KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI
OLEH DIANA BHAKTI H14094018
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
DIANA BHAKTI. Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum dan Selama Desentralisasi (dibimbing oleh TONY IRAWAN).
Kebijakan desentralisasi dan pemekaran wilayah diharapkan lebih mendekatkan pemerintah dengan masyarakat, sedemikian sehingga kebutuhan dari masyarakat bisa dipahami betul oleh pemerintah daerah. Harapannya, tentu saja, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah bisa memenuhi kebutuhan masyarakat lewat pelaksanaan pembangunan (ekonomi) untuk mencapai kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan sebagai tujuan akhir. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana klasifikasi kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapitanya (menggunakan Klassen Typology) serta menganalisa perkembangan kesenjangan pendapatan kabupaten/kota dan kelompok kepulauan di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebelum dan selama otonomi daerah, seiring terjadinya pemekaran wilayah (menggunakan indeks Williamson dan indeks Theil), yakni pada periode 1983 – 2000 dan 2001 – 2008. Untuk melihat pola kesenjangan seiring pemekaran, analisis dilakukan dengan dua cara, yakni dengan tetap mempertahankan jumlah kabupaten sebelum terjadi pemekaran wilayah dan mengikuti jumlah kabupaten/kota setelah terjadi pemekaran. Sebelum pemekaran, kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur berjumlah 12 kabupaten. Pemekaran kabupaten terjadi sejak sebelum desentralisasi dan semakin gencar setelah desentralisasi, hingga saat ini Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki 20 kabupaten/kota. Bahkan wacana pemekaran di provinsi masih terus bergulir dan berproses. Dari hasil pengolahan dengan analisis Klassen Typology, sebelum otonomi daerah, Kabupaten Kupang (sebelum pemekaran sebagai ibukota provinsi) adalah satusatunya kabupaten yang masuk dalam kategori daerah maju dan cepat tumbuh, selama desentralisasi kabupaten yang masuk kategori ini semakin banyak. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya penyebaran pembangunan/kegiatan ekonomi di kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, ini sejalan dengan tujuan desentralisasi itu sendiri. Analisis Klassen Typology juga menunjukkan bahwa jarak kuadran kabupaten/kota yang berada dalam satu kelompok kepulauan semakin besar seiring terjadinya pemekaran wilayah yang terjadi di beberapa kabupaten/kota di NTT. Hal ini mengindikasikan bahwa ketimpangan di dalam kelompok (intra kelompok) semakin melebar. Indeks Williamson dan indeks theil, menunjukkan bahwa ketimpangan berfluktuasi seiring berbagai kejadian yang memengaruhi perekonomian NTTdi antaranya kejadian tsunami pada tahun 1987, strategi efek merembes ke bawah, dan kenaikan BBM pada tahun 2005. Bersamaan dengan kejadian-kejadian tersebut, angka indeksnya meningkat. Jika indeks dihitung, dengan tetap mempertahankan jumlah kabupaten induk, kecenderungan ketimpangan intrakelompok dan total tidak meningkat. Namun jika memisahkan kabupaten hasil pemekaran dengan kabupaten induknya, ketimpangannya
cenderung meningkat. Sementara itu ketimpangan antarkelompok juga fluktuatif namun cenderung tidak meningkat. Pola ketimpangan intrakelompok dan total relatif sama, karena ketimpangan intrakelompok berkontribusi lebih besar terhadap ketimpangan total dibanding ketimpangan antarkelompok. Dapat disimpulkan bahwa ketimpangan selama desentralisasi relatif meningkat, namun hal ini diduga lebih terkait dengan adanya pemekaran wilayah, karena pada analisis yang tergabung dengan kabupaten induknya, ketimpangannya tidak meningkat. Penelitian ini tidak mencakup faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan pendapatan antarwilayah, untuk itu penulis menyarankan penelitian lebih luas dan detil mengenai aspek-aspek regional yang berpengaruh pada ketimpangan dan pembangunan wilayah.
KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI
Oleh DIANA BHAKTI H14094018
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara
Timur
Sebelum
dan
Selama
Desentralisasi Nama
: Diana Bhakti
NRP
: H14094018
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Tony Irawan, M.App.Ec NIP. 19820306 200501 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal lulus:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Oktober 2009
Diana Bhakti H14094018
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Kedua orang tua penulis, yakni pasangan Mochamad Munir dan Sulaikanah memberi penulis nama Diana Bhakti. Tepatnya, ketika penulis lahir di Malang pada tanggal 27 September 1982. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis dibesarkan di kota Banyuwangi, dan menyelesaikan pendidikan formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah umum di kota tersebut. Pendidikan dasar penulis diawali di Sekolah Dasar Islam Al- Khairiyah dan lulus pada tahun 1994, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri I Banyuwangi lulus pada tahun 1997, dan Sekolah Menengah Umum Negeri I Glagah diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan tinggi penulis ditempuh di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2009 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Program S2 Penyelenggaraan Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Sebelum menempuh pendidikan pasca sarjana penulis menjalani program alih jenjang Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Penulis diangkat sebagai CPNS pada Badan Pusat Statistik terhitung mulai tanggal 1 Desember 2004 dan ditempatkan sebagai staf di bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selama kurang lebih empat tahun penulis mengabdi di sana dan sejak November 2008 sampai dengan saat ini penulis bertugas di BPS (pusat) sub direktorat Konsolidasi Neraca Produksi Regional.
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tak terkira penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena dengan rahmat dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum dan Selama Desentralisasi” tepat pada waktunya. Meski demikian, penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dikarenakan berbagai keterbatasan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan penulisan skripsi ini. Tak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1.
Bapak Tony Irawan, M.App.Ec. sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan sampai selesainya skripsi ini.
2.
Ibu Widyastutik, M.Si yang telah menguji skripsi ini, atas saran dan kritik yang berharga untuk penyempurnaan tulisan ini.
3.
Seluruh dosen, staf pengajar, dan karyawan/wati di Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB.
4.
Teman-teman di kelas khusus BPS-IPB, antara lain Mas Budi, Wiling, Dewi, Titin, Wiwin, Mbak Wiwik, Krismanti, Mbak Lia, Mas Adji, Mbak Atik, Mas Hakim, Mas Parulian, Mas Evi, Mas Parno, Mas Aan, dan semua yang tidak bisa penulis sebut satu per satu.
5.
Badan Pusat Statistik umumnya, Direktorat Neraca Produksi, khususnya Sub direktorat Konsolidasi Neraca Produksi Regional yang telah mengijinkan dan mendukung penulis untuk menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor.
6.
Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Teriring rasa terima kasih penulis yang tak terkira kepada orang tua dan mertua
penulis serta suami dan anak tercinta atas kasih sayang dan dukungannya selama ini. Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat dan membantu bagi yang memerlukan.
Bogor, Oktober 2009
Diana Bhakti H14094018
IT’S ALL ABOUT YOU: MAHDAVIKIA HANIFA SALAM
v
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL...........................................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................
vii
I.
II.
III.
IV.
V.
PENDAHULUAN……………………………………………………….........
1
1.1
Latar Belakang……………………………………………………..........
1
1.2
Perumusan Masalah…………………………………………..................
8
1.3
Tujuan Penelitian…………………………………………………..........
8
1.4
Manfaat Penelitian………………………………………………............
9
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN…………….......
10
2.1
Landasan Teori.........................................................................................
10
2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi.......................................................
10
2.1.2 Ketimpangan Distribusi Pendapatan............................................
13
2.1.3 Otonomi Daerah dan Desentralisasi.............................................
18
2.2
Penelitian Terdahulu................................................................................
20
2.3
Kerangka Penelitian.................................................................................
22
METODOLOGI PENELITIAN.......................................................................
25
3.1
Jenis dan Sumber Data.............................................................................
25
3.2
Metode Analisis........................................................................................
25
3.2.1 Klassen Typology..........................................................................
25
3.2.2 Indeks Williamson........................................................................
27
3.2.3 Indeks Theil..................................................................................
27
HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................................
30
4.1
Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur...................................
30
4.2
Pemekaran Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur................
34
4.3
Klasifikasi Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur................
36
4.4
Ketimpangan Ekonomi Antardaerah..........................................................
45
KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................
53
5.1
Kesimpulan...............................................................................................
53
5.2
Saran.........................................................................................................
54
DAFTAR PUSTAKA
vi
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
4.1
Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi NTT dan Indonesia Tahun 2006 – 2008 31 (persen)....................................................................................................
4.2
Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto NTT Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha, Tahun 2006 – 2008...............
31
PDRB dan Pendapatan Per Kapita NTT Atas Dasar Harga Berlaku menurut Kabupaten/kota, Tahun 2007 – 2008........................................
32
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin NTT dan Indonesia, Tahun 2007 – 2008...............................................................................................
33
Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan yang Ditamatkan, Tahun 2008........................................
34
Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum dan Sesudah Pemekaran sampai dengan Tahun 2008...................................................
35
Pengelompokkan Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum (1983 – 2000) dan Selama Otonomi Daerah (2001– 2008).....................
45
Indeks Theil dan Dekomposisinya di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008.....................................................................................
51
Persentase Indeks Theil dan Dekomposisinya di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008..........................................................................
52
4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1 Ketertinggalan Provinsi NTT Sebelum dan Sesudah Desentralisasi........................
5
1.2 Tingkat Harga di Provinsi Nusa Tenggara Timur Lebih Tinggi dibanding RataRata Nasional...........................................................................................................
6
2.1 Kerangka Pemikiran.................................................................................................
24
3.1 Klasifikasi Kabupaten/kota Menurut Klassen Typology.........................................
26
4.1 PDRB Provinsi Nusa Tenggara Timur Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2006 – 2008 (ribu rupiah).....................................................................................................
30
4.2 Piramida Penduduk NTT Tahun 2008.....................................................................
33
4.3 Plot Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 1983 – 2000 (Kabupaten Baru Digabung dengan Kabupaten Induk)........................................................................
37
4.4 Plot Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2001 – 2008 (Kabupaten Baru Digabung dengan Kabupaten Induk)........................................................................
38
4.5 Plot Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 1983 – 2000 (Termasuk Kabupaten Baru Hasil Pemekaran)............................................................................................
40
4.6 Plot Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2001 – 2008 (Termasuk Kabupaten Baru Hasil Pemekaran)............................................................................................
41
4.7 Indeks Theil dan Indeks Williamson Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008 (Kabupaten Baru Digabung dengan Kabupaten induk)......................
46
4.8 Indeks Theil dan Indeks Williamson Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008 (Termasuk Kabupaten Baru Hasil Pemekaran)..................................
47
4.9 Indeks Theil antarkelompok Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008...................................................................................................
48
4.10 Indeks Theil intrakelompok Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008...................................................................................................
49
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kajian dan berbagai penelitian berdimensi regional, terutama mengenai regional equality dan spatial distribution of resources, akan selalu menjadi bahasan penting dan menarik di negara kepulauan seperti Indonesia. Terlebih setelah dipertegasnya pengakuan dan pelaksanaan pelimpahan otonomi daerah yang ‘digebrak’ dengan diberlakukannya Undang-Undang RI No. 22 dan 25 tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-Undang RI No. 33 tahun 2000 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menggunakan prinsip dasar “money follows functions”, yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah. Undang-undang No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 25/1999 tentang hubungan fiskal antarpemerintah menjadi kerangka hukum untuk pengenalan desentralisasi fiskal di Indonesia sedangkan Undang-Undang No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah serta Undang-undang No. 33/2004 tentang desentralisasi fiskal kemudian mengubah dan memperkuat desentralisasi fiskal. Bagi daerah, aturan ini berfungsi untuk menentukan jumlah uang yang akan digunakan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga memberi ‘kewenangan lebih’ masing-masing daerah tersebut untuk mengelola dan membangun wilayahnya.
