Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
Perkembangan Program Pembibitan Kerbau di Sumatera Utara (Development of Buffalo Breeding Program in North Sumatera) RASALI HAKIM MATONDANG1, E. HANDIWIRAWAN1 dan TETTY ERLINA LUBIS3 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Pajajaran Kav. E.59, Bogor e-mail:
[email protected] 2 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 3 Dinas Peternakan Sumatera Utara, Jl. Jend. Gatot Subroto Km. 7 No. 255, Medan 20127
ABSTRACT Buffaloes keeping in North Sumatra was still conducted in the traditional system and also by way of semi-intensive and very slow progress even its population have been declined, but have a relatively large potential as a meat producer. North Sumatra province has an area of 71680.68 km2 consisting of 33 districts/cities with a population of 12,982,204 people or 3,037,706 households and a population of 114,289 heads and scattered throughout the region of North Sumatera. Buffaloes in North Sumatera has a function that was not only producing meat and milk, but also as: 1). Worker to cultivate agricultural land, towing carts etc., 2). Various purposes cultural, 3). For savings, and 4). Social status. The objectives of buffalo breeding program are: 1). Empower farmers to be competitived and self-reliant, 2). Implementing of principle of animal breeding to produce a superior livestock, and 3). Preserving of existing buffalo germplasm in North Sumatera, where buffalo is one of the reliable leading commodity. The results indicated that breeding activity with the ratio of 1 : 4 (males: females) buffalo productivity in North Sumatera was better. It was evident that the population of buffalo in Samosir regency larger than the North Tapanuli (ratio 1 : 3) and Simalungun (1 : 1.6), however, breeding activity have not shown an optimal results. Key Words: Breeding, Buffalo, North Sumatra ABSTRAK Pemeliharaan ternak kerbau di Sumatera Utara masih dilakukan dengan cara tradisional dan juga dengan cara semi intensif serta perkembangannya sangat lambat bahkan populasinya mengalami penurunan, padahal kerbau memiliki potensi penghasil daging yang relatif besar. Provinsi Sumatera Utara memiliki luas wilayah 71.680,68 km2 terdiri atas 33 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 12.982.204 orang atau 3.037.706 rumah tangga dan populasi kerbau 114.289 ekor yang tersebar di seluruh wilayah Sumatera Utara. Ternak Kerbau di Sumatera Utara memiliki fungsi yang tidak saja sabagai penghasil daging dan susu tapi juga berfungsi sebagai: 1) Ternak kerja untuk mengolah lahan pertanian, penarik pedati dan lain-lain. 2) Keperluan adat istiadat (ternak jantan), 3) Sebagai tabungan, dan 4) Sebagai status sosial. Tujuan program pembibitan ternak kerbau adalah: 1) Memberdayakan kelompok peternak agar berdaya saing dan mandiri, 2) Melaksanakan prinsip perbibitan untuk menghasilkan ternak yang unggul, dan 3) Melestarikan plasma nutfah kerbau yang ada di Sumatera Utara, dimana kerbau merupakan salah satu komuditas unggulan yang dapat diandalkan. Hasil kegiatan pembibitan menunjukkan bahwa dengan rasio 1 : 4 (jantan : betina) produktivitas kerbau di Sumatera Utara menjadi lebih baik. Hal ini terbukti bahwa populasi kerbau di Kabupaten Samosir lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Tapanuli Utara (rasio 1 : 3) dan Simalungun (1 : 1,6), namun demikian kegiatan pembibitan belum memperlihatkan hasil yang optimal. Kata Kunci: Pembibitan, Kerbau, Sumatera Utara
PENDAHULUAN Secara umum usaha ternak kerbau telah lama dikembangkan oleh masyarakat sebagai salah satu mata pencaharian dalam skala usaha yang masih relatif kecil, untuk tujuan produksi
54
daging, kulit dan tenaga kerja. Produktivitas ternak kerbau di Indonesia masih relatif rendah antara lain disebabkan oleh karakteristik reproduksi ternak kerbau yang secara umum lebih lambat dari sapi, pola pemeliharaan yang ekstensif, berkurangnya lahan penggembalaan,
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
