TINJAUAN PUSTAKA Sapi dan Kerbau Sapi dan kerbau merupakan ternak ruminansia besar yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Kedua ternak tersebut masuk ke dalam filum Chordata, klas Mamalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, dan genus Bos. Namun, spesies antara sapi dan kerbau berbeda. Sapi masuk ke dalam spesies Bos taurus (sapi eropa), Bos indicus (sapi india), dan Bos sondaicus (banteng/sapi bali) sedangkan kerbau termasuk spesies Bubalus bubalis (Blakely dan Bade, 1991; Fahimmudin, 1975). Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan ternak hasil persilangan antara sapi sumba Ongole (SO) dan sapi jawa. Sapi PO memiliki ciri-ciri yaitu warna kulit kelabu kehitam-hitaman, bagian kepala, leher, dan lutut berwarna lebih gelap dari sapi SO, tanduk pendek, bentuk tubuh besar, kepala relatif pendek, dahi cembung, punuk besar mengarah ke arah leher, serta memiliki gelambir. Sapi ini termasuk kedalam sapi pedaging dan pekerja. Ternak ini memiliki beberapa keunggulan yaitu tahan terhadap panas, tahan terhadap ekto dan endoparasit, serta menghasilkan persentase karkas dan kualitas daging yang baik (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Ternak kerbau menurut asal-usulnya berasal dari India. Ternak ini dikenal sebagai hewan liar yang dapat hidup di rawa-rawa dan hutan-hutan yang berumput (Rukmana, 2003). Kerbau tidak hanya dimanfaatkan sebagai ternak pekerja saja, namun dalam upacara adat ternak ini mendapat nilai paling tinggi dibandingkan dengan ternak yang lainnya. Beberapa suku menganggap kekayaan seseorang dinilai dari banyaknya jumlah kerbau yang dimiliki, semakin banyak kerbau yang dimiliki maka semakin kaya orang tersebut (Puar, 1983). Menurut Talib (2010), ternak kerbau di dunia terbagi menjadi dua yaitu kerbau lumpur (swam buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Kedua bangsa ini berkembang masing-masing secara fungsional antara lain kerbau sungai menjadi kerbau perah dan kerbau lumpur atau kerbau rawa menjadi kerbau pedaging. Kerbau rawa atau kerbau lumpur memiliki ciri-ciri yaitu kulit berwarna abu-abu, bulu berwarna abu-abu sampai hitam, tanduk mengarah kebelakang, dan horizontal (Susilawati dan Bustami, 2009). Kerbau sungai memiliki badan besar, kulit berwarna hitam, dan tanduk spiral atau melingkar lurus memanjang kebelakang (Rukmana,
3
2003). Sitorus dan Anggareni (2009) menyebutkan dalam hasil penelitiannya bahwa kerbau rawa didominasi dengan warna kulit abu-abu dan kerbau sungai berwarna hitam. Kerbau rawa (jantan dan betina) memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan kerbau sungai. Ternak kerbau memiliki keunggulan yaitu mampu beradaptasi dengan baik dalam kondisi lingkungan kering dan memiliki kemampuan dalam mencerna serat kasar berupa jerami padi, rumput kering, limbah perkebunan dan rumput liar lebih baik dibandingkan dengan ternak sapi. Namun, kerbau tidak tahan terhadap terik panas matahari karena ternak ini hanya memiliki sedikit kelenjar keringat. Hal ini menyebabkan kerbau memerlukan tempat untuk berkubang seperti kubangan air atau lumpur agar kelangsungan fisiologinya tetap terjaga (Susilawati dan Bustami, 2009). Populasi Kerbau dan Sapi di Indonesia Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (2011) populasi ternak kerbau tersebar merata di seluruh pulau di Indonesia dengan populasi terbesar yaitu di pulau Sumatera dengan jumlah 512,8 ribu ekor atau 39,29 persen dari total populasi kerbau Indonesia. Dilihat dari data populasi berdasarkan provinsi, populasi ternak kerbau paling besar terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 150 ribu ekor atau 11,50 persen dari populasi kerbau di Indonesia. Data populasi kerbau menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 1. Data populasi sapi potong di Indonesia menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (2011) berdasarkan Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau 2011 (PSPK2011) adalah 14,8 juta ekor pada tahun 2011. Dilihat dari data populasi secara regional/pulau, populasi sapi potong sebagian besar terdapat di pulau Jawa yaitu sebanyak 7,5 juta ekor atau 50,68 persen dari total populasi sapi potong di Indonesia berikutnya pulau Sumatera sebanyak 2,7 juta ekor atau 18,38 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,1 juta ekor atau 14,18 persen, Sulawesi 1,8 juta ekor atau 12,08 persen, sedangkan sisanya berada di Kalimantan, serta Maluku dan Papua dengan jumlah populasi masing-masing kurang dari 0,5 juta ekor. Penyebaran populasi sapi potong di Indonesia menurut pulau dapat dilihat pada Tabel 1.
