Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
PROGRAM PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU (Buffalo Breeding Program) GUNAWAN dan E. ROMJALI Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan Jl. Harsono RM No. 3, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
ABSTRACT Buffalo is one of large ruminants which has high potency to produce meat. Buffalo naturally lives in hot and high moisture condition, especially in northern tropical region. The development of buffalo population in Indonesia within 10 years is not quite good. About 23,6% population in Indonesia are in Java, generally they are reared with the scale of 1 – 2 head/farmer. The result of observation in the field shows that low population development caused by several factors such as: (1) limitation of superior breeding stock, (2) poor feed in quality and quantity, (3) inbreeding, (4) weak skill of farmers in handling production and reproduction. Low reproductivity is mainly caused by difficulty in detecting estrus and long pregrancy period compared to beef cattle. However, buffalo has also advantage i.e ability to digest high fiber feed such as rice straw. Meantime, in several region, rice straw is in abundance in harvest season and could be kept as feed stock for dry season. Program on buffalo breeding development is directed to support meat of cattle and buffalo sufficiency program in 2014. Buffalo breeding program namely action program commenced in 2006, will be evaluated and improved for the next years. For the success of program, there is a need to have enough prepration in all levels, from central government, local government until farmer group. In addition, monitoring and evaluating activity should be conducted from central government, province, district and farmer group. Monev are done by government institution internally or by formal institions as well as by society or farmers. Breeding method should be done parallel with improvement on feed and good rearing method suited with local condition. When good reproductivity of local buffalo is achieved, the focus should be in growing rate and adaptation ability to the local condition. Some important points should be concerned on production process of breed based on Ministerial Decree No. 56/Permentan/OT.140/2006 pertaining to the Good Breeding Practice among others are: rearing, production, selection, replacement stock, culling, recording, cross breeding, certification and animal health. Key Words: Buffalo, Breeding, Program ABSTRAK Kerbau termasuk salah satu ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi sebagai penghasil daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya bagian utara tropika. Perkembangan populasi kerbau di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir kurang menggembirakan. Sekitar 23,6% populasi kerbau di Indonesia berada di pulau Jawa, secara umum dipelihara oleh peternak dengan skala kepemilikan 1 – 2 ekor/peternak. Hasil pengamatan dilapangan, rendahnya peningkatan populasi kerbau disebabkan berbagai faktor antara lain keterbatasan bibit unggul, mutu pakan ternak rendah, perkawinan silang dalam dan kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak tersebut. Tingkat reproduksi relatif rendah mungkin karena deteksi estrus pada kerbau lebih sulit dengan masa kebuntingan lebih lama dibandingkan dengan sapi. Namun demikian kerbau memiliki kelebihan yaitu kemampuannya dalam mencerna pakan yang mengandung serat kasar tinggi seperti jerami padi. Saat ini di beberapa wilayah, jerami padi cukup tersedia pada musim panen dan dapat disimpan sebagai cadangan pakan di musim kemarau. Program pengembangan perbibitan diarahkan untuk mendukung program swasembada daging sapi dan kerbau kecukupan daging tahun 2014. Pengembangan kerbau dengan sebutan Program Aksi yang dimulai pada tahun 2006, akan terus dievaluasi serta dimantapkan pada tahun-tahun selanjutnya. Dengan demikian untuk keberhasilan program ini perlu adanya persiapan yang memadai, baik ditingkat pusat, maupun daerah sampai ke tingkat kelompok peternak. Disamping itu perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian secara berjenjang, yaitu ditingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kelompok peternak. Pengawasan dan pengendalian dilakukan oleh instansi pemerintah, baik yang bersifat internal (waskat) maupun lembaga formal yang mempunyai tupoksi pengawasan (wasfung), serta pengawasan oleh masyarakat dan kelompok masyarakat itu sendiri (wasmas). Metode pemuliaan sebaiknya digabungkan dengan kemungknan penyediaan pakan dan tingkat tatalaksana yang mungkin dapat dilakukan di daerah setempat. Oleh karena kemampuan
