192 Pengembangan Inovasi Pertanian 2(3), 2009: 192-207
Budi Tangendjaja
TEKNOLOGI PAKAN DALAM MENUNJANG INDUSTRI PETERNAKAN DI INDONESIA1) Budi Tangendjaja Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16143
PENDAHULUAN Teknologi pakan belum banyak dikenal dibandingkan dengan teknologi pangan, karena ilmu yang mendasari teknologi pakan belum semaju teknologi pangan. Namun, dengan kemajuan industri pakan, teknologi pakan pun mulai berkembang. Teknologi pakan berbeda dengan nutrisi yang mempelajari proses pencernaan dan penyerapan zat-zat gizi saat pakan diberikan kepada ternak. Teknologi pakan mencakup semua teknologi mulai dari penyediaan bahan pakan sampai ransum diberikan kepada ternak. Pengetahuan tentang nutrisi ternak diperlukan dalam teknologi pakan, tetapi ilmu dasar seperti fisika, kimia, dan biologi juga berperan penting dalam formulasi, pengolahan, penyimpanan, evaluasi, dan distribusi pakan. Teknologi didefinisikan sebagai metode atau cara untuk mencapai tujuan praktis berdasarkan ilmu pengetahuan. Dalam prakteknya, teknologi pakan mempunyai tiga cakupan, yaitu: (1) teknologi bahan baku pakan; (2) teknologi pengolahan pakan termasuk formulasi sampai
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 4 Mei 2006 di Bogor.
penyimpanan; dan (3) teknologi pengendalian mutu (quality control) pakan. Teknologi pakan memegang peranan penting dalam industri peternakan. Berkembangnya isu yang berkaitan dengan produk ternak di negara maju seperti Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat mengakibatkan produksi pakan mendapat perhatian khusus karena merupakan salah satu mata rantai dalam menghasilkan daging, susu atau telur. Isu yang berkembang akhir-akhir ini adalah pencemaran dioksin, residu antibiotik, kontaminasi salmonella, keamanan pangan untuk manusia, kekhawatiran akan produk dari Genetically Modified Organism (GMO), dan terakhir teror biologis (bioterrorism). Hal ini mengharuskan pabrik pakan menerapkan sistem manajemen mutu yang dapat membuktikan bahwa pakan yang diproduksi sesuai dengan aturan yang berlaku. Sistem pengendalian mutu yang diterapkan pada pabrik pakan berupa Quality Assurance. Namun, sistem ini belum cukup sehingga beberapa pabrik pakan menerapkan Good Manufacturing Practice (GMP) di mana persyaratan tertentu harus dipenuhi manakala pakan dibuat. Berkembangnya sistem manajemen mutu ISO 9000 di Eropa mendorong beberapa pabrik pakan di Indonesia menerapkan ISO 9000 versi 2001. Untuk mengantisipasi bahaya yang mungkin
193
Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan ...
timbul pada konsumen hasil ternak, sistem baru pengolahan makanan diterapkan, yaitu Hazard Analyses and Critical Control Point (HACCP). Sistem ini memberikan perhatian dini akan adanya bahaya (hazard) ketika produk pangan dihasilkan. Karena pabrik pakan dianggap sebagai mata rantai maka HACCP juga diterapkan dalam pengolahan pakan. Dalam sistem ini, konsep trace ability atau penelusuran masalah (jika timbul) harus dapat dibuktikan. Misalnya jika masalah residu antibiotik muncul pada baso ayam, maka asal mula antibiotik tersebut harus dapat ditelusuri; apakah masalahnya ada pada bahan imbuhan pakan, pada bahan baku pakan, atau di kandang ayam. Kejadian penyakit sapi gila (BSE) juga mengakibatkan bahan pakan asal hewan dilarang digunakan dalam membuat pakan. Beberapa negara seperti Malaysia dan Thailand, jika akan mengekspor daging ayam ke Eropa, disyaratkan agar ransum ayam tidak menggunakan meat and bone meal (tepung daging). Berbagai isu tersebut perlu dicermati dalam memproduksi pakan, termasuk di Indonesia, jika ingin mengembangkan industri peternakan untuk memenuhi permintaan global. Teknologi pakan tidak hanya berkaitan dengan gizi pakan, tetapi juga sistem mutu pakan yang pada akhirnya mampu memberikan perlindungan dan memenuhi keinginan konsumen. Artikel ini mengemukakan teknologi pakan ruminansia dan nonruminansia yang tersedia di dunia dibandingkan dengan teknologi yang telah dihasilkan Balai Penelitian Ternak (Balitnak), terutama oleh penulis. Permasalahan yang berkaitan dengan pakan dikemukakan lebih dulu, diikuti dengan rekomendasi teknologi pakan yang perlu dikembangkan dalam upaya menjawab permasalahan yang ada.
PERMASALAHAN PAKAN Telah diketahui bahwa biaya pakan dapat mencapai 70% dari biaya produksi ternak, sehingga akan mempengaruhi pendapatan peternak dan menentukan harga jual produk ternak (daging, susu, atau telur). Salah satu kendala dalam peningkatan produksi ternak adalah ketersediaan pakan dalam jumlah dan kualitas yang memadai dan harga terjangkau. Oleh karena itu, permasalahan yang berkaitan dengan pakan perlu mendapat perhatian karena menentukan kelangsungan hidup peternak dan ketersediaan protein hewani bagi masyarakat. Permasalahan pakan ternak di Indonesia bervariasi, bergantung pada jenis ternaknya. Namun, masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu permasalahan pakan untuk ruminansia dan nonruminansia.