4
Tabel 1. Sebaran Populasi Kerbau, Sapi Potong dan Sapi Perah Menurut Provinsi Berdasarkan Hasil Akhir PSPK 2011
SUMATERA 1. Aceh 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Kep. Bangka Belitung 10. Kepulauan Riau JAWA 11. DKI Jakarta 12. Jawa Barat 13. Jawa Tengah 14. D.I Yogyakarta 15. Jawa Timur 16. Banten BALI dan NUSA 17. Bali 18. Nusa Tenggara Barat 19. Nusa Tenggara Timur KALIMANTAN 20. Kalimantan Barat 21. Kalimantan Tengah 22. Kalimantan Selatan 23. Kalimantan Timur SULAWESI 24. Sulawesi Utara 25. Sulawesi Tengah 26. Sulawesi Selatan 27. Sulawesi Tengah 28. Gorontalo 29. Sulawesi Barat MALUKU dan PAPUA
Sapi Potong Populasi % 2.724.384 18,38 462.840 3,12 541.698 3,65 327.013 2,21 159.855 1,08 119.888 0,81 246.295 1,66 98.948 0,67 742.776 5,01 7.733 0,05 17.338 0,12 7.512.273 50,68 1.691 0,01 422.989 2,85 1.937.551 13,07 375.844 2,54 4.727.298 31,89 46.900 0,32 2.101.916 14,18 637.473 4,30 685.810 4,63 778.633 5,25 437.406 2,95 153.320 1,03 54.647 0,37 138.691 0,94 90.748 0,61 1.790.318 12,08 105.225 0,71 230.682 1,56 983.985 6,64 213.736 1,44 183.868 1,24 72.822 0,49 258.076 1,74
Sapi Perah Populasi % 2.838 0,40 31 0,01 894 0,15 484 0,08 172 0,03 81 0,01 154 0,03 247 0,04 201 0,03 119 0,02 592.520 99,21 2.728 0,46 139.970 23,44 149.931 25,11 3.522 0,59 296.350 49,62 19 0,00 189 0,03 139 0,02 18 0,00 32 0,01 369 0,06 227 0,04 110 0,02 32 0,01 1.741 0,29 22 0,00 8 0,00 1.690 0,28 8 0,00 13 0,00 11 0,00
Kerbau Populasi % 512.821 39,29 131.494 10,08 114.289 8,76 100.310 7,69 37.716 2,89 46.538 3,57 29.143 2,23 19.971 1,53 33.124 2,54 222 0,02 14 0,00 362.049 27,82 192 0,01 130.157 9,97 75.674 5,80 1.208 0,09 32.675 2,50 123.143 9,44 257.610 19,74 2.181 0,17 105.391 8,08 150.038 11,50 41.534 3,18 3.166 0,24 6.491 0,50 23.843 1,83 8.034 0,62 110.393 8,46 3.271 0,25 96.505 7,39 2.492 0,19 13 0,00 8.112 0,62 19.671 1,51
30. Maluku 31. Maluku Utara 32. Papua Barat 33. Papua INDONESIA (Total)
73.976 60.840 41.464 81.796 14.824.373
11 597.213
17.568 863 1 1.239 1.305.078
Provinsi
0,50 0,41 0,28 0,55 100
0,00 100
1,35 0,07 0,00 0,09 100
Sumber : Kementerian Pertanian – Badan Pusat Statistik (2011)
5
Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau Menurut Hendayana dan Matodang (2010), di Indonesia pada umumnya ternak kerbau dipelihara dengan cara tradisional, dimana kerbau dilepas di padang penggembalaan pada siang hari dan digiring ke kandang pada malam harinya. Ada juga peternak yang membiarkan ternaknya di padang penggembalaan sepanjang hari yaitu pada siang dan malam hari. Disamping itu, peternak juga kurang memperhatikan kondisi kesehatan kerbau, misalnya pencegahan dan pengobatan penyakit. Kerbau yang sedang sakit biasanya hanya diobati dengan cara tradisional sehingga menyebabkan angka kematian kerbau semakin meningkat. Darminto et al. (2010) menambahkan bahwa ternak kerbau sebagian besar dipelihara dengan sistem ekstensif, dimana kerbau digembalakan di padang rumput dan dibiarkan mencari makanannya sendiri. Sistem ekstensif ini memberikan keuntungan bagi peternak yaitu dapat menggembalakan sekitar 15 ekor kerbau. Peternak yang memelihara kerbau dengan cara dikandangkan hanya mampu memelihara dua sampai tiga ekor ternak. Ada beberapa peternak memelihara kerbau dengan cara kombinasi yaitu kerbau digembalakan di padang penggembalaan pada siang hari dan di kandangkan pada malam