2
Secara konsep, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukanlah hal baru di Indonesia, hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang RI No. 5 tahun 1975 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Namun selama pemerintahan orde baru kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal belum dapat mengurangi ketimpangan vertikal dan horisontal, terlihat dengan masih tingginya derajat sentralisasi fiskal dan besarnya ketimpangan antardaerah dan wilayah (Uppal dan Suparmoko, 1986; Sjahfrizal, 1997). Kebijakan pada era orde baru diterapkan selaras dengan Undang-Undang No.5 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat menguasai dan mengontrol hampir semua pendapatan daerah yang meliputi pendapatan dari hasil kekayaan alam di sektor pertambangan, minyak dan gas, serta perkebunan. Sumber-sumber pendapatan tersebut ditetapkan sebagai penerimaan negara, sehingga daerah yang kaya akan sumber daya alam tidak menikmati hasilnya secara layak (Hill, 2001). Pemerintah (pembuat kebijakan dan perencana pembangunan) pada masa itu, memfokuskan pembangunan ekonomi melalui strategi pertumbuhan ekonomi yakni usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam periode waktu yang singkat. Mereka sangat percaya hal itu akan menghasilkan apa yang disebut trickle down effects atau dampak merembes ke bawah yang akan berdampak pada terpecahkannya
masalah-masalah
seperti
pengangguran,
kemiskinan,
dan
ketimpangan pendapatan. Untuk itu, pembangunan ekonomi nasional dimulai dan dipusatkan di pulau Jawa serta diprioritaskan pada sektor-sektor yang secara potensial memiliki
3
kemampuan besar untuk menghasilkan nilai tambah ekonomi yang tinggi seperti sektor industri yang berorientasi ekspor. Hasilnya, sampai sebelum krisis, perekonomian mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yakni rata-rata 7 persen pertahun tetapi dengan tingkat kesenjangan yang juga semakin besar (Tambunan, 2001). Krisis ekonomi tahun 1997 yang berdampak meningkatkan jumlah penduduk miskin, yakni dari 34,01 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi 49,50 juta jiwa pada tahun 1998, dan timbulnya berbagai masalah sosial semakin menunjukkan keroposnya pondasi perekonomian yang dihasilkan pembangunan selama ini. Selain terkait dengan gagalnya perencanaan terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity), menguatnya perhatian terhadap desentralisasi juga disebabkan oleh adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat. Karena itu, dengan penuh keyakinan para pelopor desentralisasi mengajukan sederet panjang alasan dan argumen tentang pentingnya desentralisasi dalam perencanaan dan administrasi di negara dunia ketiga (Allen, 1990). Desentralisasi
diharapkan
“mendekatkan”
pemerintah
dengan
masyarakat, sedemikian sehingga kebutuhan dari masyarakat bisa dipahami betul oleh pemerintah daerah. Harapannya, tentu saja, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah bisa memenuhi kebutuhan masyarakat lewat pelaksanaan pembangunan (ekonomi) untuk mencapai kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan sebagai tujuan akhir.
4
Sejumlah studi telah dilakukan untuk melihat disparitas pendapatan di Indonesia beserta faktor-faktor penyebabnya. Penelitian yang dilakukan Akita dan Lukman (1995) melihat dispersi pendapatan per kapita antardaerah dan melakukan dekomposisi sektoral untuk mengetahui sektor ekonomi yang menjadi penyebab kesenjangan regional. Etharina (2005) menyempurnakan dengan menambahkan
identifikasi
karakteristik
disparitas
spasial
yang
terjadi
antarprovinsi dan wilayah di Indonesia yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), wilayah Jawa dan wilayah luar Jawa, serta mengelompokkan provinsi menjadi beberapa grup provinsi. Hasil penelitian menemukan bahwa disparitas pendapatan per kapita yang terjadi antara wilayah Jawa dan luar Jawa, serta antara KBI dan KTI relatif kecil. Disparitas justru semakin nyata terjadi di dalam suatu wilayah, yaitu di dalam wilayah Jawa, luar Jawa, KBI, dan KTI. Disparitas pembangunan antardaerah sebaiknya tidak hanya dilihat dari kacamata Jawa-luar Jawa atau kawasan barat dan kawasan timur. Perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun regional harus memperhatikan daerah (provinsi) secara parsial karena kita harus menyadari betapa beragamnya potensi dan kemampuan daerah di Indonesia untuk berkembang dengan kekuatan mereka sendiri. Salah satu provinsi di kawasan Indonesia timur, yakni Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki karakteristik/keunikan tersendiri. Sebelum pelaksanaan desentralisasi, kepulauan yang dihuni penduduk dengan etnik beragam ini lebih
5
dari sepertiganya digolongkan sebagai penduduk miskin. Hal ini menjadikan NTT sebagai salah satu wilayah paling miskin di Indonesia.
Sumber: Perkiraan staf World Bank berdasarkan SIKD, MoF, dan BPS Catatan: Ukuran gelembung dan angka di dalam kurung adalah jumlah penduduk miskin (%). Riau, DKI Jakarta, East Kalimantan, and Papua tidak dimasukkan dalam penghitungan.
Gambar 1.1 Ketertinggalan Provinsi NTT Sebelum dan Sesudah Desentralisasi NTT memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita yang termasuk
kelompok
paling
rendah
di
Indonesia.
Setelah
pelaksanaan
desentralisasi, kendati pengeluaran per kapita NTT meningkat tiga kali lipat dan tingkat kemiskinan juga mengalami penurunan, NTT tetap merupakan salah satu provinsi yang perekonomiannya tertinggal (Gambar 1.1). Pada tahun 2004, PDRB per kapita NTT adalah salah satu yang terendah di Indonesia. Meski terjadi penurunan tingkat kemiskinan sebanyak 8 persen yang dicapai antara tahun 1999 dan 2004, tingkat kemiskinan di NTT masih 10 persen di atas rata-rata nasional. Selain tingginya tingkat kemiskinan, NTT juga menghadapi tingkat harga yang tinggi. Semenjak pengurangan subsidi BBM pada tahun 2005, dibanding rata-rata nasional, harga-harga di NTT meningkat lebih tinggi. Perpaduan antara
6
peningkatan harga-harga komoditas dan biaya transportasi menjadi penyumbang terjadinya inflasi di NTT.
Sumber: Perhitungan Tim PEACH NTT berdasarkan data BPS (2008) Catatan: Indeks Harga Konsumen (IHK) didasarkan pada IHK BPS di 44 kota. Banda Aceh dikeluarkan dari gambar mengingat tingginya IHK akibat rekonstruksi pasca-tsunami.
Gambar 1.2. Tingkat Harga di Provinsi Nusa Tenggara Timur Lebih Tinggi dibanding Rata-rata Nasional Beratnya tantangan pembangunan ekonomi di NTT antara lain disebabkan oleh isolasi geografis dan iklim yang setengah kering (semi-arid). Seperti halnya Nusa Tenggara Barat dan Maluku, NTT digolongkan sebagai wilayah setengah kering karena minimnya curah hujan dan posisinya sebagai wilayah peralihan antara iklim gurun dan iklim basah. Sebagai provinsi kepulauan, ketersediaan akses dan transportasi merupakan isu yang sangat penting. Kombinasi antara iklim setengah kering dan keterisolasian membuat NTT memiliki akses ke sumber daya alam yang terbatas. Sampai saat ini Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki 20 kabupaten/kota. Pada tahun 1983, Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya terdiri dari 12 kabupaten, dan terus mengalami pemekaran terutama setelah
7
desentralisasi, bahkan wacana pemekaran wilayah tersebut masih bergulir untuk beberapa wilayah di provinsi ini. Idealnya pemekaran kabupaten-kabupaten tersebut bertujuan untuk meningkatkan pembangunan di daerah setempat dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi tujuan pemekaran kabupaten banyak yang menyimpang dari tujuan seharusnya dan beberapa kajian menyebutkan bahwa belum terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang signifikan di daerah hasil pemekaran. Pengalaman di banyak negara menunjukkan adanya kontroversi mengenai bentuk desentralisasi yang paling baik bagi suatu negara pada kurun waktu tertentu (Cheema & Rondinelli, 1983 dan Allen, 1990). Perlu disadari dalam hal ini adanya faktor-faktor yang dibutuhkan demi tercapainya tujuan desentralisasi: yang pertama adalah kemauan kuat untuk mendukung desentralisasi, tidak hanya di tingkat pusat tapi juga di daerah. Berikutnya, kesabaran agaknya diperlukan dalam menyusun suatu sistem desentalisasi dan kemudian memberinya kesempatan bekerja segera setelah ditetapkan. Fakta di banyak negara menunjukkan bahwa struktur Pemda telah dicanangkan, namun kemudian dengan cepat dicabut karena tidak segera menelurkan hasil seperti yang diharapkan. Hal ini menunjukkan perlu waktu bagi suatu institusi dan struktur yang baru untuk menjejakkan kakinya, untuk diuji bagaimana reaksinya terhadap perubahan situasi, dan untuk segera dimodifikasi bila diperlukan. Ketiga, perlunya penelitian lebih lanjut yang relevan untuk memantau implementasi dan mempertimbangkan apakah
perlu
dilakukan
penyesuaian-penyesuaian
hubungan pusat-daerah (Kuncoro, 2004).
mengingat
dinamisnya
8
1.2 Perumusan Masalah Kebijakan desentralisasi dan pemekaran wilayah diharapkan lebih mendekatkan pemerintah dengan masyarakat, sedemikian sehingga kebutuhan dari masyarakat bisa dipahami betul oleh pemerintah daerah. Harapannya, tentu saja, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah bisa memenuhi kebutuhan masyarakat lewat pelaksanaan pembangunan (ekonomi) untuk mencapai kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan sebagai tujuan akhir. Berdasarkan hal tersebut, penulis bermaksud meneliti: 1. Bagaimana klasifikasi kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapitanya. 2. Bagaimana perkembangan kesenjangan pendapatan kabupaten/kota dan kelompok kepulauan di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebelum dan selama otonomi daerah, seiring terjadinya pemekaran wilayah. 1.3 Tujuan Penelitian Dengan memperhatikan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui klasifikasi kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapitanya. 2. Menganalisa
kesenjangan
pendapatan
kabupaten/kota
dan
kelompok
kepulauan di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebelum dan selama otonomi daerah, seiring terjadinya pemekaran wilayah.
9
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagi berikut: 1.
Bagi keilmuan ekonomi regional: dapat mengembangkan wawasan dan pengetahuan mengenai ekonomi regional dengan menggunakan beberapa metode statistika.
2.
Bagi pemerintah provinsi atau kabupaten/kota: dapat memberikan gambaran mengenai perekonomian dan kesenjangan yang terjadi di wilayah-wilayah sehingga bisa membantu memberikan alternatif pemecahan masalah apakah tiap-tiap wilayah memerlukan penanganan yang sama untuk memperbaiki kualitas manusianya atau diperlukan penanganan tertentu untuk suatu wilayah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Sampai saat ini, para ekonom, terutama teoritikus ilmu ekonomi pembangunan, masih terus menyempurnakan makna, hakikat, dan konsep pertumbuhan
ekonomi.
