TINJAUAN PUSTAKA Ternak Ruminansia Ternak ruminansia adalah mamalia berkuku genap seperti sapi, kerbau, domba, kambing, rusa, dan kijang yang merupakan sub ordo dari ordo Artiodactyla. Nama ruminansia berasal dari bahasa Latin “ruminare” yang artinya mengunyah kembali atau memamah biak, sehingga dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hewan memamah biak. Ruminansia merupakan ternak masa depan yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia, karena hanya hewan ini yang mampu dengan baik memanfaatkan bahan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia. Hijauan seperti rumput atau limbah pertanian yang tidak dimakan oleh manusia dapat dikonversikan ke dalam makanan bernilai gizi tinggi yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Ternak ruminansia adalah hewan ternak yang pada sistem pencernaanya mempunyai alat pencernaan yang berbentuk rumen (perut besar). Berdasarkan susunan alat-alat pencernaanya hewan ternak dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu ternak berlambung tunggal dan ternak berlambung jamak. Kelompok ternak berlambung jamak inilah yang biasa di sebut sebagai ternak ruminansia. Dalam rumen (perut besar) ternak ruminansia terdapat berjuta-juta mikroba yang hidup bersimbiosis dengan ternak inang dan sangat berguna dalam proses pencernaan. Dengan mikroba-mikroba tersebut, ternak ruminansia mampu memanfaatkan bahan makanan berkadar serat tingi seperti rumput-rumputan dan dedaunan menjadi makanan Ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba manjadi bioconverter pakan berserat tinggi seperti limbah pertanian, rumput-rumputan menjadi pakan yang berkualitas karena memiliki lambung majemuk yang terdiridari rumen, reticulum, omasum dan abomasums. Peran ternak ruminansia menjadi sangat penting dalam prestise, status sosial, ekonomi, penyerapan tenaga kerja, penyediaan
konsumsi
panga
berkualitas,
maupun
dalam
menjaga
dan
mempertahankan keserasian lingkungan hidup. (Sutrisno, 2002). Pakan Ternak Ruminansia Pakan merupakan faktor yang sangat penting pada usaha peternakan sapi,
6
Universitas Sumatera Utara
7
baik hijauan maupun konsentrat. Kontinuitas penyediaan pakan sangat menentukan keberhasilan usaha peternakan sapi karena sepanjang waktu sapi berada dalam kandang. Pemberian pakan yang tidak kontinu dapat menimbulkan sterss dan akan berakibat sapi menjadi peka terhadap berbagai penyakit dan terganggu pertumbuhannya (Ahmad et al, 2004). Menurut Sofyan (2003), Hijauan Makanan Ternak yang dipergunakan untuk ternak ruminansia sebagian besar rumput-rumputan, sehingga rumput memegang peranan penting dalam penyediaan pakan dan telah umum digunakan oleh peternak dalam jumlah besar. Dilihat dari cara tumbuhnya rumput dapat digolongkan menjadi dua, yaitu rumput alami atau rumput liar dan rumput budidaya atau rumput pertanian. Menurut Santosa (2003) bahwa ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan untuk menata padang penggembalaan berdasarkan lamanya lahan dipergunakan sebagai sumber pakan ternak. Secara garis besar, penataan tersebut dapat dikelompokan menjadi dua: terus–menerus dipergunakan sebagai penghasil pakan ternak dan dipergunakan secara bergiliran dengan tanaman lain. Beberapa cara tatalaksana padang rumput tersebut adalah sebagai berikut: 1. Padang rumput permanen Padang rumput permanen adalah padang rumput yang terus-menerus dipergunakan sebagai sumber pakan ternak dalam jangka waktu yang cukup lama. Cara ini paling tepat apabila digunakan pada daerah yang bertopografi miring karena dapat mencegah terjadinya erosi tanah. 