DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA: SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN
VERA LISNA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA: SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN
VERA LISNA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Perekonomian dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014 Vera Lisna NIM. H363090181
RINGKASAN VERA LISNA. Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Perekonomian dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA, MUHAMMAD FIRDAUS, dan SLAMET SUTOMO. Pengentasan kemiskinan merupakan salah satu agenda penting pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal sejak 2001. Kebijakan tersebut berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, namun ketimpangan pendapatan semakin besar sehingga penurunan tingkat kemiskinan semakin rendah dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian meningkat. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal mengutamakan pengalihan tugas-tugas pengeluaran (expenditure assignments) secara penuh dan pemerintah daerah meningkatkan belanja daerah sebagai strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pengalihan tugas-tugas pendapatan (revenue assignments) masih terbatas sehingga kapasitas fiskal daerah rendah. Akibatnya, terjadi defisit fiskal yang diatasi dengan transfer Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat dan keuangan daerah sangat tergantung pada DAU. Studi-studi terdahulu menemukan fenomena flypaper effect yaitu respon pemerintah daerah dalam penggunaan anggaran yang bersumber dari DAU lebih besar dibandingkan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Temuan tersebut menjadi dasar pemikiran penelitian yaitu jika flypaper effect terjadi pada belanja daerah yang tidak berdampak besar menurunkan kemiskinan maka besarnya peran DAU pada struktur keuangan daerah tidak akan mempercepat pengentasan kemiskinan. Dengan perkataan lain, kapasitas fiskal harus ditingkatkan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis dampak peningkatan kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian sektoral, tingkat kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian menggunakan model sistem persamaan simultan dengan data panel agregat provinsi dan kabupaten/kota di 23 provinsi tahun 2005-2011 dan metode estimasi Two Stage Least Squares (2SLS). Analisis dampak simulasi kebijakan dilakukan pada periode historis tahun 2006-2011 dan periode peramalan tahun 2013-2015. Beberapa temuan penting yaitu: (1) kapasitas fiskal berpengaruh besar pada belanja pertanian dan infrastruktur yang merupakan faktor-faktor penting bagi pertumbuhan sektor pertanian dan panjang jalan aspal yang selanjutnya berpengaruh menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian; (2) sumber kapasitas fiskal pajak daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita dan penanaman modal swasta; (3) sumber kapasitas fiskal bagi hasil pajak dipengaruhi oleh PDRB sektor-sektor non-pertanian yang berpotensi meningkatkan pajak penghasilan (PPh) perorangan sebagai sumber utama bagi hasil pajak di daerah; dan (4) alternatif kebijakan peningkatan belanja pertanian dan belanja perindustrian lebih besar dari pada peningkatan belanja perdagangan disertai kebijakan peningkatan porsi bagi hasil pajak untuk daerah dan peningkatan penanaman modal swasta terutama di provinsi pertanian akan meningkatkan kapasitas fiskal sehingga berdampak terhadap perbaikan kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral dengan indikasi meningkatnya kemandirian fiskal, pertumbuhan PDRB sektoral, dan jumlah tenaga kerja sektoral serta berkurangnya headcount index sektoral, Indeks Gini, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian.
Oleh karena itu, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih besar diikuti berkurangnya tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian serta mencapai target-target kemiskinan pada agenda pembangunan nasional RPJMN 2014 sebesar 8-10% dan MDGs 2015 sebesar 7.5%, maka pemerintah daerah disarankan untuk meningkatkan kapasitas fiskal dengan cara: (1) pemerintah daerah meningkatkan belanja pertanian dan belanja perindustrian lebih besar dari pada belanja perdagangan; (2) pemerintah daerah, pemerintah pusat, masyarakat, dan pihak-pihak terkait bersama-sama menciptakan iklim investasi swasta yang kondusif untuk meningkatkan penanaman modal swasta dalam dan luar negeri terutama di provinsi pertanian; dan (3) pemerintah pusat merevisi UU No. 33/2004 pasal 13 dengan menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah dari PPh perseorangan dari 20% menjadi 30%. Kata kunci:
kapasitas fiskal, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, kemiskinan sektoral
SUMMARY
VERA LISNA. Impact of Fiscal Capacity on Regional Economy and Sectoral Poverty in Indonesia: A Policy Simulation Analysis. Supervised by BONAR M. SINAGA, MUHAMMAD FIRDAUS, and SLAMET SUTOMO. Poverty alleviation is an important agenda of national economic development in Indonesia. In order to accelerate the achievement of economic development goals, Indonesian government has been implementing fiscal decentralization policy since 2001. The policy was successful in increasing the rate of economic growth, but the income inequality became larger so that the poverty rate and the proportion of poor people in agricultural households has been increased. The implementation of fiscal decentralization policy in Indonesia which is focused on fully shifting expenditure assignment from central government to local government has lead to higher local expenditures as local governments strategies to increase their economic growth. However, the revenue assignments authority is limited so that fiscal capacity is low. As a result, the fiscal deficit is overcome by transfer General Allocation Fund (DAU) from the central government and also the local financial structures are mostly depend on DAU. Previous studies found the flypaper effect phenomenon as greater response of local governments in the use of budget sourced from DAU than those from original local revenue (PAD). Accordingly, if flypaper effect occurred in local expenditures with no great impact on poverty reduction then great role of DAU on local financial structure could not accelerating poverty alleviation. Therefore, fiscal capacity should be increased. The objective of this study is to analyze impact of fiscal capacity increasing on fiscal performance, sectoral economic performance, sectoral poverty rates, income inequality, and proportion of poor people in agricultural households by using a model of simultaneous equations system with province and regencies aggregate panel data in 23 provinces during 2005-2011 and Two Stage Least Squares (2SLS) estimation method. The impact analysis of policy simulations is performed on historical period of 2006-2011 and forecast period of 2013-2015. Several important findings are: (1) fiscal capacity influences agriculture and infrastructure expenditures as important factors for agricultural growth and asphalt road infrastructure which further give high effects in reducing poverty rates, income inequality, and proportion of poor peopole in agricultural households; (2) fiscal capacity of local taxes is influenced by per capita Gross Domestic Regional Product (GDRP) and local private investment; (3) fiscal capacity of tax-revenue sharing is influenced by GDRP of non-agricultural sectors which are potentially increasing individual income tax (PPh) as the main source of tax revenue sharing; and (4) the alternative policies of the increasing of local agricultural and industrial expenditures larger than the increasing of trade expenditure, increasing of local portion from tax revenue sharing, and increasing of private direct investments mainly in agricultural provinces will increase fiscal capacity and give great impact on the improvement of fiscal performance, economic performance, and sectoral poverty which are indicated by higher fiscal autonomy rate, sectoral GDRP rate, and sectoral employment rate as well as lower sectoral headcount index, Gini Index, and proportion of poor people in agricultural household.
Therefore, to achieve greater local economic growth, lower poverty rates, lower income inequality, and lower proportion of poor people in agricultural households as well as to achieve poverty targets on national development agenda RPJMN 2014 in the amount of 8-10 % and MDGs 2015 in the amount of 7.5 %, local governments are recommended to improve their fiscal capacity by: (1) local governments increase their agricultural and industrial expenditures greater than the increasing of trade expenditure; (2) local government, central government, local public community, and other parties together create a conducive investment climate to enhance local private investment from domestic and foreign direct investors particularly in agricultural provinces; and (3) central government revises the Law No. 33/2004 article 13 by increasing local portion of personal income taxes revenue sharing from 20% to 30%. Keywords:
fiscal capacity, economic growth, income inequality, sectoral poverty
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA: SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN
VERA LISNA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB 2. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si, Ph.D Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB 2. Prof. Dr. Abuzar Asra Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
Judul Disertasi : Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Perekonomian dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan Nama
: Vera Lisna
NIM
: H363090181
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Prof. Muhammad Firdaus, SP, MSi, Ph.D Anggota
Dr. Slamet Sutomo, SE, MS Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 26 November 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian di Indonesia yang meningkat dan ketimpangan pendapatan penduduk yang semakin besar khususnya di era desentralisasi fiskal tahap kedua sementara kapasitas fiskal daerah rendah menjadi latar belakang dilakukannya penelitian ini. Oleh karena itu, disertasi ini diberi judul “Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Perekonomian dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan”. Keberhasilan disertasi ini dapat tercapai atas dukungan berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua komisi pembimbing atas bimbingan dan arahan yang intensif, serta Prof. Muhammad Firdaus, SP, MSi, Ph.D dan Dr. Slamet Sutomo, SE, MS selaku anggota komisi pembimbing atas arahan, saran, dan koreksi yang sangat bermanfaat sehingga disertasi ini menjadi lebih bermakna. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku ketua program studi Ilmu Ekonomi Pertanian; Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec dan Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS selaku penguji pada ujian prelim 2; Dr. Ir. Ratna Winandi, MS dan Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si, Ph.D selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup; serta Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc dan Prof. Dr. Abuzar Asra selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka atas kritik, saran, dan koreksi yang sangat berharga. 2. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan BPS atas kesempatan tugas belajar dan dukungan finansial yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan lanjut ini. 3. Rekan-rekan Sub Direktorat Indikator Statistik pada Direktorat Analisis Statistik BPS atas partisipasi dan dukungannya selama ini. 4. Rekan-rekan mahasiswa S3 program studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) 2009 atas kebersamaan yang tak terlupakan selama masa perkuliahan. 5. Seluruh staf sekretariat EPN atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai selesainya disertasi ini. 6. Kedua orang tua penulis H. Asrial Zainun dan Hj. Yulinar serta kakak-kakak dan adik atas doa dan dukungannya selama ini. 7. Suami tercinta Rode Ekanara dan anak-anak tersayang Nabilla Gita Ekanara dan Daffa Aulia Ekanara atas doa yang tak pernah putus dan kasih sayang yang tulus sehingga memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan disertasi ini. Penulis menyadari disertasi ini tidak akan pernah sempurna, namun tetap berharap semoga bermanfaat bagi berbagai pihak.
Bogor,
Februari 2014
Vera Lisna
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 1.4. Kebaruan dan Manfaat Penelitian
xx xxii xxiii 1 1 5 7 7 8
2 TINJAUAN PUSTAKA Kapasitas Fiskal 2.2. Konsep dan Sumber Kapasitas Fiskal 2.2. Perkembangan Kapasitas Fiskal di Indonesia 2.2. Dana Alokasi Umum 2.2. Formula DAU 2.3. Fenomena Flypaper Effect pada DAU 2.3. Perkembangan DAU di Indonesia 2.3. Kinerja Perekonomian 2.3. Indikator Kinerja Perekonomian Perkembangan Kinerja Perekonomian di Indonesia Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan 2.3. Konsep dan Ukuran Kemiskinan 2.3. Konsep dan Ukuran Ketimpangan Pendapatan Perkembangan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Keterkaitan Kapasitas Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan Studi Terdahulu Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan Pertumbuhan Sektoral dan Kemiskinan
9 9 9 13 15 15 18 19 20 20 23 25 25 29
3 KERANGKA TEORI Teori Keuangan Publik 2.2. Konsep Keuangan Publik 2.2. Manajemen Keuangan Publik 2.2. Teori Kebijakan Fiskal 2.2. Dampak Kebijakan Fiskal pada Perekonomian 2.3. Desentralisasi Fiskal 2.3. Pengaruh Transfer Fiskal dan Flypaper Effect
43 43 43 44 46 46 50 52
30 35 38 38 40
2.3. Teori Pertumbuhan Ekonomi 2.3. Model Pertumbuhan Solow Model Pertumbuhan Endogen Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian
54 54 58 60 61
4 METODOLOGI 4.1. Jenis dan Sumber data 2.2. Cakupan Data 2.2. Data Fiskal 2.2. Data Perekonomian 2.2. Data Kemiskinan 2.2. Data Penunjang 2.2. Data Indeks Harga Konsumen Provinsi 4.2. Spesifikasi Model Ekonometrika 2.2. Blok Fiskal Pajak Daerah Bagi Hasil Pajak Dana Alokasi Umum Total Pendapatan Daerah Belanja Sektoral Kinerja Fiskal 2.2. Blok Perekonomian Sektoral Panjang Jalan Aspal PDRB Sektoral Tenaga Kerja Sektoral Upah Riil Sektoral Pengeluaran per Kapita Sektoral 2.2. Blok Kemiskinan Sektoral Indeks Gini Indeks Kemiskinan Sektoral 4.3. Prosedur Estimasi Model 2.2. Identifikasi dan Metode Estimasi Model 2.2. Evaluasi Model 4.3. Prosedur Simulasi Model 2.2. Validasi Model 2.2. Simulasi Kebijakan
63 63 63 63 64 65 65 65 67 70 70 70 71 71 72 72 73 73 74 75 76 76 77 77 77 78 78 80 81 81 83
5 PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 4.1. Profil Kinerja Fiskal Daerah 2.2. Pendapatan Daerah 2.2. Pengeluaran Daerah 2.2. Kemandirian Fiskal 4.2. Profil Perekonomian Daerah 2.2. PDRB dan Tenaga Kerja 2.2. Produktivitas Tenaga Kerja
85 85 85 88 90 92 92 96
2.2. Upah Riil Tenaga Kerja 2.2. Pengeluaran per Kapita 4.3. Profil Kemiskinan Sektoral Daerah 2.2. Indeks Gini 2.2. Headcount Index Sektoral 2.2. Proporsi Penduduk Miskin Rumahtangga Pertaninan 4.3. Hubungan Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan
97 98 99 99 100 102 103
6 HASIL ESTIMASI MODEL 4.1. Blok Fiskal 2.2. Pajak Daerah 2.2. Bagi Hasil Pajak Dana Alokasi Umum Belanja Sektoral 4.1. Blok Perekonomian Sektoral 2.2. Panjang Jalan Aspal 2.2. PDRB Sektoral 2.2. Tenaga Kerja Sektoral 2.2. Upah Riil Sektoral 2.2. Pengeluaran per Kapita Sektoral 4.2. Blok Kemiskinan Sektoral 2.2. Indeks Gini 2.2. Tingkat Kemiskinan Sektoral
105 106 106 107 108 109 110 110 111 112 113 114 115 115 116
7 DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN SEKTORAL 4.1. Hasil Validasi 4.3. Skenario Simulasi 4.3. Simulasi Historis 2006-2011 2.2. Simulasi Peningkatan Belanja Pertanian 2.2. Simulasi Peningkatan Belanja Perindustrian 2.2. Simulasi Peningkatan Belanja Perdagangan 2.2. Simulasi Peningkatan Porsi Bagi Hasil Pajak 2.2. Simulasi Peningkatan Penanaman Modal 2.2. Ringkasan Simulasi Kebijakan Tunggal 4.3. Simulasi Kebijakan Kombinasi Simulasi Peramalan 2013-2015
119 119 121 123 123 126 128 130 132 134 136 142
8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 4.1. Kesimpulan 4.2. Implikasi Kebijakan 4.2. Saran Penelitian Lanjutan
147 147 147 148
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
149 155 254
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Perkembangan Realisasi APBN Tahun 2005-2011 Perkembangan Komposisi Pendapatan Daerah Tahun 2005-2011 Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Gini,dan Kemiskinan Tahun 2000-2011 Perkembangan Distribusi Penduduk Miskin menurut Sumber Penghasilan Utama Kepala Rumah Tangga Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan Provinsi dengan Proporsi Bagi Hasil SDA Terbesar Tahun 2011 Perbedaan Formula Penghitungan DAU Perkembangan Indikator Kemiskinan menurut Wilayah, 2005-2011 Rata-rata Share PDRB Riil Pertanian Tahun 2006-2011 Rata-rata Komposisi Pendapatan Daerah per Tahun, 2006-2011 Rata-rata Pertumbuhan Pendapatan Daerah per Tahun, 2006-2011 Rata-rata Komposisi Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 Rata-rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 Perkembangan Kemandirian Fiskal Daerah, 2006-2011 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral per Tahun menurut Provinsi, 2006-2011 Rata-rata PDRB Riil per kapita dan Pertumbuhannya per tahun menurut Provinsi, 2006-2011 Rata-rata Produktivitas Riil Tenaga Kerja Sektoral per Tahun menurut Provinsi, 2006-2011 Rata-rata Upah Riil Sektoral per bulan dan Pertumbuhannya per tahun menurut Provinsi, 2006-2011 Rata-rata Pengeluaran per Kapita Riil Sektoral per bulan dan Pertumbuhannya per Tahun menurut Provinsi, 2006-2011 Perkembangan Indeks Gini Provinsi, 2006-2011 Perkembangan Headcount Index Sektoral, 2006-2011 Perkembangan Proporsi Penduduk Miskin Pertanian, 2006-2011 Rata-rata Indikator Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan per Tahun, 2006-2011 Keragaan Umum Model Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan Sektoral Daerah Tahun 2006-2011 Hasil Estimasi Pajak Daerah Hasil Estimasi Bagi Hasil Pajak Hasil Estimasi Dana Alokasi Umum Hasil Estimasi Belanja Sektoral Daerah Hasil Estimasi Panjang Jalan Aspal Hasil Estimasi PDRB Sektoral Hasil Estimasi Jumlah Tenaga Kerja Sektoral Hasil Estimasi Upah Riil Sektoral Hasil Estimasi Pengeluaran per Kapita Sektoral
2 2 3 4 12 17 31 84 86 87 88 90 91 92 94 95 96 97 98 99 100 102 103 105 106 107 108 109 111 112 113 114 115
34 Hasil Estimasi Indeks Gini 35 Hasil Estimasi Tingkat Kemiskinan Sektoral 36 Hasil Validasi Model Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dalam Theil Forecast Error Statistics 37 Dampak Peningkatan Belanja Pertanian terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 38 Dampak Peningkatan Belanja Perindustrian terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 39 Dampak Peningkatan Belanja Perdagangan terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 40 Dampak Peningkatan Porsi Bagi Hasil Pajak terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 41 Dampak Peningkatan Penanaman Modal terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 42 Ringkasan Dampak Kebijakan Tunggal terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 43 Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Pertanian Tahun 2006-2011 44 Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Non-Pertanian Tahun 2006-2011 45 Ramalan Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Pertanian Tahun 2013-2015 46 Ramalan Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Non-Pertanian Tahun 2013-2015
116 116 120 124 127 129 131 133 135 137 139
143
145
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Komposisi Kapasitas Fiskal pada Total Pendapatan Daerah Komposisi PAD pada Total Pendapatan Daerah Komposisi Bagi Hasil Pajak pada Total Pendapatan Daerah Komposisi Bagi Hasil SDA pada Total Pendapatan Daerah Proporsi Alokasi DAU per Provinsi Komposisi DAU pada Total Pendapatan Daerah Diagram Ketenagakerjaan Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral di Indonesia Perkembangan Distribusi Sektor Ekonomi di Indonesia Perkembangan TPAK dan TPT di Indonesia Perkembangan Komposisi Tenaga Kerja di Indonesia Kurva Lorenz Komposisi Rumahtangga Miskin dan Rumahtangga Tidak Miskin menurut Sumber Penghasilan Utama Kepala Rumah Tangga Persentase Penduduk Miskin Tahun 2011 Rata-rata Lama Sekolah Tahun 2011 Angka Kelahiran Hidup Dibantu Tenaga Medis Tahun 2011 Kontribusi PDRB Pertanian Tahun 2011 Komposisi Kapasitas Fiskal pada Total Pendapatan Daerah Perkembangan Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita Perkembangan Indeks Gini, 2005-2011 Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Dampak Penurunan Pajak terhadap Output Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap Output Pengaruh Transfer Bersyarat (Conditional Transfer) Pengaruh Transfer Tidak Bersyarat (Unconditional Transfer) Model Pertumbuhan Solow: Output dan Investasi Model Pertumbuhan Solow: Peran Tabungan Model Pertumbuhan Solow: Peran Teknologi Model Pertumbuhan Endogen Kerangka Pemikiran Penelitian Keterkaitan Antar Blok Persamaan dalam Model Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan Sektoral Daerah Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 Rata-rata Headcount Index dan Perubahannya per Tahun, 2006-2011
13 14 14 15 19 20 22 23 24 25 25 30 31 32 33 33 34 34 35 35 36 47 48 52 53 55 57 58 59 61 68 93 101
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 IHK Provinsi Tahun 2005-2011 (2007=100) 2 Data dalam Model Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menurut Provinsi, 2005-2011 3 Diagram Keterkaitan Antar Variabel dalam Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah 4 Program Estimasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN pada software SAS/ETS 9.1.3. 5 Hasil Estimasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN pada software SAS/ETS 9.1.3. 6 Program Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah Tahun 2006-2011 dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 7 Hasil Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah Tahun 2006-2011 menggunakan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 8 Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 9 Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 10 Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 11 Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 12 Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 13 Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3
157 158 177
178
180
194
197
203
207
209
213
215
216
14 Program Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 15 Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 16 Program Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 17 Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 18 Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 20062011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 19 Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 20062011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 20 Program Peramalan Variabel Eksogen dengan prosedur FORECAST dan Variabel Endogen dengan metode solusi Newton prosedur SIMNLIN Tahun 2012-2015 pada software SAS/ETS 9.1.3 21 Nilai-nilai Ramalan Variabel Eksogen dengan prosedur FORECAST dan Variabel Endogen dengan metode solusi Newton dan prosedur SIMNLIN 22 Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015 Skenario Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian menggunakan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 23 Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015 Skenario Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian menggunakan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3
217
220
222
225
227
228
229 233
252
253
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Seers, 1969). Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya diindikasikan oleh terciptanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Menurut de Janvry dan Sadoulet (2010), tingkat kemiskinan dapat diturunkan dengan dua cara yaitu transfer pendapatan (cash transfer) dan pertumbuhan pro-poor. Transfer pendapatan kepada penduduk miskin dapat mengatasi permasalahan kemiskinan dengan cepat tetapi memerlukan dana besar dan program redistribusi yang tepat sasaran serta kurang efektif diterapkan jika penduduk miskin memiliki potensi kerja sehingga tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara berkelanjutan. Sedangkan, pertumbuhan pro-poor akan meningkatkan pendapatan penduduk miskin melalui dampak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi dikatakan pro-poor jika memihak kelompok mayoritas penduduk miskin. Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, jumlah penduduk miskin di Indonesia mayoritas berasal dari rumahtangga pertanian. Dengan demikian, prioritas pengurangan kemiskinan penduduk di rumahtangga pertanian menjadi hal penting bagi percepatan pengentasan kemiskinan di Indonesia melalui strategi pertumbuhan pro-poor. Untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dengan mengalihkan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki kinerja keuangan daerah melalui keputusankeputusan pemerintah daerah yang dapat menciptakan penerimaan daerah dan menggunakannya secara rasional dengan cara mengatur kembali pengeluaran, penerimaan, dan transfer fiskal. Dengan perkataan lain, kebijakan desentralisasi fiskal sesungguhnya dapat diterapkan pada sisi pengeluaran dan sisi pendapatan daerah. Namun, perbedaan sumber daya antar daerah di Indonesia dan terbatasnya kewenangan pengelolaan penerimaan daerah menyebabkan kemampuan keuangan daerah berbeda-beda sehingga terjadi defisit anggaran yang harus diatasi dengan transfer fiskal dari pemerintah pusat. Kebijakan transfer fiskal dilakukan dengan mekanisme dana perimbangan terutama melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Permasalahan yang terjadi saat ini struktur penerimaan keuangan daerah mayoritas sangat tergantung pada DAU. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2005-2011 pada Tabel 1 menunjukkan total dana perimbangan yang ditransfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah meningkat dari 143.2 Triliun Rupiah menjadi 347.2 Triliun Rupiah. Komponen dana transfer terbesar adalah DAU dengan komposisi meningkat dari 62% menjadi 65%, sedangkan komposisi dana bagi hasil turun dari 35% menjadi 28%.
2
Tabel 1 Perkembangan Realisasi APBN Tahun 2005-2011 (Triliun Rupiah) Uraian 1. Penerimaan Dalam Negeri (PDN) a. Perpajakan b. Bukan Pajak 2. Belanja Negara
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
493.9
636.2
706.1
979.3
847.1
992.2
1 205.3
347.0
409.2
491.0
658.7
619.9
723.3
873.9
146.9
227.0
215.1
320.6
227.2
268.9
331.5
509.6
667.1
757.6
985.7
937.4
1 042.1
1 295.0
a.
Pemerintah Pusat
361.2
440.0
504.6
693.4
628.8
697.4
883.7
b.
Transfer ke Daerah 1. Dana Perimbangan a. DAU
150.5
226.2
253.3
292.4
308.6
344.7
411.3
143.2
223.1
244.0
278.7
287.3
316.7
347.2
88.8
145.7
164.8
179.5
186.4
203.6
225.5
b. DAK c. DBH 2. Dana Otsus & Penyesuaian 3. Defisit % defisit terhadap PDB
4.0
11.6
16.2
20.8
24.7
21.0
24.8
50.5
64.9
62.9
78.4
76.1
92.2
96.9
7.2
4.0
9.3
13.7
21.3
28.0
64.1
14.4
29.1
49.8
4.1
88.6
46.8
84.4
(0.5)
(0.9)
(1.3)
(0.1)
(1.6)
(0.7)
(1.1)
Sumber: Nota Keuangan dan APBN Tahun 2010 dan 2013
Tingginya peran DAU pada dana perimbangan juga ditunjukkan oleh struktur keuangan daerah pada APBD. Data realisasi penerimaan agregat provinsi dan kabupaten/kota di setiap provinsi menunjukkan mayoritas pendapatan daerah bersumber dari DAU dengan rata-rata 52.7% per provinsi per tahun (Tabel 2). Tingginya peran DAU merupakan konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur anggaran belanja daerahnya sehingga memicu terjadinya ekspansi fiskal yang menyebabkan belanja daerah terus meningkat. Di sisi lain, belanja daerah yang terus meningkat juga disebabkan oleh praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat serta lambatnya reformasi pajak di daerah (DJPK, 2005). Lambatnya reformasi pajak di daerah ditunjukkan oleh kapasitas fiskal yang rendah bahkan turun dari 35.2% menjadi 31.2% per provinsi per tahun. Tabel 2 Perkembangan Komposisi Pendapatan Daerah1 Tahun 2005-2011 (%) Tahun
DAU
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
53.0 59.0 56.2 52.9 51.9 48.8 46.9 52.7
Pajak Daerah 10.9 8.7 8.6 9.7 9.3 10.0 11.6 9.8
PAD 15.5 13.1 13.2 14.4 14.1 14.8 16.3 14.5
Bagi Hasil Pajak 11.1 9.9 9.5 8.8 8.8 8.9 6.8 9.1
Catatan: 1Agregat provinsi dan kabupaten/kota di setiap provinsi; 2 total PAD dan dana bagi hasil; 3 Rasio PAD terhadap total belanja daerah Sumber: Kemenkeu R.I, data diolah
Kapasitas Fiskal2 35.2 30.4 29.4 31.1 29.9 32.1 31.2 31.3
Kemandirian Fiskal3 (%) 16.8 14.1 13.4 15.0 13.8 15.1 17.8 15.1
3
Terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional telah meningkat dari 4.9% pada tahun 2000 menjadi 6.5% pada tahun 2011. Bahkan kenaikan pertumbuhan ekonomi pada masa desentralisasi fiskal tahap kedua periode 20052011 lebih tinggi dengan rata-rata 0.20 persen poin per tahun sementara tahap pertama periode 2000-2004 hanya 0.02 persen poin per tahun (Tabel 3). Namun, ketimpangan pendapatan pada tahap kedua semakin buruk dimana Indeks Gini meningkat dari 0.31 menjadi 0.41, sedangkan pada tahap pertama relatif tetap. Jika mengacu pada pendapat Seers (1969) mengenai peran distribusi pendapatan pada kemiskinan, maka Indeks Gini yang lebih besar akan mengurangi peran pertumbuhan ekonomi pada kemiskinan sehingga penurunan tingkat kemiskinan berkurang atau dengan perkataan lain laju penurunan kemiskinan melambat. Penurunan persentase penduduk miskin (headcount index) periode pertama ratarata 0.62 persen poin per tahun, sedangkan penurunan pada periode kedua lebih rendah dengan rata-rata 0.58 persen poin per tahun. Jika mengacu pada target kemiskinan 2014 yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yaitu 8-10% (Perpres RI No. 5/2010) dan target kemiskinan Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia 2015 sebesar 7.5% maka dibutuhkan laju penurunan persentase penduduk miskin antara 0.8 sampai 1.5 persen poin per tahun. Dengan rata-rata penurunan persentase penduduk miskin saat ini sebesar 0.58 persen poin maka target-target tersebut diperkirakan sulit tercapai. Tabel 3 Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Gini, dan Kemiskinan Tahun 2000-2011 Tahun
Pertumbuhan Ekonomi1 (%)
Indeks Gini
Persentase Penduduk Miskin
2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata Perubahan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata Perubahan
4.9 3.6 4.5 4.8 5.0 0.02 5.7 5.5 6.4 6.0 4.6 6.2 6.5 0.20
0.31 0.31 0.33 0.32 0.32 0.00 0.36 0.33 0.36 0.35 0.37 0.38 0.41 0.02
19.14 18.41 18.20 17.42 16.66 -0.62 15.97 17.75 16.58 15.42 14.15 13.33 12.49 -0.58
Catatan: 1Perubahan PDB Riil (harga Konstan Tahun 2000) Sumber: BPS
Dinamika kemiskinan berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi rumahtangga menunjukkan mayoritas penduduk miskin berada di rumahtangga pertanian bahkan proporsinya meningkat dari 55.4% pada tahun 2005 menjadi 56.9% pada tahun 2011 (Tabel 4). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi sementara ketimpangan pendapatan meningkat, laju penurunan kemiskinan melambat, dan proporsi penduduk miskin pertanian meningkat menjadi indikasi
4
bahwa penerapan kebijakan desentraliasi fiskal yang mengutamakan desentralisasi pengeluaran daerah sehingga keuangan daerah sangat tergantung pada DAU hanya berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut kurang dinikmati penduduk miskin terutama di rumahtangga pertanian. Artinya, penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mengutamakan peran DAU dalam membiayai pembangunan daerah tidak dapat mencapai pertumbuhan pro-poor untuk mempercepat pengentasaan kemiskinan. Tabel 4 Perkembangan Distribusi Penduduk Miskin menurut Sumber Penghasilan Utama Kepala Rumahtangga (%) Tahun
Pertanian
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
55.4 53.9 52.9 53.3 53.5 56.1 56.9
Industri Pengolahan 6.8 6.8 5.7 6.3 2.9 6.4 6.1
Perdagangan, Hotel,Restoran 8.3 8.9 8.0 8.1 5.8 7.8 7.0
Lainnya dan Tidak Bekerja 29.5 30.4 33.4 32.3 37.9 29.6 30.0
Sumber: BPS, data diolah dari SUSENAS Kor Maret tahun 2005-2011
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi diikuti meningkatnya ketimpangan pendapatan dan melambatnya laju penurunan kemiskinan dapat menjadi indikasi bahwa penerapan pembangunan desentralisasi di Indonesia untuk mempercepat tujuan pembangunan ekonomi nasional masih terpaku pada tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, ada indikasi permasalahan fiskal dalam penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terkait tingginya ketergantungan pada DAU dan rendahnya kapasitas fiskal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah yang dihasilkan dari pembangunan desentralisasi tersebut tidak dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk. Pada dasarnya, meningkatnya DAU sebagai konsekuensi pelimpahan kewenangan alokasi anggaran daerah seharusnya diikuti perbaikan kualitas belanja daerah sehingga pendapatan daerah dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan yang memberi nilai tambah besar terutama bagi penduduk miskin. Oleh karena itu, peningkatan DAU yang merupakan unconditional grant (bantuan tidak bersyarat) seharusnya membuat pemerintah daerah lebih fleksibel dalam mengalokasikannya untuk kegiatan pembangunan daerah yang berdampak besar dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Menurut Balisacan, et al. (2003) dan OECD (2006 dan 2009), pertumbuhan pro-poor dapat tercapai dengan memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian dan infrastruktur. Artinya, dibutuhkan belanja pertanian dan belanja inrastruktur yang besar untuk mencapai pertumbuhan pro-poor. Namun fakta menunjukkan rata-rata belanja pertanian dan belanja infrastruktur daerah periode 2005-2011 hanya naik masing-masing 19.0% per tahun. Sementara itu, belanja perdagangan naik 134% per tahun. Artinya, pemerintah daerah melakukan strategi pembangunan sektor jasa khususnya perdagangan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dari pada pembangunan sektor riil terutama pertanian padahal sektor tersebut merupakan kantong kemiskinan terbesar di Indonesia. Hasil penelitian Nanga (2006) menemukan hal serupa yaitu ada indikasi kuat bahwa transfer fiskal
5
lebih menguntungkan sektor non-pertanian. Hal ini tercermin dari meningkatnya PDRB dan jumlah tenaga kerja non-pertanian yang lebih besar dibandingkan pertanian sehingga penelitian tersebut menduga bahwa keberpihakan pemerintah daerah pada sektor-sektor non-pertanian merupakan penyebab transfer fiskal tidak berdampak menurunkan kemiskinan. Peningkatan belanja daerah yang berlebihan dan tidak proporsional dapat terjadi karena adanya fenomena flypaper effect pada penerimaan transfer fiskal tidak bersyarat (unconditional transfer) yaitu respon yang lebih besar dari pada pendapatannya sendiri (Oates, 1999). Studi-studi terdahulu, antara lain Afrizawati (2012), Widarjono (2006), dan Kuncoro (2004), menemukan fenomena flypaper effect pada keuangan daerah di Indonesia dimana respon belanja daerah terhadap perubahan DAU lebih besar dari pada perubahan PAD. Jika respon terhadap perubahan DAU yang berlebihan tersebut terjadi pada alokasi belanja-belanja daerah yang tidak berdampak besar mengurangi kemiskinan maka pengentasan kemiskinan nasional melalui strategi pertumbuhan pro-poor akan sulit tercapai. Di sisi lain, fakta yang menunjukkan rendahnya pertumbuhan belanja pertanian dan infrastruktur mengindikasikan peran DAU pada pertumbuhan pro-poor masih rendah meskipun komposisi DAU pada total pendapatan daerah paling besar. Namun, fenomena flypaper effect merupakan konsekuensi tingginya kewenangan daerah dalam mengatur pengeluaran daerah sehingga sulit untuk diatasi. Uraian di atas menunjukkan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia tidak konsisten dengan tujuannya dimana tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih besar disertai dengan ketimpangan pendapatan yang juga semakin besar sehingga penurunan tingkat kemiskinan semakin berkurang. Hal ini diduga karena keuangan daerah tergantung pada DAU sementara pemerintah daerah cenderung merespon DAU secara berlebihan untuk digunakan pada beberapa jenis belanja daerah yang kurang berdampak menurunkan kemiskinan sedangkan perilaku tersebut sulit diatasi. Sementara itu, penggunaan kapasitas fiskal lebih ketat (prudent). Oleh karena itu, pemerintah daerah memerlukan kapasitas fiskal yang lebih besar untuk membiayai pembangunan daerah pada sektor-sektor yang berdampak besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan sehingga dapat meningkatkan penurunan tingkat kemiskinan dan mengurangi proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian. Perumusan Masalah Penerapan pembangunan desentralisasi merupakan upaya besar pemerintah Indonesia untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional yaitu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Tetapi, data statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional meningkat namun ketimpangan pendapatan juga semakin besar sehingga laju penurunan kemiskinan melambat dan proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian meningkat. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia mengutamakan DAU untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dalam mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dalam konteks DAU sebagai transfer tidak bersyarat (unconditional grant) maka jika penerimaan DAU akan meningkatkan belanja daerah tanpa menyebabkan tekanan fiskal pada basis pajak. Dengan perkataan
6
lain, sumber keuangan daerah dari pendapatan lokal dan transfer fiskal yang diperoleh dengan mudah tidak memberi dampak berbeda pada keputusan alokasi belanja daerah (Hines dan Thaler, 1995). Tetapi, pada prakteknya pemerintah daerah lebih boros dalam menggunakan dana dari transfer fiskal dari pada dana dari pendapatan sumberdaya lokal. Perilaku ini merupakan sifat alami yang juga terjadi pada kasus perusahaan dan individu. Pada kasus di Indonesia, perilaku tersebut diindikasikan oleh tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU sementara komposisi kapasitas fiskal rendah. Anggaran keuangan daerah juga lebih diprioritaskan untuk sektor-sektor yang tidak memberi dampak besar dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal sehingga perilaku tersebut sulit diatasi karena pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur alokasi belanja daerahnya. Pada akhirnya pembiayaan desentralisasi menjadi tidak efektif dan efisien. Di sisi lain, hal ini menjadi indikasi bahwa prinsip money follow function yaitu pengalokasian anggaran berdasarkan fungsi masing-masing unit atau satuan kerja yang telah ditetapkan undang-udang tidak berjalan dengan baik. Dengan demikian, dampak kebijakan peningkatan kapasitas fiskal dari PAD dan dana bagi hasil yang mencerminkan kemampuan keuangan daerah dari sumber daya lokal menjadi isu penting yang perlu dikaji saat ini. Dalam Nota Keuangan RAPBN 2013 disebutkan bahwa pemerintah pusat secara konsisten berupaya memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi fiskal tidak hanya pada sisi pengeluaran tetapi juga sisi penerimaan. Untuk itu pemerintah daerah diberi kewenangan memungut pajak (taxing power) dengan dasar hukum UU No. 28 tahun 2009. Pengalihan kewenangan perpajakan tersebut akan meningkatkan pendapatan daerah untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana perekonomian daerah. Penguatan sisi penerimaan tersebut dilakukan secara kontinyu dengan memperluas local taxing power salah satunya adalah pengalihan pajak-pajak properti menjadi pajak daerah sejak Januari 2011 yaitu Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan akan berlaku di seluruh daerah paling lambat tahun 2014. Perluasan sumber pajak daerah tersebut akan meningkatkan PAD sebaga sumber utama kapasitas fiskal. Sumber kapasitas fiskal lainnya yaitu dana bagi hasil dapat ditingkatkan jika daerah memperoleh bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam lebih besar. Jumlah kedua jenis dana bagi hasil yang diterima daerah dari pemerintah pusat tergantung pada kemampuan ekonomi dan sumber daya alam serta porsi bagi hasil yang telah ditetapkan dalam UU No. 33/2004. Data-data statistik menunjukkan provinsi-provinsi dengan struktur ekonomi non-pertanian menerima bagi hasil pajak lebih besar, sedangkan provinsi-provinsi pertanian yang sebagian besar terletak di luar Pulau Jawa menerima bagi hasil pajak lebih kecil. Perbedaan tersebut disebabkan sebagian besar dana bagi hasil pajak bersumber dari tiga jenis pajak-pajak penghasilan (PPh) individual yang mayoritas merupakan pendapatan tenaga kerja non-pertanian. Selain itu, sesuai UU No. 33/2004 pasal 13 ayat 1 porsi daerah dari bagi hasil PPh hanya 20% sehingga jumlah bagi hasil pajak yang diterima daerah terutama di provinsi-provinsi pertanian relatif kecil. Sementara itu, dana bagi hasil sumber daya alam mayoritas berasal dari penerimaan sektor pertambangan dan penggalian yang dimiliki sebagian kecil daerah di Indonesia terutama di Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, dan
7
Kalimantan Selatan. Hal ini menyebabkan perbedaan yang besar pada penerimaan bagi hasil sumber daya alam antar daerah sehingga tidak dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kapasitas fiskal secara umum. Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah pada kinerja fiskal dan pertumbuhan ekonomi daerah dalam konteks pertumbuhan pro-poor yaitu pertumbuhan ekonomi disertai berkurangnya ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang memihak kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu rumahtangga pertanian. 2. Bagaimana dampak kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian, tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah di Indonesia. 3. Alternatif kebijakan fiskal apakah yang dapat meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian di masa mendatang. Tujuan Penelitian
1.
2. 3. 4.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: Menganalisis perkembangan indikator kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah tahun 2006-2011. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah. Menganalisis pengaruh kapasitas fiskal pada kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah. Meramal dampak alternatif kebijakan dalam kerangka peningkatan kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah tahun 2013-2015. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1. 2. 3.
1. 2.
Ruang lingkup penelitian difokuskan pada: Analisis deskriptif profil kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode 2006-2011. Analisis determinan kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode 2006-2011. Analisis dampak simulasi kebijakan terhadap kinerja fiskal, perekonomian, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian periode historis 2006-2011 dan peramalan 2013-2015. Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain: Data fiskal merupakan agregat provinsi dan seluruh kabupaten/kota provinsi sehingga tidak mencerminkan perilaku fiskal provinsi atau kabupaten/kota. Data belanja daerah merupakan gabungan belanja rutin dan belanja pembangunan sesuai sistem penganggaran berbasis kinerja di Indonesia yang
8
3.
4.
berlaku sejak tahun 2005, sehingga pengaruhnya tidak mencerminkan peran belanja modal daerah saja. Konversi data nominal ke riil menggunakan rata-rata IHK beberapa kota di setiap provinsi dengan tahun dasar 2007 yang berbeda dengan tahun dasar PDRB yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini yaitu tahun 2000. Data pengeluaran penduduk dan indikator kemiskinan yang dirinci menurut sektor ekonomi tidak tersedia sehingga diolah dari data SUSENAS Kor bulan Maret tahun 2005-2011 dengan klasifikasi sektoral mengacu pada pekerjaan utama kepala rumahtangga sesuai konsep SAKERNAS. Kebaruan dan Manfaat Penelitian
Studi-studi empiris terdahulu umumnya menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal pada periode awal desentralisasi tahun 2001-2004 serta lebih fokus pada dampak DAU terhadap kinerja ekonomi daerah, antara lain Sinaga dan Siregar (2003), Pardede (2004), dan Panjaitan (2006). Sementara studi empiris yang lebih difokuskan pada dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan sangat sedikit, salah satunya adalah Nanga (2006). Namun, penelitian tersebut tidak mendekomposisi kemiskinan menurut sektor ekonomi dan lebih fokus pada dampak transfer fiskal. Selain itu, meskipun studi-studi empiris mengenai kemiskinan banyak dilakukan namun analisis secara sektoral sangat terbatas dan tidak terkait dengan kebijakan fiskal daerah. Studi terdahulu yang meneliti kemiskinan sektoral di Indonesia antara lain Suryahadi, et al. (2009) dan Suryahadi, et al. (2012). Sementara analisis kemiskinan sektoral merupakan hal penting karena fakta menunjukkan variasi sektoral dalam dinamika kemiskinan di Indonesia baik di tingkat nasional maupun provinsi. Di sisi lain, pengentasan kemiskinan dapat tercapai dengan melakukan strategi pertumbuhan pro-poor melalui efek pertumbuhan (growth) dan pemerataan pendapatan (equality) (de Janvry dan Sadoulet, 2010; Kakwani, 1993). Secara teori, pertumbuhan pada sisi penawaran agregat (aggregate supply) dipengaruhi oleh kebijakan fiskal melalui peningkatan kapasitas perekonomian. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan melalui strategi pertumbuhan pro-poor dapat terwujud jika penerapan kebijakan fiskal daerah berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menurunkan tingkat kemiskinan terutama tingkat kemiskinan penduduk pertanian. Dengan demikian, kebaruan penelitian ini adalah melakukan analisis kemiskinan sektoral terkait peran kapasitas fiskal pada masa desentralisasi fiskal tahap kedua melalui strategi pertumbuhan pro-poor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mempercepat tercapainya tujuan utama pembangunan ekonomi nasional yaitu pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pemerataan distribusi pendapatan.
9
2. TINJAUAN PUSTAKA Kapasitas Fiskal Konsep dan Sumber Kapasitas Fiskal Kapasitas fiskal merupakan kemampuan pemerintah daerah menghimpun pendapatan dari potensi sumber daya yang dimilikinya. Jika mengacu pada UU No.33/2004 pasal 28, potensi daerah dicerminkan oleh PAD dan dana bagi hasil. Sesuai asas money follow functions dimana penyerahan kewenangan daerah dalam penyelenggaraan sistem otonomi daerah disertai dengan penyerahan sumbersumber pembiayaan daerah yang sebelumnya dikuasai pemerintah pusat termasuk di dalamnya PAD dan dana bagi hasil maka kapasitas fiskal yang bersumber dari PAD dan bagi hasil merupakan faktor penting bagi pembangunan desentralisasi di Indonesia. Istilah kapasitas fiskal memiliki dua terminologi yang tercantum setidaknya dalam tiga peraturan perundang-undangan. Dalam UU No. 33/2004 dan PP No. 55/2005 kapasitas fiskal adalah pendapatan daerah dari PAD dan Dana Bagi Hasil. PAD diperoleh melalui pengalihan sebagian kewenangan pengumpulan pajak ke daerah (tax assignments), sedangkan dana bagi hasil diperoleh dari sebagian pendapatan negara dari sumber daya manusia dan sumber daya alam daerah yang diberikan ke daerah. Dalam formula alokasi DAU, kapasitas fiskal adalah faktor pengurang berdasarkan celah fiskal yaitu selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, istilah kapasitas fiskal juga digunakan untuk mengetahui peta kapasitas fiskal daerah sebagai dasar dalam menentukan hibah dan pinjaman daerah yang dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diterbitkan setiap tahun. Dalam PMK No. 226/PMK.07/2012, kapasitas fiskal merupakan rasio total penerimaan daerah (PAD, Dana Bagi Hasil, DAU dan penerimaan lain-lain setelah dikurangi belanja pegawai) dan jumlah penduduk miskin. Penelitian ini menggunakan konsep kapasitas fiskal yang pertama yaitu akumulasi PAD dan dana bagi hasil dengan alasan konsep kapasitas fiskal tersebut merupakan alokator DAU dan terkait permasalahan penelitian yaitu keuangan daerah yang sangat tergantung pada DAU sementara kemampuan kapasitas fiskal rendah. Selain itu, konsep ini paling banyak digunakan dalam penelitian-penelitian terdahulu terkait dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian dan tingkat kemiskinan dalam kerangka penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia. Besar kecilnya kapasitas fiskal sangat tergantung pada ketersediaan sumbersumber pajak (tax objects) dan tingkat hasil (buouyancy) dari objek pajak karena pajak daerah merupakan sumber utama PAD. Tingkat hasil pajak dari objek-objek pajak ditentukan oleh responsibilitasnya terhadap kekuatan yang mempengaruhi pengeluaran misalnya inflasi, pertambahan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berkorelasi dengan tingkat pelayanan yang baik secara kualitatif dan kuantitatif (Makmun, 2008). Sumber-sumber pendapatan potensial daerah juga menentukan tingkat kemampuan keuangan daerah. Setiap daerah memiliki potensi pendapatan yang berbeda-beda karena adanya perbedaan kondisi ekonomi, sumber daya alam, luas wilayah, dan jumlah penduduk yang tercermin pada PAD. Hasil penelitian Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI
10
dalam http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf yang menggunakan data panel 26 provinsi tahun 2002-2004 dengan metode regresi path analysis menemukan adanya hubungan yang signifikan positif antara pajak daerah dan bagi hasil pajak dengan kapasitas fiskal. Sedangkan hubungan retribusi daerah dengan kapasitas fiskal tidak signifikan. Dengan demikan, pajak daerah dan bagi hasil pajak merupakan sumber-sumber pendapatan daerah yang berperan meningkatkan kapasitas fiskal. Berdasarkan termuan tersebut maka penelitian ini menggunakan instrumen pajak daerah dan bagi hasil pajak untuk meningkatkan kapasitas fiskal. Pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan di wilayah tersebut kepada pemerintah daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa tolok ukur untuk menilai pajak daerah adalah hasil (yields), keadilan (equity), daya guna ekonomi (economic efficiency), kemampuan melaksanakan (ability to implement), dan kecocokan sebagai sumber penerimaan pajak daerah (sustainability as local revenue source) (Devas, 1989). Pendapatan dari pajak daerah selanjutnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Dalam kerangka desentralisasi fiskal di Indonesia, pemungutan pajak daerah dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai UU No. 28/2009 yang meliputi: 1. Pajak Provinsi, terdiri dari: a. Pajak kendaraan bermotor b. Bea balik nama kendaraan bermotor c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor d. Pajak air permukaan e. Pajak rokok (cukai) 2. Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari: a. Pajak hotel b. Pajak restoran c. Pajak hiburan d. Pajak reklame e. Pajak penerangan jalan f. Pajak mineral bukan logam dan batuan g. Pajak parkir h. Pajak air tanah i. Pajak sarang burung walet j. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) perdesaan dan perkotaan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menurut Bird (2011) jika pemerintah daerah lebih boros (bigger spenders) akibat implementasi desentralisasi pengeluaran (expenditure decentralization) maka untuk responsibilitas dan akuntabilitas fiskal maka pengeluaran yang besar tersebut seharusnya diikuti kemampuan mengumpulkan pajak daerah yang lebih besar (bigger taxers) yang mencerminkan berjalannya desentralisasi penerimaan (revenue decentralization). Oleh karena itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah maka perlu dilakukan reformasi pajak daerah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Untuk meningkatkan pendapatan pajak daerah, pemerintah telah berupaya meningkatkan jumlah wajib pajak dan memperluas objek pajak melalui kegiatan-kegiatan ekstensifikasi pajak antara lain canvassing (penyisiran wajib pajak), pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan
11
Sensus Pajak Nasional. Sedangkan, upaya-upaya intensifikasi pajak dilakukan untuk mengoptimalkan penggalian penerimaan pajak terhadap objek pajak dan subjek pajak yang telah tercatat, salah satunya dengan meningkatkan kemampuan aparatur perpajakan di daerah. Berdasarkan UU No. 28/2009, pemerintah daerah memiliki kewenangan lebih luas untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan prinsip-prinsip pungutan daerah yang baik (Nota Keuangan RAPBN, 2013). Selain itu, pemerintah daerah juga diberi kewenangan membuat kebijakan pengenaan pajak dan retribusi, mengelola pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah, dan menambah jenis-jenis pajak baru untuk memperluas basis pajak di daerah. Akan tetapi, berbagai upaya di bidang perpajakan dengan menggali potensi cakupan pajak (tax coverage) dan meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance) dari masyarakat seringkali menghadapi berbagai hambatan baik dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak, dan sistem perpajakan. Oleh karena itu, permasalahan pajak harus ditangani secara sinergis dan komprehensif. Sumber kapasitas fiskal lainnya adalah dana bagi hasil. Sumber keuangan ini merupakan transer dari APBN berdasarkan suatu nilai persentase tertentu yang diatur dalam UU No. 33/2004. Dana bagi hasil terdiri dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam. Bagi hasil pajak bersumber dari PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), PPh Pasal 21, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan imbangan untuk pusat dan daerah sebagai berikut: 1. Pajak-pajak penghasilan (PPh) a. 80% untuk pemerintah pusat b. 20% untuk pemerintah daerah (1) 8% untuk provinsi yang bersangkutan (2) 12% untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan a) 8.4% untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar b) 3.6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi secara merata 2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) a. 10% untuk pemerintah pusat (1) 6.5% dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota (2) 3.5% dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten/kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan sektor tertentu b. 90% untuk pemerintah daerah (1) 16.2% untuk provinsi yang bersangkutan (2) 64.8% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan (3) 9.0% untuk biaya pemungutan 3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) a. 20% untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota. b. 80% untuk pemerintah daerah (1) 16% untuk provinsi yang bersangkutan (2) 64% untuk kabupaten/kota penghasil Sedangkan, bagi hasil sumber daya alam meliputi: 1. Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dari wilayah daerah yang bersangkutan
12
2.
3.
4.
5.
6.
7.
a. 20% untuk pemerintah pusat b. 80% untuk pemerintah daerah Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi a. 60% untuk pemerintah pusat b. 40% untuk pemerintah daerah Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan a. 20% untuk pemerintah pusat b. 80% untuk pemerintah daerah Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional a. 20% untuk pemerintah pusat b. 80% untuk seluruh kabupaten/kota Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan a. 84.5% untuk pemerintah pusat b. 15.5% untuk pemerintah daerah Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan a. 69.5% untuk pemerintah pusat b. 30.5% untuk pemerintah daerah Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak a. 20% untuk pemerintah pusat b. 80% untuk pemerintah daerah Tabel 5 Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan Provinsi dengan Proporsi Bagi Hasil SDA Terbesar Tahun 2011 Provinsi
Kalimantan Timur
Proporsi Bagi hasil SDA1 (%) 52.8
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Indeks Gini
3.93
0.38
Persentase penduduk miskin (%) 6.8
Riau
50.0
5.01
0.36
8.5
Kepulauan Riau
35.6
6.67
0.32
7.4
Sumatera Selatan
24.0
6.50
0.34
14.2
Kalimantan Selatan
19.9
6.12
0.37
5.3
6.46
0.41
12.5
Indonesia
Sumber: BPS dan Kementerian Keuangan R.I. Catatan: 1Proporsi pada total pendapatan daerah (data agregat provinsi dan kab/kota) 2 Perubahan PDB Riil Harga konstan tahun 2000
Kekayaan sumber daya alam yang berbeda-beda menyebabkan perbedaan bagi hasil sumber daya alam yang sangat besar antar provinsi dan kabupaten/kota. Sesuai formula penghitungannya, dana bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang diterima daerah sangat tergantung pada output pertambangan dan penggalian, sehingga provinsi-provinsi yang memiliki kekayaan alam di sektor pertambangan dan penggalian menerima bagi hasil SDA paling besar. Namun, kekayaan sumber
13
daya alam seringkali tidak sejalan dengan kondisi perekonomian daerah. Provinsiprovinsi dengan komposisi bagi hasil SDA paling besar tidak serta merta memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat kemiskinan yang rendah (Tabel 5). Pada tahun 2011, provinsi Kalimantan Timur menerima proporsi bagi hasil SDA paling besar, tetapi pertumbuhan ekonominya hanya 3.93% atau jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6.46%. Sedangkan, provinsi Sumatera Selatan yang hanya memiliki komposisi bagi hasil SDA sekitar seperempat dari total penerimaan daerahnya, ekonominya tumbuh cukup tinggi yaitu 6.50%. Namun demikian, angka kemiskinannya cukup tinggi yaitu 14.2% bahkan lebih besar dari pada angka kemiskinan nasional yaitu 12.5%. Perbedaan bagi hasil SDA yang sangat besar antar daerah menjadi alasan bahwa komponen kapasitas fiskal tersebut tidak menjadi fokus penelitian ini. Perkembangan Kapasitas Fiskal di Indonesia
Sulbar NTT Gorontalo Maluku Sultra Papua Sulut Sulteng Bengkulu Malut Sumbar NAD Kalbar Papua Barat Sulsel Lampung NTB Kalteng Jateng Sumut DIY Jatim Babel Jabar Jambi Bali Banten Kalsel Sumsel Kepri Riau Kaltim DKI rata-rata
100,0 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
2005
2011
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 1. Komposisi Kapasitas Fiskal pada Total Pendapatan Daerah (%) Gambar 1 menunjukkan komposisi kapasitas fiskal pada total pendapatan daerah di provinsi DKI Jakarta merupakan yang terbesar bahkan meningkat dari 93.5% menjadi 94.6% selama periode 2005-2011. Tingginya kapasitas fiskal terutama bersumber dari PAD dan bagi hasil pajak. Empat provinsi lain dengan komposisi kapasitas fiskal terbesar adalah Kalimantan Timur, Riau, Kepulauan Riau, dan Sumatera Selatan. Kapasitas fiskal di keempat provinsi tersebut terutama bersumber dari bagi hasil SDA. Sementara, Sulawesi Barat memiliki komposisi kapasitas fiskal paling rendah yaitu 11.4% pada tahun 2011 bahkan lebih rendah dibandingkan tahun 2005 yaitu 16.1%. Empat provinsi lain dengan komposisi kapasitas fiskal paling rendah adalah NTT, Gorontalo, Maluku, dan Sulawesi Tenggara. Secara rata-rata, komposisi kapasitas fiskal per provinsi turun dari 35.2% pada tahun 2005 menjadi 31.2% pada tahun 2011. Penyebab turunnya komposisi kapasitas fiskal dapat ditinjau dari sumber-sumbernya. Gambar 2 menunjukkan komposisi PAD pada total pendapatan daerah rata-rata meningkat dari 15.5% menjadi 16.3%. Namun peningkatan ini terutama disebabkan kenaikan
14
komposisi PAD di Kalimantan Timur, DKI Jakarta, dan Riau masing-masing 7.9 persen poin, 6.6 persen poin, dan 4.1 persen poin. Sementara, komposisi PAD di 17 provinsi justru berkurang. 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 Sulbar NTT Gorontalo Maluku Sultra Papua Sulut Sulteng Bengkulu Malut Sumbar NAD Kalbar Papua Barat Sulsel Lampung NTB Kalteng Jateng Sumut DIY Jatim Babel Jabar Jambi Bali Banten Kalsel Sumsel Kepri Riau Kaltim DKI rata-rata
0,0
2005
2011
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 2. Komposisi PAD pada Total Pendapatan Daerah (%)
Sulbar NTT Gorontalo Maluku Sultra Papua Sulut Sulteng Bengkulu Malut Sumbar NAD Kalbar Papua Barat Sulsel Lampung NTB Kalteng Jateng Sumut DIY Jatim Babel Jabar Jambi Bali Banten Kalsel Sumsel Kepri Riau Kaltim DKI rata-rata
45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0
2005
2010
2011
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 3. Komposisi Bagi Hasil Pajak pada Total Pendapatan Daerah (%) Sedangkan, rata-rata komposisi bagi hasil pajak selama periode 2005-2011 turun dari 11.1% menjadi 6.8% per provinsi per tahun (Gambar 3). Turunnya komposisi bagi hasil pajak terjadi di semua provinsi terutama Papua Barat yang 24.8% menjadi 7.1% atau penurunannya sekitar 17.7 persen poin. Berkurangnya penerimaan daerah dari bagi hasil pajak dapat disebabkan karena pengalihan PBB menjadi pajak daerah sejak tahun 2011. Namun, fakta juga menunjukkan bahwa komposisi bagi hasil pajak di semua provinsi pada tahun 2010 berkurang kecuali DKI Jakarta, Riau, DIY, Bali, dan Jawa Tengah. Hal ini dapat menjadi indikasi
15
bahwa penurunan komposisi bagi hasil pajak juga terjadi pada sumber bagi hasil pajak selain PBB yaitu PPh. Hal serupa terjadi pada komposisi bagi hasil SDA yang rata-rata turun dari 8.6% menjadi 8.1% terutama di Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur yang merupakan daerah penerima bagi hasil SDA terbesar di Indonesia (Gambar 4). 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 Sulbar NTT Gorontalo Maluku Sultra Papua Sulut Sulteng Bengkulu Malut Sumbar NAD Kalbar Papua Barat Sulsel Lampung NTB Kalteng Jateng Sumut DIY Jatim Babel Jabar Jambi Bali Banten Kalsel Sumsel Kepri Riau Kaltim DKI rata-rata
0,0
2005
2011
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 4. Komposisi Bagi Hasil SDA pada Total Pendapatan Daerah (%) Dana Alokasi Umum Formula DAU Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer fiskal dari pemerintah pusat yang bersifat hibah (block grant) bertujuan untuk mengatasi ketidakseimbangan horizontal (horizontal imbalance) antar pemerintah daerah dalam mewujudkan pemerataan kemampuan keuangan antar pemerintah daerah. Dana ini digunakan untuk mendanai kebutuhan fiskal daerah. Sesuai amanat kebijakan desentralisasi fiskal, penggunaan DAU diserahkan sepenuhnya kepada daerah sesuai prioritas dan kebutuhan daerah untuk meningkatkan pelayanan publik. Alokasi DAU yang diatur dalam UU No. 33/2004 dan PP No. 55/2005 menyebutkan bahwa total DAU dalam APBN ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Neto. PDN Neto adalah Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) setelah dikurangi dana bagi hasil dan subsidi. Tetapi jika perubahan APBN menyebabkan PDN Neto bertambah atau berkurang maka besaran DAU yang telah ditetapkan tidak berubah. Perbedaan proporsi DAU provinsi dan kabupaten/kota terjadi karena perbedaan bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Jika penentuan proporsi kewenangan belum dapat dihitung secara kuantitatif maka proporsi DAU ditetapkan 10% untuk provinsi dan 90% untuk kabupaten/kota. DAU disalurkan ke setiap daerah oleh Kementerian Keuangan R.I. secara berkala setiap bulan sebesar 1/12 (satu per duabelas) dari plafon yang telah ditetapkan.
16
DAU dialokasikan sesuai formula yang dibuat dalam empat tahap dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, yaitu: 1. Tahapan akademis Merupakan tahap pembuatan konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU yang dilakukan oleh tim independen dari berbagai universitas dengan tujuan memperoleh kebijakan penghitungan DAU yang sesuai ketentuan undang-undang dan karakteristik otonomi daerah di Indonesia. 2. Tahapan administratif Merupakan tahap koordinasi dengan instansi terkait untuk menyiapkan data dasar penghitungan DAU termasuk kegiatan konsolidasi dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Dirjen Perimbangan Keuangan (DJPK). 3. Tahapan teknis Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU yang akan dikonsultasikan oleh pemerintah pusat kepada DPR RI berdasarkan formula DAU sebagaimana diamanatkan undang-undang dengan menggunakan data yang tersedia serta memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis. 4. Tahapan politis Merupakan tahap akhir pembahasan penghitungan dan alokasi DAU antara pemerintah pusat dengan Panitia Belanja Daerah di Panitia Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU. Formula DAU disusun dengan pendekatan celah fiskal (fiscal gap) dan alokasi dasar. Celah fiskal mencerminkan ketidakmampuan daerah dalam membiayai pembangunan daerahnya dari sumber keuangan lokal dan dihitung sebagai selisih kebutuhan fiskal (fiscal needs) dan kapasitas fiskal (fiscal capacity). Sedangkan alokasi dasar mencerminkan kebutuhan unsur aparatur negara di daerah dan dihitung dari total gaji PNS daerah. Dengan demikian, DAU bertujuan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dengan menerapkan formula alokasi yang mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai daerah, kebutuhan fiskal daerah, dan potensi daerah. Perbedaan formula DAU pada Tabel 6 menunjukkan penghitungan DAU pada periode desentralisasi fiskal tahap pertama untuk tahun anggaran 2001-2005 diatur dalam UU No. 25/1999 dimana kebutuhan fiskal diproksi dari jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi dan Indeks Kemiskinan Relatif. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) mencerminkan keadaan geografis suatu wilayah. Sedangkan, Indeks Kemiskinan Relatif (IKR) mencerminkan tingkat pendapatan masyarakat yang dihitung dari jumlah penduduk miskin dan indeks kesenjangan kemiskinan (poverty gap index). Kapasitas fiskal diproksi dari beberapa komponen pendapatan daerah yang mencerminkan potensi industri, potensi sumber daya alam, dan potensi sumber daya manusia. Potensi industri diproksi dari PAD dan PDRB, potensi sumber daya alam diproksi dari bagi hasil SDA, sedangkan potensi sumber daya manusia diproksi dari bagi hasil pajak. Sedangkan, penghitungan DAU periode desentraliasi fiskal tahap kedua untuk tahun anggaran 2006 sampai sekarang diatur dalam UU No. 33/2004. Perbedaan dengan formula sebelumnya adalah IKR tidak lagi digunakan dan diganti dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selain itu, PDRB per kapita merupakan proksi kebutuhan fiskal. Sedangkan alokasi dasar di kedua formula tidak berubah
17
yaitu diproksi dari realisasi jumlah gaji PNS daerah tahun sebelumnya yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat. Selanjutnya, hasil penghitungan DAU dialokasikan ke provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan bobot setiap daerah sesuai rasio celah fiskal provinsi atau kabupaten/kota dan total celah fiskal seluruh provinsi atau seluruh kabupaten/kota. Berdasarkan formula tersebut maka daerah yang memiliki celah fiskal negatif dan besarnya sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. Sebagai contoh, provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU selama tahun 2008-2010 karena kelebihan kapasitas fiskalnya mampu membiayai seluruh kebutuhan belanja PNS. Tabel 6 Perbedaan Formula Penghitungan DAU TA. 2001-2005 (UU No. 25/1999) DAU = AM + KF AM = Lumpsum + αGaji KF = KBF - KPF KBF = TPR (α 1 IP + α 2 IW + α 3 IKR + α 4 IKK)
KPF = PAD^ + (PBB + BPHTB + PPh + SDA)
PAD t ^ = β 0 + β 1 PDRB-jasa t-1
AM: alokasi miniumum KF: kesenjangan fiskal αGaji: proporsional berdasarkan kebutuhan belanja pegawai KBF: kebutuhan fiskal KPF: kapasitas fiskal TPR: total pengeluaran daerah rata-rata dalam APBD IP: indeks populasi IW: indeks wilayah IKR: indeks kemiskinan relatif IKK: indeks kemahalan konstruksi α i : bobot indeks dihitung secara proporsional dan uji statistik sederhana PAD^: estimasi Pendapatan asli daerah PBB: pajak bumi dan Bangunan BPHTB: Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan PPh: PPh orang pribadi dan Pasal 21 SDA: sumber daya alam PDRB-jasa: PDRB sektor jasa-jasa
TA. 2006- sekarang (UU No. 33/2004) DAU = AD + CF
AD: alokasi dasar CF: celah fiskal
AD = total gaji PNS daerah CF = KBF - KPF KBF = TBD (α 1 IP + α 2 IW + α 3 IKR + α 4 IPM-1 + α 5 PDRBKAP-1 )
KPF = PAD + (PBB + BPHTB + PPh + SDA)
KBF: kebutuhan fiskal KPF: kapasitas fiskal TBD: total belanja daerah rata-rata dalam APBD IP: indeks populasi IW: indeks wilayah IPM-1: invers IPM PDRBKAP-1: invers PDRB per kapita α i : bobot indeks dihitung secara proporsional dan uji statistik sederhana PAD: Pendapatan asli daerah PBB: pajak bumi dan Bangunan BPHTB: Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan PPh: PPh orang pribadi dan Pasal 21 SDA: sumber daya alam
Meskipun formula dan besaran DAU ditetapkan melalui proses panjang dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, namun banyak kritik terkait manfaatnya sebagai instrumen kebijakan desentralisasi fiskal yang pada hakikatnya bertujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian World Bank (2007) menemukan lebih dari setengah kenaikan DAU yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan layanan masyarakat justru digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah daerah. Ini berarti kebijakan pembayaran gaji pegawai daerah secara penuh melalui DAU tidak mendorong pemerintah
18
daerah mengarahkan DAU untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Penelitian tersebut merekomendasikan untuk menghapus pencakupan penuh pembayaran gaji PNS dari anggaran yang seharusnya untuk meningkatkan layanan masyarakat karena akan memperkuat dampak DAU pada tingkat kesejahteraan masyarakat dan semakin memberdayakan pemerintah daerah dalam menemukan kombinasi optimal dari sumber daya yang tersedia yaitu jumlah tenaga kerja, modal, input setengah jadi, dan outsourcing untuk meningkatkan layanan masyarakat. Brodjonegoro (2001) menyatakan bahwa hal terpenting dari DAU bukanlah jumlahnya tetapi formula distribusinya. Pada dasarnya, DAU dialokasikan ke daerah untuk memenuhi kondisi ideal dimana seluruh penduduk Indonesia dapat menikmati layanan dasar masyarakat dalam tingkat standar pelayanan minimum (SPM) yang sama. Oleh karena itu, formula DAU harus dibuat untuk memenuhi tujuan akhir tersebut dengan memastikan tidak ada kesenjangan fiskal di setiap daerah. Estimasi kebutuhan fiskal sebagai dasar formula DAU tersebut seharusnya menggunakan pendekatan bottom-up yang dihitung dengan biaya satuan standar (standard unit cost). Meskipun biaya satuan standar tersebut berbeda antar daerah tetapi outputnya harus memberikan tingkat layanan publik yang sama sesuai SPM dari pemerintah pusat. Akan tetapi, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak pernah memiliki biaya satuan standar layanan masyarakat karena tingkat dan skala layanan masyarakat di masa lalu ditetapkan berdasarkan alokasi dan ketersediaan anggaran. Dengan perkataan lain, standar layanan masyarakat tergantung pada jumlah dana yang dialokasikan untuk jenis layanan masyarakat tertentu di suatu daerah. Untuk itu, pemerintah telah berupaya merevisi formula DAU dengan melibatkan berbagai pihak dari elemen pemerintahan dan akademisi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Namun, berbagai batasan politik menyebabkan hasil akhir distribusi DAU masih mencerminkan pola lama dimana anggaran pemerintah terpusat di Pulau Jawa. Fenomena Flypaper Effect pada DAU Secara teori, transfer fiskal tidak bersyarat (unconditional grant) berdampak meningkatkan belanja publik dan mengurangi beban pajak masyarakat (Kuncoro, 2004). Namun, banyak ahli ekonomi mengamati munculnya anomali dimana transfer fiskal tidak bersyarat tidak menjadi substitusi pajak daerah. Kondisi ini dikenal dengan istilah fenomena flypaper effect (Gramlich, 1977). Menurut Oates (1999), fenomena flypaper effect diindikasikan oleh belanja pemerintah daerah yang sangat responsif terhadap kenaikan transfer dari pada kenaikan pendapatan masyarakat. Menurut Afrizawati (2012), fenomena Flypaper effect berimplikasi pada kecenderungan pemerintah daerah untuk memanipulasi pengeluaran setinggi mungkin tanpa mengupayakan peningkatan pendapatan lokal agar memperoleh transfer yang besar dari pemerintah pusat sehingga lebih mudah memaksimalkan pengeluarannya daripada memaksimalkan PAD. Padahal tata kelola pemerintahan, kelembagaan, dan desain program transfer fiskal merupakan hal penting dalam perekonomian. Fenomena flypaper effect yang menunjukkan perilaku pemerintah daerah dalam merespon transfer fiskal tersebut dapat menjadi indikasi rendahnya kualitas faktor kelembagaan dalam menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal di suatu negara.
19
Fenomena flypaper effect tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian Inman (2008) di berbagai negara menemukan tambahan 1 US$ pendapatan lokal meningkatkan belanja publik antara 0.02-0.05 US$. Sedangkan, tambahan 1 US$ transfer fiskal meningkatkan belanja publik antara 0.25-1.1 US$. Dalam kasus Indonesia, fenomena flypaper effect dapat diindikasikan oleh respon belanja daerah terhadap kenaikan DAU yang lebih besar dibandingkan kenaikan PAD. Studi-studi terdahulu di Indonesia, antara lain Afrizawati (2012), Widarjono (2006), dan Kuncoro (2004) menunjukkan adanya fenomena flypaper effect pada DAU berdasarkan hasil estimasi model belanja daerah dengan indikasi koefisien estimasi DAU yang lebih besar daripada koefisien estimasi PAD. Perkembangan DAU di Indonesia Jumlah DAU pada dana APBN selama 2005-2011 meningkat dari 88.8 triliun rupiah menjadi 225.5 triliun rupiah. Gambar 5 menunjukkan DAU paling banyak ditransfe ke provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang disebabkan besarnya komponen alokasi dasar dan kebutuhan fiskal. Namun, tingginya kapasitas fiskal ketiga provinsi tersebut mengindikasikan bahwa alokasi DAU lebih mengutamakan alokasi dasar dari pada celah fiskal. Demikian juga, Sumatera Selatan dengan kapasitas fiskal terbesar justru menerima DAU yang cukup tinggi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal kurang berperan dalam alokasi DAU sehingga pemerintah daerah selalu tergantung pada DAU. 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 DKI Kepri Sulbar Gorontalo Babel Malut DIY Kaltim Bengkulu Bali Maluku Riau Papua Barat Jambi Kalsel NTB Sultra Banten Sulut Sulteng Kalteng Sumsel Kalbar Lampung NTT Sumbar NAD Sulsel Papua Sumut Jabar Jateng Jatim
0,0
2005
2011
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 5. Proporsi Alokasi DAU per Provinsi (%) Tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU ditunjukkan oleh DAU yang mendominasi total pendapatan daerah terutama di kawasan timur Indonesia (KTI), antara lain Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat (Gambar 6). Sementara itu, fakta menunjukkan tingkat kemiskinan di empat provinsi tersebut relatif tinggi masing-masing 21.2%, 22.5%, 14.6%, dan13.9% pada tahun 2011 dengan struktur ekonomi didominasi sektor pertanian dimana share PDRB pertanian masing-masing 37.0%, 28.7%, 31.7%, dan 48.5%. Selain itu, kondisi infrastruktur di KTI menunjukkan ketimpangan
20
pembangunan infrastruktur dengan kawasan barat Indonesia (KBI) dimana lebih dari dua pertiga panjang jalan di Indonesia berada di KBI terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Hal ini mengindikasikan tingginya komposisi DAU pada keuangan daerah tidak diprioritaskan untuk mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, dalam rangka mempercepat pemerataan pembangunan daerah di Indonesia maka jumlah DAU yang besar hendaknya digunakan untuk membiayai pembangunan daerah pada sektor-sektor yang berdampak besar meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan seperti pembangunan pertanian dan infrastruktur yang banyak direkomendasikan oleh studi-studi terdahulu sebagai strategi pertumbuhan pro-poor.
DKI Kaltim Riau Kepri Banten Sumsel Bali Kalsel Jabar Papua Barat NAD Jatim Jambi Jateng DIY Babel Papua Sulsel Sumut Lampung NTB Sulut Kalbar Sumbar Malut Gorontalo Kalteng Sulteng Bengkulu Sulbar Sultra Maluku NTT rata-rata
80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
2005
2011
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 6. Komposisi DAU pada Total Pendapatan Daerah (%) Kinerja Perekonomian Indikator Kinerja Perekonomian Kinerja perekonomian suatu wilayah umumnya diukur dari pertumbuhan ekonomi yaitu peningkatan nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh wilayah tersebut pada suatu periode waktu. Pertumbuhan ekonomi biasanya diukur dari perubahan Produk Domestik Bruto (PDB) riil dalam persen. PDB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di suatu negara atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di negara tersebut. PDB harga berlaku atau PDB nominal menggambarkan nilai tambah barang dan jasa sesuai harga pada tahun berjalan. PDB nominal biasanya digunakan untuk mengetahui kemampuan sumber daya, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu negara. Sedangkan, PDB harga konstan atau PDB riil menggambarkan nilai tambah barang dan jasa sesuai harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu sebagai tahun dasar. PDB riil biasanya digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu negara secara riil yang tidak dipengaruhi oleh faktor harga. PDB biasanya dihitung dengan tiga pendekatan yang secara konsep akan menghasilkan nilai sama yaitu pendekatan produksi, pendekatan
21
pengeluaran, dan pendekatan pendapatan. PDB produksi adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan berbagai unit produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun. Sesuai Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) unit-unit produksi meliputi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu: (1) Pertanian; (2) Pertambangan dan Penggalian; (3) Industri Pengolahan; (4) Listrik, Gas dan Air Bersih; (5) Konstruksi; (6) Perdagangan, Hotel, dan Restoran; (7) Pengangkutan dan Komunikasi; (8) Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan; dan (9) Jasa-jasa (termasuk jasa pelayanan pemerintah). Secara matematis, nilai PDB produksi pada tahun t adalah : 9
∑Y i =1
i
, i = 1, 2, …, 9
(2.1)
dimana, Y i : PDB sektor i PDB pengeluaran merupakan semua komponen permintaan akhir yaitu konsumsi rumahtangga dan swasta, konsumsi pemerintah, investasi, dan eskpor neto atau: Y = C + I + G + (X-M) dimana, Y : PDB C : konsumsi rumahtangga dan swasta I : pengeluaran investasi swasta G : pengeluaran dan investasi pemerintah X : ekspor M : impor
(2.2)
PDB pendapatan adalah jumlah balas jasa yang diterima faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam bentuk upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDB mencakup penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). Pendekatan ini memiliki kelemahan validitas data karena responden tidak informatif melaporkan jumlah pendapatannya untuk menghindari atau mengurangi pungutan pajak. BPS menghitung PDB produksi dan PDB pengeluaran secara berkala setiap tahun. Sumber data PDB produksi berasal dari departemen atau instansi terkait yang mengumpulkan data produksi, harga produsen, biaya yang dikeluarkan untuk berproduksi, dan pengeluaran. Data-data tersebut diperoleh dari hasil survei dan estimasi. Sedangkan sumber data PDB pengeluaran berasal dari departemen atau instansi terkait yang secara resmi mengeluarkan data ekspor-impor, pengeluaran dan investasi pemerintah, dan investasi swasta. Data-data tersebut dikumpulkan melalui survei-survei khusus seperti survei khusus pengeluaran rumahtangga dan survei khusus tabungan dan investasi rumahtangga (SKTIR). Sejak tahun 2004, PDB riil menggunakan tahun dasar 2000 menggantikan tahun dasar 1993 karena ada perubahan struktur ekonomi Indonesia dalam kurun waktu tersebut meliputi perkembangan harga, cakupan komoditas produksi dan konsumsi, serta jenis dan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Dalam konteks wilayah yang lebih kecil yaitu provinsi dan kabupaten/kota, pertumbuhan ekonomi dihitung menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang mencerminkan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya.
22
Namun, PDB memiliki beberapa kelemahan dalam pengukurannya (Dornbusch, et al., 2008), yaitu: (1) beberapa output tidak bisa diukur karena tidak diperdagangkan dan tidak tercatat misalnya kegiatan undergound economy; (2) beberapa kegiatan ekonomi yang diukur sebagai penambahan PDB menimbulkan efek eksternalitas; dan (3) tidak mempertimbangkan kualitas output. Oleh karena itu, meskipun perubahan PDB merupakan ukuran pertumbuhan ekonomi yang paling umum digunakan, tetapi studi-studi terdahulu terkait kemiskinan umumnya menggunakan pengeluaran per kapita dari hasil survey rumahtangga, antara lain Miranti (2010) dan Ravallion dan Chen (1997). Menurut Ravallion (1995), pengeluaran per kapita lebih mencerminkan kesejahteraan dari pada pendapatan meskipun berasal dari sumber data yang sama.
Sumber : Sakernas – BPS, 2008
Gambar 7. Diagram Ketenagakerjaan Selain pertumbuhan ekonomi, kinerja perekonomian juga seringkali diukur dari kondisi ketenagakerjaan. Tenaga kerja adalah modal bagi pergerakan roda pembangunan dimana jumlah dan komposisinya akan terus mengalami perubahan seiring berlangsungnya proses demografi. Perubahan kondisi ketenagakerjaan biasanya diukur dari indikator-indikator ILO (International Labor Organization) yaitu Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (labor force of participation rate) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (open unemployment rate). Tingkat Partisipasi Angkatan kerja (TPAK) adalah proporsi penduduk usia kerja yang terlibat secara aktif dalam pasar tenaga kerja (labor market) baik yang bekerja maupun sedang mencari pekerjaan yang mencerminkan ukuran relatif penawaran tenaga kerja yang dapat terlibat dalam produksi barang dan jasa. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) adalah proporsi angkatan kerja yang tidak bekerja dan secara aktif sedang mencari pekerjaan. Secara konseptual, penganggur dapat diidentifikasi dari tiga kondisi angkatan kerja, yaitu: (1) sama sekali tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan; (2) sama sekali tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan
23
karena merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan atau sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja; dan (3) sama sekali tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan tetapi sedang mempersiapkan usaha (Gambar 7). Data ketenagakerjaan yang dihitung BPS menggunakan konsep-konsep tersebut berdasarkan hasil survei angkatan kerja nasional (SAKERNAS). Perkembangan Kinerja Perekonomian di Indonesia Secara umum, perekonomian Indonesia selama tahun 2005-2011 mengalami pertumbuhan. Gambar 8 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang diukur dari perubahan PDB riil meningkat dari 5.7% menjadi 6.5% namun berfluktuasi. Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif rendah yaitu 4.6% sebagai dampak krisis keuangan global tahun 2008 sehingga permintaan produk-produk ekspor rendah, harga beberapa komoditas internasional turun, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah. Namun, kondisi tersebut masih lebih baik dibandingkan perekonomian dunia yang mengalami pertumbuhan minus 1.1% pada tahun 2009. 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Pertanian
2,7
3,4
3,5
4,8
4,0
3,0
3,4
Industri Pengolahan
4,6
4,6
4,7
3,7
2,2
4,7
6,1
Perdagangan
8,3
6,4
8,9
6,9
1,3
8,7
9,2
Total
5,7
5,5
6,4
6,0
4,6
6,2
6,5
Sumber: BPS Catatan: 1Perubahan PDB Riil Harga Konstan Tahun 2000
Gambar 8. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi1 Sektoral di Indonesia (%) Dalam kaitannya dengan perubahan kemiskinan, beberapa studi terdahulu menunjukkan keterkaitan pertumbuhan ekonomi sektoral dan kemiskinan, antara lain Warr (2006) dan Suryahadi, et al. (2009). Oleh karena itu, dinamika perekenomian Indonesia perlu ditinjau menurut sektor ekonomi untuk mengetahui peran masing-masing sektor. Perekonomian Indonesia terutama bersumber dari tiga sektor ekonomi yaitu pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan, hotel, dan restoran dimana sektor industri pengolahan memberi kontribusi paling besar (Gambar 9). Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin cepat terjadi karena peran kinerja sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang besar dengan pertumbuhan meningkat dari 8.3% menjadi 9.2%. Pertumbuhan sektor industri pengolahan lebih rendah yaitu meningkat dari 4.6% menjadi 6.1%. Sedangkan, pertumbuhan sektor pertanian sangat kecil hanya meningkat dari 2.7% menjadi 3.4%. Tingginya pertumbuhan sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang merupakan sektor jasa dan rendahnya pertumbuhan sektor riil terutama pertanian
24
merupakan hal yang tidak wajar mengingat Indonesia adalah negara yang berbasis sumber daya alam terutama pertanian. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada kesenjangan pendapatan antar penduduk terutama petani. 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Perdagangan
15,6
15,0
14,9
14,0
13,3
13,7
13,8
Industri Pengolahan
27,4
27,5
27,1
27,8
26,4
24,8
24,3
Pertanian
13,1
13,0
13,7
14,5
15,3
15,3
14,7
Sumber: BPS Catatan: 1Kontribusi PDB Harga Berlaku
Gambar 9. Perkembangan Distribusi Sektor Ekonomi1 di Indonesia (%) Perkembangan ketenagakerjaan dapat ditinjau dari indikator-indikator tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK), tingkat pengangguran terbuka (TPT), dan komposisi tenga kerja menurut sektor. Selama periode 2005–2011 jumlah angkatan kerja naik dari 105.8 juta orang menjadi 117.4 juta orang. Artinya, berarti ada penambahan angkatan kerja baru rata-rata 1.9 juta orang per tahun. Peningkatan ini terjadi seiring pertumbuhan penduduk usia kerja yaitu penduduk usia 15 tahun ke atas sehingga TPAK meningkat dari 68.02% menjadi 69.66% (Gambar 10.). Meningkatnya TPAK mengindikasikan adanya perbaikan pada mutu sumber daya manusia Indonesia sehingga jumlah penduduk usia kerja yang dapat masuk ke pasar tenaga kerja semakin besar. Seiring meningkatnya jumlah angkatan kerja, serapan tenaga kerja meningkat dari 94.9 juta orang menjadi 111.3 juta orang atau bertambah sekitar 2.7 juta orang per tahun. Sementara itu, perkembangan Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia yang menggambarkan ketidakmampuan perekonomian dalam menyerap angkatan kerja akibat penawaran dan permintaan tenaga kerja di pasar tenaga kerja yang tidak seimbang cenderung berkurang dari 10.26% menjadi 6.32%. Namun, tingkat pengangguran tersebut lebih besar dari tingkat pengangguran alami (natural unemployment rate). Menurut Mankiw (2007), tingkat pengangguran alami yang menggambarkan perekonomian dalam kondisi full employment adalah sekitar 5.5%. Tingkat pengangguran di Indonesia yang masih besar mengindikasikan perlunya perluasan kesempatan kerja untuk menyerap jumlah angkatan kerja yang terus meningkat. Hal ini dapat dilakukan dengan memperluas lapangan usaha secara merata terutama di sektor-sektor yang memerlukan sumber daya tenaga kerja yang lebih besar seperti sektor pertanian.
