Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
UPAYA PENGEMBANGAN PETERNAKAN KERBAU DALAM MENUNJANG KECUKUPAN DAGING INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI dan YULVIAN SANI Balai Besar Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata 32 – Bogor 16114
ABSTRAK Program revitalisasi pertanian menjadi tantangan dalam pengembangan usaha peternakan untuk mencapai kecukupan daging 2010 yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas ternak dan optimalisasi lahan. Untuk menghadapi tantangan tersebut, usaha peternakan harus menghasilkan produk yang memiliki daya saing tinggi dengan memanfaatkan segala potensi dan sumberdaya lokal yang tersedia di dalam negeri. Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan salah satu sumber plasma nutfah hewani yang memiliki peranan sosialekonomi penting bagi petani baik sebagai ternak kerja, sumber pendapatan dan penghasil daging. Populasi kerbau selama lima tahun antara 2000 s/d 2004 tumbuh positif sebesar 1,73% per tahun yang meningkat dari 2,4 juta ekor (2000) menjadi 2,6 juta ekor (2004). Berdasarkan perkembangan populasi tersebut, diperkirakan kerbau cukup berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka mencukupi daging 2010. Kendala umum dalam pengembangan peternakan kerbau terdiri dari kerbau masih merupakan usaha sampingan, keterbatasan bibit unggul, masalah kesehatan ternak dan pakan ternak. Pakan ternak kerbau pada dasarnya tidak berbeda dengan ternak sapi potong yang terdiri dari rumput, hijauan dan limbah hasil pertanian. Pencemaran pestisida dan kualitas pakan ternak adalah faktor penting dalam penggunaan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak. Teknologi fermentasi dalam pengolahan pakan limbah hasil pertanian merupakan teknologi pilihan untuk meningkatkan kualitas pakan dan menurunkan residu pestisida di dalam limbah hasil pertanian. Kata kunci: Kerbau, peternakan, pengembangan, kecukupan, daging
PENDAHULUAN Usaha peternakan akan menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan usaha non peternakan dalam menggunakan sumberdaya genetik, sumberdaya lahan dan tenaga kerja. Produk peternakan yang dihasilkan terutama daging dan susu juga menghadapi tantangan dari produk impor sejenis. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pengembangan usaha peternakan harus mempunyai dayasaing yang kuat melalui optimalisasi sumberdaya lokal dimana pengembangan usaha peternakan tersebut sangat tergantung kepada masingmasing jenis ternak seperti usaha peternakan sapi (potong dan perah), kerbau, domba dan kambing atau unggas. Pada tahun 2005, pemerintah Indonesia mencanangkan program Revitalisasi Pertanian dalam rangka mencapai ketahanan pangan termasuk didalamnya swasembada daging pada tahun 2010. Dalam program Swasembada Daging 2010, diharapkan sebesar 97,5% dari kebutuhan daging
124 110
nasional dapat dipenuhi oleh produksi daging dalam negeri. Berdasarkan laporan DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN (2004) tercatat bahwa produksi daging dalam negeri pada tahun 2004 mencapai 1,9 juta ton yang terdiri dari daging sapi (380.059 ton), daging kerbau (45.519 ton), daging kambing (69.628 ton), daging domba (84.550 ton), daging ayam ras (780.628 ton), daging ayam buras (314.494 ton), itik (22.334 ton) dan daging lainnya (187.251 ton). Produksi daging nasional antara tahun 2000 sampai 2004 menunjukkan pertumbuhan yang positif dengan rata-rata pertumbuhan produksi daging sebesar 7,51% per tahun. Produksi daging meningkat dari 1.415.421 ton pada tahun 2000 menjadi 1.884.463 ton pada tahun 2004. Kontribusi daging kerbau terhadap produksi daging nasional pada kurun waktu yang sama hanya mencapai 2,66% setiap tahunnya. Tingkat pertumbuhan produksi daging kerbau setiap tahunnya tidak berbeda nyata dengan angka pertumbuhan daging nasional yang hanya mencapai sebesar 0,05% per tahun.
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Sementara itu, populasi ternak kerbau antara tahun 2000 sampai 2004 menunjukkan angka pertumbuhan positif dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,73% per tahun. Populasi kerbau meningkat dari 2.405.277 ekor pada tahun 2000 menjadi 2.572.169 ekor pada tahun 2004. Distribusi ternak kerbau dengan populasi ≥ 200.000 ekor terdapat di pulau Sumatera (1.360.019 ekor), Jawa (597.751 ekor), kepulauan Indonesia timur (307.578 ekor) dan Sulawesi (209.510 ekor). Kondisi ini menunjukkan bahwa kerbau masih memiliki peluang yang baik untuk dikembangkan sebagai ternak penghasil daging dalam rangka mencapai program kecukupan daging nasional. Selanjutnya tingkat konsumsi daging selama kurun waktu yang sama juga menunjukkan angka pertumbuhan positif yaitu sebesar 2,13% per tahun, namun pada tahun 2004 tingkat konsumsi daging mengalami penurunan dari 1.368.165 ton pada tahun 2003 menjadi 1.355.438 ton pada tahun 2004. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat selama 3 tahun belakangan ini, industri peternakan Indonesia mengalami wabah penyakit Avian Influenza yang berkepanjangan dimana unggas merupakan pemasok daging utama bagi masyarakat. Sementara itu, program Kecukupan Daging 2010 (swasembada daging), telah ditetapkan target produksi daging sebesar 2,7 juta ton untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sebanyak 2,8 juta ton pada tahun 2010 mendatang. Untuk mencapai target produksi tersebut maka akan diperlukan tingkat pertumbuhan sebesar 8,4% per tahun antara tahun 2005 sampai 2010. Sementara itu, tingkat pertumbuhan produksi daging saat ini hanya mencapai 7,5% per tahun yang berarti diperlukan percepatan tingkat pertumbuhan sebesar 0,9% per tahunnya. Oleh karena itu perlu dicari alternatif percepatan pertumbuhan produktivitas dan populasi ternak di Indonesia baik melalui optimalisasi sumberdaya lahan, sumberdaya ternak lokal, sumberdaya manusia maupun manajemen peternakan yang efisien dan efektif. Kerbau merupakan salah satu alternatif yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai ternak penghasil daging.
