Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
RESIDU PESTISIDA PADA SUSU SEGAR: SUMBER PENCEMARAN DAN ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA (Pesticides Residue in Dairy Milk: Source of Contamination and Alternative Prevention) INDRANINGSIH Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor ABSTRACT Milk is an important products for public health in particular for young age. However, it tends to become a carrier for various pathogens and toxicants. The purpose of this study was to identify the source of pesticide contamination in dairy milk and to develop preventive measures. The study was conducted in Pangalengan, West Java where dairy farms commonly use by-product of vegetables as an additional feed. Off the 20 milk samples, three pesticides were commonly detected including lindane (0.01 – 3.6 ppb), heptachlor (0.03 – 3.0 ppb) and diazinon (0.4 – 7.1 ppb). Organochlorines (OC) appeared frequently detected than organophosphates (OP). Lindane and heptachlor were detected in all contamination routes from the matrices to milk. Feed were contaminated by lindane (0.2 – 20.6 ppb) and heptachlor (0.3 – 402 ppb). Soils were contaminated by lindane (1.27 – 3.96 ppb), heptachlor (0.13 – 1.67 ppb) and diazinon (6,5 – 13,8 ppb) and water contained lindane (0.005 – 0.032 ppb) and heptachlor (0.0034 – 0.0113 ppb). Pesticide residues were minimized by introducing an integrated organic farming system between vegetables – livestock. The organic farming appeared capable to reduce pesticide residues in milk and vegetables compared to the conventional farming. Lindane was detected in milk of cattle fed on conventional cabbage for 7 days subsequently, including 75.7 ppb (day-0); 44.9 ppb (day-1); 10.2 ppb (day-7); but not on day-15. In contrast, the residues were not detected from dairy milk of cattle fed on by-products of organic cabbage. Lindane (3.4 ppb) was detected from conventional cabbages but not organic cabbages. Keywords: Residues, pesticides, milk, vegetables ABSTRAK Susu adalah produk peternakan yang dibutuhkan untuk kesehatan masyarakat khususnya pada usia dini, tetapi rentan terhadap berbagai patogen dan senyawa toksik. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari sumber pencemaran pestisida pada susu segar dan minimalisasi residu pada susu. Penelitian ini dilakukan di Pangalengan, Jawa Barat tempat peternak sering memanfaatkan limbah hasil sayuran sebagai pakan tambahan. Dari 20 sampel susu segar sebanyak 3 jenis pestisida terdeteksi yakni lindan (0,01 – 3,6 ppb), heptakhlor (0,03 – 3,0 ppb) dan diazinon (0,4 – 7,1 ppb). Residu golongan organokhlorin (OC) lebih sering terdeteksi dibanding organofosfat (OP). Lindan dan heptakhlor terlihat dapat terdeteksi pada seluruh jalur pencemaran dari matriks lingkungan sampai susu. Pada pakan ternak terdeteksi lindan (0,2 – 20,6 ppb) dan heptakhlor (0,3 – 40,2 ppb) dan pada tanah terdeteksi lindan (1,27 – 3,96 ppb), heptakhlor (0,13 – 1,67 ppb) dan diazinon (6,5 – 13,8 ppb), serta pada air terdeteksi lindan (0,005 – 0,032 ppb) dan heptakhlor (0,0034 – 0,0113 ppb). Untuk mengurangi residu pestisida pada susu maka pola pertanian organik diintroduksi pada kegiatan integrasi sayuran – peternakan sapi perah. Pola pertanian organik tampaknya mampu mengurangi residu pestisida pada susu segar maupun sayuran dibanding pola konvensional. Residu lindan terdeteksi pada susu segar yang diberi pakan limbah kol konvensional selama 7 hari yaitu 75,7 ppb (hari-0); 44,9 ppb (hari1); 10,2 ppb (hari-7); dan tidak terdeteksi pada hari-15. Sebaliknya residu pestisida tidak terdeteksi pada susu segar yang diberi limbah kol organik. Residu lindan (3,4 ppb) terdeteksi pada kol konvensional tetapi tidak pada kol organik. Kata kunci: Residu, pestisida, susu, sayuran
294
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