25
Sumber: BPS
Gambar 10. Perkembangan TPAK dan TPT di Indonesia (%) 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 Perdagangan
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
19,9
19,5
19,9
20,3
20,9
20,7
20,9
Industri Pengolahan
12,3
12,2
12,4
12,2
12,1
12,2
12,3
Pertanian
44,0
44,5
43,7
41,8
41,2
39,9
38,2
Sumber: BPS
Gambar 11. Perkembangan Komposisi Tenaga Kerja di Indonesia (%) Berbeda dengan tingkat output dimana share PDB industri pengolahan paling besar, penyerapan tenaga kerja terbesar justru terjadi di sektor pertanian dengan rata-rata 42% per tahun selama tahun 2005-2011 (Gambar 11). Sementara, serapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, rata-rata 12% dan 20% per tahun. Tingginya serapan tenaga kerja di sektor pertanian berbanding terbalik dengan sumbangannya pada output nasional yang rendah. Hal ini mengindikasikan transformasi struktur ekonomi Indonesia yang tidak berimbang yaitu laju pergeseran ekonomi sektoral relatif cepat dibandingkan laju pergeseran tenaga kerja sehingga titik balik aktivitas ekonomi tercapai lebih dulu dibandingkan titik balik penggunaan tenaga kerja (Supriyati, et al., 2001). Transformasi ekonomi yang tidak seimbang akan berdampak pada proses kemiskinan dan eksploitasi sumber daya manusia pada sektor primer. Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Konsep dan Ukuran Kemiskinan Salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat yang paling penting adalah status kemiskinan masyarakat (BPS, 2008). Oleh karena itu, kemiskinan merupakan permasalahan pokok yang selalu dibahas terkait proses pembangunan
26
karena keberhasilan pemerintahan dalam mencapai tujuan pembangunan seringkali dinilai dari perubahan tingkat kemiskinan. Dalam konteks kebijakan desentralisasi fiskal dalam rangka mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional maka analisis kemiskinan penting untuk dilakukan. Kemiskinan adalah konsep abstrak dengan pengertian berbeda-beda. Dalam perspektif ekonomi, kemiskinan menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah (deprivation in well-being) dalam ukuran moneter. Kemiskinan pendapatan (income poverty) ini merupakan konsep yang paling banyak dipakai dalam penelitian-penelitian ekonomi karena terukur dan terkait dengan indikatorindikator ekonomi lain. Dengan konsep ini penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang tidak memiliki pendapatan cukup untuk memenuhi standar kehidupan minimum. Kemiskinan dalam konteks ekonomi tersebut dapat diukur sebagai kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut, dimana perbedaannya terletak pada standar penilaian. Standar penilaian kemiskinan relatif merupakan standar kehidupan yang ditentukan dan ditetapkan secara subyektif oleh masyarakat dan bersifat lokal. Berdasarkan standar tersebut maka kemiskinan relatif merupakan suatu kondisi dimana sekelompok masyarakat berada lebih rendah dari standar layak kehidupan umum yang berlaku di kelompok masyarakat tersebut. Penduduk yang berada di bawah standar penilaian tersebut dikategorikan sebagai penduduk miskin relatif. Dengan konsep kemiskinan relatif tersebut, maka secara implisit kemiskinan akan selalu ada. Konsep kemiskinan relatif biasanya digunakan oleh negara-negara maju. Menurut Thorbecke (1993), negara kaya memiliki garis kemiskinan lebih tinggi dari pada negara miskin. Ketika negara kaya bertambah sejahtera, maka garis kemiskinannya cenderung direvisi menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, Uni Eropa mendefinisikan penduduk miskin sebagai penduduk dengan pendapatan per kapita kurang dari 50 persen dari rata-rata pendapatan masyarakat (Haughton dan Khandker, 2009). Ketika rata-rata pendapatan masyarakat meningkat maka garis kemiskinan relatifnya juga meningkat. BPS (2009) mendefinisikan kemiskinan relatif sebagai kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan. Dengan standar penilaian adalah kondisi hidup masyarakat yang difokuskan pada kelompok penduduk termiskin misalnya 20 persen atau 40 persen penduduk dengan pendapatan (pengeluaran) terendah maka ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan (pengeluaran) penduduk. Sedangkan, kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum (basic needs) yang diperlukan agar dapat hidup dan bekerja antara lain pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan. Nilai kebutuhan pokok minimum dalam ukuran moneter adalah garis kemiskinan absolut yang selanjutnya menjadi acuan untuk mengidentifikasi penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut sangat penting untuk menilai dan membandingkan efek kebijakan anti kemiskinan (anti-poverty policies) antar waktu, atau memperkirakan dampak suatu program terhadap kemiskinan, misalnya pemberian kredit skala kecil. Untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara, Bank Dunia menggunakan suatu garis kemiskinan absolut yang terbanding antar negara yaitu 1 US$ per kapita per hari dan 2 US$ per kapita per hari namun dalam ukuran US$ PPP (Purchasing Power Parity) bukan nilai tukar resmi (exchange rate) di masing-masing negara.
27
Menurut World Bank (2009), pengukuran tingkat kemiskinan penting untuk dilakukan dengan alasan: 1. Untuk menjaga agar kemiskinan menjadi agenda pembangunan. 2. Untuk mengidentifikasi penduduk miskin agar target intervensi tepat. 3. Untuk memonitor dan mengevaluasi proyek-proyek dan intervensi kebijakan yang diarahkan kepada penduduk miskin. 4. Untuk mengevaluasi efektivitas institusi yang membantu penduduk miskin. Untuk itu, diperlukan ukuran-ukuran kemiskinan yang akurat. Menurut Ravallion (1998) pengukuran tingkat kemiskinan dilakukan dalam tiga tahap: 1. Mendefinisikan suatu indikator kesejahteraan (welfare indicator), misalnya pengeluaran per kapita (per capita expenditure). 2. Menentukan standar minimum indikator tersebut untuk mengidentifikasi penduduk miskin, misalnya garis kemiskinan (poverty line). 3. Menghitung ukuran statistik yang merangkum informasi distribusi indikator kesejaheraan tersebut dan posisinya relatif terhadap standar minimum, misalnya headcount index. Dengan mengacu pada ketiga tahap tersebut, BPS menghitung angka kemiskinan setiap tahun untuk tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang dibedakan menurut wilayah perkotaan dan pedesaan. Indikator kesejahteraan yang digunakan adalah pengeluaran per kapita yang diestimasi dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) terhadap sejumlah sampel rumahtangga di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahap kedua yaitu menentukan Garis Kemiskinan sebagai batas standar minimum pengeluaran per kapita dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dengan menghitung biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi makanan yang memenuhi syarat nutrisi yang cukup yaitu 2100 kalori per orang per hari dan biaya kebutuhan penting lainnya seperti pakaian, kesehatan, dan tempat tinggal. Pendekatan kebutuhan dasar diperkenalkan dan dipopulerkan oleh International Labor Organisation (ILO) tahun 1976. Teknik penghitungan garis kemiskinan yang dilakukan oleh BPS tersebut adalah (BPS, 2008) : 1. Menentukan penduduk referensi yaitu 20% penduduk di atas Garis Kemiskinan Sementara (GKS) yaitu garis kemiskinan periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi dari IHK umum. Selanjutnya garis kemiskinan yang merupakan penjumlah garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan dihitung dari pengeluaran per kapita pada kelompok penduduk referensi tersebut. 2. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran 52 komoditas dasar makanan yang dikonsumsi oleh penduduk referensi yang setara dengan 2100 kalori per kapita per hari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori masing-masing komoditas. 3. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah jumlah nilai pengeluaran kebutuhan minimum komoditas non makanan terpilih yaitu perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan dimana nilai kebutuhan minimum untuk setiap komoditas dihitung dari rasio pengeluaran komoditas terhadap total pengeluaran dari hasil Suvei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar tahun 2004. 4. Garis Kemiskian akhir merupakan penjumlahan GKM dan GKNM.
28
Setelah garis kemiskinan diperoleh, selanjutnya tingkat kemiskinan dihitung menggunakan tiga indikator kemiskinan yang dikembangkan oleh Foster, Greer, dan Thorbecke (1984) dengan formula: ; α = 0, 1, dan 2
(2.3)
dimana, N : jumlah penduduk n : jumlah penduduk miskin z : garis kemiskinan y i : pengeluaran konsumsi penduduk miskin (i = 1, 2, …, n); yi < z P 0 : Headcount index (%) P 1 : Poverty Gap Index P 2 : Poverty Severity Index Indikator headcount index (P 0 ) menyatakan persentase penduduk miskin. Indikator ini sangat populer karena interpretasi dan pengukurannya mudah, tetapi tidak dapat menggambarkan intensitas kemiskinan atau seberapa miskin penduduk yang tergolong miskin. Untuk itu, diperlukan indikator lain yaitu poverty gap index (P 1 ) dan poverty severity index (P 2 ). Poverty Gap Index atau Indeks Kedalaman Kemiskinan menggambarkan sejauh mana penduduk miskin berada di bawah garis kemiskinan. Indikator ini dihitung dari proporsi pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Nilai poverty gap index yang lebih besar menunjukkan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan yang lebih lebar. Selain untuk mengukur tingkat kedalaman kemiskinan, poverty gap index juga digunakan untuk mengetahui total sumber daya (uang) yang dibutuhkan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan melalui metode transfer pendapatan (cash transfer) dengan asumsi seluruhnya diberikan kepada penduduk miskin (World Bank, 2009). Sebagai contoh, jika di suatu wilayah terdapat 10 juta rumahtangga miskin dengan garis kemiskinan 500 US$ per tahun dan Poverty Gap Index 5%, maka dibutuhkan minimal 25 US$ per tahun untuk setiap rumahtangga agar menjadi tidak miskin. Artinya, secara total pemerintah harus menyediakan uang minimal 250 juta US$ pada tahun itu untuk menghapus kemiskinan di wilayah tersebut. Namun, Poverty Gap Index tidak dapat menangkap perbedaan keparahan kemisinan (the severity of poverty) di antara penduduk miskin. Sebagai contoh, di dua wilayah kecil dengan garis kemiskinan 500 US$ per tahun masing-masing hanya terdapat dua rumahtangga miskin. Pada wilayah pertama, pendapatan rumahtangga miskin pertama sebesar 100 US$ per tahun dan pendapatan rumahtangga miskin kedua sebesar 300 US$ per tahun. Pada wilayah kedua, pendapatan kedua rumahtangga miskin masingmasing 200 US$ per tahun. Poverty gap index untuk kedua wilayah adalah sama yaitu 60% yang berarti intensitas kemiskinan di kedua wilayah tersebut adalah sama. Padahal pendapatan rumahtangga pertama di wilayah pertama hanya 100 US$ per tahun yang artinya kemiskinan di wilayah tersebut lebih parah (Foster, 1998). Oleh karena itu, diperlukan indikator Poverty Severity Index (P 2 ) atau Indeks Keparahan Kemiskinan yang dapat menggambarkan distribusi pengeluaran di antara penduduk miskin. Indikator ini dihitung dari rata-rata kuadrat poverty gap index (P 1 ) relatif terhadap garis kemiskinan untuk setiap penduduk miskin. Nilai Poverty Severity Index yang lebih besar menunjukkan semakin besarnya ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin.
29
Konsep dan Ukuran Ketimpangan Pendapatan Studi-studi terdahulu seperti Kakwani (1993) dan Bourguignon (2004) menyatakan bahwa perubahan tingkat kemiskinan penduduk tidak hanya terjadi karena perubahan rata-rata pendapatan tetapi juga karena perubahan distribusi pendapatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran yang menggambarkan distribusi pendapatan di antara seluruh kelompok penduduk yaitu ketimpangan pendapatan (inequality). Berbeda dengan ukuran kemiskinan yang lebih fokus pada keadaan kelompok penduduk miskin, ukuran ketimpangan pendapatan mencakup seluruh penduduk tidak hanya penduduk miskin. Ukuran ketimpangan tidak hanya dihitung untuk dimensi moneter seperti pendapatan dan pengeluaran, tetapi juga untuk dimensi non-moneter seperti kepemilikian/penguasaan lahan dan aset. Namun, dalam kaitannya dengan kemiskinan maka ukuran ketimpangan yang lebih tepat adalah ketimpangan pendapatan (income inequality). Distribusi pendapatan yang merata (equal) memiliki arti pendapatan setiap penduduk relatif sama. Sedangkan distribusi pendapatan yang timpang (inequal) menunjukkan ada kelompok penduduk tertentu yang memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan kelompok penduduk lain. Dengan perkataan lain, ukuran ketimpangan digunakan untuk mengukur posisi individu relatif terhadap penduduk secara keseluruhan dan posisi sekelompok penduduk terhadap kelompok penduduk lainnya. Informasi ketimpangan pendapatan diperlukan oleh pemerintah ketika merancang program intervensi dalam kegiatan pembangunan ekonomi. Perubahan ukuran ketimpangan menjadi petunjuk kelompok penduduk mana yang banyak mengalami perubahan distribusi pendapatan dan sektor-sektor ekonomi apa yang memperoleh dampak dari kebijakan ekonomi tersebut. Ada beberapa ukuran ketimpangan, tetapi ukuran yang paling mudah adalah ukuran ketimpangan Bank Dunia. Indikator ini dihitung dengan membagi seluruh penduduk ke dalam lima kelompok berdasarkan pendapatan (pengeluaran) yang diurut dari kelompok penduduk termiskin sampai kelompok penduduk terkaya yang kemudian diagregasi menjadi tiga kelompok yaitu 40% penduduk golongan rendah, 40% penduduk golongan menengah, dan 20% penduduk golongan tinggi. Selanjutnya, ketimpangan pendapatan dihitung sebagai rasio total pendapatan (pengeluaran) 40% penduduk golongan rendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk (World Bank, 2009). Bila proporsi pendapatan yang diperoleh 40% penduduk golongan rendah kurang dari 12% maka tingkat ketimpangan tergolong tinggi (high inequality). Jika berada di antara 12% dan 17% maka tingkat ketimpangan tergolong sedang (moderate inequality). Sedangkan, jika lebih dari 17% maka tingkat ketimpangan tergolong rendah (low inequality). Indikator ketimpangan pendapatan lain yang paling banyak digunakan adalah Indeks Gini. Indikator ini diturunkan dari Kurva Lorenz yaitu kurva frekuensi kumulatif yang membandingkan distribusi pendapatan (pengeluaran) dengan distribusi seragam (uniform). Gambar 12 menunjukkan sumbu horizontal pada kurva Lorenz adalah proporsi kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikal adalah proporsi kumulatif pendapatan (pengeluaran). Garis diagonal menggambarkan kemerataan sempurna yang berarti distribusi seragam. Indeks Gini dihitung dari rasio luas A dan luas (A+B), dimana luas A adalah persentase kumulatif penduduk dengan pendapatan (pengeluaran) kumulatif proporsional. Jika luas A = 0 maka Indeks Gini bernilai 0 atau merata sempurna. Jika luas B = 0
30
maka Indeks Gini bernilai 1 atau timpang sempurna. Namun, Indeks Gini yang dihitung dari data pengelauran per kapita empiris berkisar antara 0.3 dan 0.5 (Haughton dan Khandker, 2009).
Sumber: World Bank (2009)
Gambar 12. Kurva Lorenz Secara matematis, Indeks Gini dapat dihitung dengan formula: (2.4) Jika terdapat N buah interval yang sama pada sumbu X maka: (2.5) Perkembangan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Sejak tahun 1984 BPS telah menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin untuk periode 1976-1981 menggunakan data SUSENAS modul konsumsi. Namun, saat ini indikator kemiskinan dapat dihitung dan disajikan setiap tahun untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang dirinci menurut perkotaan dan pedesaan. Tabel 7 menunjukkan perkembangan kemiskinan tahun 2005-2011 berfluktuasi tetapi cenderung berkurang. Jumlah dan persentase penduduk miskin tahun 2006 yang meningkat terkait erat dengan dua kali kenaikan harga BBM di tahun 2005 yang mengakibatkan inflasi mencapai 17.1%. Perkembangan jumlah penduduk miskin menunjukkan sekitar dua pertiga penduduk miskin di Indonesia tinggal di pedesaan. Sementara itu, Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk perkotaan dan pedesaan relatif seimbang dengan proporsi 49.8% dan 50.2%. Jumlah penduduk miskin pedesaan yang besar menyebabkan tingginya persentase penduduk miskin di pedesaan yang mencapai 15.72% pada tahun 2011, sementara di perkotaan hanya 9.23%. Selain itu, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan kemiskinan pedesaan lebih tinggi menunjukkan rendahnya kualitas hidup penduduk miskin pedesaan sehingga dapat menjadi indikasi bahwa hasil-hasil pembangunan di Indonesia lebih menguntungkan sektor-sektor nonpertanian yang mendominasi struktur ekonomi perkotaan. Dugaan ini diperkuat kenyataan bahwa lebih dari setengah rumahtangga miskin di Indonesia adalah rumahtangga pertanian (Gambar 13). Dengan demikian, pengentasan kemiskinan di Indonesia akan terwujud jika diprioritaskan pada pembangunan pertanian.
31
Tabel 7 Perkembangan Indikator Kemiskinan menurut Wilayah, 2005-2011 Tahun
Garis Kemiskinan (Rupiah)
Jumlah Penduduk Miskin (Juta)
Persentase Penduduk Miskin
Indeks Kedalaman Kemiskinan
Indeks Keparahan Kemiskinan
12.40 14.49 13.56 12.77 11.91 11.10 11.05
11.68 13.47 12.52 11.65 10.72 9.87 9.23
2.05 2.61 2.15 2.07 1.91 1.57 1.52
0.60 0.77 0.57 0.56 0.52 0.40 0.39
22.70 24.81 23.61 22.19 20.62 19.93 18.97
19.98 21.81 20.37 18.93 17.35 16.56 15.72
3.34 4.22 3.78 3.42 3.05 2.80 2.63
0.89 1.22 1.09 0.95 0.82 0.75 0.70
35.10 39.30 37.17 34.96 32.53 31.02 30.03
15.97 17.75 16.58 15.42 14.15 13.33 12.49
2.78 3.43 2.99 2.77 2.50 2.21 2.08
0.76 1.00 0.84 0.76 0.68 0.58 0.55
Perkotaan 2005 150 799 2006 174 290 2007 187 942 2008 204 896 2009 222 123 2010 232 989 2011 253 016 Pedesaan 2005 117 259 2006 130 584 2007 146 837 2008 161 831 2009 179 835 2010 192 354 2011 213 395 Perkotaan dan Pedesaan 2005 138 574 2006 151 997 2007 166 697 2008 182 636 2009 200 262 2010 211 726 2011 233 740
Sumber: Statistik Indonesia 2006-2012 (BPS) 100% 75% 50% 53
56
64
58
57
25%
32
35
2007
2008
44 35
32
0% 2007
2008
2009
2010
2011
Pertanian
2010
2011
Rumah Tangga Tidak Miskin
Rumah Tangga Miskin Tidak Bekerja
2009
Industri
Lainnya
Sumber: Statistik Indonesia 2008-2012 (BPS)
Gambar 13. Komposisi Rumahtangga Miskin dan Rumahtangga Tidak Miskin menurut Sumber Penghasilan Utama Kepala Rumahtangga (%) Pada dasarnya, kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor internal (dari dalam masyarakat) dan faktor-faktor eksternal (dari luar masyarakat) (Susilowati, 2010). Faktor-faktor internal terkait kualitas penduduk yang dicerminkan oleh tingkat pendidikan, kesehatan, sikap, dan perilaku. Sedangkan, faktor-faktor eksternal antara lain sarana dan prasarana transportasi sebagai aksesibilitas kepada sumber daya ekonomi, aksesibilitas kepada modal, serta kualitas sumber daya alam, teknologi, dan sistem kelembagaan. Sejalan dengan pendapat itu, Kartasasmita (1996) berpendapat bahwa penyebab utama kemiskinan adalah rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya taraf kesehatan, terbatasnya lapangan
32
pekerjaan, dan kondisi keterisolasian. Sementara itu, Todaro dan Smith (2003) menjelaskan faktor-faktor penyebabab kemiskinan dalam aspek ekonomi dan nonekonomi, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk dan terbatasnya kesempatan kerja. Kedua hal tersebut menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja sehingga pada akhirnya menyebabkan rendahnya pendapatan penduduk. Booth dan Firdaus (1996) berpendapat bahwa faktor-faktor utama penyebab kemiskinan di pedesaan adalah faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya, geografis, lingkungan, personal, dan fisik. Dengan demikian, faktor-faktor utama penyebab kemiskinan di pedesaan adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya lapangan pekerjaan. Mengingat struktur ekonomi pedesaan didominasi oleh sektor pertanian maka tingginya tingkat kemiskinan penduduk di sektor pertanian juga disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia pada rumahtangga pertanian dan terbatasnya lapangan pekerjaan di sektor pertanian. Sebagai negara berkembang, Indonesia juga menghadapi permasalahan kemiskinan dengan faktor-faktor penyebab kemiskinan sebagaimana diuraikan di atas. Wilayah-wilayah pertanian dengan tingkat pendidikan masyarakat yang lebih rendah serta lapangan pekerjaan yang terbatas memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah non-pertanian. Demikian juga, wilayahwilayah di KTI dengan kualitas infrastruktur yang buruk dan tidak lengkap serta kondisi geografis yang sulit menyebabkan keterisolasian sehingga tingkat kemiskinannnya lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah di KBI. Gambar 14 yang menyajikan peta kemiskinan menurut provinsi tahun 2011 menunjukkan 16 dari 33 provinsi tergolong provinsi miskin dengan persentase penduduk miskin lebih besar dari angka nasional (12.5%). Provinsi-provinsi tersebut tersebar di KBI dan KTI. Provinsi DKI Jakarta memiliki angka kemiskinan paling kecil (3.7%), sedangkan provinsi Papua dan Papua Barat memiliki angka kemiskinan paling besar (39.8% dan 39.1%). Jika dianalisis bersama indikator kesejahteraan seperti tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan yang cenderung lebih rendah di provinsi-provinsi miskin (Gambar 15 dan 16), dapat diduga bahwa faktor-faktor non-ekonomi tersebut merupakan penyebab kemiskinan di Indonesia. 40,0
30,0
20,0 12,5
10,0
DKI Bali Kalsel Babel Banten Kalteng Kaltim Kepri Riau Sulut Kalbar Jambi Sumbar Malut Sulsel Jabar Sumut Sulbar Jatim Sumsel Sultra Jateng Sulteng DIY Lampung Bengkulu Gorontalo NAD NTB NTT Maluku Papua Barat Papua indonesia
0,0
Sumber: Statistik Indonesia 2012 (BPS)
Gambar 14. Persentase Penduduk Miskin Tahun 2011
33
12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0
Papua
Papua Barat
NTT
Maluku
NTB
NAD
Bengkulu
Gorontalo
DIY
Lampung
Sulteng
Sultra
Jateng
Jatim
Sumsel
Sulbar
Jabar
Sumut
Sulsel
Malut
Jambi
Sumbar
Kalbar
Riau
Sulut
Kepri
Kaltim
Kalteng
Babel
Banten
Kalsel
DKI
Bali
0,0
Sumber: Statistik Indonesia 2012 (BPS)
Gambar 15. Rata-rata Lama Sekolah Tahun 2011 (tahun) 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0
Papua
Papua Barat
Maluku
NTT
NTB
NAD
Gorontalo
Lampung
Bengkulu
DIY
Sulteng
Sultra
Jateng
Sumsel
Jatim
Sulbar
Sumut
Jabar
Sulsel
Malut
Jambi
Sumbar
Kalbar
Sulut
Riau
Kepri
Kaltim
Kalteng
Banten
Babel
Bali
Kalsel
DKI
0,0
Sumber: Statistik Indonesia 2012 (BPS)
Gambar 16. Angka Kelahiran Hidup Dibantu Tenaga Medis Tahun 2011 (%) Selain itu, perekonomian provinsi-provinsi miskin cenderung didominasi oleh sektor pertanian (Gambar 17) memperkuat dugaan faktor ekonomi menjadi penyebab utama kemiskinan karena rendahnya pendapatan penduduk dari sektor pertanian. Namun, rata-rata provinsi miskin memiliki kapasitas fiskal lebih rendah (Gambar 18). Kenyataan ini menjadi indikasi bahwa sistem kelembagaan yang kurang baik sebagaimana dikemukakan oleh Susilowati (2010) juga menjadi penyebab kemiskinan di Indonesia. Dengan perkataan lain, pemerintah daerah dengan struktur keuangan daerah yang lebih mengandalkan DAU untuk membiayai pembangunan daerahnya memiliki sistem kelembagaan lebih buruk dan tidak mampu mengatasi permasalahan kemiskinan dari pada pemerintah daerah yang lebih mengandalkan kapasitas fiskal.
34
60,0
40,0
20,0
Papua
Papua Barat
NTT
Maluku
NTB
NAD
Bengkulu
Gorontalo
DIY
Lampung
Sulteng
Sultra
Jateng
Jatim
Sumsel
Sulbar
Jabar
Sumut
Sulsel
Malut
Jambi
Sumbar
Kalbar
Riau
Sulut
Kepri
Kaltim
Kalteng
Babel
Banten
Kalsel
DKI
Bali
0,0
Sumber: Statistik Indonesia 2012 (BPS)
Gambar 17. Kontribusi PDRB Pertanian Tahun 2011 (%) 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0
DKI Bali Kalsel Babel Banten Kalteng Kaltim Kepri Riau Sulut Kalbar Jambi Sumbar Malut Sulsel Jabar Sumut Sulbar Jatim Sumsel Sultra Jateng Sulteng DIY Lampung Bengkulu Gorontalo NAD NTB NTT Maluku Papua Barat Papua
0,0
Sumber: Statistik Indonesia 2012 (BPS)
Gambar 18. Komposisi Kapasitas Fiskal pada Total Pendapatan Daerah (%) Pertumbuhan ekonomi 2005-2011 yang meningkat dari 5.7% menjadi 6.5% justru diikuti ketimpangan pendapatan yang lebih besar. Ketimpangan pendapatan ukuran Bank Dunia menunjukkan proporsi pengeluaran per kapita 40% penduduk golongan rendah turun dari 23% menjadi 20%. Sebaliknya, proporsi pengeluaran per kapita 20% penduduk golongan atas naik dari 37% menjadi 43% (Gambar 19). Demikian juga, Indeks Gini meningkat dari 0.31 menjadi 0.41 (Gambar 20). Hal ini mengindikasikan manfaat pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung lebih dinikmati oleh penduduk golongan atas. Jika mengacu pada konsep Kakwani dan Pernia (2000) yaitu pertumbuhan ekonomi disertai turunnya kemiskinan tetapi ketimpangan pendapatan lebih besar tidak memberi manfaat secara proporsional lebih besar bagi penduduk miskin. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia periode desentralisasi fiskal tahap dua tahun 2005-2011 tidak pro-poor.
35
100%
75%
50%
25%
0% 20% Pengeluaran Tinggi
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
37
38
40
39
39
40
43
40% Pengeluaran Sedang
40
39
38
39
38
39
37
40% Pengeluaran Rendah
23
23
22
22
22
21
20
Sumber: Statistik Indonesia 2006-2012 (BPS)
Gambar 19. Perkembangan Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita (%) 0,45
0,40
0,35
0,30
0,25 Indeks Gini
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
0,31
0,36
0,38
0,37
0,37
0,38
0,41
Sumber: Statistik Indonesia 2006-2012 (BPS)
Gambar 20. Perkembangan Indeks Gini, 2005-2011 Keterkaitan Kapasitas Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kapasitas fiskal merupakan sumber pendapatan daerah dari potensi sumber daya lokal daerah yang berperan penting dalam mencapai tujuan pembangunan nasional pada era desentralisasi saat ini. Hal tersebut ditunjukkan oleh fakta keterkaitan kapasitas fiskal dan kemiskinan daerah di Indonesia. Pada bagian sebelumnya telah ditunjukkan bahwa provinsi-provinsi dengan tingkat kemiskinan tinggi cenderung memiliki kapasitas fiskal rendah. Sedangkan, provinsi-provinsi dengan tingkat kemiskinan rendah cenderung memiliki kapasitas fiskal lebih besar. Artinya, provinsi-provinsi miskin umumnya masih bergantung pada DAU untuk membiayai pembangunan daerahnya. Namun, bagaimana peran kapasitas fiskal dalam mengurangi kemiskinan. Jika mengacu pada kerangka pemikiran Warr (2006) pada Gambar 21 pertumbuhan ekonomi adalah dampak (outcome) kebijakan ekonomi dan kekuatan-kekuatan eksternal
36
serta respon pelaku pasar. Kebijakan ekonomi dan faktor-faktor eksternal tersebut mempengaruhi kemiskinan melalui efek-efeknya pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan redistribusi (redistributional effects) yang diasumsikan bernilai kecil. Pada kerangka pemikiran tersebut, PDB dan komponen-komponen sektoralnya merupakan dampak intermediate, sedangkan kemiskinan merupakan dampak susulan. Economic policy
Economic growth Poverty reduction
External factors
Redistributional effects
Sumber: Warr (2006)
Gambar 21. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa perubahan kemiskinan tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan tetapi juga distribusi pendapatan. Pendapat tersebut dituangkan dalam konsep pertumbuhan pro-poor (pro-poor growth) yang populer sejak satu dekade terakhir. Konsep ini merefleksikan ide bahwa pertumbuhan ekonomi harus dinikmati oleh seluruh segmen masyarakat. Pendapat ini muncul berdasarkan hasil penelitian empiris di beberapa negara pada awal tahun 2000an yang menemukan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi yang cepat memberi efek paling besar dalam mengurangi kemiskinan tetapi tidak semua pertumbuhan memberi pengaruh yang sama, sehingga percepatan pengentasan kemiskinan tidak hanya membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi juga ketimpangan pendapatan yang lebih rendah (Whitfield, 2008). Jika dikaitkan dengan kapasitas fiskal, maka meningkatnya kapasitas fiskal karena perubahan kebijakan fiskal akan mempengaruhi output (pertumbuhan) sebagai dampak intermediate dan mempengaruhi kemiskinan sebagai dampak susulan. Dengan perkataan lain, peran kapasitas fiskal pada kemiskinan dapat terjadi melalui jalur pertumbuhan dan pemerataan pendapatan. Kebijakan fiskal adalah salah satu jenis kebijakan ekonomi selain kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan luar negeri yang bertujuan mengarahkan perekonomian melalui pendapatan pajak dan pengeluaran pemerintah untuk mempengaruhi sisi permintaan agregat (aggregate demand) dalam jangka pendek dan mempengaruhi sisi penawaran agregat (aggregate supply) dalam jangka panjang. Artinya, pengaruh kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dalam jangka pendek (Keynesian short-run effects) dan jangka panjang (Classical long-run effects). Aliran Keynesian berpendapat bahwa dalam jangka pendek perubahan output dan tenaga kerja pada tingkat harga tertentu dipengaruhi oleh permintaan. Sementara aliran klasik berpendapat hal itu tidak akan terjadi dalam jangka panjang, tetapi ada faktor-faktor lain seperti modal manusia (human capital), tingkat harga, dan teknologi yang mempengaruhinya. Namun, menurut Mallick (2008) pada dasarnya tidak ada model teoritis yang dapat menjelaskan pengaruh kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang, sehingga diperlukan pendekatan empiris untuk menjelaskan keterkaitan kebijakan fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Dengan perkataan lain, penelitian empiris diperlukan
37
untuk mengetahui peran kapasitas fiskal pada kemiskinan melalui efek output jangka panjang pada sisi penawaran agregat. Secara konkrit, penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan fiskal dapat dilakukan dengan mengatur pengeluaran pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang bertujuan untukmengurangi beban pengeluaran penduduk miskin dan meningkatkan pendapatan penduduk miskin. Beban pengeluaran penduduk miskin dapat dikurangi dengan menanggung sebagian pengeluarannya melalui bantuan atau subsidi pemerintah dalam berbagai bentuk, misalnya RASKIN (beras untuk rumahtangga miskin), JAMKESMAS (jaminan kesehatan masyarakat), dan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Sedangkan peningkatan pendapatan penduduk miskin dapat tercapai dengan mengatur pengeluaran pemerintah pada sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja lebih banyak dan efektif menurunkan kemiskinan untuk menciptakan pertumbuhan pro-poor, misalnya dengan membangun infrastruktur di pedesaan melalui kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Namun, kebijakan penganggaran tersebut sangat bergantung pada kemampuan keuangan pemerintah termasuk kapasitas fiskal. Oleh karena itu, kapasitas fiskal adalah faktor penting untuk menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi yang berdampak menurunkan kemiskinan. Menurut Klasen (2004) dan McKay (2002), penanggulangan kemiskinan melalui pertumbuhan pro-poor dapat terwujud secara langsung maupun tidak langsung. Penduduk miskin secara langsung akan memperoleh manfaat pada meningkatnya pendapatan karena adanya perubahan pola pertumbuhan. Tetapi, besarannya tergantung pada kekuatan modal manusia (human capital) yang dimilikinya seperti tingkat pendidikan, keterampilan, dan kesehatan. Di sisi lain, penduduk miskin secara tidak langsung memperoleh manfaat dari kebijakan redistribusi seperti pajak, transfer, dan belanja pemerintah lainnya. Menurut Whitfield (2008), pertumbuhan pro-poor harus difokuskan pada wilayah pedesaan, perbaikan pendapatan sektor pertanian, dan penggunaan tenaga kerja intensif agar berdampak langsung bagi kemiskinan. Pendapat ini didasari oleh kenyataan bahwa mayoritas penduduk miskin tinggal di pedesaan dan sangat bergantung pada sektor pertanian. Pentingnya strategi pengentasan kemiskinan di sektor pertanian dalam menciptakan pertumbuhan pro-poor sudah banyak diakui. Salah satunya adalah Klasen (2004) yang menyatakan hampir semua keberhasilan pembangunan mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas dan pendapatan sektor pertanian serta perluasan lapangan pekerjaan di sektor non-pertanian di pedesaan berperan penting dalam menciptakan pertumbuhan yang lebih cepat dan mengentaskan kemiskinan. World Bank dalam World Development Report 2008, merekomendasikan strategi pengentasan kemiskinan, yaitu: (1) meningkatkan produktivitas sektor tanaman pangan; (2) memperluas akses petani kecil untuk meningkatkan nilai tambah produksi tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perikanan; dan (3) menciptakan pekerjaan non-pertanian di pedesaan. Beberapa penelitian terdahulu merekomendasikan agar pemerintah mendorong aktivitas ekonomi di kantong-kantong kemiskinan yaitu wilayah pedesaan dan sektor pertanian atau memindahkan mereka ke wilayah yang lebih kaya melalui insentif kepada sektor swasta dan melibatkan peran pemerintah. ADB (1999) menekankan bahwa pertumbuhan pro-poor dapat terwujud jika mampu menyerap tenaga kerja yang disertai kebijakan-kebijakan dan program-program yang dapat mengurangi ketimpangan pendapatan serta memfasilitasi penduduk miskin untuk
38
mendapatkan penghasilan dan pekerjaan. Menurut Abbott (2007), suatu kebijakan adalah pro-poor atau memihak penduduk miskin jika bersifat padat karya, sasaran pada sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja, menciptakan pendapatan dan pekerjaan bagi penduduk miskin, dan mengurangi ketimpangan pendapatan. Dengan demikian, karena kemiskinan banyak terjadi di sektor pertanian terutama di wilayah pedesaan, maka strategi pertumbuhan pro-poor harus difokuskan pada wilayah pedesaan dan sektor pertanian. Sejalan dengan hal itu, Balisacan, et al. (2003) merekomendasikan penanggulangan kemiskinan di Indonesia dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendorong pembangunan dan perbaikan infrastruktur, pengembangan modal manusia, insentif harga pertanian, dan akses teknologi. Demikian juga, OECD (2006 dan 2009) merekomendasikan strategi pertumbuhan pro-poor melalui kebijakan-kebijakan bidang pertanian, infrastruktur ekonomi, pengembangan sektor swasta, proteksi sosial, dan ketenagakerjaan. Studi Terdahulu Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan Studi-studi empiris terkait dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya dengan fokus yang berbeda. Studi terdahulu yang fokus pada aspek transfer fiskal antara lain Sinaga dan Siregar (2003), Nanga (2006), Usman (2006), dan Ariyanto (2002). Pertama, Sinaga dan Siregar (2003) meneliti dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah di beberapa provinsi di Indonesia. Studi ini dilakukan dengan membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan dan model input-output. Beberapa temuan penting yaitu penerapan desentralisasi fiskal berdampak memperbaiki kinerja perekonomian daerah yang diindikasikan oleh output dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar sebagai akibat perbaikan kinerja fiskal berupa meningkatknya pengeluaran pemerintah daerah. Selanjutnya, kinerja perekonomian dan kinerja fiskal daerah yang lebih baik berdampak menurunkan tingkat kemiskinan daerah. Akan tetapi, penerapan desentralisasi fiskal belum efektif mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah yang diduga karena kurang tepatnya formula dana perimbangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah yang mengindikasikan membaiknya kinerja fiskal daerah dapat dipandang dari sisi yang berbeda. Hal tersebut dapat saja terjadi karena besarnya meningkatnya sumber penerimaan daerah khususnya dari transfer DAU. Hal ini justru dapat menjadi indikasi bahwa kinerja fiskal daerah karena pemerintah daerah tergantung pada DAU sehingga kurang berupaya meningkatkan PAD. Kedua, Nanga (2006) meneliti dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di perkotaan dan pedesaan di Indonesia dengan pendekatan ekonometrik sistem persamaan simultan menggunakan data panel konsolidasi fiskal kabupaten/kota di 25 provinsi di Indonesia tahun 1999-2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikasi kuat transfer fiskal dalam berbagai bentuknya lebih menguntungkan sektor-sektor non-pertanian. Hal ini tercermin dari PDRB dan penyerapan tenaga kerja di sektor non-pertanian yang meningkat lebih besar dibandingkan sektor pertanian sehingga berdampak memperburuk tingkat kemiskinan pedesaan setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal. Sebaliknya, tingkat kemiskinan di perkotaan berkurang yang diduga karena kondisi sarana dan prasarana yang lebih
39
baik dibandingkan pedesaan. Selain itu, efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan sangat dipengaruhi ketimpangan pendapatan sehingga kenaikan pendapatan per kapita tidak mampu menurunkan kemiskinan karena pada saat yang bersamaan pertumbuhan ekonomi meningkatkan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian, studi tersebut menyimpulkan bahwa transfer fiskal berdampak memperburuk kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Namun, penelitian tersebut tidak dianalisis secara sektoral sehingga dampaknya pada sektor pertanian hanya diindikasikan oleh perubahan kemiskinan di pedesaan. Selain itu, hasil penelitian tersebut tidak merekomendasikan kebijakan fiskal yang efektif menurunkan kemiskinan. Ketiga, Usman (2006) meneliti dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan dengan membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan menggunakan data panel 26 provinsi tahun 1995-2003. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan ekonomi sebelum desentralisasi fiskal lebih menguntungkan kelompok penduduk kaya. Sedangkan sesudah desentralisasi fiskal menguntungkan kelompok penduduk kaya pada awalnya tetapi pada tahun-tahun berikutnya menguntungkan kelompok penduduk miskin. Namun, studi tersebut juga tidak mengkaji peran kebijakan fiskal dalam konteks penerapan desentralisasi fiskal berdasarkan sektor ekonomi. Sedangkan, fakta menunjukkan ada variasi sektoral pada dinamika kemiskinan di Indonesia. Keempat, Ariyanto (2002) meneliti mengenai transfer fiskal pemerintah pada era desentralisasi fiskal di Indonesia yang difokuskan pada kasus dana perimbangan. Penelitian tersebut membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan menggunakan data panel 26 provinsi tahun 1996-2001. Penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah dana perimbangan yaitu DAU, DAK, bagi hasil pajak, dan bagi hasil sumber daya alam akan mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi disparitas pendapatan antar daerah, dan mendorong investasi dan konsumsi swasta daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, namun keseimbangan antar daerah (yang dianalisis dengan Indeks Williamson dan koefisien variasi PDRB per kapita antar provinsi) cenderung memburuk karena alokasi bagi hasil pajak, bagi hasil sumber daya alam, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak merata antar daerah, sehingga alokasi DAU berfungsi sebagai penetralisir. Alokasi bagi hasil pajak lebih menguntungkan daerah metropolitan seperti DKI Jakarta, alokasi bagi hasil sumber daya alam hanya menguntungkan daerah-daerah penghasil sumber daya alam seperti Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur, dan alokasi DAK hanya menguntungkan daerah-daerah dengan aktivitas kehutanan yang tinggi karena DAK masih ditujukan untuk reboisasi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong investasi dan konsumsi swasta dengan tingkat pertumbuhan yang bervariasi. Sedangkan, studi-studi terdahulu yang fokus pada penerapan kebjiakan desentralisasi fiskal di sisi revenue assignments dan peran investasi swasta tidak banyak, antara lain Mahi (2005) dan Yanizar (2012). Pertama, Mahi (2005) melakukan penelitian mengenai peran PAD pada era otonomi daerah. Temuan pentingnya adalah berkurangya peran PAD dalam pembiayaan publik di daerah. Selain itu, berdasarkan elastisitas pajak daerah ditemukan bahwa basis pajak daerah saat ini kurang sensitif terhadap perkembangan perekonomian daerah.
40
Pemungutan pajak di daerah juga belum optimal sehingga diperlukan optimalisasi pajak daerah melalui intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan misalnya dengan menyusun daftar detil pajak yang boleh dipungut daerah bukan hanya kriteria umum. Kedua, Yanizar (2012) meneliti dampak kebijakan pengeluaran dana pembangunan daerah dan investasi swasta terhadap PDRB dan kemiskinan di provinsi Jambi. Penelitian dilakukan dengan membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan menggunakan data time series tahun 1985-2010. Hasil penelitan menyimpulkan bahwa kerjasama antara pemerintah daerah dan swasta adalah hal penting bagi pembangunan ekonomi provinsi Jambi karena terbatasnya kemampuan keuangan daerah. Kesimpulan ini berdasarkan temuan dimana peningkatan pengeluaran pemerintah daerah yang diikuti peningkatan investasi swasta pada sektor-sektor produktif akan memacu pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat kemiskinan. Selain itu, konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi keleluasaan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah terutama dari pajak daerah harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan potensi penerimaan dan mengalokasikan dana pada sektor-sektor produktif dan unggulan daerah secara efisien dan efektif untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan pendapatan dan menurunkan jumlah penduduk miskin. Meskipun studi-studi tersebut menunjukkan dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia tetapi umumnya dilakukan pada masa awal desentralisasi fiskal dengan membandingkan dampak sebelum dan sesudahnya. Selain itu, studi-studi tersebut umumnya lebih fokus pada transfer fiskal. Hasilhasil studi tersebut juga tidak memberi satu kesimpulan yang sama terkait tujuan pembangunan ekonomi yaitu perbaikan kinerja perekonomian dan pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan Sektoral dan Kemiskinan Banyak ahli ekonomi meyakini pentingnya pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan. Namun, fakta menunjukkan kemiskinan tidak menyebar secara merata di seluruh perekonomian, tetapi ada variasi antar sektor dan antar wilayah. Oleh karena itu, komponen pertumbuhan ekonomi sektoral, regional, dan fungsional sangat penting dalam strategi pengentasan kemiskinan (Klasen, 2004). Dalam jangka panjang, pertumbuhan pro-poor dapat terwujud melalui hubungan tidak langsung antar sektor, antar daerah, dan antar faktor-faktor produksi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri dan jasa-jasa dapat mendorong migrasi tenaga kerja dari daerah pedesaan yang miskin sehingga dapat meningkatkan pendapatan penduduk miskin baik penduduk migran maupun penduduk yang tetap tinggal di pedesaan serta memberi peluang terhadp perbaikan pertumbuhan sektor non-pertanian di pedesaan. Di sisi lain, pertumbuhan tenaga kerja terampil (skilled labor) yang umumnya penduduk tidak miskin akan meningkatkan permintaan tenaga kerja tidak terampil (unskilled labor) yang umumnya merupakan penduduk miskin karena kedua jenis tenaga kerja ini seringkali bersifat komplemen. Beberapa studi empiris terdahulu menunjukkan peran pertumbuhan antar wilayah dan antar sektor pada kemiskinan. Ravallion dan Datt (2002) yang melakukan penelitian empiris di India menemukan: (1) pertumbuhan ekonomi di
41
pedesaan berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; (2) pertumbuhan ekonomi di perkotaan hanya berdampak mengurangi kemiskinan di perkotaan; (3) pertumbuhan ekonomi sektor-sektor primer dan tersier berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; (4) pertumbuhan ekonomi sektor pertanian berdampak besar mengurangi kemiskinan; dan (5) pertumbuhan ekonomi sektor-sektor non-pertanian berdampak mengurangi kemiskinan secara bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat kemampuan baca tulis perempuan, urbanisasi, disparitas perkotaan-pedesaan, dan hasil-hasil pertanian. Temuan ini menunjukkan bahwa pengentasan kemiskinan tidak hanya memerlukan peran pertumbuhan sektor pertanian tetapi juga pertumbuhan sektor-sektor nonpertanian terutama di pedesaan. Demikian juga, penelitian Eastwood dan Lipton (2001) terhadap data empiris beberapa negara menemukan bahwa perbaikan produktivitas tenaga kerja pertanian lebih mendorong pertumbuhan pro-poor dibandingkan perbaikan sektor non-pertanian. Tetapi, pengaruh perbaikan sektor pertanian di negara-negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan tinggi relatif rendah bahkan tidak ada. Penelitian mengenai keterkaitan pertumbuhan antar sektor dan kemiskinan dilakukan oleh Warr (2006) terhadap data empiris di tujuh negara yaitu Thailand, Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja, Laos, dan Vietnam untuk menganalisis peran tingkat dan komposisi sektoral pertumbuhan ekonomi pada perubahan insiden kemiskinan absolut. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui penyebab perubahan kemiskinan yang bervariasi antar negara dan antar waktu pada beberapa dekade terakhir di Asia Tenggara. Berdasarkan hasil analisis statistik terhadap Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina dengan membagi sektor ekonomi menjadi sektor pertanian, sektor indsutri, dan sektor jasa-jasa disimpulkan bahwa pengurangan kemiskinan terutama disebabkan oleh tingkat pertumbuhan agregat. Sementara perubahan pertumbuhan sektoral hanya memberi dampak sangat kecil, dimana penurunan kemiskinan sangat terkait dengan pertumbuhan pertanian dan jasa-jasa, tetapi tidak terkait pertumbuhan industri. Temuan tersebut mendukung hipotesis bahwa kebijakan substitusi impor untuk mendorong industrialisasi tidak meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin karena tidak memberi kontrbusi cukup untuk memperluas permintaan sumber daya utama yang mereka miliki yaitu tenaga kerja tidak terampil (unskilled labor). Penelitian serupa dilakukan Suryahadi, et al. (2009) di Indonesia tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan dengan mendekomposisi keduanya ke dalam sektor-sektor pertanian, industri, dan jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan sektor jasa-jasa di pedesaan mengurangi kemiskinan di semua sektor baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sementara, pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan berpengaruh paling besar pada kemiskinan di hampir semua sektor. Temuan lainnya adalah pertumbuhan pertanian di pedesaan sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi kemiskinan pedesaan yang merupakan kantong kemiskinan di Indonesia. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan cara paling efektif untuk mempercepat pengentasan kemiskinan adalah fokus pada pertumbuhan sektor pertanian di pedesaan dan pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan. Meskipun studi-studi tersebut dapat menunjukkan keterkaitan pertumbuhan ekonomi sektoral dan kemiskinan tetapi tidak terkait kebijakan-kebijakan fiskal yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan melalui keterkaitan sektoral
42
tersebut. Oleh karena itu, penelitian mengenai dampak kebijakan fiskal terhadap kemiskinan sektoral melalui efek pertumbuhan pro-poor yang menguntungkan kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu penduduk miskin yang hidup dari pertanian dipandang perlu untuk dilakukan.
43
3. KERANGKA TEORI Teori Keuangan Publik Konsep Keuangan Publik Keuangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas keuangan pemerintah serta proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Setiap keputusan yang diambil akan berpengaruh terhadap ekonomi, keuangan rumahtangga, dan swasta. Keuangan publik mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah serta menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pemerintah pada alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi. Musgrave (1959) menyatakan fungsi keuangan pemerintah adalah menetapkan anggaran keuangan publik meliputi: (1) keputusan alokasi (layanan apa yang akan disediakan); (2) keputusan distribusi (siapa yang mendapat manfaat dan menanggung bebannya); dan (3) keputusan stabilisasi (berapa tingkat pendapatan dan harga-harga yang dapat diterima). Keputusan alokasi terkait erat dengan kewenangan utama pemerintah menyangkut alokasi sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat terutama barang publik yang nilainya relatif besar tetapi tidak disediakan oleh swasta. Keputusan distribusi adalah peran pemerintah dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi (pendapatan) kepada seluruh masyarakat untuk menjamin bahwa seluruh golongan masyarakat dapat mengakses sumber ekonomi dan mendapatkan penghasilan yang layak. Oleh karena itu, keputusan distribusi terkait erat dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat secara proporsional dalam rangka mendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi yang optimal. Keputusan stabilisasi merupakan peran pemerintah untuk menjamin dan menjaga stabilitas perekonomian secara makro misalnya mengendalikan laju inflasi, keseimbangan neraca pembayaran, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, fungsi ini terkait erat dengan variabel-variabel ekonomi makro dan berbagai instrumen kebijakan fiskal dan moneter. Dalam konteks pembangunan desentralisasi, pemerintah daerah lebih berperan pada keputusan alokasi dan keputusan distribusi. Menurut Rosen (1999), keuangan publik adalah aktivitas pemerintah terkait perpajakan dan belanja pemerintah yang membahas: 1. Government expenditure atau pengeluaran pemerintah 2. Government revenues and taxes atau sumber-sumber penerimaan pemerintah dengan pajak sebagai sumber penerimaan terpenting 3. Government borrowing and indebtedness atau pinjaman pemerintah dan perlunasannya 4. Fiscal administration and fiscal technique atau administrasi fiskal dan teknis fiskal yang membahas hukum dan tata usaha keuangan negara 5. Intergovernment fiscal relationship atau perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah 6. Fiscal policy atau kebijakan fiskal yang mempelajari peran dan pengaruh keuangan pemerintah pada pendapatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, harga-harga, dan efisiensi alokasi sumber daya.
44
Sebagai suatu studi ilmu, keuangan publik dibedakan menjadi keuangan publik positif (positive public finance) dan keuangan publik normatif (normative public finance) (Stiglitz, 2000). Positive public finance adalah studi tentang fakta, keadaan, dan hubungan antar variabel yang berkenaan dengan usaha pemerintah dalam mencari dana dan menggunakan dana tersebut misalnya bagaimana sistem perpajakan dan struktur perpajakan dewasa ini, menelaah keadaan dan sistem anggaran, dan sebagainya. Dengan demikian, studi positive public finance adalah studi yang menggambarkan, menjelaskan, dan meramalkan tentang apa yang terjadi dalam keuangan publik. Sedangkan, normative public finance adalah studi keuangan publik mengenai etika dan nilai pandang (value judgment) yaitu bagaimana kegiatan keuangan negara, perpajakan, pengeluaran, dan pinjaman pemerintah dapat menciptakan efisiensi alokasi sumber daya, stabilisasi ekonomi makro, pemerataan distribusi pendapatan, dan sebagainya. Dengan demikian, studi normative public finance lebih fokus pada permasalahan kebijakan keuangan negara (fiscal policy) (Kadmasasmita, 2014). Manajemen Keuangan Publik Manajemen keuangan publik adalah semua kegiatan/upaya/aktivitas yang dilakukan pemerintah dalam mengelola semua urusan pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas finansial pemerintahan mulai dari pengelolaan penerimaan, pengeluaran, dan kebijakan mengadakan pembiayaan. Manajemen keuangan publik dituangkan dalam bentuk anggaran keuangan publik. Menurut Mardiasmo (2002), anggaran keuangan publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan dana publik. Anggaran keuangan publik berisi rencana kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter (Bastian, 2006). Anggaran keuangan publik dapat didefinisikan dalam dua pengertian, yaitu: (1) perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan pada periode yang akan datang; dan (2) rencana penjatahan sumber daya yang dinyatakan dalam angka (biasanya satuan uang). Dengan demikian, penganggaran keuangan publik adalah proses pelaksanaan program-program dalam bentuk pendapatan dan belanja dalam satuan moneter yang didanai dengan uang masyarakat. Artinya, anggaran keuangan publik dibuat untuk menentukan tingkat kebutuhan masyarakat yang menjamin kesejahteraan masyarakat. Ada dua jenis anggaran keuangan publik sesuai tingkat pemerintahan yaitu: (1) anggaran negara (APBN) yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR; dan (2) anggaran daerah (APBD) yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh DPRD. Menurut Mardiasmo (2002), anggaran keuangan publik berfungsi sebagai: 1. Alat perencana (planning tool) Bertujuan untuk merencanakan tindakan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut. 2. Alat pengendali (control tool) Bertujuan untuk menyusun rencana detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
45
3.
Alat kebijakan fiskal (fiscal tool) Bertujuan menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui anggaran publik dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah sehingga dapat ekonomi dapat diprediksi dan diestimasi dengan mendorong, memfasilitasi, dan mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. 4. Alat politik (political tool) Bertujuan untuk memutuskan prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Pada sektor publik, anggaran keuangan publik merupakan dokumen politik sebagai bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu. 5. Alat koordinasi dan komunikasi (coordination and communication tool) Merupakan alat koordinasi antar bagian dalam pemerintahan karena setiap unit kerja dalam pemerintahan terlibat dalam proses penyusunan anggaran 6. Alat penilaian kinerja (performance measurement tool) Merupakan wujud komitmen dari budget holder (eksekutif) kepada pemberi wewenang (legislatif). 7. Alat motivasi (motivation tool) Digunakan untuk para manajer dan stafnya agar bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai target dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. 8. Alat menciptakan ruang publik (public sphere) Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, dan organisasi kemasyarakatan secara bersama-sama terlibat dalam proses penganggaran publik. Pada dasarnya, anggaran keuangan publik terdiri dari anggaran operasional dan anggaran modal. Anggaran operasional digunakan untuk merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan pemerintahan. Pengeluaran pemerintah yang dapat dikategorikan anggaran operasional adalah belanja rutin (recurrent expenditure). Belanja rutin adalah pengeluran pemerintah yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak dapat menambah aset atau kekayaan bagi pemerintah. Secara umum, pengeluaran pemerintah yang termasuk anggaran operasional antara lain: belanja administrasi umum serta belanja operasi dan pemeliharaan. Sedangkan, anggaran modal menunjukkan rencana jangka panjang dan pembelanjaan atas aktiva tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainya. Pengeluaran modal yang besar biasanya dilakukan menggunakan pinjaman. Belanja investasi atau modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah yang selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. Penyusunan anggaran keuangan publik meliputi empat tahap, yaitu: 1. Tahap persiapan anggaran Menentukan estimasi pengeluaran berdasarkan estimasi pendapatan yang tersedia. Oleh karena itu, sebelum menyetujui estimasi pengeluaran hendaknya terlebih dahulu dilakukan estimasi pendapatan secara akurat. 2. Tahap ratifikasi Melibatkan proses politik yang cukup rumit dan berat karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan
46
memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan dan bantahan dari pihak legislatif. Oleh karena itu, pimpinan eksekutif harus mempunyai political skill, salesmanship, dan coalition building yang memadai. 3. Tahap implementasi Pelaksanaan anggaran setelah anggaran tersebut disetujui oleh legislatif. Pada tahap ini, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah ketersediaan sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. 4. Tahap pelaporan dan evaluasi. Tterkait dengan aspek akuntabilitas. Tahap ini akan berjalan dengan baik dan tidak menemui banyak masalah apabila tahap implementasi didukung sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik. Dalam PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajibah daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Dengan demikian, pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Keuangan daerah dituangkan dalam APBD yaitu rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Ruang lingkup keuangan daerah meliputi: 1. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman 2. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga 3. Penerimaan daerah 4. Pengeluaran daerah 5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah 6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum. Teori Kebijakan Fiskal Dampak Kebijakan Fiskal pada Perekonomian Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang bertujuan mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dalam jangka pendek, pengaruh kebijakan fiskal dapat terjadi pada sisi permintaan agregat yang dikenal dengan istilah Keynesian shortrun effect. Dalam jangka panjang, pengaruh kebjiakan fiskal dapat terjadi pada sisi penawaran agregat melalui peningkatan kapasitas perekonomian yang dikenal dengan istilah classical long-run effect. Secara umum, aliran Keynesian dianggap valid pada jangka pendek dimana harga-harga bersifat tetap (given) serta output dan tenaga kerja tergantung pada permintaan. Para pendukung aliran ini percaya bahwa pajak yang rendah dan pengeluran pemerintah yang tinggi akan memberi
47
dampak positif pada perekonomian. Sebaliknya, aliran klasik berpendapat pada jangka panjang hal tersebut tidak akan berkelanjutan karena harga-harga akan menyesuaikan serta output dan tenaga kerja berada pada tingkat potensialnya. Pendekatan Keynesian dilakukan dengan analisis teoritis, sedangkan pendekatan klasik dilakukan dengan analisis empiris jangka panjang. Analisis teoritis dalam menjelaskan dampak kebijakan fiskal jangka pendek dengan pendekatan Keynesian mengacu pada neraca nasional yang menunjukkan bahwa komponen PDB yaitu konsumsi, investasi, dan ekspor neto dapat dibagi menjadi beberapa sub komponen yang umumnya merupakan indikator kebijakan fiskal. Indikator-indikator fiskal tersebut saling terkait dan berdampak langsung pada indikator-indikator makroekonomi, seperti konsumsi swasta, keseimbangan transaksi berjalan (current account balance), dan PDB. Sedangkan pada jangka panjang ada banyak faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi antara lain kualitas modal manusia, tingkat harga, posisi perekonomian awal, dan perkembangan teknologi (Kukk, 2008). Hal ini didasari pada kenyataan peristiwa di satu periode akan memberi konsekuensi pada periode berikutnya sehingga semakin panjang periode maka semakin rumit analisis hubungan antar kejadian di satu periode jangka pendek. Karena tidak ada model teoritis yang secara sempurna menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi maka untuk mengetahui peran kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang digunakan pendekatan empiris. Kebijakan fiskal meliputi pengeluaran pemerintah dan penerimaan pajak. Teori peran kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek menunjukkan bahwa pengaruh perubahan kedua instrumen tersebut pada output tergantung masing-masing efek pengganda (multiplier effect). Analisis dengan pendekatan Keynesian dalam model IS-LM yang diilustrasikan pada Gambar 22 menunjukkan berkurangnya pajak ΔT menggeser kurva IS ke kanan sehingga titik ekuilibrium bergerak dari A ke B dan output naik dari Y 1 ke Y 2 dimana perubahannya tergantung efek pengganda pajak (tax multiplier effect) yaitu: (3.1) dimana, ΔY : perubahan output ΔT : perubahan pajak MPC : Marginal Propensity to Consume; 0 < MPC < 1 -MPC/(1-MPC) : tax multiplier effect
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 22. Dampak Penurunan Pajak terhadap Output
48
Persamaan (3.1) memberi implikasi peningkatan pajak akan menurunkan output karena tax multiplier effect bernilai negatif, sebaliknya penurunan pajak akan meningkatkan output. Di sisi lain, peningkatan pajak akan menambah sumber pendapatan pemerintah untuk membiayai belanja pemerintah. Gambar 23 menunjukkan kenaikan belanja pemerintah sebesar ΔG akan menggeser kurva IS ke kanan sebesar jumlah tersebut sehingga titik ekuilibrium bergerak dari A ke B dan output naik dari Y 1 ke Y 2 . Besar kecilnya perubahan output aktual tersebut tergantung pada efek pengganda pengeluaran pemerintah (government spending multiplier effect) yaitu: (3.2) dimana, ΔY : perubahan output ΔG : perubahan belanja pemerintah MPC : Marginal Propensity to Consume; 0 < MPC < 1 1/(1-MPC) : government spending multiplier effect Persamaan (3.2) memberi implikasi bahwa peningkatan belanja pemerintah akan meningkatkan output karena government spending multiplier effect bernilai positif. Sebaliknya, penurunan pengeluaran pemerintah akan menurunkan output.
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 23. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap Output Kedua persamaan di atas menunjukkan pengganda pajak (tax multiplier) merupakan hasil kali MPC dengan pengganda pengeluaran (government spending multiplier). Namun, karena MPC positif dan keruang dari satu maka pengganda pajak lebih kecil daripada pengganda pengeluaran. Menurut Samuelson dan Nordhaus (1997) hal ini disebabkan sebagian dari pajak yang berkurang tersebut ditabung. Artinya, jika pemerintah menurunkan pajak 1 US$ maka hanya sebagian dari 1 US$ tersebut dibelanjakan oleh rumahtangga. Sedangkan, jika pemerintah membelanjakan 1 US$ maka seluruhnya dibelanjakan langsung untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Ini berarati, meskipun keduanya meningkatkan output tetapi peningkatan karena kenaikan belanja pemerintah akan lebih besar daripada peningkatan karena turunnya pajak. Dengan demikian, jika tambahan penerimaan pemerintah dari kenaikan pajak seluruhnya digunakan untuk belanja pemerintah maka output akan meningkat lebih besar dibandingkan turunnya output karena kenaikan pajak tersebut. Artinya, jika tambahan penerimaan dari pajak digunakan untuk membiayai belanja pemerintah secara efektif maka output akan meningkat.
49
Dalam jangka panjang, ada banyak faktor yang saling terkait dan bervariasi dari waktu ke waktu yang harus diperhitungkan dalam menjelaskan perubahan ekonomi. Faktor-faktor tersebut tidak hanya faktor-faktor ekonomi tetapi juga faktor-faktor sosial, budaya, lingkungan, geografis, dan sebagainya. Semakin panjang periode semakin rumit analisis hubungan antara peristiwa-peristiwa ekonomi di suatu periode dengan periode-periode sebelum dan sesudahnya. Karena tidak ada model teoritis yang secara sempurna dapat menjelaskan hal itu maka diperlukan pendekatan empiris untuk mengetahui pengaruh kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hasil penelitian Kukk (2008) terhadap data panel 52 negara meliputi negara maju, negara transisi, dan negara berkembang justru menunjukkan penerimaan pemerintah dalam bentuk pajak langsung, pajak tidak langsung, dan hibah berpengaruh positif pada pertumbuhan PDB riil. Hal ini berbeda dengan pendapat Keynesian dimana pajak yang lebih rendah berdampak positif pada perekonomian jangka pendek. Sebaliknya, pengeluaran pemerintah untuk pegawai, konsumsi, dan bantuan-bantuan sosial berpengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi, kecuali pengeluaran untuk investasi memberi pengaruh positif. Hal ini juga bertentangan dengan pendapat Keynesian dimana pengeluaran pemerintah yang lebih besar berdampak positif pada perekonomian jangka pendek. Selain itu, faktor-faktor lain seperti investasi swasta juga memberi pengaruh positif pada pertumbuhan. Dengan demikian, temuan dari penelitian tersebut adalah pada jangka panjang pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan bukan pajak, pengeluaran pemerintah untuk investasi, dan investasi swasta. Jika dikaitkan dengan fokus penelitian ini mengenai peran kapasitas fiskal dalam mengentaskan kemiskinan melalui efek pertumbuhan, maka cukup beralasan jika pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas fiskal terutama dari sumber-sumber pajak daerah dan bagi hasil pajak untuk memperoleh efek positif pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Terkait fungsi anggaran keuangan publik sebagai alat kebijakan fiskal, anggaran keuangan publik bertujuan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, perlu diketahui bagaimana peran kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran keuangan publik. Menurut Tanzi (2004), para pembuat kebijakan diasumsikan hanya mengatur anggaran keuangan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial atau kepentingan umum masyarakat. Tingkat kesejahteraan sosial dapat diindikasikan oleh beberapa indikator ekonomi dan sosial. Indikator ekonomi tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan tenaga kerja, pertumbuhan produktivitas, tingkat inflasi, distribusi pendapatan, dan tingkat pengangguran. Sedangkan, indikator sosial antara lain angka harapan hidup, insiden kriminalitas, angka melek huruf, kualitas lingkungan fisik, dan insiden kesakitan. Para pembuat kebijakan yang bertanggung jawab terhadap kebijakan ekonomi akan fokus pada indikator-indikator ekonomi, sehingga mereka memiliki persepsi bahwa indikator-indikator ekonomi tersebut mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang dapat dinyatakan sebagai berikut: W = f(y 1 , y2 , …, y n ) dimana, W : tingkat kesejahteraan y i : indikator ekonomi ke-i
(3.3)
50
Para pembuat kebijakan meyakini bahwa indikator-indikator ekonomi dipengaruhi oleh perubahan instrumen-instrumen kebijakan tertentu. Dengan demikian, masing-masing indikator ekonomi merupakan fungsi dari berbagai instrumen kebijakan, yang dapat dinyatakan sebagai berikut: yi = f(x 1 , x 2 , …, x j )
(3.4)
dimana, y i : indikator ekonomi ke-i x j : kebijakan ekonomi ke-j Seringkali, suatu instrumen x j sangat efisien dalam mempengaruhi suatu indikator spesifik yi . Dalam konteks ini, efisiensi adalah perubahan suatu instrumen sebesar ∆x diperlukan untuk mengubah suatu indikator sebesar ∆y. Jika perubahan instrumen yang kecil dapat menghasilkan perubahan indikator yang signifikan maka instrumen tersebut dipandang efisien terhadap indikator tersebut. Dengan demikian, jika instrumen-instrumen yang efisien tersebut ada maka kebijakan untuk mendorong tujuan-tujuan ekonomi akan menjadi lebih mudah. Contoh-contoh instrumen kebijakan antara lain: (1) berbagai jenis pajak; (2) corak pajak seperti pemotongan pajak dan tingkat pajak; (3) berbagai jenis pengeluaran; dan (4) corak pengeluaran. Sedangkan, instrumen-instrumen ekonomi non-fiskal yang juga mempengaruhi indikator-indikator sosial ekonomi antara lain: (1) nilai tukar; (2) suku bunga; dan (3) regulasi. Desentralisasi Fiskal Peran penting keuangan daerah muncul dalam konteks desentralisasi fiskal. Oates (1972) dalam teori desentralisasi berpendapat barang publik seharusnya disediakan oleh yurisdiksi geografis – dalam hal ini pemerintah daerah - yang menginternalisasi persediaan barang publik serta mencakup kebutuhan konsumsi seluruh penduduk. Dua faktor utama yang mendukung desentralisasi adalah: (1) umumnya pemerintah pusat lebih fokus pada manajemen kebijakan-kebijakan makro ekonomi dan mempertahankan stabilitas politik nasional sehingga kurang memperhatikan persediaan kebutuhan layanan sipil kecuali jika melibatkan investasi padat modal dalam skala besar (Rondinelli, 1990) ; (2) Desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah akan meningkatkan efisiensi persediaan berbagai layanan publik karena tingkat pemerintahan yang lebih rendah lebih fokus pada hal tersebut. Cheema dan Rondinelli (1983) mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan dan/atau kewenangan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi pusat di daerah, unit administrasi lokal, organisasi semi otonomi dan perusahaan, pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah. Perbedaan konsep desentralisasi terutama ditentukan berdasarkan tingkat kewenangan perencanaan, memutuskan dan mengelola kewenangan yang ditransfer oleh pemerintah pusat, dan besaran otonomi yang diterima untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Ada empat dimensi desentralisasi, yaitu: (1) desentralisasi politik; (2) desentralisasi administrasi; (3) desentralisasi fiskal; dan (4) desentralisasi ekonomi dan pasar. Desentralisasi politik adalah suatu mekanisme dimana pemerintah pusat memberi kekuasaannya kepada pemerintah
51
daerah yang dikenal dengan istilah otonomi daerah yang bertujuan meningkatkan kekuasaan kepada penduduk dan perwakilan politik mereka dalam membuat keputusan publik. Desentralisasi administratif adalah penyerahan wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bertujuan untuk memperbaiki efisiensi manajemen dalam menyediakan layanan publik. Desentralisasi fiskal merupakan penambahan tanggung jawab keuangan dan kemampuan pemerintah daerah yang bertujuan memperbaiki kinerja keuangan melalui peningkatan keputusan dalam menciptakan penerimaan dan pengeluaran yang rasional. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal diterapkan melalui pengaturan kembali terhadap instrumen-instrumen pengeluaran pemerintah, penerimaan pemerintah, dan transfer fiskal antar tingkatan pemerintahan. Desentralisasi ekonomi dan pasar bertujuan menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi dunia usaha dan menyediakan barang dan jasa sesuai respon terhadap kebutuhan lokal dan mekanisme pasar. Sebagai bagian dari desentralisasi, desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai devolusi (pengalihan) kekuasaan perpajakan dan pengeluaran pemerintah kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (Fukasaku dan de Mello Jr., 1999). Secara lebih spesifik, desentralisasi fiskal mengacu pada prinsip-prinsip dan praktek-praktek tanggung jawab fungsional atau pengeluaran pemerintah, tugas-tugas pendapatan (revenue assignments), dan perbaikan ketidakseimbangan vertikal dan horizontal. Dalam arti yang lebih luas, desentralisasi fiskal adalah pemberdayaan fiskal pemerintah daerah pada tingkatan yang lebih rendah. Berbagai kajian dampak desentralisasi terhadap perekonomian dijelaskan dengan teori federalisme fiskal yang menyatakan bahwa desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas alokasi sumber daya untuk barang dan jasa publik tertentu seperti barang publik daerah karena: (1) pemerintah daerah dapat lebih baik jika dikelola menurut daerah dan letak geografisnya; (2) pemerintah daerah memiliki posisi lebih baik untuk mengenali preferensi dan kebutuhan daerah; dan (3) tekanan dari persaingan yurisdiksi yang mendorong pemerintah daerah untuk menjadi inovatif dan memiliki akuntabilitas bagi warga dan penduduknya (Oates, 1972). Teori federalisme fiskal Musgrave (1959) dan Oates (1972) tersebut lebih menekankan pentingnya pengalihan tugas penerimaan dan pengeluaran melalui revenue assignments dan expenditure assignments antar tingkat pemerintahan sehingga desentralisasi fiskal akan mempengaruhi perilaku pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah berwenang membuat peraturan ekonomi lokal maka campur tangan pemerintah pusat harus dibatasi. Untuk menyelaraskan kepentingan pemerintah daerah dan kemakmuran ekonomi daerah, teori federalisme fiskal mengacu pada dua mekanisme yaitu interaksi horizontal antar pemerintah daerah dan interaksi vertikal antar tingkat pemerintahan. Interaksi horizontal terjadi melalui mekanisme persaingan antar pemerintah daerah dalam menyediakan permintaan pasar yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Interaksi vertikal terjadi melalui mekanisme keterkaitan penerimaan dan pengeluaran daerah yang erat dimana transfer yang besar dari pemerintah pusat akan menimbulkan disinsentif bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah. Dengan demikian, menurut teori ini keterkaitan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah serta pembatasan redistribusi pemerintah pusat kepada daerah akan menciptakan insentif bagi pemerintah daerah dalam melakukan reformasi orientasi pasar.
52
Pengaruh Transfer Fiskal dan Flypaper Effect Salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal adalah transfer fiskal antar tingkatan pemerintah (intergovenmental fiscal tranfers). Pengaruh transfer fiskal pada kinerja fiskal pemerintah dareah dapat dijelaskan dengan teori perilaku konsumen menggunakan format kendala anggaran dan kurva indeferens yang dipelopori oleh Wilde (1968). Pada Gambar 24 kurva indeferens U 0 , U 1 , dan U 2 menggambarkan preferensi masyarakat dengan kendala anggaran pendapatan yang digambarkan dengan garis “Y” dan “Y+Grant” dimana masyarakat dianggap berperilaku rasional memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya. Transfer bersyarat (conditional transfer) sebesar “Grant” akan memutar garis anggaran ke atas dari “Y” menjadi “Y+Grant” sehingga garis anggaran yang baru lebih datar. Konsekuensinya adalah konsumsi barang publik meningkat dari Z 0 menjadi Z 1 . Sementara, pengaruh transfer bersyarat pada konsumsi barang publik tergantung pada elastisitas silangnya. Harga barang publik yang lebih rendah akan meningkatkan konsumsi barang privat jika pemerintah daerah telah menurunkan tarif pajak, sehingga konsumsi barang privat meningkat dari X 1 menjadi X 2 . Dengan demikian, kenaikan transfer sebagian mengakibatkan kenaikan konsumsi barang publik dan sebagian lagi mengakibatkan kenaikan konsumsi barang privat secara tidak langsung melalui turunnya tarif pajak.
Sumber: Kuncoro (2004)
Gambar 24. Pengaruh Transfer Bersyarat (Conditional Transfer) Dengan pendekatan yang sama, bantuan tidak bersyarat (unconditional transfer) sebesar “Grant” akan menggeser garis anggaran ke atas dari “Y” ke “Y+Grant” (Gambar 25). Dengan asumsi barang publik adalah barang normal, transfer fiskal yang bersifat umum (lump-sum) akan meningkatkan keseimbangan konsumen dari E 0 pada kurva indiferens U 0 menjadi E M pada kurva indiferens U 1 . Pada titik keseimbangan baru, konsumsi barang publik meningkat dari Z 0 ke Z 1 dan konsumsi barang privat meningkat dari X 0 ke X 1 . Dengan sifatnya yang tidak bersyarat, tekanan fiskal pada basis pajak lokal menurun sehingga penerimaan pajak turun sebesar -∆TR. Sementara pengeluaran untuk konsumsi barang publik tetap meningkat akibat meningkatnya pendapatan pemerintah dari unconditional transfer tersebut. Hal ini berarti transfer fiskal mengurangi beban
53
pajak masyarakat sehingga pemerintah daerah tidak perlu meningkatkan pajak untuk menyediakan barang publik. Dengan perkataan lain, anggaran transfer dari pemerintah pusat merupakan substitusi pajak daerah. Namun, banyak ahli ekonomi mengamati munculnya anomali transfer fiskal tidak bersyarat dimana transfer tidak menjadi substituti pajak daerah (Gramlich, 1977). Pada Gambar ditunjukkan keseimbangan masyarakat setelah menerima transfer bukan di titik E M melainkan di titik E FP dimana konsumsi barang publik meningkat dari Z 0 ke Z 2 dan konsumsi barang privat berkurang dari X 0 ke X 2 . Artinya, belanja publik meningkat lebih besar dari titik keseimbangan awal sedangkan belanja privat lebih rendah. Berkurangnya konsumsi barang privat disebabkan naiknya pajak daerah sebesar ΔTR. Dengan perkataan lain, transfer tidak bersyarat akan meningkatkan belanja publik tetapi tidak menjadi substitusi bagi pajak daerah. Dalam berbagai literatur, kondisi ini disebut flypaper effect. Fenomena flypaper effect akan berimplikasi pada meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah yang melebihi penerimaan transfer itu sendiri (Turnbull, 1998).
Sumber: Kuncoro (2004)
Gambar 25. Pengaruh Transfer Tidak Bersyarat (Unconditional Transfer) Istilah flypaper effect muncul dari pemikiran Arthur Okun yaitu “money sticks where it hits” (Hines dan Thaler, 1995). Hal ini terjadi karena transfer fiskal ke sektor publik tetap berada di sektor tersebut dan tidak didistribusikan ke sektor swasta dalam bentuk pajak yang lebih rendah. Sampai saat ini, belum ada padanan kata flypaper effect dalam bahasa Indonesia sehingga studi-studi terkait flypaper effect di Indonesia menggunakan istilah ini apa adanya tanpa diterjemahkan. Ada dua teori utama yang mendasari kajian-kajian mengenai penyebab flypaper effect, yaitu ilusi fiskal (fiscal illusion) dan model birokratik (bureaucratic model) (Saruc dan Sagbas, 2008). Teori ilusi fiskal didasari pada pemikiran bahwa masyarakat memiliki keterbatasan informasi mengenai anggaran pemerintah daerahnya. Teori ilusi fiskal yang dikemukakan Oates (1999) menjelaskan flypaper effect terjadi karena masyarakat tidak memahami bahwa biaya penyediaan barang publik yang turun adalah biaya rata-rata atau biaya marjinal. Namun, masyarakat hanya tahu bahwa harga barang publik akan turun jika pemerintah daerah menerima transfer fiskal. Jika permintaan barang publik tidak elastis maka transfer menyebabkan
54
kenaikan pajak. Artinya, flypaper effect terjadi karena ketidaktahuan masyarakat terhadap anggaran pemerintah daerah. Sedangkan model birokratik didasari pada pemikiran bahwa birokrat memiliki kekuasaan penuh dalam mengambil keputusan publik. Pada model birokratik yang dipelopori Niskanen (1968) flypaper effect terjadi akibat perilaku memaksimalkan anggaran oleh birokrat daerah atau politisi lokal yang lebih mudah dengan cara menghabiskan transfer dari pada menaikkan pajak. Hal ini disebabkan birokrat memaksimalkan anggaran untuk menyediakan barang publik sehingga biaya rata-rata barang publik sama dengan harganya. Tetapi, ketika biaya marjinalnya lebih tinggi dari harganya maka kuantitas barang publik menjadi terlalu banyak. Dengan demikian, transfer akan menurunkan harga barang publik sehingga memicu birokrat untuk membelanjakan lebih banyak anggaran. Dengan perkataan lain, pada model birokratik, flypaper effect terjadi karena perilaku birokrat yang lebih leluasa membelanjakan transfer dari pada menaikkan pajak. Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang meningkatkan produksi barang dan jasa sebagai akibat meningkatnya faktor-faktor produksi dalam kuantitas dan kualitas. Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari perubahan sisi penawaran atau aggregate supply (AS) dan perubahan sisi permintaan atau aggregate demand (AD). Penelitian ini menggunakan pendekatan produksi sektoral sehingga kajian teori hanya dibatasi pada pertumbuhan ekonomi sisi penawaran. Untuk itu, perlu diketahui faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan penawaran sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi. Menurut Dornbusch, et al. (2008), pertumbuhan ekonomi terkait dengan pertumbuhan input (tenaga kerja dan modal) dan perbaikan teknologi yang dapat melekat pada tenaga kerja dan modal. Output dapat tumbuh karena kenaikan input dan produktivitas yang disebabkan oleh perbaikan teknologi. Dengan demikian, teori pertumbuhan ekonomi adalah penjelasan logis mengenai proses terjadinya pertumbuhan yang melibatkan dua hal, yaitu: (1) faktor-faktor yang menentukan kenaikan output; dan (2) bagaimana interaksi antar faktor tersebut sehingga terjadi pertumbuhan. Ada dua periode dimana studi tentang teori pertumbuhan dilakukan secara intensif, yaitu tahun 1950an–1960an dan tahun 1980an–1990an. Periode pertama menghasilkan teori pertumbuhan neoklasik yang dipelopori Robert Solow yang fokus pada akumulasi modal dan peran teknologi. Sedangkan, periode kedua menghasilkan teori pertumbuhan endogen yang fokus pada determinan teknologi. Model Pertumbuhan Solow Model pertumbuhan Solow adalah model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang sangat populer. Model ini menekankan proses pertumbuhan ekonomi pada sisi penawaran yang merupakan proses peningkatan output per kapita dalam jangka panjang sebagai hasil interaksi faktor-faktor produksi yaitu modal, tenaga kerja, dan teknologi. Model pertumbuhan Solow merupakan fungsi produksi agregat yang dapat dinyatakan sebagai berikut (Dornbusch, et al., 2008): Y = A.F(K, N) dimana,
(3.5)
55
Y : output K : modal N : tenaga kerja A : teknologi Model pertumbuhan Solow diawali dengan asumsi sederhana yaitu tidak ada perbaikan teknologi sehingga perekonomian akan mencapai tingkat output dan modal jangka panjang yang disebut steady-state equilibrium (keseimbangan yang mapan). Kondisi steady-state equilibrium tercapai ketika pendapatan per kapita (Y/N = y) dan modal per kapita (K/N = k) stabil atau konstan yaitu tidak ada lagi variabel ekonomi per kapita yang berubah (Δy = 0 dan Δk = 0). Ilustrasi pada Gambar 26 menunjukkan kondisi steady-state equilibrium yang dilambangkan oleh y* dan k*. Kondisi steady-state equilibrium dapat dicapai ketika tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang. Artinya, investasi yang dibutuhkan untuk menambah modal bagi tenaga kerja baru dan untuk mengganti mesin-mesin yang sudah usang sama dengan jumlah tabungan. Implikasinya adalah : (1) jika tabungan melebihi investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita (k) dan ouput per kapita (y) meningkat; (2) jika tabungan kurang dari investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita (k) dan output per kapita (y) berkurang.
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 26. Model Pertumbuhan Solow: Output dan Investasi Asumsi lainnya adalah fungsi produksi Constant Returns to Scale (CRS) yaitu y = f(k) dimana k adalah modal per kapita. Asumsi CRS berimplikasi pada produk marjinal modal (MPK) yang berkurang (diminishing positive marginal product of capital). Ini berarti penambahan modal per kapita akan meningkatkan output per kapita dengan laju yang menurun. Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan contoh sederhana yang memenuhi asumsi ini, yaitu: Y = AKθN1-θ
(3.6)
Fungsi produksi per kapitanya adalah: y = Y/N = AKθN1-θ/N = AKθN-θ/N = A(K/N)θ = Akθ
(3.7)
56
Investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan modal per kapita (k) pada tingkat tertentu tergantung pada pertumbuhan populasi n (= ΔN/N) dan tingkat depresiasi d. Dengan asumsi n dan d konstan,investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan modal per kapita sebesar k adalah I = (n+d)k. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa tidak ada sektor pemerintahan dan perdagangan luar negeri atau arus modal dan tabungan adalah bagian konstan dari pendapatan (s) maka tabungan per kapita adalah sy. Karena pendapatan sama dengan produksi maka: sy = sf(k)
(3.8)
Perubahan modal per kapita (Δk) adalah kelebihan tabungan yang melebihi investasi yang dibutuhkan yaitu: Δk = sy – (n+d)k
(3.9)
Selanjutnya, kondisi steady-state (Δk = 0) terjadi pada y* dan k* yang memenuhi: sy* = sf(k*) = (n+d)k*
(3.10)
Solusi steady-state pada Gambar 26 menunjukkan bahwa kurva sy adalah tingkat tabungan di setiap rasio modal per tenaga kerja. Garis lurus (n+d)k adalah investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan rasio modal per tenaga kerja (k) agar konstan dengan memasok mesin-mesin sebagai pengganti mesin yang usang atau sebagai tambahan modal bagi tenaga kerja baru. Perpotongan kurva dan garis tersebut di titik C menunjukkan tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang dengan steady-state modal sebesar k*. Sementara steady-state pendapatan terletak pada fungsi produksi di titik D. Pada gambar tersebut ditunjukkan ketika sy melebihi investasi yang dibutuhkan (sy > (n+d)k) maka k akan meningkat dan perekonomian bergerak ke kanan. Sebagai contoh, ketika perekonomian diawali pada k 0
Namun, model Solow menunjukkan bahwa pada jangka panjang tabungan tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan yang terjadi karena jika pendapatan per kapita (y) konstan maka pendapatan agregat (Y) akan tumbuh pada tingkat yang sama dengan tingkat pertumbuhan penduduk (n). Ilustrasi yang disajikan pada Gambar 27 menunjukkan bahwa pada jangka pendek kenaikan tingkat tabungan menyebabkan kenaikan tingkat pertumbuhan output. Pada jangka panjang kenaikan tingkat tabungan menyebabkan kenaikan tingkat modal per kapita dan output perkapita sehingga tingkat pertumbuhan tidak berubah. Perekonomian diawali pada steady-state equilibrium di titik C yaitu tabungan sama dengan investasi yang dibutuhkan (sy = (n+d)k). Ketika tabungan naik dari sy ke s maka tabungan melebihi investasi yang dibutuhkan sehingga modal per kapita naik dari k* ke k** dan output per kapita naik dari y* ke y** yang ditunjukkan pada titik C .