Dalam
perkembangan
khazanah
kepustakaan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi setelah perang dunia kedua, ada empat aliran yang mendominasi dan bersaing satu sama lain. Keempat pendekatan tersebut adalah: model-model pertumbuhan bertahap linier (linier stages of growth models), kelompok teori dan pola-pola perubahan struktural(the structural change theories and patterns), revolusi ketergantungan internasional (international dependence revolution), serta kontra revolusi pasar bebas neoklasik (neoclassical free market counterrevolution). Selain itu, telah muncul pendekatan kelima yang populer dengan sebutan teori baru pertumbuhan ekonomi (new theory of economic growth) (Todaro, 2000). Para ekonom pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an memandang proses pembangunan sebagai serangkaian tahapan pertumbuhan ekonomi yang berurutan, yang pasti akan dialami setiap negara yang menjalani pembangunan. Pada dasarnya, pandangan ini merupakan suatu bentuk teori ekonomi yang menyoroti pembangunan sebagai paduan dan kuantitas tabungan nasional, penanaman modal, dan bantuan asing dalam jumlah yang tepat. Kesemuanya itu harus
11
diupayakan serta diadakan oleh negara-negara dunia ketiga agar mereka juga dapat menapaki jalur-jalur pertumbuhan ekonomi modern yang menurut sejarahnya telah dilalui dengan sukses oleh negara-negara yang sekarang maju. Dengan demikian, pembangunan itu diidentikan dengan pertumbuhan ekonomi agregat secara cepat. Pada dasawarsa 1970-an, pendekatan tahapan linier ini tergusur oleh dua aliran pemikiran ekonomi. Aliran yang pertama menitikberatkan pada teori dan pola perubahan struktural. Ia menggunakan teori-teori ekonomi modern dan analisis statistik guna melukiskan proses struktural internal yang harus dialami oleh negara-negara berkembang agar mampu dan berhasil menciptakan serta sekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonominya yang cepat. Aliran pemikiran kedua adalah revolusi ketergantungan internasional. Revolusi ini memandang keterbelakangan negara-negara berkembang sebagai suatu akibat pola hubungan kekuasaan internasional yang tidak adil, yang dalam menjalankan operasinya juga dibantu oleh segmen-segmen domestik tertentu. Aspek-aspek kelembagaan dan ekonomi dari pola hubungan itu sangat ketat, sehingga sulit diubah. Sebagai akibatnya, perekonomian dan masyarakat, baik dalam skala domestik maupun internasional, yang bersifat dualistik (saling bertentangan) semakin banyak bermunculan. Perhatian utama teori ini ditujukan pada pentingnya menyusun kebijakan baru untuk menghapuskan kemiskinan secara total, menyediakan kesempatan kerja yang lebih bervariasi, dan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan, yang berarti diperlukannya suatu bentuk intervensi dari pemerintah.
12
Pendekatan yang cukup menonjol, yakni teori yang keempat berkembang nyaris sepanjang dasawarsa 1980-an. Kontra-revolusi neoklasik dalam pemikiran ekonomi ini menekankan pada peranan menguntungkan yang dimainkan oleh pasar-pasar bebas, perekonomian terbuka, dan swastanisasi perusahaanperusahaan negara yang kebanyakan memang tidak efisien dan boros. Menurut teori ini kegagalan pembangunan tidak disebabkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal
maupun
internal
sebagaimana
diyakini
oleh
para
teoritisi
ketergantungan, melainkan diakibatkan oleh terlalu banyaknya campur tangan dan aneka regulasi pemerintah di dalam kehidupan perekonomian nasional. Model pertumbuhan neo-klasik menunjukkan peranan penting teknologi sebagai
mesin
pertumbuhan
jangka
panjang.
Tetapi
model
tersebut
mengasumsikan teknologi sebagai faktor eksogen. Para ekonom seperti Romer, Aghion dan Howitt serta Grosman dan Helpman mencoba menganalisa pertumbuhan teknologi dari sisi ilmu ekonomi. Mereka menolak asumsi bahwa teknologi berasal dari luar motif ekonomi dan membangun teori yang dikenal dengan teori baru pertumbuhan ekonomi atau endogenous growth theory atau new growth theory. Teori yang menfokuskan kepada pemahaman kekuatan ekonomi sebagai pendorong kemajuan teknologi. Kontribusi penting dari model ini adalah bahwa kemajuan teknologi merupakan hasil dari profit motif. Analognya adalah bahwa penemuan komputer dan microchip adalah atas dasar profit motif bukan karena kebaikan sang penemu. Dengan cara ini, kemajuan teknologi dan proses pertumbuhan ekonomi itu sendiri adalah hasil dari sebuah interaksi ekonomi (endogenous outcome of the economy).
13
2.1.2 Ketimpangan Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif (Tambunan, 2006). Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk berbagai keperluan kajian kuantitatif dan kualitatif. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran dan distribusi fungsional. Distribusi ukuran (size distribution) mengukur besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang, sementara distribusi fungsional menekankan pada kepemilikan faktor-faktor produksi. Beberapa cara mengukur ketimpangan menurut perspektif distribusi ukuran antara lain menggunakan kurva Pareto, teori Gibrat, gini rasio (kurva lorenz), dan kriteria ketimpangan distribusi pendapatan menurut Bank Dunia sedangkan contoh indikator distribusi fungsional misalnya bagian pendapatan nasional yang diterima oleh pemilik faktor poduksi tenaga kerja. Kedua jenis distribusi tersebut menggambarkan bagaimana pendapatan total di suatu wilayah terbagi kepada individu (distribusi ukuran) atau kepada para pemilik faktor produksi (distribusi fungsional) yang ada di wilayah tersebut. Belum dimasukkannya dimensi spasial dalam perencanaan pembangunan disadari ketika ketimpangan antardaerah mulai terasa. Diabaikannya dimensi spasial membuat warna pembangunan daerah ditentukan ”mekanisme pasar”. Akibatnya modal dan orang cenderung memilih daerah yang menawarkan return yang lebih tinggi dan menarik,yang pada gilirannya daerah yang maju semakin maju, yang tertinggal tetap tertinggal. Hal inilah yang mendasari analisis
14
disparitas regional, yakni indikator yang menggambarkan bagaimana pendapatan suatu wilayah terdistribusi pada sub-sub wilayah di dalamnya (Kuncoro, 2004). Sedangkan secara konsep, distribusi pendapatan yang berkembang dapat dibedakan menurut dua aliran ekonomi. Pertama, Mahzab Klasik (Orthodox) yang berpegang pada konsep keseimbangan alokasi sumberdaya dan konsep pasar bebas. Proses pembangunan berawal dari pengembangan kapasitas produksi melalui peningkatan stok modal dan adanya spesialisasi (Herrick dan Kindleberger, 1988; Arndt, 1987; Gillis et al., 1987; Djojohadikusumo, 1994 dan Deliarnov, 1995). Selanjutnya Lewis (1954) membahas aspek distribusi pendapatan dengan penekanan pada masalah pembagian hasil produksi antara pemilik modal dan pemilik tanah di mana ketidakmerataan pendapatan akan muncul pada awalnya dan akan menghilang setelah dicapai hasil pembangunan. Teori tersebut konsisten dengan konsep pemikiran Kuznets (1955) yang dituangkan dalam bentuk kurva U terbalik, yaitu sewaktu pendapatan per kapita naik, ketidakmerataan mulai muncul dan mencapai maksimum pada saat pendapatan berada pada tingkat menengah dan kemudian menurun sewaktu telah dicapai tingkat pendapatan yang sama dengan karakteristik negara industri. Peningkatan
pertumbuhan
dimungkinkan
dengan
berkembangnya
sektor
pemimpin (leading sector). Ketidakmerataan pendapatan akan memburuk pada tahap awal disebabkan upah buruh masih relatif rendah. Dengan demikian pertumbuhan tidak banyak memberikan manfaat bagi golongan miskin atau golongan buruh. Namun dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita, maka permintaan terhadap sarana publik (transportasi, komunikasi, pendidikan,
15
dan sebagainya) juga meningkat. Kondisi ini akan memunculkan efek merembes ke bawah bagi golongan miskin dengan meningkatnya upah buruh melalui sektor lain. (Gillis et al., 1987; Todaro, 2000). Menurut Hogendorn (1992) fenomena kurva Kuznets tersebut dapat dilihat pada masyarakat, di mana distribusi pendapatan yang merata pada awalnya dijumpai di sektor pertanian. Namun begitu sebagian masyarakat berpindah ke sektor industri yang memiliki upah lebih tinggi, maka ketidakmerataan pendapatan masyarakat segera muncul. Aliran yang kedua adalah Mahzab Strukturalis yang memandang pembangunan ekonomi sebagai transisi yang ditandai oleh suatu transformasi yang mengandung perubahan mendasar pada ekomomi yang disebut sebagai perubahan
struktural.
Perubahan
struktural
tersebut
merupakan
masa
ketidakseimbangan yang dapat menyebabkan kesenjangan penyesuaian yang panjang (Arndt, 1987; Gillis et al., 1987; Herrick dan Kindleberger, 1988; Djojohadikusumo, 1994). Berbeda dengan aliran Klasik yang percaya bahwa pemerataan pendapatan akan terjadi dengan sendirinya dengan meningkatnya pendapatan per kapita, aliran Strukturalis menganggap bahwa masalah distribusi pendapatan dan pemerataan harus dilakukan melalui intervensi pemerintah. Dalam hal ini terdapat dua pendekatan ekstrim dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan, yaitu Aliran Ekstrim (Radikal) Kanan atau aliran yang menganut faham kapitalis yang memfokuskan pada pertumbuhan dan Aliran Ekstrim Kiri atau aliran yang menganut faham Sosialis, yang memfokuskan pada masalah pemerataan. Sebagai alternatif dari dua aliran ekstrim tersebut, terdapat satu
16
strategi yang beraliran moderat untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara bersama, yaitu redistribusi dengan pertumbuhan, yang dikembangkan oleh Bank Dunia (Chenery et al., 1987). Sasaran pembangunan ekonomi bagi aliran ekstrim kanan bukan mengarah pada pemerataan yang lebih besar melalui mekanisme merembes ke bawah, tetapi melalui pemusatan pendapatan pada masyarakat yang telah kaya. Produksi diatur secara efisien, kemudian baru diredistribusi untuk memperoleh distribusi pendapatan yang diinginkan melalui transfer atau pajak yang diyakini tidak akan mendistorsi ekonomi. Namun aliran ini telah gagal. Contoh empiris kegagalan ini adalah kebijakan pembangunan ekonomi di Brazil, di mana pertumbuhan ekonomi meningkat sangat cepat namun disertai dengan tingkat ketidakmerataan sangat tinggi dan perkembangan pengurangan tingkat kemiskinan yang sangat lambat. Pemilikan aset sangat terkonsentrasi, akses terhadap pendidikan sangat tidak merata, pembangunan industri maupun pertanian diutamakan pada skala usaha besar dan teknologi padat kapital. Sebaliknya aliran Ekstrim Kiri memiliki kebijakan pemerataan.Pemerintah mengambil alih pemilik modal dan pemilik tanah dengan membagikan aset mereka ke produsen skala kecil, yang seringkali melalui sistem pemilikan bersama. Kebijakan tersebut membawa dua dampak terhadap distribusi pendapatan. Pertama, dampak secara langsung, yaitu tingkat kemerataan pendapatan akan segera meningkat secara nyata. Kedua adalah dampak dalam jangka panjang. Apabila usaha-usaha berskala lebih kecil dan melalui pemilikan bersama tersebut dapat menghasilkan keuntungan besar dan dikelola secara efisien
17
dan produktif, maka efek redistribusi tersebut akan meningkat. Namun apabila tidak dikelola secara produktif, pemilik awal akan kehilangan aset mereka dan pemilik baru tidak akan memperoleh manfaat secara proporsional. Negara yang termasuk dalam aliran ini adalah negara-negara Uni Soviet dan RRC. Kebijakan pembangunan berbasis industri yang dilakukan Uni Soviet adalah mengambil alih kekayaan yang seharusnya menjadi hak masyarakat secara umum terutama petani dan menekan konsumsi yang hasilnya diinvestasikan kembali ke sektor produktif. Dengan kebijakan tersebut ketidakmerataan pendapatan masyarakat memang mengecil karena hasil pendapatan diambil oleh pemerintah. Strategi mencapai pertumbuhan dan pemerataan pendapatan dewasa ini mengalami pergeseran paradigma, karena dua aliran ekstrim yang telah diuraikan di atas kurang disukai. Konsep dikembangkan oleh World Bank, dinamakan redistribusi dengan pertumbuhan (Chenery et al., 1974) dipandang lebih cocok diterapkan di negara-negara berkembang. Hanya melalui peningkatan GNP akan ada sesuatu yang berarti untuk bisa didistribusikan. Distribusi tidak dapat diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan melainkan harus diciptakan dari unsur kebijakan. Ide dasar dari RWG adalah kebijakan pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen berpendapatan rendah (yang pada umumnya berlokasi terutama di sektor pertanian dan industri pedesaan berskala kecil) akan melihat peluang untuk meningkatkan pendapatan.