124
POTENSI KERBAU DALAM MENDUKUNG KECUKUPAN DAGING Kerbau merupakan salah satu ternak penghasil daging untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kerbau memiliki fungsi ganda bagi petani di Indonesia yaitu sebagai ternak kerja dan sumber pendapatan. Umumnya kerbau dipelihara secara tradisional sebagai usaha sampingan atau digembalakan di alam bebas tanpa dikandangkan, seperti kerbau kalang di Kalimantan dan kerbau sungai di Nusa Tenggara. Pemeliharaan secara intensif mulai berkembang beberapa tahun belakangan ini yang dilakukan dalam bentuk usaha penggemukan (feedlotting). Disamping itu, kerbau (Bubalus bubalis) adalah salah satu sumber plasma nutfah hewani yang memiliki peranan sosialekonomi bagi petani. Di Indonesia terdapat dua galur utama yaitu kerbau sungai dan kerbau lumpur. Kerbau lumpur terdiri dari kerbau Kalang yang dipelihara di daerahdaerah rawa seperti Kalimantan Selatan dan kerbau Belang di Sulawesi Selatan. Kerbau sungai terdiri dari kerbau Murrah yang merupakan ternak penghasil susu dan banyak terdapat di Sumatera Utara. Total populasi kerbau pada tahun 2004 tercatat sebanyak 2.572.169 ekor (DIRJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2004). Populasi kerbau selama 5 tahun antara 2000 sampai 2004 menunjukkan laju pertumbuhan yang positif dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 1,73% per tahun. Laju pertumbuhan tersebut mengalami penurunan pada tahun 2001 dari 2,4 juta ekor pada tahun 2000 menjadi 2.3 juta ekor, tetapi meningkat pada tahun berikutnya hingga mencapai 2.572.169 ekor pada tahun 2004 (Tabel 1). Populasi kerbau pada tahun 2004 tersebar secara berurutan di pulau Sumatera (1.360.019 ekor), Jawa (597.751 ekor), Kepulauan Indonesia Timur (307.578 ekor) dan Sulawesi (209.510 ekor). Secara umum populasi kerbau meningkat antara tahun 2000 dan 2004, kecuali di Pulau Jawa mengalami penurunan dari 638.122 ekor (tahun 2000) menjadi 597.751 ekor (tahun 2004). Kondisi ini menunjukkan tingkat pemotongan kerbau di pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan pulau lainnya, disamping rendahnya tingkat produktivitas kerbau tersebut.
126
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Tabel 1. Populasi kerbau per kepulauan di Indonesia pada tahun 2000 s/d 2004 Pulau Sumatera Jawa Indonesia Bagian Timur (Bali, NTT, NTB) Sulawesi Kalimantan Papua dan Maluku Populasi kerbau Persentase pertumbuhan (%)
2000 1.170.210 638.122 292.448 212.225 67.172 25.100 2.405.277 -
Populasi (ekor) 2001 2002 2003 2004 1.201.942 1.238.914 1.301.931 1.360.019 555.644 580.186 572.775 597.751 292.173 295.330 303.484 307.578 194.010 198.413 188.884 209.510 65.804 66.086 67.114 71.682 23.856 24.104 25.246 25.629 2.333.429 2.403.033 2.459.434 2.572.169 -2,99 2,98 2,35 4,58
Sumber: DIRIJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2004
Tabel 2. Populasi kerbau ≥ 100.000 ekor di beberapa propinsi pada tahun 2000 s/d 2004 No.
Propinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Barat Sumatera Utara Sulawesi Selatan Jawa Barat Banten Nusatenggara Barat Jawa Tengah Nusatenggara Timur Jawa Timur Populasi nasional Persentase pertumbuhan (%)
2001 393.369 258.226 259.138 178.119 153.372 109.604 157.834 170.012 126.575 166.314 2.333.429 -2,99
Populasi (ekor) 2002 2003 395.414 403.838 288.958 317.798 260.044 261.734 186.564 175.617 148.778 146.758 163.564 163.564 157.199 161.359 148.665 144.384 132.497 134.900 113.383 112.241 2.403.033 2.459.434 2,98 2,35
2004 412.440 349.591 263.435 196.050 170.203 163.834 162.973 144.481 137.347 113.383 2.572.169 4,58
Sumber: DIRIJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2004
Tabel 2 menggambarkan distribusi kerbau berdasarkan tingkat populasi ≥ 100.000 ekor. Dari 30 propinsi di Indonesia, terdapat 10 propinsi yang memiliki populasi lebih besar dari 100.000 ekor yaitu secara berurutan NAD, Sumbar, Sumut, Sulsel, Jabar, Banten, NTB, Jateng, NTT dan Jatim. Kesepuluh propinsi tersebut merupakan sumber ternak kerbau. Berdasarkan laju pertumbuhan populasi kerbau yang positif setiap tahunnya, maka 6 dari 10 propinsi tersebut yaitu NAD, Sumbar, Sumut, Banten, NTB dan NTT berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai sentra ternak kerbau di Indonesia. Pulau Sumatera memiliki populasi kerbau terbesar diantara pulau lainnya yaitu 1,2 – 1,4 juta ekor selama 5 tahun yang sama dan tingkat pertumbuhan positip yang meningkat dari
1,170.210 ekor (2000) menjadi 1.360.019 ekor (2004). Kepulauan Indonesia Timur meningkat dari 292.448 ekor menjadi 307.578 ekor dan Kalimantan dari 67.172 ekor menjadi 71.682 ekor. Sebaliknya dengan pulau Jawa dan Sulawesi mengalami penurunan populasi kerbau selama tahun tersebut. Berdasarkan tingkat populasi kerbau, pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Indonesia Timur merupakan kawasan yang berpotensi untuk pengembangan peternakan kerbau mengingat ketersediaan lahan dan bahan pakan ternak yang cukup besar dan berkelanjutan. Sementara itu DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN, (2004) melaporkan bahwa produksi daging dalam
131
1
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
negeri pada tahun 2004 mencapai 1,9 juta ton yang terdiri dari daging sapi (380.059 ton), daging kerbau (45.519 ton) dan daging lainnya yang terdiri dari daging kambing, domba, ayam ras, ayam buras dan itik (1.458.885 ton). Produksi daging dalam negeri selama tahun 2000 sampai 2004 menunjukkan angka pertumbuhan positif dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7,6% per tahun (Tabel 3). Sementara itu pertumbuhan produksi daging kerbau (0,05%) lebih rendah daripada daging sapi (3,42%). Rata-rata kontribusi daging sapi (21,2% per tahun) lebih besar daripada kerbau (2,6%) terhadap daging nasional (Tabel 4). Tabel 5 menggambarkan kapasitas produksi daging kerbau antar pulau di Indonesia selama
tahun 2000 sampai 2004. Produksi daging kerbau lebih banyak dihasilkan oleh pulau Sumatera yang pada tahun 2004 tercatat sebanyak 21.024 ton, dan diikuti oleh Jawa (14.662 ton), Sulawesi (6.198 ton), Kepulauan Indonesia Timur (2.031 ton), Kalimantan (1.256 ton) serta Papua dan Maluku (348 ton). Gambaran ini menunjukkan bahwa pulau Sumatera dan Jawa merupakan sentra ternak dan produksi daging kerbau, sedang pulau Sulawesi, Kalimantan dan Kepulauan Indonesia Timur merupakan kawasan pengembangan sentra produksi kerbau yang potensial.
Tabel 3. Produksi daging antara tahun 2000 sampai 2004 No.
Parameter
1.
Daging unggas Tingkat pertumbuhan (%) Daging sapi Tingkat pertumbuhan (%) Daging kerbau Tingkat pertumbuhan (%) Daging domba Tingkat pertumbuhan (%) Daging kambing Tingkat pertumbuhan (%) Daging lainnya Tingkat pertumbuhan (%) Total produksi Pertumbuhan (%)
2. 3. 3. 4. 5.