2. Padang rumput jangka pendek Padang rumput jangka pendek hanya dipergunakan dalam jangka waktu dua atau lima tahun saja. Setelah masa pemakaian sebagai padang penggembalaan, lahan ini akan diolah dan digunakan untuk tanaman lain. 3. Padang rumput rotasi jangka panjang Sistem padang rumput ini penggunaannya mencapai 6–10 tahun. Tata laksana penggunaannya perlu kombinasi dari kedua sistem diatas. 4. Padang rumput sementara Padang rumput ini hanya dipergunakan sebagai sumber tanaman pakan untuk beberapa bulan saja atau paling lama satu tahun. Tujuan dari penggunaan
Universitas Sumatera Utara
8
sistem ini adalah sebagai sumber pakan ternak pada saat kritis, menjaga kesuburan tanah dalam sistem pergiliran tanaman, dan memperbaiki struktur tanah. Pemberian pakan di kandang atau di palungan, yang paling penting diperhatikan adalah mengetahui berapa jumlah pakan dan bagaimana keadaan ransum yang diberikan kepada ternak (Santosa, 2003). Dalam menyusun ransum diusahakan agar kandungan zat–zat makanan di dalam ransum sesuai dengan zat– zat makanan yang dibutuhkan ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, untuk pertumbuhan dan untuk berproduksi. Menurut Santosa (2003) bahwa dalam memilih bahan pakan, beberapa pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya: 1. Bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan kesulitan mencarinya; 2. Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dan jumlah yang mencukupi keperluan; 3. Bahan pakan harus mempunyai harga layak dan sedapat mungkin mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar; 4. Bahan pakan harus diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan yang demikian, usahakan agar bahan pakan tersebut hanya satu macam saja; 5. Bahan pakan harus dapat diganti oleh bahan pakan lain yang kandungan zat– zat makanannya hampir setara; 6. Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak menampakan perbedaan warna, bau, atau rasa dari keadaan normalnya. Limbah pertanian adalah pakan yang bersumber dari limbah tanaman pangan dan produksinya sangat tergantung kepada jenis dan jumlah areal penanaman atau pola tanam dari pangan disuatu wilayah yang dikemukakan oleh Makkar (2002) dalam penelitian Syamsu (2005). Menurut Soetanto (2000) dan Syamsu (2005), untuk mengatasi masalah pakan secara umum dapat dilakukan tiga pendekatan. Pertama, memperluas keragaman sumber pakan dengan melakukan upaya pemanfaatan lahan tidur untuk penanaman hijauan makanan ternak, pemanfaatan limbah pertanian dan industri,
Universitas Sumatera Utara
9
dan menghidupkan kembali tanah-tanah pangonan. Selain itu dengan melakukan sistem pertanian lorong dan intensifikasi lahan pekarangan dengan memanfaatkan leguminosa perdu. Kedua, meningkatkan kualitas pakan melalui peningkatan kualitas pakan basal, peningkatan nilai nutrisi protein dan upaya menghilangkan senyawa anti nutrisi dalam pakan. Ketiga, memperbaiki sistem pemberian pakan dengan upaya yang dilakukan untuk perbaikan formulasi ransum ternak yang sesuai dengan daerah tropis dan manajemen pemberian pakan untuk ternak. Baba et al (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa potensi sumber hijauan utamanya rumput di daerah sentra lebih beragam dibanding daerah non sentra, namun potensi sumber konsentrat lebih banyak didaerah
non sentra.