hari. Sistem pemeliharaan dengan cara kombinasi ini ada di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Peternak menggembalakan kerbau pada siang hari di area persawahan atau diikat dan dipindah-pindahkan di lahan penggembalaan, sedangkan pada malam hari dikandangkan (Rusdiana dan Bamualim, 2010). Pemeliharaan ternak kerbau secara ekstensif dan semi intensif dipengaruhi oleh musim. Di Kalimantan Timur pada musim kemarau kerbau digembalakan di hutan, sedangkan pada musim penghujan digiring ke kandang. Peternak kerbau pada saat musim penghujan memiliki kerja yang lebih tinggi dibandingkan pada saat musim kemarau, karena peternak harus mencari rumput untuk ternaknya (Hamdan dan Rohaeni, 2008). Penggemukan Ternak Penggemukan ternak merupakan suatu sistem pemeliharaan ternak seperti sapi dan kerbau yang bertujuan untuk menghasilkan daging, dimana ternak di kandangkan selama kurun waktu tertentu untuk mendapatkan bobot badan yang cepat meningkat sehingga menghasilkan daging yang berkualitas baik sebelum
6
dipotong. Ternak yang digemukkan pada umumnya diberi pakan yang banyak mengandung energi seperti karbohidrat dan lemak (Parakkasi, 1999). Proses penggemukan sebenarnya dapat dilakukan dengan berbagai macam pakan tergantung dari peternaknya. Namun, pakan yang diberikan harus dapat memberikan nutrisi dan kontribusi yang baik untuk menghasilkan pertambahan bobot badan pada ternak. Selain faktor pakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi suatu usaha penggemukan yaitu bangsa, jenis kelamin, manajemen pemeliharaan, dan kondisi lingkungan sekitar (Yamin, 2001). Karkas Muchtadi dan Sugiyono (1992) menjelaskan bahwa karkas adalah daging dan tulang yang masih menyatu atau daging yang belum dipisahkan dari tulangnya. Karkas sapi menurut Lawrie (2003) adalah bagian tubuh yang tertinggal setelah darah, kepala, kaki, kulit, saluran pencernaan, jantung, trakea, paru-paru, ginjal, limpa, hati, dan jaringan lemak (yang melekat pada bagian tubuh tersebut) diambil. Karkas terdiri dari urat daging, jaringan lemak, tulang, jaringan ikat, pembuluh darah besar dan lain sebagainya. Soeparno (2005) menambahkan penyusun utama dari karkas adalah otot dan jaringan ikat. Jaringan ikat tersusun oleh serabut-serabut kolagen. Kolagen dari jaringan ikat memiliki kontribusi yang penting dalam kualitas suatu daging. Semakin banyak ternak melakukan aktivitas maka kolagen di dalam jaringan ikat semakin tinggi sehingga menyebabkan daging menjadi lebih alot. Karkas sapi adalah bagian dari tubuh sapi sehat yang telah disembelih secara halal, telah dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala dan kaki, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih (Dewan Standardisasi Nasional, 2008). Karkas kerbau adalah tubuh kerbau sehat (memenuhi syarat pemotongan) yang telah disembelih, masih dalam keadaan utuh atau sudah dibelah menjadi dua bagian membujur sepanjang tulang belakangnya, setelah dikuliti, isi perut dikeluarkan, tanpa kepala, kaki bagian bawah dan alat kelamin kerbau jantan atau ambing pada kerbau betina yang telah dipisahkan, serta tanpa ekor. Kepala dipotong di antara tulang occipital (Os. occipitale) dengan tulang tengkuk pertama (Os. atlas). Kaki depan dipotong di antara carpus dan metacarpus, sedangkan kaki belakang dipotong di antara tarsus dan metatarsus (Dewan Standardisasi Nasional, 1995).
