BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analiiis Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kesenjangan Keuangan antar Daerah di Provinsi Banten: Kajian Indeks Williamson Cara yang paling urnum untuk mengukur kesenjangan pendapatan antar daerah adalah dengan menggunakan Indeks Williamson sebagaimana disajikan dalam Gambar 9. Sesuai cakupan penelitian, Indeks Williamson digunakan untuk mengukur kesenjangan pembangunan antar wilayah dengan indikator (PDRB per kapita) dan kesenjangan kemampuan keuangan (penerimaan APBD per kapita) dengan menggunakan ratio penduduk ke- i dan total penduduk.
-
~
~
~
-
~~~~~
-
-
~
~--
~
Sumber: BPS berbagai edisi Keterangan: PDRB 1998* angka perbaikan PDRB 1999** angka sementara
Gambar 9 Kesenjangan Pendapatan antar Wilayah (PDRB) dan Kesenjangan Kemampuan Keuangan (APBD) antar KabupatenKota di Provinsi
Pada Gambar 9 Indeks kesenjangan pembangunan antar kabupatenkota sebelurn desentralisasi fiskal (1995-1999) pada tahun 1995 sebesar 0,53 cenderung relatif sama dengan tahun 1999 yaitu sebesar 0,52. Pada masa desentralisasi fiskal kesenjangan pembangunan antar kabupatenkota pada tahun 2001 sebesar 0,78 meningkat pada tahun 2006 sebesar 0,84. Trend meningkatnya kesenjangan ini mengindikasikan adanya kesenjangan kemampuan keuangan antar
daerah karena tidak adanya distribusi sumberdaya keuangan financial sharing). Nilai Indeks Wiliamson pada kesenjangan kemampuan keuangan antar kabupatenlkota sebelum desentralisasi fiskal kecenderungan semakin melebar pada tahun 1995 sebesar 0,13 dan meningkat pada tahun 1999 sebesar 0,26. Setelah berlakunya kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 1999 sebesar 0,26 dan meningkat pada tahun 2006 sebesar 0,40. Hal ini mengindikasikan bahwa kesenjangan pembangunan antar daerah sesudah berlakunya kebijakan otonomi daerah kondisi perekonomian kabupatedkota di Provinsi Banten lebih timpang dibandingkan kondisi sebelum otonorni daerah, Salah satunya disebabkan masih adanya kesenjangan kemampuan keuangan antar kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Gambar 10 kesenjangan pembangunan antar wilayah ditinjau dari data PDRB per kapita. Analisis ini diiilai banyak kelemahan tetapi secara internasional rnasih tetap digunakan oleh para peneliti. Angka pendapatan per kapita dapat rnengambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat, perbedaan aktivitas ekonomi sekaligus menggambarkan produktivitas per kapita suatu daerah. Angka ini menunjukkan kemampuan nyata dari suatu daerah dalam menghasilkan output dan kenikrnatan yang diperoleh setiap penduduk (Sukimo, 1985).
I
- - --
-
-
Sumber: BPS berbagai edisi
Gambar 10 Pendapatan Per Kapita Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten (19952005). Gambar 10 mendeskripsikan bahwa pendapatan per kapita di wilayah Banten sangat beragam. Perbedaan kesenjangan pendapatan ini sangat nyata antara wilayah Banten Utara dan Banten Selatan. Secara rata-rata (1995-1999) sebelum otonomi daerah rata-rata pendapatan penduduk per kapita
terbesar
adalah Kota Tangerang sebesar Rp. 10.466.533 sedangkan sesudah otonomi
daerah pendapatan penduduk per kapita terbesar adalah Kota Cilegon sebesar Rp. 26.066.738 sedangkan Kota Tangerang sebesar Rp. 13.1 13.918. Wilayah Banten Selatan pendapatan per kapita Kabupaten Pandeglang sebelum otonomi daerah sebesar Rp. 3.032.532 menurun sesudah otonomi sebesar Rp. 2.88.114. Sedangkan paling rendah pendapatan per kapita adalah Kabupaten Lebak, sebelum desentralisasi sebesar Rp 1.986.632 dan sesudah desentralisasi fiskal sebesar Rp. 2.822.439. Dapat diiatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di Banten Utara lebih tinggi dibandingkan dengan Banten Selatan. Pernasalahan kesenjangan pendapatan antar wilayah di atas disebabkan salah satunya karena masih adanya kesenjangan kemampuan keuangan antar wilayah. Indikator kesenjangan kemampuan keuangan antar daerah dapat ditinjau
dari penenmaan (APBD) per kapita. Gambar 1 1 mendeskripsikan perbedaan kemampuan keuangan antar kabupatenkota di Provinsi Banten. Hal tersebut diinterpetasikan sebagai pemberikan pelayanan publik kepada masyarakat. ~~~
~~
~~~
~
~
~
~
----
Kota Tangerang
1995
1996 1997
1998
1999 2MX) 2001 ZM)2
2003 2004 2005
2CO6
!
Sumber: BPS berbagai edisi
Gambar 1 1 Penenmaan (APBD) Per Kapita Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten (1995-2006). Rata-rata penenmaan APBD per kapita (1995-2000) sebelum otonomi paling tinggi adalah Kabupaten Tangerang sebesar Rp. 84.093 dan
Kota
Tangerang Rp. 77.397. Setelah berlakunya kebijakan otonomi daerah paling tinggi adalah Kota Cilegon sebesar Rp. 948.336 dan Kota Tangerang Rp. 423.852, sedangkan paling kecil adalah Kabupaten Tangerang sebesar Rp. 314.576. Bagi wilayah Banten Selatan setelah berlakunya otonomi daerah, aktivitas pelayanan publik semakin membaik. Sebelum otonomi daerah Kabupaten Lebak sebesar Rp.
62.347 dan Kabupaten Pandeglang sebesar Rp. 78.273. Semenjak berlakunya otonomi daerah meningkat di Kabupaten Lebak sebesar Rp. 379.289
dan
Kabupaten Pandeglang sebesar Rp. 443.340. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah kebijakan
otonomi
daerah
aktivitas pelayanan publik
semua
kabupaten/kota di Provinsi Banten semakin baik. Namun bila dibandingkan per wilayah maka Banten Utarr lebih baik aktivitas pelayanan publik
bila
dibandingkan dengan Banten Selatan. Ketimpangan dalam penerimaan APBD per kapita ini berdampak langsung pada alokasi sektor pembangunan dari masing-masing kabupatedkota. Maka kebijakan mekanisme distribusi transfer DAU perlu menjadi bahan pertimbangan antar daerah tidak strategis, agar tingkat kesenjangan kemampuan keuanga~~ makin melebar sehingga akan mendorong pemerataan pembangunan antar wilayah (DAU) atau Subsidi Gambar 12 mekanisme transfer Dana Alokasi UmuiLY Dana Otonom (SDO). Sebelum desentralisasi, pada saat kondisi perekonomian masih stabil (1995-1996). Wilayah Banten Selatar (Kabupaten Lebak dan Pandeglang) mempakan daerah yang sangat tergantung terhadap transfer SDO dibandingkan dengan wilayah Banten Utara. Kabupaten Lebak pada tahun 1995 kontribusi SDO terhadap total penerimaan sebesar 75 persen dan menurun sebesar 70 persen pada tahun 1996. Wilayah Kabupaten Pandeglang pada tahun 1995 sebesar 65 persen dan menurun ketergantungan keuangan terhadap pusat sebesar 6 1 persen pada tahun 1 996.
Kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan ketidakstabilan tepatnya pada tahun 1997, perekonomian Indonesia mengalami krisis. Kondisi krisis tersebut berpengaruh terhadap perekonomian di kabupatedkota Provinsi Banten. Pada masa krisis tahun 1997-1999, Kabupaten Lebak pada awal tahun 1997 tingkat ketergantungan keuangan meningkat sebesar 77 persen dibandingkan kondisi ekonomi stabil pada tahun 1995-1996. Namun dengan berjalannya waktu tingkat ketergantungan keuangan semakin menurun hingga tahun 1999 sebesar 59 persen. Hal ini berbeda dengan kondisi di Kabupaten Pandeglang selama era krisis ekonomi berlangsung 1997-1999 kondisi ketergantungan keuangan terhadap pemerintah pusat cenderung meningkat pada tahun 1997 sebesar 50 persen dan
pada tahun 1999 sebesar 60 persen. Hal tersebut menunjukan bahwa Kabupaten Lebak lebih kreatif dalam menggali potensi daerahnya dengan rangka meningkatkan PAD-nya. Wilayah Banten Utara paling rendah peran SDO adalah Kota Tangerang, pada tahun 1995 sebesar 22 persen dan memasuki era krisis ekonomi tahun 1997 meningkat sebesar 26 persen, sampai dengan tahun 2000 kondisi semakin membaik dengan tingkat ketergantungan menurun sebesar 24 persen. Kondisi ketergantungan keuangan paling besar terhadap keuangan pemerintah pusat adalah Kabupaten Serang pada tahun 1995 sebesar 49 persen hingga memasuki masa krisis ekonomi tahun 1997 menurun sebesar 44 persen. Sampai dengan kondisi pra-desentralisasi tahun 2000 kembali meningkat sebesar 46 persen. Bila ditinjau nilai CV, secara keseluruhan Banten Utara dan Banten Selatan mulai membaik tingkat keteragantungan keuangannya terhadap pusat setelah masa krisis ekonomi tahun 1997 hingga tahun 1999. Narnun kondisi perbedaan ketergantungan antar kabupatenlkota cukup tinggi, pada tahun (1997; 29,1% dan meningkat tahun 1999; 53,2%). Sehingga dapat dikatakan setelah berakhimya masa krisis ekonomi (1997- 1999) kesenjangan transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah semakin melebar. Gambar 12 menunjukkan ratarata sumber penerimaan APBD kabupatenkota di Provinsi Banten mengandalkan transfer dari pusat dalam bentuk DAUISDO.
set-
OtaMn. h r e h
+Kab. Lewk
~
-
~
Surnber: BPS (diolah)
Gambar 12 Persentase Kontribusi SDOIDAU Terhadap Penerimaan Keuangan APBD (1995-2007).
Kebijakan otonomi daerah yang berlaku efektif pada tahun 2001 menunjukkan Banten Selatan (Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang) me~piikandaerah yang sangat tergantung pada DAU, lebih dari 80 persen sumber pendapatan APBD kedua daerah ini berasal dari DAU. Setelah desentralisasi fiskal tingkat ketergantungan cenderung men-
(Kabupaten Lebak 2001 ; 80%-
2007; 75% dan Kabupaten Pandeglang 2001; 88%-2007; 75%). Kontribusi DAU yang paling rendah terdapat di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang berkisar 42-48 persen pada tahun 2001 dan menurun pada tahun 2007 sebesar 4142 persen. Ditinjau nilai variasi peranan pembiayaan DAU awal pra desentralisasi tahun 2000 sebesar 45,4 persen dan setelah desentralisasi pada tahun 2001 variasinya menurun menjadi 35,6 persen, sampai dengan tahun 2007 perbedaan ketergantungan kabupaten/kota di Provinsi Banten semakin meningkat sebesar 113,l
persen.
