KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN, 2000-2003 Nizwar Syafa’at, Supena Friyatno, Sudi Mardianto dan Suryadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan A. Yani 70 Bogor
PENDAHULUAN Sebagai kelanjutan dari program tahun sebelumnnya, mulai tahun 2000, Departemen Pertanian memfokuskan pada dua program utama yaitu : (1) Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis dan (2) Peningkatan Ketahanan Pangan. Tujuan akhir kedua program tersebut adalah untuk memulihkan kondisi sektor Pertanian dari krisis multidimensi yang menerpa Indonesia sejak tahun 1997. Secara rinci tujuan akhir program tersebut adalah: (1) meningkatkan kapasitas produksi pertanian; (2) mengentaskan kemiskinan di sektor pertanian dan wilayah pedesaan; (3) meningkatkan pendapatan rumah tangga tani; (4) memantapkan ketahanan pangan baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat nasional; (5) meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sektor pertanian; dan (6) meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap devisa negara. Keenam tujuan akhir pembangunan pertanian tersebut perlu dijadikan sebagai indikator pembangunan pertanian. Kinerja pembangunan pertanian merupakan hasil perpaduan antara kebijakan mikro sektoral Departemen Pertanian dan kebijakan makro serta tatanan lingkungan strategis yang mempengaruhi sektor pertanian baik yang terjadi tahun berjalan maupun yang terjadi tahun sebelumnya. Untuk melihat sejauhmana proses pemulihan sektor pertanian dari krisis multidimensi yang terjadi sejak tahun 1997, maka pendekatan analisis yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis komparatif kinerja yaitu “sebelum dan sesudah terjadinya krisis multidimensi”, dengan menggunakan indikator yang menjadi tujuan akhir pembangunan pertanian tersebut di atas. Dengan menggunakan pendekatan analisis komparatif seperti itu, maka periode analisis dalam tulisan ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu : (1) periode sebelum krisis (1993-1997); periode krisis (1998-1999) dan periode pemulihan (2000-2003). Tulisan ini memuat fakta-fakta dan analisis obyektif mengenai kinerja sektor pertanian selama periode 2000-2003. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan gambaran secara jelas dan obyektif kepada publik, petani dan pelaku agribisnis, perencana dan pelaksana pembangunan pertanian di pusat maupun di daerah mengenai keberhasilan dan kendala yang dihadapi Departemen Pertanian dalam mencapai tujuan dan sasaran program yang telah dirumuskan. KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN, 2000-2003 Nizwar Syafa’at, Supena Friyatno, Sudi Mardianto dan Suryadi
1
KINERJA PRODUKSI Produk Domestik Bruto Selama periode tahun 1998 – 1999 laju pertumbuhan sektor pertanian (tanaman bahan makanan, perkebunan dan peternakan) sangat rendah dan cenderung menurun, dari 1,57 persen pada periode tahun 1993-1997 menjadi hanya 0,88 persen pada periode tahun 1998-1999. Pada periode tahun 1998-1999, subsektor peternakan mengalami kontraksi, tumbuh negatif 3,89 persen jauh di bawah pertumbuhan rata-rata selama periode 1993-1997 yang mencapai 5,01 persen. Subsektor perkebunan hanya mengalami pertumbuhan sebesar 0,98 persen masih jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama periode 1993-1997 yang mencapai 4,30 persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa selama periode tahun 1998–1999 sektor pertanian telah terperosok ke dalam perangkap “spiral pertumbuhan rendah” dan yang terburuk keragaannya ialah subsektor peternakan. Keragaan sektor pertanian selama periode tahun 2000-2003 telah mengalami pemulihan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Selama periode 20002003 laju pertumbuhan sektor pertanian mencapai 1,83 persen, lebih tinggi dibanding periode 1998-1999, maupun periode tahun 1993-1997 (sebelum krisis multidimensi) yang mencapai 1,57 persen. Selain itu, apabila dilihat dari indeks PDB, sektor pertanian menunjukkan adanya peningkatan yang konsisten sejak tahun 2000, dan mulai tahun 2003 sektor pertanian sedang menuju pertumbuhan berkelanjutan seperti periode sebelum masa krisis ekonomi. Subsektor tanaman bahan makanan menunjukkan kinerja yang semakin membaik, yang terlihat dari laju pertumbuhannya sebesar 0,58 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan ratarata pertumbuhan selama periode sebelum krisis ekonomi yang hanya mencapai 0,13 persen. Hal yang sama juga terjadi pada subsektor perkebunan yang tumbuh sebesar 5,02 persen, lebih tinggi dari periode sebelum krisis sebesar 4,30 persen, sedangkan subsektor Peternakan walaupun telah tumbuh positif sebesar 3,13 persen, namun masih lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelum krisis yang mencapai 5,01 persen. Setelah mengalami sedikit kontraksi (tumbuh negatif 0,74%) pada tahun 1998, PDB sektor pertanian dan peternakan telah pulih, melampaui level sebelum krisis, pada tahun 1999. Sebagai perbandingan, total perekonomian yang pada tahun 1998 mengalami kontraksi luar biasa (tumbuh negatif 13,13%) baru mengalami pemulihan pada tahun 2003. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sektor pertanian dan peternakan merupakan sektor yang paling ringan terkena dampak krisis dan cepat pulih ke kondisi sebelum krisis dibandingkan dengan sektor perekonomian secara umum. Namun demikian, pertumbuhan sektor pertanian dan peternakan pasca krisis masih belum sepenuhnya stabil.
AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 1-16
2
Di dalam sektor pertanian dan peternakan itu sendiri terlihat bahwa subsektor perkebunan merupakan subsektor yang tidak pernah mengalami kontraksi, sementara subsektor tanaman bahan makanan telah pulih di atas level sebelum krisis sejak tahun 1999 dan subsektor peternakan baru pulih ke level sebelum krisis pada tahun 2003. Lambatnya pemulihan subsektor peternakan disebabkan oleh dua hal utama, yaitu depresiasi nilai rupiah yang mengakibatkan ongkos produksi meningkat dan adanya resesi ekonomi sehingga permintaan komoditas peternakan menurun. Dengan perkataan lain, subsektor peternakan terjepit oleh dua tekanan sekaligus, yaitu supply push down (dorongan penawaran ke bawah) dan demand pull back (tarikan permintaan ke belakang). Akibatnya pemulihan subsektor peternakan menjadi lebih lambat dibandingkan dengan subsektor yang lain. Keragaan subsektor tanaman bahan makanan selama periode tahun 20002003, relatif lebih baik dibanding selama periode sebelum krisis ekonomi (1993997). Ini semua tidak terlepas dari kebijakan Departemen Pertanian selama periode 2000-2003 yang memfokuskan pada upaya mewujudkan kemandirian pangan, khususnya pangan beras, bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kiranya sahih untuk menyimpulkan bahwa sektor Pertanian telah terlepas dari “perangkap spiral pertumbuhan rendah” yang berlangsung selama periode tahun 1998–1999. Produksi Komoditas Produksi Tanaman Pangan Padi Selama kurun waktu 1993-2004, keragaan produksi padi relatif lebih baik dibandingkan dengan keragaan tanaman pangan yang lain kecuali jagung. Selama kurun waktu tersebut, produksi padi selalu tumbuh positif, kecuali pada tahun 1997, 1998 dan 2001 tumbuh negatif akibat dari pengaruh anomali iklim El Nino. Kondisi ini menunjukkan bahwa apabila kondisi iklim normal maka upaya peningkatan produksi padi bukanlah hal yang sulit untuk dicapai. Namun demikian yang patut dicermati adalah belum stabilnya laju pertumbuhan produksi padi setiap tahunnya. Selama kurun waktu 2000-2004, laju pertumbuhan produksi padi berfluktuasi dengan kisaran antara 0,62-2,04 persen. Kondisi ini perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah mengingat kecenderungan permintaan pangan beras yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya pendapatan. Belum stabilnya laju pertumbuhan produksi padi, apabila ditelaah lebih lanjut ternyata disebabkan oleh masih tergantungnya sumber pertumbuhan produksi yang berasal dari peningkatan produktivitas, sementara luas panen padi cenderung turun. Selama kurun waktu 2000-2003, luas panen padi tumbuh negatif sebesar 1,06 persen per tahun. Penurunan pertumbuhan luas panen diduga disebabkan oleh adanya konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian, KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN, 2000-2003 Nizwar Syafa’at, Supena Friyatno, Sudi Mardianto dan Suryadi
3
serangan hama penyakit, banjir dan kekeringan serta adanya respon petani terhadap perubahan rasio harga padi terhadap harga komoditas pangan lainnya yang lebih menguntungkan, pembangunan dan rehabilitasi irigasi yang semakin lambat akibat terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah dan kesemuanya ini amat sukar dicegah dan di luar kendali Departemen Pertanian. Namun demikian, walaupun terjadi penurunan luas panen pada periode tersebut, namun dengan adanya peningkatan produktivitas selama periode 2000-2003 sebesar 1,59 persen per tahun, telah mampu mendorong peningkatan produksi padi secara nasional. Peningkatan produktivitas padi ini tidak terlepas dari keberhasilan pelaksanaan kebijakan Departemen Pertanian melalui Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (PROKSI MANTAP). Program aksi ini menetapkan target peningkatan produktivitas pada tahun 2003 sebesar 0,81 persen, namun target tersebut berdasarkan Angka Sementara BPS telah terlampaui menjadi 1,53 persen. Peningkatan produktivitas padi yang cukup tinggi tersebut mampu menutupi penurunan luas panen sebesar –0,38 persen. Dengan demikian secara keseluruhan produksi padi pada tahun 2003 meningkat sebesar 1,14 persen, yaitu dari 51,49 juta ton pada tahun 2002 menjadi 52,08 juta ton, sementara target PROKSI MANTAP sebesar 53,0 juta ton atau naik sebesar 3,15 persen. Berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) I BPS, pada tahun 2004 produksi padi diperkirakan mencapai 53,10 juta ton, atau meningkat sebesar 1,96 persen dibandingkan tahun 2003. Perkiraan peningkatan produksi tahun 2004 dipicu oleh peningkatan luas panen yang mencapai sebesar 2,40 persen, sementara produktivitas turun -0,43 persen. Strategi pelaksanaan PROKSI MANTAP untuk meningkatkan produksi padi, ditempuh melalui : (a) peningkatan produktivitas, (b) perluasan areal tanam (PAT), (c) pengamanan produksi, serta (d) pengolahan dan pemasaran hasil. Peningkatan produktivitas dilaksanakan melalui peningkatan mutu intensifikasi dengan menerapkan rekayasa ekonomi, rekayasa sosial dan teknologi maju yang efisien dan spesifik lokasi, serta didukung oleh penerapan alat dan mesin pertanian dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Teknologi yang dikembangkan mulai dari tahap praproduksi hingga panen/pasca panen dan pengolahan hasil. PAT ditempuh melalui: (a) optimalisasi lahan pada sawah lahan bero/tidur, perkebunan, kehutanan, hutan tanaman industri, serta lahan lainnya, (b) rehabilitasi dan konversi lahan serta (c) penambahan luas baku lahan pada berbagai tipologi lahan, khususnya di luar Jawa. Pengamanan produksi utamanya ditujukan untuk mengatasi gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) melalui sistem pengendalian hama terpadu (PHT), kemudian antisipasi secara dini terhadap dampak penyimpangan iklim dan menerapkan teknologi panen dan pasca panen yang sesuai untuk mengurangi kehilangan hasil. Apabila angka ARAM I 2004 tersebut terwujud maka impor beras Indonesia akan menurun tajam atau bahkan tidak diperlukan lagi. Dengan perkataan lain, kemandirian pangan beras dalam arti pemenuhan sepenuhnya dari produksi dalam negeri akan terwujud.
AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 1-16
4
Mengingat padi (beras) merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk Indonesia, maka pemerintah masih harus terus mengupayakan peningkatan produksi padi. Potensi peningkatan produksi padi di Indonesia masih terbuka, melalui pemanfaatan lahan lebak di luar Jawa dan peningkatan mutu intensifikasi pada lahan irigasi. Salah satu kendala terbesar dalam peningkatan produksi padi di Indonesia, selain stagnasi dalam inovasi teknologi, khususnya dalam penciptaan bibit unggul, adalah semakin memburuknya kualitas dan kuantitas jaringan irigasi. Harus diakui, pengaruh perubahan lingkungan yang semakin buruk telah mengakibatkan kualitas dan kuantitas air yang dapat ditampung dalam bendunganbendungan semakin terbatas. Semakin sempitnya daerah resapan mengakibatkan pada saat musim hujan akan rawan banjir dan pada saat musim kemarau air akan cepat menyusut karena jumlah air yang dapat ditangkap oleh tanah relatif sedikit. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu mengupayakan perbaikan lingkungan, khususnya mencegah terjadinya penggundulan dan perambahan hutan.