7
Pertumbuhan Tulang, Otot dan Lemak Definisi pertumbuhan menurut Soeparno (2005) adalah perubahan ukuran yaitu perubahan berat hidup, bentuk dan komposisi tubuh termasuk di dalamnya perubahan komponen tubuh seperti otot, tulang dan lemak pada karkas serta komponen kimia yang meliputi air, lemak, protein dan abu. Pertumbuhan ternak adalah kumpulan dari beberapa perubahan dari semua bagian-bagian dan komponen tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu individu dalam satu bangsa, bangsa ternak yang berbeda, ukuran tubuh ternak dan jenis kelamin yang berbeda. Soeparno (2005) menjelaskan bahwa komponen-komponen tubuh mengalami pertambahan bobot seiring dengan pertumbuhan hingga ternak mencapai umur dewasa dengan urutan pertumbuhan yaitu pertumbuhan tulang, otot, kemudian lemak. Tulang, otot dan lemak merupakan komponen utama penyusun karkas. Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa komponen tulang adalah salah satu komponen karkas yang tumbuh paling awal dan pertumbuhan mulai menurun pada saat ternak mencapai umur dewasa. Deposisi lemak pada ternak yang masih muda terjadi di sekitar jeroan dan ginjal, dengan seiring bertambahnya umur suatu ternak deposisi lemak dapat juga terjadi di antara otot (lemak intermuskular), lapisan bawah kulit (lemak subkutan) dan diantara ikatan serabut otot (lemak intramuscular). Daging Definisi daging menurut Soeparno (2005) adalah seluruh jaringan hewan dan semua produk hasil olahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dikonsumsi oleh konsumen
serta
tidak
menimbulkan
gangguan
kesehatan
bagi
yang
mengkonsumsinya. Muchtadi dan Sugiyono (1992) menambahkan daging adalah satu komoditi pertanian yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi protein dimana daging mengandung protein yang berupa asam amino yang lengkap. Menurut Dewan Standardisasi Nasional (2008) definisi daging segar adalah daging yang berasal dari ternak yang belum diolah dan atau tidak ditambahkan dengan bahan dan perlakuan apapun. Daging tersusun oleh beberapa komponen yaitu otot, jaringan ikat, jaringan epitel, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah dan lemak. Namun, komponen penyusun utama dari daging yaitu otot (Soeparno, 2005). Jaringan otot atau jaringan 8
sel daging atau serabut otot tersusun atas miofibril-miofibril. Miofibril tersusun atas miofilamin yaitu serabut-serabut halus. Miofilamen tersebut tersusun atas aktin dan miosin yang berperan dalam proses kontraksi dan relaksasi pada otot daging (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Daging mengandung banyak komponen protein, selain itu juga air, lemak, karbohidrat, dan komponen anorganik (Soeparno, 2005). Daging terdiri dari komposisi sebagai berikut air 75%, protein 19%, lemak 2,5%, karbohidrat 1,2%, substansi non protein yang larut 2,3%, dan sedikit vitamin (Lawrie, 2003). Daging Sapi dan Kerbau Daging sapi menurut Dewan Standardisasi Nasional (2008) adalah bagian otot dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, yaitu berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku. Daging sapi sangat muda (3-14 minggu) disebut veal dan daging sapi dari ternak yang berumur lebih dari satu tahun disebut beef. Warna daging yang berasal dari sapi muda berwarna lebih terang dibandingkan dengan daging yang berasal dari ternak sapi dewasa. Daging kerbau kebanyakan keras dan tidak disukai oleh konsumen. Hal ini dikarenakan ternak kerbau bisanya dipotong pada usia yang relatif tua (5-7 tahun). Diperlukan penanganan khusus untuk memperbaiki kualitas dari daging kerbau tersebut, yaitu dengan cara memperbaiki sistem pemeliharaan dan dengan pemberian pakan yang berkualitas baik yang dikombinasi dengan hijauan dan konsentrat. Banyak peternak kerbau memelihara kerbau dengan cara digemalakan (ekstensif), dan kerbau sering dibuat sebagai ternak kerja. Kerbau perlu di pelihara secara intensif yaitu dengan cara ternak dikandangkan dan diawasi dalam segi pakan, minum, penanganan penyakit dan perkawinan. Keunggulan daging kerbau yaitu memiliki kandungan kolesterol yang lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi (Darminto et al., 2010). Kualitas Daging Pengujian kualitas daging sebaiknya menggunakan daging yang besar dan memiliki arah serabut otot yang jelas. Salah satu daging yang digunakan yaitu daging yang berasal dari bagian otot longissimus dorsi (LD). Otot longissimus dorsi adalah otot yang memanjang dari bagian posterior ke arah rusuk daerah thoracis dan dorsal
