86
5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan data dari 23 provinsi penelitian periode 2006-2011. Rentang waktu tersebut dipilih karena hasil analisis deskriptif ini akan menjadi dasar simulasi kebijakan historis yang menggunakan rentang waktu 2006-2011. Sedangkan data tahun 2005 digunakan sebagai data variabel lag tahun 2006. Hal ini dilakukan untuk menghindari munculnya masalah dalam teknis pemrograman yaitu ketidaksesuaian objek observasi (provinsi) antara current data dan lag data yang terjadi pada data panel. Analisis deskriptif dilakukan dengan mengkaji pertumbuhan beberapa variabel fiskal, perekonomian, dan kemiskinan termasuk variavel-variabel dengan satuan nilai rupiah. Oleh karena itu, agar terbanding antar waktu maka analisis deskriptif ini menggunakan variabel-variabel riil yaitu hasil konversi variabel-variabel nominal dengan IHK provinsi tahun dasar 2007. Profil Kinerja Fiskal Daerah Pendapatan Daerah Profil kinerja fiskal daerah dapat ditinjau dari sumber-sumber pendapatan dan pengeluaran daerah. Pendapatan daerah diperoleh dari sumber daya keuangan lokal dan transfer dari pemerintah pusat. Pada umumnya, sumber daya keuangan lokal dicerminkan oleh PAD, namun sumber daya keuangan lokal pada penelitian ini dicerminkan oleh kapasitas fiskal yaitu jumlah PAD dan dana bagi hasil. Alasannya adalah dana bagi hasil bersumber dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam yang masing-masing mencerminkan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki daerah. Selain itu, kapasitas fiskal adalah salah satu alokator pengurang dalam formula DAU dimana daerahdaerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar akan menerima DAU lebih kecil. Dengan perkataan lain, kapasitas fiskal yang lebih besar dapat menurunkan ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada DAU. Analisis deskriptif terhadap beberapa komponen penting pendapatan daerah selama periode 2006-2011 yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan rendahnya komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi pertanian selama tahun 2006-2011 yaitu rata-rata hanya 7.4% per tahun. Hal ini menyebabkan rendahnya komposisi PAD dengan rata-rata 11.6% per tahun. Demikian juga, komposisi bagi hasil pajak sangat rendah dengan rata-rata hanya 6.7% per tahun. Rendahnya PAD dan bagi hasil pajak menyebabkan rendahnya komposisi kapasitas fiskal dengan ratarata 22.7% per tahun. Sesuai formula alokasi DAU dimana daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah akan menerima DAU lebih besar maka rata-rata komposisi kapasitas fiskal yang rendah menyebabkan tingginya komposisi DAU yaitu ratarata 60.1% per tahun. Perkembangan pendapatan daerah di provinsi pertanian mengindikasikan perlunya peningkatan kapasitas fiskal dengan melakukan upayaupaya untuk mendorong pendapatan pajak daerah dan bagi hasil pajak. Sementara itu, komposisi pajak daerah di provinsi non-pertanian rata-rata 13.9% atau hampir dua kali lipat dari komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi pertanian. Hal
87
ini menyebabkan komposisi PAD cukup besar dengan rata-rata 19.7% per tahun. Komposisi bagi hasil pajak juga lebih besar dibandingkan provinsi pertanian dengan rata-rata 9.9% per tahun. Komposisi PAD dan bagi hasil pajak yang besar menyebabkan komposisi kapasitas fiskal di provinsi non-pertanian lebih besar yaitu rata-rata 44.8% per tahun. Sementara rata-rata komposisi DAU 41.7% per tahun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa secara umum kinerja pendapatan fiskal daerah-daerah di provinsi non-pertanian lebih baik dari pada provinsi pertanian. Hal ini berarti provinsi dengan struktur ekonomi didominasi sektor-sektor nonpertanian cenderung lebih mampu membiayai pembangunan daerahnya dengan dana yang diperoleh dari sumber daya lokal. Tabel 9 Rata-rata Komposisi Pendapatan Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi
Pajak Daerah
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata
3.5 13.2 7.8 8.2 9.6 6.6 2.6 6.9 4.7 11.1 4.9 9.5 7.4
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata
7.6 8.9 13.9 17.9 11.9 13.5 15.5 24.2 25.1 7.6 6.4 13.9
Bagi Hasil Pajak PROVINSI PERTANIAN 6.9 5.7 17.2 8.7 13.0 5.0 12.6 11.0 13.1 5.7 11.8 5.5 7.2 4.8 10.7 6.3 8.3 7.4 16.7 7.6 8.0 5.5 14.2 7.1 11.6 6.7 PROVINSI NON PERTANIAN 14.1 10.8 12.6 12.3 18.0 13.0 24.3 10.5 19.8 6.4 20.9 5.6 23.0 9.0 30.3 14.2 31.7 6.5 13.3 15.6 9.2 4.9 19.7 9.9 PAD
Kapasitas Fiskal
DAU
25.8 26.1 18.3 36.2 23.0 19.9 12.1 18.1 20.1 37.3 13.9 22.1 22.7
43.1 58.0 64.8 51.3 60.4 64.9 70.3 66.6 66.5 47.7 68.6 58.8 60.1
79.8 48.1 66.7 36.7 26.4 26.6 32.9 44.5 38.3 78.1 14.7 44.8
14.4 41.2 24.6 47.5 58.3 57.1 52.8 41.2 46.0 10.6 64.5 41.7
Sumber: Kemenkeu RI., data diolah
Selain komposisi pendapatan daerah, kinerja pendapatan daerah dapat juga ditinjau dari pertumbuhannya. Tabel 10 menunjukkan rata-rata pajak daerah di provinsi pertanian tahun 2006-2011 tumbuh 15.1% per tahun. Namun, hal ini tidak sejalan dengan pertumbuhan PAD yang rendah yaitu 12.6% per tahun. Sedangkan, bagi hasil pajak hanya tumbuh rata-rata 1.0% per tahun. Rendahnya pertumbuhan PAD dan bagi hasil pajak menyebabkan rendahnya pertumbuhan kapasitas fiskal dengan rata-rata 8.4% per tahun.
