Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
TINJAUAN PERFORMA PERSILANGAN KERBAU SUNGAI X KERBAU LUMPUR Lisa Praharani Balai Penelitian Ternak, Bogor
ABSTRAK Ternak kerbau dikenal memiliki peranan penting sebagai penghasil daging, susu, pupuk organik dan untuk upacara ritual. Beberapa keunggulan biologis ternak kerbau dibandingkan sapi antara lain efisiensi penggunaan pakan lebih tinggi, daya adaptasi, kualitas daging yang rendah kandungan kholesterolnya. Kontribusi ternak kerbau sebagai penghasil daging dalam rangka menunjang ketersediaan daging nasional dan perannya sebagai penghasil susu perlu dipertimbangkan mengingat kandungan lemak susu kerbau yang tinggi merupakan bahan baku industri keju Mozarela. Peningkatan produktivitas ternak kerbau penghasil daging dan susu melalui teknologi persilangan merupakan salah satu cara untuk menghasilkan ternak dwiguna yaitu dengan mengawinkan kerbau lumpur (pedaging) dan kerbau sungai (perah). Persilangan kerbau lumpur x kerbau sungai telah banyak dilakukan di beberapa negara seperti Australia, Philipina, Vietnam, India dan Cina. Pada umumnya, hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan produksi susu, pertumbuhan dan kualitas daging kerbau pada ternak hasil persilangan. Makalah ini menyajikan performa ternak kerbau persilangan yang merupakan hasil penelitian dari berbagai negara. Makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi upaya peningkatan produktivitas kerbau melalui perbaikan genetik di Indonesia. Kata kunci: Produktivitas, persilangan, kerbau
PENDAHULUAN Ternak kerbau memiliki potensi sangat besar dalam rangka menopang ketahanan pangan khususnya ketersediaan dan kecukupan daging tahun 2010. Daging kerbau diharapkan pada lima tahun mendatang dapat meningkatkan kontribusinya dalam mendukung ketersediaan daging sapi sampai 15% dimana saat ini masih di bawah 10% (DITJENNAK, 2006). Disamping perannya sebagai penghasil daging, ternak multiguna ini berperan sebagai penghasil tenaga kerja untuk mengolah sawah dan transportasi di pelosok wilayah Indonesia. Beberapa masyarakat Indonesia seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Banten, dan Blora sangat fanatik mengkonsumsi daging kerbau, baik dalam upacara adat maupun menu sehari-hari. Sementara di Sumatera Barat dan Sumatera Utara kerbau dimanfaatkan sebagai penghasil susu yang selanjutnya diolah menjadi produk lokal yang terkenal dan berguna bagi peningkatan gizi masyarakat pedesaan khususnya. Nilai ekonomis ternak kerbau semakin tinggi pada wilayah tertentu seperti di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, dimana kerbau menjadi ternak khusus yang digunakan dalam
upacara ritual keagamaan. Melihat potensi kerbau yang cukup baik untuk dikembangkan diharapkan, perhatian adanya yang besar diarahkan kepada ternak kerbau baik dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan maupun lembaga penelitian, khususnya dalam aspek pemuliaannya. Peran utama kerbau sebagai penghasil daging dan susu perlu didukung dengan upaya perbaikan genetik melalui seleksi dan persilangan guna meningkatkan produksi daging dan susu kerbau. Peningkatan produktivitas ternak kerbau melalui persilangan di Indonesia belum banyak dilakukan, tetapi di negara lain seperti Philipine, Cina, Australia, Vietnam, dan Bangladesh, telah banyak dilakukan untuk mendapatkan kerbau dwiguna. Pada umumnya, hasil persilangan menunjukkan peningkatan reproduksi, produksi, karkas/kualitas daging dan tenaga kerja ternak. Makalah ini menyajikan performa hasil persilangan ternak kerbau dari berbagai pustaka hasil penelitian di beberapa negara. Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai peningkatan performa ternak kerbau melalui program persilangan. Selain itu, makalah ini diharapkan
29
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