Hal
tersebut mengindikasikan
bahwa
masih
terjadinya
perbedaankesenjangan mekanisme transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Mekanisme transfer DAU belum sepenuhnya dilaksanakan secara objektif, adil dan transparan karena masih dipengaruhi faktor ekstemal yaitu political adjustment sehingga muncul balancing factor yaitu mengharuskan alokasi DAU minimal sama atau lebih besar dari jurnlah subsidi daerah otonom atau DAU sebelumnya. Hal ini berimplikasi langsung terhadap distribusi DAU menjadi tidak proporsional yang cenderung menguntungkan daerah yang memiliki potensi fiskal yang besar. Holding harmless (DAU sama dengan SDO dan inpres) sebagai instrumen keuangan daerah kurang tepat sasaran dan tepat guna, karena lebih banyak ditentukan oleh keputusan politik. Pada gilirannya menguntungkan daerah tertentu dan memgikan daerah yang lain sehingga semakin jauh dari tujuan DAU sebagai equalizing grant1 pemerataan kemampuan keuangan daerah. Peranan DAU sebagai instrumen utama dana perimbangan dalam menutupi kesenjangan keuangan di daerahlequalizing grant. Di samping itu pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus peningkatan kemandirian daerah sehingga pada akhimya dapat mengurangi ketergantungan pemerintah pusat.
Gambar 13 mendeskripsikan tingkat kemandirian wilayah berdasarkan PAD terhadap total penerimaan. Sebelum era desentralisasi, Kabupaten Lebak
realisasi pendapatan asli daerah terhadap penerimaan menurun tahun 1995 sebesar 12 persen menurun pada masa krisis ekonomi tahun 1997 sebesar 10 persen, sampai dengan akhir masa krisis ekonomi cendemng menurun tahun 1999-2000 sebesar 5-6 persen. Semenjak masa desentralisasi pada tahun 2001 kontribusi PAD terhadap total penerimaan meningkat dari 3 persen menjadi persen hingga 8
persen pada tahun 2007. Pada Kabupaten Pandeglang sebelum era desentralisasi, realisasi PAD terhadap penerimaan pada tahun 1995 sebesar 8 persen menurun pada tahun 1997 sebesar 7 persen, sampai dengan tahun 2000 cenderung tems menurun sebesar 3 persen. Semenjak masa desentralisasi tahun 2001 sebesar 3 persen meningkat 6 persen pada tahun 2007. Setelah diberlakunya kebijakan otonomi daerah tingkat kemandirian mulai membaik setelah pasca krisis ekonomi, namun belum secara signifikan mengembalikan tingkat kemandirian walau ada peningkatan sedikit menuju arah yang lebih baik.
-
~
---
, -,
A \
25
-
--
~
t b b . Lebak
~~
I +Kab.Pandeglan(
1 tKab.Serang
J
i
Kab.Tangerang
-
O 119951996 1 9 9 7 ~ 1 9 9 8 ~ 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 ~ 2 0 0 2 ~ 2 0 0 4 2 0 0 5 ~ 2 0 0 5 ~ 2 0 0 7 ~ Sebelurn Otonomi Daerah
I
,
Sesudah Otonorni Daerah
-
Sumber: BPS dan Dinas Keuangan diolah Gambar 13 Persentase Kontribusi PAD Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten (1 995-2007).
Di Banten Utara yang paling rendah tingkat kemandiri;.n wilayahnya adalah Kabupaten Serang, pada tahun 1995 sebesar 33 persen dan meningkat pada awal krisis tahun 1997 sebesar 36 persen, sampai berjalannya waktu krisis ekonomi berlangsung keeenderungan tingkat kemandirian menurun sampai tahun 2000 sebesar 18 persen. Semenjak masa desentralisasi terus mengalami penurunan pada tahun 2001 sebesar 14 persen sampai tahun 2007 sebesar 13 persen. Tingkat kemandirian paling besar sebelum otonomi daerah adalah Kota Tangerang pada tahun 1995 sebesar 40 persen, pada era krisis ekonomi tahun 1997 kecenderungan meningkat sebesar 43 persen. sampai dengan tahun 2000 tingkat kemandirian semakin menurun tahun 2000 sebesar 21 persen. Semenjak masa desentralisasi pada tahun 2001 sebesar 18 persen menurun menjadi 17 persen pada tahun 2007. Hasil pemekaran Kabupaten Serang yaitu Kota Cilegon, menunjukkan perkembangan Kota Cilegon lebih baik dibandingkan dengan induhya (Kabupaten Serang). Kota Cilegon kontribusi PAD-nya paling besar semenjak berlakunya kebijakan otonomi daerah, pada tahun 2001 sebesar 28 persen meningkat pada tahun 2007 sc' zsar 30 persen. Hal ini menunjukkan.bahwa Kota Cilegon mampu menggali potensi daerahnya yang lebih besar dan dikategorikan memiliki kemandirian yang tinggi atau dengan kata lain bahwa sudah intensifnya pelaksanaan pajak dan retribusi di daerah. Ditinjau CV (coflcient of variation) Gambar 1.1 secara keseluruhan Banten Utara dan Banten Selatan mulai mengarah ke arah tingkat perbaikan dalam peningkatan kemandirian wilayah semenjak krisis ekonomi. Perbcdaan kemandirian antar kabupatenrkota di Provinsi Banten era kebijakan desentralisasi pada tahun 2001 sebesar 12?,09 persen dan menurun pada tahun 2003 sebesar 73,82 pcrsen, hingga tahun 2007 sebcsar 123,45 persen. Perbedaan kemandirian di Provinsi Banten semakin tinggi ha1 karena masih ad- inya perbedaan kemandirian wilayah terutama Banten Utara dan Banten Selatan.
0
I
1
1995 '1996 !
,
1997 1998 11999 2000
Sebelum Otonomi Daerah
I
5 0 6 4 . 3 9 6 7 -~ -~ 56.5 152.39
~
-
~~
166.22 ! 51.22 ji2209j 141.7 128.12' 73.82 ~
~
-
2006
'2007 I
j 67.79159.41 :i23.4sI .
Sebelurn Otonomi Daerah
I
- ~---~
+WJ
2001 2002 12003 12004 2005
-~ ~~~
~
~
~~
~
j
~
~~
~
I
.
Sumber: BPS Berbagai Edisi Gambar 14 Persentase Kontribusi PAD terhadap Total Penerimaan APBD Berdasarkan Koefisien Variasi (1995-2007). Hal menarik lain yang perlu dicermati adalah meningkatnya peran penerimaan lain (di luar DAU dan PAD) yaitu DBH. Meskipun mempakan kewenangan pemerintah pusat, pemungutan pajak ini memerlukan sinergi antara pemerintah daerah setempat dengan kantor pelayanan pajak. Semakin tinggi penerimaan pajak-pajak di suatu daerah, maka besarnya bagi hasil pajak maupun non pajak. Realitas menunjukkan bahwa tingkat pengumpulan pajak (tax collection ratio) di Indonesia masih rendah yaitu sebesar 12,9 persen (Adi, 2007). Potensi penerimaan pajak sangat tinggi (Dana Bagi Hasil), namun upaya-upaya peningkatan
penghimpunan
pajak,
baik
melalui
intensifikasi maupun
ekstensifikasi bisa jadi belum optimal. Bisa jadi, ha1 ini lebih efektif daripada terus mengupayakan penerimaan pajak maupun retribusi daerah yang justru semakin membebani publik. Penerimaan DBH sendiri telah ditentukan pemerintah pusat dalam UU No 32 tahun 2004, dimana bagi hasil untuk pajak bumi dan bangunan (10 persen pusat, 90 persen daerah), bea perolehan hak atas tanah dan bagman (20 persen, 80 persen daerah), pertambangan minyak bumi (85 persen pusat, 30 persen daerah) serta pertambangan gas alam (70 persen pusat, 30 persen daerah). Gambar 15 mendeskripsikan kontribusi Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap total penerimaan yang mencerminkan salah satu indikator peningkatan potensi sumberdaya modal dan manusia. Masa desentralisasi mengalami peningkatan tetapi tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Total rata-rata persentme
DBH kabupaten dan kota di Provinsi Banten hanya berkisar antara 1-2 persen baik sebelum desentralisasi maupun sesudah desentralisasi. Penenmaan Dana Bagi Hasil tidak menunjukkan dampak yang positif, ha1 tersebut karena secara keseluruhan wilayah Banten relatif tidak terdapat bagi h a i l dari sektor Migas, maka swnber DBH hanya dari PBB, PPh orang pribadi, dan BPHTB. Wilayah Banten Utara, yang memiliki potensi sumberdaya modal clan manusia yang besar baik sebelum desentralisasi maupun sesudah desentralisasi fiskal yaitu Kota Tangerang. Kota Tangerang sebelum desentralisasi tahun 1995 sebesar 20 persen, semenjak krisis ekonomi pada tahun 1997 menurun sebesar 18 persen, hingga pra desentralisasi tahun 2000 meningkat sebesar 21 persen. Masa berlakunya kebijakan otonomi daerah tahun 2001 meningkat 25 persen hingga tahun 2007 sebesar 25 persen.
Sumber: BPS, Dinas Keuangan (diolah).
Gambar 15 Persentase Kontribusi DBH Terhadap Penenmaan APBD (19952007).
Bagi wilayah pemekaran yaitu Kota Cilegon perkembanganya lebih baik dibandingkan dengan induknya yaitu Kabupaten Serang. Kabupaten Serang tingkat potensi sumberdaya modal dan manusia sebelum desentralisasi tahun 1995 sebesar 14 persen hingga terjadi krisis ekonomi tahun 1997 meningkat sebesar 16 persen, sampai dengan awal pra desentralisasi tahun 2000 menurun sebesar 13 persen. Berlangsungnya kebijakan desentralisasi cenderung fluktuatif selama 7
tahun, hingga tahun 2007 menurun sebesar 8 persen. Bagi wilayah yang dimekarkan yaitu Kota Cilegon, pada tahun 2001 sebesar 27 persen hingga tahun
2007 menurun sebesar 18 persen. Kabupaten Pandeglang memiliki tingkat potensi sumberdaya manusia dan modal lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Lebak. Kabupaten Pandeglang sebelum desentralisasi, realisasi penerimaan DBH terhadap total penerimaan menunjukkan tahun 1995 sebesar 6 persen meningkat tahun 1997 pada masa krisis ekonomi sebesar 8 persen, sampai dengan akhir masa krisis ekonomi cenderung menurun tahun 1999 sebesar
. persen. Saat masa pra desentralisasi tahun 2000
meningkat sebesar 10 persen. Semenjak masa desentralisasi pada tahun 2001 kontribusi DBH terhadap total penerimaan meningkat dari 4 persen menjadi persen hingga 6 persen pada tahun 2007. Walaupun kondisi Banten Utara setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi cenderung mengarah peningkatan sumberdaya manusia dan modal, tapi masih lebih kecil dibandingkan dengan sebelum masa desentralisasi. Pada Kabupaten Lebak sebelum era desentralisasi, realisasi Di3H terhadap Total penerimaan pada tahun 1995 sebesar 7 persen dan setel& era kri'sis ekonomi terjadi meningkat sebesar 9 persen, sampai dengan tahun 2000 cenderung menurun 8 persen. Semenjak masa desentralisasi kor ~ribusiDBH terhadap total penerimaan dari tahun 2001 sebesar 5 persen menurun 4 persen pada tahun 2007. Setelah diberlakunya kebijakan otonomi daerah dampak setelah krisis ekonomi justru semakin menurun potensi sumberdaya manusia dan modal bagi Kabupaten Lebak.