88
Tabel 10 Rata-rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi
Pajak Daerah
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata 2006-2011 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011
8.3 13.0 10.7 15.5 12.2 13.8 11.9 18.6 26.0 19.9 17.7 14.1
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata 2006-2011 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011
14.3 16.3 15.3 14.8 11.0 10.0 13.3 19.2 18.6 27.6 17.1
15.1 10.2 21.6 -8.0 19.2 32.7
Bagi Hasil Pajak PROVINSI PERTANIAN 5.8 3.3 13.5 0.3 9.7 0.0 13.5 -4.5 10.9 2.8 18.0 8.2 6.8 1.1 15.5 2.0 16.9 1.8 14.4 -6.2 15.2 2.7 10.7 -0.2 PAD
12.6 1.0 10.1 7.3 14.6 -5.0 -4.2 1.1 13.6 10.6 28.6 9.3 PROVINSI NON PERTANIAN 10.0 -4.6 14.2 1.3 13.9 5.0 13.6 3.7 9.2 3.2 9.3 5.4 13.3 3.2 17.5 2.3 17.7 5.9 18.5 -16.4 14.1 8.0
16.2 11.5 20.4 -3.3 16.0 36.1
13.7 11.8 15.6 0.8 12.1 28.4
1.5 5.5 2.3 1.9 13.9 -15.8
Kapasitas Fiskal
DAU
-3.2 8.9 6.9 7.7 5.6 13.1 4.5 10.8 13.5 16.2 10.0 6.6
4.0 3.4 1.4 2.8 3.0 2.4 2.7 0.8 1.1 -0.3 2.1 1.2
8.4 9.1 5.2 -2.0 11.4 18.3
2.1 5.4 -1.6 -1.0 -0.9 8.3
1.1 9.1 10.1 10.5 8.1 8.4 10.9 12.4 15.4 6.3 12.2
18.4 3.5 9.3 6.4 0.6 -0.3 1.0 6.0 0.8 13.6 6.6
9.5 2.2 16.5 -2.3 21.1 10.0
6.0 14.1 -7.3 1.4 -9.3 31.1
Sumber: Kemenkeu RI., data diolah
Meskipun komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi non-pertanian hampir dua kali lipat dari komposisi di provinsi pertanian tetapi pertumbuhannya hanya sedikit lebih besar dengan rata-rata 16.2% per tahun. Hal ini menyebabkan pertumbuhan PAD di provinsi non-pertanian juga hanya sedikit lebih besar dari provinsi pertanian dengan rata-rata 13.7% per tahun. Sementara itu, meskipun pertumbuhan bagi hasil pajak di provinsi non-pertanian lebih besar dibandingkan provinsi pertanian yaitu rata-rata 1.5% per tahun, tetapi pada tahun 2011 terjadi
89
pertumbuhan negatif bagi hasil pajak yaitu minus 15.8%, sementara di provinsi pertanian mencapai 9.3% per tahun. Berkurangnya penerimaan bagi hasil pajak di provinsi non-pertanian menyebabkan rendahnya pertumbuhan kapasitas fiskal tahun 2011 yang hanya 10.0%, sementara di provinsi pertanian mencapai 18.3%. Pertumbuhan kapasitas fiskal di provinsi non-pertanian yang cenderung berkurang menyebabkan naiknya pertumbuhan DAU bahkan mencapai 31.1% pada tahun 2011. Perkembangan pertumbuhan pendapatan fiskal di provinsi pertanian yang menunjukkan perbaikan kapasitas fiskal disebabkan oleh pertumbuhan bagi hasil pajak yang cenderung meningkat, sebaliknya di provinsi non-pertanian cenderung berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi non-pertanian perlu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan bagi hasil pajak terutama dari pajakpajak penghasilan. Pengeluaran Daerah Tabel 11 Rata-rata Komposisi Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata
Belanja Belanja Belanja Pertanian Perindustrian Perdagangan PPROVINSI PERTANIAN 3.1 0.7 0.1 2.6 0.4 0.4 2.7 0.2 0.4 4.0 0.3 0.3 2.5 0.2 0.4 3.0 0.2 0.3 4.0 0.3 0.3 3.3 0.1 0.3 3.5 0.3 0.5 3.0 0.2 0.5 3.6 0.3 0.4 2.9 0.4 0.2 3.2 0.3 0.3 PROVINSI NON PERTANIAN 3.1 0.2 0.7 2.7 0.1 0.4 1.0 0.3 0.3 1.8 0.3 0.2 2.1 0.4 0.6 2.0 0.0 0.6 2.1 0.4 0.3 1.2 0.3 0.2 2.3 0.4 0.1 2.0 0.2 0.4 3.2 0.2 0.5 2.1 0.3 0.4
Belanja Infrastruktur 15.7 13.7 13.7 20.8 15.3 10.6 13.1 19.0 23.8 17.3 15.4 13.6 16.0 19.5 24.2 16.0 11.0 9.5 8.2 11.1 15.6 9.7 24.8 14.2 14.9
Sumber: Kemenkeu RI., data diolah
Meskipun pendapatan khususnya dari sumber daya lokal cukup tinggi tetapi belum tentu diikuti kinerja perekonomian yang lebih baik dan tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Oleh karena itu, analisis kinerja fiskal perlu dilakukan juga
90
pada sisi pengeluaran karena merupakan faktor penting yang dapat mendorong perekonomian daerah. Tabel 11 menunjukkan komposisi belanja pertanian di provinsi pertanian rata-rata 3.2% per tahun atau lebih besar dibandingkan provinsi non-pertanian yang hanya 2.1% per tahun. Komposisi belanja pertanian di provinsi pertanian yang lebih besar tentu saja terjadi karena struktur ekonominya didominasi oleh sektor pertanian. Namun, komposisi belanja pertanian tergolong rendah sehingga perlu ditingkatkan untuk mempercepat laju pertumbuhan sektor pertanian mengingat sektor tersebut mampu menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sementara itu, Tabel 11 juga menunjukkan komposisi belanja perindustrian dan perdagangan sangat rendah baik di provinsi pertanian maupun provinsi non-pertanian. Hasil analisis deskriptif pada komposisi belanja sektoral mengindikasikan tingginya kapasitas fiskal di provinsi nonpertanian tidak serta merta dialokasikan lebih besar pada belanja pertanian. Padahal data empiris menunjukkan tingginya jumlah tenaga kerja dan penduduk miskin di sektor pertanian. Selama periode 2006-2011, sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja rata-rata 34.7% per provinsi per tahun, sementara headcount index pertanian rata-rata 19.0% per provinsi per tahun. Hal ini menjadi indikasi bahwa meskipun sektor pertanian bukan sektor andalan perekonomian provinsi non-pertanian namun pembangunan pertanian di provinsi tersebut sangat penting mengingat jumlah penduduk miskin mayoritas hidup dari sektor tersebut. Selain komposisi belanja daerah, kinerja pengeluaran fiskal daerah perlu ditinjau dari pertumbuhan belanja daerah. Tabel 12 menunjukkan pertumbuhan belanja pertanian di provinsi pertanian lebih tinggi dibandingkan provinsi nonpertanian. Bahkan pada tahun 2011 pertumbuhan di provinsi pertanian cenderung meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu rata-rata 24.9% sementara di provinsi non-pertanian rata-rata hanya 3.4%. Sementara itu, pertumbuhan belanja perdagangan sangat tinggi terutama di provinsi pertanian yang mencapai rata-rata 179.7% per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian lebih rendah dengan rata-rata 53.8% per tahun. Sebaliknya, pertumbuhan belanja perindustrian di provinsi non-pertanian mencapai 412.5% per tahun, sementara di provinsi pertanian rata-rata 22.7% per tahun. Salah satu strategi pertumbuhan pro-poor adalah pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, profil belanja infrastruktur juga penting untuk dikaji. Tabel 12 menunjukkan meskipun belanja infrastruktur di provinsi pertanian tumbuh 6.4% per tahun namun cenderung berkurang bahkan minus 3.2% pada tahun 2011. Dengan kondisi infrastruktur yang buruk pembangunan infrastruktur di provinsi pertanian hendaknya diprioritaskan. Provinsi pertanian sesungguhnya berpeluang meningkatkan belanja infrastruktur dari DAU dimana komposisinya mendominasi total pendapatan daerah. Pertumbuhan belanja infrastruktur yang rendah sementara ketergantungan pada DAU tinggi yang umumnya terjadi di provinsi pertanian menunjukkan strategi pembangunan daerah kurang tepat dalam mengalokasikan DAU terutama yang memberi dampak besar dalam menurunkan kemiskinan. Dengan perkataan lain, ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU untuk belanja-belanja yang tidak berdampak besar menurunkan kemiskinan khususunya untuk pembangunan pertanian dan infrastruktur. Untuk itu, perbaikan kelembagaan terutama di provinsi pertanian perlu dilakukan agar para elit politik di badan legislatif daerah lebih memprioritaskan pembangunan yang berdampak besar menurunkan kemiskinan daerah.
