Teknologi pemanfaatan lokal4(3), ... 2011: 189-204 Pengembangan Inovasi pakan Pertanian
189
TEKNOLOGI PEMANFAATAN PAKAN LOKAL UNTUK MENUNJANG PENINGKATAN PRODUKSI TERNAK RUMINANSIA1) Kuswandi Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16151 Telp. (0251) 8322185, 8328383 Faks. (0251) 8328382, 8380588 e-mail:
[email protected] Diajukan: 9 Mei 2011; Disetujui: 4 Agustus 2011
ABSTRAK Upaya mencukupi kebutuhan daging sapi dan susu dalam negeri perlu didukung oleh perbaikan sistem pemberian pakan untuk meningkatkan produktivitas ternak ruminansia serta mendayagunakan pakan lokal, termasuk limbah pertanian. Di antara limbah pertanian yang ada, baru jerami padi yang dimanfaatkan untuk pakan, padahal limbah tanaman pangan lain dan tanaman perkebunan berlimpah, baik untuk pakan basal maupun pakan tambahan. Diperkirakan 151 juta ton hijauan kering limbah tanaman pangan dan 94,24 juta ton hijauan kering limbah perkebunan tersedia dan dapat menghidupi lebih dari 183,18 juta ekor sapi dewasa tanpa perlu bergantung pada rumput. Oleh karena itu, diperlukan teknologi perbaikan palatabilitas, konsumsi, kecernaan pakan, efisiensi penggunaan pakan, dan formulasi pakan untuk memaksimalkan produktivitas ternak. Konsumsi pakan dapat ditingkatkan dengan mengkondisikan lingkungan pada suhu rendah, menghaluskan bahan, menambah frekuensi pemberian, serta penyelingan antara pakan basal dan suplemen. Kecernaan pakan dan efisiensi penggunaan pakan dapat diperbaiki dengan memberi perlakuan kimiawi atau biologis serta pengimbangan sumber energi, nitrogen, dan mineral. Pakan komplet pabrikan dalam bentuk pelet dengan basis sumber serat, protein, energi, dan mineral dari limbah pertanian yang diperkaya vitamin dapat dianjurkan untuk penggemukan. Dengan menerapkan teknologi tersebut, pengembangan usaha ternak ruminansia perlu diintegrasikan dengan tanaman pangan dan tanaman perkebunan, industri pengolah limbah pertanian, dan ditunjang oleh lembaga inovator teknologi pendayagunaan pakan untuk menjamin ketersediaan pakan berkualitas sepanjang tahun. Kata kunci: Ternak ruminansia, teknologi pakan, limbah pertanian
ABSTRACT Technology of Local Feed Utilization Towards Ruminant Production Improvement Efforts on meeting national needs of meat and milk should be supported by feeding system improvement to increase ruminant productivity and utilizing local feed resources including agricultural residues. Meanwhile, rice straw is the fibrous food crop widely known as ruminant feed. On the other hand,
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 7 April 2011 di Bogor.
190
Kuswandi
abundant residues from food crops and estate crops and from their main product processings are not yet utilized. It is estimated that 151 million tons of dry residues from food crops and 94.24 million tons from estate crops are available that are able to maintain at least 183.18 million mature cattle, other than those consume conventional grasses. Therefore, technologies of feed palatability, consumption, digestibility, utilization efficiency improvement, and pelleted feedlot ration formulation based local feed resources are necessary. Feed consumption can be increased by conditioning a low temperature environment, grinding, frequent feeding, and intermittent offer of basal and supplementary feeds. Feed digestibility and utilization efficiency is improved by either chemical or biological treatments, and balanced energy-nitrogen-minerals. Pelleted complete feedlot rations based on fiber, protein, energy and minerals from agricultural residues enriched with vitamins should be recommended in ruminant fattening. These technology findings dictate the efforts to develop ruminant husbandry by integrating food and/or estate crops, main crop product processing industries and institutions that invent feed utilization technology to meet requirements of quality feeds. Keywords: Food, feeds, crop and agricultural industry residues, technology, ruminants
PENDAHULUAN Ternak ruminansia berperan penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional, khususnya dalam penyediaan daging dan susu. Selain itu, ternak ruminansia bersifat komplementer dan suplementer dalam sistem usaha tani karena berfungsi dan berperan dalam penyediaan tenaga kerja, sumber pendapatan, dan pupuk organik. Ternak ruminansia, khususnya sapi, memberi kontribusi daging sebesar 71% terhadap kebutuhan daging masyarakat Indonesia, dan sisanya (29%) berasal dari impor. Sebaliknya, kebutuhan susu sapi sebagian besar (75%) dipenuhi dari impor, dan sisanya (25%) dari produksi dalam negeri. Oleh karena itu, upaya meningkatkan produktivitas ternak ruminansia perlu mendapat prioritas dalam upaya mencapai swasembada daging dan susu. Produksi daging dalam negeri pada tahun 2008 sebesar 3.101.475 ton; sebagian besar (60,7%) berasal dari ternak unggas dan sebagian lagi (39,3%) dari herbivora yang didominasi oleh ruminansia (36,9%). Daging ternak ruminansia sebagian besar
(61,4%) berasal dari sapi, 15,4% dari domba, 17,1% dari kambing, dan 6,1% dari kerbau (Soedjana 2008; Ditjennak 2009). Rendahnya kontribusi daging ternak ruminansia disebabkan oleh lambatnya laju kenaikan populasi dan produksi dibanding ternak unggas karena kurangnya pakan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Oleh karena itu, perlu dikembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk mengoptimalkan pemanfaatan pakan lokal, termasuk pakan inkonvensional. Makalah ini membahas inovasi teknologi pemanfaatan pakan lokal sebagai ransum ternak ruminansia. Inovasi tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para praktisi peternakan dalam meningkatkan produktivitas ternak ruminansia.
PERKEMBANGAN IPTEK PAKAN RUMINANSIA DI INDONESIA Penguasaan iptek dan manajemen pemberian pakan ruminansia berkembang dari waktu ke waktu, namun belum banyak diadopsi peternak. Secara intertemporal,
Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...
dinamika substansi manajemen pakan mencakup masa tradisional, masa pemanfaatan kemajuan iptek, dan masa industrialisasi pertanian.
