TINJAUAN PUSTAKA Keunggulan Rumen Kerbau Kerbau merupakan ternak ruminansia yang mempunyai kemampuan tinggi dalam memanfaatkan jenis limbah berkualitas rendah. Hal itu disebabkan oleh tingginya populasi bakteri selulolitik (Cakra, 2001). Menurut Suryahadi (1996) aktifitas bakteri selulolitik dari ternak kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan ternak sapi. Pada percobaan in vitro pada berbagai kondisi menunjukkan bahwa pemecahan selulosa oleh inokulan rumen terjadi lebih awal pada inokulan rumen kerbau dari pada sapi. Persentase bakteri selulolitik pada sapi sebesar 19,5% dan pada kerbau 42,3% dari total bakteri. Kelompok utama bakteri selulolitik dalam rumen meliputi Ruminucoccus albus, Ruminococcus flavefaciens, dan Bacteroides succinogenes (Suryahadi, 1996). Potensi Sapi Fries Holland Sapi Fries Holland berasal dari Propinsi Belanda Utara dan Friesland Barat. Sapi bangsa ini di Amerika Serikat disebut Friesian Holstein (FH) atau disingkat Holstein dan di Eropa disebut Friesian. Tyler & Ensminger (2006) menjelaskan taksonomi dari sapi Fries Holland atau Friesian Holstein. Sapi FH termasuk Divisi Animalia, Filum Chordata, Kelas Mamalia, Ordo Artodactyla, Famili Bovidae, dan Spesies Bos taurus. Frandson (1992) menyatakan bahwa sapi FH tergolong ke dalam bangsa
sapi
yang paling rendah daya
tahan panasnya, sehingga
perlu
dipertimbangkan iklim di sekitar daerah pemeliharaan. Cekaman panas dapat mempengaruhi suhu tubuh dan metabolisme yang selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh ternak. Performa dan Penyapihan Pedet Blakely & Bade (1991) menyatakan bahwa rata-rata bobot lahir anak sapi (pedet) keturunan Friesian Holstein adalah 42 kg. Bobot lahir pedet dipengaruhi oleh jenis kelamin, bangsa dan keturunan. Pedet yang baru lahir memiliki perut yang terbagi menjadi empat, sama seperti sapi dewasa tetapi hanya abomasum yang berfungsi, abomasum memiliki kapasitas dua kali lebih besar daripada bagian perut yang lain. Rumen berfungsi baik setelah pedet berumur dua bulan atau jika pedet telah makan pakan padat atau kering (Roy, 1980).
Roy (1980) menyatakan bahwa pada pedet, air susu maupun pakan dalam bentuk cair dapat langsung masuk ke dalam abomasum melalui saluran khusus yang disebut oesophageal groove. Saluran ini terbentuk secara reflek saat protein susu terlarut diberikan. Sebelum pedet berumur dua bulan, refleks pembentukan oesophageal groove dapat dirangsang menggunakan air dan berfungsi sebaik menggunakan air susu. Akan tetapi setelah pedet berumur lebih dari dua bulan maka efeknya akan berkurang. Periode kritis pemeliharaan pedet adalah saat penyapihan (penghentian pemberian air susu pada pedet baik dari susu induk sendiri maupun induk lain). Perlakuan lepas sapih dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: 1) dengan melihat umur dari pedet tersebut, 2) dengan melihat bobot badan yang telah dicapai oleh pedet, dan 3) dengan melihat banyaknya konsumsi bahan kering (BK) dari ransum starter (Parakkasi, 1999). Konsumsi ransum pemula (calf starter) oleh pedet di usia dini sangat penting untuk
pengembangan
organ
pencernaan
yang
berfungsi
untuk
mencapai
pertumbuhan yang optimal. Ransum starter yang dikonsumsi sejak lepas kolostrum dapat mempercepat periode penyapihan. Penyapihan pada pedet dapat dilakukan saat konsumsi ransum calf starter mencapai 0,5-0,6 kg/ekor/hari (Parakkasi, 1999). Penggunaan dan Manfaat Probiotik Probiotik merupakan pakan tambahan dalam bentuk mikroba hidup yang berpengaruh positif bagi hewan inang dengan meningkatkan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan tersebut. Probiotik lokal digunakan untuk memanipulasi ekosistem rumen yang bertujuan untuk mempertinggi efisiensi fermentasi rumen dengan cara memaksimalkan degradasi serat kasar dan sintesis protein mikrobial serta meminimalkan produksi metan, degradasi protein, dan fermentasi pati di dalam rumen (Amin, 1997). Mikroorganisme yang dijadikan sebagai probiotik, perkembangannya harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu (1) mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi asam sehingga koloni bakteri aktif akan tetap banyak pada saat samapi di duodenum maupun usus halus, (2) bersifat non patogenik, (3) bersifat gram positif karena gram positif lebih tahan terhadap pengrusakan kelenjar pencernaan, sehingga bertahan sampai ke usus halus, (4) tidak terserap selama dalam saluran pencernaan
