Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
PEMANFAATAN SUMBERDAYA PAKAN LOKAL DALAM RANGKA PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KALIMANTAN TENGAH ERMIN WIDJAJA, BAMBANG NGAJI UTOMO, SALFINA NURDIN AHMAD dan DEDDY DJAUHARI SISWANSJAH Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah
ABSTRAK Kebijakan pembangunan peternakan di Kalimantan Tengah dewasa ini lebih ditekankan pada upaya untuk berswasembada daging. Kebutuhan daging di Kalimantan Tengah masih belum mampu dipenuhi dari produksi lokal saja yang mana hanya mampu mensuplai 45−50% nya saja. Sapi masih menjadi komoditas utama dalam pemenuhan kebutuhan daging daerah, hal ini tercermin dari jumlah ternak yang dipotong paling tinggi setiap tahunnya rata-rata dalam lima tahun terakhir 11.852 ekor. Permasalahan yang dihadapi adalah penyediaan bibit masih sangat kurang, hal ini terkait dengan angka kelahiran rendah (143,24%) dan jarak beranak yang panjang (rata-rata > 15 bulan). Pemberian pakan yang pada umumnya hanya rumput alam saja diduga berdampak luas bukan hanya pada produksi tetapi juga reproduktivitas ternak. Pertambahan berat badan harian dilaporkan rendah di bawah 200 g/ekor/hari. Berdasaran kenyataan riel di lapangan, fokus kegiatan dalam rangka peningkatan produksi dan populasi ternak banyak diarahkan ke manajemen pakan. Kalimantan Tengah ternyata kaya akan berbagai bahan pakan lokal yang bisa dijadikan sebagai sumber energi dan protein. Luasnya pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan target area 676.337 ha dan sudah ada 14 pabrik yang beroperasi menghasilkan limbah yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak yaitu terutama limbah solid dengan produksi rata-rata 20 ton/hari/pabrik. Pemberian solid pada sapi PO jantan sebagai pakan tambahan memberikan PBBH 0,77 kg/ekor/hari, sedangkan pemberian pada domba dalam bentuk complete feed block (CFB) fermentasi, non fermentasi dan dalam bentuk segar memberikan PBBH masing-masing 0,083 kg/ekor/hari; 0,064 kg/ekor/hari dan 0,045 kg/ekor/hari. Saat ini solid sebagai pakan ternak sapi sudah dimanfaatkan secara luas, diantaranya oleh PT Korindo yang mengembangkan sapi di area reboisasi sejumlah 165 ekor dengan memberikan pakan tambahan solid. Selain kelapa sawit, di Kalimantan Tengah juga banyak ditemukan perkebunan kelapa, diantaranya yang terluas dan sudah melakukan pengolahan adalah di Kabupaten Kotawaringin Timur dan menghasilkan produk samping berupa bungkil kelapa. Bungkil kelapa sudah dimanfaatkan secara luas untuk pakan tambahan sapi dan ayam. Pemberian bungkil kelapa pada sapi Madura jantan meningkatkan PBBH dari 0,32 kg/ekor/hari menjadi 0,61 kg/ekor/hari serta meningkatkan tambahan pendapatan dari Rp. 199.030 menjadi Rp. 388.056. Kata kunci: Sapi potong, pakan lokal, solid, bungkil kelapa
PENDAHULUAN Latar belakang Tantangan penyediaan pangan asal hewan dirasakan semakin kuat, terlebih lagi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/ MPP/Kep/II/1998 tanggal 27 Pebruari 1998 tentang jenis barang kebutuhan pokok masyarakat. Dalam keputusan tersebut, daging sapi, daging ayam dan telur masuk dalam jenis barang kebutuhan pokok masyarakat (SEMBAKO) yang berarti kecukupan dan ketersediaan bahan pangan tersebut harus mendapatkan perhatian secara sungguhsungguh.
