local government). Untuk
menghindari
bahaya-bahaya
tersebut
Prud’homme
(1995)
mengingatkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam program desentralisasi fiskal. Antara lain (1) menentukan secara benar suatu bentuk pelayanan yang disediakan oleh pemerintah pusat atau daerah dan (2) juga menentukan cara-cara mengorganisir produksi jasa bersama (joint product) pada berbagai tingkatan pemerintahan.
Cara-cara
seperti
itu
jika
didesain
secara
benar
dan
diimplementasikan secara baik, secara signifikan akan meningkatkan efisiensi disektor publik. Selain daripada itu, Bird dan Vaillacourt (2000) juga mengingatkan bahwa program desentralisasi fiskal itu lebih bersifat normatif.
Artinya desain
desentralisasi fiskal yang serupa untuk negara yang berbeda dapat menghasilkan efek yang tidak saja beda tapi berlawanan. Sebaliknya desain desentralisasi yang sama pada dua negara memiliki bahasa, agama dan warisan kolonial yang relatif
7
sama (kasus: Tunisia dan Marokko) memberikan hasil yang berbeda-beda. Perbedaan output desentralisasi tersebut, ternyata
tergantung pada perbedaan
kondisi kelembagaan diantara negara-negara tersebut. Kondisi kelembagaan (norma, adat, law inforcement, organisasi) yang relatif berbeda-beda dan beragam antar daerah akan menyebabkan efektivitas desentralisasi akan berbeda pula antar daerah. Desain desentralisasi fiskal Indonesia, yang menurut Bank Dunia (2005) adalah salah satu yang terbaik di dunia, namun dibuat berlaku umum untuk seluruh wilayah Indonesia. Sebagaimana diketahui kondisi objektif setiap daaerah berbeda satu sama lain. Motivasi politik dan aturan-aturan serta syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta kesiapan antar daerah juga berbeda-beda. Oleh sebab itu pula maka respon antar daerahpun akan berbeda terhadap desentralisasi fiskal. Sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Prud’ Homme (1995), jika setiap daerah mendapat ”dosis” desentralisasi dan waktu implementasi yang tidak tepat, maka tujuan desentralisasi fiskal dikhawatirkan tidak terpenuhi. 1.2. Perumusan Masalah Dengan berlakunya otonomi daerah, pemerintah daerah memperoleh kesempatan untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan kebutuhan daerah. Pemerintah daerah juga dituntut tidak hanya kebebasannya namun juga kemampuannya untuk mengalokasikan penerimaan daerah secara efektif dan efisien untuk membiayai kegiatan rutin dan pembangunan yang memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu pemerintah daerah juga dituntut mampu mengeksploitasi potensi sumberdayanya untuk meningkatkan penerimaan
8
asli daerah.
Pemahaman tentang hal tersebut menjadi penting karena secara
faktual kemampuan daerah untuk membiayai pembangunannya memang relatif kecil. Menurut Simanjuntak (2003)4, hanya sebagian kecil saja provinsi dan (apalagi) kabupaten /kota yang mampu membiayai secara signifikan APBD-nya dengan PAD. Akan halnya SDA kondisi objektif yang sangat menentukan adalah tidak meratanya sebaran SDA di wilayah Republik Indonesia. Konsekuensinya hanya daerah tertentu (Aceh, Kalimantan Timur, Riau, dan Papua) yang bisa menikmati bagian signifikan dari bagi hasil ini, sementara mayoritas daerah lainnya hanya kebagian sedikit. Sebanyak 75% BHSDA hanya dinikmati oleh 35 kabupaten/kota di Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Papua. Sementara untuk bagi hasil pajak , yang dibagikan adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) , Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) perseorangan. Sebagaimana halnya PAD, pajak pusat yang dibagihasilkan juga cenderung lebih potensial di perkotaan . Yang agak ekstrim adalah bagi hasil PPh perorangan secara nasional
sebesar Rp.2.8 triliun tahun 2003, separuhnya
(Rp.1.45 triliun) adalah untuk DKI Jakarta. Akibat pengaturan yang demikian, persoalan ketimpangan antar daerah menjadi persoalan yang serius. Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten dan Kota se Provinsi Sumatera Utara masing-masing memiliki Pendapatan Asli Daerah yang kecil relatif terhadap pengeluarannya.
4
Kompas, 10 Desember 2003
Kemampuan itu berkisar antara 20%
hingga
9
60%
pada pemerintah provinsi dan berkisar antara 10% hingga 20% pada
pemerintah daerah kabupaten dan kota. Bahkan pada tingkat kabupaten dan kota kemampuan menghimpun PAD tersebut semakin mengecil pada beberapa tahun terakhir. Tabel 1 menunjukkan perkembangan kemampuan atau potensi fiskal daerah provinsi dan kabupaten/kota di Sumatera Utara selama periode 1990-2003. Tabel 1. Perkembangan Potensi Fiskal Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota se SUMUT Tahun 1990/91-2003 Provinsi
Kabupaten
Tahun
Pengeluaran PAD Rasio Pengeluaran PAD Rasio (Ribu Rp) (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (Ribu Rp) (%) Sebelum Desentralisasi Fiskal 1990/1991 313923761 64659592 0.2 261786352 40525313 0.2 1991/1992 336880196 65384258 0.2 322574296 45264409 0.1 1992/1993 383137767 70204556 0.2 345895248 54446459 0.2 1993/1994 458581800 84768176 0.2 416747673 59438835 0.1 1994/1995 515626870 124141384 0.2 432262722 73970659 0.2 1995/1996 584008535 156859078 0.3 549695391 90181552 0.2 1996/1997 660854180 171953970 0.3 649881045 106263739 0.2 1997/1998 771030141 212842681 0.3 827943837 115822466 0.1 1998/1999 342560028 122888667 0.4 1305036167 102897500 0.1 1999/2000 449051978 187597434 0.4 1670089793 125367792 0.1 2000 416772647 255078480 0.6 1624004134 124223357 0.1 Sesudah Desentralisasi Fiskal 2001 916215529 423075216 0.5 3851466675 221182644 0.1 2002 972236346 440591435 0.5 4922340686 296923216 0.1 2003 1034321804 621017539 0.6 6128275604 456574133 0.1 Sumber: Hasil Pengolahan Data
Memang berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan kemampuan fiskalnya (mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat). Pemerintah Kotamadya Medan misalnya pada tahun 2001 berhasil meningkatkan Pajak dan Retribusi daerah melalui peningkatan perolehan
10
bagian dari parkir, reklame dan airport tax dari P.T. Angkasa Pura II. Sedangkan pemerintah daerah Dairi melalui upaya perolehan sumbangan pihak ketiga, penyertaan modal dan penerimaan sewa air dari PLTA. Tindakan tersebut berhasil meningkatkan pajak dan retribusi daerah sebesar 57% (CESS 2001). Dalam hal usaha–usaha peningkatan PAD dengan cara seperti diatas bukan tanpa masalah. Pemerintah daerah sering dihadapkan pada suatu dilema antara meningkatkan PAD atau merecovery perekonomian yang lesu . Dalam usaha – usaha pemungutan pajak (tax effort) untuk meningkatkan PAD tersebut pemerintah daerah sering mengeluarkan Peraturan Daerah (PERDA), sebagai dasar hukum
untuk memungut berbagai pajak dan retribusi, justru bersifat
kontraktif terhadap perekonomian, apalagi dalam kondisi perekonomian yang lesu. Disatu sisi pemerintah daerah ingin menunjukkan ’keotonomiannya” dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
Padahal menurut
buku teks
makroekonomi, kondisi perekonomian yang lesu justru tidak layak dipajakin karena akan menyebabkan ekonomi semakin kontraktif (lesu). Pada gilirannya kontraksi perekonomian akan menyebabkan menurunnya pendapatan daerah, pengangguran dan meningkatkan tingkat harga-harga umum.
Namun jika
pungutan tadi (Pendapatan Asli Daerah) dikembalikan kepada perekonomian dalam bentuk belanja pembangunan dan belanja rutin dengan benar, secara keseluruhan akan terjadi pertumbuhan ekonomi, karena secara makro ekonomi efek ganda (multiplier effect) dari pengeluaran pemerintah lebih besar dari efek ganda pajak (Branson 1981; Blancard 1997; Hall and Taylor 1993 ; Dornbush dan Fisher 1990). Dalam kebebasan menggunakan anggaran, pemerintah
juga
11
dituntut syarat kehati-hatian dan selektifitas yang tinggi. Syarat utama penggunaan anggaran adalah menuruti preferensi dan kebutuhan masyarakat, bukan menurut preferensi dan kebutuhan pejabat daerah sebagai mana yang banyak terjadi. Istilah ”korupsi berjamaah” (suatu istilah yang tidak tepat,karena berjamaah biasanya untuk berbuat kebaikan) adalah suatu ungkapan ironis tentang kerjasama eksekutif dan legislatif daerah dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara tidak benar. Penyimpangan penggunaan anggaran pemerintah sebagaimana diketahui banyak pihak telah berdampak buruk pada kualitas kesehatan, pendidikan dan pemerataan pendapatan antara daerah. Menurut Yudoyono (2001), ketika Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan kebijakan otonomi daerah secara luas dalam Undang-undang No.22 tahun 1999, beberapa daerah tampak terkejut dan
meragukan
kemampuannya sendiri untuk dapat melaksanakan amanat tersebut. Dua aspek yang melatarbelakangi keraguan tersebut adalah (1 ) kemampuan menghimpun PAD dan (2 ) kualitas sumber daya manusia. Keraguan akan keterbatasan (sumber daya manusia dan sumber daya alam ) juga menjadi persoalan utama dihadapi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) di era otonomi 5. Dalam otonomi, daerah dituntut kreatifivitas dan inovasi dalam mengelola urusan rumah tangganya. Dalam hubungan ini ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas menjadi syarat perlu, khususnya ketersediaan sumberdaya
5
Harian Kompas, 12 Maret 2001
12
manusia pada Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD). Aparatur Pemerintah Daerah adalah pelaksana kebijakan publik, sedangkan anggota DPRD adalah aktor politik yang mewakili rakyat di lembaga legislatif daerah yang mampu membawa aspirasi rakyat (bukan ”aspirin” ). Ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam hal kemampuan fiskal dan keterbatasan ketersediaan sumberdaya manusia yang umumnya terdapat di berbagai belahan daerah di Indonesia juga ditemui di Sumatera Utara.
Pemerintah Daerah Sumatera Utara menyadari keterbatasan
kemampuan keuangannya dan mutu sumberdaya manusianya.
Kesadaran
tersebut terbukti dan tertuang pada program pembangunan daerah, (PROPEDA) Sumatera Utara 2001-2005. Beberapa tujuan pembangunan utama
dalam
PROPEDA tersebut adalah (1) memberdayakan usaha kecil dan menengah koperasi dan juga BUMD agar lebih produktif dan efisien sehingga mampu memberi kontribusi yang semakin tinggi kepada pendapatan daerah, (2) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia guna mewujudkan good governance. Tujuan Penelitian. Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan diatas, maka tujuan penelitian ini akan lebih difokuskan untuk menjawab pertanyaan berikut; 1. Mengevaluasi kinerja fiskal Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal 2. Mengevaluasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kinerja
Perekonomian di daerah kabupaten dan kota di Sumatera Utara.
Fiskal
dan
13
3. Mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan Perekonomian Daerah kabupaten dan kota di Sumatera Utara tahun 19902003. 4. Meramalkan dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian kabupaten dan kota di Sumatera Utara tahun 2006-2008 . 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Data yang digunakan adalah Panel Data (pooled data) 1990-2003 dengan wilayah penelitian adalah seluruh kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara. Saat ini ada 24 Kabupaten /kota di Sumatera Utara (Tabel 2). Tabel 2. Dua puluh empat Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara Tahun 2004 Kabupaten Baru Kota 1 1 Nias 1 Sibolga 2 Nias Selatan 2 T. Balai 2 Tap. Selatan 3 Tap. Selatan 3 P. Siantar 4 Mand. Natal 4 T. Tinggi 3 Tap. Tengah 5 Tap.Tengah 5 Medan 4 Tap. Utara 6 Tap. Utara 6 Binjai 7 Toba Samosir 7 P. Sidimpuan 8 Humbang. H 5 Asahan 9 Asahan 6 Labuhan Batu 10 Labuhan Batu 7 Deli Serdang 11 Deli Serdang 12 Serdang Bed 8 Simalungun 13 Simalungun 9 Karo 14 Karo 10 Dairi 15 Dairi 16 Pakpak Bharat 11 Langkat 17 Langkat Sumber: Sumatera Utara Dalam Angka (2004) diolah Kabupaten Induk Nias
14
Dua diantaranya adalah kabupaten hasil pemekaran tahun 1998 yang lalu, yakni Kabupaten Mandailing Natal sebagai pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan, dan Kabupaten Toba Samosir sebagai pemekaran dari Tapanuli Utara. Tiga kabupaten adalah hasil pemekaran pada tahun 2003, yaitu Kabupaten Nias Selatan sebagai
hasil pemekaran dari Kabupaten Nias, Kabupaten Humbang
Hasundutan sebagai
hasil pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir, dan
Kabupaten Pakpak Bharat adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi. Tahun 2004 Kabupaten Deli Serdang dimekarkan menjadi Kabupaten Deli Serdang dan kabupaten Serdang Bedagei. Padang Sidempuan menjadi kota otonomi sejak tahun 2004. Namun dalam penelitian ini kabupaten/kota dikelompokkan menjadi ”hanya” 17 kabupaten/kota, untuk menyesuaikan kondisi objektif hingga pada tahun 1990. Oleh sebab itu, seluruh kabupaten/kota yang dimekarkan sesudah tahun 1990 akan ”digabung” dengan kabupaten ”induknya”.
Kabupaten
Mandailing Natal digabung kedalam Kabupaten Tapanuli Selatan . Kabupaten Toba Samosir dan Humbang Hasundutan digabung kedalam Tapanuli Utara. Kabupaten Nias Selatan digabung dengan Kabupaten Nias, dan Kabupaten Pakpak Bharat digabung dengan Kabupaten Dairi, Serdang Bedagei digabung dengan Deli Serdang, Kota Padang Sidempuan digabung dengan Kabupaten Tapanuli Selatan. Penelitian lebih pada menganalisis
implikasi ekonomi dari kebijakan
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi dan distribusi pendapatan di Sumatera Utara. Implikasi sosial maupun politik yang
15
mungkin muncul , serta perubahan perilaku pemerintah daerah dan masyarakat berada di luar jangkauan penelitian ini. Kinerja fiskal
dilihat dari fluktuasi penerimaan dan pengeluaran
pemerintah daerah, perubahan alokasi anggaran pembangunan maupun rutin ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. PDRB selama periode penelitian digunakan sebagai indikator untuk kinerja perekonomian. Stabilitas ekonomi dilihat dari fluktuasi tingkat harga dan kesempatan kerja. Laju perubahan tingkat harga merupakan indikator laju inflasi. Jumlah orang yang bekerja digunakan sebagai indikator Distribusi pendapatan dilihat dari perbedaan relatif PDRB kabupaten dan kota selama periode penelitian.
kesempatan kerja. per kapita antar
Koefisien variasi (coeficient
variation) digunakan sebagai indikator tingkat distribusi pendapatan antara kabupaten dan kota. Diduga dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian akan berbeda antar daerah karena respon dan kesiapan antar daerah berbeda (kemampuan menghimpun PAD dan ketersediaan sumberdaya manusia). Analisis juga akan melihat perbedaan dampak kebijakan desentralisiasi fiskal (terhadap kinerja fiskal, PDRB, stabilitas ekonomi, dan distribusi pendapatan) antar Daerah Kabupaten dan Daerah kota, Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut; 1. Dapat melihat dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah khususnya kabupaten dan kota se Sumatera Utara, saat
16
ini dan masa mendatang 2. Masukan bagi Pemda Sumatera Utara , dan pemerintah pusat dalam Kebijakan Makroekonominya, khususnya mengenai implemetasi otonomi daerah 3. Sumbangan akademis dalam penelitian khususnya bidang desentralisasi fiskal Di Indonesia 1.6. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan terutama karena ketersediaan data untuk masing-masing kabupaten dan kota. Hal tersebut berakibat pada formulasi model yang dibangun memiliki keterbatasan sebagai berikut: 1. Model yang dibangun adalah model ekonomi tertutup karena ketiadaan data ekspor-impor kabupaten dan kota. 2. Model yang dibangun tidak memasukkan data alokasi dana dekonsentrasi karena keterbatasan data dana dekonsentrasi untuk kabupaten dan kota. 3. Penelitian ini terbatas pada studi regional kabupaten dan kota se Sumatera Utara, sehingga tidak dapat melihat dampak perekonomian daerah terhadap perekonomian nasional. 4. Dalam penelitian ini Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang menjadi rujukan adalah UU No.25 Tahun 1999. Walau UU tersebut sudah direvisi menjadi UU No.33 Tahun 2004 namun baru akan diemplementasikan dan mengikat secara nasional mulai 1 Januari 2006. Sehingga perubahan-perubahan yang ada pada UU yang baru itu tidak termasuk bahasan dalam studi ini.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desentralisasi: Napak Tilas Desentralisasi, yang bergema kembali sejak reformasi tahun 1998, yang terkenal dengan otonomi daerah sesungguhnya secara konstitusional sudah ada sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945. Pasal 18 UUD 1945 berbunyi ; “ pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”, adalah salah satu bukti dan landasan penting otonomi daerah. Untuk mengakomodir amanat konsitutusi tentang desentralisasi tersebut, pemerintah Orde Lama, dan Orde Baru, hingga kini telah mengeluarkan berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah antara lain : 1. Undang-undang No.32 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah 2. Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok –Pokok Pemerintah di Daerah 3. Berbagai Peraturan Pemerintah, yang mengatur INPRES, seperti;
(a).
INPRES Desa mulai tahun 1969, (b). INRES Dati I, II (1974), (c). INPRES SD (1973), (d). INPRES Kesehatan (1974), (e). INPRES Penghijauan (1976), (f). INPRES Pasar (1976), (g). INPRES Peningkatan Jalan Provinsi (1979), (h). INPRES Desa Tertinggal (1994/95). Tiga faktor penting dalam alokasi INPRES adalah (1) Jumlah penduduk, (2) Panjang Jalan, (3) Luas Daerah. Selain itu dalam periode 1965 – 1974 itu ada juga berbagai jenis transfer (yang lebih bersifat politis dibanding ekonomis) dari pusat ke daerah antara lain,
18
pemberian Subsidi Perimbangan Keuangan, yang diberikan murni berdasarkan beban gaji pegawai negeri daerah, dikenal dengan SDO ( Mahi dan Adriansyah (2002). Sejak tahun anggaran 1972/73 sistem SDO (subsidi daerah otonom) kembali diberlakukan . Besaran SDO dialokasikan 2/3 untuk provinsi, sisanya 1/3 untuk dati II. Besarnya SDO ke provinsi karena pembayaran sebagian gaji pegawai (pegawai daerah otonom, pegawai diperbantukan, pegawai dipekerjakan, dan honor) dibayarkan di provinsi. Bantuan INPRES mulai diberlakukan tahun 1969.
INPRES dimaksudkan
untuk membiayai pembangunan di daerah. Dasar pemberiannya adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah, dan untuk membiayai urusan-urusan tersebut. Beberapa tujuan program INPRES adalah; (a) mencapai pemerataan kesempatan kerja, (b) pemerataan berusaha, (c) pemerataan hasil pembangunan dan (d) pemerataan partisipasi dalam pembangunan. Berdasarkan uraian diatas, isu desentralisasi di Indonesia bukanlah masalah baru, namun sebagai isu lama dengan pendekatan baru ( Lewis 2001: ;Tambunan dan Seldayo 1999 ; Smoke and Lewis 1996). Menurut
Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 , penyelenggaraan
otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas , nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang
berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Otonomi daerah berarti pemerintah pusat menyerahkan sebagian wewenang pelaksanaan tugas
19
pemerintahan. Implikasi langsung dari pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah desentralisasi fiskal. Artinya pelimpahan wewenang (otonomi daerah) diikuti dengan pelimpahan pembiayaan (otonomi keuangan), atau yang dikenal dengan istilah “money follows function”. Tabel 3. Historis Undang-Undang Otonomi Daerah sebelun dan sesudah Orde Reformasi di Indonesia No 1
2
3
4 5
6.
7
Undang-Undang Tekanan Pada UU No.22 Tahun 1948 Otonom Yang Dapat Mengatur Daerah dibagi menjadi; dan mengurus rumah tangganya a. Daerah Otonom dan daerah Istimewa sendiri Pemerintah terdiri dari; b. Provinsi, Kabupaten, Kota dan Desa UU No.44 Tahun 1950 UU Pemda Indonesia Timu dan Daerah dibagi menjadi; Daerah Otonom • Daerah, Daerah Bagian dan Daerah Anak Bagian UU No.1 Tahun 1957 Otonomi Riil Daerah dibagi menjadi; • Daerah Tingkat I, Provinsi Kotapraja Jakarta Raya • Daerah Tingkat II/Kabupaten • Daerah Tingkta III UU No.18 Tahun 1965 Otonomi riil dan seluas-luasnya Pemerintah Daerah terdiri; • Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan Otonomi Nyata dan Bertanggung UU No.5 Tahun 1974 jawab Pemerintah Daerah terdiri dari: • DPRD dan Kepala Daerah • Kepala Daerah Penguasa Tunggal • Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Presiden bukan DPRD Otonomi nyata, luas dan UU No.22 Tahun 1999 bertanggungjawab Pemerintah Daerah terdiri dari: • Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah otonom • Pemerintah Daerah Otonom dan DPRD adalah peyelenggara pemerintah menurut azas desentralisasi nyata, luas dan UU No.32 Tahun 2004 (Revisi dari UU no.22 Otonomi bertanggungjawab /1999 Pemerintah Daerah terdiri dari: • Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah otonom • Pemerintah Daerah Otonom dan DPRD adalah peyelenggara pemerintah menurut azas desentralisasi Sumber : UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 Yudoyono (2002)
20
Desentralisasi Fiskal dititikberatkan kepada daerah kabupaten dan kota, atau daerah tingkat dua Desentralisasi fiskal ini
(Dati II), menurut istilah
UU No.14 tahun 1974.
memberi kabupaten dan kota kewenangan dan
keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Landasan operasional Desentralisasi Fiskal adalah: 1.
Undang-Undang No.22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur desentralisasi politik dan
2. Undang-Undang No. 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPPD), yang mengatur desentralisasi fiskal . Dengan diundangkannya kedua Undang-undang ini, maka bertambah panjanglah deretan undang-undang ataupun aturan-aturan yang pernah mengatur tentang otonomi di Indonesia (Tabel 3). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memberikan dampak yang relatif besar terhadap keuangan daerah, khususnya dari sisi penerimaan dan wewenang alokasi penggunaannya. Penerimaan yang dikelola langsung oleh pemerintah daerah baik jenis dan jumlah maupun wewenang penggunaannya semakin besar. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) misalnya, sekarang pembagiannya menjadi 90% dialokasikan untuk daerah dan sisanya 10% untuk pusat. Jenis penerimaan lain seperti Minyak Bumi dan Gas dialokasikan lebih banyak kepada daerah (Tabel 4). Sejak diberlakukannya UU No.25 Tahun 1999
terjadi perubahan dan
pembagian yang signifikan pada penerimaan daerah jika dibandingkan dengan undang-undang perimbangan keuangan sebelumya. (UU No.32 Tahun 1956) Perubahan sangat besar terjadi misalnya pada bidang sumberdaya alam. Dimana
21
sebelumnya seluruh penerimaan dari sektor tersebut
tidak dibagikan, artinya
100% masuk kedalam penerimaan pemerintah pusat, dengan UU No.25 Tahun 1999 telah dibagihasilkan ke daerah. Selain jumlah penerimaaan daerah yang bertambah besar, sumber-sumber penerimaan daerah telah mengalami perubahan kearah yang lebih baik, dalam arti basis penerimaan yang semakin luas sebagaimana diterangkan pada Tabel 5. Tabel 4. Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 (UU-PKPD) dan UU No.32 Tahun 1956 (%) Sesudah Desentralisasi Fiskal Sebelum Desentralisasi Fiskal Jenis Penerimaan Pusat Prov Kab/ Saldo Pusat Dati I Dati II Kota 1. Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) 2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 3. Iuran Hasil dan Pemeliharan Hutan (IHPH) 4. Provisi Sumberdaya Hutan 5. Iuran Tetap Pertambangan Umum (Landrent) 6. Iuran Eksploitasi dan eksplorasi 7. Perikanan 8. Minyak 9. Gas Alam 10.Pajak Penghasilan Perorangan(PPH)
10*
16.2
64.8
**
10
16.2
64.8
10
16
64
10
10
16
64
20
16
64
-
55
30
15
20
16
32
32
55
30
15
20
16
64
-
20
16
64
20 20 85 70
16 3 6
32 6 12
32 80 6 12
20 100 100 100
16 -
32 -
80
8
12
-
100
-
-
Sumber: UU No.25 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 1956 Keterangan; * , dibagi ratakan kepada kabupaten seluruh Indonesia **, biaya pemungutan PBB Catatan: Untuk Otonomi Khusus Papua dan NAD Bagi Hasil Minyak dan Gas Alam 70% Daerah, 30% Pusat
Porsi penerimaan dan pengeluaran daerah
pun menjadi meningkat
terhadap Penerimaan dan pengeluaran nasional . Pada Tahun 1990-an penerimaan
22
dan pengeluaran masing-masing 24.69% dan 16.62% dari penerimaan dan pengeluaran nasional. Pada tahun 1994/1995 penerimaan daerah turun menjadi “hanya” 6.11% dari penerimaan nasional sedangkan pengeluaran naik menjadi 22.97% dari pengeluaran nasional. Tabel 5. Sumber penerimaan daerah menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 1956 dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 Keterangan
Undang-undang Nomor 32 tahun 1956 Pasal 3; Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari − Hasil Pajak Daerah − Hasil Retribusi Daerah − Hasil Laba Perusahaan Daerah − Lain-lain Hasil Usaha Daerah yang syah
Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 Pasal 55; Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari − Hasil Pajak Daerah − Hasil Retribusi Daerah − Hasil Laba Perusahaan Daerah − Lain-lain Hasil Usaha Daerah yang syah
Pendapatan Berasal dari Pemerintah
− Sumbangan dari pemerintah − Sumbangan lain yang diatur dengan Peraturan PerUndang-undangan
Dana Perimbangan terdiri: − Bagian dari Pajak Bumi dan Bangunan − Bagian dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan − Bagi Hasil Sumber Daya Alam − Dana Alokasi Umum − Dana Alokasi Khusus
Pinjaman Daerah
Diberi hak daerah untuk meminjam Lain-lain Penerimaan yang syah
Daerah diberi hak untuk meminjam Lain-lain Penerimaan yang syah
Sumber Pendapatan Daerah
Lain-lain Penerimaan yang syah Sumber: 1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 2. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
Sedangkan pada tahun 2001, saat awal kebijakan fiskal, persentase penerimaan daerah menjadi 3.30 % dari penerimaan total nasional, sedangkan pengeluaran daerah sebesar 27.78 % dari pengeluaran total nasional. Artinya semakin banyak anggaran yang di ”daerahkan” (Tabel 6).
23
Porsi penerimaan pajak dan retribusi daerah pun mengalami perubahan, sebagaimana diatur dengan Undang-undang No.34 tahun 2000 (Tabel 7). Dengan perubahan sumber-sumber penerimaan daerah serta adanya keleluasaan penggunaan uang oleh pemerintah daerah, maka daerah dapat melakukan fungsi pelayanan dengan baik Tabel 6.
No 1 2 3 4 5 6 7
Porsi Penerimaan dan Pengeluaran Lokal Terhadap Nasional pada negara berkembang dan Negara lain tahun 1990-an. (%) Negara Berkembang Transisi OECD (1990-an) Indonesia (1989/1990-an) Indonesia (1994/1995) Indonesia TA 2001 Indonesia TA 2001*
Penerimaan 9.22 16.59 19.13 24.69 6.11 3.30 7.50
Pengeluaran 13.78 26.12 32.41 16.62 22.97 27.78 27.78
Sumber: World bank (2005), Bird dan Vaillancourt (2000). Catatan: Desentralisasi dari PBB, BPHTB, dan PPh
Diyakini bahwa pemerintah daerah yang lebih dekat dan lebih mengenal kebutuhan daerahnya, akan dapat mengalokasikan anggaran semakin efisien, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja ekonomi daerah. Berbagai negara telah membuktikan bahwa desentralisasi fiskal telah memberikan keajaiban pada perekonomiannya. Cina misalnya, sebagai salah satu negara dengan desentralisasi fiskal paling sukses, mencapai petumbuhan ekonomi yang tinggi selama implemetasi desentralisasi (dimulai sejak akhir tahun 1970an), sekitar 10% (Lin and Liu,2000), bahkan dimasa krisis awal tahun 1997 hingga 2002 pertumbuhan ekonomi Cina mencapai (7-9%) per tahun (Simanjuntak dalam Siddik 2002).
24
Menurut
Bahl dan Lin 1992; Shah 1994; Ahmad 1997,
peralihan
(switching) ke bentuk desentralisasi fiskal adalah salah satu cara untuk meloloskan
diri
dari
berbagai
jebakan
ketidakefektifan,
seperti;(1)
ketidakefisienan pemerintahan, (2) ketidakstabilan makroekonomi dan (3) ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi. Tabel 7. Pajak dan Retribusi Daerah Menurut UU No.34 Tahun 2000 Jenis Pajak
Milik
Provinsi Kenderaan Bermotor Provinsi BBMKB Provinsi Bahan Bakar KM Provinsi Penggunaan Air Kab/Kota Hotel Kab/Kota Restoran Kab/Kota Hiburan Kab/Kota Advertensi Kab/Kota Penerangan Jalan Kab/Kota Penambangan Mineral Kab/Kota Parkir Sumber: UU No.34 Tahun 2000
Tarif Maks 5% 10% 5% 20% 10% 10% 35% 25% 10% 20% 20%
Pembagian Minimum 30% untuk Kab/Kota 30% untuk Kab/Kota 70% untuk Kab/Kota 70% untuk Kab/Kota 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait
Selain dari pada itu kebijakan desentralisasi fiskal diperlukan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilisasi dana. Karena menurut mereka, pelayanan masyarakat setempat yang dilakukan daerah cenderung
lebih efisien dibandingkan
pemerintah pusat. Menurut Bahl dan Lin (1994) keberhasilan desentralisasi fiskal , membutuhkan prasyarat seperti (1) kapasitas administrasi daerah yang tepat, (2) pejabat daerah yang responsif dan bertanggung jawab atas besarnya otoritas keuangan daerah mereka. Sementara Bird dan Vaillancourt (2000), menyebut dua
25
syarat keberhasilan desentralisasi fiskal yaitu (1) proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, artinya pengambilan keputusan biaya dan manfaat harus transfaran dan melibatkan pihak-pihak terkait, (2) biaya-biaya dari keputusan yang diambil sepenuhnya ditanggung oleh masyarakat setempat, sehingga tidak perlu terjadi ”ekspor pajak” dan tidak ada transfer dari jenjang pemerintahan lain. Bahl dan Mc Mullen (1999 ) mengatakan ada 12 aturan
yang harus
dipenuhi suatu daerah agar kebijakan desentralisasi fiskal dapat berhasil. Keduabelas syarat itu adalah; (1). Desentralisasi fiskal harus dilihat sebagai suatu sistem yang komprehensif; artinya melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPRD, sistem transfer dan wewenang dan tanggung jawab secara benar, (2) Uang mengikuti fungsi (money follow function); artinya penyerahan tanggung jawab kepada daerah harus disertai dengan penyerangan wewenang keuangan, pemungutan maupun penggunaannya, (3) Pemerintah pusat memiliki kemampuan untuk memantau dan mengevaluasi proses desentralisasi fiskal; artinya proses desentralisasi dikendalikan dan dibimbing secara bertahap, (4) Diperlukan sistem antar pemerintah yang berbeda untuk sektor perkotaan dan sektor pedesaan; artinya tahap implemetasi sebaiknya dimulai dari unit-unit pemerintah yang lebih besar, dan membiarkan yang kecil menjadi besar, (5) Desentralisasi
fiskal
memerlukan kewenangan besar bagi daerah untuk mengelola pajak, (6) Pemerintah pusat harus mematuhi aturan-aturan desentralisasi fiskal yang dibuatnya, (7) Pertahankan kesederhanaan, (8) Desain transfer antar pemerintah seharusnya sesuai dengan tujuan reformasi desentralisasi; besarnya dana yang dibagikan mencerminkan keseimbangan fiskal secara vertikal, dan alokasi
26
mencerminkan keseimbangan fiskal secara horizontal, (9) Desentralisasi fiskal harus mempertimbangkan ketiga tingkatan pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota), (10) Terapkan batasan anggaran yang ketat; artinya pemerintah daerah yang diberi otonomi dituntut menyeimbangkan anggarannya, (11) Sistem fiskal antar pemerintah selalu dalam transisi dan antisipatif terhadap perubahanperubahan yang terjadi, dan (12) Harus ada pelopor bagi desentralisasi fiskal Jika desentralisasi fiskal berhasil dilaksanakan maka akan tercapailah : (1) efisiensi ekonomi, mobilitas dana, (2) stabilitas makroekonomi, pertumbuhan ekonomi yang cukup dan (3) efisiensi dan efektivitas pemerintahan (Bahl and Lin 1992; Shah 1994; Ahmad 1997). Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap kinerja perekonomian Indonesia telah dilakukan oleh peneliti (Wuryanto 1996: Shah dalam Bird dan Vaillancourt 2000 : Kawagoe 1998 ; Lewis 2001). Studi pada tingkat provinsi pun sudah pernah dilakukan. Penelitian tentang ”Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Daerah” pada level provinsi telah dilakukan oleh Pardede (2004) di Sumatera Utara, khususnya Tapanuli Utara dan Medan, dengan pendekatan Input-Output. Pakasi (2005) di Sulawesi Utara dengan pendekatan Ekonometrika. SMERU (2002) juga melakukan studi dampak desentralisasi fiskal terhadap investasi di Jawa Barat dan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Nusa Tenggara Timur, dengan pendekatan kualitatif. 2.2. Desentralisasi Politik Sesungguhnya desentralisasi mencakup berbagai aspek, yakni aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization),
27
fiskal
(fiscal
dan
decentralization),
ekonomi
(economic
or
market
decentralization). Secara umum, desentralisasi diartikan sebagai suatu penyerahan (difusi) pendelegasian kekuasaan dan kewenangan, dan pendelegasian tanggung jawab, dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membuat keputusan-
keputusan.
Ada tiga variasi desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat
kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan daerah. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah. Ini dinamakan dekonsentrasi. Kedua, delegasi yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan di daerah (Bird and Vaillancourt, 2000). Dalam kaitan dengan desentralisasi fiskal, desentralisasi berarti pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Sebagai mengeluarkan Daerah.
landasan
operasional
desentralisasi
fiskal,pemerintah
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Undang-Undang ini
pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan azas desentralisasi. Kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi disertai
28
dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia . Bidang pemerintahan yang diserahkan kepada daerah (kabupaten dan kota) adalah: (1) pekerjaan umum, (2) kesehatan, (3) pendidikan dan kebudayaan, (4) pertanian, (5) perhubungan, (6) industri dan perdagangan, (7) penanaman modal, (8) lingkungan hidup, (9) pertanahan, (10) koperasi, dan (11) tenaga kerja. Sedangkan urusan yang menyangkut (1) pertahanan keamanan, (2) hubungan luar negeri, (3) agama, (4) peradilan, dan (5) keuangan dan moneter tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Undang-undang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPPD), adalah sebagai konsekuensi logis dari adanya pengalihan pembiayaan, sarana-prasarana dan sumberdaya manusia kepada daerah. Undang-undang ini mengatur wewenang daerah untuk melakukan pembelanjaan, dan kewenangan memungut pajak. Penyerahan wewenang ini yang dikenal dengan nama desentralisasi fiskal (fiscal decentralization). Dalam konteks ini, desentralisasi fiskal memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut : (a) mengurangi peran dan tanggung jawab diantara pemerintah pada semua tingkat; (b) memperhitungkan bantuan atau transfer antar pemerintahan; (c) memperkuat sistem penerimaan daerah/lokal atau merumuskan penyediaan jasa-jasa lokal, (d) memprivatisasi BUMD; dan (e) menyediakan suatu jaringan pengaman bagi fungsi redistrubusi. Oleh karena itu, keberhasilan dari desentralisasi fiskal juga dapat dinilai dari sejauhmana fungsi-fungsi tersebut di atas telah dilaksanakan.
29
Menurut Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 , penyelenggaraan desentralisasi
dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas , nyata
dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang
berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan diberlakukannya desentralisasi , berarti pula dituntut kemandirian daerah dalam menggerakkan roda pembangunan wilayahnya masing-masing baik dari segi perencanaan , pembiayaan maupun pelaksanaannya. Peran pemerintah pusat lebih sebagai fasilitator pembangunan. Kesempatan diberikan seluasluasnya kepada pemerintah daerah untuk dapat lebih memberdayakan peran serta masyarakat
dalam proses pembangunan. Partisipasi aktif
masyarakat dalam
pembangunan tersebut secara langsung berpotensi untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Artinya desentralisasi memberikan stimulus bagi daerah untuk bertumbuh secara optimal.
Optimal
dalam pengertian daerah ialah mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan dan dengan cara mereka sendiri. 2.3. Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal, merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat.
30
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor; (1).Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan law enforcement, (2). SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat, (3). Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah. Implikasi langsung dari diserahkannya berbagai fungsi pelayanan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya,
daerah diberikan sumber-sumber pembiayaan
melalui pemberian kewenangan memungut pajak/retribusi, sistem transfer, dan kewenangan melakukan pinjaman. Maka disusunlah UU N0.25 Tahun 1999 yang mengatur dan menjamin adanya Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Implemetasi desentralisasi fiskal versi UU No.25 tahun 1999 itu sendiri diduga membutuhkan empat fase yaitu; (1) fase inisiasi (tahun 2001), (2) fase instalasi (bongkar pasang; tahun 2002-2003), (3) fase konsolidasi (penguatan dan pengembangan; tahun 2004-2007), (4) fase stabilisasi (perampungan; sesudah tahun 2007) (Siregar 2004)6. Dengan diberlakukannya UU N0.25 tahun 1999, yang mengatur tentang PKPPD (Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah), maka sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menjadi ; 1. Pendapatan Asli daerah (PAD) 2. Dana Perimbangan
6
Seminar Forum EPN 2004. Reorientasi Pembangunan Pertanian dalam Persfektif Desentralisasi Fiskal
31
3. Pinjaman daerah, dan 4 Lain-lain penerimaan yang syah Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada dasarnya bertujuan untuk ; 1. Menjaga kesinambungan kebijakan fiskal (fiscal sustainability) dalam konteks kebijakan ekonomi makro 2. Mengoreksi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) keuangan antar pemerintah pusat dan daerah 3. Mengoreksi ketimpangan horinzontal (horizontal imbalance) keuangan antar pemerintah daerah 4. Meningkatkan akuntabilitas , efektivitas dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah daerah 5. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat 6. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan disektor Publik 2.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber dalam wilayahnya sendiri, yang dipungut berdasarkan peraturan daerah (PERDA). PAD diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Dengan demikian,
daerah mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dari sumbersumber yang berasal dari daerahnya sendiri pula.
32
Kewenangan daerah untuk memungut PAD diatur dalam UU No.18 tahun 1997 sebagaimana telah disempurnakan dalam UU No.34 tahun 2000. Undangundang tadi mencerminkan keleluasaan daerah untuk menggali sumber-sumber pembiayaan dari daerahnya sendiri seperti pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan lainlain PAD yang syah. 2.3.1.1. Pajak Daerah Dengan UU No. 34 tahun 2000 tersebut,
yang ditindaklanjuti aturan
pelaksanaannya, PP No. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah dan PP No.66 tahun 2001 tentang retribusi daerah, Kabupaten/Kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangan daerah dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi selain yang ditetapkan dalam undang-undang dan sesuai dengan aspirasi rakyat. Tabel 8. Jenis Pajak Provinsi dan Kabupaten/Kota Provinsi 1. Pajak kendaraan bermotor dan kenderaan diatas 2. Bea Balik Nama Kenderaan Bermotor 3. Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor 4. Pajak Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
Kabupaten/Kota 1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame 5. Pajak Penerangan Jalan 6. Pajak Pengambilan bahan galian C 7. Pajak Parkir
Sumber: UU No.34 Tahun 2000
Demikian juga dengan provinsi, juga diberikan wewenang untuk memungut retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang.
Berdasarkan undang-
33
undang dan peraturan pemerintah tersebut, daerah diberikan kewenangan untuk memungut berbagai jenis pajak dan retribusi sebagaimana dijelaskan Tabel 7 dan Tabel 8. 2.3.1.2. Retribusi Daerah Retribusi untuk daerah provinsi, kabupaten/kota ditetapkan sesuai kewenangan daerah yang
terdiri dari; 10 jenis retribusi jasa umum, 4 jenis
retribusi perizinan tertentu.
Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut
didasarkan pertimbangkan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan jenis pungutan yang baik. 2.3.1.3. Pendapatan Asli Daerah Lain Yang Syah Pendapatan yang termasuk kelompok ini adalah semua pendapatan yang tidak termasuk Pajak Daerah dan Retribusi, antara lain adalah penerimaan dari dinas-dinas laba BUMD, hasil penjualan aset daerah sewa properti milik daerah. 2.3.2. Dana Perimbangan (equalization transfer) Menurut UU No.25 tahun 1999 dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (pajak dan non pajak), Dana Alokasi Umum (DAU), dan DAK (Dana Alokasi Khusus). Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan bagian dari transfer pemerintah pusat ke daeah. 2.3.2.1. DAU (Dana Alokasi Umum) Sebagai salah satu bentuk transfer dari pemerintah pusat, alokasi DAU mempunyai peranan yang cukup besar bagi penerimaan daerah, mengingat DAU
34
menduduki porsi jumlah terbesar dibandingkan komponen lainnya dalam Dana Perimbangan. Dalam Penjelasan ayat (4) dan (5) UU Nomor 25 tahun 1999, Dana Alokasi Umum (DAU) untuk satu provinsi tertentu dihitung dengan formula:
DAU Provinsi
=
Jumlah DAU untuk Seluruh Provinsi
Bobot Daerah Provinsi YBS
X Bobot Seluruh Daerah Provinsi
Sedangkan besaran DAU yang diterima oleh kabupaten/kota dihitung dengan formula yang serupa yaitu:
DAU Kab/Kota
=
Jumlah DAU untuk Seluruh Kabupaten/Kota
Bobot Daerah Kab/Kota YBS
X Bobot Seluruh Daerah Kab/Kota
Bobot daerah ditetapkan berdasarkan, (1). Kebutuhan Wilayah Otonomi Daerah, yang dicerminkan paling sedikit oleh variabel Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Keadaan Geografis, dan Tingkat Pendapatan dengan memperhatikan kelompok masyarakat
miskin, (2). Potensi ekonomi daerah, antara lain
dicerminkan oleh potensi penerimaan daerah seperti potensi Industri, potensi SDA, potensi SDM, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDDRB). Per definisi DAU adalah dana dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah. Salah satu tujuan keberadaan DAU dalam sistem perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah adalah sebagai equalization grant, terutama untuk menetralkan dampak disparitas yang
35
ditimbulkan oleh transfer lain, seperti Bagi Hasil Sumber Daya Alam (BHSDA) dan Bagi Hasil Pajak (BHP). Tolak ukur keberhasilan DAU salah satunya adalah tercapainya pemerataan total penerimaan daerah per kapita yang sebaikbaiknya. Peranan strategis alokasi DAU terletak pada kemampuannya untuk menciptakan pemerataan fiskal berdasarkan pertimbangan atas potensi fiskal dan kebutuhan nyata daerah.
Menurut Mahi (2002), Kadjatmiko (2000,), karena
fungsinya sebagai sebagai alat untuk mengurangi ketimpangan fiskal horizontal, maka seyogianya DAU dilihat secara keseluruhan sebagai bagian dari Dana Perimbangan dan juga kapasitas fiskal daerah (PAD). Artinya DAU tidak boleh dilihat secara terpisah (terutama dengan Bagi Hasil Pajak; PBB, BPHTB, PPh perorangan) dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam.
Hal ini karena sifat DAU
sebagai equalization grant . Oleh sebab itu daerah yang menerima Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam tinggi seyogianya
mendapat Dana Alokasi Umum yang lebih rendah dibandingkan
dengan daerah yang menerima Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam rendah. 2.3.2.2. Bagi Hasil Pajak (BHP) dan Bukan Hasil Bukan Pajak (BHBP) Penerimaan Negara yang dibagi kepada daerah adalah (1) penerimaan pajak dan (2) penerimaaan negara bukan pajak atau bagi hasil sumber daya alam (UU No.25 Tahun 1999).
36
2.3.2.2.1. Bagi Hasil Pajak Penerimaan Pajak yang dibagi kepada pemerintah daerah adalah (1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan (2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Penerimaan negara dari PBB dibagikan kepada daerah 90% dan
sisanya (10%) dibagikan untuk pemerintah pusat. Bagian daerah yang 90% diberikan 16.2% untuk pemerintah provinsi, 64.8% kepada pemerintah kabupetn/kota, sedangkan 9% adalah sebagai biaya pemungutan pajak tersebut. Penerimaan negara dari BPHTB, dibagikan kepada pemerintah pusat 20%, dan pemerintah daerah mendapat bagian 80%, dengan rincian 16% untuk pemerintah provinsi, 64% untuk kabupaten/kota. Selain kedua pajak yang disebut diatas, jenis pajak yang dibagi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota adalah Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor.
Pemerintah provinsi mendapatkan bagian 10% dan 90% untuk
pemerintah kabupaten/kota. Tata cara pembagian diantara kabupaten/kota adalah panjang jalan yang dimiliki masing-masing pemerintah daerah.
Pajak Bahan
Bakar Kenderaan Bermotor dipungut oleh pemerintah provinsi. Pajak Penerimaan Perseorangan diberikan 80% untuk pemerintah pusat dan sisanya 20% adalah bagian pemerintah daerah 2.3.2.2.2. Bagi Hasil Bukan Pajak Penerimaan negara bukan pajak yang dibagikan kepada pemerintah daerah adalah penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam. Karenanya jenis penerimaan ini disebut juga Bagi Hasil Sumber Daya Alam (BHSDA). Bagi
37
Hasil Sumber Daya Alam terdiri dari (1) minyak bumi, (2) gas alam, (3) kehutanan, (4) pertambangan umum dan (5) perikanan Sebelum UU No.25 Tahun 1999
Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) dari minyak bumi dan gas alam tidak dibagikan. Sejak implementasi desentralisasi fiskal dibagikan dengan rincian 85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk pemerintah daerah. Bagian pemerintah daerah dibagikan 3% untuk pemerintah provinsi, 6% untuk kabupaten/kota penghasil, sisanya 6% untuk kabupaten/kota lain dalam provinsi tersebut (Lihat kembali Tabel 4). Bagi hasil gas alam menjadi 70% untuk pemerintah pusat dan 30% untuk pemerintah daerah, dengan rincian 6% untuk provinsi, 12% untuk kabupaten/kota dan 12% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi. Penerimaan negara dari pertambangan umum dibagikan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah, dengan rincian 16% untuk provinsi, 64% untuk daerah tingkat II. Penerimaan negara yang berasal dari sektor kehutanan adalah (1) royalty yaitu dari PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan) dan (2) Landrent yang bersifat license fee yaitu IHPH (Iuran Hak Pengusahaan Hutan) dan (3) Dana Reboisasi. Menurut UU No.25 tahun 1999, PSDH dan IHPH termasuk dalam penerimaan dari Sumber Daya Alam yang dibagikan kepada daerah, sedangkan dana reboisasi disalurkan kepada daerah dengan mekanisme DAK (Dana Alokasi Khusus). Setelah desentralisasi fiskal bagi hasil dari IHPH berubah.
Tadinya
dibagikan kepada pemerintah pusat 30% dan pemerintah daerah 70%, berubah menjadi 20% pusat dan 80% untuk pemerintah daerah. Bagi hasil IHH/PSDH yang tadinya pemerintah pusat mendapat bagian 55% dan daerah 45%, dengan
38
rincian 30% untuk provinsi dan 15% untuk kabupaten/kota, berubah menjadi 20% untuk pusat dan 80% untuk daerah. Sebelum UU No.25 Tahun 1999 penerimaan negara dari sektor perikanan tidak dibagikan. Namun sejak desentralisasi fiskal penerimaan tersebut dibagikan dengan rincian 20% untuk pemerintah pusat dan 80% dibagiratakan kepada seluruh kabupaten/kota se Indonesia. 2.3.2.2. DAK (Dana Alokasi Khusus) Pada hakikatnya Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus.
Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan
ketersediaan dana dalam APBN. Menurut UU No.25 tahun 1999, kebutuhan khusus yang dapat dibiayai oleh DAK adalah; 1. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum. 2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional 3. Empat puluh persen (40%) dari penerimaan Negara yang berasal dari Dana Reboisasi disediakan
kepada daerah penghasil sebagai DAK, untuk
membantu membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan. Menurut Kadjatmiko (2002), untuk mendapatkan DAK, khususnya butir (a) diatas diperlukan syarat-syarat sebagai berikut; 1. Adanya usulan daerah yang diajukan kepada menteri teknis/instansi terkait 2. Daerah tidak mampu membiayai keseluruhan kegiatan tersebut dari PAD, DAU, Bagi Hasil, dan Penerimaan lain yang syah.
39
3. Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%,sementara untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi tidak memerlukan pendamping. 4. Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/kegiatan yang ditetapkan oleh menteri teknis/instansi terkait Sebagaimana disebutkan tadi, kebutuhan khusus yang dapat dibiayai oleh DAK adalah salah satunya kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus Dana Alokasi Umum. Kebutuhan tersebut antara lain adalah; 1. Kebutuhan prasrana, dan sarana fisik di daerah yang berbatasan langsung dengan Negara lain. 2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain 3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak didaerah pesisir atau kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang memadai 4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah transmigrasi 5. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan Adapun kebutuhan yang merupakan komitmen nasional adalah, meliputi; 1. Kebutuhan yang sesuai dengan kegiatan yang menjadi komitmen pemerintah dengan lembaga donor 2. Kebutuhan yang sesuai dengan kegiatan yang menjadi prioritas Rencana Pembangunan Tahunan. Sedangkan kebutuhan daerah yang dapat dibiayai dengan DAK meliputi;
40
1. Kegiatan investasi, pengadaan dan atau peningkatan dan atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang serta bermanfaat bagi masyarakat 2. Kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana untuk periode terbatas tidak melebihi tiga tahun yang bermanfaat bagi masyarakat, dan diberikan dalam kondisi tertentu dimana pada tahap awal daerah belum dapat melaksanakannya. 2.3.2.3. Pinjaman daerah Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang produktif (pengeluaran modal), daerah juga dapat melakukan pinjaman baik dari dalam negeri dan luar negeri dengan persetujuan pusat. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut dibebani kewajian untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim dalam perdagangan. Sumber pinjaman adalah dari dalam negeri (dari pemerintah pusat, atau penerbitan obligasi) dan dari luar negeri, yang digunakan; 1. Pinjaman jangka panjang, untuk membiayai pembangunan prasarana yang merupakan asset daerah, yang dapat menghasilkan
penerimaan untuk
pembayaran pinjaman tersebut, serta memberikan manfaat bagi pelayanan umum 2. Pinjaman jangka pendek, untuk pengaturan arus kas dalam rangka pengeluaran kas daerah
41
Peraturan yang ada memungkinkan daerah meminjam langsung kepada sumber di luar negeri, tanpa jaminan pemerintah pusat.
Namun pada
kenyataannya sebagian besar lembaga internasional mensyaratkan pinjaman dilakukan dengan pemerintah pusat sebagai anggota. 2.3.2.4. Penerimaan Lain Yang Syah Jenis penerimaan yang termasuk pada bagian ini adalah semua penerimaan yang tidak termasuk kepada jenis penerimaan yang disebut terdahulu, penerimaan yang termasuk kesini antara lain adalah subsisi atau bantuan dari pemerintahan yang lebih tinggi, namun tetap tercatat dalan APBD daerah. 2.4. Formulasi DAU (Dana Alokasi Umum) Sebagaimana diamanatkan dalam UU No.25 tahun 1999 bahwa DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 % dari Penerimaan Netto Dalam Negeri dengan rincian 90% untuk kabupaten/kota dan 10% untuk provinsi.
Untuk
mengalokasikan DAU yang cukup besar tersebut dipergunakan suatu formula, yang menggunakan pendekatan fiscal gap (celah fiskal), dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Namun dalam perkembangannya DAU ditetapkan tidak hanya berdasarkan celah fiskal namun juga atas dasar faktor penyeimbang atau alokasi dasar. Alokasi dasar mengandung arti bahwa penerimaan DAU tahun berjalan setidaknya sama dengan DAU tahun sebelumnya. Sebagaimana disebutkan bahwa variabel
kebutuhan daerah paling sedikit
dicerminkan oleh jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat
42
pendapatan masyarakat, dengan memperhatikan masyarakat miskin. Sementara potensi daerah dicerminkan oleh potensi penerimaan daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).
Selain itu untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan
daerah dalam membiayai pengeluarannya yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka alokasi DAU juga ditentukan oleh faktor penyeimbang, dan faktor Lump-sum,
selain dari faktor formula yang telah disebutkan diatas.
Sehingga alokasi DAU menurut Brojonegoro dan Pakpahan ( 2002) adalah ; DAU i = FFi + FPi + FLi , dimana : DAU : Dana Alokasi Umum FF : Faktor formula FP : faktor Penyeimbang FL : faktor lump-sum i ; provinsi, kabupaten/kota 2.4.1. Formulasi DAU 2001 Potensi Penerimaaan: *Potensi Industri *Potensi SDA *Potensi SDM *PDRB
Variabel Potensi: *PDRB Non-Primer *PDRB Primer *Penduduk Usia Prod
Formula DAU 2001
Amanat UU No.25/1999
Kebutuhan Fiskal: *Jumlah Penduduk *Luas Wilayah *Keadaan Geografi Penduduk Miskin
Varibel Kebutuhan: *Jumlah Penduduk * Luas Wilayah *Indeks Harga Bang * Penduduk Miskin
Gambar 1. Prosedur Penyusunan DAU 2001
43
Berbagai pendapat mengenai keterbatasan dalam formulasi DAU yang memiliki berbagai kelemahan. Kritik
utama adalah
bahwa formula yang dibuat cenderung kurang
menghasilkan efek pemerataan dan keadilan ekonomi, padahal tujuan utama DAU dalam UU No.22 tahun 1999 adalah pemerataan. Belum lagi ditambah dengan nuansa politik yang cukup kental dalam proses persetujuan perumusan DAU tersebut, sehingga menyimpan potensi konflik (Simanjuntak 2001). 2.4.2. Formulasi DAU 2002 Formula DAU 2002, sebagai perbaikan terhadap formula DAU 2001, didasari oleh beberapa hal yaitu (1) formula DAU 2001 hanya berlaku satu tahun (sesuai Keppres No.181 Tahun 2000), (2) formulasi DAU 2001 masih banyak kelemahan, (3) perlu penyempurnaan DAU guna mengurangi celah fiskal antar daerah serta dapat mencerminkan azas keadilan dan pemerataan. Beberapa pedoman dasar bagi penyusunan formula DAU tahun 2002: 1. Tetap mengacu pada kaidah-kaidah dasar dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 2. Menggunakan pendekatan fiscal gap, yaitu DAU lebih diarahkan untuk membantu daerah yang kurang mampu secara keuangan. 3. Formulanya harus sederhana, sehingga mudah dipahami, sehingga daerah dapat menghitung sendiri DAU yang akan diterimanya. 4. Formulanya dapat dipertanggung jawabkan secara akademis 5. Memenuhi fungsi DAU sebagai penyeimbang keuangan antar daerah (equlization transfer).
44
Berdasarkan kriteria tersebut maka alur pemikiran dalam penyusunan formula DAU 2002 menjadi (Gambar 2). Beberapa penyempurnaan dilakukan dalam penyusunan DAU 2002 yang dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) variabel potensi penerimaan dan (2) variabel kebutuhan pembiayaan daerah.
Potensi Penerimaaan: *Potensi Industri *Potensi SDA *Potensi SDM *PDRB
Variabel Potensi: *PDRB Ind & jasa *Bagi Hasil SDA,PBB, BPHTB *PPh Orang Pribadi
Formula DAU 2002
Amanat UU No.25/1999
Kebutuhan Fiskal: *Jumlah Penduduk *Luas Wilayah *Keadaan Geografi Penduduk Miskin
Varibel Kebutuhan: *Jumlah Penduduk * Luas Wilayah *Kepadatan Penduduk *Indeks Harga Bang * Proverty Gap
Gambar 2. Prosedur Penyusunan DAU 2002
Variabel-variabel penentu potensi penerimaan adalah PAD, PBB dan BPHTB, PPh Orang Pribadi, dan Bagi Hasil Sumberdaya Alam. Variabel penentu kebutuhan pembiayaan daerah adalah Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Indeks Harga Bangunan dan Penduduk Miskin. Nilai PAD dihitung sebagai fungsi dari PDRB sektor Jasa dengan formula ekonometrika: PAD = α0 + α1 PDRB Sektor Jasa. Nilai PBB dan BPHTB lebih dari 90% masuk ke kas daerah, walau jenis pajak ini termasuk pajak pemerintah pusat.
Sebesar 20% dari PPh diserahkan kepada daerah. Nilai Bagi Hasil
45
Sumberdaya Alam (BHSDA) merupakan komponen dari Dana Perimbangan. Oleh karena itu BHSDA menentukan besarnya penerimaan daerah. Indeks Beban Penduduk, yang merupakan indikator perbedaan kebutuhan antar daerah berdasarkan jumlah penduduk dihitung dengan ;
Indeks Penduduk
i
Populasi Daerah i -----------------------------------------------------Rata-rata populasi Daerah secara Nasional
=
Indeks Luas Daerah menunjukkan perbedaan kebutuhan pembiayaan daerah atas dasar luas wilayahnya, dihitung berdasarkan rumus;
Indeks Luas Daerah i
Luas Daerah i ------------------------------------------------Rata-rata Luas Daerah secara nasional
=
Indeks Harga Bangunan merupakan indikator tingkat kesulitan daerah. Makin sulit kondisi daerah makin besar biaya yang diperlukan untuk konstruksi. Untuk menghitung perbedaan suatu daerah dengan yang lain didasarkan atas rumus berikut;
Indeks Harga Bangunan i
=
Indeks Konstruksi Daerah i ------------------------------------Rerata Indeks Konstruksi Daerah
Poverty Gap adalah indikator perbedaan tingkat kemiskinan antar daerah. Indikator ini mengukur jumlah dana yang diperlukan untuk mengangkat seluruh orang miskin keluar dari garis kemiskinan melalui transfer dana . Poverty gap yang diukur dalam persentase, adalah jarak rata-rata pendapatan penduduk dari garis kemiskinan, didefinisikan sebagai berikut;
46
PG =
1 q ⎡ z − yi ⎤ ∑ n i =1 ⎢⎣ z ⎥⎦
dimana; Yi : pendapatan individu ke i Z : Poverty line/garis kemiskinan N : jumlah penduduk suatu daerah Pengeluaran rata-rata daerah adalah indikator untuk mengukur biaya ratarata pengadaan pelayanan publik di daerah, yaitu jumlah biaya rutin gaji dan non gaji ditambah belanja pembangunan daerah. Pengeluaran rata-rata daerah diukur dengan rumus;
Pengeluaran Daerah Rata-Rata =
Variabel-variabel
(Belanja Rutin + Belanja Pembangunan} Seluruh Indonesia ------------------------------------------------------------------------Jumlah Daerah
terpilih
untuk
menentukan
kebutuhan
daerah
dikelompokkan menjadi variabel kependudukan dan variabel kewilayahan, yang masing-masing kelompok dibobot 50%.
Variabel kependudukan terdiri atas
Indeks Jumlah Penduduk (IP) dan Indeks Kemiskinan Relatif (IKR), sedangkan variabel kewilayahan terdiri dari Indeks Luas Wilayah (IW) dan Indeks Harga Bangunan (IHB). Bobot yang relevan bagi setiap indeks adalah ; 1. Indeks Jumlah Penduduk (IP) 0.1 2. Indeks Kemiskinan Relatif (IKR) 0.1 3. Indeks Luas Wilayah (IW) 0.1 4. Indeks Harga Bangunan (IHB) 0.4 Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangan kemampuan daerah membiayai pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya (funding
47
mismatch), alokasi DAU 2002 disamping menggunakan formula atas dasar konsep fiscal gap, juga memperhitungkan faktor penyeimbang, yang terutama didasarkan atas besarnya kebutuhan belanja pegawai di daerah. Artinya semua daerah dapat DAU, walaupun sesungguhnya jika berdasarkan konsep fiscal gap daerah tersebut mendapat dapat nilai DAU Nol. Selengkapnya, Alokasi DAU ke daerah tertentu dihitung sebagai berikut; DAU i = Fp i + (BD i x DAU n)
BD i =
Celah fiskal i ------------------------Total Celah Fiskal
dimana; DAU i DAUn
: DAU yang akan dialokasikan ke provinsi atau ke kab/kota : DAU yang akan dialokasikan ke seluruh provinsi atau kabupaten/kota setelah disesuaikan dengan faktor penyeimbang. : Faktor Penyeimbang : Bobot Daerah provinsi atau kabupaten/kota
FP BDi
Bobot DAU dibentuk dari perhitungan celah fiskal yang didasarkan atas selisih antara kebutuhan pembiayaan daerah dan potensi penerimaan daerah dengan pendekatan sebagai berikut; Celah Fiskal i = (Kebutuhan Fiskal i – Kapasitas Fiskal i)
dimana; Kebutuhan Fiskal i = TPR x [ 0.4 IPi + 0.1 IWi + 0.1 IKRi + 0.4 IHB i] Kapasitas Fiskal i = PADi + PBB i + BPHTBi + PPhi +0.75 SDAi PADi = a0 + a1 PDRB jasa TPR : Total Pengeluaran rata-rata IP : Indeks Kepadatan Penduduk IW : Indeks Luas Wilayah IKR : Indeks Kemiskinan Relatif IHB : Indeks Harga Bangunan
48
PAD ; Pendapatan Asli Daerah PBB : Pajak Bumi dan Bangunan BPHTB: Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan PPh : Pajak Penghasilan Perorangan PDRB : Produk Domestik Regional Bruto SDA : Sumber Daya Alam Faktor penyeimbang DAU 2002, berupa alokasi minimum yang terdiri dari (1) Lump-sum, yang berasal dari sejumlah proporsi DAU yang akan dibagikan secara merata kepada seluruh daerah ( se provinsi atau se kabupaten/kota), (2) Transfer dari sejumlah proporsi DAU yang dialokasikan secara proporsional dari kebutuhan gaji masing-masing daerah dengan kebutuhan gaji daerah secara nasional. Dengan demikian maka rumus DAU 2002 menjadi; DAU = AM + ( BD i x DAU n ) AM = {LS + (α * Gaji)} sehingga
DAU I = {LS + (α * Gaji)} + ( BD i x DAU n )
dimana; AM α * Gaji
: Alokasi Minimum : Alokasi berdasarkan proporsi kebutuhan belanja pegawai (gaji)
Dengan formula tersebut diatas, kombinasi Alokasi Minimum dan formula Celah Fiskal sebagai berikut; 1. Untuk provinsi, dengan proporsi 50% alokasi minimum; dimana 20% berdasarkan lumpsum, dan 30% berdasarkan kebutuhan gaji dan 50% celah fiskal. 2. Untuk Kabupaten/Kota, dengan proporsi 60% alokasi minimum ; dimann 10% berdasarkan Lumpsum dan 50% berdasarkan kebutuhan gaji serta 40% bedasarkan celah fiskal.
49
Formula DAU 2002 ini tetap masih dipergunakan untuk perhitungan DAU pada tahun 2003 dan 2004. 2.5. Transfer Keuangan Pusat ke Daerah Evolusi desentralisasi fiskal selalu diikuti pula dengan evolusi sistem transfer keuangan dari pusat ke daerah. Sistem transfer yang dipakai Indonesia saat ini adalah hasil evolusi sepanjang kurun waktu 50 tahun (dimulai sejak 1945). Menurut Mahi dan Adriansyah (2002), sejak 1945 – 1956 Indonesia menganut sistem “Sluit post”, yaitu rencana kebutuhan dikurangi dengan rencana pengeluaran.
Dalam pengalaman, peranan sluit post 95% dalam keuangan
provinsi, dan 70% untuk kabupaten. Walaupun dalam kenyataan sistem ini tidak pernah diterapkan secara murni, karena kenyataannya bantuan atau subsidi sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah pusat . Sejak tahun 1956, hubungan keuangan pusat dan daerah diantur menurut Undang-Undang No.32 tahun 1956. Menurut Undang-Undang ini, pola hubungan antara pusat dan daerah meliputi tiga hal; 1. Penyerahan sumber pendapatan negara kepada daerah 2. Pemberian bagian tertentu dari penerimaan berbagai pajak kepada daerah (bukan bagi hasil) 3. Memberikan ganjaran, subsidi, dan sumbangan kepada daerah Pembagian pada butir (2), didasarkan pada faktor-faktor (a) luas daerah, (b) jumlah penduduk, (c) tingkat kecerdasan rakyat, (d) tingkat kemakmuran, (e)
50
panjang jalan yang diurus daerah, (f) panjang sungai yang diurus daerah, (g) pemilahan daerah kepulauan dan bukan kepulauan. Menurut Mahi dan Adriansyah (2002), pembagian seperti pada point (2) semestinya dilakukan menurut rumus (formula) tertentu, namun hal itu tidak diimplementasikan. Menurut Mahi dan Adriansyah (2002) secara umum terdapat tiga jenis transfer di Indonesia yaitu; 1.
Subsidi (untuk mencukupi kebutuhan rutin, terutama gaji) ,
2.
Bantuan (untuk pembangunan) dan
3.
DIP (Daftar Isian Proyek) Kedua jenis pertama dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat
pemerintahan (intergovernmental grants) sebab menjadi bagian dari anggaran pemerintah daerah. Sementara Daftar Isian Proyek dikategorikan sebagai “inkind allocation”, sebab walaupun dana mengalir ke daerah namun tidak termasuk anggaran pemerintah daerah 2.6. Peranan Pemerintah Dalam Perekonomian Dalam setiap perekonomian , baik pada sistem kapitalisme maupun dalam sistem sosialisme, pemerintah selalu memainkan peranan penting. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat besar dalam menjamin tercapainya kesejahteraan masyarakat yang optimum. Juga untuk mengoreksi perilaku masyarakat yang tidak efisien dalam alokasi sumber-sumber ekonomi.
Selain itu adalah
peranannya yang besar dalam bidang redistribusi pendapatan dan stabilisasi
51
ekonomi (tingkat kesempatan kerja dan tingkat inflasi).
Secara garis besar
peranan tersebut dapat dilihat pada gambar 3.
DESENTRALISASI FISKAL
DANA PERIMBANGAN (BAGI HASIL, DAU, DAK)
PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
PENERIMAAN DAERAH
PENGELUARAN DAERAH
PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH
1. PDRB 2. KESEMPATAN KERJA
Non Faktor Ekonomi
3. TINGKAT INFLASI 4. DISTRIBUSI PENDAPATAN
Gambar 3. Desentralisasi Fiskal, Peranan Negara dan Kinerja Perekonomian
Dalam sebuah sistem perekonomian modern, peran pemerintah dapat diklassifikasikan menjadi tiga kategori (Musgrave and Musgrave, 1984) , yaitu; 1. Peran alokasi, yaitu dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi untuk meningkatkan kapasitas produksi maupun efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
52
2. Distribusi , yaitu mendistribusikan kembali faktor-faktor produksi dan hasilnya, dan 3. Stabilisasi, yaitu menjamin stabilitas ekonomi dan politik
2.6.1. Peran Alokasi Peran alokasi, yaitu pemerintah mengambil peran dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi. Pemerintah melalui kebijakan-kebijakan ekonominya dapat mengarahkan arah alokasi sumber ekonomi, dengan kata lain pemerintah dapat menciptakan insentif maupun disinsentif agar kegiatan ekonomi sesuai dengan keinginan pemerintah.
Khusus untuk sektor barang publik, yang
manfaatnya dapat dirasakan oleh semua orang tanpa membayar, sehingga tidak diminati oleh swasta , maka pemerintah masuk sebagai investor.
Peranan
pemerintah dibidang alokasi sumberdaya ekonomi adalah agar alokasinya dilakukan secara efisien. 2.6.2. Peran distribusi Peran distribusi, yaitu mendistribusikan kembali faktor produksi dan hasilnya.
Distribusi pendapatan tergantung pada pemilikan faktor-faktor
produksi, sistem warisan dan kemampuan memperoleh pendapatan. Distribusi yang ditimbulkan oleh pasar sering dianggab tidak adil oleh masyarakat. Pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter dapat merubah distribusi pendapatan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Merubah distribusi dapat
dilakukan secara langsung maupun tak langsung . Secara langsung melalui pajak progressif, yaitu melalui pengenaan pajak yang lebih besar pada kelompok
53
pendapatan yang lebih besar, dan lebih ringan bagi orang miskin, disertai subsidi bagi orang miskin. Secara tidak langsung melalui kebijakan fiskal, yaitu dengan menggunakan instrumen
penerimaan dan pengeluaran pemerintah melalui
APBN/APBD seperti perumahan murah untuk kelompok pendapatan tertentu, subsidi pupuk untuk petani.
Dengan demikian pemerintah dapat melakukan
ditribusi pendapatan melalui kebijakan fiskal, yaitu mendayagunakan instrument APBN dalam tingkat nasional, atau APBD dalam tingkat daerah. 2.6.3. Peran stabilisasi Peran stabilisasi, yaitu menjamin stabilitas ekonomi dan politik. Gangguan pada satu sektor akan mempengaruhi sektor lain, yang bermuara pada terciptanya pengangguran dan gangguan stabilitas ekonomi. Untuk mengatasi hal ini (gangguan stabilitas ekonomi) ialah dengan intervensi pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter. Dalam implementasinya ketiga peranan pemerintah tadi, sulit dijalankan secara bersamaan, namun juga jarang dilakukan secara sendiri-sendiri. Seringkali terjadi trade off antara satu tujuan dengan tujuan yang lain. Peran stabilisasi bisa trade off dengan distribusi, selanjutnya peran alokasi trade off dengan stabilisasi. Untuk menghindari trade off yang relatif besar, kebijakan yang diambil sering bersifat kebijakan terpadu (mix policy). Sekalipun ketiga fungsi pemerintah secara teoritis dapat dipisahkan, tetapi dalam implementasi tidak dapat dipisahkan.
Implikasinya, sebuah kebijakan
mesti melalui pertimbangan yang komprehensif dari berbagai bidang.