PENDAHULUAN Susu adalah salah satu produk ternak andalan yang berperan penting dalam kesehatan masyarakat, khususnya untuk usia dini. Kandungan nutrisi yang sangat tinggi, menyebabkan produk susu sangat dibutuhkan untuk masa pertumbuhan. Namun, susu sangat rentan terhadap berbagai agen penyakit dan kontaminan berbahaya yang mungkin terbawa melalui mata rantai makanan yang dikenal sebagai penyakit yang dihantarkan oleh pangan (food borne disease). Salah satu kontaminan berbahaya adalah pestisida yang mungkin terdeteksi dari susu sebagai residu (INDRANINGSIH et al., 1999; KISHI et al., 1995; MAITHO et al., 1992). Penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian, ternyata diikuti oleh berbagai reaksi alam seperti penurunan daya dukung lahan, pencemaran lingkungan, keracunan dan residu pada produk pertanian dan peternakan. Pestisida ternyata memiliki beberapa kelemahan berupa efek samping terhadap kesehatan manusia dan hewan non-target. Penggunaannya yang berlebihan dan tidak mengikuti aturan pakai dapat menimbulkan resistensi agen penyakit terhadap pestisida, residu pada produk pangan dan gangguan kesehatan masyarakat seperti keracunan, imunosupresi dan kanker (GOEBEL et al., 1982; VARSHEYA et al., 1988). Keracunan pestisida pada sapi dilaporkan terjadi di Jawa Barat (INDRANINGSIH, 1998; SANI dan INDRANINGSIH, 2005) disebabkan oleh pestisida golongan organophosphate (OP). Sementara itu berbagai jenis residu pestisida juga terdeteksi pada produk susu di beberapa negara termasuk Indonesia (WALISZEWSKI et al., 2003; INDRANINGSIH et al., 1999; 2003; RIVAS et al., 2007; IBRAHIM et al., 1994; RUTHERFORDS et al., 2000). INDRANINGSIH et al., 1999 dan 2003 melaporkan keberadaan residu pestisida pada susu yang dilakukan melalui survei lapangan antara tahun 1999 dan 2003. Dari survei tersebut terdeteksi beberapa jenis pestisida golongan organochlorine (OC) dan OP. Jenis pestisida yang terdeteksi umumnya terdiri dari lindan (tt – 71,2 ppb), heptakhlor (tt – 60,3 ppb), endosulfan (tt – 4,3 ppb), diazinon (tt – 239 ppb) dan khlorpirifos metil (tt – 6,61 ppb). Konsentrasi residu beberapa pestisida
dilaporkan melebihi batas maksimum residu yang ditetapkan oleh STANDAR NASIONAL INDONESIA (2001), antara lain diazinon dan heptakhlor. Keberadaan residu pestisida di dalam susu segar perlu mendapat perhatian bagi semua pihak, mengingat bahaya yang dapat ditimbulkannya terhadap kesehatan masyarakat seperti reaksi alergis, immunosupresi, resistensi agen penyakit dan karsinogenik (GOEBEL et al., 1982; VARSHEYA et al., 1988). Disamping itu, produk susu umumnya dikonsumsi oleh anak-anak dalam masa pertumbuhan yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit. Oleh karena itu, penelitian ini membahas hasil identifikasi kontaminasi pestisida dalam susu segar dan sumber-sumber timbulnya residu pestisida di dalam susu, serta upayanya untuk meminimalisasi residu tersebut. MATERI DAN METODA Identifikasi sumber dan jenis residu pestisida pada susu sapi Identifikasi sumber pencemaran residu pestisida dalam susu segar dilakukan disekitar lokasi peternakan sapi perah di Pangalengan (Jawa Barat). Sampel analisis terdiri dari susu segar, hijauan pakan ternak, limbah sayuran, tanah dan air. Limbah sayuran dianalisis dalam penelitian ini karena sering dimanfaatkan oleh peternak sebagai pakan tambahan selain rumput-rumputan. Deteksi residu pestisida dalam susu segar menggunakan gas chromatography (GC) – electron capture detector (ECD). Analisis residu pestisida pada susu segar Residu pestisida dalam susu dianalisis dengan menggunakan gas chromatography (GC), mengikuti metoda SCHENCK dan WAGNER (1995). Sebanyak 5 ml susu diekstraksi dengan pelarut organik (petroleum eter, aseton, metanol dan asetonitril) dan dimurnikan dengan menggunakan cartridge SepPak C18 dan kolom florisil. Selanjutnya residu pestisida dideteksi dengan gas chromatography dengan electron capture detector(GC-ECD).
