POD COKLAT UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA A. IRAWAN SUTIKNO Balai Penefitian Ternak P.O . Box 221, Bogor 16002
PENDAHULUAN Tanaman coklat (Theobroma cacao L) termasuk order Sterculiaceae dan tumbuh baik di daerah khatulistiwa seperti halnya di Indonesia . Tanaman coklat mulai berbuah setelah berumur 4-5 tahun dan produksi buah tertinggi dicapai pada umur 12 tahun . Tumbuhan ini terus berbuah sampai 50 tahun dan setiap tahun dapat dilakukan panen 2 kali . Coklat ditanam untuk diambil bijinya yang terbungkus cangkang yang tebal (disebut juga pod coklat) dan berisi 30 sampai 40 biji yang dikelilingi oleh pulp yang berlendir. Bijinya sendiri terdiri dari dua bagian utama yaitu kulit biji dan daging biji . Pulp, kulit biji dan daging buah memegang peranan yang sangat penting selama proses pengolahan (yang disebut fermentasi), karena perubahan-perubahan yang terjadi akan sangat menentukan aroma dan rasa pada coklat (NASUTION et al. 1985) . Adanya faktor pembatas yaitu 3,7 dimetilsantin atau yang lebih dikenal dengan nama trivialnya yaitu theobromin, yang khas terdapat pada biji coklat disamping kafein dalam jumlah yang lebih kecil, diketahui kadarnya sedemikian tinggi di dalam kulit biji coklat (1,8-2,1 %) bahkan hampir 10 kali lebih tinggi dari yang terkandung dari dalampodyaitu 0,17-0,20% (WONG etal ., 1986) . Menurut laporan (GREENWOOD-BARTON, (1965) ; yang dikutip oleh WONG et a/.(1986) dikemukakan bahwa theobromin tidak memberi kan efek negatif selama levelnya tidak melebihi dari 0,025 g/kg bobot badan domba. DESMAYATI (komunikasi pribadi) telah mencoba pada unggas dan menemukan bahwa pemberian ransum berupa kulit biji coklat menyebabkan pembengkakan pada hati . Efek theobromin pada hewan yang lebih besar, asal levelnya tidak terlalu tinggi, sebenarnya memberikan stimulasi ringan dan diuretika tapi bagi unggas dapat menyebabkan kematian yang tinggi, berkurangnya bobot badan, terganggunya produksi telur dan lesi pada sistem pencernaannya (TEMPERTON dan SHAW, 1943, yang dikutip oleh WONG et al ., 1986) .
38
Dalam tulisan ini akan dibahas massa limbah coklat yang terbesar yaitu pod coklat (dan sedikit mengenai kulitnya), potensi dan komposisi pod coklat untuk pakan ruminansia, baik diberikan secara langsung, ditingkatkan mutunya secara biologis dan kimia, atau kombinasi keduanya . POTENSI DAN KOMPOSISI Menarik sekali data dari Ditjen Perkebunan (1990) yang menyebutkan bahwa dari semua propinsi di Indonesia dihasilkan buah coklat seba nyak 810 .837,14 ton (bobot segar) dan dari jumlah tersebut itu dihasilkan pod coklat sebagai limbah sebanyak 569 .318,57 ton (70%) . Sekarang ini dengan bertambahnya areal perkebunan coklat baik yang diusahakan pemerintah, swasta, maupun perkebunan rakyat, maka akan dihasilkan pula limbah pod coklat yang besar sekali . Biasanya selama masih di kebun, pod ini sudah dipisahkan dari bagian-bagian lain dengan cara memotong secara melintang sehingga pulp (massa yang berwarna putih yang menyelimuti bijinya) dapat dipisahkan untuk kemudian di proses lebih lanjut . Sedangkan pod-nya dibiarkan di kebun karena tidak mempunyai nilai ekonomis sama sekali . Sebenarnya dengan tindakan ini salah satu unsur hara terpenting bagi tanaman yaitu kalium ikut dikembalikan . Kadar kalium pada pod coklat relatif tinggi (sekitar 4%) sedangkan unsur hara lainnya, yaitu phosphor, sangat rendah yakni di bawah 0,2% (WONG et al ., 1986) . Pod coklat mengandung kadar protein kasar yang kecil (6-12%) sedikit lebih tinggi dari jerami padi . Fraksi serat di dalam pod memiliki kadar selulosa (27-31%) dan hemiselulosa (10-13%) yang lebih rendah dari jerami padi yang masingmasing berkadar selulosa 37% dan 17% untuk hemiselulosa . Kadar lignin di dalam pod berkisar antara 12-19% yang lebih tinggi 2-3 kalinya dibandingkan jerami padi (6%) . Secara keseluruhan pod coklat diduga memiliki tingkat kecernaan rendah dibandingkan jerami yang sama-sama merupakan limbah hasil pertanian . Lignin didalam sel tanaman berfungsi sebagai pengeras yang memberikan sifat kaku pada dinding sel . Hal ini