54
Dalam menjalankan fungsinya pemerintah memerlukan cara untuk mencapainya. Cara tersebut dikenal dengan nama kebijakan (policy). Menurut Hall dan Taylor (1993), kebijakan itu dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) Kebijakan Fiskal (fiscal policy) dan (2) Kebijakan Moneter (monetary policy). Blancard (1997) mengelompokkan kebijakan tadi menjadi empat yaitu (1) Kebijakan Fiskal (fiscal policy ), (2) Kebijakan Moneter (monetary policy) , (3) Kebijakan Pendapatan (income policy) dan (4) Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (internasional trade policy). Kebijakan fiskal didefinisikan oleh Stevenson dan Mustacelli (1988) sebagai suatu pengaturan (manipulation) pengeluaran pemerintah dan perpajakan dengan tujuan untuk mempengaruhi permintaan agregat (aggregate demand). Sedangkan kebijakan moneter adalah pengaturan suku bunga dan jumlah uang beredar untuk mempengaruhi permintaan agregat. Melihat substansinya, maka Desentralisasi fiskal merupakan instrumen kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah untuk memainkan peran pemerintah dalam perekonomian. 2.6.4. Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi Kebijakan
fiskal
(fiscal
policy)
merupakan
salah
satu
kebijakan
makroekonomi, yang secara khusus berkaitan dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal atau disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) dilakukan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki fungsi - fungsi yaitu (1) fungsi alokasi (allocation function), (2) fungsi distribusi (distribution function), dan (3)
55
fungsi stabilisasi (stabilization function). Fungsi alokasi adalah fungsi yang berkaitan dengan penyediaan barang-barang sosial (social goods), atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat (private goods) dan barang sosial (social goods) dan kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi distribusi atau redistribusi adalah fungsi kebijakan fiskal atau anggaran yang berkaitan dengan upaya untuk menciptakan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata di dalam masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi adalah fungsi kebijakan fiskal yang berkaitan dengan untuk mempertahankan tingkat pengerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai, yang dapat berpengaruh atau berakibat pada neraca perdagangan dan pembayaran (Musgrave and Musgrave, 1984). Adapun instrumen dari kebijakan fiskal adalah pajak, pengeluaran pemerintah dan pembayaran transfer (transfer payment), artinya dalam melaksanakan kebijakan fiskal tersebut, maka variabel-variabel itulah yang diubah-ubah besarnya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat kebijakan. Sebagai contoh, apabila pembuat kebijakan ingin menciptakan stabilitas harga, maka kebijakan fiskal akan diusahakan untuk menjadi kontraktif, dimana pengeluaran pemerintah (G) akan diturunkan atau pajak (T) dinaikkan. Dengan begitu, maka permintaan agregat di dalam perekonomian akan turun, dan hal ini akan mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga-harga. Sebaliknya, kalau pemerintah atau pembuat kebijakan ingin meningkatkan tingkat pengerjaan (employment) dalam rangka untuk mengurangi tingkat pengangguran,
56
maka kebijakan fiskal yang dilakukan akan cenderung
bersifat
ekspansif,
dimana pengeluaran pemerintah akan dinaikkan atau pajak diturunkan. Hal ini akan meningkatkan permintaan agregat di dalam perekonomian dan akan terjadi ekspansi dalam perekonomian. Menurut Jhingan (1993) kebijakan fiskal memainkan peranan penting dinamis di negara-negara berkembang. Dimana penggunaannya diperlukan secara luas bagi pembangunan ekonomi, khususnya dalam peranannya dalam menghadapi problem pembentukan modal. Pendapatan dan tabungan per kapita rendah, sementara orang yang kaya justru suka konsumsi barang mewah. Sebagian besar dari tabungan disalurkan pada jalur-jalur tidak produktif seperti perumahan,
penimbunan,
spekulasi dan sebagainya.
Kebijakan fiskal
mengalihkan semua itu kesaluran yang produktif. Jhingan (1993) merinci beberapa tujuan kebijakan fiskal, sebagai sarana menggalakkan pembangunan, antara lain adalah; 1. Meningkatkan laju investasi di sektor swasta dan sektor pemerintah. Hal ini dapat dicapai dengan mengendalikan konsumsi baik aktual maupun potensial melalui peningkatan rasio tabungan marjinal (marginal propensity to saving). Kebijakan fiskal juga harus digunakan untuk mendorong atau memperkuat bentuk investasi tertentu.
Dalam rangka meningkatkan laju investasi
pemerintah harus menerapkan kebijakan investasi berencana di sektor publik. Tindakan ini akan berdampak meningkatkan volume investasi di sektor swasta.
57
2. Mendorong Investasi Optimal Secara Sosial.
Kebijakan fiskal harus
mendorong arus investasi ke jalur-jalur yang diinginkan oleh masyarakat. Ini berkaitan dengan pola optimum investasi dan menjadi tanggung jawab negara untuk mendorong investasi pada overhead sosial dan ekonomi seperti transportasi, konservasi lahan, pendidikan, kesehatan masyarakat dan fasilitas latihan teknik.
Investasi semacam yang memerlukan modal besar, hanya
dimungkinkan dari sektor pemerintah, karena sektor swasta yang miskin modal, serta tingkat pengembalian investasi yang cukup panjang. 2.7. Studi-Studi Desentralisasi Fiskal 2.7.1. Mancanegara Desentralisasi Fiskal yang telah menjadi trend diberbagai belahan dunia dalam beberapa tahun terakhir telah diterapkan dibanyak negara, jauh sebelum di implementasikan di Indonesia. Dalam kesempatan ini, dibahas beberapa negara yaitu China, India
dan Filipina. China terpilih karena merupakan salah satu
contoh yang berhasil (khususnya dalam pertumbuhan ekonomi) menerapkan desentralisasi fiskal dengan pendekatan top down. India sebagai suatu negara besar yang bhinneka dengan pendekatan bottom up juga berhasil mengatasi masalah ekonomi dan sosial (khususnya pemerataan dan isu separatisme). Filipina sebagai sesama negara ASEAN telah lebih berpengalaman dalam implemetasi desentralisasi sejak tahun 1993. Ketiga negara tersebut dengan kebhinnekaan wilayah dan budaya yang kurang lebih serupa dengan Indonesia tentu menarik untuk dianalisis.
58
Menurut Lin and Liu (2000), sejak dimulainya reformasi ekonomi di Cina, rasio penerimaan pajak terhadap PDB merosot. Namun demikian kinerja perekonomian Cina sejak 1978 hingga awal abad ke -21 ini sangat mengesankan. Bahkan saat krisis ekonomi melanda kawasan Asia mulai akhir tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Cina tetap seputar 7-9% pertahun. Namun pada periode yang sama, persoalan ketimpangan antar daerah provinsi menjadi sangat serius. Beberapa studi menunjukkan bahwa desain transfer dari pusat ke daerah belum dapat mengatasi persoalan ketimpangan ini, walau memang dimaksudkan untuk itu. Di Cina, sumber-sumber pendapatan yang diserahkan kepada daerah sudah cukup besar, dan jika dibandingkan dengan kewajiban belanja yang diembannya jumlah tersebut relatif seimbang.
Artinya rasio kewajiban belanja daerah
dibanding total kewajiban negara (pusat dan daerah) adalah seimbang dengan rasio pendapatan yang menjadi bagian daerah dibanding total pendapatan negara. Itulah sebabnya ketimpangan di Cina lebih pada ketimpangan horizontal dibanding ketimpangan vertikal. Seperti dikemukakan sebelumnya, China sebagai negara yang mengadopsi desentralisasi fiskal secara berhasil, merupakan ladang studi desentralisasi fiksal oleh beberapa pakar, diantaranya Lin dan Liu (2000). Menurut Lin dan Liu (2000) selama tahun 1980-an sistem fiskal di China mengalami perubahan penting, yaitu berubah dari sistem tunggal (unitary system), dimana pemerintah pusat secara absolut mengendalikan pengumpulan penerimaan (revenue) dan pengaturan anggaran belanja (budget) bagi pemerintah daerah menjadi sesuai
59
dengan permintaan daerah. Pendapatan daerah dibagi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dengan kondisi ini pemerintah daerah umumnya
mengusulkan kebutuhan anggarannya kepada pemerintah pusat. Pada suatu kondisi dimana pendapatan daerah tidak mampu memenuhi pengeluarannya, pemerintah pusat akan menyediakan subsidi. Hubungan keuangan pusat dan pemerintah provinsi disebut dengan ”aturan pengumpulan penerimaan dan pembagian anggaran belanja” (tong sou tong zhi). Pemerintah daerah (subnational) tidak punya budget terpisah dengan pusat. Pemerintah pusat mengumpulkan semua penerimaan dan menyediakan anggaran pada setiap level pemerintahan. Studi Lin dan Liu (2000) di China menemukan bahwa; 1. Desentralisasi fiskal mempunyai kontribusi
yang positif
terhadap
pertumbuhan ekonomi.. 2. Faktor kunci pertumbuhan ekonomi China yang impresif selama 20 tahun silam dan sesudahnya adalah reformasi fiskal seiring dengan reformasi pedesaan (rural reform), sektor non-pemerintah, dan akumulasi kapital. 3. Ditemukan ketimpangan antar daerah provinsi menjadi sangat serius semenjak implementasi desentralisasi fiskal. 4. Ketimpangan Fiskal lebih
pada ketimpangan horizontal dibanding
ketimpangan vertikal. Menurut Bird dan Vaillancourt (2000), transfer di India telah dimulai sejak tahun 1919, dan banyak mengalami perubahan (yang lebih dikenal dengan Federalisme Fiskal) semenjak kemerdekaan tahun 1947. Sebagaimana sistem
60
transfer di banyak negara, tujuan sistem transfer di India adalah untuk mengurangi ketimpangan horisontal dan vertikal. Desentralisasi fiskal di India atau lebih sering disebut federasi fiskal, diawali tahun 1991 dengan tuntutan politik dari daerah, dimana telah terjadi perubahan peta kekuatan dari pusat ke daerah. Alasan ekonomi kemudian muncul setelah krisis ekonomi tahun 1991, yang memperjelas kelemahan-kelemahan yang melekat pada strategi pembangunan. Kekuasaan pengeluaran dan pajak pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian diatur secara tegas dalam Seventh Scedule of the Constitution. Transfers sumber-sumber antar negara bagian mencakup penetapan investasi-investasi di lokasi tertentu oleh pemerintah pusat. Juga pengalokasian sumber-sumber sistem perbankan dan lembaga keuangan dalam porsi tertentu untuk negara bagian, memberikan pinjaman ke negara bagian dengan suku bunga dibawah bunga pasar. Termasuk pemberian subsidi untuk alokasi pinjaman pada ”sektor prioritas”. Bebarapa temuan penting Rao dalam Bird dan Vaillancourt (2000) di India adalah: 1.
Sistem transfer yang telah dilakukan selama bertahun-tahun telah menghasilkan peningkatan pemerataan pelayanan yang cukup berarti di seluruh pelosok negara.
2.
Sistem pengaturan pengelolalaan fiskal intrapemerintahan telah berhasil memperbaiki derajat pemerataan, dan berhasil melembagakan sistem yang dapat bekerja menyelesaikan isu-isu sosial dan lingkungan.
Hal ini
61
memberikan kontribusi atas terciptanya unsur-unsur pemersatu negara India yang demikian luas dengan kebhinnekaan yang besar. Menurut Bird dan Vaillancourt (2000), secara administratif , Filipina dibagi atas 15 daerah dimana hampir semua departemen memiliki kantor wilayah. Saat ini terdapat 77 provinsi, 72 kota, 1548
municipalities, dan 42.000
baranguays. Pada tahun 1991, Negara ini mengeluarkan Local Government Code 1991 (Seperti UU No.25 tahun 1999 di Indonesia) yang mulai efektif berlaku tahun 1993. Code ini menyerahkan sebagian fungsi kepada daerah berikut aspek pembiayaannya.
Dalam Code ini diatur bahwa secara keseluruhan jumlah
penerimaan dalam negeri yang dialokasikan kepada daerah (internal revenue allotment = IRA) adalah sebesar 40% dari total penerimaan tiga tahun sebelumnya. Sebelum Code 1991 diberlakukan IRA hanya berjumlah 20% saja. Beberapa temuan penting dalam sistem transfer di Filipina adalah sebagai berikut; 1. Formulanya sederhana dan mudah dipahami, sehingga tidak perlu ada negosiasi khusus untuk menetukan bagian daerah karena rumusnya sudah jelas. 2. Formula tersebut adalah hasil negosiasi politik yang panjang, dimana upaya untuk mengubahnya bisa berakibat pada munculnya protes di berbagai pihak 3. Ditemukan peningkatan yang signifikan internal revenue allotment ( IRA: Semacam Dana Alokasi Umum di Indonesia) dari 20% dari rata-rata penerimaan dalam negeri selama tiga tahun sebelum Local Government Code
62
1991 menjadi 40% dari rata-rata penerimaan dalam negeri selama tiga tahun setelah Local Government Code 1991 4. Distribusi cukup merata antar daerah semenjak penerapan Local Government Code 1991
2.7.2. Indonesia Studi desentralisasi fiskal di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Beberapa diantaranya (Nanga 2006; Usman 2006; Sumedi 2005 dan Wuryanto 1996) melakukan studi dengan ruang lingkup Indonesia. Sedangkan beberapa lainnya (Saefudin 2005; Sumedi 2005; Pakasi 2005; Sinaga dan Siregar 2005 dan Pardede 2004) melakukan studi dengan ruang lingkup kabupaten/kota dalam provinsi.
Studi-studi tersebut memiliki persamaan maupun perbedaan
pada beberapa aspek yang akan dibahas berikut ini. Bahasan dibatasi pada aspek metodologi dan tujuan penelitian , ruang lingkup, dan hasil penelitian. 2.7.1.1. Metodologi dan Tujuan Penelitian Dari delapan studi yang disebutkan sebelumnya, enam studi (Nanga 2006; Usman 2006; Sumedi 2006; Saefudin 2005; Pakasi 2005 dan Sinaga dan Siregar 2005)
menggunakan model dinamik yaitu pendekatan ekonometrika dengan
sistem persamaan simultan , sedangkan dua lainnya (Pardede 2004 dan Wuryanto 1996) menggunakan model statik yaitu masing-masing menggunakan model Input-Output dan CGE (computable general equlibrium). Model dinamik yang digunakan dapat mengevaluasi dampak dan kecenderungan desentralisasi fiskal secara dinamis dari waktu ke waktu (“analisis gambar hidup”) di lokasi penelitian
63
namun kurang menggambarkan keterkaitan antara sektor , sedangkan model statik dapat menjelaskan keterkaitan antara sektor secara lebih baik, namun hanya menganalisis pada satu titik kejadian (“analisis potret”) namun tidak dapat menjelaskan kecenderungan desentralisasi fiskal ke depan. Nanga (2006) dalam studinya yang menggunakan model ekonometrika terdiri dari enam blok (Blok Fiskal Daerah, Blok Output, Blok Tenaga Kerja, Blok Pengeluaran Per Kapita Rumah Tangga, Blok Distribusi Pendpatan dan Blok Kemiskinan). Antar blok memiliki keterkaitan menjadi sebuah sistem persamaan simultan dengan 20 persamaan struktural dan 8 persamaan indentitas. Dengan Model tersebut Nanga (2006) bertujuan menganalisis dampak transfer fiskal terhadap aspek-aspek fiskal maupun kinerja perekonomian, namun lebih fokus terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.
Untuk melihat
distribusi pendapatan (pedesaan dan kota) Nanga (2006) menggunakan alat ukur Gini Indeks, sedangkan untuk menganalisis tingkat kemiskinan (pedesaan dan kota) menggunakan Indeks Kemiskinan. Usman (2006) dengan menggunakan model Ekonomtrika yang terdiri dari Empat Blok (Blok Fiskal-Penerimaan Daerah, Blok Fiskal Pengeluaran Daerah, Blok Permintaan Agregat dan Blok Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan). Keempat Blok terkait satu sama lain dan membentuk sebuah sistem persamaan simultan dengan 17 persamaan strukturan dan 8 persamaan identitas. Serupa dengan Nanga (2006), tujuan utama studi Usman (2006) adalah juga ingin melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan ekonomi namun lebih fokus pada distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Alat ukur
64
yang digunakan oleh Usman (2006) untuk menganalisis distribusi pendapatan dan kemiskinan sama dengan Nanga (2006), yaitu Indeks Gini dan Indeks Kemiskinan.
Perbedaan kedua-duanya lebih pada spesifikasi masing-masing
model. Sumedi (2005) serupa dengan Nanga (2006) dan Usman (2006) juga menggunakan pendekatan ekonometrika. Modelnya terdiri dari dua bagian yaitu Model Tingkat Daerah (Jawa Barat) dan Model Tingkat Nasional. Model Jawa Barat terdiri dari empat blok (Blok Penerimaan Daerah, Blok Pengeluaran Daerah, Blok Fiskal gap, dan Blok Kinerja Perekonomian Dan Pertanian Daerah). Model Nasional terdiri dari lima blok (Blok Penerimaan Daerah, Blok Pengeluaran Daerah, Blok Fiskal gap, Blok Kinerja Perekonomian Dan Pertanian Daerah, Dan Blok Permintaan Agregat). Masing-masing model berdiri sendiri, namun antara blok dalam masing-masing model memiliki keterkatitan satu sama lain membentuk sistem persamaan simultan.
Tujuan utama studi Sumedi (2005)
adalah untuk mengevaluasi dampak desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antara daerah dan kinerja perekonomian daerah nasional dan daerah. Berbeda dengan Nanga (2006) dan Usman (2006), alat ukur kesenjangan (distribusi) yang digunakan oleh Sumedi adalah Indeks Williamson.
Sedangkan untuk
mengevaluasi dampak terhadap kinerja perekonomian menggunakan analisis simulasi , sebagaimana dilakukan dua studi terdahulu. Saefudin (2005) menggunakan model ekonometrika dan model kualitatif . Model ekonometrika terdiri dari tiga blok (Blok Penerimaan Fiskal Daerah, Blok Pengeluaran Fiskal Daerah Dan Blok Makroekonomi Daerah). Antar blok dalam
65
model ekonometrika memiliki keterkaitan satu sama lain dalam sebuah sistem persamaan simultan dengan 18 persamaan struktural dan 11 persamaan identitas. Model ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian di Provinsi Riau.
Sedangkan
Model kualitatif
(menggunakan sistem kuesioner) bertujuan untuk mengevaluasi dampak serupa terhadap sistem kelembagaan di daerah yang sama. Selain karena mengevaluasi dampak terhadap variabel kualitatif (kelembagaan), perbedaan model ”Saefudin’ (2005) dengan tiga terdahulu adalah lebih pada perbedaan spesifikasi model sebagai akibat adanya fenomena yang berbeda antara daerah penelitiannya (Provinsi Riau) dengan Indonesia maupun Jawa Barat. Pakasi (2005) mengevaluasi dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara.
Bangunan
modelnya serupa dengan studi-studi yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu menggunakan model ekonometrika. Model terdiri empat blok yaitu Blok Fiskal Daerah, Blok Permintaan Agregat, Blok Produksi Dan Tenaga Kerja Daerah Dan Blok Kinerja Perekonomian Daerah. Seluruh blok membentuk sistem persamaan simultan yang teridiri dari 39 persamaan meliputi 23 persamaan perilaku dan 16 persamaan identitas. Perbedaan model yang dibangun oleh Pakasi (2005) dengan Nanga (2006), Usman (2006) Saefudin (2005) dan Sumedi (2005), selain mengevaluasi variabel ekonomi makro, juga mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal hingga pada level sektoral (sektor pertanian, sektor industri, sektor pariwisata, dan sektor jasa) dan komoditi tertentu. Dengan kata lain model yang dibangun Pakasi (2005) relatif lebih lengkap dibandingkan dengan yang
66
disebut terdahulu.
Namun model tadi relatif ”berlebih” jika hanya untuk
menjawab tujuan penelitiannya. Sinaga dan Siregar
(2005), melakukan studi
Desentralisasi Fiskal di
Kabupaten dan Kota Provinsi Sulawesi Selatan . Menggunakan pool data 23 Kabupaten dan Kota tahun 1994 – 2002 dan model ekonometrika yang terdiri dari tiga blok (Blok Penerimaan Fiskal Daerah, Blok Pengeluaran Fiskal Daerah Dan Blok Perekonomian Daerah) membentuk suatu sistem persamaan simultan dengan 22 persamaan perilaku dan 15 persamaan identitas. Blok Penerimaan Fiskal meliputi agregat, sedangkan Blok Pengeluaran Fiskal didisagregasi hingga lingkup sektoral (pertanian, non pertanian, infrastruktur, sosial, umum). Pada Blok Kinerja Perekonomian dilakukan analisis hingga lingkup agregat dan juga sektoral. Dengan demikian model yang dibangun oleh Sinaga dan Siregar ini relatif lengkap dibandingkan Nanga (2006), Usman (2006), Sumedi (2005) dan Saefudin (2005) sehingga mampu mengevaluasi dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan makroekonomi daerah secara lebih detail. Pardede (2004), juga melakukan studi Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi Propinsi Sumatera Utara. Dengan pendekatan Input-Output studi tersebut meliputi evluasi dampak pengeluaran pembangunan, pengeluaran rutin, dekonsentrasi dan investasi swasta terhadap Output, pendapatan dan kesempatan kerja.
Penelitian hanya melihat dampak
desentralisasi fiskal tahun 2001. Wuryanto (1996) dengan ruang lingkup nasional menggunakan metoda CGE (computable general equlibrium) dan pendekatan kualitatif . Metoda CGE
67
untuk menganalisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap pembangunan ekonomi nasional, sedangkan metoda kualitatif untuk tujuan lain seperti melihat perbedaan dampak anggaran sektoral dan INPRES terhadap kinerja ekonomi (pendapatan, distribusi).
Tujuan utama studi adalah untuk mengkaji (1)
bagaimana sistem fiskal yang lebih desentralis
mempengaruhi kinerja
perekonomian, (2) dampak dari beberapa skenario fiskal, khususnya dampak dari program INPRES terhadap kinerja perekonomian nasional dan regional. 2.7.1.2. Ruang lingkup penelitian Nanga (2006) mengambil ruang lingkup 25 provinsi di seluruh Indonesia (tidak termasuk DKI dan provinsi yang terbentuk setelah tahun 2002). Menggunakan data time series 1999-2002 dan data cross section 25 provinsi untuk mengevaluasi semua tujuan penelitian. Walau dengan keterbatasan waktu 1999-2002, dimana desentralisasi fiskal baru mulai diimplemetasikan dua tahun berjalan, namun karena ruang lingkup yang meliputi seluruh Indonesia, secara metodologis studi tersebut dapat dikatakan valid. Temuan studi ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah pusat untuk melakukan kaji ulang desain sistem transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan juga mengevaluasi dampak desentralisasi yang baru berjalan beberapa tahun ini. Usman (2006), seperti halnya Nanga (2006), juga mengambil ruang lingkup Indonesia 308 kabupaten/kota yang selanjutnya diagregasikan menjadi 26 provinsi. Ada tiga jenis data yang digunakan, yaitu data deret waktu (1994-2003) untuk mengevaluasi dan membandingkan pertumbuhan masyarakat ekonomi bawah dengan pertumbuhan masyarakat ekonomi atas; data cross section rumah
68
tangga (1999 dan 2002) untuk menemukan faktor penentu kemiskinan, dan panel data (1995-2003) untuk menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap perubahan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Sumedi (2005) sebagaimana Nanga (2006) dan Usman (2006) juga mengambil ruang lingkup nasional . Nasional meliputi seluruh wilayah Indonesia, secara sengaja mengambil Jawa Barat sebagai ruang lingkup tambahan untuk mengevaluasi dampak di level daerah. Model nasional menggunakan pendekatan sisi penawaran dan penerimaan, sedangkan model Jawa Barat hanya menggunakan pendekatan penawaran saja.
Model nasional menggunakan
agregasi pool data (cross section seluruh provinsi (kecuali Timor Timur) dan time series 1994-2002; model Jawa Barat menggunakan pool data (cross section kabupaten/kota se Provinsi Jawa Barat dan time series 1994-2002). Saefudin (2005) mengambil ruang lingkup Provinsi Riau meliputi 16 kabupaten/kota dengan deret waktu 1996-2003 guna mengevaluasi dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian di Provinsi Riau. Sedangkan untuk mengevaluasi kinerja kelembagaan hanya menggunakan sampel Pemerintah Daerah Provinsi Riau, Kota Pekanbaru, Kabupaten Kamper, Bengkalis dan Kabupaten Siak Indrapura. Pakasi (2005) menggunakan sampel lima kabupaten/kota (Kabupaten Minahasa, Bolaang Mongondow, Sangihe Talaud, Kota Manado dan Kota Bitung) untuk mewakili Provinsi Sulawesi Utara. Data yang digunakan adalah pool data (time series 1989-2002 dan cross section lima kabupaten/kota). Model dan analisis meliputi variabel makroekonomi, sektoral dan komoditi menjadikan ruang
69
lingkup penelitiannya menjadi relatif lebih lengkap dibandingkan dengan yang disebut terdahulu. Sinaga dan Siregar (2005) menggunakan seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan sebagai daerah penelitiannya. Data yang digunakan adalah pool data (time series 1990-2003 dan cross section 23 kabupaten/kota. Model dan analisis mencakup variabel agregat dan sektoral daerah. Model dan analisis meliputi variabel makroekonomi dan sektoral menjadikan ruang lingkup penelitiannya menjadi relatif lebih lengkap dibandingkan dengan yang disebut terdahulu, kecuali Pakasi (2005). Pardede (2004) menggunakan sample Kabupaten Tapanuli Utara dan Kota Medan sebagai representasi dari Provinsi Sumatera Utara. Data yang digunakan membangun Model Input–Ouput antara lain data Lembaran Kerja BPS Kabupaten Tapanuli Utara dan Kota Medan Tahun 2000, Tabel Input-Output Provinsi Sumatera Tahun 2000.
Sedangkan data untuk mengevaluasi pelaksanaan
desentralisasi fiskal adalah Data Keuangan daerah Tahun 1998/1999-2002. Wuryanto (1996) menggunakan seluruh Indonesia sebagai daerah penelitiannya. Aspek transfer fiskal yang diamati Wuryanto (1996) lebih fokus pada program INPRES.
Untuk membangun model CGE digunakan IRSAM
(Interregional Social Accounting Matrix) metoda non-survey tahun 1990. Untuk prosedur estimasi, menggunakan National SAM dan Tabel Input-Output Nasional tahun 1990.
70
2.7.1.3. Hasil-Hasil Penelitian Beberapa temuan penting studi Nanga (2006) adalah: 1. Transfer Fiskal dalam berbagai bentuknya memiliki dampak yang cenderung memperburuk kemiskinan di Indonesia.
Hal ini terjadi karena kenaikan
berbagai jenis transfer tadi memiliki dampak yang cenderung meningkatkan ketimpangan pendapatan, sementara kemiskinan memiliki hubungan positif dan elastis terhadap perubahan dalam ketimpangan pendapatan. 2. Ditemukan indikasi yang kuat bahwa transfer fiskal dalam berbagai bentuknya cenderung lebih menguntungkan sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian. Hal ini terlihat dari dampak transfer yang lebih besar terhadap PDRB dan Kesempatan Kerja yang lebih besar di sektor non pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. 3. Ada indikasi yang kuat bahwa kemiskinan di daerah pedesaan semakin memburuk sejak desentralisasi fiskal diterapkan.
Sementara di perkotaan
menunjukkan keadaan yang sebaliknya yaitu kemiskinan semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh daerah pedesaan memiliki sarana dan prasarana termasuk sistem kelembagaan dan SDM yang lebih baik dibandingkan dengan pertanian. Temuan Usman (2006) dalam beberapa aspek (khususnya fiskal) serupa dengan Nanga , namun temuan kedua studi dalam aspek distribusi dan kemiskinan berbeda. Selengkapnya temuan Usman adalah sebagai berikut 1. Kebijakan ekonomi sesudah desentralisasi fiskal ada indikasi pro-miskin.
71
2. Desentralisasi Fiskal meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian, namun dampak perbaikan distribusi pendapatan dari desentralisasi fiskal baru sebatas indikasi karena belum terbukti secara nyata. 3. Desentralsiasi fiskal menyebabkan menurunnya persentase orang miskin, semakin kecil gap antara rata-rata pendapatan penduduk miskin dengan garis kemiskinan, dan semakin kecil variasi pendapatan diantara penduduk miskin. 4. Determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal tidak berbeda nyata. Determinan kemiskinan adalah karakteristik rumah tangga dan individu, faktor komunitas dan karakterisitk wilayah. Infrastruktur adalah karakteristik wilayah penting untuk mengurangi kemiskinan. 5. Dampak Dana Alokasi Umum (DAU)
terhadap kinerja perekonomian di
Pulau Jawa-Bali dan Sulawesi lebih besar dibandingkan dengan dampak Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPJK).
Sebaliknya di Pulau Sumatera,
Kalimantan dan Papua dampak BHPJK terhadap kinerja perekonomian lebih besar dibandingkan dengan Dana Alokasi Umum. 6. Pengeluaran Pemerintah di sektor pertanian berhasil menurunkan kemiskinan lebih baik dibandingkan sektor lainnya, dikarenakan sektor pertanian memiliki keterkaitan (linkages) yang besar terhadap sektor lainnya. Pengaruh terkecil dirasakan oleh sektor pendidikan dan kesehatan, karena dampak pada sektor ini memang baru terasa dalam jangka panjang. Temuan Sumedi (2005) khususnya pada level kabupaten/kota serupa dengan temuan Nanga (2006) yaitu tentang distribusi pendapatan yang semakin
72
memburuk . Sedangkan pada level provinsi distribusi/disparitas ekonomi semakin kecil. Beberapa temuan penting Sumedi (2005) adalah: 1. Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal memperbaiki pos penerimaaan daerah, pengeluaran daerah dan kinerja perekonomian nasional. Kapasitas fiskal meningkat namun fiscal gap daerah juga semakin besar semenjak desentralisasi fiskal. 2. Ditemukan kesenjangan fiskal horizontal (antar daerah) yang semakin besar semenjak penerapan desentralisasi fiskal, meski ada perbaikan semenjak perbaikan formulasi alokasi DAU. Kesenjangan terutama disebabkan oleh penerimaan dari bagi hasil sumber daya alam yang tidak merata. 3. Kesenjangan ekonomi antar provinsi semakin kecil semenjak desentralisasi fiskal. 4. Realokasi pengeluaran rutin menjadi pengeluaran pembangunan salah satu kebijakan yang berampak terbaik terhadap kinerja fiskal dan ekonomi daerah. 5. Dampak kebijakan ekonomi setelah desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan ekonomi di Jawa Barat lebih kecil dari rata-rata nasional. Menunjukkan bahwa efektivitas alokasi anggaran pemerintah daerah Jawa Barat lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional. 6. Ditemukan kesenjangan ekonomi antara kabupaten/kota di Jawa Barat yang semakin besar semenjak kebijakan desentralisasi fiskal. 7. Peningkatan transfer pusat (DAU dan DAK) meningkatkan kesenjangan antara daerah, baik industri maupun pertanian. Namun peningkatan pajak,
73
retribusi dan bagi hasil menurunkan kesejangan antara daerah industri, sebaliknya di daerah pertanian. Saefudin (2005) menemukan hal-hal penting berikut: 1. Implementasi kebijakan fiskal berdampak positif terhadap penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kinerja perekonomian dan kelembagaan daerah. 2. Besaran Pengeluaran Rutin dan Pembangunan amat ditentukan oleh besar kecilnya perolehan dana transfer dari pusat. 3. Dana Alokasi Umum, Bagi Hasil Sumber Daya Alam, realokasi pengeluaran rutin dan pembangunan memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan pemerataan antar daerah. Sedangkan Bagi Hasil Pajak dan penerimaan-penerimaan pajak tidak memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan pemerataaan antar daerah. 4. Terjadi pergeseran sumber penerimaan utama dari retribusi daerah sebelum desentralisasi fiskal menjadi pajak daerah setelah desentralisasi fiskal. Hal ini mengindikasikan bahwa pada era kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah kabupaten/kota kurang mampu membangun infrastruktur dalam memberikan pelayanan kepada publik. Temuan penting Pakasi (2005) Sulawesi Utara antara lain adalah; 1. Ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara Penerimaan Daerah Retribusi , Dana Alokasi Umum, Bagi Hasil Pajak, Pengeluaran Rutin, Pengeluaran Pembangunan, pembangunan sektor pertanian, pembangunan sektor industri sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. 2.
Fiscal Available yang menunjukkan ketersediaan fiskal daerah, memiliki respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap
74
Pengeluaran Rutin. Semakin meningkat Fiscal Available, akan meningkatkan Pengeluaran Rutin Daerah. 3. Ditemukan adanya kompetisi dalam pengalokasian Fiscal Available menjadi Pengeluaran Pembangunan atau Pengeluaran Rutin. 4. Dana Alokasi Umum berdampak positif terhadap kinerja fiskal daerah ( Fiscal Available maupun Fiscal Needs) dan perekonomian di masing-masing Kabupaten dan Kota. 5. Dana Alokasi Umum
bersama-sama
dengan Pengeluaran Rutin Daerah,
berdampak positif terhadap Fiscal Available dan Fiscal Needs. Temuan Sinaga dan Siregar (2005) tentang dampak desentraliasi fiskal terhadap distribusi pendapatan serupa dengan Usman (2006), Sumedi (2005) namun berbeda dengan Nanga (2006).
Beberapa temuan penting antara lain
adalah; 1. Ditemukan perbedaan penerimaan dari pajak, retribusi, bagi hasil pajak, dan Dana Alokasi yang signifikan antara sebelum dan sesudah desentralisasi. 2.
Ditemukan perbedaan pengeluaran Rutin Gaji , Rutin Non-Gaji, pertanian, non-pertanian,
yang signifikan antara
sektor
periode sebelum dan
sesudah desentralisasi fiskal 3. Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara pengeluaran pembangunan
infrastruktur, Pelayanan Sosial pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. 4. Ditemukan adanya perbedaan yang signifikan Pengeluaran Pelayanan Umum pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.
75
5. Dampak kenaikan DAUK (Dana Alokasi Umum dan Khusus) lebih cenderung meningkatkan pengeluaran rutin dibandingkan dengan pengeluaran lainnya. Implikasinya adalah gap pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan akan makin lebar. Kondisi ini terjadi karena tidak adanya kerangka alokasi yang memberi batasan maksimum dan minimum antara pengeluaran rutin dan pengeluaran sektor-sektor pembangunan. 6. Kebijakan dana perimbangan tidak memperburuk keseimbangan antar daerah karena Bagi Hasil Sumber Daya Alam
yang selama ini dikhawatirkan akan
menyebabkan ketimpangan tidak terjadi. 7. Sedangkan Dana Alokasi berdampak positif terhadap
distribusi (variasi
PDRB per kapita). Demikian halnya dengan perubahan Bagi Hasil Pajak berdampak positif
pada pemerataan pendapatan, akan tetapi dampak
pemerataan ini termasuk kecil. Temuan Pardede (2004) terpenting adalah adanya pergeseran peran dari swasta ke pemerintah, dari dana asli daerah ke transfer pusat dalam perekonomian sejak implementasi desentralisasi fiskal . Temuan selengkapnya adalah ; 1. Sebelum desentralisasi fiskal Sumbangan dan Bantuan Pemerintah Pusat merupakan sumber utama pengeluaran daerah yang menentukan pembentukan output , pendapatan dan kesempatan kerja, disusul oleh Dana Dekonsentrasi di Kabupaten Tapanuli Utara. Sedangkan Dana Dekonsentrasi Provinsi, Bagi Hasil dan Pendapatan Asli
Daerah memiliki peranan mejadi lebih kecil
terhadap pembentukan output, pendapatan dan kesempatan kerja.
76
3. Pembentukan output, pendapatan dan kesempatan kerja
didominasi oleh
dana yang berasal dari Pusat berupa Dana Alokasi Umum, Dana Dekonsentrasi Pusat dan Dana Dekonsentrasi Provinsi, sedangkan Peranan Pendapatan Asli Daerah semakin berkurang sesudah desentralisasi fiskal 4. Di Kabupaten Tapanuli Utara Peranan pengeluaran pembangunan yang berasal dari investasi swasta dalam pembentukan output, pendapatan dan kesempatan kerja lebih besar dibandingkan dengan pemerintah. 5. Di kota Medan Pengeluaran pembangunan yang berasal dari
Dana
Dekonsentrasi Pusat mendominasi pembentukan output, pendapatan dan kesempatan kerja . 6. Peran investasi swasta dalam pembentukan output, pendapatan dan kesempatan kerja tersebut semakin menurun sesudah desentralisasi fiskal , sedangkan peran pemerintah semakin meningkat. 7. Dalam penciptaan tenaga kerja, kontribusi dari pengeluaran yang bersumber dari pusat lebih besar dibandingkan dengan dari daerah. 8. Terjadi peningkatan peningkatan Pengeluaran rutin, output, pendapatan dan kesempatan kerja di Kota Medan sesudah desentralisasi fiskal 9. Peningkatan output, pendapatan dan kesempatan kerja sesudah desentralisasi fiskal di Kabupaten Tapanuli Utara melebihi 100 persen, sedangkan di Kota Medan dibawah 100 persen. Hal ini karena pengeluaran rutin pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara meningkat sesudah desentralisasi fiskal, sedangkan di Kota Medan menurun.
77
Wuryanto (1996) dalam studinya ”Fiscal Decentralization and Economic Performance in Indonesia: An Interregional Computable General Equilibrium Approach” menguji dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian Indonesia pada periode sebelum tahun 1996 Temuan-temuan studi tersebut adalah sebagai berikut; 1. Sistem desentralisasi fiskal, melalui trasnfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terutama dalam bentuk INPRES (block type program), (a) meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, dan (b) mengurangi pinjaman luar negeri. 2. Beberapa program INPRES, yang dimana Pemda diberi keleluasaan alokasinya, menghasilkan kinerja ekonomi yang lebih baik. 3. Alokasi
program
INPRES
yang
dimaksudkan
untuk
meningkatkan
pemerataan antar daerah, bila mengadopsi kriteria secara hati-hati tidak akan membahayakan tujuan ekonomi nasional penting seperti ekspor.
78
III. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu pusat pertumbuhan (center of growth) ekonomi di Indonesia Bagian Barat. Sebagai salah satu gerbang utama di Kawasan Barat Indonesia , Sumatera Utara berkembang dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 9% per tahun (sebelum krisis 1997) lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang “hanya” rata-rata 7% per tahun. Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pasca krisispun selalu lebih unggul dari nasional.
Pada tahun 2004 misalnya pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara
mencapai 4.15% lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang “hanya” sebesar 3.32% Provinsi dengan luas 71.680 km persegi dan berpenduduk 12 167 272 jiwa (2004) ini terdiri dari beragam suku bangsa di Indonesia sehingga layak disebut “Indonesia Mini”. Daerah ini selain merupakan provinsi dengan PDRB terbesar (Rp. 25.74
triliun Tahun 2001) di Pulau Sumatera, juga sebagai
peneriman DAU (Dana Alokasi Umum) terbesar keempat dengan nilai Rp.3 222.85 milyar setelah Jawa Timur (Rp.9 779.04 milyar) , Jawa Tengah (Rp.7 863.68 milyar) , dan Jawa Barat (Rp.6 222.69 milyar) (Pardede 2004). Beberapa faktor tadi menjadi alasan mengapa Sumatera Utara menjadi pilihan daerah penelitian. 3.2. Kinerja Fiskal Daerah Untuk melihat kinerja fiskal sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal dilakukan analisa deskriptif kinerja fiskal daerah Sumatera Utara. Data fiskal
79
yang digunakan adalah data Tahun 1990 s/d 2003. Dimana data 1990 s/d 2000 digunakan sebagai periode sebelum desentralisasi fiskal, sedangkan data 2001 s/d 2003 sebagai data sesudah desentralisasi fiskal.
Analisa deskriptif meliputi
kinerja penerimaan daerah, sumber-sumber penerimaan daerah,
pengeluaran
daerah, alokasi pengeluaran daerah dan derajat ketergantungan fiskal masingmasing sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. 3.3. Konstruksi Model Ekonometrika Model Ekonometrika dibangun untuk menjawab pertanyaan; faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Model dibangun sedemikian rupa sehingga sesuai dengan harapan teoritis (background theory), fenomena dunia nyata desentralisasi fiskal di Indonesia, serta berdasarkan pengalaman penelitian terdahulu yang serupa (Nanga 2006; Usman 2006; Saefudin 2005; Sumedi 2005; Pakasi 2005; Pardede 2005; Wuryanto 1996; Lin dan Liu 2000; Bird dan Vaillancourt 2000) . Tahapan membangun model sebagai berikut (Gambar 4).
Bangunan model yang dibangun berdasarkan tahapan
tersebut adalah model akan diestimasi untuk menjawab pertanyaan tujuan penelitian. Model yang dibangun disebut sebagai Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara. Beberapa kesulitan yang ditemui dalam membangun Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara ini, yang menjadi keterbatasan penelitian antara lain ; 1. Ketika
mengkuantifikasi desentralisasi fiskal ke dalam variable ekonomi
makro dalam model. Karena desentralisasi fiskal tidak hanya melihat aliran uang dan tanggung jawab yang ”didaerahkan” namun juga menyangkut
80
Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Undang-Undang o.25 Tahun 1999
Masalah dan Tujuan Penelitian
Kerangka Pemikiran
Model Pendekatan
Teori Ekonomi yang relevan
Studi-studi Terdahulu Yang Relevan Variabel Yang Relevan
Spesifikasi Model
Hipotesis (Tanda dan Besaran)
Sistem Persamaan Simultan
Pengumpulan Data
Estimasi Model
Analisis Data Kriteria Ekonomi
Evaluasi Model Stat &Ekonometrik
Analisis Struktural Aplikasi Model
Evaluasi / Analisis Kebijakan Peramalan
Gambar .4. Tahapan Membangun Model Desentralisasi Fiskal
81
kesiapan administrasi dan sumberdaya manusia yang sulit dikuantifikasi kedalam model. 2. Desentralisasi fiskal, sesungguhnya adalah lebih mengharapkan adanya perubahan perilaku Pemerintah Daerah dan aparat, yang biasanya diatur dan diarahkan
menjadi lebih
Otonom.
Perubahan perilaku tadi
sulit di
kuantifikasi dan “dimasukkan” dalam model. 3. Keberhasilan Otonomi sesungguhnya lebih ditentukan oleh moralitas aparat, kwalitas SDM (Bahl and Lin 1994) daripada sifat dan jumlah transfer itu sendiri. Sehingga betapapun variabel transfer pusat ke daerah bisa “dimasukkan” kedalam model, namun tidak dapat diketahui benar tidaknya penggunaannya. Kerangka Berfikir dan Spesifikasi Model Model Ekonometrika Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara terdiri dari tiga blok dan setiap blok terdiri dari beberapa persamaan. Model terdiri dari 16 persamaan, yaitu 11 persamaan struktural, dan lima persamaan identitas (Tabel 9).
Seluruh
blok
merupakan
satu
sistem
persamaan
simultan,
yang
menggambarkan keterkaitan kebijakan fiskal dengan kinerja perekonomian Sumatera Utara (Gambar 5). Untuk menjawab tujuan penelitian dan ketersediaan data, model tersebut telah dianggab cukup representatif fenomena di Sumatera Utara. Sebagaimana model Nanga (2006), Usman (2006), Pakasi (2005), Saefudin (2005), Sumedi (2005), Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara juga membangun blok fiskal daerah. Blok ini meliputi penerimaan dan pengeluaran daerah.
82
Tabel 9. Pembagian Blok dan Persamaan dalam Model Ekonometrika Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara No
Nama Blok
Persamaan Dalam Blok
Nomor pers 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1
Fiskal
TAXDA = f (PDRB:FISGAP:DDF:LTAXDA) RETRIB = f (PDRB:POP:MOTOR:FISGAP:DDF:LRETRIB) PAD = TAXDA+RETRIB+BUMD+PADLAIN+PINJAM DAU = f (PDRB:PAD:LUAS:MISKIN:BPEGAWAI:DDF:LDAU) BHP = f (PDRB: DDF : LBHP) TGREV = PAD + DAU + BHP + DAK +BHSDA +SIAP + REVLAIN RUEXP = f (DAU: PAD:DDF:LRUEXP) DEVEXP = f (INFRAS:DAU:PAD:LUAS:LDEVEXP) TGEXP = RUEXP + DEVEXP FISGAP = PAD - TGEXP
2
Investasi dan Infrastruktur
INVDA = f (PDRB:TAXDA:UPAHDA:SUBUDA:DDF) INFRAS = f (TGREV: INVDA:LUAS: TREND)
11 12
3
Kinerja Perekonomian
PDRB = f (TGEXP:INVDA: BKERJA:DDF) BKERJA = f (PDRB: RUEXP:DEVEXP;UPAHDA:DDF) INFLADA = f (PDRB: TGEXP:INVDA:DK98) DISTRIB = Coefficient Variation
13 14 15 16
83
Blok Fiskal terdiri dari 10 persamaan yaitu
Pajak Daerah, Retribusi
Daerah, Pendapatan Asli Daerah, Laba BUMD, Pendapatan Asli Daerah Lainnya, Pinjaman Daerah, Dana Alokasi Umum, Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Sumber daya Alam, Dana Alokasi Khusus, Sisa Anggaran Tahun Lalu, Total Penerimaan Daerah dan Penerimaan Lainnya, Pengeluaran Rutin, Pengeluaran Pembangunan, Total Pengeluaran Derah dan Fiskal gap. Berbeda dengan model-model ekonometrika yang disebut sebelumnya, Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara memiliki blok Investasi dan Pembangunan Infrastruktur Daerah yang
dibangun secara terpisah dari blok
fiskal. Pemisahan ini dengan pertimbangan bahwa selain blok ini merupakan jalur dimana kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian daerah secara keseluruhan, blok ini merupakan sektor yang sangat urgen diperhatikan terutama pada beberapa tahun belakangan ini, karena
investasi dan pembangunan
infrastruktur amat buruk baik di tingkat nasional maupun di daerah. Blok Kinerja Perekonomian Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara lebih lengkap dibanding model-model terdahulu. Kalau evaluasi kinerja ekonomi pada model terdahulu hanya terbatas pada distribusi pendapatan dan kesempatan kerja, maka Blok Kinerja Perekonomian pada penelitian ini memuat semua variabel utama ekonomi makro (Produk Domestik Regional Bruto, Penyerapan Tenaga Kerja, Tingkat Inflasi dan Distribusi Pendapatan). Empat variabel utama ekonomi makro tersebut
tidak lain adalah merupakan puncak-puncak dari
kegiatan perekonomian pada umumnya pada level nasional maupun daerah.
84
BHS
REVLAIN
DAK
BUMD
MISKIN
BHP
N
TGREV
PINJAM
DAU
PAD PADLAIN
LUAS PEGAWAI
RUEXP
TAXDA
FISGAP
DEVEXP
TGEXP
RETRIB
INFRAS INVDA
MOTOR
UPAHDA
SUBUD
BKERJA
POP
INFLASI PDRB
Keterangan: Variabel endogen Variabel eksogen
Gamber 5. Keterkaitan Antar Blok dan Persamaan Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara
DK 98
85
Tiga variabel utama (Produk Domestik Regional Bruto, Penyerapan Tenaga Kerja, dan Inflasi) dibangun dalam bentuk persamaan struktural. Sedangkan variabel Distribusi Pendapatan dibangun sebagai persamaan identitas dan dihitung diluar sistem persamaan simultan dengan alau ukur koefisien variasi (coeficient of variation) sebagaimana dilakukan oleh Saefudin, namun berbeda dengan Nanga (2006) dan Usman (2006) yang menggunakan Indeks Gini dan Sumedi yang memakai Indeks Williamsons. Perbedaan lainnya tentu saja pada spesifikasi modelnya sebagai akibat dari perbedaan fenomena kedaerahan dan respon implementasi fiskal di Sumatera Utara. Kerangkan berfikir dalam pembentukan blok-blok tersebut akan diuraikan berikut ini; 3.4.1. Blok Fiskal Daerah Pajak Daerah secara teoritis dipengaruhi oleh tingkat pendapatan daerah atau yang dikenal dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), juga oleh selisih antara penerimaan dengan pengeluaran daerah yang dikenal dengan Fiskal gap. Diduga kuat juga adanya kondisi psikologis bagi pemerintah daerah yaitu bahwa target perolehan pajak tahun berjalan sekurang-kurang tidak lebih rendah dari perolehan tahun lalu (LTAXDA). Jumlah Kenderaan bermotor adalah juga sebagai salah satu sumber penerimaan melalui pajak kenderaan bermotor. Penerimaan pajak dari kenderaan bermotor, diduga berkorelasi kuat dengan jumlah kenderaan bermotor yang ada (MOTOR). Sesudah kebijakan otonomi , daerah
diberi kebebasan menggali sumber-sumber pembiayaan pembangunan
dari daerah sendiri antara lain melalui perluasan basis pajak. Oleh sebab itu
86
diduga kuat bahwa ada peningkatan dan perbedaan yang signifikan pada pos penerimaan Pajak Daerah antara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Untuk mengakomodir hal itu dibuat peubah dummy yang disebut sebagai Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF).Dengan demikian perilaku Pajak Daerah dibangun sebagaimana pada persamaan (1). Besarnya Retribusi sebagai salah satu sumber penerimaan penting daerah dipengaruhi oleh tingkat pendapatan daerah (PDRB). Masyarakat dengan pendapatan yang tinggi tentu akan mampu memberikan retribusi yang tinggi pula kepada daerahnya.
Sebaliknya, masyarakat dengan pendapatan yang rendah
kemampuan membayar retribusi rendah pula.
Faktor penting lainnya yang
menentukan besarnya retribusi adalah jumlah kederaaan bermotor (MOTOR). Penerimaan Retribusi diduga kuat seiring dengan meningkatnya penduduk. Fiskal gap (FISGAP) juga diduga kuat berpengaruh pada perilaku pemerintah daerah dalam usaha dan tentu besarnya penerimaan daerah dari retribusi. Besarnya penerimaan Retribusi tahun lalu (LRETRIB) secara psikologis akan menentukan dan mempengaruhi usaha-usaha pemerintah daerah untuk setidak-tidaknya mencapai perolehan yang sama pada tahun berjalan. Keleluasan pemerintah daerah untuk menerbitkan PERDA guna meningkatkan sumber pembiayaannya antara lain dari Retribusi sudah tentu akan meningkatkan penerimaan Retribusi yang berbeda dan signifikan antara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Untuk itu dibuat pula peubah dummy yaitu Dummy Desentralkisasi Fiskal (DDF). Atas dasar pemahaman sebagaimana disebut diatas dibangunlah persamaan perilaku retribusi daerah sebagaimana pada persamaan (2).
87
Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan transfer dari pemerintah pusat dan salah satu instrumen penting desentralisasi fiskal secara normatif besarnya dipengaruhi antara lain oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Luas Wilayah (LUAS), Jumlah Penduduk Miskin (MISKIN), Jumlah Pegawai (BPEGAWAI). Dalam perhitungan DAU ada yang disebut dengan Alokasi Minimum yang artinya DAU tahun berjalan sedemikian rupa sehingga jumlahnya tidak boleh kurang dari DAU tahun lalu (LDAU). Secara nominal, pada awalnya DAU adalah penjumlahan antara SDO (Subsisdi Daerah Otonom) dan Dana INPRES. Diduga kuat ada peningkatan DAU yang besar dan siginifikan tahun 2001 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Untuk itu dibuat peubah dummy yaitu Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF). Atas dasar pemahaman itu dibangunlah persamaan perilaku DAU sebagaimana pada persamaan (4). Bagi Hasil Pajak, sebagai mana DAU adalah instrumen desentralisasi fiskal yaitu mendaerahkan anggaran negara. Bagi Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan penting daerah. Besarnya Bagi Hasil Pajak yang diterima daerah dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Luas Wilayah (LUAS). Secara faktual, perolehan pajak tahun berjalan selain ditentukan oleh PDRB juga ditentukan oleh apa yang disebut “variabel target” yaitu perolehan pajak tahun berjalan setidaknya sama dengan perolehan tahun lalu (LBHP). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,bahwa Bagi Hasil Pajak yang diatur melalui Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UU No.25 Tahun 1999) membagikan Hasil Pajak dengan porsi yang lebih besar dibandingkan UU N0.32 Tahun 1956.
88
Dengan demikian diduga kuat adanya peningkatan yang signifikan penerimaan dari Bagi Hasil Pajak sesudah desentralisasi Fiskal dibandingkan dengan sebelum desentralisasi fiskal (DDF). Atas pemahaman tersebut dibangunlah persamaan Bagi Hasil Pajak sebagaimana pada persamaan (5). Pengeluaran Rutin adalah semua pengeluaran yang digunakan untuk biaya operasional pemerintahan di daerah. Besarnya Pengeluaran Rutin ini dipengaruhi oleh besarnya Total Penerimaan Daerah utamanya oleh Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pengeluaran Rutin tahun lalu (LRUEXP). Adanya peningkatan yang cukup signifikan antara Penerimaan Pemerintah Daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, diduga akan mempengaruhi peningkatan Pengeluaran Rutin secara signifikan sesudah desentralisasi fiskal. Oleh sebab itu dibangun peubah dummy , yaitu Dummy Desentralisasi Fiskal untuk Pengeluaran Rutin (DDF). Atas dasar pemahaman tersebut dibangun persaman struktural Pengeluaran Rutin sebagaimana pada persamaan (7). Pengeluaran Pembangunan adalah semua pengeluaran pemerintah daerah yan bukan rutin.
Artinya semua pengeluaran yang dimaksudkan untuk
meningkatkan kapasitas produksi di daerah. Besarnya pengeluaran ini diduga dipengaruhi oleh ketersediaan pembangunan Infrastruktur di daerah (INFRAS). Semakin baik infrastruktur di daerah maka daya serap daerah terhadap Pengeluaran Pembangunan akan semakin besar.
Sebaliknya daerah dengan
infrastruktur yang jelek akan menyulitkan daerah untuk “menghabiskan” Pengeluaran Pembangunannya. Dana Alokasi Umum sebagai salah satu sumber
89
utama penerimaan daerah dari pemerintah pusat diduga juga mempengaruhi Pengeluaran Pembangunan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan sumber penerimaan utama dari daerah sendiri juga diduga mempengaruhi Pengeluaran Pembangunan.
Luas Daerah
(LUAS) yang merupakan wilayah
administratif dan kekuasaan pemerintah daerah tentu secara normatif akan menentukan kebutuhan Pengeluaran Pembangunan. Daerah yang luas tentu akan membutuhkan biaya pembangunan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan daerah yang relatif sempit. Secara normatif pula diduga selalu ada usaha-usaha pemerintah daerah untuk dapat memperoleh Pengeluaran Pembangunan tahun berjalan tidak lebih kecil dari Pengeluaran Pembangunan Tahun lalu (LDEVEXP). Atas dasar pemahaman tersebut dibentuklah persamaan perilaku Pengeluaran Pembangunan sebagaimana pada persamaan (8). 3.4.2. Blok Investasi dan Pembangunan Infrastruktur Pembangunan Ekonomi di daerah dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan swasta. Peran swasta dalam pembangunan ekonomi di daerah dapat dilihat pada persamaan Investasi di daerah. Besarnya Investasi di daerah dipengaruhi oleh besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Semakin tinggi PDRB suatu daerah berarti semakin tinggi daya beli daerah, dengan demikian semakin baik prospek
melakukan investasi di daerah tersebut.
Sebaliknya daerah dengan PDRB yang relatif kecil berarti permintaan efektif daerah tersebut relatif kecil, sehingga relatif kurang diminati oleh investor. Faktor lainnya yang menentukan menarik tidak berinvestasi di daerah adalah besarnya Pajak Daerah (TAXDA).
Pajak Daerah yang kompetitif tentu akan menarik
90
investasi yang lebih besar ke daerah tersebut. Faktor lainnya adalah Tingkat Upah (UPAHDA) dan Tingkat Suku Bunga (SUBUDA).
Diduga semakin besar
Tingkat Upah dan Tingkat Suku Bunga maka makin kecil realisasi investasi di daerah. Sebaliknya semakin kecil Tingkat Bunga dan Tingkat Suku Bunga maka makin besar realisasi investasi di daerah tersebut, karena Tingkat Upah dan Tingkat Suku Bunga merupakan biaya (cost) bagi investor. Dengan otonomi daerah diduga kuat arus investasi ke daerah meningkat secara signifikan dibanding sebelumnya (DDF).
Atas dasar pemahaman tersebut dibangunlah
persamaan investasi di daerah seperti pada persamaan (11). Pembangunan Infrastruktur adalah salah satu syarat perlu (necesseary condition) dalam pembangunan ekonomi. Artinya ketersediaan faktor ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya perencanaan pembangunan ekonomi. Pembangunan Infrastuktur karena sifatnya yang public goods atau semi public goods pada umumnya dilakukan oleh pemerintah daerah dan/atau pusat, Oleh sebab itu besarnya pembangunan infrastruktur ini dipengaruhi oleh seberapa besarnnya Total Penerimaan Pemerintah (TGREV) dan sebagian dilakukan oleh swasta. Seiring dengan besarnya jumlah investasi yang masuk ke daerah tersebut (INVDA) diduga semakin besar pula pembangunan infrastruktur untuk mengakomodir peningkatan jumlah investasi yang masuk. Luas Daerah (LUAS) adalah salah satu faktor yang menentukan besarnya pembangunan infrastruktur. Semakin luas suatu daerah, maka semakin besar pula biaya pembangunan infrastruktur yang diperlukan daerah tersebut. Sebaliknya daerah yang relatif sempit memerlukan biaya pembangunan infrastruktur yang relatif sedikit pula.
91
Diduga trend pembangunan infrastruktur di daerah adalah positif. Artinya terjadi peningkatan kuantitas dan/atau kualitas infrastruktur selama periode penelitian. Atas dasar pemahaman tersebut dibangunlah persamaan perilaku Pembangunan Infrastruktur sebagaimana persamaan (12). 3.4.3. Blok Kinerja Perekonomian Salah satu variabel makro ekonomi penting yang dijadikan sebagai indikator kinerja perekonomian adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kinerja PDRB di suatu daerah dipengaruhi oleh besarnya kegiatan pemerintah daerah yang direpresentasikan oleh Pengeluaran Pemerintah Daerah (TGEXP) yang bersangkutan, juga oleh besarnya investasi yang masuk ke daerah tersebut (INVDA), dan juga oleh besarnya jumlah pekerja aktif di daerah itu (BKERJA). Dengan adanya otonomi daerah, diduga terjadi peningkatan PDRB yang signifikan sesudah kebijakan desentralisasi fiskal (DDF). Dengan pemahaman fenomena sebagaimana dijelaskan maka dibuatlah persamaan perilaku kinerja Produk Domestik Regional Bruto sebagaimana pada persamaan (13). Selain PDRB, maka Penyerapan Tenaga Kerja adalah salah satu variabel makro ekonomi penting yang digunakan sebagai indikator kinerja perekonomian daerah. Kemampuan Daerah untuk menciptakan lapangan kerja ini ditentukan oleh antara lain besar PDRB daerah tersebut. Semakin besar PDRB suatu daerah maka semakin besar volume transaksi, sehingga semakin besar lapangan kerja yang tercipta. Sebaliknya daerah dengan PDRB yang relatif kecil, maka semakin kecil pula kemampuan daerah itu untuk menciptakan lapangan kerja. Kemampuan daerah untuk menyediakan Pengeluaran Rutin (RUEXP) dan
92
Pengeluaran Pembangunannya (DEVEXP) juga menentukan besar kecilnya kesempatan kerja baru yang tersedia. Peningkatan Anggaran Pengeluaran Daerah yang semakin besar sesudah desentralisasi fiskal diduga akan juga meningkatkan kesempatan kerja secara signifikan pada masa desentralisasi fiskal (DDF). Atas dasar fenomena tersebut maka dibangunlah persamaan perilaku Kesempatan Kerja sebagaimana persamaan (14). Tingkat Inflasi yang merupakan salah satu indikator kinerja perekonomian penting, yaitu sebagai salah satu indikator stabilitas perekonomian dipengaruhi oleh tingkat perekonomian daerah tersebut (PDRB), Pengeluaran Pemerintah Daerah (TGEXP), dan juga Tingkat Upah yang berlaku di daerah tersebut (UPAHDA). Diduga kuat kondisi ekonomi moneter khususnya pada tahun 1998 (puncak krisis ekonomi ) juga menentukan perilaku Tingkat Inflasi yang terjadi. Atas dasar pemahaman tersebut, maka persamaan perilaku inflasi adalah sebagaimana pada persamaan (15). Distribusi Pendapatan sebagaimana Tingkat Inflasi adalah salah satu indikator stabilitas pembangunan ekonomi.
Distribusi Pendapatan adalah
mengukur seberapa jauh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antar daerah bervariasi. Variasi PDRB antar daerah ini diukur dengan koefisien variasi (coefficient of variation) PDRB antar daerah sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas Distribusi Pendapatan (16). Struktur Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara sebagaimana dijelaskan lengkapnya adalah sebagai berikut:
93
Blok Kinerja Fiskal Daerah Penerimaan Daerah 1. Pajak Daerah TAXDA = a0 + a1 PDRB + a2 FISGAP + a3 DDF + a4 LTAXDA+ u1…………..…(1)
Parameter estimasi yang diharapkan: a1, a2 , a3, a4 > 0 dimana: PDRB FISGAP LTAXDA DDF
: : : :
Produk Domestik Regional Bruto Fiskal gap Pajak Daerah Tahun Lalu Variabel Dummy
2. Retribusi Daerah RETRIB = b0 + b1 PDRB + b2 MOTOR + b3 FISGAP + b4 DDF +b5 LRETRIB+ u2...(2)
Parameter estimasi yang diharapkan: b1, b2 , b3 , b4,b5 > 0 dimana: RETRIB MOTOR LRETRIB DDF
: : : :
Retribusi Daerah Jumlah Kenderaan Bermotor Retribusi Tahun Lalu Variabel Dummy
3. Pendapatan Asli Daerah PAD = TAXDA + RETRIB+BUMD + PADLAIN + PINJAM…....................(3) dimana: PAD
: Pendapatan Asli Daerah
RETRIB
: Retribusi Daerah
BUMD PADLAIN PINJAM
: Laba Badan Usaha Milik Daerah : PAD Lainnya : Pinjaman Daerah
4. Dana Alokasi Umum DAU
= c0 + c1 PDRB + c2 PAD + c3 LUAS + c4 MISKIN + c5 BPEGAWAI +
c6 DDF + c7 LDAU + u3.......(4)
94
Parameter estimasi yang diharapkan: c1,c2 <0; c3, c4, c5, c6 > 0; 0
: : : : : :
Dana Alokasi Umum Luas Daerah Kabupaten/Kota Jumlah Orang Miskin Belanja Pegawai DAU Tahun Lalu Variabel Dummy
5. Bagi Hasil Pajak BHP
= d0 + d1 PDRB + d2 DDF + d3 LBHP + u4…………………..…(5)
Parameter estimasi yang diharapkan: d1, d2 > 0; 0
: Bagi Hasil Pajak : BHP Tahun Lalu : Variabel Dummy
6. Total Penerimaan Daerah TGREV = PAD + DAU + DAK + BHP + BHSDA + SIAP +REVLAIN ……...........(6)
dimana: TGREV
: Total Penerimaan Daerah
Pengeluaran Daerah 7. Pengeluaran Rutin RUEXP = e0 + e1 DAU + e2 PAD + e3 DDF + e4 LRUEXP + u5……....(7) Parameter estimasi yang diharapkan: e1, e2, e3 > 0 ; 0<e4 < 1 dimana: RUEXP LRUEXP DDF
: Pengeluaran Rutin : RUEXP Tahun Lalu : Variabel Dummy
95
8. Pengeluaran Pembangunan DEVEXP = f0 + f1 INFRAS + f2 DAU + f3 PAD + f4 LUAS + f5 LDEVEXP + u6….………..(8)
Parameter estimasi yang diharapkan: f1,f2, f3, f4 > 0 ; 0
: Pengeluaran Pembangunan : DEVEXP Tahun Lalu : Infrastruktur
9. Total PengeluaranDaerah TGEXP = RUEXP + DEVEXP…..…………………………...…………(9) dimana: TGEXP
: Total Pengeluaran Pemerintah
10. Kesenjangan Fiskal FISGAP = PAD – TGEXP………...……….........…………….…........(10) dimana: FISGAP
: Fiskal Gap
Blok Investasi dan Pembanguan Infrastruktur Daerah 11. Investasi Daerah INVDA = ho + h1 PDRB + h2 TAXDA + h3 UPAHDA + h4 SUBUDA + h5 DDF + u7……(11)
Parameter estimasi yang diharapkan: h1>0; h2, h3, h4 < 0; 0
: : : :
Investasi di Daerah Tingkat Upah di Daerah Suku Bunga di Daerah Variabel Dummy
12. Infrastruktur INFRAS = g0 + g1 TGREV + g2 INVDA + g3 LUAS + g5 TREND + u8………….….…...(12)
Parameter estimasi yang diharapkan: g1, g2, g3, g4, g5 > 0 dimana:
96
INFRAS TREND
: Infrastruktur : Kecenderungan Pembangunan Infrastruktur
Blok Kinerja Perekonomian Daerah 13. Produk Domestik Regional Bruto PDRB = i0 + i1TGEXP + i2 INVDA +i3BKERJA + i4 DDF + u9…………….……….….(13)
Parameter estimasi yang diharapkan: i1, i2, i3, i4 > 0 dimana: PDRB BKERJA DDF
: Produk Domestik Regional Bruto : Jumlah Orang Bekerja : Variabel Dummy
14. Penyerapan Tenaga Kerja BKERJA = j0 + j1 PDRB + j2 RUEXP + j3 DEVEXP + j4 UPAHDA + j5 DDF + u10…(14)
Parameter estimasi yang diharapkan: j1, j2, j3 j5 > 0; j4 <0 dimana: BKERJA DDF
: Jumlah Orang Bekerja : Variabel Dummy
15. Inflasi INFLADA = k0 + k1 PDRB + k2 TGEXP + k3 INVDA + k4 UPAHDA + k5 DK98 + u11……..(15)
Parameter estimasi yang diharapkan: k1, k2, k3, k4, k5 > 0 dimana: INFLADA DK 98
: Tingkat Inflasi di Daerah : Variabel Dummy
16. Distribusi Pendapatan CV (coefficient variation)=
s
…………………………………………16
X dimana: s : simpangan baku PDRB kabupaten dan kota
X
: rata-rata PDRB kabupaten dan kota
97
3.5. Identifikasi Model Identifikasi dengan Order condition , yang dihitung dengan formulasi sebagai berikut: (K – M) > (G –1) dimana: K : jumlah total peubah (endogen dan predetermined) dalam model/sistem persamaan M : jumlah semua peubah (endogen dan predetermined) dalam persamaan yang diidentifikasi. G : jumlah total persamaan (jumlah total peubah endogen) jika ; (K-M) < (G-1), maka persamaan itu under identified (K –M) = (G –1), maka persamaan tersebut exactly identified (K-M) > (G-1), maka persamaan itu over identified Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh hasil bahwa semua persamaan dalam model adalah teridentifikasi berlebih (over identified). Persamaan dalam model sebanyak 15 persamaan , sehingga (G-1) = 14. Jumlah K ( total varaibel dalam model adalah 38). Jumlah variabel endogen dan eksogen terbanyak adalah pada persamaan (4) yaitu sebanyak delapan. Dengan demikian persamaan (8) adalah over identified, demikian juga persamaan lainnya adalah over identified. 3.6. Metoda Estimasi Sebagaimana dijelaskan, semua
persamaan dalam Model adalah over
identified . Oleh sebab itu estimasi model dilakukan dengan Metoda Kuadrat Terkecil Dua tahap (Two Stage Least Square; 2SLS) . Metoda 2SLS pertama kali ditemukan oleh Theil pada tahun 1953 dan Basaman pada tahun 1957 (Chow 1983) dalam Nadapdap 1990). Teknik 2SLS termasuk teknik informasi terbatas (Limited Information Maximum Likelihold) dan merupakan prosedur terpenting dan digunakan secara luas. Metoda ini dapat
98
digunakan untuk menduga persamaan terindentifikasi berlebih (over identified) atau persamaan identifikasi tepat (exactly identified) dan merupakan salah satu cara untuk menanggulangi masalah ketakkonsistenan penduga OLS pada persamaan simultan (Jhonston, 1988). Dalam praktek , penduga 2SLS digunakan lebih sering dibandingkan dengan metoda penduga lainnya untuk menduga persamaan simultan, karena dapat digunakan dengan baik bilamana banyaknya kasus (n) kecil dan biasa digunakakan dalam mengatasi overidentifikasi (Thomas 1985 dalam Nadapdap 1990). Menurut Koutsoyiannis (1978), penduga 2SLS meliputi pemakaian kuadrat terkecil klasik , yaitu persamaan bentuk sederhana dan fungsi struktural yang ditransformasikan.
Transformasi terdiri dari
menggantikan peubah endogen dengan nilai dugaannya yang diperoleh dari persamaan bentuk sederhana. Mengingat jumlah persamaan yang akan diestimasi relatif banyak, maka identifikasi dan pendugaan model dilakukan secara bersamaan dengan aplikasi kompuetr SAS/ETS (Statistical Analysis System/Econometric Time Series). Dalam rangka memperoleh model yang konsisten secara teoritis dan fenomena maka tanda dan besaran paramater dugaan menjadi penting untuk terpenuhi. Oleh karena itu dalam evaluasi, kriteria tidak semata-mata pada aspek ekonomi atau statistik saja, namun menggunakan kriteria evaluasi secara kompromistis antara ekonomi, statistik dan ekonometrika. Karena model terdiri dari sistem persamaan simultan, dan beberapa peubah beda kala (lagged endogenous variables), maka hasil uji-uji statistik dan uji korelasi serial dengan menggunakan statistik D-W (Durbin Watson) tidak valid
99
digunakan (Koutsoyiannis 1978). digunakan (Sinaga 1989).