Pakan Ruminansia Pakan ruminansia umumnya terdiri atas hijauan (roughage) sebagai sumber serat dan suplemen berupa konsentrat maupun leguminosa. Indonesia mempunyai sumber hijauan yang cukup sehingga tidak perlu mengimpornya dari luar negeri, bahkan berpeluang mengekspor hijauan seperti pucuk tebu dan rumput-rumputan. Namun, suplai hijauan tidak merata sepanjang tahun karena dipengaruhi oleh musim. Pada musim kemarau, ketersediaan hijauan terbatas, seperti yang terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Sumber hijauan untuk pakan ruminansia biasanya adalah rumput, baik yang sengaja ditanam seperti rumput gajah dan setaria maupun rumput lapangan, serta
194
limbah pertanian seperti jerami dan pucuk tebu. Pemberian pakan berupa hijauan saja tidak akan mampu meningkatkan atau memaksimalkan produksi ternak sehingga perlu suplemen atau pakan tambahan. Suplemen dapat diperoleh dari limbah industri pertanian seperti dedak padi, dedak gandum (pollard), bungkil kelapa, bungkil inti sawit, bungkil kapuk, bungkil kedelai, bungkil kanola (rapeseed), kulit kakao, ampas bir, ampas tahu, dan ampas kecap. Suplemen lain dapat diperoleh dari tanaman legum seperti lamtoro, gamal, kaliandra, dan akasia serta hijauan lainnya seperti daun nangka dan daun ubi jalar. Rendahnya produktivitas ternak ruminansia yang dipelihara petani umumnya berkaitan dengan kurangnya dan tidak seimbangnya zat-zat gizi dalam ransum. Kekurangan protein, energi, dan mineral sering dijumpai karena peternak hanya memberikan satu jenis hijauan atau campuran hijauan yang tidak memadai. Kekurangan gizi makin parah saat musim kemarau karena hijauan menurun baik jumlah maupun kualitasnya. Di samping jumlahnya tidak mencukupi, kualitas hijauan atau limbah pertanian juga bervariasi sehingga sulit menghasilkan ransum yang konsisten. Kualitas hijauan antara lain dipengaruhi oleh jenis, umur tanaman, teknik budi daya, iklim, dan tanah. Hijauan juga mengandung senyawa sekunder atau senyawa kimia yang bersifat racun, baik yang secara alami terdapat dalam tanaman atau senyawa yang disintesis oleh mikroba yang berkembang pada tanaman tersebut. Tanaman hijauan di Indonesia banyak yang mengandung senyawa sekunder. Senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan ternak atau bersifat sebagai racun jika kadarnya meningkat. Senyawa tersebut terdiri atas senyawa fenolik, glikosida, asam amino
Budi Tangendjaja
bukan protein, alkaloid, protein atau enzyme inhibitor, chelating substances, dan terpenoid. Transportasi hijauan atau limbah pertanian sering menjadi kendala dalam penyediaan pakan ternak ruminansia. Sumber hijauan atau limbah pertanian sering kali terdapat di suatu daerah yang bukan kantong ternak, sehingga bahan pakan tersebut harus diangkut dari daerah sumber hijauan ke sentra ternak. Hal ini membutuhkan suatu teknologi dan juga biaya yang mahal, karena limbah pertanian atau hijauan bersifat bulky (kamba) dan kadar airnya tinggi sehingga menyulitkan transportasinya. Berbeda dengan ternak yang dipelihara petani, ternak sapi impor yang digemukkan oleh perusahaan dengan sistem feedlot mampu berproduksi maksimal. Pertambahan berat badan harian 1,2-1,5 kg dapat dicapai jika ternak diberi pakan yang sesuai dengan kebutuhan gizinya dan dengan menerapkan manajemen pemeliharaan yang memadai.
Pakan Nonruminansia Permasalahan pakan ternak nonruminansia berbeda dengan ternak ruminansia. Ternak nonruminansia yang biasa dipelihara petani adalah ayam, babi, itik, dan puyuh. Khusus untuk ayam ras dan babi, pakan sudah diproduksi oleh pabrik skala besar sehingga permasalahannya bukan dalam memproduksi pakan untuk memenuhi kebutuhan gizi, tetapi meningkatkan efisiensi produksi sehingga harga pakan dapat serendah mungkin. Permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini lebih cenderung kepada suplai bahan pakan lokal yang tidak mencukupi sehingga harus mengimpornya dari negara
195
Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan ...
lain. Pada mulanya, impor bahan pakan didominasi oleh bahan pakan sumber protein seperti bungkil kedelai, tepung ikan, tepung daging, dan bungkil kanola. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, impor bahan pakan sumber energi dalam bentuk jagung mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun karena produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku pakan, terutama ayam ras.
Suplai Indonesia akan terus mengalami kekurangan bahan pakan sumber protein jika tidak ada upaya untuk menghasilkan sumber protein sendiri. Sumber protein utama pakan adalah bungkil kedelai. Namun untuk memenuhi permintaan untuk pangan saja Indonesia masih mengimpor kedelai lebih dari 1,4 juta ton per tahun. Berbeda dengan bahan pakan sumber protein, kebutuhan bahan pakan sumber energi dapat dipenuhi dari bahan lokal, seperti jagung, dedak, ubi kayu, dan minyak. Sumber energi utama untuk pakan adalah jagung lokal, yang produksinya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Seiring dengan berkembangnya industri pakan dalam negeri, kebutuhan jagung pun terus meningkat. Oleh karena itu, peningkatan produksi jagung perlu terus diupayakan.
Kualitas dan Harga Suplai bahan baku pakan berfluktuasi, bergantung pada musim. Ketika musim panen, bahan pakan melimpah sehingga harganya turun. Kualitas bahan baku pun berfluktuasi akibat penanganan pascapanen yang kurang optimal. Masalah
jagung basah dan kontaminasi mikotoksin sering dikeluhkan pabrik pakan. Demikian pula dedak padi, kadang-kadang kualitasnya menurun saat harganya tinggi karena dicampur dengan bahan lain seperti sekam atau kapur, padahal ketersediaan dedak padi cukup melimpah dan harganya dapat hanya setengah harga jagung. Keragaman kualitas dan fluktuasi harga yang tinggi merupakan masalah bagi industri pakan. Teknologi pascapanen perlu terus dikenalkan, di samping teknik baru untuk mendeteksi kualitas bahan pakan secara cepat, maupun teknik formulasi untuk mengatasi keragaman bahan pakan.
Informasi Salah satu permasalahan utama dalam ketersediaan bahan baku maupun produksi pakan adalah data yang ada sering kurang sesuai, kurang mutakhir atau kurang lengkap. Informasi mengenai suplai bahan baku bulanan atau mingguan sulit diperoleh. Sebagai contoh, produksi jagung setiap kabupaten hampir tidak ada, dan produksi jagung Indonesia sebesar 9,18 juta ton pada tahun 1999 pun dipertanyakan. Penggunaan jagung untuk pakan pada tahun 1999 diperkirakan kurang dari 2 juta ton, tetapi pada tahun yang sama Indonesia mengimpor 300 ribu ton jagung. Patut dipertanyakan apakah penggunaan jagung di luar pakan (untuk pangan dan industri) melebihi 7 juta ton per tahun. Informasi yang kurang tepat juga berkembang di masyarakat. Harga pakan yang mahal sering diklaim sebagai penyebab peternak bangkrut, padahal kebangkrutan peternak ditentukan oleh banyak faktor. Agar usahanya langgeng, pengusaha pakan harus berjuang sedemikian rupa dan saling berkompetisi satu
196
Budi Tangendjaja
dengan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, akan sulit jika pabrik pakan mencoba menaikkan harga pakan atau mendapatkan keuntungan yang tinggi. Keuntungan pabrik pakan yang besar disebabkan oleh omzet penjualan yang tinggi. Permasalahan dalam penyediaan pakan ternak nonruminansia lebih terkait dengan perbaikan efisiensi produksi dan mengontrol kualitas bahan baku. Oleh karena itu, teknologi yang diperlukan lebih diutamakan untuk menekan biaya pakan dan mengurangi risiko kualitas pakan sehingga ternak dapat berproduksi optimal. Kemampuan pabrik pakan dalam menerapkan teknologi pakan sangat tinggi, bahkan dapat memperoleh teknologi dari luar negeri lebih cepat daripada yang dikuasai lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Teknologi baru dapat diperoleh dengan mudah melalui jaringan informasi dan keterbukaan informasi. Namun demikian, permasalahan dalam industri pakan memerlukan dukungan penelitian untuk meningkatkan efisiensi produksi ternak.
