Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
DUKUNGAN TEKNOLOGI PAKAN DALAM USAHA SAPI POTONG BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL M. SUHARTO Direktur CV Lembah Hijau Multifarm, Surakarta
ABSTRAK Pola kehidupan manusia yang terus berubah semakin mendorong manusia untuk berusaha mendapatkan asupan nutrisi yang terbaik. Salah satunya adalah protein. Pemenuhan kebutuhan protein asal hewan sudah menjadi kesadaran masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa. Sapi potong merupakan ternak penghasil daging yang merupakan salah satu sumber protein hewani asal daging. Pertambahan populasi sapi lokal yang lambat (0,21% setiap tahun) menjadikan Indonesia melakukan jalinan kerjasama dengan negara lain untuk melakukan impor sapi potong, didukung oleh permintaan yang sangat signifikan. Ternak sapi potong yang saat ini dikembangkan di Indonesia masih merupakan peternakan rakyat yang memiliki sifat sosial tinggi, intensifitas dan efisiensi rendah, transfer informasi teknologi serta inovasi yang lambat. Bila hal ini terus dibiarkan, pengembangan ternak ruminansia, khususnya sapi potong akan mengalami permasalahan dahsyat. Penyusutan lahan pertanian, yang bila dikonversi akan menemui jumlah satu juta ekor ternak sapi potong, menyebabkan penyediaan bahan pakan konsentrat dan berserat menjadi semakin sulit. Sementara kemampuan impor bahan pakan dari luar negeripun akan semakin menjadi hambatan karena permasalahan harga yang akan membebani biaya produksi. LEISA (Low Eksternal Input Sustainable Agriculture) merupakan suatu pola usaha agribisnis yang memiliki daya saing dan tingkat survival tinggi. Pemanfaatan sumber daya lokal menjadi dasar utama konsep ini. Sumber daya lokal Indonesia masih menyimpan plasma nutfah yang berpotensi untuk menanggulangi kendala di atas dan dapat menjadi andalan masa depan yang berjangka panjang. Sumberdaya lokal potensial yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia adalah pemanfaatan hasil samping budidaya tanaman pangan dan perkebunan. Bahan-bahan tersebut masih mudah didapat dalam jumlah banyak pada suatu lokasi. Kelemahannya adalah bahan tersebut belum lazim digunakan sebagai bahan pakan ternak (ruminansia) dan biasanya kurang palatable selain kualitasnya rendah (protein dan energi). Jerami padi, tebon dan tongkol jagung, cane top, jerami kacang tanah, kulit buah dan biji coklat, serat dan lumpur sawit serta bungkil inti sawit dan ampas sagu merupakan salah satu deretan sumberdaya lokal yang dapat digunakan sebagai sumber penyedia bahan pakan berkualitas bagi ternak sapi potong. Melalui proses bioteknologi praktis dan sederhana akan dapat diciptakan pola pengembangan usaha sapi potong berbasis sumberdaya lokal yang bernilai ekonomis tinggi. Kata kunci: Protein, sapi potong, bahan pakan, sumberdaya lokal, LEISA, hasil samping, tanaman pangan dan perkebunan, bioteknologi
PENDAHULUAN Seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan peradaban saat ini membuat semakin berkembangnya pola kehidupan manusia. Manusia semakin sadar akan terpenuhinya nutrisi untuk kehidupan yang lebih baik. Nutrisi tersebut salah satunya adalah ‘PROTEIN’. Protein berperan bagi terbentuknya jaringan tubuh baru untuk mengganti jaringan yang rusak/usang, perkembangan daya pikir dan pembentukan formasi tubuh yang semakin baik. Protein tersebut berasal dari protein hewani dan nabati. Salah satu sumber protein hewani adalah daging.