57
Pada titik tersebut kenaikan jumlah tabungan mampu menambah stok modal per kapita sehingga modal per kapita dan output per kapita meningkat. Tetapi, pada titik C perekonomian telah kembali pada tingkat pertumbuhan n dari steady-state nya. Dengan demikian, dengan fungsi produksi CRS kenaikan tingkat tabungan hanya akan menaikkan tingkat output per kapita (y) dan modal per kapita (k) dalam jangka panjang, sementara tingkat pertumbuhan output per kapita tetap.
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 27. Model Pertumbuhan Solow: Peran Tabungan
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 28. Model Pertumbuhan Solow: Peran Teknologi Model pertumbuhan Solow juga menunjukkan peran teknologi sebagai variabel eksogen yang diilustrasikan pada Gambar 28. Pada ulasan sebelumnya, teknologi diasumsikan konstan (ΔA/A = 0). Akan tetapi, teknologi diperlukan untuk menjelaskan teori pertumbuhan jangka panjang. Jika laju pertumbuhan teknologi sebesar g atau ΔA/A = g, maka fungsi produksi y = Af(k) naik sebesar g persen per tahun dan fungsi tabungan sy akan tumbuh secara paralel. Sehingga,
58
pada kondisi seimbang y dan k akan tumbuh sepanjang waktu. Parameter teknologi A dapat masuk ke dalam fungsi produksi melalui dua cara, yaitu: 1. Secara labour augmenting. Dengan cara ini teknologi baru dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, melalui fungsi produksi Y = F(K, AN). Sehingga Δy/y = (θ x Δk/k) + [(1-θ) x ΔA/A] atau g = ΔA/A = [Δy/y – (θ x Δk/k)] / (1-θ). Pada keseimbangan, output per kapita (y) dan modal per kapita (k) tumbuh pada tingkat pertumbuhan teknologi g dimana Y dan K tumbuh pada tingkat pertumbuhan teknologi ditambah tingkat pertumbuhan populasi (g+n). Dalam model ini upah riil juga tumbuh pada tingkat g. 2. Teknologi melipatkgandakan semua faktor melalui fungsi produksi Y = AF(K, N). Komponen A disebut Total Factor Productivity (TFP) karena melipatgandakan semua faktor tidak hanya tenaga kerja. Dengan fungsi produksi tersebut maka g = Δy/y – θΔk/k, yang dikenal juga sebagai Solow Residual. Dengan demikian, esensi model pertumbuhan Solow adalah : 1. Pertumbuhan output adalah fungsi pertumbuhan input terutama modal dan tenaga kerja dimana pengaruhnya tergantung pada proporsi setiap faktor 2. Tenaga kerja adalah input paling penting 3. Tabungan tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan jangka panjang 4. Pertumbuhan jangka panjang dihasilkan dari perbaikan teknologi 5. Jika tidak ada perbaikan teknologi maka output per kapita akan konvergen ke nilai steady-state yang secara positif bergantung pada tingkat tabungan dan secara negatif bergantung pada laju pertumbuhan populasi. Model Pertumbuhan Endogen Model pertumbuhan dipelopori oleh Romer (1986) dan Lucas dengan tabungan endogen (A) lebihyang besar dari investasi yang dibutuhkan untuk (1988) dikembangkan untuk pertentangan model pertumbuhan Solow menjaga supaya k konstan (B)menjawab maka modal akan diakumulasi untuk mencapai k* baik secara teoritis maupun empiris yang tidak menjelaskan determinan teknologi yang berhenti pada titik C dimana tabungan sama dengan investasi yang sebagai faktor menentukan pertumbuhan jangka panjang. itu, yang teori dibutuhkan (syyang = (n+d)k). Pada saat investasi aktual dan Selain investasi pertumbuhantersebut Solow telah yangseimbang memprediksikan bahwa ekonomi dan dibutuhkan maka modal per pertumbuhan tenaga kerja (k) tidak naik tingkat tabungan tidak berkorelasi pada kondisi steady-state tidak terbukti karena dan tidak turun yang berarti perekonomian telah mencapai kondisi steady-state. studi-studi empiris dari di beberapa negara menunjukkan adanyanegara-negara korelasi positifdengan antara Implikasi penting model pertumbuhan Solow adalah tingkat tabungan dan pertumbuhan (Dornbusch, et al., 2008). tabungan, tingkat pertumbuhan populasi, dan teknologi yang sama (atau Model pertumbuhan endogen yang menjelaskan determinan pertumbuhan dengan perkataan lain memiliki fungsi produksi yang sama) akan konvergen pada ekonomi jangka panjang berawal dari pendapat bahwa pertumbuhan ekonomi pendapatan yang sama meskipun prosesnya lambat. merupakan hasil sistem ekonomi yang endogen, bukan kekuatan-kekuatan yang datang dari luar atau eksogen. Teori pertumbuhan endogen menekankan pada peluang pertumbuhan yang berbeda dari modal fisik (physical capital) dan modal pengetahuan (knowledge capital). Dengan demikian, model pertumbuhan endogen merupakan perluasan model pertumbuhan Solow dengan menambahkan variabel modal manusia (human capital). Kenaikan investasi pengetahuan merupakan kunci yang menghubungkan tingkat tabungan yang tinggi dengan tingkat pertumbuhan keseimbangan yang tinggi. Teori pertumbuhan endogen bertumpu pada konsep external returns to capital yang besar terutama dari modal manusia khususnya investasi pengetahuan. Karena pengetahuan dapat tumbuh tanpa batas maka investasi modal manusia serta penelitian dan pengembangan merupakan kunci pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
59
Pada model pertumbuhan endogen, perubahan teknologi, suku bunga, dan perubahan jumlah penduduk merupakan variabel-variabel endogen. Sementara, modal berperan lebih besar jika tidak hanya dalam bentuk modal fisik (physical capital) tetapi juga modal pengetahuan (knowledge capital). Secara sederhana, model pertumbuhan endogen dinyatakan dalam fungsi produksi agregat: Y = A.F(K, H, N)
(3.11)
dimana, Y : output K : modal fisik H : modal manusia (akumulasi pendidikan dan kesehatan) N : tenaga kerja A : teknologi
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 29. Model Pertumbuhan Endogen Mekanisme model pertumbuhan endogen pada Gambar 29 menunjukkan fungsi produksi diasumsikan memiliki MPK konstan atau berbentuk garis lurus sehingga kurva tabungan sy secara paralel juga berbentuk garis lurus. Namun, karena tidak ada kecenderungan kurva tabungan menurun maka tingkat tabungan selalu melebihi investasi yang dibutuhkan (sy > (n+d)k). Proses perekonomian yang membawa ke pertumbuhan endogen dapat dijelaskan secara aljabar sederhana yaitu dengan asumsi fungsi produksi constant MPK dan modal adalah satu-satunya faktor produksi maka secara spesifik output proporsional terhadap stok modal atau: Y = aK
(3.12)
Secara sederhana, MPK adalah konstanta a. Dengan asumsi tingkat tabungan konstan (s) dan tidak ada pertumbuhan penduduk maupun depresiasi modal (n = d = 0) maka seluruh tabungan digunakan untuk meningkatkan modal, sehingga: sY = saK
(3.13)
ΔK/K = sa
(3.14)
atau
60
Persamaan (3.14) menunjukkan tingkat pertumbuhan modal (ΔK/K) proporsional terhadap tingkat tabungan (s). Selanjutnya, karena output proporsional terhadap modal maka tingkat pertumbuhan output adalah: ΔY/Y = sa (3.15) Persamaan (3.15) mengindikasikan semakin tinggi tingkat tabungan (s) semakin tinggi tingkat pertumbuhan output (ΔY/Y). Dengan demikian, esensi model pertumbuhan endogen adalah: 1. Pertumbuhan output bergantung pada tingkat perkembangan teknologi 2. Perkembangan teknologi bergantung pada tingkat tabungan khususnya yang diarahkan untuk pengembangan modal manusia (human capital) 3. Tingkat tabungan yang tinggi, pertumbuhan penduduk yang rendah, orientasi outward looking, dan lingkungan perekonomian yang dapat diprediksi merupakan faktor-faktor penting yang mendukung pertumbuhan. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran disusun berdasarkan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka teori. Kerangka pemikiran penelitian yang disajikan pada Gambar 30 menggambarkan dampak meningkatnya kapasitas fiskal terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Sesuai konsep-konsep keuangan daerah, kapasitas fiskal dapat ditingkatkan melalui sumber-sumber PAD dan bagi hasil pajak. Meningkatnya penerimaan pajak daerah akan meningkatkan PAD, sementara peningkatan penerimaan pajak nasional khususnya dari pajak-pajak penghasilan dan pajak-pajak properti tertentu akan meningkatan penerimaan bagi hasil pajak. Sesuai pendapat aliran klasik, pada jangka panjang peningkatan pajak berdampak positif pada perekonomian. Sementara aliran Keynesian berpendapat bahwa pada jangka pendek peningkatan pengeluaran pemerintah akan berdampak positif pada perekonomian. Kedua pendapat tersebut selanjutnya menjadi dasar kerangka pemikiran penelitian ini. Peningkatan penerimaan daerah dari kapasitas fiskal menambah kemampuan daerah untuk membiayai belanja-belanja daerah. Di sisi lain, kenaikan penerimaan pajak nasional akan meningkatkan penerimaan daerah dari DAU sehingga menambah sumber keuangan daerah. Namun, studi-studi empiris terdahulu menunjukkan adanya fenomena flypaper effect pada DAU dimana belanja daerah lebih responsif terhadap kenaikan DAU dari pada kenaikan pendapatan lokal atau dalam hal ini kapasitas fiskal. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terindikasi tidak pro-poor menjadi alasan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal yang pelaksanaannya mengutamakan instrumen DAU tidak mengacu pada strategi pertumbuhan propoor. Hal ini menjadi dasar pemikiran penelitian ini yaitu strategi pertumbuhan pro-poor lebih mengandalkan penerimaan daerah dari sumber-sumber lokal yaitu kapasitas fiskal. Belanja daerah yang lebih besar meningkatkan output sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah dalam ukuran perubahan PDRB riil. Output yang lebih besar akan meningkatkan upah riil tenaga kerja sehingga meningkatkan pendapatan rumahtangga. Penggunaan indikator upah riil karena lebih mampu menggambarkan daya beli penduduk sehingga lebih mencermikan tingkat pendapatan penduduk. Pendapatan penduduk yang lebih besar akan meningkatkan daya beli sehingga pengeluaran untuk konsumsi meningkat. Dengan konsep kemiskinan pendapatan (income poverty), pengeluaran per kapita
61
yang lebih besar akan mengurangi jumlah penduduk miskin sehingga tingkat kemiskinan berkurang. Selain itu, pertumbuhan pro-poor memperbaiki distribusi pendapatan sehingga menambah pengaruh meningkatnya pengeluaran per kapita dalam menurunkan kemiskinan. Di sisi lain, meningkatnya PDRB per kapita akan meningkatkan penerimaan negara dari pajak sehingga kemampuan negara untuk mengalokasikan sebagian pendapatannya ke daerah dalam bentuk DAU meningkat. Tetapi, sesuai formula alokasi DAU dimana PDRB yang lebih besar akan mengurangi DAU sehingga PDRB yang terus meningkat secara bertahap akan menurunkan ketergantungan keuangan daerah pada DAU. Pajak nasional
Pajak daerah
Bagi hasil pajak
Pendapatan Asli Daerah Kapasitas fiskal
Dana Alokasi Umum Belanja daerah
Flypaper effect
Pro-poor growth strategy
PDRB
Upah Riil Indeks Gini
Pengeluaran perkapita
Kemiskinan Keterangan
Pengaruh langsung Asumsi
Gambar 30. Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis Penelitian 1. 2. 3. 4.
5.
Hipotesis umum yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: Pertumbuhan ekonomi daerah adalah faktor penting dalam meningkatkan kapasitas fiskal. Ada perbedaan perilaku pemerintah daerah dalam mengalokasikan DAU dan kapasitas fiskal untuk membiayai belanja-belanja sektoral. Ketimpangan pendapatan yang lebih rendah menambah peran pertumbuhan ekonomi daerah dalam mengentaskan kemiskinan. Kapasitas fiskal berdampak positif pada pertumbuhan pro-poor daerah yaitu pertumbuhan ekonomi daerah diikuti turunnya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan serta memihak kelompok penduduk miskin pertanian. Kapasitas fiskal dapat mengurangi ketergantungan daerah pada DAU.
62
Halaman ini sengaja dikosongkan
63
4. METODOLOGI Jenis dan Sumber Data Cakupan Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dari dua sumber utama yaitu Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang merupakan lembaga pemerintah yang menyediakan data-data resmi negara terkait keuangan dan perekonomian nasional dan daerah sebagai dasar penyusunan rencana dan evaluasi pembangunan nasional dan daerah. Data yang digunakan adalah data panel 23 provinsi tahun 2005-2011 mencakup aspekaspek fiskal, perekonomian, dan kemiskinan. Menurut Hsiao (1995), data panel yang digunakan dalam penelitian ekonomi memiliki beberapa keunggulan, yaitu: (1) jumlah observasi yang lebih besar akan meningkatkan derajat bebas (degree of freedom) sehingga estimasinya lebih efisien; (2) mengurangi kolinearitas antar variabel penjelas; dan (3) mengatasi masalah yang timbul ketika ada variabel yang dihilangkan (ommited-variable). Meskipun selama periode penelitian sudah terbentuk 33 provinsi secara definitif namun 10 provinsi tidak digunakan yaitu DKI Jakarta, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka Belitung. Alasannya adalah ada perbedaan karakteristik data fiskal dan perekonomian yang cukup besar dibandingkan provinsi-provinsi lainnya, seperti DKI Jakarta. Selain itu, beberapa data tahun 2005 tidak tersedia terutama di provinsi-provinsi baru. Data Fiskal Data fiskal yang digunakan adalah data agregat realisasi APBD provinsi dan seluruh APBD kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan yang bersumber dari Kemenkeu RI meliputi pendapatan dan pengeluaran daerah. Data pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lainlain Pendapatan. PAD bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dana perimbangan merupakan dana transfer fiskal dari APBN yang diperoleh melalui mekanisme transfer. Dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil Pajak, dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Dana Bagi Hasil Pajak bersumber dari pajak-pajak properti dan pajak-pajak penghasilan. Pajak-pajak properti yang dibagihasilkan berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sedangkan, pajak-pajak penghasilan yang dibagi hasilkan bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21. Struktur pengeluaran daerah mengacu pada UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dimana keduanya tidak lagi memisahkan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan tetapi menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung. Data pengeluaran daerah juga diklasifikasikan menurut sektor ekonomi sesuai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) namun merupakan agregat belanja langsung dan belanja tidak langsung. Hasil kajian terhadap laporan data keuangan daerah menurut sektor ekonomi
64
menunjukkan ada perbedaan jenis belanja daerah selama periode 2005-2011. Belanja daerah pada tahun anggaran 2005 mencakup 21 bidang, sedangkan tahun anggaran 2006-2011 mencakup 35 urusan. Beberapa perbedaan untuk klasifikasi bidang dan urusan tersebut adalah: (1) belanja bidang kehutanan dan perkebunan didisagregasi menjadi belanja urusan kehutanan dan belanja urusan perkebunan, dimana belanja urusan perkebunan digabung ke dalam belanja urusan pertanian yang juga meliputi belanja tanaman pangan dan peternakan, (2) belanja bidang perindustrian dan perdagangan didisagregasi menjadi belanja urusan perindustrian dan belanja urusan perdagangan. Untuk keseragaman jenis belanja, data tahun 2005 dikonversi sesuai klasifikasi urusan 1. Selanjutnya, agar sesuai dengan tujuan maka klasifikasi belanja daerah yang digunakan adalah belanja menurut urutasn yang terdiri dari: (1) belanja pertanian, (2) belanja perindustrian, (3) belanja perdagangan, (4) belanja pekerjaan umum (belanja infrastruktur), dan (5) belanjabelanja lainnya. Data Perekonomian Data perekonomian meliputi PDRB sektoral, jumlah dan upah tenaga kerja sektoral, pengeluaran per kapita sektoral, dan panjang jalan aspal. Klasifikasi sektoral mengacu pada 9 lapangan usaha sesuai Klasifikas Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Namun, untuk keperluan penelitian ini hanya digunakan tiga lapangan usaha (sektor) yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sedangkan enam sektor lainnya digabung menjadi sektor lainnya. PDRB sektor pertanian terdiri dari dua subsektor yaitu: (1) subsektor tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan; dan (2) subsektor lainnya (gabungan subsektor kehutanan dan perikanan). PDRB sektor industri pengolahan terdiri dari: (1) subsektor industri pertanian; dan (2) subsektor industri lainnya. Subsektor industri pertanian terdiri dari industri makanan, minuman, dan tembakau, dan industri pertanian lainnya (gabungan industri kayu, industri kertas, dan industri tekstil). Sedangkan subsektor industri lainnya merupakan gabungan industri migas dan lima jenis industri non-migas. Untuk efisiensi penulisan maka klasifikasi sektor industri pengolahan diganti menjadi sektor industri, klasifikasi subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau diganti menjadi subsektor industri makanan jadi, dan klasifikasi sektor perdagangan, hotel, dan restoran diganti menjadi sektor perdagangan. Data ketenagakerjaan meliputi jumlah dan upah tenaga kerja sektoral dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan BPS setiap tahun dengan pendekatan rumahtangga. Klasifikasi ketenagakerjaan sektoral pada penelitian ini disesuaikan dengan klasifikasi PDRB sektoral yang digunakan yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor perdagangan. Klasifikasi pekerjaan mengacu pada konsep SAKERNAS dimana pekerjaan utama adalah pekerjaan dengan jumlah jam kerja terbanyak yang dilakukan pada waktu referensi survei yaitu selama satu pekan sebelum survei. Sedangkan konsep tenaga kerja adalah penduduk usia 15 tahun ke atas yang sedang bekerja pada saat survei dilakukan. Data pengeluaran per kapita adalah rata-rata pengeluaran penduduk untuk konsumsi makanan dan non-makanan per bulan yang diperoleh dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS yang dilakukan setiap tahun dengan 1
Konversi data dilakukan dengan bantuan staf Direktorat Statistik Keuangan BPS
65
pendekatan rumahtangga. Pada penelitian ini, data pengeluaran per kapita diklasifikasikan menurut sektor pekerjaan utama kepala rumahtangga yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor perdagangan. Namun, data pengeluaran per kapita sektoral tidak diolah dan dipublikasikan oleh BPS. Oleh karena itu, untuk keperluan penelitian ini data diolah sendiri2 dari SUSENAS Kor bulan Maret tahun 2005 sampai 2011. Selanjutnya, data pengeluaran per kapita sektoral per bulan menjadi data dasar dalam penghitungan indikator-indikator kemiskinan. Data panjang jalan dengan permukaan aspal dianggap mewakili kondisi infrastruktur daerah. Data ini merupakan gabungan panjang jalan aspal untuk tiga tingkat kewenangan yaitu negara, provinsi, dan kabupaten/kota. Data tersebut bersumber dari Kementerian Pekerjaan Umum, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi, dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/Kota. Data Kemiskinan Data kemiskinan meliputi ukuran ketimpangan pendapatan Indeks Gini dan tiga ukuran kemiskinan FGT terdiri dari Headcount index atau persentase penduduk miskin (P 0 ), Poverty Gap Index atau indeks kedalaman kemiskinan (P 1 ), dan Poverty Severity Index atau indeks keparahan kemiskinan (P 2 ). Data Indeks Gini bersumber dari BPS yang dihitung dari hasil SUSENAS. Sebagaimana data pengeluaran per kapita sektoral, data kemiskinan juga diklasifikasikan menurut sektor pekerjaan utama kepala rumahtangga, yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor perdagangan. Sebagaimana data pengeluaran per kapita sektoral, data kemiskinan sektoral juga tidak dihitung oleh BPS. Oleh karena itu, untuk keperluan penelitian ini maka data kemiskinan diolah 2 dari data SUSENAS Kor bulan Maret tahun 2005 sampai 2011 dengan batasan identifikasi penduduk miskin adalah garis kemiskinan kota dan desa di setiap provinsi. Data Penunjang Selain data utama, penelitian ini juga menggunakan data penunjang, antara lain: (1) penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk menggambarkan investasi swasta; (2) jumlah kendaraan bermotor dari Kepolisian R.I.; (3) luas wilayah dari Kementerian Dalam Negeri; (4) jumlah pegawai negeri sipil dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN); dan (5) jumlah penduduk dari BPS. Data Indeks Harga Konsumen Provinsi Seluruh variabel dalam satuan nilai (rupiah) dalam penelitian ini adalah data nominal sehingga agar terbanding antar waktu maka terlebih dahulu dibagi Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk memperoleh data riil. IHK adalah suatu indikator ekonomi yang menggambarkan rata-rata perubahan harga sekumpulan barang dan jasa yang dikonsumsi penduduk/rumahtangga dalam kurun waktu tertentu. IHK dihitung oleh BPS berdasarkan hasil Survei Biaya Hidup setiap bulan di beberapa pasar tradisional dan pasar modern pada beberapa kota tepilih untuk mewakili harga-harga dalam kota tersebut. Data harga setiap komoditi diperoleh 2
Pengolahan data dilakukan dengan bantuan staf Direktorat Ketahanan Sosial BPS.
66
dari tiga atau empat tempat penjualan yang didatangi oleh petugas pengumpul data dengan wawancara langsung. Sejak bulan Juni tahun 2008, IHK mencakup 66 kota di 33 provinsi yang terdiri dari 33 ibukota provinsi dan 33 kota besar lainnya di seluruh Indonesia dan menggunakan tahun dasar 2007 (2007=100). Sebelumnya, data IHK hanya mencakup 45 kota dan menggunakan tahun dasar 2002 (2002=100). IHK dihitung berdasarkan data harga konsumen (retail) dari 284 sampai 441 barang dan jasa yang mencakup tujuh kelompok pengeluaran yaitu: (1) bahan makanan; (2) makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau; (3) perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar; (4) sandang; (5) kesehatan; (6) pendidikan, rekreasi, dan olah raga; dan (7) transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan. Setiap kelompok terdiri dari beberapa sub kelompok dimana di setiap sub kelompok terdiri dari beberapa item dengan beberapa mutu atau spesifikasi. Dalam penghitungan rata-rata harga barang dan jasa digunakan mean (ratarata), tetapi untuk beberapa barang dan jasa musiman digunakan geometri. Rumus penghitungan IHK merupakan pengembangan formula Laspeyres yaitu :
∑P P IHK = ∑P Q Pn
n −1Q 0
n −1
0
x100
(4.1)
0
dimana, IHK : indeks harga konsumen P n : harga pada bulan ke-n P n-1 : harga pada bulan ke-(n-1) P 0 : harga pada tahun dasar Q 0 : kuantitas pada tahun dasar. Meskipun data IHK dapat disajikan untuk tingkat kota tetapi tidak dapat disajikan untuk tingkat provinsi karena tidak mencakup seluruh wilayah di setiap provinsi. Oleh karena itu, pada penelitian ini data IHK provinsi diproksi dengan rata-rata IHK kota di setiap provinsi. Namun sebelumnya IHK tahun 2005 dan 2006 dengan tahun dasar 2002 terlebih dahulu dikonversi menjadi IHK dengan tahun dasar 2007, dan IHK tahun 2007 dikonversi menjadi 100 karena merupakan nilai dasar. Rumus yang digunakan adalah: (4.2) dimana, i = 1, 2,…, 23 (jumlah provinsi) j = 1, 2, …, k (jumlah kota) t = 2005 dan 2006 IHK ijt07 : IHK provinsi i kota j tahun t (2007=100) IHK ijt02 : IHK provinsi i kota j tahun t (2002=100) IHK ij07 : IHK provinsi i kota j tahun t tahun 2007 Selanjutnya, data IHK provinsi dengan tahun dasar 2007 dihitung dengan rumus: (4.3) dimana, i = 1,2, …, 23 (jumlah provinsi) j = 1, 2, …, k (jumlah kota)
67
t = 2005, 2006, …, 2011 IHK it07 : IHK provinsi i tahun t (2007=100) IHK ijt07 : IHK provinsi i kota j tahun t (2007=100) Rata-rata IHK provinsi juga digunakan untuk menghitung laju inflasi provinsi dengan rumus berikut: (4.4) dimana, i = 1,2, …, 23 (jumlah provinsi) j = 1, 2, …, k (jumlah kota) t = 2005, 2006, …, 2011 IFL it07 : Laju inflasi provinsi i tahun t (2007=100) IHK it07 : IHK provinsi i tahun t (2007=100) IHK ijt07 : IHK provinsi i kota j tahun t (2007=100) Data IHK provinsi dengan tahun dasar 2007 (2007=100) hasil penghitungan menggunakan rumus (4.3) secara lengkap disajikan pada Lampiran 1. Sedangkan data-data nominal yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 2. Spesifikasi Model Ekonometrika Metode penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrik dengan membangun model ekonometrik yang diawali dengan tahap spesifikasi model berupa kajian hubungan antar variabel untuk menganalisis fenomena ekonomi secara empiris. Model yang dibangun pada penelitian ini dinamai model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah yang mencakup tiga aspek yaitu kebijakan fiskal daerah, kinerja perekonomian sektoral daerah, dan kemiskinan sektoral daerah. Model tersebut dibangun berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, dan studi-studi empiris terdahulu. Model ekonometrik yang dibangun merupakan sistem persamaan simultan dengan alasan kerangka teori dan studi-studi empiris terdahulu menunjukkan keterkaitan antar variabel fiskal, perekonomian, dan kemiskinan. Menurut Koutsoyiannis (1977), sistem persamaan simultan adalah suatu sistem yang menjelaskan ketergantungan bersama antar variabel (a system describing the joint dependence of variables). Bahkan, sesuai sifat alami fenomena ekonomi maka setiap persamaan hampir pasti akan berada pada suatu sistem persamaan simultan yang lebih besar. Dalam sistem persamaan simultan, sebuah variabel dapat berperan ganda yaitu sebagai variabel penjelas (independent variable) dan variabel dependen atau endogen (dependent variable). Dengan demikian, perubahan suatu variabel dapat mempengaruhi variabel lain dalam model. Oleh karena itu, penggunaan sistem persamaan simultan pada penelitian ini dianggap tepat karena dapat digunakan untuk simulasi kebijakan dengan mengubah variabel-variabel yang dianggap berdampak pada kemiskinan sektoral melalui transmisi perekonomian sektoral daerah. Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah mencakup 48 persamaan terdiri dari 28 persamaan struktural dan 20 persamaan identitas dalam tiga blok persamaan yang mewakili ketiga aspek penelitian yaitu blok fiskal, blok perekonomian sektoral, dan blok kemiskinan sektoral.
68
Blok Fiskal Pajak Daerah
Belanja Pertanian
Dana Alokasi Umum
Bagi Hasil Pajak
Belanja Perindustrian
Belanja Perdagangan
Belanja Infrastruktur
Blok Perekonomian Sektoral
TK Pertanian
TK Industri
TK Perdagangan
PDRB Pertanian
PDRB Industri
PDRB Perdagangan
Upah Pertanian
Upah Industri
Upah Perdagangan
Pengeluaran Penduduk Pertanian
Jalan aspal
Pengeluaran Penduduk Industri
Pengeluaran Penduduk Perdagangan
Kemiskinan Penduduk Industri
Kemiskinan Penduduk Perdagangan
Blok Kemiskinan Sektoral Kemiskinan Penduduk Pertanian
Indeks Gini
Gambar 31. Keterkaitan Antar Blok Persamaan dalam Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah Keterkaitan antar blok persamaan disajikan pada Gambar 31. Meningkatnya pendapatan daerah baik dari kapasitas fiskal khususnya dari pajak daerah dan bagi hasil pajak maupun dari transfer fiskal khususnya DAU akan meningkatkan kemampuan keuangan daerah sehingga pengeluaran pemerintah daerah belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, dan belanja infrastruktur meningkat. Sebagai bentuk investasi pemerintah maka pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan mendorong produksi barang dan jasa sehingga output daerah meningkat. Dengan demikian, meningkatnya belanja-belanja sektoral dan belanja infrastruktur akan meningkatkan PDRB sektoral khususnya pertanian, industri, dan perdagangan. Di sisi lain, peningkatan belanja infrastruktur akan menambah panjang jalan aspal yang mempermudah akses kepada sumber daya tenaga kerja sehingga ketiga sektor ekonomi tersebut akan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Sebagai faktor produksi yang penting maka jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan meningkatkan output sektoral sehingga PDRB ketiga sektor meningkat. Dengan mengacu pada hasil penelitian Malik dan Ahmed (2000) yaitu ada hubungan pro-cyclical antara output dan upah riil sektoral maka kenaikan PDRB sektoral akan meningkatkan upah riil sektoral sehingga pendapatan rumahtangga meningkat. Hal ini akan meningkatkatkan daya beli penduduk yang
69
diukur dari pengeluaran per kapita untuk setiap kelompok rumahtangga sektoral. Sesuai formula indikator kemiskinan FGT dalam konsep kemiskinan pendapatan (income poverty) maka pengeluaran per kapita sektoral yang lebih besar akan menurunkan tingkat kemiskinan sektoral. Di sisi lain, laju pertumbuhan PDRB sektor riil yang lebih cepat terutama sektor pertanian mengurangi ketimpangan pendapatan karena kelompok penduduk miskin yang mayoritas hidup di sektor pertanian menikmati manfaat lebih besar dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Ketimpangan pendapatan yang berkurang (Indeks Gini yang rendah) menambah peran pertumbuhan sektoral (pengeluaran per kapita yang lebih besar) dalam menurunkan kemiskinan sektoral. Keterkaitan antar variabel secara lengkap disajikan pada Lampiran 3. Persamaan-persamaan struktural dalam model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah merupakan model regresi data panel. Secara umum, model regresi data panel dapat dibuat dengan pendekatan common effect, fixed effect, dan random effect yang masing-masing diestimasi dengan metode pooled least squares, fixed effect, dan random effect (Gujarati, 2008). Pada penelitian ini, setiap persamaan struktural dibangun dengan pendekatan common effect dengan asumsi estimasi konstanta (intersep) dan estimasi parameter (slope) setiap variabel adalah sama untuk setiap provinsi. Bentuk umum persamaan tunggal untuk model regresi panel common effect adalah (Gujarati, 2008): (4.5) dimana, i : provinsi k : variabel penjelas (explanatory variables) t : tahun y it : variabel dependen provinsi i tahun t β 0 : intercept β 1 , β 2 , …, β k : slope atau koefisien parameter variabel penjelas x 1it, x 2it , …, x kit : variabel penjelas di provinsi i tahun t u it : komponen error provinsi i tahun t Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah merupakan sistem persamaan simultan dengan bentuk umum yang disajikan dalam notasi matriks sebagai berikut : (4.6) dimana, Y it : vektor current endogenous variables provinsi i tahun t B 0 : vektor koefisien intercept B 1 : martriks koefisien current explanatory endogenous variables : vektor current explanatory endogenous variables provinsi i tahun t B 2 : martriks koefisien current exogenous variables X it : vektor current exogenous variables provinsi i tahun t B 3 : martriks koefisien current policy variables Z it : vektor current policy variables provinsi i tahun t B 4 : martriks koefisien lagged endogenous variables Y it-1 : vektor lagged endogenous variables provinsi i tahun t U it : vektor disturbance error provinsi i tahun t
70
Blok Fiskal Blok fiskal terdiri dari beberapa persamaan yang menunjukkan sumbersumber pendapatan daerah dan jenis-jenis pengeluaran daerah. Pendapatan daerah meliputi pajak daerah, bagi hasil pajak, dan DAU. Sementara, pengeluaran daerah meliputi belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, belanja infrastruktur, dan belanja lainnya. Pajak Daerah Variabel-variabel yang diduga mempengaruhi jumlah penerimaan pajak daerah dipilih berdasarkan UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimana pajak daerah yang terdiri dari pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota antara lain bersumber dari pajak-pajak terkait kendaraan bermotor, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak reklame. Sumber-sumber pajak tersebut terkait dengan kemampuan ekonomi penduduk. Berdasarkan hal itu maka pajak daerah diduga dipengaruhi oleh PDRB per kapita, jumlah kendaraan bermotor, dan penanaman modal. Persamaan pajak daerah provinsi-i tahun-t adalah: PJK it = a 0 + a 1 PDRBKAP it + a 2 PM it + a 3 MTR it + a 4 PJK it-1 + u 1it (4.7) Hipotesis: a 1 , a 2 , a 3 > 0; 0 < a 4 < 1 dimana, PJK : pendapatan pajak daerah (juta Rp) PDRBKAP : PDRB per kapita (ribu Rp) MTR : jumlah kendaraan bermotor (ribu unit) PM : total penanaman modal (juta Rp) Bagi Hasil Pajak Sesuai UU No. 33 tahun 2004, bagi hasil pajak bersumber dari pajak-pajak properti (PBB dan BPHTB) dan pajak-pajak penghasilan (PPh Pasal 25 dan pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21). Berdasarkan kedua sumber tersebut maka bagi hasil pajak diduga dipengaruhi oleh luas wilayah dan PDRB non-pertanian. Variabel luas wilayah dianggap mewakili PBB dan BPHTB, sedangkan PDRB non-pertanian dianggap mewakili PPh karena sektor non-pertanian merupakan lapangan usaha mayoritas wajib pajak untuk ketiga jenis PPh tersebut. Persamaan bagi hasil pajak provinsi-i tahun-t adalah: BHSPJK it = b 0 + b 1 PDRBNONTANI it + b 2 WLYH it + b 3 BHSPJK it-1 + u 2it (4.8) Hipotesis: b 1 , b 2 > 0; 0 < b 3 < 1 dimana, BHSPJK: bagi hasil pajak (juta Rp) PDRBNONTANI: PDRB sektor-sektor non-pertanian (juta Rp) WLYH: luas wilayah (km2)
71
Dana Alokasi Umum Persamaan DAU disusun sesuai formula alokasi DAU yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 dan PP No. 55 tahun 2005 yang menggunakan pendekatan celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal diproksi dari variabel-variabel PDRB, jumlah penduduk, dan luas wilayah. Sedangkan, alokasi dasar mencerminkan kebutuhan pembiayaan administrasi pemerintahan daerah diproksi dari jumlah PNS daerah. Persamaan DAU provinsi-i tahun-t adalah: DAU it = c 0 + c 1 PDRB it-1 + c 2 POP it + c 3 WLYH it + c 4 PNS it + c 5 DAU it-1 + u 3it (4.9) Hipotesis: c 1 < 0; c 2 , c 3 , c 4 > 0; 0 < c 5 < 1 dimana, DAU: dana alokasi umum (juta Rp) PDRB: PDRB total (juta Rp) POP: jumlah penduduk (ribu orang) WLYH: luas wilayah (km2) PNS: jumlah pegawai negeri sipil (orang) Total Pendapatan Daerah Pendapatan dari pajak daerah selanjutnya dijumlahkan dengan beberapa komponen pendapatan daerah lainnya untuk memperoleh PAD. Kemudian PAD, bagi hasil pajak, dan bagi hasil sumber daya alam dijumlahkan untuk memperoleh kapasitas fiskal. Selanjutnya, kapasitas fiskal, DAU, DAK, dan pendapatan daerah dari sumber-sumber lain dijumlahkan untuk memperoleh total pendapatan daerah. Karena ketiganya adalah hasil penjumlahan maka persamaan-persamaan yang dibangun merupakan persamaan identitas. Ketiga persamaan di provinsi-i tahun-t adalah: PAD it = PJK it + RET it + KKYD it + PADLN it KAPFIS it = PAD it + BHSPJK it + BHSSDA it DPT it = KAPFIS it + DAU it + DAK it + DPTLN it dimana, PAD : pendapatan asli daerah (juta Rp) KAPFIS: kapasitas fiskal (juta Rp) DPT: total pendapatan daerah (juta Rp) RET: retribusi (juta Rp) KKYD: hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (juta Rp) PADLN: PAD lainnya (juta Rp) BHSPJK: bagi hasil pajak (juta Rp) BHSSDA: bagi hasil sumber daya alam (juta Rp) DAU: dana alokasi umum (juta Rp) DAK: dana alokasi khusus (juta Rp) DPTLN: pendapatan lainnya (juta Rp)
(4.10) (4.11) (4.12)
72
Belanja Sektoral Belanja sektoral diduga dipengaruhi oleh pendapatan daerah khususnya kapasitas fiskal dan DAU. Penggunaan kedua jenis pendapatan daerah ini juga bertujuan untuk mengetahui perilaku pemerintah dalam mengalokasikan dana dari bantuan pemerintah pusat dan pendapatan dari sumber daya sendiri melalui fenomena flypaper effect. Sedangkan, persamaan belanja daerah dibuat secara sektoral untuk mengetahui apakah fenomena flypaper effect terjadi pada jenisjenis belanja tertentu. Sesuai klasifikasi data pengeluaran daerah dari Kemenkeu, blanja pertanian adalah belanja urusan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Selain dipengaruhi oleh kapasitas fiskal dan DAU, belanja pertanian diduga dipengaruhi juga DAK karena DAK disalurkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah salah satunya untuk pembangunan pertanian. Pada tahun 2011, rasio DAK bidang pertanian terhadap belanja pertanian rata-rata 15% per provinsi. Hal ini menunjukkan cukup besarnya peran DAK dalam total belanja pertanian di daerah. Persamaan belanja sektoral provinsi-i tahun-t adalah: GPGNKBNTNK it = d 0 + d 1 KAPFIS it + d 2 DAU it + d 3 DAK it + d 4 GPGNKBNTNK it-1 + u 4it GIND it = e 0 + e 1 KAPFIS it + e 2 DAU it + e 3 GIND it-1 + u 5it (4.14) GDG it = f 0 + f 1 KAPFIS it + f 2 DAU it + f 3 GDG it-1 + u 6it GIFR it = g 0 + g 1 KAPFIS it + g 2 DAU it + g 3 GIFR it-1 + u 7it (4.16) GLN it = h 0 + h 1 KAPFIS it + h 2 DAU it + h 3 GLN it-1 + u 8it (4.17)
(4.13)
(4.15)
Hipotesis: d 1 , d 2 , d 3 , e 1 , e 2 , f 1 , f 2 , g 1 , g 2 , h 1 , h 2 > 0; 0 < d 4 , e 3 , f 3 , g 3 , h 3 < 1 dimana, GPGNKBNTNK : belanja pertanian (juta Rp) GIND : belanja perindustrian (juta Rp) GDG : belanja perdagangan (juta Rp) GIFR : belanja infrastruktur (juta Rp) GLN : belanja lainnya (juta Rp) KAPFIS: kapasitas fiskal (juta Rp) DAU: dana alokasi umum (juta Rp) DAK: dana alokasi khusus (juta Rp) Kinerja Fiskal Kinerja fiskal daerah dapat diukur dari indiaktor kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan indikator kemandirian fiskal (fiscal autonomy). Sesuai konsep dalam UU No. 33 tahun 2004 kesenjangan fiskal dihitung dari selisih total belanja daerah dan kapasitas fiskal. Indikator tersebut dapat mencerminkan tingkat ketergantungan keuangan daerah pada DAU dimana semakin tinggi kesenjangan fiskal semakin tinggi ketergantungan pada DAU. Sedangkan, kemandirian fiskal dihitung dari rasio PAD terhadap total belanja daerah. Indikator ini mencerminkan kemampuan
73
daerah dalam membiayai pembangunan daerah dari sumber daya lokal khususnya PAD dimana semakin tinggi kemandirian fiskal semakin rendah ketergantungan pada DAU. Kinerja fiskal yang baik ditunjukkan oleh kesenjangan fiskal yang rendah dan kemandirian fiskal yang tinggi. Kedua indikator kinerja fiskal tersebut merupakan persamaan identitas dimana persamaan di provinsi-i tahun-t adalah: GDGKAP it = GDG it /POP it G it = GPGNKBNTNK it + GIND it + GDG it + GIFR it + GLN it (4.19) FISGAP it = G it - KAPFIS it FISAUTO it = (PAD it /G it ) x 100
(4.18)
(4.20) (4.21)
dimana, GDGKAP: belanja perdagangan per kapita (ribu Rp) G: total belanja daerah (juta Rp) FISGAP: kesenjangan fiskal (juta Rp) FISAUTO: kemandirian fiskal (%) GPGNKBNTNK : belanja pertanian (juta Rp) GIND : belanja perindustrian (juta Rp) GDG : belanja perdagangan (juta Rp) GIFR : belanja infrastruktur (juta Rp) GLN : belanja lainnya (juta Rp) KAPFIS: kapasitas fiskal (juta Rp) PAD: pendapatan asli daerah (juta Rp) Blok Perekonomian Sektoral Kinerja perekonomian daerah meliputi infrastruktur jalan, PDRB sektoral, jumah dan upah tenaga kerja sektoral, dan pengeluaran per kapita sektoral. Panjang Jalan Aspal Infrastruktur jalan di daerah diproksi dari panjang jalan aspal. Jalan aspal yang merupakan sub-sektor transportasi darat berperan meningkatkan konektivitas antar wilayah baik di dalam provinsi maupun antar provinsi sehingga memperluas akses ekonomi. Artinya, infrastruktur jalan aspal memberi efek pengganda besar bagi perekonomian daerah. Panjang jalan aspal diduga dipengaruhi oleh belanja infrastruktur, jumlah kendaraan bermotor, dan penanaman modal. Belanja daerah untuk pembangunan infrastruktur yang semakin lebih besar akan menambah panjang jalan aspal. Selain itu, sektor swasta juga turut berperan serta membiayai pembangunan infrastruktur terutama di daerah-daerah yang memiliki keterbatasan pembiayaan pembangunan infrastruktur. Persamaan panjang jalan aspal provinsi-i tahun-t adalah: ASP it = i 0 + i 1 GIFR it + i 2 PM it + i 3 MTR it + u 9it Hipotesis: i 1 , i 2 , dan i 3 > 0 dimana, ASP: panjang jalan aspal (km) GIFR: belanja infrastruktur (juta Rp) PM: total penanaman modal (juta Rp)
(4.22)
74
MTR: jumlah kendaraan bermotor (ribu unit)
PDRB Sektoral Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi PDRB sektoral adalah belanja sektoral dan tenaga kerja sektoral. Hal ini sesuai teori pertumbuhan ekonomi Solow (Solow Growth Model) yaitu output merupakan fungsi dari kapital dan tenaga kerja dimana belanja daerah merupakan bagian dari kapital. Selain itu, panjang jalan aspal juga diduga mempengaruhi PDRB sektoral terutama sektor pertanian yang mayoritas berada di pedesaan dan sektor perdagangan khususnya pada skala usaha kecil melalui perannya dalam meningkatkan aksesibilitas ke pasar output. Persamaan PDRB sektoral di provinsi-i tahun-t adalah: PDRBPGNKBNTNK it = j 0 + j 1 GPGNKBNTNK it + j 2 TKTANI it + j 3 *ASP it + u 10it (4.23) PDRBMKN it = k 0 + k 1 GIND it + k 2 TKIND it + u 11it (4.24) PDRBDG it = l 0 + l 1 GDGKAP it + l 2 TKDG it + l 3 ASP it + u 12it (4.25) Hipotesis: j 1 , j 2 , j 3 , k 1 , k 2 , l 1 , l 2, l 3 > 0 dimana, PDRBPGNKBNTNK: PDRB pangan, perkebunan, peternakan (juta Rp) PDRBMKN: PDRB industri makanan jadi (juta Rp) PDRBDG: PDRB perdagangan per kapita (juta Rp) GPGNKBNTNK: belanja pertanian (juta Rp) GIND: belanja perindustrian (juta Rp) GDG: belanja perdagangan (juta Rp) TKTANI: jumlah tenaga kerja pertanian (ribu orang) TKIND: jumlah tenaga kerja industri (ribu orang) TKDG: jumlah tenaga kerja perdagangan (ribu orang) ASP: panjang jalan aspal (km) Selain ketiga persamaan struktural di atas, PDRB sektoral juga dibuat dalam bentuk persamaan identitas yaitu jumlah komponen-komponen pembentuk PDRB pertanian, PDRB industri, PDRB perdagangan, dan PDRB total. Persamaan di provinsi-i tahun-t adalah: PDRBTANI it = PDRBPGNKBNTNK it + PDRBHTN it + PDRBIKAN it (4.26) PDRBTANIKAP it = PDRBTANI it /POP it (4.27) PDRBINDTANI it = PDRBMKN it + PDRBKYU it + PDRBINDTANILN it (4.28) PDRBIND it = PDRBINDTANI it + PDRBINDLN it (4.29) PDRBINDKAP it = PDRBIND it /POP it (4.30) PDRBDGKAP it = PDRBDG it /POP it (4.31) PDRBNONTANI it = PDRBIND it + PDRBDG it + PDRBLN it (4.32) PDRB it = PDRBTANI it + PDRBNONTANI it (4.33) PDRBKAP it = PDRB it /POP it (4.34)
75
SHPDRBTANI it = PDRBTANIit /PDRB it X 100 SHPDRBIND it = PDRBIND it /PDRB it X 100 SHPDRBDG it = PDRBDG it /PDRB it X 100
(4.35) (4.36) (4.37)
dimana, PDRBTANI: PDRB pertanian (juta Rp) PDRBTANIKAP: PDRB pertanian per kapita (ribu Rp) PDRBINDTANI: PDRB industri pertanian (juta Rp) PDRBIND: PDRB industri (juta Rp) PDRBINDKAP: PDRB industri per kapita (ribu Rp) PDRBDGKAP: PDRB perdagangan per kapita (ribu Rp) PDRBNONTANI: PDRB non-pertanian (juta Rp) PDRB: PDRB total (juta Rp) PDRBKAP: PDRB per kapita (juta Rp) SHPDRBTANI: Share PDRB pertanian (%) SHPDRBIND: Share PDRB industri (%) SHPDRBDG: Share PDRB perdagangan (%) PDRBPGNKBNTNK: PDRB pangan, perkebunan, peternakan (juta Rp) PDRBHTN: PDRB kehutanan (juta Rp) PDRBIKAN: PDRB perikanan (juta Rp) PDRBMKN: PDRB industri makanan jadi (juta Rp) PDRBKYU: PDRB industri kayu (juta Rp) PDRBINDTANILN: PDRB industri pertanian lainnya (juta Rp) PDRBINDLN: PDRB industri lainnya (juta Rp) PDRBDG: PDRB perdagangan per kapita (juta Rp) PDRBLN: PDRB lainnya (juta Rp) POP: jumlah penduduk (ribu orang) Tenaga Kerja Sektoral Jumlah tenaga kerja sektoral diduga dipengaruhi oleh PDRB sektoral, upah sektoral, dan infrastruktur jalan aspal. Meningkatnya PDRB sektoral diduga akan menyerap tenaga kerja sektoral. Demikian juga, panjang jalan aspal yang meningkat akan mempermudah aksesibilitas angkatan kerja ke pasar input tenaga kerja sehingga meningkatkan jumlah tenaga kerja sektoral. Sebaliknya, sesuai teori pasar tenaga kerja, upah riil yang lebih besar diduga menurunkan permintaan tenaga kerja. Persamaan jumlah tenaga kerja sektoral di provinsi-i tahun-t adalah: TKTANI it = m 0 + m 1 PDRBTANI it + m 2 UPHTANIit + m 3 ASP it + u 13it (4.38) TKIND it = n 0 + n 1 PDRBIND it + n 2 UPHIND it + n 3 ASP it + u 14it (4.39) TKDG it = o 0 + o 1 PDRBDG it + o 2 UPHDG it + o 3 ASP it + u 15it (4.40) TK it = TKTAN it I + TKIND it + TKDG it + TKLN it (4.41) Hipotesis: m 1 , m 3 , n 1 , n 3 , o 1 , o 3 , > 0; m 2 , n 2 , o 2 < 0 dimana, TKTANI: jumlah tenaga kerja pertanian (ribu orang) TKIND: jumlah tenaga kerja industri (ribu orang) TKDG: jumlah tenaga kerja perdagangan (ribu orang)
76
TK: jumlah tenaga kerja (ribu orang) PDRBTANI: PDRB pertanian (juta Rp) PDRBIND: PDRB industri (juta Rp) PDRBDG: PDRB perdagangan (juta Rp) UPHTANI: upah tenaga kerja pertanian (ribu Rp) UPHIND: upah tenaga kerja industri (ribu Rp) UPHDG: upah tenaga kerja perdagangan (ribu Rp) ASP: panjang jalan aspal (km) TKLN: jumlah tenaga kerja lainnya (ribu orang) Upah Riil Sektoral Sebagai salah satu faktor produksi, tenaga kerja mendapatkan balas jasa produksi dalam bentuk upah dimana upah riil adalah marginal product of labor (MPL) yaitu tambahan output yang dihasilkan untuk setiap tambahan tenaga kerja. Secara alami meningkatnya produksi akan meningkatkan penerimaan sehingga upah riil yang diterima tenaga kerja juga meningkat. Dengan demikian, pada penelitian ini upah riil sektoral diduga dipengaruhi oleh PDRB sektoral dalam hal ini PDRB per kapita sektoral. Persamaan di provinsi-i tahun-t adalah: UPHTANI it = p 0 + p 1 PDRBTANIKAP it + p 2 UPHTANI it-1 + u 16it UPHIND it = q 0 + q 1 PDRBINDKAP it + q 2 UPHIND it-1 + u 17it UPHDG it = r 0 + r 1 PDRBDGKAP it + r 2 UPHDG it-1 + u 18it
(4.42) (4.43) (4.44)
Hipotesis: p 1 , q 1 , r 1 > 0; 0 < p 2 , q 2 , r 2 < 1 dimana, UPHTANI: upah tenaga kerja pertanian per bulan (ribu Rp) UPHIND: upah tenaga kerja industri per bulan (ribu Rp) UPHDG: upah tenaga kerja perdagangan per bulan (ribu Rp) PDRBTANIKAP: PDRB pertanian per kapita (ribu Rp) PDRBINDKAP: PDRB industri per kapita (ribu Rp) PDRBDGKAP: PDRB perdagangan per kapita (ribu Rp) Pengeluaran per Kapita Sektoral Konsep pertumbuhan pro-poor menunjukkan peran pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan dalam menurunkan kemiskinan. Meskipun perubahan output merupakan ukuran pertumbuhan ekonomi yang umum, namun studi-studi empiris terdahulu terkait kemiskinan lebih banyak menggunakan pengeluaran per kapita dari hasil survey rumahtangga, antara lain Miranti (2010) dan Ravallion dan Chen (1997). Bahkan menurut Ravallion (1995) pengeluaran per kapita lebih mencerminkan kesejahteraan penduduk dibandingkan pendapatan walaupun keduanya berasal dari sumber data yang sama. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pengeluaran penduduk yang diperoleh dari indikator pengeluaran per kapita rumahtangga sektoral berdasarkan pekerjaan utama kepala rumahtangga dari hasil SUSENAS. Pengeluaran per kapita diduga dipengaruhi oleh upah riil kepala rumahtangga dimana semakin besar upah riil maka semakin besar pengeluaran per kapita. Sebaliknya, inflasi diduga menurunkan pengeluaran
77
per kapita. Persamaan pengeluaran per kapita per bulan di provinsi-i tahun-t adalah: EXPTANI it = s 0 + s 1 UPHTANI it + s 2 IFL it + u 19it EXPIND it = t 0 + t 1 UPHIND it + t 2 IFL it + u 20it EXPDG it = u 0 + u 1 UPHDG it + u 2 IFL it + u 21it
(4.45) (4.46) (4.47)
Hipotesis: s 1 , t 1 , u 1 > 0; s 2 , t 2 , u 2 < 0 dimana, EXPTANI: pengeluaran penduduk pertanian per bulan (ribu Rp) EXPIND: pengeluaran penduduk industri per bulan (ribu Rp) EXPDG: pengeluaran penduduk perdagangan per bulan (ribu Rp) UPHTANI: upah tenaga kerja pertanian per bulan (ribu Rp) UPHIND: upah tenaga kerja industri per bulan (ribu Rp) UPHDG: upah tenaga kerja perdagangan per bulan (ribu Rp) IFL: laju inflasi (%) Blok Kemiskinan Sektoral Dalam konsep pertumbuhan pro-poor, perubahan kemiskinan terjadi karena perubahan pertumbuhan dan perubahan ketimpangan pendapatan. Oleh karena itu, persamaan-persamaan pada blok kemiskinan sektoral daerah meliputi Indeks Gini sebagai ukuran ketimpangan pendapatan dan tiga indikator kemiskinan yaitu headcount index (P 0 ), poverty gap index (P 1 ), dan poverty severity index (P 2 ). Indeks Gini Indeks Gini yang merupakan ukuran ketimpangan pendapatan penduduk diduga dipengaruhi oeh kontribusi PDRB sektoral pada total PDRB berdasarkan asumsi hipotesis Kuznets (1955) yaitu sektor tradisional di pedesaan memiliki ketimpangan pendapatan rendah, sedangkan sektor modern di perkotaan memiliki ketimpangan pendapatan tinggi. Dengan demikian, jika share PDRB sektor pertanian sebagai sektor yang mendominasi struktur ekonomi di pedesaan lebih besar diduga menurunkan Indeks Gini yang berarti ketimpangan pendapatan lebih rendah. Namun, jika share PDRB perdagangan sebagai sektor yang mendominasi struktur ekonomi di perkotaan lebih besar diduga meningkatkan Indeks Gini yang berarti ketimpangan pendapatan semakin besar. Persamaan Indeks Gini provinsi-i tahun-t adalah: GINI it = v 0 + v 1 SHPDRBTANIit + v 2 SHPDRBIND it + v 2 SHPDRBDG it + v 3 GINI it-1 + u 22it (4.48) Hipotesis: v 1 < 0; v 2 ≠ 0; v 3 > 0; 0 < v 4 < 1 dimana, GINI: Indeks Gini SHPDRBTANI: share PDRB pertanian (%) SHPDRBIND: share PDRB industri (%) SHPDRBDG: share PDRB perdagangan (%) Indeks Kemiskinan Sektoral
78
Tingkat kemiskinan umumnya dinyatakan dalam tiga indikator FGT yang dikembangkan oleh Foster, et al. (1984), yaitu Headcount index (P 0 ), Poverty Gap Index (P 1 ), dan Poverty Severity Index (P 2 ). Ketiga indikator kemiskinan tersebut diduga dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita, Indeks Gini, dan garis kemiskinan. Penggunaan ketiga variabel tersebut mengacu pada konsep Kakwani (1993) yang mendefinisikan indeks kemiskinan sebagai fungsi dari garis kemiskinan, rata-rata pendapatan per kapita, dan ketimpangan pendapatan. Studistudi empiris terdahulu antara lain Nanga (2006) serta Laabas dan Limam (2004) juga menggunakan ketiga variabel tersebut dalam mengestimasi ketiga indikator kemiskinan FGT. Hipotesis hubungan ketiganya adalah pengeluaran per kapita yang lebih besar diduga menurunkan kemiskinan, sedangkan Indeks Gini dan garis kemiskinan yang lebih besar diduga meningkatkan kemiskinan. Pada penelitian ini, estimasi headcount index dilakukan untuk ketiga sektor, sedangkan estimasi poverty gap index dan poverty severity index hanya dilakukan pada sektor pertanian. Selain headcount index sektoral estimasi terhadap total headcount index juga dilakukan menggunakan ketiga headcount index sektoral. Meskipun total headcount index dapat dihitung dari dekomposisi headcount index sektoral tetapi karena headcount index sektoral pada penelitian ini hanya diestimasi untuk tiga sektor maka total headcount index tidak dihitung secara aditif melainkan diestimasi dari ketiga headcount index sektoral tersebut yaitu headcount index pertanian, headcount index industri, dan headcount index perdagangan. Persamaan ketiga indikator kemiskinan di provinsi-i tahun-t adalah: POVTANIP0 it = w 0 + w 1 EXPTANIit + w 2 GINI it + w 3 GK it + u 23it (4.49) POVINDP0 it = x 0 + x 1 EXPIND it + x 2 GINI it + x 3 GK it + u 24it (4.50) POVDGP0 it = y0 + y 1 EXPDG it + y2 GINI it + y3 GK it + u 25it (4.51) POVTANIP1 it = z 0 + z 1 EXPTANI it + z 2 GINI it + z 3 GK it + u 26it (4.52) POVTANIP2 it = aa 0 + aa 1 EXPTANIit + aa 2 GINI it + aa 3 GK it + u 27it (4.53) POVP0 it = ab 0 + ab 1 POVTANIP0 it + ab 2 POVINDP0 it + ab 3 POVDGP0 it + u 28it (4.54) Hipotesis: w 1 , x 1 , y1 , z 1 , aa 1 < 0; w 2 , w 3 , x 2 , x 3 , y2 , y 3 , z 2 , z 3 , aa 2 , aa 3 , ab 1 , ab 2 , ab 3 > 0 dimana, POVTANIP0: headcount index pertanian (%) POVINDP0: headcount index industri (%) POVDGP0: headcount index perdagangan (%) POVTANIP1: poverty gap index pertanian POVTANIP2: poverty severity index pertanian POVP0: total headcount index (%) EXPTANI: pengeluaran per kapita pertanian per bulan (ribu Rp) EXPIND: pengeluaran per kapita industri per bulan (ribu Rp) EXPDG: pengeluaran per kapita perdagangan per bulan (ribu Rp) GINI: Indeks Gini GK: Garis Kemiskinan (ribu Rp) Prosedur Estimasi Model
79
Identifikasi dan Metode Estimasi Model Identifikasi merupakan suatu permasalahan formulasi bukan estimasi atau penilaian (appraisal) model (Koutsoyiannis, 1977). Namun, identifikasi sangat terkait dengan estimasi, yaitu: (1) jika suatu persamaan tidak teridentifikasi maka estimasi seluruh parameter tidak mungkin dilakukan dengan teknik ekonometrik apapun; dan (2) jika suatu persamaan teridentifikasi maka secara umum koefisien parameternya dapat diestimasi secara statistik. Identifikasi dapat dilakukan dengan memeriksa spesifikasi model struktural atau dengan memeriksa model yang direduksi. Namun, pendekatan pertama lebih sederhana dan lebih berguna sehingga penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut. Ada dua kondisi yang harus dipenuhi oleh suatu persamaan dalam identifikasi model yaitu order condition dan rank condition. Syarat order condition dilakukan berdasarkan jumlah variabel yang dimasukkan dan dikeluarkan dari suatu persamaan. Untuk memenuhi syarat order condition pada persamaan yang akan diidentifikasi maka jumlah variabel (endogen dan eksogen) yang dikeluarkan dari persamaan tersebut harus sama atau lebih besar dari jumlah variabel endogen dalam model dikurangi satu, atau: (K – M) ≥ (G – 1)
(4.55)
dimana: G : jumlah persamaan (= jumlah variabel endogen) dalam model K : jumlah variabel dalam model (endogen dan predetermined) M : jumlah variabel endogen dan eksogen dalam suatu persamaan struktural Dengan demikian, jika: (K-M) > (G-1) maka persamaan teridentifikasi berlebih (over identified) (K-M) = (G-1) maka persamaan teridentifikasi tepat (exactly identified) (K-M) < (G-1) maka persamaan tidak teridentifikasi (unidentified) Jjika persamaan teridentifikasi tepat (exactly identified) maka estimasi dapat dilakukan dengan metode Indirect Least Squares (ILS), namun jika teridentifikasi berlebih (over identified) dapat digunakan beberapa metode antara lain two-stage least squares (2SLS) dan maximum likelihood (Koutsoyiannis, 1997). Perbedaan mendasar dari kedua metode ini adalah metode Maximum Likelihood memerlukan sampel besar dan variabel-variabel berdistribusi multivariate normal. Sedangkan metode 2SLS tidak memerlukan asumsi distribusi apapun dan dapat digunakan untuk sampel kecil (Sulistiyawan, 2009). Selain itu, metode 2SLS menghasilkan estimasi konsisten dan efisien serta konsep dan komputasinya lebih sederhana (Koutsoyiannis, 1977). Syarat order condition merupakan syarat perlu (necessary) namun tidak cukup karena meskipun syarat tersebut terpenuhi suatu persamaan namun hubungannya bisa saja tidak dapat diidentifikasi. Oleh karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan rank condition yang merupakan syarat cukup (sufficient), yaitu dalam suatu sistem dengan G buah persamaan maka suatu persamaan akan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu nilai determinan bukan nol (non-zero determinant) pada order (G-1) dari koefisien variabel yang dikeluarkan dari persamaan namun ada di persamaan-persamaan
80
lain dalam model (Koutsoyiannis, 1977). Artinya, rank condition ditentukan oleh determinan turunan pertama persamaan struktural yang nilainya tidak nol. Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah terdiri dari 48 variabel endogen dan 37 variabel predetermined (14 variabel lag endogen dan 23 variabel eksogen) sehingga ada 85 variabel dalam model (K), 3 sampai 6 variabel endogen dan eksogen dalam suatu persamaan struktural, dan 48 variabel endogen atau jumlah persamaan dalam model. Berdasarkan kriteria identifikasi sesuai persamaan (4.55) diketahui jumlah variabel (endogen dan eksogen) yang dikeluarkan dari setiap persamaan (K-M) lebih besar dari jumlah variabel endogen dalam model dikurangi satu (G-1) yang berarti model teridentifikasi berlebih (over identified) sehingga dapat diestimasi dengan metode 2SLS. Program dan hasil estimasi model dengan metode 2SLS prosedur syslin pada software SAS/ETS 9.1.3 secara lengkap disajikan pada Lampiran 4 dan 5. Evaluasi Model Hasil estimasi selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi model untuk mengetahui apakah sesuai dengan kriteria ekonomi dan kriteria statistik. Analisis kriteria ekonomi bertujuan untuk mengetahui apakah model sesuai dengan teoriteori ekonomi (theoretically meaningful). Hal ini dilakukan dengan menganalisis tanda setiap koefisien variabel. Sedangkan, analisis kriteria statistik bertujuan untuk mengetahui kesesuaian model (goodness of fit) yang dapat dilakukan dengan menganalisis koefisien determinasi (R2), uji F dan uji t. R2 merupakan ukuran proporsi variasi variabel dependen yang dijelaskan secara bersama-sama oleh seluruh variabel penjelas pada suatu persamaan regresi. Nilai R2 tersebut dapat menjadi petunjuk seberapa baik garis regresi mendekati nilai data aktualnya. Jika R2 bernilai satu maka garis regresi cocok dengan data secara sempurna, sedangkan jika R2 bernilai nol maka garis regresi tidak cocok dengan data secara sempurna. Nilai R2 dihitung dengan rumus berikut (Walpole dan Myers, 1978): R2 =
SS Reg SS Total
=1−
SS Error =1− SS Total
∑ (y − yˆ ) ∑ (y − y) i
2
i
2
(4.56)
i
dimana, SS Reg : Sum squares of regression SS Total : Sum squares of total yi : nilai aktual variabel dependen ke-i yˆ i : nilai estimasi variabel dependen ke-i y : rata-rata nilai aktual variabel dependen Analisis kriteria statistik juga dilakukan dengan uji F untuk mengetahui apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata (significant) secara statistik pada variabel dependen. Untuk mengujinya maka nilai F dibandingkan dengan nilai F pada tingkat signifikasi (α) tertentu. Jika lebih besar maka hipotesis nol H 0 : β 1 = β 2 = … = β k = 0 yang berarti semua variabel penjelas tidak mempengaruhi variabel dependen ditolak. Artinya, seluruh variabel penjelas secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen secara nyata pada tingkat signifikansi α. Nilai F dihitung dengan rumus:
81
F=
(R 2 /k) (1 − R 2 )/(n − k − 1)
(4.57)
dimana, R2: koefisien determinasi n = jumlah observasi (sampel) k = jumlah variabel penjelas Sedangkan, uji t untuk mengetahui pengaruh setiap variabel penjelas pada variabel dependen. Untuk itu, nilai t dibandingkan dengan t pada α tertentu. Jika lebih besar maka hipotesis nol H 0 : β i = 0; i = 1, 2, …, k yang berarti suatu variabel penjelas tertentu tidak mempengaruhi variabel dependen ditolak. Artinya, suatu variabel penjelas mempengaruhi variabel dependen pada tingkat signifikansi α. Nilai t dihitung dengan rumus: t=
βˆ i ; i = 0, 1, 2, …, k SE
(4.58)
dimana, βˆ i : koefisien parameter variabel ke-i
SE = Standar error Prosedur Simulasi Model Validasi Model Validasi model dilakukan untuk mengetahui apakah model layak digunakan dalam menganalisis dampak suatu kebijakan melalui simulasi alternatif kebijakan. Untuk itu diperlukan suatu kriteria yang mengacu pada selisih nilai prediksi dan nilai aktual setiap variabel endogen. Jika hasil validasi menunjukkan perbedaan nilai prediksi dan nilai aktual kecil atau nilai prediksi relatif tidak menyimpang dari nilai aktual maka dapat dilakukan simulasi. Indikator statistik yang digunakan adalah rms (root-mean-squrae) simulation error (Pyndick dan Rubinfeld, 1991). Indikator rms simulation error yang sering digunakan adalah Root Mean Square Percentage Error (RMSPE) untuk mengukur sejauh mana nilai-nilai variabel endogen hasil simulasi relatif menyimpang dari nilai-nilai aktualny dimana semakin kecil RMSPE semakin baik estimasi model. Indikator dihitung dengan: –
(4.59)
dimana, : nilai prediksi (simulasi) dari Y t : nilai aktual Y t T : jumlah periode simulasi Namun, jika model dirancang untuk keperluan peramalan (forecasting) maka indikator statistik rms simulation error yang dapat digunakan adalah Theil Inequality Coefficient (U). Indikator ini diperoleh dengan rumus:
82
(4.60) dimana, : nilai prediksi (simulasi) dari Y t : nilai aktual Y t T : jumlah periode simulasi Bagian numerator dari indikator ini adalah rms simulation error. Namun skala denominator menyebabkan U bernilai antara nol dan satu. Jika U bernilai nol atau untuk setiap t berarti cocok secara sempurna (perfect fit). Namun, jika U bernilai satu maka nilai-nilai prediksi selalu nol untuk nilai-nilai aktual yang tidak nol, atau nilai-nilai prediksi tidak bernilai nol untuk nilai-nilai aktual yang bernilai nol. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai simulasi akan positif (negatif) untuk nilai-nilai aktual yang negatif (positif). Dengan perkataan lain, model dapat digunakan untuk simulasi apabila nilai-nilai U semakin kecil. Theil Inequality Coefficient (U) dapat didekomposisi menjadi (Pyndick dan Rubinfeld, 1991) : (4.61) dimana, : rata-rata nilai prediksi : rata-rata nilai aktual : standar deviasi untuk nilai prediksi : standar deviasi untuk nilai aktual : koefisien korelasi dan (4.62) Proporsi dari U (proportion of inequality) dapat didefinisikan sebagai berikut : (4.63) (4.64) (4.65) dimana, UM : proporsi bias digunakan untuk mengindikasikan error sistematik (systematic error) yang merupakan ukuran rata-rata deviasi nilai-nilai simulasi dari nilai-nilai aktualnya. Nilai UM diharapkan mendekati nol dimana nilai UM yang besar (lebih dari 0.2) menunjukkan adanya bias sistematik sehingga model harus direvisi. S U : proporsi variansi yang mengukur seberapa jauh variansi nilai-nilai prediksi menyimpang dari variansi nilai-nilai aktual. Nilai-nilai US mengindikasikan kemampuan model mereplikasi derajat variabilitas dari variabel-variabel tertentu. Nilai US yang baik adalah mendekati nol. Nilai US besar menunjukkan nilai-nilai aktual sangat berfluktuasi
83
sementara nilai-nilai simulasi kurang berfluktuasi, atau sebaliknya sehingga model harus direvisi. UC : proporsi kovariansi yang merupakan ukuran error tidak sistematik (unsystematic error). Indikator ini juga merupakan sisa error. Namun, indikator ini tidak terlalu diperhatikan karena tidak beralasan untuk mengharapkan nilai-nilai prediksi yang berkorelasi sempurna dengan nilai-nilai aktualnya. Namun, untuk setiap U positif (U > 0) maka distribusi inequality yang ideal dari ketiga error ini adalah UM = US = 0 dan UC = 1 (Pindyck dan Rubinfeld, 1991). Distribusi U yang ideal atas ketiga proporsi tersebut adalah UM = US = 0 dan UC = 1. Hubungan ketiganya dapat diperoleh dengan membagi persamaan (4.61) dengan sisi kiri, sehingga: UM + US + UC = 1
(4.66)
Pada penelitian ini, validasi dilakukan dengan prosedur SIMNLIN metode solusi Newton pada software SAS/ETS 9.1.3. Program validasi dan hasilnya secara lengkap disajikan pada Lampiran 6 dan 7. Simulasi Kebijakan Simulasi seringkali digunakan dalam rancangan kebijakan publik. Istilah simulasi secara sederhana adalah solusi matematis dari sekumpulan persamaan simultan (Pyndick dan Rubinfeld, 1991). Secara teoritis, tujuan simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif atau skenario kebijakan dengan cara mengubah nilai variabel atau instrumen kebijakannya baik variabel eksogen maupun variabel endogen. Oleh karena itu, proses simulasi merupakan proses penentuan prediksi nilai-nilai variabel endogen dengan cara substitusi hasil estimasi koefisien regresi variabel penjelas dan nilai-nilai aktualnya ke dalam model regresi yang berkaitan dengan variabel endogen dalam simulasi. Simulasi dapat dibedakan menurut horison waktu yaitu ex-post simulation dan ex-ante simulation. Ex-post simulation atau simulasi historis adalah simulasi pada periode data penelitian. Ex-ante simulation atau simulasi peramalan adalah simulasi pada periode di luar data penelitian. Untuk itu, terlebih dahulu harus dilakukan peramalan terhadap variabel-variabel eksogen. Pada penelitian ini simulasi dilakukan secara historis (ex-post simulation) dan peramalan (ex-ante simulation) untuk menganalisis dampak kebijakan yang mendorong peran kapasitas fiskal dalam menurunkan kemiskinan sektoral melalui perbaikan kinerja perekonomian dengan mempertimbangkan perbaikan kinerja fiskal. Hasil simulasi selanjutnya akan direkomendasikan jika berdampak positif dan memihak penduduk miskin terutama yang bekerja di sektor pertanian sehingga dapat mempercepat pengentasan kemiskinan nasional mengingat insiden kemiskinan paling tinggi di sektor pertanian. Simulasi model yang menggunakan variabel lag dapat dilakukan secara statis, dinamis, dan kombinasi keduanya (Sitepu dan Sinaga, 2006). Simulasi statis (static simulation) menggunakan nilai aktual dari variabel lag, sedangkan simulasi dinamis (dynamic simulation) menggunakan solusi dari nilai-nilai variabel lag (SAS Institute Inc., 2004). Penelitian ini melakukan simulasi dinamis dimana pada beberapa persamaan struktural dalam model terdapat variabel lag
84
endogen. Proses simulasi diawali dengan mengklasifikasikan seluruh provinsi penelitian menjadi dua yaitu provinsi pertanian dan provinsi non-pertanian. Klasifikasi ini dilakukan dengan alasan ada perbedaan yang cukup besar terkait karakteristik fiskal, perekonomian, dan kemiskinan antara provinsi pertanian dan provinsi non-pertanian. Klasifikasi dilakukan dengan membandingkan share PDRB pertanian di suatu provinsi dengan rata-rata share PDRB pertanian seluruh provinsi periode 2006-2011. Jika share PDRB pertanian lebih besar dari rata-rata maka provinsi tersebut diklasifikasikan sebagai provinsi pertanian, sedangkan jika lebih kecil dari rata-rata diklasifikasikan sebagai provinsi non-pertanian. Rata-rata share PDRB pertanian di setiap provinsi penelitian dan klasifikasinya disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Rata-rata Share PDRB Riil1 Pertanian Tahun 2006-2011 (%) Provinsi Pertanian 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Jambi 5. Lampung 6. Nusa Tenggara Barat 7. Nusa Tenggara Timur 8. Kalimantan Barat 9. Kalimantan Tengah 10. Kalimantan Selatan 11. Sulawesi Tengah 12. Sulawesi Selatan
Provinsi Non-Pertanian 27.0 22.7 24.3 27.3 37.5 22.0 39.4 25.8 30.5 22.0 41.4 28.2
1. Riau 2. Sumatera Selatan 3. Kepulauan Riau 4. Jawa Barat 5. Jawa Tengah 6. Daerah Istimewa Yogyakarta 7. Jawa Timur 8. Banten 9. Bali 10. Kalimantan Timur 11. Sulawesi Utara
20.1 17.6 4.9 11.9 19.9 15.1 16.3 7.8 18.9 5.6 19.6
Catatan: 1Nilai nominal dikonversi ke riil menggunakan IHK provinsi tahun dasar 2007 Sumber: BPS
Skenario kebijakan terdiri dari kebijakan tunggal (single policy) dan kebijakan gabungan. Simulasi skenario kebijakan tunggal dilakukan pada periode periode 2006-2011 untuk masing-masing kelompok provinsi pertanian dan provinsi non-pertanian. Hasil simulasi selanjutnya menjadi acuan penyusunan skenario kebijakan gabungan periode historis 2006-2011 dan periode peramalan 2013-2015 dengan besaran perubahan instrumen kebijakan mengacu pada arah dan besaran perubahan variabel-variabel endogen yang menjadi fokus penelitian. Variabel-variabel skenario dipilih berdasarkan tujuan penelitian serta koefisien paramaeter dan koefisien elastisitas dari hasil estimasi model namun tetap berada pada kerangka peningkatan kapasitas fiskal untuk mengurangi ketergantungan keuangan daerah pada DAU dan berdampak menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan melalui efek pertumbuhan pro-poor. Sebagai contoh, skenario peningkatan belanja pertanian dilakukan dengan alasan bahwa dari hasil estimasi diketahui pengaruh kapasitas fiskal pada belanja pertanian lebih kecil dibandingkan pengaruh DAU. Oleh karena itu, untuk mencapai pertumbuhan propoor melalui strategi pembangunan pertanian maka belanja pertanian harus ditingkatkan. Selain itu, variabel-variabel skenario terpilih merupakan variabel-
85
variabel yang berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal, salah satunya bagi hasil pajak. Rincian setiap skenario serta penjelasan alasan yang menjadi pertimbangan dalam menentukan besaran perubahan varaibel-variabel yang menjadi instrumen kebijakan secara lengkap disajikan pada bagian analisis dampak setelah ulasan hasil estimasi karena terkait dengan hasil estimasi model.
86
5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan data dari 23 provinsi penelitian periode 2006-2011. Rentang waktu tersebut dipilih karena hasil analisis deskriptif ini akan menjadi dasar simulasi kebijakan historis yang menggunakan rentang waktu 2006-2011. Sedangkan data tahun 2005 digunakan sebagai data variabel lag tahun 2006. Hal ini dilakukan untuk menghindari munculnya masalah dalam teknis pemrograman yaitu ketidaksesuaian objek observasi (provinsi) antara current data dan lag data yang terjadi pada data panel. Analisis deskriptif dilakukan dengan mengkaji pertumbuhan beberapa variabel fiskal, perekonomian, dan kemiskinan termasuk variavel-variabel dengan satuan nilai rupiah. Oleh karena itu, agar terbanding antar waktu maka analisis deskriptif ini menggunakan variabel-variabel riil yaitu hasil konversi variabel-variabel nominal dengan IHK provinsi tahun dasar 2007. Profil Kinerja Fiskal Daerah Pendapatan Daerah Profil kinerja fiskal daerah dapat ditinjau dari sumber-sumber pendapatan dan pengeluaran daerah. Pendapatan daerah diperoleh dari sumber daya keuangan lokal dan transfer dari pemerintah pusat. Pada umumnya, sumber daya keuangan lokal dicerminkan oleh PAD, namun sumber daya keuangan lokal pada penelitian ini dicerminkan oleh kapasitas fiskal yaitu jumlah PAD dan dana bagi hasil. Alasannya adalah dana bagi hasil bersumber dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam yang masing-masing mencerminkan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki daerah. Selain itu, kapasitas fiskal adalah salah satu alokator pengurang dalam formula DAU dimana daerahdaerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar akan menerima DAU lebih kecil. Dengan perkataan lain, kapasitas fiskal yang lebih besar dapat menurunkan ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada DAU. Analisis deskriptif terhadap beberapa komponen penting pendapatan daerah selama periode 2006-2011 yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan rendahnya komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi pertanian selama tahun 2006-2011 yaitu rata-rata hanya 7.4% per tahun. Hal ini menyebabkan rendahnya komposisi PAD dengan rata-rata 11.6% per tahun. Demikian juga, komposisi bagi hasil pajak sangat rendah dengan rata-rata hanya 6.7% per tahun. Rendahnya PAD dan bagi hasil pajak menyebabkan rendahnya komposisi kapasitas fiskal dengan ratarata 22.7% per tahun. Sesuai formula alokasi DAU dimana daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah akan menerima DAU lebih besar maka rata-rata komposisi kapasitas fiskal yang rendah menyebabkan tingginya komposisi DAU yaitu ratarata 60.1% per tahun. Perkembangan pendapatan daerah di provinsi pertanian mengindikasikan perlunya peningkatan kapasitas fiskal dengan melakukan upayaupaya untuk mendorong pendapatan pajak daerah dan bagi hasil pajak. Sementara itu, komposisi pajak daerah di provinsi non-pertanian rata-rata 13.9% atau hampir dua kali lipat dari komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi pertanian. Hal
87
ini menyebabkan komposisi PAD cukup besar dengan rata-rata 19.7% per tahun. Komposisi bagi hasil pajak juga lebih besar dibandingkan provinsi pertanian dengan rata-rata 9.9% per tahun. Komposisi PAD dan bagi hasil pajak yang besar menyebabkan komposisi kapasitas fiskal di provinsi non-pertanian lebih besar yaitu rata-rata 44.8% per tahun. Sementara rata-rata komposisi DAU 41.7% per tahun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa secara umum kinerja pendapatan fiskal daerah-daerah di provinsi non-pertanian lebih baik dari pada provinsi pertanian. Hal ini berarti provinsi dengan struktur ekonomi didominasi sektor-sektor nonpertanian cenderung lebih mampu membiayai pembangunan daerahnya dengan dana yang diperoleh dari sumber daya lokal. Tabel 9 Rata-rata Komposisi Pendapatan Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi
Pajak Daerah
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata
3.5 13.2 7.8 8.2 9.6 6.6 2.6 6.9 4.7 11.1 4.9 9.5 7.4
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata
7.6 8.9 13.9 17.9 11.9 13.5 15.5 24.2 25.1 7.6 6.4 13.9
Bagi Hasil Pajak PROVINSI PERTANIAN 6.9 5.7 17.2 8.7 13.0 5.0 12.6 11.0 13.1 5.7 11.8 5.5 7.2 4.8 10.7 6.3 8.3 7.4 16.7 7.6 8.0 5.5 14.2 7.1 11.6 6.7 PROVINSI NON PERTANIAN 14.1 10.8 12.6 12.3 18.0 13.0 24.3 10.5 19.8 6.4 20.9 5.6 23.0 9.0 30.3 14.2 31.7 6.5 13.3 15.6 9.2 4.9 19.7 9.9 PAD
Kapasitas Fiskal
DAU
25.8 26.1 18.3 36.2 23.0 19.9 12.1 18.1 20.1 37.3 13.9 22.1 22.7
43.1 58.0 64.8 51.3 60.4 64.9 70.3 66.6 66.5 47.7 68.6 58.8 60.1
79.8 48.1 66.7 36.7 26.4 26.6 32.9 44.5 38.3 78.1 14.7 44.8
14.4 41.2 24.6 47.5 58.3 57.1 52.8 41.2 46.0 10.6 64.5 41.7
Sumber: Kemenkeu RI., data diolah
Selain komposisi pendapatan daerah, kinerja pendapatan daerah dapat juga ditinjau dari pertumbuhannya. Tabel 10 menunjukkan rata-rata pajak daerah di provinsi pertanian tahun 2006-2011 tumbuh 15.1% per tahun. Namun, hal ini tidak sejalan dengan pertumbuhan PAD yang rendah yaitu 12.6% per tahun. Sedangkan, bagi hasil pajak hanya tumbuh rata-rata 1.0% per tahun. Rendahnya pertumbuhan PAD dan bagi hasil pajak menyebabkan rendahnya pertumbuhan kapasitas fiskal dengan rata-rata 8.4% per tahun.
