DAMPAK PEMBANGUNAN PUSAT PERBELANJAAN MODERN TERHADAP PENYERAPAN DAN PENGURANGAN TENAGA KERJA DI KOTA BOGOR
OLEH EKA SARI NINGSIH H14103096
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
EKA SARI NINGSIH. Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja di Kota Bogor (dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI).
Pembangunan pusat perbelanjaan menunjukkan peningkatan yang besar mulai tahun 2001. Dalam kurun waktu lima tahun, 2001-2005, luas pusat perbelanjaan meningkat lebih dari 80 persen dari 1,4 juta m2 menjadi 2,4 juta m2. Fenomena tingginya pertumbuhan pembangunan pusat perbelanjaan ini terjadi hampir di seluruh kota di Pulau Jawa. Pada Desember 2004, total kumulatif pusat perbelanjaan untuk daerah Jakarta mencapai 1,89 juta m2 dan untuk Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi (Debotabek) sebesar 567.000 m2. Peningkatan pembangunan pusat perbelanjaan modern juga terjadi di Kota Bogor. Peningkatan pembangunan pusat perbelanjaan modern mengisyaratkan adanya peningkatan kebutuhan ruang untuk aktivitas perekonomian. Besarnya pertumbuhan pembangunan pusat perbelanjaan modern juga berdampak pada pertumbuhan pasar tradisional. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh AC Nielsen diketahui bahwa pertumbuhan pasar tradisional mengalami penurunan baik dari jumlah pasar maupun pangsa pasar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat terjadi tidaknya pergeseran preferensi tempat belanja penduduk dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern, melihat dampak pembangunan pusat perbelanjaan terhadap realisasi tata ruang Kota Bogor. Selain itu, pembangunan pusat perbelanjaan modern juga dilihat dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja di Kota Bogor serta menganalisis dampaknya terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada sektor perdagangan eceran kecil di sekitar pusat perbelanjaan modern. Pada penelitian ini, untuk mengkaji terjadinya pergeseran tempat belanja penduduk dilakukan analisis perhitungan laju pertumbuhan pusat perbelanjaan modern dan pasar tradisional serta analisis data penurunan omset pasar tradisional. Untuk mengetahui dampak pembangunan pusat perbelanjaan modern terhadap tata ruang kota dilakukan analisis kesesuaian lokasi pusat perbelanjaan modern dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor. Pada penelitian ini juga digunakan metode perhitungan elastisitas permintaan tenaga kerja dan koefisien korelasi Rank Spearman untuk mengetahui penyerapan dan pengurangan tenaga kerja yang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran tempat belanja penduduk dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern yang ditandai oleh tingginya laju pertumbuhan pembangunan pusat perbelanjaan modern dan penurunan omset penjualan pedagang eceran pasar tradisional sebesar 20 persen dari sebelum adanya pusat perbelanjaan modern. Pembangunan pusat perbelanjaan modern menyebabkan terjadinya peningkatan simpul kemacetan, penurunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan peralihan fungsi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Bogor. Dengan menggunakan Microsoft
Excel diperoleh hasil bahwa pembangunan pusat perbelanjaan modern memiliki hubungan yang kuat dan searah dengan penyerapan tenaga kerja serta mengakibatkan terjadinya PHK pada pedagang eceran lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, telah terjadi pergeseran preferensi tempat belanja penduduk dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional Pemerintah Kota Bogor sebaiknya melaksanakan program yang mendukung keberadaan pasar tradisional di masa yang akan datang, seperti melakukan program pemugaran dan perbaikan sarana dan fasilitas yang tersedia di pasar tradisional, melalui peningkatan pelayanan kebersihan sehingga pasar tradisional yang terkesan kotor dan bau dapat menjadi lebih nyaman serta mampu menarik penduduk untuk tetap berbelanja di pasar tradisional. Pembangunan pusat perbelanjaan modern telah menyebabkan terjadinya persaingan usaha dan menurunkan omset penjualan dan tenaga kerja pedagang di pasar tradisional. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bogor sebaiknya membuat peraturan tentang penempatan pusat perbelanjaan dalam tata ruang kota seperti pembatasan jumlah dan perizinan bagi pembangunan pusat perbelanjaan modern baru terutama di pusat kota. Pemberian izin pembangunan pusat perbelanjaan modern sebaiknya diarahkan pada wilayah pinggiran kota dan dilakukan dengan mempertimbangkan lokasi pembangunannya seperti pertama, jarak bangunan dari persimpangan jalan dengan batas minimal sejauh 200 meter dari persimpangan jalan karena jika dibangun di persimpangan jalan berpotensi meningkatkan kemacetan. Kedua, jarak dengan sarana perdagangan eceran lainnya yang tidak saling berdekatan sehingga pembangunan pusat perbelanjaan tidak menganggu aktivitas perdagangan di lokasi yang berbeda.
DAMPAK PEMBANGUNAN PUSAT PERBELANJAAN MODERN TERHADAP PENYERAPAN DAN PENGURANGAN TENAGA KERJA DI KOTA BOGOR
Oleh EKA SARI NINGSIH H14103096
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Eka Sari Ningsih
Nomor Register Pokok
: H14103096
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Penelitian
: Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja di Kota Bogor
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. DR. H. Didin S. Damanhuri, SE. MS. DEA NIP. 131 404 217
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2007
Eka Sari Ningsih H14103096
Skripsi ini Kupersembahkan Kepada Orang tua Ku
Terima Kasih Atas Kasih, Kepercayaan, Keikhlasan, Pendidikan dan Semua Hal yang Kalian Berikan Dibalik Terima Kasih Tersimpan Permohonan MaafKu
Bogor, September 2007
Eka Sari Ningsih
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Eka Sari Ningsih lahir di Bogor pada hari Senin tanggal 4 Maret 1985 dari pasangan Mochamad Nuh dan Samsiah. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Jenjang pendidikan yang dilalui penulis diawali dari bangku sekolah dasar dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1997 di SD Negeri Empang 2 Bogor. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 1997 sampai tahun 2000 di SLTP Negeri 3 Bogor. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Selama mengikuti pendidikan di bangku kuliah, penulis aktif dalam organisasi Hipotesa, kegiatan kepanitiaan dan pelatihan seperti Hipotex-R, Expo-Kewirausahaan FEM-IPB, serta Pelatihan Karya Tulis Ilmiah 2.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas curahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja di Kota Bogor”. Penulis sadar bahwa pencapaian ini bukan karya yang luar biasa, namun melalui karya ini penulis berharap agar dalam proses penyusunan hingga hasil yang dicapai dapat dijadikan pembelajaran bagi penulis sendiri maupun pembaca. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat berarti. 2. Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si., selaku dosen penguji yang memberikan masukan. 3. Jaenal Effendi, M.A., selaku dosen komisi pendidikan yang memberikan masukan tata cara penulisan agar lebih baik. 4. Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.S., selaku dosen pembimbing akademik atas bantuan dan bimbingannya. 5. Dosen-dosen Ilmu Ekonomi, serta petugas TU IE, dan TU FEM. 6. Orang tua (M. Nuh dan Samsiah), serta adik-adik (Panji, Intan, Fikri) tercinta yang dengan sabar, tabah, dan ikhlas mendidik dan menguatkan jiwa dan raga. 7. Keluarga Alm. Didi Suhaedi khususnya Mama Juriah yang selalu memberikan semangat dan doa. 8. Keluarga Tata Suwarta, Keluarga besar di Ciawi, Kp. Gudang dan Bojongneros yang telah memberikan dukungan kepada penulis. 9. Sahabat terbaik (Aci, Ephee, Kikie, Lea, Maiva, Nadia, Pritta, Windy, Yanti).
ii
10. Teman satu bimbingan (Anadia Rahmadini,
Rizki Amelia, Halida
Fatimah) serta teman-teman IE angkatan 40 khususnya Eva DP. 11. Yayasan Crescent Peduli yang telah memberikan bantuan dana penelitian pada proses penyelesaian skripsi ini.
Bogor, September 2007
Eka Sari Ningsih H14103096
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................
i
DAFTAR ISI...........................................................................................
iii
DAFTAR TABEL...................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................
vii
I. PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1. Latar Belakang .........................................................................
1
1.2. Permasalahan ...........................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................
6
1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................
7
1.5. Ruang Lingkup.........................................................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
9
2.1. Tinjauan Pustaka ......................................................................
9
2.1.1. Definisi dan Jenis Pasar .....................................................
9
2.1.2. Definisi dan Jenis Pusat Perbelanjaan................................
11
2.1.3. Definisi dan Konsep Perdagangan .....................................
12
2.1.4. Teori Tenaga Kerja ............................................................
14
2.1.5. Konsep Kesempatan Kerja.................................................
15
2.1.6. Elastisitas Tenaga Kerja.....................................................
16
2.1.7. Koefisien Korelasi Rank Spearman ...................................
17
2.1.8. Tata Ruang Wilayah Kota..................................................
18
2.2. Hasil Penelitian Terdahulu.......................................................
20
III. KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................
23
3.1. Kerangka Pemikiran.................................................................
23
3.2. Hipotesa Penelitian ..................................................................
26
IV. METODOLOGI PENELITIAN........................................................
27
4.1. Wilayah Penelitian ...................................................................
27
4.2. Jenis dan Sumber Data .............................................................
27
4.3. Metode Analisis .......................................................................
29
iv
4.3.1. Pergeseran Pasar Tradisional ke Pusat Perbelanjaan Modern
30
4.3.2. Pengaruh Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Tata Ruang Wilayah Kota Bogor ...................................... 30 4.3.3. Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja......................
30
4.3.3.1. Penyerapan Tenaga Kerja ...........................................
31
4.3.3.2. Pengurangan Tenaga Kerja .........................................
32
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH .................................................
33
5.1.Kondisi Umum............................................................................
33
5.1.1. Geografi dan Pemerintahan................................................
33
5.1.2. Kependudukan ...................................................................
34
5.1.3. Ketenagakerjaan.................................................................
35
5.1.4. Sosial ..................................................................................
36
5.1.5. Perdagangan .......................................................................
37
5.2.Perekonomian Kota Bogor..........................................................
38
5.2.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE)....................................
38
5.2.2. Struktur Ekonomi ...............................................................
39
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................
41
6.1. Pergeseran Pasar Tradisional ke Pusat Perbelanjaan Modern....
41
6.2. Pengaruh Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Tata Ruang Kota Bogor .............................................................
51
6.3. Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja..............................
60
6.3.1. Penyerapan Tenaga Kerja ..................................................
60
6.3.2. Pengurangan Tenaga Kerja ................................................
67
VII. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
70
7.1. Kesimpulan ................................................................................
70
7.2. Saran...........................................................................................
71
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
73
LAMPIRAN............................................................................................
75
v
DAFTAR TABEL
Nomor 1.1. 1.2.
Halaman
Jumlah Rumah Tangga, Rumah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk di Kota Bogor......................................................
3
PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan (Jutaan Rupiah) ........................................................................
4
5.1.
Jumlah Murid dan Sekolah di Kota Bogor Tahun 2005 ........................ 37
5.2.
Perkembangan Perdagangan, Tenaga Kerja, dan Investasi di Kota Bogor Tahun 1999-2006 ........................................................................ 38
5.3.
Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2001-2005 (Persen) ........................ 39
5.4.
Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2001-2005 .............................. 40
6.1.
Jumlah Pasar Tradisional dan Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor dalam Lima Tahun Terakhir........................................................ 42
6.2.
Penurunan Omset Penjualan Pedagang di Pasar Tradisional Kota Bogor (Persen) ....................................................................................... 47
6.3.
Persentase Luasan Penggunaan Lahan di Kota Bogor .......................... 51
6.4
Jumlah dan Sebaran Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor Mei 2007........................................................................................................ 55
6.5.
Pertumbuhan Jumlah Pusat Perbelanjaan dan Jumlah Tenaga Kerja..... 61
6.6.
Penurunan Jumlah Tenaga Kerja Pada Pedagang di Pasar Tradisional (Pedagang).............................................................................................. 68
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
3.1.
Skema Kerangka Pemikiran Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja di Kota Bogor ........................................................................................... 25
6.1.
Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor.................................................................................................... 63
6.2.
Daerah Asal Tenaga Kerja Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor.................................................................................................... 64
6.3.
Jenis Kelamin Tenaga Kerja Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor.................................................................................................... 66
vii DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Data Tenaga Kerja Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor ............. 75
2.
Elastisitas Tenaga Kerja Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor.....
3.
Koefisien Korelasi Rank Spearman ........................................................ 76
4.
Data Penurunan Omset dan Tenaga Kerja Pedagang di Pasar Tradisional 76
75
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Setiap Ibukota provinsi di Pulau Jawa pada awal tahun 1990-an sudah
memiliki pusat perbelanjaan modern. Di luar Pulau Jawa, hanya kota-kota dengan penduduk lebih dari satu juta jiwa yang memiliki pusat perbelanjaan, seperti Medan, Palembang, Makassar, Manado dan Balikpapan.
Pertumbuhan pusat
perbelanjaan pada tahun 1997 mengalami stagnasi akibat adanya krisis moneter yang melanda Indonesia.1 Pembangunan pusat perbelanjaan kembali menunjukkan peningkatan yang besar mulai tahun 2001. Pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan meningkat seiring dengan terjadinya perbaikan dibidang ekonomi. Dalam kurun waktu lima tahun, 2001-2005, luas pusat perbelanjaan meningkat lebih dari 80 persen dari 1,4 juta meter persegi menjadi 2,4 juta meter persegi yang meliputi 78 pusat perbelanjaan.2 Pertumbuhan pusat perbelanjaan yang tinggi memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan bisnis perdagangan eceran di Indonesia. Pertumbuhan bisnis perdagangan eceran di Indonesia merupakan yang tertinggi di wilayah Asia Tenggara3. Pertumbuhan yang tinggi ini menarik perusahaan asing khususnya
1
Jar, Pusat Perbelanjaan di Era Otonomi Daerah. [Republika Online]. http//www.republika.co.id [18 Maret 2005].
2
Anonim, Jakarta Kota Mal Jaya Raya. http//www.newsonetara.blogspot.com/tempo edisi 36/XXXV/30 oktober [05 November 2006].