14
Masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa tentunya semakin banyak membutuhkan protein asal daging ini. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya lonjakan permintaan yang cukup signifikan akan daging. Ternak sapi merupakan penyedia protein hewani asal daging yang cukup potensial. Ternak sapi potong yang berkembang di Indonesia saat ini sebagian besar merupakan peternakan rakyat yang melakukan sistem budidaya tradisional bersifat sosial, nilai efektifitas dan efisiensi rendah serta serapan informasi teknologi dan inovasi yang lambat. Hal ini juga menjadi penyebab perkembangan populasi sapi lokal Indonesia yang terhitung sangat rendah (0,21% per tahun). Permintaan
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
yang tinggi serta supply dalam negeri yang belum mencukupi mendorong terjadinya kerjasama dengan negara lain untuk mengimpor ternak sapi potong. Impor sapi potong dari Australia dari tahun ke tahun menunjukkan grafik yang terus meningkat. Tahun 2001, Indonesia mengimpor 289.525 ekor dan tahun berikutnya angka melonjak fantastis menjadi 429.615 ekor. Direktorat Jenderal Peternakan dan jajaran terkait di bawahnya terus instansi mengembangkan program dan penelitian untuk dapat meningkatkan pengembangan ternak sapi potong di Indonesia. Sementara program terus mencari jatidirinya, penyusutan lahan pertanian semakin bertambah. Bila dikonversi, angka yang ditunjukkan senilai dengan konsumsi satu juta ekor ternak sapi. Penyediaan bahan pakan konsentrat dan berserat menjadi salah satu masalah vital pengembangan ternak sapi potong di Indonesia. Permasalahan yang semakin membesar bagai bola salju ini, bila dibiarkan akan meledakkan rentetan kengerian yang dahsyat sehingga perlu langkah konkrit dalam mengatasi kendala tersebut. Negara Indonesia dengan seluruh potensi alamnya, menyimpan kekayaan plasma nutfah yang
belum diberdayakan secara maksimal. Hasil samping tanaman pangan dan perkebunan ternyata mampu menjawab rintangan di atas, dengan satu catatan adanya komitmen kuat untuk mengembangkannya. SUMBER DAYA LOKAL Hasil samping tanaman pangan dan perkebunan sebenarnya bukan limbah, tetapi sumberdaya yang sangat potensial untuk dikembangkan dan kekayaan alam Indonesia masih sangat mampu menyediakan itu semua. Hampir di sebagian besar daratan Indonesia, hasil samping tanaman pangan dan perkebunan mudah ditemukan, memilki jumlah yang banyak dan memiliki nilai ekonomis rendah. Kelemahan yang ada pada potensi tersebut adalah, ketidaklaziman untuk digunakan sebagai bahan pakan, kurang palatable dan memiliki kandungan nutrisi rendah (protein dan energi) (Tabel 1 dan Gambar 1). Gambar 2 akan memperjelas upaya mengubah limbah (waste) menjadi sumber daya (resources).
Tabel 1. Potensi hasil samping tanaman pangan dan perkebunan Jenis limbah Limbah pertanian: Jerami padi Tebon jagung Pucuk tebu Daun ubi kayu Jerami ubi jalar Jerami kacang tanah Jerami kacang kedelai Jumlah Limbah agroindustri: Limbah nanas Ampas tebu Ampas singkong (onggok) Limbah cacao*** Limbah kopi***
Luas area*
Produksi limbah**
8.470.900 2.499.900 1.085.000 838.700 141.400 479.500 942.500 14.457.900
21.177.250 14.999.400 4.430.000 838.800 212.100 1.198.750 2.356.000 45.022.300
1.085.000 838.700 336.500 1.055.700
107.707 9.420.800 5.619.618 484.193 232.392
*STATISTIK INDONESIA (1991) **REKSOHADIPRODJO (1984) ***DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN (1992)
15
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
MAN
Food
Food
ANIMAL
ORGANIC WASTE Composting
Feed
SOIL
PLANT
Gambar 1. L E I S A
Agriculture by product problem - Digestibility - Palatability - Lack of Nutrient
FERMENTATION Temperature
FEED - High Quality - Hight Palatability - Hight Digestibility
Gambar 2. Upaya mengubah limbah menjadi sumber daya
Penerapan LEISA akan memberi keuntungan: • Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal • Maksimalisasi daur ulang (zero waste) • Minimalisasi kerusakan lingkungan (ramah lingkungan) • Diversifikasi usaha • Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang • Menciptakan kemandirian
16
BIOTEKNOLOGI PAKAN Jerami fermentasi Hasil intensifikasi tanaman pangan tidak menghasilkan pangan yang lebih banyak, tetapi juga menghasilkan limbah berserat yang melimpah sehingga integrasi antara tanaman pangan dengan ternak merupakan suatu alternatif untuk mencukupi kebutuhan pakan yang murah.
