Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
DUKUNGAN TEKNOLOGI DALAM PELAKSANAAN PEMBIBITAN KERBAU (Supporting of Technology in Buffalo Breeding) BESS TIESNAMURTI1, CHALID TALIB2 dan EKO HANDIWIRAWAN1 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16151 e-mail:
[email protected] 2 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Increasing of production and productivity of buffaloes should be encouraged and is an important part to support the achievement of self-sufficiency in meat in 2014. Short-term efforts to improve the productivity of buffaloes can be done with an aim to increase the growth rate and slaughter weight and reduce mortality. Meanwhile, efforts will impact to long term is an effort that aims to keep the self-sufficiency of beef and buffalo can be sustainable. Efforts that can be done is through increased calving rate and calf crop, intensification of superior forage planting/legume, optimizing the utilization of agricultural waste as a source of livestock feed-through system integration and improvement of genetic quality. Several innovations and technologies that have been produced by Indonesian Agency for Agriculture Research and Development can be applied to improve the productivity of buffalo. Key Words: Buffalo, Innovation and Technology, Production Improvement ABSTRAK Peningkatan produksi dan produktivitas kerbau harus didorong dan merupakan bagian penting untuk mendukung pencapaian swasembada daging tahun 2014. Upaya jangka pendek untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau dapat dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan bobot potong serta menurunkan angka mortalitas. Sementara itu, upaya yang berdampak dalam jangka panjang adalah merupakan upaya yang bertujuan menjaga agar swasembada daging sapi dan kerbau dapat terus berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan calving rate dan calf crop, intensifikasi penanaman hijauan pakan unggul/leguminosa, optimalisasi pemanfaatan limbah pertanian/perkebunan sebagai sumber pakan melalui sistem integrasi ternak-tanaman dan perbaikan mutu genetik. Beberapa inovasi dan teknologi yang telah dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dapat diterapkan untuk meningkatkan produktivitas kerbau. Kata Kunci: Kerbau, Inovasi dan Teknologi, Peningkatan Produksi
PENDAHULUAN Kerbau lumpur (swamp buffalo) merupakan kerbau utama yang tersebar luas di Indonesia dan dalam jumlah kecil di Sumatera Utara terdapat kerbau sungai (river buffalo). Berdasarkan hasil sensus tahun 2011, penyebaran kerbau di Indonesia lebih terkonsentrasi di Pulau Sumatera (39,3%), Jawa (27,8%), dan Bali/Nusa Tenggara (19,7%), sedangkan dalam persentase kecil terdapat di Sulawesi (8,5%), Kalimantan (3,2%) dan Maluku/Papua (1,5%). Tujuh propinsi dengan populasi terbanyak dan tercatat mempunyai populasi kerbau lebih dari 100.000 ekor adalah Propinsi NTT (150.015),
26
Aceh (131.494), Jabar (130.089), Banten (123.143), Sumut (114.289), NTB (105.391) dan Sumbar (100.310) sedangkan propinsi yang tidak mempunyai kerbau atau dengan populasi kerbau sangat sedikit adalah Sulut (0), Kepulauan Riau (14), Gorontalo (13) dan Papua Barat (1) (DITJENNAK, 2011; PSKI, 2011). Populasi kerbau di Indonesia diketahui dari sensus tahun 2011 berjumlah sekitar 1,3 juta ekor, hasil sensus ini turun dari catatan populasi kerbau tahun sebelumnya yang berjumlah hampir 2 juta ekor (DITJENNAK, 2011; PSKI, 2011). Dari catatan populasi kerbau tahun-tahun sebelumnya, perkembangan populasi kerbau ini kurang
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
menggembirakan dengan kenaikan laju pertambahan yang relatif kecil. TIESNAMURTI dan TALIB (2012) menduga faktor-faktor yang menyebabkan penurunan populasi kerbau di Indonesia antara lain: a. Tergantikannya peran kerbau sebagai pengolah lahan pertanian dengan tenaga mesin; b. Meningkatnya pemotongan kerbau karena lebih menguntungkan per kg bobot hidup dibandingkan dengan sapi potong (penyusutan karkas dalam pelayuan lebih sedikit dibandingkan dengan sapi potong); c. Meningkatnya laju inbreeding yang berdampak pada menurunnya performan produksi dan reproduksi; serta d. Menurunnya kuantitas dan kualitas pakan yang dikonsumsi karena beralihnya fungsi lahan penggembalaan menjadi penggunaan lainnya. Peran kerbau di Indonesia terutama digunakan sebagai penghasil daging, yang di beberapa tempat justru lebih diminati dibandingkan daging sapi seperti di daerah Sumatera Barat, Sumatera Utara, Banten, dan Blora baik untuk baik dalam upacara adat maupun menu sehari-hari. Disamping itu, kerbau juga dimanfaatkan