140
Beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan peningkatan gap antara penawaran dan permintaan daging (WIJONO et al., 2003). Prediksi pada tahun 2005 kebutuhan daging yang berasal dari sapi menyumbang pangsa 25,41% dengan jumlah penduduk 210,4 juta jiwa dan tingkat pertambahan penduduk 1,66%, diperhitungkan kebutuhan daging sapi sebesar 404,2 ribu ton pada tahun 2002 dan 499,0 ribu ton pada tahun 2005. Dengan program reguler pengembangan ternak hanya menghasilkan daging sekitar 249,7 ribu ton. Terdapat kesenjangan suplai sebesar 250 ribu ton daging pada tahun 2005 (ANONIMUS, 2002). Kebijakan pembangunan peternakan di Kalimantan Tengah dewasa ini lebih
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
ditekankan pada upaya untuk berswasembada daging tahun 2005 dan ini merupakan program yang mendesak. Kebutuhan daging di Kalteng cenderung meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2002 dilaporkan sebanyak 10.030 ton, naik 7,24% dan diprediksi pada tahun 2003 akan meningkat lagi sekitar 1,19%. Demikian pula dengan kebutuhan telur pada tahun 2002 dilaporkan meningkat 4,67% dan diprediksi pada tahun 2003 akan meningkat lagi sekitar 1,63%. Akibat meningkatnya konsumsi daging, terjadi pula peningkatan produksi daging dan dari monitoring selama 6 tahun terakhir angka pertumbuhan produksi rata-rata sebesar 7,48%. Kebutuhan daging di Kalimantan Tengah tidak mampu dipenuhi dari produksi lokal saja yang mana hanya mampu mensuplai 45-50%nya saja (DINAS KEHEWANAN KALIMANTAN TENGAH, 2001), sedangkan sisanya masih mendatangkan dari luar Kalteng. Terlebih dengan pecahnya kerusuhan di Kalimantan Tengah awal tahun 2001 sangat mempengaruhi perkembangan subsektor peternakan, dimana populasi ternak (sapi) menurun drastis (DARMADJI, 2001). Kenyataan ini makin mempersulit pemenuhan kebutuhan daging daerah. Untuk memenuhi kebutuhan daging daerah, program pembangunan peternakan di Kalteng diarahkan pada pengembangan peternakan rakyat yang merupakan bagian terbesar dari peternakan di Kalimantan Tengah.
Tengah dalam pemenuhan kebutuhan daging daerah. Hal ini tercermin dari jumlah ternak yang dipotong paling tinggi setiap tahunnya rata-rata dalam 5 tahun terkhir 11.842 ekor dibandingkan ternak besar lainnya (kerbau: 223,9 ekor; kambing: 1.402 ekor; domba: 77 ekor dan babi: 5.598 ekor). Perkembangan populasi ternak sapi selama 5 tahun terakhir (1998-2002) relatif kurang menggembirakan, bahkan pada tahun 2002 dilaporkan mengalami penurunan 21,99% dari tahun sebelumnya (2001). Pertumbuhan populasi (trend populasi) selama 5 tahun (1998−2002) terakhir cenderung mengalami penurunan (Gambar 1) dengan rata-rata pertumbuhan populasi negatif (-3,5). Permasalahan yang dihadapi adalah produktivitas dan populasi sapi rendah, penyediaan ternak bibit masih sangat kurang, baik jumlah maupun mutu. Kondisi ini erat kaitannya dengan angka kelahiran yang rendah yaitu 13,24% sedangkan parameter angka kelahiran nasional 19,28% dan jarak beranak (Calving Interval) yang panjang (rata-rata > 15 bulan). Pemberian pakan oleh peternak yang hanya rumput alam dimana kandungan protein dan energinya rendah (UTOMO et al., 1999) diduga berdampak luas bukan hanya pada pertambahan berat badan saja, juga pada reproduktivitas ternak. Pertambahan berat badan harian ternak rendah dibawah 200 g/ekor/hari (UTOMO et al., 1999) dan kondisi fisik hewan (induk) skornya di bawah standar sehingga tidak menjamin kebuntingan yang tinggi (fertilitas rendah). Selain itu juga memberikan dampak pada bobot lahir yang rendah, pertumbuhan agak lambat, umur