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas limbah pertanian, baik dengan cara fisik, kimia maupun biologis. Tetapi cara-cara tersebut biasanya disamping mahal, juga hasilnya kurang memuaskan. Dengan cara fisik misalnya, memerlukan investasi yang mahal; secara kimiawi meninggalkan residu yang mempunyai efek buruk sedangkan dengan cara biologis memerlukan peralatan yang mahal (harus anaerob) dan hasilnya kurang disukai ternak (bau amonia yang menyengat). Cara baru yang relatif murah, praktis dan hasilnya sangat disukai ternak adalah fermentasi dengan Starbio.
Uraian pada Tabel 2 dan Gambar 3 akan memperjelas keterangan tersebut di atas. Potensi hasil samping perkebunan kelapa sawit yang dapat digunakan sebagai bahan pakan konsentrat sapi potong adalah: 1. Palmpress fibre (serat sawit) 2. Palm oil sludge (lumpur sawit) 3. Palm kernel cake (bungkil inti sawit) Selain itu dari kebun kelapa sawit dapat digunakan Daun Kelapa Sawit sebagai bahan baku pakan berserat untuk sapi potong. Bahan-bahan tersebut difermentasi untuk menghasilkan pakan yang berkualitas tinggi, palatable dan stabil (Gambar 4, Tabel 3 dan 4). Bangunan terbuka lantai berfungsi sebagai naungan)
tanah
Waktu proses selama 21 hari Kadar air jerami awal prosesing 60%
Lapisan kedua dan seterusnya dibuat sama seperti lapisan pertama
Taburkan Starbio rata dipermukaan jerami Susun Jerami setebal 30 cm
30 cm
Gambar 3. Proses fermentasi jerami Tabel 2. Analisa hasil proses fermentasi jerami Macam analisa (%) Air Abu Protein Lemak Serat kasar
Jerami segar 59,16 24,50 4,3 2,5 33,8
Jerami fermentasi 10,17 19,87 9,03 1,52 31,8
Sumber: Laboratorium Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada
17
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
BUNCH TRASH (55 – 58%)
PALM NUT SHELL (8%)
PALMPRESS FIBRE (12%)
PALM OIL SLUDGE (2% dry matter)
FRESH FRUIT BUNCHES
PALM OIL (19–20%)
PALM KERNEL (4 – 5%)
PALM KERNEL OIL (45–46%)
PALM KERNEL CAKE (45–46%)
Gambar 4. Hasil samping perkebunan kelapa sawit Tabel 3. Perbandingan nutrisi serat sawit mentah, serat sawit fermentasi dan rumput lapangan Energi dan nutrisi
Serat sawit mentaha
Serat sawit fermentasib
Rumput lapangana
Bahan kering (%) Abu (%) Protein kasar (%) Lemak (%) Serat kasar (%) BETN (%) TDN (%) De (Mkal/kg) ME (Mkal/kg) NEM (Mkal/kg) NEG (Mkal/kg) HEL (Mkal/kg) Selulosa (%) Lignin (%) ADF (%) NDF (%) Kalsium (%) Pospor (%)
93,1 6,46 5,93 5,19 46,80 41,62 52,0 2,47 2,84 1,18 0,61 1,75 48,60 12,91 58,61 78,33 0,54 0,13
94,2 6,41 10,20 5,10 40,1 42,1 60,20 2,49 2,93 1,20 0,72 1,82 40,6 9,23 52,4 60,32 0,57 0,17
24,48 14,5 8,2 1,44 31,7 44,2 51,00 2,25 1,82 1,00 0,45 1,13 31,03 7,80 40,32 63,61 0,366 0,230
Sumber: aLABORATORIUM ILMU MAKANAN TERNAK UNIVERSITAS GAJAH MADA (1999) b LHM RESEARCH STATION (1998)
18
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Tabel 4. Perbandingan lumpur sawit kering dan dedak padi halus Energi dan zat nutrisi
Lumpur sawita
Dedak padi halusb
93,10 12,00 13,30 18,85 16,30 39,55 74,00 3,26 2,84 1,76 1,14 1,69 18,27 4,17 23,02 39,36 0,30 0,19
87,70 13,60 13,00 8,64 13,90 50,86 70,00 3,09 2,67 1,58 0,97 1,60 13,22 2,86 19,83 42,44 0,09 1,39
Bahan kering (%) Abu (%) Protein kasar (%) Lemak (%) Serat kasar (%) BETN (%) TDN (%) DE (Mkal/kg) ME (Mkal/kg) NEM (Mkal/kg) NEG (Mkal/kg) NEL (Mkal/kg) Selulosa (%) Lignin (%) ADF (%) NDF (%) Kalsium (%) Pospor (%)