2000 817.747 (9,47)333.941 (3,42)45.854 (0,05)33.407 (27,42)44.891 (11,69)163.326 (4,78)1.415.421 (7,57)-
2001 923.509 12,93 338.685 1,42 43.644 -4,82 44.775 34,03 48.702 8,49 161.209 -1,30 1.472.255 4,02
Jumlah (ton) 2002 1.104.821 19,63 330.290 -2,48 42.299 -3,08 68.709 53,45 58.170 19,44 165.554 2,70 1.727.070 17,31
2003 1.138.024 3,01 369.711 11,94 40.639 -3,92 80.636 17,36 63.866 9,79 178.691 7,94 1.824.420 5,64
2004 1.164.435 2,32 380.059 2,80 45.519 12,0 84.550 4,85 69.628 9,02 187.251 4,79 1.884.463 3,29
Sumber: DIRIJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2004
Tabel 4. Kontribusi produksi daging kerbau terhadap produksi daging keseluruhan antara tahun 2000 sampai 2004 Komoditas Kerbau Pertumbuhan (%) Kontribusi (%) Total produksi Pertumbuhan (%)
2000 45.854 3,24 1.415.421 -
2001 43.644 -4,82 2,96 1.472.255 4,02
Sumber: DIRIJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2004
124 128
Produksi daging (ton) 2002 2003 42.299 40.639 -3,08 -3,92 2,45 2,23 1.727.070 1.824.420 17,31 5,64
2004 45.519 12,0 2,42 1.884.463 3,29
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Tabel 5. Produksi daging kerbau per kepulauan di Indonesia pada tahun 2000 s/d 2004 Pulau Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Kepulauan Indonesia Timur (Bali, NTT, NTB) Papua dan Maluku Produksi daging kerbau Pertumbuhan (%)
2000 19.854 16.020 1.005 6.868 2.057 50 45.854 -
2001 19.080 14.805 1.131 6.915 1.698 15 43.644 -4,82
Jumlah (ton) 2002 18.783 14.832 1.112 5.725 1.824 23 42.299 -3,08
2003 19.475 11.783 1.124 5.960 1.949 345 40.639 -3,92
2004 21.024 14.662 1.256 6.198 2.031 348 45.519 12,0
Sumber: DIRIJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2004
Meskipun produksi daging antara tahun 2000 sampai 2004 tumbuh positif dengan rata-rata 7,6% setiap tahunnya, namun terjadi penurunan yang cukup drastis setelah tahun 2002. Begitu pula tingkat konsumsi mengalami pertumbuhan yang positif sebesar 2,13% per tahun, namun terjadi pertumbuhan negatif pada tahun 2004. Kondisi ini dapat dipahami mengingat selama tiga tahun belakangan, industri peternakan Indonesia mengalami wabah penyakit Avian Influenza yang berkepanjangan dimana unggas merupakan pemasok daging utama bagi masyarakat Indonesia. Disamping itu, populasi sapi potong pada tahun 2002 mengalami penurunan dari 11,2 juta ekor (2002) menjadi 10,5 juta ekor (2003) sedangkan populasi kerbau tidak mengalami perubahan yang nyata pada tahun yang sama (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan daging hanya tergantung pada daging sapi potong, sedangkan ternak kerbau
belum dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging. Total populasi sapi potong dan kerbau antara tahun 2000 sampai 2004 tumbuh negatif dengan angka rata-rata sebesar -0,2% per tahun (Tabel 6). Populasi kedua ternak tersebut menurun dari 13.413.294 ekor pada tahun 2000 menjadi 13.298.516 ekor pada tahun 2004. Demikian pula halnya dengan populasi sapi potong tumbuh negatif (-0,6%) per tahun selama kurun waktu yang sama dimana populasi sapi potong menurun dari 11.008.017 ekor pada tahun 2000 menjadi 10.726.347 ekor pada tahun 2004. Sebaliknya dengan populasi kerbau ternyata tumbuh positif sebesar 1,73% per tahun antara tahun 2000 sampai 2004. Populasi kerbau meningkat dari 2.405.277 ekor (2000) menjadi 2.572.169 ekor (2004). Dengan demikian kerbau memiliki peluang yang baik untuk dikembangkan sebagai ternak penghasil daging.
Tabel 6. Populasi ternak penghasil daging (sapi potong dan kerbau) antara tahun 2000 s/d 2004 No.
Komoditas
1.
Populasi sapi potong Persentase pertumbuhan (%) Populasi kerbau Persentase pertumbuhan (%) Total populasi Persentase pertumbuhan (%)
2. 3.
2000 11.008.017 2.405.277 13.413.294 -
Konsumsi daging (ton) 2001 2002 2003 11.137.701 11.297.625 10.504.128 1,18 1,44 -7,02 2.333.429 2.403.033 2.459.434 -2,99 2,98 2,35 13.471.131 13.700.658 12.963.562 0,43 1,70 -5,38
2004 10.726.347 2,12 2.572.169 4,58 13.298.516 2,64
Sumber: DIRIJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2004
131 129
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
produksi daging selama 5 tahun terakhir (2000 – 2004) mencapai 7,6% per tahun sehingga terjadi kesenjangan angka pertumbuhan produksi daging sebesar 1,1% per tahun selama 5 tahun ke depan (2005 – 2010). Oleh karena itu diperlukan program peningkatan produktivitas ternak penghasil daging dan percepatan pertumbuhan populasi ternak penghasil daging untuk mencapai sasaran kecukupan daging pada tahun 2010. Salah satu alternatif untuk mencukupi kebutuhan daging nasional tersebut adalah mengembangkan peternakan kerbau dan mengoptimalisasi pemanfaatan kerbau sebagai ternak penghasil daging.
Berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5%, pertumbuhan penduduk 1,5% dan elasitas daging >1% per tahun, maka dalam program kecukupan daging 2010 pemerintah menetapkan tingkat produksi daging mencapai 2,7 juta ton dan tingkat konsumsi daging mencapai 2,8 juta ton pada tahun 2010 (Tabel 7). Seiring dengan sasaran target produksi daging yang harus dicapai pada tahun 2010, maka akan terjadi peningkatan produksi daging yang nyata sebesar 43,28% atau rata-rata pertumbuhan produksi daging harus mencapai 8,66% per tahun dari tahun 2005 sampai 2010. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan
Tabel 7. Rencana produksi dan konsumsi daging pada tahun 2010 No.
Produksi/konsumsi
1.
Produksi daging Tingkat pertumbuhan (%) Konsumsi daging Tingkat pertumbuhan (%)
2.
