DAMPAK ALOKASI DANA DESA PADA ERA DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH DI INDONESIA
DISERTASI
EKO PRASETYANTO PP
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul;
DAMPAK ALOKASI DANA DESA PADA ERA DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH DI INDONESIA Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2012
Eko Prasetyanto PP H363070111
ABSTRACT
EKO PRASETYANTO PP. Impact of Allocation Rural Fund Policy in Decentralization Era on Regional Economy in Indonesia (MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL as Chairman, BONAR MARULITUA SINAGA and MUHAMMAD FIRDAUS as Members of the Advisory Committee). This research attempts to describe and analyze the impact of allocation rural fund in decentralization era on regional economy in Indonesia.The analysis applied in this research are Klassen Typologi, Williamson index and econometric model. This study has succesfully formulated a model and using panel data method (time series data of 2005-2009 and cross section data of twenty five Province in Indonesia). The model was developed into a simultaneous equations, consisting of 14 structural equations and 11 identity equations. The results of this research obtain an evidence that Provinces of Indonesia spread in 4 (four) criteria in the Klassen Tipology. In addition, this study also indicates that the disparity among Province of Indonesia in the period of 2005 to 2009 will be higher if allocation rural fund conducted as Government Regulation Number 72 Year 2005.The result of simulation also shows that ADD in rural area could reduce poverty level and increase original regional income (PAD). Finally, the research concludes that the increase of ADD in decentralization era can increase fiscal and economic performance, however the transfer of ADD also increases the disparity among regions in Indonesia. In order to reduce the negative impact of ADD, the government needs to use a affirmative policy in the implementing of ADD. Key words: decentralization era, allocation rural fund, poverty, disparity, econometric model.
RINGKASAN
Eko Prasetyanto PP. Dampak Alokasi Dana Desa pada Era Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia (MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL sebagai Ketua, BONAR MARULITUA SINAGA dan MUHAMMAD FIRDAUS, sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Era desentralisasi telah membawa perubahan dalam sistem pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Kewenangan Pemerintah Daerah menjadi lebih besar bila dibanding penyelenggaraan pemerintahan sebelum era desentralisasi. Era desentralisasi dengan berbagai kewenangannya membuat ketaatan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan aturan Pemerintah menjadi lebih rendah. Salah satu contoh yang menjadi topik penelitian adalah mengenai Alokasi Dana Desa (ADD), dimana aturan mengenai hal ini sudah jelas dan tegas termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Namun dalam implementasinya sejak tahun 2005 hingga saat ini kurang lebih baru 60% Pemerintah Daerah yang melaksanakan. Memperhatikan hal ini, maka perlu suatu upaya yang sinergis dan berkelanjutan untuk membuka wawasan atau pemahaman mengenai arti penting desa dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Salah satu kebijakan yang seharusnya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka memperkuat pemerintah desa dan masyarakatnya adalah memberikan ADD. Mengapa penyaluran ADD ini menjadi sangat penting? Karena mengingat fakta sampai saat ini dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, ADD merupakan anggaran yang paling utama yang digunakan pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat serta pelaksanaan pembangunan yang dikelola langsung oleh pemerintah desa dan masyarakat. Berdasarkan hal di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui arah dan tingkat signifikansi pelaksanaan ADD dalam meningkatkan perekonomian daerah,khususnya dalam mengentaskan angka kemiskinan di desa. Selanjutnya, dalam rangka optimalisasi pelaksanaan ADD, maka telah disimulasikan peran ADD dengan berbagai skenario. Dari hasil simulasi yang telah dilakukan diperoleh suatu kesimpulan bahwa pelaksanaan ADD yang selama ini diatur secara seragam dan dengan cara prosentase (yaitu minimal 10% dari Dana Perimbangan setelah dikurangi belanja pegawai), ternyata kurang tepat untuk mewujudkan tujuan ADD secara optimal, yaitu antara lain untuk mengentaskan kemiskinan dan mengatasi kesenjangan antar wilayah. Hasil simulasi telah membuktikan bahwa peningkatan pemberian ADD selain meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah, namun akan meningkatkan pula kesenjangan antar wilayah. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya angka Indeks Williamson. Sehubungan dengan hal di atas, upaya yang dilakukan adalah melakukan simulasi pelaksanaan ADD, baik secara prosentase maupun nominal. Selanjutnya dengan berbagai pertimbangan dilakukan simulasi penataan wilayah desa. Mengapa dalam penelitian ini dipilih penataan wilayah desa sebagai upaya untuk mendukung pelaksanaan ADD yang lebih optimal? Karena dari hasil simulasi membuktikan bahwa penataan wilayah desa selain mampu meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah, mampu pula mengurangi jumlah penduduk miskin dan mengurangi kesenjangan antar daerah. Hal ini sangat wajar, karena dengan penataan desa, khususnya pemekaran atau penambahan desa akan semakin memperpendek span of control dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat. Hal ini tentu saja akan semakin meningkatkan intensitas pelayanan kepada masyarakat. Dari hasil simulasi diperoleh beberapa kesimpulan, ketentuan ADD perlu disempurnakan, baik “statusnya” maupun substansinya. Dari sisi “status”, kebijakan mengenai ADD yang selama ini di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 dan peraturan pelaksanaannya adalah sangat tepat apabila akan dinaikkan “statusnya”, menjadi bagian pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang Desa. Hal ini sangat penting karena dengan diatur dalam Undang-Undang memungkinkan diaturnya sanksi bagi Pemerintah Daerah yang tidak melaksanakan. Dari sisi substansi, “momen” saat ini adalah sangat tepat untuk memberikan masukan dan saran mengenai pengaturan ADD dan penataan wilayah desa dalam pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Desa. Salah satu hal penting yang perlu disarankan yakni bahwa pengaturan ADD perlu dilakukan secara afirmatif dan digabungkan dengan penataan wilayah desa.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor
DAMPAK ALOKASI DANA DESA PADA ERA DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH DI INDONESIA
EKO PRASETYANTO PP
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. Guru Besar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB 2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka 1. Prof. Dr. Mangara Tambunan, M.Sc. Guru Besar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB 2. Drs. Sumedi Andono Mulyo, Ph.D. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Menyetujui : Judul Disertasi
:
Dampak Alokasi Dana Desa pada Era Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia
Nama Mahasiswa
:
Eko Prasetyanto PP
Nomor Pokok
:
H 363070111
Mayor
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Bonar Marulitua Sinaga, MA Anggota
Muhammad Firdaus, SP, M.Si.,Ph.D Anggota
Mengetahui :
2. Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian,
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Tanggal Ujian : 27 Juli 2012
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: “Dampak Alokasi Dana Desa pada Era Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia”. Sebagai suatu syarat kelulusan pada Program Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dan disertasi ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian disertasi ini, oleh karena pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah berkenan meluangkan banyak waktu untuk berkonsultasi, memberikan pengarahan, bimbingan serta dorongan semangat yang sangat berarti bagi penyelesaian desertasi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Bonar Marulitua Sinaga, MA sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk mendorong, membimbing, mengarahkan dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. 3. Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.d. sebagai Anggota Komis Pembimbing yang selalu mendorong dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi ini. 4. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan masukan dan klarifikasi yang sangat berarti pada waktu ujian tertutup dan terbuka. 5. Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. dan Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. selaku Penguji Luar Komisi pada waktu ujian tertutup, yang telah memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penyempurnaan disertasi. 6. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si. selaku Pimpinan Sidang pada waktu ujian tertutup yang banyak memberikan masukan dan saran yang sangat berarti bagi penyempurnaan disertasi. 7. Dr.Ir.Yusman Syaukat, M.Ec., Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, selaku pimpinan Sidang pada waktu ujian terbuka, penulis ucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas saran dan masukan bagi penyempurnaan disertasi.
8. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada waktu ujian terbuka, penulis ucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas masukan dan sarannya. 9. Drs. Sumedi Andono Mulyo, Ph.D. selaku penguji luar komisi pada waktu ujian terbuka, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah berkenan meluangkan waktu untuk mengkritisi, memberikan saran serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penyempurnaan disertasi. 10. Segenap jajaran Pimpinan di Kementerian Dalam Negeri, khususnya di Direktorat Jenderal PMD yang selalu memberikan dorongan dan kesempatan untuk menyelesaikan studi, serta kepada Kepala Badan Diklat Depdagri beserta jajaran yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mendapatkan bea siswa yang sangat berguna untuk menyelesaikan studi. 11. Seluruh Guruku mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas jasa dan kasih sayangnya yang tidak akan pernah penulis lupakan sampai akhir hayat. 12. Buat teman-teman di Direktorat Jenderal PMD yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama menyelesaikan studi ini. 13. Buat teman-teman seperjuangan di EPN’2007: Bu Dewi Sahara, Bu Elinur, Pak Sugiyono, Mas Gatot Subroto, Mas Gatot Soehardono, Pak Yanizar, Pak Abdullah, Mas Rizal, Bu Dwi Rachmina, Bu Wini, Bu Neti, Bu Ita dan Bu Lilis, penulis ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya karena dengan kebersamaan dan kekeluargaan, perjuangan ini dapat kita lalui tahap demi tahap. 14. Semua Staf di Program Studi EPN, antara lain Mbak Ruby, Mbak Yani, Bu Kokom, Pak Husen dan Mas Johan yang telah banyak memberikan bantuan selama menempuh dan menyelesaikan studi di IPB. 15. Buat Pak Usman terima kasih banyak atas bantuan dan kerelaannya meluangkan waktu untuk membantu dalam mengolah data. 16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini.
Secara khusus, buat Ayahku Sutardjo Purnomo (Alm) dan Ibuku Retnaningdyah Ninik Prasetyanti yang sangat kusayangi, kuucapkan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya atas segala bimbingan, doa dan restunya. Studi yang cukup berat ini kujalani
sebagai sembah baktiku kepada-Mu. Buat Pakde Tomo (Alm) dan Bude Tomo kuucapkan rasa terima kasih juga yang sedalam-dalamnya, karena telah turut mengasuh penulis di Yogyakarta dari kecil hingga lulus mahasiswa. Buat Istriku (Esther Liswantiyani), Anakku yang sangat kukasihi (Yosua Rama Mada Krisna Purnama, Kezia Ugmisita Purnomo dan Keynes David Purnomo), dukungan dan keceriaanmu merupakan semangat tersendiri sebagai pendorong untuk menyelesaikan disertasi ini. Buat Adik-adikku: Iwan, Deasy dan Rony beserta keluarganya serta semua Saudarasaudaraku yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu terima kasih atas dukungannya. Akhirnya penulis menyadari pepatah tiada gading yang tak retak, penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran.
Bogor, Agustus 2012
Eko Prasetyanto PP
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bantul, Yogyakarta pada tanggal 4 Juni 1968 dari pasangan Bapak Sutardjo Purnomo B.Sc., S.Pd. (Alm) dan Ibu Retnaningdyah Ninik Prasetyanti. Penulis adalah anak sulung dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dari sekolah dasar hingga tingkat universitas di Kota Yogyakarta, yaitu pada SD Bopkri I Demangan Yogyakarta, SMP Negeri 8 Yogyakarta dan SMA Bopkri 1 Yogyakarta.
Selanjutnya pendidikan sarjana (S1)
penulis selesaikan pada tahun 1993 di Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 1996 penulis diterima bekerja di Kementerian Dalam Negeri dan lulus sebagai CPNS pada tahun 1996. Pada tahun 1998 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana (S2) di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan beasiswa dari Program Inpres Desa Tertinggal, Ditjen PMD, Kementerian Dalam Negeri dan penulis lulus pada tahun 2000. Kemudian tahun 2005 penulis kembali mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana (S2) di La Trobe University Australia pada bidang Development Studies dengan beasiswa dari Program CERD. Selanjutnya pada tahun 2007 penulis dengan Beasiswa dari Badan Diklat Depdagri melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S3) Ilmu Ekonomi Pertanian, IPB. Jenjang karier penulis dimulai pada tahun 2000 sebagai Kasi Administrasi Kelurahan pada Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan pada Ditjen PMD Kementerian Dalam Negeri, Kasi Pelatihan pada Direktorat Pelatihan, Ditjen PMD dan Kasi Penataan Kelembagaan pada Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen PMD, Kementerian Dalam Negeri. Pada tahun 2008 hingga sekarang jabatan penulis sebagai Kasubdit Fasilitasi Pengembangan Desa dan Kelurahan, pada Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen PMD, Kemendagri. Penulis telah menikah dengan Esther Liswantiyani dan mempunyai dua orang putra (Yosua Rama Mada Krisna Purnama dan Keynes David Purnomo) serta satu orang putri (Kezia Ugmisita Purnomo).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
viii
I. PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...........................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian ...............................................................................
8
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................
8
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian.....................................
9
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
11
2.1.
Desentralisasi ...................................................................................
11
2.2.
Desentralisasi Fiskal..........................................................................
13
2.3.
Sumber Penerimaan Daerah ..............................................................
15
2.4.
Dana Alokasi Umum ........................................................................
18
2.5.
Pengeluaran Oleh Pemerintah ...........................................................
21
2.6.
Pertumbuhan Ekonomi ......................................................................
26
2.7.
Kemiskinan .......................................................................................
27
2.8.
Kesenjangan Antar Daerah ...............................................................
29
2.9.
Tenaga Kerja dan Angkatan Kerja ....................................................
30
2.10.
Alokasi Dana Desa ...........................................................................
32
2.11.
Desa dan Sejarah Pengaturannya ......................................................
35
2.11.1. Jaman Kerajaan .....................................................................
35
2.11.2. Jaman Penjajahan ..................................................................
36
2.11.2.1. Jaman Penjajahan Belanda .....................................
36
2.11.2.2. Jaman Penjajahan Jepang .......................................
37
2.11.3. Jaman Kemerdekaan .............................................................
38
Studi-Studi Desentralisasi Fiskal ......................................................
46
2.12.
i
2.12.1. Mancanegara .........................................................................
46
2.12.2. Indonesia ...............................................................................
47
III. KERANGKA PEMIKIRAN KONSEPTUAL ........................................
51
IV. METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................
57
4.1. Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah ...........................................
57
4.2. Model Ekonometrika ...........................................................................
58
4.3. Prosedur Analisis .................................................................................
67
4.3.1. Identifikasi Model ...................................................................
67
4.3.2. Metode Estimasi Model ..........................................................
69
4.3.3. Validasi Model. .......................................................................
69
4.3.4. Simulasi Kebijakan .................................................................
71
4.4. Sumber Data ........................................................................................
73
V. EVALUASI KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH ...............................................................................................
75
5.1. Evaluasi Umum ..................................................................................
75
5.2. Evaluasi Kinerja Fiskal ......................................................................
77
5.3. Evaluasi Kinerja Perekonomian .........................................................
86
5.3.1. Pertumbuan Ekonomi...............................................................
86
5.3.2. Kemiskinan ..............................................................................
88
5.3.3. Klasifikasi Daerah Berdasar Tipologi Klassen ........................
88
VI. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH ....................
93
6.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika ....................................................
93
6.2. Kinerja Blok Fiskal dan Perekonomian Daerah ...................................
94
VII. EVALUASI DAMPAK ALOKASI DANA DESA TERHADAP KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH .................... 109 7.1. Hasil Validasi Model ............................................................................ 109 7.2. Dampak Alokasi Dana Desa................................................................. 110 7.3. Rangkuman dan Pembahasan ............................................................... 134
ii
VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ...................................... ...139 8.1. Simpulan ............................................................................................... 139 8.2. Implikasi Kebijakan ............................................................................. 140 8.3. Saran Penelitian Lanjutan ..................................................................... 141
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 143 LAMPIRAN ............................................................................................... 149
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan ...........................................
6
2. Tipologi Klassen ..........................................................................................
58
3. Gambaran Umum Kewilayahan dan Administrasi Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ......................................................................
75
4. Gambaran Umum Faktor-Faktor Demografi di Setiap Kepulauan di Indonesia Tahun 2009 .................................................................................
77
5. Tingkat Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 ...................................................................
78
6. Tingkat Perkembangan Pajak Daerah Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 ........................................................................
80
7. Tingkat Perkembangan Dana Alokasi Umum Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 ........................................................................
82
8. Persentase Jumlah Kabupaten/Kota Berdasarkan Provinsi yang Memberikan Alokasi Dana Desa di Indonesia Tahun 2005-2009 ..............
84
9. Perkembangan Penyaluran ADD menurut Provinsi ....................................
85
10. Pertumbuhan Perekonomian Daerah Menurut Povinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 .........................................................................................
87
11. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin per Pulau di Indonesia Tahun 2009 ..................................................................................................
88
12. Tipologi Klassen Provinsi di Indonesia.......................................................
89
13. Jumlah Provinsi per Pulau di Indonesia Menurut Tipologi Klassen Tahun 2005-2009 ........................................................................................
90
14. Jumlah Provinsi per Pulau di Indonesia Menurut Tipologi Klassen yang Kesenjangan Antar Daerahnya Menurun Tahun 2005-2009 .......................
91
15. Keragaan Umum Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia .............................................................
93
16. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Pajak Daerah .....................................
94
17. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Retribusi Daerah ...............................
96
18. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Asli Daerah Lainnya .........................
97
iv
19. Hasil Estimasi Perilaku Dana Alokasi Umum ............................................
98
20. Hasil Estimasi Perilaku Dana Bagi Hasil ....................................................
99
21. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Pertanian ........................................... 100 22. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Infrastruktur ..................................... 100 23. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Industri ............................................. 101 24. Hasil Estimasi Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian............ 101 25. Hasil Estimasi Perilaku Produk Domestik Regional Bruto Sektor Non Pertanian ..............................................................................................
102`
26. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Tenaga Kerja Pertanian ............................ 104 27. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian .................... 104 28. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan ................ 105 29. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin di Desa ........................ 107 30. Hasil Validasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah ................................................................................ 110 31. Dampak disalurkannya ADD (Persentase) Secara Nasional Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah ................................................... 112 32. Dampak disalurkannya Alokasi Dana Desa (Rupiah) Secara Nasional terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah ................................... 114 33. Dampak Penataan Wilayah Desa Secara Nasional terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia ........................................... 117 34. Dampak Alokasi Dana Desa Sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia Menurut Tipologi Klassen ........... 118 35. Dampak Alokasi Dana Desa Sebesar 20 Persen terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menurut Tipologi Klassen ............................... 120 36. Dampak Alokasi Dana Desa Sebesar 250 Juta Rupiah terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menurut Tipologi Klassen ....................
121
37. Dampak Dilaksanakan ADD Sebesar 500 Juta Rupiah terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indfonesia Menurut Tipologi Klassen .......................................................................................................
123`
38. Dampak Penambahan 5 Desa per Kabupaten/Kota Menurut Tipologi Klassen terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia ..................................................................................................... 124 v
39. Dampak Penambahan 10 Desa per Kabupaten/Kota Menurut Tipologi Klassen Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia ..................................................................................................... 126 40. Dampak Dilaksanakan ADD Secara Seragam dan ADD Afirmatif terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah ....................................
129`
41. Dampak dilaksanakan ADD (prosentase) Secara Affirmatif yang Dikombinasikan dengan Penataan Wilayah Desa terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia ...........................................
131
42. Ringkasan Hasil Simulasi Dampak Pelaksanaan ADD dan Penataan Wilayah Desa terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia ......................
133
43. Perbandingan Hasil Simulasi Penyaluran ADD terhadap Indikator Pemberian ADD .......................................................................................... 136
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Perbandingan ADD Riil dan ADD Seharusnya Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa ......................................
7
2. Pengaruh Belanja Pemerintah dan Pajak terhadap Pengeluaran Agregat ...............................................................................................
16
3. Hubungan Kenaikan Belanja Pemerintah dengan Pengeluaran yang direncanakan ......................................................................................
21
4. Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner ..........................
23
5. Teori Peacock dan Wiseman ......................................................................
25
6. Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah .........................................
25
7. Kerangka Pemikiran Penelitian ..................................................................
54
8. Alokasi Sumber yang Optimum .................................................................
55
9. Hubungan Desentralisasi Fiskal dan Penyaluran ADD .............................
56
10. Keterkaitan Antar Blok ..............................................................................
66
11. Hubungan PAD dan Pajak Daerah di Indonesia Tahun 2005-2009 ...........
79
12. Perbandingan Berbagai Simulasi Kebijakan Alokasi Dana Desa dan Penataan Wilayah Desa dalam Mengurangi Jumlah Penduduk Miskin di Perdesaan ............................................................................................... 134 13. Indek Williamson dalam Berbagai Simulasi .............................................. 135 14. Perbandingan Perkembangan PAD dan PDRB pada Berbagai Simulasi ... 136
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Program Estimasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur TSCSREG dan Metode Fixone dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ........................ 150 2. Hasil Estimasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur TSCSREG dan Metode Fixone dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ........................ 150 3. Program Validasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable .................. 152 4. Hasil Validasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable .................... 169 5. Program Simulasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ................... 172 6. Hasil Simulasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ................... 175 7. Ringkasan Program Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ................... 178 8. Ringkasan Hasil Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Secara Nasional Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable......... ............................................................................................. 179 9. Ringkasan Hasil Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menurut Tipologi Klassen Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable......... ............................................................................................. 180
viii
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah untuk ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum...”. Dalam rangka mencapai tujuan nasional ini Undang-Undang Dasar 1945 beserta peraturan perundangundangan yang ada telah menetapkan suatu pilihan bahwa Negara Indonesia adalah sebagai negara kesatuan yang didesentralisir. Kebijakan Otonomi Daerah yang disertai desentralisasi dibidang kewenangan, administrasi dan fiskal ini sangat penting bagi keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dengan berbagai argumentasi. Pertama, dengan desentralisasi fiskal, memungkinkan para pengambil keputusan di daerah akan semakin cepat dan tepat dalam merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pengelolaan keuangan dalam rangka mendukung berbagai kebijakan penting dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, termasuk akselerasi dalam
penyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan,
pelayanan
publik
dan
pemberdayaan masyarakat. Di era desentralisasi fiskal para pengambil keputusan di daerah mempunyai kewenangan atau otoritas untuk mengelola anggarannya. Dalam hubungannya dengan pengambilan keputusan dalam pengelolaan anggaran akan lebih cepat dibanding apabila diatur secara sentralistis. Kedua, dengan desentralisasi fiskal akan semakin mendekatkan para pengambil kebijakan dengan para pelaku atau pemanfaat dari keputusan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya
kedekatan dan
komunikasi yang lebih baik antara pengambil keputusan di daerah dengan masyarakatnya. Di era desentralisasi fiskal berbagai program dan kegiatan seharusnya dapat direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Artinya dengan desentralisasi fiskal diharapkan akan mendorong penggunaan anggaran yang lebih tepat sasaran.
Pemerintah Daerah akan lebih mampu untuk mengembangkan berbagai
networking, dalam rangka
sharing of experiences untuk dapat mengoptimalkan
berbagai kebijakan yang telah ditentukan. Di era desentralisasi fiskal Pemerintah daerah akan lebih mudah untuk mengalokasikan dan mendistribusikan berbagai program dan kegiatan dalam rangka pemerataan pembangunan. Pemerintah Daerah
2
akan lebih mudah dalam menstabilkan kondisi perekonomian wilayahnya. Namun demikian sebagai negara kepulauan yang sangat luas, yaitu dengan luas wilayah kurang lebih 1,9 juta Km² dan terdiri dari 17 ribu pulau, 33 Provinsi, 497 Kabupaten/Kota, 6.694 Kecamatan, 69.249 Desa serta 8.216 Kelurahan (Permendagri Nomor 66 Tahun 2011), Indonesia menghadapi berbagai permasalahan yang begitu kompleks. Di era desentralisasi fiskal saat ini, permasalahan dan kendala yang masih dihadapi antara lain dapat dikelompokkan dalam tiga persoalan utama, yaitu masalah kewilayahan, kemasyarakatan dan pemerintahan. Masalah kewilayahan yang sering muncul antara lain masalah pemekaran daerah dan desa yang terus meningkat serta masalah peningkatan kesenjangan antar wilayah. Masalah kemasyarakatan antara lain masalah kemiskinan yang sebagian besar berada di daerah perdesaan. Selanjutnya masalah pemerintahan yang masih menjadi persoalan adalah masalah ketidakjelasan penyerahan urusan antar jenjang susunan pemerintahan yang
mengakibatkan
kurang
optimalnya
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan. Dari hasil penelitian Lin (1992) di China dengan data panel yang kemudian dilanjutkan oleh Lin dan Liu di China (2000) ditemukan bukti bahwa faktor kunci pertumbuhan ekonomi di China adalah reformasi fiskal seiring dengan reformasi perdesaan. Selanjutnya berdasarkan penelitian Lai (1989) ditemukan bukti bahwa keberhasilan strategi pembangunan di Taiwan dikarenakan pembangunan sektor industri diletakkan di dekat daerah perdesaan. Bagi Indonesia, pengalaman di China dan Taiwan tersebut perlu mendapat perhatian. Era desentralisasi fiskal perlu disertai pula dengan reformasi perdesaan. Mengapa hal ini penting?
Pertama, karena hampir sebagian besar masyarakat
Indonesia tinggal di daerah perdesaan. Kedua, walaupun desentralisasi fiskal sudah dimulai sejak tahun anggaran 2001, namun data menunjukkan bahwa hampir sebagian besar permasalahan mendasar yang ada di negeri ini, seperti masalah kemiskinan, pendidikan yang rendah, kesehatan yang buruk, sarana-prasarana yang kurang memadai sebagian besar adanya di desa. Oleh karena itu sedari dini perlu dibangun suatu reformasi pemahaman bahwa desa mempunyai posisi strategis di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan dapat dikatakan apabila desa maju maka daerah dan negara pasti akan maju. Memperhatikan hal ini, tidaklah berlebihan apabila reformasi perdesaan dijadikan ”ujung tombak” pembangunan daerah dan nasional.
3
Aspek penting untuk dikaji dalam melakukan reformasi perdesaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa antara lain adalah penyaluran Alokasi Dana Desa (ADD), penyerahan urusan dari Kabupaten/Kota kepada Desa, pengembangan perencanaan pembangunan partisipatip dan penataan wilayah desa.
Dalam penelitian ini aspek yang menjadi penekanan utama adalah
penyaluran ADD, sedangkan penyerahan urusan dari Kabupaten/Kota kepada Desa tidak dikaji karena berdasarkan hasil laporan yang ada masih sangat sedikit sekali Kabupaten/Kota yang menyerahkan sebagian urusannya kepada Desa. Demikian pula mengenai perencanaan partisipatip tingkat desa tidak dikaji karena ketiadaan data. Selanjutnya untuk penataan wilayah Desa akan dikaji variasinya saja terhadap penyaluran ADD. ADD yaitu suatu alokasi dana yang diambilkan dari dana perimbangan dikurangi belanja pegawai dan minimal 10 persen dipergunakan untuk desa. Tujuan disalurkannya ADD antara lain adalah untuk menanggulangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan, pemberdayaan masyarakat, meningkatkan pembangunan infrastruktur perdesaan,
meningkatkan
pelayanan
pada
masyarakat
desa
dalam
rangka
pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat serta mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat. Memperhatikan tujuan ini, dapat diketahui bahwa penyaluran ADD di era desentralisasi fiskal saat ini sangat penting bagi pemerintahan desa dalam mendorong kemajuan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Bahkan fakta empiris membuktikan bahwa hampir sebagian besar pemerintah desa mengandalkan ADD dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Persoalannya sekarang, walaupun ADD sudah diatur dengan jelas dan tegas dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa beserta peraturan pelaksanaannya, namun belum semua Pemerintah Daerah (baru sekitar 60 persen) yang memberikan Alokasi Dana Desa kepada Desa. Bagi Pemerintah Daerah yang sudah memberikan ADD, itu pun masih ada juga yang tidak sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa beserta peraturan pelaksanaannya. Sebagai contoh, Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 huruf c jelas menyebutkan bahwa bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10 persen yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa. Namun dalam kenyataannya masih ada berbagai variasi penyaluran ADD yang tidak sesuai
4
ketentuan, seperti: DAU-Belanja Pegawai, persentasenya kurang dari 10 persen, pelaksanaannya diatur secara rigid oleh Pemerintah Daerah, dan sebagainya. Memperhatikan permasalahan di atas, pengaturan ADD yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Desa adalah sangat tepat. Disamping untuk meningkatkan ”status” pengaturannya dari Peraturan Pemerintah ke Undang-Undang, tentu saja hal ini akan meningkatkan efektifitas pelaksanaan ADD. Persoalannya sekarang, penyaluran ADD yang efektif baru berjalan 5 tahun ini belum dievaluasi dengan metoda ilmiah mengenai dampaknya terhadap perekonomian daerah termasuk dalam penurunan penduduk miskin. Evaluasi ini sangat penting dilakukan, karena berbagai alasan. Pertama, untuk mengetahui dampak ADD dalam mengentaskan kemiskinan dan perekonomian daerah. Kedua, sebagai bahan masukan penyempurnaan substansi ADD dalam RUU Desa dalam rangka untuk mewujudkan komitmen pemerintah yang selalu pro job, pro poor, dan pro environment. Berdasarkan hal di atas, penelitian mengenai Dampak Alokasi Dana Desa pada Era Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia ini menjadi sangat penting karena beberapa alasan. Pertama, penelitian tentang desentralisasi fiskal selama ini hanya mengedepankan variabel fiskal di daerah, sedangkan variabel desa, seperti ADD, pemekaran desa, tenaga kerja pertanian dan kemiskinan di desa kurang dipertimbangkan dalam model penelitian. Memperhatikan kenyataan ini dengan berbagai keterbatasan yang ada, penelitian ini mencoba meneliti keterkaitan antara variabel fiskal daerah dan desa dalam meningkatkan perekonomian daerah. Kedua, penelitian ini ingin membuktikan dengan metoda ilmiah serta sekaligus memberikan ”setitik pencerahan”, bahwa peningkatan perekonomian desa melalui ADD dan penataan wilayah Desa mempunyai peranan yang sangat strategis dalam meningkatkan perekonomian daerah, khususnya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah, produk domestik regional bruto, penyerapan tenaga kerja, mengurangi penduduk miskin dan mengurangi kesenjangan antar wilayah. Ketiga, penelitian ini ingin mendorong para pengambil kebijakan untuk melakukan reformasi perdesaan, baik reformasi pemahaman dan tindakan mengenai arti pentingnya desa dalam meningkatkan perekonomian daerah, khususnya dalam rangka mempercepat tujuan penyelenggaraan Otonomi Daerah. Keempat, sebagai bahan evaluasi Pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Kelima, sebagai bahan masukan dalam pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah dan Rancangan Undang-Undang tentang Desa beserta peraturan pelaksanaannya yang saat ini sedang berjalan.
5
1.2. Perumusan Masalah Perubahan sistem penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dari yang bersifat sentralistis ke sistem yang bersifat desentralistis diharapkan akan semakin mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah Daerah diharapkan akan lebih mampu untuk mengakomodir berbagai kepentingan lokal baik dalam urusan pemerintahan, pembangunan maupun pemberdayaan masyarakat yang ada di wilayahnya. Pemerintah Daerah dengan fungsi otorisasi dalam pengelolaan anggaran, diharapkan akan lebih baik dalam melakukan perencanaan, pengawasan, pengalokasian, pendistribusian serta dalam menjaga stabilisasi dan pertumbuhan perekonomian yang ada di wilayahnya. Menurut Mardiasmo (2004), di era desentralisasi fiskal ini ada kecenderungan para decision maker di daerah kurang memahami mengenai cost awareness (kesadaran atas uang publik). Hal ini antara lain
tercemin dari tingginya belanja rutin yang
mengakibatkan berkurangnya belanja pembangunan dan tingginya belanja lain-lain (miscellaneous).
Banyak
Pemerintah
Daerah
saat
ini
menghadapi
berbagai
permasalahan, seperti pendapatan asli daerah yang rata-rata kecil, Pemerintah Daerah lebih banyak bergantung kepada DAU, anggaran belanja daerah yang lebih besar bila dibanding dengan besarnya pendapatan asli daerah, lebih besarnya belanja rutin bila dibanding dengan belanja pembangunan, serta lebih besarnya belanja pembangunan untuk kota dibanding untuk desa. Akibat dari permasalahan ini tentu akan memperlambat tujuan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam menurunkan jumlah penduduk miskin. Pada tahun 1976 misalnya, jumlah penduduk miskin mencapai 54.2 juta, selanjutnya 4 windu kemudian, yaitu tahun 2009 jumlah penduduk miskin masih sekitar 32.2 juta (Arifin, 2005; BPS, berbagai tahun). Artinya secara ”kasar” penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia kurang lebih hanya 1.5 persen per tahun. Berdasarkan laporan dari World Bank (2008) diketahui bahwa pada tahun 2002 tiga dari empat orang penduduk miskin di dunia atau sekitar 883 juta jiwa tinggal diwilayah perdesaan. Demikian juga di Indonesia, kurang lebih 64 persen penduduk miskin itu ada di perdesaan (BPS, 2010). Secara garis besar jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan di Indonesia Tahun 1976-2004 dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
6
Tabel 1. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan di Indonesia, Tahun 1976-2004 Tahun
Garis Kemiskinan Rp/kapita/bln
Penduduk di bawah garis Kemiskinan Jumlah (Juta)
Kota Desa 1976 4.522 2.849 1978 4.969 2.981 1980 6.831 4.449 1981 9.777 5.877 1984 13.731 7.746 1987 17.381 10.294 1990 20.614 13.295 1993 27.905 18.244 1996 38.246 27.413 1999 92.409 74.272 2001 100.110 80.382 2004 143.455 108.725 Sumber: Arifin, 2005 (diolah)
Kota 10.0 8.3 9.5 9.3 9.3 9.7 9.4 8.7 7.2 15.7 8.6 11.4
Desa 44.2 38.9 32.8 31.3 25.7 20.3 17.8 17.2 15.3 32.7 29.3 24.8
K+D 54.2 47.2 42.3 40.6 35.0 30.0 27.2 25.9 22.5 48.4 38.7 37.9
Persentase (%) Kota 38.8 30.8 29.0 28.1 23.1 20.1 16.8 13.5 9.7 19.5 9.8 14.5
Desa 40.4 33.4 28.4 26.5 21.2 16.1 14.3 13.8 12.3 26.1 24.8 21.1
K+D 40.1 33.3 28.6 26.9 21.6 17.4 15.1 13.7 11.3 23.5 18.4 18.2
Memperhatikan permasalahan lambatnya penurunan jumlah penduduk miskin serta sebagian besar jumlah penduduk miskin itu ada di perdesaan, maka perlu suatu strategi yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun sekaligus tetap menjaga pemerataan (growth with equity) dalam rangka menghindari hipotesis U terbalik dari Kuznets yang menekankan adanya tradeoff antara pertumbuhan dan pemerataan. Pengalaman di China membuktikan bahwa keberhasilan reformasi fiskal karena diikuti dengan reformasi perdesaan. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi meningkat walaupun kesenjangan antar daerah masih meningkat (Lin dan Liu, 2000). Selanjutnya bagaimana dengan reformasi fiskal di Indonesia? Kebijakan Pemerintah dalam rangka meningkatkan perekonomian nasional dan daerah, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan pemerintah China, termasuk dalam menurunkan jumlah penduduk miskin di perdesaan. Kalau di China dengan memberikan ”anggaran khusus” sedangkan kalau di Indonesia dengan menetapkan aturan mengenai Alokasi Dana Desa (ADD) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Pokok
permasalahannya sekarang kalau di China keberhasilan reformasi fiskal yang diikuti reformasi perdesaan tersebut didukung penuh oleh pemerintah daerahnya, sedangkan kalau di Indonesia apakah semua daerah sudah menyalurkan ADD tersebut? Bila memperhatikan Gambar 1. tentang perbandingan
ADD riil dengan ADD yang
seharusnya ternyata ada gap yang sangat lebar antara ADD yang sudah disalurkan (ADD riil) dengan ADD yang seharusnya (dana perimbangan dikurangi belanja
7
pegawai minimal 10 persen untuk desa atau ADD = (DP-PLBPG)*0.10). Secara jelas hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: Ditjen PMD, 2005-2009 (diolah) Gambar 1. Perbandingan ADD Riil dan ADD Seharusnya Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 72/2005 tentang Desa
Dari Gambar 1 di atas, jelas bahwa penyaluran ADD saat ini masih jauh dari aturan yang telah ditetapkan. Mengapa hal ini dapat terjadi? Apakah kecilnya penyaluran ADD yang efektif baru berjalan 5 tahun ini lebih disebabkan oleh sistem, yakni pengaturan ADD yang bukan ditetapkan dengan Undang-undang tetapi dengan Peraturan Pemerintah sehingga tidak memungkinkan ada sanksi bagi daerah yang tidak melaksanakan? Atau karena para decision maker di daerah masih ragu atau belum paham mengenai arti penting ADD, yaitu apakah ADD akan memberikan arah yang benar dan signifikan terhadap peningkatan kinerja fiskal dan perekonomian daerah, antara lain dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, penurunan jumlah penduduk miskin? Selanjutnya bagaimana dampak yang akan terjadi seandainya semua daerah minimal memberikan ADD sebesar 10 persen sesuai ketentuan terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah, termasuk dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan dan kesenjangan antar daerah? Apakah ketentuan penyaluran ADD minimal 10 persen yang diberlakukan sekarang ini sudah tepat atau perlu pemihakan (affirmative), baik prosentase ataupun wilayahnya? Bagaimana seandainya ADD disalurkan secara rupiah, apakah dampaknya akan berbeda dengan penyaluran secara persentase?Bagaimana peran penataan desa dalam mengoptmalkan ADD?Penyaluran ADD yang bagaimana yang seharusnya di atur sehingga mampu meningkatkan perekonomian daerah?
8
Pertanyaannya selanjutnya sekarang bagaimana untuk menjawab semua pertanyaan di atas, kalau kebijakan penyaluran ADD sampai saat ini belum pernah dievaluasi secara komprehensif dengan menggunakan metode ilmiah. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada berbagai permasalahan di atas, dengan maksud agar pengaturan mengenai penyaluran ADD
ke depan dapat
lebih optimal untuk
mendorong kinerja fiskal dan perekonomian daerah, termasuk dalam menurunkan jumlah penduduk miskin dan kesenjangan antar daerah.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Meneliti dampak alokasi dana desa (ADD) di era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah di Indonesia. 1.3.2. Tujuan Khusus 1.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal daerah dan kinerja perekonomian daerah dalam hubungannya dengan kebijakan alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal
2.
Mengevaluasi dampak alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal daerah, kinerja perekonomian daerah, dan upaya mengurangi kemiskinan serta kesenjangan antar daerah dari tahun 2007-2009
3.
Merumuskan rekomendasi alternatif kebijakan yang dapat digunakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai kebijakan alokasi dana desa dalam mendorong kinerja fiskal daerah, kinerja perekonomian daerah dan upaya mengurangi kemiskinan serta kesenjangan antar daerah.
1.4. Manfaat Penelitian 1.
Bagi Pemerintah dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Desa dan peraturan pelaksanaannya, khususnya pengaturan mengenai alokasi dana desa dan penataan wilayah desa.
2.
Bagi Pemerintah Daerah dapat dijadikan bahan pertimbangan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
9
3.
Sebagai bahan pertimbangan untuk akselerasi pencapaian tujuan nasional dan tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.
4.
Bagi para perencana pembangunan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rencana strategis pembangunan nasional, daerah dan desa dalam mengembangkan perekonomian nasional, daerah dan desa.
5.
Mendorong semangat para penyelenggara Pemerintahan untuk semakin menyadari bahwa desa sebagai sebuah “sub sistem” mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mendorong
keberhasilan
penyelenggaraan
“sistem”
pemerintahan,
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat baik nasional, regional maupun lokal. 6.
Bagi mahasiswa dan peneliti diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan rujukan maupun perbandingan dalam menganalisis berbagai permasalahan di era desentralisasi fiskal dalam hubungannya dengan peningkatan perekonomian desa.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Dampak alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah di Indonesia menjadi topik utama penelitian. Penelitian ini ruang lingkupnya difokuskan pada dampak ADD terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Penetapan tahun 2005 sampai dengan tahun 2009
ini dikarenakan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang ADD baru
ditetapkan pada tahun 2005, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Selanjutnya karena keterbatasan dalam pengumpulan data, seperti data alokasi dana desa, jumlah desa dan pengeluaran menurut sektor maka data yang dianalisis hanya dibatasi sampai dengan tahun 2009. Simulasi dibatasi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009, karena berdasarkan data yang ada untuk tahun 2005 belum ada daerah yang melaksanakan alokasi dana desa sedangkan untuk tahun 2006 masih sangat sedikit sekali daerah yang sudah melaksanakan. Sebagai ”langkah awal” untuk memahami mengenai arti penting alokasi dana desa dalam penyelenggaraan pembangunan desa, daerah dan nasional, penelitian ini penting untuk segera dilakukan walaupun mengalami keterbatasan cakupan, skala anggaran serta efektifitas kebijakan yang baru berjalan. Dibatasi ruang lingkupnya pada faktor-faktor penting dalam kebijaksanaan fiskal, seperti penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan asli daerah, dana alokasi
10
umum, bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak. Sedangkan dari sisi pengeluaran daerah, akan dianalisis tentang belanja pembangunan sektor Pertanian, belanja pembangunan sektor industri, belanja pembangunan sektor infrastruktur serta penyaluran bantuan dari dana perimbangan untuk Desa dari Kabupaten/Kota yang diagregasi ditiap-tiap Provinsi atau yang lebih dikenal dengan alokasi dana desa (ADD). Dari sisi perekonomian daerah hanya diteliti mengenai produk domestik regional bruto sektor pertanian, produk domestik regional bruto sektor non pertanian, produk domestik regional bruto,
produk domestik regional bruto per kapita,
pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian, kemiskinan di perkotaan, kemiskinan di perdesaaan dan kesenjangan antar daerah. Dibatasi pada model ekonomi tertutup karena ketiadaan data ekspor impor di setiap Provinsi. Dampak alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah menurut Provinsi di Indonesia, sehingga pengklasifikasian Tipologi Klasennya berdasarkan Provinsi sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melakukan analisis secara lebih mendalam. Selanjutnya simulasi dibatasi pada dampak diberikannya alokasi dana desa secara nasional dan menurut pengelompokan Tipologi Klassen. Dalam rangka mengatasi kesenjangan antar daerah hanya akan dilakukan upaya simulasi dengan skenario penataan wilayah desa,khususnya penambahan desa. Selanjutnya variabel perdesaan yang diteliti hanya dibatasi pada variabel ADD, penambahan desa, penyerapan tenaga kerja pertanian dan kemiskinan di perdesaan yang merupakan data agregasi data Kabupaten/Kota di dalam Provinsi tersebut. Sedangkan untuk variabel penyerahan urusan dari Kabupaten/Kota kepada Desa tidak dikaji dalam penelitian ini.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Desentralisasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Muluk, 2007). Dengan kata lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia di era otonomi daerah ini tidak mungkin ada daerah yang bersifat staat, tetapi yang ada adalah hubungan hukum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Desentralisasi adalah azas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan
sentralisasi.
Desentralisasi
menghasilkan
pemerintahan
lokal
(local
government), dimana terjadi “….a “superior”government assigns responsibility, authority, or function to “lower” government unit that is assumed to have some degree of authority”. Selanjutnya World Bank mendefinisikan Desentralisasi sebagai transfer kewenangan dan tanggungjawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada pemerintahan menengah dan lokal atau organisasi pemerintahan quasi-independent dan atau kepada sektor swasta (Green, 2002). Azas Desentralisasi dianut agar kebijaksanaan pemerintah tepat sasaran, dalam arti sesuai dengan kondisi wilayah serta masyarakat setempat (Imawan, 2002). Selanjutnya menurut Imawan (2002), bentuk konkret dianutnya azas desentralisasi adalah adanya daerah otonom. Ciri utama dari daerah Otonom adanya lembaga perwakilan daerah dan eksekutif yang berfungsi sebagai lembaga politik lokal. Menurut Kaho (1988), sistem desentralisasi memiliki keuntungan dan kelemahan. Keuntungannya antara lain adalah: 1.
Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di Pusat Pemerintahan
2.
Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, Daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari Pemerintah Pusat.
3.
Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan.
12
4.
Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (differensiasi) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi territorial, dapat lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan atau keperluan dan kedaan khusus daerah.
5.
Dengan adanya desentralisasi territorial, Daerah Otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh Negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan di seluruh wilayah Negara, sedangkan yang kurang baik, dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih mudah untuk ditiadakan.
6.
Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
7.
Dari segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan bagi daerahdaerah karena sifatnya yang lebih langsung.
Sedangkan kelemahan sistem desentralisasi antara lain adalah: 1. Karena besarnya organ-organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi; 2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan Daerah dapat lebih mudah terganggu; 3. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau provisilisme; 4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama karena memerlukan perundingan yang bertele-tele; 5. Dalam menyelenggarakan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman/uniformitas dan kesederhanaan.
Menurut beberapa ahli sistem desentralisasi adalah sistem pemerintahan yang paling sesuai dengan kondisi geografis dan politis di Indonesia. Oleh karena dengan penggunaan sistem desentralisasi tersebut akan meringankan beban dan tugas Pemerintah Pusat, meratakan tanggungjawab, lebih cepat dalam memobilisasi potensi masyarakat banyak buat kepentingan
umum serta akan mempertinggi efektivitas dan
efisiensi dalam pengurusan kepentingan daerah (Sumardjan, 1966; Musanef, 1982). Pemahaman ini, sejalan yang dikatakan Tiebout (1956) dalam sistem desentralisasi seharusnya
penyelenggaraan
pemerintahan
akan
lebih
efektif
dan
efisien.
13
Penyelenggaraan pemerintahan akan semakin dekat dengan masyarakat, karena berbagai kebutuhan masyarakat akan lebih terakomodir dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah setempat. Memperhatikan hal ini era desentralisasi seharusnya membawa Pemerintah dan Pemerintah Daerah lebih dekat dengan masyarakatnya dan akan membawa peningkatan kualitas pelayanan publik.
2.2. Desentralisasi Fiskal Desentralisasi terjadi dalam berbagai bidang, tidak hanya dibidang politik namun juga terjadi dibidang ekonomi atau yang lebih dikenal dengan nama desentralisasi fiskal. Menurut Kumorotomo (2008) desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai penyerahan sebagian dari tanggungjawab fiskal atau keuangan negara dari pemerintah pusat kepada jenjang pemerintahan di bawahnya (provinsi, kabupaten atau kota). Dengan demikian gagasan dasar dari desentralisasi fiskal ialah penyerahan beban tugas pembangunan, penyediaan layanan publik dan sumberdaya keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sehingga tugas-tugas itu akan lebih dekat ke masyarakat. Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan (Bahl, 1999). Selain itu di era desentralisasi fiskal harus pula mempertimbangkan terjadinya instabilitas ekonomi makro di daerah (Sumarsono dan Utomo, 2009). Dari pemahaman di atas jelas bahwa desentralisasi fiskal memegang peranan yang sangat penting di era otonomi daerah. Oleh karena itu menurut Bahl (1999), ada 3 (tiga) argumentasi penting yang harus diperhatikan di era desentralisasi fiskal. Pertama, jika unsur-unsur belanja,
tingkat pajak dan pinjaman ditentukan pada jenjang
pemerintahan yang lebih dekat ke masyarakat, layanan publik di daerah memang akan dapat diperbaiki dan seharusnya masyarakat akan lebih puas dengan layanan yang diberikan pemerintah daerah, oleh karena itu perlu ada pengawasan dari Pemerintah Pusat. Kedua, dengan desentralisasi fiskal dan fleksibilitas kebutuhan pemerintah daerah akan dapat saling bersaing untuk melakukan yang terbaik bagi rakyatnya yang akhirnya akan mempengaruhi stabilitas secara keseluruhan. Dalam memobilisasi sumberdaya. akan bertambah baik karena pihak pemerintah daerah dapat lebih tanggap dan mudah menarik pajak dari sektor-sektor ekonomi yang tumbuh cepat jika dibanding pemerintah pusat. Bagi negara seperti Indonesia yang kondisi geografisnya merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan kondisi sosial dan ekonomi daerah yang beragam.
14
Dengan pemberian tanggungjawab dalam pengelolaan keuangan yang lebih besar diharapkan mobilisasi sumberdaya akan dapat dilakukan dengan lebih baik. Bahkan seharusnya desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah sub nasional/pemerintah daerah akan lebih efisien dalam berproduksi dan penyediaan barang-barang publik (Oates, 2006; Pujiati, 2006; Wibowo, 2008). Menurut Bird (2000), ada 3 (tiga) variasi desentralisasi fiskal dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan daerah. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggungjawab yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah. Kedua, delegasi berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan berada di daerah. Selanjutnya menurut Bird (2000), pendekatan desentralisasi dapat dibedakan dari bawah ke atas (bottom up) dan dari atas ke bawah (top down). Pendekatan desentralisasi dari bawah ke atas umumnya menekankan nilai politis, misalnya perbaikan pemerintahan dalam kaitannya dengan kemauan menerima saran dan
partisipasi
politik
lokal
dan
efisiensi
alokasi
dalam
arti
perbaikan
kesejahteraan.Dengan demikian dari pendekatan dari bawah ke atas ini, desentralisasi fiskal tidak hanya menghasilkan pengadaan pelayanan yang efisien dan adil melalui pemanfaatan pengetahuan lokal tetapi juga akan merangsang partisipasi demokrasi yang lebih besar. Sedangkan pendekatan dari atas ke bawah dasar pemikirannya adalah untuk meringankan beban pusat ke bawah. Langkah ini ditempuh dalam rangka untuk mencapai tujuan alokasi yang lebih efisien melalui pendelegasian atau desentralisasi kewenangan ke daerah. Dengan demikian dari sudut pandang pendekatan dari atas ke bawah sebenarnya tujuan dilakukannya desentralisasi fiskal adalah untuk membantu Pemerintah dalam rangka mencapai tujuan kebijaksanaan nasional. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia dimulai pada tahun 2001. Sejak diterapkannya sistem desentralisasi fiskal maka secara umum terdapat perubahan kewenangan dalam pengelolaan pengeluaran dan penerimaan anggaran. Pemerintah daerah memiliki otorisasi yang lebih
luas dalam mengelola pengeluaran maupun
penerimaannya, oleh karena itu sistem desentralisasi fiskal sebenarnya juga semakin memperbesar kewenangan daerah untuk merencanakan, menganggarkan dan
15
mengendalikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dengan demikian desentralisasi fiskal akan semakin memberikan manfaat apabila ada kemampuan finansial daerah otonom yang bersangkutan. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa sumber penerimaan pemerintah daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah: pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana bagi hasil (DBH), pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Desentralisasi fiskal seharusnya juga memberikan harapan dan manfaat seperti perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengentasan orang miskin, manajemen ekonomi makro yang lebih baik serta sistem tata pemerintahan (governance) yang baik (Kumorotomo, 2008). Menurut Sasana (2009), Desentralisasi fiskal diperlukan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilisasi dana. Dengan kata lain, penyaluran otonomi daerah melalui desentralisasi fiskal terkandung 3 (tiga) misi utama, yaitu (a) menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumberdaya daerah; (b) meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat; (c) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
2.3. Sumber Penerimaan Daerah Sumber penerimaan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Sedangkan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dapat diketahui bahwa pendapatan asli daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Di era desentralisasi fiskal ini, dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
16
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Salvatore dan Diulio (2003), pajak akan mengurangi pendapatan disposabel perorangan dan karenanya juga mengurangi konsumsi dan pengeluaran agregat, sementara belanja pemerintah meningkatkan pengeluaran agregat. Kenaikan penerimaan pajak lump-sum neto, ceteris paribus, akan menggeser kurva pengeluaran agregat ke bawah menjadi (C+I+Xn+G)’, karena pajak yang lebih besar mengurangi pendapatan disposabel konsumen dan karenanya juga akan mengurangi pengeluaran konsumen pada setiap tingkat output. Sebaliknya belanja pemerintah, ceteris paribus, menggeser kurva pengeluaran agregat ke atas menjadi (C+I+Xn+G)”. Selanjutnya pengaruh belanja pemerintah dan pajak yang dipungut pemerintah terhadap pengeluaran agregat ditunjukkan pada Gambar 2 dibawah ini dalam bentuk pergeseran kurva pengeluaran agregat (C+I+Xn+G):
C, I, Xn, G (C+I+Xn+G)” (C+I+Xn+G) (C+I+Xn+G)’
450
0
Y
Sumber: Salvatore dan Diulio, 2003 Gambar 2. Pengaruh Belanja Pemerintah dan Pajak Terhadap Pengeluaran Agregat Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau penyaluran izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa jenis pajak provinsi terdiri atas 5 jenis pajak, yaitu: pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan dan pajak rokok. Sedangkan pajak Kabupaten/Kota terdiri atas 11 jenis pajak, yaitu: pajak
17
hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sedangkan dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa terdapat 3 obyek retribusi, yaitu : jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu. Obyek retribusi jasa umum terdiri dari 14 jenis retribusi, yaitu retribusi pelayanan kesehatan, pelayanan persampahan/kebersihan, penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan sipil, pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat, pelayanan parkir di tepi jalan umum, pelayanan pasar, pengujian kendaraan bermotor, pemeriksaan alat pemadam kebakaran, penggantian biaya cetak Peta, penyediaan dan/atau penyedotan kakus, pengolahan limbah cair, retribusi pelayanan tera/tera ulang, pelayanan pendidikan dan pengendalian menara telekomunikasi. Dalam Pasal 127 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009, yang dikelompokkan dalam obyek retribusi jasa usaha ada 11 jenis retribusi, yaitu: pemakaian kekayaan daerah, pasar grosir dan/atau pertokoan, tempat pelelangan,terminal,tempat khusus parkir, tempat penginapan /pesanggrahan/ villa, rumah potong hewan, pelayanan kepelabuhan, tempat rekreasi dan olahraga, penyeberangan di Air dan penjualan produksi usaha daerah.Sedangkan Dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, disebutkan bahwa obyek retribusi perizinan tertentu terdiri dari 5 jenis retribusi, yaitu retribusi: izin mendirikan bangunan, tempat penjualan minuman berakhohol, izin gangguan, izin trayek dan izin usaha perikanan. Selanjutnya yang dimaksud dengan lain-lain PAD yang sah meliputi: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 (Departemen Dalam Negeri, 2005b) menyebutkan bahwa Dana Perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari pajak dan sumberdaya alam, yang bersumber dari pajak terdiri atas: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Sedangkan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumberdaya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi.
