M odu l 1 Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah
D i k l a t Te k n i s Pe la ya n a n Publik , Ak unt a bilit a s da n Pe nge lola a n M ut u ( Public Se r vice D e live r y, Account a bilit y, a nd Qu a lit y M a n a ge m e nt )
ESELON III
SAMBUTAN DEPUTI BIDANG PEMBINAAN DIKLAT APARATUR LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
Selaku Instansi Pembina Diklat PNS, Lembaga Administrasi Negara senantiasa melakukan penyempurnaan berbagai produk kebijakan Diklat yang telah dikeluarkan sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS. Wujud pembinaan yang dilakukan di bidang diklat aparatur ini adalah penyusunan pedoman diklat, bimbingan dalam pengembangan kurikulum diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan diklat, standarisasi, akreditasi Diklat dan Widyaiswara, pengembangan sistem informasi Diklat, pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan Diklat, pemberian bantuan teknis melalui perkonsultasian, bimbingan di tempat kerja, kerjasama dalam pengembangan, penyelenggaraan dan evaluasi Diklat. Sejalan dengan hal tersebut, melalui kerjasama dengan Departemen Dalam Negeri yang didukung program peningkatan kapasitas berkelanjutan (SCBDP), telah disusun berbagai kebijakan guna lebih memberdayakan daerah seperti peningkatan kapasitas institusi, pengelolaan dan peningkatan SDM melalui penyelenggaraan Diklat teknis, pengembangan sistem keuangan, perencanaan berkelanjutan dan sebagainya. Dalam hal kegiatan penyusunan kurikulum diklat teknis dan modul diklatnya melalui program SCBDP telah disusun sebanyak 24 (dua puluh empat) modul jenis diklat yang didasarkan kepada prinsip competency based training. Penyusunan kurikulum dan modul diklat ini telah melewati proses yang cukup panjang melalui dari penelaahan data dan informasi awal yang diambil dari berbagai sumber seperti Capacity Building Action Plan (CBAP) daerah yang menjadi percontohan kegiatan SCBDP, berbagai publikasi dari berbagai media, bahan training yang telah dikembangkan baik oleh lembaga donor, perguruan tinggi, NGO maupun saran dan masukan dari berbagai pakar dan tenaga ahli dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, khususnya yang tergabung dalam anggota Technical Review Panel (TRP). Disamping itu untuk lebih memantapkan kurikulum dan modul diklat ini telah pula dilakukan lokakarya dan uji coba/pilot testing yang dihadiri oleh para pejabat daerah maupun para calon fasilitator/trainer. Dengan proses penyusunan kurukulum yang cukup panjang ini kami percaya bahwa kurikulum, modul diklatnya berikut Panduan Fasilitator serta Pedoman Umum Diklat Teknis ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pelatihan di daerah masing-masing.
i
Harapan kami melalui prosedur pembelajaran dengan menggunakan modul diklat ini dan dibimbing oleh tenaga fasilitator yang berpengalaman dan bersertifikat dari lembaga Diklat yang terakreditasi para peserta yang merupakan para pejabat di daerah akan merasakan manfaat langsung dari diklat yang diikutinya serta pada gilirannya nanti mereka dapat menunaikan tugas dengan lebih baik lagi, lebih efektif dan efisien dalam mengelola berbagai sumber daya di daerahnya masing-masing. Penyempurnaan selalu diperlukan mengingat dinamika yang sedemikian cepat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan dilakukannya evaluasi dan saran membangun dari berbagai pihak tentunya akan lebih menyempurnakan modul dalam program peningkatan kapasitas daerah secara berkelanjutan. Semoga dengan adanya modul atau bahan pelatihan ini tujuan kebijakan nasional utamanya tentang pemberian layanan yang lebih baik kepada masyarakat dapat terwujud secara nyata.
ii
KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL OTONOMI DAERAH
Setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, telah terjadi perubahan paradigma dalam pemerintahan daerah, yang semula lebih berorientasi sentralistik menjadi desentralistik dan menjalankan otonomi seluas-luasnya. Salah satu aspek penting kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi adalah peningkatan pelayanan umum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan daya saing daerah. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan di banyak negara, salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah adalah kapasitas atau kemampuan daerah dalam berbagai bidang yang relevan. Dengan demikian, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan daya saing daerah diperlukan kemampuan atau kapasitas Pemerintah Daerah yang memadai. Dalam rangka peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, pada tahun 2002 Pemerintah telah menetapkan Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Dalam Mendukung Desentralisasi melalui Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas. Peningkatan kapasitas tersebut meliputi sistem, kelembagaan, dan individu, yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip-prinsip multi dimensi dan berorientasi jangka panjang, menengah, dan pendek, serta mencakup multistakeholder, bersifat demand driven yaitu berorientasi pada kebutuhan masing-masing daerah, dan mengacu pada kebijakan nasional. Dalam rangka pelaksanaan peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah, Departemen Dalam Negeri, dengan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah sebagai Lembaga Pelaksana (Executing Agency) telah menginisiasi program peningkatan kapasitas melalui Proyek Peningkatan Kapasitas yang Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainable Capacity Building Project for Decentralization/ SCBD Project) bagi 37 daerah di 10 Provinsi dengan pembiayaan bersama dari Pemerintah Belanda, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan dari Pemerintah RI sendiri melalui Departemen Dalam Negeri dan kontribusi masing-masing daerah. Proyek SCBD ini secara umum memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam aspek sistem, kelembagaan dan individu SDM aparatur Pemerintah Daerah melalui penyusunan dan implementasi Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas (Capacity Building Action Plan/CBAP).
iii
Salah satu komponen peningkatan kapasitas di daerah adalah Pengembangan SDM atau Diklat bagi pejabat struktural di daerah. Dalam memenuhi kurikulum serta materi diklat tersebut telah dikembangkan sejumlah modul-modul diklat oleh Tim Konsultan yang secara khusus direkrut untuk keperluan tersebut yang dalam pelaksanaannya disupervisi dan ditempatkan di Lembaga Administrasi Negara (LAN) selaku Pembina Diklat PNS. Dalam rangka memperoleh kurikulum dan materi diklat yang akuntabel dan sesuai dengan kebutuhan daerah, dalam tahapan proses pengembangannya telah memperoleh masukan dari para pejabat daerah dan telah diujicoba (pilot test), juga melibatkan pejabat daerah, agar diperoleh kesesuaian/ relevansi dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh para pejabat daerah itu sendiri. Pejabat daerah merupakan narasumber yang penting dan strategis karena merupakan pemanfaat atau pengguna kurikulum dan materi diklat tersebut dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kurikulum dan meteri diklat yang dihasilkan melalui Proyek SCBD ini, selain untuk digunakan di lingkungan Proyek SCBD sendiri, dapat juga digunakan di daerah lainnya karena dalam pengembangannya telah memperhatikan aspekaspek yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Selain itu juga dalam setiap tahapan proses pengembangannya telah melibatkan pejabat daerah sebagai narasumber. Dengan telah tersedianya kurikulum dan materi diklat, maka pelaksanaan peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah, khususnya untuk peningkatan kapasitas individu SDM aparatur daerah, telah siap untuk dilaksanakan. Diharapkan bahwa dengan terlatihnya para pejabat daerah maka kompetensi mereka diharapkan semakin meningkat sehingga pelayanan kepada masyarakat semakin meningkat pula, yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat segera tercapai dengan lebih baik lagi.
iv
DAFTAR ISI
Sambutan Depuy IV - LAN ........................................................................................... i Kata Pengantar Dirjen Otonomi Daerah - Depdagri ................................................iii Daftar Isi ........................................................................................................................ v BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN......................................................................................... 1 A.
Diskripsi Singkat.................................................................................. 1
B.
Hasil Belajar......................................................................................... 2
C.
Indikator Hasil Belajar ......................................................................... 2
D.
Pokok Bahasan..................................................................................... 3
KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH ...................................................................................................... 4 A.
Kebijakan Pelayanan Publik ................................................................ 4
B.
Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah. ............................................................................................... 12
C.
Konsep Pembagian Urusan dan Kewenangan Pelayanan Dasar........ 16
D.
Konsepsi Standar Pelayanan Minimal ............................................... 20
E.
Latihan/Diskusi .................................................................................. 28
F.
Rangkuman ........................................................................................ 30
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK ................................. 32 A.
Pengertian Pelayanan Publik.............................................................. 32
B.
Konsepsi Pelayanan Publik................................................................ 34
C.
Lingkup Pelayanan Publik ................................................................. 36
D.
Penyelenggaraan Pelayanan Publik ................................................... 40
E.
Latihan/Diskusi .................................................................................. 46
F.
Rangkuman ........................................................................................ 47
Daftar Pustaka
v
BAB I PENDAHULUAN A. Diskripsi Singkat 1.
Relasi Bahan Ajar dengan Kompetensi Perubahan paradigma kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan arah bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan mendorong daya saing daerah. Perubahan paradigma desentralisasi dan otonomi daerah yang berorientasi pelayanan publik, dan dalam praktek pelaksanaannya belum sesuai harapan. Pola pikir aparat daerah umumnya masih berorientasi pada hak dan wewenang daerah, ketimbang bagaimana tugas dan kewajibannya melayani masyarakat. Disisi lain, menganggap bahwa pelayanan publik, khususnya pelayanan perizinan adalah tugas tambahan, dan sebagai alat untuk menghasilkan uang (penerimaan) atau meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Hampir seluruh daerah membuat dan menetapkan kebijakan pemerintahan daerahnya berorientasi pada pelayanan publik, namun tidak semua daerah berhasil dan konsekuen melaksanakan dengan baik, sehingga menimbulkan keluhan dan ketidakpuasan masyarakat tehadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah. Bahan ajar Perubahan Paradigma Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah mencakup kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah dan penyelenggaraan pelayanan publik, dan dianggap layak untuk menambah atau meningkatkan kompetensi (knowledge, skill dan attitude) pimpinan manajerial eselon III di daerah di dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap perubahan kebijakan pelayanan publik, diharapkan pimpinan manajerial mampu; memberikan arah dan bimbingan pada staf di dalam menyiapkan bahan perumusan dan penyusunan kebijakan pimpinan, merumuskan, membuat dan melaksanakan kebijakan operasional. Mengubah sikap di dalam menerima perubahan, serta mampu membangun komitmen untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang memenuhi harapan masyarakat.
2. Bahan Ajar Bahan ajar ini menjelaskan arah kebijakan pelayanan publik dalam kerangka mewujudkan good governance yang diatur dalam Peraturan Perundangundangan, perubahan paradigma pelayanan publik di era otonomi daerah, pembagian urusan dan kewenangan wajib yang berkaitan dengan pelayanan
1
2 dasar (urusan wajib) dan urusan pilihan, juga menjelaskan mengenai konsep standar pelayanan minimal (SPM) dalam kerangka penyusunan rencana dan program pelayanan dasar. Selain itu, juga membahas pelayanan perizinan yang mencakup pelayanan publik yang berkaitan dengan pelayanan dasar atau inti (core public services) dan pelayanan publik yang berkaitan dengan public good dan public regulation. Dijelaskan juga, mengenai konsepsi dan penyelenggaraan pelayanan publik dibidang pelayanan perizinan yang mencakup pengertian, konsepsi, prinsip-prinsip dan standar pelayanan publik, serta maklumat pelayanan publik yang menggambarkan komitmen lembaga/ pejabat penyelenggara pelayanan publik, untuk melaksanakan prinsip-prinsip good governance, seperti; transparansi, akuntabilitas, equalitas dan kepastian hukum. B. Hasil Belajar Pada akhir pembelajaran, peserta diharapkan mampu memahami arah kebijakan pelayanan publik dalam mewujudkan good governance, memahami urusan, kewenangan dan kewajibannya di dalam menyelenggarakan pelayanan dasar (urusan wajib) berdasarkan; Peraturan Perundang-undangan dan perubahan paradigma pelayanan publik di era otonomi daerah. Selain itu, diharapkan peserta mampu memahami dan menjelaskan kepada staf mengenai; Standar Pelayanan Minimal (SPM), pengertian pelayanan publik, konsepsi lingkup pelayanan publik, penyelenggaraan pelayanan publik yang berhubungan dengan prinsip-prinsip, standar pelayanan, dan memahami perlunya Maklumat Pelayanan Publik dalam peyelenggaraan pelayanan perizinan. C. Indikator Hasil Belajar Setelah mengalami proses pembelajaran, peserta diharapkan dapat, memahami dan mampu menjelaskan perubahan paradigma pelayanan publik dan kebijakan pelayanan publik, serta mampu mempersiapkan bahan perumusan dan penyusunan kebijakan pimpinan, dan melaksanakan kebijakan pelayanan publik. 1. Memahami dan menjelaskan perubahan paradigma rule government, hubungan paradigma good governance dengan arah kebijakan peraturan perundangan, dan perubahan kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, 2. Menjelaskan konsepsi dan manfaat Standar Pelayanan Minimal, mengarahkan staf dan mengambil langkah kebijakan pelaksanaan persiapan penyusunan bahan rencana dan program penyediaan pelayanan dasar berdasarkan SPM. 3. Menjelaskan dan memberikan pemahaman kepada staf mengenai pengertian dan konsepsi pelayanan publik, public good, public regulation, lingkup pelayanan publik yang berkait dengan pelayanan dasar (Core Public Services) 4. Mengambil langkah kebijakan operasional dan mengarahkan staf untuk menyiapkan bahan perumusan kebijakan penyelenggaraan pelayanan public, berdasarkan prinsip-prinsip dan standar pelayanan.
3 5. Mengambil langkah kebijakan operasional, mengarahkan staf dan melakukan koordinasi dengan unit kerja lain terkait dalam perumusan dan penyusunan rancangan kebijakan Maklumat Pelayanan Publik. 6. Menyiapkan konsep kebijakan pimpinan, memberikan masukan/saran kepada pimpinan mengenai kebijakan pelayanan publik. D. Pokok Bahasan 1.
Kebijakan Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah a. Kebijakan Pelayanan Publik 1) Paradigma Good Governance dalam Pelayanan Publik 2) Peraturan Perundang-undangan b. Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah 1) Konsepsi kebijakan otonomi daerah 2) Konsep Kebijakan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah c. Konsep Pembagian Urusan dan Kewenangan Pelayanan Dasar d. Konsepsi Standar Pelayanan Minimal 1) Pengantar Umum 2) Pengertian Standar Pelayanan Minimal 3) Prinsip-prinsip Standar Pelayanan Minimal 4) Penyusunan Standar Pelayanan Minimal 5) Penerapan Standar Pelayanan Minimal 6) Pembinaan dan Pengawasan
2.