dapat dijadikan bahan masukan serta pertimbangan bagi program pemuliaan ternak kerbau dalam rangka meningkatkan produktivitas kerbau di Indonesia. KARAKTERISTIK DAN POPULASI TERNAK KERBAU Ternak kerbau air (water buffalo) atau dikenal dengan Kerbau Asia terdiri dari tiga species yaitu Bubalus depressicornis atau Anoa yang terdapat di Indonesia, Bubalus mindorensis terdapat di Philipina dan Bubalus bubalis yang merupakan hasil domestikasi kerbau liar India Bubalus arnee 5000 tahun yang lalu (BOGHESE and MARAZZI, 2005). Bubalus bubalis biasanya disebut sebagai kerbau air karena hidupnya tergantung pada ketersediaan air (BORGHESE and MOIOLI, 2000). Pemberian nama latin kerbau lumpur (swamp buffalo) yang telah didomestikasi atau carabao (Phillipina) yang baru adalah Bubalus bubalis carabanensis untuk membedakannya dengan kerbau sungai (Bubalus bubalis) (CASTILLO, 2004). Pemisahan subspecies Bubalin yaitu kerbau lumpur yang telah didomestikasi di Asia Tenggara ini dilaporkan sebelumnya oleh BORGHESE dan MARRAZZI (2005). Jarak genetik antara kerbau lumpur Philipina, kerbau lumpur silangan Philipina, dan kerbau sungai Philipina, kerbau Bangladesh dan kerbau Indonesia cukup jauh. Selanjutnya dikatakan bahwa jarak genetik antara kerbau sungai dan kerbau lumpur sangat jauh. Berdasarkan jumlah kromosomnya ternak kerbau (Bubalus bubalis) terbagi menjadi dua tipe yaitu kerbau rawa (lumpur) yang mempunyai jumlah kromosom 48 dan kerbau sungai mempunyai 50 kromosom. Laporan
tersebut mendukung pendapat CASTILLO (1983) mengenai pemberian nama latin pada kerbau lumpur sebagai sub species baru untuk membedakannya dengan kerbau sungai. Morphologi kerbau lumpur dan sungai sangat berbeda dimana berat badan kerbau lumpur (325-450 kg) lebih kecil dibandingkan kerbau sungai (450-1.000 kg). Kharakteristik eksterior kerbau lumpur dan kerbau sungai lebih jelas berbeda seperti terlihat dalam Tabel 1. Perbedaan eksterior yang khas pada kerbau lumpur memiliki warna putih pada leher. Populasi ternak kerbau (Bubalus bubalis) di dunia sekitar 176,4 juta ekor tersebar di 129 negara dimana 167,4 juta ekor (95,8%) terdapat di Asia, 2,24% di Afrika, 1,96% di Amerika Selatan, 0,02% di Australia dan 0,30% di Eropa. Sebanyak 99,6% populasi ternak kerbau tersebut berada di negara berkembang (MISRA, 2005). Populasi kerbau di dunia meningkat sebesar 91% antara tahun 1961 dan 2002 dengan pertumbuhan populasi ternak kerbau rataan sekitar 1,34% per tahun, dimana peningkatan populasi antar negara berbeda, meskipun di beberapa negara populasinya menurun (NANDA dan NAKAO, 2003). Penurunan populasi kerbau khususnya di Asia Tenggara terutama disebabkan oleh mekanisasi pertanian dimana terjadi penggantian tenaga kerja kerbau dengan traktor; berkurangnya lahan sawah akibat industrialisasi dan urbanisasi; pemotongan ternak kerbau memenuhi permintaan daging kerbau; rendahnya laju reproduksi ternak kerbau dan responnya terhadap bioteknologi reproduksi; serta kurangnya perhatian pemerintah pengambil kebijakan dan peneliti (LY, 2001; NANDA et al., 2003).
Tabel 1. Perbedaan karakterisitik eksterior antara kerbau lumpur dan sungai Kriteria Warna tubuh Warna putih pada leher Warna kaki bawah Tanduk Jumlah kromosom Sumber: CASTILLO (2004)
30
Kerbau lumpur
Kerbau sungai
Abu muda
Hitam
ada
Tidak ada
Putih
Hitam
Setengah lingkar kesamping
Melengkung kebelakang
48
50
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
