DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH
DISERTASI
EVI LISNA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Guru bagiku adalah ibarat bulan purnama yang bersinar di tengah kegelapan malam
Ilmu membuat pemiliknya dapat membedakan yang salah dengan yang benar, Ilmu merupakan cahaya menuju surga, Ilmu adalah teman di tengah padang pasir, Ilmu adalah teman dalam kesunyian, Ilmu adalah pendamping saat kita tidak ada teman, Ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan, Ilmu membuat kita tabah dalam kesulitan. (Sabda Nabi Muhammad SAW)
SURAT PERNYATAAN
Saya
menyatakan
dengan
sebenar-benarnya
bahwa
segala
pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan ketua dan anggota Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2007
EVI LISNA NRP. A161020041/EPN
ABSTRAK EVI LISNA. Dampak Kebijakan Ketenagakerjaan Terhadap Tingkat Pengangguran dan Perekonomian Indonesia di Era Otonomi Daerah (BONAR M. SINAGA selaku Ketua, SJAFRI MANGKUPRAWIRA dan HERMANTO SIREGAR selaku Anggota Komisi Pembimbing). Kebijakan ketenagakerjaan secara langsung mempengaruhi pasar tenaga kerja dan kondisi perekonomian makro. Isu kebijakan ketenagakerjaan masih menjadi topik penting untuk dibahas di era otda karena kebijakan ketenagakerjaan merupakan masalah yang sensitif bagi buruh. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mendeskripsikan isu-isu kebijakan ketenagakerjaan di era otda, (2) menganalisis faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan yang mempengaruhi pasar tenaga kerja dan perekonomian lndonesia, (3) mengevaluasi dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda tahun 2001-2004, dan (4) meramalkan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda tahun 2007-2010. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibangun model sistem persamaan simultan yang terdiri dari 34 persamaan struktural dan 18 persamaan identitas. Penelitian ini menggunakan data time series tahun 1980-2004. Data dianalisis dengan analisis deskriptif, model ekonometrika, simulasi historis dan peramalan yang menggunakan berbagai alternatif skenario kebijakan. Model diestimasi dengan metode 2SLS menggunakan prosedur SYSLIN. Simuasi historis dan peramalan menggunakan prisedur SIMNLIN. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: (1) beberapa kelemahan UndangUndang Ketenagakerjaan era otda cenderung menghambat penyelesaian perselisihan hubungan industrial, (2) meskipun upah minimum ditargetkan bagi buruh tanpa pengalaman dan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah menyebabkan kenaikan upah rata-rata bagi buruh di semua tingkatan, peningkatan tingkat pengangguran dan inflasi dan pada akhirnya menurunkan GDP, (3) peningkatan kebijakan penyesuaian upah minimum, peningkatan kekuatan serikat pekerja dan peningkatan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa berpengaruh nyata terhadap investasi, penawaran agregat, pengangguran dan inflasi, dan (4) diperkirakan upaya mencari solusi penyelesaian masalah hubungan industrial, penurunan suku bunga dan pengeluaran infrastruktur tahun 2007-2010 akan lebih efektif untuk menstimulasi peningkatan investasi dan produksi agregat serta penurunan tingkat pengangguran dan tingkat inflasi. Bila pemerintah tetap mempertahankan kebijakan upah minimum di era otda maka bersama dengan serikat buruh dan pihak pengusaha perlu melakukan: (1) evaluasi kembali penetapan upah minimum, (2) kontrol terhadap kekuatan serikat pekerja dan (3) upaya peningkatan produktifitas TK agar tidak memperburuk tingkat pengangguran dan perekonomian 2007-2010 mendatang.
Kata kunci: Kebijakan Ketenagakerjaan, Pengangguran, Model Persamaan Simultan, Perekonomian Indonesia
ABSTRACT
EVI LISNA. The Impact of Labour Policy on Unemployment and The Indonesian Economy in The Era of Regional Autonomy (BONAR M. SINAGA as Chairman, SJAFRI MANGKUPRAWIRA and HERMANTO SIREGAR as Members of the Advisory Committee). Labour policy directly influences labour market and macroeconomic condition. The issue of labour policy is still an important topic to be discussed in the era of regional autonomy since it is a sensitive problem for the labours. The objectives of this study are: (1) to evaluate the issues of labour policy in the era of regional autonomy, (2) to analyze the influence of labour policy to labour market and the Indonesian economy, (3) to evaluate the expost impacts of some alternative labour policies on unemployment and Indonesian economy in the era of regional autonomy (2001-2004), and (4) to forcast the exante impacts of some alternative labour policies on unemployment as well as Indonesian economy in the era of regional autonomy (2007-2010). To reach those objectives, a simultaneous equation model containing 34 stuctural equations and 18 identity equations is constructed. The analysis used annual time series data for the period 1980-2004. The descriptive analysis, econometric model, historical and forcasting simulation using various alternative policy scenarioes were used to analyze the data. The model was estimated by using 2SLS Method and SYSLIN Procedure of the SAS package. Historical and forcasting simulation used the SIMNLIN Procedure. The research conclude that: (1) some weakness points of labour legislation tend to obstruct the solution of industrial relation issues in the era of regional autonomy, (2) although it is targeted to the labors without any experience and have zero hour of work, minimum wage creates an increase for all the average wages of labor at all level, increases unemployment level as well as inflation, and decreases the GDP, (3) an increase of minimum wage policy, emergence of labour union and strike cases affect significantly investment, agregate supply, unemployment and inflation, and (4) solving industrial relation issues, decreasing interest rate as well as increasing government expenditure on infrastructure are potential to increase investment and agregate supply as well as to decrease unemployment and inflation for the 2007-2010 period. Further, it is important to consider the emergence of labor unions to participate in deciding and evaluating the labour policy hoping that it will help encouraging changes of labour policies toward a better condition for the welfare of the labours, the continuity of the business as well as a better condition for the Indonesian economy (2007-2010).
Key words: Labour Policy, Unemployment, Simultaneous Equation Model, Indonesian Economy
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH
EVI LISNA
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Disertasi
: Dampak Kebijakan Ketenagakerjaan Terhadap Tingkat Pengangguran dan Perekonomian Indonesia di Era Otonomi Daerah
Nama Mahasiswa
: Evi Lisna
Nomor Pokok
: A 161020041
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira Anggota
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 22 Agustus 2007
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Aceh Timur sebagai anak kedua dari Ayahanda almarhum H. M. Natsir Muchlis dan Ibunda almarhumah Sakinah Usman. Pada tahun 1986 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 3 Banda Aceh. Pendidikan Sarjana diselesaikan tahun 1991 di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Pada semester akhir kuliah, penulis lulus seleksi sebagai mahasiswa penerima ikatan dinas dosen dan tahun 1991 diangkat sebagai Staf Pengajar di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada Tahun 1996 penulis mendapat kesempatan tugas belajar di Marketing Laboratory, Agricultural Social Economics Department, Faculty of Agriculture, Kyushu University, Jepang, dan selesai tahun 1998. Pada tahun 2002 penulis menempuh Program Doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Dr. Ir. Sofyan Samsudin, M. Agric. Sc dan dikarunia dua putra yaitu Faiz Yafie Naufal dan Wildan Dhia Yafie.
PRAKATA
Puji dan Syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis telah dapat menyelesaikan disertasi dengan judul
DAMPAK
KEBIJAKAN
KETENAGAKERJAAN
TERHADAP
TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH. Penelitian dan disertasi ini dapat dilaksanakan dan diwujudkan melalui arahan, bimbingan, bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang dengan ketulusan dan kesabaran Bapak telah mencurahkan waktu, memberikan banyak arahan akademik sejak perkuliahan dan khususnya dalam membimbing sejak mempersiapkan proposal, pengumpulan dan pengolahan data, sampai penyusunan disertasi. Kendala dalam proses mewujudkan disertasi selalu ada solusi setelah berkonsultasi dengan Bapak. Cara Bapak membimbing, menjadikan saya kembali bersemangat untuk melalui setiap proses sejak ujian kualifikasi satu dan dua, kolokium, seminar, ujian tertutup, sampai ujian terbuka Program Doktor. 2. Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan ketulusan dan kesabaran Bapak senantiasa memberikan limpahan ilmu, pengalaman dan nasehat sehingga membuka wawasan saya dan memberi spirit saya dalam mencari studi empiris pendukung, juga mempertajam kemampuan saya dalam merumuskan masalah dan dalam menyajikan hasil penelitian disertasi. Bapak memiliki
metode yang sangat bijaksana dalam mengembalikan semangat belajar dan meningkatkan ketaqwaan saya agar selalu tawakal menghadapi masalah sehingga cita-cita untuk menyelesaikan penelitian dan disertasi ini dapat terwujud. 3. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M. Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan ketulusan dan kesabaran Bapak senantiasa memberikan bimbingan akademik selama perkuliahan dan senantiasa memberikan tambahan wawasan dan mengarahkan setiap gagasan dalam penelitian dan penyusunan disertasi. Bapak sangat bijaksana dan selalu menghargai setiap gagasan, usaha dan kerja keras saya untuk kemudian memotivasi agar saya lebih berusaha lagi mewujudkan disertasi ini menjadi lebih baik . 4. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS sebagai penguji luar komisi, Dr. Harianto sebagai a.n. Ketua Program Studi, dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri sebagai Pimpinan Sidang pada ujian tertutup yang telah memberikan saran dan masukan demi perbaikan disertasi ini. 5. Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak dan Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc sebagai penguji luar komisi dan Dr. Sri Hartoyo sebagai pimpinan ujian terbuka yang telah memberikan saran dan masukan demi penyempurnaan disertasi ini. 6. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi EPN dan seluruh Staf
Pengajar Sekolah Pascasarjana IPB yang telah
memberikan limpahan ilmu dan pengalaman bagi penulis. 7. Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala NAD yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan
studi pada Program Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 8. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS program Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB bagi penulis. 9. Pemda Nanggroe Aceh Darussalam dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh yang telah memberikan bantuan dana penelitian pada saat BPPS telah berakhir. 10. DAAD yang telah memberikan bantuan SPP pada pasca bencana tsunami Aceh. 11. Kepala dan Staf Depnakertrans, BPPS dan Bank Indonesia yang telah membantu dalam penyediaan data. 12. Rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana di Program Studi EPN IPB khususnya EPN Angkatan 2002 yang telah memberikan sumbangan pemikiran dalam penyelesaian penelitian dan pengolahan data. 13. Sekretariat Program Studi EPN (Mbak Rubi, Mbak Yani, Teteh dan Mashusein), sahabat setia (Sri Hery Susilowati, Atien Priyanti, Anna Fariyanti, Femy Hadidjah Elly serta Safrida dan Keluarga), adik-adik kost, Adinda Adhiana, Ceuceu, dan Dek Mun, teman-teman Ikatan Mahasiswa
Pascasarjana
Aceh
di
Institut
Pertanian
Bogor
(IKAMAPA) atas suasana kekeluargaan yang selama ini terbina. 14. Khusus kepada orangtua tercinta yang telah tiada Ayahanda almarhum H. M. Natsir Muchlis dan Ibunda almarhumah Sakinah Usman serta
Almarhumah Mami Nuraini Muchlis yang telah memberikan pondasi kuat pada ananda untuk selalu memprioritaskan investasi pendidikan. 15. Kepada Keluarga Mang Djudju, Keluarga Kang Ade, Keluarga Ceu Otim, Keluarga Aa Endang, Keluarga Aa Elan, Keluarga Kang Iwan, Keluarga Dek Yasa, Keluarga Makni Khairani Muchlis, Keluarga Papi Adi Syahputra, Keluarga Om Rizal Lufty dan Adik-adik tersayang semoga gelar ini menambah kebahagiaan keluarga besar kita. 16. Yang teramat spesial, suami tercinta Dr. Ir. Sofyan Samsudin, M. Agric. Sc dan kedua putra tersayang Faiz Yafie Naufal dan Wildan Dhia Yafie yang sepenuhnya mendukung agar saya dapat melanjutkan studi sampai pada jenjang tertinggi. Dukungan dan perhatian keluarga telah membuat saya tetap bersemangat meski harus terpisah jauh. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Terimakasih.
Bogor, Agustus 2007
Evi Lisna
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ……………………………………………………..
i
DAFTAR TABEL ……………………………………….……..
x
DAFTAR GAMBAR …………………………………………..
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..………………………………..……..
xv
I. PENDAHULUAN ………………………………………………
1
1.1. Latar Belakang Penelitian ………………………………….
1
1.2. Perumusan Masalah ………………………………………..
4
1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………..
10
1.4. Kegunaan Penelitian ……………………………………….
10
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ………………
10
TINJAUAN PUSTAKA ……..………………………………..
12
2.1. Otonomi Daerah di Indonesia ……………………………..
12
2.2. Permasalahan Hubungan Industrial di Era Otda .……….…
13
2.3. Keragaan Pasar Tenaga Kerja di Indonesia ……………….
17
2.3.1. Kesempatan Kerja …………………………………
17
2.3.2. Pengangguran ……………………………………..
19
2.3.3. Permasalahan Ketenagakerjaan ……………………
21
2.4. Kebijakan Ketenagakerjaan ……………………………….
24
2.4.1. Upah Minimum ……………………………………
26
2.4.2. Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial …………………………………………..
27
2.4.3. Kebijakan Penyediaan Lapangan Kerja …………...
28
2.5. Tinjauan Studi Terdahulu ………………………………….
29
2.5.1. Kesempatan Kerja …………………………………
29
2.5.2. Tingkat Pengangguran …………………………….
30
2.5.3. Kebijakan Ketenagakerjaan ……………………….
32
II.
v
III. KERANGKA TEORI ………………………………………….
37
3.1. Pasar Tenaga Kerja …………………………………………
37
3.2. Kebijakan Upah Minimum …………………………………
41
3.2.1. Pasar Tenaga Kerja yang Bersaing ...........................
43
3.2.2. Pasar Tenaga Kerja Monopsoni ................................
45
3.2.3. Dampak Kebijakan Upah minimum di Indonesia ....
49
3.3. Keterkaitan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan Ekonomi Makro ....................................................................
53
3.3.1. Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisinya …..
55
3.3.2. Pengangguran ……………………………………...
58
3.3.3. Inflasi ………………………………………………
61
3.3.4. Kurva Phillips ……………………………………...
63
3.4. Bagan Alur Penelitian ……………………………………...
66
IV. METODE PENELITIAN .……….…………………………….
68
4.1. Model Ekonomi Pasar Tenaga Kerja dan Perekonomian Indonesia ...............................................................................
68
4.1.1. Blok Pasar Tenaga Kerja ..........................................
68
4.1.2. Blok Fiskal …............... ............................................
77
4.1.3. Blok Penawaran Agregat .........................................
77
4.1.4. Blok Permintaan Agregat .........................................
78
4.1.5. Blok Moneter ...........................................................
79
4.1.6. Blok Keseimbangan Makro ......................................
80
4.2. Prosedur Analisis ...................................................................
80
4.2.1. Identifikasi Model .....................................................
81
4.2.2. Metode Pendugaan Model ........................................
82
4.2.3. Validasi Model ..........................................................
83
4.2.4. Simulasi Kebijakan ...................................................
86
4.2.5. Defenisi Operasional Variabel ...................................
88
4.2.6. Jenis dan Sumber Data ……………………………..
91
vi
V. DESKRIPSI KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI ERA OTDA ............................................................................................ 5.1. Kebijakan Ketenagakerjaan Era Otda ................................... 5.1.1. Kebijakan Upah Minimum ........................................ 5.1.2. Ketentuan PHK dan Pembayaran Uang Pesangon .... 5.1.3. Pengaturan Ketenagakerjaan di Tingkat Perusahaan 5.2.
Kebijakan Terkait Pasar Tenaga Kerja di Era Otda ............. 5.2.1. Kebijakan Fiskal ........................................................ 5.2.2. Kebijakan Moneter.................................................... 5.2.3. Kebijakan Investasi ...................................................
92 93 94 98 102 104 104 106 108
VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO ............................................
110
6.1. Keragaan Umum Model ........................................................
110
6.2. Kinerja pasar Tenaga Kerja ……………………...…………
111
6.2.1. Penawaran Tenaga Kerja …………………………..
111
6.2.2. Permintaan Tenaga Kerja …………………………..
113
6.2.3. Upah Rata-rata ……………………………………..
117
6.3.
Kinerja Fiskal ……………………………………………...
119
6.4.
Kinerja Penawaran Agregat ………………………………..
121
6.5.
Kinerja Permintaan Agregat ……………………………….
123
6.6. Kinerja Moneter ……………………………………………
126
6.7.
Kinerja Keseimbangan Makro ……………………………..
128
VII. DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH ………………………………………………………..
129
7.1. Hasil Validasi Model .............................................................
129
7.2. Evaluasi Alternatif Simulasi Kebijakan Periode Historis Tahun 2001-2004 ..................................................................
130
7.2.1. Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai Tahun 2000 .................................................................
130
7.2.2. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 1 persen ......................................................................... vii
134
7.2.3. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 8.83 persen .................................................................
136
7.2.4. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 10 persen ....................................................................
138
7.2.5. Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Sektor Pertanian 90 persen, Industri 2 persen, dan Jasa 2.5 persen ......
140
7.2.6. Penurunan Jumlah Kasus Pemogokan 50 persen .......
142
7.2.7. Penurunan Suku Bunga 5 persen .................................
144
7.2.8. Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 25 persen .......
146
7.2.9. Kombinasi Simulasi 4 dan 5 ........................................
148
7.2.10. Kombinasi Simulasi 7 dan 8 ...................................
150
7.3. Simulasi Kebijakan Peramalan Tahun 2007-2010 ................
152
7.3.1. Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai Tahun 2006 .................................................................
156
7.3.2. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 1 persen ..........................................................................
158
7.3.3. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 6.64 persen ..................................................................
160
7.3.4. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 8 persen ..........................................................................
162
7.3.5. Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Sektor Pertanian 90 persen, Industri 1.5 persen, dan Jasa 2.5 persen ....
164
7.3.6. Penurunan Jumlah Kasus Pemogokan 50 persen ........
166
7.3.7. Penurunan Suku Bunga 6 persen .................................
168
7.3.8. Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 40 persen .......
170
7.3.9. Kombinasi Simulasi 4 dan 5 ........................................
172
7.3.10. Kombinasi Simulasi 7 dan 8 ...................................
174
7.3.11. Kombinasi Simulasi 4, 5 dan 8 ...............................
176
7.3.12. Kombinasi Simulasi 6, 7 dan 8 ...............................
178
7.4. Rangkuman Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Tingkat Pengangguran dan Perekonomian .........................................
180
viii
7.5. Analisis Komprehensif Dampak Kebijakan Ketenagakerjaan Terhadap Tingkat Pengangguran dan Perekonomian Indonesia di Era Otda ...........................................................
189
VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..........................
195
8.1.
Simpulan ...............................................................................
195
8.2. Implikasi Kebijakan .............................................................
198
8.3. Saran Penelitian Lanjutan ....................................................
199
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
202
LAMPIRAN ..................................................................................
208
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Terbuka di Indonesia …...
2
2. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan di Era Otda ……...……
5
3. Jumlah Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga Kerja Terkena PHK di Era Otda ..............……………………………………………
6
4. Perkembangan Kasus Pemogokan di Era Otda ...................................
15
5. Perkembangan Kasus Pemogokan Sektoral di Era Otda .....................
16
6. Perkembangan Produktivitas Sektoral di Era Otda .............................
22
7. Studi Terdahulu Kesempatan Kerja dan Tingkat Pengangguran …….
36
8. Perubahan Perundang-undangan Tentang Kebijakan Upah Minimum di Indonesia ..........................................................................................
42
9. Analisis Surplus Produsen dan Surplus Konsumen dari Kekuatan Monopsoni ...........................................................................................
50
10. Pembagian Blok Persamaan Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia ..............................................................................................
70
11. Defenisi Operasional Variabel ......................................................... …..
88
12. Isu-isu Kebijakan Dominan berkenaan dengan Industri Padat Karya Berorientasi Ekspor ..............................................................................
97
13. Perkembangan Kebijakan Moneter di Era Otda .................................. 107 14. Hasil Estimasi Persamaan Penawaran TK Tahun 1980-2004 ............. 112 15. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Rendah Tahun 1980-2004 ................................................................................. 113 16. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Menengah Tahun 1980-2004 ................................................................................. 115 17. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Tinggi Tahun 1980-2004 ................................................................................ 116 . x
18. Hasil Estimasi Persamaan Upah Rata-rata Tahun 1980-2004 ............. 118 19. Hasil Estimasi Persamaan Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Tahun 1980-2004 ................................................................................. 120 20. Hasil Estimasi Persamaan Nilai Produksi Sektoral Tahun 1980-2004 122 21. Hasil Estimasi Persamaan Konsumsi, Ekspor dan Impor Tahun 1980-2004 ............................................................................................ 124 22. Hasil Estimasi Persamaan Investasi Sektoral Tahun 1980-2004 ......... 125 23. Hasil Estimasi Persamaan Penawaran dan Permintaan Uang serta Suku Bunga Tahun 1980-2004 ............................................................ 127 24. Hasil Estimasi Persamaan Indeks Harga Konsumen Tahun 19802004 ..................................................................................................... 128 25. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 1) Upah Minimum Tetap Masingmasing Sebesar Nilai Tahun 2000 di Era Otda 2001-2004 ................. 131 26. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 2) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 1 Persen di Era Otda 2001-2004 ………………………... 135 27. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 3) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 8.83 Persen di Era Otda 2001-2004 ...…………………… 137 28. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 4) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 10 Persen di Era Otda 2001-2004 ......…………………… 139 29. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 5) Penurunan Kekuatan Serikat Pekerja Sektor Pertanian 90 Persen, Industri 2 Persen dan Jasa 2.5 Persen di Era Otda 2001-2004 .............................................….…….. 141 30. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 6) Penurunan Kasus Pemogokan 50 Persen di Era Otda 2001-2004 ...…………………………………. 143 31. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 7) Penurunan Suku Bunga 5 Persen di Era Otda 2001-2004 ........................................................…. 145 32. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 8) Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 25 Persen di Era Otda 2001-2004 ................................... 147 33. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 9) Kombinasi Simulasi 4 dan 5 di Era Otda 2001-2004 .............................................…………………… 149 34. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 10) Kombinasi Simulasi 7 dan 8 di Era Otda 2001-2004 ...............................................………………….. 151 xi
35. Hasil Peramalan Peubah Endogen Tanpa Alternatif Kebijakan Tahun 2007-2010 …………………………………………………………… 153 36. Hasil Peramalan (Simulasi 1) Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai 2006 Tahun 2007-2010 ………………………………. 157 37. Hasil Peramalan (Simulasi 2) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 1 Persen Tahun 2007-2010 ................................................ 159 38. Hasil Peramalan (Simulasi 3) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 6.64 Persen Tahun 2007-2010 ........................................... 161 39. Hasil Peramalan (Simulasi 4) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 8 Persen Tahun 2007-2010 ................................................. 163 40. Hasil Peramalan (Simulasi 5) Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Tahun 2007-2010 ................................................................................. 165 41. Hasil Peramalan (Simulasi 6) Penurunan Kasus Pemogokan 50 Persen Tahun 2007-2010 ..................................................................... 167 42. Hasil Peramalan (Simulasi 7) Penurunan Suku Bunga 6 Persen Tahun 2007-2010 ................................................................................ 169 43. Hasil Simulasi (S8) Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 40 Persen Tahun 2007-2010 ................................................................................. 171 44. Hasil Peramalan (Simulasi 9) Kombinasi Simulasi 4 dan 5 Tahun 2007-2010 ............................................................................................ 173 45. Hasil Peramalan (Simulasi 10) Kombinasi Simulasi 7 dan 8 Tahun 2007-2010 ............................................................................................ 175 46. Hasil Peramalan (Simulasi 11) Kombinasi Simulasi 4, 5 dan 8 Tahun 2007-2010 ............................................................................................ 177 47. Hasil Peramalan (Simulasi 12) Kombinasi Simulasi 6, 7 dan 8 Tahun 2007-2010 ............................................................................................ 179 48. Perbandingan Produktivitas Sektoral Berdasarkan simulasi Peramalan Tahun 2007-2010 ............................................................... 180 49. Rangkuman Dampak Simulasi Kebijakan Peramalan Tahun 20072010 ..................................................................................................... 182
xii
50. Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan Terhadap Kepentingan Pekerja, Pengusaha, dan Perekonomian Makro di Era Otda Tahun 2007-2010 ............................................................................................ 185 51. Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan Peramalan Terhadap Triple Track Strategy Tahun 2007-2010 ........................................................ 188
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Penawaran Tenaga Kerja yang Melengkung ke Belakang ..................
37
2. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja .....................................................
40
3. Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja Bersaing
43
4. Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja Monopsoni ..........................................................................................
47
5. Surplus Produsen dan Konsumen pada Pasar Monopsoni .................
49
6. Skema Hubungan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan Ekonomi Makro ..................................................................................................
54
7. Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisi .......................................
56
8. Inflasi Dorongan-Biaya akibat Tuntutan Kenaikan Upah oleh Serikat Pekerja .................................................................................................
62
9. Kurva Phillips ………………………………………………………..
64
10. Kerangka dan Bagan Alur Penelitian ………………………………...
67
11. Tahapan Membangun Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia
69
12. Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia ....................................
73
13. Perkembangan Upah Minimum Sektoral Riil (Tahun Dasar 1990) di Era Otda ...............................................................................................
132
14. Pilihan Simulasi Kebijakan Berdasarkan Kepentingan .......................
187
15. Pilihan Simulasi Kebijakan Berdasarkan Triple Track Strategy .........
189
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1a.
1b.
1c.
1d.
1e.
1f.
1g.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Halaman
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam Bentuk Undang-Undang Tahun 1956-2004 ….
208
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Peraturan Menteri Tahun 1985-2004 …
210
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Keputusan Presiden Tahun 1995-2004
211
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Instruksi Presiden ..………….………..
211
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Keputusan Menteri ………….………..
212
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Intruksi Menteri ………………….…...
215
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Keputusan Dirjen ………….………….
215
Program Estimasi Parameter Model Menggunakan Prosedur SYSLIN Metode 2SLS pada Program SAS/ETS 8.02 .................
216
Hasil Estimasi Parameter Model Menggunakan Prosedur SYSLIN Metode 2SLS pada Program SAS/ETS 8.02 .................
219
Program Validasi Model Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 ............................
253
Hasil Validasi Model Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 ............................
257
Program Simulasi Historis Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 ............................
262
Hasil Simulasi Skenario Upah Minimum Tetap Sebesar Nilai Tahun 2000 Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 .......................................................
267
xv
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Program Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2007-2010 Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02………...
270
Hasil Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2007-2010 Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02………...
272
Program Peramalan Nilai Konstanta Endogen Tahun 2007-2010 Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02 ………..
285
Program Peramalan Nilai Endogen Tahun 2007-2010 Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02 ….…….
286
Hasil Peramalan Nilai Endogen Tahun 2007-2010 Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02 ……….
292
Hasil Peramalan (Simulasi 1) Upah Minimum Tetap Masingmasing Sebesar Nilai 2006 Tahun 2007-2010 ....……………….
295
Hasil Peramalan (Simulasi 2) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 1 Persen Tahun 2007-2010 .........................................
297
Hasil Peramalan (Simulasi 3) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 6.64 Persen Tahun 2007-2010 ....................................
299
Hasil Peramalan (Simulasi 4) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 8 Persen Tahun 2007-2010 .........................................
301
Hasil Peramalan (Simulasi 5) Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Tahun 2007-2010 .............................................................
303
Hasil Peramalan (Simulasi 6) Penurunan Kasus Pemogokan 50 Persen Tahun 2007-2010 .............................................................
305
Hasil Peramalan (Simulasi 7) Penurunan Suku Bunga 6 Persen Tahun 2007-2010 ........................................................................
307
Hasil Peramalan (Simulasi 8) Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur 40 Persen Tahun 2007-2010 ...........
309
Hasil Peramalan (Simulasi 9) Kombinasi Simulasi 4 dan 5 Tahun 2007-2010 ........................................................................
311
xvi
22.
23.
24.
Hasil Peramalan (Simulasi 10) Kombinasi Simulasi 7 dan 8 Tahun 2007-2010 ........................................................................
313
Hasil Peramalan (Simulasi 11) Kombinasi Simulasi 4, 5 dan 8 Tahun 2007-2010 ........................................................................
315
Hasil Peramalan (Simulasi 12) Kombinasi Simulasi 6, 7 dan 8 Tahun 2007-2010 ........................................................................
317
xvii
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan pada umumnya
menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius (Depnakertrans, 2004a). Argumennya adalah karena pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja masih relatif seimbang.
Pendapat itu
ditunjang oleh bukti historis, antara lain, sampai era 1980-an angka pengangguran terbuka masih sekitar dua persen dari total angkatan kerja. Namun perkembangan angka pengangguran pada tahun 1990-an dan tahun 2000-an menunjukkan kecenderungan yang semakin memburuk. Hal ini tercermin dari besarnya penambahan angkatan kerja yang tidak sebanding dengan penambahan lapangan kerja. Tabel 1 memperlihatkan bahwa permasalahan ketenagakerjaan Indonesia sepertinya masih akan sulit diatasi karena adanya ketidakseimbangan antara pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja. Ketidakseimbangan ini dapat berakibat pada penyerapan angkatan kerja yang relatif terbatas dan tidak proporsional sehingga angka penganguran diperkirakan dapat terus bertambah. Jika perkiraan pertumbuhan ekonomi pada 2007 dan 2008 sebesar 5.91 persen dan 6.50 persen, maka angka pengangguran terbuka tahun 2008 diperkirakan meningkat menjadi 9.12 juta orang atau 8.00 persen dari angkatan kerja. Di balik fakta permasalahan semakin meningkatnya angka pengangguran di Indonesia, selanjutnya sejak tahun 1999 pemerintah telah memberikan wewenang
2 Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Terbuka di Indonesia Jumlah Periode* Angkatan Kerja (juta)
Pertumbuhan Kerja Baru Ekonomi (juta) (%) Angkatan
Jumlah Orang yang Bekerja (juta)
Pertambahan Tambahan Lapangan Kerja per Lapangan 1 % Pertumbuhan Kerja (juta) Ekonomi (ribu)
Pengangguran Terbuka (juta)
(%)
1997
91.32
3.13
4.70
87.05
3.15
670.21
4.28
4.69
1998
92.73
1.41
-13.13
87.67
0.62
-47.22
5.06
5.46
1999
94.85
2.11
0.79
88.82
1.44
143.03
6.03
6.36
2000
95.65
0.94
4.92
89.84
1.00
208.25
5.81
6.07
2001
98.81
3.16
3.44
90.81
0.97
281.98
8.00
8.10
2002
100.78
1.97
3.66
91.65
0.84
229.51
9.13
9.06
2003
102.63
1.85
4.10
92.81
1.16
282.93
9.82
9.50
2004
103.97
1.34
5.05
93.72
0.91
180.20
10.25
9.86
2005
105.80
1.83
5.60
94.95
1.23
219.64
10.85
10.26
2006
106.28
0.48
6.11
95.18
0.23
37.64
11.11
10.44
2007
112.23
2.17
5.91
101.94
1.96
331.64
10.29
9.19
2008
114.37
2.14
6.50
105.25
3.31
509.23
9.12
7.97
*Keterangan:
Untuk Untuk Untuk Untuk
tahun tahun tahun tahun
1997-2004 menggunakan angka Sakernas-BPS. 2000 tanpa Provinsi Maluku. 2001-2006 menggunakan defenisi pengangguran terbuka yang disempurnakan dan termasuk Provinsi Maluku. 2007-2008 menggunakan angka proyeksi Bappenas.
Sumber:
Depnakertrans, 2007.
3 kepada daerah untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya melalui UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Otonomi daerah (otda)merupakan era dimana pemerintah diharuskan melakukan pembangunan daerah dengan fokus utama pada pelimpahan wewenang pemerintahan, perimbangan keuangan, dan pengayaan politik dan sosial budaya penduduk daerah setempat (Oentarto, 2004). Namun, diantara tiga aspek tersebut implikasi otonomi daerah bagi penduduk dan sumberdaya manusia belum banyak mendapat perhatian. Fokus utama bidang ketenagakerjaan adalah penting karena salah satu pihak yang melaksanakan dan merasakan dampak otda adalah penduduk. Perhatian tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan analisis situasi, merencanakan, serta memonitor proses pembangunan yang bertumpu pada ketenagakerjaan. Dalam kaitan ini, semacam informasi ketenagakerjaan dan perekonomian akan sangat membantu sebagai dasar perumusan alternatif kebijakan. Potensi penduduk Indonesia yang besar dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya selayaknya kita ketengahkan dalam analisis ekonomi secara makro dalam era otda. Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan kajian dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar tenaga kerja dan beberapa indikator ekonomi makro Indonesia (Safrida, 1999; Adriani, 2000; Zulkifli, 2002; Hadi, 2002; Suryahadi, 2003). Namun dalam studi sebelumnya belum dikaji secara eksplisit bagaimana pengaruh perubahan di pasar tenaga kerja akibat penerapan kebijakan ketenagakerjaan
terhadap
tingkat
pengangguran
perekonomian Indonesia di era otonomi daerah.
dan
transmisinya
pada
4
1.2.
Perumusan Masalah Keberhasilan program pembangunan nasional (Propenas) 2000-2004 dapat
diukur dari pencapaian sejumlah indikator ekonomi makro. Indikator-indikator tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi ditargetkan meningkat secara bertahap sehingga mencapai 6-7 persen, inflasi terkendali sekitar 3-5 persen, menurunkan tingkat pengangguran menjadi sekitar 5.1 persen dan menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004. Namun, data menunjukkan bahwa sasaran kuantitatif tersebut tampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2004 masih sekitar 5.13 persen. Sementara angka pengangguran menurut Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2004 masih sekitar 9.86 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 103.97 juta jiwa. Sampai saat ini pasar tenaga kerja Indonesia masih dicirikan oleh adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Hasil kajian Depnakertrans menyimpulkan bahwa pada tahun 1990-an Indonesia dikategorikan sebagai Labour Surplus Economy yaitu negara yang mempunyai masalah dengan jumlah angkatan kerja yang berlebih (Depnakertrans dan BPPS ,1999). Ekses angkatan kerja ini berlangsung sampai saat memasuki era otda sehingga angka pengangguran dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat. Berdasarkan data statistik, karakteristik pengangguran Indonesia didominasi oleh TK berpendidikan rendah seperti pada Tabel 2.
5
Tabel 2. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan di Era Otda Tahun
Jumlah Pengangguran Berdasarkan Pendidikan (Ribu Orang)
Rendah
Menengah
Tinggi
2001
4 531.31
2 933.49
540.23
2002
5 368.13
3 244.13
519.84
2003
5 688.61
3 397.01
445.47
2004
5 970.49
3 695.51
585.36
Rata-rata
5 389.64
3 317.54
522.73
Sumber : BPS, 2007.
Menurut Depnakertrans, distribusi tenaga kerja menurut status pekerjaan, tingkat pendidikan dan lapangan pekerjaan di Indonesia terus mengalami perubahan dari tahun ke tahun sesuai dengan dinamika perkembangan teknologi dan pembangunan. Ada dua alasan mengapa terjadi pergeseran struktur tenaga kerja yaitu : (i) terjadinya penurunan peran tenaga kerja pada sektor yang mempunyai produktivitas rendah yaitu sektor pertanian dan (ii) perkembangan yang cepat dari buruh penerima upah yang terkonsentrasi di sektor industri. Perubahan distribusi tenaga kerja tersebut searah dengan dinamika pembangunan ekonomi yang awalnya bertumpu pada sektor pertanian kemudian beralih ke sektor industri. Pada periode tahun 1970-an sumbangan sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 45 persen dan pada tahun 2000-an telah turun menjadi kurang dari 16 persen. Selain karena bertambahnya angkatan kerja baru, pertambahan jumlah penganggur Indonesia juga disebabkan oleh peningkatan kasus Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK seperti pada Tabel 3.
6
Tabel 3. Jumlah Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga Kerja Terkena PHK di Era Otda Tahun
Jumlah PHK (orang)
Jumlah Pengangguran Terbuka (000 orang)
2001
85 537.00
8 005.03
2002
116 176.00
9 132.10
2003
85 020.00
9 531.09
2004
66 009.00
10 251.35
Rata-rata
88 186.00
9299.89
Sumber: Depnakertrans, 2007. Tabel 3 memperlihatkan selama tahun 2002 jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan mencapai 116.176 orang.
Jumlah ini telah mendekati
jumlah pekerja yang terkena PHK selama puncak krisis tahun 1998 yang tercatat sebanyak 127.735 orang. Secara umum rata-rata jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan pada era otda lebih tinggi dibandingkan empat tahun sebelum memasuki era otda. Menekan angka pengangguran hingga mencapai tingkat sebagaimana ditargetkan Propenas tentunya memerlukan upaya keras dan sistematis. Angka pengangguran sampai tahun 2008 diperkirakan masih akan berjumlah sekitar 9.12 juta jiwa atau 7.97 persen dari total angkatan kerja. Seperti yang telah ditargetkan Propenas untuk menurunkan angka pengangguran, target Propenas untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi juga diramalkan jauh dari harapan, karena pada tahun 2007-2008 angka rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun diramalkan hanya sekitar 6 persen. Sejalan dengan permasalahan diatas, di sisi lain, pemerintah telah membuat kebijakan-kebijakan
yang
berkaitan
dengan
ketenagakerjaan.
Kebijakan
7 ketenagakerjaan dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi normatif dan sisi kebijakan penyediaan lapangan kerja.
Sisi normatif merupakan kebijakan perlindungan
norma-norma sosial ketenagakerjaan yang diatur oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Penyediaan lapangan kerja lebih banyak diatur secara bersamasama pada masing-masing sektor. Norma-norma hubungan kerja yang menjadi kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia meliputi: (1) kebijakan tentang pengupahan, (2) hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha serta pengaturan tentang penyelesaian perselisihan termasuk didalamnya pemogokan kerja dan pengaturan tentang permutusan hubungan kerja termasuk di dalamnya uang pesangon dan pengaturan jam kerja, dan (3) pengaturan organisasi pekerja termasuk serikat pekerja, jaminan sosial tenaga kerja, pelatihan dan lain-lain. Berkaitan dengan kebijakan normatif ketenagakerjaan, ada dua pihak yang seharusnya mendapat perhatian secara proporsional oleh pemerintah dalam memikirkan dan merealisasikan kebijakan sehingga tidak merugikan para pekerja dan pengusaha serta tidak memperburuk kondisi perekonomian Indonesia pada umumnya. Sebagai contoh dari sisi pengupahan, pemerintah membuat peraturan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang setiap tahunnya disesuaikan dengan tingkat inflasi. Di pihak pekerja, kebijakan ini bertujuan agar pekerja dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM). Tetapi dibandingkan dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) periode 2001-2004 penetapan nilai upah minimum hanya mampu memenuhi rata-rata 89.63 persen dari KHM (BPS, 2006). Artinya kesejahteraan buruh yang menjadi target kebijakan upah minimum masih rendah. Sementara pihak pengusaha merasa diberatkan, seharusnya kebijakan tersebut tetap
8 memperhatikan kelangsungan perusahaan dan juga bagi perekonomian makro. Peningkatan upah minimum dapat berdampak pada rendahnya penanaman modal luar negeri dan memperburuk inflasi (karena upah yang meningkat akan dibebankan pada harga output). Selanjutnya pemerintah membuat keputusan Menteri no. 150 tahun 2000, Undang-undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 dan Undang-undang no 2 / 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pihak pengusaha merasa diberatkan dengan berbagai kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang mengundurkan diri, proses PHK, uang pisah, pelanggaran berat, upah buruh mogok yang harus tetap dibayar dan juga dalam hal mempekerjakan tenaga kerja perempuan. Selanjutnya tentang adanya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep – 226/ Men/ 2000 bahwa upah minimum untuk tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/ kota ditinjau ulang satu tahun sekali. Dalam pelaksanaan keputusan ini memunculkan masalah yang menimbulkan pro kontra diantara pihak buruh, pengusaha, pemerintah, maupun kelompok masyarakat lainnya (Simanjuntak, 2005). Ada banyak kontroversi seputar kebijakan ketenagakerjaan di atas. Menurut pihak pengusaha, kebijakan ketenagakerjaan ternyata membuat beban pengusaha dapat bertambah karena proses pemutusan hubungan kerja (PHK) ditetapkan pengadilan, pesangon berupa uang pisah untuk pengunduran diri dan pelanggaran berat (Wirahyoso, 2002). Disamping itu adanya UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 Pasal 76 tentang aturan mempekerjakan perempuan yang relatif dapat meningkatkan hiaya operasional perusahaan dapat menjadi pemicu tingginya tingkat pengangguran tenaga kerja perempuan. Demikian pula tentang kontroversi
9 keputusan upah yang terus berkepanjangan.
Kebijakan normatif memang
dibutuhkan sebagai elemen perlindungan bagi pekerja.
Namun di sisi lain,
kebijakan yang berlebihan dan protektif dapat mengurangi daya serap pasar kerja. Pada akhirnya hal tersebut justru akan berdampak negatif bagi pekerja dan perekonomian makro yang dapat tercermin pada tingginya tingkat pengangguran. Diperlukan suatu kajian secara ilmiah agar kebijakan ketenagakerjaan secara makro dapat memenuhi harapan pekerja dan pengusaha serta tidak memperburuk perekonomian Indonesia di era otda yang akan datang. Berkenaan dengan semakin meningkatnya permasalahan perburuhan, tingkat pengangguran dan adanya berbagai kebijakan ketenagakerjaan oleh pemerintah sebagai alat pemulihan perekonomian dan juga oleh pemerintah daerah sebagai alat kebijakan sosial, maka secara umum pertanyaan yang muncul adalah "Bagaimanakah dampak kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah ?". Secara lebih spesifik, studi ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut: 1. Bagaimanakah perilaku pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah dengan adanya faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan? 2. Bagaimanakah kemungkinan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah di masa lalu dan di masa yang akan datang?
10 1.3.
Tujuan Penelitian Fokus penelitian diarahkan pada era otonomi daerah (otda). Secara khusus
tujuan penelitian yang berkaitan dengan pasar tenaga kerja didasarkan pada disagregasi tingkat pendidikan dan sektor ekonomi. 1. Mendeskripsikan isu-isu kebijakan ketenagakerjaan di era otda. 2. Menganalisis faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan yang mempengaruhi pasar tenaga kerja dan perekonomian lndonesia. 3. Mengevaluasi dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda tahun 2001-2004. 4. Meramalkan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda tahun 2007-2010.
1.4.
Kegunaan Penelitian 1. Sebagai bahan pertimbangan perencanaan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih tepat dalam rangka menjaga kestabilan tingkat pengangguran dan indikator ekonomi makro lainnya pada era otonomi daerah di Indonesia, dan 2. Sebagai
referensi
pembanding
dan
stimulan
bagi
penelitian
ketenagakerjaan selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 1. Dampak kebijakan yang dianalisis merupakan suatu analisis simulasi;
11 2. Kebijakan
ketenagakerjaan
yang
dianalisis
adalah
kebijakan
ketenagakerjaan dari sisi normatif dan sisi kebijakan penyediaan lapangan kerja; 3. Ruang lingkup pembahasan difokuskan pada tingkat pengangguran berdasarkan disagregasi tingkat pendidikan; 4. Cakupan penelitian adalah agregat nasional; 5. Data penelitian dari tahun 1980 sampai tahun 2004; 6. Kebijakan ketenagakerjaan yang dianalisis adalah kebijakan upah minimum dan kebijakan perselisihan hubungan industrial; 7. Cakupan sektoral dibatasi pada sektor pertanian, industri, dan jasa kemasyarakatan; 8. Data penawaran TK menggunakan data jumlah angkatan kerja; 9. Disagregasi penawaran TK dilakukan berdasarkan tingkat pendidikan rendah, menengah, dan tinggi; dan 10. Memburuknya perselisihan hubungan industrial diproksi dengan data jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Otonomi Daerah di Indonesia Pada masa pemulihan krisis ekonomi lalu muncul tuntutan ketidakpuasan
daerah dengan sistem sentralistik dan menyebabkan ancaman disintegrasi bangsa. Pemerintah segera menanggapi gejala tersebut dengan mengeluarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selanjutnya sejak 1
Januari 2001, dimulailah era otonomi daerah (otda) dengan harapan ada perkembangan perekonomian bagi daerah yang selama ini terbelakang akibat alokasi pendapatan yang tidak merata.
Otda memang telah menyebabkan
terjadinya perubahan lingkungan strategis di Indonesia.
Perubahan ini
memberikan nuansa baru bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah kabupaten dan kota, untuk mengembangkan daerahnya secara optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah. Ada tiga matra utama yang menjadi fokus pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimana otonomi daerah mengharuskan: 1. Adanya pelimpahan wewenang dalam hal pengambilan keputusan yang bersifat sektoral yang mencakup daerah (government power sharing), 2. Adanya perimbangan keuangan yang rasional dan adil antara pusat dan daerah serta perimbangan kemampuan dan potensi sumber daya manusia dalam pembangunan (financial and manpower sharing), dan
13
3. Lahirnya perkembangan daerah sebagai satuan yang khas dalam memperkaya kebhinnekaan negara (political and social cultural power sharing) yang pada akhirnya diharapkan mampu mengenal penduduk setempat (indigenous population). Ketiga matra di atas merupakan kondisi yang dibutuhkan (necessary condition) agar otonomi daerah berlangsung baik dan bisa memenuhi harapan berbagai pihak. Kondisi cukup (sufficient condition) berupa undang-undang otda beserta berbagai perangkat administratif dan hukum yang menjadi sistem otonomi daerah juga harus terus dilengkapi sejalan dengan pelaksanaan otda. Diantara tiga aspek yang telah diutarakan di atas, implikasi otda bagi penduduk dan sumberdaya manusia belum banyak mendapat perhatian. Sebahagian besar fokus penelitian otonomi daerah lebih banyak menyoroti government power sharing dan financial sharing. Sementara kita ketahui bahwa salah satu pihak yang melaksanakan dan merasakan dampak otda adalah penduduk. Secara luas, potensi penduduk Indonesia yang besar dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya selayaknya kita ketengahkan dalam analisis perekonomian secara makro dalam era otda. Hal ini disebabkan potensi penduduk sebagai faktor produksi (tenaga kerja) dalam kegiatan perekonomian daerah sangatlah penting.
2.2.
Permasalahan Hubungan Industrial di Era Otda Salah satu permasalahan perekonomian makro Indonesia di era otda yang
berkaitan dengan TK adalah
masih tingginya tingkat pengangguran dan
banyaknya kasus permasalahan hubungan industrial. Menurut Simanjuntak (2004) Industrial relations refer to the relationship among all stakeholders concerned
14
with or having an interest in the process of producing goods or services in a company or enterprise. Ada dua hal penting yang dapat dijelaskan menyangkut permasalahan hubungan industrial dewasa ini. Pertama, diberlakukannya otonomi daerah (otda) sejak tahun 2001 telah merubah sistem pengambilan keputusan dalam penetapan kebijakan upah minimum. Kedua, era kebebasan berserikat sehingga muncul banyak serikat buruh yang merupakan representasi buruh dalam hubungan industrial. Kedua hal tersebut telah membuka peluang bagi pekerja dan serikat pekerja untuk berpartisipasi dalam perubahan kebijakan ketenagakerjaan. Pada kenyataannya peluang partisipasi serikat pekerja dalam penetapan kebijakan ketenagakerjaan belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Salah satu faktor penyebab kecilnya peluang partisipasi serikat pekerja adalah kebijakan pemerintah yang membuat mekanisme penentuan kebijakan itu sendiri yang tidak demokratis bagi buruh (Wirahyoso, 2002). Hasil jajak pendapat yang telah dilakukan Kompas (Mei 2007) tentang posisi pekerja, pengusaha dan pemerintah memperkuat pernyataan tersebut. Sebanyak 73.6 persen dari 832 sampel pekerja menjawab bahwa peran pemerintah dalam penetapan standar upah minimum tidak memadai dan lebih jauh sebanyak 76.3 persen pekerja menganggap penetapan upah minimum yang layak oleh pemerintah belum memadai. Jajak pendapat tersebut menyimpulkan bahwa sebahagian responden menganggap seluruh kebijakan ketenagakerjaan selama ini lebih banyak merugikan pekerja (Sultani, 2007). Meski pemerintah dan pengusaha memberi peluang kepada pekerja untuk menuntut hak melalui kebebasan berserikat namun perjuangan pekerja selama ini terperangkap diantara kepentingan pemerintah dan pengusaha. Perusahaan cenderung membuat aturan
15
yang dapat menekan kesejahteraan pekerja untuk mempertahankan keuntungan. Sementara pemerintah cenderung membatasi upah minimum pekerja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi. Tidak adanya dampak negatif bagi pekerja dan pengusaha serta tidak memperburuk kondisi perekonomian adalah harapan para pelaku ekonomi dalam memikirkan dan merealisasikan kebijakan ketenagakerjaan. Tetapi gejolak ketenagakerjaan dewasa ini memang nyata terjadi. Berbagai tuntutan pekerja untuk memperoleh imbalan kerja selalu menimbulkan ketegangan diantara pihak pekerja, pengusaha dan pemerintah. Kuat dugaan ketiga pihak kokoh memperjuangkan kepentingan masing-masing sehingga penyelesaian kasus hubungan industrial menjadi konflik yang berkepanjangan. Tabel 4. Perkembangan Kasus Pemogokan di Era Otda Tahun
Kasus
Tenaga Kerja
Jam Kerja Hilang
Pemogokan
Terlibat (orang)
(jam)
(kasus) 2001
174
109 845
1 165 032
2002
220
97 325
769 142
2003
161
68 114
648 253
2004
112
48 092
497 780
Sumber : Depnakertrans, Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial (2007). Gejolak ketenagakerjaan yang relatif sering terjadi adalah pemogokan atau unjuk rasa. Pemogokan adalah upaya serikat pekerja untuk menekan dan memaksa pengusaha menerima tuntutan serikat pekerja (Simanjuntak, 2006). Banyaknya kasus pemogokan setiap tahun seperti pada Tabel 4 mencerminkan adanya: (1) ketidakpuasan di kalangan pekerja karena tuntutan pekerja tidak
16
dipenuhi pihak perusahaan,dan (2) ketidakharmonisan hubungan antara pekerja dan pengusaha. Penyebab utama dari sejumlah kasus pemogokan selama era otda bersumber
dari
ketidakpuasan
pekerja
tentang
upah.
Hasil
penelitian
Depnakertrans (2005) faktor utama pemicu kasus pemogokan tenaga kerja adalah masalah upah yang tidak mencukupi biaya hidup pekerja. Hal ini bisa dipahami, meskipun setiap tahun pemerintah telah berupaya melakukan penyesuaian upah minimum yang secara nominal terus meningkat namun nilai riil hanya mampu memenuhi rata-rata 89.63 persen dari Kebutuhan Hidup Minimum (BPS, 2006). Beberapa faktor penyebab lain kasus pemogokan adalah adalah katidakpuasan kerja, perlakuan tidak adil, tuntutan perbaikan fasilitas dan tunjangan kerja, permasalahan gender, masalah uang Jamsostek dan penolakan terhadap metode kerja baru yang diterapkan perusahaan. Berdasarkan sektor, jumlah kasus pemogokan lebih sering terjadi pada sektor industri seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Kasus Pemogokan Sektoral di Era Otda Kasus
Sektor
Perkembangan (%)
2001
2002
2003
2004
2001
2002
2003
2004
6
3
1
2
3.45
1.36
0.62
1.79
Industri
127
163
125
91
72.99
74.09
77.64
81.25
Jasa
28
52
33
16
16.09
23.64
20.50
14.29
Lain
13
2
2
3
7.47
0.91
1.24
2.68
174
220
161
112
100
100
100
100
Pertanian
Total
Sumber : Depnakertrans, Ditjen Binawas (2007).
17
Pada dasarnya pemogokan tenaga kerja (TK) dibenarkan olah pemerintah berdasarkan UU No. 13 tahun 2003. Dinyatakan bahwa pemogokan TK dapat dibenarkan bila dilakukan secara sah, tertib, damai dan sebagai akibat gagalnya perundingan. Namun pada kenyataannya, kasus pemogokan TK yang terjadi tidak selaras dengan yang diatur dalam UU ketenagakerjaan. Kasus pemogokan relatif sering terjadi disertai dengan tindakan pengrusakan fasilitas perusahaan, fasilitas umum, dan mengganggu kepentingan umum. Maraknya kasus pemogokan dewasa ini tidak dapat dipandang hanya sebagai masalah
antara pihak pekerja dan pihak perusahaan dalam proses
produksi. Masalah kasus pemogokan terkait dan mempengaruhi keadaan perekonomian,
kestabilan
politik,
keamanan,
produktifitas
kerja
dan
perkembangan investasi. Artinya perubahan keseimbangan di pasar TK berdampak pada perubahan keseimbangan makro.
2.3.
Keragaan Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
2.3.1. Kesempatan Kerja Ada beberapa masalah mendasar struktural yang secara langsung mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja di Indonesia. Permasalahan tersebut (i) menyangkut kebijaksanaan kependudukan, (ii) berkaitan dengan penyebaran penduduk antara Pulau Jawa dan luar Jawa, (iii) menyangkut kualitas tenagakerja, (iv) berkaitan dengan adanya kesenjangan antara program pendidikan dengan arah pembangunan, (v) kurang berkembangnya informasi pasar tenagakerja sehingga menimbulkan kesenjangan permintaan dan penawaran tenagakerja dan (vi) berkaitan dengan perkembangan di sektor pertanian dan industri.