serta tidak menimbulkan residu dan tidak menyebabkan mutasi, dan (5) bersifat antagonis terhadap Escherichia coli karena bakteri probiotik sebagai penghasil asam (Shortt, 1999). Probiotik tidak hanya menjaga ekosistem rumen tetapi juga menyediakan enzim yang bisa mencerna serat kasar, protein, lemak, detoksifikasi zat beracun, dan metabolitnya. Keuntungan penggunaan probiotik antara lain: 1) meningkatkan utilisasi pakan, 2) meningkatkan pertumbuhan rata-rata, 3) menurunkan jumlah mikroba patogen, 4) menstimulasi konsumsi bahan kering, 5) meningkatkan sistem kekebalan tubuh, 6) merangsang pertumbuhan mikroba rumen seperti protozoa, bakteri amilolitik, selulolitik, maupun total bakteri, 7) sebagai pengganti antibiotika (Sakinah, 2005). Probiotik dapat diberikan melalui pakan, air minum, dan kapsul. Cara pemberian yang paling baik adalah melalui pakan untuk memperoleh jumlah dan proporsi yang tepat. Kunci utama untuk mempertahankan jumlah yang tinggi populasi probiotik secara permanen di dalam usus ialah pemberian yang berkesinambungan. Pemberian probiotik secara kontinyu bertujuan untuk menjaga keseimbangan mikroflora usus (Amin, 1997). Keuntungan utama probiotik adalah tidak menimbulkan residu yang dapat membahayakan konsumen (Sakinah, 2005). Penggunaan probiotik dalam bentuk mix culture (kultur campuran antara mikroba-mikroba) pada ternak ruminansia lebih efisien apabila dibandingkan dengan bentuk mono culture (kultur tunggal). Efisiensi dapat terjadi karena pada proses biofermentasi di dalam rumen hasil degradasi suatu mikroba (intermediet product) akan digunakan oleh mikroba lain untuk pembentukan produk akhir yang berupa volatile fatty acids (VFA), metan, dan asam amino untuk pembentukan protein tubuh mikroba, sehingga biofermentasi akan berjalan dengan baik dan optimal bila mikroba yang disuplementasikan ke dalam rumen dapat bekerja secara sinergik dengan mikroba rumen (Sakinah, 2005). Peran Rumen dalam Pencernaan Pakan Rumen merupakan organ pencernaan yang berupa tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur ingesta yang merupakan media fermentasi oleh mikroba. Fermentasi nutrien oleh bakteri dan mikroba lain menghasilkan produk akhir yang dapat diasimilasi. Produk fermentasi diserap papille
rumen yang berkembang dengan baik sehingga luas permukaan bertambah tujuh kalinya. Dari keseluruhan VFA atau asam lemak terbang yang diproduksi, 85% diabsorbsi melalui epithelium retikulo-rumen (Arora, 1989). Hungate (1966) menyatakan bahwa rumen merupakan bagian yang terbesar dari bagian-bagian lambung ruminansia, karena rumen dapat menampung bahan pakan yang mengalami pencernaan fermentatif. Perkembangan Rumen Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan rumen adalah pakan kasar yang merupakan stimulus fisik bagi perkembangan kapasitas rumen dan produk fermentasi yang merupakan stimulus kimia bagi perkembangan papille rumen. Ruminansia yang memperoleh pakan berserat kasar tinggi, alat pencernaannya akan memiliki volume total yang lebih tinggi daripada ruminansia yang memperoleh pakan berserat kasar rendah. Setelah ternak mengkonsumsi pakan berserat kasar tinggi maka bobot rumennya menjadi lebih berat dari pada hewan yang tidak memakan hijauan (Hungate, 1966). Menurut Quigley (2001), hal yang menentukan perkembangan rumen yaitu (1) perkembangan bakteri dalam rumen, (2) ketersediaan nutrien, dan (3) tingkat absorpsi dan pemanfaatan nutrien oleh tubuh atau jaringan. Perkembangan papille akan lebih besar terjadi pada ruminansia yang memperoleh konsentrat daripada yang memperoleh pakan berserat kasar tinggi. Dengan meningkatnya perkembangan papille maka luas dan kapasitasnya pun akan meningkat akibatnya penyerapan dan koefisien penggunaan nutrien akan bertambah (Wilson & Brigstocke, 1981). Wilson & Brigstocke (1981) menyatakan bahwa pemberian serat kasar dalam pakan kering selain akan meningkatkan kapasitas rumen-retikulum juga akan meningkatkan bobot jaringan rumen-retikulum. Namun peningkatan ketebalan dinding rumen-retikulum relatif kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan ketebalan mukosa akibat perkembangan papille. Perkembangan papille akan lebih besar terjadi pada ruminansia yang memperoleh pakan konsentrat daripada pakan berserat kasar tinggi, seperti rerumputan. Perkembangan papille akan meningkat akibatnya penyerapan dan serta efisiensi penggunaan nutrien akan bertambah.
