DAMPAK INDUSTRIALISASI PERTANIAN TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DAN KEMISKINAN PERDESAAN DI INDONESIA
DISERTASI
DWI HARYONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRACT DWI HARYONO. The Impact of Agricultural Industrialization to Agricutural Sector Performance and Rural Poverty in Indonesia (MANGARA TAMBUNAN as Chairman, RINA OKTAVIANI and HERMANTO SIREGAR as Members of the Advisory Committee). Agricultural industrialization can be aproached through supply side and demand side. From supply side, agricultural industrialization is interpreted through incremental productivity. This research is designed to measure the impact of productivity improvement of agricultural industry (agroindustry) on economic sector performance, macroeconomic, household income, and rural poverty. This research use a data base on Input-Output (I-O) Table and Social Accounting Matrix (SAM) of Indonesia 2003 developed by Central Bureau of Statistic. The main analysis used is recursive dynamic of Computable General Equilibrium (CGE) Model (CGE-AGRINDO Model) while poverty case is analyzed by using Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index. The policy simulation result shows that productivity improvement of agroindustry has strong affects on total output industry. If the productivity improvement of agroindustry is followed by productivity improvement of agriculture and financial institution, almost all sectors would increase in total output. In turn, the increase of total output will result in a decrease in output selling price, on the other hand it will increase labor absorbtion. The productivity improvement affects the macroeconomic performance which indicated by real GDP improvement. This condition also affects the increasing in inflation acceleration. The productivity improvement contributes to an impact on rural and urban household’s income. The household of agricultural labor on rural area receives the biggest benefit, on the contrary the househod of nonagricultural labor at upper level on urban area receives the smallest benefit. The productivity improvement has a positive impact on poverty alleviation in rural and urban household, indicated by a decreasing head-count index, poverty gap index, and poverty severity index. Considering the productivity improvement of agroindustry contributes to a positive impact on industrial sector performance, the study suggests that some stages are needed to push productivity improvement through labor productivity improvement, efficiency improvement of capital used, and other input. The productivity improvement of agroindustry should be followed by productivity improvement in related sectors (agricultural sector as a raw material supplier and financial institution as a support institution). If the steps can be implemented, the income improvement as a main subject of economic development can be achieved sooner. Considering the model used in this research is a CGE recursive dynamic, further research to build a CGE full dynamic model is needed. It also needs an update of support data, such as the parameters and elasticities resulted from the research and the other most recent empirical data. Key words: agroindustry, productivity, poverty, CGE Model
RINGKASAN DWI HARYONO. Dampak Industrialisasi Pertanian terhadap Kinerja Sektor Pertanian dan Kemiskinan Perdesaan di Indonesia (MANGARA TAMBUNAN sebagai Ketua, RINA OKTAVIANI dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Industrialisasi pertanian dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan dari sisi penawaran (supply) dan dari sisi permintaan (demand). Dari sisi penwaran, industrialisasi pertanian dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian (agroindustri) terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. Dampak yang sama juga dianalisis jika peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan. Data yang digunakan adalah Tabel Input-Output (I-O) dan Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia tahun 2003, serta data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002 yang disusun oleh Badan Pusat Statistik. Selain itu, juga diperlukan data makroekonomi dan sektoral serta parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian sebelumnya. Model Computable General Equilibrium (CGE) recursive dynamic digunakan sebagai alat analisis utama. Model CGE yang digunakan adalah Model Agroindustri
Indonesia
mengkombinasikan
(CGE-AGRINDO)
model
CGE
yang
ORANI-F,
diperoleh
INDOF,
dengan
cara
WAYANG,
dan
ORANIGRD. Model CGE-AGRINDO bersama-sama dengan data penunjang lainnya diolah dengan menggunakan program GEMPACK, sedangkan untuk menganalisis insiden kemiskinan digunakan Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index. Dalam penelitian ini dilakukan tiga simulasi kebijakan, yaitu: (1) peningkatan produktivitas agroindustri, (2) peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian, dan (3) peningkatan produktivitas agroindustri dan sektor pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas lembaga keuangan Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap jumlah output yang dihasilkan. Apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas
sektor pertanian dan lembaga keuangan, maka hampir seluruh sektor mengalami peningkatan jumlah output. Peningkatan produktivitas agroindustri berdampak pada penurunan harga output hanya di sektor agroindustri, sedangkan harga output di sektor lainnya justru mengalami peningkatan. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak terhadap penurunan harga output pada hampir seluruh sektor dan mempunyai dampak yang bervariasi dalam penyerapan tenaga kerja. Peningkatan penyerapan tenaga terdidik (skilled) lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled), sebaliknya penurunan penyerapan tenaga kerja terdidik lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro, yang ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan PDB riil. Namun demikian, peningkatan produktivitas agroindustri memicu peningkatan laju inflasi, kondisi sebaliknya akan terjadi apabila peningkatan
produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan
produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan. Peningkatan produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap redistribusi pendapatan dari kelompok rumahtangga golongan atas kepada kelompok rumahtangga golongan bawah, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian, maka pendapatan seluruh rumahtangga perdesaan meningkat, sedangkan pendapatan rumahtangga golongan atas di perkotaan akan menurun. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak negatif terhadap pendapatan rumahtangga golongan rendah, sebaliknya kelompok rumahtangga golongan atas mengalami peningkatan pendapatan. Peningkatan produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap pengurangan tingkat kemiskinan perdesaan, kondisi sebaliknya terjadi di perkotaan, kecuali pada kelompok rumahtangga golongan bawah. Kondisi serupa akan terjadi apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan
produktivitas
sektor
pertanian.
Peningkatan
produktivitas
agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak negatif terhadap tingkat kemiskinan rumahtangga pertanian dan iv
rumahtangga golongan rendah, sebaliknya kelompok rumahtangga nonpertanian dan rumahtangga golongan atas mendapat manfaat (benefit) yang lebih besar. Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa apabila hanya ditinjau dari aspek pengendalian laju inflasi, maka upaya peningkatan produktivitas agroindustri justru akan memberikan dampak negatif. Namun demikian, apabila dilihat dari dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, maka peningkatan produktivitas agroindustri yang diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian, merupakan pilihan yang strategis untuk dilakukan, mengingat manfaat terbesar dari upaya ini akan dinikmati oleh masyarakat golongan miskin di perdesaan tanpa merugikan masyarakat golongan atas di perkotaan. Mengingat model yang digunakan hanya bersifat recursive dynamic, maka diperlukan penelitian lanjutan untuk menghasilkan model ekonomi keseimbangan umum yang full dynamic. Selain itu juga perlu dilakukan pemutakhiran (update) data pendukung seperti nilai-nilai parameter dan elastisitas, yang bersumber dari hasil-hasil penelitian dan data empiris terbaru.
v
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya yang berjudul “DAMPAK INDUSTRIALISASI PERTANIAN TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DAN KEMISKINAN PERDESAAN DI INDONESIA” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjuk rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Nopember 2008
Dwi Haryono NRP. A161030051
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK INDUSTRIALISASI PERTANIAN TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DAN KEMISKINAN PERDESAAN DI INDONESIA
DWI HARYONO
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Disertasi
:
Dampak Industrialisasi Pertanian terhadap Kinerja Sektor Pertanian dan Kemiskinan Perdesaan di Indonesia
Nama Mahasiswa :
Dwi Haryono
Nomor Pokok
:
A161030051
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. Anggota
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 27 Oktober 2008
Tanggal Lulus:
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa’id, MA.Dev.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Desember 1961 di Sragen Jawa Tengah, merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari Bapak Slamet Siswosudarmo (Almarhum) dan Ibu Soetinah (Almarhumah). Penulis menikah dengan Ir. Ninik Satyaningwati pada tahun 1988 dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Shinta Nareswari (1989), Seto Brahmanto (1994), dan Bimo Husodo (1999). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Banaran I Sragen pada tahun 1975, pada tahun 1977 menamatkan pendidikan menengah pertama pada SMPN II Sragen, dan pada tahun 1981 menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN I Sragen. Melalui saringan masuk Proyek Perintis II tahun 1981, penulis meneruskan studi di Institut Pertanian Bogor. Gelar Sarjana Pertanian Program Studi Agribisnis diperoleh pada tahun 1985 dan pada tahun 1991 memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2003 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1987 penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Program Studi Ekonomi Pertanian/Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung sampai sekarang.
PRAKATA Puji dan Syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya disertasi yang berjudul “Dampak Industrialisasi Pertanian terhadap Kinerja Sektor Pertanian dan Kemiskinan Perdesaan di Indonesia” dapat diselesaikan. Judul ini dipilih dilatarbelakangi oleh jumlah penduduk dan angkatan kerja di perdesaan yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Di lain pihak luas lahan pertanian cenderung berkurang, sehingga mengakibatkan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi semakin tidak produktif. Oleh karena itu, industrialisasi pertanian merupakan pilihan yang sangat strategis untuk menciptakan lapangan kerja produktif guna menekan angka kemiskinan yang sekaligus mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian di perdesaan. Pada kesempatan ini diucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc., Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku komisi pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan terutama mengenai pemodelan, pengolahan data, penyajian dan konsistensi dalam penyusunan disertasi. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa’id, MA.Dev. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta para Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, khususnya pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, atas arahan, bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Lampung dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya angkatan 2003, yang senantiasa menjadi teman diskusi yang baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa penghuni Wisma Beldes Darmaga Bogor dan rekan-rekan alumni Sosek IPB tahun masuk 1982, yang telah memberikan bantuan, pengertian dan dorongan semangat untuk mempercepat penyelesaian studi. Terima kasih diucapkan terutama untuk isteriku Ir. Ninik Satyaningwati, ketiga anakku Shinta Nareswari, Seto Brahmanto dan Bimo Husodo, mertuaku Ibu Siti Aminah, serta seluruh keluarga di Lampung, Jakarta, Sragen, Solo dan Temanggung atas kesabaran, do’a, dorongan semangat, korbanan dan kasih sayangnya. Disadari sepenuhnya bahwa disertasi ini memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat. Amin.
Bogor, Nopember 2008 Dwi Haryono
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
xix
I. PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .....................................................................
9
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................
14
1.3.1. Tujuan Penelitian ..............................................................
14
1.3.2. Manfaat Penelitian ............................................................
14
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ..............................
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
..................................................................
18
2.1. Pembangunan Pertanian ..............................................................
18
2.2. Industrialisasi Pertanian ..............................................................
26
2.3. Kemiskinan dan Kemiskinan Perdesaan .....................................
35
2.3.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan .....................................
35
2.3.2. Kemiskinan Perdesaan .....................................................
44
2.4. Model Ekonomi Keseimbangan Umum .....................................
47
2.4.1. Properties Kondisi Keseimbangan Umum .......................
53
2.4.2. Keseimbangan Produksi ..................................................
54
2.4.3. Keseimbangan Konsumsi ................................................
57
2.4.4. Keseimbangan Simultan di Sektor Produksi dan Konsumsi .........................................................................
58
2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ....................................................
59
III. KERANGKA TEORI
.....................................................................
69
3.1. Model Pembangunan Dua Sektor ...............................................
69
3.2. Strategi Industrialisasi Pertanian ................................................
79
Halaman 3.2.1. Strategi Industrialisasi Substitusi Impor ..........................
81
3.2.2. Strategi Industrialisasi Promosi Ekspor ...........................
83
3.3. Agricultural-Demand-Led Industrialization ...............................
88
3.4. Dampak Peningkatan Produktivitas ............................................
90
3.5. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitan ................................
93
IV. METODE PENELITIAN ................................................................
96
4.1. Jenis dan Sumber Data ...............................................................
96
4.2. Metode Analisis .........................................................................
96
4.3. Struktur Model ...........................................................................
97
4.4. Elastisitas dan Parameter Lainnya .............................................
115
4.5. Agregasi Sektor Rumahtangga dan Input Lainnya ....................
116
4.6. Analisis Kemiskinan ..................................................................
117
4.7. Diagram Alur Penelitian ............................................................
123
4.8. Simulasi Kebijakan ....................................................................
125
V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL KESEIMBANGAN UMUM ...............................................................................................
130
5.1. Tabel Input Output Indonesia Tahun 2003 ................................
130
5.1.1. Struktur Input-Output .....................................................
131
5.1.2. Agregasi dan Disagregasi Sektor ....................................
133
5.1.3. Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi ................................
142
5.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ..................................................
147
5.3. Klasifikasi Rumahtangga .........................................................
150
5.4. Klasifikasi Tenaga Kerja ............................................................
151
5.5. Pendapatan Atas Lahan dan Modal ...........................................
155
5.6. Penyusunan Matriks-Matriks Pajak ...........................................
156
5.7. Elastisitas dan Parameter Lain ...................................................
159
5.8. Prosedur yang Digunakan Untuk Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Agroindustri ...............................
170
5.8.1. Membangun Data Dasar ..................................................
170
5.8.2. Membuat File Tablo .......................................................
175
xiii
Halaman 5.8.3. Agregasi Data Dasar .......................................................
175
5.8.4. Pengujian Keseimbangan Data Dasar .............................
175
VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN ...................................................
186
6.1. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral ......................................................................
186
6.2. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kinerja Makroekonomi .........................................................................
194
6.3. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Pendapatan Rumahtangga ...........................................................................
198
6.4. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kemiskinan ......
201
6.4.1. Insiden Kemiskinan .......................................................
204
6.4.2. Kedalaman Kemiskinan ................................................
209
6.4.3. Keparahan Kemiskinan ...............................................
212
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .......................
214
7.1. Kesimpulan ................................................................................
214
7.2. Implikasi Kebijakan ...................................................................
216
7.3. Saran Penelitian Lanjutan .........................................................
218
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
219
LAMPIRAN ....................................................................................
230
xiv
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Tenaga Kerja dan Nilai Output Sektor Pertanian dan Industri Pengolahan di Indonesia, Tahun 2000-2006 ........................................
2
2. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan ....................................
8
3. Nilai Besaran Shock Peningkatan Produktivitas Industri Pertanian ...
128
4. Nilai Besaran Shock Peningkatan Produktivitas Sektor Pertanian dan Lembaga Keuangan .....................................................................
128
5. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Kacang-Kacangan ...........
136
6. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Umbi-Umbian .................
137
7. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Perkebunan Lainnya ........
137
8. Share Untuk Disagregasi Sektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Makanan ..........................................................................
138
9. Share Untuk Disagregasi Sektor Industri Barang Karet dan Plastik ...
139
10. Agregasi Sektor dalam Penelitian (38 Sektor) berdasarkan Tabel I-O Tahun 2003 Klasifikasi 72 Sektor .......................................................
140
11. Indeks Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang Sektor Ekonomi yang Diteliti .................................................................................................
145
12. Tabel SNSE Secara Sederhana ............................................................
148
13. Pengelompokan Sektor Ekonomi yang Diteliti dari Tabel InputOutput dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Tahun 2003 ...................
149
14. Pengeluaran Kelompok Rumahtangga terhadap Sektor-Sektor Perekonomian Dalam Model KESEIMBANGAN UMUM-AGRINDO ..................................
152
15. Pembayaran Upah Tiap Sektor Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Tahun 2003 ....................................................................................................
154
16. Pendapatan Lahan dan Modal, Tahun 2003 ........................................
155
17. Penerimaan Perpajakan Pemerintah, Tahun 2003 ..............................
157
18. Parameter Elastisitas yang Digunakan dalam Model ..........................
161
Nomor
Halaman
19. Parameter Elastisitas Pengeluaran Rumahtangga yang Digunakan dalam Model ........................................................................................
164
20. Nilai PDB Indonesia Dari Sisi Pengeluaran dan Sisi Pendapatan, Tahun 2003 .........................................................................................
178
21. Nilai Penjualan Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2003
179
22. Biaya Produksi Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2003
181
23. Komponen Data Dasar 38 Sektor ........................................................
183
24. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Jumlah Output Sektoral .......................................................................
187
25. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Harga Output Sektoral ........................................................................
189
26. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral .....................................................
191
27. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Tingkat Upah Tenaga Kerja ....................................................................................................
192
28. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Beberapa Variabel Makroekonomi .....................................................
196
29. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Pendapatan Riil Rumahtangga ............................................................
199
30. Beberapa Kriteria Garis Kemiskinan ..................................................
203
31. Karakteristik Pendapatan Rumahtangga Dirinci Menurut Kelompok Rumahtangga .....................................................................
204
32. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Insiden Kemiskinan .............................................................................
206
33. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Kedalaman Kemiskinan ......................................................................
210
34. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Keparahan Kemiskinan ........................................................................
213
xvi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Pergeseran Kurva Kemungkinan Produksi ..........................................
9
2. Pergeseran Kurva Penawaran dengan Kurva Permintaan yang Tidak Elastis .................................. ................................................................
10
3. Sistem Agribisnis ..................................................................................
31
4. Keterkaitan antara Sektor Pertanian dan Sektor Industri .....................
34
5. Rasio Gini dan Kurva Lorenz ..............................................................
42
6. Poverty Gaps dan FGT Indeks ............................................................
43
7. Keseimbangan Ekonomi Makro dalam Model Keseimbangan Umum
53
8. Diagram Kotak Edgeworth pada Kasus Dua Komoditi dan Dua Faktor Produksi ...................................................................................
54
9. Production Possibility Curve ..............................................................
55
10. Keseimbangan Simultan Sektor Produksi dan Konsumsi ...................
58
11. Model Dua Sektor Lewis .....................................................................
72
12. Model Dua Sektor Fei-Ranis ...............................................................
76
13. Perubahan Struktur Ekonomi ...............................................................
80
14. Argumen Industri Muda ......................................................................
82
15. Keuntungan Perdagangan Melalui Konsep Keunggulan Komparatif .
86
16. Garis Perubahan Teknologi...................................................................
92
17. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ........................................
94
18. Struktur Produksi .................................................................................
99
19. Struktur Pembentukan Investasi dan Barang Modal ...........................
106
20. Spesifikasi Konsumsi Rumahtangga ...................................................
107
21. Diagram Alur Penelitian ......................................................................
124
22. Data Input-Output pada Model Keseimbangan Umum .......................
132
Nomor
Halaman
23. Perhitungan Nilai Stok Kapital ............................................................
166
24. Trend Investasi dan Suku Bunga di Indonesia, Tahun 1993-2002 ......
169
25. Tahap I Dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Agroindustri Indonesia ........................................................................
174
26. Tahap II Dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Agroindustri Indonesia ............................................................
176
27. Tahap III Dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Agroindustri Indonesia ............................................................
177
28. Closure Makroekonomi yang Digunakan Dalam Penelitian ...............
195
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Pangsa Input Antara Sektor Ekonomi yang Diteliti ..............................
231
2. Input File Tablo dalam Penelitian .........................................................
237
3. Closure Penelitian ..................................................................................
270
4. Dampak Peningkatan Produktivitas Industri Pertanian terhadap Harga Output di Sektor Lain ............................................................................
271
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting dalam
perekonomian Indonesia. Hal ini dapat diukur dari pangsa sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, pengentasan kemiskinan, perolehan devisa melalui ekspor non migas, penciptaan ketahanan pangan nasional dan penciptaan kondisi yang kondusif bagi pembangunan sektor lain. Selain itu, sektor pertanian juga berperan sebagai penyedia bahan baku dan pasar yang potensial bagi sektor industri. Pada saat perekonomian nasional dilanda krisis, ternyata sektor pertanian terbukti mampu menjadi penyangga ekonomi nasional. Pengalaman krisis multidimensi
tahun
1997-1998
memberikan
pelajaran
berharga
betapa
strategisnya sektor pertanian sebagai jangkar, peredam gejolak, dan penyelamat bagi sistem perekonomian nasional. Sementara itu, sektor-sektor lainnya mengalami keterpurukan sebagai akibat krisis ekonomi tersebut, terutama industri yang banyak komponen impornya (foot loose industries). Sepanjang tahun 2000-2006, lebih dari 40 juta jiwa atau sekitar 44 persen angkatan kerja di Indonesia menggantungkan pekerjaan pada sektor pertanian. Namun demikian, apabila dilihat dari sumbangannya terhadap PDB pada periode yang sama, ternyata sektor pertanian hanya mampu memberikan kontribusi sekitar 15 persen (Tabel 1). Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian masih relatif rendah. Pada gilirannya tingkat kesejahteraan
2 rumahtangga yang menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian juga menjadi relatif lebih rendah. Sementara itu, peran sektor industri terhadap perekonomian nasional menunjukkan gejala yang cukup menggembirakan. Menurut Oktaviani dan Sahara (2005), sektor industri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu agroindustri dan nonagroindustri. Secara umum definisi agroindustri adalah industri yang bahan bakunya berasal dari hasil pertanian. Sementara itu, menurut Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI), yang termasuk dalam agroindustri meliputi kegiatan yang mengolah bahan dan kegiatan yang menyediakan sarana produksi pertanian (misalnya benih, pupuk dan pestisida). Tabel 1. Tenaga Kerja dan Nilai Output Sektor Pertanian dan Industri Pengolahan di Indonesia, Tahun 2000-2006
Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tenaga Kerja (Juta Jiwa)
PDBa/ (Milyar Rupiah)
Pertanian
Industri
Pertanian
Agroindustri
Non Agroindustri
Total Industrib/
40.5 (45.1) 39.7 (43.8) 40.6 (44.3) 42.0 (46.2) 40.6 (43.3) 41.8 (44.3) 40.1 (42.1)
11.7 (13.0) 12.1 (13.3) 12.1 (13.2) 10.9 (12.0) 11.1 (11.8) 11.7 (12.3) 11.9 (12.5)
216 831 (15.60) 225 686 (15.64) 232 973 (15.47) 240 387 (15.24) 247 164 (14.92) 253 726 (14.49) 261 296 (14.15)
240 677 (17.32) 242 783 (16.83) 247 686 (16.45) 260 507 (16.52) 269 949 (16.30) 279 049 (15.94) 291 505 (15.79)
90 641 (6.52) 104 646 (7.25) 119 523 (7.93) 181 248 (11.49) 200 003 (12.07) 212 373 (12.13) 222 687 (12.06)
331 318 (23.84) 347 429 (24.08) 367 209 (24.38) 441 755 (28.01) 469 952 (28.37) 491 422 (28.07) 514 192 (27.84)
Sumber: BPS (2007). Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase. a/ PDB dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000. b/ Industri yang dimaksud disini merupakan industri non migas Pada Tabel 1, nampak bahwa apabila dikaji dari kontribusinya terhadap PDB Indonesia selama tahun 2000-2006, maka sektor industri menyumbang lebih
3 dari 24 persen, dimana lebih dari separuhnya merupakan sumbangan subsektor agroindustri. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, sektor industri mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 12 juta jiwa selama tahun 2000-2002, walaupun pada tahun 2003 sempat mengalami penurunan menjadi hanya 10.9 juta jiwa dan meningkat kembali pada tahun-tahun berikutnya. Transformasi struktur perekonomian dari dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri menghendaki adanya kaitan yang kuat antara sektor pertanian dan sektor industri. Melalui keterkaitan tersebut, diharapkan nilai tambah komoditas pertanian dan penyerapan tenaga kerja menjadi semakin meningkat. Selain itu, melalui keterkaitan tersebut proses industrialisasi dapat berjalan mulus karena industri yang dikembangkan menggunakan bahan baku yang tersedia. Dewasa ini, dan terlebih lagi di masa yang akan datang, orientasi sektor pertanian telah berubah dari orientasi produksi kepada orientasi pasar. Dengan berlangsungnya perubahan preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka motor penggerak sektor pertanian harus berubah dari usahatani kepada industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri). Menurut Departemen Pertanian (2002), untuk mengembangkan sektor pertanian yang modern dan berdaya saing, maka agroindustri harus menjadi lokomotif dan sekaligus penentu kegiatan subsektor usahatani dan selanjutnya akan menentukan subsektor agribisnis hulu. Menurut Departemen Pertanian (2005a), paling sedikit ada lima alasan utama mengapa agroindustri penting untuk menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional masa depan, yakni karena hal-hal berikut:
4 1. Industri pengolahan mampu mentransformasikan keunggulan komparatif menjadi keunggulan bersaing (kompetitif), yang pada akhirnya akan memperkuat daya saing produk agribisnis Indonesia. 2. Produknya memiliki nilai tambah dan pangsa pasar yang besar, sehingga kemajuan yang dicapai dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional secara keseluruhan. 3. Memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir (forward and backward linkages), sehingga mampu menarik kemajuan sektor-sektor lainnya. 4. Memiliki basis bahan baku lokal (keunggulan komparatif) yang dapat diperbaharui sehingga terjamin sustainabilitasnya. 5. Memiliki kemampuan untuk mentransformasikan struktur ekonomi nasional dari pertanian ke industri dengan agroindustri sebagai motor penggeraknya. Berdasarkan grand strategy pengembangan agroindustri yang telah disusun oleh Departemen Pertanian (2005b), program pengembangan agroindustri diarahkan untuk hal-hal berikut: 1. Mengembangkan cluster industri, yakni industri pengolahan yang terintegrasi dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya. 2. Mengembangkan industri pengolahan skala rumahtangga dan kecil yang didukung oleh industri pengolahan skala menengah dan besar. 3. Mengembangkan industri pengolahan yang mempunyai daya saing tinggi untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Adapun prioritas utama pengembangan agroindustri difokuskan pada sinergi antara keunggulan komparatif sumberdaya dengan orientasi pasar, yakni: (1) industri pengolahan hasil perkebunan seperti industri pengolahan minyak sawit dan kelapa, industri kakao olahan, industri gula, industri biji mete olahan, industri
5 kopi bubuk/instan, dan industri teh olahan, (2) industri pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura seperti industri buah dan sayur dalam kaleng, industri minuman sari buah, industri tepung tapioka dan derivatnya, industri pakan ternak, dan industri makanan ringan, (3) industri pengolahan hasil peternakan seperti industri susu olahan, industri daging dalam kaleng, dan industri penyamakan kulit, serta (4) industri pengolahan hasil ikutan/samping seperti industri agrocomposting, industri pakan ternak, industri coco fiber dan coco peat, industri karbon aktif, industri minuman dari buah jambu mete, dan lain-lain. Namun demikian, selama ini proses industrialisasi di Indonesia berjalan masih sangat lambat. Hal ini terlihat antara lain dari semakin senjangnya ekonomi desa-kota. Dualisme ekonomi desa-kota telah mengakibatkan kota menjadi pusat segala-galanya dan ekonomi perdesaan hanyalah pendukung ekonomi perkotaan. Dalam jangka panjang apabila dualisme ekonomi desa-kota tidak dapat diatasi, maka dapat dipastikan akan muncul masalah lain yang lebih rumit, seperti urbanisasi besar-besaran, rusaknya kultur asli bangsa seperti gotong royong dan kekeluargaan,
kriminalitas
yang
meningkat,
serta
semakin
melebarnya
kesenjangan pendapatan dalam masyarakat. Masyarakat kaya pemilik modal di perkotaan akan semakin kaya, sementara itu penduduk miskin di perdesaan semakin bertambah besar (Departemen Pertanian, 2005a). Pengembangan agroindustri dapat menjadi pilihan yang strategis dalam menanggulangi permasalahan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang tinggi dari sektor agroindustri dalam hal perluasan kesempatan kerja. Pengembangan agroindustri yang berbasis pada masyarakat perdesaan merupakan sektor yang sesuai untuk menampung
6 banyak tenaga kerja dan menjamin perluasan berusaha, sehingga akan efektif dalam
upaya
meningkatkan
perekonomian
masyarakat
perdesaan.
Berkembangnya agroindustri juga akan meningkatkan penerimaan devisa dan mendorong terjadinya keseimbangan pendapatan antara sektor pertanian dan nonpertanian. Dengan demikian, kebijakan pembangunan agroindustri diharapkan mampu menggerakkan perekonomian masyarakat di wilayah produksi pertanian dan mendorong penawaran hasil-hasil pertanian untuk kebutuhan agroindustri. Dalam kaitannya
dengan
peran
agroindustri
dalam
menurunkan
kemiskinan perdesaan, Gandhi et al. (2001) melakukan studi tentang pembangunan agroindustri untuk petani kecil dan perdesaan di India. Hasil studi menunjukkan bahwa sektor agroindustri mampu memberikan sumbangan yang besar terhadap kesempatan kerja. Peran sektor agroindustri dalam mendorong kegiatan pembangunan dan menurunkan kemiskinan perdesaan dicerminkan oleh kemampuannya dalam peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja perdesaan, khususnya bagi kelompok petani berlahan sempit. Stanton (2000) melakukan studi tentang peran agroindustri dalam peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan di Mexico. Hasil studi menunjukkan bahwa perusahaan agroindustri pada tingkat lokal mampu menghasilkan nilai tambah dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan. Sementara itu, Holloway et al. (2000) melakukan studi tentang industrialisasi pertanian melalui inovasi biaya transaksi kelembagaan, koperasi dan pengembangan pasar susu di pegunungan Timur Afrika. Hasil studi menunjukkan bahwa kegiatan produksi susu untuk pasar lokal mampu menciptakan pendapatan yang tinggi. Salah satu aspek penting dari keberhasilan
7 industri pertanian adalah peran lembaga pemasaran bersama yang mampu menekan biaya transaksi. Beberapa studi di atas relevan dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2000, sebagian besar (60 persen) penduduk Indonesia masih bertempat tinggal di kawasan permukiman perdesaan, yang dicirikan antara lain oleh rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja dan masih tingginya tingkat kemiskinan. Kemiskinan merupakan fenomena yang terjadi hampir di semua negara sedang berkembang. Kemiskinan muncul karena ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Kondisi ini menyebabkan menurunnya kualitas sumberdaya manusia, sehingga produktivitas dan pendapatan yang diperolehnya rendah. Lingkaran kemiskinan terus terjadi, karena dengan penghasilan yang rendah tidak mampu mengakses sarana pendidikan, kesehatan dan nutrisi secara baik, sehingga menyebabkan kualitas SDM dari aspek intelektual dan fisik rendah, akibatnya produktivitasnya rendah. Selain itu, rendahnya kualitas SDM menyebabkan kelompok ini tersisih dari persaingan ekonomi, politik, sosial budaya dan psikologi, sehingga semakin tidak mampu mendapatkan kesempatan yang baik dalam sistem sosial ekonomi masyarakat (Sumedi dan Supadi, 2004). Walaupun pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini secara signifikan telah berhasil mengurangi jumlah dan proporsi penduduk miskin di Indonesia, namun terpaan krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi menyebabkan keterpurukan ekonomi yang kembali mencuatkan jumlah dan proporsi penduduk miskin, terutama di perdesaan. Fenomena di atas secara jelas disajikan pada Tabel 2.
8 Tabel 2. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan
Tahun 1996a/ 1998b/ 1999c/ 2000c/ 2001c/ 2002c/ 2003c/ 2004c/ 2005c/ 2006c/
Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) Kota
Desa
42 032 96 959 92 409 91 632 110 011 130 499 138 803 143 455 150.799 174.290
31 366 72 780 74 272 73 648 80 382 96 512 105 888 108 725 117.259 130.584
Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Jumlah (juta) Persentase (%) Kota + Kota + Kota Desa Kota Desa Desa Desa 9.6 24.9 34.5 13.6 19.9 17.7 17.6 31.9 49.5 21.9 25.7 24.2 15.7 32.7 48.4 19.5 26.1 23.5 12.3 26.4 38.7 14.6 22.4 19.1 8.6 29.3 37.9 9.8 24.8 18.4 13.3 25.1 38.4 14.5 21.1 18.2 12.2 25.1 37.3 13.6 20.2 17.4 11.4 24.8 36.1 12.1 20.1 16.7 12.4 22.7 35.1 11.7 20.0 16.0 14.5 24.8 30.3 13.5 21.8 17.8
Sumber: BPS (2007) Keterangan:
a/
Menggunakan garis kemiskinan menurut definisi BPS tahun 1998. Menggunakan data Susenas Desember 1998 (khusus). c/ Menggunakan data Susenas Reguler. b/
Pada Tabel 2, nampak bahwa dari 30.3 juta penduduk miskin (17.8 persen dari total penduduk), lebih dari 24 juta orang miskin tersebut berada di daerah perdesaan, yang umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa di satu sisi sektor pertanian memiliki potensi ekonomi dan sumberdaya yang melimpah, namun di lain pihak petani yang merupakan konstituen terbesar masih terjerat kemiskinan. Dengan penduduk dan angkatan kerja perdesaan yang terus bertambah, sementara luas lahan pertanian cenderung berkurang, maka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi semakin tidak produktif. Oleh karena itu, industrialisasi pertanian merupakan pilihan yang strategis untuk menciptakan lapangan kerja produktif guna menekan angka kemiskinan yang sekaligus mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian di perdesaan. Berkenaan dengan hal ini, maka perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan.
9
1.2.
Perumusan Masalah Proses industrialisasi pertanian di Indonesia telah dilakukan semenjak
lama, yang kemudian mendapat penekanan pada tahun 1970-an yang dikenal dalam pembangunan pertanian melalui ”revolusi hijau” untuk pangan padi dan ekspansi tanaman perkebunan berskala kecil dan menengah. Proses industrialisasi telah memperkenalkan keragaman jenis teknologi mulai dari bibit unggul, pengolahan hasil pertanian, teknologi pasca panen, pergudangan, alat pertanian, dan sebagainya. Semua itu telah merubah kinerja sektor pertanian, seperti penambahan jumlah output yang dihasilkan. Peningkatan jumlah output yang dihasilkan oleh sektor pertanian tersebut dimungkinkan karena adanya introduksi teknologi di sektor yang bersangkutan. Secara agregat, dampak perubahan teknologi digambarkan sebagai faktor penggeser Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) ke kanan, yang secara grafis dapat dilihat pada Gambar 1. Komoditas Pertanian Tanaman Pangan (Q1)
KKPt2 KKPt1 0
Komoditas Pertanian Non Pangan (Q2)
Gambar 1. Pergeseran Kurva Kemungkinan Produksi
10 Pada Gambar 1, nampak bahwa dengan adanya perubahan teknologi di sektor pertanian akan menggeser KKP ke kanan dari KKPt1 ke KKPt2. Hal ini menunjukkan bahwa dengan sumberdaya yang ada, maka akan diperoleh jumlah output sektor pertanian, baik komoditas pertanian tanaman pangan (Q1) maupun komoditas pertanian non pangan (Q2), yang lebih besar. Dengan terjadinya peningkatan produksi komoditas pertanian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, diharapkan pendapatan petani dapat ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan pendekatan pembangunan pertanian yang selama ini dilakukan oleh pemerintah yaitu peningkatan produksi komoditas pertanian, yang ditempuh melalui empat usaha pokok (catur usaha) yaitu intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi. Namun demikian, mengingat permintaan komoditas pertanian yang bersifat tidak elastis, maka peningkatan produksi komoditas pertanian justru akan menurunkan penerimaan (revenue) yang diterima oleh petani. Secara grafis, fenomena tersebut secara jelas disajikan pada Gambar 2.
P
S1 S2 A
P1 B P2 D
0
Q1 Q2
Q
Gambar 2. Pergeseran Kurva Penawaran dengan Kurva Permintaan yang Tidak Elastis
11 Pada Gambar 2, nampak bahwa penerimaan mula-mula sebesar segiempat OP1AQ1. Pergeseran kurva penawaran (S) dari S1 ke S2 (dengan kurva permintaan D yang inelastis), maka penerimaan petani menjadi sebesar segiempat OP2BQ2 yang lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan semula (OP2BQ2 < OP1AQ1). Dengan penerimaan yang relatif lebih rendah di satu pihak, di pihak lain biaya produksi usahatani yang semakin meningkat atau setidaknya tidak berubah, maka pendapatan petani justru akan mengalami penurunan. Secara empiris, hal tersebut di atas ditunjukkan oleh hasil penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian akan menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara 0.28 persen (untuk komoditas hasil kebun lain) sampai 10.08 persen (untuk komoditas tebu). Lebih lanjut ditemukan bahwa kenaikan produktivitas pertanian juga akan menurunkan pendapatan rumahtangga perdesaan berkisar antara 2.10 persen (untuk rumahtangga berpendapatan tinggi di sektor nonpertanian di perdesaan) sampai 3.10 persen (untuk rumahtangga petani pemilik lahan > 1.0 hektar). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut di atas adalah dengan peningkatan kegiatan-kegiatan industri pengolahan hasil pertanian (industrialisasi pertanian). Melalui industrialisasi pertanian diharapkan selain mampu meningkatkan nilai tambah (value added) juga akan meningkatkan permintaan terhadap komoditas pertanian sebagai bahan baku industri pengolahan hasil pertanian. Peningkatan produksi komoditas pertanian yang diimbangi oleh peningkatan permintaannya, diharapkan akan mampu meningkatkan penerimaan petani, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
12 Masalah lain yang dihadapi dalam pembangunan pertanian adalah belum terpadunya pengelolaan pertanian sebagai suatu sistem agribisnis secara utuh, mulai dari subsistem sarana produksi, usahatani, pengolahan hasil, sampai dengan subsistem pemasaran, serta subsistem lembaga penunjang. Dampak dari kondisi ini adalah tingkat kesejahteraan petani dari waktu ke waktu tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Padahal tujuan pembangunan pertanian pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satu tolok ukur untuk mengukur dinamika kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Hasil penelitian Siregar (2003) menunjukkan bahwa secara agregat NTP mempunyai tendensi (trend) yang menurun (negatif) yaitu sebesar –0.68 persen per tahun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara riil tingkat kesejahteraan petani dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan. Hal ini selaras dengan data yang dipublikasikan oleh BPS (2007) yang menunjukkan bahwa pada tahun 2006 dari total penduduk miskin di Indonesia yang berjumlah 30.3 juta jiwa, sebanyak 81.85 persen (24.8 juta jiwa) bermukim di kawasan perdesaan, yang sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai petani. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan utama penelitian ini adalah sejauh mana dampak industrialisasi pertanian, khususnya dampak kemajuan teknologi yang ditandai oleh peningkatan produktivitas industri pertanian, terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan belum banyak dilakukan kajian. Selama ini alat analisis yang digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut masih bersifat parsial, seperti yang dilakukan oleh Susilowati (2007) dan Justianto (2005) yang menggunakan pendekatan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi
13 (SNSE). Demikian juga halnya dengan Yudhoyono (2004), Herjanto (2003) dan Asnawi (2005) yang menggunakan pendekatan model makroekonometrika. Padahal permasalahan tersebut bersifat multi sektor yang akan membawa implikasi yang cukup luas, tidak hanya pada sektor industri pertanian, tetapi juga pada sektor-sektor perekonomian lainnya, terutama pada sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan. Oleh karena itu, pendekatan yang paling sesuai adalah dengan model ekonomi keseimbangan umum atau Computable General Equilibrium (CGE) . Keunggulan model CGE dibandingkan dengan model keseimbangan parsial adalah bahwa model CGE sudah memasukkan semua transaksi antar pelaku-pelaku ekonomi secara keseluruhan, baik di pasar faktor produksi maupun di pasar komoditas. Dengan demikian dampak dari suatu kebijakan akan dapat dianalisis pengaruhnya secara kuantitatif terhadap kinerja ekonomi, baik secara makro maupun sektoral. Dibandingkan
dengan
model
SNSE,
model
CGE
selain
sudah
memasukkan persamaan nonlinier, juga sudah memasukkan harga sebagai variabel endogen. Selain itu, dalam model CGE juga sudah memasukkan kemungkinan substitusi antar faktor produksi, sehingga jika terjadi perubahan harga relatif suatu faktor produksi, maka produsen merubah komposisi penggunaan faktor produksi ke arah faktor produksi yang harganya relatif lebih murah. Sementara itu, pada model SNSE sistem persamaan yang digunakan adalah persamaan linier dengan anggapan model Leontief, substituasi antar faktor tidak dimungkinkan, dan harga merupakan variabel eksogen. Perbedaan yang cukup mendasar lain adalah pada model SNSE diasumsikan penawaran komoditas dan faktor produksi elastis sempurna, sedangkan pada model CGE diasumsikan
14 adanya pembatasan supply. Dibandingkan dengan model makroekonometrika bahwa dengan model CGE hubungan antara makroekonomi dan mikroekonomi dapat diketahui, sementara itu pada model makroekonometrika bahwa analisis dan dampak dilakukan di tingkat makroekonomi saja.
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. 2. Mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. 3. Mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian, sektor pertanian dan sektor lembaga keuangan terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan.
1.3.2. Manfaat Penelitian Penelitian terapan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya informasi atau pengetahuan dan menyediakan analisis yang mendalam mengenai dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi
15 makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. Hal ini karena selama ini belum terdapat kajian industrialisasi pertanian yang dikaitkan dengan kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan secara mendalam, dengan mengagregasikan sektor-sektor dalam perekonomian dan rumahtangga. Selain itu, model yang dibentuk dalam penelitian ini adalah model CGE recursive dynamic yang belum banyak diaplikasikan untuk kasus Indonesia. Secara khusus manfaat penelitian ini adalah diperolehnya sebuah model CGE yang recursive dynamic dengan data dasar model menggunakan data dari tabel Input Output (I-O) dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia. Selain itu, model ini juga menggunakan data makroekonomi dan parameter terbaru yang mencerminkan kondisi perekonomian Indonesia pada masa kini dan tertangkapnya dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan.
1.4.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam lingkup nasional (Indonesia) dengan
mengkaji dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi
makro,
pendapatan
rumahtangga
dan
kemiskinan
perdesaan.
Industrialisasi pertanian yang dimaksud didekati dari sisi supply yaitu peningkatan produktivitas, baik produktivitas sektor industri pertanian maupun produktivitas sektor pertanian (sebagai pemasok bahan baku) dan produktivitas sektor lembaga keuangan (sebagai lembaga penunjang). Dampak terhadap kinerja ekonomi sektoral mencakup perubahan jumlah output, harga output dan penyerapan tenaga
16 kerja. Adapun dampak terhadap kinerja ekonomi makro meliputi pertumbuhan GDP riil, konsumsi rumahtangga, investasi, ekspor, impor, neraca perdagangan dan inflasi. Model CGE yang digunakan adalah model CGE recursive dynamic, yang merupakan kombinasi dari model CGE ORANI-F (Horridge et al., 1993), INDOF (Oktaviani, 2000), WAYANG (Wittwer, 1999), dan ORANIGRD (Horridge, 2002). Simulasi kebijakan dilakukan untuk jangka waktu selama 10 tahun yaitu tahun 2003-2013. Sektor industri pertanian yang dicakup dalam penelitian ini dibatasi pada 10 jenis industri, yaitu: (1) industri pengolahan hasil peternakan, (2) industri pengolahan hasil perikanan, (3) industri minyak dan lemak, (4) beras (industri penggilingan padi), (5) industri tepung segala jenis, (6) industri gula, (7) industri rokok, (8) industri bambu, kayu dan rotan, (9) industri pupuk dan pestisida, serta (10) industri pengolahan karet. Pemilihan sektor industri pertanian ini didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, agroindustri yang tercakup kedalam 10 industri prioritas pembangunan industri nasional seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Kesepuluh industri prioritas ini selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh Departemen Perindustrian sebagai kebijakan nasional pembangunan industri (Departemen Perindustrian, 2005). Kedua, agroindustri yang berbahan baku sektor pertanian terpilih. Ketiga, agroindustri yang mempunyai prospek untuk dikembangkan di masa datang, berdasarkan sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), nilai ekspor dan penyerapan angkatan kerja. Keterbatasan penelitian ini adalah model yang digunakan tidak memasukkan blok mobilitas lahan (land mobility). Selain itu, terdapat beberapa
17 parameter yang diadopsi dari studi-studi sebelumnya untuk negara lain, karena parameter-parameter tersebut di Indonesia sebagai negara berkembang tidak tersedia.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pembangunan Pertanian Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses
perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik,
budaya,
lingkungan,
maupun
melalui
perbaikan
(improvement),
pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008). Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana dan gamblang tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, dan (5) tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu.
Adapun syarat
pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan oleh Mosher. Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana dimulai sejak Repelita I (1 April 1969), yaitu pada masa pemerintahan Orde Baru, yang tertuang dalam strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP
19 II (1994-2019).
Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima
serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut: 1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian. 2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku. 3. Repelita III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi. 4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin. 5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV. Menurut Suhendra (2004) di banyak negara sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Para perancang pembangunan Indonesia pada awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari benar hal tersebut, sehingga pembangunan jangka panjang dirancang secara bertahap. Pada tahap pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri penghasil sarana produksi pertanian. Pada tahap kedua, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara bertahap dialihkan pada pembangunan industri mesin dan logam.
Rancangan pembangunan seperti
demikian, diharapkan dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia yang serasi dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal dan eksternal. Pada saat Indonesia memulai proses pembangunan secara terencana pada tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
20 mencapai lebih dari 40 persen, sementara itu serapan tenaga kerja pada sektor pertanian mencapai lebih dari 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, strategi dan kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. Kebijakan untuk menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi sesuai dengan rekomendasi Rostow dalam rangka persiapan
tinggal landas (Simatupang dan Syafa’at, 2000).
Lebih lanjut
dinyatakan bahwa revolusi pertanian merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan upaya menciptakan prakondisi tinggal landas. Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) sebagai berikut: (1) dengan mensuplai makanan pokok dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yang berkembang, (2) dengan menyediakan surplus yang dapat diinvestasikan dari tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor lain yang berkembang, (3) dengan membeli barang konsumsi dari sektor lain, sehingga akan meningkatkan permintaan dari penduduk perdesaan untuk produk dari sektor yang berkembang, dan (4) dengan menghapuskan kendala devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa melalui substitusi impor. Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru telah membawa beberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yang relatif murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah.
Kedua, sektor pertanian telah meningkatkan
penerimaan devisa di satu pihak dan penghematan devisa di lain pihak, sehingga
21 memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada tingkat tertentu sektor pertanian telah mampu menyediakan bahan-bahan baku industri sehingga melahirkan agroindustri. Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru tersebut mengandung sejumlah paradoks.
Pertama, peningkatan
produksi pertanian telah menimbulkan kecenderungan menurunnya harga produkproduk pertanian yang berakibat negatif pada pendapatan petani, seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara 0.28-10.08 persen dan akan menurunkan pendapatan rumahtangga perdesaan berkisar antara 2.10-3.10 persen. Kedua, peningkatan produktivitas dan produksi tidak selalu dibarengi atau diikuti dengan meningkatnya pendapatan petani, bahkan pendapatan petani cenderung menurun, seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Siregar (2003) bahwa secara riil tingkat kesejahteraan petani dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh nilai tukar petani (NTP) yang mempunyai tendensi (trend) yang menurun (negatif) sebesar – 0.68 persen per tahun.
Di masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor
pertanian hanya bisa berkembang dalam kebijaksanaan yang protektif, memerlukan subsidi dan mendapat intervensi yang sangat mendalam, sehingga sektor pertanian dianggap sebagai most-heavily regulated. Menurut Arifin (2004) tidak berkembangnya sektor pertanian berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri sejak pertengahan tahun 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menganggap pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya.
Asumsi ini membuat pemerintah mengacuhkan
22 pertanian dalam strategi pembangunannya. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh paradigma pembangunan saat itu yang menekankan industrialisasi yang tidak berbasis pada sektor pertanian.
Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada
sektor industri, yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan proteksi yang sistematis. Akibatnya, proteksi besar-besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada tingkat petani. Menurut Sudaryanto et al. (2005), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan dengan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan pertanian berdasarkan pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibandingkan dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun demikian, pendekatan komoditas ini mempunyai beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) tidak memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan panduan horizontal, vertikal dan spatial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang memperhatikan aspirasi dan pendapatan petani. Oleh karena itu, pengembangan komoditas seringkali sangat tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani. Menyadari akan hal tersebut di atas, maka pendekatan pembangunan pertanian harus diubah dari pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan dari orientasi peningkatan produksi menjadi orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
23 Memasuki era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan pijakan utama bagi kelangsungan hidup usahatani.
Sehubungan dengan hal
tersebut, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian. Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian.
Kondisi tersebut
memerlukan penyesuaian terhadap arah dan kebijakan serta pelaksanaan program pembangunan pertanian.
Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian
harus lebih memfokuskan pada peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. Sejak awal tahun 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian dalam struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi dan kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan pada sektor industri dan jasa, bahkan yang berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital.
Namun demikian, ketika krisis ekonomi terjadi,
agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yang menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat, maka Indonesia kembali menjadikan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi (Arifin, 2005).
24 Peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor pertanian pada saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian dalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005). Secara
lebih
rinci,
beberapa
pertimbangan
tentang
pentingnya
mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) sebagai berikut: 1. Sektor pertanian masih tetap sebagai penyerap tenaga kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi masalah pengangguran. 2. Sektor pertanian merupakan penopang utama perekonomian desa dimana sebagian besar penduduk berada. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian paling tepat untuk mendorong perekonomian desa dalam rangka meningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan. 3. Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok penduduk, sehingga dengan akselerasi pembangunan pertanian maka penyediaan pangan dapat terjamin. Langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan pangan pada pasar dunia. 4. Harga produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen, sehingga dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi.
25 Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. 5. Akselerasi
pembangunan
pertanian
sangatlah
penting
dalam
rangka
mendorong ekspor dan mengurangi impor produk pertanian, sehingga dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran. 6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu meningkatkan kinerja sektor industri. Hal ini karena terdapat keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi. Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan program pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui hal-hal sebagai berikut: 1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor. 2. Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru. 3. Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja sektor pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Sejalan dengan hal ini, Sudaryanto dan Munif (2005) menyatakan bahwa revitalisasi pertanian dimaksudkan untuk menggalang
26 komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian tidak hanya sekedar penghasil komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian harus dilihat sebagai sektor yang multi-fungsi dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program, yaitu: (1) program peningkatan ketahanan pangan, (2) program pengembangan agribisnis, dan (3) program peningkatan kesejahteraan petani. Operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup aman dan halal di setiap daerah setiap saat dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi lainnya (Departemen Pertanian, 2005c).
2.2.
Industrialisasi Pertanian Menurut Meier (1995), transformasi struktural dari ekonomi agraris
perdesaan berpendapatan rendah ke ekonomi industri perkotaan dengan pendapatan per kapita lebih tinggi melibatkan fenomena industrialisasi dan pembangunan pertanian. dipandang
bukan
sekedar
Lebih lanjut disebutkan bahwa pertanian harus sebagai
sumber
surplus
untuk
mendukung
industrialisasi, tetapi juga sebagai sumber dinamis pertumbuhan ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Selain itu, kemajuan pertanian adalah penting dalam menyediakan pangan bagi tumbuhnya
27 tenaga kerja non pertanian, bahan baku untuk produksi sektor industri, tabungan dan penerimaan pajak untuk mendukung pembangunan sektor ekonomi lainnya; untuk mendapatkan lebih banyak devisa (atau menghemat devisa jika produk primer diimpor); dan memberikan pertumbuhan pasar bagi industri domestik. Hubungan intersektoral antara pertanian dan industri akan menentukan transformasi struktural pada perekonomian negara berkembang. Secara historis proses pembangunan dan industrialisasi pertanian di berbagai negara pada umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian. Langkah ini ditempuh melalui modernisasi institusi perdesaan dan pergeseran pertanian berskala kecil ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian (Weisdorf, 2006). Arifin (2005) menyatakan bahwa definisi industrialisasi pertanian tidak sesempit sekedar mekanisasi pertanian atau pengolahan hasil pertanian oleh sektor industri, tetapi jauh lebih luas dari itu karena mencakup proses peningkatan nilai tambah, sampai pada koordinasi dan integrasi vertikal antara sektor hulu dan sektor hilir.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa terdapat pihak-pihak yang
memperlakukan industrialisasi pertanian sebagai bagian dari seluruh rangkaian pembangunan sistem agribisnis, di pihak lain ada pula yang beranggapan bahwa proses industrialisasi adalah suatu keniscayaan seiring dengan proses transformasi struktur ekonomi dan merupakan tuntutan efisiensi dalam bidang usaha melalui integrasi vertikal dari hulu hingga hilir. Sudaryanto (2005) memberikan definisi industrialisasi pertanian sebagai suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam satu alur produk melalui mekanisme non pasar, sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan
28 preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, industrialisasi pertanian adalah suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Lebih lanjut disebutkan bahwa berbeda dengan pola dispersal, dalam agribisnis pola industrial setiap perusahaan tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung dalam asosiasi horizontal tetapi memadukan diri dengan perusahaanperusahaan lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha yang ada pada satu alur produk vertikal (dari hulu hingga hilir) dalam satu kelompok usaha. Kahn (1979) menyatakan bahwa pengalaman di hampir semua negara menunjukkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya sebagian kecil negara dengan jumlah penduduk yang sedikit dan kekayaan minyak atau Sumber Daya Alam (SDA) lainnya yang melimpah, seperti Kuwait dan Libya, dapat berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi tanpa melalui proses industrialisasi, hanya mengandalkan pada sektor pertambangan (minyak). Fakta di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu pada sektor-sektor primer (pertanian dan pertambangan) yang mampu mencapai tingkat pendapatan per kapita di atas 500 US $ selama jangka panjang. Sektor industri diyakini dapat dijadikan sebagai sektor yang memimpin (leading sector) bagi sektor-sektor lainnya dalam suatu perekonomian. Hal ini karena produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri memiliki dasar tukar (term of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan, serta mampu menciptakan nilai tambah (value added) yang besar dibandingkan dengan produk-produk yang dihasilkan oleh sektor lainnya. Sektor industri mempunyai variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada pemakainya. Selain itu, sektor industri juga memberikan marjin keuntungan yang
29 lebih menarik bagi para pelaku bisnis, serta proses produksi dan penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia yang tidak terlalu bergantung pada alam (musim atau keadaan cuaca).
Karena kelebihan-kelebihan sektor
industri inilah, maka industrialisasi dianggap sebagai “obat mujarab” (panacea) untuk mengatasi masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. Walaupun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya merupakan salah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses transformasi struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur dalam permintaan konsumen, produksi, ekspor, dan kesempatan kerja (Chenery, 1992). Menurut Tambunan dan Priyanto (2005), penurunan share sektor pertanian dalam pembentukan PDB dari waktu ke waktu dan peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur, merupakan indikator bahwa ekonomi Indonesia telah memasuki proses industrialisasi. Proses industrialisasi di Indonesia sudah dimulai sejak Pelita I, yang dimulai tahun 1969. Industrialisasi yang dilaksanakan sejak Pelita I hingga krisis ekonomi tahun 1997, mengakibatkan pendapatan per kapita masyarakat mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya.
Apabila hanya
mengandalkan dari sektor pertanian dan sektor pertambangan (migas), maka Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang, tidak akan pernah mencapai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 7 persen per tahun dan
30 tingkat pendapatan per kapita di atas 1,000 US $ pada pertengahan tahun 1997 (Tambunan, 2001). Menurut Simatupang dan Syafaat (2000), pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru mengacu pada paradigma transformasi struktural berimbang
melalui
industrialisasi
bertahap
berbasis
sektor
pertanian.
Pembangunan ekonomi yang demikian ini dapat pula disebut sebagai pembangunan dengan pendekatan sistem agribisnis. Definisi agribisnis menurut Badan Agribisnis (1995) adalah suatu kesatuan sistem yang terdiri dari beberapa subsistem yang saling terkait erat, yaitu subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi (subsistem agribisnis hulu), subsistem usahatani atau pertanian primer, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, serta subsistem jasa dan penunjang. Subsistem agribisnis hulu adalah kegiatan ekonomi yang menyediakan sarana (input) pertanian seperti industri perbenihan dan pembibitan tanaman, industri pupuk dan pestisida (agrokimia), serta industri alat dan mesin pertanian (agrootomotif) bagi kegiatan pertanian primer.
Subsistem usahatani adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan
komoditas atau produk pertanian primer melalui pemanfaatan sarana produksi yang dihasilkan oleh subsistem agribisnis hulu. Subsistem pengolahan adalah kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas atau produk pertanian primer menjadi produk olahan.
Termasuk dalam subsistem tersebut adalah industri
makanan, industri minuman, industri rokok, industri barang serat alam, industri biofarma, serta industri agrowisata dan estetika. Subsistem pemasaran adalah kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan kegiatan distribusi, promosi, informasi pasar, kebijakan perdagangan dan struktur pasar. Adapun subsistem jasa dan penunjang adalah kegiatan ekonomi yang menyediakan jasa atau layanan yang
31 diperlukan untuk memperlancar pengembangan agribisnis.
Termasuk dalam
subsistem ini adalah lembaga perkreditan dan asuransi, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan, serta transportasi dan pergudangan. Hubungan dan keterkaitan antar subsistem agribisnis tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Badan Agribisnis (1995) Gambar 3. Sistem Agribisnis Soekartawi (1993) menyatakan bahwa yang termasuk ke dalam jenis agroindustri adalah: (1) industri pengolahan input pertanian yang pada umumnya tidak berlokasi di perdesaan, padat modal, dan berskala besar seperti industri pupuk, industri pestisida, dan sebagainya, dan (2) industri pengolahan hasil pertanian, seperti pengolahan pucuk teh hijau atau teh hitam, pengalengan buah, pengolahan minyak kelapa, dan lain-lain.
32 Tambunan dan Priyanto (2005) menyatakan bahwa industrialisasi di Indonesia selalu dimulai dari industri besar, dan kurang memperhatikan usahausaha kecil. Akibatnya, sampai saat ini Indonesia belum menunjukkan tandatanda sebagai negara industri yang mandiri.
Hal ini disinyalir karena para
pemimpin pembangunan ekonomi terlalu mengandalkan peranan industri besar modern, yang dianggap sebagai jalan paling pendek dan paling mungkin untuk mengisi arti kemerdekaan. Senada dengan hal tersebut di atas, Simatupang dan Syafa’at (2000) menyatakan bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi di Indonesia adalah karena kesalahan industrialisasi yang tidak berbasis pada pertanian. Selama krisis juga terbukti bahwa sektor pertanian masih mampu mengalami laju pertumbuhan yang positif, walaupun dalam persentase yang kecil, sedangkan sektor industri manufaktur mengalami laju pertumbuhan yang negatif di atas satu digit. Banyak pengalaman di negara-negara maju di Eropa dan Jepang yang menunjukkan bahwa mereka memulai industrialisasi setelah atau bersamaan dengan pembangunan di sektor pertanian. Sebagai contoh, Inggris mengalami revolusi industri pada abad ke-18 setelah diawali dengan revolusi pertanian yang terjadi melalui introduksi teknologi turnip. Industrialisasi di Jepang berlangsung bersamaan dengan revolusi pertanian yang terjadi melalui reformasi agraria (restorasi Meiji). Demikian juga di Taiwan pada dekade 1950-an, yang menunjukkan bahwa industrialisasi berbasis pertanian melalui pengembangan industri berskala kecil dan berlokasi di perdesaan mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan merata serta struktur ekonomi yang tangguh. Terdapat beberapa alasan mengapa sektor pertanian yang kuat sangat esensial dalam suatu proses industrialisasi pertanian. Beberapa alasan tersebut antara lain sebagai berikut (Tambunan, 2001):
33 1. Sektor pertanian yang kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini merupakan salah satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pertanian pada khususnya dan pembangunan ekonomi pada umumnya bisa berlangsung dengan baik. Ketahanan pangan berarti tidak ada kelaparan dan ini menjamin kestabilan sosial dan politik. 2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yang kuat membuat tingkat pendapatan riil per kapita di sektor tersebut tinggi yang merupakan salah satu sumber permintaan terhadap barang-barang nonfood, khususnya manufaktur (keterkaitan konsumsi atau pendapatan). Khususnya di Indonesia, dimana sebagian besar penduduk berada di perdesaan dan mempunyai sumber pendapatan langsung maupun tidak langsung dari kegiatan pertanian, jelas sektor ini merupakan motor utama penggerak industrialisasi. Selain melalui keterkaitan pendapatan, sektor pertanian juga berfungsi sebagai sumber pertumbuhan di sektor industri manufaktur melalui intermediate demand effect atau keterkaitan produksi: output dari industri menjadi input bagi pertanian. 3. Dari sisi penawaran, sektor pertanian merupakan salah satu sumber input bagi sektor industri pertanian yang mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif, misalnya industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit, dan sebagainya. 4. Masih dari sisi penawaran, pembangunan yang baik di sektor pertanian bisa menghasilkan surplus di sektor tersebut dan ini bisa menjadi sumber investasi di sektor industri, khususnya industri skala kecil di perdesaan (keterkaitan investasi).
34 Menurut Dumairy (1997), hanya sedikit negara-negara berkembang yang menyadari bahwa usaha untuk memajukan dan memperluas sektor industri haruslah sejajar dengan pembangunan dan pengembangan sektor-sektor lain, terutama sektor pertanian.