Penyelenggaraan Pelayanan Publik a. Pengertian Pelayanan Publik 1) Pelayanan (Service) 2) Pelayanan Publik (Public Services) b. Konsepsi Pelayanan Publik c. Lingkup Pelayanan Publik d. Penyelenggaraan Pelayanan Publik 1) Prinsip-Prinsip Pelayanan Publik 2) Standar Pelayanan Publik 3) Maklumat Pelayanan Publik
BAB II KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH
Setelah mengalami proses pembelajaran Pokok Bahasan ini, peserta diharapkan dapat: 1.
2.
Memahami dan menjelaskan perubahan paradigma rule government, hubungan paradigma good governance dengan arah kebijakan peraturan perundangan, dan perubahan kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, Menjelaskan konsepsi dan manfaat Standar Pelayanan Minimal, mengarahkan staff dan mengambil langkah kebijakan pelaksanaan persiapan penyusunan bahan rencana dan program penyediaan pelayanan dasar berdasarkan SPM.
A. Kebijakan Pelayanan Publik 1.
Paradigma Good Governance dalam Pelayanan Publik Untuk menyegarkan pengetahuan, pemahaman dan wawasan, dalam bab ini diulas mengenai pergeseran paradigma kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, yaitu dari paradigma rule government bergeser ke paradigma good governance. a. Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada pendekatan paradigma rule government (legalitas) yang dalam prosesnya senantiasa menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan, atau mendasarkan pada pendekatan legalitas. Penggunaan paradigma rule government atau pendekatan legalitas, dewasa ini cenderung mengedepankan prosedur, urusan dan kewenangan, dan kurang memperhatikan proses, serta tidak melibatkan stakeholder baik di lingkungan birokrasi, maupun masyarakat yang berkepentingan. Contoh: Permasalahan pasar tradisional sangat komplek, berbagai kepentingan ada disana, yaitu kepentingan; pemerintah daerah, pedagang, dunia usaha, lembaga keuangan dan masyarakat konsumen, serta kepentingan lainnya. Dalam rangka meningkatkan pelayanan Pimpinan daerah (KDH) menghendaki untuk melakukan penataan atau pemugaran pasar tradisional tersebut. Tujuannya agar pasar tradisional lebih baik, mampu menampung pedagang dengan lingkungan pasar yang tertib, bersih, sehat, nyaman dan aman, dan untuk mendorong pengembangan perekonomian masyarakat dan daerah, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4
5
Dalam prosesnya, menimbulkan masalah dan penolakan dari pedagang pasar. Penyebabnya cukup banyak, antara lain; pertama; tidak melibatkan aktif dan memperhatikan aspirasi pedagang, kedua; dalam proses perumusan dan penyusunan rencana dan kebijakan penataan atau pemugaran pasar, pemerintah daerah lebih mendasarkan atau mengedepankan pada pendekatan rule government (seperti; tata ruang, ketentraman dan ketertiban, keamanan, kebersihan dan lainnya). Dengan pengertian lain, pemerintah daerah lebih mengutamakan hak dan wewenang untuk tujuan terpenuhinya kepentingan pemerintah daerah. Disamping itu, pelibatan stake holder di lingkungan birokrasi tidak dilakukan secara optimal, lebih bersifat formalitas hanya untuk memenuhi persyaratan koordinasi. Sehingga tidak mencerminkan adanya kerjasama dan integrasi antar unit kerja yang terkait dalam pelaksanaan tugas, kewajiban dan tanggung jawab (ego sektoral, ini urusan dan wewenang saya cenderung kuat). Pelibatan masyarakat pasar, pada umumnya dilakukan hanya dengan beberapa tokoh pedagang komoditi barang tertentu, dan dianggap memenuhi syarat telah mewakili seluruh masyarakat pasar. Disamping itu, selain tidak melibatkan masyarakat pasar, juga tidak memperhatikan dan/atau mempertimbangkan konsep pembinaan pelayanan pasar dan pemberdayaan pedagang tradisional (listrik, air bersih drainage, kebersihan/higyne komoditi tertentu, koperasi, jaminan kesehatan pedagang pasar, kredit modal usaha kecil mikro, dan lainnya). Permasalahan lain timbul, dalam proses pengaturan dan penempatan pedagang serta harga sewa dan/atau beli ruang tempat berdagang/kios, dan menimbulkan ketidakpuasan pedagang. Hal ini muncul, karena dalam proses sosialisasi dan desiminasi kebijakan tidak memenuhi prinsipprinsip; transparansi, keadilan, keterbukaan, persamaan hak, kebersamaan dan akuntabilitas. Prinsip-prinsip good governance, seperti; akuntabilitas, transparansi, keadilan dan kesetaraan menjadi barang langka dalam proses penataan pasar. b. Dalam Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, penataan pasar berdasarkan pendekatan paradigma good governance, prosesnya tidak semata-mata dilakukan berdasarkan pada pendekatan rule goverment (pendekatan legalitas) yang berorientasi untuk kepentingan pemerintah atau pemerintah daerah. Pendekatan good governance, lebih mengedepankan transparansi, keadilan, kesetaraan, keterbukaan dan akuntabilitas, untuk memberdayakan pedagang di dalam mengembangkan kebersamaan dan kesetaraan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pelayanan pasar. Pendekatan good governance, juga dilakukan dalam proses dan pelaksanaan kebijakan, pelibatan elemen
6 pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi sangat penting dan diperlukan, karena merekalah (jajaran pejabat dibawah koordinasi Sekda) yang memiliki kompetensi dan keterkaitan untuk mendukung keberhasilan proses dan pelaksanaan kebijakan. Pendekatan good governance dalam konteks penataan pasarditujukan untuk memberikan peran dan ruang kepada pedagang berpartisipasi, dengan melibatkan atau memberi peran kepada pedagang sebagai aktor dalam proses penataan atau pemugaran pasar. Pelibatan pedagang dan/atau masyarakat pasar, dilakukan mulai dari proses dan penyusunan rencana, proses perumusan kebijakan penataan pasar, proses penunjukkan pengembang, proses pelaksanaan pembangunan, proses dan kebijakan pengaturan dan pembagian tempat serta penentuan besaran harga sewa atau jual kios/toko dan atau lapak, sampai dengan pelibatan dalam menjaga ketentraman dan ketertiban, keamanan berdagang, kebersihan dan kenyamanan lingkungan. Dengan demikian, pelibatan masyarakat dilakukan tidak hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan formalitas, tetapi dilakukan melalui proses penjaringan aspirasi masyarakat atau pedagang, melalui berbagai teknik dan pendekatan. c. Dewasa ini paradigma good governance, telah merasuk di dalam pikiran sebagian besar masyarakat pemangku kepentingan, masyarakat kian kritis, mengerti dan berani menuntut haknya kepada pemerintah untuk memenuhi kewajibannya dalam memberikan pelayanan yang adil, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Perubahan paradigma pendekatan rule government menjadi good governance menjadi sangat penting untuk menjadi kebijakan daerah. Kebijakan tersebut diarahkan untuk mengubah pola pikir seluruh aparat penyelenggara pemerintahan daerah menjadi lebih maju, yang semula lebih berorientasi pada kepentingan pemerintah daerah, berubah berorientasi pada kepentingan memuaskan masyarakat. d. Perubahan pola pikir (mind set) dari aparat penyelenggara pemerintahan yang progresif dan berorientasi pada pelayanan publik, pengaruhnya sangat positif meningkatkan kepedulian dan komitmen pimpinan dan aparat penyelenggara pelayanan dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik. Kepemerintahan yang baik, wujudnya adalah terselenggaranya pelayanan yang berorientasi pada masyarakat, dan membaiknya atau meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan. Manajemen kinerja pemerintahan daerah yang baik dan berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan publik, pada gilirannya akan dapat menumbuhkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan daerah. e. Penyelenggaraan kepemerintahan daerah yang baik, pada dasarnya memberikan ruang yang cukup bagi keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat, di dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan atau kebijakan.
7
Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan wujud pelayanannya harus sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diperlukan untuk mendekatkan pemerintah dengan masyarakat, atau dengan kata lain mendekatkan pelayanan dan memberdayakan masyarakat. f. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan penyelenggaraan pemerintahan nasional, dan menjadi komitmen nasional yang diatur dan diamanatkan dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pelaksanaannya diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah dengan Undang-Undang nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Esensi kepemerintahan yang baik dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat dan meningkatkan pelayanan publik. Kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah sangat strategis dalam upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik. Dalam kerangka penyelengaraan otonomi daerah, kebijakan pelayanan publik memiliki nilai strategis, dan menjadi prioritas daerah di dalam melaksanakan pelayanan yang baik, sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan daerah. Pertanyaannya, bagaimana fungsi pemerintahan yang lainnya, apakah tidak strategis dan tidak prioritas untuk dilaksanakan? Bukankah dalam penyelenggaraan pemerintahan juga banyak masalah yang mendesak yang harus ditangani? Jawabannya tidak sederhana, tetapi kalau kita memahami essensi kepemerintahan yang baik dalam hubungannya dengan tujuan dibentuknya daerah otonom dan pemberian otonomi daerah, arahnya jelas bahwa esensi kepemerintahan yang baik adalah kinerja manajemen yang baik dan wujudnya adalah pelayanan publik yang baik. g. Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan non perizinan) menjadi strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani adalah, karena buruknya penyelenggaraan pelayanan publik yang signifikan dengan buruknya penyelenggaraan good governance. Pelayanan publik yang buruk yang dirasakan oleh warga dan masyarakat luas, dampaknya dapat
8 menimbulkan ketidakpuasan yang wujudnya ketidakpercayaan terhadap kinerja pelayanan pemerintah. Pelayanan publik yang buruk, mengindikasikan proses dan pelaksanaan kinerja manajemen pemerintahan yang kurang baik, dan tidak berorientasi pada pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat. Kinerja manajemen pemerintahan yang buruk, dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain: ketidakpedulian dan rendahnya komitmen aparatur penyelenggara pemerintahan terhadap tugas dan fungsinya untuk memberikan pelayanan publik yang dapat memenuhi kebutuhan dan memuaskan masyarakat. h. Perubahan signifikan pada pelayanan publik, dengan sendirinya akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, menunjukkan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, dan disisi lain menunjukkan adanya perubahan sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan menjadi lebih baik. Meningkatnya kualitas pelayanan publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan komitmen top pimpinan/top manajer dan aparat penyelenggara untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh menutup peluang dan/atau mempersempit terjadinya peluang KKN, yang dewasa ini telah merebak di semua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi pelayanan. i. Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan pada jalur dan cara yang benar, memiliki nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan swasta). Paradigma good governance sangat relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan publik yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan, mengubah sikap mental dan perilaku aparat penyelenggara pelayanan, serta menumbuhkan kepedulian dan komitmen pimpinan dan aparat penyelenggara dalam memberikan pelayanan. Pelaksanaan kebijakan pelayanan publik yang dilandasi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, sangat ditentukan oleh kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan aparat penyelenggaranya. Kata Kunci: Pelayanan publik sangat strategis sebagai entry point untuk mewujudkan good governance. Perbaikan dan peningkatan pelayanan publik dianggap memiliki dampak luas dan berpengaruh terhadap; perbaikan manajemen kinerja, sikap mental, perilaku dan menumbuhkan kepedulian dan komitmen aparat daerah meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat.
9 2.