18
Menyangkut permasalahan mendasar yang terakhir, memasuki tahun 2000, sektor pertanian masih merupakan sektor penting meskipun pangsanya dalam total perekonomian dari tahun ke tahun mengecil. Tampaknya pekerjaan di sektor pertanian tidak menarik bagi tenaga tenaga terdidik, sehingga tingkat kesempatan kerja sektor pertanian menurun dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Artinya sebagian besar golongan tenaga terdidik memilih menganggur sambil menunggu terbukanya lapangan pekerjaan yang dikehendaki. Hal tersebut mengakibatkan tingkat pengangguran semakin tinggi dengan jenjang pendidikan . Jumlah penduduk usia kerja sampai dengan akhir tahun 2004 mencapai 152.65 juta orang, meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 67.7 persen merupakan angkatan kerja yang juga mengalami peningkatan. Namun peningkatan jumlah angkatan kerja tersebut masih belum diikuti oleh peningkatan kualitas yang tercermin dari masih besarnya proporsi angkatan kerja yang berpendidikan Sekolah Dasar yaitu mencapai 63.5 persen. Survey dari United Nation Development Program (UNDP) menunjukkan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia masih berada pada peringkat 109 dari 147 negara (BI, 2005). Ditinjau berdasarkan lapangan usaha terjadi penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Meskipun mengalami penurunan, sektor pertanian masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar (42.5 persen), disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran (19.6 persen), sektor industri pengolahan (13.7 persen), dan sektor jasa-jasa (11.9 %). Sejalan dengan dominasi sektor pertanian sebagai penyedia lapangan kerja, jenis pekerjaan juga didominasi oleh tenaga usaha pertanian (42.1 persen). Disusul tenaga produksi (25.4 persen),
19
dan tenaga usaha penjualan (18.4 persen). Jumlah pekerjaan yang berprofesi sebagai tenaga kepemimpinan dan tenaga profesional masih sangat kecil, yaitu masing-masing 0.4 persen dan 3.5 persen dari penduduk yang bekerja (BI, 2005). Meskipun jumlah penduduk yang bekerja tercatat meningkat, jumlah penduduk yang bekerja dengan status formal mengalami penurunan, sedangkan jumlah penduduk yang bekerja dengan status informal mengalami peningkatan. Perkembangan ini mengindikasikan adanya peralihan pekerja dari sektor formal ke sektor informal sehingga pangsa pekerja di sektor formal semakin menurun sebagaimana kecenderungan yang terjadi sejak tahun 1997. Penurunan jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal bersumber dari penurunan jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh atau karyawan, yang merupakan status pekerjaan terbanyak. Di sisi lain, terjadi peningkatan pada jumlah penduduk yang berusaha dengan dibantu buruh tetap. Perkembangan tersebut mengindikasikan bahwa jumlah unit usaha formal sebenarnya mengalami peningkatan pada tahun 2004 namun secara keseluruhan usaha formal tersebut mempekerjakan lebih sedikit karyawan dibandingkan tahun 2003. Sementara itu jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal mengalami peningkayan sebesar 1.6 persen, yang disebabkan oleh terjadinya kenaikan jumlah pekerja bebas dan jumlah orang yang berusaha sendiri tanpa dibantu anggota keluarga atau buruh tetap.
2.3.2. Pengangguran a. Indonesia Pengangguran tidak hanya menampilkan masalah ekonomi Indonesia, tetapi juga membawa dampak luas di bidang sosial, keamanan dan politik yang
20
pada gilirannya menimbulkan gangguan, stabilitas nasional dan akhirnya menjadi ketegangan dalam hubungan antar bangsa-bangsa di kawasan sekitar Indonesia. Melambatnya kegiatan ekonomi 2004 sebagai dampak dari rendahnya investasi, meningkatnya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), serta masih rendahnya tingkat
pendidikan
angkatan
kerja
mengakibatkan
angka
pengangguran
diperkirakan semakin meningkat. Jumlah penganggur sampai dengan akhir 2004 mencapai 38.4 juta orang, yang terdiri dari 9.5 juta orang penganggur terbuka dan 28.9 juta orang setengah penganggur. Masih tingginya jumlah penganggur tersebut tidak terlepas dari rendahnya tingkat pertumbuhan yang hanya mampu menyerap penambahan tenaga kerja sebanyak 0.8 juta orang, sementara penambahan angkatan kerja baru periode yang sama mencapai 1.7 juta. Hal ini mengakibatkan tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 9.50 persen pada tahun 2003 menjadi 9.86 persen pada tahun 2004.
Ditinjau dari komposisi tingkat pendidikan, penganggur terbuka
didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah (tidak berpendidikan hingga berpendidikan SD dan berpendidikan SLTP).
b.
Indonesia Dibanding Negara Tetangga
Diantara beberapa negara yang diamati (Malaysia, Philippina, Thailand dan Korea Selatan), Philippina menduduki peringkat teratas dalam hal tingkat pengangguran.
Pengamatan secara data saja memanglah tidak tepat karena
konsep dasar tentang penganggur di tiap negara yang diamati tidaklah persis sama. Menurut Brooks (2002), laju kesempatan kerja Philippina tidak mencukupi untuk menurunkan angka pengangguran karena pertumbuhan populasi dan peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja yang pesat.
Dalam papernya
21
Brooks memperlihatkan bahwa pertumbuhan kesempatan kerja dan penurunan pengangguran Philippina berkorelasi secara positif dengan pertumbuhan GDP dan berkorelasi secara negatif dengan upah minimum riil. Tingkat pengangguran di Malaysia menunjukkan penurunan yang nyata sampai dengan menjelang resesi di akhir tahun 1990.
Thailand relatif
berfluktuasi, sementara Korea Selatan menunjukkan kecenderungan yang relatif stabil. Krisis yang melanda asia telah menyebabkan suatu lompatan terhadap tingkat pengangguran di kelima negara, namun kemudian tingkat pengangguran di Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan relatif cepat kembali menurun. Tidak demikian halnya dengan Indonesia dan Philippina.
2.3.3. Permasalahan Ketenagakerjaan a. Produktivitas Tenaga Kerja Produktivitas adalah rasio output dan input suatu proses produksi dalam periode tertentu (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007). Produktivitas input tenaga kerja (TK) menggambarkan kemampuan individu TK dalam menghasilkan output nasional (produktivitas parsial TK). Gambaran perubahan produktivitas TK Indonesia secara sektoral sangat dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi Indonesia. Adanya perubahan kebijakan pembangunan ekonomi yang menitik beratkan pada sektor industri moderen yang padat modal sementara menempatkan sektor pertanian sebagai sektor pendukung sangat mempengaruhi produktivitas TK secara sektoral. Produktivitas sektoral selama periode sebelum dan selama otda diperlihatkan pada Tabel 6.
22
Tabel 6. Perkembangan Produktifitas Sektoral di Era Otda Tahun
Produktivitas Sektoral Pertanian
Industri
Jasa
Pertumbuhan Produktivitas Sektoral Total
Pertanian
Industri
Jasa
Total
2001
1.31
7.20
4.61
3.63
4.06
0.66
-9.44
2.35
2002
1.30
7.43
5.07
3.73
-0.23
3.22
10.10
2.74
2003
1.29
8.53
5.65
3.92
-0.86
14.70
11.26
5.09
2004
1.39
8.93
5.55
3.99
7.60
4.81
-1.63
1.83
Rata-rata
1.32
8.02
5.22
3.82
2.65
5.52
2.57
3.00
Sumber: Data sekunder diolah. Tabel 6 memperlihatkan produktivitas rata-rata secara sektoral maupun secara total meningkat setelah memasuki era otda. Produktivitas terendah pada sektor pertanian yang hanya mencapai 1.30 juta rupiah per TK per tahun sebelum otda dan meningkat hanya menjadi 1.32 juta rupiah per TK per tahun pada era otda. Pertumbuhan produktivitas sektoral rata-rata pada era otda meningkat di banding sebelum memasuki era otda. Hasil kajian depnakertrans tentang produktivitas TK sektor pertanian menyimpulkan kecil kemungkinan dapat merealisasikan harapan rencana TK nasional
bahwa
sektor
pertanian
menjadi
harapan
mengurangi
jumlah
pengangguran. Rata-rata angka produktivitas sektor pertanian paling rendah diantara sektor lainnya di era otda. Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas sektor pertanian dapat dianalisa dari segi umur dan tingkat pendidikan TK sektor pertanian. Hasil kajian Managara (2004) menyimpulkan sebaran tenaga kerja pertanian (di luar perikanan dan kehutanan) berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa, sebagian besar berada pada umur 25-44 tahun (46 persen), kemudian kelompok umur diatas 45 tahun (38 persen), dan kelompok umur kurang dari 25 tahun (16 persen).
23
Mengamati komposisi umur tenaga kerja tersebut dikhawatirkan sektor pertanian akan kekurangan TK di masa depan. Sektor pertanian menunjukan tren aging agriculture , yaitu suatu kondisi dimana tenaga kerja yang berada di pertanian adalah tenaga kerja yang berusia lanjut. Dari sisi umur, TK pertanian sampai saat ini masih didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah, yang jumlahnya mencapai 81% dari tenaga kerja pertanian. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan produktivitas dari sisi makro adalah pertumbuhan dalam persediaan modal dan perubahan teknologi. Persediaan modal (stock of capital) adalah jumlah total modal yang tersedia untuk digunakan dalam proses produksi. Adanya peningkatan modal menyebabkan setiap pekerja dapat memproduksi output lebih banyak. Perubahan teknologi menggambarkan perkembangan teknologi baru yang memungkinkan pekerja berproduksi lebih efektif dan menghasilkan output yang lebih berkualitas. Sebagai contoh perkembangan teknologi komputer pada dasarnya membuka peluang bagi pertumbuhan produktivitas. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi diperlukan pekerja yang lebih berkualitas pula.
b. Pemogokan Tenaga Kerja Masih banyaknya pengusaha yang belum memenuhi ketentuan UMP dan tuntutan lainnya telah memicu terjadinya kasus pemogokan buruh di Indonesia. Sampai dengan tahun 2004, tercatat 112 kasus pemogokan yang melibatkan 48092 pekerja dan menyebabkan 497780 jam kerja hilang. Meskipun
jumlah
kasus pemogokan mengalami peningkatan, dampak pemogokan terhadap penurunan produktivitas mengalami penurunan karena jam kerja yang hilang lebih sedikit dibandingkan pada kasus pemogokan tahun 2003. Selain disebabkan oleh
24
masalah pemenuhan UMP, beberapa faktor lain pemicu kasus pemogokan adalah katidakpuasan kerja, perlakuan tidak adil, tuntutan perbaikan fasilitas dan tunjangan kerja, permasalahan gender, masalah uang Jamsostek dan penolakan terhadap metode kerja baru yang diterapkan perusahaan.
c. Permasalahan TKI Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri pada tahun 2004 ditandai dengan diberlakukannya kebijakan baru pemerintah Malaysia yang lebih keras terhadap tenaga kerja ilegal. Hal ini memicu eksodus besar-besaran TKI ilegal di Malaysia untuk kembali ke tanah air. Pemberlakuan kebijakan baru pemerintah Malaysia ini sangat berdampak terhadap TKI Indonesia mengingat negara ini merupakan negara tujuan terbesar bagi TKI. Selain berdampak pada meningkatnya jumlah pencari kerja di tanah air, pemulangan TKI ilegal tersebut diperkirakan mempengaruhi perekonomian desa yang selama ini bergantung pada kiriman uang dari TKI (BI, 2005).
2.4.
Kebijakan Ketenagakerjaan Pemerintah telah menyadari bahwa pekerjaan merupakan kebutuhan asasi
warga negara sebagaimana diamanatkan dalam ayat (2) Pasal 27 UUD 1945 : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Dalam amandemen UUD 1945 tentang ketenagakerjaan juga
disebutkan dalam pasal 28d UUD 1945.
Hal tersebut berimplikasikan pada
kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negara agar dapat memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk itu perlu perencanaan di bidang ketenagakerjaan untuk mewujudkan kewajiban negara.
25
Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan pasal 2 serta pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, telah menetapkan kewenangan yang besar di bidang ketenagakerjaan bagi pemerintah, propinsi dan kabupaten/ kota yang meliputi perencanaan sampai pengendalian. Pada era otonomi daerah ini UU No. 13 tahun 2000 tentang ketenagakerjaan telah memberikan landasan yang kuat atas kedudukan dan peranan Perencanaan Tenaga Kerja dan informasi ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 7 dan pasal 8 yang menggariskan Perencanaan Tenaga Kerja sebagai pedoman penyusunan strategi kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan. Kebijakan normatif ketenagakerjaan mengkaji hubungan antara pekerja dan pengusaha. Hubungan ini merupakan suatu sistem sikap dan perilaku yang terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang dan jasa, yaitu pekerja, pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Hubungan ini dapat digambarkan dalam bentuk pola kerja sama, konflik dan penyelesaian konflik antara pekerja dan pengusaha. Norma-norma hubungan kerja yang menjadi kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia meliputi kebijakan tentang pengupahan, hubungan kerja antara pekerja dan
pengusaha,
pengaturan
tentang
penyelesaian
perselisihan
termasuk
didalamnya pemogokan kerja, pengaturan tentang pemutusan hubungan kerja termasuk didalamnya uang pesangon, pengaturan jam kerja, pengaturan organisasi pekerja termasuk serikat pekerja, jaminan sosial tenaga kerja, pelatihan dan lainlain. Sebagai contoh, keputusan Menteri no. 150 tahun 2000, Undang-undang ketenagakerjaan no.13 tahun 2003 dan Undang-undang no. 2 / 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ketiga kebijakan ini membuat beban
26
pengusaha dapat bertambah karena proses pemutusan hubungan kerja (PHK) ditetapkan pengadilan, pesangon berupa uang pisah untuk pengunduran diri dan pelanggaran berat.
2.4.1. Upah Minimum Kondisi ketenagakerjaan yang ditandai oleh masih tingginya jumlah pengangguran terbuka antara lain menyebabkan melemahnya posisi tawar (bargaining power) pekerja dalam negosiasi upah. Hal ini tercermin dari relatif kecilnya kenaikan UMP yang ditetapkan. Upah minimum di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Secara rata-rata UMP tahun 2004 mencapai Rp.476932 per bulan atau meningkat 7.4 persen dibanding tahun 2003. Meskipun terjadi peningkatan UMP di tahun 2004, namun peningkatan ini secara riil masih lebih rendah dibandingkan peningkatan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang pada tahun 2004 mencapai sekitar Rp 500763 per bulan atau meningkat 8.6 persen dibanding tahun 2003. Relatif tingginya indeks harga konsumen menyebabkan terjadinya penurunan daya beli pekerja sebagaimana terlihat dari kenaikan UMP riil yang melambat dari 22.4 persen pada tahun 2003 menjadi 7.3 persen pada tahun 2004.
Secara sektoral, UMP sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor keuangan menempati urutan teratas. Sementara untuk propinsi, UMP tertinggi ada di beberapa propinsi seperti Kalimantan Tengah, Irian Jaya, Maluku, dan Maluku Utara pada sektor pertambangan.
27
2.4.2.
Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Undang-undang no. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial telah diberlakukan pada bulan April tahun 2004. UU ini ditetapkan sebagai dasar hukum baru setelah UU N0. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dianggap sudah tidak sesuai denga kebutuhan masyarakat. UU lama dianggap oleh berbagai pihak terlalu didominasi pemerintah dalam hubungan industrial sehingga tidak sesuai bagi Indonesia yang semakin demokratis dan terdesentralisasi. Disamping itu UU baru ini dilatar belakangi era industrialisasi yang ditandai dengan semakin kompleksnya masalah perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan. Ada banyak kontroversi panjang seputar UU No. 2 tahun 2004 ini. Kedua belah pihak yaitu pihak pengusaha dan pihak buruh sama-sama keberatan dengan argumen yang berbeda. Pihak pengusaha merasa diberatkan dengan berbagai kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang mengundurkan diri, proses PHK, uang pisah, pelanggaran berat, upah buruh mogok yang harus tetap dibayar dan juga dalam hal mempekerjakan tenaga kerja perempuan. Sementara pihak buruh yang diwakili oleh Komite Anti Penindasan Buruh (KAPB) merasa UU ini tidak berpihak pada buruh dan masih bernuansa legalisasi perbudakan modern. Menurut Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Saepul Tavip (dalam Kompas) ada beberapa alasan yang mendasari KAPB tidak sepakat dengan UU No. 2 tahun 2004, diantaranya secara substansi perlindungan terhadap buruh masih rendah.
28
Di satu sisi, kebijakan dibutuhkan sebagai elemen perlindungan bagi pekerja.
Namun, di sisi lain kebijakan yang berlebihan dan protektif dapat
mengurangi daya serap pasar kerja.
Pada akhirnya hal tersebut justru akan
berdampak negatif bagi pekerja.
2.4.3.
Kebijakan Penyediaan Lapangan Kerja Pemerintah telah berupaya melakukan penanganan semakin meningkatnya
tingkat penganguran. Penanganan dilakukan baik melalui: (i) Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), (ii) program penanggulangan pengangguran akut, (iii) program penanggulangan pengangguran baru dan (iv) program penanggulangan pengangguran marjinal (Depnakertrans dan BPPS, 1999). Namun terkesan upayaupaya tersebut hanya mampu mengalihkan tenaga kerja berlebih ke sektor-sektor padat karya dalam rangka memanfaatkan sumberdaya yang ada.
Dengan
demikian, kebijakan penyediaan lapangan kerja yang telah diberlakukan hanya bersifat jangka pendek (Hadi, 2002). Disamping itu untuk menciptakan lapangan kerja, yang utama dibutuhkan adalah pertumbuhan ekonomi. Dengan prediksi pertumbuhan ekonomi yang jauh dari target maka adalah tepat jika pemerintah merasa perlu memikirkan strategi pertumbuhan melalui iklim usaha yang kondusif berupa pembenahan peraturan di pasar kerja dan bidang lainnya. Pengalaman masa lalu dimana sejumlah investor asing (PT. Doson dan megaindustri elektronik Sony) menutup usahanya di Indonesia jelas telah berakibat hilangnya sebahagian lapangan pekerjaan.
29
2.5.
Tinjauan Studi Terdahulu
2.5.1.
Kesempatan Kerja Lucas (1969), telah menganalisis tentang upah riil, kesempatan kerja, dan
inflasi (Lucas dalam Mankiw, 2000).
Ia menyimpulkan bahwa keputusan
penawaran tenaga kerja sebagai pilihan yang dibuat pekerja antara bekerja atau menganggur. Pekerja mempunyai beberapa pemahaman mengenai upah riil yang akan mereka terima dari bekerja. Mereka kemudian memutuskan apakah akan bekerja atau tidak dengan membandingkan upah riil dengan keuntungan yang didapat dari waktu istirahatnya. Jika upah riil yang diharapkan lebih tinggi dari biasanya pekerja akan mempunyai semangat untuk bekerja. Sebaliknya jika upah lebih kecil dari biasanya pekerja akan memilih untuk menganggur dan menunggu sampai upah riil naik. Da1am pengertian ini, pengangguran diterangkan sebagai pilihan sukarela oleh pekerja yang menunggu naiknya upah riil sampai di atas tingkat normal. Calvo-Armengol dan Jackson (2004) mengembangkan sebuah model datam penelitiannya tentang dampak social net work pada kesempatan kerja dan ketidak adilan. Mereka menyimpulkan bahwa kesempatan kerja secara positif berkaitan dengan waktu dan agen. Mangkuprawira (2000) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja di wilayah Jawa (tanpa DKI Jaya) dan Bali. Hasil analisis menunjukkan bahwa kesempatan kerja di setiap sektor umumnya dipengaruhi PDB regional masing-masing sektor. Kesempatan kerja sektor dipengaruhi faktor investasi untuk sektor-sektor jasa perkotaan, pertanian dan jasa pedesaan, sedangkan upah kerja menentukan kesempatan kerja sektor pertanian perkotaan.
30
Di beberapa kasus dilaporkan penggunaan mesin industri dan traktor berperan sebagai substitusi tenaga kerja. Sukwika
(2003)
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kesempatan kerja di Kabupaten Bogor. Hasil analisis menyimpulkan bahwa kesempatan kerja sektor industri di Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh investasi sektor industri, pendapatan regional sektor industri dan jumlah pengangguran. Kesempatan kerja sektor pertanian di Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh upah riil sektor pertanian, investasi sektor pertanian dan jumlah pengangguran. Kalangi (2006) dalam penelitian yan berjudul Penaran Investasi di Sektor Pertanian dan Agroindustri dalam Penyerapan TK dan Distribusi Pendapatan telah menganalisis efek pengganda dari adanya kegiatan investasi di sektor pertanian dan agroindustri terhadap kesempatan kerja. Penelitian tersebut menyimpulkan perkiraan kesempatan kerja yang dapat diciptakan pada tahun 2007 berkisar antara 1.8 juta sampai4.9 juta orang, atau rata-rata sebesar 2.5 juta orang. Setiap kenaikan satu persen PDB, tambahan kesempatan kerja yan tercipta rata-rata 419 ribu orang.
2.5.2.
Tingkat Pengangguran Samuelson dan Solow (1960), telah menganalisis kebijakan anti inflasi
untuk kasus Amerika Serikat (Samuelson dan Solow dalam Mankiw, 2000). Mereka menerangkan bahwa karena upah adalah sebuah komponen utama biaya (sekitar 60 - 70 persen untuk sebagian besar negara maju), dan karena biaya tinggi direfleksikan dalam harga yang tinggi, maka tingkat inflasi seharusnya berhubungan secara terbalik dengan tingkat pengangguran.
Semakin tinggi
tingkat inflasi maka semakin rendah tingkat pengangguran dan semakin rendah
31
tingkat inflasi maka semakin tinggi tingkat penganggurannya. Penelitian tersebut telah mengembangkan hubungan kurva Phillips yang kita kenal dewasa ini. Brooks (2002) telah menganalisis secara detail tentang mengapa tingkat pengangguran Philippina relatif tinggi dibandingkan dengan beberapa negara asia lain (Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia).
Ia juga telah
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja dan upah nominal di Philippina. Hasil analisis Brooks menunjukkan bahwa pertumbuhan kesempatan kerja dan pengangguran berkaitan erat dengan GDP rill. Peningkatan 10 persen GDP riil akan meningkatlkan total kesempatan kerja sebesar 7-9 persen. Hubungan yang sama juga ditunjukkan pada sektor pertanian, industri, dan jasa. Tingkat pengangguran berhubungan secara negatif dengan pertumbuhan GDP. Hubungan antara kesempatan kerja dan upah minimum menunjukkan korelasi yang relatif rendah. Peningkatan upah minimum 10 persen akan menyebabkan penurunan agregat kesempatan kerja sebesar 5 - 6 persen. Analisis berdasarkan sektor menunjukkan bahwa sektor pertanian kurang sensitif dan sektor jasa lebih sensitif terhadap upah minimum dibandingkan dengan kesempatan kerja di sektor industri. Tingkat pengangguran juga berkorelasi positif dengan peningkatan upah minimum riil. Sukwika (2003) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor. Hasil analisis menyimpulkan peningkatan jumlah pengangguran dipengaruhi oleh peningkatan jumlah angkatan kerja dan penurunan kesempatan kerja. Erisman (2003) dalam penelitian yang berjudul Analisis Ekonomi Pasar TK di Wilayah DKI Jakarta, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
32
jumlah pengangguran di DKI Jakarta. Hasil penelitian menyimpulkan faktor yang paling berpengaruh terhadap peningkatan jumlah pengangguran di Wilayah DKI Jakarta adalah peningkatan jumlah penduduk.
2.5.3. Kebijakan Ketenagakerjaan Pada dasarnya, kajian mengenai kebijakan ketenajakerjaan dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi normatif dan sisi penyediaan lapangan kerja. Dari berbagai aspek normatif kebijakan ketenagakerjaan ini, upah minimum lebih banyak mendapat perhatian para peneliti sebelumnya. Kajian-kajian tersebut meliputi kajian dari sisi dampak upah minimum secara agregrat maupun secara individu. Hasil penelitian Syafrida (1999) selama periode 1970-1997 menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa di antara sektor pertanian, industri dan jasa, peningkatan upah minimum berpengaruh cukup besar terhadap permintaan tenaga kerja di sektor pertanian dan jasa. Hasil survey yang dilakukan oleh Tim Peneliti Semeru terhadap 200 pekerja di lebih dari 40 perusahaan di wilayah Jabotabek dan Bandung menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum mempunyai pengaruh yang tidak sama terhadap semua jenis pekerja. Pengaruh negatif terutama terjadi pada tenaga kerja dengan tingkat upah yang rendah dan pada mereka yang rentan terhadap perubahan dalam pasar tenaga kerja, misalnya tenaga kerja perempuan, pekerja muda usia, pekerja dengan tingkat pendidikan rendah dan pekerja kasar. Hadi (2002), dalam studinya yang berjudul Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keragaan Pasar Kerja dan Migrasi pada periode Krisis dan Sebelum Krisis, menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja
33
sektoral, pengangguran dan upah riil sektoral pada periode krisis dan sebelum krisis. Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrika dan data seluruh propinsi di Indonesia kecuali DKI dari tahun 1990 – 1999. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: (i) jumlah penciptaan kesempatan kerja khususnya sektor industri lebih besar pada periode sebelum krisis ekonomi dibandingkan periode krisis ekonomi tetapi sebaliknya untuk sektor pertanian dan jasa, (ii) jumlah pengangguran lebih responsif terhadap kesempatan kerja dan (iii) upah riil sektoral lebih responsif terhadap upah minimum regional sektoral dan kebutuhan hidup minimum dibandingkan faktor tingkat inflasi. Suryahadi dkk (2003) memperlihatkan peningkatan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja sekfor formal perkotaan. Penerapan kebijakan tersebut hanya menguntungkan kelompok pekerja kerah putih. Penelitian yang menggunakan data Survei Tenaga Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1988 hingga tahun 2000 ini memperlihatkan bahwa untuk semua pekerja secara umum, perkiraan elastisitas penyediaan lapangan kerja total terhadap upah minimum adalah minus 0.1.
Dari semua
kelompok pekerja yang mengalami dampak negatif terbesar dari kebijakan upah minimum yang dijalankan pemerintah saat ini adalah kelompok perempuan pekerja, pekerja usia muda, dan pekerja kurang terdidik.
Besaran elastisitas
penyediaan lapangan kerja total terhadap upah minimum untuk kelompok pekerja perempuan dan pekerja usia muda adalah minus 0.307. Adapun besaran elastisitas untuh pekerja yang kurang terdidik adalah sebesar minus 0.196. Satu-satunya yang diuntungkan dari kebijakan upah minimum adalah kelompok pekerja kerah putih yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas penyediaan lapangan kerja terhadap
34
upah minimum sebesar positif 1 persen. Penelitian ini meyimpulkan, penerapan upah minimum menyebabkan terjadinya substitusi pekerjaan yang berbeda. Ketika upah minimum meningkat, perusahaan mengganti pekerja mereka dengan pekerja kerah putih yang lebih terdidik dengan investasi untuk proses produksi yang lebih padat modal dan dengan keterampilan lebih tinggi. Card dan Krueger (1994) melakukan survey dampak peningkatan upah minimum pada 410 restoran siap saji di New Jersey dan Pensylvania berkaitan dengan peningkatan upah minimum di New Jersey dari $ 4.25 menjadi $ 5.0l per jam. Mereka juga melakukan studi perbandingan kesempatan kerja, upah dan harga pada sampel restoran sebelum dan sesudah terjadinya peningkatan upah minimum. Mereka menyimpulkan bahwa peningkatan upah minimum di New Jersey tidak menurunkan kesempatan kerja pada restoran siap saji. Kesimpulan ini tentunya berlawanan dengan model-model upah minimum secara teoritis. Kesimpulan penelitian tersebut banyak menimbulkan reaksi dari penelitipeneliti lain. Sebagai contoh Kennan (1995) melakukan penelitian pada restoran siap saji yang serupa (Burger King, Wendy’s dan KFC) di negara bagian ini untuk waktu yang berbeda (Card dan Krueger awal Maret sedangkan Kennan pada bulan Nopember dan Desember). Penelitian Kennan menyimpulkan bahwa kenaikan upah minimum menurunkan kesempatan kerja.
Hasil kajian Neumark dan
Waschr (2000) dan Levin-Waldman, Oren M (2002) juga menghasilkan kesimpulan yang sama dengan Kennan dan mereka berpendapat bahwa metode yang digunakan dalam penelitian Card dan Krueger tidak mengeksplorasi konsekuensi kenaikan upah minimum terhadap pasar-pasar yang terkait.
35
Zavodny (2000) melakukan kajian tentang dampak upah minimum terhadap kesempatan kerja dan jam kerja dengan menggunakan data negara bagian dan individual panel data di Amerika serikat. Rata-rata data tahunan negara bagian digunakan untuk mengetahui efek upah minimum pada keseluruhan kesempatan kerja dan rata-rata jam kerja per minggu para pekerja muda. Data individu digunakan untuk mengetahui apakah pekerja muda kehilangan jam kerja dengan upah yang tinggi sejalan dengan peningkatan upah minimum.
Ia
menyimpulkan bahwa : (a) pada level negara bagian, peningkatan upah minimum dapat menurunkan kesempatan kerja tetapi tidak menurunkan jam kerja, sedangkan (b) pada level individu, tidak menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum memberi dampak negatif pada jam kerja. Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini mengkaji secara eksplisit bagaimana pengaruh shock di pasar tenaga kerja akibat penerapan kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan transmisinya pada keseimbangan ekonomi makro pada era otonomi daerah berdasarkan disagregrasi yang lebih detail dalam rangka lebih menggambarkan kondisi nyata perilaku pasar tenaga kerja di Indonesia.
36
Tabel 7. Studi Terdahulu Kesempatan Kerja dan Tingkat Pengangguran No. Studi Empiris
Model
Kekhususan Studi
Dalam Negeri 1.
Safrida (1999)
Makroekonomi
Dampak kebijakan makroekonomi terhadap perilaku pasar kerja dan indikator makroekonomi Indonesia.
2.
Erisman (2003)
Pasar Tenaga Kerja
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pasar kerja dan terjadinya pengangguran di DKI Jakarta.
3.
Hadi (2002)
Pasar Kerja dan Migrasi
Dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis da sebelum krisis ekonomi di Indonesia.
4.
Kalangi (2006)
Input-Output
Menganalisis efek pengganda dari adanya kegiatan investasi di sektor pertanian dan agroindustri terhadap kesempatan kerja
5.
Mangkuprawira (2000)
Perilaku Pasar kerja
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah angkatan kerja, kesempatan kerja, upah riil dan produktivitas kerja di wilayah Jawa dan Bali.
6.
Sukwika (2003)
Pasar Tenaga Kerja dan Migrasi
Menganalisis keterkaitan pasar TK dan migrasi di kabupaten Bogor meliputi angkatan kerja, kesempatan kerja, pengangguran dan upah terhadap perubahan struktur dan pengembangan wilayah.
7.
Suryahadi (2003)
Distribusi Upah dan penyerapan Tenaga Kerja
Survey dampak peningkatan upah minimum terhadap penyerapan TK di sektor formal perkotaan (Jabotabek dan Bandung).
Luar Negeri 8.
Card dan Krueger Upah minimum (1994)
Survey (awal maret) dampak peningkatan upah minimum thd pekerja di restoran siap saji di New Jersey dan Pensylvania.
9.
Kennan (1985)
Upah minimum
Survey (Nov dan Des) dampak peningkatan upah minimum thd pekerja di restoran siap saji di New Jersey dan Pensylvania.
10.
Neumark dan Waschr (2000)
Upah minimum
Survey dampak peningkatan upah minimum thd pekerja di restoran siap saji di New Jersey dan Pensylvania.
11.
Zavodny (2000)
Upah minimum
Dampak upah minimum terhadap kesempatan kerja di AS (data negara bagian dan panel individu).
12.
Levin-Waldman Oren M (2002)
Struktur Upah Regional
Pengaruh upah minimum thd struktur upah regional di AS.
III. KERANGKA TEORI
3.1.
Pasar Tenaga Kerja Pasar tenaga kerja adalah pasar dimana ada sejumlah pembeli dan penjual
faktor produksi tenaga kerja. Pembeli input tenaga kerja adalah perusahaan dan penjual input tenaga kerja adalah rumah tangga.
Perusahaan diasumsikan
menentukan jumlah tenaga kerja yang akan dibeli dalam upaya mendapatkan keuntungan maksimal. Sementara rumah tangga diasumsikan sebagai pihak yang memiliki input tenaga kerja untuk dijual kepada perusahaan. Dalam analisis pasar tenaga kerja, perilaku pihak pemilik input tenaga kerja diilustrasikan sebagai kurva penawaran tenaga kerja. Kurva penawaran tenaga kerja menunjukkan hubungan antara jumlah jam kerja per hari yang bersedia ditawarkan pada berbagai tingkat upah (Arfida, 2005).
Upah (W)
S C
W2
W1
B
A
W0
O
L0
L1
Waktu Kerja (Jam per hari)
Gambar 1. Penawaran Tenaga Kerja yang Melengkung ke Belakang Sumber : Pindyck and Rubinfeld, 2001 (dimodifikasi).
38
Kurva penawaran tenaga kerja mempunyai kemiringan positif karena dengan kenaikan upah seseorang mungkin secara sukarela bersedia untuk mengurangi waktu luang (leisure) untuk bekerja lebih lama seperti pada Gambar 1. Namun, kurva penawaran tenaga kerja dapat melengkung ke belakang (backward-bending) karena bila tingkat upah terus meningkat pada akhirnya jam kerja yang ditawarkan dapat turun karena orang memilih untuk menikmati lebih banyak waktu luang dan lebih sedikit bekerja. Gambar 1 diasumsikan bahwa seorang pekerja mempunyai fleksibilitas untuk memilih berapa jam per hari harus bekerja. Upah mengukur jumlah uang yang harus dikorbankan pekerja untuk menikmati waktu luang. Pada tingkat upah di W0, jumlah jam kerja yang ditawarkan L0. Bila upah naik, misalkan di W1, jumlah jam kerja yang ditawarkan meningkat menjadi L1. Bila upah meningkat lagi, misalkan di W2, jumlah jam kerja yang ditawarkan menurun menjadi L0. Mengapa terjadi penurunan jumlah jam kerja yang ditawarkan? Hal tersebut disebabkan pada tingkat upah di W1, kebutuhan pekerja telah terpenuhi sebesar OW1BL1. Pada saat upah meningkat misalkan di W2, meskipun kebutuhan pekerja telah dapat terpenuhi perssis sebesar OW1BL1, jumlah jam kerja yang ditawarkan pekerja menurun menjadi L0 dan memilih lebih banyak menikmati waktu luang karena kebutuhan telah terpenuhi. Namun yang harus kita cermati adalah standar kebutuhan setiap individu berbeda. Studi kasus yang dilakukan di negara maju menunjukkan elastisitas peningkatan upah terhadap penawaran jam kerja pada kelompok keluarga dengan sumber penghasilan suami dan istri dengan maupun tanpa anak menunjukkan nilai negatif. Artinya kelompok keluarga tersebut berada pada bagian kurva penawaran yang melengkung ke belakang. Namun, perekonomian makro Indonesia dicirikan
39
oleh nilai upah minimum yang hanya mampu memenuhi 89.63 persen KHM dan tingkat pengangguran serta inflasi yang relatif tinggi. Dengan karakteristik tersebut untuk kasus Indonesia secara agregat, kuat dugaan nilai elastisitas penawaran jam kerja akibat kenaikan upah masih positif. Artinya penawaran agregat tenaga kerja Indonesia masih pada kurva yang melengkung ke atas. Kurva permintaan faktor input tenaga kerja adalah permintaan turunan (derived demand). Permintaan tenaga kerja bergantung pada dan berasal dari tingkat output yang dihasilkan dan biaya input tenaga kerja itu sendiri. Kurva permintaan tenaga kerja menunjukkan jumlah input tenaga kerja yang akan dibeli oleh perusahaan pada berbagai tingkat upah.
Jika diasumsikan perusahaan
menjual outputnya pada pasar persaingan sempurna maka perusahaan adalah sebagai penerima harga di pasar output. Dengan demikian nilai produksi marjinal tenaga kerja adalah sama dengan produk marjinal tenaga kerja (MVPL) dikalikan harga output (PY), secara matematis: MVPL = MPL .PY . Karena kenaikan hasil yang semakin berkurang terhadap input tenaga kerja maka produk marjinal tenaga kerja turun ketika jumlah jam kerja bertambah. Dengan demikian, kurva nilai produk marjinal akan turun melengkung ke bawah meskipun harga output tetap konstan. Kurva MVPL ini disebut sebagai kurva permintaan input tenaga kerja. Keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai sebagai hasil interaksi antara rumah tangga sebagai penjual dengan perusahaan sebagai pembeli input tenaga kerja (Nicholson, 2002). Secara grafis, keseimbangan pada pasar tenaga kerja digambarkan oleh perpotongan antara kurva penawaran tenaga kerja dan kurva permintaan tenaga kerja. Dari perpotongan ini akan diperoleh jumlah tenaga kerja yang diserap pasar dan upah keseimbangan pasar seperti pada Gambar 2.
40
Upah
S0 S1
E0 W0
Wminimum
E1 W1
D L0
L1
Jumlah Tenaga Kerja
Gambar 2. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi).
Gambar 2 memperlihatkan bahwa upah keseimbangan (W0) pada pasar tenaga kerja ditentukan oleh penawaran tenaga kerja (S0) dan permintaan tenaga kerja (D). Kondisi keseimbangan E0 sangat sulit dicapai di Indonesia. Hal ini disebabkan jumlah tenaga kerja yang masuk ke pasar kerja Indonesia (S0) tidak sebanding dengan jumlah ketersediaan lapangan kerja (D). Pergeseran kurva penawaran tenaga kerja menjadi S1 akan menurunkan upah menjadi W1 meskipun jumlah tenaga kerja yang terserap di pasar kerja bertambah menjadi L1. Dalam kondisi seperti ini diperlukan kebijakan upah minimum yang merupakan standar normatif dan jaring pengaman (safety net) bagi pekerja/ buruh. Standar normatif artinya upah minimum telah ditetapkan dalam bentuk undang-undang yang memiliki aturan sanksi secara hukum bila tidak dilaksanakan oleh perusahaan. Jaring pengaman dimaksud agar tingkat upah tidak terus menurun pada level terendah dan mencegah terjadinya eksploitasi pekerja/ buruh.
41
3.2.
Kebijakan Upah Minimum Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
memberi pengertian pada upah sebagai hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan (Depnakertrans, 2004b). Pemerintah Indonesia telah melakukan intervensi terhadap penentuan upah dalam bentuk penetapan kebijakan upah minimum sejak tahu 1970. Pada tahun 1970 sampai tahun 1980-an kebijakan upah minimum belum bersifat normatif. Disamping itu pemerintah mengontrol secara ketat (hanya ada satu serikat pekerja). Ada dua alasan utama mengapa sejak awal tahun 1990-an terjadi perubahan besar pada kebijakan ketenagakerjaan. Pertama, serikat independen mulai didirikan yang hingga saat ini sudah mencapai 68 organisasi pekerja (Smeru Research Team, 2004). Kedua, pemerintah mulai memperkuat pelaksanaan upah minimum dan nilai upah minimum terus meningkat karena adanya tekanan dari dalam dan luar negri. Dari dalam negri, pengambil keputusan dalam pemerintahan bependapat bahwa para pekerja tidak memperoleh bagian yang adil dari kue pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang pernah dialami Indonesia. Dari luar negri, Amerika Utara dan Uni Eropa menuduh Indonesia mengeksploitasi para pekerja dengan memberikan kondisi kerja buruk, upah rendah, dan menghalangi hak pekerja untuk membentuk serikat pekerja. Dengan latar belakang tersebut, kebijakan ketenagakerjaan dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-
42
undangan dan telah mengalami beberapa perubahan perundang-undangan yang berlaku seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Perubahan Perundang-undangan tentang Kebijakan Upah Minimum di Indonesia. No. Bentuk Peraturan
Tanggal
1.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-01/ Men/ 12 januari 1999 1999
2.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI 5 Oktober 2000 No. Kep-226/ men/ 2000
Sumber : Depnakertrans, 2005.
Pada dasarnya, kebijakan upah minimum di Indonesia merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap para pekerja/ buruh baru yang berpendidikan rendah, tidak mempunyai pengalaman, mempunyai masa kerja di bawah satu tahun, dan lajang/ belum berkeluarga (Priyono, 2002).
Tujuannya untuk
mencegah tindakan sewenang-wenang dari pihak perusahaan dalam memberikan upah kepada pekerja/ buruh baru dengan kondisi tersebut.
Namun dalam
pelaksanaannya penegakan kebijakan upah minimum ini telah melatarbelakangi keputusan pengusaha yang mempekerjakan buruh untuk menaikkan upah secara individu di semua golongan pekerja (Wirahyoso, 2002). Fenomena ini disebut upah sundulan, yaitu mengacu pada fenomena pendorong naiknya upah semua buruh sebagai dampak naiknya upah buruh yang sebelumnya berada di bawah upah minimum akibat kebijakan upah minimum (Priyono, 2002).
43
3.2.1. Pasar Tenaga Kerja yang Bersaing Studi terdahulu juga secara teori belum dapat menyimpulkan secara pasti besarnya dampak kebijakan upah minimum terhadap kesempatan kerja di Indonesia.
Namun secara teoritis dapat dipastikan bahwa kebijakan upah
minimum akan memberikan dampak yang berbeda pada struktur pasar yang berbeda. Dalam pasar tenaga kerja yang kompetitif, penetapan upah minimum di atas tingkat upah keseimbangan pasar akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang terserap oleh pasar tenaga kerja sehingga akan menyebabkan pengangguran. Kajian teoritis ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3.
Upah
Upah S
WM
F
’
ME = AE’= S’
Upah minimum
E
*
WC = MVPL*
ME= AE= S
D = MVPL LM
LC
*
LM’
(a)
Jumlah Tenaga Kerja
D = MVPL LM
LC
*
Jumlah Tenaga Kerja
(b)
Gambar 3. Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja Bersaing Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi).
Gambar 3 memperlihatkan bahwa (a) keseimbangan pasar tenaga kerja dalam struktur persaingan sempurna dan (b) penggunaan input tenaga kerja oleh
44
perusahaan dengan modal tetap pada struktur persaingan sempurna. Pada struktur pasar tenaga kerja yang bersaing, penawaran tenaga kerja yang dihadapi perusahaan bersifat elastis sempurna dan identik dengan kurva pengeluaran marjinal (ME) dan juga kurva pengeluaran rata-rata (AE).
Pada upah
keseimbangan pasar (WC*) perusahaan akan memepekerjakan input tenaga kerja sebanyak LC*. Pada struktur pasar tenaga kerja yang bersaing ini jelas terlihat bahwa upah buruh dibayar sesuai dengan produktifitas buruh tersebut ( WC* = MVPL* ). Intervensi pemerintah pada upah dalam bentuk kebijakan upah minimum pada struktur pasar persaingan sempurna akan menyebabkan tingkat upah WM berada di atas upah keseimbangan.
Pada tingkat upah WM (Gambar 3.2.b),
perusahaan akan mengurangi penggunaan input tenaga kerja dari LC* menjadi LM. Jika perusahaan tetap menggunakan tenaga kerja sebanyak LC*, perusahaan tidak akan memaksimumkan keuntungan.
Hal ini disebabkan pada tingkat upah
minimum yang lebih tinggi tersebut, tenaga kerja yang digunakan dapat lebih sedikit karena perusahaan mampu mendapatkan produktifitas fisik marjinal yang lebih tinggi dari tenaga kerja yang digunakannya. Ketika hanya ada satu input yang dapat dirubah, asumsi produktifitas marjinal tenaga kerja menjamin bahwa peningkatan upah tenaga kerja akan menyebabkan lebih sedikit tenaga kerja yang digunakan perusahaan (Nicholson, 2002). Pada saat yang bersamaan (Gambar 3.2.a), lebih banyak tenaga kerja yang ditawarkan pada tingkat upah WM. Dalam struktur pasar tenaga kerja yang bersaing sempurna, intervensi pemerintah dalam bentuk penetapan upah minimum dapat menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran tenaga kerja sebesar LM’-LM. Dapat disimpulkan bahwa pada pasar
45
tenaga kerja yang bersaing, penerapan kebijakan upah minimum dapat menyebabkan pengangguran sebesar LM’- LM.
3.2.2. Pasar Tenaga Kerja Monopsoni Perusahaan yang berada dalam struktur pasar tenaga kerja monopsoni menghadapi kurva penawaran pasar untuk seluruh input dan berslope positif. Namun pada struktur pasar monopsoni, kurva penawaran tenaga kerja yang dihadapi perusahaan tidak identik dengan kurva pengeluaran marjinal. Kurva penawaran pasar tenaga kerja tersebut memperlihatkan berapa banyak tenaga kerja yang harus perusahaan bayarkan per unit sebagai fungsi jumlah total unit tenaga kerja yang dibeli perusahaan. Dengan kata lain kurva penawaran tenaga kerja tersebut adalah kurva pengeluaran rata-rata perusahaan (AE). Karena kurva AE berslope positif maka kurva pengeluaran marginal perusahaan (ME) harus terletak di atas kurva S. Keputusan untuk membeli satu unit tambahan tenaga kerja menaikkan harga yang harus dibayarkan untuk semua unit tenaga kerja, bukan hanya untuk satu unit tambahan tenaga kerja tersebut. Untuk memperoleh kurva pengeluaran marjinal secara matematis adalah sebagai berikut: E = W ⋅ L ................................................................................................. (1)
Pengeluaran marjinalnya:
ME =
∂E ⎛ ∂W = W + L⎜ ∂L ⎝ ∂L
⎞ ⎟ ......................................................................... (2) ⎠
Karena kurva penawaran berslope positif maka ∂W/∂L adalah positif dan pengeluaran marjinalnya lebih besar daripada pengeluaran rata-rata.
46
Selanjutnya jika perusahaan bertujuan untuk mencapai manfaat ekonomi semaksimal mungkin, maka secara defenisi perusahaan akan berusaha membuat perbedaan sebesar mungkin antara nilai penerimaan dan nilai pengeluaran dari pembelian tenaga erja. Secara matematis, manfaat bersih (NB) perusahaan dari pembelian tenaga kerja adalah sebagai berikut: NB = V − E ............................................................................................. (3)
Keterangan:
V = nilai penerimaan perusahaan dari pembelian tenaga kerja E = nilai pengeluaran perusahaan dari pembelian tenaga kerja
Manfaat bersih dapat dimaksimalkan apabila:
∂NB ∂L
= 0 , maka:
∂NB ∂L
=
∂V ∂E − ∂L ∂L
= 0 ...................................................................... (4)
MV − ME
= 0 ...................................................................... (5)
MV
= ME .................................................................. (6)
Persamaan (6) menunjukkan bahwa untuk memaksimumkan manfaat, perusahaan seharusnya mempekerjakan tenaga kerja dimana manfaat tambahan pembelian satu tenaga kerja adalah tepat sama dengan biaya marjinal atas penggunaan tambahan satu tenaga kerja. Namun, pada kasus dimana perusahaan mempunyai kekuatan monopsoni, perusahaan akan menghadapi kurva penawaran tenaga kerja yang berarah positif. Akibatnya perusahaan membeli tenaga kerja dengan jumlah yang lebih sedikit dan upah yang lebih rendah dibandingkan yang terjadi dalam struktur pasar tenaga kerja yang bersaing. Selanjutnya juga akan diuraikan secara teoritis bahwa dalam pasar tenaga kerja dimana perusahaan mempunyai kekuatan monopsoni,
47
penetapan upah minimum di atas tingkat upah monopsoni tetapi masih di bawah tingkat upah struktur pasar bersaing akan meningkatkan kesempatan kerja seperti pada Gambar 4.
Upah
ME S = AE
E MVPL
F WM WN
Upah Minimum
*
D = MVPL LN
*
LM
Jumlah Tenaga Kerja
Gambar 4. Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja Monopsoni Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi).
Gambar 4 memperlihatkan bahwa pada syarat keseimbangan ME = MVPL jumlah tenaga kerja yang dapat dipekerjakan perusahaan adalah sebanyak LN* dan upah yang dibayarkan adalah sebesar WN*.
Upah yang dibayarkan oleh
perusahaan monopsoni ditentukan dari kurva penawarannya (upah WN* sendirilah yang menimbulkan penawaran LN*). Akibatnya terlihat bahwa biaya marjinal atas penggunaan tambahan satu tenaga kerja melebihi upah pasar. Demikian pula WN* dan LN* lebih sedikit dibandingkan dengan upah dan jumlah tenaga kerja yang seharusnya berlaku dalam suatu pasar yang bersaing. Dapat dikatakan bahwa pada LN* perusahaan membayar upah buruh kurang dari yang seharusnya dibayarkan. Perbedaan antara produktifitas buruh dengan upah yang diterima tersebut menggambarkan eksploitasi tenaga kerja (buruh).
48
Kondisi perbedaan antara upah dan produktifitas akan semakin merugikan pekerja bila kurva penawaran tenaga kerja yang dihadapi perusahaan monopsoni semakin inelastis.
Jika penawaran tenaga kerja semakin kurang responsif
terhadap upah rendah maka perusahaan monopsoni dapat mengambil keuntungan yang semakin banyak pada situasi tersebut (Pindyck, 2001).
Pendekatan
matematis dari kenyataan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Bila persamaan (2) dikalikan W dan dibagi W maka akan menjadi:
⎛ L ∆W ⎞ ME = W + W ⎜ ⋅ ⎟ ......................................................................... (7) ⎝ W ∆L ⎠ berdasarkan persamaan (6) maka: ⎛ 1 MV = W + W ⎜⎜ ⎝ εS MV − W ⎛ 1 = ⎜⎜ W ⎝ εS
⎞ ⎟⎟ ................................................................................. (8) ⎠
⎞ ⎟⎟ .................................................................................... (9) ⎠
Berdasarkan persamaan (9), suatu pasar yang bersaing memiliki elastisitas penawaran tenaga kerja ε S = 0 sehingga MV = W .
Namun, jika perusahaan
memiliki kekuatan monopsoni, maka perusahaan dapat membeli tenaga kerja dengan upah di bawah nilai marjinalnya. Sejauhmana upah diturunkan di bawah nilai marjinalnya bergantung pada elastisitas penawaran tenaga kerja yang dihadapi perusahaan sebagai pembeli. Jika penawaran sangat leastis ( ε S besar ) maka penurunan upah akan kecil dan perusahaan akan mempunyai kekuatan monopsoni yang kecil (upah akan mendekati apa yang seharusnya terjadi dalam pasar persaingan sempurna). Sebaliknya jika elastisitas penawaran tenaga kerja tidak elastis maka penurunan upah menjadi besar dan perusahaan sebagai pembeli tenaga kerja akan mempunyai kekuatan monopsoni yang sangat besar.
49
3.2.3. Dampak Kebijakan Upah minimum di Indonesia Penjelasan sebelumnya telah membuktikan bahwa kekuatan monopsoni mengakibatkan upah dan penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah. Pemerintah dapat melakukan intervensi untuk membuat posisi pekerja tidak terlalu dirugikan. Akan dilakukan pendekatan secara teoritis alasan pentingnya penetapan kebijakan upah minimum terhadap pekerja dengan status 4 (buruh/ karyawan) di Indonesia. Pendekatan yang akan digunakan adalah dengan membandingkan surplus konsumen dan surplus produsen yang berasal dari struktur pasar persaingan sempurna dengan surplus yang terjadi ketika perusahaan monopsoni adalah satusatunya pembeli seperti pada Gambar 5.
Upah
ME S = AE
A B
WC WN
*
Deadweight Loss
C
D E
D = MVPL LN
*
LC
Jumlah Tenaga Kerja
Gambar 5. Surplus Produsen dan Konsumen pada Pasar Monopsoni Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi).
Gambar 5 memperlihatkan keuntungan perusahaan monopsoni dapat dimaksimumkan dengan membeli tenaga kerja sebanyak LN* dengan upah WN* sehingga nilai penerimaan marjinal akan sama dengan nilai pengeluaran marjinal
50
perusahaan.
Selanjutnya akan dianalisis bagaimana surplus konsumen dan
produsen berubah bila upah dan jumlah tenaga kerja pada pasar yang bersaing (WC dan LC) kita rubah menjadi upah dan jumlah tenaga kerja pada pasar monopsoni (WN* dan LN* ), seperti pada Tabel 9.
Tabel 9. Analisis Surplus Produsen dan Surplus Konsumen dari Kekuatan Monopsoni Surplus
Pasar Persaingan Pasar Monopsoni Sempurna
Selisih
Konsumen (Perusahaan) A+B
A+D
+D-B
Produsen (Pekerja)
E
-C-D
C+D+E
Surplus Bersih
-B-C
Sumber : Gambar 5. Dengan monopsoni maka upah akan lebih rendah dan tenaga kerja yang terserap di pasar kerja lebih sedikit. Karena upah yang lebih rendah, pekerja kehilangan sejumlah surplus yang diberikan oleh segi empat D.
Selain itu,
pekerja sebagai penjual jasa tenaga kerja kehilangan surplus yang diberikan oleh segi tiga C karena penjualan yang berkurang. Oleh karena itu, total kerugian surplus pekerja sebagai produsen jasa tenaga kerja adalah sebesar C+D. Perusahaan sebagai pembeli jasa tenaga kerja memperoleh surplus yang diberikan oleh segi empat D dengan membeli tenaga kerja dengan upah yang lebih rendah. Namun, perusahaan membeli lebih sedikit tenaga kerja (LN*-LC) sehingga kehilangan surplus sebesar segi tiga B. Total kelebihan surplus bagi perusahaan adalah D-B. Secara keseluruhan terdapat kerugian bersih surplus sebesar luas segi tiga B+C (deadweight loss) akibat kekuatan monopsoni. Deadweight loss adalah
51
biaya sosial yang ditanggung oleh pekerja karena adanya ketidakefisienan pasar monopsoni tenaga kerja. Dari perbandingan teoritis dua struktur pasar di atas jelas terlihat bahwa pada pasar tenaga kerja monopsoni, adalah beralasan bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan upah minimum sebesar WM = WC untuk menghilangkan
deadweight loss dari kekuatan monopsoni.
