Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
PEMBIBITAN KERBAU MENUNJANG SWASEMBADA DAGING DI INDONESIA (Buffalo Breeding Improvement for Supporting Target of Indonesia Meat Suffiency) C. TALIB, R.H. MATONDANG dan T. HERAWATI Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
ABSTRAK Kerbau sungai (river buffalo) dan kerbau lumpur (swamp buffalo) sekarang dikenal sebagai kerbau perah (dairy buffalo) dan kerbau daging (beef buffalo) berdasarkan fungsi dan target akhir produk. Kerbau perah mendominasi populasi kerbau dunia yang tersebar di anak benua India, Pakistan dan China dan Asia Tenggara didominasi oleh kerbau lumpur. Secara origin kerbau berasal dari Asia dan lebih dari 95% populasi kerbau berada di Asia (dari total hampir 210 juta ekor), tetapi perbaikan genetik kerbau yang paling sukses dan komersial justru terdapat di Eropa (tepatnya di Italy), karena mereka menerapkan inovasi teknologi pembibitan dalam usaha peternakan kerbau untuk menghasilkan bibit kerbau unggul dan produk akhir yang dharapkan oleh konsumen sehingga menguntungkan. Di Asia, populasi kerbau menurun secara bertahap karena produktivitasnya menurun dan peranannya dalam kehidupan masyarakat juga menurun. Diduga penurunan populasi dan produktivitas disebabkan karena sentuhan teknologi yang masih sangat terbatas, walaupun hasil penelitian tentang kerbau sudah cukup banyak di Asia. Hal tersebut juga terjadi di Indonesia, bahkan disinyalir hampir tidak ada aplikasi teknologi yang diterapkan oleh para peternak kerbau di Indonesia. Oleh karena itu perlu diidentifikasi teknologi perbibitan yang tepat bagi pembentukan bibit kerbau unggul yang dibutuhkan di Indonesia. Momen swasembada daging kerbau dan sapi pada Tahun 2014 dapat digunakan untuk peningkatan populasi dan produktivitas kerbau di Indonesia. Kata Kunci: Kerbau, Bibit, Populasi, Produktivitas. ABSTRACT River buffalo and swamp buffalo is now known as the dairy buffalo and beef buffalo based on the function and the target of end products. Dairy buffalo population is dominated in the world's, the highest number is concentrated spread across the Indian subcontinent, Pakistan and China; and swamp buffalo is dominated in Southeast Asian countries. Domesticated buffalo origin from Asia and more than 95% of the buffalo population are settle in Asia (from a total of nearly 210 million head), but the most commercial of buffalo genetic improvement is successful in Europe (specifically in Italy), because they have applied breeding technology innovation to produce superior buffalo breeds and meet the end product as well as consumer expectation and profitable. In Asia, the buffalo population is gradually declining caused by decreasing of productivity and its role in farmer’s life. Prediction of the declined factors in population and productivity is caused by the very limited touch of technology in the rearing animals, although the results of research on the buffalo has been quite a lot in Asia. It also happened in Indonesia, even pointed out there is almost no applications of technology applied by farmers at buffalo. Therefore it is necessary to identify the appropriate model and technology needs for developing buffalo breeding in varios areas and micro-climates of Indonesia. The moment of self-sufficiency in beef on the Year 2014 can be used to increase the population and the productivity of buffaloes in Indonesia. Key Words: Buffalo, Breeding, Population, Productivities
PENDAHULUAN Kerbau adalah ternak asli Asia, dalam keadaan liar masih di temukan di Indonesia
8
yaitu di Pulau Sulawesi yang dikenal sebagai Anoa yaitu kerbau terkecil di dunia (BAHRI dan TALIB, 2008). Sejumlah 210 juta ekor kerbau di dunia, sebesar 172.5 juta ekor adalah kerbau