WARTAZOA VOL 6 No . 2 Th. 1997 tercermin dari tekstur pod coklat yang keras yang memang cliperlukan untuk melindungi bijinya. Kadar serat pada pod coklat kira-kira seimbang dengan kadar di dalam kulit bijinya. Kadar ekstrak eternya (mencerminkan fraksi lemak) dari kulit biji lebih tinggi clibandingkan pod, karena kulit bijinya menempel dengan bagian daging . Kadar abu dari pod cenderung lebih tinggi dari kulit biji . Hal ini merefleksikan mineral yang terkandung di dalamnya . Seperti sudah dikemukakan diatas, pod adalah sumber unsur kalium yang baik . Pada tabel 1 tertera komposisi kimia pod kering yang diperoleh dari berbagai sumber untuk melihat keragamannya, disertakan pula kanclungan dalam kulit biji clan jerami padi sebagai perbandingan . Kulit biji ini tidak berharga sama sekali clan merupakan limbah . Penelitian yang sudah dilakukan, menunjukkan bahwa kulit biji bisa dimanfaatkan untuk ransum ruminansia serta unggas meskipun pemakaiannya agak terbatas . Kadar protein yang relatif tinggi dari kulit biji coklat (16-19%) membuat bahan ini menjacli obyek penelitian sebagai bahan pakan pengganti . PULUNGAN et al . (1989) menggunakan kulit biji coklat sebagai substitusi pakan konsentrat (% bobot badan) untuk domba. Pemberian kulit biji dengan taraf 15, 30 clan 40% dari jumlah pemberian konsentrat ditemukan ticlak ada perbedaan yang nyata terhadap konsumsi clan kecernaan zat makanan, kecuali protein . Tetapi ditemukan pula bahwa pertambahan bobot badan makin menurun dengan bertambahnya tingkat biji coklat dalam ransum . Disimpulkan bahwa tingkat pemberian terbaik adalah pada taraf 15% . Tabel 1 .
Pemberian kulit biji coklat terhadap pertumbuhan sapi potong sudah pula clicobakan (BALAI PENELITIAN TERNAK, 1991-1992) . Hasil penelitian dengan taraf percobaan substitusi kulit biji coklat sebanyak 0, 10, 20, 30 clan 40% dari pemberian konsentrat sebanyak 1,2% dari bobot baclan, clan rumput gajah diberikan secara ad libitum, menunjukkan adanya kecenclerungan penurunan pertambahan bobot badan pada ransum konsentrat yang terdiri dari 20% kulit biji coklat, sedangkan daya cerna tidak berbeda pada setiap perlakuan . POD COKLAT TANPA OLAH SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA Pod yang diberikan langsung menganclung pengertian bahwa setelah diangkut dari kebun, diberikan pada ternak ruminansia untuk menggan tikan sebagian dari ransum, pod ini bisa dikeringkan lebih dulu atau diberikan dalam bentuk segar. Jadi, dalam hal ini pod coklat tidak mengalami perlakuan pendahuluan, baik itu secara kimia atau biologis maupun gabungan keduanya . DEVENDRA (1977) yang melaporkan penggunaan pod pada domba menggantikan ransum yang terdiri dari molases - tapioka dengan lima taraf percobaan, yaitu 10, 20, 30, 40 clan 50% ticlak mendapatkan perbedaan kecernaan bahan kering maupun bahan organik sampai taraf 30%. Bagaimanapun, kecernaan menurun pada taraf yang lebih tinggi . Disimpulkan dari percobaan ini bahwa taraf yang optimal untuk pemberian pod coklat adalah 30 sampai 40% pada ransum yang terdiri dari molases - tapioka .