3
ibid
2
yang bergerak di sektor perdagangan eceran untuk mengembangkan usahanya di Indonesia. Besarnya pertumbuhan pembangunan pusat perbelanjaan dan banyaknya perusahaan perdagangan eceran asing yang mengembangkan usahanya di Indonesia berdampak pada pertumbuhan pasar tradisional. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh AC Nielsen diketahui bahwa pertumbuhan pasar tradisional mengalami penurunan baik dari jumlah pasar maupun pangsa pasar. Pangsa pasar modern pada tahun 2003 sebesar 26,3 persen dan diperkirakan pada tahun 2005 menjadi 30 persen. Peningkatan pangsa pasar modern ini menunjukkan telah terjadi penurunan pangsa pasar tradisional. Dengan kondisi demikian, mengindikasikan terjadinya pergeseran preferensi penduduk dari pasar tradisional ke pasar modern. Pergeseran ini dikhawatirkan akan mematikan pasar tradisional dalam jangka panjang. Padahal, pasar tradisional merupakan salah satu tempat yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, karena melibatkan jutaan pedagang yang berarti menopang kehidupan jutaan penduduk Indonesia. Fenomena tingginya pertumbuhan pembangunan pusat perbelanjaan ini terjadi hampir diseluruh kota di Pulau Jawa. Pada tahun 2005, jumlah total kumulatif pusat perbelanjaan di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jadebotabek) mencapai 3,47 juta m2. Total kumulatif yang melampaui angka 3 juta ini, mengindikasikan terjadinya peningkatan jumlah pusat perbelanjaan yang mencapai hampir seratus persen dari tahun 2004. Pada Desember 2004, total kumulatif pusat perbelanjaan untuk daerah Jakarta mencapai
3
1,89 juta m2 dan untuk Debotabek sebesar 567.000 m2.4 Peningkatan total kumulatif pusat perbelanjaan yang tinggi semakin menurunkan pangsa pasar tradisional di Jabodetabek pada tahun-tahun ke depan. Pertumbuhan pusat perbelanjaan ini juga salah satunya diakibatkan oleh adanya peningkatan jumlah penduduk yang sangat besar, seperti yang terjadi di Kota Bogor. Kota Bogor merupakan daerah penyangga Ibukota negara, Jakarta. Sebagai daerah penyangga arus migrasi penduduk ke Kota Bogor setiap tahunnya cukup tinggi, yakni mencapai 6.570 orang pada tahun 2004. Arus migrasi yang tinggi dan angka kelahiran yang tinggi mendorong laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk Kota Bogor. Tabel 1.1. Jumlah Rumah Tangga, Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kota Bogor Rumah Tangga
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Penduduk
179.663 187.958 188.533 194.357 194.357
Luas Wilayah (Km2)
760.329 780.423 820.707 831.571 855.085
118.85 118.50 118.00 119 118.50
Kepadatan Penduduk (per Km2 ) 6.416 6.662 6.926 7.017 7.216
Sumber : BPS, 2006
Tabel 1.1 menerangkan bahwa kepadatan penduduk di Kota Bogor setiap tahunnya
mengalami
peningkatan.
Peningkatan
jumlah
penduduk
mengindikasikan pentingnya ketersediaan fasilitas penunjang kebutuhan hidup yang memadai, salah satunya fasilitas pusat perbelanjaan. Fasilitas pusat perbelanjaan di Kota Bogor meningkat sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir. Pusat perbelanjaan juga diyakini dapat memacu 4
Jar, Loc. Cit
4
pertumbuhan ekonomi daerah dan memacu perubahan budaya dari agraris menjadi budaya jasa yang sesuai dengan visi Kota Bogor yakni ”Menjadi Kota Jasa yang Aman dan Nyaman dengan Masyarakat Madani.” Adanya pusat-pusat perbelanjaan oleh pemerintah Kota Bogor diharapkan mampu meningkatkan Laju pertumbuhan Ekonomi (LPE) yang sudah mencapai angka 5,96 persen pada tahun 2003.5 Keyakinan tersebut didasarkan atas kontribusi sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang sangat besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor. Tabel 1.2. PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan (Jutaan Rupiah) Sektor 2001 Pertanian 10,755.40 Pertambangan dan Penggalian Industri 779,846.18 Pengolahan Listrik, Gas dan 85,758.27 Air Bersih Bangunan 227,279.58 Perdagangan, 908,410.21 Hotel, dan Restoran Pengangkutan 264,303.07 dan Komunikasi Keuangan, 325,512.18 Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa 221,565.32 PDRB 2,823,430.21 Sumber : BPS, 2006
Adanya
optimisme
2002 11,094.84
2003 11,642.98
2004 12,193.68
2005 12,716.02
827,318.66
881,718.49
940,062.95
1,002,371.58
91,743.05
98,123.83
105,087.61
112,491.06
234,466.55 949,697.09
244,414.67 988,571.26
255,205.11 1,029,072.26
266,037.24 1,071,266.44
281,187.90
301,110.33
322,575.82
344,684.12
358,608.64
398,668.99
441,570.29
489,525.24
232,720.65 2,986,837.37
243.925.99 3,1686,185.54
255.671.20 3,361,438.93
268,139.21 3,567,230.91
pemerintah
Kota
Bogor
terhadap
kemajuan
pembangunan daerah dan peningkatan LPE Kota Bogor akibat pembangunan
5
Anonim, Kehadiran Pusat Perbelanjaan Mendongkrak http://www.kotabogor.go.id/0406/12/berita.htm [12 Juni 2004].
LPE
Kota
Bogor.
5
pusat perbelanjaan modern serta besarnya kontribusi sektor perdagangan yang merupakan aktivitas ekonomi utama di pusat perbelanjaan terhadap PDRB Kota Bogor membuat pembangunan pusat perbelanjaan dipilih sebagai bahan penelitian.
1.2.
Perumusan Masalah Pembangunan pusat perbelanjaan memiliki pengaruh terhadap kemajuan
perekonomian Kota. Dengan meningkatnya perekonomian kota terjadi pula peningkatan kebutuhan ruang untuk aktivitas ekonomi sehingga berdampak terhadap pengalokasian lahan di daerah perkotaan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK). Jumlah pusat perbelanjaan di Kota Bogor bertambah secara cepat, hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya jumlah pusat perbelanjaan di sekitar jalanjalan utama di Kota Bogor. Maraknya pusat perbelanjaan modern di Kota Bogor juga memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Pada tingkat nasional diketahui bahwa pertumbuhan pusat perbelanjaan yang pesat ini memberikan dampak terhadap perkembangan pasar tradisional baik dari segi jumlah pasar maupun dari segi pangsa pasar, yakni dengan kecenderungan menurunkan pertumbuhan pasar tradisional. Untuk itu perlu dianalisis apakah pembangunan pusat perbelanjaan di Kota Bogor juga menyebabkan terjadinya pergeseran dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern. Banyaknya pusat perbelanjaan modern memudahkan masyarakat dalam mengakses barang dan jasa yang mereka inginkan. Pusat perbelanjaan modern
6
juga membuka kesempatan usaha bagi masyarakat Kota Bogor, baik sebagai wirausaha maupun pegawai pusat perbelanjaan. Sehingga pusat perbelanjaan diharapkan mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi penduduk Kota Bogor. Berdasarkan hal diatas, maka permasalahan yang menjadi perhatian dari penelitian ini adalah : 1. Pembangunan pusat perbelanjaan yang semakin banyak apakah telah menyebabkan terjadinya pergeseran preferensi tempat belanja penduduk dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern seperti yang terjadi pada tingkat nasional? 2. Apakah pengaruh yang ditimbulkan oleh banyaknya pembangunan pusat perbelanjaan modern terhadap tata ruang Kota Bogor? 3. Bagaimana dampak pembangunan pusat perbelanjaan di Kota Bogor terhadap penyerapan tenaga kerja di Kota Bogor dan pemutusan hubungan kerja pada sektor perdagangan eceran kecil yang berada disekitar pusat perbelanjaan tersebut ?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dibuat, maka
tujuan dari penelitian ini, yaitu : 1. Mengetahui terjadi tidaknya pergeseran preferensi tempat belanja penduduk dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern.
7
2. Mengetahui dampak pembangunan pusat perbelanjaan terhadap realisasi tata ruang Kota Bogor. 3. Menganalisis pengaruh pembangunan pusat perbelanjaan terhadap penyerapan tenaga kerja di Kota Bogor serta menganalisis pengaruhnya terhadap pemutusan hubungan kerja pada sektor perdagangan eceran kecil di sekitar pusat perbelanjaan.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan gambaran mengenai terjadi tidaknya pergeseran
preferensi tempat belanja penduduk dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern. Penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui dampak adanya pembangunan pusat perbelanjaan terhadap tata ruang Kota Bogor . Penelitian ini berguna untuk mengetahui pengaruh pembangunan pusat perbelanjaan, apakah pusat perbelanjaan memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap penyerapan tenaga kerja atau tidak, dan apakah pembangunan pusat perbelanjaan memiliki pengaruh terhadap pemutusan hubungan kerja pada sektor perdagangan eceran kecil di sekitar pusat perbelanjaan atau tidak. Penelitian juga berguna sebagai bahan rujukan pengambilan kebijakan di sektor perdagangan dan pembangunan daerah di wilayah Kota Bogor, seperti kebijakan izin usaha, izin membuat bangunan, serta kebijakan perdagangan baik skala besar maupun eceran.
8
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada pengaruh pusat perbelanjaan modern yang
berlokasi di Kota Bogor. Pengaruh yang dianalisis adalah pengaruhnya terhadap tenaga kerja yang diserap dan tenaga kerja di tempat pedagang eceran lain di sekitar pusat perbelanjaan serta pengaruhnya terhadap pasar tradisional yang ada di Kota Bogor. Pembangunan pusat perbelanjaan juga dianalisis dampaknya terhadap tata ruang Kota Bogor. Pusat perbelanjaan yang dianalisis adalah pusat perbelanjaan modern kategori Pusat Perbelanjaan Terlengkap (Power Center) yang terdiri dari komposisi berbagai penyewa (Mix Tenant) dan dominasi perusahaan jangkar (Anchor Tenant), biasanya berupa departement store, shopping mall, dan sebagainya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Definisi dan Jenis Pasar Pasar diartikan dengan sederhana oleh Pontoh sebagai “Pertemuan antara penjual dan pembeli di satu tempat yang bernegosiasi sehingga mencapai kesepakatan dalam bentuk jual beli atau tukar menukar.”6 Ini yang disebut sebagai pasar langsung. Berdasarkan definisi di atas, ada empat hal penting yang menandai terbentuknya pasar: pertama, ada penjual dan pembeli; kedua, mereka bertemu di sebuah tempat tertentu; ketiga, terjadi kesepakatan di antara penjual dan pembeli sehingga terjadi jual beli atau tukar menukar; dan keempat, antara penjual dan pembeli kedudukannya sederajat. Pasar seperti ini disebut sebagai pasar tradisional. Ada juga pasar modern di mana pembeli dan penjual bertemu tetapi tidak terjadi transaksi yang didasarkan pada proses tawar menawar. Barang yang diperjualbelikan memiliki label harga yang tidak bisa ditawar, jika barang dan harga yang ditawarkan sesuai, maka pembeli bisa membelinya dan jika tidak pembeli boleh tidak melakukan transaksi jual beli. Berkembangnya teknologi telah menyebabkan adanya pasar dimana pembeli dan penjual tidak harus bertemu di satu tempat, juga tidak harus terjadi tawar menawar. Misalnya pasar e-commerce (jual beli melalui internet). Para
6
Pontoh, Pasar. http//coen_husain_pontoh.blogspot.com/ pasar [03 November 2007].
10
ekonom menyebut pasar seperti ini sebagai pasar tidak langsung. Pasar tidak langsung seperti ini, juga terlihat pada perdagangan di bursa saham (disebut sebagai pasar bursa/pasar modal) atau bursa uang (disebut sebagai pasar uang). Wikipedia mendefinisikan pasar secara umum ”sebagai sebuah tempat bertemunya penjual dan pembeli yang melayani transaksi jual-beli.”7 Dengan demikian, pasar terdiri dari beberapa jenis, yaitu: 1. Pasar tradisional Pasar Tradisional biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai yang dibuka oleh penjual. Pasar jenis ini, kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging dan lainlain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. 2. Pasar Modern Pasar modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) oleh pembeli. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan makanan seperti; buah, sayuran, daging; sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar modern adalah pasar swalayan dan hypermarket.
7
Wikipedia, Pasar. http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar [05 November 2006].
11
Departemen Perindustrian dan Perdagangan mendefinisikan : Pasar modern adalah pasar yang dibangun oleh Pemerintah, Swasta atau Koperasi yang dalam bentuknya berupa Mal, Supermarket, Departement Store, dan Shopping Centre dimana pengelolaannya dilaksanakan secara modern dan mengutamakan pelayanan kenyamanan berbelanja dengan manajemen berada disatu tangan, bermodal relatip kuat, dan dilengkapi label harga yang pasti.8
2.1.2. Definisi dan Jenis Pusat Perbelanjaan Fanning dalam Dinas Tata Kota DKI Jakarta mendefinisikan
pusat
perbelanjaan (shopping center) sebagai : Pengembangan tanah, dibawah kepemilikan individu ataupun bersama, yang dibangun diatasnya berupa kumpulan bangunan perdagangan (retail) secara terorganisir dan terdiri dari berbagai unit pertokoan yang menawarkan berbagai fasilitas ruang belanja dan parkir.9 Dinas Tata Kota DKI Jakarta menyatakan: Mall, supermall atau plaza didefinisikan sebagai sarana atau tempat usaha untuk melakukan usaha, perdagangan, rekreasi, restoran, dan sebagainnya yang diperuntukan bagi kelompok, perorangan, perusahaan atau koperasi untuk melakukan penjualan barang-barang dan atau jasa, dan terletak dalam bangunan yang menyatu.10 Dari definisi tersebut di atas, inti dari pusat perbelanjaan adalah adanya ruang atau bangunan yang menyatu yang di dalamnya ada berbagai aktivitas usaha perdagangan dan rekreasi.
8
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 1998. Keputusan Menteri Nomor 107/Mpp/Kep/2/1998 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pasar Modern. Jakarta : Deperindag. Pasal 1 ayat 1
9
Fanning dalam Dinas Tata Kota DKI Jakarta. 2004. Kajian Kapasitas Ruang Pusat-Pusat Perbelanjaan. Jakarta : Dinas Tata Kota DKI Jakarta. hal 7.
10
Dinas Tata Kota DKI Jakarta, Ibid. hal 45.