Mikroba Rumen Jenis-jenis mikroba penting yang menghuni rumen adalah bakteri, protozoa dan fungi. Bakteri merupakan penghuni terbesar dalam rumen. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas populasi mikroba rumen adalah temperatur, pH, kapasitas buffer, tekanan osmotik, kandungan bahan kering dan potensial oksidasi reduksi cairan rumen (Dehority, 2004). Adanya bakteri dan protozoa yang hidup dalam rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna bahan pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Fermentasi merupakan proses penguraian bahan organik yang mampu menyediakan energi bagi mikroba rumen (dihasilkan ATP), maka rendahnya VFA mencerminkan rendahnya energi yang tersedia bagi mikroba rumen (Jayanegara et al., 2006). Proses Pencernaan Pencernaan merupakan proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan pakan dalam alat pencernaan. Proses pencernaan meliputi : (1) pencernaan mekanik, (2) pencernaan hidrolitik, dan (3) pencernaan fermentatif. Pencernaan mekanik terjadi di mulut oleh gigi melalui proses mengunyah dengan tujuan untuk memperkecil ukuran, yang kemudian akan masuk ke dalam perut dan usus untuk melalui pencernaan hidrolitik, dimana nutrien akan diuraikan menjadi molekulmolekul sederhana oleh enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh hewan (Sutardi, 1980). Hasil pencernaan fermentatif berupa volatile fatty acids (VFA), NH3, dan air diserap sebagian di rumen dan sebagian lagi di omasum. Selanjutnya pakan yang tidak dicerna disalurkan ke dalam abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim-enzim pencernaan sama seperti yang terjadi pada hewan monogastrik. Pencernaan berlangsung dari suatu saluran yang terentang dari mulut ke anus (Frandson, 1992). Nutrien tersebut dalam saluran pencernaan mengalami perombakan menjadi molekul yang siap untuk diserap tubuh hewan. Peningkatan daya cerna suatu bahan pakan dapat dilakukan melalui pengaktifan mikroorganisme yang ada dalam rumen sehingga semua komponen nutrien dapat dimanfaatkan secara efisien oleh induk semang. Peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara penambahan jumlah maupun kemampuan mikroorganisme melalui sinergisme mikroorganisme (Nurachma et al., 2004).