2000 1.415.421 1.247.713 -
Jumlah (ton) 2001 2002 2003 2004 2010 1.472.255 1.727.070 1.824.420 1.884.463 2.800.000 4,02 17,31 5,64 3,29 48,58 1.250.613 1.292.951 1.368.165 1.355.438 2.700.000 0,23 3,39 5,82 -0,93 99,2
Sumber. DIRIJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2004
KENDALA PENCEMARAN DALAM PENGEMBANGAN PETERNAKAN KERBAU SEBAGAI PENGHASIL DAGING Tantangan utama dalam pengembangan usaha peternakan adalah digelarnya program revitalisasi pertanian dan kecukupan daging 2010 yang akan meningkatkan produktivitas ternak dan optimalisasi lahan. Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka usaha peternakan harus menghasilkan produk yang memiliki dayasaing tinggi dengan memanfaatkan segala potensi dan sumberdaya lokal yang tersedia di dalam negeri. Kerbau merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging yang potensial untuk mendukung program revitalisasi pertanian dan kecukupan daging tersebut.Kendala umum dalam pengembangan peternakan kerbau disebabkan masih merupakan usaha sampingan atau sebagai ternak pekerja, keterbatasan bibit unggul, kesehatan ternak dan pakan ternak. Pencemaran merupakan salah satu kendala yang sering dijumpai di dalam pengembangan peternakan yang dapat menimbulkan
124 252
pencemaran pada produk ternak (daging) yang dihasilkan. Beberapa lahan pertanian di Lampung (INDRANINGSIH et al., 2002; INDRANINGSIH et al., 2004), Jawa Barat (INDRANINGSIH et al., 2004) dan Jawa Tengah (INDRANINGSIH dan SANI, 2005) dilaporkan tercemar oleh pestisida baik oleh golongan organoklorin maupun organofosfat. Organoklorin terdeteksi pada tanah lahan pertanian, meskipun sebagian besar golongan ini telah dilarang peredaran dan penggunaannya dalam kegiatan pertanian dan terjadinya residu organoklorin disebabkan karena penggunaan yang berlebihan pada masa lalu. INDRANINGSIH et al. (2004) melaporkan bahwa lahan pertanian di Pangalengan (Jawa Barat) mengalami pencemaran oleh lindan, endosulfan, DDT dan metabolitnya. Sementara itu cemaran lindan, heptakhlor, khlorpirifos metil dan DDT terdeteksi pada lahan pertanian di Natar dan Metro - Lampung (INDRANINGSIH et al., 2004). Pestisida dapat meninggalkan residu pada tanah bekas tanam maupun dalam produk pertanian dan peternakan (INDRANINGSIH et al., 2004). INDRANINGSIH
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
et al., (2004) mempelajari kontaminasi dan residu pestisida pada tanah, pakan dan produk ternak di daerah sentra ternak seperti Jawa Barat, Yogyakarta dan Lampung selama 3 tahun antara 2001 – 2003. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat kontaminasi pestisida (golongan OC dan OP) pada pakan ternak baik pada hijauan maupun limbah hasil pertanian yang dapat berakibatkan timbulnya residu pada produk ternak yang dihasilkan. Keberadaan cemaran pestisida dalam tanah lahan pertanian dapat pula mencemari pakan ternak berupa rumput, hijauan pakan maupun limbah hasil pertanian. Limbah hasil pertanian khususnya jerami padi dan jagung sering dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Tabel 8 menunjukkan bahwa residu pestisida terdeteksi dari bahan pakan yang terdiri dari rumput, limbah kol dan limbah jagung asal Lampung, Jawa Barat dan Yogyakarta. Rumput asal Pangalengan mengalami kontaminasi oleh
pestisida dengan total residu mencapai 17,8 ppb yang terdiri dari golongan OC (4,6 ppb) dan golongan OP (13,2 ppb). Golongan OC (0,4 ppb) terdeteksi dari limbah kol yang sering dimanfaatkan sebagai pakan tambahan untuk sapi perah di Pangalengan, sedangkan golongan OP tidak terdeteksi selama pengamatan tersebut. Selanjutnya pada rumput asal Metro (Lampung) mangandung residu golongan OC (11,3 ppb) dan OP (57,0 ppb). Sedangkan limbah jagung digunakan sebagai pakan utama untuk sapi potong di Lampung mengalami kontaminasi oleh pestisida golongan OC sebesar 15,2 ppb dan tidak ditemukan residu golongan OP. Selanjutnya limbah jagung asal Natar (Lampung) mengalami kontaminasi oleh pestisida golongan OC (158,4 ppb) yang cukup tinggi dibanding golongan OP sebesar 17,6 ppb.
Tabel 8. Residu pestisida dalam bahan pakan ternak di Jawa Barat dan Lampung, tahun 2001– 2002 No.
Sampel pakan (n)
1.
Pangalengan – Jawa Barat a. Rumput (4) b. Hijauan (4) c. Limbah kol (2) Sukamandi Jawa Barat a. Dedak (2) b. Jerami padi (2) Yogyakarta a. Jerami padi organik (2) b. Jerami padi PHT (20) c. Jerami padi konvensional (3) Metro – Lampung a. Rumput b. Konsentrat (4) c. Onggok (4) d. Limbah nenas (4) e. Limbah jagung (4) Natar – Lampung a. Jagung (8) b. Hijauan (8) c. Limbah jagung (8) Rata–rata Kisaran
2.
3.
4.
5.
Total residu (ppb)
Total residu per golongan (ppb) OC OP
17,8 5,7 0,4
4,6 0,1 0,4
13,2 5,6 tt
72,1 8,9
72,1 7,3
tt 1,6
3,9 28,2 15,5
3,9 5,1 2,7
tt 23,1 12,8
68,3 2,6 4,3 6,6 15,2
11,3 2,6 2,0 6,6 15,2
57,0 tt 2,3 tt tt
8,6 123,1 176,0 34,8 0,4 – 176,0
8,6 105,5 158,4 25,4 0,1 – 158,4
tt 17,6 17,6 9,4 tt – 57,0
Sumber: INDRANINGSIH et al., 2004; INDRANINGSIH dan SANI, (2005)
131 131
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Pakan ternak kerbau pada umumnya tidak berbeda dengan pakan sapi. Hijauan yang diberikan sebagai pakan ternak untuk kerbau terdiri dari rumput dan daun-daunan serta limbah hasil pertanian/perkebunan. Kerbau umumnya digembalakan di padang rumput, sehingga hijauan berupa rumput dan daundaunan merupakan pakan utama bagi kerbau tersebut. Penggunaan pakan limbah pertanian seperti jerami padi dan jagung sebagai pakan ternak lebih sering dilakukan oleh peternakan kerbau intensif (penggemukan). Limbah hasil pertanian yang umum diberikan sebagai pakan ternak kerbau adalah jerami padi, jerami jagung, limbah kedelai, limbah ubi kayu dan limbah tebu. Permasalahan umum yang dihadapi dalam menggunakan pakan limbah pertanian untuk kerbau terdiri dari faktor pengetahuan peternak, kualitas pakan limbah pertanian, faktor lingkungan (cemaran) dan pola pengembalaan kerbau. Pengetahuan peternak tentang pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan merupakan salah satu penyebab belum optimalnya penggunaan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Kebanyakan peternak belum mengetahui atau belum mendapatkan informasi bahwa limbah hasil samping pertanian/perkebunan dapat digunakan sebagai pakan ternak. INDRANINGSIH et al. (2005) melaporkan bahwa 53,5% dari 53 responden yang memanfaatkan limbah sayuran sebagai pakan ternak di Pangalengan, Jawa Barat. Sedangkan 7,1%
petani diantaranya mendaur-ulang limbah sayuran sebagai pupuk kompos dan selebihnya sebanyak 39,4% tidak dimanfaatkan sama sekali atau dibuang sebagai sampah hasil pertanian. Kualitas pakan ternak tergantung pada komposisi nutrisi yang terkandung didalamnya terutama terhadap bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan tingkat kecernaan. Pakan utama ternak ruminansia terdiri dari hijauan, limbah tanaman pertanian, kacang-kacangan dan konsentrat. Produktivitas sapi potong tergantung pada pakan yang diberikan, oleh karena itu pakan ternak harus memperhatikan mutu, jumlah dan ketersediaan. Tabel 9 menunjukkan perbandingan nutrisi pakan limbah hasil pertanian terhadap rekomendasi mutu pakan untuk ternak dewasa. Meskipun hasil limbah pertanian mencukupi untuk digunakan sebagai pakan ternak, mutu pakan limbah tersebut ternyata masih lebih rendah dibandingkan rekomendasi mutu pakan untuk sapi dewasa. Tingkat kecernaan (TDN) pakan limbah hasil pertanian umumnya lebih rendah daripada pakan standar (58 – 65), karena pakan limbah mengandung kadar serat kasar yang lebih tinggi. Dilain pihak kandungan protein kasar dan lemak kasar pada pakan limbah pertanian juga lebih rendah dibanding pakan standar, kecuali untuk limbah sawit yang memiliki kandungan protein kasar dan lemak kasar setara dengan pakan standar.