Periode Tradisional (Sebelum Tahun 1970) Pada periode ini, konsep nutrisi didasarkan pada kebutuhan pati dan protein dengan pakan utama rumput dari padang penggembalaan umum, sekitar persawahan atau perkebunan. Pada sapi perah yang dipelihara secara intensif, kekurangan gizi dicukupi dari pakan penguat, seperti dedak dan bekatul padi, bungkil kelapa, dan bungkil kedelai. Dalam perkembangannya, jerami padi melimpah seiring dengan pengembangan Proyek Padi Sentra dalam Program Pembangunan Semesta Berencana. Jerami padi hanya diberikan pada saat ternak kekurangan rumput, selebihnya dijemur dan disimpan untuk pakan pada musim kemarau.
Periode Pemanfaatan Kemajuan Iptek (1970-1990) Dalam Pembangunan Jangka Panjang tahap I diimplemetasikan program intensifikasi usaha sapi potong yang ditunjang oleh ketersediaan jerami padi dari varietas unggul baru sebagai dampak dari program Bimas dan Inmas. Namun, jerami padi mengandung banyak serat kasar, silika, dan ikatan lignin-selulosa sehingga kurang disukai ternak. Oleh karena itu, diperkenalkan pemanfaatan pakan inkonvensional dari hasil penghijauan seiring makin berkurangnya ketersediaan rumput alam. Formulasi ransum, terutama untuk sapi perah, didasarkan pada kebutuhan energi
191
atau total digestible nutrients (TDN) dan protein dapat dicerna dengan berpedoman pada NRC (1968, 1976). Pencernaan pakan sebagian besar terjadi dalam perut bagian depan (rumen) yang sekaligus menghasilkan protein mikroba. Oleh karena itu, kecernaan pakan diperbaiki melalui perlakuan fisik, kimiawi, biologis, dan suplementasi bahan pakan bergizi tinggi untuk mengurangi beban kerja rumen dalam mencerna pakan. Di antara teknologi pilihan yang disosialisasikan kepada peternak, amoniasi jerami padi dengan urea atau penambahan urea dan tetes lebih banyak dikenal. Sampai sekarang, teknik praperlakuan dan pengayaan nutrisi bahan pakan maupun fermentasi pakan belum banyak diadopsi peternak (Haryanto 2009). Sejak tahun 1980-an, pengetahuan nutrisi mengarah pada pencernaan protein dalam rumen (ARC 1980). Protein pakan digolongkan menjadi protein yang mudah dan yang lambat dicerna dalam rumen, dan yang lolos dari pencernaan dalam rumen. Protein pakan yang lolos cerna dalam rumen bersama protein mikroba rumen dicerna menjadi asam amino yang dapat dimanfaatkan untuk produksi ternak. Atas dasar teori dan pemikiran tersebut, berkembang upaya untuk memaksimumkan produksi melalui perlindungan protein (Kuswandi 1989; Haryanto et al. 1993), pati atau lemak secara fisik dan kimiawi (Lubis et al. 1998).
Periode Industrialisasi Pertanian (1990-2010) Berkembangnya usaha ternak ruminansia dan keterbatasan sumber pakan dari hasil budi daya dan rumput alam mendorong para peneliti untuk mencari terobosan
192
Kuswandi
dalam penggunaan pakan inkonvensional, seperti limbah pertanian dan limbah pengolahan hasil pertanian. Perlakuan dan penggunaan pakan inkonvensional tersebut tetap memerhatikan kandungan gizi, kecernaan, palatabilitas, dan formulasi ransum. Di samping perlakuan pakan, dikembangkan pula penggunaan probiotik sebagai pengontrol keseimbangan mikroba dalam rumen untuk meningkatkan kecernaan serat kasar dan produktivitas ternak. Dengan pemberian probiotik, kecernaan jerami padi meningkat 50% (Haryanto 2009) dan pertumbuhan sapi naik dua kali lipat (Winugroho 2009). Probiotik dari bakteri asam laktat terseleksi ditemukan (Soetanto et al. 2001) dan propolis hasil ekstraksi sarang lebah dapat menekan bakteri patogen dalam usus (Fatoni et al. 2008). Pendayagunaan pakan lokal meminimalkan porsi ransum dari pakan impor, seperti jagung, kedelai, dan tepung ikan. Berkembangnya sistem integrasi tanamanternak yang ramah lingkungan makin meningkatkan jenis pakan yang tersedia dan mendorong pengujian palatabilitas dan formulasi ransum. Sebagai contoh, kulit buah (cangkang) kakao teruji kelayakannya melalui amoniasi dan biofermentasi. Kapang seperti Aspergillus niger meningkatkan kecernaan cangkang kakao dari 43,0% menjadi 48,6% dan uji cobanya dalam formula ransum menambah bobot hidup sapi 0,76/ekor/hari (Darmawidah et al. 1998; Laconi 1999). Bahan ini dapat digunakan sampai 30% dari total ransum (Kuswandi dan Inounu 2009).
Tantangan dan Harapan ke Depan Meningkatnya jumlah penduduk, kesadaran akan gizi, dan daya beli masyarakat
mendorong bertambahnya kebutuhan daging dan susu dari ternak ruminansia. Kondisi ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi pengembangan usaha ternak ruminansia di masa mendatang. Dalam pengembangan usaha ternak ruminansia ke depan, peternak harus diberdayakan untuk mengefisienkan usahanya melalui integrasi dengan tanaman pangan atau perkebunan untuk memperoleh limbah sebagai pakan. Bahan pakan dari limbah tersebut perlu diformulasi secara ekonomis agar bergizi tinggi, seperti dalam bentuk multi-nutrient block. Formulasi pakan disesuaikan dengan kebutuhan ternak ruminansia, terutama kandungan protein, energi, mineral, dan vitamin sesuai jenis dan status fisiologis ternak (Martawidjaja et al. 2001, 2002).
SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL Pakan ruminansia terdiri atas hijauan sumber serat dan pakan tambahan sumber protein, energi, mineral, dan vitamin. Untuk mengoptimalkan produktivitas ternak, pada kondisi tertentu, yaitu fase pertumbuhan cepat, bunting, dan laktasi, pakan tersebut perlu disuplementasi dengan bahan pakan kaya gizi, seperti konsentrat.
Pakan Hijauan Hijauan pakan umumnya berupa rumput dan semak. Pada musim hujan, ketersediaan hijauan tersebut berlimpah, namun pada musim kemarau jumlahnya terbatas. Dengan menyimpannya dalam bentuk kering, hijauan tersebut dapat dimanfaatkan pada musim kemarau (Kuswandi 1990a, 1990b).