sebesar 8% antara tahun 2002 dan 2006, meskipun di beberapa propinsi meningkat seperti di propinsi Sumatera Utara. Penyebab penurunan populasi ternak kerbau yang terjadi di Asia Tenggara seperti disebutkan diatas hampir sama dengan kasus di Indonesia (MATONDANG dan SIREGAR, 2000). Kerbau lumpur memiliki peran utama sebagai penghasil daging, meskipun ada juga yang diperah. Umumnya produksi susu kerbau lumpur lebih rendah dibandingkan kerbau sungai. Di Sumatera Barat ternak kerbau lumpur diperah, kemudian susunya diolah menjadi makanan tradisional lokal yang disebut dadih. Produksi susu kerbau lumpur di Sumatera Barat rata-rata sebesar 1,5 liter/hari, sedangkan produksi susu kerbau sungai di Sumatera Utara dilaporkan sebesar 5-6 liter/hari. Di Thailand, Vietnam dan Cina, kerbau lumpur berperan juga sebagai penghasil susu dengan produksi susu lebih tinggi dari Sumatera Barat yaitu masing-masing sebesar 1,94 kg/hari, 1,55 kg/hari dan 2,15 kg/hari (GONGZHEN, 1996; THU, 1997). Ternak kerbau memiliki beberapa keunggulan dibandingkan ternak sapi seperti terlihat dalam Tabel 2. Pada pemeliharaan sistem ekstensif di dataran rendah Amerika Selatan dengan kondisi gersang (REGGETI dan RODRIGUES, 2004) dilaporkan bahwa ternak kerbau lebih produktif dibandingkan dengan ternak sapi seperti dalam Tabel 2. Perbedaan produk kerbau (daging dan susu) dibandingkan dengan sapi terlihat dalam Tabel 3. Susu kerbau lebih kaya asam lemak jenuh
Kerbau lumpur umumnya dipelihara sebagai ternak kerja dan daging, sedangkan kerbau sungai sebagai penghasil susu dengan produksi sampai 2000 kg per laktasi dan kandungan lemak susu antara 6,8% dan 8,6% (TRIPALDI, 2005). Jumlah ternak kerbau lumpur di dunia hanya 30% sedangkan populasi terbanyak adalah kerbau sungai (70%). Kerbau sungai banyak dijumpai di daerah Asia Selatan seperti Pakistan, India, Srilanka dengan jenis utamanya Kerbau Murrah, Nili-Ravi, Surti Bhadawari, Mehsana, Jaffarabadi yang merupakan penghasil susu terbaik (MISRA, 2005). Sementara kerbau lumpur pada umumnya terdapat di daerah Asia Tenggara termasuk Indonesia, Phillipina, Vietnam dan Cina bagian Selatan (SETHI, 2003; FAO, 2005). Ternak kerbau merupakan ternak semi akuatik dan Indonesia merupakan habitat yang baik untuk ternak kerbau karena 40% dari wilayah Indonesia beriklim tropis basah Populasi kerbau lumpur di Indonesia sebesar 2,2 juta atau sebanyak 6% dari total populasi kerbau dunia dan tersebar hampir di seluruh agro-ekosistem dengan populasi terbanyak di beberapa kantong ternak kerbau antara lain propinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, NTB, Banten, NTT, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Selatan (DITJENNAK, 2006). Sedangkan kerbau sungai di Indonesia hanya berjumlah kurang dari 1000 ekor yang terdapat di Sumatera Utara merupakan jenis Murrah dan Nilli-Ravi (TRIWULANNINGSIH et al., 2004). Secara umum, populasi kerbau di Indonesia menurun
Tabel 2. Keunggulan ternak kerbau dibandingkan sapi pada kondisi ekstensif Parameter Beranak, % Mortalitas pra-sapih, %
Sapi
Kerbau
40
80
10
1,4
120-150
220-250
Berat potong, kg
450
500
Umur potong, bulan
48
24
51-52
48-53
Berat sapih, kg
Karkas, % Sumber: REGGETI dan RODRIGUES (2004)
31
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
Tabel 3. Perbandingan nutrisi produk kerbau dan sapi* Parameter
Daging
Susu (4% FCM)
Kerbau
Sapi
Kerbau
Sapi
Kalori
131
289
740
740
Protein, %
26,8
24,0
31
26,5
Fat, %
1,8
20,69
40
1,2
Sumber: NANDA dan NAKAO (2003)
(18–23% vs 13–16%) yang sangat baik untuk dibuat keju, mozarela, mentega dan ice cream. Selain itu, kandungan protein, laktosa dan lemak susu kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi (GUPTA, 2001). Di India, kerbau perah penghasil susu lebih efisien dan lebih menguntungkan (SINGH, 1992) dibandingkan dengan ternak sapi perah lokal. Daging kerbau lebih kaya gizinya dibandingkan dengan daging sapi, antara lain kandungan colesterol 40% lebih rendah, kalori 55% lebih rendah, protein 11% lebih tinggi, dan mineral 10% lebih tinggi (USDA, 1996; NANDA dan NAKAO, 2003). Secara tampilan, daging kerbau sulit dibedakan dengan daging sapi oleh kebanyakan orang, meskipun agak berbeda dalam lemak daging, aroma dan rasanya. PERSILANGAN KERBAU LUMPUR X KERBAU SUNGAI Performa Genetis Sistem persilangan ternak secara luas telah banyak dilakukan dan terbukti merupakan salah satu cara tercepat dalam meningkatkan produktivitas ternak. Beberapa keuntungan dalam sistem persilangan antara lain: (a) memperoleh keturunan yang memiliki kombinasi beberapa sifat keunggulan ekonomis tetuanya dan (b) mendapatkan derajat heterosis baik yang berasal dari individu ternak, paternal maupun dari maternalnya yang merupakan perbedaan penampilan hasil persilangan terhadap rataan bangsa tetuanya. Sistem persilangan ternak dilakukan pula pada beberapa kasus dalam populasi tertentu sehingga persilangan bertujuan untuk menghilangkan pengaruh tekanan inbreeding