Jagung Keragaan produksi jagung selama kurun waktu 1993-2003 merupakan yang terbaik dibandingkan dengan tanaman pangan yang lain, termasuk padi. Pertumbuhan produksi jagung selama periode 2000-2003 yang mencapai 3,38 persen per tahun juga merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan tanaman pangan yang lain. Laju pertumbuhan produksi jagung pada periode tersebut hampir mendekati laju pertumbuhan sebelum krisis (1993-1997) yang mencapai 4,97 persen per tahun. Dari perkembangan laju pertumbuhan produksi jagung selama kurun waktu 1993-2003, yang perlu dicatat adalah laju pertumbuhan produksi tahun 2003 yang mencapai 13,01 persen. Laju pertumbuhan ini mendekati laju pertumbuhan tahun 1998 yang mencapai 15,95 persen. Kondisi ini setidaknya dapat dijadikan indikasi awal bahwa keragaan tanaman pangan, khususnya jagung, telah menuju kepada situasi sebelum krisis bahkan dengan kecenderungan yang lebih baik. Seperti halnya padi, peningkatan produksi jagung ternyata lebih banyak ditentukan oleh pertumbuhan produktivitas, sementara luas panen jagung cenderung mengalami penurunan. Selama kurun waktu 2000-2003, luas panen jagung turun sebesar -1,53 persen per tahun, sementara produktivitas meningkat sebesar 4,95 persen per tahun. Namun apabila ditelaah lebih lanjut, keragaan luas panen dan produktivitas jagung tahun 2003 perlu mendapat catatan khusus. Pada tahun tersebut luas panen jagung meningkat sebesar 8,10 persen, sementara produktivitasnya meningkat sebesar 4,54 persen. Kondisi ini mengakibatkan produksi jagung mencapai 10,91 juta ton atau meningkat sebesar 13,01 persen, suatu tingkat produksi jagung tertinggi yang pernah dicapai selama ini. Keragaan produksi jagung yang dicapai pada tahun 2003 sedikit di bawah target PROKSI MANTAP yang mencanangkan produksi jagung pada tahun 2003 sebesar 11,5 juta ton. Kurang terpenuhinya target PROKSI MANTAP disebabkan oleh tidak KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN, 2000-2003 Nizwar Syafa’at, Supena Friyatno, Sudi Mardianto dan Suryadi
5
tercapainya target luas panen yang ditetapkan tumbuh sebesar 21,91 persen, sementara target produktivitas justru terlampaui karena hanya ditargetkan tumbuh sebesar 0,88 persen, sementara realisasinya mencapai 4,54 persen. Berdasarkan proyeksi Puslitbangsosek Pertanian, kebutuhan jagung dalam negeri pada tahun 2003 sekitar 7,4 juta ton, sehingga dengan capaian produksi jagung tahun 2003 yang mencapai 10,91 juta ton, maka Indonesia pada tahun tersebut surplus hingga mencapai 3,5 juta ton. Dengan demikian, apabila tingkat produksi tersebut dapat terus dipertahankan (tidak mengalami kenaikan atau penurunan), maka Indonesia akan menjadi net exporter jagung sampai tahun 2020, karena berdasarkan proyeksi, permintaan jagung pada tahun 2020 diperkirakan hanya sebesar 10,05 juta ton. Optimisme surplus jagung semakin mantap apabila ARAM I BPS yang memperkirakan produksi jagung pada tahun 2004 mencapai 11,36 juta ton atau meningkat sebesar 4,11 persen tercapai. Kondisi perekonomian yang semakin kondusif, akan semakin mendorong pertumbuhan sektor peternakan yang sempat terpuruk pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998-1999. Membaiknya pertumbuhan sektor peternakan berpengaruh cukup besar terhadap perkembangan produksi jagung, karena jagung merupakan bahan baku utama pembuatan pakan ternak, khususnya untuk pakan ayam ras. Walaupun pada tahun 2004 sektor peternakan kembali diganggu dengan terjadinya wabah flu burung, namun pertumbuhan sektor peternakan, khususnya ayam ras, akan tetap menjanjikan sehingga permintaan pakan ternak akan kembali meningkat yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan permintaan jagung. Untuk itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi jagung, baik melalui peningkatan produktivitas maupun luas panen. Peningkatan produktivitas diupayakan melalui perbaikan teknologi, seperti penggunaan benih hibrida, perbaikan budidaya dan pengembangan alat pasca panen, sementara peningkatan luas panen diupayakan melalui peningkatan intensitas tanam jagung dan pencetakan lahan pertanian baru. Kedelai, Kacang Tanah, Ubi Kayu dan Ubi Jalar Kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar merupakan kelompok tanaman pangan yang tergolong sebagai secondary crop. Artinya keempat jenis tanaman tersebut akan ditanam apabila situasi iklim dan ketersediaan air sudah tidak sesuai lagi untuk usahatani padi atau jagung. Dengan kondisi tersebut maka produksi keempat komoditas tanaman pangan tersebut relatif lebih berfluktuasi dibandingkan dengan produksi padi atau jagung. Berfluktuasinya produksi tersebut lebih disebabkan oleh berfluktuasinya luas panen, sementara produktivitas relatif tetap bahkan cenderung meningkat. Selama kurun waktu 2000-2003, produksi kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar mengalami pertumbuhan positif masing-masing sebesar 3,22; 2,81; dan 3,33 persen per tahun, sementara produksi kedelai mengalami pertumbuhan negatif AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 1-16
6