3
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
reproduksi ternak lokal sudah baik, maka perhatian ditujukan pada laju pertumbuhan dan daya adaptasi terhadap lingkungan setempat. Beberapa poin penting yang perlu diperhatikan pada pengembangan produksi bibit kerbau adalah Peraturan Menteri Pertanian No.56/Permentan/OT.140/2006 tentang Pedoman Perbibitan Kerbau yang Baik (good breeding practice) antara lain: pemeliharaan, produksi, seleksi bibit, perkawinan, ternak pengganti (replacement stock), afkir (culling), pencatatan (recording), persilangan, sertifikasi, dan kesehatan hewan. Kata Kunci: Kerbau, Pemuliaan, Program
PENDAHULUAN Kerbau termasuk ternak ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya bagian utara tropika. Tujuan pemeliharaan kerbau sebagai tenaga kerja dan penghasil daging serta susu. Perkembangan populasi kerbau salama sepuluh tahun terakhir kurang menggembirakan bahkan terjadi kecenderungan penurunan populasi dari tahun ke tahun. Populasi kerbau tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, data statistik pada tahun 2008 menunjukan bahwa sekitar 23,6% dari populasi kerbau yang ada terdapat di Pulau Jawa. Secara umum kerbau dipelihara oleh peternak di pedesaan dengan rata-rata kepemilikan 1 – 2 ekor/petani. Salah satu yang menyebabkan rendahnya populasi kerbau disebabkan oleh keterbatasan bibit unggul, mutu pakan rendah, perkawinan silang dalam dan kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak tersebut. KEBERADAAN DAN PERAN KERBAU DI INDONESIA Populasi kerbau di Indonesia berdasarkan Statistik Peternakan pada Tahun 2008 adalah sekitar 1,9 juta ekor (DITJEN PETERNAKAN, 2008) tersebar diseluruh provinsi. Jumlah populasi 10 provinsi tertinggi dijumpai pada beberapa Provinsi antara lain; Provinsi NAD (280.662 ekor), Sumatra Barat (196.854 ekor), Nusa Tenggara Barat (161.450 ekor), Sumatera Utara (155.341 ekor), Banten (153.004 ekor), Nusa Tenggara Timur (148.772 ekor), Jawa Barat (145.847 ekor), Sulawesi Selatan (130.109 ekor), Jawa Tengah (102.591 ekor) dan Sumatera Selatan (77.271 ekor). Sebagian besar adalah ternak kerbau lumpur (Bubalus bubalus) yang berkembang dan dibentuk
4
menurut agroekosistem sehingga memunculkan berbagai tipe kerbau. Di Toraja (Sulawesi Selatan) ada kerbau Bonga, di daerah Alabio (Kalimantan Selatan) ada kerbau Rawa/ Kalang, di Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) ada kerbau Binanga, dan di Maluku kerbau Moa. Disamping itu di daerah Taman Nasional Baluran didapatkan pula kerbau liar (ZULBARDI dan KUSUMANINGRUM, 2005). Sampai dengan tahun 2008, populasi kerbau di pulau Jawa terjadi penurunan yang signifikant dihampir semua provinsi potensial kecuali di Banten yang terjadi sedikit peningkatan populasi. Di Taman Nasional Baluran (TNB) sapi Bali (banteng) kalah perkembangannya dari kerbau. Perkembangan kerbau di TNB cukup baik sehinga perlu dilakukan pengurangan populasi dengan menangkap kerbau Baluran, mendomestikasinya untuk dipelihara dan diberikan pada petani di daerah sekitarnya. Akan tetapi pemeliharaan hanya bertahan sekitar 3 tahun kemudian dijual untuk dipotong. Kerbau di Indonesia sebagian besar dipelihara pada usaha tani kecil di pedesaan. Untuk kondisi demikian program pemeliharaan kerbau sebaiknya diarahkan pada tujuan ganda (dual purpose). Tujuan ganda yang paling mendesak untuk Indonesia adalah memproduksi daging dan susu sebagai bahan dasar perbaikan gizi masyarakat. Permintaan dan penawaran daging dan susu semakin tidak berimbang, sehingga import tidak dapat dihindari, malah setiap tahun cenderung semakin membesar. Selain itu di daerah pedesaan ternak kerbau berfungsi sebagai sumber tenaga kerja untuk membajak lahan pertanian menarik/ pengangkutan pedesaan, sumber pupuk dan sekaligus memberikan keuntungan/pendapatan tambahan bagi pemilik (KUSNADI et al., 2005). Di beberapa daerah usaha ternak kerbau sudah ada yang mengarah pada usaha komersial, seperti di daerah Sumatera Utara usaha ternak kerbau Murrah sudah ada yang