193
Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...
Pada musim kemarau, limbah tanaman pangan, khususnya jerami padi, menjadi sumber hijauan penting selain rumput. Jerami padi mengandung protein 5% dan kecernaannya 30-40%, lebih rendah dibandingkan dengan rumput yang mengandung protein 6-10% dan kecernaan 50%, sehingga tidak menunjang kebutuhan hidup pokok. Meskipun demikian, karena produktivitasnya tinggi, 6-11 ton bahan kering/ha, jerami perlu ditingkatkan gizinya dengan perlakuan, seperti amoniasi agar dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan (Kuswandi et al. 2007). Hasil penelitian menunjukkan, seekor sapi dengan bobot 300 kg mampu mengonsumsi bahan kering jerami olahan 8 kg/hari (Davis et al. 1983). Limbah lain yang dapat dimanfaatkan untuk pakan adalah jerami jagung, umbiumbian, dan kacang-kacangan. Pada tahun 2010, tersedia tidak kurang dari 151 juta ton hijauan kering dari keseluruhan limbah tersebut bersama jerami padi. Angka ini mampu memenuhi kebutuhan pakan bagi 138 juta ekor sapi dengan bobot 250 kg, dengan asumsi penggunaannya 50% dari total pakan (Bamualim et al. 2007). Hijauan leguminosa telah disosialisasikan sebagai pakan sumber protein (lebih dari 10%). Di antara jenis legum yang merambat, legum herba untuk penutup tanah di perkebunan, seperti sentro dan kalopo, merupakan sumber amonia yang baik untuk pencernaan dalam rumen (Kuswandi 1988) dan sudah dimanfaatkan. Legum pohon, seperti lamtoro, glirisidia, kaliandra, turi, dan akasia dapat dibudidayakan untuk mengatasi kekurangan hijauan. Namun, hanya lamtoro dan glirisidia yang dimanfaatkan peternak. Protein dari hijauan ini relatif lambat dicerna dalam rumen sehingga dapat memasok amonia secara kontinu dari rumen sepan-
jang hari. Karena produksinya relatif rendah diperlukan teknologi pengawetan pada saat hijauan berlimpah, terutama untuk pakan pada musim kemarau (Bamualim et al. 2007). Limbah perkebunan tersedia seiring dengan pengembangan tanaman kelapa sawit, kopi, kakao, tebu, dan jambu mete. Pada tahun 2008, luas perkebunan kelapa sawit, kopi, kakao, dan tebu berturut-turut adalah 7.078.875, 1.302.393, 1.473.259 dan 442.151 ha, dengan produksi bahan baku pokok 18.089.503, 682.938, 742.761, dan 2.800.946 ton (Deptan 2009). Tiap hektare kelapa sawit menghasilkan bahan kering pelepah 5.214 kg, serat perasan 180 kg, dan tandan kosong 212 kg (Mathius 2007). Hasil kulit dan daging buah kopi diperkirakan 40,2-42,7% dari produksi buah, dan dari cangkang kakao 2,97-2,57 t/ha (Goenadi dan Prawoto 2008). Dari tebu, setiap ton gula menghasilkan bahan kering 1,55 ton pucuk tebu dan 2,25 ton ampas bagas (Kuswandi 2007a). Dari estimasi tersebut diperkirakan biomassa kering limbah sawit yang tersedia mencapai 39,68 juta ton, kulit kopi 0,29 juta ton, kulit buah kakao 43,77 juta ton, dan limbah tebu 10,50 juta ton, atau total 94,24 juta ton bahan kering. Dengan asumsi 70% limbah tersebut untuk pakan, jumlah tersebut mampu mencukupi kebutuhan ternak ruminansia setara 45,18 juta ekor sapi dengan bobot 250 kg, dengan asumsi konsumsi limbah kering 4 kg/ekor/ hari.
Pakan Tambahan Industri pengolah hasil pertanian menghasilkan limbah seperti dedak, pecahan biji (menir), bungkil, ampas, dan kulit (pod) (Kuswandi 1990b; Darmawidah et al. 1998;
194
Bamualim et al. 2007; Kuswandi 2007a; Pangestu et al. 2008). Bahan-bahan tersebut merupakan sumber utama protein, energi, dan mineral dalam pakan, tetapi kandungan, palatabilitas, dan kecernaannya berbeda. Oleh karena itu, diperlukan teknik tertentu dalam memanfaatkannya. Bahan pakan lokal yang memiliki gizi cukup memadai tersebut perlu direkayasa agar kandungan nutrisinya meningkat, baik dengan memperbaiki kualitas bahan maupun teknik pemanfaatannya. Salah satu teknologi pemanfaatan pakan adalah pembuatan pelet. Kini mesin pelet berdiameter 1 cm telah dikembangkan dan pakan komplet berbentuk kubus mulai diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Perlakuan ini tidak mengganggu mutu biologis pakan (Kuswandi 1990b), bahkan mampu melindungi protein dan lemak sehingga meningkatkan produktivitas ternak (Kuswandi dan Robards 1999).
REKAYASA MANAJEMEN NUTRISI PAKAN LOKAL Berbagai upaya telah dilakukan untuk memasok gizi yang cukup dan seimbang sehingga pakan dapat digunakan secara efisien. Rekayasa untuk memperbaiki konsumsi, kecernaan, dan efisiensi penggunaan pakan bertujuan untuk mengoptimalkan produktivitas ternak.
