Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
KEBERADAAN RESIDU ANTIBIOTIKA DALAM PRODUK PETERNAKAN (SUSU DAN DAGING) YUNINGSIH Balai Penelitian Veteriner Jl. RE. Martadinata No. 30, P.O. Box. 151, Bogor 16114
ABSTRAK Beberapa macam antibiotika dipergunakan untuk pengobatan dan sebagai imbuhan pakan dengan tujuan untuk memacu pertumbuhan berat badan ternak. Tetapi pemakaian antibiotika yang tidak beraturan dapat menyebabkan residu dalam jaringan organ yang dapat menyebabkan reaksi alergi, resistensi dan mungkin keracunanan sehingga cukup berbahaya bagi kesehatan manusia. Sehubungan dengan bahayanya dampak residu ini, maka perlu diketahui sejauhmana keberadaan residu antibiotika dalam produk peternakan (susu, daging dan telur). Tulisan ini menguraikan beberapa hasil pemeriksaan residu antibiotika (Penisilin G, tilosin, spiramisin dan tetrasiklin) dalam daging dan susu, sebagai gambaran keberadaan residu antibiotika dalam produk ternak, kemudian dampak dan langkah pengamanan dalam penggunaan antibiotika serta cara analisis residu dalam daging dan susu. Kata kunci: Antibiotika, residu, susu, daging
PENDAHULUAN Antibiotika dipakai secara luas dalam industri peternakan dengan tujuan untuk pengobatan, sehingga dapat mengembalikan kondisi ternak menjadi normal kembali (sehat). Kemudian tujuan lain pemakaian antibiotika sebagai imbuhan pakan sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ternak. Berdasarkan struktur kimianya, antibiotika dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu golongan β laktam: penisilin, ampisilin; golongan aminoglikosida: gentamisin, streptomisin; golongan tetrasiklin: tetrasiklin, oksitetrasiklin; golongan makrolida: tilosin, tilmikosin; golongan peptida: basitrasin, colostin; golongan polieter: salinomisin, monensin dan golongan kloramfenikol: kloramfenikol, tiamfenikol (OKA, et al., 1995). Berdasarkan daya kerja antibiotik dapat digolongkan menjadi 2 sifat, yaitu bersifat kemampuan spektrum luas (Broad Spectrum), yang artinya antibiotika memiliki kemampuan melawan sejumlah besar bakteri patogen (daya kerja luas). Sebagai contoh dalam golongan ini adalah tetrasiklin. Kemudian sifat lainnya adalah spektrum sempit (Narrow Spectrum), yang artinya antibiotika memiliki daya kerja
48
sempit atau spesifik, misalnya antibiotika penisilin. Mekanisme antibiotika dalam melawan mikroorganisme bermacam- macam cara kerjanya, misal antibiotika penisilin yaitu dengan cara mengganggu sintesis dinding sel bakteri, sehingga bersifat dapat membunuh bakteri. Berdasarkan laporan hasil survei dari bulan April 1995 sampai Maret 2000, di Jepang (Aichi Prefecture) bahwa antibiotika golongan tetrasiklin merupakan antibiotika yang paling banyak pemakaiannya, sebanyak 292 sampel organ ginjal (94 sapi dan 198 babi ) asal rumah potong hewan, menunjukkan 106 sampel (36,6%) dan 41 sampel (14%), masing- masing mengandung antibiotika tetrasiklin dan sulfa, termasuk klortetrasiklin 59 sampel (20,2%), oksitetrasiklin 47 sampel (16,1%), sulfamonometoksin 35 sampel (12,0%), sulfadimetoksin dan sulfametoksazol, masingmasing 2 sampel (0,7%), dan mengandung golongan sulfa lainnya dalam jumlah kecil. (OKA, et al., 1995). Begitu juga menurut BURCH (2005), yang menyatakan bahwa beberapa problem resisten akibat pemakaian antibiotika pada babi asal rumah potong di United Kingdom (UK), serta naiknya penggunaan terapi antimikroba dan ternyata
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