Komposisi kirnia jerami, kulit biji coklat clan pod coklat Jerarni padi a
Bahan kering Abu Ekstrak eter Protein kasar Serat kasar Selulosa Herniselulosa Lignin Silika Theobromin
17 1,4 4,5 35,1 36,5 17,4 5,6 14,2
Kulit biji b
7,4 17,8 19,3 26
Pod coklat
c
d
e
9,6 7,2 12,4 15,7
5,2 16,4 0,9 6 31,5
7,8 10,6 0,6 8,5 27
f
6,6 7,9 1,0 8,8 27,1 10,3 12,2
g
9,8 6,5 31,0 12,9 19,4
0,17-0,20
Keterangan a . MUSLIHAT, 1986 b . PULUNGAN et. al. 1989 . c . SUTIKNO, belurn dipublikasi . d . DEVENDRA, 1977 e . Wong et al., 1986 . f . MANGKUWIDJAJA clan FRIDIA, 1991 . g . SURYADI, 1992 .
39
A . IRAWAN SUTIKNO :
Pod Coklat untuk Pakan Temak Ruminansia
Hal serupa ditunjukkan oleh peneliti lain (SMITH and ADEGBOLA, 1985) bahwa bahan yang mengandung serat tinggi tetapi rendah protein dapat dipakai sebagai sumber energi yang potensial . Seperti halnya dilaporkan DEVENDRA (1977) bahwa semakin tinggi taraf pod coklat dalam ransum, semakin turun kecernaannya . Kecuali untuk ekstrak eter yang tidak memberikan perbedaan untuk setiap perlakuan, inklusi pod coklat sebesar 15% kecernaan bahan makanan adalah sama dengan kontrol (0%) . Mulai dari 30% kecenderungan menurunnya kecernaan mulai tampak, terlebih pada taraf yang lebih tinggi lagi . Meski pemakaian pod coklat dalam ransum menimbulkan depresi dalam hal daya cernanya, sampai taraf 45% lebih dari separuh zat-zat makanan tersebut dapat dicerna . Dengan demikian sampai taraf 45% ternak domba sebaiknya diberi nutrisi yang cukup untuk pokok hidup agar bobot badannya dapat dipertahankan . Palabilitas terhadap pod coklat tidak terganggu bahkan sampai taraf 75% . Kecenderungan serupa diperlihatkan pada sapi sebagai ternak percobaan . Pada ransum yang diberi pod coklat sebesar 20 dan 40%, kecernaan bahan kering protein kasar dan serat deterjen asam menurun dibandingkan kontrol . Dibandingkan ternak kontrol, inklusi pod coklat dicerminkan dengan pertumbuhan yang terhambat. Dalam hal ini, hanya pada taraf 40% nampak ada perbedaan yang nyata, sedangkan pada taraf 20% meski ada kecenderungan penurunan bobot bahan dibanding kontrol, tapi uji statistik tidak menunjukkan perbedaan (SMITH and ADEGBOLA, 1985) . Sebaliknya , WONG et al. (1986) menemukan hasil yang menarik dari hasil penelitiannya. Seperti peneliti terdahulu pada percobaan ini juga dicoba pod kering dan hasilnya kecernaan bahan kering, bahan organik, serat kasar, energi maupun protein kasar menurun dengan bertambahnya inklusi pod dalam ransum . Tetapi para peneliti ini mencoba pula pod segar yang dipotong kecil berbentuk kubus berukuran 1 - 2 cm . Hasilnya, sampai taraf 50% pod segar dapat diberikan secara ekonomis pada sapi . pod segar banyak mengandung air yakni kira-kira 90% (Tabel 1) dan nampaknya pod kering lebih lambat difermentasikan daripada pod segar clan ada kemungkinan pod kering mengalami kehilangan karbohidrat terlarut selama proses pengeringan berlangsung . Pemberian pod segar ternyata memberikan keuntungan di banding pod kering . Bahwa pengeringan dibawah sinar matahari yang biasanya membutuhkan waktu 7 - 10 hari dapat dipersingkat apabila pod itu diberikan segar. Keuntungan lainnya yaitu kebutuhan akan biji-bijian yang 40
