DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK PADA SEKTOR TANAMAN BAHAN MAKANAN DI KOTA BOGOR TERHADAP OUTPUT, PENDAPATAN, DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA
NOVIANTI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk pada Sektor Tanaman Bahan Makanan di Kota Bogor terhadap Output, Pendapatan, dan Penyerapan Tenaga Kerja” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2012
Novianti H44080068
RINGKASAN NOVIANTI. Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk pada Sektor Tanaman Bahan Makanan di Kota Bogor terhadap Output, Pendapatan, dan Penyerapan Tenaga Kerja (dibimbing oleh ADI HADIANTO) Sektor tanaman bahan makanan merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Kota Bogor karena menyangkut hajat hidup sebagian masyarakat yang secara langsung dan tidak langsung bergantung pada sektor tersebut. Oleh karena itu, diperlukannya intervensi kebijakan pemerintah, diantaranya melalui pemberian subsidi pupuk pada sektor tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis peran sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian Kota Bogor dan (2) menganalisis dampak kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis input-output dengan menggunakan basis data Tabel Input-Output (I-O) Kota Bogor tahun 2008 yang diagregasi ke dalam 12 sektor perekonomian. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi sektor tanaman bahan makanan terhadap pembentukan nilai tambah bruto (NTB) wilayah relatif rendah yaitu sekitar 0.42 persen dibandingkan sektor lainnya seperti industri pengolahan dan jasa yang mencapai 16 persen dari total NTB wilayah. Namun demikian dari sisi pembentukan permintaan antara, permintaan akhir, dan permintaan total relatif cukup besar yaitu masing-masing sekitar 0.19 persen, 3.24 persen, dan 1.91 persen dari total permintaan wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa sektor tanaman bahan makanan memiliki peran dalam pembentukan struktur permintaan sektor lain meski nilai tambah tersebut relatif kecil. Output sektor tanaman bahan makanan memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lain. Produk dari sektor ini banyak digunakan oleh sektor lain sebagai input, dan sebaliknya sektor ini juga memerlukan input dari sektor lain untuk menghasilkan output . Hasil perhitungan diperoleh bahwa koefisisen penyebaran (backward lingkage) sektor tanaman bahan makanan sebesar 1.16 (>1) yang mengindikasikan bahwa sektor tanaman bahan makanan mampu mendorong pertumbuhan sektor hulunya. Sedangkan nilai kepekaan penyebaran (forward lingkages) sektor tanaman bahan makanan adalah sebesar 0.16 (< 1) yang menunjukkan bahwa sektor tanaman bahan makanan kurang mampu mendorong pertumbuhan sektor hilirnya. Nilai koefisien penyebaran lebih besar daripada nilai kepekaan penyebaran yang menjelaskan bahwa sektor ini lebih banyak dikonsumsi secara langsung daripada dipasarkan atau diolah menjadi produk lain. Sektor tanaman bahan makanan juga memiliki multiplier output (2.06), tenaga kerja (2.02) dan pendapatan (5.64) yang lebih besar dari 1 (> 1). Hal ini menjelaskan bahwa apabila terjadi kenaikan pada permintaan akhir sebesar satu juta rupiah pada sektor tanaman bahan makanan, maka akan meningkatkan output wilayah sebesar 2.06 juta, pendapatan sebesar 5.64 juta dan tenaga kerja sebesar 2.02 atau sekitar dua orang. Selanjutnya hasil simulasi menunjukkan bahwa jika kebijakan subsidi pupuk dilakukan pada sektor tanaman bahan makanan, maka akan memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian wilayah baik terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Jika pemerintah daerah
memberikan subsidi pupuk disektor tersebut sebesar Rp 772 juta maka output sektor tanaman bahan makanan meningkat sebesar 788.93 juta, pendapatan rumah tangga pada sektor tanaman bahan makanan menjadi sebesar Rp 754.88 juta dan mampu menciptakan lapangan kerja baru sebanyak 135 orang. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa pemberian subsidi pupuk memberikan dampak positif bagi perekonomian wilayah Kota Bogor, meskipun dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala terutama terkait dengan masalah penggunaan dan distribusi. Berdasarkan hasil uraian diatas, maka saran dalam penelitian ini antara lain (1) tetap melanjutkan kebijakan pemberian subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan karena mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian wilayah, terutama pembentukan output, meningkatkan pendapatan rumah tangga, dan menciptakan lapangan kerja (2) agar dampak dari kebijakan subsidi pupuk dirasakan lebih efektif, maka permasalahan mengenai penggunaan dan distribusi harus diatasi dengan cara pemberian penyuluhan secara intensif mengenai penggunaan pupuk yang sesuai dengan dosis dan penegakan hukum untuk setiap penyalahgunaan distribusi pupuk. Kata Kunci : Subsidi Pupuk, Analisis Input-Output, Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja
DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK PADA SEKTOR TANAMAN BAHAN MAKANAN DI KOTA BOGOR TERHADAP OUTPUT, PENDAPATAN, DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA
NOVIANTI H44080068
Skripsi Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Skripsi : Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk pada Sektor Tanaman Bahan Makanan di Kota Bogor terhadap Output, Pendapatan, dan Penyerapan Tenaga Kerja Nama : Novianti NIM : H44080068
Disetujui Pembimbing
Adi Hadianto, SP, M.Si NIP. 19790615 200501 1 004
Diketahui Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Kelulusan :
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya dan juga kedua orang tua yang selalu memberikan doa dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Dampak Subsidi Pupuk pada Sektor Tanaman Bahan Makanan terhadap Output, Penyerapan Tenaga Kerja dan Pendapatan”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam penyelesaian studi Sarjana Ekonomi pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan, saran, motivasi serta memberikan waktu luang dalam penulisan skripsi ini. 2. Ir. Nindyantoro, MSP sebagai dosen penguji utama dan Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si sebagai dosen penguji wakil departemen yang telah meluangkan waktu untuk menguji serta memberikan saran serta masukan bagi penulis. 3. Wulandari, Muhammad Ridwan, Muhammad Ikhsan, Norman Saputra, dan Septian Handika sebagai kakak dan adik yang memberikan dukungan serta saran atas penyelesaian skripsi ini. 4. Bapak/Ibu staf Dinas Pertanian Kota Bogor, Bappeda Kota Bogor, Badan Pusat Statistik, PT. Pupuk Kujang, yang telah memberikan kemudahan data untuk keperluan penulisan skripsi ini dan waktu luang atas diskusi yang diberikan. 5. Rekan-rekan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, khususnya untuk sahabat-sahabat terbaik Yuliana Ermawan, Eva Liana Sari, Dea Amanda, dan Fauziah Azzahro. 6. Rekan-rekan bimbingan skripsi yang telah membantu dalam suka maupun duka selama penyelesaian skripsi ini : Mafia Sartika Dewi, Adelina Anjani, Rani Sumarni, Septiana Ully, Anissa Saras Waty, dan Latifah Hanum dan seluruh staf pengajar di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Terimakasih atas kerjasama dan dukungannya selama ini.
7. Paguyuban Karya Salemba Empat dan Beasiswa Indofood Sukses Makmur (BISMA) yang telah memberikan banyak dukungan secara finansial dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat luas khususnya kalangan perguruan tingi sebagai referensi dalam melakukan penelitian sejenis.
Bogor, Juli 2012
Novianti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 03 November 1990 dari pasangan Sri Mulyadi dan Maryanah yang merupakan anak keempat dari enam bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Guntur 04 Pagi, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 57 Jakarta, dan penulis diterima di SMA Negeri 79 Jakarta pada tahun 2006 dan lulus tahun 2008 dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) sehingga menjadi mahasiswa Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Selama Program Studi penulis aktif pada berbagai organisasi antara lain aktif di BEM Fakultas Ekonomi dan Manajemen, dan menjadi Ketua UKM Taekwondo IPB selama dua tahun berturut-turut. Penulis
mendapatkan
beberapa
beasiswa
selama
program
studi,
diantaranya : Peningkatan Prestasi Akademik (PPA), Beasiswa dari Paguyuban Karya Salemba Empat IPB, dan Beasiswa Indofood.
DAFTAR TABEL Nomor 1.1. 1.2. 1.3.
Halaman Kontribusi Sektor dalam Perekonomian Kota Bogor Tahun 2009-2010 ............................................................................................
2
Prediksi Kebutuhan Konsumsi Tanaman Bahan Makanan Penduduk ..............................................................................
4
Jenis Pupuk, Target, Realisasi, dan Capaian Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Kota Bogor Tahun 2010 .....................................
7
2.1.
Kerangka Dasar Tabel Input-Output .................................................... 23
4.1.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ........................................................ 35
4.2.
Rumus Multiplier Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja .................. 40
5.1.
Banyaknya Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kota Bogor Tahun 2010 .................................................................. 49
5.2.
Penggunaan Lahan Pertanian Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010 ............................................................................... 50
5.3.
Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010 ............................................................................... 51
6.1.
Permintaan Antara dan Permintaan Akhir Sektor Perekonomian Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor .................................... 54
6.2.
Struktur Nilai Tambah Bruto Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor ............................................................................ 55
6.3.
Rasio Upah dan Gaji Terhadap Surplus Usaha di Kota Bogor Tahun 2008 .......................................................................................... 56
6.4.
Koefisien Penyebaran dan Kepekaan Penyebaran Antar Sektor di Kota Bogor Tahun 2008 .................................................................. 59
6.5.
Multiplier Output ................................................................................. 61
6.6.
Multiplier Pendapatan .......................................................................... 62
6.7.
Multiplier Tenaga Kerja ....................................................................... 63
6.8.
Rekap HPP Pupuk Urea Subsidi Tahun 2008-2012 ............................ 63
6.9.
Pupuk Urea Bersubsidi di Kota Bogor Tahun 2008-2012 ................... 64
6.10. Dampak Subsidi Pupuk pada Output Tanaman Bahan Makanan ............................................................................................... 67 6.11. Dampak Subsidi Pupuk pada Pendapatan Sektor Tanaman Bahan Makanan ................................................................................... 69 6.12. Dampak Subsidi Pupuk pada Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Tanaman Bahan Makanan.................................................................... 71
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
2.1.
Permintaan dan Penawaran dari Bahan Tanaman Bahan Makanan Pokok ................................................................................... 16
2.2.
Mekanisme Pembentukan Harga Pupuk Setelah Adanya Kebijakan Subsidi ................................................................................ 17
2.3.
Kuadran Matriks Tabel Input-Output .................................................. 23
3.1.
Alur Kerangka Pemikiran Operasional ................................................ 33
5.1.
Peta Kota Bogor ................................................................................... 47
6.1.
Diagram Pupuk Urea Bersubsidi di Kota Bogor.................................. 64
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1
Sektor Tabel Input-Output Kota Bogor 28 Sektor Tahun 2008 .......................................................................................... 80
2
Sektor Tabel Input-Output Kota Bogor 12 Sektor Tahun 2008 .......................................................................................... 81
3
Tabel Input-Output Kota Bogor 28 Sektor Tahun 2008 ...................... 82
4
Tabel Input-Output Kota Bogor Klasifikasi 12 Sektor ........................ 87
5
Matriks Koefisien Input ....................................................................... 88
6
Matriks Kebalikan Leontief Terbuka ................................................... 89
7
Multiplier Output ................................................................................. 90
8
Multiplier Pendapatan .......................................................................... 91
9
Multiplier Tenaga Kerja ....................................................................... 92
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang
sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di Indonesia. Penggunaan lahan sawah untuk tanaman bahan makanan di Jawa Barat menempati urutan kedua setelah Jawa Timur yaitu seluas 1.12 juta ha (BPS, 1999). Namun sebagian besar di wilayah Jawa Barat memiliki lahan pertanian yang telah banyak dikonversi untuk sektor lain seperti industri, perdagangan, jasa, dan lain-lain sehingga daerah-daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan tanaman bahan makanan harus disuplai dari daerah lain. Kota Bogor merupakan salah satu daerah yang dalam menyediakan tanaman bahan makanan harus disuplai oleh luar wilayah. Ketersediaan tanaman bahan makanan yang dibutuhkan penduduk Kota Bogor sebagian besar tidak dapat dipenuhi oleh produksi sendiri, melainkan disuplai oleh luar wilayah seperti Kabupaten Bogor. Kota Bogor bukan merupakan daerah pertanian tetapi masalah pertanian masih sangat diupayakan dalam jajaran Pemerintah Daerah Kota Bogor melalui Dinas Agribisnis karena masih ada lahan yang dapat digunakan sebagai lahan pertanian. Sektor pertanian di Kota Bogor bukan merupakan sektor ekonomi yang dominan, tetapi penggunaan lahan baik sawah maupun bukan sawah masih tetap mendapat perhatian utama pemerintah daerah Kota Bogor. Pada tahun 2010 terdapat 793 ha lahan sawah dan 2 735 ha lahan bukan sawah di Kota Bogor. Selain padi dan palawija, tanaman holtikultura merupakan andalan sektor pertanian di Kota Bogor. Selain pertanian tanaman bahan makanan, sektor 1
peternakan dan perikanan juga masih cukup berkembang di Kota Bogor (BPS Kota Bogor, 2011). Namun Sektor pertanian merupakan sektor penting yang menyediakan kebutuhan pokok untuk tanaman bahan makanan penduduk dan sektor pertanian merupakan sektor primer yang berkontribusi nyata terhadap PDRB di Kota Bogor. Berikut ini merupakan struktur ekonomi Kota Bogor menurut kelompok sektor atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2009-2010. Tabel 1.1. Kontribusi Sektor dalam Perekonomian Kota Bogor Tahun 2009-2010 Kode Sektor A. PRIMER 1 Pertanian Pertambangan & 2 Penggalian B. SEKUNDER 3 Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air 4 Bersih 5 Bangunan C. TERSIER 6 Perdagangan, Angkutan dan 7 Komunikasi Keuangan, Persewaan & 8 Jasa Perusahaan 9 Jasa-jasa
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku 2009*) 2010**) 0.2 0.19 0.2 0.19
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2009*) 2010**) 0.3 0.29 0.3 0.29
0 33.12 25.57
0 33.19 25.9
0 38.42 28.25
0 38.4 28.34
2.06 5.49 66.68 38.4
2 5.29 66.63 37.16
3.24 6.92 61.28 29.54
3.27 6.79 61.3 29.24
14.45
15.35
10.06
10.19
10.22 3.97
10.39 3.72
14.39 7.29
14.63 7.25
*)Angka Perbaikan **)Angka Sementara Sumber : Dinas Pertanian Kota Bogor (2010)
Peran sektor pertanian sangat luas dan mencakup beberapa indikator. Indikator peran sektor pertanian antara lain: 1. pertanian sebagai penyerap tenaga kerja yang cukup besar, 2. pertanian merupakan penghasil makanan pokok penduduk, 3. komoditas pertanian sebagai penentu stabilitas harga. Harga produkproduk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen
2
sehingga
dinamika
sangat
berpengaruh
terhadap
inflasi,
4.
akselerasi
pembangunan pertanian sangat penting untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor, 5. komoditas pertanian merupakan bahan industri manufaktur pertanian. Sektor pertanian adalah prasyarat bagi adanya sektor industri manufaktur pertanian berlanjut, 6. pertanian memiliki keterkaitan sektoral yang tinggi. Keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor lain dapat dilihat dari aspek keterkaitan produksi, keterkaitan konsumsi, keterkaitan investasi, dan keterkaitan fiskal. (Setiawan, 2010) Produksi tanaman bahan makanan di Kota Bogor yang berasal dari seluruh kecamatan yang ada pada tahun 2004 yaitu tanaman padi sawah sebanyak 5 788.16 ton, jagung 1 424.28 ton, kacang tanah 59 ton, ubi kayu 5 530 ton, ubi jalar 1 219 ton, total produksi sayuran 6 332 ton dengan hasil terbanyak diperoleh dari produksi ketimun sebesar 1 700 ton dan terung sebesar 1 620 ton, total produksi buah-buahan 487 90 ton sebagian besar yang disumbang oleh produksi pepaya 80.30 ton dan rambutan sebesar 55.80 ton. Produksi beras berasal dari padi sawah. Selama periode tahun 2002 sampai 2005 produksi padi mengalami peningkatan. Pada tahun 2002 produksi padi sebesar 4 035 ton, tahun 2003 menjadi 9 953.28 ton, tahun 2004 sebesar 5 788.16 ton dan pada tahun 2005 menjadi 7 185 ton. Peningkatan produksi ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman bahan makanan yang semakin bertambah. Berikut ini merupakan tabel prediksi kebutuhan konsumsi tanaman bahan makanan penduduk Kota Bogor.