Peraturan Perundang-undangan Fungsi utama pemerintah adalah memberikan pelayanan, menyelenggarakan pembangunan, dan menyelenggarakan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya dengan menciptakan ketentraman dan ketertiban yang mengayomi dan mensejahterakan masyarakatnya. Penyelenggaraan pelayanan publik memiliki aspek dimensional, oleh karena itu dalam pembahasan dan menerapkan strategi pelaksanaannya tidak dapat hanya didasarkan pada satu aspek saja, misalnya hanya aspek ekonomi atau aspek politik, tetapi pendekatannya harus terintegrasi melingkupi aspek lainnya, seperti aspek sosial budaya, aspek hukum dan peraturan perundang-undangan. a. Pendekatan penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan pada satu aspek, hanya akan menghasilkan solusi parsial bagi pembenahan dan peningkatan pelayanan publik. Aspek hukum dan peraturan perundangundangan, atau kebijakan lain yang terkait dengan pengauran pelayanan publik, menjadi salah satu aspek penting sebagai landasan pijak aparat di dalam penyelenggaraan pelayanan publik. b. Dalam kontek good governance, untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik, selain didasarkan pada kriteria atau unsur-unsur kepemerintahan yang baik, diperlukan kebijakan pemerintahan dalam bentuk berbagai Peraturan Perundang-undangan dan kebijakan operasionalnya. Oleh karena itu, aspek hukum dan Peraturan Perundangundangan tetap menjadi dasar pendekatan utama di dalam membahas pelayanan publik. c. Dengan demikian dalam membahas pelayanan publik, seharusnya kita terlebih dahulu mengetahui dan memahami landasan hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan pelayanan publik. d. Untuk memberikan tambahan pengetahuan, ada beberapa teori yang menjelaskan peran pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan publik dan sebagai lembaga politik, penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Diantaranya dikemukakan pendapat seorang pakar, yaitu; Steve Leach dkk, menyatakan “The most fundamental of these key differences is that the local authority is not merely a provider of goods services, it is also both a governmental and a political institution, constituted by local election” “Local authorities are not only providers of services; they are also political institutions for local choice and local voice.The key issue for management of local government is how to achieve an organization that not merely carries out one role but carries out both roles, not separately but in interaction”. As a services provider the organization of local authority aims to meet the demands, needs or aspirations of those for whom the service is provided. But the service has to be provided in
10 accordance with public policy as determined by the local authority or defined by national legislation. Pemerintahan daerah pada dasarnya mempunyai dua peran, yaitu sebagai lembaga penyedia pelayanan dan sebagai institusi politik, pelaksanaan kedua peran tersebut harus terintegrasi. Dalam memberikan pelayanan publik, Pemerintahan Daerah harus mengetahui dan memahami kebutuhan, serta memperhatikan aspirasi masyarakat pemilihnya. Penyediaan pelayanan, disesuaikan dengan kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah atau pemerintah, artinya penyelenggaraan pelayanan harus didasarkan pada aturan hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Daerah atau DPR. Dalam kontek di Indonesia, pengaturan pelayanan publik diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pelaksanaannya diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan Sektoral, dan diantaranya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah dan perubahannya. Pemerintahan Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, adalah Pemerintah Daerah dan DPRD atau dikenal dengan eksekutif dan legislatif (?) yang memiliki fungsi menyelenggarakan pelayanan publik dan fungsi sebagai lembaga politik. Pada hakekatnya, Kepala Daerah adalah lembaga politik, dan harus dipahami sebagai Top Pimpinan Daerah/Top Manager, keberadaannya dipilih oleh masyarakat (konstituen) melalui proses politik pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang diajukan oleh kereta Partai Politik. Oleh karenanya, kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik di daerah dalam prakteknya, dipengaruhi oleh komitmen politik dari Kepala Daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Komitmen politik disini dimaksudkan, bahwa Kepala Daerah sebagai pimpinan Pemerintah Daerah (eksekutif) yang ditugasi melaksanakan fungsi pelayanan publik (perintah Perda dan/atau Peraturan Perundangundangan), seharusnya memiliki komitmen dan kemauan untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang baik dan berorientasi pada kepentingan konsituennya atau masyarakat pemilihnya, untuk tujuan mensejahterakan masyarakat. e. Kebijakan pelayanan publik, saat ini diatur dan tersebar di berbagai Peraturan Perundang-undangan antara lain; 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Peraturan Perundang-undangan sektoral lainnya;
11 4) Beberapa Peraturan Perundang-undangan dan pedoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah (kurun waktu 1993-1998) yang berkaitan dengan kebijakan pelayanan publik antara lain; a) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat; b) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1993 Tentang Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Undang-undang Gangguan Bagi Perusahaan Industri; c) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 32 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Undang-Undang Gangguan Bagi Perusahaan Industri; d) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 1996 tentang Penyusunan Buku Petunjuk Pelayanan Perizinan Terpadu; e) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 1998 tentang Pelayanan Satu Atap di Daerah; f) Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Apartur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tata laksana Pelayanan Umum; g) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 503/2931/PUOD perihal Petunjuk Teknis Pelaksanaan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 1996 tentang Penyusunan Bukuk Petunjuk Pelayanan Perizinan Terpadu; h) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 503/125/PUOD perihal Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan di Daerah, dan i) Peraturan Perundang-undangan dan pedoman/petunjuk lainnya yang dikeluarkan oleh Pemerintah (Departemen, Kementrian, Badan dan Lembaga yang terkait dengan peningkatan pelayanan publik). Memperhatikan Peraturan Perundang-undangan dan kebijakan dari pemerintah tersebut, menunjukan arah kebijakan pelayanan publik adalah untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Kinerja manajemen pelayanan yang baik diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan pelayanan dan dapat mendorong meningkatkan kualitas layanan, memperbaiki citra pelayanan publik yang buruk, memperkuat daya saing daerah, mendorong peningkatan investasi dan pengembangan perekonomian daerah, serta menciptakan efisiensi dan efektfitas pelayanan umum, dan pada gilirannya mampu mewujudkan kepemerintahan yang baik. Di bidang pelayanan perizinan, kebijakan pemerintah tersebut, mendapat respon positif dari Daerah untuk meningkatkan pelayanan perizinan, dan lebih dari 100 daerah Kabupaten dan Kota (s/d tahun 2003), telah membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) atau Unit Pelayanan Tepadu Satu Atap (UPTSA) atau Unit Pelayanan Satu Pintu. Dalam perkembangannya, sebagian besar UPT/UPTSA/Unit Pelayanan Satu Pintu mati suri dan bahkan tidak berfungsi, atau berubah kembali ke
12 kegiatan pelayanan tradisional yang secara fungsional dilaksanakan oleh masing Dinas/Instansi yang membidangi pelayanan perizinan dan non perizinan. Kondisi tersebut disebabkan antara lain; memudarnya komitmen top pimpinan dan jajarannya, kurangnya rasa memiliki dan tanggungjawab bersama untuk mencapai visi, misi dan tujuan organisasi, dan kuatnya ego atau kepentingan unit organisasi tertentu untuk mempertahankan kewenangan pemberian izin. Disisi lain, masalah legalitas organisasi, regulasi dan sumber daya manusia serta dukungan biaya operasional dan sarana pendukung yang tidak memadai, menjadi faktor penyebab lembaga pelayanan terpadu tidak berfungsi optimal. f. Memperhatikan kondisi tersebut diatas, dengan semangat reformasi dan upaya melaksanakan kepemerintahan yang baik (good governance), serta untuk menggerakkan kembali semangat memperbaiki dan meningkatkan kinerja pelayanan umum, khususnya pelayanan perizinan, pemerintah memperbaharui kebijakan di bidang pelayanan umum, dengan mengeluarkan berbagai Peraturan Perundangan dan pedoman antara lain: 1) Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi; 2) Keputusan MENPAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik; 3) Keputusan MENPAN Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Instansi Pelayanan Pemerintah; 4) Keputusan MENPAN Nomor KEP/26/M.PAN/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaran Pelayanan Publik; 5) Peraturan MENPAN Nomor PER/20/M.PAN/04/2006 tentang Penyusunan Standar Pelayanan Publik; dan 6) Peraturan MENDAGRI Nomor 24 Tahu 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. B. Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah. 1.
Konsepsi kebijakan otonomi daerah a. Kebijakan desentralisasi memiliki tujuan utama, yaitu tujuan politik dan tujuan administratif, b. Tujuan politik, diarahkan untuk memberi ruang gerak masyarakat dalam tataran pengembangan partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan demokrasi. Disisi lain dari pendekatan aspek pendemokrasian daerah, memposisikan Pemerintahan Daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal. Diharapkan pada saatnya, secara agregat
13 daerah memberikan kontribusi signifikan tehadap perkembangan pendidikan politik secara nasional, dan terwujudnya civil society. c. Sedangkan tujuan administratif, memposisikan Pemerintah Daerah sebagai unit pelayanan yang dekat dengan masyarakat yang diharapkan dapat berfungsi maksimal dalam menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Berdasarkan tujuan politik dan administratif tersebut diatas, memberikan kejelasan bahwa misi utama dari keberadaan Pemerintahan Daerah, adalah bagaimana mensejahterakan warga dan masyarakatnya melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis, dengan cara-cara yang demokratis. d. Konsep kebijakan pemberian otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab pada dasarnya diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan asyarakat. Melalui peningkatan pelayanan publik dan pemberdayaan peran serta masyarakat, daerah diharapkan mampu mengembangkan kreativitas, inovasi, dan dengan komitmennya berupaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pada pada saatnya diharapkan mampu mengembangkan potensi unggulannya dan mendorong peningkatan daya saing daerah, serta meningkatkan perekonomian daerah. e. Prinsip otonomi yang nyata, adalah memberikan diskresi atau keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan atau kewenangan bidang pemerintahan tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan urusan yang secara nyata hidup dan berkembang, di masyarakat daerah yang bersangkutan. f. Sedangkan prinsip otonomi yang bertanggung jawab, berkaitan dengan tugas, fungsi, tanggungjawab dan kewajiban daerah di dalam pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah. Artinya Daerah harus mempertanggung-jawabkan hak dan kewajibannya kepada masyarakat atas pencapaian tujuan otonomi daerah. Wujud tanggung jawab tersebut harus tercermin dan dibuktikan dengan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik berdasarkan prinsip-prinsip pelayanan publik, pengembangan demokrasi, keadilan dan pemerataan bagi masyarakat daerahnya. Disamping itu, wujud pelaksanaan tanggung jawab daerah di dalam penyelenggaraan otonomi daerah juga harus didasarkan pada hubungan yang serasi antar susunan pemerintahan dan kebijaksanaan pemerintahan nasional. g. Otonomi daerah yang luas, tidak bermakna atau tidak berarti daerah dapat semena-mena atau sebebas-bebasnya melakukan tindakan dan perbuatan hukum berdasarkan selera dan keinginan yang mengedepankan ego daerah. Penyelenggaraan otonomi yang luas, harus sejalan, selaras dan dilaksanakan bersama-sama dengan prinsip otonomi yang nyata dan
14 bertanggung jawab, dan memperhatikan keserasian hubungan antar pemerintahan daerah dan pemerintah nasional. 2.
Konsep Kebijakan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah a. Paradigma kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diatur melalui berbagai macam Peraturan Perundang-undangan, hakekatnya untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Konsep pemberian otonomi kepada daerah dan konsep desentralisasi yang telah diuraikan diatas, mengandung pemahaman bahwa kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, adalah dalam kerangka terselenggaranya kepemerintahan yang baik, yang diwujudkan melalui tanggung jawab dan kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan publik untuk mensejahterakan masyarakat di daerahnya. b. Otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat…”. Daerah otonom selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Definisi tersebut dapat diartikan, bahwa otonomi daerah adalah hak,wewenang dan kewajiban yang diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan untuk kepentingan mensejahterakan masyarakat. Pengertian kesatuan masyarakat hukum dapat diartikan, sekelompok masyarakat yang melembaga yang memiliki tatanan hubungan, aturan, adat istiadat, kebiasaan dan tata cara untuk mengatur dan mengurus kehidupannya dalam batas wilayah tertentu. Dalam kontek Undangundang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang diberi hak,wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah dan selanjutnya disebut Daerah. Dengan demikian, penyelenggara otonomi daerah sebenarnya adalah perwujudan dari kesatuan masyarakat hukum, dan selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 disebut Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah disini, mengandung dua pengertian; yaitu dalam arti institusi adalah Pemerintah Daerah dan DPRD, dan dalam arti proses adalah kegiatan penyelenggaran pemerintahan daerah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, Pemerintah Daerah dan DPRD seharusnya berorientasi pada kepentingan masyarakat,
15 dan mengutamakan tanggungjawab dan kewajibannya untuk mensejahterakan masyarakat, dengan memberikan dan/atau menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. c. Konsep otonomi daerah telah membuka sekat komunikasi, transparansi dan akuntabilitas di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Otonomi daerah memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk semakin memahami hak-haknya mendapatkan pelayanan dari pemerintah daerah, termasuk peran dan hak-hak perempuan di dalam mendapatkan akses pelayanan, kesetaraan perlakuan dan kesempatan luas untuk beraktivitas diranah birokrasi publik. Masyarakat semakin kritis dan berani untuk menyampaikan aspirasi dan melakukan control terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah daerahnya. Harus diakui, pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini, dengan kekurangan dan kelebihannya belum berpengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam proses memberdayakan masyarakat (empowering) dan memberikan pendidikan politik (demokrasi). Dilihat dari tujuan pemberian otonomi, kondisi dan perkembangan masyarakat yang dinamis tersebut, memberikan sinyal peringatan bagi pemerintah daerah untuk bersikap arif. Dinamika masyarakat tersebut, harus ditempatkan sebagai tantangan konstukrif yang harus disikapi positif oleh para pemimpin/pengambil kebijakan dan jajaran aparatnya,di dalam memberikan pelayanan publik yang sesuai harapan dan kebutuhan masyarakat. d. Konsep kebijakan pelayanan publik yang dikemas melalui produk hukum dan/atau kebijakan daerah, umumnya masih didasarkan pada pendekatan kekuasaan atau kewenangan yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah daerah dan/atau birokrasi, dan belum berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Konsep kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, pada hakekatnya ditujukan dan berorientasi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (citizen). Disisi lain, kebijakan pelayanan publik diarahkan guna memberdayakan (empowerment) staf dan masyarakat, yang secara bersama-sama saling berinteraksi dalam mendukung meningkatnya kualitas pelayanan. Bobot kebijakan pelayanan yang berorientasi pelayanan umum, seharusnya untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang kurang mampu atau miskin (marjinal), bukan mengutamakan hak-hak atau kepentingan kalangan yang berkemampuan atau pengusaha. Diperlukan keseimbangan mind set dari para penyelenggara pelayanan, di dalam menyikapi kepentingan masyarakat yang beragam kepentingan dan kebutuhannya.
16 “Keberhasilan pelaksanaan kebijakan pelayanan publik, dalam praktek sangat ditentukan dan/atau tergantung pada kemauan dan komitmen dari pimpinan/top manager dan jajaran pimpinan menengah dan bawah, serta aparat penyelenggara operasional pelayanan umum “. C. Konsep Pembagian Urusan dan Kewenangan Pelayanan Dasar 1. Esensi dasar dari keberadaan pemerintah, adalah untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (maintain law and order) serta sebagai instrument untuk mensejahterakan rakyat. Dalam kaitan dengan Pemerintahan Daerah (Pemda), mengindikasikan bahwa adanya Pemda adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya yang secara universal diukur dengan kemampuan untuk meningkatkan pencapaian indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI). Indikator HDI, diantaranya dapat diketahui dari keadaan dan kondisi kesehatan, pendidikan, pendapatan masyarakat, kondisi lingkungan dan lainnya. Untuk mencapai indeks HDI yang lebih tinggi; Kata kuncinya adalah “pelayanan publik” (public services), yaitu sejauhmana kemampuan Pemda untuk memberikan pelayanan publik yang optimal kepada masyarakatnya. Pelayanan publik yang disediakan Pemda seyogyanya sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. 2. Konsekuensi pemberian urusan dan kewenangan Keberadaan Pemda adalah untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (maintain law and order) serta sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat. Dengan demikian, konsekuensi dari keberadaan Pemerintahan Daerah adalah bagaimana membuat dan melaksanakan kebijakan penyediaan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat yang baik, diterima dan memuaskan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keberagaman kehidupan sosial, ekonomi dan budaya daerah. Konsekuensi dari keberagaman daerah, adalah dalam pembagian jumlah dan jenis urusan dan kewenangan yang dilimpahkan oleh Pemerintah (Presiden) kepada daerah berbeda, atau tidak sama persis antara satu daerah dengan daerah yang lain. Konsep pemberian urusan dan kewenangan pemerintahan kepada daerah, pada hakekatnya disesuaikan dengan perbedaan karakter geografis, potensi Sumber Daya Alam, keunikan sosial budaya dan mata pencaharian utama penduduk daerah yang bersangkutan, sehingga jenis dan jumlah urusan dan besar kewenangan yang diserahkan kepada daerah, seharusnya beragam atau tidak sama. Namun demikian, ada urusan yang sama dan mutlak harus diselenggarakan oleh semua daerah Kabupaten/Kota, yaitu urusan pelayanan dasar yang wajib diselenggarakan di seluruh daerah. Urusan pelayanan dasar adalah urusan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat (basic need), dengan gradasi yang berbeda antara Daerah Provinsi dengan Daerah Kabupaten dan Kota.