juga dikonsumsi manusia (misalnya jagung) dapat digantikan, oleh pod segar . Pemberian pod segar memungkinkan dilakukan mengingat bahwa tanaman coklat bisa dipanen sebanyak dua kali setahun . Dengan cara penjadwalan saat-saat panen, maka pod segar bisa diberikan terusmenerus tanpa terputus . DELIGNIFIKASI Seperti dikemukakan sebelumnya, limbah lignoselulosik merupakan bahan yang mengandung lignin, hemiselulosa dan selulosa . Secara fisik (penggilingan, pemanasan uap, radiasi, pemanasan udara kering) atau secara kimia (pelarutan, larutan pengembangan, gas S02) atau gabungan keduanya, limbah ini dapat dimanfaatkan kembali dengan menurunkan kadar ligninnya semaksimal mungkin. Di dalam dinding sel proses delignifikasi dapat dihambat oleh faktor fisika dan kimia antara lignin dan polisakarida yang sangat berdekatan strukturnya . Lignin mencegah degradasi selulosa terutama dengan cara menghambat secara fisik antara enzim selulolitik dan substratnya . Karenanya kecepatan clan besarnya degradasi enzimatik ini pada bahan-bahan lignoselulosik berbanding terbalik dengan kadar lignin, makin tinggi ligninnya, makin rendah degradasinya . Bahkan kalau kadar ligninnya rendah, hidrolisis selulosa dapat dihambat karena sifat fisik dari polisakarida itu sendiri . Di daerah amorph dari selulosa, misalnya, dapat terhidrolisis dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada daerah mikrokristalin (GOULD, 1984) . Teknik delignifikasi sebenarnya berawal dari industri kertas clan pulp . Teknik yang sekarang ada memiliki beberapa kelemahan, diantaranya mem butuhkan input energi yang tinggi (pemakaian panas), pereaksinya mahal atau toksik atau pun menghasilkan produk beracun bagi tahap selanjutnya . GOULD (1985) menemukan bahwa dalam kondisi yang mengandung 1 % H202 (pH 11,5 ; 24 jam ; 25 °C, diaduk) ternyata hampir separuh lignin dari jerami gandum dapat dilarutkan clan ketika bagian yang tidak larut dihidrolisis secara enzimatik, dihasilkan hampir 100% konversi menjadi glukosa . Salah satu keuntungan terpenting dari teknik delignifikasi ini adalah reaksinya berjalan relatif cepat pada suhu kamar, jadi menghemat energi untuk pemanasan . Dibandingkan proses delignifikasi lainnya maka proses ini tidak menghasilkan produk beracun untuk tahap berikutnya, terbukti bahwa pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae (untuk fermentasi etanol) tidak terganggu. .