Akibatnya akan semakin membebani pemerintah pusat dalam
memberikan dana transfer
kepada daerah, maka tercapainya penurunan
ketergantungan scmakin jauh dari tujuan yang diharapkan. Pada Gambar 16 ditinjau dari CV, sebelum desentralisasi fiskal secara keseluruhan kabupaten dan kota di Provinsi Banten sumberdaya modal dan manusia meningkat tahun 1995 yaitu sebesar 47,97% meningkat pada tahun 2000 sebesar 48,95 %. Ketika Kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001 sebesar
69,00% meningkat semakin besar pada tahun 2007 sebesar 126,99 persen. Dapat dikatakan bahwa perbedaan yang semakin lebar antar kabupatedkota di Provinsi
Banten dalam rangka mengali potensi Dana Bagi Hasil (DBH) yang berasal dari pajak dan sumberdaya setelah otonomi daerah.
Gambar 16 Persentase Kontribusi DBH terhadap Penerimaan APBD Berdasarkan Coevisien Variasi (1995-2007). Sebagaimana tertuang dalam RPJM Provinsi Banten (2007-2012), tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah memberikan pelayanan publik yang lebih dekat kepada masyarakat agar mendorong penanggulangan kemiskinan. Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang pendapatannya (didekati dari sisi pengeluaran) lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk hidup secara layak di wilayah tempat tinggalnya. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar akan makanan dan non makanan. Kebutuhan untuk hidup layak tesebut diterjemahkan sebagai suatu jumlah rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makanan setara 2100 kalori sehari, ditambah sejumlah pengeluaran untuk sejumlah pengeluaran untuk bukan makanan seperti perumahan, pakaian, kesehatan pendidikan dan laimya. Jumlah uang tersebut kemudian dikatakan sebagai batas garis kemiskinan. Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat. Namun yang paling penting tidak hanya tercapainya peningkatan pendapatan, tetapi juga bagaimana pendapatan tersebut dapat terdistribusi normal di berbagai lapisan masyarakat. Gambar 17 mendeskripsikan tingkat kemiskinan kabupatenkota di Provinsi Banten.
Berdasarkan Gambar 17 rata-rata tingkat kemiskinan Provinsi Banten selama tahun
1995-2000 sebesar
kabupatenkota,
pada
kurun
15,21 persen.
(1996-2000) yang
Dilihat menurut per paling
rendah
tingkat
kemiskinannya adalah Kota Tangerang (6,45 persen), sedangkan paling tinggi adalah Kabupaten Lebak (22,70 persen). Sesudah otonomi (2001-2006) menunjukkan bahwa
Kota Tangerang paling rendah tingkat kemiskinannya
menurun sebesar 4,79 persen sedangkan Kabupaten Lebak yang memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi sebesar 16,83 persen.
[~~okbrn~~il9562~0~
L.SesudahDFi2W1-2M6)' - ~8
Sumber: BPS berbagai edisi
Gambar 17 Tingkat Kemiskinan Kabupateaota Di Provinsi Banten. Pasca Kebijakan Otonomi daerah, Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Banten untuk secara aktif dan langsung mengupayakan penanggulangan kemiskinan di daerahnya menjadi lebih besar. Peningkatan kewenangan tersebut diharapakan dapat diikuti dengan perbaikan tingkat pendapatan dan pemerataan diantaranya ditujukan dengan dengan menurunnya kesenjangan distribusi pendapatan. Untuk melihat adanya hubungan antara jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh keluarga atau individu dengan total pendapatan diukur berdasarkan koefisien gini atau gini ratio. Indeks gini ratio yang mendekati no1 menunjukkan kesenjangan distribusi pendapatan yang rendah dan bila gini ratio mendekati satu menunjukkan ketimpangan distribusi pendapatan yang tinggi. Berdasarkan Gambar 18,
rata-rata gini ratio kabupatenlkota secara
keseluruhan selama perode tahun 1995-2000 berkisar antara 0.248 sampai 0.282.
Hal ini berarti distribusi pendapatan penduduk Provinsi Banten selama tahun
1995-2000 relatif merata. Apabila dilihat menurut per kabupatedkota
maka
distribusi pendapatanya adalah Kabupaten Pandeglang (0,217) yang terbaik. sedangkan paling tinggi kesenjangannya adalah Kota Tangerang (0,282). Periode desentralisasi (2001-2006) Kabupaten Lebak yang memiliki distribusi paling rendah (0.227) dan yang paling tinggi adalah Kota Tangerang (0,313).
Sumber: BPS Berbagai Edisi Gambar 18 Rata-Rata Angka Gini Ratio Kabupatenikota di Provinsi Banten. Berdasarkan Gambar 19, pada tahun 2001 awal berlaku otonomi daerah ratio gini Kabupaten Tangerang peningkatannya
15,7 persen yaitu 0,222
meningkat 0,257. Kota Tangerang peningkatannya sebesar 6,3 persen yaitu dari 0,190 meningkat 0,202. Nilai terbesar setelah berlakunya otonomi daerah adalah Kota Cilegon mencapai 92,308 persen yaitu dari 0,260 meningkat menjadi 0,500. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran daerah khususnya pengeluaran pembangunan di Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon belum mampu mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan. Dihandingkan Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang tejadi penurunan gini ratio pada tahun 2001 sebesar -13,136 persen dan -4,000 persen.
Sumber: BPS Berbagai Edisi Gambar 19 Tingkat Gini Ratio Kabupatenkota di Provinsi Banten Belanja publik pemerintah daerah diharapkan akan mendorong pengentasan kemiskinan dan
menanggulangi
masalah
distribusi pendapatan
dengan
penyediakan kebutuhan dasar masyarakat yaitu pelayanan publik. Semakin tinggi ratio belanja aparatur (rutin) terhadap total belanja, maka semakin kecil dana yang digunakan untuk pembangunan ekonomi di wilayah karena berakibat rendah alokasi anggarm pembangunan daerah untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya semakin kecil ratio belanja aparatur (rutin) terhadap APBD maka semakin besar dana yang digunakan untuk pembangunan ekonomi di wilayah dan semakin besar dampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejaheraan masyarakat. Berdasarkan Gambar 20, sebelum desentralisasi (1995-2000) maupun sesudah desentralisasi (2001-2006) terlihat bahwa struktur belanja publik Kota Tangerang lebih dominan dibandingkan dengan kabupaten /kota yang lain. Sedangkan yang paling buruk adalah wilayah Kabupaten Pandeglang baik sebelum desentralisasi maupun sesudah desentralisasi. Belanja lebih didominasi
dari belanja rntidaparatur dibandingkan dengan belanja publik. Belanja daerah mutlak diperlukan dalam perekonomian daerah, selain untuk menyediakan barang publik, juga untuk mengalokasikan barang produksi dan konsumsi, memelihara stabilitas ekonomi serta percepatan perhmbuhan ekonomi, karena itulah pengeluaran setiap tahun cenderung terns meningkat (Pakasi 2005).
-~
.wumaww*paraw~ ;.wumaeewPuDIL
,o s a ma m y lP U U Y ~ ~-
Sumber: BPS Berbagai Edisi Gambar 20 Persentase Anggaran Belanja Sebelum Desentralisasi Fiskal(19952000) dan Sesudah Desentralisasi Fiskal (2001-2006) KabupatenfKotadi Provinsi Banten.
5.2 Analisis Panel Data: Faktor-Faktor yang Mempenga~hiKemiskinan dan Distribusi Pendapatan Hasil estimasi pada koefisien-koefisien variabel persamaan regresi ini dilakukan dengan menggunakan sofhvare Eview 4.1 Untuk melihat peranan mekanisme pengeluaran pembangunadpublik terutama untuk sektor pertanian, seMor pendidikan, sektor kesehatan pengeluaran sektor permukiman, pengeluaran infrastruktur terhadap tingkat kemiskinan dan gini ratio.
5.2.1
Hasil Estimasi Peran Pengeluaran Sektor Pertanian, Sektor Pendidikan, Sektor Kesehatan, Sektor Permukiman, Dummy Banten Utaraanten Selatan dan Dummy Otonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan
5.2.1.1 Indikator Kebaikan Model Panel Data Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari uji koefisien determinasi (R~),uji F dan Uji t. Secara ekonometrika, model h a s sesuai dengan asumsi Masik yang artinya hams terbebas dari gejala multikolinearitas,
autokorelasi,
dan
heteroskedastisitas
(Gujarati,
1978).
H lsil
estimasi
menunjukkan bahwa R-square (R*) atau koefisien determinasi sebesar 0,99 artinya bahwa 99 persen keragaman tingkat kemiskinan di Provinsi Banten dapat dijelaskan oleh variabel bebas (pertanian, pendidikan, kesehatan, permukiman, infrastruktur, dummy Banten SelatanIBanten Utara dan dummy otonomi daerah), sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Hal ini diperkuat dengan nilai probabilitas F-Statistik yaitu sebesar 0,000 dengan taraf a = 5 persen yang berarti bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap varibel terikat sehingga model pendugaan sudah layak untuk menduga. Untuk uji signifikasi tiap variabcl digunakan uji-t dengan taraf nyata a = 5 persen. Variabel yang signifikan ditunjukan dengan nilai statistik probabilists t statistik < alpha 0,05. Indikasi multikolinearitas tercermin dari h a i l probabilitas t-statistik dalam regresi. Model pada Tabel 20 menunjukkan tidak terdapat multikolinnearitas. Berdasarkan hasil estimasi tingkat kemiskinan terdapat 6 variabel penjelas yang semuanya signifikan pada taraf nyata 5 persen. Setelah tliuji multikolinearitas maka hasilnya dapat ditujukan pada Tabel 20 yang mendeskripsikan bahwa nilai VIF (variance inflation factor) setiap variabel penjelas yaitu belanja pertanian, belanja pendidikan, belanja kesehatan, belanja permukiman, belanja infrastruktur, dummy Banten Selatan dan Banten Selatan dan dummy otonomi daerah memiliki nilai VIF (variance inflationfactor) secara keseluruhan di bawah 10. Tabel 20 Hasil U.ji Multikolinearitas Antar Variabel Penjelas Model ConSLanl Belanja Pertanian Belanja Pendidikan Relanja Kcselialnn Belanja Pemukiman Belanja lnfrastruktur Dummy Lokasi Dummy Otonomi Daerah Sumber: Data hasil olahan.
Tolerance
0.608 0.503 0.797 0.578 0.801
0.580 0.437
Collincdriry Slmislics v a r r ~ice inflationficfor
1.644 1.987 1.255 1.730 1.249 1.724 2.288
Kriteria
ekonometrika
heteroskedastisitas. Metode (i1.S
yang
selanjutnya
adalah otokorelasi d m
(Generalized Least Squares) berfUngsi untuk
mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun otokorelasi, maka uji otokorelasi maupun heterosekedastisitas dapat diabaikan.
Tabel 21 di bawah ini adalah hasil
estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi persentase kemiskinan.