Dengan penetapan ini dapat
meningkatkan upah dari WN* menjadi WM sementara penyerapan tenaga kerja juga akan meningkat dari LN* menjadi LM. Berbeda dengan dampak penetapan kebijakan upah minimum pada struktur pasar persaingan sempurna, kebijakan upah minimum pada pasar monopsoni justru berdampak pada peningkatan upah maupun penyerapan tenaga kerja. Menurut hasil kajian Suryahadi (2003) belum ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia secara umum bersifat monopsoni.
Ada beberapa kecenderungan adanya kekuatan monopsoni pada
perusahaan-perusahaan besar di daerah-daerah yang relatif terisolasi di luar jawa. Namun, untuk membangun gambaran realistis tentang bagaimana identifikasi struktur pasar tenaga kerja secara umum di Indonesia dapat diamati melalui data jumlah pencari kerja dan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Data tenaga kerja (BPS, 2005) menunjukkan bahwa jumlah lapangan pekerjaan formal yang tersedia (29.2 juta pekerja) jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pencari kerja (102.9 juta pekerja). Diperkuat pula dengan studi empiris oleh Priyono (2002) bahwa indikasi di lapangan memperlihatkan bahwa kekuatan tawar menawar (bargaining power) pengusaha di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan
52
kekuatan buruh. Dari dua karakteristik di atas dapat diasumsikan bahwa struktur pasar tenaga kerja Indonesia cenderung mengarah pada struktur pasar monopsoni. Pemerintah Indonesia telah menetapkan sistem pengupahan yaitu Upah Minimum yang terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap. Penetapan upah minimum pada prinsipnya didasarkan atas faktor-faktor : (1) Kebutuhan dasar hidup pekerja dengan keluarganya, (2) Tingkat upah pada sektor-sektor industri dan usaha-usaha lainnya, (3) Keadaan perekonomian pada umumnya dan perusahaan pada khususnya yang dikaitkan dengan pembangunan daerah dan pembangunan nasional, (4) Kemampuan perusahaan di sektor yang bersangkutan. Dalam penetapan upah minimum di Indonesia didasarkan pada kebutuhan hidup pekerja lajang yang telah mengalami dua kali perubahan. penetapan upah minimum yang didasarkan (KFM) dan kedua, didasarkan
Pertama,
pada Kebutuhan Fisik Minimum
pada Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).
Kebutuhan fisik Minimum adalah kebutuhan minimum seorang pekerja yang diukur menurut jumlah kalori, protein, vitamin-vitamin, dan bahan mineral lainnya yang diperlukan sesuai dengan tingkat kebutuhan minimum seorang pekerja dengan syarat-syarat kesehatan (Depnakertrans, 2004b). Menurut Depnakertrans, dengan perkembangan teknologi dan sosial ekonomi yang cukup pesat maka dirasakan penetapan upah minimum didasarkan pada KFM sudah tidak sesuai lagi. Pemerintah beranggapan dasar kebutuhan hidup layak dapat lebih meningkatkan produktifitas kerja dan produktifitas perusahaan sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan produktifitas nasional. Namun pada awalnya penetapan upah minimum berdasarkan KHM
53
mendapat koreksi yang relatif besar dari pekerja karena mereka beranggapan hal tersebut dapat berimplikasi pada rendahnya daya beli dan kesejahteraan masyarakat terutama para pekerja level bawah.
3.3.
Keterkaitan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan Ekonomi Makro Teori ekonomi makro tradisional difokuskan pada analisis variabel
ekonomi agregat tertentu. Teori tersebut cenderung mengagregatkan ekonomi menjadi empat pasar yaitu : (1) Pasar barang, (2) Pasar uang, (3) Pasar Obligasi dan (4) pasar tenaga kerja. Terkait dengan hukum Walras maka hanya tiga dari keempat pasar ini yang independen. Dengan demikian salah satu dari pasar ini dapat dihapuskan, karena keseimbangannya dapat dijamin oleh keseimbangan ketiga pasar yang lainnya.
Secara tradisional, pasar obligasilah yang akan
dihilangkan dan analisisnya difokuskan pada ketiga pasar yang lainnya. Dengan demikian, defenisi teori ekonomi makro dapat dikembangkan dalam konteks pasar barang, pasar uang, dan pasar tenaga kerja. Menurut Romer (1996) dikotomi dalam sistem klasik sudah pecah. Perubahan keseimbangan pada salah satu pasar dapat menyebabkan perubahan keseimbangan di pasar lainnya melalui mekanisme transmisi. Secara keseluruhan sistem dalam ekonomi makro saling berhubungan (Mankiw, 2000). Pasar tenaga kerja dan pasar lainnya secara makro ikut menentukan jumlah penyerapan tenaga kerja. Pada khususnya, ini berarti bahwa kebijakan moneter dan fiskal dapat mempengaruhi tingkat pengangguran dan output nasional begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh, diberlakukannya kebijakan peningkatan upah minimum. Secara makro, upah berpengaruh terhadap pendapatan nasional baik secara
54
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, upah akan mempengaruhi produktivitas kerja dan mengakibatkan output yang dihasilkan meningkat. Secara kumulatif hal ini akan meningkatkan produksi nasional dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan nasional. Secara tidak langsung, peningkatan upah akan meningkatkan daya beli pekerja untuk mengkonsumsi barang-barang. Hal ini mengakibatkan permintaan barang meningkat, sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksinya.
Peningkatan produksi akan memperluas
kesempatan kerja, dan akhirnya akan meningkatkan pendapatan nasional. Hubungan ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 6. AE=C+I+G+X-M
Eq Ps IS AE=Y AD
MD=L(r,Y) Eq Ps Uang
Equilibrium Makro
LM MS/P=MD
AS = AD Fungsi Produksi AS Indikator Makro: 1. Pengangguran 2. Inflasi 3. Output nasional
DTK=P.f(L) Eq Ps TK STK = DTK STK=Pe.g(L)
Gambar 6. Skema Hubungan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan Ekonomi Makro Sumber: Mankiw, 2000.
55
3.3.1. Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisinya Teori ekonomi makro tradisional dapat dirangkumkan sebagai berikut (Mankiw, 2000): Keseimbangan pasar tenaga kerja
: Pe . g (L) = P . f (L)
Fungsi produksi
: Y = f (L)
Keseimbangan pasar barang (IS)
: Y = C (Y – T) + I (r) + G + X – M
Keseimbangan pasar uang (LM)
: MS/P = MD (r,Y)
Keterangan: Pe
= Ekspektasi indeks harga umum.
P
= Indeks harga umum.
L
= Jumlah tenaga kerja.
Y
= Output nasional.
C
= Konsumsi.
T
= Pajak.
I
= Investasi.
r
= Suku bunga.
G
= Pengeluaran pemerintah.
X
= Ekspor.
M
= Impor.
MS/P = Penawaran uang riil.
MD
= Permintaan uang. Secara teoritis, idealnya output selalu berada pada tingkat penggunaan
tenaga kerja penuh atau full employment (Branson, 1976). Namun pada kenyataannya kondisi ketenagakerjaan (digambarkan oleh pasar tenaga kerja) tampaknya menyesuaikan diri secara lambat terhadap perubahan permintaan agregat. Dalam dunia nyata informasi adalah tidak sempurna. Para pengusaha mengetahui informasi harga dengan sempurna sementara tidak demikian halnya dengan para pekerja. Akibatnya besar pergeseran kurva permintaan tenaga kerja tidak sama besar dengan pergeseran kurva penawaran tenaga kerja. Keadaan ini lebih jelas diperlihatkan pada contoh kasus seperti pada Gambar 7.
56
WS1 = P1e.g(L)
W
WS0 = P0e.g(L) W0 B
W2
A
1 W 1
WD0 = P0.f(L)
WD1 = P1.f(L) L2
AS
L1
L0 A
Y Y0
L Y= f (L)
B Y1
(a) Pasar TK dan Fungsi Produksi
L2 L1 r
r
L0
L
LM (P1)
r
LM (P0) r2 r0
B
r2
A
r2 A
r0
I (r)
I1 I0
M P0
r1
B
r0
M P1
B A
IS
Y1
I
Y0
Yriil
LD0 LD1 MS, MD
P AS1 AS0 P1 B P0
A A
(b) Pasar Barang, Pasar Uang dan Keseimbangan Makro AD0
Y1
Y0
Yriil
Gambar 7. Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisi
57
Gambar 7 memperlihatkan keseimbangan awal pada setiap pasar berada pada titik A. Adanya kebijakan pemerintah yang menyesuaikan Upah Minimum Propinsi
(UMP)
dengan
tingkat
inflasi
ditambah
kebijakan-kebijakan
ketenagakerjaan antara lain: (i) Keputusan Menteri no. 150 tahun 2000 tentang pengawasan ketenagakerjaan dalam industri dan perdagangan, (ii) Undang-undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 tentang aturan mempekerjakan perempuan dan (iii) Undang-undang no 2 / 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat meningkatkan biaya operasional perusahaan sehingga menjadi pemicu berkurangnya permintaan tenaga kerja.
Mekanisme perubahan
keseimbangan di pasar tenaga kerja akan mempengaruhi keseimbangan di semua pasar secara makro. Permintaan tenaga kerja berkurang, kurva permintaan tenaga kerja bergeser ke kiri (D0 ke D1). Pada saat upah tetap di W0 akan terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja sehingga upah keseimbangan cenderung turun menjadi W1. Bila diasumsikan adanya kebijakan upah minimum merupakan kendala bagi perusahaan untuk menurunkan upah sementara diasumsikan informasi bersifat tidak sempurna dan adanya kekuatan serikat pekerja untuk menuntut kenaikan upah maka kurva penawaran tenaga kerja akan bergeser ke kiri atas (S0 ke S1). Kesempatan kerja berkurang. Keseimbangan di pasar tenaga kerja terjadi pada titik B (W2,L2). Pada fungsi produksi terlihat output berkurang (Y0 ke Y1). Pada keseimbangan makro, penurunan output nasional karena efek di pasar tenaga kerja di ilustrasikan dari pergeseran penawaran agregat AS ke kiri atas (AS0 ke AS1). Pada indeks harga umum yang konstan di P0 terjadi kelebihan
58
(P0 ke P1).
permintaan agregat sehingga harga cenderung meningkat
Keseimbangan makro bergeser ke titik B (P1,Y1). Peningkatan indeks harga-harga umum ke P1 menyebabkan perubahan keseimbangan di pasar uang dan pasar barang. Kurva penawaran uang bergeser ke kiri (M/P0 ke M/P1), LM bergeser ke kiri (LM(P0) ke LM(P1)). Keseimbangan IS-LM bergeser ke titik B(r2,Y1). Kesimpulan dari adanya pemberlakuan kebijakan ketenagakerjaan pada kasus di atas menimbulkan beberapa dampak secara makro. Dampak tersebut adalah : i) penurunan growth dari Y0 ke Y1, ii) inflasi karena peningkatan indeks harga-harga umum dari P0 ke P1, iii) penurunan kesempatan kerja dari L0 ke L2, dan iv) peningkatan jumlah pengangguran sebesar selisih L0 dan L2.
3.3.2. Pengangguran Dalam
pembahasan
ekonomi
makro
dibedakan
berbagai
jenis
pengangguran. Keynes membedakan pengangguran berdasarkan kesediaan bekerja menjadi pengangguran yang disengaja (voluntary unemployment) dan pengangguran yang tidak disengaja (unvoluntary unemployment). Pengangguran yang disengaja terjadi bila ada pekerjaan tetapi orang yang menganggur tidak mau menerima pekerjaan dengan upah yang berlaku untuk pekerjaan tersebut. Pengangguran yang tidak disengaja terjadi bila seseorang bersedia menerima pekerjaan dengan upah yang berlaku tetapi pekerjaannya tidak ada. Menurut Lucas dalam Romer (1996), pengangguran disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pekerja dan pengusaha. Pekerja membuat kesalahan mengenai upah riil dan melepas pekerjaannya atau menolak pekerjaan
59
yang ditawarkan karena upah yang terlalu rendah. Pengusaha juga membuat kesalahan tentang permintaan dan kadang-kadang memproduksi dalam jumlah yang terlalu kecil dan terlalu sedikit mempekerjakan pekerja.
Tetapi karena
manusia adalah mahluk rasional, yang melihat kedepan dalam membuat pengharapan, kesalahan akan diperbaiki dengan segera dan pengangguran akan hilang. Keynes mengemukakan pendapat mengawali “The General Theory” -nya dengan
menyerang
Hukum
Say,
yaitu
pandangan
bahwa
“penawaran
menciptakan permintaannya sendiri”. Menurut hukum ini, pengangguran adalah hal yang tidak mungkin, karena setiap ada penawaran tenaga kerja (atau setiap ada penawaran barang dalam ekonomi) maka akan ada permintaan untuk tenaga kerja tersebut (atau permintaan untuk barang tersebut). Keynes kemudian berpendapat bahwa permintaan agregat atau permintaan total menentukan penawaran dari output dan tingkat tenaga kerja. Ketika permintaan tinggi, ekonomi akan makmur, perusahaan akan berkembang dan mempekerjakan lebih banyak lagi tenaga kerja dan masalah pengangguran akan terpecahkan. Tetapi ketika permintaan rendah, perusahaan tidak akan mampu menjual barang mereka sehingga terpaksa mengurangi produksi dan tenaga kerja. Apabila keadaan semakin memburuk, maka akan tejadi pemecatan besar-besaran dan pengangguran yang tinggi. Kondisi tingkat permintaan tenaga kerja yang rendah dibandingkan dengan penawaran tenaga kerja tercermin di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertumbuhan angkatan kerja Indonesia yang tinggi tidak dibarengi dengan pertumbuhan dan skala ekonomi yang tinggi. Kondisi seperti ini terus berlangsung di Indonesia.
60
Sekarang
Indonesia
dikategorikan
sebagai
Labour
Surplus
Economy
Depnakertrans dan BPPS, 1999) Pengangguran di Indonesia merupakan masalah ketenagakerjaan dan masalah ekonomi yang serius karena menyangkut pemborosan dalam penggunaan sumberdaya (Depnakertrans dan BPPS, 1999). Pemborosan ini terjadi sebagai akibat belum dimanfaatkannya sumberdaya tenaga kerja ke arah kegiatan produktif.
Kerugian akibat pemborosan akan merupakan beban yang harus
ditanggung negara, masyarakat dan individu. Beban yang ditanggung negara menyangkut biaya pemeliharaan keamanan, ketenangan dan stabilitas kehidupan masyarakat yang harus dikeluarkan sebagai akibat dari pengangguran. Masyarakat harus mengeluarkan biaya untuk penghidupan tenaga kerja yang belum dimanfaatkan secara produktif. Individu akan menanggung beban moral, merasa terasing, rendah diri, kehilangan kepercayaan dan penghargaan keluarga dan masyarakat.
Dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa pengangguran
dapat menyebabkan timbulnya keresahan dalam kehidupan masyarakat. Pengangguran juga telah menyebabkan masyarakat kehilangan sebagian produksi barang dan jasa akibat belum digunakannya sumberdaya tenaga kerja tersebut. Sebagai contoh, kerugian akibat pengangguran siklis bagi masyarakat adalah adanya output yang hilang karena perekonomian tidak beroperasi pada tingkat penggunaan tenaga kerja penuh. Ukuran pertama atas kerugian itu adalah seperti pada hukum Okun. Hukum Okun menyatakan bahwa untuk setiap laju pertumbuhan GNP riil sebesar 2.2 persen di atas tingkat trend yang telah dicapai
61
pada tahun tertentu tingkat pengangguran akan menurun sebesar 1 persen (Mankiw, 2000). Terdapat kerugian tambahan bagi masyarakat akibat pengangguran, yang sangat sulit untuk diukur. Kerugian itu timbul dari distribusi beban pengangguran yang tidak merata antar penduduk yang ada. Pengangguran cenderung terpusat pada kaum miskin dan hal ini membuat aspek distribusi pengangguran menjadi masalah yang serius.
Pengangguran ini tidak dapat kita ukur secara mudah
meskipun seharusnya tidak boleh diabaikan.
3.3.3. Inflasi Menurut Mankiw (2000) inflasi adalah peningkatan dalam seluruh tingkat harga.
Inflasi dapat disebabkan oleh reaksi dari sisi permintaan dan sisi
penawaran.
Inflasi dorongan biaya disebut juga inflasi dari sisi penawaran
(supply shock inflation). Ada tiga faktor yang menyebabkan inflasi dari sisi penawaran. Pertama, disebabkan oleh kenaikan upah yang merupakan tuntutan serikat pekerja, yang disebut juga wage-push inflation.
Kedua, disebabkan
penetapan harga yang tinggi oleh industri monopolistik atau oligopolistik, yang disebut juga profit-push inflation. Ketiga, disebabkan adanya transmisi inflasi dari negara pengekspor ke negara pengimpor (import driven). Prasyarat terjadinya wage-push adanya pasar tenaga kerja yang tidak kompetitif, terutama dengan adanya serikat pekerja. Sementara prasyarat profit-
push inflation adanya pasar persaingan tidak sempurna. Penetapan harga, melalui administered price yang jauh lebih besar dari biaya, dapat juga menyebabkan
62
inflasi. Peningkatan harga faktor, dengan cara yang sama seperti wage-push menyebabkan bergesernya kurva penawaran agregat ke kiri menyebabkan inflasi yang disebut cost-push inflation (Shapiro, 1978). Mekanisme pergeseran kurva penawaran agregat, akibat terjadi perubahan di pasar tenaga kerja, dalam hal ini tuntutan serikat pekerja untuk menaikan upah dapat dilihat pada Gambar 8. S1
W
P
AS1
S0 AS0 B
B
W1
P1
A
W0
A
P0 D0
L1
Y
L0
A
Y0 Y1
AD0 L
Y = f (L)
Y0
Y1
Yriil
Y Y0
B
A
B Y1
Gambar 8. Inflasi Dorongan-Biaya akibat Tuntutan Kenaikan Upah oleh Serikat L L L Pekerja Y Y Y 1
0
1
0
riil
Sumber : Shapiro, 1978.
Gambar 8 memperlihatkan pada kondisi kurva AD tertentu, keseimbangan awal terjadi pada saat kurva AD0 berpotongan dengan kurva AS0 pada tingkat upah W0, tenaga kerja L0, produksi Y0 dan harga P0.
Jika serikat pekerja
63
menuntut kenaikan upah, pada tingkat harga tetap di P0, permintaan tenaga kerja tetap di D0, sedangkan
upah meningkat dari W0 ke W1.
penawaran tenaga kerja bergeser ke kiri dari S0 ke S1.
Akibatnya kurva Peregeseran kurva
penawaran tenaga kerja ke kiri menyebabkan jumlah faktor yang digunakan menurun dari L0 ke L1, sehingga output menurun dari Y0 ke Y1. Dengan harga tetap di P0, penurunan output dari Y0 ke Y1 menyebabkan kurva penawaran agregat bergeser dari AS0 ke AS1.
Akibatnya terjadi excess demand yang
menyebabkan harga meningkat dari P0 ke P1. Kenaikan harga ini disebut wage-
push inflation. Grafik sebelah kiri bawah merupakan kurva produksi dan grafik di kiri atas merupakan kurva penawaran dan permintaan tenaga kerja di pasar tenaga kerja.
Pada permintaan tenaga kerja yang tetap, perubahan W menyebabkan
pergeseran kurva penawaran tenaga kerja, S. Hal ini menyebabkan kurva AS bergeser. Dengan demikian shifter AS adalah upah, W. Jika dianalogkan upah sebagai input, maka harga input lain juga merupakan shifter kurva AS. Dalam jangka panjang, perubahan teknologi juga akan menggeser kurfa AS ke kanan yang dapat menurunkan tingkat harga.
3.3.4. Kurva Phillips Kurva Phillips dapat diterjemahkan kedalam kurva yang mengaitkan perubahan upah dengan senjang keluaran dengan memperhatikan bahwa pengangguran dan senjang ini mempunyai hubungan negatif.
Senjang resesi
berkaitan dengan tingkat pengangguran tinggi, dan senjang inflasi berkaitan
64
dengan tingkat pengangguran rendah. Kurva Phillips diperlihatkan pada Gambar 9. (+)
(+) Laju Perubahan
Laju Perubahan
W0
0
U0
U*
W0
0
Tingkat Pengangguran (%)
(-)
Y*
Y0
Pendapatan Nasional Riil
(-)
Gambar 9. Kurva Phillips Sumber: Mankiw, 2000.
Kedua kurva di atas memberikan informasi yang sama. Senjang inflasi (yang berkaitan dengan pengangguran rendah) berkaitan dengan kenaikan upah relatif terhadap produktifitas. Sementara senjang resesi (yang berkaitan dengan tingkat pengangguran tinggi) berkaitan dengan penurunan upah relatif terhadap produktifitas. Kurva Phillips menunjukkan bahwa laju inflasi upah menurun dengan naiknya pengangguran. Laju inflasi upah dapat dinyatakan sebagai berikut (Dornbusch, 1997): gW =
W − W−1 W−1
…………………………………………………….. (10)
keterangan : gW
= Laju inflasi upah
W
= Tingkat upah dalam periode ini
65
W-1
= Tingkat upah periode yang lalu
Kurva Phillips menyiratkan bahwa upah dan harga-harga menyesuaikan diri secara lambat terhadap perubahan permintaan agregrat.
Mengapa bisa
demikian? Dimisalkan perekonomian berada dalam keadaan equilibrium dengan tingkat harga yang stabil dan pengangguran dengan tingkat alamiahnya. Sekarang ada kenaikan uang beredar sebanyak 10 persen.
Harga-harga dan upah
semestinya naik sebesar 10 persen agar perekonomian tersebut kembali kepada keadaan equilibriumnya. Akan tetapi kurva Phillips menunjukkan bahwa bila upah naik 10 persen angka pengangguran akan merosot. Ini akan mengakibatkan tingkat upah mulai menanjak. Tingkat upah mulai naik, harga juga meningkat, dan akhirnya perekonomian akan kembali kepada kondisi permulaan tenaga kerja penuh.
Namun sementara itu, kenaikan jumlah uang beredar menyebabkan
turunnya jumlah pengangguran. Kurva Phillips yang digunakan para ekonom dewasa ini berbeda dalam tiga hal dari hubungan yang dipelajari Phillips. Pertama, kurva Phillips modern mensubtitusi inflasi harga untuk inflasi upah. Perbedaan ini tidak penting, karena inflasi harga dan inflasi upah terkait erat. Dalam periode ketika upah meningkat pesat, harga-harga juga meningkat pesat.
Kedua, kurva Phillips modern
mencakup inflasi yang diharapkan. Penambahan ini mengacu pada hasil kerja Milton Friedman dan Edmund Phelps. Dalam mengembangkan model kesalahan persepsi pekerja pada tahun 1960-an kedua ekonom ini menekankan pentingnya harapan pada penawaran agregrat.
Ketiga, kurva Phillips modern mencakup
goncangan penawaran. Kredit untuk penambahan ini diberikan kepada OPEC,
66
organisasi negara-negara pengekspor minyak.
Pada tahun 1970-an, OPEC
menyebabkan kenaikan besar dalam harga minyak dunia yang membuat para ekonom lebih menyadari pentingnya goncangan terhadap penawaran agregrat. Kurva Phillips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga kekuatan yaitu : 1).
Inflasi yang diharapkan (expected
inflation), 2). Defiasi pengangguran dari tingkat alamiah atau disebut pengangguran siklikal (cyclical unemployment) dan 3). Goncangan penawaran
(supply shock). Tiga kekuatan ini ditunjukan dalam persamaan berikut (Mankiw, 2000):
π = π e − β (u − u n ) + v …………………………………..………….. (11) dimana : π = Tingkat inflasi aktual πe = Tinggat inflasi yang diharapkan β = Parameter yang mengukur respon inflasi terhadap pengangguran siklikal u = tingkat pengangguran aktual un = tingkat pengangguran alamiah v = goncangan tingkat pengangguran
3.4.
Bagan Alur Penelitian Berdasarkan kerangka teori tentang keterkaitan pasar tenaga kerja dengan
keseimbangan di pasar uang, pasar barang dan keseimbangan makro maka penelitian ini diharapkan mampu menjawab dampak kebijakan ketenagakerjaan
67
terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah. Bagan alur penelitian diilustrasikan seperti pada Gambar 10.
KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN 1. Upah Minimum: → 89.63 % KHM. → Upah sundulan → Peningkatan W. 2. Kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial: Pekerja dan pengusaha sama-sama diberatkan dengan argumen berbeda → Pemogokan dan unjuk rasa. → Maraknya sistem kontrak dan Outsourching.
Produksi Sektoral
Keseimbangan Pasar TK
Penawaran Agregat
Permintaan Agregat
Keseimbangan Pasar Barang
Keseimbangan Makro
Keseimbangan Pasar Uang
Indikator: 1. Tingkat Pengangguran 2. Tingkat Inflasi 3. Output Nasional
Gambar 10. Kerangka dan Bagan Alur Penelitian
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Model Ekonomi Pasar Tenaga Kerja dan Perekonomian Indonesia Model merupakan suatu penjelasan dari fenomena aktual sebagai suatu
sistem atau proses (Koutsoyiannis, 1977). Model pasar TK dan perkonomian Indonesia dibangun berdasarkan teori ekonomi dan kajian studi terdahulu. Pada tahap awal dikaji fenomena ekonomi yang diduga akan terjadi jika pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan ketenagakerjaan. Tahapan membangun model diilustrasikan seperti pada Gambar 11. Model penelitian ini disusun dalam bentuk sistem persamaan simultan yang terdiri dari 52 persamaan, yaitu 34 persamaan strukrtural dan 18 persamaan identitas. Secara umum model dibagi dalam enam blok yaitu : (1) Blok Pasar Tenaga Kerja, (2) Blok Fiskal, (3) Blok Penawaran Agregat, (4) Blok Permintaan Agregat, (5) Blok Moneter, dan (6) Blok Keseimbangan Makro seperti pada Tabel 10. Keterkaitan peubah endogen diilustrasikan seperti pada Gambar 12.
4.1.1
Blok Pasar Tenaga Kerja Blok pasar TK didisagregasi berdasarkan tingkat pendidikan dan sektor.
Disagregasi tingkat pendidikan didasarkan pada konsep bahwa hasil dari proses pekerjaan dipengaruhi oleh faktor personal atau individu TK (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007). Dalam studi ini faktor personal TK diukur dari unsur pengetahuan yang diproksi dengan tingkat pendidikan. Disagregasi sektor didasarkan pada konsep bahwa perubahan keseimbangan di pasar TK mempunyai respon yang berbeda pada setiap sektor (Sukwika, 2003).
69
Kebijakan Ketenagakerjaan di Era Otda
Masalah dan Tujuan Penelitian Teori Ekonomi Kerangka Pemikiran Studi Terdahulu Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia
Spesifikasi Model
Identifikasi dan Estimasi Model
Evaluasi/ Validasi Model
Aplikasi Model
Peubah yang relevan Tanda dan besaran Hipotesis Sistem Persamaan Simultan
Data time series
Kriteria: Ekonomi Statistika Ekonometrika Analisis Struktural Evaluasi Kebijakan Historis Analisis Peramalan
Gambar 11. Tahapan Membangun Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia
70
Tabel 10. Pembagian Blok Persamaan Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia Blok/ Persamaan
Jenis Persamaan
1. Blok Pasar Tenaga kerja A. Penawaran Tenaga Kerja (1-4) (1). Penawaran TK berpendidikan rendah
Struktural
(2). Penawaran TK berpendidikan menengah
Struktural
(3). Penawaran TK berpendidikan tinggi
Struktural
(4). Penawaran TK total
Identitas
B. Permintaan Tenaga Kerja (5-20) (5). Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor pertanian
Struktural
(6). Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor industri
Struktural
(7). Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor jasa
Struktural
(8). Permintaan TK berpendidikan rendah
Identitas
(9). Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor pertanian
Struktural
(10). Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor industri
Struktural
(11). Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor jasa
Struktural
(12). Permintaan TK berpendidikan menengah
Identitas
(13). Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor pertanian
Struktural
(14). Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor industri
Struktural
(15). Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor jasa
Struktural
(16). Permintaan TK berpendidikan tinggi
Identitas
(17). Permintaan TK di sektor pertanian
Identitas
(18). Permintaan TK di sektor industri
Identitas
(19). Permintaan TK di sektor jasa
Identitas
(20). Permintaan TK total
Identitas
C. Tingkat Pengangguran (21-24) (21). Tingkat pengangguran TK berpendidikan rendah
Identitas
71
(22). Tingkat pengangguran TK berpendidikan menengah
Identitas
(23). Tingkat pengangguran TK berpendidikan tinggi
Identitas
(24). Tingkat pengangguran total
Identitas
D. Upah Rata-rata (25-28) (25). Upah rata-rata sektor pertanian
Struktural
(26). Upah rata-rata sektor industri
Struktural
(27). Upah rata-rata sektor jasa
Struktural
(28). Upah rata-rata
Struktural
2. Blok Fiskal (29-35) (29). Penerimaan pajak
Struktural
(30). Penerimaan pemerintah total
Identitas
(31). Pengeluaran pembangunan sektor pertanian
Struktural
(32). Pengeluaran pembangunan sektor industri
Struktural
(33). Pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur
Struktural
(34). Pengeluaran pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan Struktural (35). Pengeluaran pemerintah total
Identitas
3. Blok Penawaran Agregat (36-38) (36). Nilai produksi sektor pertanian
Struktural
(37). Nilai produksi sektor industri
Struktural
(38). Nilai produksi sektor jasa
Struktural
4. Blok Permintaan Agregat (39-45) (39). Konsumsi
Struktural
(40). Investasi sektor pertanian
Struktural
(41). Investasi sektor industri
Struktural
(42). Investasi sektor jasa
Struktural
(43). Investasi total
Identitas
(44). Nilai ekspor
Struktural
(45). Nilai impor
Struktural
72
5. Blok Moneter (46-48) (46). Permintaan Uang
Struktural
(47). Penawaran Uang
Struktural
(48). Suku bunga
Struktural
6. Blok Keseimbangan Makro (49-52) (49). Permintaan agregat
Identitas
(50). Penawaran agregat
Identitas
(51). Indeks harga konsumen
Struktural
(52). Inflasi nasional
Identitas
4.1.1.1.Penawaran Tenaga Kerja (St) Penawaran tenaga kerja berpendidikan rendah: SPRt
= ao + a1 (Wt-Wt-1) + a2 (PHKt-PHKt-1) + a3 POPt + a4 SPRt-1 + U1t ..................................................................................
(1)
Penawaran tenaga kerja berpendidikan menengah: SPMt = bo + b1 Wt + b2 POPt + b3 GEPKt-1 + b4 SPMt-1 + U2t ........
(2)
Penawaran tenaga kerja berpendidikan tinggi: SPTt
= co + c1 Wt + c2 POPt + c3 GEPKt-1 + c4 SPTt-1 + U3t ….....
(3)
Penawaran tenaga kerja total: St
= SPRt + SPMt + SPTt ..............................................................
Parameter dugaan yang diharapkan: a1, a2, a3 >0; 0 < a4 <1 c1, c2, c3 >0; 0 < c4 <1
b1, b2, b3 >0; 0 < b4 <1
(4)
73
S Kebijakan: − Upah minimum − Serikat Buruh
UT
W
GTR
GEP
TAX
GEI
D
GEIS
1. Blok Pasar Tenaga Kerja
GDPP
GEP
CPI
2. Blok Fiskal
Kebijakan pengeluaran pembanguna n untuk infrastruktu r
Kebijakan: − Suku Bunga − Kasus Pemogoka
GDPI
AS
GDPJ
AD
3. Blok Penawaran Agregat
6. Blok Keseimbang an Makro
IP
C
MD
II
TI
SB
INF
MS
5. Blok Moneter
IJ
X
4. Blok Permintaan Agregat
M
Gambar 12. Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia
GET
74
4.1.1.2.Permintaan Tenaga Kerja (Dt) Permintaan tenaga kerja berpendidikan rendah di sektor pertanian: DPRPt = do + d1 WPt + d2 GDPPt + d3 TKIPt + d4 DPRPt-1 + U4t ...
(5)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan rendah di sektor industri: DPRIt = eo + e1 WIt + e2 GDPIt + e3 JPt + e4JPKt + e5 TKIIt + e6 DPRIt-1 + U5t ………………………………...............
(6)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan rendah di sektor jasa: DPRJt = fo + f1 (WJt-WJt-1) + f2 GDPJt + f3 PNSRt + f4 DPRJt-1 + U6t ...................................................................................
(7)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan rendah: DPRt = DPRPt + DPRIt + DPRJt + DPRLt
..................................
(8)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan menengah di sektor pertanian: DPMPt = go + g1 WPt + g2 GDPPt + g3 TKMIt + g4 DPMPt-1 + U7t ...
(9)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan menengah di sektor industri: DPMIt = ho + h1 WIt-1 + h2 GDPIt + h3 JPKt + h4 DPMIt-1 + U8t .......
(10)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan menengah di sektor jasa: DPMJt = io + i1 WJt + i2 GDPJt + i3 TKFJt + i4 DPMJt-1 + U9t ........
(11)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan menengah: DPMt = DPMPt + DPMIt + DPMJt + DPMLt .................................
(12)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan tinggi di sektor pertanian: DPTPt = jo + j1 WPt + j2 GDPPt + j3 TKTIt + j4 DPTPt-1 + U10t .......
(13)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan tinggi di sektor industri: DPTIt = ko + k1 WIt + k2 GDPIt + k3 JPKt + k4 DPTIt-1 + U11t .......
(14)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan tinggi di sektor jasa: DPTJt = lo + l1 (WJt-WJt-1) + l2 GDPJt + l3 DPTJt-1 + U12t ..............
(15)
75
Permintaan tenaga kerja berpendidikan tinggi: DPTt = DPTPt + DPTIt + DPTJt + DPTLt .....................................
(16)
Permintaan tenaga kerja sektor pertanian: DPt
= DPRPt + DPMPt + DPTPt ................................................... (17)
Permintaan tenaga kerja sektor industri: DIt
= DPRIt + DPMIt + DPTIt ...................................................
(18)
Permintaan tenaga kerja sektor jasa: DJt
= DPRJt + DPMJt + DPTJt ....................................................
(19)
Permintaan tenaga kerja total: Dt
= DPRt + DPMt + DPTt …………......................................…
(20)
Parameter dugaan yang diharapkan: d2, d3 > 0 ; d1 < 0 ; 0
e2, e3, e4, e5 > 0 ; e1 < 0 ; 0 <e6< 1
f2, f3 >0 ; f1 <0 ; 0
g2, g3 > 0 ; g1 < 0 ; 0
h2, h3 > 0 ; h1 < 0 ; 0
i2, i3 >0 ; i1 <0 ; 0
j2, j3 > 0 ; j1 < 0 ; 0 <j4< 1
k2, k3 > 0 ; k1< 0 ; 0
l2 >0 ; l1 <0 ; 0
4.1.1.3.Tingkat Pengangguran (UTt) Tingkat pengangguran tenaga kerja berpendidikan rendah: UPRt =
SPRt − DPRt * 100 ........................................................... St
(21)
Tingkat pengangguran tenaga kerja berpendidikan menengah: UPM t =
SPM t − DPM t * 100 ........................................................ St
(22)
76
Tingkat pengangguran tenaga kerja berpendidikan tinggi: UPTt =
SPTt − DPTt * 100 ............................................................. St
(23)
Tingkat pengangguran total:
UTt = UPRt + UPM t + UPTt ............................................................
(24)
4.1.1.4.Upah Rata-rata (Wt) Upah rata-rata sektor pertanian: WPt
= mo + m1 UMPt + m2 KHMt + m3 DEFPt + m4 TKFPt + m5 St + m6 WPt-1 + U13t .............................................................
(25)
Upah rata-rata sektor industri: WIt
= no + n1 UMIt + n2 KHMt + n3 DEFIt + n4 TKFIt + n5 St + n6 WIt-1 + U14t ............................................................... (26)
Upah rata-rata sektor jasa: WJt
= oo+ o1UMJt + o2KHMt + o3DEFJt + o4TKFt-1 + o5St + o6WJt-1 + U15t …………………………………………. (27)
Upah rata-rata: Wt
= po + p1 (UMRt-UMRt-1)+ p2 WPt + p3WIt + p4(WJt-WJt-1) + p5 WLt + p6 Wt-1 + U16t ………………………………
Parameter dugaan yang diharapkan: m1, m2, m3, m4 > 0; m5 < 0; 0 < m6 < 1 n1, n2, n3, n4 > 0; n5 < 0; 0 < n6 < 1 o1, o2, o3, o4 > 0 ; o5 < 0 ; 0 < o6 < 1 p1, p2, p3, p4, p5 > 0; 0 < p6 < 1
(28)
77
4.1.2. Blok Fiskal Penerimaan pajak: TAXt = q0 + q1 ASt +q2 TAXt-1 + U17t ............................................
(29)
Penerimaan pemerintah total: GTRt = TAXt + NTAXt ..................................................................
(30)
Pengeluaran pembangunan sektor pertanian: GEPt = ro + r1 (GTRt-GTRt-1) + r2 INFt-1 + r3 (GDPt/ ASt) + U18t ..
(31)
Pengeluaran pembangunan sektor industri: GEIt
= so + s1 (GTRt-GTRt-1) + s2 INFt-1 + s3 GRIt + U19t ...........
(32)
Pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur: GEISt = to + t1 (GTRt-GTRt-1) + t2 INFt-1 + t3 GEISt-1 + U20t ..........
(33)
Pengeluaran pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan: GEPKt = uo+ u1(UTt-UTt-1) + u2 GTRt + u3 INFt-1 + u4 GEPKt-1 + U21t ...............................................................................
(34)
Pengeluaran pemerintah total: GETt = GEPt + GEIt + GEISt + GEPKt + GELt ..............................
(35)
Parameter dugaan yang diharapkan: q1 > 0 ; 0 < q2 < 1
r1, r2, r3 > 0
s1, s2, s3 > 0
t1, t2 > 0 ; 0 < t3< 1
u1, u2, u3 > 0; 0 < u4< 1
4.1.3. Blok Penawaran Agregat Nilai produksi sektor pertanian: GDPPt = vo + v1 DPt + v2 DEFPt + v3 (IPt-IPt-1) + v4 (GEPt-GEPt-1) + v5 (GEISt-GEISt-1) + v6 GDPPt-1 + U22t .......................
(36)
78
Nilai produksi sektor industri: GDPIt = wo + w1 DIt + w2 DEFIt + w3 IIt + w4 (GEIt-GEIt-1) + w3 KUKt + w6 GEISt + w7 GDPIt-1 + U23t ..................
(37)
Nilai produksi sektor jasa: GDPJt = xo + x1 (DJt-DJt-1) + x2DEFJt-1 + x3 IJt + x4 GEISt-1 + x5 GDPJt-1 + U24t .............................................................
(38)
Parameter dugaan yang diharapkan: v1, v2, v3, v4, v5 > 0 ; 0 < v6 < 1 w1, w2, w3, w4, w5 > 0; 0 < w7 < 1 x1, x2, x3, x4 > 0 ; 0 < x5 < 1
4.1.4. Blok Permintaan Agregat Konsumsi: Ct = y0 + y1 (ASt /POPt) + y2 INF + y3 Ct-1 + U25t …...…...........….
(39)
Parameter dugaan yang diharapkan : y1 > 0 ; y2 < 0 ; 0 < y3 < 1. Investasi sektor pertanian: IPt = zo + z1 (SBt-SBt-1) + z2 UMRt + z3 ASt-1 + z4 (KPt-KPt-1) + z5 DDF + z6 IPt-1 + U26t .......................................................
(40)
Investasi sektor industri: IIt = aao + aa1 (SBt-SBt-1) + aa2 UMRt + aa3 ASt + aa4 KPt + aa5 DDF + aa6 IIt-1 + U27t .....................................................
(41)
Investasi sektor jasa: IJt = abo + ab1 SBt + ab2 UMRt-1 + ab3 ASt + ab4 KPt-1 + ab5 DDF + ab6 IJt-1 + U28t .......................................................................
(42)
79
Investasi total: TIt = IPt + IIt + IJt + ILt
....……….....………………...………...
(43)
Parameter dugaan yang diharapkan: z3, z5 > 0 z1, z2, z4 < 0 ; 0 < z6 < 1 aa3, aa5 > 0 ; aa1, aa2, aa4 < 0 ; 0< aa6 < 1 ab3, ab5 > 0 ; ab1, ab2, ab4 < 0 ; 0< ab6 < 1 Nilai Ekspor: Xt = ac0 + ac1 ERt + ac2 ASt + ac3 Xt-1 + U29t .................................
(44)
Parameter dugaan yang diharapkan: ac1, ac2 > 0; 0 < ac3 < 1. Nilai Impor: Mt = ad0 + ad1 ERt + ad2 ASt + ad3 Mt-1 + U30t ......................…….
(45)
Parameter dugaan yang diharapkan: ad2 > 0; ad1<0 ; 0 < ad3 < 1
4.1.5. Blok Moneter Permintaan uang: MDt
= ae0 + ae1 ADt + ae2 (SBt-SBt-1) + ae3 DKE + ae4 MDt-1 + U31t ................................................................................
(46)
Parameter dugaan yang diharapkan: ae1, ae3 > 0; ae2< 0; 0 < ae4< 1 Penawaran uang: MSt
= af0 + af1 ADt + af2 SBt + af3 (ERt-ERt-1) + af4 MSt-1 + U32t ................................................................................
Parameter dugaan yang diharapkan: af1, af2, af3 > 0; 0 < af4< 1
(47)
80
Suku bunga: SBt
= ag0 + ag1 (MSt-MSt-1) + ag2 ADt-1 + ag3 INFt-1 + ag4 SBt-1 + U33t .................................................................................
(48)
Parameter dugaan yang diharapkan: ag2, ag3 > 0; ag1 < 0; 0 < ag4< 1
4.1.6. Blok Keseimbangan Makro Permintaan Agregat: ADt
= Ct + TIt + GETt + Xt – Mt ………………………............
(49)
Penawaran Agregat: ASt
= GDPPt + GDPIt + GDPJt + GDPLt ................................... (50)
Indeks harga konsumen: CPIt
= aho + ah1 SBt-1 + ah2 Wt-1 + ah3 CPIt-1 + U34t .....................
(51)
Inflasi nasional:
INFt =
CPI t − CPI t −1 × 100 ............................................................... (52) CPI t −1
Parameter dugaan yang diharapkan: ah1, ah2 > 0; 0 < ah3< 1
4.2.
Prosedur Analisis
Untuk menjawab tujuan penelitian pertama digunakan analisis deskriptif. Analisis tersebut menguraikan permasalahan pokok kebijakan ketenagakerjaan di era otda yang dirangkum dari lokakarya kebijakan pasar tenaga kerja dan hubungan industrial untuk memperluas kesempatan kerja yang dilaksanakan pada tanggal 16 September 2003.
81
4.2.1. Identifikasi Model
Indentifikasi model ditentukan atas dasar
“order condition” sebagai
syarat keharusan dan “rank condition” sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh: (K - M) > (G - 1) Keterangan: K = Total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah predetermined.
M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model, dan G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam model.
Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut. ( K – M ) > ( G – 1 ) = maka
persamaan
dinyatakan
teridentifikasi
secara
berlebih (overidentified) (K – M ) = ( G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified ), dan (K – M ) < (G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified).
Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentified
untuk dapat menduga parameter-parameternya.
Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat
82
perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan, bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977) Model yang dirumuskan terdiri 52 peubah endogen (G), dan 71 peubah predetermined variable terdiri dari 34 peubah eksogen dan 37 lag endogenous variabel. Sehingga total peubah dalam model (K) adalah 123, jumlah maksimum
peubah dalam persamaan (M) adalah 7 peubah. Maka berdasarkan kriteria order condition maka setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified.
4.2.2. Metode Pendugaan Model
Dari hasil identifikasi model, maka model dinyatakan over identified, dalam hal ini untuk pendugaan model dapat dilakukan dengan 2SLS (Two Stage Least Squares), 3SLS (Three Stage Least Squares). Metode pendugaan model
yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran
maupun kesalahan spesifikasi
model (Syafa’at, 1999). Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersamasama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing
83
variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t taraf nyata 25 persen selanjutnya uji serial korelasi dengan menggunakan statistik dw (Durbin-Waston Statistics).
4.2.3. Validasi Model
Asumsi dapat mempengaruhi kebenaran suatu teori (Woodhouse, 2006). Asumsi yang digunakan dalam membangun model dalam studi ini adalah sebagai berikut: 1. Upah minimum ditargetkan untuk buruh berpendidikan rendah, tanpa pengalaman, nol masa kerja dan berstatus lajang. Diasumsikan nilai upah minimum ditetapkan di atas upah keseimbangan pasar sehingga persamaan identitas tingkat pengangguran dalam model menggambarkan kondisi disequilibrium pasar TK.
2. Diasumsikan upah di pasar TK kaku pada tingkat tertentu dan tidak meningkat ketika permintaan TK bergeser (Sticky Wages). Akibatnya, bila perekonomian melemah, kurva permintaan TK bergeser ke kiri dan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja. Sebaliknya, bila terjadi pergeseran kurva permintaan TK ke kanan, kesempatan kerja meningkat tetapi tingkat upah relatif tidak berubah. Peningkatan upah di pasar TK disebabkan karena adanya tuntutan serikat pekerja. 3. Kekuatan serikat buruh dalam menuntut kenaikan upah diproksi dengan peubah jumlah tenaga kerja di sektor formal. Diasumsikan tenaga kerja formal adalah pekerja dengan status pekerjaan utama sebagi buruh tetap/ karyawan/ pegawai. Sementara tenaga kerja informal adalah tenaga kerja dengan status pekerjaan utama: (1) berusaha sendiri tanpa dibantu orang
84
lain, (2) berusaha sendiri dengan dibantu anggota rumah tangga, (3) pekerja bebas pertanian, (4) pekerja bebas di non pertanian, dan (5) pekerja tidak dibayar. 4. Diasumsikan tidak ada perubahan struktural selama tahun 2007-2010 ke depan. Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata (Pindyck and Rubinfield, 1991). Kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Means Squares Error (RMSE), (Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U).
RMSE adalah rata-rata kuadrat dari perbedaan nilai estimasi dengan nilai observasi suatu variabel. Jika nilai RMSE semakin kecil maka estimasi model atau variabel tersebut semakin valid. Nilai statistik RMSE adalah: T
RMSE = (1 / T )∑ (Ys − Ya) 2 t =1
RMSPE adalah rata-rata kuadrat dari proporsi perbedaan nilai estimasi dengan nilai observasi suatu variabel. Jika nilai RMSPE semakin kecil maka estimasi model atau variabel tersebut semakin valid. Nilai statistik RMSPE adalah: T
RMSPE = (1 / T )∑ [(Ys − Ya) / Ya] 2 t =1
U adalah perbandingan RMSE dengan penjumlahan rata-rata kuadrat nilai estimasi dan rata-rata kuadrat nilai observasi suatu model atau variabel. Nilai U
85
maksimum adalah satu (estimasi model atau variabel naif) dan nilai U minimum nol (estimasi model atau variabel sempurna). Jika nilai U mendekati nol maka estimasi model atau variabel tersebut semakin valid. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1 maka pendugaan model naif. Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan UTheil’s dan makin besar nilai R², maka pendugaan model semakin baik. Nilai statistik U adalah: T
U =
(1 / T )∑ (Ys − Ya) 2 t =1
T
T
t =1
t =1
(1 / T )∑ Ys 2 + (1 / T )∑ Ya 2
Nilai U terdiri dari tiga komponen, yaitu proporsi bias (UM), proporsi varians (US) dan proporsi kovarians. UM adalah perbandingan selisih nilai ratarata estimasi dan nilai rata-rata observasi kuadrat suatu model atau variabel dengan rata-rata kuadrat dari selisih nilai estimasi dan nilai observasi suatu model atau variabel. Menurut Pyndick and Rubinfeld [1991], suatu estimasi model atau variabel dikatakan valid jika UM < 0,20 karena UM merupakan systematic error. Nilai statistik UM adalah:
(Y s − Ya ) UM = (1 / T )∑ (Ys − Ya) 2
T
2
t =1
US adalah perbandingan antara kuadrat selisih standar deviasi nilai estimasi dan standar deviasi nilai observasi suatu model atau variabel dengan ratarata kuadrat dari selisih nilai estimasi dan nilai observasi suatu model atau variabel. Jika nilai US semakin kecil maka estimasi model atau variabel semakin valid. Nilai statistik US adalah:
86
US =
(σ s − σ a ) T
(1 / T )∑ (Ys − Ya) 2 t =1
UC adalah ukuran unsystematic error dari estimasi suatu model atau variabel. Semakin besar nilai UC semakin valid estimasi suatu model atau variabel. Nilai statistik UC adalah:
UC =
[2(1 − ρ )σ sσ a ] T
(1 / T )∑ (Ys − Ya) 2 t =1
UM + US + UC = 1
dimana T, Ys, YsM, Ya, YaM, σs, σa dan ρ masing-masing adalah jumlah observasi, nilai estimasi model, nilai rata-rata estimasi model, nilai observasi model, nilai ratarata observasi model, standar deviasi nilai estimasi model, standar deviasi nilai observasi model dan koefisien korelasi antara nilai estimasi dengan nilai observasi model. Validasi dilakukan dengan hasil estimator 2 SLS.
4.2.4. Simulasi Kebijakan
Simulasi kebijakan era otonomi daerah yang dilakukan adalah simulasi historis (ex-post simulation) tahun 2001-2004 dan simulasi peramalan (ex-ante simulation) tahun 2007-2010. Alternatif simulasi kebijakan historis tahun 20012004 yang dilakukan: Simulasi 1 : Upah minimum tetap masing-masing sebesar nilai tahun 2000 (tidak ada penyesuaian nilai upah minimum sejak tahun 2001). Simulasi 2 : Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 1 persen, dimana kenaikan tersebut dibawah rata-rata tingkat inflasi 2001-2004.
87
Simulasi 3 : Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 8.83 persen yang sama dengan rata-rata tingkat inflasi 2001-2004. Simulasi 4 : Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 10 persen, dimana kenaikan tersebut lebih besar dari rata-rata tingkat inflasi 2001-2004. Simulasi 5 : Penurunan kekuatan serikat buruh TKFP 90 persen, TKFI 2 persen, dan TKF 2,5 persen. Simulasi 6 : Penurunan kasus pemogokan 50 persen. Simulasi 7 : Penurunan suku bunga 5 persen. Simulasi 8 : Peningkatan pengeluaran infrastruktur 25 persen. Simulasi 9 : Kombinasi simulasi 4 dan 5. Simulasi 10 : Kombinasi simulasi 7 dan 8.
Alternatif kebijakan simulasi peramalan tahun 2007-2010 yang dilakukan: Simulasi 1
: Upah minimum tetap masing-masing sebesar nilai tahun 2006 (tidak ada penyesuaian nilai upah minimum sejak tahun 2007).
Simulasi 2
: Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 1 persen, dimana kenaikan tersebut dibawah rata-rata tingkat inflasi 2007-2010.
Simulasi 3
: Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 6.64 persen yang sama dengan rata-rata tingkat inflasi 2007-2010.
Simulasi 4
: Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 8 persen, dimana kenaikan tersebut lebih besar dari rata-rata tingkat inflasi 2007-2010 sebesar 8 persen.
Simulasi 5
: Penurunan kekuatan serikat buruh TKFP 90 persen, TKFI 1.5 persen, dan TKF 2,5 persen.
Simulasi 6
: Penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa 50 persen.
Simulasi 7
: Penurunan suku bunga 6 persen.
Simulasi 8
: Peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen.
Simulasi 9
: Kombinasi simulasi 4 dan 5.
Simulasi 10 : Kombinasi simulasi 7 dan 8.
88
Simulasi 11 : Kombinasi simulasi 4, 5 dan 8. Simulasi 12 : Kombinasi simulasi 6, 7 dan 8.
4.2.5. Defenisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan variabel kualitatif dan kuantitatif. Variabel kualitatif yaitu variabel Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) dan Dummy Krisis Ekonomi (DKE). Variabel kuantitatif yang diukur dalam nilai rupiah, seluruhnya telah diriilkan dengan GDP deflator tahun dasar 1990 seperti pada Tabel 11. Tabel 11. Defenisi Operasional Variabel No.
Notasi
Definisi Variabel A. Variabel Endogen
Satuan
1.
SPR
Penawaran TK berpendidikan rendah
Ribu org/ tahun
2.
SPM
Penawaran TK berpendidikan menengah
Ribu org/ tahun
3.
SPT
Penawaran TK berpendidikan tinggi
Ribu org/ tahun
4.
S
Penawaran TK total
Ribu org/ tahun
5.
DPRP
Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor pertanian
Ribu org/ tahun
6.
DPRI
Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor industri
Ribu org/ tahun
7.
DPRJ
Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor jasa
Ribu org/ tahun
8.
DPR
Permintaan TK berpendidikan rendah
Ribu org/ tahun
9.
DPPMP
Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor pertanian Ribu org/ tahun
10.
DPMI
Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor industri
Ribu org/ tahun
11.
DPMJ
Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor jasa
Ribu org/ tahun
12.
DPM
Permintaan TK berpendidikan menengah
Ribu org/ tahun
13.
DPTP
Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor pertanian
Ribu org/ tahun
14.
DPTI
Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor industri
Ribu org/ tahun
15.
DPTJ
Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor jasa
Ribu org/ tahun
16.
DPT
Permintaan TK berpendidikan tinggi
Ribu org/ tahun
17.
DP
Permintaan TK sektor pertanian
Ribu org/ tahun
18.
DI
Permintaan TK sektor industri
Ribu org/ tahun
19.
DJ
Permintaan TK sektor jasa
Ribu org/ tahun
89
20.
D
Permintaan TK total
Ribu org/ tahun
21.
UPR
Tingkat pengangguran berpendidikan rendah
Persen/tahun
22.
UPM
Tingkat pengangguran berpendidikan menengah
Persen/tahun
23.
UPT
Tingkat pengangguran berpendidikan tinggi
Persen/tahun
24.
UT
Tingkat pengangguran total
Persen/tahun
25.
WP
Upah rata-rata sektor pertanian
Rupiah/ tahun *
26.