Hal ini karena sektor pertanian yang lebih maju
dibutuhkan oleh sektor industri, baik sebagai penyedia bahan baku maupun sebagai pasar yang potensial bagi produk-produk industri. Berkaitan dengan hal ini, Tambunan (2001) menyatakan bahwa sektor pertanian dan sektor industri mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitan tersebut terutama didominasi oleh efek keterkaitan pendapatan, keterkaitan produksi, dan keterkaitan investasi. Secara grafis, keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri disajikan pada Gambar 4.
Sumber: Tambunan (2001) Gambar 4. Keterkaitan antara Sektor Pertanian dan Sektor Industri Pada Gambar 4, jumlah output dari sektor pertanian adalah OA, sedangkan Of adalah makanan yang dikonsumsi di pasar domestik dan Ox adalah bahan baku
35 atau komoditas pertanian yang diekspor. Ekspor ini memungkinkan negara yang bersangkutan untuk impor sebesar Om, dengan dasar tukar internasional (terms of trade) OT. Dengan adanya impor (Om) dan makanan (Of) memungkinkan sektor industri di negara tersebut dapat menghasilkan output sebesar Oi.
Misalkan
volume produksi di sektor industri meningkat ke Of'. Untuk tujuan ini dibutuhkan lebih banyak input yang harus diimpor, yakni sebesar Om'. Produksi meningkat berarti juga kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat di negara tersebut juga meningkat, yang selanjutnya berarti permintaan akan makanan juga meningkat, yakni ke Of'. Jika output di sektor pertanian tidak meningkat, maka ekspor dari sektor tersebut akan berkurang ke Oy dan ini berarti kebutuhan akan impor sebesar Om' tidak dapat dipenuhi. Oleh sebab itu, dalam usaha meningkatkan volume produksi di sektor industri (ke Oi'), maka output di sektor pertanian juga harus ditingkatkan ke OC. Ini akan meningkatkan konsumsi makanan ke Om' dan berarti juga output di sektor industri bisa naik ke Oi'. Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa tanpa suatu peningkatan output atau produktivitas di sektor pertanian, maka industri pertanian (agroindustri) tidak dapat meningkatkan outputnya (atau pertumbuhan yang tinggi akan sulit tercapai). Oleh karena itu, sektor pertanian memainkan peranan yang sangat penting dalam proses industrialisasi pertanian.
2.3. Kemiskinan dan Kemiskinan Perdesaan 2.3.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang
36 memasukkan aspek sosial dan moral. Bappenas (2002) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Lebih lanjut Bappenas (2004 dalam Susanto, 2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok
orang,
tidak
mampu
memenuhi
hak-hak
dasarnya
untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Ravallion (2001) mengemukakan bahwa kemiskinan meliputi dimensi politik, sosial budaya dan psikologi, ekonomi dan akses terhadap asset. Dimensi tersebut saling terkait dan saling mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, bila sakit tidak mempunyai dana untuk berobat. Orang miskin umumnya tidak dapat membaca karena tidak mampu bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas. Beberapa definisi kemiskinan yang dirujuk oleh Komite Penanggulangan Kemiskinan (2002) adalah sebagai berikut: 1. BPS: Kemiskinan adalah kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2 100 kalori per kapita per hari. 2. BKKBN: Kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan 2 kali sehari,
37 tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. Pengertian keluarga miskin ini didefinisikan lebih lanjut menjadi: (1) paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telur, (2) setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu setel pakaian baru, dan (3) luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni.
Keluarga miskin sekali adalah keluarga yang karena alasan
ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: (1) pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih, (2) anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/ sekolah dan bepergian, dan (3) bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. 3. Bank Dunia: Kemiskinan adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US $ 1 per hari. Sumodiningrat (1999) mengklasifikasikan pengertian kemiskinan ke dalam lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara. Kemiskinan absolut, adalah apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan (poverty line) atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum (basic needs), antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. Kemiskinan relatif, adalah apabila seseorang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan relatif erat kaitannya dengan masalah pembangunan yang sifatnya struktural, yakni kesenjangan akibat kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor
38 budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Kemiskinan kronis, disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, (2) keterbatasan sumber daya dan keterisolasian (daerah-daerah kritis sumber daya alam dan daerah terpencil), dan (3) rendahnya taraf pendidikan dan derajad perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya: (1) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, (2) perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, dan (3) bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Menurut Darwis dan Nurmanaf (2001), secara teoritis garis kemiskinan dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan dan pengeluaran. Garis kemiskinan yang ditentukan berdasarkan tingkat produksi, misalnya produksi padi per kapita, hanya dapat menggambarkan kegiatan
produksi
tanpa
memperhatikan
pemenuhan
kebutuhan
hidup.
Perhitungan garis kemiskinan dengan pendekatan pendapatan rumahtangga dinilai paling baik. Cara ini tidak mudah dilakukan karena kesulitan untuk memperoleh data pendapatan rumahtangga yang akurat. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, maka garis kemiskinan ditentukan dengan pendekatan pengeluaran yang digunakan sebagai proksi atau perkiraan pendapatan rumahtangga. Garis kemiskinan yang dipergunakan BPS dinyatakan sebagai jumlah rupiah yang dikeluarkan atau dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang setara dengan 2 100 kalori per kapita ditambah dengan pemenuhan kebutuhan minimum lainnya seperti sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan,
39 angkutan dan bahan bakar. Penggunaan kebutuhan kalori dengan pendekatan pengeluaran sebagai dasar penentuan garis kemiskinan, sebelumnya telah diperkenalkan oleh Sayogyo tahun 1977. Konsep ini dinilai lebih mendekati kondisi kehidupan masyarakat yang sesungguhnya karena pengeluaran pokok di luar kebutuhan pangan juga diperhitungkan (Yusdja et al., 2003). Berdasarkan garis kemiskinan yang dipergunakan, dapat dihitung jumlah penduduk miskin di suatu wilayah. Garis kemiskinan dibedakan antara daerah perkotaan dan perdesaan, dimana garis kemiskinan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan sesuai dengan perbedaan indeks harga bahanbahan kebutuhan pokok masyarakat di kedua wilayah tersebut. Garis kemiskinan juga berubah dari tahun ke tahun, dikoreksi menurut perkembangan tingkat harga kebutuhan pokok masyarakat (Sumedi dan Supadi, 2004). Indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kemiskinan dalam studistudi empiris adalah sebagai berikut (Yudhoyono dan Harniati, 2004; Nanga, 2006; dan Foster et al., 1984): 1. Incidence of poverty, yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya disebut poverty headcount index, yang merupakan ukuran kasar dari kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa banyak orang miskin yang ada di dalam perekonomian kemudian dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya, tidak ada perbedaan antara penduduk yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya di antara orangorang miskin. 2. Depth of poverty, yang menggambarkan tingkat kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi
40 jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. 3. Severity of poverty, yang menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah, yang merupakan rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini juga sering dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Tambunan (2001) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan, yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan yaitu asiomatic approach dan stochastic dominance. Pendekatan yang sering digunakan dalam studi-studi empiris adalah pendekatan pertama dengan tiga alat ukur yaitu: (1) the Generalized Entropy (GE), (2) the Atkinson Measure, dan (3) Gini Coefficient. Rumus GE dapat dituliskan sebagai berikut: 1 GE (α) = 2 α −α
⎡ 1 n ⎛ yi ⎞α ⎤ ⎢ ∑ ⎜⎜ ⎟⎟ − 1⎥ ........................................................(2.1) ⎢⎣ n i =1 ⎝ y ⎠ ⎥⎦
dimana: n adalah jumlah individu (orang) di dalam sampel, yi adalah pendapatan dari individu (1, 2, ....., n), dan y = (1/n) ∑ yi adalah ukuran rata-rata pendapatan. Nilai GE terletak antara 0 sampai ∞. Nilai GE nol berarti distribusi pendapatan merata (pendapatan dari semua individu di dalam sampel sama) dan ∞ berarti kesenjangan yang sangat besar. Parameter α mengukur besarnya perbedaan antar pendapatan dari kelompok yang berbeda di dalam distribusi tersebut.
41 Dari persamaan (2.1), dapat diturunkan cara mengukur ketimpangan dari Atkinson sebagai berikut: 1 /(1− ε )
⎡ 1 n ⎛ yi ⎞1−ε ⎤ A = 1 - ⎢ ∑ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎥ n y ⎣⎢ i =1 ⎝ ⎠ ⎦⎥
....................................................................(2.2)
dimana: ε adalah parameter ketimpangan (0 < ε < 1), semakin tinggi nilai ε maka semakin tidak seimbang pembagian pendapatan. Nilai A terletak antara 0 sampai 1. Nilai A sama dengan nol berarti tidak ada ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Alat ukur ketiga yang sering digunakan dalam setiap studi empiris mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan adalah koefisien atau rasio Gini, yang formulanya dapat dirumuskan sebagai berikut: G=1-
n
∑ Pi {F * (Yi ) + F * (Yi − 1)} ……………….……………...…(2.3) i =1
dimana: G adalah nilai koefisien gini, n adalah jumlah sampel, Pi=1/n, F*(Yi) adalah persentase pendapatan sampel ke-i dibagi total pendapatan seluruh sampel, dan F*(Yi-1) adalah jumlah persentase kumulatif pendapatan sampel ke-(i-1). Nilai Gini (G) berada pada selang 0 sampai 1. Apabila rasio Gini = 0, berarti kemerataan yang sempurna (setiap orang mendapat porsi dari pendapatan yang sama). Apabila rasio Gini = 1, berarti ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan. Dengan kata lain, satu orang (satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut. Dengan menggunakan grafik, rasio Gini dapat digambarkan dengan Kurva Lorenz seperti yang disajikan pada Gambar 5. Koefisien Gini adalah rasio antara daerah di dalam grafik yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis kemerataan sempurna (yang membentuk sudut 450 dari titik 0 sumbu Y dan X) terhadap
42 daerah segitiga antara garis kemerataan dan sumbu Y dan X. Semakin tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva Lorenz dari garis 450, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Sumber: Tambunan (2001) Gambar 5. Rasio Gini dan Kurva Lorenz Foster et al. (1984) mengemukakan suatu ukuran atau indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis kemiskinan melalui distribusi pendapatan. Ukuran atau indikator tersebut adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1 P(z;α) = N
α
⎛ g ( p; z ) ⎞ ⎜ ⎟ , α ≥ 0 .........................................................(2.4) ∑ z ⎠ i =1 ⎝ N
dimana: g(p;z) = distribusi dari poverty gaps z
= garis kemiskinan (poverty line)
43 Untuk mengetahui bagaimana interpretasi FGT indeks, menurut nilai α, dapat dilihat pada Gambar 6, yang menggambarkan kontribusi total kemiskinan P(z;α) dari masing-masing individu dengan tingkat kemiskinan p yang berbeda. Kontribusi tersebut ditunjukkan oleh (g(p;z)/z)α. Untuk α = 0, kontribusinya adalah 1 untuk yang miskin dan 0 untuk yang kaya (yang mempunyai ranking melebihi F(z) pada gambar atau sama dengan pendapatan Q(p) yang melebihi z). Headcount index adalah daerah empat persegi panjang. Untuk α =1 kontribusi seseorang pada tingkat kemiskinan p, persis sama dengan poverty gaps, g(p;z)/z. Rata-rata kemiskinan yang dinormalkan adalah yang berada pada daerah di bawah g(p;z)/z. Demikian juga untuk nilai α yang lebih besar, misalnya kontribusi untuk P(z;α=3) dari individu-individu pada tingkat kemiskinan p adalah (g(p;z)/z)3, sehingga rata-rata kemiskinan P(z;α=3) adalah area yang berada di bawah kurva (g(p;z)/z)3.
Sumber: Foster et al. (1984) Gambar 6. Poverty Gaps dan FGT Indeks
44 Duclos dan Araar (2004) memperkenalkan dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan. Kedua pendekatan ukuran kemiskinan tersebut adalah: (1) Equality Distributed Equivalent (EDE), yaitu standar hidup dari masyarakat dimana pendapatan menjadi acuan batas garis kemiskinan, dan (2) kombinasi antara pendapatan dan garis kemiskinan menjadi Poverty Gaps dan mengelompokkannya dalam kesejahteraan masyarakat.
2.3.2. Kemiskinan Perdesaaan Desa hingga saat ini tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Pada tahun 1998 dari 49.5 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia sekitar 60 persen (29.7 juta jiwa) tinggal di daerah perdesaan. Pada tahun 1999, persentase angka kemiskinan mengalami penurunan dari 49.5 juta jiwa menjadi 37.5 juta jiwa. Persentase kemiskinan di daerah perkotaan mengalami penurunan, tetapi persentase kemiskinan di daerah perdesaan justru mengalami peningkatan dari 60 persen tahun 1998 menjadi 67 persen tahun 1999 yaitu sebesar 25.1 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12.4 juta jiwa (Susanto, 2005). Data tersebut diperkuat oleh laporan Kompas tahun 2004 yang menyajikan bahwa lebih dari 60 persen penduduk miskin Indonesia tinggal di daerah perdesaan. Dengan demikian, wilayah perdesaan hingga saat ini tetap menjadi kantong terbesar dari pusat kemiskinan. Menurut Sumedi dan Supadi (2004), tingkat pendapatan masyarakat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat miskin di perdesaan memiliki tingkat pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan demikian, adanya perbaikan struktur
45 perekonomian yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, pengurangan jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan. Sebaliknya, adanya krisis ekonomi yang menurunkan pendapatan masyarakat, pertambahan jumlah penduduk miskin di perdesaan juga lebih besar. Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah akan mempengaruhi indeks kemiskinan di daerah perdesaan. Hasil penelitian Darwis dan Nurmanaf (2001) menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen kepala rumahtangga miskin di perdesaan tidak tamat Sekolah Dasar dan kurang dari 25 persen yang menamatkan Sekolah Dasar. Lebih lanjut disebutkan bahwa rumahtangga miskin memiliki ratarata jumlah anggota rumahtangga yang lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga yang tidak tergolong miskin. Dengan demikian, bila diasumsikan bahwa jumlah anggota rumahtangga merupakan beban tanggungan pengeluaran, maka dapat disimpulkan bahwa rumahtangga miskin memiliki beban yang lebih berat dalam mencukupi kebutuhan anggota keluarganya dibandingkan dengan rumahtangga yang tidak tergolong miskin. Hasil penelitian Yusdja et al. (2003) menunjukkan bahwa lebih dari 62 persen angkatan kerja rumahtangga miskin bekerja di sektor pertanian di perdesaan, disusul pada kegiatan di sektor perdagangan sebagai pedagang kecil (10 persen), industri rumahtangga (7 persen) dan jasa (6 persen). Pada umumnya sebagian besar anggota rumahtangga miskin bekerja pada kegiatan-kegiatan yang memiliki produktivitas tenaga kerja rendah. Hal ini erat kaitannya dengan rendahnya aksesibilitas angkatan kerja terhadap penguasaan faktor-faktor produksi. Pada kenyataannya angkatan kerja tersebut cenderung lebih mengandalkan pekerjaan fisik dengan keterampilan yang minimal dibandingkan dengan faktor produksi lain berupa aset produktif dan permodalan.
46 Menurut Susanto (2005), penyebab kemiskinan di perdesaan umumnya bersumber dari sektor pertanian, yang disebabkan oleh ketimpangan kepemilikan lahan pertanian. Kepemilikan lahan pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan 3.8 persen dari 18.3 juta ha. Di sisi lain, kesenjangan di sektor pertanian juga disebabkan oleh ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yang terbatas juga menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian di perdesaan menurun.
Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian
mencapai 8 persen dari seluruh kredit perbankan, dan hanya naik 2 persen tahun 2000 menjadi 10 persen. Kondisi tersebut di atas sesuai dengan pendapat Thorbecke dan Pluijm (1993), yang menyatakan bahwa kemiskinan banyak dijumpai di perdesaan dan sangat berhubungan dengan: (1) pola kepemilikan lahan dan produktivitas lahan, (2) struktur kesempatan kerja, dan (3) operasi pasar tenaga kerja. Lebih lanjut disebutkan bahwa individu-individu dari berbagai golongan rumahtangga mempunyai perbedaan dalam hal anugerah sumberdaya yang diterima, khususnya penguasaan lahan (land endowment) dan modal manusia (human capital). Hal ini berarti terdapat korelasi yang tinggi antara standar hidup dengan jumlah dan kualitas lahan yang dimiliki, serta korelasi antara standar hidup dengan tingkat pendidikan dan keahlian anggota rumahtangga. Dengan demikian, suatu rumahtangga yang tergolong tidak memiliki lahan dan dengan tingkat pendidikan serta keahlian yang terbatas, jika tidak menerima bantuan dan transfer pendapatan dari pihak lain, maka rumahtangga tersebut akan cenderung terus tenggelam dalam kemiskinannya.
47
2.4.
Model Ekonomi Keseimbangan Umum Dalam suatu sistem perekonomian, perubahan keseimbangan pada suatu
pasar tidak hanya berdampak terhadap sektor atau komoditas itu sendiri, tetapi juga berdampak terhadap sektor atau komoditas serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya melalui keterkaitan input-output. Oleh karena itu, dampak suatu kebijakan lebih tepat dianalisis berdasarkan teori keseimbangan umum dibandingkan dengan teori keseimbangan parsial. Teori keseimbangan umum menjelaskan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa macam pasar yang saling terkait. Keseimbangan umum terjadi apabila permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar dalam sistem tersebut berada dalam kondisi keseimbangan secara simultan. Tingkat harga keseimbangan yang terwujud merupakan solusi dari sistem persamaan simultan yang menggambarkan perilaku setiap pelaku ekonomi dan keseimbangan di setiap pasar. Menurut paham teori keseimbangan umum, apabila dalam kondisi keseimbangan
terjadi
gangguan
yang
mengakibatkan
ketidakseimbangan
(disequilibrium) pada suatu pasar secara parsial, maka akan diikuti oleh penyesuaian di pasar yang bersangkutan dan selanjutnya terjadi proses penyesuaian di pasar lainnya (simultaneous adjustment) yang membawa perekonomian secara keseluruhan kembali pada kondisi keseimbangan yang baru. Mekanisme pencapaian keseimbangan pada semua jenis barang di semua pasar yang berlaku bagi produsen dan konsumen disebut sebagai analisis keseimbangan umum (general equilibrium analysis). Analisis keseimbangan umum merupakan landasan bagi perkembangan model keseimbangan umum. Hulu (1997) mengemukakan bahwa formulasi
48 teoritis model keseimbangan umum telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19, antara lain rumusan Gossen (1854), Jevons (1871), Walras (1874-1877), dan Menger (1871). Abraham Wald dan Gustav Cassel (1930-an), berhasil menyusun formulasi model keseimbangan umum sebagai sebuah model simultan versi Walras, walaupun belum lengkap pembuktian eksistensi solusinya. John von Neuman selanjutnya berhasil membuktikan adanya keseimbangan umum, memakai sebuah model dan menghasilkan solusi tunggal. John Hicks dan Oscar Lange, menyusun model keseimbangan umum versi makroekonomi Keynesian, yaitu perekonomian yang terdiri dari empat pasar (pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar modal). Solusi keseimbangan umum model ini menggunakan asumsi Walras, yaitu andaikan ada n pasar, dan jika n-1 pasar sudah berada dalam keseimbangan, maka seluruh n pasar akan berada dalam keseimbangan. Pembuktian Walras mengenai adanya titik keseimbangan umum tersebut dilakukan dengan menggunakan matematika formal. Walras menyimpulkan bahwa sejumlah n fungsi excess demand tidak tergantung pada fungsi lainnya. Formula ini dapat dituliskan sebagai berikut: n
∑ P ED ( P) = 0 …………………………….……………………….....(2.5) i =1
i
i
dimana:
EDi (P ) = excess demand untuk barang i Pi
= harga untuk barang i
Persamaan (2.5) di atas adalah Hukum Walras, yang berarti bahwa total excess demand terjadi pada seluruh jenis barang atau komoditas yang diproduksi
(Nicholson, 1994). Apabila nilai semua komoditas yang ditawarkan di pasar sama dengan nilai komoditas yang diminta di pasar, sedangkan harga-harga (dalam hal
49 ini harga relatif) diketahui pada saat pasar ke-1 ada keseimbangan, maka dalam pasar yang ke-k akan ada keseimbangan juga. Fondasi yang kokoh dari model keseimbangan umum berhasil dibangun oleh Arrow dan Debreu (1954) dan McKenzie (1959) yang membuktikan bahwa model keseimbangan umum secara teoritis “ada, memiliki solusi tunggal, dan stabil”. Arrow dan Debreu (1954) mensyaratkan adanya keseimbangan umum apabila perekonomian dalam keadaan kompetitif sempurna, dimana tidak terdapat indivisibilitas dan tidak terdapat skala pengembalian yang meningkat (increasing return to scale). Dengan demikian, perekonomian yang tidak kompetitif
sempurna, titik keseimbangan umum tidak selalu ada. Dalam perkembangan selanjutnya, penerapan model keseimbangan umum teoritis formulasi Arrow, Debreu dan McKenzie disebut sebagai model Computable General Equilibrium (CGE). Menurut Ratnawati (1996), terdapat tiga
ciri pengembangan model CGE. Pertama, formulasi CGE yang dikembangkan oleh Johansen pada tahun 1960, yaitu model CGE disusun sebagai sebuah model linier simultan, dan dari solusi model diperoleh harga dan kuantitas dari setiap barang yang diidentifikasi sebagai keseimbangan umum. Kedua, Herbert Scarf pada tahun 1970 merumuskan penyelesaian model CGE menggunakan “fixed point theorem”. Ketiga, Adelman dan Robinson pada tahun 1978 merumuskan
model CGE sebagai sebuah model simultan non linier (nonlinier programming solution), dan penyelesaiannya menghasilkan harga bayangan (shadow prices)
yang diinterpretasikan sebagai harga dalam kondisi keseimbangan umum. Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa model CGE merupakan sebuah pendekatan komprehensif yang merangkum model multimarket dan menggunakan keseimbangan pasar sebagai elemen dasar analisisnya. Sebuah
50 model CGE menggambarkan agen-agen pelaku ekonomi dan perilakunya, sehingga membawa pasar-pasar yang berbeda ke dalam suatu keseimbangan. Pada formulasi model CGE, terdapat keterkaitan antar pelaku ekonomi, yaitu perusahaan atau industri, rumahtangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar komoditas yang berbeda. Seluruh pasar berada dalam keadaan keseimbangan dan mempunyai struktur yang spesifik untuk mencapai keseimbangan apabila terdapat guncangan pada salah satu pasar (Oktaviani, 2001). Secara umum model CGE memuat persamaan-persamaan, variabelvariabel eksogen dan parameter, variabel-variabel endogen, dan bentuk-bentuk fungsi dari persamaan. Sistem persamaan dibentuk oleh subsistem-subsistem persamaan yang secara umum meliputi produksi, pasar tenaga kerja, faktor renumerasi, pendapatan disposable, kelembagaan (rumahtangga dan pemerintah), tabungan dan investasi, permintaan produk, pasar eksternal, keseimbangan pasar produk, dan numeraire (Sadoulet dan de Janvry, 1995). Persamaan-persamaan yang membentuk model CGE biasanya dikelompokkan menjadi blok-blok persamaan seperti blok produksi, blok konsumsi, blok ekspor-impor, blok investasi, dan blok kliring pasar. Lebih lanjut Sadoulet dan de Janvry (1995) mengemukakan bahwa dengan sitem persamaan yang komprehensif, model CGE memiliki keunggulan dalam mengungkapkan dampak produksi, konsumsi, perdagangan, investasi dan interaksi spasial secara keseluruhan dari suatu kebijakan (policy) atau guncangan (shock). Karena itu model ini telah diterapkan untuk mensimulasikan dampak sosial ekonomi dari sebuah skenario yang luas yang mencakup beberapa hal. Pertama, foreign shocks, seperti perubahan yang tidak diharapkan dalam term of trade (misalnya kenaikan dalam harga impor minyak atau penurunan dalam harga
51 komoditas ekspor utama suatu negara) dan keharusan menurunkan pinjaman luar negeri. Kedua, perubahan dalam kebijakan ekonomi. Pajak dan subsidi merupakan instrumen kebijakan yang sangat lazim dianalisis, khususunya dalam sektor perdagangan. Model ini juga telah digunakan untuk melihat perubahan ukuran dan komposisi dalam pengeluaran rutin dan investasi pemerintah. Ketiga, perubahan dalam struktur sosial ekonomi domestik, seperti perubahan teknologi pertanian, redistribusi aset-aset, dan pembentukan modal sumberdaya manusia. Buehrer dan Mauro (1995) mengemukakan bahwa model CGE dapat digunakan untuk mensimulasi dampak dari kebijakan perdagangan dan dampak perubahan ekonomi dari berbagai paket kebijakan pemerintah. Adapun menurut Yeah et al. (1994) bahwa penggunaan model CGE tidak hanya pada model perdagangan internasional tetapi juga pada perencanaan pembangunan, keuangan, lingkungan, manajemen sumberdaya, dan perubahan transisi dan ekonomi pasar. Model tersebut dapat menganalisis sensitivitas dari alokasi sumberdaya karena adanya perubahan dari sektor eksternal, sementara analisis keseimbangan parsial mengasumsikan bahwa sumberdaya bersifat tetap. Selanjutnya, landasan teori ekonomi mikro yang digunakan meliputi parameter elastisitas dan input-output data, sehingga model CGE merupakan alat analisis eksperimental untuk menganalisis perubahan ekonomi. Penggunaan aturan baku model CGE, keseimbangan ekonomi makro di masing-masing pasar dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 7, yang diadopsi dari Devarajan, Lewis dan Robinson (1990), seperti yang dikutip oleh Sadoulet dan de Janvry (1995). Gambar 7 mengilustrasikan kondisi keseimbangan di berbagai pasar yang dicerminkan oleh keempat kuadran. Diasumsikan bahwa seluruh faktor produksi digunakan secara penuh (fully employed), tingkat produksi agregat ditunjukkan oleh kurva kemungkinan produksi frontier yang terletak pada
52 kuadran IV, yang mencerminkan kemungkinan transformasi antara tujuan ekspor (E) dan tujuan pasar domestik (D). Barang yang diekspor (E) digunakan untuk mendapatkan barang impor (M) melalui transaksi perdagangan di pasar pertukaran luar negeri (foreign exchange market) yang dicerminkan di kuadran I, dimana hubungan di antara kedua barang tersebut menghasilkan neraca perdagangan (balance of trade). Barang produksi domestik yang tidak diekspor (D) dijual di pasar domestik yang dilukiskan pada kuadran III.
Berkorespondensi dengan
ketiga kuadran tersebut di atas, tingkat konsumsi frontier di kuadran II dipasok dari kombinasi barang domestik (D) dan impor (M).
Sumber: Sadoulet dan de Janvry (1995) Gambar 7. Keseimbangan Ekonomi Makro dalam Model Keseimbangan Umum Keterangan: M = komoditas impor, E = komoditas ekspor, D = komoditas domestik, C = tingkat konsumsi frontier, P = tingkat produksi frontier, PE/Pd = harga ekspor relatif terhadap harga domestik, dan Pd/PM = harga domestik relatif terhadap harga impor.
53 Pada kuadran I diasumsikan tidak ada foreign capital inflow dan harga ekspor maupun impor adalah sama yang dilukiskan oleh lereng garis balance of trade sebesar satu. Pada kuadran II, kecuraman kurva utilitas merupakan fungsi
dari tingkat konsumsi frontier pada titik C dan harga relatif keseimbangan Pd/PM. Adapun pada sisi produksi di kuadran IV yang berkaitan dengan tingkat produksi sebesar P, dimana kecuraman lereng kurva kemungkinan produksi frontier ditentukan oleh harga relatif barang ekspor dan domestik (PE/Pd). Selanjutnya, solusi keseimbangan ekonomi makro dalam model ini dapat diamati pada kuadran II yang menunjukkan perilaku permintaan konsumen, yaitu tingkat utilitas tertentu pada saat konsumsi sebesar C dan tingkat produksi sebesar P.
2.4.1. Properties Kondisi Keseimbangan Umum Menurut Nicholson (1994), properties dari kondisi keseimbangan umum adalah terjadinya efisiensi pareto. Adapun menurut Just et al. (1982), kriteria pareto menyatakan bahwa sesuatu perubahan dianggap sebagai perubahan yang membawa kebaikan, jika perubahan tersebut mengakibatkan beberapa orang menjadi lebih baik namun tidak seorangpun menjadi lebih buruk. Dengan demikian, apabila telah tercapai suatu kondisi dimana satu pihak tidak dapat meningkatkan kepuasannya tanpa mengurangi kepuasan pihak-pihak yang lainnya, maka kondisi ini disebut pareto optimum. Efisiensi pareto terjadi pada saat keseimbangan umum tercapai melalui mekanisme pasar persaingan sempurna. Konsep efisiensi pareto mencakup tiga jenis efisiensi, yaitu efisiensi alokasi sumber (keseimbangan produksi), efisiensi distribusi komoditas (keseimbangan konsumsi) dan efisiensi kombinasi produk (keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi). Di bawah ini dibahas
54 masing-masing efisiensi tersebut pada kasus satu konsumen, dua faktor produksi dan dua komoditas.
2.4.2. Keseimbangan Produksi Nicholson (1994) berpendapat bahwa produsen akan berada dalam kondisi keseimbangan apabila Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS) antara dua faktor produksi yang digunakan sama dengan rasio harga dari kedua faktor produksi tersebut. Dengan demikian, untuk penggunaan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) dan kapital (K), maka keseimbangan produksi akan tercapai pada saat MRTSlk = w1/w2 di mana w1 adalah harga faktor L dan w2 harga faktor K. Pada kasus dua perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas yang berbeda yaitu x1 dan x2, keseimbangan simultan yang terjadi dapat dijelaskan melalui kotak Edgeworth seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.
Sumber: Nicholson (1994) Gambar 8. Diagram Kotak Edgeworth pada Kasus Dua Komoditas dan Dua Faktor Produksi
55 Pada Gambar 8, nampak bahwa keseimbangan simultan antara dua produk x1 dan x2 tercapai pada saat isoquant x1 bersinggungan dengan isoquant x2 pada berbagai tingkat output. Titik-titik singgung tersebut membentuk kurva yang disebut Contract Curve (CC). Pilihan tingkat output yang akan diproduksi ditentukan oleh rasio harga faktor. Secara matematis permasalahan di atas dapat diformulasikan sebagai berikut: MRTS 1lk = MRTS lk2 =
w1 w2
……………………………....………………(2.6)
dimana MRTS adalah slope dari isoquant. Rumusan di atas adalah rumusan keseimbangan umum di sektor produksi, yang tercapai pada saat MRTS untuk semua jenis output adalah sama. Jika harga faktor diketahui, maka jumlah output yang harus diproduksi agar tercapai keuntungan maksimum dapat ditentukan. Tingkat output x1 dan x2 yang diproduksi perusahaan harus sesuai dengan permintaan konsumen terhadap barang x1 dan x2. Permintaan konsumen ditentukan oleh harga relatif p1 dan p2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran dengan permintaan, dibutuhkan konsep Production Posibility Curve (PPC) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9. X1
X14
P1
X13
P2
X12
P3
X11
P4
0
X21
X 22
X23 X24
X2
Sumber: Nicholson (1994) Gambar 9. Production Possibility Curve
56 PPC diderivasi dari CC yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC adalah kumpulan titik-titik yang menggambarkan berbagai tingkat produksi x1 dan x2 yang efisien. PPC disebut juga kurva transformasi produk karena menggambarkan transfomasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi faktor produksi (Marginal Rate of Production Transformation = MRPT). Berdasarkan definisi: MRPT12 = -
dx1 dx dimana 1 < 0 ……………………….…..……....(2.7) dx 2 dx 2
Secara matematis dapat dibuktikan bahwa MRPT12 =
p1 , sebagai berikut: p2
Berdasarkan definisi MC: MC1 =
MC1 dC1 dx 2 dC1 dC 2 dan MC2 = , sehingga = . ……....…(2.8) MC 2 dC 2 dx1 dx1 dx 2
dimana: MC = Biaya marginal C
= Biaya total
Dengan menggunakan diferensiasi total: ∂ C1 = w1 (∂L1) + w2 (∂K1) dan ∂C2 = w1 (∂L2) + w2 (∂K2) ….…….....(2.9)
dimana: ∂L1 = - ∂L2 dan ∂K1 = γ ∂K2 MC1 dx dC1 = γ , jadi = − 2 = MRPT12 ……………….....……...….(2.10) MC 2 dx1 dC 2
Pada pasar persaingan sempurna: MC1 = p1 dan MC2 = p2, sehingga MRPT12 =
p1 …………….....…(2.11) p2
57
2.4.3. Keseimbangan Konsumsi Untuk mengetahui kondisi pareto optimum pada konsumen, maka harus diketahui konsep tingkat pertukaran marginal atau Marginal Rate of Substitution (MRS), dimana MRS menunjukkan kesediaan seorang konsumen untuk menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang untuk mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga relatif kedua barang yang akan dikonsumsinya, yang secara matematis dapat ditentukan sebagai berikut: Fungsi kepuasan U = f(X) dengan pendapatan (I), sehingga didapatkan: Max U = f (x1, x2) t.p.k p1x1 + p2x2 = I
γ = f (x1, x2) + λ (I – p1x1 – p2x2) MU 1 dγ = MU 1 − λ . p1 = 0 atau λ = p1 dx1
MU 2 dγ = MU 2 − λ . p 2 = 0 atau λ = dx 2 p2 dγ = I − p1 x1 − p 2 x 2 = 0 dλ MU 1 p = 1 …………………………………………...….………..…(2.12) MU 2 p 2
U = f (x1, x2) dU =
dU dU dx1 + =0 dx1 dx 2
MU 1 .dx1 + MU 2 .dx 2 = 0 MU 1 dx = − 2 = MRS12 ……………………………...........…………(2.13) MU 2 dx1
Dari persamaan (2.12) dan (2.13) terbukti bahwa MRS12 =
p1 ….....(2.14) p2
58
2.4.4. Keseimbangan Simultan di Sektor Produksi dan Konsumsi Keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi tercapai pada saat MRPT12 = MRS12 = p1/p2. MRPT menunjukkan bagaimana suatu produk ditransformasikan menjadi produk lain, sedangkan MRS menunjukkan sejauh mana konsumen mau mempertukarkan suatu komoditas dengan komoditas lainnya. Keseimbangan terjadi apabila rencana produksi sesuai dengan rencana konsumsi atau MRPT = MRS. Pengertian ekonomi dari keseimbangan simultan ini adalah bahwa kombinasi output x1 dan x2 harus optimal baik dari sudut produsen maupun konsumen.
Secara grafis keseimbangan simultan di sektor
produksi dan konsumsi dapat dilihat pada Gambar 10.
Sumber: Nicholson (1994) Gambar 10. Keseimbangan Simultan Sektor Produksi dan Konsumsi
59
2.5.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Oktaviani (2000) menganalisis dampak liberalisasi perdagangan dalam
skema kerjasama ekonomi Asia Pasifik (APEC) terhadap kondisi makroekonomi Indonesia dengan menggunakan model CGE INDOF. Model ini disusun berdasarkan pada model ORANI-F yaitu model CGE untuk Australia yang telah disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Selain itu, model GTAP (Global Trade Analysis Project) juga digunakan untuk menganalisis dampak dari liberalisasi perdagangan APEC pada kondisi pasar global yang berubah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan produktivitas dan kesempatan kerja akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) riil lebih besar dari perbaikan pada komponen ekonomi lain, baik dengan maupun tanpa liberalisasi perdagangan. Implikasinya adalah bahwa kedua variabel di atas dapat distimulasi lebih cepat lagi untuk berkontribusi bagi pemulihan ekonomi. Oktaviani dan Sahara (2005) melakukan penelitian tentang dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terhadap kinerja ekonomi makro, keragaan ekonomi sektoral dan rumahtangga di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan model CGE Recursice Dynamic. Simulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: (1) peningkatan harga BBM tanpa disertai kompensasi kepada masyarakat, dan (2) peningkatan harga BBM disertai dengan adanya kompensasi kepada masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan harga BBM pada kedua simulasi tersebut akan mengakibatkan turunnya konsumsi BBM, baik oleh konsumen industri maupun rumahtangga. Akibatnya, sebagian sektor industri mengurangi produksinya dan mengurangi tenaga kerja. Kenaikan harga BBM sebelum dan setelah kompensasi
60 menyebabkan daya beli masyarakat menurun di setiap kelompok rumahtangga karena peningkatan pendapatan nominal jauh lebih kecil dibandingkan dengan tingkat inflasi. Kondisi ini diperparah dengan turunnya tingkat upah pekerja yang tidak mempunyai keterampilan (unskilled). Untuk mempertahankan tingkat utilitas yang sama, jumlah rumahtangga di hampir seluruh kelompok pendapatan jumlahnya akan menurun. Hal ini mengindikasikan semakin tingginya tingkat kemiskinan. Oktaviani et al. (2005) membangun model CGE yang diberi nama Model Kemiskinan Indonesia (MKI). Model ini dibangun dengan mengkombinasikan model ORANI-F (Horridge et al., 1993), 1NDOF (Oktaviani, 2000), WAYANG (Wittwarr, 1999) dan ORANIGRD (Horridge, 2002). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak berkurangnya subsidi bahan bakar, sebagai suatu bentuk kebijakan fiskal, terhadap variabel makroekonomi, kinerja sektor pertanian dan distribusi pendapatan rumahtangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya subsidi bahan bakar cenderung menurunkan harga bahan bakar pada tingkat produsen. Penurunan ini terkait dengan berkurangnya permintaan rumahtangga dan industri terhadap bahan bakar. Sebagai input antara (intermediate), penurunan ini juga akan mempengaruhi harga output industri yang sangat tergantung pada bahan bakar, seperti sektor transportasi dan perikanan. Sebaliknya, perubahan pada harga bahan bakar tidak mempengaruhi harga padi. Upah tenaga kerja terlatih, sewa lahan dan bunga modal menurun sebagai respon perubahan harga bahan bakar. Rumahtangga akan kehilangan pendapatannya setelah menurunnya subsidi bahan bakar, yang pada gilirannya menurunkan kesejahteraan rumahtangga. Pendapatan tidak terdistribusi secara merata di dalam
61 masyarakat (grup rumahtangga). Kenaikan harga bahan bakar pada tingkat konsumen juga akan menurunkan GDP riil Indonesia. Oktaviani et al. (2006) melakukan studi yang bertujuan untuk menganalisis dampak pengurangan subsidi minyak dan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan melalui suatu peningkatan penawaran tenaga kerja administrator dan manager/professional. Model yang digunakan adalah model CGE dengan tujuan untuk menangkap dampak variabel makro dan mikroekonomi. Simulasi yang dilakukan adalah: (1) penurunan subsidi bahan bakar minyak sebesar 29 persen dan peningkatan penawaran tenaga kerja administrator sebesar 2.73 persen, (2) penurunan subsidi bahan bakar minyak sebesar 29 persen dan peningkatan penawaran tenaga kerja manager/professional sebesar 12.83 persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa GDP riil mengalami peningkatan tetapi Indonesia akan mengalami ketergantungan impor dalam jangka panjang. Seluruh skenario memberikan dampak yang positif terhadap upah nominal tenaga kerja, tetapi tidak secara otomatis meningkatkan daya beli mereka. Kebijakan tersebut tidak cukup untuk meningkatkan pendapatan dan pengeluaran rumahtangga tanpa meningkatkan penawaran tenaga kerja terdidik atau skilled (administrator dan manager/professional). Penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia (Joseph, Dewandaru dan Dhini, 2000) menggunakan model CGE yang diberi nama GEMBI. Model ini berguna dalam kegiatan simulasi jangka menengah-panjang dari dampak kebijakan moneter dan fiskal pada perkembangan laju inflasi. Misalnya seberapa besar pengaruh perubahan money stock terhadap tekanan inflasi pada dua triwulan ke depan, bagaimana dampak kebijakan kenaikan pengeluaran pemerintah terhadap target inflasi tahunan, atau seberapa besar dampak suatu perubahan nilai
62 tukar terhadap perkembangan inflasi dalam negeri. Adanya lag (selisih) dari suatu kebijakan dengan efeknya pada perekonomian menuntut kemampuan untuk melakukan simulasi-simulasi tersebut, sehingga pengendalian inflasi untuk tetap mencapai target yang telah ditentukan dapat dilakukan secara efektif. Dalam GEMBI, suatu kebijakan moneter mempengaruhi perkembangan di sisi internal (sektor riil dan pemerintah) dan di sisi eksternal (current account, nilai tukar, dan hutang luar negeri) melalui jalur transmisi suku bunga nominal dan jalur suku bunga riil. Penelitian mengenai dampak kebijakan fiskal juga dilakukan oleh Departemen Keuangan (2000) dengan menggunakan model CGE INDORANI. Walaupun dalam penelitian ini telah dilakukan disagregasi rumahtangga menjadi beberapa tipe rumahtangga, namun tidak dilakukan upaya untuk mengidentifikasi dampak dari kebijakan fiskal terhadap kejadian kemiskinan. Salah satu informasi yang berhubungan dengan kemiskinan yang ditemukan dari penelitian ini adalah bahwa rumahtangga perdesaan menengah dan besar kurang terpengaruh oleh kenaikan harga bahan bakar. Dengan menggunakan model CGE INDORANI, Abimanyu (2000) mengkaji isu ketergantungan liberalisasi perdagangan, aktivitas produksi sektor pertanian dan polusi lingkungan. Simulasi yang dilakukan adalah: (1) penurunan tarif impor input yang terkait dengan sektor pertanian, (2) peningkatan subsidi pupuk, dan (3) kombinasi pengurangan tarif impor dan peningkatan transfer pemerintah ke petani miskin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh kebijakan penurunan tarif impor input pertanian berdampak terhadap kenaikan GDP. Demikian pula dengan kebijakan peningkatan subsidi pupuk dan kombinasi kebijakan liberalisasi perdagangan dengan transfer pemerintah kepada masyarakat
63 miskin. Sektor pertanian memberikan manfaat yang lebih besar pada semua simulasi kebijakan yang dilakukan, khususnya pada usaha perkebunan karet dan kehutanan. Liberalisasi perdagangan dengan menurunkan tarif impor input pertanian secara relatif tidak begitu berdampak terhadap distribusi konsumsi nominal rumahtangga. Kebijakan ini lebih memberikan benefit kepada petani yang berpendapatan sedang. Adapun pemberiaan subsidi merupakan cara yang paling efektif untuk diterapkan, karena dengan pemberian subsidi langsung, akan sangat membantu masyarakat miskin di perdesaan yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Secara umum, penerapan tarif impor terhadap input pertanian tidak memberikan dampak terhadap lingkungan, namun demikian peningkatan penggunaan pupuk dalam negeri tidak efisien dan menjadi tidak ramah lingkungan. Sugema
(2001)
dalam
penelitiannya
menggunakan
model
CGE
MAKROEKONOMI. Dalam penelitian ini diungkapkan bahwa dalam mendorong terjadinya akselerasi pemulihan ekonomi selalu diperlukan bauran kebijakan fiskal dan moneter dengan tujuan mencapai suatu tingkat stabilitas ekonomi tertentu. Krisis ekonomi yang terjadi selama ini berawal dari kegagalan otoritas moneter dalam melakukan stabilisasi moneter seperti nilai tukar, jumlah uang beredar, suku bunga dan inflasi. Dalam model CGE MAKROEKONOMI dilakukan shock berupa kenaikan tingkat suku bunga sebesar 5 persen. Dampak dari kenaikan ini terhadap GDP cenderung negatif yaitu sebesar -0.863 persen. Artinya GDP akan mengalami penurunan sekitar 0.863 persen dibandingkan dengan tingkat GDP potensial. Hal ini berarti bahwa prospek pertumbuhan ekonomi dengan adanya kenaikan suku bunga menjadi semakin suram, sehingga
64 tight money policy cenderung kontra produktif dalam arti menciptakan hambatan bagi terciptanya recovery yang lebih mulus. Oktaviani (2001) menggunakan model CGE INDOMAKRO dalam penelitiannya yang berjudul Dampak Perubahan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Ekonomi Sektoral. Model ini merupakan pengembangan dari model CGE INDOF (Oktaviani, 2000) dan model CGE MAKROEKONOMI (Sugema, 2001). Melalui model ini dampak kebijakan fiskal terhadap semua pasar dan kinerja perekonomian lainnya dapat dilihat secara lebih terinci dibandingkan dengan model keseimbangan parsial. Perbedaan utama model CGE INDORANI dengan model CGE INDOMAKRO terletak pada disagregasi rumahtangga, dimana pada model CGE INDORANI rumahtangga sudah didisagergasi menjadi beberapa golongan rumahtangga, sedangkan pada model CGE INDOMAKRO rumahtangga hanya terdiri dari satu golongan. Pembagian rumahtangga diperlukan untuk melihat dampak suatu kebijakan fiskal terhadap distribusi pendapatan di antara golongan masyarakat. Dalam kaitannya dengan aspek kemiskinan, Hertel et al. (2004) mengestimasi kejadian kemiskinan Indonesia menggunakan ukuran kemiskinan yang dikemukakan oleh Foster, Greer dan Thorbecke (1984). Penelitian tersebut memfokuskan pada pendapatan di bawah garis kemiskinan. Namun demikian, peneliti memfokuskan pada issu sentral mengenai apakah liberalisasi perdagangan berdampak terhadap kejadian kemiskinan. Titik kritis untuk skenario pasca liberalisasi didapatkan dengan menghitung tingkat pendapatan yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat utilitas yang sama seperti yang dicapai sebelum liberalisasi, tetapi pada pendapatan dan harga konsumen setelah liberalisasi. Karena model GTAP yang digunakan dalam penelitian ini hanya mengasumsikan
65 satu konsumen teragregasi, peneliti menginkorporasikan data dari Susenas untuk membedakan rumahtangga menjadi berbagai kategori rumahtangga berdasarkan sumber pendapatannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan multilateral dapat menurunkan kemiskinan. Persentase penurunan kejadian kemiskinan jelas kelihatan pada kasus tenaga kerja rumahtangga di Indonesia, yaitu bahwa kemiskinan dapat menurun sebesar 10.6 persen. Untuk
menjawab
kelemahan
dalam
menggunakan
representasi
rumahtangga, Robilliard et al. (2001) dalam Oktaviani et al. (2005) menerapkan model simulasi mikro-makro untuk Indonesia. Model ini didasarkan pada data SAM Indonesia dengan 38 sektor dan 15 faktor produksi dan menggunakan subsample 9 800 rumahtangga dari survei Susenas tahun 1996. Survei tersebut memberikan infomasi mengenai sumber pendapatan, daerah tempat tinggal, komposisi demografis dan sumberdaya untuk modal manusia seperti tingkat pendidikan dan status kesehatan. Disamping fakta bahwa fokus dari penelitian adalah pada kemiskinan dan ketidakmerataan dalam masyarakat, namun gangguan kebijakannya bukan pada pemotongan subsidi tetapi implikasi dari krisis finansial yang memukul Indonesia pada tahun 1997. Simulasi yang dilakukan untuk merepresentasikan krisis finansial adalah: (1) devaluasi riil sebesar 20 persen, (2) kenaikan 25 persen pada biaya marketing untuk pangan, dan (3) penurunan sebesar 25 persen dan 20 persen ketersediaan modal kerja asing dan domestik dan penurunan 5 persen pada total faktor produktivitas. Damuri dan Perdana (2003) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan fiskal terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia, dengan menggunakan model CGE WAYANG. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspansi fiskal secara signifikan mempengaruhi distribusi pendapatan dan
66 kemiskinan. Ekspansi fiskal akan bermanfaat bagi rumahtangga perkotaan dan rumahtangga perdesaan nonlabour, khususnya bagi segmen masyarakat yang paling kaya. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh segmen ini membuat mereka menuai paling banyak keuntungan dari ekspansi fiskal tersebut. Selain itu, rumahtangga ini paling sedikit terpengaruh oleh peningkatan harga dalam kaitan dengan struktur konsumsi mereka. Savard (2003) menganalisis distribusi pendapatan dan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan model CGE. Analisis distribusi pendapatan yang digunakan adalah analisis indeks Gini, sedangkan untuk mengukur kemiskinan digunakan indeks FGT. Dalam kerangka CGE tersebut, poverty line diperlakukan sebagai variabel eksogen, sehingga tidak ada keterkaitan antara harga barangbarang makanan dan poverty line. Dalam penelitian ini digunakan dua model untuk diperbandingkan dalam rangka menghitung dampak simulasi kebijakan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Model pertama adalah mengendogenkan fungsi konsumsi dan menggunakan sistem permintaan yang sama dalam model rumahtangga yang disebut sebagai model Representative Agent CGE (RA-CGE). Model kedua melakukan perubahan pada sistem pengeluaran, dimana fungsi pengeluaran yang diturunkan dari fungsi utilitas CobbDouglass diganti dengan Non Linear Expenditure System yang disebut model Top-Down/Bottom-Up CGE (TD-BU CGE). Hasil analisis menunjukkan bahwa model pertama menghasilkan penurunan indeks Gini sebesar 0.11, sedangkan model kedua cenderung meningkatkan indeks Gini sebesar 0.042. Cockburn (2002) menggunakan CGE Micro Simulation Model yang diterapkan di Nepal untuk mengkaji dampak kebijakan fiskal dan liberalisasi perdagangan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Untuk tujuan
67 analisis distribusi pendapatan digunakan indeks Atkinson dan indeks Gini, sedangkan untuk analisis kemiskinan digunakan indeks FGT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak terhadap distribusi pendapatan adalah menurunkan indeks Gini maupun indeks Atkinson yang berarti mengarah pada distribusi pendapatan yang lebih merata. Indeks Gini data dasar (sebelum simulasi) menujukkan besaran 0.2287 yang tergolong pada distribusi yang merata. O’Ryan dan Sebastian (2003) mengkaji dampak peningkatan produktivitas kapital terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan dengan menggunakan model CGE. Sektor produksi didisagregasi ke dalam sektor pertanian primer, sektor primer lainnya, sektor agroindustri, sektor industri dan sektor-sektor lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas kapital di sektor industri menurunkan kesenjangan pendapatan. Populasi rumahtangga kaya memperoleh peningkatan pendapatan yang jauh lebih besar daripada golongan populasi miskin. Sebaliknya kebijakan di sektor pertanian dan agroindustri akan memperbaiki distribusi pendapatan. Kelompok rumahtangga miskin akan memperoleh peningkatan pendapatan yang lebih besar dibandingkan kelompok kaya. Dari beberapa studi di atas, nampak bahwa sebagian besar model CGE yang digunakan dalam studi adalah model CGE statis, yaitu model CGE yang tidak mempunyai referensi waktu yang jelas. Dengan kata lain, model CGE statis tidak memasukkan variabel lag waktu dan variabel harapan di masa yang akan datang. Adapun dalam penelitian ini digunakan model CGE recursive dynamic, yaitu model CGE yang bukan hanya mendesain variabel dalam kaitannya dengan waktu (time subscripted variable) tetapi yang lebih penting lagi mencakup hubungan antar variabel endogenus dari berbagai periode waktu, yang
68 sebelumnya tidak lazim digunakan. Menurut Oktaviani et al. (2007), keunggulan dari model CGE dinamis dibandingkan dengan model CGE statis antara lain bahwa dampak intertemporal dari suatu perubahan kebijakan dapat dipisahkan ke dalam dua fase yaitu: (1) dampak sementara jangka pendek (short term transitory effects), dan (2) dampak permanen jangka panjang (long term permanent effects). Melalui model CGE dinamis, pemilihan alternatif bauran kebijakan dapat dianalisis dengan cara membandingkan dampak jangka pendek dan jangka panjangnya. Suatu bauran mungkin hanya efektif dalam jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang. Di lain pihak, bauran lainnya hanya efektif dalam jangka panjang. Dengan kata lain, penentuan bauran kebijakan tidak hanya sebatas apa jenis kebijakan yang harus diterapkan tetapi juga aspek timing-nya. Seperti yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa dalam penelitian ini digunakan model CGE recursive dynamic. Unsur dinamis dalam model CGE ini ditunjukkan oleh akumulasi kapital dan pertumbuhan tenaga kerja setiap tahun. Model dasar yang digunakan adalah model CGE ORANI-F (Horridge et al., 1993), INDOF (Oktaviani, 2000), WAYANG (Wittwer, 1999), dan ORANIGRD (Horridge, 2002). Dalam penelitian ini dilakukan kombinasi antar beberapa model CGE tersebut di atas, sehingga memungkinkan digunakan sebagai alat analisis untuk mengkaji dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. Selanjutnya model ini diberi nama model CGE Agroindustri Indonesia (model CGE AGRINDO).
III. KERANGKA TEORI 3.1.
Model Pembangunan Dua Sektor Model pembangunan dua sektor pertama kali dikembangkan oleh W.A.
Lewis. Menurut Lewis, terdapat dikotomi dalam masyarakat di negara-negara terbelakang yaitu adanya dua sektor yang hidup berdampingan, sektor capital intensive (industri) dan sektor labor intensive (pertanian). Pada prinsipnya, model pembangunan dua sektor ini menititkberatkan pada mekanisme transformasi struktur ekonomi yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang (LDCs), yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya sektor industri dan jasa. Berkenaan dengan hal ini, maka industrialisasi pertanian merupakan media transmisi yang tepat bagi proses
transformasi
struktur
ekonomi
dari
perekonomian
subsisten
ke
perekonomian modern. Dalam teorinya, Lewis (1954) mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua sektor: (1) sektor tradisional yaitu sektor pertanian subsisten yang surplus tenaga kerja, dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi penampung transfer tenaga kerja dari sektor tradisional. Pada sektor pertanian tradisional di perdesaan, karena pertumbuhan penduduknya tiggi, maka terjadi kelebihan suplai (over supply) tenaga kerja yang dapat ditransfer ke sektor industri. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri terjadi tanpa mengakibatkan penurunan output sektor pertanian. Hal ini berarti
70 produk marginal tenaga kerja di sektor pertanian adalah nol, dimana dengan berkurangnya tenaga kerja, maka output sektor pertanian tidak akan berkurang. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka tingkat upah tenaga kerja di sektor pertanian juga akan rendah. Hubungan antara jumlah tenaga kerja, tingkat upah dan jumlah output di sektor pertanian dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut:
N PD = Fd (W− P , Q+ P ) …………………………………….……………(3.1) N PS = Fs (WP ) …………………………………………………………(3.2) N PD = N PS = N P …………………………………………………...…..(3.3)
QP = FqP ( N P ) ………………………………….………………….….(3.4) Persamaan (3.1) adalah permintaan tenaga kerja ( N PD ) yang merupakan fungsi negatif dari tingkat upah ( W P ) dan fungsi positif dari jumlah output sektor pertanian ( QP ). Persamaan (3.2) adalah penawararan tenaga kerja ( N PS ) yang merupakan fungsi dari tingkat upah ( WP ). Persamaan (3.3) mencerminkan keseimbangan di pasar tenaga kerja (labour market), yang menghasilkan suatu tingkat upah dan jumlah tenaga kerja keseimbangan. Sedangkan persamaan (3.4) adalah fungsi produksi di sektor pertanian ( QP ) yang merupakan fungsi dari jumlah tenaga kerja yang digunakan ( N P ). Nilai produk marjinal nol, artinya fungsi produksi di sektor pertanian seperti yang digambarkan pada persamaan (3.4) sudah berada pada skala kenaikan hasil yang semakin berkurang (diminishing return to scale), dimana setiap penambahan jumlah tenaga kerja justru akan menurunkan jumlah output yang dihasilkan. Dalam kondisi demikian, pengurangan jumlah tenaga kerja tidak akan menurunkan jumlah output di sektor pertanian. Hal inilah yang akan mendorong tingkat upah tenaga kerja di sektor
71 pertanian menjadi sangat rendah. Di lain pihak, sektor industri di perkotaan yang mengalami kekurangan tenaga kerja berada pada skala kenaikan hasil yang semakin bertambah (increasing return to scale), dimana produk marjinal tenaga kerja positif. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat upah tenaga kerja di sektor industri relatif tinggi. Perbedaan tingkat upah tenaga kerja pada kedua sektor ini akan menarik banyak tenaga kerja untuk berpindah (migrasi) dari sektor pertanian ke sektor industri. Karena persediaan tenaga kerja di sektor pertanian tidak terbatas, maka sektor industri dapat berkembang dengan menarik tenaga kerja secara tidak terbatas dari sektor pertanian. Tenaga kerja bersedia pindah ke sektor industri karena mereka dapat menerima upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan upah subsisten di sektor pertanian. Produktivitas marginal tenaga kerja di sektor industri lebih tinggi dari upah yang mereka terima, sehingga mengakibatkan terbentuknya surplus sektor industri. Surplus sektor industri dari selisih upah ini diinvestasikan kembali seluruhnya dan tingkat upah di sektor industri diasumsikan konstan serta jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor pertanian. Oleh karena itu, laju dari proses transfer tenaga kerja tersebut ditentukan oleh tingkat investasi dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor industri. Pada tingkat upah sektor industri yang konstan, kurva penawaran tenaga kerja perdesaan dianggap elastis sempurna. Sektor industri akan terus menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian sampai pada titik dimana tingkat upah sama dengan nilai produk marginal tenaga kerja sektor industri. Pada akhirnya rasio tenaga kerja-kapital (capital labor ratio) naik dan penawaran tenaga kerja di sektor pertanian tidak lagi elastis sempurna.
72 Karena dalam model Lewis diasumsikan bahwa surplus sektor industri dari selisih upah diinvestasikan kembali seluruhnya, maka kurva produk marginal tenaga kerja akan bergeser ke kanan. Proses ini dapat digambarkan sebagai pergeseran kurva penawaran tenaga kerja atau produktivitas marginal ke kanan pada sektor industri pada tingkat upah yang lebih tinggi daripada upah subsisten di sektor pertanian, seperti disajikan pada Gambar 11.
Upah/Produk Marginal Y P4 P3
Keterangan :
P2
OX= jumlah tenaga kerja
P1
OY= upah dan produk marginal Q1 Q2 Q3 Q4
W S
W S
O
N1 N2 N3 N4
OW= upah sektor industri OS= upah subsisten pertanian WW= kurva penawaran TK X
Jumlah Tenaga kerja
Sumber: Jhingan (2000) Gambar 11. Model Dua Sektor Lewis Pada Gambar 11, nampak bahwa pada penggunaan tenaga kerja ON1, produktivitas marginal P1Q1, dan total output OP1Q1N1. Upah yang diterima tenaga kerja OWQ1N1 dan surplus sektor industri adalah WP1Q1. Surplus sektor industri memungkinkan penambahan tenaga kerja hingga ON4. Akibatnya produktivitas marginal meningkat ke P4Q4, total output OP4Q4N4, upah OWQ4N4 dan surplus sektor industri sebesar WP4Q4. Proses pertumbuhan seperti diuraikan di atas disebut sebagai pertumbuhan berkesinambungan (self-sustaining growth) dari sektor industri dan perluasan
73 kesempatan tenaga kerja tersebut diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja perdesaan diserap habis oleh sektor industri. Tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian tradisional dengan biaya yang lebih tinggi. Dengan demikian ketika tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja berslope positif. Transformasi struktur perekonomian akan terjadi dari perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian yang tradisional ke perekonomian yang didominasi oleh sektor industri yang modern. Menurut Todaro (2000), model Lewis pada kenyataannya mengandung beberapa kelemahan karena asumsi-asumsi yang digunakan, khususnya untuk sebagian besar negara berkembang. Kelemahan pertama menyangkut reinvestasi modal dimana model tersebut mengasumsikan bahwa tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja di sektor industri sebanding dengan tingkat akumulasi modal. Namun fenomena menunjukkan bahwa sebagian besar reinvestasi justru dilakukan untuk mengembangkan industri dengan teknologi yang hemat tenaga kerja. Dengan demikian penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian akan berjalan lamban. Belum lagi adanya kenyataan bahwa akumulasi modal tidak seluruhnya ditanamkan kembali di dalam negeri. Pelarian modal (capital flight) ke luar negeri sering terjadi karena alasan faktor keamanan di dalam negeri. Kelemahan kedua menyangkut asumsi surplus tenaga kerja yang terjadi di perdesaan. Kenyataan menunjukkan bahwa kelangkaan tenaga kerja pertanian di perdesaan sudah mulai dirasakan, sementara pengangguran banyak terjadi di perkotaan. Kelemahan ketiga menyangkut asumsi tentang pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor industri, sehingga menjamin upah riil di perkotaan
74 yang konstan sampai pada suatu titik dimana surplus tenaga kerja habis terpakai. Pada kenyataannya upah di pasar tenaga kerja sektor industri cenderung meningkat dari waktu ke waktu, baik secara absolut maupun secara riil. Dengan beberapa kelemahan tersebut di atas, maka konsep pembangunan dengan berbasis pada perubahan struktural seperti dalam model Lewis memerlukan beberapa penyempurnaan sesuai dengan fenomena ekonomi yang ada. Dalam hal ini Fei dan Ranis (1964) memperbaiki kelemahan model Lewis dengan penekanan pada masalah surplus tenaga kerja yang tidak terbatas dari model Lewis. Penyempurnaan tersebut terutama pada pentahapan perubahan tenaga kerja. Model Fei-Ranis membagi tahap perubahan transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri menjadi tiga tahap berdasarkan pada produktivitas marjinal tenaga kerja dengan tingkat upah dianggap konstan dan ditetapkan secara eksogenus. Tahap pertama, tenaga kerja diasumsikan melimpah sehingga produktivitas marjinal tenaga kerja mendekati nol. Dalam hal ini surplus tenaga kerja yang ditransfer dari sektor pertanian ke sektor industri memiliki kurva penawaran elastis sempurna. Pada tahap ini walaupun terjadi transfer tenaga kerja, namun total produksi di sektor pertanian tidak menurun, produktivitas tenaga kerja meningkat dan sektor industri tumbuh karena tambahan tenaga kerja dari sektor pertanian. Dengan demikian transfer tenaga kerja menguntungkan kedua sektor ekonomi. Tahap kedua adalah kondisi dimana produk marginal tenaga kerja sudah positip namun besarnya masih lebih kecil dari tingkat upah. Artinya setiap pengurangan satu satuan tenaga kerja di sektor pertanian akan menurunkan total produksi. Pada tahap ini transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor
75 industri memiliki biaya imbangan positip, sehingga kurva penawaran tenaga kerja memiliki
elastisitas
positip.