Penyiapan dan Penyajian Pakan Produktivitas ternak dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi, yang ditentukan oleh cara penyiapan dan penyajiannya. Upaya memperbaiki konsumsi pakan dilakukan dengan mengatur waktu,
Kuswandi
penyiapan dan cara penyajian pakan, serta pemberian suplemen. Salah satu faktor yang menentukan tingkat konsumsi pakan adalah suhu lingkungan. Di dataran sedang dengan suhu udara 24-29°C, sapi dengan bobot 350-450 kg mengonsumsi rumput segar 30-35 kg/ ekor/hari (Kuswandi et al. 2005a), sedangkan di dataran tinggi dengan suhu udara 16-24°C mampu mengonsumsi 50 kg/ ekor/hari (Kuswandi et al. 2005b). Uji coba pemberian pakan terhadap sapi di dataran rendah dengan suhu lebih dari 30°C telah dilakukan. Hasilnya menunjukkan, jika disajikan pada malam hari, konsumsi bahan kering pakan meningkat 2,7% dari bobot hidup (Zulbardi et al. 2000), atau naik 12,535,0% dibandingkan dengan pemberian pada siang hari. Cara ini telah dijadikan pedoman bagi peternak ruminansia di Probolinggo, Jawa Timur. Nilai biologis yang rendah dan daya tahan simpan pakan yang singkat dapat disebabkan oleh tingginya kandungan air (lebih dari 14%), besarnya ukuran pakan, dan sifat bulky (Kuswandi 1990a, 1990b; Kuswandi et al. 1992). Pakan yang kering, halus, dan berbentuk pelet dapat mengoptimalkan konsumsinya oleh ternak (Muhaemin et al. 2001). Rumput kering yang dipotong-potong hanya dikonsumsi 1,9% dari bobot hidup. Namun, bila digiling, konsumsinya meningkat menjadi 2,4% dari bobot hidup atau naik 26,3% (Kuswandi 2003). Ransum berbasis hijauan leguminosa kering (85%) dapat dikonsumsi hingga 3,7-4,0% dari bobot hidup (Kuswandi dan Robards 1999). Dalam bentuk segar, domba hanya mengonsumsi kurang dari 3% dan sapi kurang dari 2,5% dari bobot hidup. Dengan pengetahuan ini, peternak sapi perah di Bandung Utara dan Selatan telah memanfaatkan pakan kering seperti jerami padi dan pucuk tebu.
Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...
Penyajian pakan dalam jumlah banyak dapat mengurangi selera makan ternak sehingga sebagian pakan terbuang. Oleh karena itu, dilakukan penelitian pengaruh frekuensi pemberian pakan. Sapi laktasi dengan bobot 500 kg yang diberi hijauan pakan dua kali sehari mampu mengonsumsi bahan kering 17,9 kg/hari. Bila diberikan empat kali, konsumsinya menjadi 20,2 kg (naik 13%) sehingga produksi susu naik dari 9,0 l menjadi 13,8 l/ekor/hari (53%) (Kuswandi et al. 2005b). Cara ini telah diadopsi Balai Besar Perbibitan Ternak Unggul Baturraden dan peternak sekitarnya dengan frekuensi pemberian hijauan 2-3 kali sehari. Suplementasi sering kali membatasi kemampuan ternak dalam mengonsumsi hijauan. Suplemen protein yang diberikan sebelum rumput menaikkan konsumsi rumput hingga 15%. Apabila diberikan berseling beberapa kali sehari, kenaikannya menjadi 23% (Kuswandi 1989, 1994; Kuswandi dan Teleni 1990). Pemberian pakan secara berselang dapat dianjurkan untuk menjaga ketersediaan amonia yang dibutuhkan bakteri dalam rumen. Cara ini telah dipraktikkan peternak sapi potong dan sapi perah di Purwokerto dan Magelang, dan telah menyebar ke daerah lain. Jumlah suplemen yang diberikan perlu dibatasi agar tidak menggantikan sebagian pakan basal (Kuswandi et al. 2005b). Selama ini, jumlah pembatasan pakan sumber energi yang dianjurkan adalah 1020% (Mulholland et al. 1976; Doyle et al. 1986). Angka tersebut dapat ditingkatkan hingga 30% tanpa mengurangi, bahkan meningkatkan konsumsi hijauan jika suplemen tersebut kaya akan protein (Kuswandi 2000; Kuswandi et al. 2005b). Protein yang terlindung dari pencernaan dalam rumen dalam batas 25% dari total
195
protein ransum memacu konsumsi hijauan pakan (ARC 1980; Kuswandi 2007b).
Perbaikan Kecernaan Pakan Bagian pakan yang dicerna ternak merupakan selisih antara jumlah pakan yang terkonsumsi dengan yang keluar lewat feses. Rendahnya kecernaan rumput alam dan jerami tanaman pangan menghasilkan TDN kurang dari 50% sehingga jumlah pakan yang diberikan harus digandakan dari kebutuhan. Namun, cara ini sulit diterapkan karena daya konsumsi ternak terbatas. Oleh karena itu, mutu bahan pakan dan cara pemberiannya perlu diperbaiki untuk meningkatkan kecernaannya. Kecernaan pakan yang rendah dapat dipengaruhi oleh tingginya kandungan serat kasar dan alkaloid. Perlakuan kimiawi dan biologis telah diteliti dan berhasil menaikkan kecernaan bahan pakan (Devendra 1981; Kuswandi dan Inounu 2009). Amoniasi meningkatkan kecernaan bahan kering pakan dari 44% menjadi 51% (naik 16%) dan kecernaan protein dari 46% menjadi 62% (naik 35%), yang selanjutnya berdampak terhadap naiknya konsumsi pakan (26,3%) (Kuswandi dan Teleni 1990; Kuswandi 1991). Perlakuan mikrobiologis dapat menurunkan kadar serat, dan perlakuan fisik (perendaman atau perebusan) mengurangi kadar alkaloid. Cara-cara ini, terutama amoniasi jerami padi, sudah diterapkan peternak di beberapa daerah. Mikroba rumen pencerna serat tidak dapat bekerja secara optimal jika pakan bermutu rendah, seperti limbah tanaman. Kecernaan jerami padi dapat diperbaiki dengan menambahkan urea dan tetes dosis tinggi (Sitorus 1986), tetapi konsumsinya oleh ternak berkurang sehingga menurun-
196
kan bobot hidup. Perbaikan kecernaan dengan suplementasi sumber energi, seperti konsentrat, umbi-umbian atau biji-bijian, juga menurunkan konsumsi pakan basal. Untuk mengatasinya, suplemen yang digunakan hendaknya kaya protein. Pemberian suplemen sumber energi sekaligus sumber protein hingga 30% dari total bahan kering ransum pada domba menaikkan kecernaan pakan hingga 25,5% tanpa mengurangi konsumsi rumput (Kuswandi dan Teleni 1990). Peningkatan kandungan protein suplemen dari 10,3% menjadi 16,5% menaikkan kecernaan pakan hingga 25% (Kuswandi et al. 1992). Hal ini menunjukkan bahwa kekurangan substrat utama seperti sumber nitrogen dan energi perlu dikomplementasi. Di samping itu, mineral makro seperti fosfor dan belerang serta mineral mikro seperti seng (Doyle et al. 1986; Haryanto et al. 1992; Kuswandi et al. 2001) perlu diperhatikan. Untuk memenuhi kebutuhan mineral ternak, peternak umumnya menggunakan garam dapur sebagai pemacu nafsu makan, sedangkan pengusaha maju melengkapi ransum ternak dengan mineral blok. Lambatnya perjalanan digesta menuju usus halus dapat mengurangi konsumsi protein tercerna di daerah tropis (Brockman dan Laarveld 1986). Penyeimbangan asam amino ransum dapat menaikkan kecernaan pakan (Kuswandi et al. 2005c) karena mengoptimalkan sintesis bakteri dalam rumen (Thompson 1982; Kuswandi 1993). Meskipun sulit diterapkan, hasil penelitian biokinetika urea dan glukoneogenesis mengisyaratkan perlunya menambahkan bahan pakan seperti dedak, terutama yang defatted, umbi-umbian, sorgum dan bypass carbohydrates untuk meningkatkan produksi ternak (Kuswandi 1990a, 1990b; Broto et al. 2008).