88
Tabel 10 Rata-rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi
Pajak Daerah
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata 2006-2011 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011
8.3 13.0 10.7 15.5 12.2 13.8 11.9 18.6 26.0 19.9 17.7 14.1
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata 2006-2011 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011
14.3 16.3 15.3 14.8 11.0 10.0 13.3 19.2 18.6 27.6 17.1
15.1 10.2 21.6 -8.0 19.2 32.7
Bagi Hasil Pajak PROVINSI PERTANIAN 5.8 3.3 13.5 0.3 9.7 0.0 13.5 -4.5 10.9 2.8 18.0 8.2 6.8 1.1 15.5 2.0 16.9 1.8 14.4 -6.2 15.2 2.7 10.7 -0.2 PAD
12.6 1.0 10.1 7.3 14.6 -5.0 -4.2 1.1 13.6 10.6 28.6 9.3 PROVINSI NON PERTANIAN 10.0 -4.6 14.2 1.3 13.9 5.0 13.6 3.7 9.2 3.2 9.3 5.4 13.3 3.2 17.5 2.3 17.7 5.9 18.5 -16.4 14.1 8.0
16.2 11.5 20.4 -3.3 16.0 36.1
13.7 11.8 15.6 0.8 12.1 28.4
1.5 5.5 2.3 1.9 13.9 -15.8
Kapasitas Fiskal
DAU
-3.2 8.9 6.9 7.7 5.6 13.1 4.5 10.8 13.5 16.2 10.0 6.6
4.0 3.4 1.4 2.8 3.0 2.4 2.7 0.8 1.1 -0.3 2.1 1.2
8.4 9.1 5.2 -2.0 11.4 18.3
2.1 5.4 -1.6 -1.0 -0.9 8.3
1.1 9.1 10.1 10.5 8.1 8.4 10.9 12.4 15.4 6.3 12.2
18.4 3.5 9.3 6.4 0.6 -0.3 1.0 6.0 0.8 13.6 6.6
9.5 2.2 16.5 -2.3 21.1 10.0
6.0 14.1 -7.3 1.4 -9.3 31.1
Sumber: Kemenkeu RI., data diolah
Meskipun komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi non-pertanian hampir dua kali lipat dari komposisi di provinsi pertanian tetapi pertumbuhannya hanya sedikit lebih besar dengan rata-rata 16.2% per tahun. Hal ini menyebabkan pertumbuhan PAD di provinsi non-pertanian juga hanya sedikit lebih besar dari provinsi pertanian dengan rata-rata 13.7% per tahun. Sementara itu, meskipun pertumbuhan bagi hasil pajak di provinsi non-pertanian lebih besar dibandingkan provinsi pertanian yaitu rata-rata 1.5% per tahun, tetapi pada tahun 2011 terjadi
89
pertumbuhan negatif bagi hasil pajak yaitu minus 15.8%, sementara di provinsi pertanian mencapai 9.3% per tahun. Berkurangnya penerimaan bagi hasil pajak di provinsi non-pertanian menyebabkan rendahnya pertumbuhan kapasitas fiskal tahun 2011 yang hanya 10.0%, sementara di provinsi pertanian mencapai 18.3%. Pertumbuhan kapasitas fiskal di provinsi non-pertanian yang cenderung berkurang menyebabkan naiknya pertumbuhan DAU bahkan mencapai 31.1% pada tahun 2011. Perkembangan pertumbuhan pendapatan fiskal di provinsi pertanian yang menunjukkan perbaikan kapasitas fiskal disebabkan oleh pertumbuhan bagi hasil pajak yang cenderung meningkat, sebaliknya di provinsi non-pertanian cenderung berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi non-pertanian perlu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan bagi hasil pajak terutama dari pajakpajak penghasilan. Pengeluaran Daerah Tabel 11 Rata-rata Komposisi Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata
Belanja Belanja Belanja Pertanian Perindustrian Perdagangan PPROVINSI PERTANIAN 3.1 0.7 0.1 2.6 0.4 0.4 2.7 0.2 0.4 4.0 0.3 0.3 2.5 0.2 0.4 3.0 0.2 0.3 4.0 0.3 0.3 3.3 0.1 0.3 3.5 0.3 0.5 3.0 0.2 0.5 3.6 0.3 0.4 2.9 0.4 0.2 3.2 0.3 0.3 PROVINSI NON PERTANIAN 3.1 0.2 0.7 2.7 0.1 0.4 1.0 0.3 0.3 1.8 0.3 0.2 2.1 0.4 0.6 2.0 0.0 0.6 2.1 0.4 0.3 1.2 0.3 0.2 2.3 0.4 0.1 2.0 0.2 0.4 3.2 0.2 0.5 2.1 0.3 0.4
Belanja Infrastruktur 15.7 13.7 13.7 20.8 15.3 10.6 13.1 19.0 23.8 17.3 15.4 13.6 16.0 19.5 24.2 16.0 11.0 9.5 8.2 11.1 15.6 9.7 24.8 14.2 14.9
Sumber: Kemenkeu RI., data diolah
Meskipun pendapatan khususnya dari sumber daya lokal cukup tinggi tetapi belum tentu diikuti kinerja perekonomian yang lebih baik dan tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Oleh karena itu, analisis kinerja fiskal perlu dilakukan juga
90
pada sisi pengeluaran karena merupakan faktor penting yang dapat mendorong perekonomian daerah. Tabel 11 menunjukkan komposisi belanja pertanian di provinsi pertanian rata-rata 3.2% per tahun atau lebih besar dibandingkan provinsi non-pertanian yang hanya 2.1% per tahun. Komposisi belanja pertanian di provinsi pertanian yang lebih besar tentu saja terjadi karena struktur ekonominya didominasi oleh sektor pertanian. Namun, komposisi belanja pertanian tergolong rendah sehingga perlu ditingkatkan untuk mempercepat laju pertumbuhan sektor pertanian mengingat sektor tersebut mampu menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sementara itu, Tabel 11 juga menunjukkan komposisi belanja perindustrian dan perdagangan sangat rendah baik di provinsi pertanian maupun provinsi non-pertanian. Hasil analisis deskriptif pada komposisi belanja sektoral mengindikasikan tingginya kapasitas fiskal di provinsi nonpertanian tidak serta merta dialokasikan lebih besar pada belanja pertanian. Padahal data empiris menunjukkan tingginya jumlah tenaga kerja dan penduduk miskin di sektor pertanian. Selama periode 2006-2011, sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja rata-rata 34.7% per provinsi per tahun, sementara headcount index pertanian rata-rata 19.0% per provinsi per tahun. Hal ini menjadi indikasi bahwa meskipun sektor pertanian bukan sektor andalan perekonomian provinsi non-pertanian namun pembangunan pertanian di provinsi tersebut sangat penting mengingat jumlah penduduk miskin mayoritas hidup dari sektor tersebut. Selain komposisi belanja daerah, kinerja pengeluaran fiskal daerah perlu ditinjau dari pertumbuhan belanja daerah. Tabel 12 menunjukkan pertumbuhan belanja pertanian di provinsi pertanian lebih tinggi dibandingkan provinsi nonpertanian. Bahkan pada tahun 2011 pertumbuhan di provinsi pertanian cenderung meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu rata-rata 24.9% sementara di provinsi non-pertanian rata-rata hanya 3.4%. Sementara itu, pertumbuhan belanja perdagangan sangat tinggi terutama di provinsi pertanian yang mencapai rata-rata 179.7% per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian lebih rendah dengan rata-rata 53.8% per tahun. Sebaliknya, pertumbuhan belanja perindustrian di provinsi non-pertanian mencapai 412.5% per tahun, sementara di provinsi pertanian rata-rata 22.7% per tahun. Salah satu strategi pertumbuhan pro-poor adalah pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, profil belanja infrastruktur juga penting untuk dikaji. Tabel 12 menunjukkan meskipun belanja infrastruktur di provinsi pertanian tumbuh 6.4% per tahun namun cenderung berkurang bahkan minus 3.2% pada tahun 2011. Dengan kondisi infrastruktur yang buruk pembangunan infrastruktur di provinsi pertanian hendaknya diprioritaskan. Provinsi pertanian sesungguhnya berpeluang meningkatkan belanja infrastruktur dari DAU dimana komposisinya mendominasi total pendapatan daerah. Pertumbuhan belanja infrastruktur yang rendah sementara ketergantungan pada DAU tinggi yang umumnya terjadi di provinsi pertanian menunjukkan strategi pembangunan daerah kurang tepat dalam mengalokasikan DAU terutama yang memberi dampak besar dalam menurunkan kemiskinan. Dengan perkataan lain, ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU untuk belanja-belanja yang tidak berdampak besar menurunkan kemiskinan khususunya untuk pembangunan pertanian dan infrastruktur. Untuk itu, perbaikan kelembagaan terutama di provinsi pertanian perlu dilakukan agar para elit politik di badan legislatif daerah lebih memprioritaskan pembangunan yang berdampak besar menurunkan kemiskinan daerah.
91
Tabel 12 Rata-rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata 2006-2011 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011 Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata 2006-2011 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011
Belanja pertanian 12.8 6.8 6.7 15.1 15.1 14.2 4.7 15.2 9.7 19.5 9.5 5.5
Belanja Belanja perindustrian perdagangan PPROVINSI PERTANIAN 44.3 8.5 5.7 22.5 20.3 30.8 25.2 39.9 100.0 84.7 -3.1 52.5 12.0 1692.3 26.8 134.9 23.3 6.3 13.8 46.3 13.2 14.9 -9.6 22.6
11.2 49.7 -2.3 -14.1 -2.0 24.9 7.8 21.6 14.2 9.0 9.0 -4.7 7.4 3.3 12.4 7.8 12.2
22.7 103.9 13.9 -13.8 9.6 -0.3
179.7 865.4 -11.6 3.9 8.7 32.0
PROVINSI NON PERTANIAN 115.1 52.4 81.5 49.1 51.2 115.5 61.1 71.8 91.4 44.5 15.1 43.4 96.7 37.0 3940.1 95.7 -7.1 -8.5 54.6 65.5 37.9 25.1
9.1 52.6 -7.2 -8.7 5.4 3.4
412.5 2006.1 6.9 23.1 -16.9 43.2
53.8 247.0 -14.7 19.1 19.0 -1.5
Belanja infrastruktur
Belanja Total
22.8 7.4 1.7 8.4 0.7 15.6 6.1 4.0 -4.5 7.3 2.9 4.6
8.5 9.1 6.2 7.4 8.0 8.4 7.4 6.4 4.2 7.9 7.9 7.0
6.4 33.7 10.9 -5.5 -3.8 -3.2
7.4 18.5 5.5 4.1 2.0 6.7
9.3 -1.4 26.8 8.2 0.1 19.9 0.6 -4.5 -1.5 -0.6 14.7
1.8 8.4 16.7 11.5 7.9 6.2 7.8 9.0 7.4 3.9 11.3
6.5 22.0 17.2 -2.1 -5.8 1.2
8.3 19.4 3.0 7.2 4.7 7.3
Sumber: Kemenkeu RI., data diolah
Kemandirian Fiskal Tingginya belanja daerah yang tidak diimbangi kemampuan PAD yang cukup yang banyak terjadi di provinsi pertanian menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian fiskal. Tabel 13 menunjukkan tingkat kemandirian fiskal di provinsi pertanian selama periode 2006-2011 rata-rata hanya 12.0% per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian rata-rata 20.5% per tahun. Jika mengacu pada kriteria
92
Balitbang Depdagri dan UGM (1991) kinerja fiskal provinsi pertanian tergolong kurang mandiri, sedangkan provinsi pertanian tergolong cukup mandiri. Secara rata-rata provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki kemandirian fiskal paling rendah yaitu 6.9% yang berarti peran PAD dalam membiayai belanja daerah di seluruh wilayah di provinsi NAD hanya 6.9%. Sementara provinsi Bali memiliki kemandirian fiskal paling tinggi yaitu 33.4%. Kondisi ini sejalan dengan fakta yang menunjukkan pengumpulan PAD di provinsi NAD paling rendah, sementara di provinsi Bali paling tinggi. Selain itu, pertumbuhan belanja daerah di provinsi NAD lebih besar dari pada rata-rata pertumbuhan belanja daerah seluruh provinsi penelitian, sementara pertumbuhan belanja daerah di provinsi Bali lebih rendah. Rendahnya tingkat kemandirian fiskal daerah di provinsi pertanian mendukung fakta tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU. Tabel 13 Perkembangan Kemandirian Fiskal Daerah, 2006-2011 (%) Provinsi
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Rata-rata
PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 2 Sumut 3 Sumbar 4 Jambi 5 Lampung 6 NTB 7 NTT 8 Kalbar 9 Kalteng 10 Kalsel 11 Sulteng 12 Sulsel Rata-rata
7.6 18.7 13.5 13.2 12.9 11.2 7.9 10.0 7.3 17.3 7.3 14.3 11.8
7.1 15.8 12.7 11.7 11.4 10.3 7.0 10.3 7.3 16.4 6.7 13.9 10.9
7.4 17.8 13.2 13.2 13.8 11.4 7.1 10.3 8.1 18.3 7.9 13.7 11.9
6.4 15.3 12.2 10.9 12.6 11.6 6.9 9.8 7.6 15.0 7.8 13.5 10.8
6.4 17.8 13.3 12.7 14.3 11.6 7.2 11.1 9.0 17.0 9.2 15.2 12.1
6.7 21.9 15.8 16.5 14.5 16.4 7.7 14.6 12.7 22.5 10.1 16.8 14.7
6.9 17.9 13.5 13.0 13.3 12.1 7.3 11.0 8.6 17.7 8.2 14.6 12.0
17.8 15.8 18.6 28.5 22.1 24.6 29.3 39.9 43.9 22.1 10.5 24.8
14.2 13.0 18.2 25.0 20.5 21.6 23.9 31.6 33.4 14.4 9.5 20.5
PROVINSI NON PERTANIAN 13 Riau 14 Sumsel 15 Kepri 16 Jabar 17 Jateng 18 DIY 19 Jatim 20 Banten 21 Bali 22 Kaltim 23 Sulut Rata-rata
12.9 12.4 19.6 26.1 20.7 21.0 23.0 28.4 28.3 11.8 9.1 19.4
Sumber: Kemenkeu RI., data diolah
12.6 10.6 17.4 23.1 19.0 21.0 22.2 29.3 27.3 10.3 8.9 18.3
16.2 12.5 21.4 24.6 19.1 19.4 22.8 30.5 33.2 13.0 10.5 20.3
13.2 12.5 16.1 22.8 20.4 21.3 22.4 29.3 31.9 13.8 8.7 19.3
12.7 13.9 16.4 25.2 21.7 22.0 23.8 32.2 35.8 15.3 9.4 20.8
93
Profil Perekonomian Daerah PDRB dan Tenaga Kerja Kinerja perekonomian daerah seringkali digambarkan dengan PDRB dan tenaga kerja. Tabel 14 menunjukkan share PDRB dan tenaga kerja pertanian dan industri di provinsi pertanian tahun 2006-2011 berkurang, sebaliknya share PDRB dan tenaga kerja perdagangan meningkat. Hal ini mengindikasikan pergeseran struktur ekonomi provinsi pertanian dari sektor tradisional yaitu pertanian ke sektor modern terutama perdagangan. Hal serupa terjadi di provinsi non- pertanian kecuali share tenaga kerja industri yang meningkat meskipun share PDRB industri turun. Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja industri di provinsi non-pertanian cenderung berkurang padahal sektor tersebut merupakan sektor yang mendominasi struktur ekonomi provinsi non-pertanian. Rendahnya produktivitas tenaga kerja industri selanjutnya akan berdampak menurunkan upah riil yang diterima tenaga kerja industri sehingga berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin industri. Tabel 14 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 (%) Tahun
2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Pertanian Tenaga PDRB Kerja 30.0 29.5 29.2 28.9 28.3 28.0 29.0
56.5 54.7 54.4 53.1 51.9 49.7 53.4
Industri Tenaga PDRB Kerja PROVINSI PERTANIAN 11.6 11.5 11.3 11.2 11.0 10.7 11.2
6.2 6.4 6.2 6.1 6.0 6.1 6.1
Perdagangan Tenaga PDRB Kerja 15.8 15.8 16.0 16.2 16.6 17.0 16.3
15.3 16.0 16.0 16.2 16.2 16.7 16.1
17.0 17.5 17.7 18.4 18.8 18.9 18.0
20.2 21.0 21.2 21.5 21.6 22.7 21.4
PROVINSI NON PERTANIAN 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
14.8 14.6 14.2 14.4 14.2 13.8 14.3
38.0 36.3 35.6 34.8 33.0 30.3 34.7
29.4 28.5 28.0 27.2 26.5 26.1 27.6
12.8 13.0 13.2 13.1 14.2 14.1 13.4
Sumber: BPS, data diolah
Rata-rata share PDRB dan serapan tenaga kerja per tahun pada Gambar 32 menunjukkan tingginya peran tenaga kerja dalam menghasilkan output PDRB pertanian dimana tambahan 2% serapan tenaga kerja pertanian akan menghasilkan 1% share PDRB pertanian. Sebaliknya peran tenaga kerja pada PDRB industri hanya sekitar 0.5% untuk menambah 1% share PDRB industri. Hal ini berarti tenaga kerja memberi peran lebih besar dalam menciptakan nilai tambah produk pertanian dibandingkan produk industri. Rendahnya peran tenaga kerja pada sektor industri dapat terjadi karena faktor kapital dimana salah satunya adalah
94
belanja perindustrian lebih berperan dalam meningkatkan PDRB industri. Sementara itu, peran tenaga kerja pada sektor perdagangan relatif memberi hasil yang sepadan terutama di provinsi pertanian. Dinamika ketiga sektor tersebut mengindikasikan struktur perekonomian daerah mulai beralih ke sektor jasa-jasa terutama perdagangan. Dengan perkataan lain, struktur perekonomian daerah mulai meninggalkan sektor-sektor riil namun kemampuannya dalam menyerap tenga kerja masih tinggi terutama di sektor pertanian. Tingginya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sementara share PDRB pertanian rendah bahkan cenderung turun harus diatasi dengan mempercepat laju pertumbuhan pertanian. 60,0 50,0 40,0 30,0
29,0
27,6 22,0
20,0
14,3
19,1
16,3 18,0 17,1
11,2
10,0 0,0 Sektor Pertanian
Sektor Industri
Share PDRB Provinsi Pertanian
Sektor Perdagangan
Share PDRB Provinsi Non-Pertanian
Share PDRB Seluruh Provinsi Pertanian 60,0
53,4
50,0 40,0
44,4 34,7
30,0
21,4
20,0
13,4 6,1
10,0
16,1
18,6
9,6
0,0 Sektor Pertanian
Sektor Industri
Sektor Perdagangan
Serapan Tenaga Kerja Provinsi Pertanian Serapan Tenaga Kerja Provinsi Non-Pertanian Serapan Tenaga Kerja Seluruh Provinsi Non-Pertanian
Gambar 32. Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 (%) Perbandingan antar provinsi pada Tabel 15 menunjukkan rata-rata share PDRB pertanian di provinsi pertanian sebesar 29.0%, sementara di provinsi nonpertanian sekitar setengahnya yaitu 14.3%. Provinsi-provinsi Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung tercatat memiliki share PDRB pertanian paling besar. Sementara, perekonomian provinsi non-pertanian didominasi sektor industri dengan rata-rata share PDRB industri 27.6% per tahun. Provinsi-provinsi
95
dengan share PDRB industri antara lain Banten, Kepulauan Riau, dan Jawa Barat. Sementara itu, share PDRB perdagangan relatif merata antar provinsi dengan ratarata per tahun di provinsi pertanian 16.3% dan di provinsi non-pertanian 18.0%. Provinsi Bali tercatat memiliki share tertinggi dengan rata-rata 29.2% per tahun. yang bersumber dari subsektor hotel dan restoran sebagai penunjang pariwisata yang merupakan sektor unggulan di provinsi tersebut. Sedangkan, Kalimantan Timur memiliki share PDRB perdagangan paling rendah yaitu 7.1% per tahun. Tabel 15 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral per Tahun menurut Provinsi, 2006-2011 (%) Provinsi
Pertanian PDRB TK
Industri PDRB TK
Perdagangan PDRB TK
PROVINSI PERTANIAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata
27.0 22.7 24.3 27.3 37.5 22.0 39.4 25.8 30.5 22.0 41.4 28.2
49.4 47.0 44.9 56.3 55.7 46.1 68.4 62.4 58.9 43.0 59.3 49.0
10.6 23.9 11.8 11.4 14.2 3.4 1.6 19.0 8.1 10.2 7.4 12.8
4.6 7.8 6.9 3.7 8.5 10.0 7.1 4.3 3.5 7.4 4.0 5.8
14.1 19.1 17.6 14.8 14.7 12.7 16.3 22.4 19.8 15.0 11.9 16.6
15.7 19.7 20.3 15.6 15.8 17.9 6.5 13.3 13.2 22.1 13.7 19.2
29.0
53.4
11.2
6.1
16.3
16.1
PROVINSI NON PERTANIAN 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
20.1 17.6 4.9 11.9 19.9 15.1 16.3 7.8 18.9 5.6 19.6
48.5 60.1 14.4 24.7 36.6 30.0 43.1 19.4 32.9 33.4 38.2
19.3 22.6 47.2 41.6 33.1 13.7 28.2 50.9 9.2 29.7 8.2
5.8 4.8 27.1 18.7 17.6 12.9 13.2 21.9 13.7 6.3 5.5
8.0 12.3 19.9 20.9 19.6 19.5 28.6 17.4 29.2 7.1 16.1
18.0 14.0 22.0 25.5 21.4 24.6 20.1 25.5 24.3 21.4 18.1
14.3
34.7
27.6
13.4
18.0
21.4
Sumber: BPS, data diolah
Tabel 16 menunjukkan rata-rata pertumbuhan pertahun PDRB pertanian di provinsi pertanian selama tahun 2006-2011 lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Sebaliknya, pertumbuhan PDRB industri di provinsi pertanian lebih tinggi dibandingkan provinsi non-pertanian. Sedangkan, PDRB perdagangan tumbuh paling tinggi dibandingkan PDRB pertanian dan PDRB indsutri namun pertumbuhannya di provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-
96
pertanian. Namun, pertumbuhan PDRB yang tinggi tidak selalu diikuti PDRB per kapita yang tinggi. Provinsi non-pertanian memiliki rata-rata pertumbuhan PDRB pertanian 5.6% per tahun atau lebih tinggi dari provinsi pertanian dengan rata-rata 5.2% per tahun. Tetapi, PDRB pertanian per kapita provinsi non-pertanian ratarata 2.9 juta rupiah atau lebih rendah dari provinsi pertanian dengan rata-rata 3.2 juta rupiah. Sebaliknya, provinsi pertanian dengan rata-rata pertumbuhan PDRB industri lebih tinggi memiliki PDRB industri per kapita lebih rendah. Tabel 16 Rata-rata PDRB Riil1 per kapita Sektoral (Juta Rp) dan Pertumbuhannya per tahun menurut Provinsi, 2006-2011 Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata
Pertanian Per Growth kapita
Industri Perdagangan Per Per Growth Growth kapita kapita PROVINSI PERTANIAN
Total Per Growth kapita
4.4 3.6 3.4 3.6 3.5 1.7 1.8 2.6 4.3 2.7 4.4 2.8
-1.2 7.0 4.0 12.6 11.9 3.8 2.1 2.9 3.5 4.2 6.0 6.0
1.7 3.7 1.7 1.5 1.4 0.3 0.1 1.9 1.1 1.3 0.8 1.3
-8.7 4.1 5.5 8.5 18.4 5.1 0.9 2.0 4.9 1.5 9.1 7.7
2.3 3.0 2.5 2.0 1.4 1.0 0.7 2.3 2.8 1.9 1.3 1.7
3.9 7.1 6.8 9.1 13.4 8.1 5.6 4.4 10.8 7.2 9.7 12.6
16.2 15.7 14.1 13.2 9.4 7.7 4.5 10.2 14.2 12.6 10.6 10.1
-2.7 6.9 5.5 11.1 12.5 3.7 4.0 4.0 7.8 6.5 9.9 9.9
3.2
5.2
1.4
4.9
1.9
8.2
11.5
6.6
21.0 9.7 4.5 9.7 6.1 5.8 8.8 8.8 8.9 10.4 9.8 9.4
45.5 16.8 39.5 14.1 10.7 10.4 16.1 13.0 13.8 78.3 12.3 24.6
12.4 6.8 4.5 6.0 6.0 4.9 6.7 4.7 7.1 6.8 7.8 6.7
PROVINSI NON PERTANIAN 13 Riau 14 Sumsel 15 Kepri 16 Jabar 17 Jateng 18 DIY 19 Jatim 20 Banten 21 Bali 22 Kaltim 23 Sulut Rata-rata
9.1 2.9 1.9 1.7 2.1 1.6 2.6 1.0 2.6 4.4 2.4 2.9
9.1 5.9 3.5 7.6 4.6 3.2 4.4 6.4 3.7 7.1 6.3 5.6
8.8 3.8 18.6 5.8 3.5 1.4 4.5 6.6 1.3 23.3 1.0 7.2
12.3 4.3 3.6 1.9 6.4 5.7 5.1 1.7 6.9 -1.3 5.4 4.7
3.7 2.1 7.8 3.0 2.1 2.0 4.6 2.3 4.1 5.5 2.0 3.6
Sumber: BPS, data diolah; Catatan: 1Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
97
Produktivitas Tenaga Kerja Meskipun sektor pertanian mendominasi PDRB di provinsi pertanian tetapi produktivitasnya lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Tabel 17 menunjukkan rata-rata produktivitas tenaga kerja pertanian yang diukur dari PDRB pertanian yang dihasilkan setiap tenaga kerja pertanian sebesar 14.2 juta rupiah per tahun di provinsi pertanian, sementara di provinsi non-pertanian sebesar 19.8 juta rupiah per tahun. Hal ini dapat terjadi karena total PDRB pertanian di provinsi pertanian lebih rendah atau jumlah tenaga kerja pertanian lebih banyak. Walaupun jumlah tenaga kerja pertanian di provinsi pertanian lebih sedikit dibandingkan provinsi non-pertanian tetapi sharenya yang lebih besar mengindikasikan PDRB yang dihasilkan sektor pertanian di provinsi pertanian relatif lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian khususnya di provinsi pertanian perlu ditingkatkan dengan menambah modal dari belanja pertanian. Tabel 17 Rata-rata Produktivitas Riil1 Tenaga Kerja Sektoral per Tahun, menurut Provinsi, 2006-2011 (Juta Rp) Provinsi
Pertanian
Industri
Perdagangan
PROVINSI PERTANIAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata
22.0 17.8 18.2 14.5 14.3 8.4 5.6 9.2 16.1 13.1 16.5 14.9
94.3 112.4 57.4 92.2 35.3 6.0 2.2 98.2 73.5 36.3 44.5 57.8
36.3 35.5 28.9 28.1 19.7 12.5 24.7 37.4 46.9 17.8 20.5 22.5
14.2
59.2
27.6
PROVINSI NON-PERTANIAN 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
50.1 10.9 30.4 17.4 11.9 10.0 11.9 14.2 14.0 32.0 15.4
403.5 174.1 158.0 79.3 41.2 21.1 67.1 81.1 16.2 892.6 44.8
53.3 32.7 80.6 29.3 20.0 15.6 44.7 23.3 29.0 62.2 26.6
19.8
179.9
37.9
Sumber: BPS, data diolah Catatan: 1Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
98
Upah Riil Tenaga Kerja Rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian berdampak pada rendahnya upah riil. Tabel 18 menunjukkan rata-rata upah riil pertanian di provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Kondisi ini terkait dengan produktivitas tenaga kerja pertanian di provinsi pertanian yang lebih rendah. Bahkan, pertumbuhan upah pertanian di provinsi non-pertanian lebih besar. Upah riil pertanian merupakan yang paling rendah di antara ketiga sektor dimana upah di provinsi pertanian lebih kecil dibandingkan provinsi non-pertanian. Sementara rata-rata upah riil industri dan perdagangan di provinsi pertanian relatif sama. Sedangkan, upah riil industri di provinsi non-pertanian paling tinggi. Perbandingan antar provinsi menunjukkan upah riil pertanian tertinggi terjadi di provinsi Kalimantan Timur. Upah riil industri tertinggi di provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Sedangkan upah riil perdagangan tertinggi di provinsi Kepulauan Riau. Seluruh provinsi dengan rata-rata upah riil tertinggi tersebut merupakan provinsi non-pertanian. Tabel 18 Rata-rata Upah Riil1 Sektoral per bulan (Ribu Rp) dan Pertumbuhannya per Tahun (%) menurut Provinsi, 2006-2011 Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
Pertanian Industri Upah Growth Upah Growth PROVINSI PERTANIAN 705 2.5 891 -0.9 725 0.2 934 -1.7 599 5.7 722 6.5 686 3.2 943 -2.5 453 3.8 599 5.7 353 10.5 459 8.4 355 7.8 562 -3.7 762 0.5 907 2.1 805 5.7 852 6.1 653 4.9 822 12.5 564 6.2 606 22.9 483 -0.1 708 -5.8 595 860 641 841 374 359 409 342 520 527 1 189 607 606
4.2
750
4.1
PROVINSI NON PERTANIAN 0.1 1 205 1.6 9.5 909 3.4 7.7 1 700 7.8 3.8 928 3.0 3.4 569 3.3 7.0 697 0.2 3.8 735 -1.3 13.1 1 122 1.3 5.4 718 4.5 0.3 1 672 7.0 6.6 825 4.9 5.5
1 007
3.2
Sumber: BPS, data diolah Catatan: 1Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
Perdagangan Upah Growth 878 899 845 713 635 675 581 767 802 743 706 771
-2.9 -0.9 2.2 -1.1 -3.9 2.4 2.0 0.4 14.4 1.9 -4.4 -4.1
751
0.5
897 870 1 178 907 622 718 729 1 107 1 003 1 047 906
0.8 1.4 3.4 -1.0 3.3 4.6 3.2 5.1 6.0 3.2 0.5
908
2.8
99
Pengeluaran per Kapita Konsep kemiskinan di Indonesia adalah konsep moneter dengan pendekatan pendapatan penduduk. Namun, data kemiskinan yang dihitung BPS menggunakan indikator pengeluaran per kapita dari hasil SUSENAS. Menurut Ravallion (1995) pengeluaran konsumsi per kapita lebih mencerminkan kesejahteraan dari pada pendapatan meskipun keduanya berasal dari sumber data yang sama. Oleh karena itu, pengukuran tingkat kemiskinan sektoral pada penelitian ini juga menggunakan indikator pengeluaran per kapita. Tabel 19 menunjukkan rata-rata pengeluaran per kapita sektoral sejalan dengan upah riil sektoral dimana sektor pertanian memiliki rata-rata paling kecil dan pPengeluaran per kapita provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Besaran upah riil menunjukkan bahwa upah yang diterima hanya mampu memenuhi konsumsi 2-3 anggota rumahtangga yang dapat terjadi karena perbedaan bobot konsumsi setiap anggota rumahtangg. Hal ini juga mengindikasikan ada sumber pendapatan lain dari pekerjaan tambahan kepala rumahtangga di sektor lain atau pekerjaan anggota rumahtangga lainnya. Tabel 19
Rata-rata Pengeluaran per Kapita Riil1 Sektoral per bulan (Ribu Rp) dan Pertumbuhannya per Tahun (%) Menurut Provinsi, 2006-2011
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
Pertanian Industri Konsumsi Growth Konsumsi Growth PROVINSI PERTANIAN 288 6.3 366 7.2 291 8.0 361 8.7 294 8.5 382 8.7 316 8.7 344 13.3 237 6.7 298 4.4 222 6.3 246 7.6 169 6.1 242 5.5 272 7.7 365 24.1 321 11.6 388 13.4 308 9.8 373 8.3 252 9.9 298 11.2 219 8.3 321 9.8 266 387 283 425 255 229 258 228 248 328 355 287 299
Perdagangan Konsumsi Growth 437 451 454 424 376 344 348 464 445 474 410 414
7.3 8.9 11.3 11.3 13.8 8.0 6.6 15.8 10.0 11.0 17.7 11.7
10.2
420
11.1
PROVINSI NON PERTANIAN 7.4 454 14.4 9.8 356 8.9 9.4 651 13.3 5.9 401 9.7 7.2 294 6.8 5.5 376 1.8 6.7 347 13.6 5.5 485 8.9 8.3 417 12.8 4.7 666 22.4 8.5 343 11.1
563 415 641 388 340 448 368 489 552 627 444
8.4 10.0 11.1 9.8 10.5 12.0 10.3 10.1 13.8 12.5 12.1
479
11.0
8.2
7.2
332
435
11.3
Sumber: BPS, data diolah; Catatan: 1Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
100
Profil Kemiskinan Sektoral Daerah Indeks Gini Tabel 20 Provinsi
Perkembangan Indeks Gini Provinsi, 2006-2011
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Ratarata
Perubahan per tahun
PROVINSI PERTANIAN 1 2 3 5 7 15 16 17 18 19 22 23
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata
0.28 0.30 0.33 0.31 0.31 0.37 0.37 0.27 0.21 0.33 0.37 0.36
0.27 0.31 0.31 0.31 0.39 0.33 0.35 0.31 0.30 0.34 0.32 0.37
0.27 0.31 0.29 0.28 0.35 0.33 0.34 0.31 0.29 0.33 0.33 0.36
0.29 0.32 0.30 0.27 0.35 0.35 0.36 0.32 0.29 0.35 0.34 0.39
0.30 0.35 0.33 0.30 0.36 0.40 0.38 0.37 0.30 0.37 0.37 0.40
0.33 0.35 0.35 0.34 0.37 0.36 0.36 0.40 0.34 0.37 0.38 0.41
0.29 0.32 0.32 0.30 0.36 0.36 0.36 0.33 0.29 0.35 0.34 0.38
0.011 0.010 0.004 0.006 0.012 -0.002 -0.002 0.026 0.026 0.008 0.002 0.010
0.32
0.33
0.32
0.33
0.35
0.36
0.33
0.009
PROVINSI NON-PERTANIAN 4 6 8 9 10 11 12 13 14 20 21
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
0.31 0.28 0.33 0.35 0.31 0.39 0.30 0.33 0.35 0.30 0.36
0.32 0.32 0.30 0.34 0.33 0.37 0.34 0.37 0.33 0.33 0.32
0.31 0.30 0.30 0.35 0.31 0.36 0.33 0.34 0.30 0.34 0.28
0.33 0.31 0.29 0.36 0.32 0.38 0.33 0.37 0.31 0.38 0.31
0.33 0.34 0.29 0.36 0.34 0.41 0.34 0.42 0.37 0.37 0.37
0.36 0.34 0.32 0.41 0.38 0.40 0.37 0.40 0.41 0.38 0.39
0.33 0.32 0.31 0.36 0.33 0.39 0.34 0.37 0.35 0.35 0.35
0.010 0.012 -0.002 0.012 0.014 0.002 0.014 0.014 0.012 0.016 0.006
0.33
0.33
0.32
0.34
0.36
0.38
0.34
0.010
Sumber: BPS
Sebagai ukuran ketimpangan pendapatan, Indeks Gini selama tahun 20062011 cenderung meningkat bahkan peningkatan dan rata-rata Indeks Gini provinsi non-pertanian lebih besar dibandingkan provinsi pertanian (Tabel 20). Hal ini sesuai hipotesis Kuznets dimana perekonomian tradisional yang didominasi sektor pertanian memiliki ketimpangan pendapatan yang lebih rendah. Selain itu, ratarata Indeks Gini provinsi non-pertanian yang lebih tinggi mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan penduduk provinsi non-pertanian lebih tidak merata. Jika meningkatnya Indeks Gini dikaitkan dengan pertumbuhan PDRB perdagangan yang lebih tinggi dari pada pertumbuhan PDRB pertanian dan pertumbuhan PDRB industri terutama di provinsi non-pertanian, maka kondisi ini menunjukkan adanya trade-off pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di provinsi-
101
provinsi dengan struktur ekonomi didominasi oleh sektor jasa. Hal ini juga sesuai dengan asumsi hipotesis Kuznets yaitu kesenjangan pendapatan akan meningkat ketika perekonomian mulai beralih dari sektor tradisional ke sektor modern. Dalam kontek pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat maka kenaikan Indeks Gini ini mengindikasikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati oleh penduduk kaya. Sementara itu, perbandingan antar provinsi menunjukkan ketimpangan pendapatan di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tinggi, sedangkan distribusi pendapatan di NAD dan Kalimantan Tengah paling merata. Headcount Index Sektoral Tabel 21 Perkembangan Headcount Index Sektoral, 2006-2011 Provinsi 1 NAD 2 Sumut 3 Sumbar 5 Jambi 7 Lampung 15 NTB 16 NTT 17 Kalbar 18 Kalteng 19 Kalsel 22 Sulteng 23 Sulsel Rata-rata 4 Riau 6 Sumsel 8 Kepri 9 Jabar 10 Jateng 11 DIY 12 Jatim 13 Banten 14 Bali 20 Kaltim 21 Sulut Rata-rata
Pertanian Industri Perdagangan HCI ∆ HCI ∆ HCI ∆ PROVINSI PERTANIAN 33.3 -3.5 25.0 -3.8 10.7 -2.6 16.5 -0.6 12.2 -0.8 7.4 -1.0 17.0 -1.2 11.0 -1.3 7.6 -1.6 9.9 -0.8 10.5 -2.3 11.9 -1.4 23.7 -1.1 20.1 0.3 11.8 -1.5 26.8 -0.9 19.3 -0.5 14.6 0.2 31.1 -1.2 19.0 -0.4 13.1 -2.8 11.7 -1.1 10.4 -0.4 6.3 -0.3 11.0 -0.8 8.1 2.3 4.7 0.1 9.0 -0.2 6.6 0.4 3.8 -0.5 26.0 -2.7 23.8 -3.2 13.2 -1.4 16.0 0.2 10.9 0.2 4.7 -0.8 19.3 -1.2 14.7 -0.8 9.1 -1.1 PROVINSI NON PERTANIAN 13.1 -1.1 11.4 -0.9 6.5 -1.1 18.5 -1.3 15.2 -3.4 12.9 -1.1 15.3 -4.5 8.3 -0.7 9.5 1.5 20.8 0.3 12.6 -0.6 9.8 -0.9 24.8 -0.4 15.3 -0.4 12.1 -0.4 31.1 0.8 14.9 -2.7 12.3 -1.9 26.1 -1.9 12.3 -1.1 9.4 -1.4 17.5 -0.9 3.2 -0.5 6.5 -1.1 8.7 0.4 5.2 -0.4 1.9 -0.1 19.1 -1.4 8.8 -2.1 4.6 -1.3 13.7 -0.4 11.2 1.4 5.1 -0.5 19.0 -1.0 10.8 -1.0 8.2 -0.7
Total HCI ∆ 23.5 12.6 10.5 9.5 20.3 23.3 25.0 11.0 8.2 6.2 19.9 12.7 15.2
-1.7 -0.7 -0.7 -0.5 -1.2 -1.5 -1.6 -1.3 -0.9 -0.6 -1.6 -0.9 -1.1
10.0 17.3 9.2 12.5 18.6 17.8 17.6 8.0 5.7 9.0 10.1 12.4
-0.7 -1.4 -1.0 -0.8 -1.3 -0.6 -1.4 -0.7 -0.6 -0.9 -0.6 -0.9
Sumber: BPS, data diolah dari SUSENAS
Headcount index (HCI) atau sering dinotasikan dengan P 0 adalah indikator kemiskinan yang merupakan persentase penduduk miskin. Perbandingan antar tiga sektor ekonomi pada Tabel 21 menunjukkan sektor pertanian memiliki HCI paling tinggi dibandingkan sektor industri dan sektor perdagangan. Perbandingan antar kelompok provinsi menunjukkan HCI pertanian di provinsi pertanian lebih tinggi dari pada HCI pertanian di provinsi non-pertanian dengan rata-rata 19.3% dan 19.0%. Semetnara rata-rata HCI industri di provinsi pertanian dan provinsi nonpertanian 14.7% dan 10.8%. Sementara itu, HCI perdagangan paling kecil dengan
102
rata-rata 9.1% di provinsi pertanian dan 8.2% di provinsi non-pertanian. HCI pertanian yang tinggi memberi kontribusi paling besar pada toal HCI yang berarti jumlah penduduk miskin paling banyak di sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga pertanian yang lebih rendah dibandingkan industri dan perdagangan. Perbandingan antar kelompok provinsi menunjukkan HCI sektoral provinsi pertanian lebih besar dibandingkan provinsi non-pertanian. namun, meskipun HCI provinsi pertanian lebih besar tetapi laju penurunannya lebih cepat dibandingkan provinsi non-pertanian terutama di sektor pertanian dan perdagangan (Gambar 12). Dengan demikian, strategi percepatan pengentasan kemiskinan harus difokuskan pada sektor pertanian. Oleh karena itu, meskipun HCI provinsi non-pertanian lebih kecil dibandingkan provinsi pertanian tetapi jumlah penduduk miskin provinsi non-pertanian yang lebih besar dapat menjadi alasan agar pemerintah daerah di wilayah provinsi non-pertanian lebih memprioritaskan percepatan penurunan kemiskinan penduduk di sektor pertanian. 25,0
20,0
19,3 19,0 15,2
14,7
15,0
12,4 10,8 9,1
10,0
8,2
5,0
0,0 HCI Pertanian
HCI Industri
HCI Perdagangan
HCI Total
0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,7
-0,8
-0,8 -0,9
-1,0 -1,2
-1,0
-1,0 -1,1
-1,1
-1,2
-1,4 Provinsi Pertanian
Provinsi Non-Pertanian
Gambar 33. Rata-rata Headcount Index (%) dan Perubahannya per Tahun (persen poin), 2006-2011
103
Proporsi Penduduk Miskin Rumahtangga Pertanian Pada bagian terdahulu telah ditunjukkan bahwa rumah tangga pertanian memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi dengan headcount index yang paling besar dibandingkan headcount index industri dan headcount index perdagangan. Selain itu, proporsi penduduk miskin dapat menunjukkan perbandingan tingkat kemiskinan antar sektor. Tabel 22 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia selama periode 20006-2011 paling banyak berada di rumahtangga pertanian bahkan proporsinya cenderung meningkat. Rata-rata proporsi penduduk miskin pertanian di provinsi pertanian naik dari 62.2% menjadi 64.5% atau ratarata 0.5 persen poin per tahun, dan di provinsi non-pertanian naik dari 48.6% menjadi 49.7% atau rata-rata 0.2 persen poin per tahun. Proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian (disingkat menjadi penduduk miskin pertanian) yang tinggi dan meningkat sementara Indeks Gini meningkat mengindikasikan dampak kebijakan-kebijakan pemerintah daerah lebih menguntungkan penduduk miskin di sektor-sektor non-pertanian. Ini berarti, strategi pengentasan kemiskinan oleh pemerintah daerah tidak memihak penduduk miskin pertanian. Tabel 22 Perkembangan Proporsi Penduduk Miskin Pertanian, 2006-2011 (%) Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
2006
2007
2010
2011
Perubahan per tahun (% poin)
64.4 53.9 57.4 58.8 60.4 54.2 78.2 66.2 75.6 45.9 73.3 58.3
PROVINSI PERTANIAN 61.1 50.8 59.1 62.9 51.3 49.4 50.0 56.5 57.9 59.7 53.7 64.0 50.3 48.1 46.1 44.0 65.0 60.1 62.0 66.7 43.6 55.0 55.1 54.8 76.1 84.0 82.1 80.0 59.2 58.6 65.4 69.2 61.5 74.0 66.4 70.5 49.3 45.8 45.3 52.5 69.4 63.4 67.3 68.1 56.0 62.4 62.5 66.3
57.8 61.6 70.3 63.2 64.4 56.9 78.7 61.7 73.2 61.5 65.7 59.2
-1.3 1.6 2.6 0.9 0.8 0.5 0.1 -0.9 -0.5 3.1 -1.5 0.2
62.2
58.4
63.0
64.5
0.5
59.1 57.5 35.5 33.9 48.6 48.3 56.7 39.0 42.6 43.6 70.4
PROVINSI NON PERTANIAN 49.3 50.7 41.3 58.4 60.7 53.3 60.6 53.2 16.9 20.6 12.6 43.4 38.1 39.9 37.8 38.4 50.8 51.8 50.5 53.0 43.6 50.1 47.3 50.3 55.9 54.8 57.4 58.3 43.8 42.6 39.0 47.0 50.0 55.8 51.1 54.9 47.3 49.1 38.4 64.3 62.8 41.5 44.4 47.4
63.9 60.8 9.5 41.5 50.9 54.5 60.5 40.7 49.1 58.0 57.7
1.0 0.7 -5.2 1.5 0.5 1.2 0.8 0.3 1.3 2.9 -2.5
48.6
47.2
49.7
0.2
Sumber: BPS, data diolah
2008
59.3
46.4
2009
59.6
43.7
51.7
104
Hubungan Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Tabel 23 Rata-rata Indikator Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan per Tahun, 2006-2011 Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
Komposisi DAU (%)
43.1 58.0 64.8 51.3 60.4 64.9 70.3 66.6 66.5 47.7 68.6 58.8 60.1 14.4 41.2 24.6 47.5 58.3 57.1 52.8 41.2 46.0 10.6 64.5 41.7
Pertumbuhan Indeks PDRB Riil1 Gini (%) PROVINSI PERTANIAN -2.7 0.29 6.9 0.32 5.5 0.32 11.1 0.30 12.5 0.36 3.7 0.36 4.0 0.36 4.0 0.33 7.8 0.29 6.5 0.35 9.9 0.34 9.9 0.38 6.6
Perubahan HCI (% poin)
Distribusi Penduduk Miskin Pertanian (%)
-1.7 -0.7 -0.7 -0.5 -1.2 -1.5 -1.6 -1.3 -0.9 -0.6 -1.6 -0.9
59.3 53.8 60.5 51.8 63.1 53.3 79.9 63.4 70.2 50.0 67.9 60.8
-1.1
61.2
-0.7 -1.4 -1.0 -0.8 -1.3 -0.6 -1.4 -0.7 -0.6 -0.9 -0.6
53.8 57.7 23.1 38.2 51.0 49.0 57.3 42.0 50.6 50.1 54.0
-0.9
47.9
0.33
PROVINSI NON PERTANIAN 12.4 0.33 6.8 0.32 4.5 0.31 6.0 0.36 6.0 0.33 4.9 0.39 6.7 0.34 4.7 0.37 7.1 0.35 6.8 0.35 7.8 0.35 6.7
0.34
Sumber: BPS dan Kemenkeu R.I., data diolah Catatan: 1Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
Perkembangan fiskal, perekonomian, dan kemiskinan provinsi selama tahun 2006-2011 menunjukkan ketergantungan keuangan daerah pada DAU yang tinggi terutama di provinsi pertanian tidak diikuti laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat. Hal ini ditunjukkan oleh Tabel 23 dimana provinsi pertanian dengan keuangan daerah mayoritas bersumber dari DAU yaitu rata-rata 60.1% memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 6.6% per tahun. NTT dengan komposisi DAU paling besar yaitu 70.3% memiliki pertumbuhan PDRB paling kecil yaitu 4.0%. Sebaliknya, provinsi non-pertanian dengan komposisi DAU lebih rendah yaitu rata-rat 41.7% memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dengan rata-rata 6.7% per tahun. Artinya, dapat dindikasikan bahwa laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat lebih dipengaruhi oleh peran kapasitas fiskal yang lebih besar. Namun, peran pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan berkurang akibat ketimpangan pendapatan meningkat. Pertumbuhan ekonomi provinsi non-pertanian sebesar
105
6.7% per tahun yang disertai Indeks Gini 0.34 hanya mengurangi headcount index rata-rata 0.9 persen poin per tahun. Sementara, pertumbuhan provinsi pertanian rata-rata 6.6% per tahun yang disertai Indeks Gini 0.33 dapat mengurangi headcount index rata-rata 1.1 persen poin per tahun. Selain itu, penduduk miskin sebagian besar di sektor pertanian bahkan proporsinya meningkat.Terciptanya pertumbuhan ekonomi daerah disertai meningkatnya ketimpangan pendapatan dan tingginya proporsi penduduk miskin pretanian menjadi indikasi laju penurunan kemiskinan di sektor pertanian yang melambat disebabkan oleh kebijakan fiskal daerah yang kurang tepat karena lebih memihak sektor-sektor non-pertanian.
106
6. HASIL ESTIMASI MODEL Bab ini berisi hasil estimasi model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dan pembahasannya. Hasil estimasi tersebut adalah hasil terbaik yang memenuhi kriteria ekonomi dan kriteria statistik yaitu tanda dari koefisienkoerfisien parameter sesuai teori ekonomi (theoretically meaningful), koefisien determinasi R2 cukup besar (goodness of fit), serta hasil uji-uji F dan uji-uji t signifikan secara statistik (statistically significant). Namun, karena model tersebut adalah model dinamis dengan variabel lag endogen pada beberapa persamaan struktural maka untuk menghindari perbedaan unit observasi antara current data dan lag data yang mungkin terjadi pada pemrograman data panel menggunakan software SAS/ETS 9.1.3, data tahun 2005 hanya digunakan sebagai lag data tahun 2006 sedangkan data tahun 2006-2011 digunakan sebagai current data dan lag data. Program dan hasil estimasi selengkapnya disajikan pada lampiran 4 dan 5. Tabel 24 Keragaan Umum Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah Tahun 2006-2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Variabel Endogen PJK BHSPJK DAU GPGNKBNTNK GIND GDG GIFR GLN ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBMKN PDRBDG TKTANI TKIND TKDG UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0
Keterangan Variabel
R2
F-value
Pajak daerah Bagi hasil pajak Dana alokasi umum Belanja pertanian Belanja perindustrian Belanja perdagangan Belanja infrastruktur Belanja lainnya Panjang jalan aspal PDRB pangan, kebun, ternak PDRB makanan jadi PDRB perdagangan Tenaga kerja pertanian Tenaga kerja industri Tenaga kerja perdagangan Upah pertanian Upah industri Upah perdagangan Konsumsi perkapita pertanian Konsumsi perkapita industri Konsumsi perkapita perdagangan Indeks Gini Headcount index pertanian Headcount index industri Headcount index perdagangan Poverty gap index pertanian Poverty severity index pertanian Total headcount index
0.98 0.82 0.98 0.87 0.82 0.70 0.89 0.99 0.75 0.92 0.64 0.88 0.90 0.90 0.87 0.82 0.75 0.64 0.62 0.48 0.35 0.47 0.69 0.31 0.34 0.62 0.58 0.77
1 321 201 1 393 215 209 103 346 5 503 137 530 121 342 403 409 305 308 200 118 109 63 37 29 101 20 23 71 60 146
Prob > F-value < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001
107
Tabel 24 menunjukkan mayoritas R2 cukup besar (> 0.60) yang artinya telah memenuhi syarat kecocokan model (goodness of fit). Nilai R2 yang kecil terdapat pada beberapa persamaan blok kemiskinan kecuali kemiskinan sektor pertanian. R2 yang rendah pada estimasi indikator-indikator kemiskinan juga ditemukan pada studi-studi empiris terdahulu, antara lain Nanga (2006) di Indonesia, Fan, et al. (2006) di Mesir, dan Daniels (2011) di Uganda. Namun demikian, seluruh hasil uji F menunjukkan signifikan secara statistik. Artinya, seluruh variabel penjelas di seluruh persamaan struktural secara bersama-sama mempengaruhi masing-masing variabel endogennya secara signifikan. Blok Fiskal Pajak Daerah Tabel 25 Hasil Estimasi Pajak Daerah Variabel Intercept PDRBKAP PM MTR PJKL R2
Estimasi parameter -94933.9 a 3.06025 b 0.042283 a 99.61593 a 0.851747 a 0.98
t-val
Pr > |t|
Elastisitas S-R L-R
-2.36 2.20 6.01 4.80 17.20
0.0198 0.0296 <.0001 <.0001 <.0001
0.04 0.11 0.16
0.26 0.77 1.08
Keterangan PDRB per kapita Penanaman Modal Kendaraan bermotor PJK t-1
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Tabel 25 menunjukkan bahwa penerimaan pajak daerah sebagai sumber utama kapasitas fiskal dipengaruhi PDRB per kapita yang mencerminkan potensi ekonomi atau tingkat kemakmuran penduduk. Koefisien parameter sebesar 3.06 dapat diinterpretasikan bahwa kenaikan PDRB per kapita sebesar seribu rupiah akan meningkatkan penerimaan pajak daerah sebesar 3.06 juta rupiah. Namun, koefisien elastisitas yang kecil yaitu 0.04 menunjukkan rendahnya responsibilitas pajak daerah terhadap perubahan PDRB per kapita. Artinya, PDRB per kapita yang lebih besar tidak terlalu berdampak meningkatkan penerimaan pajak daerah, begitu juga PDRB per kapita yang rendah tidak terlalu berdampak menurunkan penerimaan pajak daerah. Di sisi lain, hal ini dapat mengindikasikan bahwa masih cukup peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dari objek-objek pajak individual dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Faktor lainnya adalah penanaman modal bahkan hubungannya lebih elastis dibandingkan PDRB per kapita. Artinya, berkembangnya dunia usaha memberi potensi bagi pemerintah daerah untuk mendorong penerimaan pajak daerah. Selain itu, jumlah kendaraan bermotor juga mempengaruhi penerimaan pajak daerah bahkan hubungannya paling elasatis dibandingkan dua faktor sebelumnya. Hal ini dapat terjadi karena data agregat penerimaan pajak daerah didominasi oleh pajak-pajak provinsi yang mayoritas bersumber dari pajak-pajak terkait kendaraan bermotor, yaitu pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Tingginya komposisi pajak provinsi ditunjukkan oleh penerimaan pajak daerah tahun 2011 dimana rata-rata 77% dari total penerimaan pajak daerah (agregat pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota) merupakan pajak provinsi berkisar antara 46% di Kepulauan Riau dan 87% di Kalimantan Selatan. Namun demikian, bertambahnya jumlah kendaraan bermotor
108
berdampak buruk pada lingkungan dan menambah beban negara menyediakan subsidi BBM. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi pajak daerah disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari sumber pajak daerah diperlukan potensi ekonomi penduduk dan investasi swasta yang lebih besar. Bagi Hasil Pajak Tabel 26 Hasil Estimasi Bagi Hasil Pajak Variabel Intercept PDRBNONTANI WLYH BHSPJKL R2
Estimasi parameter 77276.63 d 0.004145 a 3.330978 a 0.314815 a 0.82
t-val 1.22 7.07 3.81 3.63
Pr > |t|
Elastisitas S-R L-R
0.2250 <.0001 0.0002 0.0004
0.44 0.18
0.65 0.26
Keterangan PDRB non tani Luas wilayah BHSPJK t-1
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Sumber kapasitas fiskal lainnya adalah bagi hasil pajak. Sesuai aturan dalam UU No. 33 tahun 2004, bagi hasil pajak adalah sumber penerimaan daerah yang merupakan bagi hasil atas penerimaan pajak negara dari wilayah pemerintahan daerah meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21. Hasil estimasi pada Tabel 26 menunjukkan bagi hasil pajak secara signifikan dipengaruhi PDRB non-pertanian yang mencerminkan sumber penerimaan PPh orang pribadi dimana sebagian besar bekerja di sektor-sektor non-pertanian. PPh orang pribadi adalah bagian dari PPh non-migas yang merupakan sumber penerimaan pajak dalam negeri terbesar di Indonesia. Data realisasi penerimaan pajak negara tahun 2011 menunjukkan 68% PPh non-migas bersumber dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor pertanian hanya berkontribusi 4%. Sementara itu, 21% penerimaan PPh Non-migas merupakan tiga jenis PPh yang dibagi hasilkan. Dengan demikian, pembangunan sektor-sektor non-pertanian di daerah berpotnsi meningkatkan penerimaan bagi hasil pajak khususnya yang bersumber dari PPh. Di sisi lain, peningkatan bagi hasil pajak dari PPh dapat juga dilakukan oleh pemerintah pusat dengan menambah porsi daerah dari bagian PPh tersebut. Sesuai aturan dalam UU No. 33 tahun 2004 Pasal 13 daerah hanya menerima 20% dari total PPh di seluruh wilayah provinsi yang bersangkutan dengan proporsi 8% untuk provinsi dan 12% untuk kabupaten/kota. Faktor lain yang mempengaruhi penerimaan bagi hasil pajak adalah luas wilayah yang mencerminkan sumber penerimaan PBB dan BPHTB. Namun, hubungan bagi hasil pajak dengan PDRB non-pertanian lebih elastis dibandingkan hubungannya dengan luas wilayah yang berarti penerimaan bagi hasil pajak lebih bergantung pada pajak-pajak penghasilan dari pada pajak-pajak properti. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya kontribusi PBB pada penerimaan pajak dalam negeri. Pada tahun 2011 komposisi PBB pada total penerimaan pajak dalam negeri hanya 4%. Selain itu, sejak tahun 2011 BPHTB telah dialihkan seluruhnya ke daerah menjadi sumber penerimaan pajak daerah sehingga tidak lagi menjadi sumber penerimaan pajak dalam negeri.
109
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi bagi hasil pajak disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari bagi hasil pajak khususnya dari sumber bagi hasil PPh diperlukan pembangunan sektor-sektor non-pertanian antar alain sektor industri dan perdagangan. Namun, upaya lain dapat dilakukan pemerintah pusat dengan menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah dengan merrevisi UU No. 33 tahun 2004. Dana Alokasi Umum Selain kapasitas fiskal, pendapatan fiskal daerah juga bersumber dari dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum (DAU). Fakta menunjukkan bahwa lebih dari setengah total pendapatan daerah berasal dari DAU. Tingginya peran DAU merupakan konsekuensi kebijakan desentralisasi fiskal yang mengutamakan sisi pengeluaran dengan mengalihkan tugas-tugas pengeluaran daerah secara penuh dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Namun, ketergantungan pada DAU dapat memperburuk kinerja fiskal daerah. Menurut teori federalisme fiskal, transfer yang besar menimbulkan disinsentif atau halangan bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaannya (Oates, 1972). Jika dikaitkan DAU sebagai komponen dana perimbangan yang paling penting maka ketergantungan keuangan daerah pada DAU akan menghalangi kemampuan daerah meningkatkan penerimaannya dari sumber-sumber keuangan lokal. Tabel 27 Hasil Estimasi Dana Alokasi Umum Variabel Intercept PDRBL POP WLYH PNS DAUL R2
Estimasi parameter 179927.2 c -0.0072 a 107.6154 a 6.338917 a 18.81129 a 0.431706 a 0.98
t-val 1.44 -6.10 4.26 4.45 6.27 6.51
Pr > |t|
Elastisitas S-R L-R
0.1532 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
-0.16 0.17 0.06 0.50
-0.28 0.29 0.11 0.87
Keterangan PDRB t-1 Jumlah penduduk Luas wilayah Jumlah PNS DAU t-1
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Hasil estimasi pada Tabel 27 menunjukkan DAU dipengaruhi faktor-faktor kebutuhan daerah sesuai formula alokasi DAU yaitu PDRB tahun sebelumnya (lag PDRB), jumlah penduduk, dan luas wilayah. Hubungan DAU dan lag PDRB yang negatif menunjukkan bahwa daerah akan menerima DAU lebih rendah jika PDRB tahun sebelumnya lebih besar. Hal ini berarti kenaikan PDRB merupakan faktor penting untuk mengurangi ketergantungan daerah pada DAU. Sementara, faktor-faktor yang meningkatkan DAU adalah jumlah penduduk dan luas wilayah. Sesuai formula alokasinya, DAU juga ditentukan oleh alokasi dasar sebagai cerminan kebutuhan pembiayaan administrasi pemerintahan daerah yang diproksi dari jumlah PNS daerah. Hubungan yang positif mengindikasikan pembiayaan struktur pemerintahan daerah yang lebih luas akan dijamin oleh pemerintah pusat melalui DAU. Namun, perluasan struktur pemerintahan daerah tidak menjamin peningkatan layanan masyarakat. Selain itu, koefisien elastisitasnya paling besar yaitu 0.5 yang berarti kenaikan kenaikan jumlah PNS 10% akan menambah DAU 5%. Artinya, setengah dari tambahan DAU digunakan untuk membayar gaji PNS. Temuan ini sesuai hasil penelitian World Bank (2007) dimana lebih dari setengah
110
kenaikan DAU yang seharusnya untuk meningkatkan pelayanan masyarakat justru digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah daerah. Peran DAU yang besar pada alokasi dasar mengindikasikan DAU lebih diutamakan untuk membiayai kebutuhan administrasi pemerintah daerah atau belanja rutin daripada kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi DAU disimpulkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada DAU diperlukan PDRB yang lebih besar dan perampingan struktur pemerintahan di daerah. Belanja Sektoral Tabel 28 Hasil Estimasi Belanja Sektoral Daerah Variabel Intercept KAPFIS DAU DAK GPGNKBNTNKL R2 Intercept KAPFIS DAU GINDL R2 Intercept KAPFIS DAU GDGL R2 Intercept KAPFIS DAU GIFRL R2 Intercept KAPFIS DAU GLNL R2
Elastisitas Estimasi t-val Pr > |t| parameter S-R L-R Belanja Pertanian (GPGNKBNTNK) 36039.57 a 3.27 0.0014 0.007570 a 3.65 0.0004 0.11 0.25 0.008443 a 2.90 0.0043 0.17 0.37 0.046851 d 1.23 0.2191 0.10 0.21 0.542576 a 7.55 <.0001 0.87 Belanja Perindustrian (GIND) -4952.5 b -1.86 0.0651 0.000730 b 1.83 0.0698 0.09 0.35 0.002365 a 5.13 <.0001 0.37 1.49 0.749475 a 13.26 <.0001 0.82 Belanja Perdagangan (GDG) -1818.01 -0.49 0.6220 0.002214 a 3.64 0.0004 0.22 0.44 a 0.002753 4.73 <.0001 0.36 0.73 0.504975 a 7.19 <.0001 0.70 Belanja Infrastruktur (GIFR) 256753.3 a 3.97 0.0001 0.082805 a 5.66 <.0001 0.21 0.56 b 0.017387 2.08 0.0390 0.06 0.16 0.625046 a 10.82 <.0001 0.89 Belanja Lainnya (GLN) -162696 -1.59 0.1148 a 0.162246 4.89 <.0001 0.08 0.44 0.302331 a 6.96 <.0001 0.19 1.07 0.826398 a 20.56 <.0001 0.99
Keterangan
Kapasitas fiskal DAU Dana alokasi khusus GPGNKBNTNK t-1
Kapasitas fiskal DAU GIND t-1
Kapasitas fiskal DAU GDG t-1
Kapasitas fiskal DAU GIFR t-1
Kapasitas fiskal DAU GLN t-1
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Klasifikasi belanja daerah pada penelitian ini terdiri dari belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, belanja infrastruktur, dan belanja lainnya. Klasifikasi ini digunakan untuk menggambarkan keterkaitan pengeluaran pemerintah daerah sektoral dan kinerja perekonomian sektoral. Besar kecilnya
111
pengeluaran pemerintah tergantung pada penerimaanya. Oleh karena itu, kelima jenis belanja daerah ini diduga dipengaruhi oleh dua sumber utama penerimaan daerah yaitu kapasitas fiskal dan DAU. Di sisi lain, penggunaan DAU sebagai variabel penjelas dapat memberi informasi ada tidaknya fenomena flypaper effect pada DAU terhadap alokasinya untuk kelima jenis belanja daerah tersebut. Selain itu, dapat diketahui juga informasi ada tidaknya upaya pemerintah daerah untuk mencapai pertumbuhan pro-poor melalui kebijakan pengeluaran daerah. Hasil estimasi pada Tabel 28 menunjukkan kelima jenis belanja daerah dipengaruhi oleh kapasitas fiskal dan DAU. Namun, perubahan belanja-belanja daerah lebih elastis terhadap perubahan DAU dari pada kapasitas fiskal kecuali belanja infrastruktur. Artinya, ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU karena pemerintah daerah merespon DAU secara berlebihan untuk membiayai sebagian besar belanja daerahnya sementara perubahan kapasitas fiskal kurang direspon. Koefisien DAU yang lebih besar dari koefisien kapasitas fiskal pada estimasi belanja perindustrian dan belanja perdagangan mengindikasikan pemerintah daerah tidak menggunakan DAU untuk strategi pertumbuhan pro-poor yaitu pembangunan pertanian dan pembangunan infrastruktur sebagaimana rekomedasi studi-studi terdahulu seperti Balisacan, et al. (2003) dan OECD (2006 dan 2009). Sementara itu, hasil estimasi belanja pertanian dan belanja infrastruktur menunjukkan koefisien parameter kapasitas fiskal cukup besar. Hal ini mengindikasikan kapasitas fiskal lebih diandalkan dalam strategi pertumbuhan pro-poor di daerah dari pada DAU. Dengan perkataan lain, kapasitas fiskal lebih efektif untuk mencapai pertumbuhan pro-poor dari pada DAU. Namun, fakta menunjukkan rendahnya komposisi kapasitas fiskal pada total pendapatan daerah bahkan cenderung berkurang. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi belanja-belanja sektoral disimpulkan bahwa ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU terhadap alokasi belanjabelanja sektoral yang tidak berdampak besar bagi pertumbuhan pro-poor. Selain itu, untuk mencapai pertumbuhan pro-poor melalui pembangunan pertanian dan infrastruktur daerah dibutuhkan kapasitas fiskal yang besar dengan meningkatkan penerimaan pajak daerah dan bagi hasil pajak. Blok Perekonomian Sektoral Panjang Jalan Aspal Infrastruktur jalan merupakan faktor penting dalam perekonomian daeerah karena berfungsi sebagai sarana untuk memperluas akses ke pasar input dan pasar output. Oleh karena ituk, pembangunan infrastruktur jalan aspal juga merupakan fokus pembangunan nasional yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Hal ini berawal dari fakta rendahnya kualitas infrastruktur di Indonesia pada umumnya sehingga menjadi kendala utama dalam melakukan berbagai kegiatan usaha. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi panjang jalan aspal. Hasil estimasi pada Tabel 29 menunjukkan panjang jalan aspal dipengaruhi oleh belanja infrastruktur, penanaman modal, dan jumlah kendaraan bermotor. Koefisien parameter belanja infrastruktur sebesar 0.00063 menunjukkan kenaikan belanja infrastruktur satu miliar rupiah hanya mampu menambah jalan aspal 0.63 km. Hal ini dapat terjadi karena belanja infrastruktur digunakan juga untuk pembangunan
112
infrastruktur lain seperti irigasi dan sarana air bersih. Akan tetapi, hasil penelitian KPPOD di 41 kabupaten/kota tahun 2007-2010 menemukan anggaran belanja infrastruktur hanya 11-13%. Bahkan meningkatnya belanja infrastruktur tidak meningkatkan kualitas infrastruktur khususnya jalan yang diduga disebabkan oleh korupsi pelaksanaan proyek infrastruktur fisik sehingga mengorbankan mutu infrasttruktur. Tabel 29 Hasil Estimasi Panjang Jalan Aspal Variabel Intercept GIFR PM MTR R2
Estimasi parameter 2489.701 a 0.000634 b 0.000148 b 2.470515 a 0.75
t-val 4.16 1.82 2.52 15.15
Pr > |t| <.0001 0.0706 0.0130 <.0001
Elastisitas 0.11 0.06 0.58
Keterangan Belanja infrastruktur Penanaman modal Kendaraan bermotor
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Selain itu, penanaman modal juga berpengaruh positif meskipun kurang elastis. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan memerlukan peran swasta mengingat kemampuan pembiayaan pembangunan infrastruktur dari belanja pemerintah daerah relatif rendah. Sebagaimana ditunjukkan pada hasil estimasi belanja sektoral, rendahnya belanja infrastruktur karena belanja tersebut lebih bergantung pada kapasitas fiskal sementara komposisi kapasitas fiskal di daerah rendah. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi panjang jalan aspal disimpulkan untuk membangun infrastruktur jalan aspal diperlukan belanja infrastruktur dan investasi swasta yang lebih besar. Jika dikaitkan dengan temuan sebelumnya dimana belanja infrastruktur sangat bergantung pada kapasitas fiskal, maka kunci keberhasilan pembangunan infrastruktur jalan aspal adalah kapasitas fiskal. PDRB Sektoral Kinerja perekonomian daerah dapat dicerminkan dari PDRB sektoral. Hasil estimasi pada Tabel 30 menunjukkan PDRB sektoral dipengaruhi belanja sektoral, tenaga kerja sektoral, dan panjang jalan aspal. Perubahan PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan PDRB perdagangan lebih elastis terhadap perubahan tenaga kerja sektoral dari pada perubahan belanja sektoral. Hal ini menunjukkan kedua sektor tersebut lebih bersifat padat karya (labor intensive). Sebaliknya, perubahan PDRB industri makanan lebih elastis terhadap perubahan belanja perindustrian dari pada tenaga kerja industri. Hal ini menunjukkan sektor tersebut lebih bersifat padat modal (capital intensive). Faktor lain yang mempengaruhi PDRB sektoral adalah panjang jalan aspal yang mencerminkan perannya sebagai sarana memperluas akses ke pasar output terutama pertanian dan perdagangan melalui jalur yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Koefisien parameter panjang jalan aspal pada PDRB tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan sebesar 930 dan PDRB perdagangan sebesar 1656 memberi arti penambahan jalan aspal sepanjang 1 km akan meningkatkan PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan sebesar 930 juta rupiah dan PDRB perdagangan 1.66 miliar rupiah.
113
Tabel 30 Hasial Estimasi PDRB Sektoral Estimasi t-val Pr > |t| Elastisitas Keterangan parameter PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan (PDRBPGNKBNTNK) Intercept -6374729 a -5.34 <.0001 GPGNKBNTNK 24.73811 a 4.40 <.0001 0.38 Belanja pertanian TKTANI 5711.454 a 6.67 <.0001 0.48 Tenaga kerja pertanian ASP 930.0316 a 3.82 0.0002 0.47 Panjang jalan aspal R2 0.92 PDRB industri makanan jadi (PDRBMKN) Intercept -2494254 b -1.74 0.0840 GIND 195.8402 a 5.48 <.0001 0.69 Belanja perindustrian TKIND 11064.96 a 6.74 <.0001 0.55 Tenaga kerja industri R2 0.64 PDRB perdagangan (PDRBDG) Intercept -1.47E+07 a -4.83 <.0001 GDGKAP 556479.4 a 2.63 0.0097 0.16 Belanja perdagangan TKDG 24205.45 a 11.89 <.0001 0.78 Tenaga kerja perdag ASP 1655.791 a 5.13 <.0001 0.63 Panjang jalan aspal R2 0.88 Variabel
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi PDRB sektoral dapat disimpulkan untuk mendorong perekonomian daerah maka diperlukan pengeluaran pemerintah sektoral yang lebih besar terutama di sektor industri serta jumlah tenaga kerja yang lebih besar terutama di sektor pertanian dan perdagangan. Selain itu, infrastruktur jalan aspal juga dibutuhkan terutama untuk sektor pertanian dan perdagangan. Jika dikaitkan dengan hasil estimasi belanja-belanja sektoral, maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting untuk mendorong perekonomian daerah mengingat perannya yang besar dalam pada belanja-belanja sektoral khususnya belanja pertanian dan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan pro-poor. Tenaga Kerja Sektoral Kinerja perekonomian sektoral daerah dapat juga ditinjau dari jumlah tenaga kerja sektoral. Hasil estimasi menunjukkan jumlah tenaga kerja pertanian dipengaruhi oleh PDRB pertanian dan panjang jalan aspal. Hubungannya dengan panjang jalan aspal lebih elastis dari pada PDRB pertanian dengan koefisien parameter sebesar 0.14 yang berarti pertambahan jalan aspal sepanjang 1 km akan menyerap tambahan tenaga kerja pertanian sebanyak 140 orang. Hal ini menunjukkan pembangunan infrastruktur merupakan faktor penting bagi ekonomi pedesaan yang didominasi sektor pertanian melalui penyerapan tenaga kerja pertanian. Hubungan tenaga kerja pertanian dan infrastruktur jalan aspal yang lebih elastis dibandingkan tenaga kerja industri dan tenaga kerja perdagangan juga menjadi indikasi bahwa kondisi infrastruktur di wilayah pertanian yang mayoritas berada di pedesaan lebih buruk dibandingkan wilayah industri dan perdagangan di perkotaan sehingga sangat berperan menyerap tenaga kerja pertanian. Sementara itu, upah riil sektoral yang lebih besar menurunkan jumlah tenaga kerja terutama di sektor industri. Perubahan jumlah tenaga kerja industri sangat elastis terhadap perubahan upah riil industri dimana kenaikan upah riil 10% akan menurunkan
114
jumlah tenaga kerja industri 11.4%. Hal ini mengindikasikan kenaikan upah riil akan mendorong pengusaha sektor industri untuk mengurangi input tenaga kerja dan mengalihkan kenaikan upah riil untuk menambah modal. Dengan perkataan lain, faktor modal dan tenaga kerja di sektor industri bersifat kompetitif. Tabel 31 Hasil Estimasi Jumlah Tenaga Kerja Sektoral Variabel Intercept PDRBTANI UPHTANI ASP R2 Intercept PDRBIND UPHIND ASP R2 Intercept PDRBDG UPHDG ASP R2
Estimasi t-val Pr > |t| Elastisitas parameter Tenaga Kerja Pertanian (TKTANI) 278.318 d 1.18 0.2404 0.000028 a 4.87 <.0001 0.41 -1.10432 a -3.84 0.0002 -0.41 0.138568 a 6.90 <.0001 0.83 0.90 Tenaga Kerja Industri (TKIND) 507.7032 a 4.61 <.0001 0.000013 a 18.83 <.0001 0.95 -0.68291 a -7.15 <.0001 -1.14 0.010769 b 1.84 0.0678 0.20 0.90 Tenaga Kerja perdagangan (TKDG) 360.2438 d 1.22 0.2231 0.000023 a 10.79 <.0001 0.71 c -0.41858 -1.41 0.1606 -0.41 0.021856 b 1.76 0.0807 0.26 0.87
Keterangan
PDRB pertanian Upah pertanian Panjang jalan aspal
PDRB industri Upah industri Panjang jalan aspal
PDRB perdagangan Upah perdagangan Panjang jalan aspal
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi tenaga kerja sektoral disimpulkan bahwa untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja terutama di sektor pertanian dan perdagangan yang lebih bersifat labor intensive diperlukan infrastruktur jalan aspal yang lebih memadai. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana pembangunan infrastruktur jalan aspal memerlukan belanja infrastruktur yang memadai yang bergantung pada kapasitas fiskal maka kapasitas fiskal menjadi faktor penting dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektoral terutama tenaga kerja pertanian. Upah Riil Sektoral Informasi tingkat upah sangat penting untuk mengevaluasi tingkat hidup dan kondisi kehidupan tenaga kerja beserta anggota rumahtangganya. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan upah riil sebagai proksi pendapatan penduduk untuk menggambarkan daya beli penduduk. Hal ini didasari hipotesis fluktuasi tingkat upah akan mempengaruhi kemiskinan. Indikator upah riil juga digunakan untuk menganalisis siklus bisnis (business cycles) apabila dianalisis bersama variabelvariabel ekonomi lain seperti jumlah tenaga kerja dan output (Malik dan Ahmed, 2000). Hasil estimasi pada Tabel 32 menunjukkan upah riil pertanian, industri, dan perdagangan dipengaruhi secara psitif oleh PDRB per kapita sektoral. Temuan ini sejalan dengan Malik dan Ahmed (2000) yaitu ada hubungan positif output dan upah riil di Pakistan baik total maupun sektoral. Artinya, hubungan pertumbuhan ekonomi dan upah riil bersifat pro-cyclical.
115
Tabel 32 Hasil Estimasi Upah Riil Sektoral Variabel
Elastisitas S-R L-R Upah Pertanian (UPHTANI) a 2.70 0.0079 c 1.63 0.1052 0.05 0.36 a 20.23 <.0001
Estimasi parameter
Intercept PDRBTANIKAP UPHTANIL R2
63.05079 0.009624 0.860639 0.82
Intercept PDRBINDKAP UPHINDL R2
464.3901 0.032354 0.313735 0.75
a
247.4232 0.026432 0.622585 0.64
a
Intercept PDRBDGKAP UPHDGL R2
a a
t-val
Pr > |t|
Upah Industri (UPHIND) 8.19 <.0001 6.30 <.0001 0.15 3.79 0.0002
0.22
Upah Perdagangan (UPHDG) 5.32 <.0001 a 3.49 0.0006 0.09 0.23 a 9.00 <.0001
Keterangan
PDRB tani perkap UPHTANI t-1
PDRB industri perkap UPHIND t-1
PDRB perdag perkap UPHDG t-1
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi upah riil sektoral dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan upah riil diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan hasil estimasi temuan sebelumnya dimana kapasitas fiskal adalah faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi daerah melalui perannya pada pengeluaran pemerintah dan pembangunan infrastruktur jalan maka hal ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal berperan penting dalam meningkatkan upah riil sektoral. Pengeluaran per Kapita Sektoral Sebagi proksi tingkat pendapatan, upah riil dapat menggambarkan daya beli penduduk melalui ukuran pengeluaran per kapita. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana peran upah riil sektoral dalam meningkatkan pengeluaran per kapita sektoral. Tabel 33 menunjukkan upah riil sektoral berpengaruh pada pengeluaran per kapita masing-masing sektor. Koefisien parameter yang positif memberi arti meningkatnya upah riil sektoral akan meningkatkan pengeluaran per kapita di setiap sektor. Namun, hubungan upah riil pertanian kurang elastis dibandingkan upah riil industri dan upah riil perdagangan. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa rumahtangga pertanian tidak sepenuhnya bergantung pada sektor. Di sisi lain, hal itu juga dapat mengindikasikan rendahnya pendapatan petani dari sektor pertanian sehingga dibutuhkan pekerjaan tambahan dari sektor lain atau bantuan keuangan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangganya dari peorangan atau pemerintah yang biasanya dalam bentuk hibah atau utang. Faktor lain yang mempengaruhi pengeluaran per kapita adalah inflasi. Hubungan negatif menunjukkan kenaikan harga-harga di tingkat provinsi akan menurunkan pengeluaran per kapita terutama di rumahtangga pertanian. Perubahan pengeluaran per kapita pertanian yang lebih elastis terhadap perubahan inflasi mengindikasikan bahwa rumahtangga pertanian paling dirugikan oleh kenaikan harga-harga.
116
Tabel 33 Hasil Estimasi Pengeluaran per Kapita Sektoral Variabel Intercept UPHTANI IFL R2 Intercept UPHIND IFL R2 Intercept UPHDG IFL R2
Elastisitas Estimasi t-val Pr > |t| parameter Pengeluaran per kapita pertanian (EXPTANI) 210.2986 a 14.59 <.0001 0.221478 a 12.71 <.0001 0.47 -7.69744 a -7.03 <.0001 -0.22 0.62 Pengeluaran per kapita industri (EXPIND) 153.6796 a 4.41 <.0001 0.29305 a 10.79 <.0001 0.67 -3.50608 c -1.36 0.1771 -0.07 0.48 Pengeluaran per kapita perdagangan (EXPDG) 129.4432 a 2.36 0.0199 0.448016 a 7.82 <.0001 0.83 -6.34483 a -2.46 0.0151 -0.11 0.35
Keterangan
Upah pertanian Inflasi
Upah industri Inflasi
Upah Inflasi
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Kesimpulan yang didapat dari hasil estimasi pengeluaran per kapita sektoral adalah untuk meningkatkan pengeluaran per kapita terutama di sektor pertanian diperlukan upah riil yang lebih tinggi dan harga-harga yang lebih stabil. Jika dikaitkan dengan temuan sebelumnya dimana kapasitas fiskal merupakan faktor penting yang dapat berdampak meningkatkan upah riil sektoral maka hal ini dapat terwujud apabila keuangan daerah memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar. Blok Kemiskinan Sektoral Indeks Gini Studi-studi terdahulu, antara lain Kakwani (1993), Bourguignon (2004), dan Warr (2006), menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan dapat mengurangi peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan yang diukur dari Indeks Gini. Hasil estimasi pada Tabel 34 menunjukkan Indeks Gini dipengaruhi oleh share PDRB pertanian, share PDRB industri, dan share PDRB perdagangan dimana share PDRB pertanian yang lebih besar akan menurunkan Indeks Gini. Selain itu, meskipun share PDRB industri tidak signifikan tetapi koefisien parameter yang positif menunjukkan share PDRB industri yang lebih besar berpotensi menurunkan Indeks Gini. Sebaliknya, share PDRB perdagangan yang lebih besar berpotensi meningkatkan Indeks Gini. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi Indeks Gini dapat disimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan dapat berkurang jika pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan di sektor riil terutama pertanian. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana pembangunan pertanian memerlukan sumber pembiayaan dari kapasitas fiskal maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah.
117
Tabel 34 Hasil Estimasi Indeks Gini Variabel Intercept SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG GINIL R2
Estimasi parameter 0.118165 a -0.00052 d -0.00033 0.000331 0.702657 a 0.47
t-val
Pr > |t|
Elastisitas S-R L-R
4.28 -1.26 -1.17 0.68 10.51
<.0001 0.2085 0.2458 0.4973 <.0001
-0.03 -0.02 0.02
-0.11 -0.06 0.06
Keterangan Share PDRB pertanian Share PDRB industri Share PDRB perdag GINI t-1
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Tingkat Kemiskinan Sektoral Tabel 35 Hasil Estimasi Tingkat Kemiskinan Sektoral Variabel Intercept EXPTANI GINI GK R2 Intercept EXPIND GINI GK R2 Intercept EXPDG GINI GK R2 Intercept EXPTANI GINI GK R2 Intercept EXPTANI GINI GK R2 Intercept POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 R2
Estimasi t-val Pr > |t| Elastisitas Keterangan Headcount index Pertanian (POVTANIP0) -6.22684 d -1.07 0.2858 -0.17003 a -17.36 <.0001 -2.50 Pengeluaran perkap 60.9337 a 4.56 <.0001 1.07 Indeks Gini 0.302195 a 13.13 <.0001 2.75 Garis Kemiskinan 0.69 Headcount index Industri (POVINDP0) -6.93891 -0.70 0.4874 -0.0608 a -7.38 <.0001 -1.81 Pengeluaran perkap industri 42.69824 b 1.91 0.0589 1.12 Indeks Gini 0.163808 a 4.81 <.0001 2.22 Garis Kemiskinan 0.31 Headcount index Perdagangan (POVDGP0) -4.59922 -0.70 0.4832 -0.04699 a -7.83 <.0001 -2.42 Pengeluaran perkap perrdag 44.26502 a 2.78 0.0062 1.72 Indeks Gini 0.111514 a 5.09 <.0001 2.23 Garis Kemiskinan 034 Poverty Gap Index Pertanian (POVTANIP1) -1.23131 d -0.96 0.3410 -0.03177 a -14.63 <.0001 -2.98 Pengeluaran perkap 8.428017 a 2.85 0.0051 0.95 Indeks Gini 0.059236 a 11.61 <.0001 3.44 Garis Kemiskinan 0.62 Poverty Severity Index Pertanian (POVTANIP2) -0.33909 -0.82 0.4156 -0.00938 a -13.41 <.0001 -3.31 Pengeluaran perkap 1.924496 b 2.02 0.0458 0.82 Indeks Gini 0.017944 a 10.91 <.0001 3.92 Garis Kemiskinan 0.58 Total Headcount index (POVP0) -0.5193 -0.69 0.4923 0.460043 a 9.18 <.0001 0.64 Headcount index pertanian 0.307586 a 4.31 <.0001 0.28 Headcount index industri 0.185324 b 1.83 0.0692 0.12 Headcount index perdag 0.77
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1%, 5%, 10%, 20%; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
118
Tingkat kemiskinan umumnya diukur dari tiga indikator kemiskinan FGT yaitu Headcount Index (P 0 ), Poverty Gap Index (P 1 ), dan Poverty Severity Index (P 2 ). Hasil estimasi pada Tabel 35 menunjukkan Headcount Index pertanian, industri, dan perdagangan dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita masing-masing sektor, Indeks Gini, dan garis kemiskinan dimana hubungan ketiganya sangat elastis. Koefisien parameter pengeluaran per kapita sektoral yang bertanda positif memberi arti bahwa pengeluaran per kapita sektoral yang lebih besar akan menurunkan headcount index sektoral. Sebaliknya, koefisien parameter Indeks Gini yang negatif menunjukkan Indeks Gini yang lebih besar akan meningkatkan headcount index sektoral. Dengan demikian, headcount index sektoral berkurang jika pengeluaran per kapita sektoral lebih besar dan ketimpangan pendapatan lebih rendah. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Nanga (2006), Miranti (2010), Laabas dan Limam (2004), Bidani dan Ravallion (1993), dan Ravallion dan Chen (1997). Namun, studi-studi tersebut tidak mendekomposisi headcount index secara sektoral. Koefisien elastisitas menunjukkan perubahan headcount index sektoral lebih responsif terhadap perubahan pengeluaran per kapita sektoral dari pada perubahan Indeks Gini. Artinya, perubahan headcount index lebih responsif terhadap perubahan pengeluaran per kapita dibandingkan perubahan Indeks Gini. Temuan ini juga sejalan dengan hasil penelitian Miranti (2010) serta Bidani dan Ravallion (1993) di Indonesia. Hasil estimasi juga menunjukkan total headcount index lebih dipengaruhi headcount index pertanian dimana kenaikan headcount index pertanian 10% akan meningkatkan total headcount index 4.6%. Artinya, hampir separuh dari total penduduk miskin di Indonesia berasal dari rumahtangga pertanian. Dengan demikian, strateg pengentasan kemiskinan khususnya melalui upaya pertumbuhan pro-poor lebih efektif jika diproritaskan pada penurunan kemiskinan penduduk pertanian. Namun, headcount index memiliki kelemahan yaitu mengabaikan perbedaan kesejahteraan antar rumahtangga miskin. Untuk itu, diperlukan Poverty Gap Index yang dapat mengukur intensitas kemiskinan dimana ukuran Poverty Gap Index yang lebih besar menunjukkan semakin jauh jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan sehingga penduduk miskin semakin sulit keluar dari kondisi kemiskinan. Pada penelitian ini, Poverty Gap Index diestimasi pada sektor pertanian dengan alasan tingginya tingkat kemiskinan di sektor tersebut dibandingkan dua sektor lainnya. Hasil estimasi juga menunjukkan Poverty Gap Index pertanian dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita pertanian, Indeks Gini, dan garis kemiskinan. Artinya, intensitas kemiskinan pertanian akan berkurang jika pengeluaran per kapita lebih besar dan distribusi pendapatan lebih merata. Namun, Poverty Gap Index mengabaikan efek ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin sehingga tidak mampu menangkap perbedaan tingkat keparahan kemiskinan (the severity of poverty) diantara penduduk miskin. Oleh karena itu, diperlukan Poverty Severity Index untuk menggambarkan distribusi pengeluaran di antara penduduk miskin. Pada penelitian ini Poverty Severity Index juga hanya diestimasi untuk sektor pertanian. Hasil estimasi menunjukkan Poverty Severity Index pertanian dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita pertanian, Indeks Gini, dan garis kemiskinan dimana distribusi pengeluaran penduduk miskin di sektor pertanian akan lebih merata jika pengeluaran per kapitanya lebih besar dan distribusi pendapatan seluruh penduduk lebih merata.