91
Tabel 12 Rata-rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 (%) Provinsi
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata 2006-2011 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011 Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata 2006-2011 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011
Belanja pertanian 12.8 6.8 6.7 15.1 15.1 14.2 4.7 15.2 9.7 19.5 9.5 5.5
Belanja Belanja perindustrian perdagangan PPROVINSI PERTANIAN 44.3 8.5 5.7 22.5 20.3 30.8 25.2 39.9 100.0 84.7 -3.1 52.5 12.0 1692.3 26.8 134.9 23.3 6.3 13.8 46.3 13.2 14.9 -9.6 22.6
11.2 49.7 -2.3 -14.1 -2.0 24.9 7.8 21.6 14.2 9.0 9.0 -4.7 7.4 3.3 12.4 7.8 12.2
22.7 103.9 13.9 -13.8 9.6 -0.3
179.7 865.4 -11.6 3.9 8.7 32.0
PROVINSI NON PERTANIAN 115.1 52.4 81.5 49.1 51.2 115.5 61.1 71.8 91.4 44.5 15.1 43.4 96.7 37.0 3940.1 95.7 -7.1 -8.5 54.6 65.5 37.9 25.1
9.1 52.6 -7.2 -8.7 5.4 3.4
412.5 2006.1 6.9 23.1 -16.9 43.2
53.8 247.0 -14.7 19.1 19.0 -1.5
Belanja infrastruktur
Belanja Total
22.8 7.4 1.7 8.4 0.7 15.6 6.1 4.0 -4.5 7.3 2.9 4.6
8.5 9.1 6.2 7.4 8.0 8.4 7.4 6.4 4.2 7.9 7.9 7.0
6.4 33.7 10.9 -5.5 -3.8 -3.2
7.4 18.5 5.5 4.1 2.0 6.7
9.3 -1.4 26.8 8.2 0.1 19.9 0.6 -4.5 -1.5 -0.6 14.7
1.8 8.4 16.7 11.5 7.9 6.2 7.8 9.0 7.4 3.9 11.3
6.5 22.0 17.2 -2.1 -5.8 1.2
8.3 19.4 3.0 7.2 4.7 7.3
Sumber: Kemenkeu RI., data diolah
Kemandirian Fiskal Tingginya belanja daerah yang tidak diimbangi kemampuan PAD yang cukup yang banyak terjadi di provinsi pertanian menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian fiskal. Tabel 13 menunjukkan tingkat kemandirian fiskal di provinsi pertanian selama periode 2006-2011 rata-rata hanya 12.0% per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian rata-rata 20.5% per tahun. Jika mengacu pada kriteria
92
Balitbang Depdagri dan UGM (1991) kinerja fiskal provinsi pertanian tergolong kurang mandiri, sedangkan provinsi pertanian tergolong cukup mandiri. Secara rata-rata provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki kemandirian fiskal paling rendah yaitu 6.9% yang berarti peran PAD dalam membiayai belanja daerah di seluruh wilayah di provinsi NAD hanya 6.9%. Sementara provinsi Bali memiliki kemandirian fiskal paling tinggi yaitu 33.4%. Kondisi ini sejalan dengan fakta yang menunjukkan pengumpulan PAD di provinsi NAD paling rendah, sementara di provinsi Bali paling tinggi. Selain itu, pertumbuhan belanja daerah di provinsi NAD lebih besar dari pada rata-rata pertumbuhan belanja daerah seluruh provinsi penelitian, sementara pertumbuhan belanja daerah di provinsi Bali lebih rendah. Rendahnya tingkat kemandirian fiskal daerah di provinsi pertanian mendukung fakta tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU. Tabel 13 Perkembangan Kemandirian Fiskal Daerah, 2006-2011 (%) Provinsi
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Rata-rata
PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 2 Sumut 3 Sumbar 4 Jambi 5 Lampung 6 NTB 7 NTT 8 Kalbar 9 Kalteng 10 Kalsel 11 Sulteng 12 Sulsel Rata-rata
7.6 18.7 13.5 13.2 12.9 11.2 7.9 10.0 7.3 17.3 7.3 14.3 11.8
7.1 15.8 12.7 11.7 11.4 10.3 7.0 10.3 7.3 16.4 6.7 13.9 10.9
7.4 17.8 13.2 13.2 13.8 11.4 7.1 10.3 8.1 18.3 7.9 13.7 11.9
6.4 15.3 12.2 10.9 12.6 11.6 6.9 9.8 7.6 15.0 7.8 13.5 10.8
6.4 17.8 13.3 12.7 14.3 11.6 7.2 11.1 9.0 17.0 9.2 15.2 12.1
6.7 21.9 15.8 16.5 14.5 16.4 7.7 14.6 12.7 22.5 10.1 16.8 14.7
6.9 17.9 13.5 13.0 13.3 12.1 7.3 11.0 8.6 17.7 8.2 14.6 12.0
17.8 15.8 18.6 28.5 22.1 24.6 29.3 39.9 43.9 22.1 10.5 24.8
14.2 13.0 18.2 25.0 20.5 21.6 23.9 31.6 33.4 14.4 9.5 20.5
PROVINSI NON PERTANIAN 13 Riau 14 Sumsel 15 Kepri 16 Jabar 17 Jateng 18 DIY 19 Jatim 20 Banten 21 Bali 22 Kaltim 23 Sulut Rata-rata
12.9 12.4 19.6 26.1 20.7 21.0 23.0 28.4 28.3 11.8 9.1 19.4
Sumber: Kemenkeu RI., data diolah
12.6 10.6 17.4 23.1 19.0 21.0 22.2 29.3 27.3 10.3 8.9 18.3
16.2 12.5 21.4 24.6 19.1 19.4 22.8 30.5 33.2 13.0 10.5 20.3
13.2 12.5 16.1 22.8 20.4 21.3 22.4 29.3 31.9 13.8 8.7 19.3
12.7 13.9 16.4 25.2 21.7 22.0 23.8 32.2 35.8 15.3 9.4 20.8
93
Profil Perekonomian Daerah PDRB dan Tenaga Kerja Kinerja perekonomian daerah seringkali digambarkan dengan PDRB dan tenaga kerja. Tabel 14 menunjukkan share PDRB dan tenaga kerja pertanian dan industri di provinsi pertanian tahun 2006-2011 berkurang, sebaliknya share PDRB dan tenaga kerja perdagangan meningkat. Hal ini mengindikasikan pergeseran struktur ekonomi provinsi pertanian dari sektor tradisional yaitu pertanian ke sektor modern terutama perdagangan. Hal serupa terjadi di provinsi non- pertanian kecuali share tenaga kerja industri yang meningkat meskipun share PDRB industri turun. Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja industri di provinsi non-pertanian cenderung berkurang padahal sektor tersebut merupakan sektor yang mendominasi struktur ekonomi provinsi non-pertanian. Rendahnya produktivitas tenaga kerja industri selanjutnya akan berdampak menurunkan upah riil yang diterima tenaga kerja industri sehingga berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin industri. Tabel 14 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 (%) Tahun