TEKNOLOGI PAKAN Penerapan teknologi pakan dimulai sejak bahan pakan diperoleh sampai ransum diberikan kepada ternak. Aspek yang tercakup dalam teknologi pakan meliputi teknologi pengujian dan analisis bahan, formulasi pakan, teknologi produksi termasuk penyimpanan dan transportasi sampai pakan diberikan kepada ternak.
Teknik Pengujian dan Analisis Bahan Pakan Analisis bahan pakan mencakup aspek fisik, kimia, dan biologis. Ketiganya me-
megang peranan penting dan menentukan kualitas bahan pakan. Informasi mengenai komposisi bahan pakan di Indonesia perlu dikumpulkan, karena masih terpencar pada berbagai publikasi, seperti Hartadi et al. (1997) dari Universitas Gadjah Mada (UGM), yang banyak mengambil data dari luar negeri, dan Lowry et al. (1992). Sebagian data bahkan belum dipublikasikan, seperti yang terdapat di berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Pada awal tahun 1980-an, Balitnak mendirikan organisasi yang diberi nama Indonesian Feed Information Center untuk mengumpulkan data bahan pakan di Indonesia. Namun karena berbagai kendala, organisasi tersebut tidak berkelanjutan, meskipun dirasakan manfaatnya. Pengujian fisik bahan pakan dapat dilakukan dengan organoleptik seperti warna, bau, dan rasa melalui pancaindera manusia atau menggunakan alat. Di luar negeri, pengujian karakteristik bahan pakan seperti hay, silase, dan konsentrat sudah umum dilakukan dan hasilnya telah terangkum dalam suatu kompendium yang dapat dimanfaatkan peternak. Di Indonesia, batasan-batasan fisik hijauan seperti rumput gajah, jerami, dan rumput lapangan belum dibakukan. Analisis kimia memegang peranan penting dalam pengendalian kualitas bahan pakan. Zat-zat gizi penting dapat diukur melalui analisis proksimat, fraksi serat (NDF, ADF, lignin, selulosa), nonstarch polysaccharides (NSP), asam lemak, dan mineral-mineral penting. Bagi ternak monogastrik, selain analisis proksimat diperlukan pula analisis kadar garam, asam lemak bebas, bahan tak tersabunkan (unsaponifiable), amonia nitrogen, kelarutan protein, dan uji spesifik seperti uji urease untuk kedelai, total volatile nitrogen untuk tepung ikan, pepsin digesti-
Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan ...
bility untuk hasil hewani, uji sekam untuk dedak padi, dan uji karbonat untuk DCP atau tepung tulang. Pengujian bahan baku pakan dengan cara fisiko kimia berperan penting dalam pengendalian mutu pakan. Pengujian hendaknya dapat dilakukan secara cepat dan memberikan informasi yang cukup untuk menentukan apakah suatu bahan pakan dapat diterima oleh pabrik pakan atau digunakan untuk menyusun ransum. Sering kali keputusan untuk menerima bahan pakan diambil saat bahan pakan masih di dalam truk menunggu untuk dibongkar. Teknik sederhana dan cepat telah tersedia untuk menentukan kualitas dedak padi yang merupakan bahan pakan penting di Indonesia dan negara penghasil padi lainnya. Caranya dengan menambahkan larutan kimia ke dalam dedak dan dalam waktu kurang dari 5 menit akan timbul warna merah sebagai indikator adanya campuran sekam pada dedak (Tangendjaja dan Lowry 1986). Teknik ini telah digunakan oleh pabrik pakan di Indonesia, negara lain di Asia Tenggara, India, dan Pakistan untuk menilai kualitas dedak padi. Hal penting yang belum banyak dianalisis adalah penentuan energi metabolis. Pengukuran di laboratorium hanya untuk menentukan energi bruto, padahal untuk ayam dan babi diperlukan nilai energi metabolis dan energi tercerna (digestible energy). Pendekatan dengan persamaan atau regresi banyak digunakan untuk memperkirakan kandungan energi metabolis bahan pakan. Namun, pengukuran langsung pada ternak akan jauh lebih akurat dan bermanfaat. Untuk pakan ruminansia terutama hijauan, diperlukan kandungan serat yang dinyatakan dalam neutral detergent fiber (NDF), acid detergent fiber (ADF), selulosa, dan lignin. Untuk protein, juga di-
197
analisis bagian protein yang terlarut dalam larutan bufer untuk memperkirakan jumlah yang tidak tercerna dalam rumen (by pass protein). Analisis mineral seperti sulfur, trace element kadang-kadang diperlukan. Senyawa toksik lainnya seperti mimosin dan alkaloid pada tanaman tertentu perlu pula didapat datanya. Asam amino adalah zat gizi yang sangat penting untuk ternak monogastrik. Analisis asam amino dapat dilakukan dengan teknik khromatografi, tetapi biayanya mahal sehingga tidak semua laboratorium mampu melaksanakannya. Perkembangan teknologi analisis pakan mutakhir menunjukkan adanya teknik analisis yang dapat mengukur kecernaan asam amino bahan pakan. Teknik modern ini dikenal dengan nama Near Infra Red Spectroscopy (NIRS) system, yang mampu menduga kandungan asam amino baik total maupun yang tercerna dalam waktu cepat. Pengujian secara kimia saja sering kali tidak cukup untuk menilai suatu bahan pakan. Pengujian lanjutan dilakukan secara biologis, baik in vitro maupun in vivo. Pengujian in vitro dilakukan di laboratorium, terutama untuk pakan ruminansia karena pengujian in vivo membutuhkan waktu lama dan biaya mahal. Pengujian in vitro dilakukan dengan menginkubasikan bahan pakan ke dalam cairan rumen yang dicampur dengan bufer. Teknik in vitro bermanfaat untuk mengevaluasi bahan pakan dalam jumlah besar. Dengan cara ini bahan pakan dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok yang mudah atau yang sulit dicerna. Dengan teknik ini, suatu senyawa toksik dalam bahan pakan dapat diperiksa dengan cepat, terutama pengaruhnya terhadap kinerja mikroba rumen. Teknik lain untuk menguji bahan pakan ruminansia adalah secara in sacco. Teknik ini menggunakan ternak yang difistula di
198
Budi Tangendjaja
bagian rumen, selanjutnya bahan pakan yang akan diuji dimasukkan ke dalam kantong nilon dan dibenamkan dalam rumen untuk waktu tertentu. Teknik ini memerlukan ternak hidup yang diberi fistula, juga keterampilan khusus untuk memasang fistula. Teknik analisis yang dapat menggambarkan kenyataan sebenarnya adalah percobaan pemberian pakan langsung kepada ternak. Namun, pengujian ini membutuhkan biaya mahal dan waktu lama.