sebesar -18,48 persen per tahun. Sumber pertumbuhan produksi kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar utamanya adalah dari peningkatan produktivitas yang selama kurun waktu 2000-2003 masing-masing sebesar 1,11; 13,3; dan 10,19 persen per tahun. Luas panen ketiga komoditas tersebut selama kurun waktu yang sama, masing-masing tumbuh sebesar 0,85; -2,40; dan -1,08 persen per tahun. Khusus untuk kedelai, penurunan produksi selama kurun waktu 2000-2003, ternyata lebih disebabkan oleh penurunan luas panen yang mencapai 19,63 persen per tahun, sementara produktivitasnya justru meningkat sebesar 1,24 persen per tahun. Sama seperti halnya padi dan jagung, produksi kacang tanah dan ubi kayu pada tahun 2003 yang masing-masing mencapai sekitar 785 ribu ton dan 18,5 juta ton merupakan pencapaian produksi yang tertinggi selama ini. Produksi kacang tanah dan ubi kayu yang dicapai tersebut melampaui target PROKSI MANTAP yang menetapkan produksi tahun 2003 masing-masing sebesar 777 ribu ton dan 17,48 juta ton. Terlampauinya target PROKSI MANTAP untuk kacang tanah, karena luas panen dan produktivitas tahun 2003 meningkat cukup tinggi yaitu 3,61 persen dan 5,48 persen. Sementara itu, untuk ubi kayu luas panen tahun 2003 turun sebesar –5,96 persen, sedangkan produktivitas meningkat sangat tinggi sebesar 16,15 persen. Produksi ubi jalar pada tahun 2003 juga meningkat cukup tinggi yaitu dari sekitar 1,77 juta ton pada tahun 2002 menjadi sekitar 2,0 juta ton pada tahun 2003, atau meningkat sebesar 12,76 persen. Peningkatan produksi tersebut dipicu oleh peningkatan produktivitas sebesar 17,02 persen, sementara luas panennya justru mengalami penurunan sebesar -5,96 persen. Penurunan produksi kedelai yang telah dimulai sejak sebelum krisis nampaknya terus berlanjut hingga tahun 2003. Produksi kedelai pada tahun 2003 menurun sebesar 0,09 persen. Penurunan ini disebabkan karena luas panennya mengalami penurunan sebesar -2,80 persen, sementara produktivitasnya meningkat sebesar 2,79 persen. Melihat kondisi ini dapat dikatakan bahwa kecuali kedelai hampir semua tanaman pangan produksinya mempunyai prospek yang cukup baik. Untuk dapat mengakselerasi peningkatan produksi kedelai dibutuhkan terobosan inovasi teknologi yang sangat besar. Berdasarkan ARAM I BPS, kecuali ubi jalar produksi kedelai, kacang tanah dan ubi kayu pada tahun 2004 mengalami peningkatan dengan kisaran antara 3,91-5,30 persen, sementara produksi ubi jalar turun sebesar 6,91 persen. Peningkatan produksi tahun 2004 tersebut umumnya merupakan kombinasi peningkatan luas panen dan produktivitas, kecuali ubi kayu produktivitasnya mengalami penurunan. Semakin membaiknya keragaan produksi keempat komoditas pangan tersebut membuktikan bahwa kebijakan PROKSI MANTAP yang dicanangkan Departemen Pertanian cukup berhasil. Sama seperti halnya pada padi dan jagung, peningkatan produktivitas diupayakan melalui perbaikan teknologi, seperti penggunaan benih unggul, perbaikan budidaya dan pengembangan alat pasca panen, sementara peningkatan luas panen diupayakan melalui peningkatan intensitas tanam dan pemanfaatan lahan tidur/bero.
KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN, 2000-2003 Nizwar Syafa’at, Supena Friyatno, Sudi Mardianto dan Suryadi
7
Produksi Hortikultura Berbeda dengan tanaman pangan yang permintaannya cenderung inelastis, permintaan komoditas hortikultura lebih elastis terhadap perubahan pendapatan dan harga. Dengan demikian seringkali terjadi harga komoditas hortikultura membumbung sangat tinggi pada saat over demand dan terjadi hal yang sebaliknya pada saat over supply. Kondisi tersebut setidaknya terlihat dari keragaan produksi sayuran pada saat sebelum krisis (1993-1997) yang tumbuh pesat dengan kisaran 3,70-27,84 persen per tahun. Pada periode krisis ekonomi (1998-1999), produksi sayuran justru mengalami akselerasi pertumbuhan, khususnya kentang dan cabai yang masing-masing tumbuh 21,84 dan 11,43 persen per tahun. Hal ini dapat terjadi karena pada periode krisis, dengan terjadinya depresiasi nilai rupiah mengakibatkan harga komoditas sayuran meningkat cukup tinggi Ciri dari produk bernilai tinggi, selain membutuhkan biaya (modal) yang cukup besar, juga risiko usahanya cukup tinggi. Kegiatan usahatani sayuran tergolong sebagai kegiatan yang membutuhkan biaya cukup tinggi dan mempunyai risiko gagal panen yang tinggi pula. Dengan demikian, dalam berproduksi petani sayuran sangat memperhatikan perkembangan harga dan kondisi iklim. Penurunan produksi sayuran pada periode 2000-2003 diduga disebabkan oleh salah satu atau perpaduan dari dua hal tersebut di atas. Pada periode tersebut, pertumbuhan produksi sayuran utama seluruhnya mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya, bahkan untuk bawang merah, kubis dan cabai mengalami kontraksi masing-masing sebesar -1,80; -1,81 dan -4,40 persen per tahun, sedangkan kentang dan tomat tumbuh positif relatif kecil, yaitu 0,37 dan 2,54 persen per tahun. Dibandingkan dengan harga, iklim yang kurang kondusif merupakan hal yang paling dipertimbangkan oleh petani sayuran. Iklim yang kurang kondusif selain menyebabkan kerusakan tanaman (diakibatkan oleh banjir atau kekeringan) juga merangsang timbulnya hama penyakit tanaman sayuran. Oleh karena itu, keragaan produksi tanaman sayuran lebih ditentukan oleh perpaduan antara luas panen dan produktivitas. Penurunan produksi sayuran pada periode 2000-2003 disebabkan oleh perpaduan penurunan luas panen dan produktivitas. Sebagai contoh, penurunan pertumbuhan produksi kubis dan cabai pada periode tersebut disebabkan oleh penurunan pertumbuhan luas panen, masing-masing sebesar -0,30 dan -0,14 persen per tahun, sementara pertumbuhan produktivitas turun masingmasing sebesar -1,51 dan -4,26 persen per tahun. Apabila ditelaah lebih lanjut perkembangan produksi selama periode 2000-2003, terlihat bahwa keragaan produksi sayuran tahun 2003 merupakan yang terbaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Produksi sayuran utama pada tahun 2003 seluruhnya mengalami peningkatan dengan kisaran 10,09-36,36 persen. Peningkatan produksi tersebut utamanya disebabkan oleh peningkatan luas panen antara 5,18-82,67 persen, sementara untuk produktivitas hanya cabai dan AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 1-16
8