Namun hasil uji statistik – t masih bisa
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pada
penelitian ini evaluasi nilai parameter dugaan menggunakan nilai statistik- t dengan tingkat kesalahan (α = 20%). Sehingga setiap parameter dugaan yang memiliki nilai statistik- t dengan tingkat kesalahan kurang dari 20% dianggab berbeda nyata dengan nol. Selain dari itu, dalam penelitian ilmu sosial, seperti bidang ekonomi, tingkat kesalahan 20-30% masih termasuk dalam dapat diterima (acceptable). 3.7. Validasi Model Untuk melihat kemampuan model menjelaskan kembali fenomena ekonomi selama periode sampel atau menghasilkan nilai ramalan yang tidak jauh berbeda dengan nilai aktualnya , maka dilakukan validasi model melalui simulasi dinamik. Pindyck dan Rubinfeld (1991) menunjukkan bahwa banyak kriteria yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kinerja model, yang kadang-kadang hasilnya tidak konsisten. Untuk itu diperlukan kompromi antara kepentingan statistik dan ekonomi. Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk validasi model adalah
Root Mean Square Percentage Error (RMSPE), dan Theil’s Inequality Coefficient (U-Theil) serta dekomposisinya, yang nilainya berkisar antara 0 dan 1. Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai aktualnya , dalam nilai relatif. Semakin kecil nilai RMSPE semakin baik pendugaan model. Sedangkan U-Theil melihat
100
kemampuan model untuk melakukan peramalan (forecasting) . Semakin kecil nilai U-Theil maka semakin baik model dugaannya. Dekomposisi U-Theil adalah (1) bias proporsi (UM), (2) bias keragaman (US), (3) bias covariance (UC). UM, adalah bias yang merupakan indikator kesalahan sistematik, mengukur sampai seberapa jauh nilai rata-rata simulasi menyimpang satu dengan yang lain. Sedangkan UR, adalah indikator kesalahan dari komponen regresi yang mengukur penyimpangan kemiringan regresi. UC, adalah komponen bias residual. Suatu model dikatakan baik jika UM dan US mendekati Nol, serta UD dan UC mendekati Satu. 3.8. Simulasi Kebijakan Simulasi kebijakan dilakukan untuk tujuan evaluasi peristiwa masa lalu (historis), maupun untuk peramalan (forecast) peubah-peubah endogen, variabel makroekonomi daerah seperti PDRB, kesempatan kerja, inflasi, dan distribusi dan juga variabel fiskal lainnya seperti penerimaan daerah, pajak daerah, retribusi daerah, pengeluaran daerah, pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan dan juga investasi bila dilakukan perubahan-perubahan pada variabel kebijakan fiskal dan non fiskal sebagai berikut; 1. Simulasi 1: Peningkatan Bagi Hasil Sumber daya Alam 15 %; 2. Simulasi 2: Peningkatan Bagi Hasil Pajak 10% 3. Simulasi 3: Peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 10% 4. Simulasi 4: Peningkatan Pajak Daerah 15% 5. Simulasi 5: Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60%
101
6. Simulasi 6 : Peningkatan Retribusi sebesar 15 %; 7. Simulasi 7 : Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% 8. Simulasi 8 : Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Rutin 1.25% 9. Simulasi 9 : Peningkatkan PAD 10% dan Pengeluaran Pembangunan 2.38% 10. Simulasi 10: Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.1% 11. Simulasi 11: Peningkatan Upah 10% 12. Simulasi 12: Peningkatan Infrastruktur 20 % 13. Simulasi 13: Peningkatan Upah 10% dan Infrastruktur 20% 14. Simulasi 14: Peningkatan Investasi 20% 15. Simulasi 15: Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20% Dilakukan perbandingan simulasi antar wilayah kabupaten dengan wilayah kota untuk melihat perbedaan dampak kebijakan fiskal dan perubahan non fiskal terhadap kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah. Justifikasi skenario simulasi dijelaskan pada Lampiran 8. 3.9.Peramalan Peramalan dilakukan untuk melihat dampak kebijakan desentralisasi fiskal di Sumatera Utara hingga 3 tahun mendatang (tahun 2006 –2008). Dampak yang terjadi pada 3 tahun mendatang dikaji dengan melakukan simulasi pada beberapa variabel kebijakan fiskal dan non fiskal , sebagaimana dilakukan pada simulasi historis. Simulasi peramalan dilakukan pada beberapa variabel, dengan skenario serupa dengan skenario pada simulasi historis dengan pertimbangan bahwa pada
102
tiga tahun kedepan situasi perekonomian nasional dan daerah belum banyak mengalami perubahan struktural yang berarti dibanding saat ini. 3.10. Jenis dan Sumber data Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, data yang digunakan adalah Pooling
Data (time series dan cross section data) 17 kabupaten dan kota selama periode 1990 – 2003. Data sekunder yang digunakan berasal dari tiga sumber utama yaitu Badan Pusat Statistik Pusat (BPSPU) Jakarta, Departemen Keuangan (DEPKEU) Jakarta dan Badan Pusat Statistik Sumatera Utara (BPSSU) (Tabel 10).
Sebagian data didapat di Kantor Badan Pusat Statistik di Jakarta,
Departemen Keuangan di Jakarta. Namun sebagian data, terutama data-data awal periode penelitian didapat di Kantor Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, di Medan. Tabel. 10. Data Fiskal dan Makroekonomi daerah dan Sumber Data Nama Data (Variabel) Pengeluaran Rutin Pemerintah Daerah (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah DEVEXP Total Pengeluaran Pemerintah daerah (TGEXP =RUEXP + DEVEXP) Total Penerimaan Pemerintah Daerah (TGREV) PDRB per kapita (PDRB/POP)
Sumber Data BPSSU BPSSU Diolah BPSSU Diolah
103
Tabel. 10 . Lanjutan Nama Data (Variabel) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jumlah Penduduk (POP) Aliran Dana Perimbangan (TRANSF) Penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) Penerimaan dari Bagi Hasil Sumberdaya Alam (BHSDA) Penerimaan dari Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Penerimaan dari Pajak Daerah (TAXDA) Penerimaan dari Retribusi (RETRIB) Penerimaan dari Laba BUMD (BUMD) Penerimaan PAD lainnya (LAINPAD) Nilai Investasi di daerah (INVDA) Suku Bunga di Daerah (SUBUDA) Tingkat Upah di Daerah (UPAHDA) Nilai Infrastruktur di Daerah (INFRAS) Tingkat Inflasi di Daerah (INFLADA) Fiskal gap Daerah (FISGAP) Jumlah Kesempatan Kerja Daerah (BKERJA) Penerimaan lain Daerah, selain PAD, TRANSF, PINJAM (LAINREV) Luas Wilayah (Km persegi) (LUAS) Distribusi Pendapatan di Daerah (INEQDA) Pinjaman Yang dilakukan daerah (PINJAM) Dummy Krisis 98 Trend
Sumber Data BPSSU BPSSU BPSSU, DEPKEU BPSSU, DEPKEU BPSSU, DEPKEU BPSSU, DEPKEU DEPKEU BPSSU BPSSU BPSSU BPSSU BPSSU BPSPU BPSSU BPSSU BPSPU Diolah BPSSU BPSSU BPSSU Diolah BPSSU Dibangun Dibangun
104
BAB IV. SUMATERA UTARA : KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN 4.1. Keadaan Umum Daerah provinsi Sumatera Utara terletak diantara 1-4 o Lintang Utara (LU) dan 98-100
o
Bujur Timur (BT), merupakan bagian dari wilayah pada posisi
silang di Kawasan Palung Pacifik Barat. Daerah ini berbatasan dengan NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) di sebelah Utara, Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Barat di sebelah Selatan, dan Samudera Indonesia di sebelah Barat. Provinsi dengan luas 71 680 km persegi secara geografis terbagi atas Wilayah Pantai Timur, Wilayah Dataran Tinggi, Wilayah Pantai Barat dan Wilayah Kepulauan. Wilayah Pantai Timur merupakan dataran rendah seluas 26 320 km persegi (36.8% dari luas Sumatera Utara) adalah daerah subur, kelembaban tinggi dengan curah hujan tinggi pula. Wilayah Dataran Tinggi dan Wilayah Pantai Barat seluas 45 320 km persegi (63.2%) sebagian besar merupakan wilayah pegunungan, memiliki variasi dalam tingkat kesuburan tanah, iklim, topografi dan kontur tanah. Beberapa danau, air terjun, dan gunung berapi ada disini. Sebagian wilayahnya tercatat sebagai daerah gempa tektonik dan vulkanik (BPS Sumatera Utara 2004). 4.2. Perekonomian Daerah Sumatera Utara 4.2.1. Tingkat Perekonomian Tingkat perekonomian Sumatera Utara, yang diukur dengan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), secara nominal meningkat dalam beberapa tahun terakhir, namun secara real pencapaian tingkat perekonomian belum bisa
105
pulih seperti sediakala sebelum krisis ekonomi tahun 1997. PDRB real (ADHK 1993) tahun 1997 sebesar Rp.25.07 triliun, turun menjadi Rp.22.33 triliun tahun 1998, lalu naik sedikit tahun 1999 menjadi Rp.22.91 triliun . Angka ini naik terus hingga mencapai Rp.24.89 triliun tahun 2001, yang masih lebih rendah dibanding pencapaian tahun 1997 Krisis ekonomi nasional sejak tahun 1997, juga berdampak negatif terhadap perekonomian Sumatera Utara. Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir ini belum bisa pulih seperti tingkat pertumbuhan sebelum krisis. Tabel 11. Perbandingan PDRB Sumatera Utara dan PDB Indonesia tahun 1990- 2003
Tahun
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Atas Dasar Harga Atas Dasar Harga berlaku Konstan 1993 Sumut Sumut Indonesia Indonesia (triliun (triliun (triliun (%) (triliun (%) rupiah) rupiah) rupiah) rupiah) 4.9 13.23 271.97 4.9 10.39 213.57 4.7 13.70 291.56 4.7 11.69 248.87 4.9 15.21 309.66 4.9 13.94 283.77 4.7 15.66 329.77 4.7 15.66 329.77 5.0 17.64 354.64 5.0 19.01 382.22 5.1 19.49 383.79 5.1 23.08 454.51 5.3 21.77 413.8 5.3 28.02 532.57 5.8 25.07 433.25 5.4 34.01 627.69 5.9 22.33 376.37 5.3 50.71 955.75 6.0 22.91 379.35 5.6 61.96 1 099.73 6.0 24.02 397.93 5.2 67.66 1 282.02 6.0 24.89 411.13 5.1 76.74 1.490.97 5.9 25.06 424.69 4.7 79.80 1699.70 5.8 25.74 443.81 4.4 83.00 1903.67 Sumber: BPS Sumataera Utara (2004)
Pada tahun 2001 misalnya tingkat pertumbuhan ekonomi hanya 3.65% lebih kecil dari tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 1996 sebesar 9.01%, atau
106
Tabel 12. Laju Pertumbuhan PDRB Sektoral Sumatera Utara Tahun 1990-2003 KonsPerd. Industri List. Tamb truksi Hot & Gas & & Resto Air Galian 1990 7.91 8.89 8.48 8.95 5.20 19.15 1991 8.02 8.70 9.01 11.63 4.60 14.75 1992 7.85 8.60 8.75 9.5 4.45 18.15 1993 8.13 8.67 8.92 10.56 5.02 10.34 1994 7.22 8.96 7.75 7.95 4.45 20.15 1995 8.61 8.69 9.21 14.63 6.02 9.34 1996 8.71 0.72 9.25 13.59 12.65 8.76 1997 8.98 -37.95 3.77 38.53 8.74 5.53 1998 2.1 -17.78 -16.56 4.26 -16.17 -17.86 1999 5.69 -2.69 -0.08 3.98 1.41 3.41 2000 4.52 11.38 3.5 6.15 6.35 3.35 2001 3.31 -6.47 4.39 7.28 4.01 3.67 2002 3.92 5.38 3.95 6.71 5.18 3.51 2003 4.03 4.23 4.05 6.55 5.08 3.55 Sumber: BPS Sumatera Utara (2004), Pemda dan BAPPEDASU (2004)
Tahun
Pertanian
Angkt Dan Kom 6.07 8.86 6.57 8.08 5.57 8.68 8.48 7.37 17.68 3.16 8.12 6.80 5.76 8.00
Bank, LKBB
Jasa-jasa
15.00 12.81 13.39 14.08 14.39 12.8 10.51 5.56 -14.57 -1.80 9.68 1.91 7.68 9.00
9.53 7.55 9.03 7.65 9.30 7.95 9.56 7.76 -8.81 0.55 3.28 1.77 3.28 3.28
(%) PDRB Sumut 9.08 9.09 9.78 9.09 9.48 9.09 9.01 5.7 -10.9 2.59 4.83 3.65 4.03 4.13
107
5.70% tahun 1997. Pada tahun 2003 pertumbuhan ekonomi mencapai angka 4.13%, suatu angka pertumbuhan yang lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang hanya 4.03% (Tabel 12). Menurut
BPS
Provinsi
Sumatera
Utara
(2004),
sumber-sumber
pertumbuhan empat tahun terakhir (2000-2003) itu terutama berasal dari sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dan Angkutan dimana sektor yang pertama tersebut pada tahun 2001 bertumbuh sebesar 7.28% dan sektor Angkutan dengan tingkat pertumbuhan 6.80% . Penyumbang terbesar terhadap PDRB provinsi Sumatera Utara adalah sektor Pertanian, Industri dan Perdagangan Hotel dan Restotan. Ketiga sektor ini pada tahun 2000 menyumbang 76.82% terhadap PDRB Sumatera Utara. Sedangkan pada tahun 2001 menyumbang 76.55% dan tahun 2003 menyumbang 78% (Tabel 13). Sektor pertanian tidak saja sebagai penyumbang PDRB kedua terbesar setelah sektor industri, namun juga sebagai penyerap tenaga kerja terbesar (diatas 50%) hingga kini , bandingkan sektor industri hanya menyerap tenaga kerja kurang dari 10%. Nampak disini adanya ketimpangan pendapatan yang cukup besar antara sektor pertanian dengan sektor industri. Sedangkan sektor perdagangan sebagai penyumbang PDRB ketiga terbesar (18% - 20%) menyerap tenaga kerja cukup proporsional yaitu antara 14% - 18%. Diduga sektor ini dapat menjadi sektor andalan dalam hal distribusi pendapatan perekonomian Sumatera Utara,
karena
sumbangannya
terhadap
kemampuannya menyerap tenaga kerja.
PDRB
proporsional
dengan
108
Tabel 13. Struktur Perekonomian Sumataera Utara Tahun 1990-2003 Industri Listrik, Tamb G dan & Air Galian 1990 25.82 2.56 25.54 0.93 1991 24.35 2.72 24.85 0.91 1992 25.72 2.23 26.95 0.96 1993 25.00 2.53 27.03 0.90 1994 25.32 2.54 25.49 0.88 1995 24.85 2.74 26.35 0.91 1996 25.00 2.21 27.08 1.01 1997 25.71 1.38 26.68 1.01 1998 26.38 1.61 29.42 0.83 1999 31.53 1.36 27.13 0.80 2000 30.52 1.75 26.89 0.93 2001 31.00 1.45 26.36 1.04 2002 31.27 1.65 26.77 0.98 2003 30.55 1.60 28.09 1.03 Sumber: BPS, Sumatera Utara Dalam Angka (2004)
Tahun
Pertanian
Bangunan 4.37 4.18 4.36 4.40 4.32 4.23 4.41 4.21 4.00 3.69 4.17 4.32 4.25 4.30
Perdag, Hot dan Resto 18.34 18.45 17.90 19.40 18.95 18.83 18.8 19.57 20.45 19.74 19.41 19.29 19.39 19.40
Ang & Kom 8.83 8.55 8.25 8.30 8.78 8.6 8.25 8.09 6.03 5.39 5.60 5.78 5.69 5.73
Bank, LKBB 7.10 8.98 7.22 6.05 7.15 6.88 6.76 6.76 4.86 4.02 4.18 4.25 4.22 4.29
Jasajasa 6.51 7.01 6.41 6.39 6.56 6.6 6.46 6.49 6.43 6.34 6.55 6.51 6.49 6.54
(persen) PDRB Sumut 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
109
Transformasi struktural ekonomi telah terjadi khususnya sejak awal periode penelitian (1991) hingga tahun 1998 dimana peranan PDRB sektor Industri telah melampaui PDRB sektor Pertanian. Namun setelah krisis ekonomi (1999) hingga tahun 2003 peranan sektor industri meurun dan lebih kecil dari peranan sektor pertanian. Nampaknya kebijakan desentralisasi fiskal belum mampu mengembalikan transformasi struktur perekonomian kembali ke posisi sebelum krisis ekonomi. Namun menurut Pakasi (2005) di Sulawesi Utara tahun 2005-2007 mendatang diharapkan bahwa terjadi transformasi struktural dimana peranan sektor industri terhadap PDRB meningkat dari 18.7% tahun 2005 naik menjadi 19.1% tahun 2006 dan 19.5% pada tahun 2007 seiring dengan kebijakan desentralisasi fiskal. 4.2.2. Kinerja Perdagangan Luar Negeri Menurut BPS Sumatera Utara (2004) perdagangan luar negeri dalam beberara tahun terakhir khususnya pasca krisis ekonomi tahun 1997, mengalami penurunan. Pada tahun 2001 surplus perdagangan luar negeri Sumatera Utara tercatat hanya sebesar 2.73 milyar US$. Keadaan tadi lebih rendah dari surplus tahun 2000 yang sebesar 1.85 milyar US$ dengan penurunann sebesar 13.74%, namun turun kembali tahun 2002 menjadi 1.57 milyar US $ dan naik kembali menjadi 2.44 milyar US $ tahun 2003. Fluktuasi neraca perdagangan sejak tahun 1990 hingga tahun 2003, disebabkan oleh antara lain oleh kenaikan nilai impor yang tidak diikuti oleh kenaikan nilai ekspor. Menurut BPS Sumatera Utara (2004) nilai ekspor Sumatera Utara mengalami penurunan.
Penurunan tersebut antara lain disebabkan oleh
110
menurunnya nilai tukar rupiah dan menurunnya nilai komoditas ekspor di pasaran internasional.
Komoditi industri merupakan ekspor terbesar Sumatera Utara.
Pada tahun 1990 nilai ekspor komoditi industri sebesar 1938 milyar US $ (75%), pada tahun 2001 nilai ekspor komiditi industri mencapai 1.618 milyar US$ atau sekitar 70.51% dari total nilai ekspor pada tahun 2003 menjadi 1922 milyar US $ (74%). Ekspor komoditi pertanian tahun 1990 sebesar 641 juta US $ (24.8%), pada tahun 2001 sebesar 666 juta US $ (29.2%), lalu pada tahun 2003 ekspor komoditi pertanian adalah 664 juta US $ (25.6 %) . Tujuan utama ekspor adalah Asia, Uni Eropa, lalu disusul oleh Asean dan Amerika Utara. Pada Tahun 2001 misalnya ekspor Ke Uni Eropa sebesar 604 US$ atau sekitar 26.33%, sedangkan ke kawasan Asean sebesar 409 juta US$ atau sekitar 17.84%, sedangkan ke kawasan Asia lainnya sebesar 588 juta US$ atau sekitar 25.62% ( BPS Sumatera Utara 2004). Pada tahun 2002 nilai ekspor ke masing-masing tujuan negara yang sama adalah masing-masing 625 juta US $ ke Uni Eropa, 456 juta US $ ke ASEAN, sedangkan ke ASIA lainnnya adalah 653 juta US$. Pada tahun 2003 kondisi tersebut tidak jauh berbeda dimana masing-masing nilai ekspor adalah 624 juta US ke Eropah, 457 juta Us $ ke ASEAN dan 655 juta US $ ke ASIA lainnya. Komoditi impor pada umumnya adalah bahan baku/penolong, barang konsumsi, dan barang modal. Nilai impor tahun 1990 adalah 1 259 juta US $ turun pada tahun 1997 menjadi sebesar 1 025 juta US$, tahun 1998 turun menjadi sebear 416 juta US$, lalu naik menjadi 700 juta US$ tahun 1999 dan naik lagi menjadi 1 362 juta US $ tahun 2003 (BPS Sumatera Utara 2004).
111
4.2.3. Pembangunan Ekonomi Makro Pengalaman sejak krisis ekonomi, tuntutan reformasi, desentralisasi ekonomi, dan sikap antisipatif terhadap perkembangan ekonomi regional, nasional dan global serta pemulihan ekonomi, Propeda Provinsi Sumatera Utara 2001-2005 menggariskan pokok-pokok agenda pembangunan makroekonomi daerah sebagai berikut; 1. Pemulihan pertumbuhan ekonomi secara bertahap menuju ketingkat pertumbuhan sebelum krisis dengan memperhatikan keseimbangan kontribusi sektoral dan penguatan struktur perekonomian Sumatera Utara yang kompetitif dan berorietasi global. 2. Membangun sektor-sektor produksi secara seimbang dengan mengupayakan keterkaitan antar sektor.
Sektor industri dan pertanian
harus saling
mendukung menjadi sektor andalan yang mempunyai keunggulan kompetitif. Pembangunan pembangunan agroindustri hulu dan hilir yang memperkuat perkembangan sektor pertanian dan peningkatan nilai tambah produk-produk pertanian. 3. Pembangunan ekonomi yang berpihak kepada ekonomi kerakyatan, dengan tetap
memperhatikan
pemerataan
pendapatan,
kesempatan
berusaha,
kesempatan kerja dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang memadai dan pelestarian lingkungan hidup dan sumberdaya alam terbarukan. 4. Meningkatkan produktifitas dan efisiensi sektor-sektor produksi. 5. Penyeimbangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah antar daerah
112
kabupaten/kota, antara lain melalui kerjasama perencanaan dan kegiatan ekonomi lintas kabupaten/kota. 4. Meningkatkan investasi baik PMDN maupun PMA.
113
BAB V. EVALUASI KINERJA FISKAL DAERAH SUMATERA UTARA Struktur penerimaan tiap-tiap daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota memiliki komponen sama yaitu (1) Bagian Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu, (2) Pendapatan Asli Daerah, (3) Pendapatan yang berasal dari Pemberian Pemerintah dan atau instansi lain yang lebih lebih tinggi dan (4) Daerah.
Pinjaman Pemerintah
Setelah desentralisasi fiskal Tahun 2001, Bagian Pendapatan yang
berasal dari Pemberian Pemerintah dan atau Instansi Lain yang lebih tinggi khususnya
pos Subsidi Daerah Otonom dan Pos Bantuan Pembangunan
(INPRES) “ganti nama” menjadi DAU (Dana Alokasi Umum) (Lihat Statistik Keuangan Daerah 2002). Pengeluaran Pemerintah Daerah dibagi atas Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan. Pengeluaran Rutin mencakup (1) Belanja Pegawai, (2) Belanja Barang, (3) Belanja Pemeliharaan, (4) Perjalanan Dinas, (5) Belanja lain-lain, (6) Angsuran Pinjaman dan Bunga, (7) Pensiun dan Bantuan, (8) Ganjaran, Subsidi dan Sumbangan, (9) Pengeluaran yang Tidak Masuk Bagian Lain, dan (10) Pengeluaran Tidak Tersangka. Dalam Bagian Pengeluaran Rutin dikelompokkan menjadi empat komponen yaitu; 1. Belanja Pegawai meliputi (1), 2. Non Belanja Pegawai (2 s/d 5), 3. Angsuran Hutang (6) 4. Bantuan Keuangan (7 dan 8) 5. Belanja “Tak Jelas” (9 dan 10).
114
Pengeluaran
Pembangunan
mencakup
pengeluaran
untuk
21
sektor
pembangunan, namun dalam bagian ini dibagi kedalam dua bidang yaitu; 1. Bidang Ekonomi ( sektor 1 s/d 10) 2. Bidang Sosial (sektor 11 s/d 21) Evaluasi fiskal daerah ini dalam bagian ini meliputi tiga hal, yaitu (1). perkembangan penerimaan daerah, (2). pengeluaran daerah dan (3). tingkat desentralisasi daerah. Untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih mendalam maka masing-masing penerimaan, pengeluaran dan tingkat desentralisasi fiskal diuraikan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Sumatera Utara. 5.1.Penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara Realisasi penerimaan pemerintah Sumatera Utara selama periode penelitian mengalami pertumbuhan fluktuatif, yang berkisar antara –55% pada waktu krisis ekonomi tahun 1998/1999 hingga 78% pada awal desentralisasi fiskal Tahun 2001. (Tabel.14). Penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara pada Tahun 1990/91 sebesar Rp.318 milyar, naik menjadi Rp.337 milyar tahun 1991/1992 atau bertumbuh sebesar 6%. Kemudian pada Tahun 1992/1993 naik lagi menjadi Rp.384 milyar atau bertumbuh sebesar 14%.
Pertumbuhan seperti ini terus
berlangsung hingga tahun 1997/1998 dengan rata-rata pertumbuhan 15.2% per tahun. Namun pada saat krisis ekonomi tahun 1998 terjadi penurunan yang relatif besar dan terjadi pertumbuhan –55% pada Tahun 1998/1999.
Pada Tahun
1999/2000 Penerimaan bertumbuh lagi sebesar 48%. Pertumbuhan positif terus
115
berlangsung sampai Tahun 2001 dengan rata-rata pertumbuhan 47% per tahun. Pada Tahun 2003 Penerimaan turun lagi dengan pertumbuhan –2%. Tabel 14. Penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi SUMUT 1990/91 – 2003 Penerimaan PAD Dana Perimbangan Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh Tahun (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (%) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 1990/1991 318658662 64659592 245868213 1991/1992 337483989 6 65384258 1 267385863 9 1992/1993 384077557 14 70204556 7 313284747 17 1993/1994 466707754 22 84768176 21 381004017 22 1994/1995 543559892 16 124141384 46 411345117 8 1995/1996 613429045 13 156859078 26 428636937 4 1996/1997 673819906 10 171953970 10 467245426 9 1997/1998 772628764 15 212842681 24 546820357 17 1998/1999 347839124 -55 122888667 -42 223351834 -59 1999/2000 515926104 48 187597434 53 247331574 11 2000 600279627 16 255078480 36 278327020 13 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 1066803843 78 423075216 66 392994085 41 2002 1179912701 11 614459381 45 414865085 -5 2003 1162033849 -2 621017539 1 424955435 2 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004) Penerimaan Pemerintah Daerah terdiri dari beberapa komponen namun yang terbesar adalah PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan Dana Perimbangan. Sedangkan komponen lainnya dan kecil adalah Sisa Anggaran Tahun Lalu, Pinjaman Daerah dan Penerimaan Lain. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 1990/1991 adalah Rp.64 milyar, naik menjadi Rp.65 milyar tahun 1991/1992 atau bertumbuh 1%. Pada tahun 1992/1993 naik lagi menjadi Rp.70
116
milyar atau bertumbuh 7%. Pertumbuhan positif terus berlangsung hingga tahun 1997/1998 dengan rata-rata pertumbuhan 25% per tahun.
Pada masa krisis
ekonomi tahun 1998 terjadi penurunan hingga –42% dibanding tahun sebelumnya menjadi hanya Rp.123 milyar. Sejak tahun 1999/2000 PAD naik lagi dengan laju pertumbuhan 53%, tahun 2000 bertumbuh lagi 36% menjadi Rp.255 milyar. Pertumbuhan tertinggi PAD terjadi pada awal desentralisasi fiskal tahun 2001 sebesar 66%. Pertumbuhan positif terus berlangsung hingga periode 2001-2003 dengan rata-rata pertumbuhan 22.5% per tahun. Dana Perimbangan, yang dulu dikenal dengan “Penerimaan dari Pemerintah atau Instansi yang Lebih Tinggi” mengalami fluktuasi nilai selama periode penelitian.
Sejak tahun 1990/1991 hingga tahun 1997/1998 selalu
meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 12.4% per tahun. 1990/1991
Jika pada tahun
Dana Perimbangan sebesar Rp.245 milyar, maka pada tahun
1997/1998 telah menjadi Rp.547 milyar. Pada tahun 1998/1999 turun drastis menjadi Rp.223 milyar, atau merosot –59%. Pada tahun 1999/2000 naik kembali menjadi Rp.247 milyar atau bertumbuh 11% dari tahun 1998/1999. Pertumbuhan positif terus berlangsung selama periode 2000-2003 dengan rata-rata 15.3% per tahun, dengan laju pertumbuhan tertinggi pada tahun 2001 yaitu 41% (Tabel 15). Menurut Tabel 15
pemerintah Provinsi Sumatera Utara cenderung
semakin mandiri. Pada Tahun 1990/1991 Dana Perimbangan menyumbang 77% Penerimaan, lalu pada tahun 2001 sudah turun menjadi 37%, naik lagi menjadi 38% tahun 2002, lalu turun lagi menjadi 37%. Disisi lain kemampuan daerah untuk menggali sumber pembiayaan dari daerah sendiri semakin besar, yang
117
ditunjukkan oleh semakin besarnya porsi PAD dalam Penerimaan. Pada tahun 1990/1991 PAD hanya 20% pada Penerimaan, maka pada tahun 2000 telah menjadi 42% dan naik lagi menjadi 53% pada tahun 2003. Tabel 15. Penerimaan , PAD dan Dana Perimbangan Pemerintah Provinsi SUMUT Tahun 1990/91 – 2003 PAD Dana Perimbangan Tahun Nominal Proporsi Nominal Proporsi (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (%) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 1990/1991 318658662 64659592 20 245868213 77 1991/1992 337483989 65384258 19 267385863 79 1992/1993 384077557 70204556 18 313284747 82 1993/1994 466707754 84768176 18 381004017 82 1994/1995 543559892 124141384 23 411345117 76 1995/1996 613429045 156859078 26 428636937 70 1996/1997 673819906 171953970 26 467245426 69 1997/1998 772628764 212842681 28 546820357 71 1998/1999 347839124 122888667 35 223351834 64 1999/2000 515926104 187597434 36 247331574 48 2000 600279627 255078480 42 278327020 46 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 1066803843 423075216 40 392994085 37 2002 972236346 440591435 45 366644879 38 2003 1162033849 621017539 53 424955435 37 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004) Penerimaan (Ribu Rp)
Dana perimbangan terdiri dari empat komponen yakni tiga yang relatif besar dan permanen yaitu BHP (Bagi Hasil Pajak, BHSDA (Bagi Hasil Sumber Daya Alam), DAU (Dana Alokasi Umum) dan satu yang kecil dan insidentil yaitu DAK (Dana Alokasi Umum). Diantara ke-empat komponen tadi, Dana Alokasi Umum merupakan bagian terbesar, dimana tidak kurang dari 71% selama periode penelitian. Disusul oleh Bagi Hasil Pajak yang tidak kurang dari 4% dan BHSDA
118
yang tidak kurang 2% dari Dana Perimbangan. Porsi Dana Alokasi Umum pada Dana Perimbangan cenderung menurun selama periode penelitian (Tabel 16). Tabel 16. Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi SUMUT Tahun 1990/91 – 2003 Komponen Dana Perimbangan Dana Tahun Perimbangan BHP BHSDA DAU (Ribu Rp) (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 1990/1991 245868213 8981175 4 4631987 2 232255051 1991/1992 267385863 10308197 4 6603584 2 250474082 1992/1993 313284747 12048146 4 6559531 2 294677070 1993/1994 381004017 15773944 4 8413945 2 356816128 1994/1995 411345117 18293550 4 8689142 2 384362425 1995/1996 428636937 20160095 5 13166042 3 395310800 1996/1997 467245426 24365939 5 18025657 4 424853830 1997/1998 546820357 25541408 5 14444676 3 506834273 1998/1999 223351834 31721222 14 16236650 7 175393962 1999/2000 247331574 38578760 16 20748202 8 188004612 2000 278327020 37378512 13 17085135 6 223863373 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 392994085 87143046 22 27480307 7 278370732 2002 366644879 81333658 22 24701221 7 260610000 2003 424955435 99045280 23 19360155 5 301750000 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
(%) 94 94 94 94 93 92 91 93 79 76 80 71 71 71
Tahun 1990/1991 DAU merupakan 94% dari Dana perimbangan, turun menjadi 91% tahun 1995/1996, kemudian turun lagi menjadi 80% tahun 2000, dan 71% pada tahun 2003. Sedangkan Bagi Hasil Pajak (BHP) mengalami porsi yang meningkat.
Pada tahun 1990/1991 BHP menyumbang 4% pada Dana
Perimbangan, naik menjadi 5% tahun 1995/1996, kemudian naik lagi menjadi 13% tahun 2000, hingga mencapai 23% pada tahun 2003. Sementara BHSDA juga cenderung naik walau berfluktuasi.
Pada tahun 1990/1991 BHSDA
119
menyumbang 2%, naik menjadi 3% tahun 1995/1996, kemudian naik lagi menjadi 8% tahun 1999/2000. Tahun 2001 turun menjadi 7%, dan turun lagi menjadi 5% tahun 2003. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang merupakan indikator kemampuan daerah untuk menggali sumber pembiayaan di wilayahnya sendiri, terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi, Laba BUMD, dan Pendapatan Asli Daerah Lainnya (seperti pendapatan dari Dinas-dinas, penjualan asset daerah dan sebagainya). Pajak Daerah merupakan bagian terbesar dan menyumbang PAD lebih dari 75% selama periode penelitian. Dimana pada periode 1990/1991 – 2000 rata-rata sumbangan Pajak Daerah adalah 85% per tahun, sedangkan pada periode 20012003 rata-rata sumbangannya adalah 93% (Tabel 17). Kebalikannya dengan Retribusi, pada periode 1990/1991-2000 rata-rata sumbangannya terhadap PAD adalah 7.8% per tahun, sedangkan pada periode 2001-2003 adalah turun menjadi 2.7% per tahun. Perilaku serupa juga nampak pada Laba BUMD dan PAD Lainnya, dimana sumbangannya pada PAD dalam periode 1990/1991-2000 relatif lebih tinggi dibanding periode 2001-2003. 5.2. Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara Kinerja Pengeluaran Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 18. Pada periode sebelum krisis (1990/1991 – 1997/1998) adalah masa-masa pertumbuhan positif dengan rata 13.7% per tahun. Sedangkan pada periode 1998/1999-2003 adalah masa pertumbuhan fluktuatif dengan ratarata 18.9% per tahun.
120
Tabel 17. PAD, Pajak Daerah, Retribusi, Laba BUMD, dan PAD_Lain Pemerintah Provinsi SUMUT Tahun 1990/91-2002 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Laba Pajak BUMD (%) Tahun Daerah (%) Retribusi (%) Total (Ribu Rp) (Ribu Rp) (Ribu Rp) (Ribu Rp) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 1990/1991 64659592 57653154 89 4473520 7 1013753 2 1991/1992 65384258 55486408 85 6189913 9 2534606 4 1992/1993 70204556 60168158 86 7554952 11 1241685 2 1993/1994 84768176 71328285 84 8915059 11 1219063 1 1994/1995 124141384 106520149 86 10979158 9 1617412 1 1995/1996 156859078 129097404 82 13407492 9 2238666 1 1996/1997 171953970 148271782 86 17364368 10 3115814 2 1997/1998 212842681 163329965 77 19562179 9 4384112 2 1998/1999 122888667 103240610 84 4194848 3 5805810 5 1999/2000 187597434 164689595 88 7128126 4 4009200 2 2000 255078480 236257732 93 9792039 4 3826000 1 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 423075216 388017707 92 15448298 4 4627814 1 2002 614459381 584089881 95 7127396 1 5055190 1 2003 621017539 578198617 93 20169250 3 5830750 1 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
PADLain (Ribu Rp)
(%)
1519165 1173331 1239761 3305769 5024665 12115516 3202006 25566425 9647399 11770513 5202709
2 2 2 4 4 8 2 12 8 6 2
14981397 18186914 16818922
4 3 3
121
Pengeluaran tahun 1990/1991 sebesar Rp.313 milyar, naik menjadi Rp.584 milyar tahun 1995/1996, lalu naik lagi menjadi Rp.771 milyar tahun 1997/1998. Pengeluaran tahun 1998/1999 turun menjadi Rp.342 milyar atau merosit –55.6% disbanding tahun sebelumnya. Keadaan mulai membaik tahun 1999/2000 dengan pengeluaran sebesar Rp.449 milyar. Pengeluaran baru mulai pulih pada tahun 2001 dimana menjadi Rp.916 milyar atau bertumbuh sebesar 119.8% dibanding tahun 2000.
Pertumbuhan terus berlajut hingga tahun 2003 sebesar 13.8%
dibanding tahun sebelumnya dengan nilai Rp.1162 milyar. Pengeluaran Rutin mengalami masa-masa pertumbuhan positif pada periode 1990/1991 – 1997/1998 dengan rata-rata pertumbuhan 13.4% per tahun. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998/1999 turun dengan pertumbuhan –65.1% dibanding tahun sebelumnya.
Walau keadaan membaik pasca krisis, kondisi
betul-betul pulih pada tahun 2001, dimana Pengeluaran Rutin (Rp.625 miltar) sudah melampaui jumlah sebelum krisis (Rp.575 milyar). Walaupun demikian rata-rata pertumbuhan Pengeluaran Rutin sesudah krisis masih lebih tinggi (46.7% per tahun) dibanding sebelum krisis yaitu 13.4% per tahun. Pengeluaran pembangunan mengalami kondisi serupa dengan pengeluaran Rutin. Periode 1990/1991-1997/1998 adalah masa pertumbuhan positif dengan rata-rata pertumbuhan 15.6% ter tahun. Sedangkan periode pasca krisis pertumbuhannya positif atau negatif, namun dengan rata-rata pertumbuhan yang lebih tinggi (30.9% per tahun) dibanding periode sebelum krisis (Tabel 18).
122
Tabel 18. Perkembangan Pengeluaran Total, Rutin dan Pembangunan Pemda SUMUT Tahun 1990/91-2003 Pengeluaran Total Pengeluaran Rutin Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh Tahun (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (%) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 1990/1991 313923761 240406858 1991/1992 336880196 7.3 255560646 6.3 1992/1993 383137767 13.7 298954190 17.0 1993/1994 458581800 19.7 365068865 22.1 1994/1995 515626870 12.4 422108688 15.6 1995/1996 584008535 13.3 456900335 8.2 1996/1997 660854180 13.2 491515690 7.6 1997/1998 771030141 16.7 575982265 17.2 1998/1999 342560028 -55.6 200766758 -65.1 1999/2000 449051978 31.1 202232118 0.7 2000 416772647 -7.2 219568931 8.6 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 916215529 119.8 628284859 186.1 2002 972236346 6.1 616383733 -1.9 2003 1034321804 6.4 716468630 16.2 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
Pengel.Pembangunan Nominal Tumbuh (Ribu Rp) (%) 73516903 81319550 84183577 93512935 93518182 127108200 169338490 195047876 141793270 246819860 197203716
10.6 3.5 11.1 0.0 35.9 33.2 15.2 -27.3 74.1 -20.1
287930670 355852613 317853174
46.0 23.6 -10.7
123
Pengeluaran Total Pemerintah terdiri dari
dua komponen yaitu
Pengeluaran Rutin dan Pembangunan. Pengeluaran Rutin adalah belanja pegawai dan biaya operasional lainnya, sedangkan Pengeluaran Pembangunan adalah belanja untuk modal kerja atau peningkatan kapasitas produksi dearah. Telah dijelaskan sebelumnya, dimana rata-rata pertumbuhan Pengeluaran Rutin pasca krisis lebih tinggi (46.7% per tahun) lebih tinggi dibanding sebelum krisis (13.5%) walau proporsinya terhadap Pengeluaran Total meningkat (Tabel 19). Tabel 19. Perkembangan Rasio Pengeluaran Rutin dan Pembangunan Pemda Provinsi SUMUT Tahun 1990/91-2003 Pengeluaran Rutin Peng. Pembangunan Pengeluaran (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (%) Total (Ribu Rp) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 1990/1991 313923761 240406858 76.6 73516903 23.4 1991/1992 336880196 255560646 75.9 81319550 24.1 1992/1993 383137767 298954190 78.0 84183577 22.0 1993/1994 458581800 365068865 79.6 93512935 20.4 1994/1995 515626870 422108688 81.9 93518182 18.1 1995/1996 584008535 456900335 78.2 127108200 21.8 1996/1997 660854180 491515690 74.4 169338490 25.6 1997/1998 771030141 575982265 74.7 195047876 25.3 1998/1999 342560028 200766758 58.6 141793270 41.4 1999/2000 449051978 202232118 45.0 246819860 55.0 2000 416772647 219568931 52.7 197203716 47.3 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 916215529 628284859 68.6 287930670 31.4 2002 972236346 616383733 63.4 355852613 36.6 2003 1034321804 716468630 69.3 317853174 30.7 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004) Tahun
Fenomena ini terjadi karena pada awal krisis ekonomi (1998) bersamaan dengan dimulainya proses pemindahan pegawai pusat menjadi pegawai otonomi
124
yang tentu saja diikuti dengan meningkatnya belanja pegawai serta meningkatnya biaya tak terduga. Pada tahun 1990/1991 Pengeluaran Rutin merupakan 76.6% dari Pengeluaran Total, turun menjadi 74.4% tahun 1996/1997, kemudian turun lagi menjadi 69.3% tahun 2003. Rata-rata proporsinya terhadap Pengeluaran total pada periode sebelum krisis adalah 77.4% per tahun, sedangkan pasca krisis adalah 59.8% per tahun. Keadaan sebaliknya dengan Pengeluaran Pembangunan. Proporsinya terhadap Pengeluaran Total justru meningkat. Pada tahun 1990/1991 proporsinya adalah 23.4% ,naik menjadi 25.6% tahun 1996/1997, naik lagi menjadi 30.87% tahun 2003. Rata-rata proporsinya sebelum krisis (1990/1991-1997/1998) adalah 22.5% per tahun dan 34.8% per tahun sesudah krisis. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Pengeluaran Rutin terdiri dari beberapa bagian yaitu (1) Belanja Pegawai, (2) Non Belanja Pegawai, (3) Angsuran Hutang dan Cicilan (4) Bantuan keuangan dan (5) Belanja “Tak Jelas”. Belanja Pegawai merupakan bagian terbesar, disussul oleh Non Belanja Pegawai, Bantuan Keuangan , Belanja “Tak Jelas” dan Angsuran Hutang. Belanja Pegawai tahun 1990/1991 sebesar Rp.194 milyar atau 80.9% dari Pengeluaran Rutin, naik menjadi Rp.347 milyar tahun 1995/1996 atau 76%, naik lagi mejadi Rp.432 milyar namun rasionya terhadap Pengeluaran Rutin menurun menjadi 75.1%. Penurunan rasio ini terus terjadi hingga tahun 2003,
125
Tabel 20. Belanja Pegawai, Non Belanja Pegawai, Angsuran Hutang, Bantuan Keuangan dan Belanja Tak Jelas Pemda Provinsi SUMUT Tahun 1990/91-2003 Pengeluaran Rutin (Ribu Rp) Tahun
(Ribu Rp)
1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003
Belanja Pegawai
240406858 255560646 298954190 365068865 422108688 456900335 491515690 575982265 200766758 202232118 219568931
194218485 207696410 249453195 308173933 340239704 347885196 368434138 432995910 96226407 64086401 62726370
(%)
Non Belanja Pegawai (Ribu Rp)
(%)
Angsuran Hutang
Bantuan Keuangan
(Ribu Rp) (%) (Ribu Rp)
(%)
SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 80.79 3716322 15.65 45667 0.02 4738916 1.97 81.27 41459270 16.22 44333 0.02 2051075 0.80 83.44 44745369 14.97 43000 0.01 545004 0.18 84.42 52260595 14.32 41667 0.01 405488 0.11 80.60 59554220 14.11 40333 0.01 17529711 4.15 76.14 78285890 17.13 2107908 0.46 21342311 4.67 74.96 88175257 17.94 37667 0.01 23585724 4.80 75.18 99133964 17.21 5907407 1.03 24468823 4.25 47.93 88770008 44.22 0.00 0.00 3925741 1.96 31.69 108683787 53.74 4281222 2.12 6145024 3.04 28.57 134051487 61.05 1667798 0.76 4665368 2.12 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 42.61 204345504 32.52 27111116 4.32 99867000 15.90 33.34 182805407 25.99 44872502 6.38 117832763 16.75 53.35 206870122 40.00 13594591 2.63 0.00 0.00
628284859 267704478 703430337 234556224 517237896 275963687 Sumber : Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
Belanja Tak Jelas (Ribu Rp)
(%)
3787468 4309558 4167622 4187182 4744720 7279030 11282904 13476161 11844602 19035684 16457908
1.58 1.69 1.39 1.15 1.12 1.59 2.30 2.34 5.90 9.41 7.50
29256761 4.66 17375392 2.47 20809496 4.02
126
dimana Belanja pegawai hanya Rp.275 milyar atau 53.3% (Tabel 20). Sebaliknya dengan Non Belanja Pegawai, secara absolut dan relatif terhadap Pengeluaran Rutin meningkat selama periode penelitian. Pada tahun 1990/1991 Non Belanja Pegawai sebesar Rp.37 milyar atau 15.65%, naik menjadi Rp.78 milyar atau 17.13% tahun 1995/1996, dan naik lagi menjadi Rp.206 milyar atau 40% tahun 2003.
Kecederungan seperti ini juga terjadi pada Angsuran
Hutang, Bantuan Keuangan dan Belanja “Tak Jelas”. Seperti dijelaskan sebelumnya, Pengeluaran Pembangunan dapat dibagi menjadi dua bidang yaitu bidang ekonomi dan sosial. Pembangunan Bidang ekonomi cenderung meningkat secara absolut maupun relatif terhadap. Pengeluaran Pembangunan. Pada tahun 1990/1991 Pengeluaran Pembangunan dibidang ekonomi adalah Rp.45 milyar, atau 62.0% dari Pengeluaran pembangunan, naik menjadi Rp.71 milyar tahun 1995/1996 atau menjadi 55.9 persen . Pada tahun 2000 naik lagi menjadi Rp.116 milyar atau 59.2 % dari Pengeluaran Pembangunan. Pengeluaran Pembangunan dibidang ekonomi terus meningkat hingga Rp.562 milyar tahun 2003 atau 87.3% dari Pengeluaran Pembangunan (Tabel 21). Sebaliknya dengan kinerja Pengeluaran Pembangunan dibidang sosial yang cenderung fluktuatif secara absolut maupun relatif. Pada tahun 1990/1991 Pengeluaran pembangunan dibidang sosial adlah Rp.27 milyar atau 38% dari Pengeluaran Pembangunan , naik menjadi Rp.56 milyar atau 44% tahun 1995/1996. Pada tahun 1997/1998 naik menjadi Rp.98 milyar atau 50.7%, lalu tahun 2000 turun menjadi Rp.80 milyar atau 40.8%, kemudian turun lagi menajdi
127
Rp.61 milyar atau 17.3% tahun 2002.
Dengan kata lain, rata-rata rasio
pembangunan bidang sosial terhadap pengeluaran pembangunan periode 1990/1991-1997/1998 adalah 44.2% per tahun, sedangkan pasca krisis adalah turun menjadi 28.3% per tahun.
Tabel 21.
Perkembangan Pengeluaran Pembangunan, Bidang Ekonomi dan Sosial Pemda Provinsi SUMUT Tahun 1990/91-2003
Pengeluaran Pembangunan Bidang Bidang Sosial (%) Ekonomi (Ribu Rp) (Ribu Rp) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 1990/1991 73516903 45592412 62.0 27924491 1991/1992 81319550 45406678 55.8 35912872 1992/1993 84183577 44733479 53.1 39450098 1993/1994 93512935 56036025 59.9 37476910 1994/1995 93518182 58526857 62.6 34991325 1995/1996 127108200 71002123 55.9 56106077 1996/1997 169338490 80532636 47.6 88805854 1997/1998 195047876 96104645 49.3 98943231 1998/1999 141793270 87297105 61.6 54496165 1999/2000 246819860 180382806 73.1 66437054 2000 197203716 116777659 59.2 80426057 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 287930670 168139709 58.4 119790961 2002 355852613 294376636 82.7 61475977 2003 644795953 562938002 87.3 81857951 Sumber : Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004). Tahun
Total (Ribu Rp)
(%)
38.0 44.2 46.9 40.1 37.4 44.1 52.4 50.7 38.4 26.9 40.8 41.6 17.3 12.7
5.3.Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Perkembangan kinerja Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Tabel 22. Penerimaan mengalami peningkatan selama periode penelitian. Pada tahun 1990/1991 Penerimaan sebesar Rp.269 milyar, naik menjadi Rp.328
128
milyar atau bertumbuh 22% tahun 1991/1992, lalu naik menjadi Rp.568 milya tahun 1995/1996 atau bertumbuh 24% dibandingkan dengan tahun 1994/1995.
Tabel 22. Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se SUMUT Tahun 1990/91-2003 Penerimaan PAD Dana Perimbangan TumTumTumbuh buh Nominal Tahun buh Nominal Nominal (%) (%) (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (Ribu Rp) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 1990/1991 269675797 40525313 220057235 1991/1992 328626150 22 45264409 12 260100387 18 1992/1993 363015668 10 54446459 20 291728961 12 1993/1994 429479332 18 59438835 9 346638464 19 1994/1995 456639343 6 73970659 24 362513099 5 1995/1996 568294045 24 90181552 22 449344265 24 1996/1997 669576555 18 106263739 18 547013216 22 1997/1998 850240472 27 115822466 9 705072251 29 1998/1999 1343121326 58 102897500 -11 1212832076 72 1999/2000 1747842719 30 125367792 22 1539189007 27 2000 1754742849 0 124223357 -1 1524263093 -1 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 4179839693 138 221182644 78 3514717918 131 2002 4923649106 18 296923216 34 4123758372 17 2003 6128275604 24 456574133 54 5138827481 25 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004) Pada tahun 2001 terjadi peningkatan Penerimaan yang relatif besar, yaitu menjadi Rp.4179 milyar atau bertumbuh 138% dibandingkan tahun 2000. Peningkatan terus berlangsung hingga mencapai Rp.6128 milyar tahun 2003. Rata-rata pertumbuhan penerimaan pemerintah kabupaten/kota pada periode sebelum krisis ekonomi (1990/1991-1997/1998) adalah 17.8% per tahun, dan 42% per tahun pada periode sesudah krisis.
129
Pendapatan Asli Daerah tahun 1990/1991 sebesar Rp.40 milyar, naik menjadi Rp.45 milyar atau bertumbuh 12% tahun 1991/1992.
Pada tahun
1995/1996 naik menjadi Rp.90 milyar atau bertumbuh 22% dibandingkan tahun 1994/1995. Jumlah ini terus meningkat hingga tahun 1997/1998 menjadi Rp.115 milyar, lalu merosot –11% pada saat krisis menjadi Rp.102 milyar. Pasca krisis keadaan terus membaik hingga mencapai angka tertinggi tahun 2003 sebesar Rp.456 milyar, atau tumbuh 54% dibandingkan tahun 2002. Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami trend pertumbuhan positif selama periode penelitian. Pada periode sebelum krisis rata-rata pertumbuhannya adalah 16% per tahun, sedangkan pada masa pasca krisis adalah 37.4% per tahun. Walaupun PAD cenderung meningkat atau bertumbuh selama periode penelitian, namun secara relatif terhadap Penerimaan adalah menurun. Rata-rata rasionya terhadap penerimaan sebelum krisis adalah 15% per tahun, dan sesudah krisis ekonomi turun menjadi rata-rata 6.4% per tahun. Artinya peranan sumber pendapatan dari daerah sendiri mengalami penurunan. memiliki kinerja pertumbuhan yang serupa dengan PAD.
Dana Perimbangan Dimana rata-rata
pertumbuhan sebelum krisis ekonomi (18% per tahun) lebih rendah dibandingkan dengan sesudah krisis ekonomi (39.8% per tahun). Sumbangan atau peranan Dana Perimbangan dalam Penerimaan Pemerintah Kabupaten/Kota meningkat, dan justru tertinggi pada saat krisis ekonomi tahun 1998/1999 yakni 90% dari Penerimaan. Rata-rata sumbangan Dana perimbangan sebelum krisis ekonomi adalah 80.6% per tahun, meningkat menjadi 85.4% per tahun pada periode sesudak krisis ekonomi (Tabel 23).
130
Artinya selama periode penelitian peran pemerintah pusat semakin besar dalam membiayai pelayan publik dan pemerintahan di Kabupaten /Kota se Sumatera Utara. Tabel 23.
Penerimaan, PAD dan Dana Perimbangan Pemda Kabupaten/Kota Se SUMUT Tahun 1990/91-2003 PAD
Tahun
Penerimaan (Ribu Rp)
(Ribu Rp)
Dana Perimabangan (%)
(Ribu Rp)
SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 269675797 40525313 15 220057235 328626150 45264409 14 260100387 363015668 54446459 15 291728961 429479332 59438835 14 346638464 456639343 73970659 16 362513099 568294045 90181552 16 449344265 669576555 106263739 16 547013216 850240472 115822466 14 705072251 1343121326 102897500 8 1212832076 1747842719 125367792 7 1539189007 1754742849 124223357 7 1524263093 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 4179839693 221182644 5 3514717918 2002 4923649106 296923216 6 4123758372 2003 6128275604 456574133 7 5138827481 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000
(%)
82 79 80 81 79 79 82 83 90 88 87 84 84 84
Sumber-sumber PAD empat komponen yaitu (1) Pajak Daerah, (2) Retribusi , (3) Laba BUMD dan (4) PAD Lainnya. Sebelum krisis ekonomi sumbangan terbesar masing-masing adalah Retribusi, Pajak daerah, PAD Lainya dan Laba BUMD (Tabel 24). Sedangkan sesudah krisis ekonomi sumbangan terbesar adalah Pajak Daerah, disusul oleh Retribusi, lalu PAD Lainnya dan Laba BUMD. Pada periode sebelum krisis ekonomi, sumbangannya masing-masing
131
Tabel 24. PAD, Pajak Daerah, Retribusi, Laba BUMD, dan PADLain Pemda 1990/91-2003
Tahun
1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 Sumber:
Kabupaten/Kota se SUMUT Tahun
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Total Pajak Daerah Retribusi Laba BUMD (Ribu Rp) (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (%) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 40525313 15479240 38.2 18132816 44.7 816897 2.0 45264409 16018018 35.4 20733598 45.8 620699 1.4 54446459 21117794 38.8 24438543 44.9 708530 1.3 59438835 24115515 40.6 26233703 44.1 780534 1.3 73970659 29798149 40.3 33873330 45.8 1511689 2.0 90181552 40142224 44.5 39164742 43.4 2009395 2.2 106263739 47900253 45.1 43716495 41.1 2784759 2.6 115822466 56315371 48.6 45032985 38.9 3873501 3.3 102897500 54230017 52.7 30251011 29.4 4440978 4.3 125367792 73437446 58.6 43931261 35.0 638346 0.5 124223357 71358130 57.4 44513726 35.8 262271 0.2 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 221182644 123000086 55.6 69760970 31.5 721997 0.3 296923216 143651293 48.4 118449469 39.9 954126 0.3 456574133 217618528 47.7 185639123 40.7 2326041 0.5 Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
PADLain (Ribu Rp)
(%)
6096360 7892094 8181592 8309083 8787491 8865191 11862232 10600609 13975494 7360739 8089230
15.0 17.4 15.0 14.0 11.9 9.8 11.2 9.2 13.6 5.9 6.5
27699591 33868328 50990441
12.5 11.4 11.2
132
adalah rata-rata 43.6% per tahun untuk Retribusi, 41.4% untuk Pajak daerah, 13% untuk PAD Lainnya dan 2% per tahun untuk Laba BUMD. Sedangkan pada masa pasca krisis ekonomi rata-rata sumbangannya menjadi 53.5% per tahun untuk Pajak Daerah, 36.6% untuk Retribusi, 9.5% untuk PAD Lainnya dan 0.36% per tahun untuk Laba BUMD. Dana yang merupakan transfer dari pemerintah pusat terdiri dari tiga konponen utama yang tetap (Bagi Hasil Pajak, Bagi hasil Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum) dan satu komponen
yang nilainya kecil dan bersifat
temporer yaitu DAK (Dana Alokasi Khusus) . Bagi Hasil Pajak secara absolut terus meningkat dari Rp.35 milyar tahun 1990/1991, tidak terkecuali pada saat krisis ekonomi meningkat menjadi Rp.162 milyar, mneingkat terus
hingga
Rp.694 milyar tahun 2003. Pada tahun 1990/1991 sumbangan BHP terhadap Dana Perimbangan adalah 16%, naik menjadi 24% tahun 1995/1996, kemudian turun menjadi 14% tahun 2003. (Tabel 25). Rata-rata sumbangan BHP selama periode sebelum krisis (1990/19911997/1998) adalah 19.6% per tahun,sedangkan pada masa pasca krisis adalah 12.4% per tahun. Sumbangan Bagi hasil Sumber daya Alam (BHSDA) relatif kecil dan tidak berbeda selama periode penelitian, yakni rata-rata 1.6% per tahun sebelum krisis ekonomi, dan 1.0% pasca krisis ekonomi. Dana Alokasi Umum yang merupakan komponen terbesar (tidak kurang dari 73% per tahun) memainkan peran yang semakin meningkat.
Rata-rata
sumbangannya terhadap dana perimbangan pada masa sebelum krisis ekonomi adalah 78.8% per tahun, dan 85.4% per tahun pada periode pasca krisis ekonomi.
133
Tabel 25. Perkembangan Komponen Dana Perimbangan Pemda Kabupaten/Kota Se SUMUT Tahun 1990/91-2003 Komponen Dana Perimbangan Tahun
BHP BHSDA DAU (ribu rupiah) (%) (ribu rupiah) (%) (ribu rupiah) (%) 1990/1991 35433184 16 1586897 1 183037154 83 1991/1992 39076780 15 6759921 3 214263686 82 1992/1993 48502224 17 5223651 2 238003086 82 1993/1994 59466861 17 3356290 1 283815313 82 1994/1995 90617433 25 4593003 1 267302663 74 1995/1996 107803139 24 7968190 2 333572936 74 1996/1997 124972962 23 10447081 2 411593173 75 1997/1998 142849691 20 9340555 1 552882005 78 1998/1999 162153751 13 10781552 1 1039896773 86 1999/2000 196419812 13 12931008 1 1329838187 86 2000 203851314 13 10357425 1 1310054354 86 2001 417145214 12 46966898 1 2970324918 85 2002 415365011 10 40229057 1 3591940305 87 2003 694391983 14 51196468 1 4269962024 83 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
5.4. Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Sumatera Utara Perkembangan kinerja Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupate/Kota se Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 26.
Pengeluaran mengalami
pertumbuhan positif secara terus menerus dari tahun 1990/1991-1999/2000 dengan rata-rata pertumbuhan 23.7% per tahun. Pertumbuhan negatif terjadi pada tahun 2000 sebesar –2.8%, namun pada tahun 2001 bertumbuh lagi dengan laju 137.2%. Pertumbuhan positif terus berlansung hingga tahun 2003 dengan rata-rata 63.2% per tahun. Artinya Pengeluaran pemerintah daerah Kabupaten/Kota secara umum meningkat selama periode penelitian, termasuk pada saat krisis ekonomi
134
tahun 1998/1998 yang memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi kedua (57.6%) setelah saat awal desentralisasi fiskal tahun 2001 (137.2%). Tabel 26. Pengeluaran Total, Rutin dan Pembangunan Pemda Kabupaten/Kota Se SUMUT Tahun 1990/91-2003 Pengeluaran Total Pengeluaran Rutin Peng. Pembangunan Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (%) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 1990/1991 261786352 118118296 143668056 1991/1992 322574296 23.2 138478500 17.2 184095796 28.1 1992/1993 345895248 7.2 133641668 -3.5 212253580 15.3 1993/1994 416747673 20.5 163439180 22.3 253308493 19.3 1994/1995 432262722 3.7 193732812 18.5 238529910 -5.8 1995/1996 549695391 27.2 267753990 38.2 281941400 18.2 1996/1997 649881045 18.2 347028677 29.6 302852368 7.4 1997/1998 827943837 27.4 425798316 22.7 402145521 32.8 1998/1999 1305036167 57.6 869808591 104.3 435227576 8.2 1999/2000 1670089793 28.0 1182698780 36.0 487391013 12.0 2000 1624004134 -2.8 1123341391 -5.0 500662743 2.7 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 3851466675 137.2 2819016338 150.9 1032450337 106.2 2002 4922340686 27.8 3405196949 20.8 1517143737 46.9 2003 6128275604 24.5 4094502059 20.2 2033773545 34.1 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
Tahun
Pengeluaran Rutin mengalami pertumbuhan positif selama periode penelitian dengan rata-rata pertumbuhan 25% per tahun, dengan rincian 24.6% per tahun sebelum desentralisasi fiskal tahun 2001 dan 64% per tahun pada periode 2001-2003.
Pengeluaran Pembangunan juga mengalami pertumbuhan positif
sepanjang periode penelitian kecuali pada tahun 1994/1995 merosot –5.8%. Pertumbuhan tertinggi tercatat pada tahun 2001 sebesar 106.2%, disusul tahun 2002 dengan laju 46.9% dan tahun 2003 dengan laju pertumbuhan 34.1%.
135
Pertumbuhan Pengeluaran Rutin yang cenderung meningkat selama periode penelitian, seiring dengan rasionya terhadap Pengeluaran yang juga cenderung meningkat (Tabel 27). Tabel 27. Perkembangan Rasio Pengeluaran Rutin dan Pembangunan Pemda Kabupaten/Kota se SUMUT Tahun 1990/91-2003 Pengeluaran Rutin Peng.Pembangunan Pengeluaran Total Rasio Rasio Tahun (Ribu Rp) (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) (%) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 1990/1991 261,786,352 118,118,296 45.1 143,668,056 54.9 1991/1992 322,574,296 138,478,500 42.9 184,095,796 57.1 1992/1993 345,895,248 133,641,668 38.6 212,253,580 61.4 1993/1994 416,747,673 163,439,180 39.2 253,308,493 60.8 1994/1995 432,262,722 193,732,812 44.8 238,529,910 55.2 1995/1996 549,695,391 267,753,991 48.7 281,941,400 51.3 1996/1997 649,881,045 347,028,677 53.4 302,852,368 46.6 1997/1998 827,943,837 425,798,316 51.4 402,145,521 48.6 1998/1999 1,305,036,167 869,808,590 66.7 435,227,576 33.3 1999/2000 1,670,089,793 1,182,698,780 70.8 487,391,013 29.2 2000 1,624,004,134 1,123,341,391 69.2 500,662,743 30.8 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 3,851,466,675 2,819,016,338 73.2 1,032,450,337 26.8 2002 4,922,340,686 3,405,196,949 69.2 1,517,143,737 30.8 2003 6,128,275,604 4,094,502,059 66.8 2,033,773,545 33.2 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004) Rasionya tahun 1990/1991 adalah 45.1%, naik menjadi 48.7% tahun 1995/1996, lalu naik lagi menjadi 73.2% tahun 2001. Rata-rata rasio Pengeluaran Rutin terhadap Pengeluaran pada periode 1990/1991-2000 adalah 51.9% per tahun dan 69.7% per tahun pada periode 2001-2003.
Pengeluaran Pembangunan,
berbeda dengan Pengeluaran Rutin, walaupun rata-rata pertumbuhan positif dan cenderung meningkat, namun rasionya terhadap Pengeluaran semakin menurun.
136
Rata-rata rasionya pada periode 1990/1991-2000 adalah 48.1% per tahun menurun pada periode 2001-2003 menjadi 30.3% per tahun Seperti pada Pemerintah daerah provinsi, Pengeluaran Rutin Pemerintah Daerah kabupaten/Kota terdiri dari lima bagian yaitu (1) Belanja Pegawai, (2) Non Belanja Pegawai, (3) Angsuran Hutang, (4) Bantuan Keuangan, dan (5) Belanja “Tak Jelas”. Bagian terbesar dari Pengeluaran Rutin adalah Belanja Pegawai, disusul oleh Non Belanja Pegawai, lalu Belanja “Tak Jelas”, Angsuran Hutang dan Bantuan Keuangan. Berbeda dengan Belanja Pegawai di tingkat Provinsi yang rasionya terhadap Pengeluaran Rutin cenderung menurun, rasio Belanja Pegawai Kabupaten /Kota cenderung meningkat. Pada tahun 1990/1991 Belanja Pegawai adalah 62% dari pengeluaran rutin, lalu naik menjadi 75.7% tahun 1998/1999, kemudian naik kembali menjadi 77.7% pada tahun 2001. Rata-rata rasio Belanja Pegawai terhadap Pengeluaran Rutin sebelum krisis ekonomi adalah 55.3% per tahun dan 75.3% per tahun pasca krisis ekonomi (Tabel 28). Rasio Non belanja Pegawai terhadap Pengeluaran Rutin selama penelitian menurun.
Rata-rata
rasionya sebelum krisis ekonomi 34.5% per tahun dan 20.6% per tahun pasca krisis. Rasio Angsuran Hutang juga menurun, dimana rata-rata rasio sebelum krisis ekonomi adalah 2.5% per tahun dan 0.62% pasca krisis. Rasio Bantuan Keuangan terhadap Pengeluaran Rutin berfluktuasi antara 1.0% tahun 1990/1991 dan 2.0% tahun 2003. Rata-rata rasio Bantuan Keuangan pada masa sebelum krisis adalah 1.8% per tahun dan 1.6% per tahun pada pasca krisis ekonomi.
137
Tabel 28. Belanja Pegawai, Non Belanja Pegawai, Angsuran Hutang, Bantuan Keuangan dan Belanja Tak Jelas Pemda Kabupaten/Kota se SUMUT Tahun 1990/91-2003
Tahun
1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003
Belanja Pegawai Non Belanja Angsuran Pengeluaran Pegawai Hutang Rutin (Ribu Rp) (Ribu Rp) (%) (Ribu Rp) % (Ribu Rp) % SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 118118296 73187608 62.0 33979407 28.8 5139848 4.4 138478500 81973106 59.2 42029865 30.4 4703591 3.4 133641668 68006249 50.9 50843123 38.0 1746178 1.3 163439180 88386163 54.1 60658255 37.1 2154715 1.3 193732812 96022642 49.6 74531280 38.5 5291549 2.7 267753991 134538195 50.2 102819663 38.4 8230063 3.1 347028677 197700372 57.0 115825226 33.4 8369530 2.4 425798316 251721227 59.1 133763727 31.4 5824549 1.4 869808591 658115008 75.7 164397688 18.9 7342774 0.8 1182698780 915637212 77.4 204340575 17.3 5364885 0.5 1123341391 868901809 77.3 198462907 17.7 4902545 0.4 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2,819,016,338 2190791823 77.7 499607951 17.7 6128590 0.2 3,405,196,949 2482152394 72.9 720452045 21.2 49312084 1.4 4,094,502,059 2910866694 71.1 1183635365 28.9 25367263 0.6 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
Bantuan Belanja Keuangan Tak Beralamat (Ribu Rp) % (Ribu Rp) % 1198419 1.0 1914146 1.4 2366108 1.8 2579943 1.6 4365375 2.3 5242779 2.0 6656045 1.9 10561838 2.5 11621723 1.3 17424089 1.5 15483093 1.4
4613014 7857792 10680010 9660104 13521966 16923291 18477504 23926975 28331398 39932019 35591037
3.9 5.7 8.0 5.9 7.0 6.3 5.3 5.6 3.3 3.4 3.2
41619287 1.5 80868687 2.9 55293198 1.6 97987228 2.9 83925325 2.0 146253082 3.6
138
Belanja “Tak Jelas”, walau rasionya terhadap Pengeluaran Rutin menurun, namun secara absolut nilainya meningkat. Rata-rata rasionya 5.2% per tahun pada periode 1990/1991-2000 , turun menjadi 3.1% per tahun pada periode 2001-2003. Namun secara absolut Belanja “Tak Jelas” pada tahun 1990/1991 adalah Rp.4.6 milyar, lalu naik menjadi Rp.35 milyar tahun 2000, kemudian naik lagi menjadi Rp.146 milyar tahun 2003. Alokasi Pengeluaran Pembangunan kabupaten dan kota juga dibagi kedalam dua bidang yaitu bidang ekonomi dan bidang sosial. Pengeluaran untuk bidang ekonomi relatif lebih besar dibandingkan dengan bidand sosial. Proporsi Pengeluaran bidang ekonomi menurun dari 73.6% tahun 1990/1991 menjadi 55.9% tahun 2003 . Disisi lain proporsi untuk bidang sosial relatif meningkat yaitu 26.4% tahun 1990/1991, naik menjadi 27.7% tahun 1995/1996, lalu naik lagi menjadi 39.2% tahun 2000 dan naik lagi menjadi 44.15 tahun 2003 (Tabel 29). 5.5. Derajat Desentralisasi Fiskal
Salah satu ukuran derajat desentralisasi fiskal suatu daerah adalah rasio PAD (Pendapatan Asli Daerah) terhadap Pengeluaran (Rutin dan Pembangunan) masing-masing daerah. Semakin tinggi angka rasio berarti semakin baik baik derajat desentralisasi fiskal. Dengan kata lain semakin tinggi kemandirian daerah untuk melaksanakan otonomi. Sebaliknya semakin rendah angka rasionya berarti semakin rendah derajat desentralisasi fiskal daerah. Dengan kata lain semakin kurang mandiri daerah tersebut melaksanakan otonomi.
139
Tabel 30, menggambarkan perkembangan derajat desentralisasi fiskal Pemda Provinsi Sumatera Utara dan Pemda Kabupaten/Kota selalam periode penelitian. Terlihat adanya kecenderungan yang berlawanan antara Pemda provinsi dengan Pemda kabupaten/kota. Tabel 29. Pengeluaran Pembangunan, Bidang Ekonomi dan Sosial Kabupaten/kota Se SUMUT Tahun 1990/91-2003 Pengeluaran Pembangunan Total Bid.Ekonomi (%) Bid.Sosial (Ribu Rp) (Ribu Rp) (Ribu Rp) SEBELUM DESENTRALISASI FISKAL 1990/1991 143668056 105742423 73.6 37925633 1991/1992 184095796 128292541 69.7 55803255 1992/1993 212253580 139645076 65.8 72608504 1993/1994 253308493 162350662 64.1 90957831 1994/1995 238529910 170100993 71.3 68428917 1995/1996 281941400 203812734 72.3 78128666 1996/1997 302852368 215266543 71.1 87585825 1997/1998 402145521 276956428 68.9 125189093 1998/1999 435227576 319418211 73.4 115809365 1999/2000 487391013 323909950 66.5 163481063 2000 500662743 304600665 60.8 196062078 SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL 2001 1032450337 625817212 60.6 406633125 2002 1517143737 965335261 63.6 551808476 2003 2033773545 1136234223 55.9 897539322 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004) Tahun
(%)
26.4 30.3 34.2 35.9 28.7 27.7 28.9 31.1 26.6 33.5 39.2 39.4 36.4 44.1
Kemandirian Pemda Provinsi dalam berotonomi cenderung meningkat selalam periode penelitian. Rasio PAD terhadap Pengeluaran meningkat dari 0.2 tahun 1990/1991 menjadi 0.3 tahun 1995/1996 dan menjadi 0.6 tahun 2003. Sebalinya dengan Pemda kabupaten/Kota, tingkat kemandiriannya relatif menurun. Dimana pada tahun 1990/1991 rasio PAD terhadap Pengeluaran adalah
140
0.2, tetap bertahan pada rasio 0.2 tahun 1995/1996, lalu turun menjadi 0.1 tahun 1997/1998. Rasio 0.1 terus belangsung hingga tahun 2003. Tabel 30. Rasio (PAD/Pengeluaran) Fiskal Pemda Provinsi SUMUT dan Kabupaten/Kota di SUMUT Tahun 1990/91-2003 Tahun 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 Sumber:
Provinsi Kabupaten (%) (%) 20 20 20 10 20 20 20 10 20 20 30 20 30 20 30 10 40 10 40 10 60 10 50 10 50 10 60 10 Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
Dari sisi kemampuan daerah membiayai pengeluarannya, nampaknya memang kabupaten/kota relatif semakin tergantung kepada pemerintah pusat, bukan berarti proses desentralisasi tidak berjalan dengan baik. Bahkan menurut Bank Dunia (2005), berdasarkan besarnya pengeluaran pemerintah pada tingkat kabupaten/kota, Indonesia merupakan salah satu negara yang terdesentralisasi di dunia (Tabel 31). Pemerintah daerah bertanggung jawab atas sepertiga dari total pengeluaran negera, dan juga bertanggung jawab atas separuh dari anggaran pembangunan. Derajat desentralisasi Indonesia lebih tinggi dari negara-negara OECD, dan negara ASEAN keculai China sebagai negara yang paling
141
terdesentralisasi dengan pengeluaran pemerintah yang dikuasai oleh pemerintah daerah lebih dari 50% (Bank Dunia 2005). Tabel 31. Persentase Pengeluaran dan Penerimaan Daerah terhadap Pusat Di berbagai Wilayah No 1 2 3 4
Pengeluaran Wilayah Daerah Negara Berkembang 13.78 Negara Transisi 26.12 Negara OECD 32.41 Indonesia 33.24 Sumber: Bank Dunia (2005)
(%) Penerimaan Daerah 9.27 16.59 19.13 6.65
5.2. Ringkasan Kinerja Fiskal Kabupaten dan Kota Kemampuan Fiskal Pemerintah Provinsi Sumatera Utara secara meyakinkan mengalami perbaikan yang nyata. Proporsi PAD terhadap penerimaan terus mengalami peningkatan. Disisi lain peranan transfer dari pemerintah pusat turun .Dengan kata lain pemerintah daerah provinsi Sumatera Utara semakin mandiri dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat (Lampiran 10 Tabel 1). Alokasi Pengeluaran Pemerintah provinsi Sumatera Utara dominan kepada Pengeluaran Rutin. Selama periode penelitian, Pengeluaran Rutin menghabiskan lebih dari 50% per tahun dari Pengeluaran Pemerintah.