WI
Upah rata-rata sektor industri
Rupiah/ tahun *
27.
WJ
Upah rata-rata sektor jasa
Rupiah/ tahun *
28.
W
Upah rata-rata
Rupiah/ tahun *
29.
TAX
Penerimaan pajak
Milyar Rp./thn *
30.
GTR
Penerimaan pemerintah total
Milyar Rp./thn *
31.
GEP
Pengeluaran pembangunan sektor pertanian
Milyar Rp./thn *
32.
GEI
Pengeluaran pembangunan sektor industri
Milyar Rp./thn *
33.
GEIS
Pengeluaran pembangunan infrastruktur
Milyar Rp./thn *
34.
GEPK
Pengeluaran pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan
Milyar Rp./thn *
35.
GET
Pengeluaran pemerintah total
Milyar Rp./thn *
36.
GDPP
Nilai produksi sektor pertanian
Milyar Rp./thn *
37.
GDPI
Nilai produksi sektor industri
Milyar Rp./thn *
38.
GDPJ
Nilai produksi sektor jasa
Milyar Rp./thn *
39.
C
Konsumsi
Milyar Rp./thn *
40.
IP
Investasi sektor pertanian
Milyar Rp./thn *
41.
II
Investasi sektor industri
Milyar Rp./thn *
42.
IJ
Investasi sektor jasa
Milyar Rp./thn *
43.
TI
Investasi total
Milyar Rp./thn *
44.
X
Nilai ekspor
Milyar Rp./thn *
45.
M
Nilai impor
Milyar Rp./thn *
46.
MD
Total permintaan uang
Milyar Rp./thn *
47.
MS
Total penawaran uang
Milyar Rp./thn *
48.
SB
Suku bunga nominal
Persen/tahun
49.
AD
Permintaan agregat
Milyar Rp./thn *
50.
AS
Penawaran agregat
Milyar Rp./thn *
51.
CPI
Indeks Harga Konsumen
90
52.
INF
Inflasi nasional
Persen/tahun
B. Variabel Eksogen
1.
DDF
Dummy desentralisasi fiskal tahun >2001=1, lainnya= 0
2.
DEFI
Indeks harga sektor industri
3.
DEFP
Indeks harga sektor pertanian
4.
DEFJ
Indeks harga sektor jasa
5.
DPML
Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor lainnya
Ribu org/ tahun
6.
DPRL
Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor lainnya
Ribu org/ tahun
7.
DPTL
Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor lainnya
Ribu org/ tahun
8.
DKE
Dummy krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998=1, tahun lainnya= 0
9.
ER
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
Rp./$US
10.
GDPL
Nilai produksi sektor lainnya
Milyar Rp./thn *
11.
GEL
Pengeluaran pembangunan sektor lainnya
Milyar Rp./thn *
12.
GR
Pertumbuhan ekonomi
Persen/tahun
13.
GRI
Pertumbuhan sektor industri
Persen/tahun
14.
IL
Investasi total sektor lainnya
Milyar Rp./thn *
15.
JP
Jumlah perusahaan besar dan sedang dalam industri
Perushn/ tahun
16.
JPK
Jumlah penyelesaian kasus hubungan industri
Kasus/ tahun
17.
KHM
Kebutuhan hidup minimum
Rupiah/ tahun *
18.
KUK
Kredit usaha kecil
Milyar Rp./thn *
19.
NTAX
Penerimaan pemerintah di luar pajak
Milyar Rp./thn *
20.
PHK
Jumlah PHK
Orang/tahun
21.
PNSR
Jumlah PNS berpendidikan rendah
Ribu org/ tahun
22.
POP
Jumlah penduduk Indonesia
Ribu org/ tahun
23.
TAX
Nilai penerimaan pajak
Milyar Rp./thn *
24.
TKF
Jumlah TK di sektor formal
Ribu org/ tahun
25.
TKIP
Jumlah TK di sektor informal pertanian
Ribu org/ tahun
26.
TKFP
Jumlah TK di sektor formal pertanian
Ribu org/ tahun
27.
TKMI
Jumlah TK berpendidikan menengah di sektor informal
Ribu org/ tahun
28.
TKFJ
Jumlah TK di sektor formal jasa
Ribu org/ tahun
29.
TKTI
Jumlah TK berpendidikan Tinggi di sektor
Ribu org/ tahun
91
30.
UMI
Upah minimum industri
Rupiah/ tahun *
31.
UMJ
Upah minimum jasa
Rupiah/ tahun *
32.
UMP
Upah minimum pertanian
Rupiah/ tahun *
33.
UMR
Upah Minimum Rata-rata
Rupiah/ tahun *
34.
WL
Rata-rata upah sektor lainnya
Rupiah/ tahun *
Keterangan : * nilai diriilkan dengan GDP deflator tahun dasar 1990. 4.2.6. Jenis dan Sumber Data
Studi ini menggunakan data sekunder time series tahunan dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2004. Sumber data sekunder berasal dari Badan Pusat Statistisk, Bank Indonesia, Litbang Kompas, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Nota Keuangan Departemen Keuangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Dirjen Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja. Sumber data isuisu kebijakan era otda berasal dari laporan hasil lokakarya kebijakan pasar tenaga kerja yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian SMERU dan Bappenas pada tanggal 16 September 2003 di Surabaya.
V. DESKRIPSI KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI ERA OTDA
Pemerintah Indonesia telah melakukan intervensi pada pasar tenaga kerja dalam bentuk Undang-Undang Ketenagakerjaan sejak tahun 1956 (Lampiran 1). Namun, perkembangan kebutuhan masyarakat di era industrialisasi yang kompleks dan era otonomi daerah telah mendorong pemerintah untuk melakukan penyesusuain undang-undang. Menurut Bappenas, undang-undang ketenagakerjaan di era otonomi daerah khususnya UU No.13 Tahun 2003 telah memberikan sumbangan positif terhadap pasar tenaga kerja Indonesia.
Undang-undang tersebut telah sejalan dengan
berbagai konvensi ILO yang telah diratifikasi.
Dalam undang-undang
ketenagakerjaan khususnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengatur kelembagaan, aturan-aturan dan prosedur guna menyelesaikan perselisihan hubungan industial. Undang-undang tersebut juga menetapkan baik mekanisme
pengadilan
maupan
mekanisme
diluar
pengadilan
untuk
menyelesaikan perselisihan industrial antara pemberi kerja dan pekerja/ serikat pekerja serta menyelesaikan perselisihan diantara serikat pekerja. Undang-undang tersebut membedakan berbagai jenis perselisihan yaitu: a. Perselisihan kepentingan (contoh: perselisihan perjanjian kerja bersama baru). b. Perselisihan hak (contoh: hak lembur, hak cuti, hak atas upah minimum). c. Perselisihan akibat PHK. d. Perselisihan antara sesama serikat pekerja diperusahaan yang sama.
93
5.1.
Kebijakan Ketenagakerjaan Era Otda
Ada beberapa aspek positif dalam Undang-undang ketenagakerjaan era otonomi daerah terutama yang menyangkut kerangka hubungan industrial. Pertama, undang-undang tersebut menjamin kebebasan dan hak serikat pekerja. Kedua, undang-undang tersebut mendorong perundingan bersama ditingkat perusahan dan mewajibkan pemberi kerja menegosiasikan perjanjian kerja bersama dengan serikat pekerja di perusahaan-perusahaan yang memiliki pekerja lebih dari 10 orang.
Ketiga, undang-undang tersebut juga menghilangkan
ketidakpastian mengenai masalah representasi oleh serikat pekerja dalam proses perundingan bersama yang tidak diatur dalam UU No. 21/200 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. Meskipun demikian, dalam kerangka hubungan industrial era otonomi daerah terdapat beberapa kelemahan yang berpotensi menghambat perkembangan perundingan bersama dan penyelesaian perselisihan secara sukarela yang sehat dalam jangka panjang. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah: 1. UU ketenagakerjaan tersebut mengatur berbagai jenis perlindungan dan standar ketenagakerjaan dalam ruang lingkup luas, sehingga kurang tersedia ruang untuk dapat berbagi hal yang sebetulnya bisa diperoleh dari proses negosiasi oleh pihak pekerja dan pihak perusahaan. 2. UU ketenagakerjaan tersebut tidak membuat kerangka yang jelas untuk mendorong pihak pemberi kerja, pekerja dan serikat pekerja untuk bertindak dengan itikad baik dalam menjalin hubungan di antara mereka. 3. Melalui UU tersebut banyak pihak berpendapat bahwa pemerintah berupaya membentuk suatu sistem hubungan industrial dimana pemerintah
94
terlibat secara berlebihan dalam administrasi dan pelaksanaannya. Hal ini sangat berbeda dengan praktek internasional dalam hubungan industrial yang semakin mengarah pada penyelesaian perselisihan secara sukarela dan perundingan bersama di tingkat perusahaan agar diperoleh perlindungan ketenagakerjaan sekaligus pertumbuhan produktivitas.
Secara umum, ada beberapa bagian dari UU ketenagakerjaan era otonomi daerah yang dalam pelaksanaannya telah mengurangi fleksibilitas pasar tenaga kerja.
Hal ini disebabkan pelaksanaan UU tersebut tidak melihat kondisi
perusahaan dan jenis usaha. Berbagai pelaksanaan UU tersebut dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu: (1) kebijakan upah minimum, (2) ketentuan PHK dan pemberian uang pesangon serta (3) ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan ketenagakerjan di tingkat perusahaan.
5.1.1. Kebijakan Upah Minimum
Penetapan kebijakan upah minimum telah mengalami perubahan mendasar pada era otonomi daerah.
Upah minimum ditetapkan gubernur berdasarkan
rekomendasi walikota/ bupati serta komisi pengupahan. Penetapan besaran upah minimum mengacu kepada KHM pekerja lajang per bulan sebagaimana yang diputuskan Kepmenaker 81/95.
Komisi Pengupahan pada semua level adalah
lembaga tripartit yang terdiri dari pemerintah, serikat pengusaha dan serikat pekerja, yang melakukan negoisasi untuk merekomendasikan upah minimum yang ditetapkan. Rekomendasi upah minimum oleh Komisi Pengupahan Kota/ Kabupaten kepada Walikota/ Bupati didasarkan pada survey bersama terhadap
95
harga kebutuhan hidup minimum melalui proses dialog dan negosiasi dengan memperhatikan angka inflasi upah daerah sekitar. Perubahan-perubahan ketentuan dalam penetapan besaran upah minimum telah menyebabkan kenaikan upah minimum yang tinggi pada era otonomi daerah. Hasil penelitian Lembaga Penelitian Smeru menunjukkan bahwa secara rata-rata kenaikan upah minimum ril telah mencapai 20 persen pada era otonomi daerah. Selanjutnya dilaporkan bahwa rasio upah minimum terhadap upah ratarata di pasar tenaga kerja telah mendekati 64 persen untuk pekerja perempuan, 70 persen untuk pekerja berpendidikan rendah dan 80 persen untuk pekerja usia muda (Lembaga Penelitian Smeru, 2004). Pelaksanaan kebijakan upah minimum pada era otonomi daerah telah menyebabkan peningkatan upah minimum yang terlalu cepat tanpa melihat kondisi perekonomian, perusahaan dan produktivitas pekerja.
Hasil kajian
Lembaga Penelitian Smeru menyimpulkan bahwa kenaikan upah minimum yang relatif tinggi pada era otonomi daerah di seluruh Indonesia disebabkan oleh sejumlah kelemahan dalam proses penetapan besaran upah minimum. Faktorfaktor tersebut diantaranya: (1) ketergantungan yang besar terhadap indeks kebutuhan hidup minimum, (2) penetapan indeks secara kurang hati-hati sejak diberlakukannya otonomi daerah, (3) tidak adanya pedoman mengenai bagaimana menggunakan kriteria lain dalam penetapan upah minimum, dan (4) rendahnya partisipasi stakeholder utamanya dalam proses penetapan upah.
Beberapa
pengamat ketenagakerjaan juga menyimpulkan proses penetapan upah minimum menjadi semakin rumit sejak penyerahan kewenangan penetapan upah minimum kepada pemerintah daerah di era otonomi.
96
Kebijakan upah minimum era otonomi daerah dapat dianggap telah melebihi tujuan yang dimaksudkan sebagai jaring pengaman bagi kelompok pekerja marjinal. Kenaikan upah minimum yang tinggi pada era otonomi daerah mulai berdampak pada keunggulan komparatif Indonesia pada industri-industri padat karya. Kenaikan biaya upah yang tinggi sejak tahun 2001 dan ketidak pastian dalam lingkungan hubungan industrial telah mempengaruhi daya saing beberapa industri utama padat karya yang kemudian mulai berdampak terhadap investasi di sektor tersebut (Smeru research Team, 2004). Dengan demikian, kuat dugaan bahwa kebijakan upah minimum dan buruknya lingkungan hubungan industrial merupakan dua faktor penting yang mempengaruhi daya saing.
Disamping itu faktor-faktor lain yang juga
mempengaruhi daya saing seperti yang dilaporkan hasil survey Bappenas, diantaranya: (1) hambatan infrastruktur, (2) biaya operasi pelabuhan yang tinggi, (3) korupsi dalam administrasi pabean dan pajak, dan (4) pungutan pajak yang dilakukan pemerintah daerah seperti pada Tabel 12. Hasil kajian Lembaga Penelitian Smeru melaporkan bahwa kenaikan upah minimum yang terlalu cepat pada saat kondisi pertumbuhan ekonomi rendah tidak saja berpengaruh negatif terhadap prospek pekerja memperoleh pekerjaan di sektor formal, tetapi juga terhadap pendapatan penduduk miskin yang semakin banyak memadati sektor informal.
Selain itu tingkat pengangguran terbuka
menjadi lebih tinggi terutama di kalangan angkatan kerja usia muda.
97
Tabel 12. Isu-isu Kebijakan Dominan Berkenaan dengan Industri Padat Karya Berorientasi Ekspor Isu
Pokok Persoalan
Tanggapan
1. Kebijakan Ketenagakerjaan
Kebijakan upah minimum
− Kenaikan upah minimum terlalu tinggi dan terlalu cepat melebihi pertumbuhan produktivitas. − Kenaikan yang terjadi baru-baru ini menyebabkan pekerja mengharapkan kenaikan yang besar di masa mendatang. − Ketidakpastian ini mendorong banyak perusahaan untuk melakukan penggunaan mesin untuk produksinya.
Ketentuan uang Pesangon
Ketentuan uang pesangon berpotensi menimbulkan biaya tinggi.
Keberadaan lebih dari satu serikat pekerja di perusahaan yang sama
Keberadaan lebih dari satu serikat pekerja di perusahaan yang sama dipandang sebagai masalah utama asalkan ada peraturan yang jelas untuk memilih serikat pekerja yang mewakili pekerja dalam perundingan kolektif.
Pajak barang Mewah
Pajak atas barang mewah yang terlalu tinggi mendorong penyelundupan barangbarang tertentu.
2. Perpajakan
Administrasi pajak Ketidakpuasan terhadap petugas pajak Kenaikan biaya jasa pelabuhan
Biaya jasa pelabuhan Tanjung Priok dewasa ini termasuk paling tinggi di kawasan Asia Tenggara.
Ketidakefisienan Pelabuhan
Produktivitas pelabuhan Tanjung Priok termasuk yang terendah di kawasan Asia Tenggara,
4. Hak kepemilikan
Kepemilikan lahan
Peraturan mengenai hak guna lahan pertanian seperti jangka waktu sewa maksimum selama 30 tahun dalam jangka panjang dapat menghalangi pembangunan sektor ekspor berbasis pertanian modern.
5. Kebijakan ekspor
Fasilitas BINTEK
− Memakan waktu lebih dari 12 bulan bagi eksportir untuk mendapatkan restitusi pajak pabean dan PPn. − Ketidakpastian mengenai status BINTEK
3. Operasi pelabuhan
Sumber : Survey Bappenas terhadap eksportir di Jabotabek pada Juli 2002.
Studi yang dilakukan pada masa sebelum otonomi daerah menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum selama periode 1990 hingga 1999 tidak mengurangi
kesempatan
kerja
bagi
pekerja
laki-laki
dewasa,
pekerja
berpendidikan tinggi atau para profesional. Sebaliknya kenaikan upah minimu
98
tersebut telah mengurangi kesempatan kerja bagi para pekerja perempuan, pekerja usia muda dan pekerja kurang terdidik (yaitu pekerja yang berpendidikan dasar atau lebih rendah). Sebaliknya studi yang dilakukan pada era otonomi daerah menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum riil secara rata-rata sebesar 20 persen tahun 2002 telah menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan sektor formal di daerah perkotaan sebesar 2 persen. Lapangan pekerjaan bagi pekerja perempuan dan pekerja usia muda berkurang masing-masing sebesar 6 persen dan bagi pekerja kurang terdidik sebesar 4 persen.
Kenaikan upah minimum
memberikan dampak yang lebih besar terhadap lapangan pekerjaan bagi kelompok pekerja marjinal karena upah minimum telah mendekati tingkat upah rata-rata kelompok tersebut di pasar tenaga kerja.
5.1.2. Ketentuan PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Undang-undang ketenagakerjaan era otonomi daerah telah mengatur kembali peraturan-peraturan mengenai PHK. Semua kasus PHK ditetapkan harus terlebih dahulu diajukan ke pengadilan perselisihan idustrial untuk memperoleh penetapan PHK tanpa membedakan kondisi perusahaan. Perusahaan diwajibkan mengambil tindakan yang dapat dilakukan.
Apabila pihak berwenang
berpendapat bahwa tindakan tersebut tidak terpenuhi, maka kasus PHK tersebut harus diajukan ke pengadilan perselisihan industrial. Undang-undang ketenagakerjaan era otonomi daerah telah memperbaiki ketentuan mengenai pekerja yang berhak mendapat uang pesangon. Undangundang ketenagakerjaan era otonomi daerah tersebut mewajibkan perusahaan membayar pesangon/ uang pisah kepada pekerja yang mengundurkan diri secara
99
sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat, yang besarannya ditetapkan melalui proses perundingan bersama. Perusahaan tidak diwajibkan membayar uang pesangon kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat (pencurian atau melakukan kekerasan di tempat kerja). Undang-undang tersebut juga menaikkan tingkat uang pesangon sebesar antara 19 persen sampai 63 persen bagi pekerja dengan masa kerja mencapai 5 tahun atau lebih. Kerangka aturan yang berlaku sebelum dikeluarkannya undang-undang ketenagakerjaan era otda memang dianggap mempersulit pihak perusahaan untuk memecat atau memberhentikan pekerja. Hal tersebut disebabkan pengurangan pekerja di masa lalu menimbulkan biaya tinggi karena setiap kasus pengurangan pekerja wajib diajukan kepada pemerintah agar dikeluarkan izinnya.
Baik
pemberi kerja maupun pekerja dirugikan oleh proses pengambilan keputusan oleh panitia penyelesaian perselisihan perburuhan di tingkat provinsi maupun pusat yang lamban serta diliputi ketidakpastian. Proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan PHK tidak transparan dan juga tidak konsisten, sehingga menciptakan ketidakpastian dan membuka celah bagi pejabat pemerintah, pemberi kerja maupun serikat pekerja untuk melakukan moral hazard. Namun, Undang-undang ketenagakerjaan era otonomi daerah dinilai berbagai pihak belum memberikan kewenangan kepada manajemen dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan pekerja. Keputusan tersebut seharusnya tergantung pada pelaksanaan kontrak, negosiasi bipartit terhadap keadaan yang menyebabkan terjadinya PHK yang tidak adil, dan kerangka hukum yang memungkinkan pekerja dan serikat pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian
100
perselisihan industrial.
Meskipun dalam UU ketenagakerjaan keputusan
dilakukannya PHK harus didasarkan pada alasan jelas, persetujuan terlebih dahulu untuk melakukan PHK tidak diwajibkan oleh standar ketenagakerjaan internasional
dan
tidak
diatur
oleh
ketenagakerjaan era otonomi daerah.
sebahagian
besar
undang-undang
Persetujuan terlebih dahulu hendaknya
hanya diwajibkan oleh UU untuk kategori kelompok pekerja tertentu yang rawan pemecatan seperti misalnya pengurus serikat pekerja. Menurut pihak pengusaha, keseluruhan peraturan-peraturan terkait dengan pemecatan, yang pada awalnya diperkenalkan lebih dari 30 tahun lalu untuk melindungi iklim ekonomi dalam menjalankan usaha sudah tidak sesuai lagi untuk kondisi saat ini dan hendaknya tidak diatur dalam UU ketenagakerjaan (Lembaga Penelitian Smeru, 2004). Selanjutnya menyangkut pembayaran uang pesangon, jumlah yang ditetapkan sebesar antara 19 persen sampai 63 persen dirasakan banyak pihak pengusaha terlalu tinggi. Besaran tersebut termasuk tertinggi di kawasan asia. Ada beberapa poin penting yang dapat dirangkum dari lokakarya ketenagakerjaan yang diselenggarakan oleh Bapenas, Partnership Economic Growth dan Lembaga Penelitian Smeru yang menyangkut ketentuan pesangon, yaitu: 1. Biaya pesangon meningkat pesat dari waktu ke waktu, baik terkait dengan peningkatan besaran uang pesangon maupun melalui kenaikan upah minimum yang tinggi. Peningkatan besarnya uang pesangon meningkatkan insentif bagi pekerja untuk menjadikan dirinya dipecat dengan melakukan pelanggaran ringan pada setiap waktu tertentu. 2. Diberlakukannya uang pesangon yang tinggi dapat dianggap sebagai pajak di bidang ketenagakerjaan. karena pemberi kerja harus membayar uang
101
pesangon secara lump sum pada saat pekerja dikeluarkan atau saat terjadi pengurangan karyawan, maka uang pesangon dapat dianggap sebagai pajak atas pemecatan dan penerimaan karyawan baru, yang dapat mengurangi lapangan pekerjaan di sektor modern dalam jangka panjang. 3. Di Indonesia, uang pesangon berkaitan langsung dengan masa kerja pekerja di perusahaan. Hal ini menciptakan distorsi dalam pasar kerja. Perusahaan akan cenderung mempertahankan para pekerja yang lebih tua usianya meskipun kurang produktif dibandingkan pekerja muda karena biaya yang harus dikeluarkan untuk memecat pekerja yang lebih tua lebih mahal. Dengan cara demikian, struktur uang pesangon saat ini berpotensi menghambat bagi penempatan pekerja usia muda sebagai pekerja. 4. Mengaitkan uang pesangon dengan masa kerja juga mengurangi insentif pemberi kerja untuk berinvestasi dalam sumber daya manusia terutama jika keahlian yang diperlukan merupakan keahlian khusus. Alasannya adalah bahwa pembayaran uang pesangon mendorong pekerja tersebut untuk berganti pekerjaan dan ini akan merupakan biaya besar bagi perusahaan sehingga dalam jangka panjang perusahaan kehilangan insentif untuk berinvestasi bagi pekerjanya. 5. Besarnya uang pesangon mendorong timbulnya perselisihan industrial karena kebanyakan perusahaan tidak menyiapkan diri untuk melakukan pembayaran uang pesangon, sehingga pekerja mempunyai inisiatif untuk menunggu dipecat daripada mengundurkan diri secara sukarela walaupun pekerja sudah tidak produktif lagi.
102
5.1.3. Pengaturan Ketenagakerjan di Tingkat Perusahaan
Undang-undang ketenagakerjaan era otda mengatur berbagai persyaratan penggunaan tenaga kerja dan pemborongan produk dari luar perusahaan. Penggunaan pekerja kontrak, pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar (outsourcing) dan penerimaan tanaga kerja melalui agen penempatan tenaga kerja dibatasi hanya untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Sebagai contoh pekerja hanya diperbolehkan menjadi pekerja kontrak selama tiga tahun hanya untuk pekerjaan yang bersifat sementara atau selesai dalam waktu tertentu. Pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar hanya diperbolehkan bagi pekerjaan yang bukan pekerjaan utama perusahaan.
Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut untuk memberikan
perlindungan kerja di tingkat perusahaan bagi pekerja di sektor formal. Pengalaman negara luar menunjukkan bahwa pembatasan ketat terhadap penggunaan pekerja kontrak untuk waktu tertentu dan pembatasan pemborongan pekerjaan produksi akan mengurangi lapangan kerja formal. Dalam konteks pasar kerja dualistik, penting diingat bahwa akan selalu ada kaitan antara penciptaan lapangan kerja formal dengan sektor informal yang besar. Ditinjau dari perspektif tersebut, pekerja kontrak untuk waktu tertentu dapat menjadi pembuka jalan untuk memasuki hubungan kerja yang lebih permanen di sektor formal sekaligus memberikan kesempatan yang lebih besar kepada perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan fleksibilitas dalam produksi maupun ekspor. Di samping mengorbankan lapangan kerja, tidaklah realistik mencoba membagi pasar tenaga kerja menjadi dua segmen yang terpisah yaitu, sektor formal modern yang bercirikan hubungan kerja permanen yang dilindungi dan
103
sektor tradisional di mana lapangan pekerjaan temporer merupakan hal lumrah. Pekerja kontrak cenderung memperoleh tingkat upah lebih tinggi dan penghasilan lebih stabil dengan bekerja di sektor formal daripada bekerja lebih berat dengan upah yang lebih di sektor informal. Terdapat masalah dalam pengaturan-pengaturan mengenai pekerja kontrak untuk waktu tertentu dan pemborongan pekerjaan.
Pekerja kontrak memiliki
kesempatan yang lebih kecil untuk cuti libur yang dibayar, cuti sakit, tidak termasuk dalam program pensiun, dan kurang memperoleh akses untuk pelatihan. Bukti di negara-negara lain menunjukkan bahwa para pekerja kontrak seringkali merasa tidak puas dengan pekerjaan mereka, dan seringkali mengeluhkan jadwal kerja yang tidak fleksibel dengan tugas-tugas pekerjaan yang monoton. Namun, terlepas dari pendeknya jangka waktu pekerja kontrak biasanya mereka terus memperoleh pekerjaan dan pada akhirnya menjadi pekerja tetap. Tetapi hal ini jarang terjadi pada pekerja berpendidikan rendah. Berbagai kebijakan yang memfasilitasi perpindahan dari pekerja kontrak ke pekerja tetap hanya dimungkinkan bagi pekerjaan tertentu. Bagaimanapun, membuat regulasi yang meminta pemberi kerja merubah pekerja kontrak menjadi pekerjaan tetap adalah kontraproduktif karena berbagai alasan yang telah dibahas di atas. Di beberapa negara, pesatnya pertumbuhan pekerja kontrak sebenarnya justru disebabkan oleh adanya berbagai kebijakan perlindungan tenaga kerja yang berlebihan. Formalisasi pekerjaan melalui perjanjian dengan pemberi kerja yang lebih permanen, dapat didorong melalui investasi sektor publik di bidang sumberdaya manusia dan dengan mempertahankan fleksibilitas pasar kerja, termasuk penetapan ketentuan PHK yang tidak menimbulkan biaya tinggi
104
maupun melalui perrtumbuhan ekonomi yang mendorong tumbuhnya unit-unit ekonomi besar.
5.2.
Kebijakan Terkait Pasar Tenaga Kerja di Era Otda
5.2.1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal yang dianalisis dalam penelitian ini dibatasi pada pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur. Pembatasan fokus analisis disebabkan pentingnya infrastruktur sebagai modal publik dalam memberikan hasil dalam bentuk jasa yang bernilai dimasa depan sementara perhatian pemerintah dalam menyediakan infrastruktur relatif kurang. Setelah krisis ekonomi tahun 1997/1998, pemerintah lebih menfokuskan pada permasalahan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan ekonomi secara keseluruhan, mencegah pelarian modal, menanggulangi hutang luar negeri serta menstabilkan kembali kondis politik sosial sehingga perhatian pada penyediaan infrastruktur khususnya di wilayah di luar jawa sangat kurang (Tambunan, 2006). Permasalahan umum infrastruktur di Indonesia (ISEI, 2005 dalam Tambunan, 2006): (1) menurunnya belanja untuk infrastruktur karena salah satunya akibat keterbatasan dana, (2) rendahnya kinerja infrastruktur, (3) rendahnya tingkat recovery infrastruktur, (4) kesenjangan pembangunan infrastruktur antar wilayah, (5) kesenjangan aksesibilitas infrastruktur, dan (6) inefisiensi penyediaan infrastruktur. Nilai rasio pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur terhadap PDB Indonesia setelah diterapkannya kebijakan otda ratarata bernilai kurang dari 2 persen (Siregar dan Nely, 2005). Dengan nilai tersebut Indonesia, Kamboja dan Filipina berada dalam jajaran negara dengan nilai rasio
105
terendah di antara negara-negara berkembang lainnya (Winoto, 2005 dalam Tambunan 2006). Memasuki era otda, ada kecenderungan pengeluaran pemerintah daerah untuk infrastruktur meningkat sementara pengeluaran pemerintah pusat untuk infrastruktur mengalami penurunan. Akibatnya secara nasional, rasio pengeluaran untuk infrastruktur dan PDB turun dari 3.8 persen tahun 1994 menjadi 0.8 persen tahun 2002. Gambaran nyata sebagai contoh, jalan raya masih terbatas, hanya 1 kilometer per 1000 penduduk, dan hampir 50 persen dalam kondisi buruk terutama di tingkat kabupaten (Bank Indonesia, 2006). Kondisi ini akan mempengaruhi kelancaran bisnis karena efisiensi waktu yang rendah dan biaya transportasi yang tinggi. Infrastruktur yang buruk, baik yang terkait dengan masalah transportasi, energi, maupun pengairan, dapat memicu gangguan distribusi dan produksi. Dengan prospek sisi permintaan yang membaik, keterbatasan sisi pasokan akan mengakibatkan pemanasan ekonomi (overheating) yang memicu gejolak harga. Hal yang membuat optimis adalah pemerintah telah menyadari bahwa infrastruktur Indonesia sangat tidak memadai dan telah menjadi kendala dalam kegiatan investasi infrastruktur. Komitmen pemerintah telah terlihat pada butir penting dalam program 100 hari pemerintah untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Disamping itu pemerintah telah melakukan revisi 11 Peraturan Pemerintah (PP) dan 3 Peraturan Presiden yang terkait dengan infrastruktur yang mencerminkan bahwa perbaikan infrastruktur adalah hal mendasar yang segera perlu dilaksanakan.
106
5.2.2. Kebijakan Moneter
Kebijakan
moneter
adalah
kebijakan
otoritas
moneter
untuk
mengendalikan jumlah uang beredar dan perubahan suku bunga (Dornbusch, 1989). Tujuan utama kebijakan moneter di Indonesia menurut pasal 7 UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Artinya kebijakan moneter bertujuan menjaga stabilitas harga (inflasi) dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Langkah yang ditempuh Bank Indonesia untuk mengatasi fluktuasi perekonomian adalah melalui Inflation Targeting. Inflation Targeting disebut juga target tunggal kebijakan moneter untuk langkah antisipasi fluktuasi harga. Inflation Targeting dilakukan dengan cara memproyeksikan penetapan inflasi setiap tahun guna meredam jumlah uang beredar, suku bunga dan harga-harga. Pengendalian jumlah uang beredar dilakukan Bank Indonesia dengan beberapa instrumen, yaitu: (1) Operasi pasar terbuka (Open Market Operation), (2) Cadangan wajib (Required Reserve Ratio) dan Pengendalian langsung (Discount rate). Kontraksi moneter melalui operasi pasar terbuka (tight money policy) dilakukan Bank Indonesia melalui penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sehingga suku bunga SBI naik dan jumlah uang beredar di masyarakat berkurang. Sebaliknya pada saat likuiditas perekonomian berkurang Bank Indonesia melakukan kebijakan moneter ekspansif melalui peningkatan jumlah uang beredar dengan cara membeli surat berharga pasar uang milik pemerintah. Akibatnya SBI menurun investasi meningkat dan sektor riil menjadi tumbuh. Tumbuhnya sektor riil menyebabkan kesempatan kerja meningkat dan berarti mengurangi tingkat pengangguran. Artinya kebijakan moneter dapat digunakan
107
sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam mempengaruhi perubahan indikator makro tingkat pengangguran dan tingkat inflasi (Tabel 13). Tabel 13. Perkembangan Kebijakan Moneter di Era Otda
Periode
Inflasi (%)
Target Inflasi (%)
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
2001
12.55
4.0 - 6.0
8.10
2002
10.10
9.0 - 10.0
9.06
2003
5.10
-
9.50
2004
6.4
4.5-6.5
9.86
Sumber : Bank Indonesia, 2006.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan inflasi antara lain adalah ekspektasi inflasi masyarakat yang cenderung meningkat. Peningkatan ekspektasi inflasi ini sehubungan dengan kemungkinan dinaikkannya administered price (bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik), walaupun arah perkembangan nilai tukar rupiah cenderung memberikan pengaruh positif. Selain itu, perkembangan permintaan domestik diperkirakan berpotensi memberikan tekanan inflasi, karena output aktual semakin mendekati output potensialnya, sebagaimana tercermin pada semakin meningkatnya kapasitas terpakai industri beberapa tahun terakhir. Perkembangan
faktor
perkembangan inflasi
nonfundamental
yang
umumnya
mempengaruhi
adalah dampak kebijakan Pemerintah di bidang harga
(administered price) berupa misalnya kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik.
108
5.2.3. Kebijakan Investasi
Tinggi rendahnya nilai investasi dipengaruhi oleh optimisme dunia usaha terhadap perkiraan ekonomi ke depan. Peningkatan gairah investasi swasta, baik domestik maupun luar negeri, juga ditunjang oleh komitmen pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif sangat diperlukan. Hal tersebut disebabkan terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan infrastruktur serta penyempurnaan berbagai peraturan dan penyiapan peraturan yang berkaitan dengan investasi. Survei yang dilakukan oleh JETRO terhadap perusahaan-perusahaan Jepang mengenai problem utama terkait dengan pasar tenaga kerja dalam investasi di Indonesia adalah upah dan isu tenaga kerja (Kompas, 2006). Upah yang ddianggap semakin mahal terkait dengan kebijakan penyesuaian upah minimum, adanya upah sundulan yang tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Sementara isu tenaga kerja terkait dengan maraknya kasus pemogokan dan unjuk rasa yang mencerminkan resiko ketidakpastian pasar tenaga kerja yang relatif tinggi. Kinerja peningkatan investasi swasta perlu ditopang oleh semakin stabilnya kondisi pasar tenaga kerja. Kinerja peningkatan investasi swasta juga perlu ditopang oleh kegiatan investasi pemerintah terkait dengan infrastruktur dan peraturan pemerintah terkait dengan investasi. Sebagai contoh, diperlukan: (i) merevisi 11 Peraturan Pemerintah (PP) dan 3 Peraturan Presiden yang terkait dengan infrastruktur, (ii) mengusulkan penghapusan perizinan menjadi hanya registrasi pada RUU Penanaman Modal, (iii) menyiapkan sejumlah insentif pajak bagi para pelaku usaha, yang meliputi investment allowance, percepatan penyusutan (accelerate of
109
depreciation), kompensasi kerugian (off-setting losses), dan penurunan pajak dividen (Bank Indonesia 2006). Pesatnya kegiatan investasi memerlukan dukungan pembiayaan dari masyarakat. Dengan semakin terbatasnya keuangan negara, maka peran serta masyarakat dalam pembiayaan investasi diharapkan akan semakin meningkat. Sumber pembiayaan investasi dalam negri rata-rata berasal dari penyaluran kredit perbankan maupun penggunaan dana sendiri. Menurut Bank Indonesia (2006), sejalan dengan membaiknya perkiraan situasi perekonomian ke depan diharapkan pembiayaan dari sisi nonperbankan, baik berupa penerbitan saham maupun obligasi, diperkirakan diperkirakan dapat ditingkatkan. Dari luar negeri, sumber pembiayaan umumnya berasal dari utang luar negeri maupun penanaman modal asing. Seiring dengan membaiknya kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi Indonesia, Bank Indonesia optimis bahwa porsi penanaman modal asing diharapkan akan semakin besar.
VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO
Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah mengalami berkali-kali respesifikasi. Hasil ini telah dianggap baik karena telah memenuhi kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonometrik.
6.1.
Keragaan Umum Model Hasil pendugaan model dengan metoda 2SLS terhadap persamaan
struktural menunjukkan indikator statistik yang relatif baik.
Nilai koefisien
determinasi (R2) umumnya lebih besar dari 0.70, kecuali persamaan struktural permintaan TK berpendidikan rendah sektor pertanian (DPRJ), pengeluaran pembangunan sektor pertanian (GEP), pengeluaran pembangunan sektor industri (GEI), pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur (GEIS), investasi sektor pertanian (IP) dan investasi sektor jasa (IJ).
Sebagian besar persamaan
menghasilkan nilai F-hitung lebih besar dari 8.00.
Ini mengindikasikan
sebahagian besar peubah penjelas memiliki hubungan relatif baik terhadap peubah endogen. Nilai Prob>F pada sebahagian besar persamaan bernilai <.0001 yang menunjukkan bahwa secara bersama-sama semua variabel penjelas dapat menjelaskan variabel endogennya secara signifikan. Persamaan struktural nilai produksi sektor jasa (GDPJ) menghasilkan nilai Statistik Durbin-Watson 0.96 yang mengindikasikan adanya masalah autokorelasi. Masalah autokorelasi banyak dijumpai dalam penelitian bidang ekonomi disebabkan keterkaitan antar variabel. Mempertimbangkan bahwa model yang dibangun dalam penelitian ini adalah model ekonomi dan untuk kepentingan
111
ekonomi, penulis memprioritaskan kriteria ekonomi di atas persyaratan statistik dan ekonometrika.
6.2.
Kinerja Pasar Tenaga Kerja
6.2.1. Penawaran Tenaga kerja Hasil pendugaan parameter pada persamaan penawaran TK berdasarkan tingkat pendidikan memberikan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 96 persen. Artinya variasi penawaran TK peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 96 persen fluktuasi peubah penawaran TK berdasarkan pendidikan. Peubah endogen dalam persamaan penawaran TK berpendidikan rendah, menengah dan berpendidikan tinggi dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Sesuai dengan kriteria ekonomi yang diharapkan, penawaran TK secara umum dipengaruhi oleh upah rata-rata (W) dan jumlah populasi penduduk (POP). Seluruh peubah penjelas berpengaruh positif dengan signifikansi yang bervariasi seperti pada Tabel 14. Hasil estimasi pada Tabel 14 memperlihatkan peubah jumlah populasi penduduk berpengaruh positip dan signifikan terhadap penawaran TK berependidikan rendah (SPR). Hal tersebut tercermin dari nilai parameter dugaan sebesar 0.18, artinya peningkatan jumlah populasi penduduk 1000 orang akan meningkatkan jumlah SPR sebanyak 180 orang. Pada persamaan penawaran TK berpendidikan menengah (SPM), peubah upah rata-rata (W), Jumlah populasi penduduk (POP) dan lag pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan (LGEPK) berpengaruh positip terhadap SPM.
112
Tabel 14. Hasil Estimasi Persamaan Penawaran TK* Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Prob > |T| Jangka Jangka Estimasi Pendek Panjang
SPR (penawaran TK berpend rendah) Intercept ∆W (perubahan upah rata-rata) ∆PHK (perubahan jumlah PHK) POP (jumlah populasi penduduk) LSPR (lag penawaran TK berpendidikan rendah)
7696.893 0.054218 0.006907 0.183286 0.381599
F-Hitung = 97.67
R2 = 0.95596
SPM (penawaran TK berpend menengah) Intercept W (upah rata-rata) POP (jumlah populasi penduduk) LGEPK (lag pengeluaran pendidikan kesehatan) LSPM (lag penawaran TK berpendidikan menengah)
-11854.5 0.149701 0.071511 24.39220 0.670890
F-Hitung = 487.33
R2 = 0.99085
SPT (penawaran TK berpend tinggi) Intercept W (upah rata-rata) POP (jumlah populasi penduduk) LGEPK (lag pengeluaran pendidikan kesehatan) LSPT (lag penawaran TK berpendidikan tinggi)
-3456.16 0.028160 0.019892 6.405164 0.715552
F-Hitung = 248.79
R2 = 0.98223
0.0117 0.3998 0.3106 0.0017 0.0095
0.5151
0.8330
DW = 2.059907 0.0450 0.0495 0.0633 0.0887 0.0003
0.1625 1.1831 0.0021
0.4937 3.5949 0.0063
DW = 2.468268 0.0326 0.2056 0.0486 0.1572 <.0001
0.1411 1.5193 0.0912
0.4961 5.3413 0.3208
DW = 2.263288
Catatan: * Penawaran TK menggunakan data angkatan kerja.
Apabila terjadi peningkatan jumlah populasi penduduk sebanyak 1000 orang maka SPM berpotensi meningkat 71 orang. Faktor lain yang berpengaruh terhadap SPM adalah LGPK. Peningkatan LGPK satu milyar rupiah akan meningkatkan SPM sebanyak 24 ribu orang. Sementara pada persamaan penawaran TK berependidikan Tinggi (SPT) menunjukkan peningkatan jumlah populasi penduduk 1000 orang maka SPT berpotensi meningkat 20 orang. Peubah W berpengaruh positif dan nyata terhadap SPM dengan elastisitas jangka pendek 0.16 persen dan jangka panjang 0.49 persen. Dapat dikatakan respon penawaran TK berpendidikan menengah terhadap perubahan upah rata-rata
113
bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Artinya walaupun SPM Indonesia dipengaruhi oleh peubah upah rata-rata, tetapi pengaruhnya relatif kecil meskipun dalam jangka panjang.
6.2.2. Permintaan Tenaga Kerja a.
Berpendidikan Rendah
Hasil pendugaan parameter pada persamaan permintaan TK berpendidikan rendah (DPR) berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R2) bervariasi seperti pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Rendah Tahun 1980-2004 Peubah DPRP (permintaan TK berpend. rend sekt pertanian) Intercept WP (upah rata-rata sektor pertanian) GDPP (nilai produksi sektor pertanian) TKIP (jumlah TK informal sektor pertanian) LDPRP (lag permintaan TK berpend. rendah sekt pertanian) F-Hitung = 96.59 DPRI (permintaan TK berpend. rend sekt industri) Intercept WI (upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JP (jumlah perusahaan besar dan sedang dalam industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) TKII (jumlah TK informal sektor industri) LDPRI (lag permintaan TK berpend. rendah sekt industri) F-Hitung = 55.34 DPRJ (permintaan TK berpend. rendah sekt jasa) Intercept ∆WJ (upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) PNSR (jumlah PNS berpendidikan rendah) LDPRJ (lag permintaan TK berpend. rendah sekt jasa) F-Hitung = 6.51
Parameter Prob > |T| Estimasi 13996.67 -0.68812 0.017205 0.602612 0.175688
<.0001 0.0151 0.3749 <.0001 0.0175
R2 = 0.95549 1501.583 -0.03733 0.007087 0.048144 2.044707 1.126923 0.064549
R2 = 0.59122
-0.1186
-0.1439
0.5419
0.6574
DW = 1.706572 0.1106 0.2759 0.3137 0.1814 0.0321 <.0001 0.3456
R2 = 0.95403 310.3759 -0.01115 0.015119 2.319582 0.478377
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
0.4325 0.4598 0.2806 0.0514 0.0142
0.1188 0.0498 0.5555
0.1270 0.0533 0.5938
DW = 2.295689
0.3418
0.6553
DW = 1.784429
114
Pada persamaan DPRP dan DPRI mencapai 95 persen sementara pada persamaan DPRJ hanya mencapai 59 persen. Secara umum variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan DPR berdasarkan sektor mampu menjelaskan fluktuasi peubah DPR lebih baik (di atas 94 persen). Peubah endogen di dalam persaman DPR berdasarkan sektor dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 15 memperlihatkan respon penurunan permintaan TK berpendidikan rendah akibat peningkatan upah rata-rata di masing-masing sektor tidak elastis dan signifikan hanya pada persamaan permintaan TK berpendidikan rendah di sektor pertanian (DPRP). Artinya peningkatan upah rata-rata sektor pertanian sebesar satu persen akan menurunkan DPRP 0.12 persen.
b.
Berpendidikan Menengah
Pendugaan parameter permintaan TK berpendidikan menengah (DPM) berdasarkan sektor memberikan koefisien determinasi (R2) di atas 95 persen. Artinya peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 95 persen fluktuasi peubah DPM di setiap sektor. Peubah endogen di dalam persaman DPM berdasarkan sektor dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 16 memperlihatkan bahwa DPMI lebih responsif terhadap peningkatan upah rata-rata. Artinya peningkatan upah rata-rata sektoral akan menurunkan permintaan TK berpendidikan menengah untuk sektor pertanian 0.32 persen, industri 0.46 persen dan sektor jasa 0.13 persen. Sebaliknya, permintaan TK berpendidikan menengah di sektor pertanian (DPMP) lebih responsif terhadap peningkatan GDP sektor pertanian (GDPP). Peningkatan GDP masing-masing
115
sektor sebesar satu persen akan meningkatkan DPM untuk sektor pertanian 1.29 persen, industri 0.37 persen dan sektor jasa 0.26 persen. Tabel 16. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Menengah Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Estimasi Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
DPMP (permint TK berpend. men sekt pertanian) Intercept -790.640 WP (upah rata-rata sektor pertanian) -0.06189 GDPP (nilai produksi sektor pertanian) 0.036499 TKMI (jumlah TK berpend. menengah sekt informal) 0.152310 LDPMP (lag permintaan TK berpend. Menengah sekt pertanian) 0.271813 F-Hitung = 220.69
0.0391 0.0853 0.0135 0.0037 0.0780
R2 = 0.98002
-0.3196 1.2927 0.4201
-0.4389 1.7753 0.5770
DW = 2.470703
DPMI (permint TK berpend. men sektor industri) Intercept LWI (lag upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) LDPMI (lag permint. TK berpend. menengah sekt. industri)
491.7278 -0.06035 0.010516 0.040753 0.818900
F-Hitung = 394.76
R2 = 0.98873
0.0076 0.0018 0.0090 0.4508 <.0001
-0.4618 0.3717
-2.5497 2.0523
DW = 2.197437
DPMJ (permintaan TK berpend men sektor jasa) Intercept WJ (upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) TKFJ (jumlah TK formal sektor jasa) LDPMJ (lag permint. TK berpend. menengah sektor jasa)
-75.0290 -0.02904 0.022429 0.235430 0.366813
F-Hitung = 77.45
R2 = 0.94509
0.4466 0.2129 0.0808 0.0020 0.0081
-0.1287 0.2586 0.5333
-0.2033 0.4084 0.8422
DW = 1.473021
Secara umum dapat dikatakan bahwa elastisitas peningkatan kesempatan kerja bagi TK berpendidikan menengah akibat peningkatan GDP lebih tinggi (dan elastis) pada sektor pertanian. Hasil kajian tentang elastisitas kesempatan kerja akibat perubahan GDP yang telah dilakukan oleh Kalangi (2006) memperlihatkan nilai elastisitas rata-rata kesempatan kerja sektor pertanian (1999-2003) juga elastis, mencapai 1.49 persen.
116
c. Berpendidikan Tinggi Pendugaan parameter permintaan TK berpendidikan tinggi (DPT) berdasarkan sektor memberikan koefisien determinasi (R2) di atas 95 persen seperti pada Tabel 17. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 95 persen fluktuasi peubah DPT di setiap sektor. Peubah endogen di dalam persaman DPT dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 17. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Tinggi Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Prob > |T| Jangka Jangka Estimasi Pendek Panjang
DPTP (permintaan TK berpend. tinggi sekt pertanian) -53.4439 Intercept -0.00364 WP (upah rata-rata sektor pertanian) 0.002483 GDPP (nilai produksi sektor pertanian) TKTI (jumlah TK berpend. tinggi sektor informal) 0.016213 LDPTP (lag permintaan TK berpend. tinggi sekt pertanian) 0.505083 F-Hitung = 79.58
R2 = 0.94648
DPTI (permintaan TK berpend tinggi sektor industri) Intercept WI (upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) LDPTI (lag permintaan TK berpend tinggi sektor industri)
39.20398 -0.00658 0.001347 0.067873 0.817348
F-Hitung = 104.40
R2 = 0.95868
0.0754 0.1623 0.0286 0.2863 0.0148
-0.3390 1.5860
-0.6850 3.2047
DW = 1.933074 0.2200 0.1029 0.0619 0.2267 <.0001
-0.4241 0.4011 0.0601
-2.3220 2.1958 0.3289
DW = 2.030049
DPTJ (permintaan TK berpend tinggi sektor jasa) Intercept ∆WJ (perubahan upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) LDPTJ (lag permintaan TK berpendidikan tinggi sektor jasa)
-279.070 -0.02304 0.014701 0.838590
F-Hitung = 157.86
R2 = 0.96143
0.0627 0.1600 0.0179 <.0001
-0.2614 0.4338
-1.6195 2.6875
DW = 2.723394
Tabel 17 memperlihatkan bahwa DPTI lebih responsif terhadap peningkatan upah rata-rata. Artinya peningkatan upah rata-rata sektoral akan menurunkan permintaan TK berpendidikan tinggi untuk sektor pertanian 0.34
117
persen, industri 0.42 persen dan sektor jasa 0.26 persen. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Yudhoyono (2004) juga menyimpulkan kenaikan upah rata-rata sektor pertanian sebesar 1 rupiah per bulan akan menurunkan penyerapan TK sektor pertanian sebanyak 5 ribu orang dan untuk TK non pertanian sebanyak 2 ribu orang. Di antara sektor yang diamati, elastisitas permintaan TK berpendidikan tinggi terhadap peningkatan GDP lebih elastis pada sektor pertanian yaitu 1.59 persen. Artinya peningkatan GDP sektor pertanian sebesar satu persen akan meningkatkan DPTP sebesar 1.59 persen. Hasil analisis ini sejalan dengan kesimpulan penelitian yang dilakukan Kalangi (2006) yang menyimpulkan bahwa respon peningkatan kesempatan kerja sektor pertanian akibat peningkatan nilai GDP pertanian mencapai 1.49 persen (1999-2003).
6.2.3. Upah Rata-rata Hasil pendugaan parameter persamaan upah rata-rata berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 84 persen. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 84 persen fluktuasi peubah upah rata-rata berdasarkan sektor. Peubah endogen dalam persamaan upah rata-rata sektor pertanian, industri dan jasa dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 18 memperlihatkan bahwa hasil pendugaan persamaan upah ratarata sektoral secara nyata dipengaruhi oleh upah minimum masing-masing sektor. Hal tersebut tercermin pada nilai parameter yang berarti peningkatan upah minimum rata-rata sektoral untuk pekerja yang menjadi target kebijakan upah minimum sebesar 1000 rupiah akan meningkatkan upah rata-rata sektor pertanian 186 rupiah, industri 180 rupiah dan sektor jasa 261 rupiah.
118
Tabel 18. Hasil Estimasi Persamaan Upah Rata-rata Tahun 1980-2004
Peubah
Elastisitas Parameter Prob > |T| Jangka Jangka Estimasi Pendek Panjang
WP (upah rata-rata sektor pertanian) Intercept UMP (upah minimum sektor pertanian) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFP (deflator GDP sektor pertanian) TKFP (jumlah TK formal sektor pertanian) S (jumlah penawaran TK total) LWP (lag upah rata-rata sektor pertanian)
4351.285 0.186011 0.235748 7.722205 0.026872 -0.07680 0.347304
F-Hitung = 32.31
R2 = 0.92375
WI (upah rata-rata sektor industri) Intercept UMI (upah minimum sektor industri) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFI (deflator GDP sektor industri) TKFI (jumlah TK formal sektor industri) S (jumlah penawaran TK total) LWI (lag upah rata-rata sektor industri)
5358.180 0.180116 1.007071 3.237797 2.135565 -0.28723 0.502053
F-Hitung = 22.11
R2 = 0.89239
WJ (upah rata-rata sektor jasa) Intercept UMJ (upah minimum sektor jasa) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFJ (deflator GDP sektor jasa) LTKF (lag jumlah TK formal) S (jumlah penawaran TK total) LWJ (lag upah rata-rata sektor jasa)
5380.282 0.260546 0.753300 15.60628 0.166095 -0.18927 0.454715
F-Hitung = 13.82
R2 = 0.83822
W (upah rata-rata) Intercept L∆UMR (lag perubahan upah minimum rata-rata) WP (upah rata-rata sektor pertanian) WI (upah rata-rata sektor industri) ∆WJ (perubahan upah rata-rata sektor jasa) WL (upah rata-rata sektor lainnya) LW (lag upah rata-rata)
847.4541 0.062092 0.358429 0.461737 0.258188 0.059693 0.221975
F-Hitung = 67.97
R2 = 0.96225
0.0857 <.0001 0.0888 0.0014 0.4379 0.0131 0.0115
0.3311 0.3383 0.2532
0.5074 0.5183 0.3879
-0.9868
-1.119
DW = 2.147441 0.0414 0.0630 0.0046 0.1847 0.0002 0.0005 0.0003
0.2531 0.7616 0.0502 0.9223 -1.9448
0.5084 1.5294 0.1009 1.8523 -3.9057
DW = 2.354692 0.1585 0.0139 0.0483 0.0129 0.1718 0.0566 0.0084
0.2786 0.4369 0.2015 0.2603 -0.9828
0.5109 0.8012 0.3695 0.4774 -1.8023
DW = 1.583527 0.1545 0.3374 0.1767 0.0034 0.0438 0.0548 0.0703
0.1825 0.4461 0.3253 0.0971
0.2345 0.5734 0.4181 0.1248
DW = 2.34477
119
Fenomena
ini
juga
ditemui
dalam
studi
terdahulu
yang
menyimpulkan bahwa kebijakan upah minimum meskipun secara normatif ditargetkan pada buruh tanpa pengalaman, berpendidikan rendah dan mempunyai masa kerja di bawah satu tahun, namun dalam pelaksanaannya telah menyebabkan kenaikan upah bagi buruh secara keseluruhan atau dalam kajian ketenagakerjaan disebut upah sundulan (Wirahyoso, 2002). Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap upah rata-rata sektoral adalah KHM. Secara umum terlihat perbaikan pemenuhan upah rata-rata pada sektor industri relatif lebih baik dibandingkan sektor pertanian dan jasa. Artinya peningkatan KHM sebesar 1000 rupiah akan meningkatkan upah rata-rata sektor pertanian 236 rupiah, industri 1007 rupiah dan jasa 753 rupiah. Faktor tuntutan serikat pekerja yang diproksi dengan peubah jumlah TK formal di masing-masing sektor juga mempengaruhi nilai upah rata-rata sektoral. Secara umum upah rata-rata sektor industri lebih respon terhadap tuntutan serikat pekerja. Artinya peningkatan tuntutan serikat pekerja sebesar satu persen di masing-masing sektor akan meningkatkan upah rata-rata di sektor pertanian 0.02 persen, industri 0.92 persen dan jasa 0.26 persen. Hasil penelitian terdahulu juga menyimpulkan bahwa fenomena upah sundulan merupakan dampak dari kekuatan serikat pekerja untuk menaikkan upah buruh diluar target kebijakan upah minimum (Priyono,2002).