9
processus transverses daerah lumbar. Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum meliputi genetik, spesies, bangsa, jenis kelamin, umur, pakan, dan tingkat stress pada ternak. Faktor sesudah yaitu pH daging, metode palayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, macam dan lokasi pada suatu otot daging serta metode penyimpanan (Soeparno, 2005). Sifat fisik daging merupakan suatu faktor yang menentukan kualitas dari suatu daging. Ada beberapa parameter dalam pengukuran sifat fisik daging antara lain pH, keempukkan, susut masak, daya mengikat air (DMA), warna daging dan warna lemak. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: Nilai pH Pengukuran nilai pH digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Nilai pH daging setelah proses pemotongan mencapai 6,56,8 yaitu pada saat proses kekakuan daging, namun ada juga yang mencapai 5,4-5,5. Proses penurunan pH karkas dan daging hanya dapat menurun sedikit demi sedikit pada beberapa jam setelah proses pemotongan berlangsung, penurunan pH tersebut dapat bervariasi diantara berbagai ternak. Perbedaan laju dan besarnya nilai penurunan pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, tipe otot, glikogen otot, temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum pemotongan, dan tingkat stres pada ternak (Soeparno, 2005) Nilai pH daging normal berkisar antara 5,4-5,8. Nilai pH dapat mempengaruhi susut masak, nilai keempukan, warna daging, dan daya mengikat air oleh protein daging. Ternak yang cukup memiliki energi dan pada saat dipotong mengalami stres, terjadi proses rigormotis yang berlebihan dan mengakibatkan laju penurunan pH yang drastis. Hal ini dapat menyebabkan daging menjadi pucat, daya mengikat air oleh protein daging menjadi rendah dan mengakibatkan permukaan daging menjadi basah disebut dengan drip atau weep. Ternak yang tidak memiliki cukup energi akan mempunyai timbunan asam laktat yang sedikit dan menyebabkan pH turun sedikit demi sedikit dan stabil pada pH yang tinggi. Hal ini dapat menyebabkan daging berwarna lebih gelap dikarenakan kandungan mioglobin yang masih tinggi, permukaan daging kering karena daya mengikat air oleh protein daging tinggi sehingga cairan yang keluar tidak terlalu banyak (Soeparno, 2005). 10
Daya Mengikat Air (DMA) Daya mengikat air (DMA) atau water holding capacity (WHC) adalah kemampuan protein daging untuk mengikat airnya sendiri atau air yang ditambahkan dari luar yaitu dari proses pemotongan daging, pemanasan dan penggilingan. Daya mengikat air suatu daging dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain pH, temperatur, proses pelayuan, pemasakan, udara kering, spesies, umur, fungsi otot, pakan, penyimpanan,
jenis
kelamin,
perlakuan
sebelum
pemotongan
dan
lemak
intramuskuler. Jumlah asam laktat yang berbeda pada daging dapat mempengaruhi pH otot dan menyebabkan DMA pada setiap daging berbeda (Soeparno, 2005). Soeparno (2005) menjelaskan bahwa penurunan DMA dapat diketahui dari timbulnya eksudasi cairan. Eksudasi berasal dari lemak dan cairan daging. Eksudasi cairan pada daging mentah yang belum dibekukan disebut dengan weep dan pada daging mentah yang sudah dibekukan kemudian disegarkan kembali dikenal dengan sebutan drip. Prinsipnya jika kemampuan protein daging untuk mengikat air tinggi maka weep dan drip akan menurun. Lawrie (2003) menambahkan banyaknya eksudasi cairan pada daging tergantung dari jumlah cairan yang dibebaskan oleh protein daging. Keempukan Daging Keempukan daging menurut Soeparno (2005) merupakan salah satu faktor penentu yang kemungkinan paling penting untuk menentukan kualitas suatu daging. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keempukan daging yaitu faktor antemortem dan faktor postmortem. Faktor antemortem terdiri dari genetik yang termasuk di dalamnya adalah bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin serta stres. Faktor postmortem yaitu metode pelayuan dan pembekuan yang termasuk di dalamnya adalah faktor temperatur dan lama penyimpanan, serta metode pengolahan yaitu metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk daging. Keempukan dapat dikaitkan dengan protein otot yaitu protein jaringan ikat (kolagen), miofibril (miosin, aktin, dan tropomiosin) dan sarkoplasma (proteinprotein sarkoplasmik). Penilaian keempukan dapat diukur secara subjektif (uji panel cita rasa) dan objektif (daya putus dengan menggunakan Warner-Blatzer) (Soeparno, 2005). 11
Keempukan
daging
dari
ternak
yang
dikandangkan
lebih
empuk
dibandingkan dengan daging dari ternak yang digembalakan. Hal ini dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi ternak dan manajemen pemeliharaan. Ternak tua yang diberi pakan dengan kualitas nutrisi dan manajemen pemeliharaan yang baik akan menghasilkan daging yang berkualitas lebih baik dan empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan oleh ternak muda yang diberi pakan dan dipelihara dengan buruk. Nutrisi yang terkandung di dalam pakan yang berkualitas dapat terserap secara sempurna di dalam otot dan membuat otot tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga kandungan kolagen di dalam otot menjadi lebih sedikit dan menghasilkan daging yang lebih empuk (Prihatman, 2000). Susut Masak Susut masak yaitu hilangnya bobot daging setelah proses pemasakan yang dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Susut masak dinyatakan dalam persentase. Faktor yang mempengruhi susut masak yaitu pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging (Soeparno, 2005). Bangsa ternak yang berbeda dapat mempengaruhi persentase susut masak suatu daging. Besarnya susut masak tersebut dapat mengindikasikan jumlah jus di dalam daging. Daging dengan persentase susut masak yang rendah memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan daging dengan persentase susut masak yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan hilangnya kandungan nutrisi di dalam daging tersebut. Daging yang susut masaknya rendah mengindikasikan bahwa daging tersebut tidak terlalu banyak kehilangan nutrisi selama proses pemasakan (Soeparno, 2005). Warna Daging dan Lemak Lawrie (2003) menjelaskan bahwa salah satu parameter dalam penentu kualitas fisik daging yaitu warna daging dan lemak. Warna daging dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres, nilai pH dan oksigen. Namun, faktor utama yang menentukan warna daging yaitu konsentrasi mioglobin. Mioglobin merupakan pigmen yang menentukan warna daging dan bersifat larut dalam air, larutan garam encer serta merupakan bagian dari protein sarkoplasma serta merupakan protein yang kompleks yang memiliki tugas
12
untuk mengangkut oksigen yang dibutuhkan sel. Warna daging dapat berubah dikarenakan mioglobin dalam daging tersebut mengalami perubahan kimia (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Faktor lain yang memiliki peranan yang paling besar dalam menentukan warna daging yaitu tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi fisik dan kimia komponen lain yang terkandung di dalam daging (Lawrie, 2003). Soeparno (2005) menjelaskan bahwa spesies ternak adalah salah satu faktor penentu warna daging. Setiap spesies memiliki konsentrasi mioglobin yang berbedabeda, oleh karena itu pada setiap spesies memiliki warna daging yang berbeda-beda pula. Warna daging akan semakin merah pada ternak dewasa, karena konsentrasi mioglobin pada ternak dewasa atau tua lebih tinggi dibandingkan dengan ternak muda. Kadar mioglobin daging sapi muda 1-3 mg/gr, daging sapi dewasa 4-10 mg/gr, dan lebih dari 6-20 mg/gr untuk daging sapi tua (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Peningkatan konsentrasi mioglobin disebabkan oleh peningkatan deposisi mioglobin pada serabut merah atau peningkatan serabut merah pada daging. Warna daging yang banyak disukai oleh konsumen yaitu warna merah terang