sebagai penghasil susu yang selanjutnya diolah menjadi produk lokal yang terkenal dan berguna bagi peningkatan gizi masyarakat pedesaan khususnya seperti di Sumatera Barat dan Sumatera Utara (PRAHARANI, 2009). Fungsi kerbau sebagai tenaga kerja sebelum digeser secara perlahan oleh mesin traktor cukup berarti bagi petani. Sebagai hewan pekerja, kerbau lebih baik dibandingkan sapi dalam kondisi basah atau terendam air, seperti bekerja di sawah yang berlumpur. Kerbau dapat menarik bajak di tanah berlumpur dalam dimana traktor tidak dapat dipergunakan. Kerbau juga dapat dipekerjakan untuk menarik gerobak, membawa angkutan yang lebih berat dibandingkan sapi (FAO, 2000). Kelebihankelebihan yang dimiliki kerbau ini menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu kerbau lebih bermanfaat sebagai ternak kerja. Di Tana Toraja nilai ekonomis ternak kerbau sangat tinggi yang dipergunakan dalam upacara keagamaan. Pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan merupakan salah satu target dari
4 target utama pembangunan pertanian 2010 – 2014. Ada 5 komoditas utama yang menjadi titik perhatian agar dapat berswasembada pada tahun 2014 atau swasembada berkelanjutan. Di antara 5 komoditas penting tersebut pencapaian swasembada daging sapi dan kerbau ditarget tercapai pada tahun 2014. Oleh karena itu, peningkatan produksi dan produktivitas kerbau harus didorong dan merupakan bagian penting untuk mendukung pencapaian swasembada daging tahun 2014. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (Puslitbangnak) melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah koordinasinya telah menghasilkan dan mengembangkan berbagai inovasi dan teknologi peternakan dan veteriner. Beberapa inovasi teknologi yang dihasilkan dapat langsung diterapkan untuk pengembangan dan peningkatan produksi kerbau namun sebagian lagi memerlukan sedikit modifikasi olehkarena diperoleh dari hasil penelitian terhadap ternak ruminansia yang lain. Publikasi dan diseminasi tentang produk inovasi dan teknologi tersebut secara teratur dan kontinyu dilakukan melalui berbagai media diseminasi kepada stakeholders. Informasi mengenai kebutuhan inovasi dan teknologi yang berkembang secara dinamis terus dihimpun oleh Puslitbangnak dari berbagai forum diseminasi sebagai bahan masukan untuk penyusunan rencana penelitian UPT di waktu mendatang. Produktivitas kerbau di Indonesia saat ini masih bervariasi dan di bawah potensi yang mungkin untuk dicapai oleh karena itu perhatian dari stakeholders berupa penerapan kebijakan pengembangan yang menguntungkan dan penerapan inovasi teknologi yang tepat memungkinkan peningkatan produktivitas kerbau yang ada saat ini. Makalah ini mengemukakan inovasi dan teknologi yang berpeluang diterapkan untuk meningkatkan produktivitas usahaternak kerbau. Strategi dan Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Untuk pencapaian swasembada daging upaya yang dilakukan seyogyanya lebih diberikan penekanan kepada hal-hal yang berdampak besar dalam jangka pendek. Upaya jangka pendek untuk meningkatkan
27
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
produktivitas ternak kerbau dapat dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan bobot potong serta menurunkan angka mortalitas. Telah dilaporkan bahwa sapi-sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) lebih dari separuh dalam kondisi tubuh yang tidak dalam keadaan optimal atau tidak dalam kondisi potensi bobot potong yang dapat dicapai. HAFID (2008) melaporkan bahwa di RPH Kendari kondisi tubuh sapi dan kerbau yang dipotong pada umumnya dengan kondisi tubuh kurus sampai sedang (55 persen). Sapi atau kerbau tersebut pada umumnya mempunyai tinggi pundak antara 105 – 115 cm (22,4 – 267,6%) dengan bobot badan berkisar antara 200 – 300 kg (21,7 – 24,2%), yang menunjukkan bahwa sapi dan kerbau tersebut mempunyai perawakan tubuh yang cukup baik. Keadaan tersebut merupakan konsekwensi dari pemeliharaan secara tradisional (bukan hasil penggemukan) dimana ternak tersebut pada umumnya dibawa oleh pedagang pengumpul dan kemudian langsung dijual kepada para jagal di Rumah Potong Hewan (RPH). Apabila sapi dan kerbau tersebut dapat melalui proses penggemukan terlebih dahulu dan dapat dipotong dalam keadaan gemuk maka selisih peningkatan bobot potong yang dihasilkan akan cukup signifikan. Laju pertumbuhan dan peningkatan bobot potong dapat ditingkatkan dengan aplikasi inovasi teknologi yang terkait dengan pemberian pakan dan pakan aditif. Sementara itu, upaya yang berdampak dalam jangka panjang adalah merupakan upaya yang bertujuan menjaga agar swasembada daging sapi dan kerbau dapat terus berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan calving rate dan calf crop, intensifikasi penanaman hijauan pakan unggul/leguminosa, optimalisasi pemanfaatan limbah pertanian/perkebunan sebagai sumber pakan melalui sistem integrasi ternak-tanaman dan perbaikan mutu genetik. Peningkatan Produksi Beberapa alternatif inovasi teknologi yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan atau bobot potong dan menurunkan tingkat mortalitas adalah sebagai berikut:
28
1. Pakan Starter merupakan pakan suplementasi yang diberikan sebagai imbuhan gizi terhadap pakan yang diberikan kepada ternak. Pakan Starter tersusun dari setidaknya lima macam bahan pakan limbah agroindustri sebagai filler. Pemberian Pakan Starter akan sangat efektif apabila pakan dasar yang diberikan berupa biomasa lokal seperti jerami padi, jerami kedelai, jerami jagung, daun tebu atau rumput alam. Imbangan pemberian Pakan Starter sebagai imbuhan dan biomasa adalah 10% Pakan Starter: 90 % Biomasa dari total bahan pakan yang diberikan ke ternak. Kombinasi Pakan Starter dan biomasa akan menjadi pakan lengkap yang optimal. 2. Fermentasi Pakan. Limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri di sentra pertanian, perkebunan dan industri pertanian pada umumnya tersedia berlimpah dan tidak dimanfaatkan secara baik atau dibuang begitu saja. Potensinya sebagai pakan ternak ruminansia cukup besar. Hanya saja umumnya bahan pakan dari limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri mempunyai tingkat kecernaan yang rendah dan kandungan gizi yang relatif rendah. Untuk meningkatkan kandungan gizi (protein) dan meningkatkan tingkat kecernaan bahan pakan tersebut dapat diolah terlebih dahulu melalui proses fermentasi. Tumpi fermentasi, ampas pati aren fermentasi, jerami padi fermentasi, ferlawit (fermentasi lumpur kelapa sawit), casapro (fermentasi onggok) adalah beberapa contoh produk bahan pakan fermenasi yang telah dihasilkan dan dapat digunakan. 3. Feed additive (bahan pakan imbuhan). Beberapa bahan pakan imbuhan yang telah dihasilkan diantaranya adalah Bioplus, Probion, Bioport dan Comin Blok. Bioplus adalah bahan pakan imbuhan yang mengandung probiotik unggul yang mampu meningkatkan produktivitas ternak. Pemberian Bioplus cukup 1 kali selama periode pemeliharaan dan cocok untuk lokasi panas dan pakan berserat tinggi. Terdapat tiga jenis Bioplus sesuai fungsinya yaitu sebagai pencerna pakan berserat tinggi (Bioplus Serat), meningkatkan kecernaan ransum kaya
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
tanin, kumarin dan sianida (Bioplus Racun) dan mempercepat proses penyapihan pedet dengan lebih cepat menyempurnakan fungsi rumen dan mencegah diare (Bioplus Pedet). Probion merupakan bahan pakan aditif yang juga mengandung probiotik dan mampu memberikan ketersediaan energi dalam bentuk asam lemak mudah terbang lebih awal yang akan meningkatkan laju pertambahan bobot badan ternak. Bioport merupakan salah satu bahan pakan imbuhan yang bermanfaat mencegah stress atau meminimalisasi terjadinya penurunan bobot badan secara drastis selama transportasi dan meningkatkan ketahanan tubuh. Bioport diberikan saat awal pemberangkatan, selama perjalanan dan setelah sampai tujuan. Comin Blok merupakan bahan pakan padan imbuhan yang diformulasikan untuk menjamin ketersediaan unsur mineral yang dibutuhkan ternak ruminansia. Pemberian Comin Blok dapat meningkatkan nafsu makan dan mencegah kelainan metabolisme akibat kekurangan mineral. 4. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat kematian anak kerbau adalah dengan manajemen perbaikan pakan di saat musim kemarau. Kekurangan pakan yang berkualitas pada saat musim kemarau dapat menurunkan produksi susu induk kerbau sehingga tidak jarang dapat menyebabkan kematian pada anak kerbau. Pemanfaatan leguminosa pohon sebagai bahan pakan dapat dilakukan untuk memperbaiki kandungan gizi pakan (protein) yang dimakan ternak. Limbah pertanian dan perkebunan atau agroindustri yang bernilai gizi baik seperti jerami kedelai, jerami kacang tanah, ampas tahu dll., dapat diberikan sebagai tambahan dalam ransum ternak. Pencegahan penyakit melalui jadwal vaksinasi yang ketat terutama untuk penyakit-penyakit penting yang dapat menyebabkan kematian tinggi mesti dilakukan. Perbaikan Reproduksi Perbaikan reproduksi untuk meningkatkan calving rate dan calf crop diarahkan untuk