tomat yang tumbuh positif masing-masing sebesar 4,76 persen dan 7,59 persen, sedangkan sisanya mengalami pertumbuhan negatif antara -1,01 persen sampai dengan -38,52 persen . Untuk komoditas buah-buahan, keragaan produksi pada periode 20002003 merupakan yang terbaik dibandingkan dengan periode sebelum krisis (19931997) maupun periode krisis (1998-1999). Pada periode tersebut, laju pertumbuhan produksi buah-buahan utama berkisar antara 7,34-28,95 persen per tahun. Secara absolut, produksi buah-buahan pada periode 2000-2003 merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan dua periode sebelumnya. Selama kurun waktu tersebut, laju pertumbuhan produksi buah-buahan yang paling tinggi, kecuali pisang, terjadi pada tahun 2002 yang berkisar antara 12,74-84,22 persen, sementara laju pertumbuhan produksi pisang hanya sebesar 1,95 persen. Pada tahun 2003, laju pertumbuhan produksi buah-buahan mengalami penurunan dengan kisaran antara 2,42-15,79 persen. Berfluktuasinya produksi buah-buahan tersebut sesuai dengan siklus musim panen raya yang terjadi selama kurun waktu tertentu. Pada saat musim panen raya, pada umumnya luas panen dan produktivitas akan meningkat, demikian pula sebaliknya apabila terjadi pada musim paceklik. Dengan pola demikian maka harga buah-buahan pada saat panen raya biasanya relatif sangat rendah, sementara pada saat musim paceklik harga buah-buahan relatif cukup tinggi. Keberhasilan Departemen Pertanian dalam mengembangkan produksi buah-buahan semakin terlihat nyata apabila dilihat dari sumber pertumbuhan produksi, yang ditentukan oleh perpaduan antara peningkatan luas panen dan produktivitas. Selama periode 2000-2003, luas panen buah-buahan utama Indonesia seluruhnya tumbuh positif dengan kisaran 1,60-44,30 persen per tahun, sementara laju pertumbuhan produktivitas, selain mangga, semuanya positif dengan kisaran 5,74-13,28 persen per tahun. Pada periode tersebut, laju pertumbuhan produktivitas mangga turun sekitar 28,54 persen per tahun. Uraian mengenai kinerja produksi komoditas hortikultura di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa komoditas hortikultura merupakan salah satu andalan utama sumber akselerasi pertumbuhan sektor pertanian karena sifat permintaannya yang elastis terhadap pendapatan. Volume maupun harga produk hortikultura meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Produk hortikultura, khususnya sayuran, dapat digolongkan sebagai produk bernilai tinggi (high value products), sehingga dapat dijadikan sebagai sumber peningkatan pendapatan keluarga tani, termasuk petani gurem dengan penguasaan luas lahan amat kecil. Pertumbuhan produksi hortikultura yang amat pesat merupakan cerminan keberhasilan program diversifikasi pertanian ke “high value commodities“, yang merupakan strategi utama untuk meraih pertumbuhan tinggi dan meningkatkan pendapatan keluarga tani.
KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN, 2000-2003 Nizwar Syafa’at, Supena Friyatno, Sudi Mardianto dan Suryadi
9
Sejak lama, kelompok sayuran merupakan salah satu sumber pertumbuhan tinggi sektor pertanian. Sebagai gambaran, pada tahun 1993-1997, pertumbuhan produksi komoditas sayuran tersebut amat pesat dengan laju 3,70–20,46 persen per tahun. Krisis ekonomi 1998 tidak membuat produksi sayuran mengalami kontraksi, bahkan sebagian besar komoditas sayuran justru mengalami akselerasi pertumbuhan produksi. Hal ini terjadi karena harga jual produk sayuran justru membumbung pada masa krisis tersebut. Perpaduan antara penurunan harga dan unsur anomali iklim pasca krisis telah membuat pertumbuhan produksi sayuran anjlok dan bahkan beberapa mengalami kontraksi pada periode tahun 2000–2003. Namun demikian, pada tahun 2002–2003, komoditas sayuran telah kembali ke fase pertumbuhan tinggi. Pada tahun 2003, komoditas utama sayuran, bawang merah, kubis, kentang, cabai dan tomat, tumbuh amat pesat dengan laju 10-36 persen. Pada periode tahun 2000-2003, produksi buah-buahan tumbuh amat pesat, hampir seluruhnya jauh di atas pertumbuhan pada periode tahun 1993-1997, dengan laju pertumbuhan rata-rata 7,34-28,95 persen per tahun. Ini merupakan bukti tak terbantahkan, bahwa buah-buahan merupakan sumber utama pertumbuhan tinggi bagi sektor pertanian. Fenomena pertumbuhan tinggi ini diperkirakan akan terus berlangsung. Kunci utamanya ialah bagaimana meningkatkan produktivitas kebun dan kualitas produk dalam jangka pendek. Sedangkan agenda jangka panjang ialah meningkatkan investasi untuk perluasan kebun. Patut dicatat bahwa usaha pertanian hortikultura cocok untuk dan memang telah didominasi oleh usahatani keluarga skala kecil. Kendala utamanya ialah sifat usahatani yang memiliki risiko tinggi dan butuh modal investasi maupun modal kerja yang cukup besar. Selain itu, kelancaran distribusi dan efisiensi pemasaran juga merupakan kunci bagi akselerasi pertumbuhan tinggi hortikultura. Masalahmasalah tersebut akan terus menjadi prioritas yang ditangani sungguh-sungguh oleh Departemen Pertanian. Produksi Tanaman Perkebunan Komoditas perkebunan merupakan salah satu andalan ekspor sektor pertanian Indonesia. Keragaan produksi beberapa komoditas perkebunan utama Indonesia selama tiga periode, yaitu masa sebelum krisis (1993-1997), masa krisis (1998-1999) dan masa pemulihan (2000-2003), kecuali tebu, umumnya menunjukkan kinerja yang cukup baik. Pada periode 1993-1997, laju pertumbuhan komoditas kelapa sawit dan kakao merupakan yang tertinggi (di atas 10 persen per tahun), sementara teh, kopi dan karet laju pertumbuhannya relatif kecil dengan kisaran 0,16-2,19 persen per tahun, dan tebu tumbuh negatif -2,14 persen per tahun. Pada masa krisis, komoditas perkebunan justru mendapat manfaat yang sangat besar dari terjadinya depresiasi nilai rupiah, sehingga beberapa komoditas perkebunan andalan ekspor, seperti kakao dan kopi pertumbuhan produksinya tumbuh cukup tinggi, yaitu 17,38 dan 10,80 persen per tahun, sedangkan AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 1-16