jenis antibiotika yang paling banyak digunakan adalah golongan tetrasiklin yaitu hampir 47% dari keseluruhan pemakaian antibiotika (sulfonamida, beta laktam, makrolida, aminoglikosida, fluoroquinolon) yang umumnya untuk pengobatan infeksi pernafasan. Di Indonesia, sekitar tahun 2002, antibiotika golongan khloramfenikol yang menjadi problem karena ditemukan residunya dalam udang akibat pengobatan bakteri yang banyak dijumpai di air tambak atau ikan yang menderita Salmonella. Eksportir udang menderita kerugian yang cukup besar sehubungan dengan berlakunya peraturan Uni Eropa (UE) No. 001/705/EC, sejak 27 September 2001, yang menyatakan bahwa semua produk udang khususnya hasil budidaya dari negara Asia termasuk Indonesia yang diekspor ke UE harus bebas dari khloramfenikol. Sedangkan sejak tahun 1982 Indonesia juga sudah melarang menggunakan khloramfenikol untuk pengobatan hewan yang akan dikonsumsi manusia dan juga imbuhan pakan pada ternak. Pemakaian antibiotika tidak beraturan atau tidak tepat dosis atau tidak sesuai dengan diagnosa penyakitnya dapat menyebabkan residu dalam jaringan- jaringan atau organ ternak yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya, yaitu dapat menyebabkan reaksi alergi atau resistensi dan kemungkinan menyebabkan keracunan. PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA DALAM BIDANG PETERNAKAN Semakin berkembangnya jenis antibiotika dalam bidang peternakan, terutama untuk meningkatakan produksi peternakan, maka para peternak perlu mengetahui cara- cara pemberian dan pemakaian macam antibiotika secara selektif dan sesuai dengan tujuan, seperti: 1. untuk pengobatan sehingga mengurangi resiko kematian dan mengembalikan kondisi ternak yang dapat berproduksi kembali (normal), juga mencegah tersebarnya mikroorganisme patogen keternak lainnya. 2. untuk memacu pertumbuhan (growth promotor), sehingga dapat mempercepat
pertumbuhan atau meningkatkan produksi hasil ternak serta mengurangi biaya pakan. Untuk memacu pertumbuhan biasanya antibiotika ditambahkan sebagai imbuhan pakan (feed additive) yang secara umum bermanfaat karena secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat gizi dalam pakan dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentukan asam amino. Jenis antibiotika yang digunakan pada ternak yaitu antibiotika khusus untuk bidang kedokteran hewan, diantaranya seperti penisilin, tetrasiklin serta antibiotika lain dengan preparat tertentu. Sedangkan penggunaan jenis antibiotika lain yaitu antibiotika yang dapat dipergunakan baik di bidang kedokteran hewan maupun untuk manusia. DAMPAK RESIDU ANTIBIOTIKA DALAM PRODUK PETERNAKAN TERHADAP KESEHATAN Pemakaian antibiotika sebagai pengobatan atau terapi atau sebagai imbuhan pakan seperti telah disebutkan diatas dapat meningkatkan produksi ternak sehingga dapat mengejar target yang diinginkan bagi para peternak. Tetapi disisi lain pemakaian antibiotika dapat menyebabkan beberapa masalah, apabila pemberian antibiotika tidak beraturan yang dapat menyebabkan residu dalam jaringanjaringan atau organ hewan. Kemudian residu ini dapat membahayakan bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya yang dapat menyebabkan reaksi alergi yaitu dapat mengakibatkan peningkatan kepekaan, kemudian reaksi resistensi akibat mengkonsumsi dalam konsentrasi rendah dalam jangka waktu yang lama. Dengan bahayanya efek residu terhadap kesehatan, maka ada ketentuan nilai Batas Maksimum Residu (BMR) dalam produk ternak untuk masing- masing antibiotika yang berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI, 2001). Pada ketentuan SNI tertera daftar jenis antibiotika dan metabolitnya, serta diikuti dengan nilai BMR dalam masing-masing produk ternak (daging, susu dan telur). Dengan adanya ketentuan ini dapat mengetahui efek
49
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