Dengan kata lain,
pemerintah provinsi lebih konsumtif dibanding investasi dalam penggunaan uangnya. Walau dengan trend yang menurun, proporsi Pengeluaran Pembangunan ke pos Pengeluaran Rutin
yang diatas 50% akan mengakibatkan kurangnya
142
akumulasi modal pembangunan di daerah akan menurunkan produktivitas daerah. Dengan situasi seperti ini, maka motor pertumbuhan ekonomi
lebih
mengharapakan sektor swasta dibanding sektor pemerintah. Alokasi Pengeluaran Pembangunan selama periode penelitian dominan dan cenderung meningkat digunakan untuk pembangunan bidang ekonomi. Dengan demikian pelayanan sosial yang seharusnya lebih banyak dilakukan oleh pemerintah kalah oleh pelayanan pembangunan dibidang ekonomi.
Padahal
pembangunan di bidang sosial tidak kalah penting dibandingkan bidang ekonomi, karena berhubungan langsung dengan pembantukan modal sosial dan mutu sumber daya manusia (social and human capital) Kemampuan fiskal daerah pemerintah kabupaten dan kota relatif kecil dan cenderung menurun. Lebih dari 80% setiap tahun kebutuhan fiskal pemerintah daerah kabupaten kota berasal dari pemerintah pusat.
Dengan kata lain
pemerintah daerah kabupaten “sangat tidak mandiri” dan semakin tergantung pada pusat dalam menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Bagi pemerintah kabupaten dan kota, otonomi daerah lebih pada otonomi tugas pelayanan dan bukan pada menghimpun penerimaan dan penggunaan anggaran (Lampiran 10 Tabel 2). Alokasi Pengeluaran Pemerintah, sebagaimana pemerintah provinsi, lebih banyak kepada pos Pengeluaran Rutin dibandingkan Pengeluaran Pembangunan. Dengan demikian maka relatif sulit untuk mengandalkan pemerintah kabupaten dan kota sebagai motor pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara.
Alokasi
Pengeluaran Pembangunan kepada bidang sosial cenderung meningkat,walau
143
kurang dari 50%, khususnya pada tiga tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal. Pindahnya tugas-tugas pelayanan dari pusat (provinsi) ke daerah pada tiga tahun desentralisasi fiskal, seiring dengan naiknya alokasi anggaran ke bidang sosial. Dimana alokasinya mencapai rata-rata 40% per tahun. Hal ini sejalan dengan menurunnya porsi alokasi ke bidang sosial pada level pemerintah provinsi yang menurun (hanya rata-rata 24% dari Pengeluaran Pembangunannya). Kinerja Penerimaan maupun Pengeluaran fiskal di beberapa daerah secara umum menunjukkan perilaku serupa dengan Sumatera Utara yaitu terjadi peningkatan. Sinaga dan Siregar (2005) menunjukkan Penerimaan fiskal (Pendapatan Asli daerah maupun Dana Perimbangan ) Sulawesi Selatan dalam lima tahun (1998-2002) meningkat. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2001 sebesar (79.9%).
Sumber utama penerimaan daerah Sulawesi Selatan
sebagaimana di Sumatera Utara adalah transfer pusat ke daerah, yang dalam periode 1999-2000 memberikan kontribusi 77.5%, meningkat menjadi rata-rata 79.9% pada periode 2001-2002. Sedangkan kontribusi PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak masing-masing kurang dari 10%. Temuan serupa juga ditemukan di Sulawesi Utara dimana penerimaan daerah (fiscal available) kabupaten/kota meningkat.
Peningkatan terbesar berasal dari DAU, dimana
kontribusinya terahadap penerimaan daerah sebesar 41-90% pada awal desentralisasi fiskal menjadi 66-93% pada tahun kedua desentralisasi fiskal. Studi-studi yang dilakukan Saefudin (2005) di Riau, Sumedi (2005) di Jawa Barat juga menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada penerimaan daerah, hanya dengan persentase yang berbeda-beda.
144
Pengeluaran Sulawesi Utara mengalami peningkatan hingga 300% sesudah desentralisasi fiskal (Pakasi 2005), sedangkan di Sulawesi Selatan pada tahun 2001 pengeluaran rutin bertumbuh sebesar 89.3% dan pengeluaran pembangunan tumbuh 66.0% (Sinaga dan Siregar dalam Sinaga dan Siregar 2005). Hasil serupa juga ditemukan di Jawa Barat (Sumedi 2005), dan Provinsi Riau (Saefudin 2005). Walau terjadi penigkatan penerimaan, namun karena pengeluaran yang semakin besar , sebagaimana di Sumatera Utara, ketergantungan pemerintah Sulawesi Selatan, pemerintah Sulawesi Utara, Riau, Jawa Barat pada transfer pemerintah pusat untuk menutupi biaya operasional pemerintah relatif besar.
145
VI.
HASIL ESTIMASI MODEL DESENTRALISASI FISKAL SUMATERA UTARA
Setelah
dilakukan
respesifikasi
berulang
kali
terhadap
model
ekonometerika “normatif” Desentralisasi Fiskal Sumateara Utara sebagaimana dipaparkan pada Bab Metodologi Penelitian, maka diperoleh hasil estimasi sebagaimana terdapat pada bagian ini. Hasil estimasi yang diperoleh adalah yang dianggab terbaik dan telah memenuhi kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonometrika secara berarti. Secara faktual hasil estimasi model yang dianggab terbaik tidak sama persis dengan model normatifnya. Peubah bebas yang secara normatif dianggab berpengaruh terhadap peubah tak bebasnya terpaksa diamputasi jika itu menjadi pilihan
terakhir
untuk
memperbaiki
kriteria
ekonomi,
statisitik
dan
ekonometrikanya secara berarti (meaningfull). 6.1. Keragaan Umum Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Menurut hasil pendugaan model dengan metoda 2SLS
persamaan-
persamaan perilaku memiliki nilai koefsien determinasi (R2) yang cukup besar (> 0.65), kecuali persamaan Investasi yang nilai R2 berkisar antara 0.23 (Tabel 32). Nilai-nilai
F-hitung pada semua persamaan bernilai
lebih besar dari 13.00.
Berarti mayoritas peubah penjelas mempunyai hubungan yang cukup tinggi terhadap peubah endogennya.
Secara bersama-sama semua variabel penjelas
dapat menjelaskan variabel endogennya secara signifikan, yang ditunjukkan oleh nilai (Prob >F) seluruh persaman adalah (0.0001).
146
Tabel 32. Keragaan Umum Model Desentralisasi Fiskal Desentralisasi Sumut No 1
Peubah TAXDA (Pajak Daerah)
R² 0.6242
R Adj 0.6190
Fhitung 120.167
Prob > F 0.0001
Dw 0.467
2
RETRIB (Retribusi Daerah)
0.7790
0.7749
190.357
0.0001
1.651
3
DAU (Dana Alokasi Umum)
0.9765
0.9758
1266.835
0.0001
1.435
4
BHP (Bagi Hasil Pajak)
0.8051
0.8025
298.887
0.0001
2.139
5
RUEXP (Pengeluatan Rutin)
0.9790
0.9786
2515.800
0.0001
0.930
6
DEVEXP (Peng.Pembangunan)
0.9040
0.9013
335.858
0.0001
2.159
7
INFRAS (Pembangunan Infrastruktur)
0.6517
0.6453
101.053
0.0001
0.649
8
INVDA (Investasi di Daerah)
0.2356
0.2178
13.254
0.0001
2.008
9
PDRB (Prod.Dom.Regional Bruto)
0.7464
0.7417
158.916
0.0001
0.338
10
BKERJA (Kesempatan Kerja)
0.7761
0.7719
187.144
0.0001
0.441
11
INFLADA ((Tingkat Inflasi)
0.9712
0.9707
1821.951
0.0001
2.265
147
Persamaan Pajak Daerah (TAXDA), Pengeluaran Rutin (RUEXP), Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) dan persamaan Kesempatan Kerja secara ekonometrika kurang memuaskan (unsatisfactory), yaitu ditemukan masalah autokorelasi. Memang masalah autokorelasi seperti ini sering dijumpai dalam penelitian bidang ekonomi, karena variabel-variabel ekonomi biasanya memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Namun karena model yang dibangun ini adalah model ekonomi dan untuk kepentingan ekonomi, maka persyaratan kriteria ekonomi menjadi prioritas dibandingkan persyaratan statistik dan ekonometrika.7 Persamaan
Bagi
Hasil
Pajak
(BHP),
Pengeluaran
Pembangunan
(DEVEXP) dan persamaan Inflasi (INFLADA) secara statistik maupun secara ekonometrika satisfactory. Sedangkan persamaan Investasi (INVDA) secara statistik (R2)
tidak memuaskan (not satisfactory), namun satisfactory secara
ekonometrika (DW 2.008), sehingga daya prediksinya lemah. Hal ini tidaklah mengherankan karena karakter investasi itu sendiri memang sulit ditebak arah pergerakannya, 6.2. Kinerja Fiskal Daerah 6.2.1. Pajak Daerah (TAXDA) Perilaku Pajak Daerah sesuai dengan kriteria ekonomi yang diharapkan, khususnya untuk peubah independen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Fiskal gap (FISGAP). Pajak Daerah (TAXDA) dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Fiskal gap (FISGAP). Kedua Variabel
7
Menurut Sinaga (1989), pada sistem persamaan simultan nilai DW sudah tidak relevan lagi digunakan sebagai indikator ada tidaknya autokorelasi.
148
ini berpengaruh positif dengan signifikansi yang berbeda terhadap Pajak Daerah (Tabel 33). Tabel 33. Hasil Estimasi Perilaku Pajak Daerah (TAXDA) Parameter Estimate
T for H0: Parameter=0
No.
Variable
1
INTERCEP
-3972.772744
-7.617
0.0001
2
PDRB
0.005455
15.984
0.0001
3
FISGAP
0.056557
0.445
0.6564
4
DDF
3618.118201
2.874
0.0045
F-Hitung: 120.167 ;
2
R
Prob > |T|
: 0.6242:
Elatisitas Jk.Pendek Jk. Pnjang 0.21129 0.05089 -
-
D-W : 0.467
PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pajak Daerah. Dalam jangka pendek setiap peningkatkan PDRB 10% akan meningkatkan perolehan Pajak Daerah sebesar 2.1%. FISGAP berpengaruh positif namun tidak signifkan terhadap Pajak Daerah. Artinya, ketika terjadi Fiskal gap, maka ada ”tekanan” pada pemerintah daerah untuk meningkatkan perolehan Pajak Daerahnya. Perilaku tersebut adalah umumnya terjadi di Indonesia (Nanga 2006;Usman 2006). Hasil serupa ditemukan oleh Sumedi (2005) di Jawa Barat, Pakasi (2005) di Sulawesi Utara, Sumedi (2005) di Jawa Barat dan Saefudin (2005) di Riau. Tekanan ini nampaknya tidak begitu kuat karena secara faktual defisit anggaran pemerintah daerah tidak pernah terjadi, karena defisit selalu ditutupi oleh pemerintah pusat melalui transfer pusat. Terbukti bahwa setiap tahun anggaran selalu ada Sisa Anggaran Tahun Lalu yang menjadi komponen anggaran tahun berjalan. Secara umum baik di level nasional maupun daerah, perilaku pajak daerah ditentukan tingkat perekonomian (PDRB) dan kapasitas fiskal.
Pada level
nasional Perilaku Pajak Daerah ditentukan oleh PDRB sektor non pertanian dan
149
Investasi
(Nanga 2006;Usman 2006) ; di Sulawesi Utara ditentukan oleh
Kebutuhan Fiskal (fiscal needs), Jumlah kenderaaan bermotor dan Indeks Harga Konsumen (Pakasi 2005) ; di Sulawesi Selatan oleh PDRB dan kepadatan penduduk (Sinaga dan Siregar 2005), di Jawa Barat oleh PDRB, Fiscal Gap dan Penerimaan (Sumedi 2005) , dan di Riau oleh PDRB, Pengeluaran Pemerintah, Kepadatan Penduduk dan Pajak Tahun Lalu (Saefudin 2005). Untuk beberapa daerah (Sulawesi Utara, Riau dan Jawa Barat) perolehan pajak tahun lalu menentukan perolehan tahun berjalan. Namun tidak ditemukan secara nasional maupun di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, padahal secara politis selalu ada tekanan bagi pemerintah pusat maupun daerah agar penerimaan pajak tahun berjalan tidak boleh kurang dari tahun lalu. Ditemukan adanya peningkatan dan berbeda secara signifikan antara Pajak Daerah di Sumatera Utara antara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Hasil serupa ditemukan secara nasional (Nanga 2006: Sumedi 2005) juga di Sulawesi Utara (Pakasi 2005), Riau (Saefudin 2005), Jawa Barat (Sumedi 2005) dan juga di Sulawesi Selatan (Sinaga dan Siregar 2005). Hasil selengkapnya ragam perilaku Pajak Daerah dapat dilihat pada Lampiran 13 Tabel 1. Temuan ini memang terbukti secara faktual di Sumatera Utara, dimana Pajak Daerah meningkat secara berarti semenjak tahun 2001 dibandingkan tahun sebelumnya (Tabel 34). Rata-rata Pajak Daerah pemerintah provinsi Sumatera Utara sebelum desentralisasi fiskal adalah Rp. 117 822 113 ribu, sedang rata-rata sesudah desentralisasi fiskal adalah Rp. 516 768 735 ribu rupiah. Artinya terjadi
150
peningkatan pajak daerah yang cukup berarti (338%) setelah desentralisasi fiskal dibandingkan dengan sebelum desentralisasi fiskal . Tabel 34. Rata-rata Pajak Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota se SUMUT sebelum dan sesudah Desentralisasi Fiskal Tahun 1990/1991-2003 (Ribu Rp) Rata-rata Uraian Provinsi Kab/Kota Sebelum Desentralisasi Fiskal (1990/1991 – 2000) 117822113 40901105 Sesudah Desentralisasi Fiskal (2001-2003) 516768735 161423302 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004) Rata-rata Pajak Daerah pemerintah kabupaten dan kota Sumatera Utara sebelum desentralisasi fiskal adalah Rp. 40 901 105 ribu, sedang rata-rata sesudah desentralisasi fiskal adalah Rp. 161 423 302 ribu rupiah.
Artinya terjadi
peningkatan pajak daerah kabupaten dan kota yang cukup berarti (294%) setelah desentralisasi fiskal dibandingkan dengan sebelum desentralisasi fiskal. Umumya peningkatan pajak tersebut adalah sebagai akibat adanya peningkatan atau perluasan basis pajak. Peningkatan Penerimaan Pajak semenjak tahun 2001 bukan tanpa masalah.
Peningkatan itu
menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
Karenanya banyak diantara Pajak Daerah (PERDA tentang Pajak Daerah) ini akhirnya dibatalkan. Menurut Bank Dunia (2005), pada tahun 2001 saja ada sekitar 28% dari semua PERDA yang masuk untuk direνiew oleh pemerintah pusat akhirnya dibatalkan (Tabel 35). Untuk menghidari terjadinya ekonomi biaya tinggi dari lahirnya pajak baru (juga retribusi baru), maka sejak tahun 2005 otoritas
151
mengevaluasi Perda (peraturan daerah) yang baru berpindah ke Departemen Keuangan yang tadinya berada ditangan Departemen Dalam Negeri. Tabel 35. Peraturan Pajak dan Biaya Pelayanan Baru Yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Indonesia Tahun 2000/2001 Uraian
Provinsi
Kab /Kota
Total
Dikeluarkan Daerah Direνiew Pusat Dibatalkan Pusat Jumlah yang direνiew (%) Jumlah Yang dibatalkan (%) Sumber: Bank Dunia (2005)
55 27 10 49.1 37.0
942 406 113 43.1 27.8
997 433 123 43.4 28.4
6.2.2. Retribusi Daerah Perilaku Retribusi (RETRIB) dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Jumlah Kenderaan Bermotor (MOTOR),
dan
Fiskal gap (FISGAP) (Tabel 36).
Dalam jangka pendek,
terdapat hubungan yang elastis antara PDRB dengan Retribusi. Artinya setiap peningkatan 1.00% PDRB akan meningkatkan Retribusi daerah sebesar 2.5%. Tabel 36. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Retribusi Daerah (RETRIB) No.
T for H0: Parameter =0
Elatisitas
Variable
Parameter Estimate
1
INTERCEP
-149.595920
-0.542
0.5886
2
PDRB
0.001005
4.055
0.0001
3
MOTOR
0.346366
13.830
0.0001
4
FISGAP
0.277956
4.515
0.0001
5
DDF
4558.577040
7.453
0.0001
F- Hitung: 190.357
2
R
: 0.5674
Prob > |T|
Jk.Pendek 2.53837 0.066295 1.21989 -
Jk. Pnjang -
D-W: 2.214
Nampaknya sumber utama penerimaan Retribusi terbesar adalah dari masyarakat pada umummnya. Sumbangan pemilik kenderaan bermotor terhadap
152
Retribusi cukup bermakna. Dalam jangka pendek, setiap peningkatan jumlah kenderaan bermotor 1.00% akan meningkatkan Retribusi sebesar 0.06%. Angka ini menunjukkan bahwa proporsi sumbangan penerimaan Retribusi dari kelompok pemilik kenderaan bermotor relatif kecil. Keadaan ini pula yang menyebabkan demikian gencarnya pemerintah daerah untuk
meningkatkan penerimaan
Retribusi ini dengan mengeluarkan berbagai Perda, sebagai mana dilakukan pemerintah daerah dalam peningkatkan penerimaan Pajak Daerah. Sebagaimana perilaku pajak Daerah, perilaku Retribusi pada umumnya ditentukan oleh tingkat perekonomian (PDRB) dan kapasitas fiskal , baik di level nasional (Nanga 2006; Usman 2006) maupun di tingkat daerah (Sinaga dan Siregar 2005; Pakasi 2005; Sumedi 2005; Saefudin 2005 dan Pardede 2004). Selalu ada tekanan meningkatkan Retribusi jika terjadi Fiskal gap pada level nasional maupun daerah. Perilaku Reribusi pada level nasional maupun daerah selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 Tabel 2. Sebagaimana halnya Peningkatan Pajak Daerah yang menimbulkan persoalan biaya ekonomi, Peningkatan Penerimaan retribusi juga menimbulkan persoalan high cost economy serupa. Pemerintah pusat untuk mengurangi dampak negatif lahirnya Retribusi baru sebagaimana dilakukan dengan pajak baru daerah. Untuk menghindari dampak buruk dari maraknya Perdanisasi tersebut, UU No.33 tahun 2004, walau baru efektif berlaku 1 Januari 2006, mengatakan bahwa Kabupaten/Kota dapat membuat pajak atau pungutan baru namun tetap harus melalui persetujuan pemerintah pusat. Dengan aturan baru ini, memang nampak ada arus balik ke sentralisasi, namun untuk menjamin keberhasilan desentralisasi
153
fiskal, justru salah satu syaratnya adalah adanya upaya monitoring yang terus menerus melalui pemerintah pusat, masyarakat maupun legislatif. Sebagaimana ditemukan pada perilaku Pajak Daerah, nampaknya ada tekanan yang cukup berarti bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan retribusi jika anggaran pemerintah defisit. Dalam jangka pendek, jika pemerintah defisit sebesar 1.00% maka ada ”tekanan” untuk meningkatkan retribusi sebesar 1.2%. Ditemukan adanya peningkatan dan berbeda secara signifikan antara penerimaan Retribusi sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal tahun 2001 pada level provinai maupun kabupaten/kota. Rata-rata per tahun penerimaan Retribusi pemerintah provinsi sebelum desentralisasi fiskal adalah Rp.9 960 150 ribu , sedangkan rata-rata penerimaan per tahun sesudah desentralisasi fiskal adalah Rp.14 248 315 ribu. Tabel 37. Rata-rata Retribusi Provinsi dan Kabupaten/Kota Se SUMUT sebelum dan sesudah Desentralisasi Fiskal Tahun 1990/1991-2003 (Ribu Rp) Rata-rata Provinsi Kab/Kota Uraian Sebelum Desentralisasi Fiskal (1990/1991 -2000) 9960150 33638383 Sesudah Desentralisasi Fiskal (2001-2003) 14248315 124616521 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004). Artinya terjadi peningkatan 43% retribusi sesudah desentralisasi fiskal dibandingkan dengan sebelum desentralisasi fiskal (Tabel 37).
Rata-rata per
tahun penerimaan Retribusi pemerintah kabupaten dan kota
sebelum
desentralisasi fiskal adalah Rp.33 638 383 ribu , sedangkan rata-rata penerimaan
154
per tahun sesudah desentralisasi fiskal adalah Rp.124 616 521 ribu. Artinya terjadi peningkatan sebesar 270% retribusi sesudah desentralisasi fiskal dibandingkan dengan sebelum desentralisasi fiskal. Gejala serupa juga ditemukan di Indonesia (Nanga 2006 ; Usman 2006) juga di berbagai daerah lainnya sebagaimana ditemukan oleh Pardede (2004), Sinaga dan Siregar (2005), Sumedi (2005), Saefudin (2005), Pakasi (2005), Simanjuntak (2003), juga Bird dan Vaillancourt (2000) diberbagai negara berkembang. 6.2.3. Dana Alokasi Umum (DAU) Perilaku Dana Alokasi Umum sesuai dengan yang diharapkan (sesuai dengan formula DAU) (Tabel 38). Sebagaimana dijelaskan pada formula DAU; luas suatu daerah, jumlah penduduk miskin dan jumlah pegawai merupakan indikator kebutuhan daerah,. Semakin besar faktor-faktor tersebut maka semakin banyak pula anggaran yang dibutuhkan indikator tersebut.
untuk kegiatan berhubungan dengan
Sedangkan peubah PDRB dan PAD merupakan indikator
potensi daerah. Secara normatif semakin tinggi potensi daerah, maka semakin kecil alokasi DAU yang diterima oleh daerah tersebut.
Hasil estimasi
menunjukkan bhawa, Dana Alokasi Umum dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh luas wilayah (LUAS). Hasil serupa ditemukan oleh Pakasi (2005) di Sulawesi Utara, namun tidak ditemukan di Jawa Barat, Riau, Sulawesi Selatan dan juga di level nasional. Jumlah penduduk miskin (MISKIN) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap alokasi DAU. Hasil serupa ditemukan oleh Sinaga dan Siregar (2005). Temuan tadi sesuai dengan aturan normatif formula
155
alokasi DAU. Di Sulawesi Utara, Jawa Barat, Riau dan Nasional jumlah populasi berpengaruh positif dan signifikan . Lebih lanjut, di Sumatera Utara dalam jangka pendek, peningkatan jumlah orang miskin satu persen akan meningkatkan alokasi DAU sebesar 0.05%. Sedangkan dalam jangka panjang, peningkatan jumlah miskin 1.00% akan meningkatkan alokasi DAU sebesar 0.07%. Tabel 38. Hasil Estimasi Perilaku Dana Alokasi Umum (DAU) No.
T for H0: Parameter =0
Elatisitas
Variable
Parameter Estimate
1
INTERCEP
2862.659185
1.961
0.0512
2
PDRB
-0.000362
-0.151
0.8798
3
PAD
-0.267562
-1.623
0.1060
4
LUAS
5
MISKIN
6
BPEGAWAI
7
DDF
8
LDAU
Prob > |T|
1.166527
4.352
0.0001
32.729393
1.689
0.0926
0.932217
22.160
0.0001
21892
5.861
0.0001
0.283107
8.218
0.0001
F – Hitung: 1266.835
Besarnya jumlah
2
R
: 0.9765
Jk.Pendek -0.00789 -0.03376 0.07810 0.05404 0.59384 -
Jk. Pnjang -0.011131 -0.047092 0.10894 0.07538 0.82836 -
D-W: 1.435
pegawai negeri sipil di daerah (BPEGAWAI)
berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap alokasi DAU. Hasil serupa ditemukan oleh Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan. Dalam jangka pendek peningkatan jumlah pegawai satu persen di Sumatera Utara akan meningkatkan alokasi DAU sebesar 0.59%, sedangkan dalam jangka panjang peningkatan 1.00% jumlah pegawai akan meningkatkan alokasi DAU sebesar 0.82%. Dana Alokasi Umum Tahun Lalu berpengaruh positif dan signifikan terhadap DAU tahun berjalan. Temuan ini konsisten dengan formula; bahwa salah satu faktor yang menentukan alokasi DAU adalah apa yang disebut Alokasi Minimum yaitu bahwa jumlah DAU tahun berjalan setidaknya tidak kurang dari
156
DAU Tahun Lalu (LDAU). Hasil serupa juga ditemukan Usman (2005) di level nasional, Pakasi (2005) di Sulawesi Utara, Sumedi (2005) di Jawa Barat. Sebagaimana dijelaskan, suatu daerah yang memiliki tingkat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mendapat alokasi DAU yang relatif lebih kecil dibanding daerah dengan PDRB dan PAD yang relatif kecil. Temuan dalam studi menunjukkan hal serupa, dimana PDRB dan PAD berpengaruh negatif terhadap alokasi DAU.
Analisis lebih jauh
menunjukkan bahwa pengaruh negatif PAD terhadap alokasi DAU lebih besar dibandingkan PDRB. Hal ini logis, karena PAD lebih menunjukkan kemampuan pemerintah daerah menghimpun dana untuk anggaran belanjanya, yang berhubungan langsung dengan kemampuan fiskal pemerintah daerah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) lebih kepada tingkat perekonomian seluruh masyarakat daerah yang relatif kurang berhubungan langsung dengan kemampuan fiskal pemerintah daerah. Hasil serupa ditemukan oleh Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan, Pakasi (2005) di Sulawesi Utara, Sumedi (2005) di Jawa Barat, dan Saefudin (2005) di Riau. Ditemukan adanya peningkatan dan perbedaan yang signifikan antara DAU kabupaten/kota sebelum dan sesudah tahun 2001. Rata-rata penerimaan DAU kabupaten dan kota sebelum desentralisasi fiskal adalah Rp.560 387 212 ribu per tahun, meningkat menjadi rata-rata Rp. 3 610 742 416 ribu per tahun sesudah desentralisasi fiskal atau meningkat sebesar 540%. Artinya memang terjadi peningkatan Dana Alokasi Umum secara berbeda dan signifikan sesudah desentralisasi fiskal khususnya di kabupaten dan kota (Tabel 39). Hasil serupa
157
ditemukan di level Nasional (Usman 2006) , dan daerah (Sinaga dan Siregar 2005 ; Pakasi 2005; Sumedi 2005; Pardede 2004). Selengkapnya perilaku DAU di Indonesia beberapa daerah lainnya di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 13 Tabel 3. Temuan tersebut (adanya peningkatan DAU secara signifikan) hanya di wilayah kabupaten dan kota, namun tidak di pemerintah provinsi . Alokasi Dana Alokasi Umum pemerintah provinsi sebelum desentralisasi fiskal adalah rata-rata Rp. 312 076 873 ribu per tahun, lebih besar dari rata DAU sesudah desentralisasi fiskal yang sebesar Rp. 280 243 577 ribu. Artinya terjadi penurunan sebesar 10.20%. Tabel 39. Rata-rata Dana Alokasi Umum Provinsi dan Kabupaten/Kota Se SUMUT sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal 1990/19912003 (Ribu Rp) Rata-rata Uraian Provinsi Kab/Kota Sebelum Desentralisasi Fiskal (1990/1991-2003) 312076873 560387212 Sesudah Desentralisasi Fiskal (2001-2003) 280243577 3610742416 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004).
6.2.4. Bagi Hasil Pajak (BHP) Hasil Estimasi Perilaku Bagi Hasil Pajak (BHP) sesuai dengan yang diharapkan (Tabel 40). Bagi Hasil Pajak (BHP) dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh Produk Domestik regional Bruto (PDRB). Hasil serupa pada level nasional (Usman 2006), dan level daerah (Sinaga dan Siregar 2005; Pakasi 2005; Sumedi 2005), kecuali Riau (Saefudin 2005). Dalam jangka pendek setiap
158
peningkatan satu persen PDRB di Sumatera Utara akan meningkatkan perolehan Bagi Hasil Pajak sebesar 0.40%, sedangkan dalam jangka panjang setiap peningkatan 1.00% PDRB akan meningkatkan 1.68% Bagi Hasil Pajak. Bagi Hasil Pajak Tahun Lalu (LBHP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Bagi Hasil Pajak tahun berjalan. Temuan ini sesuai dengan adanya yang disebut sebagai peubah ’target” yaitu adanya target perolehan Bagi Hasil Pajak tahun berjalan setidaknya tidak lebih kecil dari tahun lalu. Hasil serupa juga ditemukan di Sulawesi Utara (Pakasi 2005) dan Jawa Barat (Sumedi 2005). Tabel 40. Hasil Estimasi Perilaku Bagi Hasil Pajak (BHP).
No.
Variable
1
INTERCEP
2
PDRB
3
DDF
4
LBHP
Parameter Estimate
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
-1255.072260
-2.045
0.0421
0.002984
5.734
0.0001
7067.838693
5.366
0.0001
0.759317
12.130
0.0001
F – Hitung: 298.887
R2 :
0.8051
Elatisitas Jk.Pendek Jk. Pnjang 0.40535 D-W: 2.139
1.68416 -
Ditemukan adanya peningkatan dan berbeda secara signifikan antara BHP sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal di pemerintah daerah provinsi dan juga di kabupaten dan kota (Tabel 41). Temuan ini, antara lain disebabkan oleh adanya perubahan dan peningkatan Bagi Hasil Pajak yang didaerahkan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hasil serupa ditemukan juga pada level nasional (Usman 2006) dan di Sulawesi Selatan (Sinaga dan Siregar 2005), Sulawesi Utara (Pakasi 2005), Jawa Barat (Sumedi 2005) dan Riau (Saefudin 2005). Perilaku Bagi Hasil Pajak Daerah di Indonesia dan beberapa daerah lainnya selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 Tabel 4.
159
Rata-rata Bagi Hasil Pajak pemerintah provinsi sebelum desentralisasi fiskal adalah Rp.22 104 632 ribu per tahun, meningkat menjadi Rp.89 173 995 per tahun sesudah desentralisasi fiskal. Artinya terjadi peningkatan Bagi Hasil Pajak sebesar 303% sesudah desentralisasi fiskal dibandingkan sebelumnya. Sedangkan rata-rata Bagi Hasil Pajak pemerintah kabupaten dan kota sebelum desentralisasi fiskal adalah Rp.110 104 286 ribu per tahun, meningkat menjadi Rp.508 967 403 per tahun sesudah desentralisasi fiskal. Artinya terjadi peningkatan Bagi Hasil Pajak
sebesar
362% sesudah desentralisasi fiskal
dibandingkan sebelumnya. Tabel 41. Rata-rata Bagi Hasil Pajak Provinsi dan Kabupaten/Kota Se SUMUT sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal (Ribu Rp) Rata-rata Uraian Provinsi Kab/Kota Sebelum Desentralisasi Fiskal (1990/1991-2003) 22104632 110104286 Sesudah Desentralisasi Fiskal (2001-2003) 89173995 508967403 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004). 6.2.5. Pengeluaran Rutin Pemerintah Daerah Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Rutin Daerah sesuai dengan yang diharapkan, walau ada perubahan pada spesifikasi persamaan dugaannya. Peubah Penerimaan Total Pemerintah (TGREV) yang dianggab berpengaruh nyata terhadap Pengeluaran Rutin, ternyata dalam proses spesifikasi peubah TGREV didekomposisi menjadi DAU dan PAD sedemikian rupa sehingga kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika lebih berarti. Spesifikasi persamaan yang dianggab terbaik adalah sebagaimana pada Tabel 42.
160
Tabel 42. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Rutin Pemda (RUEXP) T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
-8252.567150
-8.105
0.0001
0.782806
26.983
0.0001
PAD
1.436578
18.164
0.0001
4
DDF
11184
3.350
0.0010
5
LRUEXP
0.074520
1.974
0.0497
No.
Variable
1
INTERCEP
2
DAU
3
Parameter Estimate
F- Hitung: 2515.800
R2 : 0.9790
Pengeluaran Rutin Pemerintah Daerah
Elatisitas Jk.Pendek Jk. Pnjang 0.89046 0.20619 -
D-W: 0.930
0.96210 0.22280 -
dipengaruhi secara positif dan
signifikan oleh Dana Alokasi Umum (DAU). Hasil serupa ditemukan oleh Sumedi (2005) di Jawa Barat, Saefudin (2005) di Riau, Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan. Sedangkan Nanga (2006), Usman (2006) di level nasional dan Pakasi (2005) di daerah Sulawesi Utara menemukan bahwa Total Penerimaan pemerintah (DAU ternasuk didalamnya) berpengaruh nyata dan signifikan terhadap Pengeluaran Rutin. Dalam jangka pendek, setiap kenaikan DAU satu persen di Sumatera Utara akan meningkatkan Pengeluaran Rutin sebesar 0.89%, sedangkan dalam jangka panjang meningkatkan Pengeluaran Rutin sebesar 0.96%. Temuan ini menunjukkan bahwa memang alokasi DAU yang berasal dari pemerintah pusat adalah merupakan sumber penting Pengeluaran Rutin pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif dan signifikan terhadap oleh Pengeluaran Rutin. Hasil serupa ditemukan oleh Sumedi (2005) di Jawa Barat, Saefudin (2005) di Riau, Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan. Dalam jangka pendek, setiap peningkatan satu persen PAD di Sumatera Utara akan meningkatkan Pengeluaran Rutin sebesar 0.20%, sedangkan dalam jangka panjang meningkatkan Pengeluaran Rutin sebesar 0.22%.
161
Pengeluaran Rutin Tahun Lalu (LRUEXP) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Rutin. Temuan ini tidak terlalu mengherankan, karena memang selalu ada keinginan politis setiap pemerintah daerah untuk selalu meningkatkan Pengeluaran Rutinnya, atau setidak-tidaknya tidak kurang dari Pengeluaran Rutin tahun sebelumnya. Temuan serupa ada di Jawa Barat (Sumedi 2005). Ditemukan juga adanya peningkatan Pengeluaran Rutin yang cukup signifikan sesudah desentralisasi fiskal di pemerintah provinsi maupun di kabupaten dan kota (Tabel 43). Hasil serupa ditemukan Usman (2006) di level nasional, Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan, Pakasi (2005) di Sulawesi Selatan, dan Saefudin (2005) di Riau. Perilaku Pengeluaran Rutin di tingkat nasional dan daerah selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 Tabel 5. Rata-rata Pengeluaran Rutin pemerintah daerah provinsi adalah sebesar Rp.339 005 940 ribu per tahun sebelum desentralisasi fiskal meningkat menjadi Rp.451 258 200 ribu per tahun sesudah desentralisasi fiskal, atau meningkat sebesar 93% setelah desentralisasi fiskal. Sedangkan rata-rata Pengeluaran Rutin kabupaten dan kota adalah sebesar Rp. 451 258 200 ribu per tahun sebelum desentralisasi fiskal, meningkatkan menjadi rata-rata sebesar Rp. 3 439 571 782 ribu per tahun sesudah desentralisasi fiskal. Dengan kata lain terjadi peningkatan sebesar 662% sesudah desentralisasi fiskal dibandingkan dengan sebelum desentralisasi fiskal .
162
Tabel 43 . Rata-rata Pengeluaran Rutin Provinsi dan Kabupaten/Kota Se SUMUT sebelum dan sesudah Desentralisasi Fiskal Tahun 1990/912003 (Ribu Rp) Rata-rata Uraian Provinsi Kab/Kota Sebelum Desentralisasi Fiskal (1990/1991 -2000) 339005940 451258200 Sesudah Desentralisasi Fiskal (2001-2003) 653712407 3439571782 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
6.2.6. Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) bersama-sama dipengaruhi secara positif oleh Pembangunan Infrastruktur (INFRAS), Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Luas Wilayah (LUAS) (Tabel 44). Dana Alokasi Umum
berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Pengeluaran Pembangunan. Hasil serupa ditemukan Nanga (2006) pada level nasional. Dalam jangka pendek, setiap peningkatan DAU 1.00% di Sumatera Utara akan meningkatkan Pengeluaran Pembangunan 0.25%. Sedangkan dalam jangka panjang meningkatkan Pengeluaran Pembangunan sebesar 0.72%. Tabel 44. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Parameter Estimate
T for H0: Parameter=0
No.
Variable
1
INTERCEP
481.063479
0.362
0.7177
2
INFRAS
1.353761
0.557
0.5784
3
DAU
0.121281
5.322
0.0001
4
PAD
0.119301
1.871
0.0627
5
LUAS
0.390374
0.969
0.3338
6
DDF
15593
5.027
0.0001
7
LDEVEXP
0.646016
9.933
0.0001
F- Hitung: 335.858
R2 :
Prob > |T|
0.9040
Elatisitas Jk.Pendek Jk. Pnjang 0.06219 0.25760 0.03197 0.05552 -
D-W: 2.159
0.17568 0.72733 0.09040 0.15683 -
163
Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Pembangunan. Hasil yang berbeda ditemukan oleh Nanga (2006) dan Usman (2006) dimana PAD berpengaruh negatif terhadap Pengeluaran Pembangunan. Dalam jangka pendek, bila terjadi peningkatkan PAD sebesar satu persen di Sumatera Utara , akan terjadi peningkatan 0.03 persen pada Pengeluaran Pembangunan, sedangkan dalam jangka panjang akan meningkatkan Pengeluaran Pembangunan sebesar 0.09 persen. Pengeluaran Pembangunan Tahun Lalu berpengaruh dan signifikan terhadap Pengeluaran Pembangunan tahun berjalan. Fenomena ini nampaknya serupa dengan temuan serupa pada Pengeluaran Rutin, dimana ada usaha untuk mempertahankan Pengeluaran Pembangunan tahun berjalan setidaknya sama atau lebih besar dari Pengeluaran Pembangunan Tahun lalu. Hasil serupa ditemukan di Sulawesi Selatan dan Riau masing-masing oleh Sinaga dan Siregar (2005) dan Saefudin (2005). Pembangunan Infrastruktur dan Luas Wilayah berpengaruh positif namun tidak signifikan
terhadap Pengeluaran Pembangunan. Temuan ini dapat
dimengerti, karena kemampuan pengeluaran pembangunan lebih dipengaruhi oleh penerimaan daerah daripada oleh Luas Wilayah maupun tingkat Pembangunan Infrastruktur yang ada di daerah tersebut. Hasil serupa ditemukan oleh Nanga (2006) pada level nasional dan Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan. Elastisitas (jangka pendek maupun jangka panjang) DAU terhadap Pengeluaran Pembangunan relatif kecil dibandingkan dengan DAU terhadap Pengeluaran Rutin. Temuan seperti ini memberi arti bahwa, dalam jangka panjang
164
peranan sektor pemerintah akan semakin kecil sebagai motor pertumbuhan ekonomi dan penciptaan tenaga kerja. Dengan kata lain, motor pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang adalah swasta, karena ”energi” pemerintah relatif lebih banyak ke bidang pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Ditemukan adanya peningkatan dan berbeda secara signifikan antara Pengeluaran Pembangunan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal di pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota.
Hasil serupa
ditemukan oleh Sinaga dan Siregar di Sulawesi Selatan, Pakasi (2005) di Sulawesi Utara, Sumedi (2005) di Jawa Barat, dan Saefudin di Riau. Rata-rata Pengeluaran Pembangunan pemerintah provinsi Sumatera Utara sebelum desentralisasi fiskal adalah sebesar Rp. 136 669 324 ribu per tahun, meningkat menjadi rata-rata sebesar Rp. 320 545 486 ribu atau meningkat sebesar 134%. Sedangkan rata-rata Pengeluaran Pembangunan pemerintah provinsi sebelum desentralisasi fiskal adalah sebesar Rp. 136 669 324 ribu per tahun, meningkat menjadi rata-rata sebesar Rp. 320 545 486 ribu atau meningkat sebesar 134% (Tabel 45). Tabel 45. Rata-rata Pengeluaran Pembangunan Provinsi dan Kabupaten/Kota Se SUMUT sebelum dan sesudah Desentralisasi Fiskal Tahun 1990/1991-2003 (Ribu Rp) Rata-rata Uraian Provinsi Kab/Kota Sebelum Desentralisasi Fiskal (1990/1991-2000) 136669324 312916041 Sesudah Desentralisasi Fiskal (2001-2003) 320545486 1527789206 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
165
Sedangkan rata-rata Pengeluaran Pembangunan pemerintah kabupaten dan kota sebelum desentralisasi fiskal adalah sebesar Rp. 312 916 041 ribu per tahun, meningkat menjadi rata-rata sebesar Rp. 1 527 789 206 ribu atau meningkat sebesar 388 % Perilaku Pengeluaran Pembangunan pada tingkat nasional dan daerah-daerah selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 Tabel 6.
6.3. Kinerja Pembangunan Infrastruktur dan Investasi 6.3.1.
Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Pembangunan Infrastruktur Daerah (INFRAS) secara positif dan
siginifikan oleh Penerimaan Pemerintah (TGREV). Hasil serupa ditemukan oleh Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan, Saefudin (2005) di Riau dan Pakasi (2005) di Sulawesi Utara. Dalam jangka pendek, setiap peningkatan Penerimaan Pemerintah 1.00% di Sumatera Utara maka terjadi kenaikan Pembangunan Infrastruktur sebesar 0.25 persen (Tabel 46).
Temuan ini
menunjukkan bahwa peranan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur relatif besar. Tabel 46. Hasil Estimasi Perilaku Pembangunan Infrastruktur di Daerah (INFRAS) No
Variable
1
Parameter Estimate
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
420.329992
3.891
0.0001
2
INTERCEP TGREV
0.003996
7.951
0.0001
3
INVDA
0.000804
1.815
0.0709
4
LUAS
0.148871
14.888
0.0001
5
TREND
-27.550968
-2.052
0.0414
F-Hitung:
101.053
R2 : 0.6517
Elatisitas Jk. Pnjng Jk.Pendek 0.25889 0.07780 0.46079 D-W: 0.649
-
166
Salah satu faktor positif
dan signifikan dalam menentukan pembangunan
infrastruktur adalah Luas Wilayah (LUAS). Daerah yang luas akan memerlukan nilai pembangunan infrastrutkur yang lenih besar pula. Hasil serupa ditemui di Sulawesi Selatan oleh Sinaga dan Siregar (2005) dan di Riau oleh Saefudin (2005). Investasi di Daerah (INVDA) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pembangunan Infrastruktur.
Dalam jangka pendek, setiap kenaikan jumlah
Investasi di Daerah sebesar satu persen, akan menaikkan Pembangunan Infrastruktur sebesar 0.08 persen.
Jadi ada investasi secara simultan dengan
pembangunan infrastruktur. Ditemukan adanya penurunan pembangunan infrastruktur yang cukup signifikan selama periode penelitian. Kecenderungan serupa dijumpai di Sulawesi Selatan oleh Sinaga dan Siregar (2005), Jawa Barat oleh Sumedi (2005) dan di Riau oleh Saefudin (2005) juga di tingkat nasional. Menurut Tim Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Indonesia (TPPI)8 pembiayaan infrastruktur Indonesia cenderung menurun. Rasio pembiayaan infrastruktur terhadap GDP turun dari sekitar 5 % sebelum krisis menjadi rata-rata 2 % pada tahun 2004 . Untuk itulah pemerintah mengundang pihak swasta (luar negeri dan dalam negeri) untuk berpartisipasi membangun infrastruktur di Indonesia. Menurut Aburizal Bakrie (2004)9, Indonesia membutuhkan sekitar Rp 1 303 triliun dalam lima tahun untuk kembali ke kondisi sebelum krisis. Dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tersedia diperkirakan Rp 326 triliun (25%). Sedangkan sebagian besar 8 9
Harian Kompas, Selasa 14 November 2004 Harian Kompas, Selasa 14 November 2004
167
Rp.977 triliun (75%) pendanaannya berasal dari swasta asing dan lokal, di antaranya dari Indonesia Infrastructure Fund. Untuk mencapai pembangunan infrastruktur sesuai dengan yang diharapkan, pemerintah dalam jangka pendek dan menengah melakukan antara lain realokasi portofolio, pembentukan Infrastructure Fund, pelaksanaan deregulasi sektor, meninjau peraturan yang menghambat proses pembangunan infrastruktur, dan restrukturisasi permodalan. Dalam dilakukan
reformasi sektor keuangan dan juga
jangka panjang akan
menyusun prioritas proyek
infrastruktur yang bisa segera diimplementasikan dan membawa efek bola salju (snowballing effect). Perilaku infrastruktur Indonesia dan beberapa daerah di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 13 Tabel 7. 6.3.2. Investasi di Daerah (INVDA) Ada empat peubah yang mempengaruhi perilaku Investasi (INVDA yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pajak Daerah (TAXDA), Tingkat Upah (UPAHDA) dan Tingkat Suku Bunga (SUBUDA) (Tabel 47). Temuan ini sesuai dengan yang diharapkan. PDRB berpengaruh positif, namun tidak signifikan terhadap Investasi di Daerah. Temuan ini serupa dengan apa yang sering dijumpai pada buku teks ekonomi makro, dimana Investasi lebih dipengaruhi antara lain oleh Tingkat Bunga daripada Pendapatan Masyarakat (Hall and Taylor 1993). Hasil serupa ditemukan oleh Usman (2006) di level nasional dan Riau oleh Saefudin (2005). Tingkat Upah dan Tingkat Suku Bunga adalah faktor yang relatif kuat pengaruhnya terhadap Investasi . Kedua variabel ini berpengaruh negatif dan
168
signifikan terhadap Investasi. Hasil serupa ditemukan di Sulawesi Selatan oleh Sinaga dan Siregar (2005), Sulawesi Utara oleh Pakasi (2004) dan di Riau oleh Saefudin (2005). Pajak Daerah (TAXDA) berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap Investasi di daerah. Ini suatu pertanda yang baik, karena Pajak Daerah belum menjadi faktor penghambat Investasi di daerah, sebagaimana sering dikeluhkan dibelahan daerah lainnya. Hasil berbeda ditemukan oleh Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan dan Saefudin (2005) di Riau dimana Pajak Daerah berpengaruh negative dan signifikan terhadap Investasi di daerah. Perilaku Investasi pada level nasional dan daerah dapat dilihat pada Lampiran 13 Tabel 8. Tabel 47. Hasil Estimasi Perilaku Investasi di Daerah (INVDA) No
Variable
1
INTERCEP
2
PDRB
3
TAXDA
4
Parameter Estimate
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
232862
8.846
0.0001
0.009508
0.966
0.3351
-0.854688
-0.582
0.5612
UPAHDA
-12.129093
-1.727
0.0857
5
SUBUDA
-3621.602726
-3.137
0.0019
6
DDF
-106329
-3.550
0.0005
F –Hitung:
13.254
R2 : 0.2356
Elatisitas Jk.Pendek 0.09903 -0.02299 -0.26649 -0.60595
D-W: 2.008
Jk. Pjg -
Temuan ini berarti pula bahwa, upaya-upaya peningkatan Pajak Daerah
trade off dengan upaya peningkatan investasi di daerah, sementara investasi adalah salah satu variabel penting penentu pertumbuhan ekonomi. Maka agar supaya peningkatan Pajak Daerah tidak kontraproduktif terhadap sektor riel khususnya
terhadap
pertumbuhan
PDRB,
maka
pemerintah
dapat
mengkompensasi melalui sektor moneter yaitu dengan menurunkan suku bunga.
169
Ditemukan adanya penurunan investasi dan berbeda secara signifikan antara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal tahun 2001. Penurunan Investasi ini sebenarnya tidak hanya terjadi di daerah Sumatera Utara, akan tetapi juga terjadi dibelahan daerah seperti Sulawesi Utara (Pakasi 2005),Riau (Saefudin 2005) dan di Indonesia pada umumnya. Setelah krisis moneter tahun 1998 hingga kini arus investasi ke Indonesia belum pulih betul (bahkan terjadi penurunan) hingga belum mampu menyamai investasi sebelum tahun 1998 tersebut. Untuk Indonesia misalnya, penanaman modal menunjukkan penurunan yang signifikan . Nilai investasi dari 723 proyek senilai Rp 119 triliun pada tahun 1997 menjadi 196 proyek senilai Rp 50 triliun pada tahun 200310. Angka persetujuan penanaman modal asing (PMA) di Indonesia selama tahun 2004 mencapai 10.28 miliar dollar AS (27 % lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2003). Sementara angka penanaman modal dalam negeri (PMDN) turun 51,45 %, dari Rp 50.75 triliun tahun 2003 menjadi Rp 36,75 triliun tahun 200411. 6.4. Kinerja Perekonomian Daerah Sebagaimana dijelaskan sebelumnya kinerja perekonomian daerah yang dimaksud disini adalah empat variabel ekonomi makro penting yaitu (1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), (2) Tingkat Kesempatan Kerja (BKERJA), (3) Tingkat Inflasi (INFLADA), dan (4) Distribusi Pendapatan (DISTRIB).
10 11
Harian Kompas, Senin 20 Maret 2006 Harian Kompas Kamis 13 Januari 2005
170
6.4.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perilaku Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ditentukan oleh Total Pengeluaran Pemerintah (TGEXP), Jumlah Orang Bekerja (BKERJA),dan Tingkat Investasi (INVDA) .Ketiga variabel tersebut berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB (Tabel 48). Total Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB.
Hasil serupa ditemukan di Sulawesi Utara oleh
Pakasi (2005). Sementara untuk level nasional lebih ditentukan oleh Pengeluaran Pembangunan di sektor pertanian dan non pertanian (Nanga 2006 dan Usman 2006), sedangkan di Jawa Barat lebih ditentukan oleh pembangunan infrastruktur (Sumedi 2005) dan di Riau oleh pengeluaran pembangunan untuk sektor ekonomi (Saefudin 2005). Dalam jangka pendek, bila terjadi kenaikan pada Pengeluaran Pemerintah 1.00% di Sumatera Utara maka akan terjadi kenaikan pada PDRB 0.17 %. Temuan ini menunjukkan bahwa peranan pemerintah sebagai penggerak perekonomian daerah cukup berarti disamping peranan swasta melalui investasi. Investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB. Hasil serupa ditemukan pada level nasional oleh Usman (2006), dan juga daerah seperti di Sulawesi Selatan (Sinaga dan Siregar 2005), Riau (Saefudin).
Setiap kenaikan
Investasi 1.00% di Sumatera Utara akan meningkatkan PDRB sebesar 0.10%. Diantara beberapa variabel yang mempengaruhi PDRB, variabel jumlah orang yang bekerja memegang peranan yang relatif besar.
Hasil serupa
ditemukan di level nasional (Nanga 2006; Usman 2006) dan di tingkat daerah (Sinaga dan Siregar 2005; Pakasi 2005; Sumedi 2005 dan Seafudin 2005). Setiap
171
peningkatan jumlah pekerja 1.00% di Sumatera Utara akan meningkatkan PDRB sebesar 0.95%. Tabel 48. Hasil Estimasi Perilaku Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) No
Variable
Parameter Estimate
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
-269887
-2.587
0.0103
1
INTERCEP
2
TGEXP
2.790033
3.334
0.0010
3
INVDA
1.093949
2.057
0.0408
4
BKERJA
4520.396625
14.992
0.0001
5
DDF
-155837
-0.733
0.4642
F-Hitung:
2
158.916
R
:
0.7464
Elatisitas Jk.Pendek 0.17274 0.10503 0.95572
D-W: 0.338
Jk. Pjng -
Ditemukan adanya penurunan PDRB dan berbeda secara signifikan antara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya memang perekonomian daerah khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya masih dalam proses recovery dan pencapaiannya belum bisa pulih benar hingga menyamai prestasi tahun 1997 atau sebelum terjadi krisis ekonomi dan moneter tahun 1998. Temuan serupa ada di tingkat nasional (Nanga 2006; Usman 2006) dan di Sulawesi Utara (Pakasi 2005).
Perilaku PDRB secara
nasional dan daerah dapat dilihat pada Lampiran 13 Tabel 9. 6.4.2. Kesempatan Kerja (BKERJA) Perilaku Kesempatan Kerja (BKERJA) di Sumatera Utara secara positif dan signifikan dipengaruhi oleh
Produk Domestik regional Bruto (PDRB),
Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) dan Tingkat Upah (UPAHDA (Tabel 49). Produk Domestik regional Bruto (PDRB) berpengaruh positif dan signifkan terhadap Kesempatan Kerja. Hasil serupa ditemukan pada level nasional
172
(Nanga 2006; Usman 2006) dan di daerah Sulawesi Selatan (Sinaga dan Siregar 2005), Jawa Barat (Sumedi 2005), Sulawesi Utara (Pakasi 2005), dan Riau (Saefudin 2005). Setiap peningkatan PDRB sebesar 1.00% di Sumatera Utara akan meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0.6%. Temuan ini sesuai dengan
Okun’s Law dimana ada hubungan yang positif antara kegiatan perekonomian dengan penciptaan lapangan kerja baru. Studi ini juga membuktikan bahwa pemerintah sebagai salah satu aktor penting
dalam
penciptaan
lapangan
kerja
baru.
Dimana
Pengeluaran
Pembangunan berpengaruh positif dan signifikan terhadap penciptaan lapangan kerja baru. Hasil yang kurang lebih serupa ditemukan oleh Saefudin di Riau, diaman Pengeluaran Sektor Ekonomi berpengaruh positif dalam menciptakan kesempatan kerja baru. Setiap kenaikan anggaran Pengeluaran Pembangunan 1.00% di Sumatera Utara akan menciptakan lapangan kerja baru sebesar 0.10%. Tabel 49. Hasil Estimasi Perilaku Kesempatan Kerja di Daerah (BKERJA) No
Variable
1
Parameter Estimate
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
99.892183
5.706
0.0001
2
INTERCEP PDRB
0.000130
16.928
0.0001
3
DEVEXP
0.002622
5.461
0.0001
4
UPAHDA
-0.019253
-2.625
0.0093
5
DDF
-112.869266
-3.548
0.0005
F-Hitung: 187.144
2
R
: 0.7761
Elatisitas Jk. Pnjng Jk.Pendek 0.61488 0.10503 0.95572 D-W:0.441
-
Diantara beberapa variabel yang berpengaruh pada tingkat kesempatan kerja tingkat upah (UPAHDA). Temuan serupa pada tingkat nasional oleh Nanga (2006), di Sulawesi Selatan oleh Sinaga dan Siregar (2005), di Sulawesi
173
Utara oleh Pakasi (2005).
Setiap kenaikan Tingkat Upah sebesar 1.00% di
Sumatera Utara akan menurunkan kesempatan kerja sebesar 0.95%. Temuan ini mengiformasikan bahwa salah satu instrument penting yang mengendalikan proses penciptaan kesempatan kerja adalah Tingkat Upah. Kebijakan Upah yang baik akan mengurangi pengangguran dengan tetap menjaga kegiatan ekonomi berjalan dengan baik. Ditemukan adanya penurunan Kesempatan Kerja dan berbeda secara signifikan antara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Temuan ini adalah sebagai dampak dari krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak tahun 1998 hingga kini dan belum pulih seperti sediakala. Hasil serupa juag ditemukan secara umum di Indonesia (Nanga 2006). Perilaku Kesempatan kerja secara nasional dan daerah dapat dilihat pada Lampiran 13 Tabel 10. 6.4.3. Tingkat Inflasi (INFLADA) Inflasi sebagai indikator lain dari stabilitas ekonomi dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh Pengeluaran Pemerintah (TGEXP), Tingkat Investasi (INVDA), Tingkat Upah dan Dummy Krisis Tahun 1998 (DK98 (Tabel 50). Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap Tingkat Inflasi. Hasil serupa ditemukan di Sulawesi Selatan oleh Sinaga dan Siregar (2005). Setiap kenaikan Pengeluaran pemerintah 1.00% di Sumatera Utara akan menyebabkan inflasi naik sebesar 0.06%. Pengaruh Investasi terhadap inflasi juga menunjukkan arah serupa dengan pengaruh Pengeluaran Pemerintah. Setiap kenaikan Investasi sebesar 1.00%, akan menaikkan Inflasi sebesar 0.13%. Kedua temuan ini adalah logis, karena ketika Pengeluaran pembangunan dan Investasi
174
meningkatkan berarti ada peningkatan permintaan agregat dalam perekonomian atau dengan kata lain terjadi ekspansi ekonomi melalui sektor pemerintah dan swasta yang menciptakan demand pull infaltion. Upah berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Tingkat Inflasi. Temuan berbeda di Sulawesi Selatan, dimana tingkat upah justru dapat menekan tingkat inflasi (Sinaga dan Siregar 2005). Faktor lain yang cukup menentukaan perilaku Inflasi adalah kejadian krisis moneter tahun 1998 .
Krisis tersebut
menyebabkan tingkat inflasi hingga 80 % pada tahun tersebut. Krisis dimaksud telah merusak seluruh sektor ekonomi dengan menyebabkan biaya ekonomi tinggi pada semua sektor ekonomi yang pada gilirannya meningkatkan inflasi. Perilaku inflasi di beberapa daerah dapat dilihat pada Lampiran 13 Tabel 11. Tabel 50. Hasil estimasi Perilaku Inflasi di Daerah (INFLADA) No Variable 1
INTERCEP
2
Parameter Estimate
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
5.357095
6.840
0.0001
TGEXP
0.000012747
3.979
0.0001
3
INVDA
0.000016324
5.554
0.0001
4
UPAHDA
0.000090635
0.385
0.7009
5
DK98
75.932669
85.046
0.0001
F-Hitung: 1821.951
; R2 :
0.9712
Elatisitas Jk. Jk.Pendek Pnjang 0.06881 0.13665 0.01689
D-W: 2.265
-
6.5. Ringkasan Hasil Estimasi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Kinerja Fiskal Kemampuan atau kinerja fiskal daerah amat ditentukan oleh tingkat perekononomian dan Fiskal Gap daerah tersebut. Semakin baik perekonomiannya maka kinerja fiskalnya semakin baik, juga sebaliknya. Temuan ini sesuai dengan
175
teori ekonomi makro dimana; penerimaan pajak suatu negara adalah fungsi dari pendapatannya (Lampiran 14 Tabel 1). Semakin besar Fiskal Gap daerah, maka usaha fiskal (tax effort) semakin besar.
Pemerintah
daerah
berada
dalam
kondisi
underpressure
untuk
meningkatkan penerimaan dari daerah sendiri bilamana defisit semakin besar Besarnya tranfer dari pusat amat ditentukan oleh tingkat perekonomian daerah, pendapatan asli daerah, luas daerah, jumlah pegawai negeri dan jumlah orang miskin. Makin tinggi tingkat perekonomian dan pendapatan asli daerah, maka makin kecil nilai transfer, sebaliknya berlaku. Makin luas suatu daerah , jumlah pegawai negeri yang besar dan makin banyak jumlah orang miskin maka makin besar nilai trasnfer pusat ke daerah. Temuan menarik lainnya, jumlah transfer tahun lalu berpengaruh pada nilai transfer tahun berjalan. Pengeluaran Pemerintah amat dipengaruhi oleh besarnya penerimaan, luas wilayahnya dan jumlah pengeluaran tahun sebelumnya. Penerimaan menentukan pengeluaran sesuai dengan teori konsumsi Keynesian. Daerah yang luas membutuhkan biaya operasional pemerintahan maupun biaya pembangunan yang besar karena biaya transaksi dan transportasi yang lebih besar. Ada suatu komitmen pemerintah daerah agar kinerja pemerintah tahun sekarang tidak kalah dengan tahun lalu, sehingga ada suatu target politik dimana pengeluaran pemerintah tahun berjalan tidak lebih rendah dari tahun lalu.
176
Kinerja Infrastruktur dan Investasi Pembangunan Infrastruktur amat dipengaruhi oleh penerimaan daerah dan nilai Investasi yang masuk ke daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur ini tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah namun juga oleh swasta. Ada indikasi peran swasta membesar tidak hanya dalam produksi barang dan jasa namun juga menyediakan infrastuktur untuk meningkatkan produktivitas daerah secara keseluruhan . Nilai Investasi swasta yang masuk ke Sumatera Utara amat ditentukan oleh upah dan tingkat bunga. Upah yang relatif tinggi berarti biaya produksi ymang tinggi akan menjadi disinsentif bagi investor. Tingkat bunga yang tinggi, yang berarti tingkat kepastian berusaha rendah akan mengurangi minat investasi (Lampiran 14 Tabel 2). Jaminan kepastian berusaha (termasuk keamanan) serta tingkat upah yang proporsional adalah dua faktor utama yang menentukan nilai investasi ke Sumatera Utara. Sedangkan tingkat perekonomian tidak terlalu menjadi perhatian investor, karena secara tradisional memang secara ekonomi Sumatera Utara merupakan daerah yang potensial dan merupakan daerah dengan PDRB lima besar se Indonesia sesudah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten. Kinerja Perekonomian 6.5.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pencapaian atau kinerja PDRB ditentukan oleh besar kecilnya kegiatan sektor pemerintah yang direpresentasikan oleh Pengeluaran Pemerintah, juga
177
kegiatan sektor swasta yang direpresentasikan melalui Investasi dan juga ditentukan oleh banyak Pekerja yang terlibat dalam perekonomian (Lampiran 14 Tabel 3). 6.5.3.2. Penciptaan Kesempatan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja secara bersama-sama dipengaruhi oleh tingkat perekonomian yang direpresentasikan oleh PDRB, juga oleh maraknya kegiatan sektor pemerintah yang direpresentasikan oleh Pengeluaran Pembangunan dan yang tidak kalah pentingnya dalah besarnya Tingkat Upah . Kegiatan perekonomian dan aktivitas sektor pemerintah yang semakin tinggi akan menciptakan lapangan kerja baru, sedangkan tingkat upah tinggi akan meningkatkan pengangguran.
Ditemukan adanya peningkatan pengangguran
yang signifikan sesudah desentralisasi fiskal. 6.5.3.3. Tingkat Inflasi Tingkat inflasi sangat ditentukan oleh besarnya Pengeluaran Pemerintah ,Investasi, Tingkat Upah
dan kejadian khusus krisis moneter tahun 1998.
Semakin marak kegiatan sektor pemerintah dan swasta akan meningkatkan pula inflasi. Karena adanya efek penjalaran (contangion effect) dari krisis ekonomi dan moneter tahun 1998, krisis tersebut telah mempengaruhi seluruh kegiatan ekonomi dan berakibat pada tinggi biaya ekonomi disemua sektor yang pada gilirannya adalah naik harga-harga secara umum hingga tahun 2003. 6.5.3.4. Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan yang diukur dengan angka koefisien variasi
178
menunjukkan bahwa disparitas antara kabupaten relatif lebih kecil dibanding dengan antara kota. Namun yang menarik adalah ada kecenderungan pemerataan yang semakin baik di kabupaten dan juga di kota, dengan catatan bahwa laju pemerataan antar kabupaten relatif lebih baik dibandingkan di kota selama periode penelitian, yang ditunjukkan oleh koefisien variasi yang cenderung mengecil di kedua daerah (Tabel 51). Perlu dicatat bahwa distribusi pendapatan dimaksud disini bukanlah persaman struktural, sehingga tidak dapat diketahui variabel yang mempengaruhi perubahan distribusi pendapatan tersebut. Pada bagian berikut akan dievaluasi dampak desentralisasi fiskal, khususnya DAU terhadap distribusi pendapatan di daerah kabupaten dan kota. Tabel 51. Perkembangan PDRB dan Distribusi Pendapatan di Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1990-2003 PDRB Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Kabupaten Rata-rata Simp. Koefisien Rata-rata (Juta Rp) Baku Variasi (Juta Rp) 773626.3 511438.6 0.661093 669967.7 830360.8 544667.7 0.655941 720028.3 881438.0 577477.8 0.655154 795346.3 1137664.9 645732.2 0.567594 968310.8 1244952.8 705157.6 0.566413 1044832.9 1377224.6 793189.8 0.575934 1120849.4 1493565.0 855222.4 0.572605 1226745.5 1582557.2 922916.2 0.583180 1314132.2 1533138.9 888903.9 0.579793 1106432.9 1588385.7 930476.3 0.585800 1145789.4 1654513.4 986986.6 0.596542 1206468.0 1726423.5 1042011.0 0.603566 1276280.3 1802135.0 1088354.0 0.603925 1336664.7 1896510.7 1117755.0 0.589375 1399969.7 Sumber: Statisitik Keuangan Daerah Sumut (2004)
Kota Simp. Koefisien Baku Variasi 122967.9 1.835430 130887.6 1.817812 145457.9 1.828862 167721.9 1.732109 178958.1 1.712791 190216.0 1.697070 208831.6 1.702322 225337.1 1.714722 183251.3 1.656235 189485.8 1.653758 199973.0 1.657507 211449.7 1.656766 220847.1 1.652225 230662.2 1.647623
179
VII. EVALUASI DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH TAHUN 1990 – 2003 Analisis dampak dilakukan dengan simulasi alternatif kebijakan dan faktor eksternal sesuai dengan tujuan penelitian yaitu ; mengkaji dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah kabupaten dan kota. Analisis dampak pada periode 1990-2003 disebut simulasi historis. 7.1. Hasil Validasi Model Dalam rangka menghasilkan model yang dapat digunakan untuk peramalan masa datang, maka langkah selanjutnya dilakukan νalidasi model untuk mengetahui daya prediksinya.
Dalam hubungan itu telah dilakukan berbagai
pengujian dengan RMSPE (root means square percent error), U –Theil dengan dekomposisinya yaitu (1) proporsi bias (UM), (2) proporsi νariasi (US) , (3) proporsi kovarians (UC), (4) proporsi bias regresi (UR) dan (5) proporsi distribusi. Suatu model dikatakan baik daya prediksinya jika UM, US dan US nilainya mendekati Nol, serta UC dan UD mendekati satu. Semua persamaaan memiliki nilai-nilai UM, US dan UR mendekati nilai Nol, sedangkan nilai-nilai UD dan UC mendekati satu. Pada Umumnya mayoritas persamaan memiliki nilai U-Theil lebih kecil atau sama dengan 0.2. Hasil ini menunjukkan bahwa semua persamaan memiliki penyimpangan simulasi yang bersifat non sistematik. Dengan demikian, dari sisi statistik model layak digunakan untuk simulasi peramalan. Hasil validasi model dengan menggunakan data tahun 1990-2003 dapat dilihat pada Lampiran 12 Tabel 1 dan 2. Dengan memperhatikan validitas model, maka dilakukan simulasi pada wilayah Kabupaten dan Kota. Pilihan
180
simulasi dilakukan berdasarkan arah pembangunan ekonomi Sumatera Utara sebagaimana terdapat dalam Propeda Sumatera Utara tahun 2001-2005, implikasi otonomi, dan berbagai perkembangan ekonomi dalam beberapa waktu kedepan. Simulasi terpilih adalah berikut (justifikasi pada Bab III): 1. 2. 3. 4. 5.
Peningkatan Bagi Hasil Sumber daya Alam 15 %; Peningkatan Bagi Hasil Pajak 10% Peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 10% Peningkatan Pajak Daerah 15% Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60% 6. Simulasi 6 : Peningkatan Retribusi sebesar 15 %; 7. Simulasi 7 : Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% 8. Simulasi 8 : Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Rutin 1.25% 9. Simulasi 9 : Peningkatkan PAD 10% dan Pengeluaran Pembangunan 2.38% 10. Simulasi 10: Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.1% 11. Simulasi 11: Peningkatan Upah 10% 12. Simulasi 12: Peningkatan Infrastruktur 20 % 13. Simulasi 13: Peningkatan Upah 10% dan Infrastruktur 20% 14. Simulasi 14: Peningkatan Investasi 20% 15. Simulasi 15: Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20% 7.2.
Simulasi 1 : Simulasi 2 : Simulasi 3 : Simulasi 4 : Simulasi 5 :
Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Dalam Subbagian ini akan dibahas dampak setiap perubahan variabel
kebijakan atau non kebijakan terhadap variabel fiskal dan perekonomian daerah menurut kabupaten dan kota. Simulasi 1: Dampak Peningkatan BHSDA 15% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Peningkatan Bagi Hasil Sumber Daya Alam (BHSDA) memberikan dampak yang beragam dan berbeda pada kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Dampaknya terhadap kinerja fiskal dapat dibagi dua bagian yaitu (1) kinerja fiskal terkena dampak negatif dan (2) kinerja fiskal terkena dampak positif. Dampak
181
negatif dirasakan oleh Pajak Daerah, Retribusi, Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak. Artinya peningkatan BHSDA akan menurunkan perolehan pada variabel fiskal tersebut (Tabel 52).
Temuan ini menunjukkan adanya gejala
kemalasan fiskal (fiscal laziness). Artinya ketika transfer dari pemerintah pusat dalam hal ini BHSDA meningkat maka tekanan untuk meningkatkan atau menggali pendapatan sendiri menjadi berkurang. Kemalasan fiskal ini dapat juga ditunjukkan oleh meningkatkannya Fiskal Gap (1.10% di kabupaten dan 1.30% di kota) seiring dengan meningkatkan BHSDA tadi. Fenomena kemalasan fiskal juga ditemukan oleh Bird dan Vaillancourt (2000) di beberapa negara berkembang. Temuan ini berbeda dengan Nanga (2006), Sinaga dan Siregar (2005) dimana peningkatan BHSDA justru meningkatkan PAD. Variabel fiskal yang terkena dampak positif adalah Dana Alokasi Umum, Penerimaan Pemerintah dan Pengeluaran Rutin dan Pembangunan. Hasil serupa ditemukan oleh Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan dan Nanga (2006) di Indonesia. Dengan kata lain peningkatan BHSDA akan menyebabkan peningkatan disisi penerimaan pemerintah dan juga pengeluaran pemerintah dengan catatan bahwa Pengeluaran Rutin lebih besar dari Pengeluaran Pembangunan. Temuan Peningkatan BHSDA berdampak baik terhadap Regional Bruto (PDRB) dan Kesempatan Kerja. Hasil serupa ditemukan oleh Nanga (2006) dan Sinaga dan Siregar (2005). Sedangkan peningkatan BHSDA berdampak buruk terhadap Tingkat Inflasi dan Distribusi Pendapatan. Hasil serupa (khususnya Distribusi Pendapatan) ditemukan oleh Nanga (2006) pada level nasional.
182
Dari temuan yang disebut diatas dapat dikemukakan bahwa usaha-usaha peningkatkan BHSDA (baik melalui lobi politik maupun perbaikan pengelolaan sumberdaya alam perikanan, kelautan, kehutanan dan pertambangan akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui peningkatkan PDRB, dan juga meningkatkan kesempatan kerja yang lebih banyak. Temuan ini memang logis, karena mayoritas masyarakat Sumatera Utara memang bekerja di sektor pertanian dan pertambangan. Dimana pada 1990 masyarakat yang bekerja di kedua sektor ini adalah 70%, walau menurun menjadi 51% pada tahun 2003 namun tetap mayoritas. Tabel 52 . Dampak Peningkatan BHSDA 15 % Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal Gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) -0.27 -1.26 -2.05 -0.67 -0.75 -0.45 0.02 0.01 -0.02 -0.01 0.10 0.07 1.10 1.30 0.11 0.10 0.02 0.02 0.08 0.06 0.01 0.01 0.06 0.03 0.04 0.04 0.03 0.02 0.01 0.02 0.01 0.03
183
Peningkatan PDRB dan Kesempatan Kerja yang tercapai adalah atas biaya imbangan naiknya Tingkat Inflasi dan memburuknya Distribusi Pendapatan. Temuan ini tidaklah mengejutkan, karena secara teoripun memang beberapa tujuan pembangunan ekonomi yang ingin diperbaiki lewat kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter sering bersifat trade off satu sama lain. Kurva Philip yang terkenal itu misalnya adalah salah bukti adanya trade
off antara kesempatan kerja dan tingkat harga. Jika diamati lebih jauh lagi, inflasi yang terjadi tidak perlu dirisaukan karena laju pertumbuhan PDRB lebih besar (0.4%) dibanding inflasi (0.15%).