295
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Analisis residu pestisida pada pakan ternak, hijauan dan tanah Residu pestisida pada pakan ternak dan hijauan dianalisis dengan menggunakan GC berdasarkan metoda yang dikembangkan oleh CASANOVA (1996). Sebanyak 10 gram sampel diekstraksi dengan pelarut organik (aseton, diklorometan, asetonitril dan heksan) dan dimurnikan dengan menggunakan cartridge SepPak C18 dan kolom florisil. Selanjutnya residu dideteksi dengan GC-ECD seperti diatas. Analisis cemaran residu pestisida pada air Analisis residu pestisida di dalam sampel air dilakukan dengan mengikuti metoda analisis yang disampaikan oleh ASSOCIATION of ANALYTICAL CHEMISTRY/AOAC (1980). Sebanyak 50 ml sampel air dilarutkan dengan pelarut organik (eter dan petroleum eter, 1 : 4) dan dipisahkan dengan menggunakan corong pemisah. Kemudian dimurnikan dengan kolom florisil. Residu pestisida dideteksi dengan GCECD. Kondisi operasional GC (Varian Model 3700) adalah dengan kolom kaca ukuran diameter ¼ panjang 2 m berisi campuran 1,5% OV-17 dan 1,95% OV-210 pada suhu injektor 2400C, kolom 220ºCdan detektor 3000C. Kecepatan aliran gas nitrogen adalah 40 ml/ menit. Limbah kol organik sebagai pakan tambahan sapi perah Sepuluh sapi perah Frisian Holstein (FH) milik peternak setempat digunakan dalam percobaan ini. Sapi dibagi ke dalam 2 kelompok perlakuan masing-masing 5 ekor: kelompok-1 pemberian pakan limbah kol organik dan kelompok-2 pemberian pakan limbah kol konvensional. Limbah kol diperoleh dari petani sayur setempat dan diberikan kepada sapi perah sebanyak 5 kg/ekor/hari selama 7 hari berturut-turut. Untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak, rumput gajah tersedia secara ad libitum selama percobaan. Analisis residu pestisida dalam susu dilakukan pada hari ke-0 (sebelum percobaan); ke-1 dan 7 (selama percobaan); dan 15 (setelah
296
percobaan). Uji tampilan susu dilakukan 2 hari sebelum percobaan, setiap hari selama 7 hari percobaan, dan setiap hari selama 14 hari setelah pemberian pakan limbah kol dihentikan terhadap perubahan aroma dan warna susu. Teknik analisis residu pestisida mengikuti metoda seperti tersebut diatas. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi residu pestisida pada susu segar di Pangalengan Tabel 1 merupakan hasil analisis residu pestisida pada 20 sampel susu segar yang dikoleksi dari sapi perah milik peternak setempat. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdeteksi beberapa jenis residu pestisida baik golongan OC (lindan dan heptakhlor) maupun OP (diazinon). Rataan residu diazinon (1,09 ppb) terlihat lebih tinggi dibanding heptakhlor (0,77 ppb) dan lindan (0,41 ppb), namun jumlah sampel positip terlihat lebih tinggi pada pestisida golongan OC dibanding OP dengan perbandingan 100 : 30%. Sementara itu kisaran residu OC mencapai 0,04 – 6,6 ppb dan OP sebesar 0,4 – 7,1 ppb. Meskipun kandungan residu pestisida tersebut masih berada dibawah batas maksimum residu (BMR), keberadaan residu OC perlu mendapatkan perhatian mengingat sifat karsinogenitas dan imunosupresif (GOEBEL et al., 1982; VARSHEYA et al., 1988) serta kedua jenis pestisida (lindan dan heptakhlor) tersebut telah dilarang penggunaannya untuk kegiatan pertanian sejak tahun 80-an (MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, 2001). Keberadaan diazinon (0,4 - 7,1 ppb) di dalam susu kemungkinan disebabkan adanya penyemprotan pestisida yang mengandung diazinon pada saat sapi perah dalam keadaan laktasi, dimana diazinon tersebut digunakan sebagai insektisida untuk nyamuk dan lalat. Pestisida golongan OP masih digunakan dalam kegiatan pertanian, namun senyawaan ini diketahui mudah terurai dan larut dalam air (MATSUMURA, 1973). Oleh karena itu, keberadaan residu diazinon dalam susu kemungkinan terjadi melalui kontak langsung.