Kinerja ternak sapi di Kalimantan Tengah Sapi merupakan ternak rakyat dengan skala kepemilikan rata-rata 2,5 ekor/KK, masih menjadi komoditas utama di Kalimantan
4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10 -12 -14
3.1 0 1
2
3
0 4
5
-9 -11.6
Gambar 1. Pertumbuhan populasi (trend populasi) sapi potong selama 5 tahun (1998−2002) di Propinsi Kalimantan Tengah
141
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
beranak pertama relatif lama, bobot hidup atau bobot potong sapi dewasa menjadi rendah. Permasalahn lain tingginya angka kematian ternak terutama anak yang diduga juga akibat kekurangan gizi. Kondisi ini diperparah dengan tidak terkontrolnya pemotongan hewan betina produktif dan pejantan unggul. Praktis laju peningkatan populasi ternak berjalan lamban, bahkan pada tahun 2002 dilaporkan mengalami penurunan 6,6%. Berdasarkan kenyataan riel di lapangan tersebut, fokus kegiatan dalam rangka peningkatan produktivitas dan populasi ternak khususnya ternak ruminansia adalah melalui kegiatan manajemen pakan (nutrisi), baik dari aspek penyediaannya (intensifikasi pakan hijauan, limbah agroindustri, dll atau secara integrasi) maupun tata cara pemberiannya (disesuaikan dengan fungsi fisiologisnya) baik dengan tujuan untuk meningkatkan produksi melalui penggemukan atau untuk perbaikan kondisi fisik induk (skor) dengan maksud meningkatkan reproduktivitasnya. DAYA DUKUNG PAKAN LOKAL Dalam sistem produksi peternakan, pakan merupakan komponen utama, disamping kualitas bibit, yang akan menentukan tingkat produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan, baik ditinjau dari segi teknis maupun ekonomis. Dari segi teknis, kualitas pakan dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan ternak untuk mencapai tingkat produktivitas yang diharapkan, tanpa adanya gangguan kesehatan hewan untuk keragaan yang optimal. Sedangkan dari segi ekonomis, biaya pakan merupakan komponen biaya tertinggi yaitu 60-70% dari seluruh biaya produksi, sehingga pengembangan teknologi produksi banyak diarahkan pada peningkatan efisiensi pakan. DIWYANTO (1996) menyatakan bahwa sebagai negara tropis di kawasan katulistiwa dengan areal yang cukup luas, maka persediaan bahan pakan ternak sebetulnya bukan merupakan kendala dalam usaha peternakan sapi potong. Banyak potensi bahan baku pakan lokal yang belum diolah atau dimanfaatkan secara maksimal antara lain berupa limbah industri perkebunan, tanaman pangan, dll. STONAKER (1975) menjelaskan bahwa pada
142
umumnya hijauan di daerah tropis memiliki kualitas rendah, sehingga pemberiannya pada ternak perlu suplementasi konsentrat. Suplementasi konsentrat adalah untuk mencukupi kebutuhan zat-zat makan (terutama protein dan energi), meningkatkan pertambahan bobot badan, meningkatkan konsumsi dan efisiensi penggunaan pakan. Selain ketersediaan pakan secara kuantitas dan kualitas, cara pemberian pakan (manajemen pakan) juga berpengaruh pada produktivitas dan reproduktivitas ternak. Pemberian rumput sebagai pakan tunggal belum mampu memberikan tingkat produktivitas ternak ruminansia secara optimal. Dari hasil penelitian terdahulu memperlihatkan pemberian pakan tambahan dari beberapa hasil samping pertanian/industri pertanian dapat memperbaiki tingkat produksi (UTOMO, 2001; WIDJAJA et al., 2000a; BAMBANG NGAJI UTOMO dan ERMIN WIDJAJA, 2004). Kalimantan Tengah ternyata kaya dengan berbagai bahan pakan lokal yang bisa dijadikan sumber pakan ternak terutama bahan baku sumber energi dan protein dan memiliki sentrasentra produksi. Bahan pakan tersebut berupa produk pertanian dan limbah pertanian atau perkebunan, misalnya dedak padi, jagung, singkong, limbah perkebunan (bungkil