18
Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dibagi antara daerah Provinsi, daerah Kabupaten/Kota dan Pemerintah. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 diatur bahwa Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian: (a) 16,2 persen untuk daerah provinsi yang bersangkutan; (b) 64,8 persen untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; dan (c) 9% untuk biaya pemungutan. Selanjutnya 10 persen bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan 65 persen dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota dan 35 persen dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. Dana bagi hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan 64 persen untuk daerah kabupaten/kota penghasil. Sedangkan 20 persen bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten/Kota. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang PPh, mulai tahun anggaran 2001 daerah memperoleh bagi hasil dari pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax). Menurut Sidik (2002), maksud ditetapkannya PPh perorangan sebagai objek bagi hasil adalah untuk kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki Sumberdaya alam tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21yang merupakan bagian daerah adalah 20 persen. Dimana dana bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21 dibagi dengan imbangan 60 persen untuk Kabupaten/Kota dan 40 persen untuk Provinsi. 2.4. Dana Alokasi Umum Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya dan bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 (Departemen Dalam Negeri, 2005a) menyebutkan bahwa dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil (DBH), dana alokasi
19
umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Secara konseptual, DAU sebenarnya merupakan bentuk lain dari subsidi daerah otonom (SDO) dan dana Inpres sebelum era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, ditetapkan bahwa jumlah keseluruhan DAU kurang lebih adalah 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto (penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagi hasilkan kepada daerah) yang ditetapkan dalam APBN. Dengan adanya dana alokasi umum (DAU), bagi daerah hal ini merupakan sumber pendapatan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya. DAU ditentukan dengan menggunakan pendekatan celah fiskal (fiscal gap), dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah atau kemampuan fiskal (fiscal capacity). Kebutuhan daerah (fiscal needs) suatu daerah antara lain dipengaruhi oleh variabel: jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, total area dan kondisi geografis. Suatu daerah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang besar apabila daerah tersebut memiliki jumlah penduduk yang besar, jumlah penduduk miskin yang banyak, total area yang luas serta kondisi geografis yang sulit. Dalam perhitungan, jumlah penduduk dan luas wilayah dapat diketahui dengan pasti, selanjutnya untuk jumlah penduduk miskin pendekatannya menggunakan konsep kemiskinan dengan ukuran poverty line, sedangkan untuk kondisi geografis didekati dengan indeks konstruksi. Kemampuan fiskal (fiscal capacity) diukur berdasarkan produk domestik regional bruto (PDRB), potensi industri (diukur dengan PDRB sektor non-primer), potensi sumberdaya alam (diukur dengan PDRB sektor primer) dan potensi sumberdaya manusia (diukur dengan angkatan kerja). Dengan demikian apabila suatu daerah mempunyai PDRB yang tinggi, aktivitas industri dan jasa yang besar, kaya sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang berkualitas dapat dipastikan akan menerima DAU yang relatif kecil (Dartanto dan Brodjonegoro,
2003). Dana Alokasi Umum
dipergunakan untuk menutup celah fiskal yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap ini, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini daerah yang
20
potensi daerahnya melebihi kebutuhan daerahnya, dapat dipastikan hitungan DAUnya akan negatif (Sidik, 2002). Secara lebih jelas dapat dikemukakan bahwa DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal diperoleh dari kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal. Dimana yang dimaksud dengan kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum, seperti penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan infrastruktur dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Setiap kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum tersebut diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, produk regional bruto per kapita dan indeks pembangunan manusia. Arti penting dari variabel jumlah penduduk ini karena merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap daerah. Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah. Indeks kemahalan konstruksi merupakan cerminan tingkat kesulitan geografis yang dinilai berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara relatif antar daerah. Produk domestik regional bruto merupakan cerminan potensi dan akivitas perekonomian suatu daerah yang dihitung berdasarkan total seluruh output produksi kotor dalam suatu wilayah. Selanjutnya indeks pembangunan manusia (IPM) merupakan variabel yang mencerminkan tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas layanan dasar dibidang pendidikan dan kesehatan.Sedangkan kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi hasil. Selanjutnya untuk alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah (PNS). Menurut Dartanto dan Brojonegoro (2003), tujuan pengalokasian DAU selain dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah juga memiliki tujuan dalam kerangka pemerataan kemampuan fiskal tiap daerah (equalizing transfer) atau mengurangi ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) serta pemerataan dalam penyediaan pelayanan publik diantara pemerintah daerah di Indonesia.Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 juga menjelaskan bahwa proporsi DAU antara daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.
21
2.5. Pengeluaran oleh Pemerintah Keynes dalam tulisannya yang berjudul The General Theory (dalam Mankiw, 2006) menyatakan bahwa dalam jangka pendek pendapatan total perekonomian sangat ditentukan oleh keinginan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Selanjutnya menurut Mankiw (2006), karena belanja pemerintah adalah salah satu komponen pengeluaran, maka belanja pemerintah yang lebih tinggi mengakibatkan pengeluaran yang direncanakan yang lebih tinggi untuk semua tingkat pendapatan. Jika belanja pemerintah naik sebesar ∆G, maka kurva pengeluaran yang direncanakan bergeser ke atas sebesar ∆G, sehingga ekuilibrium bergerak dari titik A ke titik B dan pendapatan meningkat dari Y1 ke Y2. Secara lebih jelas hal ini dapat diperhatikan pada Gambar 3 dibawah ini:
Pengeluaran, E Pengeluaran Aktual
B
Pengeluaran yg direncanakan
∆G
E2=Y2 ∆Y
Pengeluaran yg direncanakan
E1=Y1
A
45o Y1 ∆Y Y2
Pendapatan, Output, Y
Sumber: Mankiw, 2006 Gambar 3. Hubungan Kenaikan Belanja Pemerintah Dengan Pengeluaran yang di Rencanakan Selanjutnya dari Gambar 3 di atas dapat diperhatikan bahwa kenaikan dalam pendapatan ∆Y melebihi kenaikan belanja pemerintah ∆G. Jadi kebijakan fiskal memiliki dampak pengganda terhadap pendapatan.
22
Pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah dapat dibedakan antara pengeluaran konsumsi pemerintah yang biasa disebut pengeluaran pemerintah atau government expenditure atau government purchase serta pengeluaran pemerintah yang disebut government transfer. Government expenditure meliputi semua pengeluaran pemerintah dimana pemerintah secara langsung menerima balas jasanya, seperti pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang/jasa serta pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai negeri. Sedangkan pengeluaran pemerintah yang termasuk government transfer adalah semua pengeluaran pemerintah dimana pemerintah tidak menerima balas jasa yang langsung misalnya, pembayaran subsidi/bantuan langsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat (Boediono, 1997; Reksoprayitno, 1992). Secara teoritik perkembangan teori makro mengenai pengeluaran pemerintah dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan yaitu (1) Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah; (2) Hukum Wagner mengenai perkembangan aktivitas pemerintah; (3) Teori Peacock dan Wiseman (Mangkoesoebroto, 1998). Menurut Mangkoesoebroto (1998), model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran
pemerintah
menghubungkan
yang
perkembangan
dikembangkan pengeluaran
oleh
Rostow
pemerintah
dan
dengan
Musgrave tahap-tahap
pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan berbagai prasarana dasar yang sangat diperlukan bagi pembangunan, misalnya sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, transportasi, kantor pemerintahan sebagai pusat pelayanan, dan sebagainya. Pada tahap menengah terjadi peningkatan persentase pengeluaran swasta, walaupun persentase pengeluaran investasi pemerintah masih cukup besar juga dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi untuk menuju tahap tinggal landas. Sedangkan dalam tahap lebih lanjut, pengeluaran pemerintah lebih diarahkan untuk aktivitas sosial seperti pelayanan kesehatan, program kesejahteraan hari tua dan sebagainya. Dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap GNP semakin besar dan persentase investasi pemerintah dalam persentase terhadap GNP akan semakin kecil. Sedangkan menurut Wagner dalam teorinya yang dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure” yaitu hukum mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah, mengemukakan bahwa apabila pendapatan perkapita dalam suatu perekonomian meningkat maka secara relatif
23
pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Selanjutnya berdasarkan pengamatan Wagner di negara Eropa, U.S. dan Jepang pada abad 19, dikemukakan bahwa pengeluaran pemerintah semakin besar dalam persentase terhadap GNP. Pengeluaran pemerintah yang semakin besar ini menurut Wagner dikarenakan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya. Hukum Wagner ini lebih banyak didasarkan pada teori organis pemerintah (organic theory of the state) dan teori ini dapat diformulasikan sebagai berikut:
PkPP1 PkPP2 PkPPn < < PPK1 PPK2 PPKn
dimana: PkPP1 PPK 1,2,...n
: Pengeluaran Pemerintah Per Kapita : Pendapatan per kapita : Jangka waktu
Secara lebih jelas hal ini ditunjukkan pada Gambar 4 : PkPP
Kurva1
PPK Kurva 2
0
1
2
3
4 Tahun
Sumber: Mangkoesoebroto, 1998 Gambar 4. Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner
Hukum Wagner di atas menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah berbentuk eksponensial seperti pada kurva 1 dan bukan seperti pada kurva 2.
24
Menurut Mangkoesubroto (1998), teori Peacock dan Wiseman mengemukakan adanya kenyataannya kecenderungan yang dilakukan oleh pemerintah untuk semakin memperbesar pengeluaran pemerintah sedangkan masyarakat ada kecenderungan untuk enggan membayar pajak, sedangkan besarnya pengeluaran pemerintah sangat ditentukan oleh besarnya penerimaan pemerintah. Apabila keadaan normal terganggu, misanya karena terjadi perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah untuk memenuhi pengeluarannya tersebut adalah meningkatkan penerimaannya dari pajak dengan cara meningkatkan tarif pajak. Akibatnya dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect), yaitu adanya suatu gangguan sosial yang menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Selain dengan menaikkan tarif pajak, untuk membiayai perang pemerintah terkadang juga harus meminjam dari negara lain. Akibatnya ketika perang telah selesai pemerintah tidak menurunkan tarif pajak pada tingkat sebelum terjadi perang, karena pemerintah harus membayar bunga pinjaman dan angsuran utang yang telah dipergunakan untuk membiayai perang. Dengan kata lain setelah terjadi perang pengeluaran pemerintah menjadi meningkat dan banyak aktivitas yang baru setelah terjadinya perang dan ini disebut dengan efek inspeksi (inspection effect). Bahkan dengan adanya perang atau gangguan sosial yang lain, menyebabkan berpindahnya konsentrasi kegiatan yang sebelum gangguan sosial dilaksanakan oleh pihak swasta berpindah ke pihak pemerintah. Hal ini disebut dengan efek konsentrasi (concentration effect). Ketiga efek di atas, berpengaruh pada aktivitas pemerintah. Dalam rangka memenuhi peningkatan pengeluaran pemerintah ini, salah satu upaya yang ditingkatkan adalah dari penerimaan pajak tersebut., Akibatnya ketika perang selesai atu gangguan sosial lainnya berhenti penerimaan pajak tetap dan yang terpenting dari teori ini dijelaskan bahwa kenaikan tarif pajak ini dimaklumi oleh masyarakat, sehingga ketika tingkat toleransi pajak naik tidak akan ada gangguan dalam masyarakat. Dalam keadaan normal dari tahun t ke t+1, pengeluaran pemerintah ditunjukkan oleh garis AG. Apabila pada tahun ke t terjadi perang maka pengeluaran pemerintah akan naik sebesar AC dan kemudian naik seperti ditunjukkan pada segmen CD. Kemudian ketika perang telah selesai (pada tahun t+1)
pengeluaran pemerintah tidak turun ke G (pada tingkat
perkembangan pengeluaran pemerintah ketika tidak terjadi perang). Hal ini disebabkan
25
pemerintah harus menyediakan dana untuk membayar utang dan bunga pinjaman. Secara lengkap hal ini dapat dilihat pada pada Gambar 5.
Pengeluaran Pemerintah/GDP F D C G pengeluaran pemerintah A Pengeluaran swasta
t
t+1
Sumber: Mangkoesoebroto, 1998 Gambar 5. Teori Peacock dan Wiseman
Berdasarkan teori di atas, diketahui kalau menurut Wagner perkembangan pengeluaran pemerintah berbentuk garis eksponensial sedang menurut Peacock dan Wiseman, berbentuk seperti tangga. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 6.
Pengeluaran Pemerintah/GDP Wagner, Solow, Musgrave
Peacock dan Wiseman
0
Tahun
Sumber: Mangkoesoebroto, 1998 Gambar 6. Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
26
2.6. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang (Boediono, 1992). Artinya dalam pertumbuhan ekonomi penekanannya pada 3 aspek utama yaitu: proses, output perkapita dan jangka panjang. Pertumbuhan output sendiri didapat melalui peningkatan input dan melalui peningkatan produktivitas dan melalui perkembangan teknologi. Menurut ekonom Solow dari MIT, fungsi produksi dapat dikatakan sebagai cara berpikir tentang hubungan input dan output. Diasumsikan bahwa dalam fungsi produksi yang akan dipakai adalah labor (L), kapital (K) dan kemajuan tekhnologi (A). Ini
adalah input yang paling penting menurut Solow.
Selanjutnya, semakin tinggi level teknologi maka akan semakin banyak output yang dihasilkan. Jadi pertumbuhan output dipengaruhi oleh input dan level dari teknologi. Secara ringkas dapat diformulasikan, Y= AF (K,L). Dalam model ini, suatu fungsi produksi bisa menampung berbagai kemungkinan substitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L). Dengan model Solow ini, masalah “ketidakstabilan” yang merupakan ciri warranted rate of growth dalam model Harrod-Domar dapat dihindari dan bahkan dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan mengenai distibusi pendapatan dalam proses pertumbuhan. Labor merupakan sumber daya manusia yaitu Human Capital (HC) yang produktif karena dapat menghasilkan produksi. Human Capital (HC) terbagi berdasarkan sifatnya produktif atau tidak. Produktif dalam arti menghasilkan sesuatu sedangkan tidak produktif sifatnya adalah mengkonsumsi sesuatu. Jadi HC itu ada yang berfungsi sebagai konsumen, adapula sebagai produsen. Semua HC tersebut menjadi faktor yang sama-sama mempengaruhi peningkatan PDRB. Konsumsi HC terhadap produk daerah akan memberikan pendapatan bagi industri daerah tersebut sehingga outputpun meningkat. Karena sifat dari HC ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka faktor ini dapat dimasukkan menjadi salah satu variabel independent yang mempengaruhi PDRB suatu daerah. Sehingga persamaannya menjadi; Y = A F(K,L,HC) Menurut Mankiw et al (1992), yang menggunakan model Solow untuk penelitiannya bagi daerah yang kaya dan yang miskin. Dimana daerah yang kaya dicirikan dengan tingkat tabungan yang tinggi sedang daerah yang miskin dicirikan dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, menemukan bukti bahwa daerah yang miskin tingkat pertumbuhan ekonominya lebih tinggi daripada daerah yang kaya.
27
Selanjutnya menurut beberapa ahli, model pertumbuhan ekonomi yang dianut Indonesia adalah model pertumbuhan ekonomi yang menitik beratkan pada stimulasi peningkatan pendapatan masyarakat melalui percepatan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang efisien dan dinamis tanpa memperhatikan dampak negatif yang terjadi terhadap masyarakat luas seperti terkurasnya sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan. Memperhatikan hal ini maka perlu adanya perencanaan pembangunan yang tepat dan memperhatikan daya dukung lingkungannya (Hadi, 2005). Kuznet (1955) sebenarnya sudah mempersoalkan pembangunan ekonomi yang menitik beratkan kepada pertumbuhan ekonomi, tetapi melupakan persoalan meluasnya kemiskinan, ketidak merataan dan meningkatnya pengangguran. Oleh karena itu tujuan dari pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula dapat mengurangi tingkat kemiskinan, kesenjangan pendapatan dan tingkat pengangguran (Todaro dan Smith, 2006; Sinaga, 2009).
2.7. Kemiskinan Desentralisasi mempunyai hubungan yang erat dalam pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu sistem desentralisasi sangat diperlukan
dalam mempercepat
pengentasan kemiskinan. Bahkan dengan sistem desentralisasi seharusnya dapat memberi ruang kepada penduduk miskin dengan meningkatan partisipasi yang lebih besar dalam proses politik dan pembangunan (Gunatilaka, 2001; Ahmad dan Tanzi, 2002), Indonesia sebenarnya telah mampu menurunkan jumlah penduduk miskin dari kurang lebih 70 juta penduduk miskin atau sekitar 60 persen dari total penduduk pada tahun 1970 menjadi hanya 54,4 juta jiwa atau 40 persen dari total penduduk pada tahun 1976 dan turun kembali menjadi 27.2 juta atau 15.1 persen pada tahun 1990 dan menurun lagi menjadi 25.9 juta penduduk miskin atau 13.67 persen pada tahun 1993. Selanjutnya pada tahun 1996, jumlah penduduk miskin menurun kembali jumlahnya menjadi 22.4 juta jiwa. Namun jumlah penduduk miskin ini meningkat kembali pada tahun 1998 ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi, yaitu sekitar 79.4 juta penduduk miskin (Kartasasmita, 1997; Sumodiningrat, 1998). Di era desentralisasi, jumlah penduduk miskin di Indonesia terus menurun. Pada tahun 2010 BPS melaporkan adanya penurunan penduduk miskin di Indonesia, yaitu jumlah penduduk miskin menjadi 13.3 persen atau 32 juta jiwa. Selanjutnya pada pertengahan bulan Maret tahun 2011, BPS kembali mencatat jumlah penduduk miskin
28
menurun kembali menjadi 30.02 juta orang (12.49%). Sedangkan pada Triwulan III tahun 2011 jumlah penduduk miskin turun kembali menjadi 29.28 juta orang (12.36%) atau turun sekitar 0.13 juta orang dibandingkan pada bulan Maret 2011. Apabila diperbandingkan antara jumlah penduduk miskin di perkotaan
dan
diperdesaan, dapat diketahui bahwa penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan juga menurun. Penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang dari 11.05 juta orang pada bulan Maret 2011 menjadi 10.95 juta orang pada Triwulan III tahun 2011 atau berkurang 0.09 juta orang. Sedangkan untuk daerah perdesaan, pada bulan Maret 2011 jumlah penduduk miskin masih sebanyak 18.97 juta orang dan pada bulan September 2011 turun menjadi 18.94 juta orang atau turun 0.04 juta orang. Kemiskinan dapat diukur dalam berbagai sudut pandang. Menurut Kartasasmita (1997), kemiskinan dapat dibedakan dalam kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kondisi kemiskinan yang terburuk, yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup dan martabat kemanusiaan. Kemiskinan relatif, adalah perbandingan antara suatu golongan pendapatan dan golongan lainnya. Menurut Sumodiningrat (1998), berdasarkan penyebabnya kemiskinan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu: kemiskinan natural (alamiah), kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan natural (alamiah) adalah keadaan kemiskinan yang disebabkan memang dari asalnya miskin, tidak mempunyai sumberdaya yang memadai, baik itu sumberdaya manusia, sumberdaya alam maupun sumberdaya pembangunan lainnya. Sedangkan kemiskinan kultural lebih banyak disebabkan oleh sikap hidup seseorang atau masyarakat, seperti gaya hidup, kebiasaan hidup maupun budayanya. Selanjutnya yang dimaksud kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebakan oleh hasil pembangunan yang tidak seimbang. Menurut Kartasasmita (1996), dari sudut pandang pola waktunya, kemiskinan dapat diklasifikasikan menjadi: (a) persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Kemiskinan seperti ini biasanya terjadi pada daerah-daerah yang kritis sumberdaya alam; (b) cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan; (c) seasonal poverty, adalah kemiskinan musiman yang sering dijumpai seperti pada kasus nelayan dan pertanian tanaman pangan; dan (d) accident poverty, adalah kemiskinan yang tercipta karena adanya bencana alam, konflik, dan kekerasan atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Selanjutnya
29
menurut Kartasasmita (1996), kemiskinan juga dapat dikaji berdasarkan keadaan penduduk dan potensi wilayah. Berdasarkan keadaan penduduk, penentuan penduduk kemiskinan didasarkan pada garis kemiskinan, sedangkan berdasarkan potensi wilayah dapat digunakan untuk menentapkan daerah atau desa yang tertinggal. Bahkan apabila dikaji secara lebih mendalam, terdapat hubungan yang erat antara kemiskinan dengan daerah atau desa yang miskin. Oleh karena itu pengentasan kemiskinan sebenarnya tidak terlepas pula dari pengentasan penduduk miskin melalui berbagai program yang ada serta perlu disinergikan dengan upaya-upaya pengembangan daerah atau desa tertinggal.
Kenyataan ini dikung pula oleh Penny (1990), bahwa dalam sistem pasar
seperti saat ini, peningkatan kemiskinan juga sangat tergantung pada situasi dan kondisi sosio-kultural dari daerah atau desa yang bersangkutan. Dalam penelitiannya di Sriharjo, Imogiri, Yogyakarta dan di Sukamulia, Sumatera Utara, Penny (1990) menemukan bukti
bahwa daerah di Sriharjo yang dicirikan oleh daerah yang lebih
terbuka masyarakatnya, ternyata dalam sistem pasar seperti ini mengalami dampak bertambahnya jumlah penduduk miskin sedangkan bagi masyarakat di Sukamulia tidak demikian, karena masyarakatnya jauh lebih subsisten. Dalam rangka mengatasi persoalan kemiskinan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah telah berupaya dengan berbagai kebijaksanaan strategis. Dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan memberdayakan masyarakat. Dalam memberdayakan masyarakat, upaya yang ditempuh adalah untuk memampukan dan memandirikan masyarakat melalui 3 (tiga) cara yaitu: Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan serta pembukaan akses sehingga masyarakat akan semakin berdaya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi, yaitu
melindungi yang lemah atau miskin
(Kartasasmita, 1997).
2.8. Kesenjangan Antar Daerah Keberhasilan pelaksanaan pembangunan suatu daerah ditentukan oleh banyak faktor, seperti keberadaan sumberdaya manusia, potensi sumberdaya alam yang ada, sarana dan prasarana yang telah dibangun serta modal yang tersedia (Sumodiningrat,
30
1998). Keberadaan sumberdaya manusia misalnya, dapat ditinjau dari
keberadaan
birokrasinya, dunia usaha di daerah tersebut maupun kepedulian dan keterlibatan masyarakat dalam setiap aspek pembangunan. Selanjutnya keberadaan potensi sumberdaya alam, sarana prasarana dan modal yang ada akan saling kait mengkait dengan
kemampuan
sumberdaya
manusia
dalam
menentukan
keberhasilan
pembangunan suatu daerah. Menurut Sjafrizal (1997), ketimpangan pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Perbedaan kandungan sumberdaya alam antar daerah dapat ditinjau dari jenis maupun kualitas dan kuantitasnya. Sedangkan perbedaan kondisi demografis yang menjadi persoalan salah satunya adalah mengenai penyebaran penduduk yang tidak merata. Perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan suatu daerah dapat memiliki strategi-strategi pembangunan yang berbeda dengan daerah lainnya. Selanjutnya dalam rangka menghitung kesenjangan antar daerah, alat analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson (Williamson, 1965). Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:
IW =
y ) 2 fi / n
( yi y
dimana : IW Yi fi n y
= Koefisien Disparitas Williamson = PDRB riil per-kapita masing-masing Provinsi = Jumlah penduduk di masing-masing Provinsi = Jumlah penduduk Indonesia = PDRB riil per-kapita di Indonesia
Nilai Koefisien Disparitas Williamson adalah 0 ≤ IW ≥ 1, yaitu apabila semakin mendekati satu tinggi kesenjangannya dan sebaliknya kalau semakin mendekati angka nol.
2.9. Tenaga Kerja dan Angkatan Kerja Faktor sumberdaya manusia memegang peranan yang sangat krusial dalam pembangunan. Oleh karena itu pemahaman mengenai tenaga kerja dan angkatan kerja adalah sangat penting. Istilah tenaga kerja tidaklah identik dengan angkatan kerja.
31
Tenaga Kerja (Man Power) adalah besarnya bagian dari penduduk yang dapat diikutsertakan dalam proses ekonomi (Mantra, 1985). Selanjutnya menurut Mantra (1985), dibeberapa Negara misalnya Amerika Serikat, Jerman dan Negara-negara Eropa yang lain, bagian penduduk yang termasuk usia kerja ialah kelompok umum (1564) tahun, sedangkan di Indonesia, Biro Pusat Statistik mengambil penduduk umur 10 tahun ke atas sebagai kelompok penduduk usia kerja. Pengukuran ketenagakerjaan pada hakekatnya dapat didekati dengan 2 (dua) cara yakni gainful worker approach dan labour force approach. Dalam gainful worker approach seorang yang dalam batas umur tertentu akan ditanya “kegiatan apa yang biasa ia lakukan dalam suatu kurun waktu tertentu”. Sedangkan dalam labour force approach, seluruh penduduk dalam kelompok umur tententu dan dalam kurun waktu tertentu pula dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok, yakni yang termasuk dalam kategori Angkatan Kerja (labour force) dan bukan Angkatan Kerja. Pendekatan labour force approach adalah pendekatan yang paling banyak dipergunakan. Di Indonesia yang dimaksud dengan angkatan kerja adalah penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang secara aktif melakukan kegiatan ekonomis (Mantra, 1985). Selanjutnya angkatan kerja terdiri dari penduduk yang bekerja, mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan tidak mempunyai pekerjaan sama sekali tetapi mencari pekerjaan secara aktif. Artinya, penduduk yang berumur 10 tahun atau lebih tidak bekerja atau mencari pekerjaan karena sekolah, mengurus rumah tangga, pension atau secara fisik dan mental tidak memungkinkan untuk bekerja tidak dimasukan ke dalam angkatan kerja (Mantra, 1985). Masalah ketenagakerjaan di era otonomi daerah banyak disebabkan oleh persoalan struktural yang mendasar, seperti kebijaksanaan kependudukan, persebaran penduduk yang kurang merata antara Jawa dan luar Jawa, pertumbuhan penduduk yang masih cukup tinggi serta kesempatan kerja yang makin terbatas. Berkenaan dengan hal tersebut di era otonomi daerah perlu adanya kebijaksanaan yang sinergis antara kebijaksanaan
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
dengan
kebijaksanaan
ketenagakerjaan. Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan kebijaksanaan ketenagakerjaan adalah dengan mengukur tingkat penyerapan tenaga kerja (Aditya, 2009). Berbagai studi menunjukkan hampir sebagian besar angkatan kerja di Indonesia berada di perdesaan. Oleh karena itu permasalahan kesempatan kerja di perdesaan seharusnya menjadi masalah yang sangat serius. Di satu sisi jumlah angkatan kerja
32
yang besar di daerah perdesaan ini memberikan petunjuk bahwa hampir sebagian besar angkatan kerja masih menggantungkan pada sektor pertanian, sedangkan di sisi yang lain kenyataan
membuktikan bahwa lahan pertanian semakin berkurang (Effendi,
1995). Selanjutnya permasalahan tenaga kerja yang perlu dipelajari adalah permasalahan pangsa tenaga kerja.
Hal ini penting dipelajari karena dengan
mengetahui pangsa tenaga kerja akan dapat diketahui pola struktur ekonomi suatu negara atau wilayah. Hal ini sangat penting untuk mengidentifikasi perkembangan antar sektor, mengingat sektor pertanian menunjukkan trend aging agriculture, yaitu suatu kondisi dimana penduduk usia lanjut yang bekerja pada sektor ini. Oleh karena itu, pembangunan pertanian bagi daerah perdesaan adalah sangat penting artinya, karena sektor pertanian merupakan sumber daya utama bagi masyarakat perdesaan (Norton, 2004). Taraf dinamisasi kemajuan pembangunan di daerah perdesaan dapat dinilai dari berbagai segi, antara lain dari tingginya pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi, pemerataan hasil-hasil pembangunan serta keseimbangan komposisi dalam struktur perekonomian (Mann, 2005). Bagi Indonesia perubahan pola struktur ekonomi di perdesaan saat ini kurang baik, bahkan sebaliknya semakin mempertajam kesenjangan pendapatan antara sektor tradisional dan sektor modern.
2.10. Alokasi Dana Desa Dalam Pasal 68 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, khususnya poin c, Pemerintah mengamanatkan bahwa sumber pendapatan desa yang berasal dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10 persen setelah dikurangi belanja pegawai dibagi untuk setiap Desa secara proporsional merupakan alokasi dana desa. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah terdiri dari dana bagi hasil pajak dan sumberdaya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurangi belanja pegawai. Secara lengkap rumus penentuan ADD yang terdapat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa adalah sebagai berikut: Alokasi dana desa terdiri atas alokasi dana desa minimal (untuk asas merata) dan alokasi dana desa proporsional. Alokasi dana desa minimal adalah besarnya bagian ADD yang sama untuk setiap desa. Alokasi dana desa proporsional (asas adil) adalah besarnya bagian ADD yang dibagi secara proporsional untuk setiap desa berdasarkan
33
nilai bobot desa (BDx) yang dihitung dengan rumus dan variabel tertentu. Besarnya persentase perbandingan antara asas merata dan adil ditetapkan oleh daerah. Besarnya ADDm adalah 60% dari jumlah ADD dan besarnya ADDp adalah 40% dari jumlah ADD. Contoh menentukan besarnya ADD tiap desa : ADDx
= ADDM + ADDPx
dimana: ADDx ADDm ADDpx
: ADD desa x : ADD minimal yang diterima desa : ADD proporsional untuk desa x
Selanjutnya untuk menentukan besarnya ADDp tiap desa : ADDPx = BDx x (ADD – ΣADDM) dimana: BDx ADD ΣADDm
: nilai bobot desa untuk desa x : total ADD untuk Kab/Kota : jumlah seluruh alokasi dana desa minimal
Nilai bobot desa (BDx) adalah nilai desa yang ditentukan berdasarkan beberapa variabel independen. Variabel independen merupakan indikator yang mempengaruhi besarnya nilai bobot setiap desa (BDx) yang dapat membedakan beban yang ditanggung antara satu desa dengan desa lainnya. Variabel independen dibedakan atas variabel utama dan variabel tambahan yang ditentukan oleh kabupaten/kota berdasarkan karakter, budaya, dan kesediaan data daerah. Variabel independen utama adalah variabel yang dinilai terpenting untuk menentukan nilai bobot desa, yang ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antar desa, meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan dasar kepada masyarakat dan mengatasi kemiskinan struktural masyarakat yang ada di desa. Variabel independen utama meliputi: kemiskinan, pendidikan dasar, kesehatan, dan keterjangkauan desa. Variabel independen tambahan merupakan variabel yang dapat ditambahkan oleh masing-masing daerah. Variabel independen tambahan meliputi: jumlah penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi, partisipasi masyarakat, jumlah unit komunitas di desa (dusun, jorong, Rw dan Rt). Angka yang dimasukkan ke dalam rumus adalah angka yang didasarkan pada data di daerah. Besarnya koefisien variabel (KV) tertentu dapat dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini:
34
BDx = a1 KV1x+ a2 KV2 x + a3 KV3 x + … + an KVn x dimana : BDx : nilai bobot desa untuk desa x KV1x, KV2x, KVnx : koefisien variabel pertama, kedua, dst. a1, a2, a3, …an : angka bobot masing-masing variabel Angka Bobot (a) masing-masing variabel kalau ditambahkan harus berjumlah 1 (satu): a1 + a2 + a3 + … + an = 1 a1, a2,…, an adalah angka bobot variabel pertama, kedua, hingga ke-n. Misalnya: bobot kemiskinan 0,4; kesehatan 0,3; dst. Besarnya koefisien variabel (KV) tertentu dapat dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini: KV 1,2,………X =
V 1,2,........ X Vn
dimana : KV1,2,…x : nilai koefisien variabel pertama, kedua, dst untuk desa x. Misalnya: nilai variabel kemiskinan desa bahagia, nilai variabel pendidikan desa bahagia, dst. V1,2, …x : angka variabel pertama, kedua dst untuk desa x. Misalnya:angka jumlah kemiskinan, angka jumlah tidak lulus pendidikan dasar desa bahagia, dst. ∑Vn : jumlah angka variabel pertama, kedua, dst untuk seluruh desa, misalnya: jumlah kemiskinan kabupaten/kota. Adapun alokasi dana desa (ADD) ini setelah diterima oleh Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota, ketentuannya adalah 30 persen digunakan untuk biaya operasional pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan 70 persen digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Dimana penggunaan dana yang 70 persen ini ditentukan sendiri oleh masyarakat yang ada di desa. Dengan kata lain, penggunaan ADD ini dimaksudkan untuk memberdayakan Pemerintahan Desa dan masyarakatnya, termasuk para petani yang ada di desa. Namun kenyataan saat ini menunjukkan bahwa masih banyak Kabupaten/Kota yang belum menganggarkan alokasi dana desa. Oleh karena itu adalah sangat penting apabila dalam penelitian ini melihat mekanisme pengalokasian ADD, persentase penggunaan dana ADD, baik untuk pembangunan sektor pertanian maupun non pertanian serta mekanisme pengambilan keputusan dalam penggunaan dana ADD. Selanjutnya menurut Pasal 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007
35
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa disebutkan bahwa tujuan dari penyaluran alokasi dana desa adalah: 1. menanggulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan; 2. meningkatkan perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat desa dan pemberdayaan masyarakat; 3. meningkatkan pembangunan infrastruktur perdesaan; 4. meningkatkan pengamalan nilai-nilai keagamaan, sosial budaya dalam rangka mewujudkan peningkatan sosial; 5. meningkatkan ketentraman dan ketertiban masyarakat; 6. meningkatkan pelayanan pada masyarakat desa dalam rangka pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat; 7. Mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat; 8. Meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
2.11. Desa dan Sejarah Pengaturannya Dalam rangka memahami tingkat perkembangan pengaturan desa di Indonesia, maka pemahaman mengenai sejarah pengaturan desa dari masa ke masa adalah sangat penting. Naskah akademik RUU tentang Desa (Ditjen PMD, 2007) secara garis besar mengungkapkan sejarah pengaturan desa dapat dibedakan menjadi 3 bagian penting yaitu pada jaman kerajaan, jaman penjajahan dan jaman kemerdekaan.
2.11.1. Jaman Kerajaan Pada jaman kerajaan jelas bahwa pengaturan mengenai Desa berpusat pada Raja (Sutardjo, 1965). Raja mempunyai kewenangan untuk memberi, mengubah bahkan mencabut kewenangan yang dimiliki oleh Desa. Raja memiliki wewenang murba wisesa, yaitu kekuasaan yang tertinggi dan mutlak. Hubungan antara raja dan rakyat adalah hubungan antara bendara dan kawula (pemimpin dan bawahan). Moertono (1985), mengikhtisarkan pemikiran Jawa tentang hubungan raja dengan kawulanya antara lain sebagai hubungan pribadi yang akrab yang disertai perasaan saling mengasihi dan menghormati dianggap sebagai pola atau model baku dalam komunikasi sosial. Namun dalam kenyataan sering yang terjadi adalah raja tidak tahu apa yang dihadapi rakyatnya dan struktur politik di perdesaan yang dibangun adalah struktur
36
yang autokratis, yang mementingkan kedudukan raja (Suhartono, 2001). Mengapa? Dalam teori milik Raja (Vorstendomein), jelas bahwa ketergantungan ini terjadi karena raja adalah penguasa yang memiliki tanah seluruh kerajaan. Akibatnya, desa-desa tidak bisa berkembang mengikuti kebutuhan warganya. Namun demikian dalam rangka menjaga ketentraman, Raja sering mengambil berbagai kebijaksanaan, misalnya menentukan beberapa desa untuk tidak membayar pajak (desa perdikan) atau memberikan lokasi khusus bagi golongan alim ulama (desa mutihan), dan sebagainya. Dengan kata lain pada jaman kerajaan, maju mundurnya situasi dan kondisi di desa sangat tergantung pada kebijaksanaan yang diambil Raja. Sedangkan Pemerintahan Desa di Jawa pada umumnya dipimpin oleh seorang Lurah (een hoofdig bestuur). Lurah tidak dipilih oleh rakyat
melainkan diangkat
oleh Pepatih Dalem
(Riiksbestuurder), setelah mendapat pertimbangan-pertimbangan dari masyarakat setempat.
2.11.2. Jaman Penjajahan 2.11.2.1. Jaman Penjajahan Belanda Pada jaman penjajahan Belanda, telah diterbitkan Indische Staatsregeling pada tahun 1848, yang mulai berlaku pada tahun 1854. Adapun ketentuan mengenai Desa diatur dalam Pasal 128, sebagai berikut: 1.
Desa-desa bumiputera dibiarkan memilih kepada anggota pemerintahan desanya sendiri, dengan persetujuan penguasa yang ditunjuk untuk itu menurut ordonansi. Gubernur Jenderal menjaga hak tersebut terhadap segala pelanggarannya.
2.
Dengan ordonansi dapat ditentukan keadaan dimana Kepala Desa dan anggota pemerintah desa diangkat oleh penguasa yang ditunjuk untuk itu.
3.
Kepala Desa bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal, pemerintah wilayah dan residen atau pemerintah otonom yang ditunjuk dengan ordonansi.
4.
Jika yang ditentukan dalam ayat (1) dan (3) dari pasal ini tidak sesuai dengan lembaga masyarakat atau dengan hak-hak yang diperkenankan dimiliki, maka berlakunya ditangguhkan.
5.
Dengan Ordonansi dapat diatur wewenang dari desa Bumiputera untuk: (a) memungut pajak di bawah pengawasan tertentu; (b)di dalam batas-batas tertentu menetapkan hukuman terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan oleh desa;
37
6.
Desa yang sebagian atau seluruhnya berada dalam batas suatu kota, dimana telah dibentuk dewan menurut ayat (2) pasal 21 atau ayat (2) pasal 124 sepanjang mengenai daerah yang termasuk di dalam batas termaksud; dapat dihapuskan dengan ordonansi atau bila dianggap perlu dikecualikan dari berlakunya aturan yang ditetapkan dalam ayat (3) pasal ini. Sebagai akibat dari tidak diberlakukannya aturan tersebut, jika perlu dapat dibuat ordonansi (Suhartono, 2001).
Menurut Suhartono (2001), pada tahun 1941 pemerintah kolonial mempertinggi status desa dengan mengeluarkan sebuah Ordonantie terkenal dengan sebutan Desa Ordonantie (S. 1941 No. 356). Selanjutnya pada jaman Belanda pengaturan mengenai Penggabungan, pengahapusan dan Pembentukan Desa secara yuridis termuat dalam Bijblad no. 9308 yang ditetapkan dengan gouvernementsbesluit tanggal 28 Oktober 1919 no. 13 tentang penggabungan dan pemecahan desa (Sutardjo, 1965). Tujuan dari pemerintah Belanda untuk mengadakan penggabungan Desa adalah untuk memperkuat dasar kemasyarakatan Indonesia. Menurut Sutardjo (1965), yang berhak untuk mengambil inisiatif dalam penggabungan atau pemecahan desa adalah: 1.
Pamong Praja
2.
Pemerintah daerah Kabupaten; atau
3.
Rakyat desa bersangkutan
Syarat-syarat penggabungan atau pemecahan desa di dasarkan pada luas wilayah, jumlah penduduk dan kekuatan untuk membiayai dirinya sendiri. Namun berdasarkan hasil pengkajian dikemukakan bahwa penggabungan atau pemecahan desa tidak disenangi oleh masyarakat. Penggabungan atau pemecahan Desa dapat menyebabkan lemahnya ikatan masyarakat yang ada di dalam desa (desa-verband), bahkan dapat mengakibatkan lemahnya hubungan antara masyarakat dan kepala desanya (Sutardjo, 1965).
2.11.2.2. Jaman Penjajahan Jepang Pada jaman pemerintahan Jepang, pengaturan mengenai Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan. Dewan yang berhak untuk menentukan tanggal
38
pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan Kucoo adalah Guncoo. Masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo dapat dipecat oleh Syuucookan (Surianingrat, 1985). Menurut Suhartono (2001), pada jaman penjajahan Jepang desa ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada pendudukan Jepang ini, Otonomi desa kembali dibatasi bahkan desa dibawah pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat. Rakyat desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. Kepala Desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan tebu. Pemerintah Desa pada jaman pendudukan Jepang terdiri dari 9 (sembilan) pejabat: lurah, carik, 5 (lima) orang mandor, polisi desa dan amir (mengerjakan urusan agama).
2.11.3. Jaman Kemerdekaan 2.11.3.1.Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah ditetapkan pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ini, hanya ada 1 Pasal yang menyinggung masalah Desa, yaitu Pasal 1. Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 dengan tegas dinyatakan bahwa “Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah: Propinsi, Kabupaten (kota besar), dan Desa (kota kecil, negeri, marga dan sebagainya), yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Sutardjo, 1965; Simanjuntak, 1979). Berdasarkan ketentuan ini maka ketiga tingkatan daerah itu bersifat otonom. Selanjutnya pada poin 18 Penjelasan ditegaskan bahwa Daerah Otonom yang terbawah berdasarkan UndangUndang ini adalah Desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa ditaruh ke dalam lingkungan pemerintahan yang modern. Dengan demikian desa diposisikan sebagai sendi negara yang harus diperbaiki segala-galanya untuk memajukan negara. menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Pemerintah Desa terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah.
2.11.3.2. Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapradja mulai diundangkan pada tanggal 1 September 1965. Undang-Undang ini ditetapkan sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat III di Indonesia.
39
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapradja dimaksudkan untuk menggantikan semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Desa yang mengandung sifat-sifat kolonial feodal (The Liang Gie, 1968). Peraturan perundangundangan yang dicabut dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 antara lain adalah:
1. Inlandsche Gementee Ordonantie Java en Madoera (Stbl. 1906 No. 83) berikut semua perubahannya. 2. Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengwesten (Stbl. 1938 No. 490 berhubungan dengan Stbl. 1938 No. 681). 3. Osamu Seirei 2604/7 dan lain-lain peraturan tentang kedesaan selama pemerintahan pendudukan Jepang 4. Semua peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lain tentang kedesaan, baik dari Pemerintah Pusat maupun dari sesuatu Pemerintah Daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang tentang Desapradja.
Penetapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapradja mempunyai tujuan: 1.
menggantikan semua peraturan perundang-undangan tentang Desa yang bersifat kolonial-feodal.
2.
Menciptakan suatu undang-undang nasional yang akan menjamin tata-perdesaan yang lebih dinamis.
3.
Mengatur kesatuan-kesatuan masyarakat hukum di seluruh Indonesia menjadi Desapradja untuk mempercepat terbentuknya Daerah Tingkat III menurut UndangUndang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 yang dimaksud dengan Desapradja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri (The Liang Gie, 1968; Simandjutak, 1979).
2.11.3.3.Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang ditetapkan pada tanggal 23 Juli 1974, pengaturan mengenai Desa sangat
40
simpel dan lugas yaitu terdapat pada Bab V Pasal 88 yang bunyinya sebagai berikut: ”Pengaturan tentang Pemerintahan Desa ditetapkan dengan Undang-Undang” dan lima tahun kemudian terbitlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Jelas dari sini bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 memberikan ruang tersendiri bagi pengaturan pemerintahan desa. Hal ini sangat tepat sebab bagaimanapun juga desa memiliki keunikan-keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan pemerintahan di atasnya. Mulai dari pembentukan desa hingga dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa, sebenarnya proses demokratisasi sudah berjalan di desa. 2.11.3.4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa diundangkan pada tanggal 1 Desember 1979. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (UUPD) ini menggantikan: 1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapradja 2. Segala ketentuan yang bertentangan dan atau tidak sesuai dengan UUPD
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ini, tujuannya adalah untuk mengadakan penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan Desa dengan corak nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat kemajuan penyelenggaraan pemerintahan Desa yang lebih dinamis dan guna peningkatan taraf hidup masyarakatnya. Undang-Undang ini walupun bernuansa penyeragaman namun tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan dan ketahanan nasional. Dalam Undang-Undang ini ada 2 pengkategorian yaitu: 1. Desa 2. Kelurahan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dimaksud dengan Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak
41
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
2.11.3.5. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini ada 1 bab yang mengatur tentang Desa, yaitu Bab XI yang terdiri dari 19 Pasal (Pasal 93 – Pasal 111). Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini yang dimaksud dengan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Sedangkan yang dimaksud dengan Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota di bawah Kecamatan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Beberapa ketentuan penting yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini adalah: 1. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah Daerah Propinsi, sedangkan Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijaksanaan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. 2. Pembagian Daerah di luar Daerah Propinsi dibagi habis ke dalam Daerah Otonom. 3. Kecamatan yang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai wilayah Administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kedudukannya diubah menjadi perangkat Daerah Kabupaten atau Daerah Kota.
42
4. Landasan Pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. 5. Penyelenggaraan
Pemerintahan
Desa
merupakan
subsistem
dari
sistem
penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. 6. Kepala Desa bertanggungjawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XI yang mengatur tentang Desa kemudian telah dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa yang ditetapkan pada tanggal 30 November 2001.
2.11.3.6. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pada tanggal 15 Oktober 2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Departemen Dalam Negeri, 2005a), sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
Dalam Undang-Undang ini pengaturan mengenai Desa terdapat dalam Bab XI yaitu dari Pasal 200 – Pasal 216. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya dalam Bab I, Pasal 1 tentang Ketentuan Umum menegaskan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara garis besar pengaturan mengenai Desa dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini adalah sebagai berikut: Bagian Pertama
: Umum
Bagian Kedua
: Pemerintah Desa
Bagian Ketiga
: Badan Permusyawaratan Desa
Bagian Keempat
: Lembaga Lain
Bagian Kelima
: Keuangan Desa
Bagian Keenam
: Kerjasama Desa
43
Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan di atas adalah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang telah disahkan pada tanggal 30 Desember 2005. Selanjutnya berdasarkan pemahaman pada gambaran umum mengenai sejarah ketentuan-ketentuan pengaturan mengenai Desa di atas, maka prespektif pengaturan Desa ke depan paling tidak harus dapat menjawab pertanyaan bagaimana agar paradigma yang menjadi dasar pengaturan mengenai desa mampu memberikan dasar menuju self governing community, artinya memberikan landasan yang kuat menuju terbangunnya suatu komunitas yang mengatur dirinya sendiri kurang dapat berjalan? Menurut Kuntowijoyo (1988), ada beberapa kecenderungan baru dalam pemikiran tentang pembangunan perdesaan, yaitu konsep pembangunan people centered development, institution development, self-reliance, sustainability.
Dalam people
centered development yang dipentingkan adalah inisiatif dan kreatif dari masyarakat setempat dalam membangun desanya. Dalam Rancangan Undang-Undang tentang hal ini direfleksikan dalam berbagai bentuk keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang menjadikan pembangunan perdesaaan itu dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat (DOUM). Masyarakat perdesaan adalah pelaku utama pembangunan di desa, sedangkan Pemerintah Desa mempunyai tugas utama untuk membimbing, mengarahkan dan menciptakan suasana yang kondusif (Sitorus dan Prasetyanto, 2003). Dalam pembentukan, pengahapusan dan penggabungan Desa di masa mendatang harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar pengaturan mengenai Desa yaitu keanekaragaman,
partisipasi,
otonomi
asli,
demokratisasi
dan
pemberdayaan
masyarakat. Artinya dalam pembentukan, penghapusan dan penggabungan desa harus memperhatikan inisiatif atau prakarsa masyarakat beserta kondisi sosial budayanya. Selain itu, dalam rangka penataan desa perlu juga diatur persyaratan-persyaratan lain dalam rangka pembentukan, penghapusan dan penggabungan desa seperti usia penyelenggaraan pemerintahan desa paling sedikit 5 (lima) tahun, jumlah penduduk minimal, faktor manajerial, jaringan perhubungan, sosial budaya yang dapat menjamin kerukunan warga, potensi desa yang memungkinkan desa untuk berkembang, batas desa yang sudah diwujudkan dalam bentuk Peta Desa serta sarana dan prasarana mengenai infrastruktur pemerintahan desa. Syarat yang begitu berat ini mempunyai maksud agar desa yang ada benar-benar mampu mengatur dan mengurus dirinya sendiri disamping untuk menata tingkat perkembangan desa yang ada. Mekanisme pembentukan, penghapusan dan penggabungan desa serta perubahan status desa menjadi kelurahan di dasarkan atas prakarsa masyarakat, pertimbangan
44
Pemerintah Desa dan BPD hingga sampai pada ditetapkannya Peraturan Daerah. Mekanisme ini sangat penting agar proses pembentukan, penghapusan dan penggabungan desa atau perubahan status desa menjadi kelurahan benar-benar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Kewenangan (authority) adalah suatu kekuasaan yang sah atau “the power or right delegated or given; the power to judge, act or command” (Ndraha, 2003). Namun dalam perkembangannya, membahas kewenangan harus memperhatikan apakah kewenangan itu diterima atau tidak oleh yang menjalankan (“whether orders are accepted by those who receive them”). Dari pemahaman ini jelas bahwa dalam membahas kewenangan tidak hanya semata-mata memperhatikan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa namun harus juga memperhatikan yang menjalankan dan atau menerima kekuasaan itu. Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 206 menegaskan bahwa kewenangan desa mencakup: 1. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. 2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. 3. Tugas pembantuan
dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota. 4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Berdasarkan pengaturan kewenangan di atas, jelas bahwa kewenangan desa sebenarnya mencakup 4 kewenangan, yaitu: 1. kewenangan generik atau kewenangan asal-usul; 2. kewenangan devolutif atau yang harus ada; 3. kewenangan distributif atau kewenangan mengelola urusan (bidang) 4. pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah kepada desa; dan 5. kewenangan delegatif yaitu kewenangan yang sebenarnya menjadi domain pemerintah supra desa yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada pemerintah desa. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki desa tersebut di atas, perlu diatur berbagai kewenangan yang dapat diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa. Dalam ketentuan ini kurang lebih ada 20 bidang dan jenis urusan pemerintahan
45
yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang dapat diserahkan pengaturannya kepada Desa, yaitu: 1. Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan 2. Bidang Pertambangan dan Energi serta sumber daya mineral 3. Bidang Kehutanan dan Perkebunan 4. Bidang Perindustrian dan Perdagangan 5. Bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 6. Bidang Penanaman Modal 7. Bidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi 8. Bidang Kesehatan 9. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan 10. Bidang Sosial 11. Bidang Penataan Ruang 12. Bidang Pemukiman/Perumahan 13. Bidang Pekerjaan Umum 14. Bidang Perhubungan 15. Bidang Lingkungan Hidup 16. Bidang Politik Dalam Negeri dan Administrasi Publik 17. Bidang Otonomi Desa 18. Bidang Penerangan/Informasi dan Komunikasi 19. Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Sejahtera 20. Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera 21. Bidang Pemuda dan Olahraga 22. Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa 23. Bidang Statistik 24. Bidang Arsip dan Perpustakaan.
Dalam ketentuan mengenai Kewenangan Desa, mekanisme pengkajian dan evaluasi terhadap jenis urusan yang akan diserahkan kepada Desa harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang, antara lain: aspek letak geografis, kemampuan personil, kemampuan keuangan, efisiensi dan efektifitasnya. Oleh karena itu dalam rangka menjaga obyektifitas dan validitas data maka Bupati/Walikota membentuk Tim Pengkajian dan Evaluasi Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/ Kota kepada Desa yang diketuai oleh Sekretaris Daerah. Adapun berbagai
46
urusan yang telah dikaji oleh Tim untuk menentukan berbagai ururusan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat dan kemudian ditetapkan dalam Peraturan Daerah dan diserahkan kepada Desa. Selanjutnya Pemerintah Desa dan BPD melakukan evaluasi untuk menetapkan urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan di Desa yang bersangkutan. Dalam pembahasan mengenai penyelenggara Pemerintahan Desa ini, maka isu-isu penting
yang
akan
diatur
adalah
mengenai
berbagai
ketentuan
mengenai
penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan BPD.
2.12. Studi-Studi Desentralisasi Fiskal 2.12.1.Mancanegara Dari berbagai studi yang telah dilakukan ditemukan bukti bahwa desentralisasi fiskal mempunyai hubungan atau dampak yang beragam dalam berbagai aspek. Dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi, desentralisasi fiskal dapat mempunyai hubungan atau dampak yang positif atau negatif. Berdasarkan penelitian Mahmood-ulhassan dan Shahzad Hussain (no date) di Pakistan menemukan bukti bahwa desentralisasi fiskal mempunyai dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya berdasarkan penelitian Stansel (2005), menggunakan data dari 314 metropolitan area di Amerika Serikat, menemukan bukti bahwa desentralisasi lokal mempunyai hubungan yang negatif bagi lokal area di pusat kota, namun mempunyai hubungan yang positif bagi kota-kota kecil disekitarnya. Selanjutnya Stansel (2005) mempunyai kesimpulan bahwa desentralisasi dapat dipertimbangkan sebagai suatu alat untuk meningkatkan pembangunan ekonomi. Dari hasil studi Lin dan Liu di China ( 2000) ditemukan bukti bahwa: 1. desentralisasi fiskal mempunyai kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi 2. faktor kunci pertumbuhan ekonomi di China yang impresif selama 20 tahun silam dan sesudahnya adalah reformasi fiskal seiring dengan reformasi perdesaan, sektor non-pemerintah dan akumulasi kapital 3. ditemukan ketimpangan antar daerah provinsi menjadi sangat serius semenjak desentralisasi fiskal 4. Ketimpangan fiskal lebih pada ketimpangan horizontal dibanding ketimpangan vertikal.