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
perah dan 37.6 juta ekor adalah kerbau lumpur (CRUZ, 2009). Kerbau sungai (river buffalo) dan kerbau lumpur (swamp buffalo) sekarang dikenal sebagai kerbau perah (dairy buffalo) dan kerbau daging (beef buffalo) berdasarkan fungsi dan target akhir produk. Kerbau perah mendominasi populasi kerbau dunia yang tersebar di anak benua India, Pakistan dan China dan Asia Tenggara didominasi oleh kerbau lumpur Dari populasi kerbau tersebut di atas lebih dari 95% berada di Asia dan sisanya tersebar di Amerika Latin, Eropa dan Afrika. Bibit kerbau unggul yang diperoleh dari perbaikan genetik yang paling sukses dan komersial justru terdapat di Eropa yaitu di Italy. Hal tersebut disebabkan karena mereka menerapkan inovasi teknologi pembibitan dalam usaha peternakan kerbau untuk menghasilkan bibit kerbau unggul yang mampu menghasilkan produk akhir yang diharapkan konsumen sehingga usaha yang dikembangkan sangat menguntungkan. Produk akhir tersebut adalah keju mozarella yang cita rasanya tidak bisa tergantikan oleh keju yang dihasilkan dari susu ternak lainnya. Ini adalah contoh baik yang patut ditiru, yakni dalam melaksanakan seleksi maka target produk yang ingin dicapai seharusnya memang yang diharapkan oleh masyarakat konsumen. Hal sebaliknya terjadi di Asia, dimana populasi kerbau menurun secara bertahap, produktivitasnya menurun dan peranannya dalam kehidupan masyarakat juga menurun. GUNAWAN dan ROMJALI (2010) mengidentifikasi bahwa salah satu yang menyebabkan rendahnya populasi kerbau disebabkan oleh keterbatasan bibit unggul, mutu dan jumlah serta mutu pakan yang tidak terpenuhi untuk perbaikan produktivitas, tingginya derajat silang dalam dan kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak tersebut. Halhal tersebut di atas seharusnya dapat ditanggulangi melalui penerapan teknologi yang tepat. Sehingga disimpulkan bahwa penurunan populasi dan produktivitas tersebut disebabkan karena sentuhan teknologi yang masih sangat terbatas dalam budidaya dan pembibitan kerbau, walaupun hasil penelitian tentang kerbau sudah cukup banyak tersedia. Hal tersebut juga terjadi di Indonesia, bahkan disinyalir hampir tidak ada aplikasi teknologi yang diterapkan oleh para peternak kerbau di
Indonesia. Oleh karena itu perlu diidentifikasi teknologi perbibitan yang tepat bagi pembentukan bibit kerbau unggul yang dibutuhkan di Indonesia. Momen swasembada daging sapi yang kemudian berubah menjadi swasembada daging sapi dan kerbau pada Tahun 2014 dapat digunakan untuk peningkatan populasi dan produktivitas kerbau di Indonesia. PETERNAKAN KERBAU DI INDONESIA Kerbau yang berada di Indonesia di dominasi oleh kerbau lumpur dengan jumlah populasi sekitar 2 juta ekor dan kerbau perah terdapat kurang dari 5 ribu ekor. Kerbaukerbau tersebut di pelihara oleh peternak kecil untuk kerbau lumpur dengan pemeliharaan secara tradisional dengan jumlah kepemilikan 2 – 3 ekor induk per peternak sedangkan kerbau perah dipelihara dalam kandang kelompok atau digembalakan secara berkelompok pada areal sekitar para peternak berdiam. Walaupun demikian pada beberapa tempat tertentu terdapat pemilikan dalam jumlah yang besar seperti di Pulau Moa (Maluku), Sumba (NTT) dan Sumbawa (NTB) dimana jumlah pemilikan kerbau per peternak dapat mencapai 100 ekor induk. Dengan majunya otonomi daerah dan adanya permentan tentang penetapan SDG (sumber daya genetik) ternak lokal maka beberapa daerah mengklaim kerbau-kerbau lumpur yang ada di daerahnya untuk ditetapkan sebagai bangsa atau sub bangsa kerbau di Indonesia karena kemampuan adaptasinya pada lingkungan tertentu yang cukup berbeda dengan kawasankerbau lainnya di Indonesia. Seperti kerbau sumbawa (NTB) dan kerbau moa (Maluku) yang diusulkan oleh daerah masing-masing untuk ditetapkan sebagai rumpun kerbau yang adaptif pada kondisi daerah spesifik pada iklim mikro masingmasing. Peranan utama kerbau secara nasional adalah sebagai penghasil daging yang di pasar secara umum dikenal sebagai daging sapi, sedangkan peran secara khusus bagi peternak adalah sebagai tenaga kerja dan tabungan yang setiap saat dapat diuangkan.Kedua peran ini ikut menentukan perkembangan populasi kerbau di Indonesia. Jika produktivitas dan