Tabel 9. Perbandingan nutrisi limbah pertanian/perkebunan dengan mutu standar pakan untuk sapi No.
Parameter
1. 2. 3. 4. 5.
Bahan kering (%) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) TDN
Limbah pertanian/perkebunan Padi Jagung 66,0 21,0 3,9 3,3 0,9 33,0 20,2 38,1 16,3
Kisaran nilai standar (%) 80 – 90 12 – 15 2–3 15 – 21 58 – 65
Diolah dari berbagai sumber
Penggunaan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak terlihat mudah dan ekonomis, namun perlu memperhatikan akan timbulnya residu kimiawi didalam produk ternak yang dihasilkan serta kandungan antinutrisi atau toksin yang terdapat di dalam
124 132
limbah hasil pertanian tersebut. Beberapa tanaman pangan maupun perkebunan dilaporkan terdapat toksin dan antinutrisi yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak. Kakao mengandung theobromin yang bersifat toksik bagi kesehatan ternak. YERUHAM et al. (2004)
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
melaporkan bahwa 11 dari 78 ekor anak sapi silangan mengalami dermatitis fotosensitisasi (fotosensitisasi primer) setelah mengkonsumsi kulit kakao dengan gejala klinis terdiri dari penebalan dan pengerutan kulit serta alopesia. Hasil penelitian INDRANINGSIH et al. (1999) menunjukkan bahwa pemberian kulit biji kakao kepada kambing menimbulkan penurunan berat badan. Disamping itu, pencemaran oleh bahan kimiawi merupakan kendala utama dalam kegiatan pertanian dan perkebunan sehubungan residu yang dapat terbentuk di dalam produk. Pestisida ternyata memiliki beberapa kelemahan berupa efek samping terhadap kesehatan ternak dan manusia yang bukan merupakan target utamanya. Efek toksik dari pestisida terhadap berbagai hewan non-target seperti unggas, sapi dan bahkan manusia telah banyak dilaporkan (SABRANI dan SETIOKO, 1983; INDRANINGSIH, 1988; NJAU, 1988). Keracunan pestisida organofosfat (OP) pada sapi perah di Jawa Barat terlihat setelah diberi pakan hijauan yang terkontaminasi yang meliputi hiperemia mata, eksudasi cairan mukus pada mata, hipersalivasi, diare, sesak napas dan kematian ternak (INDRANINGSIH, 1998). Namun demikian keracunan pestisida pada kerbau belum pernah dilaporkan di Indonesia. Selanjutnya residu pestisida dapat terbentuk di dalam produk ternak akibat penggunaan pestisida yang berlebihan. Residu pestisida dalam produk ternak dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat sebagai konsumen seperti gejala keracunan, imunosupresi dan karsinogenik (GOEBEL et
al., 1982; VARSHEYA et al., 1988). Residu pestisida dalam produk pertanian dan ternak telah dilaporkan terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia (INDRANINGSIH dan SANI, 2004; MAITHO, 1992; KAHUNYO et al., 2001; NEUMAN, 1988; CORRIGAN dan SENEVIRATNA, 1990). MAITHO (1992) melaporkan bahwa residu pestisida organokhlorin (OC) seperti DDT, dieldrin, aldrin dan lindan terdeteksi pada 22 dari 25 sampel lemak sapi yang diperiksa. Laporan yang sama juga disampaikan terjadi pada beberapa produk ternak yang terdiri dari telur, daging dan susu di Indonesia (INDRANINGSIH et al., 1988). Pencemaran pestisida di lingkungan (tanah, air dan sedimen) dan pakan ternak diduga sebagai sumber terbentuknya residu pada produk ternak (INDRANINGSIH et al., 1990; INDRANINGSIH dan SANI, 2004; NTOW et al., 2003; WILLET et al., 1993). Residu pestisida terdeteksi pada sampel daging kerbau yang diberi pakan jerami padi antara lain lindan, heptaklor dan klorpirifos dengan rata-rata positip terhadap residu pestisida secara berturut-turut sebesar 0,19 ppb; 0,07 ppb; dan 6,34 ppb (Tabel 10). Kandungan residu pestisida tersebut masih lebih rendah dari batas maksimum residu (STANDAR NASIONAL INDONESIA, 2001), sehingga daging masih aman untuk dikonsumsi. Namun demikian kandungan pestisida OC tersebut dalam daging kerbau perlu diwaspadai mengingat senyawaan OC tersebut sulit mengalami penguraian dan bersifat akumulatif di dalam jaringan lemak (MATSUMURA, 1976).
Tabel 10. Residu pestisida pada daging dan daging kerbau olahan Jenis sampel Paha depan Paha belakang Sengkel Iga Rata-rata positip BMR
Lindan tt 0,04 tt 0,34 0,19 200
Residu pestisida (ppb) Heptaklor Klorpirifos 0,07 0,43 0,06 tt tt 2,63 tt 15,97 0,07 6,34 200 1000
Total residu OC OP 0,07 0,43 0,10 0 0 2,63 0,34 0 0,17 1,53
Total residu 0,5 0,10 2,63 15,91 4,79
Keterangan: BMR = batas maksimum residu OC = organokhlorin OP = organofosfat Ppb = part per billion
124
134
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
jauh dari sumber pencemaran tanaman pangan dan sayur).
Sementara itu, INDRANINGSIH et al (2004) melaporkan residu pestisida juga terdeteksi pada daging, hati dan lemak sapi potong asal Bogor – Jawa Barat (Tabel 11). Kedua golongan pestisida (OP dan OC) terdeteksi pada produk sapi potong (lemak, hati dan daging) dari Bogor dengan rata-rata total residu masing-masing sebesar 161,9 ppb (daging), 292,9 ppb (hati) dan 619,9 ppb (lemak). Pada daging sapi terdeteksi residu lindan (tt- 135,5 ppb) dan diazinon (tt-754,4 ppb). Beberapa sampel daging sapi mengandung residu diazinon yang melebihi batas maksimum residu (BMR) sebesar 700 ppb (STANDAR NASIONAL INDONESIA, 2001). Sedangkan organ hati terdeteksi lindan (tt 16,7 ppb); diazinon (tt – 969.0 ppb); dan endosulfan (tt – 191,8 ppb). Kondisi yang sama juga dijumpai pada beberapa organ hati dan lemak dimana kandungan residu diazinon melebihi BMR. Secara umum terlihat bahwa pencemaran pestisida pada produk ternak kerbau masih lebih rendah daripada produk sapi potong, mengingat pemeliharaan kerbau masih bersifat ekstensif yang digembalakan
(lahan
UPAYA PENGENDALIAN PENCEMARAN PESTISIDA PADA PETERNAKAN KERBAU Pakan merupakan salah satu kendala pada peternakan kerbau terutama dalam ketersediaan dan kualitasnya. Pakan hasil samping pertanian memiliki potensi yang baik untuk digunakan sebagai pakan ternak alternatif. Jerami padi dan jagung sering diberikan kepada kerbau sebagai pakan ternak. Namun ketersediaan hasil samping pertanian tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh peternak. Oleh karena itu sosialisasi tentang pemanfaatan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak perlu dilakukan secara berkesinambungan mengingat keterbatasan arus informasi teknologi, keterbatasan pengetahuan peternak dan kebiasaan peternak yang tetap dengan pola pemeliharaan ternak secara tradisional.