Energi Hasil akhir pencernaan selulosa oleh mikroba adalah asam lemak terbang (volatile fatty acids = VFA) yang terdiri dari campuran asam asetat, asam propionat, dan asam butirat. VFA dapat dimetabolisme menghasilkan energi dalam tubuh ternak ruminansia (Arora, 1989) dan Forbes & Frances (1993) menjelaskan bahwa hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen adalah VFA, yang terdiri dari asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat, dan asam-asam lemak rantai cabang seperti iso butirat, 2-metil butirat dan iso valerat. Selain berasal dari karbohidrat, VFA juga berasal dari protein. Banyaknya produksi VFA dalam rumen mencirikan aktivitas mikroba rumen yang tinggi. Sebagian besar ransum ternak ruminansia mengandung polisakarida atau karbohidrat struktural seperti selulosa, hemiselulosa, dan karbohidrat lain yang tidak dapat dihidrolisa oleh enzim yang dihasilkan oleh alat pencernaan hewan (Ranjhan, 1980). Polisakarida akan dihidrolisa menjadi monosakarida terutama glukosa oleh enzim yang dihasilkan mikroba. Selanjutnya glukosa akan difermentasi menjadi VFA. VFA terutama yang berantai cabang, esensial untuk pertumbuhan mikroba rumen. Kadar asam lemak rantai cabang ini umumnya sedikit. Komponen VFA yang berkerangka karbon cabang, yaitu isobutirat dan isovalerat sangat efisien sebagai kerangka karbon yang sangat diperlukan mikroba dalam sintesis protein komponen selnya (Ranjhan, 1980). Ransum
dengan
komponen
konsentrat
tinggi
akan
menghasilkan
perbandingan 45% asetat, 40% propionat, 5-10% butirat, dan 2-8% valerat. Apabila konsentrat dalam ransum meningkat, maka proporsi asetat menurun dan asam propionat meningkat (Ranjhan, 1980). Asam-asam lemak terbang yang merupakan 60% konsumsi energi tercerna, secara konstan masuk ke dalam aliran darah melalui dinding rumen (Arora, 1989). Sebagian asam lemak terbang dimetabolisasi dalam dinding rumen dan hasilnya menstimulasi perkembangan papille rumen, sehingga menambah luas permukaan absorpsi (Arora, 1989). Pakan biji-bijian juga mengakibatkan peningkatan produksi asam lemak terbang dan pengurangan aliran saliva, yang akan menimbulkan penebalan-penebalan keratin mukosa rumen (Arora, 1989).
Protein Amonia merupakan nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi protein mikroba (Hungate, 1966). Faktor yang mempengaruhi konsentrasi N-NH3 adalah karbohidrat dalam ransum (Ranjhan, 1980). Peningkatan jumlah karbohidrat mudah difermentasi (readily available carbohydrate) akan mengurangi produksi amonia karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan mikroba (Ranjhan, 1980). Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepat dengan pembentukan NH3. Konsentrasi amino dalam rumen tergantung pada kelarutan dan jumlah pakan. Protein pakan yang didegradasi menjadi asam amino akan mengalami proses deaminasi menjadi asam organik CO2 dan NH3. Molekul NH3 yang dihasilkan dapat diubah menjadi protein mikroba kemudian mengalir ke abomasum, usus halus dan hati. Namun NH3 yang masuk ke dalam darah dan hati diubah menjadi urea. Urea yang dihasilkan sebagian akan masuk kembali ke dalam rumen melalui saliva maupun dinding rumen dan sebagian lagi diekskresikan melalui urin (Ranjhan, 1980; Arora, 1989). Mikroorganisme rumen menghasilkan enzim protease yang digunakan untuk menghidrolisa protein menjadi peptida dan asam amino, yang selanjutnya didegradasi menjadi CO2, NH3 dan VFA (Ranjhan, 1980). Amonia merupakan nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi protein mikroba (Hungate, 1966). Menurut Ranjhan (1980) batas minimum kadar amonia untuk pertumbuhan mikroba sebesar 2 mg%. Penyediaan protein dalam ransum sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi (Sutardi, 1980). Degradasi protein dalam rumen dipengaruhi oleh sumber protein, bentuk fisik dan kimia pakan, laju partikel pakan dalam rumen, jumlah konsumsi energi, pertumbuhan mikroba dan ukuran partikel pakan (Hubber & Kung, 1981).