Transfer
tenaga
kerja
terus
terjadi
yang
mengakibatkan penurunan produksi, namun penurunan tersebut masih lebih rendah dari besarnya tingkat upah yang tidak jadi dibayarkan. Di sisi lain karena surplus produksi yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaan meningkat, yang diakibatkan oleh adanya penambahan tenaga kerja, maka harga relatif komoditas pertanian akan meningkat. Tahap ketiga adalah tahap komersialisasi di kedua sektor ekonomi. Pada tahap ini produk marginal tenaga kerja sudah lebih tinggi dari tingkat upah. Pengusaha yang bergerak di sektor pertanian mulai mempertahankan tenaga kerjanya. Transfer tenaga kerja masih akan terjadi jika inovasi teknologi di sektor pertanian dapat meningkatkan produk marginal tenaga kerja. Sementara itu, karena adanya asumsi pembentukan modal di sektor industri direinvestasi, maka permintaan tenaga kerja di sektor ini juga akan terus meningkat. Secara grafis, ketiga tahapan tersebut dapat digambarkan seperti yang disajikan pada Gambar 12. Pada tahap pertama, tenaga kerja sektor pertanian yang mempunyai produktivitas marjinal (Marginal Physical Productivity = MPP) sama dengan nol dialihkan ke sektor industri dengan upah institusional yang sama. Pada Gambar 12 panel C ditunjukkan pada bagian horizontal dari kurva Total Physical Productivity (TPP), yaitu CX produktivitas total tetap sehingga produktivitas marginal tenaga kerja sebesar MN adalah nol. Pada panel B ditunjukkan jumlah tenaga kerja sebesar NM dari kurva MPP (kurva NMRU) atau bagian CX dari kurva TPP pada panel C, dipindahkan ke sektor industri seperti ditunjukkan oleh OM pada panel A pada tingkat upah institusional yang sama yaitu OW (=NM).
76
Upah/Output Marginal P2
(A)
P1 P
Q H
T
W
OW= upah institusional WTHQ= kurva penawaran tenaga kerja PT, P1H, P2H= kurva permintaan tenaga kerja
N
Industri
M O Output Rata-rata V
L
K
Tenaga Kerja
N
U NMRU= kurva MPP NW= upah institusional
(B) W N
A
R Pertanian
S L K
M
Tahap I Tahap II
Tahap III
O
Tenaga Kerja N
M
L
O
K
OCX= kurva TPP NX/ON= upah rill/upah institusional F
(C) D
G
B
X
Output Total E
C
Pertanian Y
Sumber: Jhingan (2000) Gambar 12. Model Dua Sektor Fei-Ranis Pada tahap kedua, pekerja pertanian yang dapat memberikan sumbangan untuk menambah ouput (MPP>0) tetapi memproduksi lebih kecil daripada upah institusional, juga dialihkan ke sektor industri. Pada panel B ditunjukkan MPP pekerja pertanian sebesar MK positif dalam garis MR pada kurva MPP (atau NMRU) tetapi lebih rendah dari upah institusional KR (=NW). Dalam batas
77 tertentu mereka sebenarnya juga penganggur tersembunyi. Akan tetapi dengan MPP positif, perpindahan tenaga kerja ini mengakibatkan menurunnya output sektor pertanian. Harga produk pertanian meningkat relatif terhadap produk industri, sehingga membutuhkan kenaikan upah minimal di sektor industri, di atas upah institusional, OW. Upah naik ke LH dan KQ, penawaran tenaga kerja tidak lagi perfect elasticity yang ditunjukkan oleh gerak naik kurva WT ke H dan Q, pada saat tenaga kerja sebesar ML dan LK pindah sedikit demi sedikit ke sektor industri (panel A). Pada tahap ketiga, pekerja pertanian mulai menghasilkan ouput yang sama dengan upah institusional dan akhirnya melampaui upah institusional. Hal ini ditunjukkan oleh naiknya kurva RU dari kurva MPP pada panel (B) yang lebih tinggi daripada upah institusional KR (=NW). Akibatnya tenaga kerja sebanyak KO akan dialihkan dari sektor pertanian ke sektor industri pada upah nominal yang meningkat melebihi KQ pada panel (A). Hal ini akan menyedot kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian yang telah bersifat komersial. Fei dan Ranis menyebut batas tahap I dan II sebagai titik kelangkaan, sedangkan batas antara tahap II dan III sebagai titik komersialisasi. Peralihan tenaga kerja ke sektor industri mengakibatkan meningkatnya produktivitas sektor pertanian sehingga terjadi surplus hasil-hasil pertanian. Surplus ini dimaksudkan selisih antara total ouput yang dihasilkan tenaga kerja dengan konsumsi yang diperlukan tenaga kerja pertanian itu sendiri. Surplus tersebut ditunjukkan oleh jarak vertikal antara garis OX dan kurva produksi pisik total OCX. Besarnya surplus pada setiap tahap perpindahan tenaga kerja adalah NM (BC), ML (DE) dan LK (FG). Surplus ini dapat dianggap sebagai sumbersumber pertanian yang dilepas ke pasar melalui pengalokasian kembali pekerja
78 pertanian. Sumber-sumber ini dapat disedot melalui kegiatan investasi para pemilik tanah atau melalui kebijakan perpajakan yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang perkembangan sektor industri. Model pembangunan dua sektor yang lain dikemukakan Chenery (1992) yang pada dasarnya hampir sama dengan model Lewis, yaitu memfokuskan pada perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi di LDCs yang mengalami pergeseran dari sektor pertanian tradisional (subsisten) ke sektor industri sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Pergeseran tersebut terjadi sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang membawa perubahan dalam pola permintaan konsumen dari makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lain ke berbagai macam barang industri dan jasa, akumulasi kapital fisik dan manusia (SDM), perkembangan industri-industri di perkotaan yang terjadi bersamaan dengan proses migrasi penduduk dari daerah perdesaan ke perkotaan, serta penurunan laju pertumbuhan penduduk dan ukuran keluarga (family size) yang semakin kecil. Perubahan struktur ekonomi yang sejalan dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), yang merupakan total nilai tambah (NT) dari semua sektor perekonomian, dapat dilihat pada perubahan pangsa nilai tambah setiap sektor dalam pembentukan PDB yang secara sederhana dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut: PDB = NTa + NTi ………………………………………………….....(3.5) 1 = [b(t ) a + b(t )i ] …………….........……………………………….….(3.6) Pada persamaan (3.5), dimisalkan dalam suatu perekonomian hanya terdapat dua sektor, yaitu sektor pertanian (agriculture) dan sektor industri, dengan nilai tambah masing-masing sebesar NTa dan NTi yang membentuk
79 PDB. Sedangkan persamaan (3.6), menunjukkan pangsa masing-masing sektor dalam pembentukan PDB yaitu sebesar b(t ) a dan b(t ) i , dimana t menunjukkan
periode waktu. Pada tahap awal pembangunan (t = 0), merupakan tahap sebelum dimulainya proses industrialisasi, dimana
b(0) a >
b(0) i . Dalam proses
pembangunan akan terjadi transformasi ekonomi, dimana pangsa sektor pertanian dalam pembentukan PDB menurun, sebaliknya pangsa sektor industri dalam pembentukan PDB meningkat. Pada tahap akhir pembangunan ekonomi (t = 1), pangsa sektor pertanian dalam pembentukan PDB lebih rendah dibandingkan dengan pangsa sektor industri [ b(1) a < b(1) i ], dimana b(1) a < b(0) a dan b(1) i > b(0) i . Dalam jangka panjang, perubahan pangsa masing-masing sektor dalam pembentukan PDB mempunyai pola seperti yang disajikan pada Gambar 13. Pada Gambar 13, nampak bahwa dalam proses perubahan struktur ekonomi, pangsa sektor pertanian (primer) dalam sumbangannya dalam pembentukan PDB semakin menurun dari waktu ke waktu seiring dengan peningkatan PDB. Sebaliknya, pangsa sektor industri (sekunder) dan jasa (tersier) dalam sumbangannya dalam pembentukan PDB menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat.
3.2.
Strategi Industrialisasi Pertanian Terdapat beberapa strategi industrialisasi pertanian, baik secara konseptual
maupun secara empiris, pernah diterapkan di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada prinsipnya strategi industrialisasi dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama, strategi industrialisasi substitusi impor (importsubstitution industrialization strategy) yang berorientasi ke dalam (inward
80 looking) dan pada pemenuhan pasar dalam negeri. Kedua, strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor (export-led industrialization strategy) yang berorientasi keluar (outward looking). Menurut Tambunan dan Priyanto (2005), pada tahun 1970-1985 Indonesia menerapkan strategi industrialisasi substitusi impor, kemudian beralih ke strategi industrialisasi berdasarkan promosi ekspor pada tahun 1986 hingga sekarang. Pangsa Output Sektoral terhadap Pembentukan PDB
Tersier
Sekunder
Primer
Waktu (t) t=0 “rendah”
Tingkat pembangunan/ pendapatan per kapita
Sumber: Tambunan (2003, dimodifikasi). Gambar 13. Perubahan Struktur Ekonomi
t=n “tinggi”
81
3.2.1. Strategi Industrialisasi Substitusi Impor Penerapan strategi industrialisasi di negara-negara berkembang pada umumnya dimulai dengan industri substitusi impor, terutama di Amerika Latin, Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara. Strategi ini berorientasi pada penciptaan output untuk memenuhi pasar di dalam negeri, karena pasar luar negeri sudah dikuasai oleh negara-negara maju (Sahrial, 2005). Pelaksanaan strategi industrialisasi substitusi impor didasarkan pada pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan pengembangan industri di dalam negeri yang memproduksi barang-barang pengganti (substitusi) impor (Arief, 1990). Penerapan strategi substitusi impor didasarkan pada alasan bahwa secara historis perdagangan berlangsung sebagai mekanisme ketimpangan internasional yang merugikan negara berkembang dan menguntungkan negara maju. Ketimpangan tersebut muncul karena semakin lebarnya nilai tukar perdagangan (Term of Trade=TOT) antara komoditas pertanian dari negara-negara berkembang dan komoditas industri dari negara-negara maju. Hal tersebut diatasi dengan membangun industri substitusi impor yang diproteksi melalui fasilitas bea masuk terhadap bahan-bahan mentah dan barang-barang modal. Sebagai alasan utama penerapan strategi substitusi impor adalah untuk mencukupi kebutuhan domestik dalam jangka panjang dan menghemat devisa melalui penggantian barang-barang impor dengan produksi dalam negeri (Susilowati, 2007). Pembangunan industri substitusi impor melandaskan pada argumen industri muda (infant–industry argument) dimana industri semacam ini dilakukan hanya untuk kasus negara-negara yang baru berkembang dalam upaya mengatasi
82 keterbatasan mereka sampai dapat tumbuh bersaing secara efektif di pasar internasional (Chacholiades, 1990). Secara grafis, infant-industry argument dapat dijelaskan seperti yang disajikan pada Gambar 14. Produk substitusi impor L2 U2 P2
C2
L1 C1 U1 P1
0
V
Produk lokal
Sumber: Chacholiades (1990) Gambar 14. Argumen Industri Muda Pada Gambar 14, nampak bahwa pada kondisi awal Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) dinyatakan sebagai kurva UV dengan TOT dunia konstan pada L1 P1, produksi berada di P1 dan konsumsi di C1. Dengan adanya proteksi dan subsidi terhadap industri substitusi impor, maka KKP akan bergeser ke kanan ke kurva U1V, akibatnya produksi meningkat ke P2 dan konsumsi ke C2 yang menunjukkan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Salah satu ciri strategi industrialisasi substitusi impor yang dilakukan di negara-negara berkembang adalah bersifat padat modal, sehingga perannya dalam penyerapan tenaga kerja sangat rendah. Hal ini sebagai konsekuensi dari adanya
83 distorsi dalam harga relatif faktor produksi, terutama faktor modal dan tenaga kerja, yang timbul akibat kebijakan pemberian fasilitas bea masuk dan perlindungan tarif terhadap faktor modal, sehingga membuat harga relatif faktor modal menjadi lebih murah dari harga relatif tenaga kerja. Dengan demikian proses pembangunan melalui strategi industrialisasi substitusi impor akan menghasilkan peningkatan produk-produk industri yang bias ke arah padat modal. Penerapan strategi industrialisasi substitusi impor di Indonesia dimulai hampir bersamaan dengan adanya lonjakan harga minyak bumi (oil-boom) pada tahun 1974. Strategi ini dimungkinkan oleh melimpahnya penerimaan devisa dari kenaikan harga minyak bumi. Pilihan strategi industrialisasi substitusi impor ditandai oleh pengembangan industri dasar besi dan baja, industri logam dasar bukan besi, industri barang dari logam, industri pengilangan minyak bumi dan industri semen. Pengembangan industri berat di bagian hulu yang disertai oleh pengembangan industri barang konsumsi berteknologi tinggi di bagian hilir pada periode berikutnya, seperti industri peralatan rumahtangga dan asembling kendaraan bermotor yang tidak efisien, sehingga harus didukung oleh penerapan kebijakan perdagangan luar negeri restriktif untuk memproteksi infant industry. Namun demikian, pada saat harga minyak bumi anjlok pada tahun 1982 dan jatuh pada tingkat yang sangat rendah pada tahun 1986, pemerintah melakukan reorientasi pengembangan industri dari substitusi impor ke promosi ekspor.
3.2.2. Strategi Industrialisasi Promosi Ekspor Sesuai
dengan
industrialisasi promosi
teori ekspor
klasik
perdagangan
melibatkan
internasional,
pembangunan
sektor
strategi industri
manufaktur sesuai keunggulan komparatif yang dimiliki oleh negara yang
84 bersangkutan. Strategi ini mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumberdaya ekonomi yang ada mengikuti perubahan pola dari keunggulan komparatif. Orientasi keluar, yang merupakan dasar dari strategi promosi ekspor, menghubungkan ekonomi domestik dengan ekonomi dunia lewat promosi perdagangan. Oleh karena itu, banyak negara yang menerapkan strategi promosi ekspor menghilangkan beberapa rintangan terhadap ekspor (Tambunan, 2001). Pertimbangan untuk menerapkan strategi promosi ekspor diantaranya adalah strategi tersebut memungkinkan terciptanya arus modal internasional dan jaringan pertukaran ketrampilan, teknologi dan manajemen. Strategi tersebut juga akan menciptakan kesempatan kerja lebih besar dibandingkan dengan strategi substitusi impor (Gillis et al., 1987; Azis, 1989). Di sisi lain mengalirnya arus modal internasional ke negara-negara berkembang karena: (1) modal internasional mencari daerah investasi di negara-negara dimana upah buruh masih murah, dan (2) adanya teknologi pada proses produksi untuk barang-barang tertentu yang memungkinkan pembagian kerja internasional (international division of labour) di bawah suatu atap produksi (Arif, 1990). Oleh karena di negara berkembang nilai tenaga kerja lebih rendah dibandingkan dengan di negara maju (pentransfer modal dan teknologi), untuk mempertahankan daya saing maka teknologi tersebut direalokasi ke negara berkembang. Strategi promosi ekspor dengan demikian berada dalam lingkaran bisnis multinasional yang bersifat footlose industry dengan model principle-agent, dimana principle-nya tetap berada di negara penyedia teknologi sedangkan agent-nya di negara berkembang. Dengan demikian pertimbangan realokasi industri tersebut bukan didorong oleh faktor bahan baku, melainkan dengan pertimbangan terutama tenaga kerja murah dan tuntutan lingkungan yang rendah (Susilowati, 2007).
85 Mekanisme strategi promosi ekspor adalah melalui kebijakan perdagangan luar negeri yang netral, yang mengandung pengertian suatu liberalisasi perdagangan. Pembatasan impor barang jadi yang dilakukan untuk merangsang perkembangan industri substitusi impor dianggap suatu hal yang menimbulkan distorsi alokasi sumber-sumber ekonomi, karena negara akan kehilangan peluang untuk mengambil manfaat dari keunggulan komparatif (comparative advantage) dari produksi yang dapat diekspor. Oleh karena itu inti dari kebijakan promosi ekspor adalah untuk menaikkan ekspor dengan memberikan perangsang pada sektor ekspor dan bersamaan dengan itu dilakukan liberalisasi impor untuk menghilangkan distorsi dalam alokasi sumberdaya ekonomi. Kebijakan tersebut dapat dikatakan merupakan kebijakan yang didasarkan pada pemikiran klasik atau neoklasik yang berlandaskan pada konsep perdagangan bebas. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dasar teori yang digunakan untuk melakukan strategi promosi ekspor bagi negaranegara pengekspor adalah mengambil manfaat dari keuntungan komparatif tenaga kerja melalui perdagangan internasional. Menurut Gillis et al. (1987), teori keunggulan komparatif memiliki implikasi bahwa negara akan mengekspor secara intensif produk yang menggunakan faktor produksi yang melimpah dan mengimpor produk yang memerlukan faktor produksi yang relatif langka. Implikasi teori keunggulan komparatif dapat dijelaskan melalui Gambar 15. Sebelum melakukan perdagangan, suatu negara (yang diasumsikan memiliki kelimpahan sumberdaya tenaga kerja) memperoleh utilitas terbesar dengan memproduksi dan mengkonsumsi di titik A. Slope pada titik A tersebut menunjukkan Term of Trade (TOT) produk yang intensif tenaga kerja relatif terhadap produk yang intensif kapital. Jika di negara lain memiliki sumberdaya kapital yang lebih baik dibandingkan sumberdaya tenaga kerja, maka TOT produk
86 yang intensif tenaga kerja akan lebih tinggi dibandingkan produk yang intensif modal. Barang impor (padat kapital) TOT dunia
C
A TOT sebelum perdagangan B D 0
Barang ekspor (padat tenaga kerja)
Sumber: Gillis et al. (1987) Gambar 15. Keuntungan Perdagangan Melalui Konsep Keunggulan Komparatif Apabila yang diimpor adalah barang modal dan teknologi, maka setelah perdagangan kemampuan produksi meningkat ke titik B dan selain itu dapat mengkonsumsi kedua barang di titik C yang merupakan persinggungan antara TOT dunia dengan kurva indiferen yang baru, yang lebih tinggi dibanding titik semula di A. Negara akan dapat mengekspor sebesar BD dan mengimpor barang modal dan kapital sebesar CD. Dengan memanfaatkan keunggulan komparatif berupa tenaga kerja dalam melakukan perdagangan, maka dapat dicapai pertumbuhan produksi dan konsumsi yang lebih tinggi. Menurut Klein (1971), terdapat dua macam sumber keunggulan komparatif suatu negara dalam memproduksi suatu produk baru, yaitu:
87 (1) keunggulan komparatif dari faktor pengetahuan (learning factor) disebut sebagai keunggualan dinamis, dan (2) keunggulan komparatif dalam proses produksi dengan memanfaatkan tenaga kerja dan atau modal yang disebut sebagai keunggulan statis. Dalam pelaksanaan strategi promosi ekspor, Indonesia sebagai negara berkembang memiliki keunggulan statis berupa tenaga kerja, sementara negara-negara maju sebagai penyedia teknologi memiliki keunggulan dinamis berupa teknologi. Untuk menampung masuknya perusahaan-perusahaan manca negara yang akan mengekspor barang-barang yang sudah dirakit, negara-negara berkembang membuka kawasan perdagangan bebas (free trade zones) atau kawasan proses ekspor (export procesing zones). Dalam prakteknya penerimaan yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan ekspor hanya berupa nilai ekivalen pembayaran terhadap pekerja-pekerja lokal dan pembelian-pembelian lokal oleh perusahaan tersebut, karena ekspor yang dilakukan sebetulnya merupakan subcontracting export dari perusahaan luar negeri kepada afiliasinya di negara-negara lain. Dengan demikian manfaat nilai ekspor yang dinikmati oleh negara-negara tersebut sangat kecil (Arief, 1990). Meskipun penciptaan tenaga kerja secara langsung cukup besar karena operasi perusahaan bersifat padat karya tetapi penggunaan input lokal secara umum tidak berarti, sehingga keterkaitan dengan ekonomi lokal sangat kecil. Satu-satunya manfaat yang cukup nyata terhadap perekonomian lokal adalah pembayaran upah terhadap pekerja-pekerja lokal, namun untuk setiap pekerja pembayaran tersebut relatif rendah karena sebagian besar tenaga kerja terdiri dari pekerja-pekerja wanita yang dalam soal upah umumnya mengalami diskriminasi. Oleh karena syarat utama pelaksanaan operasi perusahaan promosi ekspor adalah upah buruh yang rendah, maka tidak akan ada kenaikan upah riil buruh
88 industri karena akan mempertinggi biaya produksi sehingga mengurangi daya saing barang-barang industri yang diekspor. Oleh karena itu insentif bagi perusahaan ekspor pada dasarnya menimbulkan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan bagi kelompok pemodal, seperti halnya pada industri substitusi impor. Kebijakan penerapan strategi industrialisasi promosi ekspor yang diambil oleh pemerintah Indonesia ternyata belum berpihak pada pengembangan sektor pertanian dan industri pengolahannya secara lebih serius. Pemerintah masih cenderung mengadopsi kombinasi broad based industry dan hitech industry seperti pengembangan industri rekayasa berat, pabrikasi baja, industri kimia dan farmasi, serta industri alat transportasi.
3.3.
Agricultural-Demand-Led Industrialization Baik strategi industrialisasi substitusi impor maupun strategi industrialisasi
promosi ekspor dipandang tidak berhasil digunakan sebagai pendekatan pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini didasarkan pada dua faktor, yaitu: (1) kedua proses industrialisasi tersebut tidak terintegrasi dengan sektor pertanian yang menjadi sumber penghidupan sebagian besar masyarakat, dan (2) kedua strategi tersebut menghasilkan redistribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan pemilik modal. Atas dasar kedua hal inilah maka strategi industrialisasi yang sesuai untuk diterapkan di negara-negara berkembang haruslah industrialisasi yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat luas dan meningkatkan pendapatan masyarakat luas serta memberikan efek positif terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Mengingat sebagian besar masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang berada di sektor pertanian, maka strategi industrialisasi yang sesuai adalah strategi yang menitikberatkan program
89 pembanguan di sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain. Strategi tersebut dinamakan strategi Agricultural-Demand-Led Industrialization (ADLI Strategy). Startegi industrialisasi ADLI merupakan program investasi masyarakat untuk mendorong kurva suplai produk pertanian menjadi lebih elastis. Permintaan dalam negeri dikembangkan melalui pembangunan sektor pertanian sehingga sektor pertanian menjadi pasar yang efektif untuk produk-produk sektor industri melalui keterkaitan permintaan barang-barang antara (intermediate demand) dengan permintaan akhir (final demand). Proses pembangunan industri melalui strategi ADLI bukan hanya merupakan proses pembangunan yang didasarkan atas teknologi padat karya dengan sektor pertanian sebagai sektor pemimpin yang akan menciptakan pertumbuhan seiring dengan perluasan kesempatan kerja, namun juga merupakan program industrialisasi yang dapat mendukung program ketahanan pangan dan pemerataan pendapatan. Dengan demikian, jelas bahwa strategi ADLI merupakan strategi industrialisasi yang akan dapat mendukung pengembangan sektor agroindustri. Paradigma
baru
pembangunan
pertanian
menempatkan
strategi
Agricultural Demand-Led Industrialization (ADLI) sebagai strategi industrialisasi yang menitikberatkan program pembangunan di sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektorsektor lain (Adelman, 1984; de-Janvry, 1984). Strategi ini berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan investasi dan inovasi teknologi, serta meningkatkan pendapatan masyarakat di perdesaan. Mengacu pada teori keterkaitan dimana keterkaitan ke belakang merangsang investasi pada industri yang mensuplai input dan keterkaitan ke depan mendorong investasi untuk tahapan produksi lebih lanjut, peningkatan produktivitas pertanian melalui
90 keterkaitan ke belakang akan menstimulus permintaan input pertanian (pupuk, pestisida dan benih unggul) dan barang-barang kapital (jaringan irigasi, mesin pertanian, transportasi dan infrastruktur lain) serta meningkatkan permintaan tenaga kerja. Peningkatan kesempatan kerja bukan hanya di sektor pertanian, tetapi juga akan menciptakan kesempatan kerja nonpertanian dan jasa. Melalui keterkaitan ke depan, investasi di sektor pertanian tersebut akan menstimulus investasi di sektor industri pengolahan hasil pertanian dan industri nonpertanian lain serta jasa. Di sisi lain peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendapatan rumahtangga yang pada akhirnya menstimulus peningkatan konsumsi pangan, baik bahan pangan primer maupun olahan serta konsumsi nonpertanian lain. Di negara-negara yang sedang
berkembang,
konsumsi domestik
merupakan faktor utama pertumbuhan ekonomi, dan mengingat sebagian besar penduduk tinggal dan bekerja di sektor pertanian dan menggantungkan hidup mereka di sektor pertanian, maka strategi ADLI merupakan strategi pembangunan pertanian yang memanfaatkan kekuatan permintaan rumahtangga perdesaan dalam rangka meningkatkan barang industri dan jasa yang padat tenaga kerja. Dalam hal ini sektor agroindustri atau industri pengolahan yang berbasis pertanian serta sektor pertanian primer merupakan sektor andalan pembangunan pertanian melalui strategi ADLI.
3.4.
Dampak Peningkatan Produktivitas Produktivitas merupakan rasio dari output yang diproduksi per unit
sumberdaya (input) yang digunakan. Tingkat produktivitas berarti sejumlah output dari sumberdaya yang digunakan, dengan pilihan sejumah tenaga kerja,
91 material dan beberapa kombinasi sumberdaya yang mungkin. Produktivitas mengukur kemungkinan variasi yang menyangkut kedua aspek baik output maupun input yang digunakan, sehingga dimungkinkan adanya produktivitas tenaga kerja, produktivitas kapital dan lain-lain (Sudarsono, 1995). Menurut Nicholson (1994), produktivitas dinyatakan sebagai sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang mengacu pada perbandingan output terhadap input. Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya tingkat produktivitas, misalnya produktivitas tenaga kerja. Produktivitas mengacu pada kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat output tertentu pada periode waktu tertentu. Peningkatan produktivitas dapat ditempuh antara lain melalui perubahan teknologi (technological change). Perubahan teknologi mencakup seluruh perubahan teknik produksi yang ada. Pada model keseimbangan umum statis, teknologi diasumsikan konstan, sehingga dampak perubahan teknologi produksi terhadap
kinerja
perekonomian
tidak
terlihat.
Sedangkan
pada
model
keseimbangan umum dinamis, perubahan teknologi memainkan peran penting, dengan kata lain teknologi tidak lagi diasumsikan konstan. Pada model keseimbangan umum dinamis perubahan teknologi per sektor harus dimasukkan ke dalam model dengan cara memasukkan parameter baru yaitu parameter technological change augment yang kemudian dijadikan sebagai variabel eksogen. Dalam pemodelan, dengan adanya perubahan teknologi, maka rasio kapital/tenaga kerja diasumsikan konstan, demikian juga halnya dengan rasio upah/suku bunga yang juga diasumsikan konstan (Hicksian neutral technology). Dengan asumsi tersebut setiap ada pertumbuhan di sektor-sektor produksi hanya disebabkan oleh adanya perubahan teknologi, sebagaimana yang terlihat pada Gambar 16.
92
Capital Labour-saving
Neutral (K/L)0
Capital-saving
A B1
I2
B I1
B2
-PL/PK=constant
Labour
Sumber: Sadoulet dan de Janvry (1995). Gambar 16. Garis Perubahan Teknologi Untuk mengimplementasikan asumsi terjadi peningkatan teknologi per tahun, digunakan nilai tertentu dari produktivitas faktor total (Total Factor Productivity=TFP). Dengan kata lain, perubahan teknologi yang terjadi pada suatu sektor diukur dengan kenaikan produktivitas pada sektor tersebut. Adapun fungsi produksi tenaga kerja dapat dituliskan sebagai berikut: ⎡ ⎤ Qi = A⎢∑ δ i F fi− ρ ⎥ ⎣ ⎦
−1 / ρvi
…………………………………………….....(3.7)
di mana A menunjukkan parameter perubahan teknologi dari input yang digunakan. Dengan asumsi tingkat pengembalian konstan (constant return to scale) dan fungsi produksi homogen berderajat satu, maka pengalian input yang digunakan dengan konstanta A akan menghasilkan tambahan output sebesar A.
93
3.5.
Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Tujuan akhir yang ingin dicapai dalam pembangunan ekonomi nasional
adalah meningkatkan pendapatan masyarakat. Mengingat sebagian besar masyarakat
Indonesia
tinggal
di
daerah
pedesaan
yang
mayoritas
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, maka perlu diupayakan agar pertanian menjadi sektor yang menguntungkan (profitable) untuk diusahakan oleh petani. Salah satu langkah yang bisa ditempuh untuk tujuan ini adalah dengan menjamin tersedianya pasar bagi komoditas pertanian, sehingga petani akan memperoleh harga jual yang layak dari komoditas pertanian yang dihasilkan. Salah satu pasar yang potensial bagi komoditas pertanian adalah industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri), selain rumahtangga domestik untuk konsumsi langsung dan konsumen di luar negeri (ekspor). Komoditas pertanian merupakan bahan baku utama sektor agroindustri, yang bersama-sama dengan input lain (tenaga kerja dan modal) dalam suatu proses produksi pada suatu agroindustri akan menghasilkan produk agroindustri, dimana produk tersebut dapat dijual di pasar domestik atau diekspor ke luar negeri, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 17. Pengembangan agroindustri dapat ditempuh melalui dua sisi, yaitu sisi supply dan sisi demand. Dari sisi supply, pengembangan agroindustri dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas sektor agroindustri dan peningkatan upah riil tenaga kerja, sedangkan dari sisi demand dapat dilakukan dengan peningkatan investasi di sektor agroindustri dan peningkatan ekspor produk agroindustri.
94
94
Gambar 17. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
95 Dengan berkembangnya agroindustri berarti juga akan meningkatkan permintaan komoditas pertanian sebagai bahan baku bagi agroindustri yang bersangkutan. Peningkatan permintaan bahan baku akan memacu sektor pertanian (usahatani) untuk meningkatkan produksi komoditas pertanian dengan kuantitas dan kualitas yang sesuai dengan permintaan agroindustri.
Untuk tujuan ini
diperlukan peningkatan jumlah dan kualitas faktor produksi yang diperlukan untuk proses produksi dalam usahatani (lahan, tenaga kerja dan modal), yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan pemilik faktor-faktor produksi yang bersangkutan. Pemilik faktor produksi yang diperlukan oleh usahatani adalah rumahtangga perdesaan. Peningkatan pendapatan pemilik faktor produksi ini sama halnya dengan peningkatan pendapatan rumahtangga (masyarakat) perdesaan. Berdasarkan klasifikasi SNSE tahun 2003, rumahtangga perdesaan dibedakan atas petani, buruh tani dan rumahtangga non pertanian (meliputi rumahtangga non pertanian pendapatan rendah, bukan angkatan kerja dan pendapatan tinggi). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan dilakukan pengembangan agroindustri (industrialisasi pertanian), secara tidak langsung akan berdampak terhadap peningkatan kinerja sektor pertanian dan peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan. Peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan diharapkan akan mampu menanggulangi kemiskinan perdesaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa industrialisasi pertanian dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk menanggulangi kemiskinan perdesaan.
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar merupakan data
sekunder, antara lain: Tabel Input-Output (I-O) tingkat nasional tahun 2003, Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) tingkat nasional tahun 2003, dan Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002. Selain itu, juga diperlukan data makroekonomi dan sektoral serta parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian ekonometrika sebelumnya. Sumber data tersebut adalah Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, institusi nasional dan internasional, serta sumber lainnya yang berasal dari penelitan sebelumnya.
4.2.
Metode Analisis Untuk mengkaji dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja
ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan, model Computable General Equilibrium (CGE) digunakan sebagai alat analisis utama. Model CGE yang digunakan adalah model CGE recursive dynamic. Unsur dinamis dalam model CGE ini ditunjukkan oleh akumulasi kapital dan pertumbuhan tenaga kerja setiap tahun. Model dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah model CGE ORANI-F (Horridge et al., 1993), INDOF (Oktaviani, 2000), WAYANG (Wittwer, 1999), dan ORANIGRD (Horridge, 2002). Dalam penelitian ini dilakukan kombinasi dari beberapa model CGE tersebut di atas, sehingga memungkinkan digunakan sebagai alat analisis untuk mengkaji dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral,
97 ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. Selanjutnya model ini diberi nama model CGE Agroindustri Indonesia (model CGEAGRINDO).
4.3.
Struktur Model Sistem notasi dalam model ini paralel dengan sistem notasi dalam model
CGE INDOF (Oktaviani, 2000). Notasi-notasi tersebut telah dibuat oleh pemodel ORANI agar dapat efisien digunakan dan mudah diinterprestasikan. Adalah umum bagi pemodel CGE berbasis ORANI untuk menuliskan semua persamaan dalam persentase. Salah satu keuntungannya adalah bahwa hasil simulasi CGE selalu dapat dihitung dalam persentase. Dalam merespon kebutuhan ini, GEMPACK didesain untuk menjalankan persamaan CGE dan secara otomatis menyajikan semua hasilnya dalam persentase. Dengan demikian, pemodel tidak perlu menuliskan prosedur untuk menghitung hasil simulasi dalam nilai persen dengan membandingkan hasilnya dengan keseimbangan yang dijadikan sebagai referensi (benchmark). Namun demikian, agar transparan dan sudah menjadi konvensi umum, persamaan yang digunakan dalam model dituliskan dalam format aljabar. Hal ini memudahkan dalam memahami bagaimana model beroperasi. Sama dengan model umum CGE, model yang digunakan dalam penelitian ini mengasumsikan bahwa semua industri beroperasi pada pasar persaingan sempurna, baik pada pasar output maupun pasar input. Ini berimplikasi bahwa tidak ada sektor atau rumahtangga yang dapat mengatur pasar. Dengan demikian semua sektor ekonomi adalah price-taker. Pada tingkat output, harga yang dibayar oleh konsumen adalah sama dengan biaya marginal dalam memproduksi output. Serupa dengan hal ini, upah yang diterima oleh tenaga kerja adalah sama dengan produktivitas marginal dari tenaga kerja.
98 Struktur model CGE-AGRINDO mengandung sistem persamaan non linear tentang permintaan tenaga kerja, permintaan terhadap input primer, permintaan terhadap input antara, permintaan terhadap input gabungan (composite), komposit output dari suatu industri, permintaan terhadap barang modal (investment goods), permintaan rumahtangga, ekspor dan permintaan akhir lainnya, margin permintaan, persamaan keseimbangan pasar, harga di tingkat pembeli, pajak tak langsung, GDP dari sisi pendapatan dan pengeluaran, rates of return, serta persamaan investasi, akumulasi modal dan utang. Solusi model ditentukan dengan cara melakukan linearisasi setiap persamaan yaitu dengan menyatakan semua variabel dalam bentuk pertumbuhannya (percentage change). Persamaan yang dilinierkan mengandung sekumpulan koefisien yang equivalent dengan persamaan non linier. Dalam setiap proses produksi, masing-masing industri dapat memproduksi beberapa komoditas. Industri menggunakan faktor produksi primer dan input antara. Setiap input antara dapat diperoleh baik dari pasar domestik maupun impor. Faktor primer yang digunakan adalah tenaga kerja, lahan dan modal. Struktur produksi dari suatu industri disajikan pada Gambar 18. Pada level paling atas Gambar 18, asumsi yang digunakan mengikuti model Leontief, yaitu tidak ada substitusi antara faktor produksi primer, input antara dan biaya-biaya lainnya (other cost). Pada level kedua, permintaan terhadap faktor produksi primer mengikuti fungsi produksi CES. Pada level ini dengan mengikuti fungsi produksi CES tersebut dimungkinkan substitusi antar faktor produksi primer. Adapun permintaan terhadap input antara mengikuti asumsi yang digunakan pada model Armington, dimana barang impor dan barang domestik diasumsikan tidak bersubstitusi sempurna. Adapun pada level paling bawah, permintaan faktor produksi tenaga kerja juga berdasarkan pada fungsi produksi CES.
99 Barang 1 X1TOT1
Barang 2 X1TOT2
..sampai...
Barang 38 X1TOT38
CET σ1OUT
Tingkat Aktivitas Industri j
Leontief
Barang 1 X1i_s
CES σ11
Domestik Barang 1 X1"dom"i
Impor Barang 1 X1"imp"i
Barang C Xci_s
Input Primer X1PRIMi
CES σ1PRIMi
CES σ1c
Domestik Barang C Xc"dom"i
Biaya Lain X1OCTi
Import Barang C Xc"imp"i
Lahan X1LNDi
Tenaga Kerja X1LABI_o
Kapital X1CAPi
CES σ1LABi
TK Terdidik X1LABi1
Sumber: Silva dan Horridge (1996) Gambar 18. Struktur Produksi
TK Tidak Terdidik X1LABi2
100 Fungsi produksi CES secara umum dapat dirumuskan sebagai:
[
y = A bx1− g + (1 − b) x 2− g
]
−v / g
...................................................................(4.1)
dimana: y = Output x1 = Input 1 x2 = Input 2 A = Parameter efisiensi g = Parameter substitusi Φ = Parameter elastisitas
Dari persamaan (4.1) di atas, Beattie and Taylor (1985) dalam Oktaviani (2001) mengklasifikasikan tiga parameter yaitu: parameter skala (v), parameter distribusi (v+g) dan parameter elastisitas (Φ =
1 ). Homogenitas dari fungsi 1+ g
tersebut tergantung pada parameter skala. Ketergantungan antar industri ditentukan oleh parameter distribusi dan kesamaan dalam komposisi faktor. Dalam model CGE-AGRINDO terdapat 15 blok persamaan, yang secara terinci dapat dijelaskan sebagai berikut: Blok 1. Permintaan Tenaga Kerja
Tenaga kerja dibedakan atas tenaga terdidik (skilled labor) dan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled labor). Menggunakan Constant Elasticity of Substitution (CES), tipe tenaga kerja ini diagregasikan menjadi tenaga kerja komposit. Permintaan tenaga kerja untuk tipe pekerjaan tertentu adalah proporsional terhadap seluruh permintaan tenaga kerja dalam industri dan tergantung pada tipe pekerjaan tertentu relatif terhadap harga rata-rata tenaga kerja dalam industri tersebut. Dari fungsi produksi CES pada persamaan (4.1) di atas, maka permintaan terhadap tenaga kerja oleh suatu industri dapat dirumuskan sebagai berikut:
101 X1LABi_o = CESoγOCC (X1LABio 3 Φ1LABi ; S1LABio) …….....…...(4.2) dimana: X1LABi_o = Permintaan tenaga kerja oleh industri i pada semua jenis pekerjaan CESoγOCC = Fungsi CES Φ1LABi
= Elastisitas substitusi berdasarkan jenis pekerjaan di setiap industri
S1LABio
= Nilai share berdasarkan jenis pekerjaan terhadap upah total yang dibayar industri i
Pada persamaan (4.2) di atas, notasi di sebelah kiri tanda "|" adalah satu variabel yang mencirikan fungsi tersebut, sedangkan yang di sebelah kanan tanda "|" adalah parameter yang menyertainya. Dengan menggunakan model recursive dynamic, pada penelitian ini pertumbuhan tenaga kerja (employment growth) dianggap sebagai sumber pertumbuhan dari tahun ke tahun. Mengikuti ORANIGRD (Horridge, 2002), model tersebut membuat upah riil dapat menyesuaikan dengan tingkat lapangan kerja. Hubungan antara lapangan kerja pada periode berikutnya dengan lapangan kerja pada periode sebelumnya dapat dituliskan sebagai berikut:
ΔV1LAB_io(t) /V1LAB_io(0) = σ1LABi [(X1LABi_o(0)/T1LABi_o(0)-1] + σ1LABi*Δ(X1LABi_o(t)/T1LAB(t))
ΔV1LAB_io(t) /V1LAB_io(0) - σ1LABi [(X1LABi_o(0)/T1LAB(0))- 1] = σ1LABi * Δ(X1LABi_o(t)/T1LAB(t)) X1LABi_o (t) = T1LABi_o (ΔV1LAB_io(t) /V1LAB_io(0)) – σ1LABi [(X1LABi_o(0)/T1LAB(0))- 1] + X1LABi_o (0) ......(4.3) dimana: X1LABi_o = actual employment T1LABi_o = trend employment V1LABi_o = real wage
102 Blok 2. Permintaan Faktor Produksi Primer
Permintaan terhadap
masing-masing faktor diturunkan dari total
permintaan selaruh faktor yang dipakai dalam suatu industri (X1PRIMi) dan dipengaruhi oleh harga relatif suatu faktor.
Total permintaan seluruh faktor
diperoleh dengan cara minimisasi total biaya faktor.
Dengan formulasi ini
perubahan harga relatif akan mempengaruhi komposisi penggunaan seluruh faktor, dimana faktor yang lebih murah akan dipakai lebih banyak.
Dengan
demikian, persamaan permintaan input primer dapat dituliskan sebagai berikut: ⎞ ⎛ X1LABi_o X1CAPi X1LNDi X1PRIMi = CES⎜ , , σ 1PRIM; S1LABi _ o ; S1CAPi ; S1LNDi ⎟ ...(4.4) ⎟ ⎜ A1LAB A1CAPi A1LNDi i _o ⎠ ⎝
dimana: X1PRIMi = Permintaan input primer oleh industri i X1CAPi
= Permintaan kapital industri i
X1LNDi
= Permintaan lahan industri i
A1LABi_o = Produktivitas tenaga kerja industri i pada semua jenis pekerjaan A1CAPi
= Produktivitas kapital industri i
A1LNDi
= Produktivitas lahan industri i
Φ1PRIM = Elastisitas substitusi antar faktor produksi
S1LABi_o = Nilai share pada semua jenis pekerjaan terhadap upah total yang dibayar oleh industri i S1CAPi
= Nilai share pada kapital industri i
S1LNDi
= Nilai share pada lahan industri i
Blok 3. Permintaan Input Antara
Berdasarkan asumsi Armington, impor adalah substitusi tidak sempurna untuk suplai domestik. Untuk mendapatkan jumlah komoditas tertentu, suatu industri berusaha untuk meminimumkan biaya total dari barang yang diimpor dan barang domestik, dengan kendala fungsi produksi CES. Pemilihan nilai elastisitas substitusi memainkan peranan penting dalam menentukan suatu permintaan. Jika
103 elastisitas substitusi yang sangat tinggi dipilih, maka responsivitas dari rasio barang yang diimpor terhadap barang domestik akan besar, dan sebaliknya. Konsekuensi lainnya dalam menggunakan fungsi CES adalah karena harga barang domestik meningkat relatif terhadap barang yang diimpor, maka pengguna akan bersubstitusi menjauhi barang domestik ke barang yang diimpor. Dalam model ini asumsi yang digunakan oleh Armington tersebut di atas dipertahankan yaitu bahwa impor merupakan subtitusi tidak sempurna bagi komoditas
domestik.
Dengan
demikian,
penurunan
harga
impor
akan
memperbesar permintaan impor dan menurunkan permintaan barang domestik. Akan tetapi, tidak seluruh komoditas domestik dapat digantikan oleh impor. Dalam pemakaian input antara, suatu industri melakukan minimisasi biaya total berdasarkan fungsi produksi CES, sehingga persamaan input antara dapat dirumuskan sebagai berikut: ⎛ X1 ⎞ X1ci_s = CES ⎜⎜ csi σ 1c ; S1csi ⎟⎟ c ∈COM,i ∈ IND .............................(4.5) s∈SRC A1 ⎝ csi ⎠
dimana: X1ci_s = Permintaan input antara pada setiap komoditas, setiap industri pada semua sumber X1csi = Permintaan input antara pada setiap komoditas, setiap industri dan setiap sumber A1csi = Produktivitas input antara pada setiap komoditas, setiap industri dan setiap sumber Φ1c
= Elastisitas substitusi input antara berdasarkan komoditas
S1csi = Share input antara pada setiap komoditas, setiap industri dan setiap sumber Berdasarkan formula tersebut, permintaan suatu input antara tergantung pada kuantitas komposit komoditas dan harga relatif dari input tersebut. Harga
104 komposit komoditas ditentukan berdasarkan biaya tertimbang dengan rumus indeks divisia. Blok 4. Permintaan Komposit Input Antara dan Komposit Faktor Primer
Dari sisi input, komposit komoditas, komposit faktor primer dan faktor yang termasuk kategori biaya lain-lain digabungkan ke dalam suatu fungsi produksi Leontief untuk menentukan tingkat produksi dari suatu industri. Spesifikasi fungsi ini adalah: X1TOT i =
⎧⎪ ⎛ X1 ci_s 1 MIN ⎨ MIN ⎜ A1TOT i ⎪⎩ c∈COM ⎜⎝ A1ci _ s
⎞ X1PRIM i X1OCT i ⎟, , ⎟ A1PRIM A1OCT i i ⎠
⎫⎪ ⎬i ∈ IND .....(4.6) ⎪⎭
dimana: X1TOTi =
Permintaan input gabungan industri i
A1TOTi =
Produktivitas input gabungan industri i
A1ci_s
Produktivitas input antara pada setiap komoditas setiap industri
=
pada semua sumber A1PRIMi =
Produktivitas input primer industri i
X1OCTi =
Permintaan input other cost industri i
A1OCTi =
Produktivitas input other cost industri i
Berdasarkan formula tersebut, maka permintaan terhadap seluruh input bersifat proporsional terhadap tingkat produksi. Persentase perubahan permintaan input akan sama dengan laju perubahan output, kecuali terjadi perubahan teknologi. Rasio yang menentukan kombinasi input merupakan parameter dari fungsi produksi Leontief. Bersama-sama harga input, rasio ini menentukan share biaya dari suatu kegiatan produksi. Blok 5. Komposisi komoditas dari output industri
Komposisi komoditas dari output industri ditentukan dari maksimisasi penerimaan total (total revenue) dari semua komoditas dengan kendala tingkat aktivitas produksi dalam industri tersebut dan fungsi transformasi CET:
105 X1TOTi = CET (Q1ci 3 Φ1OUTi;S_MAKEci) ……...………...…....….(4.7) cεCOM
dimana: X1TOTi
= Komposit output industri i
Φ1OUTi
= Elastisitas transformasi pada industri i
S_MAKEci = Share produksi total komoditas c pada industri i Dari fungsi maksimisasi tersebut, transformasi antar komoditas akan mengarah pada komoditas yang harga relatifnya meningkat. Harga rata-rata yang diterima oleh suatu industri merupakan harga tertimbang berdasarkan pangsa dalam penerimaan. Blok 6. Permintaan Barang yang Dipergunakan dalam Investasi
Pembentukan investasi dan barang modal disajikan pada Gambar 19. Sebagaimana halnya barang konsumsi, proses pembentukan barang modal bersifat multi tingkatan (multi-stage), dengan karakterisasi proses fungsi CES dalam tingkat awal dan fungsi Leontief pada tingkatan yang lebih tinggi. Pada tahap awal penggunaan barang impor dan domestik ditentukan minimisasi biaya dengan fungsi produksi CES untuk suatu tingkat output tertentu dapat dirumuskan secara spesifik sebagai berikut: ⎛ X2 ⎞ X2ci_s = CES ⎜⎜ csi σ 2 c ; S 2 csi ⎟⎟ c ∈COM,i ∈ IND ..............................(4.8) s∈SRC A2 ⎝ csi ⎠
dimana: X2ci_s =
Permintaan barang kapital setiap komoditas, setiap industri pada semua sumber
X2csi =
Permintaan barang kapital setiap komoditas, setiap industri pada setiap sumber
A2csi =
Produktivitas barang kapital setiap komoditas, setiap industri dan setiap sumber
Φ2c =
Elastisitas Armington pada setiap komoditas
106 S2csi =
Share nilai kapital setiap komoditas, setiap industri dan setiap sumber
Pada tahap berikutnya, dilakukan minimisasi fungsi biaya Leontief yang dirumuskan sebagai berikut:
X2TOTi =
⎛ X2ci_s 1 MIN ⎜ A2TOTi c∈COM ⎜⎝ A2 ci _ s
⎞ ⎟ i ∈ IND .........................................(4.9) ⎟ ⎠
dimana: X2TOTi = Permintaan barang kapital pada industri i A2TOTi = Produktivitas barang kapital industri i
Barang Kapital
Leontief
Domestik Barang 1 X21”dom”i
Barang 1 X21i_s
Barang C X2ci_s
CES σ21
CES σ2C
Domestik Barang 2 X21”imp”i
Domestik Barang C X2c”dom”i
Impor Barang C X2c”imp”i
Sumber: Silva dan Horridge (1996) Gambar 19. Struktur Pembentukan Investasi dan Barang Modal
107 Blok 7. Permintaan Rumahtangga
Menurut teori neoklasik, sektor rumahtangga diasumsikan mengambil harga yang berlaku dan mengkonsumsi komoditas untuk memaksimumkan fungsi utilitasnya dengan kendala pengeluaran aggregat. Fungsi kepuasan konsumen dapat dilihat pada Gambar 20. Utilitas Rumahtangga
Stone Geary
Domestik Barang 1 X31”dom”
Barang 1 X31_s
Barang C X3c_s
CES σ31
CES σ3c
Impor Barang 1 X31”imp”
Domestik Barang C X3 c”dom”
Import Barang C X3 c”imp”
Sumber: Silva dan Horridge (1996) Gambar 20. Spesifikasi Konsumsi Rumahtangga Pada tingkatan yang paling tinggi, pilihan konsumen di antara berbagai jenis komoditas berdasarkan pada fungsi Linear Expenditure Demand System (LES). Pada tingkat kedua, konsumen mengkombinasikan barang-barang dari berbagai sumber (domestik dan impor) melalui mekanisme CES.
108 Persamaan permintaan mengasumsikan bahwa pengeluaran pada barang i adalah suatu fungsi linier dari harga dan pendapatan. Sistem ini, yang biasanya digunakan dalam analisis permintaan terapan, adalah didasarkan pada fungsi utilitas agregat Stone-Geary: TOTALUTILITY = Pc X3LUXc S3LUXc ……….…..…….……..…(4.10) dimana: TOTALUTILITY = Kepuasan total rumahtangga X3LUXc
= Komposit agregat dari barang luks
Dengan bentuk fungsi ini, utilitas diperoleh hanya dari konsumsi di atas tingkat subsisten. Adapun konsumsi barang luks dapat dirumuskan: X3LUXc = X3c_s - X3SUBc …………………………........…...……..(4.11) dimana: X3c_s
= Konsumsi agregat barang luks
X3SUBc = Konsumsi subsisten barang c Pada setiap level rumahtangga, utilitas dirumuskan sebagai: UTILITY = TOTAL UTILITY/Q = I/Q*PcX3LUXc S3LUXc ……………..…….....….....…(4.12) Pangsa pengeluaran bagi setiap barang ditentukan berdasarkan: P3c_s*X3LUXc = S3LUXc* V3LUX_c ………………....………...….(4.13) dimana: V3LUX_c = Pengeluaran total atas semua barang luks. Blok 8. Ekspor dan Permintaan Akhir Lainnya
Dalam model CGE INDOF, ekspor dibagi menjadi dua kategori atau grup yaitu tradisional dan nontradisional, sehingga spesifikasi fungsi bagi masingmasing grup dibuat berbeda. Dalam penelitian ini tidak dibedakan antara ekspor
109 tradisional dan ekspor non tradisional, sehingga hanya terdapat satu persamaan ekspor yang dapat dirumuskan sebagai berikut: X4c = F4Qc [P 4c / PHI / P 4c ] EXP_ELASTc ……………….......…...……(4.14) dimana: X4c
= Volume ekspor berdasarkan komoditas
P4c
= Harga komoditas (rupiah)
PHI
= Nilai tukar (rupiah per dolar US)
EXP_ELASTc = Pengeluaran total rumahtangga F4c
= Demand shifter
Blok 9. Permintaan Barang Margin
Penggunaan komoditas atau barang, baik oleh produsen maupun konsumen, pada umumnya memerlukan pelayanan jasa lanjutan. Jenis jasa lanjutan ini dalam fungsi CES, LES dan Leontief belum dispesifikasi. Jenis jasa ini disebut barang margin dan contohnya adalah transportasi dan telekomunikasi. Jumlah barang margin yang dipergunakan oleh setiap agen diasumsikan sebagai suatu proporsi terhadap produksi dan konsumsi. Sebagai contoh, permintaan barang margin oleh suatu industri dapat dirumuskan sebagai berikut: X1MARcsim = A1MARcsim * X1csi …………………………...…....…(4.15) dimana: XlMARcsim = Permintaan barang margin pada setiap komoditas, setiap sumber, setiap industri dan setiap margin AlMARcsim = Produktivitas barang margin pada setiap komoditas, setiap sumber, setiap industri dan setiap margin (konstanta) Walaupun nilai AlMARcsim adalah konstan, namun ratio yang berlaku pada masing-masing industri adalah berbeda, tergantung dari data dasar yang digunakan. Dalam simulasi, dapat pula ditambahkan variabel demand shifter.
110 Blok 10. Harga Barang di Tingkat Pembeli
Barang margin dapat diperlakukan sebagai barang antara atau margin. Penggunaan barang ini sebagai input, berarti menambah struktur ongkos produksi. Dengan demikian, input margin menimbulkan biaya yang harus dibayar oleh pengguna. Biaya tersebut akan menyebabkan harga di tingkat produsen (sumber komoditas) berbeda dengan harga di tingkat pengguna. Harga di tingkat pengguna akhir disebut harga pembeli (purchases price). Harga barang di tingkat pembeli dapat dirumuskan sebagai berikut: P1SELci_s = P1BASICci_s + CSTMRGci_s + TAXci_s ……….......…...…….…(4.16) dimana: P1SELci_s
= Harga di tingkat pembeli pada semua komoditas
P1BASICci_s = Harga.dasar pada semua komoditas CSTMRGci_s = Biaya margin TAXci_s
= Pajak bersih
Blok 11. Keseimbangan Market Clearing
Model CGE-AGRINDO memerlukan ratusan kondisi keseimbangan pasar yang memuat hubungan antara harga dan jumlah komoditas, faktor, dan input antara. Pada prinsipnya, kondisi keseimbangan merupakan titik pertemuan antara penawaran dengan permintaan untuk berbagai komoditas. Karena jumlah persamaannya begitu banyak, maka yang ditampilkan disini hanya contohnya saja. Sebagai contoh, kondisi keseimbangan kuantitas suatu faktor produksi secara agregat dapat dirumuskan sebagai berikut: X1FAC_ i =
1 V 1FAC _ i
∑V 1FAC
i∈IND
i
× X 1FACi .................................(4.17)
111 dimana: X1FAC_i = Permintaan faktor produksi untuk seluruh industri X1FACi = Permintaan faktor produksi untuk masing-masing industri V1FAC_i = Total pembayaran faktor produksi pada semua industri V1FACi = Pembayaran faktor produksi oleh industri i
Blok 12. Pajak Tidak Langsung Pajak penjualan dinyatakan dalam bentuk ad valorem tax dan masingmasing jenis komoditas yang dibedakan atas sumber dan jenis penggunaannya memiliki rate pajak yang berbeda-beda. Bentuk umum nilai pajak dari suatu komoditas yang diproduksi secara domestik dapat dirumuskan sebagai: T1csi = F0TAXc_s * F1TAX_csi ……………….………….……...……(4.18) dimana: T1csi = Nilai pajak dari suatu komoditas yang diproduksi oleh domestik F0TAXc_s dan F1TAX_csi = Variabel shifter Dari sini, penerimaan pajak dirumuskan sebagai: Tax revenue = Tax rate*Value of product before tax = (Power of tax–1)*Value of product before tax ….....(4.19) Derivasi nilai pajak disederhanakan sebagai fungsi dari nilai produksi barang konsumsi, yaitu: V1TAX_csi = Scsi (T1csi – 1) * V1BAS_csi = Scsi (T1csi – 1) * (P0cs * X1csi) ………………….…….(4.20)
Blok 13. GDP dari Sisi Pendapatan dan Pengeluaran GDP dari sisi pendapatan = Pendapatan dari lahan + Pendapatan dari kapital + Pendapatan tenaga kerja + Pendapatan input lainnya (other cost input) + Pendapatan dari pajak tidak langsung ………………………………......(4.21)
112 GDP dari sisi pengeluaran = Konsumsi RT + Investasi + Pengeluaran pemerintah + Net ekspor (Ekspor – Impor) ………………...….……….(4.22)
Blok 14. Neraca Perdagangan dan Agregat Lainnya Balance of trade (dalam mata uang domestik) dirumuskan sebagai berikut: BTD = V4TOT – V0CIF_c ……………………………..……………(4.23) dimana: BTD
= Balance of trade
V4TOT = Nilai total ekspor V0CIF_c = Nilai total impor Untuk mengekspresikan trade balance relatif terhadap gross domestic product (V0GDPEXP), maka: BTD/V0GDPEXP = V4TOT/V0GDPEXP–V0CIF_c/V0GDPEXP .….(4.24) dimana: V0GDPEXP = GDP dari sisi pengeluaran
Blok 15. Persamaan Akumulasi Investasi-Kapital Pada model CGE recursive dynamic, tingkat stok kapital menjadi suatu faktor sangat krusial. Hal ini disebabkan pada model statis modal diasumsikan tetap. Jika proses dinamis dimasukkan ke dalam model, maka permintaan dan persediaan modal akan berubah. Dengan kata lain, penghapusan asumsi eksogenus terhadap stok modal akan memiliki implikasi penting terhadap pengaruh pendapatan dan alokasi sumberdaya dari perdagangan dan kebijakan pemerintah. Di sisi lain, proses akumulasi modal adalah dimodelkan secara berurutan (pendekatan sekuental). Berdasarkan hal tersebut, tingkatan kapital stok antar periode akan diperbaharui.