119
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi headcount index, poverty gap index, dan poverty severity index dapat disimpulkan tingkat kemiskinan dapat berkurang jika pendapatan penduduk meningkat dan ketimpangan pendapatan berkurang terutama pada kelompok penduduk miskin pertanian. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana tingkat pendapatan dipengaruhi upah riil dan distribusi pendapatan dipengaruhi pembangunan pertanian maka kapasitas fiskal menjadi faktor penting dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini disebakan karena upah riil akan meningkat jika pertumbuhan sektoral meningkat sementara pertumbuhan sektoral bergantung pada kapasitas fiskal yang berperan besar dalam membiayai pengeluaran sektoral dan pembangunan infrastruktur sebagai faktorfaktor yang dapat mencipatkan pertumbuhan ekonomi sektoral. Demikian juga, pembangunan pertanian dapat terwujud melalui peran kapasitas fiskal yang lebih besar untuk membiayai belanja pertanian dan pembangunan infrastruktur sebagai dua faktor penting yang mempengaruhi PDRB pertanian yang pada akhirnya dapat menurunkan ketimpangan pendapatan.
120
7. DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN SEKTORAL Hasil estimasi model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menjadi dasar simulasi historis tahun 2006-2011 dan simulasi peramalan tahun 2013-2015. Simulasi historis dilakukan untuk mengevaluasi dampak kapasitas fiskal terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah di Indonesia. Sedangkan simulasi peramalan dilakukan untuk merekomendasikan alternatif kebijakan yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan di Indonesia. Simulasi difokuskan pada variabel yang berdampak meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan ketimpangan pendapatan, tingkat kemiskinan, dan proporsi penduduk miskin pertanian. Suatu skenario dianggap paling baik jika memberi dampak paling besar, tidak menimbulkan trade-off antar variabel dampak, dan tidak menimbulkan defisit fiskal. Ulasan variabel-variabel endogen yang menggambarkan dampak pada kinerja fiskal adalah kesenjangan fiskal dan kemandirian fiskal, dampak pada kinerja perekonomian adalah PDRB sektoral dan jumlah tenaga kerja, dan dampak pada kemiskinan adalah Indeks Gini, headcount index sektoral, total headcount index, jumlah penduduk miskin sektoral, jumlah penduduk miskin, dan proporsi penduduk miskin pertanian. Hasil Validasi Simulasi diawali dengan validasi untuk mengetahui apakah model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dapat mewakili fenomena fiskal, perekonomian sektoral, dan kemiskinan sektoral daerah. Validasi model dilakukan dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3. Tingkat validitas model ditentukan berdasarkan Theil’s Inequality Coefficient (U) dan proporsi U (proportion of inequality) yaitu proporsi bias UM, proporsi variansi US, dan proporsi kovariansi UC. Jika U mendekati nol maka model dianggap baik, sedangkan jika mendekati satu maka model dianggap kurang mampu menjelaskan data yang sebenarnya (Sitepu dan Sinaga, 2006). Hasil validasi pada Tabel 36 menunjukkan mayoritas koefisien U mendekati nol, seluruh nilai UM mendekati nol yang berarti tidak ada bias sistematik, nilai-nilai US relatif kecil yang berarti fluktuasi nilai-nilai prediksi sesuai dengan fluktuasi nilai-nilai aktualnya, dan nilai-nilai UC cukup besar dan mendekati satu yang berarti error tidak sistematik. Berdasarkan keempat ukuran statistik ini dapat disimpulkan bahwa model valid sehingga dapat dilakukan simulasi historis dan peramalan. Program dan hasil validasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 6 dan 7. Dampak kapasitas fiskal pada perekonomian dan kemiskinan dapat terjadi melalui mekanisme berikut: kapasitas fiskal yang lebih besar akan meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai belanja sektoral sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi output daerah sehingga PDRB sektoral meningkat. PDRB sektoral yang lebih besar akan mendorong upah riil sehingga pendapatan penduduk meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan pengeluaran per kapita. Pengeluaran per kapita yang lebih besar dapat meningkatkan konsumsi penduduk agar memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup layak (basic needs)
121
Tabel 36 Hasil Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dalam Theil Forecast Error Statistics Endogen 1. Pajak daerah 2. PAD 3. Bagi hasil pajak 4. Kapasitas fiskal 5. DAU 6. Pendapatan daerah 7. Belanja pertanian 8. Belanja perindustrian 9. Belanja perdagangan 10. Belanja perdagangan perkapita 11. Belanja infrastruktur 12. Belanja lainnya 13. Belanja daerah 14. Kesenjangan fiskal 15. Kemandirian fiskal 16. Panjang jalan aspal 17. PDRB t.pangan, kebun, ternak 18. PDRB pertanian 19. PDRB pertanian per kapita 20. PDRB makanan jadi 21. PDRB industri pertanian 22. PDRB industri 23. PDRB industri per kapita 24. PDRB perdagangan 25. PDRB perdagangan per kapita 26. PDRB non-pertanian 27. PDRB 28. PDRB per kapita 29. Share PDRB pertanian 30. Share PDRB industri 31. Share PDRB perdagangan 32. Tenaga kerja pertanian 33. Tenaga kerja industri 34. Tenaga kerja perdagangan 35. Tenaga kerja total 36. Upah pertanian 37. Upah industri 38. Upah perdagangan 39. Pengeluaran penduduk pertanian 40. Pengeluaran penduduk industri 41. Pengeluaran penduduk 42. Indeks Gini 43. Headcount index pertanian 44. Headcount index industri 45. Headcount index perdagangan 46. Poverty gap index pertanian 47. Poverty severity index pertanian 48. Headcount index total
Satuan Aktual Predicted Blok Fiskal Juta 1 421 350 1 511 125 Juta 2 107 481 2 197 256 Juta 1 068 570 1 040 519 Juta 4 449 630 4 511 354 Juta 5 875 357 5 914 990 Juta 12 247 142 12 348 Juta 293 924 289 938 Juta 37 180 36 339 Juta 44 870 44 797 Ribu 7.5 7.2 Juta 1 748 045 1 669 634 Juta 9 534 554 9 504 389 Juta 11 845 264 11 731 Juta 7 395 634 7 220 434 % 16.1 16.3 Blok Perekonomian Sektoral km 9 804 9 753 Juta 19 366 098 19 015 Juta 23 916 759 23 566 Juta 3 093 3 501 Juta 10 599 563 10 220 Juta 19 202 161 18 823 Juta 38 409 672 38 030 Juta 4 151 4 252 Juta 25 956 611 24 337 Juta 2 691 3 166 Juta 113 950 000 111 950 Juta 137 870 000 135 520 Ribu 17 784 18 769 % 22.0 22.1 % 19.1 20.7 % 17.1 16.5 Ribu 1 637 1 602 Ribu 525 506 Ribu 835 781 Ribu 4 075 3 966 Ribu 601 623 Ribu 873 880 Ribu 826 842 Ribu 281 286 Ribu 381 384 Ribu 449 456 Blok Kemiskinan Sektoral 0.338 0.342 % 19.16 18.58 % 12.84 12.89 % 8.71 8.57 3.00 2.88 0.80 0.76 % 13.86 13.58
U
UM
US
UC
0.09 0.06 0.17 0.04 0.05 0.03 0.12 0.23 0.23 0.25 0.13 0.04 0.04 0.06 0.08
0.05 0.05 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.01 0.03 0.01
0.26 0.28 0.17 0.03 0.01 0.11 0.04 0.09 0.11 0.23 0.07 0.09 0.05 0.02 0.01
0.69 0.67 0.83 0.96 0.98 0.88 0.96 0.91 0.89 0.77 0.91 0.91 0.94 0.95 0.98
0.16 0.13 0.11 0.20 0.34 0.20 0.10 0.07 0.22 0.34 0.07 0.07 0.08 0.10 0.13 0.34 0.16 0.17 0.23 0.10 0.08 0.10 0.11 0.07 0.13 0.10
0.00 0.00 0.00 0.08 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.04 0.01 0.01 0.06 0.00 0.06 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.05 0.00 0.01 0.01 0.00 0.01
0.06 0.19 0.21 0.04 0.14 0.03 0.01 0.00 0.26 0.18 0.25 0.28 0.14 0.13 0.06 0.39 0.19 0.06 0.32 0.39 0.18 0.08 0.01 0.21 0.28 0.21
0.94 0.81 0.79 0.88 0.86 0.97 0.99 0.99 0.74 0.78 0.74 0.71 0.80 0.87 0.88 0.60 0.81 0.93 0.67 0.60 0.78 0.92 0.98 0.77 0.72 0.79
0.05 0.20 0.28 0.30 0.26 0.28 0.22
0.01 0.01 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00
0.23 0.00 0.19 0.27 0.00 0.00 0.04
0.75 0.99 0.81 0.73 0.99 0.99 0.96
122
sehingga kesejahteraan rumahtangga miskin meningkat yang berarti penduduk miskin dapat keluar dari kondisi kemiskinan. Jika hal tersebut terjadi secara menyeluruh maka akumulasi seluruh penduduk miskin yang keluar dari kondisi kemiskinan akan menurunkan kemiskinan daerah. Sementara itu, pembangunan pertanian akan meningkatkan PDRB pertanian sehingga share PDRB pertanian lebih besar akan menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan yang berarti distribusi pendapatan semakin merata. Hal ini akan menambah peran pengeluaran per kapita dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Oleh karena itu, simulasi historis dilakukan dengan mengubah variabelvariabel yang berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal terutama pajak daerah dan bagi hasil pajak. Dengan mengacu pada hasil estimasi model yang telah diuraikan sebelumnya diketahui bahwa untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah diperlukan potensi ekonomi penduduk dalam ukuran PDRB per kapita yang lebih besar. Sementara dari hasil estimasi juga diketahui bahwa untuk meningkatkan PDRB diperlukan belanja daerah dan investasi swasta yang lebih besar dimana investasi swasta dalam bentuk penanaman modal berperan dalam pembangunan infrastruktur jalan aspal. Selain melalui penerimaan pajak daerah, kapasitas fiskal dapat juga ditingkatkan melalui bagi hasil pajak. Berdasarkan hasil estimasi model diketahui bahwa untuk meningkatkan bagi hasil pajak diperlukan pembangunan sektor-sektor non-pertanian sebagai sumber utama bagi hasil PPh. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mengalokasikan anggarannya untuk belanja-belanja nonpertanian seperti belanja perindustrian dan belanja perdagangan serta melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan penanaman modal daerah dari investor dalam dan luar negeri. Dengan demikian, untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dan bagi hasil pajak diperlukan belanja-belanja sektoral dan investasi swasta yang lebih besar. Di sisi lain, penerimaan bagi hasil pajak juga dapat ditingkatkan dengan menambah porsi daerah dari sumber-sumber bagi hasil pajak melalui merevisi UU No. 33 tahun 2004. Skenario Simulasi Berdasarkan uraian di atas maka simulasi historis untuk periode 2006-2011 dilakukan dengan meningkatkan belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, bagi hasil pajak, dan penanaman modal melalui beberapa skenario kebijakan baik tunggal maupun gabungan. Sedangkan simulasi peramalan periode 2013-2015 dilakukan melalui simulasi beberapa skenario kombinasi kebijakan. Simulasi kebijakan tunggal dan kombinasi baik historis maupun peramalan dilakukan menurut provinsi pertanian dan non-pertanian. Skenario simulasi historis untuk kebijakan tunggal terdiri dari: 1. SS1: peningkatan belanja pertanian Hasil estimasi menunjukkan peran belanja pertanian dalam meningkatkan PDRB tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan cukup besar. Namun, perubahan belanja pertanian yang lebih elastis terhadap perubahan DAU dibandingkan perubahan kapasitas fiskal menunjukkan bahwa kapasitas fiskal yang lebih besar akan meningkatkan belanja pertanian lebih kecil dibandingkan peningkatan DAU dalam jumlah yang sama. Untuk itu, maka belanja pertanian harus ditingkatkan. Dengan demikian, cukup beralasan jika peningkatan PDRB pertanian akan meningkatan pengeluaran penduduk
123
2.
3.
4.
5.
pertanian jika belanja pertanian ditingkatkan. Di sisi lain, meningkatnya PDRB pertanian akibat meningkatnya belanja pertanian akan mendorong PDRB dan potensi ekonomi penduduk sehingga mendorong penerimaan pajak daerah dan kapasitas fiskal. Skenario peningkatan belanja pertanian 50% di provinsi pertanian maupun non-pertanian berdasarkan pertimbangan trend rata-rata kenaikan belanja pertanian periode 2006-2011 yang sangat rendah yaitu hanya 11% dan 9%, sementara periode 2006-2007 mencapai 50% dan 53%. Selain itu, komposisi belanja pertanian sangat rendah yaitu hanya 3% dan 2% sehingga masih memungkinkan untuk ditingkatkan. SS2: peningkatan belanja perindustrian Hasil estimasi menunjukkan belanja perindustrian berperan meningkatkan PDRB industri khususnya industri makanan jadi. Namun, perubahan belanja perindustrian lebih elastis terhadap perubahan DAU dari pada kapasitas fiskal. Dengan alasan serupa pada skenario peningkatan belanja pertanian maka belanja perindustrian ditingkatkan 50% di provinsi pertanian dan 25% di provinsi non-pertanian. Pertimbangannya adalah trend rata-rata kenaikan belanja perindustrian di provinsi pertanian periode 2006-2011 sebesar 23%, sementara di provinsi non-pertanian periode 2010-2011 lebih stabil yaitu 43%. Alasan lainnya adalah rendahnya komposisi belanja perindustrian baik di provinsi pertanian maupun non-pertanian dengan rata-rata 0.3% sehingga masih relevan jika ditingkatkan. SS3: peningkatan belanja perdagangan Hasil estimasi menunjukkan belanja perdagangan berperan meningkatkan PDRB perdagangan. Oleh karena itu belanja perdagangan perlu ditingkatkan untuk mendorong PDRB perdagangan. Skenario peningkatan belanja perdagangan 50% di provinsi pertanian maupun non-pertanian dilakukan dengan pertimbangan kenaikannya pada periode 2006-2011 di provinsi nonpertanian 54%, sementara di provinsi pertanian lebih stabil yaitu pada tahun 2010-2011 sebesar 32%. Selain itu, komposisi belanja perdagangan juga sangat rendah dengan rata-rata 0.3% di provinsi pertanian dan 0.4% di provinsi non-pertanian sehingga masih memungkinkan untuk ditambah. SS4: peningkatan bagi hasil pajak Peningkatan bagi hasil pajak masing-masing 50% di provinsi pertanian dan non-pertanian dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari sumbersumber pendapatan dari daerah yang bersangkutan untuk dibagihasilkan terutama PPh. Pertimbangannya adalah pertumbuhan penerimaan bagi hasil pajak periode 2006-2011 sangat rendah rata-rata 1% di provinsi pertanian dan 2% di provinsi non-pertanian. Di sisi lain, penerimaan negara dari PPh Non Migas sangat besar bahkan meningkat 48% pada tahun 2012. Oleh karena itu, cukup beralasan jika bagi hasil pajak ditingkatkan dengan menambah porsi daerah dari PPh. Dengan demikian, skenario kenaikan bagi hasil pajak 50% menggambarkan kenaikan porsi daerah dari sumber PPh sesuai UU No. 33/2004 Pasal 13 dari 20% menjadi 30%. SS5: peningkatan total penanaman modal Hasil estimasi menunjukkan peran penanaman modal dalam meningkatkan pajak daerah. Peningkatan penanaman modal 90% dan 50% di provinsi pertanian dan non-pertanian dengan alasan pertumbuhan 2007-2011 lebih stabil yaitu 85% di provinsi pertanian dan 45% di provinsi non-pertanian.
124
Simulasi historis dan peramalan untuk kombinasi kebijakan mengacu pada arah dan perubahan beberapa variabel endogen utama yang menggambarkan dampak skenario kebijakan tunggal. Simulasi tersebut dilakukan untuk masingmasing provinsi pertanian dan non-pertanian. Simulasi skenario kombinasi kebijakan dilakukan secara bertahap yang diawali dengan kombinasi kebijakan peningkatan belanja-belanja pertanian, perindustrian, dan perdangan yang diikuti dengan peningkatan bagi hasil pajak dan total penanaman modal dengan mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan. Simulasi diakhiri jika diperoleh hasil optimal dengan pertimbangan skenario tersebut dapat diterapkan (applicable). Skenario simulasi historis dan peramalan untuk kebijakan kombinasi di masing-masing provinsi pertanian dan non-pertanian terdiri dari: 1. Simulasi historis 2006-2011 a. SM1: peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan b. SM2: kombinasi SM1 dan peningkatan bagi hasil pajak c. SM3: kombinasi SM2 dan peningkatan penanaman modal d. SM4: kombinasi SM3 dan pengurangan belanja lainnya 2. Simulasi peramalan 2013-2015 a. SM1: peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan b. SM2: kombinasi SM1 dan peningkatan bagi hasil pajak c. SM3: kombinasi SM2 dan peningkatan penanaman modal Simulasi Historis 2006-2011 Simulasi Peningkatan Belanja Pertanian Simulasi peningkatan belanja pertanian 50% dilakukan dengan beberapa pertimbangan berdasarkan hasil analisis profil fiskal daerah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: (1) belanja pertanian di provinsi pertanian dan nonpertanian tahun 2006-2011 rata-rata naik 11.2% dan 9.1% per tahun, sedangkan tahun 2006-2007 cukup besar masing-masing 49.7% dan 52.6%. Kenaikan yang cukup besar ini menjadi alasan bahwa pemerintah daerah sesungguhnya mampu meningkatkan belanja pertaniannya; (2) komposisi belanja pertanian sangat kecil masing-masing 3.2% di provinsi pertanian dan 2.1% di provinsi non-pertanian, sehingga masih relevan untuk ditingkatkan; dan (3) ada fenomena flypaper effect pada DAU untuk belanja pertanian sementara peran kapasitas fiskal lebih rendah, sehingga untuk mengatasi rendahnya peran kapasitas fiskal dalam membiayai pembangunan pertanian maka pemerintah daerah dapat mengintervensinya dengan meningkatkan belanja pertanian. Hasil simulasi historis di provinsi pertanian pada Tabel 37 menunjukkan ekspansi belanja pertanian 50% meningkatkan PDRB pertanian 28.7% sehingga total PDRB meningkat 6.9%. Tetapi, kenaikan PDRB menurunkan DAU 0.8% sehingga belanja perindustrian dan belanja perdagangan turun 0.7% dan 0.5 karena hasil estimasi menunjukkan keduanya lebih bergantung pada DAU dari pada kapasitas fiskal. Akibatnya, PDRB industri dan PDRB perdagangan turun masing-masing 0.4% dan 0.3%. Namun, total PDRB yang meningkat 6.9% menyebabkan PDRB per kapita naik yang menunjukkan ada peningkatan potensi ekonomi penduduk sehingga berdampak meningkatkan PAD 0.9%.
125
Tabel 37 Dampak Peningkatan Belanja Pertanian1 terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 Nilai Dasar Non Pertanian Pertanian Blok Fiskal 1. PAD Juta Rp 1 024 054 3 477 112 2. Bagi hasil pajak Juta Rp 688 243 1 424 821 3. Kapasitas fiskal Juta Rp 2 103 080 7 138 562 4. Dana alokasi umum Juta Rp 4 981 834 6 932 979 5. Total pendapatan Juta Rp 8 716 324 16 310 871 6. Belanja pertanian Juta Rp 240 966 343 362 7. Belanja perindustrian Juta Rp 26 790 46 755 8. Belanja perdagangan Juta Rp 30 777 60 091 9. Belanja infrastruktur Juta Rp 1 177 511 2 206 496 10. Belanja lainnya Juta Rp 6 736 788 12 523 590 11. Total belanja Juta Rp 8 394 643 15 372 310 12. Kesenjangan fiskal Juta Rp 6 291 562 8 233 749 2 11.7 21.3 13. Kemandirian fiskal % Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian Juta Rp 15 286 919 32 598 079 15. PDRB industri Juta Rp 9 726 946 68 907 971 16. PDRB perdagangan Juta Rp 12 034 913 37 758 339 17. PDRB total Juta Rp 62 210 040 215 490 000 26.6 17.2 18. Share PDRB pertanian2 % 2 14.4 27.6 19. Share PDRB industri % 17.3 15.6 20. Share PDRB perdagangan2 % 21. Jumlah tenaga kerja Ribu org 2 202 5 890 22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp 283 290 23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp 346 424 24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp 432 481 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini3 0.340 0.344 2 26. Headcount index pertanian % 16.27 21.10 2 13.54 12.19 27. Headcount index industri % 8.54 8.60 28. Headcount index perrdagangan2 % 3 2.42 3.37 29. Poverty gap index pertanian 0.62 0.91 30. Poverty severity index pertanian3 2 12.72 14.53 31. Headcount index total % 59.0 46.0 32. Proporsi pddk miskin pertanian2 % 4 387 894 33. Pddk miskin pertanian Ribu org 31 144 34. Pddk miskin industri4 Ribu org 4 46 161 35. Pddk miskin perdagangan Ribu org 656 1 943 36. Penduduk miskin total4 Ribu org Varibel Endogen
Satuan
Perubahan (%) Non Pertanian Pertanian 0.9 -0.1 0.4 -0.8 -0.4 50.0 -0.7 -0.5 0.0 -0.4 1.5 1.9 -0.1
0.1 0.0 0.1 -0.6 -0.2 50.0 -0.4 -0.3 0.0 -0.2 0.8 1.4 -0.1
28.7 -0.4 -0.3 6.9 5.7 -1.3 -1.1 4.1 2.3 0.0 0.0
12.8 -0.1 -0.1 1.9 1.6 -0.2 -0.1 1.7 1.1 0.0 0.0
-0.007 -1.51 -0.29 -0.30 -0.26 -0.07 -0.84 -1.7 -35.9 -0.7 -1.6 -43.2
-0.002 -0.68 -0.08 -0.08 -0.12 -0.03 -0.35 -0.4 -28.7 -1.0 -1.6 -47.1
Catatan: 1Skenario SS1: belanja pertanian naik 50% 2 Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin; 4Perubahan dalam satuan jumlah
126
Di sisi lain, turunnya PDRB industri dan PDRB perdagangan menyebabkan penerimaan bagi hasil pajak turun 0.1%. Namun, kapasitas fiskal tetap naik 0.4% karena meningkatnya PAD. Kenaikan PDRB berdampak pada penyerapan total tenaga kerja yang meningkat 4.1%. Sampai sejauh ini, meningkatnya kapasitas fiskal karena alokasi anggaran belanja pertanian yang ditambah 50% berdampak positif pada kinerja perekonomian daerah terutama di sektor pertanian. PDRB pertanian yang lebih besar menyebabkan perbaikan upah riil pertanian sehingga pengeluaran per kapita pertanian meningkat 2.3%. PDRB pertanian yang lebih besar juga meningkatkan share PDRB pertanian 5.7 persen poin sehingga Indeks Gini turun 0.007 poin. Pengeluaran per kapita pertanian yang lebih besar dan Indeks Gini yang lebih rendah berdampak menurunkan headcount index, poverty gap index, dan poverty severity index pertanian masing-masing 1.51 persen poin, 0.3 persen poin, dan 0.1 persen poin. Jumlah penduduk miskin juga berkurang 43 ribu orang terutama penduduk miskin pertanian yang berkurang 36 ribu orang. Besarnya penurunan jumlah penduduk miskin pertanian menyebabkan proporsi penduduk miskin pertanian turun 1.7 persen poin. Dengan demikian, peningkatan belanja pertanian 50% di provinsi pertanian berdampak meningkatkan kapasitas fiskal 0.4% sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi 6.9%, menurunkan Indeks Gini 0.007 poin, dan menurunkan total headcount index 0.84 persen poin. Selain itu, proporsi penduduk miskin pertanian turun 1.7 persen poin. Sedangkan, data statistik menunjukkan proporsi penduduk miskin pertanian di provinsi penelitian yang tergolong provinsi pertanian tahun 2006-2011 berfluktuasi dengan rata-rata meningkat dari 62.2% menjadi 64.5%. Tidak berbeda dengan provinsi pertanian, hasil simulasi peningkatan belanja pertanian di provinsi non-pertanian 50% menunjukkan arah perubahan yang sama tetapi besarannya lebih kecil. Ini berarti peningkatan belanja pertanian dengan proporsi yang sama memberi dampak lebih besar di provinsi pertanian. Namun, hal ini dapat juga menjadi indikasi bahwa meskipun struktur ekonomi provinsi non-pertanian tidak didominasi sektor pertanian tetapi pembangunan pertanian merupakan hal penting yang perlu dilakukan pemerintah daerah mengingat jumlah penduduk miskin pertanian di provinsi non-pertanian secara rata-rata lebih banyak dibandingkan provinsi pertanian. Nilai dasar pada Tabel 37 menunjukkan jumlah penduduk miskin pertanian di provinsi non-pertanian rata-rata 894 ribu orang per tahun, sementara di provinsi pertanian 387 ribu orang per tahun. Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat disimpulkan peningkatan belanja pertanian sebesar 50% berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, industri, dan perdagangan, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, menurunkan ketimpangan pendapatan, dan menurunkan kemiskinan ketiga sektor tersebut terutama sektor pertanian. Dengan demikian, implikasinya adalah untuk mewujudkan pertumbuhan pro-poor yaitu pertumbuhan ekonomi yang disertai tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang lebih rendah, pemerintah daerah harus memprioritaskan pengentasan kemiskinan penduduk pertanian dengan menggiatkan pembangunan pertanian melalui alokasi belanja pertanian yang lebih besar. Jika dikaitkan dengan temuan hasil estimasi model terkait faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi anggaran belanja daerah, maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting untuk meningkatkan belanja pertanian. Program dan hasil simulasi historis peningkatan belanja pertanian di provinsi pertanian dan non-pertanian disajikan secara lengkap pada Lampiran 8 – 11.
127
Simulasi Peningkatan Belanja Perindustrian Simulasi peningkatan belanja perindustrian 25% di provinsi pertanian dan 50% di provinsi non-pertanian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan yang mengacu pada analisis profil fiskal daerah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: (1) kenaikan belanja perindustrian di provinsi pertanian tahun 2006-2011 rata-rata 23% per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian sangat besar mencapai rata-rata 413% per tahun akibat tingginya kenaikan di tahun 2007 yang mencapai 2000% sementara tahun 2011 hanya 43%. Dengan alasan tersebut maka cukup relevan jika belanja perindustrian ditingkatkan 25% di provinsi pertanian dan 50% di provinsi non-pertanian; (2) komposisi belanja perindustrian periode 2006-2011 sangat kecil dengan rata-rata 0.3% per tahun baik di provinsi pertanian maupun non-pertanian, sehingga masih relevan untuk ditingkatkan; dan (3) hasil estimasi menunjukkan ada fenomena flypaper effect DAU untuk belanja perindustrian sehingga untuk mengatasi peran kapasitas fiskal yang rendah dalam membiayai pembangunan industri maka pemerintah daerah dapat mengintervensi dengan meningkatkan belanja tersebut. Berdasarkan hasil simulasi pada Tabel 38, peningkatan belanja perindustrian 25% di provinsi pertanian meningkatkan PDRB industri 22.6% sehingga total PDRB naik atau ekonomi tumbuh 3.5%. Tetapi, konsekuensi meningkatnya PDRB adalah berkurangnya DAU 0.4%. Namun, kenaikan PDRB juga berdampak meningkatkan penyerapan total tenaga kerja tetapi hanya 0.6% karena penyerapan tenaga kerja baru hanya terjadi di sektor industri dengan jumlah tenaga kerja yang relatif kecil. Selain itu, meningkatnya PDRB juga meningkatkan PDRB per kapita yang berarti ada perbaikan potensi ekonomi penduduk. Berdasarkan hasil estimasi model diketahui pajak daerah dipengaruhi PDRB per kapita sehingga kenaikan PDRB per kapita menyebabkan PAD tumbuh 0.4%. Demikian juga, kenaikan PDRB industri meningkatkan PDRB non-pertanian sehingga bagi hasil pajak yang dipengaruhi oleh PDRB non-pertanian meningkat 1.8%. Selanjutnya, kenaikan PAD dan bagi hasil pajak meningkatkan kapasitas fiskal 0.8%. Meningkatnya PDRB industri meningkatkan pengeluaran per kapita industri 1.8%. Di sisi lain, kenaikan PDRB industri meningkatkan share pada total PDRB 1.8 persen poin. Mengacu pada hasil estimasi dimana share PDRB industri yang lebih besar akan menurunkan Indeks Gini maka kenaikan share PDRB industri menurunkan Indeks Gini 0.001 poin yang berarti ada perbaikan distribusi pendapatan. Selanjutnya pengeluaran per kapita industri yang lebih besar bersama-sama Indeks Gini yang lebih rendah berdampak menurunkan headcount index industri 0.44 persen poin. Indeks Gini yang lebih rendah juga menurunkan headcount index pertanian dan headcount index perdagangan masing-masing 0.07 persen poin dan 0.05 persen poin walaupun pengeluaran per kapita di kedua sektor tersebut tidak berubah. Akan tetapi, turunnya headcount index pertanian tidak mengurangi proporsi penduduk miskin pertanian. Tidak berbeda dengan provinsi pertanian, peningkatan belanja perindustrian di provinsi non-pertanian menunjukkan arah perubahan sama tetapi besarannya lebih kecil kecuali kenaikan jumlah tenaga kerja yang lebih besar. Perubahan di provinsi non-pertanian yang lebih rendah mengindikasikan perlunya peningkatan belanja perindustrian lebih besar karena jumlah penduduk miskin industri lebih banyak yaitu rata-rata 144 ribu sedangkan di provinsi pertanian hanya 31 ribu.
128
Tabel 38 Dampak Peningkatan Belanja Perindustrian1 terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 Varibel Endogen
1. PAD 2. Bagi hasil pajak 3. Kapasitas fiskal 4. Dana alokasi umum 5. Total pendapatan 6. Belanja pertanian 7. Belanja perindustrian 8. Belanja perdagangan 9. Belanja infrastruktur 10. Belanja lainnya 11. Total belanja 12. Kesenjangan fiskal 13. Kemandirian fiskal2 14. PDRB pertanian 15. PDRB industri 16. PDRB perdagangan 17. PDRB total 18. Share PDRB pertanian2 19. Share PDRB industri2 20. Share PDRB perdagangan2 21. Jumlah tenaga kerja 22. Pengeluaran pddk pertanian 23. Pengeluaran pddk industri 24. Pengeluaran pddk perdagangan 25. Indeks Gini3 26. Headcount index pertanian2 27. Headcount index industri2 28. Headcount index perrdagangan2 29. Poverty gap index pertanian3 30. Poverty severity index pertanian3 31. Headcount index total2 32. Proporsi pddk miskin pertanian2 33. Pddk miskin pertanian4 34. Pddk miskin industri4 35. Pddk miskin perdagangan4 36. Penduduk miskin total4
Nilai Dasar Non Pertanian Pertanian Blok Fiskal Juta Rp 1 024 054 3 477 112 Juta Rp 688 243 1 424 821 Juta Rp 2 103 080 7 138 562 Juta Rp 4 981 834 6 932 979 Juta Rp 8 716 324 16 310 871 Juta Rp 240 966 343 362 Juta Rp 26 790 46 755 Juta Rp 30 777 60 091 Juta Rp 1 177 511 2 206 496 Juta Rp 6 736 788 12 523 590 Juta Rp 8 394 643 15 372 310 Juta Rp 6 291 562 8 233 749 11.7 21.3 % Blok Perekonomian Sektoral Juta Rp 15 286 919 32 598 079 Juta Rp 9 726 946 68 907 971 Juta Rp 12 034 913 37 758 339 Juta Rp 62 210 040 215 490 000 26.6 17.2 % 14.4 27.6 % 17.3 15.6 % Ribu org 2 202 5 890 Ribu Rp 283 290 Ribu Rp 346 424 Ribu Rp 432 481 Blok Kemiskinan Sektoral 0.340 0.344 % 16.27 21.10 13.54 12.19 % 8.54 8.60 % 2.42 3.37 Satuan
% % Ribu org Ribu org Ribu org Ribu org
Perubahan (%) Non Pertanian Pertanian 0.4 1.8 0.8 -0.4 -0.1 0.0 25.0 -0.1 0.2 -0.1 0.1 -0.2 0.0
0.1 1.8 0.4 -0.5 0.0 0.0 50.0 -0.1 0.2 -0.1 0.1 -0.2 0.0
0.0 22.6 0.0 3.5 -0.6 1.8 -0.4 0.6 0.0 1.8 0.0
0.0 6.7 0.0 2.1 -0.4 1.5 -0.3 6.7 0.0 1.8 0.0
-0.001 -0.07 -0.44 -0.05 -0.01
-0.001 -0.05 -0.49 -0.04 -0.01
0.62
0.91
0.00
0.00
12.72 59.0 387 31 46 656
14.53 46.0 894 144 161 1 943
-0.17 0.6 -1.6 -1.0 -0.3 -8.9
-0.18 0.5 -2.1 -5.8 -0.7 -24.1
Catatan: 1Skenario SS2: belanja perindustrian provinsi pertanian naik 25%, provinsi non-pertanian naik 50% 2 Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin; 4Perubahan dalam satuan jumlah
129
Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan belanja perindustrian berdampak positif pada perekonomian dan kemiskinan karena mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menurunkan tingkat kemiskinan. Namun, kebijakan ini berdampak lebih memihak penduduk miskin industri yang jumlahnya lebih kecil dibandingkan penduduk miskin pertanian dan perdagangan. Laju penurunan headcount index pertanian yang lambat meningkatkan proporsi penduduk miskin pertanian meskipun jumlah penduduk miskin di sektor tersebut berkurang. Dengan perkataan lain, kebijakan peningkatan belanja perindustrian berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi tetapi tidak mampu mengatasi permasalahan kemiskinan mendasar yaitu tingginya proporsi penduduk miskin di sektor pertanian. Implikasinya adalah agar pertumbuhan ekonomi sebagai dampak belanja pertanian yang lebih besar dapat memihak mayoritas penduduk miskin maka perlu kebijakan lain salah satunya adalah meningkatkan belanja pertanian. Simulasi Peningkatan Belanja Perdagangan Simulasi peningkatan belanja perdagangan 50% di provinsi pertanian dan non-pertanian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu: (1) kenaikan belanja perdagangan di provinsi pertanian tahun 2006-2011 cukup tinggi rata-rata 180% per tahun terutama di tahun 2007 yang mencapai hampir 900%, sedangkan tahun 2011 hanya 32%. Sementara itu, kenaikan belanja perdagangan tahun 20062011 di provinsi non-pertanian rata-rata 54% per tahun. Selain itu, hasil estimasi menunjukkan tingginya share PDRB perdagangan akan meningkatkan Indeks Gini sehingga berdampak buruk pada kemiskinan. Dengan demikian, cukup relevan jika belanja perdagangan ditingkatkan 50%; (2) komposisi belanja perdagangan tahun 2006-2011 sangat kecil masing-masing 0.3% di provinsi pertanian dan 0.4% di provinsi non-pertanian; dan (3) hasil estimasi menemukan fenomena flypaper effect pada DAU untuk belanja perdagangan sehingga pemerintah daerah perlu mengintervensinya dengan meningkatkan belanja tersebut untuk mengatasi rendahnya peran kapasitas fiskal. Hasil simulasi pada Tabel 39 menunjukkan dampak pada kenaikan PDRB perdagangan 23.4% sehingga total PDRB naik 4.5%. Namun, kenaikan PDRB menurunkan DAU 0.5%. Kenaikan PDRB juga meningkatkan jumlah tenaga kerja 2.1% dan meningkatkan PDRB per kapita sehingga PAD naik 0.7%. Sementara itu, meningkatnya PDRB perdagangan menyebabkan kenaikan bagi hasil pajak 2.3%. Kenaikan PAD dan bagi hasil pajak meningkatkan kapasitas fiskal 1.1%. Sejauh ini, meningkatnya kapasitas fiskal sebagai dampak belanja perdagangan yang lebih besar memberi dampak positif pada kinerja perekonomian daerah terutama sektor perdagangan. Naiknya PDRB perdagangan meningkatkan share PDRB perdagangan 3.5 persen poin, sedangkan share PDRB pertanian dan industri turun 1.2 persen poin dan 0.5 persen poin. Share PDRB perdagangan yang lebih besar disertai berdampak meningkatkan Indeks Gini 0.004 poin. Naiknya PDRB perdagangan juga meningkatkan pengeluaran per kapita perdagangan sebesar 4.8% sehingga headcount index perdagangan turun 0.79 persen poin meskipun Indeks Gini meningkat. Hal ini dapat terjadi karena perubahan headcount index perdagangan lebih responsif terhadap perubahan
130
Tabel 39 Dampak Peningkatan Belanja Perdagangan1 terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 Nilai Dasar Varibel Endogen
1. PAD 2. Bagi hasil pajak 3. Kapasitas fiskal 4. Dana alokasi umum 5. Total pendapatan 6. Belanja pertanian 7. Belanja perindustrian 8. Belanja perdagangan 9. Belanja infrastruktur 10. Belanja lainnya 11. Total belanja 12. Kesenjangan fiskal 13. Kemandirian fiskal2 14. PDRB pertanian 15. PDRB industri 16. PDRB perdagangan 17. PDRB total 18. Share PDRB pertanian2 19. Share PDRB industri2 20. Share PDRB perdagangan2 21. Jumlah tenaga kerja 22. Pengeluaran pddk pertanian 23. Pengeluaran pddk industri 24. Pengeluaran pddk perdagangan 25. Indeks Gini3 26. Headcount index pertanian2 27. Headcount index industri2 28. Headcount index perrdagangan2 29. Poverty gap index pertanian3 30. Poverty severity index pertanian3 31. Headcount index total2 32. Proporsi pddk miskin pertanian2 33. Pddk miskin pertanian4 34. Pddk miskin industri4 35. Pddk miskin perdagangan4 36. Penduduk miskin total4
Satuan
Pertanian
Non Pertanian
Blok Fiskal Juta Rp 1 024 054 3 477 112 Juta Rp 688 243 1 424 821 Juta Rp 2 103 080 7 138 562 Juta Rp 4 981 834 6 932 979 Juta Rp 8 716 324 16 310 871 Juta Rp 240 966 343 362 Juta Rp 26 790 46 755 Juta Rp 30 777 60 091 Juta Rp 1 177 511 2 206 496 Juta Rp 6 736 788 12 523 590 Juta Rp 8 394 643 15 372 310 Juta Rp 6 291 562 8 233 749 11.7 21.3 % Blok Perekonomian Sektoral Juta Rp 15 286 919 32 598 079 Juta Rp 9 726 946 68 907 971 Juta Rp 12 034 913 37 758 339 Juta Rp 62 210 040 215 490 000 26.6 17.2 % 14.4 27.6 % 17.3 15.6 % Ribu org 2 202 5 890 Ribu Rp 283 290 Ribu Rp 346 424 Ribu Rp 432 481 Blok Kemiskinan Sektoral 0.340 0.344 % 16.27 21.10 13.54 12.19 % 8.54 8.60 % 2.42 3.37 0.62 0.91 12.72 14.53 % 59.0 46.0 % 387 894 Ribu org 31 144 Ribu org 46 161 Ribu org 656 1 943 Ribu org
Perubahan (%) Non Pertanian Pertanian 0.7 2.3 1.1 -0.5 0.0 0.0 -0.3 50.0 0.2 -0.1 0.1 -0.3 0.1
0.3 1.9 0.5 -0.7 0.0 0.0 -0.3 50.0 0.2 -0.1 0.1 -0.2 0.1
0.0 -0.2 23.4 4.5 -1.2 -0.5 3.5 2.1 0.0 0.0 4.8
0.0 0.0 12.9 2.2 -1.0 -0.5 4.1 1.4 0.0 0.0 6.3
0.004 0.26 0.19 -0.79 0.04 0.01 0.03 0.8 6.2 0.4 -4.2 1.6
0.005 0.27 0.20 -1.22 0.04 0.01 -0.04 0.7 11.5 2.3 -23.0 -5.6
Catatan: 1Skenario SS3: belanja perdagangan naik 50% 2 Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin; 4Perubahan dalam satuan jumlah
131
pengeluaran per kapita dari pada perubahan Indeks Gini sesuai hasil estimasi. Namun, Indeks Gini yang lebih besar meningkatkan headcount index pertanian dan perdagangan masing-masing 0.26 dan 0.19 persen poin. Meningkatnya headcount index pertanian yang cukup besar menyebabkan total headcount index meningkat 0.03 persen poin sehingga jumlah penduduk miskin bertambah sekitar 1600 orang. Tidak berbeda dengan provinsi pertanian, peningkatan belanja perdagangan di provinsi non-pertanian sebesar 50% menunjukkan arah perubahan yang sama tetapi besaran perubahan variabel-variabel fiskal lebih kecil. Share PDRB perdagangan lebih besar sehingga Indeks Gini meningkat. Kenaikan Indeks Gini berdampak meningkatkan headcount index pertanian dan headcount index industri lebih besar dibandingkan peningkatannya di provinsi pertanian. Namun, berkurangnya headcount index perdagangan yang lebih besar menyebabkan jumlah penduduk miskin perdagangan berkurang lebih banyak sehingga total penduduk miskin berkurang sekitar 5600 orang. Kesimpulannya adalah ekspansi belanja perdagangan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi daerah dan penyerapan tenaga kerja. Namun dampak negatifnya adalah ketimpangan pendapatan meningkat menunjukkan peningkatan belanja perdagangan tidak dapat menyelesaikan permasalahan utama kemiskinan di sektor pertanian. Implikasinya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan menggiatkan pembangunan perdagangan diikuti kebijakan-kebijakan lain untuk menggiatkan pembangunan pertanian dan industri yang berdampak besar dalam menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan melalui kemampuan penerimaan kapasitas fiskal yang lebih besar. Simulasi Peningkatan Porsi Bagi Hasil Pajak Simulasi peningkatan bagi hasil pajak 50% di provinsi pertanian maupun non-pertanian merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan menambah porsi daerah dari bagi hasil PPh. Beberapa pertimbangannya adalah: (1) rata-rata kenaikan bagi hasil pajak sangat rendah masing-masing 1% dan 2% di provinsi pertanian dan non-pertanian. Bahkan, penerimaan bagi hasil pajak tahun 2011 turun masing-masing 9% dan 16%. Padahal, data keuangan negara pada APBN menunjukkan bahwa penerimaan negara dari PPh Non Migas tahun 2001 secara nominal naik 24%. Oleh karena itu, cukup beralasan menambah porsi bagi hasil PPh dari 20% sesuai UU No. 33 tahun 2004 Pasal 13 menjadi 30% yang berarti bagi hasil pajak ditingkatkan 50%; (2) komposisi bagi hasil pajak pada kapasitas fiskal tahun 2006-2011 lebih besar dibandingkan bagi hasil sumber daya alam masing-masing 31% di provinsi pertanian dan 24% di provinsi non-pertanian sehingga cukup relevan jika bagi hasil pajak ditingkatkan untuk menambah kapasitas fiskal; dan (3) hasil estimasi model menunjukkan peran kapasitas fiskal lebih rendah pada belanja-belanja sektoral sehingga perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan keuangan daerah pada DAU, salah satunya dengan meningkatkan penerimaan daerah dari bagi hasil pajak. Hasil simulasi pada Tabel 40 menunjukkan kenaikan bagi hasil pajak 50% di provinsi pertanian meningkatkan kapasitas fiskal 9.7% sehingga menambah kemampuan keuangan daerah membiayai belanja-belanja daerah dimana belanja pertanian naik 1.2%, belanja perindustrian naik 1.4%, belanja perdagangan naik 2.6%, dan belanja infrastruktur naik 3.0%. Hal ini meningkatkan PDRB sektoral
132
Tabel 40 Dampak Peningkatan Porsi Bagi Hasil Pajak1 terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 Varibel Endogen
1. PAD 2. Bagi hasil pajak 3. Kapasitas fiskal 4. Dana alokasi umum 5. Total pendapatan 6. Belanja pertanian 7. Belanja perindustrian 8. Belanja perdagangan 9. Belanja infrastruktur 10. Belanja lainnya 11. Total belanja 12. Kesenjangan fiskal 13. Kemandirian fiskal2 14. PDRB pertanian 15. PDRB industri 16. PDRB perdagangan 17. PDRB total 18. Share PDRB pertanian2 19. Share PDRB industri2 20. Share PDRB perdagangan2 21. Jumlah tenaga kerja 22. Pengeluaran pddk pertanian 23. Pengeluaran pddk industri 24. Pengeluaran pddk perdagangan 25. Indeks Gini3 26. Headcount index pertanian2 27. Headcount index industri2 28. Headcount index perrdagangan2 29. Poverty gap index pertanian3 30. Poverty severity index pertanian3 31. Headcount index total2 32. Proporsi pddk miskin pertanian2 33. Pddk miskin pertanian4 34. Pddk miskin industri4 35. Pddk miskin perdagangan4 36. Penduduk miskin total4
Nilai Dasar Non Pertanian Pertanian Blok Fiskal Juta Rp 1 024 054 3 477 112 Juta Rp 688 243 1 424 821 Juta Rp 2 103 080 7 138 562 Juta Rp 4 981 834 6 932 979 Juta Rp 8 716 324 16 310 871 Juta Rp 240 966 343 362 Juta Rp 26 790 46 755 Juta Rp 30 777 60 091 Juta Rp 1 177 511 2 206 496 Juta Rp 6 736 788 12 523 590 Juta Rp 8 394 643 15 372 310 Juta Rp 6 291 562 8 233 749 11.7 21.3 % Blok Perekonomian Sektoral Juta Rp 15 286 919 32 598 079 Juta Rp 9 726 946 68 907 971 Juta Rp 12 034 913 37 758 339 Juta Rp 62 210 040 215 490 000 26.6 17.2 % 14.4 27.6 % 17.3 15.6 % Ribu org 2 202 5 890 Ribu Rp 283 290 Ribu Rp 346 424 Ribu Rp 432 481 Blok Kemiskinan Sektoral 0.340 0.344 % 16.27 21.10 13.54 12.19 % 8.54 8.60 % 2.42 3.37 Satuan
% % Ribu org Ribu org Ribu org Ribu org
Perubahan (%) Non Pertanian Pertanian 0.1 50.0 9.7 -0.1 2.3 1.2 1.4 2.6 3.0 1.4 1.6 -1.1 -0.2
0.1 50.0 13.4 -0.3 5.8 3.8 3.6 6.1 7.5 3.5 4.0 -4.1 -0.8
0.8 0.8 1.8 0.7 0.0 0.0 0.2 0.5 0.04 0.06 0.23
1.8 0.5 2.6 0.9 0.1 -0.2 0.6 0.9 0.2 0.2 1.2
0.000 -0.01 0.00 -0.04 0.00
0.000 -0.08 -0.03 -0.26 -0.02
0.62
0.91
0.00
0.00
12.72 59.0 387 31 46 656
14.53 46.0 894 144 161 1 943
-0.01 0.0 -0.2 0.0 -0.2 -0.6
-0.09 0.1 -3.2 -0.3 -4.9 -12.3
Catatan: 1Skenario SS4: bagi hasil pajak naik 50% diperoleh dari kenaikan porsi PPh dari 20% menjadi 30% 2 Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin; 4Perubahan dalam satuan jumlah
133
terutama perdagangan 1.8% sehingga total PDRB meningkat 0.7%. Kenaikan PDRB menurunkan penerimaan DAU 0.1% namun menyerap tenaga kerja baru 0.5% . Meningkatnya PDRB sektoral juga berdampak meningkatkan upah riil sehingga pengeluaran per kapita sektoral meningkat terutama sektor perdagangan. Namun, kenaikan belanja pertanian dan perindustrian hanya memberi efek yanga cukup kecil pada sektor pertanian dan industri dimana PDRB pertanian dan PDRB industri hanya meningkat masing-masing 0.8%. Hal ini menyebakan kedua sektor tersebut tidak mampu meningkatkan sharenya pada PDRB sehingga Indeks Gini tidak berubah atau ketimpangan pendapatan tidak berkurang. Kenaikan pengeluaran per kapita sektoral yang relatif kecil tanpa adanya penurunan Indeks Gini hanya menurunkan headcount index pertanian 0.01 persen poin sehingga proporsi penduduk miskin pertanian tidak berkurang. Peningkatan bagi hasil pajak 50% di provinsi non-pertanian menunjukkan arah perubahan yang sama dengan provinsi pertanian tetapi nilainya lebih besar. Kapasitas fiskal yang meningkat lebih besar yaitu 13.4% menambah kemampuan keuangan daerah sehingga kenaikan belanja sektoral lebih besar yang selanjutnya berdampak meningkatkan PDRB sektoral lebih tinggi. Kenaikan PDRB sektoral yang lebih besar berdampak menurunkan headcount index sektoral lebih besar meskipun Indeks Gini tetap. Perubahan variabel kemiskinan yang lebih rendah di provinsi pertanian dapat menjadi indikasi bahwa penurunan kemiskinan sebagai dampak meningkatnya kapasitas fiskal memerlukan porsi bagi hasil pajak yang lebih besar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan peningkatan bagi hasil pajak dari porsi bagi hasil PPh daerah berdampak menurunkan headcount index sektoral melalui efek meningkatnya pengeluaran per kapita sektoral karena meningkatnya PDRB sektoral. Namun, kebijakan tersebut tidak menurunkan ketimpangan pendapatan. Meskipun perekonomian sektoral meningkat, tetapi dampak kebijakan ini lebih memihak sektor perdagangan dimana perubahan pada belanja perdagangan, PDRB perdagangan, dan headcount index perdagangan lebih besar dibandingkan perubahannya di sektor pertanian dan industri. Temuan ini memberi implikasi bahwa untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah maka pemerintah pusat dapat menambah porsi bagi hasil PPh daerah. Namun agar pertumbuhan ekonomi tersebut dapat berdampak menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan diperlukan kebijakan lain salah satunya meningkatkan belanja pertanian karena berdampak paling besar dalam menurunkan kemiskinan yang memihak penduduk miskin pertanian. Simulasi Peningkatan Penanaman Modal Simulasi peningkatan total penanaman modal 90% di provinsi pertanian dan 50% di provinsi non-pertanian dilakukan berdasarkan pertimbangan: (1) tingginya rata-rata pertumbuhan penanaman modal tahun 2006-2011 di provinsi pertanian yang mencapai 568% per tahun teruma tahun 2007 dan 2010. Sementara itu, pertumbuhan tahun 2007-2011 lebih konsisten yaitu 85% di provinsi pertanian, sedangkan di provinsi non-pertanian sekitar 45%. Oleh karena itu, cukup beralasan jika penanaman modal ditingkatkan 90% di provinsi pertanian dan 50% di provinsi non-pertanian; (2) hasil estimasi model menunjukkan total penanaman modal mempengaruhi penerimaan pajak daerah dan belanja infrastruktur untuk pembangunan jalan aspal sebagai faktor penting bagi perekonomian daerah.
134
Tabel 41 Dampak Peningkatan Penanaman Modal1 terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 Nilai Dasar Varibel Endogen 5
Penanaman Modal
1. PAD 2. Bagi hasil pajak 3. Kapasitas fiskal 4. Dana alokasi umum 5. Total pendapatan 6. Belanja pertanian 7. Belanja perindustrian 8. Belanja perdagangan 9. Belanja infrastruktur 10. Belanja lainnya 11. Total belanja 12. Kesenjangan fiskal 13. Kemandirian fiskal2 14. PDRB pertanian 15. PDRB industri 16. PDRB perdagangan 17. PDRB total 18. Share PDRB pertanian2 19. Share PDRB industri2 20. Share PDRB perdagangan2 21. Jumlah tenaga kerja 22. Pengeluaran pddk pertanian 23. Pengeluaran pddk industri 24. Pengeluaran pddk perdagangan 25. Indeks Gini3 26. Headcount index pertanian2 27. Headcount index industri2 28. Headcount index perrdagangan2 29. Poverty gap index pertanian3 30. Poverty severity index pertanian3 31. Headcount index total2 32. Proporsi pddk miskin pertanian2 33. Pddk miskin pertanian4 34. Pddk miskin industri4 35. Pddk miskin perdagangan4 36. Penduduk miskin total4
Satuan
Pertanian
Non Pertanian 6 446 996
Juta Rp 1 424 365 Blok Fiskal Juta Rp 1 024 054 3 477 112 Juta Rp 688 243 1 424 821 Juta Rp 2 103 080 7 138 562 Juta Rp 4 981 834 6 932 979 Juta Rp 8 716 324 16 310 871 Juta Rp 240 966 343 362 Juta Rp 26 790 46 755 Juta Rp 30 777 60 091 Juta Rp 1 177 511 2 206 496 Juta Rp 6 736 788 12 523 590 Juta Rp 8 394 643 15 372 310 Juta Rp 6 291 562 8 233 749 11.7 21.3 % Blok Perekonomian Sektoral Juta Rp 15 286 919 32 598 079 Juta Rp 9 726 946 68 907 971 Juta Rp 12 034 913 37 758 339 Juta Rp 62 210 040 215 490 000 26.6 17.2 % 14.4 27.6 % 17.3 15.6 % Ribu org 2 202 5 890 Ribu Rp 283 290 Ribu Rp 346 424 Ribu Rp 432 481 Blok Kemiskinan Sektoral 0.340 0.344 % 16.27 21.10 13.54 12.19 % 8.54 8.60 % 2.42 3.37 0.62 0.91 12.72 14.53 % 59.0 46.0 % 387 894 Ribu org Ribu org 31 144 Ribu org 46 161 Ribu org 656 1 943
Perubahan (%) Non Pertanian Pertanian 90.0 50.0 11.7 0.7 5.9 -0.2 1.3 0.5 0.5 1.2 1.4 0.5 0.6 -1.1 1.3
9.9 1.0 5.0 -0.4 2.0 1.1 0.8 1.8 2.3 0.9 1.1 -2.4 1.7
2.8 0.5 7.4 2.2 0.1 -0.2 0.9 2.8 0.2 0.0 1.0
3.5 0.2 6.3 1.7 0.3 -0.5 0.8 2.9 0.2 0.0 1.0
0.001 -0.05 0.02 -0.17 -0.01 0.00 -0.05 0.1 -1.2 0.0 -0.9 -2.5
0.001 -0.06 0.02 -0.20 -0.01 0.00 -0.06 0.1 -2.5 0.2 -3.7 -7.8
Catatan: 1Skenario SS5: penanaman modal provinsi pertanian naik 90%, provinsi non-pertanian naik 50% 2 Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin; 4Perubahan dalam satuan jumlah; 5Eksogen
135
Hasil simulasi pada Tabel 41 menunjukkan peningkatan total penanaman modal di provinsi pertanian sebesar 90% berdampak meningkatkan kapasitas fiskal 5.9%. Mekanismenya terjadi melalui peningkatan pajak daerah dan PDRB sebagai meningkatnya panjang jalan aspal. Pembangunan infrastruktur jalan aspal membutuhkan pembiayaan dari swasta sehingga meningkatnya penanaman modal akan menggiatkan pembangunan jalan aspal yang berdampak pada pertumbuhan PDRB sehingga pajak daerah dan bagi hasil pajak sebagai sumber utama kapasitas fiskal meningkat. Kenaikan kapasitas fiskal akan menambah kemampuan daerah untuk membiayai belanja pertanian, industri, dan perdagangan. Kenaikan belanjabelanja sektoral yang diikuti kenaikan belanja infrastruktur berdampak positif pada PDRB sektoral sehingga total PDRB meningkat 2.2%. Meningkatnya PDRB menyebabkan DAU bekurang 0.2% yang berarti ketergantungan keuangan daerah pada DAU berkurang. Di sisi lain, kenaikan PDRB berdampak meningkatkan jumlah tenaga kerja 2.8%. Kenaikan PDRB sektoral meningkatkan pengeluaran per kapita sektoral melalui efek kenaikan upah riil sektoral. Namun, kenaikan PDRB sektoral terbesar di sektor perdagangan meningkatkan share PDRB tersebut sehingga berdampak meningkatkan Indeks Gini 0.001 persen poin. Kenaikan Indeks Gini mengurangi efek kenaikan pengeluaran per kapita terutama di sektor industri sehingga headcount index industri naik 0.02 persen poin. Analisis dampak kebijakan peningkatan penanaman modal di provinsi nonpertanian 50% menunjukkan arah perubahan yang sama tetapi perubahan pada variabel-variabel kemiskinan lebih besar meskipun memihak sektor perdagangan. Artinya, kebijakan peningkatan penanaman modal yang berdampak lebih kecil di provinsi pertanian mengindikasikan bahwa untuk memperoleh dampak perbaikan perekonomian dan kemiskinan daerah diperlukan penanaman modal yang lebih besar di provinsi pertanian. Temuan ini memberi implikasi mengenai pentingnya upaya-upaya dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif di daerah yang dapat terwujud melalui kerjasama yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Ringkasan Simulasi Kebijakan Tunggal Ringkasan dampak simulasi kebijakan tunggal selanjutnya menjadi acuan dalam menyusun skenario simulasi kombinasi kebijakan berdasarkan arah dan nilai perubahan pada variabel-variabel fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral. Oleh karena itu, perlu diketahui dampak positif, dampak negatif, dan trade-off yang ditimbulkan dari masing-masing kebijakan tunggal. Ringkasan dampak kebijakan tunggal disajkan pada Tabel 42. Rincian lengkap disajikan pada Lampiran 12 dan 13. Tabel 42 menunjukkan: 1. Kebijakan peningkatan belanja pertanian berdampak positif pada kinerja perekonomian dan kemiskinan sektoral. Pembangunan pertanian karena pemerintah daerah mengalokasikan anggaran belanja pertanian lebih besar dapat mewujudkan pertumbuhan pro-poor karena menciptakan pertumbuhan ekonomi disertai turunnya ketimpangan pendapatan sehingga berdampak menurunkan kemiskinan sektoral yang memihak sektor pertanian. Headcount index sektoral yang turun lebih besar di provinsi pertanian menunjukkan peningkatan belanja pertanian memberi dampak lebih besar pada kemiskinan sektoral di provinsi pertanian dibandingkan provinsi non-pertanian. Tetapi,
136
Tabel 42 Ringkasan Dampak Kebijakan Tunggal terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011
Variabel Endogen
1. PAD 2. Kapasitas fiskal 3. Dana alokasi umum 4. Kesenjangan fiskal 5. Kemandirian fiskal 6. PDRB total 7. Share PDRB pertanian 8. Share PDRB industri 9. Share PDRB perdagangan 10. Jumlah tenaga kerja 11. Indeks Gini 12. HCI pertanian 13. HCI industri 14. HCI perdagangan 15. HCI total 16. Proporsi pddk miskin pertanian 17. Pddk miskin pertanian 18. Pddk miskin industri 19. Pddk miskin perdagangan 20. Penduduk miskin total
Belanja Pertanian (SS1) Non Tani Tani 50% 50% + +
⁻
++
+ +
⁻
++
⁻
Belanja Perindustrian (SS2) Non Tani Tani 25% 50% Blok Fiskal + + + +
⁻ ⁻
⁻ ⁻
Belanja Perdagangan (SS3) Non Tani Tani 50% 50%
Penanaman Modal (SS5) Non Tani Tani 90% 50%
+ ++
+ +
+ ++
+ +++
+++ ++
++ ++
⁻⁻ ⁻
⁻ ⁻
⁻ ⁻⁻ ⁻
⁻ ⁻⁻ ⁻
⁻ ⁻⁻
++
⁻ ⁻⁻
++
++
+ + 0 ++ +
+ +
++ +
++ ++
++ +
++ ++
++ ++
+ ++ ++
0
0
+
+
⁻
+
+
⁻⁻ ⁻
⁻⁻ ⁻
0 0 + ⁻ Blok Perekonomian Sektoral ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻⁻ ++ ++ ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻ +++ ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ +++ ++ + +++ ++ Blok Kemiskinan Sektoral + ⁻ ⁻ ⁻ ⁻ ++ ⁻⁻⁻ ⁻⁻ ⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ++
⁻⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻⁻ ⁻⁻⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻⁻ ⁻⁻⁻
Bagi Hasil Pajak (SS4) Non Tani Tani 50% 50%
+
⁻⁻ ⁻⁻
+++ ++
⁻
⁻⁻
⁻ ⁻⁻
⁻ ⁻⁻
⁻⁻
+
⁻⁻⁻ ⁻
⁻ ⁻
⁻ ⁻ ⁻ ⁻
+
+
+
+
0
+
+
+
⁻⁻ ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻
⁻⁻ ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻⁻
++ +
+++ +
⁻
⁻⁻
⁻⁻
⁻⁻
⁻⁻⁻ ⁻⁻
⁻⁻ ⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻⁻
⁻ ⁻⁻
⁻⁻ ⁻⁻
+
0
0
⁻
0
Catatan: + meningkat; - berkurang; 0 tetap
2.
3.
⁻⁻
jumlah penduduk miskin di provinsi non-pertanian lebih besar menjadi alasan peningkatan belanja pertanian juga perlu dilakukan di provinsi non-pertanian bahkan proporsinya lebih besar dibandingkan provinsi pertanian. Namun, kebijakan ini berdampak negatif pada kinerja fiskal yang ditunjukkan oleh kesenjangan fiskal yang lebih besar dan kemandirian fiskal yang lebih kecil. Kebijakan peningkatan belanja perindustrian berdampak positif pada kinerja fiskal, kinerja perekonomian, dan kemiskinan. Pembangunan sektor industri dengan menambah belanja perindustrian akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi daerah sehingga kinerja fiskal meningkat dan kemiskinan sektoral berkurang. Namun, kebjiakan ini tidak memihak penduduk miskin pertanian karena dampaknya lebih besar di sektor industri. Dengan perkataan lain, ekspansi belanja perindustrian berdampak mempercepat laju pertumbuhan ekonomi daerah namun tidak mewujudkan pertumbuhan pro-poor. Kebijakan peningkatan belanja perdagangan berdampak positif pada kinerja fiskal dan kinerja perekomian, tetapi berdampak negatif pada kemiskinan. Hal ini terjadi karena naiknya belanja perdagangan menyebabkan share PDRB perdagangan semakin tinggi sehingga ketimpangan pendapatan meningkat.
⁻
+
137
Akibatnya, tingkat kemiskinan pertanian dan industri menjadi lebih besar bahkan proporsi penduduk miskin pertanian meningkat. 4. Kebijakan peningkatan porsi bagi hasil PPh untuk daerah berdampak positif pada kinerja perekonomian tetapi berdampak negatif pada kemiskinan pertanian yang ditunjukkan oleh proporsi penduduk miskin pertanian yang meningkat terutama di provinsi non-pertanian. Dampak negatif lainnya adalah turunnya kemandirian fiskal. 5. Peningkatan total penanaman modal berdampak positif pada kinerja fiskal, kinerja perekonomian, dan kemiskinan sektoral kecuali industri. Perubahan yang lebih kecil di provinsi pertanian menunjukkan bahwa provinsi pertanian memerlukan penanaman modal yang lebih besar. Dengan demikian, dapat disimpulkan alternatif kebijakan yang berdampak meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan kemiskinan: 1. Kinerja fiskal dapat ditingkatkan dengan ekspansi belanja perindustrian dan belanja perdagangan, meningkatkan bagi hasil pajak, dan meningkatkan penanaman modal. 2. Kinerja perekonomian dapat ditingkatkan dengan ekspansi belanja pertanian, belanja perindustrian, dan belanja perdagangan, meningkatkan bagi hasil pajak, serta meningkatkan penanaman modal. 3. Ketimpangan pendapatan dapat diturunkan dengan ekspansi belanja pertanian dan belanja perindustrian. 4. Total headcount index dapat diturunkan dengan ekspansi belanja pertanian dan belanja perindustrian, meningkatkan bagi hasil pajak, dan meningkatkan penanaman modal. 5. Proporsi penduduk miskin pertanian dapat diturunkan dengan ekspansi belanja pertanian. Simulasi Kebijakan Kombinasi Berdasarkan hasil simulasi historis kebijakan tunggal ditunjukkan bahwa masing-masing kebijakan memberi dampak positif dan negatif. Oleh karena itu, untuk memperoleh dampak terbaik pada perekonomian dan kemiskinan yang memihak penduduk miskin pertanian serta mengurangi ketergantungan keuangan daerah pada DAU maka perlu dilakukan simulasi kombinasi beberapa kebijakan tunggal dengan mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin terjadi. Hasil simulasi kombinasi kebijakan di provinsi pertanian yang terdiri dari peningkatan belanja pertanian, belanja perindustrian, dan belanja perdagangan masing-masing 50%, 25%, dan 50% (SM1) pada Tabel 43 menunjukkan dampak positif pada PDRB sektoral masing-masing PDRB pertanian meningkat 28.7%, PDRB industri meningkat 22.6%, dan PDRB perdagangan meningkat 23.4% sehingga total PDRB naik 15.1%. Atau dengan perkataan lain, ekonomi tumbuh sebesar 15.1%. Kenaikan PDRB berdampak meningkatkan jumlah tenaga kerja 3.9%. Perubahan terbesar pada PDRB pertanian menyebabkan share PDRB pertanian meningkat paling besar yaitu 3.4 persen poin sehingga Indeks Gini turun 0.003 poin. Selain itu, ketiga PDRB sektoral yang meningkat berdampak meningkatkan pengeluaran per kapita terutama di sektor perdagangan sebesar 4.8%. Pengeluaran per kapita yang lebih besar dan Indeks Gini yang lebih rendah berdampak menurunkan headcount index sektoral sehingga total headcount index turun 0.94 persen poin.
138
Tabel 43 Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Pertanian Tahun 2006-2011 Varibel Endogen Penanaman Modal1
SM1
SM2A
Perubahan (%) SM2B SM3A 90.0
Blok Fiskal 1. PAD 2.0 2.1 2.3 2. Bagi hasil pajak 4.1 50.0 50.0 3. Kapasitas fiskal 2.4 10.7 10.8 4. Dana alokasi umum -1.8 -1.8 -2.1 5. Total pendapatan -0.5 1.5 1.4 6. Belanja pertanian 50.0 50.0 50.0 7. Belanja perindustrian 25.0 25.0 50.0 8. Belanja perdagangan 50.0 50.0 50.0 9. Belanja infrastruktur 0.4 3.1 3.1 10. Belanja lainnya -0.6 0.6 0.5 11. Total belanja 1.7 3.1 3.1 12. Kesenjangan fiskal 1.5 0.5 0.5 13. Kemandirian fiskal2 0.1 -0.1 -0.1 Rasio surplus/defisit fiskal (%) 1.6 2.2 2.1 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian 28.7 29.0 29.0 15. PDRB industri 22.6 22.6 38.9 16. PDRB perdagangan 23.4 24.1 24.1 17. PDRB total 15.1 15.3 17.9 18. Share PDRB pertanian2 3.4 3.4 2.7 19. Share PDRB industri2 0.0 -0.1 1.6 20. Share PDRB perdagangan2 2.2 2.3 2.0 21. Jumlah tenaga kerja 6.8 7.1 7.6 22. Pengeluaran pddk pertanian 2.3 2.3 2.3 23. Pengeluaran pddk industri 1.8 1.8 3.1 24. Pengeluaran pddk perdagangan 4.8 4.9 4.9 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini3 -0.003 -0.003 -0.003 26. Headcount index pertanian2 -1.26 -1.26 -1.30 27. Headcount index industri2 -0.51 -0.51 -0.79 28. Headcount index perrdagangan2 -1.10 -1.11 -1.14 29. Poverty gap index pertanian3 -0.23 -0.23 -0.23 30. Poverty severity index pertanian3 -0.07 -0.07 -0.07 31. Headcount index total2 -0.94 -0.94 -1.05 32. Proporsi pddk miskin pertanian2 -0.2 -0.2 0.2 33. Pddk miskin pertanian4 -30.0 -30.0 -30.9 34. Pddk miskin industri4 -1.2 -1.2 -1.8 35. Pddk miskin perdagangan4 -5.9 -6.0 -6.1 36. Penduduk miskin total4 -48.6 -48.7 -54.3
SM3B 90.0
SM4 90.0
14.0 50.0 16.5 -2.3 2.7 50.0 50.0 50.0 4.4 1.0 3.6 -0.6 1.2 2.8
14.7 50.0 16.8 -2.9 2.4 100.0 50.0 50.0 4.4 0.7 5.0 1.0 1.1 1.2
14.7 50.0 16.8 -2.9 2.4 100.0 50.0 50.0 4.4 -0.5 4.1 -0.1 1.3 2.1
31.5 39.1 30.7 19.8 2.8 1.5 2.7 10.2 2.4 3.1 5.8
55.9 39.1 30.7 25.8 6.6 0.5 1.8 13.8 4.2 3.1 5.8
55.9 39.1 30.7 25.8 6.6 0.5 1.8 13.8 4.2 3.1 5.8
-0.003 -1.35 -0.77 -1.29 -0.24 -0.07 -1.10 0.2 -32.0 -1.7 -6.9 -56.5
-0.007 -2.48 -0.96 -1.49 -0.44 -0.13 -1.71 -1.2 -58.9 -2.2 -8.0 -88.3
-0.007 -2.48 -0.96 -1.49 -0.44 -0.13 -1.71 -1.2 -58.9 -2.2 -8.0 -88.3
Catatan: 1Eksogen; 2Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin; 4Perubahan dalam satuan jumlah; SM1 : belanja pertanian naik 50%, belanja perindustrian naik 25%, belanja perdagangan naik 50% SM2A: belanja pertanian naik 50%, belanja perindustrian naik 25%, belanja perdagangan naik 50%, bagi hasil pajak naik 50% SM2B: belanja pertanian naik 50%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 50%, bagi hasil pajak naik 50% SM3A: belanja pertanian naik 50%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 50%, bagi hasil pajak naik 50%, penanaman modal naik 90% SM3B: belanja pertanian naik 100%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 50%, bagi hasil pajak naik 50%, penanaman modal naik 90% SM4 : belanja pertanian naik 100%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 50%, bagi hasil pajak naik 50%, penanaman modal naik 90%, belanja lainnya turun 0.5%
139
Namun, laju penurunan total headcount index yang lebih kecil dibandingkan ratarata aktual tahun 2006-2011 yaitu 1.10 persen poin per tahun serta dampak negatif berupa kesenjangan fiskal yang meningkat 1.5% menjadi alasan kombinasi kebijakan tersebut perlu ditambah dengan kebijakan lain. Oleh karena itu, untuk meningkatkan laju penurunan total headcount index dan menurunkan kesenjangan fiskal, simulasi kombinasi SM1 ditambah kebijakan peningkatan bagi hasil pajak 50% (SM2A). Pertimbangannya adalah dampak simulasi peningkatan bagi hasil pajak 50% adalah turunnya kesenjangan fiskal dan total headcount index. Namun, kombinasi kebijakan tersebut masih memberi dampak negatif yaitu naiknya kesenjangan fiskal meskipun perubahannya lebih kecil dibandingkan simulasi kombinasi sebelumnya (SM1). Selain itu, penurunan total headcount index tidak berubah yaitu 0.94 persen poin. Bahkan, muncul dampak negatif lain yaitu turunnya kemandirian fiskal 0.1 persen poin yang disebabkan oleh tingginya kenaikan total belanja daerah yang mencapai 3.1% sementara PAD hanya meningkat 2.1%. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, belanja perindustrian ditambah 50% (SM2B) berdasarkan hasil simulasi peningkatan belanja perindustrian 50% yang berdampak menurunkan jumlah penduduk miskin sektoral. Hasil simulasi kombinasi kebijakan tersebut berdampak positif pada kemiskinan yang ditunjukkan oleh berkurangnya total headcount index sebesar 1.05 persen poin. Namun, dampak negatif yang ditimbulkan adalah memburuknya kinerja fiskal dan meningkatnya proporsi penduduk miskin pertanian. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut total penanaman modal ditingkatkan 90% (SM3A). Hasil simulasi menunjukkan kombinasi kebijakan tersebut berdampak menurunkan total headcount index 1.10 persen poin terutama di sektor pertanian 1.35 persen poin. Kesenjangan fiskal juga turun 0.6% dan kemandirian fiskal meningkat 1.2 persen poin, namun proporsi penduduk miskin pertanian masih tetap tinggi bahkan meningkat 0.2 persen poin. Untuk mengatasi dampak negatif yaitu meningkatnya proporsi penduduk miskin pertanian maka belanja pertanian ditingkatkan 100% (SM3B). Pertimbangannya adalah masih terjadi surplus fiskal 2.8 persen dari total pendapatan daerah sehingga memungkinkan untuk menambah belanja pertanian. Selain itu, hasil simulasi peningkatan belanja pertanian menunjukkan dampaknya yang memihak penduduk miskin pertanian sehingga kombinasi kebijakan tersebut diperkirakan akan menurunkan proporsi penduduk miskin pertanian. Hasilnya menunjukkan headcount index pertanian turun 2.48 persen poin sehingga total headcount index turun 1.71 persen poin. Turunnya headcount index pertanian lebih besar dari pada headcount index industri dan headcount index perdagangan berdampak menurunkan proporsi penduduk miskin pertanian 1.2 persen poin. Namun, kesenjangan fiskal naik 1.0% akibat total belanja daerah yang naik 5.0%. Untuk mengurangi kesenjangan fiskal, belanja lainnya dikurangi 0.5% (SM4). Hasil simulasi menunjukkan belanja daerah hanya naik 4.1% sehingga kesenjangan fiskal turun 0.1% dan kemandirian fiskal naik 1.3%. Dampak pada perekonomian dan kemiskinan adalah PDRB naik 25.8%, jumlah tenaga kerja naik 13.8%, Indeks Gini turun 0.007 poin, total headcound index turun 1.71 persen poin, headcount index pertanian turun paling besar yaitu 2.48 persen poin, proporsi penduduk miskin pertanian turun 1.2%, dan jumlah penduduk miskin berkurang 88300 orang atau lebih besar dibandingkan data aktual 2006-2011 dimana jumlah penduduk miskin berkurang 56200 orang.
140
Tabel 44 Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Non-Pertanian Tahun 2006-2011 Varibel Endogen
SM1A
SM1B
Perubahan (%) SM2A SM2B
SM3 25.0
SM4 25.0
0.9 50.0 13.8 -3.1 4.7 150.0 50.0 50.0 7.4 2.5 6.5 0.2 -0.9 4.1
5.9 50.0 16.2 -3.3 5.7 150.0 50.0 50.0 8.5 2.9 7.0 -0.9 -0.1 4.6
5.9 50.0 16.2 -3.3 5.7 150.0 50.0 50.0 8.5 -1.0 4.2 -6.3 0.0 7.1
42.0 6.7 14.0 11.0 4.0 -0.4 2.7 8.2 3.8 1.8 6.6
43.6 6.7 17.0 11.7 4.1 -0.6 3.0 9.5 3.9 1.8 7.0
43.6 6.7 17.0 11.7 4.1 -0.6 3.0 9.5 3.9 1.8 7.0
-0.003 -2.05 -0.57 -1.61 -0.37 -0.11 -1.42 0.0 -86.8 -6.7 -30.3 -189.5
-0.002 -2.07 -0.56 -1.70 -0.38 -0.11 -1.44 0.0 -87.9 -6.6 -31.9 -192.8
-0.002 -2.07 -0.56 -1.70 -0.38 -0.11 -1.44 0.0 -87.9 -6.6 -31.9 -192.8
Penanaman Modal1 Blok Fiskal 0.6 0.7 0.8 3.7 3.7 50.0 1.0 1.1 13.7 -1.8 -2.4 -2.5 -0.3 -0.5 5.0 50.0 100.0 100.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 0.3 0.3 7.4 -0.4 -0.6 2.7 1.0 1.9 5.7 1.0 2.6 -1.4 0.1 -0.1 -0.8 4.5 3.5 5.1 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian 12.8 27.1 27.7 15. PDRB industri 6.7 6.7 6.7 16. PDRB perdagangan 12.9 12.9 14.0 17. PDRB total 6.3 8.5 8.8 18. Share PDRB pertanian2 0.1 2.1 2.1 19. Share PDRB industri2 0.7 0.2 0.1 20. Share PDRB perdagangan2 3.4 3.0 3.1 21. Jumlah tenaga kerja 3.9 5.8 6.3 22. Pengeluaran pddk pertanian 1.1 2.4 2.5 23. Pengeluaran pddk industri 1.8 1.8 1.8 24. Pengeluaran pddk perdagangan 6.3 6.3 6.6 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini3 0.002 -0.001 -0.001 26. Headcount index pertanian2 -0.46 -1.25 -1.27 27. Headcount index industri2 -0.39 -0.48 -0.48 28. Headcount index perrdagangan2 -1.35 -1.45 -1.52 29. Poverty gap index pertanian3 -0.09 -0.23 -0.24 30. Poverty severity index pertanian3 -0.03 -0.07 -0.07 31. Headcount index total2 -0.58 -0.99 -1.02 32. Proporsi pddk miskin pertanian2 0.9 0.5 0.5 33. Pddk miskin pertanian4 -19.5 -52.8 -54.0 34. Pddk miskin industri4 -4.6 -5.7 -5.7 35. Pddk miskin perdagangan4 -25.4 -27.3 -28.5 36. Penduduk miskin total4 -77.8 -132.6 -135.8 1. PAD 2. Bagi hasil pajak 3. Kapasitas fiskal 4. Dana alokasi umum 5. Total pendapatan 6. Belanja pertanian 7. Belanja perindustrian 8. Belanja perdagangan 9. Belanja infrastruktur 10. Belanja lainnya 11. Total belanja 12. Kesenjangan fiskal 13. Kemandirian fiskal2 Rasio surplus/defisit fiskal (%)
Catatan: 1Eksogen; 2Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin; 4Perubahan dalam satuan jumlah; SM1: belanja pertanian naik 50%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 50% SM2: belanja pertanian naik 100%, belanja perindustrian naik 25%, belanja perdagangan naik 50%, SM3: belanja pertanian naik 100%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 50%, bagi hasil pajak naik 50% SM4: belanja pertanian naik 150%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 50%, bagi hasil pajak naik 50% SM5: belanja pertanian naik 150%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 50%, bagi hasil pajak naik 50%, penanaman modal naik 25% SM6: belanja pertanian naik 150%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 50%, bagi hasil pajak naik 50%, penanaman modal naik 25%, belanja lainnya turun 1.0%
141
Hasil simulasi kombinasi kebijakan di provinsi non-pertanian pada Tabel 44 menunjukkan kombinasi peningkatan belanja pertanian, belanja perindustrian, dan belanja perdagangan masing-masing 50% (SM1A) berdampak meningkatkan PDRB pertanian, PDRB industri, dan PDRB perdagangan masing-masing 12.8%, 6.7%, dan 12.9% sehingga total PDRB meningkat 6.3%. Kenaikan PDRB meningkatkan jumlah tenaga kerja sebesar 3.9%. Namun, perubahan terbesar pada PDRB perdagangan menyebabkan share PDRB perdagangan meningkat paling besar yaitu 3.4 persen poin sehingga Indeks Gini naik 0.002 poin. Di sisi lain, meningkatnya PDRB sektoral berdampak meningkatkan pengeluaran penduduk sektoral terutama perdagangan yaitu 6.3%. Meningkatnya pengeluaran per kapita sektoral menyebabkan headcount index sektoral berkurang terutama di sektor perdagangan sehingga total headcount index berkurang 0.58 persen poin. Namun, dampaknya lebih rendah dibandingkan provinsi pertanian karena ketimpangan pendapatan meningkat. Selain itu, laju penurunan headcount index lebih rendah dibandingkan rata-rata aktual 2006-2011 yaitu 0.89 persen poin per tahun. Alternatif kebijakan ini memberi dampak negatif yaitu naiknya kesenjangan fiskal 1.0% serta proporsi penduduk miskin pertanian 0.9 persen poin akibat headcount index pertanian yang turun lebih kecil dari headcount index perdagangan. Oleh karena itu, untuk mempercepat laju penurunan headcount index pertanian maka belanja pertanian ditingkatkan 100% (SIM1B). Hasil simulasi menunjukkan headcount index pertanian turun 1.25 persen poin sehingga total headcount index turun 0.99 persen poin. Total headcount index yang lebih rendah terjadi karena Indeks Gini turun 0.001 poin yang disebabkan share PDRB pertanian dan share PDRB industri meningkat lebih besar. Akan tetapi, kebijakan kombinasi ini lebih menguntungkan sektor perdagangan dimana headcount index perdagangan turun paling besar yaitu 1.45 persen poin. Akibatnya, proporsi penduduk miskin di sektor pertanian masih meningkat meskipun lebih kecil dari pada hasil simulasi sebelumnya yaitu 0.5 persen poin. Kombinasi kebijakan berdampak negatif yaitu meningkatnya kesenjangan fiskal dan berkurangnya kemandirian fiskal akibat laju kenaikan total belanja daerah lebih cepat dibandingkan laju kenaikan PAD. Untuk mengatasi dampak negatif pada kinerja fiskal tersebut maka kapasitas fiskal perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, alternatif kebijakan berikutnya adalah bagi hasil pajak ditingkatkan 50% (SIM2A). Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan tersebut berdampak menurunkan kesenjangan fiskal 1.4% tetapi kemandirian fiskal turun 0.8 persen poin. Sementara dampaknya pada kemiskinan adalah total headcount index turun 1.02 persen poin namun propporsi penduduk miskin pertanian meningkat 0.5%. Untuk mengatasi kenaikan proporsi penduduk miskin pertanian tersebut maka dilakukan simulasi berikutnya dengan meningkatkan belanja pertanian 150% (SIM2B). Kebijakan peningkatan belanja pertanian tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa ada surplus fiskal. Hasil simulasi menunjukkan kebijakan tersebut berdampak menurunkan total headcount index 1.42 persen poin dimana penurunan terbesar terjadi di sektor pertanian dengan headcount index pertanian turun 2.05 persen poin. Hal ini menyebabkan proporsi penduduk miskin pertanian tidak meningkat. Namun, dampak negatifnya adalah kesenjangan fiskal naik 0.2% yang disebabkan oleh meningkatnya total belanja daerah yang tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas fiskal yang cukup. Oleh karena itu, kapasitas fiskal perlu ditingkatkan lagi. Salah satu caranya adalah meningkatkan total penanaman modal untuk mendorong PAD. Hasil
142
simulasi kombinasi kebijakan yang disertai peningkatan penanaman modal 25% (SIM3) menunjukkan dampaknya berupa kesenjangan fiskal yang lebih kecil yaitu 0.9% namun kemandirian fiskal masih berkurang yaitu 0.1 persen poin. Meskipun kebijakan peningkatan belanja pertanian, belanja perindustrian, dan belanja perdagangan yang disertai peningkatan bagi hasil pajak dan total penanaman modal berdampak positif pada kinerja perekonomian dan kemiskinan, namun kemandirian fiskal yang merupakan indikator kinerja fiskal berkurang yang berarti permasalahan tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU belum dapat diatasi oleh kombinasi kebijakan tersebut. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah mengurangi total belanja daerah dengan menurunkan belanja lainnya sebesar 1% (SM4). Hasil simulasi menunjukkan kemandirian fiskal tidak berkurang namun juga tidak meningkat. Akan tetapi, peningkatan kemandirian fiskal bukan hal yang krusial bagi provinsi non-pertanian mengingat provinsi nonpertanian memiliki tingkat kemandirian fiskal yang cukup tinggi selama 20062011 yaitu rata-rata 21% per tahun bahkan cenderung meningkat. Dampak lainnya adalah PDRB sektoral naik yaitu PDRB pertanian 43.6%, PDRB industri 6.7%, dan PDRB perdagangan 17.0% sehingga PDRB meningkat 11.7%. Kenaikan PDRB sektoral berdampak meningkatkan jumlah tenaga kerja sektoral sehingga total tenaga kerja bertambah 9.5%. Meningkatnya PDRB pertanian menyebabkan share PDRB pertanian naik 4.1 persen poin sehingga berdampak menurunkan Indeks Gini 0.002 poin. Selain itu, meningkatnya PDRB sektoral juga berdampak meningkatkan pengeluaran per kapita sektoral. Pengeluaran per kapita yang lebih tinggi dan Indeks Gini yang lebih rendah selanjutnya menyebabkan berkurangnya headcount index sektoral terutama di sektor pertanian sehingga total headcount index turun 1.44 persen poin dan jumlah penduduk miskin turun 192800 orang atau lebih besar dibandingkan data aktual tahun 2006-2011 yaitu rata-rata hanya turun sekitar 116200 orang per tahun. Berdasarkan hasil simulasi historis 2006-2011 terhadap beberapa kombinasi kebijakan di provinsi pertanian dan non-pertanian dapat disimpulkan bahwa: 1. Belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, bagi hasil pajak, dan penanaman modal yang lebih besar akan mendorong kapasitas fiskal sehingga berdampak menurunkan headcount index sektoral. 2. Laju penurunan kemiskinan yang lebih cepat dan ketimpangan pendapatan yang lebih rendah dapat terwujud jika pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan pertanian melalui ekspansi belanja pertanian, pemerintah pusat menambah porsi bagi hasil PPh untuk daerah, dan pihak swasta menanamkan modalnya di daerah. 3. Meskipun struktur ekonomi provinsi non-pertanian tidak didominasi sektor pertanian namun pembangunan pertanian melalui ekspansi belanja pertanian merupakan hal penting karena akan mempercepat pengentasan kemiskinan mengingat jumlah penduduk miskin di provinsi non-pertanian lebih besar terutama di kelompok penduduk miskin pertanian. 4. Kebijakan ekspansi belanja-belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan berdampak positif pada kinerja perekonomian dan kemiskinan sektoral tetapi berdampak negatif pada kinerja fiskal. Bahkan, di provinsi non-pertanian terjadi trade-off pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Namun, dampak negatif pada kinerja fiskal tersebut dapat diatasi jika alokasi belanja daerah diprioritaskan untuk mempercepat laju pertumbuhan sektor pertanian.