Kebutuhan Nutrien Pakan Nutrien yang dikonsumsi pedet dibutuhkan untuk hidup pokok dan pertambahan bobot badan dalam bentuk deposit protein dan mineral. Kebutuhan nutrien pedet antara lain bergantung kepada umur, bobot badan dan pertambahan bobot badan (NRC, 2001). Kebutuhan hidup pokok yaitu kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup. Jika sapi memperoleh pakan lebih dari kebutuhan hidup pokok, sebagian kelebihan nutrien tersebut akan diubah menjadi bentuk produksi, misalnya pertumbuhan atau kenaikan bobot badan, produksi air susu atau produksi tenaga (Parakkasi, 1999). Tingkat pertambahan bobot badan maksimum yang dapat diraih ditentukan oleh tingkat konsumsi energi (Roy, 1980). Menurut Cullison et al. (2003), fungsi nutrien bagi ternak adalah menyediakan energi untuk produksi panas dan deposit lemak, memelihara sel-sel tubuh, mengatur berbagai fungsi, proses dan aktivitas dalam tubuh. Nutrien yang diperlukan ternak dapat dipisahkan menjadi komponen utama antara lain energi, protein, mineral, dan vitamin. Orskov (2001) menyatakan bahwa ternak membutuhkan energi untuk pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol temperatur tubuh, dan untuk produksi. Kebutuhan energi pada ternak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, produksi, dan ukuran tubuh (NRC, 2001). Berdasarkan NRC (2001), pada saat pertumbuhan, seekor ternak membutuhkan kadar protein yang tinggi untuk proses pembentukan jaringan tubuh. Ternak muda memerlukan protein lebih tinggi dibandingkan dengan ternak dewasa karena untuk memaksimalkan pertumbuhannya. Mineral diperlukan oleh ternak dalam jumlah yang cukup. Pada ternak ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Apabila terjadi defisiensi salah satu mineral maka aktivitas fermentasi mikroba tidak berlangsung secara optimum sehingga akan berdampak pada menurunnya produktivitas ternak (McDowel, 1992). Beberapa mineral mempunyai fungsi untuk pertumbuhan,
reproduksi,
dan
untuk
memelihara
kesehatan.
Jika
terjadi
ketidakseimbangan hubungan antar mineral maka dapat berpengaruh terhadap penampilan ternak, ketidakseimbangan ini menurut Parakkasi (1999), dapat berkisar
dari yang tidak terlihat gejalanya atau subklinis sampai yang sangat jelas gejalanya atau akut. Seiring dengan bertambahnya konsumsi pakan padat seperti rumput dan calf starter maka papille rumen akan berkembang yang diiringi dengan pertumbuhan mikroorganisme rumen (Rakhmanto, 2009). Jumlah mikroorganisme akan stabil jika pH rumen mendekati pH netral yang dicapai pada umur sekitar delapan minggu (Roy, 1980). Jumlah bahan kering yang dapat dikonsumsi pada pakan cair lebih banyak dibandingkan dengan pakan padat sampai anak sapi mempunyai berat hidup 70 kg dikarenakan energi dari susu dapat tercerna lebih efisien oleh pencernaan monogastrik dibanding dengan pencernaan pakan padat pada ruminan (Roy, 1980). Sapi akan mengkonsumsi bahan kering berkisar antara 1,4-2,7% dari bobot badannya (NRC, 2001). Konsentrat Pemberian konsentrat pada pedet harus dilakukan secara bertahap. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan kemampuan rumen yang belum berkembang dan kebiasaan pedet yang lebih menyukai pakan cair. Pakan padat yang diberikan pada awal pertumbuhan pedet dikenal dengan calf starter (ransum pemula). Ransum pemula yang diberikan biasanya berupa campuran dari berbagai jenis bahan pakan berenergi dan protein tinggi (Parakkasi, 1999). Konsentrat dapat merupakan sumber protein maupun sumber energi. Konsentrat sumber energi adalah bahan pakan yang mengandung protein kasar kurang dari 20% dan serat kasar kurang dari 18%. Pemberian konsentrat yg terlampau banyak akan meningkatkan konsentrasi energi ransum dan dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga tingkat konsumsi berkurang (Parakkasi, 1999). Konsentrat biasanya tersusun dari berbagai bahan pakan biji-bijian dan hasil ikutan dari pengolahan hasil pertanian maupun industri. Pemberian konsentrat dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan sapi. Namun, pemberian pakan penguat berupa konsentrat harus memperhitungkan nilai ekonomisnya. Pemberian konsentrat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerugian bila tidak diiringi peningkatan pertumbuhan atau produksi yang sesuai (Parakkasi, 1999).