2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Pertanian Tenaga PDRB Kerja 30.0 29.5 29.2 28.9 28.3 28.0 29.0
56.5 54.7 54.4 53.1 51.9 49.7 53.4
Industri Tenaga PDRB Kerja PROVINSI PERTANIAN 11.6 11.5 11.3 11.2 11.0 10.7 11.2
6.2 6.4 6.2 6.1 6.0 6.1 6.1
Perdagangan Tenaga PDRB Kerja 15.8 15.8 16.0 16.2 16.6 17.0 16.3
15.3 16.0 16.0 16.2 16.2 16.7 16.1
17.0 17.5 17.7 18.4 18.8 18.9 18.0
20.2 21.0 21.2 21.5 21.6 22.7 21.4
PROVINSI NON PERTANIAN 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
14.8 14.6 14.2 14.4 14.2 13.8 14.3
38.0 36.3 35.6 34.8 33.0 30.3 34.7
29.4 28.5 28.0 27.2 26.5 26.1 27.6
12.8 13.0 13.2 13.1 14.2 14.1 13.4
Sumber: BPS, data diolah
Rata-rata share PDRB dan serapan tenaga kerja per tahun pada Gambar 32 menunjukkan tingginya peran tenaga kerja dalam menghasilkan output PDRB pertanian dimana tambahan 2% serapan tenaga kerja pertanian akan menghasilkan 1% share PDRB pertanian. Sebaliknya peran tenaga kerja pada PDRB industri hanya sekitar 0.5% untuk menambah 1% share PDRB industri. Hal ini berarti tenaga kerja memberi peran lebih besar dalam menciptakan nilai tambah produk pertanian dibandingkan produk industri. Rendahnya peran tenaga kerja pada sektor industri dapat terjadi karena faktor kapital dimana salah satunya adalah
94
belanja perindustrian lebih berperan dalam meningkatkan PDRB industri. Sementara itu, peran tenaga kerja pada sektor perdagangan relatif memberi hasil yang sepadan terutama di provinsi pertanian. Dinamika ketiga sektor tersebut mengindikasikan struktur perekonomian daerah mulai beralih ke sektor jasa-jasa terutama perdagangan. Dengan perkataan lain, struktur perekonomian daerah mulai meninggalkan sektor-sektor riil namun kemampuannya dalam menyerap tenga kerja masih tinggi terutama di sektor pertanian. Tingginya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sementara share PDRB pertanian rendah bahkan cenderung turun harus diatasi dengan mempercepat laju pertumbuhan pertanian. 60,0 50,0 40,0 30,0
29,0
27,6 22,0
20,0
14,3
19,1
16,3 18,0 17,1
11,2
10,0 0,0 Sektor Pertanian
Sektor Industri
Share PDRB Provinsi Pertanian
Sektor Perdagangan
Share PDRB Provinsi Non-Pertanian
Share PDRB Seluruh Provinsi Pertanian 60,0
53,4
50,0 40,0
44,4 34,7
30,0
21,4
20,0
13,4 6,1
10,0
16,1
18,6
9,6
0,0 Sektor Pertanian
Sektor Industri
Sektor Perdagangan
Serapan Tenaga Kerja Provinsi Pertanian Serapan Tenaga Kerja Provinsi Non-Pertanian Serapan Tenaga Kerja Seluruh Provinsi Non-Pertanian
Gambar 32. Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 (%) Perbandingan antar provinsi pada Tabel 15 menunjukkan rata-rata share PDRB pertanian di provinsi pertanian sebesar 29.0%, sementara di provinsi nonpertanian sekitar setengahnya yaitu 14.3%. Provinsi-provinsi Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung tercatat memiliki share PDRB pertanian paling besar. Sementara, perekonomian provinsi non-pertanian didominasi sektor industri dengan rata-rata share PDRB industri 27.6% per tahun. Provinsi-provinsi
95
dengan share PDRB industri antara lain Banten, Kepulauan Riau, dan Jawa Barat. Sementara itu, share PDRB perdagangan relatif merata antar provinsi dengan ratarata per tahun di provinsi pertanian 16.3% dan di provinsi non-pertanian 18.0%. Provinsi Bali tercatat memiliki share tertinggi dengan rata-rata 29.2% per tahun. yang bersumber dari subsektor hotel dan restoran sebagai penunjang pariwisata yang merupakan sektor unggulan di provinsi tersebut. Sedangkan, Kalimantan Timur memiliki share PDRB perdagangan paling rendah yaitu 7.1% per tahun. Tabel 15 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral per Tahun menurut Provinsi, 2006-2011 (%) Provinsi
Pertanian PDRB TK
Industri PDRB TK
Perdagangan PDRB TK
PROVINSI PERTANIAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata
27.0 22.7 24.3 27.3 37.5 22.0 39.4 25.8 30.5 22.0 41.4 28.2
49.4 47.0 44.9 56.3 55.7 46.1 68.4 62.4 58.9 43.0 59.3 49.0
10.6 23.9 11.8 11.4 14.2 3.4 1.6 19.0 8.1 10.2 7.4 12.8
4.6 7.8 6.9 3.7 8.5 10.0 7.1 4.3 3.5 7.4 4.0 5.8
14.1 19.1 17.6 14.8 14.7 12.7 16.3 22.4 19.8 15.0 11.9 16.6
15.7 19.7 20.3 15.6 15.8 17.9 6.5 13.3 13.2 22.1 13.7 19.2
29.0
53.4
11.2
6.1
16.3
16.1
PROVINSI NON PERTANIAN 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
20.1 17.6 4.9 11.9 19.9 15.1 16.3 7.8 18.9 5.6 19.6
48.5 60.1 14.4 24.7 36.6 30.0 43.1 19.4 32.9 33.4 38.2
19.3 22.6 47.2 41.6 33.1 13.7 28.2 50.9 9.2 29.7 8.2
5.8 4.8 27.1 18.7 17.6 12.9 13.2 21.9 13.7 6.3 5.5
8.0 12.3 19.9 20.9 19.6 19.5 28.6 17.4 29.2 7.1 16.1
18.0 14.0 22.0 25.5 21.4 24.6 20.1 25.5 24.3 21.4 18.1
14.3
34.7
27.6
13.4
18.0
21.4
Sumber: BPS, data diolah