17
Sedangkan yang membedakan jumlah dan jenis urusan dan kewenangan antara satu daerah dengan daerah lainnya adalah urusan dan kewenangan pilihan yang menjadi unggulan daerah (core competence). Pemberian otonomi daerah, selain menimbulkan konsekuensi adanya perbedaaan jumlah dan jenis urusan pilihan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, juga menimbulkan konsekuensi kepada daerah untuk berusaha bagaimana dapat menghidupi kegiatan pemerintahannya. Ironisnya, konsekuensi tersebut dibebankan kepada masyarakat, dengan berbagai kebijakan pajak, retribusi dan pungutan lainnya, seperti biaya pembuatan KTP, Kartu Keluarga, dan biaya perizinan yang tidak berkait dengan prinsip pengenaan retribusi. Seharusnya, daerah dituntut mengembangkan kreativitas, inovasi untuk menciptakan peluang untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia dan daerahnya, dengan membuat kebijakan-kebijakan yang memberi peluang kepada masyarakat untuk berperan sebagai subjek pembangunan dan di dalam mengembangkan dan mengelola potensi daerahnya. Kebijakan meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, merupakan langkah kongkrit meningkatkan kualitas sumber daya manusia jangka panjang, sebagai aset pembangunan daerah. Contoh; Kabupaten Jembrana dan Sragen, dengan keterbatasan potensi sumber daya alam dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang relatif rendah, mengembangkan kreativitas dan inovasi, melalui berbagai kebijakannya mampu meningkatkan kinerja manajemen pemerintahannya yang efesien dan efektif, serta mampu memberikan peluang kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya, melalui kebijakan pendidikan, kesehatan dan kesempatan berusaha. 3. Pelayanan yang dibutuhkan Masyarakat Pada dasarnya kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dapat dikelompokkan ke dalam dua hal; a. Kebutuhan dasar (basic needs) seperti kesehatan, pendidikan, air, lingkungan, keamanan, sarana dan prasarana perhubungan dan sebagainya; b. Kebutuhan pengembangan sector unggulan (core competence) masyarakat seperti pertanian, perkebunan, perdagangan, industri, dan sebagainya, sesuai dengan potensi dan karakter daerahnya masing-masing. Dalam kontek otonomi, daerah harus mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua kelompok kebutuhan diatas. Kebutuhan dasar (basic needs) adalah hampir sama di seluruh daerah otonom di Indonesia, hanya gradasi kebutuhannya saja yang berbeda. Sedangkan kebutuhan pengembangan sektor unggulan dan penduduk, sangat erat kaitannya dengan potensi, karakter, pola pemanfaatan dan mata pencaharian penduduknya. Dengan demikian, yang membedakan
18 jumlah, jenis urusan dan kewenangan antara daerah adalah, urusan pilihan yang berkaitan kewenangan pengembangan sektor unggulan. 4. Esensi pemberian urusan dan kewenangan. Dari uraian diatas, terlihat bahwa esensi dari pemberian urusan dan kewenangan pemerintahan kepada daerah berapapun luasnya, harus diterjemahkan menjadi kewenangan untuk “melayani” sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan kebutuhan masyarakat adalah pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) dan kebutuhan pengembanan sektor unggulan (core competence). Kewenangan dibutuhkan daerah untuk menjalankan urusannya, guna memungkinkan daerah mampu menyediakan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar dan pengembangan sektor unggulan. Dengan demikian, esensi otonomi riil yang diberikan kepada daerah adalah kewenangan untuk memberikan pelayanan yang riil dibutuhkan masyarakat. “Kata kunci otonomi daerah adalah adanya Urusan dan Kewenangan Daerah dan Sumber Pembiayaannya untuk “melayani” masyarakatnya agar sejahtera”. 5. Distribusi urusan dan kewenangan a. Menjadi persoalan krusial bagaimana mendistribusikan kewenangan untuk menjamin pemberian pelayanan kedalam susunan pemerintahan yang ada yaitu, Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, dalam kontek pemberian otonomi dan desentralisasi, esesensinya adalah membagi tanggung jawab pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan susunan pemerintahan. Artinya ada urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan yang sepenuhnya menjadi milik Daerah Kabupaten/Kota, seperti; penyediaan air minum, transportasi lokal, perparkiran, pasar, kebersihan, pertamanan, pemakaman, saluran limbah (sewage). Demikian pula terdapat kewenangan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah, seperti Moneter, Hubungan Luar Negeri, Pertahanan Keamanan dan seterusnya. Urusan-urusan yang menjadi kewenangan bersama, yaitu urusan yang memiliki keterkaitan langsung antar susunan pemerintahan. Urusan-urusan yang dimiliki antar susunan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan bersama (concurrent function) yang pengaturan dan pengurusannya dilakukan bersama, seperti; pendidikan, kesehatan, perhubungan, kehutanan, pertambangan, ketenagakerjaan, penanaman modal dan seterusnya. b. Untuk mengatur distribusi kewenangan tersebut, diperlukan ukuran atau kriteria yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pembagian kewenangan, terutama kriteria untuk mengatur kewenangan yang bersifat concurrent, yaitu:
19 1) Externalitas, siapa yang terkena dampak (externalitas) langsung, dialah yang berwenang mengurus, contoh seperti sampah dampaknya lokalitas menjadi kewenangan dan tanggung jawab daerah Kabupaten/Kota; 2) Akuntabilitas, unit pemerintahan yang menangani urusan yang paling dekat dampaknya dengan masyarakat, akaan lebih akuntabel daripada urusan tersebut ditangani oleh unit pemerintahan yang lebih tinggi atau jauh dari masyarakat; 3) Efisiensi, prinsip pemberian urusan dan kewenangan adalah untuk menciptakan efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam penyelenggaraan pelayanan. Diperlukan kesesuaian antara skala ekonomis dengan cakupan area layanan (catchment area), kalau cakupan layanannya lokalitas menjadi urusan daerah, dan kalau cakupan layanannya lebih luas (regional) menjadi urusan Provinsi seperti; pengelolaan aliran sungai; kehutanan dan lainnya; 4) Keserasian hubungan pemerintahan antar susunan pemerintahan. Terdapat hubungan antara kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bersifat inter-relasi, inter-koneksi serta interdependensi, namun tidak ada hierarkhi. Kewenangan dari masingmasing susunan pemerintahan berhubungan dan saling tergantung, namun tidak membawahi satu dengan yang lain. Dalam melaksanakan kewenangannya, masing-masing memiliki diskresi dan independensi. Intervensi dari Pemerintah Pusat lebih bersifat fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) manakala daerah tidak mampu melaksanakan kewenangannya sesuai norma dan standar yang ditetapkan. Setiap bidang kewenangan concurrent yang menjadi domain dari suatu susunan pemerintahan tidak bisa berdiri sendiri atau terlepas satu dengan lainnya, oleh karenanya dalam pelaksanaannya harus saling mengisi dan menunjang agar dicapai keserasian hubungan antar susunan pemerintahan, dalam kerangka ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan distribusi kewenangan berdasarkan ke empat kriteria tersebut diatas, dan diatur dalam pasal 13 dan 14 yang dikenal dengan urusan pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Caution: Penetapan 4 kriteria untuk mengatur distribusi kewenangan bersama (concurrent), khusus untuk kriteria externalitas (dampak), karena ukuran atau kriteria dampaknya belum terinci scara jelas, maka dalam penerapannya harus disikapi hati-hati. Contoh; Daerah ingin mengembangkan pelabuhan lokal untuk melayani kebutuhan masyarakat, dan untuk tujuan memacu pengembangan dan pemasaran potensi unggulannya. Suatu saat Pelabuhan tersebut
20 berkembang, cakupan layanannya tidak hanya lokalitas, tetapi layanannya berkembang antar Kabupaten/Kota atau bahkan antar Provinsi. Pertanyaannya? Apakah perkembangan pelabuhan tersebut dikatagorikan memiliki dampak externalitas dengan cakupan layanan “lintas”, sehingga tingkat akuntabilitas dan efisiensi dari urusan pengembangan pelayanan perhubungan (kepelabuhan) tersebut harus diangkat sebagai urusan Provinsi (lintas Kabupaten/Kota) atau ditarik menjadi urusan dan kewenangan Pusat (lintas provinsi). Dalam kasus ini seperti ini, contoh actual; Kabupaten Kutai Kertanegara ingin membangun Lapangan Terbang untuk mengembangkan core competence dan membuka isolasi hubungan dan komunikasi dengan daerah lain. Dalam prosesnya, ternyata kreatifitas dan keinginan daerah untuk mengembangkan potensinya (core competence), mengalami kesulitan dan hambatan kewenangan dan kepentingan, atau terbentur pada aturan main Peraturan Perundang-undangan. Lalu bagaimana solusinya, untuk mengembangkan potensi dan memajukan daerahnya ? D. Konsepsi Standar Pelayanan Minimal 1.
Pengantar Umum Pendekatan keempat kriteria pembagian urusan dan kewenangan sebagaimana diuraikan diatas, adalah untuk memberikan ukuran guna memperjelas pelayanan-pelayanan apa saja yang bersifat mendasar (basic services) maupun pelayanan-pelayanan untuk pengembangan sector unggulan yang harus dilaksanakan oleh daerah. Mempertimbangkan keberagaman daerah dan adanya kondisi nyata karakteristik daerah yang berciri perkotaan dan non perkotaan, perlu ditentukan bahwa suatu urusan dapat ditentukan sebagai kewenangan wajib yang wajib dilaksanakan oleh seluruh pemerintahan daerah. Artinya ada urusan yang menjadi kewenangan wajib yang sama jenis dan jumlahnya di seluruh pemerintah daerah, baik itu daerah perkotaan ataupun daerah non perkotaan (Kota dan Kabupaten). Urusan pelayanan dasar yang menjadi kewenangan wajib Provinsi, sesuai dengan gradasinya juga harus dilaksanakan di seluruh Provinsi. Urusan yang menjadi kewenangan wajib yang dilaksanakan oleh daerah harus menjamin terwujudnya hak-hak individu, dan menjamin akses masyarakat mendapatkan pelayanan dasar, sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. Untuk itu kriteria kewenangan wajib harus memperhatikan; a. Perlindungan hak-hak konstitusional; b. Perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI, dan
21 c. Pemenuhan komitmen nasional yang berkaitan dengan perjanjian dan konvensi internasional. Berdasarkan kriteria tersebut, diperlukan standar pelayanan urusan wajib yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagai pedoman daerah menyusun pelayanan dasar yang wajib disediakan Mempertimbangkan kondisi, keberagaman dan kemampuan masing-masing daerah berbeda, maka standar pelayanan kewenangan wajib tersebut harus ditetapkan standar atau batas minimalnya, selanjutnya disebut Standar Pelayanan Minimal (SPM). Penggunaan kata minimal pada dasarnya dimaksudkan agar masing-masing daerah sesuai dengan kemampuan dan tuntutan perkembangan serta kebutuhan masyarakatnya, dalam kurun waktu tertentu dapat mencapai tingkat pelayanan yang paling minimal. Dengan demikian SPM seharusnya ditetapkan sama antara satu daerah dengan daerah lainnya, dan dalam pelaksanaannya standar teknisnya dapat berbeda dan disesuaikan dengan kondisi daerah. Contoh; SPM kesehatan (Puskesmas) di Jawa dengan Papua harusnya sama, dilihat dari cakupan layanan, jumlah penduduk, persebaran penduduk, kondisi geografis dan lainnya. Padahal standar jumlah penduduk yang dilayani, persebaran penduduk yang tidak merata, kondisi geografis, kualitas dan kuantitas personil, ketersediaan dokter dan lainnya di Papua berbeda dengan di Jawa, hal ini menjadi pertimbangan sendiri di dalam menetapkan SPM. Standar pelayanan minimal, seharusnya bersifat feksibel dan dinamis, sehingga dalam kurun waktu tertentu dapat diubah untuk ditingkatkan sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kemajuan daerah, serta tuntutan kebutuhan dan harapan masyarakat. SPM seharusnya disesuaikan dengan kewenangan daerah yang sudah dibatasi (concurrent) dan lokalitas, standar yang ditetapkan tidak semata-mata berorientasi pada kepentingan SPM nasional dan regional (pemerintah pusat atau provinsi). SPM seharusnya disusun sesuai dengan kemampuan daerah (dalam arti luas), dan tidak disusupi kepentingan yang mengarah agar daerah menjadi tidak mampu melaksanakannya. Kalau ini terjadi, maka dapat menjadi alasan pembenaran bahwa daerah tidak mampu, dan pemerintah menarik kembali urusan dan kewenangan yang telah diberikan kepada daerah dan/atau menarik urusan dan kewenangan kabupaten dan kota, dan melilmpahkan urusan tersebut kepada pemerintahan Provinsi. Berdasarkan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam penerapan SPM di daerah, SPM harus menjamin akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar dari pemerintah daerah, Oleh karena itu, baik dalam perencanaan maupun penganggarannya wajib memperhatikan prinsipprinsip penyusunan SPM, yaitu; sederhana, kongkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mempunyai batas waktu pencapaian.
22 Pelaksanaan SPM di daerah, tanpa koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah provinsi dan pemerintah, tidak mungkin semuanya dapat dilaksanakan dengan baik, karena ada hal yang menyangkut terbatasnya kewenangan dan ada yang berkait dengan kewenangan bersama (concurrent), serta terbatasnya kemampuan keuangan daerah. Konsepsi SPM memberikan kerangka atau acuan bagi daerah untuk memiliki standar baku pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan, sehingga daerah memiliki kejelasan tolok ukur program yang akan disusun dan harus dicapai, kepastian sumber dan alokasi pembiayaannya, tahapan pelaksanaan dan progresnya. Disisi lain dengan SPM dapat mewujudkan transparansi, akuntabilitas dan memberikan kepastian bagi masyarakat terpenuhinya kebutuhan dan harapan mendapatkan pelayanan dasar. 2.