Serat Kasar Pakan Menurut Sutardi (1980), dinding sel dapat dibagi menjadi fraksi yang larut dan tidak larut. Fraksi yang larut sebagian besar terdiri atas hemiselulosa dan sedikit protein dinding sel. Fraksi yang tidak larut adalah lignoselulosa yang lazim disebut acid detergent fiber (ADF), dan dari ADF dapat diperoleh selulosa dan lignin. Kandungan serat kasar yang tinggi akan menghambat gerak laju digesta di dalam alat pencernaan. Kandungan serat kasar tersebut menyebabkan daya cerna karbohidrat maupun nutrien lainnya menjadi turun (Parakkasi, 1999). Menurut Arora (1989), hasil akhir dari proses pencernaan golongan hemiselulosa dan selulosa berupa asam asetat, asam propionate dan asam butirat. Fungsi hemiselulosa dan selulosa dalam saluran pencernaan tidak spesifik, tetapi penting dalam meningkatkan gerak peristaltik pada pencernaan hewan golongan non ruminansia, juga merupakan sumber energi dari mikroorganisme dalam lambung dan sebagai bahan pengisi lambung. Golongan lignin tidak dapat dicerna dan tidak memiliki hasil akhir dari proses pencernaan serta keberadaannya dapat menghambat proses pencernaan pada ternak. Pencernaan Serat pada Ruminansia Kurang lebih 60-75% dari ransum yang biasa dimakan ruminansia terdiri dari karbohidrat struktural dan nonstruktural. Komponen karbohidrat struktural yang berupa serat kasar sebagian besar terdapat sebagai selulosa, hemiselulosa dan lignin, sedangkan karbohidrat nonstruktural dalam konsentrat umumnya terdapat sebagai pati. Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami tiga tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Pada tahap pertama, karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa dan pentosa. Hasil pencernaan tahap pertama tersebut segera memasuki jalur glikolisis EmbdenMeyerhoff untuk mengalami pencernaan tahap kedua yang menghasilkan piruvat. Piruvat kemudian akan diubah menjadi VFA (volatile fatty acid) yang umumnya terdiri dari asetat, butirat, propionat. Disamping VFA sebagai produk utama, hasil fermentasi di dalam rumen lain adalah CO2 dan CH4 yang dikeluarkan melalui proses eruktasi. VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama dari ternak ruminansia (Arora, 1989).
Konsumsi Ransum Jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak atau sekelompok ternak yang mengandung nutrien di dalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak tersebut. Menurut Parakkasi (1999) konsumsi pakan merupakan faktor esensial untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan menentukan produksi sehingga dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar nutrien dalam ransum yang dapat digunakan untuk memenuhi hidup pokok dan produksi. Konsumsi dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam ternak itu sendiri sedangkan faktor eksternal berasal dari pakan dan lingkungan sekitar dimana ternak tersebut hidup. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, sedangkan palatabilitas pakan tergantung pada bau, rasa, tekstur dan temperatur pakan yang diberikan (Church & Pond, 1988). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa konsumsi ditentukan oleh: (1) berat atau besar badan, (2) jenis pakan (daya cerna), (3) umur dan kondisi ternak, (4) kadar energi bahan pakan, (5) cekaman (stress) dan (6) jenis kelamin. Kecernaan Nutrien Kecernaan adalah perubahan sifat fisik dan kimia yang dialami bahan pakan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan pakan menjadi butir-butir atau partikel kecil, atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil. Selain itu, dalam alat pencernaan terutama pada ruminansia bahan pakan mengalami pula perombakan sehingga sifat-sifat kimia bahan pakan berubah (Sutardi, 1980). Berdasarkan perubahan yang terjadi pada bahan pakan di dalam alat pencernaan, proses pencernaan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu pencernaan mekanik, pencernaan hidrolitik, dan pencernaan fermentatif. Pencernaan fermentatif pada ternak ruminansia terjadi dalam rumen berupa perubahan senyawa-senyawa tertentu menjadi senyawa lain yang sama sekali berbeda dari molekul zat asalnya. Perbedaan prinsip antara pencernaan hidrolitik dengan pencernaan fermentatif adalah pada pencernaan hidrolitik nutrien yang berupa polimer dihidrolisa menjadi monomer-monomernya, sedangkan pada pencernaan fermentatif monomer-monomer tersebut segera dikatabolisasi lebih lanjut. Misalnya protein difermentasi menjadi amonia dan karbohidrat menjadi asam lemak terbang (VFA) (Sutardi, 1980).