Tabel 21 Hasil Estimasi Peran Pengeluaran Sektor Pertanian, Sektor Pendidikan. terhadap Tingkat Kemiskinan Sektor Kesehatan, Sektor ~ b u k i m a n Variable Coefficient Std. Frror t-Statistic Prob. Intersep 20 -7172 0.338581 60.55187 0.0000 Pertanian (lag 2) 0.060878 0.075275 0.808740 0.4273 Pendidikan (lag 2) -0.026353 0.009941 -2.650920 0.0146* Kesehatan (lag 2) -0.057527 0.018326 -3.139015 0.0048' Permukiman (lag 2) -0.1 18590 0.004410 -26.89232 OO . OOO* lnfrastruktur(lag 1) -0.027896 0.001642 16.99032 O.OOOO* Dummy Banten Utara (I) -10.50879 0.332275 -31.62678 OO . OOO* Banten selatan (0) Dummy otonomi daerah -3.915185 0.013680 -286.2007 0.0000' Fhlt=I 183.911 Prob (F) = 0.0000 R2 =0,999 a =5% Keterangan: * variabel yang signifikan
-
-
Sumber:
BPS, Dinas Keuangan (diolah)
5.2.1.2
Interprestasi Model Panel Mempengaruhi Kemiskinan Berdasarkan
hasil
persamaan
Data:
model
panel,
Faktor-Faktor
variabel-variabel
yang
yang
signifikan pada taraf nyata alpha 0,05 yaitu pendidikan, kesehatan, permukiman, infrastuktur, dummy Banten Utara dan Banten Selatan dan dummy otonomi daerah. Variabel pengeluaran sektor pertanian dua tahun sebelumnya tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,42 > a 0,05). Hal ini karena program-program yang dilaksanakan pemerintah daerah belum tepat sasaran bagi penurunan input bagi masyarakat miskin yang mengusahakan pertanian sehingga pengeluaran belanja pertanian belum dapat meningkatkan pendapatan masyarakat miskin di perdesaan. Pengeluaran sektor pendidikan signifikan pada (0,01<
dua tahun lalu memiliki pengaruh yang
taraf nyata 5 persen dengan nilai Probabilitasnya sebesar 0,01
a 0,05). Nilai negatif koefisien pengeluaran sektor pendidikan
menunjukkan untuk setiap peningkatan pengeluaran sektor pendidikan dua tahun
sebelumnya sebesar 1 persen, akan mengakibatkar penurunan penduduk miskin sebesar 0.026 persen, cateris paribus.
persentase
Pembangunan
sumberdaya manusia met dpakan peningkatan di dalam pengetahuan, keterampilan dan kemampuan semua individu. Pengeluaran dalam pendidikan adalah investasi sumberdaya manusia yang didefinisikan sebagai seluruh kegiatan yang mempengaruhi pendapatan dan konsumsi di masa yang akan datang. Ketika pengeluaran pendidikan diberikan pada masyarakat miskin maka setiap individu melakukan investasi human capiral dengan menyelesaikan forrnal schooling akan memperbaiki pendapatan masyarakat. Hal ini dapat dipahami, bahwa peningkatan schooling &an meningkatkan produktivitas individu di pasar kerja, dan produsen
akan menghargai ha1 ini dengan membayar tingkat upah yang lebih tinggi kepada individu denganformal schooling yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengeluaran pendidikan diharapkan mampu meningkatkan sumberdaya manusia yang diperlihatkan oleh meningkatnya pengetahuan dan keahlian akan mendoron;! produktivitas kerja seseorang. Pemsahaan akan nemperoleh hasil yang lebih banyak dengan memperkerjakan tenaga keja dengan produktivitas tinggi, sehingga.pemsahaan akan bersedia memberikan upah /gaji yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan. Pada akhimya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan dan konsurnsinya. Variabel pengeluaran sektor kesehatan dua tahun sebelumnya memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf nyata 5 persen (O,OO
0.057 persen, cateris puribus. Sektor pendidikan dan kesehatan
merupakan kebutuhan asasi masyarakat di suatu negara. Pengeluaran pendidikan dan pengeluaran kesehatan dapat menurunkan jumlah penduduk miskin karena masyarakat mendapatkan akses terhadap sumberdaya ekonomi berupa pelayanan dalam kesehatan. Secara tak langsung dapat mengurangi input pengeluaran seharihari bagi penduduk miskin sehingga pendapatan masyarakat meningkat. Sektor
kesehatan merupakan sektor yang penting karena bertanggungiawab terhadap kesehatan masyarakat agar mampu meningkatkan produktivitas kerja. Menurut Usman (2005) bahwa peningkatan pengeluaran sektor pendidikan dan kesehatan akan mengurangi tingkat kemiskinan dalam jangka panjang. Pengeluaran pemerintah terhadap kesehatan diyakini mampu menurunkan angka kematian pada usia kerja dan memperpanjang usia kerja produktif sehingga memperpanjang waktu menambah penghasilan.
Menurut Sitepu (2007)
memperkenalkan tiga pendekatan dalam menmggulangi masalah kemiskinan, pertama adalah pendekatan yang berorientasi kepada harta mereka atau aset yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas dari aset yang dimiliki oleh kaum miskin. Kedua adalah pendekatan atau strategi peningkatan permintaan yang ditujukan untuk meningkatkan volume penjualan tenaga kerja dari kaum miskin tersebut. Umumnya terdiri dari tenaga kerja yang tidak terampil dan ketiga adalah kebijakan meningkatkan harga dari aset utama yang dimiliki oleh kaum miskin yaitu tenaga kerja. Variabel pengeluaran sektor permukiman dua tahun sebelumnya berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,03< a 0,05). Koefisien pengeluaran sektor permukiman benilai negatif sebesar -0.1 18 menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan pengeluaran sektur permukiman dua tahun sebelumnya sebesar 1 persen akan mengakibatkan penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.1 18 persen, cateris paribus. Pengeluaran pemerintah untuk sektor permukimanlperumahan merupakan akses pelayanan terhadap sumberdaya ekonomi agar dapat menurunkan input ekonominya dan meningkatkan pendapatannya. Variabel pengeluaran sektor infrastruktur satu tahun sebelumnya berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,00< a 0,05). Koefisien pengeluaran sektor permukiman benilai negatif sebesar -0.028 menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan pengeluaran sektor infrastruktur satu tahun sebelumnya sebesar 1 persen akan mengakibatkan penurunan jumlah penduduk miskin
sebesar
0.028 persen, cateris paribus. Peningkatan pengeluaran
infrastruktur diharapkan tejangkaunya akses pelayanan terhadap sumberdaya ekonomi berupa prasarana-sarana umum berupa irigasi, jalan dan lain-lain.
Dengan demikian akan mengurangi pengeluaran input sehari-harinya sehingga pendapatan masyarakat miskin semakin meningkat dan kesejahteraannya semakin membaik. Infrastruktur merupakan motor penger.ik pembangunan. Pembangunan infrastruktur dapat mempercepat proses pengurangan kemiskinan melalui peningkatan akses terhadap infrastruktur yang baik. Pengertian kemiskinan tidak hanya terkait dengan kemampuan memenuhi konsumsi dasar saja, tetapi juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, penclidikan, jaminan masa depan dan akses terhadap fasilitas umum lainnya. Variabel dummy wilayah Banten Utara (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang) berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,00<
a 0,05) dalam penurunan kemiskinan sebesar 10, 5 % dibandingkan dengan Banten Selatan (Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang). Dapat dikatakan bahwa penanggulangan kemiskinan di Banten Utara lebih baik dibandingkan dengan Banten Selatan, cuteri.spurihu.s. Variabel Dummy otonomi daerah berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,000< a 0,05). Koefisien dummy otonomi daerah bernilai negatif sebesar -3.92 artinya pada masa otonomi daerah maka akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 3.92 persen, cateris paribus. Hal ini menandakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memang berpihak pada kemiskinan. 5.2.2. Hasil Estimasi Peran Pengeluaran Sektor Pertaninn, Sektor Pendidikan, Sektor Kesehatan, Sektor Permutdman, Dummy Banten Utaramanten Selatan dan Dummy Otonomi Daerah terhadap Distribusi Pendapatan 5.2.2.1. Indikator Kebaikan Model Panel Data Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari uji koefisien
deterrninasi (R2), uji F dan uji t. Secara ekonometrika, model harus sesuai dengan asumsi klasik yang artinya harus terbebas dari gejala multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Hasil estimasi menunjukkan bahwa Rsquare (R2) atau koefisien deterrninasi sebesar 0,738 yang menunjukkan bahwa
73,8 persen keragaman pemerataan pendapatan di Provinsi Banten dapat dijelaskan oleh variabel bebas (pertmian, pendidikan, kesehatan, perrnukiman,
infrastruktur, dummy Banten SelatanIBanten Utara dan dummy otonomi daerah), sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Hal ini diperkuat dengan nilai probabilitas F-Statistik yaitu sebesar 0,000 dengan taraf a=5 persen yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap varibel terikat sehingga model pendugaan sudah layak untuk menduga. Untuk uji signifikasi tiap variabel digunakan uji-t dengan taraf nyata a=5 persen.Variabe1 yang signifikan ditunjukkan dengan nilai statistik probabilitas t statistik < alpha 0,05. Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil probabilitas tstatistik dalarn regresi. Berdasarkan Tabel 22 hasil estimasi distribusi pendapatan terdapat 6 variabel penjelas yang semuanya signifikan pada taraf nyata 5 persen. Setelah diuji multikolinearitas pada Tabel 22 bahwa nilai VIF (variance inflation factor) setiap variabel penjelas yaitu belanja pertanian, belanja pendidikan,
belanja kesehatan, belanja permukiman, belanja infrastruktur, dummy Banten Selatan dan Banten Selatan dan dummy otonomi daerah memiliki nilai VIF (Variance Inflation Factor) secara keseluruhan di bawah 10 (Nacrowi, 2002).
Tabel 22 Hasil Uji Multikolinearitas Antar Variabel Penjelas CoNineorrry Slulislics
Model
Tolerance
Variance Inflationfactor
Belanja Pertanian Belanja Pendidikan Belanja Kesehatan Belanja Permukiman Belanja lnfrashuktur Dummy Lokasi
0.719 0.498 0.770 0.878 0.660 0.598
1.390 2.008 1.287 1.138 1.516 1.673
Dutn~nyOIon~>tni1>11cri1lt
0.599
~uniber:Data hasil olahan
Kriteria
ekonometrika yang
selanjutnya adalah
-
1.669
--
otokorelasi
dan
heteroskedastisitas. Metode GLS (Generalized Least Square) yang berfungsi untuk mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun otokorelasi, maka uji otokorelasi maupun heterosekedastisitas dapat diabaikan. Tabel 23 di bawah ini adalah hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi pendapatan.
Tabel 23 Hasil Estimasi Peran Pengeluaran Sektor Pertanian, Sektor Pendidikan, Sektor Kesehatan, Sektor Permukiman, Infrastruktur terhadap Gini Ratio Std. E m r t-Statistic Prob. Variable Coefficient Intersep Pertanian (lag 5 ) Pendidikan (lag 2 ) Kesehatan (lag 4) Permukiman (lag 2) Infrastruktur (lag I ) Dummy Banten Utara Banten selatan (0) Dummy otonomidaerah -0.013404 0.003903 Fhif = 10,913 Pmb (F) = 0.0000 R' ~0,738 a =5% Keterangan: * = variabel yang signifikan
-3.434330 a =lo%
0.0019'
Sumber: BPS, Dinas Keuangan (diolah)
5.2.2.2
Interprestasi Model Panel Data: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi pendapatan Berdasarkan h a i l persamaan model panel, variabel-variabel yang
signifikan pada taraf nyata alpha 0,05 yaitu pengeluaran sektor
pertanian,
pengeluaran sektor pendidikan, pengeluaran sektor kesehatan, pengeluaran sektor infrastuktur, dummy Banten Utara dan Banten Selatan dan dummy otonomi daetah. Fungsi pemerintah daerah dalam alokasi penggunaan anggaran sangat menentukan
efektifitas
pertumbuhan dan
pengeluaran
mengurangi
pemerintah
disparitas
dalam
pendapatan.