memperpendek jarak beranak kerbau yang saat ini masih panjang. Di dalam pemeliharaan tradisional, rasio jantan dan betina perlu diperhatikan, seringkali panjangnya jarak beranak disebabkan kurangnya jumlah kerbau jantan. Penggunaan kandang komunal dalam pemeliharaan tradisional dapat mengefisienkan penggunaan kerbau jantan namun demikian penggunaan pejantan dengan sistem ini dalam kurun waktu tertentu hendaknya diganti dengan pejantan dari luar untuk menghindari inbreeding. Pemeliharaan dengan kandang komunal akan juga mempermudah dalam merotasi penggunaan pejantan atau mengganti pejantan yang telah lama digunakan. Inseminasi Buatan (IB) pada kerbau dapat diaplikasikan dimana pemeliharaan sudah dilakukan dalam keadaan intensif dan pemahaman yang tinggi dari peternak untuk mengetahui tanda-tanda berahi pada kerbau. Salah satu permasalahan dalam pelaksanaan IB kerbau adalah identifikasi berahi pada kerbau betina karena sebagian besar kerbau betina mengalami berahi tenang (silent heat). Beberapa inovasi teknologi reproduksi yang dapat diaplikasikan dalam mendukung aplikasi IB pada kerbau diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Chilled semen merupakan salah satu teknologi reproduksi yang telah dihasilkan dalam pengawetan semen untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan mendukung program inseminasi buatan. Keuntungan teknologi ini adalah prosedur pembuatan lebih praktis, cepat dan ekonomis dibandingkan dengan proses pembekuan semen pada -196 °C dengan N2 cair (semen beku). Disamping itu, semen cair cukup disimpan di lemari es atau tempat yang bersuhu 5°C dan dapat bertahan hingga 1 minggu. 2. Kerbau saat ini sebagian besar digunakan sebagai ternak potong hanya sebagian kecil digunakan sebagai kerbau perah. Sebagai kerbau potong, maka kelahiran anak jantan lebih diharapkan karena mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dan berat dewasa yang lebih besar dibandingkan yangberjenis kelamin betina pada umur yang sama. Sementara itu, sebagai ternak perah, kelahiran anak betina lebih diharapkan untuk menghasilkan susu. Berdasarkan sifat yang berbeda dari dua
29
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
jenis spermatozoa yang terdapat di dalam semen dikembangkan teknologi pemisahan spermatozoa X dan Y. Teknologi ini berhasil mengubah rasio spermatozoa X dan Y yang demikian juga mengubah peluang jenis kelamin anak yang dihasilkan sehingga semen yang digunakan dalam inseminasi buatan dapat dipilih sesuai dengan keinginan jenis kelamin anak yang akan dihasilkan. Penanaman tanaman pakan unggul ternak Kerbau seperti ternak ruminansia yang lain memerlukan hijauan lebih dari 60% dari seluruh pakan yang dikonsumsi. Berkaitan dengan hal itu hijauan yang cukup dan berkualitas tinggi merupakan hal penting dalam penyediaan pakan ternak ruminansia. Namun demikian pada sistem petemakan sapi rakyat, sayangnya suplai hijauan dan kualitas hijauan yang diberikan kepada sapi mengalami keterbatasan yang disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi: 1. Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya hijauan berkualitas terhadap produktivitas sapi, 2. Peternak kurang memiliki akses informasi atau kesempatan untuk mendapatkan bibit hijauan unggul, 3. Peternak tidak memiliki lahan untuk menanam hijauan unggul, karena sebagian besar lahannya untuk ditanami tanaman pangan, 4. Kondisi iklim lokal yang kurang menguntungkan misalnya curah hujan yang terlalu rendah, musim kemarau yang panjang, tanah yang kurang subur, 5. Kurangnya pengetahuan peternak tentang teknologi pengolahan hijauan (forage conservation) (STIIR dan HORNE, 2001). Peternak kerbau tidak memiliki lahan yang luas yang dapat ditanami tanaman pakan ternak. Penanaman tanaman pakan ternak unggul dapat dilakukan di lahan-lahan yang tidak dimanfaatkan dan memungkinkan untuk dilakukan penanaman tanaman pakan ternak. MARSETYO (2008) mengemukakan bahwa penanaman hijauan unggul dapat dilakukan di beberapa tempat misalnya di sekitar rumah (halaman belakang rumah), di kebun (upland), di pematang atau sebagai pagar hidup. Hijauan
30
tersebut juga dapat ditanam sebagai tanaman campuran dengan tanaman pangan. Hijauan yang dapat ditanam bisa berupa rumput unggul (rumput Gajah, Raja, Benggala, Setaria, Brachiaria mulato), legum (Clitoria ternatea, Centrosema pubescens, Centrosema pascuorum, Macroptilium lathyroides) dan legume pohon (MARSETYO, 2008). Beberapa jenis legume pohon yang berpotensi dimanfaatkan oleh peternak sebagai bahan pakan ternak adalah gamal (Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala) dan turi (Sesbania glandiflora). Kelebihan tanaman legume pohon adalah dapat tetap hidup/tumbuh pada saat musim kemarau dan kondisi kering dimana pada saat itu tanaman pakan ternak yang lain tidak dapat