47
2.12.2.Indonesia Studi tentang desentralisasi fiskal di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya dengan berbagai penekanan yang berbeda-beda. Beberapa peneliti (Nanga 2006; Usman) melakukan studi dengan ruang lingkup Indonesia. Sedangkan beberapa peneliti lainnya (Pakasi, 2005; Panjaitan, 2006; Barbara, 2008) menekankan studinya pada level Kabupaten/Kota. Berbagai temuan penting dari hasil studi Nanga (2006), dengan menggunakan pendekatan ekonometrik dengan model sistem persamaan simultan yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas dan model diestimasi dengan metode 2SLS, yaitu bahwa transfer fiskal di Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Transfer fiskal cenderung menguntungkan sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian. Dalam penelitian tersebut Nanga juga menemukan adanya indikasi bahwa transfer fiskal akan memperburuk tingkat kemiskinan di Indonesia. Hal ini disebabkan adanya ketimpangan pendapatan yang akan semakin meningkat dan kemiskinan memiliki hubungan yang positip serta elastis dalam ketimpangan pendapatan. Bahkan Nanga (2006) dalam studinya menunjukkan bahwa era desentralisasi fiskal mempunyai indikasi yang sangat kuat untuk memperburuk tingkat kemiskinan di perdesaan. Usman (2006) dalam studinya mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan, dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, dengan teknik Pool Time Series-Cross Section Regression, dengan spesifikasi fixed effect model serta menggunakan data time series tahun 1995-2003 dan data cross section dari 26 Provinsi di Indonesia, menemukan bukti bahwa era desentralisasi fiskal memang meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian namun dampaknya dari segi perbaikan distribusi pendapatan baru sebatas indikasi karena belum terbukti secara nyata. Dampak dana alokasi umum (DAU) terhadap kinerja perekonomian Pulau JawaBali dan Sulawesi lebih besar dibandingkan dengan dampak Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPJK). Sebaliknya di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua dampak BHPJK terhadap kinerja perekonomian lebih besar dibandingkan dengan Dana Alokasi Umum. Selanjutnya pengeluaran Pemerintah di sektor pertanian berhasil menurunkan kemiskinan lebih baik dibandingkan sektor lainnya, dikarenakan sektor pertanian memiliki keterkaitan (linkages) yang besar terhadap sektor lainnya. Kebijaksanaan ekonomi pada periode sebelum desentralisasi fiskal tidak menguntungkan kelompok miskin dan lebih menguntungkan kelompok kaya. Sedangkan pada periode setelah
48
desentralisasi fiskal pada walnya menguntungkan kelompok kaya, namun tahun berikutnya menguntungkan kelompok miskin. Determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal sebagian besar tidak berubah. Sektor-sektor yang menjadi determinan kemiskinan adalah sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur dan faktor komunitas atau wilayah. Berdasarkan studi Pakasi (2005) di Provinsi Sulawesi Utara dengan menggunakan pool data ( cross section di 5 kabupaten/kota dan time series tahun 19892002), dimana model diestimasi dengan prosedur 2 SLS (two stage least squares) prosedur SYLIN dan simulasi historis serta peramalan dengan prosedur SIMNLIN, ditemukan bukti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara penerimaan retribusi daerah, dana alokasi umum, bagi hasil pajak, pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan, pembangunan sektor pertanian, pembangunan sektor industri sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Fiscal Available yang menunjukkan ketersediaan fiskal daerah, memiliki respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap pengeluaran rutin. Semakin meningkat Fiscal Available akan meningkatkan pengeluaran rutin daerah. Dana alokasi umum berdampak positip terhadap kinerja fiskal daerah dan perekonomian di masing-masing Kabupaten/Kota. Selanjutnya, dana alokasi umum bersama-sama dengan pengeluaran rutin daerah berdampak positip terhadap Fiscal Available dan Fiscal Needs. Kesimpulan dari penelitian ini, yaitu bahwa setelah desentralisasi, kinerja fiskal daerah dari sisi fiscal available didominasi oleh transfer DAU dan dari sisi fiscal needs oleh anggaran rutin. Kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun relatif kecil terhadap perekonomian daerah. Dampak transfer dana alokasi umum lebih besar terhadap kinerja fiskal daerah, sedangkan dampak investasi daerah lebih besar terhadap perekonomian daerah. Realokasi anggaran rutin ke anggaran sektor yang terkait dengan masyarakat (infrastruktur, kesejahteraan sosial, pendidikan) berdampak lebih besar terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Dari penelitian Pakasi (2005), implikasi kebijaksanaan yang disarankan adalah (1) pemerintah daerah harus mampu memadukan kebijaksanaan desentralisasi fiskal dengan upaya meningkatkan investasi daerah, guna mencapai pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen disetiap Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara. Kebijakan pemerintah daerah sebaiknya adalah kontraksi pengeluaran rutin dan ekspansi pengeluaran pembangunan, kemudian dilakukan kebijaksanaan ekspansi pendapatan asli daerah.
49
Penelitian Barbara (2008), dengan menggunakan pool data seluruh kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005 menemukan bukti bahwa desentralisasi fiskal menyebabkan peningkatan sumber penerimaan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah dan bagi hasil. Namun demikian kontribusi dana perimbangan masih sangat besar terhadap pembentukan penerimaan daerah. Desentralisasi fiskal telah meningkatkan penerimaan daerah yang berasal dari pajak daerah dan bagi hasil pajak, meningkatkan pengeluaran rutin dan pengeluaran sektor pertanian, tetapi menurunkan pengeluaran sektor luar pertanian. Selanjutnya dari hasil penelitian Barbara (2008) juga ditemukan bukti bahwa desentralisasi fiskal juga menyebabkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurun dan penyerapan tenaga kerja tidak meningkat signifikan. Hasil simulasi penelitian Barbara (2008), menunjukkan bahwa dana alokasi umum merupakan sumber penerimaan yang paling banyak mendorong peningkatan PDRB dan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan pengeluaran pembangunan berdampak lebih baik terhadap peningkatan PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Implikasi kebijaksanaan yang disarankan yaitu apabila pengeluaran rutin sudah terpenuhi
sebaiknya
pengeluaran
diarahkan
lebih
besar
untuk
pengeluaran
pembangunan. Pengalokasian dana ke pengeluaran pembangunan harus proporsional baik terhadap sektor pertanian maupun luar sektor pertanian. Hal ini penting dilakukan mengingat sektor pertanian merupakan sektor penting di Kalimantan Tengah sedangkan sektor luar pertanian memberikan stimulus paling besar terhadap peningkatan PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Selanjutnya dari hasil studi Sinaga dan Siregar (2005) tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan ditemukan bahwa terdapat perbedaan penerimaan dari pajak, retribusi, bagi hasil pajak dan dana alokasi umum yang signifikan antara sebelum dan sesudah desentralisasi. Ditemukan perbedaan pengeluaran rutin gaji, rutin non gaji, pengeluaran sektor pertanian serta pengeluaran umum yang signifikan antara periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Dampak kenaikan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) lebih cenderung meningkatkan pengeluaran rutin dibandingkan dengan pengeluaran lainnya. Implikasinya gap antara pengeluaran rutin dan pembangunan akan makin lebar. Kondisi ini terjadi karena tidak adanya kerangka alokasi yang memberi batasan maksimum dan minimum antara pengeluaran rutin dan pengeluaran sektor-sektor pembangunan.
50
Halaman ini sengaja dikosongkan
51
III. KERANGKA PEMIKIRAN KONSEPTUAL Menurut Dewatripont dan Roland (1992), proses reformasi bisa dikategorikan menjadi dua jenis. Pertama, dikenal dengan istilah big-bang approach. Dimana dalam pendekatan ini memiliki argumentasi bahwa jika proses reformasi ingin berhasil maka harus dilakukan secara simultan dan cepat. Kedua, dikenal dengan istilah gradualist approach, dimana dalam pendekatan ini mempunyai argumentasi sebaliknya yaitu kalau proses reformasi ingin berhasil maka harus dikerjakan secara berurutan dan bertahap. Dari sisi regulatif jelas kategori kedua atau dikenal dengan istilah gradualist approach, telah dilakukan oleh Pemerintah dalam mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan, termasuk dalam mengatur keuangan negara dan daerah. Sedangkan dalam tahap implementasi pelaksanaan desentralisasi, dimungkinkan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan pembangunan dengan pendekatan big-bang approach, yaitu secara simultan dan cepat, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian. Menurut Suhendra dan Amir (2006), proses desentralisasi di Indonesia dapat digolongkan pada proses yang bersifat simultan atau big-bang approach. Namun demikian, sebenarnya apabila dikaji lebih seksama pendekatan yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di era otonomi daerah saat ini menggunakan kombinasi pendekatan antara big-bang approach dan gradualist approach. Persoalannya sekarang dengan pendekatan tersebut, substansi apa yang seharusnya diatur dan diurus di era desentralisasi saat ini? Memperhatikan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jelas substansi yang harus diatur dan diurus oleh daerah adalah urusan yang bersifat wajib maupun pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar kepada masyarakat yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Selanjutnya urusan yang bersifat pilihan meliputi berbagai urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan pariwisata. Memperhatikan urusan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah di atas, sebenarnya dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal telah memberikan keleluasaan
52
otorisasi bagi Pemerintah Daerah dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahnya (Muluk, 2007). Artinya, Pemerintah Daerah di era desentralisasi fiskal mempunyai keleluasaan kewenangan untuk merencanakan serta melaksanakan berbagai urusan, baik yang bersifat wajib maupun pilihan, sekaligus menjabarkannya dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. Namun satu hal yang perlu disadari bahwa persebaran sumber daya di Indonesia adalah tidak merata. Pemerintah daerah yang mempunyai basis sumberdaya alam yang besar atau memperoleh dana bagi hasil pajak maupun bukan pajak pasti akan melakukan ekspansi pengeluaran. Baik untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan maupun untuk pemberdayaan masyarakat. Ekspansi pengeluaran pemerintah daerah ini tentu saja akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan akan meningkatkan kinerja perekonomian daerah lainnya. Secara teori ekspansi belanja pemerintah daerah ini sangat logis karena dengan meningkatnya belanja pemerintah pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan daerah (Mankiw, 2006). Namun persoalannya sekarang, dari berbagai hasil studi terdahulu membuktikan bahwa di era desentralisasi fiskal ini telah terjadi pengelolaan keuangan daerah yang kurang terarah dan sistematis. Dari hasil studi Sinaga dan Siregar (2005) misalnya, membuktikan
bahwa di era desentralisasi fiskal menunjukkan semakin tingginya
belanja rutin dibanding belanja pembangunan. Dari hasil kajian Kementrian Dalam Negeri menunjukkan bahwa belanja rutin daerah semakin meningkat menjadi antara 50 persen sampai dengan 73 persen dari keseluruhan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Akibatnya efek multiplikasi yang didapat akan semakin menurun. Pertumbuhan daerah akan semakin melambat atau menurun sedangkan pengangguran diperkirakan akan semakin meningkat. Akibat lainnya tentu hal ini juga akan mempengaruhi penerimaan asli daerah. Kondisi dan situasi ini tentu saja akan mengganggu stabilisasi perekonomian secara nasional. Tujuan Otonomi Daerah dan Tujuan Nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tentu saja akan terkendala bahkan tidak akan tercapai. Berdasarkan hal ini maka pelaksanaan desentralisasi fiskal harus disertai dengan reformasi dibidang sistem pembiayaan (financing reform), sistem penganggaran (budgeting reform), sistem akuntasi (accounting reform), sistem pemeriksaan (audit reform), sistem manajemen keuangan daerah (fiancial management reform). Persoalan selanjutnya, bagaimana agar daerah yang sudah maju tetap dapat menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonominya, selanjutnya daerah-daerah yang tidak memiliki basis sumberdaya alam atau penerimaan bagi hasil pajak ataupun bukan
53
pajak dapat mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya? Tentu saja hal ini penting untuk dikaji dalam kebijakan makro ekonomi untuk meminimalkan permasalahan baru seperti kesenjangan antar wilayah atau daerah, migrasi atau mobilisasi penduduk dari daerah yang kurang maju ke daerah yang lebih maju dan sebagainya. Salah satu hal yang penting untuk dicermati adalah peranan dana perimbangan dalam rangka mewujudkan
tingkat
pemerataan
pedapatan.
Bagi
Pemerintah
Daerah
dana
perimbangan ini lebih dikenal dengan istilah Dana Alokasi Umum atau DAU, sedangkan bagi Desa dikenal dengan istilah Dana Alokasi Desa atau ADD. Kalau pengalokasian DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan fiskal tiap daerah (equalizing transfer) atau mengurangi ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) serta pemerataan dalam penyediaan pelayanan publik diantara pemerintah daerah di Indonesia (Dartanto dan Brodjonegoro, 2003; Silver et al., 2001), sedangkan penyaluran alokasi dana desa (ADD) antara lain bertujuan kemiskinan
dan
mengurangi
kesenjangan,
untuk menanggulangi
meningkatkan
perencanaan
dan
penganggaran pembangunan di tingkat desa dan pemberdayaan masyarakat, meningkatkan pembangunan infrastruktur perdesaan serta meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) (Permendagri Nomor 37 Tahun 2007). Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa tegas disebutkan bahwa
Alokasi Dana Desa (ADD)
setelah diterima oleh Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota, ketentuannya adalah 30 persen
digunakan
untuk
biaya
operasional
pemerintah
Desa
dan
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dan 70 persen digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Mekanisme dan pelaksanaan penggunaan dana yang 70 persen ini
ditentukan sendiri oleh masyarakat yang ada di desa. Dengan kata lain, penggunaan ADD ini dimaksudkan untuk memberdayakan Pemerintahan Desa dan masyarakatnya, termasuk para petani yang ada di desa. Pertimbangan penyaluran ADD ini sebenarnya sudah jelas, antara lain yaitu untuk meningkatkan perekonomian desa, seperti untuk mengentaskan kemiskinan dan mengatasi keterjangkauan antar wilayah. Dampak positif yang lain dari penyaluran ADD adalah akan semakin meningkatkan partisipasi masyarakat
desa
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan, karena anggaran ini penggunaannya ditentukan sendiri oleh masyarakat atau dengan kata lain dari, oleh dan untuk masyarakat (DOUM) sesuai
54
dengan kebutuhan masyarakat. Secara lebih jelas hal ini dapat diperhatikan pada Gambar 7 tentang Kerangka Pemikiran Penelitian.
DESENTRALISASI FISKAL
OTORISASI PEMDA MENGELOLA APBD BELANJA DAERAH
PENDAPATAN DAERAH
PAD
PEREKONOMIAN DESA
ADD
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Penelitian
Dari Gambar 7 di atas, jelas bahwa ADD memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan perekonomian desa, seperti peningkatan pendapatan asli desa, meningkatakan penyerapan tenaga kerja di desa, termasuk tenaga kerja pertanian, mengurangi kesenjangan antar wilayah serta akan mengurangi jumlah penduduk miskin. Dengan meningkatnya perekonomian di desa tentu saja hal ini akan berdampak positip terhadap peningkatan perekonomian daerah mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia beserta permasalahan dan potensinya ada di desa. Penyaluran ADD selain berdampak positif terhadap perekonomian desa dan daerah, khususnya dalam peningkatan pendapatan asli daerah, juga
akan semakin meningkatkan
partisipasi masyarakat desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Hal ini terjadi karena 70 persen ADD yang diterima Pemerintahan Desa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat, dimana penggunaannya ditentukan sendiri oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan. Namun demikian meskipun penyaluran ADD sudah diatur secara jelas dan tegas dalam Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa beserta penjelasannya, namun dalam implementasinya masih banyak Kabupaten/Kota yang belum melaksanakan (± 40 persen). Padahal dengan
55
otorisasi yang dimiliki, seharusnya di era desentralisasi fiskal ini Pemerintah Daerah dapat segera memutuskan untuk melaksanakan ketentuan mengenai penyaluran ADD tersebut kepada Desa. Dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, ADD merupakan pos pendapatan desa, khususnya dari sisi dana perimbangan yang diterima desa. Sampai saat ini, ADD merupakan sumber pendapatan desa yang paling besar yang dikelola langsung oleh pemerintah desa. Oleh karena itu dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, ADD memiliki posisi yang sangat penting dan strategis. Dari sisi pemerintahan dan pembangunan, karena penyaluran Alokasi Dana Desa sebenarnya akan mendorong penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang semakin efektif dan efisien. Penyaluran alokasi dana desa (ADD) pada hakekatnya akan semakin mempercepat Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara lebih optimum, termasuk dalam melakukan kombinasi penggunaan sumberdaya yang ada sesuai kebutuhan masyarakat. Secara diagram hal ini dapat digambarkan pada Gambar 8 sebagai berikut.
Barang Pemerintah
A
C
E S2
D
S1
S0
Barang Swasta Sumber: Mangkoesoebroto, 1998 Gambar 8. Alokasi Sumber yang Optimum
56
Dari gambar alokasi sumber yang optimum di atas, titik A dan B terletak pada kurva indiferens sosial yang memotong garis kemungkinan produksi AB, titik A bukan merupakan kombinasi barang publik dan swasta yang optimum. Perubahan alokasi sumber ekonomi yang mengurangi jumlah barang pemerintah/publik dan menaikkan jumlah barang swasta serta menghasilkan kombinasi barang swasta dan barang pemerintah dari A ke C akan semakin menaikkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan perpindahan kurve indiferen sosial dari S0 ke S1, yaitu perpindahan dari kurva indiferen sosial yang lebih rendah ke kurva yang lebih tinggi. Titik E merupakan titik kesejahteraan masyarakat optimum. Dalam hubungannya dengan pencapaian optimum perekonomian daerah hubungan antara penerapan sistem desentralisasi fiskal dan penyaluran alokasi dana desa dapat dilihat pada Gambar 9.
DESENTRALISASI FISKAL
KINERJA FISKAL DAERAH ADD
PEREKONOMIAN DAERAH
PDRB
PERTUMBUHAN EKONOMI&PDDK
PENYERAPAN TENAGA KERJA
PEREKONOMIAN DESA
KESENJANGAN ANTAR DAERAH
KEMISKINAN
Gambar 9. Hubungan Desentralisasi Fiskal dan Penyaluran ADD
57
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Kinerja Fiskal Daerah dan Perekonomian Daerah Dalam rangka menjawab tujuan penelitian ini maka tahapan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: Pertama, untuk menjawab tujuan pertama dari penelitian ini yaitu menganalisis faktor-faktor kinerja fiskal daerah dan kinerja perekonomian daerah,
maka dalam
penelitian ini langkah yang dilakukan adalah menetapkan data 25 Provinsi terpilih di Indonesia, dengan kriteria bukan Provinsi pemekaran setelah Tahun 2002 dan Provinsi DKI Jakarta. Pemilihan Provinsi dilakukan dengan pertimbangan karena Provinsi yang baru terbentuk setelah Tahun 2002 datanya untuk Tahun 2005-2007 masih sangat minim dan sulit diperoleh sedangkan untuk Provinsi DKI Jakarta tidak dipilih karena memiliki kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah yang jauh di atas rata-rata provinsi pada umumnya. Secara lengkap ke-25 Provinsi terpilih tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Nusatenggara, Kalimantan, Sulawesi serta Maluku dan Papua. Dari Pulau Sumatera yang masuk dalam kriteria di atas ada 8 Provinsi kecuali Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Kepulauan Riau. Secara lengkap ke-8 Provinsi tersebut adalah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (Kode: 11), Provinsi Sumatera Utara (Kode: 12), Provinsi Sumatera Barat (Kode: 13), Provinsi Riau (Kode: 14), Provinsi Jambi (Kode: 15), Provinsi Sumatera Selatan (Kode: 16), Provinsi Bengkulu (Kode: 17), dan Provinsi Lampung (Kode: 18). Bagi Pulau Jawa ada 4 Provinsi terpilih yaitu selain Provinsi DKI Jakarta dan Banten. Secara lengkap ke-4 Provinsi tersebut adalah Provinsi Jawa Barat (Kode: 32), Provinsi Jawa Tengah (Kode: 33), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kode: 34), serta Provinsi Jawa Timur (Kode: 35). Sedangkan untuk pengelompokkan Pulau Bali dan Nusatenggara adalah Provinsi Bali (Kode: 51), Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kode: 52) dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kode: 53). Selanjutnya untuk Pulau Kalimantan seluruh Provinsi terpilih, yaitu Provinsi Kalimantan Barat (Kode: 61), Provinsi Kalimantan Tengah (Kode; 62), Provinsi Kalimantan Selatan (Kode: 63) dan Provinsi Kalimantan Timur (Kode: 64). Untuk Pulau Sulawesi yang yang terpilih 4 Provinsi (selain Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Barat), yaitu Provinsi Sulawesi Utara (Kode: 71), Provinsi Sulawesi Tengah (Kode: 72), Provinsi Sulawesi Selatan (Kode: 73) dan Sulawesi Tenggara (Kode: 74).
Sedangkan untuk kelompok Maluku dan Papua yang terpilih Provinsi
58
Maluku (Kode: 81) dan Papua (Kode: 91) atau selain Provinsi Maluku Utara (Kode: 82) dan Provinsi Papua Barat (Kode: 92). Selanjutnya ke-25 Provinsi tersebut digolongkan dalam tipologi Klassen untuk mengetahui klasifikasi daerah berdasarkan 4 kriteria dalam Tipologi Klasen. Dari data klasifikasi daerah berdasarkan Tipologi Klasen akan dievaluasi kinerja fiskal daerah dan kinerja perekonomian daerahnya dari tahun 2005-2009. Dari hasil evaluasi di atas dilakukan analisis ekonometrik terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal daerah dan kinerja perekonomian daerah. Tipologi Klassen mengklasifikasikan daerah menjadi 4 kriteria yaitu daerah maju tumbuh cepat (high income and high growth), daerah berkembang cepat (low income but high growth), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth) dan daerah relatif tertinggal (low income and low growth (Sjafrizal, 1997; Arsyad, 2010). Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 .
Tabel 2. Tipologi Klasen PDRB per-kapita
Y1>Y
Y1
(Y) Laju Pertumb. (r) r1>r r1
Daerah Maju Tumbuh Cepat
Daerah Berkembang Cepat
Daerah Maju Tapi Tertekan
Daerah Relatif Tertinggal
Kedua, untuk mengevaluasi dampak alokasi dana desa terhadap kinerja fiskal daerah dan kinerja perekonomian daerah maka akan dilakukan analisis dampak pada periode tahun 2007-2009 atau disebut analisis historis. Ketiga, selanjutnya dari hasil analisis di atas akan digunakan untuk menjawab tujuan ketiga dari penelitian ini yaitu untuk merumuskan rekomendasi alternatif kebijaksanaan yang dapat digunakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam mendorong kinerja fiskal daerah dan kinerja perekonomian daerah di Indonesia.
59
4.2. Model Ekonometrika Model alokasi dana desa, kinerja fiskal dan perekonomian daerah ini disusun dalam persamaan simultan. Model dikelompokkan dalam 2 blok, yaitu : (1) blok fiskal, (2) blok kinerja perekonomian daerah. Model ekonometrika yang dibangun merupakan suatu pola khusus dari model aljabar yang unsur-unsurnya bersifat stochastic dan mencakup satu atau lebih peubah pengganggu (Intriligator et al., 1996). Berdasarkan hubungan keterkaitannya, model ekonometrika alokasi dana desa, kinerja fiskal dan perekonomian daerah ini mempunyai 14 (empat belas) persamaan struktural serta 11 (sebelas) persamaan identitas. Secara lebih jelasnya sebagai berikut:
4.2.1. Blok Fiskal Daerah Dalam blok fiskal daerah ini variabel-variabelnya di dasarkan pada struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yaitu bagian penerimaan dan bagian pengeluaran. 4.2.1.1. Penerimaan 1. Penerimaan Pajak Daerah (PJKDit) 24
PJKDit
d n Dnit +a0+a1PDRBit+a2JKBit+a3FGAPit+
= n 1
a4PJKDLAGit+u1it….............................................................(3.1) Parameter estimasi yang diharapkan: a1, a2, a3, a4 >0 dimana: i t dn Dnit
= Provinsi ke-i = Tahun ke-t = Estimasi parameter dummy Cross Section ke-n = Variabel Dummy Cross section ke-n, dimana n 24 (jumlah provinsi – 1) PJKDit = Penerimaan Pajak Daerah (Rp ribu) PDRBit = Produk Regional Bruto (Rp ribu) JKBit = Jumlah Kendaraan Bermotor (Unit) FGAPit = Kesenjangan Fiskal (Rp ribu) PJKDLAGit = Penerimaan Pajak Daerah Tahun yang Lalu (Rp ribu) U1it = peubah pengganggu (disturbance error) 2. Penerimaan Retribusi Daerah (RETDit)
sebanyak
60
24
RETDit
=
d n Dnit + b0 + b1PDRBit + b2JKBit + b3FGAPit + n 1
b4Tit+ b5RETDLAGit+ u2it…...............................................(3.2) Parameter estimasi yang diharapkan: b1, b2, b3,b4,b5 > 0 dimana: RETDit = Penerimaan Retribusi Daerah (Rp ribu) Tit = Trend RETDLAGit = Retribusi Daerah Tahun yang Lalu 3. Penerimaan Asli Daerah Lainnya (PADL) 24
PADLit
d n Dnit +c0+c1PDRBit+C2POPit+c3PADLLAGit
= n 1
+u3it............................................................................................(3.3) Parameter estimasi yang diharapkan: c1, c2, c3 > 0 dimana: PADLit = Penerimaan Asli Daerah Lainnya (Ribu Rupiah) POPit = Jumlah Penduduk (Ribu Orang) PADLLAGit = Penerimaan Asli Daerah Lainnya Tahun yang Lalu (Ribu Rupiah) 4. Dana Alokasi Umum (DAUit) 24
DAUit
d n Dnit d0+d1YCAPit+d2PLBPGit+d3LSKABit+
= n 1
d4JMKNit+ d5DAULAGit+ u4it............................................(3.4) Parameter estimasi yang diharapkan: d2, d3, d4, d5> 0 dan d1 < 0 dimana: DAUit YCAPit PLBPGit LSKABit JMKNit DAULAGit
= Dana Alokasi Umum (Ribu Rupiah) = PDRB per Kapita (Ribu Rupiah) = Pengeluaran Belanja Pegawai (Ribu Rupiah) = Luas seluruh Kabupaten/Kota disetiap Provinsi (Km2) = Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Rupiah) = Dana Alokasi Umum Tahun yang Lalu (Ribu Rupiah)
61
5. Dana Bagi Hasil (DBHit) 24
DBHit
=
d n Dnit +e0+e1PDRBit+e2UMPit+e3LSKABit+ n 1
e4DBHLAGit+ u5it........................................................(3.5) Parameter estimasi yang diharapkan: e2, e3, e4, e5> 0 dan e1 < 0 dimana: DBHit UMPit PLBPGit DBHLAGit
= = = =
Dana Bagi Hasil (Ribu Rupiah) Upah Minimum Provinsi (Ribu Rupiah) Pengeluaran atau Belanja Pegawai (Ribu Rupiah) Dana Bagi Hasil Tahun yang Lalu (Ribu Rupiah)
6. Pendapatan Asli Daerah (PADit) PADit
= PJKDit + RETDit + BUMDit + PADLit..................................(3.6)
dimana: PADLit
= Pendapatan Asli Daerah Lain (Ribu Rupiah)
7. Dana Perimbangan (DP) DPit
= DAUit + DAKit + DBHit..................................................(3.7)
8. Total Penerimaan Daerah (TPDit) TPDit
= PADit + DPit+ PDLAINit.................................................(3.8)
dimana: DAKit = Dana Alokasi Khusus (Ribu Rupiah) PDLAINit = Pendapatan Daerah Lain (Ribu Rupiah) 4.2.1.2. Pengeluaran 9. Pengeluaran Pertanian (PLTANIit) 24
PLTANIit
d n Dnit f0+f1TPDit+f2GROWTHit+f3TDESit+ U6it...................(3.9)
= n 1
Parameter estimasi yang diharapkan: f1, f2,f3 > 0 dimana: PLTANIit TPDit GROWTHit TDESit
= Pengeluaran Pertanian (Rp Ribu) = Total Penerimaan Daerah (Rp ribu) = Pertumbuhan Ekonomi (Persen) = Jumlah Desa per Provinsi
62
10. Pengeluaran Infrastruktur (PLINFit) 24
PLINFit
=
d n Dnit +g0+g1TPDit+g2GROWTHit+ U7it....................(3.10) n 1
Parameter estimasi yang diharapkan: g1, g2 > 0 PLINFit
= Pengeluaran Infrastruktur (Rp Ribu)
11. Pengeluaran Industri (PLINDit) 24
PLINDit
=
d n Dnit +h0+ h1PADit + h2PLMDLit+ U8it.....................(3.11) n 1
Parameter estimasi yang diharapkan: h1, h2 > 0 dimana: PLMDLit = Pengeluaran atau Belanja Modal (Ribu Rupiah) 12. Pengeluaran Non Pertanian (PLNTANIit) PLNTANIit
= PLINDit+PLINFit +PLLAINit......................................(3.12)
13. Total Pengeluaran Daerah (TPLDit) TPLDit
= PLTANIit + PLNTANIit.............................................(3.13)
14. Kesenjangan Fiskal FGAPit
= PADit – TPLDit.........................................................(3.14)
4.2.2. Blok Perekonomian Daerah 4.2.2.1. Output dan Pertumbuhan Ekonomi 15. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (PDRBA) 24
PDRBAit
d n Dnit + i0+i1PLTANIit+i2TKPit+i3JADDit+
= n 1
U9it.....................................................................................(3.15)
Parameter estimasi yang diharapkan: i1,i2,i3 > 0 dimana: PDRBAit TKPit JADDit
= Produk Domestik Regional Bruto Sektor (Rupiah Ribu) = Jumlah Tenaga Pertanian (Orang) = Jumlah Alokasi Dana Desa (Rupiap ribu)
16. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Non Pertanian (PDRBNA)
Pertanian
63
24
PDRBNAit
=
d n Dnit + j0+j1PLNTANIit+j2TKNPit+ n 1
j3PDRBNALAGit+ u10it.....................................................(3.16) Parameter estimasi yang diharapkan: j1, j2, j3 > 0 dimana: PDRBNAit
= Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (Rupiah Ribu) PLNTANIit = Pengeluaran Non Pertanian (Rupiah Ribu) TKNPit = Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian (Orang) PDRBANALAGit = Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian Tahun yang Lalu (Rupiah Ribu)
Non
Non
17. Produk Domestik Regional Bruto (PDRBit) PDRBit
= PDRBAit + PDRBNAit..................................................(3.17)
dimana: PDRBit
= Total Produk Domestik Regional Bruto (Rupiah ribu)
18. Produk Domestik Regional Bruto per Kapita (YCAPit) YCAPit = PDRBit/POPit................................................................................(3.18) dimana: YCAPit POPit
= PDRB perkapita (Rupiah ribu) = Jumlah penduduk Provinsi (Orang)
19. Pertumbuhan Ekonomi Growth
= (PDRB-PDRBLAG)/PDRBLAG * 100....................................(3.19)
dimana: PDRBLAG
= PDRB Tahun yang Lalu (Rupiah ribu)
4.2.2.2. Tenaga Kerja 20. Jumlah Tenaga Kerja Sektor Pertanian (TKPit) 24
TKPit
d n Dnit +k0+k1PDRBAit+k2TPLDit+ k3UMPit+
= n 1
u11it....................................................................................(3.20) Parameter estimasi yang diharapkan: k1,k2,k3 > 0 dimana:
64
TKPit TPLDit UMPit
= Jumlah Tenaga Kerja Sektor Pertanian (Orang) = Total Pengeluaran Daerah (Ribu Rupiah) = Upah Minimum Provinsi (Ribu Rupiah)
21. Tenaga Kerja Non Pertanian (TKNPit) 24
TKNPit
=
d n Dnit +l0+l1PDRBNAit+l2TPLDit+l3UMPit+ n 1
u12it................................................................................................................(3.21) Parameter estimasi yang diharapkan: l1, l2, l3 > 0 dimana: TKNPit
= Jumlah Tenaga Kerja Sektor Pertanian (Orang)
22. Total Tenaga Kerja (TTKit) TTKit = TKPit + TKNPit...................................................................................(3.22) dimana: TTKit TKPit TKNPit
= Total Tenaga Kerja (Orang) = Jumlah Tenaga Kerja Pertanian (Orang) = Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian (Orang)
4.2.2.3. Kemiskinan dan Kesenjangan Antar Daerah 23. Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan (JMKNKit) 24
JMKNKit
d n Dnit +mo+m1PDRBit+l2TPLDit+m3JADDit+
= n 1
m4JMKNKLAGit+U13it.................................................(3.23) Parameter estimasi yang diharapkan: m4 > 0 dan m1, m2, m3 < 0 dimana: JMKNKit
= Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan (Ribu Orang) JMKNKLAGit= Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan Tahun yang Lalu (Ribu Orang)
24. Jumlah Penduduk Miskin di Desa (JKMNDit) 24
JKMNDit
d n Dnit +n0+n1PDRBit+n2TPLDit+n3JADDit+
= n 1
n4JMKNDLAGit+U14it.................................................;.......(3.24)
65
Parameter estimasi yang diharapkan: n4> 0 dan n1,n2, n3 < 0 25. Jumlah Penduduk Miskin JMKNit
= JMKNDit+JKMNKit.....................................................(3.25)
26. Kesenjangan Antar Daerah
IW =
y ) 2 fi / n
( yi y
.........................................................................(3.26)
dimana: IW yi fi n y
= Koefisien Disparitas Williamson = PDRB riil per-kapita masing-masing Provinsi = Jumlah penduduk di masing-masing Provinsi = Jumlah penduduk Indonesia = PDRB riil per-kapita di Indonesia
Keterkaitan antar blok di atas secara garis besar dapat diperhatikan pada Gambar 10 sebagai berikut :
66
FGAP DAULAG
BUMD JKB RETDLAG
PADLLAG
PJKDLAG
PAD
PJKD
RETD
DBHLAG
DAK
POP T
PLBPG
DBH
PADL
TPD
PDLAIN LSKAB DAU
PLIND
PLMDL
PLTANI TPLD
YCAP
PLINF
PDRBA GROWTH
JMKND
UMP
PDRB
PLLAIN
PDRBNA
TKNP
TKP
PDRBLAG
JADD
PDRBNALAG
JMKN
TTK TDES
JMKNDLAG
JMKNK
PLNTANI
JMKNLAG
Keterangan:
= variabel endogen
= variabel eksogen
Gambar 10. Keterkaitan Antar Blok Model Dampak ADD Terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia
67
4.3. Prosedur Analisis Data 4.3.1.Identifikasi Model Model dampak alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal terhadap perkonomian daerah di Indonesia ini terdiri dari 14 persamaan struktural dan 11 persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri persamaan penerimaan pajak daerah, penerimaan retribusi daerah, pendapatan asli daerah lainnya, dana alokasi umum, dana bagi hasil, pengeluaran pertanian, pengeluaran infrastruktur, pengeluaran industri, produk domestik regional bruto sektor pertanian, produk domestik regional bruto sektor non pertanian, jumlah tenaga kerja pertanian, jumlah tenaga kerja non pertanian, jumlah penduduk miskin di perkotaan, jumlah penduduk miskin di desa. Sedangkan persamaan identitas terdiri atas persamaan pendapatan asli daerah, dana perimbangan, jumlah alokasi dana desa, total penerimaan daerah, pengeluaran non pertanian, total pengeluaran daerah, kesenjangan fiskal, produk domestik regional bruto, total tenaga kerja, dan jumlah penduduk miskin. Dalam hubungannya dengan identifikasi model, pemahaman mengenai konsep variabel adalah sangat penting. Menurut Koutsoyiannis (1977) dan Intriligator et al (1996), terdapat beberapa jenis konsep variabel, yaitu: (1) Endogenous Variabel, yaitu variabel-variabel yang ditentukan di dalam sistem oleh variabel eksogenous dan tidak dapat mempengaruhi variabel di luar sistem. Selanjutnya, variabel endogenous dapat dibedakan antara current endogengous variabel (variabel endogenous dalam satu periode atau waktu tertentu) dan lagged endogenous variabel (variabel endogenous dalam rentang waktu sebelumnya atau t-1); (2) Exogenous Variabel (peubah eksogen), yaitu variabel-variabel yang ditentukan di luar sistem, namun variabel dalam sistem tidak bisa mempengaruhi variabel di luar sistem. Eksogenous variabel dapat dibedakan antara current exogenous variabel (variabel eksogenous dalam satu periode tertentu) dan lagged exogenous variabel (variabel eksogenous dalam rentang waktu sebelumnya); (3) Predetermine Variabel, yaitu variabel-variabel selain current endogenous, jadi dengan kata lain predetermine variabel terdiri dari lagged endogenous, current eksogenous dan lagged exogenous; (4) Explanatory Variabel adalah variabel penjelas atau variabel yang menjelaskan atau variabel yang berada di sebelah kanan persamaan; dan (5) Stochastic disturbance error (peubah acak/residu) adalah variabel acak yang khas yang ditambahkan pada semua persamaan pada model selain persamaan identitas atau kondisi keseimbangan.
68
Dalam model dampak alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah di Indonesia ini terdapat 24 variabel current endogenous yang terdiri dari : a. 14 (empat belas) persamaan struktural b. 11 (sebelas) persamaan identitas sedangkan variabel eksogenousnya ada 21 (dua puluh satu) variabel. Dengan kata lain dalam persamaan ini terdapat 21 (dua puluh satu) variabel predetermine. Berdasarkan order condition, suatu persamaan dapat diidentifikasi jika jumlah total peubah yang keluar dari persamaan harus sama dengan atau lebih besar dari jumlah peubah current endogen dikurangi satu. Identifikasi model struktural order condition dapat dirumuskan sebagai berikut: (K-M) ≥ (G-1).......................................................................................(3.25) dimana: G = jumlah persamaan (current endogenous variabels) dalam model M = jumlah seluruh variabel (endogenous dan exogenous variabels) yang terdapat dalam suatu persamaan. K = jumlah total variabel di current endogenous dan predetermined variabel di dalam model. Jika (K-M) lebih besar dari (G – 1) , maka persamaan over identified. Sedangkan bila (K – M) sama dengan
(G – 1), maka persamaan dalam model dikatakan exactly
identified. Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Namun jika (K – M) lebih kecil dari (G – 1), maka persamaan dalam model dikatakan unidentified atau persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (Koutsoyiannis, 1977; Sitepu dan Sinaga, 2006). Dari hasil identifikasi model dapat diketahui bahwa semua persamaan dalam model adalah teridentifikasi secara berlebih (over identified). Persamaan dalam model sebanyak 25 persamaan, sehingga (G-1) = 24. Jumlah K atau total variabel dalam model adalah 45. Sedangkan jumlah variabel endogen dan eksogen terbanyak pada persamaan (4) yaitu sebanyak 7 (tujuh). Berdasarkan perhitungan pada rumus 3.25 dapat dinyatakan bahwa persamaan (4) dan persamaan lainnya adalah over identified atau semua model persamaan dapat dinyatakan teridentifikasi secara berlebih.
69
4.3.2. Metode Estimasi Model Mempertimbangkan digunakannya data panel yang mempunyai jumlah cross section yang besar (25 Provinsi) dan time series yang kecil (2005-2009) maka prosedur yang digunakan dalam penelitian ini adalah proc TSCSREG, metode yang digunakan adalah fix effect model (fixone) serta tehnik perhitungannya adalah least square dummy variable (LSDV) (Firdaus, 2011; Gujarati, 2003). Adapun Dalam rangka mengetahui taraf nyata bersama-sama dari variabel penjelas dilakukan pengujian dengan menggunakan uji F. Sedangkan untuk mengetahui taraf nyata masing-masing variabel penjelas terhadap variabel endogennya diuji dengan menggunakan uji t pada taraf nyata tertentu, dimana dalam studi ini menggunakan α sebesar 0.05 dan 0.10.
4.3.3.Validasi Model Validasi model dimaksudkan untuk mengetahui apakah model yang dirumuskan cukup layak atau valid untuk melakukan simulasi “Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal Daerah dan Perekonomian Daerah”. Validasi model dalam penelitian ini menggunakan metode Newton dan menggunakan prosedur proc simnlin. Kriteria yang dipergunakan untuk menilai layak atau valid tidaknya suatu model ekonometrika adalah Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) dan Theil Inequality Coefficient (U-Theil) (Pindyck dan Rubinfeld, 1991). Persamaan matematis dari RMSPE dan U-Theil adalah sebagai berikut: RMSPE
1 T
T t 1
2
Yt s Yt a x100 % ……..............................…......…….(3.27) Yt a
s
dimana,
a
Y t adalah nilai Yt simulasi/prediksi, sedangkan Y t adalah nilai dari Yt
aktual dan T adalah jumlah observasi dalam simulasi.
1 T
U-Theil =
1 T
T
Yt s
2
t 1
T
(Yt s ) 2 t 1
Yt a
……..............…........…….........(3.28)
1 T
T
(Yt a ) 2 t 1
dimana U dapat didekomposisi menjadi:
70
1 N
(Yt s
Yt a ) 2
(Y s
Y a )2
(
s
a
)2
2(1
)
s
a
…….......…………...(3.29)
dimana: s
Y adalah rata-rata untuk nilai prediksi a Y adalah rata-rata untuk nilai aktual dan a adalah standar deviasi untuk nilai prediksi dan nilai aktual adalah koefisien korelasi
s
Selanjutnya proporsi dari U (proportions of inequality) dapat dinyatakan sebagai berikut:
UM =
US =
UC =
(Y s 1 N
(Y (
1 N
Y a )2
s
(Y
s
…………………………….........…..........…..............(3.30)
a 2
Y ) a 2
)
s
……………………………….........…..........…............(3.31) a 2
Y )
2(1 ) s a …………………………..........…….........……............(3.32) 1 s a 2 (Y Y ) N
dimana: UM adalah proporsi bias yang menjelaskan seberapa jauh rata-rata nilai prediksi menyimpang dari rata-rata nilai aktual dan nilai UM yang diharapkan adalah mendekati nol; US adalah proporsi varians yang menjelaskan seberapa jauh variasi nilai prediksi menyimpang dari nilai variasi nilai aktual dan nilai US yang diharapkan adalah mendekati nol; dan C
U
adalah proporsi kovarians yang mengukur kesalahan peramalan yang tidak sistematis (unsystematic error).
Distribusi ketimpangan (U) yang ideal atas ketiga sumber tersebut adalah UM=US= 0 dan UC = 1 (Pindyck dan Rubinfeld, 1991).
71
4.3.4. Simulasi Kebijakan Simulasi pada dasarnya merupakan suatu solusi matematis (mathematical solution) dari suatu kumpulan berbagai persamaan secara simultan. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), alasan dilakukan simulasi model antara lain adalah untuk pengujian, evaluasi model dan analisis kebijakan. Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, maka penerapan model digunakan secara sistematis untuk mengevaluasi dampak alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah di Indonesia. Sehubungan hal tersebut, akan digunakan analisis simulasi untuk mengukur respon dari model yang diduga dalam hubungannya dengan kebijaksanaan yang ada. Menurut Intriligator (1996), simulasi merupakan penentuan perilaku suatu sistem (model) melalui perhitungan nilai-nilai variabel endogenous dengan menggunakan model yang telah diduga. Simulasi mempunyai manfaat sebagai alat eksperimentasi dalam mengevaluasi dampak berbagai alternatif kebijaksanaan dan tidak memerlukan penetapan suatu target tertentu. Adapun prosedur analisisnya dengan menggunakan data tahun 2007-2009. Sedangkan tahap yang ditempuh dimulai dengan tahap validasi model dan tahap simulasi kebijakan. Dalam studi ini, simulasi model terutama ditujukan untuk menganalisis berbagai kebijakan historis yang dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan yang akan datang. Dalam studi ini, analisis kebijakan difokuskan pada “Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia”. Adapun simulasi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok dan 15 (lima belas) simulasi, yaitu: A. Secara Nasional, dilakukan simulasi: Sim-a1: Alokasi Dana Desa diberikan berdasarkan ketentuan PP
No.72/2005
yaitu minimal 10 persen. Simulasi ini dilakukan untuk mengetahui secara pasti dampak Alokasi Dana Desa terhadap perekonomian Daerah apabila semua daerah melaksanakan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, khususnya Pasal 68 poin c mengenai Alokasi Dana Desa. Hal ini penting dilakukan karena sampai dengan tahun 2009 baru sekitar 60 persen dari jumlah total Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia yang melaksanakan ketentuan ini.
72
Sim-a2: Alokasi Dana Desa diberikan minimal 20 persen. Simulasi ini dilakukan untuk melihat apakah peningkatan alokasi dana desa akan semakin meningkatkan PAD, PDRB, menurunkan jumlah penduduk miskin dan untuk melihat dampak lainnya terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Sim-a3: Alokasi Dana Desa diberikan 250 juta rupiah per desa Simulasi ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mengetahui dampak seandainya ada alokasi APBN ke Desa yang saat ini dalam tahap pembahasan dalam RUU Desa. Sim-a4: Alokasi Dana Desa diberikan 500 juta rupiah per desa Peningkatan alokasi anggaran ini penting dilakukan untuk mengetahui dampaknya terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Sim-a5: Penambahan 5 Desa per Kabupaten/Kota Simulasi ini dilakukan dalam rangka untuk mengetahui dampak pemekaran desa yang saat ini semakin marak serta untuk mencari platform dalam penataan desa. Sim-a6: Penambahan 10 Desa per Kabupaten/Kota Simulasi kebijakan penambahan 5 Desa dan 10 Desa per Kabupaten/Kota ini didasarkan pada data Kementerian Dalam Negeri. Permendagri 6 Tahun 2008 tentang Kode Wilayah Administrasi Pemerintahan menyebutkan jumlah Desa sebanyak 65.189 Desa. Sedangkan Permendagri Nomor 66 Tahun 2011 menyebutkan jumlah Desa telah berubah menjadi 69.249 Desa. Dengan demikian dalam kurun waktu 4 tahun jumlah Desa telah bertambah 4.060 Desa. Berkenaan dengan data ini dan dihubungkan dengan jumlah Kabupaten/Kota yang ada dibuat skenario penambahan desa tiap Kabupaten/Kota 5 Desa dan 10 Desa. Simulasi ini penting dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan penataan wilayah desa, khususnya dampak dilakukannya pemekaran desa terhadap kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah. Selanjutnya simulasi ini dilakukan untuk sebagai bahan evaluasi dan masukan dalam penataan wilayah desa, dimana secara regulatif saat ini sedang disusun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Desa. B. Berdasarkan Klasifikasi Tipologi Klassen Sim-b1: Alokasi Dana Desa sesuai ketentuan PP no.72/2005 (min.10 persen) Sim-b2: Alokasi Dana Desa diberikan minimal 20 persen
73
Sim-b3: Alokasi Dana Desa diberikan sebesar 250 juta per desa Sim-b4: Alokasi Dana Desa diberikan sebesar 500 juta per desa Sim-b5: Penambahan 5 desa per Kabupaten/Kota Sim-b6: Penambahan 10 Desa per Kabupaten/Kota C. Gabungan dari ADD dan Penataan wilayah Desa (Simulasi Afirmatif) Sim-c1: Secara prosentase untuk kelompok daerah maju besarnya 10 persen, kelompok daerah maju tapi tertekan 20 persen, kelompok daerah berkembang cepat 30 persen dan kelompok daerah tertinggal 40 persen. Sim-c2: Simulasi c1 digabungkan untuk kelompok daerah maju desanya dimekarkan 5 Desa per Kabupaten/Kota dan untuk daerah tertinggal desanya dimekarkan 10 Desa per Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk Daerah Maju Tapi tertekan dan Daerah berkembang cepat Desanya tidak dimekarkan. Sim-c3: Secara nominal ADD diberikan merata sebesar 500 juta rupiah per desa dan untuk daerah yang tertinggal ditambah jumlah desanya 5 desa per Kabupaten/Kota.
4.4. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa panel data, yakni gabungan dari data time series dan cross section yang berkaitan dengan dampak alokasi dana desa terhadap perekonomian daerah di Indonesia. Data time series yang digunakan adalah periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Sedangkan data cross section mencakup 25 Provinsi terpilih (selain Provinsi Pemekaran setelah Tahun 2002 dan Provinsi DKI Jakarta). Penggunaan panel data ini dilakukan karena adanya keterbatasan sumber data terutama data Alokasi Dana Desa yang penerapan aturannya baru dimulai pada tahun 2005, yaitu ketika ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Data yang digunakan dalam penelitian ini telah dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS), Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN), Kementerian Dalam Negeri serta berbagai sumber lain yang berkaitan dengan studi ini. Data yang digunakan dalam satuan rupiah, telah dideflate dengan indeks harga konsumen dan menggunakan tahun dasar 2000 (2000=100).
74
Halaman ini sengaja dikosongkan
75
V. EVALUASI KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH
5.1. Evaluasi Umum Negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terluas dan terpanjang nomor 2 (dua) setelah Kanada. Dari Barat ke Timur jaraknya kurang lebih 5,110 Km² dan 1,888 Km² dari Utara ke Selatan. Negara Indonesia memiliki luas wilayah kurang lebih 1.89 juta Km² dan terdiri dari 17 ribu pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan batas sebelah Utara 6o LU (Lintang Utara), sebelah Selatan 11o LS (Lintang Selatan), sebelah Barat 95o BT (Bujur Timur) dan sebelah Timur 141o BT (Bujur Timur). Secara garis besar gambaran umum kewilayahan dan administrasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Gambaran Umum Kewilayahan dan Administrasi Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia Pulau
Sumatera
480,847
% Thdp Luas Total 25.43
Jawa
127,569
6.75
6
84
34
2,136
2,2453
2,762
73,137
3.87
3
36
4
466
4,072
529
Kalimantan
574,194
30.37
4
46
9
597
6,295
576
Sulawesi
191,671
10.14
6
62
11
952
7,848
1,722
Maluku dan Papua
443,336
23.45
4
54
6
730
7,023
311
1,890,750
100
33
399
98
6,694
69,249
8,216
Bali &Nusatenggara
Indonesia
Sumber :
Luas (Km2)
Jml Prov.
Jml Kab.
Jml Kota
Jml Kec.
Jml Desa
Jml Kel.
10
117
34
1,813
2,1558
2,316
Permendagri Nomor 66 Tahun 2011 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan (diolah)
Dari Tabel 3 tentang Gambaran Umum Kewilayahan dan Administrasi Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas, dari sisi kewilayahan diketahui bahwa Pulau yang terluas di Indonesia adalah Kalimantan kemudian diikuti Sumatera, Maluku dan Papua, Sulawesi, Jawa serta Bali dan Nusatenggara. Namun dari sisi wilayah administrasi pemerintahan, walaupun Sumatera merupakan pulau terluas nomor 2 setelah Kalimantan, namun memiliki jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota terbanyak, yaitu 10 Provinsi, 117 Kabupaten dan 34 Kota dibandingkan dengan pulaupulau lain di Indonesia. Selain itu, Pulau Sumatera juga memiliki jumlah Kecamatan,
76
Desa dan Kelurahan terbanyak nomor 2 setelah Pulau Jawa, yaitu 1813 Kecamatan, 21558 Desa serta 2316 Kelurahan. Dalam jumlah kepulauan yang ada, Pulau Sumatera merupakan pulau yang memiliki kepulauan terbanyak ke-2 setelah Pulau Maluku dan Papua, yaitu 5277 pulau. Pulau Jawa walaupun luasnya hanya 6.75 persen dari total luas Indonesia (127.569 Km2),
tetapi memiliki Kecamatan, Desa dan Kelurahan terbanyak di
Indonesia, yaitu 2136 Kecamatan, 2,2453 Desa dan 2,762 Kelurahan. Sedangkan Pulau Bali dan Nusatenggara merupakan pulau yang luasnya paling kecil (3,87%) bila dibandingkan dengan Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi serta Maluku dan Papua. Pulau Kalimantan adalah pulau terluas di Indonesia, yaitu memiliki luas 574,194 Km2 atau 30.37 persen dari seluruh luas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian Pulau Kalimantan dari sisi wilayah administrasi pemerintahan memiliki jumlah Provinsi, Kabupaten, Kota, Kecamatan, Desa dan Kelurahan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Dari deskripsi atau gambaran umum mengenai kewilayahan dan administrasi pemerintahan di atas dapat diketahui bahwa luas wilayah kepulauan di Indonesia dan jumlah tingkatan administrasi pemerintahannya bervariasi. Tentu saja hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, dari sisi faktor demografi, misalnya data menunjukkan bahwa persebaran jumlah penduduk di Indonesia antar pulau tidak merata. Pulau Jawa yang luasnya hanya 6.75 persen dari total luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, ternyata dihuni oleh 56.20 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Sebaliknya pulau Kalimantan sebagai pulau yang terluas, hanya dihuni 5.88 persen dari total penduduk Indonesia. Demikian juga halnya dengan Maluku dan Papua, walaupun luasnya mencapai 23.45 persen dari total luas Indonesia tetapi hanya dihuni 2.3 persen dari total penduduk Indonesia. dapat diketahui bahwa Pulau Sumatera kepadatan penduduknya kurang lebih 103,18 per Km2, Pulau Jawa 979,37 per Km2, Bali dan Nusatenggara kepadatannya 172 per Km2, Kalimantan 22,76 per Km2, Sulawesi 88,33 per Km2, Maluku dan Papua kepadatan penduduknya 11,63 per Km2. Sedangkan kepadatan penduduk secara nasional adalah 117,57 per Km2. Dari angka kepadatan penduduk secara kasar ini (crude density of population) ini dapat diketahui bahwa kepadatan penduduk Pulau Jawa 8 (delapan) kali angka kepadatan penduduk seluruh Indonesia. Secara garis besar faktor demografi tersebut dapat diperhatikan pada Tabel 4.
77
Tabel 4. Gambaran Umum Faktor-Faktor Demografi di Setiap Kepulauan di Indonesia Tahun 2009 Pulau Sumatera Jawa Bali, Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua Indonesia
Jumlah Penduduk (ribu orang) 49,616 124,938 12,605 13,066 16,932 5,157 222,314
Persentase Terhadap Total Penduduk 22.32 56.20 5.67 5.88 7.61 2.32 100
Sumber : BPS, 2010 (diolah)
Memperhatikan data demografi di atas bila dibandingkan dengan angka kepadatan penduduk pulau lain, angka kepadatan penduduk Pulau Jawa adalah 9 (sembilan) kali angka kepadatan Pulau Sumatera, 21 (dua puluh satu) kali angka kepadatan penduduk Pulau Kalimantan, 11 (sebelas) kali angka kepadatan penduduk Pulau Sulawesi dan 84 (delapan puluh empat) kali kepadatan penduduk Pulau Maluku dan Papua. Berdasarkan data wilayah, administrasi pemerintahan dan demografi
di atas
dapat diketahui bahwa luas wilayah kepulauan di Indonesia tidak berbanding lurus dengan jumlah tingkatan administrasi pemerintahan dan kepadatan penduduk per satuan unit wilayah. Kenyataan ini tentu saja akan mempengaruhi kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah bagi Pemerintah Daerah di masing-masing pulau.