18
2.1.3 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah). Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah). Pengertian otonom secara bahasa adalah berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri, sedangkan daerah adalah suatu wilayah atau lingkungan pemerintah. Menurut istilah otonomi daerah adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidangbidang tersebut menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah disebut desentralisasi. Semakin
19
besar suatu negara (dilihat dari penduduk dan luas wilayah) maka semakin kompleks dan “heterogen” pemerintahannya, hal ini bisa dilihat dari tingkatan pemerintah daerah. Desentralisasi (dan sentralisasi) adalah cara untuk melakukan penyesuaian tata kelola pemerintahan dengan pendistribusian fungsi pengambilan keputusan dan kontrol. Secara garis besar, dalam rangka melihat dampak atau kaitannya dengan layanan publik dan kemiskinan, desentralisasi bisa dibedakan atas 3 jenis (Litvack, 1999): 1. Desentralisasi politik, melimpahkan kepada daerah kewenangan yang lebih besar menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan. 2. Desentralisasi administrasi, berupa redistribusi kewenangan, tanggung jawab
dan sumber daya di antara berbagai tingkat pemerintahan. Kapasitas yang memadai disertai kelembagaan yang cukup baik di setiap tingkat merupakan syarat agar hal ini bisa efektif. 3. Desentralisasi fiskal, menyangkut kewenangan menggali sumber-sumber
pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat/instrumen untukmewujudkan tata kelola pemerintahan yang efisien dan partisipatif (Tanzi, 2002), bukan merupakan tujuan. Namun, mesti dipahami bahwa desentralisasi adalah instrumen yang kompleks sedemikian sehingga nampaknya tidak bisa hanya dikaitkan dengan satu tujuan tertentu yang tunggal. Desentralisasi bisa memiliki banyak
20
tujuan, sehingga terdapat risiko munculnya harapan yang berlebihan dari kebijakan ini (Bird, 1999). 2.2 Penelitian Terdahulu Ekonom klasik berpendapat bahwa ketidakseimbangan antardaerah hanya bersifat sementara (Sukirno, 1985). Menurut mereka, mekanisme pasar akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang seimbang antar berbagai daerah sehingga ahli-ahli klasik sangat mengabaikan analisis mengenai kegiatan ekonomi dari sudut penyebarannya di berbagai daerah (Etharina, 2005). Pandangan ini menjadikan analisis regional tidak menarik karena pasar bebas yakin tidak akan ada disparitas antardaerah (Higgins dan Savoie, 1995). Sedikit perhatian tentang ruang (space) diberikan oleh Marxist melalui teori ketergantungan, dengan ruang dalam bentuk ‘pusat’ (center) sebagai monopoli kapitalis internasional dan ‘pinggiran’ (periphery) dalam bentuk daerah atau negara yang dieksploitasi. Dalam teori ini disparitas internasional dan regional muncul karena adanya kapitalis (Higgins dan Savole 1995; Riddell, 1985). Hasil penelitian yang dilakukan Soeroso dan Frank Biarratani pada tahun 1985 di Indonesia dengan menggunakan model neoklasik menunjukkan bahwa perbedaan antardaerah dalam tingkat pertumbuhan output telah menarik modal dan tenaga kerja ke daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan menyebabkan instabilitas dalam pola pertumbuhan ekonomi tinggi dan menyebabkan instabilitas dalam pola pertumbuhan daerah di Indonesia.
21
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan antardaerah, dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya disparitas pendapatan antardaerah (Akita dan Lukman, 1995). Daerah yang tertinggal akan mengalami apa yang disebut backwash effects (dampak balik), yakni terjadinya proses pemusatan sumber-sumber ekonomi ke daerah kaya (Arsyad, 1999). Kesempatan kerja dengan gaji yang lebih tinggi, prasarana sosial yang lebih layak, dan berbagai kemudahan akses lainnya menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk, yang umumnya memiliki pendidikan dan keterampilan tinggi, dari daerah miskin ke daerah kaya. Akibatnya, menurut Myrdal, daerah miskin menjadi semakin tertinggal karena kesenjangan semakin melebar. Adanya pemusatan pembangunan juga memiliki dampak positif terhadap daerah pinggiran, yakni yang disebut dampak sebar (spreads effects). Efek ini menjelaskan
bahwa
pembangunan
di
daerah
pusat
pertumbuhan
akan
menyebabkan tambahan permintaan atas hasil-hasil di daerah belakangnya. Sayangnya, yang sering terjadi dampak sebar lebih kecil dibandingkan dengan dampak balik. Hal ini banyak dialami daerah di wilayah luar Jawa, terutama Kawasan Timur Indonesia. Pertumbuhan ekonomi memang merupakan persyaratan utama (neccesery condition) untuk mengurangi kemiskinan. Namun dengan hanya memacu pertumbuhan ekonomi saja (pemusatan), baik dari sudut spasial maupun sektoral, bukanlah persyaratan yang cukup (sufficient condition) untuk mengatasi masalah
22
kemiskinan karena akan memunculkan trade off terhadap pemerataan yang cenderung buruk. Ketika suatu daerah mencapai tingkat pertumbuhan yang memuaskan namun diiringi dengan ketimpangan yang semakin memburuk, beberapa kalangan pembuat kebijakan banyak berdalih pada pola pertumbuhan yang dijelaskan dalam hipotesis Kuznets yang dikemukakan oleh Simon Kuznets pada tahun 1955. Menurut data (historis) yang diteliti di negara-negara maju, ditemukan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik, sehingga jika digambarkan dalam bentuk kurva akan berbentuk seperti huruf U terbalik/inverted-U-curve (Todaro, 2000). Hipotesis Kuznets dapat dibuktikan dengan membuat grafik antara pertumbuhan produk domestik regional bruto dengan indeks ketimpangan Williamson maupun indeks Theil (Sutarno dan Kuncoro, 2003). 2.3 Kerangka Penelitian Sebelum pelaksanaan desentralisasi, lebih dari sepertiga penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur digolongkan sebagai penduduk miskin. Hal ini menjadikan NTT sebagai salah satu wilayah paling miskin di Indonesia. Selain itu, NTT memiliki PDRB per kapita yang termasuk kelompok paling rendah di Indonesia. Setelah pelaksanaan desentralisasi, kendati pengeluaran per kapita NTT meningkat tiga kali lipat dan tingkat kemiskinan juga mengalami penurunan, NTT tetap merupakan salah satu provinsi yang perekonomiannya tertinggal. Selain tingginya tingkat kemiskinan, NTT juga menghadapi tingkat harga yang
23
tinggi. Beratnya tantangan pembangunan ekonomi di NTT antara lain disebabkan oleh isolasi geografis dan iklim yang setengah kering (semi-arid). Sebagai provinsi kepulauan, ketersediaan akses dan transportasi merupakan isu yang sangat penting. Kombinasi antara iklim setengah kering dan keterisolasian membuat NTT memiliki akses ke sumber daya alam yang terbatas. Sejak tahun 1983, Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya terdiri dari 12 kabupaten, dan terus mengalami pemekaran terutama setelah desentralisasi. Hingga tahun 2008 provinsi ini memiliki 20 kabupaten/kota, dan wacana pemekaran wilayah masih bergulir untuk beberapa wilayah di provinsi ini. Beberapa alasan dikemukakan dalam mengusulkan pemekaran kabupatenkabupaten tersebut antara lain untuk meningkatkan pembangunan di daerah setempat, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, mengurangi tingkat kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang juga berarti mengurangi adanya kesenjangan pendapatan. Akan tetapi tujuan pemekaran kabupaten banyak yang menyimpang dari tujuan seharusnya dan beberapa kajian menyebutkan bahwa belum terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang signifikan di daerah hasil pemekaran. Hal ini mendorong penulis untuk menganalisa ketimpangan pendapatan di NTT, termasuk ketimpangan pendapatan di dalam dan antarwilayah, yang akan dilihat melalui analisis tipologi wilayah (Klassen Typology) dan indeks ketimpangan wilayah (indeks Williamson dan indeks Theil yang akan didekomposisi menjadi indeks Theil intra kelompok dan indeks Theil antarkelompok). Selain itu, seiring terjadinya pemekaran kabupaten di NTT, akan
24
dilihat pula perbedaan indeks ketimpangan yang dihasilkan melalui penghitungan dengan tetap mempertahankan jumlah kabupaten semula dan mengikuti jumlah setelah pemekaran wilayah. STRATEGI PEMBANGUNAN
SENTRALISTIK (SEBELUM OTDA) 1983 – 2000
KESENJANGAN WILAYAH
DESENTRALISASI (SELAMA OTDA) 2001 – 2008 terjadi pemekaran wilayah
KESENJANGAN WILAYAH
KLASIFIKASI WILAYAH (KLASSEN TYPOLOGY) KESENJANGAN ANTARWILAYAH (INDEKS WILLIAMSON, INDEKS THEIL)
KESENJANGAN ANTARKELOMPOK WILAYAH
KESENJANGAN INTRAKELOMPOK WILAYAH POLA KESENJANGAN WILAYAH SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI, SEIRING PEMEKARAN WILAYAH
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang digunakan adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku dan harga konstan (PDRB riil) serta data jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur dan kabupaten/kota di wilayah tersebut dari tahun 1983 sampai dengan 2008. 3.2 Metode Analisis Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Klassen Typology, Indeks Williamson, dan Indeks Theil. Ketimpangan antarkelompok dan intra kelompok dilihat dari dekomposisi Indeks Theil. 3.2.1 Klassen Typology Klassen Typology membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapitanya. Sumbu vertikalnya adalah rata-rata pertumbuhan ekonomi dan rata-rata PDRB per kapita sebagai sumbu horisontal. Daerah-daerah pengamatan dibagi dalam empat kuadran, yaitu: (1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income); (2) daerah maju tapi tertekan (highincome but low growth); (3) daerah berkembang cepat (high growth but lowincome); dan (4) daerah relatif tertinggal (low growth and low income) (Soepono, 1993, Sjafrizal, 1997, dan Kuncoro dan Aswandi, 2002).