Tabel 11. Residu pestisida pada daging sapi potong di Bogor (Jawa Barat) Jenis Daging (n=44) Kisaran Rata-rata positif Hati (n=44) Kisaran Rata-rata positip Lemak (n=44) Kisaran Rata-rata positip BMR
Lindan
Residu pestisida (ppb) Diazinon Endosulfan
Total residu (ppb) OC OP
Total residu
Tt – 135,5 19,6
Tt – 754,4 219,9
Tt 0
Tt – 135,5 19,6
Tt – 754,2 219,9
Tt – 754,6 161,9
Tt – 16,7 2,5
Tt – 969,0 452,8
Tt – 191,8 191,8
Tt – 191,8 23,6
Tt – 969,5 452,9
Tt – 969,5 292,9
Tt – 1,1 0,7 200
Tt – 908,1 619,9 700
Tt 0 200
Tt – 1,1 0,7
Tt – 908,1 619,9
Tt – 908,1 619,9
Keterangan: BMR = batas maksimum residu OC = organokhlorin OP = organofosfat Ppb = part per billion Sumber: INDRANINGSIH et al. (2004)
Beberapa pendekatan untuk meningkatkan mutu pakan limbah hasil petanian telah dikembangkan, antara lain melalui pengolahan (pretreatment) limbah hasil pertanian, suplementasi pakan dan pemilihan jenis limbah hasil pertanian. Mutu pakan limbah
124 134
hasil pertanian umumnya ditingkatkan melalui pengolahan terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ternak, yang secara garis besarnya terdiri dari: 1) Perlakuan fisik: pemotongan menjadi bagian yang lebih kecil, penggilingan,
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
2)
3)
4)
pemanasan, perendaman, pengeringan atau penyinaran. Perlakuan kimia: dengan penambahan basa, asam dan oksidasi seperti penambahan NaOH, Ca(OH)2, ammonium hidroksida, gas klor dan sulfur dioksida. Perlakuan biologi: melalui pengomposan, fermentasi, penambahan enzim, atau menumbuhkan jamur dan bakteri. Kombinasi diantara ketiga perlakuan tersebut diatas.
Metoda fisik yang terdiri dari pemotongan, pemanasan, penggilingan, pengeringan dan penyinaran diketahui tidak akan merubah nilai nutrisi suatu bahan pakan ternak. Oleh karena itu teknik ini jarang dilakukan dalam penyediaan pakan ternak. Namun demikian metoda pemanasan dan pengeringan dapat digunakan untuk mengurangi toksisitas suatu tanaman. Sementara itu metoda kimiawi yang terdiri dari penambahan asam, basa dan oksidasi merupakan metoda yang sering diterapkan peternak untuk meningkatkan mutu nutrisi pakan ternak (DOYLE et al., 1986). Penambahan basa merupakan pengolahan bahan pakan ternak yang paling banyak dilakukan untuk meningkatkan mutu nutrisi pakan ternak. Tujuan penambahan senyawa basa ini adalah untuk memecah ikatan ester lignohemiselulosa sehingga meningkatkan kecernaan pakan tersebut. Larutan basa yang umum digunakan terdiri dari sodium hidroksida (NaOH), kalsium hidroksida [Ca(OH)2], potasium hidroksida (KOH), urea dan larutan karbon kaustik. CHEMJONG (1991) melaporkan bahwa pemberian jerami padi yang diperlakukan dengan 4% urea dapat meningkat intake pakan sebanyak 25% dan meningkatkan produksi susu kerbau hingga 1,6 liter per hari. Kerbau menunjukkan pertambahan berat badan yang lebih baik dibanding jerami padi tanpa perlakuan. Selain itu, urea dapat meningkatkan kandungan nitrogen dan menghancurkan ikatan lignohemiselulosa (SCHIERE and NELL, 1993). Penambahan 4,5% sodium hidroksida kepada jerami jagung dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dari 44,7 ± 1,6% menjadi 54,2 ± 2,0%
124
(NANGOLE et al., 1985). Meskipun NaOH ini paling efektif untuk meningkatkan nilai nutrisi pakan, bahan ini dapat menimbulkan residu yang berbahaya. Fermentasi merupakan teknik perlakuan biologis untuk meningkatkan mutu nutrisi pakan ternak dengan menumbuhkan biostarter yang umumnya menggunakan Aspergillus niger. Perbaikan kualitas pakan melalui proses fermentasi terhadap jerami padi dengan menggunakan probion mampu meningkatkan kadar protein kasar sampai 20%, serta menurunkan kadar NDF (64%) dan ADF (66%) (MAHENDRI et al., 2005). Disamping itu konversi pakan menjadi lebih baik pada jerami padi fermentasi bila diikuti dengan penambahan urea (UTOMO et al., 1988). Sementara itu PASARIBU et al (1998) melaporkan bahwa proses fermentasi terhadap lumpur sawit dengan menggunakan A. niger dapat meningkatkan kadar protein kasar dan protein murni serta menurunkan kandungan serat lumpur sawit. Perbaikan mutu pakan lumpur sawit tersebut diikuti pula dengan peningkatan kandungan pospor dan total pospor, total protein, total α-asam amino dan nilai daya cerna protein (PASARIBU et al., 2003). Disamping mampu memperbaiki mutu pakan limbah hasil pertanian, proses fermentasi ternyata mampu menurunkan kadar residu pestisida pada pakan ternak (INDRANINGSIH dan SANI, 2005). Tabel 4 memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan kandungan residu pestisida pada jerami padi fermentasi terhadap jerami padi tanpa fermentasi untuk sapi potong. Total residu pestisida pada jerami tanpa fermentasi (14,5 ppb) lebih tinggi dibanding jerami fermentasi (3,1 ppb) di Sukamandi, Jawa Barat. Begitupula untuk masing-masing golongan pestisida dimana total residu OC (11,7 ppb) pada jerami padi tanpa fermentasi lebih tinggi daripada jerami padi fermentasi (2,8 ppb) dan total residu OP pada jerami tanpa fermentasi OP (2,8 ppb) daripada jerami padi fermentasi (0,3 ppb). Penurunan kandungan residu pestisida mengikuti lamanya proses fermentasi yang dilakukan seperti yang terlihat pada jerami padi di Solo dimana total residu menurun dari 172,7 ppb (selama penyimpanan 2 minggu) dan 76,5 ppb(selama proses pengeringan 1 minggu) menjadi 11,7
136
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
ppb (siap dipakai) (INDRANINGSIH dan SANI, 2005). Pengamatan yang sama juga dijumpai pada pakan jerami padi untuk kerbau, dimana penambahan probion pada jerami padi menurunkan residu pestisida yang lebih rendah pada jerami padi fermentasi dibanding jerami padi tanpa fermentasi sebesar 42% untuk golongan OC dan 44% untuk golongan OP (MAHENDRI et al., 2005). Suplementasi pakan limbah hasil pertanian merupakan faktor penting untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Suplementasi dilakukan karena umumnya limbah hasil pertanian mengandung protein yang lebih rendah dari hijauan pakan ternak. Pakan limbah hasil pertanian dapat disuplementasikan dengan leguminosa, kacang-kacangan maupun sisa pengolahan industri pertanian seperti ampas tahu, ampas kecap, bungkil kedelai, bungkil kelapa serta mineral lainnya yang diperlukan. Dalam memanfaatkan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak, seleksi jenis limbah tanaman perlu dilakukan untuk mengurangi efek samping terhadap kesehatan ternak dan keamanan produknya. Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu mutu nutrisi pakan limbah pertanian, kandungan toksin dan/atau antinutrisi didalam tanaman dan cemaran berbahaya pada tanaman. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pertanian organik saat ini, maka limbah hasil pertanian organik tersebut merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk mendapatkan pakan limbah yang mampu mengurangi resiko terjadinya residu bahan beracun berbahaya pada produk ternak serta mengurangi ancaman terhadap kesehatan ternak.