Teknologi Formulasi Teknologi formulasi pada industri pakan modern umumnya menggunakan program komputer dan sudah sangat maju. Penghitungan formula dengan cara segi empat atau coba-coba (trial error) seperti yang diajarkan di perguruan tinggi sudah tidak dipakai industri pakan. Program komputer yang umumnya didasarkan pada program linier telah berkembang sedemikian rupa sehingga pembuatan formula pakan dapat diselesaikan dalam hitungan detik. Spesifikasi nutrisi maupun bahan baku sudah berkembang semakin kompleks. Nilai nutrisi ransum unggas tidak hanya didasarkan pada kandungan protein dan energi, tetapi juga mempertimbangkan unsur proksimat (air, protein, abu, serat kasar, lemak), serta asam amino esensial baik total maupun kecernaannya. Kandungan mineral pun tidak hanya dihitung totalnya, tetapi juga ketersediaannya. Untuk membuat formula pakan diperlukan data dasar kandungan gizi setiap bahan pakan yang akan digunakan. Data yang ada harus diperbaharui dengan hasil analisis laboratorium agar sesuai dengan kenyataan. Untuk itu diperlukan laboratorium yang canggih agar data yang
diperoleh makin lengkap dan waktu analisisnya makin cepat. Tidak semua laboratorium pada perusahaan pakan memiliki kemampuan yang memadai. Analisis tertentu yang tidak dapat dikerjakan di laboratorium dalam negeri dapat dilakukan di luar negeri yang sering kali memberikan jasa pelayanan analisis, seperti laboratorium yang disediakan oleh perusahaan imbuhan pakan di Amerika Serikat, Jerman, Perancis, dan Singapura. Teknologi formulasi juga berkembang terus dalam upaya meningkatkan efisiensi pakan sehingga menghasilkan formula yang paling optimal dengan biaya paling rendah. Formulasi tidak hanya untuk menghasilkan satu jenis formula, tetapi puluhan bahkan ratusan formula (multiblend) atau multiple formula optimization. Teknologi formulasi yang canggih juga mampu memberikan arahan patokan harga suatu bahan baku pakan, bahkan dapat menganalisis perubahan kandungan gizi bahan pakan dan implikasinya terhadap biaya ransum (analisis parametrik). Perangkat lunak yang ada juga mampu mengarahkan perusahaan pakan dalam penggunaan atau pengalokasian bahan baku ketika ada keterbatasan di pabrik, bahkan dapat dipakai untuk melakukan perdagangan bahan baku. Teknologi formulasi dengan komputer dapat memberikan petunjuk apakah suatu bahan baku pakan dapat digantikan oleh bahan pakan lain. Juga dapat memberi petunjuk harga suatu bahan pakan agar bisa dipakai untuk menyusun ransum. Jadi substitusi bahan baku, misalnya untuk menggantikan bungkil kedelai, dapat dengan mudah dilakukan bila bahan baku alternatif telah diketahui komposisi gizi dan harganya. Informasi mengenai komposisi gizi bahan pakan diperlukan untuk menyusun ransum.
Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan ...
Teknologi Produksi Teknologi produksi pakan ternak ruminansia agak berbeda dengan nonruminansia. Di Indonesia, pakan ruminansia terdiri atas hijauan dan konsentrat sehingga pabrik pakan hanya memproduksi konsentrat, sedangkan peternak sapi perah atau penggemukan memberikan hijauan berupa rumput atau jerami dalam bentuk segar atau kering. Pengolahan rumput atau jerami yang biasa dilakukan peternak adalah pemotongan dengan mesin (chopper) atau golok. Pekerjaan ini dilakukan setiap hari sehingga tidak ada proses penyimpanan. Beberapa petani telah menyimpan hijauan, terutama jerami padi saat musim panen untuk dimanfaatkan pada musim kemarau saat hijauan sulit diperoleh. Pengolahan jerami umumnya berupa pengeringan lalu jerami kering ditumpuk. Pengolahan jerami dengan menambahkan bahan kimia seperti urea/amonia atau alkali jarang dilakukan petani Indonesia. Pengolahan ransum komplit untuk ruminansia dapat pula dilakukan dalam bentuk blok atau pelet. Ransum blok belum dikenal di Indonesia, tetapi telah populer di negara maju maupun negara berkembang seperti India. Ransum blok lebih menguntungkan dibandingkan dengan ransum bentuk tepung (mash), karena mudah dibawa, tidak berdebu atau tercecer. Penelitian pembuatan ransum ruminansia dalam bentuk blok telah dilakukan Tangendjaja et al. (1993) dari bahan baku lokal. Bahan baku digiling untuk mencapai ukuran partikel tertentu lalu dicampur dan dicetak dalam bentuk blok dengan pengepresan. Blok dapat berbentuk seperti bata atau lempengan bulat dengan berat 1-5 kg. Ransum komplit dapat pula dibuat pelet dengan ukuran 8-10 mm
199
(Tangendjaja et al. 1994). Untuk ransum ayam atau babi, panjang pelet bervariasi antara 3-5 mm. Pembuatan pelet memerlukan mesin dan dikerjakan oleh pabrik besar sehingga sulit dilakukan peternak. Biaya pembuatan pelet berkisar antara Rp15-Rp25/kg, bergantung pada mesin yang digunakan. Pengolahan ransum unggas jauh lebih modern dibanding ransum ruminansia. Penggunaan komputer untuk mengontrol proses dapat meningkatkan ketelitian, produktivitas, dan ketepatan. Jumlah pabrik pakan di Indonesia saat ini lebih dari 50, tetapi hanya 10 perusahaan yang dominan. Kapasitas pabrik pakan sekitar 11 juta ton per tahun, tetapi produksinya pada tahun 2002 baru mencapai 6-7 juta ton sehingga masih ada kelebihan kapasitas pabrik. Ukuran pabrik pakan bervariasi, bergantung pada rancangan awal, tetapi dapat dihitung dari kapasitas mesin pengaduk yang bervariasi antara 1-5 ton untuk sekali pengadukan. Bila dalam 1 jam menghasilkan 10 kali proses pengadukan, maka kapasitas pabrik bervariasi antara 10-50 ton/jam. Ada dua sistem produksi ransum di pabrik pakan, yaitu sistem pregrinding (sistem Amerika) dan postgrinding (sistem Eropa). Perbedaannya terletak pada penggilingan pakan (perubahan partikel) sebelum dicampur. Untuk sistem pregrinding, masing-masing bahan baku digiling terlebih dahulu sebelum dicampur, sedangkan pada sistem postgrinding penggilingan dilakukan terhadap campuran bahan baku. Setelah pengadukan, ransum broiler umumnya dibuat pelet menggunakan uap (steam) bertekanan tinggi. Proses ini akan meningkatkan gizi ransum dan mengurangi kontaminasi jamur atau serangga. Meskipun menambah biaya, cara ini masih
200
Budi Tangendjaja
menguntungkan karena menghasilkan performa ayam yang lebih baik. Proses pemeletan jarang dilakukan untuk ransum ayam petelur karena kurang bermanfaat. Di Indonesia, pembuatan ransum ternak terutama pakan ayam dan pakan ikan sudah sedemikian maju. Teknologi modern sudah banyak diterapkan untuk menghasilkan pakan yang murah, efisien serta aman bagi ternak, konsumen, dan lingkungan. Sudah banyak pabrik pakan yang mampu membuat ransum 50 ton/jam dan memproduksi pakan 24 jam nonstop, sehingga dalam 1 bulan dapat menghasilkan 40-50 ribu ton pakan. Pakan yang dihasilkan mempunyai kualitas sesuai yang diharapkan, dengan ketepatan dan ketelitian yang tinggi. Sistem manajemen mutu modern juga telah diterapkan di Indonesia. Pengolahan pakan tidak dapat lagi dilakukan dengan cara tradisional, tetapi harus menerapkan teknologi modern agar dapat bersaing.