6.3.
Kinerja Fiskal Pendugaan
parameter
penerimaan
dan
pengeluaran
pemerintah
berdasarkan sektor pembangunan memberikan koefisien determinasi (R2) bervariasi antara 26 persen sampai 94 persen seperti pada Tabel 19.
120
Tabel 19. Hasil Estimasi Persamaan Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Estimasi Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
TAX (penerimaan pajak) Intercept AS (penawaran agregat) LTAX (lag penerimaan pajak)
-126.326 0.001324 0.197561
F-Hitung = 163.31
R2 = 0.94230
GEP (pengeluaran pemb sektor pertanian) Intercept ∆GTR (perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) GDPP/AS (share GDP pertanian thd agregat suplai)
14.98551 0.034337 0.592019 17.57876
F-Hitung = 12.60
R2 = 0.66551
GEI (pengeluaran pemb sektor industri) Intercept ∆GTR (perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) GRI (pertumbuhan sektor industri)
1.898281 0.007940 0.035231 0.100363
F-Hitung = 2.21
R2 = 0.25908
GEIS (pengeluaran pemb untuk infrastruktur) Intercept L∆GTR (lag perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) LGEIS (lag pengeluaran pemb untuk infrastruktur)
8.594533 0.053636 0.074659 0.829220
F-Hitung = 13.70
R2 = 0.68383
0.0029 0.0004 0.1769
1.3413
1.6716
DW = 1.488553 0.0058 0.0495 <.0001 0.2689
-
0.0173 0.0080 DW = 1.738171
0.0052 0.1521 0.1839 0.0264
-
0.0207 0.0025 0.0061 DW = 2.347546
0.1708 0.1700 0.3928 <.0001
0.0214
0.1254
DW = 1.702487
GEPK (pengeluaran pemb pend dan kesehatan) Intercept LUT (lag tingkat pengangguran total) GTR (penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) LGEPK (lag pengeluaran pemb untuk pendidikan dan kesehatan)
-0.48610 1.177960 0.011670 0.286771 0.676046
F-Hitung = 23.61
R2 = 0.83993
0.4636 0.1362 0.2659 0.0213 <.0001
0.1563
0.4852
0.0885
0.2732
DW = 1.090124
Peubah endogen di dalam persaman TAX, GEP, GEIS dan GEPK dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01 sementara pada persamaan GEI nyata pada taraf 0.1.
121
Tabel 19 memperlihatkan bahwa penerimaan pajak (TAX) dipengaruhi secara postif oleh penawaran agregat (AS). Jika AS meningkat satu milyar rupiah maka TAX akan meningkat sebesar 1.3 juta rupiah. Dalam jangka pendek maupun jangka panjang penerimaan pajak responsif terhadap peubah AS. Faktor yang mempengaruhi nilai pengeluaran pembangunan pertanian, industri, infrastruktur serta pendidikan dan kesehatan adalah penerimaan pemerintah. Peningkatan penerimaan pemerintah satu milyar rupiah akan meningkatkan pengeluaran pembangunan sektor pertanian 34 juta rupiah, sektor industri 7.9 juta rupiah, sektor infrastruktur 53.6 juta rupiah serta sektor pendidikan dan kesehatan 11.7 juta rupiah. Besarnya pengaruh penerimaan pemerintah terhadap pengeluaran infrastruktur bisa dipahami karena merupakan salah satu faktor penting menggerakkan perekonomian. Lag inflasi juga berpengaruh nyata terhadap besarnya pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian serta pendidikan dan kesehatan. Artinya kenaikan laju inflasi tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menyebabkan meningkatnya nilai peneluaran pembangunan sektor pertanian 590 juta rupiah dan sektor pendidikan dan kesehatan 290 juta rupiah dalam rangka mempertahankan nilai riil pengeluaran pemerintah.
6.4.
Kinerja Penawaran Agregat Hasil pendugaan parameter nilai produksi sektoral memberikan nilai
koefisien determinasi (R2) di atas 96 persen seperti pada Tabel 20. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 96 persen fluktuasi peubah nilai produksi sektor pertanian, industri maupun sektor jasa.
122
Tabel 20. Hasil Estimasi Persamaan Nilai Produksi Sektoral Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Prob > |T| Jangka Jangka Estimasi Pendek Panjang
GDPP (nilai produksi sektor pertanian) Intercept DP (permintaan TK sektor pertanian) DEFP (deflator GDP sektor pertanian) ∆IP (perubahan investasi sektor pertanian) ∆GEP (perubahan pengeluaran pemb sektor pertanian) ∆GEIS (perubahan pengeluaran pemb infrastruktur) LGDPP (lag nilai produksi sektor pertanian)
-1574.86 0.098317 0.323054 0.026704 8.215004 7.864306 0.973710
F-Hitung = 394.22
R2 = 0.99328
GDPI (nilai produksi sektor industri) Intercept DI (permintaan TK sektor industri) DEFI (deflator GDP sektor industri) II (investasi sektor industri) ∆GEI (perubahan pengeluaran pemb sektor industri) KUK (kredit usaha kecil) GEIS (pengeluaran pemb infrastruktur) LGDPI (lag nilai produksi sektor industri)
464.9194 0.918193 38.69647 0.088450 164.7634 32.56100 15.05642 0.609806
F-Hitung = 222.99
R2 = 0.99048
GDPJ (nilai produksi sektor jasa) Intercept ∆DJ (perubahan permintaan TK sektor jasa) LDEFJ (lag deflator GDP sektor jasa) IJ (investasi sektor jasa) LGEIS (lag pengeluaran pemb sektor pertanian) LGDPJ (lag nilai produksi sektor jasa)
3889.881 0.265636 7.080491 0.142993 28.04410 0.861724
F-Hitung = 83.80
R2 = 0.96101
0.2489 0.0710 0.4287 0.3062 0.3054 0.2746 <.0001
0.0861
3.2743
DW = 2.028915 0.4706 0.2613 0.1513 0.2619 0.2949 0.0374 0.3786 0.0053
0.1300
0.3331
0.0711
0.1822
DW = 1.275885 0.0489 0.3275 0.1586 0.3540 0.2373 <.0001
0.0351
0.2542
0.7008
5.0685
DW = 0.96101
Peubah endogen dalam persamaan nilai produksi sektor pertanian, industri dan jasa dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 20 memperlihatkan permintaan tenaga kerja sektor pertanian (DP) berpengaruh positip dan nyata terhadap nilai produksi sekroe pertanian (GDPP). Artinya peningkatan kesempatan kerja di sektor pertanian sebanyak 1 orang akan
123
meningkatkan nilai produksi sektor pertanian sebesar 98.3 juta rupiah. Jika dibandingkan dengan sektor industri dan jasa maka sektor pertanian menempati urutan terendah dalam hal produktivitas tenaga kerja sementara sektor industri menempati urutan teratas. Pada persamaan GDPI, kredit usaha kecil (KUK) berpengaruh nyata dalam meningkatkan GDPI. Artinya peningkatan KUK sebesar satu milyar rupiah akan meningkatkan GDPI 32.6 milyar rupiah.
6.5.
Kinerja Permintaan Agregat Pendugaan parameter persamaan konsumsi (C), ekspor (X) dan impor (M)
memberikan koefisien determinasi (R2) di atas 88 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99 persen fluktuasi peubah C, 95 persen fluktuasi peubah X dan 88 persen fluktuasi peubah M. Peubah endogen di dalam persaman C, X, dan M dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 21 memperlihatkan bahwa faktor penawaran agregat per kapita (AS/POP) berpengaruh positif
terhadap pengeluaran konsumsi. Peningkatan
AS/POP satu milyar rupiah akan meningkatkan pengeluaran konsumsi nasional 46 triliun rupiah. Sementara inflasi berpengaruh negatif
terhadap pengeluaran
konsumsi. Peningkatan inflasi sebesar satu persen akan menurunkan pengeluaran konsumsi nasional 225 milyar rupiah. Nilai ekspor dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (ER). Peningkatan ER satu rupiah per dollar akan meningkatkan nilai ekspor 1.04 milyar rupiah rupiah. Demikian pula penawaran agregat (AS) berpengaruh positip terhadap nilai ekspor. Peningkatan AS satu milyar rupiah akan meningkatkan nilai ekspor 0.30 milyar rupiah.
124
Tabel 21. Hasil Estimasi Persamaan Konsumsi, Ekspor dan Impor Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Estimasi Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
C (konsumsi) Intercept AS/POP (pendapatan per kapita) INF (inflasi nasional) LC (lag konsumsi)
-19490.6 45985.72 -224.958 0.796406
F-Hitung = 1747.91
R2 = 0.99639
X (nilai ekspor) Intercept ER (nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) AS (penawaran agregat) LX (lag nilai ekspor)
-9074.23 1.042679 0.300933 0.039729
F-Hitung = 133.87
R2 = 0.95483
M (nilai impor) Intercept ER (nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) AS (penawaran agregat) LM (lag nilai impor)
-9694.45 -1.24392 0.220442 0.427867
F-Hitung = 48.29
R2 = 0.88405
0.0004 <.0001 0.0049 <.0001
0.3854 -0.0161
1.8929 -0.0791
DW = 1.447554 0.0578 0.0844 <.0001 0.4081
0.0547 1.0216
0.0569 1.0639
DW = 2.636538 0.1152 0.1093 0.0004 0.0063
-0.0695 0.7973
-0.1215 1.3936
DW = 2.127146
Nilai impor dipengaruhi secara negatif oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (ER). Peningkatan ER satu rupiah per dollar akan menurunkan nilai impor 1.25 milyar rupiah rupiah. Sebaliknya penawaran agregat (AS) berpengaruh positip terhadap nilai impor. Peningkatan AS satu milyar rupiah akan meningkatkan nilai impor 0.22 milyar rupiah. Tabel 22 memperlihatkan hasil pendugaan parameter pada persamaan nilai investasi berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R2) bervariasi yaitu sektor pertanian 58 persen, industri 76 persen sementara jasa hanya 37 persen. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan fluktuasi peubah investasi untuk sektor pertanian 58 persen, industri 76 persen sementara jasa hanya 37 persen.
125
Tabel 22. Hasil Estimasi Persamaan Investasi Sektoral Tahun 1980-2004 Peubah
Elastisitas Parameter Prob > |T| Jangka Jangka Estimasi Pendek Panjang
IP (investasi sektor pertanian) Intercept ∆SB (perubahan suku bunga) UMR (upah minimum rata-rata) LAS (lag penawaran agregat) ∆KP (perubahan jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LIP (lag investasi sektor pertanian)
1321.929 -49.5038 -1.34291 0.025921 -5.32200 3653.718 0.614324
F-Hitung = 3.79
R2 = 0.58679
II (investasi sektor industri) Intercept ∆SB (perubahan suku bunga) UMR (upah minimum rata-rata) AS (penawaran agregat) KP (jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LII (lag investasi sektor industri)
-7936.68 -82.6170 -2.26652 0.246194 -23.2645 -24116.6 0.139976
F-Hitung = 8.58
R2 = 0.76298
IJ (investasi sektor jasa) Intercept SB (suku bunga) LUMR (lag upah minimum rata-rata) AS (lag upah minimum rata-rata) LKP (perubahan jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LIJ (lag investasi sektor jasa)
-254.735 -2.75548 -0.35560 0.012588 -0.94728 2692.560 0.091524
F-Hitung = 1.58
R2 = 0.37198
0.3778 0.3108 0.0880 0.1918 0.3379 0.1655 0.0029
-0.3045 0.9693
-0.7895 2.5133
DW = 1.562349 0.2417 0.3607 0.1589 0.0095 0.2405 0.0121 0.2821
-0.0796 1.4254 -0.0899
-0.0925 1.6574 -0.1045
DW = 2.380518 0.4438 0.4802 0.1294 0.1235 0.4196 0.0614 0.3576
-0.2794 1.6311
-0.3075 1.7954
DW = 1.539115
Peubah endogen dalam persamaan nilai investasi sektor pertanian dan industri dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01 kecuali pada sektor jasa hanya 0.2. Persamaan investasi sektoral dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga nominal dan faktor ketidakpastian di pasar TK yaitu upah minimum rata-rata (UMR) dan jumlah kasus pemogokan (KP). Peningkatan suku bunga nominal sebesar satu persen akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 49.5 milyar
126
rupiah, industri 82.6 milyar rupiah dan jasa 2.8 milyar rupiah. Peningkatan UMR sebesar satu rupiah per tahun akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 1.3 milyar rupiah, industri 2.3 milyar rupiah dan jasa 0.4 milyar rupiah. Selanjutnya peningkatan jumlah kasus pemogokan satu kasus per tahun akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 5.3 milyar rupiah, industri 23.3 milyar rupiah dan jasa 1.0 milyar rupiah. Pada kenyataannya, sektor pertanian mempunyai rata-rata nilai investasi paling rendah di era otda yang telah lalu, yaitu 3.46 persen dari total investasi dibanding sektor lain tahun 2001-2004. Hasil penelitian Kalangi (2006) juga menyimpulkan hal serupa ( 2.04 persen), karena dianggap sektor pertanian kurang menguntungkan bagi investor asing. Namun, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB relatif besar, rata-rata di era otda yang telah lalu mencapai 15.73 persen tahun 2001-2004. Sumbangan terhadap peningkatan kesempatan kerja pada periode yang sama mencapai 44.42 persen.
6.6.
Kinerja Moneter Pendugaan parameter persamaan penawaran uang (MS), permintaan uang
(MD) dan suku bunga nominal (SB) memberikan koefisien determinasi (R2) di atas 84 persen seperti pada Tabel 23. Artinya peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99 persen fluktuasi peubah MS dan MD, dan 84 persen fluktuasi peubah SB. Peubah endogen di dalam persaman MS, MD dan SB dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01.
127
Tabel 23. Hasil Estimasi Persamaan Penawaran dan Permintaan Uang serta Suku Bunga Tahun 1980-2004 Peubah
Parameter Estimasi Prob > |T|
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
MS (penawaran uang) Intercept AD (permintaan agregat) SB (suku bunga) ∆ER (perubahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) LMS (lag penawaran uang)
-485.902 0.004305 3.060249 0.026827 0.454207
F-Hitung = 892.35
R2 = 0.99498
<.0001 <.0001 0.0555 0.0208
0.9622 0.0501 0.0926
1.7630 0.0919 0.1697
DW = 1.342731
MD (permintaan uang) Intercept AD (permintaan agregat) ∆SB (perubahan suku bunga) DKE (dummy krisis ekonomi) LMD (lag permintaan uang)
-341.791 0.003544 -1.63250 48.77867 0.554641
F-Hitung = 774.43
R2 = 0.99422
0.0002 <.0001 0.1065 0.1525 <.0001
0.7921 -0.0105
1.7786 -0.0236
DW = 1.192748
SB (suku bunga) Intercept ∆MS (perubahan penawaran uang) LAD (lag permintaan agregat) LINF (lag inflasi nasional) LSB (lag suku bunga)
3.015449 -0.00527 5.074E-6 0.630957 0.455050
F-Hitung = 23.22
R2 = 0.83765
0.1614 0.2581 0.2839 <.0001 0.0002
0.3829
0.7026
DW = 1.403858
Tabel 23 memperlihatkan permintaan agregat (AD) berpengaruh potitif terhadap penawaran uang (MS), permintaan uang (MD) dan suku bunga nominal (SB). Peningkatan AD satu milyar rupiah akan meningkatkan MS 4.3 juta rupiah, MD 3.5 juta rupiah dan suku bunga nominal 0.00001 persen. Peningkatan SB satu persen menyebabkan peningkatan MS 3.1 milyar rupiah, sebaliknya terjadi penurunan MD 1.6 milyar rupiah. Nilai tukar berpengaruh positif terhadap MS. Peningkatan selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tahun sekarang dan tahun lalu sebesar satu rupiah per dollar akan meningkatkan MS 26.8 juta rupiah.
128
Tingkat suku bunga juga dipengaruhi secara positif oleh lag inflasi. Peningkatan inflasi tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan suku bunga nominal 0.63 persen. Respon peningkatan suku bunga akibat peningkatan lag inflasi tidak elastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
6.7.
Kinerja Keseimbangan Makro Hasil pendugaan parameter persamaan indeks harga konsumen (CPI)
memberikan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 96 persen seperti pada Tabel 24. Artinya variasi peubah penjelas dalam persamaan mampu menjelaskan 96 persen fluktuasi peubah CPI. Peubah endogen dalam persamaan CPI dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 24. Hasil Estimasi Persamaan Indeks Harga Konsumen Tahun 19802004 Parameter Estimasi
Prob > |T|
Intercept LSB (lag suku bunga) LW (lag upah rata-rata) LCPI (lag indeks harga konsumen)
-55.1704 0.065295 0.006445 0.904354
0.0358 0.4584 0.0067 <.0001
F-Hitung = 143.18
R2 = 0.95764
Peubah
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
CPI (indeks harga konsumen)
0.5455
5.7031
DW = 2.469837
Tabel 24 memperlihatkan faktor lag upah (LW) berpengaruh positif terhadap peningkatan CPI. Peningkatan LW satu rupian per tahun akan meningkatkan CPI sebesar 0.007. Respon peningkatan CPI akibat peningkatan lag upah tidak elastis dalam jangka pendek tetapi elastis dalam jangka panjang.
VII. DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH
Bab ini akan membahas penerapan model pasar TK dan perekonomian Indonesia yang telah diestimasi pada bab sebelumnya. Simulasi dilakukan melalui beberapa alternatif kebijakan dengan tujuan untuk mengevaluasi perubahan terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia di era otda yang telah berlalu dan era otda di masa yang akan datang. Evaluasi kebijakan dilakukan dengan membandingkan dampak yang ditimbulkan oleh alternatif kebijakan (simulasi kebijakan) dengan tanpa alternatif kebijakan (simulasi dasar). Diharapkan hasil evaluasi tersebut dapat menjadi landasan untuk memberi saran langkah-langkah antisipasi dan perbaikan dalam rangka menghindari dampak negatif dan mengupayakan peningkatan dampak positif di era otda masa yang akan datang.
7.1.
Hasil Validasi Model Validasi model ekonometrika pasar TK dan perekonomian Indonesia
dilakukan untuk periode pengamatan 2001-2004 (era otda). Hasil validasi berdasarkan kriteria statistik memiliki nilai RMS % Error di bawah 20 persen (45 persamaan) sementara 7 persamaan memiliki nilai RMS % Error antara 40-65 persen seperti pada Lampiran 5. Bias (UM), Reg (UR) dan Var (US) secara keseluruhan mendekati nilai nol. Nilai U-Theil secara keseluruhan mendekati nol yang mengindikasikan bahwa simulasi model mendekati data aktualnya dengan baik (Sitepu dan Sinaga, 2006).
130
Berdasarkan kriteria tersebut model yang dibangun mempunyai daya ramal cukup valid untuk melakukan simulasi historis dan simulasi peramalan. Mempertimbangkan bahwa nilai riil upah pekerja berpengaruh terhadap kemampuan pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, studi ini melakukan beberapa simulasi kebijakan upah minimum yang berkaitan dengan tingkat inflasi. Selanjutnya juga dilakukan simulasi dampak lanjutan dari permasalahan upah yang menyebabkan semakin rumitnya permasalahan hubungan industrial di era otda.
7.2.
Evaluasi Alternatif Simulasi Kebijakan Periode Historis Tahun 2001-2004
7.2.1. Upah Minimum Tetap Msing-masing Sebesar Nilai Tahun 2000 Simulasi 1 menggambarkan jika sejak tahun 2001 tidak ada penyesuaian terhadap nilai upah minimum. Artinya nilai upah minimum tahun 2001-2004 tetap sebesar nilai upah minimum riil tahun 2000 (nilai upah minimum diriilkan dengan GDP deflator tahun dasar 1990) yaitu upah minimum sektor pertanian 9985 rupiah per tahun, industri 14732 rupiah per tahun, jasa 14852 rupiah per tahun, dan upah minimum rata-rata 6837 rupiah per tahun. Simulasi ini ingin melihat bagaimana arti penting kebijakan upah minimum yang selama era otda lalu tetap diterapkan pemerintah. Diilhami dari pepatah ”you will never appreciate health until you are sick”, simulasi ini dapat memperlihatkan dampak tidak adanya penyesuaian nilai upah minimum setiap tahun terhadap perekonomian Indonesia di era otda seperti pada Tabel 25. Melihat dari sisi kepentingan, simulasi ini lebih mempertimbangkan kepentingan perusahaan dan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi.
131
Tabel 25
132
Hasil simulasi 1 secara umum memperlihatkan dampak positif terhadap tingkat pengangguran total, inflasi dan penawaran agregat seperti pada Tabel 25. Tingkat pengangguran total berkurang 0.23 persen (menurun menjadi 9.23 persen). Berdasarkan tingkat pendidikan terjadi penurunan paling besar pada pengangguran TK berpendidikan menengah yang mencapai 0.21 persen (menurun menjadi 2.95 persen). Yang menarik dan merupakan temuan dalam penelitian ini adalah simulasi 1 justru berdampak pada peningkatan tingkat pengangguran berpendidikan rendah. Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap nilai Upah Minimum Pertanian (UMP) yang setiap tahun meningkat secara nominal. Tetapi nilai riil UMP (diriilkan dengan GDP deflator tahun dasar 1990) memperlihatkan penurunan sejak tahun 1997-2004 seperti pada Gambar 13.
Upah Minimum Riil (Rp./tahun)
30000.00 25000.00 20000.00 15000.00 10000.00 5000.00 0.00 1997
1998
1999
UMJ
2000
UMP
2001
2002
UMR
2003
2004
Tahun
UMI
Gambar 13. Perkembangan Upah Minimum Sektoral Riil (Tahun Dasar 1990) di Era Otda Sumber: depnakertrans, 2007 (diolah).
Kecenderungan penurunan nilai upah minimum riil juga dialami oleh sektor industri dan jasa serta UMR. Di masa krisis ekonomi tahun 1997-1998
133
terjadi penurunan nilai upah minimum untuk seluruh sektor dan UMR seperti pada Gambar 12. Setelah krisis ekonomi nilai upah minimum riil kembali meningkat tetapi tidak demikian halnya untuk sektor pertanian. Kecenderungan nilai UMP yang menurun menyebabkan simulasi penyesuaian nilai upah minimum sampai tahun 2000 menyebabkan nilai rata-rata UMP yang lebih tinggi dibandingkan
pada
simulasi
dasar
(2001-2004).
Dampak
selanjutnya
menyebabkan upah rata-rata sektor pertanian meningkat dan kesempatan kerja berdasarkan pendidikan dan sektor
memperlihatkan hanya pada tenaga kerja
berpendidikan rendah dan di sektor pertanian yang menurun. Dampak selanjutnya adalah hanya tingkat pengangguran berpendidikan rendah yang justru meningkat. Simulasi 1 dapat membuka peluang bagi perusahaan untuk semakin mengeksploitasi buruh dengan cara membayar pekerja pada upah yang semakin rendah dibandingkan dengan produktifitas pekerja. Simulasi 1 berdampak positif terhadap penurunan tingkat inflasi 0.50 persen (turun menjadi 5.74 persen) dan peningkatan penawaran agregat 1.37 persen. Peningkatan nilai penawaran agregat disebabkan oleh meningkatnya nilai investasi dan kesempatan kerja sektoral. Investasi total dapat meningkat 46.13 persen (bertambah 44.4 triliun rupiah). Kesempatan kerja total dapat meningkat 0.14 persen (bertambah 135 ribu orang). Secara
umum
simulasi
1
menghasilkan
penurunan
tingkat
pengangguran total, tingkat suku bunga dan tingkat inflasi yang relatif stabil. Kuat dugaan membaiknya indikator ekonomi makro tersebut akan direspon oleh pekerja secara fisik dan emosional yang dapat terwujud dalam bentuk maraknya kasus pemogokan dan unjuk rasa. Oleh organisasi buruh dunia (ILO) fenomena tersebut disebabkan stres pekerja.
134
7.2.2. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 1 Persen
Simulasi 2 ingin mengevaluasi dampak dari kebijakan yang secara nominal terlihat seolah-olah pemerintah telah mencoba mempertimbangkan kepentingan pekerja tetapi secara riil belum mampu meningkatkan kesejahteraan buruh. Tabel 26 memperlihatkan peningkatan upah minimum rata-rata 1 persen (dimana kenaikan tersebut dibawah rata-rata tingkat inflasi 2001-2004 yaitu 8.83 persen) berdampak pada peningkatan tingkat pengangguran total sebesar 0.04 persen (mencapai 9.50 persen). Dari persentase tersebut peningkatan pengagguran didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah (4.35 persen). Sejalan dengan hasil penelitian ini, Suryahadi (2003) juga menyimpulkan bahwa TK berpendidikan rendah sangat potensial terpukul oleh kebijakan upah minimum karena para pekerja tersebut sangat rentan terhadap perubahan dalam pasar TK. Dampak peningkatan upah minimum satu persen atau kenaikan di bawah rata-rata tingkat inflasi menyebabkan penurunan nilai investasi total 0.53 persen. Penurunan nilai investasi tertinggi pada sektor pertanian yang mencapai 6.96 persen (menurun 260 milyar rupiah per tahun). Kesempatan kerja sektoral pertanian menurun -0.05 persen, industri -0.06 persen dan jasa -0.04 persen. Sejalan dengan penurunan kesempatan kerja sektoral tersebut,
nilai produksi sektor pertanian menurun 0.02 persen, sektor
industri -0.05 persen dan jasa -0.02 persen. Selanjutnya agregasi nilai produksi sektoral menghasilkan penurunan nilai penawaran agregat 0.02 persen dan menyebabkan peningkatan inflasi sebesar 0.06 persen.
135
Tabel 26
136
7.2.3. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 8.83 Persen Simulasi 3 ingin mengevaluasi dampak dari kebijakan seandainya pemerintah mencoba mempertahankan kesejahteraan buruh. Artinya pekerja Indonesia
tidak
membutuhkan
tambahan
dana
untuk
mempertahankan
kesejahteraan pada kondisi tingkat inflasi yang setiap tahun meningkat. Hasil simulasi 3 seperti pada Tabel 27 memperlihatkan dampak tingkat pengangguran total meningkat 0.36 persen (mencapai 9.82 persen). Hal ini disebabkan semakin besarnya jarak antara peningkatan penawaran TK yang meningkat 0.11 persen sementara kesempatan kerja total berkurang -0.29 persen. Secara sektoral, kesempatan kerja sektor pertanian menurun -0.42 persen, industri -0.49 persen, dan jasa -0.36 persen. Peningkatan UMR di atas rata-rata tingkat inflasi 2001-2004 telah menyebabkan semakin meningkatnya faktor resiko ketidakpastian di pasar tenaga kerja. Karena nilai investasi cenderung bergantung pada harapan akan masa yang akan datang maka pandangan investor tentang masa depan pasar tenaga kerja akan sangat memainkan peranan. Penurunan nilai investasi sektoral dan total selanjutnya menurunkan nilai produksi sektor pertanian 0.16 persen (menurun 86 milyar rupiah), industri 0.44 persen (menurun 403 milyar rupiah), dan jasa 0.18 persen (menurun 95 milyar rupiah). Penawaran agregat menurun -0.17 persen (menurun 584 milyar rupiah). Inflasi meningkat 0.53 persen (mencapai 6.77 persen). Secara umum, upaya mempertahankan kesejahteraan buruh melalui upah minimum pada simulasi 3 menghasilkan trade off berupa memburuknya kondisi perekonomian makro.
137
Tabel 27
138
7.2.4. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 10 Persen Simulasi 4 ingin mengevaluasi kebijakan yang mempertimbangkan bagaimana upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja melalui peningkatan upah secara riil. Syamsudin (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi selisih persentase peningkatan upah minimum dengan tingkat inflasi semakin efektif kebijakan upah dapat meningkatkan
kesejahteraan
menunjukkan
peningkatan
pekerja. kesejahteraan
Namun
hasil
pekerja
penelitian
yang
ini
disebabkan
peningkatan upah minimum di atas tingkat inflasi menghasilkan trade off berupa peningkatan tingkat pengangguran seperti pada Tabel 28. Tabel 28 memperlihatkan peningkatan upah minimum rata-rata 10 persen (diatas tingkat inflasi rata-rata 2001-2004 sebesar 8.83 persen) menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran total sebesar 0.41 persen (mencapai 9.87 persen). Dari persentase tersebut peningkatan pengagguran didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah (4.53 persen). Sejalan dengan hasil penelitian ini, Suryahadi (2003) juga menyimpulkan bahwa TK berpendidikan rendah sangat potensial terpukul oleh kebijakan upah minimum karena para pekerja tersebut sangat rentan terhadap perubahan dalam pasar TK. Dari sisi perusahaan, peningkatan upah minimum di atas tingkat inflasi menyebabkan penurunan kesempatan kerja sektoral pertanian -0.48 persen (berkurang 198 ribu orang), industri -0.55 persen (berkurang 64 ribu orang) dan jasa -0.41 persen (berkurang 41 ribu orang).
139
Tabel 28
140
Sejalan dengan hal tersebut, nilai produksi sektor pertanian menurun 0.18 persen (turun 98 milyar rupiah), sektor industri -0.5 persen (turun 456 milyar rupiah) dan jasa -0.2 persen (turun 107 milyar rupiah). Selanjutnya agregasi nilai produksi sektoral menghasilkan penurunan nilai penawaran agregat dan menyebabkan peningkatan indeks harga konsumen. Pada akhirnya perubahan tersebut menyebabkan inflasi sebesar 0.6 persen (mencapai 6.84 persen) dan peningkatan suku bunga 0.38 persen (mencapai 14.58 persen).
7.2.5. Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Sektor Pertanian 90 Persen, Industri 2 Persen, dan Jasa 2,5 Persen Simulasi 5 ingin mengevaluasi kebijakan seandainya pemerintah pada era otda yang telah lalu meningkatkan peran sebagai regulator untuk membuat peraturan yang dapat mengontrol kekuatan serikat pekerja untuk menuntut kenaikan upah pada saat pemerintah telah melakukan penyesuaian terhadap upah minimum seperti pada Tabel 29. Berdasarkan hasil survey Depnakertrans, pihak pengusaha merasa diberatkan dengan adanya tuntutan peningkatan upah pekerja diluar kesepakatan peningkatan upah minimum yang ditetapkan pemerintah dab berarti terjadi peningkatan biaya produksi. Dampak penurunan kekuatan serikat buruh dalam menuntut kenaikan upah berpengaruh langsung pada penurunan upah rata-rata pekerja diluar target kebijakan upah minimum. Dibandingkan pada sektor pertanian dan jasa, dampak penurunan kekuatan serikat pekerja terhadap tuntutan rata-rata upah di sektor industri paling tinggi.
141
Tabel 29
142
Meskipun simulasi penurunan kekuatan serikat pekerja untuk sektor industri paling rendah, yaitu hanya 1.5 persen, tetapi dampak terhadap peningkatan upah rata-rata sektor industri mencapai 3.11 persen. Hal tersebut disebabkan karena respon peningkatan upah rata-rata sektor industri akibat kekuatan serikat pekerja untuk menuntut kenaikan upah mencapai 0.92 persen dalam jangka pendek dan 1.85 persen dalam jangka panjang yang berarti paling tinggi dibandingkan pada sektor pertanian dan jasa. Artinya kontrol pemerintah dan perusahaan terhadap kekuatan serikat pekerja di sektor industri lebih berpengaruh terhadap besaran sundulan upah di sektor industri dibandingkan pada sektor jasa dan sektor pertanian. Penurunan upah rata-rata selanjutnya akan berdampak pada peningkatan kesempatan kerja, nilai produksi, dan nilai investasi.
7.2.6. Penurunan Jumlah Kasus Pemogokan 50 Persen Simulasi 6 mencerminkan peran pemerintah sebagai mediator yang dapat berperan dalam menyelesaikan permasalahan antara pekerja dan pengusaha. Berdasarkan adata aktual, setiap tahun terjadi peningkatan jumlah kasus pemogokan yang tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003. kasus pemogokan sering disertai tindakan pengrusakan fasilitas perusahaan, fasilitas publik, dan mengganggu kepentingan umum (Depnakertrans, 2007). Selain tingkat suku bunga, pandangan investor tentang masa depan pasar tenaga kerja memainkan peran besar terhadap keputusan investasi. Waktu adalah faktor kunci dalam keputusan investasi karena nilai investasi memiliki masa hidup beberapa tahun (Case and Fair, 2004). Penurunan kasus pemogokan secara langsung akan menurunkan faktor ketidak pastian dalam pasar tenaga kerja.
143
Tabel 30
144
Dampak penurunan kasus pemogokan 50 persen akan meningkatkan nilai investasi total 2.33 persen seperti pada Tabel 30. Peningkatan nilai investasi total selanjutnya berdampak pada penambahan kapasitas produksi yang tercermin pada peningkatan penawaran agregat 0.12 persen dan peningkatan kesempatan kerja total 0.02 persen. Terjadi perbaikan perekonomian secara makro yang dapat kita amati dari penurunan tingkat pengangguran total 0.013 persen dan penurunan tingkat inflasi 0.001 persen.
7.2.7. Penurunan Suku Bunga 5 Persen Simulasi 7 menggambarkan instrumen kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi. Penurunan tingkat suku bunga 5 persen dapat meningkatkan nilai investasi sektor pertanian dengan nilai prosentase peningkatan paling tinggi dibandingkan sektor industri, jasa dan total seperti pada Tabel 31. Tetapi secara nominal peningkatan nilai investasi sektor industri paling tinggi yang mencapai 489 milyar rupiah. Hasil penelitian Kalangi (2000) juga memperlihatkan rendahnya pangsa perolehan investasi pertanian. Selama kurun waktu 1999-2003 sektor pertanian mendapat bagian penanaman modal asing maupun dlam negri paling kecil (2.04.5 persen). Sementara di dalam penelitian yang sama disimpulkan bahwa sektor pertanian sangat berperan sebagai katup penelamat perekonomian Indonesia ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997/1998. Simulasi 7 juga berdampak positif terhadap perbaikan pasar TK. Terjadi penurunan Pengangguran TK di semua jenjang pendidikan tetapi tingkat pengangguran masih didominasi oleh TK berpendidikan rendah.
145
Tabel 31
146
Instrumen pada simulasi 7 terlihat efektif untuk menurunkan tingkat pengangguran melalui peningkatan nilai investasi, peningkatan nilai produksi dan kesempatan kerja. Simulasi 7 juga berdampak positif dalam menurunkan inflasi nasional 0.1 persen sehingga turun menjadi 6.14 persen.
7.2.8. Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 25 persen Pemerintah dapat mempengaruhi kondisi perekonomian makro melalui kebijakan fiskal. Salah satunya adalah melalui pengeluaran infrastruktur. Pengeluaran pembangunan infrastruktur adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan modal publik untuk memproduksi barang dan jasa. Infrastruktur dalam penelitian ini disebut juga modal publik yang merujuk pada jalan, jembatan, PDAM, pelabuhan dan lain-lain yang secara kolektif menyumbang kepada barang publik (Case and Fair, 2004). Sebuah jembatan di atas sungai di lokasi yang sulit dapat menghemat biaya transportasi orang yang melalui dan biaya pengangkutan barang. Hasil dalam bentuk jasa yang bernilai di masa depan itulah yang seharusnya memberikan dorongan kepada pemerintah dalam meningkatkan pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur. Pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur secara langsung berdampak pada sisi penawaran agregat melaui nilai produksi sektoral seperti pada Tabel 32. Nilai produksi sektor jasa meningkat 0.58 persen (meningkat 312.4 milyar rupiah per tahun). Sementara pengeluaran infrastruktur sebesar 25 persen belum mampu meningkatkan nilai produksi sektor pertanian dan industri. Masih menurunnya nilai produksi sektor pertanian dan industri menyebabkan kesempatan kerja di sektor tersebut juga menurun.
147
Tabel 32
148
Sementara terhadap total permintaan tenaga kerja total telah miningkat, demikian pula pada total nilai produksi agregat. Simulasi 8 telah mampu menurunkan tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan dan tingkat pengangguran total 0.02 persen dan juga menurunkan tingkat inflasi 0.0002 persen.
7.2.9. Kombinasi Simulasi 4 dan 5 Simulasi 9 menggambarkan upaya yang dapat dilakukan pemerintah agar skenario 4 dapat lebih efektif dengan cara mengontrol kekuatan serikat buruh agar sundulan upah dapat diredam. Kekuatan serikat buruh ini menjadi penting untuk diperhitungkan mengingat sejak reformasi dan demokratisasi setelah tahun 1997 serikat buruh semakin banyak dan menguat terutama dalam hal menuntut kenaikan upah. Secara empiris dinyatakan bahwa bila upah minimum ditingkatkan tanpa memenuhi tuntutan serikat pekerja untuk meningkatkan upah bagi buruh diluar target kebijakan upah minimum maka pada dasarnya perusahaan
dapat
melakukan
penyesuaian
terhadap
biaya
produksi.
Akibatnya terjadi peningkatan rata-rata upah sektor pertanian 1.66 persen, industri -0.13 persen dan jasa 1.94 persen yang relatif kecil dibandingkan pada simulasi 4 seperti pada Tabel 33. Demikian pula penurunan kesempatan kerja, penurunan nilai produksi sektoral dan penurunan produksi agregat relatif lebih kecil dibandingkan pada simulasi 4. Simulasi 9 menunjukkan perbedaan peningkatan tingkat suku bunga yang relatif kecil, hanya 0.145 persen (mencapai 14.33 persen), lebih rendah dibandingkan pada simulasi 4 yang meningkat 0.38 persen.
149
Tabel 33
150
Demikian pula tingkat inflasi pada simulasi 8 yang meningkat 0.13 persen (mencapai 6.37 persen), lebih rendah dibandingkan peningkatan inflasi pada simulasi 4 yang mencapai 0.60 persen dari simulasi dasar tingkat inflasi yaitu 6.24 persen.
7.2.10. Kombinasi Simulasi 7 dan 8 Kombinasi simulasi penurunan tingkat suku bunga dan peningkatan pengeluaran infrastruktur memperlihatkan dampak positif pada penurunan tingkat pengangguran dan inflasi serta peningkatan nilai investasi dan penawaran agregat. Namun, besaran kombinasi simulasi tersebut belum mampu meningkatkan nilai produksi sektor pertanian. Sejalan dengan penurunan nilai produksi pada sektor tersebut, juga terjadi penurunan kesempatan kerja di sektor pertanian. Meski Simulasi 10 dapat meningkatkan prosentase nilai investasi sektor pertanian paling tinggi tetapi secara nominal hanya meningkat 435 milyar rupiah (lebih rendah dibandingkan sektor industri yang meningkat 526 milyar rupiah. Namun secara agregat terjadi peningkatan kesempatan kerja total disebabkan adanya peningkatan nilai produksi sektor jasa dan peningkatan nilai investasi pada seluruh sektor. Tingkat pengangguran menurun
0.02 persen dan masih
didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah yang mencapai 4.33 persen. Simulasi 10 merupakan upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menggerakkan sektor riil melalui kombinasi kebijakan fiskal dan moneter. Dari kedua kebijakan tersebut, kebijakan fiskal melaui instrumen peningkatan pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur terlihat lebih efektif memperbaiki kondisi perekonomian makro dilihat dari indikator tingkat pengangguran, tingkat inflasi dan penawaran agregat.
151
Tabel 34
152
7.3.
Simulasi Kebijakan Peramalan Tahun 2007-2010 Hasil simulasi dasar ex-ante tanpa alternatif kebijakan memperlihatkan
periode
2007-2010
diperkirakan
pertumbuhan
penawaran
TK
dan
kesempatan kerja belum seimbang. Pertumbuhan penawaran TK meningkat 2.04 persen sementara pertumbuhan kesempatan kerja hanya meningkat 0.69
persen
seperti
pada
Tabel
35.
Konsekuensinya
pertumbuhan
peningkatan tingkat pengangguran total diperkirakan mencapai 8.83 persen per
tahun.
Berdasarkan
tingkat
pendidikan,
pertumbuhan
tingkat
pengangguran TK berpendidikan tinggi terlihat dominan mencapai 14.19 persen per tahun. Fenomena ini desebabkan keberhasilan dunia pendidikan dalam menciptakan tenaga kerja berpendidikan tinggi yang lebih besar dari daya serap pasar TK. Disamping itu, studi yang dilakukan Depnakertrans (1998-2004) menyimpulkan tingginya pertumbuhan pengangguran TK berpendidikan tinggi dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu: (1) ada ketidaksepadanan antara persyaratan lowongan kerja yang tersedia dengan kualifikasi TK berpendidikan tinggi, (2) keterbatasan informasi pasar dalam mengisi lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi, dan (3) tingginya preferensi pencari kerja berpendidikan tinggi sehingga semakin cenderung selektif dalam memilih pekerjaan. Pertumbuhan nilai produksi sektoral lebih tinggi pada sektor industri yang mencapai 1.76 persen, sektor jasa 0.96 persen dan sektor pertanian 0.41 persen. Tingginya pertumbuhan nilai produksi sektor industri tersebut sejalan dengan tingginya pertumbuhan kesempatan kerja di sektor industri yang mencapai 1.73 persen per tahun. Pertumbuhan penawaran agregat meningkat mencapai 1.88 persen per tahun.
153
Tabel 35
154
Tabel 35
155
Pertumbuhan indeks harga konsumen meningkat 9.65 persen diikuti dengan peningkatan pertumbuhan suku bunga 4.57 persen per tahun. Selanjutnya pertumbuhan investasi sektoral menurun dan penurunan terendah pada sektor jasa. Tingkat inflasi relatif tinggi namun cenderung stabil pada 9.5 persen. Tetapi pertumbuhan tingkat inflasi diperkirakan akan relatif menurun sekitar -0.06 persen per tahun. Tabel 35 memperlihatkan nilai produksi agregat dan nilai investasi total diperkirakan semakin meningkat tahun 2007-2010. Sejalan dengan peningkatan nilai produksi agregat dan nilai investasi total, tingkat pengangguran total tahun 2007-2010 diperkirakan juga akan semakin meningkat mencapai 11.49 persen. Kondisi tersebut disebabkan rata-rata pertumbuhan output nasional 2007-2010 (2.91 persen) masih lebih rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan kelebihan penawaran TK (10.81 persen). Sumber permasalahan dampak tersebut adalah peningkatan upah minimum yang tidak dibarengi dengan peningkatan produktifitas pekerja. Peningkatan upah minimum pada produktivitas TK yang relatif konstan meningkatkan biaya rata-rata produksi (harga jual), menurunkan volume produksi yang pada akhirnya justru menurunkan kesempatan kerja. Studi ini melakukan beberapa simulasi peramalan dampak penurunan faktor resiko ketidakpastian pasar TK dalam upaya meningkatkan investasi. Peningkatan investasi diharapkan mampu menambah kapasitas produksi dan meningkatkan nilai produksi agregat dan pada akhirnya diharapkan dapat memperluas kesempatan kerja.
156
7.3.1. Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai Tahun 2006 Simulasi 1 merupakan kebijakan penyesuaian nilai upah minimum tetap sebesar tahun 2006 yaitu UMP Rp 13039, UMI Rp 19906, UMJ Rp 19421 dan UMR Rp 9961. Simulasi 1 menggambarkan seandainya pemerintah lebih memihak kelangsungan bisnis tanpa memperhatikan perlunya perlindungan buruh yang selama ini menjadi target kebijakan upah minimum. Meskipun pada dasarnya simulasi 1 akan sangat ditentang oleh buruh, namun
diperlukan untuk melihat arti penting kebijakan upah
minimum bagi buruh, kelangsungan bisnis dan perekonomian makro. Hasil simulasi 1 seperti pada Tabel 36 memperlihatkan bahwa ratarata penawaran TK total berkurang -0.12 persen (berkurang 143 ribu orang) sementara kesempatan kerja total bertambah 0.82 persen (bertambah 843 ribu orang). Tingkat pengangguran total berkurang -8.27 persen (mencapai 9.32 persen). Berdasarkan tingkat pendidikan, penurunan pengangguran TK berpendidikan rendah lebih tinggi (-15.89 persen) disebabkan tingginya peningkatan kesempatan kerja bagi TK berpendidikan rendah yang mencapai 0.91 persen (diramalkan mencapai 501 ribu orang per tahun). Secara umum simulasi 1 menghasilkan penurunan tingkat pengangguran total, peningkatan tingkat suku bunga dan tingkat inflasi yang relatif stabil. Namun, membaiknya kondisi perekonomian makro tersebut diramalkan harus
dibayar
dengan
semakin
memburuknya
kesejahteraan
buruh.
Penurunan kesejahteraan buruh yang bersumber dari penurunan upah dapat menstimulasi maraknya kasus pemogokan dan unjuk rasa. Pada akhirnya permasalahan hubungan industrial diduga kuat akan semakin sulit untuk diselesaikan.
157
Tabel 36
158
7.3.2. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 1 Persen
Simulasi 2 menggambarkan jika pemerintah tetap melanjutkan pola kebijakan penyesuaian upah minimum seperti yang selama ini dilakukan pemerintah. Nilai upah minimum di era otda yang lalu secara nominal meningkat tetapi secara riil kesejahteraan buruh menurun. Hasil simulasi menunjukkan penawaran TK total meningkat
0.01 persen (rata-rata
bertambah 17 ribu orang), sementara Permintaan TK total berkurang-0.05 persen (rata-rata berkurang 49 ribu orang), seperti pada Tabel 37. Tingkat pengangguran total meningkat 0.05 persen (rata-rata mencapai 10.21 persen per tahun). Tingkat pengangguran diramalkan masih didominasi TK berpendidikan rendah dan menengah. Dampak simulasi terhadap nilai investasi menunjukkan penurunan. Nilai investasi sektoral maupun total menurun disebabkan peningkatan tingkat suku bunga 0.04 persen dan dampak langsung dari peningkatan upah mimimum. Penurunan nilai investasi juga penurunan kesempatan kerja juga berdampak pada penurunan nilai produksi sektoral maupun agregat. Dampak selanjutnya terlihat pada peningkatan tingkat inflasi yang meningkat 0.06 persen. Upaya
unruk
meningkatkan
kesejahteraan
pekerja
melalui
peningkatan nilai upah minimum berdampak pada memburuknya kondisi perekonomian makro.,Indikator penurunan tersebut dapat terlihat pada peningkatan tingkat pengangguran, peningkatan tingkat inflasi, dan penurunan output nasional baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran.
159
Tabel 37
160
7.3.3. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 6.64 Persen
Simulasi 3 menggambarkan bila pemerintah hanya berupaya mempertahankan kesejahteraan buruh dengan mempertahankan nilai riil upah minimum. Dampak simulasi memperlihatkan terjadi peningkatan tingkat pengangguran total diramalkan meningkat 0.37 persen (mencapai 10.52 persen) seperti pada Tabel 38. Hal ini disebabkan semakin besarnya jarak antara peningkatan penawaran TK yang meningkat 0.1 persen (bertambah 114 ribu orang) sementara kesempatan kerja berkurang -0.31 persen (berkurang 323 ribu orang). Tingkat pengangguran didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah dan menengah. Tabel 38 juga memperlihatkan bahwa secara sektoral, kesempatan kerja sektor pertanian menurun -0.54 persen, industri -0.35 persen, dan jasa -1.52 persen. Dari sisi nilai investasi juga terjadi penurunan nilai investasi baik sektoral maupun nilai investasi total. Penurunan kesempatan kerja dan nilai investasi tersebut selanjutnya menurunkan nilai produksi sektoral maupun total. Penawaran agregat menurun -0.12 persen (menurun 529 milyar rupiah per tahun. Inflasi meningkat 0.37 persen (mencapai 7.01 persen). Secara umum, upaya mempertahankan kesejahteraan buruh harus dibayar dengan memburuknya kondisi perekonomian makro. Selanjutnya, jika dibandingkan dengan simulasi 2, pertimbangan pemerintah untuk semakin
berupaya
mempertahankan
kesejahteraan
buruh
melalui
peningkatan upah minimum berdampak pada semakin memburuknya indikator makroekonomi.
161
Tabel 38
162
7.3.4. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 8 Persen
Simulasi 4 menggambarkan kebijakan yang memihak kepada buruh tanpa mempertimbangkan kelangsungan bisnis dan kondisi perekonomian makro. Hasil simulasi menunjukkan bahwa sundulan upah relatif tinggi dapat menyebabkan kesempatan kerja menurun -0.38 persen (berkurang 389 ribu orang) seperti pada Tabel 39. Sejalan dengan hal tersebut tingkat pengangguran diramalkan juga meningkat 0.44 persen (mencapai 10.59 persen).
Tingkat
pengangguran
didominasi
oleh
angkatan
kerja
berpendidikan rendah dan meningkat dengan prosentase yang relatif lebih tinggi, mencapai 0.24 persen. Hal tersebut disebabkan kelompok tenaga kerja
berpendidikan
rendah
merupakan
sasaran
utama
bila
terjadi
pengurangan kesempatan kerja. Efek lanjutan dari pasar tenaga kerja terlihat pada penurunan nilai produksi baik secara sektoral maupun secara agregat. Penurunan nilai produksi agregat tertinggi pada sektor industri. Inflasi meningkat relatif tinggi 0.45 persen dibandingkan nilai dasar disebabkan tingginya penurunan nilai produksi secara agregat. Seperti pada skenario sebelumnya upaya peningkatan kesejahteraan buruh melalui kebijakan peningkatan nilai upah minimum menyebabkan trade off berupa peningkatan tingkat pengangguran justru bagi buruh yang menjadi target kebijakan upah minimum serta memperburuk perekonomian secara makro.
163
Tabel 39
164
7.3.5. Penurunan kekuatan Serikat Buruh Sektor Pertanian 90 Persen, Industri 1.5 Persen, dan Jasa 2,5 Persen Isu tenaga kerja/ buruh seperti kasus pemogokan dan unjuk rasa merupakan masalah utama rendahnya nilai investasi Jepang di Indonesia (Kompas, 2006). Hasil simulasi 5 meperlihatkan dampak positif terhadap tingkat penangguran, inflasi, nilai investasi dan penawaran agregat . Diramalkan simulasi 5 seperti pada Tabel 40 berdampak pada penurunan tingkat pengangguran total yang mencapai 1.24 persen. Penurunan tingkat pengangguran total maupun berdasarkan tingkat pendidikan disebabkan karena penurunan kekuatan serikat buruh dalam menuntut kenaikan upah rata-rata bagi buruh di luar target kebijakan upah minimum. Upah rata-rata riil baik sektoral maupun upah rata-rata menurun. Dampak lanjutan diramalkan dapat meningkatkan kesempatan kerja baik berdasarkan sektoral maupun tingkat pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan. Pada akhirnya tingkat pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan menurun. Pengangguran diramalkan masih didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah. Peningkatan kesempatan kerja berdampak pada peningkatan nilai produksi sektoral. Peningkatan tertinggi pada sektor industri yang mencapai 0.59 persen. Hal tersebut disebabkan produktivitas TK sektor industri relatif lebih tinggi dibandingkan pada sektor lainnya. Rata-rata produktivitas sektor industri mencapai 8.02 juta rupiah per TK per tahun. Simulasi 5 berdampak pada penurunan tingkat inflasi 2.73 persen. Penurunan tingkat inflasi tersebut disebabkan penurunan dari sisi penawaran yang bersumber dari penurunan rata-rata upah riil.
165
Tabel 40
166
7.3.6. Penurunan Jumlah Kasus Pemogokan dan Unjuk Rasa 50 Persen Penurunan kasus pemogokan dan unjuk secara langsung akan menurunkan faktor ketidak pastian dalam pasar tenaga kerja. Dampak penurunan tersebut diramalkan akan meningkatkan nilai investasi sektor pertanian 3.19 persen (meningkat sebesar 82.01 milyar rupiah per tahun), sektor industri 5.89 persen (meningkat sebesar 3358.42 milyar rupiah per tahun), sektor jasa 3.40 persen (meningkat sebesar 126.26 milyar rupiah per tahun) seperti pada Tabel 41. Peningkatan investasi akibat menurunnya faktor ketidakpastian di pasar TK lebih tinggi pada sektor industri disebabkan kasus pemogokan lebih sering terjadi pada sektor industri dibandingkan pada sektor pertanian dan jasa. Investasi total meningkat 2.84 persen atau meningkat sebesar 3566.69 milyar rupiah per tahun. Peningkatan investasi selanjutnya berdampak pada peningkatan nilai produksi sektoral maupun penawaran agregat karena terjadi peningkatan kapasitas produksi. Dampak lanjutan dari peningkatan nilai produksi adalah peningkatan kesempatan kerja di seluruh sektor dan berdasarkan tingkat pendidikan. Tingkat pengagguran total menurun 0.02 persen (mencapai 10.14 persen). Tingkat pengangguran didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah dan menengah (rata-rata hampir mencapai 4 persen). Indikator tingkat inflasi relatif tidak mengalami perubahan. Hal tersebut disebabkan terjadi peningkatan output nasional dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Penawaran agregat meningkat 0.13 persen yang dapat menurunkan indeks harga umum. Sementara permintaan agregat juga meningkat 0.88 persen yang dapat meningkatkan indeks harga umum. Keseimbangan makro pada akhirnya kembali di sekitar indeks harga umum nilai dasar sementara terjadi peningkatan output nasional.