Pertanian organik merupakan salah satu pendekatan alternatif untuk meminimalisasi residu pestisida baik pada produk ternak, pertanian maupun kontaminasi pada lahan pertanian. INDRANINGSIH et al., (2004) melakukan serangkaian pengamatan penggunaan limbah hasil pertanian organik sebagai pakan terhadap residu pestisida pada produk ternak. Hasil analisis residu pestisida pada limbah pertanian yang akan diberikan kepada ternak percobaan menunjukkan bahwa pada limbah hasil pertanian organik (kol dan jagung) masih terdeteksi residu pestisida (Tabel 13) dengan total residu masing-masing limbah hasil pertanian sebesar 0,1 ppb (limbah kol organik) dan 29,5 ppb (daun jagung), tetapi masih dibawah nilai toksisitas. Pada limbah kol terdeteksi 0,1 ppb OC dan tidak terdeteksi pestisida OP, sedang pada daun jagung terdeteksi 7,8 ppb OC dan 21,7 ppb OP. Selanjutnya pemberian limbah hasil pertanian organik kepada ternak ruminansia terlihat terjadinya penurunan kadar residu pestisida pada produk ternak yang dihasilkan. Pemberian limbah kol organik kepada sapi perah tidak menimbulkan residu pestisida pada susu sapi perah, sedangkan pemberian daun jagung organik kepada sapi potong terjadi penurunan kadar residu pestisida OP dari 8,8 ppb (hari pertama) menjadi tidak terdeteksi pada hari berikutnya tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata pada kadar residu pestisida OC dalam serum sapi selama 15 hari pengamatan (Tabel 14). Sehubungan dengan sifat fisik pestisida golongan OC yang sulit mengurai pada kondisi alam, maka residu pestisida OC masih terdeteksi pada serum sapi potong.
Tabel 13. Residu pestisida pada limbah pertanian organik sebagai pakan ternak alternatif yang dikoleksi dari Pangalengan dan Lampung No.
Jenis pakan limbah
1. 2.
Limbah kol Daun jagung Rata-rata total
Total residu (ppb) 0,1 29,5 14,8
Total residu per golongan (ppb) OC 0,1 7,8 3,9
OP tt 21,7 10,9
Sumber: INDRANINGSIH et al. (2004)
137
131
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Tabel 14. Residu pestisida pada susu sapi perah dan serum sapi potong yang diberi pakan limbah pertanian organik Jenis pestisida Susu sapi perah: Organokhlorin Organofosfat Serum sapi potong: Organokhlorin Organofosfat
1
Organik (hari/ppb) 7
Non-organik (hari/ppb) 1 7 15
15
tt tt
tt tt
tt tt
49,6 tt
10,2 tt
tt tt
0,26 8,8
0,36 tt
0,25 tt
ta ta
ta ta
ta ta
Sumber: INDRANINGSIH et al. (2004)
KESIMPULAN 1)
2)
Usaha peternakan akan menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan usaha non-peternakan dalam menggunakan sumberdaya genetik, sumberdaya lahan dan tenaga kerja. Tantangan utama dalam pengembangan usaha peternakan adalah digelarnya program revitalisasi pertanian dan kecukupan daging 2010 yang akan meningkatkan produktivitas ternak dan optimalisasi lahan. Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka usaha peternakan harus menghasilkan produk yang memiliki dayasaing tinggi dengan memanfaatkan segala potensi dan sumberdaya lokal yang tersedia di dalam negeri. Kerbau merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging yang potensial untuk mendukung program revitalisasi pertanian dan kecukupan daging tersebut. Produksi daging nasional antara tahun 2000 sampai 2004 menunjukkan pertumbuhan yang positif dengan rata-rata pertumbuhan produksi daging sebesar 7, 51% per tahun, dalam hal ini populasi kerbau meningkat dari 2.405.277 ekor pada tahun 2000 menjadi 2.572.169 ekor pada tahun 2004. Distribusi ternak kerbau dengan populasi ≥ 200.000 ekor terdapat di pulau Sumatera (1.360.019 ekor), Jawa (597.751 ekor), kepulauan Indonesia Timur (307.578 ekor) dan Sulawesi (209.510 ekor). Sementara itu, produksi daging meningkat dari 1.415.421 ton pada tahun 2000 menjadi 1.884.463 ton
3)
4)
pada tahun 2004 dan kontribusi daging kerbau terhadap produksi daging nasional hanya mencapai 2,66% setiap tahunnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa kerbau masih memiliki peluang yang baik untuk dikembangkan sebagai ternak penghasil daging dalam rangka mencapai program kecukupan daging nasional. Dari 30 propinsi di Indonesia, terdapat 10 propinsi yang memiliki populasi lebih besar dari 100.000 ekor yaitu secara berurutan NAD, Sumbar, Sumut, Sulsel, Jabar, Banten, NTB, Jateng, NTT dan Jatim. Kesepuluh propinsi tersebut merupakan sumber ternak kerbau. Berdasarkan laju pertumbuhan populasi kerbau yang positif setiap tahunnya, maka 6 dari 10 propinsi tersebut yaitu NAD, Sumbar, Sumut, Banten, NTB dan NTT berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai sentra ternak kerbau di Indonesia. Kendala umum dalam pengembangan peternakan kerbau disebabkan masih merupakan usaha sampingan atau sebagai ternak pekerja, keterbatasan bibit unggul, kesehatan ternak dan pakan ternak. Pakan ternak kerbau pada dasarnya tidak berbeda dengan ternak sapi potong yang terdiri dari rumput, hijauan dan limbah hasil pertanian. Pencemaran pestisida dan kualitas pakan ternak adalah faktor penting dalam penggunaan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak. Teknologi fermentasi dalam pengolahan pakan limbah hasil pertanian merupakan teknologi pilihan untuk meningkatkan
131 139
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
kualitas pakan dan menurunkan residu pestisida di dalam limbah hasil pertanian. SARAN 1)
2)
3)
Dalam pengembangan ternak kerbau perlu memperhatikan sosial-budaya masyarakat setempat, daya dukung lahan, sumber bibit dan ketersediaan pakan. Berdasarkan laju pertumbuhan populasi kerbau yang positip selama 5 tahun antara 2000 s/d 2004, maka 6 dari 10 propinsi yang memiliki populasi kerbau ≥ 200. 000 ekor yaitu NAD, Sumbar, Sumut, Banten, NTB dan NTT berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai sentra ternak kerbau di Indonesia. Pakan ternak kerbau pada dasarnya tidak berbeda dengan ternak sapi potong yang terdiri dari rumput, hijauan dan limbah hasil pertanian. Pencemaran pestisida dan kualitas pakan ternak adalah faktor penting dalam penggunaan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak. Teknologi fermentasi dalam pengolahan pakan limbah hasil pertanian merupakan teknologi pilihan untuk meningkatkan kualitas pakan dan menurunkan residu pestisida di dalam limbah hasil pertanian. DAFTAR PUSTAKA