Sumber: aLHM RESEARCH STATION b LABORATORIUM NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK INSTITUT PERTANIAN BOGOR
HASIL SAMPING PERKEBUNAN CACAO Tanaman Cacao (coklat) akan menghasilkan: 1. Biji cacao 2. Kulit biji cacao 3. Kulit buah cacao Cacao Pod segar (kadar air ± 85%) diturunkan kadar airnya sampai ± 70% dengan cara dikeringkan sinar matahari selama 6 jam penyinaran. Cacao Pod difermentasi dengan Starbio dan ditambah Urea dengan dosis 3 kg Starbio dan 6 kg Urea/ton Cacao Pod selama 2 minggu. Setelah dua minggu dibongkar, dikeringkan dan digiling dengan lubang saringan 50 mm. Tujuan fermentasi dengan starbio adalah untuk menaikan daya cerna, palatabilitas dan penyerapan nutrisi cacao pod. Disamping itu, fermentasi cacao pod dengan Starbio juga untuk meredam efek buruk racun theobromine yang pada cacao pod (Tabel 5).
Percobaan dilakukan pada 24 ekor sapi Brahman Cross asal Australia dengan berat awal 251 ± 9,8 kg dan diberi 3 macam ransum sebagai berikut: Ransum A: 30% rumput gajah umur 45 hari + 70% Konsentrat Ransum B: 30% Cacao Pod Mentah + 70% Konsentrat Ransum C: 30% Cacao Pod Fermentasi + 70% Konsentrat Cacao Pod mentah dan Cacao Fermentasi diberikan dalam keadaan kering dan digiling dengan lubang saringan berdiameter 50 mm, dimaksudkan agar Cacao Pod tetap memberi efek ruminasi yang baik. Rumput Gajah diberikan dalam keadaan segar dan dipotong-potong 5 cm. Kondisi sapi awal percobaan pada saat sapi sudah melewati masa compensatory gain. Percobaan dilakukan di Kandang Balai Penelitian Ternak Ciawi; Bogor dari tanggal 3 Maret–4 Juni 1997 (Tabel 6).
19
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Tabel 5. Komposisi cacao pod mentah, cacao pod fermentasi dan rumput gajah umur 45 hari (% bahan kering) Nutrisi, energi, KBK dan KBO
Cacao pod mentah
Cacao pod fermentasi
Rumput gajah
Bahan kering %
14,5
18,4
22,0
Abu %
15,4
12,7
12,3
Protein kasar %
9,15
12,9
8,70
Lemak %
1,25
1,32
2,70
Serat kasar %
32,7
24,70
32,9
BETN %
41,2
47,1
44,3
TDN %
50,3
63,2
54,2
ME, MJ/kg bahan kering
7,60
9,20
8,21
Kecernaan bahan kering (KBK)
26,3
38,4
36,3
Kecernaan bahan organik (KBO)
25,4
42,4
42,1
Ca
0,29
0,21
0,29
P
0,19
0,13
0,34
Tabel 6. Respon sapi percobaan Variabel Konsumsi bahan kering kg/hari
Ransum A
Ransum B 11,31
a
b
72,4a
10,1
a
Ransum C
a
13,13b
Kecernaan bahan kering %
71,0
61,5
Kecernaan protein kasar %
50,4a
53,3a
64,2b
Energi termetabolis, mj/kg
a
9,73
a
11,4b
21,1
c
30,2d
21,9a
43,4c
59,2d
a
c
23,4d
b
1,20c
10,5
Retensi nitrogen g/hari Retensi nitrogen/nitrogen tercerna Retensi nitrogen/konsumsi bahan kering Kenaikan berat badan, kg/hari
7
11,7
a
0,84
Dari hasil uji tersebut disimpulkan bahwa: 1. Konsumsi Bahan Kering Ransum C paling tinggi dibanding Ransum B dan A (13,13 vs 11,31 vs 10,1). Dapat dianggap bahwa Cacao Pod lebih disukai dibanding Rumput Gajah, lebih-lebih yang difermentasi. Cacao Pod yang difermentasi lebih disukai karena teksturnya lebih lunak dan aromanya lebih enak. 2. Pada kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Protein Kasar Ransum A (dengan hijauan Rumput Gajah) lebih besar dibanding Ransum B, tetapi lebih tinggi pada ransum C (Cacao Pod Fermentasi). 3. Pada kenaikan berat badan, Ransum C (cacao pod fermentasi) memberi hasil lebih
20
a
21,1 1,01
baik dibanding Ransum B maupun Ransum A (1,2 kg vs 1,01 kg vs 0,84 kg). PELAKSANAAN TEKNOLOGI PAKAN Langkah dan upaya yang harus dilakukan a.