keberadaan residu dalam produk ternak, apakah masih aman untuk dikonsumsi apabila dibawah nilai BMR atau berbahaya bagi kesehatan manusia, apabila kandungan residu sudah melewati nilai BMR. Kemudian ada juga ketentuan nilai BMR menurut The European Union (EU) (1995), yang ketentuan nilai BMR nya sedikit berlainan, misalnya untuk antibiotika spiramisin dengan nilai BMR 0,2 mg/kg, sedangkan menurut SNI (2001), nilai BMR untuk spiramisin: 0,05 mg/kg. Untuk mengetahui sejauhmana kandungan residu antibiotika dalam produk ternak, maka ada beberapa teknik analisis residu antibiotika dalam susu, telur dan daging dengan mempergunakan instrument atau alat, disamping pemeriksaan dengan uji mikrobiologi. ANALISIS RESIDU ANTIBIOTIKA DALAM PRODUK PETERNAKAN Beberapa macam alat untuk pemeriksaan residu dalam produk ternak, diantaranya adalah: High Pressure Liquid Chromatography (HPLC) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Hampir semua golongan antibiotika dapat dianalisis dengan mempergunakan alat ini, misalnya golongan makrolida, β laktam, khloramfenikol dan antibiotika lainnya. Thin Layer Chromatography (TLC) atau Khromatografi Lapis Tipis (KLT). Metoda ini kurang sensitif kualitatif/ semi kuantitatif) dibandingkan dengan KCKT (kuantitatif), tetapi pemeriksaan lebih cepat terutama dalam uji screening dari beberapa macam (golongan) antibiotika yang dapat dilakukan dalam satu kali analisis. Gas Chromatography (GC) atau Khromatografi Gas (KG), dapat dipergunakan untuk analisis antibiotika golongan khloramfenikol. Prinsip analisis residu antibiotika diperlukan 3 tahapan, yaitu:
50
Tahap ekstraksi, pemisahan antibiotika dari matriks lain (lemak, protein dsb) dengan bahan larutan buffer atau bahan organik lain (pelarut antibiotika) dengan cara pengocokan, biasanya menggunakan alat shaker atau vortex. Tahap pemurnian, kebanyakan dilakukan dengan teknik yang cepat dan efisien dalam pemakaian bahan kimia, yaitu teknik solid phase extraction (SPE), dengan mempergunakan catridge dan paling banyak menggunakan catridge C18. Tahap deteksi, yaitu hasil pemurnian diinjeksikan pada alat KCKT atau KG atau spotting pada plat KLT dan diikuti dengan injeksi larutan standar antibiotika sebagai pembanding dan larutan fase gerak yang spesifik tiap jenis antibiotika. Beberapa pemeriksaan residu antibiotika dengan cara cepat, uji screening berdasarkan hambatan mikroba dan telah dikembangkan untuk deteksi residu antibiotika dan golongan sulphonamida dalam jaringan yaitu Calf Antibiotic and Sulfonamide Test (CAST) dan Fast Antimicrobial Screen Test (FAST) yang masing- masing memerlukan waktu dalam 18 jam dan 6 jam (DEY et al., 2005). Gambaran residu antibiotika dalam produk peternakan (susu dan daging) Beberapa gambaran hasil pemeriksaan residu antibiotika dalam susu dan daging, diantaranya adalah hasil analisis residu Penisilin G dalam susu dan dilakukan pemeriksaan berdasarkan metoda menurut BOISON et al. (1994) (Tabel 2 dan 3). Kemudian hasil analisis residu golongan makrolida (spiramisin dan tilosin) dalam daging ayam dan dilakukan pemeriksaan berdasarkan modifikasi metoda menurut GAUGAIN dan ANGER (1999) dan DELEPIN et al. (1996) (Tabel 1 dan 4). Sedangkan hasil analisis residu antbiotika golongan tetrasiklin, dilakukan pemeriksaan berdasarkan metoda menurut OKA et al. (1995) (Tabel 5). Semua pemeriksaan dilakukan dengan mempergunakan alat KCKT dengan detektor ultra violet (UV).
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
Tabel 1. Residu tilosin dalam daging ayam asal peternakan daerah Bogor, Sukabumi, Tangerang dan pasar tradisional di Bogor No 1. 2. 3. 4.
Asal sampel Bogor Sukabumi Tangerang Pasar tradisional
Total sampel 8 9 8 8
Kisaran residu (ppm) Tt. Tt - 0,0845 Tt - 0,0042 Tt - 0,0061
Tt: tidak terdeteksi Sumber: LAPORAN PENELITIAN APBN 2002 Tabel 2. Residu penisilin G dalam susu asal Jakarta, Bogor dan Bandung No. 1. 2. 3.