Tabel 16 menunjukkan rata-rata pertumbuhan pertahun PDRB pertanian di provinsi pertanian selama tahun 2006-2011 lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Sebaliknya, pertumbuhan PDRB industri di provinsi pertanian lebih tinggi dibandingkan provinsi non-pertanian. Sedangkan, PDRB perdagangan tumbuh paling tinggi dibandingkan PDRB pertanian dan PDRB indsutri namun pertumbuhannya di provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-
96
pertanian. Namun, pertumbuhan PDRB yang tinggi tidak selalu diikuti PDRB per kapita yang tinggi. Provinsi non-pertanian memiliki rata-rata pertumbuhan PDRB pertanian 5.6% per tahun atau lebih tinggi dari provinsi pertanian dengan rata-rata 5.2% per tahun. Tetapi, PDRB pertanian per kapita provinsi non-pertanian ratarata 2.9 juta rupiah atau lebih rendah dari provinsi pertanian dengan rata-rata 3.2 juta rupiah. Sebaliknya, provinsi pertanian dengan rata-rata pertumbuhan PDRB industri lebih tinggi memiliki PDRB industri per kapita lebih rendah. Tabel 16 Rata-rata PDRB Riil1 per kapita Sektoral (Juta Rp) dan Pertumbuhannya per tahun menurut Provinsi, 2006-2011 Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata
Pertanian Per Growth kapita
Industri Perdagangan Per Per Growth Growth kapita kapita PROVINSI PERTANIAN
Total Per Growth kapita
4.4 3.6 3.4 3.6 3.5 1.7 1.8 2.6 4.3 2.7 4.4 2.8
-1.2 7.0 4.0 12.6 11.9 3.8 2.1 2.9 3.5 4.2 6.0 6.0
1.7 3.7 1.7 1.5 1.4 0.3 0.1 1.9 1.1 1.3 0.8 1.3
-8.7 4.1 5.5 8.5 18.4 5.1 0.9 2.0 4.9 1.5 9.1 7.7
2.3 3.0 2.5 2.0 1.4 1.0 0.7 2.3 2.8 1.9 1.3 1.7
3.9 7.1 6.8 9.1 13.4 8.1 5.6 4.4 10.8 7.2 9.7 12.6
16.2 15.7 14.1 13.2 9.4 7.7 4.5 10.2 14.2 12.6 10.6 10.1
-2.7 6.9 5.5 11.1 12.5 3.7 4.0 4.0 7.8 6.5 9.9 9.9
3.2
5.2
1.4
4.9
1.9
8.2
11.5
6.6
21.0 9.7 4.5 9.7 6.1 5.8 8.8 8.8 8.9 10.4 9.8 9.4
45.5 16.8 39.5 14.1 10.7 10.4 16.1 13.0 13.8 78.3 12.3 24.6
12.4 6.8 4.5 6.0 6.0 4.9 6.7 4.7 7.1 6.8 7.8 6.7
PROVINSI NON PERTANIAN 13 Riau 14 Sumsel 15 Kepri 16 Jabar 17 Jateng 18 DIY 19 Jatim 20 Banten 21 Bali 22 Kaltim 23 Sulut Rata-rata
9.1 2.9 1.9 1.7 2.1 1.6 2.6 1.0 2.6 4.4 2.4 2.9
9.1 5.9 3.5 7.6 4.6 3.2 4.4 6.4 3.7 7.1 6.3 5.6
8.8 3.8 18.6 5.8 3.5 1.4 4.5 6.6 1.3 23.3 1.0 7.2
12.3 4.3 3.6 1.9 6.4 5.7 5.1 1.7 6.9 -1.3 5.4 4.7
3.7 2.1 7.8 3.0 2.1 2.0 4.6 2.3 4.1 5.5 2.0 3.6
Sumber: BPS, data diolah; Catatan: 1Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
97
Produktivitas Tenaga Kerja Meskipun sektor pertanian mendominasi PDRB di provinsi pertanian tetapi produktivitasnya lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Tabel 17 menunjukkan rata-rata produktivitas tenaga kerja pertanian yang diukur dari PDRB pertanian yang dihasilkan setiap tenaga kerja pertanian sebesar 14.2 juta rupiah per tahun di provinsi pertanian, sementara di provinsi non-pertanian sebesar 19.8 juta rupiah per tahun. Hal ini dapat terjadi karena total PDRB pertanian di provinsi pertanian lebih rendah atau jumlah tenaga kerja pertanian lebih banyak. Walaupun jumlah tenaga kerja pertanian di provinsi pertanian lebih sedikit dibandingkan provinsi non-pertanian tetapi sharenya yang lebih besar mengindikasikan PDRB yang dihasilkan sektor pertanian di provinsi pertanian relatif lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian khususnya di provinsi pertanian perlu ditingkatkan dengan menambah modal dari belanja pertanian. Tabel 17 Rata-rata Produktivitas Riil1 Tenaga Kerja Sektoral per Tahun, menurut Provinsi, 2006-2011 (Juta Rp) Provinsi
Pertanian
Industri
Perdagangan
PROVINSI PERTANIAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata
22.0 17.8 18.2 14.5 14.3 8.4 5.6 9.2 16.1 13.1 16.5 14.9
94.3 112.4 57.4 92.2 35.3 6.0 2.2 98.2 73.5 36.3 44.5 57.8
36.3 35.5 28.9 28.1 19.7 12.5 24.7 37.4 46.9 17.8 20.5 22.5
14.2
59.2
27.6
PROVINSI NON-PERTANIAN 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
50.1 10.9 30.4 17.4 11.9 10.0 11.9 14.2 14.0 32.0 15.4
403.5 174.1 158.0 79.3 41.2 21.1 67.1 81.1 16.2 892.6 44.8
53.3 32.7 80.6 29.3 20.0 15.6 44.7 23.3 29.0 62.2 26.6
19.8
179.9
37.9
Sumber: BPS, data diolah Catatan: 1Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
98
Upah Riil Tenaga Kerja Rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian berdampak pada rendahnya upah riil. Tabel 18 menunjukkan rata-rata upah riil pertanian di provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Kondisi ini terkait dengan produktivitas tenaga kerja pertanian di provinsi pertanian yang lebih rendah. Bahkan, pertumbuhan upah pertanian di provinsi non-pertanian lebih besar. Upah riil pertanian merupakan yang paling rendah di antara ketiga sektor dimana upah di provinsi pertanian lebih kecil dibandingkan provinsi non-pertanian. Sementara rata-rata upah riil industri dan perdagangan di provinsi pertanian relatif sama. Sedangkan, upah riil industri di provinsi non-pertanian paling tinggi. Perbandingan antar provinsi menunjukkan upah riil pertanian tertinggi terjadi di provinsi Kalimantan Timur. Upah riil industri tertinggi di provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Sedangkan upah riil perdagangan tertinggi di provinsi Kepulauan Riau. Seluruh provinsi dengan rata-rata upah riil tertinggi tersebut merupakan provinsi non-pertanian. Tabel 18 Rata-rata Upah Riil1 Sektoral per bulan (Ribu Rp) dan Pertumbuhannya per Tahun (%) menurut Provinsi, 2006-2011 Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