9
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
efisiensi pemeliharaan dapat ditingkatkan secara signifikan dengan harga jual yang layak untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan maka tentu populasikerbau akan meningkat. Demikian pula jika kebutuhan sebagai tenaga kerja dan tabungan masih dapat berlaku secara efektif sesuai yang dibutuhkan peternak maka tentu existensi kerbau akan tetap dipertahankan. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi maka tentulah populasi kerbau akan menurun, karena kebutuhan peternak tentu driven by market and farmers need. Populasi kerbau tidak akan menurun jika ada nilai tambah dari budidaya ternak kerbau yang dilakukan dan berdampak nyata secara ekonomi bagi perbakan penghasilan para peternak (RUSASTRA, 2011). Ciri peternakan kerbau yang mendominasi keragaan usaha ternak kerbau di Indonesia, identik dengan ketergantungan pada pakan serat alami antara lain: rumput alam, jerami berbagai tanaman pangan dan hortikultura serta perkebunan dengan pola pemeliharaan tradisonal dengan skala usaha antara 2 – 3 unit ternak. Kerbau-kerbau ini dapat digembalakan baik secara terus menerus maupun digembalakan hanya di siang hari (TALIB, 2010) dan dikandangkan. KUSWANDI (2011) dan PRAWIRADIGDO et al (2010) mengatakan bahwa pakan seperti ini umumnya rendah kualitasnya sehingga membutuhkan teknologi pengkayaan nutrisi (PUASTUTI, 2011; ANDINI dan FIRSONI, 2011) untuk meningkatan kualitas nilai gizinya, apalagi kalau di tambah dengan masalah pemberian pakan dalam jumlah yang tidak mencukupi, maka produktivitas kerbau yang baik akan sulit diperoleh. Dikatakan oleh PROTO (1993) bahwa kebutuhan kerbau (bobot badan 600 kg) untuk maintenance requirement adalah konsumsi pakan sejumlah 10.5 kg bahan kering, dengan kandungan protein kasar 10.5% (digestible protein 7%) dan TDN 65%. Penelitian ini dilakukan pada kerbau perah yang dalam keadaan kering kandang. Sedangkan untuk kerbau di Indonesia terlihat di lapangan bahwa dalam musim penghujan dimana pakan sumber serat berupa rerumputan cukup tersedia maka kerbau-kerbau induk menunjukkan body condition score (BCS) minimal 3 (dari skala 5) Ini menunjukkan bahwa kerbau lumpur (di Indonesia) mempunyai kebutuhan pakan dengan kualitas yang rendah dari yang dikemukakan Proto di
10
atas dengan perkiraan protein kasar >7% dan TDN > 60%. Kandungan serat tidak dikuatirkan karena kerbau lumpur mempunyai kemampuan luar biasa dalam mengolah serat kasar dengan bantuan protozoa dalam rumennya (PRAWIRODIGDO et al 2010). Dampak dari pemberian pakan yang rendah baik kualitas maupun kuantitasnya (PRAWIRADIGDO et al, 2010), pada produktivitas kerbau di Indonesia tersebut adalah kerbau dapat diidentikan dengan pertumbuhan yang lambat dan umur birahi pertama lambat, selang beranak yang panjang dan kematian dini yang tinggi. Rendahnya produktivitas ternak kerbau ini juga masih diperburuk lagi melalui akumulasi dari berbagai faktor selain pakan yang dikonsumsi yaitu penerapan manajemen secara tradisional (TALIB, 2010) yang jauh dari teknologi dan derajat inbreeding antara 10 – 20% (PRAHARANI, 2010; dan TALIB, 2010) dalam kelompok ternak. Anekdot tentang kerbau adalah ternak dengan produktivitas rendah seharusnya dapat dihilangkan melalui aplikasi berbagai teknologi dalam bidang pakan