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Tabel 1. Residu pestisida pada susu segar di Pangalengan Konsentrasi (ppb)
Pestisida
BMR (ppm)
Positip (%)
Rata-rata
Kisaran
Lindan Heptakhlor Endosulfan Aldrin DDT Diazinon Khlorpirifos metil
0,01 0,06 0,2 0,008 0,05 0,02 0,01
95 95 0 0 0 30 0
0,41 0,77 0 0 0 1,09 0
0,01 - 3,6 0,03 - 3,0 0 0 0 0,4 - 7,1 0
OC
OP
Golongan pestisida Positip Rata-rata Kisaran (%) (ppb) (ppb) 100 1,22 0,04 - 6,6
30
1,09
0,4 - 7,1
Keterangan: BMR = Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura dan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1997 Batas Maximum Residu ( SKB No. 881/Menkes/SKB/1996) ppm : part per million ppb : part per billion
Tabel 2. Residu pestisida pada pakan ternak di Pangalengan Pestisida Lindan Heptakhlor Endosulfan Aldrin DDT Diazinon Khlorpirifos metil
Konsentrasi (ppb)
Positip (%)
Rata-rata
73,3 53,3 0 20 0 0 33,3
8,74 3,61 0 17,45 0 0 43,18
Golongan
Kisaran 0,2 - 20,6 OC 0,3 - 40,2 0 0,2 - 224,3 0 0 OP 78,5 - 284,6
Positip (%) 73,3
33,3
29,79
Kisaran (ppb) 0,4 - 264,5
43,18
78,5 - 284,6
Rata-rata (ppb)
Keterangan: ppb = part per billion
Identifikasi residu pestisida pada pakan ternak perah di Pangalengan Pakan ternak dapat bertindak sebagai sumber pencemaran pestisida maupun sebagai penghantar cemaran yang mengakibatkan timbulnya residu pestisida pada produk ternak seperti susu. Tabel 2 menggambarkan hasil analisis residu pestisida pada hijauan pakan ternak yang terdiri dari rumput dan limbah hasil pertanian di Pangalengan – Jawa Barat, terdeteksi 3 jenis pestisida golongan OC (lindan, heptakhlor dan aldrin) dan satu jenis OP (khlorpirifos metil) dengan kisaran masingmasingnya adalah 0,2 – 20,6 ppb (lindan); 0,3 – 40,2 ppb (heptakhlor); 0,2 – 224,3 ppb (aldrin); dan 78,5 – 284,6 ppb (khlorpirifos metil). Dua diantaranya yaitu lindan dan heptakhlor terdeteksi pada susu dan pakan, sebagai residu dengan konsentrasi rata-rata yang lebih tinggi yaitu 8,74 ppb (lindan) dan
3,61 ppb (heptakhlor) dibanding susu. Dalam hal ini terlihat bahwa pakan ternak (rumput atau hijauan lain) yang diberikan kepada sapi perah tersebut diperkirakan sebagai sumber terjadinya residu lindan dan heptakhlor pada susu sapi. Keberadaan aldrin (golongan OC) pada pakan ternak dengan kisaran 0,2 – 224,3 ppb kemungkinan disebabkan adanya penggunaan aldrin secara ilegal dan penggunaan yang berlebihan pada masa lalu sebelum dikeluarkan larangan penggunaan jenis pestisida ini sehingga terdapat sisa residu pada matriks lingkungan khususnya tanah. Sebaliknya tidak terdeteksinya aldrin pada susu sapi yang mendapatkan pakan tercemar aldrin, kemungkinan aldrin atau metabolitnya terdeposit pada jaringan lemak selain lemak susu dimana pada penelitian ini tidak melakukan analisis residu pestisida pada jaringan lemak.