tingginya pemotongan pejantan yang berdampak pada kekurangan pejantan, pemotongan ternak betina produktif dan kekurangan pakan di musim tertentu. Hal ini mengakibatkan peningkatan populasi ternak kerbau sangat lambat dan bahkan pada tahun 2004 – 2005 pernah terjadi penurunan sebesar ± 13% meskipun pada tahun-tahun selanjutnya ada peningkatan. Kondisi ini menunjukkan lemahnya kemampuan bertahan dari usaha peternakan kerbau (DITJENNAK, 2009). Ternak kerbau rawa (swamp buffalo) sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Sumatera Utara antara lain untuk mencukupi kebutuhan protein hewani, sebagai penyedia daging dan penyedia lapangan kerja antara lain untuk menarik gerobak atau membajak di sawah, namun perkembangan populasi kerbau rawa sangat lambat dan bahkan cenderung menurun. Untuk mengatasi permasalahan ini dilakukan program pembibitan ternak kerbau di Sumatera Utara. Tujuan program pembibitan ternak kerbau adalah: 1. Memberdayakan kelompok peternak agar berdaya saing dan mandiri, 2. Melaksanakan prinsip perbibitan untuk menghasilkan ternak yang unggul, 3. Melestarikan plasma nutfah kerbau yang ada di Sumatera Utara, dimana kerbau merupakan salah satu komuditas unggulan yang dapat diandalkan. Profil Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara berada di bagian Barat Indonesia, secara geografis terletak pada garis 1-4º Lintang Utara dan 98-100º Bujur Timur. Wilayah Utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebelah Timur berbatasan dengan Negara Malaysia di Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Secara administratif Provinsi Sumatera Utara memiliki luas wilayah 71.680,68 km2 terdiri atas 33 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 12.982.204 orang atau 3.037.706 rumah tangga. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Sumatera Utara atas dasar harga berlaku pada tahun 2010 sebesar Rp. 275,70 triliun. Sektor Industri masih sebagai
kontributor utama dengan peranan mencapai 22,96%, selanjutnya diikuti oleh sektor pertanian sebesar 22,92%, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran mencapai 19%. Sementara itu, sektor-sektor lainnya memberikan total kontribusi sebesar 35,15% terhadap perekonomian di Provinsi Sumatera Utara. Sesuai hasil PSPK 2011 populasi kerbau di Sumatera Utara sebanyak 114.289 ekor yang tersebar di seluruh wilayah Sumatera Utara. Ternak kerbau di Sumatera Utara memiliki fungsi yang tidak saja sebagai penghasil daging dan susu tapi juga berfungsi sebagai ternak kerja untuk mengolah lahan pertanian, penarik pedati dan lain-lain, keperluan adat istiadat (ternak jantan), sebagai tabungan dan sebagai ukuran status sosial. Bila dilihat begitu banyaknya fungsi ternak kerbau bagi masyarakat Sumatera Utara tidaklah mengherankan bahwa keberadaan ternak kerbau tetap bertahan dan hal ini merupakan salah satu faktor pendorong untuk mengembangkan ternak kerbau di Sumatera Utara. Kerbau dalam kehidupan masyarakat di Sumatera Utara Kerbau (Bubalus bubalis), jenis hewan yang termasuk famili bovidae ini sudah dikenal sejak masa prasejarah terbukti dari beberapa fragmen tulang dan giginya yang ditemukan pada ekskavasi beberapa situs di Indonesia. Di Sumatera, situs-situs yang mengandung temuan tersebut antara lain situs Gua Togindrawa, Nias dan Situs Bukit Kerang Pangkalan, Aceh Tamiang. Di kedua situs yang merupakan situs mesolitik itu menunjukkan adanya pengkonsumsian jenis hewan famili bovidae. Kemudian di daerah lain yaitu pada situs megalitik juga ditemukan bagian gigi kerbau (bovidae) pada kubur batu (phandusa) di Bondowoso, pada dolmen di situs Telagamukmin, Lampung Utara, serta tulangtulang hewan ini di bawah menhir di Wonogiri (SUKENDAR,1990). Kerbau hingga kini juga masih dipilih sebagai ornamen atau bagian tubuhnya dijadikan sebagai hiasan pada rumah-rumah adat, seperti rumah adat masyarakat Toraja, di Sulawesi Selatan. Kepala kerbau dalam
55
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