12
Klasifikasikan pusat perbelanjaan menurut bentuk perdagangannya terbagi menjadi empat jenis11, yaitu : 1. Pusat Perbelanjaan Terlengkap (Power Centre), yang terdiri dari komposisi beberapa penyewa (Mix Tenant) dan dominasi perusahaan jangkar (Anchor Tenant). Biasanya berupa departement store, shopping mall, dan sebagainya. 2. Pusat Perbelanjaan yang Menawarkan Potongan Harga (Discount Centre), merupakan pusat perbelanjaan yang menawarkan diskon tertentu setiap hari, konsepnya berupa kios yang menjual barang dibawah harga pasar (Off Price Outlet). 3. Pusat Perbelanjaan yang Menawarkan Barang Tertentu (Convinience Centre), berupa penyewa tunggal pada supermarket dalam skala kecil, biasanya menjual,produk tertentu atau spesialisasi perdagangan tertentu. 4. Pusat Perkulakan, sebagai bentuk usaha perdagangan grosir.
2.1.3. Definisi dan Konsep Perdagangan Kegiatan perdagangan terjadi karena adanya keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu daerah. Konsep perdagangan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ricardo dalam Salvatore, yakni; Meskipun sebuah negara kurang efisien dibandingkan negara lain dalam memproduksi dua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan antara kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian komparatif yang paling kecil dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar.12 11
Ibid, hal 8.
12
Ricardo dalam Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional edisi kelima jilid 1. Jakarta : Erlangga. Bab 2 Hukum Keunggulan Komparatif hal 27.
13
Berdasarkan hukum komparatif yang dikembangkan Ricardo berarti bahwa setiap daerah akan memiliki keuntungan dari adanya perdagangan meskipun daerah tersebut sama sekali tidak memiliki keuntungan absolut dari semua barang yang diproduksinya. Perdagangan berdasarkan pembagian sektor ekonomi yang dilakukan oleh BPS termasuk kedalam sektor tersier. Sektor tersier atau dikenal sebagai sektor jasa, adalah sektor yang tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk jasa, sektor yang tercakup adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa lainnya. Kegiatan perdagangan menurut BPS terbagi kedalam dua kelompok, yaitu perdagangan besar dan perdagangan eceran.13 1. Perdagangan Besar mencakup kegiatan pengumpulan dan penjualan kembali barang baru atau bekas oleh pedagang dari produsen atau importir ke pedagang besar lainnya atau pedagang eceran. 2. Perdagangan Eceran mencakup kegiatan pedagang yang umumnya melayani konsumen perorangan atau rumah tangga, tanpa merubah sifat, baik barang bekas atau baru. Berdasarkan definisi di atas, maka aktivitas perdagangan yang dilakukan di pusat perbelanjaan termasuk ke dalam perdagangan eceran yang melayani langsung konsumen.
13
Badan Pusat Statistik. 2004. PDRB . Jakarta : BPS.
14
2.1.4. Teori Tenaga Kerja Angkatan kerja (labour force) menurut Rusli : Angkatan kerja merupakan konsep yang memperlihatkan economically active population, sedangkan bukan angkatan kerja adalah mereka yang tergolong non-economically active population. Konsep man power juga menunjuk pada labour force. 14 Angkatan kerja ini berbeda dengan penduduk usia kerja, karena tidak semua penduduk usia kerja tergolong dalam angkatan kerja. Konsep dan definisi ketenagakerjaan menurut Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kota Bogor adalah sebagai berikut:15 a. Penduduk Usia Kerja Penduduk usia kerja adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas. b. Angkatan Kerja Angkatan kerja mencakup penduduk usia kerja yang kegiatan utamanya bekerja atau mencari pekerjaan. Sedangkan bukan angkatan kerja mencakup penduduk usia kerja yang kegiatan utamanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan melakukan kegiatan lainnya. c. Angkatan Kerja yang Bekerja Angkatan kerja yang bekerja adalah angkatan kerja yang melakukan kegiatan ekonomi (dengan maksud untuk memperoleh uang atau pendapatan) atau membantu melakukan kegiatan ekonomi paling sedikit satu jam tidak terputus selama seminggu sebelum pencacahan (pengumpulan data).
14
Said Rusli. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta : LP3ES. Bab 9 Angkatan Kerja, Partisipasi Angkatan Kerja, Pengangguran dan Kesempatan Kerja hal 101.
15
Kantor Tenaga Kerja dan Sosial. 2003. Perencanaan Tenaga Kerja Daerah (PTKD) Kota Bogor. Bogor : Kantor Tenaga Kerja dan Sosial Kota Bogor. hal 7.
15
d. Pengangguran Terbuka Penganggur terbuka adalah angkatan kerja yang tidak bekerja yang secara aktif sedang mencari pekerjaan. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan bahwa ”Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun orang lain.”16 Pekerja atau buruh adalah ”setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”17
2.1.5. Konsep Kesempatan Kerja Rusli dengan menggunakan data sensus penduduk, menyatakan bahwa : Jumlah penduduk yang bekerja biasanya dipandang mencerminkan jumlah kesempatan kerja yang ada. Dalam pengertian ini, ”kesempatan kerja” bukanlah ” lapangan pekerjaan yang masih terbuka,” walaupun komponen yang terakhir ini akan menambah kesempatan kerja yang ada diwaktu yang akan datang.18 BPS mengklasifikasikan lapangan pekerjaan (Industry) ke dalam beberapa sektor, yaitu : 1. Pertanian, Perburuan, Kehutanan dan Perikanan (Agriculture, Hunting, and Fishing) 2. Pertambangan dan Penggalian (Mining and Quarriying) 3. Industri Pengolahan (Manufacturing) 16
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2003. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jakarta : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pasal 1 ayat 2.
17
Ibid. Pasal 1 ayat 3.
18
Said Rusli, Op. Cit. hal 109.
16
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih (Electricity) 5. Bangunan (Construction) 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran (Wholesale and Retail Trade, Restaurants and Hotels) 7. Pengangkutan dan Transportasi (Transport and Communication) 8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan (Financing, Insurance, Real Estate and Business Services) 9. Jasa-jasa (Community, Social and Personal Services/Public Service).
2.1.6. Elastisitas Tenaga Kerja Perubahan
pendapatan
dalam
suatu
sektor
perekonomian
akan
berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Namun besarnya perubahan pendapatan secara sektoral tidak selalu diikuti oleh perubahan yang sama pada penyerapan tenaga kerja yang terjadi. Hubungan antara pertumbuhan pendapatan tersebut dengan penyerapan tenaga kerja dinyatakan dengan elastisitas permintaan tenaga kerja. Elastisitas permintaan tenaga kerja oleh Simanjuntak didefinisikan sebagai ”persentase perubahan permintaan akan tenaga kerja sehubungan dengan perubahan satu persen pada tingkat upah”19. Dalam penelitian ini elastisitas tenaga kerja menunjukkan penyerapan tenaga kerja yang terjadi karena adanya perbedaan laju pertumbuhan pembangunan pusat perbelanjaan modern dengan laju pertumbuhan tenaga kerja yang bekerja di pusat perbelanjaan modern. 19
Payaman J. Simanjuntak. 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta : LPFEUI. Bab 5 Analisa Permintaan Akan Tenaga Kerja hal 76
17
Besar kecilnya elastisitas permintaan tenaga kerja tergantung dari kemungkinan substitusi tenaga kerja dengan faktor produksi lainnya, misalnya modal, elastisitas permintaan terhadap barang yang dijual di pusat perbelanjaan modern, proporsi biaya tenaga kerja terhadap seluruh biaya produksi, elastisitas persediaan dari faktor produksi lainnya.
2.1.7. Koefisien Korelasi Rank Spearman Walpole menyatakan bahwa ”Koefisien korelasi Rank Spearman merupakan suatu ukuran non-parametrik bagi hubngan antara dua peubah.”20 Dengan demikian koefisien korelasi Rank Spearman adalah suatu alat analisis untuk mengetahui hubungan yang terjadi antara dua variabel ekonomi. Hasil estimasi koefisien korelasi Rank Spearman dapat menunjukkan pengaruh dari suatu aktivitas ekonomi terhadap aktivitas ekonomi lainnya. Pada penelitian ini koefisien korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara pertumbuhan laju pembangunan pusat perbelanjaan dengan pertumbuhan laju penyerapan tenaga kerja yang terjadi.
20
Ronald E. Walpole. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-6. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Bab 13 Statistika Nonparametrik hal. 451
18
2.1.8. Tata Ruang Wilayah Kota Tata ruang wilayah kota mencerminkan pengembangan sektoral dan pemanfaatan tata kota yang optimal dan diimplementasikan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota. RTRW Kota berisi :21 a. Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya b. Pengelolaan kawasan pedesaan, perkotaan, dan kawasan tertentu c. Sistem kegiatan pembangunan, dan sistem pemukiman pedesaan dan perkotaan d. Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan e. Penatagunaan sumber daya manusia dan sumber daya buatan. RTRW Kota menjadi pedoman untuk :22 a.
Perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang di wilayah kota
b.
Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan,dan keseimbangan perkembangan antar wilayah kota serta keserasian antar sektor
c.
Penetapan lokasi investasi, yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat di kota
d.
Penyusunan rencana rinci tata ruang di kota
e.
Pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan.
21
RTRW Kota Bogor dalam Marisan. 2006. Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat Dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus kabupaten dan Kota Bogor. Tesis Program Pascasarjana. Bogor : IPB. hal 10
22
ibid
19
Pengembangan ruang suatu kota dipengaruhi oleh RTRW regional, yaitu RTRW Propinsi Jawa Barat. Pada RTRW Propinsi Jawa Barat terdapat kebijakan yang terkait dengan Kota Bogor, yaitu23 : 1.
Kota Bogor diarahkan sebagai Kota Hierarki II A dengan kegiatan utamanya adalah pemukiman dan perdagangan regional yang merupakan pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya
2.
Kota Bogor termasuk kota yang dilalui oleh pengembangan tol BogorSukabumi-Padalarang
3.
Pengaktifan kembali jalur kereta api Bandung-Sukabumi-Bogor-Jakarta. Kondisi lingkungan kawasan Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta
dipengaruhi oleh kawasan yang berada diatasnya, yakni Kota Bogor itu sendiri, Puncak, dan Cianjur. Adanya keterkaitan antar wilayah menjadikan Pemerintah menyusun suatu peraturan mengenai pengembangan wilayah Kota Bogor, Puncak, dan Cianjur secara khusus, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 menyatakan bahwa Kota Bogor Merupakan salah satu kota yang termasuk dalam Kawasan Bopuncur, dengan pemanfaatan ruang terbatas, sesuai fungsinya yaitu sebagai kawasan konservasi air dan tanah serta memiliki nilai strategis sebagai kawasan yang dapat memberikan perlindungan terhadap kawasan Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta.24
23
Chaerawati. 2004. Analisis Permintaan Angkutan Umum Di Kota Bogor dan Pengaruhnya Terhadap Tata Ruang. Skripsi Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Bogor : IPB. hal 15
24
Radnawati. 2005. Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kota Depok Sebagai Kawasan Konservasi Air Menggunakan Data Satelit Multi Temporal. Tesis Program Pascasarjana. Bogor : IPB. hal 3
20
2.2.
Hasil Penelitian Terdahulu Mislan
pada tahun 2003 melakukan analisis mengenai dampak
pembangunan pusat perdagangan Jodoh di Kota Batam terhadap kondisi sosial ekonomi pedagang. Penelitian ini membahas dampak sosial bagi pedagang setelah dilakukan relokasi tempat usaha dari pasar ilegal yaitu Pasar Pagi Jodoh ke Pusat Perdagangan Jodoh. Penelitian ini menitikberatkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan berkembangnya usaha pedagang dipasar tradisional dan perbedaan dampak ekonomi dan sosial pada pedagang. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa dampak ekonomi relokasi Pasar Pagi ke Pusat Perdagangan Jodoh adalah positif, diketahui dari peningkatan Rentabilitas Modal Sendiri (RMS) yang diperoleh pedagang secara rata-rata dimana nilai RMS di pasar Jodoh lebih tinggi 0,9 % dibanding nilai RMS di pasar Pagi. Dampak relokasi bagi pedagang adalah meningkatnya martabat sebagai pedagang karena berusaha di tempat yang legal dan adanya ketenangan berusaha. Pada tahun 2006 Hartati melakukan analisis mengenai pergeseran subsektor pedagang eceran dari tradisional ke modern di Indonesia. Penelitian ini mengkaji pergeseran sarana perdagangan eceran dari tradisional ke modern dengan indikator jumlah pasar dan omset penjualan serta mengkaji kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam perdagangan eceran tradisional dan modern. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran perdagangan eceran pada tingkat nasional dan propinsi. Pergeseran tersebut diketahui dari jumlah pasar tradisional yang menurun dan jumlah pasar modern yang meningkat. Laju pertumbuhan pasar tradisional juga cenderung bernilai negatif sedangkan laju
21
pertumbuhan pasar modern bernilai positif. Analisis peningkatan omset penjualan, kedua pasar baik modern maupun tradisional memiliki omset penjualan yang terus meningkat. Marisan pada tahun 2006 melakukan penelitian yang berjudul Analisis Inkonsistensi Tata Ruang dilihat dari Aspek Fisik Wilayah : Kasus Kabupaten dan Kota Bogor. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsistensi pemanfaatan lahan di Kota Bogor yang sesuai dengan RTRWK tahun 1999-2009 mencapai 94,24 persen dan terjadi inkonsistensi sebesar 5,76 persen. Inkonsistensi terbesar terjadi karena adanya penutupan Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK) dan penutupan Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB). Dengan pusat perubahan berada dikawasan Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur. Inkonsistensi pemanfaatan lahan terbesar di Kabupaten Bogor sebagian besar disebabkan oleh penutupan TPLK. Kawasan sebelah utara Kabupaten Bogor merupakan pusat perubahan penutupan lahan dari pertanian ke non pertanian sesuai dengan tingginya aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Penelitian Fazrian tahun 2005 yang diberi judul Peran Agroindustri Dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Peningkatan Pendapatan Masyarakat Kota Bogor, menunjukkan bahwa agroindustri di Kota Bogor mempengaruhi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan per kapita. Pada setiap peningkatan tenaga kerja sektor agroindustri akan meningkatkan pendapatan per kapita. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada fokus penelitian yang menitikberatkan pada dampak pembangunan pusat perbelanjaan modern terhadap penyerapan tenaga kerja dan pengurangan penggunaan tenaga
22
kerja pada sektor perdagangan eceran kecil informal yang berada disekitar pusat perbelanjaan tersebut. Penelitian ini meneliti pusat perbelanjaan serta dampak yang ditimbulkan yang terdapat di Kota Bogor.