26
Adapun kriteria yang digunakan dalam membagi daerah penelitian adalah sebagai berikut: 1. daerah cepat maju dan cepat tumbuh, adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih tinggi dibandingkan rata-rata provinsi; 2. daerah maju tapi tertekan, yakni daerah yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, tapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibandingkan rata-rata provinsi; 3. daerah berkembang cepat merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tapi pendapatan per kapitanya lebih rendah dibandingkan rata-rata provinsi; 4. daerah relatif tertinggal yaitu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah dibandingkan rata-rataprovinsi.
Kuadran III
Kuadran I
Daerah Berkembang Cepat
Daerah Cepat Maju dan Cepat Tumbuh
Pertumbuhan ekonomi
Kuadran IV
Kuadran II
Daerah Relatif Tertinggal
Daerah Maju tapi Tertekan
PDRB per kapita Gambar 3.1 Klasifikasi Kabupaten/kota Menurut Klassen Typology
27
3.2.2 Indeks Williamson Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dan tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan data negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Ketimpangan
pembangunan
antardaerah
bisa
dianalisis
dengan
menggunakan indeks ketimpangan Williamson (Sjafrizal, 1997) dengan formulasi sebagai berikut:
IW = Keterangan:
�∑(𝑌𝑌𝑖𝑖 −𝑌𝑌)2 𝑓𝑓 𝑖𝑖 ⁄𝑛𝑛 𝑌𝑌
, 0 ≤ IW ≤1
(3.1)
Y i = PDRB per kapita di kabupaten/kota i Y = PDRB per kapita rata-rata Provinsi Nusa Tenggara Timur f i = jumlah penduduk kabupaten/kota i n = jumlah penduduk Provinsi nusa Tenggara Timur Angka indeks ketimpangan indeks Williamson semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil pula atau dengan kata lain makin merata, dan bila semakin jauh dari nol menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar. 3.2.3 Indeks Theil Indeks Theil merupakan indeks yang banyak digunakan dalam menghitung dan menganalisa distribusi pendapatan regional. Nilainya berkisar antara nol sampai dengan tak berhingga, di mana nol menyatakan bahwa distribusi
28
PDRB merata sempurna antarkabupaten/kota, sedangkan apabila menjauhi nol artinya distribusi PDRB tidak merata antarkabupaten/kota di suatu wilayah. Indeks ini mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: a. Sifatnya tidak sensitif terhadap skala daerah dan tidak terpengaruh oleh nilainilai ekstrim. b. Independen terhadap jumlah daerah sehingga dapat digunakan sebagai pembanding dari sistem regional yang berbeda-beda. c. Dapat didekomposisikan ke dalam indeks ketidakmerataan antarkelompok dan intrakelompok daerah secara simultan. Ketidakmerataan antarkelompok yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketidakmerataan
antarwilayah
atau
kelompok
kabupaten/kota,
sedangkan
ketidakmerataan intra kelompok adalah ketidakmerataan yang terjadi di dalam satu wilayah atau kelompok kabupaten/kota tertentu. Adapun kelompok yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelompok kepulauan/daratan, yakni: 1) Sumba, yang terdiri dari Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur 2) Flores terdiri dari Kabupaten Lembata, Flores Timur, Sikka, Ende, Manggarai, Manggari Timur, Manggarai Barat, dan Nagekeo. 3) Timor meliputi Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Rote Ndao, dan Kota Kupang. 4) Alor mencakup Kabupaten Alor. Koefisien Theil diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Terrasi 1999):
29
𝑦𝑦 𝐼𝐼𝐼𝐼 = ∑𝑖𝑖 𝑦𝑦𝑖𝑖 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙� 𝑖𝑖�𝑥𝑥𝑖𝑖 � = 𝐼𝐼𝐼𝐼𝑏𝑏 + 𝐼𝐼𝐼𝐼𝑤𝑤
𝐼𝐼𝐼𝐼𝑏𝑏 = ∑𝑟𝑟 𝑌𝑌𝑟𝑟 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙(𝑌𝑌𝑟𝑟 ⁄𝑋𝑋𝑟𝑟 )
𝐼𝐼𝐼𝐼𝑤𝑤 = ∑𝑟𝑟 𝑌𝑌𝑟𝑟 [∑𝑖𝑖 (𝑦𝑦𝑖𝑖 ⁄𝑌𝑌𝑖𝑖 )𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙(𝑦𝑦𝑖𝑖 ⁄𝑌𝑌𝑟𝑟 ⁄𝑥𝑥𝑖𝑖 ⁄𝑋𝑋𝑟𝑟 )]
(3.2) (3.3) (3.4)
dimana: IC
=
disparitas total (total koefisien Theil)
IC b
=
disparitas antar (between) wilayah atau grup kabupaten/kota
IC w
=
disparitas di dalam (within) wilayah atau grup kabupaten/kota
yi dan x i
=
pangsa pendapatan dan penduduk kabupaten/kota terhadap pendapatan dan penduduk provinsi
Y r dan X r
=
pangsa pendapatan dan penduduk dalam kelompok (grup) kabupaten/kota terhadap pendapatan dan penduduk provinsi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur Berdasarkan Gambar 4.1 berikut, terlihat bahwa PDRB NTT atas dasar harga berlaku terus meningkat dari 16,904 trilyun rupiah pada tahun 2006 menjadi 19,137 trilyun rupiah pada tahun 2007 dan meningkat lagi menjadi 21,622 trilyun rupiah pada tahun 2008. Walaupun PDRB harga berlaku meningkat dengan cukup tinggi yakni sebesar 12,98 persen pada tahun 2008, namun pada harga konstannya (pertumbuhan ekonomi NTT) hanya tumbuh sebesar 4,81 persen (lihat Tabel 4.1). Kondisi ini menunjukkan bahwa walaupun secara absolut rata-rata pendapatan masyarakat meningkat namun daya beli dari pendapatan tersebut menurun.
21.621.835.439
25.000.000.000 20.000.000.000
19.136.982.174 16.904.073.231
15.000.000.000 10.000.000.000 5.000.000.000 0 2006
2007*)
2008**)
Sumber: Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2009 Keterangan: *)Angka sementara **) Angka sangat sementara
Gambar 4.1 PDRB Provinsi Nusa Tenggara Timur Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2006 – 2008 (ribu rupiah)
31
Tabel 4.1 Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi NTT dan Indonesia Tahun 2006 – 2008 (persen) Tahun 2006 2007*) 2008**)
Nusa Tenggara Timur
Indonesia
5,08 5,15 4,81
5,50 6,28 6,06
Sumber: NTT Dalam Angka 2008 Keterangan: *)Angka sementara **)Angka sangat sementara
Sumbangan terbesar dalam PDRB tahun 2008 berasal dari sektor pertanian yakni sekitar 40,39 persen (8,734 trilyun rupiah), sedangkan sumbangan terendah dari sektor listrik, gas, dan air bersih yakni hanya 0,41 persen atau sebesar 0,090 trilyun rupiah (Tabel 4.2). Bila diamati menurut kabupaten, PDRB harga berlaku terbesar adalah di Kota Kupang, yakni 3,59 trilyun rupiah pada tahun 2008, kemudian disusul Kabupaten Kupang sebesar 1,92 trilyun rupiah (lihat Tabel 4.3), sedangkan kabupaten dengan PDRB harga berlaku terendah adalah Kabupaten Sumba Tengah dengan nilai sebesar 0,23 trilyun rupiah. Tabel 4.2 Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto NTT Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha, Tahun 2006 - 2008
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lapangan usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan/ Konstruksi Perdagangan Pengangkutan & Komunikasi Keuangan Persewaan & Jasa Perusahan Jasa – Jasa
Sumber: Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2009 Keterangan: *)Angka sementara **) Angka sangat sementara
2006 40,56 1,42 1,76 0,45 7,38 16,09 6,45 3,34 22,55
2007*) 40,27 1,37 1,70 0,44 7,06 15,99 6,22 3,90 23,05
2008**) 40,39 1,34 1,59 0,41 6,88 15,65 6,41 3,80 23,52
32
Tabel 4.3 PDRB dan Pendapatan Per Kapita NTT Atas Dasar Harga Berlaku menurut Kabupaten/kota, Tahun 2007 - 2008 PDRB (juta rupiah) PDRB Per Kapita (rupiah) 2007*) 2008**) 2007*) 2008**) 1. Sumba Barat 506 056 595 370 4 633 723 5 332 798 2. Sumba Timur 1 035 520 1 175 130 4 374 664 4 839 812 3. Kupang 1 688 798 1 924 229 4 218 324 4 665 766 4. Timor Tengah Selatan 1 524 361 1 766 121 3 445 597 3 960 881 5. Timor Tengah Utara 646 873 721 424 2 913 194 3 215 508 6. Belu 1 374 667 1 474 165 3 101 462 3 142 384 7. Alor 618 557 663 046 3 237 349 3 432 371 8. Lembata 270 207 316 177 2 472 223 2 837 071 9. Flores Timur 1 049 427 1 115 481 4 260 518 4 436 872 10. Sikka 1 188 659 1 332 665 4 073 864 4 542 635 11. Ende 1 160 344 1 364 401 4 632 355 5 434 677 12. Ngada 634 306 739 385 4 577 256 5 252 746 13. Manggarai 843 567 941 305 3 294 378 3 610 846 14. Manggarai Timur 588 207 680 939 2 094 767 2 381 984 15. Rote Ndao 414 947 463 284 3 511 600 3 855 867 16. Manggarai Barat 694 323 826 787 3 286 413 3 807 069 17. Sumba Barat Daya 631 659 725 912 2 358 688 2 651 600 18. Sumba Tengah 186 665 225 385 3 025 786 3 573 871 19. Nagekeo 486 855 566 273 3 749 707 4 289 461 20. Kota Kupang 3 145 777 3 593 460 9 520 480 10 568 005 Kabupaten
NTT
19 136 982 21 621 835
4 041 539
4 469 637
Sumber: Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2009 Keterangan: *)Angka sementara **) Angka sangat sementara
Pada tahun 2008 rata-rata pendapatan per kapita penduduk NTT mencapai 4,5 juta rupiah, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 4,0 juta rupiah. Pada tahun 2008, penduduk Kota Kupang tercatat paling besar pendapatan per kapitanya, yakni sekitar 10,6 juta rupiah per tahun. Sedangkan kabupaten yang memiliki pendapatan per kapita terendah adalah Kabupaten Lembata dengan ratarata pendapatan sekitar 2,8 juta rupiah per tahun (Tabel 4.3).
33
Tabel 4.4 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin NTT dan Indonesia Tahun 2007 – 2008
Wilayah NTT Indonesia
Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa) 2007 2008 1 163,60 1 098,30 37 168,30 34 963,30
Persentase Penduduk Miskin 2007 27,51 16,58
2008 25,65 15,42
Sumber: Statistik Indonesia 2008
Jumlah penduduk miskin NTT mengalami penurunan, dari 1 163,60 ribu jiwa pada tahun 2007 menjadi 1 098,30 ribu jiwa pada tahun 2008. Begitu juga dilihat dari persentasenya, dari 27,51 persen turun menjadi 25,65 persen. Angka ini masih 10 persen lebih besar dibandingkan angka nasional.