inti sawit, solid), bungkil kelapa, cangkang dan kepala udang, dll. Berbagai bahan pakan tersebut dengan kandungan nutrisinya (Tabel 1) berpotensi untuk dijadikan pakan ternak. Pada makalah ini hanya membahas mengenai pemanfaatan limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang berupa solid, bungkil kelapa dan dedak sebagai pakan ternak sapi. Limbah pabrik kelapa sawit Makin pesatnya usaha dibidang perkebunan kelapa sawit di Propinsi Kalimantan Tengah, dimana pada tahun 2004 ini sebagaimana dilaporkan oleh Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah, ada 71 perusahaan besar swasta perkebunan kelapa sawit yang tersebar di enam Kabupaten (Barito Utara: 3, Barito Selatan: 6, Kapuas: 4, Kotawaringin Timur: 30, Kotawaringin Barat: 26 dan lintas kabupaten: 2) dengan target area seluas 697.337 ha dan sudah tertanam seluas 275.356 ha, mempunyai potensi yang besar untuk mendukung
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
pengembangan peternakan, yaitu dengan tersedianya hijauan makanan ternak, baik berupa cover crop (legume) maupun rumput liar di kawasan perkebunan. Namun potensi lain yang sama sekali terlupakan oleh masyarakat peternakan di Kalimantan Tengah atau barangkali juga akibat ketidaktahuan adalah adanya limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Industri pengolahan minyak kelapa sawit (CPO) di Kalimantan Tengah menghasilkan beberapa macam limbah yang dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu limbah padat dan limbah cair. Prosentase limbah padat dan cair yang dihasilkan berdasarkan jumlah tandan buah segar (TBS) yang diolah pada salah satu pabrik di Kabupaten Kotawaringin Barat disajikan pada Tabel 2. Beberapa macam limbah (produk samping) yang berpotensi sebagai pakan ternak adalah bungkil inti sawit dan solid. Bungkil inti sawit
memang lebih tinggi nilai nutrisinya dengan kandungan protein kasar 15% dan energi kasar 4230 Kkal/kg (KETAREN, 1986), dapat berperan sebagai pakan penguat/konsentrat. Namun bungkil inti sawit oleh pabrik bukan merupakan limbah yang dibuang tetapi dijual, sehingga peternak tidak diijinkan untuk mengambilnya. Lain halnya dengan limbah solid, oleh pabrik dibuang di sekitar perkebunan untuk digunakan sebagai pupuk dan oleh manajemen pabrik limbah tersebut bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Limbah solid Solid adalah salah satu limbah yang diperoleh dari prosesing minyak mentah kelapa sawit, atau lebih umum dikenal CPO (crude palm oil) sejumlah 3% dari total produksi CPO (UTOMO et al., 1999; PURWADARIA et al., 1999).
Tabel 1. Kandungan nutrisi beberapa bahan pakan (berdasarkan bahan kering) Jenis bahan pakan Dedak padi Onggok Bungkil inti sawit Solid/lumpur sawit Tepung kepala udang Tepung daun singkong
Energi metabolisme (kkal/kg) 2.400 2.360 2.050 1.345 2.000 1.160
Lemak kasar (%) 12,1 0,3 2,0 9,5 1,4 3,8
Serat kasar (%) 13,0 21,9 21,7 24,0 13,2 21,2
Protein kasar (%) 12,0 3,6 18,7 11,9 30,0 21,0
Metionin (%)
Lisin (%)
Ca (%)
P (%)
0,25
0,45
0,34 0,21 0,57 0,36
0,61 0,23 1,5 1,33
0,20 0,33 0,21 0,60 7,86 0,98
1,0 0,01 0,53 0,44 1,15 0,52
Sumber: SINURAT (Unpublished data) dalam MATHIUS dan SINURAT (2001) Tabel 2. Komposisi limbah (produk samping) yang dihasilkan pada pengolahan minyak kelapa sawit (CPO) Deskripsi Tandan buah segar (TBS) Crude palm oil (CPO) Limbah cair Limbah padat Tandan buah kosong (TBK) Serat Perasan Buah (SPB) Kernel Bungkil inti sawit (BIS) = 55% dari kernel Cangkang Solid Limbah lain
% 100 23 85
Kisaran produksi Ton/hari 600-700 138-161 51-59,5
16 26 4 6 3 13,5
96-112 156-182 24-28 36-42 18-21 81-94,4