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Wilayah Penelitian Penelitian ini bersifat studi kasus di wilayah Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Juli 2007. Pemilihan lokasi Kota Bogor dilakukan secara sengaja untuk melihat keterkaitan pembangunan pusat perbelanjaan modern terhadap penyerapan dan pengurangan kesempatan kerja dengan pertimbangan: a. Sektor perdagangan merupakan penyumbang pertama terbesar terhadap PDRB Kota Bogor. b. Pembangunan pusat perbelanjaan di Kota Bogor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga diperlukan penelitian untuk melihat dampaknya terhadap penyerapan dan pengurangan tenaga kerja pada sektor perdagangan eceran, tata kota dan pasar tradisional. c. Aspek finansial berupa biaya untuk pencarian data dan pengolahannya yang relatif tidak mahal.
4.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui metode wawancara dengan pengelola dan pemilik kios pusat perbelanjaan modern. Pusat perbelanjaan modern yang dianalisis adalah pusat perbelanjaan modern, yakni setiap barang yang diperjualbelikan dilengkapi label harga yang pasti, menggabungkan unsur
28
rekreasi, mengutamakan pelayanan kenyamanan dalam berbelanja, dan berada pada satu manajemen, serta merupakan pusat perbelanjaan yang termasuk ke dalam klasifikasi Power Center, yakni terdiri dari komposisi beberapa penyewa (Mix Tenant) dan dominasi perusahaan jangkar (Anchor Tenant). Berdasarkan data Dinas Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Bogor jumlah pasar modern di Kota bogor terdapat 12 unit. Dari 12 unit pasar modern berdasarkan definisi pusat perbelanjaan modern dan power center hanya empat unit yang termasuk ke dalam penelitian ini, yakni Ekalokasari Plaza, Pangrango Plaza, Bogor Trade Mall (BTM), dan Botani Square seperti yang tersaji pada Tabel 4.1. Metode wawancara terstruktur dilakukan pada setiap kios yang beroperasi di pusat perbelanjaan tersebut. Tabel 4.1. Pasar Modern di Kota Bogor Pusat Perbelanjaan Modern No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pasar Modern
Pangrango Plaza Ekalokasari Plaza Bogor Trade Mall Botani Square Pusat Grosir Bogor ADA Swalayan Plaza Jambu 2 Plaza Jembatan Merah Shangrilla Plaza Dewi Sartika Plaza Bogor Plaza Bogor Indah
Label Harga Pasti
Rekreasi
Satu manajemen
Mix Tenant
Anchor Tenant
V V V V X V V V
V V V V V V V V
V V V V X V X X
V V V V V X V V
V V V V X X V V
X X X V
X X V V
X X X X
V V V V
X X V V
Sumber : Disperindagkop, 2007(Hasil Olahan) Keterangan : V = Ada
Power Center
X = Tidak ada
29
Metode wawancara juga dilakukan untuk memperoleh data primer dari pedagang di pasar tradisional. Pedagang yang menjadi responden adalah pedagang yang beroperasi di Pasar Bogor dan Pasar Kebon Kembang. Data
sekunder
yang
digunakan
diperoleh
dari
BPS,
BAPEDA,
Disperindagkop, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Dinas Tata Ruang Kota Bogor, Pengelola Pusat Perbelanjaan di Kota Bogor. Data yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu data jumlah orang yang bekerja di pusat perbelanjaan, data jumlah pusat perbelanjaan, data jumlah pasar tradisional, dan data PDRB Kota Bogor atas dasar harga konstan 2000.
4.3. Metode Analisis Analisis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menyajikan data yang berhubungan dengan kondisi perekonomian dan kependudukan Kota Bogor. Pembangunan pusat perbelanjaan diduga menyebabkan terjadinya pergeseran dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern, hal tersebut dianalisis melalui perhitungan laju pertumbuhan pembangunan pusat perbelanjaan modern dan pasar tradisional. Dampak pembangunan pusat perbelanjaan terhadap tata ruang kota dilihat dari penurunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan kesesuaian antara lokasi pembangunan pusat perbelanjaan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor. Dampak pembangunan pusat perbelanjaan modern terhadap ketenagakerjaan di Kota Bogor diukur melalui elastisitas tenaga kerja dan perhitungan Rank Spearman.
30
4.3.1. Pergeseran Pasar Tradisional ke Pusat Perbelanjaan Modern Pembangunan pusat perbelanjaan modern memungkinkan terjadinya pergeseran dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern. Untuk itu, dilakukan penyajian data-data yang berkaitan dengan sektor perdagangan khususnya perdagangan eceran baik tradisional maupun modern yang mampu menunjukkan kecenderungan pergeseran tersebut. Salah satunya melalui perhitungan metode laju pertumbuhan sebagai berikut : Laju pertumbuhan =
Y' - Y X 100 % Y
(1.1)
Dengan ; Y’= Jumlah Pusat Perbelanjaan Modern/Pasar Tradisional Tahun 2007 Y = Jumlah Pusat Perbelanjaan Modern/Pasar Tradisional Tahun 2003
4.3.2. Pengaruh Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Tata Ruang Kota Pembangunan pusat perbelanjaan modern juga memiliki pengaruh terhadap tata ruang kota. Pembangunan pusat perbelanjaan modern menyebabkan terjadinya peralihan fungsi penggunaan lahan sehingga perlu dianalisis dampaknya. Untuk itu, dilakukan analisis dengan melihat kesesuaian lokasi pembangunan pusat perbelanjaan modern dengan RTRW Kota Bogor.
4.3.3. Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja Pembangunan pusat perbelanjaan seharusnya mampu menyerap tenaga kerja di Kota Bogor. Namun pembangunan pusat perbelanjaan juga dapat
31
menimbulkan pengurangan tenaga kerja pada usaha perdagangan eceran disekitar pusat perbelanjaan tersebut.
4.3.3.1.Penyerapan Tenaga Kerja Pengukuran besarnya tingkat penyerapan tenaga kerja sebagai akibat adanya pembangunan pusat perbelanjaan dilakukan dengan menghitung elastisitas tenaga kerja. Adapun pengukuran elastisitas tenaga kerja yang digunakan sebagai berikut: Elastisitas =
Nilai
Persentase Perubahan Pusat Perbelanjaan Persentase Perubahan Tenaga Kerja
elastisitas
yang
diperoleh
menunjukkan
(1.2)
hubungan
antara
pembangunan pusat perbelanjaan dan penyerapan tenaga kerja. Apabila nilai elastisitas lebih besar dari satu, berarti laju penyerapan tenaga kerja lebih besar dari laju pertumbuhan pembangunan pusat perbelanjaan. Untuk
memperkuat
analisis
hubungan
antara
pembangunan
pusat
perbelanjaan dan penyerapan tenaga kerja, dilakukan perhitungan Rank Spearman. Perhitungan Rank Spearman dilakukan untuk melihat kuat tidaknya hubungan antara pembangunan pusat perbelanjaan dan penyerapan tenaga kerja. Adapun perhitungan korelasi Rank Spearman sebagai berikut : n
6∑ d i2
rs = 1 -
i =1 2
n(n − 1)
(1.3)
32
dengan : di = selisih antara peringkat pertumbuhan pusat perbelanjaan (xi )dan pertumbuhan tenaga kerja di pusat perbelanjaan (yi) n = banyaknya pasangan data Nilai rs antara -1 sampai +1, nilai 1 berarti terjadi korelasi sempurna antara pembangunan pusat perbelanjaan modern dengan penyerapan tenaga kerja. Tanda positif menunjukkan bahwa pertumbuhan pusat perbelanjaan modern juga meningkatkan penyerapan tenaga kerja di Kota Bogor. Sedangkan tanda negatif menunjukkan bahwa pertumbuhan pusat perbelanjaan modern tidak diikuti dengan peningkatkan penyerapan tenaga kerja di Kota Bogor.
4.3.3.2.Pengurangan Tenaga Kerja Analisis pengurangan tenaga kerja dilakukan untuk melihat apakah dengan pembangunan pusat perbelanjaan yang semakin banyak telah menyebabkan terjadinya pengurangan tenaga kerja pada pedagang eceran di sekitar pusat perbelanjaan tersebut. Untuk mengetahui terjadi tidaknya pengurangan tenaga kerja ini dilakukan pengamatan langsung di lapangan dan wawancara kepada pedagang. Pengambilan sampel pedagang dilakukan dengan teknik pengambilan sample non-probabilitas, setiap pedagang tidak memiliki peluang yang sama untuk terpilih. Jumlah pedagang yang diamati sesuai dengan asumsi kenormalan lebih dari sama dengan 30 pedagang, yakni sebanyak 32 pedagang. Pedagang yang menjadi sample adalah pedagang yang beroperasi di Pasar Bogor dan Pasar Kebon Kembang.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Alur pemikiran konseptual dari penelitian ini, dimulai dengan Kota Bogor
sebagai daerah penyangga Ibukota negara, sehingga banyak penduduk yang tinggal di kota ini dan jumlah penduduk mengalami peningkatan pesat setiap tahunnya, baik karena kelahiran penduduk maupun karena adanya migrasi penduduk antar daerah. Jumlah penduduk yang meningkat pesat ini, meningkatkan kebutuhan akan ruang untuk aktivitas perekonomian dan penunjang kehidupan lainnya baik dari segi penyediaan barang publik maupun barang privat. Salah satunya, fasilitas pusat perbelanjaan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dalam memenuhi barang-barang atau jasa yang diperlukan dalam kehidupannya sehari-hari. Peningkatan pusat perbelanjaan di Kota Bogor memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat Kota Bogor itu sendiri. Berkembangnya pusatpusat perbelanjaan modern memiliki dampak terhadap tata ruang Kota Bogor, dan perkembangan pasar tradisional di Kota Bogor. Untuk mengetahui hal tersebut, dilakukan pengamatan lapang dan analisis data untuk menggambarkan kesesuaian kondisi lingkungan tata ruang kota yang terjadi akibat pembangunan pusat perbelanjaan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Bogor serta penyajian data jumlah pusat perbelanjaan modern dan jumlah pasar tradisional.
24
Pembangunan pusat perbelanjaan juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja di Kota Bogor. Salah satu cara untuk mengetahui adanya hubungan penyerapan tenaga kerja yang nyata dengan pembangunan pusat perbelanjaan digunakan perhitungan elastisitas tenaga kerja dan koefisien korelasi Rank Spearman. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui dan mencari ada tidaknya hubungan antara pembangunan pusat perbelanjaan dengan penyerapan tenaga kerja. Analisis ini juga digunakan untuk melihat seberapa kuat hubungan antara pembangunan pusat perbelanjaan dan penyerapan tenaga kerja yang terjadi. Adanya
pembangunan
pusat
perbelanjaan
modern
mempengaruhi
perkembangan pasar tradisional. Oleh karena itu, penelitian ini juga menganalisis ada tidaknya pengaruh pembangunan pusat perbelanjaan modern terhadap pengurangan tenaga kerja pada pedagang di pasar tradisional sekitar pusat perbelanjaan modern. Dalam penelitian ini ada beberapa faktor yang digunakan untuk mengetahui penyerapan tenaga kerja di pusat perbelanjaan. Faktor tersebut diantaranya jumlah pusat perbelanjaan, jumlah tenaga kerja di pusat perbelanjaan dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) nominal sektor perdagangan eceran.
25
Kota Bogor Sebagai Penyangga Ibukota
Peningkatan Jumlah Penduduk
Peningkatan Aktivitas Ekonomi
Peningkatan Fasilitas Penunjang Kehidupan : Pusat Perbelanjaan Modern
Dampak Tata Ruang Kota
Dampak Sosial
Penyebaran Pusat perbelanjaan
RTRWK
Dampak Ekonomi
Laju Pertumbuhan
Pasar Tradisional
Elastisitas Tenaga Kerja
Tenaga Kerja
Keterangan: = Ruang lingkup penelitian
= Alat analisis
Gambar 3.1. Skema Kerangka Pemikiran Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja di Kota Bogor
26
3.2.
Hipotesa Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran serta permasalahan yang ingin
dipecahkan, maka dirumuskan hipotesis di bawah ini : 1.
Pembangunan pusat perbelanjaan diduga telah menyebabkan pergeseran preferensi tempat belanja penduduk dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern.
2.
Pembangunan pusat perbelanjaan modern yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun diduga menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, dan telah menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan di perkotaan, sehingga menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian pemanfaatan lahan dengan RTRW Kota yang telah ditetapkan.
3.
Pembangunan pusat perbelanjaan modern yang pesat dalam beberapa tahun terakhir diduga memberikan dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Dugaan tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa adanya pusat perbelanjaan membutuhkan sumberdaya manusia untuk mengoperasikannya, sebagai teknisi listrik dan elektronik, pegawai administrasi, petugas keamanan, petugas kebersihan maupun sebagai pegawai toko atau sejenis Sales Promotion Girl (SPG). Pembangunan pusat perbelanjaan juga diduga menyebabkan terjadinya pengurangan tenaga kerja pada pedagang eceran di sekitar pusat perbelanjaan sebagai akibat penurunan pangsa pasar tradisional.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1.