32
yang tinggi menyebabkan penampilan inferior produktivitas ternak lokal. Pada dasarnya tujuan dari persilangan kerbau sungai yang memiliki genetik potensial produksi susu yang tinggi dengan kerbau lumpur yang memiliki perdagingan (otot) yang baik adalah untuk menghasilkan ternak silangan dwi-guna sekaligus memiliki produksi susu dan daging yang diharapkan memiliki nilai genetik aditif sebesar rataan performan dari bangsa tetuanya. Pengaruh nonaditif hasil persilangan yang atau heterosis merupakan nilai deviasi performan dari komponen aditive rataan bangsa tetuanya (KINGHORN, 2000) yang terjadi bila dua individu ternak yang memiliki hubungan kekerabatan/jarak genetik yang jauh, dalam hal ini jumlah khromosom kerbau sungai (2n=50) dan kerbau lumpur (2n=48). PAYNE dan HODGES (1997) mengatakan bahwa heterosis meningkat pada persilangan antara individu dari bangsa berbeda yang memiliki perbedaan nilai genetiknya. Meskipun demikian hasil persilangan turunan pertama (F-1) memiliki performan produksi tertinggi di antara persilangan lainnya sebagai akibat pengaruh heterosis tertinggi pada (F-1), pengaruh heterosis semakin menurun pada keturunan kedua (F-2) dan selanjutnya. BARLOW (1981) melaporkan bahwa nilai hybrid vigor tersebut menjadi lebih besar bila ternak berada dalam cekaman lingkungan. Persilangan antara kerbau lumpur (2n=48) dan kerbau sungai (2n=50) yang memiliki jumlah kromosom berbeda yaitu 2n=49. Keturunannya F-1 pada kedua jenis kelamin (jantan dan betina) subur dan normal meskipun dikawinkan secara interse menghasilkan keturunan F2 baik jantan dan betinanya tetap fertil dan normal (CASTILLO, 2004). Penelitian LIANG et al. (2004) melaporkan hasil persilangan kerbau Murah dan kerbau lumpur
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
menghasilkan F-2 yang memiliki 3 macam karyotipe yaitu 2n=48, 2n=49 dan 2n=50. Dari pengujian terhadap 293 ternak hasil persilangan 50% Murrah 25% Nilli-Ravi 25% kerbau Lumpur ditemukan 2 macam karyotipe 2n=50 dan 2n=49 masing-masing 50% (1:1). Sementara hasil pengujian 247 ternak F-1 50% Murrah 25% Nilli-Ravi 25% kerbau Lumpur terdapat 3 karyotipe yaitu 2n=50 (61,9%), 2n=49 (34,4%) dan 2n=48 (3,7%) atau perbandingan 20:10:1. Meskipun hasil persilangan memiliki keragaman (polymorphism), ternak kerbau memberikan penampilan reproduksi yang normal. Karyotipe memberikan perbedaan genetik pada karakter/sifat produksi susu, reproduksi, pertumbuhan dan bulu, tetapi ditambahkan bahwa performa reproduksi ternak berkaryotipe 2n=50 lebih baik. Laporan yang berbeda dari hasil penelitian SIVARAJASINGAM (1987) mengatakan bahwa persilangan kerbau lumpur dan kerbau sungai perlu mendapat perhatian dalam masalah reproduksi dimana sebagian ternak memiliki kelainan reproduksi (infertil) akibat ketidakseimbangan synaptic pada waktu meiosis. Perkawinan antara F1 yang memiliki kromosom 2n=49, menghasilkan F2 dengan variasi jumlah kromosom ternak, 2n=48, 2n=49 dan 2n=50. Bila dilakukan backcross F2 dengan kerbau sungai, maka jumlah kromosom dalam populasi 2n=49 dan 2n=50. Sebaliknya bila dilakukan backcross F2 dengan kerbau lumpur, maka jumlah kromosom dalam populasi 2n=48 dan 2n=49. Performa produksi dan reproduksi masing-masing genotip tersebut berbeda. Secara umum eksterior hasil persilangan dilaporkan berbeda dengan kerbau lumpur dan kerbau sungai. Persilangan kerbau lumpur dan kerbau Murrah memiliki warna bulu abu-abu dibandingkan warna kerbau lumpur (abu-abu muda/terang) dan kerbau sungai (hitam). Warna putih pada bagian leher sampai ke perut bawah dijumpai seperti pada kerbau lumpur. Tanduknya melengkung agak melingkar berbeda dengan kerbau lumpur (panjang kebelakang) dan kerbau sungai (sprial). Persilangan antara kerbau lumpur dan kerbau sungai telah banyak dilakukan di berbagai negara yang memiliki kerbau lumpur seperti Philipine, Cina, Vietnam, Birma, Bangladesh dan Australia. Sedangkan