Kuswandi
Peningkatan Efisiensi Penggunaan Pakan Manajemen penggunaan pakan dimaksudkan untuk mencegah penyusutan produktivitas, mengendalikan input produksi, dan mencapai target produksi. Energi dan protein merupakan komponen gizi terpenting dalam mengefisienkan penggunaan pakan. Kegagalan dalam mengestimasi produktivitas menunjukkan adanya peran nutrisi lain. Oleh karena itu, dalam upaya mengefisienkan penggunaan pakan, seluruh komponen gizi perlu dipertimbangkan. Meningkatnya kecernaan pakan secara in vitro tidak selalu mencerminkan keunggulan pakan tersebut setelah diuji pada ternak karena kurangnya konsumsi akibat rendahnya palatabilitas (Sitorus 1986), tidak imbangnya nutrisi hasil fermentasi pakan di dalam rumen (Kuswandi et al. 2005a), dan terbatasnya kemampuan pasok nutrisi pascapencernaan (Martawidjaja et al. 1998). Kebutuhan nutrien oleh bakteri di dalam rumen perlu menjadi pertimbangan pertama untuk menunjang kebutuhan hidup pokok ruminansia. Untuk itu, diperlukan sumber karbohidrat dan amonia, asam amino, dan mineral seperti fosfor dan belerang. Selanjutnya, pakan tambahan difungsikan untuk memasok energi dan asam amino bagi produksi ternak tanpa mengganggu daya konsumsi pakan basal (Doyle et al. 1986). Penambahan N dan energi mudah tersedia dalam rumen, seperti urea dan tetes pada pakan basal bermutu rendah (Sitorus 1986; Kuswandi et al. 2000, 2005a) kurang tepat tanpa rekayasa lain. Amonia harus tersedia secara kontinu untuk aktivitas bakteri di dalam rumen. Salah satu bahan pemasok amonia secara kontinu adalah daun-daunan yang lambat
Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...
dicerna dalam rumen (Artika et al. 2009). Daun leguminosa kering yang dicampur sekam padi dan urea (69,4 : 30,0 : 0,6) menambah bobot hidup domba peranakan merino 61 g/hari, tetapi kombinasi leguminosa-sekam 85:15 memperbaiki pertambahan bobot hidup hingga 119 g/ hari (Mulholland et al. 1976). Dengan demikian, penambahan nutrisi dan energi yang mudah tersedia hanya bermanfaat bila diberikan secara berulang dalam sehari untuk mencegah susut bobot hidup pada saat krisis pakan (Mulholland et al. 1976; Kuswandi 1988). Pembatasan penggunaan antibiotik untuk memacu pertumbuhan mendorong penggunaan antibiotik alami. Propolis mampu memperbaiki pertambahan bobot hidup sapi 75% lebih banyak dibanding kontrol (Kuswandi et al. 1991) bila pakannya berupa rumput alam dan konsentrat.
Inovasi Teknologi Formulasi Pakan Komplet Pabrikan Terobosan teknologi dengan pakan komplet pabrikan harus mempertimbangkan keseimbangan nutrisi. Pada pakan bermutu rendah, vitamin A bersifat labil dan mudah rusak akibat pengeringan. Pakan komplet padat protein sering direkomendasikan, padahal penggunaannya tidak efisien karena sebagian protein digunakan sebagai sumber energi (Kuswandi 1990c). Peningkatan produktivitas ternak dapat dicapai antara lain dengan peragaman bahan pakan, penggunaan nutrien yang terlindung dari pencernaan dalam rumen, pelengkapan mineral, perlakuan tertentu, dan perbaikan cara penyajian pakan. Produktivitas ternak yang maksimal dapat dicapai bila serapan asam amino dan sumber energi ke dalam darah optimal.