Bioteknologi Pakan Perkembangan teknologi mutakhir dalam bidang bioteknologi juga dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas bahan pakan. Pemanfaatannya sampai saat ini mencakup penyediaan bahan baku pakan dan menciptakan imbuhan pakan (Tangendjaja 2003). Untuk bahan pakan, pemanfaatan rekayasa genetik diarahkan untuk memperbaiki sifat tertentu pada tanaman jagung, kedelai, dan kanola. Untuk tanaman jagung, saat ini petani di Amerika Serikat dan Amerika Latin telah menggunakan jagung yang tahan terhadap serangan hama penggerek. Hal ini dimungkinkan karena ahli bioteknologi mampu menyisipkan gen cry9 dari Bacillus thuringiensis (Bt) ke tanaman untuk
menghasilkan protein yang dapat mematikan serangga ketika memakan tanaman tersebut. Untuk kedelai dan kanola masih didominasi oleh jenis kedelai yang tahan terhadap herbisida. Umumnya petani di Amerika menggunakan herbisida saat menanam kedelai. Jika tidak hati-hati maka tanaman kedelai dapat ikut mati karena herbisida. Oleh karena itu, perusahaan benih kedelai (Monsanto Co., USA) menyisipkan gen yang dapat menahan semprotan herbisida ke dalam benih kedelai sehingga tanaman tahan terhadap herbisida. Gen yang disisipkan adalah penghasil enzim EPSPS (5-enolshikimate-3phosphate-synthetase) dari Agrobacterium sp., bakteri dari tanah. Bioteknologi juga banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan imbuhan pakan. Beberapa jenis enzim dapat dihasilkan melalui proses fermentasi mikroorganisme yang telah mengalami rekayasa genetik. Bioteknologi juga dimanfaatkan untuk memanipulasi mikroba rumen, tetapi belum banyak yang dapat dikomersialkan. Penelitian bioteknologi pakan telah banyak dilakukan dan hasilnya mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan, seperti probiotik, asam amino, antibiotik, dan kultur mikroba untuk pengawet atau silase. Untuk bahan pakan hasil pertanian, pengembangan sifat tanaman untuk meningkatkan gizi pakan, seperti jagung rendah fitat, tinggi vitamin E, tahan terhadap aflatoksin, kedelai tinggi asam amino lisin, tinggi protein, tinggi asam oleat, rendah NSP juga bermanfaat untuk peternakan. Penelitian penulis yang dibiayai oleh Riset Unggulan Terpadu III dalam rangka mendapatkan enzim yang mampu meningkatkan kualitas bahan pakan seperti dedak, bungkil kelapa, bungkil inti sawit, dan bungkil gandum menemukan mikroba yang
Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan ...
dapat menghasilkan enzim spesifik. Fitase dihasilkan oleh kapang Aspergillus oryzae (Susana et al. 2000), mananase oleh Eupenicillium sp., amilase dihasilkan oleh A. niger, dan protease diperoleh dari Bacillus pumillus. Teknologi untuk memproduksi enzim-enzim tersebut telah dikembangkan sehingga dapat diterapkan secara komersial. Penelitian kerja sama dengan Institut Pertanian Bogor yang dibiayai oleh RUT IV juga mendapatkan satu jenis probiotik dari Lactobacillus sp. yang diisolasi dari berbagai produk fermentasi di Indonesia. Bahan imbuhan pakan tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi probiotik. Bioteknologi pakan berperan penting dalam meningkatkan produksi pakan dan melindungi konsumen produk peternakan seperti daging, susu, dan telur. Peningkatan produksi pakan dapat dilakukan dengan memperbaiki genetik tanaman yang akan digunakan untuk menghasilkan bahan pakan, seperti halnya pada jagung Bt atau kedelai Roundup Ready. Di masa mendatang, perbaikan tanaman diarahkan bukan hanya untuk meningkatkan produksi, tetapi juga memperbaiki kualitas nutrisinya. Rekayasa genetik dilakukan untuk memanipulasi komposisi gizi kedelai atau jagung sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi ternak yang mengonsumsinya. Di masa mendatang, jagung rendah fitat, tinggi protein, atau kedelai yang mempunyai asam amino berbeda atau enzim tertentu, atau yang mengandung antibodi akan dapat diciptakan. Sudah banyak dilaporkan bahwa penggunaan antibiotik akan makin dibatasi karena dapat mencemari produk ternak yang dihasilkan. Pada tahun 2006, negara Uni Eropa melarang penggunaan antibiotik pemacu pertum-
201
buhan dan mungkin akan diikuti oleh beberapa negara lainnya. Hal ini akan mendorong penciptaan bahan-bahan baru dari mikroba untuk menggantikannya. Diperkirakan dalam 10 tahun mendatang akan dipasarkan bahan-bahan baru sebagai imbuhan pakan dan juga bahan pakan hasil pertanian yang telah direkayasa secara genetik. Indonesia, apabila tidak melakukan reorientasi terhadap penelitiannya, hanya akan menjadi konsumen produk bioteknologi negara lain.