Pengertian Standar Pelayanan Minimal Pengertian Standar Pelayanan Minimal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: a. Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. b. Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian suatu SPM tertentu, berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan. c. Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan Mutlak untuk memenuhi kebutuan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. d. Disamping pengertian SPM sebagaimana diuraikan diatas, perlu dipahami bahwa SPM berbeda dengan Standar Teknis, karena Standar Teknis merupakan faktor pendukung pencapaian SPM. Perlu dipahami oleh seluruh aparatur pemerintah dan masyarakat, bahwa SPM adalah suatu kondisi yang mensyaratkan daerah menetapkan standar pelayanan untuk jenis pelayanan dasar tertentu dengan indikator dan batas waktu pencapaiannya. SPM harus disusun dengan perencanaan yang matang termasuk rencana penganggarannya. e. SPM disusun dengan perencanaan yang matang, maksudnya dalam menyusun rencana harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip SPM, yaitu sederhana, konkrit, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mempunyai batas waktu pencapaian. f. Dalam perencanaan SPM juga harus disusun dan direncanakan penganggarannya, maksudnya agar SPM dapat diukur berapa besar anggaran yang dibutuhkan daerah untuk membiayai jenis pelayanan wajib
23 tertentu berdasarkan standar teknis yang ditentukan. Misalnya; berdasarkan standar teknis, dapat diketahui berapa besarnya biaya untuk membangun satu puskesmas; yang berkaitan dengan standar fisik bangunan; luas bangunan, jumlah lantai bangunan, konstruksi bangunan. Standar teknis tidak hanya untuk kepentingan teknis pembangunan fisik, tetapi juga berkait dengan kepentingan pengawasan, dan kepentingan perencanaan anggaran seperti; biaya operasional, anggaran penyediaan fasilitas pendukung kegiatan SPM. g. Standar teknis sebenarnya lebih ditekankan pada kualitas jenis pelayanan dasar yang direncanakan dan berhubungan dengan berapa besar anggaran yang dibutuhkan (fiscal need), Dengan diketahuinya fiscal need, dan dengan mengukur kemampuan PAD-nya (fiscal capacity). daerah dapat mengetahui fiscal gap untuk membiayai SPM dimaksud. Darimana pembiayaan fiscal gap diperoleh, tentunya menjadi tanggungjawab dan kewajiban Pemerintah Nasional, karena SPM daerah merupakan bagian dari SPM Nasional. 3.
Prinsip-prinsip Standar Pelayanan Minimal a. SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib; b. SPM ditetapkan oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; c. Penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional; d. SPM bersifat sederhama, kongkrit, mudah diukur, terbuka terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu; e. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.
4.
Penyusunan Standar Pelayanan Minimal a. Penyusunan SPM dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departeman, sesuai dengan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten /Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar. b. Dalam penyusunan SPM ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator dan batas waktu pencapaiannya;
24
c. Penyusunan SPM dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri; d. Konsultasi dilakukan oleh masing-masing Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan TIM yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri dari unsur-unsur; Departemen Dalam Negeri, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS, Departemen Keuangan, Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan melibatkan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait sesuai dengan kebutuhan; e. Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud diatas, disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), untuk mendapatkan rekomendasi; f. Setelah memperoleh dan mengakomodasi rekomendasi dari DPOD, masing-masing-masing Menteri menyusun SPM dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang bersangkutan. SPM yang disusun oleh Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang terkait; g. Dalam penyusunan SPM harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut; 1) keberadaan sistim informasi, pelaporan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjamin pencapaian SPM dapat dipantau dan dievaluasi oleh pemerintah secara berkelanjutan; 2) standar pelayanan tertinggi yang telah dicapai dalam bidang yang bersangkutan di daerah; 3) keterkaitan antar SPM dalam suatu bidang dan antara SPM dalam suatu bidang dengan SPM dalam bidang lainnya; 4) kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan, dan 5) pengalaman empiris tentang cara penyediaan pelayanan dasar tertentu yang telah terbukti dapat menghasilkan mutu pelayanan yang ingin dicapai. h. Pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas berdasarkan petunjuk teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, 5.
Penerapan Standar Pelayanan Minimal a. Pemerintahan Daerah menerapkan SPM sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri;
25 b. SPM yang telah ditetapkan Pemerintah menjadi salah satu acuan bagi Pemerintahan Daerah untuk menyusun perencanaan dan pengangran penyelenggaraan pemerintahan daerah; c. Pemerintahan Daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri; d. Rencana pencapaian SPM, dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD); e. Target tahunan pencapaian SPM dituangkan kedalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD sesuai klasifikasi belanja daerah dengan mempertimbangkan kemampuan daerah; f. Penyusunan rencana pencapaian SPM dan anggaran kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM dilakukan berdasarkan analisis kemampuan dan potensi daerah dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri; g. Rencana pencapaian target tahunan SPM serta realiasinya diinformasikan kepada masyarakat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan; h. Pemerintah Daerah mengakomodasikan pengelolaan data dan informasi penetapan SPM ke dalam sistem informasi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan; i.
Pelaksanaan urusan pemerintahan wajib yang mengakibatkan dampak lintas daerah dan/atau untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya sesuai Peraturan Perundang-Undangan;
j.
Dalam pengelolaan pelayanan dasar secara bersama sebagai bagian dari pelayanan publik, rencana pencapaian SPM perlu disepakati bersama dan dijadikan sebagai dasar dalam merencanakan dan menganggarkan kontribusi masing-masing daerah;
k. Dalam upaya pencapaian SPM, Pemerintahan Daerah dapat bekerjasama dengan pihak swasta. 6.
Pembinaan dan Pengawasan Dalam bahasan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan SPM, juga dibahas hal yang berhubungan dengan monitoring dan evaluasi, kewajiban, tanggung jawab, penghargaaan dan sanksi.
26 a. Pembinaan 1) Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan kepada Pemerintahan Daerah dalam penerapan SPM. Pembinaan dapat berupa fasilitasi, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya yang mencakup; a) Perhitungan sumber daya dan dana yang dibutuhkan (fiscal need) untuk mencapai SPM, termasuk kesenjangan pembiayaannya (fiscal gap); b) Penyusunan rencana pencapaian SPM dan penetapan target tahunan pencapaian SPM; c) Penilaian prestasi kerja pencapaian SPM, dan d) Pelaporan prestasi kerja penapaian SPM. 2) Pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Daerah Provinsi dilakukan oleh Pemerintah, dan pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah. b. Monitoring dan Evaluasi 1) Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat; 2) Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Pemerintah terhadap Pemerintah Daerah Provinsi, dan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah terhadap Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota. c. Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah 1) Pemerintah wajib mendukung pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah yang belum mampu mencapai SPM. 2) Ketidak mampuan Pemerintahan Daerah dalam mencapai SPM ditetapkan Pemerintah berdasarkan pelaporan dan hasil evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan, 3) Dukungan pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah berupa fasilitasi, pemberian orientasi umum, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan 4) Fasilitasi, pemberian orientasi umum, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya mempertimbangkan kemampuan kelembagaan, personil dan keuangan Negara serta keuangan daerah. 5) Pemerintah dapat melimpahkan tanggungjawab pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang belum mampu mencapai SPM kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah.
27 d. Pengawasan 1) Menteri Dalam Negeri bertanggungjawab atas pengawasan umum penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah 2) Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen bertanggung jawab atas pengawasan teknis penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah 3) Menteri Dalam Negeri dapat melimpahkan tanggungjawab pengawasan umum penerapan SPM oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah 4) Menteri/Pimpinan Lembaga Non Pemerintah dapat melimpahkan tanggungjawab pengawasan teknis penerapan SPM oleh Pemerintahan Kaupaten/Kota kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah. e. Penghargaan Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada Pemerintahan Daerah yang berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Pemerintah. f. Sanksi Pemerintah dapat memberikan sanksi kepada Pemerintahan Daerah yang Tidak berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi dengan mempertimbangkan kondisi khusus Daerah yang bersangkutan. 7. Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tersebut, belum dapat dioperasionalkan, karena masih harus ditindak lanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang harus dibuat oleh Menteri Dalam Negeri (saat ini masih dalam proses pembahasan interdep di Depdagri). Pedoman pelaksanaan PP tersebut diperlukan sebagai pedoman bagi Menteri/Pimpinan Lembaga Non Departemen di dalam menyusun SPM di bidang tugas dan fungsinya. Peraturan Pemerintah No 65/2005 tersebut, memberikan waktu selama 3 tahun, untuk memberikan kesempatan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen menyusun SPM dibidangnya. Tenggang waktu tersebut cukup realistis, mengngingat SPM merupakan gawe nasional untuk meningkatkan pelayanan publik, dan memerlukan kerja bareng, terintegrasi dan serasi antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Sementara itu, Peraturan Pemerintah yang mengatur pembagian urusan dan wewenang Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/ Kota, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 belum terealisir, padahal Peraturan Pemerintah tersebut diperlukan sebagai dasar penyusunan SPM, terutama yang berkait dengan kewenangan bersama
28 (concurent). Disamping itu, Peraturan Pemerintah yang mengatur pembagian kewenangan dan urusan, sangat diperlukan sebagai dasar peyusunan Pedoman Susunan Organisasi Pemerintahan Daerah. Namun demikian, meskipun penyusunan dan penerapan SPM di daerah masih harus menunggu ketentuan peraturan perundang-undangan lebih lanjut, sebaiknya sejak dini Daerah mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan SPM, dengan melakukan inventarisasi urusan dan kewenangan wajib yang selama ini telah dilaksanakan (urusan yang murni kewenangan daerah dan yang dikerjakan bersama). Disamping itu, melakukan kajian dan analisis jenis pelayanan dasar yang dibutuhkan masyarakat, kebutuhan dan kemampuan anggaran, ketersediaan personil dan prioritas programnya. Dengan demikian, masalah anggaran (fiscal gap), kelembagaan, personil dan hal-hal yang diperkirakan akan menjadi isu sentral, karena berkait dengan kewenangan Pemerintah, pada saatnya dapat lebih mudah untuk diselesaikan. E. Latihan/ Diskusi 1. T opik Bahasan 1 Pimpinan Daerah, menghendaki membuat kebijakan penataan atau pemugaran pasar tradisonal yang ada di pusat kota/ibukota kabupaten, karena kumuh dan tidak layak. Tujuannya, memberikan pelayanan tersedianya pasar tradisional yang lebih baik dan memadai, meningkatkan perekonomian masyarakat dan daerah, menciptakan lapangan kerja, menciptakan wajah kota/ibukota bersih, indah, tertib, nyaman dan aman. Permasalahannya; Pasar tradisional tempat berkumpulnya berbagai kepentingan dan menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti; masyarakat pasar, masyarakat umum (konsumen), dunia usaha (pemasok) perbankan/perkreditan, dan kegiatan masyarakat lainnya di lingkungan pasar, termasuk oknum-oknum yang memanfaatkan kegiatan pasar, seperti preman, rentenir, copet, dan oknum aparat pemerintah yang semuanya berbaur dan berinteraksi di pasar dan lingkungan pasar. Disisi lain, pemerintah daerah memiliki kepentingan terhadap pasar tradisional, seperti; meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, mensejahterakan masyarakat, ketentraman dan ketertiban, pengaturan dan pemanfaatan tata ruang dan lainnya, dan sementara itu, kemampuan anggaran tidak mendukung utuk memugar pasar. Diskusikan, konsep kebijakan dan pemecahan masalah seperti apa yang perlu disiapkan dan diajukan kepada pimpinan. Tinjauan; rule government, prinsip-prinsip good governance, pelibatan stakeholder dilingkungan birokrasi dan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan dan perencanaan serta pelaksanaannya, pemberdayaan masyarakat,
29 partisipasi masyarakat pedagang dalam pembiayaan, dan pengalaman masingmasing di daerah. 2.
Topik Bahasan 2 Dalam kasus aktual; Kabupaten Kutai Kertanegara yang ingin membangun Lapangan Terbang untuk mengenmbangkan core competence dan membuka isolasi hubungan dan komunikasi dengan daerah lain. Dan dalam prosesnya, ternyata mengalami kesulitan dan hambatan. Tinjauan; Keberadaan Pemda untuk memajukan daerahnya dan mensejahterakan masyarakat daerahnya, melalui pengembangan potensi unggulannya. Hubungan antara susunan pemerintahan, kewenangan concurrent, core competence daerah, keserasian hubungan pelaksanaan Otonomi daerah dengan Provinsi dan Pusat (NKRI), keserasian perencanaan daerah, provinsi dan nasional, rule government dan good governance, dan hubungan antara kebijakan pembangunan Bandara/ Pelabuhan Laut, dengan prioritas peningkatan pelayanan publik (pelayanan dasar). Diskusikan; Sebagai pimpinan manajerial eselon III, Apa yang akan anda rekomendasikan kepada pimpinan Daerah, mengenai ide, kreativitas dan inovasi Kabupaten Kutai Kertanegara tersebut untuk diterapkan di daerah anda (membangun Bandara atau Pelabuhan Laut). Bagaimana menyiapkan rancangan kebijakan Daerah untuk pembangunan hal tersebut, dan bagaimana anda menyikapi dan melakukan pendekatan terhadap pemerintah provinsi dan pemerintah pusat yang berorientasi pada paradigma rule government.
3.
Topik bahasan 3 Kepala Daerah dalam kontek pemerintahan daerah, adalah lembaga yang memiliki peran ganda ibarat mata uang logam, disatu sisi sebagai penyedia pelayanan publik dan disisi lain sebagai institusi politik. Diskusikan, apakah peran ganda Kepala Daerah dimaksud dapat berpengaruh buruk dalam penetapan dan pelaksanan kebijakan pelayanan publik di daerah, atau ada kepentingan yang dapat mempengaruhi komitmen pimpinan daerah dan aparatnya, di dalam mendukung peningkatan kualitas pelayanan publik. Konteksnya; Kepentingan politik bisa sama bisa berbeda/berseberangan dengan kepentingan publik. Mengingat Kepala Daerah dalam proses pemilihannya wajib memiliki kendaraan politik untuk dapat dipilih langsung oleh rakyat, maka kebijakan Kepala Daerah tidak luput dari intervensi kepentingan politik atau kelompok kepentingan. Diskusikan apa langkah anda sebagai pimpinan manajerial di dalam memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Daerah, di dalam menyiapkan perumusan bagi pengambilan kebijakan pelayanan publik oleh pimpinan.