10
komoditas perkebunan yang lain, kecuali tebu, hanya tumbuh sekitar 1,64-5,49 persen per tahun. Pada masa krisis, produksi tebu justru semakin terpuruk dengan tumbuh negatif sebesar -19,17 persen per tahun. Pada periode tahun 2000-2003, kinerja komoditas perkebunan seluruhnya membaik, kecuali kakao yang tumbuh negatif sebesar -0,42 persen per tahun. Kelapa sawit dan karet pada periode tersebut, menunjukkan kinerja produksi yang sangat mengesankan, yaitu tumbuh positif masing-masing 14,12 dan 16,43 persen per tahun, suatu capaian tertinggi dalam sejarah. Di samping kedua komoditas tersebut, keragaan kinerja produksi yang sangat mengesankan adalah tebu yang tumbuh positif sebesar 7,43 persen per tahun. Khusus untuk tebu, walaupun belum kembali mencapai tingkat produksi pada masa kejayaannya, namun kecenderungan peningkatan produksi selama kurun waktu 5 tahun terakhir, perlu menjadi catatan khusus sebagai keberhasilan Departemen Pertanian. Untuk membangkitkan kembali kinerja industri gula nasional, pemerintah menerapkan kebijakan proteksi sekaligus promosi. Kebijakan promosi yang diterapkan oleh Indonesia saat ini antara lain berupa : (a) subsidi bunga dalam kredit KKP-TR yang alokasinya pada saat ini mencapai Rp. 900 milyar, (b) subsidi pupuk sebesar Rp. 1,3 trilyun untuk berbagai komoditas termasuk tebu, (c) dukungan pengembangan prasarana pengairan yang difasilitasi oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah sebesar Rp. 4,5 trilyun, (d) dukungan permodalan bagi koperasi tebu untuk pembongkaran ratoon, pembangunan kebun bibit dan prasarana pengairan sederhana sebesar Rp. 66,8 milyar dan (d) dukungan dana untuk penyehatan lembaga penelitian dan pengembangan. Prinsip kebijakan proteksi yang ideal adalah mengatur masuknya suatu produk impor (dalam hal ini gula) yang tidak merugikan petani dan industri gula dalam negeri serta tetap memperhatikan kepentingan konsumen. Beberapa kebijakan proteksi yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain : (a) SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 141 Tahun 2002 yang mengharuskan importir 8 komoditas, termasuk gula, untuk memiliki Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK). Dalam kaitan ini, gula mentah (raw sugar) hanya boleh diimpor oleh importir yang mempunyai Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) dan Angka Pengenal Importir Terbatas (API-T); (b) SK Menteri Keuangan No. 324/2002 yang menetapkan tarif impor gula putih sebesar Rp. 700/kg dan gula mentah sebesar Rp. 550/kg; dan (c) SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643 Tahun 2002 yang mengatur tata niaga impor gula Membaiknya kinerja subsektor perkebunan pada periode 2000-2003, semakin terlihat dari keragaan sumber pertumbuhan produksi yang banyak ditentukan oleh perpaduan antara peningkatan luas panen dan produktivitas. Pada periode tersebut, luas panen komoditas perkebunan utama umumnya tumbuh positif, kecuali teh yang tumbuh negatif sebesar -1,36 persen per tahun. Untuk produktivitas, umumnya juga tumbuh positif dengan kisaran 2,91-11,84 persen per KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN, 2000-2003 Nizwar Syafa’at, Supena Friyatno, Sudi Mardianto dan Suryadi
11
tahun, kecuali kakao dan kopi yang tumbuh negatif masing-masing sebesar -4,12 dan -0,44 persen per tahun. Dibandingkan dengan beberapa komoditas perkebunan utama yang lain, perkembangan produksi kelapa sawit dinilai paling menjanjikan. Hal ini terlihat dari peningkatan luas panen dan produktivitas yang cukup konsisten. Selama kurun waktu 2000-2003, produksi kelapa sawit meningkat rata-rata sebesar 14,12 persen per tahun. Sumber utama peningkatan produksi tersebut adalah peningkatan luas panen yang mencapai 10,64 persen per tahun, sementara produktivitas meningkat sebesar 3,49 persen per tahun. Relatif tingginya laju pertumbuhan luas panen merupakan indikasi yang sangat kuat bahwasanya semakin banyak daerah di Indonesia yang mengembangkan kelapa sawit. Beberapa daerah yang sangat gencar mengembangkan kelapa sawit adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Riau dan Jambi. Dengan demikian, dalam kurun waktu 5 tahun yang akan datang produktivitas kelapa sawit diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya umur produktif kelapa sawit. Dari uraian kinerja produksi perkebunan di atas, dapat disimpulkan bahwa subsektor perkebunan juga merupakan andalan sumber pertumbuhan tinggi bagi sektor Pertanian. Pertumbuhan amat tinggi terutama dialami oleh komoditas kelapa sawit dan kakao yang pada tahun 1993-1997 tumbuh dengan laju di atas 10 persen per tahun. Produksi komoditas perkebunan tradisional lainnya, seperti tebu, teh, kopi, dan karet, sudah sejak lama tumbuh lambat, stagnan atau bahkan menurun (tebu/gula). Krisis ekonomi tahun 1998-1999 tidak berdampak negatif atau bahkan berdampak positif terhadap komoditas perkebunan kecuali tebu/gula. Pada tahun 2000-2003, kinerja komoditas perkebunan seluruhnya membaik, jauh lebih baik dibanding pada periode 1993-1997, kecuali untuk kakao. Prestasi luar biasa yang mungkin tidak diperkirakan sebelumnya ialah untuk tebu/gula yang mengalami titik balik ekstrim dari pertumbuhan negatif hingga tahun 1999, menjadi tumbuh positif. Pada tahun 2000-2003, produksi gula tumbuh dengan rata-rata laju 7,43 persen per tahun, jauh di atas pertumbuhan permintaan. Pertumbuhan produk yang amat tinggi tersebut