Sumber: UTOMO (2001); WIDJAJA et al. (2000b)
143
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Konsistensi solid lunak seperti ampas tahu namun berwarna coklat kegelapan. Masih mengandung 1,5% minyak CPO sehingga dalam udara terbuka mudah menjadi tengik (rancid) serta tumbuh yeast dan jamur. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, bahwa yeast tersebut tidak beracun. Solid yang tengik dan yang ditumbuhi jamur/yeast (biasanya muncul 2−3 hari dalam udara terbuka) hanya ada di permukaannya saja sedangkan pada bagian dalamnya bentuk, warna dan konsistensinya relatif tidak berubah. Kandungan nutrisi solid terdiri dari bahan kering: 81,65%; protein kasar; 12,63%; lemak kasar: 7,12%; serat kasar: 9,98%; Ca: 0,03%; P: 0,003% dan Energi 154,52 kal/100 g (UTOMO et al., 1999). Saat ini produksi limbah solid rata-rata sekitar 20 ton/hari/pabrik, jumlah solid yang dihasilkan tergantung dari tandan buah segar (TBS) yang diolah. Produksi TBS akan makin bertambah dimasa-maa mendatang seiring dengan makin luasnya perkebunan kelapa sawit, dimana setiap 10.000 ha akan berdiri 1 buah pabrik pengolahan CPO. Saat ini jumlah pabrik pengolahan minyak kelapa sawit di Kalimantan Tengah ada 16 BUAH (DINAS PERKEBUNAN KALIMANTAN TENGAH, 2004). Dengan demikian solid menjadi alternatif terbaik untuk dijadikan sumber pakan tambahan ternak yang murah namun berkualitas, terlebih lagi limbah tersebut diproduksi secara melimpah, berkesinambungan, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, aman bagi ternak dan lokasinya tidak terpencar sehingga sangat mendukung keberhasilan pengembangan peternakan di Propinsi Kalimantan Tengah. Pemanfaatan limbah solid sebagai pakan tambahan pada ternak ruminansia baik untuk sapi maupun domba memberikan hasil yang baik (BAMBANG NGAJI UTOMO dan ERMIN WIDJAJA, 2004). Bungkil kelapa Penghasil bungkil kelapa terbanyak di Kalimantan Tengah adalah di Kabupaten Kotawaringin Timur, yaitu di daerah Samuda. Daerah tersebut merupakan daerah perkebunan kelapa dan masyarakat memanfaatkannya
144
untuk dibuat minyak goreng dan menghasilkan limbah yang berupa bungkil kelapa. Bungkil kelapa mengandung protein yang cukup tinggi (sekitar 22%). Pemberian suplemen bungkil kelapa sebanyak 200 g/ekor/hari atau 1% dari bobot hidup dianggap optimal untuk pertumbuhan domba (MATHIUS et al., 1983 dalam MATHIUS dan SINURAT, 2001). Sementara untuk ransum sapi, SIREGAR dan HIDAYATI (1986) dalam MATHIUS dan SINURAT (2001) telah menggunakan hingga 32% dengan pertumbuhan yang cukup baik. Dedak padi Jumlah produksi padi (padi sawah dan padi ladang) di Kalimantan Tengah pada tahun 2002 dilaporkan sebesar 395.297 ton dari luas panen 157.877 ha dan mengalami kenaikan produktivitas menjadi 2,5 ton/ha dibandingkan pada tahun 2001 sebesar 2,38 ton/ha. Dari sejumlah produksi padi tersebut diperkirakan mampu menghasilkan dedak sebesar 39.529,7 ton (asumsi 10% dari padi yang digiling adalah dedak). Apabila diberikan pada ternak sapi sebanyak 3 kg/ekor/hari mampu mencukupi kebutuhan untuk 36.600 ekor sapi selama 1 tahun. Daerah sentra padi berdasarkan luas panen dan produksi terbesar adalah di Kabupaten Kapuas, kemudian Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Barito Selatan. Pemanfaatan dedak sebagai bahan pakan ternak sudah umum dilakukan. Dedak padi mempunyai kandungan energi dan protein yang cukup baik. Kandungan protein kasar 12,7–13,5%, lemak 10,6–13,6% dan serat kasar 8,2–12,2% (MATHIUS dan SINURAT, 2001). PEMANFAATAN SOLID, BUNGKIL KELAPA DAN DEDAK PADI UNTUK PAKAN TAMBAHAN TERNAK RUMINANSIA Pemanfaatan limbah kelapa sawit solid untuk pakan sapi Limbah solid diberikan dalam bentuk segar secara tunggal langsung dari pabrik sebagai pakan tambahan ternak. Solid diberikan pagi