meningkutkan
Berbagai
alokasi
pengeluaran pemerintah daerah merupakan wujud fungsi dan tanggungjawab pemerintah sebagai penyediaan sarana-sarana yang dibutuhkan masyarakat. Pemerintah juga berperan sebagai fungsi distribusi dengan menciptakan pemerataan akses dan kesemputan agar masyarakat mampu memberdayakan semua potensi yang dimilikinj . Variabel pengeluaran sektor pertanian lima tahun sebelumnya memiliki pengamh yang signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,00
rclatif banyak yang miskin. Olch karena itu dengan pengeluaran sek~orpertanian
akan mengurangi input bagi bagi individu agar dapat akan meningkatkan pendapatan. Pengeluaran sektor pcndidikan dua tahun lalu memiliki pcngaruh yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai Probabilitasnya sebesar (0,003 <
a 0,05). Koefisien pengeluaran sektor pendidikan bernilai negatif sebesar 0.00099 menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan pengeluaran sektor pendidikan dua tahun sebelumnya sebesar 1 persen akan menurunnya gini ratio (ketimpangan Pendapatan) sebesar 0.00099 persen, caleris paribus. Hal ini karena masyarakat mendapatkan pelayanan a h kebutuhan dasar semakin meningkat terutama pendidikan. Dengan demikian akan mengurangi struktur ekonomi seseorang karena biaya input yang dikeluarkan akan semakin
menurun sehingga
ketimpangan akan semakin menurun. Variabel pengeluaran sektor kesehatan empat tahun sebelumnya memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf nyata 5 persen (0.00< a 0,05). Koefisien pengeluaran sektor kesehatan benilai negatif sebesar -0.0046 menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan pengeluaran sektor kesehatan empat tahun sebelumnya sebesar 1 persen akan menurunkan gini ratio sebesar 0.0046 persen, caleris paribus. Alokasi pendidikan dan kesehatan sangat penting untuk meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia. Hal ini diperlukan dan dirasakan kebutuhannya di masa datang. Sehingga alokasi pendidikan dan kesehatan merupakan alokasi
untuk investasi kesejahteraan masa depan. Variabel pengeluaran sektor permukiman dua tahun sebelumnya tidak berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata 5 persen (0.32 > a 0,05). Pengeluaran
permukiman
tidak
berpengaruh
tapi
malah
meningkatkan
ketimpangan pendapatan di masyarakat. Hal ini karena program, proyek atau kegiatan tidak tepat sasaran sehingga ke depannya agar perlunya subsidi bagi masyarakat miskin sehingga secara langsung akan mengurangi ketimpangan pendapatan. Variabel pengeluaran sektor infiastruktur satu tahun sebelumnya berpengaruh signifikan pada taraf nyata 10 persen (0,08< a 0,lO). Koefisien pengeluaran sektor infrastruktur benilai negatif sebesar -0.00037 menunjukkan huhwu untuk scliup pcningkatun pcngcluuran seklor infrastrukiur sat" tahun
sebelumnya sebesar 1 persen akrn mengakibatkan penumnan ketimpangan pendapatan
sebesar
0.00037 persen, cateris paribus. Penge~uaran sektor
infrastmktur akan memberikan kemudahan terjangkaunya akses pelayanan terhadap sumberdaya ekonomi bempa prasarana-sarana umum bempa irigasi, jalan yang pro pada masyarakat miskin, sehingga dapat meningkatkan disposable
income masyarakat dan pemerataan pendapatan. Variabel dummy wilayah Banten Utara (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang) berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,03< a 0,05) dalam rangka peningkatan kctimpangan pendapatan sebesar 0,03 perscn
dibandingkan dengan Banten Selatan (Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang), cateris paribus. Variabel dummy otonomi daerah berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen (O.OOI< a 0,05). Koefisien dummy otonomi daerah benilai negatif sebesar 0.0134 artinya pada masa otonomi daerah justru ketimpangan pendapatan (gini Ratio) semakin menurun, cateris paribus. ha1 ini mengindikasikan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal sudah menceminkan pada peningkatan distribusi pendapatan antar golongan masyarakat, Bila d~bandingkandengan perhitungan kinerja keuangan justru distribusi pendapatan relatif menurun di seluruh kabupatenkota di Provinsi Banten, dengan kata lain ketimpangan meningkat pasca kebijakan desentralisasi. Oleh karenanya faktor kebijakan otonomi terhadap distribusi pendapatan dengan analisis panel data ini,
dimungkinkan karena
besarnya alokasi anggaran APBD temtama sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur sebelum otonomi daerah relatif sama dengar1 sesudah berlakunya kebijakan otonomi daerah, sehingga ini mengakibatkan distribusi pendapatan setelah otonomi semakin meningkat. Berdasarkan pada alokasi struktur belanja APBD, di Kabupaten Lebak periode sebelum otonomi daerah (1995-2000), rata-rata besarnya belanja sektor infrastmktur sebesar 25,98 persen hampir relatif sama besar dengan sesudah otonomi daerah (2001-2006) yaitu sebesar 25,66 persen. Pada belanja kesehatan di Kabupaten Lebak sebelum otonomi daerah rata-rata sebesar 4,07 persen dan meningkat sedikit pada masa otonomi daerah sebesar 4,66 persen, namun peningkatanya tidak begitu besar.
di Kabupaten Pandeglang periode sebelum otonomi daerah (1995-2000), rata-rata besamya belanja sektor kesehatan sebesar 3,70 persen, dan relatif sama besar dengan alokasi belanja kesehatan sesudah otonomi daerah (2001-2006) yaitu sebesar 3,01 persen. di Kabupaten Tangerang periode sebelum otonomi daerah (1995-2000), rata-rata besamya belanja sektor kesehatan sebesar 3,97 persen hampir sama besar namun menurun sedikit dengan alokasi belanja kesehatan sesudah otonomi daerah (2001-2006) yaitu sebesar 3,27 persen. Begitu pula belanja pendidikan dan belanja infrastruktur di Kabupaten Tangerang periode sebelum otonomi daerah (1995-2000), belanja pendidikan (8,35 %) dan belanja infrastruktur (23,89%). Setelah belakunya kebijakan otonomi daerah (2000-2006) kedua alokasi belanja tersebut relatif sama yaitu belanja pendidikan sebesar 8,10 % sedangkan belanja infrastruktur sebesar 24,90 persen.
di Kota Tangerang periode sebelurn otonomi daerah (1995-2000), rata-rata besamya belanja sektor pertanian si besar 0,16 persen hampir sama besar dengan alokasi belanja sektor pertanian sesudah otonomi -1aerah (2001-2006) yaitu sebesar 0.18 persen. Begitu pula belanja infrastruktur di Kabupaten Tangerang periode sebelum otonom: daerah (1995-2000) sebesar 23,02 persen dan meningkat sedikit setelah belakunya kebija1.m otonomi daerah (2000-2006) sebesar 28,63 persen. Begitu pula dengan belanja sektor kesehatan dan pendidikan sebelum dan sesudah otonomi daerah berkisar antara 2-5 persen yang peningkatanya tidak begitu besar. Di Kabupaten Serang masa sebelum otonomi daerah menuju masa otonomi daerah peningkatan belanja sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur tidak beyitu signilikan yaitu berkisar 1-3 persen bagi setiap alokasi anggaran belanja tersebut. 5.3 Hasil Analisis Deskriptif Perilaku Pemerintah Daerah Paradigmalpandangan masyarakat umumnya membentuk suatu pengertian tertentu di dalam dinamika perkembangan kehidupan masyarakat, bahkan dapat mengembangkan prinsip tertentu menjadi luas dan lebih rinci. Paradigma baru di dalam perkembangan masyarakat moderen antara lain keterbukaan (transparansi), peningkatan efisiensi, tanggung jawab yang lebih jelas dan kewajaran (Fairness). Paradigma tersebut merupakan akibat perkembangan proses demokrasi dan
profesionalisme di dunia. Proses reformasi dan krisis multidimensi (ekonomi. moneter, hukum, politik) di Indonesia mendorong berkembangnya paradigma tersebut. Paradigma tersebut di Indonesia sering disebut Good Sovernance. Paradigma tersebut mendorong adanya reformasi 1,:majemen
keuangan
berdasarkan UU No 22 dan 25 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, PP No 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No 29 Tahun 2002 Tertang pengelolaan keuangan dan pcrtanggungiawaban. Kunci utama dalam implementasinya adalah reformasi hubungan fiskal antar pemerintah yaitu desentralisasi kewenangan belanja dan penerimaan. Harapan yang terkandung dalam upaya pendesentralisasi ini adalah pemerintah daerah dapat memproduksi barang dan jasa publik secara efisien melalui pengalokasian belanja yang sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah. Pemberian kewenangan fiskal yang lebih besar dapat digunakan sebagai instrumen bagi pemerintah daerah untuk menghasilkan penerimaan dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi daerah, membangun dan memperkuat kapasitas kelembagaan daerah. Idealnya dengan kewenangan yang lebih besar akan merespon dan mengkaji kebutuhan penduduknya di daerah dengan lebih baik. Fenomena-fenomena baru dalam sistem pemerintahan daerah antara lain perdebatan tentang pro dan kontra otonomi daerah, antara lain memberikan gambaran buruk seperti terjadinya sentralisasi baru, pemindahan korupsi, pengabaian pemerintah atas dan munculnya raja-raja kecil. Namun sesungguhnya keberhasilan atau kegagalan otonomi daerah adalah terletak pada bagaimana perilaku pemerintah daerah yaitu perilaku eksekutif, legislatif dan keterlibatan masyarakat dalam merencanakan, menetapkan dan melaksanakan anggaran. Fenomena yang akan ditelaah dari penelitian ini antara lain perilaku pemerintah daerah dalam rangka implemetasi desentralisasi liskal. Secara ekonomi adalah untuk meningkatkan efisiensi penyediam barang dan jasa publik. Syarat yang harus dipenuhi tercapainya efisiensi adalah tercapainya anggaran optimal dengan mencari harga yang benar dan aturan main yang benar pula. Kedua syarat barulah dalam tataran konsep dan belum cukup efisien dalam tataran operasional. Oleh karena itu dipenuhi didukung dengan membangun kelembagaan
yang benar pula. Kelembagaadinstitusi yang dapat berperan sebagai fungsi kontrol dalarn pelaksananan anggaran yaitu institusi formal yaitu badan pengawas daerah dan akuntan publik dan institusi informal berkaitan dengan partisipasi masyarakat. Hubungan yang saling melengkapi dari kedua institusi (BPK, akuntan publik dan masyarakat) tersebut diharapkan dapat menjamin seluruh perilaku bekerja sesuai dengan hukum dan aturan-atwan dan tidak berprilaku menyimpang sehingga tercapai akuntahilitas dan transparansi. 5.3.1 Disiplin Anggaran
Anggaran daerah harus disusun berdasarkan kebutuhan rill dan prioritas daerah dan disesuaikan dengan target dan sasaran pembangunan daerah. Oleh karena itu, alokasi anggaran belanja pembangunan harus tertuju pada arah dan kebijakan yang telah diteta.)kan. Dari hasil jawaban responden secara umum Kabupaten Lcbak dan Kota Cilcgon mcnunjukkan bahwa disiplin anggaran belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena masih ada ,,okasi anggaran yang belum sesuai dengan arah dan tujuan yang ditetapkan. Masih adanya pengeluaran o f