PERKEMBANGAN INDUSTRI PAKAN Produksi pakan unggas di Indonesia meningkat sejalan dengan berkembangnya industri perunggasan. Meningkatnya produksi unggas dalam 30 tahun terakhir akan mendorong berdirinya pabrik pakan untuk memenuhi permintaan pakan unggas, babi, dan ikan. Lokasi pabrik pakan terutama terkonsentrasi di daerah yang permintaan produk unggasnya tersedia, artinya lokasinya berdekatan dengan konsumen, seperti di Jabodetabek, Surabaya, dan Medan. Beberapa pabrik pakan didirikan di daerah yang bahan bakunya tersedia, terutama jagung, seperti Lampung, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 1999, produksi pakan dari pabrik diperkirakan mencapai 3,8 juta ton. Jumlah ini jauh menurun dibandingkan dengan sebelum krisis ekonomi yang mencapai lebih dari 6 juta ton pada tahun 1997. Meskipun demikian, produksi pakan pada tahun 1999 lebih tinggi dibanding tahun 1998 yang hanya 2,5 juta ton. Peningkatan produksi disebabkan oleh meningkatnya produksi telur dan daging
202
Budi Tangendjaja
ayam karena lebih dari 80% produksi pakan adalah untuk pakan ayam dan sisanya untuk babi, ikan, dan udang. Peningkatan produksi pakan dapat dengan mudah dicapai ketika permintaan produk unggas tinggi karena kapasitas terpasang pabrik pakan saat ini mencapai lebih dari 11 juta ton, sedangkan produksi baru mencapai 65% dari kapasitas terpasang. Pada tahun 2005, produksi pakan di Indonesia mencapai 7 juta ton dan pada tahun 2006 diperkirakan tidak akan lebih tinggi dibanding tahun lalu. Wabah flu burung yang merebak di Indonesia dapat mengubah permintaan produk unggas dan babi yang pada akhirnya akan mempengaruhi produksi pakan, meskipun peran media sangat menentukan. Daya beli masyarakat juga akan mempengaruhi permintaan produk ternak. Berdasarkan formula pakan broiler dan petelur pada tahun 2000 dan dengan mempertimbangkan harga, kualitas, dan suplai bahan, kebutuhan bahan baku pakan pada berbagai tingkat produksi disajikan pada Tabel 1. Dengan meningkatnya
produksi pakan maka kebutuhan masingmasing bahan baku juga meningkat. Selain mengimpor beberapa bahan baku pakan, Indonesia juga mengekspor bahan baku pakan seperti bungkil inti sawit, bungkil kelapa, gaplek, dan minyak sawit. Bungkil inti sawit dan bungkil kelapa hanya sedikit digunakan untuk pakan ayam dan lebih sesuai untuk pakan ruminansia, karena pertimbangan nutrisi dan harga. Bila bungkil tersebut akan dimanfaatkan untuk pakan ayam, diperlukan teknologi untuk mengubah nilai gizi (nilai energi metabolis dan protein dan menurunkan serat) sehingga layak secara ekonomi digunakan dalam ransum ayam.
ARAH PENELITIAN DAN PELUANG PENGEMBANGAN PAKAN Balitnak telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan teknologi pakan sejak tahun 1980-an. Penelitian yang dilaksanakan mencakup analisis kimia bahan
Tabel 1. Kebutuhan bahan baku pakan Indonesia (000 t) pada berbagai tingkat produksi pabrik pakan.
Bahan pakan
Jagung Dedak Sumber protein Nabati Hewani Minyak Fosfat Lain-lain Total
Kandungan dalam formula ayam (%)
Produksi pakan (juta ton) 3,5
4,0
4,5
5,0
5,5
6,0
52 12
1.660 480
1.900 550
2.140 620
2.380 690
2.610 760
2.850 825
25 4 2 1 4
875 260 60 4 161
1.000 200 70 5 175
1.125 340 80 6 189
1.250 375 90 6 209
1.375 415 100 7 233
1.500 450 105 8 262
100
3.500
3.900
4.500
5.000
5.500
6.000
Dihitung dari perkiraan formula pakan ternak dengan harga tahun 1999.
203
Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan ...
pakan, teknologi pengolahan bahan pakan dan ransum mulai dari penyiapan bahan hingga produksi ransum, perlakuan fisik, kimia dan biologis, pengawetan, dan teknologi untuk memperbaiki mutu pakan. Sejalan dengan kemajuan industri peternakan dan ilmu pengetahuan, sudah saatnya orientasi penelitian disesuaikan dengan perkembangan tersebut sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan oleh pelaku bisnis.
berkualitas baik. Teknologi untuk menentukan kualitas bahan pakan secara cepat diperlukan oleh pabrik pakan. Teknologi tersebut harus mampu memberikan informasi secara cepat dan akurat sehingga bisa dimanfaatkan dalam menyusun ransum. Sebagai contoh, penggunaan NIRS untuk mengukur kandungan asam amino dalam bahan pakan dalam waktu kurang dari 3 menit sudah diterapkan dalam industri pakan. Teknologi serupa perlu dikembangkan untuk diterapkan di pabrik pakan.
Pakan Unggas Teknologi Pengolahan Penelitian pakan unggas haruslah diarahkan untuk menghasilkan teknologi ransum ayam yang efisien. Teknologi tersebut diharapkan dapat menurunkan harga pakan, meningkatkan kualitas pakan, mengurangi biaya produksi pakan atau biaya menghasilkan daging atau telur, memperpanjang daya simpan, dan mengurangi kontaminasi baik dari alam maupun yang sengaja ditambahkan dalam upaya melindungi konsumen. Untuk dapat menciptakan berbagai teknologi tersebut, peneliti perlu mengenal industri peternakan secara mendalam sehingga dapat melihat permasalahan yang sebenarnya untuk dicarikan teknologi pemecahannya. Teknologi tersebut sering kali sudah ada di luar negeri, sehingga tidak perlu lagi melaksanakan penelitian, tetapi tinggal mengadopsinya.
Kualitas Kualitas pakan ditentukan oleh bahan baku dan proses produksinya. Permasalahan pada pabrik pakan adalah bagaimana mengendalikan kualitas bahan pakan yang bervariasi untuk menghasilkan pakan yang
Di pabrik, bahan pakan akan mengalami proses pengolahan. Umumnya pengolahan dilakukan secara fisik seperti pengubahan partikel, pengadukan, dan pemanasan dengan uap. Pengolahan secara kimiawi jarang dilakukan, kecuali penambahan bahan kimia untuk mempertahankan kualitas pakan atau mengawetkan pakan. Pengolahan secara biologis seperti fermentasi untuk meningkatkan kualitas gizi bahan pakan, sulit diterapkan di pabrik pakan. Pabrik pakan memproduksi pakan dalam jumlah besar (hingga 40 ribu ton per bulan), sehingga teknologi pengolahan yang diperlukan adalah yang mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi, seperti teknologi peningkatan throughput mesin pelet tanpa mengurangi kualitas pelet yang dihasilkan. Teknologi penyimpanan juga perlu dikembangkan untuk memecahkan masalah dalam penyimpanan bahan pakan maupun pakan jadi. Teknologi pengendalian hama gudang, pencegahan cemaran mikotoksin, dan sistem penyimpanan diperlukan, terutama untuk daerah tropis basah seperti Indonesia.