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
dan sore hari sebelum diberikan rumput. Untuk meningkatkan nafsu makan bisa ditambahkan garam. Solid diberikan sesuai tujuan pemeliharaan ternak, yaitu diberikan pada periode-periode tertentu sesuai fungsi fisiologisnya (flushing), dimana kualitas pakan yang diberikan harus baik dan untuk tujuan penggemukan.
tidak menunjukkan efek yang negatif, malah berdasarkan laporan peternak, kulit sapi menjadi lebih halus (“memes”). Selain itu pemberian solid dapat mengurangi jumlah rumput yang diberikan sebesar 25% dari ratarata 20 kg/ekor/hari menjadi 15 kg/ekor/hari, sedangkan jumlah kotoran yang diproduksi berkurang 37% dari rata-rata 8 kg/ekor/hari menjadi 5 kg/ekor/hari.
Flushing Solid diberikan sapi pada periode tertentu, yaitu 1 bulan sebelum dan setelah melahirkan. Hal ini mengingat bahwa sapi-sapi tersebut dipersiapkan untuk gertak (penyerentakan) birahi dengan menggunakan reprodin. Menurut SETIADI et al. (1999) hasil perbaikan reproduksi dengan program penyerentakan birahi tanpa memperbaiki kualitas pakan ternyata kurang memberikan hasil yang memuaskan, namun penyerentakan birahi yang disertai perbaikan nutrisi ternyata dapat memperbaiki kinerja reproduksi. Dari hasil penyerentakan birahi (SE) yang dikombinasi dengan IB terhadap 5 ekor sapi menunjukkan 100% bunting, jadi dengan demikian CRnya: 100% dan hanya dilakukan 1 kali IB (S/C : 1). Karena hanya 5 ekor sapi yang dimonitoring, tentunya masih diperlukan pengamatan lebih lanjut dengan jumlah ternak yang lebih banyak lagi untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Sapi-sapi yang dilakukan SE mempunyai masa kebuntingan yang relatif normal, mereka melahirkan dengan tenggang waktu yang hampir bersamaan dengan kisaran perbedaan 2−5 hari. Anak-anak yang dilahirkan dalam kondisi sehat karena kecukupan susu induknya. Menurut WINUGROHO (1977), pemberian pakan suplemen 1 bulan sebelum dan setelah melahirkan menjamin kecukupan susu induk. Penggemukan Pemberian solid dalam jumlah cukup memberikan pertambahan berat badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan diberikan secara terbatas (Tabel 3). Dari pengamatan
Pemanfaatan solid untuk pakan tambahan ternak domba Pada ternak domba, solid diberikan dalam bentuk segar dan dalam bentuk pakan lengkap atau yang dinamakan “Complete Feed Block” (CFB). Dinamakan CFB karena selain solid sebagai bahan dasar, juga ditambahkan beberapa bahan pakan lainnya maka dinamakan pakan ternak lengkap, yaitu mengandung pakan berserat dan pakan konsentrat dalam bentuk blok. Solid sebagai bahan dasar diberikan dalam jumlah 60%. Pakan dalam bentuk CFB selain kandungan nutrisinya lebih tinggi juga memudahkan dalam pemberian, pengangkutan dan penyimpanan. CFB dibuat dalam dua bentuk, yaitu CFB fermentasi dan tanpa fermentasi. Adapun untuk membentuk blok digunakan cetakan pralon ukuran 4 inci dengan ketebalan 2 cm. Solid diberikan pada domba sebanyak 1% dari berat badan baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk CFB, yaitu dua kali sehari pagi dan sore sebelum diberikan rumput. Ternak domba lebih menyukai solid dalam bentuk CFB dibandingkan dalam bentuk segar dan memberikan pertambahan berat badan yang lebih tinggi terutama CFB yang difermentasi (Tabel 4). Dianjurkan solid tidak diberikan pada anak-anak domba karena dapat menyebabkan mencret. Hasil pemeriksaan darah domba yang diberi pakan CFB menunjukkan kandungan Ca positif, sementara yang hanya diberikan pakan rumput negatif terhadap Ca.