telah berhasil membelokkan trend volume impor gula dari cenderung meningkat akseleratif menjadi cenderung menurun. Ini merupakan bukti empiris bahwa Program Akselerasi Produksi Gula Nasional dilaksanakan dalam tiga empat tahun terakhir telah memberikan hasil yang cukup mengesankan. Walaupun sempat anjlok, berubah dari tumbuh amat tinggi (rata-rata 17,38 persen per tahun pada periode 1998-1999) menjadi tumbuh negatif (bahkan minus hampir 10 persen pada tahun 2000), produksi kakao telah mulai pulih kembali. Sejak tahun 2000, produk kakao telah tumbuh positif dan pada tahun 2003 telah mencapai 4 persen per tahun. Anjloknya laju pertumbuhan produksi kakao tersebut terutama akibat dari anjloknya nilai dolar AS dan harga kakao di pasar dunia, serangan hama penggerek buah, serta pengenaan pajak pertambahan nilai dan pungutan retribusi. Dalam kondisi pasar dan kurs yang tidak baik AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 1-16
12
belakangan ini, disarankan agar pengenaan pajak pertambahan nilai (PPn) dan retribusi atas proses produksi atau pemasaran kakao ditinjau ulang, paling tidak untuk sementara. Ke depan, pertanyaan mendasar ialah apakah pertumbuhan tinggi subsektor perkebunan dapat dipertahankan berkelanjutan? Sumber utama pertumbuhan produksi berkelanjutan untuk tanaman perkebunan ialah pertambahan luas panen. Masalahnya, sejak krisis tahun 1998-1999, investasi swasta maupun pemerintah pada perluasan areal perkebunan belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan signifikan. Kiranya patut dicatat, bahwa investasi swasta pada usaha perkebunan bersifat jangka panjang yang umumnya membutuhkan insentif khusus dari pemerintah. Oleh karena itu, agar pertumbuhan tinggi subsektor perkebunan dapat dipertahankan berkelanjutan, pemerintah perlu memulihkan kembali fasilitas kredit khusus untuk investasi perluasan areal perkebunan.
Produksi Peternakan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau Perkembangan populasi ternak ruminansia besar (sapi dan kerbau) secara umum dapat dikatakan relatif lambat, bahkan untuk ternak kerbau cenderung menurun. Penurunan populasi sapi potong selama kurun waktu 1998-2001, sejak tahun 2002 telah teratasi dan pada tahun 2003 telah mencapai jumlah 11,5 juta ekor. Jumlah tersebut hampir mendekati jumlah populasi tahun 1997 yang mencapai 11,9 juta ekor. Sementara itu, untuk ternak kerbau populasinya semakin menurun, yaitu dari sekitar 3,3 juta ekor pada tahun 1992 menjadi hanya 2,5 juta ekor pada tahun 2003. Penurunan populasi kerbau sangat terkait dengan semakin berkurangnya pemanfaatan ternak tersebut dalam kegiatan pertanian, khususnya untuk pengolahan lahan sawah. Lambannya perkembangan ternak sapi, khususnya sapi potong, disebabkan oleh masih terbatasnya kemampuan sistem perbibitan dan manajemen pengelolaan usaha peternakan sapi. Selain itu, semakin meningkatnya pemotongan sapi betina juga menjadi penghambat lain yang potensial menekan perkembangan populasi ternak sapi di dalam negeri. Namun permasalahan-permasalahan tersebut sedikit demi sedikit sudah mulai dapat diatasi sehingga populasi ternak sapi pada tahun 2002 dan 2003 sudah menunjukkan peningkatan kembali. Peningkatan populasi ternak ruminansia besar yang utama didorong oleh keberhasilan program inseminasi buatan. Perkembangan jumlah populasi ternak sapi potong, sapi perah dan kerbau, secara langsung juga berpengaruh terhadap perkembangan produksi daging maupun susu. Peningkatan populasi ternak sapi potong pada periode 2000-2003, telah mendorong peningkatan produksi daging sapi pada periode tersebut dengan laju 2,32 persen per tahun, sementara semakin menurunnya populasi ternak kerbau juga mendorong penurunan produksi daging kerbau dengan laju sebesar -1,97 KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN, 2000-2003 Nizwar Syafa’at, Supena Friyatno, Sudi Mardianto dan Suryadi
13
persen per tahun. Peningkatan populasi ternak sapi perah juga semakin mendorong peningkatan produksi susu sapi dengan laju sebesar 4,70 persen per tahun. Namun apabila ditelaah lebih lanjut, perkembangan populasi ternak sapi dan kerbau pada tahun 2003, mendorong peningkatan produksi daging sapi, susu dan daging kerbau yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 6,51, 3,26 dan 7,33 persen. Seiring dengan peningkatan produksi hasil ternak, konsumsi pangan hewani juga mengalami peningkatan. Konsumsi daging meningkat dari 5,75 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi sekitar 6,08 kg/kapita/tahun pada tahun 2003, konsumsi telur meningkat dari 4,04 kg/kapita/tahun menjadi 4,47 kg/kapita/tahun dan susu meningkat dari 7,05 kg/kapita/tahun menjadi 7,28 kg/kapita/tahun. Dari fenomena di atas terlihat bahwa usaha ternak sapi potong dan sapi perah sebelum krisis ekonomi telah menunjukkan kinerja yang cukup baik. Adanya krisis ekonomi menyebabkan populasi dan produk dari jenis ternak ini mengalami penurunan. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah melalui Departemen Pertanian telah mampu mengangkat kinerja usaha peternakan ini kembali seperti sebelum krisis ekonomi. Kambing-Domba dan Babi Keragaan ternak ruminansia kecil (kambing/domba dan babi) juga tidak berbeda dengan ternak ruminansia besar. Populasi ternak kambing/domba yang pada periode 1993-1997 sempat tumbuh positif sebesar 4,33 persen per tahun, pada periode 1998-1999 justru mengalami pertumbuhan negatif sebesar -4,63 persen per tahun. Penurunan populasi pada periode krisis tersebut, sedikit demi sedikit mulai diatasi, sehingga selama kurun waktu 2000-2003 populasinya kembali meningkat dengan laju sebesar 1,53 persen per tahun. Keragaan populasi ternak babi tidak sebaik ternak kambing/domba. Walaupun selama tiga periode analisis populasi ternak babi masih tumbuh negatif, namun perkembangannya mengalami pergeseran dari akselerasi menjadi deselarasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa Departemen Pertanian cukup serius memperhatikan perkembangan populasi ternak ruminansia kecil. Seperti halnya pada ternak ruminansia besar, peningkatan populasi ternak ruminansia kecil akan mendorong peningkatan produksi daging kambing/domba dan babi. Setelah mengalami penurunan pada periode krisis (1998-1999) hingga mencapai -16,35 persen per tahun, produksi daging kambing/domba pada periode 2000-2003 kembali meningkat dengan laju sebesar 15,95 persen per tahun. Untuk produksi daging babi, pada periode 2000-2003 laju pertumbuhannya mencapai 5,04 persen per tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan laju penurunan pada periode sebelumnya yang mencapai -3,53 persen per tahun. Ayam Broiler, Ayam Petelur dan Unggas Lainnya Dari berbagai jenis ternak yang ada, cukup sahih untuk dikatakan bahwa perkembangan ternak ayam ras merupakan yang paling spektakuler. PerkemAKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 1-16
14
bangan ternak ayam ras yang sangat pesat sejak tahun 1980-an mampu mendorong kinerja sektor peternakan menjadi lebih baik lagi. Sampai menjelang krisis ekonomi, pertumbuhan populasi ayam ras pedaging dan ras petelur sangat konsisten pada kisaran 8,14 dan 7,15 persen per tahun. Pada periode krisis (19981999) laju pertumbuhan populasi ternak ayam ras pedaging dan ras petelur turun tajam hingga mencapai -34,09 dan -21,95 persen per tahun. Namun selama periode 2000-2003, populasi ternak ayam ras pedaging dan ayam ras petelur kembali meningkat dengan tajam, bahkan pada tahun 2003, populasinya jauh melebihi sebelum periode krisis. Pada awal tahun 2004 ini, kinerja produksi ayam ras kembali menghadapi ujian dengan munculnya wabah flu burung. Namun dengan cepat teratasinya wabah tersebut diperkirakan tidak terlalu mengganggu kinerja produksi ayam ras pada tahun 2004 ini. Seiring dengan membaiknya keragaan populasi ternak ayam ras, maka produksi daging ayam ras dan telur pada periode 2000-2003 juga mengalami perbaikan. Selama periode tersebut, produksi daging ayam pedaging meningkat dengan laju sekitar 24,30 persen per tahun, sementara produksi telur meningkat dengan laju 9,34 persen per tahun. Selama periode tersebut, peningkatan produksi daging ayam ras yang paling tinggi terjadi pada tahun 2000 dan 2002, yaitu masing-masing sebesar 75,77 dan 40,02 persen. Sementara untuk telur, lonjakan produksi paling tinggi terjadi pada tahun 2000 yang mencapai 22,38 persen. Berdasarkan uraian kinerja subsektor peternakan di atas dapat disimpulkan bahwa selain hortikultura dan perkebunan, subsektor peternakan, juga merupakan andalan utama sumber pertumbuhan tinggi sektor pertanian. Bahkan sudah menjadi fenomena global bahwa subsektor peternakan merupakan sektor penggerak pertumbuhan sektor pertanian melalui apa yang disebut dengan “Revolusi Peternakan“ (Livestock Revolution). Indonesia pun tidak ketinggalan, Revolusi Peternakan telah berlangsung sejak awal tahun 1980-an melalui perkembangan amat pesat industri peternakan ayam ras. Pada periode tahun 19921993, presentase ayam pedaging dan telur meningkat pesat dengan laju rata-rata 12,74 dan 6,76 persen per tahun. Kedua komoditas inilah yang menjadi sumber utama pertumbuhan tinggi subsektor peternakan. Namun pada saat krisis tahun 1998-1999, industri ayam benar-benar terpuruk, produksi ayam pedaging anjlok dari tumbuh positif 12,74 persen per tahun pada periode tahun 1993-1997 menjadi tumbuh negatif 28,23 per per tahun pada periode tahun 1998-1999. Produksi telur anjlok dari tumbuh positif 6,76 persen per tahun (1993-1997) menjadi tumbuh negatif 8,92 persen (1998-1999). Kecuali kuda, seluruh produk peternakan mengalami anjlok produksi pada masa krisis 1997-1998. Penyebabnya ialah perpaduan antara “dorongan ke belakang penawaran“ (supply push back) dan tarikan ke bawah dari lonjakan ongkos produksi dan anjlok permintaan pasar. Seiring dengan pulihnya perekonomian nasional, subsektor peternakan mengalami pemulihan dengan cukup pesat. Dapat dikatakan, pada tahun 2003 KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN, 2000-2003 Nizwar Syafa’at, Supena Friyatno, Sudi Mardianto dan Suryadi
15
subsektor peternakan sudah sepenuhnya pulih dari terpaan krisis tahun 1998-1999. Pada tahun 2003, level produksi seluruh komoditas peternakan sudah melampaui level tertinggi periode sebelum krisis, kecuali untuk daging kerbau dan kuda yang memang sudah sejak lama stagnan atau menurun berkelanjutan. Epidemi flu burung yang di Indonesia mulai berjangkit pada akhir tahun 2003 dapat menjadi ancaman serius bagi kinerja subsektor peternakan. Industri peternakan ayam yang sudah mulai pulih terancam terpuruk lagi jika epidemi flu burung tersebut berkelanjutan. Namun demikian, pada akhir Februari 2004 nampaknya epidemi flu burung sudah dapat dikendalikan dan diberantas tuntas. Departemen Pertanian sudah melaksanakan program komprehensif untuk mengendalikan dan memberantas epidemi flu burung tersebut dan kini tengah melaksanakan program pemulihan dampak negatifnya terhadap industri peternakan. Subsektor peternakan yang telah pulih dari terpaan krisis tahun 1998-1999 optimis akan terus mengalami akselerasi pertumbuhan. Kata kuncinya ialah kondisi kesehatan perekonomian makro dan ancaman epidemi penyakit menular. Belajar dari bencana sebelumnya, Departemen Pertanian akan membangun sistem pencegahan dan penanggulangan penyakit ternak menular secara nasional.
AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 1-16
16