tumbuh. Legume pohon memiliki kandungan protein kasar tinggi dan dapat diberikan baik sebagai pakan tunggal maupun sebagai suplemen. Penanaman legume sebagai bahan pakan mempunyai beberapa manfaat diantaranya adalah sebagai “protein bank”, dapat menekan pertumbuhan gulma yang lebih rendah seperti alang-alang, dapat sebagai tanaman penahan erosi dan penyubur tanah, kayunya dapat dipergunakan sebagai bahan baku industri pulp dan kayu bakar. Sistem integrasi tanaman-ternak Ketersediaan pakan merupakan faktor penentu dalam peningkatan populasi usahaternak kerbau. Wilayah-wilayah dengan ketersediaan hijauan pakan ternak yang tinggi seperti di luar Jawa merupakan wilayahwilayah yang berpotensi besar dapat menampung pertambahan yang besar populasi kerbau. Disamping hijauan pakan ternak juga limbah pertanian dan perkebunan berpotensi besar digunakan sebagai pakan ternak kerbau. Sementara itu, untuk peningkatan populasi di Pulau Jawa disamping hijauan pakan ternak, pakan berupa produk samping atau limbah pertanian yang tersedia dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Limbah pertanian maupun limbah perkebunan sebagian dapat langsung diberikan kepada kerbau sebagai pakan ternak, namun demikian beberapa jenis limbah pertanian perlu diolah terlebih dahulu untuk meningkatkan kecernaan atau meningkatkan kualitas gizi bahan pakan tersebut. Inovasi teknologi
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
pengolahan bahan pakan dari limbah tanaman pertanian atau perkebunan telah tersedia dan dapat diaplikasikan. Potensi limbah pertanian dan perkebunan sebagai bahan pakan ternak cukup besar dan cukup tersedia di berbagai wilayah kawasan pertanian dan perkebunan tetapi pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak baru mencapai 39% dari potensi yang tersedia saat ini (SIREGAR dan THALIB, 1992). Pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan untuk pemeliharaan kerbau dapat dilakukan melalui sistem integrasi ternak tanaman (SITT). Sistem integrasi ternak dengan tanaman pertanian maupun dengan tanaman perkebunan seperti SISKA dapat dikembangkan untuk penyediaan bahan pakan bagi ternak kerbau. Sementara itu, kotoran dan urine dari pemeliharaan sapi dapat digunakan sebagai bahan pembuat kompos untuk pupuk/penyubur lahan pertanian/perkebunan atau diproses lebih lanjut menjadi biogas. Ternak yang dipelihara dapat dimanfaatkan tenaganya sebagai tenaga pengangkut produk pertanian atau perkebunan. Pada saat dimana kondisi kontur lahan tidak memungkinkan untuk dapat dilalui kendaraan biasa justru ternak kerbau/sapi dapat sangat bermanfaat sebagai tenaga pengangkut. Kedua usaha (usaha pertanian/perkebunan dan usahaternak) dapat bersinergi dan saling memanfaatkan limbah yang dihasilkan dari masing-masing usaha untuk mendorong peningkatan produksi usaha yang lain. Penelitian sistem usaha pertanian terpadu yang dijabarkan dalam bentuk Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) dengan berbagai pola dan bentuk dirintis oleh Badan Litbang Pertanian sejak tahun 1980 melalui berbagai proyek dan program, antara lain:
1. Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air, 2. Crop Livestock System Research, 3. SUT Sapi dan Padi, 4. Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa, 5. Proyek Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu, 6. Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan, 7. P4MI, serta 8. Sistem Integrasi Kelapa Sawit dan Sapi di Daerah Perkebunan (KUSNADI, 2008). Polapola dari hasil dari penelitian tersebut telah diterapkan di berbagai lokasi di Indonesia. Potensi pemeliharaan kerbau di perkebunan kelapa sawit dengan sistem integrasi kerbausawit sangat besar. Dengan luasan perkebunan kelapa sawit yang saat ini sekitar 9 juta ha maka memungkinkan sebagai basis dalam pengembangan populasi kerbau yang sangat signifikan. Pemanfaatan pelepah daun sawit sebagai sumber serat dengan cara dicacah halus mampu menyediakan sebanyak 10.010 kg/ha/tahun yang dapat mencukupi kebutuhan pakan pengganti hijauan untuk 2 ekor sapi per hektar (PUASTUTI et al., 2012), sedangkan dengan pola penggembalaan sapi di kebun sawit secara berotasi dengan inverval waktu 6 – 8 minggu mampu menampung antara 0,3 – 3,0 ekor/hektar (CHEN dan DAHLAN, 1995). Terlebih lagi bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia cenderung meningkat sangat tajam, terutama perkebunan rakyat dan swasta, meskipun luas perkebunan milik Negara (PTPN) cenderung stagnan (Gambar 1). Pola integrasi kerbau dengan perkebunan kelapa sawit dapat diterapkan mengikuti keberhasilan sistem integrasi sawit dengan sapi.