297
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
isamping itu, residu khlorpirifos metil (golongan OP) pada pakan ternak yang berkisar 78,5 - 284,6 ppb menunjukkan terdapat kecenderungan petani memilih penggunaan pestisida golongan OP dalam kegiatan pertanian mengingat banyaknya pestisida golongan OC yang telah dilarang penggunaan dan peredarannya dilingkup pertanian. Sementara itu, golongan pestisida ini tidak terdeteksi pada susu sapi karena mudah terurainya senyawaan ini pada lingkungan baik air dan sinar matahari/pemanasan (MATSUMURA, 1973). Identifikasi residu pestisida pada matrik lingkungan (tanah dan air) sekitar lokasi peternakan Pada tanah terdeteksi kedua golongan pestisida, namun pestisida golongan OC merupakan cemaran yang dominan terdeteksi dibanding golongan OP dengan perbandingan 100 : 80% sampel positip (Tabel 3). Untuk golongan OC, konsentrasi residu tertinggi
terjadi pada lindan dengan rataan konsentrasi sebesar 2,30 ppb, yang kemudian diikuti secara berurutan oleh aldrin (1,04 ppb); heptakhlor (0,50 ppb); dan endosulfan (0,33 ppb). Sementara itu untuk golongan OP, konsentrasi residu tertinggi terdapat pada khlorpirifos metil (5,73 ppb) dan diikuti oleh diazinon (4,06 ppb). Namun rataan konsentrasi residu pestisida golongan OP (9,79 ppb) lebih tinggi dibanding golongan OC (4,17 ppb). Terdeteksinya beberapa residu pestisida golongan OC pada tanah seperti lindan, aldrin, heptakhlor dan endosulfan yang penggunaan dan peredarannya untuk kegiatan pertanian telah dihentikan sejak tahun 80-an (MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, 2001) kemungkinan adanya penggunaan pestisida tersebut secara ilegal atau akibat penggunaan yang berlebihan pada masa lalu. Sebaliknya rataan konsentrasi residu golongan OP lebih tinggi dibanding OC menunjukkan petani mulai menggunakan pestisida golongan OP untuk kegiatan pertaniannya, karena terbatasnya ketersediaan pestisida golongan OC.
Tabel 3. Residu pestisida pada tanah di Pangalengan Pestisida Lindan Heptakhlor Endosulfan Aldrin DDT Diazinon Khlorpirifos metil
Konsentrasi (ppb)
Positip (%)
Rata-rata
100 100 20 100 0 40 80
2,30 0,50 0,33 1,04 0 4,06 5,73
Kisaran 1,27 - 3,96 OC 0,12 - 1,67 tt - 1,64 0,65 - 1,61 tt 6,5 - 13,8 OP 0,01 - 12,94
Golongan Rata-rata Positip (%) (ppb) 100 4,17
80
9,79
Kisaran (ppb) 2,05 - 5,71
6,2 - 26,74
Keterangan: ppb = part per billion
Selanjutnya pada air (Tabel 4), hanya pestisida golongan OC yang terdeteksi yaitu lindan, heptakhlor dan aldrin dengan kisaran sebesar 2,05 – 5,71 ppb. Rataan konsentrasi OC (0,305 ppb) pada air lebih rendah daripada rataan konsentrasi OC (4,17 ppb) pada tanah. Sementara itu cemaran pestisida golongan OP
298
tidak terdeteksi pada sampel air tersebut. Kondisi ini diperkuat oleh laporan MATSUMURA (1973) bahwa OP merupakan senyawaan yang mudah terdegradasi oleh faktor pemanasan, sinar matahari dan larut dalam air.