dan manajemen, pemuliaan dan reproduksi, sehingga dapat merangsang para peternak untuk melaksanakan usahaternak kerbau dengan lebih baik. Hal tersebut diyakini secara khusus akan dapat meningkatkan penghasilan peternak baik melalui penjualan pedet dan tetua afkir maupun kontribusinya yang akan lebih signifikan pada swasembada daging sapi dan kerbau sampai Tahun 2014. Sosialisasi penerapan teknologi tepat guna bagi para peternak kerbau adalah hal yang mudah diucapkan tetapi sulit dalam pelaksanaan karena membutuhkan SDM yang handal dan tekun, membuktikan pada peternak bahwa teknologi tersebut mumpuni dan merubah image peternak bahwa aplikasi teknologi akan berdampak pada peningkatan penghasilan keluarga peternak baik secara langsung maupun tidak langsung. Perlu diingat bahwa keluarga peternak yang menangani usahaternak pada tingkat keluarga walaupun diakui oleh keluarga sebagai hasil pekerjaan bapak, tetapi sebenarnya yang melaksanakan pekerjaan perawatan kerbau adalah ibu. Sehingga jika dalam penjelasan inovasi para ibu tidak hadir maka dapat dipastikan adopsi teknologi akan sulit diterapkan. Oleh karena itu
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
maka usaha dari berbagai lembaga terkait dan pemberdayaan serta keinginan para peternak untuk menerima dan mengadopsi inovasi yang diberikan merupakan faktor-faktor penentu terealisasinya aplikasi teknologi yang diharapkan. Diseminasi multi channel (BADAN LITBANGTAN, 2011) tersebut perlu dirancang dengan baik agar dalam pelaksanaanya, target yang ingin dicapai yaitu introduksi inovasi yang diperkenalkan dapat diterima dan adopsi pada peternak dapat berjalan dengan baik. Kerbau di Indonesia ada yang telah diternakkan (domesticated animals) dan ada yang masih dalam keadaan liar (wild animals) yaitu Anoa dan kerbau di hutan lindung (Talib, 2010). Kedua kelompok kerbau ini masingmasingnya telah membuktikan kemampuan beradaptasi pada lingkungan tempat hidupnya (adaptation ability) yang ditunjukkan dengan kemampuan bertahan hidup dan melanjutkan keturunan (survival ability). Daya adaptasi kerbau inilah yang seharusnya diangkat menjadi titik ungkit perbaikan produktivitas kerbau di Indonesia yaitu dapat berproduksi tinggi dengan tetap mempunyai kemampuan adaptasi yang baik pada lingkungan tempat hidupnya. Bahasa teknisnya adalah peningkatan produktivitas bertahap secara perlahan pada lingkungan tempat hidupnya tetapi responsif pada perlakuan lingkungan (termasuk pakan) yang baik. Kalimat terakhir inilah yang akan dijadikan titik tolak perbaikan pembibitan kerbau di Indonesia. Oleh karena itu untuk perbaikan produktivitas kerbau, maka Indonesia perlu membuat suatu model untuk penerapan teknologi yang sesuai dengan situasi dan kondisi lokasi yang ada serta disesuaikan dengan sistem management tradisional yang telah diterapkan oleh peternak kerbau di Indonesiadengan tambahan inovasi perbibitan, pakan dan manajemen pemeliharaan termasuk perkawinan. Bahasan ini akan dibuat tersendiri dalam bagian akhir dari tulisan ini. PEMBIBITAN KERBAU DI ITALI Peternakan kerbau di Italy adalah peternakan kerbau perah yang dilaksanakan mulai dari penggunaan bibit unggul dari hasil seleksi berdasarkan genetic improvement program di Italy. Pemberian pakan disesuaikan