khazanah simbolis orang Toraja disebut kabongo’. Penggunaan kepala kerbau sebagai artikulasi simbolik dapat ditemui pada tiang tongkonan (Tulak Somba). Kepala kerbau dalam passura’ dapat dikenal melalui berbagai desain. Untuk variasi ini dikenal dengan pa’ tedong, yang berkaitan dengan kekuasaan/ kepemimpinan suku. Di Nias Selatan, simbol sejenis yang dikenal sebagai Hugolaso hanya berlaku untuk ketua kampung keturunan Si Ulu. Di luar Indonesia beberapa kelompok suku Naga di dataran tinggi Assam antara Myanmar dan India menggunakan tanduk kerbau sebagai tanda kebesaran, status sosial tinggi, prestise, dan kekuasaan politik atas kelompoknya (WIRYOMARTONO, 2001). Kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering dikaitkan dengan kehidupan masyarakat bermata pencaharian di bidang pertanian. Kerbau digunakan sebagai sarana transportasi (kendaraan), untuk membantu mengolah lahan pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan pupuk (GUNADI, 2000). Domestikasi kerbau dikaitkan dengan kebutuhan hewan itu dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya seperti tersebut di atas, juga dikonsumsi atau digunakan sebagai hewan kurban pada upacara adat. Kemungkinan adanya perkembangan teknologi pertanian dapat dikaitkan dengan adanya tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak pada sebagian masyarakat Sumatera Utara, serta pemanfaatan peralatan lebih sederhana yang digerakkan oleh manusia seperti tenggala roda dan sisir kayu (SUSILOWATI, 2003). Tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak diketahui masih dilakukan hingga kini oleh sebagian masyarakat di Barus dan Tapanuli Selatan, yaitu dengan menggiring kerbau (sekitar 8 – 12 ekor) berkeliling pada lahan sawah secara berulang-ulang. Banyaknya kerbau yang digunakan menggambarkan banyaknya populasi kerbau yang diternakkan oleh satu keluarga inti di tempat tersebut. Sekalipun tidak banyak lahan sawah yang diusahakan di Samosir tempat komunitas subetnis Batak Toba misalnya, populasi kerbau sebagai hewan ternak juga cukup banyak. Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan kerbau sebagai hewan
56
kurban yang menyertai upacara adat yang diselenggarakan masyarakatnya. KEGIATAN PEMBIBITAN KERBAU DI SUMATERA UTARA Populasi kerbau di Sumatera Utara yang tersebar di beberapa kabupaten, wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Simalungun dan Samosir merupakan populasi kerbau terbesar yang dipilih sebagai kegiatan perkembangan program pembibitan kerbau di Sumatera Utara. Cara pemeliharaan kerbau yang dilakukan masyarakat masih menggunakan cara tradisional yaitu kerbau masih dipelihara secara bebas di alam terbuka, dengan kata lain belum ada pengelolaan kandang kerbau secara intensif dan pemanfaatan kerbau belum efektif. Oleh karena itu, Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara melalui kegiatan pembibitan kerbau pada tahun 2011 telah memilih kelompok peternak Wanita Tani (Tabel 1) untuk melakukan penyelamatan kerbau betina produktif, yang terletak di Desa Sipultak Kecamatan Pagaran Kabupaten Tapanuli Utara. Pada tahun 2011, jumlah betina produktif yang dapat diselamatkan kelompok Wanita Tani sebanyak 46 ekor betina dewasa dan 1 ekor anak jantan kerbau (Tabel 2). Pada tahun 2012, pengembangan kawasan kerbau di 3 (tiga) Kabupaten, yaitu Samosir, Simalungun dan Tapanuli Utara. Kelompok tani yang terlibat adalah Tapian Nauli di Kabupaten Samosir, Kecamatan Harian, Desa Hariara Pohan, kelompok tani Sariah di Kabupaten Simalungun, Kecamatan Raya, Desa Nagori Sondi Raya, dan kelompok tani Terpadu di Kabupaten Tapanuli Utara, Kecamatan Siborong-borong, Desa Sabungan (Tabel 1). Masing-masing kelompok memelihara kerbau sebanyak 31 ekor yaitu 2 ekor kerbau jantan dan 29 ekor kerbau betina dewasa (Tabel 2). Disamping itu, kegiatan lain adalah penjaringan kerbau betina produktif di Kabupaten Samosir, Kecamatan Sitio-tio, Desa Parsaoran, kegiatan ini dilakukan oleh kelompok tani Siloam. Adapun jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 44 ekor yaitu: 4 ekor jantan dan 40 ekor betina dewasa.