Keterangan : Diolah dari hasil Proyeksi Penduduk BPS, 2005 – 2015 Sumber: Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2009
Gambar 4.2 Piramida Penduduk NTT Tahun 2008 Jumlah penduduk NTT pada tahun 2008 berdasarkan hasil Proyeksi BPS tercatat sebanyak 4 534 319 jiwa, dengan pola jumlah penduduk usia muda lebih banyak dibanding penduduk usia tua. Bahkan pada Gambar 4.2, terlihat persentase balita (kelompok usia 0 – 4 tahun) adalah yang terbesar, baik untuk
34
penduduk laki-laki maupun perempuan. Menyusul kemudian, kelompok usia 10 – 14 tahun, 15 – 19 tahun dan 5 – 9 tahun, hal ini menunjukkan persentase terbesar penduduk NTT adalah pada kelompok penduduk usia sekolah, terutama sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas (7-18 tahun). Tabel 4.5 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2008 Pendidikan Tertinggi Tidak/Belum Pernah Sekolah/ Tidak Tamat SD Sekolah Dasar (SD) SLTP Sederajat SMU Sederajat DI, DII, DIII, DIV, S1, S2, atau S3
Laki-laki
Perempuan
Total
36,20
33,42
34,81
30,66 13,42 15,01 4,71
35,89 13,62 13,43 3,64
33,27 13,52 14,22 4,18
Keterangan: Diolah dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), 2008 Sumber: Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2009
Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah/tidak tamat sekolah dasar di NTT masih cukup tinggi, yakni 34,81 persen, sedangkan yang menamatkan pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SLTP sederajat) adalah sebesar 46,79 persen. Kelompok penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi (DI, DII, DIII, DIV, S1, S2, atau S3) masih di bawah 5 persen. 4.2 Pemekaran Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Penelitian ini membagi analisis menjadi dua periode. Periode tersebut adalah sebelum otonomi daerah, dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2000, dan selama otonomi daerah, dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2008. Pada tahun 1983 jumlah kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sebanyak 12 kabupaten, dan mulai mengalami pemekaran (penambahan jumlah kabupaten/kota) sejak tahun 1996, yakni terbentuknya Kota
35
Kupang berdasarkan UU No. 5 tahun 1996. Kota Kupang merupakan pemekaran dari Kabupaten Kupang yang sebelumnya adalah ibukota Provinsi NTT. Setelah terbentuknya Kota Kupang, ibukota Provinsi NTT berada di wilayah administratif Kota Kupang. Pemekaran berikutnya pada era sebelum desentralisasi adalah pembentukan Kabupaten Lembata berdasarkan UU No. 52 tahun 1999, sebagai pecahan dari Kabupaten Flores Timur. Tabel 4.6 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum dan Sesudah Pemekaran sampai dengan tahun 2008 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Nama Kabupaten/Kota Sebelum Pemekaran Sesudah Pemekaran Sumba Barat Sumba Barat Sumba Timur Sumba Timur Kupang Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Timor Tengah Utara Belu Belu Alor Alor Flores Timur Lembata Sikka Flores Timur Ende Sikka Ngada Ende Manggarai Ngada Manggarai Manggarai Timur Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Barat Daya Sumba Tengah Nagekeo Kota Kupang
Pemekaran dari Kabupaten Flores Timur Manggarai Kupang Manggarai Sumba Barat Sumba Barat Ngada Kupang
Sumber: Departemen Dalam Negeri
Setelah desentralisasi, pemekaran kabupaten semakin banyak terjadi. Pada tahun 2002, Kabupaten Rote Ndao, pecahan dari Kabupaten Kupang, dibentuk atas dasar UU No. 9 tahun 2002. Berikutnya, Kabupaten Manggarai
36
mengalami pemekaran hingga terbentuk Kabupaten Manggarai Barat atas dasar UU No. 8 tahun 2003 dan Kabupaten Manggarai Timur atas dasar UU No. 36 tahun 2007. Sementara itu, berdasarkan UU No. 2 tahun 2007 dibentuk Kabupaten Nagekeo sebagai pecahan dari Kabupaten Ngada. Pada tahun yang sama, UU No. 3 dan 16 mengesahkan pembentukan Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Tengah. Keduanya merupakan pecahan dari Kabupaten Sumba Barat. Akhirnya, hingga saat ini (tahun 2008), Provinsi NTT sudah memiliki 20 kabupaten/kota (Tabel 4.6). 4.3 Klasifikasi Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan kembali kabupaten/kota hasil pemekaran dengan kabupaten induknya, sehingga hasilnya bisa diperbandingkan antar waktu. Namun, untuk melihat bagaimana pola pertumbuhan dan pendapatan per kapita sesudah terjadinya pemekaran pada dua periode waktu tersebut, analisis juga dilakukan terhadap kabupaten/kota hasil pemekaran. Klasifikasi kabupaten/kota dilakukan berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan produk domestik regional bruto per kapita daerah, dengan alat analisis Klassen Typology. Sumbu horizontalnya (sumbu-x) adalah rata-rata produk domestik regional bruto per kapita Provinsi Nusa Tenggara Timur, sedangkan sumbu vertikalnya (sumbu-y) adalah rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur.
37
Klassen Typology membagi daerah yang diamati dalam empat klasifikasi, yaitu: (1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income); (2) daerah maju tapi tertekan (high income but low growth); (3) daerah berkembang cepat (high growth but low income); dan (4) daerah relatif tertinggal (low growth and low income).
Sumber: Badan Pusat Statistik, hasil pengolahan. Keterangan: 1 Kabupaten Sumba Barat 7 2 Kabupaten Sumba Timur 8 3 Kabupaten Kupang 9 4 Kabupaten Timor Tengah Selatan 10 5 Kabupaten Timor Tengah Utara 11 6 Kabupaten Belu 12
Kabupaten Alor Kabupaten Flores Timur Kabupaten Sikka Kabupaten Ende Kabupaten Ngada Kabupaten Manggarai
Gambar 4.3 Plot Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 1983 – 2000 (kabupaten baru digabung dengan kabupaten induk)
Pada Gambar 4.3, bisa dilihat, sebelum otonomi daerah (tahun 1983 – 2000), daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (kuadran 1) hanya Kabupaten Kupang, sedangkan kuadran kedua, yang merupakan daerah maju tapi tertekan,
38
mencakup Kabupaten Ende dan Kabupaten Sumba Timur. Sebanyak tiga kabupaten berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Ngada. Sisanya, sebanyak enam kabupaten, menempati posisi sebagai daerah relatif tertinggal, yaitu Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Belu, Kabupaten Alor, Kabupaten Flores Timur, dan Kabupaten Manggarai.
Sumber: Badan Pusat Statistik, hasil pengolahan. Keterangan: 1 Kabupaten Sumba Barat 7 2 Kabupaten Sumba Timur 8 3 Kabupaten Kupang 9 4 Kabupaten Timor Tengah Selatan 10 5 Kabupaten Timor Tengah Utara 11 6 Kabupaten Belu 12
Kabupaten Alor Kabupaten Flores Timur Kabupaten Sikka Kabupaten Ende Kabupaten Ngada Kabupaten Manggarai
Gambar 4.4 Plot Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2001 – 2008 (kabupaten baru digabung dengan kabupaten induk) Periode berikutnya (Gambar 4.4), yakni tahun 2001 – 2008, ada empat kabupaten yang mengalami peningkatan kuadran yaitu, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Ende, dari daerah maju tapi tertekan (kuadran kedua) ke kelompok
39
daerah cepat maju dan cepat tumbuh (kuadran pertama); Kabupaten Alor, dari kriteria daerah relatif tertinggal (kuadran keempat) ke daerah berkembang cepat (kuadran ketiga); dan Kabupaten Ngada yang sebelumnya masuk ke kuadran daerah berkembang cepat (kuadran ketiga) selama diberlakukannya otonomi daerah, masuk ke kuadran kedua yang merupakan daerah maju tapi tertekan. Selain peningkatan kuadran, ada dua kabupaten yang mengalami penurunan kuadran yakni Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Sikka dari kuadran ketiga (daerah berkembang cepat) ke kuadran keempat (daerah relatif tertinggal). Berdasarkan jumlah kabupaten yang mengalami perubahan atau perpindahan kuadran, jumlah kabupaten yang mengalami peningkatan kuadran lebih banyak dibandingkan jumlah kabupaten yang mengalami penurunan kuadran. Kabupaten yang termasuk kriteria daerah cepat maju dan cepat tumbuh (kuadran 1) meningkat, sebelum otonomi daerah sebanyak satu kabupaten, selama otonomi daerah menjadi 3 (tiga) kabupaten. Sementara kabupaten yang termasuk kriteria relatif tertinggal (kuadran 4), juga meningkat dari 6 (enam) kabupaten sebelum otonomi daerah menjadi 7 (tujuh) kabupaten selama otonomi daerah. Hal ini menunjukkan adanya ‘ketertinggalan ekonomi’ beberapa kabupaten terhadap kabupaten yang lain, dengan kata lain ada indikasi ketimpangan atau kesenjangan yang semakin melebar. Untuk analisis Klassen dengan dengan menyertakan kabupatenkabupaten baru hasil pemekaran bisa dilihat pada Gambar 4.5 dan Gambar 4.6.
40
Gambar 4.5 untuk periode sebelum desentralisasi dan Gambar 4.6 untuk periode selama desentralisasi.
Sumber: Badan Pusat Statistik, hasil pengolahan. Keterangan: 1 Kabupaten Sumba Barata) 8 Kabupaten Lembata 2 Kabupaten Sumba Timur 9 Kabupaten Flores Timur b) 3 Kabupaten Kupang 10 Kabupaten Sikka 4 Kabupaten Timor Tengah Selatan 11 Kabupaten Ende 5 Kabupaten Timor Tengah Utara 12 Kabupaten Ngadac) 6 Kabupaten Belu 13 Kabupaten Manggaraid) 7 Kabupaten Alor 19 Kota Kupang a) Termasuk Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Tengah b) Termasuk Kabupaten Rote Ndao c) Termasuk Kabupaten Nagekeo d) Termasuk Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai Timur
Gambar 4.5 Plot Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita untuk Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Timur, Tahun 1983 – 2000 (termasuk kabupaten baru hasil pemekaran) Pada periode sebelum otonomi daerah hanya terdapat 14 kabupaten, yakni selain Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, dan Kabupaten Sumba Tengah.
41
Hal ini disebabkan pemekaran kabupaten-kabupaten tersebut terjadi sesudah tahun 2001.