Asal sampel Jakarta Bogor Bandung
Total sampel 8 8 9
Kisaran residu (ppm) Tt - 0,0002 Tt - 0,0016 Tt - 0,0002
Sumber: YUNINGSIH et al. (2002) Tabel 3. Residu spiramisin dalam daging ayam asal peternakan ayam broiler di Kabupaten Sukabumi, Tanggerang, Bogor dan pasar tradisional di Bogor No. 1. 2. 3. 4.
Asal sampel Sukabumi Tangerang Bogor Pasar tradisional Bogor
Total sampel 9 9 8 10
Kisaran residu (ppm) 0,0175 - 0,1805 0.0565 - 0,2670 Tt - 0,6098 0,0280 - 0,2286
Sumber: YUNINGSIH dan MURDIATI (2003) Tabel 4. Residu antibiotika pada susu asal Malang, Jawa Timur No.
Jenis antibiotika
BMR (ppb)
1. 2. 3. 4.
Penisilin G Tetrasiklin Oksitetrasiklin Khlotetrasiklin
100 50 50 50
Rataan dan kisaran antibiotika (ppb) Nongkojajar Ngantang Songgoriti 24,0 (tt - 38) 30,6 (tt - 39) 14,0 (tt - 14) 10,0 (tt - 30) 17,5 (tt - 86) 16,0 (tt - 42) 9,6 (tt - 40) 21,0 (tt - 163) 64,6 (3 - 153) 51,7 (tt - 131) 89,0 (tt - 113) 10,2 (6 - 121)
Sumber: LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN (2003)
Berdasarkan pengamatan dari kandungan residu antibiotika dalam susu dan daging, seperti tertera tabel di atas, maka kandungan residu dari beberapa jenis antibiotika tersebut ada yang dibawah ambang dan diatas ambang batas nilai BMR menurut SNI (2001). Hasil pengamatan untuk residu penisilin G (Tabel 2), dengan nilai BMR penisilin: 0,1 mg/kg (ppm) dalam susu, maka residunya masih dibawah ambang batas. Kemudian untuk antibiotika spiramisin menunjukkan beberapa sampel mengandung residu sudah melewati ambang
batas BMR, yaitu hampir 75% sampel (6 dari 36 sampel) dengan nilai BMR spiramisin dalam daging: 0,05 mg/kg.dan yang lainnya masih dibawah ambang batas (Tabel 3). Sedangkan menurut EU (1995), nilai BMR spiramisin dalam daging: 0,2 mg/kg, maka hanya 15% sampel (5 dari 36 sampel) mengandung residu sudah melewati ambang batas. Untuk pengamatan residu tilosin, menunjukkan semua sampel daging masih dibawah ambang batas (Tabel 1), karena nilai BMR tilosin dalam daging: 0,1 mg/kg. Begitu
51
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
juga hasil analisis residu tetrasiklin, oksitetrasiklin dan khlortetrasiklin terhadap semua sampel masih dibawah ambang batas (Tabel 4) karena nilai BMR golongan tetra dalam susu: 0,1 mg/kg. Sebagai gambaran residu antibiotika yang lain, hasil pemantauan residu antibiotika di 3 propinsi (Sumatra Barat, Riau dan Jambi) dari
tahun 1998- 2002 dan pemeriksaan dilakukan dengan metoda uji screening menggunakan kuman standar (uji mikrobiologi) terhadap antibiotika penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida dan golongan sulphonamida dalam daging, susu dan telur, seperti tertera pada Tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5. Total positif residu di 3 propinsi (Sumatra Barat, Riau dan Jambi) Tahun anggaran 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002
Jumlah sampel 173 238 200 174 304 1089
Penisilin 0 0 0 2 0 2 0,18%
Positip residu antibiotika Tetrasiklin Aminoglikosida 0 0 10 2 0 5 7 11 3 25 20 43 1,84% 3,95%
Sulphonamida 0 2 28 3 8 41 3,76%
Sumber: NUGROHO et al (2002)
Gambar 1. Kromatogram spiramisin pada KCKT dengan mempergunakan kolom phase terbalik C-18 dan fase gerak campuran larutan NaH2PO4 0,01M : CH3CN= 77:23 , p.H 2,5, dengan kecepatan aliran 1,5 ml/menit dan detector UV pada panjang gelombang 232 nm . Atas dan bawah adalah standar spiramisin dengan konsentrasi masing-masing 5 ppm dan 10 ppm
52
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