Pertanian Industri Upah Growth Upah Growth PROVINSI PERTANIAN 705 2.5 891 -0.9 725 0.2 934 -1.7 599 5.7 722 6.5 686 3.2 943 -2.5 453 3.8 599 5.7 353 10.5 459 8.4 355 7.8 562 -3.7 762 0.5 907 2.1 805 5.7 852 6.1 653 4.9 822 12.5 564 6.2 606 22.9 483 -0.1 708 -5.8 595 860 641 841 374 359 409 342 520 527 1 189 607 606
4.2
750
4.1
PROVINSI NON PERTANIAN 0.1 1 205 1.6 9.5 909 3.4 7.7 1 700 7.8 3.8 928 3.0 3.4 569 3.3 7.0 697 0.2 3.8 735 -1.3 13.1 1 122 1.3 5.4 718 4.5 0.3 1 672 7.0 6.6 825 4.9 5.5
1 007
3.2
Sumber: BPS, data diolah Catatan: 1Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
Perdagangan Upah Growth 878 899 845 713 635 675 581 767 802 743 706 771
-2.9 -0.9 2.2 -1.1 -3.9 2.4 2.0 0.4 14.4 1.9 -4.4 -4.1
751
0.5
897 870 1 178 907 622 718 729 1 107 1 003 1 047 906
0.8 1.4 3.4 -1.0 3.3 4.6 3.2 5.1 6.0 3.2 0.5
908
2.8
99
Pengeluaran per Kapita Konsep kemiskinan di Indonesia adalah konsep moneter dengan pendekatan pendapatan penduduk. Namun, data kemiskinan yang dihitung BPS menggunakan indikator pengeluaran per kapita dari hasil SUSENAS. Menurut Ravallion (1995) pengeluaran konsumsi per kapita lebih mencerminkan kesejahteraan dari pada pendapatan meskipun keduanya berasal dari sumber data yang sama. Oleh karena itu, pengukuran tingkat kemiskinan sektoral pada penelitian ini juga menggunakan indikator pengeluaran per kapita. Tabel 19 menunjukkan rata-rata pengeluaran per kapita sektoral sejalan dengan upah riil sektoral dimana sektor pertanian memiliki rata-rata paling kecil dan pPengeluaran per kapita provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Besaran upah riil menunjukkan bahwa upah yang diterima hanya mampu memenuhi konsumsi 2-3 anggota rumahtangga yang dapat terjadi karena perbedaan bobot konsumsi setiap anggota rumahtangg. Hal ini juga mengindikasikan ada sumber pendapatan lain dari pekerjaan tambahan kepala rumahtangga di sektor lain atau pekerjaan anggota rumahtangga lainnya. Tabel 19
Rata-rata Pengeluaran per Kapita Riil1 Sektoral per bulan (Ribu Rp) dan Pertumbuhannya per Tahun (%) Menurut Provinsi, 2006-2011
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
Pertanian Industri Konsumsi Growth Konsumsi Growth PROVINSI PERTANIAN 288 6.3 366 7.2 291 8.0 361 8.7 294 8.5 382 8.7 316 8.7 344 13.3 237 6.7 298 4.4 222 6.3 246 7.6 169 6.1 242 5.5 272 7.7 365 24.1 321 11.6 388 13.4 308 9.8 373 8.3 252 9.9 298 11.2 219 8.3 321 9.8 266 387 283 425 255 229 258 228 248 328 355 287 299
Perdagangan Konsumsi Growth 437 451 454 424 376 344 348 464 445 474 410 414
7.3 8.9 11.3 11.3 13.8 8.0 6.6 15.8 10.0 11.0 17.7 11.7
10.2
420
11.1
PROVINSI NON PERTANIAN 7.4 454 14.4 9.8 356 8.9 9.4 651 13.3 5.9 401 9.7 7.2 294 6.8 5.5 376 1.8 6.7 347 13.6 5.5 485 8.9 8.3 417 12.8 4.7 666 22.4 8.5 343 11.1
563 415 641 388 340 448 368 489 552 627 444
8.4 10.0 11.1 9.8 10.5 12.0 10.3 10.1 13.8 12.5 12.1
479
11.0
8.2
7.2
332
435
11.3
Sumber: BPS, data diolah; Catatan: 1Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
100
Profil Kemiskinan Sektoral Daerah Indeks Gini Tabel 20 Provinsi
Perkembangan Indeks Gini Provinsi, 2006-2011
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Ratarata
Perubahan per tahun
PROVINSI PERTANIAN 1 2 3 5 7 15 16 17 18 19 22 23
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata
0.28 0.30 0.33 0.31 0.31 0.37 0.37 0.27 0.21 0.33 0.37 0.36
0.27 0.31 0.31 0.31 0.39 0.33 0.35 0.31 0.30 0.34 0.32 0.37
0.27 0.31 0.29 0.28 0.35 0.33 0.34 0.31 0.29 0.33 0.33 0.36
0.29 0.32 0.30 0.27 0.35 0.35 0.36 0.32 0.29 0.35 0.34 0.39
0.30 0.35 0.33 0.30 0.36 0.40 0.38 0.37 0.30 0.37 0.37 0.40
0.33 0.35 0.35 0.34 0.37 0.36 0.36 0.40 0.34 0.37 0.38 0.41
0.29 0.32 0.32 0.30 0.36 0.36 0.36 0.33 0.29 0.35 0.34 0.38
0.011 0.010 0.004 0.006 0.012 -0.002 -0.002 0.026 0.026 0.008 0.002 0.010
0.32
0.33
0.32
0.33
0.35
0.36
0.33
0.009
PROVINSI NON-PERTANIAN 4 6 8 9 10 11 12 13 14 20 21
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
0.31 0.28 0.33 0.35 0.31 0.39 0.30 0.33 0.35 0.30 0.36
0.32 0.32 0.30 0.34 0.33 0.37 0.34 0.37 0.33 0.33 0.32
0.31 0.30 0.30 0.35 0.31 0.36 0.33 0.34 0.30 0.34 0.28
0.33 0.31 0.29 0.36 0.32 0.38 0.33 0.37 0.31 0.38 0.31
0.33 0.34 0.29 0.36 0.34 0.41 0.34 0.42 0.37 0.37 0.37
0.36 0.34 0.32 0.41 0.38 0.40 0.37 0.40 0.41 0.38 0.39
0.33 0.32 0.31 0.36 0.33 0.39 0.34 0.37 0.35 0.35 0.35
0.010 0.012 -0.002 0.012 0.014 0.002 0.014 0.014 0.012 0.016 0.006
0.33
0.33
0.32
0.34
0.36
0.38
0.34
0.010
Sumber: BPS