30 F.
Rangkuman 1. Paradigma kebijakan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah tejadinya perubahan atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma rule government bergeser menjadi paradigma good governance. Pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai regulator (rule government) harus mengubah pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, Pemerintah Daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, untuk mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas dan keadilan. 2. Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan non perizinan) menjadi strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani adalah karena buruknya penyelenggaraan pelayanan publik yang signifikan dengan buruknya penyelenggaraan good governance. Dampak pelayanan publik yang buruk sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas dan menimbulkan ketidak puasan dan ketidak percayaan terhadap kinerja pelayanan pemerintah. Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan kinerja manajemen pemerintahan yang kurang baik. 3. Esensi pemberian urusan dan kewenangan pemerintahan kepada daerah berapapun luasnya, harus diterjemahkan menjadi kewenangan untuk “melayani” sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat, berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs, dan pengembangan sektor unggulan (core competence) daerah, untuk memenuhi kesejahteraannya. Kewenangan dibutuhkan daerah untuk menjalankan urusannya, guna memungkinkan daerah mampu menyediakan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar dan pengembangan sektor unggulan. Dengan demikian, esensi otonomi riil yang diberikan kepada daerah adalah kewenangan untuk memberikan pelayanan yang riil dibutuhkan masyarakat. Kata kunci otonomi daerah adalah adanya Kewenangan Daerah untuk “melayani” masyarakatnya agar sejahtera. Dalam kontek pemberian otonomi dan desentralisasi, esesensi distribusi urusan dan kewenangan adalah membagi tanggung jawab pelayanan kepada masyarakat di daerah sesuai dengan susunan pemerintahan. 4. Pada hakekatnya, Kepala Daerah adalah lembaga politik, dan harus dipahami sebagai Top Pimpinan Daerah/Top Manager, keberadaannya dipilih oleh masyarakat (konstituen) melalui proses politik pemilihan Kepala Daerah
31 (Pemilihan Kepala Daerah) yang diajukan oleh kereta Partai Politik. Oleh karenanya, kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik di daerah dalam prakteknya, dipengaruhi oleh komitmen politik dari Kepala Daerah dan anggota DPRD. Komitmen politik disini dimaksudkan, bahwa Kepala Daerah sebagai pimpinan Pemeritah Daerah (eksekutif) yang ditugasi melaksanakan fungsi pelayanan publik (perintah Perda dan/atau peraturan perundang-undangan), seharusnya memiliki komitmen dan kemauan untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang baik dan berorientasi pada kepentingan konstituennya atau masyarakat masyarakat pemilihnya, untuk tujuan mensejahterakan masyarakat. 5. Konsepsi SPM memberikan kerangka atau acuan bagi daerah untuk memiliki standar baku pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan. Daerah memiliki kejelasan tolok ukur program yang akan disusun dan harus dicapai, kepastian sumber dan alokasi pembiayaannya (fiscal capacity dan fiscal gap), tahapan pelaksanaan dan progresnya. Diharapkan, sebagai metode SPM dapat mendorong terwujudnya transparansi, akuntabilitas dan keterbukaan, serta memberikan kepastian bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar, dan terpenuhinya kebutuhan sesuai dengan harapan dan yang dijanjikan. 6. SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib; SPM bersifat sederhama, kongkrit, mudah diukur, terbuka terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang SPM, belum dapat dioperasionalkan, karena masih harus ditindak lanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri untuk menjadi pedoman Menteri/Pimpinan Lembaga Non Departemen di dalam menyusun SPM dibidangnya. Diperlukan waktu 3 tahun, untuk memberikan waktu dan kesempatan kepada para Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, melaksanakan dan menindaklanjuti Peraturan Pemerintah tersebut. 8. SPM juga belum dapat dilaksanakan, karena diperlukan Peraturan Pemerintah yang mengatur pembagian urusan dan wewenang Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 yang saat ini belum ditetapkan. PP dimaksud diperlukan sebagai dasar penyusunan urusan dan kewenangan wajib yang akan ditetapkan SPMnya, terutama yang berkait dengan kewenangan bersama (concurent). Peraturan Pemerintah dimaksud juga diperlukan, sebagai dasar peyusunan Pedoman Susunan Organisasi Pemerintahan Daerah.
BAB III PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK Setelah mengalami proses pembelajaran, peserta diharapkan dapat:. 1. Menjelaskan dan memberikan pemahaman kepada staf mengenai pengertian dan konsepsi pelayanan publik, public good, public regulation, lingkup pelayanan publik yang berkait dengan pelayanan dasar (Core Public Services) 2. Mengambil langkah kebijakan operasional dan mengarahkan staf untuk menyiapkan bahan perumusan kebijakan penyelenggaraan pelayanan public, berdasarkan prinsip-prinsip dan standar pelayanan. Mengambil langkah kebijakan operasional, mengarahkan staf dan melakukan koordinasi dengan unit kerja lain tekait. dalam perumusan dan penyusunan rancangan kebijakan Maklumat Pelayanan Publik.
A. Pengertian Pelayanan Publik Beberapa pengertian yang berhubungan dengan Pelayanan dan Pelayanan Publik yang dikutip dari para ahli dan Pemerintah dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Pelayanan Konsep dasar atau pengertian Pelayanan (Service); a. American Marketing Association, seperti dikutip oleh Donald W, Cowell, 1984:22 menyatakan bahwa; “Pelayanan pada dasarnya adalah merupakan kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain dan pada hakekatnya tidak berwujud serta tidak menghasilkan kepememilikan sesuatu, proses produksinya mungkin dan mungkin juga tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik” b. Lovelock, Christoper H, 1991:7, mengatakan bahwa “service adalah produk yang tidak berwujud, berlangsung sebentar dan dirasakan atau dialami”. Artinya service merupakan produk yang tidak ada wujud atau bentuknya sehingga tidak ada bentuk yang dapat dimiliki, dan berlangsung sesaat atau tidak tahan lama, tetapi dialami dan dapat dirasakan oleh penerima layanan. c. M.A. Imanto (dikutip dari tesis Suparman/penulis dengan judul: Mengenai Efektifitas Pelayanan Perizinan Kec. Ciledug Kab. Tangerang) mengatakan bahwa siklus pelayanan adalah “Sebuah rangkaian peristiwa yang dilalui pelanggan sewaktu menikmati atau menerima layanan yang diberikan. Dikatakan bahwa siklus layanan dimulai pada saat konsumen mengadakan kontak pertama kali dengan service delivery system dan dilanjutkan dengan kontak-kontak berikutnya sampai dengan selesai jasa tersebut diberikan”.
32
33 2.
Pelayanan Publik a. Pelayanan Umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan: “Sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk barang dan/atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan” b. Departemen Dalam Negeri (2004) menyebutkan bahwa; “Pelayanan Publik adalah Pelayanan Umum”, dan mendefinisikan “Pelayanan Umum adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan produk, baik berupa barang dan jasa”. c. Black (1979)1 mendefinisikan Pelayanan Publik sebagai berikut “Something in which the public, the community at large, has some pecuniary interest, or some interest by which their legal rights or liabilities are affected. It does not mean anything so narrow as mere, or as the interest of particular localities” d. Davit Mc Kevitt; dalam bukunya Managing Core Public Services (1998), membahas secara spesifik mengenai inti pelayanan publik yang menjadi tugas pemerintah dan pemerintah daerah, menyatakan bahwa “Core Public Services my be defined as those services which are important for the protection and promotion of citizen well-being ,but are in areas where the market is incapable of reaching or even approaching a socially optimal state; health, education, welfare and security provide the most obvious best know example”. Dari beberapa pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang diuraikan tersebut, dalam kontek pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan. Dengan demikian, terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah, unsur kedua, adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan (pelanggan).
1
Pengembangan Kelembagaan PTSA, Depdagri, 2004
34 Unsur pertama menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai (regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan Pemda bersikap statis dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilah antara kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan pelayanan. Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya komunikasi dua arah untuk melakukan KKN dan memperburuk citra pelayanan dengan mewabahnya Pungli, dan ironisnya dianggap saling menguntungkan. Unsur ketiga, adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsur kepuasan pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (Pemerintah), untuk menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorientasi memuaskan pelanggan, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah. Paradigma kebijakan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah tejadinya perubahan atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma rule government bergeser menjadi paradigma good governance. Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai regulator (rule government) harus mengubah pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, Pemerintah Daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, untuk mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas dan keadilan. B. Konsepsi Pelayanan Publik 1. Konsepsi pelayanan publik, berhubungan dengan bagaimana meningkatkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dan/atau pemerintahan daerah menjalankan fungsi pelayanan, dalam kontek pendekatan ekonomi, menyediakan kebutuhan pokok (dasar) bagi seluruh masyarakat. Kebutuhan pokok masyarakat akan terus berkembang seiring dengan tingkat perkembangan sosio-ekonomi masyarakat. Artinya, pada tingkat perkembangan tertentu, sesuatu jenis barang dan jasa yang sebelumnya dianggap sebagai barang mewah, dan terbatas kepemilikannya atau tidak
35 menjadi kebutuhan pokok, dapat berubah menjadi barang pokok yang diperlukan bagi sebagian besar masyarakat. Dengan demikian, perubahan dan perkembangan konsep kebutuhan pokok masyarakat, terkait erat dengan tingkat perkembangan sosio-ekonomi masyarakat yang dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, serta perubahan politik. 2. Hasil pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi erat kaitannya dengan partisipasi masyarakat yang mendorong perhumbuhan tersebut, dan harus didistribusikan dan dialokasikan secara adil dan merata kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Pengaturan distribusi dan alokasi tersebut, sesuai dengan fungsinya dijalankan oleh birokrasi lembaga-lembaga pemerintahan dan/atau pemerintahan daerah, sebagai wujud dari fungsi pelayanan berdasarkan kepentingan publik yang dilayani. 3. Penyediaan pelayanan dasar (core public services) dalam kontek pendekatan sosial, berhubungan dengan penyediaan pelayanan dibidang pendidikan dan kesehatan. Secara ekonomis, penyediaan pelayanan dasar tersebut tidak memberikan keuntungan finansial atau Pendapatan Asli Daerah kepada Daerah, dan bahkan membutuhkan biaya dalam jumlah yang besar untuk menyediakan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Penyediaan pelayanan pendidikan dan kesehatan harus dilihat sebagai investasi jangka panjang yang harus disikapi secara bijak dengan pandangan dan pemikiran jauh kedepan, karena hasilnya baru akan dinikmati oleh masyarakat dan pemerintah/ pemerintah daerah dimasa mendatang. Kebijakan penyediaan pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan, pada hakekatnya menjadi tugas dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah, untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 4. Secara teoritik, Birokrasi Pemerintahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu; fungsi pelayanan, fungsi pembangunan dan fungsi pemerintahan umum. a. Fungsi pelayanan, berhubungan dengan unit organisasi pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Fungsi utamanya, memberikan pelayanan (service) langsung kepada masyarakat. b. Fungsi pembangunan, berhubungan dengan unit organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang tugas tertentu di sektor pembangunan. Fungsi pokoknya adalah development function dan adaptive function. c. Fungsi pemerintahan umum, berhubungan dengan rangkaian kegiatan organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum (regulasi), temasuk di dalamnya menciptakan dan memelihara
36 ketentraman dan ketertiban. Fungsinya lebih dekat pada fungsi pengaturan (regulation function). Ketiga fungsi birokrasi pemerintahan tersebut, menunjukan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah, cakupannya sangat luas yaitu pelayanan yang menghasilkan public good, seperti jalan, jembatan, pasar dan lain-lain, dan pelayanan yang menghasilkan Peraturan Perundangundangan atau kebijakan yang harus dipatuhi oleh masyarakat (public regulation), seperti perizinan, Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, dan lain-lain. C. Lingkup Pelayanan Publik 1.
Lingkup Penyelenggara Pelayanan Publik a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai perwujudan kedaulatan rakyat pada dasarnya bertujuan meningkatkan harkat dan martabat bangsa, mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Undang Undang Dasar 45 memberikan perintah, tugas dan wewenang kepada seluruh aparatur Negara melaksanakan amanat untuk mensejahterakan rakyatnya, melalui penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dan bertanggungjawab, dan perwujudannya adalah pelayanan publik yang baik. Dengan demikian, amanat Undang-Undang Dasar 1945, menjadi penjuru atau pedoman bagi seluruh aparatur Negara/pemerintahan disemua susunan pemerintahan, sesuai dengan tugas dan fungsinya wajib menyelenggarakan; kepemerintahan yang baik, pembangunan dan pelayanan kepada warga dan rakyatnya, untuk tujuan kesejahteraan rakyatnya. b. Penyelenggara pelayanan publik, meliputi seluruh penyelenggara Negara dan pemerintahan sesuai dengan fungsi dan bidang tugasnya, lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah untuk menjalankan pelayanan publik, dan masyarakat atau lembaga prifat yang menyelenggarakan pelayanan (private goods), serta Badan Usaha/Badan Hukum yang bekerjasama dan/atau diberi tugas melaksanakan fungsi pelayanan publik.
2.
Lingkup Pelayanan Publik a. Berbicara tentang pelayanan publik, kita sering terjebak pada pemahaman legislasi. bahwa pelayanan seolah-olah hanya berkaitan dengan kegiatan pelayanan administratif, padahal pelayanan publik ruang lingkupnya sangat luas. Pelayanan publik lingkupnya dapat berbentuk penyedianan pelayanan fisik atau barang dan jasa, dan ruang lingkup kegiatannya dapat menjadi lebih luas. Seperti; pelayanan dalam rangka penyediaan fasilitas
37 dan utilitas; jalan, jembatan, sarana dan prasarana perekonomian, perhubungan, persampahan, penerangan jalan dan lainnya. Pelayanan dalam rangka pengaturan dan pengendalian (perizinan, ketentraman dan ketertiban), pelayanan yang sifatnya administrasi (surat menyurat, rekomendasi dan lain-lain), pelayanan yang bersifat pembinaan (kebijakan pemberdayaan masyarakat, pendidikan, kesehatan dan sosial budaya). Demikian pula, pelayanan yang bersifat pemberian informasi, desiminasi, sosialisasi dan konsultasi, serta bentuk pelayanan lainnya yang berkaitan dengan tugas dan fungsi aparatur Negara, seperti hukum, keamanan dan lainnya. b.