167
Tabel 41
168
7.3.7. Penurunan Suku Bunga 6 Persen
Simulasi penurunan suku bunga diduga dapat meningkatkan kesempatan kerja melalui peningkatan ivestasi. Namun dalam simulasi peramalan upaya peningkatan investasi dengan menggunakan instrumen penurunan tingkat suku bunga 6 persen hanya mampu merangsang peningkatan nilai investasi sektor pertanian dengan prosentase paling tinggi dibanding pada sektor industri dan jasa. Namun peningkatan nilai investasi sektor pertanian hanya mencapai 373 milyar per tahun, lebih rendah dibandingkan peningkatan nilai investasi sektor industri yang mencapai 461 milyar per tahun seperti pada Tabel 42. Peningkatan nilai investasi pada simulasi 7 hanya mampu meningkatkan nilai produksi sektoral dengan prosentase yang relatif kecil. Daampak terhadap peningkatan nilai produksi sektoral tertinggi pada sektor industri yaitu 0.05 persen (mencapai 63 milyar rupiah per tahun. Prosentase peningkatan nilai produksi sektoral yang relatif kecil tersebut hanya mampu meningkatkan kesempatan kerja yang relatif kecil. Dampak lanjutan terlihat pada tingkat pengangguran yang relatif tidak berubah. Tingkat inflasi menurun 0.2 persen yang lebih disebabkan oleh deflasi dari sisi suplai dimana penawaran agregat meningkat 0.02 persen. Dibandingkan pada simulasi penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa, dampak terhadap peningkatan investasi akibat simulasi terdahulu lebih besar dibandingkan dampak akibat penurunan tingkat suku bunga. Hal ini menunjukkan bahwa investasi lebih respon terhadap penurunan faktor ketidakpastian di pasar tenaga kerja dibandingkan dengan penurunan suku bunga.
169
Tabel 42
170
7.3.8. Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 40 Persen Pengeluaran
pembangunan
infrastruktur
diramalkan
dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan modal publik. Pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur secara langsung berdampak pada sisi penawaran agregat melalui nilai produksi sektoral seperti pada Tabel 43. Nilai produksi sektor jasa meningkat paling tinggi 2.42 persen (meningkat 1.6 triliun rupiah per tahun). Sementara nilai produksi sektor pertanian meningkat paling rendah 0.17 persen (meningkat 105 milyar rupiah per tahun). Nilai produksi sektor industri meningkat 0.77 persen (meningkat 929 milyar rupiah per tahun). Hasil penelitian Yudhoyono (2004) juga memperlihatkan kecenderungan yang sama dimana peningkatan pengeluaran infrastruktur menyebabkan peningkatan PDB sektor pertanian dengan prosentase lebih rendah dibandingkan sektor non pertanian. Dampak lanjutan dari peningkatan nilai produksi sektoral adalah peningkatan kesempatan kerja di masing-masing sektor. Peningkatan kesempatan kerja tertinggi pada sektor jasa yang meningkat 1.01 persen (meningkat 118 ribu orang per tahun), sektor industri 0.19 persen (meningkat 27 ribu orang per tahun), sektor pertanian meningkat 0.02 persen (meningkat 7 ribu orang per tahun). Kesimpulan yang sama juga ditemui pada penelitian Yudhoyono (2004) dimana peningkatan penyerapan tenaga kerja lebih condong pada penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian. Simulasi 8 telah mampu menurunkan tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan dan tingkat pengangguran total 0.13 persen dan mempertahankan nilai inflasi pada tingkat 6.64 persen.
171
Tabel 43
172
7.3.9. Kombinasi Simulasi 4 dan 5 Kombinasi simulasi penyesuaian upah minimum sektoral dan upah minimum rata-rata dengan diatas rata-rata
tingkat inflasi 2007-2010 sebesar 8
persen dan penurunan kekuatan serikat buruh diramalkan memberikan dampak positif pada penurunan tingkat pengangguran dan inflasi. Tingkat pengangguran total diramalkan menurun 0.79 persen (mencapai 9.37 persen) seperti pada Tabel 44. Penurunan tingkat pengangguran total tersebut disebabkan peningkatan kesempatan kerja yang secara total meningkat 0.29 persen (meningkat 298 ribu orang TK per tahun). Berdasarkan tingkat pendidikan, pengangguran angkatan kerja berpendidikan rendah mencapai 3.89 persen (terjadi peningkatan 0.02 persen) sementara pada tingkat pengangguran TK berpendidikan menengah dan rendah justru menurun). Sejalan dengan hasil penelitian terdahulu, juga disimpulkan bahwa TK berpendidikan rendah sangat potensial dikeluarkan dari pasar kerja akibat perubahan dalam pasar TK. Nilai investasi sektoral maupun total diramalkan menurun. Penurunan nilai investasi tersebut disebabkan karena peubah nilai upah minimum berpengaruh langsung secara negatif pada nilai investasi. Penurunan nilai investasi selanjutnya berdampak pada penurunan nilai produksi sektoral. Pada sektor pertanian dan jasa. Peningkatan nilai produksi sektoral hanya terjadi pada sektor industri, disebabkan tingginya peningkatan kesempatan kerja di sektor industri yang mencapai 3.36 persen. Tingkat inflasi diramalkan menurun 2.26 persen (mencapai 4.38 persen). Kombinasi simulasi ini tidak menghasilkan trade off antara tingkat pengangguran total dan inflasi. Kedua indikator makroekonomi tersebut menurun.
173
Tabel 44
174
7.3.10. Kombinasi Simulasi 7 dan 8 Kombinasi simulasi penurunan tingkat suku bunga dan peningkatan pengeluaran infrastruktur merupakan upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menggerakkan sektor riil melalui kombinasi kebijakan fiskal dan moneter. Simulasi 10 memperlihatkan dampak positif pada peningkatan nilai investasi dan nilai produksi sektoral. Nilai investasi sektor pertanian meningkat dengan prosentase yang lebih tinggi tetapi secara nominal hanya meningkat 427 milyar rupiah seperti pada Tabel 45. Sementara investasi sektor industri meningkat 1.2 triliun rupiah. Nilai produksi sektor jasa meningkat paling tinggi yang mencapai 2.42 persen (meningkat 1.6 triliun rupiah per tahun). Penawaran agregat menurun 0.62 persen. Sejalan dengan peningkatan nilai produksi pada seluruh sektor, juga terjadi peningkatan kesempatan kerja di seluruh sektor dan terjadi penurunan tingkat pengangguran. Peningkatan kesempatan kerja tertinggi pada sektor jasa yang mencapai 1.01 persen (meningkat 118 ribu orang TK per tahun). Tingkat pengangguran total menurun 0.14 persen (mencapai 10.02 persen) dan pengangguran didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah dan menengah. Simulasi 10 dapat memperbaiki indikator makro, terlihat pada penurunan tingkat pengangguran dan inflasi juga peningkatan nilai investasi dan penawaran agregat. Tingkat inflasi menurun 0.02 persen yang disebabkan peningkatan penawaran agregat.
175
Tabel 45
176
7.3.11. Kombinasi Simulasi 4, 5 dan 8 Kombinasi simulasi Penyesuaian UMP, UMI, UMJ, dan UMR dengan diatas rata-rata tingkat inflasi 2007-2010 sebesar 8 persen, Penurunan kekuatan serikat buruh TKFP 90 persen, TKFI 1.5 persen, dan TKF 2,5 persen, dan Peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen memperlihatkan dampak positif pada penurunan tingkat pengangguran, tingkat inflasi, dan penawaran agregat seperti pada Tabel 46. Pengangguran TK berpendidikan rendah menurun 0.02 persen (menjadi 3.85 persen), berpendidikan menengah menurun 0.735 persen (menjadi 3.17 persen), berpendidikan tinggi menurun 0.17 persen (menjadi 2.22 persen). Tingkat pengangguran total menurun 0.92 persen (menjadi 9.24 persen).
Penurunan
tingkat pengangguran total disebabkan peningkatan kesempatan kerja total yang meningkat 0.44 persen (mencapai 450 ribu orang TK per tahun). Peningkatan kesempatan kerja tertinggi pada sektor industri yang mencapai 3.55 persen (mencapai 489 ribu orang TK per tahun). Nilai investasi sektoral dan total diramalkan mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan peningkatan penawaran agregat belum mampu menstimulasi peningkatan investasi. Dalam model penelitian ini, peningkatan nilai investasi lebih repon terhadap penurunan faktor resiko ketidapastian di pasar tenaga kerja. Kombinasi simulasi ini berdampak positif pada penurunan tingkat inflasi dan penawaran agregat. Dampak positif terlihat pada terjadinya penurunan inflasi nasional 2.26 persen atau mencapai 4.38 persen. Penurunan tingkat inflasi disebabkan peningkatan penawaran agregat meningkat 0.63 persen atau meningkat 2.74 triliun rupiah per tahun.
177
Tabel 46
178
7.3.12. Kombinasi Simulasi 6, 7 dan 8 Kombinasi simulasi penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa 50 persen, penurunan suku bunga 6 persen, dan peningkatan pengeluaran infrastruktur
40
persen
memperlihatkan
dampak
positif
pada
tingkat
pengangguran, tingkat inflasi nilai investasi dan penawaran agregat seperti pada Tabel 47. Tingkat pengangguran TK berpendidikan rendah diramalkan menurun 0.04 persen (menjadi 3.83 persen), berpendidikan menengah menurun 0.07 persen (menjadi 3.83 persen), berpendidikan tinggi menurun 0.03 persen (menjadi 2.35 persen). Tingkat pengangguran total diramalkan menurun 0.15 persen (menjadi 10.01 persen). Tingkat pengangguran diramalkan didominasi angkatan kerja berpendidikan rendah dan menengah. Nilai investasi total diramalkan meningkat 4.14 persen atau meningkat 5.2 trilliun rupiah per tahun. Prosentase peningkatan nilai investasi sektor pertanian paling tinggi yang mencapai 19.77 persen tetapi secara nominal hanya mencapai 508 milyar rupiah. Sementara secara prosentase sektor industri hanya meningkat 7.94 persen tetapi dengan nilai investasi paling tinggi yang mencapai 4.5 triliun rupiah. Tingkat inflasi nasional menurun 0.02 persen yang disebabkan oleh peningkatan nilai produksi secara agregat. Penawaran agregat meningkat 0.75 persen yang dapat menurunkan indeks harga umum. Sementara permintaan agregat juga meningkat 1.49 persen yang dapat meningkatkan indeks harga umum. Keseimbangan makro pada akhirnya kembali pada indeks harga umum yang lebih rendah dibandingkan nilai dasar.
179
Tabel 47
180
7.4.
Rangkuman Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Tingkat Pengangguran dan Perekonomian Para penganut peningkatan kesejahteraan berpendapat bahwa peningkatan
kesejahteraan pekerja penting dilakukan untuk mendorong naiknya produktivitas pekerja (Syamsudin, 20030). Berikut akan dianalisis dampak peningkatan kesejahteraan pekerja yang dilakukan melalui peningkatan upah minimum secara riil. Rangkuman hasil simulasi penyesuaian upah minimum dengan rata-rata tingkat inflasi tahun 2007-2010 secara umum dapat menyebabkan peningkatan produktifitas tenaga kerja seperti pada Tabel 48. Tabel 48. Perbandingan Produktivitas Sektoral Berdasarkan Simulasi Peramalan Tahun 2007-2010 Uraian
Nilai Dasar
Sektor Pertanian: Nilai Produksi Permintaan TK Produktifitas Sektor Industri: Nilai Produksi Permintaan TK Produktifitas Sektor Jasa: Nilai Produksi Permintaan TK Produktifitas Penawaran Agregat: Nilai Produksi Total Permintaan TK Total Produktifitas Sumber: Data sekunder
Satuan
Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi
1
2
3
4
62496.51 43116.75
Milyar Rp/tahun
1.45
Juta Rp/TK/tahun
121268.55 13752.13
Milyar Rp/tahun
8.82
Juta Rp/TK/tahun
8.84
8.82
8.82
8.83
65715.49 11712.08
Milyar Rp/tahun
65766.48 11788.24
65701.77 11705.91
65624.34 11671.06
65605.67 11662.66
5.61
Juta Rp/TK/tahun
5.58
5.61
5.62
5.63
432438.95 103146.30
Milyar Rp/tahun
ooo Orang
ooo Orang
ooo Orang
ooo Orang
4.19 Juta Rp/TK/tahun 1980-2004 (diolah).
62676.94 43893.09
62482.86 43081.53
62405.89 42882.90
62387.33 42834.99
1.43
1.45
1.46
1.46
121498.71 121216.21 120921.01 120849.83 13742.49 13744.85 13703.80 13693.90
432900.53 432359.23 431909.64 431801.22 103989.15 103097.62 102823.09 102756.89
4.16
4.19
4.20
4.20
Tabel 48 memperlihatkan produktivitas total meningkat dari 4.19 juta rupiah per TK per tahun menjadi 4.20 juta rupiah per TK per tahun. Namun semakin pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan buruh (simulasi 2 sampai dengan simulasi 4), secara agregat produktivitas relatif tidak berubah (4.20 juta rupiah per TK). Artinya peningkatan produktivitas
181
TK tidak efektif hanya distimulasi dari upaya peningkatan upah minimum secara riil. Bila pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan buruh melalui
peningkatan
upah
minimum
tetapi
tetap
mementingkan
kelangsungan produksi maka peningkatan produktivitas TK masih harus menjadi perhatian. Tabel 48 juga memperlihatkan produktivitas sektor pertanian paling rendah diantara sektor lainnya. Menurut Kalangi (2006) upaya peningkatan kesejahteraan petani dapat dilakukan melalui peningkatan produktiivitas sektor pertanian baik secara output fisik maupun satuan input. Selanjutnya dinyatakan
ada
empat
hal
yang
diperlukan
untuk
meningkatkan
produktivitas sektor pertanian, yaitu: (1) peningkatan kepadatan investasi/ satuan luas unit usaha pertanian, (2) mengadakan restrukturisasi usaha pertanian menuju skala yang kompetitif dan mendukung kemandirian ekonomi dan dapat dijalankan dalam skala individual dan kelompok/ koperasi/ perusahaan, (3) Kembalikan pola pertanian dengan model kesatuan yang terkait dengan industri pengolahan dan ekspor, dan (4) Perlu ada reorientasi kebijakan bahwa tujuan pembangunan pertanian adalah kesejahteraan petani dan sejalan dengan semangat keterbukaan. Hasil rangkuman seluruh simulasi kebijakan peramalan 2007-2010 memperlihatkan dampak yang bervariasi pada tingkat pengangguran, inflasi, investasi dan penawaran agregat seperti pada Tabel 49. Bila pemerintah mempertimbangkan hanya tingkat penurunan tingkat pengangguran maka simulasi 1, 5, 6, 8, 9, 10, 11 dan simulasi 12 lebih baik dilaksanakan.
182
Tabel 49
183
184
Bila pemerintah mempertimbangkan hanya tingkat penurunan tingkat inflasi maka simulasi 1, 5, 9, 11 dan simulasi 12 lebih baik dilaksanakan. Bila pemerintah mempertimbangkan hanya peningkatan penawaran agregat maka simulasi 1, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan simulasi 12 lebih baik dilaksanakan. Bila pemerintah mempertimbangkan hanya peningkatan investasi maka simulasi 1, 5, 6, 7, 8, 10, dan simulasi 12 lebih baik dilaksanakan. Alternatif simulasi kebijakan yang terbaik sangat tergantung pada pemenuhan kepentingan pekerja, pengusaha dan perekonomian makro. Bila pemerintah mempertimbangkan perbaikan perekonomian makro dari sisi penurunan tingkat pengangguran dan inflasi serta peningkatan nilai investasi dan penawaran agregat maka simulasi 1, 5, 6, 7, 8, 10, 11 dan simulasi 12 memberikan dampak perbaikan terhadap perekonomian makro seperti pada Tabel 50. Bila
pemerintah
berupaya
mempertimbangkan
kepentingan
pengusaha dan perbaikan perekonomian makro dari sisi penurunan tingkat pengangguran dan inflasi serta peningkatan nilai investasi dan penawaran agregat maka simulasi 1, 8 dan simulasi 10 memenuhi harapan pengusaha dan pebaikan perekonomian makro. Selanjutnya bila pemerintah ingin memenuhi harapan pekerja dan pengusaha tetapi dapat memberikan perbaikan terhadap perekonomian makro maka simulasi 6, 11 dan simulasi 12 memenuhi harapan pekerja, pengusaha dan pebaikan perekonomian makro.
185
Tabel 50
186
Tabel 50
187
Pilihan alternatif simulasi kebijakan yang mempertimbangkan kepentingan tersebut dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 14.
Kepentingan Pekerja
Kepentingan Pengusaha
, S2, S3,
S9
S4 S6, S11 S12
S1 S8,S10
S5, S7
Perekonomian Makro
Gambar 14. Pilihan Simulasi Kebijakan Berdasarkan Kepentingan
Selanjutnya terkait dengan strategi pembangunan perekonomian nasional yang dicanangkan Presiden RI Tahun 2004-2009, pada Tabel 51 dan Gambar 15 disajikan gambaran pilihan alternatif simulasi kebijakan yang memenuhi harapan Triple Track Strategy. Triple Track Strategy adalah rumusan pembangunan ekonomi Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang tertuang dalam prinsip pro-growth, pro-job, propoor (Yudhoyono, 2007). Track pertama, dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Track kedua, menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja. Track ketiga, merevitalisasi pertanian, kehutanan, dan kelautan serta ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan.
188
Tabel 51. Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan Peramalan Terhadap Triple Track Strategy 2007-2010 Simulasi (S)
Triple Track Strategy Pertumbuhan
Kesempatan Kerja
Revitalisasi Pertanian
1
− Investasi meningkat − Kesempatan Kerja meningkat − Ekspor meningkat − Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
2
− Investasi menurun − Kesempatan Kerja − Investasi sektor pertanian menurun menurun − Ekspor menurun − Agregat Supply menurun − Pengangguran meningkat − GDP pertanian menurun
3
− Investasi menurun − Kesempatan Kerja − Investasi sektor pertanian menurun menurun − Ekspor menurun − Agregat Supply menurun − Pengangguran meningkat − GDP pertanian menurun
4
− Investasi menurun − Kesempatan Kerja − Investasi sektor pertanian menurun menurun − Ekspor menurun − Pengangguran meningkat − GDP pertanian menurun − Agregat Supply menurun
5
− Investasi meningkat − Kesempatan Kerja menigkat − Ekspor meningkat − Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian meningkat − GDP pertanian meningkat
6
− Investasi meningkat − Kesempatan Kerja meningkat − Ekspor meningkat − Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian meningkat − GDP pertanian meningkat
7
− Investasi meningkat − Kesempatan Kerja tetap − Investasi sektor pertanian meningkat − Ekspor meningkat − Pengangguran tetap − GDP pertanian meningkat − Agregat Supply meningkat
8
− Investasi meningkat − Kesempatan Kerja meningkat − Ekspor meningkat − Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian meningkat − GDP pertanian meningkat
9
− Investasi menurun − Kesempatan Kerja meningkat − Ekspor meningkat − Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian menurun − GDP pertanian menurun
10
− Investasi meningkat − Kesempatan Kerja meningkat − Ekspor meningkat − Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian meningkat − GDP pertanian meningkat
11
− Investasi menurun − Kesempatan Kerja meningkat − Ekspor meningkat − Pengangguran menurun − Agregat Supply meningkat
− Investasi sektor pertanian menurun − GDP pertanian meningkat
12
− Investasi meningkat − Kesempatan Kerja meningkat − Ekspor meningkat − Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian meningkat − GDP pertanian meningkat
Keterangan:
− Investasi sektor pertanian meningkat − GDP pertanian meningkat
S1= Upah minimum tetap sebesar nilai tahun 2006. S2 = Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 1 persen. S3 = Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 6.64 persen. S4 = Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 8 persen.
189
S5 = Penurunan kekuatan serikat buruh TKFP 90 persen, TKFI 1.5 persen, dan TKF 2,5 persen. S6 = Penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa 50 persen. S7 = Penurunan suku bunga 6 persen. S8 = Peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen. S9 = Kombinasi simulasi 4 dan 5. S10 = Kombinasi simulasi 7 dan 8. S11 = Kombinasi simulasi 4, 5 dan 8. S12 = Kombinasi simulasi 6, 7 dan 8.
Pertumbuhan S9, S11
Kesempatan Kerja
S1,S5,S6 S8,S10 S7 S12
Revitalisasi Sektor Pertanian
Gambar 15. Pilihan Simulasi Kebijakan Berdasarkan Triple Track Strategy
Gambar 15 mengilustrasikan pilihan Simulasi 2, 3 dan 4 diramalkan tidak mampu memenuhi target pertumbuhan, kesempatan kerja dan privatisasi sektor pertanian. Simulasi 7, 9, dan 11 diramalkan hanya mampu menambah kesempatan kerja melalui penurunan sundulan upah rata-rata tetapi belum mampu meningkatkan investasi dan nilai produksi sektoral. Simulasi 1, 5, 6, 8, 10 dan simulasi 12 diramalkan dapat: (1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada ekspor dan investasi, (2) memicu sektor riil yang meningkatkan kesempatan kerja, dan (3) revitalisasi pertanian melalui peningkatan investasi sektor pertanian.
190
7.5.
Analisis Komprehensif Dampak Kebijakan Ketenagakerjaan Terhadap Tingkat Pengangguran dan Perekonomian Indonesia di Era Otda.
Harapan bahwa era otda dapat memberi spirit utama di tingkat kabupaten dan kota untuk mengoptimalkan sumberdaya belum nyata terlihat. Permasalahan perekonomian makro terkait dengan pasar TK masih berupa tingginya angka pengangguran dan maraknya kasus perselisihan hubungan industrial yang dapat diproksi dari data masih tingginya kasus pemogokan dan unjuk rasa yang tidak sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003. Intervensi pemerintah pada pasar TK berupa penerapan kebijakan ketenagakerjaan di era otda masih belum dapat menjembatani kepentingan yang berbeda antara pihak pekerja dan pengusaha sehingga perselisihan hubungan industrial masih berkepanjangan. Sumber utama permasalahan kasus pemogokan dan unjuk rasa adalah upah. Di satu sisi setiap tahun pemerintah telah melakukan penyesuaian terhadap upah minimum. Namun nilai penetapan upah minimum di era otda 2001-2004 rata-rata hanya mampu memenuhi 89.63 persen Kebutuhan Hidup Minimum. Artinya kesejahteraan pekerja yang menjadi target kebijakan upah minimum masih rendah. Di sisi lain dengan kebebasan berserikat, ada reaksi dari serikat buruh menuntut kenaikan upah setiap tahun pemerintah melakukan penyesuaian terhadap nilai upah minimum (fenomena ini disebut sebagai upah sundulan). Perusahaan merasa dirugikan terkait produktivitas TK dan upah sundulan. Besaran nilai upah minimum dirasakan memberatkan perusahaan karena peningkatan nilai upah minimum setiap tahun tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas pekerja. Selanjutnya adanya tuntutan serikat buruh terhadap upah sundulan menyebabkan perusahaan harus menanggung biaya TK yang lebih tinggi
191
di luar target berdasarkan kesepakatan awal penetapan upah minimum oleh pemerintah. Bila perusahaan tetap mempertahankan keuntungan pada nilai tertentu maka biaya tenaga kerja harus dibatasi, artinya pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari (pengangguran bertambah). Sebaliknya bila perusahaan tetap beroperasi pada biaya tenaga kerja yang lebih tinggi tanpa dibarengi dengan peningkatan produktivitas TK maka kalangsungan proses produksi dapat terhenti (pengangguran juga dapat bertambah). Penelitian ini menganalisis fenomena perubahan pasar TK akibat penerapan kebijakan ketenagakerjaan di era otda secara pendekatan makro ekonomi.
Hasil
analisis
deskriptif
terhadap
kebijakan
ketenagakerjaan
menunjukkan masih terdapat kelemahan dalam kebijakan ketenagakerjaan era otda yang dapat menghambat kelangsungan usaha dari sisi besaran penetapan nilai upah minimum yang dianggap pengusaha tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas pekerja. Sementara dari sisi pekerja, masih terdapat kelemahan dalam kebijakan ketenagakerjaan yang menyangkut pengaturan ketenagakerjaan melalui sistem kontrak dan pemborongan pekerja yang dirasakan merugikan pekerja. Kekecewaan pekerja tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena kebebasan berserikat dapat dijadikan wadah untuk merespon secara fisik dan emosional yang dapat tercermin secara makro pada maraknya jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa. Demikian pula keberatan pengusaha tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena dapat berdampak pada terhambatnya kelangsungan usaha yang pada akhirnya dapat memperburuk perekonomian. Analisis
pengaruh
penerapan
kebijakan
ketenagakerjaan
terhadap
perubahan di pasar TK dan perekonomian Indonesia memperlihatkan adanya
192
fenomena upah sundulan di sektor pertanian, industri dan jasa. Namun respon peningkatan upah rata-rata akibat tuntutan kekuatan serikat pekerja paling tinggi pada sektor industri. Artinya reaksi kekuatan serikat pekerja di sektor industri akibat penyesuaian nilai upah minimum sektor industri oleh pemerintah harus sangat diperhitungkan agar target penyesuaian nilai upah minimum mencapai sasaran dan tidak menimbulkan masalah baru antara pihak pekerja dan pengusaha di sektor industri. Mengapa upah sundulan bisa terjadi tidak lain karena kurangnya keterbukaan dan pemahaman pihak buruh yang diwakili serikat buruh, pihak pengusaha dan pemerintah terhadap mekanisme penetapan nilai upah minimum. Kuat dugaan kenaikan upah minimum setiap tahun yang dilakukan pemerintah selama era otda lalu hanya upaya sesaat untuk meredam berkembangnya tuntutan pekerja untuk memperoleh kenaikan upah. Pengusaha merasa diberatkan dengan adanya tuntutan kenaikan upah dari pekerja di tingkat yang lebih tinggi dari pekerja penerima upah minimum (kenaikan upah sundulan). Untuk kasus di sektor industri, tuntutan serikat buruh justru menuntut kenaikan yang sama dengan kenaikan upah minimum. Pengusaha semakin merasa diberatkan dengan penyesuaian nilai upah minimum yang setiap tahun meningkat karena telah menyebabkan peningkatan pada iuran jamsostek, upah lembur, tunjangan hari raya, tunjangan lain-lain yang didasarkan pada upah pokok yang meningkat. Permasalahan pokok adalah kenaikan upah sundulan tidak diatur oleh perundangundangan yang ada tetapi diserahkan pada perusahaan. Bila upah sundulan tidak diselesaikan maka kasus pemogokan dan unjuk rasa semakin marak dan dapat mengurangi produktivitas usaha.
193
Hasil analisis menunjukkan kebijakan upah minimum berpengaruh negatif dan nyata terhadap nilai investasi di sektor pertanian, industri dan jasa. Artinya semakin pemerintah melakukan peningkatan terhadap nilai upah minimum dapat meningkatkan faktor ketidakpastian kebijakan di pasar TK dan menyebabkan penurunan nilai investasi. Faktor jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa yang juga mencerminkan resiko ketidakpastian pasar TK bepengaruh nyata pada investasi sektor industri. Pada Lokakarya Kebijakan Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk Memperluas Kesempatan Kerja yang dilaksanakan oleh Bappenas dan SMERU dilaporkan terjadi pro dan kontra tentang upaya merubah mekanisme penentuan upah menjadi dibebaskan pada pasar. Pro dan kontra tersebut lebih disebabkan karena adanya dua pihak dengan kepentingan yang berbeda. Pengusaha merasa lebih fair bila intervensi pemerintah dalam penentuan upah ditiadakan. Sementara pekerja dapat semakin dirugikan karena rendahnya posisi tawar TK dapat menyebabkan upah keseimbangan semakin menurun. Hasil simulasi historis seandainya sejak tahun 2001-2004 pemerintah tidak melakukan penyesuaian terhadap nilai upah minimum memperlihatkan dampak berbeda pada kesempatan kerja di sektor pertanian. Perbedaan dampak tersebut disebabkan perkembangan nilai upah minimum riil sektor pertanian yang terus menurun sejak tahun 1998-2004. Dampak selanjutnya adalah menurunnya kesempatan kerja berpendidikan rendah di sektor pertanian dan dapat menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran TK berpendidikan rendah. Hasil simulasi historis menunjukkan bahwa mekanisme penentuan upah tanpa intervensi pemerintah pada era otda yang lalu dapat menyebabkan tingginya
194
tingkat penangguran TK berpendidikan rendah. Namun intervensi pemerintah dengan besaran nilai upah minimum seperti yang ditetapkan selama ini tidak meningkatkan kesejahteraan dan tidak menstimulasi produktivitas pekerja yang menjadi target kebijakan upah minimum. Artinya harapan pekerja dan pengusaha sama-sama tidak terpenuhi dan justru semakin diperparah dengan fenomena upah sundulan. Bila dibiarkan upah meningkat lebih besar dari pertumbuhan produktivitas maka permintaan agregat dapat bergeser ke kanan akibat peningkatan konsumsi sementara penawaran agregat dapat bergeser ke kiri akibat penurunan produktivitas. Pergeseran keduanya memperburuk tingkat inflasi. Diramalkan, intervensi pemerintah dalam bentuk penyesuaian nilai upah minimum masih diperlukan. Upah adalah bagian dari pendapatan pekerja yang terkait langsung dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang pada akhirnya mempengaruhi produktivitas kerja. Tetapi mekanisme penentuan nilai upah minimum harus tetap didasarkan pada tingkat inflasi dan kontrol terhadap kekuatan serikat pekerja. Artinya pemerintah perlu mengevaluasi kembali mekanisme penetapan nilai upah minimum agar kesejahteraan dan produktivitas pekerja meningkat. Diramalkan pula, kebijakan ketenagakerjaan normatif tersebut juga harus dibarengi dengan kebijakan yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan peningkatan modal publik. Investasi dapat meningkatkan kapasistas produksi dan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan berarti mengurangi pengangguran. Peningkatan modal publik melalui perbaikan infrastruktur dapat meningkatkan efisiensi produksi dan pemasaran produk sehingga dapat meningkatkan nilai produksi secara agregat dan kesempatan kerja yang berarti penurunan tingkat pengagguran dan inflasi.
VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
8.1.
Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan Bab V sampai dengan Bab VII,
dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut: 1.
Undang-undang ketenagakerjaan era otda memiliki aspek positif dalam hal adanya jaminan pekerja untuk membentuk serikat pekerja dan mendorong penyelesaian intern antara pekerja dan pengusaha melalui perundingan. Namun masih terdapat beberapa keberatan: (1) dari sisi perusahaan dalam hal peningkatan nilai upah minimum tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas dan dalam hal proses PHK serta pembayaran uang pesangon, dan (2) dari sisi pekerja dalam hal sistem kontrak dan pemborongan pekerja di tingkat perusahaan.
2.
Jumlah
populasi
peningkatan
penduduk
jumlah
berpengaruh
penawaran
TK
lebih
tinggi
berpendidikan
pada rendah
dibandingkan dengan penawaran TK berpendidikan menengah dan berpendidikan tinggi. 3.
Peningkatan upah rata-rata sektor pertanian berpengaruh negatif pada
penurunan:
(1)
permintaan
TK
berpendidikan
rendah,
menengah, dan berpendidikan tinggi di sektor pertanian, (2) permintaan TK berpendidikan menengah dan berpendidikan tinggi di sektor industri, dan (3) permintaan TK berpendidikan menengah dan berpendidikan tinggi di sektor jasa.
196
4.
Peningkatan nilai produksi sektor pertanian, industri dan jasa berpengaruh positif pada permintaan TK berpendidikan menengah dan berpendidikan tinggi di masing-masing sektor.
5.
Upah minimum sektor pertanian, industri dan jasa berpengaruh pada meningkatkan fenomena
upah
upah
rata-rata
sundulan
masing-masing
dimana
sektor.
penerapan
Terdapat
kebijakan
upah
minimum dan adanya tuntutan kekuatan serikat pekerja telah menyebabkan kenaikan upah rata-rata bagi pekerja di luar target kebijakan upah minimum. 6.
Upah minimum berpengaruh pada nilai investasi di sektor pertanian, industri dan jasa. Sementara jumlah kasus pemogokan berpengaruh pada investasi sektor industri. Peubah kebijakan upah minimum yang setiap tahun dinaikkan dan maraknya jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa menggambarkan tingginya resiko ketidakpastian di pasar tenaga kerja dan berpengaruh negatif terhadap nilai investasi.
7.
Penetapan upah minimum di atas tingkat inflasi rata-rata pada prinsipnya dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang menjadi terget kebijakan upah minimum. Namun kebijakan upah minimum tanpa adanya kontrol terhadap kekuatan serikat pekerja pada periode otonomi daerah 2001-2004 telah menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran terutama pengangguran berpendidikan rendah dan menyebabkan memburuknya kondisi perekonomian makro.
8.
Permasalahan hubungan industrial yang diproksi dengan jumlah kasus pemogokan
dan
unjuk
rasa
menyebabkan
peningkatan
faktor
197
ketidakpastian di pasar TK. Penyelesaian permasalahan tersebut dapat berdampak pada peningkatan investasi dan nilai produksi agregat serta penurunan tingkat pengangguran dan tingkat inflasi di era otda 2001-2004. 9.
Diramalkan peningkatan nilai upah minimum tahun 2007-2010 berdampak positif terhadap kesejahteraan pekerja tetapi berdampak negatif
terhadap
pengusaha
dan
perekonomian
disebabkan
peningkatan upah tidak dibarengi peningkatan produktivitas pekerja. 10.
Diperkirakan upaya mencari solusi penyelesaian masalah hubungan industrial,
penurunan
suku
bunga
dan
peningkatan
pengeluaran
infrastruktur tahun 2007-2010 akan lebih efektif untuk menstimulasi peningkatan nilai investasi dan produksi agregat serta penurunan tingkat pengangguran dan tingkat inflasi. 11.
Pilihan simulasi kebijakan peramalan terbaik yang dapat dipilih agar dapat memenuhi harapan pihak pekerja, pengusaha, dan tidak memperburuk perekonomian Indonesia di era otda 2007-2010 yang akan datang adalah: (1) Simulasi 6: Penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa 50 persen, dan (2) Simulasi 12: Kombinasi simulasi penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa 50 persen, penurunan suku bunga 6 persen dan peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen.
12.
Pilihan simulasi kebijakan peramalan yang dapat memenuhi Triple Track Strategy adalah: (1) Simulasi 1: Upah minimum tetap sebesar nilai tahun 2006 (tidak ada penyesuaian upah minimum sejak tahun 2007), (2) Simulasi 5: Penurunan kekuatan serikat buruh TKFP 90 persen, TKFI 1.5 persen, dan TKF 2,5 persen, (3) Simulasi 6: Penurunan jumlah kasus
198
pemogokan dan unjuk rasa 50 persen, (4) Simulasi 8: Peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen, (5) Simulasi 10: Kombinasi simulasi penurunan suku bunga 6 persen dan peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen, dan (6) Simulasi 12: Kombinasi simulasi penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa 50 persen, penurunan suku bunga 6 persen dan peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen. 13.
Pilihan simulasi kebijakan peramalan terbaik agar dapat memenuhi harapan pihak pekerja, pengusaha, dan tidak memperburuk perekonomian Indonesia juga memenuhi Triple Track Strategy di era otda 2007-2010 yang akan datang adalah Simulasi 12: Kombinasi simulasi penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa 50 persen, penurunan suku bunga 6 persen dan peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen.
8.2.
Implikasi Kebijakan Berdasarkan simpulan, disusun implikasi kebijakan sebagai berikut:
1.
Bila pemerintah tetap mempertahankan kebijakan upah minimum di era otda yang akan datang maka bersama dengan serikat buruh, pengusaha dan pihak perguruan tinggi perlu melakukan evaluasi terkait dengan: (1) nilai upah minimum, (2) tuntutan serikat pekerja dan (3) upaya peningkatan produktivitas TK. Upaya peningkatan produktivitas
TK
dapat
dilakukan
melalui
perbaikan
kondisi
perekonomian dan industri, perbaikan regulasi pemerintah dan perbaikan karakteristik
angkatan
kerja
agar
tidak
memperburuk
pengangguran dan perekonomian 2007-2010 mendatang.
tingkat
199
2.
Agar masalah hubungan indutrial di era otda yang akan datang dapat mencapai penyelesaian yang memenuhi harapan pihak pekerja dan pengusaha diperlukan peran pemerintah sebagai regulator dan mediator yang adil untuk meningkatkan kepercayaan kedua belah pihak.
3.
Bila pemerintah ingin mewujudkan peningkatan investasi di era otda yang akan datang maka kebijakan yang sebaiknya dilakukan adalah menurunkan resiko ketidakpastian di pasar TK, menurunkan suku bunga dan meningkatkan pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur. Penurunan resiko dapat dilakukan melalui evaluasi ulang sistem penetapan kebijakan upah minimum dan kebijakan perselisihan hubungan industrial yang dapat memenuhi keinginan pekerja dan pengusaha.
4.
Bila di era otda yang akan datang pemerintah ingin: (1) mencapai pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada investasi, (2) memicu sektor riil yang memperluas kesempatan kerja, dan (3) meningkatkan investasi sektor pertanian, maka penurunan resiko ketidakpastian di pasar tenaga kerja dan peningkatan pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur adalah upaya yang seharusnya dilakukan segera oleh pemerintah untuk masa yang akan datang.
8.3.
Saran Penelitian Lanjutan Berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan dalam penelitian ini,
disarankan: 1.
Kebijakan ketenagakerjaan memberikan pengaruh berbeda pada setiap kelompok TK. Oleh karena itu, perlu penelitian lanjutan yang lebih spesifik dengan mendisagregasi TK berdasarkan wilayah, sektor formal
200
dan informal, jenis kelamin, serta daerah perkotaan dan pedesaan di era otda yang akan datang. 2.
Undang-undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 dan Undang-undang No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial memberatkan pihak pengusaha dalam hal mempekerjakan TK perempuan. Perlu analisis dampak kebijakan ketenagakerjaan yang lebih spesifik terhadap isu gender.
3.
Terdapat pengaruh jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa terhadap investasi, juga pengaruh kekuatan serikat pekerja terhadap peningkatan upah rata-rata yang relatif besar pada sektor industri dibandingkan pada sektor lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih mendisagregasi sektor industri di era otda yang akan datang.
4.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber permasalahan hubungan industrial yang tercermin pada penyebab kasus pemogokan adalah upah. Di sisi lain setiap tahun pemerintah telah melakukan penyesuaian nilai upah minimum. Terdapat kesenjangan antara harapan pihak pekerja, keinginan pihak pengusaha dan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang preferensi
pekerja,
pengusaha
dan
pemerintah
terhadap
sistem
penyesuaian upah minimum dan kebijakan perselisihan hubungan industrial agar dapat memenuhi harapan kedua belah pihak dan memperbaiki kondisi perekonomian makro di era otda yang akan datang.
201
5.
Perlu penelitian lanjutan yang lebih spesifik tentang upaya penurunan tingkat pengangguran di era otda yang akan datang melalui kebijakan sumbangan pendidikan dan pelatihan, kebijakan menaikkan tabungan nasional, kebijakan untuk meningkatkan penelitian dan pengembangan, dan Undang-undang ketenagakerjaan tentang perselisihan hubungan industrial yang lebih spesifik pada setiap subsektor industri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Arfida, B. R. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Bank Indonesia. 2002-2006. Laporan Tahunan 2002-2006. Bank Indonesia, Jakarta. Bellante, D. dan M. Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Terjemahan. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Borjas, G. J. 1996. Labor Economics. McGraw-Hill Inc, Singapore. Branson W.H and J.M. Litvack. 1976. Macroeconomics. Harper International Edition. Harper & Row Publisher, New York. Branson. W.L. 1979. Macroeconomic Theory and Policy. Second Edition. Harper & Row Publisher, New York. Case and Fair. 2004. Prinsip-prinsip Ekonomi Makro. Edisi lima. Terjemahan. PT. Indeks, Jakarta. Depnakertrans dan BPPS. 1999. Analisis Program Aksi Penanggulangan Pengangguran. BPS, Jakarta. Depnakertrans. 1998. Profil Sumber Daya Manusia Indonesia (The Human resource Profile in Indonesia). Pusat Perencanaan dan Informasi Tenaga Kerja, Badan Perencanaan dan Pengembangan, Depnakertrans RI, Jakarta. Dornbush, R. and S. Fischer. 1997. Macroeconomics. Fifth Edition. McGraw-Hill. Inc., Singapore. Fokusmedia. 2006. Undang-Undang Ketenagakerjaan. Edisi Lengkap. Fokusmedia, Bandung. Graziano, A.M. and M. L. Raulin. 1989. Research Methods: A Process of Inquiry. Harper Collins Publishers, New York. Khakim, A. SH.2006. Aspek Hukum Pengupahan Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Method. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London.
203
Mangkuprawira, S. dan A. V. Hubeis. 2007. Manajemen Mutu Sumber Daya Manusia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Mankiw, N. G. 2000. Macroeconomic. Fourth Edition. Worth Publishers Inc, New York. Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi 8. Erlangga, Jakarta. Oentarto, S. M., I. M. Suwandi, D., Riyadmadji. 2004. Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Samitra Media Utama, Jakarta. Pindyck, R. S and D. L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics. Fifth Edition. Prentice Hall International Inc, New Jersey. ____________________________. 1991. Econometric Models and Economic Forcasts. Third Edition. McGraw-Hill Inc, New York. Romer, David. 1996. Advance Macroeconomics. McGraw-Hill Companies Inc. United State of America. Shapiro, E. 1978. Macroeconomic Analysis. Fourth Edition. Harcourt Brace Jovanovich Inc, New York. United States. Simanjuntak, P.J. 2001. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Fakultas Ekanomi Universitas Indonesia, Jakarta. Sitepu, R. K. dan B. M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika: Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Squire, Lyn. 1982. Kebijaksanaan Kesempatan Kerja di Negeri-negeri Sedang Berkembang: Sebuah Survey Masalah-masalah dan Bukti-bukti. UI-Press, Jakarta. Woodhouse, M. B. 2006. Berfilsafat, Sebuah Langkah Awal. Kanisius, Yogyakarta.
Jurnal (dipublikasi): Anarita, Popon. 2002. Kemampuan Negosiasi Serikat Buruh dalam Memperjuangkan Upah Minimum di dalam Institusi Dewan Pengupahan. Jurnal Analisis Sosial, 7 (1): 65-76. Brodjonegoro, Bambang P. S. 2000. Pemulihan Ekonomi,Otonomi Daerah Dan Kesempatan Kerja di Indonesia. Warta Demografi, 30 (3): 21-27.
204
Calvo-Armengol, A. and M. O. Jackson. 2004. The Effects of Social Networks on employment and Inequality. The American Economic Review, 94 (3): 426454. Card, David and A. B. Krueger. 1994. Minimum Wages and Employment: A Case Studv of the Fast-Food Industry in New Jersey and fennsylvania. The American Economic Review, September: 772-793. ____________________________.2000. Minimum Wages and Employment: A Case Study of the Fast-Food Industry in New Jersey and Pennsylvania: Reply. The American Economic Review, December: 1397-1420. Figart, Deborah M. 2003. Labor Market Policy: One Institutionalist’s Agenda. Journal of Economic Issues, 37 (2): 315-323. Fuglie, Keith O. 2004. Productivity Growth in Indonesian Agriculture, 1961-2000: Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40 (2): 209-225. Hendarmin, Ari. 2002. Kesejahteraan Buruh dan Kelangsungan Usaha: Upah Minimum dari Sisi Pandang Pengusaha. Jurnal Analisis Sosial, 7 (1): 95110. Kennan, John. 1995. The Elusive Effects of Minimum Wages. Journal of Economic Literature, 33: 1949-1965. Kuncoro, Ari. 2003. SDM dan Sisi Permintaan Tenaga Kerja Masa Depan di Indonesia. Warta Demografi, 33 (1): 33 – 41. Levin-Waldman, Oren M. 2002. The Minimum Wage and Regional Wage Structure: Implications for Income Distribution. Journal of Economic Issues, 36 (3): 636-657. Mangara, R. T. 2004. Sektor Pertanian Menganggung Beban Berat dalam Penciptaan Kesempatan Kerja. Warta Ketenagakerjaan, 11 (November): 9. Depnakertran, Jakarta. Mangkuprawira, Sjafri. 2000. Analisis Perilaku Pasar Kerja di Wilayah Jawa dan Bali. Mimbar Sosek, 3 (1): 60-78. ___________________. 2001. Perempuan dan Pasar Kerja di Wilayah Jawa dan Bali: Sebelum Krisis dan Selama Krisis Ekonomi. Mimbar Sosek, 14 (1): 132. Manning, Chris. 2000. Labour Market Adjustment to Indonesia's Economic Crisis: Contex, Trends and Implications. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36 (1): 105-136.
205
Neumark, David and W. Wascher. 2000. Minimum Wages and Employment: A Case Study of the Fast-Food Industry in New Jersey and Pennsylvania: Comment. The American Economic Revicw, December: 1362-1396. Nuryati, Y., H. Siregar, A. Ratnawaty. 2006. Dampak Kebijakan Inflation Targeting terhadap beberapa Variabel Makroekonomi di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 9 (1). Priyono, Edi. 2002. Situasi Ketenagakerjaan Indonesia dan Tinjauan Kritis. Jurnal Analisis Sosial, 7 (1): 1-15. Rama, Martin. 1998. How Bad is Unemployment in Tunisia? Assessing Labor Market Efficiency in a Developing Country. The World Bank Economic Observer, 13 (1): 59-77. Siregar, H. dan Nely. 2005. Infrastruktur Dasar dan Pembiayaannya. Agrimedia, 10 (2): 26-37. Suryahadi, Asep. 1999. Wage Inequality Between Skilled and Unskilled labor in Indonesian Manufacturing. Ekonomi dan keuangan Indonesia, 67 (3): 271288. Suryahadi, Asep. 2000. Changes in the Structure of Wages in Indonesia during the Crisis. Ekonomi dan keuangan Indonesia, 68 (4): 355-367. Suryahadi, A., W, Widyanti, D., Penwira, and S., Sumarto. 2003. Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in The Urban Formal Sector. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39 (l): 29-50. Syafa'at, Nizwar. 1996. Pendugaan Parameter Persamaan Simultan dengan Metode Pendugaan OLS, 2SLS, LIML dan 3SLS. Ekonomi dan keuangan Indonesia, XLIV (4): 321 - 339. Tjiptoherijanto, Prijono. 2000. Kebijakan Upah: Tantangan di Tengah Suasana krisis Ekonomi. Perencanaan Pembangunan, (18): 53-63. Wirahyoso, Bambang. 2002. Upah Minimum Bagi Buruh dan Strategi Perjuangan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. Jurnal Analisis Sosial, 7 (1): 77-93. Zavodny, Madeline. 2000. The Effect of the Minimum Wage on Employment and Hours. Labour Economics, (7): 729-750.
Lainnya: Adriani. 2000. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keragaan Pasar Kerja dan Migrasi pada Periode Krisis Ekonomi di Indonesia. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
206
Brooks, Ray. 2002. Why Is Unemployment High in the Philippines? IMF Working Paper. http:// www.imf.org/external/pubs/fl/wp/2002/wp0223.pdf. Depnakertrans. 2005. Merancang Strategi Ketenagakerjaan. Nakertrans, 8 (XXV): 5-11. Depnakertrans. 1998-2007. Depnakertrans Situasi Tenaga Kerja dan kesempatan Kerja di Indonesia. Depnakertrans RI, Jakarta. ____________. 2004a. Rencana Tenaga Kerja Nasional (RTKN) 2004 - 2009. Majalah Nakertrans, 03 (XXIV), http:// www.nakertrans. go. Id/ arsi_ berita/naker/ rtkn_ acuan.php. ____________. 2004b. Perkembangan Upah Minimum Propinsi. http://www. nakertrans.go.Id/b_penting/warta_naker/perkembangan_ump.php Erisman, 2003. Analisis Ekonomi pasar Tenaga Kerja di Wilayah DKI Jakarta. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hadi, Supri. 2002. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keragaan Pasar Kerja dan Migrasi pada Periode Krisis dan Sebelum Krisis Ekonomi di Indonesia. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. ISEI. 2005. Rekomendasi ISEI-Langkah-langkah Strategis Pemulihan Ekonomi Indonesia. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta. Kalangi, L. S. 2006. Peranan Investasi di Sektor Pertanian dan Agroindustri dalm Penyerapan Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kompas. 2006. Daya Saing Industri Kritis Tanpa Perbaikan. Bisnis & Keuangan. Rabu, 15 februari 2006. Margono, Hery. 2005. Analisis Produktivitas dan Ketenagakerjaan: Suatu Pendekatan Makro-Mikro Ekonomi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Safrida. 1999. Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Laju Inflasi, Kesempatan Kerja, Serta Keragaan Permintaan dan Penawaran Agregat. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sasono, Adi, L. E. Lubis, A. S. Ruky, M. J. Hidayat. 1994. Pembaruan Sistem Upah. Depnakertrans – Centre for Information and Development Studies, Jakarta. Setiawan, Usep. 2007. Nasib Buruh dan Reformasi Agraria. Kompas, Senin 7 Mei 2007.
207
Simanjuntak, D. S. 2005. Upah Kompromi 2006. Kompas, Senin 21 November 2005. Simanjuntak, P.J. 2004. Industrial Relations System in Indonesia. Indonesian Human Resources Development Association, Jakarta. . 2006. Administrasi Ketenagakerjaan Indonesia. Depnakertrans RI dan ILO/USA Declaration Project Indonesia. Sipayung, T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Terhadap Sektor Pertanian dalam Membangun Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Smeru Research Team. 2004. Laporan Pelaksanaan Lokakarya Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk Memperluas kesempatan Kerja. http:// www.smeru.or.id. Sukwika, T. 2003. Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Migrasi di Kabupaten Bogor. Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sultani. 2007. Pekerja dalam Pusaran Negara dan Pengusaha. Kompas, Senin 7 Mei 2007. Syamsudin, M. Syaufii. 2003. Efektivitas Penetapan Upah Minimum dalam Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja. Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi depnakertrans, Jakarta. Tambunan, Tulus. 2006. Kondisi Infrastruktur di Indonesia. http://www. kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-1577-02032007. pdf. Winoto, J. dan H. Siregar. 2005. Peranan Pembangunan Infrastruktur dalam menggerakkan Sektor Riil. Makalah dalam Sidang Pleno ISEI XI. 22-23 Maret 2005, Jakarta. Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. . 2007. Triple Track Strategy: Upaya Mengurangi Pengangguran dan Kemiskinan. www.presidenri.go.id. Zulkifli. 2002. Analisis Ketenagakerjaan Sebelum dan Semasa Krisis Ekonomi di Indonesia. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
208
Lampiran 1a. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam Bentuk Undang-Undang Tahun 1956–2004 No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1
2
3
1.
Undang-Undang No. 39 Tahun 2004
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
2.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Pemerintahan Daerah
3.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
4.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 (English version)
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
5.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2003
Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan
6.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 (English version)
Ketenagakerjaan
7.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002
Hak Cipta
8.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2002
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
9.
Undang-Undang No. 28 Tahun 2000
Penetapan PP Pengganti UU No. 3 / 2000
10.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 (English version)
Serikat Pekerja / Serikat Buruh
11.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2000
Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
12.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
Hak Asasi Manusia
13.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
14.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
Pemerintahan Daerah
15.
Undang-Undang No. 21 Tahun 1999
Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan
16.
Undang-Undang No. 20 Tahun 1999
Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
209
17.
Undang-Undang No. 19 Tahun 1999
Penghapusan Kerja Paksa
18.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
19.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
20.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
Pengelolaan Lingkungan Hidup
21.
Undang-Undang No. 20 Tahun 1997
Penerimaan Negara Bukan Pajak
22.
Undang-Undang No. 16 Tahun 1997
Statistik
23.
Undang-Undang No. 15 Tahun 1997
Ketransmigrasian
24.
Undang-Undang No. 11 Tahun 1992
Dana Pensiun
25.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1992
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
26.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984
Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi thd. Wanita
27.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1981
Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan
28.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970
Keselamatan Kerja
29.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1964
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta
30.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1958
Penempatan Tenaga Kerja Asing
31.
Undang-Undang No. 80 Tahun 1957
Pengupahan Bagi Laki-Laki dan Wanita Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya
32.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1957
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
33.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1956
Berlakunya Dasar-Dasar Dari Hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama
210
Lampiran 1b. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam Bentuk Peraturan Menteri Tahun 1985–2004 No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1.
Peraturan Pemerintah No. 41 th. 2004
Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung
2.
Peraturan Pemerintah No. 23 th. 2004
Badan Nasional Sertifikasi Profesi
3.
Peraturan Pemerintah No. 22 th. 2004
Pengelolaan dan Investasi Dana Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
4.
Peraturan Pemerintah No. 11 th. 2000
Perubahan atas PP No. 98/2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil
5.
Peraturan Pemerintah No. 2 th. 1999
Penyelenggaraan Transmigrasi
6.
Peraturan Menteri No. 1 th. 1999
Upah Minimum
7.
Peraturan Pemerintah No. 79 th. 1998
Perubahan atas PP No. 14 Th. 1989 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
8.
Peraturan Menteri No. 06 th. 1998
Pencabutan Permenaker No. PER01/MEN/1994 tentang Serikat Pekerja di Tingkat Perusahaan
9.
Peraturan Menteri No. 01 th. 1985
Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
211
Lampiran 1c. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam Bentuk Keputusan Presiden Tahun 1995–2004 No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1.
Keppres No. 25 tahun 2004
Tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan, Perantara Hubungan Industrial dan Pengantar Kerja
2.
Keppres No. 9 tahun 2003
Tim Koordinasi Telematika Indonesia
3.