Sumber: Badan Pusat Statistik, hasil pengolahan. Keterangan: 1 Kabupaten Sumba Barat 11 2 Kabupaten Sumba Timur 12 3 Kabupaten Kupang 13 4 Kabupaten Timor Tengah Selatan 14 5 Kabupaten Timor Tengah Utara 15 6 Kabupaten Belu 16 7 Kabupaten Alor 17 8 Kabupaten Lembata 18 9 Kabupaten Flores Timur 19 10 Kabupaten Sikka a) Termasuk Kabupaten Nagekeo
Kabupaten Ende Kabupaten Ngadaa) Kabupaten Manggarai Kabupaten Manggarai Timur Kabupaten Rote Ndao Kabupaten Manggarai Barat Kabupaten Sumba Barat Daya Kabupaten Sumba Tengah Kota Kupang
Gambar 4.6 Plot Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita untuk Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Timur, Tahun 2001 – 2008 (termasuk kabupaten baru hasil pemekaran) Pada Gambar 4.5 bisa dilihat sebelum otonomi daerah, ada satu kabupaten/kota yang masuk kriteria daerah cepat maju dan cepat tumbuh, yakni
42
Kabupaten Kupang, sedangkan selama otonomi daerah (Gambar 4.6), ada 4 (empat) kabupaten/kota yang masuk ke dalam kiteria tersebut, di antaranya terdapat dua kabupaten/kota baru yakni Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kota Kupang, sedangkan dua yang lainnya adalah Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Ende. Sebelum otonomi daerah, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Ende, dan Kota Kupang berada di kuadran kedua, sedangkan Kabupaten Sumba Barat Daya baru terbentuk setelah otonomi daerah. Pada analisis Klassen sebelumnya (lebih jelas terlihat pada Tabel 4.7), Kabupaten Kupang, yang merupakan induk Kota Kupang dan Kabupaten Rote Ndao, sebelum dan sesudah otonomi daerah, menempati kuadran pertama. Setelah analisisnya dipisah (antara kabupaten induk dan kabupaten baru hasil pemekaran) hanya Kota Kupang yang masuk kriteria daerah cepat maju dan cepat tumbuh (kuadran 1), sementara itu, Kabupaten Rote Ndao yang juga merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kupang menempati kuadran ketiga, yang berarti merupakan daerah berkembang cepat. Bisa dikatakan, bahwa sebelum otonomi daerah, pembangunan/kegiatan ekonomi, yang dalam hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB, banyak terpusat di Kabupaten Kupang yang merupakan ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Setelah pelaksanaan otonomi daerah, mulai terlihat terjadi penyebaran ke kabupaten/kota lainnya, hal ini sejalan dengan tujuan dari desentralisasi itu sendiri. Pada kuadran kedua, sebelum otonomi daerah, terdiri dari empat kabupaten/kota, di mana tiga kabupaten/kota (seperti dijelaskan sebelumnya) naik ke kuadran pertama, sedangkan satu kabupaten yang lain malah turun ke kuadran
43
keempat, yakni Kabupaten Lembata. Dari kuadran kedua ke kuadran keempat, berarti PDRB per kapita Kabupaten Lembata lebih rendah daripada rata-rata PDRB per kapita di Provinsi Nusa Tenggara Timur, hal ini menunjukkan peningkatan PDRB per kapita Kabupaten Lembata lebih kecil dibanding rata-rata peningkatan PDRB per kapita Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam periode waktu yang sama. Berikutnya, kuadran ketiga, mencakup tiga kabupaten, dua kabupaten, yakni Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Sikka mengalami penurunan kuadran, sedangkan satu kabupaten yang lain, yakni Kabupaten Ngada, naik ke kuadran kedua. Untuk periode selama otonomi daerah, di kuadran ini ada dua kabupaten yang sebelumnya berada di kuadran keempat, yaitu Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Alor. Sedangkan sisanya adalah Kabupaten Rote Ndao yang merupakan pecahan dari Kabupaten Kupang. Pada kuadran keempat (daerah relatif tertinggal) ada delapan kabupaten yang terdiri dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Belu, Kabupaten Sikka, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Lembata, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Sumba Tengah. Tiga kabupaten yang terakhir disebut merupakan kabupaten baru hasil pemekaran. Menarik untuk diamati di sini, induk dari Kabupaten Lembata, yakni Kabupaten Flores Timur, pada analisis sebelumnya, sebelum dan selama otonomi daerah menempati kriteria daerah relatif tertinggal. Namun, setelah analisisnya dilakukan terpisah dengan kabupaten baru hasil pemekaran, Kabupaten Flores Timur naik ke kuadran kedua, yakni daerah maju tapi tertekan. Hal ini menimbulkan dugaan
44
bahwa Kabupaten Lembata, merupakan bagian dari Kabupaten Flores Timur yang relatif tertinggal. Sementara itu, Kabupaten Sumba Barat, pada analisis yang tergabung, sebelum dan selama otonomi daerah menempati kriteria daerah relatif tertinggal, dan setelah dilakukan analisis terpisah dengan kabupaten baru hasil pemekaran, yaitu Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Tengah, naik ke kuadran ketiga (daerah berkembang cepat), bahkan salah satu kabupaten baru tersebut, yakni kabupaten Sumba Barat Daya, menempati kuadran pertama sedangkan Kabupaten Sumba Tengah tetap di kuadran keempat. Begitu juga dengan Kabupaten Manggarai Timur yang menempati kuadran kedua sedangkan kabupaten induk dan salah satu kabupaten baru yang ‘se-induk’, yakni Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat, masih menempati kriteria kuadran keempat. Data-data di atas menunjukkan adanya dugaan perbedaan percepatan laju pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita antara kabupaten baru hasil pemekaran dan kabupaten induknya. Setelah pemekaran, dua kabupaten induk mengalami peningkatan kuadran, satu kabupaten mengalami penurunan kuadran, atau tetap pada kuadran sebelumnya. Selain itu, jika dilihat dari kabupaten/kota yang berada pada satu kelompok kepulauan Flores, Sumba, Timor, dan Alor (dalam Tabel 4.7 diberi latar belakang warna yang sama) nampak bahwa ketimpangan di dalam kelompok semakin melebar. Hal ini terlihat dari semakin jauhnya jarak kuadran kabupaten/kota tersebut.
45
Tabel 4.7 Pengelompokkan Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum (1983 – 2000) dan Selama Otonomi Daerah (2001 – 2008) Kua dran I
Digabung dengan kabupaten induk Sebelum Otda Kupang
Selama Otda Sumba Timur Kupang Ende
II Sumba Timur Ende
Ngada
III TTS Sikka Ngada
Alor
IV Sumba Barat TTU Belu Alor Flores Timur Manggarai
Sumba Barat TTS TTU Belu Flores Timur Sikka Manggarai
Tidak digabung dengan kabupaten induk Sebelum Otda Selama Otda Kupang Sumba Timur Ende Sumba Barat Daya Kota Kupang Sumba Timur Kupang Lembata Flores Timur Ende Ngada Kota Kupang Manggarai Timur TTS Sumba Barat Sikka Alor Ngada Rote Ndao Sumba Barat TTS TTU TTU Belu Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Manggarai Manggarai Manggarai Barat Sumba Tengah
Sumber: Badan Pusat Statistik, hasil pengolahan. Keterangan: 1. Warna yang sama pada tabel di atas menunjukkan bahwa kabupaten-kabupaten tersebut berada dalam satu kelompok kepulauan. Hijau untuk kepulauan Timor, ungu untuk kepulauan Sumba, putih untuk Alor, dan kuning untuk kepulauan Flores. 2. TTS = Timor Tengah Selatan. 3. TTU = Timor Tengah Utara.
4.4 Ketimpangan Ekonomi Antardaerah Ada dua alat ukur yang digunakan dalam analisis ini yakni indeks Williamson dan indeks Theil. Untuk Indeks Williamson kita hanya bisa melihat ketimpangan secara total, sedangkan indeks Theil bisa melihat ketimpangan intrakelompok dan antarkelompok yang ditentukan. Sama dengan analisis Klassen
46
Typology, analisis ketimpangan juga dibagi menjadi dua bagian, yang pertama terhadap 12 kabupaten induk di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan yang kedua mencakup kabupaten/kota baru hasil pemekaran (20 kabupaten/kota). Pembahasan yang pertama menggunakan indeks Williamson dan indeks Theil total dengan menggabungkan kabupaten/kota baru hasil pemekaran dengan kabupaten induknya. Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan diperoleh indeks seperti terlihat pada Gambar 4.7. indeks 0.6000 0.5000 0.4000 0.3000 0.2000 0.1000 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0.0000
Indeks Theil
IW
tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik, hasil pengolahan
Gambar 4.7 Indeks Theil dan Indeks Williamson Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008 (Kabupaten/kota Baru Digabung dengan Kabupaten Induk) Kedua indeks menunjukkan pola yang serupa. Dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2008 indeksnya relatif fluktuatif. Pada tahun 1987 terjadi lonjakan ketimpangan yang cukup besar. Hal ini diduga terkait dengan terjadinya bencana tsunami yang melanda Kabupaten Flores Timur dan Pulau Antar. Kecenderungan meningkat terlihat dari tahun 1990 sampai tahun 1996 sekitar tahun 1997, jika dilihat lebih lanjut, pertumbuhan PDRB Provinsi Nusa Tenggara Timur selama kurun waktu tersebut selalu di atas enam persen, karena
47
strategi pembangunan pada saat itu memfokuskan pembangunan ekonomi melalui strategi pertumbuhan ekonomi yakni usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam periode waktu yang singkat. Sejalan dengan apa yang dikemukakan Tambunan (2001) pada apa yang terjadi di Indonesia, bahwa perekonomian mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yakni rata-rata tujuh persen pertahun tetapi dengan tingkat kesenjangan yang juga semakin besar. Pada periode setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal, kecenderungan indeks relatif menurun, namun sempat mengalami peningkatan pada tahun 2005 diduga hal ini terkait dengan kenaikan harga bahan bakar minyak yang berdampak terhadap kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang lainnya di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk di kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. indeks 0.6000 0.5000 0.4000 0.3000 0.2000 0.1000
1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0.0000 tahun
Indeks Theil
IW
Sumber: Badan Pusat Statistik, hasil pengolahan
Gambar 4.8 Indeks Theil dan Indeks Williamson Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008 (Termasuk Kabupaten/kota Baru Hasil Pemekaran)
48
Gambar 4.8 menunjukkan bahwa kedua indeks menunjukkan pola yang serupa. Pada tahun 1983 sampai dengan tahun 2008 indeksnya relatif fluktuatif. Pada tahun 1987 terjadi lonjakan ketimpangan yang cukup besar, begitu pula kecenderungan indeks yang meningkat pada tahun 1990 sampai sebelum krisis ekonomi pada tahun 1997 dan pada saat terjadinya kenaikan harga bahan bakar minyak. Pola yang berbeda dengan analisis indeks ketimpangan sebelumnya adalah kecenderungan meningkatnya ketimpangan selama periode otonomi daerah. Hal ini menunjukkan terdapat indikasi bahwa pemekaran wilayah memiliki pengaruh terhadap ketimpangan regional. Salah satu kelebihan indeks Theil adalah bahwa ia bisa didekomposisi ke dalam indeks ketidakmerataan antarkelompok dan intra kelompok daerah secara simultan. Hasil pengolahan menghasilkan ketimpangan antarkelompok seperti terlihat pada Gambar 4.9: indeks
1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0.0200 0.0180 0.0160 0.0140 0.0120 0.0100 0.0080 0.0060 0.0040 0.0020 0.0000
BETWEEN
tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik, hasil pengolahan
Gambar 4.9 Indeks Theil antarkelompok Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008
49
Untuk analisis indeks Theil antarkelompok dengan menggabungkan kabupaten/kota
baru
hasil
pemekaran
dan
tidak
menggabungkannya,
menghasilkan indeks yang sama. Hal ini disebabkan kabupaten induk dan anak kabupaten/kotanya terletak pada kelompok (dalam hal ini kepulauan) yang sama. Pola yang terlihat pada grafik di atas hampir serupa dengan analisis indeks Theil total untuk kabupaten/kota yang digabung dengan kabupaten induk, hanya sedikit perbedaan sekitar tahun 1999 – 2001. Indeks Theil antarkelompok pada periode waktu tersebut mengalami sedikit peningkatan. Hal ini bisa dijelaskan bahwa pada waktu tersebut dampak krisis masih dirasakan, sampai pada saat mulai terjadinya pemulihan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur sekitar tahun 2001. indeks 0.1400 0.1200 0.1000 0.0800 0.0600 0.0400 0.0200
1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0.0000
tergabung dengan induk
termasuk kab/kota baru
tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik, hasil pengolahan
Gambar 4.10 Indeks Theil Intra Kelompok Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008
50
Indeks Theil intrakelompok dengan menggabungkan kabupaten/kota baru hasil pemekaran dan tidak menggabungkannya, mulai berbeda semenjak mulai adanya pemekaran, yakni terbentuknya Kota Kupang pada tahun 1996. Pada Gambar 4.10 tersebut dapat dilihat bahwa adanya pemekaran wilayah cenderung memperbesar ketimpangan yang ada, sementara pola antar tahunnya relatif serupa. Hal ini mungkin diakibatkan baik kabupaten/kota baru hasil pemekaran maupun kabupaten induknya masih dalam tahap awal membangun, atau bisa jadi ada sumber-sumber utama yang perekonomian yang tidak lagi dimiliki oleh kabupaten/kota tersebut. Pada Tabel 4.8 dan Tabel 4.9, beberapa hal yang menarik dilihat di sini, pada tahun 1993 hingga tahun 1995, persentase indeks Theil intrakelompok, mengalami penurunan dari sekitar 85 persen menjadi berkisar 75 – 78 persen, namun secara absolut, baik indeks Theil antarkelompok maupun indeks Theil intrakelompok, sama-sama mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa pembangunan terpusat (strategi efek merembes ke bawah) peningkatan indeks Theil antarkelompok lebih besar dibanding peningkatan indeks Theil intrakelompok.