Secara teoritik mengutip pendapat ahli2, bahwa pada era tahun 1945 s/d 1975), di hampir kebanyakan Negara melakukan tindakan proaktif terhadap masalah domestiknya, dan mencari jalan bagaimana agar perusahaan publik dapat menjangkau dan menangani pelayanan publik termasuk pelayanan yang bersifat sosial dan menjadi kewajiban pemerintah/daerah. Langkah proaktif tersebut tidak hanya pada area pelayanan publik yang bersifat tradisional seperti pelayanan pendidikan dan kesehatan, tetapi berkembang lebih jauh pada area yang masuk menjadi domain umum seperti perbankan, tenaga listrik, penyediaan air bersih, perumahan, dan bahkan pabrik yang menyediakan besi dan baja. Pada saat itu, pasar gagal atau tidak berfungsi dan tidak mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Dalam pekembangannya, pasar bergerak positif dan mampu memperbaiki dan meningkatkan efesiensi dan efektifitasnya dalam penyediaan pelayanan. Terjadi perubahan, dan mendorong politisi untuk meminta pemerintah/daerah meninjau kembali kebijakan dan perannya di dalam menangani atau menyediakan pelayanan publik. Pada saat yang bersamaan dengan meningkatnya kemampuan pasar pelayanan tradisional yang tidak marketable seperti pendidikan dan kesehatan, layanannya harus tetap terus berlangsung, dan menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah atau pemerintah daerah. Selanjutnya pelayanan publik tersebut, dikenal dengan Core Public Services. Dari uraian diatas, menunjukan bahwa pada hakekatnya pelayanan publik yang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah atau pemerintah daerah, ruang lingkupnya sangat luas, dan tidak akan mampu ditangani sendiri, oleh karenanya sebagian pelayanan publik dilakukan oleh swasta atau masyarakat. Pada saat pasar tidak berfungsi memberikan layanan yang dibutuhkan masyarakat, pemerintah atau pemerintah daerah
2
Managing Core Public Services, hal 3, (1998), David Mc Kevitt
38 berkewajiban untuk melaksanakan tugas, tanggungjawab dan kewajibannnya menyelenggarakan pelayanan publik yang ditinggalkan swasta. c. Dalam praktek, diketahui bersama bahwa tidak semua barang dan jasa yang disediakan marketable (not all goods and services are marketable) dan tidak semua pelayanan publik dapat disediakan oleh pasar. Menjadi pertanyaan, mengapa pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan dan bidang sosial lainnya, tidak ada pasarnya (non marketable)? Ada beberapa asumsi, mengapa pelayanan pendidikan dan kesehatan dianggap tidak marketable atau tidak ada pasarnya, antara lain; 1) Masyarakat akan selalu mengatur/mengorganisasi sendiri melalui satu rencana atau mencari nilai pertimbangan yang lain untuk mendapatkan pelayanan; 2) Tidak ada alokasi penghasilan lain untuk mendapatkan pelayanan yang akan membuat keadaan seluruh anggota masyarakat menjadi lebih baik; 3) Keadilan distribusi pendapatan yang tidak merata; 4) Profesionalisme Dokter dan Guru, berperan ganda; 5) Pendekatan pasar adalah profit (keuntungan). Catatan; Peran ganda dokter atau guru. Dokter tidak hanya memberikan layanan medis tetapi juga sebagai agen pasien (fungsi sosial sebagai penasehat, pembimbing dan pelindung pasien). Dokter mencari penghasilan untuk dirinya, tetapi tidak untuk mencari keuntungan yang tinggi (idealnya), karena dokter bekerja untuk kemanusian dan kesejahteraan masyarakat (fungsi sosial). Guru, sebagai pengajar menyelenggaarakan proses belajar mengajar untuk meningkatkan kemampuan murid. Sebagai pendidik, mendidik dan membimbing murid untuk berbudi pekerti dan berperilaku baik (fungsi sosial). Guru mencari penghasilan dan tidak mencari profit atau keuntungan yang tinggi. Guru bekerja untuk mencerdaskan murid dan kesejahteraan masyarakat. Pendekatan bisnis hakekatnya berorientasi pada keuntungan, peran ganda dokter dan guru, terutama peran sosialnya dianggap non marketable, disamping itu pelayanan dasar (core public service) pendidikan dan kesehatan jangkauan pasarnya relative tidak menguntungkan dilihat dari kemampuan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan. Kenapa demikian, karena cost untuk pelayanan barang dan jasa pendidikan dan kesehatan cukup besar, seperti untuk ; 1) Membangun infrastruktur, menyediakan tenaga dokter dan guru, termasuk peningkatan kualitasnya (pendidikan dan latihan). 2) Peran ganda guru dan dokter, sulit untuk mendapatkan profit.
39 Dengan demikian, pelayanan kesehatan atau pendidikan dianggap tidak marketable. Bagaimana Rumah Sakit mewah dan Sekolah mewah yang diselenggarakan masyarakat/swasta di Indonesia, apakah tidak mengejar profit? Siapa pangsa pasarnya? Darimana Dokter dan Gurunya? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita harus hati-hati dan arif dalam menyikapinya, karena ada dua hal yang harus menjadi bahan pertimbangan, yaitu; pertama, keterbatasan kemampuan pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan dasar tersebut secara memadai; kedua, memupuk dan membangun tanggungjawab bersama masyarakat untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi penyediaan pelayanan publik. Oleh karena itu, kita harus berfikir jernih tidak boleh alergi menerima kenyataan, dalam kondisi ketebatasan kita wajib menjalankan fungsi fasilitasi untuk mendorong peran aktifnya masyarakat menyediakan pelayanan publik (rowing). Dengan pengertian lain, pemerintah sebagai fasilitator dan regulator (steering), wajib mefasilitasi tumbuh kembangnya peran masyarakat/swasta di dalam menyediakan pelayanan publik. d. Lingkup pelayanan publik yang menjadi kewajiban pemerintahan daerah menurut Undang-Undang nomor 32/2004, adalah seluas tugas, wewenang dan fungsinya di dalam menyelenggarakan pelayanan publik, termasuk di dalamnya penyediaan public goods dan public regulation,untuk pelayanan dasar (minimal) dan pelayanan uusan pilihan (core competence). Terdapat 14 urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pelayanan dasar (2 diantaranya belum jelas), menurut Undang-Undang 32/2004, dan diantaranya pelayanan pendidikan dan kesehatan merupakan pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan oleh daerah merupakan core public services. Core Public Services, adalah merupakan konsep pelayanan publik yang secara tradisional diterapkan di Negara yang menganut konsep welfare state, yang berkewajiban untuk menyediakan pelayanan dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi 4 (empat) bidang pelayanan yaitu pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan keamanan (education, health, welfare and security). Core public services, menjadi tugas, fungsi dan kewajiban pemerintah atau pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Dalam prosesnya, sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan, pelayanan publik berkembang luas bidang perekonomian, jasa perdagangan, infra struktur dan sebagainya. Ke-empat bidang pelayanan dasar (core public service) tersebut merupakan inti atau basic pelayanan yang dibutuhkan dan diperlukan oleh masyaraakat, untuk tujuan mewujudkan warga masyarakat yang; Cerdas, Sehat, Sejahtera dan Tertib, Aman dan Tentram.
40 Dikaitkan dengan Undang-undang 32/2004, Core Public Services yang meliputi 4 bidang pelayanan tersebut, terakomodir sebagai bagian dari 14 urusan pelayanan dasar yang wajib dan menjadi kewenangan wajib daerah untuk menyelenggarakan pelayanan dasar yang dibutuhkan masyarakat. Apabila diteliti lebih dalam, pelayanan dasar yang diatur dalam UndangUndang nomor 32 /2004, sebenarnya pengembangan dari core public service yang disesuaikan dengan kebutuhan khas Indonesia. Penyesuaian dilakukan, terutama untuk mengakomodir kebutuhan dan kepentingan pengaturan pembagian urusan dan kewenangan, dan organisasi pemerintahan daerah. Mempertimbangkan pelayanan publik lingkupnya sangat luas dan multi dimensial, maka dalam pembahasan bahan ajar pelayanan publik selanjutnya, difokuskan pada fungsi pemerintahan daerah dalam menyediakan pelayanan yang bersifat public regulation atau lebih khusus dibidang pelayanan perizinan dan hubungannya dengan kualitas pelayanan dan kinerja manajemen pemerintahannya. D. Penyelenggaraan Pelayanan Publik Penyelengaraan pelayanan publik, dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, yaitu; penyelenggara Negara/pemerintah, penyelenggara perekonomian dan pembangunan, lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah, badan usaha/badan hukum yang diberi wewenang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik, badan usaha/badan hukum yang bekerjasama dan/atau dikontrak untuk melaksanakan sebagaian tugas dan fungsi pelayanan publik. Disamping itu, penyelenggara pelayanan publik termasuk masyarakat umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah/pemerintah daerah. 1.
Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Publik Sepuluh Prinsip pelayanan umum diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, kesepuluh prinsip tersebut adalah sebagai berikut; a. Kesederhanaan Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan; b. Kejelasan 1) Persyaratan teknis dan adminsitratif pelayanan publik; 2) Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/ sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; 3) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
41
b. Kepastian waktu Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. c. Akurasi Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah. d. Keamanan Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. e. Tanggung jawab Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan Penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. f. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendudkung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (teletematika). g. Kemudahan Akses Tempat dan lokasi sarana prasarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informasi. h. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas. i. Kenyamanan Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapih, lingkungan yang indah dan sehat, serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lainnya. Untuk merealisasikan kesepuluh prinsip pelayanan umum tersebut tidak mudah, karena terkait dengan kompleknya penyelenggaraan pelayanan umum, banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja pelayanan yang optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pelayanan umum mencakup; aparatur pemerintah sebagai penyelenggara (kualitas SDM); masyarakat atau pelanggan sebagai pengguna atau penerima layanan umum; Peraturan Perundang-undangan; mekanisme dan prosedur penyelenggaraan pelayanan umum; sarana prasarana pendukung penyelenggaraan pelayanan; kelembagaan dan sumber pendanaan untuk kegiatan operasioanl pelayanan umum, dan yang paling menentukan adalah komitmen top pimpinan daerah.
42 Upaya meningkatkan kinerja pelayanan umum akan mendapat hambatan, manakala kita tidak memahami masalah-masalah yang ada pada masingmasing faktor yang mempengaruhi tersebut, oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk memadukan dan mengintegrasikan masing-masing faktor tersebut. Penyelengaraan pelayanan publik, dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, yaitu; penyelenggara Negara/pemerintah, penyelenggara perekonomian dan pembangunan, lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah, badan usaha/badan hukum yang diberi wewenang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik, badan usaha/badan hukum yang bekerjasama dan/atau dikontrak untuk melaksanakan sebagaian tugas dan fungsi pelayanan publik. Dan masyarakat umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik yang tidak mampu ditangani/dikelola oleh pemerintah/pemerintah daerah. 2.
Standar Pelayanan Publik Setiap Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan, sebagai jaminan adanya kepastian bagi pemberi didalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dan bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonannya. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai pedoman yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan, dan menjadi pedoman bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonan, serta sebagai alat kontrol masyarakat dan/atau penerima layanan atas kinerja penyelenggara pelayanan. Oleh karena itu perlu disusun dan ditetapkan standar pelayanan sesuai dengan sifat, jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan serta memperhatikan lingkungan. Dalam proses perumusan dan penyusunannya melibatkan masyarakat dan/atau stakeholder lainnya (termasuk aparat birokrasi) untuk mendapatkan saran dan masukan dan membangun kepedulian dan komitmen. Standar Pelayanan Publik menurut Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, sekurang-kurangnya meliputi: a. Prosedur pelayanan; b. Waktu Penyelesaian; c. Biaya Pelayanan; d. Produk Pelayanan; e. Sarana dan Prasarana; f. Kompetensi petugas pelayanan; Selanjutnya untuk melengkapi standar pelayanan tersebut diatas, ditambahkan materi muatan yang dikutip dari rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik yang cukup realistis untuk menjadi materi muatan Standar Pelayanan Publik, sehingga susunannya menjadi sebagai berikut; a. Dasar Hukum
43 b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
Persyaratan; Prosedur pelayanan; Waktu Penyelesaian; Biaya Pelayanan; Produk Pelayanan; Sarana dan Prasarana; Kompetensi petugas pelayanan; Pengawasan intern; Pengawasan extern; Penanganan Pengaduan, saran dan masukan; Jaminan pelayanan.
Tambahan materi muatan standar pelayanan publik tersebut diatas dimaksudkan untuk melengkapi, dasar pertimbangannya cukup realiistis karena memasukan materi muatan dasar hukum memberikan kepastian adanya jaminan hukum/legalitas bagi standar pelayanan tersebut. Disamping itu, persyaratan, pengawasan, penanganan pengaduan dan jaminan pelayanan bagi pelanggan perlu dijadikan materi muatan standar pelayanan publik. Penyusunan standar pelayanan publik, harus mempertimbangkan aspek kemampuan, kelembagaan dan aparat penyelenggara pelayanan, dan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat. Dengan harapan, agar standar pelayanan publik yang ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik, terutama oleh para pelaksana operasional pelayanan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, dimengeti dan diterima oleh masyarakat/ stakeholder. Dalam pembahasan, perumusan dan penyusunan standar pelayanan seharusnya melibatkan aparat yang terkait dengan pelayanan untuk membangunan komitmen mencapai tujuan bersama yang ditetapkan dalam visi, misi organisasi. Tidak kalah pentingnya melibatkan masyarakat/ stakeholder, dan pelaksanaannya tidak bersifat formalitas. 3.