Mengidentifikasi potensi, kendala dan sumber daya yang ada untuk mengembangkan usaha perkebunan ke arah Integrated Farming System.
b.
Perakitan tehnologi aplikatif yang sesuai dengan agroekosistem.
c.
“On–Farm Research“ untuk mencoba rakitan teknologi tersebut.
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
d.
Supervisi dan evaluasi seluruh kegiatan untuk mendapatkan sistem.
e.
Test–farm untuk meyakinkan pattern atau sistem telah teruji.
bahwa
Kegiatan on farm research dan test farm yang harus dilakukan a. Upaya pemberdayaan hasil samping perkebunan untuk dijadikan bahan baku pakan ternak dan kompos. b. Upaya pemberdayaan hasil samping peternakan untuk dijadikan kompos AGROINDUSTRI PAKAN “Sehelai daun murbei ditangan orang bijak akan menjadi sutera, sehelai bulu domba di tangan orang bijak akan menjadi pakaian raja“ Menilik potensi hasil samping tanaman pangan dan perkebunan, maka pemanfaatan sumberdaya lokal yang melimpah tersebut dapat kita ubah menjadi emas merah (daging), emas putih (susu) dan emas hitam (kompos), Tentunya dengan hasil yang dicapai penciptaan kebutuhan baru, kesempatan dan peluang baru, pengembangan tehkologi baru dan menciptakan modal dari industri perkebunan yang fenomental dan berdaya saing global. Hasil samping yang berkualitas tersebut, akan lebih berdayaguna bila bahan pakan tersebut diolah menjadi pakan ternak lengkap (complete feed) yaitu pakan ternak lengkap mengandung pakan berserat dan pakan konsentrat dalam bentuk pellet (butiran). Dengan complete feed dalam bentuk pellet
akan memudahkan pemberian, pengangkutan, penyimpanan, disamping juga berfungsi sebagai pengawetan. Complete feed juga akan membantu pemecahan masalah nasional yaitu penyediaan pakan bermutu dengan harga terjangkau, mudah pemberiannya dan sudah dalam awetan sehingga tahan lama disimpan, sehingga diharapkan dengan pemakaian complete feed, populasi ternak ruminansia dapat ditingkatkan. Seperti kita ketahui, petani dengan 2 ekor sapi, sudah kesulitan mendapatkan rumput terutama musim kemarau. Dengan complete feed, mereka dapat meningkatkan jumlah sapi yang dipelihara tanpa harus susah payah mengarit (merumput) dan waktu bisa digunakan untuk yang lain yang lebih produktif. Demikian juga pada peternakan sapi perah dan penggemukan, mereka dapat meningkatkan populasi sapinya sehingga usaha mereka lebih efisien. PENUTUP Penerapan bioteknologi dalam pengembangan ternak sapi potong merupakan tugas kita sebagai insan peternakan demi berkembangnya populasi ternak dengan nilai efektifitas dan efisiensi pemeliharaan yang tinggi untuk mendapatkan kebutuhan supply daging bagi pemenuhan protein hewani asal ternak sapi potong. Pendampingan, bimbingan dan evaluasi yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan akan melahirkan suatu program aplikatif bagi peningkatan nilai usaha ternak sapi potong.
21