113 Tingkat stok modal di masa datang (t+1) yang tersedia untuk proses produksi pada periode t+1 adalah identik dengan tingkat depresiasi stok modal dari periode sebelumnya dan investasinya, yang berlangsung antara periode t dan t+1. Terkait dengan hubungan ini, selanjutnya diasumsikan bahwa panjang gestation lag untuk semua sektor adalah satu periode. Persamaan akumulasi modal dispesifikasikan sebagai berikut: X1CAPt = (1 - DEP) X1CAPt-1 + X2TOTt-1 ………………..….……(4.25) dimana: DEP
= Tingkat konstanta depresiasi ekonomi
X1CAPt = Agregat stok modal X2TOTt-1 = Tingkat investasi pada periode sebelumnya Karena tingkat stok modal yang berjalan bukan hanya tergantung pada stok modal pada periode sebelumnya (t-1) tetapi juga pada periode-periode jauh sebelumnya (t-2, t-3 dan t-n), maka persamaan di atas dapat dideduksi menjadi persamaan umum, termasuk untuk periode sebelumnya: X1CAPt = (1 - DEP) (1 - DEP)X1CAPt-2 + X2TOTt-2 ........................(4.26) n
X1CAPt = (1-DEP)”X1CAPt-n - ∑ (1-DEP)j-1 X2TOTt-j ………..…(4.27) j=1
Model CGE standar tidak memiliki persamaan yang secara langsung menghubungkan investasi dengan stok modal. Hanya dengan menerapkan kondisi terhadap tingkat pertumbuhan atau melalui kondisi keseimbangan yang diaplikasikan pada tingkat pengembalian (rates of return), maka investasi dan stok modal menjadi dapat dihubungkan secara tidak langsung. Model peramalannya berbeda dari model standar karena mencakup suatu persamaan yang secara langsung mengkaitkan stok modal pada waktu 0 dengan stok modal pada periode T, atau secara langsung mengkaitkan investasi dan stok modal pada periode T:
114 X1CAPi – X1CAP0i = [(X1CAP0i * (DEPRATiT -1) + X2TOT0i *N)* delFudge + (X2TOTi – X2TOT0i) * M] * F_ACCUM ………………………….….….(4.28) dimana: X1CAPi
= Pembentukan capital pada saat sekarang pada industri i
XICAP0i
= Pembentukan capital pada periode awal pada industri i
DEPRATiT = Depresiasi X2TOT0i = Investasi pada periode awal pada industri i Angka "0" mengindikasikan bahwa variabel tersebut dan nilainya dilakukan sebelum periode waktu sekarang. Adapun variabel dengan nama standar secara aktual menghubungkan periode T terhadap periode sekarang, yaitu periode 1. Simbol "T" dihilangkan untuk menyederhanakan, yang disebabkan variabel ini sama seperti pada persamaan model tersebut. Demikian pula, dalam menginterpretasikan variabel dalam model, mereka selalu berhubungan dengan suatu periode T, dimana T tidak dibuat eksplisit. Ketika T dimasukkan dalam persamaan, agar persamaan tersebut menjadi efektif, maka perlu ditambahkan restriksi pada tingkat keseimbangan investasi dan modal. M dan N merupakan konstanta yang muncul ketika terjadi penjumlahan koefisien investasi pada semua tahun T: T −1 t T −t −1 T t − 1 T −1 …………………….……...……….(4.29) M=∑ D =∑ D t =0 T t =1 T T −1
N =∑D t=0
T − t −1
T
=∑D
T−t
…………………………………...………(4.30)
t =1
Persamaan tersebut di atas juga mencakup suatu variabel delFudge, yang unik untuk persamaan tersebut. Variabel ini bukanlah bagian dari ekonomi dari
115 model itu sendiri tetapi sebagai alat prosedural penyelesaian, yang menggunakan notasi konstan (melekat pada delFudge) pada atau di luar persamaan tersebut. Kita perlu mendefinisikan variabel delFudge secara eksogenus sama dengan 1. Karena variabel dalam model menghubungkan antar periode waktu masa datang (relatif terhadap data base atau waktu yang berjalan), maka keseimbangan ekonomi akan bergerak dari keseimbangan periode yang sedang berjalan (saat ini) dan penyelesaiannya ke periode di masa datang. Jika delFudge = 0, maka konstanta tersebut tidak berpengaruh. Penyelesaian perubahan praeksogenus akan secara langsung berhubungan dengan databasenya. Notasi konstanta ditambahkan agar model dapat mencerminkan keseimbangan periode waktu T di masa datang. Hal ini dapat dicapai dengan menetapkan secara eksogenus delFudge = 1. Selanjutnya pendugaan linear dilakukan pada keseimbangan awal dimana delFudge = 0, dan pada delFudge = 1.
4.4.
Elastisitas dan Parameter Lainnya Model CGE membutuhkan data parameter elastisitas dan beberapa parameter
perilaku (behavioural) lainnya. Parameter elastisitas yang digunakan dalam model ini adalah elastisitas Armington, elastisitas substitusi untuk tenaga kerja, elastisitas substitusi untuk faktor primer, elastisitas permintaan ekspor dan elastisitas pengeluaran. Parameter lain yang diperlukan adalah parameter yang berhubungan dengan investasi. Idealnya, parameter-parameter tersebut diperoleh dari data time series yang kemudian diestimasi dengan menggunakan alat analisis ekonometrika. Namun demikian, secara relatif belum banyak usaha yang ditujukan untuk tugas mendasar ini bagi Indonesia, sebagian terkait dengan keterbatasaan ketersediaan data time series yang baik (Oktaviani, 2000). Oleh sebab itu, beberapa parameter yang datanya tidak ditemukan di lapangan, nilai parameternya diperoleh dari hasil
116 studi terdahulu, baik studi yang dilakukan di Indonesia maupun studi yang dilakukan di negara lain yang kemudian diaplikasikan secara logis untuk Indonesia.
4.5.
Agregasi Sektor Rumahtangga dan Input Lainnya Rumahtangga didisagregasi mengikuti pengelompokan pada SNSE 2003
menjadi delapan kelompok rumahtangga berdasarkan lokasi dan jenis pekerjaan, yaitu lima kelompok rumahtangga perdesaan (rural) dan tiga kelompok rumahtangga di perkotaan (urban). Lima kelompok rumahtangga perdesaan (rural) tersebut adalah sebagai berikut: 1. Rural 1 adalah buruh pertanian di perdesaan. 2. Rural 2 adalah pengusaha pertanian di perdesaan. 3. Rural 3 adalah rumahtangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan, yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga Tata Usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, dan buruh kasar. 4. Rural 4 adalah Bukan Angkatan Kerja (BAK) di perdesaan, yang meliputi bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas di perdesaan. 5. Rural 5 adalah rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perdesaan, meliputi pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas. Tiga kelompok rumahtangga yang berada di perkotaan (urban) adalah sebagai berikut: 1. Urban 1 adalah rumahtangga bukan pertanian golongan bawah di perkotaan, yang meliputi pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan dan buruh kasar.
117 2. Urban 2 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perkotaan, meliputi bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas. 3. Urban 3 adalah rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan, seperti pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas. Input primer yang digunakan meliputi tenaga kerja, lahan dan kapital. Tenaga kerja diklasifikasikan atas tenaga kerja terdidik (skilled labor) dan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled labor). Klasifikasi tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti kategori yang ditemukan pada tabel SAM tahun 2003, dimana tenaga kerja dikategorikan menjadi 4 kelompok besar yaitu tenaga kerja pertanian, operator, tata usaha dan profesional. Pada penelitian ini, tenaga kerja pertanian dan operator dikelompokkan lagi menjadi tenaga kerja tidak terdidik (unskilled), sedangkan tata usaha dan profesional dikelompokkan menjadi tenaga kerja terdidik (skilled). Adapun input primer lainnya (lahan dan kapital) tidak didisagregasi lagi.
4.6.
Analisis Kemiskinan Untuk mengkaji dampak industrialisasi pertanian pada insiden kemiskinan
(poverty incidence) digunakan indeks kemiskinan FGT (Foster-Greer-Thorbecke). Perubahan pendapatan masing-masing golongan rumahtangga dari analisis simulasi kebijakan digunakan untuk menganalisis kemiskinan indeks FGT dengan menggunakan data SUSENAS tahun 2002. Meskipun menggunakan analisis di luar model CGE, pada dasarnya analisis kemiskinan dalam penelitian ini tetap mengacu pada kerangka SNSE, karena: (1) kelompok rumahtangga pada model CGE disusun berdasarkan SNSE yang bersumber dari data SUSENAS, dan (2) penggolongan rumahtangga pada data SUSENAS dibuat mengikuti
118 pengelompokan rumahtangga yang terdapat dalam SNSE. Dengan menyelaraskan pengelompokan rumahtangga pada data SUSENAS dengan model CGE akan diperoleh keterkaitan pembahasan antara analisis kemiskinan dengan model CGE. Dari data SUSENAS dapat dibentuk struktur data kelompok rumahtangga berdasarkan jenis pekerjaan, lokasi (desa-kota), rata-rata pengeluaran dan jumlah anggota rumahtangga. Dari data rata-rata pengeluaran rumahtangga dan dengan menggunakan batas garis kemiskinan yang telah ditetapkan, maka dapat ditetapkan jumlah rumahtangga yang tergolong miskin, yaitu rumahtangga yang memiliki pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran) di bawah garis kemiskinan. Adapun garis kemiskinan (poverty line) ditetapkan berdasarkan standar Bank Dunia yaitu sebesar 1 $ US per hari atau setara dengan Rp 285 000 per bulan. Data tersebut selanjutnya digunakan sebagai data dasar (base data) untuk menghitung indeks kemiskinan. Perubahan pendapatan rumahtangga hasil dari simulasi kebijakan, dianggap sebagai data setelah simulasi. Selanjutnya dapat dihitung indeks kemiskinan dari data dasar dan data hasil simulasi dengan menggunakan program analisis DAD 4.3 (Distributive Analysis). Untuk menghitung indeks kemiskinan, data pendapatan rumahtangga berdasarkan golongan rumahtangga (yang didekati dari data pengeluaran), diubah ke dalam pendapatan masing-masing individu. Hal ini dilakukan karena perhitungan FGT poverty index didasarkan pada pengeluaran masing-masing individu atau per kapita penduduk miskin. Ada dua pendekatan dalam menghitung pendapatan masing-masing individu sebagai dasar penghitungan kemiskinan. Pertama, berdasarkan rata-rata per kapita. Rata-rata per kapita ini belum mempertimbangkan tingkat konsumsi menurut golongan umur, jenis kelamin dan skala ekonomi dalam konsumsi.
119 Kedua, berdasarkan skala ekivalensi atau Equivalence Scales (ES), yang menunjukkan ukuran pendapatan relatif dari masing-masing rumahtangga yang berbeda untuk mencapai standar hidup. Penghitungan melalui pendekatan skala ekivalensi didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis kemiskinan pada umumnya lebih banyak didasarkan pada kecukupan kebutuhan energi kalori, sementara kebutuhan kecukupan pangan individu berbeda menurut umur dan jenis kelamin (LIPI, 2004). Dengan demikian penghitungan pendapatan masing-masing individu dengan menggunakan pendekatan rata-rata pendapatan per kapita dipandang kurang tepat. Konsep ES pada prinsipnya menyetarakan kebutuhan konsumsi anak dengan populasi dewasa untuk menghitung angka kemiskinan. United States Panel Poverty and Family Assistance menyetarakan kebutuhan konsumsi anak 0.7 populasi dewasa. Artinya secara umum anak mengkonsumsi 70 persen dari kebutuhan konsumsi dewasa (Susilowati, 2007). Beberapa kajian di Australia menggunakan nilai pembobot untuk anak berkisar 0.3 sampai 0.7 (Whiteford, 1985). Demikian pula beberapa negara telah menghitung dan menerapkan skala ekivalensi dalam menghasilkan ukuran kemiskinan. Sebagai contoh skala ekivalensi yang digunakan di Srilanka, Taiwan dan Peninsula nilainya berkisar 0.9 (BPS, 2005b). Dengan angka ekivalensi mendekati satu, implikasinya skala ekivalen akan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan perhitungan angka kemiskinan melalui pendapatan (pengeluaran) per kapita. Dalam menentukan ES, berdasarkan economic of scale (e) yang nilainya ditentukan oleh jumlah anak dan anggota rumahtangga dewasa. Nilai e berkisar 01. Jika e meningkat, maka ES akan menurun sehingga jika e = 1 atau tidak ada
120 skala ekonomi maka besaran ES dihitung sebagai jumlah orang anggota rumahtangga. Teknik menghitung ES yang telah dilakukan selama ini di negaranegara Luxemburg sangat beragam karena masing-masing memiliki preferensi dalam aspek tertentu. Tidak ada pedoman yang pasti teknik penghitungan ES sehingga Whiteford (1985) menyatakan tidak ada suatu metoda menghitung ES yang telah dilakukan selama ini di Australia yang dapat dikatakan metoda tertentu lebih baik dibanding metoda penghitungan ES yang lain. Meskipun penghitungan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan rata-rata pendapatan per kapita dipandang kurang tepat, penghitungan ukuran kemiskinan di Indonesia selama ini belum menerapkan skala ekivalensi karena belum dilakukan penelitian untuk menentukan besaran skala ekivalensi yang dapat mewakili Indonesia. Penelitian ini menggunakan metoda penghitungan ES yang dikembangkan oleh Cockburn (2001) yang telah diterapkan untuk mengkaji angka kemiskinan di Australia dan di Nepal dengan formula sebagai berikut: ESi = 1 + 0.7 (Zi-1-Ki) + 0.5 Ki ........................................................ (4.31) dimana: i = indeks rumahtangga Z = jumlah anggota rumahtangga dan K = jumlah anak. Formula tersebut menunjukkan bahwa dengan memperhitungkan skala ekonomi dan umur, maka kepala rumahtangga diperhitungkan 1, anggota rumahtangga dewasa lain diperhitungkan 0.7 dan anak-anak diperhitungkan 0.5. Formula yang sama telah digunakan oleh Oktaviani et al. (2005) untuk mengkaji dampak penurunan subsidi minyak di Indonesia terhadap kemiskinan, Astuti
121 (2005) dan Sitepu (2007) untuk menghitung perubahan angka kemiskinan sebagai dampak investasi di sektor tertentu, serta Susilowati (2007) untuk mengkaji dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Formula Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index dinyatakan sebagai berikut (Cockburn, 2001): 1 q z − yi ⎞ Pα(y;z) = ∑ ⎛⎜ ⎟ n i =1 ⎝ z ⎠
α
,
(α ≥ 0) ...............................................(4.32)
dimana yi adalah rata-rata nilai pengeluaran per kapita individu ke i dalam rumahtangga yang sudah diranking berdasarkan tingkat pengeluaran, total populasi dinyatakan sebagai n dan jumlah populasi miskin adalah q, batas kemiskinan adalah z, sehingga poverty gap ratio adalah Gi = (z – yi)/z, dimana Gi = 0 pada saat yi > z. Nilai α ada tiga macam, yaitu: 1. Nilai α = 0, P0 menyatakan headcount index, merupakan proporsi populasi yang berada di bawah garis kemiskinan. Formula (4.34) di atas akan menjadi: 0
q z − yi ⎞ P0(y;z) = 1 ∑ ⎛⎜ ⎟ atau P0 = q/n …………………………..(4.33) n i =1 ⎝ z ⎠
Misalnya terdapat sebanyak 10 persen populasi termasuk ke dalam kelompok miskin, maka P0 = 0.10. 2. Nilai α = 1, menunjukkan ukuran poverty gap ratio dimana masing-masing penduduk miskin dibobot berdasarkan jarak relatif mereka dari garis kemiskinan. Formula (4.34) menjadi: P1 = 1/n
∑ (z − y
i
)/z …………………………………………….…(4.34)
Misalnya besaran P1 = 0.1, artinya total kesenjangan kemiskinan seluruh populasi miskin terhadap garis kemiskinan adalah 10 persen. Adapun P1/P0 =
122
∑ (z − y
1/q
i
)/z adalah rata-rata kesenjangan kemiskinan (poverty gap) yang
dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan. 3. Nilai α = 2, formula (4.34) menjadi: 2
q z − yi ⎞ P2(y;z) = 1 ∑ ⎛⎜ ⎟ ……………………………………..…….(4.35) n i =1 ⎝ z ⎠
Artinya bobot yang diberikan kepada masing-masing penduduk miskin proporsional dengan kuadrat kekurangan pendapatan mereka terhadap garis kemiskinan. Indeks tersebut merupakan ukuran yang sensitif terhadap perubahan
pendapatan
atau
distribusi
pendapatan
populasi
miskin
(distributionally sensitive index). Ukuran ini dinamakan rasio “keparahan” kemiskinan (poverty severity). Pengukuran kemiskinan dengan FGT poverty index dapat digunakan juga apabila populasi rumahtangga dipisahkan (disaggregated) menurut kelompok (subgroup) populasi, sehingga kontribusi masing-masing kelompok dapat diketahui. Dalam penelitian ini populasi dibagi menjadi delapan kelompok, maka profil kemiskinan digambarkan melalui Pj untuk j = 1, 2, ..., 8 sebagai berikut: 1 8 p ( z j , y ij ) ∑ n j −1
Pj =
..........................................................................(4.36)
Adapun kemiskinan agregat sebagai rata-rata ukuran kemiskinan kelompok, diformulasikan sebagai: P=
1 8 ∑ Pj N j ....................................................................................(4.37) n j =1
dimana: Pj =
ukuran kemiskinan untuk kelompok j, dimana j = 1, 2, ..., 8.
Nj =
jumlah populasi kelompok j
yij =
rata-rata pengeluaran individu i yang berada pada kelompok j
i
individu1, 2, ..., nj yang berada dalam kelompok j.
=
123 Profil
kemiskinan
menurut
kelompok
tersebut
menggambarkan
konsistensi, dimana ketika kemiskinan dalam suatu kelompok meningkat, maka secara agregat kemiskinan populasi juga akan meningkat, demikian pula sebaliknya.
4.7.
Diagram Alur Penelitian Diagram alur penelitian secara skematik disajikan pada Gambar 21.
Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah membangun data dasar yang diambil dari sumber data Tabel Input-Output (I-O) dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) versi terbaru. Data dasar yang dibangun mengikuti langkah-langkah membangun data dasar model CGE INDOF, dengan memperhatikan sektor dalam penelitian yang telah ditentukan atau dipilih (38 sektor). Asumsi yang harus dipenuhi dalam membangun data dasar model CGE adalah: (1) Agregat Demand (AD) harus sama dengan Agregat Supply (AS), (2) keuntungan murni (pure profit) harus sama dengan nol, dan (3) biaya yang dikeluarkan (cost) harus sama dengan penerimaannya (sales). Apabila asumsi ini telah terpenuhi, maka data dasar yang dibangun dapat digunakan sebagai data dasar model CGE. Sebaliknya, apabila asumsi ini belum terpenuhi, maka harus dilakukan cek ulang mengikuti langkah-langkah model CGE INDOF. Berkaitan dengan struktur produksi, maka harus diketahui terlebih dahulu bagaimana struktur dan perilaku hubungan dalam input dan output, sehingga harus diketahui masing-masing elastisitas dari fungsi Leontief, fungsi CET dan fungsi CES. Koefisien dan parameter dari masing-masing fungsi tersebut diestimasi dengan analisis ekonometrika atau diambil dari berbagai studi yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.
124 Data SAM (SNSE)
Data I-O
Penentuan/Pemilihan Sektor Penelitian (38 Sektor)
Ya
Data Dasar Model CGE (72 Sektor)
Studi Literatur Penelitian Sebelumnya
Membangun Data Dasar Model CGE (72 Sektor)
Cek Keseimbangan: 1. AD = AS 2. Pure Profit = 0 3. Sales = Cost
Mengikuti Model CGE INDOF
Tidak
Agregasi Sektor Penelitian (38 Sektor)
Estimasi Parameter & Nilai Elastisitas
Model CGE AGRINDO Simulasi Kebijakan
Kinerja Ekonomi Sektoral
Kinerja Ekonomi Makro
Pendapatan Rumahtangga Data SUSENAS
Kemiskinan Rumahtangga
FGT Poverty Index
Gambar 21. Diagram Alur Penelitian Tahap selanjutnya melakukan agregasi (mapping) sektor sesuai dengan tujuan penelitian yang didasarkan pada besaran pangsa dalam penggunaan input primer atau input antara. Kemudian memasukkan, mengkalibrasi, memodifikasi dan menggabungkan nilai elastisitas dan parameter dengan data dasar model CGE yang sudah dibangun dengan model CGE-AGRINDO. Apabila proses tersebut telah sesuai dengan prosedur program GEMPACK, maka selanjutnya dapat
125 dilakukan analisis dan simulasi kebijakan, yang dikaji dampaknya terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro dan pendapatan rumahtangga. Perubahan tingkat pendapatan rumahtangga yang dihasilkan dari model CGE AGRINDO dianalisis lebih lanjut dengan metode FGT poverty index yang bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kemiskinan rumahtangga. Tahap terakhir adalah interpretasi hasil analisis dan simulasi kebijakan untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian serta menyusun implikasi kebijakan.
4.8.
Simulasi Kebijakan Terdapat tiga simulasi kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini.
Ketiga simulasi kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Simulasi 1: Peningkatan produktivitas industri pertanian. 2. Simulasi 2: Peningkatan produktivitas industri pertanian (Simulasi 1) diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian. 3. Simulasi 3: Peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian (Simulasi 2) diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor lembaga keuangan Peningkatan produktivitas suatu sektor terjadi karena adanya peningkatan produktivitas input yang digunakan oleh sektor yang bersangkutan, baik input primer (lahan, tenaga kerja dan modal) maupun input antara. Demikian juga halnya pada sektor industri pertanian, peningkatan produktivitas salah satu input yang digunakan tidak secara otomatis menyebabkan peningkatan produksi sektor yang bersangkutan, karena peningkatan produksi suatu industri pertanian tergantung pada besarnya faktor input pembatas. Peningkatan hanya pada salah satu input tidak akan optimal hasilnya apabila input lainnya tidak menyesuaikan kapasitasnya. Adanya keterbatasan tersebut menyebabkan simulasi terhadap
126 masing-masing input primer dan input antara tidak dilakukan satu per satu. Alternatif yang ditempuh dalam penelitian ini adalah dengan melakukan simulasi peningkatan produktivitas faktor total (a1tot) pada industri pertanian terpilih, yaitu industri pengolahan hasil peternakan, industri pengolahan hasil perikanan, industri minyak dan lemak, industri penggilingan beras, industri tepung, industri gula, industri rokok, industri bambu, kayu dan rotan, industri pupuk dan pestisida, serta Industri pengolahan karet. Produktivitas faktor total atau Total Factor Productivity (TFP) mengukur besaran output yang dihasilkan dan input (faktor produksi) yang digunakan dalam satuan indeks. Dengan kata lain, indeks TFP adalah rasio antara indeks output dengan indeks input. Formula yang digunakan untuk menghitung indeks TFP dalam penelitian ini adalah indeks rantai Tornqvist-Theil, dengan metode penghitungan indeks TFP diadopsi dari model yang dikembangkan oleh Fuglie (2004), sebagai berikut: Indeks output Tornqvist-Theil pada tahun t didefinisikan sebagai: n
( Ri ,t + Ri ,t −1 )
i =1
2
ln (Yt Yt −1 ) = ∑
⎡ Yi ,t ⎤ ln ⎢ ⎥ ..............................................(4.38) ⎣⎢ Yi ,t −1 ⎦⎥
dimana Ri,t adalah share pendapatan dari output i dan Yi,t adalah kuantitas output i pada tahun t. Dengan demikian, tingkat pertumbuhan output Y antara periode t dan t-1 adalah jumlah tingkat pertumbuhan dari n komoditas yang menyusun output total, masing-masing diboboti dengan rata-rata share penerimaannya selama t dan t-1. Hampir sama dengan hal di atas, indeks input agregat didefinisikan sebagai:
ln( X t X t −1 ) =
m
∑ j =1
(S
j ,t
+ S j ,t −1 ) 2
⎛ X j ,t ⎞ ⎟ ln⎜ ⎜X ⎟ ..................................(4.39) , − 1 j t ⎝ ⎠
127 dimana tingkat pertumbuhan agregat input X antara periode t dan t-1 adalah jumlah tingkat pertumbuhan dari j = 1, 2, ..., m kategori input, masing-masing diboboti dengan rata-rata share Sj selama periode yang berdekatan (share faktor adalah proporsi biaya total yang dibayarkan untuk suatu input). Perubahan proporsional pada TFP selama periode t dan t-1 diberikan oleh: ⎛ TFPt ⎞ ⎟⎟ = ln (Yt Yt −1 ) − ln ( X t X t −1 ) ………………..……….(4.40) ln⎜⎜ ⎝ TFPt −1 ⎠
Untuk melakukan penghitungan TFP diperlukan data kuantitas dan harga dari setiap output dan input untuk setiap periode. Data yang digunakan dalam perhitungan TFP diambil dari Statistik Industri Besar dan Sedang untuk periode tahun 2000-2005 yang dikumpulkan oleh Departemen Perindustrian. Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan agregasi data, dari data propinsi ke dalam data nasional. Selanjutnya menjumlahkan nilai-nilai pada industri skala besar dan industri skala sedang. Langkah kedua melakukan agregasi sektor, dari 179 sektor industri yang ada ke dalam 10 sektor industri pertanian terpilih. Sebelum dilakukan agregasi sektor, terlebih dahulu dilakukan pemilahan jenis industri antara jenis industri yang tergolong ke dalam industri pertanian dan industri non pertanian. Dari data dasar hasil agregasi tersebut di atas, kemudian dihitung nilai indeks output dan indeks input dengan menggunakan tersebut di atas. Adapun jenis-jenis input yang digunakan dalam perhitungan indeks input meliputi input tenaga kerja, bahan baku, bahan bakar, listrik, sewa gudang dan input lain. Dengan metode seperti yang dikemukakan tersebut di atas, maka diperoleh besaran guncangan (shock) produktivitas faktor total (TFP) pada masing-masing sektor industri pertanian terpilih seperti disajikan pada Tabel 3. Adapun besaran
128 shock untuk peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan, mengunakan nilai hasil perhitungan Ratnawati et al. (2004) seperti yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 3. Nilai Besaran Shock Peningkatan Produktivitas Industri Pertanian (%) No.
Sektor/Komoditas
Peningkatan Produktivitas 1.5275
1.
Industri pengolahan hasil peternakan
2.
Industri pengolahan hasil perikanan
1.3408
3.
Industri minyak dan lemak
2.2022
4.
Beras (Industri penggilingan padi)
1.2931
5.
Industri tepung segala jenis
1.0132
6.
Industri gula
1.5791
7.
Industri rokok
0.6283
8.
Industri bambu, kayu dan rotan
1.1106
9.
Industri pupuk dan pestisida
1.4919
10.
Industri pengolahan karet
2.0204
Tabel 4. Nilai Besaran Shock Peningkatan Produktivitas Sektor Pertanian dan Lembaga Keuangan (%) Sektor/Komoditas Tanaman Pangan Padi Jagung Kedelai Ketela Pohon Umbi-umbian Tanaman Perkebunan Karet Kopi Kelapa Sawit Tebu Kelapa Sektor Lembaga Keuangan
Sumber: Ratnawati et al. (2004)
Peningkatan Produktivitas
1.29 3.42 1.27 1.56 1.69 1.76 0.57 0.62 3.58 0.73 5.14
129 Pada penelitian ini, simulasi kebijakan dilakukan untuk jangka waktu selama 10 tahun, yaitu tahun 2003-2013. Mengingat model yang digunakan adalah model recursive dynamic, maka unsur dinamis dalam model ditunjukkan oleh perubahan tenaga kerja dan stok kapital setiap tahun. Hasil simulasi dianalisis berdasarkan dampaknya terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan tingkat kemiskinan.
V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL KESEIMBANGAN UMUM Sumber data utama yang digunakan untuk membangun Model Keseimbangan Umum (CGE) Agroindustri adalah Tabel Input-Output (I-O) tingkat nasional tahun 2003. Untuk melengkapi data tersebut, juga digunakan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) tingkat nasional tahun 2003 serta beberapa sumber data lainnya, seperti nilai elastisitas, investasi, produk domestik bruto, dan lain-lain. Penyusunan data dasar diawali dengan pemilihan komoditas, industri, rumahtangga, sumber komoditas (ekspor atau impor), jenis tenaga kerja dan input-input lainnya. Untuk memadukan agregasi sektor yang digunakan dalam Tabel I-O dan SNSE dilakukan mapping (pemetaan) antar sektor yang terdapat pada dua sumber data utama tersebut. Bab ini menjelaskan bagaimana membangun data dasar model CGE Agroindustri Indonesia (CGE AGRINDO) dengan menggunakan sumber data terbaru yang relevan dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini.
5.1.
Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2003 Tabel I-O Nasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tabel I-O
tahun 2003 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Tabel I-O 2003 yang dipublikasikan oleh BPS terdiri dari 2 sub grup tabel, yaitu tabel dasar dan tabel analisis. Tabel dasar terdiri dari tabel transaksi total atas dasar harga konsumen, tabel transaksi total atas dasar harga produsen, tabel transaksi domestik atas dasar harga konsumen, tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen dan tabel transaksi impor atas dasar harga produsen. Tabel analisis diperoleh dari tabel dasar setelah dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Tabel ini
131 meliputi tabel koefisien input, matriks kebalikan total atas dasar harga produsen dan matriks kebalikan domestik atas dasar harga produsen.
5.1.1. Struktur Input-Output Struktur detail dari Tabel I-O dapat dilihat pada Gambar 22. Matriks yang terdapat pada Tabel I-O terdiri dari matriks penyerapan input di tiap industri, matriks produk bersama dan matriks pajak bersama. Kolom dari matriks penyerapan menunjukkan enam pelaku ekonomi yaitu produsen domestik, investor, rumahtangga, ekspor, pemerintah dan inventori. Semua data yang tertera pada Tabel I-O dihitung dalam nilai rupiah. Baris pada Gambar 22 menunjukkan asal dari pembelian komoditas yang dilakukan oleh pelaku ekonomi pada setiap kolom yang meliputi aliran bahan baku, margin, pajak, tenaga kerja, modal, tanah dan biaya lainnya. Aliran bahan baku dasar pada kolom pertama dan kedua menunjukkan aliran komoditas impor dan domestik yang digunakan oleh industri sebagai input atau pembentukan modal. Sebagai contoh, V1BAS (kolom pertama dan baris pertama) adalah nilai dari bahan baku (input antara) dari komoditas c, sumber s yang digunakan oleh setiap industri i pada produksinya. Selanjutnya aliran komoditas ke kolom ketiga menunjukkan komoditas yang dikonsumsi oleh rumahtangga (V3BAS). Aliran komoditas ke kolom keempat, lima dan enam menunjukkan nilai komoditas yang diekspor (V4BAS), dikonsumsi pemerintah (V5BAS) dan menambah atau mengurangi inventaris (V6BAS). Disini dapat dilihat bahwa hubungan antar komoditas pada Tabel I-O menunjukkan hubungan sektoral antar industri dan hubungan aggregat dari pelaku-pelaku ekonomi dalam ekonomi makro.
132 Matriks Penyerapan
Size ↑ CxS ↓ ↑ CxSx M ↓ ↑ CxS ↓ ↑ O ↓ ↑ 1 ↓
Aliran Bahan Baku Margin
Pajak Tenaga Kerja Modal
↑ 1 ↓ ↑ 1 ↓
Tanah Biaya lainnya
1
2
3
4
5
6
Produsen
Investor
Rumahtangga
Ekspor
Pemerintah
Inventori
←I→
←I→
←1→
←1→
←1→
←1→
V1BAS
V2BAS
V3BAS
V4BAS
V5BAS
V6BAS
V1MAR
V2MAR
V3MAR
V4MAR
V5MAR
n/a
V1TAX
V2TAX
V3TAX
V4TAX
V5TAX
n/a
V1LAB
V1CAP
C=Jumlah komoditas I =Jumlah industri S= Jumlah sumber komoditas O=Jumlah jenis pekerjaan M=Jumlah margin
V1LND
V1OCT
Matriks Produk Bersama
Pajak Impor
Ukuran
← I →
Ukuran
← I →
↑ C ↓
MAKE
↑ C ↓
V0TAR
Sumber: Horridge et al. (1998) dan Oktaviani (2000) Gambar 22. Data Input-Output pada Model Keseimbangan Umum Alur margin dari baris kedua adalah biaya margin komoditas yang digunakan oleh produsen, investor, rumahtangga, pemerintah dan biaya margin komoditas ekspor. Pajak dimatrikskan pada baris ketiga menunjukkan pajakpajak komoditas, seperti yang dikonsumsi oleh produsen, investor, rumahtangga dan pemerintah, dan pada akhirnya pajak ekspor. Baris-baris tenaga kerja, modal, lahan, dan biaya-biaya lainnya mencatat penggunaan faktor primer untuk masing-
133 masing industri pada kolom pertama, mengindikasikan pengembalian pada faktorfaktor input ini seperti yang digunakan pada tiap sektor. Dua matriks akhir adalah gabungan dari matriks produksi dan matriks pajak impor. Gabungan matriks produksi menunjukkan komposisi komoditas dari output tiap-tiap industri. Studi ini mengasumsikan bahwa sebuah industri dapat memproduksi sebuah komoditas. Matriks bea impor mencatat pembayaran bea impor atas tiap komoditas yang diimpor oleh setiap industri.
5.1.2. Agregasi dan Disagregasi Sektor Ekonomi Sesuai dengan tujuan penelitian, maka sektor ekonomi yang tercakup dalam penelitian ini terdiri dari 38 sektor.
Sektor-sektor tersebut dapat
dikategorikan ke dalam empat kelompok besar yaitu sektor pertanian, pertambangan, industri, dan jasa-jasa. Sektor pertanian yang merupakan fokus perhatian dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam 19 sektor, yang merupakan hasil agregasi dan disagregasi dari 23 sektor yang terdapat dalam Tabel I-O 2003 klasifikasi 66 sektor. Sektor-sektor yang termasuk kedalam sektor pertanian meliputi aktivitas pertanian tanaman pangan (padi, kedelai, jagung, ubi kayu, sayur-sayuran dan buah-buahan, serta tanaman bahan makanan lainnya), perkebunan (karet, tebu, kelapa, kelapa sawit, tembakau, kopi, teh, kakao, dan tanaman perkebunan lainnya), kehutanan, peternakan, dan perikanan. Adapun sektor pertambangan diperoleh dari agregasi tiga sektor atau aktivitas, yaitu: (1) penambangan batu bara dan bijih logam, (2) penambangan minyak, gas dan panas bumi, serta (3) penambangan dan penggalian lainnya. Sektor industri yang menjadi fokus perhatian penelitian ini dikategorikan kedalam 10 sektor, yang merupakan sektor industri pengolahan hasil pertanian
134 (agroindustri). Kesepuluh sektor industri tersebut adalah: (1) industri pengolahan hasil peternakan, (2) industri pengolahan hasil perikanan, (3) industri minyak dan lemak, (4) beras (industri penggilingan padi), (5) industri tepung segala jenis, (6) industri gula, (7) industri rokok, (8) industri bambu, kayu dan rotan, (9) industri pupuk dan pestisida, serta (10) industri pengolahan karet. Pemilihan sektor industri ini didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, agroindustri yang tercakup kedalam 10 industri prioritas pembangunan industri nasional seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Kesepuluh industri prioritas ini selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh Departemen Perindustrian sebagai kebijakan nasional pembangunan industri. Kedua, agroindustri yang berbahan baku sektor pertanian terpilih. Ketiga, agroindustri yang mempunyai prospek untuk dikembangkan di masa datang, berdasarkan sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), nilai ekspor dan penyerapan angkatan kerja. Kelompok keempat adalah sektor jasa-jasa yang terdiri dari tujuh sektor sebagai hasil agregasi, yaitu: (1) sektor listrik, gas dan air bersih, (2) sektor bangunan, (3) sektor perdagangan, hotel dan restoran, (4) sektor jasa transportasi, (5) sektor lembaga keuangan, (6) sektor pemerintahan umum dan pertahanan, serta (7) sektor jasa lainnya. Berdasarkan proses agregasi dan disagregasi tersebut di atas, maka 38 sektor ekonomi yang terpilih dalam penelitian ini adalah: (1) padi, (2) kedelai, (3) jagung, (4) ubi kayu, (5) sayur-sayuran dan buah-buahan, (6) tanaman pangan lainnya,
(7) karet, (8) tebu, (9) kelapa, (10) kelapa sawit, (11) tembakau,
(12) kopi, (13) teh, (14) kakao, (15) tanaman perkebunan lainnya, (16) tanaman lainnya, (17) peternakan, (18) kehutanan, (19) perikanan, (20) pertambangan,
135 (21) industri pengolahan hasil peternakan, (22) industri pengolahan hasil perikanan, (23) industri minyak dan lemak, (24) beras (industri penggilingan padi), (25) industri tepung segala jenis, (26) industri gula, (27) industri rokok, (28) industri bambu, kayu dan rotan, (29) industri pupuk dan pestisida, (30) industri pengolahan karet, (31) industri lainnya, (32) listrik, gas dan air bersih, (33) bangunan, (34) perdagangan, hotel dan restoran, (35) jasa transportasi, (36) lembaga keuangan, (37) pemerintahan umum dan pertahanan, dan (38) jasa lainnya. Untuk memadukan hasil agregasi sektor ekonomi yang digunakan dalam penelitian dengan Tabel I-O 2003, maka dilakukan mapping (pemetaan) antara sektor ekonomi yang terdapat dalam penelitian (38 sektor) dan sektor ekonomi yang terdapat pada Tabel I-O 2003 (66 sektor). Namun karena tidak seluruh sektor ekonomi dalam penelitian sesuai dengan klasifikasi sektor ekonomi pada Tabel IO 2003, maka perlu dilakukan disagregasi sektor ekonomi terlebih dahulu. Sektor-sektor tersebut adalah: (1) sektor kedelai, (2) sektor ubi kayu, (3) sektor kakao, (4) sektor industri pengolahan hasil peternakan, (5) sektor industri pengolahan hasil perikanan, dan (6) sektor industri pengolahan karet. Disagregasi sektor dilakukan berdasarkan share nilai masing-masing sub sektor pada setiap sektor yang akan didisagregasi pada Tabel I-O 2000. Sektor kedelai (sektor 2 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 2 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor tanaman kacang-kacangan. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor 6-8 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor kacang tanah (sektor 6), sektor kedelai (sektor 7), dan sektor kacang-kacangan lainnya (sektor 8). Dengan demikian, sektor 2 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi sektor kedelai (dengan menggunakan share sektor 7 Tabel I-O 2000) dan sektor
136 tanaman kacang-kacangan lainnya (dengan menggunakan share sektor 6 dan sektor 8 pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor tanaman kacang-kacangan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Kacang-Kacangan Kode I-O 2000 6 7 8
Nama Sektor Kacang tanah Kedelai Kacang-kacangan lainnya Total
Nilai Output (Milyar Rp) 3 553 623.29 2 397 887.08 1 083 988.39 7 035 498.76
Share (%) 50.51 34.08 15.41 100.00
Sumber: BPS (2000). Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 5, maka sektor tanaman kacang-kacangan (sektor 2 pada Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor kedelai (sektor 2) dengan share 34.08 persen dan sektor tanaman kacangkacangan lainnya (sektor 3) dengan share 65.92 persen. Sektor ubi kayu (sektor 4 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 4 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor tanaman umbi-umbian. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor 3-5 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor ketela pohon/ubi kayu (sektor 3), sektor ubi jalar (sektor 4), dan sektor umbi-umbian lainnya (sektor 5). Dengan demikian, sektor 4 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi sektor ubi kayu (dengan menggunakan share sektor 3 pada Tabel I-O 2000) dan sektor tanaman umbi-umbian lainnya (dengan menggunakan share sektor 4 dan sektor 5 pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor tanaman umbi-umbian disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 6, maka sektor tanaman umbi-umbian (sektor 4 pada Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor
137 ubi kayu (sektor 5) dengan share 33.24 persen dan sektor tanaman umbi-umbian lainnya (sektor 6) dengan share 66.76 persen. Tabel 6. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Umbi-Umbian Kode I-O 2000 3 4 5
Nama Sektor Ketela pohon (ubi kayu) Ubi jalar Umbi-umbian lainnya Total
Nilai Output (Milyar Rp) 4 880 492.85 936 991.22 8 865 024.73 14 682 508.80
Share (%) 33.24 6.38 60.38 100.00
Sumber: BPS (2000). Sektor kakao (sektor 14 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 16 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor tanaman perkebunan lainnya.
Sektor ini
merupakan agregasi dari sektor 21-23 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor kakao (sektor 21), sektor jambu mete (sektor 22), dan sektor hasil perkebunan lainnya (sektor 23). Dengan demikian, sektor 16 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi sektor kakao (dengan menggunakan share sektor 21 pada Tabel I-O 2000) dan sektor tanaman perkebunan lainnya (dengan menggunakan share sektor 22-23 pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor tanaman perkebunan lainnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Perkebunan Lainnya Kode I-O 2000 21 22 23
Nama Sektor Kakao Jambu Mete Hasil perkebunan lainnya Total
Nilai Output (Milyar Rp) 2 040 205.88 2 171 333.10 2 955 832.51 7 167 371.48
Share (%) 28.47 30.29 41.24 100.00
Sumber: BPS (2000). Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 7, maka sektor tanaman perkebunan lainnya (sektor 16 Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor
138 kakao (sektor 18) dengan share 28.47 persen dan sektor tanaman perkebunan lainnya (sektor 19) dengan share 71.53 persen. Sektor industri pengolahan hasil peternakan (sektor 21 dalam penelitian) dan sektor industri pengolahan hasil perikanan (sektor 22 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 27 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor 50-54 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor daging olahan dan awetan (sektor 50), sektor minuman dan makanan terbuat dari susu (sektor 51), sektor buah-buahan dan sayur-sayuran olahan dan awetan (sektor 52), sektor ikan kering dan ikan asin (sektor 53), serta sektor ikan olahan dan awetan (sektor 54). Dengan demikian, sektor 27 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi tiga sektor, yaitu sektor industri pengolahan hasil peternakan (dengan menggunakan share sektor 50-51 Tabel
I-O 2000), sektor industri pengolahan hasil perikanan (dengan
menggunakan share sektor 53-54 Tabel I-O 2000), dan sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan lainnya (dengan menggunakan share sektor 52 pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Share Untuk Disagregasi Sektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Makanan Kode I-O 2000 50 51 52 53 54
Nama Sektor Daging olahan dan awetan Makanan dan minuman terbuat dari susu
Buah-buahan dan sayur-sayuran olahan dan awetan Ikan kering dan ikan asin Ikan olahan dan awetan Total
Sumber: BPS (2000).
Nilai Output (Milyar Rp) 421 631 10 085 798
Share (%) 1.04 24.85
2 583 894 7 801 811 19 692 463 40 585 597
6.37 19.22 48.52 100.00
139 Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 8, maka sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan (sektor 27 Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor industri pengolahan hasil peternakan (sektor 30) dengan share 25.89 persen, sektor industri pengolahan hasil perikanan (sektor 31) dengan share 67.74 persen, dan sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan lainnya (sektor 32) dengan share 6.37 persen. Sektor industri pengolahan karet (sektor 30 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 42 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor industri barang karet dan plastik. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor 106-109 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor karet remah dan karet asap (sektor 106), sektor ban (sektor 107), sektor barang-barang lainnya dari karet (sektor 108), dan sektor barang-barang plastik (sektor 109). Dengan demikian, sektor 42 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi sektor industri pengolahan karet (dengan menggunakan share sektor 106-108 Tabel I-O 2000), dan sektor industri barang plastik (dengan menggunakan share sektor 109 Tabel I-O 2000).
Penentuan share untuk
disagregasi sektor industri barang karet dan plastik disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Share Untuk Disagregasi Sektor Industri Barang Karet dan Plastik Kode I-O 2000 106 107 108 109
Nama Sektor Karet remah dan karet asap Ban Barang-barang lainnya dari karet Barang-barang plastik Total
Nilai Output (Milyar Rp) 10 160 746.75 8 853 889.64 7 375 711.61 31 041 927.57 57 432 275.57
Share (%) 17.69 15.42 12.84 54.05 100.00
Sumber: BPS (2000). Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 9, maka sektor industri barang karet dan plastik (sektor 42 Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi
140 sektor industri pengolahan karet (sektor 47) dengan share 45.95 persen, dan sektor industri barang plastik (sektor 48) dengan share 54.05 persen. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jumlah sektor yang terdapat pada Tabel I-O 2003 telah mengalami perubahan dari 66 sektor menjadi 72 sektor. Agregasi terhadap 72 sektor yang terdapat pada Tabel I-O 2003 ini ke dalam 38 sektor dalam penelitian disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Agregasi Sektor Ekonomi yang Diteliti (38 Sektor) Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2003 Klasifikasi 72 sektor No.
Klasisifikasi 72 Sektor
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Padi Kedelai Tanaman kacang-kacangan lainnya Jagung Ubi kayu Tanaman umbi-umbian lainnya Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi The Cengkeh Hasil tanaman serat Kakao Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Pemotongan hewan Unggas dan hasil-hasilnya Kayu Hasil hutan lainnya Perikanan Penambangan batubara dan bijih logam Penambangan minyak, gas dan panas bumi
1 2 6 3 4 6 5 6 7 8 9 10 11 12 13 15 15 14 15 16 17 17 17 18 18 19
Agregasi 38 Sektor Ekonomi yang Diteliti Padi Kedelai Tanaman bahan makanan lainnya Jagung Ubi kayu Tanaman bahan makanan lainnya Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi The Tanaman perkebunan lainnya Tanaman perkebunan lainnya Kakao Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Peternakan Peternakan Kehutanan Kehutanan Perikanan
20
Pertambangan
20
Pertambangan
27 28
141 Tabel 10. Lanjutan No. 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64
Klasisifikasi 72 Sektor Penambangan dan penggalian lainnya Industri pengolahan hasil peternakan Industri pengolahan hasil perikanan Industri pengolahan dan pengawetan makanan lainnya Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung, segala jenis Industri gula Industri makanan lainnya Industri minuman Industri rokok Industri pemintalan Industri tekstil, pakaian dan kulit Industri bambu, kayu dan rotan Industri kertas, barang dari kertas dan karton Industri pupuk dan pestisida Industri kimia Pengilangan minyak bumi Industri pengolahan karet Industri barang plastik Industri barang-barang dari mineral bukan logam Industri semen Industri dasar besi dan baja Industri logam dasar bukan besi Industri barang dari logam Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Industri alat pengangkutan dan perbaikannya Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan Restoran dan hotel Angkutan kereta api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara
No. 20
Agregasi 38 Sektor Ekonomi yang Diteliti Pertambangan
22
Industri pengolahan hasil peternakan Industri pengolahan hasil perikanan
31
Industri lainnya
23 24 25 26 31 31 27 31 31 28
Industri minyak dan lemak Beras (Industri penggilingan padi) Industri tepung, segala jenis Industri gula Industri lainnya Industri lainnya Industri rokok Industri lainnya Industri lainnya Industri bambu, kayu dan rotan
31
Industri lainnya
29 31 20 30 31
Industri pupuk dan pestisida Industri lainnya Pertambangan Industri pengolahan karet Industri lainnya
31
Industri lainnya
31 31 31 31
Industri lainnya Industri lainnya Industri lainnya Industri lainnya
31
Industri lainnya
31
Industri lainnya
31
Industri lainnya
32 33 34 34 35 35 35 35
Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Perdagangan, hotel dan restoran Jasa transportasi Jasa transportasi Jasa transportasi Jasa transportasi
21
142 Tabel 10. Lanjutan No. 65 66 67 68 69 70 71 72
Klasisifikasi 72 Sektor Jasa penunjang angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Usaha bangunan dan jasa perusahaan Pemerintahaan umum dan pertahanan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa lainnya Kegiatan yang tdk jelas batasannya
35 38 36
Agregasi 38 Sektor Ekonomi yang Diteliti Jasa transportasi Jasa lainnya Lembaga keuangan
33
Bangunan
No.
38 38
Pemerintahaan umum dan pertahanan Jasa lainnya Jasa lainnya
38
Jasa lainnya
37
5.1.3. Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi Seperti yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, bahwa Tabel I-O merupakan sajian statistik yang menggambarkan transaksi dan keterkaitan antar sektor ekonomi secara komprehensif, konsisten dan terpadu. Di satu sisi, Tabel IO menggambarkan seberapa besar produk barang dan jasa suatu sektor digunakan oleh sektor lain dan untuk konsumsi akhir. Di sisi lain, Tabel I-O menjelaskan bagaimana suatu sektor dibangun atau disusun dari sektor-sektor lainnya dan komposisi dari faktor-faktor produksi. Oleh karena itu, bentuk penyajian Tabel IO adalah matriks, dimana masing-masing barisnya menunjukkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir, sedangkan masing-masing kolomnya menunjukkan pemakaian input antara dan input primer oleh suatu sektor dalam proses produksinya. Berdasarkan Tabel I-O yang disajikan pada Gambar 20, maka dapat dibuat dua persamaan neraca yang berimbang sebagai berikut: Baris:
n
∑x j =1
ij
+ f i = X i , ∀i = 1,2,..., n ...................................................(5.1)
143 Kolom:
n
∑x i =1
ij
+ v j + m j = X j , ∀j = 1,2,..., n .......................................(5.2)
dimana xij adalah nilai aliran barang atau jasa dari sektor i ke sektor j, fi adalah total konsumsi akhir, vj adalah nilai tambah dan mj adalah impor. Definisi neraca berimbang adalah jumlah produksi (keluaran) sama dengan jumlah masukan. Aliran antar sektor ekonomi dapat ditransformasi menjadi koefisienkoefisien sebagai berikut: aij = xij/Xj ..............................................................................................(5.3) atau: xij = aij Xj ..............................................................................................(5.4) Dengan memasukkan persamaan (5.4) ke dalam persamaan (5.1) akan didapat: n
∑a j =1
ij
X j + f i = X i , ∀i = 1,2,..., n .........................................................(5.5)
Dalam notasi matriks, persamaan (5.5) dapat ditulis sebagai berikut: AX + f = X ............................................................................................(5.6) dimana: aij ∈ Anxn, fi ∈ fnx1, dan Xi ∈ Xnx1. Dengan memanipulasi persamaan (5.6) didapat hubungan dasar dari Tabel I-O: (I-A)-1 f = X ..........................................................................................(5.7) dimana (1-A)-1 dinamakan sebagai matriks kebalikan dari Leontief. Matriks ini mengandung informasi penting tentang bagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor akan menyebabkan berkembangnya sektor-sektor lainnya. Matriks kebalikan Leontief menerangkan seluruh dampak dari perubahan produksi suatu sektor terhadap total produksi sektor-sektor lainnya ke dalam koefisien-koefisien yang disebut sebagai multiplier (αij). Multiplier ini adalah angka-angka yang terdapat dalam matriks (I-A)-1.
144 Dengan menggunakan unsur matriks kebalikan Leontief tersebut di atas, maka dapat dihitung indeks keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian. Terdapat dua bentuk keterkaitan yaitu keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Keterkaitan ke depan diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor-sektor lain yang memakai input dari sektor ini. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks keterkaitan ke depan adalah: n
FLi =
n∑ α ij j =1
n
....................................................................................(5.8)
n
∑∑ α i =1 j =1
ij
dimana: FLi = indeks keterkaitan ke depan (forward linkage) sektor i
αij
= unsur matriks kebalikan Leontief
Sektor i dikatakan mempunyai keterkaitan ke depan yang tinggi apabila nilai FLi lebih besar dari satu. Keterkaitan ke belakang diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan pertumbuhan sektor/industri hulunya. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks keterkaitan ke belakang adalah: n
BL j =
n∑ α ij n
i =1 n
∑∑ α i =1 j =1
...................................................................................(5.9) ij
dimana: BLj = indeks keterkaitan ke belakang (backward linkage) sektor j
αij
= unsur matriks kebalikan Leontief
145 Sektor j dikatakan mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi apabila BLj mempunyai nilai lebih besar dari satu. Berdasarkan rumus pada persamaan (5.8) dan persamaan (5.9) tersebut di atas, maka dapat dihitung indeks keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang dari 38 sektor ekonomi yang diteliti seperti yang disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Indeks Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang Sektor Ekonomi yang Diteliti
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Sektor Ekonomi yang Diteliti
Padi Kedelai Jagung Ubi kayu Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi Teh Kakao Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Industri pengolahan hasil peternakan Industri pengolahan hasil perikanan Industri minyak dan lemak Beras (Industri penggilingan padi) Industri tepung segala jenis Industri gula Industri rokok Industri bambu, kayu dan rotan Industri pupuk dan pestisida Industri pengolahan karet Industri lainnya
Indeks Keterkaitan ke Depan 1.26 0.64 0.70 0.59 0.61 0.78 0.77 0.94 0.63 0.78 0.60 0.58 0.57 0.59 0.67 0.90 1.18 0.74 0.87 1.67 0.62 0.71 0.68 0.65 1.04 0.59 0.62 0.73 1.49 0.78 4.65
Indeks Keterkaitan ke Belakang 0.73 0.65 0.73 0.63 0.66 0.64 0.86 0.86 0.77 0.93 1.17 0.98 0.75 0.83 0.80 0.83 1.16 0.77 0.81 0.76 1.32 1.32 1.19 1.20 1.33 1.25 1.00 1.16 1.38 1.39 1.27
146 Tabel 11. Lanjutan No.
Sektor Ekonomi yang Diteliti
32 33 34 35 36 37 38
Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Jasa transportasi Lembaga keuangan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa lainnya
Indeks Keterkaitan ke Depan 0.88 1.19 2.60 1.64 1.09 0.58 1.36
Indeks Keterkaitan ke Belakang 1.28 1.24 1.05 1.33 0.86 1.03 1.07
Sumber: Diolah dari Tabel I-O tahun 2003 (BPS, 2004). Pada Tabel 11 nampak bahwa sebagian besar sektor pertanian mempunyai keterkaitan ke depan yang rendah, kecuali untuk sektor padi dan sektor peternakan. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks keterkaitan ke depan yang lebih kecil dari satu. Demikian juga halnya dengan sektor industri, dimana sebagian besar sektor industri mempunyai keterkaitan ke depan yang rendah, kecuali pada industri tepung segala jenis, industri pupuk dan pestisida, dan industri lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar sektor pertanian dan sektor industri mempunyai kemampuan yang relatif rendah dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor lain yang memakai input sektor yang bersangkutan. Sementara itu, sektor lembaga keuangan mempunyai keterkaitan ke depan yang tinggi, yang ditunjukkan oleh nilai indeks keterkaitan ke depan yang lebih besar dari satu. Sebagian besar sektor pertanian juga mempunyai indeks keterkaitan ke belakang yang rendah, kecuali sektor tembakau dan sektor peternakan. Demikian juga halnya untuk sektor lembaga keuangan, dimana sektor ini mempunyai indeks keterkaitan ke belakang yang lebih kecil dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar sektor pertanian dan sektor lembaga keuangan mempunyai kemampuan yang relatif rendah dalam menumbuhkan sektor/industri hulunya. Kondisi sebaliknya terjadi pada sektor industri, dimana seluruh sektor industri
147 mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi, yang ditunjukkan oleh nilai indeks keterkaitan ke belakang yang lebih besar dari satu. Hal ini berarti sektor industri mempunyai kemampuan yang besar dalam menumbuhkan sektor/industri hulunya. Keterkaitan antar sektor ekonomi juga dapat dilihat dari besarnya pangsa input antara yang digunakan. Keterkaitan ke depan dapat dilihat dari besarnya pangsa input antara sektor yang bersangkutan yang digunakan oleh sektor lain dalam proses produksinya. Sebaliknya, keterkaitan ke belakang dapat dilihat dari pangsa input antara sektor lain yang digunakan oleh sektor yang bersangkutan. Pangsa input antara sektor ekonomi yang diteliti secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.
5.2.
Sistem Neraca Sosial Ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) secara periodik mengeluarkan Sistem Neraca
Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) untuk Indonesia. SNSE menyediakan informasi mengenai keadaan sosial-ekonomi makro Indonesia, yang tidak hanya meliputi informasi Tabel I-O tetapi juga informasi mengenai distribusi pendapatan untuk semua faktor produksi, pendapatan rumahtangga, dan pola pengeluaran rumahtangga (BPS, 2005). Dibandingkan dengan Tabel I-O standar, sebuah Tabel SNSE tidak hanya mengidentifikasi struktur produksi tetapi juga bermanfaat dalam menjelaskan distribusi pendapatan, tenaga kerja, dan akumulasi modal (Jemio dan Jansen, 1993). Pada Tabel SNSE, kolom-kolom menunjukkan pendapatan yang diperoleh masing-masing faktor produksi, institusi, sektor produksi, dan sektor lainnya. Sementara itu baris-baris menunjukkan sisi pengeluaran dari klasifikasi sektor ini. Penyederhanaan dari SNSE dapat dilihat pada Tabel 12.
148
Tabel 12. Tabel SNSE Secara Sederhana
P E N E R I M A A N
1
2
Faktor Produksi
Institusi termasuk Rumahtangga
PENGELUARAN 3 Aktivitas Produksi
Total Neraca Modal
Faktor Produksi
2
Institusi termasuk Rumahtangga
3
Aktivitas Produksi
Permintaan Barang dan Jasa Institusi
Neraca Modal
Tabungan Institusi
Luar Negeri
Impor Barang dan Jasa Institusi
Aktivitas Produksi Impor Barang
Impor pada Barang Investasi
Pengeluaran Institusi
Output Kotor
Aggregate Investasi
Luar Negeri
Distribusi Pendapatan Faktor Distribusi Pendapatan terhadap RT dan Institusi Lainnya
4
Total
5
Neraca Lainnya
1
5
4
Pengeluaran Faktor Produksi
Penerimaan Faktor Produksi
Transfer, Pajak dan Subsidi Permintaan antar Industri
Formasi Modal
Penerimaan Institusi dari Luar Negeri
Pendapatan Institusi
Ekspor
Pendapatan Kotor Tabungan Agregat Total Pengeluaran dari Luar Negeri
Total Penerimaan dari Luar Negeri
Sumber: Thorbecke (1985) 148
149 SNSE Indonesia tahun 2003 dikeluarkan dalam dua kelompok sektoral, yaitu versi 23 x 23 dan 102 x 102. Pengelompokan sektor produksi pada SNSE berbeda dengan pengelompokan pada Tabel I-O. Untuk menggabungkan data dari SNSE dan Tabel I-O diperlukan pengelompokkan sektor antar keduanya (Oktaviani, 2000). Pengelompokan sektor dalam penelitian, Tabel I-O 2003 dan SNSE 2003 disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Pengelompokan Sektor Ekonomi yang Diteliti dari Tabel Input-Output dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Tahun 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Sektor ekonomi yang diteliti (38 Sektor) Padi Kedelai Jagung Ubi kayu Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi Teh Kakao Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Industri pengolahan hasil peternakan Industri pengolahan hasil perikanan Industri minyak dan lemak Beras (Industri penggilingan padi) Industri tepung segala jenis Industri gula Industri rokok Industri bambu, kayu dan rotan Industri pupuk dan pestisida Industri pengolahan karet
I-O 2003 (72 Sektor) 1 2 4 5 7 3, 6, 8 9 10 11 12 13 14 15 18 16-17, 19 20 21-23 24-25 26 27-29 30 31 33 34 35 36 39 42 44 47
SNSE 2003 (23 Sektor) 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 4 5 6, 7 8 8 8 8 8 8 8 10 12 11
150 Tabel 13. Lanjutan Sektor ekonomi yang diteliti (38 Sektor)
No. 31.
Industri lainnya
32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Jasa transportasi Lembaga keuangan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa lainnya
5.3.
I-O 2003 (72 Sektor) 32, 37-38, 40-41, 43, 45-46, 48-56 57 58, 68 59-60 61-65 67 69 66, 70-72
SNSE 2003 (23 Sektor) 9, 11 13 14, 21 15, 16, 17 18, 19 20 22 23
Klasifikasi Rumahtangga Dalam
penelitian
ini,
rumahtangga
didisagregasi
mengikuti
pengelompokan pada SNSE 2003 menjadi delapan kelompok rumahtangga berdasarkan lokasi dan jenis pekerjaan, yaitu lima kelompok rumahtangga di perdesaan (rural) dan tiga kelompok rumahtangga di perkotaan (urban). Lima kelompok rumahtangga perdesaan (rural) tersebut adalah sebagai berikut: 1. Rural 1 adalah rumahtangga buruh pertanian di perdesaan. 2. Rural 2 adalah rumahtangga pengusaha pertanian di perdesaan. 3. Rural 3 adalah rumahtangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan, yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga Tata Usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, dan buruh kasar. 4. Rural 4 adalah Bukan Angkatan Kerja (BAK) di perdesaan, yang meliputi bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas di perdesaan. 5. Rural 5 adalah rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perdesaan, meliputi pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas.
151 Tiga kelompok rumahtangga perkotaan (urban) adalah sebagai berikut: 1. Urban 1 adalah rumahtangga bukan pertanian golongan bawah di perkotaan, yang meliputi pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan dan buruh kasar. 2. Urban 2 adalah Bukan Angkatan Kerja (BAK) di perkotaan, meliputi bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas. 3. Urban 3 adalah rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan, seperti pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas. Pengeluaran delapan kelompok rumahtangga tersebut terhadap masingmasing sektor disajikan pada Tabel 14.
5.4.
Klasifikasi Tenaga Kerja Sebuah model keseimbangan umum membutuhkan informasi mengenai
pengeluaran tenaga kerja pada setiap sektor berdasarkan jenis pekerjaan. Klasifikasi tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti kategori yang ditemukan pada Tabel SNSE 2003. Pada tabel tersebut tenaga kerja dikategorikan menjadi empat kelompok besar yaitu tenaga kerja pertanian, operator, Tata Usaha (TU) dan profesional. Pada penelitian ini, tenaga kerja pertanian dan operator dikelompokkan lagi menjadi tenaga kerja tidak terdidik (unskilled), sedangkan tata usaha dan profesional dikelompokkan menjadi tenaga kerja terdidik (skilled). Untuk mengetahui upah berdasarkan jenis pekerjaannya dibutuhkan data yang berasal dari data SNSE. Pengeluaran upah tenaga kerja berdasarkan jenis pekerjaan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 15.