budger atau dititipkan ke dalam pos-pos anggaran. Selain itu proyek-proyek pemerintah daerah yang dilakukan umumnya yang dapat orang-orang itu saja. Bagi pemerintah daerah karena di satu sisi pemerintah daerah berkeinginan untuk melaksanakan disiplin anggaran dengan sungguh-sungguh, tetapi di sisi lain dihadapkan kepada kenyataan untuk melakukan pengeluaran yang sulit untuk di pertanggungjawabkan. Pennasalahan yang lain adalah terjadinya duplikasi anggaran Provinsi Banten dan anggaran kabupaten dan kota. Seolah pernerintahan Provinsi merupakan kabupated kota yang tidak memiliki wilayah, penyebabnya tidak adanya koordinasi antar eksekutif dan legislatif
di tingkat Provinsi Banten
maupun kabupatentkota. Dengan dernikian untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya sinkronisasi masing-masing program anggaran. Namun berdasarkan responden di Kota Cilegon hubungan Provinsi Banten dengan Kota Cilegon kurang baik ha1 ini karena pemerintahan Provinsi itu seringkali menyimpang kc arah KKN. Fenomena yang terjadi pemerintah Provinsi sering sekali menjual kavling-kavling jabatan-jabatan basah di tingkat provinsi harganya
berkisar 40-60 juta. Hal tersebut sudah mencirikan bahwa pemerintahan yang kurang baik dan tentu akan mengarah pada proses penganggaran yang kurang baik juga. Mcnumt pendapat responden bahwa sebel~motonomi daerah duplikasi antara belanja rutin dan belan'a pembangunan masih sering tcrjadi karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, kususnya proyek-proyek non tisik. Dengan demikian anggaran F~rbasiskinerja sulit diukur karena alokasi dana yang tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Saat ini pemerintah melalui peraturan baru yaitu Kepmendagri No 29 Tahun 2002 melakukan beberapa langkah penting yaitu melakukan perbaikan, penerapan format-format anggaran yang berbasis kineja dan terus menyempumakan mekanisme penyusunan anggaran dan format anggaran. Pemerintah saat ini sedang giat-giatnya melakukan reformasi yang signifikan di bidang keuangan negara dalam upaya memberantas KKN. Upaya ini menunjukkan perubahan paradigma pengelolaan publik untuk menciptakan pemerintah daerah, pemerintah bersih, disiplin dan transparansi. Disiplin anggaran kurang dapat ditegakan karena adanya kecenderungan kepentingan individual maupun grup untuk mengakses anggaran pemerintah daerah dengan biaya yang rendah atau mendapatkanya dengan euma-cuma. Hal ini mempakan indikasi bahwa dalam proses budgering terdapat peluang-peluang yang dimanfaatkanfree-riders yang muncul di kalangan eksekutif, legislatif dan individu atau pun kelompok kepentingan seperti swasta. Apabila kondisi yang demikian dibiarkan berkembang maka sulit dielakan karena anggaran menjadi bersifat open acces. Kunci utama dapat ditegakannya disiplin anggaran adalah transparansi, partisipmi masyarakat dan juga harus didukung oleh sistem pengawasan yang efisien dan efektif baik oleh institw i formal maupun informal. Di dalam PP no 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungiawaban keudngan daerah. Pada pasal 40 bahwa pengawasan pelaksanaan APBD dilakukan oleh DPRD. Pengawasan yang dim~ksud adalah bukan pemeriksaan keuangan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam APBD. Kemudian pada pasal 42, pengawasan internal
pengelolaan keuangan daerah dilakukan oleh pejabat yang diangkat oleh kepala daerah dan hasil pengawasan dilaporkan kepada kepala daerah. Pengawasan tersebut mungkin masih akan ada kelemahan-kelemahan karena
pengelolaan pengalokasian anggaran pembangunan oleh eksekutif
dan legislatif merupakan titik kritis yang harus diwaspadai, karena pada kegiatan itu sangat rawan untuk tejadinya KKN antara eksekutif dan legislatif (Bupati dan DPRD, pengawas internal dan pelaksana APBD). Sistem pengawasan tersebut kurang transparan sehingga diperlukan pengawasan baik oleh LSM maupun masyarakat. Selain itu alokasi anggaran pembangunan seyogyanya lanya tertuju pada sektor-sektor prioritas yang telah ditetapkan, teruuma untuk program yang ditujukan kepada peningkatan pelayanan masyarakat. ,
Transparansi merupakan pintu masuk bagi masyarakat untuk melakukan
kontrol terhadap kegiatan eksekutif dan legislatif. Sistem pengawasan yang kurang transparan dapat menyebabkan kebertanggungjawaban (akuntabilitas) pemerintah sebagai pengemban amanat publik kurang. Transparansi kinerja pemerintah daerah merupakan kunci utama agar pemerintah daerah menjadi akuntabel atau dcngan kata lain tranparansi merupakan biaya yang hams dikeluarkan agar birokrat dan politisi menjadi akuntabel. Perlu menjadi catatan disini bahwa kesuksesan desentralisasi fiskal harus didukung oleh sistem pengelolaan keuangan daerah yang efisien dan sistem pemerintahan daerah yang strong good governance. Penegakan hukum dan aturan main dalam pelaksanaan APBD harus didukung oleh aparatur yang bersih. Kalau sudah menyangkut aparat yang bersih maka reformasi terpulang kembali kepada masing-masing pribadi birokrat 0dan politisi untvk mengunakan jalan yang benar. Sebagaimana diamanatkan di dalam penyusunan APBD bahwa landasan moral penyusunan APBD adalah akhlak yang terpuji dalarn rangka meningkatan kuafitas pelayanan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. 5.3.2 Prioritisasi Anggaran Berdasarkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 bahwa proses penyusunan stratcgi dan prioritas APBD scbelumnya disusun dahalu arah dan kebijakan umum anggaran yaitu:
1. DPRD menyusun pokok-pokok pikiran mengenai arah dan kebijakan umum melalui penjaringan aspirasi masyarakat melalui dengar pendapat, turun lapangan, kuesioner, dialog interaktif, kotak saran, kotak pos, telepon bebas pulsa, website, sidak, media massa, dan lain-lain.
2. Pokok-pokok pikiran DPRD disarnpaikan kepada Penlda sebagai masukan untuk menyusun draf arah aan kebijakan umum APBD.
3. Pemda menyusun draf arah dan kebijakan umum APBD berdasarkan lima pendekatan, yaitu sebagai berikut: Arahan, mandat, dan pembinaan dari pemerintah pusat Evaluasi kineja masa lalu. Pokok-pokok pikiran DPRD Propcda. llcnstra yang di dalamnya sudah terkandung unsur dari Penjaringan aspirasi masyarakat melalui dengar pentlapat, turun lapangan, kuesioner, dialog inte aktif, kotak saran, kotak pos, telepon bebas pulsa,
website, sidak, media massa, dan lain-lain. 4. Penyusunan draf arah dan kebijakan umum APBL oleh Pemda dapat dibantu oleh atau melibatkan masyarakat pelnerhati yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi konsentrasi pembangunan masyarakat di daerah.
5. DPRD bersarna Pemda membuat kesepakatan arah dan kebijakan umum APBD. Proses penyusunan strategi dan prioritas APBD 1. Pemda menyusun strategi dan prioritas APBD berdasarkan arah dan kebijakan umum APBD yang telah disepakati bersama antara DPRD dengan Pemda. 2. Penyusunan strategi dan prioritas APBD oleh Pemda dapat dibantu atau melibatkan masyarakat pemerhati yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi konsentrasi pembangunan masyarakat di daerah. 3. Pemda menyampaikan strategi dan prioritas APBD kepada DPRD sebagai
konfirmasi apakah strategi dan prioritas APBD tersebut telah sesuai dengan arah dan kebi,jakan umum APBD yang telah disepakati. 'I'untungun utunla kcduu dulani pcngeloluan keuangan daerah adalah bagaimana menyusun prioritas anggaran dengan atas sumber daya anggaran yang
langka. Dalam
definisi
yang
sederhana prioritisasi merupakan proses
mengartikulasi preferensi masyarakat dan memetakan preferensi tersebut ke dalam alokasi belanja. Meskipun sederhana narnun implementasinya sangat kompleks karena prioritisasi pada dasamya adalah proses politik. Dari hasil jawaban yang diperoleh dalarn penelitian ini yang disajikan pada Tabel 24 diperoleh hasil bahwa Kabupaten Lebak dan Kota Cilegon telah melakukan proses penyusunan prioritas sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan (100%). Tetapi ketika Rencana Anggaran Satuan Kerja (Kepmendagri 29 'l'ahun 2002) atau Proritas Plafon Anggaran berdasar Permendagri No 13 Tahun 2006 tersebut akan dituangkan ke dalam alokasi belanja disinilah mulai terjadi ketegangan dalam pengambilan keputusan mana yang hams dihilangkan, dikurangi atau ditunda alokasinya. Pennasalahan yang pertama adalah adanya ekses pennintaan, kedua adalah adanya keinginan
untuk
mengyolkan
kepentingan-kepentingan. Tabel 24 Pelaksanaan Prinsip Prioritisasi Anggaran dalam Pengalokasian Belanja Daerah Prioritisasi Proses Pembahasan: - Telah sesuai dengan mekanisme perencanaan yang sudah ada - Menyimpang dari meknisme Munculnya alokasi baru diluar nrioritas dan pengurangan anggaran yang telah di prioritaskan: - Tidak da~atditolerir )n*t. di t o l e r i r ~ derujal n tcrtcntu .--- I. Sumber data: tlasil penelitian Lapangan tahun 2008.
.
Kabupaten Lebi~k
Kota Cilegon
10 ( 1 00%)
10 (1 00%)
0 (095)
0 (0%)
6 (60%)
8 (80%)
1 (40%)
2 (10%)
Pennasalahan yang utama dalam ha1 ini adalah banyak orang maupun kelompok ingin mengakses anggaran dengan bagian yang lebih besar, sementara kue anggaran yang akan dialokasikan terbatas bahkan dikatakan relatif tetap. Berbagai kepentingan kelompok ikut mempengaruhi birokrat dan politisi dalam menyusun prioritas. Di salah satu lokasi penelitian muncullah alokasi anggaran baru di luar Prioritas Plafon Anggaran. Hal ini karena adanya kepentingan politis atasan sehingga menyebabkan pergeseran pos-pos keuangan yang telah ditetapkan
Prioritas Plafon Anggaran seperti anggaran pendidikan yang direncanakan 20 persen h a s dikurangi untuk membiayai pos-pos yang lain. Tingkat Prioritas anggaran paling baik yaitu K u . ~Cilegon (80%) sedangkan Kabupaten Lebak adalah (60%). Beberapa Institutionat arrangement yang dapat niempermudah dalam menyusun strategi prioritisasi sebagaimana disarankan oleh Campos dan Pradhan (1996) adalah:
1. Proses perencanaan belanja harus berkaitan erat dengan kelunran yang ingin dicapai. 2. Fleksibilitas unit-unit kerja dalam menyusur. belanja lintas sektor
3. Comprehensiveness da-i anggaran 4. Memanfaatkan umpan balik dari masyarakat
5. Mengunakan kriteria objektif lmplikasi dari saran di atas adalah DPRD dan eksckutif harus rasional dan memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan kebutuhan dari konstituennya sehingga keduanya dapat secara tepat dan objektif dalam menentukan bandul prioritas anggaran. Dalam penentuan prioritas pembangunan juga harus dihilangkan egoisme sektoral. Masyarakat sebagai demander barang dan jasa publik juga hams kritis sehingga baik pemerintah daerah maupun DPRD mendapat umpan balik untuk perbaikan-perbaikan pelayanan selanjutnya.