Artinya pertumbuhan ekonomi real masih
positif. Dengan kata lain pada tingkat harga yang lebih tinggi masyarakat masih mampu membeli barang dan jasa dengan jumlah yang lebih banyak, artinya kesejahteraan masyarakat relatif meningkat. Simulasi 2: Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHP) 15% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Bagi Hasil Pajak adalah salah satu instrumen transfer dari pemerintah pusat ke daerah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pada era desentralisasi fiskal, pajak yang dibagihasilkan semakin besar.
Simulasi menunjukkan,
peningkatan BHP berakibat buruk pada sebagian kinerja fiskal daerah namun berakibat baik pada hampir seluruh kinerja perekonomian. Bagi Hasil Pajak berdampak buruk pada Pajak Daerah, Retribusi dan tentu saja Pendapatan Asli Daerah.
Ketiga peubah fiskal ini akan menurun
perolehannya jika BHP meningkat. Fenomena ini serupa ini dengan fenomena kemalasan fiskal yang ditemukan ketika terjadi kenaikan BHSDA.
Kemalasan
184
fiskal semakin jelas terlihat dari kenaikan fiskal gap yang cukup besar yaitu 32.02% di kabupaten dan 29.01% di kota (Tabel 53). Temuan ini berbeda dengan temuan Nanga (2006), Sumedi (2005) di Jawa Barat, dan Saefudin di Riau yakni peningkatan BHP akan menaikkan perolehan Pajak Daerah, Retribusi atau PAD. Tabel 53. Dampak Peningkatan Bagi Hasil Pajak 15 % Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) -0.81 -3.77 -5.98 -20.41 -2.16 -3.92 0.05 0.42 15.00 15.00 0.29 2.22 32.02 39.01 0.33 2.81 0.05 0.42 0.29 1.22 0.01 0.05 0.06 0.83 0.13 1.10 0.09 0.73 0.02 0.08 0.30 -0.76
Menarik dikaji lebih jauh adalah kinerja Dana Alokasi Umum. Sebagaimana diketahui bahwa secara normatif paket Dana Perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum, Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Sumber Daya Alam dan Dana Alokasi Khusus. Jika salah satu dari komponen Dana Perimbangan meningkat maka secara normatif kompenen lainnya akan turun. Namun temuan dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda. Meningkatnya BHP di satu sisi berakibat pada kenaikan DAU. Namun hasil secara umum ditemukan di
185
Indonesia (Usman 2006), di Jawa Barat oleh Sumedi (2005), dan di Riau oleh Saefudin (2005). Naiknya BHP pada saat yang sama menaikkan Pengeluaran Rutin dan juga Pengeluaran Pembangunan. Secara umum temuan serupa ada di Indonesia (Usman 2006; Nanga 2006). Hasil serupa ditemukan oleh Sumedi (2005) di Jawa Barat, Saefudin (2005) di Riau. Nanga (2006) secara lebih spesifik menemukan, peningkatan BHP akan meningkatkan pengeluaran sektor pertanian dan sektor non pertanian. Dalam kasus Sumatera Utara, peningkatan Pengeluaran Pembangunan di Kota lebih besar dibanding di kabupaten. Naiknya pengeluaran pemerintah, berarti naiknya permintaan agregat. Naiknya permintaan agregat akan menaikkan kegiatan produksi (PDRB) dan kesempatan kerja. Namun disisi lain naiknya permintaan agregat berarti akan mengakibatkan inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation).
Fenomena
tersebut ditemukan dalam daerah penelitian. Pertumbuhan ekonomi di kota dan di kabupaten akibat dari peningkatan BHP. Hasil serupa ditemukan secara nasional (Nanga 2006; Usman 2006) juga di tingkat daerah (Sinaga dan Siregar 2005; Sumedi 2005; Saefudin 2005). Khusus Sumatera Utara pertumbuhan di kota (1.10%) lebih besar dibandingkan dengan di kabupaten (0.13%). Peningkatan BHP meningkatkan Kesempatan kerja juga Inflasi baik di kota maupun kabupaten. Hasil serupa secara umum ada di Indoensia (Usman 2006), juga ditemukan di Sulawesi oleh Sinaga dan Siregar (2005), di Jawa Barat (kesempatan kerja) oleh Sumedi (2005), di Riau oleh Saefudin (2005). Temuan yang menarik adalah berbedanya dampak kenaikan BHP terhadap distribusi
186
pendapatan. Di kabupaten distribusi pendapatan semakin memburuk, sedangkan di kota semakin membaik. Hal ini diduga disebabkan oleh lebih siapnya SDM maupun institusi kota merespon otonomi daerah. Dengan kata lain institusi dan SDM di kabupaten lebih rentan terhadap perubahan atau goncangan pada perekonomian dibandingkan dengan kota. Temuan ini berbeda dengan Usman (2006), dimana dampak peningkatan BHP (dan BHSDA) terhadap distribusi pendapatan secara nasional membaik (dengan catatan di Kawasan Barat Indonesia memburuk dan Kawasan Timur Indonesia membaik).
Sedangkan temuan Saefudin (2005) kurang lebih serupa
dengan Usman (2006), dimana dampak peningkatan BHP (dan BHSDA) terhadap distribusi pendapatan di Riau membaik (Riau daratan memburuk dan Riau kepulauan membaik). Temuan Sinaga dan Siregar (2005) menunjukkan bahwa peningkatan BHP berdampak baik terhadap distribusi pendapatan. Hasil yang berbeda ditemukan oleh Nanga (2006) dimana peningkatan BHP distribusi pendapatan berdampak buruk terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan. 7.2.3. Simulasi 3. Dampak Peningkatan DAU 10% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Dana Alokasi Umum adalah salah satu Dana Perimbangan terpenting yang bersifat equalizing transfer dan juga menjadi salah satu sumber penerimaan utama bagi pemerintah daerah. Sumbangan DAU terhadap Dana Perimbangan Pemerintah Provinsi tidak kurang dari 71 % selama periode penelitian, dan tidak kurang dari 74 % terhadap Dana Perimbangan Pemerintah kabupaten dan kota (Tabel 54).
187
Tabel 54. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum 10% Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 6.56 35.9 -9.44 -3.76 1.13 0.86 10.00 10.00 1.96 1.46 7.65 6.82 6.74 9.57 8.76 8.68 2.71 2.57 6.66 6.51 0.31 0.16 1.80 2.56 4.49 4.54 3.56 3.23 0.59 0.31 7.04 -3.35
Peningkatan DAU pada umumnya berakibat positif baik bagi kinerja fiskal (PAD) daerah kabupaten dan kota (kecuali retribusi yang mengalami penurunan). Temuan ini berbeda dengan Nanga (2006), Usman (2006), Sinaga dan Siregar (2005), Sumedi (2005) dan Saefudin (2005) dimana peningkatan DAU di Indonesia akan meningkatkan PAD. Namun bila DAU ditingkatkan sebesar 10% maka Retribusi menurun di wilayah kabupaten (9.4%) dan kota (3.76%), dan
Fiskal Gap meningkat di
kabupaten (6.74%) dan kota (9.57%). Penurunan Retribusi terjadi sebagai akibat dari fenomena kemalasan fiskal, yang pada gilirannya akan meningkatkan fiskal gap tersebut. Kebijakan peningkatan DAU 10% akan secara logis meningkatkan penerimaan pemerintah daerah kabupaten dan kota, dan pada gilirannya (pada saat
188
yang sama) meningkat pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan dan pengeluaran pemerintah . Studi Nanga (2006) , Usman (2006) di level nasional juga menunjukkan hasil serupa, dan Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan , Pakasi (2005) di Sulawesi Utara, Sumedi (2005) di Jawa Barat dan Saefudin (2005) di Riau. Peningkatan DAU 10% akan meningkatkan investasi dan Infrastruktur di kabupaten dan kota. Hasil serupa ditemukan oleh Pakasi (2005) di Sulawesi Utara, Saefudin (2005) di Riau dan
Sumedi (2005) di Jawa Barat (hanya
infrastruktur). PDRB dan Kesempatan Kerja membaik bila DAU ditingkatkan. Temuan ini serupa dengan temuan Nanga (2006; Usman 2006) pada level nasional. Temuan dilapangan menunjukkan bahwa dari sisi distribusi pendapatan kebijakan peningkatan DAU kurang menguntungkan daerah kabupaten , sebaliknya menguntungkan daerah kota.
Hal ini disebabkan oleh SDM dan sistem
kelambagaan di kota lebih responsif dibandingkan dengan kabupaten. Temuan tadi didukung temuan Nanga (2006) dimana distribusi pendapatan (dan kemiskinan) di pedesaan jauh lebih buruk dibandingkan dengan perkotaan. Bahkan lebih lanjut Nanga (2006) menemukan bahwa tingkat kemiskinan semakin membesar di sektor
pertanian
maupun non pertanian seiring dengan
memburuknya distribusi pendapatan. Sedangkan Usman (2006) menunjukkan ada indikasi (masih perlu dibuktikan) bahwa DAU memperbaiki distribusi pendapatan secara nasional.
189
Dampak pemerataan DAU yang beragam tersebut serupa dengan Suryaningtyas (2006)12 dimana 62% responden menyatakan keyakinannya bahwa pelaksanaan otonomi daerah membuat daerah mereka semakin baik. Keyakinan itu ditopang pula dengan fakta di masyarakat, dimana 66% responden hidup lebih baik atau tetap baik, sementara hanya 31% yang merasa hidupnya memburuk atau tetap buruk.
Meski masih dibebani berbagai persoalan, harapan bahwa
otonomi daerah pada akhirnya mampu memperbaiki kehidupan masyarakat rupanya masih cukup tinggi. Temuan dilapangan menunjukkan bahwa peningkatan DAU akan memacu inflasi. Namun inflasi yag terjadi relatif kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi sehingga secara real pertumbuhan ekonomi masih relatif tinggi (3.9% di kabupaten dan 4.2% di kota). 7.2.4. Simulasi 4: Dampak Kenaikan Pajak Daerah sebesar 15% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Sebagaimana dijelaskan, Pajak Daerah bersama-sama Retribusi adalah dua unsur utama Pendapatan Asli Daerah.
Pajak Daerah ini menyumbang tidak
kurang dari 40% terhadap PAD pada pemerintah kabupaten dan kota. Bahkan untuk pemerintah provinsi Sumatera Utara sumbangan Pajak Daerah terhadap PAD tidak kurang dari 75%. Pajak selalu bersifat kontraktif terhadap perekonomian dan bersifat
crowdingout effect. Temuan empiris menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan Pajak Daerah berakibat buruk pada PDRB. Di Kabupaten PDRB turun (-1,77%)
12
Jajak Pendapat Kompas, Senin 20 Maret 2006
190
dan Kota turun (-2.35%) bila Pajak Daerah naik 15%.
Disaat yang sama
Kesempatan Kerja di Kota turun (-5.74%) dan di Kabupaten turun (-1.35%) (Tabel 55). Tabel 55. Dampak Peningkatan Pajak Daerah 15 % Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
PeubahEndogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal Gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 15.00 15.00 -14.79 -17.49 3.08 4.95 0.80 -0.63 -0.77 -2.73 2.46 10.22 74.26 49.08 5.23 4.16 -0.89 3.94 3.73 6.96 1.52 -3.72 -0.43 3.19 -1.77 -3.50 -1.35 -5.74 0.10 0.24 -2.96 0.12
Fenomena serupa memang jamak ditemui dibelahan daerah lain di Indonesia, sebagaimana oleh Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan, Pakasi (2005) pada sebagian kabupaten di Sulawesi Utara dan Saefudin (2005) di Riau. Hasil tadi berbeda dengan temuan Usman (2006) di Indonesia, Sumedi (2005) di Jawa Barat, Pakasi (2005) pada sebagian kabupaten di Sulawesi Utara. Usaha Pemungutan Pajak (tax effort) untuk meningkatkan PAD, telah menjadi kontra produktif bagi perekonomian karena sararan dan pelaksanaannya
191
kurang tepat khususnya di kawasan kota. Hal ini terutama disebabkan berbagai Peraturan daerah yang bermasalah seiring dengan usaha peningkatan Pajak (dan juga retribusi). Misalnya, pada November 2005, sebanyak 13.520 PERDA pajak dan retribusi daerah yang diterbitkan oleh 30 provinsi dan 370 kabupaten/kota beberapa
diantaranya bermasalah.
Menurut Komite Pemantauan Pelaksana
Otonomi Daerah (2005) bahwa dari 1 025 PERDA yang diteliti, 714 PERDA (70%) dinyatakan bermasalah ,sisanya hanya 311 (30%) jenis PERDA yang dinilai tidak bermasalah). Departemen Keuangan misalnya merekomendasi 100 peraturan daerah soal pajak dan retribusi dicabut. Sementara Departemen Dalam Negeri, hingga akhir 2005 , telah mencabut 200 lebih peraturan daerah. Karena selain menghambat investasi, peraturan-peraturan daerah itu juga bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi13. Selain itu sering ditemukan pajak tumpang tindih antara pajak pusat dan daeran (Komoditi Perkebunan dengan PBB, Pajak Pengolahan Migas dengan PPN ). Gejala ini pulalah (disinsentif bagi investasi) yang mendorong pemerintah pusat kembali mengatur penerbitan Perda-Perda yang cenderung disinsentif
bagi perekonomian. Misalnya saja,Departemen
Keuangan merekomendasikan 700 buah dari 13 520 perda untuk dibatalkan14. Disisi lain, temuan berbeda di kabupaten, dimana usaha peningkatan pajak tidak mengganggu masuknya investasi, bahkan meningkatkan investasi. Hal ini karena Pajak Daerah yang dikeluarkan pemerintah daerah kabupaten lebih kepada ekstensifikasi
pajak daripada intensifikasi pajak, sehingga relatif kurang
membebani investor. 13 14
Apalagi bagi investor, sesungguhnya faktor kepastian
Tempo Interaktif 24 Maret 2006 Jajak Pendapat Harian Kompas, Senin 20 Maret 2006
192
berusaha (yang direpresentasikan oleh Tingkat Suku Bunga) lebih berpengaruh dibandingkan dengan faktor pajak itu sendiri terhadap investasi. Namun demikian kebijakan meningkatkan Pajak Daerah tidak melulu berakibat buruk pada perekonoian. Hasil studi menunjukkan bahwa
kebijakan tersebut dapat
memperbaiki distribusi Pendapatan di wilayah Kabupaten di Sumatera Utara dan juga di Kawasan Timur Indonesia (Usman 2006). Menurut buku teks ekonomi makro, sepanjang pajak yang ditarik dari perekonomian
disuntikan
kembali
kepada
perekonomian
dalam
bentuk
pengeluaran pemerintah dalam jumlah yang sama, akan meningkatkan volume perekonomian sebesar nilai pajak yang ditarik karena multiplier effect pengeluaran pemerintah lebih besar dari multiplier effect pajak . Apakah multiplier effect pengeluaran pemerintah lebih besar dari multiplier effect pajak di Sumatera Utara, dapat dilihat pada simulasi berikut? 7.2.5. Simulasi 5: Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.6%. Bila Pajak Daerah yang ditarik pemerintah kemudian dikucurkan dalam bentuk Pengeluaran Pemerintah maka akan menghasilkan dampak yang berbeda. Dampak peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.6% secara umum berdampak positif terhadap kinerja fiskal daerah kabupaten maupun kota (kecuali Retribusi dan Bagi Hasil Pajak). Retribusi menurun di kabupaten (6.64%) dan kota (-13.8%). Bagi Hasil Pajak (BHP) menurun di kabupaten (-0.33%). Kebijakan tadi berdampak positif pada semua kinerja perekonomian, dengan catatan bahwa dampaknya lebih positif di daerah kota dibandingkan dengan daerah kabupaten (Tabel 56).
193
Tabel 56. Dampak Peningkatan Pajak Daerah 15 % dan Pengeluaran Pemerintah 0.60% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
PeubahEndogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 15.00 15.00 -6.64 -13.81 1.38 1.08 0.39 -1.81 -0.33 1.36 1.26 5.11 37.49 24.42 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 3.26 1.36 0.15 1.70 3.40 4.30 0.32 2.97 0.03 0.13 -1.91 -0.71
Terbukti ekspansi perekonomian melalui peningkatan pengeluaran pemerintah berhasil menghilangkan dampak buruk dari kontraksi perekonomian karena peningkatan Pajak Daerah.
Juga terbukti bahwa instrumen pajak
merupakan kebijakan yang baik untuk pemerataan, terbukti adanya perbaikan distribusi pendapatan dengan kebijakan tersebut diatas. Namun hal yang tidak dapat adalah inflasi. Inflasi adalah konsekuensi dari meningkatnya kegiatan ekonomi . Namun demikian inflasi yang terjadi tidak begitu mengkhawatirkan sebab laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) lebih besar dibandingkan inflasi, sehingga secara real pertumbuhan ekonomi masih positif yaitu masing-masing 3.37% di daerah kabupaten dan 4.17% di daerah kota.
194
Artinya secara real kebijakan tadi berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik di kabupaten maupun di kota, karena pendapatan yang meningkat apalagi kesempatan kerja yang semakin banyak. Pada gilirannya peningkatan PDRB dan Kesempatan kerja akan meningkatkan kemampuan fiskal daerah (PAD di masing-masing kabupaten maupun di kota meningkat. 7.2.6. Simulasi 6: Dampak Peningkatan Retribusi 15% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Retribusi, sebagaimana halnya dengan Pajak Daerah adalah bagian terbesar dari Pendapatan Asli Daerah
khususnya pada pemerintah daerah
kabupaten dan kota. Retribusi daerah menyumbang pada PAD Pemda kabupaten dan kota tidak kurang dari rata 30% selama periode penelitian. Tapi sumbangan Retribusi terhadap PAD pemda provinsi rata tidak lebih dari 10% selama periode penelitian. Peningkatan Retribusi, pada saat yang sama meningkatkan Pajak Daerah dan PAD pada wilayah Kabupaten maupun Kota. Temuan ini didukung oleh Sinaga dan Siregar (2005), Pakasi (2005) dan Saefudin (2005). Peningkatan Pajak Daerah di Kota lebih besar (3.48%) dibandingkan Kabupaten (1.12%) (Tabel 57). Peningkatan Retribusi berarti pula meningkatnya kemampuan fiskal daerah.
Secara normatif peningkatan kemampuan fiskal daerah ini akan
menurunkan transfer pusat (DAU, BHSDA dan BHP). Namun norma itu tidak sepenuhnya berlaku di daerah peneltian.
Penurunan DAU
hanya terjadi di
wilayah Kota, sedangkan di Kabupaten DAU naik. Temuan ini berbeda dengan
195
Pakasi (2005) dan Saefudin (2005) dimana DAU naik bersamaan dengan peningkatan Retribusi. Tabel 57 . Dampak Peningkatan Retribusi 15 % Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 1.12 3.48 15.00 15.00 9.62 9.66 -0.18 1.00 -0.21 0.90 -0.55 2.80 16.49 13.25 1.17 6.59 0.20 1.08 1.34 5.30 -0.02 0.06 0.12 1.05 -0.47 -2.72 -0.35 -1.82 0.07 0.21 -1.61 -0.74
Penurunan BHP hanya terjadi di wilayah kabupaten, sedangkan di Kota BHP naik. Temuan ini menunjukan bahwa formulasi DAU belum sepenuhnya ditentukan faktor kebutuhan dan potensi fiskal sebagaimana dinormakan, namun juga ditentukan oleh faktor lain, seperti lobi-lobi politik dan juga oleh faktor sosial lainnya. Studi Pakasi (2005) menunjukkan bahwa BHP berkurang seiring dengan naik Retribusi, berbeda dengan Saefudin (2005), dimana BHP naik jika Retribusi naik.
196
Respon investor terhadap kenaikan Retribusi berbeda antar wilayah kabupaten dan kota. Investor di wilayah kabupaten bereaksi negatif terhadap kenaikan tersebut. Artinya peningkatan retribusi kontraproduktif bagi investor di wilayah kabupaten. Temuan ini sesuai dengan Pakasi (2005) dimana Retribusi menurunkan investasi ke Sulawesi Utara. Disisi lain peningkatan retribusi tidak berpengaruh buruk pada minat investor di kota, serupa dengan temuan Seafudin (2005) di Riau. Peningkatan retribusi berdampak bagus bagi Pembangunan infrastruktur baik di kabupaten maupun di kota. Temuan ini tidak mengejutkan, karena di negara berkembang pada umumnya, pembangunan Infrastruktur dilakukan oleh pemerintah mendahului investasi ke daerah, karena bersifat infrastruktur merupakan public good atau quasy public good yang merupakan prasarana bagi pembagunan ekonomi. Retribusi, sama halnya dengan Pajak Daerah adalah bocoran (lingkages) bagi arus lingkaran (circulasi flow) perekonomian. Bilamana bocoran tersebut tidak diimbangi dengan suntikan (injection) serupa, maka akan efek ganda bersih (net multiplier effect) pada kinerja perekonomian akan negatif. Artinya pencapaian pada pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja akan memburuk, sementara Inflasi bisa memburuk akibat ekonomi biaya tinggi. Temuan di lapangan menunjukkan terjadi pertumbuhan ekonomi negatif, berbeda dengan Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan dan Saefudin di Riau dimana Retribusi memperbaiki PDRB. Retribusi menambah penganguran di Sumatera Utara , sesuai dengan Pakasi (2005) di Sulawesi Utara, namun berbeda
197
dengan Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan dan Saefudin (2005) di Riau. Inflasi di Kabupaten maupun di kota meningkat bila Retribusi dinaikkan. Satu-satunya temuan yang baik adalah distribusi pendapatan yang semakin baik di kabupaten maupun Kota.
Dengan kata lain Retribusi menyebabkan
Pemerataan ”kemiskinan” di Sumatera Utara”. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana dampak bila Retribusi 15% tersebut digunakan sebagai Pengeluaran Pemerintah ? Secara teoritis akan terjadi perbaikan kinerja perekonomian. 7.2.7. Simulasi 7: Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% Temuan di daerah penelitian menunjukkan bahwa dampak negatif dari peningkatan Retribusi akan hilang bilamana Retribusi tadi digunakan langsung sebagai Pengeluaran Pemerintah dengan jumlah yang sama. Kebijakan peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% pada saat yang sama berdampak baik terhadap seluruh kinerja fiskal daerah baik di kota maupun kabupaten (kecuali BHP turun dan Fiskal Gap membengkak (Tabel 58). Kebijakan tersebut juga memberikan iklim yang kondusif bagi investasi, pembangunan infrastruktur di kabupaten dan kota. Dampak kebijakan tadi pada kinerja perekonomian sesuai harapan . Pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan distribusi pendapatan membaik. Inflasi yang terjadi memang konsekuensi dari perekonomian yang membaik, namun real pertumbuhan ekonomi positif, sehingga kesejahteraan masyarakat memang meningkat. Walau inflasi di kota lebih besar dibandingkan
198
kabupaten, namun pertumbuhan ekonomi real kota (2.56%) lebih tinggi dibandingkan kabupaten (1.03%). Tabel 58 . Dampak Peningkatan Retribusi 15 % dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 0.52 2.30 15.00 15.00 9.08 11.03 0.08 0.98 -0.09 -0.83 0.30 2,75 13.54 14.19 0.48 0.48 0.48 0.48 0.48 0.48 4.98 1.06 4.88 6.05 1.08 2.78 0.68 1.87 0.05 0.22 -1.83 -1.12
7.2.8. Simulasi 8: Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Rutin 1.25% Desentralisasi
fiskal
memberikan
pemerintah
daerah
kebebasan
meningkatkan penerimaan daerah dan untuk digunakan dalam membiayai pemerintahan melalui pengeluaran rutin dan/atau pengeluaran pembangunan dengan tujuan untuk mendapatkan kinerja perekonomian lebih baik. Temuan di daerah penelitian menunjukkan sebagian keyakinan tersebut benar. Dampak peningkatan Pendapatan Asli Daerah 10% dan seluruhnya digunakan untuk meningkatkan Pengeluaran Rutin (1.25%) akan menurunkan
199
Dana Alokasi Umum di kabupaten dan kota.
Sedangkan Bagi Hasil Pajak
meningkat di kabupaten (0.27%) dan di kota (0.83%). Peningkatan Pengeluaran Rutin pada gilirannya akan menaikkan Pengeluaran Pemerintah. Dampak kebijakan tersebut juga berakibat baik pada iklim investasi dan pembangunan infrastruktur pada kedua daerah penelitian (Tabel 59). Peningkatan iklim investasi lebih baik di daerah kabupaten (2.48%) dibandingkan daerah kota (1.06%), sedangkan peningkatan pembangunan infrastruktur lebih baik di daerah kota (10.01%) dibandingkan dengan daerah kabupaten (9.88%). Tabel 59. Dampak Peningkatan Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Rutin 1.25% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
PeubahEndogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 -0.68 -0.88 0.27 0.83 0.30 1.30 11.79 14.19 1.25 1.25 1.07 1.35 1.03 1.30 2.48 1.06 9.88 10.01 1.62 2.97 1.68 2.03 0.04 0.26 -1.24 -1.14
Kebijakan tersebut memperbaiki kinerja perekonomian. Pertumbuhan ekonomi real positif di kabupaten (1.54%) dan di kota (2.71%). Kesempatan kerja
200
meningkat di kabupaten (1.68%) dan di kota (2.03%). Distribusi pendapatan membaik masing-masing -1.24% di kabupaten dan -1.14% di kota. Inflasi yang terjadi relatif kecil jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi, masingmasing 0.04% di kabupaten dan 0.26% di kota. 7.2.9. Simulasi 9: Peningkatkan PAD 10% dan Pengeluaran Pembangunan 2.38% Pengeluaran Pemerintah penting lainnya selain Pengeluaran Rutin adalah Pengeluaran Pembangunan. Kalau Pengeluaran Rutin adalah semua pengeluaran operasional pemerintahan, maka Pengeluaran Pembangunan adalah seluruh biaya untuk meningkatkan kapasitas produksi pelayanan pemerintahan. Bila PAD ditingkatkan sebesar 10% dan seluruhnya digunakan sebagai Pengeluaran Pembangunan (2.38%), maka secara keseluruhan kinerja fiskal dan perekonomian daerah mengalami kemajuan (kecuali Pengeluaran Rutin berkurang di kabupaten (-0.57%) maupun di kota (-0.67%). Fiskal gap membaik di kota (12.72%) dan di kota (12.02%), dan inflasi di kabupaten (0.02%) dan di kota (0.22%) (Tabel 60). Membaiknya Fiskal gap karena Penerimaan
Pemerintah naik akibat
tambahan Bagi Hasil Pajak dan Dana Alokasi Umum. Sedangkan distribusi yang semakin membaik, semakin membuktikan bahwa instrumen pajak (dalam hal ini PAD) bila digunakan secara baik akan menghasilkan perbaikan pemerataan.
201
Tabel 60. Dampak Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Pembangunan 2.38% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
PeubahEndogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Reg. Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 0.05 0.07 0.41 0.81 2.3 2.7 -12.72 -12.02 0.80 5.60 2.38 2.38 1.20 4.80 4.98 4.06 1.40 1.31 1.05 2.15 1.09 2.11 0.02 0.22 -2.74 -2.73
7.2.10. Simulasi 10: Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.1% Dua jenis pengeluaran utama pemerintah adalah pengeluaran rutin dan pembangunan. Selama periode penelitian, Pengeluaran Rutin relatif lebih besar dibandingkan dengan Pengeluaran Pembangunan. Padahal menurut teori ekonomi pembangunan, guna meningkatkan kapasitas produksi maka Pengeluaran Pembangunan harusnya lebih besar dibandingkan pengeluaran Rutin. Namun karena keterbatasan keuangan negara hal tadi tidak dapat dilaksanakan, bahkan sejak desentralisasi fiskal besaran pengeluaran pembangunan justru mengalami penurunan.
Salah satu cara meningkatkan Pengeluaran Pembangunan adalah
dengan melakukan penghematan pada Pengeluaran Rutin dan mengalokasikannya pada Pengeluaran Pembangunan.
Realokasi mungkin sekali dapat dilakukan
202
khususnya pada pos-pos
Belanja Tak Terduga, Non Belanja Pegawai dan
Bantuan Keuangan yang pada tiga tahun pelaksanaan Otonomi Daerah berjumlah tidak kurang dari 20% dari Total Pengeluaran Rutin kabupaten/kota. Penghematan kabupaten/kota
sebesar
setara
dengan
20%
disisi
38.1%
Pengeluaran
tambahan
pada
Rutin
pemerintah
sisi
Pengeluaran
Pembangunan. Realokasi seperti ini tentu akan diharapkan menghasilkan kinerja ekonomi yang lebih baik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa realokasi Pengeluaran Rutin 20% menjadi Pengeluaran Pembangunan 38.1% mengasilkan perbaikan seluruh kinerja fiskal (kecuali DAU turun masing-masing -0.10% di kabupaten dan -0.15% di kota dan Fiskal gap membengkak sebesar 7.88% di kabupaten dan 11.20% di kota).
Diduga penurunan DAU adalah akibat dari naiknya PDRB dan BHP
sebagai hasil dari peningkatan Pengeluaran Pembangunan, sehingga potensi fiskal dianggab tinggi (Tabel 61). Menurut hasil studi Usman (2006) realokasi pengeluaran rutin menjadi pengeluaran pembangunan akan meningkatkan Pajak Daerah, Retribusi, PAD, BHP dan DAU, serupa dengan temuan Sumedi (2005) di Jawa Barat. Sedangkan Pardede (2004) menemukan bahwa realokasi tersebut meningkatkan Output dan menurunkan Kesempatan Kerja di Medan dan Tapanuli Utara. Pembengkakan Fiskal gap diduga disebabkan naiknya total Pengeluaran Pemerintah . Hasil serupa ditemukan oleh Usman (2006) dan Sumedi (2005). Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa realokasi tadi menghasilkan iklim investasi yang semakin baik di kabupaten maupun di kota. Demikian juga halnya
203
dengan pembangunan infrastruktur semakin baik di kabupaten dan di kota, sebagaimana juga ditemukan oleh Sumedi (2005) di Jawa Barat. Tabel 61. Dampak Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.1 % Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 7.68 4.20 11.04 7.39 9.32 6.11 -0.10 -0.15 1.40 1.71 8.95 7.80 7.88 11.20 -20.00 -20.00 38.10 38.10 0.00 0.00 0.36 0.19 1.38 3.00 5.25 5.31 4.17 3.78 0.69 0.36 -2.23 -3.92
Realokasi Pengeluaran Rutin 20% menjadi Pengeluaran Pembangunan 38.1% memperbaiki kinerja perekonomian daerah, khususnya pada PDRB, Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan.
Hasil serupa ditemukan secara
nasional oleh Usman (2006), di Jawa Barat oleh Sumedi (2005), dan Riau (khusus distribusi pendapatan) oleh Saefudin (2005). Inflasi yang terjadi relatif kecil dan pertumbuhan ekonomi real masih positif yaitu 1.03% di kabupaten dan 1.93% di kota. Artinya semakin besar pendapatan dan semakin banyak kerja yang tercipta serta semakin baik tingkat pemerataan bila realokasi dilakukan.
204
7.3. Dampak Perubahan Variabel Non Fiskal Simulasi 11: Dampak Peningkatan Upah 10% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Kebijakan Upah adalah kebijakan non fiskal namun masih dalam kerangka otonomi daerah.
Kebijakan ini tentu dapat mempengaruhi kinerja fiskal dan
perekonomian daerah karena upah merupakan masalah penting bagi investor maupun pekerja. Bagi pekerja upah adalah insentif, sedangkan bagi pengusaha upah merupakan disinsentif, sebab peningkatan upah berarti peningkatan biaya produksi. Menentukan tingkat upah yang optimal bagi perekonomian bukan pekerjaan mudah. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan Upah berakibat buruk pada semua peubah fiskal dan perekonomian kecuali pada Dana Alokasi Umum yang meningkat, itupun dengan persentase yang relatif kecil (0.25% di kabupaten dan 0.47% di kota) (Tabel 62). Upah yang semakin tinggi menyebabkan biaya produksi tinggi dan investasi menurun, pada gilirannya PDRB dan kesempatan kerja juga turun. Turunnya PDDRB berpengaruh pada Pajak Daerah, Retribusi dan Pendapatan Asli Daerah. Penurunan Pajak Daerah berujung pada menurunnya penerimaan pemerintah (walau DAU naik namun kenaikan relatif kecil).
Kemerosatan
penerimaan pemerintah berakibat turunnya pembangunan infrastruktur. Biaya produksi yang tinggi (akibat kenaikan upah) akan menyebakan inflasi. Temuan-temuan tersebut memberikan suatu kesimpulan bahwa kebijakan peningkatan upah berakibat pada stagflasi (stagnasi dan inflasi) pada perekonomian. Namun nanti terbukti secara empiris bahwa peningkatan upah
205
tidak selalu berdampak negatif terhadap penciptaan kesempatan kerja (demand tenaga kerja), bilamana diikuti dengan pemberian insentif bagi investor (misalnya melalui peningkatan infrastruktur). Jadi peningkatan upah adalah kewajiban pemerintah untuk menjaminnya, sedangkan insentif bagi investor merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikannya. Tabel 62. Dampak Peningkatan Upah 10 % Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) -8.03 -8.68 -3.08 -2.42 -5.52 -5.22 0.25 0.47 -2.01 -3.01 -0.52 -0.92 0.13 0.05 -0.75 -1.47 -0.13 -0.24 -0.70 -1.20 -2.95 -3.06 -0.31 -0.84 -4.63 -9.25 -4.59 -8.24 0.28 0.29 2.82 11.05
Simulasi 12 : Dampak Peningkatan Pembangunan Infrastruktur 20% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Secara teoritis pembangunan infrastruktur dan investasi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kalau investasi merupakan salah satu
akselerator pertumbuhan maka infrastruktur merupakan syarat perlu untuk investasi. Meningkatnya investasi akan memacu pertumbuhan ekonomi.
206
Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan Pajak Daerah, Retribusi dan tentu saja Pendapatan Asli Daerah. Temuan di daerah penelitian menunjukkan bahwa teori tersebut benar. Bukan itu saja, pembangunan infrastruktur berakibat baik pada seluruh kinerja fiskal dan perekonomian (Tabel 63). Hasil studi sesuai dengan Todaro (2000; Jhingan 1993) bahwa di negara berkembang pembangunan infrastruktur adalah syarat perlu bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Tabel 63. Dampak Peningkatan Infrastruktur 20 % Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 2.41 3.00 6.07 0.54 4.60 1.52 -0.10 0.02 0.48 -0.07 0.25 0.05 -2.90 -0.94 0.46 0.11 1.27 0.27 0.66 0.15 5.00 1.00 20.00 20.00 1.09 0.25 1.03 0.21 0.07 0.01 -0.87 -1.53
Mengingat pentingnya infrastruktur bagi pembangunan perekonomian, telah menjadi perhatian pemerintah. Pada infrastructur summit pada tahun 2004 yang lalu pemerintah melalui kementerian Menteri Koordinator Perekonomian mengundang investor dari berbagai belahan di dunia untuk turut serta dalam
207
pembangunan
infrastrukur
di
Indonesia.
Sebagaimana
telah
dijelaskan
sebelumnya, kondisi infrastruktur di Indonesia relatif kurang baik dan merosot sejak krisis ekonomi, sedangkan kemampuan pemerintah Indonesia untuk menyediakan kebutuhan infrastruktur jauh dari cukup. Menarik diperhatikan adalah bahwa dampak distribusi yang disebabkan oleh peningkatan peningkatan infrastruktur lebih baik di kota dibandingkan dengan di kabupaten. Diduga hal ini karena kondisi awal fasilitas infrastruktur di kota relatif jauh lebih baik dibandingkan dengan di kabupaten. Disisi lain kualitas SDM dan institusi di kota lebih baik , lebih merata dan lebih responsif terhadap adanya perubahan dalam perekonomian . Simulasi 13: Peningkatan Upah 10% dan Infrastruktur 20% Betapapun peningkatan Upah berakibat pada stagflasi ekonomi, namun kebijakan menaikkan upah adalah suatu hal yang tidak dapat dihidari, karena pembangunan tidak hanya dinikmati oleh pengusaha tapi juga pekerja secara bersama-sama. Agar pembangunan tidak menjadi menara gading bagi masyarakat, maka peningkatan upah adalah suatu keharusan. Namun agar tidak semata-mata menjadi beban bagi pengusaha, maka harus pula diimbangi dengan insentif bagi mereka. Salah satu bentuk insentif itu adalah dengan menyediakan infrastruktur yang lebih banyak dan lebih baik. Kebijakan peningkatan Upah dan Pembangunan Infrastruktur dalam waktu yang sama secara teoritis akan menghasilkan keluaran yang sama-sama aik bagi pekerja dan pengusaha (win-win solution).
208
Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan Upah secara bersamasama dengan Pembangunan Infrastruktur ternyata meningkatkan kapasitas fiskal daerah kabupaten dan kota, fiskal gap yang semakin baik di kabupaten dan kota. Pada saat yang sama Pengeluaran Pemerintah juga meningkat di kota (0.87%) dan kabupaten (0.21%). Juga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, lapangan kerja serta pembagian pendapatan yang semakin baik dan pertumbuhan ekonomi real relatif tinggi di kabupaten (3.19%) dan di kota (3.70%) (Tabel 64). Tabel 64. Dampak Peningkatan Upah 10 % dan Infrastruktur 20% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 5.62 5.68 2.99 1.88 4.04 3.40 -0.15 -0.49 1.53 3.08 0.27 0.87 -1.27 -1.89 0.29 1.30 1.14 1.03 0.50 1.23 2.05 2.08 20.00 20.00 3.54 4.00 3.56 3.03 0.35 0.30 -1.95 -1.52
Simulasi 14: Peningkatan Investasi 20% Investasi adalah salah satu unsur penting dari permintaan agregat dan juga merupakan salah satu pemercepat (accelerator) pembangunan, oleh sebab itu
209
berbagai usaha dilakukan pemerintah untuk meningkatkan investasi di wilayahnya. Usaha itu antara lain melalui penciptaan iklim yang kondusif dengan pemberian tax holiday dan berbagai kebijakan lainnya. Kebijakan tadi diambil karena pemerintah sadar bahwa peranan pemerintah yang semakin lama semakin kecil
dalam
pertumbuhan
ekonominya.
Dengan
kata
lain,
pemerintah
mengharapkan agar investor mengambil peran yang lebih besar dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Menurut hasil simulasi, peningkatan nilai investasi sebesar 20% (dari nilai rata-rata investasi selama periode penelitian) akan meningkatkan kemampuan fiskal daerah kabupaten (2.64%) dan kota (1.46%). Seiring dengan meningkatnya kemampuan fiskal daerah, terjadi penurunan DAU, namun Bagi Hasil Pajak masih meningkat relatif kecil (Tabel 65). Secara keseluruhan Penerimaan Pemerintah meningkat, namun Fiskal gap membaik karena Pendapatan Asli Daerah meningkat dengan laju yang lebih besar. Pembangunan Infrastruktur masing 0.17% di kabupaten dan di kota. Pada saat yang sama seluruh kinerja perekonomian di kabupaten dan di kota membaik, namun dengan laju yang relatif kecil (yaitu kurang dari 1%). Artinya ICOR (incremental capital output ratio) relatif tinggi.
Dengan kata lain efisiensi
penggunaan modal relatif rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan modal adalah dengan meningkatkan mutu infrastruktur. Dampaknya terhadap penciptaan kesempatan kerja relatif kecil, sehingga usaha-usaha pengurangan tingkat pengangguran tidak dapat sepenuhnya digantungkan pada investasi, namun harus disertai dengan usaha pemerintah
210
melalui peningkatan pengeluaran pembangunan (yang memiliki dampak penciptaan kesempatan kerja yang besar (sebagaimana pada simulasi 10). Peningkatan Kesempatan kerja relatif kecil di kabupaten maupun di kota, mengindikasikan bahwa jenis investasi didominasi oleh investasi yang bersifat padal modal. Tabel 65. Dampak Peningkatan Investasi 20 % Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 2.05 2.55 5.16 4.59 3.91 3.77 -0.09 -0.02 0.41 0.06 0.21 0.04 -2.47 -1.80 0.40 0.10 1.08 0.73 0.57 0.25 20.00 20.00 0.17 0.17 0.93 0.78 0.88 0.78 0.06 0.09 -0.74 -1.13
Simulasi 15: Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20% Sebagaimana dikatakan bahwa Infrastruktur yang baik adalah merupakan syarat penting (necessary condition) dalam meningkatkan pembangunan ekonomi.Temuan di daerah penelitian membuktikan hal tersebut.
Dengan
Infrastruktur yang lebih baik, maka peningkatan Investasi akan memberikan hasil
211
yang relatif jauh lebih baik pada kemampuan fiskal daerah yaitu meningkat 3.11% di kabupaten dan 2.52% di kota dan secara keseluruhan Penerimaan Pemerintah naik (walaupun DAU menurun). Kemampuan fiskal yang lebih baik menyebabkan Fiskal gap membaik yaitu meningkat menjadi -5.80% di kabupaten dan -2.00% di kota. Peningkatan Investasi 20% dan Infrastruktur 20% berdampak relatif besar terhadap kinerja perekonomian daerah (Tabel 66). Tabel 66. Dampak Peningkatan Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20% Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Reg. Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota (%) (%) 6.59 5.90 9.44 7.60 8.30 6.92 -0.10 -0.09 1.96 1.46 7.65 6.82 -5.80 -2.00 7.96 8.26 2.50 1.25 6.60 6.51 20.00 20.00 20.00 20.00 4.59 4.54 4.59 4.75 0.66 0.34 -1.74 -2.40
Pertumbuhan ekonomi daerah dan penciptaan Kesempatan Kerja masingmasing diatas 4.00% di kabupaten maupun kota. Distribusi Pendapatan membaik, di kota (-2.40) lebih baik dibandingkan kabupaten (-1.74). Dalam hubungan ini maka pengembangkan infrastruktur di wilayah Pantai Barat, dan Dataran Tinggi
212
serta Pantai Timur yang belum memadai seperti jaringan, jembatan,bandara perintis dan pelabuhan, serta peningkatan penyediaan sumber energi, tenaga listrik, dan mengoptimalkan penggunaan daya listrik guna memenuhi kebutuhan industri dan rumah tangga, sebagaimana di arahkan dalam dokumen Propeda Sumatera Utara 2001-2005 menjadi amat relevan dilakukan dan seiring dengan tujuan dari Infrastructur summit dari pemerintah c/q Menko Perekonomian November tahun 2004 yang lalu. Inflasi yang terjadi adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari karena baik Investasi maupun Pembangunan Infrastruktur merupakan peningkatan dari sisi demand (demand pull inflation). Ringkasan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Perubahan Variabel Non Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Sumatera Utara Bagian ini akan memberikan Ringkasan dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Perubahan Variabel Non Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian. Kinerja Fiskal meliputi kemampuan fiskal daerah, pengeluaran dan fiskal gap. Sedangkan Kinerja Perekonomian meliputi PDRB, Kesempatan Kerja, Inflasi dan Distribusi Pendatan. 7.4.1. Kebijakan Fiskal Ringkasan dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 15 Tabel 1. Bagi Hasil Pajak Kenaikan Bagi Hasil Pajak menurunkan PAD di kota dan kabupaten. Fiskal gap membengkak seiring
naiknya Pengeluaran Pemerintah Produk Domestik
213
Regional Bruto dan Kesempatan Kerja membaik, di kota lebih baik dibandingkan dengan di kabupaten.
Inflasi meningkat relatif kecil.
Distribusi Pendapatan
membaik di kota, sedangkan di kabupaten memburuk. Dana Alokasi Umum Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) akan meningkatkan PAD dan . BHP. Fiskal gap membengkak seiring dengan naiknya Pengeluaran Pemerintah . PDRB , Kesempatan kerja
membaik di kabupaten dan
kota.
Distribusi
Pendapatan di kota membaik sedangkan di kabupaten memburuk. Pajak Daerah Peningkatan Pajak Daerah meningkatkan PAD di kabupatenn dan di kota sedangkan DAU dan BHP menurun. Fiskal gap membengkak seiring dengan naiknya Pengeluaran Pemerintah. Kinerja Perekonomian secara umum memburuk. Distribusi Pendapatan kabupaten membaik sedangkan di kota memburuk. Pajak Daerah dan Pengeluaran Pemerintah Peningkatan Pajak Daerah dan Pengeluaran Pemerintah meningkatkan PAD di kabupaten dan kota . Fiskal gap membengkak seiring dengan naiknya Pengeluaran Pemerintah dan menurunnya transfer. Kinerja Perekonomian secara umum baik. Distribusi Pendapatan membaik di kabupaten dan di kota . Retribusi Peningkatan Retribusi meningkatkan PAD di kabupaten dan kota. Fiskal gap seiring dengan naiknya Pengeluaran Pemerintah turunnya DAU dan BHP
214
.Kinerja Perekonomian umumnya memburuk (kecuali Distribusi Pendapatan di kabupaten membaik) Retribusi dan Pengeluaran Pemerintah Peningkatan Retribusi dan Pengeluaran Pemerintah dalam jumlah yang sama meningkatkan PAD di kota dan kabupaten . Fiskal gap seiring dengan naiknya Pengeluaran Pemerintah turunnya BHP. Kinerja Perekonomian semakin membaik ( di kota lebih baik dibanding di kabupaten) PAD dan Pengeluaran Rutin Peningkatan PAD dan Pengeluaran Rutin dalam jumlah yang sama, akan menurunkan DAU. Fiskal gap membengkak karena Pengeluaran pemerintah naik sedangkan DAU turun. Seluruh Kinerja Perekonomian membaik masing-masing lebih baik di kota dibandingkan dengan di kabupaten. PAD dan Pengeluaran Pembangunan Peningkatan PAD dan Pengeluaran Pembangunan dalam jumlah yang sama meningkatkan Pengeluaran Pemerintah. Fiskal gap membaik seiring dengan naiknya Penerimaan Pemerintah. Seluruh variabel Kinerja Perekonomian membaik ( di kota lebih baik dibanding di kabupaten). Realokasi Pengeluaran Rutin menjadi Pengeluaran Pembangunan Realokasi
Pengeluaran
meningkatkan PAD
Rutin
di kota dan
menjadi
kabupaten.
Pengeluaran
Pembangunan
Fiskal gap seiring dengan
Pengeluaran Pemerintah meningkat . Seluruh Kinerja Perekonomian membaik dan
215
laju perbaikan di kota lebih tinggi (kecuali Kesempatan Kerja) dibandingkan dengan di kabupaten. 7.4.2. Perubahan Variabel Non Fiskal Ringkasan dampak perubahan variabel Non Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 15 Tabel 2. Peningkatan Upah Peningkatan Upah berakibat buruk pada seluruh kinerja fiskal dan perekonomian daerah di kabupaten maupun di kota. Kegiatan Ekonomi (PDRB), Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan merosot, diikuti dengan inflasi dikedua daerah penelitian. Peningkatan Upah semata tanpa kebijakan lainnya yang memberikan lingkungan kondusif berusaha tidak baik bagi pembangunan politik dan juga ekonomi. Peningkatan Infrastruktur Peningkatan Infrastruktur sebesar akan meningkatkan kemampuan fiskal PAD di kabupaten dan kota . Fiskal gap membaik walau Pengeluaran Pemerintah naik karena ada peningkatan penerimaan. Kinerja Perekonomian secara umum membaik di kabupaten juga di kota. Peningkatan Upah dan Infrastruktur Peningkatan Upah dan sekaligus Pembangunan Infrastruktur menaikkan PAD di kota dan di kabupaten sedangkan DAU menurun di kota dan kabupaten Kinerja Perekonomian umumnya membaik di kabupaten dan kota.
216
Peningkatan Investasi Peningkatan Investasi meningkatkan kemampuan fiskal daerah terbukti dengan membaiknya Fiskal gap di kabupaten dan kota . Seluruh variabel Kinerja Perekonomian membaik namun relatif kecil menunjukkan betapa kebutuhan investasi baru dibutuhkan. Peningkatan Investasi dan Infrastruktur Peningkatan
Investasi
dan
Infrastruktur
masing-masing
dapat
meningkatkan kemampuan fiskal daerah di kabupaten dan kota . DAU menurun di kabupaten dan kota . Fiskal gap membaik walau Pengeluaran Pemerintah naik. Seluruh variabel Kinerja Perekonomian di kota maupun di kabupaten membaik.
217
BAB VIII. HASIL PERAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH 2006 -2008 8.1. Hasil Peramalan Tanpa Alternatif Kebijakan Peramalan dilakukan dalam periode jangka pendek yaitu tahun 2006-2008. Peramalan dilakukan masing-masing untuk wilayah kabupaten dan kota. 8.1.1. Hasil Peramalan Daerah Kabupaten Hasil Peramalan menunjukan Pajak Daerah menjalani peningkatan Rp.8 241 juta menjadi Rp.8 621 juta ppada tahun 2007, lalu kemudian naik lagi menjadi Rp.90 117. Pertumbuhan Pajak Daerah adalah rata-rata 4.58 % pertahun. Peramalan juga menunjukan bahwa Retribusi juga meningkat rata-rata 2.81 % pertahun. Peningkatan kedua variabel ini, meningkat PAD dengan rata-rata 3.05 % pertahun selama periode 2006-2008 (Tabel 67). Tabel 67 . Hasil Peramalan Peubah Endogen Tanpa Alternatif Kebijakan Tahun 2006-2008 Daerah Kabupaten Peubah Endogen Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Penge. Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pemb. Infrastruktur (INFRAS) Produk Dom. Reg Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Satuan
2006
2007
2008
Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Km Rp.Juta Jiwa Persen -
8241 3890 14325 102780 18142 205000 -2147 136000 56054 207200 78708 1953 2236500 301 19 77
8621 3999 14762 105637 18687 210125 -2226 184960 57175 214659 81462 2109 2348325 316 21 80
9017 4111 15212 108574 19247 215378 -2308 251546 58319 222387 84314 2278 2465741 332 23 85
Tmbh/ Thn (%) 4.58 2.81 3.05 2.80 3.00 3.00 3.07 3.62 3.66 3.60 3.50 0.80 5.00 5.00 8.00 5.00
218
Variabel fiskal daerah lainnya seperti Dana Alokasi Umum, Bagi Hasil Pajak, Penerimaan Pemerintah, dan Pengeluaran Pemerintah rata-rata bertambah tidak kurang dari 2.0% pertahun selama periode 2006-2008.
Kinerja
Perekonomian khusus PDRB dan Kesempatan Kerja menjalani pertumbuhan yang cukup baik yaitu rata-rata 5 % pertahun, sedangkan Inflasi memburuk dengan laju Peningkatan rata-ata 8 % pertahun. Demikian pula halnya dengan Distribusi Pendapatan, juga memburuk dengan laju kemerosotan 5 %.
Pembangunan
Infrastruktur menduduki tingkat pertumbuhan terendah yakni 0,8 % pertahun. 8.1.2. Hasil Peramalan Daerah Kota Peramalan di Daerah Kota, menunjukkan perilaku serupa dengan daerah kabupaten.
Pajak Daerah, Retribusi dan Pendapatan Asli Daerah mengalami
pertumbuhan rata-rata tidak kurang dari 3 % pertahun. Fiskal gap masih terjadi , karena perilaku kemalasan fiskal (fiskal laziness) yang tetap berlangsung hingga tahun 2008. Pengeluaran-Pengeluaran Pemerintah bertambah masing bertambah diatas 3 % dengan pertumbuhan tertinggi pada pengeluaran pembangunan 10 % (Tabel 68). PDRB dan kesempatan kerja bertambah dengan rata-rata pertumbuhan diatas 5.0 %. Disisi lain tingkat inflasi melaju dengan kecepatan 8.20 % dan Distribusi pendapatan memburuk de ngan laju keburukan rata-rata 6 % pertahun. Seperti di daerah kabupaten, pembangunan infrastruktur menempati tingkat pertumbuhan terendah 6.70 %.
Angka-angka tersebut menunjukan bahwa
kemampuan pemerintah dalam membiayai pembangunan infrastruktur relatif lemah. Oleh sebab itu pula, dalam Infrastructur Summit yang dilakukan pada tahun 2005 pemerintah mengharapkan peran swasta yang lebih besar dalam
219
pembangunan Infrastruktur ke depan. Dari kebutuhan pembangunan Infrastruktur Indonesia dalam 5-10 tahun ke depan sebesar sekitar Rp.1300 Triliun, pemerintah hanya mampu menyediakan sekitar Rp.300 Triliun. Tabel 68 . Hasil Peramalan Peubah Endogen Tanpa Alternatif Kebijakan Tahun 2006-2008 Daerah Kota Peubah Endogen
Satuan
2006
2007
2008
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Peng. Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pemb. Infrastruktur (INFRAS) Produk Dom. Reg Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta Rp.Juta KM Rp.Juta Jiwa Persen -
233 4085 6576 73784 13260 123600 -8458 67270 32710 100563 73265 623 642195 394 19 273
241 4208 6819 76056 14148 127308 -8704 69954 35981 107099 79053 628 683938 417 20 290
251 4334 7071 78399 15096 131127 -8956 72745 39579 114061 85298 632 728394 440 22 307
Tmbh/ Thn (%) 3.38 3.00 3.69 3.08 1.67 3.99 2.59 3.99 10.00 6.50 7.90 0.70 6.50 5.70 8.20 6.00
8.2. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Atas dasar kemampuan daya prediksi model yang dianggab cukup baik maka dilakukan simulasi peramalan dampak desentralisasi fiskal di daerah kabupaten dan kota. Skenario yang dilakukan adalah atas pertimbangan bahwa kondisi ekonomi Sumatera Utara dan kondisi otonomi daerah dalam lima tahun kedepan tidak jauh berbeda dengan kondisi beberapa tahun terakhir dan sekarang. Beberapa kebijakan yang mungkin lebih maju dari keadaan sekarang adalah antara lain: (1). kenaikan upah yang memang agak sulit dihindari untuk menyesuaikan dengan kenaikan harga-harga umumnya, sehingga peningkatan upah hingga 20% sangatlah relevan, (2) Peningkatan PAD sangat mungkin
220
dilakukan hingga 20% dengan meningkatkan tax effort yang lebih baik. Oleh sebab itu skenario yang dilakukan tidaklah berbeda dengan skenario/simulasi dampak yang dilakukan sebelumnya yaitu; 1. Skenario 1: Peningkatan Bagi Hasil Sumber daya Alam 15 %; 2. Skenario 2: Peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 10% 3. Skenario 3: Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60% 4. Skenario 4: Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% 5. Skenario 5: Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Rutin 2.50% 6. Skenario 6: Peningkatkan PAD 20% dan Pengeluaran Pembangunan 4.76% 7. Skenario 7: Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.10% 8. Skenario 8: Peningkatan Upah 20% dan Infrastruktur 20% 9. Skenario 9: Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20% Justifikasi pilihan skenario dapat dilihat pada Lampiran 16. Hasil peramalan selama periode tahun 2006 – 2008 selengkapnya dapat dilihat pada bagian berikut ini. 8.2.1. Skenario 1: Peramalan Dampak Peningkatan BHSDA 15% Terhadap Kinerja Fiskal Daerah dan Perekonomian Daerah Hasil Peramalan menunjukan bahwa bila BHSDA, dinaikan 15 % dari rata-rata BHSDA selama periode penelitian maka, kemampuan fiskal pemerintah daerah menurun baik di daerah kabupaten maupun di kota. Pajak daerah di kota turun (-4,28 %, ) dan di kabupaten (-0.30%). Disisi lain seluruh pos pengeluaran naik rata-rata diatas 0.01 %, tertinggi pengeluaran rutin di kota 0.08 % , terendah
221
adalah pengeluaran pembangunan di kabupaten (0.01%). Penerimaan Pemerintah juga meningkat (Tabel 69). Tabel 69 . Peramalan Dampak Peningkatan BHSDA 15 % Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota -0.30 -4.28 -2.33 -0.88 -1.51 -2.24 0.02 0.01 -0.02 -0.01 0.10 0.07 1.52 1.50 0.10 0.08 0.02 0.01 0.08 0.06 0.01 0.01 0.06 0.04 0.06 0.08 0.05 0.06 0.01 0.01 0.03 0.08
Menurut hasil simulasi, peningkatan BHSDA masing-masing 15% dalam tiga tahun kedepan (2006-2008) akan
meningkatkan PDRB dan Kesempatan
kerja Pada saat yang sama investasi meningkat, diduga karena PDRB meningkat apalagi dengan penurunan Pajak Daerah dan Retribusi yang merupakan insentif bagi investor.
Pembangunan Infrastruktur
di kabupaten maupun di kota
meningkat seiring dengan peningkatan Penerimaan Pemerintah. Inflasi meningkat seiring naiknya Pengeluaran Pemerintah, Investasi dan Pembangunan Infrastruktur.
Kegiatan-kegiatan tadi meningkatkan permintaan
agregat yang menyebabkan inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation).
222
Namun inflasi yang terjadi tidak begitu serius karena pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kesempatan kerja lebih besar dari pada peningkatan inflasi itu sendiri. Sehingga secara real ada peningkatan kesejahteraan pada masyarakat. Hasil-hasil
pembangunan
secara
empiris
memang
tidak
dapat
dibagiratakan pada seluruh sektor perekonomian karena produktivitas tenaga dan modal antara individu maupun antar daerah berbeda-beda. Temuan di daerah penelitian menunjukkan hasil serupa, dimana distribusi Pendapatan semakin memburuk di kabupaten dengan laju perubahan 0.03%, dan di kota 0.08%. Temuan ini semakin menguatkan kekhawatiran akan dampak disparitas dari BHSDA karena timpangnya kepemilikan SDA antar daerah. 8.2.2. Skenario 2: Peramalan Dampak Peningkatan DAU 10% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menurut hasil simulasi, peningkatan DAU berakibat baik pada semua variabel fiskal daerah (kecuali Retribusi turun). Temuan Sinaga dan Siregar (2005) menunjukkan hasil yang serupa yaitu peningkatan DAU berhasil menaikkan PAD, BHP dan Penerimaan Pemerintah. Penurunan Retribusi tidak sampai menurunkan kemampuan fiskal daerah, karena dikonpensasi dengan naiknya Pajak Daerah. Investasi masih bertumbuh (di kabupaten dan kota) ditengah-tengah naiknya Pajak Daerah dan turunnya Retribusi (Tabel 70). Skenario 2 ini berhasil meningkatkan PDRB, kesempatan kerja dan inflasi .Temuan serupa oleh Sinaga dan Siregar (2005) di Sulawesi Selatan . Tingkat pertumbuhan ekonomi (6.77 % di kabupaten dan 11.78 % di kota), dan juga penciptaan lapangan kerja (5.76 % di kabupaten dan 8.81 % di kota) lebih tinggi
223
dibanding laju inflasi, sehingga secara relatif inflasi tidak menjadi masalah. Temuan menarik, Distribusi Pendapatan di kota membaik, sedangkan di kabupaten memburuk.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa SDM dan
institusi kota lebih siap menyongsong desentralisasi fiskal. Dalam tiga tahun kedepan sulit melakukan perubahan SDM dan institusi, sehingga dampaknya tidak berbeda dengan yang ada saat ini. Tabel 70 . Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum 10 % Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota 7.68 14.30 -11.21 -5.67 -3.60 2.30 10.00 10.00 2.23 1.67 7.70 7.23 9.66 12.91 8.26 8.45 3.07 3.01 6.96 6.34 0.97 0.57 3.10 4.79 6.77 11.78 5.76 8.81 0.88 0.50 1.34 -7.58
8.2.3. Skenario 3: Peramalan Dampak Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Hasil simulasi menunjukkan bahwa bila Pajak Daerah dinaikkan rata-rata 15% dan seluruhnya disuntikkan kembali kedalam perekonomian dalam bentuk Pengeluaran Pemerintah (0.60%) maka kemampuan fiskal daerah relatif lebih baik, yang ditunjukkan oleh laju peningkatan PAD masing-masing diatas 10% di
224
kabupaten dan juga di kota. Fiskal gap tetap membengkak di kabupaten dan di kota karena seiring peningkatan Pengeluaran Pemerintah. Skenario 3 ini dapat meningkatkan investasi sebesar 2.60% di kabupaten dan 1.36% di kota dan Pembangunan Infrastruktur masing-masing 1.52% di kabupaten dan 1.07% di kota (Tabel 71). Tabel 71 . Dampak Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Skenario 3 berhasil meningkatkan
Wilayah Kab Kota 15.00 15.00 -5.64 -11.50 2.61 -0.90 0.39 0.81 -0.13 -0.36 1.26 5.11 3.49 4.42 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 2.60 1.36 1.52 1.07 3.04 4.03 3.02 2.09 0.03 0.13 -1.91 -0.71
Kinerja Perekonomian secara
keseluruhan. Produk Domestik Regional Bruto bertumbuh masing-masing diatas 3.00% di kabupaten dan juga di kota. Kesempatan Kerja bertambah yaitu masingmasing diatas 2.00% di kabupaten maupun di kota. Distrubusi Pendapatan juga membaik dengan laju perbaikan rata-rata diatas 1.00%.
Inflasi relatif kecil
225
(kurang dari 1%) jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Artinya secara keseluruhan masyarakat lebih sejahtera. 8.2.4. Skenario 4: Peramalan Dampak Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah Temuan penelitian menunjukkan bahwa bila Retribusi dinaikkan rata-rata 15% dan seluruhnya disuntikkan kembali kedalam perekonomian dalam bentuk Pengeluaran Pemerintah (0.48%) maka PAD meningkat masing-masing 6.08% di kabupaten dan 8.18% di kota. Fiskal gap seiring dengan peningkatan Pengeluaran Pemerintah di kedua daerah penelitian. Skenario 4 dapat meningkatkan investasi 4.08% di kabupaten dan 3.06% di kota dan
Pembangunan Infrastruktur masing-masing diatas 4.00% di
kabupaten maupun di kota (Tabel 72). Tabel 72 . Dampak Peningkatan Retribusi 15 % dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Peubah Endogen Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota -0.45 -2.3 15.00 15.00 8.82 8.08 0.08 0.09 -0.08 -0.03 2.03 2.05 10.54 11.15 0.48 0.48 0.48 0.48 0.48 0.48 4.08 3.06 4.35 5.05 4.08 4.78 2.68 2.87 0.05 0.22 -1.83 -1.12
226
Skenario 4 dapat memperbaiki Kinerja Perekonomian secara keseluruhan. Produk Domestik Regional Bruto bertumbuh masing-masing diatas 4.00%. Kesempatan Kerja bertambah masing-masing diatas 2.50% . Distrubusi Pendapatan membaik dengan laju masing-masing -1.83% di kabupaten dan 1.12% di kota. Inflasi relatif kecil (kurang dari 1%) dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi . Artinya pertumbuhan real ekonomi masih positif, dengan kata lain secara keseluruhan masyarakat lebih sejahtera. 8.2.5. Skenario 5: Peramalan Dampak Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Rutin 2.50% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Temuan penelitian
menunjukkan bahwa bila PAD (Pendapatan Asli
Daerah) dinaikkan 20% diatas rata-rata selama periode penelitian dan seluruhnya disuntikkan kembali kedalam perekonomian dalam bentuk Pengeluaran Rutin (2.50%) maka DAU dan Bagi Hasil Pajak (BHP) akan berkurang . Fiskal gap membesar baik di kabupaten (9.70%) dan di kota (10.19%) seiring dengan peningkatan Pengeluaran Pemerintah (Tabel 73). Skenario 5 dapat meningkatkan investasi kabupaten dan 0.90% di kota dan
masing-masing 1.48% di
Pembangunan Infrastruktur yaitu masing-
masing 7.08% di kabupaten dan 8.01% di kota. Skenario 5 dapat memperbaiki Kinerja Perekonomian. Produk Domestik Regional Bruto bertumbuh masing-masing diatas 3.90% di kabupaten dan kota. Kesempatan Kerja bertambah masing-masing diatas 2.90% . Distrubusi Pendapatan membaik yaitu masing-masing -1.24% di kabupaten dan -1.14% di kota.
227
Tabel 73 . Dampak Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Rutin 2.50% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No Peubah Endogen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 20.00 -0.58 -0.48 -0.30 -0.63 2.30 1.30 9.70 10.19 2.50 2.50 1.01 1.05 2.12 2.13 1.48 0.90 7.08 8.01 4.62 3.97 3.65 2.93 0.14 0.26 -1.24 -1.14
Inflasi adalah konsekuensi dari naiknya permintaan dan biaya produksi Namun Inflasi relatif kecil (kurang dari 1%) jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi. Artinya pertumbuhan real ekonomi masih positif, dengan kata lain secara keseluruhan masyarakat lebih sejahtera.
8.2.6. Skenario 6. Peramalan Dampak Peningkatkan PAD 20% dan Pengeluaran Pembangunan 4.76% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah. Pengeluaran pemerintah penting selain Pengeluaran Rutin adalah Pengeluaran Pembangunan.
Jenis Pengeluaran yang disebut terakhir ini,
jumlahnya tidak sebesar jenis yang pertama namun merupakan bentuk peran pemerintah dalam meningkatkan kapasitas produksi daerahnya.
Kedua
pengeluaran tadi akan meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian. Meningkatkan PAD, artinya adalah menambah beban ekonomi masyarakat.
228
Dengan kata lain ada tekanan terhadap kegiatan berusaha dalam masyarakat. Menurur Hall dan Taylor (1993), bila kebijakan yang bersifat kontrantif (meningkatkan PAD) diikuti dengan kebijakan yang ekspansif (meningkatkan pengeluaran pembangunan) dengan nilai yang sama, maka perekonomian mendapat tambahan yang sama dengan tambahan ekspansi tadi karena multiplier
effect pengeluaran lebih besar dari multiplier effect pajak. Skenario 6 berakibat penurunan DAU dan Bagi Hasil Pajak (BHP) kabupaten dan kota masing-masing kurang dari 1.00%. Fiskal gap membesar seiring dengan peningkatan Pengeluaran Pemerintah. Skenario 6 , berhasil meningkatkan investasi masing-masing 1.98% di kabupaten dan 2.06% di kota dan Pembangunan Infrastruktur masing-masing 2.40% di kabupaten dan 1.91% di kota (Tabel 74). Tabel 74 . Dampak Peningkatkan PAD 20% dan Pengeluaran Pembangunan 4.76% Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Peubah Endogen Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 -0.05 -0.07 -0.41 -0.81 2.13 2.60 11.12 10.02 2.57 2.67 4.76 4.76 3.25 3.19 1.98 2.06 2.40 1.91 4.05 4.55 3.59 3.11 0.02 0.22 -2.74 -2.73
229
Skenario 6 berhasil meningkatkan Kinerja Perekonomian secara keseluruhan. Produk Domestik Regional Bruto bertumbuh masing-masing diatas 4.00% di kabupaten dan juga di kota. Kesempatan Kerja masing-masing diatas 3.00% . Distrubusi Pendapatan juga membaik dengan laju rata-rata diatas 2.00%. Inflasi yang terjadi relatif kecil (kurang dari 1%) jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi . Artinya pertumbuhan real ekonomi masih positif di kabupaten (4.03%) dan di kota (4.33%). 8.2.7. Skenario 7. Peramalan Dampak Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.1% Hasil simulasi menunjukkan bahwa realokasi Pengeluaran Rutin 20% menjadi Pengeluaran Pembangunan 38.1% dapat meningkatkan seluruh kinerja fiskal (kecuali Fiskal gap). Pembengkakan Fiskal gap lebih disebabkan naiknya Pengeluaran
Pemerintah . Hasil simulasi juga menunjukkan investasi yang
semakin baik di kabupaten (0.50%) maupun di kota (1.16%) dan Pembangunan Infrastruktur dengan laju peningkatannya diatas 6.00% (Tabel 75). Skenario 6 menghasilkan perbaikan secara umum terhadap kinerja perekonomian daerah.. PDRB dan Kesempatan Kerja meningkat dengan laju diatas 5.5%
untuk kabupaten dan kota. Distribusi Pendapatan semakin baik
dengan laju peningkatan masing-masing -1.50% di kabupaten dan -1.59 di kota. Inflasi yang terjadi lebih kecil dari laju pertumbuhan PDRB, sehingga pertumbuhan ekonomi real masih positif yaitu 5.58% di kabupaten dan 5.64% di kota. Dengan kata lain, realokasi Pengeluaran Rutin menjadi Pengeluaran Pembangunan menyebabkan
pendapatan semakin besar, semakin banyak
kesempatan kerja yang tercipta serta semakin baik tingkat pemerataannya.
230
Tabel 75. Dampak Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.1.% Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah No Peubah Endogen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota 1.2 1.82 0.89 1.26 1.01 1.48 1.53 1.41 1.10 1.18 1.70 1.30 1.42 1.70 -20.00 -20.00 38.10 38.10 0.00 0.00 0.50 1.16 6.80 6.10 5.70 5.80 0.16 0.18 0.12 0.14 -1.50 -1.59
8.3. Hasil Peramalan Dampak Perubahan Variabel Non Fiskal 8.3.1. Skenario 8: Peramalan Dampak Peningkatan Upah 20% dan Infrastruktur 20% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah. Upah adalah beban bagi investor , bilamana penetapannya tidak tepat akan menyebabkan investasi berkurang, yang pada gilirannya akan menurunkan kegiatan ekonomi. Namun kebijakan menaikkan upah secara berkala, mis:UMP (upah minimum provinsi) adalah suatu hal yang tidak dapat dihidari, karena pembangunan ekonomi tidak hanya harus dinikmati pengusaha tapi juga oleh pengusaha dan pekerja dan secara bersama-sama. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan Upah 20% bersama-sama
dengan
Pembangunan
Infrastruktur
20%
ternyata
secara akan
231
meningkatkan PAD di kabupaten (3.44%) dan di kota (3.20 %). Fiskal Defisist membaik, walau Pengeluaran Pemerintah meningkat,
dengan laju penurunan
defisit di kota (-1.89%) dan kabupaten (-1.27%) (Tabel 76). Tabel 76. Peramalan Peningkatan Dampak Peningkatan Upah 20% dan Infrastruktur 20 % Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota 2.62 3.68 3.99 2.88 3.44 3.20 -0.15 -0.49 1.53 2.08 1.27 1.87 -1.27 -1.89 1.29 1.30 1.14 1.03 1.25 1.23 2.15 2.10 20.00 20.00 2.48 2.10 3.06 2.03 0.36 0.33 -0.95 -0.52
Hasil simulasi serupa menunjukkan perbaikan kinerja perekonomian. PDRB ,Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan. Inflasi di kabupaten (0.36%) dan di kota (0.33%) relatif kecil dibandingkan dengan laju pertumbuhan yang tinggi di kabupaten (2.48%) dan di kota (2.10%), sehingga pertumbuhan ekonomi real relatif tinggi di kabupaten (2.12%) dan di kota (1.74%).
232
8.3.2. Skenario 9: Peramalan Dampak Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah. Menurut Jhingan (1993), Infrastruktur yang baik adalah merupakan syarat penting (necessary condition) bagi Investasi yang baik. Investasi yang baik dan didukung oleh infrastruktur yang baik akan meningkatkan kinerja perekonomian. Temuan di daerah penelitian membuktikan hal tersebut.