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
merupakan usaha pokok dan sebagai sumber mata pencaharian utama keluarga peternak dengan kisaran jumlah populasi kepemilikan antara 75 – 300 ekor kerbau/keluarga. Umumnya usahaternak kerbau Murrah ini ditujukan untuk memproduksi susu segar dan menghasilkan bibit ternak kerbau, serta bakalan untuk penggemukan kerbau jantan disekitar wilayah peternakan kerbau murrah tersebut. Umumnya usahaternak kerbau ini berada disekitar daerah perkebunan kelapa sawit, karet atau perkebunan tebu, karena di daerah tersebut terdapat sumber daya pakan yang cukup melimpah untuk kebutuhan ternak kerbau. Produksi susu segar kerbau dijual untuk diminum dalam bentuk susu segar atau untuk diolah menjadi makanan, yang dikenal dengan nama “dadih”. Dari rata-rata produksi susu, seekor kerbau mampu menghasilkan 9 – 12 liter susu segar per hari. Karena kadar lemak susu kerbau cukup tinggi sebetulnya sangat potensial untuk dijadikan bahan untuk membuat keju atau produk olahan susu lainnya, dimana sampai saat ini di daerah tersebut belum banyak dijumpai. Sementara itu, dari hasil penjualan anak kerbau lepas sapih (umur 6 – 7 bulan) dari populasi induk 100 ekor dapat menghasilkan paling tidak sekitar 80 ekor per tahun. Sehingga usaha ternak kerbau murrah ini sangat layak diusahakan secara komersial di daerah lahan usaha perkebunan atau pertanian. Lain halnya di daerah agroekosistem lahan rawa dan lebak seperti di daerah Kalimantan Selatan, potensi rumput alam di daerah lahan rawa dan lebak tersebut sangat potensial untuk usaha kerbau Kalang secara ektensif dengan biaya produksi yang murah. Mungkin perlu diteliti peluang untuk memproduksi susu kerbau Kalang di daerah tersebut sehingga dapat menungkatkan pendapatan petani kerbau di daerah tersebut. Berdasarkan Program pembangunan agribisnis berbasis komoditas (DEPTAN, 2002) lokasi pengembangan agribisnis berbasis kerbau antara lain di; Aceh Tenggara (NAD), Tapanuli Utara (Sumatera Utara), Hulu Sungai Tengah (Kalimantan Selatan), Tana Toraja (Sulawesi Selatan), Manggarai dan Ngada
(Nusa Tenggara Timur), dan P andeglang (Banten). Mungkin lokasi ini bisa diperbanyak lagi jika program ini terbukti dapat bermanfaat bagi program swasembada kecukupan daging di Indonesia. Kendala usahatani kerbau Kerbau telah lama berkembang dan dipelihara pada suatu agroekosistem yang spesifik terseleksi secara alamiah dan menghasilkan tipe kerbau yang berkarakter spesifik. Kelemahan ternak kerbau yakni mempunyai kemampuan terbatas untuk merubah kelebihan tenaga/energi menjadi jaringan lemak dibanding dengan ternak sapi (MORAN, 1975). Hal tersebut merupakan penyebab rendahnya pertambahan bobot badan kerbau walaupun diberi makanan yang berkualitas bagus. Salah satu kelebihan kerbau yang selama ini dipercayai adalah kemampuannya untuk mencerna pakan yang mengandung serat kasar tinggi, kerbau mampu mencerna jerami padi yang tersedia melimpah saat musim panen. Jearami tersebut dapat disimpan sebagai cadangan pakan di musim kemarau. Beberapa kendala yang dihadapi yang mengakibatkan perkembangan produksi kerbau agak lambat antara lain; tingkat reproduksi rendah, kesulitan mendeteksi estrus, masa kebuntingan lebih lama dibandingkan dengan sapi dan interval kelahiran yang lebih panjang. Namun demikian kerbau mampu survive dengan pakan yang berkualitas rendah dibanding sapi. Selain itu, kemampuan dan kemauan petani/peternak kerbau tidak didukung dengan tersedianya pejantan sehingga alternatif lain untuk mengatasinya adalah dengan cara perkawinan dengan Inseminasi Buatan (IB). Kendala lain adalah adanya kecendrungan performan produksi menurun dan ternak kerbau yang semakin mengecil bobot badannya, hal ini diduga akibat proses perkawinan yang tidak terencana, sehingga peluang munculnya efek negatif perkawinan inbeeding (sedarah) semakin meluas.