Pergeseran Pasar Tradisional Ke Pusat Perbelanjaan Modern Peningkatan kontribusi sektor perdagangan, hotel, restoran terhadap
PDRB diikuti pula oleh peningkatan sarana perdagangan terutama pusat perbelanjaan modern. Pusat perbelanjaan modern di Kota Bogor mulai berkembang pada tahun 2003. Pusat perbelanjaan modern sesuai dengan fungsinya menyediakan berbagai macam barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Adanya pusat perbelanjaan modern dan pasar tradisional memberikan keuntungan bagi konsumen, yakni memberikan pilihan dalam berbelanja serta kemudahan dalam mengakses barang. Akan tetapi, keberadaan pusat perbelanjaan modern juga memberikan pengaruh terhadap keberadaan pasar tradisional. Pasar tradisional merupakan tempat para pedagang yang umumnya memiliki modal kecil melakukan transaksi usaha. Berbeda dengan pasar tradisional, pedagang di pusat perbelanjaan modern umumnya memiliki modal yang lebih besar dan kuat. Pedagang di pusat perbelanjaan modern juga didominasi oleh perusahaan jangkar. Perusahaan jangkar memiliki modal yang kuat dan akses terhadap barang yang lebih baik sehingga mampu memberikan kualitas pelayanan yang baik pula. Adanya pilihan dalam berbelanja menjadikan konsumen tidak hanya mendatangi tempat yang menyediakan barang yang dibutuhkannya saja, tetapi juga membuat konsumen memilih tempat yang memberikan pelayanan dan
42
kualitas yang lebih baik. Di Kota Bogor fasilitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tersedia mulai dari warung, toko, pasar tradisional, dan pasar modern. Jumlah pasar modern setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, jumlah pusat perbelanjaan modern yang termasuk dalam penelitian ini hingga bulan Mei 2007 terdapat empat unit. Terjadinya peningkatan jumlah pusat perbelanjaan modern menunjukkan laju pertumbuhannya yang bernilai positif. Tabel 6.1 menyajikan data mengenai jumlah pasar tradisional dan pusat perbelanjaan modern di Kota Bogor. Tabel 6.1. Jumlah Pasar Tradisional dan Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor dalam Lima Tahun Terakhir. Tahun
Pasar Tradisional
Pusat Perbelanjaan Modern
2003 2004 2005 2006 2007
7 7 7 7 7
1 2 3 3 4
Perubahan Pusat Perbelanjaan (unit)
Perubahan Pasar Tradisional (unit) 0 0 0 0 0
1 1 0 1
Sumber : Disperindagkop, 2007 (Hasil Olahan)
Berdasarkan hasil estimasi (1.1) diketahui laju pertumbuhan pusat perbelanjaan selama periode 2003 sampai 2007 sebesar 300 persen. Untuk pasar tradisional pada periode yang sama tidak terjadi pertambahan jumlah unit pasar, yang berarti laju pertumbuhan dari segi jumlah bernilai nol. Sesuai dengan hipotesa penelitian, perbedaan dalam laju pertumbuhan antar pusat perbelanjaan modern dan pasar tradisional dengan kecenderungan lebih besar pusat perbelanjaan modern menunjukkan adanya pergeseran dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern.
43
Terjadinya pergeseran pasar tradisional ke pusat perbelanjaan yang terjadi di Kota Bogor sama dengan terjadinya pergeseran pada tingkat nasional, namun terdapat perbedaan pada nilai laju pertumbuhannya. Berdasarkan hasil penelitian Hartati yang dilakukan pada tahun 2006, laju petumbuhan pasar tradisional pada tingkat nasional bernilai negatif. Jumlah pasar tradisional pada skala nasional mengalami penurunan, sedangkan di Kota Bogor tidak terjadi penurunan jumlah pasar tradisional. Pada Kota Bogor yang terjadi adalah belum terlaksananya rencana Pemerintah Kota Bogor khususnya Dinas Perdagangan, Perindustrian, dan Koperasi (Disperindagkop) mengenai pembangunan pasar di lokasi yang telah direncanakan. Dinas Perindagkop Kota Bogor merencanakan pembangunan pasar di tiga lokasi, yakni berlokasi di daerah Bubulak, Pamoyanan, serta Tanah Baru. Rencana pengembangan pasar tersebut belum terlaksana karena belum adanya pihak pengembang swasta yang bersedia bekerjasama membangunnya. Kondisi ini terjadi karena pihak pengembang swasta lebih tertarik untuk membangun pusat perbelanjaan modern. Ketertarikan pengembang swasta yang tinggi terhadap pembangunan pusat perbelanjaan modern dipengaruhi oleh besarnya keuntungan yang diperoleh pihak pengembang dari pembangunannya. Panagian Simanungkalit seorang pakar properti mengatakan bahwa sebuah pusat perbelanjaan modern memberikan keuntungan yang sangat besar dari sisi pendapatan pengembang, apabila suatu pusat perbelanjaan telah terisi 40 persen maka modal yang ditanamkan sudah dapat kembali. Besarnya pendapatan yang diperoleh oleh pengembang menarik
44
para penanam modal sektor properti untuk menanamkan modalnya pada pembangunan pusat perbelanjaan modern. Pergeseran dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern juga dipengaruhi oleh banyaknya masyarakat yang mulai melihat pusat perbelanjaan modern sebagai pilihan yang tepat untuk berbelanja dibandingkan pasar tradisional, terutama kelompok menengah keatas. Kondisi ini, terjadi karena pasar tradisional kurang mampu mempertahankan keunggulan yang dimilikinya. Pasar tradisional pada awalnya dikenal oleh masyarakat memiliki harga barang yang murah, namun saat ini barang yang dijual di pusat perbelanjaan modern memiliki harga yang mampu bersaing dengan pasar tradisional. Untuk komoditas tertentu yang identik pusat perbelanjaan modern dengan skala ekonomis dan akses langsung terhadap produsen yang dimilikinya mampu menawarkan harga yang lebih rendah. Skala ekonomis kurang dimiliki oleh pedagang di pasar tradisional karena umumnya pedagang memiliki modal yang lebih kecil dibanding pedagang di pusat perbelanjaan modern sehingga
posisi tawar pedagang pasar tradisional lebih
rendah. Pedagang pasar tradisional juga umumnya membeli barang yang dijualnya tidak langsung ke produsen melainkan melalui agen distribusi, sehingga harga jual menjadi lebih tinggi karena adanya margin perdagangan. Tidak semua barang yang dijual di pusat perbelanjaan memiliki harga lebih murah dibandingkan dengan yang dijual di pasar tradisional, meskipun demikian konsumen golongan tertentu, golongan menengah keatas, tetap memilih pusat perbelanjaan modern sebagai tempat berbelanja. Pusat perbelanjaan modern
45
memiliki tata bangunan yang lebih baik dengan kebersihan yang terjaga sehingga meskipun harga yang ditawarkan lebih tinggi, dianggap sepadan dengan kenyamanan dan keamanan ketika berbelanja. Kenyamanan dan keamanan dalam berbelanja saat ini relatif sulit didapatkan di pasar tradisional. Jika pada pusat perbelanjaan modern ruang antar kios tempat pengunjung berlalu-lalang terjaga dengan baik karena adanya peraturan dan pengawasan yang mengikat para pemilik kios, yaitu larangan untuk menempatkan barang keluar dari kios sehingga pengunjung lebih leluasa dalam beraktivitas. Hal ini, tidak didapatkan pengunjung di pasar tradisional. Ruang tempat berlalu-lalang di pasar tradisional terbatas karena banyak pedagang yang menempatkan barang secara tidak teratur, sehingga ruang gerak pengunjung menjadi sempit dan terkadang pengunjung berdesak-desakan. Bagi golongan tertentu kondisi yang demikian sangat menganggu. Pergeseran dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern juga terjadi karena adanya perubahan gaya hidup masyarakat. Pusat perbelanjaan modern di Kota Bogor umumnya terdiri atas kios-kios yang menawarkan produk yang mengarah pada ekploitasi gaya hidup masyarakat, seperti restoran, salon, produk fashion bermerk, peralatan rumah tangga berteknologi terbaru, serta arena bermain atau hiburan. Keberadaan kios atau counter seperti itu, membuat berkunjung ke pusat perbelanjaan tidak hanya sekadar berbelanja saja tetapi juga sebagai sarana rekreasi. Banyak masyarakat terutama pada hari-hari libur membawa anggota keluarga untuk berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan sehingga
46
konsep penjualan yang ditawarkan oleh pengelola pusat perbelanjaan adalah konsep windows shopping. Dengan
konsep
seperti
ini,
pengelola
mengemas
barang
yang
diperjualbelikan dengan menarik sehingga pengunjung mendapat gambaran mengenai barang-barang yang sedang trend dan produk terbaru yang menarik keinginan pengunjung untuk memilikinya. Selain itu, dengan konsep yang lebih menjual gaya hidup saat ini pusat perbelanjaan modern tidak hanya sekedar tempat untuk membeli barang kebutuhan hidup tetapi juga sebagai tempat untuk bersilahturahmi dengan kerabat, tempat bertemu dan berbincang-bincang. Kondisi tersebut yang tidak mampu ditawarkan oleh pasar tradisional sehingga masyarakat memilih pusat perbelanjaan modern. Dengan konsep tempat berbelanja sekaligus tempat rekreasi maka semakin banyak masyarakat yang memilih pusat perbelanjaan modern sebagai pilihan tempat berbelanja. Selain itu, pertumbuhan pusat perbelanjaan modern juga dipengaruhi oleh semakin banyaknya wanita yang tidak hanya menjadi ibu rumah tangga tetapi juga sebagai wanita pekerja. Wanita yang bekerja memiliki waktu yang lebih sedikit untuk berbelanja dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja, sehingga pusat perbelanjaan modern yang waktu operasi umumnya dimulai pukul 10.00 WIB sampai pukul 21.30 WIB menjadi pilihan lokasi berbelanja. Umumnya wanita yang bekerja berbelanja pada waktu pulang kerja yakni di atas waktu kerja, pada waktu-waktu tersebut tempat berbelanja yang dapat dikunjungi adalah pusat perbelanjaan modern sehingga pusat perbelanjaan modern dapat menjadi salah satu tempat pilihan berbelanja.
47
Saat ini, pusat perbelanjaan modern yang awalnya mengarah pada segmen pasar golongan menengah ke atas sudah memperluas jangkauannya ke golongan menengah bahkan menengah ke bawah. Perluasan segmen pasar terjadi karena pusat perbelanjaan modern yang berada di Kota Bogor melakukan diferensiasi pangsa pasar, yakni ada yang fokus pada golongan menengah ke atas, menengah dan ada pula yang mengarah pada golongan menengah ke bawah. Adanya pemfokusan pusat perbelanjaan modern pada golongan menengah dan menengah ke bawah semakin menurunkan pangsa pasar tradisional yang umumnya lebih banyak dikunjungi oleh golongan ini. Semakin meluasnya pangsa pasar pusat perbelanjaan modern semakin menurunkan pangsa pasar tradisional. Penurunan pangsa pasar tradisional menurunkan omset penjualan pasar tradisional. Menurut Kepala Bagian Perdagangan Dinas Perindagkop Kota Bogor penurunan mencapai sekitar 20 persen dari omset penjualan pasar tradisional sebelum pusat perbelanjaan modern beroperasi. Tabel 6.2. Penurunan Omset Penjualan Pedagang di Pasar Tradisional Kota Bogor (Persen) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Barang yang Diperdagangkan Pakaian Sepatu Mainan Alat Jahit Produk Kecantikan Elektronik dan Peralatan Listrik Tekstil Makanan Siap Saji Salon
Penurunan Omset Penjualan 23,2 23,3 20 30 30 10 10 0 0
Sumber : Data Primer (Hasil Olahan)
Tabel 6.2 memberikan gambaran mengenai penurunan omset penjualan pedagang yang terjadi di Kota Bogor. Penurunan omset penjualan pada setiap
48
pedagang berbeda-beda tergantung pada lokasi usaha dan jenis barang yang diperjualbelikan. Pedagang yang menjual alat-alat menjahit mengalami penurunan omset yang besar yakni sekitar 30 persen. Penurunan ini terjadi karena dengan adanya pusat perbelanjaan modern berarti semakin banyak produk pakaian jadi yang dijual dengan harga yang ditawarkan lebih kompetitif dan model yang bervariasi sehingga minat pada pakaian yang dibuat sendiri menjadi turun karena harganya lebih mahal. Kondisi yang serupa juga terjadi pada pedagang yang menjual barang atau produk tekstil. Nilai penurunan omset penjualan yang sama juga dialami oleh pedagang yang menjual produk-produk kecantikan. Maraknya pemalsuan produk kecantikan menjadi salah satu penyebab turunnya omset penjualan produk kecantikan di pasar tradisional, sehingga konsumen mulai berhati-hati memilih produk yang ditawarkan. Penurunan ini diperbesar oleh adanya pusat perbelanjaan modern yang juga menjual produk kecantikan. Konsumen yang memiliki kekhawatiran mengenai produk yang akan digunakannya memilih tempat yang dianggap lebih aman dari peredaran produk palsu. Jika pada pedagang barang lainnya kecenderungan penurunan omset penjualan dipengaruhi oleh lokasi berjualan, maka penurunan omset pada pedagang pakaian memiliki kisaran yang sama pada setiap pedagang. Hal ini, dikarenakan pakaian adalah produk yang dijual berdasarkan model dan trend yang diminati pembeli pada pakaian tertentu tidak terpengaruh oleh siapa dan dimana pakaian tersebut dijual. Pakaian juga merupakan barang yang mendominasi barang dagangan yang dijual di pusat perbelanjaan modern. Kondisi serupa juga
49
terjadi pada pedagang sepatu. Hal ini berbeda dengan jasa potong rambut atau salon yang tidak terpengaruh oleh keberadaan pusat perbelanjaan karena bersifat sesuai atau tidak dengan si pengguna jasa dan yang mengerjakan jasa tersebut. Pedagang yang berjualan makanan siap saji di pasar tradisional relatif tidak terpengaruh oleh keberadaan pusat perbelanjaan modern. Relatif tidak adanya pengaruh terhadap pedagang makanan siap saji salah satunya disebabkan oleh segmen pasar yang dikelola yaitu para pekerja dan pedagang di pasar tradisional. Untuk barang elektronik dan listrik para pedagang di pasar tradisional mengalami penurunan sebesar 10 persen. Penurunan sebesar 10 persen ini disebabkan adanya pergeseran preferensi belanja konsumen golongan menengah ke atas. Peningkatan jumlah pusat perbelanjaan pada tahun-tahun ke depan akan semakin memperbesar penurunan omset penjualan pasar tradisional yang dapat berdampak pada banyaknya pedagang yang menghentikan usahanya. Saat ini, beberapa pedagang di Pasar Kebon Kembang atau lebih dikenal dengan nama Pasar Anyar, untuk tetap menjalankan usahanya banyak yang mengelar usahanya di pelataran jalan raya akibat sepinya pembeli yang datang ke kios mereka sehingga biaya untuk menyewa kios tidak tertutupi. Meskipun terjadi pergeseran dalam berbelanja dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern dan penurunan pangsa pasar tradisional yang menurunkan omset penjualan pasar tradisional, namun demikian pasar tradisional di Kota Bogor masih memiliki keunggulan dalam produk segar. Pasar tradisional yang menjual produk segar atau biasa disebut sebagai wet market masih diminati masyarakat,
karena pasar
50
tradisional seperti ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan pusat perbelanjaan modern. Pada wet market barang yang diperjualbelikan umumnya lebih segar dan lebih baru dibandingkan dengan yang dijual di pusat perbelanjaan modern. Pada wet market para pedagang mendapatkan barang dagangannya dari para pemasok sayur-sayuran, buah-buahan, serta ikan secara langsung yang beberapa diantaranya bahkan sang petani itu sendiri sehingga barang yang dijual lebih segar. Pada pusat perbelanjaan modern meskipun terdapat kesamaan barang segar yang ditawarkan, namun umumnya memiliki harga yang relatif lebih tinggi dibanding barang yang di jual di wet market. Kondisi demikian menunjukkan bahwa meski terjadi pergeseran dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern namun untuk wet market, pasar tradisional masih memiliki keunggulan. Keunggulan yang masih dimiliki oleh wet market menunjukkan bahwa pasar tradisional masih memiliki kemampuan untuk bersaing dengan pasar tradisional. Keunggulan tersebut dapat ditingkatkan dengan keseriusan pengelola pasar tradisional untuk mengarap konsumen terutama kelas menengah ke bawah, karena konsumen kelas menegah ke bawah sampai saat ini tetap memilih pasar tradisional sebagai tempat berbelanja karena harga barang yang ditawarkan lebih murah dan dapat ditawar.