Masalah utama peternak di daerah non sentra adalah tidak diketahuinya pengawetan pakan, kurangnya tenaga kerja, dan pakan yang tidak mencukupi sepanjang tahun. kebutuhan teknologi didaerah sentra adalah peningkatan pengetahuan formulasi bahan pakan lokal untuk produksi konsentrat dan complete feed adalah prioritas utama. Daerah non sentra lebih memproitaskan pengawetan limbah dan bahan pakan menjadi complete feed pada musim hujan/panen. Sementara hasil penelitian dari Syamsu (2005) diperoleh bahwa pengguna limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia ditingkat peternak masih rendah, dengan
jumlah peternak yang tidak menggunakan limbah tanaman
pangan sebagai pakan ternak yaitu 62,12%. sebanyak 54,80% peternak mengetahui tentang teknologi pakan, seperti amoniasi, hay, silase dan teknologi fermentasi lainnya. Tingkat penerapan teknologi masih sangat kurang, dengan hanya 21.19% peternak yang menerapkan teknologi pakan. Haryanto (2004) mengatakan bahwa menurunya daya dukung sumberdaya alam (pakan) untuk usaha ternak karena konversi lahan pertanian, serta perubahan pola budidaya menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi ternak. Sementara itu subsektor peternakan diharapkan mampu memenuhi permintaan akan protein hewani yang semakin meningkat, meningkatnya penyerapan tenaga kerja dan PDRB, ini berarti menuntut sub-sektor peternakan untuk dapat memacu produksinya (baik kuantitas maupun kualitas). Sementara disisi lain, sub-sektor peternakan dihadapkan kepada semakin menyempitnya lahan usaha akibat persaingan yang semakin meningkat baik antar sektor maupun antar sub-sektor
Universitas Sumatera Utara
10
dalam penggunaan lahan. Ekosistem lahan tadah hujan memberikan peluang pengembangan hijauan yang cukup baik karena ada periode bera terjadi setiap tahunnya. Pemanfaatan lahan bera oleh tanaman hijauan legum ternak akan memberikan manfaat ganda berupa peningkatan sumber hijauan ternak dan kesuburan lahan yang akan memberikan peningkatan hasil padi yang ditanam setelahnya dan sekaligus memberikan penghematan biaya produksi. Ekosistem lahan kering sebagai tempat usahatani memungkinkan adanya sumber pakan ternak berupa vegetasi alami yang berasal dari gulma di lahan pertanaman tanaman pangan atau sayuran, dedaunan tanaman tahunan serta vegetasi alam yang tersedia di tepi jalan atau batas kebun. Dibandingkan dengan kebutuhan nutrisi ternak, baik jumlah dan kualitas yang diberikan tersebut dinilai tidak cukup. Prospek pengembangan hijauan di ekosistem pertanian lahan kering cukup baik melalui rotasi tanaman pangan dengan legum pakan ternak atau penggunaan leguminosa pohon dan semak pada sistem budidaya lorong (alley cropping) pada lahan berlereng. Vegetasi alam yang tumbuh di areal perkebunan dapat dikonsumsi ternak dan dapat dikelompokkan sebagai hijauan, bukan sebagai gulma. Integrasi ternak dengan perkebunan bertujuan untuk mendapatkan nilai tambah lahan berupa produk ternak. Dengan tujuan seperti ini, perbaikan ketersediaan hijauan di areal perkebunan merupakan target yang sejalan dengan upaya pencapaian tingkat produktivitas ternak. Hijauan Pakan Ternak Hijauan pakan ternak (HPT) merupakan semua bahan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan. Kelompok hijauan makanan ternak meliputi bangsa rumput (gramineae), leguminosa, dan hijauan dari tumbuhtumbuhan lain seperti daun nangka, daun waru dan lain-lain. Limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, pucuk tebu, dan lain-lain merupakan sumber makanan ternak ruminansia yang dapat diperoleh dari tanaman pertanian. Pemanfaatan limbah pertanian untuk ternak tersebut akan mendukung integrasi usaha peternakan dengan usaha pertanian baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Di lain pihak
Universitas Sumatera Utara
11
kegiatan intensifikasi peternakan telah menyebabkan kotoran ternak melimpah dan cenderung mengganggu lingkungan. Hal ini akan memberikan prospek baru dalam mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan yaitu dengan inovasi teknologi sederhana dapat diubah menjadi kompos. Hijauan sebagai bahan makanan ternak bisa diberikan dalam dua bentuk, yakni hijauan segar dan hijauan kering. Hijaun segar berasal dari hijauan segar seperti rumput segar, leguminosa segar, sedangkan hijauan kering berasal dari hijauan yang sengaja dikeringkan (hay) ataupun jerami kering. Perbedaan mutu suatu hijauan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu sifat genetis (pembawaan) dan lingkungan. Faktor genetis berkaitan dengan pembawaan masing-masing jenis hijauan. Misalnya bangsa rumput memerlukan nitrogen yang diperoleh dari dalam tanah dengan jalan menghisap nitrat atau amonia yang larut dalam air, sedangkan leguminosa menambahkan nitrogen ke dalam tanah karena adanya bakteri-bakteri pada bintil-bintil akar. Baik rumput atau leguminosa di dalam sesamanya sendiri tidak akan memiliki mutu yang sama, masing-masing memiliki nilai gizi yang berbeda.