5
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
PROGRAM PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU Cakupan perbibitan dalam arti sempit meliputi pemuliaan, perbanyakan, budidaya (produksi), peredaran, pengawasan penyakit, pengawasan mutu, pengembangan usaha, kelembagaan, serta pemasukan dan pengeluaran benih bibit ternak. Sejalan dengan itu program revitalisasi pembangunan peternakan, kondisi peternakan saat ini, dan harapan yang diinginkan. Program pengembangan perbibitan diarahkan untuk mendukung kecukupan daging tahun 2014. Pengembangan kerbau di peternak telah dilakukan sejak tahun 2006 dengan nama program Aksi Perbibitan dan akan terus dievaluasi serta dimantapkan pada tahun-tahun selanjutnya. Dengan demikian untuk mendukung keberhasilan program ini perlu adanya persiapan yang memadai, baik ditingkat pusat maupun di daerah sampai tingkat kelompok peternak. Disamping itu perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian secara berjenjang, yaitu ditingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kelompok peternak. Pengawasan dan pengendalian dilakukan oleh instansi pemerintah, baik yang bersifat internal (waskat) maupun lembaga formal yang mempunyai tupoksi pengawasan (wasfung), serta pengawasan oleh masyarakat dan kelompok masyarakat itu sendiri (wasmas). Kebijakan pengembangan usaha perbibitan kerbau diarahkan pada suatu kawasan, baik kawasan khusus maupun terintegrasi dengan komoditi lainnya serta terkonsentrasi di suatu wilayah untuk mempermudah pembinaan dan pengawasannya. Pelaksanaan program pengembangan pembibitan kerbau dengan melibatkan peternak antara lain bertujuan: 1. Membangun kelompok usaha pembibit ternak yang berdaya saing, mandiri dan berkelanjutan sebagai embrio terbentuknya village breeding centre (VBC) atau memperkuat VBC yang sudah ada. 2. Melaksanakan prinsip-prinsip perbibitan melalui pemberdayaan usaha kelompok perbibitan di pedesaan 3. Membangun image perbibitan dan menginisiasi dimulainya pendekatan menjual brand bibit unggul.
6
4.
Bibit ternak mempunyai peranan yang sangat strategis dalam proses produksi ternak, sehingga dalam perkembangannya diperlukan bibit ternak yang berkualitas. Dalam rangka melindungi peternak untuk mendapatkan bibit ternak sesuai dengan standar mutu atau persyaratan teknis minimal dan persyaratan kesehatan hewan yang ditetapkan, maka diperlukan pedoman perbibitan ternak, diantaranya adalah Pedoman Perbibitan Ternak Kerbau yang baik.
Pengembangan kerbau sebaiknya dikaitkan dengan usaha yang berorientasi agribisnis, karena konsep tersebut mengindikasikan bahwa setiap upaya peningkatan produktivitas harus memperhitungkan segi-segi efisiensi, ketersediaan sumberdaya, dan peluang pasar. Produktivitas yang ditampilkan oleh individu ternak sebenarnya merupakan representasi dari resultante respon terhadap pengaruh lingkungan, potensi genetik, dan interaksi genotip dan lingkungan. Perbaikan lingkungan untuk memperbaiki produktivitas umumnya relatif cepat, namun apabila terdapat keterbatasan kapasitas potensi genetiknya, respon yang diharapkan tidak sebanding dengan input yang diberikan. Sehingga upaya perbaikan potensi genetik diperlukan agar produktivitas yang diharapkan dapat terwujud. Pada dasarnya perbaikan mutu genetik ternak dapat dilaksanakan melalui: 