51
6.2.
Pengaruh Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Tata Ruang Kota Bogor Dinamika dan tuntutan pembangunan sosial ekonomi pada wilayah
perkotaan umumnya berdampak terhadap pemanfaatan ruang wilayah kota secara fisik. Peningkatan pembangunan pusat perbelanjaan modern yang termasuk ke dalam sektor perdagangan dan jasa mendorong peningkatan persentase penggunaan lahan untuk sektor perdagangan dan jasa dari 3,06 persen pada tahun 1999 menjadi 6,133 persen pada tahun 2003. Persentase luasan penggunaan lahan di Kota Bogor dapat di lihat pada Tabel 6.3. Tabel 6.3. Persentase Luasan Penggunaan Lahan di Kota Bogor No.
Jenis Penggunaan
1 2 3 4 5 6
Pemukiman Kolam Oxidasi Pertanian Kebun Campuran Industri Perdagangan dan Jasa
7 8 9 10 11 12 13
Perkantoran/Pemerintahan Hutan Kota Taman/Lapangan Olah Raga Kuburan Sungai/Situ/Danau Jalan Terminal dan Subterminal
14
Stasiun Kereta Api
15 Lain-lain Jumlah
Eksisiting Tahun 19991 Luas (Ha) Persentase (%) 8.296,63 70,01 1,50 0,01 1.288,66 10,87 154,55 1,30 115,03 0,97 362,60 3,06
Eksisting Tahun 20032 Luas Persentase (Ha) (%) 8.300,00 70,042 1,50 0,013 854,67 7,212 85,00 0,717 115,03 0,971 726,80 6,133
85,28 141,50 250,48 299,28 342,07 529,62 1,51
0,72 1,19 2,11 2,53 2,89 4,47 0,01
98,00 141,50 250,48 299,28 337,07 629,37 2,70
0,827 1,194 2,114 2,526 2,845 5,311 0,023
5,60
0,05
5,60
0,047
0,08 3,00 100 11.850,00
0,025 100
9,21 11.850,00
Sumber : 1)RTRW Kota Bogor 1999-2009 2)Dinas Pemukiman Tahun 2003 dalam Renstra Kota Bogor
Pembangunan pusat perbelanjaan modern mendorong terjadinya peralihan fungsi penggunaan lahan. Peralihan fungsi penggunaan lahan merupakan gejala
52
normal sesuai dengan proses perkembangan dan pengembangan kota. Peralihan fungsi penggunaan lahan yang terjadi akibat pembangunan pusat perbelanjaan modern di Kota Bogor termasuk kedalam tipe transformasi. Tipe transformasi merupakan perubahan secara terus-menerus pada bagian-bagian pemanfaatan lahan di perkotaan untuk meningkatkan nilai dan efisiensi bagi pengguna. Termasuk ke dalam tipe ini karena pusat perbelanjaan modern di Kota Bogor dibangun pada lahan yang sudah terbangun namun mengalami perubahan fungsi penggunaan. Dua pusat perbelanjaan dibangun pada lahan yang sejak awal penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota diperuntukkan bagi perdagangan, hanya saja terjadi perubahan dari konsep pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern. Dua pusat perbelanjaan lainnya dibangun pada lahan yang bukan diperuntukkan bagi perdagangan namun berada pada kawasan perdagangan sehingga hal tersebut diperbolehkan. Pembangunan pusat perbelanjaan modern meskipun dilaksanakan pada wilayah yang sesuai dengan zoning pada RTRW Kota Bogor, namun tetap harus memperhatikan aspek sosial lainnya. Salah satu dampak dari pembangunan pusat perbelanjaan modern yaitu dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan kota. Adanya peralihan fungsi penggunaan lahan ini berdampak terhadap keseimbangan lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat. Peralihan fungsi penggunaan lahan dan perubahan kualitas lingkungan fisik sebagai akibat pembangunan pusat perbelanjaan modern disatu pihak telah meningkatkan kesejahteraan dan kemudahan bagi sebagian masyarakat kota, tetapi dipihak lain
53
juga menimbulkan dampak negatif yakni, mengurangi keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Standar RTH yang harus disediakan oleh suatu kota menurut ketentuan Departemen Pekerjaan Umum adalah lima belas meter persegi per penduduk atau minimal sepuluh persen dari luas areal kota dalam berbagai bentuk. Kebutuhan RTH bagi pusat perbelanjaan modern disesuaikan dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang telah ditentukan. Ruang yang dibangun untuk fungsi perdagangan dan jasa berdasarkan ketentuan teknis pemanfaatan ruang memiliki Koefisien Dasar Hijau (KDH) sebesar 30 persen dari luas lahan. Ketentuan KDH menunjukkan RTH yang harus disediakan oleh pihak pengembang untuk menjaga keseimbangan ekosistem kota. Ketentuan KDH 30 persen dari luas lahan tidak sepenuhnya dipenuhi oleh para pengembang pusat perbelanjaan modern. Pusat perbelanjaan modern sekarang ini, dalam memenuhi ketentuan KDH masih sebatas pada ada tidaknya tanaman pada pusat perbelanjaan modern yang dibangun dengan jumlah berada dibawah ketentuan yang ditetapkan. Adanya penurunan RTH sebagai akibat dari peralihan fungsi penggunaan lahan dan ketentuan teknis yang tidak dipenuhi menyebabkan berkurangnya resapan air yang berpotensi menjadi banjir. Banjir besar yang terjadi di sebagian wilayah Jakarta dan beberapa daerah pinggiran sungai di Kota Bogor pada awal tahun 2007 merupakan salah satu akibat penurunan RTH. Curah hujan yang tinggi dan perubahan tata guna lahan perkotaan yang cepat dan tidak terkendali sangat berpengaruh terhadap banjir. Hal tersebut, sesuai dengan penelitian yang
54
dilakukan oleh Radnawati pada tahun 2005 daerah dengan tata guna lahan perkotaan yang mempunyai banyak permukaan kedap akan menghasilkan aliran permukaan yang besar bahkan hampir 100 persen. Adanya perubahan dari kawasan hijau menjadi daerah beton juga meningkatkan curah hujan menjadi dua sampai tiga kali lipat dari sebelumnya. Keberadaan RTH selain menjaga kelangsungan fungsi ekologi untuk keberadaan kota juga memiliki manfaat sebagai pelembut kesan keras dari struktur fisik, mengatasi kebisingan, udara panas, polusi dan pembentuk ruang kesatuan kota. Penurunan RTH dalam jangka panjang tidak hanya dirasakan oleh penduduk Kota Bogor saja, akan tetapi dirasakan pula oleh penduduk di daerah lainnya seperti terjadinya banjir. Apabila kerusakan ekologi yang terjadi maka keuntungan yang diharapkan dari adanya pusat perbelanjaan modern akan tidak berarti dibandingkan dengan kerugian yang dirasakan masyarakat. Berdasarkan persyaratan lokasi kegiatan perdagangan dan jasa, pusat perbelanjaan modern dibangun pada lokasi yang sesuai dengan persyaratannya. Yakni mempunyai akses yang baik ke arah perumahan, berada pada jalan utama kota sehingga mudah dikenali dan dicapai, berdekatan dengan kegiatan lain misalnya pusat kegiatan rekreasi. Pusat perbelanjaan modern juga berdekatan dengan terminal atau setidaknya dilalui jalur pelayanan angkutan umum, terdapat hubungan jaringan pelayanan angkutan umum yang dapat menjangkau kawasan perumahan dari berbagai golongan dan memiliki ketersediaaan lahan parkir yang memadai.
55
Terpenuhinya ketentuan persyaratan lokasi perdagangan oleh pusat perbelanjaan bukan berarti tidak menimbulkan masalah terhadap tata ruang Kota Bogor. Distribusi pusat perbelanjaan modern di Kota Bogor cenderung tidak merata dan berada dilokasi yang berdekatan. Sesuai dengan zoning yang tertuang dalam RTRW Kota Bogor lokasi pusat perbelanjaan modern terkonsentrasi di pusat kota pada wilayah Kecamatan Bogor Tengah, yakni sebanyak tiga dari empat unit pusat perbelanjaan modern yang ada atau 75 persen. Lokasi pusat perbelanjaan modern selain terkonsentrasi di pusat kota juga memiliki jarak antar pusat perbelanjaan yang satu dengan yang lainnya relatif berdekatan. Bahkan, pusat perbelanjaan ini pun berlokasi dekat dengan pertokoan dan pasar tradisional yang berjarak kurang dari 500 meter. Gambaran sebaran pusat perbelanjaan modern di Kota Bogor berdasarkan lokasinya tersaji pada Tabel 6.4. Tabel 6.4. Jumlah dan Sebaran Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor Mei 2007 Wilayah Unit Kecamatan Bogor Barat Kecamatan Bogor Timur Kecamatan Bogor Utara Kecamatan Bogor Tengah Kecamatan Bogor Selatan Kecamatan Tanah Sareal Jumlah Sumber : Disperindagkop, 2007 (Hasil Olahan)
Persen 0 1 0 3 0 0 4
0 25 0 75 0 0 100
Jarak pusat perbelanjaan modern yang sangat dekat dengan pasar tradisional mengakibatkan penurunan omset penjualan pedagang di pasar tradisional dan tenaga kerja yang dipekerjakannya. Selain itu, jarak yang berdekatan antar pusat perbelanjaan modern yang satu dengan pusat perbelanjaan
56
modern lainnya, mengakibatkan adanya persaingan usaha yang berpotensi saling mematikan diantara pusat perbelanjaan modern itu sendiri. Persaingan usaha itu terlihat pada pusat perbelanjaan modern pertama yang dibuka, pusat perbelanjaan modern ini kini menjadi sepi karena pengunjung umumnya lebih menyukai sesuatu yang baru. Sepinya pengunjung ke pusat perbelanjaan ini mengakibatkan banyaknya ruang kosong pada pusat perbelanjaan modern. Jarak yang terlalu dekat ini jika dibiarkan, maka lama-kelamaan dengan pertumbuhan pembangunan pusat perbelanjaan modern yang tinggi akan mengakibatkan persaingan usaha yang sangat ketat. Sehingga pusat perbelanjaan modern hanya akan ramai pada saat masih baru beroperasi. Kondisi tersebut memungkinkan untuk terjadi, karena konsumen akan memilih lokasi belanja yang melakukan inovasi. Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di Negara-Negara Eropa dan Australia, seperti yang diungkapkan oleh Damanhuri berdasarkan pengalamannya menetap di Negara Eropa selama enam tahun :25 “Pusat perbelanjaan modern di Negara Eropa umumnya berfungsi sebagai growth pole dan pendiriannya terintegrasi dengan tata ruang, biasanya dibangun pada daerah hinterland sehingga dapat memacu ekonomi wilayah di Kota tersebut, dan terjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Oleh karena itu, izin tata ruang pembangunannya sangat di patuhi. Seperti di Helsinki, Finlandia, di Kota ini ada jarak tertentu yang harus dipatuhi oleh pengembang sehingga tidak terjadi persaingan usaha dan tidak mematikan pusat perbelanjaan lain yang se-level maupun pusat perbelanjaaan semi modern serta pasar tradisional begitu pula di Negara Perancis, Belanda, dan Jerman.”
25
Didin S. Damanhuri. 2007. Jarak Pusat Perbelanjaan di Negara-Negara Eropa [wawancara]. Bogor.