3
Tabel 1.2. Prediksi Kebutuhan Konsumsi Tanaman Bahan Makanan Penduduk Jenis Bahan Makanan Beras Jagung Umbi-umbian Kacang-kacangan Sayuran Buah-buahan Daging Telur Susu Ikan
Konsumsi Tabaman (kg/kap/th) 109.7 2.83 17.8 8.31 50.73 29.41 5.97 5.24 1.23 18.75
Kebutuhan Masyarakat (ton) 91 822.66 2 368.99 14 897.85 6 995.15 42 458.88 24 614.93 4 996.63 3 858.56 1 029.45 15 692.96
Pemenuhan Produksi Lokal (ton) 6 290.05 2 620.80 1 523.26 51 66 8 295.78 3 100 00 3 091.98 0 2 148.50 2 247.18
Suplai Luar Daerah (ton) 92 226.35 16 261.51 59 885.30 13 658.53 45 641.95 46 158.20 5 199.82 3 858.56 1 859.42 18 901.54
Sumber : Dinas Pertanian Kota Bogor (2004)
Sektor pertanian membutuhkan dukungan dari berbagai pihak karena disamping pertanian sangat terkait dengan masalah fenomena perubahan iklim, bencana banjir, dan kekeringan terdapat fakta bahwa sebagian besar petani kita memiliki luasan lahan yang sempit, yaitu berkisar antara 0.5 ha-1 ha yang bisa disebut gurem dan terdapat sekitar 55 persen dari total petani yang ada di Indonesia. Produksi tanaman bahan makanan umumnya dihasilkan oleh petani gurem yang menggarap lahan yang relatif sempit dengan kemampuan dan keterampilan yang masih sangat terbatas serta kondisi perekonomian yang pada umumnya lemah. Hal ini menyebabkan perlunya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian. Petani dalam memproduksi lahan pertaniannya memerlukan input-input produksi dari mulai penanaman hingga pemanenan. Input produksi yang dibutuhkan seperti bibit atau benih, tenaga kerja, modal, peralatan tanam, peralatan bajak seperti traktor dan peralatan panen seperti rice milling unit (unit penggilingan padi) dan juga pupuk yang sangat bermanfaat untuk tanaman pertanian.
4
Pupuk merupakan input yang penting dalam pertanian serta memiliki pengaruh nyata pada produksi dan produktifitas komoditas tanaman bahan makanan terutama komoditas padi. Pupuk yang digunakan dalam pertanian terdapat dua macam, yakni pupuk organik dan pupuk anorganik, kedua jenis pupuk ini masih digunakan oleh petani. Pupuk organik menjadi andalan petani karena selain harganya sangat terjangkau dan manfaatnya lebih dirasakan daripada pupuk industri atau pupuk anorganik tapi pupuk anorganik merupakan sarana produksi yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan oleh petani kita. Walaupun pemerintah telah gencar mengadakan sosialisasi tentang substitusi pupuk anorganik dengan pupuk organik, kenyataannya peran pupuk anorganik masih belum tergantikan oleh pupuk organik. Perhatian pemerintah terhadap pupuk ini dapat diaplikasikan melalui pemberian subsidi pupuk baik pupuk organik maupun anorganik. Subsidi pupuk merupakan kebijakan pemerintah yang kebanyakan disorot oleh berbagai pihak, baik dari pihak petani, pemerintah itu sendiri, maupun pihakpihak yang berusaha mengambil keuntungan dari pemberian subsidi pupuk bahkan terdapat banyak pihak yang menyelewengkan atau menyalahgunakan subsidi pupuk dan pada akhirnya subsidi pupuk tersebut banyak yang tidak dinikmati oleh petani serta terdapatnya masalah penggunaan pupuk yang tidak rasional, menurut penelitian bahwa secara agronomis dibutuhkan sekitar 200-250 kg/ha, namun dewasa ini penggunaan pupuk melebihi batas toleransi tersebut, yaitu 350-450 kg/ha yang mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan tanah dan menimbulkan masalah pada lingkungan hidup.
5
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus sangat berhati-hati terhadap semua kebijakan yang akan diterapkan. Kebijakan subsidi pupuk memiliki pro dan kontra dari berbagai pihak. Disatu sisi pemberian subsidi pupuk menimbulkan
banyak
masalah
jika
penggunaan,
pendistribusian,
dan
penerapannya tidak dilakukan secara benar dan tepat sasaran tapi tidak dapat dipungkiri bahwa petani kita sangat membutuhkan subsidi dalam bidang pertanian terutama subsidi pupuk. Subsidi pupuk ini merupakan penolong bagi petani dalam memproduksi hasil pertanian mereka dan pemberian subsidi pupuk dapat meningkatkan kesejahteraaan petani yang dapat dilihat dari berbagai aspek diantaranya output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja petani di Kota Bogor. Terjadinya
peningkatan
maupun
pengurangan
subsidi
dapat
mempengaruhi jumlah output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian merupakan sektor primer sehingga menyebabkan banyaknya penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, semakin banyaknya perhatian pemerintah melalui subsidi pupuk dibidang tanaman bahan makanan juga akan menyebabkan pendapatan masyarakat pada sektor tanaman bahan makanan juga meningkat karena output tanaman bahan makanan juga akan meningkat seiring dengan murahnya harga input-input produksi termasuk pupuk dan memudahkan petani untuk mencapai penyediaan input tersebut tapi sebaliknya jika terjadi pengurangan subsidi pupuk. Subsidi pupuk yang selama ini diberikan masih dirasakan kurang di Kota Bogor karena terkadang jumlah yang diberikan pemerintah tidak sama dengan jumlah yang diterima petani, hal ini menimbulkan masalah yang cukup besar dalam hal penyaluran pupuk bersubsidi. Berikut ini
6
merupakan jenis pupuk, target, realisasi dan capaian pupuk bersubsidi di Kota Bogor Tahun 2010. Tabel 1.3. Jenis Pupuk, Target, Realisasi, dan Capaian Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Kota Bogor Tahun 2010 No Jenis Pupuk Target Realisasi Capaian (Ton) (Ton) (persen) 1 Urea 1000 951 95 2 Superphose/SP-36 182 136 75 3 NPK Phonska 400 149 37 4 NPK Kujang 250 5 ZA 100 31 31 6 Organik 100 Jumlah 2 032 1 267 40 Sumber : Dinas Pertanian Kota Bogor (2010)
Penelitian ini merupakan penelitian data sekunder. Data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber seperti Pemerintah Kota Bogor, Bappeda Kota Bogor, Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian serta sumber-sumber lain yang terkait. Penelitian ini penting dilakukan karena dampak dari kebijakan subsidi pupuk di Kota Bogor mempengaruhi sektor tanaman bahan makanan terutama dalam hal output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan. Penelitian ini pada akhirnya berusaha merumuskan kebijakan subsidi pupuk yang terbaik oleh pemerintah daerah Kota Bogor disamping banyaknya permasalahan yang menyangkut subsidi pupuk, kebijakan yang baik serta tepat sasaran dengan tujuan menyejahterakan petani di Kota Bogor. 1.2.
Perumusan Masalah Kota Bogor merupakan daerah yang memiliki kebutuhan akan tanaman
bahan makanan yang besar namun tidak dapat menyediakan atau memproduksi sendiri melainkan mengandalkan daerah lain dalam penyediaannya. Sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor memerlukan banyak perhatian serta
7
dukungan agar produksi tanaman bahan makanan dapat meningkat dan pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan tanaman bahan makanan di daerahnya sendiri dan mengurangi suplai dari daerah lain. Dukungan dan perhatian yang diperlukan berasal dari pemerintah karena disamping masalah perubahan cuaca, bencana alam dan kekeringan, sektor tanaman bahan makanan merupakan sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja di Kota Bogor dan berpengaruh terhadap perekonomian Kota Bogor. Sektor tanaman bahan makanan membutuhkan banyak input-input produksi yang terkadang menjadi hambatan petani untuk meningkatkan produksinya. Pupuk merupakan salah satu input penting dalam sektor tanaman bahan makanan terutama pertanian. Perhatian pemerintah terhadap petani yang terkait dengan pemberian pupuk adalah subsidi pupuk untuk tanaman bahan makanan. Subsidi pupuk yang diberikan selama ini oleh pemerintah Kota Bogor dapat mempengaruhi output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian. Kebijakan subsidi pupuk yang diberikan pemerintah dapat bertambah maupun berkurang. Peningkatan subsidi pupuk ini dapat berpengaruh positif bagi petani
karena
akan
menyebabkan
harga
eceran
pupuk
menurun
dan
mempermudah petani dalam penyediaan input dalam produksi. Sedangkan pengurangan subsidi pupuk ini menyebabkan harga eceran pupuk meningkat. Perubahan harga pupuk akan mempengaruhi struktur biaya usaha tani padi dan permintaan pupuk menurun, hal ini akan berpengaruh pula pada output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian. Perlunya perhatian pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang tepat tanpa
8
harus menyebabkan kesejahteraan petani kita menurun dan kebijakan tersebut dapat menyelesaikan masalah penyalahgunaan subsidi pupuk oleh beberapa pihak agar subsidi pupuk yang diberikan dapat diterima seluruhnya oleh petani. Penelitian ini penting dilakukan karena untuk mengetahui bagaimana dampak dari subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor terhadap output tanaman bahan makanan itu sendiri, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, perumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana peran sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian di Kota Bogor ?
2.
Bagaimana dampak kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja ?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang akan dicapai yaitu :
1.
Menganalisis
peran
sektor
tanaman
bahan
makanan
terhadap
perekonomian di Kota Bogor. 2.
Menganalisis dampak kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja.
1.4.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan memiliki batasan-batasan, yaitu:
1.
Data yang digunakan yaitu data sekunder tanpa adanya turun lapang langsung ke petani. Sumber data diperoleh dari Dinas Pertanian Kota
9
Bogor, Bappeda Kota Bogor, Badan Pusat Statistik, serta sumber-sumber lain yang terkait. 2.
Penelitian ini menganalisis bagaimana peran sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian Kota Bogor dari tahun 2008-2012.
3.
Penelitian ini menganalisis dampak kebijakan subsidi pupuk baik peningkatan maupun pengurangan subsidi pupuk di Kota Bogor terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan.
4.
Penelitian ini hanya menganalisis dampak kebijakan subsidi pupuk di Kota Bogor dari tahun 2008 sampai tahun 2012 dan hanya pada tanaman bahan makanan.
5.
Penelitian ini hanya menganalisis jenis pupuk urea bersubsidi karena dibanding dengan jenis pupuk yang lain pupuk urea memiliki dominasi yang cukup besar dalam subsidi pupuk di Kota Bogor atau dapat dikatakan bahwa pupuk bersubsidi adalah pupuk urea yang paling sering dan banyak digunakan oleh petani.
6.
Aspek yang dilihat dalam penelitian ini ada empat, diantaranya: 1) Output pada sektor tanaman bahan makanan. Setelah adanya kebijakan subsidi pupuk baik terjadinya peningkatan, pengurangan maupun tetap dari subsidi tersebut, apakah output pada sektor tanaman bahan makanan juga mengalami peningkatan, pengurangan atau tetap dan seberapa besar persentase perubahannya tiap tahun dari tahun 2008 sampai tahun 2012.
10
2) Pendapatan pada sektor tanaman bahan makanan. Setelah adanya kebijakan subsidi pupuk baik terjadinya peningkatan, pengurangan maupun tetap dari subsidi tersebut, apakah pendapatan pada sektor tanaman bahan makanan juga mengalami peningkatan, pengurangan, atau tetap dan seberapa besar persentase perubahannya tiap tahun dari tahun 2008 sampai tahun 2012. 3) Penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan. Setelah adanya kebijakan subsidi pupuk baik terjadinya peningkatan, pengurangan maupun tetap dari subsidi tersebut, apakah penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan juga mengalami peningkatan, pengurangan atau tetap dan seberapa besar persentase perubahannya tiap tahun dari tahun 2008 sampai tahun 2012. 4) Kebijakan pemerintah yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah kebijakan subsidi pupuk yang terjadi di Kota Bogor tanpa mengurangi kesejahteraan petani dan dapat meningkatan output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan serta menghindari rent seeking behaviour oleh beberapa pihak. 7.
Penelitian ini menggunakan model Input-Output dan model tersebut memiliki beberapa keterbatasan. Menurut West (1993) dalam Hadianto (2010), transaksi-transaksi yang digunakan dalam penyusunan Tabel I-O didasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut :
11
1) Asumsi keseragaman (Homogenitas) Artinya tiap sektor dalam perekonomian memproduksi satu output tunggal dengan struktur input tunggal. 2) Asumsi kesebandingan (Proporsionalitas) Artinya dalam proses produksi, hubungan antara input dan output merupakan fungsi linier yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik (atau turun) sebanding dengan kenaikan (atau penurunan) output tersebut. 3) Asumsi penjumlahan (Addivitas), asumsi ini menjelaskan bahwa dampak total pelaksanaan produksi diberbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Ini berarti diluar sistem InputOutput semua pengaruh dari luar diabaikan. Sebagai sebuah model analisis kuantitatif, adanya asumsi-asumsi tersebut menandakan adanya keterbatasan model Input-Output itu sendiri. Asumsi keseragaman menganggap setiap sektor memiliki struktur input tunggal, maka asumsi ini tidak mempertimbangkan adanya kemungkinan setiap sektor produksi untuk melakukan substitusi input, misalnya karena faktor harga yang lebih murah. Setiap sektor hanya memproduksi suatu output tunggal, maka setiap sektor tidak mungkin melakukan variasi produk. Asumsi kesebandingan menganggap rasio input-output tetap dan konstan sepanjang periode analisis, dengan demikian produsen tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses produksinya. Asumsi ini tidak mempertimbangkan adanya kemajuan teknologi atau produktivitas. Selanjutnya asumsi penjumlahan menganggap proses produksi hanya dipengaruhi faktor dalam sistem input-output.
12
Asumsi ini tidak mempertimbangkan faktor luar yang sebenarnya berpengaruh terhadap proses produksi. 1.5.
Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1)
Masyarakat Kota Bogor dapat mengetahui peran sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian Kota Bogor dan dampak kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja.
2)
Petani dalam menggunakan subsidi pupuk secara hemat dan tidak ada pemborosan penggunaan pupuk melebihi kapasitas yang dianjurkan yang dapat merusak kesuburan tanah serta pencemaran lingkungan hidup.
3)
Pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang tepat dalam hal subsidi pupuk untuk meningkatkan output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor serta menegaskan kebijakan-kebijakan dalam mengatasi masalah subsidi pupuk yang terjadi di Kota Bogor.
4)
Banyak pihak terkait serta akademisi mengembangkan pemahaman serta teknologi mengenai pupuk, alternatif pembuatan pupuk dari sumberdaya lokal dengan tujuan memudahkan petani dalam penyediaan pupuk yang merupakan salah satu solusi dalam mengatasi penurunan subsidi pupuk.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Teori
2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung suatu kegiatan usaha atau perorangan oleh pemerintah. Subsidi dapat bersifat langsung (dalam bentuk uang tunai, pinjaman bebas bunga dan sebagainya), atau tidak langsung (pembebasan penyusutan, potongan sewa dan semacamnya). Subsidi dapat bertujuan untuk: 1) subsidi produksi, dimana pemerintah menutup sebagian biaya produksi untuk mendorong peningkatan output produk tertentu dan dimaksudkan untuk menekan harga dan memperluas penggunaan produk tersebut, 2) subsidi ekspor, yang diberikan pada produk ekspor yang dianggap dapat membantu neraca perdagangan negara, 3) subsidi pekerjaan, yang diberikan untuk membayar sebagian dari beban upah perusahaan agar dapat diserap lebih banyak pekerja dan mengurangi pengangguran, dan 4) subsidi pendapatan, yang diberikan melalui sistem pembayaran transfer pemerintah untuk meningkatkan standar hidup minimum sebagian kelompok tertentu seperti tunjangan hari tua dan lainnya. Dari uraian diatas, yang dimaksud dengan subsidi harga pupuk dalam penelitian ini adalah subsidi produksi yang diberikan oleh pemerintah untuk menanggung sebagian biaya produksi pupuk agar bisa dicapai harga jual yang diinginkan. a)
Teori Dasar Subsidi Input Pembangunan pertanian yang diarahkan untuk mewujudkan pertanian
yang tangguh dan efisien memerlukan kebijakan yang berkaitan langsung dengan 14
pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan pembangunan ekonomi. Salah satu cara untuk menciptakan pertanian yang tangguh adalah melalui peningkatan produksi pertanian yang berkelanjutan. Upaya yang ditempuh untuk meningkatkan produksi pertanian adalah antara lain dengan mendorong petani untuk menerapkan teknologi usaha tani, yaitu berupa penggunaan pupuk sebagai salah satu input produksi. Dalam rangka mencapai tujuan ini, pemerintah selalu berupaya mendorong petani untuk memanfaatkan pupuk secara tepat waktu dan tepat dosis. Konsekuensinya adalah pemerintah juga harus berupaya meningkatkan produksi pupuk, sehingga tercapainya pasokan yang cukup dan juga dengan harga yang dapat dijangkau oleh petani. (Manaf, 2000). Sebagai tanaman bahan makanan pokok (padi dan palawija) umumnya mempunyai kurva permintaan yang inelastis, sehingga perubahan produksi akan sangat berpengaruh pada perubahan harga tanaman bahan makanan tersebut. Gambar 2.1 memperlihatkan keadaan permintaan dan penawaran dari tanaman bahan makanan pokok pada umumnya. Jika terjadi peningkatan produksi yang didorong dengan penggunaan pupuk, hal ini akan mendorong kurva penawaran ke kanan sehingga produksi akan meningkat dari QE1 ke QE2 dan menekan harga dari PE1 ke PE2. Disisi lain, penurunan harga dari tanaman bahan makanan pokok tersebut tidak akan banyak meningkatkan permintaan karena kurvanya inelastis, sehingga secara umum terjadi penurunan pendapatan bagi petani. Hal ini sering kali juga membuat petani enggan untuk menanam padi kembali.