Jenis antibiotika golongan aminoglikosida dan golongan sulphonamida paling banyak digunakan dibandingkan dengan antibiotika penisilin dan terasiklin, kemudian tingginya jumlah sampel yang positif residu, maka mencerminkan tingkat pemakaian antibiotika sebagai salah satu sarana penting untuk pengobatan maupun sebagai pemacu pertumbuhan ternak. LANGKAH PENGAMANAN DALAM PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA Semakin besar peningkatan penggunaan antibiotika baik untuk pengobatan (terapi) maupun sebagai imbuhan pakan, maka semakin besar manfaat yang diperoleh dan semakin besar resiko dalam tercapainya keamanan pangan. Untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya dan meminimalkan resiko ini, maka penggunaan antibiotika dalam bidang peternakan, perlu langkah-langkah sebagai berikut (SRI DADI, 1990): Langkah pengamanan dalam penggunaan antibiotika dalam terapi penyakit infeksi Penggunaan antibiotika untuk terapi harus didasarkan atas diagnosa yang tepat dan penggunaannya lebih selektif, seperti: o pembatasan dalam pemakaiannya o pergiliran antibiotika yang dipakai o diversifikasi dengan memanfaatkan penemuan antibiotika yang baru o kombinasi antibiotika yang telah teruji Langkah pengamanan dalam penggunaan antibiotika dalam profilaksis o pengobatan dan pencegahan penyakit dilakukan pada saat sapi dikeringkan dengan dosis yang lebih besar, sehingga terhindar terjadinya residu pada saat laktasi. Sebagai contoh dalam pengobatan penyakit mastitis. o peningkatan kebersihan kandang dan perbaikan manegemen dapat mengurangi penggunaan antibiotika dan mengurangi infeksi silang.
o menyediakan preparat antibiotika yang khusus untuk obat hewan, tidak digunakan pengobatan untuk manusia. Langkah pengamanan dalam penggunaan antibiotika sebagai pemicu pertumbuhan (growth promotor), maka perlu dipertimbangkan hal- hal sebagai berikut: o adanya standarisasi pemakaian antibiotika sebagai imbuhan pakan o diberikan informasi yang jelas mengenai withdrawal time period untuk masing- masing antibiotika yang digunakan. o dilakukan pemantauan terhadap adanya bakteri- bakteri yang resisten. o diberikan informasi tentang daya kerja antibiotika untuk mengurangi dampak residu o upaya untuk mencari withdrawal time yang pendek dari macam antibiotika yang digunakan. Langkah- langkah yang telah disebutkan di atas, dapat terlaksana dengan baik apabila para tenaga lapangan dari Dinas Peternakan atau dari perusahaan swasta ikut partisipasi dalam membantu untuk memberikan informasi atau pengawasan dalam penggunaan antibiotika. Pengawasan atau kontrol residu antibiotika dalam produk ternak, terutama untuk susu dan daging yang diolah (prosesing), perlu penerapan HAACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), salah satu sistim manajemen keamanan pangan yang merupakan antisipasi adanya residu antibiotika dapat dilakukan dengan kontrol terhadap bahan baku, sehingga dapat dilakukan pencegahan dengan menolak bahan baku yang mengandung residu antibiotika. Seperti telah dilaporkan oleh MURDIATI et al. (2004), penerapan HACCP pada produksi susu pasturisasi dengan melakukan kontrol pada beberapa titik dalam rantai prosesing dan ditemukan adanya residu penisilin dalam bahan baku yang digunakan. KESIMPULAN Berdasarkan pengamatan residu antibiotika dari sampel susu dan daging asal beberapa daerah dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan residu antibiotika (Penisilin G, tilosin, spiramisin dan tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin) baik dalam
53
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