5.2. Evaluasi Kinerja Fiskal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa sumber penerimaan pemerintah daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dana bagi hasil (DBH), pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Selanjutnya yang disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa PAD Lain-lain yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan
78
bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Secara garis besar tingkat perkembangan Pendapatan Asli Daerah dari tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 5 tentang
Tingkat
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan Provinsi di Indonesia, Tahun 2005-2009. Tabel 5. Tingkat Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan Provinsi di Indonesia, Tahun 2005-2009 PROVINSI NAD
2005
2006
2007
2008
2009
94,370,790
204,278,338
302,796,820
465,823,282
506,071,489
SUMUT
459,890,857
639,838,376
736,612,398
980,843,998
1,108,174,780
SUMBAR
229,842,771
346,605,651
448,910,305
571,634,897
886,559,142
RIAU
365,712,018
597,174,928
818,965,787
1,458,717,792
1,137,423,211
JAMBI
124,171,743
159,521,142
208,001,860
320,385,346
301,673,199
SUMSEL
175,309,896
318,517,074
355,853,760
499,263,940
644,322,529
BENGKULU
38,738,416
60,077,294
90,925,761
128,094,476
175,118,559
LAMPUNG
104,670,808
163,625,756
199,653,634
269,025,783
337,655,965
JABAR
1,401,887,165
1,804,726,125
2,318,979,541
2,941,371,792
3,165,589,473
JATENG
1,231,145,126
1,762,732,730
2,052,376,841
2,544,309,081
2,621,787,961
198,577,055
268,739,103
358,445,386
458,792,512
447,919,810
1,480,034,779
1,983,452,199
2,413,217,306
3,121,594,389
3,353,224,714
BALI
588,336,925
656,709,606
788,365,128
1,374,028,533
1,256,477,940
NTB
111,558,793
164,514,275
203,228,352
240,006,082
323,682,182
NTT
131,892,906
215,604,048
267,866,271
334,446,354
351,382,256
KALBAR
100,310,231
173,784,625
230,714,316
297,155,629
296,849,644
KALTENG
123,568,091
168,702,357
216,103,235
290,994,613
316,076,993
KALSEL
198,305,737
302,256,474
380,505,620
426,969,008
478,973,150
KALTIM
319,039,800
589,753,768
686,325,393
1,079,914,993
998,085,645
79,759,012
110,149,192
147,825,790
180,971,548
213,664,875
DIY JATIM
SULUT SULTENG
60,306,228
115,410,511
142,836,017
186,389,464
224,976,633
SULSEL
310,404,946
508,037,455
618,145,056
761,872,877
957,655,637
SULTRA
74,142,019
105,312,424
147,433,595
210,830,579
331,329,703
MALUKU
36,877,048
58,710,633
78,196,431
151,593,113
138,337,235
PAPUA
77,689,407
207,981,903
268,912,254
494,517,588
466,714,015
Sumber: BPS, Tahun 2005-2009
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di daerah penelitian untuk tahun 2005-2009 mengalami peningkatan antara 21.66 persen (Provinsi Jateng) sampai dengan 68.82 persen (Provinsi Papua). Persoalan penting yang perlu mendapat perhatian bahwa peningkatan Pendapatan Asli Daerah dari tahun 2005-2009 tersebut ternyata berbanding lurus dengan peningkatan
79
penerimaan Pajak Daerah. Salah satu faktor yang menyebabkan karena UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai penyempurnaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih dalam menggali dan mengelola Pendapatan Asli Daerahnya, termasuk didalamnya pajak dan retribusi daerah. Memperhatikan hal ini, perlu adanya perhatian dari Pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan pungutan objek pajak di setiap daerah. Hal ini penting dilakukan karena di era desentralisasi fiskal saat ini ada indikasi bahwa Pemerintah Daerah ”berlombalomba” untuk meningkatkan penerimaan pajaknya dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Mengapa hal ini penting untuk diperhatikan ? Karena berdasarkan teori dapat diketahui bahwa peningkatan pajak akan berakibat bergesernya kurva pengeluaran agregat ke bawah dan selanjutnya akan menurunkan tingkat ouput ekuilibrium. Secara lebih jelas peningkatan pendapatan asli daerah seiring peningkatan pajak daerah dapat dilihat pada Gambar 11.
Sumber: BPS, Tahun 2005-2009 (diolah) Gambar 11. Hubungan PAD dan Pajak Daerah di Indonesia Tahun 2005-2009 Selanjutnya dari Tabel 6 di bawah dapat diketahui lebih jelas bahwa penerimaan pajak dari tahun ke tahun selalu meningkat. Bahkan beberapa Provinsi seperti Aceh, Maluku dan Papua peningkatan penerimaan pajaknya dari tahun 2005-2009 sangat pesat. Secara lengkap perkembangan pajak daerah selama periode penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 tentang Perkembangan Pajak Daerah Berdasarkan Provinsi di Indonesia, Tahun 2005-2009.
80
Tabel 6. Tingkat Perkembangan Pajak Daerah Berdasarkan Provinsi di Indonesia, Tahun 2005-2009 (Ribu Rupiah) TAHUN
PROVINSI
PERTBHN
2005 NAD SUMUT
2006
2007
2008
2009
(%)
21,277,514
48,205,137
68,996,973
97,266,819
109,372,125
55.78
249,728,870
297,205,658
340,443,840
444,288,958
511,496,240
19.80
SUMBAR
78,966,703
99,315,107
120,438,974
153,540,934
178,537,214
22.70
RIAU
69,454,792
81,591,476
111,905,665
152,797,321
158,125,857
23.66
JAMBI
26,927,286
36,409,960
39,831,721
59,559,139
62,197,187
24.64
SUMSEL
57,987,176
83,801,232
100,327,952
154,064,741
166,080,862
31.40
BENGKULU
11,931,155
16,344,061
19,920,494
26,936,141
36,682,634
32.57
LAMPUNG
40,856,870
53,903,303
60,043,341
91,621,410
101,646,954
26.71
JABAR
549,089,506
670,997,946
885,424,621
1,117,392,635 1,254,290,292
23.15
JATENG
351,927,462
444,324,014
539,801,263
664,875,195
680,499,427
18.32
77,013,653
90,653,597
123,270,297
158,847,466
163,401,281
21.35
JATIM
602,963,069
757,429,687
878,543,123
1,117,836,471 1,257,350,035
20.33
BALI
430,317,699
440,200,388
533,046,760
1,003,579,917
936,932,346
26.25
NTB
39,747,747
48,304,836
54,676,341
68,936,432
91,623,097
23.43
NTT
21,392,786
30,452,792
38,413,669
49,451,033
53,652,428
26.43
KALBAR
38,183,208
49,803,253
52,203,702
74,925,453
93,309,344
25.83
KALTENG
21,277,462
22,271,958
28,612,048
48,749,986
39,901,993
21.34
KALSEL
48,084,282
62,604,371
91,532,217
94,753,615
118,473,351
26.24
KALTIM
92,145,508
113,418,057
128,993,722
196,715,214
187,080,811
21.11
SULUT
31,950,363
47,003,649
56,317,695
70,369,276
76,305,210
25.08
SULTENG
20,329,652
29,888,888
37,780,481
48,714,087
67,162,406
35.06
SULSEL
109,401,013
164,867,568
173,200,391
218,453,779
265,986,752
25.91
SULTRA
12,385,405
18,556,750
26,013,171
28,202,406
37,931,961
33.23
MALUKU
8,076,458
11,827,438
16,861,756
26,350,959
32,442,609
42.10
21,662,226
29,573,878
46,783,348
68,223,249
88,299,523
42.49
DIY
PAPUA
Sumber: BPS, 2005-2009
Pasal 108 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menyebutkan juga bahwa terdapat 3 obyek retribusi, yaitu : jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu. Obyek retribusi jasa umum terdiri dari 14 jenis retribusi, yaitu retribusi pelayanan kesehatan, pelayanan persampahan/kebersihan, penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan sipil, pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat, pelayanan parkir di tepi jalan umum, pelayanan pasar, pengujian kendaraan bermotor, pemeriksaan alat pemadam kebakaran, penggantian biaya cetak Peta, penyediaan dan/atau penyedotan kakus, pengolahan limbah cair, retribusi pelayanan tera ulang, pelayanan pendidikan dan pengendalian menara telekomunikasi. Dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 28
81
Tahun 2009, yang dikelompokkan dalam obyek retribusi jasa usaha ada 11 jenis retribusi, yaitu: pemakaian kekayaan daerah, pasar grosir dan/atau pertokoan, tempat pelelangan, terminal, tempat khusus parkir, tempat penginapan/pesanggrahan/villa, rumah potong hewan, pelayanan kepelabuhan, tempat rekreasi dan olahraga, penyeberangan di Air dan penjualan produksi usaha daerah. Di era desentralisasi fiskal saat ini perlu ditingkatkan juga berbagai langkah strategis agar Pemerintah Daerah mampu mencukupi kebutuhan fiskal daerahnya untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum, seperti penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan infrastruktur dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dengan kata lain, bagaimana agar kemampuan fiskal (fiscal capacity) suatu daerah yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), potensi industri (diukur dengan PDRB sektor non-primer), potensi sumberdaya alam (diukur dengan PDRB sektor primer) dan potensi sumberdaya manusia (diukur dengan angkatan kerja) dapat ditingkatkan. Dari sisi penerimaan, Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari pajak dan sumberdaya alam memang dapat menjadi andalan bagi daerah dalam meningkatkan fiscal capacity-nya. Dimana Dana Bagi Hasil (DBH) yang bersumber dari pajak terdiri atas: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumberdaya
alam berasal
dari kehutanan,
pertambangan umum, perikanan,
pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 diatur bahwa Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90 persen untuk daerah dengan rincian: (a) 16.2 persen untuk daerah provinsi yang bersangkutan; (b) 64.8 persen untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; dan (c) 9 persen untuk biaya pemungutan. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah meningkatnya pertumbuhan pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) seperti terlihat pada Tabel 7 tentang Tingkat Perkembangan Dana Alokasi Umum Berdasarkan Provinsi di Indonesia, Tahun 2005-2009. Peningkatan kebutuhan DAU penting untuk mendapat perhatian karena dengan
meningkatnya
Dana
Alokasi
Umum
(DAU)
menunjukkan
bahwa
ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat masih terus meningkat. Dengan meningkatnya kebutuhan DAU untuk suatu daerah berarti juga bahwa masih terdapat celah fiskal dan kebutuhan alokasi dasar yang tidak dapat dipenuhi oleh daerah itu sendiri. Secara jelas perkembangan DAU dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.
82
Tabel 7. Tingkat Perkembangan Dana Alokasi Umum Berdasarkan Provinsi di Indonesia, Tahun 2005-2009 Tahun
Provinsi 2005
2006
2007
NAD
2,034,930,451
3,966,325,923
5,057,567,469
6,240,997,688
6,361,196,867
22.80
SUMUT
3,671,489,514
7,266,638,985
9,046,149,474
10,612,181,766
11,196,442,087
22.30
SUMBAR
2,134,051,143
4,305,908,493
5,241,809,936
6,564,766,490
6,943,413,645
23.60
RIAU
1,293,971,912
1,654,463,639
2,326,357,411
2,221,856,326
2,094,650,235
9.63
JAMBI
1,291,920,571
2,144,890,804
2,774,825,675
3,257,998,866
3,500,766,048
19.94
SUMSEL
1,796,416,043
3,489,698,929
4,304,871,591
5,456,729,193
5,601,115,980
22.74
BENGKULU
729,937,412
1,836,233,056
2,140,346,767
2,690,566,673
2,805,889,471
26.93
LAMPUNG
1,971,621,564
3,611,235,381
4,202,370,630
5,203,458,838
5,631,767,139
20.99
JABAR
7,061,368,017
10,198,474,570
14,796,137,752
17,895,181,250
19,620,120,865
20.44
242,207,558
824,750,071
1,263,116,148
1,780,598,409
2,226,242,496
44.37
DIY
1,068,430,530
1,886,225,387
2,261,875,563
2,738,190,270
2,845,338,215
19.59
JATIM
8,646,188,554
14,532,278,998
17,238,702,177
21,171,328,895
22,402,729,625
19.04
BALI
1,398,149,724
2,344,683,758
2,800,028,371
3,344,010,861
3,589,493,986
18.86
NTB
1,373,627,351
2,410,315,786
3,174,540,390
3,787,535,023
4,329,887,775
22.96
NTT
2,075,408,260
3,596,578,018
4,511,008,086
5,035,371,904
5,472,787,502
19.39
KALBAR
1,776,699,712
3,757,805,190
4,423,935,027
5,458,788,332
5,912,449,232
24.05
KALTENG
1,729,786,710
3,526,894,167
4,221,102,926
5,210,834,848
5,568,988,129
23.38
KALSEL
1,397,361,712
2,753,723,728
3,332,523,719
4,045,445,259
4,367,096,081
22.79
KALTIM
1,272,251,914
2,081,858,378
2,623,714,402
2,904,243,894
2,437,026,332
13.00
SULUT
1,062,556,759
2,203,312,665
2,618,311,967
2,804,351,273
3,077,502,829
21.27
SULTENG
1,275,600,608
2,617,941,439
3,107,744,159
3,822,082,476
3,882,492,546
22.26
SULSEL
3,181,593,032
5,781,856,484
6,780,509,320
8,226,444,417
8,697,000,901
20.11
SULTRA
986,486,065
2,432,183,556
2,876,603,678
3,556,294,358
4,282,720,539
29.36
MALUKU
839,288,188
1,807,513,941
2,255,029,688
2,781,042,662
2,579,497,598
22.46
1,907,192,053
5,987,728,485
7,353,965,376
8,880,285,017
10,630,197,800
34.36
JATENG
PAPUA
2008
2009
Ptbhn (%)
Sumber : BPS, 2005-2009
Selanjutnya 10 persen bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota dan 35 persen dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. Sedangkan Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan 64 persen untuk daerah kabupaten/kota penghasil. Sedangkan 20 persen bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten/Kota.
83
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang PPh, mulai tahun anggaran 2001 daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax). Menurut Sidik (2002), maksud ditetapkannya PPh perorangan sebagai objek bagi hasil adalah untuk kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki Sumberdaya alam tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21yang merupakan bagian daerah adalah 20 persen. Dimana Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 dibagi dengan imbangan 60 persen untuk Kabupaten/Kota dan 40 persen untuk Provinsi. Persoalannya sekarang, walaupun Undang-Undang memungkinkan untuk melakukan intensifikasi obyek pajak, namun karena pajak akan mengurangi pendapatan disposabel perorangan dan karenanya juga mengurangi konsumsi dan pengeluaran agregat, maka kebijakan peningkatan penerimaan dari sektor pajak ini perlu disertai dengan belanja pemerintah agar pengeluaran agregat meningkat. Hal ini penting diperhatikan karena peningkatan belanja pemerintah, ceteris paribus, akan menggeser kurva pengeluaran agregat ke atas. Artinya, dengan peningkatan belanja pemerintah daerah kinerja perekonomian daerah
akan
semakin meningkat
dan tujuan
penyelenggaraan otonomi daerah akan tercapai. Namun permasalahannya sekarang, belanja pemerintah yang mana yang seharusnya perlu ditingkatkan. Memperhatikan hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri dan data BPS, menunjukkan bahwa belanja pegawai saat ini yang terus meningkat dan melebihi belanja pembangunan, maka tentu yang perlu ditingkatkan adalah belanja pembangunan. Terlebih apabila mengingat bahwa multiplier effect dari belanja pembangunan lebih besar daripada belanja pegawai. Oleh karena masyarakat Indonesia sebagian besar tinggal di desa dan permasalahan mendasar seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah, kesehatan yang buruk itu adanya juga di desa, maka salah satu strategi yang harus dilakukan untuk mendorong perekonomian daerah adalah meningkatkan belanja pemerintah daerah khususnya untuk pembangunan di daerah perdesaan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, jelas disebutkan salah satu sumber pendapatan Desa adalah Alokasi Dana Desa (ADD), yaitu suatu alokasi anggaran dari dana perimbangan setelah dikurangi belanja pegawai minimal 10 persen untuk desa. Belanja pemerintah daerah, dalam wujud ADD ini sangat penting bagi desa. Bahkan dalam
84
penyelenggaraan pemerintahan desa, pada umumnya ADD menjadi sumber utama Pemerintah Desa untuk operasional pemerintahan desa (30 persen) dan pemberdayaan masyarakat desa (70 persen), seperti menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan perekonomian desa. Namun kenyataannya, seperti dikatakan oleh Mardiasmo (2004), di era desentralisasi fiskal ada kecenderungan para decision maker di daerah kurang memahami mengenai cost awareness (kesadaran atas uang publik). Walaupun para pengambil kebijakan ini sudah mengetahui bahwa hampir sebagian besar masyarakat beserta potensi dan permasalahannya ada di desa, namum belanja pemerintah untuk desa masih kecil. Tabel 8. Prosentase Jumlah Kabupaten/Kota Berdasarkan Provinsi yang Memberikan Alokasi Dana Desa di Indonesia,Tahun 2005-2009 % Provinsi
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
NAD
0
14.29
13.04
78.26
78.26
SUMUT
0
32.00
32.14
50
57.14
SUMBAR
0
10.53
15.79
47.37
52.63
RIAU
0
27.27
36.36
63.64
75.00
JAMBI
0
10.00
10.00
70.00
63.64
SUMSEL
0
35.71
33.33
66.67
73.33
BENGKULU
0
44.44
44.44
55.56
55.56
LAMPUNG
0
27.27
27.27
54.55
57.14
JABAR
0
32.00
30.77
46.15
46.15
JATENG
0
45.71
45.71
77.14
77.14
DIY
0
60.00
60.00
80.00
80.00
JATIM
0
71.05
73.68
76.32
76.32
BALI
0
66.67
66.67
88.89
88.89
NTB
0
22.22
22.22
55.56
66.67
NTT
0
40.00
40.00
45.00
45.00
KALBAR
0
28.57
21.43
50.00
85.71
KALTENG
0
21.43
35.71
57.14
57.14
KALSEL
0
38.46
38.46
69.23
69.23
KALTIM
0
15.38
14.29
64.29
64.29
SULUT
0
22.22
15.38
23.08
23.08
SULTENG
0
10.00
10.00
30.00
30.00
SULSEL
0
26.09
26.09
78.26
73.91
SULTRA
0
16.67
16.67
41.67
16.67
MALUKU
0
0
0
55.56
70.00
PAPUA
0
0
0
19.05
19.05
29.17
57.73
60.07
Rata-rata 0 28.71 Sumber: Ditjen PMD, Tahun 2005-2009
85
Selanjutnya, perkembangan penyaluran alokasi dana desa yang dikelompokkan menurut Provinsi dari Tabel 9 di bawah ini terlihat bahwa pengeluaran ADD Kabupaten/Kota menurut Provinsi dari tahun ke tahun cukup meningkat. Peningkatan penyaluran alokasi dana desa ini tidak terlepas dari adanya pembinaan dan pengawasan Pemerintah serta semakin jelasnya peraturan pelaksanaan mengenai penyaluran ADD. Namun demikian kalau memperhatikan perbandingan antara ADD riil dan ADD yang seharusnya (Gambar 1), sebenarnya perkembangan penyaluran ADD ini perlu terus didorong. Secara lebih lengkap perkembangan penyaluran ADD dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perkembangan Penyaluran ADD menurut Provinsi, Tahun 2006-2009 Provinsi
2006
2007
2008
2009
NAD
27,851,148
88,581,071
34,691,474
72,870,633
SUMUT
57,496,127
107,000,000
59,769,829
106,241,572
SUMBAR
14,804,338
211,000,000
17,833,034
254,148,008
RIAU
16,326,138
52,217,062
110,000,000
100,844,794
JAMBI
6,033,175
6,235,968
7,309,713
75,677,383
SUMSEL
22,044,729
102,000,000
27,813,044
135,333,266
BENGKULU
41,115,950
40,841,286
48,511,928
48,920,063
LAMPUNG
50,081,907
52,646,268
59,280,071
62,362,480
JABAR
114,000,000
143,000,000
163,000,000
166,024,322
JATENG
218,000,000
312,000,000
255,000,000
446,622,411
DIY
23,387,600
26,664,897
27,894,702
30,559,953
352,000,000
395,000,000
254,000,000
654,425,014
BALI
10,959,596
15,602,763
4,396,072
30,455,142
NTB
11,129,646
9,898,420
13,315,769
12,287,711
NTT
89,109,613
115,000,000
115,435,431
104,595,658
KALBAR
19,605,494
50,825,463
23,549,794
64,632,472
5,931,637
68,768,326
71,009,640
81,625,524
KALSEL
33,252,828
30,922,617
39,917,878
71,636,784
KALTIM
32,443,883
70,871,255
62,000,000
665,410,310
5,389,225
5,112,747
6,368,494
16,547,704
-
4,406,667
6,717
5,220,053
SULSEL
25,035,797
128,000,000
29,306,800
201,900,262
SULTRA
10,718,352
46,489,550
6,119,963
54,368,427
-
6,048,869
14,852
7,194,333
49,466
23,028,658
61,704
31,115,961
JATIM
KALTENG
SULUT SULTENG
MALUKU PAPUA
Sumber: Ditjen PMD, Tahun 2006-2009
Peningkatan penyaluran ADD di atas sangat penting dalam proses pembangunan, khususnya bagi pembagunan desa. Alokasi dana desa sampai saat ini merupakan
86
anggaran yang paling besar bagi Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan penyaluranan ADD juga menjadi penting karena seperti dikatakan oleh Mankiw (2006) jika belanja pemerintah naik maka pendapatan akan meningkat juga. Dengan kata lain dalam konteks pembangunan desa, peningkatan belanja pemerintah daerah bagi desa, termasuk
untuk ADD sebenarnya akan meningkatkan Pendapatan Asli Desa,
perekonomian desa, termasuk dalam mengurangi jumlah penduduk miskin di desa dan akhirnya akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah itu sendiri, bahkan kenaikan dalam pendapatan akan melebihi kenaikan belanja pemerintah tersebut.
5.3. Evaluasi Kinerja Perekonomian 5.3.1. Pertumbuhan Ekonomi Pada era sebelum desentralisasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia antara 7 persen sampai dengan 10 persen. Namun ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot dengan tajam hingga -13 persen. Selanjutnya pada tahun 1999 pertumbuhan perekonomian Indonesia mulai meningkat menjadi sekitar 3 persen. Berdasarkan data tahun 2005-2009 diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di era desentralisasi fiskal ini berkisar antara 4 persen sampai dengan 8 persen atau rata-rata 5.35 persen. Daerah yang pertumbuhannya negatif yaitu Aceh rata-rata -2.89 persen dan yang pertumbuhannya relatif rendah lainnya bila dibandingkan dengan rata-rata Nasional antara lain adalah Riau (4.29 persen), Sumatera Selatan (5.06 persen), DIY (4.37 persen), NTT (4.84 persen), Kalimantan Barat ( 5.13 persen), Kalimantan Timur (2.92 persen), Maluku (5.12 persen) dan Papua (2.13 persen). Sedangkan provinsi-propvinsi yang angka pertumbuhan ekonominya di atas rata-rata Nasional antara lain adalah Provinsi Sumatera Utara (6.14 persen), Sumatera Barat (5.91 persen), Jambi (6.56 persen), Bengkulu (6.16 persen), Jawa Barat (5.72 persen), Jawa Tengah (5.42 persen), Jawa Timur (5.76 persen), Bali (6.70 persen), NTB (5.65 persen), Kalimantan Tengah (5.89 persen),
Kalimantan Selatan (5,68 persen), Sulawesi Utara (7.72 persen),
Sulawesi Tengah (8.32 persen), Sulawesi Selatan (6.77 persen) dan Sulawesi Tenggara (8.95 persen). Dari data pertumbuhan ekonomi tiap provinsi diketahui pula bahwa 36 persen Provinsi di Indonesia pertumbuhannya di bawah rata-rata nasional dan 64 persen Provinsi lainnya berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Provinsi yang angka pertumbuhan ekonominya dibawah rata-rata nasional ada di Pulau Sumatera (3
87
Provinsi), sedangkan provinsi-provinsi yang angka pertumbuhan ekonominya berada di atas rata-rata angka pertumbuhan nasional paling banyak terdapat di Pulau Sumatera dan Sulawesi (masing-masing 4 Provinsi) kemudian diikuti Provinsi-provinsi yang berada di Pulau Jawa (3 Provinsi), kemudian diikuti provinsi-provinsi yang berada di Pulau Bali dan Nusatenggara serta di Pulau Kalimantan. Selanjutnya bila memperhatikan pertumbuhan ekonomi tiap Pulau dari tahun 2005-2009, rata-rata pertumbuhan ekonomi Pulau Sumatera 4.57 persen, Pulau Jawa 5.32 persen, Pulau Bali dan Nusatenggara 5.73 persen, Pulau Kalimantan 4.91 persen, sedangkan Maluku dan Papua kurang lebih 3.67 persen. Secara lengkap hal ini dapat diperhatikan pada Tabel 10 tentang Pertumbuhan Perekonomian Daerah Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2005-2009.
Tabel 10. Pertumbuhan Perekonomian Daerah Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2005-2009 Provinsi
Tahun 2005-2006
NAD SUMUT SUMBAR RIAU JAMBI SUMSEL BENGKULU LAMPUNG JABAR JATENG DIY JATIM BALI NTB NTT KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM SULUT SULTENG SULSEL SULTRA MALUKU PAPUA
1.56 6.20 6.14 5.15 5.89 5.20 5.95 4.98 6.02 5.33 3.70 5.77 5.28 2.77 5.08 5.23 5.84 4.98 2.85 5.72 7.82 6.72 7.68 5.55 -17.14
Sumber: BPS, 2010 (diolah)
2006-2007
2007-2008
2008-2009
Rata-rata
-2.36 6.90 6.34 3.41 6.82 5.84 6.46 5.94 6.48 5.59 4.31 6.11 5.92 4.91 5.15 6.02 6.06 6.01 1.84 6.47 7.99 6.34 7.96 5.62 4.34
-5.24 6.39 6.88 5.65 7.16 5.07 5.78 5.35 6.21 5.61 5.03 6.16 10.27 2.82 4.84 4.49 6.17 6.45 4.90 10.86 9.96 7.78 12.59 4.23 -1.40
-5.51 5.07 4.28 2.97 6.37 4.11 6.43 5.16 4.19 5.14 4.43 5.01 5.33 12.11 4.29 4.79 5.51 5.29 2.09 7.85 7.51 6.23 7.57 5.44 22.74
-2.89 6.14 5.91 4.29 6.56 5.06 6.16 5.36 5.72 5.42 4.37 5.76 6.70 5.65 4.84 5.13 5.89 5.68 2.92 7.72 8.32 6.77 8.95 5.21 2.13
88
5.3.2. Kemiskinan Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada dasarnya mengalami penurunan dari
tahun ke tahun, yaitu dari 70 juta jiwa atau 60 persen pada tahun 1970 menjadi 26 juta atau 14 persen pada tahun 1993 (Kartasasmita, 1997). Sedangkan berdasarkan data BPS Tahun 2005-2009, setelah diolah dapat diketahui bahwa rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin di masing-masing pulau sangat bervariatif. Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa Pulau Sumatera penurunannya sekitar -14.50 persen, Pulau Jawa penurunannya sekitar -9,36 persen, Pulau Bali dan Nusatenggara penurunannya -13,76 persen, Pulau Kalimantan penurunannya sekitar -26.15 persen, Pulau Sulawesi penurunannya kurang lebih -6.75 persen, sedangkan Pulau Maluku dan Papua penurunan jumlah penduduk miskinnya kurang lebih -16.90 persen. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 di setiap kepulauan sangat bervariatif. Sebagian besar jumlah penduduk miskin ada di Pulau Jawa (56.22 persen), kemudian secara berturut-turut secara persentase berada di Pulau Sumatera (21.28 persen), Pulau Sulawesi (7.73 persen), Pulau Bali dan Nusatenggara (6.97 persen) dan Pulau Kalimantan (3.15 persen).Secara lengkap hal ini dapat diperhatikan pada Tabel 11 berikut ini.
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin per Pulau di Indonesia Tahun 2009
Pulau Sumatera Jawa Bali, Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua Indonesia Sumber: BPS, 2010 (diolah)
Jumlah Penduduk miskin (ribu orang) 6,854.20 18,105.80 2,245.70 1,015.90 2,490.10 1,495.10 3,2206.8
Persentase Terhadap Total Penduduk Miskin 21.28 56.22 6.97 3.15 7.73 4.65 100.00
5.3.3. Klasifikasi Daerah Berdasar Tipologi Klassen Dari hasil perhitungan Tipologi Klassen menunjukkan bahwa
yang dapat
diklasifikasikan ke dalam daerah yang maju tumbuh cepat atau daerah yang rata-rata laju pertumbuhan ekonominya serta PDRB per kapita di atas rata-rata nasional adalah
89
Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selanjutnya provinsi-provinsi yang tergolong dalam daerah maju tapi tertekan atau PDRB per kapitanya di atas rata-rata PDRB pere kapita nasional tetapi laju pertumbuhannya di bawah rata-rata nasional adalah Provinsi Riau, Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Timur. Daerah yang berkembang cepat atau yang rata-rata laju pertumbuhan ekonominya di atas rata-rata nasional tetapi PDRB per kapitanya di bawah rata-rata nasional adalah Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Bali, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Daerah yang relatif tertinggal atau yang PDRB per kapitanya serta laju pertumbuhan ekonominya di bawah rata-rata nasional menurut kriteria ini adalah Provinsi NAD, Lampung, DIY, NTT, Kalimantan Barat, Maluku dan Papua. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat di tabel 12 tentang Tipologi Klassen Provinsi di Indonesia berikut ini: Tabel 12. Tipologi Klassen Provinsi di Indonesia PDRB per-kapita (Y)
Y1>Y
Y1
Laju Pertumb. (r) r1>r
Sumut,Jabar, Jateng , Jatim
Riau,Sumsel, Kaltim r1
Sumbar,Jambi, Bengkulu,Bali, NTB, Kalteng,Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel dan Sultra NAD,Lampung, DIY, NTT, Kalbar, Maluku, Papua
Sumber: BPS, 2005-2009 (diolah)
Selanjutnya apabila kriteria di atas
dikelompokkan dalam tiap pulau, dapat
diketahui bahwa hanya Pulau Sumatera yang memiliki Provinsi di setiap kriteria Tipologi Klassen. Artinya, di Pulau Sumatera pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapitanya sangat variatif. Dari Tabel 13 dapat diketahui juga bahwa Di Pulau Jawa hampir 80 persen Provinsinya termasuk daerah maju tumbuh cepat kecuali DIY, sedangkan di Pulau Sulawesi semua Provinsinya merupakan daerah yang berkembang cepat. Sebaliknya untuk Pulau Maluku dan Papua semua Provisinya tergolong daerah yang relatif tertinggal. maka hasilnya dapat dilihat pada Tabel 13 tentang Jumlah
90
Provinsi Per Pulau di Indonesia Menurut Tipologi Klassen Tahun 2005-2009. Hal ini dapat diperhatikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Jumlah Provinsi per Pulau di Indonesia Menurut Tipologi Klassen Tahun 2005-2009 Pulau
Sumatera Jawa Bali, Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua Indonesia
Daerah Maju Daerah Maju Tumbuh Cepat Tapi Tertekan
1 3
4
2
Daerah Relatif Tertinggal
Daerah Berkembang Cepat
2 1 1
3
1
1
2 4
3
2 7
2
11
Sumber: BPS, 2005-2009 (diolah)
Dari data ini, dapat dijadikan data awal bagi para pengambil kebijakan bahwa kenyataan menunjukkan situasi dan kondisi Pemerintah Daerah di Indonesia adalah sangat bervariatif. Dengan demikian, dalam rangka mencapai efektivitas tujuan nasional, perlu adanya upaya strategis yang cukup bervariatif juga. Pertanyaan yang perlu dikemukakan berdasarkan data Provinsi per Pulau dalam kriteria Tipologi Klassen tersebut adalah mengapa terjadi variasi tipologi Klassen dalam tiap-tiap pulau? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi situasi dan kondisi tersebut?. Dalam rangka memahami berbagai persoalan ini, dalam evaluasi kinerja fiskal dan perekonomian daerah ini perlu dilakukan berbagai pendekatan: Pertama, dari hasil perhitungan Tipologi Klassen di atas apabila dikombinasikan dengan perhitungan Indeks Williamson, menunjukkan bahwa daerah maju tumbuh cepat yang mempunyai trend kesenjangan menurun hanya Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah.Berdasarkan Tabel 14 untuk kriteria daerah maju tapi tertekan hanya Provinsi Riau yang kesenjangan antar wilayahnya mempunyai trend menurun. Dari kriteria daerah relatif tertinggal dapat diketahui hanya Provinsi DIY dan Papua yang mempunyai trend kesenjangan antar wilayah menurun. Selanjutnya untuk kriteria daerah berkembang cepat, provinsi yang trend kesenjangan antar wilayahnya menurun hanya Provinsi Bali. Dari data di atas diketahui bahwa selama periode pengamatan (2005-2009), dari jumlah Provinsi yang diteliti hanya 6 dari 25 Provinsi atau kurang lebih hanya 24 persen dari total provinsi
91
yang diteliti yang angka kesenjangan antar daerahnya menurun. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini.
Tabel 14. Jumlah Provinsi Per Pulau di Indonesia Menurut Tipologi Klassen yang Kesenjangan Antar Daerahnya Menurun, Tahun 2005-2009 Daerah Maju Tumbuh Cepat
Pulau Sumatera Jawa
Daerah Maju Tapi Tertekan
Daerah Relatif Tertinggal
Daerah Berkembang Cepat
1 (Riau) 2 (Jateng dan Jatim)
Bali, Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua Indonesia 2 Sumber: BPS, 2005-2009 (diolah)
1 (DIY) 1 (Bali)
1
1 (Papua) 2
1
Dengan kata lain, secara nasional trend kesenjangan antar daerah di Indonesia di era desentralisasi fiskal adalah naik walaupun dari hasil perhitungan sangat kecil. Kenyataan ini mendukung penelitian Lin dan Liu di China (2000) serta penelitian Nanga di Indonesia
(2006) yang menyatakan bahwa di era desentralisasi fiskal
pertumbuhan ekonomi semakin meningkat namun semakin memperburuk kesenjangan antar daerah. Hal lain yang perlu disikapi dari Tabel 14 tersebut di atas adalah bahwa kesenjangan antar daerah yang meningkat itu ada disetiap klasifikasi tipologi Klassen. Artinya baik di daerah yang maju tumbuh cepat, daerah maju tapi tertekan, daerah yang berkembang cepat maupun daerah yang tertinggal ada daerah yang kesenjangan antar daerahnya meningkat. Kenyataan ini tentu berbeda dengan Hipotesis U dari Kuznet yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi pada awalnya ditandai oleh semakin buruknya pembagian pendapatan dan setelah mencapai titik tertentu pembangunan akan diikuti oleh membaiknya pemerataan. Namun dari dari data tipologi Klassen ternyata menunjukkan bahwa daerah maju tumbuh cepat di atas diketahui bahwa hanya Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang mempunyai trend kesenjangan antar daerahnya menurun. Memperhatikan hal ini, maka perlu berbagai upaya strategis untuk menghindari hipotesis U dari Kuznets serta dalam jangka pendek dan menengah menjaga stabilitas perekonomian daerah, antara lain melakukan reformasi perdesaan serta dalam jangka panjang tetap menjaga pertumbuhan ekonomi daerah.
92
Halaman ini sengaja dikosongkan
93
VI. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH
Dari hasil respesifikasi terhadap Model Alokasi Dana Desa terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia, diperoleh 25 persamaan yang terdiri dari dari 14 persamaan struktural dan 11 persamaan identitas. Adapun hasil estimasi model menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap variabel-variabel endogen adalah sebagai berikut.
6.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Secara umum hasil estimasi model ekonometrika terdiri dari 2 blok, yaitu Blok Fiskal daerah dan Blok Perekonomian Daerah menunjukkan keragaan yang baik. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh pada masing-masing persamaan struktural yang telah dibangun dalam model berkisar antara 0.68-0.99. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 15 berikut ini.
Tabel 15.Keragaan Umum Model Alokasi Dana Desa terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12. 13. 14.
Peubah
R2
Fhit
Prob>F
PJKD (Pajak Daerah) RETD(Retribusi Daerah) PADL (Pendapatan Asli Daerah Lainnya) DAU(Dana Alokasi Umum) DBH(Dana Bagi Hasil) PLTANI (Pengeluaran Pertanian) PLINF (Pengeluaran Infrastuktur) PLIND(Pengeluaran Industri) PDRBA (Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian) PDRBNA (Produk Domestik Regional Bruto Sektor Non Pertanian) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Sektor Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian) JKMNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JKMND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa)
0.9831 0.9878
1.57 2.32
0.0744 0.0035
B A
0.9628
4.48
<.0001
A
0.9939 0.9718
11.85 5.04
<.0001 <.0001
A A
0.6899
2.20
0.0054
A
0.8120
2.18
0.0058
A
0.7273
2.98
0.0002
A
0.9983
177.75
<.0001
A
0.9998
4.40
<.0001
A
0.9980
155.93
<.0001
A
0.9611
12.11
<.0001
A
0.9982
8.01
<.0001
A
0.9981
6.56
<.0001
A
Signifikansi
Keterangan (untuk tabel di atas dan tabel-tabel selanjutnya) A = Parameter dugaan berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata (α) 0.05 B = Parameter dugaan berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata (α) 0.10
94
Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa sebagian besar variabel eksogen yang telah dimasukkan dalam model mampu menjelaskan variasi keragaman pada setiap variabel endogennya dengan angka determinasi yang cukup tinggi dan pada umumnya setiap variabel penjelas mempunyai beda nyata di bawah 5 persen, kecuali untuk persamaan pajak daerah (PJKD) dengan taraf nyata 10 persen. Selanjutnya dari hasil estimasi terhadap variabel secara keseluruhan telah diperoleh hasil analisis bahwa semua variabel eksogen dan predetermined memiliki tanda yang sesuai dengan dugaan dan berdasarkan teori ekonomi yang ada. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model yang telah dibangun cukup representatif.
6.2. Kinerja Blok Fiskal dan Perekonomian Daerah 6.2.1.Penerimaan Pajak Daerah Hasil estimasi model regresi linier berganda (multiple regression model) pada Tabel 16 di bawah ini ditemukan nilai Prob>F = 0.074, hal ini mengindikasikan bahwa model persamaan regresi secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.074. Selanjutnya dari Tabel 16 juga menunjukkan bahwa variabel produk domestik regional bruto (PDRB), fiskal gap (FGAP), penerimaan pajak tahun yang lalu (PJKDLAG) adalah faktor-faktor yang signifikan dan positif mempengaruhi penerimaan pajak daerah. Hasil ini serupa dengan temuan Panjaitan (2006) di Sumatera Utara, namun tidak sama hasilnya dengan penelitian Pakasi (2005) di Sulawesi Utara. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Pajak Daerah Parameter Standar Estimasi Error Intercept -8.345E7 35673151 PDRB 0.005488 0.00159 JKB 19.26116 17.3351 FGAP 0.008173 0.00442 PJKDLAG 0.55329 0.1001 F-Hitung: 1.57, Prob>F: 0.0744, R2: 0.9831 Variabel
Prob>1 0.0221 0.0010 0.2703 0.0688 <.0001
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang 1.5050 0.1670 -0.0078
3.3692 0.3738 -0.0175
Keterangan: Untuk variabel dummy provinsi karena banyaknya provinsi yang dianalisis (25 Provinsi) maka mulai tabel di atas dan selanjutnya tidak ditulis di dalam tabel tapi dapat dilihat pada lampiran 2 tentang Hasil Estimasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah.
Dari hasil estimasi pada Tabel 16 diketahui bahwa explanatory variable secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.0010 untuk PDRB, 0.2703 untuk JKB,
95
0.0688 untuk FGAP dan <.0001 untuk PJKDLAG. Sedangkan untuk variabel dummy provinsi parameter estimasi dan beda nyatanya dapat dilihat pada lampiran 2. Selanjutnya untuk R-Square sebesar 0.9831 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 98.31 persen variasi penerimaan pajak daerah (PJKD) dapat dijelaskan oleh variabel PDRB, JKB, FGAP dan PJKDLAG. Sedangkan sisanya atau sekitar 1.69 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Dari Tabel 16 hasil estimasi perilaku penerimaan pajak daerah di atas, dapat interpretasikan juga bahwa dalam jangka pendek apabila PDRB meningkat 1 persen akan meningkatkan pajak daerah sebesar 1.5 persen. Sedangkan dalam jangka panjang apabila PDRB meningkat sebesar 1 persen akan meningkatkan pajak daerah sebesar 3.36 persen. Sebaliknya peningkatan 1 persen FGAP dalam jangka pendek akan menurunkan penerimaan pajak daerah sebesar 0.007 persen, sedangkan dalam jangka panjang peningkatan FGAP sebesar 1 persen akan menurunkan 0.017 persen dari penerimaan pajak daerah. Selanjutnya dari Tabel 16 di atas dapat diinterpretasikan juga bahwa peningkatan PDRB sebesar 1 juta rupiah maka akan meningkatkan pajak daerah 5,488 rupiah. Apabila Jumlah Kendaraan Bermotor meningkat 1 juta unit maka akan menaikkan penerimaan pajak sebesar 19,261,160 rupiah. Sedangkan kalau Fiskal Gap meningkat 1 juta rupiah maka akan terjadi juga peningkatan pajak daerah sebesar 8,173 rupiah Selanjutnya dapat diterangkan bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tahun yang lalu meningkat 1 juta rupiah maka akan meningkatkan penerimaan pajak daerah sebesar 553,290 rupiah.
6.2.2.Retribusi Daerah Perilaku retribusi daerah (RETD) secara signifikan dan positif dipengaruhi oleh produk domestik regional bruto (PDRB) dan trend (T). Pengaruh positif dan signifikan dari variabel penjelas PDRB terhadap variabel retribusi daerah ini hasilnya serupa dengan temuan Mangasi (2006) di Sumatera Utara, namun tidak sama dengan penelitian Pakasi (2005) di Sulawesi Utara, Pudjiastuti (2007) di Bengkulu. Dari hasil perhitungan ditemukan nilai Prob>F = 0.0035, hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model persamaan regresi secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.0035. Secara garis besar pengaruh variabel-variabel penjelas tersebut (PDRB, JKB, FGAP, T, dan RETDLAG) variasinya terhadap perilaku retribusi daerah dapat diperhatikan pada Tabel 17.
96
Tabel 17. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Retribusi Daerah
Intercept PDRB JKB FGAP T
Parameter Estimasi -1.018E8 0.005734 7.312835 0.002633 12198036
RETDLAG
0.242122
Variabel
Standar Error 46093224 0.00216 19.2681 0.00436 6051002
Prob> │t│
0.1593
0.1331
0.0305 0.0098 0.7054 0.5478 0.0477
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang 1.5326
2.0222
2
F-Hitung: 2.32, Pr>F= 0.0035, R : 0.9878
Dari estimasi di atas, diketahui bahwa explanatory variable secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.0098 untuk PDRB, 0.7054 untuk JKB, 0.5478 untuk FGAP, 0.0477 untuk T serta 0.1331 untuk RETDLAG. R-Square sebesar 0.9878 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 98.78 persen variasi penerimaan retribusi daerah (RETD) dapat dijelaskan oleh variabel PDRB, JKB, FGAP, T dan RETDLAG. Sedangkan sisanya atau sekitar 1.22 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Dari Tabel 17 hasil estimasi perilaku penerimaan retribusi daerah di atas dapat diinterpretasikan juga dalam jangka pendek apabila PDRB meningkat 1 persen maka akan meningkatkan penerimaan retribusi daerah sebesar 1.53 persen, sedangkan dalam jangka panjang peningkatan 1 persen PDRB akan meningkatkan penerimaan retribusi daerah sebesar 2.02 persen. Selanjutnya apabila PDRB meningkat sebesar 1 juta rupiah maka akan meningkatkan retribusi daerah sebesar 5,734 rupiah dan terjadi peningkatan Trend Retribusi Daerah setiap tahun sebesar 12,198,036 rupiah.
6.2.3.Penerimaan Asli Daerah Lainnya Perilaku variabel endogen penerimaan asli daerah lainnya (PADL) secara signifikan dan positif dipengaruhi oleh produk domestik regional bruto (PDRB), dan pendapatan asli daerah lainnya tahun yang lalu (PADLLAG). Secara keseluruhan model yang ada secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level <.0001. Dari hasil estimasi pada Tabel 18 di bawah ini diketahui bahwa explanatory variable secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level <.0001 untuk PDRB, 0.3463 untuk POP serta 0.0052 untuk PADLLAG. R-Square sebesar 0.9628 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 96.28 persen variasi penerimaan asli daerah lainnya dapat dijelaskan oleh variabel PDRB, POP dan PADLLAG. Sedangkan sisanya atau sekitar 3.72 persen lagi
97
dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Secara lengkap hal ini dapat dilihat pada Tabel 18 tentang Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Asli Daerah Lainnya.
Tabel 18. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Asli Daerah Lainnya Parameter Standar Estimasi Error Intercept 15619757 26309847 PDRB 0.005133 0.000967 JKB 7955.941 8392.1 PADLLAG 0.225686 0.0783 F-Hitung: 4.48, Pr>F = <.0001, R2 : 0.9628 Variabel
Prob> │t│ 0.5546 <.0001 0.3463 0.0052
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang 1.6191
2.0911
Dari Tabel 18 diketahui bahwa angka elastisitas, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang dapat diinterpretasikan bahwa apabila PDRB meningkat 1 persen maka akan meningkatkan pendapatan asli daerah lainnya (PADL) sebesar 1.61 persen. Selanjutnya dalam jangka panjang peningkatan 1 persen PDRB akan meningkatkan PADL sebesar 2.09 persen. Selanjutnya dari hasil estimasi perilaku penerimaan asli daerah lainnya dapat juga interpretasikan bahwa apabila PDRB meningkat 1 juta rupiah maka akan meningkatkan pendapatan asli daerah lainnya sebesar 5,133 rupiah. Apabila pendapatan asli daerah lainnya tahun yang lalu meningkat 1 juta rupiah maka meningkatkan pendapatan asli daerah lainnya (PADL) sebesar 225,686 rupiah. 6.2.4.Dana Alokasi Umum Perilaku variabel endogen dana alokasi umum (DAU) secara signifikan dan positif dipengaruhi oleh pengeluaran belanja pegawai (PLBPG) dan dana alokasi umum tahun yang lalu. Hasil serupa juga ditemukan oleh Mangasi (2006), di Sumatera Utara. Sedangkan dengan penelitian Pakasi (2005) di Sulawesi Utara, hasil penelitian ini serupa dalam hal pengaruh positif dan signifikan dari variabel dana alokai umum tahun yang lalu. Dari hasil estimasi di bawah dapat diketahui bahwa explanatory variable secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.5493 untuk PDRB per kapita (YCAP), 0.0235 untuk PLBPG, 0.2460 untuk LSKAB, 0.3867 untuk JMKN dan <.0001 untuk DAULAG. R-Square sebesar 0.9939 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 99.39 persen variasi dana alokasi umum (DAU) dapat dijelaskan oleh variabel PDRB,
98
PLBPG, LSKAB, JMKN, dan DAULAG. Sedangkan sisanya atau sekitar 1.61 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Dari Tabel 19 hasil estimasi perilaku Dana Alokasi Umum dapat juga interpretasikan bahwa apabila PLBPG meningkat 1 juta rupiah maka akan meningkatkan dana alokasi umum sebesar 162,007 rupiah. Sedangkan bila dana alokasi umum tahun yang lalu meningkat 1 juta rupiah maka akan meningkatkan DAU sebesar 589,060 rupiah. Secara keseluruhan model yang ada secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level <.0001. Secara lengkap hal ini dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Hasil Estimasi Perilaku Dana Alokasi Umum Parameter Standar Prob> │t│ Estimasi Error Intercept 4.5932E8 3.2277E9 0.8872 YCAP -30.1507 50.1081 0.5493 PLBPG 0.162007 0.0699 0.0235 LSKAB 11638.69 9948.1 0.2460 JMKN 429917.9 493607 0.3867 DAULAG 0.58906 0.0426 <.0001 F-Hitung: 11.85, Pr>F = <.0001, R2 : 0.9939 Variabel
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang -0.0436 0.1027 0.1499 0.1117
-0.1061 0.2498 0.3649 0.2717
Selanjutnya dari angka elastisitas dapat diinterpretasikan bahwa dalam jangka pendek peningkatan jumlah pegawai sebesar 1 persen akan meningkatkan alokasi DAU sebesar 0.10 persen, sedangkan dalam jangka panjang peningkatan 1 persen jumlah pegawai akan meningkatkan alokasi DAU sebesar 0.24 persen.
6.2.5.Dana Bagi Hasil Perilaku variabel endogen dana bagi hasil (DBH) secara signifikan dan positip dipengaruhi oleh produk domestik regional bruto (PDRB), upah minimum provinsi (UMP), dan luas kabupaten (LSKAB). Secara keseluruhan model yang ada secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level <.0001. Dari hasil estimasi pada Tabel 20 dapat diketahui bahwa explanatory variable secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.0186 untuk PDRB, 0.0783 untuk UMP, 0.0210 untuk LSKAB, dan 0.1630 untuk DBHLAG. R-Square sebesar 0.9718 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 97.18 persen variasi dana bagi hasil (DBH) dapat dijelaskan oleh variabel PDRB, UMP, LSKAB, dan DBHLAG. Sedangkan sisanya atau sekitar 2.82 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model.Secara lengkap hal ini dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini:
99
Tabel 20. Hasil Estimasi Perilaku Dana Bagi Hasil Parameter Standar Estimasi Error Intercept -9.368E9 3.9811E9 PDRB 0.025743 0.0107 UMP 730776.8 409095 LSKAB 30644.75 12980.4 DBHLAG 0.125218 0.0888 F-Hitung: 5.04, Pr>F = <.0001, R2 : 0.9718 Variabel
Prob> │t│ 0.0214 0.0186 0.0783 0.0210 0.1630
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang 0.8659 0.3125 1.1794
0.9898 0.3573 1.3482
Dari Tabel 20 hasil estimasi perilaku dana bagi hasil (DBH) dapat juga diinterpretasikan bahwa apabila PDRB meningkat 1 juta rupiah maka akan meningkatkan dana bagi hasil sebesar 25,743 rupiah. Apabila upah minimum provinsi (UMP) per tenaga kerja per bulan meningkat 1 juta rupiah maka meningkatkan DBH sebesar
730.78 milyar
rupiah per tahun. Selanjutnya bila luas Kabupaten/Kota
meningkat 1 km2 maka akan meningkatkan dana bagi hasil sebesar 30,644,000 rupiah. 6.2.6.Pengeluaran Pertanian Hasil estimasi model regresi linier berganda (multiple regression model) pada Tabel 21 di bawah ini menunjukkan bahwa variabel jumlah desa (TDES), adalah faktor yang signifikan dan positip mempengaruhi Pengeluaran Pertanian (PLTANI). Dari hasil perhitungan Pr>F = 0.0054, artinya secara statistik dapat diartikan bahwa secara keseluruhan model yang ada berbeda nyata dengan nol pada level 0.0054. Dari hasil estimasi Tabel 21 diketahui bahwa explanatory variable secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.1749 untuk total penerimaan daerah (TPD), 0.1878 untuk pertumbuhan ekonomi (GROWTH), 0.0635 untuk jumlah Desa (TDES). R-Square sebesar 0.6899 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 68.99 persen variasi pengeluaran pertanian (PLTANI) dapat dijelaskan oleh variabel total penerimaan daerah (TPD), pertumbuhan ekonomi (GROWTH) dan jumlah desa (TDES). Sedangkan sisanya atau sekitar 31.01 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Selanjutnya dapat diinterpretasikan bahwa apabila jumlah desa (TDES) meningkat 1 desa maka akan meningkatkan pengeluaran pertanian (PLTANI) sebesar 300,512.9 rupiah. Selanjutnya dari hasil perhitungan angka elastisitas dapat diketahui bahwa dalam jangka pendek peningkatan 1 persen jumlah desa (TDES) akan meningkatkan 2.018 persen pengeluaran pertanian (PLTANI). Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 21 tentang Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Pertanian di bawah ini:
100
Tabel 21. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Pertanian Parameter Standar Prob> │t│ Estimasi Error Intercept -4.877E8 4.4983E8 0.2819 TPD 0.009265 0.00676 0.1749 GROWTH 6745433 5072290 0.1878 TDES 300512.9 159466 0.0635 F-Hitung: 2.20, Pr>F = 0.0054, R2 : 0.6899 Variabel
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang 0.2537 0.1017 2.0185
6.2.7.Pengeluaran Infrastruktur Hasil estimasi model regresi linier berganda (multiple regression model) pada Tabel 22 di bawah menunjukkan bahwa tidak ada satupun variabel yang signifikan dengan derajad kepercayaan 5 persen dan 10 persen yang mempengaruhi perilaku Pengeluaran Infrastruktur. Namun demikian secara ekonomi, dapat dilihat bahwa tanda atau arah
total penerimaan daerah dan pertumbuhan ekonomi sudah benar yaitu
berpengaruh positif terhadap pengeluaran infrastruktur. Hasil estimasi di bawah ini menunjukkan pula bahwa explanatory variable secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.2547 untuk TPD, dan 0.7374 untuk Growth. R-Square sebesar 0.8120 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 81.20 persen variasi pengeluaran infrastruktur (PLINF) dapat dijelaskan oleh variabel TPD dan Growth. Sedangkan sisanya atau sekitar 19.80 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Infrastruktur Parameter Standar Estimasi Error Intercept 3.8826E8 2.0514E8 TPD 0.013305 0.0116 GROWTH 2925080 8692012 F-Hitung: 2.18, Pr>F = 0.0058, R2 : 0.8120 Variabel
Prob> │t│ 0.0624 0.2547 0.7374
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang 0.2593 0.0314
6.2.8.Pengeluaran Industri Hasil estimasi perilaku pengeluaran industri (PLIND) pada Tabel 23 di bawah ini menunjukkan bahwa variabel pengeluaran modal (PLMDL) adalah faktor yang signifikan dan positif mempengaruhi perilaku Pengeluaran Industri. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 23.