Kecernaan atau ketersediaan nutrien dalam bahan pakan untuk diserap oleh saluran pencernaan banyak tergantung pada status dan produktivitas atau fungsi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Parakkasi (1999) mendefinisikan kecernaan sebagai bagian yang tidak dieksresikan dalam feses dimana bagian tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh ternak, dinyatakan dalam persen bahan kering. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa nutrien yang dicerna adalah bagian nutrien yang tidak dikeluarkan dan diperkirakan diserap oleh tubuh hewan. Selisih antara nutrien yang terkandung dalam pakan yang dimakan dan nutrien dalam feses adalah jumlah yang tinggal di dalam tubuh hewan atau jumlah dari nutrien yang dicerna (Parakkasi, 1999). Pakan yang mengandung serat kasar dapat menurunkan nilai kecernaan nutrien lainnya karena untuk mencerna serat kasar diperlukan banyak energi. Faktor–faktor yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan yaitu aspek pakan, ternak dan lingkungan. Perlakuan terhadap pakan (pengolahan, penyimpanan, dan cara pemberian), jenis, jumlah, dan komposisi pakan yang diberikan pada ternak. Umur ternak, kemampuan mikroba rumen mencerna pakan, jenis hewan serta variasi hewan turut menentukan nilai kecernaan (Parakkasi, 1999). Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan dipengaruhi antara lain oleh jenis hewan, macam bahan pakan, jumlah ransum yang diberikan, cara penyediaan pakan, dan kadar nutrien yang terkandung (Ranjhan, 1980). Faktor yang berpengaruh lainnya, menurut Arora (1989) yaitu laju pengisian dan pengaliran rumen yang merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat dan tempat pencernaaan, tingkat konsumsi mikroba, produksi akhir fermentasi dan penggunaan nitrogen. Menurut Sutardi (1980) ada dua metode untuk menentukan koefisien cerna yaitu metode koleksi total dan metode indikator, sedangkan pengukurannya dapat dilakukan secara in vitro, in vivo dan perhitungan berdasarkan kadar nutrien hasil analisis kimia. Untuk memperoleh angka kecernaan suatu nutrien, diperlukan data mengenai banyaknya nutrien yang dikonsumsi dan yang terdapat dalam feses. Untuk mengetahui jumlah nutrien yang dikonsumsi yaitu dengan cara mengalikan jumlah bahan kering ransum dengan persentase kandungan nutrien dalam ransum, begitu juga untuk menghitung banyaknya nutrien didalam feses, sedangkan persentase nutrien dalam feses dan ransum diperoleh dari analisa proksimat.
Produksi Amonia Tingkat kecernaan dan degradasi protein terkait dengan tinggi rendahnya kadar amonia dalam cairan rumen. Produksi amonia rumen dipengaruhi oleh pH rumen, kelarutan protein bahan pakan, daya tahan protein terhadap degradasi, dan lamanya bahan pakan dalam rumen. Amonia merupakan sumber nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi komponen protein mikroba (Hungate, 1966). Peningkatan jumlah karbohidrat mudah difermentasi (RAC) akan mengurangi produksi amonia karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan mikroba (Ranjhan, 1980). Produksi VFA Kecernaan dan fermentasi karbohidrat terkait dengan kadar VFA dalam cairan rumen. Karohidrat yang mudah dicerna akan mudah mengalami fermentasi dalam rumen. Sebagian besar VFA diserap langsung melalui dinding rumen, dan sebagian kecil asetat dan propionat serta sebagian besar butirat termetabolisme dalam dinding rumen (Parakkasi, 1999). Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan komponen pakan. Produksi VFA yang tinggi merupakan indikator kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005). Total Digestible Nutrient (TDN) Kecernaan komponen nutrien yang tinggi tergambarkan oleh nilai kecernaan nutrien yang tinggi. Tingkat kecernaan nutrien pakan biasanya diekspresikan dalam satuan nutrien total tercerna atau total digestible nutrien (TDN). TDN merupakan jumlah dari semua nutrien organik yang dapat dicerna, seperti protein, lemak, serat kasar, dan BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen). Konversi nilai TDN dari nilai kecernaan nutrien dilakukan dengan memperhitungkan kadar energi lemak sehingga lemak mempuyai nilai kesetaraan karbohidrat 2,25 karena nilai energi lemak 2,25 kali lebih tinggi daripada nilai energi karbohidrat dan protein (Sutardi, 1980). Konsumsi TDN berkaitan dengan suplai energi dapat dicerna yang sangat diperlukan oleh ternak, sehingga konsumsi TDN akan memberikan suplai energi yang digunakan dalam proses metabolisme dalam tubuh, namun proses pertumbuhan itu sendiri memerlukan suplai protein yang cukup (Utomo, 2003).