5000 4000 3000
Negara
2000
Rakyat
1000
Swasta
0 1970
1980
1990
2000
2010
Gambar 1. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia (DITJEN PERKEBUNAN, 2011)
31
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
Perbaikan Mutu Genetik Tahap awal dalam upaya untuk memperbaiki produktivitas ternak kerbau adalah menetapkan tujuan pemuliaan ternak kerbau yang nantinya dilaksanakan dalam program pemuliaan ternak kerbau. Tujuan pemuliaan untuk memperbaiki produktivitas ternak kerbau tergantung dari banyak faktor. JAIN dan MULADNO (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor itu diantaranya adalah kondisi agroklimat daerah habitat (termasuk penyakit endemik), model sistem pertanian dan peternakan, ketersediaan bahan pakan termasuk by-product tanaman, jumlah populasi, struktur pemasaran dan sumber daya genetik ternak lokal yang tersedia, sosialbudaya dan tingkat ekonomi pemilik ternak, infrastruktur dan fasilitas yang tersedia, keinginan dan kemampuan peternak dan kemauan politik dan administrasi negara untuk membawa perubahan dalam produktivitas ternak untuk meningkatkan taraf hidup petani ternak. Tujuan pemuliaan tidak hanya
mempertimbangkan keadaan faktor-faktor tersebut saat ini akan tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan di masa depan dimana tujuan pemuliaan telah tercapai mengingat interval generasi kerbau cukup panjang sehingga program pemuliaan baru akan selesai dalam waktu yang cukup panjang. Langkah awal dalam program pemuliaan adalah mempertimbangkan sifat-sifat fenotipe yang dianggap penting yang akan diperhatikan dalam proram pemuliaan. Umumnya sifat-sifat fenotipe yang dianggap penting adalah sifatsifat yang mudah diukur dan sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sifat-sifat yang bernilai ekonomi penting pada kerbau seperti terlihat pada Tabel 1. Beberapa sifat penting kerbau potong dan kerbau perah di Tabel 1 mirip dengan sifatsifat penting yang biasa diperhatikan sebagai kriteria seleksi pada sapi potong dan sapi perah. Beberapa sifat tampilan fisik dapat juga dianggap penting seperti ukuran tubuh penting untuk kerbau potong dan tenaga kerja.