15
Harga P
S1 S2
PE1
E1
PE2
E2 D
0
QE1
QE2
Kuantitas Q
Sumber : Manaf (2000)
Gambar 2.1. Permintaan dan Penawaran dari Tanaman Bahan Makanan Pokok b)
Teori Kebijakan Pemerintah dalam Perpupukan Kebijakan pemerintah dalam perpupukan yaitu mengenai kebijakan harga
eceran tertinggi. Menurut Manaf (2000), kebijakan ini dilatarbelakangi oleh fungsi pupuk sebagai kebutuhan yang esensial dalam meningkatkan produksi pertanian terutama tanaman bahan makanan. Oleh karena itu pemerintah merasa perlu menetapkan harga eceran tertinggi pupuk untuk melindungi petani sebagai konsumen
pupuk.
Dalam
penetapan
harga
tersebut,
pemerintah
mempertimbangkan agar harga pupuk tetap berada dalam kisaran kemampuan petani untuk membeli pupuk dalam dosis yang optimal. Mekanisme pembentukan harga pupuk setelah adanya kebijakan subsidi diperlihatkan oleh gambar berikut ini.
16
Harga (P)
S
PE
E
PS
harga tertinggi
C
D 0
QS
QE
QD
Pupuk (Q)
Sumber : Manaf, 2000
Gambar 2.2.
Mekanisme Pembentukan Harga Pupuk Setelah Adanya Kebijakan Subsidi
Pada gambar 2.2, keseimbangan awal (sebelum ada kebijakan pemerintah mengenai harga eceran tertinggi) berada pada titik E dengan tingkat harga sebesar PE dan jumlah pupuk sebesar QE. Saat pemerintah melakukan kebijakan dengan menetapkan harga tertinggi, maka harga yang efektif adalah bila ditetapkan sebesar PS, yaitu dibawah harga keseimbangan. Pada tingkat harga PS produsen hanya mau menawarkan sebesar QS, sementara yang diminta konsumen adalah sebesar QD, sehingga terjadi excess demand sebesar QS QD. Sementara itu titik C menunjukkan keadaan tingkat harga dan jumlah yang seharusnya terjadi dipasar. Campur tangan pemerintah tersebut mendorong peningkatan jumlah penawaran pupuk ke QD pada tingkat harga sebesar PS dengan membiayainya melalui pemberian subsidi kepada produsen pupuk. 2.2.
Tanaman Bahan Makanan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996. Dikenal dua
istilah penting tentang tanaman bahan makanan, yaitu sistem tanaman bahan
17
makanan dan ketahanan tanaman bahan makanan. Sistem tanaman bahan makanan diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan/atau pengawasan terhadap kegiatan atau produksi tanaman bahan makanan dan peredaran tanaman bahan makanan sampai dengan siap konsumsi oleh manusia. Sementara itu, ketahanan tanaman bahan makanan diartikan sebagai kondisi terpenuhnya tanaman bahan makanan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya tanaman bahan makanan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketergantungan pada padi seperti yang terjadi saat ini sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan ketahanan tanaman bahan makanan nasional. Selain harus dilakukan usaha peningkatan produksi padi, program diverifikasi tanaman bahan makanan dengan sumber karbohidrat lain merupakan tindakan yang sangat strategis. Oleh karena itu perlu mengenal jenis tanaman bahan makanan lainnya. 2.2.1. Pengertian Tanaman Bahan Makanan Tanaman bahan makanan diartikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah. Tanaman bahan makanan diperuntukan bagi konsumsi manusia sebagai makanan atau minuman, termasuk bahan tambahan tanaman bahan makanan, bahan baku tanaman bahan makanan, dan bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau bagi pembuatan makanan atau minuman. Komoditas tanaman bahan makanan harus mengandung zat gizi yang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. Batasan untuk tanaman bahan makanan
18
adalah kelompok tanaman sumber karbohidrat dan protein. Namun, secara sempit, tanaman bahan makanan biasanya dibatasi pada kelompok tanaman yang berumur semusim. Batasan ini dimasa mendatang harus diperbaiki karena akan menyebabkan sumber karbohidrat menjadi terbatas. Tanaman bahan makanan sebaiknya memasukkan jenis tanaman yang dapat menjadi sumber karbohidrat tanpa dibatasi pada kelompok tanaman semusim. 2.2.2. Peluang Pasar Tanaman Bahan Makanan Kebutuhan terhadap tanaman bahan makanan akan selalu ada. Hal ini disebabkan setiap hari tanaman bahan makanan selalu dikonsumsi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ketersediaan tanaman bahan makanan harus tetap terjaga. Namun secara umum kebutuhan beberapa jenis tanaman bahan makanan masih belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri sehingga harus diimpor setiap tahunnya. Jagung, kedelai, kacang tanah, dan tepung tapioka masih harus diimpor dalam jumlah yang banyak. Bahkan, pada saat-saat terakhir ini beras juga harus diimpor meskipun dengan alasan untuk memenuhi stok nasional. Impor beras pada tahun 2002 sebanyak 1.79 juta ton, setahun kemudian turun menjadi 1.43 juta ton, dan 0.24 juta ton pada tahun 2004, lalu tinggal 0.17 juta ton pada tahun 2005. Akan tetapi pada tahun 2006, impor beras meningkat mencapai 0.11 juta ton untuk Januari 2006 dan 0.21 juta ton pada Oktober 2006 dan pada tahun 2007 beras akan diimpor sebanyak 1 juta ton. Dengan demikian, jelas sekali peluang pasar terhadap tanaman bahan makanan tidak akan pernah mati.
19
2.3.
Keterkaitan Tanaman Bahan Makanan dan Pupuk
2.3.1. Output Tanaman Bahan Makanan dan Pupuk Sudaryanto (2000) dalam Manaf (2000) memperlihatkan bahwa penurunan produksi tanaman bahan makanan di Indonesia selain disebabkan oleh kemarau panjang pada tahun 1997-1998, serta kebakaran hutan, juga oleh ketersediaan pupuk utama antara lain Urea, SP-36, dan KCL yang sangat terbatas, ditambah lagi dengan harganya yang melonjak 100-300 persen dari harga eceran tertinggi di pasar. Namun menurut Wini (2000) dalam Manaf (2000), kenaikan harga input (antara lain pupuk) relatif tidak banyak berpengaruh dalam menurunkan permintaan input itu sendiri. Hal ini disebabkan karena elastisitas permintaan input terhadap harga sendiri adalah inelastis. Di lain pihak, pengaruh harga padi (output) mempunyai pengaruh yang positif terhadap penawaran output dan permintaan input akan lebih efektif melalui kebijakan harga output. 2.3.2. Pendapatan Sektor Tanaman Bahan Makanan dan Pupuk Untuk mendorong peningkatan pendapatan riil petani diperlukan peningkatan produksi dengan penekanan penggunaan teknologi pertanian seperti pupuk dan bibit unggul, pemerintah perlu memberikan insentif antara lain dengan harga yang murah. Oleh sebab itu, diperlukan subsidi harga agar dapat terjangkau dan mendorong petani menggunakannya. Kebijakan ini adalah salah satu kebijakan yang dianggap memberikan dampak distorsi paling rendah. Renade dan Herdt (1978) dalam Manaf (2000) pernah menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam menggunakan teknologi baru bagi pertanian padi dan penyediaan saprodinya memberikan dampak positif bagi peningkatan pendapatan
20
riil petani secara umum. Memang pada permulaan ekspansi produksi beras secara besar-besaran, semua sarana penunjang produksi diperkenalkan untuk menaikkan output perhektar. Selain subsidi harga pupuk dan pestisida, kebijakan perdagangan yang membatasi impor beras (dan tanaman bahan makanan pokok lainnya), juga pengenalan benih-benih unggulan dan bahkan peralatan pertanian yang modern telah dilakukan. Dan untuk beberapa tahun pertama, hal ini memang dapat meningkatkan output perhektar secara signifikan yang dapat langsung dinikmati oleh petani dan buruh tani. 2.3.3. Tenaga Kerja Sektor Tanaman Bahan Makanan dan Pupuk Tenaga kerja merupakan input yang penting dalam suatu sektor perekonomian, tenaga kerja dalam sektor pertanian yang sebagian besar adalah petani yang merupakan tenaga kerja yang bergantung pada hasil panennya. Hasil panen tanaman bahan makanan yang dihasilkan oleh petani dipengaruhi inputinput seperti benih, pupuk, alat-alat pertanian, dan faktor eksternal lainnya seperti cuaca dsb. Pupuk merupakan salah satu input yang berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan tanaman bahan makanan, jika ketersediaan pupuk pada sektor tanaman bahan makanan memenuhi maka akan memudahkan tenaga kerja pada sektor tersebut dalam meningkatkan produksi pertaniannya. Pemenuhan kebutuhan pupuk secara memadai akan berkorelasi positif dengan peningkatan produksi tanaman bahan makanan, dan semakin banyak produksi tanaman bahan makanan dari tahun ke tahun akan menyebabkan peningkatan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan karena semakin dibutuhkannya tenaga-tenaga dalam proses produksi tanaman bahan makanan baik pada proses di hulu maupun hilir. Subsidi pupuk yang diberikan pemerintah baik pemerintah pusat maupun
21
daerah harus mempertimbangkan ketersediaan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan, agar subsidi pupuk tersebut dapat digunakan secara efektif dan efisien di tingkat petani. 2.4.
Model Input-Output Menurut Leontief (1986) dalam Mulyani (2007), analisis I-O merupakan
suatu metode yang secara sistematis mengukur hubungan timbal balik diantara beberapa sektor dalam sistem ekonomi yang kompleks. Sistem ekonomi yang dimaksud dapat diterapkan berupa sistem suatu bangsa atau dunia. Kemudian ia juga memfokuskan perhatian terhadap terhadap hubungan antar sektor di dalam suatu wilayah, dan mendasarkan analisisnya terhadap keseimbangan. Kemudian, model I-O dapat dianggap sebagai suatu kemajuan penting di dalam pengembangan teori keseimbangan umum. 2.4.1
Konsep Dasar Model Input-Output Konsep dasar Model I-O Leontief didasarkan atas : 1) struktur
perekonomian tersusun (industri) yang satu sama lain berinteraksi melalui transaksi jual beli, 2) output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya untuk memenuhi permintaan akhir rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal dan ekspor, 3) input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya, dan rumah tangga dalam bentuk jasa dan tenaga kerja, pemerintah dalam bentuk pajak tidak langsung, penyusutan, surplus usaha dan impor, 4) hubungan input-output bersifat linier, 5) dalam suatu kurun waktu analisis, biasanya satu tahun, total input sama dengan total output, dan 6) suatu sektor terdiri dari satu atau beberapa perusahaan. Suatu sektor hanya menghasilkan suatu output, dan output tersebut dihasilkan oleh suatu teknologi.
22
Badan Pusat Statistik (BPS) mengembangkan Tabel Input-Output sebagai dasar pengembangan model Input-Output dengan tiga kuadran yaitu matriks input-output (kuadran I), matriks permintaan akhir (kuadran II) dan matriks input antara (kuadran III) seperti pada gambar.
(Kuadran II)
(Kuadran I) (Kuadran III) Sumber : Hadianto (2010)
Gambar 2.3. Kuadran Matriks Tabel Input-Output Keterangan: Kuadran I
: transaksi antar industri, output sektor i menjadi input sektor j.
Kuadran II
: transaksi antara konsumen akhir (rumah tangga, pemerintah, investor, dan ekspor) dengan industri penghasil barang dan jasa.
Kuadran III
: menggambarkan transaksi antara pihak-pihak pemilik faktor produksi (tenaga dan pemilik modal) dengan unit-unit ekonomi yang menggunakannya.
Tabel 2.1. Kerangka Dasar Tabel Input-Output Sektor Pembeli Sektor Penjual 1 2
1
2
N
Permintaan
Total
Akhir
Output
N Nilai Tambah Impor Total Input Sumber : Badan Pusat Statistik (2000)
23
Keterangan: 1) Permintaan akhir (F) terdiri dari konsumsi rumah tangga (C), konsumsi pemerintah (G), pembentukan modal/investasi (I), dan Ekspor (E). 2) Xij = besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j. 3) vj adalah nilai tambah dan IMj adalah impor. 4) xi = ∑
Xj+fi adalah total input = total output.
5) Koefisien langsung, aij = xij/Xj, Xij, xij =aijXj, matriks A = [aij]. 6) AX + F = X dengan melakukan transformasi maka diperoleh (I-A)-1F = X. 7) (I-A)-1 adalah matriks kebalikan Leontief. Matriks kebalikan Leontief mengandung informasi penting tentang bagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor (pertanian) akan mempengaruhi pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Karena setiap sektor memiliki pola transaksi pembelian maupun penjualan dengan sektor lain yang berbeda-beda, maka dampak dari perubahan produksi dari suatu sektor terhadap total produksi sektorsektor lainnya juga berbeda-beda. Matriks kebalikan Leontief merangkum seluruh dampak dari perubahan produksi dari suatu sektor terhadap total produksi sektorsektor lainnya ke dalam koefisien-koefisien yang disebut sebagai multiplier (
ij).
Multiplier ini adalah angka-angka yang terlihat di dalam matriks (I-A)-1. 2.4.2. Koefisien Input Menurut Sahara dan D.S Priyarsono (1998) dalam Mulyani (2007), pada Tabel Input-Output koefisien input merupakan perbandingan antara output sektor i
24
yang digunakan dalam sektor j atau (Xij) dengan input total sektor j (Xij). Jika koefisien input dilambangkan dengan ij =
dimana:
ij,
maka:
; untuk i dan j = 1,2,....,n.
ij =
(2.1)
Koefisien Input
Sesuai dengan perumusan koefisien di atas, maka dapat disusun matriks sebagai berikut: 11X1+ 12X2+..........+ 1nXn+F1=X1 11X1+ 12X2+..........+ 1nXn+F1=X1
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
n1X1+ n2X2+..........+ nnXn+Fn=Xn
(2.2)
atau,
| | | |
| |
A
|+| |=| | | | |
X
| |
(2.3)
+ F = X
AX + F = X atau F = (I-A) X X = (I-A)-1 F
(2.4)
dimana: I
: Matriks Identitas
F
: Permintaan Akhir
X
: Jumlah Output
(I-A) : Matriks Leontief
25
(I-A)-1 : Matriks Kebalikan Leontief Matriks kebalikan merupakan alat yang sangat penting dalam melakukan analisis ekonomi karena saling berkaitan dengan tingkat permintaan akhir maupun tingkat produksi. Hasil dari analisis tersebut yaitu, 1) Keterkaitan langsung baik langsung ke depan maupun langsung ke belakang. 2) Pengganda output, pendapatan, dan tenaga kerja. 3) Koefisien dan kepekaan penyebaran. 2.5.
Pertumbuhan Ekonomi Menurut Hess dan Ross (2000) dalam Hadianto (2010), pertumbuhan
ekonomi merupakan peningkatan total barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara pada periode waktu tertentu yang direpresentasikan oleh peningkatan output perkapita. Lebih jauh menurut Mankiw (2000), dalam terminologi fungsi produksi pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan total output dalam proses produksi akibat peningkatan faktor produksi dan kemajuan teknologi pada periode waktu tertentu. Dornbush (1992) dalam Hadianto (2010) mengklasifikasikan pengukuran output suatu perekonomian melalui indikator PDB, dibagi dalam dua pendekatan yaitu pendekatan sisi penerimaaan (income side) dan pendekatan sisi pengeluaran (expenditure side). PDB dari sisi penerimaan merupakan nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu perekonomian. Sementara PDB dari sisi pengeluaran terdiri dari konsumsi masyarakat, pengeluaran pemerintah, pengeluaran investasi, dan ekspor bersih.
26
2.6.