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
Tabel 1. Kegiatan pembibitan kerbau tahun 2011 dan 2012 Tahun
Kegiatan
Desa/Kecamatan/Kabupaten
Kelompok
2011
Penyelamatan kerbau betina produktif
Sipultak/Pagaran/Tapanuli Utara
Wanita Tani
2012
Dukungan perbibitan dalam pengembangan kawasan kerbau
Hariara Pohan/Harian/Samosir
Tapian Nauli
Nagori Sondi Raya/Raya/Simalungun
Tani sariah
Parik Sabungan/Siborong-borong/ Tapanuli Utara
Gapoktan Tani Terpadu
Parsaoran/Sitio-tio/Samosir
Tani Siloam
2012
Penjaringan kerbau betina produktif
Tabel. 2. Populasi pada kegiatan pembibitan kerbau tahun 2011 dan 2012 Tahun
Populasi Dewasa
Total
Muda
Anak
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
2011
-
46
-
-
1
-
47
2012
2
29
-
-
-
-
31
1
30
-
-
-
-
31
2
29
-
-
-
-
31
4
40
-
-
-
-
44
2012
Dari Tabel 3a dan 3b nampak bahwa rasio antara kerbau jantan dan betina sebagai berikut: di Kabupaten Tapanuli Utara jumlah jantan 2.983 ekor dan betina 9.249 ekor dengan rasio 0,32, di Kabupaten Simalungun jumlah jantan 4804 ekor dan betina 7.453 ekor dengan rasio 0,64 dan di Kabupaten Samosir jumlah jantan 6907 ekor dan betina 2.7051 dengan rasio 0,26. Rasio jantan dan betina 0,26 menunjukkan bahwa produktivitas kerbau menjadi lebih baik, hal ini terbukti bahwa populasi kerbau di Kabupaten Samosir lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Simalungun. HERIANTI dan PARWATI (2009) mengatakan bahwa rasio jantan terhadap betina masing-masing 0,47 dan 0,42 dengan rata-rata tahunan angka kelahiran ternak kerbau di wilayah Pringsurat diperkirakan sebesar 27,9%. Artinya dengan pola pemeliharaan seperti itu kemampuan reproduksinya masih cukup baik. Dari uraian di atas jelas bahwa jumlah kerbau jantan pada kegiatan pembibitan (Tabel 2) harus ditambah agar rasio jantan dan betina sebasar 0,26 dapat tercapai, dengan demikian
diharapkan populasi dapat ditingkatkan, disamping pakan juga harus tersedia. Menurut PUTU et al. (1994), dari beberapa penelitian yang telah dilakukan bahwa faktor utama yang mempengaruhi rendahnya peningkatan populasi ternak kerbau yaitu rendahnya performans reproduksi sehingga mempengaruhi kemampuan produksinya. Selanjutnya disebutkan bahwa ternak kerbau lambat dewasa kelamin, panjangnya atau lamanya periode berahi kembali setelah beranak, masa kebuntingan yang panjang, dan gejala berahi yang sulit untuk dideteksi. Menurut SOEDARSONO (1993) dalam PUTU et al. (1994) bahwa sulitnya mengetahui gejala berahi kerbau karena posisi vagina bagian depan lebih rendah dibandingkan dengan vagina bagian belakang sehingga lendir tidak bisa keluar dengan bebas saat berahi. Keberhasilan pemeliharaan ternak berkaitan dengan reproduksinya terukur dari kemampuannya untuk menghasilkan anak dalam periode tertentu, artinya semakin pendek jarak beranak performan reproduksinya semakin baik. Memperhatikan kondisi dan cara
57
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
Tabel 3a. Jumlah dan struktur populasi ternak kerbau di Tapanuli Utara, Simalungun, dan Samosir tahun 2011 (hasil PSPK 2011) Jantan Kabupaten/kota Anak
Muda
Dewasa
Sub jumlah
Tapanuli Utara
756
1157
1070
2983
Simalungun
253
1082
3469
4804
Samosir
2381
2189
2337
6907
Persentase (%)
7,9
10,54
14,84
33,32
Sumatera Utara
9027
12045
16964
38081
Tabel 3b. Jumlah dan struktur populasi ternak kerbau di Tapanuli Utara, Simalungun, dan Samosir tahun 2011 (hasil PSPK 2011) Betina Kabupaten/kota
Dewasa Anak
Jumlah
Muda
Sub Jumlah 2 < umur ≤ 4
4 < umur ≤ 6
> umur 6
Tapanuli Utara
688
1.118
1676
1705
1079
6266
9249
Simalungun
252
633
686
737
341
2649
7453
Samosir
2.457
2.923
3242
5600
5922
20144
27051
Persentase (%)
7,71
10,91
14,36
19,36
14,34
66,68
-