persilangan kerbau lumpur dan kerbau sungai di Indonesia pernah dilakukan di Brebes, tetapi belum lengkap dilaporkan. Hasil persilangan melaporkan bahwa adanya peningkatan produktivitas, reproduktivitas, karkas/daging dan tenaga kerja ternak dibandingkan kerbau lumpur. Introduksi darah kerbau sungai (jantan) ke dalam populasi kerbau lumpur (betina) menyimpulkan bahwa kerbau lumpur dapat digunakan sebagai penghasil susu melalui perkawinan silang dengan kerbau sungai. Performa Produktivitas Pusat Penelitian Kerbau di Philipina (Philippine Carabao Center = PCC) telah melakukan program persilangan antara pejantan kerbau sungai dengan betina kerbau lumpur sejak tahun 1981, bertujuan menghasilkan keturunan yang memiliki genetik potensial penghasil daging dan susu lebih baik dari kedua tetuanya. Program persilangan dilakukan melalui persilangan kerbau lumpur (betina) dengan kerbau Murrah (jantan) India, Amerika dan Bulgaria sehingga dihasilkan produksi susu lebih tinggi 4,0 kg/hari dibandingkan kerbau lumpur (PCC, 2003). Penampilan kerbau lumpur dan persilangannya dengan kerbau sungai seperti terdapat dalam Tabel 4 memperlihatkan adanya pengaruh heterosis yang menyebabkan produksi kerbau persilangan di atas rataan kedua tetuanya. SALAZAR (1995) membandingkan berat badan kerbau lumpur dengan kerbau persilangan dan dilaporkan rataan berat badan kerbau persilangan (kerbau lumpur x kerbau Murrah atau kerbau lumpur x Nilli-Ravi) lebih tinggi dibandingkan kerbau lumpur. Produksi susu persilangan kerbau Murrah x Lumpur sebesar 1.300 l selama 300 hari dibandingkan produksi susu kerbau lumpur hanya 500 liter. Sumber lain menyebutkan bahwa persilangan kerbau lumpur x Murrah mememiliki berat badan dan ukuran badan lebih besar dibanding kerbau lumpur yang dilaporkan dari berbagai lokasi pengamatan (PARKER, 1992). Persilangan kerbau lumpur x kerbau sungai pada sistem penggemukan dengan umur yang sama (18-24 bulan) memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sapi Brahman cross, antara lain pertambahan berat badan, efektifitas dalam
33
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
Tabel 4. Performa kerbau lumpur, kerbau sungai dan persilangannya Kerbau lumpur
Kerbau sungai
Kerbau lumpur x Sungai
592
374
510
Lama laktasi, hari
210-260
285-302
236-284
Susu harian, l
Berat hidup, kg
1,2-3,4
5,18-5,55
4.0
Produksi susu, l
400
1800
1100
Lemak susu, %
8,3-9,5
7,36
7,53
Sumber: CRUZ (2003)
tinggi dibandingkan kerbau Murrah dan dua kali lebih tinggi dibandingkan kerbau lumpur. Kandungan lemak dan bahan padat susu kerbau 50% Nilli-Ravi 25% Murrah 25% Lumpur masing-masing sebesar 17,45% dan 7,43%. Penelitian penggemukan F2 50% Nilli-Ravi 25% Murrah 25% Lumpur dan 50% kerbau Lumpur 50% Murrah pada umur 18-24 bulan, pertambahan berat badan sebesar 0,55-0,62 kg/hari, sedangkan berat karkas dan berat daging tanpa tulang masing masing 52,4% dan 42,4% (BOGHESE dan MARAZZI, 2005). Sementara di propinsi Guangxi, Cina persilangan ternak kerbau lumpur dan kerbau Murrah bertujuan untuk meningkatkan produksi susu kerbau Lumpur yaitu sebesar 3,73 kg/hari selama 277 hari laktasi dibandingkan kerbau Lumpur 2.15 kg/hari (GHONGZHEN. 1996). Persilangan kerbau lumpur dan kerbau Murah di Vietnam menghasilkan anak F1 yang memiliki pertumbuhan dan ukuran badan serta tenaga kerja lebih besar (DUNG, 1995).