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Tabel 4. Residu pestisida pada air di Pangalengan Pestisida Lindan Heptakhlor Endosulfan Aldrin DDT Diazinon Khlorpirifos metil
Positip (%) 87,5 25 0 50 0 0 0
Konsentrasi (ppb) Rata-rata Kisaran 0,015 0,005 - 0,032 OC 0,002 0,003 - 0,011 0 tt 0,288 0,003 - 1,37 0 tt 0 tt OP 0 tt
Konsentrasi per golongan (ppb) Positip (%) Rata-rata Kisaran 87,5 0,305 0,005 - 1,387
0
0
0
Keterangan: tt = tidak terdeteksi ppb = part per billion
Limbah kol organik sebagai pakan tambahan sapi perah Limbah sayuran sering dimanfaatkan sebagai pakan hijauan tambahan untuk ternak perah oleh peternak setempat. Pada Tabel 5 terlihat bahwa hanya residu lindan (tt – 0,2 ppb) yang terdeteksi dari limbah kol organik. Rataan residu pada limbah kol organik (0,05 ppb) lebih rendah dibanding limbah kol konvensional (0,75 ppb). Hal ini menunjukkan bahwa tanah pada lahan penanaman kol masih tercemar oleh lindan yang kemungkinan disebabkan karena penggunaan secara berlebihan senyawaan ini pada masa lampau. Selain residu lindan, diazinon dan chlorpyriphosmethyl (CPM) juga terdeteksi pada limbah kol konvensional. Pengaruh pemberian limbah kol organik dan non-organik terhadap kualitas susu terlihat pada Tabel 6 dan 7. Limbah kol (organik dan non-organik) diberikan kepada sekelompok sapi perah selama 7 hari berturut-turut secara ad libitum. Hasil penelitian ini terlihat hanya
lindan yang terdeteksi dari susu sapi yang diberi pakan limbah kol non-organik dampai tujuh hari setelah pemberian pakan limbah kol yaitu 75,7 ppb (pada akhir percobaan); 49,6 ppb (hari ke-1); dan 10,2 ppb (hari ke-7) dan tidak terdeteksi pada hari ke-15. Sebaliknya pada kelompok sapi yang diberi pakan kol organik tidak terdeteksi adanya residu pestisida pada susu yang dihasilkan selama 15 hari pengamatan. Pemberian pakan limbah kol kepada sapi perah laktasi dapat mempengaruhi penampilan susu yang dihasilkan terutama perubahan warna dan aroma susu (Tabel 7). Aroma susu berubah menjadi aroma yang menyerupai bau kol selama 1 hari setelah akhir pemberian pakan kol dan selanjutnya aroma kol tersebut menghilang pada hari ke-2 hingga akhir percobaan. Begitupula pada warna susu mengalami perubahan menjadi bewarna hijau pucat selama 7 hari setelah akhir pemberian pakan kol.
Tabel 5. Residu pestisida pada limbah kol organik dan konvensional di Pangalengan Pestisida Lindan Heptakhlor Endosulfan Aldrin DDT Diazinon Khlorpirifos metil
Kol organik (ppb) Positip (%) Rata-rata Kisaran 25 0,05 tt – 0,2 0 tt tt 0 tt tt 0 tt tt 0 tt tt 0 tt tt 0 tt tt
Kol konvensional (ppb) Positip (%) Rata-rata Kisaran 100 0,74 0,006 – 2,29 0 tt tt 0 tt tt 0 tt tt 0 tt tt 50 2,51 1,05 – 10,5 41,7 5,24 1,32 – 25,0
Keterangan: tt = tidak terdeteksi ppb = part per billion
299
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Tabel 6. Residu pestisida pada susu sapi perah yang diberi pakan limbah kol No
Jenis pestisida
1. 2. 3. 4.
Lindan Endosulfan DDT Heptakhlor
0 tt tt tt tt
Residu pestisida pada susu (ppb) Pakan limbah kol organik Pakan limbah kol konvensional 1 7 15 0 1 7 15 tt tt tt 75,7 49,6 10,2 tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt
Keterangan: tt = tidak terdeteksi ppb = part per billion
Tabel 7. Perubahan warna dan aroma pada susu sapi perah yang diberi pakan limbah kol Jenis pestisida Aroma Warna
Kelompok perlakuan Kol organik (n = 5) Kol konvensional (n = 5) Kol organik (n = 5) Kol konvensional (n = 5)