Sumatera Utara
8.810
12.457
16413
22133
16395
76208
114289
pemeliharaan oleh peternak setempat dapat dimaklumi kalau di Kabupaten Simalungun terjadi perkembangbiakan kerbau yang tergolong lambat. Dapat ditegaskan bahwa keterbatasan populasi pejantan dewasa di daerah ini menjadi penyebab utamanya. Secara meluas telah diterima bahwa struktur populasi dengan ketidak seimbangan antara pejantan dan betina antar umur sangat berpengaruh terhadap pertambahan populasi di suatu wilayah. PERMASALAHAN Program pembibitan yang telah dilaksanakan di wilayah ini menunjukkan
58
adanya perubahan pola pemeliharaan kerbau oleh peternak, seperti perkandangan, pemberian pakan, pencatatan kesehatan dan perkawinan. Permasalahan saat ini adalah kelompok peternak belum mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang cukup untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip perbibitan secara menyeluruh. Disamping itu, keberadaan kelembagaan juga rata-rata masih berkategori kelompok pemula dan ketersediaan teknologi di bidang pakan dan perkawinan belum sepenuhnya bisa diterapkan. Upaya tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah: 1. Peningkatan pengetahuan peternak tentang pembibitan kerbau dengan bimbingan dan pendampingan.
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
2. Melengkapi sarana dan prasarana perbibitan, seperti pita ukur dan timbangan. KESIMPULAN Keberadaan kerbau di Sumatera Utara terus bertahan sampai saat ini walaupun perkembangannya belum begitu baik, kondisi ini menunjukan bahwa wilayah Sumatera Utara secara agroklimat cocok untuk ternak kerbau. Tentunya hal ini menjadi faktor pendukung dalam pengembangan ternak kerbau di Sumatera Utara namun masih banyak yang harus dibenahi agar produksi dan produktivitas ternak kerbau meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan terhadap ternak kerbau itu sendiri. Kegiatan pembibitan ternak kerbau di wilayah ini belum menunjukkan hasil yang optimal, dimana rasio jantan dan betina sangat bervariasi. Disamping itu, kelompok yang menjadi andalan untuk dapat mengembangkan pembibitan ternak kerbau masih tahap pemula. DAFTAR PUSTAKA DITJENNAK, 2009. Evaluasi Perbibitan dan Semiloka Kerbau Nasional. Brebes, 11 November 2009. GUNADI. 2000. Kerbau di Beberapa Indonesia: Suatu Tinjauan Ekonomi. Dalam: Somba Opu Pandang: Suaka Peninggalan Purbakala Propinsi Sulawesi Tenggara.
Suku Bangsa Antropologi No. 9. Ujung Sejarah dan Selatan dan
HERIANTI, I dan M.D. MENIEK PARWATI. 2009. Penampilan Reproduksi Dan Produksi Kerbau Pada Kondisi Peternakan Rakyat di Pringsurat Kabupaten Temanggung. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau. Brebes, 11 – 13 November 2009. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah, Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes, Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 119 – 127. PUTU, I.G., M. SABRANI, M. WINUGROHO, T. CHANIAGO, SANTOSO, TARMUDJI, A.A. SUPRIYADI dan P. OKTAPIANA. 1994. Peningkatan Produksi dan Reproduksi Kerbau Kalang pada Agroekosistem Rawa di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak Bekerjasama dengan P4N. Bogor. SUKENDAR. 1990. Peternakan pada masa tradisi Megalitik dalam Kajian Agrikultur berdasarkan Data Arkeologi, Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jakarta. hlm. 209 – 220. SUSILOWATI. 2003. Tenggala (Bajak) di Sumatera Utara, Unsur Budaya yang Masuk pada Masa Klasik. Sangkhakala No. 12. Balai Arkeologi Medan. Medan. WIRYOMARTONO dan BAGOES P. 2001. ‘Garonto Passura’ Masalah Ideografik dalam Tradisi Toraja, dalam: Semiotik, Mengkaji Tanda dalam Artifak. Penyunting E.K.M. MASINAMBOW dan RAHAYU S. HIDAYAT. Balai Pustaka. Jakarta.
59