101
Tabel 23. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Industri Parameter Standar Estimasi Error Intercept 41277544 10926985 PAD 0.000084 0.00930 PLMDL 0.002713 0.00140 F-Hitung: 73, Pr>F = 0.0002, R2 : 0.7273 Variabel
Prob> │t│ 0.0003 0.9928 0.0560
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang 0.0024 0.5901
Dari hasil estimasi di atas dapat diterangkan bahwa variabel penjelas secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.9928 untuk PAD dan 0.0560 untuk PLMDL. R-Square sebesar 0.7273 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 72.73 persen variasi pengeluaran industri dapat dijelaskan oleh variabel PAD dan PLMDL. Sedangkan sisanya atau sekitar 27.27 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Memperhatikan Tabel 23 hasil estimasi perilaku pengeluaran industri di atas dapat dijelaskan pula bahwa apabila PLMDL meningkat sebesar 1 juta rupiah maka akan meningkatkan pengeluaran industri 2,713 rupiah. Selanjutnya dari angka elastisitas yang ada dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan pengeluaran modal (PLMDL) sebesar 1 persen akan meningkatkan pengeluaran industri 0.59 persen.
6.2.9.Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian Hasil estimasi model pada Tabel 24 di bawah ini menunjukkan bahwa variabel pengeluaran pertanian (PLTANI), dan tenaga kerja pertanian (TKP) merupakan variabel yang signifikan dan positif mempengaruhi perilaku variabel produk domestik regional bruto sektor pertanian (PDRBA). Dari hasil estimasi di bawah ini juga diketahui bahwa variabel penjelas secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.0125 untuk PLTANI, <.0001 untuk TKP, dan 0.6587 untuk JADD. Secara lebih jelas hal ini dapat diperhatikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian Parameter Standar Estimasi Error Intercept -2.827E8 4.5591E8 PLTANI 1.093766 0.4268 TKP 4189.213 435.4 JADD 0.076587 0.1727 F-Hitung: 177.75, Pr>F = <.0001, R2 : 0.9983 Variabel
Prob> │t│ 0.5371 0.0125 <.0001 0.6587
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang 0.0348 0.5647 0.0009
-
102
R-Square sebesar 0.9983 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 99.83 persen variasi perilaku variabel produk domestik regional bruto sektor pertanian (PDRBA) dapat dijelaskan oleh variabel pengeluaran sektor pertanian (PLTANI), penyerapan tenaga kerja pertanian (TKP), jumlah alokasi dana desa (JADD), sedangkan sisanya atau sekitar 0.17 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Memperhatikan Tabel 24 hasil estimasi perilaku variabel produk domestik regional bruto sektor pertanian (PDRBA) dapat dijelaskan pula bahwa apabila PLTANI meningkat sebesar 1 juta rupiah maka akan meningkatkan PDRBA sebesar 1,093,766 rupiah. 6.2.10.Pengeluaran Produk Domestik Regional Bruto Sektor Non Pertanian Hasil estimasi model regresi linier berganda (multiple regression model) pada Tabel 25 di bawah ini menunjukkan bahwa variabel pengeluaran non pertanian (PLNTANI), jumlah tenaga kerja non pertanian, produk domestik regional bruto sektor non pertanian tahun yang lalu (PDRBNALAG) adalah faktor-faktor yang signifikan dan positif mempengaruhi perilaku produk domestik regional bruto sektor non pertanian (PDRBNA). Dari Tabel 25 di bawah ini diketahui bahwa variabel penjelas secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.0007 untuk pengeluaran non pertanian (PLNTANI), 0.0747 untuk jumlah tenaga kerja non pertanian (TKNP), <.0001 untuk variabel produk domestik regional bruto sektor non pertanian tahun yang lalu (PDRBNALAG). R-Square sebesar 0.9998 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 99.98 persen variasi perilaku variabel produk domestik regional bruto sektor non pertanian (PDRBNA) dapat dijelaskan oleh variabel pengeluaran non pertanian (PLNTANI), jumlah tenaga kerja non pertanian (TKNP), variabel produk domestik regional bruto sektor non pertanian tahun yang lalu (PDRBNALAG), sisanya atau sekitar 0.02 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Hasil Estimasi Perilaku Produk Domestik Regional Bruto Sektor Non Pertanian Parameter Standar Error Estimasi Intercept 1.0447E9 9.3298E8 PLNTANI 0.218812 0.0615 TKNP 360.2237 199.2 PDRBNALAG 0.769424 0.0484 F-Hitung: 4.40, Pr>F = <.0001, R2 : 0.9998 Variabel
Prob> │t│ 0.2666 0.0007 0.0747 <.0001
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang 0.0443 0.0114
0.1921 0.0494
103
Selanjutnya dari hasil estimasi perilaku variabel produk domestik regional bruto sektor non pertanian (PDRBNA) dapat dijelaskan pula bahwa apabila pengeluaran non pertanian (PLNTANI) meningkat sebesar 1 juta rupiah maka akan meningkatkan PDRBNA sebesar
218,812
rupiah. Selanjutnya apabila jumlah tenaga kerja non
pertanian meningkat 1 juta jiwa maka akan meningkatkan PDRBNA sebesar 360,223,700 rupiah. Apabila variabel produk domestik bruto sektor non pertanian tahun yang lalu (PDRBNALAG) naik sebesar 1 juta rupiah maka menaikkan PDRBNA sebesar 769,424 rupiah. Hasil perhitungan angka elastisitas dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan pengeluaran non pertanian (PLNTANI) sebesar 1 persen dalam jangka pendek akan meningkatkan produk domestik regional bruto sektor non pertanian (PDRBNA) sebesar 0.044 persen. Dalam jangka panjang setiap kenaikan PLNTANI sebesar 1 persen akan meningkatkan produk domestik regional bruto sektor non pertanian sebesar 0.192 persen. Selanjutnya dalam jangka pendek untuk setiap kenaikan tenaga kerja non pertanian (TKNP) sebesar 1 persen akan meningkatkan produk domestik regional bruto sektor non pertanian (PDRBNA) sebesar 0.011 persen dan untuk jangka panjang setiap kenaikan 1 persen TKNP akan meningkatkan PDRBNA sebesar 0.049 persen.
6.2.11.Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Hasil estimasi model pada Tabel 26 di bawah ini menunjukkan bahwa variabel produk domestik regional bruto sektor pertanian (PDRBA) dan total pengeluaran daerah (TPLD) adalah faktor-faktor yang signifikan dan positif mempengaruhi variasi perilaku endogenous variable jumlah tenaga kerja pertanian (TKP). Dari Tabel 26 hasil estimasi di bawah ini dapat diketahui bahwa variabel penjelas secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level 0.0025 untuk
produk domestik regional bruto sektor
pertanian (PDRBA), 0.0037 untuk Total Pengeluaran Daerah (TPLD),
0.3997 untuk
variabel upah minimum provinsi. R-Square sebesar 0.9980 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 99.80 persen variasi perilaku variabel jumlah tenaga kerja pertanian (TKP) dapat dijelaskan oleh variabel Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian (PDRBA), total pengeluaran daerah (TPLD) dan upah minimum provinsi (UMP), sedangkan sisanya atau sekitar 0.20 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 26.
104
Tabel 26. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Parameter Standar Prob> │t│ Estimasi Error Intercept 318076.3 92836.5 0.0010 PDRBA 0.000069 0.000022 0.0025 TPLD 0.00002 6.638E-6 0.0037 UMP -76.2945 90.0519 0.3997 F-Hitung: 155.93, Pr>F = <.0001, R2 : 0.9980 Variabel
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang 0.0005 0.1319
-
Selanjutnya dari hasil estimasi perilaku variabel jumlah tenaga kerja pertanian (TKP) di atas dapat dijelaskan pula bahwa apabila produk domestik bruto sektor pertanian (PDRBA) meningkat sebesar 1 juta rupiah maka akan meningkatkan TKP sebesar 69 jiwa. Selanjutnya apabila total pengeluaran daerah (TPLD) meningkat sebesar 1 juta rupiah maka jumlah tenaga kerja pertanian meningkat 20 jiwa.
6.2.12. Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian Hasil estimasi model pada Tabel 27 di bawah ini menunjukkan bahwa variabel produk domestik regional bruto sektor non pertanian (PDRBNA) adalah faktor yang signifikan dan positif mempengaruhi variasi perilaku variabel endogenous jumlah tenaga kerja non pertanian (TKNP). Dari Tabel 27 hasil estimasi dapat diketahui juga bahwa variabel penjelas secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level <.0001 untuk produk domestik regional bruto sektor non pertanian (PDRBNA), 0.8360 untuk total pengeluaran daerah (TPLD), 0.9420 untuk variabel upah minimum provinsi (UMP). R-Square sebesar 0.9611 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 96.11 persen variasi perilaku variabel jumlah tenaga kerja non pertanian (TKNP) dapat dijelaskan oleh variabel produk domestik regional bruto sektor non pertanian (PDRBNA), total pengeluaran daerah (TPLD) dan upah minimum provinsi (UMP). Sedangkan sisanya atau sekitar 4.89 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian Parameter Standar Estimasi Error Intercept -3117726 636380 PDRBNA 0.000192 0.000030 TPLD 0.000014 0.000066 UMP -54.5716 748.0 F-Hitung: 12.11, Pr>F = <.0001, R2 : 0.9611 Variabel
Prob> │t│ <.0001 <.0001 0.8360 0.9420
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang 0.0061 0.0929 -0.0271
-
105
Selanjutnya dari hasil estimasi perilaku variabel jumlah tenaga kerja non pertanian (TKNP) di atas dapat dijelaskan pula bahwa apabila variabel produk domestik regional bruto sektor non pertanian (PDRBNA) meningkat sebesar 1 juta rupiah maka akan meningkatkan TKNP sebesar 192 jiwa. Selanjutnya apabila total pengeluaran daerah (TPLD) meningkat sebesar 1 juta rupiah maka variabel jumlah tenaga kerja non pertanian meningkat 14 jiwa. 6.2.13. Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan Hasil estimasi model pada Tabel 28 menunjukkan bahwa variabel produk domestik regional bruto (PDRB) dan jumlah penduduk miskin di perkotaan tahun yang lalu (JMKNKLAG) adalah faktor yang signifikan dan positif mempengaruhi variasi perilaku variabel endogenous jumlah penduduk miskin di perkotaan (JMKNK). Variabel penjelas total pengeluaran daerah (TPLD) dan jumlah alokasi dana desa (JADD) walaupun tidak siginifikan pada derajad kepercayaan 5 persen dan 10 persen namun secara ekonomi arah tandanya sudah benar, yaitu negatif. Artinya peningkatan total pengeluaran daerah (TPLD) dan jumlah alokasi dana desa (JADD) akan menurunkan jumlah penduduk miskin di perkotaan. Dari Tabel 28 di bawah ini dapat diketahui juga bahwa variabel penjelas secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level <.0001 untuk
produk domestik regional bruto (PDRB), 0.7482 untuk total
pengeluaran daerah (TPLD), 0.5460 untuk variabel jumlah alokasi dana desa (JADD), 0.0048 untuk jumlah penduduk miskin di perkotaan tahun yang lalu (JMKNKLAG). R-Square sebesar 0.9982 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 99.82 persen variasi perilaku variabel jumlah penduduk miskin di perkotaan dapat dijelaskan oleh variabel produk domestik regional bruto (PDRB), total pengeluaran daerah (TPLD), jumlah alokasi dana desa (JADD) dan jumlah penduduk miskin di perkotaan tahun yang lalu (JMKNKLAG), sisanya sekitar 0.18 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan Parameter Standar Prob> │t│ Estimasi Error Intercept 221.1191 27.7669 <.0001 PDRB -9.04E-9 1.448E-9 <.0001 TPLD -846E-12 2.624E-9 0.7482 JADD -7.78E-9 1.283E-8 0.5460 JMKNKLAG 0.235425 0.0809 0.0048 F-Hitung: 8.01, Pr>F = <.0001, R2 : 0.9982 Variabel
Elastisitas Jangka Pendek Jangka Panjang -0.0011 -0.0171 -0.0021
-0.0014 -0.0224 -0.0027
106
Dari hasil estimasi perilaku variabel jumlah penduduk miskin di perkotaan (JMKNK) di atas dapat dijelaskan pula bahwa dalam jangka pendek apabila PDRB meningkat 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin di perkotaan sebesar 0.0011 persen. Dalam jangka panjang peningkatan PDRB 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin diperkotaan sebesar 0.0014 persen. Selanjutnya apabila produk domestik regional bruto (PDRB) meningkat sebesar 1 milyar rupiah maka akan menurunkan jumlah penduduk miskin di perkotaan sebesar 9 jiwa. Selanjutnya apabila jumlah penduduk miskin di perkotaan tahun yang lalu (JMKNKLAG) meningkat 1 juta jiwa maka akan meningkatkan jumlah penduduk miskin di perkotaan (JMKNK) sebesar 235,425 jiwa.
6.2.14. Jumlah Penduduk Miskin di Desa Hasil estimasi model perilaku jumlah penduduk miskin di desa (JMKND) pada Tabel 29 di bawah ini menunjukkan bahwa variabel produk domestik regional bruto (PDRB) adalah faktor yang signifikan dan negatif mempengaruhi variasi perilaku variabel endogenous jumlah penduduk miskin di desa (JMKND). Sedangkan jumlah penduduk miskin di desa tahun yang lalu (JMKNDLAG) adalah faktor yang signifikan dan positif mempengaruhi variasi perilaku variabel endogenous jumlah penduduk miskin di desa (JMKND). Variabel penjelas total pengeluaran daerah (TPLD) dan jumlah alokasi dana desa (JADD) walaupun tidak siginifikan pada derajad kepercayaan 5 persen dan 10 persen namun secara ekonomi arah tandanya sudah benar, yaitu negatif. Artinya peningkatan total pengeluaran daerah (TPLD) dan jumlah alokasi dana desa (JADD) akan menurunkan jumlah penduduk miskin di desa. Dari hasil estimasi model di bawah ini juga dapat diketahui bahwa explanatory variable secara statistik berbeda nyata dengan nol pada level <0.001 untuk PDRB, 0.6524 untuk TPLD, 0.4760 untuk JADD dan 0.0035 untuk JMKNDLAG. R-Square sebesar 0.9981 dapat diinterpretasikan bahwa sekitar 99.81 persen perilaku variabel jumlah penduduk miskin di desa (JMKND) dapat dijelaskan oleh variabel produk domestik regional bruto (PDRB), total pengeluaran daerah (TPLD), jumlah alokasi dana desa (JADD) dan jumlah penduduk miskin di desa tahun yang lalu (JMKNDLAG). Sedangkan sisanya atau sekitar 0.19 persen lagi dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan di dalam model. Memperhatikan Tabel 29 dapat dijelaskan pula bahwa apabila PDRB meningkat sebesar 1 persen maka dalam jangka pendek akan menurunkan jumlah penduduk miskin di desa sebesar -0.001 persen dan dalam jangka panjang peningkatan
107
1 persen PDRB akan menurunkan jumlah penduduk miksin di desa sebesar -0.0013 persen. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin di Desa Parameter Standar Prob> │t│ Estimasi Error Intercept 828.3984 90.4921 <.0001 PDRB -1.4E-8 1.994E-9 <.0001 TPLD -1.72E-9 3.794E-9 0.6524 JADD -1.27E-8 1.766E-8 0.4760 JMKNDLAG 0.262363 0.0868 0.0035 F-Hitung: 6.56, Pr>F = <.0001, R2 : 0.9981 Variabel
Jangka Pendek -0.0010 -0.0199 -0.0019
Elastisitas Jangka Panjang -0.0013 -0.0269 -0.0026
Selanjutnya apabila PDRB meningkat 1 milyar rupiah maka akan menurunkan Jumlah Penduduk Miskin di Desa sebanyak 14 jiwa. Apabila Jumlah Penduduk Miskin di Desa Tahun yang Lalu (JMKNDLAG) meningkat 1 juta jiwa maka akan meningkatkan jumlah penduduk miskin di desa sebanyak 262,363 jiwa.
108
Halaman ini sengaja dikosongkan
109
VII. EVALUASI DAMPAK ALOKASI DANA DESA TERHADAP KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH
Analisis dampak alokasi dana desa, kinerja fiskal dan perekonomian daerah ini dilakukan dengan simulasi alternatif kebijakan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengevaluasi dampak alokasi dana desa terhadap kinerja fiskal daerah dan perekonomian daerah, serta upaya mengurangi kemiskinan dan kesenjangan antar daerah dari tahun 2007-2009. Analisis dampak alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah di Indonesia tahun 2007-2009 ini disebut dengan simulasi historis.
7.1. Hasil Validasi Model Dalam rangka melakukan simulasi, maka telah dilakukan validasi model. Adapun cara yang telah ditempuh adalah dengan melakukan berbagai pengujian seperti RMSPE (root means square percent error), U-Theil dengan dekomposisinya yaitu (1) proporsi bias (UM), (2) proporsi variasi (US), (3) proporsi kovarians (UC), (4) proporsi bias regresi (UR), dan (5) proporsi distribusi (UD). RMSPE (root means square percent error), digunakan untuk mengukur persentase penyimpangan nilai dugaan dari nilai aktualnya selama periode pengamatan. Selanjutnya nilai statistik U-Theil digunakan untuk mengevaluasi kemampuan model dalam analisis simulasi.Suatu model dikatakan mempunyai daya prediksi yang baik apabila memenuhi ketentuan UM, US, dan UR nilainya mendekati 0 (nol) serta UC dan UD mendekati 1 (satu). Dari hasil validasi model diketahui bahwa model yang telah dibangun memiliki nilai RMSPE antara 1.5649 persen sampai dengan 98.5195 persen, sedangkan nilai UTheilnya bernilai antara 0.0036 sampai dengan 0.2250. Hasil analisis U-Theil Tabel 30 menunjukkan bahwa mayoritas persamaan memiliki nilai lebih kecil atau sama dengan 0.1914. Model yang telah dibangun mempunyai daya prediksi yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai UM, US dan UR yang pada umumnya mendekati 0 (nol) dan nilai UD serta UC yang mendekati 1 (satu) (lihat Lampiran 4). Hasil ini menunjukkan bahwa semua persamaan memiliki penyimpangan simulasi yang bersifat non sistematik. Oleh karena itu model yang telah dibangun layak digunakan untuk melakukan simulasi. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 30 tentang Hasil Validasi Model Dampak Alokasi Dana Desa Terhadap Perekonomian Daerah.
110
Tabel 30. Hasil Validasi Model Perekonomian Daerah Variabel Endogen PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
Alokasi
Dana
Desa,
Nama Variabel
Kinerja
RMSPE
Fiskal
dan
(%) U-Theil
(%) Pajak Daerah Retribusi Daerah Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Pendapatan Asli Daerah Lainnya Dana Alokasi Umum Dana Bagi Hasil Total Penerimaan Daerah Pengeluaran Sektor Pertanian Pengeluaran Sektor Infrastruktur Pengeluaran Sektor Industri Pengeluaran Sektor Non Pertanian Total Pengeluaran Daerah Fiskal Gap Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian Produk Domestik Regional Bruto Sektor Non Pertanian Produk Domestik Regional Bruto PDRB per Kapita Pertumbuhan Ekonomi Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian Total Tenaga Kerja Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan Jumlah Penduduk Miskin di Desa Jumlah Penduduk Miskin
84.2069 56.1263 33.2436 5.3808 71.3091 7.0657 28.4487 4.8845 42.3972 49.9338 98.5195 1.5649 2.6831 4.1784
0.1554 0.1239 0.1023 0.0282 0.0838 0.0218 0.0765 0.0244 0.1592 0.1712 0.1914 0.0096 0.0136 0.0175
4.4884
0.0162
3.1090
0.0052
2.7678 2.7678 83.4017 5.5651 44.2215 16.1450 14.4070 9.4369 8.1706
0.0036 0.0100 0.2250 0.0153 0.0853 0.0518 0.0164 0.0146 0.0138
7.2. Dampak Alokasi Dana Desa Dalam subbagian ini akan dibahas mengenai dampak setiap perubahan variabel alokasi dana desa dan penataan desa terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah.
7.2.1.Simulasi Secara Nasional Selanjutnya berdasarkan judul dan tujuan penelitian ini, maka simulasi secara nasional dilakukan untuk mengetahui dampak alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah di Indonesia dari tahun 2007-2009. Adapun simulasi yang dilakukan adalah : Sim-a1: Kebijakan Alokasi Dana Desa diberikan
berdasarkan ketentuan PP
No.72/2005 yaitu minimal 10 persen. Sim-a2: Kebijakan Alokasi Dana Desa diberikan minimal 20 persen. Sim-a3: Kebijakan Alokasi Dana Desa diberikan 250 juta rupiah per desa
111
Sim-a4: Kebijakan Alokasi Dana Desa diberikan 500 juta rupiah per desa Sim-a4: Kebijakan penambahan 5 Desa per Kabupaten/Kota Sim-a5: Kebijakan penambahan 10 Desa per Kabupaten/Kota
7.2.1.1. Sim-a1:
Kebijakan dilaksanakannya Alokasi Dana Desa minimal 10 Persen
Simulasi dilaksanakannya Alokasi Dana Desa (ADD) minimal 10 persen ini sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Tujuan dilakukannya simulasi ini adalah untuk mengetahui dampaknya terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah secara nasional, apabila seluruh Pemerintah Daerah memberikan ADD bagi Desa sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Dari hasil simulasi dilaksanakannya ADD minimal 10 persen secara nasional, memberikan dampak positif dan negatif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Dampak positif dilaksanakannya ADD minimal 10 persen antara lain terjadi pada blok fiskal penerimaan daerah yaitu untuk pajak daerah meningkat 0.1515 persen, variabel retribusi daerah meningkat 0.1775 persen, pendapatan asli daerah meningkat 0.1402 persen, pendapatan asli daerah lainnya meningkat 0.1454 persen, dana bagi hasil yang meningkat 0.0590 persen, dan Pengeluaran Industri yang meningkat 0.0003 persen. Selanjutnya untuk blok fiskal pengeluaran daerah dampak positif terjadi pada variabel penjelas pengeluaran sektor pertanian sebesar 0.3508 persen, pengeluaran infrastruktur 0.1053 persen dan pengeluaran industri sebesar 0.0003 persen. Dari Tabel 31 di bawah ini diketahui pula bahwa dampak positif terjadi pada variabel PDRB sektor pertanian yang meningkat 0.4417 persen, PDRB yang meningkat 0.0830 persen, PDRB per kapita meningkat 0.1503 persen, pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 0.1962 persen, jumlah tenaga kerja pertanian meningkat 0.2014 persen. Dampak negatif untuk variabel fiskal antara lain
terjadi pada dana
perimbangan yang menurun -0.0372 persen, serta dana alokasi umum yang menurun 0.0759 persen. Jumlah penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan masing-masing turun sebesar -0.7057 persen dan -0.6697 persen, sehingga hal ini menyebabkan total penduduk miskin turun -0.6829 persen. Selanjutnya apabila memperhatikan Indek Williamson, terlihat bahwa terjadi peningkatan kesenjangan antar wilayah sebesar 0.056 persen apabila dibandingkan dengan simulasi dasarnya. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 31 berikut.
112
Tabel 31.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Dampak Disalurkannya ADD (Persentase) Secara Nasional terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah (%) Variabel Endogen
PJKD (Pajak Daerah) RETD (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DP (Dana Perimbangan) PADL (Pendapatan Asli Daerah Lainnya) DAU (Dana Alokasi Umum) DBH (Dana Bagi Hasil) TPD (Total Penerimaan Daerah) PLTANI (Pengeluaran Sektor Pertanian) PLINF (Pengeluaran Sektor Infrastruktur) PLIND (Pengeluaran Sektor Industri) PLNTANI (Pengeluaran Sektor Non Pertanian) TPLD (Total Pengeluaran Daerah) FGAP (Fiskal Gap) PDRBA (PDRB Sektor Pertanian) PDRBNA (PDRB Sektor Non Pertanian) PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) YCAP (PDRB Per Kapita) GROWTH (Pertumbuhan Ekonomi) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian) TTK (Total Tenaga Kerja) JMKNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JMKND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa) JMKN (Jumlah Penduduk Miskin) Indeks Williamson
ADD Secara Nasional Sim-a1 Sim-a2 0.1515 0.1775 0.1402 -0.0372 0.1454 -0.0759 0.0590 0.0000 0.3508 0.1053 0.0003 0.0000 0.0000 0.0000 0.4417 0.0000 0.0830 0.1503 0.1962 0.2014 0.0030 0.0947 -0.7057 -0.6697 -0.6829 0.0481
0.3096 0.3550 0.2821 -0.0757 0.2860 -0.1517 0.1233 0.0000 0.7043 0.2106 0.0006 0.0000 0.0000 0.0000 0.7951 0.0000 0.1495 0.3006 0.3923 0.4028 0.0059 0.1895 -1.4321 -1.3394 -1.3733 0.0998
Keterangan: Sim-a1: ADD diberikan sesuai PP 72/2005 (min.10 persen) Sim-a2: Alokasi minimal ditingkatkan 20 persen 7.2.1.2.Sim-a2: Kebijakan dilaksanakannya Alokasi Dana Desa minimal 20 Persen Apabila alokasi dana desa minimal diberikan 20 persen, seperti pada Tabel 31 di atas ternyata hasil simulasi menunjukkan terjadi peningkatan penerimaan pajak daerah, retribusi daerah yang lebih besar daripada penyaluran ADD sebesar 10 persen. Pajak daerah terjadi peningkatan 0.3096 persen, sedangkan untuk retribusi terjadi peningkatan sebesar 0.3550 persen. Dari simulasi ini juga menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah akan meningkat sebesar 0.2821 persen. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa persentase penerimaan PAD pun lebih besar kalau dibandingkan hanya memberikan ADD 10 persen. Demikian juga dari sisi Produk Domestik Regional Bruto, terjadi peningkatan bila dibandingkan dengan pemberiaan ADD 10 persen. Dalam penurunan penduduk miskin pun simulasi penyaluran ADD minimal 20 persen memberikan dampak yang lebih besar daripada apabila alokasi dana desa hanya
113
disalurkan sebesar 10 persen, misalnya untuk jumlah penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan masing-masing menurun -1.4321 persen dan -1.3394 persen. Namun satu hal yang perlu dicatat, penambahan alokasi dana desa ini ternyata meningkatkan kesenjangan antar daerah sebesar 0.0998 persen.
7.2.1.3. Sim-a3 : Kebijakan Diberikannya Alokasi Dana Desa Sebesar 250 Juta Rupiah per Desa Dalam rangka mengetahui rencana diberikannya bantuan APBN untuk desa di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Desa, maka dalam penelitian ini disimulasikan diberikan ADD sebesar 250 juta untuk mengetahui dampaknya terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Dari hasil simulasi diketahui bahwa kebijakan diberikannya ADD sebesar 250 juta memberikan dampak yang positif dan negatif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Dampak positif tersebut antara lain meningkatkan pajak daerah sebesar 0.2306 persen
dan retribusi daerah meningkat sebesar 0.2689 persen. Peningkatan pajak
daerah dan retribusi daerah ini tentu membawa akibat pada peningkatan pendapatan asli daerah sebesar 0.2128 persen dan pendapatan asli daerah lainnya meningkat 0.2133 persen. Dari sisi dana perimbangan, dana bagi hasil meningkat sebesar 0.0911 persen. Selanjutnya dari sisi output peningkatan terjadi pada produk domestik regional bruto sektor pertanian yang meningkat sebesar 0.6184 persen serta produk domestik regional bruto meningkat 0.1163 persen, sedangkan produk domestik regional bruto per kapita meningkat sebesar 0.1656 persen. Penyaluran ADD sebesar 250 juta per desa ternyata mampu juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 0.2428 persen, meningkatan penyerapan tenaga kerja pertanian sebesar 0.2997 persen dan total tenaga kerja meningkat sebesar 0.1406 persen. Dampak negatif terjadi pada variabel dana perimbangan yang menurun -0.0553 persen, dana alokasi umum yang menurun sebesar -0.1111 persen, pengeluaran pertanian menurun sebesar -0.4345 persen, jumlah penduduk miskin perkotaan -1.0585 persen, jumlah penduduk miskin perdesaan menurun -1.0165 persen dan total penduduk miskin turun -1.039 persen. Selanjutnya dari sisi kesenjangan antar daerah ternyata dampak dari diberikannya alokasi dana desa sebesar 250 juta per desa, mampu menurunkan kesenjangan antar daerah. Penurunan kesenjangan antar daerah ini ditunjukkan dari indek Williamson sebesar -0.098 persen. dapat dilihat pada Tabel 32 .
Secara lebih jelas hal ini
114
Tabel 32.
Dampak Disalurkannya ADD (Rupiah) Secara Nasional terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah (%)
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Variabel Endogen PJKD (Pajak Daerah) RETD (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DP (Dana Perimbangan) PADL (Pendapatan Asli Daerah Lainnya) DAU (Dana Alokasi Umum) DBH (Dana Bagi Hasil) TPD (Total Penerimaan Daerah) PLTANI (Pengeluaran Sektor Pertanian) PLINF (Pengeluaran Sektor Infrastruktur) PLIND (Pengeluaran Sektor Industri) PLNTANI (Pengeluaran Sektor Non Pertanian) TPLD (Total Pengeluaran Daerah) FGAP (Fiskal Gap) PDRBA (PDRB Sektor Pertanian) PDRBNA (PDRB Sektor Non Pertanian) PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) YCAP (PDRB Per Kapita) GROWTH (Pertumbuhan Ekonomi) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian) TTK (Total Tenaga Kerja) JMKNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JMKND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa) JMKN (Jumlah Penduduk Miskin) Indeks Williamson
Simulasi ADD Rupiah (Secara Nasional) Sim-a3 Sim-a4 0.2306 0.2689 0.2128 -0.0553 0.2133 -0.1111 0.0911 0.0000 0.4345 0.1287 0.0004 0.0000 0.0000 0.0000 0.6184 0.0000 0.1163 0.1656 0.2428 0.2997 0.0036 0.1406 -1.0585 -1.0165 -1.0319 -0.0988
0.4677 0.5325 0.4256 -0.1093 0.4266 -0.2223 0.1822 0.0000 0.8689 0.2594 0.0009 0.0000 0.0000 0.0000 1.1484 0.0000 0.2325 0.3311 0.4856 0.5994 0.0072 0.2812 -2.1378 -2.0210 -2.0637 -0.1970
Keterangan Sim-a3:. ADD diberikan 250 juta per desa Sim-a4:. ADD diberikan 500 juta per desa
7.2.1.4. Sim-a4 : Kebijakan Diberikannya Alokasi Dana Desa Sebesar 500 Juta Rupiah per Desa Dari hasil simulasi diberikannya Alokasi Dana Desa sebesar 500 juta rupiah per desa pada Tabel 32 dapat
diketahui bahwa
terjadi dampak positif yang lebih
meningkat daripada diberikan alokasi anggaran sebesar 250 juta rupiah. Hal ini antara lain dapat diperhatikan terhadap peningkatan variabel pajak daerah (0.4677 persen), retribusi daerah (0.5352 persen), pendapatan asli daerah (0.4256 persen), pendapatan asli daerah lainnya (0.4266 persen), dana bagi hasil (0.1822 persen), pengeluaran industri (0.2594 persen), produk domestik regional bruto sektor pertanian (1.1484 persen), produk domestik regional bruto (0.2325 persen), produk domestik regional bruto per kapita (0.3311 persen), jumlah tenaga kerja pertanian (0.5994 persen), dan total tenaga kerja (0.2812 persen). Selanjutnya dampak negatif dari diberikannya
115
alokasi dana desa sebesar 500 juta rupiah ini ternyata memberikan dampak negatif hampir dua kali lipat bila dibandingkan diberikannya alokasi dana desa sebesar 250 juta rupiah. Sebagai contoh, dari Tabel 32 dapat dilihat ketika dana perimbangan pada waktu diberikan anggaran 250 juta penurunannya sebesar -0.0553 persen namun ketika diberikan anggaran 500 juta menurun menjadi -0.1093 persen. Selanjutnya untuk variabel dana alokasi umum yang semula menurun -0.1111 persen menjadi -0.2223 persen ketika diberikan alokasi anggaran sebesar 500 juta rupiah. Demikian juga untuk penurunan jumlah penduduk miskin, semula penurunan penduduk miskin perdesaan ketika anggarannya 250 juta rupiah sebesar -1.0165 persen, penurunannya menjadi 2.0210 persen ketika diberikan alokasi sebesar 500 juta rupiah. Secara lebih jelas hal ini dapat diperhatikan pada Tabel 32 tentang dampak diberikannya ADD (rupiah) secara nasional terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah berikut ini.
7.2.1.5. Sim-a5: Kebijakan Penambahan 5 Desa per Kabupaten Secara Nasional Berdasarkan simulasi dampak penambahan 5 desa per kabupaten pada Tabel 33 di bawah ini dapat diketahui bahwa simulasi ini mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positif pada kinerja fiskal terjadi pada pajak daerah (0.0132 persen), retribusi daerah (0.1398 persen) dan pendapatan asli daerah lainnya (0.1551 persen). Dengan peningkatan pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan asli daerah lainnya ini tentu saja akan meningkatkan pendapatan asli daerah, dimana dalam simulasi ini menunjukkan peningkatan pendapatan asli daerah sebesar 0.0973 persen. Sedangkan dari sisi dana perimbangan terjadi peningkatan 0.0048 peersen, dengan rincian dana bagi hasil meningkat 0.0643 persen, namun dana alokasi umum mengalami penurunan sebesar -0.0159 persen. Selanjutnya dari hasil simulasi penambahan 5 desa per kabupaten meningkatkan produk domestik regional bruto sektor pertanian sebesar 0.4417 persen dan meningkatkan produk domestik regional bruto sebesar 0.0830 persen dan produk domestik regional bruto per kapita meningkat sebesar 0.1407 persen. Selanjutnya dari sisi kinerja perekonomian daerah dapat diketahui bahwa penambahan 5 desa per Kabupaten akan meningkatkan jumlah tenaga kerja pertanian sebesar 0.2487 persen, total tenaga kerja meningkat sebesar 0.1290 persen serta akan menurunkan jumlah penduduk miskin di perkotaan (-0.0830 persen), jumlah penduduk miskin di perdesaan (-0.0957 persen) dan hal ini menurunkan total penduduk miskin sebesar 0.0910 persen. Dari sisi Indeks Williamson, ternyata dengan penambahan 5 desa per kabupaten akan menurunkan indeks Williamson sebesar -0.0592 persen. Artinya
116
penambahan 5 desa per kabupaten ini menurunkan angka kesenjangan antar daerah. Penurunan Indeks Williamson dimungkinkan karena dengan penambahan jumlah desa pada tahap tertentu akan meningkatkan pelayanan dan semakin mendekatkan span of control dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan argumentasi ini, simulasi mengenai arti pentingnya penataan desa adalah sejalan dalam rangka mendukung kebijakan alokasi dana desa dilakukan, khususnya untuk mengurangi kesenjangan antar daerah. Secara lebih lengkap dampak penambahan 5 desa per Kabupaten dapat dilihat pada Tabel 33.
7.2.1.6. Sim-a6: Kebijakan Penambahan 10 Desa per Kabupaten/Kota Secara Nasional Dari hasil simulasi mengenai dampak penambahan 10 Desa per Kabupaten ternyata mempunyai dampak positif dan negatif hampir dua kali lipat dibandingkan ketika penambahan jumlah desanya hanya 5 desa per Kabupaten. Dari Tabel 33 di bawah ini, diketahui bahwa secara garis besar dampak penambahan 10 desa per Kabupaten adalah meningkatkan pajak daerah sebesar 0.0329 persen, retribusi daerah meningkat menjadi sebesar 0.2797 persen dan pendapatan asli daerah meningkat sebesar 0.1963 persen dan pendapatan asli daerah lainnya meningkat 0.3054 persen. Selanjutnya dari sisi perekonomian daerah, dampak positif terjadi pada variabel produk domestik regional bruto sektor pertanian yang meningkat sebesar 0.8834 persen, produk domestik regional bruto yang meningkat sebesar 0.1661 persen, jumlah tenaga kerja pertanian meningkat 0.4973 persen, jumlah tenaga kerja non pertanian meningkat sebesar 0.0521 persen dan total tenaga kerja meningkat menjadi 0.0521 persen. Dampak negatif dari penambahan 10 desa per Kabupaten/Kota, yaitu adanya penurunan terhadap dana alokasi umum sebesar -0.030 persen, jumlah penduduk miskin perkotaan -0.1868 persen, jumlah penduduk miskin di perdesaan sebesar
-
0.1794 persen, jumlah penduduk miskin di perkotaan turun -0.0830 persen dan total penduduk miskin turun sebesar -0.1745 persen. Indeks Williamson mengalami penurunan sebesar -0.1182 persen. Artinya dalam simulasi ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah desa akan menurunkan angka kesenjangan antar daerah. Penurunan angka kesenjangan antar daerah ini memperkuat argumen beberapa pihak yang menyatakan bahwa penambahan jumlah desa pada tahap tertentu saat ini masih dibutuhkan. Secara lebih lengkap hasil simulasi mengenai dampak penambahan 10 desa per kabupaten/kota dapat diperhatikan pada Tabel 33.
117
Tabel 33. Dampak Penataan Wilayah Desa Secara Nasional terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Variabel Endogen PJKD (Pajak Daerah) RETD (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DP (Dana Perimbangan) PADL (Pendapatan Asli Daerah Lainnya) DAU (Dana Alokasi Umum) DBH (Dana Bagi Hasil) TPD (Total Penerimaan Daerah) PLTANI (Pengeluaran Sektor Pertanian) PLINF (Pengeluaran Sektor Infrastruktur) PLIND (Pengeluaran Sektor Industri) PLNTANI (Pengeluaran Sektor Non Pertanian) TPLD (Total Pengeluaran Daerah) FGAP (Fiskal Gap) PDRBA (PDRB Sektor Pertanian) PDRBNA (PDRB Sektor Non Pertanian) PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) YCAP (PDRB Per Kapita) GROWTH (Pertumbuhan Ekonomi) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian) TTK (Total Tenaga Kerja) JMKNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JMKND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa) JMKN (Jumlah Penduduk Miskin) Indeks Williamson
Simulasi (Secara Nasional) Sim-a5 Sim-a6 0.0132 0.1398 0.0973 0.0048 0.1551 -0.0159 0.0643 0.0000 7.6612 0.1248 0.0002
0.0329 0.2797 0.1963 0.0084 0.3054 -0.0300 0.1286 0.0950 15.3223 0.2496 0.0004
0.0000 0.2695 0.9524 0.4417 0.0000 0.0830 0.1407 0.2154 0.2487 0.0261 0.1290
0.0000 0.5391 0.9524 0.8834 0.0000 0.1661 0.2813 0.4308 0.4973 0.0521 0.2581
-0.0830 -0.0957 -0.0910 -0.0592
-0.1868 -0.1794 -0.1745 -0.1182
Keterangan Sim-a5: Penambahan 5 desa per Kabupaten Sim-a6: Penambahan 10 desa per Kabupaten
7.2.2. Berdasarkan Hasil Klasifikasi Tipologi Klassen Simulasi berdasarkan Tipologi Klassen dilakukan dengan maksud untuk mengetahui dampak dari kebijakan alokasi dana desa dan penataan wilayah desa di masing-masing tipologi. Simulasi yang dilakukan adalah: Sim-b1: Kebijakan Alokasi Dana Desa sesuai ketentuan PP no.72/2005 (min.10 persen) Sim-b2: Kebijakan Alokasi Dana Desa diberikan minimal 20 persen Sim-b3: Kebijakan Alokasi Dana Desa diberikan sebesar 250 juta per desa Sim-b4: Kebijakan Alokasi Dana Desa diberikan sebesar 500 juta per desa Sim-b5: Kebijakan penambahan 5 desa per Kabupaten/Kota Sim-b6: Kebijakan penambahan 10 desa per Kabupaten/Kota
118
7.2.2.1.Sim-b1 : Kebijakan Alokasi Dana Desa minimal 10 Persen Menurut Tipologi Klassen Selanjutnya untuk mengetahui apakah dampak penyaluran Alokasi Dana Desa ini sama atau tidak dimasing-masing daerah? Maka perlu dilakukan simulasi berdasarkan cluster, seperti pada Tabel 34 berikut.
Tabel 34. Dampak Alokasi Dana Desa Sebesar 10 Persen terhadap Perekonomian Daerah Menurut Tipologi Klassen (%) No
Variabel Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
PJKD (Pajak Daerah) RETD (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DP (Dana Perimbangan) PADL (PAD Lainnya) DAU (Dana Alokasi Umum) DBH (Dana Bagi Hasil) TPD (Total Penerimaan Daerah) PLTANI (Pengeluaran Sektor Pertanian) PLINF (Pengeluaran Sektor Infrastruktur) PLIND (Pengeluaran Sektor Industri) PLNTANI (Pengeluaran Sektor Non Pertanian) TPLD (Total Pengeluaran Daerah) FGAP (Fiskal Gap) PDRBA (PDRB Sektor Pertanian) PDRBNA (PDRB Sektor Non Pertanian)
13 14 15 16 17
25
PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) YCAP (PDRB Per Kapita) GROWTH (Pertumbuhan Ekonomi) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian) TTK (Total Tenaga Kerja) JMKNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JMKND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa) JMKN (Jumlah Penduduk Miskin)
26
Indeks Williamson
18 19 20 21 22 23 24
Kelompok Simulasi ADD 10 Persen Berdasar Tipologi Klassen a b c d 0.0365 0.0413 0.0417 -0.017 0.0597 -0.031 0.0446 -0.008 0.018 0.0019 0.0001
1.3473 0.7543 0.2779 -0.059 0.1807 -0.286 0.0312 -0.038 0.1476 0.0388 0.0005
0.173 0.307 0.194 -0.041 0.178 -0.073 0.131 -0.025 0.46 0.212 4E-04
1.511 0.556 0.35 -0.046 0.212 -0.082 0.137 -0.03 0.709 0.338 3E-04
0.0001 0.0005 -0.003 0.1116
0.002 0.0071 -0.005 0.8769
0.009 0.028 0.019 0.558
0.013 0.041 0.032 0.741
0
0.0001
9E-04
0.002
0.0185 0.0374 0.01 0.0547
0.1175 0.116 0.13 0.6334
0.153 0.176 0.2 0.312
0.21 0.294 0.34 0.308
0 0.0221
0.003 0.3261
0.008 0.166
0.015 0.199
-0.154
-2.833
-1.819
-1.886
-0.185
-3.227
-1.238
-0.781
-0.172
-3.065
-1.412
-1.005
0.1973
-0.005
-0.05
0.12
Keterangan: a. Daerah Maju Tumbuh Cepat b. Daerah Maju Tapi Tertekan c. Daerah Berkembang Cepat d. Daerah Tertinggal
Dari hasil simulasi pada Tabel 34 tentang Kebijakan Alokasi Dana Desa berdasarkan Tipologi Klassen, dapat dilihat bahwa penyaluran ADD yang sama mempunyai dampak yang berbeda pada tiap-tiap klasifikasi dalam Tipologi Klassen. Penyaluran ADD minimal 10 persen misalnya, meningkatkan pajak daerah, pendapatan
119
asli daerah dan pendapatan asli daerah lain terbesar di daerah tertinggal. Selanjutnya untuk retribusi daerah peningkatan terbesar terjadi di daerah yang maju tapi tertekan (0.7543 persen). Penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan paling besar terjadi di daerah yang maju tapi tertekan
(-3.065 persen), diikuti daerah yang berkembang
cepat (-1.238 persen), daerah yang tertinggal (-0.781 persen) dan daerah yang maju tumbuh cepat (-0.185 persen). Hal lain yang perlu mendapat perhatian secara serius dari hasil simulasi ini adalah dampak kesenjangan antar daerah yang berbeda di masing-masing-masing klasifikasi tipologi Klassen. Khusus untuk daerah yang maju tumbuh cepat dan daerah yang tertinggal, mempunyai angka indeks Williamson yang meningkat ketika diberikan ADD minimal 10 persen, yaitu masing-masing sebesar 0.197 persen dan 0.12 persen. Dari Tabel 34 dapat diketahui bagi daerah yang maju tumbuh cepat dan daerah yang tertinggal, penambahan ADD 10 persen akan menimbulkan permasalahan baru yaitu peningkatan kesenjangan anatar daerah.
7.2.2.2.Sim-b2: Kebijakan Alokasi Dana Desa minimal 20 Persen Tipologi Klassen
Berdasar
Dari hasil simulasi pada Tabel 35 Tentang Dampak Alokasi Dana Desa Sebesar 20 persen Terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia berdasar klasifikasi Tipologi Klassen menunjukkan
bahwa peningkatan penyaluran ADD ternyata berpengaruh
positif dan negatif pada kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Dampak positif misalnya, terjadi pada peningkatan pendapatan asli daerah sebesar 0.084 persen pada daerah yang maju tumbuh cepat, 0.556 persen pada daerah yang maju tapi tertekan, 0.3885 persen pada daerah yang berkembang cepat dan peningkatan PAD sebesar 0.6998 persen pada daerah yang tertinggal. Selanjutnya dari Tabel 35 dapat dilihat bahwa peningkatan prosentase peningkatan PAD ini ternyata juga diikuti peningkatan penerimaan pajak daerah di masing-masing daerah berdasarkan tipologi Klassen. Peningkatan penerimaan pajak daerah terbesar di daerah yang tertinggal sebesar 3.0215 persen, kemudian diikuti di daerah yang maju tapi tertekan sebesar 2.695 persen, di daerah yang berkembang cepat sebesar 0.3452 persen dan daerah yang maju tumbuh cepat sebesar 0.073 persen. Peningkatan persentase penyaluran ADD ini juga menurunkan jumlah penduduk miskin di perdesaan. Penurunan jumlah penduduk miskin di masing-masing daerah tipologi Klassen ini ternyata hampir dua kali lipat bila dibandingkan dengan penyaluran ADD sebesar 10 persen.Secara lebih lengkap hal ini dapat dilihat pada Tabel 35.
120
Tabel 35. Dampak Alokasi Dana Desa 20 persen terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia Menurut Tipologi Klassen (%) No
Variabel Endogen
25
PJKD (Pajak Daerah) RETD (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DP (Dana Perimbangan) PADL (Pendapatan Asli Daerah Lainnya) DAU (Dana Alokasi Umum) DBH (Dana Bagi Hasil) TPD (Total Penerimaan Daerah) PLTANI (Pengeluaran Sektor Pertanian) PLINF (Pengeluaran Sektor Infrastruktur) PLIND (Pengeluaran Sektor Industri) PLNTANI (Pengeluaran Sektor Non Pertanian) TPLD (Total Pengeluaran Daerah) FGAP (Fiskal Gap) PDRBA (PDRBruto Sektor Pertanian) PDRBNA (PDRB Sektor Non Pertanian) PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) YCAP (PDRB Per Kapita) GROWTH (Pertumbuhan Ekonomi) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian) TTK (Total Tenaga Kerja) JMKNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JMKND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa) JMKN (Jumlah Penduduk Miskin)
26
Indeks Williamson
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kelompok Simulasi ADD 20 Persen Berdasar Tipologi Klassen a b c d 0.073 0.083 0.084 -0.034
2.695 1.509 0.556 -0.12
0.3452 0.613 0.3885 -0.082
3.0215 1.1115 0.6998 -0.091
0.119 -0.061 0.089 -0.016
0.361 -0.57 0.062 -0.08
0.3559 -0.146 0.2618 -0.05
0.424 -0.164 0.2733 -0.06
0.036
0.295
0.9192
1.4171
0.004 2E-04
0.078 0.001
0.4235 0.0008
0.6753 0.0006
2E-04 0.001 -0.006 0.223
0.004 0.014 -0.01 1.754
0.0174 0.0562 0.0382 1.1166
0.0254 0.0818 0.0638 1.481
0
2E-04
0.0018
0.0032
0.037 0.075 0.03 0.109
0.235 0.232 0.26 1.267
0.3056 0.3524 0.39 0.6249
0.4207 0.5872 0.68 0.6161
1E-04 0.044
0.006 0.652
0.0159 0.3321
0.0307 0.3978
-0.308
-5.67
-3.646
-3.778
-0.37
-6.45
-2.478
-1.56
-0.344 0.3945
-6.13 -0.0106
-2.825 -0.0993
-2.01 0.2423
Keterangan: a. Daerah Maju Tumbuh Cepat b. Daerah Maju Tapi Tertekan c. Daerah Berkembang Cepat d. Daerah Tertinggal
Berdasarkan Tabel 35 penurunan penduduk miskin terbesar terdapat pada daerah yang mempunyai klasifikasi maju tepi tertekan kemudian diikuti oleh daerah yang berkembang cepat, daerah tertinggal dan daerah maju tumbuh cepat. Suatu hal yang harus menjadi perhatian, bahwa peningkatan penyaluran Alokasi Dana Desa secara prosentase, ternyata bagi daerah yang maju tumbuh cepat dan bagi daerah yang tertinggal, meningkatkan kesenjangan antar daerah. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti masalah distribusi daya dan dana yang tidak merata.
121
7.2.2.3.Sim-b3: Kebijakan Alokasi Dana Desa 250 Juta Klassen
Menurut Tipologi
Dari hasil simulasi kebijakan alokasi dana desa 250 juta rupiah per desa menurut Tipologi Klassen pada Tabel 36 dapat diketahui bahwa peningkatan PAD terbesar dari dilaksanakannya ADD sebesar 250 juta rupiah per desa dialami oleh daerah yang tertinggal. Secara lengkap hal ini dapat dilihat pada Tabel 36.
Tabel 36.
No
Dampak Alokasi Dana Desa 250 Juta Rupiah terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia Menurut Tipologi Klassen (%) Variabel Endogen
24 25
PJKD (Pajak Daerah) RETD (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DP (Dana Perimbangan) PADL (Pendapatan Asli Daerah Lainnya) DAU (Dana Alokasi Umum) DBH (Dana Bagi Hasil) TPD (Total Penerimaan Daerah) PLTANI (Pengeluaran Sektor Pertanian) PLINF (Pengeluaran Sektor Infrastruktur) PLIND (Pengeluaran Sektor Industri) PLNTANI (Pengeluaran Sektor Non Pertanian) TPLD (Total Pengeluaran Daerah) FGAP (Fiskal Gap) PDRBA (Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian) PDRBNA (Produk Domestik Regional Bruto Sektor Non Pertanian) PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) YCAP (PDRB Per Kapita) GROWTH (Pertumbuhan Ekonomi) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian) TTK (Total Tenaga Kerja) JMKNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JMKND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa) JMKN (Jumlah Penduduk Miskin)
26
Indeks Williamson
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Kelompok Simulasi ADD 250 Juta Berdasar Tipologi Klassen a b c d 0.1586 0.1674 0.1728 -0.073 0.2433 -0.132 0.1941 -0.034 0.1035 0.0127 0.0005
0.638 0.3743 0.1359 -0.028 0.0894 -0.134 0.0148 -0.018 0.0796 0.0214 0.0003
0.1824 0.3238 0.2055 -0.044 0.1886 -0.078 0.1397 -0.027 0.5414 0.2501 0.0004
2.2276 0.8895 0.5445 -0.066 0.3341 -0.118 0.1982 -0.042 0.9049 0.4303 0.0005
0.0007 0.003 -0.011
0.0011 0.0039 -0.002
0.0103 0.0331 0.0238
0.0162 0.0522 0.0379
0.4861
0.4158
0.5957
1.075
0 0.0808 0.106 0.09 0.2382 0.0003 0.0965 -0.670
0.0001 0.0557 0.0469 0.07 0.3005 0.0016 0.1548 -1.341
0.0011 0.1631 0.1997 0.23 0.3339 0.0094 0.1779 -1.932
0.0021 0.3051 0.3626 0.43 0.4461 0.0196 0.287 -2.769
-0.804
-1.529
-1.313
-1.145
-0.747 -0.0736
-1.452 -0.0494
-1.496 -0.1430
-1.473 0.1228
Keterangan: a.Daerah Maju Tumbuh Cepat b.Daerah Maju tapi Tertekan c.Daerah Berkembang Cepat d.Daerah Tertinggal
Dari Tabel 36 di atas diketahui juga bahwa peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah terbesar juga ada di daerah tertinggal, yaitu untuk pajak daerah sebesar 2.227
122
persen dan retribusi daerah sebesar 0.889 persen. Demikian juga untuk peningkatan produk domestik regional bruto per kapita, jumlah tenaga kerja pertanian, terbesar ada di daerah tertinggal. Menarik untuk diperhatikan bahwa dengan diberikannya ADD sebesar 250 juta per desa ini bahwa penurunan jumlah penduduk miskin di perkotaan terbesar juga ada di daerah tertinggal. Artinya ada hubungan negatif antara penyaluran ADD di desa dengan jumlah penduduk miskin di perkotaan. Temuan ini semakin memperkuat dugaan bahwa di daerah tertinggal pada umumnya penduduk usia produktif di perdesaan melakukan mobilisasi penduduk, baik dalam bentuk urbanisasi, ulang-alik atau commuter ke perkotaan. Selanjutnya dari Tabel 36 dapat diketahui juga bahwa dampak pemberiaan ADD sejumlah 250 juta rupiah per desa ternyata akan meningkatkan kesenjangan antar daerah di daerah tertinggal. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan indeks Williamson di daerah tertinggal sebesar 0.1228 persen. Sedangkan untuk daerah maju tumbuh cepat, daerah maju tapi tertekan dan daerah yang berkembang cepat, indeks Willimasonnya negatif atau dengan kata lain menurun kesenjangan antar daerahnya. Dari fenomena ini, dapat diketahui bahwa kebijakan penyaluran ADD sebesar 250 juta selain untuk daerah tertinggal menurunkan kesenjangan antar daerah, namun tidak demikian bagi daerah yang tertinggal.