pemanfaatan hijauan lebih tinggi sehingga pemeliharaan kerbau persilangan lebih menguntungkan (LAPITAN et al., 2008). Persilangan kerbau lumpur dengan kerbau sungai di Cina telah dimulai sejak tahun 1960 dan telah menghasilkan lebih dari 50.000 ekor persilangan dalam 17 tahun melalui Inseminasi Buatan. Persilangan tiga bangsa kerbau dilakukan di Cina melalui perkawinan kerbau lumpur x kerbau Murrah x kerbau Nilli-Ravi menghasilkan ternak silangan dengan genotipa 50% Nilli-Ravi 25% Murrah 25% kerbau Lumpur (LIU et al., 1985). Pertambahan berat badan harian ternak hasil persilangan sebesar 0,9 kg/hari/ekor dan produksi susu 2119 kg/laktasi dibandingkan kerbau Lumpur hanya 800 kg/laktasi (ACHARYA, 1988). Penelitian YANG et al. (2003) seperti dalam Tabel 5 menunjukkan periode laktasi dan produksi susu keturunan F2 50% Nilli-Ravi 25% Murrah 25% kerbau Lumpur dan 50% kerbau Lumpur 50% Murrah yaitu masing-masing 325,8 hari dan 2.294 kg vs 317,6 hari dan 2.276,6 kg lebih
Tabel 5. Produksi susu beberapa genotipa kerbau dan persilangannya Breed
Produksi harian tertinggi (kg)
Jumlah
Lama laktasi
Produksi
Rataan produksi
(n)
(hari)
(kg)
(kg/hari)
L
70
280
1092
3,79
6,6
M
237
324
2132
6,57
17,40
N
164
316
2262
7,14
18,40
ML -F1
157
313
1240
3,95
7,57
ML-F2
118
313
1423
4,53
8,30
NL-F1
45
326
2041
6,25
16,65
NL-F2
55
321
2325
7,22
19,35
317
2294
7,22
18,80
N-MLF2 165 Sumber: YANG et al. (2003)
34
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
Tabel 6. Perbandingan produksi susu dan lama laktasi kerbau Parameter
Kerbau lumpur
Kerbau Murrah
F-1 persilangan
Lama laktasi, hari
210
236
292
Produksi susu, kg/hari
2,33
5,55
3,50
Sumber: THU (2000)
Tabel 7. Performa reproduksi kerbau lumpur, kerbau sungai dan persilangnnya Parameter
Kerbau lumpur
Persilangan
Murrah
Umur pertama kawin, bulan
40,0 ± 7,23
37,4 ± 2,80
36,19 ± 6,63
Umur pertama beranak, bulan
54,24 ± 8,05
48,0 ± 3,40
46,59 ± 7,95
Siklus berahi, ??
22,3 ± 2,9
21,8 ± 2,9
22,1 ± 2,6
Lama kebuntingan, hari
323 ± 12,2
310 ± 8,5
306 ± 6,9
Jarak beranak, hari
621 ± 149
541 ± 199
512 ± 124
Sumber: DUNG (2006)
Selain itu reproduktivitas ternak seperti berat lahir, umur dewasa kelamin, estrus pertama setelah melahirkan meningkat (BENJAMIN, 1996). Rataan produksi susu harian kerbau persilangan (F1) lebih tinggi dibandingkan kerbau lumpur (3,50 vs 2,33 kg/hari) dan lama produksi susu melebihi kerbau Murah (292 vs 236 hari) seperti dalam Tabel 6 (THU, 2000). Sementara reproduksi ternak kerbau persilangan di antara kerbau lumpur dan kerbau Murrah (DUNG, 2006) menunjukkan bahwa umur pertama kawin dan beranak lebih cepat, siklus berahi sama, lama kebuntingan lebih cepat, jarak beranak lebih pendek dibandingkan kerbau Lumpur (Tabel 7).