152
Tabel 14. Pengeluaran Kelompok Rumahtangga Terhadap Sektor-Sektor Perekonomian Dalam Model CGE Agrindo (Miliar Rupiah) Sektor
1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung 4. Ubi kayu 5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 6. Tanaman bahan makanan lainnya 7. Karet 8. Tebu 9. Kelapa 10. Kelapa sawit 11. Tembakau 12. Kopi 13. Teh 14. Kakao 15. Tanaman perkebunan lainnya 16. Tanaman lainnya 17. Peternakan 18. Kehutanan 19. Perikanan 20. Pertambangan
Rural 1 0 52 395 296 3 577 718 0 1 398 0 6 42 6 10 29 127 3 227 111 2 187 117
Rural 2 0 182 1 374 1 027 12 436 2 495 0 3 1 385 0 20 148 21 36 102 442 11 219 385 7 602 408
Rural 3 0 100 760 568 6 875 1 379 0 1 766 0 11 82 12 20 57 244 6 202 213 4 203 226
Kelompok Rumahtangga Rural 4 Rural 5 Urban 1 0 0 0 40 71 162 300 535 1 224 224 400 915 2 712 4 843 11 077 544 972 2 222 0 0 0 1 1 2 302 539 1 234 0 0 0 4 8 18 32 58 132 5 8 19 8 14 32 22 40 91 96 172 393 2 447 4 370 9 994 84 150 343 1 658 2 961 6 772 89 159 364
Urban 2 0 59 447 334 4 041 811 0 1 450 0 7 48 7 12 33 143 3 645 125 2 470 133
Urban 3 0 193 1 462 1 093 13 227 2 653 0 3 1 473 0 22 157 22 38 109 470 11 934 410 8 087 434
152
153
Tabel 14. Lanjutan (Miliar Rupiah) Sektor
21. Industri pengolahan hasil peternakan 22. Industri pengolahan hasil perikanan 23. Industri minyak dan lemak 24. Beras (Industri penggilingan padi) 25. Industri tepung segala jenis 26. Industri gula 27. Industri rokok 28. Industri bambu, kayu dan rotan 29. Industri pupuk dan pestisida 30. Industri pengolahan karet 31. Industri lainnya 32. Listrik, gas dan air bersih 33. Bangunan 34. Perdagangan, hotel dan restoran 35. Jasa transportasi 36. Lembaga keuangan 37. Pemerintahan umum dan pertahanan 38. Jasa lainnya
Rural 1
Rural 2
Kelompok Rumahtangga Rural 3 Rural 4 Rural 5 Urban 1
552 1 444 1 987 3 858 1 720 690 3 228 409 86 633 20 933 1 577 4 822 14 382 6 012 2 739 133 8 964
1 918 5 019 6 908 13 413 5 979 2 400 11 222 1 421 301 2 200 72 776 5481 16 765 50 000 20 901 9 524 463 31 164
1 060 2 774 3 819 7 415 3 305 1 327 6 204 786 166 1 216 40 231 3 030 9 268 27 641 11 554 5 265 256 17 228
418 1 094 1 506 2 925 1 304 523 2 447 310 66 480 15 870 1 195 3 656 10 903 4 558 2 077 101 6 796
747 1 955 2 690 5 224 2 329 935 4 371 554 117 857 28 345 2 135 6 530 19 474 8 141 3 709 180 12 138
1 709 4 470 6 153 11 948 5 326 2 138 9 996 1 266 268 1 960 64 826 4 883 14 934 44 538 18 618 8 483 413 27 760
Urban 2
Urban 3
623 1 631 2 244 4 358 1 943 780 3 646 462 98 715 23 647 1 781 5 447 16 246 6 791 3 094 151 10 126
2 040 5 338 7 347 14 267 6 359 2 553 11 936 1 512 320 2 340 77 410 5 831 17 833 53 184 22 232 10 130 493 33 148
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah dari Tabel I-O, 2003 dan SNSE, 2003)
153
154 Tabel 15. Pembayaran Upah Tiap Sektor Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Tahun 2003 (Miliar Rupiah) Sektor Terdidik Tidak Terdidik 1. Padi 8 854.75 49.62 2. Kedelai 714.12 4.00 3. Jagung 2 414.94 13.53 4. Ubi kayu 677.02 3.79 5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 12 760.94 71.51 6. Tanaman bahan makanan lainnya 2 754.29 15.43 7. Karet 6 565.34 207.68 8. Tebu 1 500.97 47.48 9. Kelapa 1 593.55 50.41 10. Kelapa sawit 3 606.50 114.08 11. Tembakau 590.85 18.69 12. Kopi 441.25 13.96 13. Teh 242.46 7.67 14. Kakao 263.83 8.35 15. Tanaman perkebunan lainnya 1 237.62 39.15 16. Tanaman lainnya 4 938.99 156.23 17. Peternakan 18 434.90 1 363.17 18. Kehutanan 3 479.93 449.96 19. Perikanan 8 732.53 309.58 20. Pertambangan 12 918.14 6 405.04 21. Industri pengolahan hasil peternakan 756.68 212.52 22. Industri pengolahan hasil perikanan 1 979.81 556.06 23. Industri minyak dan lemak 8501.04 2 387.63 24. Beras (Industri penggilingan padi) 2 389.10 671.01 25. Industri tepung segala jenis 5 491.95 1 542.49 26. Industri gula 532.34 149.51 27. Industri rokok 2 068.50 580.97 28. Industri bambu, kayu dan rotan 8 186.78 637.14 29. Industri pupuk dan pestisida 1 605.98 634.66 30. Industri pengolahan karet 3 512.62 1 413.86 31. Industri lainnya 91 358.91 31 749.02 32. Listrik, gas dan air bersih 2 362.42 2 100.94 33. Bangunan 45 698.41 21 091.18 34. Perdagangan, hotel dan restoran 4 552.89 90 784.44 35. Jasa transportasi 14 648.64 7 707.43 36. Lembaga keuangan 377.77 22 305.42 37. Pemerintahan umum dan pertahanan 2 156.90 5 4078.27 38. Jasa lainnya 14 956.35 75 398.19 Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah dari Tabel I-O, 2003 dan SNSE, 2003)
155
5.5.
Pendapatan Atas Lahan dan Modal Model
CGE-AGRINDO
juga
membutuhkan
informasi
mengenai
pendapatan atas lahan dan modal per sektor. Informasi mengenai pembagian pendapatan atas lahan dan kapital tidak tersedia pada Tabel I-O, melainkan terdapat pada matriks SNSE. Pada SNSE, faktor produksi dibagi menjadi lebih rinci, diantaranya adalah tenaga kerja, lahan, perumahan, dan modal lainnya di daerah perdesaaan dan modal-modal lainnya di sekitar perkotaan, modal swasta, modal pemerintah dan modal asing. Untuk memperoleh data pendapatan lahan dan modal ini diperlukan pengelompokan sektor antara SNSE dan Tabel I-O yang diaplikasikan untuk mendapatkan proporsi lahan dan modal pada 38 sektor yang terdapat pada penelitian. Setelah proposi pendapatan lahan dan kapital diperoleh, nilai tersebut dikalikan dengan nilai total dari surplus usaha (sektor 202 pada Tabel I-O) dan biaya depresiasi (sektor 203 pada Tabel I-O).
Pembayaran terhadap faktor
produksi lahan dan kapital pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Pendapatan Lahan dan Modal, Tahun 2003 Sektor
1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung 4. Ubi kayu 5. Sayur-sayuran dan buah-buahan 6. Tanaman bahan makanan lainnya 7. Karet 8. Tebu 9. Kelapa 10. Kelapa sawit 11. Tembakau 12. Kopi 13. Teh 14. Kakao
Lahan 23 605.39 2 100.07 7 171.74 2 333.17 20 160.01 8 794.72 2 319.93 1 388.62 3 667.03 3 991.79 311.71 673.94 224.23 817.44
(Miliar Rupiah) Modal 26 954.54 2 398.03 8 189.27 2 664.20 23 020.33 10 042.52 1 986.61 1 189.11 3 140.17 3 418.26 266.92 577.11 192.01 699.99
156 Tabel 16. Lanjutan Sektor 15. Tanaman perkebunan lainnya 16. Tanaman lainnya 17. Peternakan 18. Kehutanan 19. Perikanan 20. Pertambangan 21. Industri pengolahan hasil peternakan 22. Industri pengolahan hasil perikanan 23. Industri minyak dan lemak 24. Beras (Industri penggilingan padi) 25. Industri tepung segala jenis 26. Industri gula 27. Industri rokok 28. Industri bambu, kayu dan rotan 29. Industri pupuk dan pestisida 30. Industri pengolahan karet 31.Industri lainnya 32. Listrik, gas dan air bersih 33. Bangunan 34. Perdagangan, hotel dan restoran 35. Jasa transportasi 36. Lembaga keuangan 37. Pemerintahan umum dan pertahanan 38. Jasa lainnya
Lahan 3 105.99 4 762.56 9 073.32 7 261.08 27 540.95 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
(Miliar Rupiah) Modal 2 659.74 4 078.30 21 525.91 7 412.91 8 883.55 148 129.58 2 811.11 7 355.15 14 351.65 8 168.61 14 500.32 1 494.37 6 409.19 21 353.05 4 455.22 8 294.15 272 894.19 17 709.72 119 625.04 221 927.69 53 784.80 66 238.34 6 959.26 7 9541.38
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah dari Tabel I-O, 2003 dan SNSE, 2003)
5.6.
Penyusunan Matriks-Matriks Pajak Data pajak yang diperlukan dalam model keseimbangan umum adalah
pajak pendapatan pada setiap sektor berdasarkan sumber dan pengguna. Akan tetapi belum ada publikasi mengenai pajak pendapatan pada setiap sektor. Beberapa data perpajakan memang telah diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia dalam laporannya, tetapi data tersebut tidak meliputi pajak pendapatan per sektor. Sistem perpajakan di Indonesia meliputi pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang mewah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bea
157 perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai, bea masuk, pajak/pungutan ekspor, dan pajak lainnya. Besarnya penerimaan pemerintah dari pajak tersebut disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Penerimaan Perpajakan Pemerintah, Tahun 2003
Tipe Penerimaan Perpajakan 1. Pajak Dalam Negeri a. Pajak Penghasilan b. Pajak Pertambahan Nilai c. Pajak Bumi dan Bangunan d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan e. Cukai f. Pajak Lainnya 2. Pajak Perdagangan Internasional a. Bea Masuk b. Pajak/Pungutan Ekspor Total Penerimaan Perpajakan
Nilai (Miliar Rupiah) 241 692.20 120 924.80 80 789.90 7 523.60 2 401.70 27 945.60 2 106.60 12 397.80 8 022.80 4.375.00 254 090.00
Pangsa (%) 95.12 47.59 31.80 2.96 0.95 11.00 0.83 4.88 3.16 1.72 100.00
Sumber: Bank Indonesia (2004) Nilai pajak berdasarkan sektor (komoditas) diperlukan sebagai data dasar pada model keseimbangan umum. Data ini diturunkan dari pajak tidak langsung yang terdapat pada Tabel I-O. Di sini diasumsikan bahwa satu industri hanya memproduksi satu komoditas, sehingga pajak berbasiskan industri sama dengan pajak berbasiskan komoditas. Pembayaran pajak tidak langsung dan permintaan komoditas oleh pengguna dihitung berdasarkan nilai yang terdapat pada matriks pajak dan nilai dasar dari pembelian oleh setiap pengguna. Asumsi yang digunakan adalah bahwa tingkat pajak tidak langsung yang dikenakan pada setiap komoditas yang dibeli oleh pengguna adalah sama. Dengan demikian besarnya pajak tidak langsung pada komoditas domestik dapat dihitung berdasarkan rumus:
158
DomTaxRc =
DomTax c Salesc
c ∈COM ………………...…..…………..(5.10)
dimana: DomTaxc = pajak tidak langsung pada setiap komoditas.
= total pembelian komoditas c oleh setiap pengguna
Sales c
Total pembelian diperoleh dengan cara menjumlahkan pembelian komoditas pada semua pengguna pada matriks absorpsi (penyerapan). Besarnya penarikan pajak domestik tidak langsung dari setiap pengguna berdasarkan komoditas dapat dihitung berdasarkan rumus: Tax Re vcis = VBAScis * DomTaxRc ......................................................(5.11) k
k
c ∈COM,i ∈ IND, k ∈USER,s = DOM
dimana: k
VBAScis = Nilai dasar komoditas domestik c (dinilai berdasarkan pada
harga di tingkat produsen) oleh pengguna k seperti yang terdapat pada Tabel I-O. Pada komoditas impor, pajak penjualan impor komoditas c dapat dihitung berdasarkan: Im pTaxRc =
Im pTaxc Vimpc
..................................................................(5.12)
dimana: Im pTax = Pajak penjualan impor berdasarkan komoditas c
Vimpc
= Total nilai dasar impor barang c oleh setiap pengguna
Selanjutnya, pendapatan dari pajak impor pada setiap pengguna berdasarkan komoditas dapat dihitung dengan menggunakan rumus : k k Im pTax Re vcis * Im pTaxRc ………………………......…….(5.13) = VBAScis
c ∈COM,i ∈ IND, k ∈USER,s = IMP
159
5.7.
Elastisitas dan Parameter Lain Selain data dasar yang telah dikemukan di atas, model keseimbangan
umum juga membutuhkan data parameter elastisitas dan beberapa parameter behavioural. Parameter elastisitas yang digunakan dalam model ini adalah elastisitas Armington, elastisitas substitusi tenaga kerja, elastisitas substitusi untuk input primer, elastisitas permintaan ekspor dan elastisitas pengeluaran. Parameter lain yang diperlukan adalah parameter yang berhubungan dengan investasi. Idealnya parameter-parameter tersebut diperoleh dari data time series yang kemudian diestimasi dengan menggunakan alat analisis ekonometrika. Namun demikian karena adanya keterbatasan data di lapangan, menyebabkan sebagian besar dari nilai parameter tersebut diperoleh dari hasil studi terdahulu, baik studi yang dilakukan di Indonesia maupun studi yang dilalukan di negara lain yang kemudian diaplikasikan pada model Indonesia. Berikut akan dijelaskan masingmasing besaran parameter elastisitas dan parameter lainnya yang digunakan dalam model. (1) Elastisitas Armington
Armington telah mengemukakan teori mengenai permintaan barang dalam aktivitas perdagangan internasional. Dalam teori yang dikembangkannya, Armington memperkenalkan asumsi bahwa produk yang diperdagangkan secara internasional berbeda berdasarkan lokasi produksinya. Armington lebih jauh mengasumsikan bahwa dalam suatu negara, setiap industri hanya menghasilkan satu produk dan bahwa produk ini berbeda dari produk industri yang sama dari negara lain. Dari sudut pandang konsumen, produk suatu industri yang berasal dari berbagai negara merupakan sekelompok barang yang dapat saling
160 bersubstitusi (Lloyd dan Zhang, 2005). Tingkat substitusi di antara barang yang dihasilkan oleh industri domestik dan industri di negara lain besifat tidak sempurna (imperfect of substitution) (Kapuscinski dan Warr, 1999). Derajat substitusi di antara kedua barang tersebut selanjutnya dikenal secara luas sebagai elastisitas substitusi Armington atau disingkat elastisitas Armington. Asumsi Armington terhadap produk yang terdeferensiasi secara nasional telah diadopsi secara luas dalam model CGE untuk mendefenisikan permintaan barang-barang domestik dan barang-barang impor. Dalam penelitian ini, nilai elastisitas Armington untuk tiap komoditas mengikuti model DyREC yang dikembangkan oleh Oktaviani et al. (2007), dimana elastisitas Armington diestimasi dengan menggunakan data time series yang tersedia. Untuk mengestimasi elastisitas Armington diperlukan data volume dan harga barang impor serta data produksi dan harga barang domestik. Selanjutnya data ini dianalisis dengan model logaritma ganda (DLM) dan model penyesuaian parsial (PAM). Nilai parameter elastisitas tersebut disajikan pada Tabel 18. (2) Elastisitas Permintaan Ekspor
Elastisitas permintaan ekspor menunjukkan respon permintaan komoditas ekspor terhadap perubahan harganya di pasar internasional. Pada perekonomian internasional, Indonesia diasumsikan sebagai negara kecil, sehingga ekspor Indonesia tidak akan mempengaruhi harga dunia. Dalam penelitian ini, nilai elastisitas permintaan ekspor mengikuti model DyREC yang dikembangkan oleh Oktaviani et al. (2007), yang diestimasi dengan menggunakan data volume dan nilai ekspor. Elastisitas permintaan ekspor masing-masing sektor/komoditas disajikan pada Tabel 18.
161 Tabel 18. Parameter Elastisitas yang Digunakan Dalam Model Elastisitas Sektor/Komoditas
1. Padi 2. Kedelai 3. Jagung 4. Ubi kayu 5. Sayur-sayuran dan buahbuahan 6. Tanaman bahan makanan lainnya 7. Karet 8. Tebu 9. Kelapa 10. Kelapa sawit 11. Tembakau 12. Kopi 13. Teh. 14. Kakao 15. Tanaman perkebunan lainnya 16. Tanaman lainnya 17. Peternakan 18. Kehutanan 19. Perikanan 20. Pertambangan 21. Industri pengolahan hasil peternakan 22. Industri pengolahan hasil perikanan 23. Industri minyak dan lemak 24. Beras (Industri penggilingan padi) 25. Industri tepung segala jenis 26. Industri gula 27. Industri rokok 28. Industri bambu, kayu dan rotan 29. Industri pupuk dan pestisida 30. Industri pengolahan karet 31. Industri lainnya 32. Listrik, gas dan air bersih
Armington
Permintaan Ekspor
Substitusi Input Primer
Substitusi TK
4.87 4.87 4.87 4.87
-1.40 -1.40 -1.40 -1.40
0.71 0.71 0.71 0.71
0.50 0.50 0.50 0.50
4.87
-1.40
0.71
0.50
4.87
-1.40
0.71
0.50
1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 4.87 0.06 1.79 0.06 1.20
-0.98 -0.98 -0.98 -0.98 -0.98 -0.98 -0.98 -0.98 -0.98 -1.40 -0.96 -0.36 -1.11 -0.58
0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 1.21
0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.44
0.59
-1.39
1.21
0.04
0.59
-1.39
1.21
0.04
0.59
-1.39
1.21
0.04
0.59
-1.39
1.21
0.04
0.59 0.59 0.59
-1.39 -1.39 -1.39
1.21 1.21 1.21
0.04 0.04 0.04
1.05
-1.19
1.21
0.04
0.53 0.53 0.72 2.80
-0.13 -0.13 -0.56 -5.60
1.21 1.21 1.21 0.46
0.04 0.04 0.04 0.50
162 Tabel 18. Lanjutan Elastisitas Armington
Permintaan Ekspor
Substitusi Input Primer
Substitusi TK
33. Bangunan
1.90
-3.78
0.25
0.20
34. Perdag., hotel dan restoran
1.90
-3.79
0.76
0.50
35. Jasa transportasi
1.90
-3.78
1.47
0.07
36. Lembaga keuangan 37. Pemerintahan umum dan pertahanan 38. Jasa lainnya
1.90
-3.78
0.34
0.50
1.90
-3.79
0.34
0.50
1.90
-3.79
0.34
0.50
Sektor/Komoditas
Sumber: Oktaviani et al. (2007, dimodifikasi). (3) Elastisitas Substitusi Input Primer
Elastisitas substitusi input primer menunjukkan bagaimana respon dari setiap input pada setiap sektor akibat perubahan harga input. Pada fungsi produksi CES, faktor primer disubstitusi sesamanya dengan elastisitas substitusi yang konstan. Nilai yang sama juga diberlakukan untuk semua faktor yang saling berpasangan. Biasanya nilai yang digunakan untuk elastisitas ini adalah 0.5. Kisaran nilai 0.5 tersebut telah digunakan dalam model ORANI, ORANI-F dan ORANI-G pada perekonomian Australia (Dixon et al., 1982; Horridge et al., 1993; Horridge et al., 1997). Penentuan nilai elastisitas substitusi input primer dalam penelitian ini mengikuti model DyREC yang dikembangkan oleh Oktaviani et al. (2007). Adapun nilai elastisitas substitusi input primer masing-masing sektor/komoditas disajikan pada Tabel 18. (4) Elastisitas Substitusi Tenaga Kerja
Nilai elastisitas substitusi tenaga kerja menunjukkan respon dari perubahan tenaga kerja pada berbagai jenis pekerjaan akibat adanya perubahan
163 upah. Penelitian khusus yang telah dilakukan untuk memperkirakan besaran nilai elastisitas substitusi antar pekerjaan di Indonesia cukup sulit untuk ditemukan. Sebagian besar studi yang menggunakan model CGE di Indonesia mengadopsinya dari studi-studi sebelumnya untuk negara lain. Pada konstruksi data dasar model INDOF misalnya, Oktaviani (2000) menggunakan angka 0.5 untuk seluruh sektor penelitiaannya. Angka ini diperoleh dari studi Horridge et al. (1993) untuk model CGE perekonomian Australia. Angka yang sama juga telah digunakan oleh Buetre (1996) untuk model perekonomian Philippina. Oleh karena itu, penentuan nilai elastisitas substitusi antar jenis pekerjaan di Indonesia yang digunakan pada model ini mengikuti metode yang digunakan oleh Oktaviani et al. (2000). Elastisitas substitisi tenaga kerja pada masing-masing sektor yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 18. (5) Elastisitas Pengeluaran
Seperti yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, bahwa penelitian ini mencoba untuk menangkap bagaimana dampak peningkatan produktivitas industri pertanian terhadap pendapatan rumahtangga. Oleh sebab itu, rumahtangga dalam penelitian ini dibagi ke dalam delapan kelompok pendapatan. Pengelompokan tersebut mengikuti pengelompokan SNSE 2003. Dengan demikian elastisitas pengeluaran dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan jenis rumahtangga. Besaran nilai elastisitas pengeluaran masing-masing rumahtangga berdasarkan sektor mengikuti nilai yang terdapat pada SUSENAS tahun 2002. Adapun besaran nilai tersebut disajikan pada Tabel 19.
164 Tabel 19. Parameter Elastisitas Pengeluaran Rumahtangga yang Digunakan Dalam Model Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Rural1 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 1.770 0.536 0.990 0.536 0.690 0.690 0.664 0.690 0.690 0.690 0.664 1.107 0.664 0.664 0.664 0.536 0.690 0.987 0.949 0.664 0.804 1.309
Rural2 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.949 0.949 0.949 0.949 0.949 0.949 0.949 0.949 0.949 0.855 1.965 0.595 0.990 0.595 0.765 0.765 0.737 0.765 0.765 0.765 0.737 1.229 0.737 0.737 0.737 0.595 0.765 1.095 1.053 0.737 0.892 1.452
Rural3 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.885 0.885 0.885 0.885 0.885 0.885 0.885 0.885 0.885 0.855 1.832 0.554 0.990 0.554 0.713 0.713 0.687 0.713 0.713 0.713 0.687 1.145 0.687 0.687 0.687 0.554 0.713 1.021 0.982 0.687 0.832 1.354
Sumber: SUSENAS tahun 2002
Rural4 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.896 0.896 0.896 0.896 0.896 0.896 0.896 0.896 0.896 0.855 1.854 0.561 0.990 0.561 0.722 0.722 0.695 0.722 0.722 0.722 0.695 1.159 0.695 0.695 0.695 0.561 0.722 1.033 0.994 0.695 0.841 1.370
Rural5 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.956 0.956 0.956 0.956 0.956 0.956 0.956 0.956 0.956 0.855 1.979 0.599 0.990 0.599 0.771 0.771 0.742 0.771 0.771 0.771 0.742 1.237 0.742 0.742 0.742 0.599 0.771 1.103 1.061 0.742 0.898 1.463
Urban1 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.693 0.693 0.693 0.693 0.693 0.693 0.693 0.693 0.693 0.855 1.839 0.943 0.990 0.943 1.241 1.241 0.656 1.241 1.241 1.241 0.656 0.831 0.656 0.656 0.656 0.943 1.241 0.854 1.294 0.656 0.955 1.052
Urban2 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.677 0.677 0.677 0.677 0.677 0.677 0.677 0.677 0.677 0.855 1.796 0.921 0.990 0.921 1.212 1.212 0.640 1.212 1.212 1.212 0.640 0.811 0.640 0.640 0.640 0.921 1.212 0.834 1.263 0.640 0.933 1.027
Urban3 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.855 0.671 0.671 0.671 0.671 0.671 0.671 0.671 0.671 0.671 0.855 1.780 0.913 0.990 0.913 1.201 1.201 0.635 1.201 1.201 1.201 0.635 0.804 0.635 0.635 0.635 0.913 1.201 0.827 1.253 0.635 0.925 1.018
165 (6) Elastisitas Upah dan Trend Tenaga Kerja
Sebuah model recursive dynamic membutuhkan data elastisitas upah dan data aktual/trend tenaga kerja. Sayangnya data tersebut tidak tersedia di Indonesia, sehingga nilai-nilai tersebut diambil dari nilai yang digunakan pada model DyREC (Oktaviani et al., 2007), yaitu sebesar 0.80 untuk elastisitas tenaga kerja dan 0.0097 untuk aktual/trend tenaga kerja. (7) Parameter Investasi
Parameter investasi (BETA_Ri) menunjukkan hubungan antara tingkat pengembalian modal dan modal di tiap industri. Dalam penelitian ini parameter investasi yang digunakan adalah 5, mengikuti parameter investasi yang terdapat pada model ORANI-F (Horridge et al., 1993). (8) Tingkat Depresiasi Faktor dan Nilai Depresiasi
Tingkat depresiasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 10 persen. Nilai tersebut mengikuti nilai yang terdapat pada model ORANI-F (Horridge et al., 1993). Adapun besaran nilai untuk depresiasi faktor sebesar 0.9 (diperoleh dari 1 dikurangi tingkat depresiasi). Nilai yang sama juga digunakan oleh Buetre (1996) pada model Philipina. (9) Rasio Investasi Modal
Rasio investasi modal yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 0.1375. Nilai ini diperoleh dari beberapa alternatif nilai rasio investasi modal yang digunakan dalam memperbaharui data dasar tahun 1995-2000 (Susanti, 2002). Dengan menggunakan angka 0.1375, persentase perubahan GDP Riil dan investasi hampir sama dengan perubahan aktualnya.
166 (10) Stok Kapital pada Setiap Industri
Stok kapital awal pada setiap industri dibutuhkan untuk menggambarkan keseimbangan awal perekonomian. Dalam model keseimbangan umum data stok kapital awal digunakan untuk menentukan nilai tingkat pertumbuhan (growth rate), tingkat pengembalian kotor (gross rate of return) dan stok kapital pada periode yang akan datang di setiap industri. Namun demikian data stok kapital awal di setiap industri tidak tersedia pada Tabel I-O, sehingga nilai tersebut diperoleh dengan cara mengikuti perhitungan yang digunakan pada penelitian terdahulu. Secara umum terdapat tiga alternatif yang dapat digunakan untuk menghitung nilai stok kapital awal (Oktaviani, 2000). Ketiga cara perhitungan tersebut disajikan pada Gambar 23.
Nilai Depresiasi
Rasio InvestasiKapital
Tingkat Depresiasi
&
Nilai Stok Kapital & Tingkat Depresiasi, Investasi
&
Tingkat Pertumbuhan
Investasi Nilai Stok Kapital Periode yang Akan Datang
Tingkat Pengembalian Kotor (Gross Rate of Return)
Nilai Kapital
Tingkat Depresiasi Investasi
Keterangan Data is Prespecified
&
Data Tersedia, Kecuali yang Berhuruf Tebal l
Data dihitung
Sumber: Oktaviani (2000) Gambar 23. Perhitungan nilai Stok Kapital
167 Baris pertama pada Gambar 23 menunjukkan bahwa nilai stok kapital dapat dihitung berdasarkan nilai tingkat depresiasi dan nilai depresiasi pada setiap industri. Adapun rumus untuk menghitung stok kapital awal adalah: V0CAPi = VDEPi/(1-DEPi) ………...………………………....……(5.14) dimana: V0CAPi = Nilai stok kapital awal VDEPi = Nilai depresiasi 1-DEPi = Tingkat depresiasi Baris kedua pada Gambar 23 menunjukkan cara perhitungan stok kapital awal berdasarkan nilai rasio investasi kapital dan data investasi. Melalui cara ini nilai kapital stok awal dapat diperoleh dengan mengikuti rumus: V0CAPi = V2TOTi/R_Ti .....................................................................(5.15) dimana: V0CAPi = Nilai stok kapital awal V2TOTi = Nilai investasi pada setiap industri R_Ti
= Rasio investasi kapital pada setiap industri
Dari persamaan (5.14) dan (5.15), persamaan yang paling mungkin untuk diterapkan pada kasus Indonesia adalah persamaan (5.15), dimana pada persamaan ini diasumsikan bahwa nilai rasio investasi kapital pada setiap industri sama (Oktaviani, 2000). Persamaan (5.14) tidak digunakan dalam penelitian ini, walaupun data depresiasi pada setiap industri tersedia pada Tabel I-O. Tidak digunakannya cara ini karena hasil yang diperoleh dari persamaan (5.14) terutama pada nilai pertumbuhan kapital tidak realistis (Oktaviani, 2000). (11) Tingkat Pengembalian Kotor
Perhitungan nilai tingkat pengembalian kotor (The Gross Rate of Return), termasuk risiko, pada setiap industri dalam penelitian ini mengikuti cara
168 perhitungan yang telah dilakukan oleh Oktaviani (2000) dalam model INDOF. Adapun rumus yang digunakan adalah: GROSSRRi = V1CAPi/V2TOTi*(X1GROWIi-DEPi) ..........................(5.16) dimana: GROSSRRi = Tingkat pengembalian kotor, termasuk risiko, pada industri i V1CAPi
= Sewa kapital pada industri i
V2TOTi
= Total kapital yang dihasilkan setiap industri
X1GROWIi = Pertumbuhan kapital pada setiap industri DEPi
= Depresiasi faktor pada industri i
Nilai X1GROWIi dan V0CAPFi dihitung berdasarkan rumus: X1GROWI(i)=V0CAPF(i)/V0CAP(i) V0CAPF(i)=DEP(i)*V0CAP(i)+V2TOT(i) ........................................(5.17) (12) Trend Investment/Kapital dan Maximum/Trend Investment/Kapital Ratio
Mengingat data investment/kapital tidak tersedia di Indonesia, maka dalam penelitian ini nilai yang digunakan untuk kedua parameter tersebut mengikuti nilai yang terdapat dalam model ORANIGRD pada perekonomian Australia. Nilai trend investment yang digunakan pada model ORANIGRD adalah 0.08 dan nilai maximum/trend investment capital ratio adalah 4.00. (13) Elastisitas Investasi
Secara teoritis suatu fungsi investasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah suku bunga, risiko usaha, infrastruktur, kebijakan pemerintah, kepastian hukum dan faktor-faktor non ekonomi lainnya. Akan tetapi di Indonesia belum ada penelitian mengenai seberapa besar pengaruh dari ketiga faktor tersebut terhadap investasi, sekaligus besaran elastisitasnya.
169 Nilai elastisitas investasi dalam penelitian ini mengikuti penghitungan nilai elastisitas investasi yang dilakukan oleh Ratnawati et al. (2004) dengan membangun model investasi sebagai fungsi dari suku bunga dalam bentuk model double-log. Nilai elastisitas investasi terhadap suku bunga yang dihasilkan dari penghitungan tersebut adalah -8.63. Dari model tersebut terlihat bahwa suku bunga berpengaruh secara nyata terhadap investasi pada taraf nyata 7 persen (α=7%), meskipun nilai R kuadrat yang dihasilkan hanya sebesar 9.4 persen. Kecilnya nilai R kuadrat tersebut disebabkan oleh fluktuasi nilai investasi yang besar sementara fluktuasi suku bunga kecil bahkan cenderung mendatar (Gambar 24). Di samping itu, seperti yang telah dijelaskan di atas, variasi investasi tidak hanya ditentukan oleh suku bunga tetapi juga dipengaruhi oleh variasi faktorfaktor lainnya.
5.00 4.00
3.00
2.00
1.00 0.00 1
18
35 Log I
52 Log r
69 Linear (Log I)
86
103
120
Linear (Log r)
Sumber: Ratnawati et al. (2004). Gambar 24. Trend Investasi dan Suku Bunga di Indonesia, Tahun 1993-2002
170
5.8.
Prosedur yang Digunakan Untuk Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Agroindustri Pada penelitian ini prosedur yang digunakan untuk membangun data dasar
pada model keseimbangan umum Agroindustri Indonesia (CGE AGRINDO) sebagian besar mengikuti prosedur yang telah dilakukan oleh Oktaviani (2000). Namun demikian ada beberapa modifikasi yang dilakukan, yaitu dalam hal pemilihan industri dan komoditas, pembagian rumahtangga menjadi beberapa golongan dan jenis tenaga kerja. Pembangunan data dasar dimulai dengan mencari data Tabel I-O dan SNSE terbaru, yaitu Tabel I-O tahun 2003 dan SNSE tahun 2003. Setelah data tersebut tersedia prosedur berikutnya adalah sebagai berikut:
5.8.1. Membangun Data Dasar Pada tahap ini dibuat terlebih dahulu file .xls yang kemudian dikonversi menjadi file .csv sebagai raw data model CGE AGRINDO. Dalam file .csv, ukuran matriks, jenis matriks, file header dan nama lengkap dari masing-masing file tersebut harus dibuat secara lengkap dan jelas. Adapun langkah-langkah untuk membuat file .csv adalah sebagai berikut: 1.
Menghapus baris jumlah input antara dan nilai tambah kotor yang terdapat pada Tabel I-O, baik pada Tabel I-O total, domestik maupun impor. Dihapuskannya baris ini adalah untuk menghilangkan masalah perhitungan ganda pada nilai input.
2.
Menghapus nilai total permintaan antara, total permintaan akhir, total permintaan, total impor, margin perdagangan besar, margin perdagangan kecil, biaya transportasi dan margin perdagangan total dan biaya trasportasi
171 total pada kolom yang terdapat pada Tabel I-O (tabel total, domestik dan impor). Dihapuskannya nilai yang terdapat pada matriks permintaan adalah untuk menghilangkan masalah perhitungan ganda, sedangkan dihapuskannya nilai matriks margin dikarenakan nilai-nilai yang terdapat pada matriks tersebut bernilai nol. 3.
Mengkonversi semua matriks tersebut (total, domestik dan impor) ke dalam file .csv agar dapat dibaca oleh program MODHAR. File-file tersebut kemudian diberi nama: 1. 72t03.csv untuk matriks total 2. 72d03.csv untuk matriks domestik 3. 72m03.csv untuk matriks impor
4.
Membuat mapping antara sektor yang terdapat pada Tabel I-O dengan SNSE. File tersebut kemudian disimpan dalam file .txt dan diberi nama iosmmap.txt
5.
Dengan menggunakan data yang terdapat pada SNSE, tenaga kerja diagregasi ke dalam dua jenis tenaga kerja, yaitu tenaga kerja terdidik dan tenaga kerja tidak terdidik. Tenaga kerja terdidik meliputi administratur dan profesional, sedangkan tenaga kerja tidak terdidik terdiri dari petani dan operator.
6.
Mendisagregasi rumahtangga berdasarkan kelompok pendapatan. Dalam penelitian ini pengelompokan rumahtangga mengikuti pengelompokan yang terdapat pada matriks SNSE tahun 2003.
7.
Menghitung pangsa konsumsi rumahtangga berdasarkan data SNSE. File tersebut diberi nama hhsh.csv.
9.
Menghitung pangsa kapital industri pertanian berdasarkan data SNSE. File ini diberi nama cash.csv.
172 10. Menghitung pangsa lahan pada industri pertanian berdasarkan data SNSE. File ini kemudian diberi nama lnsh.csv. 11. Menghitung pangsa kapital variabel pada industri non pertanian. File ini kemudian diberi nama vcsh.csv. Pangsa kapital variabel dan kapital tetap diperoleh dari data dasar WAYANG terdahulu yang kemudian disesuaikan dengan agregasi industri yang terdapat pada penelitian ini. 12. Berdasarkan langkah 11, dihitung juga pangsa kapital tetap. File ini kemudian diberi nama fcsh.csv. 13. Menghitung pangsa tenaga kerja terdidik (skilled labour) berdasarkan industri yang terdapat dalam penelitian. Pangsa ini dihitung berdasarkan data yang terdapat pada SNSE yang kemudian dipetakan dengan sektor yang terdapat dalam Tabel I-O. File ini diberi nama slsh.csv. 14. Menghitung pangsa tenaga kerja tidak terdidik. File ini disimpan dengan nama ulsh.csv. Proses perhitungan langkah ke-14 ini sama dengan proses perhitungan pada langkah ke-13. 15. Dengan menggunakan data yang terdapat pada SNSE dilakukan perhitungan pangsa kapital berdasarkan kelompok rumahtangga. File ini disimpan dengan nama hcsh.csv. 16. Menghitung pangsa lahan berdasarkan kelompok rumahtangga. Pangsa ini dihitung berdasarkan data SNSE. Selanjutnya file ini disimpan dengan nama hlns.csv. 17. Menghitung transaksi antara pemerintah dan rumahtangga berdasarkan data SNSE, yang kemudian disimpan dengan nama hhgo.csv. 18. Menghitung pangsa tenaga kerja berdasarkan kelompok rumahtangga berdasarkan data SNSE. File ini disimpan dengan nama hlbs.csv.
173 19. Menghitung nilai elastisitas pengeluaran pada setiap komoditas berdasarkan kelompok rumahtangga. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari data SUSENAS tahun 2002 yang kemudian disesuaikan dengan sektor yang terdapat dalam penelitian ini. File ini kemudian disimpan dengan nama expn.csv. Selanjutnya, dengan menggunakan program MODHAR, semua data di atas dikonversi ke dalam file .har. File .har tersebut merupakan matriks-matriks dasar pada model CGE AGRINDO. Selain data di atas, file lain yang dibutuhkan untuk membuat file .har adalah sebagai berikut: 1. File Modraw.inp sebagai input statemen ketika me-run program MODHAR. File ini terdiri dari file header array yang akan dibuat dan semua file .csv di atas. 2. File Dgscale.inp sebagai input statemen untuk membagi nilai-nilai yang terdapat pada data input statemen dengan angka 1 000. File ini digunakan sebagai input statemen pada program DAGG. 3. Rawdata.bat sebagai file bat untuk me-run program MODHAR dan program DAGG dalam “batch” mode. File ini merupakan statemen untuk me-run program MODHAR dan DAGG. Semua proses di atas akan menghasilkan use03.har dan use03s.har (use 03.har dibagi 1000). File 03.har dan 03s.har terdiri dari semua file header array yang dibutuhkan untuk membangun matriks header array pada model CGE AGRINDO. File tersebut mengandung matriks total, domestik, impor, matriks tenaga kerja, rumahtangga dan matriks yang memetakan sektor yang terdapat pada Tabel I-O dengan SNSE. Langkah-langkah untuk membangun data dasar pada tahap I model CGE AGRINDO secara ringkas disajikan pada Gambar 25.
174
72m03.csv 72d03.csv
Rawlab.csv 72t03.csv
Iosmmap.txt Rawhh.csv
MODHAR EXE
MODRAW.INP
Other csv
MODRAW.LOG
USE03.HAR
DGSCALE.INP
DGSCALE. LOG
DAGG.EXE
USE03S.HAR
Keterangan: Header Array File
Program
Text File
Gambar 25. Tahap I Dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Agroindustri Indonesia
175
5.8.2. Membuat File Tablo Tahap berikutnya (tahap II) adalah membuat file Tablo agar data yang telah dihasilkan pada tahap I di atas dapat digunakan dalam model. File Tablo tersebut diberi nama Convindo.tab. Dengan menggunakan file batch: doconv.bat, file Tablo tersebut dikonversi ke dalam file.axs dan .axt. Tahap II ini dihasilkan file way72.har, supp03.har dan sum03.har. Diagram alur untuk membangun data dasar pada tahap II ini disajikan pada Gambar 26.
5.8.3. Agregasi Data Dasar Tahap berikutnya (tahap III) adalah tahap mengagregasi data dasar sesuai dengan keperluan penelitian (pada penelitian ini terdapat 38 sektor). Aggregasi dimulai dari file way72.har dan supp03.har, yang selanjutnya bersama-sama dengan file dagmap.txt dan modsup.inp diolah dengan menggunakan program MODHAR. Langkah ini akan menghasilkan file daggsupp.har. Selanjutnya dibuat file dgcom38.inp, dgind38.inp dan dgmar38.inp, kemudian semua file tersebut (termasuk file daggsupp.har) di-run dengan menggunakan program DAGG. Pada tahap III ini dihasilkan file way38.har yang merupakan file yang digunakan pada analisis selanjutnya. Diagram alur tahap III ini diasajikan pada Gambar 27.
5.8.4. Pengujian Keseimbangan Data Dasar Pada tahap dua di atas telah dihasilkan tiga file har yaitu way72.har, supp03.har dan sum03.har. Pada file way72.har sektornya masih terdiri dari 72 sektor yang merupakan hasil disagregasi Tabel I-O 2003. Sektor ini selanjutnya dipetakan kembali (mapping) menjadi 38 sektor sesuai dengan kebutuhan penelitian. Namun sebelum mapping dilakukan, terlebih dahulu dipastikan bahwa
176 database yang dihasilkan dari tahap kedua tersebut telah memenuhi persyaratan keseimbangan umum. Keseimbangan pada tingkat sektor ditunjukkan oleh kesamaan total nilai input dan total penjualan pada masing-masing industri (Dixon et al., 1991), sementara pada tigkat agregat keseimbangan tersebut ditunjukkan oleh kesamaan nilai PDB dari sisi pengeluaran dan sisi pendapatan.
CONVINDO.TAB
CONVINDO.STI
TABLO. EXE
CONVINDO.FOR
USE03S.HAR
TABCONV.LOG
CONVINDO .INP
CONVINDO.AXS CONVINDO.AXT
CONVINDO .DIS CONVINDO .EXE
\GP51\LTG .BAT
WAY72.HAR
SUPP03.HAR
SUM03.HAR
Keterangan: Header Array File
Program
Text File
Gambar 26. Tahap II Dalam Membangun Data Dasar Model Kesembangan Umum Agroindustri Indonesia
177 dari data subdirectory WAY72.HAR
SUPP03.HAR
DAGMAP.TXT
MODHAR. EXE DAGG. EXE
DGCOM38.INP
TEM1.HAR
DAGSUPP.HAR
DAGG. EXE
DGIND38.INP
TEM2.HAR
DAGG. EXE
DGMAR38.INP
WAY38.HAR
Keterangan: Header Array File
Program
Text File
Gambar 27. Tahap III Dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Agroindustri Indonesia
MODSUPP. INP
178 Berdasarkan konsep keseimbangan tersebut, suatu database dikatakan seimbang apabila, pertama PDB agregat sisi pengeluaran sama dengan PDB sisi pendapatan, dan kedua total biaya sama dengan total nilai penjualan sehingga keuntungan setiap sektor atau industri menjadi nol (Warr, 1998). Nilai PDB sisi pengeluaran dan sisi pendapatan serta nilai total penjualan dan biaya pada setiap industri yang dihasilkan dari proses pengolahan pada tahap kedua dapat dilihat pada file supp03.har. Pada file tersebut nilai PDB sisi pengeluaran yang merupakan penjumlahan dari komponen pengeluaran setiap pelaku ekonomi yaitu konsumsi rumahtangga, investasi swasta, pengeluaran pemerintah, dan ekspor bersih adalah sebesar Rp 2 088 565 milyar (Tabel 20). Tabel. 20. Nilai PDB Indonesia Dari Sisi Pengeluaran dan Sisi Pendapatan, Tahun 2003 (Miliar Rupiah) Jenis Pendapatan Faktor Jenis Pengeluaran Nilai nilai Produksi 1. Konsumsi 1 404 681 1. Tanah 129 304 2. Investasi 386 219 2. Labour 627 210 3. Peng. Pemerintah 163 701 3. Kapital 1 205 230 4. Perubahan Stok -22 103 4. Subsidi -5 376 5. Ekspor 627 065 5. Pajak Tidak Langsung 132 197 6. Impor -470 998 Total 2 088 565 Total 2 088 565 Sumber: Diolah dari Tabel I-O 2003 dan SNSE 2003 Pada Tabel 20, nampak bahwa nilai PDB dari sisi pengeluaran sama besarnya dengan nilai PDB sisi pendapatan yang merupakan penjumlahan dari pendapatan yang diperoleh pemilik faktor produksi tanah, tenaga kerja, kapital, subsidi dan pembayaran pajak tidak langsung. Dengan demikian database yang telah dihasilkan untuk 72 sektor atau industri telah memenuhi persyaratan keseimbangan pada tingkat agregat.
179 Selain nilai PDB, pada file supp03.har juga dapat diperoleh nilai penjualan setiap sektor. Nilai penjualan tersebut merupakan penjumlahan dari komponenkomponen penjualan masing-masing sektor sebagai barang antara dan investasi, penjualan ke rumahtangga, luar negeri (ekspor), dan pemerintah, serta penjualan sebagai margin perdagangan dan transportasi. Nilai penjualan masing-masing sektor tersebut disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Nilai Penjualan Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2003 Nama Sektor 1 Padi 2 Kedelai 3 TanKacang
Intermediate
Investasi
Pengg. RT
Ekspor
Pemerintah
Perub. Stok
Margin
Total
69 386
0
0
0
0
1 951
0
71 337
5 090
0
712
2
0
-2
0
5 803
9 845
0
1 378
4
0
-3
0
11 224
4 Jagung
14 770
0
5 845
3
0
313
0
20 932
5 UbiKayu
1 240
0
4 816
1
0
2
0
6 058
6 TanUmbian
2 490
0
9 672
2
0
3
0
12 168
7 SayurBuah
4 544
0
55 908
748
0
-6
0
61 193
90
0
20
0
0
29
0
139 15 655
8 PanganLain 9 Karet
15 493
0
0
9
0
154
0
10 Tebu
5 365
0
12
0
0
90
0
5 468
11 Kelapa
3 981
0
5 975
322
0
0
0
10 279
12 Sawit
16 670
0
0
36
0
-7
0
16 699
13 Tembakau
2 134
0
96
0
0
2
0
2 232
14 Kopi
446
0
689
2 434
0
-1 020
0
2 549
15 Teh
269
0
97
644
0
-232
0
778 2 617
16 Cengkeh
1 597
0
57
1 864
0
-902
0
17 TanSerat
351
0
0
8
0
0
0
359
18 Kakao
2 210
0
155
132
0
-244
0
2 253
19 KebunLain
5 552
0
389
333
0
-614
0
5 660 18 535
20 TanLain
16 490
0
2 032
4
0
9
0
21 Ternak
17 553
1150
2 834
1 063
0
119
0
22 719
22 PotongHwn
11 440
0
19 850
101
0
0
0
31 390
23 Unggas
19 079
0
28 890
107
0
16
0
48 093
24 Kayu
15 182
0
1 742
81
0
-952
0
16 053
6 882
0
17
193
0
-4
0
7 088
15 750
0
35 161
8 690
0
-34
0
59 567
25 HslHutanLain 26 Perikanan 27 BatubaraLgm
58 819
0
0
14 535
0
-586
0
72 768
28 MnkGasPnsBm
36 973
245
0
73 880
0
-2 895
0
108 203
7 859
0
1 883
16 182
0
-129
0
25 795
29 Tambanglain 30 OlahTernak
4 308
0
8 240
1 636
0
-11
0
14 173
11 271
0
21 560
4 280
0
-28
0
37 083
32 MakOlahlain
1 060
0
2 027
403
0
-3
0
3 487
33 MnykLemak
11 153
0
32 062
22 156
0
-1
0
65 370
31 OlahIkan
180 Tabel 21. Lanjutan Nama Sektor
Intermediate
Investasi
Pengg. RT
Ekspor
Pemerintah
Perub. Stok
Margin
Total
34 Beras
13 170
0
62 273
0
0
-11
0
75 433
35 Tepung
37 633
0
27 587
115
0
1
0
65 335
36 Gula
775
0
8 974
404
0
-1 295
0
8 858
36 768
0
56 160
990
0
-10 768
0
83 149
38 Minuman
1 217
0
7 121
132
0
0
0
8 470
39 Rokok
1 906
0
36 442
1 228
0
-13 535
0
26 042
37 IndMakLain
40 Pemintalan
24 459
0
217
23 396
0
-11
0
48 061
41 TexPakKlt
64 090
217
51 460
47452
0
801
0
164 020
42 BmbKaRtn
23 532
184
6 546
38909
0
608
0
69 779
43 Kertas
36 350
0
11 924
21 415
0
-321
0
69 369
44 PupukPest
18 744
0
1 190
1 534
0
-45
0
21 422
104 413
0
35 601
20 784
0
-1 640
0
159 158
46 KilangMyk
44 438
0
24 086
69 412
0
3 048
0
140 985
47 OlahKaret
26 222
0
6 827
12 095
0
93
0
45 236
48 IndPlast
30 844
0
8 030
14 227
0
109
0
53 210
49 MneralNonLgm
16 566
0
3 948
4 518
0
-16
0
25 016
50 Semen
13 491
0
0
895
0
-6
0
14 380
51 BesiBaja
15 639
0
0
6 996
0
-1 889
0
20 747
52 LogDasNonBs
15 239
0
0
17
0
40
0
15 296
45 Kimia
53 IndLogam
96 467
6 134
5 981
831
0
20
0
109 433
54 MesinListrik
18 043
11 659
23 450
66 602
0
-8 726
0
111 027
55 AltAngkut
38 296
506
45 730
8 819
0
-434
0
92 917
56 IndustriLain
1 759
489
2 308
11 634
0
-1 403
0
14 787
57 ListGasAir
43 864
0
25 532
0
0
0
0
69 396
58 Bangunan
25 593
300 428
0
0
0
0
0
326 020
219 759
13 589
99 453
80 436
0
2 279
0
415 516
29 041
0
111 313
7 504
0
0
0
147 858
61 AngkKA
634
0
2 694
110
0
0
0
3 437
62 AngkDrt
48 930
0
33 543
3 677
0
0
0
86 150
63 AngkAir
40 389
0
8 041
3 704
0
0
0
52 134
7 214
0
31 870
2 733
0
0
0
41 817
59 Perdagangan 60 RestHotel
64 AngkUdara 65 JasaAngk
22 792
0
3 792
2 706
0
0
0
29 291
66 Komunikasi
28 468
0
22 368
341
0
0
0
51 177
67 LembKeu
75 146
0
42 544
5 241
0
0
0
122 932
68 BangunJsfirm
48 394
0
76 340
749
0
0
0
125 483
69 JsPemerintah
1 407
0
1 914
437
100 252
0
0
104 011
70 SosMasyarkt
5 951
0
55 764
318
60 970
0
0
123 002
71 Jasalainnya
67 369
414
55 543
3 498
0
0
0
126 824
72 KgtanTdkJls Total
1 014
0
0
0
0
0
0
1 014
1 741 369
335 013
1 238 683
613 712
161 222
-38 082
0
4 051 917
Sumber: Diolah dari Tabel I-O 2003 dan SNSE 2003
181 Nilai total penjualan setiap sektor yang disajikan pada Tabel 21 sama besarnya dengan biaya yang dikeluarkan setiap sektor. Total biaya pada setiap sektor merupakan penjumlahan dari komponen-komponennya yang meliputi pembelian barang antara domestik, barang antara impor, pengeluaran untuk marjin, pembayaran pajak tidak langsung, biaya tenaga kerja (upah), biaya kapital (bunga), sewa tanah, dan pembayaran pajak kegiatan produksi (pajak pertambahan nilai). Jumlah biaya pada masing-masing sektor disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Biaya Produksi Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2003 Nama Sektor 1 Padi 2 Kedelai
Margin
Ind. Tax
Lab
Cap
Land
923
0
222
8 904
26 954
23 605
1
71 337
30
0
10
718
2 397
2 100
1
5 803
Int. Dom
Int. Imp
10 728 547
Prod Tax
Total
3 TanKacang
1 057
58
0
19
1389
4 637
4 062
1
11 224
4 Jagung
2 884
198
0
60
2 428
8 188
7 172
1
20 932
359
14
0
8
681
2 663
2 333
1
6 058
5 UbiKayu 6 TanUmbian
721
27
0
15
1 367
5 350
4 686
1
12 168
7 SayurBuah
4 684
362
0
134
12 832
23 019
20 160
1
61 193
19
6
0
1
13
52
47
1
139
9 Karet
4 103
380
0
93
6 773
1 986
2 320
1
15 655
10 Tebu
1 213
109
0
19
1 548
1 188
1 389
1
5 468
11 Kelapa
1 645
147
0
36
1 644
3 139
3 667
1
10 279
12 Sawit
5 201
257
0
110
3 721
3 417
3 992
1
16 699
13 Tembakau
939
87
0
18
610
266
312
1
2 232
14 Kopi
758
70
0
15
455
576
674
1
2 549
15 Teh
99
11
0
2
250
191
224
1
778
342
47
0
7
545
772
903
1
2 617
8 PanganLain
16 Cengkeh 17 TanSerat
32
2
0
1
48
127
149
1
359
18 Kakao
395
60
0
9
272
699
817
1
2 253
19 KebunLain
992
150
0
22
684
1 758
2 054
1
5 660 18 535
20 TanLain
4 465
55
0
78
5 095
4 077
4 763
1
21 Ternak
6 372
288
0
128
4 171
8 272
3 487
1
22 719
22 PotongHwn
15 639
3 420
0
425
3 706
5 767
2 431
1
31 390
23 Unggas
22 845
2 165
0
521
11 921
7 483
3 155
1
48 093
24 Kayu
3 162
196
0
75
2 432
5 145
5 041
1
16 053
25 HslHutanLain
1 048
33
0
22
1 498
2 266
2 220
1
7 088
26 Perikanan
11 718
2 025
0
358
9 042
8 883
27 541
1
59 567
27 BatubaraLgm
14 431
4 250
0
503
5 469
48 115
0
1
72 768
28 MnkGasPnsBm
9 083
4 501
0
529
6 267
87 823
0
1
108 203
29 Tambanglain
5 298
564
0
156
7 588
12 189
0
1
25 795
30 OlahTernak
9 997
137
0
259
969
2 810
0
1
14 173
182 Tabel 22. Lanjutan Nama Sektor 31 OlahIkan
Int. Dom 26 157
Int. Imp
Margin
358
0
Ind. Tax 677
Prod Tax
Lab
Cap
Land
2 536
7 354
0
1
Total 37 083
32 MakOlahlain
2 460
34
0
64
238
691
0
1
3 487
33 MnykLemak
35 818
3 557
0
754
10 889
14 351
0
1
65 370
34 Beras
63 308
19
0
877
30 60
8 168
0
1
75 433
35 Tepung
39 130
3 721
0
949
7 034
14 499
0
1
65 335
6 587
44
0
51
682
1 493
0
1
8 858
49 272
3 684
0
1 183
9 153
19 856
0
1
83 149
4 517
412
0
160
1 541
1 839
0
1
8 470 26 042
36 Gula 37 IndMakLain 38 Minuman 39 Rokok
13 786
2 379
0
818
2 649
6 408
0
1
40 Pemintalan
21 104
9 129
0
1 116
2 655
14 055
0
1
48 061
41 TexPakKlt
85 701
19 937
0
3 008
24 179
31 195
0
1
164 020
42 BmbKaRtn
35 177
3 538
0
887
8 824
21 352
0
1
69 779
43 Kertas
31 566
10 941
0
1 388
7 670
17 803
0
1
69 369
44 PupukPest
14 030
782
0
341
2 241
4 454
0
-425
21 422
45 Kimia
98 342
15 674
0
3 328
17 508
24 532
0
-226
159 158
46 KilangMyk
46 177
15 760
0
1 491
9 494
68 062
0
1
140 985
47 OlahKaret
26 972
4 166
0
877
4 926
8 293
0
1
45 236
48 IndPlast
31 727
4 900
0
1 032
5 795
9 755
0
1
53 210
49 MneralNonLgm
10 885
2 003
0
349
4 459
7 320
0
1
25 016
6 371
201
0
86
2 368
5 354
0
1
14 380
51 BesiBaja
10 886
1 876
0
358
1 487
6 138
0
1
20 747
52 LogDasNonBs
10 296
61
0
115
1 853
2 969
0
1
15 296
53 IndLogam
66 465
17 653
0
2 958
8 932
13 425
0
1
109 433
50 Semen
54 MesinListrik
55 082
21 804
0
2 781
10 518
20 841
0
1
111 027
55 AltAngkut
31 964
20 225
0
1 203
13 236
26 288
0
1
92 917 14 787
56 IndustriLain
8 947
800
0
261
2 022
2 756
0
1
57 ListGasAir
48 525
2 625
0
813
4 463
17 709
0
-4 739
69 396
58 Bangunan
176 302
35 898
0
6 964
53 999
52 856
0
1
326 020
59 Perdagangan
142 208
20 657
0
3 853
68 257
180 540
0
1
415 516
75 630
1 626
0
2 135
27 081
41 386
0
1
147 858
61 AngkKA
1 658
635
0
49
671
424
0
1
3 437
62 AngkDrt
41 204
5 753
0
1 186
10 218
27 842
0
-53
86 150
63 AngkAir
26 226
10 707
0
1 104
3 640
10 456
0
1
52 134
64 AngkUdara
21 107
13 054
0
818
2 309
4 528
0
1
41 817
65 JasaAngk
11 340
1 595
0
308
5 518
10 530
0
1
29 291
66 Komunikasi
11 427
1 394
0
225
7 585
30 546
0
1
51 177
67 LembKeu
27 865
5 664
0
482
22 683
66 237
0
1
122 932
68 BangunJsfirm
41 274
3 796
0
855
12 790
66 767
0
1
125 483
69 JsPemerintah
33 698
6 077
0
1 041
56 235
6 958
0
1
104 011
70 SosMasyarkt
49 034
3 851
0
1 177
55 530
13 410
0
1
123 002
71 Jasalainnya
59 881
3 296
0
1 334
27 105
35 208
0
1
126 824
489
1
0
14
134
375
0
1
1 014
1 741 369
300 858
0
53 322
627 210
1 205 230
129 304
-5 376
4 051 917
60 RestHotel
72 KgtanTdkJls Total
Sumber: Diolah dari Tabel I-O 2003 dan SNSE 2003
183 Kesamaan nilai penjualan dan biaya produksi pada setiap sektor berimplikasi pada tingkat keuntungan nol seperti yang disyaratkan pasar persaingan sempurna dan merupakan asumsi dasar model CGE yang dikonstruksi dan digunakan dalam penelitian ini. Setelah database 72 sektor diyakini seimbang, baik pada tingkat agregat maupun sektoral, maka proses pengolahan data dapat dilanjutkan pada tahap ketiga yaitu proses pemetaan database 72 sektor menjadi 38 sektor. Apabila diperhatikan prosedur pemetaan database seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 24, pada bagian terakhir dari prosedur tersebut dihasilkan file way38.har. File ini memuat 54 komponen database, masing-masing terdiri dari 38 sektor seperti disajikan pada Tabel 23. Database way38.har tersebut merupakan database terakhir yang digunakan dalam analisis. Tabel 23. Komponen Data Dasar 38 sektor No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Header BETR EMPR ELWG DPRC YBYK PINC EXNT LAND TRNL ALPH ALP2 1LND 5-Mar 4-Mar 3-Mar 2-Mar 1-Mar 6BAS
Dimensi 38 1 1 38 38 8 1 19*8 38 4*4*19 3*3*19 38 38*2 38 38*2*8 38*2*38 38*2*38 38*2
Total 190.00 1.00 0.80 34.20 3.89 18244.00 -4.00 129303.66 0.00 0.00 0.00 129303.69 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -22103.35
Nama Investment Parameter (Actual/trend) Employment Elasticity of Wage to Employment Depreciation Factor Investment/Capital Ratio Personal Income Tax Collections Non-Traditional Export Demand Elasticity Rentals by All Industry TRNL BETA_A BETA_N Land Rentals Government Margins Exports Margins Households Margins Investment Margins Intermediate Margins Inventory Change
184 Tabel 23. Lanjutan No. 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Header 0TAR 1ARM 1BAS 1CAG 1CAP 1LAB 1-Oct 1TAX 2ARM 2BAS 2BS_ 2TAX 2TOT 2TX_ 3ARM 3BAS 3TAX 4BAS 4TAX 5BAS 5TAX CAPA CAPN CAPS ETOT GOHH HINC MAKE P018 P021 P028 SCET SLAB TRAN XPEL P027
Dimensi 38 38 38*2*38 19 2*19 38*2 38 38*2*38 38 38*2*38 38*2 38*2*38 38 38*2 38 38*2*8 38*2*8 38 38 38*2 38*2 8 8 8*19 1 8*2 8*2 38*38 38 8 38 38 38 2 38*8 38
Total 10846.63 74.02 2042227.63 129299.48 1076002.88 627210.06 -5448.13 53321.77 74.02 377993.47 377993.47 8225.59 386219.06 8225.59 76.00 1358543.63 46137.36 613712.38 13352.62 163388.00 313.23 129299.50 291819.59 784183.19 1.01 59954.00 2520029.25 4051917.25 -61.68 -24.00 19.00 0.00 17.15 27445.87 266.60 78.40
Nama V0TAR(Com) SIGMA1(Com) Intermediate Basic Capital Rentals V1CAPN(RNANL:NAI) Labour Other Cost Tickets Intermediate Tax SIGMA2(COM) Investment Basic Investment Basic Investment Tax Investment (by Ind) Investment Tax SIGMA3(COM) Households Basic Households Tax Exports Basic Exports Tax Government Basic Government Tax MMAN(HH) Mobile Cap Owned by HH Non Agr Fixed Cap Owned by HH Non Agr Initial Average Engel Gov Trans Household HINC(HH:OCC) Multiproduct Matrix Export Demand Elas Frisch LES Parameter SIGMA1PRIM (IND) SIGMA1OUT SIGMA1LAB (IND) Gov Trans Foreign Expenditure Elasticities Gross/Net Rate of Return
Sumber: Diolah dari database Tabel Input-Output 72 sektor
185 Sejalan dengan proses mapping sektor tersebut, di sisi lain dilakukan penyesuaian tablo dari 72 sektor menjadi 38 sektor. Apabila tablo yang telah disesuaikan maching dengan database way38.har, maka proses pengolahan data dapat dilanjutkan ke tahap terakhir dari keseluruhan proses dan prosedur yang telah dilalui sejak tahap pertama. Tahap terakhir dimaksud adalah simulasi kebijakan. Simulasi kebijakan yang dilakukan dikaji dampaknya terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro dan pendapatan rumahtangga. Perubahan tingkat pendapatan rumahtangga yang dihasilkan dari model CGE AGRINDO tersebut dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan metode FGT poverty index yang bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kemiskinan rumahtangga.
VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN Peningkatan produktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan produktivitas faktor total atau Total Factor Productivity (TFP). Terdapat tiga simulasi kebijakan yang dilakukan, yaitu peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1), peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh sektor pertanian (simulasi 2), dan peningkatan produktivitas industri pertanian, sektor pertanian dan lembaga keuangan (simulasi 3). Ketiga simulasi tersebut dikaji dampaknya terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan tingkat kemiskinan.
6.1.
Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral Secara teoritis, peningkatan produktivitas suatu sektor akan diikuti oleh
peningkatan output pada sektor yang bersangkutan dan sektor lainnya yang terkait. Hal ini berarti terjadi pergeseran kurva penawaran ke kanan, sebagai akibat adanya peningkatan produktivitas. Pada Tabel 24, nampak bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) berdampak positif terhadap peningkatan jumlah output pada sebagian besar industri pertanian. Peningkatan output terbesar terjadi pada industri rokok (3.53 persen), sedangkan peningkatan output terendah terjadi pada industri pupuk dan pestisida (0.94 persen). Sementara itu, pada sektor industri bambu, kayu dan rotan dan industri pengolahan karet justru mengalami penurunan jumlah output yang dihasilkan sebagai dampak terjadinya peningkatan produktivitas pada industri yang
187 bersangkutan. Penurunan output pada kedua industri ini diduga terkait erat dengan terjadinya penurunan investasi (x2tot) pada industri yang bersangkutan, dimana pada industri bambu, kayu dan rotan mengalami penurunan investasi sebesar -3.67 persen dan pada industri pengolahan karet sebesar -4.54 persen. Tabel 24. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Jumlah Output Sektoral (%) Jumlah Output No. Sektor/Komoditas Sim 1*/ Sim 2*/ Sim 3*/ Sektor Industri Pertanian 1. Pengolahan Ternak 2.23 1.15 0.37 2. Pengolahan Ikan 2.14 1.06 0.28 3. Minyak dan Lemak 2.58 2.75 2.55 4. Beras 2.50 1.22 0.10 5. Tepung 2.07 0.30 1.58 6. Gula 3.06 3.45 2.46 7. Rokok 3.53 0.68 2.98 8. Bambu, Kayu dan Rotan -2.12 3.45 6.65 9. Pupuk dan Pestisida 0.94 0.39 0.53 10. Pengolahan Karet -0.23 2.58 4.21 Sektor Pertanian 1. Padi 1.20 -0.23 -1.51 2. Ubi Kayu 1.73 0.75 0.47 3. Karet -0.66 1.10 2.33 4. Tebu 1.49 1.64 0.65 5. Kelapa 0.85 1.34 0.92 6. Kelapa Sawit 0.30 1.90 2.47 7. Tembakau 2.92 -1.26 -3.55 8. Peternakan 1.76 0.58 0.73 9. Hasil Hutan -1.92 1.08 2.65 10. Perikanan 0.83 1.52 0.99 Keterangan: */ Sim1 = peningkatan produktivitas industri pertanian Sim2 = sim 1 diikuti peningkatan produktivitas pertanian Sim3 = sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan Peningkatan produktivitas industri pertanian juga berdampak positif terhadap peningkatan output pada beberapa sektor pertanian sebagai pemasok bahan baku, yaitu pada komoditas padi, ubi kayu, tebu, kelapa, kelapa sawit,
188 tembakau, peternakan dan komoditas perikanan. Sementara itu, terdapat dua komoditas pertanian justru mengalami penurunan jumlah output yang dihasilkan, yaitu komoditas karet dan komoditas hasil hutan. Penurunan jumlah output pada komoditas karet dan hasil hutan ini diduga terkait erat dengan penurunan jumlah output pada industri hilirnya yaitu industri pengolahan karet dan industri bambu, kayu dan rotan. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), maka hampir pada seluruh sektor mengalami peningkatan jumlah output yang dihasilkan, kecuali pada komoditas padi dan tembakau. Kondisi yang sama juga akan terjadi apabila peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas lembaga keuangan (simulasi 3). Penurunan jumlah output pada komoditas tembakau diduga disebabkan karena terjadinya penurunan investasi di sektor ini, yaitu sebesar -4.28 persen (simulasi 2) dan -7.34 persen (simulasi 3). Walaupun investasi pada komoditas padi menunjukkan peningkatan pada semua simulasi, namun peningkatannya cenderung menurun, yaitu dari 23.88 persen pada simulasi 1, menurun menjadi 14.94 persen (simulasi 2) dan 10.36 persen (simulasi 3). Pola perubahan output sektoral berpengaruh langsung terhadap tingkat harga output sektoral. Peningkatan jumlah output diikuti oleh penurunan harga output pada sebagian sektor. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi, dimana penambahan jumlah output yang dihasilkan akan mendorong penurunan harga jual output yang bersangkutan. Pada Tabel 25, terlihat bahwa harga output pada sebagian besar sektor industri mengalami penurunan, kecuali pada industri
189 bambu, kayu dan rotan dan industri pengolahan karet. Peningkatan harga output pada kedua industri ini terkait erat dengan semakin menurunnya jumlah output yang dihasilkan oleh industri yang bersangkutan seperti yang sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya. Kondisi sebaliknya dialami oleh sektor pertanian, dimana peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) justru berdampak terhadap peningkatan harga output pada seluruh komoditas pertanian. Tabel 25. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Harga Output Sektoral (%) Harga Output No. Sektor/Komoditas Sim 1*/ Sim 2*/ Sim 3*/ Sektor Industri Pertanian 1. Pengolahan Ternak -1.22 -5.55 -8.64 2. Pengolahan Ikan -1.43 -5.34 -8.43 3. Minyak dan Lemak -0.54 -5.80 -8.22 4. Beras -3.99 -9.86 -15.11 5. Tepung -0.69 -5.09 -7.85 6. Gula -1.32 -8.20 -11.44 7. Rokok -1.65 -3.84 -6.62 8. Bambu, Kayu dan Rotan 4.82 -1.60 -1.13 9. Pupuk dan Pestisida -0.77 -3.69 -5.20 10. Pengolahan Karet 1.87 -4.59 -5.65 Sektor Pertanian 1. Padi 5.93 -9.91 -15.61 2. Ubi Kayu 7.36 -9.69 -15.86 3. Karet 1.48 -7.22 -9.07 4. Tebu 3.47 -10.40 -14.13 5. Kelapa 4.76 -6.14 -10.40 6. Kelapa Sawit 2.52 -5.23 -7.98 7. Tembakau 2.29 -6.67 -9.70 8. Peternakan 3.24 -6.69 -9.88 9. Hasil Hutan 2.13 -8.43 -10.81 10. Perikanan 5.19 -7.67 -12.23 Keterangan: */ Sim1 = peningkatan produktivitas industri pertanian Sim2 = sim 1 diikuti peningkatan produktivitas pertanian Sim3 = sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian tersebut diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), maka seluruh komoditas,
190 baik di sektor pertanian maupun di sektor industri pertanian, mengalami penurunan harga output. Penurunan harga output akan semakin besar apabila peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian juga diikuti oleh peningkatan produktivitas lembaga keuangan (simulasi 3). Dampak sektoral peningkatan produktivitas juga dapat dilihat dari perubahan penyerapan tenaga kerja pada berbagai sektor, seperti yang disajikan pada Tabel 26. Pada seluruh simulasi kebijakan, peningkatan penyerapan tenaga kerja mengikuti pola peningkatan jumlah output yang dihasilkan. Namun demikian, untuk beberapa industri pertanian justru mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja. Industri pertanian tersebut antara lain industri bambu, kayu dan rotan, industri pupuk dan pestisida serta industri pengolahan karet. Penurunan penyerapan tenaga kerja pada industri bambu, kayu dan rotan dan industri pengolahan karet, terkait erat dengan penurunan jumlah output yang dihasilkan oleh kedua jenis industri ini, sebagai dampak peningkatan produktivitas industri yang bersangkutan. Peningkatan produktivitas industri pertanian juga berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, kecuali pada komoditas karet dan komoditas hasil hutan yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja. Apabila diperbandingkan pola perubahan output sektoral dengan pola perubahan penyerapan tenaga kerja sektoral, maka akan nampak bahwa peningkatan jumlah output yang dihasilkan pada hampir seluruh sektor lebih besar dibandingkan dengan peningkatan penyerapan tenaga kerjanya. Hal ini mencerminkan terjadinya peningkatan produktivitas tenaga kerja pada sebagian besar industri pertanian sebagai dampak guncangan (shock) peningkatan produktivitas faktor total pada industri pertanian yang bersangkutan.
191
Tabel 26. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral (%) */
No.
Sektor/Komoditas
Sektor Industri Pertanian 1. Pengolahan Ternak 2. Pengolahan Ikan 3. Minyak dan Lemak 4. Beras 5. Tepung 6. Gula 7. Rokok 8. Bambu, Kayu dan Rotan 9. Pupuk dan Pestisida 10. Pengolahan Karet Sektor Pertanian 1. Padi 2. Ubi Kayu 3. Karet 4. Tebu 5. Kelapa 6. Kelapa Sawit 7. Tembakau 8. Peternakan 9. Hasil Hutan 10. Perikanan Keterangan:
*/
Skilled
Sim 1 Unskilled
1.14 1.29 1.00 2.21 1.79 2.35 4.52 -7.83 -0.68 -2.98
-0.23 -0.08 -0.37 0.84 0.42 0.98 3.15 -9.20 -2.05 -4.35
4.07 5.34 -0.15 3.16 3.18 0.73 3.86 3.81 -1.07 3.65
2.52 3.78 -1.70 1.60 1.62 -0.83 2.30 2.26 -2.63 2.10
*/
Skilled
Sim 2 Unskilled
0.84 0.99 0.70 1.91 1.49 2.05 4.22 -7.93 -1.07 -3.37
0.46 0.60 1.46 0.78 -1.19 3.69 -1.05 6.21 -0.94 1.64
-0.35 -0.21 0.65 -0.03 -2.00 2.88 -1.86 5.40 -1.75 0.83
4.07 5.33 -0.19 3.11 3.13 0.68 3.81 3.71 -1.25 3.60
-3.68 -2.81 -1.18 -3.31 0.04 1.23 -3.35 -2.27 -2.14 -1.29
-4.60 -3.73 -2.10 -4.23 -0.88 0.31 -4.27 -3.19 -3.06 -2.21
Total
*/
Skilled
Sim 3 Unskilled
0.28 0.42 1.28 0.60 -1.37 3.51 -1.23 6.15 -1.17 1.41
-0.63 -0.48 0.87 -1.47 -3.19 2.23 -4.49 14.07 -0.77 3.89
-0.20 -0.06 1.29 -1.05 -2.77 2.65 -4.07 14.49 -0.35 4.31
-0.53 -0.39 0.97 -1.37 -3.10 2.32 -4.40 14.10 -0.65 4.01
-3.68 -2.81 -1.21 -3.34 0.01 1.21 -3.38 -2.33 -2.24 -1.32
-7.16 -6.47 -0.12 -5.46 -1.86 1.24 -6.46 -4.97 -0.96 -3.65
-6.68 -5.99 0.36 -4.99 -1.38 1.72 -5.98 -4.49 -0.48 -3.17
-7.16 -6.46 -0.10 -5.45 -1.85 1.26 -6.44 -4.94 -0.90 -3.63
Total
191
Sim1 = peningkatan produktivitas industri pertanian, Sim2 = sim 1 diikuti peningkatan produktivitas pertanian, Sim3 = sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan
Total
192 Pada sektor yang mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja, ternyata peningkatan penyerapan tenaga kerja terdidik (skilled) lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled). Sebaliknya pada sebagian sektor yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja, nampak bahwa penurunan tenaga kerja terdidik lebih kecil dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik. Hal ini diduga karena pola perubahan penyerapan tenaga kerja sektoral terkait erat dengan perubahan tingkat upah tenaga kerja terdidik dan tenaga kerja tidak terdidik sebagai dampak terjadinya peningkatan produktivitas (Tabel 27). Tabel 27. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Tingkat Upah Tenaga Kerja (%) Jenis Tenaga Kerja Nominal Tenaga Kerja Terdidik Tenaga Kerja Tidak Terdidik Riil Tenaga Kerja Terdidik Tenaga Kerja Tidak Terdidik
Perubahan Tingkat Upah Sim 1*/ Sim 2*/ Sim 3*/ 0.34 3.46
-4.29 -2.45
-5.72 -6.68
-1.62 1.50
-0.95 0.89
0.49 -0.47
Pada Tabel 27, nampak bahwa adanya peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) berdampak terhadap peningkatan upah tenaga kerja, dimana peningkatan upah nominal tenaga kerja terdidik (0.34 persen) lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan upah nominal tenaga kerja tidak terdidik (3.46 persen). Apabila upah nominal tersebut dikonversikan dengan laju inflasi yang sebesar 1.96 persen, maka upah riil tenaga kerja terdidik justru mengalami penurunan (-1.62 persen), sedangkan upah riil tenaga kerja tidak terdidik tetap mengalami peningkatan (1.50 persen). Kondisi inilah yang mendorong suatu industri menambah penyerapan jumlah tenaga kerja terdidik dan mengurangi jumlah tenaga kerja tidak terdidik.
193 Pola perubahan tingkat upah tersebut di atas, di sisi lain berdampak positif terhadap struktur tenaga kerja sektoral. Penurunan penyerapan tenaga kerja tidak terdidik pada beberapa sektor yang terjadi bersamaan dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja terdidik, mengindikasikan telah terjadi perubahan struktur tenaga kerja dari tenaga kerja tidak terdidik ke tenaga kerja terdidik. Hal ini mencerminkan adanya perubahan proses produksi yang mengarah pada keinginan untuk mengakomodir tuntutan peningkatan efisiensi dan daya saing pada sebagian besar sektor. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian juga diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), maka akan mempunyai dampak yang bervariasi terhadap penyerapan tenaga kerja. Sebagian sektor permintaan tenaga kerjanya meningkat, sebaliknya sektor lainnya justru mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja misalnya pada sebagian besar komoditas pada sektor pertanian dan beberapa sektor industri pertanian. Kondisi yang sama juga akan terjadi apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diiikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan (simulasi 3). Peningkatan penyerapan tenaga kerja disebabkan karena adanya peningkatan jumlah output yang dihasilkan, sehingga perusahaan merespon dengan meningkatkan jumlah tenaga kerjanya. Adapun penurunan penyerapan tenaga kerja lebih disebabkan karena peningkatan produktivitas yang terjadi berdampak terhadap penurunan nilai output yang dihasilkan. Peningkatan produktivitas mengakibatkan industri yang bersangkutan mengoptimalkan tenaga kerja yang ada dan berproduksi lebih efisien, sehingga penyerapan tenaga kerjanya mengalami penurunan.
194
6.2.
Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kinerja Makroekonomi Dampak peningkatan produktivitas terhadap kinerja makroekonomi
tercermin dari variabel-variabel yang berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dapat dihitung dari dua sisi, yaitu dari sisi pengeluaran dan sisi pendapatan. Dari sisi pengeluaran data makroekonomi yang digunakan meliputi konsumsi rumahtangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor bersih (ekspor minus impor). Adapun dari sisi pendapatan, data makroekonomi terdiri dari pendapatan dari lahan (return to land), tingkat pengembalian modal (return to capital) dan upah gaji. Closure makroekonomi model CGE yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 28. Pengeluaran pemerintah merupakan peubah yang mempengaruhi (exogenous variables), sedangkan peubah-peubah konsumsi rumahtangga, investasi dan neraca perdagangan adalah peubah yang dipengaruhi (endogenous variables). Variabel-variabel ini mempengaruhi tingkat PDB riil dari sisi pengeluaran. Dari sisi penerimaan, pengembalian modal (return to capital) adalah variabel eksogen yang nilainya ditentukan oleh modal dunia di pasar internasional. Pada penelitian ini diasumsikan Indonesia sebagai negara kecil yang nilai elastisitas penawaran modalnya relatif lebih elastis dibandingkan dengan modal di pasar internasional. Selanjutnya, tingkat upah riil merupakan variabel endogen yang besarannya dipengaruhi oleh tingkat pengembalian modal. Besarnya tingkat pengembalian modal dan tenaga kerja agregat akan menentukan stok kapital yang selanjutnya menentukan tingkat investasi riil. Hasil simulasi kebijakan dampak peningkatan produktivitas terhadap kinerja ekonomi makro disajikan pada Tabel 28.
Peningkatan produktivitas
195 industri pertanian (simulasi 1) berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan output agregat (x1prim_i) sebesar 0.11 persen dan peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran (x0gdpexp) sebesar 0.33 persen.
Temuan ini sejalan dengan endogenous growth theory yang
menekankan pentingnya peningkatan produktivitas, dimana produktivitas dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi (Romer, 2001; Lucas, 1988). Tingkat Pengembalian Modal
Tenaga Kerja Agregat
Upah Riil
Stok Kapital
GDP Riil
=
Konsumsi RT Riil
+
Investasi Riil
Pengeluaran + Pemerintah + Riil
Neraca Perdagangan
Keterangan: =
Variabel Eksogen
=
Variabel Endogen
Sumber : Horridge et al. (1993), dimodifikasi Gambar 28. Closure Makroekonomi yang Digunakan Dalam Penelitian Peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran tersebut bersumber dari peningkatan konsumsi rumahtangga riil (x3tot) sebesar 3.68 persen, walaupun di lain pihak terjadi penurunan investasi riil (x2tot_i) sebesar -3.21 persen, penurunan ekspor (x4tot) sebesar -2.58 persen, dan peningkatan impor (x0imp_c) sebesar 1.69 persen. Penomena ini sejalan dengan pendapat Aldeman (1984) bahwa di negara-negara yang sedang berkembang, konsumsi domestik merupakan
196 faktor utama pertumbuhan ekonomi.
Mengingat sebagian besar penduduk di
negara-negara yang sedang berkembang tersebut tinggal dan bekerja di sektor pertanian dan menggantungkan hidup mereka di sektor pertanian, maka industrialisasi pertanian merupakan pilihan yang sangat tepat. Tabel 28. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Beberapa Variabel Makroekonomi (%) */ */ */ Variabel Makroekonomi Simbol Sim 1 Sim 2 Sim 3 Balance of Trade/PDB PDB Riil Sisi Pengeluaran Output Agregat Konsumsi Riil Rumahtangga Investasi Riil Ekspor Impor Devaluasi Riil Indeks Harga Konsumen
delB x0gdpexp x1prim_i x3tot x2tot_i x4tot x0imp_c p0realdev p3tot
-1.07 0.33 0.11 3.68 -5.25 -2.58 1.69 -1.60 1.96
2.04 0.64 0.39 -1.07 -5.33 5.61 -2.93 3.69 -3.34
3.85 0.91 0.61 -3.64 -5.39 10.20 -5.72 6.63 -6.21
Keterangan: */ Sim1 = peningkatan produktivitas industri pertanian Sim2 = sim 1 diikuti peningkatan produktivitas pertanian Sim3 = sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan Pada Tabel 28, nampak bahwa penurunan ekspor yang dibarengi oleh terjadinya peningkatan impor mengakibatkan rasio neraca perdagangan terhadap PDB (delB) menjadi negatif atau menurun sebesar -1.07 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila kondisi ini dibiarkan, maka dalam jangka panjang ketergantungan
Indonesia
terhadap
barang-barang
impor
akan
semakin
meningkat. Hal yang cukup menarik untuk disimak dari simulasi 1 adalah terjadinya inflasi yang ditunjukkan oleh peningkatan indeks harga konsumen (p3tot) sebesar 1.96 persen. Padahal peningkatan produktivitas industri pertanian berdampak terhadap peningkatan jumlah output yang dihasilkan, yang pada gilirannya akan
197 mendorong penurunan harga output. Namun demikian, penurunan harga output pada sektor industri pertanian ternyata tidak diikuti oleh penurunan harga output pada sektor-sektor lainnya (Lampiran 4). Sektor-sektor tersebut adalah sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan), sektor pertambangan, sektor industri lain, sektor listrik, gas dan air, sektor perdagangan, hotel dan restauran, sektor jasa transportasi, sektor lembaga keuangan, sektor jasa pemerintah, dan sektor jasa lain. Peningkatan harga output pada sektor-sektor ini secara agregat akan mendorong terjadinya peningkatan harga umum (inflasi). Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), maka kinerja ekonomi makro menjadi semakin membaik. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya peningkatan output agregat dan peningkatan nilai PDB riil yang semakin besar, yaitu masing-masing sebesar 0.39 persen dan 0.64 persen. Peningkatan PDB riil ini didorong oleh adanya peningkatan ekspor bersih (net export), dimana ekspor meningkat sebesar 5.61 persen dan impor menurun sebesar -2.93 persen. Peningkatan ekspor yang diiringi oleh penurunan impor menyebabkan meningkatnya rasio neraca perdagangan terhadap PDB sebesar 2.04 persen. Pada simulasi 2, indeks harga konsumen justru mengalami penurunan (deflasi) yang bertolak belakang dengan dampak pada simulasi 1.
Hal ini
mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian yang dibarengi oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian mampu mendorong seluruh industri berproduksi secara lebih efisien, sehingga mampu menghasilkan output yang harganya lebih murah. Penurunan tingkat harga produk domestik akan menurunkan tingkat harga produk ekspor. Penurunan harga produk ekspor
198 ini selanjutnya akan meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan oleh Indonesia di pasar internasional. Pada gilirannya produk-produk Indonesia menjadi lebih kompetitif di pasar internasional, yang ditunjukkan oleh peningkatan nilai devaluasi riil (p0realdev) mata uang rupiah terhadap dollar sebesar 3.69 persen. Peningkatan produktivitas industri pertanian, sektor pertanian dan lembaga keuangan yang terjadi secara bersamaan (simulasi 3), akan memberikan dampak yang lebih besar lagi terhadap kinerja ekonomi makro.
Pada simulasi 3,
peningkatan output agregat dan PDB riil menjadi semakin besar yaitu masingmasing sebesar 0.61 persen dan 0.91 persen. Pada sisi lain, devaluasi riil mata uang rupiah terhadap dollar menjadi semakin meningkat, yang pada gilirannya akan mendorong laju pertumbuhan ekspor dan menurunkan impor.
6.3.
Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Pendapatan Rumahtangga Rumahtangga dikelompokan ke dalam delapan kelompok rumahtangga
berdasarkan lokasi dan jenis pekerjaan, mengikuti pengelompokan pada SNSE 2003. Kedelapan kelompok rumahtangga tersebut meliputi lima kelompok rumahtangga perdesaan (rural) dan tiga kelompok rumahtangga perkotaan (urban). Kelima kelompok rumahtangga perdesaan (rural) tersebut adalah: rumahtangga buruh pertanian di perdesaan (rural 1), rumahtangga pengusaha pertanian di perdesaan (rural 2), rumahtangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan (rural 3), bukan angkatan kerja di perdesaan (rural 4), dan rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perdesaan (rural 5). Adapun tiga kelompok rumahtangga yang berada di perkotaan (urban) meliputi: rumahtangga bukan pertanian golongan bawah di perkotaan (urban 1), bukan angkatan kerja di
199 perkotaan (urban 2), dan rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan (urban 3). Peningkatan produktivitas industri pertanian berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan riil rumahtangga golongan bawah, baik pada kategori rumahtangga perdesaan maupun rumahtangga perkotaan (Tabel 29). Pada Tabel 29, nampak bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan riil pada hampir seluruh kelompok rumahtangga di perdesaan, kecuali pada kelompok rumahtangga golongan atas di perdesaan (rural 5). Tabel 29. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Pendapatan Riil Rumahtangga No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kelompok Rumahtangga Buruh Pertanian di Perdesaan Pengusaha Pertanian di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan
*/
Sim 1 0.91 0.59 0.03 0.63 -0.10 0.12 -0.45 -0.52
*/
Sim 2 0.63 0.55 0.20 0.44 0.12 0.20 -0.27 -0.15
(%) Sim 3*/ -0.17 0.13 0.23 -0.09 0.29 0.16 0.20 0.44
Keterangan: */ Sim1 = peningkatan produktivitas industri pertanian Sim2 = sim 1 diikuti peningkatan produktivitas pertanian Sim3 = sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan Kondisi sebaliknya dialami oleh kelompok rumahtangga di perkotaan, dimana peningkatan produktivitas industri pertanian justru akan menurunkan pendapatan riil rumahtangga, kecuali pada kelompok rumahtangga golongan bawah di perkotaan (urban 1). Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian berdampak positif terhadap redistribusi pendapatan dan
200 kesejahteraan rumahtangga, baik di daerah perdesaan maupun daerah perkotaan. Penurunan tingkat pendapatan riil pada kelompok rumahtangga berpenghasilan lebih tinggi di perdesaan dan perkotaan diikuti oleh peningkatan pendapatan riil pada kelompok rumahtangga yang berpenghasilan lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan yang mengarah pada upaya peningkatan produktivitas industri pertanian dapat memperbaiki pola distribusi pendapatan rumahtangga. Apabila
peningkatan
produktivitas
industri
pertanian
diikuti
oleh
peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), maka akan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan riil pada seluruh kelompok rumahtangga di perdesaan. Sementara itu, pendapatan riil kelompok rumahtangga di perkotaan tetap mengalami penurunan, kecuali pada rumahtangga golongan bawah di perkotaan (urban 1), namun dengan tingkat penurunan pendapatan riil yang relatif lebih kecil. Temuan ini mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian yang dibarengi oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian, selain mampu memperbaiki distribusi pendapatan rumahtangga juga mampu meningkatkan (mengurangi tingkat penurunan) pendapatan riil rumahtangga. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas lembaga keuangan (simulasi 3), maka akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan riil pada hampir seluruh kategori rumahtangga, kecuali pada kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan (rural 1) dan kelompok bukan angkatan kerja di perdesaan (rural 4). Pada seluruh kelompok rumahtangga di perkotaan dan kelompok rumahtangga golongan atas di perdesaan, mengalami peningkatan pendapatan riil rumahtangga, sedangkan pada kelompok rumahtangga golongan bawah di perdesaan terjadi penurunan
201 pendapatan riil rumahtangga. Temuan ini mengindikasikan bahwa kelompok rumahtangga yang mempunyai akses lebih besar terhadap lembaga keuangan akan memperoleh benefit (manfaat) yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumahtangga yang kurang mempunyai akses terhadap lembaga keuangan.
6.4.
Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kemiskinan Analisis kemiskinan dilakukan dengan menggunakan formulasi Foster-
Greer-Thorbecke (FGT) poverty index (Duclos, 2004). Terdapat tiga indikator yang digunakan untuk mengukur kemiskinan (poverty), yaitu incidence of poverty (insiden kemiskinan), depth of poverty (kedalaman kemiskinan) dan severity of poverty (keparahan kemiskinan). Incidence of poverty menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pendapatan per kapita (yang didekati dari pengeluaran konsumsi) di bawah garis kemiskinan. Indeksnya disebut head-count index yang merupakan ukuran kasar dari kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa banyak orang miskin yang ada di dalam perekonomian kemudian dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya, tidak ada perbedaan antara penduduk yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya di antara orang-orang miskin. Depth of poverty menggambarkan tingkat kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin.
202 Severity of poverty menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah, yang merupakan rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini juga sering dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Untuk menghitung ketiga indikator kemiskinan tersebut di atas, maka data pendapatan rumahtangga berdasarkan golongan rumahtangga (yang didekati dari data pengeluaran), diubah ke dalam pendapatan masing-masing individu. Hal ini dilakukan karena perhitungan FGT poverty index didasarkan pada pendapatan masing-masing individu atau per kapita penduduk miskin. Terdapat dua pendekatan untuk menghitung pendapatan masing-masing individu sebagai dasar penghitungan indikator kemiskinan. Pertama, berdasarkan rata-rata per kapita. Rata-rata per kapita ini belum mempertimbangkan tingkat konsumsi menurut golongan umur, jenis kelamin dan skala ekonomi dalam konsumsi. Kedua, berdasarkan skala ekivalensi atau Equivalence Scales (ES), yang menunjukkan ukuran pendapatan relatif dari masing-masing rumahtangga yang berbeda untuk mencapai standar hidup. Penghitungan melalui pendekatan skala ekivalensi didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis kemiskinan pada umumnya lebih banyak didasarkan pada kecukupan kebutuhan energi kalori (Tabel 30), sementara kebutuhan kecukupan pangan individu berbeda menurut umur dan jenis kelamin (LIPI, 2004). Dengan demikian, penghitungan pendapatan masing-masing individu dengan menggunakan pendekatan rata-rata pendapatan per kapita dipandang kurang tepat.
203 Tabel 30. Beberapa Kriteria Garis Kemiskinan No 1.
2.
3.
4.
Penelitian
Kriteria
Konsumsi beras/kapita/tahun (kg) Tingkat pengeluaran ekivalen beras/orang/tahun (kg) Sayogyo, 1971 Miskin Miskin Sekali Paling Miskin Kebutuhan gizi min/orang/hari Ginneken, 1969 Kalori Protein (gram) Kebutuhan gizi minimum/Anne Booth, 1969 orang/hr Kalori Protein
Kota (K)
Desa (D)
Esmara, 1969
K+D 125
480 360 270
320 240 180 2000 50
2000 40
5.
BPS, 1984
Konsumsi kalori/kapita/hari
2100
6.
Garis Kemiskinan Internasional1
Tingkat pendapatan/kapita/hari (US $)
1
1
http: // unstats.un.org/unsd/mi/MDG%20Book.pdf
Sumber: BPS (2005) Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka penghitungan pendapatan masing-masing individu dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kedua yaitu skala ekivalensi (equivalence scale). Adapun garis kemiskinan (poverty line) ditetapkan berdasarkan standar Bank Dunia yaitu sebesar 1 $ US per hari atau setara dengan Rp. 285 000 per bulan. Sebelum melakukan analisis kemiskinan, maka data pendapatan (yang didekati dari data pengeluaran) pada SUSENAS tahun 2002 dipetakan kedalam 8 kelompok rumahtangga sesuai dengan pengelompokkan rumahtangga pada SNSE tahun 2003, seperti yang sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya. Karakteristik pendapatan kedelapan kelompok rumahtangga tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 31.
204 Tabel 31. Karakteristik Pendapatan Rumahtangga Dirinci Menurut Kelompok Rumahtangga (Juta Rupiah) No.
Kelompok Rumahtangga
Pendapatan Rata-rata
Minimum
Maksimum
1.
Buruh Pertanian di Perdesaan
543.84
44.54
999.91
2.
Pengusaha Pertanian di Perdesaan
555.13
58.54
1 000.00
3.
RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan
559.91
47.14
6 543.52
4.
Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan
565.32
35.24
6 935.20
5.
RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan
560.28
68.15
4 175.76
6.
RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan
1 001.79
102.16
8 878.63
7.
Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan
984.43
100.49
8 994.67
8.
RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan
1 028.15
114.26
9 613.13
Sumber: SUSENAS, 2002 (diolah). Pada Tabel 31, nampak bahwa rata-rata pendapatan rumahtangga berkisar antara Rp. 543.84 ribu sampai Rp. 1 028.15 ribu, dengan rata-rata pendapatan terendah diterima oleh kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan dan rata-rata pendapatan tertinggi diterima oleh kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan. Tingkat pendapatan minimum berkisar antara Rp. 35.24 ribu (rumahtangga bukan angkatan kerja di perdesaan) sampai Rp. 114.26 ribu (rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan), sedangkan tingkat pendapatan maksimum berkisar antara Rp. 999.91 ribu (rumahtangga buruh pertanian di perdesaan) sampai Rp. 9 613.13 ribu (rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan).
6.4.1. Insiden Kemiskinan Data pendapatan yang diperoleh dari data SUSENAS tersebut selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi insiden kemiskinan (poverty incidence) pada setiap kelompok rumahtangga. Pada Tabel 32 disajikan nilai head-count index
205 dasar dan hasil simulasi kebijakan pada setiap kelompok rumahtangga. Nilai head-count index dasar menunjukkan insiden kemiskinan sebelum dilakukan simulasi kebijakan. Nilai ini menunjukkan proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan terhadap total penduduk. Adapun simulasi kebijakan yang dilakukan adalah dampak peningkatan produktivitas industri pertanian (yang juga diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan) pada model CGE-AGRINDO. Sebelum simulasi kebijakan, nilai head-count index berkisar antara 0.0364-0.1245. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan rumahtangga berkisar antara 3.64-12.45 persen. Tingkat kemiskinan tertinggi terdapat pada kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan, sedangkan tingkat kemiskinan terendah terdapat pada kelompok rumahtangga golongan atas di perkotaan. Keberadaan penduduk miskin pada kelompok rumahtangga golongan atas, baik di perdesaan maupun di perkotaan, disebabkan karena pengelompokkan rumahtangga yang digunakan untuk membangun SNSE oleh BPS berdasarkan klasifikasi jenis pekerjaan/jabatan, bukan berdasarkan tingkat pendapatan. Konsekuensinya,
tidak
semua
rumahtangga
golongan
atas
merupakan
rumahtangga kaya atau berpendapatan di atas garis kemiskinan. Dari hasil kajian Susilowati (2007) dengan menggunakan metode yang sama (skala ekivalensi) diperoleh angka kemiskinan agregat sebesar 3.92 persen, sedangkan dengan menggunakan perhitungan rata-rata pendapatan per kapita (seperti yang dilakukan oleh BPS) diperoleh angka kemiskinan agregat sebesar 17.30 persen.
206
Tabel 32. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Insiden Kemiskinan No.
Kelompok Rumahtangga
Dasar1/
Sim 12/
Sim 22/
Sim 32/
1 2 3 4 5 6 7 8
Buruh Pertanian di Perdesaan Pengusaha Pertanian di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan
0.1089 0.0927 0.1245 0.1194 0.1146 0.0389 0.0378 0.0364
0.1053 0.0909 0.1244 0.1168 0.1145 0.0387 0.0382 0.0373
0.1064 0.0909 0.1239 0.1176 0.1144 0.0387 0.0380 0.0373
0.1096 0.0920 0.1238 0.1197 0.1135 0.0387 0.0375 0.0361
Perubahan (%)3/ Sim 1 Sim 2 Sim 3 -3.3175 -2.3075 0.6306 -1.9605 -1.9605 -0.7741 -0.0795 -0.4811 -0.5614 -2.1401 -1.4698 0.2897 -0.0851 -0.1724 -0.9577 -0.5308 -0.5308 -0.5308 1.1894 0.6596 -0.6648 2.4184 2.4184 -0.8766
Keterangan: 1/
Nilai headcount index sebelum dilakukan simulasi kebijakan.
2/
Sim 1: peningkatan produktivitas industri pertanian Sim 2: sim 1 diikuti peningkatan produktivitas sektor pertanian Sim 3: sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan
3/
Nilai perubahan antara indeks simulasi dasar dengan indeks masing-masing simulasi kebijakan
206
207 Sementara itu, dari hasil kajian Sitepu (2007) diperoleh angka kemiskinan berkisar antara 26.13 persen (rumahtangga bukan pertanian golongan atas di kota) sampai 62.52 persen (rumahtangga bukan pertanian golongan bawah di desa). Perbedaan angka kemiskinan pada penelitian ini dengan hasil kajian Susilowati (2007) dan Sitepu (2007) disebabkan oleh penggunaan garis kemiskinan (poverty line) yang berbeda. Garis kemiskinan yang digunakan oleh Susilowati (2007) mengikuti garis kemiskinan nasional yang dikeluarkan oleh BPS untuk tahun 2002, yaitu daerah perdesaan sebesar Rp. 96 512 per kapita per bulan, perkotaan Rp 130 499 per kapita per bulan dan agregat Indonesia sebesar Rp. 108 889 per kapita per bulan. Adapun garis kemiskinan yang digunakan oleh Sitepu (2007) sebesar 2 $ US per kapita per hari atau setara dengan Rp. 570 000 per kapita per bulan. Sementara itu, garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada ukuran Bank Dunia yaitu sebesar 1 $ US per kapita per hari atau setara dengan Rp. 285 000 per kapita per bulan. Hasil analisis kemiskinan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di perdesaan berkisar antara 9.27-12.45 persen yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di perkotaan yang hanya berkisar antara 3.64-3.89 persen. Hal ini selaras dengan pendapat Thorbecke et al. (1993), bahwa sumber kemiskinan sebagian besar berada di wilayah perdesaan. Berdasarkan hasil penelitian Yusdja et al. (2003) menunjukkan bahwa lebih dari 62 persen angkatan kerja rumahtangga miskin bekerja di sektor pertanian di perdesaan, disusul pada kegiatan di sektor perdagangan sebagai pedagang kecil (10 persen), industri rumahtangga (7 persen) dan jasa (6 persen). Pada umumnya sebagian besar anggota rumahtangga miskin bekerja pada kegiatan-kegiatan yang memiliki produktivitas tenaga kerja rendah. Hal ini erat kaitannya dengan rendahnya
208 aksesibilitas angkatan kerja terhadap penguasaan faktor-faktor produksi. Pada kenyataannya angkatan kerja tersebut cenderung lebih mengandalkan pekerjaan fisik dengan keterampilan yang minimal dibandingkan dengan faktor produksi lain berupa aset produktif dan permodalan. Menurut Sapuan dan Silitonga (1990), sumber-sumber kemiskinan di daerah perdesaan dapat diidentifikasi diantaranya sebagai berikut: (1) para petani yang memiliki lahan kurang dari 0.25 ha, (2) buruh tani yang pendapatannya kurang atau cukup dikonsumsi hari itu saja, (3) nelayan yang belum terjamah bantuan kredit lunak pemerintah, dan (4) perambah hutan dan pengangguran. Adapun untuk daerah perkotaan yaitu: (1) buruh kecil di pabrik-pabrik, (2) pegawai negeri atau swasta golongan rendah, (3) pegawai harian lepas, (4) pembantu rumahtangga, (5) pedagang asongan, (6) pemulung, dan (7) pengangguran. Pada Tabel 32, nampak bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) mampu menurunkan tingkat kemiskinan pada seluruh kelompok rumahtangga perdesaan. Adapun pada kelompok rumahtangga di perkotaan sebagian besar justru mengalami peningkatan tingkat kemiskinan, kecuali pada kelompok rumahtangga golongan rendah (urban 1). Penurunan tingkat kemiskinan terbesar (3.32 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan (rural 1). Temuan ini selaras dengan hasil kajian Sumedi dan Supadi (2004), bahwa tingkat pendapatan masyarakat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat miskin di perdesaan memiliki tingkat pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas
garis
kemiskinan.
Dengan
demikian,
adanya
perbaikan
struktur
209 perekonomian yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, pengurangan jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan. Kondisi serupa dengan hal tersebut di atas juga terjadi apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2). Dampak penurunan tingkat kemiskinan pada simulasi 2 selaras dengan dampak penurunan tingkat kemiskinan pada simulasi 1. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian juga diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor lembaga keuangan (simulasi 3), maka dampak terhadap penurunan kemiskinan bertolak belakang dengan dampak pada simulasi 1 dan simulasi 2. Pada simulasi 3, kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan (rural 1) justru mengalami peningkatan tingkat kemiskinan. Hal ini diduga karena kelompok rumahtangga ini tidak mempunyai akses terhadap lembaga keuangan. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok rumahtangga golongan atas, baik di perkotaan maupun di perdesaan, dimana kelompok rumahtangga ini mendapat manfaat (benefit) yang lebih besar dengan adanya peningkatan produktivitas lembaga keuangan.
6.4.2. Kedalaman Kemiskinan Seperti yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa headcount index merupakan ukuran kasar dari kemiskinan, karena setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya, tidak ada perbedaan antara penduduk yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya di antara orang-orang miskin. Untuk menutupi kelemahan ini, maka pada penelitian ini dilakukan analisis kedalaman kemiskinan (depth of poverty). Hasil analisis kedalaman kemiskinan secara lengkap disajikan pada Tabel 33.
210
Tabel 33. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Kedalaman Kemiskinan No.
Kelompok Rumahtangga
Dasar1/
Sim 12/
Sim 22/
Sim 32/
1 2 3 4 5 6 7 8
Buruh Pertanian di Perdesaan Pengusaha Pertanian di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan
0.0254 0.0215 0.0301 0.0280 0.0271 0.0089 0.0088 0.0084
0.0246 0.0211 0.0301 0.0274 0.0272 0.0088 0.0089 0.0086
0.0249 0.0211 0.0299 0.0276 0.0271 0.0088 0.0089 0.0085
0.0256 0.0214 0.0299 0.0280 0.0269 0.0088 0.0087 0.0083
Perubahan (%)3/ Sim 1 Sim 2 Sim 3 -3.2365 -2.0564 0.6970 -1.9038 -1.9038 -0.5090 -0.1138 -0.7775 -0.7775 -2.1361 -1.4218 0.0069 0.2975 -0.0713 -0.8088 -0.7439 -0.7439 -0.7439 1.0497 1.0497 -1.2211 2.1991 1.0107 -1.3660
Keterangan: 1/
Nilai poverty gap index sebelum dilakukan simulasi kebijakan.
2/
Sim 1: peningkatan produktivitas industri pertanian Sim 2: sim 1 diikuti peningkatan produktivitas sektor pertanian Sim 3: sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan
3/
Nilai perubahan antara indeks simulasi dasar dengan indeks masing-masing simulasi kebijakan
210
211 Pada Tabel 33, nampak bahwa sebelum dilakukan simulasi kebijakan, angka poverty gap index berkisar antara 0.84-3.01 persen. Angka ini menunjukkan rata-rata kesenjangan pendapatan pada tiap kelompok rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin besar poverty gap index menunjukkan semakin besar kesenjangan (gap) pendapatan rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan. Angka poverty gap index terbesar terdapat pada kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan, sedangkan terkecil pada kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan. Peningkatan produktivitas industri pertanian yang diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), mempunyai dampak yang sejalan dengan simulasi 1 dalam hal penurunan indeks kedalaman kemiskinan. Pada simulasi 2, seluruh kelompok rumahtangga perdesaan dan kelompok rumahtangga golongan rendah di perkotaan mengalami penurunan indeks kedalaman kemiskinan. Sementara itu, kelompok rumahtangga golongan atas di perkotaan justru mengalami peningkatan indeks kedalaman kemiskinan. Apabila pada simulasi 2 juga diikuti oleh peningkatan produktivitas lembaga keuangan (simulasi 3), maka indeks kedalaman kemiskinan pada kelompok rumahtangga buruh pertanian dan bukan angkatan kerja di perdesaan mengalami peningkatan, sedangkan pada kelompok rumahtangga lainnya justru terjadi hal yang sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas lembaga keuangan akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga yang mempunyai akses lebih besar terhadap lembaga keuangan. Kelompok rumahtangga ini antara lain kelompok rumahtangga bukan pertanian dan kelompok rumahtangga golongan atas, baik di perdesaan maupun di perkotaan.
212
6.4.3. Keparahan Kemiskinan Kelemahan indeks kedalaman kemiskinan adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. Untuk menutupi kelemahan ini, maka pada penelitian ini dilakukan analisis keparahan kemiskinan (severity of poverty) dengan menggunakan indikator indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Hasil analisis keparahan kemiskinan secara lengkap disajikan pada Tabel 34. Sebelum dilakukan simulasi kebijakan, indeks keparahan kemiskinan berkisar antara 0.31-1.11 persen. Peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) berdampak terhadap penurunan indeks keparahan kemiskinan pada kelompok rumahtangga perdesaan dan kelompok rumahtangga golongan rendah di perkotaan. Kondisi sebaliknya dialami oleh kelompok rumahtangga golongan atas dan bukan angkatan kerja di perkotaan, dimana pada kelompok rumahtangga ini justru terjadi peningkatan indeks keparahan kemiskinan. Dampak serupa akan terjadi apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2). Peningkatan produktivitas pada industri pertanian, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan (simulasi 3) akan memberi manfaat lebih besar bagi kelompok rumahtangga golongan atas dan bukan angkatan kerja di perkotaan. Hal ini bisa dilihat dari penurunan indeks keparahan kemiskinan pada kedua kelompok rumahtangga ini. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan, dimana terjadinya peningkatan produktivitas lembaga keuangan berdampak terhadap peningkatan indeks keparahan kemiskinan.
213
Tabel 34. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Keparahan Kemiskinan No.
Kelompok Rumahtangga
Dasar1/
Sim 12/
Sim 22/
Sim 32/
1 2 3 4 5 6 7 8
Buruh Pertanian di Perdesaan Pengusaha Pertanian di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan
0.0094 0.0077 0.0111 0.0102 0.0101 0.0031 0.0031 0.0032
0.0091 0.0075 0.0111 0.0100 0.0100 0.0030 0.0032 0.0033
0.0092 0.0076 0.0111 0.0101 0.0100 0.0030 0.0032 0.0033
0.0095 0.0077 0.0111 0.0103 0.0100 0.0030 0.0031 0.0032
Perubahan (%)3/ Sim 1 Sim 2 Sim 3 -3.5059 -2.4455 0.7356 -2.6223 -1.3239 -0.0256 -0.3906 -0.3906 -0.3906 -2.1347 -1.1561 0.8012 -0.9311 -0.9311 -0.9311 -2.8066 -2.8066 -2.8066 1.6858 1.6858 -1.4919 2.9355 2.9355 -0.1837
Keterangan: 1/
Nilai poverty severity index sebelum dilakukan simulasi kebijakan
2/
Sim 1: peningkatan produktivitas industri pertanian Sim 2: sim 1 diikuti peningkatan produktivitas sektor pertanian Sim 3: sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan
3/
Nilai perubahan antara indeks simulasi dasar dengan indeks masing-masing simulasi kebijakan 213
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terutama hasil simulasi kebijakan yang
dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Peningkatan produktivitas industri pertanian berdampak positif terhadap jumlah output yang dihasilkan oleh industri yang bersangkutan. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian juga diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan, maka hampir seluruh sektor mengalami peningkatan jumlah output. 2. Peningkatan produktivitas industri pertanian berdampak pada penurunan harga output hanya di sektor yang bersangkutan, sedangkan harga output di sektor lainnya justru mengalami peningkatan. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian juga diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan, maka hampir seluruh sektor mengalami penurunan harga output. 3. Peningkatan produktivitas industri pertanian, sektor pertanian dan lembaga keuangan mempunyai dampak yang bervariasi dalam penyerapan tenaga kerja. Peningkatan penyerapan tenaga kerja terdidik (skilled) lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled), sebaliknya penurunan penyerapan tenaga kerja terdidik lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik. 4. Peningkatan produktivitas, baik pada industri pertanian, sektor pertanian maupun
lembaga
keuangan
berdampak
positif
terhadap
kinerja
makroekonomi, yang ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan PDB riil.
215 Namun demikian, peningkatan produktivitas industri pertanian memicu peningkatan laju inflasi, kondisi sebaliknya akan terjadi apabila peningkatan produktivitas industri pertanian juga diikuti oleh sektor pertanian dan lembaga keuangan. 5. Peningkatan produktivitas industri pertanian berdampak positif terhadap redistribusi pendapatan dari kelompok rumahtangga golongan atas kepada kelompok rumahtangga golongan bawah, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Kelompok rumahtangga golongan bawah mengalami peningkatan pendapatan, sebaliknya kelompok rumahtangga golongan atas mengalami penurunan pendapatan. 6. Peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian secara bersamaan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga golongan bawah dan mengurangi tingkat penurunan pendapatan rumahtangga golongan atas. 7. Peningkatan produktivitas industri pertanian, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak negatif terhadap pendapatan kelompok rumahtangga golongan bawah, sebaliknya kelompok rumahtangga golongan atas justru mengalami peningkatan pendapatan. 8. Peningkatan produktivitas industri pertanian berdampak positif terhadap pengurangan tingkat kemiskinan perdesaan, kondisi sebaliknya terjadi di perkotaan, kecuali pada kelompok rumahtangga golongan bawah di perkotaan. Kondisi serupa akan terjadi apabila peningkatan produktivitas industri pertanian juga diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian. 9. Peningkatan produktivitas industri pertanian, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak negatif terhadap peningkatan tingkat
216 kemiskinan kelompok rumahtangga golongan bawah dan bukan angkatan kerja di pedesaan. Kelompok rumahtangga non pertanian dan rumahtangga golongan atas mendapat manfaat (benefit) yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumahtangga pertanian dan rumahtangga golongan bawah.
7.2.
Implikasi Kebijakan
1. Mengingat peningkatan produktivitas industri pertanian berdampak positif terhadap kinerja sektor industri yang bersangkutan dan pengentasan kemiskinan, maka implikasinya diperlukan langkah-langkah untuk mendorong peningkatan produktivitas, baik peningkatan produktivitas tenaga kerja (melalui peningkatan keahlian dan ketrampilan) maupun peningkatan efisiensi penggunaan berbagai masukan material dan peralatan modal. Peningkatan kegiatan riset dan pengembangan serta pengembangan teknologi juga sangat diperlukan. Selain itu, sistem perpajakan yang kondusif terhadap kegiatan penelitian, pengembangan dan adopsi teknologi perlu diaplikasikan pada berbagai industri yang menjadi prioritas pengembangan industri nasional. Tanpa peningkatan produktivitas tenaga kerja, efisiensi penggunaan input material dan peralatan modal, penciptaan iklim yang kondusif bagi peningkatan
kegiatan
riset
dan
pengembangan
serta
usaha-usaha
pengembangan dan adaptasi teknologi, akan sangat sulit mengharapkan terjadinya peningkatan produktivitas industri nasional di masa yang akan datang. Pada gilirannya industri nasional akan semakin sulit untuk berkompetisi di pasar domestik dan internasional seperti yang telah terjadi dewasa ini.
217 2. Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa apabila hanya ditinjau dari aspek pengendalian laju inflasi, maka upaya peningkatan produktivitas industri pertanian justru akan memberikan dampak negatif. Namun demikian, apabila dilihat dari dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, maka peningkatan produktivitas industri pertanian merupakan pilihan yang strategis untuk dilakukan, mengingat manfaat terbesar dari upaya ini akan dinikmati oleh masyarakat golongan miskin di perdesaan tanpa merugikan masyarakat golongan atas di perkotaan. 3. Upaya peningkatan produktivitas industri pertanian perlu diikuti dengan peningkatan produktivitas pada sektor-sektor terkait, antara lain pada sektor pertanian sebagai pemasok bahan baku dan lembaga keuangan sebagai lembaga penunjang. Apabila langkah ini dilakukan, maka peningkatan pendapatan masyarakat, sebagai tujuan utama pembangunan ekonomi, akan dapat segera diwujudkan. 4. Lembaga keuangan, yang merupakan salah satu subsistem lembaga penunjang dalam sistem agribisnis, berperan penting dalam penyediaan modal (kredit) bagi para pelaku agribisnis. Namun demikian, hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas lembaga keuangan justru akan berdampak negatif terhadap pendapatan rumahtangga pertanian di perdesaan. Hal ini disebabkan karena masih rendahnya akses petani terhadap lembaga keuangan (perbankan). Berkenaan dengan hal ini, maka upaya untuk mewujudkan Bank Pertanian di wilayah perdesaan merupakan salah satu bentuk keberpihakan kepada petani yang harus terus diperjuangkan dan direalisasikan. Melalui Bank Pertanian diharapkan petani yang merupakan konstituen terbesar dalam sektor pertanian dapat memperoleh akses yang lebih
218 besar terhadap lembaga keuangan dengan tata cara, prosedur dan persyaratan yang reasonable.
7.3.
Saran Penelitian Lanjutan
1. Mengingat model yang digunakan dalam penelitian ini hanya bersifat recursive dynamic, maka diperlukan penelitian lanjutan untuk menghasilkan model keseimbangan umum yang full dynamic. Supaya model yang dihasilkan dapat merespon dampak dari peningkatan produktivitas input primer lahan sebagai faktor input budidaya pertanian, maka pada model perlu dimasukkan blok persamaan mobilitas lahan (land mobility). 2. Perlu dilakukan update data pendukung seperti nilai-nilai parameter dan elastisitas, yang bersumber dari hasil-hasil penelitian dan data empiris terbaru.
DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, A. 2000. Impact of Agriculture Trade and Subsidy Policy on the Macroeconomy, Distribution, and Environment in Indonesia: A Strategy for Future Industrial Development. The Developing Economies, 38 (4): 547571. Adelman, I. 1984. Beyond Export-Led Growth. In Adelman. 1995. Institution and Development Strategies. The Selected Essay of Irma Adelman. University of California, Berkeley. Adelman, I. and S. Robinson. 1978. Intercommodity Price Transmittal: Analysis of Food Markets in Ghana. Oxford Bulettin of Economics and Statistics, 55 (5): 43-64. Arif, S. 1990. Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik: Kumpulan Karangan. Universitas Indonesia, Jakarta. Arifin, B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. _______. 2005. Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Armington, P.A. 1969. A Theory of Demand for Products Distinguished by Place of Production. International Monetary Fund Staff Papers, 16 (5): 159178. Azis, I. J. 1989. Export Performance and Employment Effect. Inter University Center Economics, University of Indonesia, Jakarta. Badan Agribisnis. 1995. Sistem, Strategi dan Program Pengembangan Agribisnis. Badan Agribisnis, Departemen Pertanian, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2002. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 2003. Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 2004. Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2003. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 2007. Statistik Indonesia Tahun 2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bappenas. 2002. Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan: Sebuah Gagasan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
220 Bautista, R.M., S. Robinson and M. El-Said. 1999. Alternative Industrial Development Path for Indonesia: SAM and CGE Analysis. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. Buehrer, T. and F.D. Mauro. 1995. Computable General Equilibrium Model as Tools for Policy Analysis in Developing Countries: Some Basic Principles and an Empirical Application. Banca D’talia, Rome. Chacholiades, M. 1990. International Economics. McGraw-Hill Publishing Company, New York. Chenery, H.B. 1992. Industrialisasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pandangan Alternatif Atas Asia Timut. Dalam Hughes (editor). Keberhasilan Industrialisasi di Asia Timur. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Chenery, H.B. and M. Syrquin. 1975. Pattern of Development 1950-1970. The World Bank, Washington D.C. Cockburn, J. 2001. Trade Liberalisation and Poverty in Nepal: A Computable General Equilibrium Micro Simulation Analysis. CREFA Universite Laval and CSAE University of Oxford, New York. __________. 2002. Procedures for Conducting Non-Parametric Poverty/Distribution with DAD. CREFA, Universite Laval, Quebec. Damuri, Y.R. and A.A. Perdana. 2003. The Impact of Fiscal Policy on Income Distribution and Poverty: A Computable General Equilibrium Approach for Indonesia. Centre for Strategic and International Studies. CSIS Working Paper Series, Jakarta. Darwis, V. dan A.R. Nurmanaf. 2001. Pengentasan Kemiskinan: Upaya yang telah Dilakukan dan Rencana Waktu Mendatang. Forum Agro Ekonomi, 19(1): 55-67. Dasril, A.S.N. 1993. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Produksi Sektor Pertanian dalam Industrialisasi di Indonesia, 1971-1990. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Departemen Keuangan. 2000. Mempertahankan Kelangsungan Anggaran Negara. Departemen Keuangan, Jakarta. Departemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Nasional Industri Nasional. Departemen Perindustrian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2002. Gerakan Industrialisasi Pertanian di Pedesaan “(GERINDA 2020)”. Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. __________________. 2005a. Revitalisasi Pertanian melalui Agroindustri Perdesaan. Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
221 __________________. 2005b. Grand Strategi Pengembangan Agroindustri (Industri Pengolahan Hasil Pertanian). Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. __________________. 2005c. Rumusan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian Tahun 2006. Departemen Pertanian, Jakarta.. Diana, D. 2003. Dampak Perubahan Pengembalian Modal dan Nilai Tukar terhadap Keragaan Ekonomi Makro dan Sektor Pertanian Melalui Pendekatan Model Keseimbangan Umum. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dixon, P.B., B.R Parmenter, J. Sutton and D.P. Vincent. 1982. ORANI: A Multisectoral Model of the Australian Economy. North Holland, Amsterdam. Dixon, P.B., B.R. Parmenter, A.A. Powell and P.J. Wilcoxen. 1992. Notes and Problems in Applied General Equilibrium Economics. North-Holland, Amsterdam. Dixon, P.B. and M.T. Rimmer. 1998. Forecasting and Policy Analysis with A Dynamic CGE Model of Australia. Centre of Policy Studies, Monash University, Melbourne. Donbusch, R., S. Fischer and R. Startz. 1998. Macroeconomics. The Mc.GrawHill Companies Inc, New York. Duclos, Y.J. and A. Araar. 2004. Poverty and Equity: Measurement, Policy and Estimation with DAD. Theoritical Document in DAD: Distributive Analysis Special Edition for The PMMA Advanced Training Workshops, Dakar. Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga, Jakarta. Fei, J.C., and G. Ranis. 1964. Development of the Labor- Surplus Economy: Theory and Policy. Homewood, Irwin, Illinois. Foster, J., J. Greer and E. Thorbecke. 1984. A Class of Decomposable Poverty Measurement. Econometrica, 52 (3): 761-766. Francois, J.F., B.J. McDonald and H. Nordstrom. 1997. Liberalization and Capital Accumulation in the GTAP Model, GTAP Technical Paper No. 7, Center for Global Trade Analysis, Purdue University, Purdue. Fugile, K.O. 2004. Productivity Growth in Indonesia Agriculture, 1961-2000. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40 (2): 209-225. Gandhi, V., G. Kumar and R. Marsh. 2001. Agroindustry for Rural and Small Farmer Development: Issues and Lessons from India. International Food and Agribusiness Management Review, 2: 331-344. Gillis, M., D.H. Perkins, M. Romer and D.R. Snodgrass. 1987. Economics of Development. Second Edition. W.W. Norton & Company, New York.
222 Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Hertel, T.W., M. Ivanic, P.V. Preckel and J.A.L. Cranfield. 2004. The Earnings Effects of Multilateral Trade Liberalization: Implications for Poverty. The World Bank Economic Review, 18 (2): 127-143. Holloway, G., C. Nicholson, C. Delgado, S. Staal and S. Ehui. 2000. Agroindustrialization throught Institutional Innovation Transaction Cost, Cooveratives and Milk-Market Development in the East-African Highlands, Agriculture Economics, 23: 279-288. Horridge, J., B.R. Parmenter and K.R. Pearson. 1993. ORANI-F: A General Equilibrium Model of the Australian Economy. Journal Economic and Financial Computing, 3: 71-140. Horridge, J. 2002. ORANIGRD: A Recursive Dynamic version of ORANIG. Download from www.monash.edu.au/policy/oranigrd. [6 Maret 2007] Horison, G. 1997. Computable General Equilibrium Models. Download from www.mobidk.dk/-mobi-cge.htm. [6 Maret 2007] Hulu, E. 1997. Tipologi Model Keseimbangan Umum, Universitas Indonesia, Jakarta. Hutabarat, B. 2004. Kondisi Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Kinerja Industri Perkopian Nasional. Jurnal Agro Ekonomi, 22 (2): 147-166. Iqbal, M. dan T. Sudaryanto. 2008. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dalam Prespektif Kebijakan Pembangunan Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian, 6 (2): 155-173. Jemio, L.C. and K. Jansen. 1993. External Finance, Growth and Adjustment: A Computable General Equilibrium Model for Thailand. Working Paper: Sub Series on Money, Finance and Development No. 46. Institute of Social Studies, The Hague. Jhingan, M.L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Grafindo Persada, Jakarta.