dengan kebutuhan ternak sesuai tingkat fisiologisnya, yaitu induk: kosong, bunting, menyusui; pedet: pembesaran jantan dan betina; dara, dara bunting, melahirkan, kering kandang dan induk serta pejantan untuk produksi sperma. Dari pemanfaatan produk yang dihasilkan oleh ternak kerbau di Italia maka dapat diduga bahwa tujuan utama perbaikan genetik kerbau di Italia adalah menghasilkan produksi susu yang tinggi untuk menghasilkan keju khusus (yang disebut mozarella) yang sangat digemari di Eropa dengan kualitas terbaik, higienis dan bernilai ekonomis tinggi dan tidak tergantikan dengan produk lain dalam kualitas yang sama (BORGHEse, 2008). Menurut ANASB tujuan seleksi tidak hanya untuk meningkatkan jumlah susu tetapi juga meningkatkan produksi keju mozzarella berdasarkan indeks mozzarella: Mozzarella (kg) = Susu (kg) X (3,5 protein% X + 1,23 X% lemak – 0,88)/100 Dengan menerapkan tujuan tersebut maka Italia mengembangkan kerbau perah walaupun dengan jumlah populasi yang realtif kecil (jika dibandingkan dengan populasi kerbau di Asia Timur) tetapi memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan bagi peternak maupun negaranya. Langkah awal yang dilakukan sebelum perbaikan genetik diterapkan, terlebih dahulu melakukan perbaikan dalam berbagai teknologi terapan dalam budidaya terutama pada pakan dan management serta monitoring patologi dan kebersihan dan kualitas teknis produksi dan produk yang dihasilkan. Perbaikan genetik dilakukan melalui seleksi yang dikendalikan sepenuhnya oleh ANASB (Italia Buffalo Breeders Association) pada 27,8% dari total kerbau laktasi dengan melaksanakan rekording yang ketat pada produksi pagi dan sore hari, serta pencatatan sekali setiap bulan. Setelah berlangsung lebih dari 7 generasi, sekarang rataan produksi kerbau, di Italia adalah lebih dari 5.000 kg/laktasi dalam periode 270 hari laktasi. Mereka menerapkan program uji zuriat secara berkelanjutan dan memiliki stock jutaan dosis semen dari kerbau jantan (proven bulls) bernilai genetik tinggi untuk disebarkan keseluruh dunia. Pusat produksi straw ini berada di Cmpania (Italia Selatan) dan
11
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
Cremona (COFA, Cooperativa Fecondazione Artificiale, Italia Utara). Semen kerbau seperti inilah yang diharapkan Indonesia untuk di impor guna mengambil jalan pintas bagi perbaikan genetik kerbau lokal baik melalui outcrossing pada kerbau perah serumpun maupun kawin silang dengan kerbau lumpur secara terbatas yaitu hanya pada beberapa kawasan yang menyukai susu kerbau sebagai produk utama yang bernilai ekonomis penting. PEMBIBITAN KERBAU DI FILIPINA. Filipina memiliki 3,2 juta kerbau, dimana 99% dipelihara oleh petani kecil yang memiliki sumber daya yang kurang. Para petani tersebut pendapatan rendah dan kurang memiliki akses terhadap kesempatan ekonomi lainnya. Dengan demikian harapan terbesar para petani ini hanyalah pada usaha ternak kerbau yang dimilikinya serta usahatani yang terintegrasi dengan usaha kerbau tersebutt. Hal ini sangat serupa dengan di Indonesia dimana peternak kerbau memelihara kerbau sekedar sebagai tabungan , tanpa penerapan teknologi, dan kerbau terbesar akan dijual pada saat kebutuhan uang tunai mendesak. Hal yang berbeda sekali dengan peternakan kerbau di Italy yang mengusahakan ternak kerbau secara komersial dengan target end products yang sangat jelas yaitu keju mozarella. Program perbaikan genetik kerbau dimulai tahun 1993 untuk meningkatkan kualitas genetik kerbau lumpur asli yang digunakan untuk produksi daging, susu dan tenaga kerja. Pemerintah Filipina membangun breeding stock kerbau sungai di Filipina kerbau Center, di Munoz dengan mengimpor sekitar 3000 kerbau Murrah yang lengkap dengan catatan kinerja silsilah dari Bulgaria (CRUZ, 2010). Kerbau lumpur asli Filipina hanya mampu produksi susu sekitar 400 kg per laktasi dan kerbau persilangan (crossbred) berhasil meningkatkan produksi menjadi sebesar 1.350 kg susu per laktasi. Secara rinci persilangan ini dilakukan untuk meningkatkan produksi dengan target akhir adalah peningkatan produksi susu. Peningkatan produksi ini diperoleh secara bertahap yaitu pertama dihasilkan F1 dengan kemampuan produksi sebesar 1.100 kg dan F2 dengan produksi 1.350 kg dengan lama laktasi 305 hari.