197
Upaya melindungi karbohidrat (ARC 1980), protein (Haryanto et al. 1993) atau lemak (Lubis et al. 1998) dari pencernaan di dalam rumen dapat mempercepat pertumbuhan domba. Ini berarti pada saat pakan berlimpah, pakan tambahan padat gizi dapat dikeringkan dalam bentuk wafer atau pelet untuk keperluan jangka panjang. Dengan konsentrat berbahan pakan lokal seperti dedak, menir, bungkil kelapa, dan bungkil kedelai, pertambahan bobot hidup pedet dapat menyamai yang diberi pakan konsentrat komersial (0,7-0,8 kg/ hari) (Supriyanti 2002; Kuswandi et al. 2004). Bahan pakan tersebut telah digunakan para pengusaha sapi untuk menghemat jagung. Pemberian konsentrat berkadar protein 15% dan TDN 70% sebanyak 2% dari bobot hidup di samping rumput menambah bobot hidup domba 122 g/ekor/hari (Bamualim et al. 2007). Produktivitas ini masih dapat ditingkatkan bila pakan diberikan dalam bentuk pelet dari sumber pakan yang beragam, sebagian proteinnya terproteksi, dan diperkaya mineral. Sumber protein hewani tidak selalu baik untuk campuran ransum pada usaha penggemukan, walaupun kandungan asam aminonya lengkap. Untuk itu, telah dicoba penggunaan protein nabati. Pemberian pelet yang mengandung 9% suplemen protein nabati dan 1% campuran mineral menambah bobot hidup domba peranakan merino 266 g/hari. Pelet tersebut mengandung protein 14,7% dengan komposisi utamanya daun legum, sereal, dan sekam padi (masing-masing 30%), sedangkan mineral utamanya adalah natrium, kalsium, fosfor, magnesium, dan belerang. Kadar protein masih dapat diturunkan menjadi 13,2% dengan menaikkan komponen sekam padi (40%) untuk mempertahankan pertambahan bobot hidup 196 g/hari. Daya
198
guna protein nabati dapat ditingkatkan dengan menambahkan formaldehida, yang menaikkan bobot badan ternak menjadi 287 g/hari (Kuswandi dan Robards 1999). Di samping sebagai sumber protein, legum merupakan sumber energi yang andal sehingga berpotensi menjadi komponen ransum untuk penggemukan berbasis pakan bermutu rendah. Penggunaan pakan terproteksi telah disosialisasikan dan diadopsi oleh perusahaan peternakan sapi potong. Pada musim kemarau, jumlah pakan yang terbatas tidak memungkinkan peternak untuk melakukan usaha penggemukan. Melalui penelitian telah dihasilkan formulasi pakan lengkap berbasis ampas tebu terfermentasi (20-40%) dan limbah lain, seperti dedak padi, polar, onggok, dan sedikit bungkil kelapa, kedelai, dan sawit. Ransum ini mampu menambah bobot hidup sapi 1,25 kg/hari (Pangestu et al. 2008). Ransum komplet ini telah diadopsi KUD Tayu di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Di dataran rendah dengan suhu 28°C atau lebih, kenaikan bobot hidup sapi 0,941,51 kg/hari dapat dicapai dengan ransum yang mengandung 12% protein dan 6066% TDN (Sunarso et al. 2007). Ransum tersebut berbasis limbah kulit kopi, onggok, dedak padi, dan bungkil (kelapa, kapuk dan sawit) serta sedikit garam dan kapur. Teknologi ransum berbasis limbah pertanian mendorong terbentuknya kelompok-kelompok peternak pengguna di Gunung Pati, Kota Semarang dan Karang Jati, Kabupaten Semarang. Bahkan peternak sapi perah di Semarang menggemukkan sapi jantan peranakan FH dengan ransum komplet berbasis limbah pertanian. Dengan demikian, limbah industri hasil pertanian perlu dimanfaatkan untuk menghindari penggunaan pakan yang mahal.
Kuswandi
ARAH DAN STRATEGI Arah Berdasarkan perkembangan iptek pemanfaatan sumber pakan lokal dan rekayasa nutrisi pakan lokal, arah pengembangan pakan lokal perlu difokuskan pada hal-hal sebagai berikut: 1. Pengembangan iptek pakan ke depan dilakukan secara terpadu dengan membangun kerja sama antara pemerintah, pengusaha, dan peternak sebagai pelaku budi daya, khususnya dalam perumusan kebijakan, pemasaran, dan pendistribusian pakan, sehingga diperoleh pakan yang bergizi seimbang, mudah tersedia, murah, dan berkelanjutan 2. Bahan pakan lokal berupa limbah pertanian tanaman pangan (jerami padi, jagung, kacang, daun ubi) dan tanaman perkebunan (limbah sawit, kakao, kopi, jambu mete) merupakan pakan basal prioritas (80%) bagi ternak ruminansia, terutama pada usaha peternakan rakyat. 3. Peningkatan kualitas pakan lokal dapat diupayakan melalui pengaturan penyediaan hijauan dengan memperbaiki teknik pengawetan, penyimpanan, dan pemanfaatannya, khususnya untuk pakan pada musim kemarau. 4. Pemanfaatan pakan diarahkan pada perbaikan konsumsi dan tingkat kecernaan, penyeimbangan nutrisi dan memaksimalkan produktivitas sesuai kebutuhan setiap jenis ternak. Perbaikan konsumsi dan kecernaan limbah hingga 50% dapat dilakukan dengan pemecahan serat. 5. Formulasi ransum diarahkan pada keseimbangan antara amonia, energi, dan mineral sehingga dapat memenuhi
199
Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...
kebutuhan dan aktivitas mikroba pencerna dalam rumen untuk kebutuhan hidup pokok ternak. Selanjutnya, produktivitas yang maksimal dapat dicapai dengan mengoptimalkan jumlah nutrisi yang siap diserap.
Strategi Untuk mencapai tujuan dan arah pengembangan pemanfaatan pakan lokal tersebut diperlukan strategi sebagai berikut: 1. Memperluas kawasan usaha ternak yang terintegrasi dengan tanaman pangan dan perkebunan. Keberhasilannya perlu didukung oleh usaha pembentukan bibit dan bakalan yang cocok dengan agroklimat setempat. 2. Memperkaya sumber bahan pakan lokal melalui inventarisasi dan karakterisasi pemanfaatan potensi sumber daya pakan lokal secara luas dan mendalam serta manajemen pemberian pakan bergizi seimbang melalui pengembangan penelitian nutrisi, baik dalam skala laboratorium maupun lapangan.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Meningkatnya kebutuhan pangan penduduk mendorong pengembangan agribisnis dalam kondisi terbatasnya ketersediaan rumput pakan sehingga perlu mengoptimalkan penggunaan pakan inkon-
vensional. Peningkatan konsumsi dan kecernaan pakan dapat dilakukan dengan memperbaiki mutu melalui perlakuan fisik (pengeringan, penggilingan, pabrikasi atau pemeletan) dan kimiawi (amoniasi), pengaturan waktu makan (malam hari, penyelingan antara hijauan dan suplemen), dan penambahan frekuensi makan ternak. Memaksimalikan produktivitas dengan pakan lokal dapat diupayakan dengan formulasi ransum yang memasok nutrien yang seimbang, peragaman bahan pakan, penggunaan nutrien terlindung dari pencernaan di dalam rumen, pelengkapan mineral, dan pengolahan bahan. Pada kondisi krisis pakan berkepanjangan, sumber nitrogen dan energi mudah tersedia dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi penyusutan bobot hidup ternak, sedangkan pada musim surplus pakan untuk mencapai target produksi.
Implikasi Kebijakan Sebagai implikasi dari hal tersebut, diperlukan beberapa kebijakan, antara lain: (1) pengembangan industri pakan yang menjamin ketersediaan pakan sepanjang tahun di setiap sentra produksi ternak; (2) fasilitasi pelatihan teknis, demonstrasi, studi banding, dan kunjungan lapang untuk pelaku usaha ternak dalam mensosialisasikan penerapan teknologi dan sistem pemberian pakan secara in situ dan spesifik lokasi; (3) perluasan dan perbaikan infrastruktur transportasi dalam pendistribusian pakan lokal; dan (4) regulasi ekspor bahan pakan lokal dengan mengutamakan kebutuhan pakan dalam negeri.