Bila
Infrastruktur
ditingkatkan kualitas maupun jumlahnya , maka bersama-sama Investasi secara simultan keduanya memberikan hasil yang relatif jauh lebih baik pada kemampuan fiskal daerah (meningkat 3.41% di kabupaten dan 2.92% di kota). Tabel 77 . Peramalan Dampak Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pajak Daerah (TAXDA) Retribusi (RETRIB) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak (BHP) Penerimaan Pemerintah (TGREV) Fiskal gap (FISGAP) Pengeluaran Rutin (RUEXP) Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP) Pengeluaran Pemerintah (TGEXP) Investasi (INVDA) Pembangunan Infrastruktur (INFRAS) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kesempatan Kerja (BKERJA) Tingkat Inflasi (INFLADA) Distribusi Pendapatan (DISTRIB)
Wilayah Kab Kota 6.99 5.99 8.44 7.16 7.86 6.69 -0.10 -0.09 1.96 1.46 7.65 6.82 -4.80 -2.20 7.90 7.55 2.50 1.25 6.55 5.97 20.00 20.00 20.00 20.00 4.79 4.84 4.50 4.37 0.66 0.34 -1.74 -2.40
Walau DAU menurun. Fiskal gap membaik seiring dengan Peningkatan kemampuan fiskal. Skenario 9 berhasil meningkatkan kinerja perekonomian daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah dan penciptaan Kesempatan Kerja masing-
233
masing diatas 4.30% di kabupaten maupun kota .
Distribusi Pendapatan
membaik ( di kota (-2.40%) relatif lebih baik dibandingkan kabupaten (-1.74%) Inflasi adalah konsekuensi dari sisi demand (infrastruktur dan investasi). Namun secara Inflasi tidak mengganggu karena pertumbuhan ekonomi relatif jauh lebih besar. 8.4. Ringkasan Peramalan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Perubahan Variabel Non Fiskal 8.4.1. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Ringkasan peramalan dampak kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Sumatera Utara Tahun 2006-2008 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 17 Tabel 1. Bagi Hasil Sumber Daya Alam Peningkatan Bagi Hasil Sumber Daya Alam 15% akan menurunkan PAD dan BHP di kabupaten dan kota. Fiskal gap naik seiring dengan peningkatkan Pengeluaran Pemerintah. Pendapatan dan Kesempatan Kerja membaik di kabupaten maupun di kota.Sedangkan Inflasi dan Distribusi Pendapatan memburuk di kedua daerah. Dana Alokasi Umum Peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 10% akan meningkatkan PAD dan Pengeluaran Pemerintah di kabupaten dan kota. Fiskal gap membesar seiring dengan kenaikan Pengeluaran Pemerintah. PDRB , Kesempatan Kerja meningkat . Inflasi meningkat relatif kecil, sedangkan Distribusi Pendapatan membaik di kota, sedangkan di kabupaten memburuk.
234
Pajak Daerah dan Pengeluaran Pemerintah Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pembangunan 0.60% akan menaikkan PAD dan Pengeluaran Pemerintah kabupaten dan kota. Fiskal gap seiring dengan penignkatan Pengeluaran Pemerintah. PDRB, Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan semakin baik di kabupaten dan di kota. Inflasi yang relatif kecil terjadi di kabupaten dan kota. Retribusi dan Pengeluaran Pemerintah Meningkatkan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% akan menaikkan kemampuan PAD kabupaten dan kota.
Fiskal gap membengkak
karena Pengeluaran Pemerintah naik lebih besar dibanding kenaikan PAD. PDRB, Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan semakin membaik di daerah kabupaten maupun kota. Inflasi di kota lebih tinggi dibandikan kabupaten . Pendapatan Asli Daerah dan Pengeluaran Rutin Kenaikan PAD 20% dan Pengeluaran Rutin 2.50% akan meningkatkan Pengeluaran Pemerintah di kabupaten dan kota. Fiskal gap membengkak di kota dan kabupaten.
Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan di kabupaten
maupun kota semakin baik Pendapatan Asli Daerah dan Pengeluaran Pembangunan Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Pembangunan 4.76% akan meningkatkan Pengeluaran Pemerintah, sedangkan DAU dan BHP menurun di kabupaten dan kota .Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan semakin membaik di daerah kabupaten maupun kota.
235
Realokasi Pengeluaran Rutin menjadi Pengeluaran Pembangunan Realokasi Pengeluaran Rutin 20% menjadi Pengeluaran Pembangunan 38.1% akan meningkatkan PAD, Pengeluaran Pemerintah dan Fiskal gap di kota dan kabupaten. Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan semakin membaik Inflasi di kota lebih tinggi dibandingkan kabupaten 8.4.2. Perubahan Variabel Non Fiskal Ringkasan peramalan dampak perubahan variabel Non Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Sumatera Utara Tahun 2006-2008 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 17 Tabel 2. Upah dan Infrastruktur Peningkatan Upah 20% dan Pembangunan Infrastruktur 20% akan meningkatkan PAD di kota dan kabupaten. Fiskal gap , PDRB, Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan semakin baik. Inflasi di kota lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten. Investasi dan Infrastruktur Peningkatan Investasi dan Infrastruktur masing-masing 20% akan menaikkan PAD di kabupaten dan kota . Fiskal gap membaik dan Inflasi di kota lebih tinggi dibandingkan kabupaten.
236
BAB IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Kesimpulan Beberapa kesimpulan penting yang dapat ditemukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Kebijakan Desentralisasi Fiskal berhasil meningkatkan kemampuan fiskal di daerah kabupaten maupun di kota, namun karena kebutuhan fiskal daerah untuk membiayai pengeluaran pemerintah juga meningkat lebih besar maka daerah memiliki ketergantungan kepada pemerintah pusat untuk menjalankan roda
pemerintahan
dan
pelayanan
publik
dengan
baik.
Ironisnya
ketergantungan tersebut justru semakin besar pada pemerintah daerah kabuputen/kota yang adalah daerah otonomi yang sesungguhnya. Sedangkan ketergantungan pemerintah daerah provinsi, yang adalah wakil pemerintah pusat, semakin mengecil. 2. Kemampuan daerah (kabupaten maupun kota) dalam menghimpun dana dari daerahnya sendiri lebih ditentukan oleh tingkat perekonomian serta besarnya Fiskal gap tersebut.
Daerah ”kaya” lebih mampu mengimpun dana
dibandingkin dearah ”miskin”. Namun yang menarik adalah makin tinggi Fiskal gap kabupaten maupun kota maka makin besar tekanan untuk meningkatkan pendapatan asli masing-masing daerah. 3. Terjadi pergeseran sumber penerimaan utama kabupaten/kota dari Retribusi menjadi ke Pajak daerah. 4. Fiskal gap selalu terjadi. Hal ini terus berlangsung karena Defisit tersebut selalu ditutupi oleh pemerintah pusat. Dengan kata lain kebijakan ”boleh
237
defisit” yang dianut selama periode penelitian membuat ”defisit” cenderung akan selalu terjadi terjadi, karena tidak ada penalty bagi anggaran yang Defisit. 5. Dampak Pengeluaran Pemerintah (Rutin maupun Pembangunan) lebih bersifat
inflatory di kota dibandingkan dengan di kabupaten. 6. Dampak mekanisme transfer DAU sebagai equalization transfer dari Pusat ke Sumatera Utara berhasil memperbaiki tingkat pendapatan masyarakat (PDRB), Kesempatan Kerja di kabupaten maupun di kota. 7. Sumber daya manusia dan sistem kelembagaan di kota relatif lebih mampu merespon perubahan sistem ekonomi politik dalam era desentralisasi fiskal, terbukti dari dampak pemerataan DAU di kota berhasil dengan baik sedangkan di kabupaten adalah sebaliknya, yaitu dampak pemerataan kurang baik. 8. Semua kebijakan desentralisasi fiskal bersifat ekspansif dalam perekonomian daerah, sehingga selalu menyebabkan inflasi di kabupaten maupun di kota, namun pada angka yang cukup moderat (rata-rata kurang dari 1.00%). 9. Kebijakan-kebijakan
yang bersifat kontraktif seperti peningkatan Pajak
Daerah ataupun Retribusi akan berdampak pada stagflasi ekonomi bila tidak diikuti dengan kebijakan yang bersifat ekspansif (dalam bentuk pengeluaran pemerintah) dan dalam jumlah yang relatif sama. 10.
Kinerja Perekonomian ditentukan oleh kondisi infrastruktur dan investasi serta tingkat kepastian berusaha.
11. Peningkatan PAD bila sepenuhnya digunakan untuk membiayai belanja rutin, maka akan menghasilkan kinerja perekonomian yang lebih baik di kabupaten
238
maupun di kota, namun secara umum kinerja di kota lebih baik dibandingkan dengan di kabupaten , barangkali karena PNS pada umumnya beraktivitas di kota. 12. Peningkatan PAD bila sepenuhnya digunakan untuk membiayai belanja pembangunan, maka akan menghasilkan kinerja perekonomian yang lebih baik di kabupaten maupun di kota, namun secara umum kinerja di kota lebih baik dibandingkan dengan di kabupaten semakin menunjukkan betapa SDM maupun sistem kelembagaan di kota lebih responsif menyongsong desentralisasi fiskal.
Temua ini juga menujukkan betapa pembangunan
ekonomi bias kota. 13. Dayacipta Kesempatan Kerja dari pengeluaran pemerintah (baik dalam bentuk Pengeluaran Rutin maupun Pengeluaran Pembangunan) di kabupaten lebih besar dibandingkan dengan di kota. 14. Kebijakan peningkatan Retribusi menyebabkan Pemerataan ”kemiskinan” di Sumatera Utara. 15. Kebijakan yang bersifat paduan (mix policy) selalu memberikan dampak yang baik terhadap Distribusi Pendapatan di kabupaten maupun di kota 9.2. Implikasi Kebijakan 1. Agar pemerintah melakukan efisiensi di pos Pengeluaran Rutin dan mengalokasikannya kembali pada pos Pengeluaran Pembangunan karena memberikan dampak yang relatif baik pada kinerja fiskal dan perekonomian di kabupaten maupun kota. 2. Untuk menekan biaya transaksi dalam menanggulangi Fiskal gap sebaiknya pemerintah pusat mengalihkan sumber-sumber penerimaan yang lebih besar
239
kepada pemerintah daerah sedemikian rupa hingga fiskal gap seminimum mungkin. 3.
Untuk mendapatkan output yang baik bagi pekerja dan juga pengusaha, maka pemerintah daerah harus selalu memperhatikan kenaikan upah para pekerja namun dengan peningkatan pembangunan infrastruktur yang proporsional, agar beban kenaikan upah terkompensasi dengan kemudahan infrastruktur yang diperoleh pengusaha.
4. Guna mengembalikan iklim investasi pada kondisi sebelum krisis ekonomi, maka pembangunan infrastruktur harus segera dilaksanakan, karena pembangunan infrastruktur merupakan syarat penting bagi peningkatan jumlah investasi di Sumatera Utara.
Apalagi dalam arah pembangunan
ekonomi di Sumatera Utara (Propeda SUMUT 2001-2005) ditekankan pentingnya pembangunan infrastruktur ini, terutama di daerah-daerah tertentu seperti wilayah Pantai Barat, Dataran Tinggi dan Pantai Timur. 5. Mengingat jumlah
DAU (yang adalah komponen terbesar dari transfer)
sesungguhnya lebih bersifat ”given” bagi pemerintah daerah, walau memberikan dampak yang bagi kinerja fiskal dan perekonomian, namun perhatian harus lebih ditingkatkan pada kemapauan fiskal daerah (PAD: sepenuhnya berada dibawah kendali pemerintah daerah) serta perbaikan pengelolaan sumber daya alam, untuk dapat meningkatkan penerimaan dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam dan juga Bagi Hasil Pajak. . 6. Setuju atau tidak pembangunan ekonomi yang terjadi selalu bias kota, maka untuk tidak memperbesar kesenjangan antara desa dan kota maka perlu dilakukan terobosan dalam pemilihan kebijakan yang bias desa.
240
9.3. Saran Penelitian Lanjutan Sehubungan dengan keterbatasan penelitian, sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini, maka guna mendapatkan hasil penelitian yang lebih komprehensive maka beberapa masukan berikut ini dapat menjadi pertimbangan untuk penelitian lanjutan: 1. Memasukkan Dana Dekonsentrasi kedalam Dana transfer dari pemerintah pusat. Peranan Dana dekonsentrasi relatif besar dalam penerimaan daerah, dan diduga berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah Sumatera Utara. 2. Melakukan evaluasi dan peramalan dampak desentralisasi fiskal menurut sektor produksi untuk mendapatkan hasil analisis dan implikasi kebijakan yang lebih spesifik dan mendalam 3. Memasukkan sektor ekspor-impor antara kabupaten/kota kedalam model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara guna mendapatkan gambaran interaksi perekonomian antara daerah. 4. Mengevaluasi dan meramalkan dampak interregional kebijakan fiskal di Sumatera Utara, guna mendapatkan sumbangan perekonomian Sumatera Utara terhadap perekonoian nasional secara keseluruhan.
Lampiran 1. Keterangan Variabel Dalam Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Variabel RUEXP LRUEXP DEVEXP LDEVEXP TGEXP TGREV PAD DAU LDAU PDRB FISGAP BHSDA BHP LBHP DAK TAXDA LTAXDA RETRIB LRETRIB BUMD PADLAIN SIAP PINJAM BPEGAWAI REVLAIN
Keterangan Variabel Pengeluaran Rutin Pemerintah Daerah Pengeluaran Rutin Pemerintah Daerah Tahun Lalu Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah Tahun Lalu Total Pengeluaran Pemerintah daerah (=RUEXP + DEVEXP) Total Penerimaan Pemerintah Daerah Pendapatan Asli Daerah Penerimaan Dana Alokasi Umum Penerimaan Dana Alokasi Umum Tahun Lalu Produk Domestik Regional Bruto Kesenjangan Fiskal Penerimaan dari Bagi Hasil Sumberdaya Alam Penerimaan dari Bagi Hasil Pajak Penerimaan dari Bagi Hasil Pajak Tahun Lalu Penerimaan dari Dana Alokasi Khusus Penerimaan dari Pajak Daerah Penerimaan dari Pajak Daerah Tahun Lalu Penerimaan dari Retribusi Penerimaan dari Retribusi Tahun Lalu Penerimaan dari Laba BUMD Penerimaan PAD lainnya, selain TAXDA RETRIB dan BUMD Sisa Anggaran tahun lalu Pinjaman yang dilakukan daerah dari luar negeri maupun luar negeri. Jumlah Belanja Pegawai Penerimaan lain daerah selain PAD, BHP, DAU, DAK,BHSDA dan PINJAM
Satuan Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah Juta Rupiah
247
Lampiran 1. Lanjutan No 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Nama Variabel INVDA SUBUDA UPAHDA INFRAS INFLADA BKERJA LUAS MOTOR POP MISKIN DISTRIB DK 98
38
DDF
39 40 41
CV s X
Keterangan Variabel Nilai Investasi di daerah Suku Bunga di Daerah Tingkat Upah di Daerah Pembangunan Infrastruktur di Daerah Tingkat Inflasi di Daerah Jumlah Kesempatan Kerja Daerah Luas Wilayah (Km persegi) Jumlah Kenderaan bermotor Jumlah Penduduk Jumlah Orang Miskin Distribusi Pendapatan di Daerah Dummy Krisis 98 (DK 98 = 1, krisis ekonomi tahun 1998 berpengaruh nyta dan DK 98 = 0, krisis ekonomi tahun 1998 tidak berpengaruh nyata) Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF = 1, ada perbedaan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal dan DDF=0, tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal) Coefficient variation Simpangan Baku PDRB kabupaten dan kota Rata-rata PDRB kabupaten dan kota
Satuan Juta Rupiah Persen Ribu Rupiah KM Persen Ribu Jiwa Km persegi Unit Ribu Jiwa Ribu Jiwa -
Juta Rupiah Juta Rupiah
248
Lampiran 2 . Data Fiskal dan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990-2003
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Kab/Kota Kriteria DK97 DK98 TREND DDF Nias 1 0.0 0.0 0.0 0.0 Nias 1 0.0 0.0 1.0 0.0 Nias 1 0.0 0.0 2.0 0.0 Nias 1 0.0 0.0 3.0 0.0 Nias 1 0.0 0.0 4.0 0.0 Nias 1 0.0 0.0 5.0 0.0 Nias 1 0.0 0.0 6.0 0.0 Nias 1 1.0 0.0 7.0 0.0 Nias 1 0.0 1.0 8.0 0.0 Nias 1 0.0 0.0 9.0 0.0 Nias 1 0.0 0.0 10.0 0.0 Nias 1 0.0 0.0 11.0 1.0 Nias 1 0.0 0.0 12.0 1.0 Nias 1 0.0 0.0 13.0 1.0 Nias 1 0.0 0.0 14.0 1.0 Tapsel 2 0.0 0.0 0.0 0.0 Tapsel 2 0.0 0.0 1.0 0.0 Tapsel 2 0.0 0.0 2.0 0.0 Tapsel 2 0.0 0.0 3.0 0.0 Tapsel 2 0.0 0.0 4.0 0.0 Tapsel 2 0.0 0.0 5.0 0.0 Tapsel 2 0.0 0.0 6.0 0.0 Tapsel 2 1.0 0.0 7.0 0.0 Tapsel 2 0.0 1.0 8.0 0.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) 47 99 401 0.0 126 98 441 0.0 455 161 484 0.0 290 122 634 0.0 140 158 685 0.0 1328 184 710 0.0 344 238 697 0.0 340 330 769 0.0 1180 494 387 0.0 1321 752 1313 0.0 5070 797 444 0.0 8046 2136 822 0.0 12204 1915 1590 184.0 23050 4773 4474 270.0 38954 6634 6129 396.0 395 371 933 46.2 193 393 1049 50.2 158 417 1063 49.9 893 716 1147 51.2 2135 845 1368 114.0 2301 977 1612 210.1 1155 1207 1823 250.3 1118 1360 2151 259.2 880 1208 1107 240.9
249
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Kab/Kota Kriteria DK97 DK98 TREND DDF Tapsel 2 0.0 0.0 9.0 0.0 Tapsel 2 0.0 0.0 10.0 0.0 Tapsel 2 0.0 0.0 11.0 1.0 Tapsel 2 0.0 0.0 12.0 1.0 Tapsel 2 0.0 0.0 13.0 1.0 Tapsel 2 0.0 0.0 14.0 1.0 Tapteng 3 0.0 0.0 0.0 0.0 Tapteng 3 0.0 0.0 1.0 0.0 Tapteng 3 0.0 0.0 2.0 0.0 Tapteng 3 0.0 0.0 3.0 0.0 Tapteng 3 0.0 0.0 4.0 0.0 Tapteng 3 0.0 0.0 5.0 0.0 Tapteng 3 0.0 0.0 6.0 0.0 Tapteng 3 1.0 0.0 7.0 0.0 Tapteng 3 0.0 1.0 8.0 0.0 Tapteng 3 0.0 0.0 9.0 0.0 Tapteng 3 0.0 0.0 10.0 0.0 Tapteng 3 0.0 0.0 11.0 1.0 Tapteng 3 0.0 0.0 12.0 1.0 Tapteng 3 0.0 0.0 13.0 1.0 Tapteng 3 0.0 0.0 14.0 1.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) 2447 1477 1221 0.0 7993 1472 1459 0.0 10843 2426 2433 0.0 32367 4482 6389 50.0 27353 6893 7658 120.0 29860 5686 9179 120.0 158 60 270 1.1 243 86 389 0.8 424 102 450 0.3 711 130 558 0.5 956 172 621 4.9 701 216 760 21.2 226 245 916 52.6 183 289 963 73.4 2048 536 621 59.2 2836 592 569 0.0 3000 551 465 0.0 2955 900 700 0.0 25021 1317 1291 54.0 29250 1631 1095 54.0 27135 2019 1192 54.0
250
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Kab/Kota Kriteria DK97 DK98 TREND DDF Taput 4 0.0 0.0 0.0 0.0 Taput 4 0.0 0.0 1.0 0.0 Taput 4 0.0 0.0 2.0 0.0 Taput 4 0.0 0.0 3.0 0.0 Taput 4 0.0 0.0 4.0 0.0 Taput 4 0.0 0.0 5.0 0.0 Taput 4 0.0 0.0 6.0 0.0 Taput 4 1.0 0.0 7.0 0.0 Taput 4 0.0 1.0 8.0 0.0 Taput 4 0.0 0.0 9.0 0.0 Taput 4 0.0 0.0 10.0 0.0 Taput 4 0.0 0.0 11.0 1.0 Taput 4 0.0 0.0 12.0 1.0 Taput 4 0.0 0.0 13.0 1.0 Taput 4 0.0 0.0 14.0 1.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 0.0 0.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 1.0 0.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 2.0 0.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 3.0 0.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 4.0 0.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 5.0 0.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 6.0 0.0 Lab.Batu 5 1.0 0.0 7.0 0.0 Lab.Batu 5 0.0 1.0 8.0 0.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) 644 2597 2031 0.0 1029 1011 863 10.0 568 2167 887 10.0 1149 2346 1003 20.0 621 2296 1043 56.0 1289 2432 1336 51.3 915 2992 1337 92.3 2287 3478 1466 107.5 2089 1762 833 768.0 5757 1432 4069 0.0 6959 1207 3840 0.0 13182 1726 2778 12.0 37475 6162 8444 11.3 18828 7489 10721 44.0 28151 6825 13612 44.0 164 262 691 66.5 568 308 805 48.2 59 283 821 24.9 676 391 777 32.9 263 486 977 111.4 573 872 3044 218.3 561 1023 3150 342.0 2756 1243 3121 399.2 2200 1670 1101 313.1
251
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Kab/Kota Kriteria DK97 DK98 TREND Lab.Batu 5 0.0 0.0 9.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 10.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 11.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 12.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 13.0 Lab.Batu 5 0.0 0.0 14.0 Asahan 6 0.0 0.0 0.0 Asahan 6 0.0 0.0 1.0 Asahan 6 0.0 0.0 2.0 Asahan 6 0.0 0.0 3.0 Asahan 6 0.0 0.0 4.0 Asahan 6 0.0 0.0 5.0 Asahan 6 0.0 0.0 6.0 Asahan 6 1.0 0.0 7.0 Asahan 6 0.0 1.0 8.0 Asahan 6 0.0 0.0 9.0 Asahan 6 0.0 0.0 10.0 Asahan 6 0.0 0.0 11.0 Asahan 6 0.0 0.0 12.0 Asahan 6 0.0 0.0 13.0 Asahan 6 0.0 0.0 14.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) DDF 0.0 4714 2598 1577 0.0 0.0 507 3192 1576 0.0 1.0 8999 3086 3120 1.5 1.0 17760 5089 4227 25.0 1.0 30012 5897 8337 72.0 1.0 43012 6841 10838 72.0 0.0 686 1518 758 72.9 0.0 357 781 753 47.8 0.0 777 988 775 15.6 0.0 604 898 617 16.8 0.0 920 1396 650 120.8 0.0 64 2104 865 202.6 0.0 634 2695 1147 392.9 0.0 263 2892 1304 394.1 0.0 742 3089 1223 355.7 0.0 1631 6437 1701 0.0 0.0 6132 5958 2448 0.0 1.0 10090 12476 2328 0.0 1.0 18349 14300 3097 0.0 1.0 3113 15113 3905 0.0 1.0 10731 15993 4924 0.0
252
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Kab/Kota Kriteria DK97 DK98 TREND DDF Simalung 7 0.0 0.0 0.0 0.0 Simalung 7 0.0 0.0 1.0 0.0 Simalung 7 0.0 0.0 2.0 0.0 Simalung 7 0.0 0.0 3.0 0.0 Simalung 7 0.0 0.0 4.0 0.0 Simalung 7 0.0 0.0 5.0 0.0 Simalung 7 0.0 0.0 6.0 0.0 Simalung 7 1.0 0.0 7.0 0.0 Simalung 7 0.0 1.0 8.0 0.0 Simalung 7 0.0 0.0 9.0 0.0 Simalung 7 0.0 0.0 10.0 0.0 Simalung 7 0.0 0.0 11.0 1.0 Simalung 7 0.0 0.0 12.0 1.0 Simalung 7 0.0 0.0 1.0 1.0 Simalung 7 0.0 0.0 14.0 1.0 Dairi 8 0.0 0.0 0.0 0.0 Dairi 8 0.0 0.0 1.0 0.0 Dairi 8 0.0 0.0 2.0 0.0 Dairi 8 0.0 0.0 3.0 0.0 Dairi 8 0.0 0.0 4.0 0.0 Dairi 8 0.0 0.0 5.0 0.0 Dairi 8 0.0 0.0 6.0 0.0 Dairi 8 1.0 0.0 7.0 0.0 Dairi 8 0.0 1.0 8.0 0.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) 584 330 670 89.4 68 377 776 53.9 82 604 864 16.0 286 831 1043 16.7 625 923 1111 102.1 581 1147 1271 181.5 1151 1235 1451 308.4 968 1273 1920 358.1 315 1662 1330 327.4 201 3350 1345 0.0 507 3192 1576 0.0 5723 7990 2574 0.0 8573 9180 3300 0.0 9260 10193 5133 0.0 10001 11318 7984 0.0 45 147 397 24.3 40 128 397 20.0 15 129 420 4.2 271 126 482 8.3 42 152 516 32.2 108 253 650 33.1 74 251 714 39.1 277 278 906 52.5 363 238 494 56.3
253
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Kab/Kota Kriteria DK97 DK98 TREND Dairi 8 0.0 0.0 9.0 Dairi 8 0.0 0.0 10.0 Dairi 8 0.0 0.0 11.0 Dairi 8 0.0 0.0 12.0 Dairi 8 0.0 0.0 13.0 Dairi 8 0.0 0.0 14.0 Karo 9 0.0 0.0 0.0 Karo 9 0.0 0.0 1.0 Karo 9 0.0 0.0 2.0 Karo 9 0.0 0.0 3.0 Karo 9 0.0 0.0 4.0 Karo 9 0.0 0.0 5.0 Karo 9 0.0 0.0 6.0 Karo 9 1.0 0.0 7.0 Karo 9 0.0 1.0 8.0 Karo 9 0.0 0.0 9.0 Karo 9 0.0 0.0 10.0 Karo 9 0.0 0.0 11.0 Karo 9 0.0 0.0 12.0 Karo 9 0.0 0.0 13.0 Karo 9 0.0 0.0 14.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) DDF 0.0 1216 371 611 0.0 0.0 2197 424 704 0.0 1.0 2874 862 2547 0.0 1.0 10728 941 2717 0.0 1.0 11403 1027 2898 0.0 1.0 12121 1121 3092 0.0 0.0 20 323 760 6.9 0.0 90 439 880 4.2 0.0 163 492 1034 11.3 0.0 109 1273 1226 16.5 0.0 223 721 1222 25.5 0.0 231 917 1779 33.6 0.0 287 1135 2059 60.8 0.0 247 1107 2348 79.4 0.0 430 1931 4094 138.4 0.0 132 1444 1922 0.0 0.0 1719 1292 1455 0.0 1.0 5214 2374 1925 0.0 1.0 9691 3213 3751 10.0 1.0 15446 3223 3695 20.0 1.0 24617 3232 3695 20.0
254
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Kab/Kota Kriteria DK97 DK98 TREND DDF D.Serdang 10 0.0 0.0 0.0 0.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 1.0 0.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 2.0 0.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 3.0 0.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 4.0 0.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 5.0 0.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 6.0 0.0 D.Serdang 10 1.0 0.0 7.0 0.0 D.Serdang 10 0.0 1.0 8.0 0.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 9.0 0.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 10.0 0.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 11.0 1.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 12.0 1.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 13.0 1.0 D.Serdang 10 0.0 0.0 14.0 1.0 Langkat 11 0.0 0.0 0.0 0.0 Langkat 11 0.0 0.0 1.0 0.0 Langkat 11 0.0 0.0 2.0 0.0 Langkat 11 0.0 0.0 3.0 0.0 Langkat 11 0.0 0.0 4.0 0.0 Langkat 11 0.0 0.0 5.0 0.0 Langkat 11 0.0 0.0 6.0 0.0 Langkat 11 1.0 0.0 7.0 0.0 Langkat 11 0.0 1.0 8.0 0.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) 489 1229 1308 0.0 395 1551 1213 0.0 570 2001 1197 0.0 1372 2584 1304 0.0 872 3034 2076 0.0 2391 4413 2699 0.0 1712 4707 2854 0.0 4021 5956 3511 423.3 1894 5275 1658 384.7 9926 8081 2204 0.0 19930 8446 3754 0.0 17557 16655 7222 0.0 7285 21838 8710 0.0 1500 32528 15166 0.0 1500 48453 26409 0.0 2 318 651 87.4 40 600 188 71.1 0 540 260 30.0 61 770 244 50.8 8 786 1004 127.1 335 1048 1564 205.1 357 1116 1665 218.4 61 1575 2105 418.5 655 1543 633 361.4 255
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Kab/Kota Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga
Kriteria DK97 DK98 TREND 11 0.0 0.0 9.0 11 0.0 0.0 10.0 11 0.0 0.0 11.0 11 0.0 0.0 12.0 11 0.0 0.0 13.0 11 0.0 0.0 14.0 12 0.0 0.0 0.0 12 0.0 0.0 1.0 12 0.0 0.0 2.0 12 0.0 0.0 3.0 12 0.0 0.0 4.0 12 0.0 0.0 5.0 12 0.0 0.0 6.0 12 1.0 0.0 7.0 12 0.0 1.0 8.0 12 0.0 0.0 9.0 12 0.0 0.0 10.0 12 0.0 0.0 11.0 12 0.0 0.0 12.0 12 0.0 0.0 13.0 12 0.0 0.0 14.0
DDF 0.0 0.0 1.0 1.0 1.0 1.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 1.0 1.0 1.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) 765 3079 934 40.0 6688 3177 1209 35.0 9866 5533 2810 0.0 26725 8065 3429 0.0 8683 7924 4206 0.0 8683 7925 5158 0.0 4 183 212 22.9 75 209 252 60.6 78 197 309 60.2 47 223 480 60.3 13 229 620 109.9 297 274 727 64.8 294 271 719 64.1 252 306 953 80.1 208 370 800 62.7 1493 401 867 41.0 1532 351 840 50.0 1486 595 1637 80.0 7708 974 2087 100.0 18087 1025 2600 120.0 18087 1080 3238 144
256
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Kab/Kota Kriteria DK97 DK98 TREND DDF T.Balai 13 0.0 0.0 0.0 0.0 T.Balai 13 0.0 0.0 1.0 0.0 T.Balai 13 0.0 0.0 2.0 0.0 T.Balai 13 0.0 0.0 3.0 0.0 T.Balai 13 0.0 0.0 4.0 0.0 T.Balai 13 0.0 0.0 5.0 0.0 T.Balai 13 0.0 0.0 6.0 0.0 T.Balai 13 1.0 0.0 7.0 0.0 T.Balai 13 0.0 1.0 8.0 0.0 T.Balai 13 0.0 0.0 9.0 0.0 T.Balai 13 0.0 0.0 10.0 0.0 T.Balai 13 0.0 0.0 11.0 1.0 T.Balai 13 0.0 0.0 12.0 1.0 T.Balai 13 0.0 0.0 13.0 1.0 T.Balai 13 0.0 0.0 14.0 1.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 0.0 0.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 1.0 0.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 2.0 0.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 3.0 0.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 4.0 0.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 5.0 0.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 6.0 0.0 P.Siantar 14 1.0 0.0 7.0 0.0 P.Siantar 14 0.0 1.0 8.0 0.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) 35 319 308 15.0 18 343 279 18.7 17 343 342 13.8 537 410 412 26.8 9 408 479 44.9 75 447 618 62.4 342 619 781 70.0 534 632 792 103.1 743 656 837 112.1 2055 873 1087 82.5 7636 767 1096 70.0 5805 1532 1998 15.0 42333 2685 2460 60.0 36722 2720 2968 70.0 36722 2755 3582 82 43 569 615 116.3 64 633 698 119.0 108 757 1155 116.2 104 778 1373 115.0 200 920 1521 125.2 77 1000 1807 158.2 89 1401 2448 111.2 51 1360 2572 173.6 32 1283 2668 256.0 257
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Kab/Kota Kriteria DK97 DK98 TREND P.Siantar 14 0.0 0.0 9.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 10.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 11.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 12.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 13.0 P.Siantar 14 0.0 0.0 14.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 0.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 1.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 2.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 3.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 4.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 5.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 6.0 T.Tinggi 15 1.0 0.0 7.0 T.Tinggi 15 0.0 1.0 8.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 9.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 10.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 11.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 12.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 13.0 T.Tinggi 15 0.0 0.0 14.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) DDF 0.0 141 2696 2703 63.7 0.0 151 1996 2435 0.0 1.0 1015 3469 3986 0.0 1.0 11611 4251 4227 0.0 1.0 11628 4285 5733 530.0 1.0 11644 4319 7775 530.0 0.0 0 273 418 0.0 0.0 3 290 544 20.5 0.0 23 364 590 18.1 0.0 7 621 683 19.9 0.0 31 588 859 21.8 0.0 356 731 958 17.1 0.0 125 743 943 17.9 0.0 156 930 1179 22.4 0.0 327 782 1406 58.6 0.0 1097 1131 1208 0.0 0.0 5834 560 1372 0.0 1.0 2818 1868 1884 0.0 1.0 17086 1985 1732 0.0 1.0 14730 2023 2062 0.0 1.0 14730 2062 2456 0.0
258
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Kab/Kota Kriteria DK97 DK98 TREND DDF Medan 16 0.0 0.0 0.0 0.0 Medan 16 0.0 0.0 1.0 0.0 Medan 16 0.0 0.0 2.0 0.0 Medan 16 0.0 0.0 3.0 0.0 Medan 16 0.0 0.0 4.0 0.0 Medan 16 0.0 0.0 5.0 0.0 Medan 16 0.0 0.0 6.0 0.0 Medan 16 1.0 0.0 7.0 0.0 Medan 16 0.0 1.0 8.0 0.0 Medan 16 0.0 0.0 9.0 0.0 Medan 16 0.0 0.0 10.0 0.0 Medan 16 0.0 0.0 11.0 1.0 Medan 16 0.0 0.0 12.0 1.0 Medan 16 0.0 0.0 13.0 1.0 Medan 16 0.0 0.0 14.0 1.0 Binjai 17 0.0 0.0 0.0 0.0 Binjai 17 0.0 0.0 1.0 0.0 Binjai 17 0.0 0.0 2.0 0.0 Binjai 17 0.0 0.0 3.0 0.0 Binjai 17 0.0 0.0 4.0 0.0 Binjai 17 0.0 0.0 5.0 0.0 Binjai 17 0.0 0.0 6.0 0.0 Binjai 17 1.0 0.0 7.0 0.0 Binjai 17 0.0 1.0 8.0 0.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) 2300 6502 7175 255.0 4362 8421 10606 95.7 3610 11172 13098 325.0 3684 11402 13368 331.7 8625 15953 17821 508.7 12416 22352 17291 533.0 5165 27178 19294 741.7 9954 32339 17351 902.2 8317 30576 9786 866.6 5500 37673 19276 360.6 10407 36611 18369 102.3 3087 58158 28489 613.5 32316 80418 60854 1477.6 10161 109090 107469 1040.0 10161 147984 189790 1040.0 37 379 535 13.0 5 350 600 0.0 54 401 690 13.0 81 495 881 13.0 276 729 1299 7.1 511 774 1474 17.1 421 843 1720 23.0 331 968 1624 27.0 70 1157 1273 80.0 259
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Kab/Kota Kriteria DK97 DK98 TREND Binjai 17 0.0 0.0 9.0 Binjai 17 0.0 0.0 10.0 Binjai 17 0.0 0.0 11.0 Binjai 17 0.0 0.0 12.0 Binjai 17 0.0 0.0 13.0 Binjai 17 0.0 0.0 14.0
SIAP TAXDA RETRIB BUMD (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) DDF 0.0 1262 1049 1325 50.5 0.0 1574 1365 1472 5.0 1.0 1521 1214 2508 0.0 1.0 12846 2367 3176 0.0 1.0 15894 4873 3671 0.0 1.0 15894 10035 4242 0.0
260
Lampiran 2. Lanjutan
PADLAIN Tahun Kab/Kota Kriteria (Juta Rp) 1990 Nias 1 44.8 1991 Nias 1 42.5 1992 Nias 1 42.5 1993 Nias 1 50.6 1994 Nias 1 117.9 1995 Nias 1 107.0 1996 Nias 1 244.6 1997 Nias 1 162.6 1998 Nias 1 1026.3 1999 Nias 1 880.6 2000 Nias 1 494.0 2001 Nias 1 2511.1 2002 Nias 1 2463.0 2003 Nias 1 2786.0 2004 Nias 1 3151.0 1990 Tapsel 2 87.5 1991 Tapsel 2 101.4 1992 Tapsel 2 248.1 1993 Tapsel 2 119.6 1994 Tapsel 2 196.1 1995 Tapsel 2 186.6 1996 Tapsel 2 215.4 1997 Tapsel 2 268.4 1998 Tapsel 2 1877.8
PAD (Juta Rp) 544.7 582.4 688.2 807.1 961.2 1000.9 1179.7 1261.7 1907.0 2945.6 1735.0 5469.2 6152.0 12303.0 19131.0 1438.0 1592.9 1778.1 2034.4 2522.6 2986.3 3495.6 4038.5 4433.5
PINJAM DAK BHSDA DAU BHP (Juta REVLAIN (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) Rp) 190.0 42.9 8978 0.0 0.0 0.0 826.0 371.7 10059 0.0 0.0 0.0 978.7 10.7 12712 0.0 0.0 0.0 1084.6 50.4 16327 0.0 0.0 0.0 2672.3 79.2 16181 0.0 0.0 0.0 3010.1 179.4 22368 0.0 0.0 0.0 3225.3 234.4 19477 0.0 0.0 0.0 3446.3 286.4 33901 0.0 0.0 0.0 3961.2 320.0 71676 0.0 0.0 0.0 7532.7 595.7 88592 0.0 0.0 134.9 7359.7 281.4 82544 0.0 0.0 0.0 14416.5 811.7 195385 0.0 4883.7 115.0 18450.0 1303.0 209441 0.0 2860.0 0.0 17259.0 2035.0 233594 0.0 0.0 1220.0 19157.0 3215.0 254617 0.0 0.0 0.0 2140.0 291.2 16901 0.0 0.0 0.0 2779.4 618.8 19070 0.0 0.0 0.0 3155.7 376.3 25311 0.0 0.0 0.0 3882.4 526.4 28893 0.0 0.0 0.0 6174.0 612.8 26830 0.0 0.0 0.0 7070.2 1221.7 32563 0.0 0.0 0.0 8341.8 1026.4 38613 0.0 0.0 0.0 8547.1 977.1 52153 0.0 0.0 0.0 9204.9 1083.4 143301 0.0 0.0 0.0 261
Lampiran 2. Lanjutan DAK PINJAM DAU BHP BHSDA PAD (Juta REVLAIN (Juta (Juta (Juta (Juta (Juta PADLAIN Rp) (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) Rp) Rp) Tahun Kab/Kota Kriteria (Juta Rp) 1999 Tapsel 2 1231.7 3929.4 12438.3 1034.0 140024 0.0 0.0 34775.2 2000 Tapsel 2 635.9 3567.1 15174.9 1618.7 161170 0.0 0.0 4000.0 2001 Tapsel 2 1390.6 6249.0 29983.8 4284.9 358043 16890.0 0.0 42736.0 2002 Tapsel 2 1709.1 12580.4 26152.4 5601.1 393310 8218.0 7435.0 3770.0 2003 Tapsel 2 2750.0 17420.0 42636.0 6708.0 437512 28940 0.0 0.0 2004 Tapsel 2 4424.0 19162.0 43636.0 6808.0 481263 28940 0.0 0.0 1990 Tapteng 3 80.1 410.3 274.9 63.2 6903 0.0 0.0 0.0 1991 Tapteng 3 23.6 498.8 683.8 417.3 9666 0.0 0.0 0.0 1992 Tapteng 3 87.7 640.2 977.2 113.1 12005 0.0 0.0 0.0 1993 Tapteng 3 202.3 891.3 1294.0 46.1 14724 0.0 0.0 0.0 1994 Tapteng 3 439.6 1237.7 3936.4 118.4 12525 0.0 0.0 0.0 1995 Tapteng 3 337.5 1335.1 4481.8 141.6 14002 0.0 0.0 0.0 1996 Tapteng 3 505.9 1719.5 4974.7 247.7 16736 0.0 0.0 0.0 1997 Tapteng 3 674.4 1999.8 6997.0 342.8 20363 0.0 0.0 0.0 1998 Tapteng 3 346.1 1562.4 5442.2 240.5 35795 0.0 0.0 0.0 1999 Tapteng 3 88.5 1249.4 5496.0 123.7 51102 0.0 0.0 0.0 2000 Tapteng 3 435.7 1452.1 6324.6 146.1 36895 0.0 0.0 7985.0 2001 Tapteng 3 1420.7 3020.8 8729.3 693.3 105500 709.3 0.0 15634.8 2002 Tapteng 3 2464.0 5026.4 13023.0 826.3 123337 248.8 0.0 2661.8 2003 Tapteng 3 2401.0 5126.5 15223.0 1681.8 129090 6600.0 0.0 12120.4 2004 Tapteng 3 2432.5 5228.6 17794.6 1740.7 135111 6600.0 0.0 12120.0
262
Lampiran 2. Lanjutan
PADLAIN Tahun Kab/Kota Kriteria (Juta Rp) 1990 Taput 4 157.2 1991 Taput 4 187.4 1992 Taput 4 108.9 1993 Taput 4 219.6 1994 Taput 4 632.5 1995 Taput 4 222.3 1996 Taput 4 247.3 1997 Taput 4 638.9 1998 Taput 4 54.1 1999 Taput 4 502.1 2000 Taput 4 994.8 2001 Taput 4 10518.4 2002 Taput 4 15120.9 2003 Taput 4 17990.4 2004 Taput 4 16555.4 1990 Lab.Batu 5 67.8 1991 Lab.Batu 5 174.8 1992 Lab.Batu 5 154.1 1993 Lab.Batu 5 144.1 1994 Lab.Batu 5 126.5 1995 Lab.Batu 5 155.4 1996 Lab.Batu 5 128.4 1997 Lab.Batu 5 284.4 1998 Lab.Batu 5 448.3
PAD (Juta Rp) 4785.2 2071.5 3173.4 3588.8 4027.6 4041.6 4669.1 5689.8 3417.1 6003.4 6042.6 15034.5 22636.9 24548.6 26621.7 1087.9 1336.0 1282.9 1344.7 1700.7 4289.9 4642.8 5048.1 3532.7
BHSDA DAU BHP (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) 1517.6 215.9 16447 1777.1 847.2 16764 1818.1 2457.7 20242 2341.0 2341.0 25146 4635.7 1020.2 22411 4708.7 1683.9 30756 6340.5 2797.9 29171 6969.1 2211.9 43306 6568.7 2860.8 79211 9802.0 3836.8 117242 10856.6 2703.0 125643 18187.1 4026.0 297889 23390.8 4561.9 353574 22694.7 4293.9 384360 23042.7 4293.9 385360 5900.9 114.4 12801 5523.5 130.8 13313 5715.4 115.3 18534 7531.9 192.5 20024 9329.8 201.7 21343 9974.0 559.9 22254 12409.8 635.0 24209 13303.5 716.8 30743 17907.9 826.5 62584
PINJAM DAK (Juta REVLAIN (Juta Rp) (Juta Rp) Rp) 0.0 0.0 0.0 0.0 136.3 0.0 0.0 80.4 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 984.9 0.0 0.0 1640.4 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2832.8 0.0 0.0 2543.2 18920.3 0.0 38570.6 1034.8 0.0 35524.2 19600.0 0.0 18058.7 10317.0 0.0 18058.7 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2238.4 0.0 0.0 2594.0 0.0 263
Lampiran 2. Lanjutan
PADLAIN Tahun Kab/Kota Kriteria (Juta Rp) 1999 Lab.Batu 5 256.8 2000 Lab.Batu 5 355.6 2001 Lab.Batu 5 2175.8 2002 Lab.Batu 5 4015.8 2003 Lab.Batu 5 4301 2004 Lab.Batu 5 4730.5 1990 Asahan 6 85.5 1991 Asahan 6 109.5 1992 Asahan 6 84.1 1993 Asahan 6 64.3 1994 Asahan 6 120.4 1995 Asahan 6 56.9 1996 Asahan 6 98.1 1997 Asahan 6 156.4 1998 Asahan 6 229.9 1999 Asahan 6 115.5 2000 Asahan 6 209.7 2001 Asahan 6 765.4 2002 Asahan 6 1617.8 2003 Asahan 6 2479.4 2004 Asahan 6 3798.5
PAD (Juta Rp) 4431.2 5123.4 8383.3 13356.6 18606.5 25919.9 2434.0 1691.1 1861.9 1596.2 2287.9 3228.6 4333.7 4746.6 4897.3 8253.9 8615.4 15569.2 19015.2 21497.9 24304.7
DAU BHP BHSDA (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) 15847.7 825.6 91654 18734.0 992.3 118161 26369.7 9816.2 173648 28512.1 1542.9 218440 45114.7 1466.1 263300 53114.7 1504.5 317373 6035.8 19.9 8623 5506.4 33.4 12807 5930.2 15.6 16768 9354.7 26.6 24066 10393.4 124.6 20220 11520.2 246.4 21015 12740.5 304.5 21512 13745.5 380.1 34341 16534.5 58.9 72800 19956.8 69.1 94721 17147.7 48.6 95424 33309.1 740.2 215626 43470.5 966.6 233500 39155.6 985.6 292739 41313.0 1004.9 367007
DAK PINJAM (Juta REVLAIN (Juta Rp) (Juta Rp) Rp) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10456.2 880.7 0.0 22261.5 8775.8 0.0 20761.3 8775.8 0.0 20761.3 0.0 306.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 57.1 0.0 0.0 46.8 0.0 0.0 10244.6 4142.2 0.0 9614.7 6606.7 3398.2 2996.9 0.0 0.0 2996.9
264
Lampiran 2. Lanjutan
PADLAIN Tahun Kab/Kota Kriteria (Juta Rp) 1990 Simalung 7 35.5 1991 Simalung 7 109.4 1992 Simalung 7 651.0 1993 Simalung 7 104.8 1994 Simalung 7 108.8 1995 Simalung 7 671.5 1996 Simalung 7 1274.7 1997 Simalung 7 918.1 1998 Simalung 7 97.0 1999 Simalung 7 317.6 2000 Simalung 7 355.6 2001 Simalung 7 1231.3 2002 Simalung 7 1879.3 2003 Simalung 7 2147.4 2004 Simalung 7 2453.7 1990 Dairi 8 5.2 1991 Dairi 8 9.4 1992 Dairi 8 5.8 1993 Dairi 8 32.1 1994 Dairi 8 60.8 1995 Dairi 8 22.1 1996 Dairi 8 48.0 1997 Dairi 8 37.7 1998 Dairi 8 124.1
PAD (Juta Rp) 1124.6 1315.8 2135.1 1995.7 2244.9 3270.1 4269.1 4468.7 3416.3 5012.1 5123.4 11796.2 14359.2 17473.0 21755.5 574.3 554.6 558.7 648.6 761.8 958.6 1051.7 1273.9 912.2
BHSDA DAU BHP (Juta (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) 3614.6 140.3 11211 3395.2 658.2 14457 4238.8 262.5 19286 5319.5 171.2 24210 7051.4 406.6 19032 8294.5 363.6 22949 10047.0 642.1 70393 10982.0 651.8 80308 15896.7 812.8 97171 16918.9 1369.4 121535 18734.0 992.3 118161 33188.4 4745.9 260304 36169.2 5133.4 276260 46592.0 3138.7 299970 60018.3 4136.0 325715 308.9 114.5 6600 428.0 630.2 8153 1017.2 428.1 11362 1633.4 99.0 12549 2597.9 272.0 12595 2492.8 468.2 13877 3177.0 658.3 14617 3403.9 509.5 36605 3648.1 964.1 37177
PINJAM DAK (Juta REVLAIN (Juta Rp) (Juta Rp) Rp) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 22389.9 0.0 4183.2 23492.5 0.0 8953.5 2100.0 0.0 46029.3 2100.0 0.0 46029.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 60.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 418.0 0.0 0.0 0.0 0.0
265
Lampiran 2. Lanjutan
PADLAIN Tahun Kab/Kota Kriteria (Juta Rp) 1999 Dairi 8 36.0 2000 Dairi 8 553.6 2001 Dairi 8 578.8 2002 Dairi 8 1074.0 2003 Dairi 8 700.0 2004 Dairi 8 700.0 1990 Karo 9 260.6 1991 Karo 9 325.5 1992 Karo 9 296.9 1993 Karo 9 355.3 1994 Karo 9 565.2 1995 Karo 9 155.9 1996 Karo 9 277.8 1997 Karo 9 356.8 1998 Karo 9 622.1 1999 Karo 9 199.3 2000 Karo 9 2689.7 2001 Karo 9 389.3 2002 Karo 9 534.8 2003 Karo 9 505.5 2004 Karo 9 505.5
PAD (Juta Rp) 1018.1 1681.0 3987.5 4732.0 4625.6 4913.2 1349.7 1648.8 1834.5 2871.3 2533.9 2885.3 3532.0 3891.5 6784.7 3566.0 5436.7 4688.6 6195.7 7442.8 7452.9
DAK PINJAM DAU BHP BHSDA (Juta REVLAIN (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) Rp) 4295.6 1329.8 55018 0.0 0.0 0.0 4956.1 909.4 43459 0.0 0.0 997.6 7984.5 6972.0 97725 1508.3 1838.4 20695.4 10329.4 7315.2 132130 4412.0 97.0 1366.5 10886.6 5025.0 161266 11600.0 0.0 1259.5 11473.9 5025.0 196826.1 30498.6 0.0 1259.5 380.0 98.4 9213 0.0 0.0 0.0 549.0 650.7 9891 0.0 0.0 0.0 549.4 205.6 11300 0.0 0.0 0.0 1071.7 201.6 12413 0.0 0.0 0.0 1737.9 185.7 13318 0.0 0.0 0.0 2789.7 347.6 14850 0.0 0.0 0.0 3171.6 707.6 15236 0.0 0.0 0.0 3160.7 666.0 21778 0.0 0.0 0.0 5510.6 1161.2 37969 0.0 0.0 0.0 4005.4 1311.5 58338 0.0 0.0 614.0 4539.7 970.8 45690 0.0 0.0 656.2 5396.4 4018.8 92494 0.0 10000.0 23744.7 6978.1 4232.1 142470 6134.5 0.0 12050.9 11805.0 1250.0 173460 6500.0 0.0 17096.6 19971 1250.0 211191 6500.0 0.0 17096.6
266
Lampiran 2. Lanjutan PINJAM REVLAIN DAK BHSDA DAU Tahun Kab/Kota Kriteria PADLAIN PAD BHP (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta (Juta (Juta (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) 1990 D.Serdang 10 289.5 2827.0 3951.8 42.5 37426 0.0 0.0 0.0 1991 D.Serdang 10 501.5 3265.1 4900.0 44.2 42745 0.0 0.0 0.0 1992 D.Serdang 10 430.7 3628.3 5000.1 99.4 22838 0.0 0.0 0.0 1993 D.Serdang 10 530.3 4419.0 5514.2 44.4 25986 0.0 2018.9 0.0 1994 D.Serdang 10 481.6 5591.9 8321.6 388.6 22685 0.0 0.0 0.0 1995 D.Serdang 10 697.0 7808.7 10860.1 735.7 27439 0.0 0.0 0.0 1996 D.Serdang 10 751.2 8311.5 10581.3 578.0 32528 0.0 0.0 0.0 1997 D.Serdang 10 457.5 10347.8 12814.5 699.8 45852 0.0 0.0 0.0 1998 D.Serdang 10 4975.3 12293.5 19988.0 107.0 124558 0.0 0.0 0.0 1999 D.Serdang 10 556.6 10842.0 27168.9 71.4 163769 0.0 0.0 614.0 2000 D.Serdang 10 504.9 12705.3 22838.3 91.5 149057 0.0 0.0 656.2 2001 D.Serdang 10 3119.8 26996.9 41864.2 1885.4 334267 195.1 0.0 14366.4 2002 D.Serdang 10 1767.9 32315.5 54929.0 1217.4 411813 236.4 0.0 2294.5 2003 D.Serdang 10 450.0 48144.7 54606.7 1245.0 509050 11100.0 0.0 2294.5 2004 D.Serdang 10 450.0 71728 54286 1273 629247 11100.0 0.0 2294.5 1990 Langkat 11 247.8 1303.6 4788.4 48.7 12037 0.0 0.0 0.0 1991 Langkat 11 607.2 1466.2 5115.2 310.6 11455 0.0 0.0 0.0 1992 Langkat 11 609.0 1438.6 6388.1 0.0 11934 0.0 0.0 0.0 1993 Langkat 11 742.9 1807.4 5852.2 17.1 16503 0.0 0.0 0.0 1994 Langkat 11 367.2 2284.6 7397.9 90.5 18679 0.0 0.0 0.0 1995 Langkat 11 57.6 2874.9 9549.4 383.6 18384 0.0 0.0 0.0 1996 Langkat 11 61.3 3061.2 10168.1 408.4 19575 0.0 0.0 0.0 1997 Langkat 11 146.9 4245.6 12141.3 60.2 26582 0.0 650.0 0.0 1998 Langkat 11 146.6 2684.6 15772.4 749.9 78668 0.0 0.0 0.0
267
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria PADLAIN (Juta Rp) 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga
11 11 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
57.0 90.4 1018.5 905.1 887.5 887.5 46.7 85.6 69.4 111.8 79.8 68.4 67.7 49.8 44.1 151.9 39.6 151.9 1097.0 1453.5 1926
PAD (Juta Rp) 4109.5 4511.4 9361.1 12398.5 13016.5 13665 463.9 607.5 635.9 874.9 1038.9 1134.3 1122.1 1388.0 1276.9 1461.7 1280.3 2367.7 2828.1 5198.3 6387.7
DAU DAK PINJAM REVLAIN BHP BHSDA (Juta (Juta (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) 19711.5 32.2 101117 0.0 0.0 107.0 19726.8 30.9 87917 0.0 0.0 557.0 40625.3 12.5 200700 9746.3 16894.1 20065.0 39092.2 15000.1 238840 3950.0 1801.9 0.0 67114.6 16580.0 290714 8000.0 0.0 0.0 115224 18326 353855 8000.0 0.0 0.0 135.7 3.2 3069 0.0 0.0 0.0 244.2 330.9 3476 0.0 0.0 0.0 404.7 87.3 4784 0.0 0.0 0.0 1055.8 34.5 5763 0.0 155.2 0.0 1773.0 44.4 4503 0.0 0.0 0.0 1920.4 89.5 8717 0.0 0.0 0.0 1899.8 88.6 8624 0.0 0.0 0.0 2474.0 102.9 10705 0.0 0.0 0.0 3122.7 55.3 13613 0.0 0.0 0.0 3368.4 41.1 18779 0.0 0.0 0.0 3735.6 40.2 19429 0.0 0.0 971.6 5189.6 3460.9 37179 0.0 0.0 3634.1 6585.9 1149.0 87950 0.0 0.0 2298.1 6342.2 1011.3 94313 4600.0 0.0 2200.0 6108 890 101136 4600.0 0.0 2200.0
268
Lampiran 2. Lanjutan
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Kab/Kota T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar
DAK PINJAM DAU BHP PAD REVLAIN (Juta (Juta (Juta BHSDA (Juta PADLAIN (Juta Rp) (Juta Rp) Rp) Rp) (Juta Rp) Rp) Kriteria (Juta Rp) Rp) 13 154.2 796.3 224.2 10.7 3820 0.0 0.0 0.0 13 164.5 806.0 378.0 341.6 4597 0.0 328.6 0.0 13 193.7 892.1 1105.4 384.2 5197 0.0 1589.0 0.0 13 210.0 1058.9 840.7 31.2 6946 0.0 2552.7 0.0 13 181.3 1113.3 2079.5 213.6 5224 0.0 0.0 0.0 13 512.6 1639.9 2312.9 295.3 6713 0.0 0.0 0.0 13 734.4 2204.2 3082.8 627.3 7572 0.0 0.0 0.0 13 635.3 2162.1 2938.9 514.9 10017 0.0 0.0 0.0 13 123.3 1727.7 3091.5 690.8 14083 0.0 0.0 0.0 13 103.5 2146.7 3891.1 1163.9 15999 0.0 0.0 149.4 13 217.6 2150.4 4234.0 861.6 19010 0.0 0.0 9.4 13 595.0 4140.5 7986.1 2193.1 43504 0.0 0.0 36057.6 13 3097.5 6622.1 8359.2 1381.6 100174 0.0 0.0 6530.2 13 2883.2 8641.3 8335.2 931.9 103860 4314.3 0.0 6701.1 13 2883.2 9301.5 8311 629 107681 0.0 0.0 6876 14 818.3 2118.9 484.9 29.0 4626 0.0 0.0 0.0 14 730.9 2181.6 557.0 232.8 8155 0.0 0.0 0.0 14 672.9 2701.1 802.2 106.9 8914 0.0 625.5 0.0 14 773.4 3038.9 1363.6 51.7 10135 0.0 258.1 0.0 14 983.7 3550.2 1996.3 84.8 8707 0.0 166.5 0.0 14 1167.7 4132.8 3163.2 105.6 9307 0.0 500.0 0.0 14 598.9 4559.0 3441.8 118.8 10576 0.0 0.0 0.0 14 625.7 4730.5 3461.9 114.6 11610 0.0 630.0 0.0 14 72.0 4279.1 3618.2 65.8 22781 0.0 1523.3 0.0
269
Lampiran 2. Lanjutan PADLAIN PAD BHP BHSDA DAU DAK PINJAM REVLAIN Tahun Kab/Kota Kriteria (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 1999 P.Siantar 14 57.3 5520.3 3737.9 57.1 31417 0.0 1295.6 0.0 2000 P.Siantar 14 20.2 4451.7 4997.8 55.8 35447 0.0 634.3 0.0 2001 P.Siantar 14 276.2 7731.5 8444.8 49.9 95200 2702.6 0.0 2981.5 2002 P.Siantar 14 1609.4 11010.7 7733.7 251.9 129725 0.0 1845.8 7243.8 2003 P.Siantar 14 1713.9 12261.4 18884.9 558.1 144057 4343.2 0.0 1900.0 2004 P.Siantar 14 1825 14449.6 46115 1237 159973 0.0 0.0 1900.0 1990 T.Tinggi 15 20.7 711.7 294.3 8.0 3052 0.0 0.0 0.0 1991 T.Tinggi 15 20.7 875.7 502.5 337.1 4060 0.0 208.2 0.0 1992 T.Tinggi 15 55.4 1026.7 642.4 90.0 4866 0.0 0.0 0.0 1993 T.Tinggi 15 41.4 1364.4 1124.5 21.0 6152 0.0 0.0 0.0 1994 T.Tinggi 15 19.7 1488.3 2188.3 48.8 5335 0.0 361.6 0.0 1995 T.Tinggi 15 67.6 1773.9 5270.0 81.5 6457 0.0 1053.1 0.0 1996 T.Tinggi 15 45.7 1749.4 6190.1 91.6 6912 0.0 806.8 0.0 1997 T.Tinggi 15 57.2 2188.7 7744.6 114.6 8647 0.0 1009.4 0.0 1998 T.Tinggi 15 9.8 2256.2 3248.0 126.0 16328 0.0 0.0 0.0 1999 T.Tinggi 15 389.3 2728.0 3573.6 44.9 19598 0.0 0.0 0.0 2000 T.Tinggi 15 148.0 2079.5 4004.4 47.2 21859 0.0 0.0 0.0 2001 T.Tinggi 15 366.4 4118.4 7958.7 271.8 70660 4339.6 0.0 1505.3 2002 T.Tinggi 15 1998.8 4198.9 7056.5 3101.4 110316 48.1 0.0 1685.9 2003 T.Tinggi 15 350.0 4435.4 3792.6 3101.4 116472 4400.0 0.0 0.0 2004 T.Tinggi 15 350.0 4868.1 3792.6 3101 122972 0.0 0.0 0.0
270
Lampiran 2. Lanjutan DAK PINJAM REVLAIN Tahun Kab/Kota Kriteria PADLAIN PAD BHP BHSDA DAU (Juta (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) Rp) 1990 Medan 16 3689.7 17622.0 4852.1 334.1 16653 0.0 3131.6 0.0 1991 Medan 16 4622.6 23745.0 5398.4 599.4 20390 0.0 14915.7 0.0 1992 Medan 16 4468.5 29064.0 8882.1 380.4 25792 0.0 7383.7 0.0 1993 Medan 16 4560.4 29661.7 9064.8 388.2 26323 0.0 7535.5 0.0 1994 Medan 16 4208.0 38491.1 16499.1 661.2 30464 0.0 3667.6 0.0 1995 Medan 16 4285.3 44461.2 17828.5 983.2 52176 0.0 2536.6 0.0 1996 Medan 16 6519.8 53733.3 21852.9 1185.7 66075 0.0 0.0 0.0 1997 Medan 16 5088.6 55680.4 27086.5 885.5 75238 0.0 0.0 0.0 1998 Medan 16 3779.8 45007.7 24969.7 611.9 109575 0.0 781.3 0.0 1999 Medan 16 2111.2 59420.2 34464.9 956.9 125268 0.0 0.0 826.9 2000 Medan 16 673.0 55755.7 35663.5 534.9 113364 0.0 0.0 18.4 2001 Medan 16 1002.8 88262.8 118903.7 2036.0 283117 0.0 35000.0 15414.8 2002 Medan 16 4180.7 146930.6 95805.8 2381.6 351378 319.1 0.0 122088.2 2003 Medan 16 6500.0 224098.6 259798.5 3193.4 396670 0.0 0.0 81370.0 2004 Medan 16 10106 348920.4 259798.5 4282 447800 0.0 0.0 81370.0 1990 Binjai 17 5.4 933.3 339.2 9.8 4677 0.0 0.0 0.0 1991 Binjai 17 75.6 1025.5 512.9 204.9 5207 0.0 0.0 0.0 1992 Binjai 17 45.3 1149.2 886.3 90.5 6159 0.0 0.0 0.0 1993 Binjai 17 46.2 1435.5 1137.9 14.7 7656 0.0 0.0 0.0 1994 Binjai 17 98.4 2134.1 1833.0 39.8 7251 0.0 0.0 0.0 1995 Binjai 17 93.8 2359.5 2556.9 81.7 9747 0.0 0.0 0.0 1996 Binjai 17 43.2 2629.8 3328.0 94.7 9769 0.0 0.0 0.0 1997 Binjai 17 41.9 2660.7 3632.9 105.7 10735 0.0 600.0 0.0 1998 Binjai 17 3.5 2513.1 3668.3 47.0 22608 0.0 0.0 0.0
271
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria PADLAIN (Juta Rp) 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai
17 17 17 17 17 17
54.1 13.6 187.6 163.0 215.0 284
DAU DAK PINJAM REVLAIN BHP BHSDA PAD (Juta (Juta (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta (Juta Rp) (Juta Rp) Rp) Rp) Rp) 2478.9 4210.1 41.1 35664 0.0 0.0 0.0 2855.0 4823.7 32.9 36822 0.0 0.0 0.0 3909.6 8608.2 948.5 109085 2879.3 0.0 3836.6 5705.6 9076.5 3287.5 128830 0.0 0.0 20669.3 8758.7 12802.8 2718.5 132050 0.0 16275.0 7841.9 14560.6 18059 2718.5 135350 0.0 0.0 7841.9
272
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Nias Nias Nias Nias Nias Nias Nias Nias Nias Nias Nias Nias Nias Nias Nias Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel
Kriteria TGREV NONPAD BPEGAWAI RUEXP DEVEXP TGEXP PDRBHB (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 1 9802.9 9258.2 2146 2843.0 6828.8 9671.8 222626.0 1 11964.5 11382.1 2613 3538.0 7971.1 11509.1 249762.0 1 14845.5 14157.3 2928 4774.3 9987.6 14761.9 279713.0 1 18559.5 17752.4 3756 5837.1 12579.3 18416.4 599309.3 1 20034.2 19073.0 4089 6756.1 11930.2 18686.3 743707.2 1 27886.2 26885.3 5743 9155.7 18385.9 27541.6 883201.1 1 24460.2 23280.5 4761 9944.1 14173.1 24117.2 1017431.4 1 39235.2 37973.5 5482 11043.4 27009.2 38052.6 1154886.6 1 79043.3 77136.3 33667 42703.0 35217.4 77920.3 1738869.1 1 101121.2 98175.6 37221 53989.0 46510.8 100499.8 1999841.1 1 96990.6 95255.6 46551 53888.9 35004.5 88893.3 2241959.1 1 229126.8 223657.6 94238 117364.6 99400.2 216764.8 2513389.0 1 250410.0 267220.1 117477 155980.0 70567.0 272739.9 2817681.0 1 289461.0 267220.1 128313 174623.0 114838.0 299461.0 3158814.0 1 324196.0 267220.1 149483 213040.0 133786.0 346826.0 3541247.0 2 21165.2 19727.1 4008 6614.8 14357.6 20972.4 685618.0 2 24254.0 22661.1 4555 7362.5 16733.5 24096.0 807366.0 2 30778.9 29000.8 5477 8965.0 20920.7 29885.6 952773.0 2 36229.9 34195.5 7730 12185.1 21909.4 34094.5 1353654.5 2 38274.6 35752.0 8514 14206.8 21766.4 35973.2 1668131.1 2 46142.7 43156.4 10266 19434.6 25589.1 45023.7 1467103.8 2 52632.4 49136.7 11375 22192.1 29322.5 51514.6 2205792.2 2 66833.5 62795.0 10846 25369.8 40583.6 65953.4 2556050.5 2 158902.6 154469.1 72440 88891.9 67564.1 156456.0 4058687.2
273
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng
Kriteria 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
TGREV (Juta Rp) 194647.8 193523.6 452138.7 481216.3 563730.0 593730.0 7808.9 11509.2 14158.8 17665.7 18773.5 20661.6 23903.9 29885.6 45088.3 60807.3 55803.0 136532.5 161963.5 199091.4 205729.9
NONPAD BPEGAWAI (Juta Rp) (Juta Rp) 190718.4 94900 189956.5 91535 445889.7 229258 468635.9 222824 546310.0 248310 574568.0 276711 7398.6 1348 11010.4 1609 13518.6 1873 16774.3 2277 17535.8 2628 19326.6 3134 22184.4 3380 27885.8 3960 43525.8 17684 59558.0 26383 54351.0 25007 133511.7 57123 158067.1 60648 193965 69196 200501 78948
RUEXP (Juta Rp) 118535.8 115573.9 290132.2 315648.2 359035.0 369035.0 2004.8 2372.9 2954.6 3694.8 4485.8 5363.5 6168.1 7144.6 21385.4 31221.7 30953.0 72877.3 86384.2 97029.7 108987.1
DEVEXP TGEXP (Juta Rp) (Juta Rp) 71720.6 190256.4 67107.1 182681.0 143843.3 433975.5 173573.3 489221.5 204694.0 563729.0 235815.0 604850.0 5608.3 7613.1 8662.9 11035.8 10346.0 13300.6 13015.1 16709.9 13578.5 18064.3 14932.1 20295.7 17310.3 23478.4 20696.2 27840.8 20866.7 42252.0 25132.4 56354.1 23820.9 54773.9 39120.3 111997.6 54437.3 161254.1 102061.6 199091.4 152061.0 261048.1
PDRBHB (Juta Rp) 4452258.7 4843438.4 5037175.0 5238662.0 5448209.0 5666137.0 156990.0 178826.0 209101.0 307756.5 360583.1 414677.8 472432.3 508553.0 764481.6 895444.1 942778.2 1272750.5 1718213.2 2319587.7 3131443.4
274
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria TGREV NONPAD BPEGAWAI RUEXP DEVEXP TGEXP PDRBHB (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 1990 Taput 4 23609.6 18824.4 3702 6709.9 15870.0 22579.9 465480.0 1991 Taput 4 22625.9 20554.5 3812 6343.5 15701.6 22045.1 529324.0 1992 Taput 4 28339.7 25166.3 4430 8784.1 19162.1 27946.2 618679.0 1993 Taput 4 34566.3 30977.5 6490 10245.2 22683.2 32928.4 863047.6 1994 Taput 4 32715.4 28687.8 6888 12232.5 19785.2 32017.6 1009778.1 1995 Taput 4 43463.8 39422.2 9042 15121.7 27423.8 42545.5 1122171.7 1996 Taput 4 45533.8 40864.7 8893 16487.9 27351.4 43839.2 1268354.9 1997 Taput 4 60463.8 54773.9 9264 19420.6 38799.4 58220.0 1450262.3 1998 Taput 4 94146.5 90729.4 58928 72809.5 20615.1 93424.6 2109350.0 1999 Taput 4 145473.5 139470.2 78177 94896.7 41764.5 136661.3 2508789.8 2000 Taput 4 154747.2 148704.7 71556 86087.2 55382.2 141469.4 2718425.8 2001 Taput 4 386889.6 371855.1 195298 230618.1 159396.5 390014.6 2945579.1 2002 Taput 4 478198.1 444960.1 243899 268169.7 158140.9 444508.0 3191713.5 2003 Taput 4 489668.1 465124.5 253825 326225.2 163442.9 489668.1 3458415.0 2004 Taput 4 501423.5 474801.8 264154 396849.0 168922.7 565771.7 3747402.3 1990 Lab.Batu 5 20068.5 18980.6 2614 5925.6 13110.1 19035.7 802404.0 1991 Lab.Batu 5 20870.6 19534.7 3043 7479.1 13246.3 20725.4 889350.0 1992 Lab.Batu 5 25706.9 24424.0 3745 8951.1 16037.0 24988.1 1083135.0 1993 Lab.Batu 5 29768.6 28423.9 5107 11058.2 18398.1 29456.3 1495911.2 1994 Lab.Batu 5 32838.4 31137.7 5521 12382.5 19854.1 32236.6 1708925.0 1995 Lab.Batu 5 37651.4 33361.5 6291 14636.0 22449.0 37085.0 1945912.8 1996 Lab.Batu 5 42458.2 37815.4 7238 16581.9 23083.2 39665.1 2333703.0 1997 Lab.Batu 5 54805.2 49757.1 7897 19605.0 32988.4 52593.4 3927019.9 1998 Lab.Batu 5 89644.8 86112.1 35885 49177.0 35731.0 84908.0 5369977.2