WARTAZOA Vol. 6 No. 2 Th . 1997 MANGKUWIDJAJA clan FRIDIA (1991) membandingkan empat cara delignifikasi yaitu gabungan NaOH-H202, H2SO4-FeNa tartat, H2SO4 clan Ca(HS03) untuk tiga macam limbah (pod, jerami padi, onggok) . Sejauh menyangkut mengenai pod, hasil delignifikasi terbaik adalah gabungan NaOHH202, yaitu sebanyak 58% . Faktor NaOH yang menclahului sebelum direndam dengan H202 barangkali merupakan kunci karena NaOH bersifat sebagai pengembang sebelum diserang oleh radikal bebas H202, tapi selulosa susut hampir separuhnya sedang hemiselulosa 83% . OLDHAM clan SIMPSON (1984) dalam laporan sebelumnya menggunakan hanya larutan NaOH 1 % untuk mendelignifikasi clan membuang pektinnya . Setelah direndam semalam, mendidihkannya selama 3 jam, clan mencucinya sampai bebas alkali, diperoleh residu pod coklat yang hampir separuhnya bebas lignin . Pod coklat mengandung lignin yang relatif tinggi . Menggunakan teknik yang sudah ada, tapi dengan bahan yang lebih banyak (5 kg diban dingkan 1 g seperti pada GOULD, 1985) proses delignifikasi hanya mampu menurunkan 34% dari kadar awal (SURYADI, 1992) . Dalam hal ini sifat bahan, rendah tidaknya kadar lignin awal, imbangan jumlah larutan perendam dengan bahan, menyebabkan proses delignifikasi agak beragam hasilnya . SURYADI (1992) selanjutnya mengaplikasikan hasil delignifikasi diatas untuk menumbuhkan kapang Aspergillus niger. Diperoleh hasil bahwa setelah fermentasi optimum selesai, terjadi penurunan kadar selulosa clan hemiselulosa masingmasing sebesar 27% clan 63% . Dibandingkan bahan tanpa delignifikasi, juga terjadi penurunan pada selulosa (22%) clan hemiselulosa (38%) . Hal ini terjadi karena kapang tersebut bersifat selulolitik. Proses tanpa delignifikasi ini juga menaikkan kadar protein dari 6,5 (awal) menjadi 9,5% (hampir 50%) seclangkan proses yang mengalami delignifikasi meningkat dari 3,8 menjadi 5,7% (rata-rata 28%) . Kenaikan ini rendah clan ticlak berarti dibandingkan pod awal . Rendahnya kenaikan ini karena sebagian protein clan N-anorganik larut selama proses delignifikasi . Proses delignifikasi menaikkan koefisien cerna bahan kering sebesar 72,6% (dari bahan awal 36%) sedangkan tanpa delignifikasi hanya sebesar 19,5% . Hasil ini dicapai dengan lama fermentasi dua hari . Semakin lama fermentasinya, semakin membentuk spora yang dapat mencemari ruangan . Spora ini berdinding tebal clan mengandung kitin yang sulit dicerna.
TANPA DELIGNIFIKASI Mengingat bahwa delignifikasi secara kimia dapat menjadi terlalu mahal untuk inclustri peternakan, agaknya cara terbaik dalam penanganan limbah lignoselulosik adalah biokonversi melalui organisme yang memiliki kemampuan lignolitik . Tujuannya adalah memecah ligninnya clan mempertahankan selulosa yang amat berharga dibidang peternakan sambil menaikkan kadar proteinnya. Mikroba seperti kapang mengandung protein yang cukup tinggi dalam sel tubuhnya yaitu dapat berkisar antara 35-40% berclasarkan bobot kering . Oleh karena itu biomassa yang berasal dari mikroba yang tumbuh dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kadar protein awal yang dipakai . Adanya pektin di dalam pod coklat yang relatif tinggi yaitu 13,6% (LESTINA, 1991) dapat dipakai sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan ka pang karena kapang sepertiA . nigermenghasilkan enzim pektinase yang clapat memecah pektin . Kapang ini juga menghasilkan enzim selulosa yang berguna untuk memutuskan ikatan selulosa kompleks menjadi produk sederhana yang mudah dicerna. SUTIKNO et al . (1994) mencoba menumbuhkan A. niger, Neurospora sitophyla clan campurannya pada pod yang tidak mengalami delignifikasi . Untuk semua jenis organisme, lama fermentasi pada hari ke-2 memberikan kenaikan daya cerna yang berbeda nyata. Untuk A. niger kenaikan daya cerna bahan kering meningkat dari 43% (bahan awal) sampai 60% (naik 40%) . N. sitophyla memberikan kenaikan yang kira-kira serupa yaitu 55% sedangkah campuran keduanya hanya meningkatkan sebesar 29% dari bahan awal (sebagai perbandingan rumput gajah memberikan kecernaan bahan kering sebesar 53%) . Kesulitan dengan N. sitophyla yaitu kapang ini berkaitan dengan enzim protease yang pada akhir fermentasi mengeluarkan amonia . Amonia bersifat fungistatik sehingga menghambat kapang . UNTUNG clan SURAIDAH (1991) mencoba kapang Trichoderma reesei clan melaporkan kenaikan kadar protein dari bahan awal 6-8% menjadi 12-15% . Kondisi sterilisasi yang berbeda (uap 80°C, 10 jam) clan, adanya kontaminasi ruangan, menyebabkan spesies ini sulit ditumbuhkan pada kondisi seperti itu walau kadar proteinnya meningkat kira-kira 100% . Kebutuhan akan bahan bakar perlu dipertimbangkan (10 jam) . Jamur lapuk putih (Phanerochete chrysosporium) pernah pula dicoba untuk mendegraclasi lignin sekaligus meningkatkan kadar proteinnya sebagai akibat dari pertumbuhan miselium (bagian
41
A.