200
Kuswandi
DAFTAR PUSTAKA ARC (Agricultural Research Council). 1980. The Nutrient Requirements of Ruminant Livestock. Commonwealth Agricultural Bureau, Farnham Royal, England. 368 pp. Artika, I M., Z. Hasan, B. Haryanto, dan Kuswandi. 2009. Potensi propolis Trigona spp. Pandeglang sebagai pemacu pertumbuhan pada sapi peranakan ongole. Laporan Penelitian. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor dan Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Bamualim, A.M., Kuswandi, A. Azahari, dan B. Haryanto. 2007. Sistem usahatani tanaman-ternak. hlm. 19-33. Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah, Bogor, 22-23 Mei 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Brockman, R.P. and B. Laarveld. 1986. Hormonal regulation of metabolism in ruminants: A review. Livestock Prod. Sci. 14(4): 313-334. Broto, W., S. Widowati, R. Rachmat, dan B.A.S. Santosa. 2008. Perspektif pemanfaatan bekatul untuk pangan dan pakan. hlm. 57-73. Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman PanganTernak Bebas Limbah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Darmawidah, A., A. Nurhayu, dan M. Sariubang. 1998. Pemanfaatan kulit biji kakao sebagai pakan ternak. hlm. 523525. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 1-2 Desember 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Davis, C.H., M. Saadullah, F. Dolberg, and M. Haque. 1983. Ammonia treatment of
straw for cattle production in intensive agrarian agriculture. p. 1-25. Proc. 4th Seminar held in Bangladesh, 2-4 May 1983. Deptan (Departemen Pertanian). 2009. Statistik Pertanian 2009. Departemen Pertanian, Jakarta. Devendra, C. 1981. Herbage resources for feeding ruminants in the Asean region. Proc. The First Asean Workshop on the Technology of Animal Feed Production Utilizing Frod Waste Materials, Bandung, 26-28 August 1981. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2009. Statistik Peternakan 2008. Ditjennak, Jakarta. Doyle, P.T., C. Devendra, and G.R. Pearce. 1986. Rice Straw as a Feed for Ruminants. International Development Program of Australian Universities and Colleges, Canberra, Australia. 117 pp. Fatoni, A., I M. Artika, A.E.Z. Hasan, and Kuswandi. 2008. Antibacterial activity of propolis produced by Trigona spp. against Campylobacter spp. Hayati J. Biosci. 15(4): 161-164. Goenadi, D.H. dan A.D. Prawoto. 2008. Kulit buah kakao sebagai bahan pakan ternak. hlm. 49-58. Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah, Bogor, 22-23 Mei 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Haryanto, B., M. Martawidjaja, dan Kuswandi. 1992. Pengaruh suplementasi energi dan protein terhadap nilai kecernaan dan pemanfaatan pakan pada domba. II. Serat, kalsium dan fosfor. hlm. 49-51. Prosiding Pertemuan Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Ternak Ruminansia Kecil, Cisarua, Bogor, 19-20 September 1991. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...
Haryanto, B., Kuswandi, A. Wilson, S. Sitorus, C.A. Budiman, dan H.M. Arifin. 1993. Efisiensi penggunaan pakan mengandung protein berfolmaldehid pada domba. Ilmu dan Peternakan 6(1): 18-20. Haryanto, B. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah (STTBL) Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Orasi Pengukuhan Profesor Riset. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kuswandi. 1988. Aspek penimbunan nitrat pada hijauan pakan ternak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 7(4): 87-92. Kuswandi. 1989. Kelakuan protein terlindung pada domba yang diberi hay dengan mutu berbeda. hlm. 193-198. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Yogyakarta, 9 September 1989. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kuswandi. 1990a. Peranan pengeringan dalam meningkatkan mutu dan nilai tambah bahan pakan ternak ruminansia. hlm. 96-113. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengeringan Komoditas Pertanian, Jakarta, 21-22 November 1990. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kuswandi. 1990b. Nilai biologis rumput kering pada domba. hlm. 561-568. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengeringan Komoditas Pertanian, Jakarta, 21-22 November 1990. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kuswandi. 1990c. Pengeluaran energi pada domba yang diberi rumput bermutu rendah. hlm. 1109-1116. Prosiding Simposium IV Aplikasi Isotop dan
201
Radiasi, Jakarta, 13-15 Desember 1989. PATIR-BATAN, Jakarta. Kuswandi and E. Teleni. 1990. Nitrogen metabolism in sheep fed poor quality hay with protein supplements. Proc. 13rd MSAP Animal Conference. Malaysian Research and Development Institute, Malaysia. Kuswandi. 1991. Degradasi urea darah pada domba yang diberi rumput lapangan. hlm. 717-724. Prosiding Seminar Aplikasi Isotop dan Radiasi dalam Bidang Pertanian, Peternakan dan Biologi, Jakarta, 30-31 Oktober 1990. PATIR-BATAN, Jakarta. Kuswandi, B. Sudaryanto, I. Inounu, dan M. Rangkuti. 1991. Pertumbuhan domba dengan konsentrat berkadar protein berbeda. hlm. 139-143. Prosiding Seminar Nasional Usaha Peningkatan Produktivitas Peternakan dan Perikanan, Semarang, 7 Oktober 1991. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Kuswandi, H. Pulungan, dan B. Haryanto. 1992. Manfaat nutrisi rumput lapangan dengan tambahan konsentrat pada domba. hlm. 12-15. Prosiding Seminar Optimalisasi Sumber Daya Pembangunan Peternakan Menuju Swasembada Protein Hewani, 26-27 Januari 1992. ISPI Cabang Bogor. Kuswandi. 1993. Kegiatan mikroba di rumen dan manipulasinya untuk menaikkan efisiensi produksi ternak. Buletin Peternakan 17: 68-76. Kuswandi. 1994. Kacang vetch sebagai sumber protein pada domba. hlm. 309312. Risalah Pertemuan Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi dalam Bidang Industri dan Pertanian, Jakarta, 14-15 Desember 1993. PATIR-BATAN, Jakarta. Kuswandi and G.E Robards. 1999. The efficiency of utilization by growing
202