PT Raja
Just, E. R., D. L. Hueth and A. Schmitz. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy, Prentice-Hall, Inc, London. Justianto, A. 2005. Dampak Kebijakan Pembangunan Kehutanan terhadap Pendapatan Masyarakat Miskin di Kalimantan Timur: Suatu Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kapuscinski, C.A. and G.W. Peter. 1999. Estimation of Armington Elasticities: An Application to the Philippines. Economic Modelling, 16: 257-278.
223 Khan, H. 1979. World Economic Development. Westview Press, Boulder. Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2002. Buku Pedoman Komite Penanggulangan Kemiskinan. Sekretariat Komite Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta. Klein, R. W. 1971. A Dynamic Theory of Comparatif Advantage. The American Economic Review, 6: 173-184. Lewis, W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labor. In Chenery and Srinivasan (Editors). Handbook of Development Economics. Science Publisher B.V., Amsterdam. LIPI.
2004. Angka Kecukupan Gizi Bagi Orang Indonesia. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Llyoid, J.P. dan Xiao-guang Zang. (2005). The Armington Model, Working Paper, Departement of Economic, University of Melbourne, Melbourne. Lucas, R.E. 1988. On the Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, 22 (1): 3-42. Mangahas, M. 19974. A Note on Decomposition of the Gini Ratio Across Regions. Discussion Paper No. 74-2. Institute of Economic Development and Research, School of Economics, The University of Philippines, Manila. Mankiw, N.G. 2000. Macroeconomics. Worth Publishers, New York. Meier, G.M. 1995. Leading Issues in Economic Development. Oxford University Press, New York. Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nicholson, W. 1994. Teori Ekonomi Mikro: Prinsip dan Pengembangannya. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Oktaviani, R. 2000. The Impact of APEC Trade Liberalisation on Indonesian Economy and Its Agricultural Sector. Ph.D Thesis. The Sydney University, Sydney. __________. 2001. Dampak Perubahan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral. Bisnis dan Ekonomi Politik, 4 (4): 33-45. ___________. 2005. Implications of APEC Trade Liberalisation and Other Changes for The Indonesian Economy. Working Paper Series No: IWP/002/2005. Inter Café, Bogor.
224 Oktaviani, R., D.B. Hakim, H. Siregar and Sahara. 2005. The Impact of Fiscal Policy on Indonesian Macroeconomic Performance, Agricultural Sector and Poverty Incidences (A Dynamic Computable General Equilibrium Analysis). Bogor Agricultural University and International Development Research Centre (IDRC), Bogor. Oktaviani, R. dan Sahara. 2005. Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Sektor Pertanian, Agroindustri dan Rumahtangga Pertanian di Indonesia. Working Paper Series No: IWP/001/2005. Inter Café, Bogor. Oktaviani, R., Sahara and E. Puspitawati. 2006. The Impact of Increasing Skilled Lbor Supply on Indonesian Economy and Income Distribution. Indonesian Economic Journal, 1: 61-87. Oktaviani, R., Sahara, E. Puspitawati, R. K. Sitepu dan Y. L. Purnawadewi. 2006. Dampak Investasi Swasta dan Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Regional di Indonesia. Direktorat Kewilayahan I Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Oktaviani, R., Sahara, E. Puspitawati, A. Delis dan D. Haryono. 2006. Analisis Dampak Perubahan Variabel Ekonomi terhadap Sektor Industri. Kerjasama Departemen Perindustrian Republik Indonesia dengan Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor. Oktaviani, R., Sahara, E. Puspitawati, Widyastutik dan A. Delis. 2007. Penyusunan Model Recursive Dynamic General Equilibrium. Kerjasama Bank Mandiri dengan Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. O’Ryan, R. and M. Sebastian. 2003. The Role of Agriculture in Poverty Alleviation, Income Distribution and Economic Development: A CGE Analysis for Chile. Agricultural and Development Economics Division (ESA). FAO of the United Nation, Rome. Pangestu, M. dan H. Aswicahyono. 1996. Industrialisasi, Keunggulan Bersaing dan Era Perdagangan Bebas. Dalam Pangestu, M., R. Atje dan J. Mulyadi (Penyunting). Transformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas. Centre for Strategic and International Studies, Jakarta. Prabowo, D. 1995. Diversifikasi Pedesaan. Center for Policy and Implementations Studies, Jakarta. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 2004. Himpunan Berbagai Pikiran Tentang Pembangunan Pertanian Periode 2005-2020. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 2 (4): 309-323. Ratnawati, A. 1996. Kebijakan Penurunan Tarif Impor dan Pajak Ekspor Kinerja Perekonomian, Sektor Pertanian dan Distribusi Pendapatan di Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
225 Ratnawati, A., R. Oktaviani dan Sahara. 2004. Dampak Restrukturisasi Perbankan dan Peningkatan Produktivitas Pertanian terhadap Kinerja Ekonomi Makro, Sektor Pertanian, dan Distribusi Pendapatan di Indonesia. Laporan Akhir Hibah Bersaing XI/3 Tahun Anggaran 2003-2004. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ravallion, M. 2001. Poverty Comparisons. World Bank, Washington, D.C. Remi, S.S. dan P. Tjiptoherijanto. 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia (Suatu Analisis Awal). PT. Rineka Cipta, Jakarta. Riedel, J. 1992. Pembangunan Ekonomi di Asia Timur: Melakukan Hal yang Lazim Terjadi. Dalam Hughes, H. (ed.). Keberhasilan Industrialisasi di Asia Timur. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Romer, D. 2001. Advanced macroeconomics, second edition, McGraw-Hill Book Company Co., Singapore. Sadoulet, E dan A. de Janvry. 1992. Agriculture Trade Liberalization And The Low Income Countries: A General Equilibrium Multimarket Approach, American Journal Agriculture Economic, 22 (1): 268-280. ______________________. 1995. Quantitative Development Analysis. The Johns Hopkins University Press, London. Sahara. 2003. Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak, Tarif Dasar Listrik, Tarif Telepon dan Penyaluran Dana Kompensasi terhadap Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sahrial. 2005. Prespektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi: Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Savard, L. 2003. Poverty and Inequality Analysis with CGE Framework: A Comparative Analysis of the Representative Agent and Micro-Simulation Approach. International Development Research Centre, Ottawa. Silva, A.K. and M. Horridge. 1996. Economies of Scale and Imperfect Competition in an Applied General Equilibrium Model of the Australian Economy. Working Paper No OP-84. Centre of Policy Studies and the Impact Project, Monash University, Melbourne. Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
226 ____________. 1997. Akselerasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Melalui Strategi Keterkaitan Berspektrum Luas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Simatupang, P. dan N. Syafa’at. 2000. Strategi Pembangunan Ekonomi Nasional: Industrialisasi Berbasis Pertanian. Makalah dalam Konggres XIV Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, 21-23 April 2000, Makasar. Simatupang, P., D.K.S. Sadra, M. Syukur, E. Basuno, S. Mardianto, K. Kariyasa dan M. Maulana. 2004. Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian : Respon terhadap Isu Aktual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Sipayung, T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makro Ekonomi terhadap Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, H. 2003. Changes in Farmer Terms of Trade and Agricultural Net-Barter Terms of Trade: An Empirical Analysis. Jurnal Manajemen dan Agribisnis, 1 (1): 1-19. Sitepu, R.K. 2007. Dampak Investasi Sumberdaya Manusia dan Transfer Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan Indonesia. Disertasi Doktor, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soekartawi. 1993. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sudarsono, 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Sudaryanto, T. 2005. Pengembangan Pertanian Industrial dengan Pendekatan Agribisnis: Konsep dan Implementasinya. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Dukungan Inovasi Teknologi dalam Akselerasi Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan” pada tanggal 13 Desember 2005, Malang. Sudaryanto, T. dan A. Munif. Agrimedia, 10 (2): 6-13.
2005.
Pelaksanaan Revitalisasi Pertanian.
Sudaryanto, T., P. Simatupang, dan K. Kariyasa. 2005. Konsep Sistem Usaha Pertanian, serta Peranan BPTP dalam Rekayasa Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Analisis Kebijakan Pertanian, 3 (3): 349-366. Sugema, I. 2001. Restrukturisasi Perbankan dan Instabilitas Fiskal dan Moneter. Bisnis dan Ekonomi Politik, 4 (4):21-32.
227 Suhendra, E.S. 2004. Analisis Struktur Sektor Pertanian Indonesia: Analisis Model Input-Output. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 2 (9): 55-65. Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sumedi dan Supadi. 2004. Kemiskinan di Indonesia: Suatu Fenomena Ekonomi. Icaserd Working Paper No. 21. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Stanton, J. V. 2000. The Role of Agribusiness in Development: Replacing the Diminishing Role of the Government in Raisng Rural Incomes, Journal of Agribusiness, 18: 173-187. Sukirno. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Suryana, A. 2006. Sambutan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian pada Seminar Sehari “Kinerja Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007” pada tanggal 20 Desember 2006, Jakarta. Susanti, E.N. 2003. Dampak Perubahan Investasi dan Produktivitas Sektor Perikanan terhadap Kinerja Makro Ekonomi dan Sektoral Indonesia (Aplikasi Model Ekonomi Keseimbangan Umum). Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susanto, R.D. 2005. Swasembada Pangan dan Kemiskinan Perdesaan. Paper Mata Kuliah Perencanaan dan Pertumbuhan Ekonomi, Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susilo, S.Y., B. Kuspradono dan A. Sukamto. 2001. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kinerja Sektor Pertanian: Pendekatan Model Keseimbangan Umum Terapan. Mimbar Sosek, 14(1): 33-50. Susilowati, S.H. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syafa’at, N., S. Mardianto, dan P. Simatupang. 2003. Dinamika Indikator Ekonomi Makro Sektor Pertanian dan Kesejahteraan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian, 1 (1): 62-73. Syafa’at, N., S. Friyatno, A. Zulham, A. Djauhari dan M. Suryadi. 2004. Analisis Kinerja Pembangunan Pertanian Periode Tahun 2000-2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
228 Tambunan, M. dan S.H. Priyanto. 2005. Perubahan Struktur Ekonomi dan Peranan Agroindustri dalam Proses Industrialisasi Pertanian di Indonesia. Dalam Soesastro et al. (editor), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir. Kerjasama Kanisius dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta. Tambunan, T.T.H. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Ghalia Indonesia, Jakarta. _______________ 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta. Taufikurahman, M.R. 2004. Dampak Peningkatan Produktivitas Pangan terhadap Kinerja Sektoral dan Ekonomi Makro Indonesia: Analisis Ekonomi Keseimbangan Umum. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Thorbecke, E. 1985. The Social Accounting Matrix and Consistency – Type Planning Model. In A World Bank Symposium Social Accounting Matrix. The World Bank, Washington D.C. Thorbecke, E. and T.V.D. Pluijm. 1993. Rural Indonesia: Socioeconomic Development in a Changing Environtment. IFAD. New York University Press, New York. Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Erlangga, Jakarta. Warr, P.O. 1998. WAYANG, An Empirically-Based Applied General Equilibrium Model of The Indonesian Economy. Department of Economics, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, Canberra. Weisdorf, J.L. 2006. From Domestic Manufacture to Industrial Revolution: Long Run Growth and Agricultural Development. Oxford Economic Paper, 58: 264-287. Whiteford, P. 1985. A Family’s Needs: Equivalence Scales, Poverty and Social Security. In National Centre for Social and Economic Modelling, 2003. Does The Way We Measure Poverty Matter? Discussion Paper (59), November 2003. University of Canberra, Canberra. Wittwer, G. 1999. WAYANG: a General Equilibrium Model Adapted for the Indonesian Economy. Edition Prepared for ACIAR Project no 9449. CIES University of Adelaide (in association with RSPAS, ANU, CASER Bogor, and CSIS Jakarta), Australia. Wobst, P. 2001. Structural Adjustment and Intersectoral Shift in Tanzania: A Computable General Equilibrium Analysis. Research Report 117. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C.
229 Yeah, K.L., J.F. Yanogida and H. Yamauchi. 1994. Evaluation of External Market Effects and Government Intervention in Malaysia’s Agricultural Sector: A Computable General Equilibrium Framework. Journal of Agricultural Economic Research, 11(2): 237-256. Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yudhoyono, S.B. dan Harniati. 2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia: Mengapa Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi? Brighten Press, Bogor. Yusdja, Y., E. Basuno, M. Ariani dan T.B. Purwantini. 2003. Kebijakan Sistem Usaha Pertanian dan Program Kemiskinan dalam Mendukung Pengentasan Kemiskinan Petani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
231
Lampiran 1. Pangsa Input Antara Sektor Ekonomi yang Diteliti (%) 1 7.79 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.19 0.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2 0.00 2.25 0.00 0.24 0.00 4.83 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08 0.52 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
3 0.00 0.00 5.34 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.70 2.18 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4 0.00 0.00 0.00 0.60 0.00 1.21 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.15 1.43 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
5 0.00 0.01 0.00 0.00 1.50 0.02 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 2.12 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
6 0.00 1.07 0.00 0.43 0.00 2.98 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.12 0.99 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sektor Ekonomi 7 8 9 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 14.70 0.00 0.00 0.00 4.84 0.00 0.00 0.00 1.71 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.85 0.31 3.89 0.05 0.00 0.07 0.03 0.02 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.62 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10.06 0.49 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.35 0.00 0.00 0.00 0.00 0.15 5.17 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
12 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.72 0.00 0.00 0.00 1.00 0.61 0.07 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.08 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
14 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.15 1.82 0.60 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.14 1.32 0.67 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
231
Sektor Ekonomi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
232
Lampiran 1. Lanjutan (%) Sektor Ekonomi 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
1 0.00 0.00 0.00 3.72 0.00 0.02 0.00 0.06 0.54 0.19 0.14 0.00 0.29
2 0.00 0.00 0.00 0.46 0.00 0.01 0.00 0.01 1.30 0.23 0.01 0.00 0.07
3 0.00 0.00 0.00 3.13 0.00 0.03 0.00 0.09 1.37 1.50 0.13 0.00 0.32
4 0.00 0.00 0.00 0.86 0.00 0.02 0.00 0.01 1.64 0.05 0.02 0.00 0.23
5 0.00 0.00 0.02 0.92 0.00 0.05 0.00 0.02 3.55 0.06 0.01 0.00 0.07
6 0.00 0.00 0.00 0.67 0.00 0.02 0.00 0.01 1.51 0.14 0.02 0.00 0.15
Sektor Ekonomi 7 8 9 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 2.87 10.40 6.09 0.00 0.00 0.02 2.98 0.69 0.43 0.01 0.00 0.01 0.43 2.55 0.73 1.56 2.25 1.48 0.45 0.53 0.32 0.17 1.06 0.16 0.00 0.00 0.00 1.77 1.86 2.77
10 0.00 0.00 0.00 8.47 0.02 0.80 0.01 0.79 1.30 0.40 0.41 0.00 8.55
11 0.00 0.09 0.20 28.92 0.05 1.88 0.04 0.47 5.81 0.46 0.08 0.00 2.98
12 0.00 0.00 0.02 21.37 0.01 0.76 0.02 0.77 4.55 0.27 0.19 0.00 1.06
13 0.00 0.00 0.21 8.78 0.00 0.59 0.04 0.90 1.90 0.38 0.18 0.00 0.98
14 0.00 0.00 0.04 13.10 0.00 0.25 0.00 0.90 1.85 0.37 0.27 0.00 0.89
15 0.00 0.00 0.03 11.89 0.01 0.29 0.01 0.64 1.78 0.29 0.27 0.00 0.74
Sumber: Diolah dari Tabel I-O tahun 2003 (BPS, 2004) Keterangan Sektor Ekonomi:
232
1 = padi; 2 = kedelai; 3 = jagung; 4 = ubi kayu; 5 = sayur-sayuran dan buah-buahan; 6 = tanaman bahan makanan lainnya; 7 = karet; 8 = tebu; 9 = kelapa; 10 = kelapa sawit; 11 = tembakau; 12 = kopi; 13 = teh; 14 = kakao; 15 = tanaman perkebunan lainnya; 16 = tanaman lainnya; 17 = peternakan; 18 = kehutanan; 19 = perikanan; 20 = pertambangan; 21 = industri pengolahan hasil peternakan; 22 = industri pengolahan hasil perikanan; 23 = industri minyak dan lemak; 24 = beras (industri penggilingan padi); 25 = industri tepung segala jenis; 26 = industri gula; 27 = industri rokok; 28 = industri bambu, kayu dan rotan; 29 = industri pupuk dan pestisida; 30 = industri pengolahan karet; 31 = industri lainnya; 32 = listrik, gas dan air bersih; 33 = bangunan; 34 = perdagangan, hotel dan restoran; 35 = jasa transportasi; 36 = lembaga keuangan; 37 = pemerintahan umum dan pertahanan; 38 = jasa lainnya.
233
Lampiran 1. Lanjutan (%) Sektor Ekonomi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
16 4.95 0.04 0.83 0.02 0.00 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.12 6.82 0.02 0.01 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00
17 1.99 0.14 0.64 0.07 0.08 0.42 0.00 0.08 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.40 17.20 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.02 0.39 0.00
18 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.49 0.00 0.57 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
19 0.00 0.00 0.13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.94 0.04 0.04 3.42 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08 0.00
20 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 8.83 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
21 0.00 0.36 0.00 0.01 0.43 0.72 0.00 0.00 0.09 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9.02 0.00 19.11 0.00 2.28 5.98 0.19 0.00 0.65
Sektor Ekonomi 22 23 24 0.00 0.00 80.15 0.36 0.07 0.08 0.00 0.38 0.05 0.01 0.00 0.00 0.43 0.00 0.00 0.72 0.14 0.15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.09 5.53 0.00 0.11 27.92 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.17 9.02 0.78 0.00 0.00 0.00 0.00 19.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.28 0.01 0.00 5.98 0.03 0.00 0.19 14.06 0.00 0.00 0.00 1.15 0.65 0.00 0.03
25 0.08 1.76 2.22 0.06 0.02 8.45 0.00 0.00 0.28 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.52 0.00 0.07 0.00 0.21 0.54 0.51 0.43 31.22
26 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 54.83 1.27 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.04 0.01 0.00 0.00 0.00 0.34 0.00 0.00 0.00 0.00 4.47
27 0.00 0.01 0.01 0.00 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 4.82 0.00 0.00 0.45 5.22 0.07 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01
28 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.30 0.01 0.09 16.46 0.00 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 1.07
29 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15.67 0.00 0.00 0.00 0.00 1.71
30 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.61 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.26 1.66 4.18 0.01 0.02 0.89 0.01 0.02 0.00 0.00 0.12 0.00 0.01
233
234
Lampiran 1. Lanjutan (%) Sektor Ekonomi 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
16 0.00 0.00 0.01 1.13 0.07 2.45 0.05 0.19 2.45 0.22 0.02 0.00 4.71
17 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 20.63 0.06 0.03 6.13 1.73 0.09 0.00 0.19
18 0.00 0.00 0.00 0.04 0.00 1.54 0.06 1.65 1.12 0.50 0.38 0.00 8.93
19 0.00 0.00 0.04 0.06 0.03 7.67 0.02 0.12 4.16 0.56 0.63 0.00 0.35
20 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 3.85 0.03 2.36 0.82 2.21 0.22 0.03 0.44
21 0.19 0.00 0.00 0.00 0.02 2.69 0.29 0.13 22.74 5.16 0.82 0.00 0.13
Sektor Ekonomi 22 23 24 0.19 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.77 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.00 2.69 1.50 0.03 0.29 0.10 0.01 0.13 0.09 0.00 22.74 4.34 2.16 5.16 4.36 0.70 0.82 0.43 0.02 0.00 0.00 0.00 0.13 0.11 0.00
25 0.34 0.00 0.00 0.00 0.02 2.08 0.18 0.06 8.62 7.60 0.49 0.00 0.24
26 0.72 0.00 0.00 0.01 0.15 1.84 0.03 0.14 8.08 0.80 0.25 0.00 0.08
27 0.00 6.68 0.00 3.00 0.46 7.21 0.19 0.07 7.87 1.27 1.09 0.00 0.19
28 0.00 0.00 14.73 0.23 0.12 7.31 0.94 0.29 10.54 2.27 1.56 0.00 0.10
29 0.00 0.00 0.19 0.66 0.11 31.92 0.75 1.39 2.12 11.54 1.21 0.00 3.05
30 0.00 0.00 0.04 2.99 11.87 31.93 1.56 0.25 6.08 1.69 0.21 0.00 0.15
Sumber: Diolah dari Tabel I-O tahun 2003 (BPS, 2004) Keterangan Sektor Ekonomi:
234
1 = padi; 2 = kedelai; 3 = jagung; 4 = ubi kayu; 5 = sayur-sayuran dan buah-buahan; 6 = tanaman bahan makanan lainnya; 7 = karet; 8 = tebu; 9 = kelapa; 10 = kelapa sawit; 11 = tembakau; 12 = kopi; 13 = teh; 14 = kakao; 15 = tanaman perkebunan lainnya; 16 = tanaman lainnya; 17 = peternakan; 18 = kehutanan; 19 = perikanan; 20 = pertambangan; 21 = industri pengolahan hasil peternakan; 22 = industri pengolahan hasil perikanan; 23 = industri minyak dan lemak; 24 = beras (industri penggilingan padi); 25 = industri tepung segala jenis; 26 = industri gula; 27 = industri rokok; 28 = industri bambu, kayu dan rotan; 29 = industri pupuk dan pestisida; 30 = industri pengolahan karet; 31 = industri lainnya; 32 = listrik, gas dan air bersih; 33 = bangunan; 34 = perdagangan, hotel dan restoran; 35 = jasa transportasi; 36 = lembaga keuangan; 37 = pemerintahan umum dan pertahanan; 38 = jasa lainnya.
235
Lampiran 1. Lanjutan (%) Sektor Ekonomi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
31 0.04 0.18 0.97 0.01 0.04 0.37 0.97 0.00 0.01 0.08 0.00 0.03 0.01 0.11 0.69 0.46 0.33 0.48 0.10 6.74 0.04 0.11 0.10 0.15 0.76
32 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 42.71 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
33 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 1.05 0.02 2.22 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sektor Ekonomi 34 35 0.01 0.00 0.18 0.04 0.05 0.00 0.12 0.04 0.47 0.00 0.58 0.15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 3.06 0.49 0.00 0.00 0.39 0.07 0.00 0.07 0.16 0.80 0.43 2.09 0.10 0.00 1.25 0.78 0.85 0.69
36 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
37 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
38 0.14 0.09 0.05 0.04 0.25 0.25 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.22 0.60 0.06 0.05 0.02 0.02 0.04 0.01 0.28 0.20
235
236
Lampiran 1. Lanjutan (%) Sektor Ekonomi 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
31 0.10 0.00 0.13 0.59 1.00 30.84 1.54 0.74 5.17 5.24 1.76 0.00 0.47
32 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10.05 14.28 1.77 3.68 0.71 0.41 0.00 0.18
33 0.00 0.00 2.36 0.05 0.49 30.55 0.15 3.16 7.91 1.44 3.15 0.17 4.72
Sektor Ekonomi 34 35 36 0.10 0.08 0.00 0.18 0.14 0.00 0.15 0.01 0.00 0.04 0.02 0.00 1.29 1.16 0.00 9.07 21.68 2.16 1.37 0.31 0.60 5.84 5.13 5.52 9.32 11.93 2.10 1.96 9.69 1.43 2.82 3.49 12.53 0.01 0.11 0.25 2.08 4.31 2.84
37 0.00 0.00 0.03 0.22 0.15 10.17 1.23 5.16 13.76 5.19 1.92 0.00 1.35
38 0.02 0.00 0.02 0.09 0.26 10.89 1.01 4.43 4.92 2.77 1.22 0.02 15.14
Sumber: Diolah dari Tabel I-O tahun 2003 (BPS, 2004) Keterangan Sektor Ekonomi:
236
1 = padi; 2 = kedelai; 3 = jagung; 4 = ubi kayu; 5 = sayur-sayuran dan buah-buahan; 6 = tanaman bahan makanan lainnya; 7 = karet; 8 = tebu; 9 = kelapa; 10 = kelapa sawit; 11 = tembakau; 12 = kopi; 13 = teh; 14 = kakao; 15 = tanaman perkebunan lainnya; 16 = tanaman lainnya; 17 = peternakan; 18 = kehutanan; 19 = perikanan; 20 = pertambangan; 21 = industri pengolahan hasil peternakan; 22 = industri pengolahan hasil perikanan; 23 = industri minyak dan lemak; 24 = beras (industri penggilingan padi); 25 = industri tepung segala jenis; 26 = industri gula; 27 = industri rokok; 28 = industri bambu, kayu dan rotan; 29 = industri pupuk dan pestisida; 30 = industri pengolahan karet; 31 = industri lainnya; 32 = listrik, gas dan air bersih; 33 = bangunan; 34 = perdagangan, hotel dan restoran; 35 = jasa transportasi; 36 = lembaga keuangan; 37 = pemerintahan umum dan pertahanan; 38 = jasa lainnya.
237 Lampiran 2. Input File Tablo dalam Penelitian !-----------------------------------------------------------------------------------------------! ! TABLO Input file for the agroindustri indonesia model July 11: 38 sectors ! !-----------------------------------------------------------------------------------------------! ! Excerpt 1 of TABLO input file: ! ! Definitions of sets ! File MDATA # Data file #; Set COM # Commodities # (Padi, Kedelai, Jagung, UbiKayu, SayurBuah, PanganLain, Karet, Tebu, Kelapa, Sawit, Tembakau, Kopi, Teh, Kakao, KebunLain, TanLain, Ternak, HslHutan, Perikanan, Tambang, OlahTernak, OlahIkan, MnykLemak, Beras, Tepung, Gula, Rokok, BmbKaRtn, PupukPest, OlahKaret, IndustriLain, ListGasAir, Bangunan, DgRestHtl, JasaTransp, LembKeu, JsPemerintah, JasaLain); Set SRC # Source of Commodities # (dom,imp); !s! Set IND # Industries # !i! (Padi, Kedelai, Jagung, UbiKayu, SayurBuah, PanganLain, Karet, Tebu, Kelapa, Sawit, Tembakau, Kopi, Teh, Kakao, KebunLain, TanLain, Ternak, HslHutan, Perikanan, Tambang, OlahTernak, OlahIkan, MnykLemak, Beras, Tepung, Gula, Rokok, BmbKaRtn, PupukPest, OlahKaret, IndustriLain, ListGasAir, Bangunan, DgRestHtl, JasaTransp, LembKeu, JsPemerintah, JasaLain); OCC # Occupation types #
(skil,unskil);
!o!
Set MAR # Margin Commodities # (DgRestHtl); ! m ! Subset MAR is subset of COM; Set NONMAR # Non-margin commodities # = COM - MAR;
!n!
Set TRADEXP # Traditional export commodities # (Padi, Kedelai, Jagung, UbiKayu, SayurBuah, PanganLain, Karet, Tebu, Kelapa, Sawit, Tembakau, Kopi, Teh, Kakao, KebunLain, TanLain, Ternak, HslHutan, Perikanan, Tambang, OlahTernak, OlahIkan, MnykLemak, Beras, Tepung, Gula, Rokok); Subset TRADEXP is subset of COM; Set NTRADEXP # Nontraditional Export Commodities # =COM-TRADEXP; Set EXOGINV # 'exogenous' industries # (Tambang, Bangunan, JasaLain); Subset EXOGINV is Subset of IND; !Set ENDOGINV # IND - EXOGINV #! Set ENDOGINV # 'endogenous' investment industries # =IND-EXOGINV; SET HH #household types# (rural1-rural5, urban1-urban3); SET AGRIFAC # Agricultural factors #(unskil,varcap,land,fert) ; SET N_AGRIFAC # Non-agricultural factors # (labcomp, fixcap, varcap); SET FACNF # All factors except fertiliser # (skil,unskil,fixcap,varcap,land);
238 Lampiran 2. Lanjutan SET KAP # Types of capital #(fixcap,varcap ) ; SET AGFACNF #Agri. factors excluding fertiliser# (unskil,varcap,land); SET AGIND # agriculture # (Padi, Kedelai, Jagung, UbiKayu, SayurBuah, PanganLain, Karet, Tebu, Kelapa, Sawit, Tembakau, Kopi, Teh, Kakao, KebunLain, TanLain, Ternak, HslHutan, Perikanan); SET FERTIL (PupukPest); SUBSET AGFACNF IS SUBSET OF AGRIFAC; AGFACNF IS SUBSET OF FACNF; KAP IS SUBSET OF FACNF; OCC IS SUBSET OF FACNF; AGIND IS SUBSET OF IND; FERTIL IS SUBSET OF COM; KAP IS SUBSET OF N_AGRIFAC; SET N_AGIND = IND - AGIND; SET NONFERT = COM - FERTIL; ! Excerpt 2 of TABLO input file: ! ! Variables relating to commodity flows ! Variable ! Basic Demands for commodities (excluding margin demands) ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) x1(c,s,i) # Intermediate basic demands #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) x2(c,s,i) # Investment basic demands #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) x3(c,s,h) # Household basic demands #; (all,c,COM) x4(c) # Export basic demands #; (all,c,COM)(all,s,SRC) x5(c,s) # Government basic demands #; (change) (all,c,COM)(all,s,SRC) delx6(c,s) # Inventories demands #; (all,c,COM)(all,s,SRC) p0(c,s)
# Basic prices by commodity and source #;
! Technical or Taste Change Variables affecting Basic Demands ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) a1(c,s,i) # Intermediate basic tech change #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) a2(c,s,i) # Investment basic tech change #; (all,c,COM)(all,s,SRC) a3(c,s) # Household basic taste change #; (all,c,COM)(all,s,SRC) f5(c,s) # Government demand shift #; ! Margin Usage on Basic Flows ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) x1mar(c,s,i,m)# Intermediate margin demands #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) x2mar(c,s,i,m)# Investment margin demands #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR)(all,h,HH) x3mar(c,s,m,h) # Household margin demands #; (all,c,COM)(all,m,MAR) x4mar(c,m) # Export margin demands #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) x5mar(c,s,m) # Government margin demands #; ! Technical Change in Margins Usage ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) a1mar(c,s,i,m) # Intermediate margin tech change #;
239 Lampiran 2. Lanjutan (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) a2mar(c,s,i,m) # Investment margin tech change #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) a3mar(c,s,m) # Household margin tech change #; (all,c,COM)(all,m,MAR) a4mar(c,m) # Export margin tech change #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) a5mar(c,s,m) # Governmnt margin tech change #; ! Powers of Commodity Taxes on Basic Flows ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) t1(c,s,i) # Power of tax on intermediate #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) t2(c,s,i) # Power of tax on investment #; (all,c,COM)(all,s,SRC) t3(c,s) # Power of tax on household #; (all,c,COM) t4(c) # Power of tax on export #; (all,c,COM)(all,s,SRC) t5(c,s) # Power of tax on government #; ! Purchaser's Prices (including margins and taxes) ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) p1(c,s,i)# Purchaser's price, intermediate #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) p2(c,s,i)# Purchaser's price, investment #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) p3(c,s,h) # Purchaser's price, household #; (all,c,COM) p4(c) # Purchaser's price, exports rupiah#; (all,c,COM)(all,s,SRC) p5(c,s) # Purchaser's price, government #; ! Excerpt 3 of TABLO input file: ! ! Variables for primary-factor flows, commodity supplies and import duties ! ! Variables relating to usage of labour, occupation o, in industry i ! (all,i,IND)(all,o,OCC) x1lab(i,o) # Employment by industry and occupation #; (all,i,IND)(all,o,OCC) p1lab(i,o) # Wages by industry and occupation #; !(all,i,IND) a1lab_o(i) # Labor augmenting technical change #; (all,i,IND)(all,o,OCC) f1lab(i,o) # Wage shift variable #;! ! Variables relating to usage of fixed capital in industry i ! (all,i,IND) x1cap(i) # Current capital stock #; (all,i,IND) p1cap(i) # Rental price of capital #; !(all,i,IND) a1cap(i) # Capital augmenting technical change #;! (All,i,IND) r1cap(i) # Current Rates of Return on Fixed Capital #; ! Variables relating to usage of land ! (all,i,AGIND) x1lnd(i) # Use of land #; (all,i,AGIND) p1lnd(i) # Rental price of land #; !(all,i,IND) a1lnd(i) # Land augmenting technical change #;! ! Variables relating to "Other Costs" ! (all,i,IND) x1oct(i) # Demand for "other cost" tickets #; (all,i,IND) p1oct(i) # Price of "other cost" tickets #; (all,i,IND) a1oct(i) # "other cost" ticket augmenting techncal change#; # Shift in price of "other cost" tickets #; (all,i,IND) f1oct(i) ! Variables relating to commodity supplies, import duties and stocks ! (all,c,COM)(all,i,IND) q1(c,i) # Output by commodity and industry #; (all,c,COM) t0imp(c) # Power of tariff #; (change) (all,c,COM)(all,s,SRC) fx6(c,s) # Shifter on rule for stocks #;
240 Lampiran 2. Lanjutan ! Excerpt 4 of TABLO input file: ! ! Variables describing composite commodities ! ! Demands for import/domestic commodity composites ! (all,c,COM)(all,i,IND) x1_s(c,i) # Intermediate use of imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,i,IND) x2_s(c,i) # Investment use of imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,h,HH) x3_s(c,h) # Household use of imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,h,HH) x3lux(c,h) # Household - supernumerary demands #; (all,c,COM)(all,h,HH) x3sub(c,h) # Household - subsistence demands #; ! Effective Prices of import/domestic commodity composites ! (all,c,COM)(all,i,IND) p1_s(c,i) # Price, intermediate imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,i,IND) p2_s(c,i) # Price, investment imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,h,HH) p3_s(c,h) # Price, household imp/dom composite #; ! Technical or Taste Change Variables for import/domestic composites ! (all,c,COM)(all,i,IND) a1_s(c,i) # Tech change, int'mdiate imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,i,IND) a2_s(c,i) # Tech change, investment imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,h,HH) a3_s(c,h) # Taste change, h'hold imp/dom composite #; (all,c,COM)(all,h,HH) a3lux(c,h) # Taste change, supernumerary demands #; (all,c,COM)(all,h,HH) a3sub(c,h) # Taste change, subsistence demands #; ! Excerpt 5 of TABLO input file: ! ! Miscellaneous vector variables ! Variable (all,i,IND) a1prim(i) # All factor augmenting technical change #; (all,i,IND) a1tot(i) # All input augmenting technical change #; (all,i,IND) a2tot(i) # Neutral technical change - investment #; (all,i,IND) employ(i) # Employment by industry #; (all,c,COM) f0tax_s(c) # General sales tax shifter #; (all,o,OCC) f1lab_i_x(o) # Skill-specific labour shifter #; !(all,i,IND) f1lab_o(i) # Industry-specific wage shifter #;! (all,c,COM) f4p(c) # Price (upward) shift in export demand schedule #; (all,c,COM) f4q(c) # Quantity (right) shift in export demands #; (All,c,COM) p0com(c) # Output price of locally-produced commodity #; (all,c,COM) p0dom(c) # Basic price of domestic goods = p0(c,"dom") #; (all,c,COM) p0imp(c) # Basic price of imported goods = p0(c,"imp") #; (all,i,IND) p1lab_o(i) # Price of labour composite #; (all,o,OCC) p1lab_i(o) # Price of labour for each skill #; (all,i,IND) p1prim(i) # Effective price of primary factor composite #; (all,i,IND) p1tot(i) # Average input/output price #; (all,i,IND) p2tot(i) # Cost of unit of capital #; (All,c,COM) pe(c) # Basic price of export commodity #; (all,c,COM) pf0cif(c) # C.I.F. foreign currency import prices #; (all,c,COM) x0com(c) # Output of commodities #; (all,c,COM) x0dom(c) # Output of commodities for local market #; (all,c,COM) x0imp(c) # Total supplies of imported goods #; (all,o,OCC) x1lab_i(o) # Employment by occupation #; (all,o,OCC)(all,h,HH) x1lab_i_h(o,h) # Household labour supply #; (all,i,IND) x1lab_o(i) # Effective labour input #; (all,i,IND) x1prim(i) # Primary factor composite #; (all,i,IND) x1tot(i) # Activity level or value-added #;
241 Lampiran 2. Lanjutan (all,i,IND) x2tot(i) (All,i,IND) f1ret(i)
# Investment by using industry #; # Rate of Return Shifter #;
! Excerpt 6 of TABLO input file: ! ! Scalar or macro variables ! Variable (change) delB # %(Balance of trade)/GDP #; !employ_i # Aggregate employment: wage bill weights #; f1lab_io # Overall wage shifter #;! f1tax_csi # Uniform % change in powers of taxes on intermediate usage #; f2tax_csi # Uniform % change in powers of taxes on investment #; f3tax_cs # Uniform % change in powers of taxes on household usage #; f3tot # Ratio, consumption/income #; (all,h,HH)f3tot_h(h)# Ratio, consumption/income by hh#; f4p_ntrad # Upward demand shift, non-traditional export aggregate #; f4q_ntrad # Right demand shift, non-traditional export aggregate #; f4tax_ntrad # Uniform % change in powers of taxes on nontradtnl exports #; f4tax_trad # Uniform % change in powers of taxes on tradtnl exports #; f5tax_cs # Uniform % change in powers of taxes on government usage #; f5tot # Overall shift term for government demands #; f5tot2 # Ratio between f5tot and x3tot #; p0cif_c # Imports price index, C.I.F., rupiah #; r1cap_i # Average Rate of Return #; p0gdpexp # GDP price index, expenditure side #; p0imp_c # Duty-paid imports price index, rupiah #; p0realdev # Real devaluation #; p0toft # Terms of trade #; p1cap_i # Average capital rental #; p1lab_io # Average nominal wage #; p2tot_i # Aggregate investment price index #; p3tot # Consumer price index #; p4_ntrad # Price, non-traditional export aggregate #; p4tot # Exports price index #; p5tot # Government price index #; p6tot # Inventories price index #; phi # Exchange rate, rupiah/$world #; (all,h,HH)q(h) # Number of households #; realwage # Average real wage #; (all,h,HH)utility(h) # Utility per household #; w0cif_c # C.I.F. rupiah value of imports #; w0gdpexp # Nominal GDP from expenditure side #; w0gdpinc # Nominal GDP from income side #; w0imp_c # Value of imports plus duty #; w0tar_c # Aggregate tariff revenue #; w0tax_csi # Aggregate revenue from all indirect taxes #; w1cap_i # Aggregate payments to capital #; w1lab_io # Aggregate payments to labour #; w1lnd_i # Aggregate payments to land #; w1oct_i # Aggregate "other cost" ticket payments #; w1tax_csi # Aggregate revenue from indirect taxes on intermediate #;
242 Lampiran 2. Lanjutan w2tax_csi # Aggregate revenue from indirect taxes on investment #; w2tot_i # Aggregate nominal investment #; (all,h,HH)w3lux(h)# Total nominal supernumerary household expenditure #; w3tax_cs # Aggregate revenue from indirect taxes on households #; (all,h,HH)w3tot_hh(h)# Nominal total consumption, each household #; (all,h,HH)x3tot_hh(h)# Nominal total consumption, each household #; (all,h,HH)p3tot_hh(h)# Nominal total consumption, each household #; w3tot # Nominal total household consumption #; w4tax_c # Aggregate revenue from indirect taxes on export #; w4tot # rupiah border value of exports #; w5tax_cs # Aggregate revenue from indirect taxes on government #; w5tot # Aggregate nominal value of government demands #; w6tot # Aggregate nominal value of inventories #; x0cif_c # Import volume index, C.I.F. weights #; x0gdpexp # Real GDP from expenditure side #; x0imp_c # Import volume index, duty-paid weights #; x1cap_i # Aggregate capital stock, rental weights #; x1prim_i # Aggregate output: value-added weights #; x2tot_i # Aggregate real investment expenditure #; x3tot # Real household consumption #; x4_ntrad # Quantity, non-traditional export aggregate #; x4tot # Export volume index #; x5tot # Aggregate real government demands #; x6tot # Aggregate real inventories #; (Change) delFudge # "Fudge Factor": set to Unity for dynamic simulation #; (All,i,IND) f_accum(i) # Capital Accumulation Shifter #; (Change) delUnity # dummy variable, always exogenously set to one #; ! Excerpt 7 of TABLO input file: ! ! Data coefficients relating to basic commodity flows ! Coefficient ! Basic Flows of Commodities! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V1BAS(c,s,i) # Intermediate basic flows #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2BAS(c,s,i) # Investment basic flows #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3BAS(c,s,h) # Household basic flows #; (all,c,COM) V4BAS(c) # Export basic flows #; (all,c,COM)(all,s,SRC) V5BAS(c,s) # Government basic flows #; (all,c,COM)(all,s,SRC) V6BAS(c,s) # Inventories basic flows #; Read V1BAS from file MDATA header "1BAS"; V2BAS from file MDATA header "2BAS"; V3BAS from file MDATA header "3BAS"; V4BAS from file MDATA header "4BAS"; V5BAS from file MDATA header "5BAS"; V6BAS from file MDATA header "6BAS"; Update (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V1BAS(c,s,i) = p0(c,s)*x1(c,s,i); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2BAS(c,s,i) = p0(c,s)*x2(c,s,i); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3BAS(c,s,h) = p0(c,s)*x3(c,s,h); (all,c,COM) V4BAS(c) = pe(c)*x4(c); (all,c,COM)(all,s,SRC) V5BAS(c,s) = p0(c,s)*x5(c,s);
243 Lampiran 2. Lanjutan Coefficient (all,c,COM)(all,s,SRC) LEVP0(c,s) # Levels basic prices #; Formula (Initial) (all,c,COM)(all,s,SRC) LEVP0(c,s) = 1; ! arbitrary setting ! Update (all,c,COM)(all,s,SRC) LEVP0(c,s) = p0(c,s); (change) (all,c,COM)(all,s,SRC) V6BAS(c,s) = V6BAS(c,s)*p0(c,s)/100 + LEVP0(c,s)*delx6(c,s); Coefficient ! Margin Flows! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) V1MAR(c,s,i,m) # Intermediate margins #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) V2MAR(c,s,i,m) # Investment margins #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR)(all,h,HH) V3MAR(c,s,m,h) # Households margins #; (all,c,COM)(all,m,MAR) V4MAR(c,m) # Export margins #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) V5MAR(c,s,m) # Government margins #; Read V1MAR from file MDATA header "1MAR"; V2MAR from file MDATA header "2MAR"; V3MAR from file MDATA header "3MAR"; V4MAR from file MDATA header "4MAR"; V5MAR from file MDATA header "5MAR"; Update (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) V1MAR(c,s,i,m) = p0dom(m)*x1mar(c,s,i,m); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) V2MAR(c,s,i,m) = p0dom(m)*x2mar(c,s,i,m); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR)(all,h,HH) V3MAR(c,s,m,h) = p0dom(m)*x3mar(c,s,m,h); (all,c,COM)(all,m,MAR) V4MAR(c,m) = p0dom(m)*x4mar(c,m); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) V5MAR(c,s,m) = p0dom(m)*x5mar(c,s,m); ! Excerpt 8 of TABLO input file: ! ! Data coefficients relating to commodity taxes ! Coefficient ! Taxes on Basic Flows! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V1TAX(c,s,i) # Taxes on intermediate #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2TAX(c,s,i) # Taxes on investment #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3TAX(c,s,h) # Taxes on households #; (all,c,COM) V4TAX(c) # Taxes on export #; (all,c,COM)(all,s,SRC) V5TAX(c,s) # Taxes on government #; Read V1TAX from file MDATA header "1TAX"; V2TAX from file MDATA header "2TAX"; V3TAX from file MDATA header "3TAX"; V4TAX from file MDATA header "4TAX"; V5TAX from file MDATA header "5TAX"; Update (change) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)
244 Lampiran 2. Lanjutan V1TAX(c,s,i) = V1TAX(c,s,i)* [x1(c,s,i) + p0(c,s)]/100 + [V1BAS(c,s,i)+V1TAX(c,s,i)]*t1(c,s,i)/100; Update (change) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2TAX(c,s,i) = V2TAX(c,s,i)* [x2(c,s,i) + p0(c,s)]/100 + [V2BAS(c,s,i)+V2TAX(c,s,i)]*t2(c,s,i)/100; Update (change) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3TAX(c,s,h) = V3TAX(c,s,h)* [x3(c,s,h) + p0(c,s)]/100 + [V3BAS(c,s,h)+V3TAX(c,s,h)]*t3(c,s)/100; Update (change) (all,c,COM) V4TAX(c) = V4TAX(c)* [x4(c) + pe(c)]/100 + [V4BAS(c)+V4TAX(c)]*t4(c)/100; Update (change) (all,c,COM)(all,s,SRC) V5TAX(c,s) = V5TAX(c,s)*[x5(c,s) + p0(c,s)]/100 + [V5BAS(c,s)+V5TAX(c,s)]*t5(c,s)/100; ! Excerpt 9 of TABLO input file: ! ! Data coefficients relating to primary-factor flows ! Coefficient ! Primary Factor and Other Industry costs! (all,k,KAP)(all,i,N_AGIND) V1CAPN(k,i) # Capital rentals by mobility #; (all,i,AGIND) V1CAPA (i) # Capital rentals, agri. #; (all,i,IND) V1CAP(i) # Capital rentals #; (all,i,IND)(all,o,OCC) V1LAB(i,o) # Wage bill matrix #; (all,i,IND) V1LND(i) # Land rentals #; (all,i,IND) V1OCT(i) # Other cost tickets #; Read V1CAPN from file MDATA header "1CAP"; V1CAPA from file MDATA header "1CAG"; V1LAB from file MDATA header "1LAB"; V1LND from file MDATA header "1LND"; V1OCT from file MDATA header "1OCT"; Update !(all,i,IND) V1CAP(i) = p1cap(i)*x1cap(i);! (all,i,IND)(all,o,OCC) V1LAB(i,o) = p1lab(i,o)*x1lab(i,o); (all,i,AGIND) V1LND(i) = p1lnd(i)*x1lnd(i); (all,i,IND) V1OCT(i) = p1oct(i)*x1oct(i); ! Excerpt 10 of TABLO input file: ! ! Data coefficients relating to commodity outputs and import duties ! Coefficient (all,c,COM)(all,i,IND) MAKE(c,i) # Multiproduction matrix #; Read MAKE from file MDATA header "MAKE"; Update (all,c,COM)(all,i,IND) MAKE(c,i)= p0com(c)*q1(c,i); Coefficient (all,c,COM) V0TAR(c) # Tariff revenue #; Read V0TAR from file MDATA header "0TAR"; Coefficient (all,c,COM) V0IMP(c) # Total basic-value imports of good c #; ! V0IMP(c) is needed to update V0TAR: it is declared now and defined later ! Update (change) (all,c,COM) V0TAR(c) = V0TAR(c)*[x0imp(c)+pf0cif(c)+phi]/100 + V0IMP(c)*t0imp(c)/100;
245 Lampiran 2. Lanjutan ! Excerpt 11 of TABLO input file: ! ! Aggregates and shares of flows at purchasers' prices ! Coefficient ! Flows at Purchasers prices ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V1PUR(c,s,i) # Intermediate purch. value #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2PUR(c,s,i) # Investment purch. value #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3PUR(c,s,h) # Households purch. value #; (all,c,COM) V4PUR(c) # Export purch. value #; (all,c,COM)(all,s,SRC) V5PUR(c,s) # Government purch. value #; Formula (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V1PUR(c,s,i) = V1BAS(c,s,i) + V1TAX(c,s,i) + sum{m,MAR, V1MAR(c,s,i,m) }; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) V2PUR(c,s,i) = V2BAS(c,s,i) + V2TAX(c,s,i) + sum{m,MAR, V2MAR(c,s,i,m) }; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) V3PUR(c,s,h) = V3BAS(c,s,h) + V3TAX(c,s,h) + sum{m,MAR,V3MAR(c,s,m,h) }; (all,c,COM) V4PUR(c) = V4BAS(c) + V4TAX(c) + sum{m,MAR, V4MAR(c,m) }; (all,c,COM)(all,s,SRC) V5PUR(c,s) = V5BAS(c,s) + V5TAX(c,s) + sum{m,MAR, V5MAR(c,s,m) }; Coefficient ! Flows at Purchaser's prices: Domestic + Imported Totals ! (all,c,COM)(all,i,IND) V1PUR_S(c,i) # Dom+imp intermediate purch. value #; (all,c,COM)(all,i,IND) V2PUR_S(c,i) # Dom+imp investment purch. value #; (all,c,COM) V1PUR_SI(c) # Dom+imp intermediate purch. value #; (all,c,COM) V2PUR_SI(c) # Dom+imp investment purch. value #; (all,c,COM)(all,h,HH) V3PUR_S(c,h) # Dom+imp households purch. value #; Formula (all,c,COM)(all,i,IND) V1PUR_S(c,i) = sum{s,SRC, V1PUR(c,s,i) }; (all,c,COM)(all,i,IND) V2PUR_S(c,i) = sum{s,SRC, V2PUR(c,s,i) }; (all,c,COM) V1PUR_SI(c) = sum{i,IND, V1PUR_S(c,i) }; (all,c,COM) V2PUR_SI(c) = sum{i,IND, V2PUR_S(c,i) }; (all,c,COM)(all,h,HH) V3PUR_S(c,h) = sum{s,SRC,V3PUR(c,s,h)}; Coefficient ! Source Shares in Flows at Purchaser's prices ! (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) S1(c,s,i) # Intermediate source shares #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) S2(c,s,i) # source shares #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) S3(c,s,h) # Households source shares #; Zerodivide Default 0.5; Zerodivide (nonzero_by_zero)Default 0.5; Formula (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) S1(c,s,i) = V1PUR(c,s,i) / V1PUR_S(c,i); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) S2(c,s,i) = V2PUR(c,s,i) / V2PUR_S(c,i); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) S3(c,s,h) = V3PUR(c,s,h)/V3PUR_S(c,h); Zerodivide Off; ! Excerpt 12 of TABLO input file: ! ! Cost and usage aggregates !