IRAWAN SUTIKNO :
Pod Coklat untuk Pakan Temak Ruminansia
vegetatif jamur) . Sebagai substrat adalah jerami jagung (HORVATH, 1984) . Kadar lignin dan selulosa dilaporkan masing-masing sebesar 7,4% dan 76,5% sedangkan proteinnya sebesar 9%, berarti (dibandingkan kontrol) kadar lignin turun separuhnya dan kadar selulosa menyusut hanya sedikit saja. Sehubungan dengan pod coklat, SASTRAWIJAYA (1995) mencoba menanam jamur Pleurotus sp . yang bisa dimakan . Jamur ini bersifat ligno selulolitik sehingga pada akhir penanaman substratnya diharapkan bisa diberikan pada ternak . Dua spesies jamur telah dicobakan, yaitu P, ostreatus clan P. sajorcaju . Tanpa proses delignifikasi, hasil analisis menunjukkan bahwa kecernaan tergantung pada spesies jamur yang dipakai . Dalam hal ini pod dicampur dengan jerami untuk mengatasi kelengketan akibat tingginya kadar pektin dan diperoleh bahwa campuran pod-jerami 70% adalah campuran yang maksimum . Dengan kata lain, semakin banyak jeraminya semakin baik pula sifat fisik campurannya . Dalam batas-batas percobaan, campuran 0% pod (100% jerami), 60 dan 70%, baik kecernaan bahan kering maupun bahan organik, P. ostreatus menunjukkan bahwa semakin turun kadar pod dalam campuran (jadi mendekati 100% jerami) hasilnya semakin, baik . Kebalikannya dengan P, sajorcaju, semakin tinggi kadar pod dalam campuran, semakin baik. Tapi peningkatan daya cerna ini dibandingkan kontrol hampir tidak berarti . Pada P, sajorcaju misalnya, hasil analisis rumen pepsin pada perlakuan yang terbaik (70% pod) peningkatannya dari 32% hanya menjadi 35% . Nampaknya jamur jenis ini hanya sedikit menguraikan struktur lignin.
Tanpa delignifikasi, penanaman kapang lebih menguntungkan dari pada bila digunakan sebagai media jamur yang bisa dimakan . Fermentasi yang lebih cepat (2-3 hari) menjadi aspek yang menguntungkan dibanding penanaman jamur (sekitar 3 bulan) . Melalui pertumbuhan kapang, terjadi kenaikan daya'cerna yang cukup berarti, disamping biomassa kapang dapat digunakan untuk menaikkan kadar protein dari substrat .
KI SIMPULAN
NASUTION, Z., W . CIPTAHADI dan B.S. LAKSMI . 1985 . Pengolaha n Coklat . Agro-industri Press . FatetaIPB, Bogor : 4-11 .