Dari laporan hasil penelitian terlihat bahwa kerbau persilangan memiliki berat badan yang lebih baik dengan pertumbuhan berat badan yang tinggi dan lebih cepat mencapai umur potong dan lebih berat dibandingkan dengan kerbau lumpur. Kualitas Karkas Pada umumnya kualitas daging kerbau hampir sama dengan daging sapi, tetapi daging kerbau mempunyai proporsi separable lean meat lebih rendah dan kandungan kholesterol yang lebih rendah. Beberapa literatur
Tabel 8. Kualitas karkas dan daging kerbau lumpur dan persilangannya Parameter
Kerbau lumpur
Lumpur x Sungai
Perbedaan (%)
Pertumbuhan, g/hari
462
659
+43
Umur potong, hari
863
758
-12
Berat potong, kg
396
495
+25
Dressing, %
50,2
51,6
+1,6
Karkas, kg
230
340
+48
Panjang karkas, cm
104
108,6
+4,4
Tebal lemak, cm
4,86
10-13
+29,3
Luas loin, cm2
57,1
70
+22,6
Sumber: LEMCKE (2004)
35
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
melaporkan dressing percentage karkas kerbau lebih rendah dibandingkan dengan ternak sapi (LEMCKE, 2004). Kualitas karkas dan kualitas daging kerbau persilangan yang diberi pakan konsentrat tinggi pada pemeliharaan penggemukan sebanding dengan sapi Brahman cross (LAPITAN et al., 2007). Kerbau sungai yang berasal dari Amerika masuk ke Australia tahun 1994-1997, sedangkan semen kerbau sungai Italia baru didatangkan tahun 2000 (LEMCKE, 2001). Persilangan kerbau lumpur dan kerbau sungai dilakukan untuk membentuk breed baru dengan komposisi darah kerbau sungai di atas 32,5%. Produktivitas persilangan 32,5% kerbau sungai 67,5% kerbau lumpur sebesar 40% pertambahan bobot badan lebih tinggi dibandingkan kerbau lumpur (LEMCKE, 2004). Selain itu, kualitas karkas dan daging kerbau persilangan lebih baik dibandingkan kerbau Lumpur seperti terlihat dalam Tabel 8 yang ditunjukkan melalui besarnya perbedaannya (%). Dengan umur potong yang lebih pendek dan berat serta panjang karkas yang lebih tinggi diperoleh tebal lemak dan luas loin yang lebih tinggi. Hasil penelitian di Australia yang dilakukan oleh LEMCKE (2001) melaporkan bahwa persilangan kerbau lumpur x sungai dengan perbaikan pakan akan bertumbuh 40% lebih cepat dan meningkatkan kualitas dagingnya. KESIMPULAN Hasil persilangan kerbau lumpur dan kerbau sungai menunjukkan performa produksi (pertambahan bobot badan, berat badan, kuantitas dan kualitas susu), reproduksi dan kualitas karkas/daging yang lebih baik dibandingkan kerbau lumpur. Eksploitasi kerbau lumpur sebagai kerbau dwiguna penghasil daging dan susu dilakukan melalui persilangannya dengan kerbau sungai. Peningkatan performa kerbau lumpur di Indonesia melalui persilangan dengan kerbau sungai memerlukan monitoring perkawinan yang terarah untuk mendapatkan hasil persilangan yang optimal. DAFTAR PUSTAKA ACHARYA, RM. 1988. The buffalo: dairy, draught and meat animal of Asia. Proceedings of the
36
Second World Buffalo Congress, vol. I, 12–17 December, pp. 1–17. New Delhi, India. BARLOW, R. 1981. Experimental evidence for interaction between heterosis and environment in animals. Anim. Breed. Abstract., 49(11), 715-737. BENJAMIN, B.R. 1996. Cross-breeding among buffaloes, an unexploited natural resource. Buffalo Newsletter, Bulletin of the FAO Interregional Cooperative Research Network on Buffalo for Europe–Near East, September 1996, Rome. BORGHESE, A. and M. MARAZZI,. 2005. Buffalo Pupulation and Strategies in the World. In: Buffalo Production and Research. Ed: A. Borghese. FAO. Italy BORGHESE, A. and B. MOIOLI. 2000. Feasibility of introducing buffaloes into some African countries. Third All African Conf. Anim. Agric., Alexandria, Egypt, 6 to 9 Nov. CASTILLO, L.S. 1983. Proposal. New Scientific name for the carabao Bubalus carabanensis (Linn) Castillo. Proceedings of the 5th World Conference on Animal Production. Vol. 2:8788 CASTILLO, L.S. 2004. New Scientific Name of the Domesticated Swamp Buffalo, The Carabao – Bubalus Bubalis Carabanensis. Proceedings 7th World Buffalo Conggress. 20-23 October, 2004: 72-77. Makati City, Philippines. DITJENNAK. 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. DUNG, C.A. 2006. Buffalo in Vietnam: status and some applied reproductive biotechnologies. Proceeding of International Seminar on reproductive Biotechnology for Buffaloes. ICARD-FFTC. GONGZHEN, T. 1996. The performance of cattle and buffaloes feeding forage and straw for milk, meat production and draft in Guangxi, China. In: Tingshuang G (eds), Proceedings of the Second International Conference on Increasing Animal Production with Local Resources, 13–18 October, pp. 26–33. China Forestry Publishing House, China. GUPTA, S. 2001. Handbook of Dairy Formulations Processes and Milk Processing Industries. Engineers India Research Institute, New Delhi. KINGHORN, B. 2000. Nucleus breeding schemes. In: Animal Breeding: Use of new technologies. pp. 151-158.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
LAPITAN RM, D. BARRIO, O. KATSUBE, T. BANTOKUDA, E. A. ORDEN, A. Y. ROBLES, T. FUJIHARA, L. C. CRUZ, H. HOMMA and Y. KANAI. 2007. Comparison of carcass and meat characteristics of Brahman grade cattle (Bos indicus) and crossbred water buffalo (Bubalus bubalis). Animal Science Journal 78, 596– 604.