12
Kelihatannya untuk sementara hasil ditampilkan oleh F2 sudah dirasa cukup baik sehingga F2 dijadikan breeding herd untuk tahap pertama dan perkawinan intersee dilakukan kelompok kerbau F2 tersebut. Walaupun program breeding untuk menghasilkan kelompok ternak dengan kemampuan produksi susu yang lebih baik, tetapi diduga dengan pengalaman di atas maka sistem perkawinan untuk pembentukan elite herd akan ditujukan untuk mempertahankan kandungan darah kerbau murah yang kurang dari 70% atau akan optimal pada besaran 60 – 65%. Pemerintah Filipina juga memikirkan pemasaran produk susu yang dihasilkan yaitu dengan memfasilitasi berdirinya Federasi Koperasi Susu kerbau Nueva Hecija (NEFDCCO) yang mengorganisir 25 koperasi di wilayah Hecija Nueva, yang bertujuan untukmenghasilkan produk susu dalam berbagai bentuk produk akhir yang bernilai komersial tinggi. Dengan adanya pasar yang menjamin terserapnya semua produk susu kerbau yang dihasilkan maka arah seleksi kerbau di lokasi ini benar-benar ditargetkanuntuk menghasilkan susu sebagai produk akhit yang sangat diharapkan. Target perbaikan genetik yang diharapkan adalah peningkatan genetik yang berkisar antara 1,2 – 2,0% per tahun artinya 7 – 14% per generasi (satu generasi diperkirakan 7 tahun). Kalau ini yang dipilih maka tentu backcross yang perlu dilakukan dan target sementara adalah membangun breeding herd akhir dengan kandungan darah kerbau murrah sebesar 70 – 75%. Jika dinilai dengan harga jual susu kerbau di Filipina yang sebesar 70 sen per liter maka diperkirakan kenaikan pertahun ini hanya akan meningkatkan penghasilan per ekor kerbau sebesar $ 110 yaitu menjadi $ 600 per ekor per tahun. Hal tersebut juga baru akan terjadi kalau program breeding dapat berjalan dengan baik dengan catatan bahwa rekording dapat dilakukan dan hambatan di lapangan dapat diminimalkan. Artinya ternak-ternak yang terseleksi tetap ada dalam populasi dan ditahui dengan pasti keberadaannya dan pencatatan secara individual dapat dilakukan dengan benar dan akurasinya tinggi. Hal ini perlu digaris bawahi mengingat bahwa 99% kerbau dipelihara oleh masyarakat luas dengan status petani kecil
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
yang hampir sama dengan di Indonesia. Jalan keluar yang dilakukan oleh Filipina adalah meniru secara tidak langsung sebagian program breeding kerbau seperti yang dilakukan di Itali yaitu membangun kerbau breeding center, dimana pada tempat ini seleksi dilakukan dengan baik dan benar dan pejantan yang dihasilkan digunakan untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau yang ada di peternak kecil. Sehingga program breeding yang dilakukan di kerbau breeding center adalah menghasilkan pejantan unggul dengan kandungan darah kerbau murrah yang telah ditentukan (produksi dan adaptasi terbaik pada lingkungan di Filipina) , sedangkan pada peternak kecil adalah program backcross kearah pejantan yang telah dihasilkan tersebut. KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PERBIBITAN DI INDONESIA Teknologi perbaikan genetik sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Italy dan Filipina melalui para ahli genetik di breeding center masing-masing juga dimiliki oleh Indonesia. Breeding center kerbau juga dimiliki oleh Indonesia dalam hal ini adalah UPT Perbibitan Kerbau dan Babi di Siborong-Borong Sumatera Utara. Instansi pendukung untuk pelaksanaan pwerkawinan di lapangan juga sebenarnya dimiliki oleh Indonesia berup[a dua buah BB/BIB tingkat nasional dan beberapa BIB tingkat Daerah yang khusus menyediakan semen kerbau seperti di Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan dan memiliki potensi untuk perluasan pada berbagai daerah lainnya karena adalah BIB daerah lainnya yang walaupun pada saatin baru menyebarkan semen sapi potong dan sapi perah saja. Teknologi pendeteksian siklus reproduksi pada kerbau juga telah dimiliki hanya masih dibutuhkan pelatihan untuk ketepatan inseminasi pada kerbau yang sedikir agak berbeda dengan inseminasi pada ternak kerbau terutama dalam hal ketepatan waktu inseminasi. Walupun demikian hal ini juga dapat diminimalisir melalui teknologi inseminasi fixed time yaitu dilakukan 2 kali yaitu pada saat pertengahan waktu birahi dan
pada akhir waktu birahi. Pelatihan ini perlu dilakukan tidak saja pada inseminator tetapi juga pada peternak , kelompok peternak dan petugas dinas terkait selain inseminator. Pejantan terbaik dimasukkan ke BIB/D dan pejantan urutan dibawahnya disebarkan sebagai pejantan untuk kawin alam. Selanjutnya pengembangan bibit dilakukan pada lokasi-lokasi penyebaran pejantan/semen unggul yang berjalan secara paralel melalui aplikasi inovasi teknologi dalam perbaikan pakan dan management. Diharapkanyang sebaiknya dimulai dari pemilihan ternak jantan terbaik yang diikuti dengan performan test untuk menghasilkan pejantan superior dan mempercepat pengeluaran ternak jantan inferior. Seleksi pejantan berdasarkan performanse sebagai langkah awal yang diikuti oleh performan test. Pemberian pakan pada kerbau betina cukup pada level untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok karena hanya ingin mempertahankan kemampuan adaptasi yang sudah sesuai dengan lingkungan Indonesia agar reproduksi dapat berjalan secara normal. Pemberian pakan khusus hanya ketika menjelang melahirkan dan 1 – 2 bulan setelah melahirkan. Hal lain yang penting untuk dilakukan adalah dalam mengorganisir para peternak kerbau yaitu mengusahakan terbentuknya asosiasi para peternak kerbau melalui dinas peternakan atau dinas yang melaksanakan fungsi peternakan. Diharapkan dalam pertemuan tahunan berikutnya sudah dapat mengikut sertakan salah satu ketua kelompok yang paling majuu sehingga mereka akan terbangkit keinginanya untuk tetap melestarikan ternak kerbau dan bahkan pada akhirnya dapat mengusahakannya dengan tujuan komersial. Persilangan kerbau lumpur dengankerbau murrah perlu dipertimbangkan terutama hanya khusus pada daerah-daerah yang peminat minum susu kerbau cukup tinggi. Hal ini penting agar produk susu yang dihasilkan dapat langsung terserap oleh pasar. Jika ada keinginan lain untuk menghasilkan produk kerbau lainnya atau susu kerbau pada daerah lain maka dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan,
13
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
PROGRAM SWASEMBADA DAGING KERBAU DAN SAPI Konsumsi daging nasional saat ini baru mencapai 7.5 kg/kapita/tahun dan diperkirakan 1.75 kg diantaranya berasal dari daging sapi dan kerbau (BPS, 2010). Daging yang bersumber dari sapi dan kerbau yang diproduksi dari dalam negeri baru mencukupi sekitar 68% dari kebutuhan nasional dan kekurangannya harus dipenuhi melalui impor baik dalam bentuk daging (frozen boxed beef) maupun dalam bentuk ternak hidup (afkiran dan bakalan). Daging yang diimpor dalam bentuk prime cut, secundary cut, variety meat dan offal (hati dan jantung). Dalam Round Table Discussion di Puslitbangnak tentang Daging sapi dan Jeroan: Keamanan Pangan, Regulasi dan Trend volume impor tanggal 28 April 2011, diketahui jumlah impor daging dan jeroan pada Tahun 2010 mempunyai dua versi yang berbeda, dimana para importir melaporkan jumlah yang diimpor sebesar 81.2 ribu ton (naik 