Faktor lingkungan
mempunyai peranan sangat penting, mutu yang diwariskan oleh faktor genetis hanya mungkin dipertahankan atau ditingkatkan apabila faktor lingkungan mendukung. Faktor-faktor lingkungan tersebut antara lain: keadaan tanah, iklim, dan perlakuan manusia. Mutu hijauan makanan ternak akan berbeda berdasarkan perbedaan jenis tanah dan tingkat kesuburannya. Semakin kaya tanah dengan unsur hara yang diperlukan maka hijauan akan tumbuh subur, berproduksi tinggi dan bermutu. Iklim dapat menentukan jumlah serta mutu bahan hijauan. Pada wilayah dengan iklim yang basah, hijauan yang dihasilkan kurang mengandung protein dan mineral serta lebih banyak kadar seratnya tetapi bahan keringnya rendah. Di daerah sub tropis (daerah yang tidak begitu basah) terdapat banyak padang rumput yang luas, rumput tumbuh tinggi dan pepohonan kurang (sabana), merupakan daerah yang baik untuk mengusahakan ternak. Sedangkan pada daerah kering hanya ditumbuhi oleh rumput-rumput pendek, merupakan daerah stepa atau hutan belukar. Di daerah kering ini ternak sering menghadapi kesulitan mendapatkan air. Di daerah ini usaha ternak akan lebih cocok dari pada pertanian khususnya
Universitas Sumatera Utara
12
(tanaman pangan). Pengaruh perlakuan manusia terhadap mutu hijauan menyangkut pengaturan waktu pemotongan serta cara-cara pengelolaan. Semakin lambat waktu pemotongan, kandungan serat kasar akan semakin meningkat, sebaliknya nilai gizinya semakin merosot, karena banyak zat yang hilang atau diubah menjadi buah atau biji. Sebaliknya apabila pemotongan dilakukan dalam interval waktu pemotongan yang pendek, hijauan akan selalu dalam keadaan muda. Cara pengelolaan yang baik berkenaan dengan prisnsip-prinsip pengelolaan dan penyimpanan, dalam hal ini hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: pemilihan lokasi, pemilihan bibit, pengelolaan tanah dan penanaman, pemeliharaan, dan defoliasi (pemotongan). Salah satu kendala dalam pengembangan ternak ruminansia adalah belum tersedianya hijauan makanan ternak baik kualitas maupun kuantitasnya yang memadai dan kontinyu sepanjang tahun. Fluktuasi jumlah ketersediaan hijauan makanan ternak dipengaruhi oleh tataguna lahan dan pola tanam. Hal ini berkaitan dengan keberadaan hijauan dari limbah hasil pertanian seperti jerami padi, jagung, kacang tanah, kacang hijau,
kedelai,
ubi kayu,
ubi jalar, dan lain-lain.