Maklumat Pelayanan Publik a. Istilah maklumat pelayanan, dimaksudkan memiliki kesamaan dengan istilah Service Charter, merupakan suatu dokumen yang memuat dan menjelaskan informasi mengenai penyelenggaran pelayanan publik dan standar pelayanan publik yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik, untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Maklumat pelayanan juga dimaknai sebagai salah satu pendekatan penyelenggaraan pelayanan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, atau ditujukan untuk memberikan memuaskan pelanggan/penerima jasa pelayanan. b. Maklumat pelayanan, pada dasarnya untuk mengikat penyelenggara pelayanan, dan menjadi patokan atau pedoman bagi aparat penyelenggara pelayanan publik di dalam menjalankan tugas dan fungsi menyediakan dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Penyelenggara terikat
44 dengan ketentuan dalam maklumat, seperti; disiplin dan ketaatan melaksanakan prosedur operasioanal, menerapkan ketentuan persyaratan, biaya, waktu untuk proses dan penyelesaian, mekanisme dan proses pengelolaan penyelesaian pengaduan/sengketa, serta tanggungajawab pelaksanaan pelayanan publik. c. Maklumat pelayanan, merupakan bentuk legalitas yang memberikan hak kepada masyarakat untuk mendapatkan akses mendapatkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan dan kebutuhannya, perlindungan atau pengayoman, kepastian biaya dan waktu penyelesaian, mengajukan keluhan dan pengaduan dan melakukan pengawasan. d. Maklumat pelayanan publik, merupakan salah satu wujud kesungguhan penyelenggara pelayanan publik, untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance yaitu; transparansi, akuntabilitas, keterbukaan dan equalitas di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Maklumat pelayanan publik harus disebarluaskan secara terbuka kepada seluruh masyarakat, dan memberikan akses untk masyarakat menyapaikan keinginan dan sarannya, serta lakukan pengawasan dan komplain terhadap ketidak sesuaian apa yang dijanjikan dengan praktek pelaksanaannya. e. Perumusan dan penyusunan Maklumat pelayanan publik mengacu pada standar pelayanan publik yang telah di tetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan, dan dalam prosesnya harus dilakukan dengan hatihati, disesuaikan dengan kemampuan kelembagaan, kualitas dan kuantitas personil pelaksanaannya, serta dukungan pembiayaaan operasional pelayanan publik. f. Maklumat pelayanan tidak perlu disusun muluk-muluk atau copy paste daerah lain tanpa pertimbangan kemampuan dan kondisi daerahnya. Maklumat pelayanan publik sebaiknya dirumuskan dan disusun secara sederhana, tidak menyulitkan tetapi mudah dilaksanakan, dapat dimengerti oleh aparat pelaksana penyelenggara dan masyarakat penerima pelayanan. g. Pemerintah Daerah di dalam merumuskan dan menyusun Maklumat Pelayanan Publik, dapat mengambil langkah untuk; 1) Melakukan identifikasi dan analisis data, informasi mengenai jenis pelayanan yang perlu dan/atau seharusnya ditetapkan, sesuai urusan dan kewenangannnya; 2) Melibatkan masyarakat untuk mendapatkan masukan, saran, dan informasi jenis pelayanan yang nyata dibutuhkan oleh masyarakat di daerahnya, serta memberikan akses kepada masyarakat dalam proses perumusan dan penyusunan maklumat pelayanan publik; 3) Mempertimbangkan kondisi geografis, keberagaman daerah, seperti; mata pencaharian penduduk dan kehidupan sosial budaya masyarakat, sebagai bahan kajian perumusan dan penyusunan maklumat pelayanan publik.
45
Sebagai Contoh; Masyarakat perkotaan dengan non perkotaan (daerah yang luas dengan persebaran penduduk yang tidak merata) berbeda kebutuhannya untuk mengurus izin bangunan, termasuk untuk memenuhi persyaratan seperti status hak kepemilikan tanah (untuk non perkotaan mungkin sulit atau jarang yang memiliki surat tanah yang lengkap, seperti sertifikat tanah). Demikian pula, seperti Akte Kelahiran atau bahkan KTP, mungkin untuk masyarakat di desa yang terpencil, di kepulauan yang jarang berhubungan dengan kegiatan keluar desa, mereka merasa tidak memerlukan dan/atau tidak merasakan manfaatnya untuk apa. 4) Menganalisis kelembagaan yang ada, kemampuan personil, jumlah personil, kemampuan anggaran dan lainnya yang diperkirakanan akan mempengaruhi kualitas pelayanan, disiplin aparat pelaksana untuk tepat waktu dalam proses dan penyelesaian pelayanan; 5) Realistis dalam merumuskan persyaratan, waktu, biaya, dan lainnya agar memberikan kemungkinan untuk bisa dilaksanakan dengan baik oleh aparat penyelenggara, mudah dimengerti dan dipahami oleh masyarakat, dan yang paling penting tidak membebani atau memberatkan masyarakat. h. Materi muatan Maklumat Pelayanan Publik, disesuaikan dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan dan kondisi daerah, beberapa contoh materi muatan yang dapat digunakan sebagai bahan penyusunan maklumat pelayann publik, antara lain : 1) Profil Penyelenggara; 2) Tugas dan wewenang peyelenggara; 3) Siapa yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan; 4) Siapa yang bertanggungjawab dalam memproses dan menyelesaikan pengaduan dan sengketa pelayanan; 5) Pihak mana saja yang dapat menerima pelayanan; 6) Prosedur dan proses pemberian layanan (dapat dalam bentuk bagan/ alur alir); 7) Janji yang diberikan kepada penerima pelayanan, termasuk di dalamnya seperti; hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan, kemudahan mendapat pelayanan (tidak sulit, tidak dipersulit, tidak berbelit-belit atau membingungkan pemohon layanan), waktu yang ditetapkan untuk proses dan penyelesaian, ketepatan waktu menerima produk layanan, biaya pelayanan, prodedur dan biaya peninjauan lapangan (prakteknya sarat biaya yang dikeluarkan oleh penerima layanan, dan antisipasi bargaining); 8) Persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemohon layanan (bila perlu dilakukan penyederhanaan atau pemangkasan persyaratan, terutama yang sifatnya yang sifatnya pendukung);
46 9) Mekanisme pengajuan pengaduan atau keluhan (lisan tulisan) dari masyarakat, organisasi masyarakat dan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan, termasuk pengaduan atas perilaku penyelenggara dan/atau aparat pelaksana pelayanan (seperti; sikap, sopan santun dan lainnya, tindakan atau perlakuan diskriminatif, KKN, pungutan liar termasuk yang dilakukan bekerjasama dengan perantara/calo dan pembebanan biaya peninjauan lapangan), serta kepastian waktu penyelesaian pengaduan dan pemberian informasi kepada pengadu; 10) Mekanisme penyampaian saran, usulan masukan yang berkaitan dengan kepedulian masyarakat untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan; 11) Mekanisme pengawasan internal dan eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan; 12) Uraian sanksi bagi penyelenggara dan/atau aparat pelaksana pelayanan; 13) Pernyataan kesediaan penyelenggara untuk terus memperbaiki dan menyempurnakan maklumat pelayanan berdasarkan masukan dan saran dari masyarakat; 14) Informasi alamat, telefon, fax, email penyelenggara dalam rangka mengembangkan komunikasi, tukar informasi dan korespondensi masyarakat atau penerima pelayanan dengan penyelenggara. E. Latihan/Diskusi Diskusi Kelompok Alternatif pilihan topik diskusi, diserahkan pada Fasilitator dan peserta a. Topik Diskusi, Mengapa ada pendapat atau pandangan bahwa penyediaan pelayanan dasar (core public services) bidang Pendidikan dan Kesehatan tidak marketable. Tinjauannya mencakup konsep; pelayanan dasar, orientasi bisnis, pemberdayaan masyarakat, peran ganda dokter dan guru, kesejahteraan, kemampuan keuangan dan pilihan masyarakat, konsep tidak semua public good dan service marketable dan konsep pelayanan publik ada cost-nya. Kaitkan dengan praktik tumbuh kembangnya pelayanan kesehatan dan pendidikan di Indonesia (seperti Rumah Sakit swasta dan Sekolah swasta). Dan dampaknya terhadap pelaksanaan pelayanan dasar yang disediakan Pemerintah Daerah.. b. Topik Diskusi; “Maklumat Pelayanan Publik“. Maklumat Pelayanan Publik, merupakan salah satu cara atau bentuk strategi untuk meningkatkan pelayanan publik berdasarkan prinsip-prinsip akuntalibiltas, transpanrasi dan kesetaraan di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
47 Apa yang seharusnya dilakukan Pemda untuk memperbaiki citra pelayanan publik, apakah maklumat pelayanan publik dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas pelayanan?.Bagaimana anda menyiapkan bahan dan merumuskan dan menyusun kebijakan Maklumat Pelayanan Publik. Tinjauannya; rule government, good governance, pangreh praja, cara pandang kewenangan dan kekuasaan, prinsip-prinsip pelayanan publik, standar pelayanan publik dan maklumat pelayanan publik. F.
Rangkuman Dalam kontek pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan. Secara teoritik, Birokrasi Pemerintahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu; fungsi pelayanan, fungsi pembangunan dan fungsi pemerintahan umum. 1. Fungsi pelayanan, berhubungan dengan unit organisasi pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Fungsi utamanya, memberikan pelayanan (service) langsung kepada masyarakat. 2. Fungsi pembangunan, berhubungan dengan unit oganisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang tugas tertentu disektor pembangunan. Fungsi pokoknya adalah development function dan adaptive function. 3. Fungsi pemerintahan umum, berhubungan dengan rangkaian kegiatan organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum (regulasi), temasuk di dalamnya menciptakan dan memelihara ketentraman dan ketertiban. Fungsinya lebih dekat pada fungsi pengaturan (regulation function). Ketiga fungsi birokrasi pemerintahan tersebut, menunjukan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah, cakupannya sangat luas yaitu pelayanan yang menghasilkan public good, seperti jalan, jembatan, pasar dan lainlain, dan pelayanan yang menghasilkan peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang harus dipatuhi oleh masyarakat (fungsi regulasi), seperti perizinan, Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi dan lain-lain. Terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah, unsur kedua, adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan (pelanggan). Penyediaan pelayanan dasar (core public services) secara ekonomis, tidak memberikan keuntungan finansial atau PAD bagi Daerah, dan bahkan membutuhkan biaya dalam jumlah yang besar untuk menyediakan pelayanan dasar, terutama pelayanan pendidikan dan kesehatan.
48
Bahwa pada hakekatnya pelayanan publik yang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah atau pemerintah daerah, ruang lingkupnya sangat luas, dan tidak akan mampu ditangani sendiri, dan sebagian pelayanan publik di lakukan oleh swasta atau masyarakat. Pada saat pasar tidak berfungsi memberikan layanan yang dibutuhkan masyarakat, pemerintah atau pemerintah daerah berkewajiban untuk melaksanakan tugas, tanggungjawab dan kewajibannnya menyelenggarakan pelayanan publik yang ditinggalkan swasta. Penyelenggaraan pelayanan publik, dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, yaitu; penyelenggara Negara/pemerintah, penyelenggara perekonomian dan pembangunan, lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah, badan usaha/ badan hukum yang diberi wewenang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik, badan usaha/.badan hukum yang bekerjasama dan/atau dikontrak untuk melaksanakan sebagaian tugas dan fungsi pelayanan publik. Disamping itu, penyelenggara pelayanan publik yang dilakukan oleh masyarakat umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik yang tidak mampu ditangani/dikelola oleh pemerintah/pemerintah daerah. Paradigma kebijakan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah tejadinya perubahan atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma rule government bergeser menjadi paradigma good governance. Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai regulator (rule government) harus mengubah pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, Pemerintah Daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, untuk mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas dan keadilan. Maklumat pelayanan, pada dasarnya untuk mengikat penyelenggara pelayanan, dan menjadi patokan atau pedoman bagi aparat penyelenggara pelayanan publik di dalam menjalankan tugas dan fungsi menyediakan dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Penyelenggara terikat dengan ketentuan dalam maklumat, seperti; disiplin dan ketaatan melaksanakan prosedur operasioanal, menerapkan ketentuan persyaratan, biaya, waktu untuk proses dan penyelesaian, mekanisme dan proses pengelolaan penyelesaian pengaduan/sengketa, serta tanggung jawab pelaksanaan pelayanan publik.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Undang-Undang 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041) sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890). 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839). 3. Undang-Undang Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4018) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4194) 4. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4019) 5. Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46 A Tahun 2003 Tanggal 21 Nopember 2003 tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil.
B.
Daftar Buku 1. Bacal, Robert, Performance Management, McGraw – Hill, 1999. 2. BKKSI, Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Atap, Panduan Praktis, 2000. 3. Connellan, Thomas. K and Ron Zemke, Sustaining Knock Your Socks Off Service, Amacom (American Management Association), 1993. 4. Depdagri, Modul Pengembangan Pelayanan Terpadu Satu Atap, 2004. 5. Gasperz, Vincent, Total Quality Management (TQM), untuk Praktisi Bisnis dan Industri, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006. 6. Heller Robert, Effective Leadership, Dian Rakyat, 2002. 7. Heller Robert, Motivating People, Dian Rakyat, 2000. 8. Heller Robert, Managing People, Dian Rakyat, 2006.
49
50 9. Jurnal Ilmiah, Admnistrasi Publik, Birokrasi Era Reformasi, Vol. V No 1, September 2004 – Februari 2005. 10. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Penataan Kelembagaan Pemerintahan, Edisi 7, Tahun 2002, Penerbit, Masyarakat Ilmu Pemerintahan. 11. Jurnal Desentralisasi, Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia, Volume 5 No. 3, Tahun 2004 12. McKevitt, David, Managing Core Public Services, Blockwell Publisher, 1998. 13. Milakovich Michaele, Improving Service Quality, St. Lucie Press, Florida, 1995. 14. Leach, Steve; Stewart, John and Kieron Walsh, The Changing Organization and Management of Local Government, McMillan Press Ltd, 1994. 15. Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia, Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta, LAN, 2006. 16. Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia, Penyusunan Standar Operating Procedure, Jakarta, LAN, 2005 17. Osborne David, Ted Gabler, Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government), Pustaka Binawan Pressindo, 1996. 18. Sentana Aso, DR, Exelent Service & Customer Satisfication, Elex Media Komputindo, Jakarta 2006
v
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.