1. Seleksi ”antar” dan atau ”dalam” genotipgenotip ternak 2. Introduksi genotip ternak unggul impor (exotic germplasm) untuk digunakan sebagai bangsa murni atau disilangkan dengan genotip ternak lokal untuk membentuk bangsa komposit (composit breed) 3. Eksploitasi heterosis 4. Metode pemuliaan sebaiknya digabungkan dengan kemungkinan penyediaan pakan dan tingkat tatalaksana yang mungkin dapat dilakukan di daerah setempat. Oleh karena kemampuan reproduksi sudah baik, maka perhatian ditujukan pada laju pertumbuhan dan daya adaptasi terhadap lingkungan setempat. Sistem produksi ternak yang berkelanjutan dipengaruhi oleh faktor biofisik dan sosioekonomik. Faktor bio-fisik antara lain iklim,
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
biologik, tanah. Faktor sosio-ekonomi dipengaruhi oleh kondisi internal (seperti keterbatasan lahan, tenaga kerja berkualitas, modal, ketrampilan dan pengetahuan peternak) dan kondisi eksternal (seperti pemasaran, kelembagaan, dan kebijakan pemerintah). Tanpa kepedulian untuk meningkatkan usaha, upaya menjadikan peternak yang berdaya saing dan berkelanjutan akan sulit terlaksana. Beberapa poin penting perlu diperhatikan dalam proses produksi bibit kerbau berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 56/Permentan/OT.140/2006 tentang Pedoman Perbibitan Kerbau yang Baik (Good Breeding Practice) antara lain: A. Pemeliharaan. Dalam program perbibitan kerbau, pemeliharaan ternak dapat dilakukan dengan sistem penggembalaan di pastura, sistem semi intensif dan sistem intensif. Penggembalaan pastura, diutamakan sumber pakan berasal dari pastura. Biasanya tempat penggembalaan tersebut dapat merupakan milik perorangan, badan usaha atau kelompok peternak. Sistem semi intensif, merupakan gabungan antara sistem pastura dan system intensif. Pada sistem ini dapat dilakukan perbibitan kerbau dengan cara pemeliharaan padang penggembalaan atau kandang. Untuk sistem intensif, pemeliharaan kerbau secara dikandangkan dengan kebutuhan pakan disediakan sepenuhnya. B. Produksi. Berdasarkan tujuan produksinya, perbibitan kerbau dikelompokkan kedalam pembibitan kerbau rumpun murni dan pembibitan kerbau persilangan. Pembibitan kerbau rumpun murni adalah perkembangbiakan ternaknya dilakukan dengan cara mengawinkan kerbau yang sama rumpunnya. Sementara itu, pembibitan kerbau persilangan adalah perkembangbiakan ternak dilakukan dengan cara perkawinan antar ternak dari satu spesies tetapi berlainan rumpun. C. Seleksi Bibit. Seleksi bibit dilakukan berdasarkan performan anak dan individu calon bibit tersebut, dengan kriteria seleksi sebagai berikut: 1. Seleksi dilakukan oleh peternak terhadap bibit ternak yang akan dikembangkan di peternakan maupun terhadap keturunan/ bibit ternak yang diproduksi baik oleh kelompok peternak rakyat maupun perusahaan peternakan untuk keperluan peremajaan atau dijual sebagai bibit
2.
3.
Seleksi calon bibit jantan dipilih dari hasil perkawinan 5 – 10% pejantan terbaik yang dikawinkan dengan betina unggul 75 – 80% dari populasi selanjutnya dilakukan uji performan yang dilanjutkan dengan uji zuriat untuk menghasilkan proven bull Seleksi calon bibit betina dipilih dari hasil perkawinan 5 – 10% pejantan terbaik yang dikawinkan dengan betina unggul 70 – 85% dari populasi selanjutnya dilakukan uji performan.