Kekurangan hijauan biasanya terjadi pada musim kemarau, sementara pada musim hujan produksi hijauan ternak cukup tinggi. Keadaan ini sering terjadi di kawasan Indonesia bagian timur dengan musim kemarau yang relative panjang. Pada wilayah-wilayah pertanian intensif dengan pola pertanian yang diutamakan adalah tanaman pangan, kekurangan hijauan dapat juga terjadi pada musim hujan karena lahan sawah ditanami padi atau tanaman pangan lainnya. Sumberdaya pakan meliputi pembinaan mutu pakan, pengembangan pakan alternatif, pemanfaatan sumberdaya pakan hijauan lokal dan pemanfaatan teknologi pakan (Pambudy dan Sudardjat, 2000). Dalam usahatani terdapat beberapa unsur yaitu lahan, tenaga kerja dan modal. Lahan merupakan basis untuk usaha peternakan atau merupakan faktor produksi sumber makanan ternak pokok berupa rumput, limbah ataupun produk utama pertanian (Suparini, 2000). Potensi dan Sumber Daya Sumberdaya lahan yang dapat
dimanfaatkan oleh peternak antara lain:
lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat, dengan
Universitas Sumatera Utara
13
tingkat kepadatan tergantung kepada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air, jenis sapi potong yang dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun, dan hutan tersebut memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak-tanaman yang merupakan suatu proses saling menunjang dan saling menguntungkan, melalui pemanfaatan tenaga untuk mengolah tanah dan kotoran sebagai pupuk organik. Sementara lahan sawah dan lahan tanaman pangan menghasilkan jerami padi dan hasil sampingan tanaman yang dapat diolah sebagai makanan ternak. Sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput alam dan jenis tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas ternak (Riady, 2004). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), agar ternak dapat berproduksi dengan baik, maka perlu memperhatikan persyaratan penggunaan dan sifat-sitat pembatas lahan yang meliputi sekelompok kualitas lahan yang diperlukan dan yang mempunyai pengaruh merugikan untuk produksi ternak. Kualitas lahan yang perlu diperhatikan untuk produksi ternak tersebut meliputi: a. semua kualitas lahan untuk pertumbuhan tanaman/rumput ternak antara lain: tersedianya air, tersedianya unsur hara, tersedianya oksigen di perakaran, daya memegang unsur hara, kondisi untuk perkecambahan, mudah tidaknya diolah, kadar garam, unsur-unsur beracun, kepekaan erosi, hama dan penyakit tanaman, bahaya banjir, suhu, sinar matahari, dan periode photosintesis, iklim, kelembaban udara dan masa kering untuk pematangan tanaman; b. Kesulitan-kesulitan iklim yang mempengaruhi hewan ternak; c. Ketersediaan air minum ternak; d. Nilai nutrisi dari rumput; e. Sifat-sifat racun dari rumput; f. Penyakit-penyakit hewan; g. Ketahanan terhadap kerusakan rumput; h. Ketahanan erosi akibat penggembalaan. Menurut Ibrahim (2003), pada dasarnya evaluasi hijauan makanan ternak bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai jenis hijauan yang dengan manajemen tertentu dapat meningkatkan produktivitas ternak apabila dimasukkan ke dalam
Universitas Sumatera Utara
14