143
Dengan demikian, temuan dari hasil simulasi hiostoris terhadap beberapa kombinasi kebijakan yang mendorong kapasitas fiskal memberi implikasi bahwa untuk mempercepat pengentasan kemiskinan melalui efek pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan diperlukan kapasitas fiskal yang lebih besar dari pajak daerah dan bagi hasil pajak. Kapasitas fiskal yang lebih besar akan menambah kemampuan keuangan daerah tanpa ketergantungan yang tinggi pada DAU untuk membiayai pembangunan sektoral melalui belanja sektoral yang memprioritaskan pembangunan pertanian. Contoh program simulasi dan hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14–17. Sedangkan, rekapitulasi hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 18 dan Lampiran 19. Simulasi Peramalan 2013-2015 Simulasi peramalan 2013-2015 dilakukan terhadap beberapa kombinasi kebijakan yang mengacu pada hasil simulasi historis 2006-2011. Analis simulasi peramalan juga difokuskan pada variabel-variabel yang berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal dan berdampak positif pada kinerja fiskal, kinerja perekonomian, dan kemiskinan serta memihak kelompok penduduk miskin pertanian. Simulasi diawali dengan meramal nilai-nilai dari variabe-variabel eksogen menggunakan metode Stepwise Autoregressie pada prosedur FORECAST dengan trend linier. Hasil peramalan variabel-variabel eksogen selanjutnya digunakan untuk meramal nilai-nilai dari variabel-variabel endogen menggunakan metode solusi Newton pada prosedur SIMNLIN dengan software SAS/ETS 9.1.3. Program peramalan variabel-variabel eksogen dan hasilnya disajikan pada Lampiran 20 dan 21. Skenario pertama simulasi peramalan di provinsi pertanian terdiri dari kombinasi peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan masingmasing 50%, 50%, dan 30% (SM1). Peningkatan belanja perdagangan 30% berbeda dengan skenario simulasi historis yaitu 50% dengan pertimbangan kenaikan belanja perdagangan 2011 rata-rata hanya 34% dan kenaikan 2007-2011 rata-rata hanya 8% per tahun. Hasil simulasi pada Tabel 45 menunjukkan dampak positif yaitu PDRB sektoral meningkat sehingga tercipta PDRB tumbuh 11.2% dan jumlah tenaga kerja meningkat 5.4%. Kenaikan PDRB sektoral menyebabkan pengeluaran per kapita sektoral meningkat. Selain itu, pertumbuhan pertanian dan industri yang lebih besar dibandingkan perdagangan menyebabkan share PDRB pertanian dan share PDRB industri meningkat sehingga Indeks Gini berkurang. Kenaikan pengeluaran per kapita sektoral yang disertai Indeks Gini yang lebih rendah menurunkan headcount index sektoral dengan penurunan terbesar di sektor pertanian. Turunnya headcount index ketiga sektor menyebabkan total headcount index berkurang 0.69 persen poin. Selainn itu, jumlah penduduk miskin berkurang 38600 orang bahkan lebih besar dibandingkan data aktual 2010-2011 dengan ratarata 34600. Akan tetapi, alternatif kombinasi kebijakan ini berdampak negatif pada kinerja fiskal yaitu kesenjangan fiskal naik 1.6% dan kemandirian fiskal turun 0.1 persen poin. Berdasarkan hasil simulasi historis kebijakan tunggal, salah satu cara meningkatkan kinerja fiskal adalah meningkatkan kapasitas fiskal dari bagi hasil pajak. Oleh karena itu, untuk mengurangi kesenjangan fiskal maka bagi hasil pajak ditingkatkan 50% (SM2). Kombinasi kebijakan tersebut berdampak menurunkan kesenjangan fiskal 1.2%, menurunkan total headcount index turun 0.70 persen
144
poin, dan menurunkan jumlah penduduk miskin 38900 orang, tetapi kemandirian fiskal berkurang 0.4 persen poin. Berkurangnya kemandirian fiskal di provinsi pertanian menjadi permasalahan krusial dimana rata-rata aktual kemandirian fiskal tahun 2006-2011 sangat rendah yaitu 12.0% per tahun. Oleh karena itu, kemandirian fiskal harus ditingkatkan dengan mendorong penanaman modal. Tabel 45 Ramalan Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Pertanian Tahun 2013-2015 Variabel Endogen
SM1
Perubahan (%) SM2
Penanaman Modal1 Blok Fiskal 1. PAD 0.6 2. Bagi hasil pajak 3.9 3. Kapasitas fiskal 1.4 4. Dana alokasi umum -1.1 5. Total pendapatan -0.1 6. Belanja pertanian 50.0 7. Belanja perindustrian 50.0 8. Belanja perdagangan 30.0 9. Belanja infrastruktur 0.3 10. Belanja lainnya -0.1 11. Total belanja 1.5 12. Kesenjangan fiskal 1.6 13. Kemandirian fiskal2 -0.1 Rasio surplus/defisit fiskal (%) 2.1 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian 18.1 15. PDRB industri 30.6 16. PDRB perdagangan 9.4 17. PDRB total 11.2 18. Share PDRB pertanian2 5.9 19. Share PDRB industri2 19.6 20. Share PDRB perdagangan2 -1.2 21. Jumlah tenaga kerja 5.4 22. Pengeluaran pddk pertanian 1.1 23. Pengeluaran pddk industri 2.4 24. Pengeluaran pddk perdagangan 2.1 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini3 -0.003 26. Headcount index pertanian2 -0.79 27. Headcount index industri2 -0.67 28. Headcount index perrdagangan2 -0.67 29. Poverty gap index pertanian3 -0.14 30. Poverty severity index pertanian3 -0.04 31. Headcount index total2 -0.69 32. Proporsi pddk miskin pertanian2 -0.3 33. Pddk miskin pertanian4 -19.3 34. Pddk miskin industri4 -1.0 35. Pddk miskin perdagangan4 -3.3 36. Penduduk miskin total4 -38.6
SM3 100.0
0.7 50.0 13.6 -1.1 3.1 50.0 50.0 30.0 3.5 1.0 2.9 -1.2 -0.4 3.8
12.9 50.0 21.3 -1.4 5.0 50.0 50.0 30.0 5.4 1.6 3.6 -3.1 1.6 4.9
18.4 30.6 9.9 11.4 5.9 19.4 -1.0 6.9 1.1 2.4 2.2
22.4 31.1 17.3 14.5 6.5 16.8 2.7 9.9 1.3 2.5 3.7
-0.003 -0.80 -0.67 -0.69 -0.14 -0.04 -0.70 -0.3 -19.4 -1.0 -3.4 -38.9
-0.002 -0.91 -0.66 -1.06 -0.16 -0.05 -0.82 -0.2 -22.2 -1.0 -5.2 -45.4
Catatan: 1Variabel eksogen; 2Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin; 4Perubahan dalam satuan jumlah SM1: belanja pertanian naik 50%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 30% SM2: kombinasi SM1 dan bagi hasil pajak naik 50% SM3: Kombinasi SM2 dan penanaman modal naik 100%
145
Untuk itu, skenario berikutnya adalah meningkatkan total penanaman modal 100% (SM3) dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan penanaman modal 20072011 di provinsi pertanian cukup tinggi dengan rata-rata 85% per tahun, bahkan tahun 2011 mencapai 188%. Hasil simulasi menunjukkan kombinasi kebijakan tersebut memberi dampak lebih besar pada kinerja fiskal dimana kesenjangan fiskal turun 3.1% dan kemandirian fiskal naik 1.6 persen poin. Dampak positif lainnya dalah PDRB naik 14.5%, jumlah tenaga kerja bertambah 9.9%, Indeks Gini turun 0.002 poin, total headcount index turun 0.82 persen poin, dan jumlah penduduk miskin berkurang 45400 orang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agar kinerja fiskal dan kinerja perekonomian provinsi pertanian tahun 2013-2015 lebih baik dengan ketimpangan pendapatan yang lebih rendah, diperlukan kapasitas fiskal yang lebih besar. Hal ini dapat tercapai dengan menambah belanja-belanja sektoral untuk mendorong PDRB yang menstimulasi kenaikan pajak daerah serta menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah. Selain itu, diperlukan juga penanaman modal yang lebih tinggi untuk meningkatkan kemandirian fiskal sehingga ketergantungan keuangan daerah pada DAU secara bertahap akan berkurang. Hasil simulasi peramalan di provinsi non-pertanian disajikan pada Tabel 46. Kombinasi peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan masing-masing 50%, 50%, dan 30% (SM1A) berdampak meningkatkan PDRB sektoral sehingga PDRB naik 5.7% dan jumlah tenaga kerja naik 3.6%. Kenaikan PDRB pertanian yang tinggi yaitu 13.3% menyebabkan share PDRB pertanian meningkat 7.2 persen poin sehingga Indeks Gini turun 0.001 poin. Kenaikan pengeluaran per kapita sektoral sebagai dampak kenaikan PDRB sektoral disertai dengan berkurangnya Indeks Gini berdampak menurunkan total headcount index 0.59 persen poin dan jumlah penduduk miskin berkurang 84900 orang bahkan lebih besar dibandingkan rata-rata aktual di provinsi non-pertanian tahun 2011 yang berkurang 66300 dari tahun 2010. Namun, kombinasi kebijakan tersebut berdampak negatif pada kinerja fiskal dimana kesenjangan fiskal naik 1.8% dan kemandirian fiskal turun 0.2 persen poin. Dampak negatif lainnya adalah proporsi penduduk miskin pertanian naik 0.3 persen poin akibat laju penurunan headcount index pertanian yang lebih lambat. Untuk mempercepat laju penurunan headcount index pertanian belanja pertanian ditingkatkan 80% (SM1B) sehingga berdampak menurunkan total headcount index 0.80 persen poin dengan penurunan terbesar di sektor pertanian. Laju penurunan headcount index pertanian yang lebih tinggi menurunkan proporsi penduduk miskin pertanian 0.1 persen poin sehingga jumlah penduduk miskin berkurang lebih besar yaitu 114400 orang. Tetapi, kinerja fiskal semakin buruk dimana kesenjangan fiskal meningkat 3.0% dan kemandirian fiskal berkurang 0.4 persen poin. Dari hasil simulasi kebijakan tunggal diketahui salah satu cara mengatasi kesenjangan fiskal adalah meningkatkan bagi hasil pajak. Untuk itu, skenario berikutnya adalah meningkatkan bagi hasil pajak 50% (SM2) yang berdampak menurunkan kesenjangan fiskal 1.7%. Namun kemandirian fiskal turun 0.8 persen poin sehingga PAD harus ditambah dengan meningkatkan penanaman modal 50% (SM3). Dampaknya pada kinerja fiskal positif dimana kemandirian fiskal naik 0.5 persen poin dan kesenjangan fiskal turun 3.7%. Dampak pada perekonomian adalah PDRB sektoral naik masing-masing sektor pertanian 24.2%, sektor industri 9.5%, dan sektor perdagangan 9.6% sehingga total PDRB naik 8.6% dan jumlah
146
tenaga kerja naik 7.6%. Tingginya kenaikan PDRB pertanian menurunkan Indeks Gini 0.002 poin dan bersama kenaikan pengeluaran per kapita sektoral berdampak menurunkan headcount index sektoral sehingga total headcount index turun 0.88 persen poin dan jumlah penduduk miskin berkurang 125600 orang. Tabel 46 Ramalan Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Non-Pertanian Tahun 2013-2015 Variabel Endogen
SM1A
Perubahan (%) SM1B SM2
Penanaman Modal1
SM3 50.0
Blok Fiskal 1. PAD 2. Bagi hasil pajak 3. Kapasitas fiskal 4. Dana alokasi umum 5. Total pendapatan 6. Belanja pertanian 7. Belanja perindustrian 8. Belanja perdagangan 9. Belanja infrastruktur 10. Belanja lainnya 11. Total belanja 12. Kesenjangan fiskal 13. Kemandirian fiskal2 Rasio surplus/defisit fiskal (%)
0.2 0.3 3.0 3.0 0.6 0.7 -1.3 -1.6 -0.1 -0.2 50.0 80.0 50.0 50.0 30.0 30.0 0.2 0.2 -0.1 -0.2 1.3 1.9 1.8 3.0 -0.2 -0.4 3.8 3.1 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian 13.3 21.2 15. PDRB industri 9.4 9.4 16. PDRB perdagangan 4.5 4.5 17. PDRB total 5.7 7.0 18. Share PDRB pertanian2 7.2 13.8 19. Share PDRB industri2 3.3 1.9 20. Share PDRB perdagangan2 1.0 -0.7 21. Jumlah tenaga kerja 3.6 4.8 22. Pengeluaran pddk pertanian 0.9 1.4 23. Pengeluaran pddk industri 1.7 1.7 24. Pengeluaran pddk perdagangan 2.3 2.3 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini3 -0.001 -0.002 26. Headcount index pertanian2 -0.64 -1.04 27. Headcount index industri2 -0.53 -0.58 28. Headcount index perrdagangan2 -0.73 -0.77 29. Poverty gap index pertanian3 -0.12 -0.19 30. Poverty severity index pertanian3 -0.03 -0.05 31. Headcount index total2 -0.59 -0.80 32. Proporsi pddk miskin pertanian2 0.3 -0.1 33. Pddk miskin pertanian4 -27.8 -45.1 34. Pddk miskin industri4 -5.0 -5.4 35. Pddk miskin perdagangan4 -12.5 -13.4 36. Penduduk miskin total4 -84.9 -114.4
0.3 50.0 9.1 -1.7 3.6 80.0 50.0 30.0 4.0 1.2 3.5 -1.7 -0.8 5.2
6.0 50.0 12.2 -2.0 5.0 80.0 50.0 30.0 5.2 1.6 4.0 -3.7 0.5 5.9
21.5 9.4 5.0 7.1 13.9 1.8 -0.4 5.1 1.5 1.7 2.4
24.2 9.5 9.6 8.6 14.9 -0.2 2.5 7.6 1.6 1.8 3.3
-0.002 -1.05 -0.58 -0.80 -0.19 -0.05 -0.81 -0.1 -45.5 -5.4 -13.8 -115.6
-0.002 -1.12 -0.57 -1.03 -0.20 -0.06 -0.88 0.0 -48.4 -5.3 -17.8 -125.6
Catatan: 1Variabel eksogen; 2Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin; 4Perubahan dalam satuan jumlah SM1: belanja pertanian naik 50%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 30% SM2: belanja pertanian naik 80%, belanja perindustrian naik 50%, belanja perdagangan naik 30% SM2: kombinasi SM1 dan bagi hasil pajak naik 50% SM3: Kombinasi SM2 dan penanaman modal naik 50%
147
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kinerja fiskal dan kinerja perekonomian provinsi non-pertanian tahun 2013-2015 disertai tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin pertanian yang lebih rendah diperlukan kapasitas fiskal yang lebih besar. Salah satu caranya adalah meningkatan belanja-belanja daerah untuk urusan pertanian, perindustrian, dan perdagangan namun lebih difokuskan pada belanja pertanian. Hal ini disebabkan kenaikan belanja sektoral akan mendorong pertumbuhan PDRB sehingga dapat menstimulir kenaikan pajak daerah. Selain itu, peningkatan porsi daerah dari bagi hasil pajak diperlukan untuk mendorong kapasitas fiskal. Peran swasta dalam bentuk penanaman modal yang lebih besar juga diperlukan untuk meningkatkan kemandirian fiskal sehingga ketergantungan keuangan daerah pada DAU secara bertahap akan berkurang. Secara umum, hasil simulasi peramalan menunjukkan bahwa jika kapasitas fiskal tahun 2013-2015 lebih besar sebagai dampak ekspansi belanja-belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan yang disertai peningkatan bagi hasil pajak dan total penanaman modal maka laju penurunan kemiskinan semakin cepat yang disebabkan oleh meningkatnya pendapatan dan berkurangnya ketimpangan pendapatan. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang memihak sektor pertanian terutama melalui ekspansi belanja pertanian yang berdampak mengurangi proporsi penduduk miskin pertanian akan mempercepat laju penurunan tingkat kemiskinan mengingat mayoritas penduduk miskin di Indonesia hidup dari sektor pertanian. Hasil simulasi peramalan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 22 dan 23.
148
8. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1.
2.
3. 4.
5.
Selama tahun 2006-2011 kinerja fiskal daerah di Indonesia umumnya rendah dan keuangan daerah sangat tergantung pada DAU sedangkan kapasitas fiskal rendah dan berkurang. Pertumbuhan ekonomi daerah terindikasi tidak propoor karena meskipun tingkat kemiskinan (headcount index) berkurang tetapi ketimpangan pendapatan (Indeks Gini) dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian meningkat. Kapasitas fiskal berpengaruh besar pada belanja pertanian dan infrastruktur yang merupakan faktor-faktor penting yang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan panjang jalan aspal. Pertumbuhan sektor pertanian yang lebih tinggi dan bertambahnya panjang jalan aspal bepengaruh menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian yang mengindikasikan pertumbuhan pro-poor. Sumber kapasitas fiskal pajak daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita dan penanaman modal swasta. Sumber kapasitas fiskal bagi hasil pajak dipengaruhi oleh PDRB sektor nonpertanian yang berpotensi meningkatkan pajak penghasilan (PPh) perorangan sebagai sumber utama bagi hasil pajak di daerah. Alternatif kebijakan peningkatan belanja pertanian dan belanja perindustrian lebih besar dari pada peningkatan belanja perdagangan disertai kebijakan peningkatan porsi bagi hasil pajak untuk daerah dan peningkatan penanaman modal swasta terutama di provinsi pertanian akan meningkatkan kapasitas fiskal sehingga berdampak terhadap perbaikan kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral dengan indikasi meningkatnya kemandirian fiskal, pertumbuhan PDRB sektoral, dan jumlah tenaga kerja sektoral serta berkurangnya headcount index sektoral, Indeks Gini, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian. Implikasi Kebijakan
Temuan-temuan penting dari penelitian ini memberi implikasi yaitu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih besar diikuti penyerapan tenaga kerja dan berkurangnya tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin pertanian serta untuk mencapai target-target kemiskinan pada agenda pembangunan nasional RPJMN 2014 sebesar 8-10% dan MDGs 2015 sebesar 7.5%, maka pemerintah daerah disarankan untuk meningkatkan kapasitas fiskal dengan cara: 1. Pemerintah daerah meningkatkan belanja pertanian dan belanja perindustrian lebih besar dari pada belanja perdagangan. 2. Pemerintah daerah, pemerintah pusat, masyarakat, dan pihak-pihak terkait bersama-sama menciptakan iklim investasi swasta yang kondusif untuk meningkatkan penanaman modal swasta dalam dan luar negeri terutama di provinsi pertanian. 3. Pemerintah pusat merevisi UU No. 33/2004 pasal 13 dengan menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah dari PPh perorangan dari 20% menjadi 30%.
149
Saran Penelitian Lanjutan 1.
2.
3.
4.
Data pajak daerah pada penelitian ini adalah data agregat pajak, sedangkan jenis-jenis pajak kabupaten/kota dan pajak provinsi sangat berbeda. Pajak kabupaten/kota sebagian besar adalah pajak-pajak tidak langsung terutama dari sektor perdagangan, sedangkan pajak provinsi sebagian besar pajak-pajak langsung terutama pajak-pajak terkait kendaraan bermotor. Oleh karena itu, pada penelitian lanjutan disarankan melakukan kajian untuk setiap jenis pajak daerah agar dapat diketahui jenis pajak yang paling berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal. Data belanja daerah adalah gabungan belanja rutin dan belanja pembangunan yang merupakan konsekuensi perubahan format APBD sejak tahun 2005. Sementara itu, saat ini belum ada metode disagregasi yang dapat memisahkan belanja rutin dan belanja pembangunan sedangkan studi-studi terdahulu menunjukkan perbedaan dampak kedua jenis belanja tersebut terhadap perekonomian dan kemiskinan. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan kajian mengenai metode diasgregasi belanja daerah yang tepat. Kajian pengentasan kemiskinan pada penelitian ini menggunakan pendekatan pertumbuhan pro-poor. Akan tetapi, menurut de Janvry dan Sadoulet (2010) pengentasan kemiskinan dapat juga dilakukan dengan transfer pendapatan (cash transfer) langsung kepada rumahtangga miskin. Pada prakteknya, pendekatan ini beberapa kali dilakukan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Namun, studi-studi cash transfer di Indonesia umumnya dilakukan untuk cakupan nasional dengan sumber anggaran APBN atau bantuan asing. Sementara studi-studi serupa di tingkat daerah sangat terbatas dan hanya dilakukan pada daerah-daerah tertentu serta tidak dikaji secara sektoral. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan kajian dampak cash transfer terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah secara menyeluruh. Kajian sektoral pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan keterkaitan belanja daerah, PDRB, dan kemiskinan di setiap sektor. Sedangkan, studistudi terdahulu seperti Suryahadi, et al. (2009) dan Ravallion dan Datt (1996) menunjukkan adanya keterkaitan pertumbuhan dan kemiskinan antar sektor. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan studi dampak dan keterkaitan pertumbuhan antar komponen sektoral terhadap kemiskinan sektoral.
150
DAFTAR PUSTAKA Abbott, D. 2007. Pro-poor policies: what are they? How do they contribute to the achievement of the MDGs? Paper presented at Sub-Regional Workshop for the North Pacific: Integrating MDGs into National Development Strategies and Budgets, 26 – 29 June 2007. UNDP, Bangkok. ADB. 1999. Fighting Poverty in Asia and the Pacific: The Poverty Reduction Strategy. Asian Development Bank, Manila. Afrizawati. 2012. Analisis Flypaper Effect pada Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi, 2(1): 21-30. Ariyanto, B. 2002. Studi Transfer Pemerintah dalam Era Desentralisasi di Indonesia: Kasus Dana Perimbangan. Tesis Magister. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Depok. Balisacan, A.M., E.M. Pernia, A. Asra. 2003. Revisiting Growth and Poverty Reduction in Indonesia: What Do Subnational Data Show? Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38(2): 201-22. Balitbang Depdagri dan Fisipol UGM. 1991. Pengukuran Kemampuan Daerah Tingkat II Dalam Rangka Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab. Balitbang Depdagri, Jakarta. Bastian, I. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga, Jakarta. Bidani, N., M. Ravallion. 1993. A Regional Poverty Profile for Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 29(3): 37-68. Bird, R.M. 2011. Subnational Taxation in Developing Countries: A Review of the Literatur. Journal of International Commerce, Economic and Policy, 2(1): 139161. Booth, A., Firdaus. 1996. Effect of Price and Market Reform on the Poverty Situation of Rural Communities and Firm Families. Working Paper. United Nations Economic and Social Commision for Asia and the Pacific (UN ESCAP), New York. Bourguignon, F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. World Bank, Washington, D.C. BPS. 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ------. 2009. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Brodjonegoro, B. 2001. Indonesian Intergovernmental Transfer in Decentralization Era: The Case of General Allocation Fund. Paper presented at An International Symposium on Intergovernmental Transfers in Asian Countries: Issues and Practices. Asian Tax and Public Policy Program, Hitotsubashi University, 9-10 February 2001, Tokyo.
151
Cheema, G.S., D.A. Rondinelli. 1983. Decentralization and Development. Sage. Beverly Hills. Daniels, L. 2011. Measuring Poverty Trends in Uganda with Non-monetatry Indicators. Paper presented at the Fourth Global Conference on Agricultural and Rural Household Statistics. Wye City Group. 9-11 November 2011, Rio de Janeiro, Brazil. De Janvry, E. Sadoulet 2010. Agricultural Growth and Poverty Reduction: Additional Evidence. The World Bank Research Observer, 25(1): 1-20. Devas, N. 1989. Financing Local Government in Indonesia. Ohio University Center for International Studies, Ohio. DJPK. 2005. Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia. Internet, diacu 9 Desember 2013. Tersedia dari http://www.djpk.depkeu.go.id. Dornbusch, R., S. Fischer, R. Startz. 2008. Macroeconomics. Tenth edition. McGraw-Hill International Edition, Singapore. Eastwood, R., M. Lipton. 2001. Pro-poor Growth and Pro-Growth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications. Asian Development Review, 18(2): 1-37. Fan, S., P. Al-Riffai, M. El-Said, B. Yu, A. Kamaly. 2006. A Multi-level Analysis of Public Spending, Growth and Poverty Reduction in Egypt. Discussion Paper, International Food and Policy Research Institute, Washington, D.C. Foster, J.E. 1998. Absolute versus Relative Poverty. The American Economic Review, 88(2): 335-341. Foster, J.E., J. Greer, E. Thorbecke. 1984. A Class of Decomposable Poverty Measures. Econometrica 52(3): 761-766. Fukasaku, K., de Mello Jr. 1999. Fiscal Decentralization in Emerging Economies. Governance Issues. OECD Development Centre. Paris. Gramlich, E.M. 1977. Intergovernmental Grants: A Review of the Empirics Literature. In The Political Economy of Fiscal Federalism, ed. Wallace Oates, 219-239. MA: Heath-Lexington, Lexington. Gujarati. D. 2008. Basic Econometrics. Fifth edition. McGraw-Hill, New York. Haughton, J., S.R. Khandker. 2009. Handbook on Poverty and Inequality. World Bank, Washington D.C. Hines, J.R., R.H. Thaler, 1995. Anomalies the Flypaper Effect. Journal of Economic Perspectives, 9(4): 217-226. Hsiao, C. 1995. Analysis of Panel Data. Econometric Society Monograph No. 11. Cambridge University Press, Cambridge. Inman, Robert P. 2008. The Flypaper Effect. Working Paper 14579. National Bureau of Economic Research. Cambridge. Kadmasasmita. A.D. 2014. Akuntabilitas Keuangan Negara: Konsep dan Aplikasi. Internet, diacu 16 Desember 2013. Tersedia dari: http://www.stialan.ac.id/artikel/artikel%20achmad_djuaeni.pdf.
152
Kakwani, N. 1993. Poverty and Economic Growth with Application to Cote D’Ivoire. Review of Income and Wealth, 39(2): 121-139. Kakwani, N., E.M. Pernia. 2000. What is Pro-poor Growth?, Asian Development Review, 18(1): 1-16. Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Pustaka Cidesindo, Jakarta. Klasen, S. 2004. In Search of The Holy Grail: How to Achieve Pro-Poor Growth?, in Toward Pro-Poor Policies: aid, institutions and globalization, ed. B Tungodden, N Stern, I Kolstad, 63-94. Oxford University Press for the World Bank, New York. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: an Introductory Exposition of Econometric Methods. Second edition. The MacMillan Press Ltd, London. Kukk, K. 2008. Fiscal Policy Effects on Economic Growth: Short Run vs Long Run. TUTWPE No. 167. Tallinn University of Technology, Tallinn. Kuncoro, H. 2004. Pengaruh Transfer Antar Pemerintah Pada Kinerja Fiskal Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 9(1): 47-63. Kuznets, S. 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American Economic Review, 45(1): 1-28. Laabas, B., I. Limam. 2004. Impact of Public Policies on Poverty, Income Distribution and Growth. Paper prepared in the context of the IFPRI/API Collaborative Research Project: “ Public Policy and Poverty Reduction in the Arab Region”. Arab Planning Institute, Kuwait. Lucas, R.E., Jr. 1988. On the Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, 22(1): 3-42. Mahi, R. 2005. Peran Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 6(1): 39-49. Makmun. 2008. Studi Kemampuan Daerah dalam Memberikan Subsidi Listrik. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 16(1). Malik, A., A.M. Ahmed. The Relationship between Real Wages and Output: Evidence from Pakistan. The Pakistan Development Review, 39(4): 1111-1126. Mallick, S.K. 2008. A macroeconomic policy approach to poverty reduction. Working paper. Brooks World Poverty Institute, University of Manchester, Manchester. Mankiw, N.G. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Penerbit Eerlangga, Jakarta. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. McKay, A. 2002. Assessing impact of fiscal policy on poverty. Discussion paper, No. 2002/43. World Institute for Development Economics Research, United Nations University, Helsinki. Miranti, R. (2010). Poverty in Indonesia 1984-2002: The Impact of Growth and Changes in Inequality. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 46(1): 79-97.
153
Musgrave, R.A. 1959. The Theory of Public Finance. McGraw-Hill, New York. Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Niskanen, W. 1968. The Peculiar Economics of Bureaucracy. The American Economic Review, 58(2): 293-305. Oates, W. 1972. Fiscal Federalism. Harcourt Brace Jovanovich Inc., New York. Oates, W. 1999. An Essay of Fiscal Federalism. Journal of Economics Literature, 37(3): 1120-1149. OECD. 2006a. Promoting Pro-Poor Growth: Agriculture. DAC Guidelines and Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris. ---------. 2006b. Promoting Pro-Poor Growth: Infrastructure. DAC Guidelines and Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris. ---------. 2009a. Promoting Pro-Poor Growth: Social Protection. DAC Guidelines and Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris. ---------. 2009b. Promoting Pro-Poor Growth: Employement. DAC Guidelines and Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris. Panjaitan, M. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara: Suatu Pendekatan Ekonometrika. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pardede, R. 2004. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi Kabupatan Tapanuli Utara dan Kota Medan: Aplikasi Model InputOutput. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pyndick, R.S., D.L. Rubinfeld. 1991. Economic Models and Economic Forecasts. Richard D. Irwin and MacGraw-Hill, Boston. Ravallion, M. 1995. Growth and Poverty: Evidence for Developing Countries in the 1980s. Economic Letters, 48: 411-417. Ravallion, M. 1998. Poverty Lines in Theory and Practice: Living Standards Measurement Study. Working paper, No. 13. World Bank, Washington, D.C. Ravallion, M., G. Datt. 2002. Why has economic growth been more pro-poor in some states of India than others? Journal of Development Economics, 68(2): 381-400. Ravallion, M., S. Chen. 1997. What can new survey data tell us about redent changes in distribution and poverty?, World Bank Economic Review, 11(2): 357-382. Romer, P.M. 1986. Increasing Returns and Long Run Growth. Journal of Political Economy, 94(5): 1002-1037. Rondinelli, D.A. 1990. Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response. Development and Change, 21(3): 491-500.
154
Rosen, H.S. 1999. Public Finance. McGraw-Hill, New York. Samuelson, P.A., W.D. Nordhaus. 2005. Macroeconomics. Eighteenth Edition. McGraw-Hill, New York Saruc, N.T., I. Sagbas. 2008. The Surge Impact of the Flypaper, Substitution and Stimulation Effect on Local Tax Effort in Turkey. International Research Journal of Finance and Economics, 13: 42-49. SAS Institute. 2004. SAS/ETS(R) 9.1 User’s Guide. Cary, NC: SAS Institute Inc. New York. Seers, D. 1969. The Meaning of Development. International Development Review, 11(4): 3-4. Sinaga, B.M., H. Siregar. 2003. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Indonesia. Laporan penelitian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitepu, R.K., B.M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Stiglitz, J.E. 2000. Economics of the Public Sector. W W Norton, New York. Sulistiyawan, E. 2009. Metode Kuadrat Terkecil Dua Tahap (TSLS) dalam Strutural Equation Models (SEM). Stigma Journal of Science, 03(1): 17-21. Supriyati, Saptana, Sumedi. 2001. Dinamika Ketenagakerjaan dan Penyerapan Tenaga Kerja di Pedesaan Jawa (Kasus di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (PSE). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian R.I., Bogor. Suryahadi, A., D. Suryadarma, S. Sumarto. 2009. The Effects of Location and Sectoral Components of Economic Growth on Poverty: Evidence from Indonesia. Journal of Development Economics 89: 109-117. Suryahadi, A., G. Hadiwidjaja, S. Sumarto. 2012. Economic Growth and Poverty Reduction in Indonesia Before and After the Asian Financial Crisis. Working paper. The SMERU Research Institute, Jakarta. Susilowati, S.H. 2010. Pendekatan Skala Ekivalensi untuk Kemiskinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 28(2): 91-105.
Mengukur
Tanzi, V. 2004. Measuring efficiency in public expenditure. Paper presented in Conference on Public Expenditure Evaluation and Growth. World Bank, Washington, D.C. Thorbecke, E. 1993. Impact of State and Civil Institutions on the Operation of Rural market and Nonmarket Configurations. World Development, 21(4): 565575. Todaro, M.P., S.C. Smith. 2003. Economic Development. Eighth edition. Longman, New York Turnbull, G.K. 1998. The Overspending and Flypaper Effect of Fiscal Illusion: Theory and Empirical Evidence. Journal of Urban Economics, 44(1): 1-26.
155
Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan. Tesis Magister. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Walpole, R.E., R.H. Myers. 1978. Probability and Statistics for Engineers and Scientists. Second edition. Macmillan Publishing Co., Inc., London. Warr, P. 2006. Poverty and Growth in Southeast Asia. ASEAN Economic Bulletin, 23(3): 279-302. Whitfield, L. 2008. Pro-Poor Growth: a review of contemporary debates. Working paper. Danish Institute for International Studies (DIIS), Copenhagen. Widarjono, A. 2006. Does Intergovenmental Transfers Cause Flypaper Effect on Local Spending? Jurnal Ekonomi Pembangunan, 11(2): 115-123. Wilde, J.A. 1968. The Expenditure Effects of Grants-in-Aid Programs. National Tax Journal, 21(3): 340-348 World Bank. 2007. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007. World Bank Office, Jakarta. World Bank. 2008. World Development Report 2008: Agriculture for Development. World Bank, Washington, D.C. World Bank. 2009. Handbook on Poverty and Inequality. World Bank, Washington, D.C. Yanizar. 2012. Dampak Alokasi Pengeluaran Dana Pembangunan Pemerintah Daerah dan Investasi Swasta terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Kemiskinan Provinsi Jambi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
156
LAMPIRAN
157
Halaman ini sengaja dikosongkan
158
Lampiran 1. IHK Provinsi Tahun 2005-2011 (2007=100) Provinsi 1. NAD 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Lampung 8. Kepulauan Riau 9. Jawa Barat 10. Jawa Tengah 11. D.I. Yogyakarta 12. Jawa Timur 13. Banten 14. Bali 15. NTB 16. NTT 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan Sumber : BPS data diolah
2005 76.19 81.47 81.49 82.60 79.90 80.79 82.32 86.10 81.99 83.40 80.80 83.61 83.67 87.78 83.24 79.62 83.06 84.18 79.99 83.42 82.50 81.29 83.05
2006 91.30 92.47 91.88 92.62 90.59 92.98 95.13 94.95 93.04 94.14 92.36 94.26 93.95 95.64 93.58 91.40 93.30 94.48 92.05 94.40 93.33 94.07 94.62
2007 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
2008 108.85 109.82 110.54 110.69 110.70 111.72 112.14 109.22 110.03 108.21 109.24 110.01 110.94 107.74 111.92 112.03 111.54 110.15 110.38 112.90 111.15 110.11 113.75
2009 115.86 115.32 116.64 116.04 115.84 116.60 120.32 114.35 115.81 113.32 114.85 115.25 117.88 113.92 119.72 119.82 117.99 114.88 116.53 120.50 115.43 117.45 121.31
2010 120.34 121.55 122.62 121.10 123.40 121.19 128.49 119.42 121.28 119.01 120.72 121.19 123.20 121.12 127.23 130.49 124.97 122.05 125.18 128.81 121.09 123.80 127.27
2011 127.71 129.99 131.19 128.74 130.71 127.16 138.63 125.70 126.81 124.40 127.78 127.54 128.65 128.53 135.36 138.49 132.85 130.27 132.30 138.47 125.61 131.99 133.27
159
Lampiran 2. Data dalam Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menurut Provinsi, 2005-2011 1. Pajak Daerah Nominal (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 207 262 1 608 350 472 147 739 382 314 744 585 094 518 092 291 193 4 049 733 2 426 186 455 789 3 823 084 1 310 707 1 163 359 195 080 112 406 300 155 153 971 514 346 806 654 197 385 145 053 697 531
2006 365 033 1 685 214 516 429 852 666 350 500 742 998 564 763 457 876 4 161 383 2 643 122 473 087 4 080 198 1 390 900 1 108 053 242 480 134 922 369 381 201 928 546 267 909 374 217 039 166 830 834 959
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 486 988 973 249 313 102 1 123 424 491 926 933 571 303 599 410 257 2 481 347 1 223 982 177 490 2 067 989 941 369 309 071 189 724 256 028 333 405 377 938 480 734 1 625 340 158 451 209 238 661 798
2006 647 843 1 226 158 380 944 1 806 461 712 626 1 271 487 379 953 584 435 2 632 820 1 502 789 188 655 2 481 523 904 048 324 563 230 267 298 786 402 840 455 259 679 834 6 238 423 187 568 247 647 785 685
2007 434 903 1 885 251 599 002 1 039 747 411 470 851 892 627 660 614 056 4 776 659 2 974 884 558 634 4 475 989 1 607 671 1 279 686 313 903 151 369 418 059 255 712 654 987 1 157 987 268 868 205 331 1 024 193
2008 554 119 2 408 105 808 069 1 414 862 580 171 1 165 446 856 174 875 162 5 941 094 3 683 449 669 929 5 512 123 2 002 425 1 879 973 410 594 195 550 562 465 362 183 990 413 1 737 305 351 941 289 063 1 266 029
2009 564 205 2 292 295 752 648 1 245 331 500 605 1 062 003 817 077 853 500 6 109 385 3 908 492 708 624 6 038 255 2 048 782 2 091 405 438 564 221 416 533 121 335 806 931 779 1 731 691 365 660 277 386 1 279 924
2010 624 333 2 830 624 920 612 1 294 166 681 052 1 430 245 1 075 278 921 860 7 879 233 4 760 511 820 377 7 251 230 2 724 662 2 445 638 474 035 258 823 719 853 455 630 1 190 971 2 237 012 468 924 401 402 1 598 193
2011 750 241 4 158 694 1 185 693 2 094 242 962 525 2 038 019 1 411 906 1 186 796 10 988 176 5 828 730 1 047 434 10 118 998 4 306 729 3 402 119 651 825 352 804 1 147 247 803 491 1 813 448 4 103 121 631 886 503 352 2 211 443
2010 1 073 454 1 957 339 572 198 2 024 646 792 107 2 015 798 653 254 863 205 4 796 545 2 582 857 383 212 4 562 973 1 732 055 698 719 445 808 477 810 666 299 693 287 682 572 2 771 900 398 249 393 151 1 120 313
2011 1 021 921 1 683 634 533 046 1 936 579 805 674 1 767 718 613 708 939 844 4 156 856 2 269 462 323 214 3 742 784 1 288 630 535 382 472 565 466 922 623 913 655 213 687 048 3 094 360 317 747 388 480 1 083 728
2. Bagi Hasil Pajak Nominal (Juta Rp) 2007 657 291 1 500 637 468 900 1 687 781 700 854 1 502 134 450 676 666 804 3 203 826 1 749 808 230 938 3 004 813 1 109 001 405 696 290 534 364 298 466 538 606 825 574 557 3 177 694 246 316 309 585 900 115
2008 927 402 1 536 835 503 173 1 812 394 662 498 1 517 122 470 467 734 595 3 831 810 2 076 758 304 606 3 323 646 1 283 651 513 482 293 742 356 055 506 064 584 169 599 834 3 393 006 222 316 313 255 951 308
2009 974 597 1 704 316 508 162 1 724 110 714 203 1 565 597 505 001 641 264 3 947 226 2 274 045 331 684 3 883 436 1 424 447 576 947 317 377 402 633 589 763 601 560 579 064 2 582 159 342 209 336 583 1 033 904
160
Lampiran 2. Lanjutan 3. Kapasitas Fiskal Nominal (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 3 765 071 2 928 527 1 073 211 9 183 266 1 244 493 3 438 733 1 389 462 1 289 765 8 183 427 5 246 624 827 610 7 383 771 2 539 931 1 739 381 696 407 566 648 774 209 808 016 1 616 416 11 999 959 463 642 434 770 1 802 106
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 3 120 169 4 830 352 2 846 717 1 647 753 1 827 665 2 527 723 2 685 725 669 551 9 107 170 10 501 301 1 565 931 10 979 136 1 941 806 1 824 509 1 912 051 2 911 010 2 473 405 2 390 308 1 979 425 1 809 265 1 537 684 1 842 067 4 174 615
2006 4 014 083 3 433 276 1 288 679 12 913 809 1 805 342 4 595 960 1 608 254 2 910 407 8 730 561 6 076 723 918 966 8 521 850 2 655 241 1 757 642 788 841 718 364 1 016 610 990 693 1 927 341 15 313 834 529 189 552 112 2 203 274
2007 3 706 259 3 966 157 1 524 732 11 471 834 1 994 614 5 027 798 1 650 163 2 393 970 10 086 259 6 836 504 1 083 399 9 808 903 3 160 597 2 048 888 974 156 844 483 1 272 474 1 438 261 2 137 836 13 745 589 699 408 678 316 2 721 883
2008 4 765 033 4 660 684 1 832 844 15 093 119 2 201 758 5 972 850 2 052 362 4 006 268 12 149 113 8 183 447 1 356 513 11 696 344 3 819 945 2 851 342 1 038 227 899 652 1 462 266 1 548 925 2 904 055 19 551 111 744 539 788 007 3 026 868
2009 3 355 517 4 701 682 1 816 355 11 003 978 2 276 451 5 641 190 1 811 560 3 644 925 13 777 857 9 021 823 1 463 214 13 218 883 4 067 086 3 204 579 1 205 703 1 021 495 1 596 754 1 625 718 3 793 719 16 883 380 906 802 843 052 3 098 511
2010 2 964 928 5 728 431 2 166 157 15 348 292 3 057 512 8 313 682 2 484 269 5 248 387 16 535 042 10 514 886 1 647 498 16 374 816 5 189 029 3 825 460 1 525 855 1 183 720 1 848 692 1 899 189 4 007 694 21 528 295 1 085 322 1 034 969 3 511 915
2011 4 101 186 7 276 837 2 547 198 16 502 098 3 693 378 9 176 302 2 919 530 5 218 460 19 539 899 11 838 432 1 895 774 19 321 543 6 443 715 4 791 167 2 061 434 1 348 078 2 386 508 2 470 455 5 675 069 27 920 163 1 243 266 1 236 585 4 209 119
2010 7 106 046 11 741 861 6 937 972 1 844 004 3 772 846 5 370 919 5 753 849 1 269 313 18 690 298 19 628 181 2 992 336 21 275 682 4 228 750 3 549 610 4 366 909 6 248 344 6 131 708 5 670 502 4 247 594 1 435 609 4 438 597 4 490 615 8 801 134
2011 8 499 017 13 742 018 7 838 557 4 136 917 4 427 994 6 811 083 7 127 241 1 802 931 20 655 213 21 551 750 3 329 976 23 550 297 4 919 433 3 955 511 4 847 252 7 482 854 6 884 032 6 356 374 4 737 692 3 542 935 4 959 636 5 076 439 9 860 792
4. Dana Alokasi Umum Nominal (Juta Rp) 2006 5 020 880 8 333 576 5 128 640 1 879 006 2 693 986 4 281 799 4 264 521 1 061 551 11 391 701 15 850 372 2 452 463 16 616 760 2 704 950 2 854 128 2 998 811 4 412 964 4 654 627 4 373 819 3 360 323 2 306 877 2 759 223 3 262 777 6 639 833
2007 5 770 630 9 764 579 5 749 387 2 629 987 3 133 542 4 951 966 4 720 307 1 463 606 15 752 885 17 529 086 2 707 775 18 772 518 3 261 483 3 292 774 3 645 155 5 062 742 5 079 791 4 886 209 3 749 497 2 889 083 3 071 682 3 612 224 7 399 645
2008 6 319 320 10 427 931 6 519 166 2 240 616 3 376 903 5 452 010 5 202 555 1 126 613 17 155 799 18 859 054 3 006 847 20 536 885 3 651 863 3 560 349 3 919 127 5 181 175 5 648 449 5 381 200 4 115 483 2 719 736 3 069 319 4 054 223 8 107 791
2009 6 833 391 10 833 925 6 665 101 2 254 257 3 453 125 5 364 547 5 421 500 1 565 574 18 222 348 19 381 313 3 015 919 20 891 910 3 937 637 3 666 076 4 070 814 6 275 031 5 853 241 5 515 163 4 246 247 2 186 485 4 051 066 4 136 956 8 279 705
161
Lampiran 2. Lanjutan 5. Belanja Pertanian Nominal (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 163 003 161 406 101 529 237 625 79 319 88 220 73 858 12 682 312 979 296 066 58 011 363 623 57 484 81 733 74 244 142 211 92 767 102 840 90 693 233 645 50 442 90 773 149 288
2006 250 446 320 418 174 423 336 574 121 443 178 188 144 654 34 289 410 438 440 801 87 967 517 953 81 047 104 698 125 810 214 417 162 294 169 490 171 363 284 257 108 690 147 844 270 916
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 11 124 46 332 7 244 5 693 20 267 16 493 2 472 16 186 32 671 37 263 4 146 22 122 16 977 37 251 20 036 18 486 8 789 10 826 6 933 5 533 4 094 6 372 31 013
2006 24 327 70 286 8 328 10 327 8 503 4 845 2 785 4 526 29 095 14 884 2 147 17 042 58 27 261 11 119 18 772 5 729 9 573 9 030 14 479 4 086 10 167 54 833
2007 517 589 496 140 246 307 752 359 260 549 407 959 241 041 55 134 660 023 613 277 104 162 677 308 103 159 190 299 210 306 295 360 267 951 244 839 265 538 497 032 157 018 198 142 403 336
2008 529 578 477 644 330 835 631 389 299 320 338 709 240 761 50 806 636 438 708 304 128 438 793 822 119 446 202 199 182 349 310 455 277 426 320 447 291 389 418 959 165 975 212 649 440 731
2009 526 015 443 307 236 421 450 332 343 089 331 126 210 680 68 715 553 096 645 448 94 771 805 081 97 711 162 418 113 210 334 548 249 540 295 243 230 757 513 781 187 065 226 350 393 328
2010 528 254 507 276 253 040 519 975 338 676 395 675 190 551 70 274 724 522 687 600 88 303 931 260 117 147 160 172 179 964 366 468 295 718 288 281 144 480 507 815 217 120 203 435 387 858
2011 512 667 577 011 305 780 428 919 268 873 464 786 332 371 79 199 758 315 854 066 89 405 984 975 123 627 205 377 247 593 397 562 416 272 348 211 339 533 500 478 252 333 301 170 457 989
2010 181 584 85 663 16 926 21 409 32 846 12 043 8 104 17 052 104 473 197 793 399 261 350 36 471 26 032 11 190 29 091 8 576 24 384 21 993 35 185 21 051 18 666 45 669
2011 155 839 99 157 20 847 78 728 30 867 22 505 12 863 27 505 114 113 197 715 777 236 813 46 695 24 429 9 318 23 944 13 825 27 613 23 218 40 958 23 687 11 503 40 736
6. Belanja Perindustrian Nominal (Juta Rp) 2007 61 330 60 077 20 112 56 948 18 790 25 347 16 762 13 303 138 878 71 236 4 635 88 464 12 093 26 700 16 367 26 873 11 036 21 733 10 448 67 466 5 782 25 805 78 096
2008 107 674 82 304 19 674 24 190 23 877 17 017 35 007 23 026 138 244 90 080 998 120 780 30 613 32 805 8 944 26 705 20 919 22 509 12 745 48 726 10 413 29 919 65 787
2009 161 385 52 030 18 299 24 377 26 403 23 864 22 938 21 300 110 255 177 087 1 551 209 246 31 455 27 951 13 634 12 128 8 626 18 893 20 466 48 504 20 346 15 223 51 767
162
Lampiran 2. Lanjutan 7. Belanja Perdagangan Nominal (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 5 594 27 530 20 920 18 214 7 835 36 552 13 026 9 980 36 403 81 247 6 735 38 898 9 150 18 041 4 405 2 275 13 302 31 684 48 133 33 456 10 438 10 542 16 923
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 558 128 1 006 838 433 245 1 744 947 618 990 1 048 393 559 964 89 543 1 923 865 1 344 047 244 965 1 928 047 674 717 275 071 190 067 374 739 434 053 768 544 445 332 2 569 709 171 557 367 214 702 349
2006 22 701 43 132 16 841 37 796 5 162 15 055 11 780 3 431 23 136 63 617 10 874 43 274 3 306 8 166 7 983 202 3 128 25 293 16 204 25 872 11 108 14 089 14 701
2007 15 280 70 950 29 223 187 596 17 280 46 732 51 017 12 824 115 511 225 201 35 270 122 442 21 943 10 574 33 357 18 656 24 598 47 211 58 099 118 637 20 132 30 686 31 094
2008 22 644 43 293 49 681 172 524 21 774 78 791 23 339 3 807 89 922 293 389 23 716 129 249 18 748 10 599 23 142 21 873 21 737 45 899 50 837 66 707 24 337 17 337 34 119
2009 10 586 82 411 37 246 111 429 20 769 59 967 19 934 15 428 81 223 184 240 30 837 165 329 12 670 10 815 8 162 43 412 35 370 44 913 47 713 79 365 31 703 23 358 35 912
2010 17 791 60 666 64 822 115 711 21 032 72 264 21 543 37 120 104 828 153 080 49 801 179 243 13 896 9 764 13 585 30 543 45 817 41 941 35 211 78 540 40 623 24 662 41 705
2011 26 290 99 764 72 370 71 665 21 450 88 954 67 359 30 532 125 766 207 722 41 288 183 175 15 866 6 154 17 336 47 560 41 610 38 119 61 229 119 056 42 051 24 169 46 745
2010 2 785 345 2 695 453 1 412 933 4 067 387 1 529 921 2 869 764 1 333 075 1 375 149 4 707 713 2 768 325 230 968 4 689 851 1 490 777 608 422 687 002 1 463 648 1 797 859 1 921 827 1 688 029 5 682 174 1 067 659 1 049 039 1 781 053
2011 2 699 740 3 093 988 1 324 563 3 116 488 1 893 219 3 301 626 1 710 455 1 000 553 4 601 848 3 122 688 464 591 4 282 181 1 546 879 537 326 956 256 1 038 428 1 704 455 1 627 364 1 626 709 6 427 616 1 062 277 842 680 1 984 222
8. Belanja Infrastruktur Nominal (Juta Rp) 2006 919 523 1 617 511 917 327 1 872 719 973 190 2 783 233 1 181 849 323 070 2 484 393 2 421 843 258 351 3 176 803 1 563 466 522 289 368 992 599 552 1 055 707 1 544 591 841 108 4 783 443 443 279 576 816 1 243 223
2007 1 941 979 2 013 991 1 318 324 2 367 251 1 089 973 3 060 328 1 331 312 702 284 3 774 658 2 966 363 390 169 4 012 955 1 171 046 639 428 634 744 979 509 1 542 494 1 736 602 1 200 630 4 210 514 620 230 865 280 1 707 370
2008 3 135 948 2 875 806 1 548 593 4 673 852 1 627 512 3 544 941 1 295 212 940 969 3 762 325 3 260 049 670 234 4 011 138 1 083 368 972 561 581 492 1 053 930 1 787 231 1 985 883 1 469 895 6 001 834 647 375 991 361 2 402 933
2009 3 476 556 2 635 280 1 338 405 4 018 584 1 229 726 2 548 162 1 176 238 1 388 422 3 608 241 3 009 348 457 347 4 480 000 1 122 149 891 198 675 362 1 246 398 1 617 020 2 146 254 1 792 651 6 085 218 1 045 988 1 059 028 2 058 694
163
Lampiran 2. Lanjutan 9. Total Belanja Daerah Nominal (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 7 201 537 8 587 575 4 307 660 8 967 051 3 154 809 5 431 668 4 166 584 1 816 606 18 131 215 16 205 187 2 629 956 19 070 946 4 565 752 3 715 504 2 763 813 3 738 728 3 511 807 3 410 230 3 490 274 11 036 952 2 278 117 2 470 991 6 470 200
2006 9 354 602 11 682 044 6 416 977 12 525 677 4 213 414 8 808 181 6 232 137 3 134 749 21 675 470 21 932 469 3 464 831 25 505 714 6 158 916 5 058 847 3 935 675 5 201 754 5 679 047 5 490 083 5 267 986 15 553 034 3 625 901 3 900 233 9 215 024
2007 12 680 692 15 396 408 8 002 878 16 490 687 5 602 666 11 439 437 7 643 415 5 205 845 28 322 627 26 455 688 4 044 448 29 969 695 6 992 779 6 013 241 5 197 725 6 671 201 6 827 923 6 803 723 6 520 584 20 209 490 4 522 739 5 007 913 11 621 219
2008 15 469 757 17 287 836 9 860 415 17 405 701 6 897 724 12 716 982 8 216 593 4 838 737 32 279 536 31 653 570 5 419 257 35 437 838 8 282 222 7 029 899 5 675 330 7 615 861 8 331 160 7 968 966 7 858 708 23 314 266 4 614 958 5 664 802 14 082 836
2009 17 897 117 19 266 704 10 489 378 18 226 825 7 204 933 12 474 916 8 628 542 6 617 897 37 845 753 32 714 074 5 303 888 40 363 540 8 992 805 8 234 728 6 246 427 8 764 425 9 093 898 8 805 470 9 349 065 24 622 790 6 270 516 6 358 224 14 824 869
2010 18 090 531 20 829 321 11 733 885 18 458 813 7 758 521 14 433 859 10 107 474 7 076 007 43 268 405 36 149 726 5 716 513 47 088 195 10 714 115 8 715 611 7 176 207 9 688 070 9 941 143 8 741 715 10 191 695 24 847 615 6 951 359 6 782 869 15 294 617
2011 19 345 890 25 130 353 12 289 897 18 643 110 8 584 787 17 665 386 13 050 995 8 036 122 50 508 708 42 104 442 6 334 442 50 062 235 12 889 422 9 672 872 8 375 699 11 173 874 11 005 952 9 167 184 10 994 322 26 994 689 8 046 974 7 925 899 17 980 568
10. Kemandirian Fiskal (%) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 5.5 22.4 16.9 13.5 15.8 15.0 16.3 19.3 29.2 24.7 24.7 27.6 35.0 38.4 12.0 8.2 11.9 8.9 22.3 11.6 13.0 8.7 16.2
2006 7.6 18.7 13.5 12.9 13.2 12.4 12.9 19.6 26.1 20.7 21.0 23.0 28.4 28.3 11.2 7.9 10.0 7.3 17.3 11.8 9.1 7.3 14.3
2007 7.1 15.8 12.7 12.6 11.7 10.6 11.4 17.4 23.1 19.0 21.0 22.2 29.3 27.3 10.3 7.0 10.3 7.3 16.4 10.3 8.9 6.7 13.9
2008 7.4 17.8 13.2 16.2 13.2 12.5 13.8 21.4 24.6 19.1 19.4 22.8 30.5 33.2 11.4 7.1 10.3 8.1 18.3 13.0 10.5 7.9 13.7
2009 6.4 15.3 12.2 13.2 10.9 12.5 12.6 16.1 22.8 20.4 21.3 22.4 29.3 31.9 11.6 6.9 9.8 7.6 15.0 13.8 8.7 7.8 13.5
2010 6.4 17.8 13.3 12.7 12.7 13.9 14.3 16.4 25.2 21.7 22.0 23.8 32.2 35.8 11.6 7.2 11.1 9.0 17.0 15.3 9.4 9.2 15.2
2011 6.7 21.9 15.8 17.8 16.5 15.8 14.5 18.6 28.5 22.1 24.6 29.3 39.9 43.9 16.4 7.7 14.6 12.7 22.5 22.1 10.5 10.1 16.8
164
Lampiran 2. Lanjutan 11. Panjang Jalan Aspal (km) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 8 060 15 663 9 101 6 338 4 569 10 417 5 668 726 19 609 22 108 3 374 27 257 3 142 4 862 4 453 4 663 5 019 3 710 5 325 5 085 4 194 5 976 7 059
2006 8 938 15 725 8 472 5 369 4 762 7 502 6 851 730 21 259 21 304 3 440 30 023 3 315 5 782 4 199 6 797 4 078 3 633 6 305 3 122 3 476 9 274 9 681
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 15 201 942 33 486 113 11 433 001 30 171 587 6 053 438 14 358 881 15 139 552 2 182 320 46 430 738 44 806 485 3 991 035 69 684 863 7 773 571 7 296 041 5 815 159 6 034 394 9 155 266 7 251 866 7 174 910 9 535 872 3 615 568 7 941 798 16 188 361
2006 18 196 888 35 807 654 13 396 524 36 294 176 7 173 738 17 300 120 18 166 620 2 369 108 52 586 284 57 364 982 4 574 164 80 910 218 8 212 873 7 930 061 6 505 202 6 857 125 10 181 147 8 576 830 7 777 784 10 792 274 4 328 030 8 796 220 18 513 257
2007 11 198 18 103 8 911 6 287 5 268 7 795 7 533 733 22 485 22 649 3 406 31 432 3 618 6 399 4 195 9 530 5 121 3 721 6 562 3 739 3 541 11 790 13 513
2008 10 916 18 396 9 175 7 035 5 319 8 342 7 549 737 22 711 23 054 3 417 32 215 3 707 6 430 4 236 9 606 4 883 3 836 6 667 3 671 3 546 11 918 15 838
2009 9 098 19 378 9 535 8 981 5 987 9 228 10 047 2 762 20 707 24 403 3 673 34 055 4 036 5 863 4 846 9 295 6 416 4 663 6 572 5 110 4 891 8 128 16 612
2010 9 946 19 410 9 790 9 439 6 405 9 355 11 713 2 724 20 722 22 970 3 722 34 352 4 304 6 709 5 042 9 192 6 838 5 345 6 637 5 771 4 896 8 026 16 472
2011 10 479 20 192 10 321 9 509 6 747 9 231 12 304 2 789 20 727 22 897 3 599 35 539 4 304 6 829 5 058 9 192 6 744 5 345 6 859 5 903 5 161 7 906 16 472
2010 21 968 444 63 181 841 20 792 322 69 025 080 15 814 677 27 661 518 39 916 660 3 434 220 97 194 393 86 667 552 6 644 695 122 623 968 14 210 396 12 097 348 10 038 756 10 655 483 15 168 464 12 187 981 12 487 663 19 215 774 7 167 323 14 507 237 30 442 430
2011 23 854 174 70 635 868 23 243 792 77 985 165 18 566 306 31 415 110 46 287 631 3 712 922 103 131 444 95 094 911 7 370 795 136 027 920 15 284 451 12 743 485 11 350 296 11 546 008 16 730 149 13 972 705 13 711 835 22 289 040 7 915 832 16 493 715 34 788 232
12. PDRB Pertanian Nominal (Juta Rp) 2007 18 135 800 41 010 152 14 754 868 43 595 169 8 366 858 20 080 335 22 732 966 2 612 093 62 894 902 63 832 142 4 941 800 89 627 587 9 156 761 8 711 066 7 181 228 7 706 388 11 436 733 9 292 697 8 856 263 12 864 617 4 774 117 10 313 240 20 900 360
2008 19 397 727 48 871 766 17 379 925 53 137 564 9 791 985 22 965 527 28 802 380 2 868 417 72 517 608 72 862 986 5 993 781 102 815 940 11 009 719 9 884 823 8 319 378 8 746 992 12 834 639 9 664 205 10 158 546 15 523 103 5 673 670 12 137 730 25 071 809
2009 20 416 142 54 431 194 18 381 918 60 270 256 12 113 078 23 824 888 34 591 074 3 192 447 85 149 263 79 342 554 6 366 771 112 233 859 12 162 939 11 326 123 9 117 556 9 553 184 13 955 200 10 460 969 11 380 214 16 956 036 6 231 928 13 231 345 28 008 206
165
Lampiran 2. Lanjutan 13. PDRB Industri Nominal (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 10 258 031 35 555 030 5 084 343 27 881 009 2 702 262 17 867 383 5 259 706 21 286 720 173 067 743 79 037 443 3 588 201 121 251 936 53 900 181 3 171 738 868 578 266 258 6 444 998 1 955 765 4 079 921 65 988 813 1 582 761 1 279 350 7 137 864
2006 8 532 036 41 192 511 6 055 971 32 313 284 3 112 689 22 286 619 6 146 604 24 420 316 214 242 075 92 646 435 4 078 214 137 966 415 61 778 056 3 518 324 948 804 298 129 7 646 123 2 080 306 4 047 835 71 805 685 1 858 008 1 430 286 8 245 336
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 7 084 527 26 094 915 7 799 757 9 124 858 3 438 994 9 051 350 6 150 316 9 307 706 74 280 673 46 694 124 4 866 927 107 123 913 14 499 931 10 116 783 2 923 359 2 368 426 7 712 168 4 168 611 4 750 616 10 463 894 2 877 212 2 083 183 7 880 009
2006 8 104 293 30 340 309 8 992 233 11 179 723 4 265 670 10 941 014 7 573 095 9 475 459 90 022 994 55 362 795 5 597 603 128 690 339 17 081 608 10 964 358 3 384 598 2 720 325 8 558 176 4 432 173 5 152 785 12 746 465 3 181 923 2 379 562 9 507 866
2007 7 935 044 45 531 177 7 179 243 39 156 004 3 804 725 25 305 859 8 313 988 24 203 354 236 628 972 103 218 431 4 475 680 154 363 456 65 827 926 4 093 976 1 083 503 325 910 8 485 531 2 350 851 4 364 119 74 879 047 2 062 800 1 631 985 9 158 552
2008 8 189 779 51 640 677 8 597 361 50 179 231 4 568 278 31 089 859 9 798 072 26 611 279 276 714 347 125 006 771 5 062 275 176 922 162 71 714 831 4 941 639 1 279 191 344 287 9 578 227 2 721 538 4 726 895 103 969 150 2 318 115 2 151 627 11 060 440
2009 7 789 412 55 050 579 9 279 510 59 796 962 5 258 205 32 459 464 12 514 338 29 517 887 281 275 082 130 352 154 5 528 856 193 256 482 75 128 199 5 588 428 1 491 345 374 739 10 291 190 3 056 227 5 071 961 78 131 959 2 664 225 2 547 427 12 514 886
2010 7 512 523 63 293 455 10 197 209 70 309 301 5 981 287 34 656 378 17 120 714 33 488 734 291 688 080 146 155 157 6 396 639 214 024 729 83 123 176 6 120 474 1 638 225 427 448 11 138 112 3 340 926 5 611 080 80 490 474 2 972 701 2 812 821 14 457 259
2011 7 541 286 70 672 275 11 265 372 80 086 270 6 747 658 37 449 533 20 555 157 38 343 836 319 983 632 166 108 727 7 434 020 239 844 520 91 675 157 6 572 989 1 758 209 471 728 12 005 211 3 637 070 6 270 582 91 242 912 3 248 856 3 084 443 16 789 288
2010 12 029 968 52 384 318 15 474 821 32 276 355 7 827 668 20 386 926 16 530 762 14 180 068 172 713 197 86 998 316 9 008 181 229 404 872 31 312 762 20 016 062 6 264 539 4 654 429 13 766 022 8 867 155 8 956 143 26 385 156 6 242 702 4 437 424 20 434 953
2011 13 710 154 60 032 520 17 836 651 40 269 373 9 476 118 23 754 980 20 433 382 15 568 076 194 431 786 98 268 230 10 246 578 265 238 860 35 572 454 22 499 947 7 215 389 5 388 756 15 074 176 10 213 522 10 479 604 30 668 030 6 823 104 5 301 431 24 236 347
14. PDRB Perdagangan Nominal (Juta Rp) 2007 9 227 064 34 846 208 10 367 999 14 064 411 4 773 912 12 919 872 8 714 733 10 632 966 100 691 124 60 877 927 6 326 700 150 733 654 20 400 506 12 517 789 3 951 540 3 060 048 9 696 975 5 196 718 5 932 313 14 617 104 3 746 998 2 708 691 10 986 578
2008 10 222 603 41 281 118 12 532 368 19 317 093 5 647 973 15 937 658 10 158 964 12 058 309 129 912 046 71 617 055 7 321 299 177 014 047 24 621 928 14 712 079 4 625 844 3 399 758 11 018 475 6 453 297 6 857 284 18 219 954 4 660 927 3 416 630 13 913 800
2009 10 743 849 44 941 662 13 694 246 24 878 635 6 428 163 17 546 075 11 948 935 12 487 883 149 056 003 78 262 543 8 165 613 195 184 788 27 690 651 17 868 608 5 411 537 3 891 233 12 125 071 7 688 522 7 698 123 22 218 449 5 505 248 3 841 235 16 690 285
166
Lampiran 2. Lanjutan 15. PDRB Total Nominal (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 56 951 612 139 618 314 44 674 569 139 018 996 22 487 011 81 531 510 40 906 789 43 289 165 389 244 654 234 435 323 25 337 603 405 041 742 97 170 026 35 261 829 25 682 675 14 810 472 33 869 468 20 983 170 31 794 069 180 289 090 18 763 479 17 366 740 51 780 443
2006 70 786 835 160 376 799 53 029 588 167 068 189 26 061 774 95 928 763 49 118 989 48 749 881 473 187 293 281 996 709 29 417 349 472 286 954 111 845 095 38 851 075 28 596 882 16 904 073 38 648 273 24 483 071 34 670 494 199 588 125 21 216 490 19 701 520 60 902 824
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 13 947 11 243 9 782 28 747 8 484 11 962 5 772 33 849 9 942 7 355 7 529 11 103 10 712 10 355 6 190 3 461 8 389 10 653 9 645 62 446 8 752 7 512 6 914
2006 17 462 12 723 11 976 33 485 9 627 13 966 6 637 35 321 11 904 8 812 8 884 13 231 11 687 11 351 6 464 4 039 8 648 11 142 10 531 69 162 9 780 8 040 7 671
2007 71 093 359 181 819 737 59 799 045 210 002 560 32 076 677 109 895 707 60 921 966 51 826 272 526 220 225 312 428 807 32 916 736 536 981 882 122 843 947 44 003 380 33 522 225 19 136 982 43 540 865 27 931 950 39 438 767 222 628 921 24 081 133 23 218 709 69 271 925
2008 73 547 551 213 931 697 70 954 515 276 400 130 41 056 484 133 664 987 73 719 259 58 574 996 633 283 483 367 135 955 38 101 685 621 391 675 139 864 778 51 916 170 35 314 731 21 655 869 49 132 966 32 760 168 45 843 794 314 813 521 28 697 756 28 727 505 85 143 191
2009 71 986 954 236 353 616 76 752 938 297 173 028 44 127 006 137 331 848 88 934 861 63 892 937 689 841 314 397 903 944 41 407 050 686 847 558 152 556 216 60 292 239 44 014 619 24 179 412 54 281 172 37 161 800 51 460 176 285 590 822 33 033 610 32 461 332 99 954 590
2010 77 983 776 275 700 207 87 221 254 345 661 314 53 816 693 157 534 956 108 378 507 71 614 514 771 593 860 444 692 015 45 625 590 778 565 772 171 690 414 66 690 598 49 559 794 27 738 760 60 501 505 42 620 950 59 821 157 321 904 880 36 911 815 37 319 063 117 862 210
2011 85 537 966 314 156 937 98 917 269 413 350 123 63 268 138 181 776 073 128 408 895 80 242 794 861 006 348 498 614 636 51 782 092 884 143 575 192 218 910 73 478 162 48 729 107 31 204 406 66 780 222 49 072 507 68 234 881 390 638 617 41 505 118 44 317 855 137 389 879
2010 17 351 21 237 17 995 62 412 17 404 21 145 14 245 42 649 17 922 13 732 13 196 20 775 16 148 17 141 11 013 5 922 13 763 19 267 16 495 90 597 16 256 14 163 14 669
2011 20 746 23 517 21 669 63 554 21 359 24 515 16 153 63 554 19 908 15 323 14 935 24 298 17 558 20 207 10 220 6 977 13 784 19 611 19 190 119 498 18 029 16 485 16 582
16. PDRB per Kapita Nominal (Ribu Rp) 2007 17 467 14 248 13 427 39 448 11 630 15 753 8 110 39 448 13 011 9 727 9 846 14 981 12 489 12 693 7 461 4 509 9 580 12 376 11 793 75 192 10 962 9 295 8 675
2008 17 128 16 403 14 897 53 265 14 725 18 768 9 974 40 310 15 477 11 253 10 985 16 751 14 566 14 766 8 093 4 776 11 563 15 924 13 301 101 727 12 997 11 781 10 909
2009 16 498 17 840 15 897 56 002 15 569 19 014 11 871 42 165 16 622 12 107 11 824 18 421 15 594 16 979 9 927 5 234 12 568 17 817 14 719 90 240 14 821 13 088 12 639
167
Lampiran 2. Lanjutan 17. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian (Ribu Orang) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 922 2 721 833 700 631 1 966 2 134 206 4 069 6 339 634 8 188 924 609 863 1 597 1 167 565 742 353 379 619 1 713
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 55 310 131 173 76 121 196 51 2 615 2 552 240 2 357 633 345 178 120 102 25 130 154 46 38 152
2006 900 2 412 822 978 638 1 948 1 892 101 3 955 5 989 612 7 919 711 663 900 1 470 1 253 604 614 409 341 713 1 314
2007 780 2 419 906 931 662 1 896 1 879 82 4 259 6 148 546 8 392 759 714 925 1 377 1 254 572 725 370 373 646 1 581
2008 786 2 611 924 1 014 707 1 898 1 840 81 4 212 5 697 560 8 242 813 726 867 1 448 1 309 596 763 457 363 672 1 614
2009 847 2 694 907 1 000 696 1 905 1 830 83 4 256 5 865 571 8 288 745 704 884 1 473 1 314 597 728 456 346 680 1 589
2010 810 2 875 900 969 811 1 986 2 111 98 3 964 5 617 540 7 939 723 672 1 005 1 334 1 266 565 728 456 358 663 1 572
2011 898 2 595 814 1 086 771 2 029 1 715 98 3 676 5 376 431 7 520 630 557 872 1 360 1 294 605 756 454 321 655 1 469
18. Jumlah Tenaga Kerja Industri (Ribu Orang) 2006 72 344 119 95 47 132 247 128 2 744 2 703 191 2 405 669 251 190 164 97 36 133 78 42 30 125
2007 76 387 140 123 48 155 263 131 2 767 2 766 209 2 458 695 289 195 165 86 42 131 83 45 48 147
2008 87 448 128 108 46 159 272 186 2 935 2 703 251 2 412 706 263 210 141 85 36 112 84 44 50 183
2009 81 501 131 119 42 156 299 158 3 074 2 657 237 2 386 844 294 213 135 76 30 114 76 58 44 215
2010 78 455 138 127 50 168 290 253 3 389 2 815 247 2 483 1 054 304 204 144 101 36 130 83 51 39 197
2011 73 484 153 146 49 168 359 195 3 572 3 047 267 2 665 1 140 290 170 125 89 31 117 85 66 66 223
168
Lampiran 2. Lanjutan 19. Jumlah Tenaga Kerja Perdagangan (Ribu Orang) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 223 913 321 284 164 477 322 84 3 732 3 318 426 3 354 822 442 283 90 245 132 304 254 162 105 491
2006 219 934 352 278 160 355 371 118 3 747 3 409 411 3 498 779 404 346 94 274 128 355 228 132 117 537
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 1 542 5 166 1 737 1 700 1 097 3 069 3 114 501 14 629 15 549 1 758 17 668 3 315 1 946 1 785 2 039 1 822 888 1 510 1 119 855 946 3 028
2006 1 624 4 860 1 808 1 773 1 103 3 022 3 064 516 14 998 15 567 1 751 17 670 3 236 1 870 1 907 1 973 1 954 944 1 488 1 147 829 1 036 2 739
2007 249 956 384 334 182 380 522 117 4 123 3 418 435 3 718 861 463 350 131 280 130 333 232 165 149 566
2008 253 1 119 396 361 191 494 543 125 4 181 3 255 457 3 776 980 482 327 141 276 121 368 259 164 156 579
2009 264 1 156 415 376 201 457 601 140 4 303 3 462 455 3 933 970 489 347 149 261 121 376 283 173 161 637
2010 314 1 196 406 408 230 498 568 154 4 207 3 388 438 3 788 1 190 571 373 151 273 140 388 327 173 164 604
2011 299 1 209 442 491 231 558 606 194 4 555 3 402 480 3 908 1 118 597 370 147 277 158 390 364 196 190 655
2010 1 776 6 126 2 041 2 170 1 462 3 421 3 737 769 16 942 15 809 1 775 18 698 4 583 2 177 2 133 2 061 2 096 1 023 1 744 1 482 937 1 164 3 272
2011 1 852 5 912 2 071 2 424 1 435 3 553 3 482 782 17 455 15 916 1 799 18 940 4 530 2 205 1 962 2 096 2 147 1 106 1 825 1 591 991 1 261 3 376
20. Total Tenaga Kerja (Ribu Orang) 2007 1 571 5 083 1 889 1 908 1 147 3 058 3 281 536 15 854 16 304 1 774 18 751 3 384 1 982 1 951 2 010 2 005 966 1 599 1 092 909 1 084 2 939
2008 1 622 5 540 1 956 2 056 1 224 3 191 3 314 613 16 480 15 464 1 892 18 882 3 669 2 030 1 905 2 086 2 041 982 1 670 1 260 912 1 132 3 136
2009 1 733 5 766 1 999 2 067 1 261 3 197 3 387 626 16 901 15 835 1 896 19 305 3 705 2 057 1 967 2 161 2 081 999 1 706 1 303 940 1 150 3 222
169
Lampiran 2. Lanjutan 21. Rata-rata Upah Pertanian per Bulan Nominal (Ribu Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 541 529 459 712 665 531 380 624 313 257 289 281 315 493 222 282 702 750 589 951 497 404 379
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 585 866 687 1 180 798 706 600 1 152 779 520 446 645 971 632 230 525 612 976 789 2 104 697 562 569
2006 574 723 514 934 640 510 436 681 319 325 358 304 399 422 253 241 715 698 503 943 511 520 485
2007 695 705 581 771 629 570 405 772 337 328 423 313 377 472 288 405 723 749 619 1 318 514 503 467
2008 839 775 737 936 750 714 495 936 442 391 527 356 876 632 451 357 855 830 729 1 563 606 561 563
2009 843 795 721 886 728 648 537 946 441 407 482 421 608 652 471 563 925 937 847 1 670 641 713 555
2010 847 840 606 991 830 855 557 1 016 454 426 349 420 603 642 439 490 938 989 850 1 429 932 639 589
2011 900 1 014 887 1 230 1 049 1 055 743 1 288 514 503 576 490 676 718 564 414 1 039 1 256 909 1 295 895 918 670
22. Rata-rata Upah Industri per Bulan Nominal (Ribu Rp) 2006 857 928 567 1 087 1 050 797 488 1 312 819 519 720 760 1 046 608 319 553 955 692 656 1 121 748 313 844
2007 1 036 884 662 1 178 792 777 593 1 799 923 530 647 704 1 118 691 408 604 858 826 787 2 246 860 645 645
2008 898 904 769 1 328 826 903 650 1 748 934 560 732 734 1 031 754 523 725 896 902 783 2 136 776 745 787
2009 989 1 192 914 1 346 1 264 1 188 718 1 939 1 070 615 798 818 1 458 858 557 649 963 1 188 918 2 228 980 732 857
2010 994 1 189 901 1 520 1 229 1 227 823 2 137 1 191 750 766 945 1 505 899 752 630 1 072 959 951 2 094 949 734 864
2011 1 108 1 148 1 099 1 630 1 140 1 247 931 2 433 1 284 796 967 949 1 429 1 013 650 679 1 440 1 192 1 553 1 710 1 202 1 009 845
170
Lampiran 2. Lanjutan 23. Rata-rata Upah Perdagangan per Bulan Nominal (Ribu Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 590 643 741 673 838 591 519 1 004 747 538 601 567 801 743 475 462 619 651 657 986 760 375 561
2006 885 823 798 921 710 952 663 1 060 926 566 617 656 897 756 600 501 736 583 706 879 936 770 854
2007 970 900 781 833 727 815 595 1 203 838 568 752 699 989 986 716 569 787 873 748 1 044 994 708 699
2008 943 912 833 857 669 867 724 1 248 923 658 749 794 1 418 1 081 656 608 880 669 645 1 037 828 814 972
2009 985 1 149 977 1 036 838 942 821 1 342 1 059 690 773 830 1 342 1 254 878 745 864 927 903 1 442 878 752 868
2010 942 1 153 1 075 1 077 894 939 807 1 351 1 121 764 857 877 1 362 1 340 876 791 885 1 053 1 001 1 500 1 185 860 983
2011 1 058 1 075 1 249 1 288 934 1 303 775 1 635 1 181 874 1 048 1 036 1 512 1 324 927 829 1 058 1 360 1 036 1 423 1 200 844 907
24. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Pertanian per Bulan Nominal (Ribu Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 203 201 206 263 239 171 155 208 192 174 202 168 173 296 147 128 182 179 183 224 178 183 168
2006 230 225 224 315 243 208 193 304 216 188 209 185 204 277 188 137 216 235 232 316 228 188 182
2007 258 275 261 355 293 273 236 409 239 211 266 216 231 325 214 155 265 286 274 331 255 220 217
2008 306 305 300 419 340 297 254 453 249 228 255 231 260 308 226 168 289 334 306 355 290 256 214
2009 337 335 350 480 349 317 275 538 293 253 298 263 290 343 251 202 315 371 354 419 322 297 232
2010 368 370 394 444 403 379 323 532 334 298 331 304 337 422 294 246 349 416 424 497 382 353 319
2011 435 462 480 605 524 446 385 617 388 349 370 344 365 538 366 277 440 554 530 576 460 424 365
171
Lampiran 2. Lanjutan 25. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Industri per Bulan Nominal (Ribu Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 262 256 237 376 283 224 186 342 351 254 332 256 328 310 195 185 206 323 297 414 208 177 321
2006 294 318 302 362 303 305 260 533 344 236 343 268 404 392 200 193 255 299 315 498 288 243 255
2007
2008
368 371 390 438 337 375 316 1 013 380 283 386 332 535 373 220 200 377 362 365 575 381 268 315
2009 398 375 426 496 394 345 363 637 435 310 399 392 574 415 274 288 300 436 487 761 340 301 335
2010 373 295 371 352 239 379 296 486 352 313 361 288 412 305 264 276 312 323 312 527 273 267 311
455 495 487 666 486 402 403 794 515 386 547 490 639 697 351 389 460 617 515 1 517 491 471 545
2011 562 580 618 766 573 592 437 830 674 428 466 578 719 629 407 352 850 609 541 840 525 500 481
26. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Perdagangan per Bulan Nominal (Ribu Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 234 316 317 442 363 262 255 416 279 266 325 293 361 508 231 291 327 366 271 412 568 274 306
2006 346 387 347 471 365 335 295 594 317 279 396 292 376 494 294 312 359 370 361 491 410 368 318
2007
2008 431 436 409 514 414 415 375 724 374 328 503 349 463 545 328 323 451 414 450 583 418 380 367
2009 463 488 506 622 449 458 443 764 404 360 444 409 491 507 371 325 437 480 499 671 380 395 454
2010 453 375 417 534 333 373 311 441 359 296 319 350 523 415 315 365 384 407 453 574 345 280 403
563 721 660 753 565 554 620 749 515 453 626 478 682 738 551 493 691 599 678 992 649 565 680
2011 671 639 761 917 753 669 607 987 645 551 707 608 812 1 038 532 625 896 761 821 1 135 787 838 687
172
Lampiran 2. Lanjutan 27. Indeks Gini Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 0.30 0.33 0.30 0.28 0.31 0.31 0.38 0.27 0.34 0.31 0.42 0.36 0.36 0.33 0.32 0.35 0.31 0.28 0.28 0.32 0.32 0.30 0.35
2006 0.28 0.30 0.33 0.31 0.31 0.28 0.31 0.33 0.35 0.31 0.39 0.30 0.33 0.35 0.37 0.37 0.27 0.21 0.33 0.30 0.36 0.37 0.36
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 42.93 26.55 21.95 10.66 19.37 22.88 44.08 42.23 9.62 24.92 29.93 29.42 20.26 12.41 37.38 25.28 21.23 26.44 25.42 24.19 27.86 24.48 6.44
2006 43.23 19.22 21.44 17.42 14.16 23.03 26.85 27.78 20.33 24.85 32.35 31.66 18.45 5.87 27.57 33.51 15.73 12.77 10.15 20.88 15.35 34.25 13.96
2007 0.27 0.31 0.31 0.32 0.31 0.32 0.39 0.30 0.34 0.33 0.37 0.34 0.37 0.33 0.33 0.35 0.31 0.30 0.34 0.33 0.32 0.32 0.37
2008 0.27 0.31 0.29 0.31 0.28 0.30 0.35 0.30 0.35 0.31 0.36 0.33 0.34 0.30 0.33 0.34 0.31 0.29 0.33 0.34 0.28 0.33 0.36
2009 0.29 0.32 0.30 0.33 0.27 0.31 0.35 0.29 0.36 0.32 0.38 0.33 0.37 0.31 0.35 0.36 0.32 0.29 0.35 0.38 0.31 0.34 0.39
2010 0.30 0.35 0.33 0.33 0.30 0.34 0.36 0.29 0.36 0.34 0.41 0.34 0.42 0.37 0.40 0.38 0.37 0.30 0.37 0.37 0.37 0.37 0.40
2011 0.33 0.35 0.35 0.36 0.34 0.34 0.37 0.32 0.41 0.38 0.40 0.37 0.40 0.41 0.36 0.36 0.40 0.34 0.37 0.38 0.39 0.38 0.41
2010 30.67 15.43 15.19 11.80 7.24 16.30 23.46 10.46 19.05 23.94 30.38 23.45 16.25 9.74 27.22 29.12 11.43 9.87 7.94 20.00 12.50 23.20 16.72
2011 25.55 15.98 15.19 11.91 10.11 16.41 21.37 5.34 21.84 22.67 36.44 22.29 13.87 7.88 22.93 27.28 10.41 8.94 9.23 13.71 13.12 20.51 15.10
28. Headcount Index Pertanian (%) 2007 39.80 17.29 19.91 14.76 10.55 17.34 21.43 21.89 20.39 24.91 26.47 24.78 23.13 5.44 21.44 31.72 8.28 10.06 9.32 21.97 14.47 27.18 10.23
2008 30.00 15.96 16.57 12.70 8.85 18.68 24.89 16.97 22.90 27.76 32.76 28.25 17.98 13.33 32.43 34.44 12.62 14.05 9.14 23.39 13.36 25.77 21.23
2009 30.59 14.90 13.45 10.11 8.54 18.97 24.16 9.20 20.12 24.86 28.12 25.97 15.44 10.23 29.42 30.69 11.85 10.61 8.00 14.77 13.62 25.07 19.00
173
Lampiran 2. Lanjutan 29. Headcount Index Industri (%) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 13.25 17.57 28.39 0.00 0.00 19.29 18.88 21.62 10.41 16.00 11.52 12.55 2.13 3.64 9.64 14.51 16.30 0.00 4.55 0.00 0.00 51.36 6.80
2006 37.87 12.27 14.00 12.58 16.57 21.00 21.76 11.23 9.46 15.74 24.31 14.43 6.33 3.24 20.17 22.07 10.80 7.90 5.08 11.12 3.95 29.58 10.14
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 39.25 8.64 8.35 2.41 5.66 13.35 0.00 17.63 5.89 9.92 9.08 11.74 6.07 3.28 11.73 7.19 7.48 13.97 9.64 8.89 19.61 5.07 5.47
2006 22.96 10.28 11.30 7.99 9.99 14.99 16.07 8.39 9.95 11.35 13.89 13.50 8.95 1.30 11.02 21.30 6.14 2.41 5.68 6.88 3.66 11.06 6.30
2007 22.18 10.36 12.82 8.77 10.06 7.59 13.07 2.83 10.98 15.01 19.30 10.25 2.82 5.85 24.87 31.46 3.50 4.20 6.43 8.84 7.05 26.96 7.14
2008 25.29 9.07 6.35 11.17 5.42 26.62 18.77 4.71 9.83 17.19 18.54 11.19 3.75 4.65 17.62 8.52 13.28 8.99 8.50 6.06 17.64 29.63 12.47
2009 21.90 28.80 12.50 23.86 19.18 9.74 26.65 11.51 26.33 17.16 0.00 18.98 0.00 10.83 16.53 10.00 20.14 8.01 6.99 26.65 17.15 30.18 11.88
2010 23.90 4.29 13.08 4.09 6.76 22.56 16.71 11.50 12.89 13.18 15.95 9.81 2.29 4.89 18.78 21.96 6.30 0.00 5.48 0.00 10.56 12.93 12.95
2011 18.89 8.19 7.30 8.18 5.26 3.92 23.43 7.89 6.27 13.77 11.03 8.92 3.74 1.47 17.61 20.16 8.63 19.28 7.08 0.38 10.79 13.52 11.06
2010 8.36 6.94 4.91 8.01 8.55 11.94 9.18 7.40 8.07 9.90 5.23 7.10 5.92 1.50 16.82 13.12 5.80 5.55 4.88 5.00 3.99 9.19 2.90
2011 10.18 5.21 3.46 2.43 2.98 9.71 8.79 16.06 5.66 9.32 4.63 6.65 3.59 0.69 12.07 7.55 4.61 2.77 3.27 0.24 0.97 3.84 2.10
30. Headcount Index Perdagangan (%) 2007 0.00 8.03 8.27 5.75 10.58 8.06 13.24 2.94 8.91 11.41 8.56 9.45 7.55 1.07 14.14 16.67 3.52 2.07 3.66 5.60 2.93 8.32 3.21
2008 11.01 4.92 4.33 7.36 7.23 13.71 13.68 3.44 10.17 11.80 9.06 8.22 6.50 1.59 15.01 4.11 7.72 6.13 3.91 2.96 3.39 14.89 6.04
2009 11.51 9.30 13.25 7.38 32.30 19.03 9.77 18.89 16.13 18.87 32.65 11.50 6.38 5.20 18.35 15.75 9.96 9.50 1.34 6.65 15.57 32.00 7.44
174
Lampiran 2. Lanjutan 31. Total Headcount Index (%) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 28.69 14.68 10.89 12.51 11.88 21.01 21.42 10.97 13.06 20.49 18.95 19.95 8.86 6.72 25.92 28.19 14.24 10.73 7.23 10.57 9.34 21.80 14.98
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 108 178 1 209 739 435 691 18 053 257 313 475 1 880 586 1 773 616 663 079 28 589 300 1 221 184 198 512 10 949 638 10 416 363 1 178 885 36 287 33 736 633 876 1 631 174 859 725 410 192 192 211 0 1 133 011
2006 28.28 15.01 12.51 11.85 11.37 20.99 22.77 12.16 14.49 22.19 19.15 21.09 9.79 7.08 27.17 29.34 15.24 11.00 8.32 11.41 11.54 23.63 14.57
2007 26.65 13.90 11.90 11.20 10.27 19.15 22.19 10.30 13.55 20.43 18.99 19.98 9.07 6.63 24.99 27.51 12.91 9.38 7.01 11.04 11.42 22.42 14.11
2008 23.53 12.55 10.67 10.63 9.32 17.73 20.98 9.18 13.01 19.23 18.32 18.51 8.15 6.17 23.81 25.65 11.07 8.71 6.48 9.51 10.10 20.75 13.34
2009 21.80 11.51 9.54 9.48 8.77 16.28 20.22 8.27 11.96 17.72 17.23 16.68 7.64 5.13 22.78 23.31 9.30 7.02 5.12 7.73 9.79 18.98 12.31
2010 20.98 11.31 9.50 8.65 8.34 15.47 18.94 8.05 11.27 16.56 16.83 15.26 7.16 4.88 21.55 23.03 9.02 6.77 5.21 7.66 9.10 18.07 11.60
2011 19.57 11.33 9.04 8.47 8.65 14.24 16.93 7.40 10.65 15.76 16.08 14.23 6.32 4.20 19.73 21.23 8.60 6.56 5.29 6.77 8.51 15.83 10.29
2010 81 930 2 291 074 144 849 1 816 050 557 811 3 413 324 548 346 1 656 491 31 012 681 1 327 007 54 508 23 991 238 19 736 318 2 815 537 3 788 634 34 526 2 704 177 8 422 148 3 832 675 17 701 501 2 134 902 1 398 384 7 184 079
2011 463 044 8 507 558 1 234 147 9 388 083 2 311 504 6 122 680 1 545 310 3 362 982 46 009 572 4 324 414 23 416 21 585 113 23 991 474 4 684 972 4 259 625 50 798 5 944 331 8 305 867 4 585 289 12 031 996 2 328 164 5 978 577 4 798 466
32. Total Penanaman Modal Nominal (Juta Rp) 2006 0 1 118 298 89 231 7 779 959 903 190 948 435 1 654 533 226 042 19 949 596 3 705 532 460 179 3 989 454 8 399 473 932 476 108 764 21 197 98 349 1 401 002 1 983 768 3 877 589 12 033 5 233 187 703
2007 163 512 3 344 634 553 125 10 848 112 4 917 651 2 834 234 1 336 588 598 187 23 836 617 1 232 748 40 987 17 741 317 7 740 817 492 245 55 468 3 768 392 306 1 178 166 946 965 1 884 994 711 887 554 192 595 914
2008 0 1 776 210 266 657 7 013 487 1 695 557 1 633 800 1 466 077 1 971 123 32 084 084 2 813 117 182 254 7 772 969 7 170 381 913 598 140 337 20 258 683 697 1 368 808 594 629 434 872 430 824 16 611 1 407 808
2009 83 375 3 375 405 460 881 5 756 779 594 535 1 114 484 857 268 2 408 256 23 217 867 3 424 182 108 862 8 272 865 17 879 463 2 186 068 25 380 37 228 778 187 1 509 997 2 878 932 834 182 593 733 31 208 1 861 502
175
Lampiran 2. Lanjutan 33. Luas Wilayah (km2) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 56 501 72 428 42 225 87 844 45 348 60 303 37 735 8 084 36 925 32 800 3 133 46 690 9 019 5 449 19 709 46 138 120 114 153 565 38 884 194 849 13 931 68 090 46 116
2006 56 501 72 428 42 225 87 844 45 348 60 303 37 735 8 084 36 925 32 800 3 133 46 690 9 019 5 449 19 709 46 138 120 114 153 565 38 884 194 849 13 931 68 090 46 116
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 4 084 12 418 4 567 4 836 2 651 6 816 7 087 1 279 39 151 31 874 3 366 36 482 9 071 3 405 4 149 4 280 4 037 1 970 3 297 2 887 2 144 2 312 7 490
2006 4 054 12 606 4 428 4 989 2 707 6 869 7 401 1 380 39 751 32 003 3 311 35 695 9 570 3 423 4 424 4 185 4 469 2 197 3 292 2 886 2 169 2 450 7 940
2007 57 956 72 981 42 013 87 024 50 058 91 592 34 624 8 202 35 378 32 801 3 133 47 800 9 663 5 780 18 572 48 718 147 307 153 565 38 744 204 534 13 852 61 841 46 717
2008 57 956 72 981 42 013 87 024 50 058 91 592 34 624 8 202 35 378 32 801 3 133 47 800 9 663 5 780 18 572 48 718 147 307 153 565 38 744 204 534 13 852 61 841 46 717
2009 57 956 72 981 42 013 87 024 50 058 91 592 34 624 8 202 35 378 32 801 3 133 47 800 9 663 5 780 18 572 48 718 147 307 153 565 38 744 204 534 13 852 61 841 46 717
2010 57 956 72 981 42 013 87 024 50 058 91 592 34 624 8 202 35 378 32 801 3 133 47 800 9 663 5 780 18 572 48 718 147 307 153 565 38 744 204 534 13 852 61 841 46 717
2011 57 956 72 981 42 013 87 024 50 058 91 592 34 624 8 202 35 378 32 801 3 133 47 800 9 663 5 780 18 572 48 718 147 307 153 565 38 744 204 534 13 852 61 841 46 717
2010 4 494 12 982 4 847 5 538 3 092 7 450 7 608 1 679 43 054 32 383 3 457 37 477 10 632 3 891 4 500 4 684 4 396 2 212 3 627 3 553 2 271 2 635 8 035
2011 4 123 13 359 4 565 6 504 2 962 7 415 7 950 1 263 43 249 32 541 3 467 36 387 10 948 3 636 4 768 4 472 4 845 2 502 3 556 3 269 2 302 2 688 8 285
34. Jumlah Penduduk (Ribu Orang) 2007 4 070 12 761 4 454 5 324 2 758 6 976 7 512 1 314 40 446 32 119 3 343 35 843 9 836 3 467 4 493 4 244 4 545 2 257 3 344 2 961 2 197 2 498 7 985
2008 4 294 13 042 4 763 5 189 2 788 7 122 7 391 1 453 40 918 32 626 3 469 37 095 9 602 3 516 4 364 4 534 4 249 2 057 3 447 3 095 2 208 2 438 7 805
2009 4 364 13 248 4 828 5 307 2 834 7 223 7 492 1 515 41 502 32 865 3 502 37 286 9 783 3 551 4 434 4 620 4 319 2 086 3 496 3 165 2 229 2 480 7 909
176
Lampiran 2. Lanjutan 35. Jumlah Pegawai Negeri Sipil (Orang) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 110 292 211 289 116 348 73 589 62 330 109 022 104 589 19 286 417 720 461 252 92 223 470 827 76 617 83 554 73 099 94 086 76 302 56 058 74 974 68 622 66 928 61 760 169 265
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 172.1 143.1 141.0 167.6 141.2 138.4 125.3 215.8 133.7 130.0 148.5 128.6 150.2 152.5 118.9 98.3 124.8 136.3 128.6 189.9 130.9 131.5 109.5
2006 119 586 212 362 118 710 74 714 62 851 109 677 103 689 20 666 404 757 444 496 89 707 449 479 75 926 85 143 73 883 94 351 77 796 57 842 76 593 70 670 68 208 62 162 166 627
2007 136 088 230 001 129 344 85 721 69 318 121 504 112 077 25 448 444 735 473 654 92 077 490 420 85 717 89 291 82 939 105 647 82 410 66 154 85 893 80 048 71 795 71 608 185 951
2008 144 950 229 749 128 821 92 649 71 298 125 406 118 059 26 798 455 422 472 095 89 867 485 233 91 951 86 059 80 688 102 931 84 701 64 325 82 795 77 891 68 658 72 480 184 453
2009 163 388 245 214 139 409 102 084 80 890 137 843 129 249 32 153 482 824 498 261 94 014 536 753 100 112 99 686 94 880 118 502 93 174 75 793 95 663 100 204 81 254 86 121 202 230
2010 170 032 257 534 142 406 105 212 82 770 142 685 129 627 33 801 477 496 496 205 92 066 532 181 99 563 101 493 95 799 126 038 94 605 77 134 97 407 102 005 79 697 86 821 207 778
2011 166 234 252 803 142 111 105 531 83 568 142 104 130 622 34 944 458 751 480 629 88 916 519 082 98 207 99 467 94 954 127 712 94 787 78 919 97 633 103 525 80 723 87 678 206 105
2010 278.4 222.9 230.8 256.1 216.2 221.7 202.4 295.1 201.1 192.4 224.3 199.3 208.0 208.2 196.2 175.3 189.4 215.5 210.9 285.2 194.3 203.2 163.1
2011 303.7 246.6 261.7 282.5 242.3 236.3 234.1 340.6 220.1 209.6 249.6 219.7 226.7 233.2 215.6 198.6 206.9 241.5 238.5 316.8 212.8 235.5 179.9
36. Garis Kemiskinan Nominal (Ribu Rp) 2006 198.9 162.7 154.2 185.1 154.9 160.6 144.9 228.6 149.7 142.3 170.7 145.2 160.7 161.8 140.7 115.0 134.7 151.9 147.9 207.3 145.3 147.4 120.8
2007 218.1 178.1 180.7 214.0 172.3 178.2 157.1 248.2 165.7 154.1 185.0 153.1 169.5 166.0 150.0 126.4 142.5 162.3 161.5 220.4 156.6 154.0 126.6
2008 239.9 193.3 195.7 229.4 182.2 196.5 172.3 262.2 176.2 168.2 194.8 169.1 181.1 176.6 167.5 139.7 158.8 186.0 180.3 238.0 168.2 168.0 138.3
2009 261.9 210.2 217.5 246.5 199.6 212.4 188.8 284.0 192.0 182.5 212.0 188.3 198.8 196.5 185.0 156.2 174.6 202.6 195.8 261.2 184.8 189.7 153.7
177
Lampiran 2. Lanjutan 37. Bagi Hasi Sumber Daya Alam Nominal (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 2 883 838 27 710 31 886 6 850 627 255 436 1 691 310 408 779 529 769 402 566 27 578 1 529 49 642 2 764 3 804 175 524 4 407 23 343 125 776 358 490 9 089 999 10 103 9 944 89 626
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2005 235 883 227 428 202 613 91 666 123 755 70 231 99 010 16 334 117 910 295 970 51 410 257 320 50 230 90 210 125 526 212 920 172 369 241 930 171 612 131 036 110 200 124 483 275 808
2006 2 654 476 18 249 38 373 9 497 721 535 156 2 230 162 423 976 1 711 794 433 573 28 354 1 759 181 114 2 713 3 299 116 451 7 823 47 766 136 874 335 200 7 245 469 12 657 21 177 103 426
2007 2 145 206 30 088 38 633 7 698 879 638 928 2 310 540 324 746 823 355 338 130 54 809 3 775 164 655 5 236 4 525 150 171 14 133 101 550 337 349 493 540 8 492 103 52 588 31 596 209 581
2008 2 691 269 46 002 26 934 10 462 351 627 173 2 866 968 450 632 2 238 517 371 057 53 175 978 283 145 6 236 1 306 98 317 3 135 101 541 321 010 866 541 13 123 444 35 962 27 767 146 805
2009 1 236 901 47 431 33 034 6 877 360 774 253 2 512 707 217 546 1 935 672 1 214 750 90 268 1 165 291 151 4 114 957 166 785 11 809 120 310 358 384 1 812 608 10 901 928 18 011 12 197 61 240
2010 739 046 53 443 34 148 10 981 569 1 278 514 4 293 956 382 769 3 228 075 845 665 102 238 8 835 581 675 6 328 2 791 250 581 5 973 77 409 419 404 1 595 306 14 948 064 34 619 15 788 61 236
2011 1 786 851 81 340 74 399 11 245 622 1 474 470 4 609 491 411 099 2 785 924 1 011 480 276 372 12 742 903 093 12 692 6 512 211 109 18 816 154 807 649 969 2 517 067 18 848 056 76 699 49 537 99 574
2010 822 760 1 407 646 700 705 281 238 454 879 552 169 675 921 106 880 1 729 519 1 992 419 274 584 1 885 736 378 604 333 568 488 262 860 011 640 510 456 536 542 100 247 779 620 676 461 238 1 006 571
2011 912 376 1 489 252 776 281 265 364 422 867 697 756 899 064 141 029 1 700 180 2 214 022 217 314 2 218 888 444 944 285 970 489 936 1 156 628 929 620 583 850 404 624 298 701 708 958 633 593 1 269 894
38. Dana Alokasi Khusus Nominal (Juta Rp) 2006 607 418 655 255 484 102 157 917 182 228 315 869 311 344 86 641 493 251 895 974 126 495 913 839 96 292 235 500 288 744 471 615 374 684 443 839 329 323 380 035 300 570 292 582 624 417
2007 754 797 985 936 698 762 248 214 359 435 441 726 464 575 119 039 820 592 1 291 860 181 585 1 343 313 232 454 347 999 433 038 719 249 562 951 641 307 408 456 326 789 493 415 456 367 966 158
2008 953 155 1 234 955 857 863 257 908 426 768 543 973 518 649 141 586 995 507 1 647 883 232 322 1 707 950 277 253 425 260 527 724 946 850 729 876 687 837 564 334 230 551 616 970 616 391 1 218 542
2009 1 047 694 1 492 003 948 611 275 636 448 425 625 148 670 344 237 475 1 301 869 2 027 798 289 434 2 148 726 339 361 484 340 526 669 1 147 635 744 977 699 620 684 685 356 553 937 285 603 893 1 316 209
178
Lampiran 3.