275
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan
5 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
TGREV (Juta Rp) 117472.8 143517.9 236672.4 302754.5 388036.2 497340.5 18105.6 20394.3 25352.8 35647.4 33945.1 36074.5 39524.7 53475.8 95032.9 124688.5 127415.0 285578.9 326154.8 370492.5 447357.4
NONPAD BPEGAWAI (Juta Rp) (Juta Rp) 113041.6 61750 138394.5 85715 228289.1 135348 267451.3 145999 369429.7 208519 471420.6 297811 15671.6 2849 18703.1 3274 23490.9 4054 34051.2 5955 31657.2 6416 32845.9 7367 35191.0 8191 48729.2 18218 90135.6 52768 116434.6 73008 118799.6 68512 270009.7 157588 302076.6 166202 348994.6 209287 423052.7 263554
RUEXP (Juta Rp) 79884.8 101251.7 170136.9 205608.4 274253.3 365816.1 6939.1 7349.2 9318.2 11950.3 13487.1 16236.3 18946.8 30289.6 67784.5 93392.8 88250.3 204610.8 224887.1 258524.8 297193.8
DEVEXP TGEXP PDRBHB (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 34935.8 114820.6 6093216.9 36543.0 137794.7 6763481.5 49341.6 219478.4 7507476.3 67134.2 272742.7 8333312.0 113782.9 388036.2 9249991.0 192845.7 558661.8 10267506.3 10973.8 17912.9 1297115.0 12272.2 19621.4 1419288.0 15430.6 24748.7 1661843.0 22765.5 34715.9 1916460.1 20393.9 33881.0 2196384.0 19203.9 35440.2 2579890.7 20314.9 39261.7 3025229.9 22443.8 52733.4 3550418.5 25617.6 93402.1 5404446.0 25138.2 118531.0 6114044.1 29051.9 117302.2 7943139.6 62482.2 267093.1 10319432.7 90440.5 326154.8 13406624.7 105974.1 364498.9 17417390.1 124175.6 421369.4 22628028.0
276
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria TGREV NONPAD BPEGAWAI RUEXP DEVEXP TGEXP PDRBHB (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 1990 Simalung 7 16675.4 15550.7 3827 7390.5 9207.5 16598.0 917540.0 1991 Simalung 7 19893.5 18577.7 4232 7948.9 11839.9 19788.8 1022323.0 1992 Simalung 7 26003.8 23868.6 4057 8849.5 15812.5 24662.1 1204006.0 1993 Simalung 7 31982.3 29986.6 7121 11962.5 19423.7 31386.3 1497388.4 1994 Simalung 7 29359.2 27114.3 7374 13519.9 15309.5 28829.4 1737299.7 1995 Simalung 7 35458.0 32187.9 8399 16928.1 17379.1 34307.2 1955483.1 1996 Simalung 7 86501.7 82232.6 51914 63214.3 22319.0 85533.3 2101292.0 1997 Simalung 7 97378.9 92910.2 58336 72115.2 24948.7 97063.9 2211979.5 1998 Simalung 7 117611.6 114195.3 70221 84926.9 32483.6 117410.5 3437823.2 1999 Simalung 7 145036.9 140024.8 94346 111734.7 32772.7 144507.4 3658657.3 2000 Simalung 7 143517.9 138394.5 85715 101251.7 36543.0 137794.7 3706299.5 2001 Simalung 7 342330.4 330534.2 202219 238660.1 95096.9 333757.0 3754562.1 2002 Simalung 7 367084.0 360071.8 212604 251630.5 112258.5 367084.0 3803453.1 2003 Simalung 7 424562.6 407089.6 223522.3 280080.2 144482.6 424562.8 3852980.8 2004 Simalung 7 469755.0 447999.5 235001.4 311746.4 185956.7 497703.1 3903153.5 1990 Dairi 8 7642.7 7068.4 1890 2707.3 4872.4 7579.7 171537.0 1991 Dairi 8 9805.2 9250.5 2119 3030.7 6761.4 9792.0 197458.0 1992 Dairi 8 13381.3 12822.6 2626 3866.6 9243.8 13110.3 240920.0 1993 Dairi 8 15201.2 14552.6 3467 5115.7 10041.2 15156.9 295035.8 1994 Dairi 8 16268.9 15507.1 3659 5739.5 10393.4 16132.8 372486.6 1995 Dairi 8 17964.3 17005.8 3922 7269.9 10621.0 17890.8 465183.7 1996 Dairi 8 19577.9 18526.1 4297 8076.7 11224.7 19301.3 586685.5 1997 Dairi 8 42487.3 41213.3 19774 24191.5 17932.7 42124.1 717324.2 1998 Dairi 8 43064.9 42152.6 22929 27815.4 14033.2 41848.7 1106095.0
277
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Dairi Dairi Dairi Dairi Dairi Dairi Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo
Kriteria 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
TGREV NONPAD BPEGAWAI RUEXP DEVEXP TGEXP (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 62877.6 61859.6 32420 38571.2 22109.6 60680.8 54200.0 52519.0 302 6499.7 14768.1 21267.7 143585.4 139597.9 71156 102531.4 30316.2 132847.7 167177.2 163370.9 81482 112608.1 42459.4 167177.2 206065.4 201439.8 96205 146788.7 58867.2 205655.9 262117.0 257203.9 113589 191344.3 81615.5 272959.9 11061.8 9712.2 2477 3972.6 7003.5 10976.0 12829.0 11180.2 2822 4585.1 8080.5 12665.6 14053.4 12218.9 3477 5681.7 8263.1 13944.8 16665.9 13794.6 4524 6980.5 9462.4 16442.8 17998.4 15464.6 4744 7790.2 9976.1 17766.4 21103.4 18218.1 5752 9507.5 11309.3 20816.8 22933.9 19401.9 6318 10982.6 11704.5 22687.0 29742.6 25851.1 7307 12543.6 16857.1 29400.7 51855.5 45070.8 19492 33460.6 17030.4 50491.0 67966.3 64400.3 39631 45495.3 20137.9 65633.2 59012.9 53576.2 35986 42241.5 10900.9 53142.4 145557.2 140868.6 100063 114268.7 21597.3 135866.0 181000.0 174804.3 106304 139460.7 34151.2 181000.0 233000.0 225557.2 132626 169000.0 64000.0 233000.0 288078.1 280625.1 165466 204796 119937 324733.3
PDRBHB (Juta Rp) 1289697.1 1339871.7 1391998.3 1446152.8 1502414.2 1560864.4 277548.0 353550.0 394525.0 482344.5 586635.8 645927.9 724888.8 842928.5 1315213.5 1575487.8 1530902.1 1487578 1445480 1404574 1364825
278
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang D. Serdang Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat
Kriteria TGREV NONPAD BPEGAWAI RUEXP DEVEXP TGEXP PDRBHB (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 10 44735.5 41908.5 28232 31844.8 12492.1 44336.9 1340852.0 10 51348.9 48083.7 32153 36512.2 14269.9 50782.2 1507840.0 10 32135.7 28507.4 8364 13249.4 17008.4 30257.8 1791782.0 10 39354.1 34935.1 8425 14958.6 22136.3 37094.9 2002745.3 10 37858.4 32266.5 9068 16303.2 19164.3 35467.5 2414507.5 10 49234.7 41426.1 10135 22324.5 21801.3 44125.8 894363.5 10 53711.1 45399.6 12653 25933.4 27777.8 53711.1 3087153.4 10 73735.6 63387.8 14514 29151.8 42689.5 71841.4 3501196.9 10 158840.4 146546.9 94797 111916.5 36997.9 148914.4 5375683.8 10 212391.7 201549.7 131089 153594.0 40126.0 193720.0 6012473.2 10 205278.9 192573.6 121573 145353.2 42369.0 187722.1 7368841.3 10 437132.1 410135.3 289420 347584.5 82262.3 429846.8 9031196 10 520777.0 486699.7 392092 392091.6 113898.4 519819.8 11068565 10 627940.7 579796.0 448941 448940.6 176705.6 625646.2 13565548 10 771428.2 699700.7 514032 514032 274147 788178.8 16625833 11 18179.7 16876.1 2844 5438.9 12700.8 18139.7 765328.0 11 18386.7 16920.5 3297 6468.4 11909.9 18378.2 822657.0 11 19760.4 18321.8 4618 9067.4 10639.0 19706.4 980047.0 11 24239.8 22432.4 5557 9960.0 14271.5 24231.5 1700660.7 11 28460.2 26175.6 5979 11608.1 16330.7 27938.8 1792791.6 11 31526.5 28651.5 6988 14480.3 16949.3 31429.6 2096715.3 11 33568.9 30507.7 7555 15655.7 17614.0 33269.7 2227883.3 11 43740.4 39494.8 9166 18870.4 24214.7 43085.1 2328983.7 11 98530.3 95845.7 51296 64890.4 32694.2 97584.6 3862305.3
279
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga
Kriteria 11 11 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
TGREV (Juta Rp) 125842.5 119431.4 307270.4 327160.1 404108.0 517753.4 3676.3 4733.1 5989.4 7930.0 7372.7 12158.6 12028.4 14922.2 18275.7 25143.6 26988.1 53317.4 106126.8 131751.7 139408.6
NONPAD BPEGAWAI (Juta Rp) (Juta Rp) 121733.0 73129 114920.0 69440 297909.2 164235 315250.6 172663 391091.5 276743 504088.1 443563 3212.5 726 4125.6 824 5353.5 1029 7055.1 1554 6333.8 1631 11024.3 4168 10906.2 3692 13534.1 5910 16998.8 7321 23681.9 10336 25707.8 9907 50949.7 24868 103298.7 31189 126553.4 39419 133020.9 49820
RUEXP DEVEXP TGEXP (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 89982.3 29156.2 119138.5 84251.1 30930.8 115181.9 205203.6 58636.8 263840.4 239242.2 35888.9 327160.1 276743.3 127364.8 404108.1 320123 452000 772122.9 1265.1 2324.3 3589.4 1516.5 3129.0 4645.5 1966.5 3964.2 5930.7 2671.7 5233.6 7905.3 3214.8 3817.3 7032.1 6141.9 5610.6 11752.5 5439.9 6228.0 11668.0 8659.9 6055.6 14715.5 10422.5 6350.5 16773.0 14199.4 9316.8 23516.2 13694.3 11812.5 25506.8 45121.9 567.5 45689.3 62069.4 26914.5 106126.8 75905.7 55846.1 131751.8 92826 115878 208703.9
PDRBHB (Juta Rp) 4265689.7 4557346.6 4868945 5201848 5557513 5937495 84801.0 125490.0 117949.0 141106.0 170085.4 212645.7 254173.0 281339.2 366223.6 415428.4 480452.3 555654 642626 743212 859541
280
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar
Kriteria TGREV NONPAD BPEGAWAI RUEXP DEVEXP TGEXP PDRBHB (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 13 4886.3 4090.0 1185 1938.0 2930.5 4868.4 98616.0 13 6469.1 5663.1 1388 2254.7 4197.3 6451.9 116464.0 13 9184.6 8292.5 1462 3017.2 5630.5 8647.8 144864.0 13 11966.6 10907.7 1899 3175.9 8781.3 11957.3 267583.1 13 8639.8 7526.5 2420 3582.0 4983.2 8565.2 317503.9 13 11035.5 9395.5 2467 4555.3 6207.7 10763.0 357861.5 13 13827.8 11623.6 2720 6292.6 7001.2 13293.9 398327.7 13 16166.7 14004.6 4243 7616.2 7807.4 15423.5 430862.5 13 20336.6 18608.9 8604 11799.4 6482.3 18281.7 596023.4 13 25405.0 23258.3 12405 16679.9 5610.7 22290.6 689120.2 13 33901.6 31751.3 12094 16222.4 11855.6 28078.0 849525.1 13 99686.0 95545.5 28595 40248.2 17468.4 57716.6 1047267 13 162827.1 156205.0 34255 59503.7 70855.5 162827.1 1291037 13 169505.7 160864.4 43337 75523.3 93982.5 169505.8 1591549 13 169521.1 160219.5 54828 95856 124658 220513.8 1962010 14 7302.2 5183.4 2385 4271.4 2964.4 7235.8 270838.0 14 11190.2 9008.6 2692 4735.1 5036.0 9771.1 321109.0 14 13257.6 10556.5 3333 5848.1 7305.1 13153.1 381405.0 14 14951.4 11912.5 4183 7223.3 7527.8 14751.2 521052.0 14 14705.0 11154.8 4527 8195.7 6432.1 14627.9 650052.0 14 17285.2 13152.4 5110 9815.5 7380.4 17195.9 728285.2 14 18784.7 14225.7 5760 11502.9 7235.2 18738.0 801484.7 14 20597.4 15866.9 6567 12860.9 7704.5 20565.4 915921.2 14 32298.9 28019.8 17710 24525.3 7632.4 32157.8 1312611.0
281
Lampiran 2. Lanjutan Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Kab/Kota Kriteria P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi
14 14 14 14 14 14 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
TGREV (Juta Rp) 42169.2 45738.5 118125.3 165944.0 193632.2 235318.0 4065.9 5986.7 6648.6 8669.2 9453.5 14991.6 15874.2 19860.5 22285.6 27041.3 33824.7 91671.3 134677.8 146931.0 149463.7
NONPAD BPEGAWAI RUEXP DEVEXP TGEXP (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 36648.9 23588 31934.8 10087.1 42021.9 41286.8 27695 32616.4 11824.5 44440.8 110393.8 75439 94315.8 12227.9 106543.7 154933.3 82145 112505 44365.0 165944.0 181370.8 97577 140166 53466.6 193632.3 220868.4 115907 174626 64435 239061.9 3354.2 1233 1976.8 2062.5 4039.3 5111.0 1373 2510.7 3452.5 5963.2 5621.9 1614 3125.4 3516.3 6641.6 7304.8 2291 4270.3 4367.5 8637.8 7965.3 2544 4553.6 4545.1 9098.6 13217.7 2982 6169.0 8694.0 14862.9 14124.8 3327 6861.8 8971.3 15833.1 17671.8 4162 8584.9 11224.1 19809.0 20029.4 9767 13922.3 7883.1 21805.4 24313.3 13401 18760.4 6420.5 25180.9 31745.1 12852 16642.6 14070.4 30713.0 87552.9 39243 53506.6 21080.5 74587.1 130478.9 42892 76071.8 39669.7 134677.8 142495.6 54800 97761.8 46092.8 143854.6 144595.6 70014 125636 53556 179192.1
PDRBHB (Juta Rp) 1528554.2 1694192.9 1877781 2081263 2306794 2556766 122229.0 137766.0 161855.0 250402.3 306931.2 363460.0 385397.5 426377.6 602352.5 686816.5 729677.8 775214 823592 874989 929593
282
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria TGREV NONPAD BPEGAWAI RUEXP DEVEXP TGEXP PDRBHB (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 1990 Medan 16 44893.0 27271.0 10229 23447.5 17098.5 40546.0 2588263.0 1991 Medan 16 69410.2 45665.2 10443 31392.2 37009.1 68401.3 2916132.0 1992 Medan 16 75112.3 46048.4 12760 31187.7 34794.3 65982.0 3447340.0 1993 Medan 16 76657.1 46995.4 15155 37041.7 35772.7 72814.4 4382251.5 1994 Medan 16 98408.3 59917.2 16883 49274.8 35647.3 84922.1 5094032.9 1995 Medan 16 130400.8 85939.6 39192 82676.4 40692.6 123369.1 5806572.8 1996 Medan 16 148012.4 94279.1 50922 93932.2 44125.9 138058.2 6400860.1 1997 Medan 16 168844.4 113164.0 60566 108400.7 52126.3 160527.1 7031631.0 1998 Medan 16 189262.6 144254.9 68467 122498.3 61264.4 183762.7 9737645.5 1999 Medan 16 226436.7 167016.5 90973 160487.9 53706.7 214194.7 10705120.3 2000 Medan 16 215743.4 159987.7 82181 158688.9 53967.2 212656.2 13801906.5 2001 Medan 16 545821.1 457558.3 268065 414268.9 99236.2 513505.1 17794534 2002 Medan 16 751219.3 604288.7 292417 542695.6 182753.0 725448.6 22942151 2003 Medan 16 975291.1 751192.5 368382 667822.6 307468.6 975291.2 29578876 2004 Medan 16 1152331.4 803411.1 464081 821800 517294 1339093.1 38135478 1990 Binjai 17 5996.2 5062.9 1492 2728.4 3263.0 5991.4 122974.0 1991 Binjai 17 6955.3 5929.8 1725 3078.7 3822.9 6901.6 139664.0 1992 Binjai 17 8338.5 7189.3 2160 4034.9 4192.5 8227.4 163701.0 1993 Binjai 17 10325.5 8890.0 2899 5108.2 4939.6 10047.9 247469.7 1994 Binjai 17 11533.7 9399.6 3139 6400.3 4622.8 11023.1 297646.3 1995 Binjai 17 15255.2 12895.7 3581 7937.9 7312.2 15250.1 339966.2 1996 Binjai 17 16242.4 13612.6 4706 8815.7 7095.5 15911.2 392620.6 1997 Binjai 17 18065.5 15404.8 5507 9930.1 8064.3 17994.5 425700.8 1998 Binjai 17 28905.6 26392.5 22879 20879.6 6763.8 27643.4 613529.7
283
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai
17 17 17 17 17 17
TGREV (Juta Rp) 43656.1 46106.8 130788.6 180414.5 196340.6 194424.3
NONPAD BPEGAWAI RUEXP DEVEXP TGEXP PDRBHB (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) 41177.3 16138 29338.0 12744.6 42082.6 708748.4 43251.8 22281 29874.6 14711.3 44585.9 833170.2 126879.0 58635 77566.6 40376.4 117943.0 979434 174708.9 77823 108806.1 71608.3 180414.4 1151376 187581.9 84726 123162.8 73177.9 196340.7 1353501 179863.8 92241 139414 74782 214195.7 1591110
284
Lampiran 2. Lanjutan MISKIN LUAS INFLADA INVDA Tahun Kab/Kota Kriteria PDRBKAP PDRB POP (Ribun Rp) (Juta Rp) (Ribu (Ribu Jiwa) (KM2) (%) (Juta Rp) Jiwa) 1990 Nias 1 443.2 261814.0 590.8 77.0 5318.0 7.8 74117.6 1991 Nias 1 460.7 277740.0 602.8 78.5 5318.0 9.3 84682.4 1992 Nias 1 465.7 286368.0 614.9 80.1 5318.0 4.7 320535.3 1993 Nias 1 956.6 599309.3 626.5 79.6 5318.0 10.1 92005.9 1994 Nias 1 1070.0 682774.5 638.1 81.0 5318.0 8.6 60588.2 1995 Nias 1 1163.6 755394.7 649.2 82.4 5318.0 7.5 138935.3 1996 Nias 1 1226.9 810134.1 660.3 78.9 5318.0 9.0 175217.6 1997 Nias 1 1263.0 847474.2 671.0 80.2 5318.0 13.8 406411.8 1998 Nias 1 1166.5 794938.1 681.5 213.3 5318.0 83.8 78300.0 1999 Nias 1 1185.6 820104.6 691.7 107.1 5318.0 1.7 70711.8 2000 Nias 1 1184.6 831204.4 701.7 108.7 5318.0 5.9 47370.6 2001 Nias 1 1200.7 839466.6 699.2 108.3 5318.0 15.5 13123.5 2002 Nias 1 1221.3 866428.2 709.4 109.9 5318.0 9.5 5088.2 2003 Nias 1 4302.4 892421.0 734.2 111.5 5318.0 9.5 5088.2 2004 Nias 1 4660.8 919194.0 759.8 113.1 5318.0 9.5 5088.2 1990 Tapsel 2 898.7 860715.0 957.7 124.8 12763.0 7.8 74117.6 1991 Tapsel 2 981.3 959634.0 977.9 127.4 12763.0 9.3 84682.4 1992 Tapsel 2 1018.2 1016063.0 997.9 130.0 12763.0 4.7 320535.3 1993 Tapsel 2 1330.8 1353654.5 1017.2 129.2 12763.0 10.1 92005.9 1994 Tapsel 2 1470.5 1524178.2 1036.5 131.6 12763.0 8.6 60588.2 1995 Tapsel 2 1614.2 1703303.6 1055.2 134.0 12763.0 7.5 138935.3 1996 Tapsel 2 1717.2 1843588.3 1073.6 128.3 12763.0 9.0 175217.6 1997 Tapsel 2 1819.8 1986343.9 1091.5 130.4 12763.0 13.8 406411.8 1998 Tapsel 2 1686.5 1870543.3 1109.1 347.1 12763.0 83.8 78300.0
285
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota
1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel Tapsel Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng Tapteng
Kriteria PDRBKAP (Ribu Rp) 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1694.1 1714.0 1764.5 1804.0 1796.0 1797.0 866.1 932.7 961.5 1341.0 1445.6 1555.1 1697.0 1762.4 1588.6 1615.5 1638.9 1769.1 1801.6 2490.2 3440.6
PDRB (Juta Rp) 1908029.8 1959330.2 1971711.3 2041235.4 2113211.0 2197739.0 186378.0 205286.0 216137.0 307756.5 338708.1 371346.9 412876.3 436541.8 400473.7 414204.3 426926.0 441695.5 455889.1 638244.7 893542.6
POP (Ribu Jiwa) 1126.3 1143.1 1117.4 1131.5 1176.0 1223.0 215.2 220.1 224.8 229.5 234.3 238.8 243.3 247.7 252.1 256.4 260.5 249.7 253.0 256.3 259.7
MISKIN (Ribu Jiwa) 174.5 177.1 173.1 175.3 177.3 179.5 28.0 28.7 29.3 29.1 29.8 30.3 29.1 29.6 78.9 39.7 40.4 38.7 39.2 39.7 40.2
LUAS (KM2)
INFLADA (%)
INVDA (Juta Rp)
12763.0 12763.0 12763.0 12763.0 12763.0 12763.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0 2188.0
1.7 5.9 15.5 9.5 9.5 9.4 7.8 9.3 4.7 10.1 8.6 7.5 9.0 13.8 83.8 1.7 5.9 15.5 9.5 9.5 9.5
70711.8 47370.6 13123.5 5088.2 5088.2 5088.2 74117.6 84682.4 320535.3 92005.9 60588.2 138935.3 175217.6 406411.8 78300.0 70711.8 47370.6 13123.5 5088.2 5088.2 5088.2
286
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
Kab/Kota
Kriteria PDRBKAP
PDRB
(Ribu Rp) (Juta Rp)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Taput Taput Taput Taput Taput Taput Taput Taput Taput Taput Taput Taput Taput Taput Taput Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5
809.2 859.7 910.6 1223.1 1309.8 1396.8 1502.7 1589.4 1498.2 1527.3 1495.7 1628.5 1713.2 1790.9 1871.9 1289.7 1375.2 1435.6 1878.8 1999.1 2132.7 2339.9 2515.6 2490.8
563213.0 600929.0 639442.0 863047.6 928777.8 995750.3 1077122.2 1145652.8 1086324.8 1114011.1 1097675.3 1163068.9 1240081.0 1322192.4 1409740.8 949987.0 1040374.0 1114634.0 1495911.2 1631070.1 1781836.8 2000648.0 2199857.7 2226269.9
POP MISKIN (Ribu (Ribu Jiwa) Jiwa) 696.0 90.7 699.0 91.1 702.2 91.5 705.6 89.6 709.1 90.1 712.9 90.5 716.8 85.7 720.8 86.1 725.1 227.0 729.4 113.0 733.9 113.7 714.2 110.6 723.9 112.1 738.3 113.6 753.1 115.2 736.6 96.0 756.5 98.6 776.4 101.2 796.2 101.1 815.9 103.6 835.5 106.1 855.0 102.2 874.5 104.5 893.8 279.8
LUAS INFLADA INVDA (%) (KM2) (Juta Rp) 10605.0 7.8 74117.6 10605.0 9.3 84682.4 10605.0 4.7 320535.3 10605.0 10.1 92005.9 10605.0 8.6 60588.2 10605.0 7.5 138935.3 10605.0 9.0 175217.6 10605.0 13.8 406411.8 10605.0 83.8 78300.0 10605.0 1.7 70711.8 10605.0 5.9 47370.6 10605.0 15.5 13123.5 10605.0 9.5 5088.2 10605.0 9.5 5088.2 10605.0 9.5 5088.2 9323.0 7.8 74117.6 9323.0 9.3 84682.4 9323.0 4.7 320535.3 9323.0 10.1 92005.9 9323.0 8.6 60588.2 9323.0 7.5 138935.3 9323.0 9.0 175217.6 9323.0 13.8 406411.8 9323.0 83.8 78300.0
287
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
Kab/Kota
Kriteria PDRBKAP
PDRB
(Ribu Rp) (Juta Rp)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Lab.Batu Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan
5 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
2559.0 2657.4 3036.8 3163.3 3276.5 3393.9 1734.1 1833.4 1889.5 2100.0 2264.7 2471.8 2706.6 2926.7 2940.3 3080.2 3254.7 3483.3 3651.6 3775.1 3902.3
2336335.4 2476432.2 2622114.2 2770173.6 2926593.2 3091845.2 1536277.0 1641216.0 1708706.0 1916460.1 2084194.2 2292097.4 2527920.8 2750512.4 2779512.6 2926478.3 3106275.5 3287635.3 3466498.7 3655093.1 3853948.0
POP MISKIN LUAS INFLADA (%) (Ribu (Ribu (KM2) Jiwa) Jiwa) 913.0 141.4 9323.0 1.7 931.9 144.4 9323.0 5.9 863.4 133.7 9323.0 15.5 875.7 135.6 9323.0 9.5 893.2 137.5 9323.0 9.5 911.0 139.5 9323.0 9.5 885.9 115.4 4581.0 7.8 895.2 116.6 4581.0 9.3 904.3 117.8 4581.0 4.7 912.6 115.9 4581.0 10.1 920.3 116.9 4581.0 8.6 927.3 117.8 4581.0 7.5 934.0 111.6 4581.0 9.0 939.8 112.3 4581.0 13.8 945.3 295.9 4581.0 83.8 950.1 147.2 4581.0 1.7 954.4 147.8 4581.0 5.9 943.8 146.2 4581.0 15.5 949.3 147.0 4581.0 9.5 968.2 147.8 4581.0 9.5 987.6 148.6 4581.0 9.5
INVDA (Juta Rp) 70711.8 47370.6 13123.5 5088.2 5088.2 5088.2 74117.6 84682.4 320535.3 92005.9 60588.2 138935.3 175217.6 406411.8 78300.0 70711.8 47370.6 13123.5 5088.2 5088.2 5088.2
288
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
Kab/Kota
Kriteria PDRBKAP
PDRB
(Ribu Rp) (Juta Rp)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Simalung Simalung Simalung Simalung Simalung Simalung Simalung Simalung Simalung Simalung Simalung Simalung Simalung Simalung Simalung Dairi Dairi Dairi Dairi Dairi Dairi Dairi Dairi Dairi
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 8 8 8 8
1381.8 1450.7 1517.4 1810.2 1910.3 2053.5 2153.1 2237.0 2153.8 2236.2 2299.4 2475.8 2567.1 2661.4 2759.3 723.0 781.7 836.2 1030.5 1128.3 1216.3 1338.2 1417.0 1443.5
1113973.0 1179109.0 1244109.0 1497388.4 1594335.3 1729629.3 1830754.5 1920435.3 1867378.9 1957978.3 2034034.8 2138191.8 2230968.6 2327771.0 2428773.7 200634.0 219356.0 237066.0 295035.8 325749.8 354079.4 392501.7 418454.3 428710.1
POP MISKIN LUAS INFLADA (%) (Ribu (Ribu (KM2) Jiwa) Jiwa) 806.2 105.0 4369.0 7.8 812.8 105.9 4369.0 9.3 819.9 106.8 4369.0 4.7 827.2 105.1 4369.0 10.1 834.6 106.0 4369.0 8.6 842.3 107.0 4369.0 7.5 850.3 101.6 4369.0 9.0 858.5 102.6 4369.0 13.8 867.0 271.4 4369.0 83.8 875.6 135.6 4369.0 1.7 884.6 137.0 4369.0 5.9 863.6 133.8 4369.0 15.5 869.1 134.6 4369.0 9.5 874.6 135.4 4369.0 9.5 880.2 136.2 4369.0 9.5 277.5 36.2 3146.0 7.8 280.6 36.6 3146.0 9.3 283.5 36.9 3146.0 4.7 286.3 36.4 3146.0 10.1 288.7 36.7 3146.0 8.6 291.1 37.0 3146.0 7.5 293.3 35.0 3146.0 9.0 295.3 35.3 3146.0 13.8 297.0 93.0 3146.0 83.8
INVDA (Juta Rp) 74117.6 84682.4 320535.3 92005.9 60588.2 138935.3 175217.6 406411.8 78300.0 70711.8 47370.6 13123.5 5088.2 5088.2 5088.2 74117.6 84682.4 320535.3 92005.9 60588.2 138935.3 175217.6 406411.8 78300.0
289
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
Kab/Kota
Kriteria PDRBKAP
PDRB
(Ribu Rp) (Juta Rp)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Dairi Dairi Dairi Dairi Dairi Dairi Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo
8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
1439.6 1540.6 1656.8 1738.5 1823.7 1913.2 1283.9 1416.9 1511.0 1794.4 2010.8 2237.3 2424.3 2584.1 2579.7 2701.3 2826.8 2951.1 3066.3 3187.6 3313.2
430013.2 462627.5 489309.6 519067.7 550635.6 584123.3 332021.0 371512.0 401333.0 482344.5 546741.1 615042.1 673464.7 724310.7 729548.8 770406.9 812434.1 849484.4 889995.6 932439 976906
POP MISKIN LUAS INFLADA (%) (Ribu (Ribu (KM2) Jiwa) Jiwa) 298.7 46.3 3146.0 1.7 300.3 46.5 3146.0 5.9 295.3 45.7 3146.0 15.5 298.6 46.2 3146.0 9.5 301.9 46.7 3146.0 9.5 305.3 47.2 3146.0 9.5 258.6 33.7 2127.0 7.8 262.2 34.2 2127.0 9.3 265.6 34.6 2127.0 4.7 268.8 34.1 2127.0 10.1 271.9 34.5 2127.0 8.6 274.9 34.9 2127.0 7.5 277.8 33.2 2127.0 9.0 280.3 33.5 2127.0 13.8 282.8 88.5 2127.0 83.8 285.2 44.2 2127.0 1.7 287.4 44.5 2127.0 5.9 287.9 44.6 2127.0 15.5 290.2 45.0 2127.0 9.5 293 45 2127.0 9.5 295 46 2127.0 9.5
INVDA (Juta Rp) 70711.8 47370.6 13123.5 5088.2 5088.2 5088.2 74117.6 84682.4 320535.3 92005.9 60588.2 138935.3 175217.6 406411.8 78300.0 70711.8 47370.6 13123.5 5088.2 5088.2 5088.2
290
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
Kab/Kota
Kriteria PDRBKAP
PDRB
(Ribu Rp) (Juta Rp)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 11 11 11 11 11 11 11 11 11
996.9 1043.1 1098.2 1164.8 1306.6 1477.3 1543.9 1659.2 1484.5 1516.9 1570.3 1602.1 1620.5 1639.0 1657.8 1107.4 1119.3 1180.4 2019.8 2051.2 2219.1 2357.0 2168.1 2126.3
1603573.0 1716743.0 1848367.0 2002745.3 2293817.9 2646148.5 2819535.9 3087096.1 2812455.2 2924335.9 3079172.0 3237844.6 3343490.4 3452583 3565236 901304.0 922070.0 983593.0 1700660.7 1744134.2 1904841.3 2040668.0 1891450.3 1868372.8
POP MISKIN LUAS INFLADA (%) (Ribu (Ribu (KM2) Jiwa) Jiwa) 1608.5 209.6 4339.0 7.8 1645.8 214.4 4339.0 9.3 1683.1 219.3 4339.0 4.7 1719.4 218.4 4339.0 10.1 1755.5 222.9 4339.0 8.6 1791.2 227.5 4339.0 7.5 1826.2 218.2 4339.0 9.0 1860.6 222.3 4339.0 13.8 1894.6 593.0 4339.0 83.8 1927.8 298.6 4339.0 1.7 1960.9 303.7 4339.0 5.9 2021.0 313.1 4339.0 15.5 2063.3 319.6 4339.0 9.5 2106 326 4339.0 9.5 2151 333 4339.0 9.5 813.9 106.1 6262.0 7.8 823.8 107.3 6262.0 9.3 833.3 108.6 6262.0 4.7 842.0 106.9 6262.0 10.1 850.3 108.0 6262.0 8.6 858.4 109.0 6262.0 7.5 865.8 103.5 6262.0 9.0 872.4 104.3 6262.0 13.8 878.7 275.0 6262.0 83.8
INVDA (Juta Rp) 74117.6 84682.4 320535.3 92005.9 60588.2 138935.3 175217.6 406411.8 78300.0 70711.8 47370.6 13123.5 5088.2 5088.2 5088.2 74117.6 84682.4 320535.3 92005.9 60588.2 138935.3 175217.6 406411.8 78300.0
291
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
Kab/Kota
Kriteria PDRBKAP
PDRB
(Ribu Rp) (Juta Rp)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga
11 11 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
2114.1 2150.3 2115.3 2148.0 2180.9 2214.4 1356.1 1471.4 1615.0 1878.9 2056.7 2404.7 2808.5 2945.8 2662.1 2772.6 2893.4 2995.4 3101.1 3205.6 3315.4
1870344.9 1913535.6 1950136.3 1999656.5 2050434 2102501 97369.0 107412.0 119670.0 141106.0 156514.9 185405.3 219343.2 232420.3 212965.5 224027.7 235815.3 251722.3 264066.2 277015 290600
POP MISKIN LUAS INFLADA (%) (Ribu (Ribu (KM2) Jiwa) Jiwa) 884.7 137.0 6262.0 1.7 889.9 137.8 6262.0 5.9 921.9 142.8 6262.0 15.5 931.0 144.2 6262.0 9.5 940 146 6262.0 9.5 949 147 6262.0 9.5 71.8 10.4 11.0 7.8 73.0 10.5 11.0 9.3 74.1 10.7 11.0 4.7 75.1 8.8 11.0 10.1 76.1 8.9 11.0 8.6 77.1 9.0 11.0 7.5 78.1 7.4 11.0 9.0 78.9 7.5 11.0 13.8 80.0 24.3 11.0 83.8 80.8 6.7 11.0 1.7 81.5 6.7 11.0 5.9 84.0 7.0 11.0 15.5 85.2 7.1 11.0 9.5 86 7 11.0 9.5 88 7 11.0 9.5
INVDA (Juta Rp) 70711.8 47370.6 13123.5 5088.2 5088.2 5088.2 74117.6 84682.4 320535.3 92005.9 60588.2 138935.3 175217.6 406411.8 78300.0 70711.8 47370.6 13123.5 5088.2 5088.2 5088.2
292
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
Kab/Kota
Kriteria PDRBKAP
PDRB
(Ribun Rp) (Juta Rp)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar
13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 14 14 14 14 14 14 14 14 14
1070.2 1191.5 1328.0 2361.7 2561.7 2778.6 3031.3 3236.7 2982.7 3043.6 3163.6 2912.2 3012.6 3114.3 3220.2 1540.0 1701.0 1807.1 2284.3 2517.4 2666.4 2792.2 2952.4 2805.1
117075.0 132736.0 149272.0 267583.1 292293.4 318705.8 349811.4 376108.7 348082.1 357012.2 372986.8 397876.5 420145.7 443661 468493 339727.0 380860.0 408411.0 521052.0 578501.5 615661.1 647779.4 687620.3 655266.9
POP MISKIN LUAS INFLADA (%) (Ribu (Ribu (KM2) Jiwa) Jiwa) 109.4 15.8 58.0 7.8 111.4 16.1 58.0 9.3 112.4 16.2 58.0 4.7 113.3 13.3 58.0 10.1 114.1 13.4 58.0 8.6 114.7 13.4 58.0 7.5 115.4 11.0 58.0 9.0 116.2 11.1 58.0 13.8 116.7 35.5 58.0 83.8 117.3 9.7 58.0 1.7 117.9 9.8 58.0 5.9 136.6 11.3 58.0 15.5 139.5 11.5 58.0 9.5 142 12 58.0 9.5 145 12 58.0 9.5 220.6 31.9 70.0 7.8 223.9 32.3 70.0 9.3 226.0 32.6 70.0 4.7 228.1 26.7 70.0 10.1 229.8 26.9 70.0 8.6 230.9 27.1 70.0 7.5 232.0 22.1 70.0 9.0 232.9 22.1 70.0 13.8 233.6 71.0 70.0 83.8
INVDA (Juta Rp) 74117.6 84682.4 320535.3 92005.9 60588.2 138935.3 175217.6 406411.8 78300.0 70711.8 47370.6 13123.5 5088.2 5088.2 5088.2 74117.6 84682.4 320535.3 92005.9 60588.2 138935.3 175217.6 406411.8 78300.0
293
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
Kab/Kota
Kriteria
1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi T.Tinggi
14 14 14 14 14 14 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
PDRBKAP
PDRB (Ribu Rp) (Juta Rp) 2914.7 3039.4 3127.5 3303.2 3488.1 3683.8 1234.1 1312.3 1376.2 2009.6 2218.8 2422.2 2546.9 2599.8 2162.0 2193.9 2222.9 2565.6 2649.6 2736.2 2825.7
683194.8 715475.0 766554.5 817471.0 871770 929675 144639.0 157084.0 168172.0 250402.3 281793.6 313184.7 335173.5 348116.4 294034.6 303197.3 312089.7 324044.5 337025.9 350527 364570
POP MISKIN (Ribu (Ribu Jiwa) Jiwa) 234.4 19.4 235.4 19.5 245.1 20.3 247.5 20.5 250 21 252 21 117.2 16.9 119.7 17.3 122.2 17.6 124.6 14.6 127.0 14.9 129.3 15.2 131.6 12.5 133.9 12.7 136.0 41.3 138.2 11.4 140.4 11.6 126.3 10.5 127.2 10.5 128 11 129 11
LUAS INFLADA INVDA (%) (KM2) (Juta Rp) 70.0 1.7 70711.8 70.0 5.9 47370.6 70.0 15.5 13123.5 70.0 9.5 5088.2 70.0 9.5 5088.2 70.0 9.5 5088.2 31.0 7.8 74117.6 31.0 9.3 84682.4 31.0 4.7 320535.3 31.0 10.1 92005.9 31.0 8.6 60588.2 31.0 7.5 138935.3 31.0 9.0 175217.6 31.0 13.8 406411.8 31.0 83.8 78300.0 31.0 1.7 70711.8 31.0 5.9 47370.6 31.0 15.5 13123.5 31.0 9.5 5088.2 31.0 9.5 5088.2 31.0 9.5 5088.2
294
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
Kab/Kota
Kriteria PDRBKAP
PDRB
(Ribu Rp) (Juta Rp)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai
16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 17 17 17 17 17 17 17 17 17
1827.8 1909.7 2078.5 2378.7 2498.1 2614.1 2821.5 2990.0 2410.9 2456.7 2554.2 2883.8 2984.3 3088.4 3196.2 798.3 832.0 874.3 1245.4 1347.5 1448.4 1560.4 1570.8 1345.8
3173717.0 3384170.0 3756857.0 4382251.5 4686615.4 4992604.2 5479426.3 5903111.6 4833911.2 4999858.0 5274101.2 5576589.5 5826929.1 6088507 6361827 147279.0 157908.0 169696.0 247469.7 273278.5 299535.5 328939.4 337415.7 294337.0
POP MISKIN LUAS INFLADA INVDA (%) (Ribu (Ribu (KM2) (Juta Rp) Jiwa) Jiwa) 1736.4 250.7 265.0 7.8 74117.6 1772.1 255.9 265.0 9.3 84682.4 1807.5 261.0 265.0 4.7 320535.3 1842.3 215.9 265.0 10.1 92005.9 1876.1 219.9 265.0 8.6 60588.2 1909.9 223.8 265.0 7.5 138935.3 1942.0 184.7 265.0 9.0 175217.6 1974.3 187.8 265.0 13.8 406411.8 2005.0 609.1 265.0 83.8 78300.0 2035.2 168.5 265.0 1.7 70711.8 2064.9 171.0 265.0 5.9 47370.6 1933.8 160.1 265.0 15.5 13123.5 1952.5 161.7 265.0 9.5 5088.2 1971 163 265.0 9.5 5088.2 1990 165 265.0 9.5 5088.2 184.5 26.6 90.0 7.8 74117.6 189.8 27.4 90.0 9.3 84682.4 194.1 28.0 90.0 4.7 320535.3 198.7 23.3 90.0 10.1 92005.9 202.8 23.8 90.0 8.6 60588.2 206.8 24.2 90.0 7.5 138935.3 210.8 20.0 90.0 9.0 175217.6 214.8 20.4 90.0 13.8 406411.8 218.7 66.4 90.0 83.8 78300.0
295
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
Kab/Kota
Kriteria PDRBKAP
PDRB
(Ribun Rp) (Juta Rp)
1999 2000 2001 2002 2003 2004
Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai
17 17 17 17 17 17
1380.5 1450.3 1555.7 1590.7 1625.8 1661.9
307446.1 328339.9 340894.3 354350.5 368338 382877
POP MISKIN LUAS INFLADA INVDA (%) (Ribu (Ribu (KM2) (Juta Jiwa) Jiwa) Rp) 222.7 18.4 90.0 1.7 70711.8 226.4 18.7 90.0 5.9 47370.6 219.1 18.1 90.0 15.5 13123.5 222.8 18.4 90.0 9.5 5088.2 227 19 90.0 9.5 5088.2 230 19 90.0 9.5 5088.2
296
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (%) (Unit) (Kamar) (KM) (Ribu (Ribu Rp) Jiwa) 1990 Nias 1 252.7 1081.0 19.0 174.0 233.0 1889.4 1991 Nias 1 259.9 1106.6 20.9 174.0 233.0 1889.4 1992 Nias 1 267.7 1388.4 19.2 178.0 232.0 1889.4 1993 Nias 1 275.9 1499.4 17.1 196.0 256.0 1889.0 1994 Nias 1 284.7 1627.6 15.0 223.0 577.0 1889.0 1995 Nias 1 293.7 1929.2 15.8 268.0 495.0 1889.0 1996 Nias 1 302.6 2407.6 16.4 338.0 744.0 1856.5 1997 Nias 1 311.6 2407.6 17.3 411.0 634.0 1889.1 1998 Nias 1 320.7 2797.6 36.1 459.0 658.0 2108.0 1999 Nias 1 329.9 3541.2 32.9 1437.0 639.0 2108.0 2000 Nias 1 339.3 4654.0 18.0 495.0 660.0 2604.9 2001 Nias 1 390.9 4426.5 17.6 524.0 929.0 1889.6 2002 Nias 1 397.1 6128.0 16.9 524.0 671.0 1889.6 2003 Nias 1 403.4 6225.0 17.6 524.0 671.0 1889.6 2004 Nias 1 409.7 6323.0 16.9 524.0 671.0 1889.6 1990 Tapsel 2 371.3 1081.0 19.0 2056.0 472.0 2289.0 1991 Tapsel 2 382.9 1106.6 20.9 2076.0 584.0 2363.0 1992 Tapsel 2 395.3 1388.4 19.2 2024.0 544.0 2363.0 1993 Tapsel 2 408.3 1499.4 17.1 2204.0 734.0 2549.7 1994 Tapsel 2 422.0 1627.6 15.0 2082.0 665.0 2791.3 1995 Tapsel 2 436.2 1929.2 15.8 2081.0 925.0 2791.3 1996 Tapsel 2 450.3 2407.6 16.4 2317.0 657.0 1647.1 1997 Tapsel 2 464.5 2407.6 17.3 2728.0 666.0 2495.5 1998 Tapsel 2 478.9 2797.6 36.1 2830.0 644.0 2611.0
297
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (%) (Unit) (Kamar) (KM) (Ribu (Ribu Rp) Jiwa) 1999 Tapsel 2 493.5 3541.2 32.9 2429.0 688.0 2118.0 2000 Tapsel 2 508.2 4654.0 18.0 2399.0 688.0 2832.1 2001 Tapsel 2 502.0 4426.5 17.6 2666.0 654.0 3807.7 2002 Tapsel 2 526.9 6032.0 16.9 2666.0 706.0 3807.7 2003 Tapsel 2 580.5 6635.2 17.9 2666.0 706.0 3807.7 2004 Tapsel 2 609.3 7298.0 18.0 2666.0 706.0 3807.7 1990 Tapteng 3 86.5 1081.0 19.0 355.0 28.0 325.0 1991 Tapteng 3 89.4 1106.6 20.9 374.0 28.0 368.4 1992 Tapteng 3 92.5 1388.4 19.2 421.0 28.0 368.4 1993 Tapteng 3 95.8 1499.4 17.1 384.0 23.0 550.1 1994 Tapteng 3 99.3 1627.6 15.0 433.0 88.0 570.2 1995 Tapteng 3 102.8 1929.2 15.8 450.0 104.0 570.2 1996 Tapteng 3 106.5 2407.6 16.4 496.0 106.0 485.5 1997 Tapteng 3 110.0 2407.6 17.3 579.0 73.0 630.9 1998 Tapteng 3 113.7 2797.6 36.1 611.0 98.0 644.0 1999 Tapteng 3 117.4 3541.2 32.9 620.0 88.0 669.0 2000 Tapteng 3 121.2 4654.0 18.0 649.0 83.0 668.2 2001 Tapteng 3 97.5 4426.5 17.6 704.0 88.0 724.5 2002 Tapteng 3 98.3 6032.0 16.9 704.0 91.0 724.5 2003 Tapteng 3 99.1 6635.2 16.9 704.0 91.0 724.5 2004 Tapteng 3 99.9 7298.0 17.0 704.0 91.0 724.5
298
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (Ribu Rp) (%) (Unit) (Kamar) (KM) (Ribu Jiwa) 1990 Taput 4 284.1 1081.0 19.0 1533.0 1099.0 349.3 1991 Taput 4 287.1 1106.6 20.9 1601.0 1190.0 2222.5 1992 Taput 4 290.5 1388.4 19.2 1629.0 1232.0 2222.5 1993 Taput 4 294.0 1499.4 17.1 1981.0 1308.0 2351.5 1994 Taput 4 297.8 1627.6 15.0 1560.0 1578.0 2356.6 1995 Taput 4 301.5 1929.2 15.8 1579.0 1527.0 2356.6 1996 Taput 4 305.0 2407.6 16.4 1655.0 1556.0 2248.0 1997 Taput 4 308.1 2407.6 17.3 1793.0 1463.0 2248.0 1998 Taput 4 311.2 2797.6 36.1 1812.0 1560.0 2248.0 1999 Taput 4 314.2 3541.2 32.9 1828.0 1527.0 1743.0 2000 Taput 4 317.0 4654.0 18.0 1846.0 1520.0 3070.3 2001 Taput 4 389.2 4426.5 17.6 1941.0 1544.0 3398.6 2002 Taput 4 381.5 6032.0 16.9 1941.0 1729.0 3398.6 2003 Taput 4 381.5 6635.2 16.9 1941.0 1729.0 3398.6 2004 Taput 4 381.5 7298.0 17.0 1941.0 1729.0 3398.6 1990 Lab.Batu 5 260.5 1081.0 19.0 1613.0 323.0 1445.6 1991 Lab.Batu 5 269.1 1106.6 20.9 1558.0 341.0 1607.0 1992 Lab.Batu 5 278.5 1388.4 19.2 1683.0 345.0 1607.0 1993 Lab.Batu 5 288.4 1499.4 17.1 1837.0 365.0 1623.8 1994 Lab.Batu 5 299.0 1627.6 15.0 2110.0 350.0 1750.1 1995 Lab.Batu 5 309.9 1929.2 15.8 2593.0 430.0 1750.1 1996 Lab.Batu 5 320.9 2407.6 16.4 2883.0 363.0 1565.4 1997 Lab.Batu 5 332.1 2407.6 17.3 3574.0 350.0 1764.5 1998 Lab.Batu 5 343.6 2797.6 36.1 3792.0 362.0 1773.0
299
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (%) (Unit) (Kamar) (KM) (Ribu (Ribu Rp) Jiwa) 1999 Lab.Batu 5 355.3 3541.2 32.9 2382.0 372.0 1775.0 2000 Lab.Batu 5 367.3 4654.0 18.0 2656.0 372.0 1756.3 2001 Lab.Batu 5 321.5 4426.5 17.6 2954.0 401.0 1666.9 2002 Lab.Batu 5 324.9 6032.0 16.9 2954.0 405.0 1666.9 2003 Lab.Batu 5 328.3 6635.2 16.9 2954.0 405.0 1666.9 2004 Lab.Batu 5 331.8 7298.0 17.0 2954.0 405.0 1666.9 1990 Asahan 6 324.9 1081.0 19.0 1538.0 261.0 841.1 1991 Asahan 6 332.2 1106.6 20.9 1642.0 271.0 1308.8 1992 Asahan 6 340.1 1388.4 19.2 1697.0 291.0 1308.8 1993 Asahan 6 348.3 1499.4 17.1 2027.0 280.0 1391.5 1994 Asahan 6 357.0 1627.6 15.0 1992.0 285.0 1668.8 1995 Asahan 6 365.8 1929.2 15.8 2205.0 295.0 1668.8 1996 Asahan 6 374.4 2407.6 16.4 2349.0 272.0 1061.5 1997 Asahan 6 382.9 2407.6 17.3 2584.0 259.0 1751.0 1998 Asahan 6 391.5 2797.6 36.1 2682.0 204.0 1706.0 1999 Asahan 6 400.1 3541.2 32.9 3382.0 199.0 1706.0 2000 Asahan 6 692.2 4654.0 18.0 2557.0 256.0 1701.1 2001 Asahan 6 404.2 4426.5 17.6 2745.0 256.0 1799.8 2002 Asahan 6 414.9 6032.0 16.9 2745.0 276.0 1799.8 2003 Asahan 6 425.9 6635.2 16.9 2745.0 276.0 1799.8 2004 Asahan 6 437.2 7298.0 17.0 2745.0 276.0 1799.8
300
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (%) (Unit) (Kamar) (KM) (Ribu (Ribu Rp) Jiwa) 1990 Simalung 7 303.0 1081.0 19.0 1772.0 1426.0 984.5 1991 Simalung 7 309.8 1106.6 20.9 1795.0 1574.0 1116.7 1992 Simalung 7 317.0 1388.4 19.2 1783.0 1660.0 1116.7 1993 Simalung 7 324.6 1499.4 17.1 1767.0 1609.0 1243.5 1994 Simalung 7 332.4 1627.6 15.0 1806.0 1613.0 1483.5 1995 Simalung 7 340.3 1929.2 15.8 1993.0 1615.0 1483.5 1996 Simalung 7 348.1 2407.6 16.4 2242.0 1457.0 1485.6 1997 Simalung 7 355.7 2407.6 17.3 2560.0 1397.0 1632.6 1998 Simalung 7 363.2 2797.6 36.1 2673.0 1253.0 1637.0 1999 Simalung 7 370.7 3541.2 32.9 3615.0 1253.0 1984.0 2000 Simalung 7 378.3 4654.0 18.0 2800.0 1280.0 1613.8 2001 Simalung 7 433.1 4426.5 17.6 2958.0 1247.0 4646.2 2002 Simalung 7 397.3 6032.0 16.9 2958.0 1280.0 4646.2 2003 Simalung 7 364.5 6635.2 16.9 2958.0 1280.0 4646.2 2004 Simalung 7 334.3 7298.0 17.0 2958.0 1280.0 4646.2 1990 Dairi 8 123.6 1081.0 19.0 731.0 153.0 1296.5 1991 Dairi 8 126.6 1106.6 20.9 696.0 141.0 1296.5 1992 Dairi 8 129.9 1388.4 19.2 814.0 141.0 1296.5 1993 Dairi 8 133.3 1499.4 17.1 831.0 155.0 1296.5 1994 Dairi 8 136.9 1627.6 15.0 763.0 143.0 1342.6 1995 Dairi 8 140.6 1929.2 15.8 830.0 172.0 1342.6 1996 Dairi 8 144.2 2407.6 16.4 896.0 162.0 1217.0 1997 Dairi 8 147.7 2407.6 17.3 976.0 188.0 1680.0 1998 Dairi 8 151.3 2797.6 36.1 990.0 261.0 1680.0
301
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (%) (Unit) (Kamar) (Ribu (Ribu Rp) (KM) Jiwa) 1999 Dairi 8 154.7 3541.2 32.9 1075.0 235.0 1643.0 2000 Dairi 8 158.2 4654.0 18.0 1101.0 222.0 2602.0 2001 Dairi 8 174.3 4426.5 17.6 1149.0 226.0 1584.5 2002 Dairi 8 161.8 6032.0 16.9 1149.0 220.0 1584.5 2003 Dairi 8 161.8 6635.2 16.9 1149.0 220.0 1584.5 2004 Dairi 8 161.8 7298.0 17.0 1149.0 220.0 1584.5 1990 Karo 9 124.7 1081.0 19.0 2093.0 771.0 960.5 1991 Karo 9 128.3 1106.6 20.9 2143.0 848.0 1004.2 1992 Karo 9 132.0 1388.4 19.2 2175.0 932.0 1004.2 1993 Karo 9 136.0 1499.4 17.1 2269.0 1018.0 1073.0 1994 Karo 9 140.1 1627.6 15.0 2086.0 1177.0 1073.7 1995 Karo 9 144.3 1929.2 15.8 2336.0 1165.0 1073.7 1996 Karo 9 148.5 2407.6 16.4 2643.0 1339.0 996.4 1997 Karo 9 152.7 2407.6 17.3 3024.0 1081.0 1023.1 1998 Karo 9 156.9 2797.6 36.1 3118.0 1102.0 1060.0 1999 Karo 9 161.2 3541.2 32.9 3072.0 1102.0 1060.0 2000 Karo 9 165.5 4654.0 18.0 3259.0 1068.0 1066.9 2001 Karo 9 151.6 4426.5 17.6 3552.0 1047.0 996.2 2002 Karo 9 159.6 6032.0 16.9 3552.0 1320.0 996.2 2003 Karo 9 168 6635.2 16.9 3552.0 1320.0 996.2 2004 Karo 9 177 7298.0 17.0 3552.0 1320.0 996.2
302
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Kab/Kota
Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat
Kriteria BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (Ribu (Ribu Rp) (%) (Unit) (Kamar) (KM) Jiwa)
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 11 11 11 11 11 11 11 11 11
577.5 597.2 618.3 640.2 663.6 687.6 711.7 736.2 761.3 786.9 812.9 806.6 824.2 842 861 313.2 319.8 327.0 334.4 342.2 350.1 358.0 365.6 373.3
1081.0 1106.6 1388.4 1499.4 1627.6 1929.2 2407.6 2407.6 2797.6 3541.2 4654.0 4426.5 6032.0 6635.2 7298.0 1081.0 1106.6 1388.4 1499.4 1627.6 1929.2 2407.6 2407.6 2797.6
19.0 20.9 19.2 17.1 15.0 15.8 16.4 17.3 36.1 32.9 18.0 17.6 16.9 16.9 17.0 19.0 20.9 19.2 17.1 15.0 15.8 16.4 17.3 36.1
4048.0 3817.0 4078.0 4542.0 4336.0 5046.0 5388.0 6315.0 6441.0 5127.0 5527.0 6245.0 6245.0 6245.0 6245.0 1513.0 1568.0 1498.0 1250.0 1681.0 2470.0 1975.0 2206.0 2234.0
745.0 684.0 683.0 685.0 844.0 911.0 1106.0 1113.0 1148.0 1169.0 1169.0 1223.0 1360.0 1360.0 1360.0 51.0 172.0 172.0 172.0 390.0 423.0 438.0 451.0 351.0
2526.6 2526.6 2526.6 2526.6 2526.6 2526.6 1373.6 1653.3 2527.0 1458.0 1388.4 1944.5 1944.5 1944.5 1944.5 621.2 1248.9 1248.9 1258.6 1290.3 1290.3 1123.4 1279.6 1325.0
303
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Kab/Kota
Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Langkat Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga Sibolga
Kriteria BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (Ribu (Ribu Rp) (%) (Unit) (Kamar) (KM) Jiwa)
11 11 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
759.0 388.7 358.2 359.0 360 361 21.3 21.9 22.4 23.1 23.8 24.4 25.1 25.7 26.5 27.1 27.9 26.0 28.6 31 35
3541.2 4654.0 4426.5 6032.0 6635.2 7298.0 1081.0 1106.6 1388.4 1499.4 1627.6 1929.2 2407.6 2407.6 2797.6 3541.2 4654.0 4426.5 6032.0 6635.2 7298.0
32.9 18.0 17.6 16.9 16.9 17.0 19.0 20.9 19.2 17.1 15.0 15.8 16.4 17.3 36.1 32.9 18.0 17.6 16.9 16.9 17.0
1138.0 1249.0 1388.0 1388.0 1388.0 1388.0 355.0 374.0 421.0 384.0 433.0 450.0 496.0 579.0 611.0 620.0 649.0 704.0 704.0 704.0 704.0
351.0 327.0 300.0 402.0 402.0 402.0 455.0 455.0 455.0 455.0 577.0 649.0 638.0 662.0 658.0 616.0 605.0 605.0 619.0 619.0 619.0
1325.0 1325.3 1345.5 1345.5 1345.5 1345.5 42.0 46.2 46.2 47.7 47.7 47.7 45.4 47.7 48.0 48.0 48.0 48.0 48.0 48.0 48.0
304
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (Ribu (Ribu Rp) (%) (Unit) (Kamar) (KM) Jiwa)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai T.Balai P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar P.Siantar
13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 14 14 14 14 14 14 14 14 14
32.2 33.1 34.1 35.1 36.2 37.4 38.6 39.8 41.1 42.4 43.8 47.1 48.7 50 52 66.5 70.3 74.3 78.5 83.0 87.6 92.4 97.3 102.5
1081.0 1106.6 1388.4 1499.4 1627.6 1929.2 2407.6 2407.6 2797.6 3541.2 4654.0 4426.5 6032.0 6635.2 7298.0 1081.0 1106.6 1388.4 1499.4 1627.6 1929.2 2407.6 2407.6 2797.6
19.0 20.9 19.2 17.1 15.0 15.8 16.4 17.3 36.1 32.9 18.0 17.6 16.9 16.9 17.0 19.0 20.9 19.2 17.1 15.0 15.8 16.4 17.3 36.1
1277.0 374.0 349.0 357.0 948.0 1084.0 1158.0 1281.0 1293.0 666.0 690.0 758.0 758.0 758.0 758.0 3314.0 3579.0 3140.0 3281.0 3078.0 3374.0 3695.0 4099.0 4215.0
104.0 83.0 83.0 91.0 85.0 94.0 93.0 92.0 68.0 70.0 84.0 77.0 89.0 89.0 89.0 395.0 390.0 390.0 420.0 449.0 448.0 420.0 436.0 438.0
167.6 167.6 167.6 167.6 171.8 171.8 180.4 186.4 198.0 190.0 190.3 205.2 205.2 205.2 205.2 310.6 310.6 310.6 311.5 311.5 311.5 311.6 279.0 318.0
305
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota Kriteria BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (%) (Unit) (Kamar) (KM) (Ribu (Ribu Rp) Jiwa) 1999 P.Siantar 14 107.8 3541.2 32.9 4126.0 468.0 288.0 2000 P.Siantar 14 113.3 4654.0 18.0 4384.0 468.0 317.0 2001 P.Siantar 14 83.2 4426.5 17.6 4637.0 474.0 317.1 2002 P.Siantar 14 94.7 6032.0 16.9 4637.0 456.0 317.1 2003 P.Siantar 14 108 6635.2 16.9 4637.0 456.0 317.1 2004 P.Siantar 14 123 7298.0 17.0 4637.0 456.0 317.1 1990 T.Tinggi 15 37.5 1081.0 19.0 1312.0 151.0 98.5 1991 T.Tinggi 15 38.9 1106.6 20.9 1153.0 183.0 128.1 1992 T.Tinggi 15 40.4 1388.4 19.2 1273.0 179.0 128.1 1993 T.Tinggi 15 42.0 1499.4 17.1 1421.0 162.0 146.9 1994 T.Tinggi 15 43.7 1627.6 15.0 1295.0 181.0 108.8 1995 T.Tinggi 15 45.5 1929.2 15.8 1473.0 211.0 108.8 1996 T.Tinggi 15 47.3 2407.6 16.4 1613.0 174.0 128.9 1997 T.Tinggi 15 49.1 2407.6 17.3 1791.0 152.0 110.3 1998 T.Tinggi 15 51.0 2797.6 36.1 1841.0 154.0 162.0 1999 T.Tinggi 15 53.0 3541.2 32.9 1858.0 135.0 152.0 2000 T.Tinggi 15 54.9 4654.0 18.0 1935.0 108.0 152.0 2001 T.Tinggi 15 42.9 4426.5 17.6 2054.0 124.0 186.5 2002 T.Tinggi 15 46.9 6032.0 16.9 2054.0 122.0 186.5 2003 T.Tinggi 15 51 6635.2 16.9 2054.0 122.0 186.5 2004 T.Tinggi 15 56 7298.0 17.0 2054.0 122.0 186.5
306
Lampiran 2. Lanjutan Tahun
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Kab/Kota Kriteria BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (Ribu (Ribu Rp) (%) (Unit) (Kamar) (KM) Jiwa)
Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai
16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 17 17 17 17 17 17 17 17 17
510.2 528.5 547.8 567.6 588.8 610.2 631.7 653.6 675.8 698.4 721.3 663.3 677.3 692 706 61.8 63.3 66.2 68.5 71.2 74.0 76.9 79.9 83.2
1081.0 1106.6 1388.4 1499.4 1627.6 1929.2 2407.6 2407.6 2797.6 3541.2 4654.0 4426.5 6032.0 6635.2 7298.0 1081.0 1106.6 1388.4 1499.4 1627.6 1929.2 2407.6 2407.6 2797.6
19.0 20.9 19.2 17.1 15.0 15.8 16.4 17.3 36.1 32.9 18.0 17.6 16.9 16.9 17.0 19.0 20.9 19.2 17.1 15.0 15.8 16.4 17.3 36.1
26020.0 29361.0 33802.0 34238.0 40506.0 44774.0 49284.0 54176.0 55039.0 54968.0 57862.0 62364.0 62364.0 62364.0 62364.0 1790.0 2039.0 1535.0 1998.0 1157.0 1879.0 2218.0 2492.0 2515.0
3819.0 3994.0 3874.0 4023.0 4026.0 4500.0 4501.0 4485.0 4581.0 4581.0 4870.0 5032.0 5398.0 5398.0 5398.0 45.0 47.0 56.0 75.0 132.0 145.0 168.0 158.0 170.0
1338.4 1338.4 1338.4 1392.1 1392.1 1392.1 1402.3 2251.0 2351.0 2351.0 1725.0 1739.7 1739.7 1739.7 1739.7 286.4 286.4 286.4 237.3 239.4 239.4 220.5 341.4 352.0
307
309
Lampiran 3. Program Komputer Estimasi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metoda 2SLS. options nodate nonumber; data Sumut; set ming; PAD = FISGAP= TGEXP = TGREV =
TAXDA PAD RUEXP PAD +
+ RETRIB +BUMD + PADLAIN; TGEXP; + DEVEXP; DAU + BHP + DAK + BHSDA + SIAP+ REVLAIN;
/*LABEL TAXDA ='Pajak Daerah' RETRIB ='Retribusi' PAD ='Pend.Asli Daerah' BUMN ='Laba BUMD' PADLAIN ='PAD Lainnya' SIAP ='Sisa Anggaran' BHP ='Bagi Hasil Pajak' BHSDA ='Bagi Hasil SDA' DAU ='Dana Alok.Umum' DAK ='Dana Alok.Khusus' REVLAIN ='Penerimaan Lain' TGREV ='Pener.Tot.Pemda' RUEXP ='Pengel.Rutin' DEVEXP ='Pengel.Pembang' TGEXP ='Peng.Tot.Pemda' FISGAP ='Fiskal Gap' INFRAS ='Pemb.Infrastruktur' INVDA ='InVest.di Daerah' PDRB ='Prod.Dom.Reg.Bruto' BKERJ ='Kesempatan kerja' INFLADA ='Inflasi di Daerah' DISTRIB ='Distribusi' SUBUDA ='Suku Bunga' UPAHDA ='Tingkat Upah' DDF ='Dummy Des.Fiskal' DK 98 ='Dummy Krisis 98' DK 97 ='Dummy Krisis 97' BPEGAWAI='Belanja PNS' POP ='Jlh Penduduk' ; */ Run; PROC SYSLIN 2SLS DATA=SUMUT simple; ENDOGENOUS TAXDA RETRIB PAD DAU BHP TGREV FISGAP INVDA INFRAS PDRB BKERJA INFLADA RUEXP DEVEXP TGEXP; INSTRUMENTS SUBUDA UPAHDA POP BPEGAWAI LUAS MISKIN BHSDA DDF DK97 DK98 TREND LTAXDA LRETRIB LBHP LRUEXP LINVDA LDAU; /*BANGUNAN MODEL SUMUT*/ TAXDA: MODEL TAXDA = PDRB FISGAP DDF/DW; RETRI: MODEL RETRIB = PDRB MOTOR FISGAP DDF/DW; DAU : MODEL DAU = PDRB PAD LUAS MISKIN BPEGAWAI DDF LDAU/DW; BHP : MODEL BHP = PDRB DDF LBHP/DW; RUTIN: MODEL RUEXP = DAU PAD DDF LRUEXP/DW;
310
PEMB : MODEL DEVEXP
=
INFRA: INVDA: PDRB : KERJA: INFLA:
= = = = =
MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL
INFRAS INVDA PDRB BKERJA INFLADA
IDENTITY PAD IDENTITY FISGAP IDENTITY TGREV
= = =
IDENTITY TGEXP
=
RUN;
INFRAS DAU PAD LUAS DDF LDEVEXP/DW; TGREV INVDA LUAS TREND/DW; PDRB TAXDA UPAHDA SUBUDA DDF/DW; TGEXP INVDA BKERJA DDF/DW; PDRB DEVEXP UPAHDA DDF/DW; TGEXP INVDA UPAHDA DK98/DW; TAXDA + RETRIB + BUMD + PADLAIN; PAD - TGEXP; PAD + DAU +BHP + +DAK + SIAP +BHSDA +REVLAIN; RUEXP + DEVEXP;
311
Lampiran 4. Hasil Estimasi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metoda 2SLS.
Persamaan Pajak Daerah (TAXDA): The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model: TAXDA Dependent variable: TAXDA Pajak Daerah
Analysis of Variance Source
DF
Model Error C Total
Sum of Squares
Mean Square
3 9659469390.8 3219823130.3 217 5814418117.4 26794553.536 220 14694034284 Root MSE Dep Mean C.V.
5176.34558 3242.37104 159.64692
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
120.167
0.0001
0.6242 0.6190
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP PDRB FISGAP DDF
1 1 1 1
-3972.772744 0.005455 0.056557 3618.118201
521.534032 0.000341 0.126964 1258.816716
-7.617 15.984 0.445 2.874
0.0001 0.0001 0.6564 0.0045
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
0.467 221 0.766
Variable Label Prod.Dom.Reg.Bruto FISKAL GAP Dum.Des.Fis
Lampiran 2. Lanjutan Tahun Kab/Kota
1999 2000 2001 2002 2003 2004
Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai Binjai
Kriteria
17 17 17 17 17 17
BKERJA UPAHDA SUBUDA MOTOR HOTEL INFRAS (Ribu Rp) (%) (Unit) (Kamar) (KM) (Ribu Jiwa) 86.6 3541.2 32.9 2027.0 134.0 353.0 90.6 4654.0 18.0 2156.0 193.0 350.0 85.9 4426.5 17.6 2342.0 193.0 316.9 95.3 6032.0 16.9 2342.0 176.0 316.9 106 6635.2 16.9 2342.0 176.0 316.9 117 7298.0 17.0 2342.0 176.0 316.9
308
312
Persamaan Retribusi Daerah (RETRIB):
The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: RETRIB Dependent variable: RETRIB Retribusi
Analysis of Variance Source
DF
Model Error C Total
Sum of Squares
Mean Square
4 4797503372.9 1199375843.2 216 1360941127.7 6300653.3688 220 5613366256.5 Root MSE Dep Mean C.V.
2510.11023 2525.95023 99.37291
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
190.357
0.0001
0.7790 0.7749
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP PDRB MOTOR FISGAP DDF
1 1 1 1 1
-149.595920 0.001005 0.346366 0.277956 4558.577040
276.140650 0.000248 0.025044 0.061567 611.629227
-0.542 4.055 13.830 4.515 7.453
0.5886 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.651 221 0.172
Variable Label Intercept Prod.Dom.Reg.Bruto Jlh.Kend.Bermotor FISKAL GAP Dum.Des.Fis
313
Persamaan Dana Alokasi Umum (DAU):
The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: DAU Dependent variable: DAU Dana Alok.Umum
Analysis of Variance Source
DF
Model Error C Total
Sum of Squares
Mean Square
7 1.3051908E12 186455827303 213 31349863531 147182457.89 220 1.3361486E12 Root MSE Dep Mean C.V.
12131.87776 57586.11312 21.06737
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
1266.835
0.0001
0.9765 0.9758
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP PDRB PAD LUAS MISKIN BPEGAWAI DDF LDAU
1 1 1 1 1 1 1 1
2862.659185 -0.000362 -0.267562 1.166527 32.729393 0.932217 21892 0.283107
1459.663746 0.002390 0.164815 0.268037 19.374118 0.042068 3735.048086 0.034449
1.961 -0.151 -1.623 4.352 1.689 22.160 5.861 8.218
0.0512 0.8798 0.1060 0.0001 0.0926 0.0001 0.0001 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
1.435 221 0.281
Variable Label Intercept Prod.Dom.Reg.Bruto Pend.Asli Daerah Luas Wilayah MISKIN Belanja PNS Dum.Des.Fis LDAU
314
Persamaan Bagi Hasil Pajak (BHP): The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model: BHP Dependent variable: BHP Bagi Hasil Pajak Analysis of Variance Source
DF
Model Error C Total
Sum of Squares
Mean Square
3 32622055734 10874018578 217 7894823138.8 36381673.451 220 40727016674 Root MSE Dep Mean C.V.
6031.72226 9242.74887 65.25897
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
298.887
0.0001
0.8051 0.8025
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP PDRB DDF LBHP
1 1 1 1
-1255.072260 0.002984 7067.838693 0.759317
613.819255 0.000520 1317.165597 0.062599
-2.045 5.734 5.366 12.130
0.0421 0.0001 0.0001 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.139 221 -0.072
Variable Label Intercept Prod.Dom.Reg.Bruto Dum.Des.Fis LBHP
315
Persamaan Pengeluaran Rutin (RUEXP):
The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model: RUTIN Dependent variable: RUEXP Pengel.Rutin Analysis of Variance Source
DF
Model Error C Total
Sum of Squares
Mean Square
4 1.3735822E12 343395562047 216 29483049431 136495599.22 220 1.3985226E12 Root MSE Dep Mean C.V.
11683.13311 50624.22308 23.07815
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
2515.800
0.0001
0.9790 0.9786
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP DAU PAD DDF LRUEXP
1 1 1 1 1
-8252.567150 0.782806 1.436578 11184 0.074520
1018.250883 0.029011 0.079088 3338.289896 0.037750
-8.105 26.983 18.164 3.350 1.974
0.0001 0.0001 0.0001 0.0010 0.0497
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
0.930 221 0.534
Variable Label Intercept Dana Alok.Umum Pend.Asli Daerah Dum.Des.Fis LRUEXP
316
Persamaan Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP):
The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PEMB Dependent variable: DEVEXP Peng.Pemb Analysis of Variance Source
DF
Model Error C Total
Sum of Squares
Mean Square
6 175123227807 29187204634 214 18597342028 86903467.420 220 197475565646 Root MSE Dep Mean C.V.
9322.20293 27111.63484 34.38451
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
335.858
0.0001
0.9040 0.9013
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP INFRAS DAU PAD LUAS DDF LDEVEXP
1 1 1 1 1 1 1
481.063479 1.353761 0.121281 0.119301 0.390374 15593 0.646016
1328.899765 2.432157 0.022790 0.063760 0.402984 3101.854587 0.065035
0.362 0.557 5.322 1.871 0.969 5.027 9.933
0.7177 0.5784 0.0001 0.0627 0.3338 0.0001 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.159 221 -0.080
Variable Label Intercept Pemb.Infrast Dana Alok.Umum Pend.Asli Daerah Luas Wilayah Dum.Des.Fis LDEVEXP
317
Persamaan Pembangunan Infrastruktur (INFRAS):
The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model: INFRA Dependent variable: INFRAS Pemb.Infrast Analysis of Variance Source
DF
Model Error C Total
Sum of Squares
Mean Square
4 122663826.70 30665956.675 216 65548173.312 303463.76534 220 188281266.42 Root MSE Dep Mean C.V.