Sebagai ukuran ketimpangan pendapatan, Indeks Gini selama tahun 20062011 cenderung meningkat bahkan peningkatan dan rata-rata Indeks Gini provinsi non-pertanian lebih besar dibandingkan provinsi pertanian (Tabel 20). Hal ini sesuai hipotesis Kuznets dimana perekonomian tradisional yang didominasi sektor pertanian memiliki ketimpangan pendapatan yang lebih rendah. Selain itu, ratarata Indeks Gini provinsi non-pertanian yang lebih tinggi mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan penduduk provinsi non-pertanian lebih tidak merata. Jika meningkatnya Indeks Gini dikaitkan dengan pertumbuhan PDRB perdagangan yang lebih tinggi dari pada pertumbuhan PDRB pertanian dan pertumbuhan PDRB industri terutama di provinsi non-pertanian, maka kondisi ini menunjukkan adanya trade-off pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di provinsi-
101
provinsi dengan struktur ekonomi didominasi oleh sektor jasa. Hal ini juga sesuai dengan asumsi hipotesis Kuznets yaitu kesenjangan pendapatan akan meningkat ketika perekonomian mulai beralih dari sektor tradisional ke sektor modern. Dalam kontek pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat maka kenaikan Indeks Gini ini mengindikasikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati oleh penduduk kaya. Sementara itu, perbandingan antar provinsi menunjukkan ketimpangan pendapatan di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tinggi, sedangkan distribusi pendapatan di NAD dan Kalimantan Tengah paling merata. Headcount Index Sektoral Tabel 21 Perkembangan Headcount Index Sektoral, 2006-2011 Provinsi 1 NAD 2 Sumut 3 Sumbar 5 Jambi 7 Lampung 15 NTB 16 NTT 17 Kalbar 18 Kalteng 19 Kalsel 22 Sulteng 23 Sulsel Rata-rata 4 Riau 6 Sumsel 8 Kepri 9 Jabar 10 Jateng 11 DIY 12 Jatim 13 Banten 14 Bali 20 Kaltim 21 Sulut Rata-rata
Pertanian Industri Perdagangan HCI ∆ HCI ∆ HCI ∆ PROVINSI PERTANIAN 33.3 -3.5 25.0 -3.8 10.7 -2.6 16.5 -0.6 12.2 -0.8 7.4 -1.0 17.0 -1.2 11.0 -1.3 7.6 -1.6 9.9 -0.8 10.5 -2.3 11.9 -1.4 23.7 -1.1 20.1 0.3 11.8 -1.5 26.8 -0.9 19.3 -0.5 14.6 0.2 31.1 -1.2 19.0 -0.4 13.1 -2.8 11.7 -1.1 10.4 -0.4 6.3 -0.3 11.0 -0.8 8.1 2.3 4.7 0.1 9.0 -0.2 6.6 0.4 3.8 -0.5 26.0 -2.7 23.8 -3.2 13.2 -1.4 16.0 0.2 10.9 0.2 4.7 -0.8 19.3 -1.2 14.7 -0.8 9.1 -1.1 PROVINSI NON PERTANIAN 13.1 -1.1 11.4 -0.9 6.5 -1.1 18.5 -1.3 15.2 -3.4 12.9 -1.1 15.3 -4.5 8.3 -0.7 9.5 1.5 20.8 0.3 12.6 -0.6 9.8 -0.9 24.8 -0.4 15.3 -0.4 12.1 -0.4 31.1 0.8 14.9 -2.7 12.3 -1.9 26.1 -1.9 12.3 -1.1 9.4 -1.4 17.5 -0.9 3.2 -0.5 6.5 -1.1 8.7 0.4 5.2 -0.4 1.9 -0.1 19.1 -1.4 8.8 -2.1 4.6 -1.3 13.7 -0.4 11.2 1.4 5.1 -0.5 19.0 -1.0 10.8 -1.0 8.2 -0.7
Total HCI ∆ 23.5 12.6 10.5 9.5 20.3 23.3 25.0 11.0 8.2 6.2 19.9 12.7 15.2
-1.7 -0.7 -0.7 -0.5 -1.2 -1.5 -1.6 -1.3 -0.9 -0.6 -1.6 -0.9 -1.1
10.0 17.3 9.2 12.5 18.6 17.8 17.6 8.0 5.7 9.0 10.1 12.4
-0.7 -1.4 -1.0 -0.8 -1.3 -0.6 -1.4 -0.7 -0.6 -0.9 -0.6 -0.9
Sumber: BPS, data diolah dari SUSENAS
Headcount index (HCI) atau sering dinotasikan dengan P 0 adalah indikator kemiskinan yang merupakan persentase penduduk miskin. Perbandingan antar tiga sektor ekonomi pada Tabel 21 menunjukkan sektor pertanian memiliki HCI paling tinggi dibandingkan sektor industri dan sektor perdagangan. Perbandingan antar kelompok provinsi menunjukkan HCI pertanian di provinsi pertanian lebih tinggi dari pada HCI pertanian di provinsi non-pertanian dengan rata-rata 19.3% dan 19.0%. Semetnara rata-rata HCI industri di provinsi pertanian dan provinsi nonpertanian 14.7% dan 10.8%. Sementara itu, HCI perdagangan paling kecil dengan
102
rata-rata 9.1% di provinsi pertanian dan 8.2% di provinsi non-pertanian. HCI pertanian yang tinggi memberi kontribusi paling besar pada toal HCI yang berarti jumlah penduduk miskin paling banyak di sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga pertanian yang lebih rendah dibandingkan industri dan perdagangan. Perbandingan antar kelompok provinsi menunjukkan HCI sektoral provinsi pertanian lebih besar dibandingkan provinsi non-pertanian. namun, meskipun HCI provinsi pertanian lebih besar tetapi laju penurunannya lebih cepat dibandingkan provinsi non-pertanian terutama di sektor pertanian dan perdagangan (Gambar 12). Dengan demikian, strategi percepatan pengentasan kemiskinan harus difokuskan pada sektor pertanian. Oleh karena itu, meskipun HCI provinsi non-pertanian lebih kecil dibandingkan provinsi pertanian tetapi jumlah penduduk miskin provinsi non-pertanian yang lebih besar dapat menjadi alasan agar pemerintah daerah di wilayah provinsi non-pertanian lebih memprioritaskan percepatan penurunan kemiskinan penduduk di sektor pertanian. 25,0
20,0
19,3 19,0 15,2
14,7
15,0
12,4 10,8 9,1
10,0
8,2
5,0
0,0 HCI Pertanian
HCI Industri
HCI Perdagangan
HCI Total
0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,7
-0,8
-0,8 -0,9
-1,0 -1,2
-1,0
-1,0 -1,1
-1,1
-1,2
-1,4 Provinsi Pertanian
Provinsi Non-Pertanian
Gambar 33. Rata-rata Headcount Index (%) dan Perubahannya per Tahun (persen poin), 2006-2011
103