Tabel 1. Sifat-sifat yang bernilai ekonomi pada kerbau perah dan kerbau potong Sifat-sifat penting Produksi
Kerbau perah
Kerbau potong
Produksi susu
Ukuran tubuh/berat
Konsentrasi bahan padat susu
Laju pertumbuhan Kualitas karkas Umur dan bobot potong Leanness, persentase karkas
Reproduksi
Umur beranak pertama
Umur beranak pertama
Calving interval
Calving interval
Umur koleksi semen pertama
Mothering ability Lingkar skrotum
Kesehatan
Resistensi penyakit
Resistensi penyakit
Manajemen
Longevity
Kemudahan beranak
Milk let-down
Temperamen
Warna tubuh, bentuk dan dimensi, karakteristik ambing, sifat-sifat struktural dan kondisi tubuh
Warna tubuh, bentuk dan dimensi, sifatsifat struktural dan kondisi tubuh
Tampilan fisik
Sumber: JAIN dan MULADNO (2009)
32
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
Di beberapa tempat tenaga kerja kerbau mungkin menjadi penting untuk pengolah sawah dan tenaga angkut gerobag sekaligus sebagai sumber pendapatan dari harga sewa penggunaan tenaga kerja kerbau ini. Sifat warna tubuh dan tanduk dapat menjadi penting karena alasan sosial budaya dan keagamaan jadi bisa mempengaruhi nilai jual dari ternak. Karakteristik ambing dapat dihubungkan dengan produksi susu, resistensi terhadap penyakit mastitis dan kemudahan dalam pemerahan. Tabel 2. Estimasi nilai heritabilitas (h2) dari sifatsifat produksi susu pada kerbau sungai Sifat
Estimasi heritabilitas (h2)
Produksi susu
0,16 – 0,47
Produksi laktasi pertama
0,08 – 0,42
Produksi laktasi kedua
0,14
Persentase lemak susu
0,48
Persentase protein
0,74
Total solid
0,35
Pertama
0,13
Kedua
0,59
Lama periode kering Kedua
Tabel 3. Estimasi nilai heritabilitas untuk bobot badan pada berbagai umur pada kerbau sungai Estimasi heritabilitas (h2)
Bobot badan Lahir
0,74
Umur 3 bulan
0,49
Umur 6 bulan
0,43
Umur 9 bulan
0,33
Umur 1 tahun
0,74
Umur 2 tahun
0,43
Pada saat beranak pertama
0,23
Pertambahan bobot badan tahun pertama
0,56
Sumber: Bhat (1979)
Lama laktasi
Pertama
kurang dari 0,10; sedang jika nilainya antara 0,10 – 0,30 dan tinggi jika lebih dari 0,30. Oleh karena itu, sangat penting mengetahui nilai heritabilitas dari sifat yang akan diperbaiki dalam program perbaikan genetik jangka panjang.
Tabel 4. Estimasi nilai heritabilitas bobot badan kerbau lumpur
0,11 – 0,13 0,59
Sumber: CHANTALAKHANA dan SKUNMUN (1999)
Program pemuliaan terhadap sifat-sifat yang akan diperbaiki selanjutnya harus mempertimbangkan derajat pewarisan sifatsifat tersebut yang dikatakan sebagai nilai heritabilitas (h2). Nilai heritabilitas secara teoritis mempunyai range dari 0 hingga 1 atau 0 hingga 100 persen. Seandainya h2 = 0, hal tersebut berarti variasi dari sifat yang diobservasi sepenuhnya dikontrol oleh faktor lingkungan, sebaliknya bila nilai h2 = 1 maka seluruh variasi dari suatu sifat sepenuhnya dikontrol oleh faktor genetik. Semakin tinggi nilai h2 dapat diartikan bahwa keragaman sifat produksi lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan genotipe ternak dalam populasi, dan hanya sedikit pengaruh keragaman lingkungan. Menurut HARDJOSUBROTO (1994), nilai heritabilitas dikatakan rendah apabila bernilai
Estimasi heritabilitas (h2)
Sifat Bobot lahir
0,23
Bobot umur 240 hari
0,09
Bobot 2 tahun
0,60
Pertambahan badan prasapih
bobot
0,06
Pertambahan bobot badan pascasapih
0,75
Sumber: TOPANURAK (1992) disitasi CHANTALAKHANA dan SKUNMUN (1999)
Nilai heritabilitas beberapa sifat produksi dan reproduksi dari kerbau sungai dan kerbau rawa ditampilkan pada Tabel 2, 3, 4 dan 5. Berdasarkan hasil penelitian estimasi nilai heritabilitas dapat ditentukan perbaikan sifat produksi dan reproduksi yang dapat dilakukan. Untuk sifat-sifat yang mempunyai nilai heritabilitas sedang hingga tinggi, program pemuliaan untuk perbaikan sifat dapat
33
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
dilakukan melalui perbaikan genetik dengan melalui beberapa metode misalnya seleksi atau persilangan. Sementara itu, untuk sifat dengan nilai heritabilitas yang rendah maka perbaikan sifat dapat dilakukan lebih fokus kepada perbaikan lingkungan ternak seperti perbaikan pakan, manajemen, dll. Tabel 5. Estimasi nilai heritabilitas dari beberapa sifat reproduksi kerbau sungai Estimasi heritabilitas (h2)
Sifat Umur beranak pertama
0,78 0,23*
Calving interval
0,14* 0,01 – 0,64
Pertama Kedua
0,11
Breeding efficiency
0,02
Service period
0,09*
Sumber: CHANTALAKHANA (1992) * ACHARYA (1991) disitasi CHANTALAKHANA dan SKUNMUN (1999)