Penelitian Terdahulu Penelitian terhadap subsidi pupuk ini sudah sering dilakukan, penelitian ini
biasanya meliputi perencanaan, peraturan harga eceran tertinggi, jumlah subsidi, sistem distribusi pupuk, dan dampak dari diterapkan subsidi pupuk tersebut. Penelitian Manaf (2000) yang berjudul “Pengaruh Subsidi Harga Pupuk Terhadap Pendapatan Petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi”, menganalisis bagaimana pengaruh dari kebijakan subsidi pupuk yang ada di Indonesia terhadap pendapatan petani yang menyangkut aspek-aspek harga eceran tertinggi dari pupuk,
permintaan
dan
penawaran
pupuk,
penyaluran
subsidi
pupuk,
perkembangan subsidi pupuk, bahkan sampai pada kebijakan ekspor dan impor pupuk kemudian dari aspek-aspek tersebut dilihat pengaruhnya terhadap pendapatan petani yang ada di Indonesia, bagaimana pendapatan rumah tangga petani setelah adanya kebijakan subsidi pupuk. Penelitian ini menggunakan metode Sistem Neraca Sosial Ekonomi yaitu sebuah metode yang merangkum berbagai variabel sosial dan ekonomi secara kompak dan terintegrasi untuk memperlihatkan gambaran umum mengenai perekonomian suatu negara dan keterkaitan antar variabel sosial dan ekonomi pada suatu waktu tertentu. Penelitian Sudaryanto (2010) yang berjudul “Dampak dan Perspektif Kebijakan Pupuk di Indonesia” membahas mengenai pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk telah diterapkan secara komprehensif mulai dari tahap perencanaan, pengaturan harga eceran tertinggi, jumlah subsidi dan sistem distribusi pupuk. Namun, dalam penelitian ini menyatakan bahwa kebijakan tersebut belum mampu manjamin ketersediaan pupuk yang memadai di tingkat petani. Perencanaan jumlah kebutuhan pupuk tidak sepenuhnya akurat, dan membahas mengenai
27
ketidakoptimalan pengawasan dalam distribusi pupuk. Penelitian ini juga membahas mengenai perubahan mekanisme distribusi subsidi dari subsidi tidak langsung menjadi subsidi langsung kepada petani. Penelitian yang dilakukan oleh penulis memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Peneliti ingin mengetahui dampak dari kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor terhadap output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor karena Kota Bogor merupakan daerah yang telah banyak mengalami konversi lahan pada sektor tanaman bahan makanan menjadi sektor tersier dan primer. Sedangkan kebutuhan tanaman bahan makanan untuk konsumsi penduduk di Kota Bogor terus meningkat dan tidak dapat dipenuhi oleh Kota Bogor sendiri melainkan selalu disuplai oleh daerah lain. Oleh karena itu, peneliti memfokuskan kepada kebijakan pemerintah pada sektor pertanian terutama tanaman bahan makanan dalam bentuk kebijakan subsidi input yaitu subsidi pupuk yang terjadi di Kota Bogor dan bagaimana dampaknya terhadap output tanaman bahan makanan, penyerapan tenaga kerja, serta pendapatan pada sektor tanaman bahan makanan. Dampak tersebut mencakup dampak dari peningkatan maupun pengurangan subsidi pupuk di Kota Bogor yang pada akhirnya merumuskan kebijakan harga subsidi pupuk dan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi pada penggunaan dan pendistribusian subsidi pupuk tersebut.
28
III. KERANGKA PEMIKIRAN OPERASIONAL
Kota Bogor merupakan suatu daerah di Jawa Barat yang telah mengalami konversi lahan, yakni dari sektor pertanian menjadi sektor lain seperti industri, perdagangan, hotel, dsb. Hal ini menyebabkan pemenuhan kebutuhan tanaman bahan makanan penduduk Kota Bogor tidak dapat dari dalam daerah melainkan harus disuplai dari daerah lain seperti Kabupaten Bogor bahkan banyak komoditas yang disuplai dari luar daerah seperti Cianjur, Sukabumi, dan Bandung. Pergeseran sektor ini menyebabkan kerawanan tanaman bahan makanan bagi penduduk Kota Bogor. Sektor pertanian terutama tanaman bahan makanan merupakan sektor yang penting dan harus mendapatkan perhatian yang lebih. Walaupun Kota Bogor bukan merupakan daerah pertanian tetapi masalah pertanian masih sangat diupayakan dalam jajaran Pemerintah Daerah Kota Bogor melalui Dinas Agribisnis karena masih ada lahan dapat digunakan sebagai lahan pertanian dan alasan pemerintah harus memperhatikan sektor pertanian adalah sektor pertanian merupakan sektor primer di Kota Bogor yang masih berkontribusi terhadap PDRB Kota Bogor. Peran sektor pertanian sangat luas terutama mencakup penyediaan output-output tanaman bahan makanan, penyerapan tenaga kerja, dan pendapatan. Sektor pertanian memiliki keterkaitan antar sektor yang dapat dilihat dari aspek keterkaitan produksi, keterkaitan konsumsi, keterkaitan investasi, dan keterkaitan fiskal. Kebutuhan akan konsumsi tanaman bahan makanan penduduk Kota Bogor dari tahun ke tahun semakin meningkat sedangkan Kota Bogor tidak dapat memproduksi tanaman bahan makanan untuk daerahnya sendiri dan sebagian besar dipenuhi oleh daerah lain. Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan 29
produksi tanaman bahan makanan di Kota Bogor dan mengurangi ketergantungan pemenuhan dari luar daerah menyebabkan perlunya dukungan dari berbagai pihak dalam sektor pertanian terutama tanaman bahan makanan karena selain sektor pertanian merupakan sektor yang dipengaruhi oleh banyak faktor eksternal seperti perubahan iklim, hama, penyakit, dan kekeringan terdapat fakta bahwa sebagian besar petani kita adalah petani gurem yang memiliki luasan lahan yang sempit yaitu hanya berkisar 0.5 ha - 1 ha sehingga menyebabkan kondisi perekonomian mereka relatif rendah. Salah satu dukungan terhadap sektor pertanian yang dapat membantu menyejahterakan petani yaitu dengan adanya pemberian subsidi dari pemerintah. Pemberian subsidi ini dapat berupa subsidi input pertanian yaitu subsidi pupuk, karena pupuk merupakan input yang penting dalam pertanian serta memiliki pengaruh nyata pada produksi dan produktivitas komoditas tanaman bahan makanan terutama padi. Baik pupuk organik maupun pupuk anorganik merupakan input yang tidak bisa ditinggalkan oleh petani. Subsidi pupuk merupakan kebijakan pemerintah yang kebanyakan disorot oleh berbagai pihak baik dari pihak petani, pemerintah itu sendiri, maupun pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan dari pemberian subsidi pupuk bahkan terdapat banyak pihak yang menyelewengkan atau menyalahgunakan subsidi pupuk dan pada akhirnya subsidi pupuk tersebut banyak yang tidak dinikmati oleh petani serta terdapatnya masalah penggunaan pupuk yang tidak rasional yang menyebabkan penurunan kualitas tanah dan perusakan lingkungan hidup. Disatu sisi pemberian subsidi pupuk menimbulkan banyak masalah jika penggunaan, pendistribusian, dan penerapannya tidak dilakukan secara benar dan
30
tepat sasaran tapi tidak dapat dipungkiri bahwa petani kita sangat membutuhkan subsidi dalam bidang pertanian terutama subsidi pupuk. Subsidi pupuk ini merupakan penolong bagi petani dalam memproduksi hasil pertanian mereka dan pemberian subsidi pupuk dapat meningkatkan kesejahteraaan petani yang dapat dilihat dari berbagai aspek diantaranya output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja petani di Kota Bogor. Kebijakan subsidi pupuk yang diberikan oleh pemerintah dapat mengalami peningkatan dan pengurangan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah di Indonesia termasuk Kota Bogor. Peningkatan maupun pengurangan tersebut dapat mempengaruhi jumlah output tanaman bahan makanan, penyerapan tenaga kerja, dan juga pendapatan. Karena sektor pertanian merupakan sektor primer sehingga menyebabkan banyaknya penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, semakin banyaknya perhatian pemerintah melalui subsidi pupuk dibidang tanaman bahan makanan juga akan menyebabkan pendapatan masyarakat pada sektor tanaman bahan makanan juga meningkat karena output tanaman bahan makanan juga akan meningkat seiring dengan murahnya harga input-input produksi termasuk pupuk dan memudahkan petani untuk mencapai penyediaan input tersebut tapi sebaliknya jika terjadi pengurangan subsidi pupuk. Subsidi pupuk yang selama ini diberikan masih dirasakan kurang di Kota Bogor karena terkadang jumlah yang diberikan pemerintah tidak sama dengan jumlah yang diterima petani, hal ini menimbulkan masalah yang cukup besar dalam hal penyaluran pupuk bersubsidi. Jenis pupuk yang dibutuhkan di Kota Bogor dan mendapatkan subsidi adalah Urea, Superphos, NPK Ponska, NPK Kujang, ZA dan Organik. Subsidi pupuk yang menjadi bahasan dalam penelitian
31
ini hanya subsidi pupuk urea karena persentase terbesar dari subsidi pupuk di Kota Bogor didominasi oleh pupuk urea atau bisa dikatakan bahwa subsidi pupuk di Kota Bogor adalah subsidi urea. Untuk menganalis dampak dari subsidi pupuk ini baik terhadap output tanaman bahan makanan, penyerapan tenaga kerja, dan pendapatan yaitu dengan menggunakan model input ouput yaitu merupakan suatu metode yang secara sistematis mengukur hubungan timbal balik diantara beberapa sektor dalam sistem ekonomi yang kompleks. Dalam model I-O menganalisis pengaruh interaksi ekonomi yang dapat diklasifikasikan kedalam tiga jenis yaitu: 1) pengaruh langsung, 2) pengaruh tidak langsung, dan 3) pengaruh total. Analisis dampak input primer digunakan untuk melihat pengaruh perubahan dampak input primer yaitu pupuk dalam sektor tanaman bahan makanan terhadap pembentukan output, tenaga kerja, dan pendapatan.
32
Konversi lahan pertanian di Kota Bogor
Kerawanan pangan
Ketergantungan pada luar daerah
Peningkatan kebutuhan pangan
Pentingnya sektor pangan di Kota Bogor
Peran sektor pangan terhadap perekonomian
Analisis Lingkages
Analisis Multiplier
Perlunya perhatian pemerintah pada sektor pangan
Subsidi pupuk pada tanaman pangan
Dampak subsidi pupuk
Analisis Dampak
Dampak terhadap pertumbuhan output
Dampak terhadap pendapatan
Dampak terhadap peluang kerja
Masalah penggunaan dan distribusi pupuk
Kebijakan pemerintah dengan analisis deskriptif
Gambar 3.1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
Keterangan:
= Cakupan penelitian.
33
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dengan memilih lokasi di Kota Bogor. Pemilihan
lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa sektor tanaman bahan makanan merupakan sektor yang penting dan perlu diperhatikan di Kota Bogor oleh pemerintah mengingat semakin berkurangnya lahan pertanian di Kota Bogor karena adanya pergeseran sektor yakni dari sektor pertanian ke sektor lain seperti industri, perdagangan, hotel, transportasi, dan sektor-sektor lainnya sedangkan kebutuhan tanaman bahan makanan semakin meningkat. Salah satu bentuk perhatian dari pemerintah adalah dengan memberikan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan. Selain itu tersedianya Tabel Input-Output Kota Bogor yang mendukung penelitian. Penelitian ini dimulai pada bulan Februari sampai bulan Mei 2012. 4.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor, Dinas Pertanian Kota Bogor, Perpustakaan IPB, Perusahaan Produsen Pupuk Kota Bogor yaitu PT. Pupuk Kujang serta lembaga atau instansi yang terkait lainnya. Data yang digunakan adalah data subsidi pupuk di Kota Bogor dari tahun 2008 sampai tahun 2012 dan tabel Input-Output Kota Bogor tahun 2008 klasifikasi 28 sektor. Jenis data yang digunakan dalam analisis ini adalah data transaksi total atas dasar harga produsen.
34
Tabel 4.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian No Tujuan Jenis dan Sumber Data 1
2
4.3.
Metode Analisis Menganalisis peran sektor Data Sekunder sumber Dinas Analisis tanaman bahan makanan Pertanian Kota Bogor, Bappeda Inputterhadap perekonomian dan Kota Bogor, Badan Pusat Output sektor lainnya. Statistik Kota Bogor. Menganalisis dampak Data Sekunder sumber Bappeda kebijakan subsidi pupuk Kota Bogor, PT. Pupuk Kujang, pada sektor tanaman bahan Cikampek. makanan di Kota Bogor terhadap output tanaman bahan makanan, pendapatan, dan tenaga kerja.
Analisis Dampak Subsidi Input Primer
Metode Analisis Data Alat analisis yang digunakan adalah model input-output dari sisi
permintaan (demand). Dari tabel input-output ini peranan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan dalam pembentukan output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja dapat diketahui secara langsung karena sudah tersaji dalam tabel. Untuk mengetahui peran sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian Kota Bogor dapat dikaji berdasarkan analisis input-output yang terdiri dari analisis keterkaitan dan multiplier dan untuk menganalisis dampak kebijakan subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan untuk meningkatkan ouput, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja dapat dikaji berdasarkan analisis dampak subsidi input primer yang berpengaruh terhadap final demand. Dalam pengolahan datanya didukung dengan Microsoft Office Excel. Daryanto dan Hafizrianda (2010) dalam Mulyani (2007).
35
4.3.1. Analisis Keterkaitan (Linkages) Analisis keterkaitan digunakan untuk melihat keterkaitan antar sektor. Analisis ini disebut dengan koefisien penyebaran (backward lingkage) dan kepekaan penyebaran (forward lingkage) a)
Koefisien Penyebaran (Backward Lingkages) Koefisien penyebaran digunakan untuk mengetahui distribusi manfaat dari
pengembangan suatu sektor terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya melalui mekanisme transaksi pasar input. Dengan kata lain, koefisien penyebaran dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan pertumbuhan industri hulunya. Sektor j dikatakan mempunyai kaitan ke belakang yang tinggi apabila Pdj mempunyai nilai lebih besar dari satu, begitu juga sebaliknya jika nilai Pdj lebih kecil dari satu. Untuk mengetahui besarnya nilai koefisien penyebaran, digunakan rumus sebagai berikut: ∑
Pdj =
∑
∑
; untuk i dan j = 1,2,...,n
(4.1)
dimana: Pdj ij
n
= Koefisien Penyebaran sektor j = Unsur matriks kebalikan Leontief = Jumlah sektor
Nilai koefisien penyebaran dari suatu sektor menunjukkan tingkat kepekaan suatu sektor tersebut terhadap sektor-sektor lainnya melalui mekanisme pasar output. Konsep ini sering juga diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor-sektor lain yang memakai input dari sektor ini.
36
b)
Kepekaan Penyebaran (Forward Lingkages) Kepekaan penyebaran merupakan keterkaitan langsung dan tidak langsung
ke depan yang dinormalkan dengan jumlah sektor seluruh koefisien matriks kebalikan Leontief. Untuk mengetahui besarnya nilai kepekaan penyebaran, digunakan rumus sebagai berikut: ∑
Sdi =
∑
∑
; untuk i dan j = 1,2,...,n
(4.2)
dimana: Sdi ij
n
= Kepekaan Penyebaran sektor j = Unsur matriks kebalikan Leontief = Jumlah sektor
Nilai kepekaan penyebaran suatu sektor menunjukkan bahwa kenaikan satu unit output dari suatu sektor akan menyebabkan naiknya output sektor-sektor lain yang menggunakan output dari sektor tersebut, termasuk sektor itu sendiri sebesar nilai kepekaan penyebarannya. Apabila nilai kepekaan penyebaran (Sdi) lebih dari satu maka sektor i tersebut mempunyai tingkat kepekaan yang tinggi. Sebaliknya jika nilai Sdi kecil maka sektor i tersebut mempunyai tingkat penyebaran yang rendah. Semakin besar nilai kepekaan suatu sektor menunjukkan bahwa sektor tersebut mampu menumbuhkan sektor hilirnya. Perbandingan antara nilai kepekaan dan koefisien penyebaran dapat menunjukkan kemampuan menarik atau mendorong suatu sektor. Apabila suatu sektor memiliki koefisien penyebaran lebih besar dari nilai kepekaan penyebaran maka sektor tersebut mempunyai kemampuan menarik yang lebih besar terhadap pertumbuhan sektor hulunya dibandingkan dengan sektor lainnya.