7.2.2.4.Sim-b4: Kebijakan Alokasi Dana Desa 500 Juta Klassen
Menurut
Tipologi
Dari hasil simulasi kebijakan alokasi dana desa 500 juta rupiah per desa berdasar Tipologi Klassen pada Tabel 37 di bawah ini dapat diketahui bahwa peningkatan PAD hampir dua kali lipat bila dibandingkan pada waktu penyaluran ADD-nya 250 juta. Peningk terbesar dari dilaksanakannya ADD sebesar 500 juta rupiah per desa dialami oleh daerah yang tertinggal. Selanjutnya dari Tabel 37 dapat diketahui bahwa peningkatan ADD sebesar 500 juta rupiah ternyata selain menghasilkan PDRB dan PDRB per kapita terbesar di daerah tertinggal. Namun demikian dari sisi kesenjangan antar daerah, ternyata peningkatan penyaluran ADD juga meningkatkan kesenjangan antar daerah di daerah tertinggal. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 37 tentang Kebijakan Alokasi Dana Desa 500 Juta Rupiah Menurut Tipologi Klassen di bawah ini.
123
Tabel 37. Dampak Alokasi Dana Desa 500 Juta Rupiah terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia Menurut Tipologi Klassen (%) No
Variabel Endogen
25
PJKD (Pajak Daerah) RETD (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DP (Dana Perimbangan) PADL (Pendapatan Asli Daerah Lainnya) DAU (Dana Alokasi Umum) DBH (Dana Bagi Hasil) TPD (Total Penerimaan Daerah) PLTANI (Pengeluaran Sektor Pertanian) PLINF (Pengeluaran Sektor Infrastruktur) PLIND (Pengeluaran Sektor Industri) PLNTANI (Pengeluaran Sektor Non Pertanian) TPLD (Total Pengeluaran Daerah) FGAP (Fiskal Gap) PDRBA (Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian) PDRBNA (PDRB Sektor Non Pertanian) PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) YCAP (PDRB Per Kapita) GROWTH (Pertumbuhan Ekonomi) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian) TTK (Total Tenaga Kerja) JMKNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JMKND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa) JMKN (Jumlah Penduduk Miskin)
26
Indeks Williamson
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kelompok Simulasi ADD 500 Juta Berdasar Tipologi Klassen a b c d 0.3172 0.3347 0.3457 -0.146
1.2759 0.7486 0.2718 -0.055
0.3649 0.6476 0.4109 -0.087
4.4551 1.779 1.0891 -0.131
0.4866 -0.263 0.3882 -0.069
0.1787 -0.268 0.0296 -0.035
0.3772 -0.156 0.2794 -0.054
0.6681 -0.236 0.3965 -0.083
0.207
0.1591
1.0828
1.8098
0.0254 0.001
0.0428 0.0005
0.5001 0.0008
0.8607 0.0009
0.0014 0.0059 -0.022
0.0022 0.0078 -0.004
0.0206 0.0663 0.0476
0.0324 0.1045 0.0757
0.9722
0.8316
1.1914
2.1501
0.0001
0.0001
0.0022
0.0041
0.1615 0.2121 0.19
0.1114 0.0938 0.14
0.3262 0.3993 0.46
0.6103 0.7253 0.86
0.4764
0.601
0.6679
0.8922
0.0005 0.193
0.0032 0.3096
0.0188 0.3558
0.0391 0.574
-1.34
-2.682
-3.864
-5.537
-1.609
-3.056
-2.626
-2.288
-1.494 -0.1469
-2.902 -0.0988
-2.994 -0.2836
-2.947 0.2471
Keterangan: a. Daerah Maju Tumbuh Cepat b. Daerah Maju Tapi Tertekan c. Daerah Berkembang Cepat d. Daerah Tertinggal
7.2.2.5.Sim-b5: Kebijakan Penambahan 5 Desa per Kabupaten/Kota Menurut Tipologi Klassen Kebijakan pemekaran 5 wilayah desa mempunyai dampak positif dan negatif yang bervariatif dimasing-masing klasifikasi Tipologi Klassen. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 38 dibawah ini:
124
Tabel. 38. Dampak Penambahan 5 Desa per Kabupaten/Kota terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia Menurut Tipologi Klassen (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Variabel Endogen PJKD (Pajak Daerah) RETD (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DP (Dana Perimbangan) PADL (Pendapatan Asli Daerah Lainnya) DAU (Dana Alokasi Umum) DBH (Dana Bagi Hasil) TPD (Total Penerimaan Daerah) PLTANI (Pengeluaran Sektor Pertanian) PLINF (Pengeluaran Sektor Infrastruktur) PLIND (Pengeluaran Sektor Industri) PLNTANI (Pengeluaran Sektor Non Pertanian) TPLD (Total Pengeluaran Daerah) FGAP (Fiskal Gap) PDRBA (PDRB Sektor Pertanian) PDRBNA (PDRB Sektor Non Pertanian) PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) YCAP (PDRB Per Kapita) GROWTH (Pertumbuhan Ekonomi) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian) TTK (Total Tenaga Kerja) JMKNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JMKND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa) JMKN (Jumlah Penduduk Miskin) Indeks Williamson
Kelompok Simulasi Pemekaran 5 Desa Per Kabupaten/Kota a b c d 0.009 0.059 0.054 0.007
0.059 0.223 0.072 0.003
0.022 0.251 0.146 0.003
0.158 0.461 0.251 0.003
0.119 -0.01 0.095 0.009
0.073 -0.02 0.012 0.006
0.2 -0.02 0.156 0.011
0.235 -0.02 0.139 0.01
9.037
4.048
8.047
8.406
0.012
0.02
0.264
0.381
2E-04
1E-04
3E-04
2E-04
7E-04
0.001
0.011
0.014
0.199 0.211
0.144 0.147
0.357 0.368
0.355 0.358
0.237
0.327
0.664
0.751
2E-04
2E-04
0.002
0.003
0.04 0.056
0.044 0.041
0.182 0.207
0.214 0.278
0.05
0.05
0.23
0.37
0.136
0.277
0.431
0.362
0.011 0.061
0.034 0.158
0.058 0.252
0.078 0.256
-0.04
-0.13
-0.27
-0.24
-0.05
-0.14
-0.18
-0.1
-0.04
-0.13
-0.21
-0.13
-0.0215
-0.0154
-0.0791
-0.0293
Keterangan: a. Daerah Maju Tumbuh Cepat b. Daerah Maju Tapi Tertekan c. Daerah Berkembang Cepat d. Daerah Tertinggal
Dari Tabel 38 di atas terlihat bahwa penurunan jumlah penduduk miskin di desa sangat bervariatif, yaitu sebesar 0.05 persen di daerah yang maju tumbuh cepat, 0.14 persen di daerah yang maju tapi tertekan, 0.18 persen di daerah yang berkembang cepat serta penurunan sebesar 0.10 persen di daerah yang tertinggal. Dampak pemekaran 5 wilayah desa per kabupaten juga menurunkan kesenjangan antar wilayah di setiap
125
kluster dalam tipologi Klassen, yaitu sebesar -0.0215 persen di daerah yang maju tumbuh cepat, -0.0154 persen di daerah yang maju tapi tertekan, -0.0791 persen di daerah yang berkembang cepat dan penurunan kesenjangan antar wilayah sebesar 0.0293 persen di daerah yang tertinggal. Dari angka Williamson di atas jelas terlihat bahwa pemekaran 5 desa ini mampu menurunkan angka kesenjangan antar daerah. Selanjutnya dari Tabel 38 di bawah terlihat juga bahwa dampak pemekaran 5 wilayah desa per Kabupaten/Kota mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), termasuk di dalamnya peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbesar persentase perubahannya di daerah yang tertinggal. Hal ini menudukung penelitian Mankiw (2002) yang menyebutkan bahwa daerah yang miskin pada umumnya tingkat pertumbuhan ekonominya lebih besar daripada daerah yang kaya. Dalam peningkatan PDRBA dan PDRB, ternyata dari Tabel 38 menunjukkan juga bahwa daerah yang tertinggal persentase perubahannya lebih besar daripada daerah yang maju tumbuh cepat, daerah maju tapi tertekan dan daerah yang berkembang cepat.
7.2.2.6.Sim-b6 : Kebijakan Penambahan 10 Desa per Kabupaten/Kota Menurut Tipologi Klassen Selanjutnya dari hasil simulasi dampak pemekaran 10 desa per Kabupaten atau Kota seperti yang terlihat pada Tabel 39 dibawah ini terlihat mempunyai dampak positif dan negatif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Dampak positif terjadi pada variabel pajak daerah yang meningkat sebesar 0.018 persen untuk daerah yang maju tumbuh cepat, 0.1178 persen untuk daerah yang maju tapi tertekan, 0.045 persen untuk daerah yang berkembang cepat dan 0.3159 persen untuk daerah yang tertinggal. Sedangkan untuk variabel retribusi daerah, untuk daerah yang maju tumbuh cepat meningkat sebesar 0.118 persen, bagi daerah yang maju tapi tertekan meningkat sebesar 0.4467 persen, untuk daerah yang berkembang cepat retribusi daerahnya meningkat 0.502 persen dan bagi daerah yang tertinggal peningkatan retribusi daerahnya sebesar 0.9224 persen. Selanjutnya dari Tabel 39 dapat diketahui juga bahwa peningkatan penerimaan dari pendapatan asli daerah, ternyata daerah yang tertinggal yang mengalami peningkatan PAD yang paling besar, termasuk dalam peningkatan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerahnya. Dari hasil ini dapat diindikasikan bahwa pemekaran 10 desa per kabupaten mempunyai dampak yang positif, khususnya bagi daerah-daerah yang tertinggal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 39 dibawah ini:
126
Tabel. 39. Dampak Penambahan 10 Desa per Kabupaten/Kota terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia Menurut Tipologi Klassen (%) No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Variabel Endogen PJKD (Pajak Daerah) RETD (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DP (Dana Perimbangan) PADL (Pendapatan Asli Daerah Lainnya) DAU (Dana Alokasi Umum) DBH (Dana Bagi Hasil) TPD (Total Penerimaan Daerah) PLTANI (Pengeluaran Sektor Pertanian) PLINF (Pengeluaran Sektor Infrastruktur) PLIND (Pengeluaran Sektor Industri) PLNTANI (Pengeluaran Sektor Non Pertanian) TPLD (Total Pengeluaran Daerah) FGAP (Fiskal Gap) PDRBA (PDRB Sektor Pertanian) PDRBNA (PDRB Sektor Non Pertanian)
24 25
PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) YCAP (PDRB Per Kapita) GROWTH (Pertumbuhan Ekonomi) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian) TTK (Total Tenaga Kerja) JMKNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JMKND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa) JMKN (Jumlah Penduduk Miskin)
26
Indeks Williamson
17 18 19 20 21 22 23
Kelompok Simulasi Pemekaran 10 Desa Per Kabupaten/Kota a b c d 0.018 0.118 0.108 0.014 0.237 -0.018 0.19 0.018 18.07 0.025 3E-04
0.1178 0.4467 0.1431 0.0053 0.1463 -0.038 0.0233 0.0116 8.0955 0.04 0.0003
0.045 0.502 0.292 0.007 0.399 -0.038 0.312 0.022 16.09 0.528 6E-04
0.3159 0.9224 0.5028 0.0063 0.4705 -0.037 0.2782 0.0201 16.812 0.762 0.0004
0.001 0.399 0.422 0.474
0.0021 0.2872 0.2937 0.6539
0.022 0.713 0.736 1.328
0.0287 0.7092 0.7152 1.5022
4E-04 0.079 0.112 0.09 0.273
0.0004 0.0879 0.082 0.1 0.5538
0.004 0.365 0.414 0.46 0.862
0.0054 0.4282 0.5567 0.73 0.723
0.021 0.123
0.0669 0.3164
0.116 0.504
0.1568 0.5118
-0.077 -0.09
-0.252 -0.28
-0.549 -0.359
-0.49 -0.198
-0.085
-0.268
-0.417
-0.257
-0.0429
-0.0308
-0.1573
-0.0577
Keterangan: a. Daerah Maju Tumbuh Cepat b. Daerah Maju Tapi Tertekan c. Daerah Berkembang Cepat d. Daerah Tertinggal
Dari Tabel 39 di atas berbagai argumen dapat dikemukakan mengapa ketika pemekaran wilayah 10 desa per kabupaten/kota peningkatan PAD paling besar di daerah tertinggal, yaitu antara lain karena dengan jumlah penduduk miskin yang paling banyak di daerah yang tertinggal, maka pemekaran wilayah desa yang notabene akan semakin mendekatkan pusat pelayanan kepada masyarakat akan semakin mendorong Pendapatan Asli Daerah yang lebih besar pula di daerah tertinggal. Selanjutnya dampak dari pemekaran 10 wilayah desa pada tiap klasifikasi di dalam Tipologi Klassen meningkatkan pengeluaran daerah, PDRB dan PDRB per kapita daerah yang
127
bersangkutan yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah penduduk miskin di daerah tersebut. Dampak selanjutnya, dapat diketahui dari Tabel 39 bahwa dimasing-masing klasifikasi Tipologi Klassen, terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di desa. Hal ini membuktikan bahwa pemekaran desa yang identik dengan pembentukan pusat-pusat pemerintahan dan pelayanan juga sangat efektif dalam mendorong penyelenggaraan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sehingga mempengaruhi penurunan jumlah penduduk miskin di desa. Selanjutnya dari Tabel 39 di bawah ini tentang Dampak pemekaran 10 wilayah desa per kabupaten dan Kota, ternyata dari hasil simulasi pemekaran 10 wilayah desa per kabupaten/kota juga mampu menurunkan kesenjangan antar wilayah di setiap cluster dalam tipologi Klassen yang lebih besar daripada dilaksanakannya pemekaran 5 desa per Kabupaten/Kota. Dari Tabel 39 di atas, dapat diketahui pula untuk daerah yang maju tumbuh cepat kesenjangan antar wilayahnya menurun 0.042 persen, untuk daerah yang maju tapi tertekan menurun 0.038 persen, untuk daerah yang berkembang cepat menurun 0.157 persen dan bagi daerah yang tertinggal menurun 0.0577 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemekaran desa pada tahap tertentu juga akan mendorong pemerataan pembangunan di daerah. Salah satu contoh pemerataan yang akan diperoleh dengan adanya
pemekaran
adalah
pemerataan
pelayanan
yang dikarenakan
adanya
pembangunan pusat penyelenggaraan pemerintahan desa, bantuan pembangunan untuk desa dari pemerintah desa maupun dari pemerintah supra desa. Dari hasil simulasi dapat diketahui pula bahwa pemekaran wilayah desa mampu pula meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, penyerapan tenaga kerja pertanian, mampu menurunkan jumlah penduduk miskin mampu pula menurunkan kesenjangan antar wilayah disetiap klasifikasi dalam Tipologi Klassen.
7.2.3. Simulasi Afirmatif Simulasi Afirmatif ini dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksaaan ADD dengan cara berbagai pemihakan, yaitu: Sim-c1: Secara prosentase untuk kelompok daerah maju besarnya 10 persen, kelompok daerah maju tapi tertekan 20 persen, kelompok daerah berkembang cepat 30 persen dan kelompok daerah tertinggal 40 persen.
128
Sim-c2: Simulasi c1 digabungkan untuk kelompok daerah maju desanya dimekarkan 5 Desa per Kabupaten/Kota dan untuk daerah tertinggal desanya dimekarkan 10 Desa per Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk Daerah Maju Tapi tertekan dan Daerah berkembang cepat Desanya tidak dimekarkan. Sim-c3: Secara nominal ADD diberikan merata sebesar 500 juta rupiah per desa dan untuk daerah yang tertinggal ditambah jumlah desanya 5 desa per Kabupaten/Kota
7.2.3.1. Sim-c1 : Kebijakan Afirmatif Pelaksanaan Alokasi Dana Desa (Prosentase) terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia Memperhatikan simulasi peningkatan ADD 10 persen dan 20 persen pada Tabel 40 dapat diketahui bahwa peningkatan penyaluran ADD mampu meningkatkan kinerja fiskal daerah, seperti Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan Asli Daerah, Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian, PDRB, dan PDRB per kapita. Namun dari Tabel 40 dapat diketahui pula bahwa peningkatan prosentase penyaluran ADD akan meningkatkan kesenjangan antar wilayah, yang ditunjukkan dengan peningkatan dari angka indeks Williamson. Memperhatikan hal ini perlu dicari solusi bagaimana agar pelaksanaan ADD dapat lebih optimal dalam meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Salah satu cara yang ditempuh dalam simulasi ini adalah melakukan simulasi afirmatif (pemihakan), yaitu dengan melakukan pembedaan penyaluran Alokasi Dana Desa. Untuk daerah yang maju tumbuh cepat, alokasi dana desa persentasenya 10 persen, untuk daerah yang maju tapi tertekan persentasenya 20 persen, untuk daerah yang berkembang cepat persentasenya 30 persen, dan untuk daerah yang tertinggal persentasenya 40 persen. Alasan penyaluran persentase yang berbeda ini disesuaikan dengan filosofi diberikannya ADD, yaitu daerah yang maju diberikan anggaran yang lebih sedikit dibanding dengan daerah yang kurang maju atau tertinggal. Hal ini dimaksudkan agar daerah yang kurang maju dapat mengejar ketertinggalan pembangunan daerah yang lebih maju. Dari hasil simulasi afirmatif (kolom c) di tabel 40 juga terlihat juga bahwa alokasi afirmatif mempunyai dampak terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah yang lebih baik daripada penyaluran ADD yang seragam secara nasional. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Tabel 40 tentang Dampak Dilaksanakan ADD (Prosentase) Secara Seragam dan ADD Afirmatif terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia
129
Tabel 40.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Dampak Dilaksanakan ADD (Prosentase) Secara Seragam dan ADD Afirmatif terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia (%) Variabel Endogen
PJKD (Pajak Daerah) RETD (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DP (Dana Perimbangan) PADL (Pendapatan Asli Daerah Lainnya) DAU (Dana Alokasi Umum) DBH (Dana Bagi Hasil) TPD (Total Penerimaan Daerah) PLTANI (Pengeluaran Sektor Pertanian) PLINF (Pengeluaran Sektor Infrastruktur) PLIND (Pengeluaran Sektor Industri) PLNTANI (Pengeluaran Sektor Non Pertanian) TPLD (Total Pengeluaran Daerah) FGAP (Fiskal Gap) PDRBA (Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian) PDRBNA (Produk Domestik Regional Bruto Sektor Non Pertanian) PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) YCAP (PDRB Per Kapita) GROWTH (Pertumbuhan Ekonomi) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian) TTK (Total Tenaga Kerja) JMKNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JMKND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa) JMKN (Jumlah Penduduk Miskin) Indeks Williamson
Kelompok Simulasi 1 (ADD Secara Nasional) Sim-a1 Sim-a2 Sim-c1 0.1515 0.1775 0.1402 -0.0372 0.1454 -0.0759 0.0590 0.0000 0.3508 0.1053 0.0003 0.0000 0.0000 0.0000 0.4417
0.3096 0.3550 0.2821 -0.0757 0.2860 -0.1517 0.1233 0.0000 0.7043 0.2106 0.0006 0.0000 0.0000 0.0000 0.7951
0.4150 0.4733 0.3794 -0.1021 0.3830 -0.2046 0.1661 0.0000 1.1820 0.3588 0.0008 0.0000 0.0898 0.0000 1.0601
0.0000 0.0830 0.1503 0.1962 0.2014 0.0030 0.0947 -0.7057 -0.6697 -0.6829 0.0481
0.0000 0.1495 0.3006 0.3923 0.4028 0.0059 0.1895 -1.4321 -1.3394 -1.3733 0.0998
0.0000 0.1993 0.4543 0.6581 0.5461 0.0099 0.2580 -1.9095 -1.7938 -1.8361 0.0107
Keterangan: Sim-a1: ADD diberikan sesuai PP 72/2005 (min.10%) Sim-a2: Alokasi minimal ditingkatkan 20% Sim-c1: Alokasi afirmatif (daerah: maju (10%), maju tp tertekan (20%), berkembang cepat (30%) dan tertinggal (40%))
Dari Tabel 40 di atas diketahui juga bahwa Pajak Daerah meningkat sebesar 0.415 persen, retribusi daerah meningkat 0.473 persen, dan Pendapatan Asli Daerah juga meningkat sebesar 0.379 persen. Demikian juga untuk peningkatan produk domestik regional bruto sektor pertanian (PDRBA) dan produk domestik regional bruto, peningkatannya paling besar bila pengalokasian ADD dilakukan secara afirmatif. Dari Tabel 40 di atas diketahui juga bahwa PDRBA meningkat sebesar 1.061 persen dan PDRB meningkat sebesar 0.199 persen. Untuk pengurangan penduduk miskin, terlihat pada Tabel 40 di bawah ini bahwa ADD secara afirmatif pun menghasilkan penurunan jumlah penduduk miskin paling banyak apabila dibandingkan dengan penyaluran alokasi dana desa secara seragam. Oleh karena itu, ketentuan penyaluran
130
ADD dalam PP 72/2005 tentang Desa perlu disempurnakan dengan memperhatikan kondisi dan situasi daerah berdasarkan tipologinya. Selanjutnya dalam pelaksanaannya alokasi dana desa secara afirmatif menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan asli daerah paling besar bila dibandingkan dengan simulasi sebelumnya (ADD diberikan 10 persen dan 20 persen). Dari hasil simulasi Tabel 40 di bawah ini menunjukkan pula bahwa penyaluran ADD secara affirmatif memberikan nilai indek Williamson paling kecil bila dibandingkan dengan penyaluran ADD secara seragam (baik 10 persen maupun 20 persen). Namun demikian nilai Indek
Williamsonnya masih meningkat bila dibandingkan dengan simulasi
dasarnya. Artinya baik simulasi penyaluran ADD secara seragam maupun afirmatif masih meningkatkan kesenjangan antar wilayah.
7.2.3.2. Sim-c2:
Kebijakan Afirmatif Alokasi Dana Desa Dikombinasikan dengan Penataan Wilayah Desa
(Prosentase)
Dalam simulasi penyaluran ADD (prosentase) secara afirmatif di Tabel 40 simc1, diketahui bahwa kinerja fiskal dan perekonomian daerah semakin meningkat. Namun demikian kesenjangan antar wilayahnya walaupun paling kecil bila dibandingkan dengan penyaluran ADD secara seragam (Tabel 40, sim-a1 dan sim-a2) tetapi trend-nya masih meningkat. Oleh karena itu perlu upaya strategis untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah ini. Kalau diperhatikan dari hasil simulasi penataan wilayah desa secara nasional, menunjukkan bahwa penambahan atau pemekaran jumlah desa per Kabupaten mempunyai kecenderungan menurunkan angka Indeks Williamson. Berdasarkan kenyataan ini perlu dilakukan simulasi gabungan untuk menemukan formula yang optimal dalam pelaksanaan alokasi dana desa (ADD). Setelah dilakukan simulasi gabungan antara Alokasi Dana Desa Secara Afirmatif dengan penataan wilayah desa dimana daerah maju ditambah 5 desa per Kabupaten/Kota dan daerah tertinggal ditambah 10 desa per Kabupaten/Kota, ternyata hasil kinerja fiskal dan perekonomian daerahnya meningkat. Selanjutnya bila diperhatikan Tabel 41 di bawah ini dapat diketahui bahwa dampak positif terjadi juga pada variabel pajak daerah yang meningkat sebesar 0.4282 persen, retribusi daerah meningkat sebesar 0.5862 persen dan pendapatan asli daerah meningkat 0.4569 persen. Secara lengkap hal ini dapat diperhatikan pada Tabel 41.
131
Tabel 41. Dampak Dilaksanakan ADD (Prosentase) Afirmatif yang Dikombinasikan dengan Penataan wilayah Desa terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia (%) Sim-c2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Variabel Endogen PJKD (Pajak Daerah) RETD (Retribusi Daerah) PAD (Pendapatan Asli Daerah) DP (Dana Perimbangan) PADL (Pendapatan Asli Daerah Lainnya) DAU (Dana Alokasi Umum) DBH (Dana Bagi Hasil) TPD (Total Penerimaan Daerah) PLTANI (Pengeluaran Sektor Pertanian) PLINF (Pengeluaran Sektor Infrastruktur) PLIND (Pengeluaran Sektor Industri) PLNTANI (Pengeluaran Sektor Non Pertanian) TPLD (Total Pengeluaran Daerah) FGAP (Fiskal Gap) PDRBA (Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian) PDRBNA (Produk Domestik Regional Bruto Sektor Non Pertanian) PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) YCAP (PDRB Per Kapita) GROWTH (Pertumbuhan Ekonomi) TKP (Jumlah Tenaga Kerja Pertanian) TKNP (Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian) TTK (Total Tenaga Kerja) JMKNK (Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan) JMKND (Jumlah Penduduk Miskin di Desa) JMKN (Jumlah Penduduk Miskin) Indeks Williamson
0.4282 0.5862 0.4569 -0.0985 0.5042 -0.2170 0.2197 0.0000 7.3239 0.4778 0.0009 0.0000 0.2695 0.9524 1.4134 0.0000 0.2657 0.5650 0.8630 0.7456 0.0311 0.3617 -1.9718 -1.8656 -1.9044 -0.0815
Demikian juga pada total pengeluaran daerah meningkat sebesar 0.2695 persen, produk domestik regional bruto meningkat sebesar 0.2657 persen, produk domestik regional bruto per kapita meningkat 0.5650 persen, jumlah tenaga kerja pertanian meningkat 0.7456 persen, jumlah penduduk miskin di desa turun -1.8656 persen dan total penduduk miskin turun -1.9044 persen. Dari Tabel 41 dapat dilihat pula bahwa Indek Williamson mengalami penurunan walaupun masih kecil (-0.0815 persen). Dari hasil simulasi ini dapat dikemukakan bahwa dampak dari simulasi ADD (prosentase) secara afirmatif yang digabung dengan penataan wilayah desa menghasilkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah lebih baik bila dibandingkan dengan hasil simulasi sebelumnya.
132
7.2.3.3. Sim-c3 :
Kebijakan Afirmatif Alokasi Dana Desa 500 Juta Rupiah per Desa Dikombinasikan dengan Penataan Wilayah Desa
Apabila memperhatikan hasil simulasi disalurkannya ADD 500 juta rupiah per desa pada Tabel 42, khususnya sim-a4, diketahui bahwa hasilnya mempunyai dampak positif dan negatif dalam meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Dampak positif terjadi pada variabel pajak daerah (PJKD) yang mengalami perubahan sebesar 0.4677 persen, retribusi daerah mengalami perubahan sebesar 0.5325 persen, pendapatan asli daerah (PAD) meningkat sebesar 0.4256 persen, produk domestik regional bruto sektor pertanian meningkat 1.1484 persen dan produk domestik regional bruto meningkat sebesar 0.2325 persen. Hasil simulasi disalurkannya ADD sebesar 500 juta rupiah per desa ini juga menurunkan jumlah penduduk miskin dan menurunkan kesenjangan antar wilayah. Dalam rangka mencarai alternatif kebijakan yang optimal dalam penyaluran ADD secara nominal telah dilakukan simulasi penyaluran ADD secara seragam sebesar 500 juta per Desa ditambah adanya penambahan 5 desa per Kabupaten/Kota, khusus bagi daerah yang termasuk daerah tertinggal. Mengapa hal ini dilakukan? Karena dari hasil simulasi pemberiaan ADD secara rupiah, baik sebesar 250 juta maupun 500 juta terbukti bahwa untuk daerah yang tertinggal mengalami peningkatan angka indeks Williamson. Artinya ada peningkatan kesenjangan antar daerah yaitu di daerah yang tertinggal. Sedangkan dari hasil simulasi pemekaran desa, menunjukkan bahwa pemekaran desa mampu menurunkan kesenjangan antar daerah. Memperhatikan hal ini perlu dilakukan simulasi kombinasi antara penyaluran alokasi dana desa secara rupiah dan penataan wilayah desa. Dari hasil simulasi gabungan ini ternyata menunjukkan memberikan hasil yang baik juga, dimana dampak positif terjadi pada pajak daerah yang meningkat menjadi 0.4743 persen, retribusi daerah meningkat sebesar 0.5647 persen dan pendapatan asli daerah meningkat sebesar 0.4470 persen. Dampak negatif terbesar juga terjadi pada penurunan penduduk miskin di desa yaitu sebesar -2.0450 persen dan total penduduk miskin turun sebesar -2.0941 persen. Selanjutnya angka kesenjangan antar daerah menurun sebesar -0.2312 persen.Secara lebih jelas ringkasan perbandingan berbagai simulasi secara nasional ini dapat diperhatikan pada Tabel 42.
133
Tabel 42.
No
Ringkasan Hasil Simulasi Dampak Pelaksanaan ADD dan Penataan Wilayah Desa terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia (%)
Var. Endogen
1
PJKD
2
RETD
3
PAD
4
DP
5
PADL
6
DAU
7
DBH
8
TPD
9
PLTANI
10
PLINF
11
PLIND
12
PLNTANI
13
TPLD
14
FGAP
15
PDRBA
16
PDRBNA
17
PDRB
18
YCAP
19
GROWTH
20
TKP
21
TKNP
22
TTK
23
JMKNK
24
JMKND
25
JMKN
26
Indeks Williamson
Add Prosentase
Add Rupiah
sim-a1
sim-a2
sim-a3
0.1515
0.3096
0.2306
0.1775
0.3550
0.1402
0.2821
-0.0372
sim-a4
Tata Desa
Afirmatif
sim-a5
sim-a6
sim-c1
sim-c2
sim-c3
0.4677
0.0132
0.0329
0.4150
0.4282
0.4743
0.2689
0.5325
0.1398
0.2797
0.4733
0.5862
0.5647
0.2128
0.4256
0.0973
0.1963
0.3794
0.4569
0.4470
-0.0757
-0.0553
-0.1093
0.0048
0.0084
-0.1021
-0.0985
-0.1093
0.1454
0.2860
0.2133
0.4266
0.1551
0.3054
0.3830
0.5042
0.4606
-0.0759
-0.1517
-0.1111
-0.2223
-0.0159
-0.0300
-0.2046
-0.2170
-0.2258
0.0590
0.1233
0.0911
0.1822
0.0643
0.1286
0.1661
0.2197
0.1983
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0950
0.0000
0.0000
0.0000
0.3508
0.7043
0.4345
0.8689
7.6612
15.3223
1.1820
7.3239
2.3828
0.1053
0.2106
0.1287
0.2594
0.1248
0.2496
0.3588
0.4778
0.3120
0.0003
0.0006
0.0004
0.0009
0.0002
0.0004
0.0008
0.0009
0.0009
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2695
0.5391
0.0898
0.2695
0.0898
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.9524
0.9524
0.0000
0.9524
0.0000
0.4417
0.7951
0.6184
1.1484
0.4417
0.8834
1.0601
1.4134
1.2367
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0830
0.1495
0.1163
0.2325
0.0830
0.1661
0.1993
0.2657
0.2491
0.1503
0.3006
0.1656
0.3311
0.1407
0.2813
0.4543
0.5650
0.3683
0.1962
0.3923
0.2428
0.4856
0.2154
0.4308
0.6581
0.8630
0.5784
0.2014
0.4028
0.2997
0.5994
0.2487
0.4973
0.5461
0.7456
0.6528
0.0030
0.0059
0.0036
0.0072
0.0261
0.0521
0.0099
0.0311
0.0129
0.0947
0.1895
0.1406
0.2812
0.1290
0.2581
0.2580
0.3617
0.3090
-0.7057
-1.4321
-1.0585
-2.1378
-0.0830
-0.1868
-1.9095
-1.9718
-2.1793
-0.6697
-1.3394
-1.0165
-2.0210
-0.0957
-0.1794
-1.7938
-1.8656
-2.0450
-0.6829 0.0481
-1.3733 0.0998
-1.0319 -0.0988
-2.0637 -0.1970
-0.0910 -0.0592
-0.1745 -0.1182
-1.8361 0.0107
-1.9044 -0.0815
-2.0941 -0.2312
Keterangan: Sim-a1 : Alokasi minimal sesuai PP No 72 Tahun 2005 (10%) Sim-a2 : Alokasi minimal ditingkatkan menjadi 20% Sim-a3 : Alokasi dana desa 250 jt per desa Sim-a4 : Alokasi dana desa 500 jt per desa Sim-a5 : Penambahan 5 desa perkabupaten Sim-a6 : Penambahan 10 desa perkabupaten Sim-c1 : Alokasi afirmative (Kel maju 10%, Kel Maju Tertekan dinaikkan 20%, Kel Berkembang Cepat dinaikkan 30%, Kel Daerah Tertinggal dinaikkan 40%) Sim-c2 : Sim-c1 + penataan wilayah desa (daerah maju ditambah 5 desa per Kab/Kota dan daerah tertinggal ditambah 10 desa per Kabupaten/Kota). Sim-c3 : Sim-a4 + penambahan 5 desa per Kabupaten untuk daerah tertinggal
134
7.3. Rangkuman dan Pembahasan Berdasarkan hasil simulasi di atas, kalau dikembalikan pada tujuan penyaluran ADD yaitu antara lain untuk menurunkan jumlah penduduk miskin,
mengurangi
kesenjangan antar wilayah dan meningkatkan perekonomian daerah, dapat diketahui bahwa perubahan prosentase pengurangan jumlah penduduk miskin di perdesaan paling banyak terdapat pada kebijakan afirmatif penyaluran alokasi dana desa secara rupiah sebesar 500 juta dan dikombinasikan dengan pemekaran 5 wilayah desa di daerah tertinggal (sim-c3), yaitu sebesar -2.045 persen, sedangkan yang paling kecil dampaknya pada kebijakan penambahan 5 desa per kabupaten/kota yang hanya menurunkan jumlah penduduk miskin di desa sebesar -0.095 persen. Selanjutnya dari Gambar 12 dapat diketahui pula bahwa penyaluran alokasi dana desa secara rupiah sebesar 500 juta (sim-a4) juga dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 2.021 persen, yang kemudian diikuti oleh simulasi afirmatif penyaluran ADD prosentase yang dikombinasikan dengan penataan wilayah desa, dimana daerah maju diberi ADD 10 persen, daerah yang maju tapi tertekan diberi ADD sebesar 20%, daerah yang berkembang cepat diberikan ADD sebesar 30 persen dan daerah yang tertinggal diberikan ADD sebesar 40 persen serta dikombinasikan dengan penambahan 5 desa pada daerah yang maju dan 10 desa desa pada daerah yang tertinggal (sim-c2), menghasilkan perubahan jumlah penduduk miskin sebesar -1.865 persen. Secara lengkap hal ini dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Perbandingan Berbagai Simulasi Kebijakan Alokasi Dana Desa dan Penataan Wilayah Desa dalam Mengurangi Jumlah Penduduk Miskin di Perdesaan
135
Ringkasan hasil pada Tabel 42 menunjukkan bahwa perubahan penurunan kesenjangan antar daerah paling besar terdapat pada simulasi afirmatif penyaluran ADD sebesar 500 juta yang dikombinasikan dengan penambahan 5 desa pada daerah yang tertinggal (sim-c3), yaitu sebesar -0.231 persen, kemudian diikuti simulasi kebijakan penyaluran ADD sebesar 500 juta, yaitu menyebabkan penurunan kesenjangan antar daerah sebesar -0.1970 persen. Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada Gambar 13 berikut ini.
Gambar 13. Indek Williamson dalam Berbagai Simulasi
Dari Tabel 42 dapat diketahui juga dampak kebijakan penyaluran ADD dan Penataan Wilayah Desa terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Perubahan peningkatan PAD terbesar terdapat pada kebijakan afirmatif penyaluran ADD sebesar 500 juta yang dikombinasikan dengan penambahan 5 desa pada daerah yang tertinggal (sim-c3), yaitu sebesar 0.474 persen. Kemudian diikuti oleh kebijakan pemberian ADD secara rupiah sebesar 500 juta (sim-a4) dan diikuti oleh kebijakan afirmatif penyaluran ADD prosentase yang dikombinasikan dengan penambahan 5 desa pada daerah yang maju dan penambahan 10 desa pada daerah yang tertinggal. Demikian juga pada perubahan peningkatan PDRB, secara berturut-turut paling besar terjadi pada kebijakan afirmatif penyaluran ADD sebesar 500 juta yang dikombinasikan dengan penambahan 5 desa pada daerah yang tertinggal (sim-c3), kemudian
diikuti oleh kebijakan
pemberian ADD sebesar 500 juta (sim-a4) dan diikuti oleh kebijakan ADD prosentase afirmatif yang dikombinasikan dengan penambahan 5 desa pada daerah yang maju dan penambahan 5 desa pada daerah yang tertinggal (sim-c2). Secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 14 berikut ini :
136
0.8 0.7 0.6 0.5 % Perubahan 0.4 PDRB PAD
0.3 0.2 0.1 0 SIM-a1
SIM-a2
SIM-a3
SIM-a4
SIM-a5
SIM-a6
SIM-c1
SIM-c2
SIM-c3
SIMULASI
Gambar 14. Perbandingan Perkembangan PAD dan PDRB pada Berbagai Simulasi
Secara lebih jelas tiga urutan terbesar dari hasil simulasi kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin, peningkatan PAD, peningkatan PDRB dan penurunan kesenjangan antar daerah dapat dilihat pada Tabel 43 berikut ini.
Tabel 43.
Perbandingan Hasil Simulasi Penyaluran ADD terhadap Indikator Pemberian ADD (%)
Indikator Penurunan Penduduk Miskin di Desa Peningkatan PAD Peningkatan PDRB Penurunan Kesenjangan Antar Daerah
sim-a4
sim-c2
sim-c3
-2.021
-1.917
-2.045
0.425 0.116 -0.197
0.456 0.265 -0.081
0.447 0.249 -0.231
Dari hasil simulasi di atas dapat diketahui bahwa kebijakan penyaluran ADD sebesar 500 juta (sim-a4) memberikan persentase hasil di bawah simulasi afirmatif penyaluran ADD secara persentase yang dikombinasikan dengan pemekaran 5 desa di daerah maju tumbuh cepat dan pemekaran 10 desa di daerah tertinggal(sim-c2) serta simulasi afirmatif penyaluran ADD 500 juta per desa dan daerah tertinggal dimekarkan atau ditambah 5 desa per kabupaten/kota (sim-c3). Simulasi afirmatif penyaluran ADD secara persentase (sim-c2) memberikan hasil persentase terbesar pada peningkatan PAD (0.456 persen) dan peningkatan PDRB sebesar 0.265 persen. Namun angka
137
penurunan kesenjangan antar daerahnya paling kecil bila dibanding sim-a4 dan sim-c3. Selanjutnya simulasi penyaluran ADD 500 juta per desa yang dikombinasikan dengan pemekaran 5 desa pada daerah tertinggal (sim-c3) ternyata memberikan persentase terbesar pada penurunan penduduk miskin di desa dan penurunan kesenjangan antar daerah. Memperhatikan hasil simulasi ini, maka kebijakan alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam pelaksanaan alokasi dana desa (ADD) ke depan yang dapat di atur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Desa beserta peraturan pelaksanaannya adalah kebijakan sim-c3, yaitu penyaluran ADD 500 juta per desa dan daerah tertinggal dimekarkan 5 desa per kabupaten/kota. Hal ini dikemukakan karena dari hasil simulasi memberikan hasil paling efektif dengan tujuan ADD yaitu mengurangi jumlah penduduk miskin paling besar (-2.045 persen), mengurangi kesenjangan antar wilayah paling besar (-0.231 persen) serta menghasilkan peningkatan PAD dan PDRB yang cukup besar pula, yaitu sebesar 0.447 persen dan 0.249 persen, sedangkan apabila tetap dipertahankan penyaluran ADD secara persentase harus dilakukan secara afirmatif dan itupun dengan konsekuensi penurunan kesenjangan antar daerahnya tidak sebesar apabila diberikan secara rupiah dan dikombinasikan dengan penataan wilayah desa.
138
Halaman ini sengaja dikosongkan
139
VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Simpulan Beberapa simpulan penting dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penyaluran ADD telah memberikan arah yang benar untuk meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah, mampu mengurangi jumlah penduduk miskin dan meningkatkan produk domestik regional bruto sektor pertanian, walaupun taraf nyatanya belum sesuai dengan yang diharapkan (α lebih besar 0.10). 2. Hasil simulasi, baik secara nasional maupun menurut Tipologi Klassen, menunjukkan bahwa peningkatan penyaluran ADD mampu meningkatkan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah, yaitu antara lain mampu meningkatkan PAD sebagai salah satu tolok ukur kemandirian daerah. Peningkatan penyaluran ADD juga mampu meningkatkan total pengeluaran daerah untuk mendorong peningkatan kebutuhan fiskal (fiscal needs) daerah dan meningkatkan produk domestik regional bruto, melalui peningkatan PDRB sektor pertanian. Selanjutnya peningkatan penyaluran ADD mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian serta mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di perdesaan. 3. Ketentuan penyaluran ADD dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (minimal 10 persen), ternyata akan meningkatkan kesenjangan PDRB antar daerah, khususnya daerah yang maju tumbuh cepat dan bagi daerah yang tertinggal. 4. Simulasi penyaluran ADD secara nominal pada umumnya meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah lebih baik dibanding simulasi penyaluran ADD secara prosentase. Penyaluran ADD secara nominal ternyata menurunkan kesenjangan antar daerah lebih baik dibandingkan simulasi penyaluran ADD secara nominal. Penyaluran ADD secara nominal menyebabkan kesenjangan PDRB antar daerah menurun kecuali bagi daerah yang tertinggal. 5. Penyaluran ADD afirmatif 500 juta per desa yang dikombinasikan dengan melakukan penataan wilayah desa ternyata hasilnya paling optimal dalam meningkatkan kinerja fiskal daerah dan perekonomian daerah daripada simulasi manapun yang telah dilakukan. Hal ini ditunjukkan dari peningkatan PAD, pajak daerah, retribusi daerah, penurunan kebutuhan DAU, peningkatan PDRB, penurunan
140
jumlah penduduk miskin serta penurunan kesenjangan PDRB antar daerah yang paling besar.
8.2. Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan, maka dapat dirumuskan implikasi kebijakan sebagai berikut: 1. Dari hasil estimasi telah diketahui bahwa ADD sudah memberikan arah yang benar bagi penurunan jumlah penduduk miskin, oleh karena itu perlu adanya pembinaan dan pengawasan yang berkelanjutan mengenai pelaksanaan penyaluran ADD. Pembinaan dan pengawasan ini sangat penting dan mendesak mengingat sampai saat ini baru sekitar 60 persen Pemerintah Daerah yang menyalurkan ADD, itupun jumlah nominalnya baru sekitar 20-30 persen (± 2 trilyun per tahun dari yang seharusnya ±10 trilyun). Pembinaan dan pengawasan dimaksud, antara lain mencakup pemahaman tujuan penyaluran ADD, yaitu untuk penduduk miskin agar dapat berpartisipasi aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan di perdesaan. 2. Dalam rangka mengoptimalkan tujuan dari pelaksaaan ADD, perlu ada penyempurnaan substansi pengaturan mengenai ADD. Penyaluran ADD minimal 10 persen seperti dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa perlu disempurnakan, karena dari hasil simulasi menunjukkan bahwa pemberian ADD minimal 10 persen akan meningkatkan kesenjangan PDRB antar daerah, khususnya bagi daerah yang maju tumbuh cepat dan bagi daerah yang tertinggal. Oleh karena itu, salah satu masukan yang dapat digunakan sebagai bahan penyempurnaan adalah pemberian ADD secara afirmatif yang dikombinasikan dengan penataan wilayah desa. Dari hasil simulasi menunjukkan penyaluran ADD 500 juta rupiah per desa dengan menambah 5 desa per kabupaten/Kota di daerah yang tertinggal ternyata memberikan hasil yang paling baik. 3. Apabila Pemerintah ingin mempertahankan penyaluran ADD secara prosentase maka ketentuan penyeragaman pengaturan (minimal 10 persen) harus direvisi, karena disamping meningkatkan kesenjangan PDRB juga memberikan hasil yang kurang optimal bagi kinerja fiskal dan perekonomian daerah, khususnya bagi penbingkatan PAD, pertumbuhan ekonomi, peningkatan PDRB, penurunan kesenjangan antar daerah danm penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan. Oleh karena itu, masukan yang dapat dipertimbangkan adalah memberikan ADD prosentase secara
141
afirmatif dengan memberikan prosentase terbesar bagi daerah yang tertinggal dan prosentase paling kecil bagi daerah yang maju tumbuh cepat. 4. Penyaluran ADD perlu dikombinasikan dengan penataan wilayah desa, karena dari hasil simulasi menunjukkan bahwa penataan wilayah desa mampu meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah, khususnya penurunan kesenjangan PDRB antar daerah dan penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan. 5. Dalam rangka optimalisasi penyaluran ADD, sebagai masukan tambahan yang dapat dipertimbangkan adalah untuk meningkatkan status pengaturan ADD dari Peraturan Pemerintah ke Undang-Undang agar dalam pelaksanaannya lebih optimal dalam mendukung kinerja fiskal dan perekonomian daerah, khususnya untuk meningkatkan PDRB, pertumbuhan ekonomi, mengurangi jumlah penduduk miskin dan kesenjangan antar daerah.
8.3. Saran Penelitian Lanjutan 1. Kajian mengenai arti penting ADD sebagai bagian dari reformasi perdesaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa perlu terus dikembangkan mengingat hampir sebagian besar masyarakat Indonesia beserta potensi dan permasalahannya ada di desa. Oleh karena itu sebagai langkah awal, studi dan model alokasi dana desa, kinerja fiskal dan perekonomian daerah ini ke depan perlu terus dikaji dalam rangka efektifitas dan optimalisasi pelaksanaan ADD. Dalam penelitian yang telah dilakukan ditemukan bukti bahwa penambahan desa ternyata meningkatkan efektifitas penyaluran alokasi dana desa dalam meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Namun sampai saat ini grand design desa yang ideal di Indonesia belum ada, sehingga hal ini akan menyulitkan para decision maker untuk menentukan jumlah desa ideal di wilayahnya. Sehubungan persoalan ini, maka topik penelitian lanjutan yang perlu diteliti, yaitu: Dampak Penataan Wilayah Desa dalam Mendukung Efektifitas Penyaluran ADD. 2. Memperhatikan arti penting kelembagaan desa dalam mendukung pelaksanaan alokasi dana desa, maka perlu dikembangkan suatu penelitian yang mampu menganalisis tentang peran dan fungsi lembaga-lembaga desa (pemerintah desa, badan permusyawaratan desa, lembaga adat, lembaga kemasyarakatan, badan usaha milik desa dan kerjasama antar desa) dalam mendukung pelaksanaan alokasi dana desa. Penelitian ini diperlukan mengingat dalam tataran kelembagaan, keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat,
142
termasuk dalam hal ini penyaluran alokasi dana desa sangat tergantung pada peran serta lembaga-lembaga desa yang ada, sedangkan sampai saat ini masing jarang penelitian yang memfokuskan akan arti penting peran lembaga-lembaga desa dalam mendukung penyaluran alokasi dana desa. Oleh karena itu topik penelitian lanjutan yang perlu diteliti adalah Dampak Penguatan Lembaga-Lembaga Desa dalam Mendukung Penyaluran ADD. 3. Penyerahan urusan dari Kabupaten/Kota kepada Desa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam melakukan reformasi perdesaan. Penyerahan sebagian urusan kepada desa membawa dampak bagi penyelenggaraan pemerintahan desa karena dengan penyerahan urusan berarti desa mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus berbagai urusan yang diserahkan. Dalam hubungannya dengan pengelolaan ADD, penyerahan urusan ini seharusnya membawa dampak semakin efektifnya pengelolaan ADD. Oleh karena dengan penyerahan urusan pemerintah desa dan masyarakatnya dapat dengan cepat merencanakan, melaksanakan bahkan mengevaluasi berbagai program yang dibutuhkan didesanya. Sehubungan dengan hal ini maka penelitian lanjutan yang perlu dilakukan adalah Dampak Penyerahan Urusan dari Kabupaten/Kota kepada Desa dalam Penyaluran Alokasi Dana Desa. 4. Penelitian tentang Dampak Alokasi Dana Desa terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia perlu dilanjutkan dengan melakukan penelitian yang mengkombinasikan dengan berbagai data spatial, misalnya dengan berbagai peta tematik, geographic information system (GIS) dan perencanaan partispatif dalam rangka menemukan metode yang paling optimal dalam penyaluran alokasi dana desa. Selanjutnya dari penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melakukan peramalan ex-ante dalam rangka mendukung berbagai kebijakan pelaksanaan ADD.
143
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, S. 2009. Pengaruh Utang Luar Negeri, Ekspor dan Partisipasi Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 1983-2007. Jurnal Studi Ekonomi, 4(1): 1-18. Ahmad, E. and V. Tanzi. 2002. Managing Fiscal Decentralization. Routledge Taylor and Francis Group, London. Arifin, B. 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Arsyad, L. 2010. Ekonomi Pembangunan. Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN, Yogyakarta. Bahl, R. 1999. Implementation Rules for Fiscal Decentralization. International Studies Program School of Policy Studies Georgia State University, Atlanta. Barbara, B. 2008. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bird, R. M. 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara Berkembang. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2005-2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 2008. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2006-2007. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 2009. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2007-2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 2010. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2008-2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. 2011. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2009-2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Boediono. 1997. Ekonomi Makro. BPFE-UGM, Yogyakarta. Dartanto, T. dan B.P.S.Brojonegoro. 2003. Dampak Desentralisasi Fiskal di Indonesia terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Daerah: Analisa Model Ekonomi Makro Simultan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 4 (1): 17-38. Dewatripont, M. and G. Roland. 1992. The Virtues of Gradualism and Legitimacy in the Transition to a Market. The Economic Journal, 102(411):291-300.
144
Departemen Dalam Negeri. 2005a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Departemen Dalam Negeri, Jakarta. _______________________. 2005b.Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah. Departemen Dalam Negeri, Jakarta. _______________________. 2006a. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Departemen Dalam Negeri, Jakarta. _______________________.2006b. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan. Departemen Dalam Negeri, Jakarta. _______________________.2007.Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Departemen Dalam Negeri, Jakarta. _______________________.2011. Permendagri Nomor 66 Tahun 2011 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan. Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Departemen Keuangan. 2010. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Departemen Keuangan, Jakarta. Ditjen PMD.2007. Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Desa. Ditjen PMD Kemendagri, Jakarta. Effendi, T.N. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. PT Tiara Wacana, Yogyakarta. Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time series. IPB Press, Bogor. Green, K. 2002. Decentralization and Good Governance: The Case of Indonesia.World Bank, Washington D.C. Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. Mc Graw Hill, New York. Gunatilaka, R. 2000. Fiscal Decentralisation, Rural Development and Poverty Reduction: A Sri Lankan Perspective. Institute for Social and Economic Change, Nagarabhavi. Hadi,S.P. 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Imawan, R. 2007. Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance. Dalam Haris (Ed.). Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. LIPI Press, Jakarta. Intriligator, D., G.Bodkin and C. Hsiao. 1996. Econometric Models, Techniques, and Applications. Prentice-Hall International, New Jersey.
145
Kaho, J.R. 1988. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Rajawali Press, Jakarta. Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides, Jakarta. Kartasasmita, G. 1997. Kemiskinan. Balai Pustaka, Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. The Macmillan Press Ltd., London. Kumorotomo, W. 2008. Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 19742004. Kencana, Jakarta. Kuntowidjoyo. 1988. Menuju Kemandirian Pesantren dan Pembangunan Desa. Prisma, 1 (17): 102-115. Kuznets, S. 1955. Economic Growth and Income Inequality. American Economic Review, 45(1):1-28. Lai, C. 1994. Market Structure and Inter-industry Profit Differences in Taiwan. Pakistan Development Review, 33(2): 147-163. Lin, J.Y. 1992. Rural Reforms and Agricultural Growth in China. American Economic Review, 82(1): 34-51. Lin, J.Y. dan Z. Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in China. Journal of Economic Development and Cultural Change, 49 (1):1-21. Mahmood-ul-hassan, S.M. and S. Hussain. nd. Fiscal Decentralization and Economic Growth in Pakistan. Bahauddin Zakariya University, Multan. Mangkoesoebroto, G. 1993. Ekonomi Publik. BPFE-UGM, Yogyakarta. Mankiw, N.G. 2006. Macroeconomics. Sixth Edition. Worth Publishers, New York. Mankiw, N.G., D. Romer and D.N. Weil. 1992. A Contribution to the Empiries of Economic Growth. The Quarterly Journal of Economics, 107(2): 407-437. Mann, S. 2005. Farm Size Growth and Participation in Agri-environmental Schemes: A Configural Frequency Analysis of the Swiss Case. Journal of Agricultural Economics, 56 (3). Mantra, I.B. 1985. Pengantar Studi Demografi. Nur Cahaya, Yogyakarta. Mardiasmo. 2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi, Yogyakarta. Moertono, S. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
146
Muluk, K.M.R. 2007. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Bayumedia Publishing, Malang. Musanef. 1989. Sistem Pemerintahan di Indonesia. C.V.Haji Masagung, Jakarta. Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ndraha, T. 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 1. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy: Concepts and Experiences. John Wiley&Sons, Ltd., England. Oates, W.E. 2006. On the Theory of Fiscal Decentralization. Institute for Federalism and Intergovernmental Relations, Tydings Hall College Park. Pakasi, C.B.D. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Panjaitan, M. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara: Suatu Pendekatan Ekonometrika. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penny, D.H.. 1990. Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar. UI Press, Jakarta. Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Model and Econometric Forecast. McGraw-Hill International Edition, Singapore. Pudjiastuti, U. 2007. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan dan Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu: Suatu Pendekatan Ekonometrika. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pujiati, A. 2006. Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karisidenan Semarang Era Desentralisasi Fiskal. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 2006: 61-70. Reksoprayitno, S. 1992. Ekonomi Makro: Pengantar Analisis Pendapatan Nasional. Penerbit Liberty, Yogyakarta. Salvatore, D. dan E.A. Diulio. 2003. Prinsip-prinsip Ekonomi: Schaum’s Easy Outlines. Terjemahan. Penerbit Erlangga, Jakarta. Sasana, H. 2009. Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 10 (1): 103-124.