Penggunaan pestisida dalam membasmi hama penyakit tanaman dan meningkatkan produktivitas pertanian ternyata menimbulkan dampak terhadap lingkungan, kualitas produk pangan dan kesehatan manusia maupun hewan seperti pencemaran lingkungan (ROSE et al., 2003; NTOW, 2003), residu pada pangan (SOEJITNO, 2002; INDRANINGSIH dan SANI, 2004; DARKO dan ACQUAAH, 2008) dan keracunan (SANI dan INDRANINGSIH, 2005). Sehubungan pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat dan ternak, maka pendekatan alternatif diperlukan untuk mengembangkan pola pengendalian dan minimalisasi residu pestisida pada produk ternak khususnya susu. Penelitian ini telah memperlihatkan terdeteksi cemaran pestisida golongan OC yang terdiri dari lindan, heptakhlor, endosulfan dan aldrin pada tanah lahan penanaman sayuran di Pangalengan (Tabel 1), begitupula dengan cemaran pestisida OP seperti khlorpirifos metil. Terdeteksinya cemaran pestisida pada tanah tersebut dianggap sebagai sumber pencemaran pada produk susu segar. Keberadaan cemaran pestisida golongan OC disebabkan karena penggunaan yang berlebihan pada masa lalu atau adanya peredaran ilegal dari pestisida tersebut, mengingat hampir seluruh jenis pestisida golongan OC telah dilarang penggunaannya untuk kegiatan pertanian (MENTERI PERTANIAN
300
0 -
1 + (5) + (5) + (5) + (5)
Aroma dan warna 7 8 + (5) + (5) -
10 -
15 -
REPUBLIK INDONESIA, 2001). Dua jenis pestisida golongan OC yaitu lindan dan heptakhlor secara konsisten terdeteksi baik pada matriks lingkungan (tanah dan air), pakan ternak dan susu segar yang terletak pada lokasi yang sama. Kedua senyawaan tersebut diperkirakan terbawa oleh air irigasi dan angin baik sewaktu penyemprotan tanaman maupun saat sebagai residu pada tanah. Pola pertanian organik ternyata mampu mengurangi residu pestisida pada produk pertanian maupun peternakan (susu). Residu pestisida tidak terdeteksi pada susu segar dari sapi yang diberi pakan limbah kol organik sebagai pakan tambahan dalam percobaan ini (Tabel 5). Namun pemberian pakan limbah kol kepada sapi perah ternayata mempengaruhi tampilan susu yang dihasilkan dalam 1 hari (perubahan aroma) dan 7 hari (perubahan warna). Oleh karena itu, sebaiknya pemberian limbah sayuran sebagai pakan tambahan sapi perah laktasi sebaiknya diberikan dalam jumlah tertentu (maksimum 5 kg/ekor/hari) dan tidak diberikan setiap hari secara berturut-turut. KESIMPULAN Dari tinjauan yang telah diuraikan disimpulkan bahwa tanah masih mengandung residu pestisida golongan organochlorine
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
(lindan dan heptaklor) dalam tingkat pencemaran part per billion (ppb) namun demikian perlu berhati-hati karena dapat mencemari produk pertanian dan peternakan, yang dapat berefek pada konsumen karena sifat karsinogenik dan imunosupresif. Untuk minimalisasi residu pestisida, maka pertanian organik telah terbukti dapat mengurangi residu tersebut. DAFTAR PUSTAKA
Sehat Melalui Pemberdayaan Masyarakat, ITB Bandung. 231–238. INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI, YUNINGSIH, E. MASBULAN, Y. SANI and G.A. BONWICK. 2003. Organic farming system in supporting milk production of pesticides contamination free. In 21st ASEAN/3rd APEC Seminar on Postharvest Technology (abstract). INDRANINGSIH dan Y. SANI. 2004. Residu pestisida pada produk sapi: Masalah dan alternatif penanggulangannya. Wartazoa 14: 1–13.
KISHI, M., N. HIRSCHHORN, M. DJAJADISASTRA, ASSOCIATION of ANALYTICAL CHEMISTRY. 1980. Official methods of analysis. Ed. by W. HOWITZ. AOAC. P. 518. CASANOVA, P.J. 1990. Use of solid phase extraction disks for analysis of moderately polar and non-polar in high moisture foods. J. AOAC Int. 79(4): 936–940. DARKO, G., and S.O. ACQUAAH. 2008. Levels of organochlorine pesticides residues in dairy products in Kumasi, Ghana. Chemosphere 71: 294–298. DIREKTORAT JENDRAL TANAMAN PANGAN dan HORTIKULTURA, DIREKTORAT BINA PERLINDUNGAN TANAMAN. 1997. Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman & Keputusan Bersama Menteri Kesehatan Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No. 881/Menkes/SKB/ VIII/1996. dan No 711/Kpts/TP.270/8/96 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian.