37
4.3.2. Analisis Pengganda (Multiplier) Menurut Sahara dan D.S Priyarsono (1998) dalam Mulyani (2007), berdasarkan matriks kebalikan Leontief, baik untuk model terbuka (
ij)
atau
model tertutup ( *ij) dapat ditentukan nilai-nilai multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja. a)
Multiplier Output Multiplier Output dihitung dalam per unit perubahan output sebagai efek
awal (initial effect), yaitu kenaikan atau penurunan output sebesar satu unit satuan moneter. Setiap elemen dalam matriks kebalikan Leontief (matriks invers) menunjukkan total pembelian input baik tidak langsung maupun langsung dari sektor i yang disebabkan karena adanya peningkatan penjualan dari sektor i sebesar satu unit satuan moneter ke permintaan akhir. Matriks invers dirumuskan dengan persamaan: = (I-A)-1 = [ Dengan demikian matriks
ij
]
; untuk i dan j = 1,2,...,n
(4.3)
mengandung informasi penting tentang
struktur perekonomian yang dipelajari dengan menentukan tingkat keterkaitan antar sektor dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Koefisien dari matriks invers ini [ ij] menunjukkan besarnya perubahan aktivitas dari suatu sektor yang akan mempengaruhi tingkat output dari sektor-sektor lain. b)
Multiplier Pendapatan Multiplier pendapatan mengukur peningkatan pendapatan akibat adanya
perubahan output dalam perekonomian. Dalam Tabel Input-Output, yang dimaksud dengan pendapatan adalah upah dan gaji yang diterima oleh rumah tangga. Pengertian pendapatan disini tidak hanya mencakup beberapa jenis
38
pendapatan yang umumnya diklasifikasikan sebagai pendapatan rumah tangga, tetapi juga dividen dan bunga bank Jensen (1979) dalam Priyarsono, et al.(2007). Angka pengganda pendapatan dapat diperoleh dari rumus :
MIj=∑
; untuk i dan j = 1,2,...,n
(4.4)
Dimana : MIj
= pengganda tipe II
Dij
= unsur matrik kebalikan Leontief tertutup
n+1, j
c)
= koefisien input dari gaji/upah rumah tangga sektor j
Multiplier Tenaga Kerja Multiplier tenaga kerja menunjukkan perubahan tenaga kerja yang
disebabkan oleh perubahan awal dari sisi output. Multiplier tenaga kerja tidak diperoleh dari elemen-elemen dalam Tabel Input-Output seperti pada multiplier output dan pendapatan, karena dalam Tabel Input-Output tidak mengandung elemen-elemen yang berhubungan dengan tenaga kerja. Untuk memperoleh multiplier tenaga kerja maka pada Tabel Input-Output harus ditambahkan baris yang menunjukkan jumlah dari tenaga kerja untuk masing-masing sektor dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Penambahan baris ini untuk memperoleh koefisien tenaga kerja (wn+1). Besaran multiplier tenaga kerja dapat diperoleh dengan rumus :
MLj = ∑
; untuk i dan j = 1,2,...,n
(4.5)
39
Dimana : MLj
= pengganda tenaga kerja tipe II
Dij
= unsur matrik kebalikan Leontief tertutup
wn+1,j = koefisien tenaga kerja sektor j wn+1,i = koefisien tenaga kerja sektor i Tabel 4.2. Rumus Multiplier Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja Multiplier Nilai Output Pendapatan Tenaga Kerja Efek Awal 1 hi ei Efek Putaran 𝜮i ij 𝜮i ijhi 𝜮i ijei Pertama Efek 𝜮i ij – 1 – 𝜮i ij 𝜮i ijhi– hi– 𝜮i ijhi 𝜮i ijei– ei– 𝜮i ijei Dukungan Industri Efek Induksi 𝜮i *ij – 𝜮i ij 𝜮i *ijhi– 𝜮i ijhi 𝜮i *ijei– 𝜮i ijei Konsumsi Efek Total 𝜮i *ij 𝜮i *ijhi 𝜮i *ijei Efek 𝜮i ij – 1 𝜮i ijhi – hi 𝜮i ijei– ei Lanjutan Sumber : Sahara dan D.S Priyarsono (1998) dalam Mulyani (2007)
Keterangan: ij
d)
= Koefisien Output
hij
= Koefisien pendapatan rumah tangga
ei
= Koefisien tenaga kerja ij
= Matriks Kebalikan Leontief Model Terbuka
*ij
= Matriks Kebalikan Leontief Model Tertutup
Multiplier Tipe I dan II Multiplier Tipe I dan II digunakan untuk mengukur efek dari output,
pendapatan dan tenaga kerja masing-masing sektor perekonomian yang disebabkan karena adanya perubahan dalam jumlah output, pendapatan, dan
40
tenaga kerja yang ada di suatu negara atau wilayah. Respon atau efek multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja dapat diklasifikasikan sebagai berikut: i)
Dampak Awal (Initial Impact) Dampak awal merupakan stimulus perekonomian yang diasumsikan
sebagai peningkatan atau penurunan jumlah dalam satu unit satuan moneter. Dari sisi output, dampak awal ini diasumsikan sebagai peningkatan penjualan ke permintaan akhir sebesar satu unit satuan moneter. Peningkatan output tersebut akan memberikan efek terhadap peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja. Efek awal dari sisi pendapatan ditunjukkan oleh koefisien pendapatan rumah tangga (hi). Sedangkan efek awal dari sisi tenaga kerja ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja (ei). ii)
Efek Putaran Pertama (First Round Effect) Efek putaran pertama menunjukkan efek langsung dari pembelian masing-
masing sektor untuk peningkatan output sebesar satu unit satuan moneter. Dari sisi output efek putaran pertama ditunjukkan oleh koefisien langsung (koefisien input output/ ij). Sedangkan efek putaran pertama dari sisi pendapatan (𝜮i ijhi) menunjukkan adanya efek putaran pertama dari sisi output. Sementara efek putaran pertama dari sisi tenaga kerja (𝜮ieijhi) menunjukkan peningkatan penyerapan tenaga kerja akibat adanya efek putaran pertama dari sisi output. iii)
Efek Dukungan Industri (Industrial Support Effect) Efek dukungan industri dari sisi output menunjukkan efek dari
peningkatan output putaran kedua dan selanjutnya akibat adanya stimulus ekonomi. Dari sisi pendapatan dan tenaga kerja, efek dukungan industri menunjukkan adanya efek peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja 41
putaran kedua dan selanjutnya akibat adanya dukungan industri yang menghasilkan output. iv)
Efek Induksi Konsumsi (Consumption Induced Effect) Efek induksi konsumsi dari sisi output menunjukkan efek dari peningkatan
output menunjukkan adanya suatu pengaruh induksi (peningkatan konsumsi rumah tangga) akibat pendapatan rumah tangga yang meningkat. Dari sisi pendapatan dan tenaga kerja, efek induksi konsumsi diperoleh masing-masing dengan mengalihkan efek induksi konsumsi output dengan koefisien pendapatan rumah tangga dan koefisien tenaga kerja. v)
Efek Lanjutan (Flow-on-Effect) Efek lanjutan merupakan efek (dari output, pendapatan, dan tenaga kerja)
yang terjadi pada semua sektor perekonomian dalam suatu negara atau wilayah akibat adanya peningkatan penjualan dari suatu sektor. Efek lanjutan dapat diperoleh dari pengurangan efek total dengan efek awal. Hubungan antara efek awal dengan efek lanjutan per unit pengukuran dari sisi output, pendapatan, dan tenaga kerja, dihitung dengan menggunakan rumus multiplier tipe I dan tipe II, sebagai berikut: Tipe I (4.6) Tipe II (4.7) 4.4.
Penentuan Besarnya Subsidi (external shock) Kota Bogor mendapatkan subsidi pupuk mulai tahun 2008 hingga saat ini,
subsidi pupuk yang diperoleh di Kota Bogor yaitu jenis pupuk urea, SP-
42
36/superphose, NPK yang terdiri dari NPK phonska dan kujang, ZA, dan Organik namun subsidi pupuk yang selama ini diberikan didominasi oleh pupuk urea yang diproduksi PT. Pupuk Kujang. Kota Bogor merupakan salah satu daerah yang menjadi daerah distribusi pupuk bersubsidi yang dihasilkan dari PT. Pupuk Kujang yang berlokasi di Cikampek. Kota Bogor mendapatkan subsidi dalam tonase per tahun jadi untuk mendapatkan nilai subsidi, perlunya konversi ke rupiah sesuai dengan keputusan Menteri Pertanian nomor 3293/kpts/sr.130/7/2011 yaitu HPP atau harga pokok penjualan yang diperoleh dari total biaya produksi ditambah marjin PT. Pupuk Kujang yang bertindak sebagai produsen pupuk yang kemudian nilai tersebut dikurang dengan harga eceran tertinggi (HET) pupuk. Nilai tersebut akan di shock ke dalam tabel input-output Kota Bogor. HPP+Marjin-HET Pupuk = Subsidi Pupuk 4.5.
(4.8)
Analisis Dampak Perubahan Input Primer terhadap Output, Pendapatan, dan Tenaga kerja Subsidi yang diberikan oleh pemerintah merupakan pengeluaran
pemerintah yang digunakan untuk meningkatkan perekonomian suatu sektor. Subsidi pupuk merupakan salah salah satu perhatian pemerintah dalam hal meningkatkan input primer dari sektor pertanian terutama tanaman pangan. Subsidi pupuk ini memberikan dampak baik bagi output sektor tanaman pangan, penyerapan tenaga kerja, dan pendapatan. Berikut ini merupakan rumus dampak dari pemberian subsidi pupuk terhadap pembentukan output, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja yang merupakan rumus yang diolah dari BPS (2000), yaitu :
43
a) Dampak Terhadap Pembentukan Output ( Xw ) Xw = (Wsub)(I-A)-1
(4.9)
b) Dampak Terhadap Pembentukan Pendapatan ( Pw ) Pw =
(
) (
)
(4.10)
c) Dampak Terhadap Pembentukan Tenaga Kerja ( Tw ) Tw =
(
) (
)
(4.11)
dimana : Xw
= matriks baris dampak terhadap output
Pw
= matriks baris dampak terhadap pendapatan
Tw
= matriks baris dampak terhadap tenaga kerja
Wsub
= matriks baris input primer
(I-A)-1
= matriks kebalikan Leontief terbuka
δ(I-A)-1
= matriks kebalikan Leontief terbuka yang masing-masing sektornya telah dikalikan dengan masing-masing koefisien pendapatan
β(I-A)-1
= matriks kebalikan Leontief terbuka yang masing-masing sektornya telah dikalikan dengan masing-masing koefisien tenaga kerja
δs
= koefisien pendapatan sektor yang mendapat subsidi
βs
= koefsien tenaga kerja sektor yang mendapat subsidi
4.5.1. Koefisien Pendapatan ( δs ) Menurut Sahara dan D.S Priyarsono (1998) dalam Mulyani (2007), koefisien pendapatan merupakan suatu bilangan yang menunjukkan besarnya
44
jumlah pendapatan yang diterima oleh pekerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit output. Koefisien pendapatan diperlukan untuk mencari dampak perubahan input primer terhadap pembentukan pendapatan. Rumusnya adalah : δs
=
(4.12)
dimana: δs
= koefisien pendapatan sektor i
Ui
= jumlah upah dan gaji
Xi
= jumlah input total sektor i
4.5.2. Koefisien Tenaga Kerja ( βs ) Menurut Sahara dan D.S Priyarsono dalam Mulyani (2007), koefisien tenaga kerja merupakan suatu bilangan yang menunjukkan besarnya jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit output. Koefisien tenaga kerja diperlukan untuk mencari dampak perubahan i primer terhadap pembentukan tenaga kerja. Dirumuskan sebagai berikut:
βs
=
(4.13)
dimana : βs
= koefisien tenaga kerja sektor i
Li
= jumlah tenaga kerja sektor i
Xi
= jumlah input
45
V. GAMBARAN UMUM 5.1.
Kondisi Geografis Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118 50 km2 atau 0.27 persen dari
luas propinsi Jawa barat. Secara geografis, Kota Bogor terletak diantara 106 derajat 43’30’BT-106 derajat 51’00”BT dan 30’30” LS-6 derajat 41’00” LS. Kota Bogor memiliki ketinggian rata-rata minimal 190 meter dan maksimal 350 meter diatas permukaan laut. Jarak Kota Bogor dengan ibukota Jakarta kurang lebih 60 km. Kota Bogor memiliki udara yang sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26oC dan suhu udara terendah 21oC, dengan kelembaban udara kurang lebih 70 persen disebut sebagai Kota Hujan. Di Kota Bogor mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh dibawah permukaan tanah, yaitu sungai Ciliwung, Cisadane, Cikapancilan, Cidepit, Ciparigi, dan Cibalok. Dengan kondisi sungai seperti ini, Kota Bogor relatif aman dari bahaya banjir walaupun memiliki banyak aliran sungai. Batas-batas wilayah Kota Bogor adalah sebagai berikut : 1. Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor 2. Timur : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor 3. Utara : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojonggede, dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor 4. Barat : berbatasan dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.
46
Secara topografi, kemiringan tanah di Kota Bogor berkisar antara 0-15 persen dan hanya sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15-30 persen. Jenis tanah dihampir seluruh wilayah adalah lotosil coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Berikut ini merupakan gambar lokasi penelitian di Kota Bogor.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bogor (2010)
Gambar 5.1. Peta Kota Bogor Keterangan :
Sampel lokasi penelitian
47
5.2.
Kondisi Sosial Ekonomi Daerah Kedudukan topografis Kota Bogor ditengah-tengah wilayah Kabupaten
Bogor serta lokasinya yang dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun Raya yang didalamnya terdapat Istana Bogor di Pusat Kota, merupakan tujuan wisata, serta kedudukan Kota Bogor diantara jalur tujuan wisata PuncakCianjur juga merupakan potensi yang strategis bagi pertumbuhan ekonomi. Pembangunan didaerah ini lebih diarahkan pada pemerataan dan pertumbuhan ekonomi, dengan memprioritaskan pembangunan sektor industri yang ditunjang oleh sektor pertanian. Perkembangan nilai PDRB Kota Bogor tahun 2008 dibandingkan dengan nilai PDRB tahun 2007 masing-masing terjadi peningkatan dan kenaikan sebagai berikut. Nilai PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2008 sebesar Rp 10.10 juta sedangkan tahun 2007 sebesar Rp 8.55 juta. Nilai PDRB atas dasar harga konstan tahun 2008 sebesar Rp 4.25 juta, sedangkan tahun 2007 sebesar Rp 4.01 juta. 5.3.
Pemerintahan Secara administrasi Kota Bogor terdiri dari enam Kecamatan, yaitu
Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Barat dan Kecamatan Tanah Sareal dengan total kelurahan 68 dan pada tahun 2010 terdapat 758 RW serta 3 392 RT. Jumlah anggota DPRD Kota Bogor adalah 45 orang dengan mayoritas anggota dari Fraksi Partai Demokrat sebanyak 15 orang. Menurut SIMPEG Kota Bogor, tahun 2010 terdapat 3 241 PNS di Lingkungan Pemda Kota Bogor dengan jumlah PNS tertinggi bergolongan II yaitu 1 359 orang (41.93 persen) dan terendah pada
48
PNS golongan IV yaitu 238 orang (7.34 persen). Pada tahun 2010 terdapat 3 328 anggota Linmas di Kota Bogor. 5.4.
Penduduk dan Ketenagakerjaan Berdasarkan hasil sementara sensus penduduk 2010, jumlah penduduk
Kota Bogor adalah 950 334 orang dengan rincian 484 791 laki-laki dan 465 543 perempuan. Sex ratio Kota Bogor tahun 2010 adalah 104 dan jumlah rata-rata anggota 4 orang per rumah tangga. Berikut ini merupakan tabel yang menjelaskan banyaknya penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin di Kota Bogor tahun 2010. Tabel 5.1. Banyaknya Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis kelamin di Kota Bogor Tahun 2010 Penduduk (orang) Kecamatan (1)
Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Jumlah
Laki-laki (2)
Perempuan (3)
Jumlah (4)
Rasio Jenis Kelamin (6)
93 442 48 350 86 962 51 296 107 465 97 276 484 791
87 950 46 748 83 481 50 102 103 619 93 643 465 543
181 392 95 098 170 443 101 398 211 084 190 919 950 334
106 103 104 102 104 104 104
Sumber : Sensus Penduduk 2010
Kepadatan jumlah penduduk di Kota Bogor adalah 8 020 orang/km2. Kecamatan yang memiliki kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Bogor Tengah yaitu 12 470 orang/km2, dan kepadatan terendah ada di Kecamatan Bogor Selatan yaitu 5 887 orang/km2. Pada tahun 2010 di Kota Bogor terdapat 418.742 orang angkatan kerja dengan 82 persen sudah bekerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) tahun 2010 adalah 65.56 persen dan tingkat pengangguran 17.20 persen. Proporsi tertinggi penduduk bekerja di Kota Bogor yaitu 31.38 persen adalah di bidang perdagangan, rumah makan, dan hotel.
49
5.5.
Pertanian Sektor pertanian di Kota Bogor bukan merupakan sektor ekonomi yang
dominan, tetapi penggunaan lahan baik sawah maupun bukan sawah masih tetap mendapat perhatian utama pemerintah daerah Kota Bogor. Pada tahun 2010 terdapat 793 ha lahan sawah dan 2 375 ha lahan bukan sawah di Kota Bogor. Selain padi dan palawija, tanaman holtikultura merupakan andalan sektor pertanian di Kota Bogor. Selain pertanian tanaman bahan makanan, sektor peternakan dan perikanan juga masih cukup berkembang di Kota Bogor. Berikut ini merupakan tabel penggunaan lahan pertanian menurut kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010. Tabel 5.2. Penggunaan Lahan Pertanian Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010 Kecamatan (1)
Irigasi Teknis (2)
Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Jumlah
Lahan Sawah (ha) Irigasi Setengah Irigasi Teknis Sederhana (3) (4)
156 139 0 0 0 0 295
0 38 0 0 76 6 120
127 1 2 1 239 0 370
Tadah Hujan (6)
0 0 0 0 0 8 8
Sumber : Dinas Pertanian Kota Bogor 2010
Penggunaan lahan bukan sawah di Kota Bogor diklasifikasikan menjadi sembilan kategori yaitu tegal/kebun, ladang/huma, perkebunan, hutan rakyat, tambak, kolam/tebat/empang, padang gembala/rumput, lahan yang tidak diusahakan dan lainnya tetapi hanya enam kategori yang masih digunakan. Berikut ini merupakan tabel penggunan lahan bukan sawah menurut kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010.