Dalam melakukan seleksi bibit harus diperhatikan sifat-sifat kerbau sebagai berikut: 1. Sifat kuantitatif: umur pubertas, melahirkan teratur, berat lahir, berat sapih, berat kawin, berat dewasa, laju pertumbuhan setelah sapih, tinggi pundak, produksi susu, dan lingkar scrotum 2. Sifat kualitatif: bentuk tubuh/eksterior, abnormalitas/cacat, tidak ada kesulitan melahirkan, libido jantan, tabiat, dan kekuatan (vigor). D. Perkawinan. Dalam upaya memperoleh bibit yang berkualitas melalui tehnik perkawinan dapat dilakukan dengan cara kawin alam dan Inseminasi Buatan (IB). Pada kawin alam rasio jantan dengan betina diusahakan 1: 8 – 10. Perkawinan dengan Insemnasi Buatan (IB) memakai semen beku atau semen cair SNI 01.4869.2-2005. Dalam pelaksanaan kawin alam atau Inseminasi Buatan harus dilakukan pengaturan penggunaan pejantan atau semen utuk menghindari terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding). E. Ternak Pengganti (replacement stock). Pengadaan ternak pengganti (replacement stock), dilakukan sebagai berikut: a. Calon bibit betina dipilih 25% terbaik untuk replacement, 10% untuk pengembangan populasi kawasan, 60% dijual ke luar kawasan sebagai bibit dan 5% dijual sebagai ternak afkir b. Calon bibit jantan dipilih 10% terbaik pada umur sapih dan bersama calon bibit betina 25% terbaik untuk dimasukkan dalam uji performan. F. Afkir (culling). Pengeluaran ternak yang sudah dinyatakan tidak memenuhi persyaratan bibit (afkir/culling), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: Untuk bibit rumpun murni 50% kerbau bibit jantan peringkat
7
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
terendah saat seleksi pertama (umur sapih terkoreksi) dikeluarkan dengan dikastrasi dan 40% di jual ke luar kawasan. G. Pencatatan (recording). Setiap usaha perbibitan kerbau hendaknya melakukan pencatatan (recording). Pencatatan (recording) tersebut meliputi: rumpun, silsilah, perkawinan (tanggal, pejantan, IB/kawin alam), kelahiran (tanggal, bobot lahir), penyapihan (tanggal, bobot badan), beranak kembali (tanggal, paritas), pakan (jenis, konsumsi), vaksinasi, pengobatan (tanggal, perlakuan/treatment), mutasi (pemasukan dan pengeluaran ternak). H. Persilangan. Persilangan adalah salah satu bentuk cara perkawinan, perkembang biakan ternaknya dilakukan dengan cara perkawinan antara hewan-hewan dari satu species yang berlainan rumpun. Untuk mencegah dampak negatif terhadap produktivitas akibat persilangan, harus dilakukan menurut ketentuan sebagai berikut: 1. Kerbau yang disilangkan harus berukuran diatas standar atau setelah beranak pertama 2. Komposisi darah kerbau persilangan sebaiknya dijaga agar komposisi darah kerbau impor tidak lebih dari 50% 3. Prinsip-prinsip seleksi dan culling sama dengan pada rumpun murni. I. Sertifikasi. Sertifikasi dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi. Dalam hal belum ada lembaga sertifikasi yang terakreditasi, sertifikat dapat dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang Sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan nilai ternak. J. Kesehatan Hewan. Untuk memperoleh hasil yang baik, perbibitan kerbau harus memperhatikan persyaratan kesehatan hewan meliputi: 1. Situasi penyakit, pembibitan kerbau harus terletak di daerah yang tidak terdapat gejala klinis atau bukti lain tentang penyakit mulut dan kuku (Foot and Mouth Disease), ingus jahat (Malignant Catarhal Fever), Bovine Ephemeral Fever, lidah biru (Blue Tongue), radang limpa (Anthrax), dan kluron menular (Brucellosis) 2. Pencegahan/vaksinasi: perbibitan kerbau harus melakukan vaksinasi dan pengujian/ tes laboratorium terhadap penyakit tertentu yang ditetapkan oleh instansi berwenang;
8
a. Mencatat setiap pelaksanaan vaksinasi dan jenis vaksin yang dipakai dalam kartu kesehatan ternak b. Melaporkan kepada dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat (instansi yang berwenang) setiap timbulnya kasus penyakit terutama yang diduga/ dianggap penyakit menular c. Penggunaan obat harus sesuai dengan ketentuan dan diperhitungkan secara ekonomis d. Pemotongan kuku dilakukan minimal 3 (tiga) bulan sekali e. Dilakukan tindakan biosecurity terhadap keluar masuknya ternak PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN SUMBER DAYA GENETIK KERBAU Setiap usaha perbibitan kerbau hendaknya selalu memperhatikan aspek pelestarian lingkungan, antara lain dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menyusun rencana pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan sebagaimana diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup b. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) c. Peraturan pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). 2. Melakukan upaya pencegahan pencemaran lingkungan, sebagai berikut: a. Mencegah terjadinya erosi dan membantu pelaksanaan penghijauan di areal peternakan b. Mencegah terjadinya polusi dan gangguan lain seperti bau busuk, serangga, pencemaran air sungai dan lain-lain c. Membuat dan mengoperasionalkan unit pengolah limbah peternakan (padat, cair, gas) sesuai kapasitas produksi limbah yang dihasilkan. Pada peternakan rakyat dapat
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
dilakukan secara kelompok. 3.