246 Lampiran 2. Lanjutan Coefficient ! Industry-Specific Cost Totals ! (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)V1FAC(f,i)# Total factor input to ind. i, agri.#; (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)V1FACO(f,i) # Total factor input non-agri. #; (all,i,IND) V1LAB_O(i) # Total labour bill in industry i #; (all,i,IND) V1PRIM(i) # Total factor input to industry i#; (all,i,IND) V1TOT(i) # Total cost of industry i #; (all,i,IND) V2TOT(i) # Total capital created for industry i #; (all,o,OCC) V1LAB_I(o) # Total wages, occupation o #; Formula (all,i,IND) V1LAB_O(i) = sum{o,OCC, V1LAB(i,o) }; (all,i,AGIND) V1CAP(i) = V1CAPA(i); (all,i,AGIND) V1FAC("unskil",i) = V1LAB_O(i); (all,i,AGIND) V1FAC("varcap",i) = V1CAPA(i); (all,i,AGIND) V1FAC("fert",i) =V1PUR_S("PupukPest",i); (all,i,AGIND) V1FAC("land",i) =V1LND(i); (all,i,N_AGIND)V1CAP(i) = sum{k,KAP,V1CAPN(k,i) }; (all,k,KAP)(all,i,N_AGIND) V1FACO(k,i) = V1CAPN(k,i); (all,i,N_AGIND) V1FACO("labcomp",i) =V1LAB_O(i); (all,i,AGIND) V1PRIM(i) = sum{f,AGRIFAC,V1FAC(f,i)}; (all,i,N_AGIND) V1PRIM(i) = sum{f,N_AGRIFAC,V1FACO(f,i)}; (all,i,AGIND)V1TOT(i) = V1PRIM(i) + V1OCT(i) + sum{c,NONFERT,V1PUR_S(c,i) }; (all,i,N_AGIND)V1TOT(i) = V1PRIM(i) + V1OCT(i) + sum{c,COM, V1PUR_S(c,i) }; (all,i,IND) V2TOT(i) = sum{c,COM, V2PUR_S(c,i) }; (all,o,OCC) V1LAB_I(o) = sum{i,IND, V1LAB(i,o) }; Coefficient (all,c,COM) MARSALES(c) # Total usage for margins purposes #; Formula (all,m,MAR) MARSALES(m) = sum{c,COM, V4MAR(c,m) + sum{s,SRC,sum{h,HH,V3MAR(c,s,m,h)} + V5MAR(c,s,m) + sum{i,IND, V1MAR(c,s,i,m) + V2MAR(c,s,i,m) }}}; Formula (all,n,NONMAR) MARSALES(n) = 0.0; Coefficient (all,c,COM) DOMSALES(c) # Total sales to local market #; Formula (all,c,COM) DOMSALES(c) = sum{i,IND, V1BAS(c,"dom",i) + V2BAS(c,"dom",i) } + sum(h,HH,V3BAS(c,"dom",h)) + V5BAS(c,"dom") + V6BAS(c,"dom") +MARSALES(c); Coefficient (all,c,COM) SALES(c) # Total sales of domestic commodities #; Formula (all,c,COM) SALES(c) = DOMSALES(c) + V4BAS(c); ! Coefficient (all,c,COM) V0IMP(c) # Total basic-value imports of good c #; ! ! above had to be declared prior to V0TAR update statement! Formula (all,c,COM) V0IMP(c) = sum{i,IND, V1BAS(c,"imp",i) + V2BAS(c,"imp",i) } + sum(h,HH,V3BAS(c,"imp",h)) + V5BAS(c,"imp") + V6BAS(c,"imp"); Coefficient (all,c,COM) V0CIF(c) # Total ex-duty imports of good c #; Formula (all,c,COM) V0CIF(c) = V0IMP(c) - V0TAR(c);
247 Lampiran 2. Lanjutan ! Excerpt 13 of TABLO input file: ! ! Income-Side Components of GDP ! Coefficient ! Total indirect tax revenues ! V1TAX_CSI # Total intermediate tax revenue #; V2TAX_CSI # Total investment tax revenue #; V3TAX_CS # Total households tax revenue #; V4TAX_C # Total export tax revenue #; V5TAX_CS # Total government tax revenue #; V0TAR_C # Total tariff revenue #; V0TAX_CSI # Total indirect tax revenue #; Formula V1TAX_CSI = sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{i,IND, V1TAX(c,s,i) }}}; V2TAX_CSI = sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{i,IND, V2TAX(c,s,i) }}}; V3TAX_CS = sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{h,HH, V3TAX(c,s,h) }}}; V4TAX_C = sum{c,COM, V4TAX(c) }; V5TAX_CS = sum{c,COM, sum{s,SRC, V5TAX(c,s) }}; V0TAR_C = sum{c,COM, V0TAR(c) }; V0TAX_CSI = V1TAX_CSI + V2TAX_CSI + V3TAX_CS + V4TAX_C + V5TAX_CS + V0TAR_C; Coefficient ! All-Industry Factor Cost Aggregates ! V1CAP_I # Total payments to capital #; V1LAB_IO # Total payments to labour #; V1LND_I # Total payments to land #; V1OCT_I # Total other cost ticket payments #; V1PRIM_I # Total primary factor payments#; V0GDPINC # Nominal GDP from income side #; Formula V1CAP_I = sum{i,IND, V1CAP(i) }; V1LAB_IO = sum{i,IND, V1LAB_O(i) }; V1LND_I = sum{i,IND, V1LND(i) }; V1OCT_I = sum{i,IND, V1OCT(i) }; V1PRIM_I = V1LAB_IO + V1CAP_I + V1LND_I; V0GDPINC = V1PRIM_I + V1OCT_I + V0TAX_CSI; ! Excerpt 14 of TABLO input file: ! ! Expenditure-side components of GDP ! Coefficient ! Expenditure Aggregates at Purchaser's Prices ! V0CIF_C # Total rupiah import costs, excluding tariffs #; V0IMP_C # Total basic-value imports (includes tariffs) #; V2TOT_I # Total investment usage #; (all,h,HH)V3TOT_HH(h) # Total purchases by each households #; V3TOT # Total purchases by households #; V4TOT # Total export earnings #; V5TOT # Total value of government demands #; V6TOT # Total value of inventories #; V0GDPEXP # Nominal GDP from expenditure side #; Formula V0CIF_C = sum{c,COM, V0CIF(c) }; V0IMP_C = sum{c,COM, V0IMP(c) };
248 Lampiran 2. Lanjutan V2TOT_I = sum{i,IND, V2TOT(i) }; (all,h,HH)V3TOT_HH(h) = sum{c,COM, V3PUR_S(c,h) }; V3TOT = sum(h,HH,V3TOT_HH(h)); V4TOT = sum{c,COM, V4PUR(c) }; V5TOT = sum{c,COM, sum{s,SRC, V5PUR(c,s) }}; V6TOT = sum{c,COM, sum{s,SRC, V6BAS(c,s) }}; V0GDPEXP = V3TOT + V2TOT_I + V5TOT + V6TOT + V4TOT - V0CIF_C; Coefficient TINY # Small number to prevent singular matrix #; Formula TINY = 0.000000000001; ! Excerpt 15 of TABLO input file: ! ! Occupational composition of labour demand ! !$ Problem: for each industry i, minimize labour cost ! !$ sum{o,OCC, P1LAB(i,o)*X1LAB(i,o) } ! !$ such that X1LAB_O(i) = CES( All,o,OCC: X1LAB(i,o) ) ! Coefficient (all,i,IND) SIGMA1LAB(i) # CES substitution between skill types #; Read SIGMA1LAB from file MDATA header "SLAB"; Equation E_x1lab # Demand for labour by industry and skill group # (all,i,IND)(all,o,OCC) x1lab(i,o) = x1lab_o(i) - SIGMA1LAB(i)*[p1lab(i,o) - p1lab_o(i)]; Equation E_p1lab_o # Price to each industry of labour composite # (all,i,IND) [TINY+V1LAB_O(i)]*p1lab_o(i) = sum{o,OCC, V1LAB(i,o)*p1lab(i,o) }; ! Excerpt 16 of TABLO input file: ! ! Excerpt 16A: Primary factor proportions ! !Translog unit cost function. This is outlined in appendix G of WAYANG document downloaded from CIES site.It is used to preserve a matrix of factor demand elasticities without the restrictions of CRESH or CDE. See p. 133-141 of the Black Book.! Variable (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)x1fac(f,i) # Primary factor demands, agriculture #; (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)p1fac(f,i) # Primary factor prices, agriculture #; (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)a1fac(f,i) # Primary factor tech. change, agri. #; (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)a1faco(f,i)# Prim. factor tech. change, other #; (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)x1faco(f,i) # Primary factor demands, other #; (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)p1faco(f,i) # Primary factor price, other #; Coefficient (all,f,AGRIFAC) (all,i,AGIND) V1FACSH(f,i) #Agri. ind. factor share#; (all,f,AGRIFAC)(all,v,AGRIFAC)(all,i,AGIND) SHR_FAC(f,v,i)#Agri. industry modified factor share (for translog)#; (all,f,AGRIFAC)(all,v,AGRIFAC)(all,i,AGIND) BETA_A(f,v,i)#Factor demand elasticities, agri.#; (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND) V1FACSH_N(f,i) #Non-ag ind. factor share#; (all,f,N_AGRIFAC)(all,v,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND) SHR_FAC_N(f,v,i)#Non-ag. ind. modified factor share (for translog)#; (all,f,N_AGRIFAC)(all,v,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND) BETA_N(f,v,i)#Factor demand elasticities, non-ag.#;
249 Lampiran 2. Lanjutan Read BETA_A from file MDATA header "ALPH"; BETA_N from file MDATA header "ALP2"; Zerodivide Default 0.33; Zerodivide Default 0.33; Formula !calculate the modified cost shares, appendix G, equation G.17! (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)V1FACSH(f,i)=V1FAC(f,i)/sum{g,AGRIFAC,V1FAC(g,i)}; (all,f,N_AGRIFAC) (all,i,N_AGIND)V1FACSH_N(f,i)= V1FACO(f,i)/sum{g,N_AGRIFAC,V1FACO(g,i)}; Zerodivide (nonzero_by_zero)Default 0.25; Zerodivide (zero_by_zero)Default 0.25; Formula (all,f,AGRIFAC)(all,v,AGRIFAC)(all,i,AGIND)SHR_FAC(f,v,i)= V1FACSH(v,i) + BETA_A(f,v,i)/V1FACSH(f,i); (all,f,N_AGRIFAC)(all,v,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)SHR_FAC_N(f,v,i)= V1FACSH_N(v,i) + BETA_N(f,v,i)/V1FACSH_N(f,i); Zerodivide off; Coefficient (all,i,IND)SIGMA1PRIM(i); (all,i,IND)TRNL(i); (all,i,IND)CESFORM(i); Read TRNL from file MDATA header "TRNL"; Formula (all,i,IND)SIGMA1PRIM(i)=0.5; !CES alternative! (all,i,IND)CESFORM(i) = 1 - TRNL(i); !if TRNL =0, CES functional form! Equation E_x1fac # Primary factor demands, agriculture # ! equation G.16! (all,f,AGRIFAC)(all,i,AGIND)x1fac(f,i) - a1fac(f,i)= x1prim(i) - TRNL(i)*[p1fac(f,i) - Sum{v,AGRIFAC,SHR_FAC(f,v,i)*p1fac(v,i)}] - TRNL(i)*[a1fac(f,i) - Sum{v,AGRIFAC,SHR_FAC(f,v,i)*a1fac(v,i)}] - CESFORM(i)*SIGMA1PRIM(i)*[p1fac(f,i) + a1fac(f,i) -p1prim(i)] ; Equation E_x1faco # Primary factor demands, non-agriculture # ! equation G.16! (all,f,N_AGRIFAC)(all,i,N_AGIND)x1faco(f,i) - a1faco(f,i)= x1prim(i)-TRNL(i)*[p1faco(f,i) - Sum{v,N_AGRIFAC,SHR_FAC_N(f,v,i)*p1faco(v,i)}] -TRNL(i)*[a1faco(f,i) - Sum{v,N_AGRIFAC,SHR_FAC_N(f,v,i)*a1faco(v,i)}] - CESFORM(i)*SIGMA1PRIM(i)*[p1faco(f,i) + a1faco(f,i) -p1prim(i)] ; !Excerpt 16B: household supply and prices of primary factors! !WAYANG2 factor market modifications! Variable (all,i,AGIND)(all,h,HH) x1lndi_hh(i,h)# Household supply of land, agri.#; p1cap_ag # National variable capital rental, agri. #; p1cap_nagv # National variable capital rental, non-ag. #; w1cap_v(h) # Returns to variable capital by household #; (all,h,hh) (all,h,hh) w1cap_f(h) # Returns to fixed capital by household #; (all,h,hh) x1cap_vah(h) # variable capital by household, agri. #; (all,h,hh) x1cap_vnh(h) # variable capital by household, non-agri. #; x1cap_ag # variable capital, agriculture #; x1cap_nag # variable capital, non-ag. #; (all,i,N_AGIND)x1cap_f(i) # fixed capital, non-ag. #;
250 Lampiran 2. Lanjutan (all,i,N_AGIND)(all,h,hh)x1cap_f_hh(i,h) # fixed capital by h'hold, non-ag. #; Coefficient (all,h,hh)(all,f,occ) HINC(h,f) # household factor income #; (all,i,AGIND)(all,h,HH) LANDS(i,h) #Household land rentals by industry#; Read HINC from file MDATA header "HINC"; LANDS from file mdata Header "LAND"; Update (all,i,AGIND)(all,h,HH) LANDS(i,h) = p1fac("land",i)*x1lndi_hh(i,h); (all,i,AGIND) V1CAPA(i) = p1fac("varcap",i)*x1fac("varcap",i); (all,k,KAP)(all,i,N_AGIND)V1CAPN(k,i)= p1faco(k,i)*x1faco(k,i); Equation E_p1lab_i # Supply of labour # (all,o,OCC)sum{h,HH,HINC(h,o)}* x1lab_i(o) = sum{h,HH,HINC(h,o)*[x1lab_i_h(o,h)+f1lab_i_x(o)]}; Equation E_p1lab # Flexible setting of money wages # (all,i,IND)(all,o,OCC) p1lab(i,o)= p1lab_i(o);!p3tot + f1lab_io;! Equation E_p1lnd # supply of land # (all,i,AGIND)V1LND(i)*x1lnd(i) = Sum{h,HH, LANDS(i,h)*x1lndi_hh(i,h)}; Equation E_p1capA # Price of variable + fixed capital, non-agri. # (all,i,N_AGIND)V1CAP(i)*p1cap(i) = sum{k,KAP, V1CAPN(k,i)*p1faco(k,i)}; Equation E_p1primA # Effective price term for factor demand equations, ag. # (all,i,AGIND) V1PRIM(i)*p1prim(i) = sum{f,AGRIFAC,V1FAC(f,i)*[p1fac(f,i) + a1fac(f,i)]}; Equation E_p1primN # Effective price term for factor demand equations, N_AG # (all,i,N_AGIND) V1PRIM(i)*p1prim(i) = sum{f,N_AGRIFAC,V1FACO(f,i)*[p1faco(f,i) + a1faco(f,i)]}; !Excerpt 16C: Matching factor p and x to E_x1fac and E_x1faco! !This block deleted if using CES form! Equation E_p1facLB # Industry demands for effective labour # (all,i,AGIND) p1lab_o(i)=p1fac("unskil",i); Equation E_x1lab_oA # Effective labour input, agriculture # (all,i,AGIND) x1lab_o(i)= x1fac("unskil",i); Equation E_p1facF # Price of fertiliser in agri.# (all,i,AGIND) p1fac("fert",i) = p1_s ("PupukPest",i); Equation E_p1capB # Price of variable capital, agri. # (all,i,AGIND)p1cap(i) = p1fac("varcap",i); Equation E_x1lnd # Industry demands for land # (all,i,AGIND) x1lnd(i) = x1fac("land",i);
251 Lampiran 2. Lanjutan Equation E_p1facL # Price of land in agri. # (all,i,AGIND)p1lnd(i) = p1fac("land",i); Equation E_p1facK # Equalise price of capital in agri. # (all,i,AGIND)p1fac("varcap",i)=p1cap_ag ; Equation E_x1lab_oB # Industry demands for effective labour # (all,i,N_AGIND) x1lab_o(i) = x1faco("labcomp",i); Equation E_p1facoLC # Price to each industry of labour composite # (all,i,N_AGIND)p1faco("labcomp",i) = p1lab_o(i) ; Equation E_p1facoKN # Price of variable capital in non-ag # (all,i,N_AGIND)p1faco("varcap",i)=p1cap_nagv; Equation E_p1facoFC # supply of fixed capital by household # (all,i,N_AGIND)x1cap_f(i) = x1faco("fixcap",i); !Excerpt 16D: household supply coefficents! Coefficient !(all,f,OCC) (all,i,IND)PRIM(f,i) # factor income by industry #; ! (all,h,HH)(all,i,N_AGIND)FIXEDK(h,i) #Household supplies of fixed capital#; (all,h,HH) MMA(h) # Household supplies of agri variable capital#; (all,h,HH) MMN(h)# Household supplies of non-agri variable capital#; Read ! PRIM from file MDATA header "PRIM";! FIXEDK from file mdata Header "CAPS"; MMA from file mdata Header "CAPA"; MMN from file mdata Header "CAPN"; Update !(all,o,OCC)(all,i,N_AGIND)PRIM(o,i) = x1lab(i,o)*p1lab(i,o);! (all,h,hh) (all,o,OCC) HINC(h,o) = x1lab_i_h(o,h)*p1lab_i(o)*f1lab_i_x(o); (all,h,HH)(all,i,N_AGIND)FIXEDK(h,i) = p1faco("fixcap",i)*x1cap_f_hh(i,h); (all,h,HH) MMA(h) = p1cap_ag * x1cap_vah(h); (all,h,HH) MMN(h) = p1cap_nagv * x1cap_vnh(h); !Excerpt 16E: Market clearing of household factors! Equation E_x1cap_f # supply of fixed capital by household # (all,i,N_AGIND)sum{h,HH,FIXEDK(h,i)}*x1cap_f(i) = sum{h,HH,FIXEDK(h,i)*x1cap_f_hh(i,h)}; Equation E_p1cap_ag # market clearing, variable capital, agriculture # sum{i,AGIND,V1CAP(i)}*x1cap_ag = sum{i,AGIND,V1CAP(i)*x1cap(i)}; Equation E_x1cap_ag # household supply of variable capital, ag.# sum{h,HH,MMA(h)}*x1cap_ag = sum{h,HH,MMA(h)*x1cap_vah(h)}; Equation E_p1cap_nagv # variable capital, non-ag. # sum{h,HH,MMN(h)}*x1cap_nag = sum{h,HH,MMN(h)*x1cap_vnh(h)};
252 Lampiran 2. Lanjutan Equation E_x1cap_nag # market clearing for variable capital, non-ag. # sum{i,N_AGIND,V1CAPN("varcap",i)}*x1cap_nag = sum{i,N_AGIND,V1CAPN("varcap",i)*x1faco("varcap",i)}; Equation E_x1capA # agri. industry capital, variable # (all,i,AGIND)x1cap(i)=x1fac("varcap",i); Equation E_x1capN # non-agri. industry capital, fixed + variable # (all,i,N_AGIND)V1CAP(i)*x1cap(i) = sum{k,KAP, V1CAPN(k,i)*x1faco(k,i)}; !Summing returns to household factors! Equation E_w1cap_v # Returns to variable capital by household # (all,h,HH)[MMA(h)+MMN(h)]*w1cap_v(h) = MMA(h)* [p1cap_ag + x1cap_vah(h)] + MMN(h) * [p1cap_nagv + x1cap_vnh(h)]; Equation E_w1cap_f # Returns to fixed capital by household # (all,h,HH)sum{i,N_AGIND,FIXEDK(h,i)}*w1cap_f(h) = sum{i,N_AGIND,FIXEDK(h,i)*[p1faco("fixcap",i) + x1cap_f_hh(i,h)]}; ! Excerpt 17 of TABLO input file: ! ! Import/domestic composition of intermediate demands ! !$ X1_S(c,i) = CES( All,s,SRC: X1(c,s,i)/A1(c,s,i) ) ! Coefficient (all,c,COM) SIGMA1(c) # Armington elasticities: intermediate #; Read SIGMA1 from file MDATA header "1ARM"; Equation E_x1 # Source-specific commodity demands # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) x1(c,s,i)-a1(c,s,i) = x1_s(c,i) - SIGMA1(c)*[p1(c,s,i)+a1(c,s,i) - p1_s(c,i)]; Equation E_p1_s # Effective price of commodity composite # (all,c,COM)(all,i,IND) p1_s(c,i) = sum{s,SRC, S1(c,s,i)*[p1(c,s,i) + a1(c,s,i)] }; ! Excerpt 18 of TABLO input file: ! ! Top nest of industry input demands ! !$ X1TOT(i) = MIN( All,c,COM: X1_S(c,i)/[A1_S(c,s,i)*A1TOT(i)], ! !$ X1PRIM(i)/[A1PRIM(i)*A1TOT(i)], ! !$ X1OCT(i)/[A1OCT(i)*A1TOT(i)] ) ! Equation E_x1_sA # Demands for commodity composites, non-agriculture # (all,c,COM)(all,i,N_AGIND) x1_s(c,i) - [a1_s(c,i) + a1tot(i)] = x1tot(i); Equation E_x1_sB # Demands for commodity composites, agriculture # (all,c,NONFERT)(all,i,AGIND) x1_s(c,i) - [a1_s(c,i) + a1tot(i)] = x1tot(i); ! demands for fertiliser are no longer Leontief ! Equation E_x1_sC # Demands for composite fertiliser inputs, agri. production # (all,i,AGIND)x1_s("PupukPest",i) = x1fac("Fert",i); !a1_s("C39fert") is a1fac("C39fert") in agricultural industries!
253 Lampiran 2. Lanjutan Equation E_x1prim # Demands for primary factor composite # (all,i,IND)x1prim(i) - [a1tot(i) + a1prim(i)] = x1tot(i); Equation E_x1oct # Demands for other cost tickets # (all,i,IND) x1oct(i) - [a1oct(i) + a1tot(i)] = x1tot(i); Equation E_p1totA # Zero pure profits in production # (all,i,N_AGIND) V1TOT(i)*[p1tot(i)-a1tot(i)] = sum{c,COM, V1PUR_S(c,i) *[p1_s(c,i) + a1_s(c,i)] } + V1PRIM(i) *[p1prim(i) + a1prim(i)] + V1OCT(i) *[p1oct(i) + a1oct(i)]; Equation E_p1totB # Zero pure profits in production # (all,i,AGIND) V1TOT(i)*[p1tot(i)-a1tot(i)] = sum{c,NONFERT, V1PUR_S(c,i) *[p1_s(c,i) + a1_s(c,i)] } + V1PRIM(i) *[p1prim(i) + a1prim(i)] + V1OCT(i) *[p1oct(i) + a1oct(i)]; ! Excerpt 19A of TABLO input file: ! ! Output mix of commodities ! Coefficient (all,i,IND) SIGMA1OUT(i) # CET transformation elasticities #; Read SIGMA1OUT from file MDATA header "SCET"; Equation E_q1 # Supplies of commodities by industries # (all,c,COM)(all,i,IND) q1(c,i) = x1tot(i) + SIGMA1OUT(i)*[p0com(c) - p1tot(i)]; Coefficient (all,i,IND) MAKE_C(i) # All production by industry i #; (all,c,COM) MAKE_I(c) # Total production of commodities #; Formula (all,i,IND) MAKE_C(i) = sum{c,COM, MAKE(c,i) }; (all,c,COM) MAKE_I(c) = sum{i,IND, MAKE(c,i) }; Equation E_x1tot # Average price received by industries # (all,i,IND) MAKE_C(i)*p1tot(i) = sum{c,COM, MAKE(c,i)*p0com(c) }; Equation E_x0com # Total output of commodities # (all,c,COM) MAKE_I(c)*x0com(c) = sum{i,IND, MAKE(c,i)*q1(c,i) }; ! Excerpt 19B of TABLO input file: ! ! CET between outputs for local and export markets ! Coefficient (all, c,COM) EXPSHR(c) # share going to exports #; (all, c,COM) TAU(c) # 1/elast. of transformation, exportable/locally used #; Zerodivide Default 0.5;
254 Lampiran 2. Lanjutan Formula (all,c,COM) EXPSHR(c) = V4BAS(c)/SALES(c); (all,c,COM) TAU(c) = 0.0; ! if zero, p0dom = pe, and CET is nullified ! Zerodivide Off; Equation E_x0dom # supply of commodities to export market # (all,c,COM) TAU(c)*[x0dom(c) - x4(c)] = p0dom(c) - pe(c); Equation E_pe # supply of commodities to domestic market # (all,c,COM) x0com(c) = [1.0-EXPSHR(c)]*x0dom(c) + EXPSHR(c)*x4(c); Equation E_p0com # Zero pure profits in transformation # (all,c,COM) p0com(c) = [1.0-EXPSHR(c)]*p0dom(c) + EXPSHR(c)*pe(c); ! Map between vector and matrix forms of basic price variables ! Equation E_p0dom # Basic price of domestic goods = p0(c,"dom") # (all,c,COM) p0dom(c) = p0(c,"dom"); Equation E_p0imp # Basic price of imported goods = p0(c,"imp") # (all,c,COM) p0imp(c) = p0(c,"imp"); ! Excerpt 20 of TABLO input file: ! ! Investment demands ! !$ X2_S(c,i) = CES( All,s,SRC: X2(c,s,i)/A2(c,s,i) ) ! Coefficient (all,c,COM) SIGMA2(c) # Armington elasticities: investment #; Read SIGMA2 from file MDATA header "2ARM"; Equation E_x2 # Source-specific commodity demands # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) x2(c,s,i)-a2(c,s,i) - x2_s(c,i) = - SIGMA2(c)*[p2(c,s,i)+a2(c,s,i) - p2_s(c,i)]; Equation E_p2_s # Effective price of commodity composite # (all,c,COM)(all,i,IND) p2_s(c,i) = sum{s,SRC, S2(c,s,i)*[p2(c,s,i)+a2(c,s,i)] }; ! Investment top nest ! !$ X2TOT(i) = MIN( All,c,COM: X2_S(c,i)/[A2_S(c,s,i)*A2TOT(i)] ) ! Equation E_x2_s # Demands for commodity composites # (all,c,COM)(all,i,IND) x2_s(c,i) - [a2_s(c,i) + a2tot(i)] = x2tot(i); Equation E_p2tot # Zero pure profits in investment # (all,i,IND) V2TOT(i)*(p2tot(i) - a2tot(i)) = sum{c,COM, V2PUR_S(c,i) *[p2_s(c,i)+a2_s(c,i)] };
255 Lampiran 2. Lanjutan ! Excerpt 21 of TABLO input file: ! ! Import/domestic composition of household demands ! !$ X3_S(c,i) = CES( All,s,SRC: X3(c,s)/A3(c,s) ) ! Coefficient (all,c,COM) SIGMA3(c) # Armington elasticities: households #; Read SIGMA3 from file MDATA header "3ARM"; Equation E_x3 # Source-specific commodity demands # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) x3(c,s,h)-a3(c,s) = x3_s(c,h) - SIGMA3(c)*[ p3(c,s,h)+a3(c,s) - p3_s(c,h) ]; Equation E_p3_s # Effective price of commodity composite # (all,c,COM)(all,h,HH) p3_s(c,h) = sum{s,SRC, S3(c,s,h)*[p3(c,s,h)+a3(c,s)] }; ! Excerpt 22 of TABLO input file: ! ! Data and formulae for coefficients used in household demand equations ! Coefficient (all,h,HH)FRISCH(h) # Frisch LES 'parameter'= - (total/luxury) #; Read FRISCH from file MDATA header "P021"; Update (change) (all,h,HH)FRISCH(h) = FRISCH(h)*[w3tot_hh(h) - w3lux(h)]/100.0; Coefficient (all,c,COM)(all,h,HH) EPS(c,h) # Household expenditure elasticities #; Read EPS from file MDATA header "XPEL"; Update (change) (all,c,COM)(all,h,HH) EPS(c,h) = EPS(c,h)*[x3lux(c,h)-x3_s(c,h)+w3tot_hh(h)-w3lux(h)]/100.0; Coefficient (all,c,COM)(all,h,HH) S3_S(c,h) # Household average budget shares #; Formula (all,c,COM)(all,h,HH) S3_S(c,h) = V3PUR_S(c,h)/V3TOT_HH(h); Coefficient (all,c,COM)(all,h,HH)B3LUX(c,h) # Ratio, (supernumerary expenditure/total expenditure), by commodity #; Formula (all,c,COM)(all,h,HH) B3LUX(c,h) = -EPS(c,h)/FRISCH(h); Coefficient(all,c,COM)(all,h,HH)S3LUX(c,h) # Marginal household budget shares #; Formula (all,c,COM)(all,h,HH)S3LUX(c,h) = EPS(c,h)*S3_S(c,h); ! Excerpt 23 of TABLO input file: ! ! Commodity composition of household demand ! Equation E_x3sub # Subsistence demand for composite commodities # (all,c,COM)(all,h,HH) x3sub(c,h) = q(h) + a3sub(c,h); Equation E_x3lux # Luxury demand for composite commodities # (all,c,COM)(all,h,HH) x3lux(c,h) + p3_s(c,h) = w3lux(h) + a3lux(c,h); Equation E_x3_s # Total household demand for composite commodities # (all,c,COM)(all,h,HH) x3_s(c,h) = B3LUX(c,h)*x3lux(c,h) + [1-B3LUX(c,h)]*x3sub(c,h);
256 Lampiran 2. Lanjutan Equation E_utility # Change in utility disregarding taste change terms # (all,h,HH)utility(h) + q(h) = sum{c,COM, S3LUX(c,h)*x3lux(c,h) }; Equation E_a3lux # Default setting for luxury taste shifter # (all,c,COM)(all,h,HH)a3lux(c,h) = a3sub(c,h) - sum{k,COM,S3LUX(k,h)*a3sub(k,h)}; Equation E_a3sub # Default setting for subsistence taste shifter # (all,c,COM)(all,h,HH)a3sub(c,h) = a3_s(c,h) - sum{k,COM, S3_S(k,h)*a3_s(k,h) }; ! Excerpt 24 of TABLO input file: ! ! Export and government demands ! Coefficient V4NTRADEXP # Total non-traditional export earnings #; Formula V4NTRADEXP = sum{c,NTRADEXP, V4PUR(c)}; Coefficient (all,c,COM) EXP_ELAST(c) # Export demand elasticities: typical value -20.0 #; Read EXP_ELAST from file MDATA header "P018"; Equation E_x4A # Traditional export demand functions # (all,c,TRADEXP) x4(c) - f4q(c) = EXP_ELAST(c)*[p4(c) - phi - f4p(c)]; Equation E_x4B # Non-traditional export demand functions # (all,c,NTRADEXP) x4(c) = x4_ntrad; Equation E_p4_ntrad # Average price of non-traditional exports # V4NTRADEXP*p4_ntrad = sum{c,NTRADEXP, V4PUR(c)*p4(c) }; Coefficient EXP_ELAST_NT # Non-traditional export demand elasticity #; Read EXP_ELAST_NT from file MDATA header "EXNT"; Equation E_x4_ntrad # Demand for non-traditional export aggregate # x4_ntrad - f4q_ntrad = EXP_ELAST_NT*[p4_ntrad - phi - f4p_ntrad]; Equation E_x5 # Government demands # (all,c,COM)(all,s,SRC) x5(c,s) = f5(c,s) + f5tot; Equation E_f5tot # Overall government demands shift # f5tot = x3tot + f5tot2; ! Excerpt 25 of TABLO input file: ! ! Margin demands ! Equation E_x1mar # Margins to producers # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) x1mar(c,s,i,m) = x1(c,s,i) + a1mar(c,s,i,m); Equation E_x2mar # Margins to capital creators # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND)(all,m,MAR) x2mar(c,s,i,m) = x2(c,s,i) + a2mar(c,s,i,m);
257 Lampiran 2. Lanjutan Equation E_x3mar # Margins to households # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR)(all,h,HH) x3mar(c,s,m,h) = x3(c,s,h) + a3mar(c,s,m); Equation E_x4mar # Margins to exports # (all,c,COM)(all,m,MAR) x4mar(c,m) = x4(c) + a4mar(c,m);
Equation E_x5mar # Margins to government users # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,m,MAR) x5mar(c,s,m) = x5(c,s) + a5mar(c,s,m); ! Excerpt 26 of TABLO input file: ! ! The price system ! Equation E_p1 # Purchasers prices - producers # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) [V1PUR(c,s,i)+TINY]*p1(c,s,i) = [V1BAS(c,s,i)+V1TAX(c,s,i)]*[p0(c,s)+ t1(c,s,i)] + sum{m,MAR, V1MAR(c,s,i,m)*[p0dom(m)+a1mar(c,s,i,m)] }; Equation E_p2 # Purchasers prices - capital creators # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) [V2PUR(c,s,i)+TINY]*p2(c,s,i) = [V2BAS(c,s,i)+V2TAX(c,s,i)]*[p0(c,s)+ t2(c,s,i)] + sum{m,MAR, V2MAR(c,s,i,m)*[p0dom(m)+a2mar(c,s,i,m)] }; Equation E_p3 # Purchasers prices - households # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,h,HH) [V3PUR(c,s,h)+TINY]*p3(c,s,h) = [V3BAS(c,s,h)+V3TAX(c,s,h)]*[p0(c,s)+ t3(c,s)] + sum{m,MAR,V3MAR(c,s,m,h)*[p0dom(m)+a3mar(c,s,m)] }; Equation E_p4 # Zero pure profits in exporting # (all,c,COM) [V4PUR(c)+TINY]*p4(c) = [V4BAS(c)+V4TAX(c)]*[pe(c)+ t4(c)] + sum{m,MAR, V4MAR(c,m)*[p0dom(m)+a4mar(c,m)] }; ! note that we refer to export taxes,not subsidies ! Equation E_p5 # Zero pure profits in distribution of government # (all,c,COM)(all,s,SRC) [V5PUR(c,s)+TINY]*p5(c,s) = [V5BAS(c,s)+V5TAX(c,s)]*[p0(c,s)+ t5(c,s)] + sum{m,MAR, V5MAR(c,s,m)*[p0dom(m)+a5mar(c,s,m)] }; Equation E_p0A # Zero pure profits in importing # (all,c,COM) p0(c,"imp") = pf0cif(c) + phi + t0imp(c);
258 Lampiran 2. Lanjutan ! Excerpt 27 of TABLO input file: ! ! Market clearing equations ! Equation E_p0B # Demand equals supply for non margin commodities # (all,n,NONMAR) DOMSALES(n)*x0dom(n) = sum{i,IND, V1BAS(n,"dom",i)*x1(n,"dom",i) + V2BAS(n,"dom",i)*x2(n,"dom",i) } + sum{h,HH, V3BAS(n,"dom",h)*x3(n,"dom",h)} + V5BAS(n,"dom")*x5(n,"dom") ! note exports omitted ! + 100*LEVP0(n,"dom")*delx6(n,"dom");
Equation E_p0C # Demand equals supply for margin commodities # (all,m,MAR) DOMSALES(m)*x0dom(m) = ! basic part first ! sum{i,IND, V1BAS(m,"dom",i)*x1(m,"dom",i) + V2BAS(m,"dom",i)*x2(m,"dom",i) } + sum{h,HH, V3BAS(m,"dom",h)*x3(m,"dom",h)} + V5BAS(m,"dom")*x5(m,"dom") ! note exports omitted ! + 100*LEVP0(m,"dom")*delx6(m,"dom") ! now margin part ! + sum{c,COM, V4MAR(c,m)*x4mar(c,m) ! note nesting of sum parentheses ! + sum{s,SRC,sum(h,HH, V3MAR(c,s,m,h)*x3mar(c,s,m,h)) + V5MAR(c,s,m)*x5mar(c,s,m) + sum{i,IND, V1MAR(c,s,i,m)*x1mar(c,s,i,m) + V2MAR(c,s,i,m)*x2mar(c,s,i,m) }}}; Equation E_x0imp # Import volumes # (all,c,COM) [TINY + V0IMP(c)]*x0imp(c) = sum{i,IND, V1BAS(c,"imp",i)*x1(c,"imp",i) + V2BAS(c,"imp",i)*x2(c,"imp",i) } + sum{h,HH, V3BAS(c,"imp",h)*x3(c,"imp",h)} + V5BAS(c,"imp")*x5(c,"imp") + 100*LEVP0(c,"imp")*delx6(c,"imp"); Equation E_x1lab_i # Demand equals supply for labour of each skill # (all,o,OCC) V1LAB_I(o)*x1lab_i(o) = sum{i,IND, V1LAB(i,o)*x1lab(i,o) }; ! Excerpt 28 of TABLO input file: ! ! Tax rate equations ! Equation E_t1 # Power of tax on sales to intermediate # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) t1(c,s,i) = f0tax_s(c) + f1tax_csi; E_t2 # Power of tax on sales to investment # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,i,IND) t2(c,s,i) = f0tax_s(c) + f2tax_csi; E_t3 # Power of tax on sales to households # t3(c,s) = f0tax_s(c) + f3tax_cs; (all,c,COM)(all,s,SRC) E_t4A # Power of tax on sales to traditional exports # (all,c,TRADEXP) t4(c) = f0tax_s(c) + f4tax_trad; E_t4B # Power of tax on sales to non-traditional exports # (all,c,NTRADEXP) t4(c) = f0tax_s(c) + f4tax_ntrad; E_t5 # Power of tax on sales to government # (all,c,COM)(all,s,SRC) t5(c,s) = f0tax_s(c) + f5tax_cs;
259 Lampiran 2. Lanjutan ! Excerpt 29 of TABLO input file: ! ! Indirect tax revenue ! Equation E_w1tax_csi # Revenue from indirect taxes on flows to intermediate # [TINY + V1TAX_CSI]*w1tax_csi = sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{i,IND, V1TAX(c,s,i)*[p0(c,s)+x1(c,s,i)]+[V1TAX(c,s,i)+V1BAS(c,s,i)]*t1(c,s,i) }}}; E_w2tax_csi # Revenue from indirect taxes on flows to investment # [TINY + V2TAX_CSI]*w2tax_csi = sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{i,IND, V2TAX(c,s,i)*[p0(c,s)+x2(c,s,i)]+[V2TAX(c,s,i)+V2BAS(c,s,i)]*t2(c,s,i) }}}; E_w3tax_cs # Revenue from indirect taxes on flows to households # [TINY + V3TAX_CS]*w3tax_cs = sum{c,COM, sum{s,SRC,sum{h,HH, V3TAX(c,s,h)*[p0(c,s)+ x3(c,s,h)] + [V3TAX(c,s,h)+V3BAS(c,s,h)]*t3(c,s)}}}; E_w4tax_c # Revenue from indirect taxes on exports # [TINY + V4TAX_C]*w4tax_c = sum{c,COM, V4TAX(c)*[pe(c) + x4(c)] + [V4TAX(c)+ V4BAS(c)]*t4(c) }; E_w5tax_cs # Revenue from indirect taxes on flows to government # [TINY + V5TAX_CS]*w5tax_cs = sum{c,COM, sum{s,SRC, V5TAX(c,s)*[p0(c,s)+ x5(c,s)] + [V5TAX(c,s)+V5BAS(c,s)]*t5(c,s) }}; E_w0tar_c # Tariff revenue # [TINY+V0TAR_C]*w0tar_c = sum{c,COM, V0TAR(c)*[pf0cif(c) + phi + x0imp(c)] + V0IMP(c)*t0imp(c) }; ! Excerpt 30 of TABLO input file: ! ! Factor incomes and GDP ! Equation E_w1lnd_i # Aggregate payments to land # V1LND_i*w1lnd_i = sum{i,AGIND, V1LND(i)*[x1lnd(i)+p1lnd(i)] }; E_w1lab_io # Aggregate payments to labour # V1LAB_IO*w1lab_io = sum{i,IND, sum{o,OCC, V1LAB(i,o)*[x1lab(i,o)+p1lab(i,o)]}}; E_w1cap_i # Aggregate payments to capital # V1CAP_I*w1cap_i = sum{i,IND, V1CAP(i)*[x1cap(i)+p1cap(i)] }; E_w1oct_i # Aggregate other cost ticket payments # V1OCT_I*w1oct_i = sum{i,IND, V1OCT(i)*[x1oct(i)+p1oct(i)] }; E_w0tax_csi # Aggregate value of indirect taxes # V0TAX_CSI*w0tax_csi = V1TAX_CSI*w1tax_csi + V2TAX_CSI*w2tax_csi + V3TAX_CS*w3tax_cs + V4TAX_C*w4tax_c + V5TAX_CS*w5tax_cs + V0TAR_C*w0tar_c; E_w0gdpinc # Aggregate nominal GDP from income side # V0GDPINC*w0gdpinc = V1LND_I*w1lnd_i + V1CAP_I*w1cap_i + V1LAB_IO*w1lab_io + V1OCT_I*w1oct_i + V0TAX_CSI*w0tax_csi;
260 Lampiran 2. Lanjutan ! Excerpt 31 of TABLO input file: ! ! GDP expenditure aggregates ! E_x2tot_i # Total real investment # V2TOT_I*x2tot_i = sum{i,IND, V2TOT(i)*x2tot(i) }; E_p2tot_i # Investment price index # V2TOT_I*p2tot_i = sum{i,IND, V2TOT(i)*p2tot(i) }; E_w2tot_i # Total nominal investment # w2tot_i = x2tot_i + p2tot_i; E_x3tot_hh # Real consumption # (all,h,HH)V3TOT_HH(h)*x3tot_hh(h)=sum{c,COM,sum{s,SRC,V3PUR(c,s,h)*x3(c,s,h)}}; E_p3tot_hh # Household price index # (all,h,HH)V3TOT_HH(h)*p3tot_hh(h)=sum{c,COM,sum{s,SRC,V3PUR(c,s,h)*p3(c,s,h)}}; E_w3tot_hh # Household budget constraint # (all,h,HH)w3tot_hh(h) = x3tot_hh(h) + p3tot_hh(h); E_x3tot # Real consumption # V3TOT*x3tot = sum{h,HH,V3TOT_HH(h)*x3tot_hh(h)}; E_p3tot # Consumer price index # V3TOT*p3tot = sum{h,HH,V3TOT_HH(h)*p3tot_hh(h)}; E_w3tot # Household budget constraint # w3tot = x3tot + p3tot; E_x4tot # Export volume index # V4TOT*x4tot = sum{c,COM, V4PUR(c)*x4(c) }; E_p4tot # Exports price index, rupiah # V4TOT*p4tot = sum{c,COM, V4PUR(c)*p4(c) }; E_w4tot # rupiah border value of exports # w4tot = x4tot + p4tot; E_x5tot # Aggregate real government demands # V5TOT*x5tot = sum{c,COM, sum{s,SRC, V5PUR(c,s)*x5(c,s) }}; E_p5tot # Government price index # V5TOT*p5tot = sum{c,COM, sum{s,SRC, V5PUR(c,s)*p5(c,s) }}; E_w5tot # Aggregate nominal value of government demands # w5tot = x5tot + p5tot; E_x6tot # Inventories volume index # V6TOT*x6tot = 100*sum{c,COM, sum{s,SRC, LEVP0(c,s)*delx6(c,s) }}; E_p6tot # Inventories price index # [TINY+V6TOT]*p6tot = sum{c,COM, sum{s,SRC, V6BAS(c,s)*p0(c,s) }}; E_w6tot # Aggregate nominal value of inventories # w6tot = x6tot + p6tot; E_x0cif_c # Import volume index, C.I.F. weights # V0CIF_C*x0cif_c = sum{c,COM, V0CIF(c)*x0imp(c) }; E_p0cif_c # Imports price index, rupiah C.I.F. # V0CIF_C*p0cif_c = sum{c,COM, V0CIF(c)*[phi+pf0cif(c)] }; E_w0cif_c # Value of imports, rupiah C.I.F. # w0cif_c = x0cif_c + p0cif_c;
261 Lampiran 2. Lanjutan E_x0gdpexp # Real GDP, expenditure side # V0GDPEXP*x0gdpexp = V3TOT*x3tot + V2TOT_I*x2tot_i + V5TOT*x5tot + V6TOT*x6tot + V4TOT*x4tot - V0CIF_C*x0cif_c; E_p0gdpexp # Price index for GDP, expenditure side # V0GDPEXP*p0gdpexp = V3TOT*p3tot + V2TOT_I*p2tot_i + V5TOT*p5tot + V6TOT*p6tot + V4TOT*p4tot - V0CIF_C*p0cif_c; E_w0gdpexp # Nominal GDP from expenditure side # w0gdpexp = x0gdpexp + p0gdpexp; ! Excerpt 32 of TABLO input file: ! ! Trade balance and other aggregates ! Equation E_delB # %(Balance of trade)/GDP # V0GDPEXP*delB = V4TOT*w4tot - V0CIF_C*w0cif_c -(V4TOT-V0CIF_C)*w0gdpexp; E_x0imp_c # Import volume index, duty paid weights # V0IMP_C*x0imp_c = sum{c,COM, V0IMP(c)*x0imp(c) }; E_p0imp_c # Duty paid imports price index # V0IMP_C*p0imp_c = sum{c,COM, V0IMP(c)*p0(c,"imp") }; E_w0imp_c # Value of imports (duty paid) # w0imp_c = x0imp_c + p0imp_c; E_x1cap_i # Aggregate usage of capital,rental weights # V1CAP_I*x1cap_i = sum{i,IND, V1CAP(i)*x1cap(i) }; E_p1cap_i # Average capital rental # V1CAP_I*p1cap_i = sum{i,IND, V1CAP(i)*p1cap(i) }; Equation E_employ # Employment by industry # (all,i,IND) V1LAB_O(i)*employ(i) = sum{o,OCC, V1LAB(i,o)*x1lab(i,o) }; E_p1lab_io # Average nominal wage # V1LAB_IO*p1lab_io = sum{i,IND, sum{o,OCC, V1LAB(i,o)*p1lab(i,o) }}; E_realwage # Average real wage # realwage = p1lab_io - p3tot; E_x1prim_i # Aggregate output: value-added weights # V1PRIM_I*x1prim_i = sum{i,IND, V1PRIM(i)*x1tot(i) }; E_p0toft # Terms of trade # p0toft = p4tot - p0cif_c; E_p0realdev # Real devaluation # p0realdev = p0cif_c - p0gdpexp; ! Excerpt 33 of TABLO input file: ! ! Investment equations ! ! Excerpt 33 of TABLO input file: ! ! Rates of Return !
262 Lampiran 2. Lanjutan Coefficient (All,i,IND) QCOEF(i) # ratio, gross to net rate of return #; Read QCOEF From File MDATA Header "P027"; Update (Change) (All,i,IND) QCOEF(i) = QCOEF(i)*[1.0 - QCOEF(i)]*[p1cap(i) - p2tot(i)]/100; Equation E_p1cap # definition of rates of return to capital # (All,i,IND) r1cap(i) = QCOEF(i)*(p1cap(i) - p2tot(i)); Coefficient (all,i,IND) BETA_R(i); Read BETA_R From File MDATA Header "BETR"; Equation E_r1cap # capital growth rates related to rates of return # (All,i,IND) (r1cap(i) - r1cap_i) = BETA_R(i)*[x1cap(i) - x1cap_i] + f1ret(i); ! Excerpt 34 of TABLO input file: ! ! Indexing and other equations ! Equation E_p1oct # Indexing of prices of "other cost" tickets # (all,i,IND) p1oct(i) = p3tot + f1oct(i); ! assumes full indexation ! E_delx6 # possible rule for stocks # (all,c,COM)(all,s,SRC) 100*LEVP0(c,s)*delx6(c,s)=V6BAS(c,s)*x0com(c)+fx6(c,s); ! Excerpt 35 of TABLO input file: ! ! Decomposition of Fan ! Set FANCAT # parts of Fan decomposition # (LocalMarket, ImportShare, Export, Total); Variable (all,c,COM) x0loc(c) # real percent change in LOCSALES (dom+imp) #; (change)(all,c,COM)(all,f,FANCAT) fandecomp(c,f) # Fan decomposition #; Coefficient (all,c,COM) LOCSALES(c) # Total local sales of dom + imp commodity c #; (all,c,COM) INITSALES(c) # Initial volume of SALES at final prices #; Formula (all,c,COM) LOCSALES(c) = DOMSALES(c) + V0IMP(c); (initial) (all,c,COM) INITSALES(c) = SALES(c); Update (all,c,COM) INITSALES(c) = p0com(c); Equation E_x0loc # %growth in local market # (all,c,COM) LOCSALES(c)*x0loc(c) = DOMSALES(c)*x0dom(c) + V0IMP(c)*x0imp(c); Equation E_fandecompA # growth in local market effect # (all,c,COM) INITSALES(c)*fandecomp(c,"LocalMarket") = DOMSALES(c)*x0loc(c); ! The local market effect is the % change in output that would have occurred if local sales of the domestic product had followed dom+imp sales (x0loc) !
263 Lampiran 2. Lanjutan Equation E_fandecompB # export effect # (all,c,COM) INITSALES(c)*fandecomp(c,"Export") = V4BAS(c)*x4(c); Equation E_fandecompC # import leakage effect - via residual # (all,c,COM) fandecomp(c,"Total") = fandecomp(c,"LocalMarket") + fandecomp(c,"ImportShare") + fandecomp(c,"Export"); Equation E_fandecompD # Fan total = x0com # (all,c,COM) INITSALES(c)*fandecomp(c,"Total") = SALES(c)*x0com(c); ! Excerpt 34 of TABLO input file: ! ! Fiscal extension ! Set TYPE (expend, recp);! expend=govt. payments, recp=govt. receipts ! Variable (all,h,HH)(all,t,TYPE)fgov_h(h,t) # Shift in transfers: govt. -- households #; (all,t,TYPE) fgov_f(t) # Shift in transfers: govt. -- foreign #; (all,h,HH)(all,t,TYPE)gov_h(h,t) # Transfers: govt. -- households #; (all,t,TYPE) gov_f(t) # Transfers: govt. -- foreign #; (all,h,HH) w0hhtax(h) # % change in personal income tax #; (all,h,HH)w0hhinc(h) #Aggregate nominal take-home income earned by households #; (change) delbudget # Rupiah change in budget balance G-T #; w0govt_t # Aggregate government revenue#; w0govt_g # Aggregate government expenditure#; f1inc_tax # Overall income tax shifter #; Coefficient GOVTREV # Total government revenue #; GOVTEXP # Nominal total current and capital government expenditure #; (all,i,EXOGINV)V2TOT_G(i) # Total govt. funding of capital created for i #; (all,t,TYPE)TRANSFER_F(t) # Government transfers: payments/receipts foreign#; (all,h,HH)(all,t,TYPE)TRANSFER_H(h,t) # Govt transfers to and from h'holds#; (all,h,HH)V0HHTAX(h) # Personal income tax on all household factors #; (all,h,HH)V0HHINC(h) # Income earned by households #; Read V0HHTAX from file MDATA header "PINC"; TRANSFER_F from file MDATA header "TRAN"; TRANSFER_H from file MDATA header "GOHH"; Update (all,t,TYPE) TRANSFER_F(t) = gov_f(t); (all,h,HH)(all,t,TYPE)TRANSFER_H(h,t) = gov_h(h,t); (all,h,HH) V0HHTAX(h) = w0hhtax(h); Formula (all,i,EXOGINV)V2TOT_G(i) = sum{c,COM, V2PUR_S(c,i) }*0.3; !allocation of public investment! GOVTREV = V0TAX_CSI + sum{h,HH,V0HHTAX(h)} + TRANSFER_F("recp") +sum{h,HH,TRANSFER_H(h,"recp")}; GOVTEXP = V5TOT + Sum{i,EXOGINV, V2TOT_G(i)} + TRANSFER_F("expend") +sum{h,HH,TRANSFER_H(h,"expend")}; Equation E_w3lux # consumption function # (All,h,HH) w3tot_hh(h) = f3tot + f3tot_h(h) + w0hhinc(h);
264 Lampiran 2. Lanjutan Equation E_w0hhtax #Aggregate nominal income tax paid by households # (all,h,HH)w0hhtax(h) = w0hhinc(h) + f1inc_tax; !Equation E_w0hhtax constrains any exogenous shifts in the income tax rate to being equal across all household factors of production. Note that take-home household income is used in the consumption function.! Equation E_gov_f # Government transfers to and from foreigners # (all,t,TYPE)gov_f(t) = p3tot + fgov_f(t); Equation E_gov_h # Government transfers to and from households # (all,h,HH)(all,t,TYPE)gov_h(h,t) = p3tot + fgov_h(h,t); Formula (all,h,HH)V0HHINC(h) = sum{i,AGIND,LANDS(i,h)} + sum{o,OCC,HINC(h,o)} + MMA(h)+MMN(h) + sum{i,N_AGIND,FIXEDK(h,i)} + TRANSFER_H(h,"expend") - TRANSFER_H(h,"recp") - V0HHTAX(h); Equation E_w0hhinc #Aggregate nominal take-home income earned by households # (all,h,HH)V0HHINC(h)*w0hhinc(h)= sum{i,AGIND,LANDS(i,h)*[p1lnd(i) + x1lndi_hh(i,h)]} + sum{o,OCC,HINC(h,o)*[x1lab_i_h(o,h) + p1lab_i(o) + f1lab_i_x(o)]} + [MMA(h)+MMN(h)]*w1cap_v(h) + sum{i,N_AGIND,FIXEDK(h,i)}*w1cap_f(h) + TRANSFER_H(h,"expend")*gov_h(h,"expend") - TRANSFER_H(h,"recp")*gov_h(h,"recp") V0HHTAX(h)*w0hhtax(h); Equation E_w0govt_t # Aggregate government revenue # GOVTREV*w0govt_t = V0TAX_CSI*w0tax_csi + sum{h,HH,V0HHTAX(h)*w0hhtax(h)} + TRANSFER_F("recp")*gov_f("recp") + sum{h,HH,TRANSFER_H(h,"recp")*gov_h(h,"recp")}; Equation E_w0govt_g # Aggregate government expenditure # GOVTEXP*w0govt_g = V5TOT*w5tot + Sum{i,EXOGINV, V2TOT_G(i)*[x2tot(i) + p2tot(i)]} + TRANSFER_F("expend")*gov_f("expend") + sum{h,HH,TRANSFER_H(h,"expend")*gov_h(h,"expend")}; Equation E_delbudget # Change in budget balance G-T # !increased deficit >0! 100*delbudget = GOVTEXP*w0govt_g - GOVTREV*w0govt_t ; ! Excerpt 35 of TABLO input file: ! ! Data for Checking Identities ! File (new) SUMMARY # Summary and checking data #; Coefficient ! coefficients for checking ! (all,i,IND) PURE_PROFITS(i) # COSTS-MAKE_C : should be zero #; (all,c,COM) LOST_GOODS(c) # SALES-MAKE_I : should be zero #; (all,h,HH) EPSTOT(h) # Average Engel elasticity: should = 1 #; Formula (all,i,IND) PURE_PROFITS(i) = V1TOT(i) - MAKE_C(i); (all,c,COM) LOST_GOODS(c) = SALES(c) - MAKE_I(c); (all,h,HH) EPSTOT(h) = sum{c,COM, S3_S(c,h)*EPS(c,h)};
265 Lampiran 2. Lanjutan Write PURE_PROFITS to file SUMMARY header "PURE" longname "COSTS-MAKE_C: should = 0"; LOST_GOODS to file SUMMARY header "LOST" longname "SALES-MAKE_I: should = 0"; EPSTOT to file SUMMARY header "ETOT" longname "Average Engel elast: should = 1"; ! Excerpt 35 of TABLO input file: ! ! Components of GDP from income and expenditure sides ! Set EXPMAC # Expenditure Aggregates # (Consumption, Investment, Government, Stocks, Exports, Imports); Coefficient (all,e,EXPMAC) EXPGDP(e) # Expenditure Aggregates #; Formula EXPGDP("Consumption") = V3TOT; EXPGDP("Investment") = V2TOT_I; EXPGDP("Government") = V5TOT; EXPGDP("Stocks") = V6TOT; EXPGDP("Exports") = V4TOT; EXPGDP("Imports") = -V0CIF_C; Write EXPGDP to file SUMMARY header "EMAC" longname "Expenditure Aggregates"; Set INCMAC # Income Aggregates # (Land, Labour, Capital, OCT, IndTaxes); Coefficient (all,i,INCMAC) INCGDP(i) # Income Aggregates #; Formula INCGDP("Land") = V1LND_I; INCGDP("Labour") = V1LAB_IO; INCGDP("Capital") = V1CAP_I; INCGDP("OCT") = V1OCT_I; INCGDP("IndTaxes") = V0TAX_CSI; Write INCGDP to file SUMMARY header "IMAC" longname "Income Aggregates"; Set TAXMAC # Tax Aggregates # (Intermediate,Investment,Consumption,Exports,Government,Tariff); Coefficient (all,t,TAXMAC) TAX(t) # Tax Aggregates #; Formula TAX("Intermediate") = V1TAX_CSI; TAX("Investment") = V2TAX_CSI; TAX("Consumption") = V3TAX_CS; TAX("Exports") = V4TAX_C; TAX("Government") = V5TAX_CS; TAX("Tariff") = V0TAR_C; Write TAX to file SUMMARY header "TMAC" longname "Tax Aggregates"; ! Excerpt 36 of TABLO input file: ! ! Matrix of Industry Costs ! Set COSTCAT # Cost Categories # (IntDom, IntImp, margin, IndTax, Lab, Cap, Lnd, ProdTax); ! co ! Coefficient (all,i,IND)(all,co,COSTCAT) COSTMAT(i,co); Formula (all,i,IND) COSTMAT(i,"IntDom") = sum{c,COM, V1BAS(c,"dom",i)}; (all,i,IND) COSTMAT(i,"IntImp") = sum{c,COM, V1BAS(c,"imp",i)};
266 Lampiran 2. Lanjutan (all,i,IND) COSTMAT(i,"margin") = sum{c,COM, sum{s,SRC, sum{m,MAR, V1MAR(c,s,i,m)}}}; (all,i,IND) COSTMAT(i,"IndTax") = sum{c,COM, sum{s,SRC, V1TAX(c,s,i)}}; (all,i,IND) COSTMAT(i,"Lab") =V1LAB_O(i); (all,i,IND) COSTMAT(i,"Cap") =V1CAP(i); (all,i,IND) COSTMAT(i,"Lnd") =V1LND(i); (all,i,IND) COSTMAT(i,"ProdTax") =V1OCT(i); Write COSTMAT to file SUMMARY header "CSTM" longname "Cost Matrix"; Formula (all,i,IND)(all,co,COSTCAT) ! convert to % shares and re-write ! COSTMAT(i,co)= 100*COSTMAT(i,co)/(TINY+V1TOT(i)); Write COSTMAT to file SUMMARY header "COSH" longname "Cost Share Matrix"; ! Excerpt 37 of TABLO input file: ! ! Matrix of domestic commodity sales with total imports ! Set ! Subscript ! SALECAT # SALE Categories # (Interm, Invest, HouseH, Export, GovGE, Stocks,margins, Total, Imports); Coefficient (all,c,COM)(all,sa,SALECAT) SALEMAT(c,sa); Formula (all,c,COM) SALEMAT(c,"Interm") = sum{i,IND, V1BAS(c,"dom",i)}; (all,c,COM) SALEMAT(c,"Invest") = sum{i,IND, V2BAS(c,"dom",i)}; (all,c,COM) SALEMAT(c,"HouseH") = sum{h,HH,V3BAS(c,"dom",h)}; (all,c,COM) SALEMAT(c,"Export") = V4BAS(c); (all,c,COM) SALEMAT(c,"GovGE") = V5BAS(c,"dom"); (all,c,COM) SALEMAT(c,"Stocks") = V6BAS(c,"dom"); (all,c,COM) SALEMAT(c,"margins") = MARSALES(c); (all,c,COM) SALEMAT(c,"Total") = SALES(c); (all,c,COM) SALEMAT(c,"Imports") = V0IMP(c); write SALEMAT to file SUMMARY header "SLSM" longname "Matrix of domestic commodity sales with total imports"; Formula (all,c,COM)(all,sa,SALECAT) SALEMAT(c,sa) = 100*SALEMAT(c,sa)/[TINY+SALES(c)]; (all,c,COM) SALEMAT(c,"Imports")= 100*V0IMP(c)/[TINY+DOMSALES(c)+V0IMP(c)]; Write SALEMAT to file SUMMARY header "SLSH" longname "market shares for domestic goods with total import share"; ! Excerpt 37 of TABLO input file: ! ! Weight Vectors for use in aggregation and other calculations ! Write V1TOT to file SUMMARY header "1TOT" longname "Industry Output"; V2TOT to file SUMMARY header "2TOT" longname "Investment by Industry"; V1PUR_SI to file SUMMARY header "1PUR" longname "Interm.Usage by com at PP"; V2PUR_SI to file SUMMARY header "2PUR" longname "Invest.Usage by com at PP"; V3PUR_S to file SUMMARY header "3PUR" longname "Consumption at Purch.Prices"; V4PUR to file SUMMARY header "4PUR" longname "Exports at Purchasers Prices";
267 Lampiran 2. Lanjutan V1LAB_O to file SUMMARY header "LAB1" longname "Industry Wages"; V1CAP to file SUMMARY header "1CAP" longname "Capital Rentals"; V1PRIM to file SUMMARY header "VLAD" longname "Industry Factor Cost"; ! Excerpt 38 of TABLO input file: ! Set SALECAT2 # SALE Categories # (Interm, Invest, HouseH, Export, GovGE, Stocks); FLOWTYPE # type of flow # (Basic, margin, Tax); Coefficient (all,c,COM)(all,f,FLOWTYPE)(all,s,SRC)(all,sa,SALECAT2) SALEMAT2(c,f,s,sa) # Basic, margin and tax components of purchasers' values #; Formula (all,c,COM)(all,f,FLOWTYPE)(all,s,SRC)(all,sa,SALECAT2) SALEMAT2(c,f,s,sa)=0; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"Interm") = sum{i,IND,V1BAS(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"Interm") = sum{i,IND,V1TAX(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"Interm") = sum{i,IND, sum{m,MAR, V1MAR(c,s,i,m) }}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"Invest") = sum{i,IND,V2BAS(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"Invest") = sum{i,IND,V2TAX(c,s,i)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"Invest") = sum{i,IND, sum{m,MAR, V2MAR(c,s,i,m) }}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"HouseH") = sum{h,HH,V3BAS(c,s,h)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"HouseH") = sum{h,HH,V3TAX(c,s,h)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"HouseH")= sum{m,MAR,sum(h,HH,V3MAR(c,s,m,h))}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"GovGE") = V5BAS(c,s); (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Tax" ,s,"GovGE") = V5TAX(c,s); (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"margin",s,"GovGE")= sum{m,MAR,V5MAR(c,s,m)}; (all,c,COM) SALEMAT2(c,"Basic","dom","Export") = V4BAS(c); (all,c,COM) SALEMAT2(c,"Tax" ,"dom","Export") = V4TAX(c); (all,c,COM) SALEMAT2(c,"margin","dom","Export")= sum{m,MAR,V4MAR(c,m)}; (all,c,COM)(all,s,SRC) SALEMAT2(c,"Basic",s,"Stocks") = V6BAS(c,s); write SALEMAT2 to file SUMMARY header "MKUP" longname "Basic, margin and tax components of purchasers' values"; Write GOVTREV to file SUMMARY header "TGOV"; GOVTEXP to file SUMMARY header "GGOV";
268 Lampiran 2. Lanjutan !Additions to ORANIGNM.TAB! !******************************************************************************! !Dynamic Extension! !******************************************************************************! ! Excerpt 35 of TABLO input file: ! ! Investment/capital accumulation equations ! Coefficient (INTEGER) W # number of years covered by simulation #; Read W From Terminal; ! entered by user at runtime ! Coefficient (All,i,IND) R_W(i) # real investment/capital ratio #; Read R_W From File MDATA Header "YBYK"; !numbers like 0.07 ! Update (Change) (All,i,IND) R_W(i) = R_W(i)*[x2tot(i)-x1cap(i)]/100; Coefficient (All,i,IND) DEP(i) # depreciation factors #; Read DEP From File MDATA Header "DPRC"; ! numbers like 0.95 ! !Coefficient (all,i,IND) BETA_R(i);1! !Read BETA_R From File MDATA Header "BETR";! Set YEARS MAXIMUM SIZE 100 SIZE W; Coefficient (all,y,YEARS) ORD(y) # = y for y = 1 to W #; Read ORD From Terminal; ! entered by user at runtime ! Coefficient (All,i,IND) Z(i) # K(W)/K(0)#; Formula (Initial) (All,i,IND) Z(i) = 1; Update (All,i,IND) Z(i) = x1cap(i); Coefficient (All,i,IND) R_0(i) # Y(0)/K(0)#; Formula (Initial) (All,i,IND) R_0(i) = R_W(i); Coefficient (All,i,IND) DEP_W(i) # DEP to the power of W #; Formula (Initial) (All,i,IND) DEP_W(i) = DEP(i)^W; Coefficient (All,i,IND) N_term(i) # useful constant #; Formula (Initial) (All,i,IND) N_term(i) = Sum(y,YEARS, DEP(i)^{W -ORD(y)} );!note y takes values 1 to W! Coefficient (All,i,IND) M_term(i) # useful constant #; Formula (Initial) (All,i,IND) M_term(i) = Sum(y,YEARS,([ORD(y)-1]/W)*DEP(i)^{W -ORD(y)} ); Coefficient (All,i,IND) K_TERM(i) # delFudge coefficient #; Formula (All,i,IND) K_TERM(i) = 100 *[DEP_W(i) - 1 + R_0(i)*N_term(i)] /Z(i); Equation E_x2tot # investment/capital accumulation # (All,i,IND) x1cap(i) = K_TERM(i)*delFudge + M_term(i)*R_W(i)*x2tot(i) + f_accum(i); !***** real wage adjustment mechanism *****!
269 Lampiran 2. Lanjutan Variable employ_i # Aggregate employment: wage bill weights #; Equation E_employ_i V1LAB_IO*employ_i = sum{i,IND, V1LAB_O(i)*employ(i)}; Variable emptrend # Trend employment #; Variable (change) delempratio # Ordinary change in (actual/trend) employment #; Coefficient EMPRAT # (Actual/trend) employment:i.e in steady state => 1 #; Read EMPRAT from file MDATA header "EMPR"; Update (change) EMPRAT=delempratio; Coefficient (parameter) EMPRAT0 # Initial (actual/trend) employment #; Formula (initial) EMPRAT0=EMPRAT; Equation E_delempratio # Ordinary change in (actual/trend) employment # delempratio=0.01*EMPRAT*[employ_i-emptrend]; Variable (change) delwagerate # Change in real wage index #; Coefficient WAGERATE # Index of real wages #; Formula (initial) WAGERATE=1.0; !index is rebased each period! Update (change) WAGERATE=delwagerate; Equation E_delwagerate # Change in real wage index # delwagerate=0.01*WAGERATE*realwage; Coefficient (parameter) ELASTWAGE # Elasticity of wage to employment:i.e. 0.5 #; Read ELASTWAGE from file MDATA header "ELWG"; Variable (change) delfwage # Shifter for real wage adjustment mechanism #; Equation E_delfwage # Real wage adjustment mechanism # delwagerate=delfwage+ELASTWAGE*{[EMPRAT0-1.0]*delUnity+delempratio}; !To use, set delfwage exogenous and shock emptrend by labour force growth rate. Both the real wage and employment are endogenous. The final equation then works an upward sloping labour supply schedule, which continually moves to the right (up) as long as actual employment exceeds trend. To switch off, set delfwage endogenous and exogenize either the real wage or employment.! !***** End of Capital Accumulation Mechanism *****! ! end of file !
270 Lampiran 3. Closure Penelitian ! Closure Exogenous utility ; ! HH Number of households Exogenous f5 ; ! COM*SRC Government demand shift! Exogenous f4p ; ! COM Price (upward) shift in export demand schedule Exogenous f4q ; ! COM Quantity (right) shift in export demands Exogenous fx6 ; ! COM*SRC Shifter on rule for stocks Exogenous phi ; ! 1 Exchange rate, rupiah/$world Exogenous a3_s ; ! COM*HH Taste change, hhold imp/dom composite Exogenous a1fac ; ! AGRIFAC*AGIND Primary factor tech. change, agri. Exogenous a1tot ; ! IND All input augmenting technical change Exogenous a2tot ; ! IND Neutral technical change - investment Exogenous f1oct ; ! IND Shift in price of "other cost" tickets Exogenous t0imp ; ! COM Power of tariff Exogenous a1faco ; ! N_AGRIFAC*N_AGIND Prim. factor tech. change, other Exogenous a1prim ; ! IND All factor augmenting technical change Exogenous x5tot; !f5tot2 ; ! 1 Ratio between f5tot and x3tot Exogenous fgov_f ; ! TYPE Shift in transfers: govt. -- foreign Exogenous fgov_h ; ! HH*TYPE Shift in transfers: govt. -- households Exogenous pf0cif ; ! COM C.I.F. foreign currency import prices Exogenous f0tax_s ; ! COM General sales tax shifter Exogenous f3tot_h ; ! HH Ratio, consumption/income by hh Exogenous f3tax_cs ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on household usage Exogenous f5tax_cs ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on government usage Exogenous f1inc_tax ; ! 1 Overall income tax shifter Exogenous f1lab_i_x ; ! OCC Skill-specific labour shifter Exogenous f1tax_csi ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on intermediate usage Exogenous f2tax_csi ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on investment Exogenous f4p_ntrad ; ! 1 Upward demand shift, non-traditional export aggregate Exogenous f4q_ntrad ; ! 1 Right demand shift, non-traditional export aggregate Exogenous x1cap_vah ; ! HH variable capital by household, agri. Exogenous x1cap_vnh ; ! HH variable capital by household, non-agri. Exogenous x1lab_i_h ; ! OCC*HH Household labour supply Exogenous x1lndi_hh ; ! AGIND*HH Household supply of land, agri. Exogenous f4tax_trad ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on tradtnl exports Exogenous x1cap_f_hh ; ! N_AGIND*HH fixed capital by hhold, non-ag. Exogenous f4tax_ntrad ; ! 1 Uniform % change in powers of taxes on nontradtnl exports Exogenous emptrend ; ! Trend employment exogenous delUnity;!dummy variable, always exogenously set to one exogenous f_accum;! shifter to switch on accumulation equation exogenous delfwage ;! shifter for real wage adjustment mechanism exogenous delfudge; exogenous r1cap_i; Rest endogenous;
271 Lampiran 4. Dampak Peningkatan Produktivitas Industri Pertanian terhadap Harga Output di Sektor Lain (%) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Sektor/Komoditi Padi Kedelai Jagung Ubi Kayu Sayuran dan Buah-buahan Tanaman Pangan Lain Karet Tebu Kelapa Kelapa Sawit Tembakau Kopi Teh Kakao Tanaman Perkebunan Lain Tanaman Lain Peternakan Hasil Hutan Perikanan Pertambangan Industri Lainnya Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Jasa Transportasi Lembaga Keuangan Pemerintahan Umum dan Pertahanan Jasa Lainnya
Perubahan Harga Output 5.93 4.33 4.80 7.36 5.87 4.47 1.48 3.47 4.76 2.52 2.29 1.86 1.68 2.71 2.17 3.55 3.24 2.13 5.19 0.38 0.83 1.49 -1.17 3.13 1.82 3.22 2.53 2.93