147
Sidik, M. 2002. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal (Antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia). Seminar Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta. Silver, C., I.J.Aziz and L.Schroeder. 2001. Intergovernmental Transfers and Decentralisation in Indonesia. Buletin of Indonesia Economic Studies, 37(3): 345-362. Simandjuntak, B. 1979. Himpunan Undang-Undang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Desapraja. Penerbit Tarsito, Bandung. Sinaga, B.M. dan H. Siregar. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia. Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Bogor. Sinaga, H.C.P.N. 2009. Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan 2004-2007. Jurnal Studi Ekonomi, 4(2): 141-175. Sitepu, R.K. dan B.M. Sinaga, 2006. Aplikasi Model Ekonometrika: Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitorus, E.B. dan E. Prasetyanto. 2003. Devolusi Desa: Dana Membentuk Desa. Jurnal Forum Inovasi PPs PSIA-FISIP UI, 6(3): 53-56. Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. Prisma, 3 (26): 27-37. Soetardjo, K.1965. Desa. Penerbitan Sumur Bandung, Bandung. Stansel, D. 2005. Local Decentralization and Local Economic Growth: A CrossSectional Examination of US Metropolitan Areas. Journal of Urban Economics, 57: 55-72. Suhartono. 2001. Politik Lokal, Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah. Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Suhendra, M. dan H. Amir. 2006. Fiscal Decentralization in Indonesia: Current Status and Future Challenges. Jurnal Keuangan Publik, 4(2): 83-108. Sumarjan, S. 1966. Hubungan dalam Bidang Pemerintahan Antara Pusat dan Daerah. Himpunan Kuliah Politik Dalam Negeri, Bandung. Sumarsono, H. dan S.H. Utomo. 2009. ”Deliberate Inflation” pada Kebijakan Fiskal Jawa Timur dan Dampaknya bagi Pertumbuhan Daerah. Jurnal Ekonomi Studi Pembangunan, 1(3): 157-168. Sumodiningrat, G. 1998. Membangun Perekonomian Rakyat. Pustaka Pelajar Bekerja sama dengan IDEA (Institute of Development and Economic Analysis), Yogyakarta.
148
Surianingrat, B. 1985. Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan. Aksara Baru, Jakarta. Tiebout, C.M. 1956. A Pure Theory of Local Expenditures. Journal of Political Economy, 64 (5): 416-424. The Liang Gie. 1968. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia: Suatu Analisa tentang Masalah-Masalah Desentralisasi dan Tjaratjara Penjelesaiannja. PT. Gunung Agung, Jakarta. Todaro, M.P. dan S.C. Smith. 2006. Economic Development. Pearson Education Limited, England. Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wibowo, P. 2008. Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah. Jurnal Keuangan Publik, 5(1): 55-83. Williamson, J.G. 1965. Regional Inequality and the Proces of National Development: A Description of the Patterns. Economic Development and Cultural Change, 13 (1): 3-45. World Bank. 2008. World Development Report 2008: Agriculture for Development. World Bank, Washington D.C.
149
LAMPIRAN
150
Lampiran 1. Program Estimasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur TSCSREG dan Metode Fixone dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3 Portable Option ps=500 ls=240 nocenter nodate nonumber; Libname in "D:\EKO KULIAH\DESERTASI EKO\SIDKOM4"; data base; set in.dtraw_upd090612; *Membuat variabel baru; PLMDL=TPLD-PLBPG-PLBJS; PDRBLAG=LAG(PDRB); GROWTH=(PDRB-PDRBLAG)/PDRBLAG * 100; LAG_PDRB=LAG(PDRB); LAG_PJKD=LAG(PJKD); PJKDLAG=LAG(PJKD); PDRBALAG=LAG(PDRBA); LAG_PDRBA=LAG(PDRBA); PSADDLAG=LAG(PSADD); LAG_PSADD=LAG(PSADD); PDRBNALAG=LAG(PDRBNA); LAG_PDRBNA=LAG(PDRBNA); POPLAG=LAG(POP); GPOP=(POP-POPLAG)/POPLAG*100; TKNPLAG=LAG(TKNP); LAG_POP=LAG(POP); JMKNK=JMKN-JMKND; PLINFLAG=LAG(PLINF); PLINDLAG=LAG(PLIND); RETDLAG=LAG(RETD); FGAP=TPD-TPLD; TKPLAG=LAG(TKP); YCAP=PDRB/POP; PLTANILAG=LAG(PLTANI); IWLAG=LAG(IW); DAULAG=LAG(DAU); JMKNDLAG=LAG(JMKND); JADDLAG=LAG(JADD); DPOP=POP/LSKAB; DBHLAG=LAG(DBH); PLINDLAG=LAG(PLIND); RETDLAG=LAG(RETD); PADLLAG=LAG(PADL); PLNTANI=TPLD-PLTANI; JMKNKLAG=LAG(JMKNK); IF TAHUN_=2005 THEN T=1;ELSE IF TAHUN_=2006 THEN T=2;ELSE IF TAHUN_=2007 THEN T=3;ELSE IF TAHUN_=2008 THEN T=4;ELSE T=5; IF TAHUN_=2005 THEN DELETE; IF TAHUN_=2010 THEN DELETE; PDLAIN=TPD-(PAD+DAU+DAK+DBH); run; proc sort DATA=BASE; by prov tahun_; run; proc TSCSREG DATA=BASE FIXONE;
151
Lampiran 1. Lanjutan ID PROV TAHUN_; *BLOK FISKAL: PENERIMAAN; MODEL PJKD = PDRB JKB FGAP PJKDLAG; MODEL RETD = PDRB JKB FGAP T RETDLAG; *IDENTITAS PAD = PJKD + RETD+BUMD+PADL; MODEL PADL = PDRB POP PADLLAG; MODEL DAU = YCAP PLBPG LSKAB JMKN DAULAG; MODEL DBH = PDRB UMP LSKAB DBHLAG; *IDENTITAS PAD=PJKD+RETD+BUMD+PADL; *IDENTITAS PD=DAU+DAK+DBH; *IDENTITAS TPD=PAD+DAU+DAK+DBH+PDLAIN; *BLOK FISKAL: PENGELUARAN; MODEL PLTANI = TPD GROWTH TDES; MODEL PLINF = TPD GROWTH; MODEL PLIND = PAD PLMDL; *IDENTITAS PLNTANI = TPLD - PLTANI; *IDENTITAS TPLD = PLTANI+ PLIND+ PLINF + PLLAIN; *IDENTITAS FGAP= PAD - TPLD;
*BLOK PEREKONOMIAN DAERAH; MODEL PDRBA = PLTANI TKP JADD; MODEL PDRBNA = PLNTANI TKNP PDRBNALAG; *IDENTITAS PDRB = PDRBA+PDRBNA; *IDENTITAS YCAP = PDRB/POP; *IDENTITAS GROWTH=(PDRB-PDRBLAG)/PDRBLAG*100; MODEL TKP = PDRBA TPLD UMP; MODEL TKNP = PDRBNA TPLD UMP; *IDENTITAS TTK = TKP+TKNP; MODEL JMKNK= PDRB TPLD JADD JMKNKLAG; MODEL JMKND= PDRB TPLD JADD JMKNDLAG; *IDENTITAS JMKN = JMKND + JMKNK; RUN;
152
Lampiran 2.
Hasil Estimasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur TSCSREG dan Metode Fixone dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3 Portable
The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: PJKD PJKD Model Description Estimation Method Number of Cross Sections Time Series Length SSE MSE R-Square
FixOne 25 4
Fit Statistics 1.503937E17 DFE 2.118221E15 Root MSE 0.9831
71 46024137.28
F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 71 1.57 0.0744 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value CS1 CS2 CS3 CS4 CS5 CS6 CS7 CS8 CS9 CS10 CS11 CS12 CS13 CS14 CS15 CS16 CS17 CS18 CS19 CS20 CS21 CS22 CS23 CS24 Intercept PDRB JKB FGAP PJKDLAG
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
-8.294E7 -3.293E8 -4.753E7 -3.576E8 -1961302 -1.877E8 50277894 -7.891E7 -9.822E8 -6.54E8 11727449 -1.166E9 2.9777E8 11345874 36291320 -4.803E7 1288976 -3.445E7 -4.05E8 22718418 9803091 -6.302E7 36715685 72076466 -8.345E7 0.005488 19.26116 0.008173 0.55329
38389871 1.0464E8 35802253 1.0156E8 43078458 57517374 38182454 37076821 3.558E8 1.7721E8 44731450 3.4735E8 64551259 34478476 35827467 34685500 33744008 34439718 1.1938E8 34064080 37413032 40723764 36188360 40240531 35673151 0.00159 17.3351 0.00442 0.1001
-2.16 -3.15 -1.33 -3.52 -0.05 -3.26 1.32 -2.13 -2.76 -3.69 0.26 -3.36 4.61 0.33 1.01 -1.38 0.04 -1.00 -3.39 0.67 0.26 -1.55 1.01 1.79 -2.34 3.44 1.11 1.85 5.53
Pr > |t| 0.0341 0.0024 0.1886 0.0008 0.9638 0.0017 0.1921 0.0368 0.0073 0.0004 0.7939 0.0013 <.0001 0.7431 0.3145 0.1705 0.9696 0.3206 0.0011 0.5070 0.7941 0.1262 0.3138 0.0775 0.0221 0.0010 0.2703 0.0688 <.0001
Label Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Cross Sectional Intercept PDRB JKB FGAP PJKDLAG
Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect Effect
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
153
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: RETD RETD Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE 1.191381E17 DFE 70 MSE 1.701973E15 Root MSE 41254972.29 R-Square 0.9878 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 70 2.32 0.0035 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value
Pr > |t|
CS1
1
-9.332E7
45825153
-2.04
0.0455
CS2
1
-3.35E8
1.5561E8
-2.15
0.0348
CS3
1
17457421
37850768
0.46
0.6461
CS4
1
-3.361E8
1.3787E8
-2.44
0.0173
CS5
1
22513479
42817155
0.53
0.6007
CS6
1
-1.793E8
77662538
-2.31
0.0240
CS7
1
48485023
38410148
1.26
0.2110
CS8
1
-9.037E7
41504526
-2.18
0.0328
CS9
1
-7.808E8
4.4746E8
-1.75
0.0854
CS10
1
-1.11E8
2.05E8
-0.54
0.5898
CS11
1
50598965
45478942
1.11
0.2697
CS12
1
-8.816E8
4.734E8
-1.86
0.0668
CS13
1
34704495
45852984
0.76
0.4517
CS14
1
17498545
31805464
0.55
0.5840
CS15
1
64954348
37029694
1.75
0.0838
CS16
1
-3.988E7
34071082
-1.17
0.2457
CS17
1
16638371
31146998
0.53
0.5949
CS18
1
-1.992E7
33500927
-0.59
0.5540
CS19
1
-4.019E8
1.648E8
-2.44
0.0173
CS20
1
8294582
31060027
0.27
0.7902
CS21
1
11523644
35249498
0.33
0.7447
CS22
1
8947577
41401797
0.22
0.8295
CS23
1
59493907
36318188
1.64
0.1059
CS24
1
57875183
42407602
1.36
0.1767
Intercept PDRB JKB FGAP T RETDLAG
1 1 1 1 1 1
-1.018E8 0.005734 7.312835 0.002633 12198036 0.242122
46093224 0.00216 19.2681 0.00436 6051002 0.1593
-2.21 2.66 0.38 0.60 2.02 1.52
0.0305 0.0098 0.7054 0.5478 0.0477 0.1331
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept PDRB JKB FGAP T RETDLAG
154
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: PADL PADL Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE 9.569917E16 DFE 72 MSE 1.329155E15 Root MSE 36457579.64 R-Square 0.9628 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 72 4.48 <.0001
DF
Estimate
Parameter Estimates Standard Error t Value
CS1
1
-7.251E7
32546119
-2.23
0.0290
CS2
1
-4.535E8
81669412
-5.55
<.0001
CS3
1
-6.804E7
34319682
-1.98
0.0512
CS4
1
-2.294E8
64100384
-3.58
0.0006
CS5
1
-2.713E7
26839691
-1.01
0.3155
CS6
1
-2.03E8
53780338
-3.77
0.0003
CS7
1
-3.179E7
27018962
-1.18
0.2433
CS8
1
-1.704E8
50491793
-3.37
0.0012
CS9
1
-1.413E9
3.4862E8
-4.05
0.0001
CS10
1
-6.833E8
2.5344E8
-2.70
0.0087
CS11
1
-7.502E7
28454456
-2.64
0.0103
CS12
1
-1.372E9
3.2984E8
-4.16
<.0001
CS13
1
-1.056E8
29135615
-3.62
0.0005
CS14
1
-7.977E7
32219790
-2.48
0.0156
CS15
1
-3078744
35032682
-0.09
0.9302
CS16
1
-1.095E8
31713906
-3.45
0.0009
CS17
1
-8908233
25901199
-0.34
0.7319
CS18
1
-4.761E7
28199325
-1.69
0.0957
CS19
1
-1.981E8
69346252
-2.86
0.0056
CS20
1
-7.679E7
26307759
-2.92
0.0047
CS21
1
-5.919E7
26334475
-2.25
0.0277
CS22
1
-1.296E8
53770099
-2.41
0.0185
CS23
1
-1.155E7
26595651
-0.43
0.6653
CS24
1
1287555
28245091
0.05
0.9638
Intercept PDRB POP PADLLAG
1 1 1 1
15619757 0.005133 7955.941 0.225686
26309847 0.000967 8392.1 0.0783
0.59 5.31 0.95 2.88
0.5546 <.0001 0.3463 0.0052
Variable
Pr > |t|
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept PDRB POP PADLLAG
155
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: DAU DAU Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE 1.089298E19 DFE 70 MSE 1.55614E17 Root MSE 394479344.9 R-Square 0.9939 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 70 11.85 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value
Pr > |t|
CS1
1
9.6945E8
2.4975E9
0.39
0.6991
CS2
1
2.6814E9
2.45E9
1.09
0.2775
CS3
1
1.5278E9
2.7098E9
0.56
0.5747
CS4
1
-8.52E8
2.299E9
-0.37
0.7121
CS5
1
2.5254E8
2.7075E9
0.09
0.9260
CS6
1
5.8581E8
2.3212E9
0.25
0.8015
CS7
1
3.6187E8
2.9732E9
0.12
0.9035
CS8
1
5.014E8
2.6438E9
0.19
0.8501
CS9
1
3.3032E9
3.3066E9
1.00
0.3213
CS10
1
-4.629E9
3.6279E9
-1.28
0.2062
CS11
1
3.5158E8
3.0819E9
0.11
0.9095
CS12
1
3.9074E9
3.7899E9
1.03
0.3061
CS13
1
7.3251E8
3.1197E9
0.23
0.8150
CS14
1
4.3463E8
2.8559E9
0.15
0.8795
CS15
1
5.5646E8
2.582E9
0.22
0.8300
CS16
1
1.7489E8
1.8265E9
0.10
0.9240
CS17
1
59498793
1.7198E9
0.03
0.9725
CS18
1
7.7554E8
2.8105E9
0.28
0.7834
CS19
1
-1.233E9
1.8333E9
-0.67
0.5033
CS20
1
6.0462E8
3.0578E9
0.20
0.8438
CS21
1
2.0376E8
2.5013E9
0.08
0.9353
CS22
1
1.7989E9
2.5905E9
0.69
0.4897
CS23
1
5.886E8
2.7762E9
0.21
0.8327
CS24
1
-5.908E7
2.6963E9
-0.02
0.9826
Intercept YCAP PLBPG LSKAB JMKN DAULAG
1 1 1 1 1 1
4.5932E8 -30.1507 0.162007 11638.69 429917.9 0.58906
3.2277E9 50.1081 0.0699 9948.1 493607 0.0426
0.14 -0.60 2.32 1.17 0.87 13.83
0.8872 0.5493 0.0235 0.2460 0.3867 <.0001
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept PLBPG LSKAB JMKN DAULAG
156
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: DBH DBH Model Description FixOne Estimation Method Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE 2.046149E19 DFE 71 MSE 2.8819E17 Root MSE 536833303.3 R-Square 0.9718 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 71 5.04 <.0001 Parameter Estimates
DF
Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
CS1
1
7.3699E9
3.3255E9
2.22
0.0299
CS2
1
5.0026E9
3.1824E9
1.57
0.1204
CS3
1
6.9971E9
3.4955E9
2.00
0.0491
CS4
1
1.169E10
3.0744E9
3.80
0.0003
CS5
1
8.0086E9
3.4344E9
2.33
0.0225
CS6
1
8.1707E9
3.0889E9
2.65
0.0100
CS7
1
8.2561E9
3.7873E9
2.18
0.0326
CS8
1
7.5132E9
3.5595E9
2.11
0.0383
CS9
1
3.2492E9
4.3855E9
0.74
0.4612
CS10
1
5.1207E9
3.8322E9
1.34
0.1857
CS11
1
8.5439E9
3.9835E9
2.14
0.0354
CS12
1
2.382E9
4.3775E9
0.54
0.5880
CS13
1
8.3742E9
3.9563E9
2.12
0.0378
CS14
1
8.1109E9
3.794E9
2.14
0.0360
CS15
1
7.4121E9
3.4261E9
2.16
0.0339
CS16
1
4.5466E9
2.31E9
1.97
0.0530
CS17
1
4.3245E9
2.0744E9
2.08
0.0407
CS18
1
7.8957E9
3.5483E9
2.23
0.0292
CS19
1
1.004E10
1.8494E9
5.43
<.0001
CS20
1
8.1189E9
3.8731E9
2.10
0.0396
CS21
1
6.7754E9
3.1993E9
2.12
0.0377
CS22
1
7.1274E9
3.4409E9
2.07
0.0420
CS23
1
7.7235E9
3.5624E9
2.17
0.0335
CS24
1
7.5616E9
3.4415E9
2.20
0.0313
Intercept PDRB UMP LSKAB DBHLAG
1 1 1 1 1
-9.368E9 0.025743 730776.8 30644.75 0.125218
3.9811E9 0.0107 409095 12980.4 0.0888
-2.35 2.41 1.79 2.36 1.41
0.0214 0.0186 0.0783 0.0210 0.1630
Variable
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept PDRB UMP LSKAB DBHLAG
157
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: PLTANI PLTANI Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE 1.47151E18 DFE 72 MSE 2.043763E16 Root MSE 142960253.4 R-Square 0.6899 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 Variable
72
2.20
0.0054 Parameter Estimates Standard Error t Value
DF
Estimate
Pr > |t|
CS1
1
-1E9
5.175E8
-1.93
0.0573
CS2
1
-7.564E8
3.311E8
-2.28
0.0253
CS3
1
4.9399E8
3.8613E8
1.28
0.2049
CS4
1
5.5435E8
2.887E8
1.92
0.0588
CS5
1
3.1695E8
3.0694E8
1.03
0.3052
CS6
1
-8.001E7
1.2593E8
-0.64
0.5272
CS7
1
2.533E8
3.0093E8
0.84
0.4027
CS8
1
20760025
1.8212E8
0.11
0.9096
CS9
1
-8.205E8
3.3917E8
-2.42
0.0181
CS10
1
-1.531E9
7.4294E8
-2.06
0.0429
CS11
1
3.8696E8
4.1034E8
0.94
0.3488
CS12
1
-1.475E9
7.1682E8
-2.06
0.0433
CS13
1
5.5399E8
4.668E8
1.19
0.2392
CS14
1
3.954E8
3.6448E8
1.08
0.2816
CS15
1
22654045
1.3981E8
0.16
0.8717
CS16
1
2.3757E8
2.5578E8
0.93
0.3561
CS17
1
5.561E8
2.9248E8
1.90
0.0613
CS18
1
91350509
2.055E8
0.44
0.6580
CS19
1
6.3154E8
3.1327E8
2.02
0.0475
CS20
1
2.5901E8
3.274E8
0.79
0.4315
CS21
1
2.05E8
2.7012E8
0.76
0.4504
CS22
1
1.6963E8
1.871E8
0.91
0.3676
CS23
1
1.9011E8
2.6901E8
0.71
0.4820
CS24
1
3.2318E8
3.3961E8
0.95
0.3445
Intercept TPD GROWTH TDES
1 1 1 1
-4.877E8 0.009265 6745433 300512.9
4.4983E8 0.00676 5072290 159466
-1.08 1.37 1.33 1.88
0.2819 0.1749 0.1878 0.0635
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept TPD GROWTH TDES
158
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: PLINF PLINF Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 SSE MSE R-Square
Fit Statistics 5.216664E18 DFE 7.146114E16 Root MSE 0.8120
73 267322173.0
F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 73 2.18 0.0058
DF
Estimate
Parameter Estimates Standard Error t Value
CS1
1
-1.806E8
1.9971E8
-0.90
0.3689
CS2
1
4.2879E8
1.9208E8
2.23
0.0287
CS3
1
-1.747E8
2.05E8
-0.85
0.3968
CS4
1
3.0268E8
1.906E8
1.59
0.1166
CS5
1
-2.766E8
2.2138E8
-1.25
0.2155
CS6
1
-1.795E8
1.9744E8
-0.91
0.3664
CS7
1
-3.333E8
2.3026E8
-1.45
0.1520
CS8
1
-2.653E8
2.0989E8
-1.26
0.2102
CS9
1
5.7497E8
2.2841E8
2.52
0.0140
CS10
1
3.2019E8
2.2619E8
1.42
0.1611
CS11
1
-2.76E8
2.251E8
-1.23
0.2241
CS12
1
1.3347E9
2.4712E8
5.40
<.0001
CS13
1
-1.897E8
2.1995E8
-0.86
0.3913
CS14
1
-2.9E8
2.2074E8
-1.31
0.1930
CS15
1
-2.394E8
2.1072E8
-1.14
0.2597
CS16
1
-2.281E8
2.0987E8
-1.09
0.2807
CS17
1
-2.218E8
2.1163E8
-1.05
0.2980
CS18
1
-1.715E8
2.1261E8
-0.81
0.4225
CS19
1
4.5969E8
1.9241E8
2.39
0.0195
CS20
1
-3.27E8
2.3085E8
-1.42
0.1609
CS21
1
-2.369E8
2.2766E8
-1.04
0.3016
CS22
1
-9.094E7
1.9668E8
-0.46
0.6452
CS23
1
-2.512E8
2.2978E8
-1.09
0.2778
CS24
1
-3.481E8
2.2846E8
-1.52
0.1319
Intercept TPD GROWTH
1 1 1
3.8826E8 0.013305 2925080
2.0514E8 0.0116 8692012
1.89 1.15 0.34
0.0624 0.2547 0.7374
Variable
Pr > |t|
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept TPD GROWTH
159
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: PLIND PLIND Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE MSE R-Square
1.264685E16 1.732445E14 0.7273
DFE Root MSE
73 13162236.57
F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 73 2.98 0.0002
Variable
Parameter Estimates Standard Error t Value
DF
Estimate
Pr > |t|
CS1
1
-1.404E7
10727521
-1.31
0.1946
CS2
1
-3942121
12191767
-0.32
0.7474
CS3
1
-3.771E7
12306616
-3.06
0.0031
CS4
1
-3.331E7
11159240
-2.99
0.0039
CS5
1
-3.514E7
11522367
-3.05
0.0032
CS6
1
-4.153E7
9592442
-4.33
<.0001
CS7
1
-3.677E7
11751084
-3.13
0.0025
CS8
1
-3.532E7
11550508
-3.06
0.0031
CS9
1
-3200036
21112386
-0.15
0.8799
CS10
1
-8915236
19395069
-0.46
0.6471
CS11
1
-4.161E7
13265584
-3.14
0.0025
CS12
1
-2.713E7
21318443
-1.27
0.2072
CS13
1
-3.212E7
16476490
-1.95
0.0551
CS14
1
-4.096E7
12015648
-3.41
0.0011
CS15
1
-3.432E7
11623946
-2.95
0.0042
CS16
1
-4.201E7
11123178
-3.78
0.0003
CS17
1
-2.797E7
10801594
-2.59
0.0116
CS18
1
-3.655E7
11697999
-3.12
0.0026
CS19
1
-4.062E7
9924920
-4.09
0.0001
CS20
1
-3.744E7
11960098
-3.13
0.0025
CS21
1
-3.512E7
11578576
-3.03
0.0034
CS22
1
-3.008E7
11556716
-2.60
0.0112
CS23
1
-2.754E7
11662831
-2.36
0.0209
CS24
1
-3.196E7
11818414
-2.70
0.0085
Intercept PAD PLMDL
1 1 1
41277544 0.000084 0.002713
10926985 0.00930 0.00140
3.78 0.01 1.94
0.0003 0.9928 0.0560
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept PAD PLMDL
160
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: PDRBA PDRBA Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE 2.301375E19 DFE 72 MSE 3.196354E17 Root MSE 565363034.2 R-Square 0.9983 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 72 177.75 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value
Pr > |t|
CS1
1
4.732E9
4.0987E8
11.55
<.0001
CS2
1
1.459E10
8.1747E8
17.85
<.0001
CS3
1
4.6237E9
4.1932E8
11.03
<.0001
CS4
1
1.101E10
4.0583E8
27.13
<.0001
CS5
1
1.9419E9
4.1888E8
4.64
<.0001
CS6
1
3.571E9
6.4308E8
5.55
<.0001
CS7
1
9.6747E8
4.3712E8
2.21
0.0300
CS8
1
6.5877E9
6.4045E8
10.29
<.0001
CS9
1
2.045E10
1.4639E9
13.97
<.0001
CS10
1
7.9064E9
2.2251E9
3.55
0.0007
CS11
1
1.2779E9
4.4757E8
2.86
0.0056
CS12
1
1.453E10
3.1542E9
4.61
<.0001
CS13
1
2.1468E9
4.2899E8
5.00
<.0001
CS14
1
6.1561E8
4.3515E8
1.41
0.1615
CS15
1
-1.744E9
5.4227E8
-3.22
0.0019
CS16
1
1.6031E9
4.7999E8
3.34
0.0013
CS17
1
2.8943E9
4.0665E8
7.12
<.0001
CS18
1
3.6054E9
4.1926E8
8.60
<.0001
CS19
1
4.5807E9
4.3633E8
10.50
<.0001
CS20
1
1.8251E9
4.5448E8
4.02
0.0001
CS21
1
3.3009E9
4.2083E8
7.84
<.0001
CS22
1
6.2201E9
5.2292E8
11.89
<.0001
CS23
1
1.2945E9
4.2785E8
3.03
0.0034
CS24
1
1.0895E8
4.6119E8
0.24
0.8139
Intercept PLTANI TKP JADD
1 1 1 1
-2.827E8 1.093766 4189.213 0.076587
4.5591E8 0.4268 435.4 0.1727
-0.62 2.56 9.62 0.44
0.5371 0.0125 <.0001 0.6587
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept PLTANI TKP JADD
161
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: PDRBNA PDRBNA Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE 8.082717E19 DFE 72 MSE 1.1226E18 Root MSE 1059528016 R-Square 0.9998 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 Variable
72
4.40
<.0001 Parameter Estimates Standard Error t Value
DF
Estimate
Pr > |t|
CS1
1
2.047E9
1.0091E9
2.03
0.0462
CS2
1
1.698E10
2.6058E9
6.52
<.0001
CS3
1
4.0569E9
9.389E8
4.32
<.0001
CS4
1
1.507E10
2.6564E9
5.67
<.0001
CS5
1
5.589E8
8.7882E8
0.64
0.5268
CS6
1
8.6403E9
1.519E9
5.69
<.0001
CS7
1
-5.94E8
9.6154E8
-0.62
0.5387
CS8
1
2.5723E9
8.9359E8
2.88
0.0053
CS9
1
5.697E10
8.9257E9
6.38
<.0001
CS10
1
2.696E10
4.0395E9
6.67
<.0001
CS11
1
1.9243E9
9.5707E8
2.01
0.0481
CS12
1
5.873E10
9.1155E9
6.44
<.0001
CS13
1
3.1371E9
9.2958E8
3.37
0.0012
CS14
1
1.191E9
9.1355E8
1.30
0.1965
CS15
1
-6.808E8
9.0641E8
-0.75
0.4550
CS16
1
2.7595E9
8.8979E8
3.10
0.0028
CS17
1
6.1586E8
8.4571E8
0.73
0.4688
CS18
1
2.8715E9
9.0075E8
3.19
0.0021
CS19
1
1.876E10
3.5323E9
5.31
<.0001
CS20
1
1.5436E9
9.1087E8
1.69
0.0945
CS21
1
4.2544E8
9.0236E8
0.47
0.6387
CS22
1
4.8632E9
9.3361E8
5.21
<.0001
CS23
1
-8.784E7
9.2029E8
-0.10
0.9242
CS24
1
-1.104E9
9.8564E8
-1.12
0.2665
Intercept PLNTANI TKNP PDRBNALAG
1 1 1 1
1.0447E9 0.218812 360.2237 0.769424
9.3298E8 0.0615 199.2 0.0484
1.12 3.56 1.81 15.91
0.2666 0.0007 0.0747 <.0001
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept PLNTANI TKNP PDRBNALAG
162
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: TKP TKP Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE 6.449913E11 DFE MSE 8958213084 Root MSE R-Square 0.9980
72 94647.8372
F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 72 155.93 <.0001 Parameter Estimates DF
Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
CS1
1
-209137
140139
-1.49
0.1400
CS2
1
104498.2
464352
0.23
0.8226
CS3
1
-140903
144409
-0.98
0.3325
CS4
1
-686413
261475
-2.63
0.0106
CS5
1
-51734.7
93000.1
-0.56
0.5797
CS6
1
580275.8
196587
2.95
0.0043
CS7
1
-63637.2
78948.8
-0.81
0.4229
CS8
1
405675.5
268000
1.51
0.1345
CS9
1
593119.2
687682
0.86
0.3913
CS10
1
2749510
584366
4.71
<.0001
CS11
1
-18288
85070.0
-0.21
0.8304
CS12
1
3758352
912584
4.12
0.0001
CS13
1
-26551
97981.7
-0.27
0.7872
CS14
1
226545.7
89632.7
2.53
0.0137
CS15
1
733887.8
88311.3
8.31
<.0001
CS16
1
360644.2
123567
2.92
0.0047
CS17
1
-219871
101887
-2.16
0.0343
CS18
1
-144692
119166
-1.21
0.2286
CS19
1
-676935
92982.2
-7.28
<.0001
CS20
1
-210135
80546.1
-2.61
0.0110
CS21
1
-120761
117599
-1.03
0.3079
CS22
1
116581.8
218313
0.53
0.5950
CS23
1
-88509.3
80205.0
-1.10
0.2735
CS24
1
-129607
74177.5
-1.75
0.0849
Intercept PDRBA TPLD UMP
1 1 1 1
318076.3 0.000069 0.00002 -76.2945
92836.5 0.000022 6.638E-6 90.0519
3.43 3.13 3.00 -0.85
0.0010 0.0025 0.0037 0.3997
Variable
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept PDRBA TPLD UMP
163
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: TKNP TKNP Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE 2.758685E13 DFE 72 MSE 3.831508E11 Root MSE 618991.7257 R-Square 0.9611 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 72 12.11 <.0001
Variable
Parameter Estimates Standard Error t Value
DF
Estimate
Pr > |t|
CS1
1
-1486349
627389
-2.37
0.0205
CS2
1
-1.001E7
1730763
-5.78
<.0001
CS3
1
-1125359
613200
-1.84
0.0706
CS4
1
-1.043E7
1603273
-6.51
<.0001
CS5
1
1497060
478551
3.13
0.0025
CS6
1
-4783889
982972
-4.87
<.0001
CS7
1
2473103
483374
5.12
<.0001
CS8
1
377554.4
538105
0.70
0.4852
CS9
1
-3.521E7
5960645
-5.91
<.0001
CS10
1
-1.514E7
2607749
-5.80
<.0001
CS11
1
1037840
557035
1.86
0.0665
CS12
1
-3.72E7
5895324
-6.31
<.0001
CS13
1
175721.2
579004
0.30
0.7624
CS14
1
1460936
505494
2.89
0.0051
CS15
1
2230402
504681
4.42
<.0001
CS16
1
-279648
545179
-0.51
0.6096
CS17
1
1287544
468102
2.75
0.0075
CS18
1
-143009
579386
-0.25
0.8057
CS19
1
-1.46E7
2000017
-7.30
<.0001
CS20
1
1188762
544886
2.18
0.0324
CS21
1
1786801
481457
3.71
0.0004
CS22
1
-1775281
588713
-3.02
0.0035
CS23
1
2117746
475796
4.45
<.0001
CS24
1
2775735
487046
5.70
<.0001
Intercept PDRBNA TPLD UMP
1 1 1 1
-3117726 0.000192 0.000014 -54.5716
636380 0.000030 0.000066 748.0
-4.90 6.29 0.21 -0.07
<.0001 <.0001 0.8360 0.9420
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept PDRBNA TPLD UMP
164
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: JMKNK Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE 119605.8598 DFE MSE 1684.5896 Root MSE R-Square 0.9982
71 41.0438
F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 71 8.01 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value
Pr > |t|
CS1
1
256.5722
45.7125
5.61
<.0001
CS2
1
1311.799
139.2
9.42
<.0001
CS3
1
200.5593
45.2754
4.43
<.0001
CS4
1
773.4124
105.2
7.35
<.0001
CS5
1
14.60535
33.3152
0.44
0.6624
CS6
1
696.6351
80.3415
8.67
<.0001
CS7
1
-53.0178
32.3692
-1.64
0.1059
CS8
1
368.4313
54.0072
6.82
<.0001
CS9
1
4394.303
423.7
10.37
<.0001
CS10
1
3303.992
296.2
11.16
<.0001
CS11
1
203.4989
43.7705
4.65
<.0001
CS12
1
4358.047
437.3
9.97
<.0001
CS13
1
93.61241
40.1912
2.33
0.0227
CS14
1
367.2601
53.4253
6.87
<.0001
CS15
1
-14.8458
34.2724
-0.43
0.6662
CS16
1
121.4807
40.4125
3.01
0.0037
CS17
1
-33.1995
31.9788
-1.04
0.3027
CS18
1
90.57719
40.0772
2.26
0.0269
CS19
1
794.01
112.0
7.09
<.0001
CS20
1
-21.3517
34.9202
-0.61
0.5429
CS21
1
-40.0744
33.3235
-1.20
0.2331
CS22
1
285.7121
49.2171
5.81
<.0001
CS23
1
-105.705
31.7562
-3.33
0.0014
CS24
1
-150.674
31.8332
-4.73
<.0001
Intercept PDRB TPLD JADD JMKNKLAG
1 1 1 1 1
221.1191 -9.04E-9 -846E-12 -7.78E-9 0.235425
27.7669 1.448E-9 2.624E-9 1.283E-8 0.0809
7.96 -6.24 -0.32 -0.61 2.91
<.0001 <.0001 0.7482 0.5460 0.0048
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept PDRB TPLD JADD JMKNKLAG
165
Lampiran 2. Lanjutan The SAS System The TSCSREG Procedure Dependent Variable: JMKND JMKND Model Description Estimation Method FixOne Number of Cross Sections 25 Time Series Length 4 Fit Statistics SSE 226874.5004 DFE 71 MSE 3195.4155 Root MSE 56.5280 R-Square 0.9981 F Test for No Fixed Effects Num DF Den DF F Value Pr > F 24 71 6.56 <.0001 Parameter Estimates Standard Variable DF Estimate Error t Value
Pr > |t|
CS1
1
264.3793
59.8332
4.42
<.0001
CS2
1
1288.472
167.9
7.67
<.0001
CS3
1
-73.6771
76.4231
-0.96
0.3383
CS4
1
665.183
149.5
4.45
<.0001
CS5
1
-507.92
78.9444
-6.43
<.0001
CS6
1
536.4394
93.4088
5.74
<.0001
CS7
1
-559.25
74.5690
-7.50
<.0001
CS8
1
570.9635
69.9929
8.16
<.0001
CS9
1
5123.753
509.4
10.06
<.0001
CS10
1
4217.072
366.8
11.50
<.0001
CS11
1
-346.665
75.9338
-4.57
<.0001
CS12
1
6561.254
594.0
11.05
<.0001
CS13
1
-399.718
88.5741
-4.51
<.0001
CS14
1
-192.819
56.9058
-3.39
0.0012
CS15
1
90.57774
48.9730
1.85
0.0685
CS16
1
-147.627
67.5711
-2.18
0.0322
CS17
1
-482.088
76.4301
-6.31
<.0001
CS18
1
-341.506
85.0430
-4.02
0.0001
CS19
1
748.8417
163.1
4.59
<.0001
CS20
1
-491.414
81.3383
-6.04
<.0001
CS21
1
-274.954
59.4171
-4.63
<.0001
CS22
1
441.8978
66.8504
6.61
<.0001
CS23
1
-370.21
60.1293
-6.16
<.0001
CS24
1
-511.484
64.8171
-7.89
<.0001
Intercept PDRB TPLD JADD JMKNDLAG
1 1 1 1 1
828.3984 -1.4E-8 -1.72E-9 -1.27E-8 0.262363
90.4921 1.994E-9 3.794E-9 1.766E-8 0.0868
9.15 -7.00 -0.45 -0.72 3.02
<.0001 <.0001 0.6524 0.4760 0.0035
Label Cross Sectional Effect 1 Cross Sectional Effect 2 Cross Sectional Effect 3 Cross Sectional Effect 4 Cross Sectional Effect 5 Cross Sectional Effect 6 Cross Sectional Effect 7 Cross Sectional Effect 8 Cross Sectional Effect 9 Cross Sectional Effect 10 Cross Sectional Effect 11 Cross Sectional Effect 12 Cross Sectional Effect 13 Cross Sectional Effect 14 Cross Sectional Effect 15 Cross Sectional Effect 16 Cross Sectional Effect 17 Cross Sectional Effect 18 Cross Sectional Effect 19 Cross Sectional Effect 20 Cross Sectional Effect 21 Cross Sectional Effect 22 Cross Sectional Effect 23 Cross Sectional Effect 24 Intercept PDRB TPLD JADD JMKNDLAG
166
Lampiran 3. Program Validasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal Dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable Option ps=500 ls=240 nocenter nodate nonumber; Libname in "D:\EKO KULIAH\DESERTASI EKO\SIDKOM4"; Data dt; set in.dtraw_upd090612; IF 2006<=TAHUN_; *Membuat variabel baru; JADD=JADD*0; PLMDL=TPLD-PLBPG-PLBJS; DP=DAU+DAK+DBH; PDRBLAG=LAG(PDRB); GROWTH=(PDRB-PDRBLAG)/PDRBLAG * 100; LAG_PJKD=LAG(PJKD); PJKDLAG=LAG(PJKD); PDRBALAG=LAG(PDRBA); PSADDLAG=LAG(PSADD); LAG_PSADD=LAG(PSADD); PDRBNALAG=LAG(PDRBNA); POPLAG=LAG(POP); GPOP=(POP-POPLAG)/POPLAG*100; TKNPLAG=LAG(TKNP); LAG_POP=LAG(POP); JMKNK=JMKN-JMKND; PLINFLAG=LAG(PLINF); PLINDLAG=LAG(PLIND); RETDLAG=LAG(RETD); FGAP=PAD-TPLD; TKPLAG=LAG(TKP); YCAP=PDRB/POP; PLTANILAG=LAG(PLTANI); DAULAG=LAG(DAU); JMKNDLAG=LAG(JMKND); JADDLAG=LAG(JADD); DPOP=POP/LSKAB; DBHLAG=LAG(DBH); PLINDLAG=LAG(PLIND); RETDLAG=LAG(RETD); PADLLAG=LAG(PADL); PLNTANI=PLIND+PLINF+PLLAIN; JMKNKLAG=LAG(JMKNK); PDLAIN=TPD-(PAD+DAU+DAK+DBH); IF TAHUN_=2007 THEN T=1;ELSE IF TAHUN_=2008 THEN T=2;ELSE T=3; IF TAHUN_=2006 THEN DELETE; IF TAHUN_=2010 THEN DELETE; *Variabel dummy propinsi; if PROV=11 then D11=1; else D11=0; if PROV=12 then D12=1; else D12=0; if PROV=13 then D13=1; else D13=0; if PROV=14 then D14=1; else D14=0; if PROV=15 then D15=1; else D15=0; if PROV=16 then D16=1; else D16=0; if PROV=17 then D17=1; else D17=0; if PROV=18 then D18=1; else D18=0; if PROV=32 then D32=1; else D32=0; if PROV=33 then D33=1; else D33=0; if PROV=34 then D34=1; else D34=0; if PROV=35 then D35=1; else D35=0; if PROV=51 then D51=1; else D51=0; if PROV=52 then D52=1; else D52=0; if PROV=53 then D53=1; else D53=0; if PROV=61 then D61=1; else D61=0; if PROV=62 then D62=1; else D62=0; if PROV=63 then D63=1; else D63=0; if PROV=64 then D64=1; else D64=0; if PROV=71 then D71=1; else D71=0; if PROV=72 then D72=1; else D72=0; if PROV=73 then D73=1; else D73=0; if PROV=74 then D74=1; else D74=0; if PROV=81 then D81=1; else D81=0; run; Proc simnlin data=dt out=hasil stats simulate outpredict theil; Endogenous
PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN ;
167
Lampiran 3. Lanjutan Exogenous
Parms /* PJKD d111 -8.294E7 d112 -3.293E8 d113 -4.753E7 d114 -3.576E8 d115 -1961302 d116 -1.877E8 d117 50277894 d118 -7.891E7 d132 -9.822E8 d133 -6.54E8 d134 11727449 d135 -1.166E9 d151 2.9777E8 d152 11345874 d153 36291320 d161 -4.803E7 d162 1288976 d163 -3.445E7 d164 -4.05E8 d171 22718418 d172 9803091 d173 -6.302E7 d174 36715685 d181 72076466 a10 -8.345E7 a11 0.005488 a12 19.26116 a13 0.008173
/* PDRBA d911 4.732E9 d912 1.459E10 d913 4.6237E9 d914 1.101E10 d915 1.9419E9 d916 3.571E9 d917 9.6747E8 d918 6.5877E9 d932 2.045E10 d933 7.9064E9 d934 1.2779E9 d935 1.453E10 d951 2.1468E9 d952 6.1561E8 d953 -1.744E9 d961 1.6031E9 d962 2.8943E9 d963 3.6054E9 d964 4.5807E9 d971 1.8251E9 d972 3.3009E9 d973 6.2201E9 d974 1.2945E9 d981 1.0895E8 a90 -2.827E8 a91 1.093766 a92 4189.213 a93 0.076587
JKB POP BUMD DAK PDLAIN T TKAB UMP TDES PTBK PJKDLAG DAULAG DBHLAG PDRBALAG PDRBNALAG PDRBLAG JMKNKLAG JMKNDLAG PLBPG PLBJS PLMDL JADD;
RETD d211 d212 d213 d214 d215 d216 d217 d218 d232 d233 d234 d235 d251 d252 d253 d261 d262 d263 d264 d271 d272 d273 d274 d281 a20 a21 a22 a23 a24 a25
-9.332E7 -3.35E8 17457421 -3.361E8 22513479 -1.793E8 48485023 -9.037E7 -7.808E8 -1.11E8 50598965 -8.816E8 34704495 17498545 64954348 -3.988E7 16638371 -1.992E7 -4.019E8 8294582 11523644 8947577 59493907 57875183 -1.018E8 0.005734 7.312835 0.002633 12198036 0.242122
PDRBNA d1011 2.047E9 d1012 1.698E10 d1013 4.0569E9 d1014 1.507E10 d1015 5.589E8 d1016 8.6403E9 d1017 -5.94E8 d1018 2.5723E9 d1032 5.697E10 d1033 2.696E10 d1034 1.9243E9 d1035 5.873E10 d1051 3.1371E9 d1052 1.191E9 d1053 -6.808E8 d1061 2.7595E9 d1062 6.1586E8 d1063 2.8715E9 d1064 1.876E10 d1071 1.5436E9 d1072 4.2544E8 d1073 4.8632E9 d1074 -8.784E7 d1081 -1.104E9 a100 1.0447E9 a101 0.218812 a102 360.2237 a103 0.769424
PADL d311 d312 d313 d314 d315 d316 d317 d318 d332 d333 d334 d335 d351 d352 d353 d361 d362 d363 d364 d371 d372 d373 d374 d381 a30 a31 a32 a33
-7.251E7 -4.535E8 -6.804E7 -2.294E8 -2.713E7 -2.03E8 -3.179E7 -1.704E8 -1.413E9 -6.833E8 -7.502E7 -1.372E9 -1.056E8 -7.977E7 -3078744 -1.095E8 -8908233 -4.761E7 -1.981E8 -7.679E7 -5.919E7 -1.296E8 -1.155E7 1287555 15619757 0.005133 7955.941 0.225686
TKP d1111 d1112 d1113 d1114 d1115 d1116 d1117 d1118 d1132 d1133 d1134 d1135 d1151 d1152 d1153 d1161 d1162 d1163 d1164 d1171 d1172 d1173 d1174 d1181 a110 a111 a112 a113
-209137 104498.2 -140903 -686413 -51734.7 580275.8 -63637.2 405675.5 593119.2 2749510 -18288 3758352 -26551 226545.7 733887.8 360644.2 -219871 -144692 -676935 -210135 -120761 116581.8 -88509.3 -129607 318076.3 0.000069 0.00002 -76.2945
DAU d411 d412 d413 d414 d415 d416 d417 d418 d432 d433 d434 d435 d451 d452 d453 d461 d462 d463 d464 d471 d472 d473 d474 d481 a40 a41 a42 a43 a44 a45
9.6945E8 2.6814E9 1.5278E9 -8.52E8 2.5254E8 5.8581E8 3.6187E8 5.014E8 3.3032E9 -4.629E9 3.5158E8 3.9074E9 7.3251E8 4.3463E8 5.5646E8 1.7489E8 59498793 7.7554E8 -1.233E9 6.0462E8 2.0376E8 1.7989E9 5.886E8 -5.908E7 4.5932E8 -30.1507 0.162007 11638.69 429917.9 0.58906
TKNP d1211 d1212 d1213 d1214 d1215 d1216 d1217 d1218 d1232 d1233 d1234 d1235 d1251 d1252 d1253 d1261 d1262 d1263 d1264 d1271 d1272 d1273 d1274 d1281 a120 a121 a122 a123
-1486349 -1.001E7 -1125359 -1.043E7 1497060 -4783889 2473103 377554.4 -3.521E7 -1.514E7 1037840 -3.72E7 175721.2 1460936 2230402 -279648 1287544 -143009 -1.46E7 1188762 1786801 -1775281 2117746 2775735 -3117726 0.000192 0.000014 -54.5716
DBH d511 d512 d513 d514 d515 d516 d517 d518 d532 d533 d534 d535 d551 d552 d553 d561 d562 d563 d564 d571 d572 d573 d574 d581 a50 a51 a52 a53 a54
7.3699E9 5.0026E9 6.9971E9 1.169E10 8.0086E9 8.1707E9 8.2561E9 7.5132E9 3.2492E9 5.1207E9 8.5439E9 2.382E9 8.3742E9 8.1109E9 7.4121E9 4.5466E9 4.3245E9 7.8957E9 1.004E10 8.1189E9 6.7754E9 7.1274E9 7.7235E9 7.5616E9 -9.368E9 0.025743 730776.8 30644.75 0.125218
JMKNK d1311 d1312 d1313 d1314 d1315 d1316 d1317 d1318 d1332 d1333 d1334 d1335 d1351 d1352 d1353 d1361 d1362 d1363 d1364 d1371 d1372 d1373 d1374 d1381 a130 a131 a132 a133 a134
PLTANI d611 -1E9 d612 -7.564E8 d613 4.9399E8 d614 5.5435E8 d615 3.1695E8 d616 -8.001E7 d617 2.533E8 d618 20760025 d632 -8.205E8 d633 -1.531E9 d634 3.8696E8 d635 -1.475E9 d651 5.5399E8 d652 3.954E8 d653 22654045 d661 2.3757E8 d662 5.561E8 d663 91350509 d664 6.3154E8 d671 2.5901E8 d672 2.05E8 d673 1.6963E8 d674 1.9011E8 d681 3.2318E8 a60 -4.877E8 a61 0.009265 a62 6745433 a63 300512.9
256.5722 1311.799 200.5593 773.4124 14.60535 696.6351 -53.0178 368.4313 4394.303 3303.992 203.4989 4358.047 93.61241 367.2601 -14.8458 121.4807 -33.1995 90.57719 794.01 -21.3517 -40.0744 285.7121 -105.705 -150.674 221.1191 -9.04E-9 -846E-12 -7.78E-9 0.235425
PLINF d711 -1.806E8 d712 4.2879E8 d713 -1.747E8 d714 3.0268E8 d715 -2.766E8 d716 -1.795E8 d717 -3.333E8 d718 -2.653E8 d732 5.7497E8 d733 3.2019E8 d734 -2.76E8 d735 1.3347E9 d751 -1.897E8 d752 -2.9E8 d753 -2.394E8 d761 -2.281E8 d762 -2.218E8 d763 -1.715E8 d764 4.5969E8 d771 -3.27E8 d772 -2.369E8 d773 -9.094E7 d774 -2.512E8 d781 -3.481E8 a70 3.8826E8 a71 0.013305 a72 2925080 a14 0.55329
JMKND d1411 264.3793 d1412 1288.472 d1413 -73.6771 d1414 665.183 d1415 -507.92 d1416 536.4394 d1417 -559.25 d1418 570.9635 d1432 5123.753 d1433 4217.072 d1434 -346.665 d1435 6561.254 d1451 -399.718 d1452 -192.819 d1453 90.57774 d1461 -147.627 d1462 -482.088 d1463 -341.506 d1464 748.8417 d1471 -491.414 d1472 -274.954 d1473 441.8978 d1474 -370.21 d1481 -511.484 a140 828.3984 a141 -1.4E-8 a142 -1.72E-9 a143 -1.27E-8 a144 0.262363
PLIND d811 d812 d813 d814 d815 d816 d817 d818 d832 d833 d834 d835 d851 d852 d853 d861 d862 d863 d864 d871 d872 d873 d874 d881 a80 a81 a82
*/ -1.404E7 -3942121 -3.771E7 -3.331E7 -3.514E7 -4.153E7 -3.677E7 -3.532E7 -3200036 -8915236 -4.161E7 -2.713E7 -3.212E7 -4.096E7 -3.432E7 -4.201E7 -2.797E7 -3.655E7 -4.062E7 -3.744E7 -3.512E7 -3.008E7 -2.754E7 -3.196E7 41277544 0.000084 0.002713
*/
;
PJKDLAG=LAG(PJKD); RETDLAG=LAG(RETD); PADLLAG=LAG(PADL); DAULAG=LAG(DAU); DBHLAG=LAG(DBH); PDRBNALAG=LAG(PDRBNA); JMKNKLAG=LAG(JMKNK); JMKNDLAG=LAG(JMKND);
PJKD
RETD
*BLOK PENERIMAAN; = d111*D11+d112*D12+d113*D13+d114*D14+d115*D15+d116*D16+d117*D17+d118*D18+d132*D32+d133*D33+ d134*D34+d135*D35+d151*D51+d152*D52+d153*D53+d161*D61+d162*D62+d163*D63+d164*D64+d171*D71+d172*D72+ d173*D73+d174*D74+d181*D81+a10+a11*PDRB+a12*JKB+a13*FGAP+a14*PJKDLAG; = d211*D11+d212*D12+d213*D13+d214*D14+d215*D15+d216*D16+d217*D17+d218*D18+d232*D32+d233*D33+ d234*D34+d235*D35+d251*D51+d252*D52+d253*D53+d261*D61+d262*D62+d263*D63+d264*D64+d271*D71+d272*D72+ d273*D73+d274*D74+d281*D81+a20+a21*PDRB+a22*JKB+a23*FGAP+a24*T+a25*RETDLAG;
168
Lampiran 3. Lanjutan
PADL
=
d311*D11+d312*D12+d313*D13+d314*D14+d315*D15+d316*D16+d317*D17+d318*D18+d332*D32+d333*D33+ d334*D34+d335*D35+d351*D51+d352*D52+d353*D53+d361*D61+d362*D62+d363*D63+d364*D64+d371*D71+d372*D72+ d373*D73+d374*D74+d381*D81+a30+a31*PDRB+a32*POP+a33*PADLLAG;
DAU
=
d411*D11+d412*D12+d413*D13+d414*D14+d415*D15+d416*D16+d417*D17+d418*D18+d432*D32+d433*D33+ d434*D34+d435*D35+d451*D51+d452*D52+d453*D53+d461*D61+d462*D62+d463*D63+d464*D64+d471*D71+d472*D72+ d473*D73+d474*D74+d481*D81+a40+a41*YCAP+a42*PLBPG+a43*LSKAB+a44*JMKN+a45*DAULAG;
DBH
=
d511*D11+d512*D12+d513*D13+d514*D14+d515*D15+d516*D16+d517*D17+d518*D18+d532*D32+d533*D33+ d534*D34+d535*D35+d551*D51+d552*D52+d553*D53+d561*D61+d562*D62+d563*D63+d564*D64+d571*D71+d572*D72+ d573*D73+d574*D74+d581*D81+a50+a51*PDRB+a52*UMP+a53*LSKAB+a54*DBHLAG;
PAD DP TPD
= = =
PJKD+RETD+BUMD+PADL; DAU+DAK+DBH; PAD+DP+PDLAIN;
*BLOK FISKAL: PENGELUARAN; PLTANI =
d611*D11+d612*D12+d613*D13+d614*D14+d615*D15+d616*D16+d617*D17+d618*D18+d632*D32+d633*D33+ d634*D34+d635*D35+d651*D51+d652*D52+d653*D53+d661*D61+d662*D62+d663*D63+d664*D64+d671*D71+d672*D72+ d673*D73+d674*D74+d681*D81+a60+a61*TPD+a62*GROWTH+a63*TDES;
PLINF
=
d711*D11+d712*D12+d713*D13+d714*D14+d715*D15+d716*D16+d717*D17+d718*D18+d732*D32+d733*D33+ d734*D34+d735*D35+d751*D51+d752*D52+d753*D53+d761*D61+d762*D62+d763*D63+d764*D64+d771*D71+d772*D72+ d773*D73+d774*D74+d781*D81+a70+a71*TPD+a72*GROWTH;
PLIND
=
d811*D11+d812*D12+d813*D13+d814*D14+d815*D15+d816*D16+d817*D17+d818*D18+d832*D32+d833*D33+ d834*D34+d835*D35+d851*D51+d852*D52+d853*D53+d861*D61+d862*D62+d863*D63+d864*D64+d871*D71+d872*D72+ d873*D73+d874*D74+d881*D81+a80+a81*PAD+a82*PLMDL;
PLNTANI= TPLD = FGAP =
PLIND+ PLINF + PLLAIN; PLTANI+PLNTANI; PAD - TPLD;
*BLOK Perekonomian Daerah; PDRBA = d911*D11+d912*D12+d913*D13+d914*D14+d915*D15+d916*D16+d917*D17+d918*D18+d932*D32+d933*D33+ d934*D34+d935*D35+d951*D51+d952*D52+d953*D53+d961*D61+d962*D62+d963*D63+d964*D64+d971*D71+d972*D72+ d973*D73+d974*D74+d981*D81+a90+a91*PLTANI+a92*TKP+a93*JADD; PDRBNA =
d1011*D11+d1012*D12+d1013*D13+d1014*D14+d1015*D15+d1016*D16+d1017*D17+d1018*D18+d1032*D32+d1033*D33+ d1034*D34+d1035*D35+d1051*D51+d1052*D52+d1053*D53+d1061*D61+d1062*D62+d1063*D63+d1064*D64+d1071*D71+d1072*D72+ d1073*D73+d1074*D74+d1081*D81+a100+a101*PLNTANI+a102*TKNP+a103*PDRBNALAG;
PDRB = YCAP = GROWTH =
PDRBA+PDRBNA; PDRB/POP; (PDRB-PDRBLAG)/PDRBLAG*100;
TKP
=
d1111*D11+d1112*D12+d1113*D13+d1114*D14+d1115*D15+d1116*D16+d1117*D17+d1118*D18+d1132*D32+d1133*D33+ d1134*D34+d1135*D35+d1151*D51+d1152*D52+d1153*D53+d1161*D61+d1162*D62+d1163*D63+d1164*D64+d1171*D71+d1172*D72+ d1173*D73+d1174*D74+d1181*D81+a110+a111*PDRBA+a112*TPLD+a113*UMP;
TKNP
=
d1211*D11+d1212*D12+d1213*D13+d1214*D14+d1215*D15+d1216*D16+d1217*D17+d1218*D18+d1232*D32+d1233*D33+ d1234*D34+d1235*D35+d1251*D51+d1252*D52+d1253*D53+d1261*D61+d1262*D62+d1263*D63+d1264*D64+d1271*D71+d1272*D72+ d1273*D73+d1274*D74+d1281*D81+a120+a121*PDRBNA+a122*TPLD+a123*UMP;
TTK JMKNK
= TKP+TKNP; = d1311*D11+d1312*D12+d1313*D13+d1314*D14+d1315*D15+d1316*D16+d1317*D17+d1318*D18+d1332*D32+d1333*D33+ d1334*D34+d1335*D35+d1351*D51+d1352*D52+d1353*D53+d1361*D61+d1362*D62+d1363*D63+d1364*D64+d1371*D71+d1372*D72+ d1373*D73+d1374*D74+d1381*D81+a130+a131*PDRB+a132*TPLD+a133*JADD+a134*JMKNKLAG;
JMKND
=
d1411*D11+d1412*D12+d1413*D13+d1414*D14+d1415*D15+d1416*D16+d1417*D17+d1418*D18+d1432*D32+d1433*D33+ d1434*D34+d1435*D35+d1451*D51+d1452*D52+d1453*D53+d1461*D61+d1462*D62+d1463*D63+d1464*D64+d1471*D71+d1472*D72+ d1473*D73+d1474*D74+d1481*D81+a140+a141*PDRB+a142*TPLD+a143*JADD+a144*JMKNDLAG;
JMKN = JMKND+JMKNK; RUN;
169
Lampiran 4.