Proporsi Penduduk Miskin Rumahtangga Pertanian Pada bagian terdahulu telah ditunjukkan bahwa rumah tangga pertanian memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi dengan headcount index yang paling besar dibandingkan headcount index industri dan headcount index perdagangan. Selain itu, proporsi penduduk miskin dapat menunjukkan perbandingan tingkat kemiskinan antar sektor. Tabel 22 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia selama periode 20006-2011 paling banyak berada di rumahtangga pertanian bahkan proporsinya cenderung meningkat. Rata-rata proporsi penduduk miskin pertanian di provinsi pertanian naik dari 62.2% menjadi 64.5% atau ratarata 0.5 persen poin per tahun, dan di provinsi non-pertanian naik dari 48.6% menjadi 49.7% atau rata-rata 0.2 persen poin per tahun. Proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian (disingkat menjadi penduduk miskin pertanian) yang tinggi dan meningkat sementara Indeks Gini meningkat mengindikasikan dampak kebijakan-kebijakan pemerintah daerah lebih menguntungkan penduduk miskin di sektor-sektor non-pertanian. Ini berarti, strategi pengentasan kemiskinan oleh pemerintah daerah tidak memihak penduduk miskin pertanian. Tabel 22 Perkembangan Proporsi Penduduk Miskin Pertanian, 2006-2011 (%) Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
2006
2007
2010
2011
Perubahan per tahun (% poin)
64.4 53.9 57.4 58.8 60.4 54.2 78.2 66.2 75.6 45.9 73.3 58.3
PROVINSI PERTANIAN 61.1 50.8 59.1 62.9 51.3 49.4 50.0 56.5 57.9 59.7 53.7 64.0 50.3 48.1 46.1 44.0 65.0 60.1 62.0 66.7 43.6 55.0 55.1 54.8 76.1 84.0 82.1 80.0 59.2 58.6 65.4 69.2 61.5 74.0 66.4 70.5 49.3 45.8 45.3 52.5 69.4 63.4 67.3 68.1 56.0 62.4 62.5 66.3
57.8 61.6 70.3 63.2 64.4 56.9 78.7 61.7 73.2 61.5 65.7 59.2
-1.3 1.6 2.6 0.9 0.8 0.5 0.1 -0.9 -0.5 3.1 -1.5 0.2
62.2
58.4
63.0
64.5
0.5
59.1 57.5 35.5 33.9 48.6 48.3 56.7 39.0 42.6 43.6 70.4
PROVINSI NON PERTANIAN 49.3 50.7 41.3 58.4 60.7 53.3 60.6 53.2 16.9 20.6 12.6 43.4 38.1 39.9 37.8 38.4 50.8 51.8 50.5 53.0 43.6 50.1 47.3 50.3 55.9 54.8 57.4 58.3 43.8 42.6 39.0 47.0 50.0 55.8 51.1 54.9 47.3 49.1 38.4 64.3 62.8 41.5 44.4 47.4
63.9 60.8 9.5 41.5 50.9 54.5 60.5 40.7 49.1 58.0 57.7
1.0 0.7 -5.2 1.5 0.5 1.2 0.8 0.3 1.3 2.9 -2.5
48.6
47.2
49.7
0.2
Sumber: BPS, data diolah
2008
59.3
46.4
2009
59.6
43.7
51.7
104
Hubungan Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Tabel 23 Rata-rata Indikator Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan per Tahun, 2006-2011 Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel
Rata-rata 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut
Rata-rata
Komposisi DAU (%)
43.1 58.0 64.8 51.3 60.4 64.9 70.3 66.6 66.5 47.7 68.6 58.8 60.1 14.4 41.2 24.6 47.5 58.3 57.1 52.8 41.2 46.0 10.6 64.5 41.7
Pertumbuhan Indeks PDRB Riil1 Gini (%) PROVINSI PERTANIAN -2.7 0.29 6.9 0.32 5.5 0.32 11.1 0.30 12.5 0.36 3.7 0.36 4.0 0.36 4.0 0.33 7.8 0.29 6.5 0.35 9.9 0.34 9.9 0.38 6.6
Perubahan HCI (% poin)
Distribusi Penduduk Miskin Pertanian (%)
-1.7 -0.7 -0.7 -0.5 -1.2 -1.5 -1.6 -1.3 -0.9 -0.6 -1.6 -0.9
59.3 53.8 60.5 51.8 63.1 53.3 79.9 63.4 70.2 50.0 67.9 60.8
-1.1
61.2
-0.7 -1.4 -1.0 -0.8 -1.3 -0.6 -1.4 -0.7 -0.6 -0.9 -0.6
53.8 57.7 23.1 38.2 51.0 49.0 57.3 42.0 50.6 50.1 54.0
-0.9
47.9
0.33
PROVINSI NON PERTANIAN 12.4 0.33 6.8 0.32 4.5 0.31 6.0 0.36 6.0 0.33 4.9 0.39 6.7 0.34 4.7 0.37 7.1 0.35 6.8 0.35 7.8 0.35 6.7
0.34
Sumber: BPS dan Kemenkeu R.I., data diolah Catatan: 1Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
Perkembangan fiskal, perekonomian, dan kemiskinan provinsi selama tahun 2006-2011 menunjukkan ketergantungan keuangan daerah pada DAU yang tinggi terutama di provinsi pertanian tidak diikuti laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat. Hal ini ditunjukkan oleh Tabel 23 dimana provinsi pertanian dengan keuangan daerah mayoritas bersumber dari DAU yaitu rata-rata 60.1% memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 6.6% per tahun. NTT dengan komposisi DAU paling besar yaitu 70.3% memiliki pertumbuhan PDRB paling kecil yaitu 4.0%. Sebaliknya, provinsi non-pertanian dengan komposisi DAU lebih rendah yaitu rata-rat 41.7% memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dengan rata-rata 6.7% per tahun. Artinya, dapat dindikasikan bahwa laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat lebih dipengaruhi oleh peran kapasitas fiskal yang lebih besar. Namun, peran pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan berkurang akibat ketimpangan pendapatan meningkat. Pertumbuhan ekonomi provinsi non-pertanian sebesar
105
6.7% per tahun yang disertai Indeks Gini 0.34 hanya mengurangi headcount index rata-rata 0.9 persen poin per tahun. Sementara, pertumbuhan provinsi pertanian rata-rata 6.6% per tahun yang disertai Indeks Gini 0.33 dapat mengurangi headcount index rata-rata 1.1 persen poin per tahun. Selain itu, penduduk miskin sebagian besar di sektor pertanian bahkan proporsinya meningkat.Terciptanya pertumbuhan ekonomi daerah disertai meningkatnya ketimpangan pendapatan dan tingginya proporsi penduduk miskin pretanian menjadi indikasi laju penurunan kemiskinan di sektor pertanian yang melambat disebabkan oleh kebijakan fiskal daerah yang kurang tepat karena lebih memihak sektor-sektor non-pertanian.