50
Tabel 5.3. Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010 Kecamatan (1)
Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Jumlah
Tegal (10)
Lahan Bukan Sawah (ha) Kebun Hutan Kolam Tdk Diusahakan*) (12) (13) (15) (17)
282 137 195 3 128 219 964
0 0 0 0 30 0 30
73 54 93 3 72 71 366
19 18 13 5 8 12 75
11 7 3 0 2 5 28
Lain **) (18)
195 167 192 5 235 118 912
Sumber : Dinas Pertanian Kota Bogor 2010 Catatan : *) lebih dari 1 tahun tapi <2 tahun termasuk lahan sawah yang tidak diusahakan >2 tahun **)pekarangan yang ditanami tanaman pertanian
5.6.
Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat ditinjau dari segi pendapatannya.
Namun karena data pendapatan sulit diperoleh maka tingkat kesejahteraan masyarakat didekati dari sisi pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan hasil SUSENAS 2010, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan di Kota Bogor tahun 2010 Rp 328 776 untuk kelompok barang makanan dan Rp 417 704 untuk kelompok barang non makanan. Jika melihat perkembangan dari tahun ke tahun, pengeluaran rata-rata per kapita untuk kelompok barang makanan pada tahun 2010 mengalami penurunan sekitar 26.97 persen dibanding tahun 2009 dan 16.20 persen dibanding tahun 2008. Sementara unutk pengeluaran rata-rata per kapita kelompok barang non makanan meningkat 5.13 persen dibanding tahun 2009.
51
5.7.
Pendapatan Regional Secara umum keadaaan ekonomi Kota Bogor dapat dilihat dari laju
pertumbuhan PDRB menurut tanaman bahan makanan Usaha Atas Dasar harga Konstan. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor tahun 2010 tetap didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan kontribusi sebesar 38.04 persen diikuti oleh sektor industri pengolahan sebesar 25.57 persen.
52
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1.
Peranan Sektor Tanaman Bahan Makanan Terhadap Perekonomian di Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang
secara komprehensif dapat digunakan unuk memotret gambaran mengenai peranan sektor tanaman bahan makanan terhadap perekonomian wilayah Kota Bogor. Analisis ini menggunakan data tabel Input-Output Kota Bogor tahun 2008. Gambaran menyeluruh mengenai keterkaitan sektor tanaman bahan makanan (tabaman) dalam suatu perekonominan meliputi beberapa aspek yaitu struktur permintaan antara dan permintaan akhir serta nilai tambah bruto. Analisis untuk mengetahui peran serta keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor lainya dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu analisis keterkaitan dan analisis multiplier. 6.1.1. Struktur Permintaan Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 klasifikasi 28 sektor yang telah di agregasi menjadi 12 sektor memberikan gambaran bahwa jumlah permintaan antara di Kota Bogor pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 4.49 triliun. Definisi dari permintaan antara itu sendiri adalah jumlah permintaan akan output dari suatu sektor yang akan digunakan sebagai input oleh sektor-sektor lainnya maupun oleh sektor itu sendiri. Untuk sektor tanaman bahan makanan sendiri sebesar Rp 8.44 milyar atau sebesar 0.19 % dan ini menunjukkan bahwa sektor tanaman bahan makanan masih memberikan kontribusi bagi perekonomian Kota Bogor dan sektor ini merupakan sektor primer yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat. Angka tersebut menunjukkan kecilnya kontribusi sektor
53
tabaman terhadap permintaan antara ini menunjukkan sebagian besar output sektor tersebut tidak digunakan oleh sektor lain untuk proses produksi. Nilai permintaan akhir pada perekonomian Kota Bogor tahun 2008 adalah sebesar Rp 5.7 triliun. Untuk sektor tanaman bahan makanan itu sendiri sebesar Rp 185.8 milyar atau sebesar 3.25 persen. Nilai tersebut menunjukkan banyaknya output dari sektor tersebut yang dikonsumsi secara langsung oleh masyarakat yang berada di Kota Bogor maupun pendatang dari luar Kota Bogor yang berbelanja di Kota Bogor. Selain itu, nilai permintaan akhir pada sektor tersebut dapat dilihat dari banyaknya jenis output yang dihasilkan dari sektor-sektor tersebut. Permintaan total pada perekonomian Kota Bogor pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 10.1 triliun dan sektor tanaman bahan makanan memiliki nilai permintaan total sebesar Rp 194.2 milyar. Nilai permintaan total sektor tersebut menggambarkan permintaan akan output atau keluaran dari sektor tersebut, baik untuk digunakan sebagai input oleh sektor-sektor lain maupun dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Berikut ini merupakan rasio antara permintaan antara, permintaan akhir, dan permintaan total di Kota Bogor tahun 2008 klasifikasi 12 sektor. Tabel 6.1. Pemintaan Antara dan Permintaan Akhir Sektor Perekonomian Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor Sektor Tabaman Pertanian lain Peternakan lain Perikanan Pertambangan Ind. Pengolahan Listrik,Gas&Air Bangunan Perdaghores Transkom Keuangan Jasa Total
Permintaan Antara (juta Rp) 8 446 3 1 436 846 25 1 026 014 55 458 402 587 1 318 849 307 177 637 171 681 509 4 439 520
%
Permintaan Akhir (juta Rp)
%
Total Permintaan (juta Rp)
%
0.19 0.00 0.03 0.02 0.00 23.12 1.25 9.06 29.70 6.92 14.35 15.35 100
185 810 33 005 50 790 79 708 73 610 2 345 518 131 007 243 859 1 462 193 397 438 168 224 551 857 5 723 020
3.24 0.57 0.88 1.39 1.28 40.98 2.30 4.26 25.55 6.94 2.94 9.64 100
194 255 33 008 52 226 80 554 73 635 3 371 532 186 465 646 446 2 781 042 704 615 805 395 1 233 366 10 162 540
1.91 0.32 0.51 0.79 0.72 33.17 1.83 6.36 27.36 6.93 7.92 12.13 100
Sumber : Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor (diolah)
54
6.1.2. Struktur Nilai Tambah Bruto Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa surplus usaha sektor tabaman merupakan komponen yang memiliki kontribusi terhadap nilai tambah bruto yakni nilainya mencapai Rp 47.6 milyar atau sebesar 0.62 persen dari total nilai tambah bruto, nilai dari surplus usaha ini menggambarkan bahwa sektor tabaman memiliki peranan dalam pembentukan PDRB Kota Bogor dari sisi permintaan. Sektor tabaman terhadap komponen upah dan gaji yang besarnya adalah Rp 9.62 milyar atau sebesar 0.67 persen dan untuk nilai penyusutan untuk sektor tabaman yaitu sebesar Rp 672 juta atau sebesar 0.14 persen sedangkan nilai pajak tidak langsung dari sektor tabaman yaitu sebesar Rp 586 juta atau sebesar 0.25 persen. Komponen terakhir dari struktur nilai tambah bruto adalah pajak tidak langsung. Sama seperti pada komponen-komponen sebelumnya, tidak terjadi banyak perubahan pada nilai pajak tidak langsung dari sektor-sektor dalam Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 (12 sektor). Tabel 6.2. Struktur Nilai Tambah Bruto Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor Upah dan Gaji Sektor
Nilai (juta Rp) 9 620 1 3 505 1 316 112 213 617
(%)
Surplus Usaha Nilai (jutaRp)
(%)
Penyusutan Nilai (juta Rp) 586 0 279 177 2 37 876
(%)
Tabaman 0.67 672 0.14 0.25 Pertanian lain 6.35 0 0.00 0.00 Peternakan lain 0.24 395 0.08 0.12 Perikanan 0.10 270 0.05 0.07 Pertambangan 0.00 104 0.02 0.00 Ind. 15.08 61 873 13.45 16.72 Pengolahan Listrik, Gas & 32 471 2.30 30 155 6.55 438 0.19 Air Bangunan 152 762 10.78 23 305 5.06 16 629 7.34 Perdaghores 556 825 39.32 160 903 34.98 148 167 65.44 Transkom 192 374 13.58 161 214 35.05 14 078 6.21 Keuangan 27 643 1.95 9 459 2.05 5 203 2.29 Jasa 225 875 15.95 11 592 2.52 2 961 1.30 Sumber : Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor
Pajak Tidak Langsung Nilai (juta Rp) 47 684 3 12 376 3 994 843 329 811
0.62 0.00 0.13 0.10 0.02 42.83
245 382
5.87
92 553 1 552715 324 402 89 609 90 040
12.98 24.45 9.75 1.82 1.38
(%)
55
Nilai rasio upah dan gaji terhadap surplus usaha untuk Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 (12 Sektor) dapat dilihat pada tabel. Tingginya nilai rasio itu menunjukkan bahwa nilai upah dan gaji yang diterima oleh karyawan pada sektor tabaman lebih tinggi jika dibandingkan dengan surplus usaha yang diperoleh. Berikut ini merupakan tabel yang menggambarkan rasio upah dan gaji terhadap surplus usaha di Kota Bogor. Tabel 6.3. Rasio Upah dan Gaji Terhadap Surplus Usaha di Kota Bogor Tahun 2008 Sektor
Upah dan Gaji (juta Rp)
Surplus Usaha (juta Rp)
Tabaman 9 620 47 684 Pertanian lain 1 3 Peternakan lain 3 505 12 376 Perikanan 1 316 3 994 Pertambangan 112 843 Ind. Pengolahan 213 617 329 811 Listrik, Gas & Air 32 471 245 382 Bangunan 152 762 92 553 Perdaghores 556 825 1 552 715 Transkom 192 374 324 402 Keuangan 27 643 89 609 Jasa 225 875 90 040 Sumber : Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor
Rasio Upah dan Gaji terhadap Surplus Usaha 0.20 0.33 0.28 0.32 0.13 0.64 0.13 1.65 0.35 0.59 0.30 2.50
Hal tersebut dapat dilihat dari surplus usaha yang diperoleh pada sektor tabaman sebesar Rp 47.68 milyar tetapi nilai upah dan gaji lebih kecil dibandingkan dengan nilai surplus usaha yang diperoleh yaitu sebesar Rp 9.62 milyar dan rasio upah dan gaji terhadap surplus usaha untuk sektor tabaman sebesar 0.20. Hasil analisis rasio surplus usaha dan gaji, hal ini menunjukkan distribusi pendapatan di Kota Bogor belum merata antara pemilik modal dan pekerja atau dengan kata lain terjadinya eksploitasi tenaga kerja oleh produsen sehingga terjadi ketimpangan pendapatan atau dapat disimpulkan bahwa karyawan-karyawan pada kedua sektor tersebut dapat dikatakan underpaid atau
56
dibayar dengan upah yang secara relatif masih kurang jika dibandingkan dengan nilai keuntungan (surplus usaha) yang diperoleh. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Kebijakan pemerintah dapat dilakukan dengan penetapan Upah Minimum Regional (UMR) yang sesuai dengan standar kehidupan di Kota Bogor. 6.1.3.
Keterkaitan Antar Sektor Adanya penggunaan input antara (intermediate input) yang berasal dari
output sektor produksi lain dan penggunaan input primer (primary input) seperti tenaga kerja dan modal, membuat suatu sektor produksi menjadi terintegrasi dan saling terkait dengan sektor-sektor lainnya dalam suatu perekonomian. Analisis keterkaitan ini dibagi menjadi dua yaitu koefisien penyebaran (backward lingkages) dan kepekaan penyebaran (forward lingkages) a)
Koefisien Penyebaran (Backward Lingkage) Koefisien penyebaran adalah keterkaitan langsung dan tidak langsung
kebelakang yang diboboti jumlah sektor lalu dibagi dengan total keterkaitan langsung dan tidak langsung semua sektor. Koefisien penyebaran menunjukkan efek relatif yang ditimbulkan oleh keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang antar suatu sektor dengan semua sektor. Dengan kata lain, efek yang ditimbulkan suatu sektor karena peningkatan output sektor lain yang digunakan sebagai input oleh sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan tabel, sektor tabaman memiliki koefisien penyebaran sebesar 1.16 yang menunjukkan bahwa nilai tersebut lebih besar dari satu. Nilai yang lebih dari satu ini menunjukkan bahwa sektor tabaman mampu untuk menarik pertumbuhan sektor hulunya. Walaupun bukan merupakan sektor yang memiliki
57
koefisien penyebaran terbesar namun sektor tabaman termasuk lima besar yang memiliki koefisien lebih dari satu. Dengan demikian, meskipun sektor tabaman merupakan sektor yang tidak memiliki kontribusi yang paling besar terhadap penggunaan input dari sektor-sektor perekonomian di Kota Bogor jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain namun sektor tabaman dapat menarik pertumbuhan sektor hulunya sebagai sektor yang menyediakan input baginya. b)
Kepekaan Penyebaran (Forward Lingkage) Kepekaan penyebaran adalah keterkaitan output langsung ke depan yang
diboboti dengan jumlah sektor kemudian dibagi total keterkaitan langsung dan tidak langsung semua sektor. Berdasarkan Tabel Input-Output Kota Bogor Klasifikasi 12 sektor, sektor tabaman memiliki nilai kepekaan penyebaran sebesar 0.16. Nilai ini menunjukkan bahwa sektor tabaman memiliki nilai kepekaan penyebaran kurang dari satu. Hal ini mengandung pengertian bahwa sektor tersebut kurang mampu untuk mendorong pertumbuhan sektor hilirnya. Sektor tabaman dikatakan kurang mampu mendorong pertumbuhan sektor hilirnya karena produk dari sektor tersebut cenderung untuk dikonsumsi langsung, karena sektor tabaman merupakan sektor yang menghasilkan produk berupa bahan makanan yang dikonsumsi langsung dan dipengaruhi oleh penduduk Kota Bogor yang bersifat konsumtif. Dengan kata lain, sektor tabaman merupakan sektor yang digunakan outputnya secara langsung oleh masyarakat Kota Bogor. Apabila dibandingkan dengan koefisien penyebaran, nilai kepekaan penyebaran sektor tabaman memiliki proporsi yang lebih kecil. Berarti kemampuan sektor tabaman dalam menarik sektor hulunya lebih besar dibandingkan dengan kemampuan dalam mendorong sektor hilirnya. Keadaan
58
tersebut terjadi karena sektor tabaman cenderung dijadikan permintaan akhir daripada permintaan antaranya. Kecilnya kontribusi sektor tabaman terhadap permintaan antara ini menunjukkan sebagian besar output sektor tersebut tidak digunakan oleh sektor lain untuk proses produksi, melainkan dijadikan sebagai permintaan akhir atau dengan kata lain permintaan pada sektor tanaman bahan makanan itu digunakan untuk keperluan konsumsi, bukan untuk proses produksi. Berikut ini merupakan tabel yang menjelaskan bagaimana keterkaitan antar sektor dalam sektor perekonomian di Kota Bogor. Tabel 6.4. Koefisien Penyebaran dan Kepekaan Penyebaran Antar Sektor di Kota Bogor tahun 2008 Analisis Keterkaitan Sektor
Koefisien Penyebaran Kepekaan Penyebaran (Backward Lingkage) (Forward Lingkage) Tabaman 1.161 0.156 Pertanian lain 1.547 0 Peternakan lain 1.371 0.041 Perikanan 1.496 0.022 Pertambangan 1.534 0.001 Ind. Pengolahan 0.819 1.209 Listrik, Gas & Air 0.749 0.785 Bangunan 0.444 2.212 Perdaghores 0.280 1.579 Transkom 0.540 1.307 Keuangan 1.096 2.757 Jasa 0.960 1.925 Sumber : Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor
6.1.4. Analisis Multiplier Analisis multiplier atau analisis pengganda digunakan untuk melihat apa yang terjadi terhadap variabel-variabel endogen tertentu apabila terjadi perubahan dalam variabel-variabel eksogen, seperti variabel permintaan akhir pada analisis Input-Output sisi permintaan dan variabel input primer pada analisis Input-Output sisi penawaran. Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 merupakan bentuk model I-O dari sisi permintaan (demand driven model) yang mengasumsikan perekonomian tumbuh apabila ada peningkatan final demand sebagai exogenous
59
factor. Sementara model Input-Output sisi penawaran (supply side model) diasumsikan perekonomian dimungkinkan dapat tumbuh bukan oleh final demand tetapi karena adanya perubahan biaya input primer sebagai exogenous factor. Multiplier tipe I yang dapat diperoleh dari pengolahan lebih lanjut matriks kebalikan Leontief terbuka. Nilai multiplier tipe I ini menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan variabel eksogen sebesar satu satuan maka variabel endogen diseluruh sektor perekonomian akan meningkat sebesar nilai tersebut. a)
Multiplier Output Nilai multiplier output mendeskripsikan besar perubahan output yang
dialami oleh semua sektor dalam perekonomian akibat perubahan permintaan akhir suatu sektor. Nilai multiplier output untuk sektor tabaman yaitu sebesar 2.06. Nilai multiplier sektor tabaman sebesar 2.06 diartikan apabila terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah pada sektor tabaman maka akan meningkatkan jumlah output yang dihasilkan sektor tersebut dan sektorsektor lain dalam perekonomian sebesar Rp 2.06 juta. Sektor tabaman mempengaruhi Kota Bogor dikarenakan masyarakat Kota Bogor masih membutuhkan produk-produk dari sektor tabaman untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka dan menjaga ketahanan pangan serta mengurangi ketergantungan terhadap daerah lain dalam pemenuhan kebutuhan primer. Berikut ini merupakan tabel yang menggambarkan multiplier output di Kota Bogor.