204
Budi Tangendjaja
Pengembangan Imbuhan Pakan Berbagai penelitian dilakukan untuk menciptakan imbuhan pakan untuk memperbaiki efisiensi penggunaan pakan oleh ternak. Akhir-akhir ini, penelitian terutama ditujukan untuk menggantikan pemakaian antibiotik pemacu pertumbuhan yang dilarang penggunaannya di Eropa pada tahun 2006. Indonesia belum saatnya melakukan penelitian tersebut, kecuali jika produk ternak dimaksudkan untuk tujuan ekspor ke Eropa. Penelitian pengembangan probiotik atau prebiotik juga kurang banyak bermanfaat untuk pabrik pakan di Indonesia. Probiotik yang dihasilkan di luar negeri pun banyak yang tidak dimanfaatkan oleh pabrik pakan Indonesia karena manfaatnya sulit dibuktikan di lapangan. Pengembangan enzim untuk meningkatkan kualitas bahan pakan saat dicerna ayam mungkin lebih bermanfaat, terutama untuk bahan pakan lokal. Enzim yang dikembangkan terutama ditujukan untuk meningkatkan kecernaan barley atau gandum karena adanya kandungan senyawa sekunder. Enzim fitase juga diproduksi untuk meningkatkan ketersediaan fosfor dalam bahan pakan dan di luar negeri untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat pembuangan fosfor.
Pakan Ruminansia Berdasarkan ketersediaan sumber daya lahan maupun pakan, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan ternak ruminansia. Ternak dapat dikembangkan melalui pengembangan padang penggembalaan (pasture) atau secara intensif dengan mendatangkan pakan dari luar lokasi peternakan.
Pengembangan peternakan yang disebut terakhir dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber hijauan yang ada di lokasi seperti rumput-rumputan, tanaman legum, daun dari pohon-pohonan maupun limbah atau hasil samping pertanian. Apabila diperhitungkan dari neraca bahan baku pakan, Indonesia mempunyai keunggulan kompetitif dalam mengembangkan ternak ruminansia karena hasil samping agroindustri yang melimpah. Tabel 2 menyajikan produksi komoditas pertanian Indonesia dan hasil samping atau limbah yang dapat digunakan untuk bahan pakan. Limbah pertanian maupun hijauan pakan mempunyai kandungan gizi yang bervariasi. Data kandungan gizi bahan pakan dapat dilihat pada publikasi UGM (Hartadi et al. 1997) maupun Balitnak (Lowry et al. 1992). Data dari UGM banyak diadaptasi dari negara lain, terutama kandungan energi bahan pakan. Sementara itu, data Balitnak tidak mencantumkan kandungan energi untuk ruminansia. Data kandungan gizi bahan pakan ternak ruminansia jauh dari lengkap dibandingkan dengan data bahan pakan untuk unggas. Data kandungan protein tercerna atau yang by pass rumen belum tersedia. Begitu pula informasi mengenai kandungan senyawa sekunder yang umumnya dijumpai pada tanaman, belum banyak dilaporkan. Variasi kandungan gizi pada tanaman akibat pengaruh umur, latar belakang agronomi, musim dan sebagainya perlu diteliti lebih seksama. Banyak hijauan yang dihasilkan daerah tropis seperti Indonesia tidak ditemukan di negara subtropis, sehingga informasinya sangat terbatas. Data bahan pakan ruminansia penting diketahui untuk menyusun ransum agar diperoleh produksi yang optimal. Penyusunan ransum ternak tidak dapat lagi
205
Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan ...
Tabel 2. Produksi komoditas pertanian Indonesia (000 t), 1996-2003. Komoditas
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Beras 51.102 Jagung 9.307 Kedelai 1.517 Kacang tanah 738 Ubi kayu 17.002 Sayuran 8.925 Buah-buahan 8.292 Gula 2.094 Minyak nabati 9.465 Minyak sawit 4.899 Minyak inti sawit 1.805 Minyak kelapa 2.761 Kopi 459 Kakao 374
49.377 8.771 1.357 688 15.134 7.117 8.175 2.192 9.313 5.380 1.229 2.704 428 330
49.237 10.169 1.306 692 14.696 7.825 7.237 1.488 9.682 5.640 1.264 2.778 514 456
50.866 9.204 1.383 660 16.459 8.078 7.541 1.541 10.393 6.005 1.393 2.995 532 367
51.899 9.677 1.018 737 16.089 7.559 8.378 1.690 12.204 7.581 1.575 3.048 625 374
50.461 9.347 827 710 17.055 6.920 9.959 1.725 13.980 9.048 1.810 3.122 622 381
51.490 9.654 673 718 16.913 7.631 10.899 1.755 15.078 9.902 1.980 3.196 623 433
51.849 10.821 678 760 17.723 7.965 12.154 1.725 tad tad tad tad tad tad
Tad = belum ada data. Sumber: Kompas Januari 2004.
hanya mengandalkan kandungan protein atau jumlah hijauan yang diberikan, tetapi perlu memperhitungkan kebutuhan gizi ternak dan harga optimal untuk menghasilkan suatu produk, misalnya biaya minimal untuk menghasilkan 1 kg daging atau susu dengan kandungan lemak tertentu. Untuk menyusun ransum tersebut diperlukan program komputer agar diperoleh harga ransum yang minimal atau optimal.
Teknologi Pengolahan Teknologi pengolahan bahan baku pakan belum banyak dimanfaatkan di Indonesia, padahal beberapa di antaranya telah diterapkan di luar negeri. India, misalnya, telah menerapkan secara komersial pembuatan ransum dalam bentuk “blok” menggunakan mesin sederhana. Teknologi yang berkembang di luar negeri dapat diterapkan di Indonesia selain perlu mengembangkan teknologi sendiri untuk kebutuhan yang
spesifik, seperti mengawetkan onggok. Berkembangnya pemanfaatan “tebon” jagung sebagai bahan pakan ternak juga memerlukan dukungan penelitian pemanenan dan penyimpanan agar dapat digunakan secara ekonomis untuk pakan sapi potong maupun sapi perah.