CHEMJONG, P.B. 1991. Economic Value of UreaTreted Straw Fed to Lactating Buffaloes During the Dry Season in Nepal. Trop. Anim. Health Prod. 23 (3): 147 – 154. CORRIGAN, P.J., and P. SENEVIRATNA, 1990. Occurrence of Organochlorine Residues in Australian Meat. Aust. Vet. J. 67 (2): 56 – 58. DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN, 2004. Statistik Peternakan Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
139
DOYLE, P.T., C. DEVENDRA and G.R. PEARCE. 1986. Rice Straw as Feed for Ruminants. IDP – Canberra, Australia. GOEBEL, H., S. GORBACH, W. KAUF, R.H. RIMPAU and H. HUTTENBACH. 1982. Properties, Effects, Residues and Analytics of Insecticides Endosulfan. Residue Review. 83: 56 – 88. INDRANINGSIH, 1988. Pengenalan Keracunan Pestisida Golongan Organofosfat pada Ruminansia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. Bogor 18-19 Nopember 1997: 104-109 INDRANINGSIH, R. MARYAM, R. MILTON and R.B. MARSHALL. 1988. Organochlorine Pesticide Residues in Bird Eggs. Penyakit Hewan. XX (36): 98 – 100. INDRANINGSIH, C.S., MCSWEENEY, S. BAHRI dan YUNINGSIH, 1990. Residu Endosulfan pada Tanah Bekas Tanam Kedelai dan Limbah Pertaniannya serta Kemungkinan Pengaruhnya pada Ternak. Penyakit Hewan. XXII (40): 133 – 137. INDRANINGSIH, 1998. Pengenalan Keracunan Pestisida Golongan Organofosfat pada Ruminansia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan pp: 104 – 109. INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI dan R. MARYAM. 1999. Pengaruh Pemberian Arang Aktif terhadap Perubahan Enzim dan Kadar Theobromin pada Kambing. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Pp: 615 – 620. INDRANINGSIH dan Y. SANI, 2004. Residu Pestisida pada Produk Sapi: Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Wartazoa 14 (1): 1 – 13. INDRANINGSIH, Y. SANI, R. WIDIASTUTI, E. MASBULAN and G.A. BONWICK. 2004. Minimalization of Pesticide Residues in Animal Products. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi. Balai Penelitian Veteriner – Department for International Development (UK). Pp: 105 – 126.
131
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
INDRANINGSIH dan Y. SANI. 2005. Kajian Kontaminasi Pestisida pada Limbah Padi sebagai Pakan Ternak dan Alternatif Penanggulangannya. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Puslitbang Peternakan – UGM. Pp: 108 – 119. INDRANINGSIH, Y. SANI and R. WIDIASTUTI. 2005. Evaluation of Farmers Appreciation in Reduing Pesticide by Organic Farming Practice. Indo. J of Agric. Sci. 6 (2): 59 – 68. KAHUNYO, J.M., C.K. MAITAI and A. FROSLIE. 2001. Organochlorine Pesticide Residues in Chicken Fat: a Survey. Environ. Sci. Technol. 35 (10): 1989 – 1995. MAHENDRI, I.G.A.P., B. HARYANTO, E. HANDIWIRAWAN, A. PRIYANTI, L. NATALIA, INDRANINGSIH dan R.A. SAPTATI. 2005. Inovasi Teknologi Pakan Padi Fermentasi dengan Probion untuk Meningkatkan Kinerja Produksi Ternak Ruminansia. Laporan Kegiatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2005. MAITHO, T. 1992. A Study of Pesticide Residues in Bovine Fat from Kenya. Zimbabwe Vet. J. 23 (2): 67 – 71. MATSUMURA, F., 1976. Degradation by Sunlight and Other Physical Factors. In Toxicology of Insecticides. Plenum Press, London. 342. NANGOLE, F.N., H. KAYONGO-MALE and A.N. SAID, 1985. Chemical Composition, Digestibility and Feeding Value of Maize Cobs. Anim. Feed Sci. Tech. 6: 337 – 386. NEUMANN, C.B. 1988. The Occurence and Variation of Organochlorine Pesticide Residues Detected in Australian Livestock at Slaughter. Acta Vet. Scan. 84: 299 – 302. NJAU, B.C., 1988. Pesticide Poisoning in Livestock in Northern Tanzania Cases Investigated 1977-1978. Bull of Animal Health and Production in Africa 36(2):170 NTOW, W.J., 2003. Organochlorine Pesticides in Water, Sediment, Crops, and Human Fluids in a Farming Community in Ghana, Food Addit. Contam. 20 (3): 270 – 275.
124
PASARIBU, T., A.P. SINURAT, T. PURWADARIA, SUPRIYATI dan H. HAMID. 1998. Peningkatan Nilai Gizi Lumpur Sawit melalui Proses Fermentasi: Pengaruh Jenis Kapang, Suhu dan Lama Proses Enzimatis. JITV 3 (4): 237 – 242. PASARIBU, T., N. ARINI, T. PURWADARIA dan A.P. SINURAT. Evaluasi Nilai Gizi Lumpur Sawit dengan Penambahan Fosfor dari Sumber yang Berbeda. JITV 8 (3): 157 – 163. SABRANI, M. dan A.R. SETIOKO, 1983. Itik Gembala dan Masalahnya di Daerah Persawahan di Pedesaan. Poultry Indonesia. 45-47. SCHIERE, J.B., and A.L. NELL. 1993. Feeding of Urea Treated Straw in the Tropics. 1. Review of its Technical Principles and Economics. Anim. Feed Sci. Tech. 43: 135 – 147. STANDAR NASIONAL INDONESIA, 2001. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta. UTOMO, R., M. SOEJONO and J.B. SCHIERE. 1988. Review of Duration and Concentration of Urea Treated Straw on Digestibility. Proceedings Bioconversion Project Second Workshop on Crop Residues for Feed and Other Purposes. Grati, 16 – 17 Nopember 1987. pp: 36 – 58. VARSHEYA, C., H.S. BAGHGA and L.D. SHARMA. 1988. Effect of Insecticide on Humoral Immune Response in Cockerels. Short Communication. Bri. Vet. J. 144: 610 – 612. WILLETT, L.B., A.F. O’DONNELL, H.I. DURST and M.M. KURSZ, 1993. Mechanisms of Movement of Organochlorine Pesticides from Soils to Cows via Forages. J. Dairy Sci. 76: 1635 – 1644. YERUHAM, I., Y. AVIDAR and S. PEARL. 2004. Photosensitivity of Feedlot Calves Apparently Related to Cocoa Shells. J. Plant Physiol. 161 (4): 363 – 369.
140