PAYNE, W. J. A. and J. HODGES. 1997. Tropical cattle: origins, breeds and breeding policies. First edition. Blackwell Science. 319 pp.
LAPITAN R. M., A. N. D. BARRIO, O. KATSUBE, T. BAN-TOKUDA, E. A. ORDEN, A. Y. ROBLES, L. C. CRUZ, Y. KANAI and T. FUJIHARA. 2008. Comparison of fattening performance in Brahman grade cattle (Bos indicus) and crossbred water buffalo (Bubalus bubalis) fed on high roughage diet. Animal Science Journal (2008) 79: 76–82
SALAZAR C.D. 1995. Estimated breeding values and genetic trends of bodyweights at birth up to thirty-six months of age of water buffaloes at PCC at UPLB. pp. 1–74. University of the Philippines at Los Baños. College, Laguna, Philippines
LEMCKE, B. 2001. Buffalo production systems in Australia. Proc. Of the Six World Buffalo Conggress, Macaraibo, Zulia, Venezuela, Manila, Phillipines, 20-23 May: 104-118. LEMCKE, B. 2004. Production Specialized Quality Meat Products from Water Buffalo: Tenderbuff. The Carabao – Bubalus Bubalis Carabanensis. Proceedings 7th World Buffalo Conggress. 20-23 October, 2004: 49-54. Makati City, Philippines. Ly,
L.V. 2001. An overview on buffalo development in Vietnam. Proceedings of the VI World Buffalo Congress, 20–23. May, Bangkok, Thailand.
NANDA, A. S, PS BRAR and S. PRABHAKAR. 2003. Enhancing reproductive performance in dairy buffalo: major constraints and achievements. Reproduction Supplement 61, 1–10.
FAO/UNDP, (PHI/86/005 Field Document no. 13). Los Baños, Laguna.
REGGETI, J. and R. RODRIGUEZ. 2004. Proceedings 7th World Buffalo Conggress. 20-23 October, 2004: 55-58. Makati City, Philippines
Sethi, R.K, 2003. Improving riverine and swamp buffaloes through breeding. Proc. of the Fourth Asian Buffalo Congress, New Delhi, India, 25 to 28 Feb.: 51-60. SIVARAJASINGAM, S. 1987. Improvement and conservation of buffalo genetic resources in Asia. In: Animal Genetic Resources Strategies for Improved Use and Conservation. Ed: J. Hodges. FAO. Rome THU, N.V. 1997. Milking Swamp buffaloes in Villages in the Mekong delta of Vietnam. Livestock Research Development 9, 1997. THU, N.V. 2000. Buffalo production research and development in Vietnam. Pro. Of the Third Asian Buffalo Congress, Kandy, Srilanka, 2731 March: 105-115 TRIPALDI, C. 2005. Buffalo Milk Quality. In: Buffalo Production and Research. Ed: A. Borghese. FAO. Italy
NANDA, A. S. and T. NAKAO. 2003. Role of buffalo in the socioeconomic development of rural Asia: Current status and future prospectus. Animal Science Journal (2003) 74, 443–455.
UNITED STATES DEPARTMENT OF AGRICULTURE (USDA). 1996. Technical Bulletin, number 8. USDA, New York.
PARKER, B.A. 1992. Genetic improvement. Carabao production in the Philippines. In: Ranjhan SK, Faylon PS (eds), Carabao Production in the Philippines, pp. 27–61. Philippine Council for Agriculture and Forestry and Natural Resources Research and Development and
YANG BINGZHUANG, LI ZHONGQUAN, LIANG XIANWEI and ZOU CAIXIA. 2003. The advance of genetic improvement and the development of the dairy industry in the Chinese Water buffalo. Proc. Of the Fourth Asian Buffalo Congress, New Delhi, India, 25 to 28 Feb.: 2730.
37