7.98% dari tahun 2009) sedangkan data yang tercatat di karantina menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi yaitu sebesar 119 ribu ton. Kedua data tersebut menunjukkan peningkatan jumlah impor daging dan jeroan, jika impor tersebut sudah melebihi kebutuhan konsumsi maka tentu akan berdampak pada jatuhnya harga daging sapi dan kerbau dalam negeri yang berarti jatuh juga harga jual ternak hidup kedua komoditas tersebut. Diharapkan agar dapat muncul kebijakan baru yang memberikan solusi terbaik agar harga jual daging dalam negeri sehingga target peningkatan populasi dan produktivitas kerbau dan sapi di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan swasembada daging kerbau dan sapi pada tahun 2014 dapat tercapai sesuai yang ditargetkan. Untuk menunjang pencapaian swasembada daging tersebut maka perlu dikembangkan dari otensi pengembangan kerbau dari 2 juta ekor pada tahun 2009 yang berbasis ada 18 kabupaten/kota
14
KESIMPULAN Kerbau sebagai ternak asli Asia (termasuk Indonesia) mempunyai kemampuan adaptasi yang baik di Indonesia. Kemampuan adaptasi tersebut perlu dipertahankan dalam pembangunan perbibitan kerbau baik melalui seleksi pada satu bangsa maupun melalui persilangan. Teknologi perbibitan dan reproduksi sudah cukup tersedia tetapi penerapan secara efektif belu dilaksanakan di lapangan. DAFTAR PUSTAKA ANDINI, L dan FIRSONI. 2011. Uji kualitas jerami jagung fermentasi dengan menggunakan cairan rumen kerbau secara in vitro. Pros. Semiloka kerbau Lebak, 2010. Hal. 83-87. Badan Litbangtan, 2011, Konsep pedoman sistem diseminasi muti channel. Booklet. Dipresentasikan dalam raker badan litbangtan 24 – 26 April 2011 di Bogor. Badan Litbangtan, Jakarta. BAHRI, S dan C. TALIB, 2008. Strategi pengembangan pembibitan ternak kerbau. Pros. Semiloka Nasional Usaha Ternak Kerbau di Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Dinas Perternakan dan Perikanan Kabupaten Batanghari, Dinas Peternakan Provinsi Jambi, Direktorat Jenderal Peternakan dan Puslibang Peternakan. Bogor. hlm. 1 – 11 BPS, 2010. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta. CRUZ, L.C. 2009. Transforming swamp buffaloes to producers of milk and meat through crossbreeding and backcrossing. Wartazoa Vol. 19: No: 3. hlm. 103 – 116 GUNAWAN dan E. ROMJALI, 2010. Program pembibitan kerbau. Pros. Semiloka Kerbau Nasional 2009. Puslitbang Peternakan. hlm: 3 – 10. KUSWANDI. 2011. Pakan ruminansia. (Paper orasi profesor). Badan Litbang Pertanian.
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
PRAHARANI, L., ELIZABETH JUARINI dan BUDIARSANA. 2010. Parameter indikator inbreeding rate pada populasi ternak kerbau di Kabupaten Lebak, Banten. Pros. Semiloka Nasional Kerbau di Brebes Tahun 2009. Puslitbang Peternakan. hlm. 93 – 99. Puastuti, W. 2011. Urea dalam pakan dan implikasinya dalam fermentasi rumen kerbau. Pros. Semiloka Kerbau Nasional Tahun 2010, Lebak, Banten. hlm. 88-93. RUSASTRA, I.W. 2011. Kinerja industri peternakan: isu dan kebijakan antisipatif peningkatan produksi dan daya saing. Makalah dipresentasikan dalam lokakarya RPJP Puslitbang Peternakan pada 27 Januari 2011, Bogor.
S. PRAWIRODIGDO, I. HERIANTI dan M.D. MENIEK Pawarti. 2010. Perspektive sumber daya pakan mendukung aplikasi teknologi reproduksi untuk meningkatkan produktivitas kerbau (Bubalus bubalis) di Kecamatan Banyumas. Pros. Semiloka Kerbau Nasional 2009. hlm 134 – 140. TALIB, C. 2010. Peningkatan populasi dan produktivitas kerbau di padang penggembalaan tradisional. Pros. Semiloka Kerbau Nasional di Brebes, Jateng, 2009. Puslitbang Peternakan, Bogor. Hlm. 109 – 118.
15