Sistem Pemberian Pakan Badan Litbang Pertanian sebaiknya mengarahkan penelitiannya untuk menghasilkan teknologi untuk memecahkan permasalahan yang ada di lapangan. Permasalahan usaha ternak ruminansia pada peternak subsisten sangat kompleks, tidak hanya terkait dengan teknologi tetapi juga budaya, pendidikan, dan sebagainya. Permasalahan tersebut perlu dipecahkan dengan teknologi hasil penelitian. Rendahnya produktivitas ternak di pedesaan sering kali berkaitan dengan ketersediaan pakan yang kurang memadai dari segi kualitas maupun kuantitas. Permasalahan
206
lain seperti penyakit dan bibit ikut memberikan kontribusi, tetapi yang dominan adalah masalah pakan.
Peluang Pengembangan Pakan di Indonesia Dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara, Indonesia mempunyai peluang dalam menghasilkan pakan ayam yang dapat berkompetisi dengan negara lain. 1. Indonesia mempunyai lahan yang luas untuk mengembangkan pertanian yang dapat menghasilkan bahan baku pakan. Apabila penanaman jagung lebih diintensifkan sehingga produktivitasnya meningkat dua kali, antara lain dengan menggunakan varietas hibrida, pengaturan pola tanam dan pemupukan yang benar, Indonesia berpeluang menjadi penghasil jagung utama di Asia Tenggara. Negara pesaing utama Indonesia adalah Thailand. Namun, negara tersebut menghadapi kendala terbatasnya ketersediaan lahan untuk mengembangkan jagung. Untuk bahan baku pakan kedelai, Indonesia masih menghadapi kendala teknis seperti kondisi tanah, benih, maupun penyakit untuk meningkatkan produksi. Diperkirakan Indonesia masih akan mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan untuk pangan dan bungkil kedelai untuk pakan, mengingat kebutuhan saat ini mencapai 2 juta ton/tahun dan akan terus meningkat di masa mendatang. Terobosan penelitian untuk mengembangkan kedelai diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 2. Konsumsi produk ayam di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Peningkatan pendapatan masyarakat (patokannya $1.000/ka-
Budi Tangendjaja
pita) akan memacu konsumsi produk unggas. Infrastruktur untuk menunjang produksi unggas masih tersedia, meskipun di tengah krisis. Karena itu, jika permintaan akan daging ayam dan telur meningkat, industri dengan cepat dapat memenuhinya. Peluang untuk mengembangkan industri ayam sangat besar mengingat konsumsi saat ini. Apabila kebutuhan dalam negeri terpenuhi, peluang untuk mengembangkan pasar ekspor pun terbuka. Thailand yang memiliki lahan pertanian terbatas dapat berkompetisi dengan Amerika Serikat dan Brasil untuk pasar Jepang. Kenapa Indonesia tidak? 3. Dilihat dari bahan baku pakan yang ada dan belum banyak dimanfaatkan, seperti bungkil inti sawit, bungkil kelapa, dedak gandum, dedak padi, dan ubi kayu, Indonesia dapat lebih kompetitif mengembangkan industri pakan untuk menghasilkan pakan berprotein rendah. Jenis pakan ini sesuai untuk pakan ayam petelur atau ternak ruminansia. Di samping membutuhkan protein yang lebih rendah, ternak tersebut juga lebih toleran terhadap kadar serat yang tinggi. Bahan baku pakan potensial tersebut juga diekspor seperti bungkil inti sawit, bungkil kelapa, dan dedak gandum. Untuk memanfaatkan sumber pakan lokal ini, disarankan untuk mengembangkan ternak ruminansia (feedlot atau sapi perah) secara intensif. Pemanfaatan bahan pakan tersebut yang lebih banyak untuk ayam petelur atau pedaging, perlu teknologi baru hasil penelitian untuk menurunkan kandungan serat (target di bawah 7%) dan energi metabolis di atas 2.500 kkal/kg. Teknologi ini harus dapat diterapkan pada skala industri (misal skala produksi minimum 10 ton/hari),
207
Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan ...
bukan untuk industri kecil atau rumah tangga. 4. Dalam melaksanakan good governance dan transparansi maka pemerintah perlu menciptakan situasi yang kondusif untuk menunjang perkembangan industri peternakan. Pemerintah harus mendudukkan diri sebagai fasilitator dan sumber informasi yang akurat dan cepat dalam melayani pelaku industri peternakan. Informasi mengenai teknologi dapat diperoleh dari lembaga penelitian atau perguruan tinggi, atau memanfaatkan teknologi yang sudah berkembang di negara lain.
KESIMPULAN Teknologi pakan belum banyak dikenal di Indonesia. Teknologi pakan mencakup pengetahuan tentang bahan baku, nutrisi dan formulasi pakan, produksi, dan pengendalian mutu. Penerapan teknologi pakan akan menghasilkan pakan yang ketika diberikan kepada ternak akan menghasilkan produksi ternak yang efisien, mudah diberikan, dan ramah lingkungan. Teknologi pakan berkembang pesat dalam 30 tahun terakhir, terutama pakan unggas, babi, dan sapi sehingga dapat mendukung peningkatan produksi protein hewani (daging, telur, susu) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Penelitian akan terus berkembang untuk menghasilkan teknologi sesuai dengan perkembangan peternakan dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumen akan hasil ternak yang sehat, aman, dan ramah lingkungan. Penelitian di masa mendatang sebaiknya dilakukan bekerja sama dengan industri pakan dan ternak agar dapat menghasilkan teknologi yang dapat langsung diterapkan. Penelitian pakan di negara maju
lebih banyak dilakukan oleh perusahaan swasta daripada oleh institusi pemerintah. Teknologi pakan memegang peran kunci dalam keberhasilan industri peternakan.
DAFTAR PUSTAKA Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, dan A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Lowry, J.B., R.J. Petheram, and B. Tangendjaja. 1992. Plants fed to village ruminants in Indonesia. ACIAR, Canberra. Susana, I.W.R., B. Tangendjaja, dan S. Hastiono. 2000. Seleksi kapang penghasil enzim fitase. Jurnal IImu Ternak dan Veteriner 5(2): 113-118. Tangendjaja, B. and J.B. Lowry. 1986. Improved utilization of rice bran: A rapid field method for estimating hull content. IImu dan Peternakan 1(8): 323326. Tangendjaja, B., B. Santoso, and E. Wina. 1993. Protected fat preparation and digestibility. Proc. Workshop on Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. SR-CRSP, Univ. California, Davis. Tangendjaja, B., E. Wina, dan I.G.M. Budiarsana. 1994. Ransum penggemukan domba dengan bahan lokal. hlm. 429-435. Prosiding Seminar Nasional Sains & Teknologi Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Tangendjaja, B. 2003. Recent advances in animal feed biotechnology. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29-30 September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.