60
Tabel 6.5. Multiplier Output Sektor Tabaman Pertanian lain Peternakan lain Perikanan Pertambangan Ind. Pengolahan Listrik, Gas & Air Bangunan Perdaghores Transkom Keuangan Jasa
Multiplier Output 2.058 2.972 2.481 2.371 2.825 1.891 1.952 1.502 1.307 1.698 2.819 2.228
Sumber : Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor
b)
Multiplier Pendapatan Analisis multiplier pendapatan dilakukan untuk melihat dampak yang
diakibatkan oleh adanya perubahan permintaan akhir dari sektor tertentu sebesar satu juta rupiah terhadap pendapatan yang didapatkan seluruh sektor produksi di Kota Bogor. Hasil pengolahan Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 (Tabel 6.8) memperlihatkan bahwa kelompok sektor yang memiliki nilai multiplier pendapatan untuk sektor tabaman yaitu sebesar 5.64. Besarnya multipiler pendapatan sektor tabaman menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan permintaan akhir dari sektor tersebut sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan pendapatan semua sektor dalam perekonomian termasuk sektor itu sendiri sebesar Rp 5.64 juta rupiah. Nilai mutiplier pendapatan dari Kota Bogor pada sektorsektor tertentu sedikit ekstrim, hal tersebut salah satunya dikarenakan dalam updating Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 digunakan koefisien teknis dari Tabel Input-Output Kota Bandung tahun 2003, sehingga ada sedikit perbedaan dalam jumlah output dan pendapatan yang kemudian mempengaruhi
61
hasil pengolahan. Berikut ini merupakan tabel yang menggambarkan multiplier pendapatan di Kota Bogor. Tabel 6.6. Multiplier Pendapatan Sektor Tabaman Peternakan lain Perikanan Ind. Pengolahan Listrik, Gas & Air Bangunan Perdaghores Transkom Keuangan Jasa
Multiplier Pendapatan 5.637 10.591 34.548 2.230 3.916 1.368 1.269 1.686 5.993 1.984
Sumber : Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor Catatan : Sektor pertanian lain dan pertambangan memiliki nilai multiplier tenaga kerja yang ekstrim sehingga tidak dimasukkan ke dalam tabel
c)
Multiplier Tenaga Kerja Analisis multiplier tenaga kerja dilakukan untuk melihat dampak yang
diakibatkan oleh adanya perubahan permintaan akhir dari sektor tertentu sebesar satu juta rupiah terhadap penyerapan tenaga kerja pada seluruh sektor produksi di Kota Bogor. Hasil pengolahan Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 (Tabel 6.9) memperlihatkan bahwa kelompok sektor yang memiliki nilai multiplier pendapatan untuk sektor tabaman yaitu sebesar 2.02 atau sebanyak 2 orang. Besarnya multiplier tenaga kerja sektor tabaman menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan permintaan akhir dari sektor tersebut sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja untuk semua sektor dalam perekonomian termasuk sektor itu sendiri sebesar 2 orang. Berikut ini merupakan tabel yang menggambarkan multiplier tenaga kerja.
62
Tabel 6.7. Multiplier Tenaga Kerja Sektor Tabaman Pertanian lain Peternakan lain Perikanan Ind. Pengolahan Listrik, Gas & Air Bangunan Perdaghores Transkom Keuangan Jasa
Multiplier Tenaga Kerja 2.022 1.635 3.208 5.964 2.521 1.612 1.686 1.291 3.613 3.133 1.746
Sumber : Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor Catatan : Sektor pertambangan memiliki nilai multiplier tenaga kerja yang ekstrim sehingga tidak dimasukkan ke dalam tabel
6.2.
Subsidi Pupuk di Kota Bogor Besarnya subsidi pupuk urea dari tahun 2008 hingga 2012 mengalami
fluktuasi dan sangat dipengaruhi oleh harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah. Berikut ini merupakan tabel yang menjelaskan rekapan HPP pupuk urea bersubsidi dari tahun 2008-2012. Tabel 6.8. Rekap HPP Pupuk Urea Subsidi Tahun 2008-2012 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Harga Per ton (Rp./Ton) 2 354 093 2 826 681 2 666 290 2 688 288 3 196 592
Harga Eceran Tertinggi (Rp./Ton) 1 200 000 1 200 000 1 600 000 1 800 000 1 800 000
Subsidi (Rp/Ton) 1 154 093 1 626 681 1 066 290 888 288 1 396 592
Sumber : PT. Pupuk Kujang (2012)
Karena harga eceran tertinggi pupuk urea bersubsidi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun maka menyebabkan subsidi yang diterima mengalami penurunan jika harga pokok penjualan PT. Pupuk Kujang tetap atau jika harga pokok penjualan meningkat seperti yang terjadi pada tahun 2012 maka semakin banyak pula yang dibayarkan kepada produsen pupuk yang menjadi harga dasar penagihan subsidi. Subsidi pupuk di Kota Bogor hampir tidak mengalami perubahan jika dilihat dalam tonase hanya pada tahun 2012
63
mengalami penurunan drastis dikarenakan semakin banyaknya konversi lahan pada sektor tanaman bahan makanan dan terdapatnya masalah distribusi dan penggunaan pupuk bersubsidi di Kota Bogor. Jika dilihat dari nilai subsidi maka subsidi yang paling besar yang diperoleh Kota Bogor yaitu pada tahun 2009 yaitu sebesar Rp 1.62 milyar sedangkan nilai subsidi yang paling kecil yaitu pada tahun 2012 yaitu hanya Rp 590.75 juta karena subsidi pupuk ureanya dalam jumlah tonase hanya sebesar 423 ton dan mengalami penurunan sebesar 577 ton dan ratarata nilai subsidi dari 2008 hingga 2012 sebesar Rp 772 juta. Berikut ini merupakan tabel yang menjelaskan jumlah pupuk urea bersubsidi dalam ton dan nilai subsidi dalam rupiah. Tabel 6.9. Pupuk Urea Bersubsidi di Kota Bogor Tahun 2008-2012 Tahun Subsidi (Ton) Subsidi (Rp/Ton) Nilai Subsidi (Rp) 2008 1000 1 154 093 1 154 093 490 2009 1000 1 626 681 1 626 681 180 2010 1000 1 066 290 1 066 290 230 2011 1000 888 288 888 288 500 2012 423 1 396 592 590 758 483 Sumber : PT. Pupuk Kujang (2012)
Nilai Subsidi
Juta
Untuk dapat melihat secara jelas mengenai subsidi pupuk urea yang terjadi di Kota Bogor dapat dilihat pada gambar. 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Sumber : PT. Pupuk Kujang (2012)
Gambar 6.1. Diagram Pupuk Urea Bersubsidi di Kota Bogor
64
6.2.1. Dampak Subsidi Pupuk terhadap Output Tanaman Bahan Makanan Kebijakan pemerintah Kota Bogor untuk melakukan penyuntikan dana kepada sebuah sektor tertentu, maka hal tersebut dapat diartikan sebagai pemicu untuk meningkatkan permintaan akhir. Dengan kata lain, apabila pemerintah Kota Bogor menyuntikan dana sebesar 1 milyar rupiah, maka hal tersebut equivalen dengan peningkatan permintaan akhir sebesar 1 milyar rupiah. Apabila pemerintah Kota Bogor menyuntikan dana untuk subsidi pupuk rata-rata dari tahun 2008 sampai dengan 2012 sebesar Rp 772 juta pada sektor tabaman maka akan meningkatkan final demand sebesar Rp 772 juta pula dan dapat dilihat pada tabel dijelaskan bahwa Indust Sup atau besarnya pengaruh tidak langsung yang terjadi atau Indust Sup merupakan besarnya pengaruh tidak langsung dari suatu sektor terhadap perekonomian sebagai respon akibat adanya perubahan permintaan akhir sebesar satu rupiah (Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Peningkatan output tersebut akan memberikan efek terhadap peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja. Pengaruh tidak langsung yang terjadi pada sektor tabaman sebesar Rp 16.93 juta dan nilai ini menunjukkan bahwa terjadi pengaruh secara tidak langsung akibat diberikannya subsidi pupuk pada sektor tersebut yang merupakan respon dari perubahan permintaan akhir dan dengan adanya subsidi pupuk pada sektor pangan ini, juga menyebabkan pengaruh yang tidak langsung bagi sektorsektor lain. Untuk sektor yang mengalami pengaruh tidak langsung kedua yaitu dirasakan oleh sektor industri pengolahan yaitu sebesar Rp 16.78 juta, hal ini menunjukkan bahwa sektor tanaman bahan makanan mengalami keterkaitan yang erat dengan sektor industri pengolahan atau jika terjadi perubahan permintaan
65
akhir pada sektor tabaman maka secara tidak langsung menyebabkan peningkatan pula bagi sektor industri pengolahan dan dampak tidak langsung terbesar ke tiga yaitu dialami oleh sektor perdaghores yaitu sebesar Rp 3.37 juta, hal ini juga menunjukkan bahwa dengan adanya subsidi pupuk pada sektor tabaman juga akan meningkatkan permintaan akhir pada sektor perdaghores secara tidak langsung. Selanjutnya dapat dilihat pada tabel bahwa total dari final demand dari sektor tabaman setelah adanya dampak tidak langsung dari pemberian subsidi yaitu sebesar Rp 788.93 juta atau sebesar 96.93 persen. Nilai ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan total final demand sebesar 96.93 persen pada sektor tabaman dari total permintaan akhir untuk semua sektor yang berjumlah Rp 813.84 juta dengan adanya suntikan dana berupa subsidi pupuk dan untuk sektor yang mengalami perubahan peningkatan terbesar kedua pada total final demand yaitu pada sektor industri pengolahan yaitu sebesar 2.06 persen dan untuk sektor yang lain tidak berpengaruh secara signifikan pada masing-masing total final demand sektor-sektor tersebut. Flow-on yang dimaksud pada tabel adalah perubahan yang terjadi pada final demand, nilai-nilai tersebut sama dengan pengaruh tidak langsung atau indust sup. Pada tabel menunjukkan bahwa sektor tabaman mengalami perubahan sebesar Rp 16.93 juta atau sebesar 40.45 persen dan perubahan yang terbesar yaitu pada sektor industri pengolahan atau sebesar 40.10 persen. Dapat dilihat pada tabel bahwa nilai multiplier output dari sektor tabaman yaitu sebesar 2.06 yang menunjukkan bahwa perubahan output yang terjadi pada sektor tabaman apabila terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar Rp 788.93 juta pada sektor tabaman.
66
Penjelasan mengenai dampak subsidi pupuk pada output sektor tanaman bahan makanan dapat dilihat pada tabel. Tabel 6.10. Dampak Subsidi Pupuk pada Output Tanaman Bahan Makanan Sektor
Final Demand (Juta Rp) 772 0 0
Indust Sup (Juta Rp)
Total (Juta Rp)
Percent
Tabaman 16.93 788.93 96.93 Pertanian lain 0.25 0.25 0.03 Peternakan 2.47 2.47 0.30 lain Perikanan 0 0.39 0.39 0.05 Pertambangan 0 0.11 0.11 0.01 Ind. 0 16.78 16.78 2.06 Pengolahan Listrik, Gas 0 0.43 0.43 0.05 & Air Bangunan 0 0.05 0.05 0.01 Perdaghores 0 3.37 3.37 0.41 Transkom 0 0.18 0.18 0.02 Keuangan 0 0.15 0.15 0.02 Jasa 0 0.73 2.47 0.10 Total 772 41.84 813.84 100 Multiplier 2.05878 Sumber : Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor
6.2.2.
Flow-on (Juta Rp)
Percent
16.93 0.25 2.47
40.45 0.60 5.91
0.39 0.11 16.78
0.94 0.26 40.10
0.43
1.03
0.05 3.37 0.18 0.15 0.73 41.84 1.05878
0.13 8.04 0.42 0.36 1.73 100
Dampak Subsidi Pupuk terhadap Pendapatan Sektor Tanaman Bahan Makanan Jika terjadi peningkatan output karena meningkatnya permintaan akhir
maka akan meningkatkan pendapatan pada sektor yang mendapatkan suntikan dana berupa subsidi pupuk dan juga bagi sektor-sektor lain yang terkait dengan sektor tersebut. Dapat dilihat pada tabel bahwa nilai sebesar Rp 738.68 juta merupakan peningkatan final demand yang berdampak pada pendapatan sektor tanaman bahan makanan. Besarnya rata-rata subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan sebesar Rp 772 juta maka akan meningkatkan pendapatan pada sektor tanaman bahan makanan Rp 738.68 juta. Pengaruh tidak langsung dari final demand yang berdampak pada pendapatan sektor tanaman bahan makanan atau besarnya indust sup untuk tanaman bahan makanan sebesar Rp 16.20 juta yang menjelaskan bahwa
67
terjadinya pengaruh secara tidak langsung akibat adanya respon perubahan permintaan akhir yang akan meningkatkan pendapatan. Untuk sektor yang mengalami pengaruh tidak langsung terhadap pendapatan yang paling besar yaitu sektor industri pengolahan yaitu sebesar Rp 11.47 juta yang menjelaskan bahwa apabila pendapatan sektor tabaman meningkat maka akan meningkatkan pendapatan sektor industri pengolahan, hal ini menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan sektor tabaman dan secara tidak langsung pula yang juga memiliki nilai yang cukup signifikan setelah industi pengolahan yaitu sektor peternakan, ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara peningkatan pendapatan sektor tabaman dengan pendapatan sektor peternakan. Total final demand sektor tabaman sebesar Rp 754.88 juta setelah adanya pengaruh tidak langsung atau sebesar 97.78 persen yang menjelaskan bahwa peningkatan total final demand akan meningkatkan pendapatan pada sektor tanaman bahan makanan sebesar 97.78 persen dari seluruh total permintaan akhir yaitu Rp 772 juta dan untuk sektor yang terbesar kedua yaitu sektor industri pengolahan yang bernilai Rp 11.47 juta atau sebesar 1.50 persen dari total permintaan akhir dan ini menjelaskan bahwa sektor industri pengolahan akan mengalami peningkatan total permintaan akhir yang akan meningkatkan pendapatan pada sektor tersebut cukup besar. Nilai flow-on atau perubahan dari sektor tabaman yaitu sebesar Rp 16.20 juta atau terjadi perubahan final demand sebesar 48.61 persen dan untuk perubahan yang terbesar kedua terjadi pada sektor industri pengolahan yaitu 34.43 persen dan dapat dilihat pada tabel bahwa multiplier pendapatan sebesar 5.64.