Diagram Keterkaitan Antar Variabel dalam Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah
179
Lampiran 4.
Program Estimasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dengan Metode 2SLS Prosedur SYSLIN pada software SAS/ETS 9.1.3.
proc import datafile="F:\D\disertasi\data.xls" out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet='final'; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.data; set work.propoor; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDG/POP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PAD/G*100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBTBG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtani/pop; PDRBINDKAP = pdrbind/pop; PDRBDGKAP = pdrbdg/pop; PDRBKAP = PDRB/POP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANI/PDRB*100; SHPDRBIND = PDRBIND/PDRB*100; SHPDRBDG = PDRBDG/PDRB*100; PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL PDRBL
= = = = = = = = = = = = = =
LAG(PJK); LAG(BHSPJK); LAG(DAU); LAG(GPGNKBNTNK); LAG(GIND); LAG(GDG); LAG(GIFR); LAG(GLN); LAG(UPHTANI); LAG(UPHIND); LAG(UPHDG); LAG(EXPTANI); LAG(GINI); LAG(PDRB);
IF TAHUN > 2005; proc syslin 2sls data=work.data outest=hasil; endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN DRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0;
180
instruments PM MTR WLYH POP PNS IFL GK RET KKYD PADLN BHSSD DAK DPTLN PDRBHTN PDRBIKAN PDRBKYU PDRBINDTANILN PDRBINDLN PDRBLN TKLN PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL PDRBL; model model model model model model model model model model model model model model model model model model model model model model model model model model model model identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity identity IDENTITY identity identity identity identity run;
PJK = BHSPJK = DAU = GPGNKBNTNK = GIND = GDG = GIFR = GLN = ASP = PDRBPGNKBNTNK = PDRBMKN = PDRBDG = TKTANI = TKIND = TKDG = UPHTANI = UPHIND = UPHDG = EXPTANI = EXPIND = EXPDG = GINI = POVTANIP0 = POVINDP0 = POVDGP0 = POVTANIP1 = POVTANIP2 = POVP0 = PAD = KAPFIS = GDGKAP = G = DPT = FISGAP = FISAUTO = PDRBTANI = PDRBINDTANI = PDRBIND = PDRBNONTANI = PDRB = PDRBTANIKAP = PDRBINDKAP = PDRBDGKAP = PDRBKAP = TK = SHPDRBTANI = SHPDRBIND = SHPDRBDG =
PDRBKAP PM MTR PJKL ; PDRBNONTANI WLYH BHSPJKL ; PDRBL POP WLYH PNS DAUL ; KAPFIS DAU DAK GPGNKBNTNKL ; KAPFIS DAU GINDL ; KAPFIS DAU GDGL ; KAPFIS DAU GIFRL ; KAPFIS DAU GLNL ; GIFR PM MTR /DW ; GPGNKBNTNK TKTANI ASP /dw; GIND TKIND /dw; GDGKAP TKDG ASP /dw; PDRBTANI UPHTANI ASP /dw; PDRBIND UPHIND ASP /dw; PDRBDG UPHDG ASP /dw; PDRBTANIKAP UPHTANIL ; PDRBINDKAP UPHINDL ; PDRBDGKAP UPHDGL ; UPHTANI IFL /dw; UPHIND IFL /DW ; UPHDG IFL /DW ; SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG GINIL ; EXPTANI GINI GK /dw; EXPIND GINI GK /dw; EXPDG GINI GK /dw; EXPTANI GINI GK /dw; EXPTANI GINI GK /dw; POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 /dw; PJK + RET + KKYD + PADLN; PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP; GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; G - KAPFIS; FISAUTO; PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP; PDRBINDKAP; PDRBDGKAP; PDRBKAP; tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI; SHPDRBIND; SHPDRBDG;
181
Lampiran 5.
Hasil Estimasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dengan Metode 2SLS Prosedur SYSLIN pada software SAS/ETS 9.1.3. The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PJK Dependent Variable PJK Label pajak daerah Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
4 133 137
3.449E14 8.682E12 3.535E14
8.622E13 6.528E10
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
255494.383 1421350.27 17.97547
F Value
Pr > F
1320.75
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.97544 0.97470
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept PDRBKAP PM MTR PJKL
1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -94933.9 3.060250 0.042283 99.61593 0.851747
40234.75 1.391187 0.007034 20.75682 0.049528
-2.36 2.20 6.01 4.80 17.20
0.0198 0.0296 <.0001 <.0001 <.0001
Intercept PDRB perkapita penanaman modal kendaraan bermotor LAG PJK
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
BHSPJK BHSPJK bagi hasil pajak
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
1.165E14 2.596E13 1.426E14
3.885E13 1.937E11
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
440164.014 1068570.32 41.19186
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
200.52
<.0001
0.81782 0.81374
Parameter Estimates Variable Intercept PDRBNONTANI WLYH BHSPJKL
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 77276.63 0.004145 3.330978 0.314815
63392.22 0.000586 0.873388 0.086613
1.22 7.07 3.81 3.63
0.2250 <.0001 0.0002 0.0004
Intercept PDRB non pertanian luas wilayah LAG BHSPJK
182
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DAU DAU DAU
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
5 132 137
2.9E15 5.499E13 2.955E15
5.801E14 4.166E11
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
645413.927 5875357.11 10.98510
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
1392.52
<.0001
0.98139 0.98069
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept PDRBL POP WLYH PNS DAUL
1 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 179927.2 -0.00720 107.6154 6.338917 18.81129 0.431706
125256.1 0.001181 25.26074 1.423235 3.001082 0.066265
1.44 -6.10 4.26 4.45 6.27 6.51
0.1532 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
Intercept Lag PDRB penduduk luas wilayah PNS LAG DAU
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GPGNKBNT GPGNKBNTNK G pertanian
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
4 133 137
3.682E12 5.692E11 4.257E12
9.204E11 4.28E9
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
65421.7083 293923.603 22.25807
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
215.05
<.0001
0.86609 0.86206
Parameter Estimates Variable Intercept KAPFIS DAU DAK GPGNKBNTNKL
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 36039.57 0.007570 0.008443 0.046851 0.542576
11008.29 0.002073 0.002908 0.037942 0.071836
3.27 3.65 2.90 1.23 7.55
0.0014 0.0004 0.0043 0.2191 <.0001
Intercept kapasitas fiskal DAU dana alokasi khusus LAG GPBNKBNTNK
183
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GIND GIND G perindustrian
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
2.1E11 4.487E10 2.554E11
6.999E10 3.3486E8
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
18299.2394 37179.8200 49.21820
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
209.01
<.0001
0.82392 0.81998
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept KAPFIS DAU GINDL
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -4952.50 0.000730 0.002365 0.749475
2663.146 0.000399 0.000461 0.056511
-1.86 1.83 5.13 13.26
0.0651 0.0698 <.0001 <.0001
Intercept kapasitas fiskal DAU LAG GIND
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GDG GDG G perdagangan
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
1.984E11 8.629E10 2.849E11
6.612E10 6.4393E8
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
25375.7373 44869.9845 56.55392
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
102.69
<.0001
0.69688 0.69009
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept KAPFIS DAU GDGL
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -1818.01 0.002214 0.002753 0.504975
3679.168 0.000609 0.000582 0.070261
-0.49 3.64 4.73 7.19
0.6220 0.0004 <.0001 <.0001
Intercept kapasitas fiskal DAU LAG GDG
184
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GIFR GIFR G infrastruktur
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
1.662E14 2.144E13 1.882E14
5.541E13 1.6E11
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
399978.455 1748045.22 22.88147
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
346.37
<.0001
0.88577 0.88322
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept KAPFIS DAU GIFRL
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 256753.3 0.082805 0.017387 0.625046
64621.06 0.014626 0.008340 0.057764
3.97 5.66 2.08 10.82
0.0001 <.0001 0.0390 <.0001
Intercept kapasitas fiskal DAU LAG GIFR
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GLN GLN G lainnya
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
7.778E15 6.313E13 7.84E15
2.593E15 4.711E11
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
686370.596 9534554.30 7.19877
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
5503.06
<.0001
0.99195 0.99177
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept KAPFIS DAU GLNL
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -162696 0.162246 0.302331 0.826398
102504.4 0.033154 0.043423 0.040186
-1.59 4.89 6.96 20.56
0.1148 <.0001 <.0001 <.0001
Intercept kapasitas fiskal DAU LAG GLN
185
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model ASP Dependent Variable ASP Label panjang jln aspal Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
5.8355E9 1.908E9 7.7409E9
1.9452E9 14238980
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
3773.45730 9803.94136 38.48919
F Value
Pr > F
136.61
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.75360 0.74808
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept GIFR PM MTR
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 2489.701 0.000634 0.000148 2.470515
598.7154 0.000348 0.000059 0.163036
4.16 1.82 2.52 15.15
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
<.0001 0.0706 0.0130 <.0001
Intercept G infrastruktur penanaman modal kendaraan bermotor
0.539286 138 0.716656
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PDRBPGNK Dependent Variable PDRBPGNKBNTNK Label PDRB pgn/kbn/tnk Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
6.01E16 5.067E15 6.494E16
2.003E16 3.781E13
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
6149006.14 19366098.4 31.75139
F Value
Pr > F
529.87
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.92226 0.92052
Parameter Estimates Variable Intercept GPGNKBNTNK TKTANI ASP
DF 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -6374729 1192973 24.73811 5.616437 5711.454 856.5614 930.0316 243.3905
-5.34 4.40 6.67 3.82
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
<.0001 <.0001 <.0001 0.0002
Intercept G pertanian TK pertanian panjang jln aspal
0.507689 138 0.741738
186
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PDRBMKN Dependent Variable PDRBMKN Label PDRB makanan jadi Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
2 135 137
3.769E16 2.102E16 5.812E16
1.885E16 1.557E14
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
12476660.8 10599562.9 117.70920
F Value
Pr > F
121.07
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.64205 0.63674
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept GIND TKIND
1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -2494254 1432910 195.8402 35.71463 11064.96 1640.610
-1.74 5.48 6.74
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.0840 Intercept <.0001 G perindustrian <.0001 TK industri 0.433438 138 0.783082
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PDRBDG Dependent Variable PDRBDG Label PDRB perdagangan Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
2.042E17 2.668E16 2.295E17
6.808E16 1.991E14
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
14109584.5 25956610.7 54.35835
F Value
Pr > F
341.96
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.88447 0.88189
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept gdgkap TKDG ASP
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -1.465E7 3033582 556479.4 211967.0 24205.45 2035.234 1655.791 322.8061
-4.83 2.63 11.89 5.13
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
<.0001 0.0097 <.0001 <.0001
Intercept G perdagangan perkap TK perdagangan panjang jln aspal
0.554616 138 0.719699
187
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model TKTANI Dependent Variable TKTANI Label TK pertanian Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
4.3555E8 48303967 4.8012E8
1.4518E8 360477.4
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
600.39767 1637.36576 36.66851
F Value
Pr > F
402.75
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.90017 0.89793
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept PDRBTANI UPHTANI ASP
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 278.3180 0.000028 -1.10432 0.138568
236.0039 5.702E-6 0.287225 0.020093
1.18 4.87 -3.84 6.90
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.2404 <.0001 0.0002 <.0001
Intercept PDRB pertanian upah pertanian panjang jln aspal
0.486921 138 0.737744
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model TKIND Dependent Variable TKIND Label TK industri Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
1.0059E8 10972340 1.1095E8
33528544 81883.13
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
286.15229 525.30787 54.47325
F Value
Pr > F
409.47
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.90164 0.89944
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept PDRBIND UPHIND ASP
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 507.7032 0.000013 -0.68291 0.010769
110.1381 7.031E-7 0.095574 0.005848
4.61 18.83 -7.15 1.84
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
<.0001 <.0001 <.0001 0.0678
Intercept PDRB industri upah industri panjang jln aspal
0.656673 138 0.66991
188
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
TKDG TKDG TK perdagangan
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
1.6701E8 24482647 1.9035E8
55669855 182706.3
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
427.44160 835.10971 51.18389
F Value
Pr > F
304.70
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.87215 0.86929
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept PDRBDG UPHDG ASP
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 360.2438 0.000023 -0.41858 0.021856
294.3367 2.165E-6 0.296650 0.012417
1.22 10.79 -1.41 1.76
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.2231 <.0001 0.1606 0.0807
Intercept PDRB perdagangan upah perdagangan panjang jln aspal
0.391134 138 0.803178
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
UPHTANI UPHTANI upah pertanian
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
2 135 137
5367822 1176931 6554861
2683911 8718.009
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
93.37028 600.65559 15.54473
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
307.86
<.0001
0.82017 0.81751
Parameter Estimates Variable Intercept PDRBTANIKAP UPHTANIL
DF 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 63.05079 23.36683 0.009624 0.005901 0.860639 0.042552
2.70 1.63 20.23
0.0079 Intercept 0.1052 PDRB tani perkap <.0001 LAG UPHTANI
189
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
UPHIND UPHIND upah industri
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
2 135 137
11113592 3758976 14890628
5556796 27844.26
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
166.86601 873.31369 19.10722
F Value
Pr > F
199.57
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.74725 0.74351
Parameter Estimates Variable Intercept PDRBINDKAP UPHINDL
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label
DF 1 1 1
464.3901 56.73394 0.032354 0.005139 0.313735 0.082859
8.19 6.30 3.79
<.0001 Intercept <.0001 PDRB ind perkap 0.0002 LAG UPHIND
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
UPHDG UPHDG upah perdagangan
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
2 135 137
2537782 1448376 4042336
1268891 10728.71
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
103.57949 825.98688 12.54009
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
118.27
<.0001
0.63665 0.63127
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept PDRBDGKAP UPHDGL
1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 247.4232 46.52912 0.026432 0.007568 0.622585 0.069211
5.32 3.49 9.00
<.0001 Intercept 0.0006 PDRB perdag perkap <.0001 LAG UPHDG
190
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
EXPTANI EXPTANI exp pddk pertanian
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
2 135 137
395079.0 244054.2 630879.3
197539.5 1807.809
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
42.51833 281.42784 15.10808
F Value
Pr > F
109.27
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.61815 0.61249
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept UPHTANI IFL
1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 210.2986 14.41329 0.221478 0.017430 -7.69744 1.094803
14.59 12.71 -7.03
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
<.0001 Intercept <.0001 upah pertanian <.0001 laju inflasi 0.85059 138 0.568226
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model EXPIND Dependent Variable EXPIND Label exp pddk industri Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
2 135 137
1237555 1330207 2539229
618777.4 9853.382
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
99.26420 381.40874 26.02568
F Value
Pr > F
62.80
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.48196 0.47428
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept UPHIND IFL
1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 153.6796 34.86287 0.293050 0.027160 -3.50608 2.583773
4.41 10.79 -1.36
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
<.0001 Intercept <.0001 upah industri 0.1771 laju inflasi 2.149309 138 -0.07573
191
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
EXPDG EXPDG exp pddk perdag
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
2 135 137
728799.7 1329947 1978257
364399.9 9851.462
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
99.25453 448.47327 22.13165
F Value
Pr > F
36.99
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.35400 0.34443
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept UPHDG IFL
1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 129.4432 54.93177 0.448016 0.057316 -6.34483 2.578929
2.36 7.82 -2.46
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.0199 Intercept <.0001 upah perdagangan 0.0151 laju inflasi 1.831054 138 0.078524
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GINI GINI Indeks Gini
Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
4 133 137
0.087978 0.100390 0.186951
0.021994 0.000755
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.02747 0.33779 8.13340
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
29.14
<.0001
0.46705 0.45103
Parameter Estimates Variable Intercept SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG GINIL
DF 1 1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label 0.118165 -0.00052 -0.00033 0.000331 0.702657
0.027582 0.000414 0.000285 0.000487 0.066837
4.28 -1.26 -1.17 0.68 10.51
<.0001 0.2085 0.2458 0.4973 <.0001
Intercept Share PDRB tani Share PDRB indsutri Share PDRB perdag LAG GINI
192
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVTANIP Dependent Variable POVTANIP0 Label P0 pertanian Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
6040.026 2657.916 8761.537
2013.342 19.83520
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
4.45367 19.16447 23.23921
F Value
Pr > F
101.50
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.69442 0.68758
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept EXPTANI GINI GK
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -6.22684 -0.17003 60.93370 0.302195
5.810689 0.009792 13.35701 0.023011
-1.07 -17.36 4.56 13.13
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.2858 <.0001 <.0001 <.0001
Intercept exp pddk pertanian Indeks Gini garis kemiskinan
1.165089 138 0.398934
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVINDP0 Dependent Variable POVINDP0 Label P0 industri Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
2659.627 5888.172 8374.480
886.5422 43.94158
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
6.62884 12.83884 51.63120
F Value
Pr > F
20.18
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.31115 0.29573
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept EXPIND GINI GK
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -6.93891 -0.06080 42.69824 0.163808
9.964172 0.008233 22.41290 0.034049
-0.70 -7.38 1.91 4.81
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.4874 <.0001 0.0589 <.0001
Intercept exp pddk industri Indeks Gini garis kemiskinan
1.86536 138 0.042965
193
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVDGP0 Dependent Variable POVDGP0 Label P0 perdagangan Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
1297.439 2545.397 4768.743
432.4796 18.99550
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
4.35838 8.71230 50.02562
F Value
Pr > F
22.77
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.33763 0.32280
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept EXPDG GINI GK
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -4.59922 -0.04699 44.26502 0.111514
6.541710 0.006000 15.90563 0.021907
-0.70 -7.83 2.78 5.09
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.4832 <.0001 0.0062 <.0001
Intercept exp pddk perdag Indeks Gini garis kemiskinan
1.857164 138 0.054883
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVTANIP1 Dependent Variable POVTANIP1 Label POVTANIP1 Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
208.9824 130.7212 342.1119
69.66078 0.975531
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.98769 2.99813 32.94352
F Value
Pr > F
71.41
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.61519 0.60658
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept EXPTANI GINI GK
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -1.23131 -0.03177 8.428017 0.059236
1.288635 0.002172 2.962180 0.005103
-0.96 -14.63 2.85 11.61
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.3410 <.0001 0.0051 <.0001
Intercept exp pddk pertanian Indeks Gini garis kemiskinan
1.123903 138 0.427635
194
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVTANIP2 Dependent Variable POVTANIP2 Label POVTANIP2 Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
18.36868 13.57297 32.01286
6.122893 0.101291
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.31826 0.79677 39.94381
F Value
Pr > F
60.45
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.57507 0.56556
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept EXPTANI GINI GK
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -0.33909 -0.00938 1.924496 0.017944
0.415235 0.000700 0.954500 0.001644
-0.82 -13.41 2.02 10.91
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.4156 <.0001 0.0458 <.0001
Intercept exp pddk pertanian Indeks Gini garis kemiskinan
1.172675 138 0.400445
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVP0 Dependent Variable POVP0 Label POVP0 Analysis of Variance DF
Sum of Squares
Mean Square
3 134 137
3932.568 1204.702 5028.633
1310.856 8.990312
Source Model Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
2.99838 13.86083 21.63207
F Value
Pr > F
145.81
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.76550 0.76025
Parameter Estimates Variable
DF
Intercept POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0
1 1 1 1
Parameter Standard Variable Estimate Error t Value Pr > |t| Label -0.51930 0.460043 0.307586 0.185324
0.754143 0.050111 0.071400 0.101187
-0.69 9.18 4.31 1.83
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.4923 <.0001 <.0001 0.0692
Intercept P0 pertanian P0 industri P0 perdagangan
1.450359 138 0.254511
195
Lampiran 6.
Program Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah tahun 2006-2011 dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3
proc import datafile="F:\D\disertasi\data.xls" out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet='final'; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.SIMULASI; set work.propoor; PAD KAPFIS GDGKAP G DPT FISGAP FISAUTO PDRBTANI PDRBINDTANI PDRBIND PDRBNONTANI PDRB PDRBTANIKAP PDRBINDKAP PDRBDGKAP PDRBKAP TK SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL PDRBL
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
PJK + RET + KKYD + PADLN; PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDG/POP; GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; G - KAPFIS; PAD/G*100; PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRBTANI + PDRBNONTANI; pdrbtani/pop; pdrbind/pop; pdrbdg/pop; PDRB/POP; tktani + tkind + tkdg + tkln; PDRBTANI/PDRB*100; PDRBIND/PDRB*100; PDRBDG/PDRB*100; LAG(PJK); LAG(BHSPJK); LAG(DAU); LAG(GPGNKBNTNK); LAG(GIND); LAG(GDG); LAG(GIFR); LAG(GLN); LAG(UPHTANI); LAG(UPHIND); LAG(UPHDG); LAG(EXPTANI); LAG(GINI); LAG(PDRB);
PROC SORT DATA=WORK.SIMULASI; BY TAHUN; RUN; endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0;
196
instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln; PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL PDRBL
= = = = = = = = = = = = = =
LAG23(PJK); LAG23(BHSPJK); LAG23(DAU); LAG23(GPGNKBNTNK); LAG23(GIND); LAG23(GDG); LAG23(GIFR); LAG23(GLN); LAG23(UPHTANI); LAG23(UPHIND); LAG23(UPHDG); LAG23(EXPTANI); LAG23(GINI); LAG23(PDRB);
IF TAHUN > 2005; PARM a0 -94933.9 b0 a1 3.06025 b1 a2 0.042283 b2 a3 99.61593 b3 a4 0.851747
77276.63 0.004145 3.330978 0.314815
c0 c1 c2 c3 c4 c5
179927.2 -0.0072 107.6154 6.338917 18.81129 0.431706
d0 d1 d2 d3 d4
36039.57 0.00757 0.008443 0.046851 0.542576
e0 e1 e2 e3
-4952.5 0.00073 0.002365 0.749475
f0 f1 f2 f3
-1818.01 0.002214 0.002753 0.504975
g0 g1 g2 g3
256753.3 0.082805 0.017387 0.625046
h0 h1 h2 h3
-162696 0.162246 0.302331 0.826398
i0 i1 i2 i3
2489.701 0.000634 0.000148 2.470515
j0 j1 j2 j3
-6374729 24.73811 5711.454 930.0316
k0 k1 k2
-2494254 195.8402 11064.96
l0 l1 l2 l3
-1.47E+07 556479.4 24205.45 1655.791
m0 m1 m2 m3
278.318 0.000028 -1.10432 0.138568
n0 n1 n2 n3
507.7032 0.000013 -0.68291 0.010769
o0 o1 o2 o3
360.2438 0.000023 -0.41858 0.021856
p0 p1 p2
63.05079 0.009624 0.860639
q0 q1 q2
464.3901 0.032354 0.313735
r0 r1 r2
247.4232 0.026432 0.622585
s0 s1 s2
210.2986 0.221478 -7.69744
t0 t1 t2
153.6796 0.29305 -3.50608
u0 u1 u2
129.4432 0.448016 -6.34483
v0 v1 v2 v3 v4
0.118165 -0.00052 -0.00033 0.000331 0.702657
w0 w1 w2 w3
-6.22684 -0.17003 60.9337 0.302195
x0 x1 x2 x3
-6.93891 -0.0608 42.69824 0.163808
y0 y1 y2 y3
-4.59922 -0.04699 44.26502 0.111514
z0 z1 z2 z3
-1.23131 -0.03177 8.428017 0.059236
aa0 aa1 aa2 aa3
-0.33909 -0.00938 1.924496 0.017944
ab0 ab1 ab2 ab3
-0.5193 0.460043 0.307586 0.185324
PJK BHSPJK
= a0 + a1*PDRBKAP + a2*PM + a3*MTR + a4*PJKL ; = b0 + b1*PDRBNONTANI + b2*WLYH + b3*BHSPJKL ;
197
DAU = c0 + c1*PDRBL + c2*POP + c3*WLYH + c4*PNS + c5*DAUL ; GPGNKBNTNK = d0 + d1*KAPFIS + d2*DAU + d3*DAK + d4*GPGNKBNTNKL ; GIND = e0 + e1*KAPFIS + e2*DAU + e3*GINDL ; GDG = f0 + f1*KAPFIS + f2*DAU + f3*GDGL ; GIFR = g0 + g1*KAPFIS + g2*DAU + g3*GIFRL ; GLN = h0 + h1*KAPFIS + h2*DAU + h3*GLNL ; ASP = i0 + i1*GIFR + i2*PM + i3*MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1*GPGNKBNTNK + j2*TKTANI + j3*ASP ; PDRBMKN = k0 + k1*GIND + k2*TKIND ; PDRBDG = l0 + l1*GDGKAP + l2*TKDG + l3*ASP ; TKTANI = m0 + m1*PDRBTANI + m2*UPHTANI + m3*ASP ; TKIND = n0 + n1*PDRBIND + n2*UPHIND + n3*ASP ; TKDG = o0 + o1*PDRBDG + o2*UPHDG + o3*ASP ; UPHTANI = p0 + p1*PDRBTANIKAP + p2*UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1*PDRBINDKAP + q2*UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1*PDRBDGKAP + r2*UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1*UPHTANI + s2*IFL ; EXPIND = t0 + t1*UPHIND + t2*IFL ; EXPDG = u0 + u1*UPHDG + u2*IFL ; GINI = v0 + v1*SHPDRBTANI + v2*SHPDRBIND + v3*SHPDRBDG + v4*GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1*EXPTANI + w2*GINI + w3*GK ; POVINDP0 = x0 + x1*EXPIND + x2*GINI + x3*GK ; POVDGP0 = y0 + y1*EXPDG + y2*GINI + y3*GK ; POVTANIP1 = z0 + z1*EXPTANI + z2*GINI + z3*GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1*EXPTANI + aa2*GINI + aa3*GK ; POVP0 = ab0 + ab1*POVTANIP0 + ab2*POVINDP0 + ab3*POVDGP0 ; PAD KAPFIS GDGKAP G DPT FISGAP FISAUTO PDRBTANI PDRBINDTANI PDRBIND PDRBNONTANI PDRB PDRBTANIKAP PDRBINDKAP PDRBDGKAP PDRBKAP TK SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG run;
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
PJK + RET + KKYD + PADLN; PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDG/POP; GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; G - KAPFIS; PAD/G*100; PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRBTANI + PDRBNONTANI; pdrbtani/pop; pdrbind/pop; pdrbdg/pop; PDRB/POP; tktani + tkind + tkdg + tkln; PDRBTANI/PDRB*100; PDRBIND/PDRB*100; PDRBDG/PDRB*100;
198
Lampiran 7. Hasil Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah tahun 2006-2011 dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations Number of Statements Program Lag Length
48 48 110 48 66 23
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SIMULASI
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
48 23 NEWTON 1E-8 1.46E-14 4 278 2.014493
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
161 23 138 24 161
199
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Variable PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0
N Obs
N
138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138
138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138
Actual Mean Std Dev 1421350 2107481 1068570 4449630 5875357 12247142 293924 37179.8 44870.0 7.4740 1748045 9534554 11845264 7395634 16.0630 9803.9 19366098 23916759 3092.7 10599563 19202161 38409672 4150.8 25956611 2690.7 1.1395E8 1.3787E8 17783.6 21.9705 19.0619 17.1145 1637.4 525.3 835.1 4075.3 600.7 873.3 826.0 281.4 381.4 448.5 0.3378 19.1645 12.8388 8.7123 2.9981 0.7968 13.8608
1606351 2280579 1020251 4469827 4644540 9099316 176283 43177.4 45603.8 6.6635 1172130 7564806 8750048 5923872 7.4356 7516.8 21771270 24703224 1644.0 20596695 31865477 60067677 5765.1 40927071 1623.7 1.4247E8 1.6495E8 15983.5 9.6400 13.5110 5.3227 1872.0 899.9 1178.7 5159.7 218.7 329.7 171.8 67.8598 136.1 120.2 0.0369 7.9971 7.8184 5.8999 1.5802 0.4834 6.0585
Predicted Mean Std Dev 1511125 2197256 1040519 4511354 5914990 12348499 289938 36338.5 44796.6 7.1671 1669634 9504389 11731788 7220434 16.3146 9752.5 19015508 23566169 3501.4 10220805 18823404 38030915 4252.0 24337421 3166.0 1.1195E8 1.3552E8 18768.8 22.0616 20.7022 16.4764 1601.6 506.0 780.9 3965.9 622.9 880.3 841.6 286.4 383.5 455.5 0.3420 18.5821 12.8949 8.5686 2.8756 0.7599 13.5835
1803218 2486268 828038 4566295 4733082 9433773 160132 35683.2 36350.5 4.4795 1027218 7842232 9024757 6093558 7.6951 6575.5 18662175 21411241 1950.1 15359938 29493006 61561013 5734.1 30916624 2698.9 1.2983E8 1.4907E8 17516.8 7.9017 15.0723 13.6251 1552.0 815.5 845.0 4380.8 174.8 279.0 152.0 47.7588 82.8449 76.1981 0.0198 7.8467 4.2970 2.8392 1.5141 0.4557 4.7696
200
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Statistics of fit Variable PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0
N 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138
Mean Error
Mean % Mean Abs Mean Abs Error Error % Error
89774.6 -1.5730 271229 27.4334 89774.6 -0.4874 271229 16.5583 -28050.9 11.9929 239783 27.9855 61723.7 2.8469 344559 11.8966 39633.1 2.4038 546556 12.4267 101357 0.1224 725948 7.0064 -3985.4 13.5626 58774.1 30.2765 -841.3 314.1 15201.6 341.0 -73.3449 79.0329 17069.2 102.7 -0.3069 79.0329 2.9728 102.7 -78410.9 11.0626 399622 31.7439 -30165.0 -1.9335 671928 8.7464 -113476 -1.6266 892644 9.0357 -175200 0.0675 816816 22.8107 0.2516 1.6496 2.2426 15.6910 -51.4766 27.6364 3097.6 51.8269 -350590 36.1399 5338253 61.3348 -350590 18.9452 5338253 37.8276 408.7 18.9452 1035.2 37.8276 -378757 76.2499 7044064 423.4 -378757 111.5 7044064 143.5 -378757 67.6643 7044064 87.9929 101.2 67.6643 770.1 87.9929 -1619190 22.1018 12219043 75.0366 475.2 22.1018 1802.3 75.0366 -1997947 6.3854 14253994 18.5557 -2348537 6.4079 18569375 19.3086 985.1 6.4079 2933.9 19.3086 0.0911 10.1690 3.8012 24.1301 1.6403 57.8731 4.6775 78.2081 -0.6381 1.0333 8.7247 56.6030 -35.7395 32.6565 543.7 61.0321 -19.3399 54.4305 203.4 90.7124 -54.2512 38.7976 336.3 65.1928 -109.3 12.2776 838.0 31.3095 22.2834 7.7351 80.8837 14.6865 6.9801 5.7106 137.1 17.3624 15.6584 4.6870 142.9 17.3091 4.9355 4.1685 31.9947 11.5256 2.0452 6.3232 70.0445 18.8177 7.0156 6.0845 72.8794 17.4226 0.00423 2.2857 0.0286 8.7567 -0.5824 10.1745 6.2615 41.4441 0.0561 39331372 6.5016 39331405 -0.1437 11453462 4.0162 11453488 -0.1225 18.6937 1.2896 59.1734 -0.0369 25.3746 0.3880 71.9210 -0.2773 14.6648 5.1301 44.0999
RMS Error
RMS % Error
387305 37.0033 387305 21.1421 467764 39.3797 545398 16.5899 725271 20.7981 994486 8.9036 81749.6 50.5742 24510.8 2672.7 27796.0 490.6 4.5390 490.6 545393 60.4068 914995 12.0422 1210355 11.5590 1077544 74.5113 2.8245 20.1273 3805.1 93.2527 7128127 117.0 7128127 57.7939 1475.6 57.7939 14084843 986.5 14084843 342.6 14084843 253.3 981.9 253.3 19631565 101.1 2496.0 101.1 25176968 23.9069 29664121 25.0477 4096.6 25.0477 4.7943 39.1038 6.5115 241.6 13.1751 86.8004 733.0 98.1448 335.5 128.0 585.2 85.9219 1237.3 42.0993 104.2 19.4449 183.2 24.2262 181.6 21.7360 43.4053 15.3822 100.6 24.2289 96.5774 24.8704 0.0353 11.3113 8.2071 75.2844 8.0959 2.4908E8 5.8668 1.3455E8 1.6958 99.7573 0.5172 124.8 6.4685 60.0351
201
Statistics of fit Variable PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0
R-Square 0.9414 0.9709 0.7883 0.9850 0.9754 0.9880 0.7834 0.6754 0.6258 0.5326 0.7819 0.9853 0.9807 0.9667 0.8546 0.7419 0.8920 0.9161 0.1886 0.5289 0.8032 0.9446 0.9708 0.7682 -1.380 0.9685 0.9674 0.9338 0.7509 0.7660 -5.172 0.8455 0.8600 0.7518 0.9421 0.7715 0.6890 -.1257 0.5879 0.4503 0.3493 0.0779 -.0609 -.0801 0.0040 -.1600 -.1530 -.1483
Label pajak daerah PAD bagi hasil pajak Kapasitas fiskal DAU total pendaptan daerah belanja pertanian belanja perindustrian belanja perdagangan belanja perdagangan per kapita belanja infrastruktur belanja lainnya total belanja daerah kesenjangan fiskal kemandirian fiskal panjang jalan aspal PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan PDRB pertanian PDRB pertanian per kapita PDRB industri makanan jadi PDRB industri pertanian PDRB industri PDRB industri per kapita PDRB Perdagangan PDRB Perdangngan per kapita PDRB non pertanian PDRB total PDRB per kapita Share PDRB pertanian Share PDRB industri Share PSDRB perdagangan Tenaga kerja pertanian Tenaga kerja industri Tenaga kerja perdagangan Tenaga kerja total Upah pertanian Upah industri Upah perdagangan Pengeluaran per kapita pertanian Pengeluaran per kapita industri Pengeluaran per kapita perdagangan Indeks Gini P0 pertanian P0 industri P0 perdagangan P1 pertanian P2 pertanian P0 total
202
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics
Variable PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0
N
MSE
Corr (R)
138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138 138
1.5E11 1.5E11 2.188E11 2.975E11 5.26E11 9.89E11 6.683E9 6.0078E8 7.7262E8 20.6027 2.975E11 8.372E11 1.465E12 1.161E12 7.9781 14478615 5.081E13 5.081E13 2177259 1.984E14 1.984E14 1.984E14 964183 3.854E14 6230261 6.339E14 8.8E14 16782293 22.9850 42.3999 173.6 537361 112529 342419 1530795 10851.6 33556.8 32973.4 1884.0 10115.2 9327.2 0.00125 67.3567 65.5431 34.4189 2.8758 0.2675 41.8416
0.98 0.99 0.89 0.99 0.99 0.99 0.89 0.82 0.79 0.73 0.89 0.99 0.99 0.98 0.93 0.86 0.95 0.96 0.70 0.73 0.90 0.97 0.99 0.89 0.44 0.99 0.99 0.98 0.87 0.91 0.27 0.92 0.93 0.88 0.98 0.89 0.83 0.38 0.77 0.67 0.60 0.35 0.46 0.20 0.25 0.40 0.39 0.30
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC) 0.05 0.05 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.01 0.03 0.01 0.00 0.00 0.00 0.08 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.04 0.01 0.01 0.06 0.00 0.06 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.05 0.00 0.01 0.01 0.00 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00
0.34 0.34 0.03 0.05 0.04 0.15 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.13 0.08 0.06 0.07 0.00 0.08 0.11 0.29 0.00 0.00 0.05 0.00 0.07 0.63 0.18 0.21 0.22 0.01 0.18 0.85 0.06 0.00 0.11 0.29 0.04 0.00 0.23 0.01 0.01 0.00 0.04 0.25 0.11 0.06 0.27 0.26 0.21
0.61 0.61 0.97 0.93 0.96 0.84 1.00 1.00 1.00 0.99 0.98 0.87 0.91 0.92 0.92 1.00 0.92 0.89 0.63 1.00 1.00 0.95 0.99 0.92 0.34 0.81 0.78 0.72 0.99 0.75 0.15 0.94 0.99 0.88 0.70 0.92 1.00 0.76 0.98 0.99 0.99 0.95 0.74 0.89 0.94 0.72 0.73 0.79
0.26 0.28 0.17 0.03 0.01 0.11 0.04 0.09 0.11 0.23 0.07 0.09 0.05 0.02 0.01 0.06 0.19 0.21 0.04 0.14 0.03 0.01 0.00 0.26 0.18 0.25 0.28 0.14 0.13 0.06 0.39 0.19 0.06 0.32 0.39 0.18 0.08 0.01 0.21 0.28 0.21 0.23 0.00 0.19 0.27 0.00 0.00 0.04
0.69 0.67 0.83 0.96 0.98 0.88 0.96 0.91 0.89 0.77 0.91 0.91 0.94 0.95 0.98 0.94 0.81 0.79 0.88 0.86 0.97 0.99 0.99 0.74 0.78 0.74 0.71 0.80 0.87 0.88 0.60 0.81 0.93 0.67 0.60 0.78 0.92 0.98 0.77 0.72 0.79 0.75 0.99 0.81 0.73 0.99 0.99 0.96
203
Theil Forecast Error Statistics Variable PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0
Inequality Coef U1 U 0.1809 0.1250 0.3172 0.0866 0.0970 0.0653 0.2388 0.4311 0.4353 0.4540 0.2594 0.0753 0.0823 0.1139 0.1597 0.3084 0.2451 0.2077 0.4216 0.6098 0.3796 0.1981 0.1386 0.4061 0.7950 0.1383 0.1383 0.1716 0.1999 0.2790 0.7353 0.2954 0.3228 0.4061 0.1886 0.1630 0.1963 0.2153 0.1500 0.2484 0.2081 0.1040 0.3954 0.5391 0.5582 0.5008 0.5555 0.4279
0.0863 0.0604 0.1669 0.0429 0.0482 0.0323 0.1214 0.2276 0.2288 0.2461 0.1343 0.0374 0.0410 0.0570 0.0791 0.1580 0.1280 0.1078 0.1966 0.3394 0.1956 0.0983 0.0691 0.2241 0.3422 0.0713 0.0714 0.0828 0.1011 0.1331 0.3355 0.1557 0.1680 0.2260 0.0993 0.0810 0.0987 0.1069 0.0749 0.1262 0.1043 0.0518 0.2006 0.2830 0.3003 0.2556 0.2847 0.2192
Label pajak daerah PAD bagi hasil pajak kapasitas fiskal DAU total pendapatan daerah belanja pertanian belanja perindustrian belanja perdagangan belanja perdagangan per kapita belanja infrastruktur belanja lainnya toal belanja daerah kesenjangan fiskal kemandirian fiskal panjang jalan aspal PDRB tan. pangan, perkebunan, peternakan PDRB pertanian PDRB pertanian per kapita PDRB industri makanan jadi PDRB industri pertanian PDRB industri PDRB industri per kapita PDRB perdagangan PDRB perdagangan per kapita PDRB non pertanian PDRB total PDRB per kapita Share PDRB pertanian Share PDRB industri Share PDRB perdagangan Tenaga kerja pertanian Tenaga kerja industri Tenaga kerja perdagangan Tenaga kerja total Upah pertanian Upah industri Upah perdagangan Pengeluaran per kapita pertanian Pengeluaran per kapita industri Pengeluaran per kapita perdagangan Indeks Gini P0 pertanian P0 industri P0 perdagangan P1 pertanian P2 pertanian P0 total
204
Lampiran 8.
Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3
Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50% (SS1) proc import datafile="F:\D\disertasi\data.xls" out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet='final'; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.SIMULASITANI; set work.propoor; IF KODESHTANI = 1; /* memilih 12 provinsi pertanian dengan identitas KODESHTANI = 1*/; GPGNKBNTNK = 1.5*GPGNKBNTNK; /* SS1: meningkatkan belanja pertanian 50% */; /* GIND = 1.25*GIND; */; /* SS2: meningkatkan belanja perindustrian 25% */; /* GDG = 1.5*GDG; */; /* SS3: meningkatkan belanja perdagangan 50% */; /* BHSPJK = 1.5*BHSPJK; */; /* SS4: meningkatkan bagi hasil pjak 50% */; /* PM = 1.9*PM; */; /* SS5: meningkatkan penanaman modal 90% */; PAD KAPFIS GDGKAP G DPT FISGAP FISAUTO PDRBTANI PDRBINDTANI PDRBIND PDRBNONTANI PDRB PDRBTANIKAP PDRBINDKAP PDRBDGKAP PDRBKAP TK SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
PJK + RET + KKYD + PADLN; PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDG/POP; GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; G - KAPFIS; PAD/G*100; PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRBTANI + PDRBNONTANI; pdrbtani/pop; pdrbind/pop; pdrbdg/pop; PDRB/POP; tktani + tkind + tkdg + tkln; PDRBTANI/PDRB*100; PDRBIND/PDRB*100; PDRBDG/PDRB*100; LAG(PJK); LAG(BHSPJK); LAG(DAU); LAG(GPGNKBNTNK);
205
GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL PDRBL
= = = = = = = = = =
LAG(GIND); LAG(GDG); LAG(GIFR); LAG(GLN); LAG(UPHTANI); LAG(UPHIND); LAG(UPHDG); LAG(EXPTANI); LAG(GINI); LAG(PDRB);
PROC SORT DATA=WORK.SIMULASITANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASITANI dynamic simulate; endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln GPGNKBNTNK; PJKL = BHSPJKL = DAUL = /*GPGNKBNTNKL = GINDL = GDGL = GIFRL = GLNL = UPHTANIL = UPHINDL = UPHDGL = EXPTANIL = GINIL = PDRBL =
LAG12(PJK); LAG12(BHSPJK); LAG12(DAU); LAG12(GPGNKBNTNK)*/; LAG12(GIND); LAG12(GDG); LAG12(GIFR); LAG12(GLN); LAG12(UPHTANI); LAG12(UPHIND); LAG12(UPHDG); LAG12(EXPTANI); LAG12(GINI); LAG12(PDRB);
IF TAHUN > 2005; PARM a0 -94933.9 b0 a1 3.06025 b1 a2 0.042283 b2 a3 99.61593 b3 a4 0.851747
77276.63 0.004145 3.330978 0.314815
c0 c1 c2 c3 c4 c5
179927.2 -0.0072 107.6154 6.338917 18.81129 0.431706
d0 d1 d2 d3 d4
36039.57 0.00757 0.008443 0.046851 0.542576
e0 e1 e2 e3
-4952.5 0.00073 0.002365 0.749475
f0 f1 f2 f3
-1818.01 0.002214 0.002753 0.504975
g0 g1 g2 g3
256753.3 0.082805 0.017387 0.625046
h0 h1 h2 h3
-162696 0.162246 0.302331 0.826398
i0 i1 i2
2489.701 0.000634 0.000148
j0 j1 j2
-6374729 24.73811 5711.454
k0 k1 k2
-2494254 195.8402 11064.96
l0 l1 l2
-1.47E+07 556479.4 24205.45
206
i3
2.470515
j3
930.0316
l3
1655.791
m0 m1 m2 m3
278.318 0.000028 -1.10432 0.138568
n0 n1 n2 n3
507.7032 0.000013 -0.68291 0.010769
o0 o1 o2 o3
360.2438 0.000023 -0.41858 0.021856
p0 p1 p2
63.05079 0.009624 0.860639
q0 q1 q2
464.3901 0.032354 0.313735
r0 r1 r2
247.4232 0.026432 0.622585
s0 s1 s2
210.2986 0.221478 -7.69744
t0 t1 t2
153.6796 0.29305 -3.50608
u0 u1 u2
129.4432 0.448016 -6.34483
v0 v1 v2 v3 v4
0.118165 -0.00052 -0.00033 0.000331 0.702657
w0 w1 w2 w3
-6.22684 -0.17003 60.9337 0.302195
x0 x1 x2 x3
-6.93891 -0.0608 42.69824 0.163808
y0 y1 y2 y3
-4.59922 -0.04699 44.26502 0.111514
z0 z1 z2 z3
-1.23131 -0.03177 8.428017 0.059236
aa0 aa1 aa2 aa3
-0.33909 -0.00938 1.924496 0.017944
ab0 ab1 ab2 ab3
-0.5193 0.460043 0.307586 0.185324
PJK = a0 + a1*PDRBKAP + a2*PM + a3*MTR + a4*PJKL ; BHSPJK = b0 + b1*PDRBNONTANI + b2*WLYH + b3*BHSPJKL ; DAU = c0 + c1*PDRBL + c2*POP + c3*WLYH + c4*PNS + c5*DAUL ; /*GPGNKBNTNK = d0 + d1*KAPFIS + d2*DAU + d3*DAK + d4*GPGNKBNTNKL */; GIND = e0 + e1*KAPFIS + e2*DAU + e3*GINDL ; GDG = f0 + f1*KAPFIS + f2*DAU + f3*GDGL ; GIFR = g0 + g1*KAPFIS + g2*DAU + g3*GIFRL ; GLN = h0 + h1*KAPFIS + h2*DAU + h3*GLNL ; ASP = i0 + i1*GIFR + i2*PM + i3*MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1*GPGNKBNTNK + j2*TKTANI + j3*ASP ; PDRBMKN = k0 + k1*GIND + k2*TKIND ; PDRBDG = l0 + l1*GDGKAP + l2*TKDG + l3*ASP ; TKTANI = m0 + m1*PDRBTANI + m2*UPHTANI + m3*ASP ; TKIND = n0 + n1*PDRBIND + n2*UPHIND + n3*ASP ; TKDG = o0 + o1*PDRBDG + o2*UPHDG + o3*ASP ; UPHTANI = p0 + p1*PDRBTANIKAP + p2*UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1*PDRBINDKAP + q2*UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1*PDRBDGKAP + r2*UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1*UPHTANI + s2*IFL ; EXPIND = t0 + t1*UPHIND + t2*IFL ; EXPDG = u0 + u1*UPHDG + u2*IFL ; GINI = v0 + v1*SHPDRBTANI + v2*SHPDRBIND + v3*SHPDRBDG + v4*GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1*EXPTANI + w2*GINI + w3*GK ; POVINDP0 = x0 + x1*EXPIND + x2*GINI + x3*GK ; POVDGP0 = y0 + y1*EXPDG + y2*GINI + y3*GK ; POVTANIP1 = z0 + z1*EXPTANI + z2*GINI + z3*GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1*EXPTANI + aa2*GINI + aa3*GK ; POVP0 = ab0 + ab1*POVTANIP0 + ab2*POVINDP0 + ab3*POVDGP0 ; PAD KAPFIS GDGKAP G DPT FISGAP FISAUTO PDRBTANI
= = = = = = = =
PJK + RET + KKYD + PADLN; PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDG/POP; GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; G - KAPFIS; PAD/G*100; PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN;
207
PDRBINDTANI PDRBIND PDRBNONTANI PDRB PDRBTANIKAP PDRBINDKAP PDRBDGKAP PDRBKAP TK SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG run;
= = = = = = = = = = = =
PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRBTANI + PDRBNONTANI; pdrbtani/pop; pdrbind/pop; pdrbdg/pop; PDRB/POP; tktani + tkind + tkdg + tkln; PDRBTANI/PDRB*100; PDRBIND/PDRB*100; PDRBDG/PDRB*100;
208
Lampiran 9.
Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3
Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50% (SS1) The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations Number of Statements Program Lag Length
47 47 110 47 64 12
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SIMULASITANI
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
47 12 NEWTON 1E-8 1.76E-14 5 147 2.041667
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
84 12 72 13 84
209
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Variable PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0
N Obs
N
72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72
72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72
Actual Mean Std Dev 701587 1072631 594131 2057544 5144042 8832997 29797.9 28791.2 6.6121 1347830 6746003 8731394 6673850 11.8259 8965.4 13143306 16468820 3230.7 4119624 5747009 8970669 1396.8 10313081 1897.0 44445013 60913834 11547.7 28.9706 11.2111 16.2577 1167.7 150.2 375.8 2239.2 595.4 750.4 751.2 265.7 331.9 420.1 0.3337 19.3383 14.7422 9.1491 3.0948 0.8360 15.2406
571076 709248 313619 1155360 1788199 3577672 30816.8 16260.6 4.4821 555571 2944902 3577070 2723013 3.8890 4250.0 9269720 11052298 944.9 7276321 7810350 12562364 910.7 9459434 729.6 37789071 48307377 3567.7 6.7997 5.9554 3.0407 586.6 114.5 265.5 1228.9 158.7 188.7 117.4 58.1629 81.1571 93.1396 0.0385 8.8037 8.1563 6.2167 1.8066 0.5668 6.7819
Predicted Mean Std Dev 661968 1033012 687845 2111639 4940881 8683931 26594.2 30623.3 6.8017 1177479 6710784 8524453 6412813 11.6668 7133.2 16343583 19669098 4224.1 4834442 6461827 9685488 1712.4 12001983 2602.1 46848734 66517831 13561.8 32.2616 13.1184 16.2196 1095.9 191.6 458.8 2291.9 653.4 759.7 796.5 289.1 346.3 431.9 0.3332 14.7662 13.2549 8.2471 2.1630 0.5502 11.8792
561239 683898 275419 1081172 1671822 3375317 15545.7 11956.9 2.7733 306940 2852984 3301536 2566558 4.3955 2397.6 8017590 9530256 1697.0 4412624 4813805 9601428 749.2 10445519 2007.6 34876002 43774479 5306.9 8.0607 4.6242 11.0455 565.4 130.7 267.6 1240.9 149.3 47.2138 119.8 46.2403 18.9589 65.1443 0.0158 8.0324 3.9666 2.8310 1.5410 0.4619 5.0768
210
Lampiran 10. Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50% (SS1) proc import datafile="F:\D\disertasi\data.xls" out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet='final'; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.SIMULASINONTANI; set work.propoor; IF KODESHTANI = 0; /* memilih 11 provinsi non pertanian dengan identitas KODESHTANI = 0*/; GPGNKBNTNK = 1.5*GPGNKBNTNK; /* SS1: meningkatkan belanja pertanian 50% */; /* GIND = 1.5*GIND; */; /* SS2: meningkatkan belanja perindustrian 50% */; /* GDG = 1.5*GDG; */; /* SS3: meningkatkan belanja perdagangan 50% */; /* BHSPJK = 1.5*BHSPJK; */; /* SS4: meningkatkan bagi hasil pjak 50% */; /* PM = 1.5*PM; */; /* SS5: meningkatkan penanaman modal 50% */; PAD KAPFIS GDGKAP G DPT FISGAP FISAUTO PDRBTANI PDRBINDTANI PDRBIND PDRBNONTANI PDRB PDRBTANIKAP PDRBINDKAP PDRBDGKAP PDRBKAP TK SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
PJK + RET + KKYD + PADLN; PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDG/POP; GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; G - KAPFIS; PAD/G*100; PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRBTANI + PDRBNONTANI; pdrbtani/pop; pdrbind/pop; pdrbdg/pop; PDRB/POP; tktani + tkind + tkdg + tkln; PDRBTANI/PDRB*100; PDRBIND/PDRB*100; PDRBDG/PDRB*100; LAG(PJK); LAG(BHSPJK); LAG(DAU); LAG(GPGNKBNTNK);
211
GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL PDRBL
= = = = = = = = = =
LAG(GIND); LAG(GDG); LAG(GIFR); LAG(GLN); LAG(UPHTANI); LAG(UPHIND); LAG(UPHDG); LAG(EXPTANI); LAG(GINI); LAG(PDRB);
PROC SORT DATA=WORK.SIMULASINONTANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASINONTANI dynamic simulate; endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln GPGNKBNTNK; PJKL = BHSPJKL = DAUL = /*GPGNKBNTNKL = GINDL = GDGL = GIFRL = GLNL = UPHTANIL = UPHINDL = UPHDGL = EXPTANIL = GINIL = PDRBL =
LAG11(PJK); LAG11(BHSPJK); LAG11(DAU); LAG11(GPGNKBNTNK)*/; LAG11(GIND); LAG11(GDG); LAG11(GIFR); LAG11(GLN); LAG11(UPHTANI); LAG11(UPHIND); LAG11(UPHDG); LAG11(EXPTANI); LAG11(GINI); LAG11(PDRB);
IF TAHUN > 2005; PARM a0 -94933.9 b0 a1 3.06025 b1 a2 0.042283 b2 a3 99.61593 b3 a4 0.851747
77276.63 0.004145 3.330978 0.314815
c0 c1 c2 c3 c4 c5
179927.2 -0.0072 107.6154 6.338917 18.81129 0.431706
d0 d1 d2 d3 d4
36039.57 0.00757 0.008443 0.046851 0.542576
e0 e1 e2 e3
-4952.5 0.00073 0.002365 0.749475
f0 f1 f2 f3
-1818.01 0.002214 0.002753 0.504975
g0 g1 g2 g3
256753.3 0.082805 0.017387 0.625046
h0 h1 h2 h3
-162696 0.162246 0.302331 0.826398
i0 i1
2489.701 0.000634
j0 j1
-6374729 24.73811
k0 k1
-2494254 195.8402
l0 l1
-1.47E+07 556479.4
212
i2 i3
0.000148 2.470515
j2 j3
5711.454 930.0316
k2
11064.96
l2 l3
24205.45 1655.791
m0 m1 m2 m3
278.318 0.000028 -1.10432 0.138568
n0 n1 n2 n3
507.7032 0.000013 -0.68291 0.010769
o0 o1 o2 o3
360.2438 0.000023 -0.41858 0.021856
p0 p1 p2
63.05079 0.009624 0.860639
q0 q1 q2
464.3901 0.032354 0.313735
r0 r1 r2
247.4232 0.026432 0.622585
s0 s1 s2
210.2986 0.221478 -7.69744
t0 t1 t2
153.6796 0.29305 -3.50608
u0 u1 u2
129.4432 0.448016 -6.34483
v0 v1 v2 v3 v4
0.118165 -0.00052 -0.00033 0.000331 0.702657
w0 w1 w2 w3
-6.22684 -0.17003 60.9337 0.302195
x0 x1 x2 x3
-6.93891 -0.0608 42.69824 0.163808
y0 y1 y2 y3
-4.59922 -0.04699 44.26502 0.111514
z0 z1 z2 z3
-1.23131 -0.03177 8.428017 0.059236
aa0 aa1 aa2 aa3
-0.33909 -0.00938 1.924496 0.017944
ab0 ab1 ab2 ab3
-0.5193 0.460043 0.307586 0.185324
PJK = a0 + a1*PDRBKAP + a2*PM + a3*MTR + a4*PJKL ; BHSPJK = b0 + b1*PDRBNONTANI + b2*WLYH + b3*BHSPJKL ; DAU = c0 + c1*PDRBL + c2*POP + c3*WLYH + c4*PNS + c5*DAUL ; /*GPGNKBNTNK = d0 + d1*KAPFIS + d2*DAU + d3*DAK + d4*GPGNKBNTNKL */; GIND = e0 + e1*KAPFIS + e2*DAU + e3*GINDL ; GDG = f0 + f1*KAPFIS + f2*DAU + f3*GDGL ; GIFR = g0 + g1*KAPFIS + g2*DAU + g3*GIFRL ; GLN = h0 + h1*KAPFIS + h2*DAU + h3*GLNL ; ASP = i0 + i1*GIFR + i2*PM + i3*MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1*GPGNKBNTNK + j2*TKTANI + j3*ASP ; PDRBMKN = k0 + k1*GIND + k2*TKIND ; PDRBDG = l0 + l1*GDGKAP + l2*TKDG + l3*ASP ; TKTANI = m0 + m1*PDRBTANI + m2*UPHTANI + m3*ASP ; TKIND = n0 + n1*PDRBIND + n2*UPHIND + n3*ASP ; TKDG = o0 + o1*PDRBDG + o2*UPHDG + o3*ASP ; UPHTANI = p0 + p1*PDRBTANIKAP + p2*UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1*PDRBINDKAP + q2*UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1*PDRBDGKAP + r2*UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1*UPHTANI + s2*IFL ; EXPIND = t0 + t1*UPHIND + t2*IFL ; EXPDG = u0 + u1*UPHDG + u2*IFL ; GINI = v0 + v1*SHPDRBTANI + v2*SHPDRBIND + v3*SHPDRBDG + v4*GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1*EXPTANI + w2*GINI + w3*GK ; POVINDP0 = x0 + x1*EXPIND + x2*GINI + x3*GK ; POVDGP0 = y0 + y1*EXPDG + y2*GINI + y3*GK ; POVTANIP1 = z0 + z1*EXPTANI + z2*GINI + z3*GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1*EXPTANI + aa2*GINI + aa3*GK ; POVP0 = ab0 + ab1*POVTANIP0 + ab2*POVINDP0 + ab3*POVDGP0 ; PAD KAPFIS GDGKAP G DPT FISGAP FISAUTO
= = = = = = =
PJK + RET + KKYD + PADLN; PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDG/POP; GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; G - KAPFIS; PAD/G*100;
213
PDRBTANI PDRBINDTANI PDRBIND PDRBNONTANI PDRB PDRBTANIKAP PDRBINDKAP PDRBDGKAP PDRBKAP TK SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG run;
= = = = = = = = = = = = =
PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRBTANI + PDRBNONTANI; pdrbtani/pop; pdrbind/pop; pdrbdg/pop; PDRB/POP; tktani + tkind + tkdg + tkln; PDRBTANI/PDRB*100; PDRBIND/PDRB*100; PDRBDG/PDRB*100;
214
Lampiran 11. Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50% (SS1) The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations Number of Statements Program Lag Length
47 47 110 47 64 11
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SIMULASINONTANI
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
47 11 NEWTON 1E-8 2.67E-15 4 134 2.030303
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
77 11 66 12 77
215
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Variable PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0
N Obs
N
66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66
66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66
Actual Mean Std Dev 2206547 3236409 1586140 7059179 6673155 15971664 45232.8 62410.5 8.4143 2184644 12576610 15549496 8490318 20.2826 10718.7 26154600 32041784 2942.1 17668587 33880510 70524948 7155.2 43022279 3556.6 1.8978E8 2.2182E8 24586.4 14.3341 27.6265 18.0491 2149.7 934.6 1336.1 6078.2 606.4 1007.4 907.6 298.6 435.4 479.5 0.3423 18.9749 10.7624 8.2358 2.8927 0.7540 12.3557
1970408 2816452 1251062 5234449 6382405 11555662 52590.9 59125.3 8.3619 1479057 9650519 11210980 8118739 7.7979 9885.9 28556535 32004865 2162.7 27185471 40672226 73655911 7181.9 53534147 1875.1 1.733E8 2.0269E8 20844.4 5.6455 14.2568 6.9220 2549.5 1169.0 1537.2 6830.5 270.7 394.0 184.8 73.7530 161.9 138.2 0.0349 7.0756 6.9124 5.5415 1.2949 0.3715 4.7660
Predicted Mean Std Dev 2451819 3481682 1424464 7142775 6891968 16274074 46550.8 59921.0 7.5107 2205820 12495637 15488528 8345753 21.2322 12609.4 30875311 36762495 4288.2 16006625 32218547 68862985 7007.6 37736865 3768.4 1.8283E8 2.1959E8 25996.7 18.7524 27.3753 15.4731 2352.5 848.1 1131.1 5989.6 636.0 1011.3 890.3 293.6 423.8 480.9 0.3422 20.4218 12.1091 8.5133 3.2469 0.8740 14.1779
2191362 3054401 1036432 5411547 6462321 11984648 46779.5 46433.6 5.7733 1248219 10117556 11663151 8378123 7.3969 8303.6 27136013 30671753 3038.0 20205049 38131045 77636397 7336.6 39296001 3191.4 1.5616E8 1.83E8 23457.3 7.9511 19.0957 13.5943 2066.1 1074.2 1089.4 5701.0 227.0 357.8 168.0 55.9619 104.3 79.3843 0.0232 7.7579 4.5324 2.9516 1.4810 0.4438 4.6261
216
Lampiran 12.
Variabel Endogen 1
PM PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP 2 FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP 2 SHPDRBTANI 2 SHPDRBIND 2 SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG 3 GINI 2 POVTANIP0 2 POVINDP0 2 POVDGP0 3 POVTANIP1 3 POVTANIP2 2 POVP0
Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Keterangan
Perubahan (%) SS3 SS4
SS1
SS2
1.4 0.9 -0.1 0.4 -0.8 -0.4 50.0 -0.7 -0.5 -0.5 0.0 -0.4 1.5 1.9 -0.1 0.0 36.6 28.7 31.8 -0.9 -0.6 -0.4 -0.5 -0.3 -0.3 -0.2 6.9 8.0 5.7 -1.3 -1.1 9.0 -0.2 -0.1 4.1 4.6 -0.1 0.0 2.3 0.0 0.0 -0.007 -1.51 -0.29 -0.30 -0.3 -0.1 -0.84
0.6 0.4 1.8 0.8 -0.4 -0.1 0.0 25.0 -0.1 -0.1 0.2 -0.1 0.1 -0.2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 45.1 33.8 22.6 28.6 0.0 0.0 4.7 3.5 3.9 -0.6 1.8 -0.4 0.0 7.1 0.0 0.6 0.0 2.9 0.0 0.0 1.8 0.0 -0.001 -0.07 -0.44 -0.05 -0.01 0.00 -0.17
Penanaman Modal Pajak daerah Pendapatan asli daerah Bagi hasil pajak Kapasitas fiskal Dana alokasi umum Total pendapatan daerah Belanja pertanian Belanja perindustrian Belanja perdagangan Belanja perdagangan per kapita Belanja infratruktur Belanja lainnya Total belanja daerah Kesenjangan fiskal Kemandirian fiskal Panjang jalan aspal PDRB tan. Pangan, kebun, ternak PDRB pertanian PDRB pertanian per kapita PDRB industri makanan jadi PDRB industri pertanian PDRB industri PDRB industri per kapita PDRB perdagangan PDRB perdagangan per kapita PDRB non pertanian PDRB total PDRB per kapita Share PDRB pertanian Share PDRB industri Share PDRB perdagangan Jumlah tenaga kerja pertanian Jumlah tenaga kerja industri Jumlah tenaga kerja perdagangan Jumlah tenaga kerja total Upah pertanian Upah industri Upah perdagangan Pengeluaran per kapita pertanian Pengeluaran per kapita industri Pengeluaran per kapita perdagangan Indeks Gini P0 pertanian P0 industri P0 perdagangan P1 pertanian P2 pertanian P0 total
Catatan: 1Variabel eksogen; 2Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin
1.2 0.7 2.3 1.1 -0.5 0.0 0.0 -0.3 50.0 45.1 0.2 -0.1 0.1 -0.3 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 -0.4 -0.3 -0.2 -0.3 23.4 32.7 6.0 4.5 6.7 -1.2 -0.5 3.5 0.0 0.0 9.9 2.1 0.0 0.0 5.8 0.0 0.0 4.8 0.004 0.26 0.19 -0.79 0.04 0.01 0.03
0.1 0.1 50.0 9.7 -0.1 2.3 1.2 1.4 2.6 1.8 3.0 1.4 1.6 -1.1 -0.2 0.3 1.1 0.8 0.6 1.7 1.3 0.8 0.8 1.8 1.5 0.6 0.7 0.6 0.0 0.0 0.2 0.6 0.5 1.0 0.5 0.1 0.1 0.3 0.04 0.06 0.23 0.000 -0.01 0.00 -0.04 0.00 0.00 -0.01
SS5 90.0 18.4 11.7 0.7 5.9 -0.2 1.3 0.5 0.5 1.2 1.3 1.4 0.5 0.6 -1.1 1.3 2.8 3.6 2.8 3.3 1.1 0.8 0.5 0.7 7.4 8.2 2.0 2.2 2.6 0.1 -0.2 0.9 3.7 1.3 4.5 2.8 0.4 0.1 1.2 0.2 0.0 1.0 0.001 -0.05 0.02 -0.17 -0.01 0.00 -0.05
217
Lampiran 13.