Hasil Validasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Exogenous Parameters Equations Number of Statements Program Lag Length
47 25 22 398 32 35 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= DT OUT= HASIL Solution Summary Variables Solved 25 Simulation Lag Length 1 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 1.33E-12 Maximum Iterations 2 Total Iterations 148 Average Iterations 2 Observations Processed Read 75 Lagged 1 Solved 74 First 2 Last 75 Variables Solved For
PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
Variable PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK
N Obs
N
74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74
74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74
Descriptive Statistics Actual Predicted Mean Std Dev Mean Std Dev 2.3662E8 2.4192E8 7.4335E8 8.2911E9 2.026E8 5.6409E9 1.8602E9 1.064E10 3.8271E8 5.1912E8 25268835 1.077E10 1.115E10 -1.04E10 1.142E10 4.89E10 6.033E10 8490565 5.7738 1549465 1737019 3286484
3.2429E8 3.3633E8 8.2002E8 5.7394E9 1.7023E8 4.5671E9 2.8399E9 7.8293E9 2.3328E8 5.6336E8 22833760 8.2624E9 8.4218E9 7.6836E9 1.211E10 6.927E10 8.07E10 6823811 3.4143 1848772 2966500 4644219
1.5181E8 1.8593E8 6.0622E8 8.3245E9 2.0626E8 5.6687E9 1.8658E9 1.053E10 3.7057E8 5.1275E8 25043410 1.076E10 1.113E10 -1.05E10 1.132E10 4.889E10 6.021E10 8482607 5.7263 1540294 1788702 3328996
2.7635E8 2.9578E8 7.21E8 5.6449E9 1.5975E8 4.5055E9 2.7357E9 7.6314E9 1.8491E8 4.8437E8 19142251 8.2286E9 8.3782E9 7.756E9 1.197E10 6.914E10 8.045E10 6827030 2.8754 1825033 2909756 4598023
Label PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK
170
Lampiran 4. Lanjutan
JMKNK JMKND JMKN
74 74 74
Variable PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
Variable PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
N 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74
N 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74
74 74 74 Mean Error -8.481E7 -5.599E7 -1.371E8 33424015 3667262 27830971 5593044 -1.037E8 -1.214E7 -6376494 -225425 -6601919 -1.874E7 -1.184E8 -9.905E7 -1.354E7 -1.126E8 -7957.8 -0.0475 -9170.6 51683.2 42512.6 3.7079 3.2702 6.9780
MSE 1.229E16 8.868E15 4.356E16 3.204E17 1.927E15 9.938E16 2.61E17 4.064E17 1.879E16 6.306E16 1.567E14 6.718E16 1.44E17 2.067E17 2.842E17 7.557E17 5.329E17 4.678E10 8.6847 5.3361E9 3.387E11 3.441E11 916.4 1571.5 3845.3
478.1 832.9 1311.0 Mean % Error -71.0840 -37.9323 -22.6726 1.1041 17.8841 1.2699 4.4842 -0.1171 8.8774 16.2092 28.1076 0.0290 -0.0808 0.9604 -0.3901 0.2607 0.00737 0.00737 -7.9379 0.3992 7.7636 3.6292 -1.4317 -1.2502 -1.0987
790.1 1065.7 1822.5 Statistics Mean Abs Error 86725788 70245063 1.6157E8 3.5381E8 28482861 2.3753E8 2.2778E8 3.7885E8 1.123E8 1.5646E8 8458965 1.636E8 2.7228E8 2.9139E8 2.7757E8 5.0949E8 4.8043E8 125943 1.8006 48963.2 317642 328968 16.7113 24.0125 36.1666
481.8 836.2 1318.0 of fit Mean Abs % Error 71.4436 48.3898 29.3732 4.2129 28.7051 5.1360 19.1680 3.7512 34.7101 38.0668 51.8405 1.3475 2.4040 3.0535 3.0174 2.0273 1.7003 1.7003 37.3870 4.0372 27.3860 11.4136 8.4270 5.0859 4.6465
800.9 1079.7 1847.4 RMS Error 1.1087E8 94172020 2.0871E8 5.6604E8 43903027 3.1525E8 5.1093E8 6.3747E8 1.3708E8 2.5111E8 12518458 2.592E8 3.7953E8 4.5467E8 5.3313E8 8.6929E8 7.3E8 216282 2.9470 73048.7 581948 586610 30.2722 39.6426 62.0108
Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var (R) (UM) (UR) (UD) (US) 0.98 0.59 0.15 0.27 0.18 0.98 0.35 0.12 0.52 0.18 0.99 0.43 0.18 0.39 0.22 1.00 0.00 0.01 0.98 0.03 0.97 0.01 0.01 0.98 0.06 1.00 0.01 0.03 0.97 0.04 0.98 0.00 0.01 0.99 0.04 1.00 0.03 0.07 0.90 0.10 0.81 0.01 0.00 0.99 0.12 0.89 0.00 0.01 0.99 0.10 0.83 0.00 0.00 1.00 0.09 1.00 0.00 0.01 0.99 0.02 1.00 0.00 0.01 0.99 0.01 1.00 0.07 0.03 0.90 0.03 1.00 0.03 0.05 0.91 0.06 1.00 0.00 0.02 0.98 0.02 1.00 0.02 0.12 0.86 0.12 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.57 0.00 0.10 0.90 0.03 1.00 0.02 0.09 0.89 0.10 0.98 0.01 0.00 0.99 0.01 0.99 0.01 0.00 0.99 0.01 1.00 0.02 0.14 0.85 0.12 1.00 0.01 0.13 0.86 0.12 1.00 0.01 0.17 0.82 0.16
Covar (UC) 0.23 0.46 0.35 0.97 0.94 0.95 0.96 0.88 0.87 0.90 0.91 0.98 0.98 0.91 0.90 0.98 0.86 1.00 0.97 0.88 0.98 0.99 0.86 0.87 0.83
JMKNK JMKND JMKN RMS % Error 84.2069 56.1263 33.2436 5.3808 71.3091 7.0657 28.4487 4.8845 42.3972 49.9338 98.5195 1.5649 2.6831 4.1784 4.4884 3.1090 2.7678 2.7678 83.4017 5.5651 44.2215 16.1450 14.4070 9.4369 8.1706
nequality U1 0.2774 0.2283 0.1893 0.0563 0.1664 0.0436 0.1512 0.0484 0.3064 0.3290 0.3687 0.0191 0.0272 0.0352 0.0321 0.0103 0.0073 0.0199 0.4401 0.0304 0.1701 0.1036 0.0329 0.0294 0.0277
Label PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
Coef U 0.1554 0.1239 0.1023 0.0282 0.0838 0.0218 0.0765 0.0244 0.1592 0.1712 0.1914 0.0096 0.0136 0.0175 0.0162 0.0052 0.0036 0.0100 0.2250 0.0153 0.0853 0.0518 0.0164 0.0146 0.0138
171
Lampiran 4. Lanjutan
Relative Change Variable PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
N 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74
MSE 1.0972 0.6736 0.2173 0.00555 0.0537 0.00634 0.2302 0.00385 0.1698 0.2583 0.9694 0.000401 0.00114 0.00209 0.00318 0.00270 0.00210 0.00132 1.0913 0.00486 0.1796 0.0469 0.0265 0.00938 0.00631
Theil Relative Change Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var (R) (UM) (UR) (UD) (US) 0.83 0.63 0.02 0.36 0.00 0.94 0.49 0.15 0.36 0.24 0.96 0.58 0.12 0.31 0.18 1.00 0.03 0.15 0.81 0.12 0.94 0.00 0.01 0.99 0.08 1.00 0.05 0.20 0.75 0.17 0.99 0.05 0.42 0.53 0.35 1.00 0.01 0.02 0.97 0.01 0.94 0.06 0.21 0.72 0.38 0.95 0.03 0.15 0.81 0.28 0.95 0.00 0.31 0.69 0.18 1.00 0.00 0.00 0.99 0.00 1.00 0.00 0.00 1.00 0.01 1.00 0.17 0.06 0.76 0.05 1.00 0.01 0.02 0.97 0.02 1.00 0.00 0.07 0.93 0.07 1.00 0.01 0.03 0.96 0.04 1.00 0.00 0.05 0.95 0.07 0.91 0.01 0.29 0.71 0.52 1.00 0.00 0.03 0.97 0.03 0.92 0.00 0.02 0.98 0.00 0.97 0.01 0.24 0.75 0.15 0.99 0.00 0.13 0.87 0.09 1.00 0.01 0.01 0.97 0.01 1.00 0.00 0.08 0.92 0.06
Covar (UC) 0.37 0.27 0.25 0.84 0.92 0.79 0.61 0.98 0.56 0.68 0.82 0.99 0.99 0.78 0.97 0.93 0.96 0.93 0.48 0.97 1.00 0.84 0.90 0.98 0.93
Inequality Coef U1 U 0.8989 0.4436 0.5384 0.3122 0.4759 0.2686 0.0996 0.0489 0.3206 0.1679 0.1109 0.0541 0.2260 0.1056 0.0843 0.0420 0.3826 0.2189 0.3185 0.1749 0.3617 0.1685 0.0296 0.0148 0.0503 0.0252 0.0686 0.0339 0.0365 0.0183 0.0236 0.0118 0.0238 0.0119 0.0623 0.0314 0.4932 0.3000 0.0439 0.0220 0.3614 0.1826 0.2490 0.1185 0.1082 0.0532 0.0451 0.0225 0.0477 0.0237
172
Lampiran 5. Program Simulasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3 Portable Contoh: Kebijakan Alokasi Dana Desa 10 Persen Option ps=500 ls=240 nocenter nodate nonumber; Data dtsim; set dt; *Simulasi-a1: JADD NAIK 10%; JADD=(DP-PLBPG)*0.10; run; Proc simnlin data=dtsim out=hasil stats simulate outpredict theil; Endogenous
PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN;
Exogenous
JKB POP BUMD DAK PDLAIN T TKAB UMP TDES PTBK PJKDLAG DAULAG DBHLAG PDRBALAG PDRBNALAG PDRBLAG JMKNKLAG JMKNDLAG PLBPG PLBJS PLMDL JADD;
Parms /* PJKD d111 d112 d113 d114 d115 d116 d117 d118 d132 d133 d134 d135 d151 d152 d153 d161 d162 d163 d164 d171 d172 d173 d174 d181 a10 a11 a12 a13 a14
-8.294E7 -3.293E8 -4.753E7 -3.576E8 -1961302 -1.877E8 50277894 -7.891E7 -9.822E8 -6.54E8 11727449 -1.166E9 2.9777E8 11345874 36291320 -4.803E7 1288976 -3.445E7 -4.05E8 22718418 9803091 -6.302E7 36715685 72076466 -8.345E7 0.005488 19.26116 0.008173 0.55329
RETD d211 -9.332E7 d212 -3.35E8 d213 17457421 d214 -3.361E8 d215 22513479 d216 -1.793E8 d217 48485023 d218 -9.037E7 d232 -7.808E8 d233 -1.11E8 d234 50598965 d235 -8.816E8 d251 34704495 d252 17498545 d253 64954348 d261 -3.988E7 d262 16638371 d263 -1.992E7 d264 -4.019E8 d271 8294582 d272 11523644 d273 8947577 d274 59493907 d281 57875183 a20 -1.018E8 a21 0.005734 a22 7.312835 a23 0.002633 a24 12198036 a25 0.242122
/* PDRBA d911 4.732E9 d912 1.459E10 d913 4.6237E9 d914 1.101E10 d915 1.9419E9 d916 3.571E9 d917 9.6747E8 d918 6.5877E9 d932 2.045E10 d933 7.9064E9 d934 1.2779E9 d935 1.453E10 d951 2.1468E9
PADL DAU d311 -7.251E7 d411 9.6945E8 d312 -4.535E8 d412 2.6814E9 d313 -6.804E7 d413 1.5278E9 d314 -2.294E8 d414 -8.52E8 d315 -2.713E7 d415 2.5254E8 d316 -2.03E8 d416 5.8581E8 d317 -3.179E7 d417 3.6187E8 d318 -1.704E8 d418 5.014E8 d332 -1.413E9 d432 3.3032E9 d333 -6.833E8 d433 -4.629E9 d334 -7.502E7 d434 3.5158E8 d335 -1.372E9 d435 3.9074E9 d351 -1.056E8 d451 7.3251E8 d352 -7.977E7 d452 4.3463E8 d353 -3078744 d453 5.5646E8 d361 -1.095E8 d461 1.7489E8 d362 -8908233 d462 59498793 d363 -4.761E7 d463 7.7554E8 d364 -1.981E8 d464 -1.233E9 d371 -7.679E7 d471 6.0462E8 d372 -5.919E7 d472 2.0376E8 d373 -1.296E8 d473 1.7989E9 d374 -1.155E7 d474 5.886E8 d381 1287555 d481 -5.908E7 a30 15619757 a40 4.5932E8 a31 0.005133 a41 -30.1507 a32 7955.941 a42 0.162007 a33 0.225686 a43 11638.69 a44 429917.9 a54 0.125218 a45 0.58906
PDRBNA d1011 2.047E9 d1012 1.698E10 d1013 4.0569E9 d1014 1.507E10 d1015 5.589E8 d1016 8.6403E9 d1017 -5.94E8 d1018 2.5723E9 d1032 5.697E10 d1033 2.696E10 d1034 1.9243E9 d1035 5.873E10 d1051 3.1371E9
Lampiran 5. Lanjutan
TKP d1111 d1112 d1113 d1114 d1115 d1116 d1117 d1118 d1132 d1133 d1134 d1135 d1151
-209137 104498.2 -140903 -686413 -51734.7 580275.8 -63637.2 405675.5 593119.2 2749510 -18288 3758352 -26551
d511 d512 d513 d514 d515 d516 d517 d518 d532 d533 d534 d535 d551 d552 d553 d561 d562 d563 d564 d571 d572 d573 d574 d581 a50 a51 a52 a53
TKNP d1211 d1212 d1213 d1214 d1215 d1216 d1217 d1218 d1232 d1233 d1234 d1235 d1251
DBH 7.3699E9 5.0026E9 6.9971E9 1.169E10 8.0086E9 8.1707E9 8.2561E9 7.5132E9 3.2492E9 5.1207E9 8.5439E9 2.382E9 8.3742E9 8.1109E9 7.4121E9 4.5466E9 4.3245E9 7.8957E9 1.004E10 8.1189E9 6.7754E9 7.1274E9 7.7235E9 7.5616E9 -9.368E9 0.025743 730776.8 30644.75
-1486349 -1.001E7 -1125359 -1.043E7 1497060 -4783889 2473103 377554.4 -3.521E7 -1.514E7 1037840 -3.72E7 175721.2
d611 d612 d613 d614 d615 d616 d617 d618 d632 d633 d634 d635 d651 d652 d653 d661 d662 d663 d664 d671 d672 d673 d674 d681 a60 a61 a62 a63
PLTANI -1E9 -7.564E8 4.9399E8 5.5435E8 3.1695E8 -8.001E7 2.533E8 20760025 -8.205E8 -1.531E9 3.8696E8 -1.475E9 5.5399E8 3.954E8 22654045 2.3757E8 5.561E8 91350509 6.3154E8 2.5901E8 2.05E8 1.6963E8 1.9011E8 3.2318E8 -4.877E8 0.009265 6745433 300512.9
JMKNK d1311 d1312 d1313 d1314 d1315 d1316 d1317 d1318 d1332 d1333 d1334 d1335 d1351
PLINF d711 -1.806E8 d712 4.2879E8 d713 -1.747E8 d714 3.0268E8 d715 -2.766E8 d716 -1.795E8 d717 -3.333E8 d718 -2.653E8 d732 5.7497E8 d733 3.2019E8 d734 -2.76E8 d735 1.3347E9 d751 -1.897E8 d752 -2.9E8 d753 -2.394E8 d761 -2.281E8 d762 -2.218E8 d763 -1.715E8 d764 4.5969E8 d771 -3.27E8 d772 -2.369E8 d773 -9.094E7 d774 -2.512E8 d781 -3.481E8 a70 3.8826E8 a71 0.013305 a72 2925080
256.5722 1311.799 200.5593 773.4124 14.60535 696.6351 -53.0178 368.4313 4394.303 3303.992 203.4989 4358.047 93.61241
d811 d812 d813 d814 d815 d816 d817 d818 d832 d833 d834 d835 d851 d852 d853 d861 d862 d863 d864 d871 d872 d873 d874 d881 a80 a81 a82
PLIND */ -1.404E7 -3942121 -3.771E7 -3.331E7 -3.514E7 -4.153E7 -3.677E7 -3.532E7 -3200036 -8915236 -4.161E7 -2.713E7 -3.212E7 -4.096E7 -3.432E7 -4.201E7 -2.797E7 -3.655E7 -4.062E7 -3.744E7 -3.512E7 -3.008E7 -2.754E7 -3.196E7 41277544 0.000084 0.002713
JMKND d1411 264.3793 d1412 1288.472 d1413 -73.6771 d1414 665.183 d1415 -507.92 d1416 536.4394 d1417 -559.25 d1418 570.9635 d1432 5123.753 d1433 4217.072 d1434 -346.665 d1435 6561.254 d1451 -399.718
*/
173
d952 d953 d961 d962 d963 d964 d971 d972 d973 d974 d981 a90 a91 a92 a93
6.1561E8 -1.744E9 1.6031E9 2.8943E9 3.6054E9 4.5807E9 1.8251E9 3.3009E9 6.2201E9 1.2945E9 1.0895E8 -2.827E8 1.093766 4189.213 0.076587
d1052 d1053 d1061 d1062 d1063 d1064 d1071 d1072 d1073 d1074 d1081 a100 a101 a102 a103
1.191E9 -6.808E8 2.7595E9 6.1586E8 2.8715E9 1.876E10 1.5436E9 4.2544E8 4.8632E9 -8.784E7 -1.104E9 1.0447E9 0.218812 360.2237 0.769424
d1152 d1153 d1161 d1162 d1163 d1164 d1171 d1172 d1173 d1174 d1181 a110 a111 a112 a113
226545.7 733887.8 360644.2 -219871 -144692 -676935 -210135 -120761 116581.8 -88509.3 -129607 318076.3 0.000069 0.00002 -76.2945
d1252 d1253 d1261 d1262 d1263 d1264 d1271 d1272 d1273 d1274 d1281 a120 a121 a122 a123
1460936 2230402 -279648 1287544 -143009 -1.46E7 1188762 1786801 -1775281 2117746 2775735 -3117726 0.000192 0.000014 -54.5716
d1352 d1353 d1361 d1362 d1363 d1364 d1371 d1372 d1373 d1374 d1381 a130 a131 a132 a133 a134
367.2601 -14.8458 121.4807 -33.1995 90.57719 794.01 -21.3517 -40.0744 285.7121 -105.705 -150.674 221.1191 -9.04E-9 -846E-12 -7.78E-9 0.235425
d1452 d1453 d1461 d1462 d1463 d1464 d1471 d1472 d1473 d1474 d1481 a140 a141 a142 a143 a144
-192.819 90.57774 -147.627 -482.088 -341.506 748.8417 -491.414 -274.954 441.8978 -370.21 -511.484 828.3984 -1.4E-8 -1.72E-9 -1.27E-8 0.262363
;
PJKDLAG=LAG(PJKD); RETDLAG=LAG(RETD); PADLLAG=LAG(PADL); DAULAG=LAG(DAU); PDRBALAG=LAG(PDRBA); PDRBNALAG=LAG(PDRBNA); PDRBLAG=LAG(PDRB); JADDLAG=LAG(JADD); JMKNKLAG=LAG(JMKNK); JMKNDLAG=LAG(JMKND);
*BLOK PENERIMAAN; PJKD =d111*D11+d112*D12+d113*D13+d114*D14+d115*D15+d116*D16+d117*D17+d118*D18+ d132*D32+d133*D33+d134*D34+d135*D35+d151*D51+d152*D52+d153*D53+d161*D61+ d162*D62+d163*D63+d164*D64+d171*D71+d172*D72+d173*D73+d174*D74+ d181*D81+a10+a11*PDRB+a12*JKB+a13*FGAP+a14*PJKDLAG; RETD
PADL
=d211*D11+d212*D12+d213*D13+d214*D14+d215*D15+d216*D16+d217*D17+d218*D18+ d232*D32+d233*D33+d234*D34+d235*D35+d251*D51+d252*D52+d253*D53+d261*D61+ d262*D62+d263*D63+d264*D64+d271*D71+d272*D72+d273*D73+d274*D74+ d281*D81+a20+a21*PDRB+a22*JKB+a23*FGAP+a24*T+a25*RETDLAG; =d311*D11+d312*D12+d313*D13+d314*D14+d315*D15+d316*D16+d317*D17+d318*D18+ d332*D32+d333*D33+d334*D34+d335*D35+d351*D51+d352*D52+d353*D53+d361*D61+ d362*D62+d363*D63+d364*D64+d371*D71+d372*D72+d373*D73+d374*D74+ d381*D81+a30+a31*PDRB+a32*POP+a33*PADLLAG;
DAU
=d411*D11+d412*D12+d413*D13+d414*D14+d415*D15+d416*D16+d417*D17+d418*D18+ d432*D32+d433*D33+d434*D34+d435*D35+d451*D51+d452*D52+d453*D53+d461*D61+ d462*D62+d463*D63+d464*D64+d471*D71+d472*D72+d473*D73+d474*D74+ d481*D81+a40+a41*YCAP+a42*PLBPG+a43*LSKAB+a44*JMKN+a45*DAULAG;
DBH
=d511*D11+d512*D12+d513*D13+d514*D14+d515*D15+d516*D16+d517*D17+d518*D18+ d532*D32+d533*D33+d534*D34+d535*D35+d551*D51+d552*D52+d553*D53+d561*D61+ d562*D62+d563*D63+d564*D64+d571*D71+d572*D72+d573*D73+d574*D74+ d581*D81+a50+a51*PDRB+a52*UMP+a53*LSKAB+a54*DBHLAG;
PAD = PJKD+RETD+BUMD+PADL; DP = DAU+DAK+DBH; TPD = PAD+DP+PDLAIN; Lampiran 5. Lanjutan
174
*BLOK FISKAL: PENGELUARAN; PLTANI =d611*D11+d612*D12+d613*D13+d614*D14+d615*D15+d616*D16+d617*D17+d618*D18+ d632*D32+d633*D33+d634*D34+d635*D35+d651*D51+d652*D52+d653*D53+d661*D61+ d662*D62+d663*D63+d664*D64+d671*D71+d672*D72+d673*D73+d674*D74+ d681*D81+a60+a61*TPD+a62*GROWTH+a63*TDES; PLINF
=d711*D11+d712*D12+d713*D13+d714*D14+d715*D15+d716*D16+d717*D17+d718*D18+ d732*D32+d733*D33+d734*D34+d735*D35+d751*D51+d752*D52+d753*D53+d761*D61+ d762*D62+d763*D63+d764*D64+d771*D71+d772*D72+d773*D73+d774*D74+ d781*D81+a70+a71*TPD+a72*GROWTH;
PLIND
=d811*D11+d812*D12+d813*D13+d814*D14+d815*D15+d816*D16+d817*D17+d818*D18+ d832*D32+d833*D33+d834*D34+d835*D35+d851*D51+d852*D52+d853*D53+d861*D61+ d862*D62+d863*D63+d864*D64+d871*D71+d872*D72+d873*D73+d874*D74+ d881*D81+a80+a81*PAD+a82*PLMDL;
PLNTANI= PLIND+ PLINF + PLLAIN; TPLD = PLTANI+PLNTANI; FGAP = PAD - TPLD;
*BLOK PEREKONOMIAN DAERAH; PDRBA =d911*D11+d912*D12+d913*D13+d914*D14+d915*D15+d916*D16+d917*D17+d918*D18+ d932*D32+d933*D33+d934*D34+d935*D35+d951*D51+d952*D52+d953*D53+d961*D61+ d962*D62+d963*D63+d964*D64+d971*D71+d972*D72+d973*D73+d974*D74+ d981*D81+a90+a91*PLTANI+a92*TKP+a93*JADD; PDRBNA =d1011*D11+d1012*D12+d1013*D13+d1014*D14+d1015*D15+d1016*D16+d1017*D17+d1018*D18+ d1032*D32+d1033*D33+d1034*D34+d1035*D35+d1051*D51+d1052*D52+d1053*D53+d1061*D61+ d1062*D62+d1063*D63+d1064*D64+d1071*D71+d1072*D72+d1073*D73+d1074*D74+ d1081*D81+a100+a101*PLNTANI+a102*TKNP+a103*PDRBNALAG; PDRB = PDRBA+PDRBNA; YCAP = PDRB/POP; GROWTH=(PDRB-PDRBLAG)/PDRBLAG*100; TKP =d1111*D11+d1112*D12+d1113*D13+d1114*D14+d1115*D15+d1116*D16+d1117*D17+d1118*D18+ d1132*D32+d1133*D33+d1134*D34+d1135*D35+d1151*D51+d1152*D52+d1153*D53+d1161*D61+ d1162*D62+d1163*D63+d1164*D64+d1171*D71+d1172*D72+d1173*D73+d1174*D74+ d1181*D81+a110+a111*PDRBA+a112*TPLD+a113*UMP; TKNP
=d1211*D11+d1212*D12+d1213*D13+d1214*D14+d1215*D15+d1216*D16+d1217*D17+d1218*D18+ d1232*D32+d1233*D33+d1234*D34+d1235*D35+d1251*D51+d1252*D52+d1253*D53+d1261*D61+ d1262*D62+d1263*D63+d1264*D64+d1271*D71+d1272*D72+d1273*D73+d1274*D74+ d1281*D81+a120+a121*PDRBNA+a122*TPLD+a123*UMP;
TTK
= TKP+TKNP;
JMKNK
=d1311*D11+d1312*D12+d1313*D13+d1314*D14+d1315*D15+d1316*D16+d1317*D17+d1318*D18+ d1332*D32+d1333*D33+d1334*D34+d1335*D35+d1351*D51+d1352*D52+d1353*D53+d1361*D61+ d1362*D62+d1363*D63+d1364*D64+d1371*D71+d1372*D72+d1373*D73+d1374*D74+ d1381*D81+a130+a131*PDRB+a132*TPLD+a133*JADD+a134*JMKNKLAG;
JMKND
=d1411*D11+d1412*D12+d1413*D13+d1414*D14+d1415*D15+d1416*D16+d1417*D17+d1418*D18+ d1432*D32+d1433*D33+d1434*D34+d1435*D35+d1451*D51+d1452*D52+d1453*D53+d1461*D61+ d1462*D62+d1463*D63+d1464*D64+d1471*D71+d1472*D72+d1473*D73+d1474*D74+ d1481*D81+a140+a141*PDRB+a142*TPLD+a143*JADD+a144*JMKNDLAG;
JMKN
= JMKND+JMKNK;
RUN;
175
Lampiran 6. Hasil Simulasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3 Portable
Contoh: Kebijakan Alokasi Dana Desa 10 Persen The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Exogenous Parameters Equations Number of Statements Program Lag Length The SAS System
47 25 22 398 32 35 1
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
DTSIM HASIL
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
25 1 NEWTON 1E-8 7.518E-9 2 147 1.986486
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
75 1 74 2 75
Variables Solved For PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
176
Lampiran 6. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
Variable
N Obs
N
74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74
74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74
PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
Actual Mean Std Dev 2.3662E8 2.4192E8 7.4335E8 8.2911E9 2.026E8 5.6409E9 1.8602E9 1.064E10 3.8271E8 5.1912E8 25268835 1.077E10 1.115E10 -1.04E10 1.142E10 4.89E10 6.033E10 8490565 5.7738 1549465 1737019 3286484 478.1 832.9 1311.0
Predicted Mean Std Dev
3.2429E8 3.3633E8 8.2002E8 5.7394E9 1.7023E8 4.5671E9 2.8399E9 7.8293E9 2.3328E8 5.6336E8 22833760 8.2624E9 8.4218E9 7.6836E9 1.211E10 6.927E10 8.07E10 6823811 3.4143 1848772 2966500 4644219 790.1 1065.7 1822.5
1.5216E8 1.8643E8 6.0751E8 8.3199E9 2.067E8 5.6624E9 1.8675E9 1.053E10 3.7218E8 5.1341E8 25043518 1.076E10 1.113E10 -1.05E10 1.139E10 4.889E10 6.028E10 8496652 5.9691 1544910 1788767 3333677 476.7 827.7 1304.4
2.7653E8 2.9609E8 7.2177E8 5.6426E9 1.6E8 4.5022E9 2.7358E9 7.6291E9 1.8455E8 4.8407E8 19142320 8.2283E9 8.3773E9 7.7543E9 1.202E10 6.914E10 8.049E10 6828372 2.9301 1828408 2909733 4601218 797.0 1073.1 1836.7
Label PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
Statistics of fit
Variable
N
Mean Error
Mean % Error
Mean Abs Error
Mean Abs % Error
RMS Error
RMS % Error
R-Square
PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74
-8.445E7 -5.549E7 -1.358E8 28859666 4104939 21556983 7302683 -1.07E8 -1.053E7 -5709909 -225317 -5935226 -1.647E7 -1.194E8 -3.281E7 -1.337E7 -4.618E7 6087.1 0.1953 -4554.4 51747.5 47193.1 -1.4806 -5.1499 -6.6304
-70.7604 -37.5475 -22.3992 1.0436 18.1666 1.1242 4.6781 -0.1490 9.5415 16.6035 28.1083 0.0414 -0.0411 0.9883 0.4479 0.2632 0.2373 0.2373 -4.8377 0.8053 7.7876 3.8745 -4.9119 -2.7659 -2.7743
86369786 69837058 1.6043E8 3.5337E8 28459254 2.3656E8 2.2786E8 3.7933E8 1.1207E8 1.5631E8 8458966 1.6347E8 2.7156E8 2.9153E8 2.7597E8 5.0952E8 4.7421E8 126468 1.8266 47961.3 317648 329235 15.9344 23.5271 33.6268
71.1200 48.0562 29.1715 4.2085 28.7672 5.1085 19.1946 3.7527 34.8186 38.0849 51.8407 1.3445 2.3893 3.0535 3.0468 2.0279 1.7287 1.7287 38.5868 4.0500 27.3941 11.4570 9.2691 5.3791 4.9215
1.1046E8 93722167 2.0741E8 5.6589E8 43904455 3.1506E8 5.1096E8 6.3851E8 1.3706E8 2.5112E8 12518450 2.5921E8 3.7955E8 4.5466E8 5.1939E8 8.693E8 7.1227E8 216421 3.0051 71810.4 581948 586924 28.4073 37.6655 57.5436
83.8276 55.7642 33.0347 5.3679 71.4755 7.0393 28.4889 4.8858 42.8153 50.2263 98.5203 1.5659 2.6819 4.1864 4.7713 3.1103 2.8387 2.8387 87.9607 5.6585 44.2194 16.1846 16.0315 9.9313 8.7921
0.8824 0.9213 0.9352 0.9901 0.9326 0.9952 0.9672 0.9933 0.6501 0.7986 0.6953 0.9990 0.9979 0.9965 0.9981 0.9998 0.9999 0.9990 0.2148 0.9985 0.9610 0.9838 0.9987 0.9987 0.9990
Label PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
177
Lampiran 6. Lanjutan Theil Forecast Error Statistics
Variable
N
MSE
(R)
Corr (UM)
PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74
1.22E16 8.784E15 4.302E16 3.202E17 1.928E15 9.927E16 2.611E17 4.077E17 1.879E16 6.306E16 1.567E14 6.719E16 1.441E17 2.067E17 2.698E17 7.557E17 5.073E17 4.684E10 9.0304 5.1567E9 3.387E11 3.445E11 807.0 1418.7 3311.3
0.98 0.98 0.99 1.00 0.97 1.00 0.98 1.00 0.81 0.89 0.83 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.56 1.00 0.98 0.99 1.00 1.00 1.00
0.58 0.35 0.43 0.00 0.01 0.00 0.00 0.03 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.02 0.01
Bias (UR) 0.15 0.12 0.18 0.01 0.01 0.03 0.01 0.08 0.00 0.01 0.00 0.01 0.01 0.03 0.02 0.02 0.08 0.00 0.12 0.07 0.00 0.00 0.07 0.04 0.07
MSE Decomposition Proportions Reg Dist Var (UD) (US) (UC) 0.27 0.53 0.39 0.98 0.98 0.97 0.99 0.90 0.99 0.99 1.00 0.99 0.99 0.90 0.97 0.98 0.91 1.00 0.88 0.93 0.99 0.99 0.93 0.94 0.92
0.18 0.18 0.22 0.03 0.05 0.04 0.04 0.10 0.12 0.10 0.09 0.02 0.01 0.02 0.03 0.02 0.09 0.00 0.03 0.08 0.01 0.01 0.06 0.04 0.06
Covar
0.23 0.47 0.35 0.97 0.94 0.95 0.96 0.87 0.87 0.90 0.91 0.98 0.98 0.91 0.97 0.98 0.91 1.00 0.97 0.92 0.98 0.99 0.94 0.94 0.93
U1 0.2764 0.2272 0.1881 0.0562 0.1664 0.0435 0.1512 0.0485 0.3064 0.3290 0.3687 0.0191 0.0272 0.0352 0.0313 0.0103 0.0071 0.0199 0.4488 0.0299 0.1701 0.1036 0.0309 0.0280 0.0257
Inequality Coef U Label 0.1548 0.1232 0.1016 0.0282 0.0837 0.0218 0.0765 0.0244 0.1590 0.1712 0.1914 0.0096 0.0136 0.0175 0.0157 0.0052 0.0036 0.0100 0.2253 0.0150 0.0853 0.0518 0.0154 0.0140 0.0129
PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Variable
N
PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74 74
Relative Change Corr MSE (R) 1.0878 0.6657 0.2141 0.00550 0.0535 0.00615 0.2305 0.00385 0.1690 0.2580 0.9694 0.000402 0.00115 0.00210 0.00316 0.00270 0.00200 0.00131 1.0535 0.00490 0.1796 0.0471 0.0315 0.0101 0.00664
0.83 0.94 0.96 1.00 0.94 1.00 0.99 1.00 0.94 0.95 0.95 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.91 1.00 0.92 0.97 0.99 1.00 1.00
Bias (UM) 0.63 0.49 0.57 0.03 0.00 0.04 0.05 0.01 0.06 0.03 0.00 0.01 0.00 0.17 0.01 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.01 0.06 0.08 0.09
MSE Decomposition Proportions Reg Dist Var Covar (UR) (UD) (US) (UC) 0.02 0.16 0.12 0.15 0.01 0.20 0.42 0.02 0.21 0.15 0.31 0.00 0.00 0.06 0.00 0.07 0.02 0.04 0.24 0.01 0.02 0.24 0.09 0.00 0.03
0.36 0.36 0.31 0.82 0.99 0.76 0.53 0.97 0.73 0.82 0.69 0.99 1.00 0.76 0.99 0.93 0.98 0.96 0.75 0.98 0.98 0.75 0.85 0.92 0.88
0.00 0.25 0.18 0.12 0.08 0.16 0.35 0.01 0.37 0.28 0.18 0.00 0.01 0.05 0.00 0.07 0.03 0.06 0.46 0.02 0.00 0.15 0.07 0.00 0.02
0.37 0.27 0.25 0.85 0.92 0.80 0.60 0.98 0.57 0.68 0.82 0.99 0.99 0.78 0.99 0.93 0.97 0.94 0.53 0.97 1.00 0.83 0.88 0.92 0.89
Inequality U1 0.8950 0.5352 0.4724 0.0992 0.3199 0.1092 0.2262 0.0843 0.3816 0.3182 0.3617 0.0297 0.0505 0.0689 0.0363 0.0236 0.0233 0.0619 0.4846 0.0441 0.3614 0.2494 0.1180 0.0467 0.0489
U
Coef Label
0.4421 0.3104 0.2666 0.0487 0.1673 0.0533 0.1056 0.0420 0.2180 0.1747 0.1685 0.0149 0.0253 0.0341 0.0182 0.0118 0.0117 0.0312 0.2904 0.0221 0.1825 0.1186 0.0583 0.0234 0.0244
PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTAMI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN
178
Lampiran 7. Ringkasan Program Simulasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3 Portable
Sim-a1, Sim-b1 : Kebijakan Alokasi Dana Desa Minimal 10 Persen JADD=JADD*0.10 Sim-a2, Sim-b2 : Kebijakan Alokasi Dana Desa Minimal 20 Persen JADD=JADD*0.20 Sim-a3, Sim-b3 : Kebijakan Alokasi Dana Desa 250 Juta Rupiah per Desa JADD= 250000*TDES Sim-a4, Sim-b4 : Kebijakan Alokasi Dana Desa 500 Juta Rupiah per Desa JADD=500000*TDES Sim-a5, Sim-b5 : Kebijakan Penambahan 5 Desa per Kabupaten/Kota TDES=TDES+(TKAB*5) Sim-a6, Sim-b6 : Kebijakan Penambahan 10 Desa per Kabupaten/Kota TDES=TDES+(TKAB*10) Sim-c1
: Kebijakan Afirmatif Pelaksanaan Alokasi Dana Desa (Prosentase) terhadap Perekonomian Daerah *Simulasi-c1: JADD untuk daerah maju 10%, daerah maju tapi tertekan 20%, daerah berkembang cepat 30% dan daerah tertinggal : 40%; if prov in (12 32 33 35) then JADD=(DP-PLBPG)*0.10; else if prov in (14 16 64) then JADD=(DP-PLBPG)*0.20; else if prov in (13 15 17 51 52 62 63 71 72 73 74) then JADD=(DP-LBPG)*0.30;else JADD=(DP-PLBPG)*0.4;
Sim-c2
: Kebijakan Afirmatif Alokasi Dana Desa (Prosentase) Dikombinasikan dengan Penataan Wilayah Desa *Simulasi-c1: JADD untuk daerah maju 10%, daerah maju tapi tertekan 20%, daerah berkembang cepat 30% dan daerah tertinggal : 40% selanjutnya untuk daerah maju ditambah 5 desa dan daerah tertinggal ditambah 10 desa; if prov in (12 32 33 35) then JADD=(DP-PLBPG)*0.10; else if prov in (14 16 64) then JADD=(DP-PLBPG)*0.20; else if prov in (13 15 17 51 52 62 63 71 72 73 74) then JADD=(DPPLBPG)*0.30; else JADD=(DP-PLBPG)*0.40; if prov in (12 32 33 35) then TDES=TDES+(TKAB*5); else if prov in (11 18 34 53 61 81 94) then TDES=TDES+(TKAB*10); else TDES=TDES;
Sim-c3
:Kebijakan Afirmatif Alokasi Dana Desa 500 Juta Rupiah per Desa Dikombinasikan dengan Penataan Wilayah Desa *Simulasi-c3: JADD RP 500 JT PER DESA DAN DAERAH TERTINGGAL TAMBAH 5 DESA PERKABUPATEN; if prov in (11 18 34 53 61 81 91) then TDES=TDES+(TKAB*5); JADD=500000*TDES;
Keterangan: Sim-a1, Sim-a2, Sim-a3, Sim-a4, Sim-a5, Sim-a6: Simulasi secara Nasional Sim-b1, Sim-b2, Sim-b3, Sim-b4, Sim-b5, Sim-b6: Simulasi Menurut Tipologi Klassen Sim-c1, Sim-c2, Sim-c3 : Simulasi Afirmatif
179
Lampiran 8.
Ringkasan Hasil Simulasi Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Secara Nasional Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dan dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3 Portable
(%) No
Variabel Endogen
Add Prosentase sim-a1 sim-a2
Add Rupiah sim-a3 sim-a4
1
PJKD
0.1515
0.3096
0.2306
0.4677
2
RETD
0.1775
0.3550
0.2689
0.5325
3
PAD
0.1402
0.2821
0.2128
0.4256
4
DP
-0.0372
-0.0757
-0.0553
-0.1093
5
PADL
0.1454
0.2860
0.2133
0.4266
6
DAU
-0.0759
-0.1517
-0.1111
-0.2223
7
DBH
0.0590
0.1233
0.0911
0.1822
8
TPD
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
9
PLTANI
0.3508
0.7043
0.4345
0.8689
10
PLINF
0.1053
0.2106
0.1287
0.2594
11
PLIND
0.0003
0.0006
0.0004
0.0009
12
PLNTANI
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
13
TPLD
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
14
FGAP
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
15
PDRBA
0.4417
0.7951
0.6184
1.1484
16
PDRBNA
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
17
PDRB
0.0830
0.1495
0.1163
0.2325
18
YCAP
0.1503
0.3006
0.1656
0.3311
19
GROWTH
0.1962
0.3923
0.2428
0.4856
20
TKP
0.2014
0.4028
0.2997
0.5994
21
TKNP
0.0030
0.0059
0.0036
0.0072
22
TTK
0.0947
0.1895
0.1406
0.2812
23
JMKNK
-0.7057
-1.4321
-1.0585
-2.1378
24
JMKND
-0.6697
-1.3394
-1.0165
-2.0210
25
JMKN
26
IW
-0.6829 0.0481
-1.3733 0.0998
-1.0319 -0.0988
-2.0637 -0.1970
Tata Desa sim-a5 sim-a6 0.0132 0.1398 0.0973 0.0048 0.1551 -0.0159 0.0643 0.0000 7.6612 0.1248 0.0002 0.0000 0.2695 0.9524 0.4417 0.0000 0.0830 0.1407 0.2154 0.2487 0.0261 0.1290 -0.0830 -0.0957 -0.0910 -0.0592
Afirmatif sim-c1 sim-c2 sim-c3
0.0329
0.4150
0.2797
0.4733
0.1963
0.3794
0.0084
-0.1021
0.3054
0.3830
-0.0300
-0.2046
0.1286
0.1661
0.0950
0.0000
15.3223
1.1820
0.2496
0.3588
0.0004
0.0008
0.0000
0.0000
0.5391
0.0898
0.9524
0.0000
0.8834
1.0601
0.0000
0.0000
0.1661
0.1993
0.2813
0.4543
0.4308
0.6581
0.4973
0.5461
0.0521
0.0099
0.2581
0.2580
-0.1868
-1.9095
-0.1794
-1.7938
-0.1745 -0.1182
-1.8361 0.0107
0.4282 0.5862 0.4569 -0.0985 0.5042 -0.2170 0.2197 0.0000 7.3239 0.4778 0.0009 0.0000 0.2695 0.9524 1.4134 0.0000 0.2657 0.5650 0.8630 0.7456 0.0311 0.3617 -1.9718 -1.8656 -1.9044 -0.0815
0.4743 0.5647 0.4470 -0.1093 0.4606 -0.2258 0.1983 0.0000 2.3828 0.3120 0.0009 0.0000 0.0898 0.0000 1.2367 0.0000 0.2491 0.3683 0.5784 0.6528 0.0129 0.3090 -2.1793 -2.0450 -2.0941 -0.2312
Keterangan: Sim-a1 : Alokasi minimal sesuai PP No 72 Tahun 2005 (10%) Sim-a2 : Alokasi minimal ditingkatkan menjadi 20% Sim-a3 : Alokasi dana desa 250 jt per desa Sim-a4 : Alokasi dana desa 500 jt per desa Sim-a5 : Penambahan 5 desa perkabupaten Sim-a6 : Penambahan 10 desa perkabupaten Sim-c1 : Alokasi afirmative (Kel maju 10%, Kel Maju Tertekan dinaikkan 20%, Kel Berkembang Cepat dinaikkan 30%, Kel Daerah Tertinggal dinaikkan 40%) Sim-c2 : Sim-c1 + penataan wilayah desa (daerah maju ditambah 5 desa per Kab/Kota dan daerah tertinggal ditambah 10 desa per Kabupaten/Kota). Sim-c3 : Penyaluran ADD 500 juta rupiah per desa+ penambahan 5 desa per Kabupaten untuk daerah tertinggal
Lampiran 9. Ringkasan Hasil Simulasi Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menurut Tipologi Klassen Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3 Portable (%) No Variabel Endogen
a 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
PJKD RETD PAD DP PADL DAU DBH TPD PLTANI PLINF PLIND PLNTANI TPLD FGAP PDRBA PDRBNA PDRB YCAP GROWTH TKP TKNP TTK JMKNK JMKND JMKN IW
Keterangan: Sim-b1 Sim-b2 Sim-b3 Sim-b4 Sim-b Sim-b6 a b c d
Tipologi Klassen ADD Rupiah
ADD Persentase sim-b1 b c
d
a
sim-b2 b c
d
a
sim-b3 b c
d
a
Tata Desa sim-b4 b c
d
a
sim-b5 b c
d
a
sim-b6 b c
d
0.037
1.347
0.173
1.511
0.073
2.695
0.345
3.022
0.159
0.638
0.182
2.228
0.317
1.276
0.365
4.455
0.009
0.059
0.022
0.158
0.018
0.118
0.045
0.316
0.041
0.754
0.307
0.556
0.083
1.509
0.613
1.112
0.167
0.374
0.324
0.890
0.335
0.749
0.648
1.779
0.059
0.223
0.251
0.461
0.118
0.447
0.502
0.922
0.042
0.278
0.194
0.350
0.084
0.556
0.389
0.700
0.173
0.136
0.206
0.545
0.346
0.272
0.411
1.089
0.054
0.072
0.146
0.251
0.108
0.143
0.292
0.503
-0.017
-0.059
-0.041
-0.046
-0.034 -0.119
-0.082
-0.091
-0.073
-0.028
-0.044
-0.066
-0.146
-0.055
-0.087
-0.131
0.007
0.003
0.003
0.003
0.014
0.005
0.007
0.006
0.060
0.181
0.178
0.212
0.361
0.356
0.424
0.243
0.089
0.189
0.334
0.487
0.179
0.377
0.668
0.119
0.073
0.200
0.235
0.237
0.146
0.399
0.471
-0.031
-0.286
-0.073
-0.082
-0.061 -0.572
-0.146
-0.164
-0.132
-0.134
-0.078
-0.118
-0.263
-0.268
-0.156
-0.236 -0.009 -0.019 -0.019 -0.018
-0.018
-0.038
-0.038
-0.037 0.278
0.119
0.045
0.031
0.131
0.137
-0.008
-0.038
-0.025
-0.030
0.062
0.262
0.273
0.194
0.015
0.140
0.198
0.388
0.030
0.279
0.397
0.095
0.012
0.156
0.139
0.190
0.023
0.312
-0.016 -0.076
0.089
-0.050
-0.060
-0.034
-0.018
-0.027
-0.042
-0.069
-0.035
-0.054
-0.083
0.009
0.006
0.011
0.010
0.018
0.012
0.022
0.018
0.148
0.460
0.709
0.036
0.020
0.295
0.919
1.417
0.104
0.080
0.541
0.905
0.207
0.159
1.083
1.810
9.037
4.048
8.047
8.406 18.075
8.096 16.094
16.812
0.002
0.039
0.212
0.338
0.000
0.001
0.000
0.000
0.004
0.078
0.424
0.675
0.013
0.021
0.250
0.430
0.025
0.043
0.500
0.861
0.012
0.020
0.264
0.381
0.025
0.040
0.528
0.762
0.000
0.001
0.001
0.001
0.001
0.000
0.000
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.000
0.002
0.009
0.000
0.013
0.000
0.004
0.017
0.025
0.001
0.001
0.010
0.016
0.001
0.002
0.021
0.032
0.001
0.001
0.011
0.014
0.001
0.002
0.022
0.001
0.007
0.029
0.028
0.041
0.001
0.014
0.056
0.082
0.003
0.004
0.033
0.052
0.006
0.008
0.066
0.105
0.199
0.144
0.357
0.355
0.399
0.287
0.713
-0.003
0.709
-0.005
0.019
0.032
-0.006 -0.010
0.038
0.064
-0.011
-0.002
0.024
0.038
-0.022
-0.004
0.048
0.076
0.211
0.147
0.368
0.358
0.422
0.294
0.736
0.715
0.112
0.877
0.558
0.741
0.223
1.754
1.117
1.481
0.486
0.416
0.596
1.075
0.972
0.832
1.191
2.150
0.237
0.327
0.664
0.751
0.474
0.654
1.328
1.502
0.000
0.000
0.001
0.002
0.000
0.000
0.002
0.003
0.000
0.000
0.001
0.002
0.000
0.000
0.002
0.004
0.000
0.000
0.002
0.003
0.000
0.000
0.004
0.005
0.019
0.118
0.153
0.210
0.037
0.235
0.306
0.421
0.081
0.056
0.163
0.305
0.162
0.111
0.326
0.610
0.040
0.044
0.182
0.214
0.079
0.088
0.365
0.428
0.037
0.116
0.176
0.294
0.075
0.232
0.352
0.587
0.106
0.047
0.200
0.363
0.212
0.094
0.399
0.725
0.056
0.041
0.207
0.278
0.112
0.082
0.414
0.557
0.010
0.130
0.200
0.340
0.030
0.260
0.390
0.680
0.090
0.070
0.230
0.430
0.190
0.140
0.460
0.860
0.050
0.050
0.230
0.370
0.090
0.100
0.460
0.730
0.055
0.633
0.312
0.308
0.109
1.267
0.625
0.616
0.238
0.301
0.334
0.446
0.476
0.601
0.668
0.892
0.136
0.277
0.431
0.362
0.273
0.554
0.862
0.723
0.000
0.003
0.008
0.015
0.000
0.006
0.016
0.031
0.000
0.002
0.009
0.020
0.001
0.003
0.019
0.039
0.011
0.034
0.058
0.078
0.021
0.067
0.116
0.157
0.022
0.326
0.166
0.199
0.044
0.652
0.332
0.398
0.097
0.155
0.178
0.287
0.193
0.310
0.356
0.574
0.061
0.158
0.252
0.256
0.123
0.316
0.504
0.512
-0.154
-2.833
-1.819
-1.886
-0.308 -5.667
-3.646
-3.778
-0.670
-1.341
-1.932
-2.769
-1.340
-2.682
-3.864
-5.537 -0.039 -0.126 -0.271 -0.242
-0.077
-0.252
-0.549
-0.490
-0.185
-3.227
-1.238
-0.781
-0.370 -6.455
-2.478
-1.560
-0.804
-1.529
-1.313
-1.145
-1.609
-3.056
-2.626
-2.288 -0.045 -0.141 -0.180 -0.098
-0.090
-0.280
-0.359
-0.198
-0.172
-3.065
-1.412
-1.005
-0.344 -6.131
-2.825
-2.010
-0.747
-1.452
-1.496
-1.473
-1.494
-2.902
-2.994
-2.947 -0.042 -0.135 -0.209 -0.129
-0.085
-0.268
-0.417
-0.257
0.197
-0.005
-0.050
0.120
0.395 -0.011
-0.099
0.242
-0.074
-0.049
-0.143
0.123
-0.147
-0.099
-0.284
0.247 -0.021 -0.016 -0.075 -0.027
-0.042
-0.032
-0.150
-0.053
: Alokasi minimal sesuai PP No 72 Tahun 2005 (10%) : Alokasi minimal ditingkatkan menjadi 20% : Alokasi dana desa 250 jt per desa : Alokasi dana desa 500 jt per desa : Penambahan 5 desa per kabupaten : Penambahan 10 desa per kabupaten : Daerah maju tumbuh cepat : Daerah maju tapi tertekan : Daerah berkembang cepat : Daerah tertinggal
181