sistem usahatani. Oleh karena itu, pemahaman yang seksama perlu dilakukan terhadap sistem usahatani yang ada sehingga peluang integrasi hijauan terhadap suatu sistem dapat teridentifikasi dengan benar. Berdasarkan tipe penggunaan lahan yang ada, terdapat enam kelompok sistem usahatani di Indonesia, yaitu: (1) lahan sawah; (2) lahan kering; (3) lahan perkebunan; (4) padangan; (5) lahan pekarangan; dan (6) lahan pertanian berpindah. Masing-masing tipe penggunaan ini menentukan jenis hijauan ternak yang tersedia dan tingkat kesesesuaiannya untuk dikembangkan. Pada lahan sawah, sistem usahatani yang dilakukan adalah sistem usaha tani padi pada sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Pada sawah irigasi, padi ditanam lebih dari satu kali per tahun. Ternak ruminansia yang dipelihara di ekosistem ini mendapatkan makanan berupa jerami padi, gulma hasil penyiangan di lahan sawah, dedaunan tanaman tahunan dan vegetasi alam yang ada di pematang, saluran irigasi, tepi jalan, dan tanggul sungai. Pengembangan hijauan pada lahan sawah irigasi sangat terbatas karena petani umumnya menilai bahwa tanaman padi adalah komoditas utama sehingga tidak ada waktu, upaya atau alokasi lahan yang diperuntukkan bagi penanaman hijauan. Ekosistem lahan kering sebagai tempat usaha tani memungkinkan adanya sumber pakan ternak berupa vegetasi alami yang berasal dari gulma di lahan pertanaman tanaman pangan atau sayuran, dedaunan tanaman tahunan serta vegetasi alam yang tersedia di tepi jalan atau batas kebun. Dibandingkan dengan kebutuhan nutrisi ternak, baik jumlah dan kualitas yang diberikan tersebut dinilai tidak cukup. Prospek pengembangan hijauan di ekosistem pertanian lahan kering cukup baik melalui rotasi tanaman pangan dengan legum pakan ternak atau penggunaan leguminosa pohon dan semak pada sistem budidaya lorong (alley cropping) pada lahan berlereng. Vegetasi alam yang tumbuh di areal perkebunan dapat dikonsumsi ternak dan dapat dikelompokkan sebagai hijauan, bukan sebagai gulma. Integrasi ternak dengan perkebunan bertujuan untuk mendapatkan nilai tambah lahan berupa produk ternak. Dengan tujuan seperti ini, perbaikan ketersediaan hijauan di areal perkebunan merupakan target yang sejalan dengan upaya pencapaian tingkat produktivitas ternak.
Universitas Sumatera Utara
15
Karakteristik Peternak Pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu, dimana dengan memiliki pengetahuan formal yang lebih tinggi maka seseorang akan memiliki motivasi lebih tinggi dan wawasan yang lebih luas dalam menganalisa suatu kejadian (Rakhmat 2000). Tingkat pendidikan peternak relatif beragam, dengan didominasi oleh tingkat SD (57 – 76%), sedangkan tingkat Perguruan Tinggi (PT) terendah (1 – 2%). Tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi motivasi dan partisipasi peternak dalam pelaksanaan pengembangan peternakan. Umur Umur seorang pada umumnya dapat mempengaruhi aktivitas peteni maupun peternak dalam mengelola usahanya, dalam hal ini mempengaruhi kondisi fisik dan kemampuan berfikir. Makin muda umur petani, cendrung memiliki fisik yang kuat dan dinamis dalam mengelola usahanya, sehingga mampu bekerja lebih kuat dari petani yang umurnya tua. Selain itu petani yang lebih muda mempunyai keberanian untuk menanggung resiko dalam mencoba inovasi baru demi kemajuan usaha taninya (Syafrudin, 2003) Klausmeir dan Goodwin (1966) dalam Haryadi (1997) berpendapat bahwa umur pengajar maupun pelajar merupakan salah satu karakteristik penting yang berkaitan dengan efektivitas belajar dimana kepastian belajar seseorang, tetapi menurut perkembangan umurnya. Kapasitas belajar akan naik sampai usia dewasa dan kemudian menurun dengan bertambahnya umur. Tanggungan Jumlah tanggungan peternak merupakan satu karakteristik yang dapat mempengaruhi keputusan produksi. Selanjutnya Soekartawi (1988) menjelaskan jumlah tanggungan keluarga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak suatu teknologi baru. Syafrudin (2003) menyatakan bahwa jumlah tanggungan keluarga merupakan salah satu sumber daya manusia yang dimiliki peternak, terutama yang berusia produktif dan ikut membantu usaha ternaknya tanggungan keluarga juga bisa menjadi beban keluarga jika tidak aktif bekerja.