Pod coklat dapat diberikan pada hewan ruminansia meskipun pemakaiannya dalam ransum harus dibatasi . Berkurangnya bobot badan pada ternak yang bertumbuh serta penurunan kecernaan menjadi faktor pembatas . Inklusi pod coklat kering yang diberikan langsung berkisar kira-kira 20%, sedang pod segar dapat dipakai secara ekonomis sampai hampir 50% . Diperlukan cara penjadwalan pemanenan pod ini bisa diberikan dalam keadaan segar terus-menerus . Delignifikasi pada pod coklat dapat menjadi alternatif yang menarik sejauh kebutuhan akan bahan kimia cukup murah . Dengan delignifikasi sebagian ikatan lignin terdegradasi tapi sebagian selulosa dan hampir seluruh hemiselulosa juga ikut mengalami penurunan .
42
DAFTAR PUSTAKA BALAI PENELITIAN TERNAK, 1991-1992 . Laporan tahunan . 29. DEVENDRA,C . 1977. The utilization of cocoa pod husk by sheep . Malaysian Agric. J. 51 (2) : 179-185 . GOULD, J .M . 1984 . Alkaline peroxide delignification of agricultural residues to enhance enzymatic saccharification . Biotech and Bioeng . Vol . 26 : 46-52. GOULD, J.M. 1985 . Studies on the mechanism of alkaline peroxide delignification of agricultural residues . Vol . 27 :225-231 . HORVATH, K.Z. 1984 . Protein enrichment of lignosellulosic agricultural wastes by mushroom . Biotech and Bioeng . Vol .26 : 398 . LESTINA, P. 1991 . Peningkatan kualitas pod coklat sebagai pakan ternak dengan fermentasi substrat padat . Laporan praktek D III . Akademi Kimia Analis, Bogor. MANGKUWIDJAJA, D clan T. FRIDIA . 1991 . Pengaruh cara delignifikasi terhadap sakarifikasi limbah lignoselulosik. J . Teknol. Ind. Pert . Vol . 3 (1) : 67-71 . MUSLIHAT . 1986. Komposisi kimia jerami padi sebagai substrat jamur tiram sesudah panenan pertama . Laporan praktek D III . Akademi Kimia Analis, Bogor .
OLDHAM, J .H . and B.K. SIMPSON . 1984. Enzymati c hydrolysis of cocoa pod husk. Biotech and Bioeng. Vol . 26 :807-810. PULUNGAN, H., M . RANGKUTI., T. HARYATI, ERLINAWATI dan T . RUSTANDI. 1989 . Pengaruh berbagai tingkat pemberian kulit biji coklat (Theobroma cacao L.) dalam ransum Temak domba . llmu dan Peternakan 314) : 161-164 . SASTRAWIJAYA, H. 1995. Mempelajari peningkatan daya cerna pod coklat setelah ditanami P. ostreatus dan P. sajorcaju. Skripsi Tekn . Ind . Pert . Universitas Juanda, Bogor. SMITH, O .B. and A.A. ADEGBOLA. 1985 . Studie s on the feeding value of agro-industrial by-product III . Digestibility of cocoa-pod cocoa-pod based diets by
WARTAZOA VOL 6 No. 2 Th . 1997
ruminants . Anim . Feed.Sci. Techn o% 13 : 249254.
UNTUNG, 0 .
1992 . Studi peningkatan kualitas pod coklat sebagai bahan pakan ternak ruminansia dengan cara kimia dan biologis . Skripsi . Tekn . Ind. Pert . Universitas Juanda, Bogor .
WONG, H .K .,
SURYADI, D.
T . HARYATI dan J. DARMA. 1994 . Perbaikan kualitas gizi pod coklat melalui proses fermentasi . Pros . Seminar Nasional Sains dan Tekn . Peternakan . Balai Penelitian Ternak : 753-761 .
SUTIKNo, A.I .,
dan SURAIDAH . 1991 . Kulit kakao untuk pakan ternak . Tiubus 264 : 28 . O .A . HASSAN and M . S .M . IDRIS. 1986 . Utilizatio n of cocoa by-products as ruminants feed . Proc . Of the 6th annual workshop of the Austra lian-Asian fibrous agricultural residues research network.
Ruminant Feeding System Utilizing Fibrous Agricultural Residues (R .M . Nixon ed) : 95-103 .