Variabel Endogen 1
PM PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP 2 FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP 2 SHPDRBTANI 2 SHPDRBIND 2 SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG 3 GINI 2 POVTANIP0 2 POVINDP0 2 POVDGP0 3 POVTANIP1 3 POVTANIP2 2 POVP0
Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Keterangan
Perubahan (%) SS3 SS4
SS1
SS2
0.2 0.1 0.0 0.1 -0.6 -0.2 50.0 -0.4 -0.3 -0.2 0.0 -0.2 0.8 1.4 -0.1 0.0 15.6 12.8 12.1 -0.3 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 -0.1 0.0 1.9 1.8 1.6 -0.2 -0.1 4.4 -0.1 0.0 1.7 2.4 0.0 0.0 1.1 0.0 0.0 -0.002 -0.68 -0.08 -0.08 -0.12 -0.03 -0.35
0.2 0.1 1.8 0.4 -0.5 0.0 0.0 50.0 -0.1 0.0 0.2 -0.1 0.1 -0.2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 28.7 14.3 6.7 8.5 0.0 0.0 2.5 2.1 2.3 -0.4 1.5 -0.3 0.0 5.0 0.0 0.7 0.0 2.5 0.0 0.0 1.8 0.0 -0.001 -0.05 -0.49 -0.04 -0.01 0.00 -0.18
Penanaman Modal Pajak daerah Pendapatan asli daerah Bagi hasil pajak Kapasitas fiskal Dana alokasi umum Total pendapatan daerah Belanja pertanian Belanja perindustrian Belanja perdagangan Belanja perdagangan per kapita Belanja infratruktur Belanja lainnya Total belanja daerah Kesenjangan fiskal Kemandirian fiskal Panjang jalan aspal PDRB tan. Pangan, kebun, ternak PDRB pertanian PDRB pertanian per kapita PDRB industri makanan jadi PDRB industri pertanian PDRB industri PDRB industri per kapita PDRB perdagangan PDRB perdagangan per kapita PDRB non pertanian PDRB total PDRB per kapita Share PDRB pertanian Share PDRB industri Share PDRB perdagangan Jumlah tenaga kerja pertanian Jumlah tenaga kerja industri Jumlah tenaga kerja perdagangan Jumlah tenaga kerja total Upah pertanian Upah industri Upah perdagangan Pengeluaran per kapita pertanian Pengeluaran per kapita industri Pengeluaran per kapita perdagangan Indeks Gini P0 pertanian P0 industri P0 perdagangan P1 pertanian P2 pertanian P0 total
Catatan: 1Variabel eksogen; 2Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin
0.4 0.3 1.9 0.5 -0.7 0.0 0.0 -0.3 50.0 67.6 0.2 -0.1 0.1 -0.2 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 -0.2 -0.1 0.0 -0.1 12.9 35.9 2.6 2.2 5.3 -1.0 -0.5 4.1 0.0 0.0 7.4 1.4 0.0 0.0 7.6 0.0 0.0 6.3 0.005 0.27 0.20 -1.22 0.04 0.01 -0.04
0.1 0.1 50.0 13.4 -0.3 5.8 3.8 3.6 6.1 8.3 7.5 3.5 4.0 -4.1 -0.8 0.8 2.2 1.8 2.5 2.3 1.2 0.5 0.9 2.6 6.5 0.7 0.9 1.6 0.1 -0.2 0.6 1.2 0.5 1.7 0.9 0.4 0.3 1.5 0.2 0.2 1.2 0.000 -0.08 -0.03 -0.26 -0.02 0.00 -0.09
SS5 50.0 14.1 9.9 1.0 5.0 -0.4 2.0 1.1 0.8 1.8 1.4 2.3 0.9 1.1 -2.4 1.7 4.0 4.3 3.5 2.9 1.0 0.5 0.2 0.2 6.3 6.0 1.4 1.7 1.4 0.3 -0.5 0.8 4.4 0.8 5.5 2.9 0.4 0.1 1.2 0.2 0.0 1.0 0.001 -0.06 0.02 -0.20 -0.01 0.00 -0.06
218
Lampiran 14. Program Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Contoh: Skenario SM4 proc import datafile="F:\D\disertasi\data.xls" out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet='final'; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.SIMULASITANI; set work.propoor; IF KODESHTANI = 1; /* memilih 12 provinsi pertanian dengan identitas KODESHTANI = 1*/; PM = 1.9*PM; BHSPJK = 1.5*BHSPJK; GPGNKBNTNK = 2*GPGNKBNTNK; GIND = 1.5*GIND; GDG = 1.5*GDG; GLN = 0.995*GLN; /* SM4: meningkatkan penanaman modal 90%, bagi hasil pajak 50%, belanja pertanian 100%, belanja perindustrian 50%, dan belanja perdagangan 50%, serta menurunkan belanja lainnya 0.5% */; PAD KAPFIS GDGKAP G DPT FISGAP FISAUTO PDRBTANI PDRBINDTANI PDRBIND PDRBNONTANI PDRB PDRBTANIKAP PDRBINDKAP PDRBDGKAP PDRBKAP TK SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
PJK + RET + KKYD + PADLN; PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDG/POP; GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; G - KAPFIS; PAD/G*100; PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRBTANI + PDRBNONTANI; pdrbtani/pop; pdrbind/pop; pdrbdg/pop; PDRB/POP; tktani + tkind + tkdg + tkln; PDRBTANI/PDRB*100; PDRBIND/PDRB*100; PDRBDG/PDRB*100; LAG(PJK); LAG(BHSPJK); LAG(DAU); LAG(GPGNKBNTNK); LAG(GIND); LAG(GDG); LAG(GIFR); LAG(GLN); LAG(UPHTANI); LAG(UPHIND); LAG(UPHDG); LAG(EXPTANI); LAG(GINI);
219
PDRBL
= LAG(PDRB);
PROC SORT DATA=WORK.SIMULASITANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASITANI dynamic simulate; endogenous PJK PAD KAPFIS DAU DPT GDGKAP GIFR G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln BHSPJK GPGNKBNTNK GIND GDG GLN; PJKL = LAG12(PJK); /*BHSPJKL = LAG12(BHSPJK)*/; DAUL = LAG12(DAU); /*GPGNKBNTNKL = LAG12(GPGNKBNTNK)*/; /*GINDL = LAG12(GIND)*/; /*GDGL = LAG12(GDG)*/; GIFRL = LAG12(GIFR); /*GLNL = LAG12(GLN)*/; UPHTANIL = LAG12(UPHTANI); UPHINDL = LAG12(UPHIND); UPHDGL = LAG12(UPHDG); EXPTANIL = LAG12(EXPTANI); GINIL = LAG12(GINI); PDRBL = LAG12(PDRB); IF TAHUN > 2005; PARM a0 -94933.9 b0 77276.63 c0 179927.2 d0 36039.57 a1 3.06025 b1 0.004145 c1 -0.0072 d1 0.00757 a2 0.042283 b2 3.330978 c2 107.6154 d2 0.008443 a3 99.61593 b3 0.314815 c3 6.338917 d3 0.046851 c4 18.81129 d4 0.542576 a4 0.851747 c5 0.431706 e0 e1 e2 e3
-4952.5 0.00073 0.002365 0.749475
f0 f1 f2 f3
-1818.01 0.002214 0.002753 0.504975
g0 g1 g2 g3
256753.3 0.082805 0.017387 0.625046
h0 h1 h2 h3
-162696 0.162246 0.302331 0.826398
i0 i1 i2 i3
2489.701 0.000634 0.000148 2.470515
j0 j1 j2 j3
-6374729 24.73811 5711.454 930.0316
k0 k1 k2
-2494254 195.8402 11064.96
l0 l1 l2 l3
-1.47E+07 556479.4 24205.45 1655.791
m0 m1 m2 m3
278.318 0.000028 -1.10432 0.138568
n0 n1 n2 n3
507.7032 0.000013 -0.68291 0.010769
o0 o1 o2 o3
360.2438 0.000023 -0.41858 0.021856
p0 p1 p2
63.05079 0.009624 0.860639
q0 q1 q2
464.3901 0.032354 0.313735
r0 r1 r2
247.4232 0.026432 0.622585
s0 s1 s2
210.2986 0.221478 -7.69744
t0 t1 t2
153.6796 0.29305 -3.50608
u0 u1
129.4432 0.448016
v0 v1
0.118165 -0.00052
w0 w1
-6.22684 -0.17003
x0 x1
-6.93891 -0.0608
220
u2
-6.34483
v2 v3 v4
-0.00033 0.000331 0.702657
w2 w3
60.9337 0.302195
x2 x3
42.69824 0.163808
y0 y1 y2 y3
-4.59922 -0.04699 44.26502 0.111514
z0 z1 z2 z3
-1.23131 -0.03177 8.428017 0.059236
aa0 aa1 aa2 aa3
-0.33909 -0.00938 1.924496 0.017944
ab0 ab1 ab2 ab3
-0.5193 0.460043 0.307586 0.185324
PJK = a0 + a1*PDRBKAP + a2*PM + a3*MTR + a4*PJKL ; /*BHSPJK = b0 + b1*PDRBNONTANI + b2*WLYH + b3*BHSPJKL */; DAU = c0 + c1*PDRBL + c2*POP + c3*WLYH + c4*PNS + c5*DAUL ; /*GPGNKBNTNK = d0 + d1*KAPFIS + d2*DAU + d3*DAK + d4*GPGNKBNTNKL */; /*GIND = e0 + e1*KAPFIS + e2*DAU + e3*GINDL */; /*GDG = f0 + f1*KAPFIS + f2*DAU + f3*GDGL */; GIFR = g0 + g1*KAPFIS + g2*DAU + g3*GIFRL ; /*GLN = h0 + h1*KAPFIS + h2*DAU + h3*GLNL */; ASP = i0 + i1*GIFR + i2*PM + i3*MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1*GPGNKBNTNK + j2*TKTANI + j3*ASP ; PDRBMKN = k0 + k1*GIND + k2*TKIND ; PDRBDG = l0 + l1*GDGKAP + l2*TKDG + l3*ASP ; TKTANI = m0 + m1*PDRBTANI + m2*UPHTANI + m3*ASP ; TKIND = n0 + n1*PDRBIND + n2*UPHIND + n3*ASP ; TKDG = o0 + o1*PDRBDG + o2*UPHDG + o3*ASP ; UPHTANI = p0 + p1*PDRBTANIKAP + p2*UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1*PDRBINDKAP + q2*UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1*PDRBDGKAP + r2*UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1*UPHTANI + s2*IFL ; EXPIND = t0 + t1*UPHIND + t2*IFL ; EXPDG = u0 + u1*UPHDG + u2*IFL ; GINI = v0 + v1*SHPDRBTANI + v2*SHPDRBIND + v3*SHPDRBDG + v4*GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1*EXPTANI + w2*GINI + w3*GK ; POVINDP0 = x0 + x1*EXPIND + x2*GINI + x3*GK ; POVDGP0 = y0 + y1*EXPDG + y2*GINI + y3*GK ; POVTANIP1 = z0 + z1*EXPTANI + z2*GINI + z3*GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1*EXPTANI + aa2*GINI + aa3*GK ; POVP0 = ab0 + ab1*POVTANIP0 + ab2*POVINDP0 + ab3*POVDGP0 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDG/POP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PAD/G*100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtani/pop; PDRBINDKAP = pdrbind/pop; PDRBDGKAP = pdrbdg/pop; PDRBKAP = PDRB/POP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANI/PDRB*100; SHPDRBIND = PDRBIND/PDRB*100; SHPDRBDG = PDRBDG/PDRB*100; run;
221
Lampiran 15. Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Contoh: Skenario SM4 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations Number of Statements Program Lag Length
43 43 110 43 56 12
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SIMULASITANI
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
43 12 NEWTON 1E-8 4.97E-15 4 146 2.027778
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
84 12 72 13 84
222
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Variable PJK PAD KAPFIS DAU DPT GDGKAP GIFR G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0
N Obs
N
72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72
72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72
Actual Mean Std Dev 701587 1072631 2354610 5144042 9130063 9.9182 1347830 8859346 6504737 11.6567 8965.4 13143306 16468820 3230.7 4119624 5747009 8970669 1396.8 10313081 1897.0 44445013 60913834 11547.7 28.9706 11.2111 16.2577 1167.7 150.2 375.8 2239.2 595.4 750.4 751.2 265.7 331.9 420.1 0.3337 19.3383 14.7422 9.1491 3.0948 0.8360 15.2406
571076 709248 1287727 1788199 3711943 6.7231 555571 3619483 2648812 3.8493 4250.0 9269720 11052298 944.9 7276321 7810350 12562364 910.7 9459434 729.6 37789071 48307377 3567.7 6.7997 5.9554 3.0407 586.6 114.5 265.5 1228.9 158.7 188.7 117.4 58.1629 81.1571 93.1396 0.0385 8.8037 8.1563 6.2167 1.8066 0.5668 6.7819
Predicted Mean Std Dev 803895 1174939 2456918 4835709 8924037 9.9182 1229494 8741011 6284093 13.0808 7355.9 20508829 23834343 5180.8 8681875 10309260 13532921 2547.3 15735196 3662.4 54429380 78263723 16413.7 33.1656 14.9278 19.0752 1215.5 219.0 526.2 2506.1 678.7 796.4 852.3 294.7 357.1 457.0 0.3328 13.7946 12.5854 7.0560 1.9825 0.4971 11.0056
654833 772212 1364693 1632619 3576723 6.7231 355327 3484975 2544485 5.4647 2545.5 9435831 10916472 2092.5 10441689 10322339 14301234 2248.8 11868790 2952.3 38024731 48317384 7136.5 8.2993 8.0655 13.9609 613.6 162.3 294.1 1322.9 159.7 103.0 168.3 48.9656 34.0985 86.4067 0.0176 8.1225 3.4083 3.6179 1.5597 0.4680 5.0151
223
Lampiran 16. Program Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Contoh: Skenario SM4 proc import datafile="F:\D\disertasi\data.xls" out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet='final'; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.SIMULASINONTANI; set work.propoor; IF KODESHTANI = 0; /* memilih 11 provinsi pertanian dengan identitas KODESHTANI = 0*/; PM = 1.25*PM; BHSPJK = 1.5*BHSPJK; GPGNKBNTNK = 2.5*GPGNKBNTNK; GIND = 1.5*GIND; GDG = 1.5*GDG; GLN = 0.99*GLN; /* SM4: meningkatkan penanaman modal 25%, bagi hasil pajak 50%, belanja pertanian 150%, belanja perindustrian 50%, dan belanja perdagangan 50%, serta menurunkan belanja lainnya 1.0% */; PAD KAPFIS GDGKAP G DPT FISGAP FISAUTO PDRBTANI PDRBINDTANI PDRBIND PDRBNONTANI PDRB PDRBTANIKAP PDRBINDKAP PDRBDGKAP PDRBKAP TK SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
PJK + RET + KKYD + PADLN; PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDG/POP; GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; G - KAPFIS; PAD/G*100; PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRBTANI + PDRBNONTANI; pdrbtani/pop; pdrbind/pop; pdrbdg/pop; PDRB/POP; tktani + tkind + tkdg + tkln; PDRBTANI/PDRB*100; PDRBIND/PDRB*100; PDRBDG/PDRB*100; LAG(PJK); LAG(BHSPJK); LAG(DAU); LAG(GPGNKBNTNK); LAG(GIND); LAG(GDG); LAG(GIFR); LAG(GLN); LAG(UPHTANI); LAG(UPHIND); LAG(UPHDG); LAG(EXPTANI); LAG(GINI);
224
PDRBL
= LAG(PDRB);
PROC SORT DATA=WORK.SIMULASINONTANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASINONTANI dynamic simulate; endogenous PJK PAD KAPFIS DAU DPT GDGKAP GIFR G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln BHSPJK GPGNKBNTNK GIND GDG GLN; PJKL = LAG11(PJK); /*BHSPJKL = LAG11(BHSPJK)*/; DAUL = LAG11(DAU); /*GPGNKBNTNKL = LAG11(GPGNKBNTNK)*/; /*GINDL = LAG11(GIND)*/; /*GDGL = LAG11(GDG)*/; GIFRL = LAG11(GIFR); /*GLNL = LAG11(GLN)*/; UPHTANIL = LAG11(UPHTANI); UPHINDL = LAG11(UPHIND); UPHDGL = LAG11(UPHDG); EXPTANIL = LAG11(EXPTANI); GINIL = LAG11(GINI); PDRBL = LAG11(PDRB); IF TAHUN > 2005; PARM a0 -94933.9 b0 77276.63 c0 179927.2 d0 36039.57 a1 3.06025 b1 0.004145 c1 -0.0072 d1 0.00757 a2 0.042283 b2 3.330978 c2 107.6154 d2 0.008443 a3 99.61593 b3 0.314815 c3 6.338917 d3 0.046851 c4 18.81129 d4 0.542576 a4 0.851747 c5 0.431706 e0 e1 e2 e3
-4952.5 0.00073 0.002365 0.749475
f0 f1 f2 f3
-1818.01 0.002214 0.002753 0.504975
g0 g1 g2 g3
256753.3 0.082805 0.017387 0.625046
h0 h1 h2 h3
-162696 0.162246 0.302331 0.826398
i0 i1 i2 i3
2489.701 0.000634 0.000148 2.470515
j0 j1 j2 j3
-6374729 24.73811 5711.454 930.0316
k0 k1 k2
-2494254 195.8402 11064.96
l0 l1 l2 l3
-1.47E+07 556479.4 24205.45 1655.791
m0 m1 m2 m3
278.318 0.000028 -1.10432 0.138568
n0 n1 n2 n3
507.7032 0.000013 -0.68291 0.010769
o0 o1 o2 o3
360.2438 0.000023 -0.41858 0.021856
p0 p1 p2
63.05079 0.009624 0.860639
q0 q1 q2
464.3901 0.032354 0.313735
r0 r1 r2
247.4232 0.026432 0.622585
s0 s1 s2
210.2986 0.221478 -7.69744
t0 t1 t2
153.6796 0.29305 -3.50608
u0 u1
129.4432 0.448016
v0 v1
0.118165 -0.00052
w0 w1
-6.22684 -0.17003
x0 x1
-6.93891 -0.0608
225
u2
-6.34483
v2 v3 v4
-0.00033 0.000331 0.702657
w2 w3
60.9337 0.302195
x2 x3
42.69824 0.163808
y0 y1 y2 y3
-4.59922 -0.04699 44.26502 0.111514
z0 z1 z2 z3
-1.23131 -0.03177 8.428017 0.059236
aa0 aa1 aa2 aa3
-0.33909 -0.00938 1.924496 0.017944
ab0 ab1 ab2 ab3
-0.5193 0.460043 0.307586 0.185324
PJK = a0 + a1*PDRBKAP + a2*PM + a3*MTR + a4*PJKL ; /*BHSPJK = b0 + b1*PDRBNONTANI + b2*WLYH + b3*BHSPJKL */; DAU = c0 + c1*PDRBL + c2*POP + c3*WLYH + c4*PNS + c5*DAUL ; /*GPGNKBNTNK = d0 + d1*KAPFIS + d2*DAU + d3*DAK + d4*GPGNKBNTNKL */; /*GIND = e0 + e1*KAPFIS + e2*DAU + e3*GINDL */; /*GDG = f0 + f1*KAPFIS + f2*DAU + f3*GDGL */; GIFR = g0 + g1*KAPFIS + g2*DAU + g3*GIFRL ; /*GLN = h0 + h1*KAPFIS + h2*DAU + h3*GLNL */; ASP = i0 + i1*GIFR + i2*PM + i3*MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1*GPGNKBNTNK + j2*TKTANI + j3*ASP ; PDRBMKN = k0 + k1*GIND + k2*TKIND ; PDRBDG = l0 + l1*GDGKAP + l2*TKDG + l3*ASP ; TKTANI = m0 + m1*PDRBTANI + m2*UPHTANI + m3*ASP ; TKIND = n0 + n1*PDRBIND + n2*UPHIND + n3*ASP ; TKDG = o0 + o1*PDRBDG + o2*UPHDG + o3*ASP ; UPHTANI = p0 + p1*PDRBTANIKAP + p2*UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1*PDRBINDKAP + q2*UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1*PDRBDGKAP + r2*UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1*UPHTANI + s2*IFL ; EXPIND = t0 + t1*UPHIND + t2*IFL ; EXPDG = u0 + u1*UPHDG + u2*IFL ; GINI = v0 + v1*SHPDRBTANI + v2*SHPDRBIND + v3*SHPDRBDG + v4*GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1*EXPTANI + w2*GINI + w3*GK ; POVINDP0 = x0 + x1*EXPIND + x2*GINI + x3*GK ; POVDGP0 = y0 + y1*EXPDG + y2*GINI + y3*GK ; POVTANIP1 = z0 + z1*EXPTANI + z2*GINI + z3*GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1*EXPTANI + aa2*GINI + aa3*GK ; POVP0 = ab0 + ab1*POVTANIP0 + ab2*POVINDP0 + ab3*POVDGP0 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDG/POP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PAD/G*100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtani/pop; PDRBINDKAP = pdrbind/pop; PDRBDGKAP = pdrbdg/pop; PDRBKAP = PDRB/POP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANI/PDRB*100; SHPDRBIND = PDRBIND/PDRB*100; SHPDRBDG = PDRBDG/PDRB*100; run;
226
Lampiran 17. Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Contoh: Skenario SM4 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations Number of Statements Program Lag Length
43 43 110 43 56 11
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SIMULASINONTANI
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
43 11 NEWTON 1E-8 1.39E-11 5 145 2.19697
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
77 11 66 12 77
227
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Variable PJK PAD KAPFIS DAU DPT GDGKAP GIFR G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0
N Obs
N
66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66
66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66 66
Actual Mean Std Dev 2206547 3236409 7852249 6673155 16764734 12.6215 2184644 15803274 7951025 19.9892 10718.7 26154600 32041784 2942.1 17668587 33880510 70524948 7155.2 43022279 3556.6 1.8978E8 2.2182E8 24586.4 14.3341 27.6265 18.0491 2149.7 934.6 1336.1 6078.2 606.4 1007.4 907.6 298.6 435.4 479.5 0.3423 18.9749 10.7624 8.2358 2.8927 0.7540 12.3557
1970408 2816452 5758381 6382405 12063846 12.5429 1479057 11373557 7917966 7.7590 9885.9 28556535 32004865 2162.7 27185471 40672226 73655911 7181.9 53534147 1875.1 1.733E8 2.0269E8 20844.4 5.6455 14.2568 6.9220 2549.5 1169.0 1537.2 6830.5 270.7 394.0 184.8 73.7530 161.9 138.2 0.0349 7.0756 6.9124 5.5415 1.2949 0.3715 4.7660
Predicted Mean Std Dev 2651051 3680913 8296753 6706500 17242584 12.6215 2393758 16012389 7715636 21.2870 12967.0 40926359 46813543 5627.9 20698759 36910682 73555119 7610.8 44180220 5287.3 1.9396E8 2.4078E8 29458.4 21.2317 26.9584 18.5787 2643.3 895.2 1255.3 6451.6 672.5 1037.3 966.3 301.7 431.4 514.9 0.3418 19.0248 11.6284 6.8967 2.9871 0.7975 13.0878
2375012 3226412 6148187 6381059 12542107 12.5429 1387337 11477183 7748818 7.9763 8490.9 33982524 37611035 4021.0 26138965 43104357 81343861 7983.3 40583917 4876.3 1.6208E8 1.9603E8 26140.7 8.0238 18.6015 12.4142 2281.3 1133.6 1123.7 6021.4 256.7 385.1 235.5 62.5657 112.6 110.5 0.0239 8.4410 4.8994 3.7163 1.6026 0.4787 5.1006
228
Lampiran 18.
Variabel Endogen 1
PM PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP 2 FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP 2 SHPDRBTANI 2 SHPDRBIND 2 SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG 3 GINI 2 POVTANIP0 2 POVINDP0 2 POVDGP0 3 POVTANIP1 3 POVTANIP2 2 POVP0
Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Keterangan
SM1
SM2A
Perubahan (%) SM2B SM3A
Penanaman Modal Pajak daerah Pendapatan asli daerah Bagi hasil pajak Kapasitas fiskal Dana alokasi umum Total pendapatan daerah Belanja pertanian Belanja perindustrian Belanja perdagangan Belanja perdagangan per kapita Belanja infratruktur Belanja lainnya Total belanja daerah Kesenjangan fiskal Kemandirian fiskal Panjang jalan aspal PDRB tan. Pangan, kebun, ternak PDRB pertanian PDRB pertanian per kapita PDRB industri makanan jadi PDRB industri pertanian PDRB industri PDRB industri per kapita PDRB perdagangan PDRB perdagangan per kapita PDRB non pertanian PDRB total PDRB per kapita Share PDRB pertanian Share PDRB industri Share PDRB perdagangan Jumlah tenaga kerja pertanian Jumlah tenaga kerja industri Jumlah tenaga kerja perdagangan Jumlah tenaga kerja total Upah pertanian Upah industri Upah perdagangan Pengeluaran per kapita pertanian Pengeluaran per kapita industri Pengeluaran per kapita perdagangan Indeks Gini P0 pertanian P0 industri P0 perdagangan P1 pertanian P2 pertanian P0 total
3.2 2.0 4.1 2.4 -1.8 -0.5 50.0 25.0 50.0 45.1 0.4 -0.6 1.7 1.5 0.1 0.0 36.7 28.7 31.8 45.1 33.8 22.6 28.6 23.4 32.7 10.7 15.1 18.8 3.4 0.0 2.2 9.1 7.1 9.9 6.8 4.6 2.9 5.8 2.3 1.8 4.8 -0.003 -1.26 -0.51 -1.10 -0.23 -0.07 -0.94
3.2 2.1 50.0 10.7 -1.8 1.5 50.0 25.0 50.0 45.1 3.1 0.6 3.1 0.5 -0.1 0.3 37.0 29.0 32.0 45.2 33.9 22.6 28.6 24.1 33.1 10.9 15.3 19.0 3.4 -0.1 2.3 9.4 7.2 10.3 7.1 4.7 2.9 5.9 2.3 1.8 4.9 -0.003 -1.26 -0.51 -1.11 -0.23 -0.07 -0.94
Catatan: 1Variabel eksogen; 2Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin
3.6 2.3 50.0 10.8 -2.1 1.4 50.0 50.0 50.0 45.1 3.1 0.5 3.1 0.5 -0.1 0.3 37.0 29.0 32.0 77.5 58.1 38.9 47.6 24.1 33.1 14.2 17.9 21.6 2.7 1.6 2.0 9.4 12.9 10.3 7.6 4.7 4.7 5.9 2.3 3.1 4.9 -0.003 -1.30 -0.79 -1.14 -0.23 -0.07 -1.05
90.0 22.0 14.0 50.0 16.5 -2.3 2.7 50.0 50.0 50.0 45.1 4.4 1.0 3.6 -0.6 1.2 3.1 40.3 31.5 35.0 78.1 58.5 39.1 48.0 30.7 40.3 16.0 19.8 23.9 2.8 1.5 2.7 13.1 14.1 14.5 10.2 5.0 4.8 7.0 2.4 3.1 5.8 -0.003 -1.35 -0.77 -1.29 -0.24 -0.07 -1.10
SM3B
SM4
90.0 23.1 14.7 50.0 16.8 -2.9 2.4 100.0 50.0 50.0 45.1 4.4 0.7 5.0 1.0 1.1 3.1 71.5 55.9 61.6 78.1 58.5 39.1 48.0 30.7 40.3 16.0 25.8 30.7 6.6 0.5 1.8 20.9 14.1 14.5 13.8 8.7 4.8 7.0 4.2 3.1 5.8 -0.007 -2.48 -0.96 -1.49 -0.44 -0.13 -1.71
90.0 23.1 14.7 50.0 16.8 -2.9 2.4 100.0 50.0 50.0 45.1 4.4 -0.5 4.1 -0.1 1.3 3.1 71.5 55.9 61.6 78.1 58.5 39.1 48.0 30.7 40.3 16.0 25.8 30.7 6.6 0.5 1.8 20.9 14.1 14.5 13.8 8.7 4.8 7.0 4.2 3.1 5.8 -0.007 -2.48 -0.96 -1.49 -0.44 -0.13 -1.71
229
Lampiran 19. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Variabel Endogen 1
PM PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP 2 FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP 2 SHPDRBTANI 2 SHPDRBIND 2 SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG 3 GINI 2 POVTANIP0 2 POVINDP0 2 POVDGP0 3 POVTANIP1 3 POVTANIP2 2 POVP0
Keterangan
SM1
SM2A
Perubahan (%) SM2B SM3A
SM3B
SM4
1.1 0.8 50.0 13.7 -2.5 5.0 100.0 50.0 50.0 67.6 7.4 2.7 5.7 -1.4 -0.8 0.8 33.8 27.7 29.4 28.7 14.3 6.7 8.5 14.0 37.5 5.4 8.8 12.3 2.1 0.1 3.1 10.3 5.1 8.3 6.3 5.3 2.5 8.0 2.5 1.8 6.6 -0.001 -1.27 -0.48 -1.52 -0.24 -0.07 -1.02
25.0 8.3 5.9 50.0 16.2 -3.3 5.7 150.0 50.0 50.0 67.6 8.5 2.9 7.0 -0.9 -0.1 2.8 53.2 43.6 47.2 29.0 14.4 6.7 8.5 17.0 40.2 6.0 11.7 15.3 4.1 -0.6 3.0 17.4 5.5 10.9 9.5 8.2 2.6 8.5 3.9 1.8 7.0 -0.002 -2.07 -0.56 -1.70 -0.38 -0.11 -1.44
25.0 8.3 5.9 50.0 16.2 -3.3 5.7 150.0 50.0 50.0 67.6 8.5 -1.0 4.2 -6.3 0.0 2.8 53.2 43.6 47.2 29.0 14.4 6.7 8.5 17.0 40.2 6.0 11.7 15.3 4.1 -0.6 3.0 17.4 5.5 10.9 9.5 8.2 2.6 8.5 3.9 1.8 7.0 -0.002 -2.07 -0.56 -1.70 -0.38 -0.11 -1.44
Penanaman Modal Pajak daerah Pendapatan asli daerah Bagi hasil pajak Kapasitas fiskal Dana alokasi umum Total pendapatan daerah Belanja pertanian Belanja perindustrian Belanja perdagangan Belanja perdagangan per kapita Belanja infratruktur Belanja lainnya Total belanja daerah Kesenjangan fiskal Kemandirian fiskal Panjang jalan aspal PDRB tan. Pangan, kebun, ternak PDRB pertanian PDRB pertanian per kapita PDRB industri makanan jadi PDRB industri pertanian PDRB industri PDRB industri per kapita PDRB perdagangan PDRB perdagangan per kapita PDRB non pertanian PDRB total PDRB per kapita Share PDRB pertanian Share PDRB industri Share PDRB perdagangan Jumlah tenaga kerja pertanian Jumlah tenaga kerja industri Jumlah tenaga kerja perdagangan Jumlah tenaga kerja total Upah pertanian Upah industri Upah perdagangan Pengeluaran per kapita pertanian Pengeluaran per kapita industri Pengeluaran per kapita perdagangan Indeks Gini P0 pertanian P0 industri P0 perdagangan P1 pertanian P2 pertanian P0 total
0.8 0.6 3.7 1.0 -1.8 -0.3 50.0 50.0 50.0 67.6 0.3 -0.4 1.0 1.0 0.1 0.0 15.6 12.8 12.2 28.7 14.3 6.7 8.5 12.9 35.9 5.2 6.3 9.4 0.1 0.7 3.4 4.5 5.0 7.4 3.9 2.4 2.5 7.6 1.1 1.8 6.3 0.002 -0.46 -0.39 -1.35 -0.09 -0.03 -0.58
1.0 0.7 3.7 1.1 -2.4 -0.5 100.0 50.0 50.0 67.6 0.3 -0.6 1.9 2.6 -0.1 0.0 33.1 27.1 28.6 28.7 14.3 6.7 8.5 12.9 35.9 5.2 8.5 11.9 2.1 0.2 3.0 9.4 5.0 7.4 5.8 5.1 2.5 7.6 2.4 1.8 6.3 -0.001 -1.25 -0.48 -1.45 -0.23 -0.07 -0.99
Catatan: 1Variabel eksogen; 2Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin
1.3 0.9 50.0 13.8 -3.1 4.7 150.0 50.0 50.0 67.6 7.4 2.5 6.5 0.2 -0.9 0.8 51.3 42.0 45.8 28.7 14.3 6.7 8.5 14.0 37.5 5.4 11.0 14.7 4.0 -0.4 2.7 15.2 5.1 8.3 8.2 8.0 2.5 8.0 3.8 1.8 6.6 -0.003 -2.05 -0.57 -1.61 -0.37 -0.11 -1.42
230
Lampiran 20. Program Peramalan Variabel Eksogen dengan prosedur FORECAST dan Variabel Endogen dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN Tahun 2012-2015 pada software SAS/ETS 9.1.3 Contoh: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam proc import datafile="F:\D\disertasi\data.xls" out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet='final241013'; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.data; set work.propoor; if kodeprov = 1; /* memilih provinsi NAD dengan kodeprov = 1 */ proc forecast data=work.data method=stepar trend=2 out=n_exo lead=4 outdata ; id tahun; var PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln POPTANI POPIND POPDG PJK BHSPJK DAU GPGNKBNTNK GIND GDG GIFR GLN ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBMKN PDRBDG TKTANI TKIND TKDG UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; run; proc print data=n_exo (FIRSTOBS = 8); run; options nodate nonumber; data data1; set n_exo; if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun > if tahun >
2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011
and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and and
_type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST"
then then then then then then then then then then then then then then then then then then then then then then then
PJK = BHSPJK = DAU = GPGNKBNTNK = GIND = GDG = GIFR = GLN = ASP = PDRBPGNKBNTNK = PDRBMKN = PDRBDG = TKTANI = TKIND = TKDG = UPHTANI = UPHIND = UPHDG = EXPTANI = EXPIND = EXPDG = GINI = POVTANIP0 =
1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1; 1;
231
if tahun if tahun if tahun if tahun if tahun run;
> > > > >
2011 2011 2011 2011 2011
and and and and and
_type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST" _type_="FORECAST"
then then then then then
POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0
= = = = =
1; 1; 1; 1; 1;
data ramal; set data1; PAD KAPFIS GDGKAP G DPT FISGAP FISAUTO PDRBTANI PDRBINDTANI PDRBIND PDRBNONTANI PDRB PDRBTANIKAP PDRBINDKAP PDRBDGKAP PDRBKAP TK SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
PJK + RET + KKYD + PADLN; PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDG/POP; GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; G - KAPFIS; PAD/G*100; PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBIND + PDRBDG + PDRBTBG + PDRBLN; PDRBTANI + PDRBNONTANI; pdrbtani/pop; pdrbind/pop; pdrbdg/pop; PDRB/POP; tktani + tkind + tkdg + tkln; PDRBTANI/PDRB*100; PDRBIND/PDRB*100; PDRBDG/PDRB*100;
PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL PDRBL
= = = = = = = = = = = = = =
LAG(PJK); LAG(BHSPJK); LAG(DAU); LAG(GPGNKBNTNK); LAG(GIND); LAG(GDG); LAG(GIFR); LAG(GLN); LAG(UPHTANI); LAG(UPHIND); LAG(UPHDG); LAG(EXPTANI); LAG(GINI); LAG(PDRB);
RUN; PROC SIMNLIN data=ramal dynamic simulate stats out=n_endo; endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG
232
EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln; PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL PDRBL
= = = = = = = = = = = = = =
LAG(PJK); LAG(BHSPJK); LAG(DAU); LAG(GPGNKBNTNK); LAG(GIND); LAG(GDG); LAG(GIFR); LAG(GLN); LAG(UPHTANI); LAG(UPHIND); LAG(UPHDG); LAG(EXPTANI); LAG(GINI); LAG(PDRB);
PARM a0 a1 a2 a3 a4
-94933.9 3.06025 0.042283 99.61593 0.851747
b0 b1 b2 b3
77276.63 0.004145 3.330978 0.314815
c0 c1 c2 c3 c4 c5
179927.2 -0.0072 107.6154 6.338917 18.81129 0.431706
d0 d1 d2 d3 d4
36039.57 0.00757 0.008443 0.046851 0.542576
e0 e1 e2 e3
-4952.5 0.00073 0.002365 0.749475
f0 f1 f2 f3
-1818.01 0.002214 0.002753 0.504975
g0 g1 g2 g3
256753.3 0.082805 0.017387 0.625046
h0 h1 h2 h3
-162696 0.162246 0.302331 0.826398
i0 i1 i2 i3
2489.701 0.000634 0.000148 2.470515
j0 j1 j2 j3
-6374729 24.73811 5711.454 930.0316
k0 k1 k2
-2494254 195.8402 11064.96
l0 l1 l2 l3
-1.47E+07 556479.4 24205.45 1655.791
m0 m1 m2 m3
278.318 0.000028 -1.10432 0.138568
n0 n1 n2 n3
507.7032 0.000013 -0.68291 0.010769
o0 o1 o2 o3
360.2438 0.000023 -0.41858 0.021856
p0 p1 p2
63.05079 0.009624 0.860639
q0 q1 q2
464.3901 0.032354 0.313735
r0 r1 r2
247.4232 0.026432 0.622585
s0 s1 s2
210.2986 0.221478 -7.69744
t0 t1 t2
153.6796 0.29305 -3.50608
u0 u1 u2
129.4432 0.448016 -6.34483
v0 v1 v2 v3 v4
0.118165 -0.00052 -0.00033 0.000331 0.702657
w0 w1 w2 w3
-6.22684 -0.17003 60.9337 0.302195
x0 x1 x2 x3
-6.93891 -0.0608 42.69824 0.163808
y0 y1 y2 y3
-4.59922 -0.04699 44.26502 0.111514
z0 z1 z2 z3
-1.23131 -0.03177 8.428017 0.059236
aa0 aa1 aa2 aa3
-0.33909 -0.00938 1.924496 0.017944
ab0 ab1 ab2 ab3
-0.5193 0.460043 0.307586 0.185324;
233
PJK = a0 + a1*PDRBKAP + a2*PM + a3*MTR + a4*PJKL ; BHSPJK = b0 + b1*PDRBNONTANI + b2*WLYH + b3*BHSPJKL ; DAU = c0 + c1*PDRBL + c2*POP + c3*WLYH + c4*PNS + c5*DAUL ; GPGNKBNTNK = d0 + d1*KAPFIS + d2*DAU + d3*DAK + d4*GPGNKBNTNKL ; GIND = e0 + e1*KAPFIS + e2*DAU + e3*GINDL ; GDG = f0 + f1*KAPFIS + f2*DAU + f3*GDGL ; GIFR = g0 + g1*KAPFIS + g2*DAU + g3*GIFRL ; GLN = h0 + h1*KAPFIS + h2*DAU + h3*GLNL ; ASP = i0 + i1*GIFR + i2*PM + i3*MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1*GPGNKBNTNK + j2*TKTANI + j3*ASP ; PDRBMKN = k0 + k1*GIND + k2*TKIND ; PDRBDG = l0 + l1*GDGKAP + l2*TKDG + l3*ASP ; TKTANI = m0 + m1*PDRBTANI + m2*UPHTANI + m3*ASP ; TKIND = n0 + n1*PDRBIND + n2*UPHIND + n3*ASP ; TKDG = o0 + o1*PDRBDG + o2*UPHDG + o3*ASP ; UPHTANI = p0 + p1*PDRBTANIKAP + p2*UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1*PDRBINDKAP + q2*UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1*PDRBDGKAP + r2*UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1*UPHTANI + s2*IFL ; EXPIND = t0 + t1*UPHIND + t2*IFL ; EXPDG = u0 + u1*UPHDG + u2*IFL ; GINI = v0 + v1*SHPDRBTANI + v2*SHPDRBIND + v3*SHPDRBDG + v4*GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1*EXPTANI + w2*GINI + w3*GK ; POVINDP0 = x0 + x1*EXPIND + x2*GINI + x3*GK ; POVDGP0 = y0 + y1*EXPDG + y2*GINI + y3*GK ; POVTANIP1 = z0 + z1*EXPTANI + z2*GINI + z3*GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1*EXPTANI + aa2*GINI + aa3*GK ; POVP0 = ab0 + ab1*POVTANIP0 + ab2*POVINDP0 + ab3*POVDGP0 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDG/POP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PAD/G*100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtani/pop; PDRBINDKAP = pdrbind/pop; PDRBDGKAP = pdrbdg/pop; PDRBKAP = PDRB/POP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANI/PDRB*100; SHPDRBIND = PDRBIND/PDRB*100; SHPDRBDG = PDRBDG/PDRB*100; RANGE tahun 2012 TO 2015; run; proc print data=n_endo; var PJK BHSPJK DAU GPGNKBNTNK GIND GDG GIFR GLN ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBMKN PDRBDG TKTANI TKIND TKDG UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; RUN;
234
Lampiran 21. Nilai-nilai Ramalan Variabel Eksogen dengan Prosedur FORECAST dan Variabel Endogen dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN 1. Pajak Daerah Riil (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 733 696 3 382 275 926 930 1 649 714 1 027 961 1 898 867 1 002 357 1 040 041 9 154 533 5 129 074 1 036 596 8 672 948 3 664 039 2 753 377 657 762 264 741 1 012 745 867 316 1 467 489 3 393 073 590 642 647 217 1 842 088
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 845 189 1 521 215 604 385 1 890 395 715 546 1 464 621 567 983 572 319 3 637 533 2 342 194 403 107 3 244 642 957 191 503 399 412 343 447 265 931 217 895 995 607 065 2 749 798 336 418 531 747 880 779
2013 880 943 3 601 699 966 974 1 591 850 1 320 922 2 218 655 997 576 1 154 215 9 647 932 5 582 798 1 259 719 9 444 008 4 007 228 2 900 304 854 474 289 483 1 182 331 1 133 071 1 584 119 3 846 499 694 304 925 946 2 062 703
2014 1 029 704 3 852 065 1 021 186 1 464 396 1 615 403 2 558 417 1 002 550 1 283 018 10 144 397 6 045 140 1 488 395 10 242 445 4 372 548 3 080 180 1 068 411 327 069 1 368 876 1 410 879 1 717 769 4 320 528 812 152 1 215 954 2 315 480
2015 1 180 326 4 128 749 1 087 285 1 277 204 1 911 387 2 915 037 1 015 815 1 421 199 10 643 317 6 514 803 1 721 822 11 064 162 4 756 340 3 287 374 1 296 826 375 669 1 569 623 1 698 478 1 865 986 4 812 169 942 391 1 515 685 2 595 506
2. Bagi Hasil Pajak Riil (Juta Rp) 2013 850 005 1 639 978 685 653 2 078 669 768 735 1 555 221 623 401 534 533 3 885 302 2 582 559 463 248 3 461 361 982 033 563 518 449 473 491 181 1 113 449 1 038 688 649 296 2 963 232 368 912 618 175 942 464
2014 844 476 1 725 340 729 921 2 201 105 810 006 1 650 191 658 966 540 352 4 091 041 2 737 169 498 377 3 649 151 1 022 227 609 675 477 930 516 246 1 204 986 1 100 134 678 395 3 086 715 387 571 658 919 1 001 653
2015 838 128 1 800 625 762 195 2 301 138 849 478 1 746 087 688 989 555 722 4 278 664 2 865 202 527 082 3 827 685 1 063 787 649 108 503 196 536 087 1 266 737 1 135 052 704 320 3 184 022 403 285 686 422 1 059 477
235
Lampiran 21. Lanjutan 3. Kapasitas Fiskal Riil (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 2 330 086 5 931 201 2 169 208 12 729 142 3 247 418 7 581 752 2 102 852 4 874 738 16 489 620 10 527 339 1 878 793 16 358 378 5 312 391 3 937 071 1 664 573 1 100 388 2 446 654 2 575 799 4 575 386 20 482 888 1 152 571 1 442 079 3 428 130
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 6 926 363 9 943 022 5 826 433 2 661 688 3 643 707 5 819 631 5 415 872 1 289 057 16 545 503 17 955 659 3 120 412 17 799 145 4 031 607 3 519 996 4 018 286 5 716 197 5 459 515 4 839 652 3 956 816 3 077 126 3 572 111 4 066 511 7 936 327
2013 2 048 770 6 358 066 2 329 820 12 801 669 3 727 076 8 275 400 2 134 972 4 794 660 17 504 369 11 396 387 2 189 350 17 752 840 5 731 417 4 202 418 1 942 588 1 185 578 2 838 176 3 051 856 5 013 009 21 858 912 1 302 681 1 829 164 3 721 952
2014 1 758 623 6 782 472 2 467 601 12 738 768 4 196 337 8 993 389 2 156 994 5 584 307 18 480 155 12 188 299 2 480 450 19 145 752 6 187 926 4 486 751 2 229 154 1 264 763 3 155 963 3 458 718 5 454 520 23 165 587 1 453 142 2 181 845 4 045 439
2015 1 469 517 7 223 118 2 605 274 12 593 728 4 665 301 9 729 165 2 181 766 5 710 537 19 440 280 12 960 956 2 769 876 20 552 686 6 664 272 4 791 678 2 527 008 1 349 737 3 458 166 3 848 845 5 907 424 24 463 699 1 613 050 2 531 007 4 394 811
4. Dana Alokasi Umum Riil (Juta Rp) 2013 6 990 681 9 873 163 5 829 187 2 691 747 3 563 663 5 912 230 5 709 674 1 300 479 17 121 210 17 898 622 3 084 038 18 320 911 4 279 869 3 533 911 4 164 653 5 872 994 5 612 867 4 832 466 4 040 644 3 007 297 3 395 650 4 081 177 8 149 608
2014 7 239 900 9 907 951 5 880 497 2 706 677 3 567 265 6 013 117 5 896 915 1 316 980 17 368 900 17 837 799 3 027 026 18 540 706 4 414 426 3 532 247 4 272 473 6 050 136 5 740 112 4 872 282 4 127 569 3 022 735 3 351 903 4 142 066 8 302 572
2015 7 562 517 9 987 773 5 954 776 2 723 183 3 602 841 6 117 931 6 035 202 1 337 985 17 491 256 17 774 414 2 958 534 18 630 775 4 515 430 3 536 033 4 365 270 6 232 414 5 860 057 4 936 459 4 214 013 3 068 364 3 362 328 4 219 596 8 431 169
236
Lampiran 21. Lanjutan 5. Belanja Pertanian Riil (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 372 188 476 023 264 660 347 941 223 401 371 724 262 447 125 596 705 169 744 125 126 719 831 742 181 899 199 056 204 169 295 426 307 064 266 286 266 233 423 348 219 963 231 923 369 686
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 104 585 80 063 22 320 56 469 23 734 27 610 16 345 18 055 113 658 164 315 4 255 188 246 35 663 20 491 10 925 22 327 17 545 24 261 20 898 39 446 18 470 12 249 39 229
2013 357 079 502 468 285 095 357 420 237 412 383 991 280 955 159 655 785 380 791 866 160 510 888 980 235 935 223 315 220 365 305 657 310 868 269 707 276 469 466 308 233 294 238 953 391 582
2014 351 133 526 692 299 722 362 879 250 050 399 797 296 216 184 861 847 893 833 652 181 521 942 460 272 058 239 443 233 555 317 030 319 368 275 412 287 109 499 177 244 629 247 895 410 956
2015 350 786 550 215 311 391 365 549 262 211 417 692 309 324 200 281 899 626 872 041 195 489 992 911 298 329 251 362 245 073 329 112 330 238 282 435 298 050 526 763 255 412 257 988 428 951
6. Belanja Perindustrian Riil (Juta Rp) 2013 91 460 83 044 27 263 53 081 23 984 35 764 22 360 15 155 133 501 168 847 7 128 192 422 36 082 21 831 14 503 26 536 23 543 26 887 23 926 47 680 17 872 15 215 46 440
2014 82 000 85 671 31 189 50 531 24 523 42 638 27 326 13 597 149 671 172 678 9 360 197 088 37 047 23 038 17 649 30 168 28 572 29 247 26 723 54 842 17 430 17 840 52 442
2015 75 463 88 149 34 408 48 553 25 353 48 575 31 394 12 571 162 781 175 963 11 081 201 825 38 357 24 175 20 443 33 382 32 845 31 451 29 354 61 266 17 240 20 245 57 499
237
Lampiran 21. Lanjutan 7. Belanja Perdagangan Riil (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 32 804 77 443 46 881 61 803 23 690 66 315 42 284 24 790 130 321 155 242 27 249 155 927 27 270 19 007 19 397 33 697 34 446 31 985 42 576 95 420 27 473 21 817 45 333
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 1 891 448 2 408 484 1 168 758 2 870 215 1 494 333 2 608 637 1 296 245 1 180 366 4 178 080 3 009 655 693 840 4 019 410 1 518 294 905 268 906 020 915 931 1 356 232 1 335 042 1 472 947 4 907 732 942 898 845 925 1 609 258
2013 38 529 78 546 43 062 65 144 28 207 66 267 39 980 24 896 149 880 151 082 25 279 166 663 36 425 26 813 23 743 33 991 37 312 34 394 41 904 103 041 24 288 24 484 51 750
2014 41 463 80 139 41 579 66 733 31 537 68 111 39 381 26 743 162 599 150 567 24 773 175 774 42 429 31 380 26 869 34 803 39 814 36 621 42 782 109 825 22 892 26 780 56 128
2015 43 193 82 138 41 340 67 260 34 355 70 959 39 514 28 013 171 485 151 843 24 969 183 738 46 793 34 372 29 363 35 903 42 076 38 786 44 466 116 251 22 570 28 925 59 466
8. Belanja Infrastruktur Riil (Juta Rp) 2013 1 730 191 2 460 311 1 281 554 3 157 613 1 561 362 2 675 312 1 343 026 1 414 169 4 615 381 3 392 807 925 346 4 557 639 1 754 761 1 232 013 1 056 324 1 029 538 1 437 067 1 427 947 1 662 770 5 186 626 1 013 017 1 007 919 1 712 507
2014 1 609 705 2 528 453 1 364 357 3 332 301 1 642 178 2 778 194 1 377 346 1 625 981 4 973 821 3 696 812 1 093 162 5 013 219 1 942 705 1 459 759 1 175 875 1 110 184 1 516 119 1 520 399 1 819 489 5 469 416 1 068 542 1 139 435 1 806 488
2015 1 516 066 2 608 920 1 428 805 3 429 767 1 732 143 2 905 248 1 403 253 1 769 191 5 279 493 3 949 706 1 220 829 5 416 044 2 101 378 1 627 425 1 276 877 1 170 798 1 592 640 1 611 607 1 956 451 5 754 456 1 116 671 1 251 898 1 896 397
238
Lampiran 21. Lanjutan 9. Total Belanja Daerah Riil (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 15 276 732 20 442 404 10 144 754 15 707 102 7 299 611 14 873 132 9 958 534 6 919 830 41 931 446 36 141 978 5 665 400 41 907 716 10 857 879 8 411 607 6 843 788 8 823 798 9 151 027 8 020 070 9 199 754 21 629 169 6 730 134 6 688 825 14 499 621
Provinsi
2012
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
8.3 21.3 15.0 17.5 18.5 16.7 13.4 18.7 28.5 22.1 25.9 29.7 40.0 40.8 16.1 7.3 15.2 14.7 21.3 22.9 11.4 13.2 17.2
2013 15 265 555 21 401 496 10 790 895 16 602 258 7 951 698 15 891 233 10 502 770 7 273 527 44 005 307 38 156 903 6 241 068 44 502 781 11 654 635 9 115 838 7 452 795 9 469 955 9 983 912 8 824 206 10 016 273 23 507 790 6 956 152 7 295 414 15 428 406
2014 15 310 512 22 302 394 11 352 811 17 266 583 8 592 820 16 934 017 11 009 129 7 720 766 45 942 568 39 925 817 6 718 498 46 962 337 12 411 097 9 695 562 8 029 455 10 060 391 10 780 757 9 582 185 10 793 270 25 326 645 7 154 824 7 874 437 16 304 485
10. Kemandirian Fiskal (%)
2015 15 416 391 23 171 575 11 859 767 17 744 017 9 233 434 17 994 248 11 471 537 8 083 540 47 744 553 41 502 162 7 126 519 49 288 450 13 143 971 10 202 765 8 584 731 10 614 159 11 540 620 10 305 382 11 546 428 27 106 413 7 354 285 8 441 065 17 138 834
2013
2014
2015
9.4 21.7 14.9 16.5 20.8 17.9 12.8 19.6 28.7 22.6 27.5 30.4 40.7 39.9 18.1 7.2 16.0 16.6 20.9 23.5 12.6 16.2 17.8
10.5 22.4 15.0 15.4 22.8 19.1 12.5 20.4 29.0 23.1 29.3 31.2 41.5 40.0 20.0 7.3 16.8 18.3 20.8 24.1 14.0 19.0 18.5
11.6 23.1 15.2 14.1 24.6 20.2 12.2 21.4 29.4 23.7 31.3 32.0 42.5 40.6 21.9 7.6 17.7 20.0 20.9 24.8 15.6 21.5 19.4
239
Lampiran 21. Lanjutan 11. Panjang Jalan Aspal (km) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 9 860 16 819 7 718 9 816 12 396 14 650 7 902 5 915 24 644 31 456 12 083 38 440 8 813 13 063 7 926 5 980 8 428 6 895 8 560 12 718 6 326 8 984 11 125
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 25 448 645 46 271 676 16 676 751 49 584 627 21 985 856 36 707 101 25 113 408 5 409 277 71 396 949 84 316 881 19 638 862 114 331 653 15 176 250 24 800 769 14 287 200 13 881 003 17 691 781 12 041 156 17 150 487 36 021 668 10 039 353 18 031 891 32 273 571
2013 10 354 17 841 8 172 10 018 13 460 15 950 8 308 6 309 26 489 33 459 13 120 41 196 9 440 14 133 8 613 6 418 8 952 7 327 9 113 13 587 6 754 9 772 12 107
2014 10 873 18 874 8 607 10 148 14 533 17 274 8 706 6 689 28 283 35 412 14 115 43 900 10 036 15 141 9 281 6 836 9 474 7 759 9 646 14 458 7 173 10 541 13 082
2015 11 410 19 914 9 031 10 230 15 611 18 612 9 099 7 026 30 043 37 333 15 086 46 570 10 614 16 110 9 937 7 242 9 995 8 189 10 166 15 331 7 588 11 299 14 055
12. PDRB Pertanian Riil (Juta Rp) 2013 25 697 030 49 570 578 18 305 404 52 375 643 24 495 131 40 111 480 27 255 862 7 492 693 77 849 783 89 930 680 22 370 755 122 470 810 18 105 270 27 448 411 15 954 024 14 791 258 18 892 688 13 180 719 18 530 192 39 166 692 11 277 172 19 758 317 35 093 372
2014 26 281 595 52 801 763 19 710 744 54 900 837 26 961 949 43 638 333 29 290 951 9 187 007 83 692 864 95 285 322 24 656 678 130 414 891 20 437 052 29 742 894 17 506 525 15 727 944 20 207 532 14 344 385 19 872 700 42 018 955 12 416 021 21 498 597 37 837 040
2015 27 074 230 56 008 485 20 995 749 57 245 094 29 411 546 47 233 462 31 256 487 10 440 379 89 162 712 100 490 258 26 699 808 138 221 426 22 437 475 31 852 574 18 999 281 16 689 995 21 569 617 15 509 613 21 194 177 44 722 551 13 512 589 23 246 664 40 544 317
240
Lampiran 21. Lanjutan 13. PDRB Industri Riil (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 24 505 450 44 863 501 10 561 151 52 480 833 7 590 861 29 916 042 9 499 631 28 256 316 294 722 674 136 071 116 2 747 512 144 949 890 78 699 713 8 329 757 2 410 465 4 077 884 6 925 741 5 031 062 5 582 646 72 404 353 2 519 262 3 220 041 15 920 799
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 23 766 248 56 653 282 15 622 558 24 985 887 34 643 620 45 805 323 17 240 434 8 577 560 91 533 183 129 453 870 32 822 284 161 392 212 10 119 253 31 800 698 13 589 927 9 565 832 17 951 985 13 387 368 22 738 918 53 842 233 10 559 521 21 376 229 30 645 226
2013 20 451 132 46 604 816 12 102 181 54 425 673 8 100 311 32 862 169 11 503 460 29 258 981 304 844 988 140 507 095 3 543 187 150 120 318 79 596 821 9 000 843 2 902 939 4 631 565 8 904 781 5 915 261 6 982 152 70 629 226 2 878 128 4 119 429 17 762 034
2014 17 352 870 48 196 960 13 326 714 56 301 491 8 568 085 35 355 181 13 333 517 30 075 779 314 089 974 145 067 233 4 128 201 155 534 838 80 495 081 9 615 772 3 564 016 5 330 039 10 228 013 6 559 435 7 787 673 69 204 465 2 990 475 4 886 574 19 487 104
2015 14 915 168 49 736 210 14 373 678 58 220 968 9 067 490 37 595 882 14 985 873 30 861 641 322 625 950 149 590 102 4 585 616 161 004 533 81 430 025 10 206 548 4 228 703 6 020 749 11 261 024 7 123 417 8 400 578 67 784 406 3 075 187 5 594 243 21 052 723
14. PDRB Perdagangan Riil (Juta Rp) 2013 26 303 790 60 896 733 16 982 904 26 503 531 37 225 266 51 372 258 17 454 509 10 785 775 101 692 581 137 770 857 34 326 433 174 330 271 16 280 961 37 558 592 16 743 163 10 503 278 20 214 541 15 843 176 23 329 223 55 976 221 10 696 389 22 969 894 34 833 238
2014 28 441 394 65 377 005 18 604 356 27 230 107 40 465 440 57 221 132 18 359 403 13 248 182 111 078 903 146 351 834 36 844 404 187 131 030 20 881 260 42 034 688 19 617 404 11 776 026 22 467 665 17 949 558 24 803 134 58 971 967 11 612 396 25 142 210 38 981 362
2015 30 506 706 70 015 940 20 320 179 27 508 501 44 144 902 63 213 915 19 612 960 14 733 659 119 995 910 155 071 087 39 839 625 199 840 492 24 608 286 45 973 203 22 376 884 13 227 901 24 713 170 19 906 882 26 701 022 62 479 878 12 896 492 27 649 248 43 149 753
241
Lampiran 21. Lanjutan 15. PDRB Total Riil (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 102 860 713 237 417 707 79 294 915 303 103 282 87 307 229 181 445 993 83 123 080 61 419 326 653 462 838 465 820 518 76 517 793 616 791 444 143 396 057 91 209 157 54 074 313 37 496 417 60 295 027 47 952 276 74 435 234 343 352 247 42 241 560 57 776 277 126 608 293
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 23,396 17,591 16,492 48,472 28,328 23,930 10,499 40,432 14,850 14,182 21,710 16,543 13,012 24,001 11,442 7,961 12,825 20,055 20,309 98,102 18,220 21,305 15,294
2013 100 644 341 252 123 449 85 516 776 322 110 978 94 441 069 196 562 095 89 566 136 67 691 412 692 605 411 490 090 792 82 353 975 653 509 889 155 603 123 101 716 731 60 059 958 40 268 009 66 502 117 53 667 762 79 358 415 357 475 683 44 991 649 63 218 313 139 092 204
2014 99 320 265 266 849 123 91 459 931 339 992 762 102 149 302 211 629 497 96 418 874 73 642 720 729 487 827 514 490 059 88 547 348 690 140 053 165 652 695 110 533 189 65 820 888 43 546 126 72 157 901 58 817 899 84 534 019 372 518 482 48 175 386 69 120 609 151 343 926
2015 98 792 529 281 656 104 97 199 552 357 289 085 110 311 235 226 656 771 103 373 022 78 145 221 764 818 685 538 840 627 94 847 577 726 596 549 174 534 319 118 603 111 71 410 922 47 020 972 77 563 087 63 740 348 89 919 954 387 929 480 51 657 295 75 305 941 163 420 074
16. PDRB per Kapita Riil (Ribu Rp) 2013 22,653 18,481 17,628 49,782 30,024 25,538 11,162 43,788 15,489 14,864 23,189 17,449 13,776 26,342 12,524 8,425 13,928 21,967 21,320 99,414 19,196 22,865 16,622
2014 22,125 19,355 18,687 50,838 31,830 27,092 11,859 46,826 16,058 15,545 24,744 18,344 14,317 28,179 13,528 8,980 14,884 23,574 22,368 100,907 20,335 24,531 17,896
2015 21,783 20,216 19,687 51,743 33,706 28,597 12,550 48,857 16,575 16,220 26,306 19,227 14,734 29,772 14,470 9,559 15,761 25,025 23,439 102,422 21,574 26,234 19,121
242
Lampiran 21. Lanjutan 17. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian (Ribu Orang) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 1 556 3 057 1 066 1 965 1 703 2 426 1 464 168 5 220 6 517 1 945 8 339 1 341 2 113 1 279 1 111 1 089 531 1 173 1 982 643 1 227 2 134
2013 1 612 3 301 1 169 2 063 1 895 2 704 1 560 311 5 634 6 920 2 106 8 909 1 505 2 284 1 385 1 148 1 202 641 1 273 2 153 727 1 350 2 317
2014 1 683 3 541 1 261 2 144 2 084 2 983 1 652 426 6 026 7 312 2 251 9 471 1 646 2 438 1 488 1 189 1 315 745 1 369 2 317 804 1 471 2 499
2015 1 763 3 778 1 347 2 214 2 271 3 263 1 743 513 6 405 7 697 2 389 10 026 1 775 2 584 1 589 1 233 1 427 844 1 461 2 478 876 1 591 2 680
18. Jumlah Tenaga Kerja Industri (Ribu Orang) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 306 692 183 522 181 440 229 - 204 3 922 2 070 177 2 244 913 222 193 184 107 88 70 547 62 139 339
2013 270 731 210 577 209 502 245 - 138 4 074 2 112 200 2 321 948 241 172 160 179 117 149 495 102 157 350
2014 255 763 226 612 227 547 264 - 112 4 212 2 178 215 2 411 973 256 175 160 209 130 178 494 117 170 371
2015 248 792 239 640 243 585 283 - 99 4 339 2 251 228 2 506 995 271 183 166 227 138 193 506 125 180 395
243
Lampiran 21. Lanjutan 19. Jumlah Tenaga Kerja Perdagangan (Ribu Orang) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 743 1 665 501 741 1 014 1 296 656 182 2 635 3 695 959 4 549 366 913 532 429 604 381 694 1 335 338 691 986
2013 786 1 770 546 786 1 018 1 441 646 251 2 920 3 905 964 4 889 560 1 033 596 439 650 437 689 1 332 349 684 1 076
2014 826 1 884 592 809 1 059 1 589 659 306 3 179 4 127 1 005 5 228 699 1 124 656 461 699 481 712 1 371 374 706 1 170
2015 868 2 002 637 820 1 122 1 740 685 333 3 424 4 355 1 062 5 566 807 1 206 715 491 748 519 748 1 434 404 745 1 269
20. Total Tenaga Kerja (Ribu Orang) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 3 250 7 111 2 409 3 944 3 308 5 005 3 208 460 17 702 16 524 3 735 20 176 4 324 3 960 2 577 2 239 2 313 1 331 2 520 4 562 1 461 2 419 4 464
2013 3 352 7 576 2 615 4 178 3 559 5 535 3 363 761 18 786 17 293 3 945 21 344 4 833 4 299 2 743 2 303 2 574 1 550 2 730 4 730 1 614 2 581 4 799
2014 3 486 8 038 2 801 4 353 3 834 6 054 3 541 979 19 809 18 086 4 166 22 514 5 256 4 591 2 924 2 407 2 795 1 735 2 913 4 983 1 750 2 764 5 149
2015 3 639 8 501 2 976 4 499 4 128 6 569 3 730 1 129 20 794 18 886 4 393 23 681 5 633 4 864 3 110 2 527 3 003 1 905 3 092 5 271 1 880 2 960 5 505
244
Lampiran 21. Lanjutan 21. Rata-rata Upah Pertanian per Bulan Riil (Ribu Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 725 767 678 962 822 824 555 979 427 436 505 423 528 606 451 348 772 942 699 967 718 726 534
2013 743 758 683 969 846 822 573 952 448 464 558 459 533 653 483 393 766 925 713 1 000 727 757 563
2014 759 753 690 976 872 825 591 939 466 490 610 491 539 698 513 432 762 915 727 1 033 739 788 590
2015 773 749 698 983 900 830 608 934 483 514 659 521 545 741 542 468 761 909 742 1 066 754 819 617
22. Rata-rata Upah Industri per Bulan Riil (Ribu Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 917 849 798 1 133 818 900 714 1 674 999 799 727 824 1 044 782 631 646 852 820 882 1 521 800 743 726
2013 901 841 796 1 092 804 885 735 1 602 998 853 725 852 1 020 785 682 698 792 800 802 1 577 755 746 761
2014 872 841 802 1 079 803 888 748 1 586 1 001 874 729 866 1 009 790 702 719 781 800 783 1 566 742 754 778
2015 844 844 810 1 076 806 897 758 1 586 1 005 884 734 874 1 004 795 712 730 784 806 781 1 535 739 764 788
245
Lampiran 21. Lanjutan 23. Rata-rata Upah Perdagangan per Bulan Riil (Ribu Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 906 873 926 976 989 1 045 653 1 206 882 789 1 004 868 1 003 1 110 750 674 844 1 046 899 1 294 963 854 769
2013 968 909 916 963 1 176 1 075 711 1 183 857 849 1 128 911 910 1 196 807 725 885 1 070 973 1 464 967 999 836
2014 1 017 939 918 955 1 313 1 110 750 1 207 845 893 1 222 946 862 1 275 856 763 921 1 104 1 026 1 581 979 1 105 890
2015 1 059 965 928 947 1 421 1 149 777 1 242 843 927 1 300 976 839 1 346 900 793 953 1 141 1 070 1 668 999 1 190 935
24. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Pertanian per Bulan Riil (Ribu Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 368 351 332 397 360 381 289 399 284 286 296 279 303 304 271 240 342 378 330 383 353 341 299
2013 391 358 343 407 374 394 300 399 299 302 318 295 313 317 286 256 346 378 341 389 366 358 315
2014 414 366 355 418 389 408 312 402 313 316 339 311 324 330 300 272 351 380 352 409 380 374 330
2015 437 375 367 428 404 423 323 407 327 331 359 326 334 342 313 286 357 383 364 417 394 391 345
246
Lampiran 21. Lanjutan 25. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Industri per Bulan Riil (Ribu Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 421 389 375 474 379 412 343 631 437 379 355 384 449 364 321 321 385 375 396 581 381 358 353
2013 425 391 378 466 379 414 352 613 442 398 359 396 446 366 339 340 370 371 376 596 373 363 367
2014 426 395 385 466 382 421 359 611 447 409 364 404 447 369 348 349 370 373 374 599 374 370 377
2015 426 400 392 469 387 429 366 614 453 416 370 410 449 372 355 355 373 377 378 590 378 377 384
26. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Perdagangan per Bulan Riil (Ribu Rp) Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
533 496 521 545 546 588 386 647 508 466 558 497 559 593 433 392 475 564 503 675 547 487 450
577 520 525 546 637 612 418 641 505 500 622 524 525 634 465 420 498 578 543 750 559 560 488
615 541 534 550 706 639 441 657 508 527 671 547 511 672 493 443 519 597 574 813 573 616 519
649 561 547 554 762 668 459 678 515 550 714 567 508 706 519 462 539 617 600 853 591 662 547
247
Lampiran 21. Lanjutan 27. Indeks Gini Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 0.34 0.36 0.36 0.36 0.35 0.35 0.37 0.33 0.39 0.38 0.40 0.37 0.38 0.40 0.36 0.36 0.39 0.35 0.37 0.38 0.39 0.38 0.40
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 22.84 12.86 19.37 14.69 8.15 7.16 16.91 24.50 20.85 18.63 25.27 20.73 16.28 19.82 18.32 17.44 5.69 7.35 14.19 18.51 7.22 10.75 6.27
2013 0.34 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.33 0.38 0.37 0.40 0.37 0.36 0.39 0.37 0.35 0.38 0.36 0.38 0.38 0.38 0.38 0.39
2014 0.35 0.36 0.36 0.36 0.37 0.36 0.36 0.34 0.37 0.37 0.39 0.37 0.36 0.39 0.37 0.35 0.38 0.36 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38
2015 0.35 0.37 0.36 0.36 0.38 0.36 0.36 0.34 0.36 0.37 0.39 0.37 0.35 0.39 0.37 0.35 0.38 0.37 0.38 0.38 0.38 0.38 0.38
28. Headcount Index Pertanian (%) 2013 20.06 12.51 19.03 13.64 6.71 6.11 15.38 25.63 17.98 16.54 21.89 18.86 13.56 17.60 16.76 15.37 4.88 8.95 13.24 17.54 5.27 8.66 3.19
2014 17.31 11.99 18.56 12.61 4.98 4.69 13.92 26.21 15.44 14.62 18.58 17.11 11.12 15.59 15.22 13.54 4.10 10.23 12.22 14.15 3.27 6.58 0.35
2015 14.56 11.32 18.01 11.58 3.06 3.17 12.53 26.39 13.16 12.83 15.39 15.47 8.87 13.74 13.72 11.92 3.32 11.24 11.17 12.74 1.25 4.51 -2.32
248
Lampiran 21. Lanjutan 29. Headcount Index Industri (%) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 20.41 15.53 18.19 15.63 14.46 13.74 14.94 11.27 11.16 13.54 19.72 13.63 9.58 16.88 15.36 11.91 11.35 15.80 14.05 10.14 13.49 15.63 9.80
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 11.52 8.88 8.94 10.23 5.36 4.22 11.92 8.52 7.88 8.81 8.08 7.52 4.69 4.92 9.05 8.53 7.41 5.22 8.13 5.08 5.21 8.44 6.30
2013 20.86 15.94 18.84 16.52 15.06 14.35 14.54 13.06 10.55 12.58 19.61 13.37 9.08 16.71 14.78 11.17 12.17 17.04 15.79 9.16 14.08 15.69 8.60
2014 21.50 16.17 19.28 16.92 15.32 14.49 14.31 13.82 10.07 12.26 19.40 13.41 8.57 16.60 14.71 11.04 12.21 17.83 16.42 9.01 14.15 15.65 7.85
2015 22.10 16.33 19.66 17.15 15.42 14.54 14.18 14.24 9.71 12.15 19.19 13.54 8.11 16.55 14.79 11.13 12.08 18.48 16.72 9.55 14.09 15.61 7.31
30. Headcount Index Perdagangan (%) 2013 10.04 8.19 9.40 10.43 1.64 3.66 10.46 9.34 7.59 7.32 5.15 6.62 5.63 2.90 7.98 7.42 6.16 5.35 6.65 1.52 4.69 5.25 4.17
2014 8.80 7.58 9.57 10.55 -1.15 2.86 9.46 9.12 7.20 6.22 2.86 5.89 5.86 1.10 7.03 6.63 5.10 5.18 5.56 -1.44 4.07 2.89 2.47
2015 7.70 7.02 9.55 10.64 -3.44 1.96 8.73 8.59 6.76 5.37 0.91 5.28 5.71 -0.47 6.17 6.04 4.19 4.88 4.67 -3.30 3.32 0.99 1.04
249
Lampiran 21. Lanjutan 31. Total Headcount Index (%) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 18.40 11.82 15.65 12.94 8.67 7.78 14.06 15.80 13.97 13.85 18.67 14.60 10.79 14.70 14.31 12.75 6.96 8.69 11.83 12.06 7.92 10.80 6.54
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 216 359 5 018 056 568 919 - 311 930 1 315 191 3 629 659 346 132 2 728 845 28 559 096 2 718 381 - 60 630 16 869 431 17 944 638 3 225 557 3 069 375 28 341 3 527 209 6 388 520 3 460 543 10 380 217 1 948 664 3 081 370 4 673 853
2013 16.99 11.66 15.77 12.77 7.51 7.38 12.97 17.02 12.40 12.32 16.54 13.50 9.55 13.26 13.21 11.36 6.61 9.83 11.66 10.65 7.11 9.26 4.37
2014 15.69 11.37 15.72 12.44 6.27 6.63 12.04 17.48 11.02 11.13 14.53 12.57 8.32 11.96 12.31 10.34 6.07 10.63 11.18 8.50 6.09 7.86 2.52
2015 14.40 11.01 15.59 12.05 5.00 5.77 11.22 17.59 9.77 10.11 12.63 11.74 7.11 10.81 11.48 9.51 5.50 11.24 10.63 7.67 5.01 6.54 0.86
32. Total Penanaman Modal Riil (Juta Rp) 2013 241 588 5 593 530 608 289 - 2 575 381 1 266 406 3 957 367 118 672 3 068 917 28 870 105 2 796 336 - 115 431 18 014 091 19 379 734 3 619 564 3 605 053 28 939 4 081 443 7 255 918 3 835 909 11 904 092 2 240 248 3 628 122 5 336 025
2014 266 816 6 169 005 647 658 - 4 838 832 1 217 622 4 285 074 - 108 787 3 408 990 29 181 114 2 874 291 - 170 231 19 158 751 20 814 830 4 013 570 4 140 730 29 538 4 635 678 8 123 315 4 211 274 13 427 968 2 531 832 4 174 875 5 998 196
2015 292 044 6 744 479 687 027 - 7 102 283 1 168 838 4 612 782 - 336 247 3 749 063 29 492 123 2 952 246 - 225 031 20 303 411 22 249 927 4 407 576 4 676 407 30 137 5 189 912 8 990 713 4 586 639 14 951 843 2 823 417 4 721 627 6 660 367
250
Lampiran 21. Lanjutan 33. Luas Wilayah (km2) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 58 580 73 218 41 922 86 672 52 077 105 002 33 290 8 252 34 715 32 801 3 133 48 276 9 939 5 922 18 085 49 824 158 961 153 565 38 684 208 685 13 818 59 163 46 975
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 4 397 13 497 4 808 6 253 3 082 7 582 7 918 1 519 44 004 32 845 3 524 37 284 11 021 3 800 4 726 4 710 4 701 2 391 3 665 3 500 2 318 2 712 8 278
2013 58 840 73 317 41 884 86 525 52 918 110 590 32 735 8 273 34 438 32 801 3 133 48 474 10 054 5 981 17 882 50 285 163 817 153 565 38 659 210 415 13 804 58 048 47 082
2014 59 100 73 416 41 847 86 379 53 759 116 177 32 179 8 294 34 162 32 801 3 133 48 672 10 169 6 040 17 679 50 745 168 673 153 565 38 634 212 144 13 790 56 932 47 190
2015 59 360 73 515 41 809 86 232 54 600 121 765 31 624 8 315 33 886 32 802 3 133 48 870 10 284 6 099 17 476 51 206 173 529 153 565 38 609 213 874 13 775 55 816 47 297
34. Jumlah Penduduk (Ribu Orang) 2013 4 443 13 642 4 851 6 470 3 146 7 697 8 024 1 546 44 717 32 971 3 551 37 453 11 296 3 861 4 796 4 780 4 775 2 443 3 722 3 596 2 344 2 765 8 368
2014 4 489 13 787 4 894 6 688 3 209 7 811 8 130 1 573 45 430 33 096 3 579 37 621 11 571 3 923 4 865 4 849 4 848 2 495 3 779 3 692 2 369 2 818 8 457
2015 4 535 13 932 4 937 6 905 3 273 7 926 8 237 1 599 46 142 33 221 3 606 37 790 11 846 3 984 4 935 4 919 4 921 2 547 3 836 3 788 2 394 2 871 8 546
251
Lampiran 21. Lanjutan 35. Jumlah Pegawai Negeri Sipil (Orang) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 186 655 267 007 150 271 116 098 89 736 152 835 139 294 39 006 492 624 501 821 90 801 548 640 107 790 105 075 102 511 135 196 100 516 84 719 104 333 112 929 84 441 95 745 218 787
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 235.5 188.9 199.8 219.8 178.8 188.0 165.5 260.0 170.9 167.7 190.6 171.6 168.8 176.2 160.3 141.3 153.0 186.9 177.7 221.3 165.4 171.6 129.7
2013 197 228 275 225 155 083 122 283 93 847 159 320 144 549 41 862 503 576 508 470 90 684 561 372 112 306 108 319 106 845 141 522 104 082 88 890 108 597 119 626 87 077 100 802 226 255
2014 207 800 283 443 159 895 128 468 97 959 165 806 149 805 44 717 514 528 515 118 90 567 574 104 116 822 111 563 111 178 147 847 107 647 93 062 112 860 126 324 89 714 105 858 233 723
2015 218 372 291 661 164 708 134 653 102 070 172 292 155 060 47 572 525 480 521 766 90 451 586 836 121 337 114 808 115 512 154 172 111 213 97 234 117 123 133 022 92 350 110 915 241 191
36. Garis Kemiskinan Riil (Ribu Rp) 2013 238.0 191.1 204.3 222.3 180.1 190.6 167.7 262.6 172.4 170.0 191.9 174.7 168.3 177.4 162.5 144.2 154.3 191.0 180.5 221.4 167.0 174.2 130.1
2014 240.5 193.3 208.9 224.9 181.3 192.9 169.8 265.2 173.9 172.4 193.1 177.8 167.7 178.7 164.7 147.1 155.6 195.2 183.4 221.6 168.6 176.8 130.5
2015 243.0 195.5 213.4 227.4 182.5 195.4 172.0 267.9 175.4 174.7 194.4 180.9 167.2 179.9 166.9 150.0 156.9 199.3 186.3 221.7 170.2 179.4 130.9
252
Lampiran 21. Lanjutan 37. Bagi Hasi Sumber Daya Alam Riil (Juta Rp) Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 224 183 59 799 38 769 8 087 328 1 184 806 3 631 397 200 637 3 007 575 895 618 179 798 8 440 674 870 8 282 2 565 147 861 10 137 119 932 499 774 2 009 858 12 787
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel
2012 901 233 1 500 321 779 964 262 413 435 536 658 195 740 173 161 870 1 710 873 2 225 989 259 305 2 189 106 415 495 358 491 477 197 1 003 981 776 749 530 418 488 870 217 024 769 318 572 667 1 157 362
50 788 26 770 49 730
2013 - 233 737 64 985 39 291 7 986 667 1 304 279 3 871 675 163 506 2 833 657 970 375 204 931 9 594 768 078 9 084 2 430 146 770 10 563 130 189 550 517 2 268 633 13 378 463 55 771 28 026 36 120
2014 - 691 657 70 170 39 813 7 886 006 1 423 753 4 111 953 126 375 3 471 229 1 045 133 230 063 10 748 861 286 9 885 2 296 145 680 10 988 140 445 601 259 2 527 408 13 969 842 60 754 29 282 22 511
2015 - 1 149 576 75 356 40 334 7 785 345 1 543 226 4 352 231 89 244 3 426 455 1 119 890 255 196 11 902 954 495 10 686 2 161 144 589 11 414 150 702 652 002 2 786 183 14 561 222 65 736 30 538 8 901
38. Dana Alokasi Khusus Riil (Juta Rp) 2013 951 262 1 636 262 823 999 276 637 466 555 719 323 814 274 174 900 1 913 944 2 448 030 279 689 2 403 047 462 728 376 158 505 440 1 083 551 839 859 539 658 510 428 207 187 840 465 614 152 1 237 477
2014 1 001 292 1 772 203 868 034 290 861 497 574 780 451 888 376 187 929 2 117 015 2 670 070 300 073 2 616 988 509 961 393 824 533 683 1 163 121 902 970 548 898 531 986 197 350 911 612 655 637 1 317 593
2015 1 051 322 1 908 144 912 069 305 086 528 592 841 579 962 477 200 958 2 320 086 2 892 111 320 457 2 830 930 557 195 411 491 561 927 1 242 691 966 080 558 138 553 544 187 512 982 759 697 121 1 397 708
253
Lampiran 22.
Variabel Endogen 1
PM PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP 2 FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP 2 SHPDRBTANI 2 SHPDRBIND 2 SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG 3 GINI 2 POVTANIP0 2 POVINDP0 2 POVDGP0 3 POVTANIP1 3 POVTANIP2 2 POVP0
Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015 Skenario Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Keterangan Penanaman Modal Pajak daerah Pendapatan asli daerah Bagi hasil pajak Kapasitas fiskal Dana alokasi umum Total pendapatan daerah Belanja pertanian Belanja perindustrian Belanja perdagangan Belanja perdagangan per kapita Belanja infratruktur Belanja lainnya Total belanja daerah Kesenjangan fiskal Kemandirian fiskal Panjang jalan aspal PDRB tan. Pangan, kebun, ternak PDRB pertanian PDRB pertanian per kapita PDRB industri makanan jadi PDRB industri pertanian PDRB industri PDRB industri per kapita PDRB perdagangan PDRB perdagangan per kapita PDRB non pertanian PDRB total PDRB per kapita Share PDRB pertanian Share PDRB industri Share PDRB perdagangan Jumlah tenaga kerja pertanian Jumlah tenaga kerja industri Jumlah tenaga kerja perdagangan Jumlah tenaga kerja total Upah pertanian Upah industri Upah perdagangan Pengeluaran per kapita pertanian Pengeluaran per kapita industri Pengeluaran per kapita Indeks Gini P0 pertanian P0 industri P0 perdagangan P1 pertanian P2 pertanian P0 total
Perubahan (%) SM2 SM3 100.0 0.9 0.9 17.5 0.6 0.7 12.9 50.0 50.0 3.9 1.4 13.6 21.3 -1.1 -1.1 -1.4 -0.1 3.1 5.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 30.0 30.0 30.0 30.0 30.0 30.0 0.3 3.5 5.4 -0.1 1.0 1.6 1.5 2.9 3.6 1.6 -1.2 -3.1 -0.1 -0.4 1.6 0.0 0.3 5.1 21.6 21.9 26.7 18.1 18.4 22.4 19.0 19.2 24.0 52.0 52.0 52.9 42.0 42.0 42.7 30.6 30.6 31.1 34.7 34.7 35.4 9.4 9.9 17.3 11.1 11.5 19.8 8.9 9.0 11.9 11.2 11.4 14.5 12.3 12.5 16.3 5.9 5.9 6.5 19.6 19.4 16.8 -1.2 -1.0 2.7 6.5 6.9 12.4 12.0 12.1 14.4 5.9 6.3 12.4 5.4 5.7 9.9 2.4 2.4 3.0 4.0 4.0 4.1 2.7 2.8 4.8 1.1 1.1 1.3 2.4 2.4 2.5 2.1 2.2 3.7 -0.003 -0.003 -0.002 -0.79 -0.80 -0.91 -0.67 -0.67 -0.66 -0.67 -0.69 -1.06 -0.14 -0.14 -0.16 -0.04 -0.04 -0.05 -0.69 -0.70 -0.82 SM1
Catatan: 1Variabel eksogen; 2Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin
254
Lampiran 23.
Variabel Endogen 1
PM PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP 2 FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP 2 SHPDRBTANI 2 SHPDRBIND 2 SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG 3 GINI 2 POVTANIP0 2 POVINDP0 2 POVDGP0 3 POVTANIP1 3 POVTANIP2 2 POVP0
Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015 Skenario Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 Keterangan Penanaman Modal Pajak daerah Pendapatan asli daerah Bagi hasil pajak Kapasitas fiskal Dana alokasi umum Total pendapatan daerah Belanja pertanian Belanja perindustrian Belanja perdagangan Belanja perdagangan per kapita Belanja infratruktur Belanja lainnya Total belanja daerah Kesenjangan fiskal Kemandirian fiskal Panjang jalan aspal PDRB tan. Pangan, kebun, ternak PDRB pertanian PDRB pertanian per kapita PDRB industri makanan jadi PDRB industri pertanian PDRB industri PDRB industri per kapita PDRB perdagangan PDRB perdagangan per kapita PDRB non pertanian PDRB total PDRB per kapita Share PDRB pertanian Share PDRB industri Share PDRB perdagangan Jumlah tenaga kerja pertanian Jumlah tenaga kerja industri Jumlah tenaga kerja perdagangan Jumlah tenaga kerja total Upah pertanian Upah industri Upah perdagangan Pengeluaran per kapita pertanian Pengeluaran per kapita industri Pengeluaran per kapita Indeks Gini P0 pertanian P0 industri P0 perdagangan P1 pertanian P2 pertanian P0 total
SM1A
Perubahan (%) SM1B SM2
0.3 0.2 3.0 0.6 -1.3 -0.1 50.0 50.0 30.0 30.0 0.2 -0.1 1.3 1.8 -0.2 0.0 15.8 13.3 15.5 33.5 19.2 9.4 9.4 4.5 11.1 4.2 5.7 6.9 7.2 3.3 1.0 4.9 7.6 3.0 3.6 2.1 2.6 2.9 0.9 1.7 2.3 -0.001 -0.64 -0.53 -0.73 -0.12 -0.03 -0.59
0.4 0.3 3.0 0.7 -1.6 -0.2 80.0 50.0 30.0 30.0 0.2 -0.2 1.9 3.0 -0.4 0.0 25.3 21.2 24.8 33.5 19.2 9.4 9.4 4.5 11.1 4.2 7.0 8.5 13.8 1.9 -0.7 7.8 7.6 3.0 4.8 3.3 2.6 2.9 1.4 1.7 2.3 -0.002 -1.04 -0.58 -0.77 -0.19 -0.05 -0.80
Catatan: 1Variabel eksogen; 2Perubahan dalam persen poin; 3Perubahan dalam poin
0.4 0.3 50.0 9.1 -1.7 3.6 80.0 50.0 30.0 30.0 4.0 1.2 3.5 -1.7 -0.8 0.4 25.6 21.5 25.1 33.5 19.2 9.4 9.4 5.0 11.6 4.3 7.1 8.6 13.9 1.8 -0.4 8.2 7.7 3.5 5.1 3.4 2.6 3.0 1.5 1.7 2.4 -0.002 -1.05 -0.58 -0.80 -0.19 -0.05 -0.81
SM3 50.0 8.3 6.0 50.0 12.2 -2.0 5.0 80.0 50.0 30.0 30.0 5.2 1.6 4.0 -3.7 0.5 4.0 28.8 24.2 27.8 33.9 19.4 9.5 9.5 9.6 15.9 5.5 8.6 10.0 14.9 -0.2 2.5 11.9 8.4 7.8 7.6 3.7 2.7 4.2 1.6 1.8 3.3 -0.002 -1.12 -0.57 -1.03 -0.20 -0.06 -0.88
255
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 November 1968 dari orang tua yaitu H. Asrial Zainun dan Hj. Yulinar sebagai anak kelima dari enam bersaudara. Penulis menikah dengan Rode Ekanara tahun 1993 dan dikarunia dua orang anak yaitu Nabilla Gita Ekanara dan Daffa Aulia Ekanara. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas di Jakarta. Penulis lulus dari SD Negeri Gondangdia 05 Menteng tahun 1981, SMP Negeri 1 Cikini tahun 1984, dan SMA Negeri 4 Gambir tahun 1987. Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan S1 dan memperoleh gelar Sarjana Matematika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI). Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan S2 dan memperoleh gelar Master of Philosophy in Bioresources Economics dari Graduate School of Science and Technology Chiba University Japan dengan beasiswa dari STAID-BPPT. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada program studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan beasiswas tugas belajar dari Badan Pusat Statistik. Penulis mengawali karir setelah lulus S1 dengan bekerja di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kemudian pindah ke Citibank, N.A. di Jakarta. Saat ini penulis bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta diawali pada tahun 1994 sebagai programmer pada Biro Sistem Informasi Statistik. Tahun 1998 penulis ditugaskan pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Statistik dan Komputer BPS sebagai Kepala Sub Bagian Pelatihan Statistik. Sejak lulus S2 tahun 2003 penulis ditugaskan pada Direktorat Analisis Statistik sebagai Kepala Seksi Konsistensi Statistik Sosial di Sub Direktorat Konsistensi Statistik, dan sejak tahun 2006 sampai sebelum tugas belajar S3 penulis bertugas sebagai Kepala Seksi Statistik Indikator Lintas Sektor di Sub Direktorat Indikator Statistik.