L.N. SATTERLEE, S. STROWMAN and R. DILTS. 1995. Relationship of pesticide spraying to signs and symptoms in Indonesian farmers. Scand J. Work Environ. Health 21(2): 124– 133. MAITHO, T. 1992. A study of pesticide residues in bovine fat from Kenya. Zimbabwe Vet. J. 23(2): 67–71. MATSUMURA, F. 1973. Degradation of pesticides residues in the environment. In Environmental Pollution by Pesticides. Edward, CA (ed). Plenum Press. London. Hlm: 494. MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. 2001. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida. NTOW, W.J. 2003. Organochlorine pesticides in water, sediment, crops and human fluids in a farmingf community in Ghana. Food Addit. Contam. 20 (3): 270–275.
GOEBEL, H., S. GORBACH, W. KAUF, R.H. RIMPAU and H. HUTTENBACH. 1982. Properties, effects, residues and analytics of insecticides endosulfan. Residue Review. 83: 56–88.
RIVAS, A., I. CERRILLO, A. GRANADA, M. MARISCALARCAS and F. OLEA-SERRANO. 2007. Pesticide exposure of two age groups of women and its relationship with their diet. Science of the Total Environment 382: 14–21.
IBRAHIM, A.M., A.A. RAGUB, M.A. MORSEY, M.M. HEWEDI and C.J. SMITH. 1994. Application of an aldrin and dieldrin ELISA to the detection of pesticides in eggs. Food and Agric. Immunol. 6: 39–44.
ROSE, M., A. CROSSAN, I.R. KENNEDY and F. SANCHES-BAYO. 2003. Bioremediation of pesticide residues in the environment. AusAID Card Workshop 3. pp: 61–64.
INDRANINGSIH, 1998. Pengenalan keracunan pestisida golongan organofosfat pada ruminansia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Jilid I. Puslitbang Peternakan, Bogor. Pp. 104–109. INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI, YUNINGSIH dan Z. ARIFIN. 1999. Dampak pencemaran pestisida terhadap lingkungan dan produk peternakan di Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Teknik Kesehatan Lingkungan Menuju Linkungan
RUTHERFORDS, B.S., R.G. GARDNER, S.D. WEST, C.D. ROOB and S.C. DOLDER. 2000. Residues of spinosad in meat, milk and eggs. J. Agric. Food and Chem. 48 (9): 4428–4431. SANI, Y dan INDRANINGSIH. 2005. Kasus keracunan pestisida golongan organofosfat pada sapi peranakan Ongole di Sukamandi, Jawa Barat. JITV 10 (3): 242–251. SCHENCK, F.J and D.R. WAGNER. 1995. Screening procedure for organochlorine and organophosphorous pesticide residue in milk using matrix
301
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
solid phase dispersion (MSPD) extraction and gas chromatography. Food Addit. and Contam. 12 (4): 535–541, SOEJITNO, J. 2002. Pesticide residues on food crops and vegetables in Indonesia. J. Litbang Pertanian. 21 (4): 124–132. STANDAR NASIONAL INDONESIA. 2001. Batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. VARSHEYA, C., H.S. BAGHGA and L.D. SHARMA. 1988. Effect of insecticide on humoral immune response in cockerels. Short Comm. Bri. Vet. J. 144: 610–612. WALISZEWSKI, S.M., R. VILLALOBOS-PIETRINI, S. GOMEZ-ARROYO and R.M. INFANZON. 2003. Persistent organochlorine pesticide levels in cow’s milk samples from tropical regions of Mexico. Food Addit. Contam. 20 (3): 270– 305.
302
DISKUSI Pertanyaan: 1. Bagaimana hasil penelitian residu yang diperoleh pada susu segar dibandingkan dengan maksimum residu ? 2. Jika ditemukan residu pada susu segar, apakah residu dapat berkurang kadarnya seiring dengan proses pengolahan susu (pasteurisasi, pembuatan keju dsb)? 3. Bagaimana kadar residu pestisida pada susu siap konsumsi? Jawaban: 1. Dari hasil survei yang didapat residu pestisida pada susu segar masih dibawah nilai Batas Maksimum Residu yang diizinkan sehingga masih aman dikonsumsi. 2. Proses pasteurisasi dan pembuatan keju tidak dapat menghilangkan residu seluruhnya hasil survei diluar negeri masih adanya residu pestisida terdeteksi pada susu pasteurisasi dan keju. 3. Pada susu siap konsumsi produk Indonesia belum tersedia datanya, namun dari luar negeri masih ada yang mengandung residu pestisida pada tingkat rendah pada susu siap kosumsi.