sheep of rice hull-based rations containing protein meals. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. XXII, 259. Kuswandi. 2000. Protein bijian sebagai suplemen pada domba. Buletin Peternakan (Edisi Tambahan): 46-50. Kuswandi, M. Martawidjaja, Z. Muhammad, dan D.B. Budiwiyono. 2000. Penggunaan N mudah tersedia pada pakan basal rumput lapangan pada kambing lepas sapih. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(4): 219-223. Kuswandi, Supriyati, B. Haryanto, M. Martawidjaja, dan D. Yulistiani. 2001. Pertumbuhan domba muda yang diberi pakan aditif. hlm. 189-196. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, September 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Kuswandi. 2003. Penggunaan nitrogen pada domba yang sedang bertumbuh. Saripati hasil penelitian dipresentasikan sebagai salah satu syarat untuk usulan kenaikan pangkat/golongan dari IV-b ke IV-c. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor, 4 September 2003. Kuswandi, C. Talib, dan T. Sugiarti. 2004. Pertumbuhan sapi FH calon pejantan dengan konsentrat berbahan baku lokal. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 4-5 Agustus 2004. Buku I: 232-237. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Kuswandi, C. Talib, A.R. Siregar, dan T. Sugiarti. 2005a. Pengaruh imbangan antara rumput dan konsentrat pada sapi perah Indonesian Holstein fase bunting dan laktasi. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Kuswandi, C. Talib, A.R. Siregar, dan T. Sugiarti. 2005b. Peningkatan produksi dan kualitas susu sapi perah Indo-
Kuswandi
nesian Holstein melalui perbaikan manajemen. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Kuswandi, A.R. Ambarkarto, A.R. Siregar, dan S.B. Siregar. 2005c. Peran dan peluang sumber protein bahan pakan pada ransum sapi lepas sapih dalam menunjang pertumbuhan. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Kuswandi. 2007a. Teknologi pakan untuk limbah tebu sebagai pakan ternak ruminansia. Wartazoa 17(2): 82-92. Kuswandi. 2007b. Peluang pengembangan ternak kerbau berbasis pakan limbah pertanian. Wartazoa 17(3): 137-146. Kuswandi, A. Azahari, dan B. Haryanto. 2007. Laboratorium lapang inovasi teknologi dengan pendekatan sistem integrasi tanaman-ternak. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Kuswandi dan I. Inounu. 2009. Teknologi pengayaan pakan sapi terintegrasi dengan tanaman kakao. hlm. 111-140. Dalam A.M. Fagi, Subandriyo, dan I W. Rusastra (Eds.). Sistem Integrasi Ternak-Tanaman: Padi - sawit - kakao. LIPI Press, Jakarta. Laconi, E.B. 1999. Biofermentasi dan amoniasi limbah kakao untuk pakan sapi potong. Buletin Peternakan (Edisi Tambahan): 121-126. Lubis, D., E. Wina, dan B.E. Rubiono. 1998. Laju pertumbuhan domba yang diberi ransum berkadar lemak tinggi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(3): 143-148. Martawidjaja, M., B. Setiadi, dan S.S. Sitorus. 1998. Pengaruh penambahan tetes dalam ransum terhadap produktivitas kambing kacang. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(3): 149-153. Martawidjaja, M., Kuswandi, dan B. Setiadi. 2001. Pengaruh tingkat protein
Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...
ransum terhadap penampilan kambing persilangan Boer dan kambing kacang muda. hlm. 228-234. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, September 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Martawidjaja, M., B. Setiadi, D. Yulistiani, D. Priyanto, dan Kuswandi. 2002. Pengaruh pemberian konsentrat tinggi dan rendah terhadap penampilan kambing jantan kacang dan persilangan Boer. hlm. 194-197. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 30 September-1 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Mathius, IW. 2007. Membedah Permasalahan Pakan Sapi Potong Melalui Pemanfaatan Produk Samping Industri Kelapa Sawit. Orasi Pengukuhan Profesor Riset, Bogor, 30 Juli 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Muhaemin, M., D.A. Setiawan, Kuswandi, dan D. Rusendi. 2001. Rekayasa desain mesin pengkubus hijauan sebagai alternatif teknologi pengolahan pakan ternak dalam upaya penyediaan pakan di musim kemarau. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Mulholland, J.G., J.B. Coombe, and W.R. McManus. 1976. Effect of starch on the utilization by sheep of a straw diet supplemented with urea and minerals. Aust. J. Agric. Res. 27(1): 139-153. NRC (National Research Council). 1968. Nutrient Requirements of Domestic Animals: Nutrient requirements of sheep. 4th Ed. National Academy of Sciences, Washington, DC.
203
NRC (National Research Council). 1976. Nutrient Requirements of Domestic Animals: Nutrient requirements of beef cattle. 5th Ed. National Academy of Sciences, Washington, DC. Pangestu, E., Kuswandi, B. Utomo, dan F. Wahyono. 2008. Implementasi penambahan ampas tebu terfermentasi sebagai karier padat gizi dalam complete feed sapi potong. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang, dan Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Sitorus, S.S. 1986. Pemberian suplementasi daun lamtoro pada kambing yang mendapat jerami padi sebagai ransum pokok. Ilmu dan Peternakan 2(3): 9598. Soedjana, T.D. 2008. Peningkatan produk peternakan untuk pemenuhan gizi masyarakat. Dalam Budidaya Ternak Ruminansia. Edisi 1. Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Soetanto, H., O.P. Masdiana, Kuswandi, dan A. Thalib. 2001. Seleksi berbagai jenis bakteri asam laktat dari usus halus sapi untuk produksi probiotik. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, dan Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Sunarso, E. Kurnianto, B. Haryanto, dan Kuswandi. 2007. Introduksi teknologi complete feed dalam upaya peningkatan produktivitas sapi potong. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang, dan Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Suparyanti, T. 2002. Penampilan Produksi Sapi Friesian Holstein Jantan Akibat Pemberian Konsentrat yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Thompson, D.J. 1982. The nitrogen supplied by and the supplementation of
204
fresh or grazed forage. In D.J. Thompson, D.E. Beever, and R.G. Gunn (Eds.). Forage Protein in Ruminant Animal Production. BSAP Occassional Publ. No. 6: 53-66. Winugroho, M. 2009. Probiotik: Terobosan imbuhan pakan ruminansia pada peternakan rakyat. Orasi Pengukuhan Profesor Riset, Bogor, 7 Januari 2009. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Kuswandi
Zulbardi, M., Kuswandi, M. Martawidjaja, C. Talib, dan D.B. Budiwiyono. 2000. Daun gliricidia sebagai sumber protein pada sapi potong. hlm. 233-241. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 18-19 September 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.