57
Kondisi demikian menjelaskan bahwa terdapat perbedaan konsep pembangunan pusat perbelanjaan modern yang terjadi di Kota Bogor dengan yang terjadi di Negara-Negara Eropa, di Kota Bogor pembangunan pusat perbelanjaan modern dibangun pada daerah yang merupakan pusat perekonomian kota dan telah memiliki aktivitas ekonomi yang cukup tinggi, sehingga jika di Negara-Negara Eropa pembangunannya dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dan tidak mematikan pedagang eceran lainnya maka yang terjadi di Kota Bogor adalah adanya persaingan usaha diantara pusat perbelanjaan yang satu dengan pusat perbelanjaan modern lainnya serta dengan pasar tradisional. Di Negara Australia jarak antar pusat perbelanjaan modern terletak berjauhan, pusat perbelanjaan modern umumnya memiliki jarak sekitar lima sampai sepuluh kilometer dari pasar tradisional, dan pembangunan pusat perbelanjaan modern tidak ditujukkan sebagai konsep kutub pertumbuhan (Growth Pole). Pembangunan pusat perbelanjaan yang bukan merupakan konsep kutub pertumbuhan, dikarenakan di negara Australia umumnya suatu kota dipersiapkan terlebih dahulu sarana dan prasarananya sebelum dihuni oleh penduduk, meskipun demikian pembangunan pusat perbelanjaan modern tetap tidak mengakibatkan persaingan antar pusat pembangunan modern dengan pasar tradisional karena jaraknya yang berjauhan. Lokasi pusat perbelanjaan modern yang tidak saling berdekatan juga terjadi di Norwegia. Kota-kota di Norwegia seperti Oslo, Asker dan Kristiansand umumnya hanya memiliki satu buah pusat perbelanjaan modern, masyarakat
58
Norwegia juga lebih menyukai berbelanja pada pusat perbelanjaan yang berupa deretan toko-toko, sehingga persaingan usaha antar keduanya tidak terjadi. Jarak yang berdekatan untuk pusat perbelanjaan memang terjadi pada lokasi pusat perbelanjaan modern di negara lain, seperti Singapura dan Hong Kong. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari situs pariwisata Singapura, yakni www.visitsingapore.com dan artikel Shopping in Hong Kong, pusat perbelanjaan di kedua wilayah ini memang memiliki lokasi yang berdekatan, namun kedua wilayah ini mampu menarik pengunjung dari berbagi negara lain dan setiap pusat perbelanjaan modern di wilayah ini umumnya memiliki perbedaan yang mampu menarik minat para konsumen. Kemampuan menarik konsumen dari luar wilayah ini tidak dimiliki oleh pusat perbelanjaan di Kota Bogor, sehingga dengan jarak yang berdekatan akan terjadi perebutan konsumen. Keberadaan pusat perbelanjaan modern di jalan-jalan utama pusat kota meningkatkan volume lalulintas ke daerah tersebut. Adanya kenaikan volume lalu lintas dan kendaraan keluar masuk pusat perbelanjaan modern berpotensi menaikan tingkat kemacetan. Pusat perbelanjaan modern berada pada kawasan yang dilalui oleh lebih dari satu pelayanan angkutan umum dan berada di satu titik tempat naik turunnya penumpang, baik dekat terminal maupun tempat perhentian terakhir angkutan umum. Pada lokasi ini, umumnya terdapat banyak angkutan menghentikan kendaraannya untuk mencari penumpang yang menyebabkan kemacetan bagi pengguna jalan lainnya. Dengan adanya pusat perbelanjaan modern di lokasi tersebut pencarian penumpang oleh supir kendaraan umum, peningkatan volume
59
transportasi ditambah arus keluar masuk pengunjung ke pusat perbelanjaan modern menyebabkan terjadinya arus tundaan dalam berkendara yang berpotensi meningkatkan kemacetan. Pembangunan pusat perbelanjaan dengan dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya mempengaruhi RTRW Kota Bogor. Adanya peralihan fungsi penggunaan lahan akibat pembangunan pusat perbelanjaan menunjukkan terjadinya pemanfaatan tata ruang kota yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Bogor periode 1999-2009. Kondisi ini, sesuai dengan penelitian Marisan pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa pemanfaatan ruang wilayah Kota Bogor sekitar 5,76 persen tidak sesuai dengan RTRW Kota. Adanya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkannya sesuai dengan hipotesa penelitian ini. Perkembangan Pemanfaatan ruang fisik Kota Bogor harus sesuai dengan visi dan misi Kota Bogor yakni menjadi ”Kota Jasa Yang Aman dan Nyaman dengan Masyarakat Madani.” Pembangunan pusat perbelanjaan modern meskipun berada pada kawasan yang telah ditetapkan oleh RTRW Kota harus tetap memperhatikan aspek lingkungan hidup dan kelancaran lalulintas, sehingga pembangunan pusat perbelanjaan modern yang terlalu dekat tidak berpotensi untuk mematikan pusat perbelanjaan modern yang sudah ada sebelumnya dan pasar tradisional ataupun kios-kios di sekitarnya. Pembangunan
pusat
perbelanjaan modern juga tidak menimbulkan ketidaknyamanan dalam lalulintas, seperti kemacetan.
60
6.3.
Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja Pembangunan pusat perbelanjaan modern tidak hanya berdampak terhadap
keberadaan pasar tradisional, dan tata ruang saja tetapi berdampak pula terhadap kondisi ketenagakerjaan di Kota Bogor. Pembangunan pusat perbelanjaan modern mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan dari segi penyediaan lapangan pekerjaan.
6.3.1. Penyerapan Tenaga Kerja Pusat perbelanjaan modern dalam pengoperasian usahanya membutuhkan tenaga kerja sehingga dengan adanya pembangunan pusat perbelanjaan modern tercipta lapangan kerja baru bagi penduduk Kota Bogor. Nafi dalam Hartati menyatakan bahwa ”bila dibangun satu pasar modern ada kesempatan kerja dan berusaha yang terbuka karena satu hypermarket saja yang dibangun telah mampu menampung sekitar 400 orang pekerja.”26 Pusat perbelanjaan pertama yang dibangun di Kota Bogor telah mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 892 pekerja (Lampiran 1). Dalam jangka waktu lima tahun tenaga kerja yang terserap mencapai 3807 pekerja dengan jumlah pusat perbelanjaan meningkat menjadi 4 unit. Pertumbuhan jumlah pusat perbelanjaan dan jumlah tenaga kerja tersaji pada Tabel 6.5.
26
Nafi Dalam Widi Hartati. 2006. Pergeseran Subsektor Perdagangan Eceran Dari Tradisional ke Modern [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Bogor : IPB. hal 27.
61
Tabel 6.5. Pertumbuhan Jumlah Pusat Perbelanjaan dan Jumlah Tenaga Kerja Tahun
Jumlah Pusat Perbelanjaan
2003 1 2004 2 2005 3 2006 3 2007 4 Sumber : Data Primer (Hasil Olahan)
Perubahan Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah Tenaga Kerja
423 1.047 0 1.445
892 1.315 2.362 2.362 3.807
Berdasarkan Tabel 6.5 dan hasil estimasi (1.2) diketahui nilai elastisitas tenaga kerja pada penambahan pembangunan pusat perbelanjaan modern pertama sebesar 0,47 yang berarti peningkatan pembangunan pusat perbelanjaan modern sebesar satu persen meningkatkan tenaga kerja yang terserap pada pusat perbelanjaan sebanyak 0.47 persen. Elastisitas tenaga kerja pada penambahan pembangunan pusat perbelanjaan modern kedua
sebesar 1,59 yang berarti
peningkatan pembangunan pusat perbelanjaan modern sebesar satu persen meningkatkan tenaga kerja yang terserap pada pusat perbelanjaan sebanyak 1,59 persen. Elastisitas pada penambahan pembangunan pusat perbelanjaan modern ketiga sebesar 1,83 yang berarti peningkatan pembangunan pusat perbelanjaan modern sebesar satu persen meningkatkan tenaga kerja yang terserap pada pusat perbelanjaan sebanyak 1,83 persen. Adanya perbedaan nilai elastisitas ini dipengaruhi oleh luas pusat perbelanjaan yang dibangun dan banyaknya kios pada pusat perbelanjaan tersebut yang terisi oleh penyewa. Elastisitas permintaan tenaga kerja secara rata-rata memiliki nilai sebesar 1,3.
Nilai
elastisitas
tersebut
menunjukkan
bahwa
setiap
peningkatan
pembangunan pusat perbelanjaan modern sebanyak satu persen meningkatkan
62
tenaga kerja yang terserap pada pusat perbelanjaan modern sebanyak 1,3 persen dari jumlah tenaga kerja sebelumnya. Berdasarkan
hasil
estimasi
(1.3)
hubungan
antar
pertambahan
pembangunan pusat perbelanjaan dengan penyerapan tenaga kerja diperoleh nilai estimasi sebesar satu dengan tanda positif (Lampiran 3). Nilai estimasi menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi bersifat searah dan kuat. Peningkatan jumlah tenaga kerja yang bekerja di pusat perbelanjaan modern ini terjadi karena besarnya kebutuhan tenaga kerja di pusat perbelanjaan modern terutama sebagai tenaga wiraniaga. Selain tenaga wiraniaga pusat perbelanjaan modern juga membutuhkan pekerja yang bekerja di bidang teknisi, staff administrasi, cleaning service, tenaga keamanan, serta penyedia jasa perparkiran. Peningkatan jumlah tenaga kerja juga terjadi karena adanya perubahan pola manajemen operasi usaha perdagangan. Jika pada pasar tradisional banyak tenaga kerja keluarga yang membantu untuk melayani pengunjung, maka pada pusat perbelanjaan modern sebagian besar pengoperasian usaha dilakukan oleh orang lain yakni, pekerja. Sebanyak 11 pekerja dari 3807 pekerja yang bekerja di pusat perbelanjaan modern merupakan tenaga kerja keluarga. Kecilnya tenaga kerja keluarga ini, umumnya dikarenakan pemilik kios atau pedagang tidak melayani pengunjung secara langsung melainkan dengan memperkerjakan orang lain sehingga penyerapan tenaga kerjanya besar.
63
Tingkat Pendidikan 5% 4%
0% 4%
Dibaw ah SMU SMU Diploma Sarjana
87%
Lainnya
Sumber : Data Primer (Hasil Olahan)
Gambar 6.1. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor
Terjadinya pergeseran dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern juga menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan tenaga kerja yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja di pasar tradisional. Pada pusat perbelanjaan modern tenaga kerja umumnya berpendidikan SMU atau sederajat, yakni mencapai 87 persen atau sebanyak 3321 pekerja. Pekerja dengan tingkat pendidikan SMU atau sederajat ini umumnya menempati posisi wiraniaga. Posisi kedua terbesar dari sisi tingkat pendidikan ditempati oleh pekerja yang berpendidikan sarjana sebanyak 182 pekerja atau sekitar lima persen, selain sarjana para pekerja juga banyak yang mengenyam pendidikan hingga level diploma yakni sebanyak 167 pekerja, bahkan ada juga satu orang yang mengenyam pendidikan hingga taraf master atau strata dua. Banyaknya pekerja yang mengenyam tingkat pendidikan yang tinggi terjadi karena pada pusat perbelanjaan modern sistem dan tata cara pengoperasian usaha perdagangan menggunakan sistem modern yang tertata dengan sistematis
64
sehingga dibutuhkan tenaga kerja terlatih dan terdidik untuk mengikuti kemajuan teknologi yang digunakan. Hal ini yang membedakan pekerja pusat perbelanjaan modern dengan pekerja di pasar tradisional. Jika pada pasar tradisional masih banyak pekerja yang berpendidikan dibawah SMU maka pada pusat perbelanjaan modern hanya 136 pekerja yang memiliki pendidikan dibawah SMU. Pekerja dengan tingkat pendidikan dibawah SMU menempati posisi kerja pada tingkatan yang rendah yakni sebagai cleaning service.
Asal Tenaga Kerja
13% Kota Bogor Luar Kota Bogor 87%
Sumber : Data Primer (Hasil Olahan)
Gambar 6.2. Daerah Asal Tenaga Kerja Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor Tenaga kerja yang bekerja pada pusat perbelanjaan modern di Kota Bogor tidak seluruhnya merupakan penduduk Kota Bogor. Dari 3807 pekerja 13 persen diantaranya merupakan orang yang berasal dari luar Kota Bogor, yakni sebanyak 487 pekerja. Sebanyak 3320 pekerja atau 87 persen merupakan penduduk Kota Bogor. Besarnya persentase pekerja yang asli penduduk Kota Bogor yang bekerja di pusat perbelanjaan modern ini terjadi selain karena pusat perbelanjaan itu
65
sendiri berlokasi di Kota Bogor juga terkait dengan kisaran besarnya upah atau gaji yang diperoleh dengan bekerja di pusat perbelanjaan modern. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa aktivitas utama pusat perbelanjaan modern adalah kegiatan pedagangan sehingga tenaga kerja yang dipekerjakan umumnya adalah tenaga wiraniaga. Upah yang diterima oleh tenaga wiraniaga dan clening service umumnya berada dibawah Upah Minimum Kota (UMK), meskipun untuk tenaga wiraniaga yang bekerja pada perusahaan perdagangan besar upah mereka diatas UMK. Upah yang relatif terbatas ini memungkinkan terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja yang bertempat tinggal di dekat pusat perbelanjaan tersebut, namun tidak demikian dengan tenaga kerja yang berasal dari luar Kota Bogor karena biaya transportasi mereka menjadi lebih besar sehingga upah bersih yang mereka terima menjadi lebih sedikit. Tidak semua tenaga kerja pusat perbelanjaan merupakan tenaga kerja wiraniaga, ada juga yang bekerja sebagai staf administrasi, teknisi, dan sebagainya. Untuk tenaga kerja kelompok ini upah yang mereka terima lebih besar dari kelompok wiraniaga dan cleaning service meskipun demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan Manajer Personalia PT. Sinar Kharisma Padjadjaran yang merupakan pengelola Bogor Trade Mall tenaga kerja yang menduduki posisi tersebut adalah tenaga kerja Kota Bogor yang sebelumnya bekerja pada pusat perbelanjaan di luar Kota Bogor yang ditawarkan untuk bekerja pusat perbelanjaan modern di Kota Bogor. Oleh karena itu, banyak tenaga kerja yang berasal dari Kota Bogor itu sendiri.
66
Tenaga kerja pusat perbelanjaan modern yang didominasi tenaga kerja asal Kota Bogor dapat terjadi, meskipun tidak ada peraturan daerah Kota Bogor yang melatarbelakanginya, disebabkan pula oleh adanya kebijakan dari pihak pengelola pusat perbelanjaan yang terkait di dalamnya. Beberapa pengelola pusat perbelanjaan modern melakukan pendekatan dengan masyarakat di sekitarnya melalui adanya prioritas penerimaan pegawai yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Meskipun demikian tidak berarti bahwa setiap pelamar yang bertempat tinggal di daerah tersebut diterima bekerja, tetap harus melalui prosedur seleksi yang telah ditetapkan, hanya saja apabila ada dua pelamar yang memiliki nilai yang sama maka akan lebih diutamakan yang bertempat tinggal di sekitar pusat perbelanjaan modern tersebut. Hal ini dimaksudkan agar pembangunan fasilitas kegiatan ekonomi di suatu daerah dapat secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi yang bersangkutan. Jenis Kelamin Tenaga Kerja
49%
Laki- Laki 51%
Perempuan
Sumber : Data Primer (Hasil Olahan)
Gambar 6.3. Jenis Kelamin Tenaga Kerja Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor
67
Komposisi jenis kelamin tenaga kerja memiliki kecenderungan merata hanya terdapat sedikit perbedaan yakni perempuan sebanyak 1857 pekerja atau sebesar 49 persen sedangkan laki-laki sebanyak 1950 pekerja atau sebesar 51 persen. Perbedaan yang sangat kecil pada komposisi jenis kelamin ini dikarenakan pada pusat perbelanjaan modern tidak hanya memperkerjakan tenaga wiraniaga yang biasanya didominasi oleh kaum perempuan tetapi juga diperlukan tenaga teknisi, staf adminstrasi, jasa parkir dan cleaning service. Tenaga kerja laki-laki pada pusat perbelanjaan modern umumnya menempati posisi sebagai teknisi, staff administrasi serta jasa parkir. Meskipun perbedaan jumlah antar tenaga kerja lakilaki dan perempuan yang tidak terlalu besar, namun untuk posisi tertentu ada yang diutamakan untuk ditempati oleh perempuan, yakni posisi Tenant Relation (TRL). Penempatan perempuan dalam posisi TRL terkait dengan sifat psikologis yang dimiliki oleh perempuan, yakni pengendalian emosi. Posisi TRL adalah posisi yang menjembatani pihak pengelola dengan para pemilik atau penyewa kios sehingga dibutuhkan penempatan emosi yang terkendali, karena jika terjadi suatu permasalahan pada kios atau perjanjian kerja maka penyelesaiannya melalui bagian TRL ini.