Keppres No. 111 tahun 2001
Perubahan Keppres 3/2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
4.
Keppres No. 3 tahun 2001
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
5.
Keppres No. 29 tahun 1999
Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
6. 7.
Keppres No. 83 tahun 1998
Keppres No. 75 tahun 1995
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
Lampiran 1d. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam Bentuk Intruksi Presiden No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1.
Instruksi Presiden No. 4 th. 2004
Pengambilan Kebijakan di Tingkat Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah Non Departemen
2.
Instruksi Presiden No. 3 th. 2003
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government
3.
Instruksi Presiden No. 6 th. 2001
Pengembangan & Pendayagunaan Telematika di Indonesia
212
Lampiran 1e. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam Bentuk Keputusan Menteri No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1
2
3
1.
Kepmen No. 362 TAHUN 2004 No. KEP.119/MEN/VII/2004 No. SKB/02/M.PAN/7/2004
Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2005
2.
Kepmen No. KEP.261/MEN/VII/2004
Perusahaan yang Wajib Melaksanakan Pelatihan Kerja
3.
Kepmen No. KEP.220/MEN/VII/2004
Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
4.
Kepmen No. KEP.187/MEN IX/2004 Iuran Anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh
5.
Kepmen No. KEP.115/MEN/VII/2004
Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat dan Minat
6.
Kepmen No. KEP.112/MEN/VII/2004
Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor : Kep.226/MEN/2003 tentang Tata Cara Perizinan Penyelenggaraan Program Pemagangan di Luar Wilayah Indonesia
7.
Kepmen No. KEP.96A/MEN/VI/2004
Pedoman Penyiapan dan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Profesi
8.
Kepmen No. KEP.69/MEN/2004
Perubahan Lampiran Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: KEP.227/MEN/2003 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional
9.
Kepmen No. KEP.68/MEN/2004
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja
10.
Kepmen No. KEP.21/MEN/2004
Penggunaan Tenaga Kerja Asing Sebagai Pemandu Nyanyi/Karaoke
213
11.
Kepmen No. KEP.20/MEN/2004
Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
12.
Kepmen No. KEP.246/MEN/2003
Prosedur dan Kriteria Penyiapan Lokasi Permukiman Transmigrasi
13.
Kepmen No. KEP.182/MEN/2003
Tata Cara Penyusunan Rencana, Program dan Anggaran Pembangunan Tahunan Bidang Ketransmigrasian
14.
Kepmen Pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2003
• Kepmen No. KEP. 223/MEN/2003
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
tentang Jabatan-Jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi Kepmen No. KEP. 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 s/d 07.00 Kepmen No. KEP. 225/MEN/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja Kepmen No. KEP. 226/MEN/2003 tentang Tata Cara Perijinan Penyelenggaraan Program Pemagangan di Luar Wilayah Indonesia Kepmen No. KEP. 227/MEN/2003 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Kepmen No. KEP. 228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Kepmen No. KEP. 229/MEN/2003 tentang Tata Cara Perijinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja Kepmen No. KEP. 230/MEN/2003 tentang Golongan & Jabatan Tertentu Yang Dapat dipungut Biaya Penempatan Tenaga Kerja Kepmen No. KEP. 231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Kepmen No. KEP. 232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah Kepmen No. KEP. 233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus Kepmen No. KEP. 234/MEN/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu
214
• Kepmen No. KEP. 235/MEN/2003
•
•
• • •
•
•
tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak Kepmen No. KEP. 255/MEN/2003 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit Kepmen No. KEP. 48/MEN/2004 Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama Kepmen No. KEP. 49/MEN/2004 Ketentuan Struktur dan Skala Upah Kepmen No. KEP. 51/MEN/2004 Istirahat Panjang pada Perusahaan Tertentu Kepmen No. KEP.100/MEN/VI/2004 Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Kepmen No. KEP.101/MEN/VI/2004 Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh Kepmen No. KEP.102/MEN/VI/2004 Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur
15.
Kepmen No. KEP.231/MEN/2002
Kriteria Usulan Program Penyiapan Permukiman, Perpindahan dan Penempatan serta Pemberdayaan Masyarakat Binaan Dalam Penyelenggaraan Transmigrasi
16.
Kepmen No. KEP.109//MEN/2002
Tim Penanggulangan Kemiskinan
17.
Kepmen No. KEP.104A//MEN/2002
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri
18.
Kepmen No. KEP.17//MEN/2002
Pedoman Sistem Pelaporan Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian
19.
Kepmen No. KEP.06/MEN/1999
Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi dan Kesejahteraan Transmigrasi
20.
Kepmen No. KEP.15A/MEN/1994
Petunjuk Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial & Pemutusan Hubungan Kerja di Tingkat Perusahaan dan Pemerantaraan
215
Lampiran 1f. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam Bentuk Instruksi Menteri No.
1.
Bentuk Kebijakan
Instruksi Menteri Nomor INS.01/MEN/2001
Perihal PENDAYAGUNAAN WEBSITE "Nakertrans.go.id" UNTUK PENYEBARAN DAN PELAYANAN INFORMASI DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SERTA PENGAMANAN JARINGAN KOMUNIKASI INTRANET/ INTERNET
Lampiran 1g. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam Bentuk Keputusan Dirjen No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1.
Keputusan Dirjen P3TKDN No. KEP- 106/D.P3TKDN/XI/2002
Petunjuk Teknis Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja Kejuruan Menjahit
2.
Keputusan Dirjen P3TKDN No. KEP- 107/D.P3TKDN/XI/2002
Petunjuk Teknis Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja Kejuruan Otomotif
216
Lampiran 2. Program Estimasi Parameter Model Menggunakan Prosedur SYSLIN Metode 2 SLS pada Program SAS/ETS 8.02 option nodate nonumber; data tkm; set analisis; S = SPR + SPM + SPT; DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL; DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML; DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL; DP = DPRP + DPMP + DPTP; DI = DPRI + DPMI + DPTI; DJ = DPRJ + DPMJ + DPTJ; D = DPR + DPM + DPT; UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100; UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100; UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100; UT = UPR + UPM + UPT; GTR = TAX + NTAX; GET = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL; TI = IP + II + IJ + IL; AD = C + TI + GET + X - M; AS = GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL; LCPI = LAG (CPI); INF = ((CPI - LCPI)/LCPI) * 100; LPHK = LAG (PHK); LGET = LAG (GET); LTI=LAG (TI); LUMR=LAG (UMR); LMS =LAG (MS); LW = LAG (W); LTKFP = LAG (TKFP); LDP=LAG (DP); LDJ=LAG (DJ); LGTR=LAG (GTR); LGDPI=LAG (GDPI); LLLP=LAG (LLP); LGEIS=LAG (GEIS); LKP=LAG (KP); evi0 = PHK-LPHK; evi2 = UMR-LUMR; evi4 = SB-LSB; evi7 = WJ-LWJ; evi9 = GEI-LGEI; evi15 = DJ-LDJ; evi20 = GDPP/AS; evi23 = GEIS-LGEIS; LSPR=LAG (SPR); LSPM=LAG (SPM); LDPRP=LAG (DPRP); LDPRJ=LAG (DPRJ);
LAS = LAG (AS); LIP=LAG (IP); LWJ=LAG (WJ); LSB=LAG (SB); LS = LAG (S); LD = LAG (D); LTKF = LAG (TKF); LDI=LAG (DI); LUMJ=LAG (UMJ); LGDPP=LAG (GDPP); LINF=LAG (INF); LGEP=LAG (GEP); LGEI=LAG (GEI); LER=LAG (ER); evi1 = AS/POP; evi3 = ER-LER; evi6 = IP-LIP; evi8 = W-LW; evi10 = MS-LMS; evi17 = GTR-LGTR; evi22 = GEP-LGEP; evi26 = KP-LKP; LPHK=LAG (PHK); LSPT=LAG (SPT); LDPRI=LAG (DPRI); LDPMP=LAG (DPMP);
217
LDPMI=LAG (DPMI); LDPTP=LAG (DPTP); LDPTJ=LAG (DPTJ); LWI=LAG (WI); LPOIL=LAG (POIL); LGEPK=LAG (GEPK); LC=LAG (C); LIJ=LAG (IJ); LM =LAG (M); LAD =LAG (AD); LINF = LAG (INF); LJP=LAG (JP); LTI=LAG (TI); LUMI=LAG (UMI); LUT=LAG (UT); LDEFP=LAG (DEFP); Levi2=LAG (evi2); Levi6=LAG (evi6); Levi8=LAG (evi8); Levi10=LAG (evi10); Levi17=LAG (evi17); GRI = ((GDPI - LGDPI)/LGDPI) * 100; GRJ = ((GDPJ - LGDPJ)/LGDPJ) * 100; run;
LDPMJ=LAG (DPMJ); LDPTI=LAG (DPTI); LWP=LAG (WP); LW=LAG (W); LTAX=LAG (TAX); LGDPJ=LAG (GDPJ); LII=LAG (II); LX =LAG (X); LMD =LAG (MD); LCPI=LAG (CPI); Levi1=LAG (evi1); LUMR=LAG (UMR); LUMP=LAG (UMP); LUMJ=LAG (UMJ); LTKFJ=LAG (TKFJ); LDEFJ=LAG (DEFJ); Levi4=LAG (evi4); Levi7=LAG (evi7); Levi9=LAG (evi9); Levi15=LAG (evi15); Levi22=LAG (evi22);
PROC SYSLIN 2SLS DATA=tkm outest=hasil; Endogenous
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF;
Instruments
DDF DEFI DEFP DEFJ DPML DPRL DPTL DKE ER GDPL GEL GR GRI IL JP JPK KHM KUK NTAX PHK PNSR POP TAX TKF TKIP TKFP TKMI TKFJ TKTI UMI UMJ UMP UMR WL;
/* 1. Blok Pasar MODEL SPR = MODEL SPM = MODEL SPT = IDENTITY S = MODEL DPRP = MODEL DPRI = MODEL DPRJ = IDENTITY DPR = MODEL DPMP = MODEL DPMI = MODEL DPMJ = IDENTITY DPM = MODEL DPTP = MODEL DPTI = MODEL DPTJ = IDENTITY DPT = IDENTITY DP =
Tenaga Kerja*/ Levi8 evi0 POP LSPR/DW; W POP LGEPK LSPM/DW; W POP LGEPK LSPT/DW; SPR + SPM + SPT; WP GDPP TKIP LDPRP/DW; WI GDPI JP JPK TKII LDPRI/DW; evi7 GDPJ PNSR LDPRJ/DW; DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL; WP GDPP TKMI LDPMP/DW; LWI GDPI JPK LDPMI/DW; WJ GDPJ TKFJ LDPMJ/DW; DPMP + DPMI + DPMJ + DPML; WP GDPP TKTI LDPTP/DW; WI GDPI JPK LDPTI/DW; evi7 GDPJ LDPTJ/DW; DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL; DPRP + DPMP + DPTP;
218
IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY MODEL WP MODEL WI MODEL WJ MODEL W
DI DJ D UPR UPM UPT UT
= = = = = = = = = = =
DPRI + DPMI + DPTI; DPRJ + DPMJ + DPTJ; DPR + DPM + DPT; UPR + 0; UPM + 0; UPT + 0; UT + 0; UMP KHM DEFP TKFP S UMI KHM DEFI TKFI S UMJ KHM DEFJ LTKF S Levi2 WP WI evi7 WL
LWP/DW; LWI/DW; LWJ/DW; LW/DW;
/* 2. Blok Fiskal*/ MODEL TAX = AS LTAX/DW; IDENTITY GTR = TAX + NTAX; MODEL GEP = evi17 LINF evi20 /DW; MODEL GEI = evi17 LINF GRI /DW; MODEL GEIS = Levi17 LINF LGEIS/DW; MODEL GEPK = LUT GTR LINF LGEPK/DW; IDENTITY GET = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL; /* 3. MODEL MODEL MODEL
Blok Penawaran Agregat*/ GDPP = DP DEFP evi6 evi22 evi23 LGDPP/DW; GDPI = DI DEFI II evi9 KUK GEIS LGDPI/DW; GDPJ = evi15 LDEFJ IJ LGEIS LGDPJ/DW;
/* 4. Blok Permintaan Agregat*/ MODEL C = EVI1 INF LC/DW; MODEL IP = evi4 UMR LAS evi26 DDF LIP/DW; MODEL II = evi4 UMR AS KP DDF LII/DW; MODEL IJ = SB LUMR AS LKP DDF LIJ/DW; IDENTITY TI = IP + II + IJ + IL; MODEL X = ER AS LX /DW; MODEL M = ER AS LM /DW; /* 5. MODEL MODEL MODEL
Blok Moneter*/ MD = AD evi4 DKE LMD/DW; MS = AD SB evi3 LMS /DW; SB = evi10 LAD LINF LSB /DW;
/* 6. Blok Keseimbangan Makro*/ IDENTITY AD = C + TI + GET + X - M; IDENTITY AS = GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL; MODEL CPI = LSB LW LCPI/DW; IDENTITY INF = INF + 0; RUN;
219
Lampiran 3. Hasil Estimasi Parameter Model Menggunakan Prosedur SYSLIN Metode 2 SLS pada Program SAS/ETS 8.02
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
SPR SPR SPR
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
8.3409E8 38429668 8.7252E8
2.0852E8 2134982
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1461.15761 68037.4904 2.14758
F Value
Pr > F
97.67
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept Levi8 evi0 POP LSPR
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 7696.893 0.054218 0.006907 0.183286 0.381599
3104.135 0.210486 0.013739 0.054410 0.148036
2.48 0.26 0.50 3.37 2.58
0.0233 Intercept 0.7996 0.6212 0.0034 POP 0.0190
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.059907 23 -0.03813
0.95596 0.94617
220
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
SPM SPM SPM
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
7.2065E8 6654492 7.273E8
1.8016E8 369694.0
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
608.02468 12017.0374 5.05969
F Value
Pr > F
487.33
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept W POP LGEPK LSPM
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -11854.5 0.149701 0.071511 24.39220 0.670890
6614.453 0.086014 0.044641 17.37402 0.157408
-1.79 1.74 1.60 1.40 4.26
0.0899 Intercept 0.0989 W 0.1266 POP 0.1774 0.0005
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.468268 23 -0.26003
0.99085 0.98882
221
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
SPT SPT SPT
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
57787411 1045247 58832658
14446853 58069.30
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
240.97572 2621.82783 9.19113
F Value
Pr > F
248.79
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept W POP LGEPK LSPT
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -3456.16 0.028160 0.019892 6.405164 0.715552
1759.424 0.033469 0.011366 6.188237 0.139538
-1.96 0.84 1.75 1.04 5.13
0.0651 Intercept 0.4112 W 0.0971 POP 0.3143 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.263288 23 -0.24584
0.98223 0.97829
222
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DPRP DPRP DPRP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
1.7557E8 8179206 1.8375E8
43892660 454400.3
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
674.09221 36907.2209 1.82645
F Value
Pr > F
96.59
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept WP GDPP TKIP LDPRP
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 13996.67 -0.68812 0.017205 0.602612 0.175688
1752.374 0.292534 0.053114 0.078171 0.077055
7.99 -2.35 0.32 7.71 2.28
<.0001 0.0302 0.7497 <.0001 0.0350
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept WP GDPP TKIP
1.706572 23 0.097808
0.95549 0.94560
223
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DPRI DPRI DPRI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 16 22
36647772 1765822 38413594
6107962 110363.9
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
332.21061 6885.90783 4.82450
F Value
Pr > F
55.34
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept WI GDPI JP JPK TKII LDPRI
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 1501.583 -0.03733 0.007087 0.048144 2.044707 1.126923 0.064549
1179.454 0.061407 0.014319 0.051383 1.028377 0.225026 0.159530
1.27 -0.61 0.49 0.94 1.99 5.01 0.40
0.2212 0.5517 0.6274 0.3627 0.0642 0.0001 0.6911
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept WI GDPI JP JPK TKII
2.295689 23 -0.15712
0.95403 0.93679
224
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DPRJ DPRJ DPRJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
17932054 12398785 30330838
4483013 688821.4
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
829.95263 5274.52435 15.73512
F Value
Pr > F
6.51
0.0020
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept evi7 GDPJ PNSR LDPRJ
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 310.3759 -0.01115 0.015119 2.319582 0.478377
1799.994 0.108892 0.025535 1.349085 0.200636
0.17 -0.10 0.59 1.72 2.38
0.8650 Intercept 0.9196 0.5612 GDPJ 0.1027 PNSR 0.0283
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.784429 23 0.08443
0.59122 0.50037
225
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DPMP DPMP DPMP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
11780915 240222.8 12021138
2945229 13345.71
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
115.52365 1292.92304 8.93508
F Value
Pr > F
220.69
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept WP GDPP TKMI LDPMP
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -790.640 -0.06189 0.036499 0.152310 0.271813
423.2608 0.043359 0.015161 0.050327 0.183530
-1.87 -1.43 2.41 3.03 1.48
0.0781 0.1706 0.0270 0.0073 0.1559
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept WP GDPP TKMI
2.470703 23 -0.31979
0.98002 0.97558
226
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DPMI DPMI DPMI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
23228035 264782.0 23492817
5807009 14710.11
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
121.28525 1661.03130 7.30180
F Value
Pr > F
394.76
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept LWI GDPI JPK LDPMI
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 491.7278 -0.06035 0.010516 0.040753 0.818900
183.1849 0.017938 0.004041 0.324939 0.102710
2.68 -3.36 2.60 0.13 7.97
0.0151 Intercept 0.0035 0.0180 GDPI 0.9016 JPK <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.197437 23 -0.13385
0.98873 0.98622
227
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DPMJ DPMJ DPMJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
13998192 813297.1 14811489
3499548 45183.17
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
212.56333 3641.16391 5.83779
F Value
Pr > F
77.45
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept WJ GDPJ TKFJ LDPMJ
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -75.0290 -0.02904 0.022429 0.235430 0.366813
550.7067 0.035638 0.015362 0.071112 0.138198
-0.14 -0.81 1.46 3.31 2.65
0.8931 0.4258 0.1615 0.0039 0.0161
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept WJ GDPJ TKFJ
1.473021 23 0.221686
0.94509 0.93289
228
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DPTP DPTP DPTP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
32149.02 1817.897 33966.92
8037.256 100.9943
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
10.04959 71.37174 14.08063
F Value
Pr > F
79.58
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept WP GDPP TKTI LDPTP
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -53.4439 -0.00364 0.002483 0.016213 0.505083
35.61881 0.003591 0.001222 0.028214 0.213766
-1.50 -1.01 2.03 0.57 2.36
0.1508 0.3246 0.0572 0.5726 0.0296
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept WP GDPP TKTI
1.933074 23 0.012856
0.94648 0.93459
229
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DPTI DPTI DPTI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
449160.9 19359.56 468520.4
112290.2 1075.531
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
32.79529 197.58696 16.59790
F Value
Pr > F
104.40
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept WI GDPI JPK LDPTI
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 39.20398 -0.00658 0.001347 0.067873 0.817348
49.63871 0.005014 0.000834 0.088570 0.150672
0.79 -1.31 1.61 0.77 5.42
0.4399 0.2058 0.1238 0.4534 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept WI GDPI JPK
2.030049 23 -0.02869
0.95868 0.94950
230
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DPTJ DPTJ DPTJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 19 22
14782371 593062.7 15375433
4927457 31213.83
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
176.67436 1453.69130 12.15350
F Value
Pr > F
157.86
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept evi7 GDPJ LDPTJ
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -279.070 -0.02304 0.014701 0.838590
179.9477 0.022559 0.006506 0.093278
-1.55 -1.02 2.26 8.99
0.1374 Intercept 0.3200 0.0358 GDPJ <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.723394 23 -0.43276
0.96143 0.95534
231
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
WP WP WP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 16 22
28165772 2324795 30490568
4694295 145299.7
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
381.18199 6315.32957 6.03582
F Value
Pr > F
32.31
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept UMP KHM DEFP TKFP S LWP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 4351.285 0.186011 0.235748 7.722205 0.026872 -0.07680 0.347304
3037.561 0.039320 0.167123 2.182597 0.169018 0.031320 0.138093
1.43 4.73 1.41 3.54 0.16 -2.45 2.52
0.1713 0.0002 0.1775 0.0027 0.8757 0.0261 0.0230
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept UMP KHM DEFP TKFP S
2.147441 23 -0.08971
0.92375 0.89516
232
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
WI WI WI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 16 22
98584221 11887589 1.1047E8
16430704 742974.3
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
861.95958 11943.3974 7.21704
F Value
Pr > F
22.11
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept UMI KHM DEFI TKFI S LWI
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 5358.180 0.180116 1.007071 3.237797 2.135565 -0.28723 0.502053
2894.873 0.111573 0.339237 3.505363 0.475679 0.071445 0.118820
1.85 1.61 2.97 0.92 4.49 -4.02 4.23
0.0827 0.1260 0.0091 0.3694 0.0004 0.0010 0.0006
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept UMI KHM DEFI TKFI S
2.354692 23 -0.20368
0.89239 0.85204
233
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
WJ WJ WJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 16 22
1.6351E8 31558834 1.9507E8
27251611 1972427
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1404.43124 15433.0713 9.10014
F Value
Pr > F
13.82
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept UMJ KHM DEFJ LTKF S LWJ
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 5380.282 0.260546 0.753300 15.60628 0.166095 -0.18927 0.454715
5207.397 0.107599 0.426650 6.349244 0.170188 0.112932 0.170218
1.03 2.42 1.77 2.46 0.98 -1.68 2.67
0.3169 0.0277 0.0965 0.0258 0.3436 0.1132 0.0167
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept UMJ KHM DEFJ S
1.583527 23 0.161522
0.83822 0.77755
234
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
W W W
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 16 22
1.2241E8 4802680 1.2722E8
20402069 300167.5
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
547.87546 12694.0096 4.31602
F Value
Pr > F
67.97
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept Levi2 WP WI evi7 WL LW
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 847.4541 0.062092 0.358429 0.461737 0.258188 0.059693 0.221975
806.2918 0.145269 0.374921 0.148448 0.141912 0.035232 0.143134
1.05 0.43 0.96 3.11 1.82 1.69 1.55
0.3089 0.6748 0.3533 0.0067 0.0876 0.1096 0.1405
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept WP WI WL
2.34477 23 -0.22235
0.96225 0.94809
235
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
TAX TAX TAX
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
2 20 22
389873.0 23872.85 413745.9
194936.5 1193.642
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
34.54913 254.40957 13.58012
F Value
Pr > F
163.31
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept AS LTAX
DF 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -126.326 40.88286 0.001324 0.000337 0.197561 0.208115
-3.09 3.92 0.95
0.0058 Intercept 0.0008 AS 0.3538
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.488553 23 0.223332
0.94230 0.93653
236
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GEP GEP GEP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 19 22
673.2839 338.3914 1011.675
224.4280 17.81008
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
4.22020 24.46652 17.24887
F Value
Pr > F
12.60
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept evi17 LINF evi20
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 14.98551 0.034337 0.592019 17.57876
5.361844 0.019793 0.102282 28.01660
2.79 1.73 5.79 0.63
0.0116 Intercept 0.0990 <.0001 0.5378
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.738171 23 0.115862
0.66551 0.61270
237
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GEI GEI GEI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 19 22
16.35251 46.76402 63.11653
5.450836 2.461264
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1.56884 3.25826 48.14967
F Value
Pr > F
2.21
0.1196
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept evi17 LINF GRI
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 1.898281 0.007940 0.035231 0.100363
0.666907 0.007519 0.038181 0.048602
2.85 1.06 0.92 2.06
0.0103 Intercept 0.3042 0.3677 0.0528
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.347546 23 -0.18845
0.25908 0.14210
238
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GEIS GEIS GEIS
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 19 22
7475.342 3456.313 10931.65
2491.781 181.9112
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
13.48745 59.48696 22.67295
F Value
Pr > F
13.70
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept Levi17 LINF LGEIS
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 8.594533 0.053636 0.074659 0.829220
8.810614 0.054804 0.270443 0.130738
0.98 0.98 0.28 6.34
0.3416 Intercept 0.3400 0.7855 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.702487 23 0.141579
0.68383 0.63390
239
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GEPK GEPK GEPK
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
3616.534 689.2200 4305.754
904.1335 38.29000
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
6.18789 36.04522 17.16702
F Value
Pr > F
23.61
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept LUT GTR LINF LGEPK
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -0.48610 1.177960 0.011670 0.286771 0.676046
5.241782 1.040253 0.018305 0.131367 0.119361
-0.09 1.13 0.64 2.18 5.66
0.9271 Intercept 0.2723 0.5318 GTR 0.0425 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.090124 23 0.431594
0.83993 0.80436
240
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GDPP GDPP GDPP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 16 22
1.3265E9 8973295 1.3355E9
2.2109E8 560830.9
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
748.88645 43953.0909 1.70383
F Value
Pr > F
394.22
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept DP DEFP evi6 evi22 evi23 LGDPP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -1574.86 0.098317 0.323054 0.026704 8.215004 7.864306 0.973710
2270.042 0.063655 1.768980 0.051679 15.82350 12.84807 0.044469
-0.69 1.54 0.18 0.52 0.52 0.61 21.90
0.4978 Intercept 0.1420 DP 0.8574 DEFP 0.6124 0.6108 0.5491 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.028915 23 -0.06883
0.99328 0.99076
241
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GDPI GDPI GDPI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
7 15 22
1.625E10 1.5614E8 1.64E10
2.3212E9 10409593
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
3226.39006 58224.3839 5.54130
F Value
Pr > F
222.99
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept DI DEFI II evi9 KUK GEIS LGDPI
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 464.9194 0.918193 38.69647 0.088450 164.7634 32.56100 15.05642 0.609806
6193.074 1.402265 36.24242 0.135499 299.1055 17.00688 47.79611 0.208865
0.08 0.65 1.07 0.65 0.55 1.91 0.32 2.92
0.9412 0.5225 0.3025 0.5238 0.5898 0.0748 0.7571 0.0106
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept DI DEFI II KUK GEIS
1.275885 23 0.241726
0.99048 0.98604
242
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GDPJ GDPJ GDPJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 17 22
2.8725E9 1.1655E8 2.989E9
5.745E8 6855988
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
2618.39415 41944.7070 6.24249
F Value
Pr > F
83.80
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept evi15 LDEFJ IJ LGEIS LGDPJ
DF 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 3889.881 0.265636 7.080491 0.142993 28.04410 0.861724
2219.461 0.583929 6.871331 0.375315 38.35196 0.101329
1.75 0.45 1.03 0.38 0.73 8.50
0.0977 Intercept 0.6549 0.3172 0.7079 IJ 0.4746 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.480039 23 0.240834
0.96101 0.94954
243
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
C C C
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 19 22
8.013E10 2.9035E8 8.042E10
2.671E10 15281414
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
3909.14489 157403.998 2.48351
F Value
Pr > F
1747.91
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept evi1 INF LC
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -19490.6 45985.72 -224.958 0.796406
4922.742 7433.079 78.26069 0.039034
-3.96 6.19 -2.87 20.40
0.0008 Intercept <.0001 0.0097 INF <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.447554 23 0.243859
0.99639 0.99582
244
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
IP IP IP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 16 22
2.4914E8 1.7544E8 4.2459E8
41523870 10965193
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
3311.37329 6830.50304 48.47920
F Value
Pr > F
3.79
0.0154
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept evi4 UMR LAS evi26 DDF LIP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 1321.929 -49.5038 -1.34291 0.025921 -5.32200 3653.718 0.614324
4174.072 98.35652 0.948550 0.028925 12.49117 3643.958 0.192617
0.32 -0.50 -1.42 0.90 -0.43 1.00 3.19
0.7556 Intercept 0.6216 0.1760 UMR 0.3835 0.6757 0.3309 DDF 0.0057
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.562349 23 0.204832
0.58679 0.43184
245
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
II II II
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 16 22
3.91E9 1.2146E9 5.1246E9
6.5166E8 75913263
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
8712.82177 42783.5304 20.36490
F Value
Pr > F
8.58
0.0003
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept evi4 UMR AS KP DDF LII
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -7936.68 -82.6170 -2.26652 0.246194 -23.2645 -24116.6 0.139976
11061.14 227.6311 2.197956 0.094414 32.23465 9688.923 0.237653
-0.72 -0.36 -1.03 2.61 -0.72 -2.49 0.59
0.4834 0.7214 0.3178 0.0190 0.4809 0.0242 0.5641
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept UMR AS KP DDF
2.380518 23 -0.25095
0.76298 0.67410
246
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
IJ IJ IJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 16 22
24695898 41694364 66390262
4115983 2605898
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1614.27933 2025.86043 79.68364
F Value
Pr > F
1.58
0.2167
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept SB LUMR AS LKP DDF LIJ
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -254.735 -2.75548 -0.35560 0.012588 -0.94728 2692.560 0.091524
1771.816 54.50865 0.303674 0.010474 4.593981 1652.584 0.246301
-0.14 -0.05 -1.17 1.20 -0.21 1.63 0.37
0.8875 0.9603 0.2587 0.2469 0.8392 0.1228 0.7151
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Intercept SB AS DDF
1.539115 23 0.198037
0.37198 0.13647
247
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
X X X
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 19 22
1.78E10 8.4198E8 1.864E10
5.9324E9 44314647
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
6656.92478 73894.6917 9.00866
F Value
Pr > F
133.87
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept ER AS LX
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -9074.23 1.042679 0.300933 0.039729
5502.617 0.728813 0.054212 0.168543
-1.65 1.43 5.55 0.24
0.1156 Intercept 0.1688 ER <.0001 AS 0.8162
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.636538 23 -0.32534
0.95483 0.94769
248
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
M M M
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 19 22
1.333E10 1.7479E9 1.507E10
4.4422E9 91995286
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
9591.41732 69460.8270 13.80838
F Value
Pr > F
48.29
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept ER AS LM
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -9694.45 -1.24392 0.220442 0.427867
7824.417 0.977513 0.054615 0.155088
-1.24 -1.27 4.04 2.76
0.2304 Intercept 0.2185 ER 0.0007 AS 0.0125
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.127146 23 -0.11975
0.88405 0.86574
249
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
MD MD MD
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
9536643 55414.51 9592058
2384161 3078.584
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
55.48499 1158.67565 4.78866
F Value
Pr > F
774.43
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept AD evi4 DKE LMD
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -341.791 0.003544 -1.63250 48.77867 0.554641
76.88527 0.000598 1.264528 46.20155 0.075045
-4.45 5.93 -1.29 1.06 7.39
0.0003 Intercept <.0001 AD 0.2130 0.3050 DKE <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.192748 23 0.288593
0.99422 0.99294
250
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
MS MS MS
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
9543929 48128.67 9592058
2385982 2673.815
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
51.70895 1158.67565 4.46276
F Value
Pr > F
892.35
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept AD SB evi3 LMS
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -485.902 0.004305 3.060249 0.026827 0.454207
100.2179 0.000647 1.825574 0.012226 0.082639
-4.85 6.65 1.68 2.19 5.50
0.0001 Intercept <.0001 AD 0.1110 SB 0.0416 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.342731 23 0.135047
0.99498 0.99387
251
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
SB SB SB
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 18 22
997.1941 193.2679 1190.462
249.2985 10.73710
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
3.27675 18.00087 18.20330
F Value
Pr > F
23.22
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept evi10 LAD LINF LSB
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 3.015449 -0.00527 5.074E-6 0.630957 0.455050
2.965648 0.007959 8.718E-6 0.070522 0.101147
1.02 -0.66 0.58 8.95 4.50
0.3227 Intercept 0.5161 0.5678 <.0001 0.0003
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.403858 23 0.272849
0.83765 0.80158
252
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
CPI CPI CPI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 19 22
158651.1 7017.654 165668.8
52883.72 369.3502
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
19.21849 153.59304 12.51260
F Value
Pr > F
143.18
<.0001
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable Intercept LSB LW LCPI
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -55.1704 0.065295 0.006445 0.904354
28.90623 0.615719 0.002362 0.072027
-1.91 0.11 2.73 12.56
0.0715 Intercept 0.9167 0.0133 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.469837 23 -0.24832
0.95764 0.95095
253
Lampiran 4. Program Validasi Model Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 option nodate nonumber; data tkm; set analisis; S = SPR + SPM + SPT; DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL; DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML; DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL; DP = DPRP + DPMP + DPTP; DI = DPRI + DPMI + DPTI; DJ = DPRJ + DPMJ + DPTJ; D = DPR + DPM + DPT; UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100; UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100; UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100; UT = UPR + UPM + UPT; GTR = TAX + NTAX; GET = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL; TI = IP + II + IJ + IL; AD = C + TI + GET + X - M; AS = GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL; LCPI = LAG (CPI); INF = ((CPI - LCPI)/LCPI) * 100; LPHK = LAG (PHK); LGET = LAG (GET); LTI=LAG (TI); LUMR=LAG (UMR); LMS =LAG (MS); LW = LAG (W); LTKFP = LAG (TKFP); LDP=LAG (DP); LDJ=LAG (DJ); LGTR=LAG (GTR); LGDPI=LAG (GDPI); LLLP=LAG (LLP); LGEIS=LAG (GEIS); LKP=LAG (KP); evi0 = PHK-LPHK; evi2 = UMR-LUMR; evi4 = SB-LSB; evi7 = WJ-LWJ; evi9 = GEI-LGEI; evi15 = DJ-LDJ; evi20 = GDPP/AS; evi23 = GEIS-LGEIS; LSPR=LAG (SPR); LSPM=LAG (SPM); LDPRP=LAG (DPRP);
LAS = LAG (AS); LIP=LAG (IP); LWJ=LAG (WJ); LSB=LAG (SB); LS = LAG (S); LD = LAG (D); LTKF = LAG (TKF); LDI=LAG (DI); LUMJ=LAG (UMJ); LGDPP=LAG (GDPP); LINF=LAG (INF); LGEP=LAG (GEP); LGEI=LAG (GEI); LER=LAG (ER); evi1 = AS/POP; evi3 = ER-LER; evi6 = IP-LIP; evi8 = W-LW; evi10 = MS-LMS; evi17 = GTR-LGTR; evi22 = GEP-LGEP; evi26 = KP-LKP; LPHK=LAG (PHK); LSPT=LAG (SPT); LDPRI=LAG (DPRI);
254
LDPRJ=LAG (DPRJ); LDPMI=LAG (DPMI); LDPTP=LAG (DPTP); LDPTJ=LAG (DPTJ); LWI=LAG (WI); LPOIL=LAG (POIL); LGEPK=LAG (GEPK); LC=LAG (C); LIJ=LAG (IJ); LM =LAG (M); LAD =LAG (AD); LINF = LAG (INF); LJP=LAG (JP); LTI=LAG (TI); LUMI=LAG (UMI); LUT=LAG (UT); LDEFP=LAG (DEFP); Levi2=LAG (evi2); Levi6=LAG (evi6); Levi8=LAG (evi8); Levi10=LAG (evi10); Levi17=LAG (evi17); GRI GRJ
LDPMP=LAG (DPMP); LDPMJ=LAG (DPMJ); LDPTI=LAG (DPTI); LWP=LAG (WP); LW=LAG (W); LTAX=LAG (TAX); LGDPJ=LAG (GDPJ); LII=LAG (II); LX =LAG (X); LMD =LAG (MD); LCPI=LAG (CPI); Levi1=LAG (evi1); LUMR=LAG (UMR); LUMP=LAG (UMP); LUMJ=LAG (UMJ); LTKFJ=LAG (TKFJ); LDEFJ=LAG (DEFJ); Levi4=LAG (evi4); Levi7=LAG (evi7); Levi9=LAG (evi9); Levi15=LAG (evi15); Levi22=LAG (evi22);
= ((GDPI - LGDPI)/LGDPI) * 100; = ((GDPJ - LGDPJ)/LGDPJ) * 100;
run; proc simnlin data=tkm stat outpredict theil; Endogenous
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF;
Instruments
DDF DEFI DEFP DEFJ DPML DPRL DPTL DKE ER GDPL GEL GR GRI IL JP JPK KHM KUK NTAX PHK PNSR POP TAX TKF TKIP TKFP TKMI TKFJ TKTI UMI UMJ UMP UMR WL;
parm
/*1. Blok Pasar TK*/ a0 7696.893 a1 0.054218 b0 -11854.5 b1 0.149701 c0 -3456.16 c1 0.028160 d0 13996.67 d1 -0.68812
a2 b2 c2 d2
0.006907 0.071511 0.019892 0.017205
a3 b3 c3 d3
0.183286 24.39220 6.405164 0.602612
a4 b4 c4 d4
0.381599 0.670890 0.715552 0.175688
e0 1501.583 e1 -0.03733 e2 0.007087 e3 0.048144 e4 2.044707 e5 1.126923 e6 0.064549
f0 g0 h0 i0 j0 k0 l0
310.3759 -790.640 491.7278 -75.0290 -53.4439 39.20398 -279.070
f1 g1 h1 i1 j1 k1 l1
-0.01115 -0.06189 -0.06035 -0.02904 -0.00364 -0.00658 -0.02304
f2 g2 h2 i2 j2 k2 l2
0.015119 0.036499 0.010516 0.022429 0.002483 0.001347 0.014701
f3 g3 h3 i3 j3 k3 l3
2.319582 0.152310 0.040753 0.235430 0.016213 0.067873 0.838590
f4 g4 h4 i4 j4 k4
0.478377 0.271813 0.818900 0.366813 0.505083 0.817348
m0 4351.285 m1 0.186011 m2 0.235748 m3 7.722205 m4 0.026872 m5 -0.07680 m6 0.347304 n0 5358.180 n1 0.180116 n2 1.007071 n3 3.237797 n4 2.135565 n5 -0.28723 n6 0.502053 o0 5380.282 o1 0.260546 o2 0.753300 o3 15.60628 o4 0.166095 o5 -0.18927 o6 0.454715 p0 847.4541 p1 0.062092 p2 0.358429 p3 0.461737 p4 0.258188 p5 0.059693 p6 0.221975
255
/*2. Blok Fiskal*/ q0 -126.326 q1 0.001324 r0 14.98551 r1 0.034337 s0 1.898281 s1 0.007940 t0 8.594533 t1 0.053636 u0 -0.48610 u1 1.177960
q2 r2 s2 t2 u2
0.197561 0.592019 0.035231 0.074659 0.011670
r3 s3 t3 u3
17.57876 0.100363 0.829220 0.286771 u4 0.676046
/*3. Blok Penawaran Agregat*/ v0 -1574.86 v1 0.098317 v2 0.323054 v3 0.026704 v4 8.215004 v5 7.864306 v6 0.973710 w0 464.9194 w1 0.918193 w2 38.69647 w3 0.088450 w4 164.7634 w5 32.56100 w6 15.05642 w7 0.609806
x0 3889.881 x1 0.265636 x2 7.080491 x3 0.142993 x4 28.04410 x5 0.861724 /*4. Permintaan Agregat*/ y0 -19490.6 y1 45985.72 y2 -224.958 y3 0.796406 z0 1321.929 z1 -49.5038 z2 -1.34291 z3 0.025921 z4 -5.32200 z5 3653.718 z6 0.614324 aa0 -7936.68 aa1 -82.6170 aa2 -2.26652 aa3 0.246194 aa4 -23.2645 aa5 -24116.6 aa6 0.139976 ab0 -254.735 ab1 -2.75548 ab2 -0.35560 ab3 0.012588 ab4 -0.94728 ab5 2692.560 ab6 0.091524
ac0 -9074.23 ac1 1.042679 ac2 0.300933 ac3 0.039729 ad0 -9694.45 ad1 -1.24392 ad2 0.220442 ad3 0.427867 /*5. Blok Moneter*/ ae0 -341.791 ae1 0.003544 ae2 -1.63250 ae3 48.77867 ae4 0.554641 ae5 af0 -485.902 af1 0.004305 af2 3.060249 af3 0.026827 af4 0.454207 ag0 3.015449 ag1 -0.00527 ag2 5.074E-6 ag3 0.630957 ag4 0.455050 /*6. Blok Keseimbangan Makro*/ ah0 -55.1704 ah1 0.065295 ah2 0.006445 ah3 0.904354 ; /* 1. Blok Pasar Tenaga Kerja*/ SPR = a0 + a1*(W - LAG (W)) + a2*(PHK-LAG (PHK)) + a3*POP + a4*LAG (SPR); SPM = b0 + b1*W + b2*POP + b3*LAG (GEPK) + b4*LAG (SPM); SPT = c0 + c1*W + c2*POP + b3*LAG (GEPK) + c4*LAG (SPT); S = SPR + SPM + SPT; DPRP = d0 + d1*WP + d2*GDPP + d3*TKIP + d4*LAG (DPRP); DPRI = e0 + e1*WI + e2*GDPI + e3*JP + e4*JPK + e5*TKII + e6*LAG (DPRI); DPRJ = f0 + f1*(WJ-LAG (WJ)) + f2*GDPJ + f3*PNSR + f4*LAG (DPRJ); DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL; DPMP = g0 + g1*WP + g2*GDPP + g3*TKMI + g4*LAG (DPMP); DPMI = h0 + h1*LAG (WI) + h2*GDPI + h3*JPK + h4*LAG (DPMI); DPMJ = i0 + i1*WJ + i2*GDPJ + i3*TKFJ + i4*LAG (DPMJ); DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML; DPTP = j0 + j1*WP + j2*GDPP + j3*TKTI + j4*LAG (DPTP); DPTI = k0 + k1*WI + k2*GDPI + k3*JPK + k4*LAG (DPTI); DPTJ = l0 + l1*(WJ-LAG (WJ)) + l2*GDPJ + l3*LAG (DPTJ); DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL; DP = DPRP + DPMP + DPTP; DI = DPRI + DPMI + DPTI; DJ = DPRJ + DPMJ + DPTJ; D = DPR + DPM + DPT; UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100; UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100; UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100; UT = UPR + UPM + UPT; WP = m0 + m1*UMP + m2*KHM + m3*DEFP + m4*TKFP + m5*S + m6*LAG(WP); WI = n0 + n1*UMI + n2*KHM + n3*DEFI + n4*TKFI + n5*S + n6*LAG (WI);
256
WJ W
= o0 + o1*UMJ + o2*KHM + o3*DEFJ+ o4*LAG(TKF)+ o5*S + o6*LAG (WJ); = p0 + p1*LAG(UMR-LAG(UMR)) + p2*WP + p3*WI + p4*(WJ-LAG (WJ))+ p5*WL + p6*LAG(W);
/*2. TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET
Blok Fiskal*/ = q0 + q1*AS + q2*LAG (TAX); = TAX + NTAX; = r0 + r1*(GTR-LAG(GTR)) + r2*LAG (INF) + r3*(GDPP/AS); = s0 + s1*(GTR-LAG(GTR)) + s2*LAG (INF) + s3*GRI; = t0 + t1*LAG(GTR-LAG(GTR)) + t2*LAG (INF) + t3*LAG (GEIS); = u0 + u1*LUT + u2*GTR + u3*LAG (INF) + u4*LAG (GEPK); = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
/*3. Blok Penawaran Agregat*/ GDPP GDPI
= v0+v1*DP+v2*DEFP+v3*(IP-LAG(IP))+v4*(GEP-LAG(GEP))+v5*(GEIS-LAG(GEIS))+ v6*LAG(GDPP); = w0 + w1*DI + w2*DEFI + w3*II + w4*(GEI-LAG(GEI)) + w5*KUK + w6*GEIS + w7*LAG (GDPI);
GDPJ = x0 + x1*(DJ-LAG(DJ)) + x2*LAG(DEFJ) + x3*IJ + x4*LAG(GEIS) + x5*LAG (GDPJ); /*4. Blok Permintaan Agregat*/ C = y0 + y1*(AS/POP) + y2*INF + y3*LAG (C); IP II IJ
= z0 + z1*(SB-LAG(SB)) + z2*UMR + z3*LAG (AS) + z4*(KP-LAG(KP)) + z5*DDF + z6*LAG(IP); = aa0 + aa1*(SB-LAG(SB)) + aa2*UMR + aa3*AS + aa4*KP + aa5*DDF + aa6*LAG (II); = ab0 + ab1*SB + ab2*LAG (UMR) + ab3*AS + ab4*LAG (KP) + ab5*DDF + ab6*LAG (IJ);