kolektif
oleh
Pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah ternak: Dasar pertimbangan Pelestarian dan pemanfaatan Plasma Nutfah ternak antara lain: a. Merupakan unsur penting dalam kegiatan pemuliaan ternak dan mempunyai peranan penting untuk memperoleh bibit unggul, sehingga plasma nutfah sebagai kekayaan sumber daya genetik nasional perlu dilestarikan untuk menunjang pengembangan agribisnis yang berdaya saing dan berkelanjutan; b. Sebagai pengamanan nasional terhadap sumber daya genetik ternak terhadap ancaman kepunahan. Ruang lingkup pengaturan pelestarian dan pemanfatan plasma nutfah dikelompokkan menurut kriteria populasi yakni ”aman” dan ”tidak aman”. Jenis ternak dalam kategori tidak aman, jumlah betina dewasanya kurang dari 10.000 ekor, yang terbagi dalam empat kelompok, yakni: (1) Populasi jarang (populasi betina dewasa antara 5.000 – 10.000 ekor) (2) Populasi rentan (populasi betinadewasa antara 1.000 – 5.000 ekor (3) Populasi terancam (populasi betina dewasa antara 1000-1000 ekor); dan populasi kritis (populasi dewasa kurang dari 100 ekor). Pengelolaan plasma nutfah ternak dalam kategori aman lebih ditekankan pada pemantauan untuk upaya menjamin sistem perbibitan ternak
Pengaturan mengenai pelestarian plasma nutfah ternak diantaranya meliputi tatacara: 1. Eksplorasi, Identifikasi, Karakterisasi dan atau evaluasi plasma nutfah ternak 2. Pemanfaatan 3. Pengeluaran dan pemasukan plasmanutfah ternak 4. Pembinaan dan pengawasan
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN Untuk mempertahankan kualitas kerbau yang dihasilkan, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi kualitas bibit dilakukan secara berkala dengan sampling acak minimal sekali setahun dengan melakukan pengumpulan data performan tubuh, performan produksi dan reproduksi serta kesehatan kerbau bibit. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh pejabat fungsional pengawas bibit ternak di dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk secara khusus oleh Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat. Pejabat fungsional pengawas bibit ternak atau petugas yang ditunjuk pada dinas peternakan kabupaten/kota wajib membuat laporan tertulis secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dan laporan tahunan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan kabupaten/ kota Disamping laporan tersebut di atas, setiap pelaku usaha perbibitan kerbau wajib membuat laporan teknis dan administratif secara berkala untuk kepentingan internal, sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dapat diadakan perbaikan secepatnya. PENUTUP Untuk mecapai tujuan utama program pengembangan perbibitan ternak kerbau di Indonesia sangat diperlukan keterlibatan semua stakeholder untuk saling mendukung, sehingga setiap program dan kegiata-kegiatan yang direncanakan dapat terlaksana dengan baik, demikian juga dengan institusi yang terkait dengan pengawasan dan infrastruktur pendukung harus tersedia sesuai dengan kondidisi agro-ekosistem dimana program perbibitan tersebut akan dilakukan.
9
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
DAFTAR PUSTAKA DITJENNAK. 2008. Statistik Peternakan 2008. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta. DEPARTEMEN PERTANIAN. 2002. Program dan Rencana Kegiatan Pembangunan Agribisnis Berbasis Komoditas tahun 2002. SURYANA, 2007. Usaha pengembangan Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. J. Litbang Pertanian 26(4): 139 – 145. DITJENNAK. 2006. Pedoman Umum Program Aksi Perbibitan Ternak tahun 2006. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta. ANONIMUS, 2006. Sistem Perbibitan Ternak Nasional Mendukung Pengembangan Agribisnis yang Berdaya saing dan Berkelanjutan. Departemen Pertanian.
10
DIREKTORAT PERBIBITAN. 2006. Pedoman Pembibitan Kerbau yang baik (Good Breeding Practice). Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta. KUSNADI, U., D.A. KUSUMANINGRUM, R.G. SIANTURI dan E. Triwulanningsih. 2005. Fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani di Provinsi Banten. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. ZULBARDI, M. dan D.A. KUSUMANINGRUM. 2005. Penampilan produksi ternak kerbau lumpur di kabupaten Brebes, Jawa tengah. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 12 – 13 september 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. MORAN, J.B. 1978. Perbandingan Performan jenis sapi daging di Indonesia. P-4 Bogor dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 28 – 31.