68
Nilai multiplier pendapatan ini menunjukkan atau untuk melihat dampak yang diakibatkan oleh adanya perubahan permintaan akhir dari sektor tabaman sebesar Rp 754.88 juta terhadap pendapatan yang didapatkan sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor. Penjelasan mengenai dampak subsidi pupuk pada pendapatan sektor tanaman bahan makanan dapat dilihat pada tabel. Tabel 6.11. Sektor
Dampak Subsidi Pupuk pada Pendapatan Sektor Tanaman Bahan Makanan Final Demand (Juta Rp) 738.68 0 0
Indust Sup (Juta Rp) 16.20 0.25 2.40
Total (Juta Rp)
Percent
Flow-on (Juta Rp)
Percent
Tabaman 754.88 97.78 16.20 Pertanian lain 0.25 0.03 0.25 Peternakan 2.40 0.31 2.40 lain Perikanan 0 0.39 0.39 0.05 0.39 Pertambangan 0 0.11 0.11 0.01 0.11 Ind. 0 11.47 11.47 1.50 11.47 Pengolahan Listrik, Gas 0 0.30 0.30 0.04 0.30 & Air Bangunan 0 0.02 0.02 0.00 0.02 Perdaghores 0 1.75 1.75 0.23 1.75 Transkom 0 0.10 0.10 0.01 0.10 Keuangan 0 0.03 0.03 0.00 0.03 Jasa 0 0.30 0.30 0.04 0.30 Total 738.68 33.32 772 100 33.32 Multiplier 5.63768 4.63768 Sumber : Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor
48.61 0.75 7.20 1.17 0.32 34.43 0.91 0.05 5.26 0.30 0.08 0.89 100
6.2.3. Dampak Subsidi Pupuk terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Tanaman Bahan Makanan Jika terjadi peningkatan output karena meningkatnya permintaan akhir maka akan akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada sektor yang mendapatkan suntikan dana berupa subsidi pupuk dan juga bagi sektor-sektor lain yang terkait dengan sektor tersebut. Dapat dilihat pada tabel bahwa nilai sebesar Rp 24.62 juta merupakan peningkatan final demand yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja sektor tanaman bahan makanan. Besarnya rata-rata subsidi pupuk pada sektor tanaman bahan makanan sebesar Rp 772 juta maka
69
akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan sebesar Rp 24.62 juta atau sebanyak 132 orang. Pengaruh tidak langsung dari final demand yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja sektor tanaman bahan makanan atau besarnya indust sup untuk tanaman bahan makanan sebesar Rp 0.54 juta atau sebanyak 3 orang yang menjelaskan bahwa terjadinya pengaruh secara tidak langsung akibat adanya respon perubahan permintaan akhir yang akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Untuk sektor yang mengalami pengaruh tidak langsung terhadap penyerapan tenaga kerja terbesar kedua yaitu sektor industri pengolahan yaitu sebesar Rp 0.51 juta atau sebanyak 2 orang yang menjelaskan bahwa apabila pendapatan sektor tabaman meningkat maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan, hal ini menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan sektor tabaman dan secara tidak langsung pula yang juga memiliki nilai yang cukup signifikan setelah industri pengolahan yaitu sektor perdaghores, ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor tabaman dengan penyerapan tenaga kerja sektor perdaghores. Total final demand sektor tabaman terbesar yaitu sebesar Rp 25.16 juta setelah adanya pengaruh tidak langsung atau sebesar 97.05 persen yang menjelaskan bahwa peningkatan total final demand akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada sektor tanaman bahan makanan sebesar 97.05 persen atau sebanyak 135 orang dari seluruh total permintaan akhir yaitu Rp 25.93 juta dan untuk sektor yang terbesar kedua yaitu sektor industri pengolahan yang bernilai Rp 0.51 juta atau sebesar 1.97 persen dari total permintaan akhir dan ini
70
menjelaskan bahwa sektor industri pengolahan akan mengalami peningkatan total permintaan akhir yang akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 2 orang pada sektor tersebut. Nilai flow-on atau perubahan dari sektor tabaman yaitu sebesar Rp 0.54 juta atau terjadi perubahan final demand sebesar 41.41 persen dan untuk perubahan yang terbesar kedua terjadi pada sektor industri pengolahan yaitu 0.51 persen atau 39.31 persen dan dapat dilihat pada tabel bahwa multiplier tenaga kerja sebesar 2.02. Nilai multiplier penyerapan tenaga kerja ini menunjukkan atau untuk melihat dampak yang diakibatkan oleh adanya perubahan permintaan akhir dari sektor tabaman sebesar Rp 25.16 juta atau sebanyak 135 orang terhadap penyerapan tenaga kerja yang didapatkan sektor tanaman bahan makanan di Kota Bogor. Penjelasan mengenai dampak subsidi pupuk pada penyerapan tenaga kerja sektor tanaman bahan makanan dapat dilihat pada tabel. Tabel 6.12. Dampak Subsidi Pupuk pada Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Tanaman Bahan Makanan Sektor
Final Demand (Juta Rp) 24.62 0 0
Indust Sup (Juta Rp) 0.54 0.01 0.02
Total (Juta Rp)
Percent
Flow-on (Juta Rp)
Percent
Tabaman 25.16 97.05 0.54 Pertanian lain 0.01 0.03 0.01 Peternakan 0.02 0.08 0.02 lain Perikanan 0 0.00 0.00 0.01 0.00 Pertambangan 0 0.00 0.00 0.00 0.00 Ind. 0 0.51 0.51 1.97 0.51 Pengolahan Listrik, Gas 0 0.01 0.01 0.03 0.01 & Air Bangunan 0 0.00 0.00 0.01 0.00 Perdaghores 0 0.12 0.12 0.45 0.12 Transkom 0 0.00 0.00 0.00 0.00 Keuangan 0 0.01 0.01 0.04 0.01 Jasa 0 0.08 0.08 0.32 0.08 Total 24.62 1.30 25.93 100 1.30 Multiplier 2.02239 1.02239 Sumber : Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun 2008 Klasifikasi 12 Sektor
41.41 0.52 1.51 0.13 0.01 39.32 0.65 0.14 9.05 0.10 0.88 6.27 100
71
Dampak subsidi pupuk di Kota Bogor masih dirasakan kecil dan kurang mampu mendorong sektor tanaman bahan makanan dan sektor lainnya. Menurut Dinas Pertanian Kota Bogor (2010) terjadinya masalah penggunaan dan distribusi pupuk. Terjadinya masalah penggunaan dan distribusi pupuk tidak hanya terjadi di Kota Bogor tetapi banyak daerah di Indonesia mengalami masalah tersebut. Ini masalah yang sangat krusial bagi masyarakat terutama petani dan membutuhkan banyak perhatian dari berbagai pihak untuk mengatasi masalah tersebut agar kedepannya pupuk bersubsidi dapat digunakan secara efektif dan efisien serta tepat sasaran demi mencegah kelangkaan pupuk saat petani membutuhkan. Berikut ini merupakan masalah penggunaan dan distribusi pupuk bersubsidi di berbagai daerah termasuk Kota Bogor. Terjadinya banyak penyimpangan dalam penggunaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yaitu penggunaan pupuk yang tidak rasional, menurut penelitian bahwa secara agronomis dibutuhkan sekitar 200-250 kg/ha, namun dewasa ini penggunaan pupuk melebihi batas toleransi tersebut yaitu sekitar 350-500 kg/ha yang dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan tanah dan menimbulkan masalah pada lingkungan hidup. Penggunaan yang tidak rasional ini terutama disebabkan oleh harga pupuk urea yang terlalu murah. Perbedaan harga dengan jenis pupuk lain, menyebabkan komposisi pupuk tidak berimbang menyebabkan rendemen dari gabah ke beras rendah dibandingkan dengan pupuk yang berimbang (majemuk) NPK. Subsidi yang besar menyebabkan terjadinya kebocoran (leakage) kepada perkebunan besar bukan kepada sektor pertanian terutama sektor tanaman bahan makanan yang membutuhkan pupuk sebagai input primer sehingga menimbulkan
72
kelangkaan pupuk namun hal ini memancing pemerintah untuk mengurangi subsidi pupuk dengan meningkatkan harga eceran tertinggi (HET) yang menimbulkan banyak pro dan kontra di berbagai kalangan. Setiap pemerintah mengumumkan kebijakan mengenai kenaikan HET pupuk, maka kebijakan ini selalu direspon negatif oleh sebagian masyarakat karena kebijakan ini dapat menambah beban petani dalam menyediakan biaya produksi dan timbulnya masalah distribusi pupuk yaitu dengan terjadinya aktivitas penimbunan dan pemburuan rente (rent seeking activity) tumbuh subur yang dilakukan oleh pecundang yang menangguk keuntungan dari kebijakan ini sehingga pupuk bersubsidi yang harusnya sampai ketangan petani dengan harga yang sesuai bagi petani tetapi sampai kepada pihak-pihak yang tidak tepat yang kemudian meningkatkan harga subsidi tersebut sehingga petani harus membayar lebih dari HET yang dianjurkan oleh pemerintah. Mengatasi masalah-masalah diatas tidak hanya dibutuhkan bantuan oleh pemerintah saja tetapi banyak pihak dapat bekerjasama untuk mengatasniya. Kenaikan HET pupuk yang tidak dilakukan secara bertahap maka akan sangat memberatkan petani terutama untuk petani yang memilki lahan sempit. Fakta lain petani kecil umumnya masih menghadapi persoalan kegagalan pasar kredit sehingga mempunyai masalah pada pembiayaan input dalam produksi padi. Oleh karena itu, perlu adanya : (i) pengurangan subsidi pupuk harus dilakukan secara bertahap; (ii) mekanisme alternatif untuk mengatasi persoalan kegagalan pasar kredit. Satu hal yang dalam waktu dekat ini harus diwaspadai oleh seluruh pemangku kepentingan, utamanya Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP-3)
73
di berbagai tingkatan, adalah kemungkinan terulangnya kelangkaan pupuk menjelang pergantian tahun. Kata kunci dari semua itu adalah pengawasan dan penegakan hukum yang ketat terhadap pecundang yang sengaja menangguk keuntungan dari kebijakan ini. Anggota KP-3 harus bekerja ekstrakeras untuk mengawasi distribusi pupuk bersubsidi hingga barang tersebut sampai di tangan petani. Untuk mengatasi masalah penggunaan pupuk yang tidak rasional maka harus banyak diadakannya penyuluhan-penyuluhan oleh penyuluh pertanian dari desa-desa terpencil bahkan sampai kota termasuk Kota Bogor dan penyebaran atau distribusi harus merata dan tepat sasaran untuk pembagian pupuk bersubsidi, tidak hanya fokus kebeberapa daerah yang memiliki lahan pertanian yang luas tapi daerah bahkan kota pun yang masih memiliki lahan pertanian harus terus diperhatikan agar tidak semakin berkurangnya lahan pertanian di daerah tersebut karena apabila terjadinya konversi lahan pertanian secara terus-menerus akan meningkatkan kerawanan pangan serta ketergantungan terhadap tanaman bahan makanan pada daerah lain.
74
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Simpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun
2008 klasifikasi 28 sektor yang diagregasi menjadi 12 sektor, dapat diambil simpulan bahwa : 1.
Kontribusi sektor tabaman dalam perekonomian Kota Bogor terhadap pembentukan permintaan antara menempati urutan kedelapan, permintaan akhir menempati urutan keenam, permintaan total menempati urutan ketujuh. Dalam hal nilai tambah bruto yang terdiri upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung. Untuk upah dan gaji menempati urutan kesembilan, surplus usaha menempati urutan kedelapan, penyusutan menempati urutan ketujuh, dan
pajak tidak langsung
menempati urutan kedelapan. 2.
Berdasarkan hasil analisis keterkaitan, dapat dilihat bahwa sektor tabaman memiliki nilai koefisien penyebaran lebih besar daripada nilai kepekaan penyebaran. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sektor tabaman lebih mampu meningkatkan sektor hulunya daripada sektor hilirnya.
3.
Hasil analisis multiplier menunjukkan bahwa sektor tabaman tipe I pada multiplier output tipe I menempati urutan ketujuh dan multiplier pendapatan tipe I urutan keenam sedangkan untuk multiplier tenaga kerja tipe I menempati urutan ketujuh. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan pada output maka akan meningkatkan pendapatan dan tenaga kerja pula.
75
4.
Berdasarkan hasil analisis dampak sektor tabaman selama pemberian subsidi yaitu dari tahun dimulainya pemberian subsidi 2008 sampai 2012 yaitu rata-rata per tahun sebesar Rp 772 juta akan meningkatkan output total sebesar Rp 788.93 juta atau sebesar 96.94 persen bagi sektor tabaman, dan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 754.88 atau 97.78 persen dan juga pada penyerapan tenaga kerja sebesar Rp 25.16 juta atau 97.05 persen yaitu total tenaga kerja yang diserap sebanyak 135 orang. Dampak ini masih dirasakan kurang untuk mendorong sektor tanaman bahan makanan dan sektor lainnya karena masih terjadinya masalah penggunaan dan distribusi pupuk.
7.2.
Saran Dengan melihat hasil penelitian analisis Input-Ouput Kota Bogor tahun
2008 tentang sektor tabaman, maka beberapa saran yang dapat disampaikan diantaranya : 1.
Meskipun sektor tanaman bahan makanan bukan merupakan sektor yang paling berpengaruh bagi perekonomian Kota Bogor, sektor ini merupakan sektor primer yang terus diperhatikan oleh berbagai pihak terutama pemerintah dan salah satunya dengan cara meningkatkan subsidi pupuk agar dapat mengurangi kerawanan pangan, mengurangi ketergantungan terhadap daerah lain akan konsumsi penduduk lokal, dan mencegah terus menerus konversi lahan pada sektor ini.
2.
Sektor tabaman tidak hanya mampu dapat meningkatkan sektor hulu tapi juga dapat meningkatkan sektor hilir dari produk tabaman itu sendiri dengan cara meningkatkan aktifitas pascapanen seperti peningkatan variasi
76
dari produk-produk tersebut tidak hanya berbentuk makanan pokok tapi berbagai jenis makanan olahan yang lain agar dapat meningkatkan pemasaran pada sektor hilir. 3.
Pemerintah, masyarakat, dan akademisi perlu meningkatkan pemahaman serta teknologi mengenai pupuk, alternatif pembuatan pupuk dari sumberdaya lokal dengan tujuan memudahkan petani dalam penyediaan pupuk yang merupakan solusi dalam mengatasi penurunan subsidi pupuk.
4.
Dengan adanya subsidi pupuk pada sektor tabaman sangat mempengaruhi peningkatan output, pendapatan dan tenaga kerja sektor tersebut walaupun masih dirasakan kurang untuk mendorong pertumbuhan sektor tanaman bahan makanan dan sektor lainnya dikarenakan terjadinya masalah penggunaan dan distribusi pupuk. Untuk mengatasi masalah penggunaan pupuk bersubsidi secara berlebihan dan tidak sesuai dosis maka harus banyaknya penyuluhan-penyuluhan
pertanian secara intensif terutama
tentang dosis pupuk serta bahayanya jika berlebihan bukan hanya di desa atau kabupaten tapi juga di kota sedangkan untuk mengatasi masalah distribusi yang tidak merata dan tepat sasaran yaitu dengan penegasan dan penegakan hukum yang ketat untuk pihak-pihak yang sengaja menangguk keuntungan dari kebijakan ini serta lebih efektifnya kinerja Komisi Pengawas Pupuk dan Pestida (KP-3).
77
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Ardi, T. Analisis Pencabutan Subsidi Pupuk Terhadap Sektor Pertanian di Indonesia: Analisis Input-Output Sisi Penawaran. Skripsi Program Sarjana IPB. Bogor. Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia. 2011. Harga Eceran Tertinggi Pupuk Indonesia (APPI) 2011. APPI, Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2011. Penyusunan Tabel Input-Output Kota Bogor Tahun Anggaran 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Bogor. Badan Pusat Statistik. 1999. Penggunaan Lahan Sawah untuk Tanaman Pangan 1999. Badan Pusat Statistik. Jakarta. __________________. 2000. Teknik Penyusunan Tabel Input-Output. Badan Pusat Statistik. Jakarta. __________________. 2009. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor 2009. Badan Pusat Statistik. Jakarta. __________________. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor 2010. Badan Pusat Statistik. Jakarta. __________________. 2010. Kota Bogor dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik. Bogor. __________________. 2010. Peta Kota Bogor 2010. Badan Pusat statistik. Bogor Daryanto A, dan Yundi Hafizryanda. 2010. Analisis Input-Output & Social Accounting Matrix untuk Pembangunan Daerah. IPB Press. Bogor. Dinas Pertanian. 2004. Prediksi Kebutuhan Konsumsi Bahan Pangan Penduduk. Dinas Pertanian Bogor. __________________. 2010. Penggunaan Lahan Pertanian Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2010. Dinas Pertanian. Bogor. __________________. 2010. Realisasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Kota Bogor Tahun 2010’ Dinas Pertanian. Bogor. __________________. 2011. Jenis dan Kebutuhan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Dinas Pertanian. Bogor. Hadianto, A. 2010. Analisis Pertumbuhan Sektor Berbasis Kehutanan dan dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia: Pendekatan Input-Output Miyazawa. Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 78
Iman, P.N. Analisis Peranan Sektor Argoindustri dan Dampak Investasinya terhadap Perekonomian Kabupaten Ciamis (Analisis Input-Output). Skripsi Program Sarjana IPB. Bogor. Manaf. 2000. Pengaruh Subsidi Harga Pupuk Terhadap Pendapatan Petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Marisa, S. Analisis Efektifitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Padi. Skripsi Program Sarjana IPB. Bogor. Media Indonesia. 23 Agustus 2010. hal .21. Batalkan Pengurangan Subsidi Pupuk. Mulyani, S. 2007. Dampak Restrukturisasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Barat. Skripsi Program Sarjana IPB. Bogor. Purnomo, dan Heni Purnamawati. 2007. 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. PT. Pupuk Kujang. 2012. Rekap HPP Pupuk Urea Bersubsidi Tahun 2008-2012. PT. Pupuk Kujang. Cikampek. ________________. 2012. Pupuk Urea Bersubsidi di Kota Bogor Tahun 20082012. PT. Pupuk Kujang. Cikampek. Rahayu, F. 2006. Analisis Pengaruh Sektor Pariwisata Terhadap Perekonomian Kota Bogor. Skripsi Program Sarjana IPB.Bogor Setiawan, B. 2010. Subsidi Tanaman Terpadu. http: //bataviase. Co. Id/. diakses pada tanggal 6 April 2010. Sudaryanto, T. 2010. Dampak dan Perspektif Kebijakan Pupuk di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 8. No.3, September 2010: 193-205. Susdeka, K . 2009. Pengurangan Subsidi Pupuk di APBN 2010. http: //susdeka. net/. diakses pada tanggal 29 September 2009.
79