oksimioglobin (Soeparno, 2005). Warna daging kerbau relatif lebih gelap dan lemaknya berwarna lebih putih dan jika diraba akan lebih melekat pada jari jika dibandingkan dengan sapi (Rukmana, 2003). Minyak Ikan Lemuru Limbah dari hasil industri perikanan dapat berupa limbah cair dan padat. Salah satu contoh limbah industri perikanan dalam bentuk cair yaitu minyak ikan. Minyak ikan merupakan hasil samping dari proses pengalengan ikan (Irianto dan Soesilo, 2007). Limbah minyak ikan lemuru diperoleh dari proses pengalengan ikan. Ada beberapa macam metode pengambilan minyak ikan antara lain rendering basah, rendering kering, hidrolisa, silase asam dan ekstraksi dengan pelarut. Metode yang paling banyak digunakan yaitu metode rendering basah karena metode ini merupakan metode yang sangat sederhana dan mudah dilakukan. Tahapan paling utama dalam metode ini adalah pengukusan dan pengepresan. Pengukusan bertujuan untuk melepaskan minyak dengan air dan pengepresan dilakukan agar minyak terpisah dari padatannya. Bahan baku ikan disiapkan dan dicuci bersih lalu dikukus pada suhu 105oC selama 30 menit. Ikan yang telah dikukus kemudian dipres dan diambil bagian 13
cairan yang berupa minyak dan air. Cairan dialirkan pada corong pemisah sehingga diperoleh lapisan atas (minyak) dan lapisan bawah (air). Minyak lalu disentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit sehingga diperoleh minyak kasar (Astawan, 1998). Minyak ikan masuk ke dalam kelompok lemak atau lipid yang tidak larut dalam air. Minyak merupakan kombinasi dari ester asam lemak dan gliserol yang kemudian membentuk gliserida (Muchtadi, 1989). Fungsi dari minyak ikan yaitu sebagai obat-obatan (Ketaren, 1986). Minyak ikan lemuru mengandung EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docoxahexaenoic Acid). Minyak ikan lemuru banyak dimanfaatkan karena jumlahnya yang melimpah dan mengandung banyak asam lemak. Keungulan dari minyak ikan lemuru yaitu jumlah asam lemak tak jenuhnya lebih tinggi dibandingkan asam lemak jenuhnya. Manfaat dari minyak ikan lemuru yaitu menurunkan kolesterol darah (Lubis, 1993). Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) Minyak ikan tidak dapat langsung diberikan pada ternak karena baunya yang sangat amis dan minyak mudah sekali rusak (teroksidasi). Kerusakan minyak tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu absorbsi bau oleh lemak, aksi oleh enzim dalam jaringan bahan yang mengandung minyak, aksi mikroba dan oksidasi oleh oksigen (Ketaren, 1986). Perlu ada perlindungan terhadap minyak untuk mencegah terjadinya kerusakan. Metode perlindungan lemak atau minyak pada pakan ada beberapa macam yaitu saponifikasi, formalin, hidrolisis basa, dan hidrolisis asam. Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) merupakan metode perlindungan lemak dengan hidrolisis asam yaitu dengan mencampurkan minyak ikan lemuru dengan HCl. Perlindungan lemak dengan hidrolisis asam dipilih karena metode tersebut lebih cepat sehingga asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak ikan tidak mudah teroksidasi. Asam lemak tak jenuh bebas dapat terbentuk akibat proses oksidasi, oleh karena itu diberi tambahan larutan KOH. Proses hidrolisis asam minyak ikan ini menghasilkan garam karboksilat yang kemudian dicampur dengan onggok. Perbandingan onggok dan garam karboksilat yang digunakan sebanyak 1:5 kemudian dikeringkan di dalam oven yang bersuhu 32oC dan menghasilkan CGKK dengan kadar air 15% (Tasse, 2010).
14
Menurut Tasse (2010), campuran garam karboksilat kering di dalam saluran pencernaan sapi perah akan terpisah menjadi onggok dan garam karboksilat. Onggok akan terfermentasi dan garam karboksilat akan terionisasi menjadi kalium dan asam lemak namun pada pH rumen yang mencapai 6-7 kalium dan asam lemak tidak terhidrogenasi dan kemudian menuju ke omasum lalu abomasum. Di abomasum yang memiliki pH mencapai 2-3 kalium dan asam lemak terurai dan kemudian kalium terserap di dalamnya, namun asam lemak tetap bypass dan menuju ke kapiler darah lalu asam lemak diabsorbsi oleh sel mamari dan diesterifikasi ke dalam lemak susu.
15