daging maupun dalam susu, sebagian besar masih di bawah ambang batas nilai BMR, walaupun ada beberapa sampel mengandung residu sudah melewati ambang batas (spiramisin) dan sudah saatnya perlu penerapan HACCP untuk memperoleh produk yang lebih bermutu dan lebih aman bagi konsumen. DAFTAR PUSTAKA BOISON, J. O., LILY J, Y. KENG dan D. MACNEIL. 1994. Analysis of penicillin G in milk by liquid chromatography. J. AOAC International. 77(3)565-570. BURCH, D. 2005. Problems of antibiotic resistance in pigs in the UK. In Practice. 27. p. 37-42. COMMITTEE for VETERINARY MEDICINAL PRODUCTS. 1995. Record of the working group on the safety of residues. Unpublished data. DEY, B. P., N. H. THAKER, SUSAN, A. BRIGHT dan A. M. THALER. 2005. Fast antimicrobial screen test (FAST): Improved screen test for detecting antimicrobial residues in meat tissue. J. AOAC International. 88(2)447. DEY, B. P.,R. P. REAMER, N. H. THAKER dan A. M. THALER. 2005. Calf antibiotic and sulfonamide test (CAST) for screening antibiotic and sulfonamide residues in calf carcasses. J. AOAC International. 88(2)440. DELEPIN, B., D.H. PESSEL dan P. SANDERS. 1996. Multiresidue method for confirmation of macrolide antibiotics in bovine muscle by liquid chromatography/mass spectrometry. J. AOAC. 79(2)397-404. GAUGAIN, M. J. dan ANGER, B. 1999. Multiresidu chromatographic method for the detremination of macrolide residues in muscle by high performance liquid chromatography with UV detection. J. AOAC. 82(5)1046-1053. LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN. 2003. Penelitian cemaran kimia dan mikroba pada susu segar di Malang serta sumber-sumber pencemarannya. Balitvet. Bogor.
54
LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN. 2002. Laporan kegiatan penelitian: Deteksi residu antibiotika golongan makrolida dalam produk hewan. Balitvet. Bogor. MURDIATI, T.B., A. PRIADI, S. RACHMAWATI dan YUNINGSIH. 2004. Susu pasturisasi dan penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Point). JITV. 9(3)172-180. NOGROHO, R.H., YULFITRIA, H. B. SOSIAWAN dan NOVIARTI. 2002. Cemaran Residu Antibiotika Dalam Bahan Pangan Asal Hewan Di Wilayah Kerja BPPV Regional II Bukittinggi. Periode 1997- 2002. Bulletin Informasi Kesehatan Hewan. 4(64)2002. OKA, H, H. NAKAZAWA, K. HANADA dan J. D. MAC NEIL. 1995. Chemical analysis of macrolide antibiotics. chemical analysis for antibiotics used in a Agriculture. 165-205. OKA, H, H. NAKAZAWA, K. HANADA dan J. D. MAC NEIL. 1995. Chemical analysis of tetracycline antibiotics. Chemical Analysis for Antibiotics Used in Agriculture. 333-406. SNI. 2001. Batas baksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. SRI
DADI, W. 1990. Tinjauan penggunaan antibioitka di Indonesia saat ini dan yang akan datang. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Penggunaan Antibiotika dalam Bidang Kedokteran Hewan. PDHI. Jakarta. hal. 1- 11.
YUNINGSIH dan T.B. MURDIATI. 2003. Analisis residu antibiotika spiramisin dalam daging ayam secara khromatografi cair kinerja Tinggi (KCKT). Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor. YUNINGSIH, T.B. MURDIATI dan H.YUSRINI. 2002. Analisis residu antibitotika penisilin G dalam susu dengan teknik solid phase extraction (SPE) dan KCKT dengan detektor Ultra Violet. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor.
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
Gambar 1 : Kromatogram spiramisin pada KCKT dengan mempergunakan kolom phase terbalik C-18 dan fase gerak campuran larutan NaH2PO4 0,01M : CH3CN= 77:23 , p.H 2,5, dengan kecepatan aliran 1,5 ml/menit dan detector UV pada panjang gelombang 232 nm . Atas dan bawah adalah standar spiramisin dengan konsentrasi masing-masing 5 ppm dan 10 ppm
55