KESIMPULAN Upaya jangka pendek untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau dapat dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan bobot potong serta menurunkan angka mortalitas. Inovasi teknologi yang dapat digunakan adalah suplemantasi untuk meningkatkan kualitas ransum, pemberian pakan tambahan, pengolahan pakan (fermentasi), dan perbaikan manajemen pakan. Sementara itu, upaya yang berdampak dalam jangka panjang dilakukan melalui peningkatan calving rate dan calf crop, intensifikasi penanaman hijauan pakan unggul/leguminosa, optimalisasi pemanfaatan limbah pertanian/perkebunan sebagai sumber pakan melalui sistem integrasi ternak-tanaman dan perbaikan mutu genetik. Upaya ini dapat dilakukan dengan penerapan inovasi dan teknologi reproduksi, intensifikasi penanaman tanaman pakan ternak unggul atau leguminosa, penerapan sistem integrasi kerbau tanaman, dan perbaikan mutu genetik. Upaya jangka
34
panjang ini merupakan upaya yang bertujuan menjaga agar swasembada daging sapi dan kerbau dapat terus berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA BHAT, P. N. 1979. Genetic parameters of milk production and scop of increasing milk production in buffaloes vis-a-vis cattle. Animal Production and Health Paper No. 13. FAO/UN, Rome. CHANTALAKHANA, C. 1992. Genetics and breeding of swamp buffaloes. In: Buffalo Production. TULLOH, N. M. and J. H. G. HOLMES (Eds.). World Animal Science, C6. ACIAR Proceedings No. 27. pp. 248 – 257. CHANTALAKHANA, C. and P. SKUNMUN. 1999. Longterm breeding strategies for genetic improvement of buffaloes in developing countries: Review. Asian-Aus J. Anim. Sci. 12 (7): 1152 – 1161. CHEN, C.P. and I. DAHLAN. 1995. Tree spacing and livestock production. In: Report the FAO First Intergational Symposium on the Integration of Livestock to oil Palm Production. Kuala Lumpur, Malaysia. 25 – 27 May 1995. pp. 35 – 49. DITJEN PERKEBUNAN. 2011. Luas Areal Dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan: http://ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/index.ph p/viewstat/komoditiutama/8-Kelapa%20Sawit. DITJENAK. 2011. Statistik Peternakan Indonesia Tahun 2010. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. FAO. 2000. Water Buffalo : an Asset Undervalued. FAO Regional Office for Asia and The Pasific. Bangkok. Thailand. HAFID, H. H. 2008. Selektivitas pemotongan hewan dan optimalisasi fungsi abbatoir dalam mendukung program swasembada daging sapi (tinjauan kasus Sulawesi Tenggara). Pros. Seminar Nasional Pengembangan Sapi Potong Untuk Mendukung Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2008 – 2010. Palu, 24 November 2008. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 196 – 202. HARDJOSUBROTO, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
JAIN, A.K. and MULADNO. 2009. Selection Criteria and Breeding Objectives in Improvement of Productivity of Cattle and Buffaloes. In: Selection and Breeding of Cattle in Asia: Strategies and Criteria for Improved Breeding. Animal Production and Health Section, International Atomic Energy Agency, Vienna International Centre. Vienna, Austria. KUSNADI, U. 2008. Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak untuk menunjang swasembada daging sapi. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(3): 189 – 205. MARSETYO. 2008. Strategi pemenuhan pakan untuk peningkatan produktivitas dan populasi sapi potong. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Sapi Potong Untuk Mendukung Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2008 – 2010. Palu, 24 November 2008. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 94 – 103. PRAHARANI, L. 2009. Tinjauan Performa Persilangan Kerbau Sungai X Kerbau Lumpur. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Tana Toraja, 24 – 26 Oktober 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 29 – 37. PSPK2011. 2011. Hasil rilis terakhir sensus peternakan di Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
P UASTUTI , W., B. S ETIADI dan K. D IWYANTO . 2012. Strategi pemanfaatan biomasa perkebunan sawit dan produk samping industri sawit sebagai sumber pakan untuk pengembangan sapi potong di perkebunan sawit. In: Inovasi Pengembangan Sapi Sistem Integrasi Sapi Sawit. INOUNU, I. (Ed.). IAARD Press, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. pp. 116 – 155. REGGETI, J. and R. RODRIGUEZ. 2004. Proc. 7th World Buffalo Conggress. Makati City, 20 – 23 October 2004. Makati City, Philippines. pp. 55 – 58. SIREGAR, A. R. dan C. TALIB. 1992. Penggemukan sapi Bali dan Ongole di Tawaehi, Sulawesi Tengah. Pros. Agro Industri Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Bogor. STIIR,
W.W. dan P. M. HORNE. 2001. Mengembangkan teknologi hijauan makanan ternak bersama petani kecil. Kerjasama antara ACIAR dengan Direktorat Jenderal Produksi Peternakan dan Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur.
TIESNAMURTI, B. dan TALIB, C. 2012. Inovasi teknologi dalam pengembangan perbibitan dan budidaya kerbau lumpur. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau. Samarinda, 21 – 22 Juni 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 14 – 22.
35