550.87545 1245.67240 44.22314
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
101.053
0.0001
0.6517 0.6453
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP TGREV INVDA LUAS TREND
1 1 1 1 1
420.329992 0.003996 0.000804 0.148871 -27.550968
108.020395 0.000503 0.000443 0.010000 13.426730
3.891 7.951 1.815 14.888 -2.052
0.0001 0.0001 0.0709 0.0001 0.0414
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
0.649 221 0.672
Variable Label Intercept Pener.Tot.Pemda InVest.di Daerah Luas Wilayah TREND
318
Persamaan Investasi Swasta (INVDA):
The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: INVDA Dependent variable: INVDA InVest.di Daerah Analysis of Variance Source
DF
Model Error C Total
Sum of Squares
Mean Square
5 672195362071 134439072414 215 2.1808327E12 10143408041 220 2.8455672E12 Root MSE 100714.48774 Dep Mean 120545.24615 C.V. 83.54912
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
13.254
0.0001
0.2356 0.2178
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP PDRB TAXDA UPAHDA SUBUDA DDF
1 1 1 1 1 1
232862 0.009508 -0.854688 -12.129093 -3621.602726 -106329
26324 0.009842 1.468629 7.025098 1154.605848 29951
8.846 0.966 -0.582 -1.727 -3.137 -3.550
0.0001 0.3351 0.5612 0.0857 0.0019 0.0005
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.008 221 -0.006
Variable Label Intercept Prod.Dom.Reg.Bruto Pajak Daerah Tingkat Upah Suku Bunga Dum.Des.Fis
319
Persamaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB):
The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PDRB Dependent variable: PDRB Prod.Dom.Reg.Bruto Analysis of Variance Source
DF
Model Error C Total
Sum of Squares
Mean Square
4 2.5794977E14 6.4487443E13 216 8.7651776E13 405795260576 220 3.3668324E14 Root MSE 637020.61236 Dep Mean1255551.75204 C.V. 50.73631
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
158.916
0.0001
0.7464 0.7417
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP TGEXP INVDA BKERJA DDF
1 1 1 1 1
-269887 2.790033 1.093949 4520.396625 -155837
104329 0.836721 0.531711 301.515754 212540
-2.587 3.334 2.057 14.992 -0.733
0.0103 0.0010 0.0408 0.0001 0.4642
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
0.338 221 0.828
Variable Label Intercept Peng.Tot.Pemda InVest.di Daerah BKERJA Dum.Des.Fis
320
Persamaan Kesempatan Kerja (BKERJA):
The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: KERJA Dependent variable: BKERJA BKERJA Analysis of Variance Source
DF
Model Error C Total
Sum of Squares
Mean Square
4 7715964.0229 1928991.0057 216 2226428.5104 10307.53940 220 9372489.9306 Root MSE Dep Mean C.V.
101.52605 265.45294 38.24635
R-Square Adj R-SQ
F Value
Prob>F
187.144
0.0001
0.7761 0.7719
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP PDRB DEVEXP UPAHDA DDF
1 1 1 1 1
99.892183 0.000130 0.002622 -0.019253 -112.869266
17.505042 0.000007671 0.000480 0.007334 31.813258
5.706 16.928 5.461 -2.625 -3.548
0.0001 0.0001 0.0001 0.0093 0.0005
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
0.441 221 0.776
Variable Label Intercept Prod.Dom.Reg.Bruto Peng.Pemb Tingkat Upah Dum.Des.Fis
321
Persamaan Tingkat Inflasi (INFLADA):
The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: INFLA Dependent variable: INFLADA Inflasi Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Prob>F
Model Error C Total
4 216 220
89232.78209 2644.73155 91256.68000
22308.19552 12.24413
1821.951
0.0001
Root MSE Dep Mean C.V.
3.49916 14.40000 24.29973
R-Square Adj R-SQ
0.9712 0.9707
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP TGEXP INVDA UPAHDA DK98
1 1 1 1 1
5.357095 0.000012747 0.000016324 0.000090635 75.932669
0.783151 0.000003203 0.000002939 0.000236 0.892843
6.840 3.979 5.554 0.385 85.046
0.0001 0.0001 0.0001 0.7009 0.0001
Durbin-Watson (For Number of Obs.) 1st Order Autocorrelation
2.266 221 -0.134
Variable Label Intercept Peng.Tot.Pemda InVest.di Daerah Tingkat Upah Dum.Krisis98
322
Lampiran 5 : Program Komputer Validasi Model (Kabupaten) Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton options nodate nonumber; data kabu; set ming; PAD = FISGAP= TGEXP = TGREV =
TAXDA PAD RUEXP PAD +
+ RETRIB +BUMD + PADLAIN; TGEXP; + DEVEXP; DAU + BHP + DAK + BHSDA + SIAP+ REVLAIN;
Run; PROC SIMNLIN SIMULATE STATS OUTPREDICT THEIL out=hasil; ENDOGENOUS TAXDA RETRIB PAD DAU BHP TGREV FISGAP INVDA INFRAS PDRB BKERJA INFLADA RUEXP DEVEXP TGEXP; INSTRUMENTS SUBUDA UPAHDA POP BPEGAWAI LUAS MISKIN BHSDA DDF DK97 DK98 TREND LTAXDA LRETRIB LBHP LRUEXP LINVDA LDAU; PARM a0 b0 b4 c0 c5 d0 e0 f0 f5 g0 h0 h4 i0 j0 j4 k0 k4
-3972.772744 -149.595920 4558.577040 2862.659185 0.932217 -1255.072260 -8252.567150 481.063479 15593 420.329992 232862 -3621.602726 -269887 99.892183 -112.869266 5.357095 75.932669 ;
a1 0.005455 b1 0.001005
a2 0.056557 b2 0.346366
a3 3618.118201 b3 0.277956
c1 c6 d1 e1 f1 f6 g1 h1 h5 i1 j1
c2 c7 d2 e2 f2
c3 1.166527
c4 32.729393
d3 0.759317 e3 11184 f3 0.119301
e4 f4
-0.000362 21892 0.002984 0.782806 1.353761 0.646016 0.003996 0.009508 -106329 2.790033 0.000130
k1 0.000012747
-0.267562 0.283107 7067.838693 1.436578 0.121281
0.074520 0.390374
g2 0.000804 h2 -0.854688
g3 0.148871 g4 -27.550968 h3 -12.129093
i2 1.093949 j2 0.002622
i3 4520.396625 i4 -155837 j3 -0.019253
k2 0.000016324
k3 0.000090635
/*BANGUNAN TAXDA = RETRIB = DAU = BHP RUEXP
MODEL SUMUT*/ a0+a1*PDRB +a2*FISGAP +a3*DDF; b0+b1*PDRB +b2*MOTOR +b3*FISGAP +b4*DDF; c0+c1*PDRB +c2*PAD +c3*LUAS +c4*MISKIN +c5*BPEGAWAI+c6*DDF +c7*LDAU; = d0+d1*PDRB +d2*DDF +d3*LBHP; = e0+e1*DAU +e2*PAD +e3*DDF +e4*LRUEXP;
DEVEXP
= f0+f1*INFRAS+f2*DAU +f6*LDEVEX; INFRAS = g0+g1*TGREV +g2*INVDA INVDA = h0+h1*PDRB +h2*TAXDA PDRB = i0+i1*TGEXP +i2*INVDA BKERJA = i0+i1*PDRB +i2*DEVEXP INFLADA = k0+k1*TGEXP +k2*INVDA PAD FISGAP TGREV TGEXP
= = = =
TAXDA PAD PAD + RUEXP
+f3*PAD
+f4*LUAS
+f5*DDF
+g3*LUAS +h3*UPAHDA +i3*BKERJA +i3*UPAHDA +k3*UPAHDA
+g4*TREND; +h4*SUBUDA +h5*DDF; +i4*DDF; +i4*DDF; +k4*DK98;
+ RETRIB + BUMD + PADLAIN; TGEXP; DAU +BHP + DAK + SIAP + BHSDA +REVLAIN; + DEVEXP;
proc print out=hasil; RUN;
323
Lampiran 6 : Contoh Hasil Validasi (Kabupaten) , Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton The SAS System SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations
15 15 59 15
Number of Statements
15
The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Summary Dataset Option DATA= OUT=
Dataset KABU2 BB
Variables Solved
15
Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 8.8287E-14 Maximum Iterations 1 Total Iterations 143 Average Iterations 1 Observations Processed Read 143 Solved 143 Variables Solved For: TAXDA RETRIB PAD DAU BHP TGREV FISGAP INVDA INFRAS PDRB BKERJA INFLADA RUEXP DEVEXP TGEXP
The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual
Predicted
Variable
Nobs
N
Mean
Std
Mean
TAXDA RETRIB PAD DAU BHP TGREV FISGAP INVDA INFRAS PDRB BKERJA INFLADA RUEXP DEVEXP TGEXP
143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143
143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143
2030 1602 4776 69357 9907 91403 3111 120545 1685 1355845 328.7364 14.4000 56532 31760 88292
3077 1521 5486 85073 10370 110142 6382 113871 768.5650 861908 171.6104 20.3920 79195 31527 107855
2045 1606 4796 69300 9924 91382 3090 120615 1685 1361824 330.1934 14.4003 56551 31741 88292
Std
Label
2071 TAXDA 1449 RETRIB 4991 PAD 85917 DAU 8992 BHP 109683 TGREV 10579 FISGAP 55820 INVDA 520.0751 INFRAS 629451 PDRB 140.0124 BKERJA 20.1223 INFLADA 77903 RUEXP 29649 DEVEXP 106976 TGEXP
324
The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Variable TAXDA RETRIB PAD DAU BHP TGREV FISGAP INVDA INFRAS PDRB BKERJA INFLADA RUEXP DEVEXP TGEXP
Inequality Coef
N
MSE
Corr (R)
Bias (UM)
Reg (UR)
Dist (UD)
Var (US)
Covar (UC)
U1
U
143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143 143
6824725 1721458 11756361 287824685 15389802 221445969 118280104 1.00508E10 323814 6.57742E11 21746 11.36067 73053918 132028234 181871072
0.540 0.608 0.788 0.980 0.927 0.991 0.248 0.469 0.669 0.439 0.565 0.986 0.994 0.931 0.992
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.024 0.158 0.038 0.022 0.025 0.001 0.679 0.001 0.000 0.095 0.085 0.000 0.009 0.001 0.000
0.976 0.842 0.962 0.978 0.975 0.999 0.321 0.999 1.000 0.905 0.915 1.000 0.991 0.999 1.000
0.147 0.003 0.021 0.002 0.122 0.001 0.148 0.333 0.189 0.082 0.046 0.006 0.023 0.027 0.004
0.853 0.997 0.979 0.998 0.878 0.999 0.852 0.667 0.811 0.918 0.954 0.994 0.977 0.973 0.996
0.7104 0.5950 0.4723 0.1549 0.2740 0.1042 1.5362 0.6056 0.3075 0.5053 0.3980 0.1353 0.0880 0.2572 0.0970
0.3968 0.2006 0.2420 0.0772 0.1417 0.0522 0.6020 0.2360 0.1575 0.2613 0.2023 0.0680 0.0443 0.1305 0.0486
Label TAXDA RETRIB PAD DAU BHP TGREV FISGAP INVDA INFRAS PDRB BKERJA INFLADA RUEXP DEVEXP TGEXP
325
Lampiran 7. Program Komputer Simulasi Model (Kabupaten), Skenario Peningkatan Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebesar 10% Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton options nodate nonumber; data kabu; set ming; PAD = FISGAP= TGEXP = TGREV =
TAXDA PAD RUEXP PAD +
+ RETRIB +BUMD + PADLAIN; TGEXP; + DEVEXP; DAU + BHP + DAK + BHSDA + SIAP+ REVLAIN;
/*LABEL TAXDA ='Pajak Daerah' RETRIB ='Retribusi' PAD ='Pend.Asli Daerah' BUMN ='Laba BUMD' PADLAIN ='PAD Lainnya' SIAP ='Sisa Anggaran' BHP ='Bagi Hasil Pajak' BHSDA ='Bagi Hasil SDA' DAU ='Dana Alok.Umum' DAK ='Dana Alok.Khusus' REVLAIN ='Penerimaan Lain' TGREV ='Pener.Tot.Pemda' RUEXP ='Pengel.Rutin' DEVEXP ='Pengel.Pembang' TGEXP ='Peng.Tot.Pemda' FISGAP ='FISKAL GAP' INFRAS ='Pemb.Infrastruktur' INVDA ='InVest.di Daerah' PDRB ='Prod.Dom.Reg.Bruto' BKERJ ='Kesempatan kerja' INFLADA ='Inflasi di Daerah' DISTRIB ='Distribusi' SUBUDA ='Suku Bunga' UPAHDA ='Tingkat Upah' DDF ='Dummy Des.Fiskal' DK 98 ='Dummy Krisis 98' DK 97 ='Dummy Krisis 97' BPEGAWAI='Belanja PNS' Contoh: Skenario Kebijakan 1;
Meningkatkan Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebesar 10%
*/ BHSDA = 1.10* BHSDA: Run; PROC SIMNLIN SIMULATE STATS OUTPREDICT THEIL out=hasil; ENDOGENOUS TAXDA RETRIB PAD DAU BHP TGREV FISGAP INVDA INFRAS PDRB BKERJA INFLADA RUEXP DEVEXP TGEXP; INSTRUMENTS SUBUDA UPAHDA POP BPEGAWAI LUAS MISKIN BHSDA DDF DK97 DK98 TREND LTAXDA LRETRIB LBHP LRUEXP LINVDA LDAU;
326
PARM a0 -3972.772744 b0 -149.595920 c0 2862.659185 d0 -1255.072260 e0 -8252.567150 f0 481.063479 g0 420.329992 h0 232862 i0 -269887 i0 99.892183 j0 5.357095 /*BANGUNAN TAXDA = RETRIB = DAU = BHP = RUEXP = DEVEXP = INFRAS = INVDA = PDRB = BKERJA = INFLADA = PAD FISGAP TGREV TGEXP
= = = =
a1 b1 c1 c5 d1 e1 e1 e6 f1 g1 g5 h1 i1 j1
0.005455 0.001005 -0.000362 0.932217 0.002984 0.782806 1.353761 0.646016 0.003996 0.009508 -106329 2.790033 0.000130 0.000012747
MODEL SUMUT*/ a0+a1*PDRB +a2*FISGAP b0+b1*PDRB +b2*MOTOR c0+c1*PDRB +c2*PAD d0+d1*PDRB +d2*DDF e0+e1*DAU +e2*PAD f0+f1*INFRAS+f2*DAU g0+g1*TGREV +g2*INVDA h0+h1*PDRB +h2*TAXDA i0+i1*TGEXP +i2*INVDA i0+i1*PDRB +i2*DEVEXP k0+k1*TGEXP +k2*INVDA TAXDA TGEXP PAD + RUEXP
a2 b2 c2 c6 d2 e2 e2
0.056557 a3 3618.118201 0.346366 b3 0.277956 -0.267562 c3 1.166527 21892 c7 0.283107 7067.838693 d3 0.759317 1.436578 e3 11184 0.121281 e3 0.119301
e4 0.074520 e4 0.390374 e5 15593
f2 0.000804 g2 -0.854688
f3 0.148871 g3 -12.129093
h2 1.093949 i2 0.002622 j2 0.000016324
h3 4520.396625 h4 -155837 i3 -0.019253 i4 -112.869266 j3 0.000090635 j4 75.932669 ;
+a3*DDF; +b3*FISGAP +c3*LUAS +d3*LBHP; +e3*DDF +f3*PAD +g3*LUAS +h3*UPAHDA +i3*BKERJA +i3*UPAHDA +k3*UPAHDA
f4 -27.550968 g4 -3621.602726
+b4*DDF; +c4*MISKIN +c5*BPEGAWAI+c6*DDF +e4*LRUEXP; +f4*LUAS +f5*DDF +g4*TREND; +h4*SUBUDA +h5*DDF; +i4*DDF; +i4*DDF; +k4*DK98;
+ RETRIB + BUMD + PADLAIN; - TGEXP; SIAP+ DAU +DAK +BHP +BHSDA +REVLAIN; + DEVEXP;
proc print out=hasil; run;
b4 4558.577040 c4 32.729393
+c7*LDAU;
+f6*LDEVEX;
327
Lampiran 8. Contoh Hasil Simulasi Model (Kabupaten), Skenario Peningkatan Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebesar 10% Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton. The SAS System SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations
15 15 58 15
Number of Statements
15
The SAS System SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations
15 15 59 15
Number of Statements
15
The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Summary Dataset Option DATA= Variables Solved
Dataset SUMUT 15
Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 8.8339E-12 Maximum Iterations 1 Total Iterations 221 Average Iterations 1 Observations Processed Read 221 Solved 221 Variables Solved For: TAXDA RETRIB PAD DAU BHP TGREV FISGAP INVDA INFRAS PDRB BKERJA INFLADA RUEXP DEVEXP TGEXP
328
The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Variable TAXDA RETRIB PAD DAU BHP TGREV FISGAP INVDA INFRAS PDRB BKERJA INFLADA RUEXP DEVEXP TGEXP
Predicted
Nobs
N
Mean
Std
Mean
Std
221 221 221 221 221 221 221 221 221 221 221 221 221 221 221
221 221 221 221 221 221 221 221 221 221 221 221 221 221 221
3242 2526 6591 57586 9243 80031 -3082 120545 1246 1255552 265.4529 14.4000 50624 27112 77736
8173 5051 13868 77932 13606 108001 6506 113729 925.1075 1237085 206.4031 20.3667 79730 29960 106750
27088 4362 30628 69539 7198 38325 7945 94083 1058 4254052 917.7468 13.3645 6514 23867 30380
12468 5622 15520 82107 7377 88708 13400 65997 725.2846 2412188 544.2984 20.0759 60805 26872 86725
Label TAXDA RETRIB PAD DAU BHP TGREV FISGAP INVDA INFRAS PDRB BKERJA INFLADA RUEXP DEVEXP TGEXP
329
Lampiran 9. Simulasi, Uraian-Penjelasan dan Justifikasinya No 1
Simulasi Simulasi 1
Uraian dan Penjelasan Bagi Hasil Sumber daya Alam sebesar 15%
2
Simulasi 2
Peningkatan Bagi Hasil Pajak sebesar 10%
3
Simulasi 3
Peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 10 % dari yang diterima sejak desentralisasi fiskal hingga sekarang ini
4
Simulasi 4
Peningkatan Pajak Daerah sebesar 15%
5
Simulasi 5
Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60%
6
Simulasi 6
Peningkatan 15%
7
Simulasi 7
Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48%
Peningkatan Retribusi yang bersifat bocoran (linkages) dalam perekonomian dikompensasi oleh Pengeluaran Pemerintah dalam jumlah yang sama dan bersifat suntikan (injection) dalam perekonomian
8
Simulasi 8
Peningkatan PAD 10% Pengeluaran Rutin 1.25%
Salah satu bentuk kebebasan pemerintah daerah dalam alokasi pengeluarannya. Pendapatan Asli Daerah yang bersifat bocoran (linkages) dapat digunakan Pengeluaran Rutin (injection) dalam jumlah yang sama.
Retribusi
sebesar
dan
Justifikasi Peningkatan Bagi hasil SDA hingga 15% bahkan lebih masih relevan jika melihat tingkat eksploitasi SDA alam khususnya perikanan laut masih rendah (kurang dari 20%) di Sumatera Utara Penerimaan Negara dari Pajak kepada daerah masih mungkin ditingkatkan khususnya PPh Perseorangan, sehingga peningkatan BHP sangat realistis. Dengan adanya peningkatan DAU menjadi 26% dari APBN, serta perbaikan data-data kependudukan maka peningkatan ini menjadi realistis. Bahkan Peningkatan DAU menjadi 30% dari APBN sangat mungkin (Bandingkan dengan Filipina “DAU” meeka hingga 35% dari APBN Mengingat Tax Ratio dan coverage rasio yang masih rendah (kurang dari 20%), maka peningkatan pajak daerah 15% dari sekarang ini menjadi realistis Peningkatan Pajak Daerah yang bersifat bocoran (linkages) dalam perekonomian dikompensasi oleh pengeluaran pemerintah dalam jumlah yang sama dan bersifat suntikan (injection) dalam perekonomian Seperti dengan Pajak Daerah, Pemungutan Retribusi masih mungkin ditingkatkan, terutama soal efisiensi pemungutannya
330
Lampiran 9. Lanjutan
9
Simulasi Simulasi 9
Uraian dan Penjelasan Peningkatkan PAD 10% dan Pengeluaran Pembangunan 2.38%
10
Simulasi 10
Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.1%
11
Simulasi 11
Peningkatan Upah 10%
12
Simulasi 12
Peningkatan pembangunan infrastruktur sebesar 20%
13
Simulasi 13
Peningkatan Infrastruktur 20% dan Upah 10%
14
Simulasi 14
Peningkatan Investasi 20%
15
Simulasi 15
Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20%
No
Justifikasi Salah satu bentuk kebebasan pemerintah daerah dalam alokasi pengeluarannya. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang bersifat bocoran (linkages) dalam perekonomian dikompensasi oleh Pengeluaran Pembangunan dalam jumlah yang sama dan bersifat suntikan (injection) dalam perekonomian Efisiensi anggaran rutin dapat dilakukan hingga 20% khususnya pada pos Non Belanja Pegawai dan Pengeluaran Tak disangka dan dialokasikan menjadi anggaran pembangunan 38.1% Walau tidak mudah bagi pengusaha, meningkatkan upah sebesar 10 adalah masih relevan untuk peningkatan pendapatan dan produktivitas pekerja, apalagi jika dibandingkan dengan kenaikan harga harga yang terjadi belakangan ini sebagai akibat naiknya harga BBM PeningkatanPembangunan Infrastruktur hingga 20%, adalah dalam batas mengganti penurunan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Peningkatan infrastruktur 20% dapat menjadi insentif bagi investor sehingga peningkatan upah 10% relatif tidak terlalu membebani pengusaha Peningkatan investasi 20% adalah suatu angka yang wajar. Angka ini lebih pada tingkat pemulihan investasi kembali pada kondisi awal sebelum krisis ekonomi 1998. infrastruktur sebesar 20% menjadi daya tarik yang baik untuk investasi, sehingga peningkatan investasi 20% adalah tidak terlalu berlebihan apalagi investasi dalam lima tahun terakhir ini relatif kurang kondusif
331
Lampiran 10. Ringkasan Kinerja Fiskal Provinsi dan Kabupaten/Kota Tabel 1. Perkembangan Kapasitas Fiskal , Kebutuhan Fiskal dan Alokasi Pembangunan 1990/91-2003 ProvinsiSUMUT Tahun 1990/91 – 2003 (%) Tahun Pengel. Pengel. Bid. Bid. PAD TRANSF Rutin Pemb Ekonomi Sosial 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003
20 77 76.6 23.4 62.0 19 79 75.9 24.1 55.8 18 82 78.0 22.0 53.1 18 82 79.6 20.4 59.9 23 76 81.9 18.1 62.6 26 70 78.2 21.8 55.9 26 69 74.4 25.6 47.6 28 71 74.7 25.3 49.3 35 64 58.6 41.4 61.6 36 48 45.0 55.0 73.1 42 46 52.7 47.3 59.2 40 37 68.6 31.4 58.4 45 38 63.4 36.6 82.7 53 37 69.3 30.7 87.3 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
38.0 44.2 46.9 40.1 37.4 44.1 52.4 50.7 38.4 26.9 40.8 41.6 17.3 12.7
332
Tabel 2. Perkembangan Kapasitas Fiskal , Kebutuhan Fiskal dan Alokasi Pengeluaran PembangunanKabupaten/Kota Se SUMUT Tahun 1990/91-2003 (%) Bid. Bid. Pengel. Pengel. Pemb Ekonomi Sosial Rutin Tahun PAD TRANSF 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002 2003 Sumber:
15 82 45.1 54.9 14 79 42.9 57.1 15 80 38.6 61.4 14 81 39.2 60.8 16 79 44.8 55.2 16 79 48.7 51.3 16 82 53.4 46.6 14 83 51.4 48.6 8 90 66.7 33.3 7 88 70.8 29.2 7 87 69.2 30.8 5 84 73.2 26.8 6 84 69.2 30.8 7 84 66.8 33.2 Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004)
73.6 69.7 65.8 64.1 71.3 72.3 71.1 68.9 73.4 66.5 60.8 60.6 63.6 55.9
26.4 30.3 34.2 35.9 28.7 27.7 28.9 31.1 26.6 33.5 39.2 39.4 36.4 44.1
333
Lampiran 11 . Kinerja Fiskal Total dan Rata-Rata Kabupaten dan Kota Tahun 1990- 2003 (Milyar Rp) No Peubah Fiskal dan Non Fiskal Jumlah Rata-rata/ Thn Total Penerimaan 24013.0 1715.2 1 Pajak Daerah 934.2 66.7 2 Retribusi 743.9 53.1 3 PAD Lain 235.0 16.8 Pendapatan Asli Daerah 1913.1 136.6 1 Bagi Hasil Sumber Daya Alam 221.7 15.8 2 Dana Alokasi Umum 16996.5 1214.0 3 Bagi Hasil Pajak 2738.0 195.6 Transfer Pusat 19956.3 1425.4 Total Pengeluaran 23308.0 1664.9 1 Pengeluaran Rutin 15282.6 1091.6 2 Pengeluaran Pembangunan 8025.4 573.2 Peng. Pemb.Bid. Ekonomi 5077.5 362.7 Peng. Pemb.Bid. Sosial 2948.0 210.6 FISKAL GAP -21394.9 -1528.2 17 Investasi 7361.2 525.8 16 Pembangunan Infrastruktur 21899 1,288 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Sumut (2004) Catatan: Infrastruktur, dalam satuan Km
334
LAMPIRAN 12. Hasil Validasi Model Desentralisasi Fiskal Kabupaten dan Kota Tabel 1.Validasi Model Desentralisasi Fiskal Wilayah Kabupaten No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Vaiabel TAXDA(Pajak Daerah) RETRIB (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DAU (Dana Alokasi Umum) BHP (Bagi Hasil Pajak) TGREV (Penerimaan Dearah) FISGAP(Fiskal Defisist) INVDA (Investasi Daerah) INFRAS (Pemb. Infarstruktur) PDRB (Prod. Dom. Regional Bruto) BKERJA (Kesempatan Kerja) INFLADA (Tingkat Inflasi) RUEXP (Pengeluaran Rutin) DEVEXP(Pengeluaran Pembangunan) TGEXP (Pengeluaran Total)
Bias (UM) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Reg (UR) 0.024 0.158 0.038 0.022 0.025 0.001 0.679 0.001 0.000 0.095 0.085 0.000 0.009 0.001 0.000
Dist (UD) 0.976 0.842 0.962 0.978 0.975 0.999 0.321 0.999 1.000 0.905 0.915 1.000 0.991 0.999 1.000
Var (US) 0.147 0.003 0.021 0.002 0.122 0.001 0.148 0.333 0.189 0.082 0.046 0.006 0.023 0.027 0.004
RMS % Error 49.0656 10.0151 96.0805 20.2559 38.8135 19.2579 63.0017 45.6123 63.0017 135.8837 66.4092 109.4927 53.2636 26.8971 23.8571
Var (US) 0.006 0.018 0.001 0.088 0.011 0.043 0.017 0.341 0.024 0.023 0.019 0.006 0.166 0.021 0.076
RMS % Error 63.4167 35.5172 12.4260 82.9181 56.8959 66.8056 170.3312 102.5720 94.4289 70.3312 22.4563 113.8076 42.2504 98.2460 31.6165
UTheil R2 0.5796 0.5674 0.9749 0.8716 0.9830 0.9131 0.4582 0.2386 0.6780 0.7227 0.9722 0.8038 0.8294 0.9851 0.7590
0.3968 0.2006 0.2420 0.0772 0.1417 0.0522 0.6020 0.2360 0.1575 0.2613 0.2023 0.0680 0.0443 0.1305 0.0486
Tabel 2.Validasi Model Desentralisasi Fiskal Wilayah Kota No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Vaiabel TAXDA(Pajak Daerah) RETRIB (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DAU (Dana Alokasi Umum) BHP (Bagi Hasil Pajak) TGREV (Penerimaan Dearah) FISGAP(Fiskal Defisist) INVDA (Investasi Daerah) INFRAS (Pemb. Infarstruktur) PDRB (Prod. Dom. Regional Bruto) BKERJA (Kesempatan Kerja) INFLADA (Tingkat Inflasi) RUEXP (Pengeluaran Rutin) DEVEXP(Pengeluaran Pembangunan) TGEXP (Pengeluaran Total)
Bias (UM) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Reg (UR) 0.051 0.175 0.019 0.172 0.017 0.084 0.516 0.000 0.000 0.212 0.213 0.000 0.211 0.003 0.120
Dist (UD) 0.949 0.825 0.981 0.828 0.983 0.916 0.484 1.000 1.000 0.788 0.787 1.000 0.789 0.997 0.880
R2
U-Theil
0.8114 0.8382 0.9865 0.7684 0.9781 0.8753 0.9144 0.2382 0.9838 0.9811 0.9708 0.8038 0.8294 0.9851 0.7590
0.1390 0.2672 0.0960 0.1150 0.2127 0.0756 0.5996 0.3323 0.1207 0.2848 0.2876 0.0702 0.0565 0.1574 0.0672
335
Lampiran 13. Hasil Estimasi Kinerja Fiskal dan Perekonomian Nasional dan Beberapa Daerah di Indonesia
Tabel 1. Perilaku Pajak Daerah di Indonesia Pajak Daerah Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006) Indonesia (Usman 2006) Sulsel (Getteng 2005) Sulut (Pakasi 2005) Jabar (Sumedi 2005) Riau (Saefudin 2005)
Variabel Yang Mempengaruhi PDRB Non Pertanian DDF (Dummy Desentaralisasi Fiskal) PDRB: Fiscal Gap DDF PDRB Kepadatan Penduduk:DDF Fiscal Needs: Motor IHK Umum: Pajak Tahun Lalu PDRB: Fiscal Needs DDF:Pajak Tahun Lalu PDRB: Pengeluaran Pemerintah Kepadatan Penduduk: DDF
Keterangan + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna
Tabel 2. Perilaku Retribusi Daerah di Indonesia Retribusi Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006) Indonesia (Usman 2006) Sulsel (Getteng 2005) Sulut (Pakasi 2005) Jabar (Sumedi 2005) Riau (Saefudin 2005)
Variabel Yang Mempengaruhi PDRB Non Pertanian PDRB Non Pertanian: Fiscal Gap :DDF PDRB per kapita: Penduduk :DDF Fiscal Needs: Motor: IHK Umum DDF : Retribusi Tahun Lalu PDRB: Fiscal Needs DDF: Retribusi Tahun Lalu PDRB: DDF Pengeluaran Pemerintah
Keterangan + dan bermakna + + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + + + + dan bermakna
336
Tabel 3. Perilaku Dana Alokasi Umum di Indonesia Dana Alokasi Umum Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006) Indonesia (Usman 2006) Sulsel (Getteng 2005)
Sulut (Pakasi 2005)
Jabar (Sumedi 2005) Riau (Saefudin 2005)
Variabel Yang Mempengaruhi -Pengeluaran Pemerintah: Penduduk DDF: DAU Tahun Lalu PDRB per Kapita: Angkatan Kerja Penduduk: Jlh Pddk Miskin Jumlah Pegawai: DDF Fiscal Needs: Penduduk: Luas Wilayah DDF: DAU Tahun Lalu PDRB:PAD PDRB: PAD Penduduk: DDF: DAU Tahun Lalu PDRB: Angkatan Kerja: Bagi Hasil SDA Pengeluaran Pemerintah: Penduduk: DDF
Keterangan -+ + + + + dan bermakna + dan bermakna + - dan bermakna + dan bermakna
Tabel 4. Perilaku Bagi Hasil Pajak Daerah di Indonesia Bagi Hasil Pajak Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006) Indonesia (Usman 2006) Sulsel (Getteng 2005) Sulut (Pakasi 2005) Jabar (Sumedi 2005) Riau (Saefudin 2005)
Variabel Yang Mempengaruhi -PDRB per kapita- Jasa: Demand Daerah Pengeluaran Pembangunan: DDF PDRB: Luas Wilayah Kepadatan Penduduk: DDF PDRB: Kesempatan Kerja: PBB DDF: Pajak Tahun Lalu PDRB per kapita: Penduduk DDF: Bagi Hasil Pajak Tahun Lalu PAD: Pengeluaran Sektor Ekonomi: DDF
Keterangan -+ + + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna
337
Tabel 5. Perilaku Pengeluaran Rutin Nasional dan Daerah di Indonesia Pengeluaran Rutin Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006) Indonesia (Usman 2006) Sulsel (Getteng 2005) Sulut (Pakasi 2005)
Jabar (Sumedi 2005) Riau (Saefudin 2005)
Variabel Yang Mempengaruhi Total Penerimaan Daerah: Jumlah Pegawai PAD: Dana Perimbangan: Perpindahan Pegawai: DDF DAU: PAD: DDF Jumlah Pegawai: Belanja Barang Fiscal Available: Pengeluaran Pembangunan: DDF PAD : DAU Pengeluaran Rutin Tahun Lalu PAD:DAU: Jumlah Pegawai: Penduduk Sisa Anggaran: DDF
Keterangan + dan bermakna + + + + + + + + + +
Tabel 6. Perilaku Pengeluaran Pembangunan Nasional dan Daerah di Indonesia Pengeluaran Pembangunan Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006) • Pertanian •
Non Pertanian
Indonesia (Usman 2006) • Pertanian •
Industri
Sulsel (Getteng 2005) Sulut (Pakasi 2005) Jabar (Sumedi 2005)
Riau (Saefudin 2005)
Variabel Yang Mempengaruhi
Keterangan
Bagi Hasil Pajak: Bagi Hasil SDA: DAU PAD dan Luas Wilayah Bagi Hasil Pajak: Bagi Hasil SDA:DAU Luas Wilayah PAD
+ tdk berpengaruh + dan bermakna + dan bermakna tdk berpengaruh
Dana Perimbangan PAD Dana Perimbangan: Produktivitas T.Kerja PAD Penerimaan Pemerintah: T.Kerja: Luas Wil DDF: Peng.Pemb. Tahun Lalu Pengeluaran Rutin PDRB-pertanian:Fiscal Avalaible: DDF Pengeluaran Pemerintah: Pekerja Pertanian DDF-Pertanian, Ind, Infrastruktur dan Pelayanan Umum Penerimaan Pemerintah: Jumlah Pekerja DDF: Peng. Pembangunan Tahun Lalu
+ + + + + + + +
338
Tabel 7. Perilaku Pembangunan Infrastruktur Nasional Daerah di Indonesia Pembangunan Infrastruktur Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006) Indonesia (Usman 2006) Sulsel (Getteng 2005)
Sulut (Pakasi 2005) Jabar (Sumedi 2005) Riau (Saefudin 2005)
Variabel Yang Mempengaruhi -PAD Produktivitas: Dana Perimbangan Pengeluaran Rutin Penerimaan Pemerintah: Luas Wil: PDRB DDF Fiscal Available Pengeluaran Rutin Penerimaan Pemerintah DDF Penerimaan Pemerintah:PDRB:Luas DDF
Keterangan -+ - dan bermakna + danbermakna + - dan bermakna + + -
Tabel 8. Perilaku Investasi Nasional dan Daerah di Indonesia Investasi Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006) Indonesia (Usman 2006) Sulsel (Getteng 2005) Sulut (Pakasi 2005) Jabar (Sumedi 2005) Riau (Saefudin 2005)
Variabel Yang Mempengaruhi -PDRB: Penerimaan Pemerintah Suku Bunga Daerah: Pajak Daerah PDRB: Pengeluaran Pembangunan PAD: Total Bagi Hasil: Jlh Kredit:DDF Suku Bunga: IHK Umum: Nilai Tukar -Suku Bunga Kredit: UMR: Pajak Daerah PDRB DDF
Keterangan -+ - dan bermakna + dan bermakna + dan bermakna -- dan bermakna + -
339
Tabel 9. Perilaku PDB dan PDRB di Indonesia PDB dan PDRB Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006) • Pertanian •
Non Pertanian
Indonesia (Usman 2006) • Sektoral Sulsel (Getteng 2005) Sulut (Pakasi 2005) Jabar (Sumedi 2005) Riau (Saefudin 2005) • Pertanian • Non Pertanian
Variabel Yang Mempengaruhi
Keterangan
Pekerja Pertanian: Peng.Pemb Pertanian DDF Pekerja Non Pertanian: Peng.Pemb Pertann DDF
+ + -
Peng. Pemb: Jlh Pekerja: Investasi DDF: PDB-sektoral Tahun Lalu Tenaga Kerja: Investasi Jlh Pekerja: Demand Daerah Pengeluaran Pemerintah: DDF Jlh Pekerja: Pembangunan Infrastruktur PDRB Tahun Lalu
+ + + dan bermakna + + + +
Jlh Pekerja Pertanian: Investasi Jlh Pekerja Non Pertanian Pengeluaran Sektor ekonomi
+ + +
Tabel 10. Perilaku Kesempatan Kerja Nasional dan Daerah di Indonesia Kesempatan Kerja Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006) • Pertanian •
Non Pertanian
Indonesia (Usman 2006) • Pertanian • Industri Sulsel (Getteng 2005) Sulut (Pakasi 2005) Jabar (Sumedi 2005) Riau (Saefudin 2005) • Pertanian •
Non Pertanian
Variabel Yang Mempengaruhi
Keterangan
PDB Pertanian Upah Pertanian: DDF PDB Non Pertanian Upah Rata-rata TK: DDF
+ + -
PDB Pertanian: Kesem.Kerja Non Pertanian PDB Non Pertanian: Kes. Kerja Non Indstri Upah Minimum Provinsi Produksi Upah Minimum Provinsi PDRB:SIUP PDRB: Indeks Harga: Pekerja Tahun Lalu
+ + + + +
Upah Pertanian PDRB Pertanian Rata-rata Upah Daerah Peng. Sektor Ekon
+ +
340
Tabel 11. Perilaku Inflasi Nasional dan Daerah di Indonesia Inflasi Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006) Indonesia (Usman 2006) Sulsel (Getteng 2005) Sulut (Pakasi 2005) Jabar (Sumedi 2005) Riau (Saefudin 2005)
Variabel Yang Mempengaruhi --Suku Bunga: PDRB Upah Minimum: Pengeluaran Pemerintah PDRB ---
Keterangan --+ + ---
Tabel 12. Perilaku Distribusi Pendapatan Nasional dan Daerah di Indonesia Distribusi Pendapatan Ruang Lingkup Indonesia (Nanga 2006)
Indonesia (Usman 2006)
Sulsel (Getteng 2005) Sulut (Pakasi 2005) Jabar (Sumedi 2005) Riau (Saefudin 2005)
Perilaku Umumnya distribusi memburuk dan kemiskinan bertambah (distribusi di pedesaan memburuk dan di perkotaan membaik) Ada indikasi distribusi membaik: Kemiskinan berkurang, dalam jumlah maupun variasi pendapatan antar golongan miskin Tidak ada indikasi distribusi memburuk antar daerah --Disparitas antar daerah semakin buruk
Keterangan
---
341
Lampiran 14. Ringkasan Hasil Estimasi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Tabel 1. Ringkasan Estimasi Kinerja Fiskal
T A X D A R E T R I B
D A U
B H P R U E X P D E V E X P
Variabel Penjelas
Parameter Estimate
T for H0: Parmter =0
INTERCEP PDRB FISGAP DDF
-3972.772744 0.005455 0.056557 3618.118201
-7.617 15.984 0.445 2.874
0.0001 0.0001 0.6564 0.0045
INTERCEP PDRB MOTOR FISGAP DDF
-149.595920 0.001005 0.346366 0.277956 4558.577040
-0.542 4.055 13.830 4.515 7.453
0.5886 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001
INTERCEP PDRB PAD LUAS MISKIN BPEGAWAI DDF LDAU INTERCEP PDRB DDF LBHP INTERCEP DAU PAD DDF LRUEXP
2862.659185 -0.000362 -0.267562 1.166527 32.729393 0.932217 21892 0.283107 -1255.072260 0.002984 7067.838693 0.759317 -8252.567150 0.782806 1.436578 11184 0.074520
1.961 -0.151 -1.623 4.352 1.689 22.160 5.861 8.218 -2.045 5.734 5.366 12.130 -8.105 26.983 18.164 3.350 1.974
0.0512 0.8798 0.1060 0.0001 0.0926 0.0001 0.0001 0.0001 0.0421 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0010 0.0497
481.063479 1.353761 0.121281 0.119301 0.390374 15593 0.646016
0.362 0.557 5.322 1.871 0.969 5.027 9.933
0.7177 0.5784 0.0001 0.0627 0.3338 0.0001 0.0001
INTERCEP INFRAS DAU PAD LUAS DDF LDEVEXP
Prob > |T|
Elatisitas Jk. Jk. Pendek Panjang 0.21129 0.05089 2.53837 0.066295 1.21989 -0.00789 -0.03376 0.07810 0.05404 0.59384 0.40535 0.89046 0.20619 0.06219 0.25760 0.03197 0.05552 -
-0.011131 -0.047092 0.10894 0.07538 0.82836 1.68416 0.96210 0.22280 0.17568 0.72733 0.09040 0.15683 -
342
Tabel 2. Ringkasan Estimasi Pembangunan Infrastruktur dan Investasi Variabel terikat
INFRAS
INVDA
Variable Bebas INTERCEP TGREV INVDA LUAS TREND INTERCEP PDRB TAXDA UPAHDA SUBUDA DDF
Parameter Estimate 420.329992 0.003996 0.000804 0.148871 -27.550968 232862 0.009508 -0.854688 -12.129093 -3621.602726 -106329
T for H0: Parameter= 0 3.891 7.951 1.815 14.888 -2.052 8.846 0.966 -0.582 -1.727 -3.137 -3.550
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.0709 0.0001 0.0414 0.0001 0.3351 0.5612 0.0857 0.0019 0.0005
Elatisitas Jk.Pendek 0.25889 0.07780 0.46079 0.09903 -0.02299 -0.26649 -0.60595 -
Tabel 3. Ringkasan Estimasi Kinerja Perekonomian Variabel Terikat
PDRB
BKERJA
INFLADA
Variable Bebas INTERCEP TGEXP INVDA BKERJA DDF INTERCEP PDRB DEVEXP UPAHDA DDF INTERCEP TGEXP INVDA UPAHDA DK98
Parameter Estimate -269887 2.790033 1.093949 4520.396625 -155837 99.892183 0.000130 0.002622 -0.019253 -112.869266 5.357095 0.000012747 0.000016324 0.000090635 75.932669
T for H0: Parameter=0 -2.587 3.334 2.057 14.992 -0.733 5.706 16.928 5.461 -2.625 -3.548 6.840 3.979 5.554 0.385 85.046
Prob > |T| 0.0103 0.0010 0.0408 0.0001 0.4642 0.0001 0.0001 0.0001 0.0093 0.0005 0.0001 0.0001 0.0001 0.7009 0.0001
Elatisitas Jk.Pendek 0.17274 0.10503 0.95572 0.61488 0.10503 0.95572 0.06881 0.13665 0.01689 -
343
Lampiran 15 . Ringkasan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Fiskal dan Ekonomi Daerah Sumatera Utara Tahun 1990-2003 Tabel 1. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Kebijakan Desentralisasi Fiskal No
Peubah Endogen
SIMULASI 1 Kab
Kota
SIMULASI 2 Kab
Kota
KINERJA FISKAL -1.26 -0.81 -3.77
SIMULASI 3 Kab
Kota
SIMULASI 4 Kab
Kota
1 2 3
Pajak Daerah
-0.27
6.56
35.9
15.00
15.00
Retribusi Pendapatan Asli Daerah
-2.05 -0.75
-0.67 -0.45
-5.98 -2.16
-20.41 -3.92
-9.44 1.13
-3.76 0.86
-14.79 3.08
-17.49 4.95
4 5
Dana Alokasi Umum Bagi Hasil Pajak
0.02 -0.02
0.01 -0.01
0.05 15.00
0.42 15.00
10.00 1.96
10.00 1.46
0.80 -0.77
-0.63 -2.73
6
Penerimaan Pemerintah
0.10
0.07
0.29
2.22
7.65
6.82
2.46
10.22
7
FISKAL GAP
1.10
1.30
32.02
39.01
6.74
9.57
74.26
49.08
8
Pengeluaran Rutin
0.11
0.10
0.33
2.81
8.76
8.68
5.23
4.16
9
Pengeluaran Pembangunan
0.02
0.02
0.05
0.42
2.71
2.57
-0.89
3.94
10
Pengeluaran Pemerintah
0.08
0.06
0.29
1.22
6.66
6.51
3.73
6.96
0.31 1.80
0.16 2.56
1.52 -0.43
-3.72 3.19
KINERJA INFRASTRUKTUR DAN INVESTASI 11 12
Investasi Pembangunan Infrastruktur
0.01 0.06
0.01 0.03
0.01 0.06
0.05 0.83
13
Produk Dom. Reg. Bruto
0.04
0.04
0.13
1.10
4.49
4.54
-1.77
-3.50
14
Kesempatan Kerja
0.03
0.02
0.09
0.73
3.56
3.23
-1.35
-5.74
15
Tingkat Inflasi
0.01
0.02
0.02
0.08
0.59
0.31
0.10
0.24
16
Distribusi Pendapatan
0.01
0.03
0.30
-0.76
7.04
-3.35
-2.96
0.12
KINERJA PEREKONOMIAN
Keterangan Simulasi 1: Simulasi 2: Simulasi 3: Simulasi 4:
Peningkatan Bagi Hasil Sumber Daya Alam 15% Kenaikan Bagi Hasil Pajak 15% Kenaikan Dana Alokasi Umum 10% Peningkatan Pajak Daerah 15%
344
Lampiran 15 Tabel 1. Lanjutan Kebijakan Desentralisasi Fiskal No
Peubah Endogen
SIMULASI 5 Kab
Kota
SIMULASI 6
SIMULASI 7
Kab
Kab
Kota
Kab
Kota
Kota
SIMULASI 8
KINERJA FISKAL 1 2 3
Pajak Daerah Retribusi Pendapatan Asli Daerah
15.00
15.00
1.12
3.48
0.52
2.30
10.00
10.00
-6.64 1.38
-13.81 1.08
15.00 9.62
15.00 9.66
15.00 9.08
15.00 11.03
10.00 10.00
10.00 10.00
4 5 6
Dana Alokasi Umum Bagi Hasil Pajak Penerimaan Pemerintah
0.39 -0.33
-1.81 1.36
-0.18 -0.21
1.00 0.90
0.08 -0.09
0.98 -0.83
-0.68 0.27
-0.88 0.83
1.26
5.11
-0.55
2.80
0.30
2,75
0.30
1.30
7
FISKAL GAP
37.49
24.42
16.49
13.25
13.54
14.19
11.79
14.19
8
Pengeluaran Rutin
0.60
0.60
1.17
6.59
0.48
0.48
1.25
1.25
9 10
Pengel.Pembangunan Pengeluaran Pemerintah
0.60
0.60
0.20
1.08
0.48
0.48
1.07
1.35
0.60
0.60
1.34
5.30
0.48
0.48
1.03
1.30
11 12
Investasi Pemb. Infrastruktur
4.98 4.88
1.06 6.05
2.48 9.88
1.06 10.01
KINERJA INFRASTRUKTUR DAN INVESTASI 3.26 0.15
1.36 1.70
-0.02 0.12
0.06 1.05
KINERJA PEREKONOMIAN 13 14 15 16
Produk Dom. Reg. Bruto
3.40
4.30
-0.47
-2.72
1.08
2.78
1.62
2.97
Kesempatan Kerja Tingkat Inflasi
0.32
2.97
-0.35
-1.82
0.68
1.87
1.68
2.03
0.03
0.13
0.07
0.21
0.05
0.22
0.04
0.26
Distribusi Pendapatan
-1.91
-0.71
-1.61
-0.74
-1.83
-1.12
-1.24
-1.14
Keterangan Simulasi 5: Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60% Simulasi 6: Peningkatan Retribusi 15% Simulasi 7: Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48% Simulasi 8: Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Rutin 1.25%
345
Lampiran 15 Tabel 1. Lanjutan No
Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Peubah Endogen
SIMULASI 9
Kab
SIMULASI 10
Kota
Kab
Kota
10.00 10.00 10.00 0.07 0.81 2.7 -12.02 5.60 2.38 4.80
7.68 11.04 9.32 -0.10 1.40 8.95 7.88 -20.00 38.10 0.00
4.20 7.39 6.11 -0.15 1.71 7.80 11.20 -20.00 38.10 0.00
KINERJA FISKAL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pajak Daerah Retribusi Pendapatan Asli Daerah Dana Alokasi Umum Bagi Hasil Pajak Penerimaan Pemerintah FISKAL GAP Pengeluaran Rutin PengeluaranPembangunan Pengeluaran Pemerintah
11 12
Investasi Pembangunan Infrastruktur
10.00 10.00 10.00 0.05 0.41 2.3 -12.72 0.80 2.38 1.20
KINERJA INFRASTRUKTUR DAN INVESTASI
4.98 1.40
4.06 1.31
0.36 1.38
0.19 3.00
5.25 4.17 0.69 -2.23
5.31 3.78 0.36 -3.92
KINERJA PEREKONOMIAN
13 14 15 16
Produk Dom. Reg. Bruto Kesempatan Kerja Tingkat Inflasi Distribusi Pendapatan
1.05 1.09 0.02 -2.74
2.15 2.11 0.22 -2.73
Keterangan: Simulasi 9: Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Pembangunan 2.38% Simulasi 10: Realokasi Pengeluaran Rutin 20% menjadi Pengeluaran Pembangunan 38.1 %
Tabel 2. Dampak Perubahan Variabel Non Fiskal Terhadap Kinerja No
Peubah Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pajak Daerah Retribusi Pendapatan Asli Daerah Dana Alokasi Umum Bagi Hasil Pajak Penerimaan Pemerintah FISKAL GAP Pengeluaran Rutin PengeluaranPembangunan Pengeluaran Pemerintah
11 12
Investasi Pembangunan Infrastruktur
346
Fiskal dan Perekonomian
Perubahan Variabel Non Fiskal SIMULASI 11 SIMULASI 12 SIMULASI 13 SIMULASI 14 Kab Kota Kab Kota Kab Kota Kota Kab KINERJA FISKAL
SIMULASI 15 Kota Kab
-8.03 -3.08 -5.52 0.25 -2.01 -0.52 0.13 -0.75 -0.13 -0.70
-8.68 -2.42 -5.22 0.47 -3.01 -0.92 0.05 -1.47 -0.24 -1.20
2.41 6.07 4.60 -0.10 0.48 0.25 -2.90 0.46 1.27 0.66
3.00 0.54 1.52 0.02 -0.07 0.05 -0.94 0.11 0.27 0.15
5.62 2.99 4.04 -0.15 1.53 0.27 -1.27 0.29 1.14 0.50
5.68 1.88 3.40 -0.49 3.08 0.87 -1.89 1.30 1.03 1.23
2.05 5.16 3.91 -0.09 0.41 0.21 -2.47 0.40 1.08 0.57
2.55 4.59 3.77 -0.02 0.06 0.04 -1.80 0.10 0.73 0.25
6.59 9.44 8.30 -0.10 1.96 7.65 -5.80 7.96 2.50 6.60
5.90 7.60 6.92 -0.09 1.46 6.82 -2.00 8.26 1.25 6.51
2.08 20.00
20.00 0.17
20.00 0.17
20.00 20.00
20.00 20.00
KINERJA INFRASTRUKTUR DAN INVESTASI -2.95 -0.31
-3.06 -0.84
5.00 0.20
1.00 0.20
2.05 20.00
KINERJA PEREKONOMIAN 13
Produk Dom. Reg. Bruto
-4.63
-9.25
1.09
0.25
3.54
4.00
0.93
0.78
4.59
4.54
14 15 16
Kesempatan Kerja Tingkat Inflasi Distribusi Pendapatan
-4.59 0.28 2.82
-8.24 0.29 11.05
1.03 0.07 -0.87
0.21 0.01 -1.53
3.56 0.35 -1.95
3.03 0.30 -1.52
0.88 0.06 -0.74
0.78 0.09 -1.13
4.59 0.66 -1.74
4.75 0.34 -2.40
Keterangan: Simulasi 11: Peningkatan Upah 10% Simulasi 12: Peningkatan Infrastruktur 20% Simulasi 13: Peningkatan Upah 10% dan Infrastruktur 20% Simulasi 14: Peningkatan Investasi 20% Simulasi 15: Peningkatan Investasi 20% dan Infrastruktur 20%
347
Lampiran 16 . Skenario Peramalan dan justifikasi pilihan skenario No 1
Nama Skenario Skenario 1
Uraian dan Penjelasan Bagi Hasil Sumber daya Alam sebesar 15%
2
Skenario 2
Peningkatan Dana Alokasi Umum 10%
3
Skenario 3
Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60%
4
Skenario 4
Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48%
5
Skenario 5
Peningkatan PAD 20% Pengeluaran Rutin 2.50%
6
Skenario 6
Peningkatkan PAD 20% dan Pengeluaran Pembangunan 4.76%
7
Skenario 7
Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran Pembangunan 38.1%
dan
Justifikasi Peningkatan Bagi hasil SDA hingga 15% bahkan lebih masih relevan jika melihat tingkat eksploitasi SDA alam khususnya perikanan laut masih rendah (kurang dari 20%) di Sumatera Utara Peningkatan DAU 10% masih cukup moderat dengan naiknya alokasi DAU nasional menjadi 26% dari Penerimaan Dalam Negeri Peningkatan Pajak Daerah yang bersifat bocoran (linkages) dalam perekonomian dikompensasi oleh pengeluaran pemerintah dalam jumlah yang sama dan bersifat suntikan (injection) dalam perekonomian Peningkatan Retribusi yang bersifat bocoran (linkages) dalam perekonomian dikompensasi oleh Pengeluaran Pemerintah dalam jumlah yang sama dan bersifat suntikan (injection) dalam perekonomian Salah satu bentuk kebebasan pemerintah daerah adalah alokasi pengeluarannya. PAD yang bersifat bocoran (linkages) dikompensasi oleh Pengeluaran Rutin dalam jumlah yang sama dan bersifat suntikan (injection) dalam perekonomian Salah satu bentuk kebebasan pemerintah daerah dalam alokasi pengeluarannya. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang bersifat bocoran (linkages) dalam perekonomian dikompensasi oleh Pengeluaran Pembangunan dalam jumlah yang sama dan bersifat suntikan (injection) dalam perekonomian Efisiensi anggaran rutin dapat dilakukan hingga 20% khususnya pada pos Non Belanja Pegawai dan Pengeluaran Tak disangka dan dialokasikan menjadi anggaran pembangunan 38.1%
348
Lampiran 16 . Lanjutan No 8
Nama Skenario Skenario 8
Uraian dan Penjelasan Peningkatan Upah 20% dan Infrastruktur 20%
9
Skenario 9
Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20%
Justifikasi Peningkatan infrastruktur 20% dapat menjadi insentif bagi investor sehingga peningkatan upah 20% relatif tidak terlalu membebani pengusaha infrastruktur sebesar 20% menjadi daya tarik yang relatif baik untuk investasi, sehingga peningkatan investasi 20% adalah tidak terlalu berlebihan apalagi investasi dalam lima tahun terakhir ini relatif kurang kondusif
Lampiran 17. Ringkasan Peramalan Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Sumatera Utara Tahun 2006-2008 Tabel 1. Peramalan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Sumatera Utara Tahun 2006-2008
Kebijakan Desentralisasi Fiskal
No
Peubah Endogen
SKENARIO 1 Kab Kota
SKENARIO 2 Kab Kota
SKENARIO 3 Kab Kota
1
Pajak Daerah
-0.30
-4.28
7.68
14.30
15.00
15.00
-0.45
2
Retribusi
-2.33
-0.88
-11.21
-5.67
-5.64
-11.50
3
Pendapatan Asli Daerah
-1.51
-2.24
-3.60
2.30
2.61
4
Dana Alokasi Umum
0.02
0.01
10.00
10.00
5
Bagi Hasil Pajak
-0.02
-0.01
2.23
6
Penerimaan Pemerintah
0.10
0.07
7
FISKAL GAP
1.52
8
Pengeluaran Rutin
9 10
SKENARIO 4 Kab Kota
SKENARIO 5 Kab Kota
SKENARIO 6 Kab Kota
-2.3
20.00
20.00
20.00
15.00
15.00
20.00
20.00
20.00
20.00
-0.90
8.82
8.08
20.00
20.00
20.00
20.00
0.39
0.81
0.08
0.09
-0.58
-0.48
-0.05
-0.07
1.67
-0.13
-0.36
-0.08
-0.03
-0.30
-0.63
-0.41
-0.81
7.70
7.23
1.26
5.11
2.03
2.05
2.30
1.30
2.13
2.60
1.50
9.66
12.91
3.49
4.42
10.54
11.15
9.70
10.19
11.12
10.02
0.10
0.08
8.26
8.45
0.60
0.60
0.48
0.48
2.50
2.50
2.57
2.67
Peng. Pembangunan
0.02
0.01
3.07
3.01
0.60
0.60
0.48
0.48
1.01
1.05
4.76
4.76
Pengeluaran Pemerintah
0.08
0.06
6.96
6.34
0.60
0.60
0.48
0.48
2.12
2.13
3.25
3.19
SKENARIO 7 Kab Kota
Kinerja Fiskal 20.00
1.2
1.82
0.89
1.26
1.01
1.48
1.53
1.41
1.10
1.18
1.70
1.30
1.42
1.70
-20.00
-20.00
38.10
38.10
0.00
0.00
Kinerja Investasi dan Infrastruktur 11
Investasi
0.01
0.01
0.97
0.57
2.60
1.36
4.08
3.06
1.48
0.90
1.98
2.06
0.50
1.16
12
Pemb. Infrastruktur
0.06
0.04
3.10
4.79
1.52
1.07
4.35
5.05
7.08
8.01
2.40
1.91
6.80
6.10
Kinerja Perekonomian 13
Produk Dom. Reg Bruto
0.06
0.08
6.77
11.78
3.04
4.03
4.08
4.78
4.62
3.97
4.05
4.55
5.70
5.80
14
Kesempatan Kerja
0.05
0.06
5.76
8.81
3.02
2.09
2.68
2.87
3.65
2.93
3.59
3.11
0.16
0.18
15
Tingkat Inflasi
0.01
0.01
0.88
0.50
0.03
0.13
0.05
0.22
0.14
0.26
0.02
0.22
0.12
0.14
16
Distribusi Pendapatan
0.03
0.08
1.34
-7.58
-1.91
-0.71
-1.83
-1.12
-1.24
-1.14
-2.74
-2.73
-1.50
-1.59
Keterangan: Skenario 1: Skenario 2: Skenario 3: Skenario 4:
Peningkatan Bagi Hasil Sumber Daya Alam 15% Peningkatan Dana Alokasi Umum 10% Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60% Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48%
Skenario 5: Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Rutin 2.50% Skenario 6: Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Pembangunan 4.76% Skenario 7: Realokasi Pengeluaran Rutin 20% menjadi Pengeluaran Pembangunan 38.1%
349
350
Tabel 2. Peramalan Dampak Perubahan Variabel Non Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Sumatera Utara Tahun 2006-2008
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Perubahan Variabel Non Fiskal Peubah Endogen SKENARIO 8 SKENARIO 9 Kab Kota Kab Kota Kinerja Fiskal Pajak Daerah 2.62 3.68 6.99 5.99 Retribusi 3.99 2.88 8.44 7.16 Pendapatan Asli Daerah 3.44 3.20 7.86 6.69 Dana Alokasi Umum -0.15 -0.49 -0.10 -0.09 Bagi Hasil Pajak 1.53 2.08 1.96 1.46 Penerimaan Pemerintah 1.27 1.87 7.65 6.82 FISKAL GAP -1.27 -1.89 -4.80 -2.20 Pengeluaran Rutin 1.29 1.30 7.90 7.55 Peng. Pembangunan 1.14 1.03 2.50 1.25 Pengeluaran Pemerintah 1.25 1.23 6.55 5.97 Kinerja Investasi dan Infrastruktur Investasi 2.15 2.10 20.00 20.00 Pembangunan Infrastruktur 20.00 20.00 20.00 20.00 Kinerja Perekonomian Produk Dom. Regional Bruto 2.48 2.10 4.79 4.84 Kesempatan Kerja (BKERJA) 3.06 2.03 4.50 4.37 Tingkat Inflasi (INFLADA) 0.36 0.33 0.66 0.34 Distribusi Pendapatan (DISTRIB) -0.95 -0.52 -1.74 -2.40
Keterangan: Skenario 8: Peningkatan Upah 20% dan Infrastruktur 20% Skenario 9: Peningkatan Investasi 20% dan Infrastruktur 20%
241
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,E. 1997. Financing Decentralized Expenditures: An International comparison of Grants. Edward Elgar, Cheltenham. Azis, I.J. and. L. Schroeder. 2001. Intergovernmental transfers and Decentralization in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 37(3) : 345-362. Bahl,R.W. and J. Lin. 1992. Urban Public Finance in Developing Countries. Oxford University Press, New York. Bahl,R.W. and J. Lin. 1994. Fiscal Decentralization and Intergovernmental Transfer in Less Developed Countries. The Journal of Federalism vol 24. The World Bank, Washington, D.C. Bahl,R.W. and Mc Mullen. 1999. Fiscal Decentralization and Its Application in Less Developed Countries. The World Bank, Washington D.C. Beier,C. and G. Ferrazzi. 1998. Fiscal Decentralization in Indonesia: A Comment on Smoke and Lewis. World Developmentr , 26(12): 2201-2211. Blancard, O.1997. Macroeconomics. New Jersey: Prentice Hall Inc, New York. Bird, R.M. and C. Wallich. 1993. Fiscal Decentralization and Intergovernmental Realations in Transition Economics: Towards a Systematic Framework of Analysis. The World Bank, Washington D.C. Bird,R.M. 1994. Decentralizing Infrastructure: For Good or For Ill ? Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington D.C. Bird,R.M. dan F. Vaillancourt. 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara Berkembang. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2004. Sumatera Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. Medan. Brahman,R.H., H.Nasution dan R.P.Sinaga.2002. The Study of Expenditure/Function Assigment Under Fiscal Decetralization Scheme in Sumatera Utara Provinci And Its 19 Districts. Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara, Medan. Brodjonegoro, B.H. A.Hendranata dan M.Riatu.2001. Model Ekonometrika Desentralisasi: Analisis Dampak Alokasi SDA dan DAU Terhadap Pemerataan dan Pertumbuhan Ekonomi antar daerah. Makalah Seminar Implikasi Ekonomi Dari Bagi Hasil Sumberdaya Alam, Jakarta. Branson, W.H. 1981. Macroeconomics Theory and Policy. Second Edition. Harper & Row Publisher Inc, New York. Burki,S.J.,G.E. Perry and W.R. Dillinger. 1999. Beyond the Center: Decentralizing The State. The World Bank, Washington D.C.
242
Capuno, J.J. 2001. Estimating the Income Elasticity of Local Government Revenues and Expenditures in the Philippines under Decentralization. The Third IRSA International Conference” Indonesia’s Sustainable Development in a Decentralization Era”, March 20 –21, Jakarta. Center for Economics and Social Studies (CESS).2001.Desentralisasi Fiskal & Implikasinya Terhadap Kondusifitas Iklim Usaha Daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia. Center for Economics and Social Studies, Jakarta. Challen,D.W and A.J. Hagger. 1983. Macroeconometric System : Construction, Validation and Applications. The Macmillan Press Ltd, London. De Mello, L.R. 2000. Fiscal Decentralization and Intergovernmental Fiscal Relation: A Cross-Country Analysis. World Development 28(2): 365-380, Great Britain. Departemen Dalam Negeri .1980. Undang – Undang No.32 tahun 1956. Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Departemen Dalam Negeri.2002. Himpunan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah. Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Dillinger,W. and S.B. Webb. 1999. Decentralization and Fiscal Management in Colombia. Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington D.C. Dornbursh, R. and S. Fisher .1990. Macroeconomics. Fourth Edition. Mc Graw – Hill Book Company, Tokyo. Ehdaie, J. 1994. Fiscal Decentralization and the size of Government: An Extension with Evidence from Cross-Country data. Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington D.C. Elmi, B. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Faguet, J.P. 2001. Does Decentralization Increase Responsiveness to Local Needs?: Evidence from Bolivia. Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington D.C. Froyen, R.T.1996. Macroeconomics: Theories and Policies. Fifth Edition. : Prentice Hall Inc, New Jersey. Hadi, S. 2001. Assessing the New Decentralization Polivcy in Indonesia: Inconsistent or Incomplete Framework. The Third IRSA International Conference” Indonesia’s Sustainable Development in a Decentralization Era”, March 20 –21, Jakarta. Hall, R.E. and J.B.Taylor.1993. Macroeconomics: Theory and Policy. Fourth Edition.W.W.Norton & Company, New York. Intriligator, M., R.Bodkin and C.Hsiao.1996. Econometric Models, Techniques and Applications. Second Editions. Prentrice Hall International Edition, New Jersey.
243
Jhonston, J. 1991. Econometric Methods. Third Edition. Mc Graw-Hill International Edition, Auckland. Jhingan, M.L .1993.Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan.P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta. J & J Learning.2000. Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom. Cetakan Pertama. J & J Learning , Yogyakarta. _____________. Undang-undang N0.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.. Cetakan Pertama, J &J Learning, Yogyakarta. _____________. Undang-undang N0.34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi daerah. Cetakan Pertama , J &J Learning , Yogyakarta. _____________. Undang – Undang N0.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Cetakan Pertama, J & J Learning Yogyakarta. _____________ .2004. Undang – undang N0.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Cetakan Pertama, J & J Learning, Yogyakarta.
____________. 2004. Undang-undang N0.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Cetakan Pertama , J &J Learning , Yogyakarta. Kadjatmiko dan R.B. Mahi.2002.Dana Alokasi Umum 2002. Dalam Siddik.M (ed).2002. Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Penerbit Buku Gramedia, Jakarta. Kawagoe, T. 1998. Interregional Resource Transfer and Economic Growth in Indonesia. Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington D.C. Koutsoyiannis, A.1978. Theory of Econometrics. Harper & Row Publishers Inc, New York. Kuncoro, M. 1993. The Political Economy of Decentralization in Indonesia: Towards Cultivating the Grass-Roots? The Indonesian Quarterly, 21 (3):hal 25-30. Lewis , B.D. 2001. The New Indonesian Equalisation Transfer. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 37 (3): 325 – 343. Lin, J.Y. and Z. Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in China. The University of Chicago, Chicago. Ma, J. 1998 . Intergovernmental Fiscal Transfers in Nine Countries: Lesson for Developing Countries. Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington D.C.
244
Mahi, R.B. 2001. Problems on The Design and Implementation of Fiscal Decentralization Policy. Paper on Seminar Indonesia’s Sustainable Development in a Decentralization Era, Jakarta. Mahi, R.B dan Adriasyah.2002. Sejarah Transfer Keuangan Pusat ke Daerah. Dalam Siddik.M (ed).2002. Dana Alokasi Umum: Konsep , Hambatan dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Penerbit Gramedia, Jakarta. Mankiw,N.G. 2000.Macroeconomics. Fourth Edition. Worth Publishers, New York. Manor, J. 1999. The Political Economy of Democratic Decentralization. The World Bank, Washington D.C. Maro, P.S. 1990. The Impact of Decentralization on Spatial Equity at Development in Tanzania. World Development ,18 (5). Musgrave, R.A.and P.B. Musgrave. 1984. Public Finance In Theory And Practice. Fifth Edition. McGraw Hill Book Company, New York. Nadapdap, B. 1990. Studi Simulasi Model Persaman Simultan Untuk Makroekonomi Dengan Beberapa Metoda pendugaan. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nanga, M.2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nombo, R.L. 2000. Regional Autonomy Program in Indonesia: What Issues Complicatyed Its Implementations? The Indonesian Quarterly, 28 (3). Pakasi, C.B.D.2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pardede, R.2004. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara dan Kotamadya Medan: Aplikasi Model Input – Output. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Parker, A.N. 1995. Decentralization: The Way Forward for Rural Development? Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington D.C. Parry, T.R. 1997. Achieving Balance in Decentralization: A Case Study of Education Decetralization in Chile. World Development. Elsevier Science Ltd.London. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan BAPPEDASU.2001. Perda No.6 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 20012005. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan BAPPEDASU, Medan. _________________________________________________. Perda No.7 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Tahun 20012005. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan BAPPEDASU, Medan.
245
Pindyk, R.S. and D.L. Rubinfeld .1991.Econometric Model and Economic Forecast. Third Edition. Mc Graw-Hill International, Singapore. Prud’homme, R.P. 1994. On the Dangers of Decentralization. Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington D.C. ___________. 1995. The Dangers of Decentralization. The World Bank Research Observer, 10(2) : 201-220. The World Bank, Washington D.C. Ranis, G. and F. Stewart. 1994. Decentralization in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 50(3); 41-72. Robalino, D.A.,O.F. Picazo and A. Voetberg. 2001. Does Fiscal Decentralization Improve Health Outcomes?: Evidence from a Cross- Country Analysis. Policy Research Working Paper, The World Bank,Washington D.C. Saefudin.2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian dan Kelembagaan di Provinsi Riau. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Safrizal .2001. Some Possible Impacts of Regional Autonomy. West Sumatera Case. Seminar Desentralisasi Fiskal, Jakarta. Shah, A. 1994. A Fiscal Needs Approach to Equalization Transfers in a Decentralized Federation. The World Bank Policy Research Department, Washington D.C. ______. 1998. Fiscal Federalism and Macroeconomic Governance: For Better or for Worse? Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington D.C. Siddik,M. (ed). 2002. Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan dan Prospek di Era Otonomi Daerah. LPEM-FEUI, MPKP-FEUI, Dirjen PKPD , Depatemen Keuangan dan Kompas. Penerbit Gramedia, Jakarta. SMERU.2001. Indonesia’s Decentralization Policy: The Budget Allocation and Its Implication for Business Environment. Working Paper, SMERU, Jakarta. SMERU.2002. Regional Autonomy in Indonesia: Field Experiences and Emerging Challenges. Working Paper, SMERU, Jakarta. Sinaga, B.M.1989. Econometric Model of The Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis. PhD Disertation. University of Philipines, Los Banos. Sinaga, B.M. dan H.Siregar.2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia. Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Bogor. Smoke , P. and B.D. Lewis. 1996. Fiscal Decentralization in Indonesia: A New Approach to An Old Idea. World Development 24(8): 1281-1299. Stevenson, A.,V. Mustacelli and M. Gregory.1988. Macroeconomic Theory and Stabilization Policy. Philip Allan, New York.
246
Sumedi. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kesenjangan Antar Daerah dan Kinerja Perekonomian Nasional Dan Daerah. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sundaram, K.V. 1999. Decentralized Planning and Financing of Rural Development in India. Regional Development Dialoque 20, No.2. Tambunan, M. and H. Seldadyo. 1999. Fiscal Decentralization : A New Wave with New Challenges. Paper presented for “ Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VII”, Serpong 9 – 11 September 1999. Todaro, M.P.2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. P.T. Erlangga, Jakarta.
Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. World Bank.2005. Making Decentralization Work. World Bank,Washington D.C. Wuryanto, L.E. 996. Fiscal Decentralization and Economic Performance in Indonesia: An Interregional Computable General Equlibrium Approach. PhD Dissertation. Cornel University, Boston. Yudoyono, B. 2002. Otonomi Daerah. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Pustaka Sinar Harapan,Yogyakarta.