6.3.2. Pengurangan Tenaga Kerja Adanya pusat perbelanjaan modern menimbulkan persaingan usaha antara pusat perbelanjaan modern dengan pasar tradisional dan kios-kios di sekitarnya. Persaingan usaha ini menyebabkan terjadinya penurunan omset penjualan pedagang di tempat tersebut.
68
Berdasarkan survey yang dilakukan terhadap pedagang yang berlokasi di pasar tradisional, Pasar Kebon Kembang (Pasar Anyar) dan Pasar Bogor, penurunan omset penjualan menyebabkan terjadinya penurunan jumlah tenaga kerja. Tabel 6.6. Penurunan Jumlah Tenaga Kerja Pada Pedagang di Pasar Tradisional (Pedagang) Keterangan Omset Tetap Omset Menurun
Terjadi PHK
Tidak Terjadi PHK 0 8
10 14
Sumber: Data Primer (Hasil Olahan)
Sebanyak delapan pedagang dari 32 pedagang yang diamati melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerjanya. PHK dilakukan karena penurunan omset mengakibatkan turunnya margin perdagangan yang diperoleh oleh pedagang sehingga dana untuk menutupi biaya operasional semakin berkurang. Untuk mempertahankan kelangsungan usahanya maka para pedagang mengurangi jumlah tenaga kerja yang dipekerjakannya. Pengurangan jumlah tenaga kerja pada setiap pedagang berbeda tergantung dari penurunan omset penjualan yang dialami dan jangka waktu usaha yang dimiliki oleh pedagang. Semakin besar penurunan omset maka jumlah tenaga kerja yang di PHK umumnya semakin banyak, ada yang mencapai 66 persen dari tenaga kerja yang dipekerjakan atau sebanyak dua dari tiga tenaga kerja, namun secara umum dari delapan pedagang yang melakukan PHK rata-rata memberhentikan sekitar 44 persen tenaga kerjanya. Besarnya persentase PHK pada pedagang dikarenakan pedagang di pasar tradisional umumnya hanya memperkerjakan pegawai dalam jumlah kecil dengan rata-rata pegawai sebanyak 2 sampai empat orang sesuai dengan luas kios yang ditempati.
69
Sebanyak 14 pedagang dari 32 pedagang yang diamati mengalami penurunan omset penjualan, namun tidak sampai melakukan PHK terhadap tenaga kerjanya. Tidak dilakukannya PHK oleh sebagian pedagang ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, salah satunya adanya sifat hubungan kekeluargaan dalam memperkerjakan pegawainya, sehingga selama penurunan omset penjualan tersebut masih mampu menutupi biaya operasional maka pedagang tidak memberhentikan tenaga kerjanya. Selain menyebabkan penurunan omset penjualan yang berakibat pada pengurangan jumlah tenaga kerja pada pedagang di pasar tradisional keberadaan pusat perbelanjaan juga mempengaruhi pedagang lain yang meskipun tidak mengalami penurunan jumlah omset penjualan, namun mereka mengalami kesulitan untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja yang mereka pekerjakan. Kesulitan untuk menambah jumlah tenaga kerja ini terjadi karena adanya kesulitan untuk meningkatkan omset penjualan sebagai akibat adanya persaingan usaha. Persaingan usaha menyebabkan terjadinya peningkatan biaya operasional pedagang.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, sebagai berikut :
1.
Adanya pusat perbelanjaan modern di Kota Bogor telah menyebabkan terjadinya pergeseran tempat belanja masyarakat dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern. Pergeseran ini, ditandai oleh adanya peningkatan jumlah pusat perbelanjaan dengan laju pertumbuhan 300 persen serta penurunan omset penjualan pasar tradisional sebesar 20 persen dari omset penjualan sebelum adanya pusat perbelanjaan modern. Peningkatan jumlah pusat perbelanjaan modern dan penurunan omset penjualan secara terus-menerus dalam jangka panjang akan menyebabkan pedagang di pasar tradisional menghentikan kegiatan usahanya karena tidak mampu bersaing dengan pusat perbelanjaan modern yang umumnya terdiri dari pedagang yang memiliki modal relatif besar.
2.
Pembangunan pusat perbelanjaan modern menyebabkan terjadinya peralihan fungsi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor 1999-2009. Pembangunan pusat perbelanjaan modern juga telah menyebabkan terjadinya penurunan Ruang Tebuka Hijau (RTH) di Kota Bogor. Maraknya pembangunan pusat perbelanjaan
modern
tanpa
adanya
peraturan
mengenai
jarak
pembangunannya dapat menimbulkan kemacetan dan persaingan antar
71
pusat perbelanjaan modern yang berpotensi mematikan satu dengan yang lainnya. 3.
Keberadaan pusat perbelanjaan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja di Kota Bogor dan tenaga kerja yang terserap sebanyak 87 persen merupakan penduduk Kota Bogor. Tingkat pendidikan pekerja di pusat perbelanjaan modern juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan tenaga kerja di pasar tradisional. Pembangunan pusat perbelanjaan juga menyebabkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada tenaga kerja di pasar tradisional dan kios-kios di sekitarnya. Dengan demikian, pembangunan
pusat
perbelanjaan
modern
yang
pada
awal
pembangunannya diarahkan untuk meningkatkan perekonomian Kota Bogor juga telah menimbulkan terjadinya ketimpangan pembangunan yang ditandai oleh nilai PDRB yang terus meningkat namun terjadi penurunan omset penjualan dan tenaga kerja pada pedagang di pasar tradisional.
7.2. Saran Adapun saran yang dapat dipertimbangkan dari hasil penelitian ini, yaitu : 1.
Untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional Pemerintah Kota Bogor melalui Dinas Perindagkop dan Dinas Pekerjaan Umum sebaiknya melaksanakan program yang mendukung keberadaan pasar tradisional di masa yang akan datang, seperti melakukan program pemugaran dan perbaikan sarana dan fasilitas yang tersedia di pasar tradisional, melalui
72
peningkatan pelayanan kebersihan sehingga pasar tradisional yang terkesan kotor dan bau dapat menjadi lebih nyaman serta mampu menarik penduduk untuk tetap berbelanja di pasar tradisional. 2.
Pembangunan pusat perbelanjaan modern telah menyebabkan terjadinya persaingan usaha dan menurunkan omset penjualan dan tenaga kerja pedagang di pasar tradisional. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bogor sebaiknya membuat peraturan yang mengikat tentang penempatan pusat perbelanjaan dalam tata ruang kota seperti pembatasan jumlah dan perizinan bagi pembangunan pusat perbelanjaan modern baru terutama di pusat kota. Pemberian izin pembangunan pusat perbelanjaan modern sebaiknya diarahkan pada wilayah pinggiran kota dan dilakukan dengan mempertimbangkan lokasi pembangunannya seperti pertama, jarak bangunan dari persimpangan jalan dengan batas minimal sejauh 200 meter dari persimpangan jalan karena jika dibangun di persimpangan jalan berpotensi meningkatkan kemacetan. Kedua, jarak dengan sarana perdagangan eceran lainnya yang tidak saling berdekatan sehingga pembangunan pusat perbelanjaan tidak menganggu aktivitas perdagangan di lokasi yang berbeda.
3.
Untuk penelitian pergeseran preferensi tempat belanja penduduk dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern selanjutnya diharapkan dapat menggunakan data omset penjualan dari berbagai klasifikasi barang yang diperjualbelikan oleh pedagang eceran.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. ”Kehadiran Pusat Perbelanjaan Mendongkrak LPE Kota Bogor”. [Kota Bogor Online]. http://www.kotabogor.go.id/0406/12/berita.htm [12 Juni 2004]. . 2006. ”Jakarta Kota Mal Jaya Raya”. [Newsonetara Online]. http://www.newsonetara.blogspot.com/tempoedisi36/xxxv/30oktober [05 November 2006]. Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA). 2003. Rencana Strategis (Renstra) Kota Bogor. Badan Perencanaan Daerah, Bogor. Badan Pusat Statistik (BPS). 2004. PDRB. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . 2006. Bogor Dalam Angka 2006. Badan Pusat Statistik, Bogor. Damanhuri, Didin S. 2007. Jarak Pusat Perbelanjaan di Negara-Negara Eropa [wawancara]. Bogor. Dinas Tata Kota DKI Jakarta. 2004. Kajian Kapasitas Ruang Pusat-Pusat Perbelanjaan. Dinas Tata Kota, Jakarta. Dinas Tenaga Kerja dan Sosial. 2003. Perencanaan Tenaga Kerja Daerah (PTKD) Kota Bogor. Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Bogor. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 1998. Keputusan Menteri Nomor 107/Mpp/Kep/2/1998 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pasar Modern. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2003. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta. Fazrian, Faisal. 2005. Peran Agroindustri Dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Peningkatan Pendapatan Masyarakat Kota Bogor [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor Hartati,Widi. 2006. Pergeseran Subsektor Perdagangan Eceran Dari Tradisional ke Modern di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor.
74
Jar. 2005. ”Pusat Perbelanjaan Di Era Otonomi Daerah”. [Republika Online]. http//www.republika.co.id [18 Maret 2005]. Marisan, Marthen. 2006. Analisis Inkonsistensi Tata Ruang dilihat dari Aspek Fisik Wilayah : Kasus Kabupaten Dan Kota Bogor [tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Mislan. 2003. Dampak Pembangunan Pusat Perdagangan Jodoh di Kota Batam Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Pedagang [tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Pontoh. 2006. “Pasar”. http//coen_husain_pontoh.blogspot.com/ pasar [03 November 2006]. Radnawati, Daisy. 2005. Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kota Depok Sebagai Kawasan Konservasi Air Menggunakan Data Satelit Multi Temporal [tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Rusli, Said. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES, Jakarta. Salvatore. 1998. Ekonomi Internasional. Haris Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Santoso, Suwito. 2005. ”Pusat Perbelanjaan Di Era Otonomi Daerah”. [Kompas Online]. http//www.kompas.co.id. [9 Juni 2005]. Simanjuntak, Payaman J. 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. LPFEUI, Jakarta. Walpole, Ronald E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke 6. Bambang Sumantri [penerjemah]. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wikipedia. 2006. ”Pasar”. [Wikipedia Online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar. [05 November 2006].
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Tenaga Kerja Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor No
Pusat Perbelanjaan
Jumlah Total TK
JumlahTK Luar Bogor
Jumlah TK Keluarga
<SMU SMU Diploma Sarjana 1 Ekalokasari Plaza 2 Pangrango Plaza 3 BTM 4 Botani Square Jumlah
892 423 1047 1445 3807
61 39 89 298 487
1 0 10 0 11
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
13 8 85 30 136
794 394 855 1278 3321
39 15 67 46 167
46 6 39 91 182
lainnya 0 0 1 0 1
Sumber : Data Primer (Hasil Olahan)
Lampiran 2. Elastisitas Tenaga Kerja Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor No.
Jumlah Pusat Perbelanjaan
1 2 3 4
1 2 3 4
Sumber : Data Primer (Hasil Olahan)
Jumlah Tenaga Kerja 892 1315 2362 3807
Persentase Perubahan Jumlah Pusat Perbelanjaan 100 50 33.33333
Persentase Perubahan Tenaga Kerja 47.42152 79.61977 61.17697
Elastisitas 0.474215 1.592395 1.835309
L
P
375 167 531 877 1950
517 256 516 568 1857
Lampiran 3. Koefisien Korelasi Rank Spearman No. 1 2 3 4
Jumlah Pusat Perbelanjaan (X) 1 2 3 4
Jumlah TK (Y) Perubahan X 892 1315 1 2362 0.5 3807 0.333333
x
y
di
di2
0.474215 1 0.796198 2 0.61177 3
1 3 2
0 -1 1
0 1 1 2
Perubahan Y
rs 0.8 1 1
Sumber : Data Primer (Hasil Olahan)
Lampiran 4. Data Penurunan Omset dan Tenaga Kerja Pedagang di Pasar Tradisional Lama Usaha No Nama Toko 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Wisma Collection Agam Indah 3 Dara Permata Hati Lily Collection Imanda Decorasi Nelly Collection RM Sederhana Panhegar PKL NN. Uda
≤5 Tahun
5-10 Tahun V V
Penurunan Omset >10 Tahun V
V V
Ya V V V
V V V
V V V
V V V V V
Tidak
V V V
Nilai (persen) 30 40 40 0 35 0 0 0 20 5 20
Penurunan TK Ya
Tidak V
V V
TK (orang) 1 2
V V
1 V V V
V
1 V
V
1
76
Lama Usaha No Nama Toko 12 Mulya 13 Putri 14 NN 15 Dedina 16 Uni Semi Counter 17 Agan Textile 18 Blok A No 140 19 Tari 20 Indah Collection 21 Murah Meriah 22 Mas 23 Riski Fajar 24 Riski Fajar 25 Fajar Baru 26 Riska Fashion 27 BIMA 28 Winda Fashion 29 Hajar Aswad 30 Hasan 31 Mira Salon 32 Sehat Jumlah Pedagang
≤5 Tahun V V
5-10 Tahun
Penurunan Omset >10 Tahun
Ya V
V V
V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V
V V V 7
9
Tidak
V V V 16
V 22
10
Nilai (persen) 20 0 0 20 10 10 20 0 30 5 0 20 40 30 20 0 40 5 0 0 10
Penurunan TK Ya
Tidak V V V
V
TK (orang)
1 V V
V
1 V V V V V
V
8
1 V V V V V V V V 14
Sumber : Data Primer (Hasil Olahan)
77