5.3.3 Efisiensi dan Efektifitas Anggaran Efisiensi berkaitan dengan penghematan keuangan. Untuk
dapat
mcngendnlikan tingkat elisicnsi dan cfcktifitas anggaran. maka langkah awal yang perlu dilakukan dalam proses perencanaan anggaran adalah konsisitensi aparat secara sungguh-sungguh untuk menentukan tujuan dan target yang jelas, menyiapkan ukuran atau indikator kinerja. Tabel 25 menunjukkan 100% reponden menyatakan bahwa dalam menentukan alokasi belanja sudah melalui pengkajian standar nilai ekonomi. Seperti yang dikatakan responden bahwa setelah otonomi ada beberapa ha1 yang disusun dalam keuangan daerah yang tidak ditemukan sebelurn masa otonomi daerah yaitu:
1. Standar analisa belanja (SAB), yang diperkirakan jumlah pengeluaran (alokasi dana) untuk unit k e j a pemerintah, program keja, unit kerja, dan unit kegiatan pemerintah daerah untuk menghasilkan suatu tingkat pelayanan publik Sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan SAB ini akan dimungkinkan rnunculnya identifikasi kebutuhan dana yang lebih akurat baik untuk belanja aparatur rnaupun belanja publik. SAB merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan. 2. Standar biaya yang merupakan ukuran satuan biaya barang yang disusun oleh pemerintah daerah sebagai patokan dalam menetapkan harga. Tabel 25 Pelaksanaan Prinsiv Efisiensi dalam Penentuan Alokasi Anpgaran -Belanja daerah Efisiensi Kabuoaten Kota Cilegon Pembahasan APBD: J Telah melalui pengkajian standar nilai ekonomi untuk mendukung penajaman prioriatas J Belum melalui pengkajian standar nilai ekonomi Penetapan alokasi belanja: J Telah mengunakan analisis benefit cost 4 Negosiasi antara pemda dan DPRD Penetapan alokasi belanja berdasarkan kendala anggaran ketat J Mutlak diterapkan J Melihat situasi Sulnber data: Hasil penelitian Lapangan tahun 2008.
lO(lOO%)
lO(lOO%)
O(0Yo)
O(O%)
8(80%) 2(20%)
6 (60%) 4 (40%)
(70%)
5 (50%) 5 (50%)
'-
3 (30%)
Berdasrkan Tabel 25, prinsip efisiensi di Kabupaten Lebak lebih baik dibandingkan dengan Kota Cilegon. Di Kabupaten Lebak sebesar 80% telah didasarkan pada analisis benefit cost sedangkan sisanya ditentukan negosiasi antara pernerintah daerah dan DPRD. Sedangkan di Kota Cilegon hanya 60% didasarkan analisis nilai benejt cost dan sisanya lebih banyak negosiasi antara eksekutif dan legislatif. Dcngan dctnikian alokasi optimal (prinsip efisiensi) masih terjadi kebocoran anggaran yang kemungkinan disebabkan oleh penetapan standar harga (money valzre) dan standar nilai ekonomi (economic value) yang kurang tepat. Oleh karena itu kapasitas sulnberdaya manusia perlu dipcrbaiki. Agar clisicnsi anggaran dapat dicapai, maka di cra otonon~idan desentralisasi kcdepan
hams diterapkan prinsip kendala anggaran ketat, hal ini disetujui oleh 50%-70% responden. Efektifitas pengelolaan keuangan daerah mempakan salah satu masalah yang sangat esensial dalam otonomi daerah. Amanat mengenai demokratisasi dan partisipasi masyarakat, keadi'
I
dan pemerataan, tidak cilkup hanya dijadikan
sebagai wacana publik, tetapi kita hams mulai mewujudkan dari sekarang. Mengefektifkan pengelolaan keuangan daerah dalam rangka melaksanakan pembangunan daerah bukanlah masalah pemerintah sendiri, tetapi menjadi masalah seluruh agen-agen pembangunan dan masyarakat bersama. Efektifitas pengelolaan keuangan daerah menjadi sangat penting untuk dievaluasi karena mengambarkan apakah pengelolaan anggaran daerah menghasilkan
manfhal
sosial (social benejit) yang maksimal bagi masyarakat. Efektifitas anggaran dapat diukur melalui evalua:i kineja anggaran. Kondisi ideal yang diharapkan adalah pemerintah daerah memiliki kapasitas evaluasi yang tinggi untuk mendukung bekejanya si-:em pengelolaan keuangan daerah yang efektif. Tabel 26 menunjukkan bahwa kinerja anggaran dievaluasi jangka pendek (masa pelaksanaan) dievaluasi melalui kunjungan kerja DPRD dan saat akan menganggarkan kembali untuk tahun berikutnya dievaluasi oleh badan pengawas. Pada jangka panjang biasanya tetap dievaluasi oleh pemerintah daerah dan masa &an berakhirnya masa jabatan. Efektifitas anggaran juga akan lebih ditingkatkan apabila didukung dengan pola partisipasi aktif masyarakat. Hal ini dijawab oleh 70% responden di Kabupaten Lebak dan 80% di Kota Cilegon setuju dengan adanya survei opini publik yang tujuannya adalah untuk memperoleh umpan balik dari masyarakat umum terhadap kinerja pemerintah daerah. Kota Cilegon lebih baik dalam menyelengarakan prinsip efektifitas anggaran dibandingkan dengan Kabupaten Lebak. Sekitar 20 %-30% setuju dengan penilaian kineja cukup di evaluasi oleh DPRD saja ha1 ini karena DPRD adalah wakil rakyat. Efektifitas penyusunan anggaran dengan pendekatan kinerja berarti untuk setiap kegiatan yang akan dilaksanakan hams ditetapkan secara jelas dan terukw untuk keluaran (outputs) yang ingin dicapai d m hasil (oulcome.~) yang jelas. Responden di kedua wilayah Kabupaten Lebak dan Kota Cilegon setuju 100% bahwa memang peningkatan
efektifitas anggaran harus melalui pengkajian yaii,: objektif dan berorientasi output. Pendapat responden bahwa indikator kineja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan bempa barang dan jasa. Keberhasilan suatu kegiatan diukur dengan output, sedangkan program diukur dengan outcome. Output adalah scsuaiu yang diperoleh baik bempa barang atau jasa setelah dilaksanakannya suatu kegiatan, contoh kegiatan misalnya pembangunan gedung sekolah, maka outputnya berupa gedung sekolah. Oulcome mempakan suatu keadaan yang mencerminkan berfungsinya output misalnya bila gedung sekolah yang barn saja dibangun benar-benar digunakan sebagai gedung sekolah, maka
outcome dari program pembangunan sekolah tercapai (efektif). Tabel 26 Pelaksanaan Prinsip Efektifitas dalam Penentuan Alokasi Anggaran Belanja daerah Kab. Lebak Efektifitas Penilaian kinerja anggaran: O(O%) J Evaluasi 3-5 tahunan 0(0%) J Evalusi tahunan 10(100%) J Kedua-duanya dilakukan Penilaian kinerja pemerintah daerah: 7(70%) J Evaluasi langsung (survei opini publik) 3(30%) J Cukup dievaluasi oleh DPRD saja Peningkatan efektifiatas anggaran: hams melalui pengkajian kebutuhan yang objektif dan berorientasi output: IO(IM)%) J Setuju O(O%) 4 Tidak setuju Sumber data: Hasil penelitian Lapangan tahun 2008
Kota Cilegon 0(O0h) O(O%) 10(100%) 8(80%) 2(20%)
10(100%) O(O%)
5.3.4 Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat di era otonomi daerah diperlukan agar pemerintah daerah lebih responsif, efisien, efektif dan akuntabel dan melayani kebutuhan masyarakat. Partisipasi sebagai salah satu prinsip good governance, dimaknai sebagai keterlibatan masyarakat. Dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat pemerintah daerah perlu membuka aliran informasi dan dialog terbuka dengan masyarakat serta kebijakan invcstasi yang tidak diskriminasi bagi swasta. Upaya-upaya dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat ke arah ini sudah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah di semua lokasi penelitian antara lain melalui wakil-wakil rakyat yang ada (DPRI)). Melalui wnkil-wakil rakyat
keteladanan elit politik di daerah. Keteladanan para pemimpin daerah dalam penegakan hukum dan berperilaku baik merupakan beban biaya implisit bagi semua bawahan dan juga masyarakat secara umum membangun pemerintahan yang memenuhi prinsip-prinsip good governance. Tanpa ha1 ini suksesnya desentralisasi hanya utopia belaka.
5.3.5 Akuntabilitas dan Transparansi Akuntabilitas
dapat
diartikan
sebagai
bentuk
kewajiban
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksananan misi organisasi dalarn mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Dengan kata lain akuntabilitas dan transparansi mempakan instrumen penting untuk membangun sistem pemerintahan daerah yang good governance. Tabel 28 Perilaku Pemerintah Daerah ke Arah Akuntabilitas Akuntanbilitas Pengawasan keuangan: J Diperiksa oleh akuntan publik J Diperikasa secara internal oleh badan pengawasan Sumber data: Hasil penelitian Lapangaa tahun 2008
Kabupaten Lebak
Kota Cilegon
e
I0 (100%) 10(100%)
10 (100%) 10 (100%)
Pemberian wewenang dan keleluasaan hams diikuti dengan pengawasan dan pemeriksaan yang efektif. Pengawasan dilakukan oleh pihak luar eksekutif (dalam ha1 ini DPRD d m masyarakat). Penguatan h g s i pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang antara eksekutif dan masyarakat. Terdapat pemahaman yang salah ketika pengawasan DPRD terhadap pihak eksekutif adalah pemeriksaan (audit) padahal seharusnya pengawasan
tcrhadap eksekutif adalah pengawasan terhadap
pelaksanaan kehijakan yang telali digariskan. Pemeriksaan tetap hams dilakukan
oleh badan atau lembaga yang memilki otoritas dan keahlian profesional seperti BPK. Data hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 28 di atas menujukhan bahwa keinginan pemerintah daerah untuk akuntabel cukup tinggi. Kedua wilayah yaitu Kabupaten Lebak (100%) dan Kota Cilegon (100%) pengawasan sudah dilakukan keduanya baik internal maupun dari akuntan publik. Terkait dengan keinginan pemerintah untuk berperilaku transparan, menurut pendapat responden perlu pola pertanggungjawaban laporan keuangan pemerintah daerah. Saat ini laporan pertanggungjawaban lebih bersifat horizontal di mana pemerintah daerah bertanggungjawab baik kepada IIPRD maupun pada masyarakat luas (dual horizontal). Publikasi laporan keuangan kepada masyarakat sud* dilakukan melalui koran, radio, perpusatakan dan website. Pada Tabel 29 menunjukkan harapan dari keinginan pemerintah daerah untuk berperilaku transparan dapat ditunjukkan dari transparansi di bidang anggaran cukup tirlggi. Kabupaten Lebak(100%) dan Kota Cilegon (100%) dalam rangka pencapaian prinsip transparansi Kota Cilegon lebih baik (20%) dibandingkan dengan Kabupaten Lebak (40%). Tabel 29 Perilaku Pemerintah Daerah dalam Membane .in Transparansi Transparansi ~ibu~aten Kota Lebak Cilegon Pilihan laporan keuangan daerah: 4 hblikasi laporan keuangan daerah secara 10 (100%) I0 (100%) benar dan terbuka melalui media rnasa 4 dilaporkan kepada DPRD saja 4 (40%) 2 (20%) Pemda sebaiknya menerima kritik dari masyarakat luas dengan memhuka dialog dan mendukung kebebasan pers di daerah: 4
----,-
Setlti~l
4 Tidak setuju
o~o%) '
0(0%)
Sumber data: Hasil penelitian Lapangan tahun 2008