51
Tabel 4.8 Indeks Theil dan Dekomposisinya di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008
Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
kab/kota baru digabung dengan kab induk antar intra total kelompok kelompok 0,0338 0,0053 0,0285 0,0323 0,0058 0,0265 0,0311 0,0039 0,0272 0,0308 0,0033 0,0274 0,1099 0,0190 0,0909 0,0277 0,0041 0,0236 0,0293 0,0040 0,0253 0,0292 0,0043 0,0249 0,0329 0,0044 0,0285 0,0376 0,0054 0,0321 0,0471 0,0099 0,0372 0,0492 0,0121 0,0370 0,0590 0,0142 0,0448 0,0686 0,0152 0,0534 0,0652 0,0146 0,0506 0,0583 0,0141 0,0442 0,0491 0,0114 0,0378 0,0461 0,0131 0,0330 0,0485 0,0152 0,0333 0,0334 0,0093 0,0241 0,0331 0,0093 0,0237 0,0330 0,0090 0,0239 0,0555 0,0073 0,0481 0,0558 0,0059 0,0499 0,0569 0,0060 0,0509 0,0331 0,0056 0,0275
Sumber: Badan Pusat Statistik, hasil pengolahan.
kab/kota baru dipisah dengan kab induk antar intra total kelompok kelompok 0,0338 0,0053 0,0285 0,0323 0,0058 0,0265 0,0311 0,0039 0,0272 0,0308 0,0033 0,0274 0,1099 0,0190 0,0909 0,0277 0,0041 0,0236 0,0293 0,0040 0,0253 0,0292 0,0043 0,0249 0,0329 0,0044 0,0285 0,0376 0,0054 0,0321 0,0471 0,0099 0,0372 0,0492 0,0121 0,0370 0,0590 0,0142 0,0448 0,1034 0,0152 0,0882 0,1023 0,0146 0,0876 0,1084 0,0141 0,0943 0,0941 0,0114 0,0827 0,0718 0,0131 0,0587 0,0771 0,0152 0,0618 0,0801 0,0093 0,0709 0,0785 0,0093 0,0692 0,0796 0,0090 0,0706 0,1324 0,0073 0,1251 0,1322 0,0059 0,1263 0,1366 0,0060 0,1306 0,1056 0,0056 0,1000
52
Tabel 4.9 Persentase Indeks Theil dan Dekomposisinya di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1983 – 2008
Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
kab/kota baru digabung dengan kab induk antar intra total kelompok kelompok 100,00 15,57 84,43 100,00 17,97 82,03 100,00 12,54 87,46 100,00 10,82 89,18 100,00 17,28 82,72 100,00 14,67 85,33 100,00 13,71 86,29 100,00 14,71 85,29 100,00 13,41 86,59 100,00 14,47 85,53 100,00 21,08 78,92 100,00 24,69 75,31 100,00 24,04 75,96 100,00 22,12 77,88 100,00 22,43 77,57 100,00 24,15 75,85 100,00 23,16 76,84 100,00 28,42 71,58 100,00 31,40 68,60 100,00 27,75 72,25 100,00 28,27 71,73 100,00 27,41 72,59 100,00 13,20 86,80 100,00 10,51 89,49 100,00 10,52 89,48 100,00 16,94 83,06
Sumber: Badan Pusat Statistik, hasil pengolahan.
kab/kota baru dipisah dengan kab induk antar intra total kelompok kelompok 100,00 15,57 84,43 100,00 17,97 82,03 100,00 12,54 87,46 100,00 10,82 89,18 100,00 17,28 82,72 100,00 14,67 85,33 100,00 13,71 86,29 100,00 14,71 85,29 100,00 13,41 86,59 100,00 14,47 85,53 100,00 21,08 78,92 100,00 24,69 75,31 100,00 24,04 75,96 100,00 14,68 85,32 100,00 14,30 85,70 100,00 12,99 87,01 100,00 12,09 87,91 100,00 18,24 81,76 100,00 19,77 80,23 100,00 11,57 88,43 100,00 11,90 88,10 100,00 11,35 88,65 100,00 5,53 94,47 100,00 4,43 95,57 100,00 4,38 95,62 100,00 5,31 94,69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang diuraikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Baik analisis Klassen Typology yang tergabung dengan kabupaten induk maupun terpisah, sebelum dan selama otonomi daerah, menunjukkan semakin meningkatnya penyebaran pembangunan/kegiatan ekonomi di kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, hal ini sejalan dengan tujuan desentralisasi itu sendiri. 2. Dalam analisis Klassen Typology juga menunjukkan bahwa jarak kuadran kabupaten/kota yang berada dalam satu kelompok kepulauan semakin besar seiring terjadinya pemekaran wilayah yang terjadi di beberapa kabupaten/kota di NTT. Hal ini mengindikasikan bahwa ketimpangan di dalam kelompok (intra kelompok) semakin melebar. 3. Ketimpangan yang dilihat dengan menggabungkan kabupaten baru hasil pemekaran dengan kabupaten induknya, baik secara total, intra kelompok, maupun antarkelompok, tidak menunjukkan kecenderungan meningkat, namun jika kabupaten baru hasil pemekaran dipisahkan dari kabupaten induknya, ketimpangannya cenderung semakin meningkat, hal ini mengindikasikan
adanya
ketimpangan itu sendiri.
pengaruh
pemekaran
wilayah
terhadap
54
4. Ketimpangan intrakelompok mempunyai kontribusi lebih besar terhadap ketimpangan antarkelompok, artinya di dalam kelompok kepulauan, ketimpangan
kabupaten/kota
lebih
besar
dibanding
ketimpangan
antarkelompok kepulauan. 5.2 Saran Ketimpangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih banyak disumbang oleh ketimpangan intrakelompok, sehingga diperlukan suatu kerjasama dan koordinasi antara kebupaten/kota, terutama dalam satu kelompok kepulauan untuk mengejar ketertinggalan pembangunan antarwilayah. Selain itu, adanya indikasi pemekaran wilayah berhubungan dengan semakin lebarnya ketimpangan pendapatan antarwilayah, mengimplikasikan perlunya pertimbangan mendalam mengenai hal ini, terutama jika Provinsi Nusa Tenggara Timur berwacana menambah (lagi) jumlah wilayah administrasinya (pemekaran wilayah). Penelitian
ini
tidak
mencakup
faktor-faktor
yang
memengaruhi
ketimpangan pendapatan antarwilayah, untuk itu penulis menyarankan penelitian lebih luas dan detil mengenai aspek-aspek regional yang berpengaruh pada ketimpangan dan pembangunan wilayah.
DAFTAR PUSTAKA
Akita, Takahiro dan Lukman R.A. 1995. “Interregional Inequalities in Indonesia: A Sectoral Decomposition Analysis for 1975-1992”. Bulletin of Indonesia Economic Studies 31, 2: 61-81. Allen, H. J. B. 1990. Cultivating the Grass Roots: Why Local Government Matters. International Union of Local Authorities, Bombay. Arndt, H.W. 1987. Pembangunan Ekonomi: Studi Tentang Sejarah Pemikiran. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2005. Indeks Harga Konsumen 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2009. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2009. BPS Provinsi Nusa Tenggara Tmur, Kupang. Bird, Richard. 1999. Intergovernmental Fiscal Relations in Latin America: Policy Design and Policy Outcomes. Inter-American Development Bank, Washington DC. Cheema, G. S. & Rondinelli, D. A. 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Sage Publications, Beverly Hills. Chenery, H., Ahluwalia, Bell, Duloy, dan Jolly. 1974. Redistribution with Growth. Oxford University Press, Oxford. Deliarnov. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Djojohadikusumo, S. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Etharina. 2005. “Disparitas Pendapatan Antardaerah di Indonesia”. Jurnal Kebijakan Ekonomi, I: 59-74.
Gillis, M., D.H. Perkins, M. Romer, dan D.R. Snodgrass. 1987. Economics of Development. W.W. Norton & Company, New York. Herrick, B. dan C.P. Kindleberger. 1988. Economic Development. McGraw-Hill International Book Company, Singapore. Higgins, B. H. dan Savoie, D. J. 1995. Regional Development Theories & Their Application. Transaction Publishers, New Brunswick. Hill, Hal. 2001. Ekonomi Indonesia. Murai Kencana, Jakarta. Hogendorn, J. S. 1992. Economic Development. Harper Collins PublishersInc., New York. Jhingan, M.L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. D. Guritno [penerjemah]. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Erlangga, Jakarta. Kuznets, S. 1955. “Economic Growth and Income Inequality”. The American Economic Review, 45: 1-28. Lewis, W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labour. Dalam Chenery, dan Srinivasan [editor] Handbook of Development Economics. Science Publisher B.V., Amsterdam. Litvack, Jenie .1999. Decentralization. World Bank, Washington DC. Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Erlangga, Jakarta. Riddel, Robert. 1985. Regional Development Policy. Gower St. Martin’s Press, New York. Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. Prisma, Jakarta. Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Lembaga Penerbitan FE UI, Jakarta Tambunan, Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Tambunan, Tulus. 2006. Keadilan Dalam Ekonomi. KADIN Indonesia – JETRO, Jakarta. Tanzi, Vito. 2002. “Pitfalls on the Road to Fiscal Decentralization”. Dalam Ehtisham Ahmad and Vito Tanzi [editor]. Managing Fiscal Decentralization, Routledge, London and NewYork. Tanzi, Vito. 2002. Pitfalls on the Road to Fiscal Decentralization. Routledge, London. Todaro, M. P. dan Stephen C. S. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1. Haris dan Puji [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Todaro, M. P. dan Stephen C. S. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 2. Andri Yelvi [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Uppal dan Suparmoko. 1986. “Inter Government Finance in Indonesia” Ekonomi Keuangan Indonesia, XXXIV: 414-432. World Bank. 2009. Analisa Pengeluaran Publik Nusa Tenggara Timur: Laporan Akhir 2009. World Bank, Jakarta.