Universitas Sumatera Utara
16
Analisis Location Quation(LQ) Menurut Budiharsono (2001), metode Location Quation digunakan untuk mengetahui penggolongan suatu sektor wilayah ke dalam sektor basis dan non basis. Location Quation merupakan suatu perbandingan besarnya sektor atau kegiatan terhadap besarnya peranan sektor tersebut pada wilayah yang lebih luas. Apabila LQ suatu sektor bernilai dari atau sama dengan satu (≥1), maka sektor tersebut merupakan sektor basis. Sedangkan bila LQ suatu sektor kurang dari satu (<1), maka sektor tersebut merupakan sektor non basis. Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Metode Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia merupakan suatu pendekatan
untuk menunjukan
kemampuan atau kapasitas wilayah
dalam penyediaan makanan ternak. Potensi wilayah dapat diketahui dengan metode pengembangan pemetaan potensi wilayah. Pendekatan perhitungan potensi wilayah dan pengembangan ternak ruminansia dapat dihitung dengan cara perhitungan Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Menurut (Ayuni, 2005). Metode ini merujuk pada metode Nell dan Rollinson (1974), digunakan untuk melihat seberapa besar suatu wilayah berpotensi untuk menambah populasi ternak ruminansia berdasarkan ketersediaan hijauan dan tenaga kerja di wilayah tersebut. KPPTR (L)
= KTTR – Populasi Riil
Populasi Riil
= Ternak yang benar-benar ada saat penelitian
KTTR
= ( Σ k . Le . 15 ton BK/ha/tahun ) + Σ j Li (ST) 2,3
Keterangan : k Le j Li 15 ton/ha/tahun 2.3 KPPTR (L)
= koefisien ketersediaan lahan penghasil rumput = luas lahan penghasil rumput (ha) = koefisien produksi HMT = lahan penghasil Hijauan Sisa Hasil Pertanian = rata-rata produksi padang rumput = setiap ST per tahun memerlukan 2,3 ton BK = KPPTR berdasarkan ketersedian hijauan
Universitas Sumatera Utara
17
Analisa SWOT Suatu analisa yang digunakan untuk mengetahui pengaruh internal dan eksternal kelompok ternak atas kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta perumusan strategi pengembangan berdasarkan potensi yang dimiliki. Menurut Rangkuti (2000), kinerja suatu perusahaan dapat ditentukan oleh kombinasi faktor lingkungan Internal strength dan Weakness serta lingkungan eksternal Opportunities dan Threats yang dihadapi dunia bisnis, kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisa SWOT. Matrik Faktor Strategi Internal. Merupakan suatu strategi dimana mengidentifikasi faktor internal pada Kecamatan Juli, Kuala dan Jangka suatu Tabel
IFAS
(Internal Strategic
Factors Analysis Summary) disusun untuk merumuskan faktor-faktor internal tersebut dalam kerangka Strength and Waekness. Tahapan dari matrik faktor strategi internal adalah: a. Tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan dalam kolom 1; b. Beri bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1,0 (paling penting) sampai 0,0 (tidak penting), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap posisi strategi perusahaan. (semua bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,00); c. Hitung rating (dalam kolom 3 untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Peubah yang bersifat positif (semua peubah yang masuk kategori kekuatan) diberi nilai mulai dari +1 sampai dengan +4 (sangat baik) dengan membandingkannya dengan rata-rata industri atau dengan pesaing utama. Sedangkan peubah yang negatif , kebalikannya; d. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor); e. Jumlahkan skor pembobot (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukan
Universitas Sumatera Utara
18
bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor strategis internalnya. Matrik Faktor Strategi Eksternal. Merupakan suatu strategi dimana mengidentifikasi faktor internal, suatu tabel EFAS
(Eksternal Strategic Factors Analysis Summary) disusun untuk
merumuskan faktor-faktor internal tersebut dalam kerangka Opportunities and Threats. Tahapan dari matrik faktor strategi internal adalah: a. Susunlah dalam kolom 1 (5 sampai dengan 10 peluang dan ancaman); b. Beri bobot masing-masing faktor dalam kolom , mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis; c. Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan
skala mulai dari faktor 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor)
berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahan yang bersangkutan. d. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dengan kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing- masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor). e. Jumlahkan skor pembobotnya (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi kelompok peternak yang bersangkutan.
Matrik SWOT Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis adalah Matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matrik ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis. a. Strategi SO Strategi ini dilakukan dengan menggunakan seluruh kekuatan
untuk
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.
Universitas Sumatera Utara
19
b. Strategi ST Strategi ini adalah strategi dalam menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. c. Strategi WO Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada d. Strategi WT Strategi ini berdasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Universitas Sumatera Utara