5.4 Dampak Berlakunya Otonomi Daerah di Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak: Penerapan AnaNyrc hierarcI~yProcess (Manfaat dan Biaya) Berlakunya otonomi daerah akan memberikan dampak sosial ekonomi baik dampak manfaat maupun kerugian yang bersifat kualitatif. Pendekatan AHP (Anrrliylic hierarchy process) dapat mengkaji hal-ha1 yang yang bersifat kualitatif
tersebut melalui sistem yang diarnati dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran urnum terhadap sistern yang dikaji. Selanjutnya dari hasil identifikasi tersebut akan
memperoleh
beberapa
variabel
yang
cukup
mendominasi
yang
menggambarkan dampak kebijakan otonomi daerah kabupaten dan kota di I'rovinsi Banten. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan maka disusun Lierarki yang mengambarkan manfaat dan juga biaya dari berlaku kebijakan otonomi daerah. Pada level pertarna men~gambarkantujuan atau sasaran yang akan dianalisis. Pada level kedua mengambarkan aspek yang dianalisis yang meliputi aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Di mana pada setiap aspek akan dianalisis kriteria-kriteria yang berpengaruh atas dampak berlakunya otonomi daerah di Kabupaten Lebak (Banten Selatan) dan Kota Cilegon (Banten Utara) dari sisi manfaat dan biaya. Manfaat dan biaya diceminkan oleh pandangan atau pendapat para responen antara lain para pengambil keputusan yang berasal dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, LSM, yang terlibat atau memahami kondisi kebijakan otonomi daerah serta laporan studi dan pustaka yang berkaitan. 5.4.1 Dampak Positif Manfaat Berlakunya Otonomi Daerah di Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak Provinsi Banten Berdasarkan analisis darnpak manfaat berlakunya otonomi daerah Kota
Cilegon dan Kabupaten Lebak. Prioritas pertama yang berpengaruh untuk memperoleh manfaat dari bt,.akunya Otonomi daerah atlalah faktor ekonomi (Kota Cilegon; 0,661 dan Kabupaten Lebak; 0,683). Kriteria yang menjadi prioritas utama terhadap dampak manfaat berlakunya otonomi daerah adalah peningkatan PAD (Kota Cilegon; 0,413 dan Kabupaten Lebak; 0,687), Kebijakan otonomi daerah diharapkan akan meningkatkan ekonomi wilayah. Setiap daerah memiliki kewenangan dalam rangka peningkatan dan pengoptimalan potensi daerah yaitu pajak dan rctrihusi. Dampak peningkatan PAD mengakibatkan keuangan relatif besar seningga akan memberikan darnpak sosial y,litu peningkatan pelayanan kepada masyarakat yang semakin membaik sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat. Dampak manfaat dari aspek sosial yang terhesar di kedua wifn,ah yaitu Kota Cilegon dan Kabupatcn 1,ebak adalah tcrsedianya akses pelayanan (Kota Cilcgon; 0,493 dan
Kabupaten Lebak, 0,443) yang diikuti dengan kualitas akses pelayanan (Kota Cilegon: 0,311 dan Kabupaten Lebak; 0,387) dan dampak otonomi daerah yang terakhir adalah penyerapan tenaga kerja (Kota Cilepon; 0,196 dan Kabupaten Lebak; 0,169). Kebijakan otonomi daerah sasaran utamanya dapat mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Konsekuensinya seberapa jauh pendapatan asli daerah dapat memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan otonomi itu sendiri. sehingga pada akhimya
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Diharapkan
dengan
peningkatan akses pelayanan maka akan memicu investasi swasta di daerah. Dengan demikian akan memicu peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah. Namun dalam jangka panjang ini akan berdampak negatif pada sumberdaya lingkungan. Manfaat laimya adalah manfaat bagi lingkungan hidup. Dampak manfaat bagi lingkungan di Kabupaten Lebak adalah konsewasi lingkungan (0,413). Wilayah Kabupaten Lebak men~pakanwilayah berkarakteristik perdesaan dengan struktur perekonomian yang mengandalkan sektor primer yaitu pcrtnnian khususnya perkebunan sebagai subsektor yang diandalkan. Saat ini pemerintahan Kabupaten Lebak sedang melakukan konservasi teratama pada lahan-lahan yang kritis dan lahan-lahan yang di,,unakan swasta untuk penebangan pasir. Sedangkan manfaat lingkungan dari dampak berlakunya kebijakan otonomi daerah di Kota Cilegon adalah pencegahan degradasi lingkunga~ (0,414). Kota Cilegon wilayahnya berkarakteristik perkotaan yang memiliki industri-industri besar sehingga kerusakan lingkungan cukup besar adalah pencemaran air dan udara. kegiatan perekonomian yang mengarah pada industri yang tentu saja banyak berdampak bumk pada lingkungan sekitar. Upaya-upaya pemerintah Kota Cilegon diprioritaskan upaya-upaya lingkungan
yaitu penangganan limbahlsampah di
masyarakat, penangganan dan pemberian sanksi keras kepada pihak swasta yang tidak memperdulikan masalah limbah industrinya. Upaya-upaya
di atas
diharapkan akan tercapai kenyamanan dan keamanan bagi masyarakat. Berdasarkan hasil dari bobot pendapat gabungan responden perumus kebijakan menunjukkan bahwa stakeholders yang bertanggungjawab untuk mcmperoleh manfaat dampnk otonomi daerah adalah pemerintah (Kota Cilegon:
0,335 dan Kabupaten Lebak: 0.397) dikuti swasta (Kota Cilegon; 0.301 dan Kabupaten Lebak; 0,257), masyarakat (Kota Cilegon; 0,205 dan Kabupaten Lebak; 0,189), dan yang terakhir LSM (Kota Cilegon; 0,158 dan Kabupntcn Lebak, 0,156). Tata pemerintahan memiliki tiga pilar domain yaitu peinerintahan (State), Swasta (private sector) dan masyarakat (Society), k d g a domain tersebut di atas berada dalam kchidupan berbangsa bemegara dan bermasyarakat. Sektor pemerintah lebih banyak memainkan peranan sebrgai pembuat kebijakan, pengcndali dan pengawasan. Sektor swasta lebih banynk berkecimpung dan menjadi pengerak aktifitas di bidang ekonomi sedangkan masyarakat yang didalamnya termasuk LSM merupakan objek sekaligus subjek dari sektor pemerintahan maupun swasta. Dari hasil tersebut menempatkan pemerintah sebagai penanggungjawab memperoleh dampak manfaat dari kebijakan otonomi daerah di Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak. Pemerintah harus bekerja sama dengan swasta dan masyarakat untuk mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Adapun bobot dan prioritas stakeholder yang bertanggungjawab pada faktor manfaat dari dampak berlakunya otonomi daerah di Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak dapat dilihat pada Gambar 20 dan Gambar 21.
5.4.2 Dampak Negntif (Biaya) Berlakunya Kebijakan Otonomi Daerah Kota Cilegon dan Kabupnten Lebak di Provinsi Banten Faktor yang paling berpengaruh dari dampak negatif kebijakan otonomi daerah di kedua wilayah yaitu Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak adalah faktor lingkungan. Dalarn aspek lingkungan, kriteria komponen dampak yang paling dirasakan menurut pendapat gabungan responden adalah pencemaran lingkungan
dengan nilai bobot (Kota Cilegon; 0,413 dan Kabupaten Lebak, 0,594). Hal ini karena masih banyaknya masyarakat yang tidak sadar akan lingkungan seperti membuang sampah ke sungai yang menyebabkan pencemaran air, banjir dan lainlain. Di Kota Cilegon dengan kondisi industri dampak negat fnya adalah pencemaran lingkungan adalah dari pihak swas,a yang kadang tidak memperdulikan kelestarian alam sekitamya. Berbagai
permasalahan
yang menyangkut
otonomi
daerah
telah
hcrmunculan kc pcr~nukaan.Oricntasi untuk mendapatkan pcncrimaan dacrah
(PAD) secara besar-besaran atas sumberdaya alam. Sikap ego pemegang otoritas daerah dapat mengakibatkan konflik yang semakin memperparah kondisi sumberdaya alam dan lingkungan (Rustiadi, 2007). Adapun faktor sosial dampak negatiflkerugian yang sangat dirasakan dari gabungan pendapat respondcn di Kota Cilegon adalah perubahan pola hidup (0,413) yang diakibatkan banyahnya masyarakat mulai mengenal diskotik, dugem, dan pergaulan bebas. Sedangkan yang paling besar aspek sosial yang dirasakan di Kabupaten Lebak adalah banyaknya penggangguran (0,550). ha1 ini karena banyaknya pemuda yang bermigrasi ke daerah lain karena sulitnya mencari kerja di sini kecuali benviraswasta, pedagang atau buruh tani. Kriteria dampak negatif yang paling rendah adalah ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintahan daerah (Kota Cilegon; 0,260 dan Kabupaten Lebak; 0,240),
ha1 ini karena
pelaksanaan otonomi daerah dl Kota Cilegon justru mm~culnyapermasalahan
KKN yang sulit sekali dihapuskan, munculnya KKN tidak hanya ditingkat Kabupatenlkota tapi juga tingkat Provinsi seperti penjualan jabatan (semacam penjualan kavling tanah) untuk menduduki setiap jabatan yang diinginkan dijual dengan harga 40-60 juta, begitu pula pendapat perumus keb~jakandi Kabupaten Lebak bahwa dampak negatif selain lingkungan yaitu penlindahan korup\i dari pusat ke daerah sehingga membentuk kerajaan-kerajaan kecil di daerah. Dalam aspek ekonomi. Komponen-komponen dampak biayaikemgian tidak ada perbedaan antara Yota Cilegon dan Kabupaten Lebak, paling besar dirasakan di Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak yaitu kesenjangan pendapatan. Semenjak berlakunya kebijakan otonomi daerah perl-sdaan pendapatan semakin meningkat di antara golongan masyarakat terutama masyarakat pedatang dan masyarakat asli. Selanjutnya dampak paling rendah adalah biaya administrasi pelayanan pemerintah, ha1 ini karena dengan pelaksanaan otonomi daerah akan memicu pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat tanpa membebani masyarakat. Berdasarkan hasil dari bobot pendapat gabungan responden perumus kebijakan
menunjukkan bahwa stakeholders yang bertanggungjawab dalam
dampak negatiflkerugian di Kota Cilegon adalah pemerintah dikuti swasta, masyarakat dan terakhir LSM. Di Kabupaten Lebak stakeholder yang bertwggung jawab dampak negatif kebijakan otonomi daerah adalah pemerintah,
swasta, LSM dan masyarakat. Peran LSM yang lebih besar di Kabupaten Lebak di bandingkan dengan Kota Cilegon ha1 ini karena aktifnya LShtl dalam memberikan sumbangan partisipasi terhadap proses perencanaan pembangunan wilayah.
Gambar 21. Dampak Manfaat Otonomi Daerah Di Kota Cilegon
Dampak Otonomi daerah
Sosial (0,311)
Ekonomi fO,l%)
Pendapatan masyaraka~ berkurang
Biaya adm.pelayanan (0.105)
Kesenjangan pendapatan (0,637)
(0,258) P
I
r---l Pemerintah Gambar 22. Dampak Biaya Otonomi Daerah Di Kota Cilegon
I
LSM (0,1601
I
I Dampak Otonomi daerah
1
I I Pendapatan myarakat berkurang (0,297)
Sosial (0,196)
Ekonomi (0,311)
(0,493)
I Kwjangan pdaPatan (0,540)
I
Biaya adm.pelayanan (0,163)
Pembahan pola hidup (0,210)
pengangguran (0,550)
I
Gambar 24. Dampak Biaya Otonomi Daerah Di Kabupaten Lebak
Pencemaran percayaan pd pemerintah (0,240)
I