TI X M
= IP + II + IJ + IL; = ac0 + ac1*ER + ac2*AS + ac3*LAG (X); = ad0 + ad1*ER + ad2*AS + ad3*LAG (M);
/*5. MD MS SB
Blok Moneter*/ = ae0 + ae1*AD + ae2*(SB-LAG (SB))+ ae3*DKE + ae4*LAG(MD); = af0 + af1*AD + af2*SB + af3*(ER-LAG(ER)) + af4*LAG(MS); = ag0 + ag1*(MS-LAG (MS)) + ag2*LAG(AD) + ag3*LAG(INF) + ag4*LAG(SB);
/*6. AD AS CPI INF
Blok Keseimbangan Makro*/ = C + TI + GET + X - M; = GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL; = ah0 + ah1*LAG(SB) + ah2*LAG(W) + ah3*LAG (CPI); = ((CPI - LAG (CPI))/LAG (CPI))*100;
Range Tahun=2001 to 2004; RUN;
257
Lampiran 5. Hasil Validasi Model Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
52 52 183 TAHUN 52 52 2
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= TKM Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
52 2 TAHUN 2001 2004 NEWTON 1E-8 1.67E-15 2 8 2
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
6 2 4 22 25
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2001 To 2004
258
Descriptive Statistics
Variable SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF
N Obs
N
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Actual Mean Std Dev 76152.3 19839.1 4978.9 100970 38324.3 7927.9 4004.7 70762.7 2309.8 3206.5 3764.8 16521.5 112.6 414.1 2636.3 4456.2 40746.7 11548.5 10405.8 91740.4 5.3314 3.2821 0.5174 9.1308 7635.7 15184.1 20322.1 15529.2 454.8 639.3 21.6875 2.8500 39.9025 44.2850 724.5 53919.3 92267.6 54176.7 238540 2565.1 34331.6 3941.8 96036.8 107669 92465.8 1900.0 1900.0 14.4425 350504 350504 291.5 8.8275
1090.3 994.4 356.7 2171.0 755.9 668.6 421.5 799.3 195.7 69.2337 95.7498 687.4 8.7675 14.9235 211.0 304.2 933.1 637.3 518.2 1380.7 0.5291 0.2497 0.0527 0.7600 338.8 1068.6 1207.0 929.4 45.0124 37.4461 2.5145 0.9351 11.9259 4.7983 21.0060 1960.1 5083.6 3317.0 12821.4 840.6 8710.3 3103.6 10164.5 6121.3 10799.3 19.5185 19.5185 1.3776 19108.4 19108.3 28.0772 3.3491
Predicted Mean Std Dev 75835.6 19842.3 6354.3 102032 39226.3 7985.9 3683.4 71401.3 2323.8 3203.5 3856.2 16624.1 124.5 437.4 2472.9 4327.9 41674.6 11626.8 10012.5 92353.3 4.3345 3.1519 1.9728 9.4592 7438.1 14719.0 19356.8 15181.4 411.7 596.3 21.2077 2.5835 55.9200 47.1379 742.6 54478.1 92133.3 54131.8 235457 3104.5 34051.7 3902.3 96256.9 110417 94424.7 1943.3 1895.0 14.2002 348448 350884 262.2 6.2418
1088.7 925.5 896.4 2893.2 543.4 399.5 302.7 741.2 120.1 25.6672 70.8219 771.7 4.9294 3.1915 151.1 222.0 623.0 396.7 212.5 1558.9 0.7703 0.2079 0.6310 1.4923 428.0 604.9 1552.8 797.7 33.8882 28.3568 0.6591 0.1139 1.6058 5.3710 23.9066 1686.2 3635.3 2890.4 9398.0 879.6 2400.7 184.5 18267.5 4844.5 7184.6 101.6 120.8 0.7426 25115.1 17004.4 23.8859 2.1522
Label SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF
259
Statistics of fit Variable
N
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Mean Error
Mean % Mean Abs Mean Abs Error Error % Error
-316.7 -0.4119 3.2133 0.0301 1375.4 27.6638 1061.9 1.0452 902.0 2.3624 57.9325 0.9943 -321.3 -7.6930 638.6 0.9044 14.0683 0.9154 -2.9582 -0.0618 91.4524 2.4638 102.6 0.6167 11.8924 11.2276 23.3307 5.7258 -163.5 -5.9941 -128.2 -2.7522 927.9 2.2918 78.3049 0.7829 -393.3 -3.6579 612.9 0.6666 -0.9968 -18.8887 -0.1302 -3.7521 1.4554 287.0 0.3284 3.2310 -197.5 -2.6300 -465.1 -2.8863 -965.3 -4.8066 -347.8 -2.2030 -43.0624 -9.3497 -43.0624 -6.6844 -0.4798 -1.4016 -0.2665 -1.7096 16.0175 50.2181 2.8529 6.4621 18.1241 2.5058 558.9 1.0523 -134.3 -0.0815 -44.8477 -0.0467 -3083.2 -1.2378 539.4 35.4694 -279.9 4.1275 -39.4355 73.4590 220.1 -0.2748 2748.2 2.6153 1958.9 2.6777 43.2827 2.2558 -4.9533 -0.2937 -0.2423 -0.8927 -2055.7 -0.6431 379.7 0.1329 -29.3183 -9.9938 -2.5857 -13.4769
738.5 78.7595 1375.4 1199.3 902.0 262.7 321.3 638.6 115.9 45.6324 91.4524 240.9 12.1341 23.3307 190.2 187.1 927.9 261.3 410.1 612.9 0.9968 0.1528 1.4554 0.6799 197.5 527.7 1020.9 347.8 43.0624 43.0624 1.7959 0.7910 16.0175 2.8529 18.1241 590.9 1056.0 379.9 3158.8 1115.4 7559.8 2310.0 6996.1 2748.2 6855.4 67.5831 80.7121 1.1015 7030.8 2026.7 29.3183 4.5300
0.9714 0.4011 27.6638 1.1842 2.3624 3.3977 7.6930 0.9044 4.8671 1.4123 2.4638 1.4356 11.4291 5.7258 7.0781 4.1575 2.2918 2.2970 3.8303 0.6666 18.8887 4.4204 287.0 7.2963 2.6300 3.3435 5.0731 2.2030 9.3497 6.6844 8.1741 27.1833 50.2181 6.4621 2.5058 1.1089 1.1219 0.6808 1.2715 53.9366 22.6309 106.9 7.2082 2.6153 7.5546 3.5355 4.2329 7.5269 1.9879 0.5730 9.9938 47.5406
RMS Error 750.4 89.6066 1531.9 1572.0 922.6 330.1 408.4 723.8 131.0 57.0927 120.9 267.7 15.9137 25.9552 209.1 195.0 978.4 305.3 513.5 702.7 1.0923 0.2330 1.5587 0.8551 214.6 689.3 1148.5 397.0 44.1724 44.1724 1.8768 0.8408 19.6980 3.3716 21.1887 674.1 1343.5 494.3 4322.5 1250.2 7959.6 2533.0 8412.7 3308.6 7339.6 87.7547 91.0442 1.5348 7922.7 2184.9 30.0582 5.2813
RMS % Error R-Square 0.9881 0.4545 30.9281 1.5568 2.4237 4.3046 9.7078 1.0278 5.3583 1.7535 3.2885 1.5754 15.1763 6.4483 7.6999 4.2935 2.4247 2.6961 4.7602 0.7649 20.6655 6.5840 310.6 9.0516 2.9019 4.3269 5.7163 2.4845 9.4621 6.8105 8.4205 27.2929 63.9024 7.4602 2.9332 1.2640 1.3952 0.8715 1.7164 65.9457 23.9381 144.0 8.7068 3.1564 8.2113 4.5718 4.7574 10.2185 2.2303 0.6099 10.1842 50.8409
0.3684 0.9892 -23.59 0.3009 -.9862 0.6750 -.2520 -.0933 0.4023 0.0933 -1.126 0.7977 -3.393 -3.033 -.3097 0.4524 -.4660 0.6940 -.3094 0.6546 -4.682 -.1603 -1168 -.6877 0.4652 0.4452 -.2073 0.7567 -.2840 -.8554 0.2572 -.0778 -2.637 0.3417 -.3566 0.8423 0.9069 0.9704 0.8485 -1.950 -.1134 0.1119 0.0867 0.6105 0.3841 -25.95 -28.01 -.6550 0.7708 0.9826 -.5281 -2.316
260
Theil Forecast Error Statistics
Variable
N
MSE
Corr (R)
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
563055 8029.3 2346731 2471102 851218 108955 166804 523834 17164.8 3259.6 14619.5 71683.5 253.2 673.7 43731.2 38008.9 957351 93219.7 263733 493825 1.1932 0.0543 2.4297 0.7312 46038.1 475182 1319128 157607 1951.2 1951.2 3.5223 0.7069 388.0 11.3674 449.0 454349 1804894 244345 18684012 1563117 63355706 6415944 70772839 10946616 53870321 7700.9 8289.1 2.3556 62769707 4773714 903.5 27.8918
0.74 1.00 0.51 0.90 0.99 0.87 0.72 0.87 0.64 0.31 0.43 0.93 -0.55 0.63 0.70 0.84 0.97 0.88 0.76 0.97 0.74 0.54 -0.22 0.87 1.00 0.90 0.89 0.98 1.00 0.98 0.71 0.19 -0.80 0.92 0.85 0.98 0.99 0.99 1.00 -0.15 -0.07 0.97 0.92 0.95 0.65 0.74 0.84 -0.30 0.96 1.00 0.97 -0.86
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC) 0.18 0.00 0.81 0.46 0.96 0.03 0.62 0.78 0.01 0.00 0.57 0.15 0.56 0.81 0.61 0.43 0.90 0.07 0.59 0.76 0.83 0.31 0.87 0.15 0.85 0.46 0.71 0.77 0.95 0.95 0.07 0.10 0.66 0.72 0.73 0.69 0.01 0.01 0.51 0.19 0.00 0.00 0.00 0.69 0.07 0.24 0.00 0.02 0.07 0.03 0.95 0.24
0.11 0.40 0.16 0.27 0.04 0.23 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.18 0.28 0.04 0.00 0.02 0.06 0.23 0.10 0.07 0.09 0.07 0.13 0.71 0.13 0.20 0.13 0.06 0.05 0.03 0.28 0.00 0.24 0.06 0.06 0.10 0.83 0.50 0.46 0.48 0.10 0.94 0.84 0.07 0.00 0.74 0.99 0.43 0.56 0.66 0.01 0.68
0.72 0.60 0.03 0.27 0.01 0.74 0.38 0.22 0.99 0.99 0.38 0.67 0.16 0.15 0.39 0.55 0.04 0.71 0.32 0.17 0.08 0.61 0.00 0.14 0.02 0.34 0.17 0.17 0.00 0.02 0.66 0.90 0.10 0.23 0.21 0.22 0.16 0.50 0.03 0.33 0.89 0.06 0.16 0.24 0.93 0.02 0.01 0.55 0.37 0.31 0.04 0.08
0.00 0.44 0.09 0.16 0.04 0.50 0.06 0.00 0.25 0.44 0.03 0.07 0.04 0.15 0.06 0.13 0.08 0.47 0.27 0.05 0.04 0.02 0.10 0.55 0.13 0.34 0.07 0.08 0.05 0.03 0.73 0.72 0.21 0.02 0.01 0.12 0.87 0.56 0.47 0.00 0.47 1.00 0.70 0.11 0.18 0.66 0.93 0.13 0.43 0.70 0.01 0.04
0.82 0.56 0.10 0.39 0.00 0.47 0.32 0.22 0.74 0.56 0.40 0.78 0.40 0.04 0.33 0.43 0.03 0.47 0.15 0.19 0.13 0.66 0.02 0.30 0.02 0.21 0.23 0.15 0.00 0.02 0.20 0.18 0.13 0.26 0.25 0.19 0.12 0.43 0.02 0.81 0.53 0.00 0.30 0.20 0.75 0.10 0.07 0.85 0.50 0.27 0.03 0.72
Inequality Coef U1 U 0.0099 0.0045 0.3071 0.0156 0.0241 0.0415 0.1016 0.0102 0.0566 0.0178 0.0321 0.0162 0.1411 0.0627 0.0791 0.0437 0.0240 0.0264 0.0493 0.0077 0.2041 0.0708 3.0010 0.0934 0.0281 0.0453 0.0564 0.0255 0.0968 0.0690 0.0861 0.2838 0.4779 0.0758 0.0292 0.0125 0.0145 0.0091 0.0181 0.4689 0.2264 0.5309 0.0872 0.0307 0.0790 0.0462 0.0479 0.1059 0.0226 0.0062 0.1028 0.5684
0.0049 0.0023 0.1345 0.0077 0.0119 0.0207 0.0529 0.0051 0.0282 0.0089 0.0159 0.0081 0.0670 0.0305 0.0409 0.0222 0.0119 0.0132 0.0251 0.0038 0.1122 0.0361 0.6074 0.0457 0.0142 0.0230 0.0289 0.0129 0.0508 0.0357 0.0436 0.1515 0.2027 0.0367 0.0144 0.0062 0.0073 0.0046 0.0091 0.2132 0.1149 0.2919 0.0434 0.0152 0.0391 0.0228 0.0240 0.0535 0.0113 0.0031 0.0541 0.3341
261
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Variable SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF
Relative Change Corr N MSE (R) 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
0.000100 0.000022 0.1025 0.000244 0.000577 0.00158 0.0130 0.000105 0.00325 0.000315 0.00104 0.000262 0.0208 0.00389 0.00767 0.00221 0.000571 0.000669 0.00282 0.000059 0.0643 0.00479 10.3771 0.00928 0.000904 0.00197 0.00394 0.000668 0.0113 0.00491 0.00884 1.6872 0.2787 0.00558 0.000874 0.000167 0.000216 0.000084 0.000323 0.3502 0.0392 1.3905 0.00944 0.00103 0.00727 0.00213 0.00230 0.0114 0.000540 0.000041 0.0123 1.2672
0.95 0.98 0.48 0.70 0.99 0.89 0.96 0.97 0.94 0.80 0.50 0.76 0.58 0.80 0.91 0.95 0.99 0.91 0.99 0.97 0.87 0.68 0.30 0.65 0.71 0.99 0.95 0.97 1.00 0.99 0.86 1.00 0.37 0.91 0.99 0.61 -0.60 0.16 -0.96 0.41 0.82 0.51 0.76 0.87 0.67 0.46 0.52 0.74 0.78 0.24 0.77 0.15
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
Inequality Coef U1 U
0.19 0.00 0.81 0.45 0.96 0.03 0.60 0.78 0.00 0.00 0.57 0.14 0.56 0.80 0.61 0.44 0.90 0.07 0.57 0.76 0.82 0.33 0.85 0.10 0.82 0.44 0.71 0.80 1.00 0.98 0.02 0.24 0.60 0.77 0.77 0.69 0.00 0.00 0.52 0.04 0.00 0.02 0.00 0.69 0.07 0.24 0.00 0.04 0.08 0.04 0.96 0.23
0.3944 0.1376 2.9336 0.5864 0.9731 0.5079 0.6709 0.5633 0.5382 0.5567 1.4611 0.5419 1.6073 1.3314 0.6995 0.4693 0.8370 0.4896 0.5640 0.4217 0.8599 0.8663 19.2121 0.5372 0.8171 0.5141 0.7057 0.3805 0.5312 0.9156 0.5805 0.3032 2.0576 0.7961 0.2105 0.4774 0.3468 0.1945 0.4415 0.8629 0.5639 0.9732 0.8659 0.6503 0.6363 4.0773 4.2352 0.6839 0.5612 0.1538 1.1941 1.0689
0.47 0.54 0.13 0.00 0.02 0.20 0.25 0.04 0.59 0.03 0.13 0.02 0.19 0.00 0.16 0.24 0.06 0.25 0.37 0.00 0.00 0.59 0.15 0.02 0.05 0.53 0.18 0.10 0.00 0.01 0.59 0.72 0.21 0.05 0.01 0.00 0.55 0.01 0.47 0.01 0.04 0.31 0.71 0.06 0.01 0.72 0.96 0.00 0.89 0.00 0.01 0.01
0.35 0.45 0.06 0.54 0.02 0.77 0.15 0.18 0.41 0.97 0.31 0.84 0.26 0.19 0.22 0.32 0.04 0.69 0.05 0.24 0.18 0.08 0.00 0.88 0.13 0.03 0.11 0.10 0.00 0.01 0.40 0.04 0.20 0.18 0.22 0.31 0.45 0.99 0.01 0.95 0.95 0.67 0.29 0.25 0.93 0.04 0.03 0.96 0.03 0.95 0.03 0.75
0.60 0.66 0.04 0.11 0.03 0.44 0.31 0.06 0.77 0.03 0.00 0.04 0.03 0.01 0.26 0.34 0.07 0.46 0.39 0.00 0.01 0.42 0.12 0.08 0.01 0.51 0.23 0.08 0.00 0.01 0.35 0.73 0.02 0.09 0.01 0.10 0.36 0.54 0.00 0.27 0.25 0.01 0.42 0.14 0.26 0.53 0.77 0.17 0.78 0.53 0.00 0.42
0.21 0.34 0.15 0.44 0.01 0.53 0.09 0.16 0.22 0.97 0.43 0.82 0.41 0.19 0.13 0.22 0.03 0.48 0.03 0.24 0.16 0.25 0.03 0.82 0.17 0.05 0.06 0.12 0.00 0.02 0.64 0.03 0.38 0.14 0.22 0.21 0.63 0.46 0.48 0.70 0.74 0.97 0.58 0.17 0.68 0.23 0.23 0.79 0.14 0.43 0.04 0.35
0.2375 0.0701 0.6541 0.2594 0.4306 0.3075 0.3996 0.2607 0.3504 0.2918 0.6528 0.2616 0.5979 0.5862 0.4867 0.2918 0.3957 0.2965 0.3485 0.1873 0.5256 0.4335 0.9333 0.2616 0.5430 0.2507 0.5085 0.2106 0.3104 0.4708 0.2605 0.1782 0.7015 0.3347 0.1011 0.2029 0.1791 0.0987 0.2607 0.4994 0.3245 0.4543 0.3538 0.2755 0.3375 0.7312 0.7526 0.3987 0.2733 0.0761 0.8376 0.8193
262
Lampiran 6. Program Simulasi Historis Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 option nodate nonumber; data tkm; set analisis; S = SPR + SPM + SPT; DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL; DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML; DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL; DP = DPRP + DPMP + DPTP; DI = DPRI + DPMI + DPTI; DJ = DPRJ + DPMJ + DPTJ; D = DPR + DPM + DPT; UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100; UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100; UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100; UT = UPR + UPM + UPT; GTR = TAX + NTAX; GET = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL; TI = IP + II + IJ + IL; AD = C + TI + GET + X - M; AS = GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL; LCPI = LAG (CPI); INF = ((CPI - LCPI)/LCPI) * 100; LPHK = LAG (PHK); LGET = LAG (GET); LTI=LAG (TI); LUMR=LAG (UMR); LMS =LAG (MS); LW = LAG (W); LTKFP = LAG (TKFP); LDP=LAG (DP); LDJ=LAG (DJ); LGTR=LAG (GTR); LGDPI=LAG (GDPI); LLLP=LAG (LLP); LGEIS=LAG (GEIS); LKP=LAG (KP); evi0 = PHK-LPHK; evi2 = UMR-LUMR; evi4 = SB-LSB; evi7 = WJ-LWJ; evi9 = GEI-LGEI; evi15 = DJ-LDJ; evi20 = GDPP/AS; evi23 = GEIS-LGEIS; LSPR=LAG (SPR); LSPM=LAG (SPM); LDPRP=LAG (DPRP);
LAS = LAG (AS); LIP=LAG (IP); LWJ=LAG (WJ); LSB=LAG (SB); LS = LAG (S); LD = LAG (D); LTKF = LAG (TKF); LDI=LAG (DI); LUMJ=LAG (UMJ); LGDPP=LAG (GDPP); LINF=LAG (INF); LGEP=LAG (GEP); LGEI=LAG (GEI); LER=LAG (ER); evi1 = AS/POP; evi3 = ER-LER; evi6 = IP-LIP; evi8 = W-LW; evi10 = MS-LMS; evi17 = GTR-LGTR; evi22 = GEP-LGEP; evi26 = KP-LKP; LPHK=LAG (PHK); LSPT=LAG (SPT); LDPRI=LAG (DPRI);
263
LDPRJ=LAG (DPRJ); LDPMI=LAG (DPMI); LDPTP=LAG (DPTP); LDPTJ=LAG (DPTJ); LWI=LAG (WI); LPOIL=LAG (POIL); LGEPK=LAG (GEPK); LC=LAG (C); LIJ=LAG (IJ); LM =LAG (M); LAD =LAG (AD); LINF = LAG (INF); LJP=LAG (JP); LTI=LAG (TI); LUMI=LAG (UMI); LUT=LAG (UT); LDEFP=LAG (DEFP); Levi2=LAG (evi2); Levi6=LAG (evi6); Levi8=LAG (evi8); Levi10=LAG (evi10); Levi17=LAG (evi17); GRI GRJ
= ((GDPI - LGDPI)/LGDPI) * 100; = ((GDPJ - LGDPJ)/LGDPJ) * 100;
/* Simulasi historis 1; UMP = 9985.03; UMI = 14731.56; UMJ = 14851.60; UMR = 6836.74; Simulasi historis 2; UMP = 1.01* UMP; UMI = 1.01* UMI; UMJ = 1.01* UMJ; UMR = 1.01* UMR; Simulasi historis 3; UMP = 1.0883* UMP; UMI = 1.0883* UMI; UMJ = 1.0883* UMJ; UMR = 1.0883* UMR; Simulasi historis 4; UMP = 1.1* UMP; UMI = 1.1* UMI; UMJ = 1.1* UMJ; UMR = 1.1* UMR; Simulasi historis 5; TKFP = 0.1* TKFP; TKFI = 0.98* TKFI; TKF = 0.975* TKF;
LDPMP=LAG (DPMP); LDPMJ=LAG (DPMJ); LDPTI=LAG (DPTI); LWP=LAG (WP); LW=LAG (W); LTAX=LAG (TAX); LGDPJ=LAG (GDPJ); LII=LAG (II); LX =LAG (X); LMD =LAG (MD); LCPI=LAG (CPI); Levi1=LAG (evi1); LUMR=LAG (UMR); LUMP=LAG (UMP); LUMJ=LAG (UMJ); LTKFJ=LAG (TKFJ); LDEFJ=LAG (DEFJ); Levi4=LAG (evi4); Levi7=LAG (evi7); Levi9=LAG (evi9); Levi15=LAG (evi15); Levi22=LAG (evi22);
264
Simulasi historis 6; KP = 0.5* KP; Simulasi historis 7; SB = SB-5; Simulasi historis 8; GEIS = 1.25* GEIS; Simulasi historis 9; UMP = 1.1* UMP; UMI = 1.1* UMI; UMJ = 1.1* UMJ; UMR = 1.1* UMR; TKFP = 0.1* TKFP; TKFI = 0.98* TKFI; TKF = 0.975* TKF; Simulasi historis 10; SB = SB-5; GEIS = 1.25* GEIS; */ run; proc simnlin data=tkm stat outpredict theil; Endogenous
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF;
Instruments
DDF DEFI DEFP DEFJ DPML DPRL DPTL DKE ER GDPL GEL GR GRI IL JP JPK KHM KUK NTAX PHK PNSR POP TAX TKF TKIP TKFP TKMI TKFJ TKTI UMI UMJ UMP UMR WL;
parm
/*1. Blok Pasar TK*/ a0 7696.893 a1 0.054218 b0 -11854.5 b1 0.149701 c0 -3456.16 c1 0.028160 d0 13996.67 d1 -0.68812
a2 b2 c2 d2
0.006907 0.071511 0.019892 0.017205
a3 b3 c3 d3
0.183286 24.39220 6.405164 0.602612
a4 b4 c4 d4
0.381599 0.670890 0.715552 0.175688
e0 1501.583 e1 -0.03733 e2 0.007087 e3 0.048144 e4 2.044707 e5 1.126923 e6 0.064549
f0 g0 h0 i0 j0 k0 l0
310.3759 -790.640 491.7278 -75.0290 -53.4439 39.20398 -279.070
f1 g1 h1 i1 j1 k1 l1
-0.01115 -0.06189 -0.06035 -0.02904 -0.00364 -0.00658 -0.02304
f2 g2 h2 i2 j2 k2 l2
0.015119 0.036499 0.010516 0.022429 0.002483 0.001347 0.014701
f3 g3 h3 i3 j3 k3 l3
2.319582 0.152310 0.040753 0.235430 0.016213 0.067873 0.838590
f4 g4 h4 i4 j4 k4
0.478377 0.271813 0.818900 0.366813 0.505083 0.817348
m0 4351.285 m1 0.186011 m2 0.235748 m3 7.722205 m4 0.026872 m5 -0.07680 m6 0.347304 n0 5358.180 n1 0.180116 n2 1.007071 n3 3.237797 n4 2.135565 n5 -0.28723 n6 0.502053 o0 5380.282 o1 0.260546 o2 0.753300 o3 15.60628 o4 0.166095 o5 -0.18927 o6 0.454715 p0 847.4541 p1 0.062092 p2 0.358429 p3 0.461737 p4 0.258188 p5 0.059693 p6 0.221975
/*2. Blok Fiskal*/ q0 -126.326 q1 0.001324 q2 0.197561 r0 14.98551 r1 0.034337 r2 0.592019 r3 17.57876 s0 1.898281 s1 0.007940 s2 0.035231 s3 0.100363
265
t0 8.594533 t1 0.053636 t2 0.074659 t3 0.829220 u0 -0.48610 u1 1.177960 u2 0.011670 u3 0.286771 u4 0.676046 /*3. Blok Penawaran Agregat*/ v0 -1574.86 v1 0.098317 v2 0.323054 v3 0.026704 v4 8.215004 v5 7.864306 v6 0.973710 w0 464.9194 w1 0.918193 w2 38.69647 w3 0.088450 w4 164.7634 w5 32.56100 w6 15.05642 w7 0.609806
x0 3889.881 x1 0.265636 x2 7.080491 x3 0.142993 x4 28.04410 x5 0.861724 /*4. Permintaan Agregat*/ y0 -19490.6 y1 45985.72 y2 -224.958 y3 0.796406 z0 1321.929 z1 -49.5038 z2 -1.34291 z3 0.025921 z4 -5.32200 z5 3653.718 z6 0.614324 aa0 -7936.68 aa1 -82.6170 aa2 -2.26652 aa3 0.246194 aa4 -23.2645 aa5 -24116.6 aa6 0.139976 ab0 -254.735 ab1 -2.75548 ab2 -0.35560 ab3 0.012588 ab4 -0.94728 ab5 2692.560 ab6 0.091524
ac0 -9074.23 ac1 1.042679 ac2 0.300933 ac3 0.039729 ad0 -9694.45 ad1 -1.24392 ad2 0.220442 ad3 0.427867 /*5. Blok Moneter*/ ae0 -341.791 ae1 0.003544 ae2 -1.63250 ae3 48.77867 ae4 0.554641 ae5 af0 -485.902 af1 0.004305 af2 3.060249 af3 0.026827 af4 0.454207 ag0 3.015449 ag1 -0.00527 ag2 5.074E-6 ag3 0.630957 ag4 0.455050 /*6. Blok Keseimbangan Makro*/ ah0 -55.1704 ah1 0.065295 ah2 0.006445 ah3 0.904354 ; /* 1. Blok Pasar Tenaga Kerja*/ SPR = a0 + a1*(W - LAG (W)) + a2*(PHK-LAG (PHK)) + a3*POP + a4*LAG (SPR); SPM = b0 + b1*W + b2*POP + b3*LAG (GEPK) + b4*LAG (SPM); SPT = c0 + c1*W + c2*POP + b3*LAG (GEPK) + c4*LAG (SPT); S = SPR + SPM + SPT; DPRP = d0 + d1*WP + d2*GDPP + d3*TKIP + d4*LAG (DPRP); DPRI = e0 + e1*WI + e2*GDPI + e3*JP + e4*JPK + e5*TKII + e6*LAG (DPRI); DPRJ = f0 + f1*(WJ-LAG (WJ)) + f2*GDPJ + f3*PNSR + f4*LAG (DPRJ); DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL; DPMP = g0 + g1*WP + g2*GDPP + g3*TKMI + g4*LAG (DPMP); DPMI = h0 + h1*LAG (WI) + h2*GDPI + h3*JPK + h4*LAG (DPMI); DPMJ = i0 + i1*WJ + i2*GDPJ + i3*TKFJ + i4*LAG (DPMJ); DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML; DPTP = j0 + j1*WP + j2*GDPP + j3*TKTI + j4*LAG (DPTP); DPTI = k0 + k1*WI + k2*GDPI + k3*JPK + k4*LAG (DPTI); DPTJ = l0 + l1*(WJ-LAG (WJ)) + l2*GDPJ + l3*LAG (DPTJ); DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL; DP = DPRP + DPMP + DPTP; DI = DPRI + DPMI + DPTI; DJ = DPRJ + DPMJ + DPTJ; D = DPR + DPM + DPT; UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100; UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100; UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100; UT = UPR + UPM + UPT; WP = m0 + m1*UMP + m2*KHM + m3*DEFP + m4*TKFP + m5*S + m6*LAG(WP); WI = n0 + n1*UMI + n2*KHM + n3*DEFI + n4*TKFI + n5*S + n6*LAG (WI); WJ = o0 + o1*UMJ + o2*KHM + o3*DEFJ+ o4*LAG(TKF)+ o5*S + o6*LAG (WJ); W = p0 + p1*LAG(UMR-LAG(UMR)) + p2*WP + p3*WI + p4*(WJ-LAG (WJ))+ p5*WL + p6*LAG(W);
266
/*2. TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET
Blok Fiskal*/ = q0 + q1*AS + q2*LAG (TAX); = TAX + NTAX; = r0 + r1*(GTR-LAG(GTR)) + r2*LAG (INF) + r3*(GDPP/AS); = s0 + s1*(GTR-LAG(GTR)) + s2*LAG (INF) + s3*GRI; = t0 + t1*LAG(GTR-LAG(GTR)) + t2*LAG (INF) + t3*LAG (GEIS); = u0 + u1*LUT + u2*GTR + u3*LAG (INF) + u4*LAG (GEPK); = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
/*3. Blok Penawaran Agregat*/ GDPP GDPI
= v0+v1*DP+v2*DEFP+v3*(IP-LAG(IP))+v4*(GEP-LAG(GEP))+v5*(GEIS-LAG(GEIS))+ v6*LAG(GDPP); = w0 + w1*DI + w2*DEFI + w3*II + w4*(GEI-LAG(GEI)) + w5*KUK + w6*GEIS + w7*LAG (GDPI);
GDPJ = x0 + x1*(DJ-LAG(DJ)) + x2*LAG(DEFJ) + x3*IJ + x4*LAG(GEIS) + x5*LAG (GDPJ); /*4. Blok Permintaan Agregat*/ C = y0 + y1*(AS/POP) + y2*INF + y3*LAG (C); IP II IJ
= z0 + z1*(SB-LAG(SB)) + z2*UMR + z3*LAG (AS) + z4*(KP-LAG(KP)) + z5*DDF + z6*LAG(IP); = aa0 + aa1*(SB-LAG(SB)) + aa2*UMR + aa3*AS + aa4*KP + aa5*DDF + aa6*LAG (II); = ab0 + ab1*SB + ab2*LAG (UMR) + ab3*AS + ab4*LAG (KP) + ab5*DDF + ab6*LAG (IJ);
TI X M
= IP + II + IJ + IL; = ac0 + ac1*ER + ac2*AS + ac3*LAG (X); = ad0 + ad1*ER + ad2*AS + ad3*LAG (M);
/*5. MD MS SB
Blok Moneter*/ = ae0 + ae1*AD + ae2*(SB-LAG (SB))+ ae3*DKE + ae4*LAG(MD); = af0 + af1*AD + af2*SB + af3*(ER-LAG(ER)) + af4*LAG(MS); = ag0 + ag1*(MS-LAG (MS)) + ag2*LAG(AD) + ag3*LAG(INF) + ag4*LAG(SB);
/*6. AD AS CPI INF
Blok Keseimbangan Makro*/ = C + TI + GET + X - M; = GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL; = ah0 + ah1*LAG(SB) + ah2*LAG(W) + ah3*LAG (CPI); = ((CPI - LAG (CPI))/LAG (CPI))*100;
Range Tahun=2001 to 2004; RUN;
267
Lampiran 7. Hasil Simulasi Skenario Upah Minimum Tetap Sebesar Nilai Tahun 2000 Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length The SAS System
52 52 183 TAHUN 52 52 2
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= TKM
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
52 2 TAHUN 2001 2004 NEWTON 1E-8 5.78E-16 2 8 2
Observations Processed Read 6 Lagged 2 Solved 4 First 22 Last 25 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 2001 To 2004
268
Descriptive Statistics
Variable SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF
N Obs
N
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Actual Mean Std Dev 76152.3 19839.1 4978.9 100970 38324.3 7927.9 4004.7 70762.7 2309.8 3206.5 3764.8 16521.5 112.6 414.1 2636.3 4456.2 40746.7 11548.5 10405.8 91740.4 5.3314 3.2821 0.5174 9.1308 7635.7 15184.1 20322.1 15529.2 454.8 639.3 21.6875 2.8500 39.9025 44.2850 724.5 53919.3 92267.6 54176.7 238540 2565.1 34331.6 3941.8 96036.8 107669 92465.8 1900.0 1900.0 14.4425 350504 350504 291.5 8.8275
1090.3 994.4 356.7 2171.0 755.9 668.6 421.5 799.3 195.7 69.2337 95.7498 687.4 8.7675 14.9235 211.0 304.2 933.1 637.3 518.2 1380.7 0.5291 0.2497 0.0527 0.7600 338.8 1068.6 1207.0 929.4 45.0124 37.4461 2.5145 0.9351 11.9259 4.7983 21.0060 1960.1 5083.6 3317.0 12821.4 840.6 8710.3 3103.6 10164.5 6121.3 10799.3 19.5185 19.5185 1.3776 19108.4 19108.3 28.0772 3.3491
Predicted Mean Std Dev 75820.8 19753.7 6339.0 101914 39118.9 8042.6 3700.6 71367.9 2333.4 3301.8 3876.4 16752.0 125.3 454.0 2493.3 4365.8 41577.6 11798.4 10070.3 92485.8 4.3586 2.9467 1.9242 9.2295 7587.7 13912.5 19454.2 14755.9 418.9 603.5 21.1678 2.5987 56.1121 47.2056 742.9 54949.9 95606.4 54992.5 237401 22060.4 56592.8 6812.2 140664 111899 95835.8 2194.0 2171.6 13.4474 394871 355689 260.2 5.7403
1079.0 842.1 882.3 2787.7 523.1 372.4 290.0 749.9 125.1 106.0 66.0775 877.0 5.4393 10.8786 169.7 253.8 603.3 309.0 175.4 1697.6 0.7555 0.2187 0.5910 1.3067 465.7 526.5 1503.5 514.7 37.6179 30.4964 0.7385 0.1242 1.7516 5.3698 24.0475 1853.4 5225.4 3378.0 10800.7 6507.7 6007.3 457.3 29641.9 5538.2 8002.2 217.6 230.8 0.6855 37902.6 19249.7 21.4893 1.6868
Label SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF
269
Statistics of fit
Variable
N
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Mean Error
Mean % Mean Abs Mean Abs Error Error % Error
-331.6 -0.4314 -85.3530 -0.4016 1360.2 27.3650 943.2 0.9291 794.6 2.0829 114.7 1.7386 -304.0 -7.2411 605.2 0.8572 23.6173 1.3206 95.2884 2.9956 111.6 3.0075 230.5 1.3724 12.7848 12.0439 39.9245 9.7559 -143.1 -5.2443 -90.3621 -1.9223 831.0 2.0544 249.9 2.3128 -335.5 -3.0936 745.4 0.8095 -0.9728 -18.4047 -0.3354 -9.7297 1.4068 277.6 0.0987 0.8596 -47.9272 -0.6842 -1271.5 -8.0116 -867.9 -4.3175 -773.3 -4.8537 -35.8365 -7.8115 -35.8365 -5.5698 -0.5197 -1.5359 -0.2513 -1.2286 16.2096 50.7975 2.9206 6.6129 18.3593 2.5377 1030.6 1.9200 3338.8 3.6219 815.8 1.5056 -1139.1 -0.4447 19495.2 873.6 22261.3 74.3945 2870.4 218.8 44626.9 45.6230 4230.6 3.9719 3370.0 4.1703 294.0 15.4210 271.6 14.2356 -0.9951 -6.1063 44366.8 12.4760 5185.2 1.4810 -31.2533 -10.6083 -3.0872 -21.9572
743.9 142.5 1360.2 1083.9 794.6 312.0 304.0 605.2 119.3 95.2884 111.6 291.8 12.9002 39.9245 182.6 172.6 831.0 416.1 388.9 745.4 0.9728 0.3354 1.4068 0.5411 87.2772 1281.3 938.6 773.3 35.8365 35.8365 1.9303 0.7827 16.2096 2.9206 18.3593 1030.6 3338.8 815.8 1471.4 19495.2 22261.3 3704.1 44626.9 4230.6 6859.3 294.0 271.6 1.3877 44366.8 5185.2 31.2533 4.0764
0.9783 0.7042 27.3650 1.0715 2.0829 4.0553 7.2411 0.8572 5.0321 2.9956 3.0075 1.7354 12.1401 9.7559 6.8502 3.8871 2.0544 3.6879 3.6413 0.8095 18.4047 9.7297 277.6 5.8745 1.1805 8.0830 4.6564 4.8537 7.8115 5.5698 8.7912 27.0201 50.7975 6.6129 2.5377 1.9200 3.6219 1.5056 0.5922 873.6 74.3945 229.4 45.6230 3.9719 7.7048 15.4210 14.2356 9.1784 12.4760 1.4810 10.6083 39.4639
RMS Error
RMS %
754.0 167.6 1513.6 1450.9 820.7 366.5 395.1 697.3 131.8 136.8 143.5 369.9 16.8590 43.2309 194.4 176.3 888.8 460.5 477.0 867.9 1.0700 0.4663 1.5014 0.7061 124.1 1650.0 1046.6 901.6 36.4693 36.4693 2.0262 0.8285 19.9109 3.4083 21.3535 1085.3 3412.8 890.2 2160.4 20311.3 24832.6 4191.7 48291.6 4591.6 7843.6 343.3 330.0 1.8349 47451.3 5362.7 32.1077 5.1652
0.9925 0.8201 30.5785 1.4391 2.1588 4.8367 9.3472 0.9903 5.4385 4.3092 3.9029 2.1632 16.0567 10.6425 7.2439 3.9812 2.2051 4.1361 4.4085 0.9422 20.1871 13.2217 299.6 7.5310 1.7087 10.3585 5.1949 5.5798 7.8654 5.6322 9.0958 27.1217 64.6160 7.5496 2.9545 2.0245 3.7021 1.6459 0.8545 1001.9 87.1994 323.3 48.5238 4.3404 8.9786 17.9518 17.2307 11.7076 13.1694 1.5316 10.7985 46.0374
Error
R-Square
0.3624 0.9621 -23.01 0.4045 -.5715 0.5993 -.1717 -.0148 0.3955 -4.205 -1.994 0.6138 -3.930 -10.19 -.1318 0.5520 -.2097 0.3038 -.1298 0.4732 -4.452 -3.649 -1083 -.1508 0.8210 -2.179 -.0026 -.2548 0.1248 -.2647 0.1343 -.0466 -2.717 0.3273 -.3778 0.5912 0.3991 0.9040 0.9621 -777.5 -9.837 -1.432 -29.10 0.2498 0.2966 -411.4 -380.1 -1.366 -7.222 0.8950 -.7436 -2.171
270
Lampiran 8. Program Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2007-2010 Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02 option nodate nonumber; data tkm; set analisis; S = SPR + SPM + SPT; DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL; DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML; DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL; DP = DPRP + DPMP + DPTP; DI = DPRI + DPMI + DPTI; DJ = DPRJ + DPMJ + DPTJ; D = DPR + DPM + DPT; UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100; UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100; UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100; UT = UPR + UPM + UPT; GTR = TAX + NTAX; GET = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL; TI = IP + II + IJ + IL; AD = C + TI + GET + X - M; AS = GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL; LCPI = LAG (CPI); INF = ((CPI - LCPI)/LCPI) * 100; LPHK = LAG (PHK); LGET = LAG (GET); LTI=LAG (TI); LUMR=LAG (UMR); LMS =LAG (MS); LW = LAG (W); LTKFP = LAG (TKFP); LDP=LAG (DP); LDJ=LAG (DJ); LGTR=LAG (GTR); LGDPI=LAG (GDPI); LLLP=LAG (LLP); LGEIS=LAG (GEIS); LKP=LAG (KP); evi0 = PHK-LPHK; evi2 = UMR-LUMR; evi4 = SB-LSB; evi7 = WJ-LWJ; evi9 = GEI-LGEI; evi15 = DJ-LDJ; evi20 = GDPP/AS; evi23 = GEIS-LGEIS; LSPR=LAG (SPR); LSPM=LAG (SPM);
LAS = LAG (AS); LIP=LAG (IP); LWJ=LAG (WJ); LSB=LAG (SB); LS = LAG (S); LD = LAG (D); LTKF = LAG (TKF); LDI=LAG (DI); LUMJ=LAG (UMJ); LGDPP=LAG (GDPP); LINF=LAG (INF); LGEP=LAG (GEP); LGEI=LAG (GEI); LER=LAG (ER); evi1 = AS/POP; evi3 = ER-LER; evi6 = IP-LIP; evi8 = W-LW; evi10 = MS-LMS; evi17 = GTR-LGTR; evi22 = GEP-LGEP; evi26 = KP-LKP; LPHK=LAG (PHK); LSPT=LAG (SPT);
271
LDPRP=LAG (DPRP); LDPRJ=LAG (DPRJ); LDPMI=LAG (DPMI); LDPTP=LAG (DPTP); LDPTJ=LAG (DPTJ); LWI=LAG (WI); LPOIL=LAG (POIL); LGEPK=LAG (GEPK); LC=LAG (C); LIJ=LAG (IJ); LM =LAG (M); LAD =LAG (AD); LINF = LAG (INF); LJP=LAG (JP); LTI=LAG (TI); LUMI=LAG (UMI); LUT=LAG (UT); LDEFP=LAG (DEFP); Levi2=LAG (evi2); Levi6=LAG (evi6); Levi8=LAG (evi8); Levi10=LAG (evi10); Levi17=LAG (evi17); GRI GRJ
LDPRI=LAG (DPRI); LDPMP=LAG (DPMP); LDPMJ=LAG (DPMJ); LDPTI=LAG (DPTI); LWP=LAG (WP); LW=LAG (W); LTAX=LAG (TAX); LGDPJ=LAG (GDPJ); LII=LAG (II); LX =LAG (X); LMD =LAG (MD); LCPI=LAG (CPI); Levi1=LAG (evi1); LUMR=LAG (UMR); LUMP=LAG (UMP); LUMJ=LAG (UMJ); LTKFJ=LAG (TKFJ); LDEFJ=LAG (DEFJ); Levi4=LAG (evi4); Levi7=LAG (evi7); Levi9=LAG (evi9); Levi15=LAG (evi15); Levi22=LAG (evi22);
= ((GDPI - LGDPI)/LGDPI) * 100; = ((GDPJ - LGDPJ)/LGDPJ) * 100;
run; proc forecast data=tkm method=stepar trend=2 out=eksogen outdata lead=6; id TAHUN; Var
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF DDF DEFI DEFP DEFJ DPML DPRL DPTL DKE ER GDPL GEL GR GRI IL JP JPK KHM KUK NTAX PHK PNSR POP TKF TKIP TKFP TKMI TKFJ TKTI UMI UMJ UMP UMR WL;
run; title1 'Nilai Variabel Independent'; Title2 'Dari Tahun 2007 - 2010'; proc print data=eksogen; run;
285
Lampiran 10. Program Peramalan Nilai Konstanta Endogen Tahun 2005-2010 Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02 data tkmbr; set eksogen; IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST' IF _TYPE_='FORECAST'
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
SPR=1; SPT=1; DPRP=1; DPRJ=1; DPMP=1; DPMJ=1; DPTP=1; DPTJ=1; DP=1; DJ=1; UPR=1; UPT=1; WP=1; WJ=1; TAX=1; GEP=1; GEIS=1; GET=1; GDPI=1; C=1; II=1; TI=1; M=1; MS=1; AD=1; CPI=1;
IF TAHUN <2001 then delete; run; proc print data=tkmbr; run;
IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF
_TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST' _TYPE_='FORECAST'
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
SPM=1; S=1; DPRI=1; DPR=1; DPMI=1; DPM=1; DPTI=1; DPT=1; DI=1; D=1; UPM=1; UT=1; WI=1; W=1; GTR=1; GEI=1; GEPK=1; GDPP=1; GDPJ=1; IP=1; IJ=1; X=1; MD=1; SB=1; AS=1; INF=1;
286
Lampiran 11. Program Peramalan Nilai Endogen Tahun 2007-2010 Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02
option nodate nonumber; data tkm; set analisis; S = SPR + SPM + SPT; DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL; DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML; DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL; DP = DPRP + DPMP + DPTP; DI = DPRI + DPMI + DPTI; DJ = DPRJ + DPMJ + DPTJ; D = DPR + DPM + DPT; UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100; UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100; UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100; UT = UPR + UPM + UPT; GTR = TAX + NTAX; GET = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL; TI = IP + II + IJ + IL; AD = C + TI + GET + X - M; AS = GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL; LCPI = LAG (CPI); INF = ((CPI - LCPI)/LCPI) * 100; LPHK = LAG (PHK); LGET = LAG (GET); LTI=LAG (TI); LUMR=LAG (UMR); LMS =LAG (MS); LW = LAG (W); LTKFP = LAG (TKFP); LDP=LAG (DP); LDJ=LAG (DJ); LGTR=LAG (GTR); LGDPI=LAG (GDPI); LLLP=LAG (LLP); LGEIS=LAG (GEIS); LKP=LAG (KP); evi0 = PHK-LPHK; evi2 = UMR-LUMR; evi4 = SB-LSB; evi7 = WJ-LWJ; evi9 = GEI-LGEI; evi15 = DJ-LDJ; evi20 = GDPP/AS; evi23 = GEIS-LGEIS;
LAS = LAG (AS); LIP=LAG (IP); LWJ=LAG (WJ); LSB=LAG (SB); LS = LAG (S); LD = LAG (D); LTKF = LAG (TKF); LDI=LAG (DI); LUMJ=LAG (UMJ); LGDPP=LAG (GDPP); LINF=LAG (INF); LGEP=LAG (GEP); LGEI=LAG (GEI); LER=LAG (ER); evi1 = AS/POP; evi3 = ER-LER; evi6 = IP-LIP; evi8 = W-LW; evi10 = MS-LMS; evi17 = GTR-LGTR; evi22 = GEP-LGEP; evi26 = KP-LKP;
287
LSPR=LAG (SPR); LSPM=LAG (SPM); LDPRP=LAG (DPRP); LDPRJ=LAG (DPRJ); LDPMI=LAG (DPMI); LDPTP=LAG (DPTP); LDPTJ=LAG (DPTJ); LWI=LAG (WI); LPOIL=LAG (POIL); LGEPK=LAG (GEPK); LC=LAG (C); LIJ=LAG (IJ); LM =LAG (M); LAD =LAG (AD); LINF = LAG (INF); LJP=LAG (JP); LTI=LAG (TI); LUMI=LAG (UMI); LUT=LAG (UT); LDEFP=LAG (DEFP); Levi2=LAG (evi2); Levi6=LAG (evi6); Levi8=LAG (evi8); Levi10=LAG (evi10); Levi17=LAG (evi17); GRI GRJ
= ((GDPI - LGDPI)/LGDPI) * 100; = ((GDPJ - LGDPJ)/LGDPJ) * 100;
/* Simulasi peramalan 1; UMP = 13038.65; UMI = 19905.47; UMJ = 19431.28; UMR = 9960.82; Simulasi peramalan 2; UMP = 1.01* UMP; UMI = 1.01* UMI; UMJ = 1.01* UMJ; UMR = 1.01* UMR; Simulasi peramalan 3; UMP = 1.0664* UMP; UMI = 1.0664* UMI; UMJ = 1.0664* UMJ; UMR = 1.0664* UMR; Simulasi peramalan 4; UMP = 1.08* UMP; UMI = 1.08* UMI; UMJ = 1.08* UMJ; UMR = 1.08* UMR;
LPHK=LAG (PHK); LSPT=LAG (SPT); LDPRI=LAG (DPRI); LDPMP=LAG (DPMP); LDPMJ=LAG (DPMJ); LDPTI=LAG (DPTI); LWP=LAG (WP); LW=LAG (W); LTAX=LAG (TAX); LGDPJ=LAG (GDPJ); LII=LAG (II); LX =LAG (X); LMD =LAG (MD); LCPI=LAG (CPI); Levi1=LAG (evi1); LUMR=LAG (UMR); LUMP=LAG (UMP); LUMJ=LAG (UMJ); LTKFJ=LAG (TKFJ); LDEFJ=LAG (DEFJ); Levi4=LAG (evi4); Levi7=LAG (evi7); Levi9=LAG (evi9); Levi15=LAG (evi15); Levi22=LAG (evi22);
288
Simulasi peramalan 5; TKFP = 0.1* TKFP; TKFI = 0.85* TKFI; TKF = 0.75* TKF; Simulasi peramalan 6; KP = 0.5* KP; Simulasi peramalan 7; SB = SB-6; Simulasi peramalan 8; GEIS = 1.4* GEIS; Simulasi peramalan 9; UMP = 1.08* UMP; UMI = 1.08* UMI; UMJ = 1.08* UMJ; UMR = 1.08* UMR; TKFP = 0.1* TKFP; TKFI = 0.85* TKFI; TKF = 0.75* TKF; Simulasi peramalan 10; SB = SB-6; GEIS = 1.4* GEIS; Simulasi peramalan 11; UMP = 1.08* UMP; UMI = 1.08* UMI; UMJ = 1.08* UMJ; UMR = 1.08* UMR; TKFP = 0.1* TKFP; TKFI = 0.85* TKFI; TKF = 0.75* TKF; GEIS = 1.4* GEIS; Simulasi peramalan 12; KP = 0.5* KP; SB = SB-6; GEIS = 1.4* GEIS; */ run; title1 'Nilai Peramalan Model Pasar TK dan Perekonomian Makro'; Title2 'Dari Tahun 2007 - 2010'; proc simnlin data=tkmbr simulate out=endo; Endo SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF;
289
Exo
parm
DDF DEFI DEFP DEFJ DPML DPRL DPTL DKE ER GDPL GEL GR GRI IL JP JPK KHM KUK NTAX PHK PNSR POP TAX TKF TKIP TKFP TKMI TKFJ TKTI UMI UMJ UMP UMR WL; /*1. Blok Pasar TK*/ a0 7696.893 a1 0.054218 b0 -11854.5 b1 0.149701 c0 -3456.16 c1 0.028160 d0 13996.67 d1 -0.68812
a2 b2 c2 d2
0.006907 0.071511 0.019892 0.017205
a3 b3 c3 d3
0.183286 24.39220 6.405164 0.602612
a4 b4 c4 d4
0.381599 0.670890 0.715552 0.175688
e0 1501.583 e1 -0.03733 e2 0.007087 e3 0.048144 e4 2.044707 e5 1.126923 e6 0.064549
f0 g0 h0 i0 j0 k0 l0
310.3759 -790.640 491.7278 -75.0290 -53.4439 39.20398 -279.070
f1 g1 h1 i1 j1 k1 l1
-0.01115 -0.06189 -0.06035 -0.02904 -0.00364 -0.00658 -0.02304
f2 g2 h2 i2 j2 k2 l2
0.015119 0.036499 0.010516 0.022429 0.002483 0.001347 0.014701
f3 g3 h3 i3 j3 k3 l3
2.319582 0.152310 0.040753 0.235430 0.016213 0.067873 0.838590
f4 g4 h4 i4 j4 k4
0.478377 0.271813 0.818900 0.366813 0.505083 0.817348
m0 4351.285 m1 0.186011 m2 0.235748 m3 7.722205 m4 0.026872 m5 -0.07680 m6 0.347304 n0 5358.180 n1 0.180116 n2 1.007071 n3 3.237797 n4 2.135565 n5 -0.28723 n6 0.502053 o0 5380.282 o1 0.260546 o2 0.753300 o3 15.60628 o4 0.166095 o5 -0.18927 o6 0.454715 p0 847.4541 p1 0.062092 p2 0.358429 p3 0.461737 p4 0.258188 p5 0.059693 p6 0.221975
/*2. Blok Fiskal*/ q0 -126.326 q1 0.001324 r0 14.98551 r1 0.034337 s0 1.898281 s1 0.007940 t0 8.594533 t1 0.053636 u0 -0.48610 u1 1.177960
q2 r2 s2 t2 u2
0.197561 0.592019 0.035231 0.074659 0.011670
r3 s3 t3 u3
17.57876 0.100363 0.829220 0.286771 u4 0.676046
/*3. Blok Penawaran Agregat*/
v0 -1574.86 v1 0.098317 v2 0.323054 v3 0.026704 v4 8.215004 v5 7.864306 v6 0.973710 w0 464.9194 w1 0.918193 w2 38.69647 w3 0.088450 w4 164.7634 w5 32.56100 w6 15.05642 w7 0.609806
x0 3889.881 x1 0.265636 x2 7.080491 x3 0.142993 x4 28.04410 x5 0.861724 /*4. Permintaan Agregat*/ y0 -19490.6 y1 45985.72 y2 -224.958 y3 0.796406 z0 1321.929 z1 -49.5038 z2 -1.34291 z3 0.025921 z4 -5.32200 z5 3653.718 z6 0.614324 aa0 -7936.68 aa1 -82.6170 aa2 -2.26652 aa3 0.246194 aa4 -23.2645 aa5 -24116.6 aa6 0.139976 ab0 -254.735 ab1 -2.75548 ab2 -0.35560 ab3 0.012588 ab4 -0.94728 ab5 2692.560 ab6 0.091524
ac0 -9074.23 ac1 1.042679 ac2 0.300933 ac3 0.039729 ad0 -9694.45 ad1 -1.24392 ad2 0.220442 ad3 0.427867 /*5. Blok Moneter*/ ae0 -341.791 ae1 0.003544 ae2 -1.63250 ae3 48.77867 ae4 0.554641 ae5 af0 -485.902 af1 0.004305 af2 3.060249 af3 0.026827 af4 0.454207 ag0 3.015449 ag1 -0.00527 ag2 5.074E-6 ag3 0.630957 ag4 0.455050 /*6. Blok Keseimbangan Makro*/ ah0 -55.1704 ah1 0.065295 ah2 0.006445 ah3 0.904354 ;
/* 1. Blok Pasar Tenaga Kerja*/ SPR = a0 + a1*(W - LAG (W)) + a2*(PHK-LAG (PHK)) + a3*POP + a4*LAG (SPR); SPM = b0 + b1*W + b2*POP + b3*LAG (GEPK) + b4*LAG (SPM); SPT = c0 + c1*W + c2*POP + b3*LAG (GEPK) + c4*LAG (SPT);
290
S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
SPR + SPM + SPT; d0 + d1*WP + d2*GDPP + d3*TKIP + d4*LAG (DPRP); e0 + e1*WI + e2*GDPI + e3*JP + e4*JPK + e5*TKII + e6*LAG (DPRI); f0 + f1*(WJ-LAG (WJ)) + f2*GDPJ + f3*PNSR + f4*LAG (DPRJ); DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL; g0 + g1*WP + g2*GDPP + g3*TKMI + g4*LAG (DPMP); h0 + h1*LAG (WI) + h2*GDPI + h3*JPK + h4*LAG (DPMI); i0 + i1*WJ + i2*GDPJ + i3*TKFJ + i4*LAG (DPMJ); DPMP + DPMI + DPMJ + DPML; j0 + j1*WP + j2*GDPP + j3*TKTI + j4*LAG (DPTP); k0 + k1*WI + k2*GDPI + k3*JPK + k4*LAG (DPTI); l0 + l1*(WJ-LAG (WJ)) + l2*GDPJ + l3*LAG (DPTJ); DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL; DPRP + DPMP + DPTP; DPRI + DPMI + DPTI; DPRJ + DPMJ + DPTJ; DPR + DPM + DPT; ((SPR - DPR)/S)* 100; ((SPM - DPM)/S)* 100; ((SPT - DPT)/S)* 100; UPR + UPM + UPT; m0 + m1*UMP + m2*KHM + m3*DEFP + m4*TKFP + m5*S + m6*LAG(WP); n0 + n1*UMI + n2*KHM + n3*DEFI + n4*TKFI + n5*S + n6*LAG (WI); o0 + o1*UMJ + o2*KHM + o3*DEFJ+ o4*LAG(TKF)+ o5*S + o6*LAG (WJ); p0 + p1*LAG(UMR-LAG(UMR)) + p2*WP + p3*WI + p4*(WJ-LAG (WJ))+ p5*WL + p6*LAG(W);
/*2. TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET
Blok Fiskal*/ = q0 + q1*AS + q2*LAG (TAX); = TAX + NTAX; = r0 + r1*(GTR-LAG(GTR)) + r2*LAG (INF) + r3*(GDPP/AS); = s0 + s1*(GTR-LAG(GTR)) + s2*LAG (INF) + s3*GRI; = t0 + t1*LAG(GTR-LAG(GTR)) + t2*LAG (INF) + t3*LAG (GEIS); = u0 + u1*LUT + u2*GTR + u3*LAG (INF) + u4*LAG (GEPK); = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
/*3. Blok Penawaran Agregat*/ GDPP GDPI
= v0+v1*DP+v2*DEFP+v3*(IP-LAG(IP))+v4*(GEP-LAG(GEP))+v5*(GEIS-LAG(GEIS))+ v6*LAG(GDPP); = w0 + w1*DI + w2*DEFI + w3*II + w4*(GEI-LAG(GEI)) + w5*KUK + w6*GEIS + w7*LAG (GDPI);
GDPJ = x0 + x1*(DJ-LAG(DJ)) + x2*LAG(DEFJ) + x3*IJ + x4*LAG(GEIS) + x5*LAG (GDPJ); /*4. Blok Permintaan Agregat*/ C = y0 + y1*(AS/POP) + y2*INF + y3*LAG (C); IP II IJ
= z0 + z1*(SB-LAG(SB)) + z2*UMR + z3*LAG (AS) + z4*(KP-LAG(KP)) + z5*DDF + z6*LAG(IP); = aa0 + aa1*(SB-LAG(SB)) + aa2*UMR + aa3*AS + aa4*KP + aa5*DDF + aa6*LAG (II); = ab0 + ab1*SB + ab2*LAG (UMR) + ab3*AS + ab4*LAG (KP) + ab5*DDF + ab6*LAG (IJ);
TI X M
= IP + II + IJ + IL; = ac0 + ac1*ER + ac2*AS + ac3*LAG (X); = ad0 + ad1*ER + ad2*AS + ad3*LAG (M);
/*5. MD MS SB
Blok Moneter*/ = ae0 + ae1*AD + ae2*(SB-LAG (SB))+ ae3*DKE + ae4*LAG(MD); = af0 + af1*AD + af2*SB + af3*(ER-LAG(ER)) + af4*LAG(MS); = ag0 + ag1*(MS-LAG (MS)) + ag2*LAG(AD) + ag3*LAG(INF) + ag4*LAG(SB);
291
/*6. AD AS CPI INF
Blok Keseimbangan Makro*/ = C + TI + GET + X - M; = GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL; = ah0 + ah1*LAG(SB) + ah2*LAG(W) + ah3*LAG (CPI); = ((CPI - LAG (CPI))/LAG (CPI))*100;
range tahun=2007 to 2010; run; proc print data=endo; var TAHUN SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF; run;
292
Lampiran 12. Hasil Peramalan Nilai Endogen Tahun 2007-2010 Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02
Nilai Peramalan Model Pasar TK dan Perekonomian Makro Dari Tahun 2007 - 2010 The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Exogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
113 52 61 183 TAHUN 52 52 2
Nilai Peramalan Model Pasar TK dan Perekonomian Makro Dari Tahun 2007 - 2010 The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= OUT=
TKMBR ENDO
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
52 2 TAHUN 2007 2010 NEWTON 1E-8 1.36E-15 2 8 2
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
6 2 4 28 31
293
Nilai Peramalan Model Pasar TK dan Perekonomian Makro Dari Tahun 2007 - 2010
Obs 1 2 3 4
Obs 1 2 3 4
Obs 1 2 3 4
Obs 1 2 3 4
Obs 1 2 3 4
Obs 1 2 3 4
TAHUN
SPR
SPM
SPT
S
DPRP
2007 2008 2009 2010
80490.92 81026.63 81768.55 82592.35
23605.75 24552.98 25497.43 26419.01
6988.25 7991.29 8835.46 9550.37
111084.92 113570.90 116101.43 118561.73
40222.70 40175.26 39875.43 39971.26
DPRI
DPRJ
DPR
DPMP
DPMI
9093.21 9310.36 9515.04 9711.54
3798.88 3670.55 3609.34 3566.89
76211.41 76761.28 77586.37 77532.50
2760.04 2857.13 2950.58 3044.46
3649.42 3771.61 3894.99 4030.94
DPMJ
DPM
DPTP
DPTI
DPTJ
4493.38 4633.81 4756.49 4870.95
19606.50 20224.08 20840.44 21475.18
143.87 150.16 155.55 160.55
474.66 495.38 518.31 543.05
3141.66 3285.22 3435.68 3585.47
DPT
DP
DI
DJ
D
5249.33 5467.42 5698.22 5932.45
43126.61 43182.55 42981.56 43176.28
13217.29 13577.35 13928.33 14285.53
11433.91 11589.59 11801.51 12023.32
101067.25 102452.78 104125.04 104940.13
UPR
UPM
UPT
UT
WP
3.85 3.76 3.60 4.27
3.60 3.81 4.01 4.17
1.57 2.22 2.70 3.05
9.02 9.79 10.32 11.49
8687.48 9095.48 9425.03 9727.96
WI
WJ
W
TAX
GTR
16069.56 16559.14 16780.41 16889.88
21888.83 23070.02 23778.60 24260.53
17194.31 17582.48 17819.67 18019.16
521.09 541.29 561.71 581.48
676.73 696.49 716.47 735.80
294
Obs 1 2 3 4 Obs 1 2 3 4 Obs 1 2 3 4 Obs 1 2 3 4 Obs 1 2 3 4
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
18.52 22.17 22.40 22.12
2.44 2.66 2.66 2.62
48.35 50.01 51.66 53.00
54.64 57.12 59.02 59.87
760.83 786.13 808.33 829.34
GDPP
GDPI
GDPJ
C
IP
60604.48 61905.20 63131.37 64344.98
113661.40 118961.14 123947.33 128504.32
63720.24 65093.48 66398.53 67649.72
277670.21 284510.88 291403.98 298259.13
3407.96 2780.95 2269.14 1832.90
II
IJ
TI
X
M
52983.38 56046.16 58470.95 60476.74
3716.60 3688.34 3712.34 3749.07
121262.92 124124.63 127122.59 130049.03
130869.45 135367.41 139641.20 143762.96
116737.14 121268.47 125510.55 129497.91
MD
MS
SB
AD
AS
2360.92 2476.96 2577.53 2670.07
2342.50 2456.23 2553.98 2642.34
13.88 15.04 15.97 16.24
413826.27 423520.57 433465.55 443402.56
413592.13 426488.79 438894.79 450780.10
CPI
INF
339.55 363.62 387.98 411.59
6.68 7.09 6.70 6.09