145
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Tabel 3. Kenaikan berat badan sapi PO jantan yang diberi pakan tambahan solid selama 3 bulan pemeliharaan di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah Kenaikan rata-rata berat badan
Perlakuan Solid segar adlibitum + rumput alam Solid segar 1,5% bahan kering dari BB ternak + rumput alam Bioplus + rumput alam Rumput alam tanpa solid
BB awal (kg/ekor)
BB akhir (kg/ekor)
PBBH (kg/ekor/hari)
211,4 234,4
274,4 267,7
0,77 0,44
183,4 315,6
207,0 334,6
0,31 0,22
Sumber: UTOMO (2001) Tabel 4. Kenaikan berat badan domba lokal yang diberi pakan tambahan solid selama 3 bulan pemeliharaan di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Perlakuan Rumput alam tanpa solid 1% dari BB Solid segar + rumput alam 1% dari BB CFB tanpa fermentasi + rumput alam 1% dari BB CFB fermentasi + rumput alam
Kenaikan rata-rata berat badan BB awal (kg/ekor)
BB akhir (kg/ekor)
PBBH (kg/ekor/hari)
10,8 13,3 19 19,8
13,95 17,4 24,8 27,2
0,035 0,045 0,064 0,083
Sumber: Widjaja et al. (2000a)
Pemanfaatan bungkil kelapa untuk pakan tambahan ternak sapi Kegiatan pengkajian ini dilakukan di Kecamatan Bagendang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah yang merupakan sentra perkebunan kelapa dan masyarakatnya memanfaatkan buah kelapa untuk dibuat minyak. Ternak yang digunakan pada kegiatan ini adalah sapi Madura jantan umur 1,5−2 tahun dengan berat awal 94−170,5 kg. Pemberian bungkil kelapa + bioplus selama 3 bulan dapat meningkatkan rata-rata pertambahan berat badan harian sapi dari 0,32 (hanya diberi rumput saja) menjadi 0,61 kg/ ekor/hari, serta meningkatkan tambahan pendapatan dari Rp 199.030 menjadi Rp 388.056. Pemanfaatan dedak untuk pakan tambahan ternak sapi Kegiatan pengkajian dilaksanakan pada daerah-daerah penghasil dedak padi (sentra penghasil padi), yaitu di Kabupaten Barito
146
Selatan, Barito Timur dan Kapuas. Sapi yang dikembangkan di tiga lokasi tersebut adalah sapi Bali dan sapi PO. Pemberian pakan tambahan dedak mampu meningkatkan pertambahan berat badan harian ternak sapi (PBBH) secara signifikan (Tabel 5). Sapi tersebut dipelihara selama 3 bulan pemeliharaan untuk tujuan penggemukan dan pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk kandang. TINDAK LANJUT PEMANFAATAN LIMBAH SOLID SEBAGAI PAKAN TERNAK Melihat dampak positif pemanfaatan solid untuk pakan ternak sapi, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kotawaringin Barat telah menganggarkan untuk biaya pengangkutan solid di dalam kegiatan mereka, dimana limbah solid tersebut didistribusikan kepada para peternak sapi terutama yang memperoleh bantuan sapi dari pemerintah. Demikian pula halnya dengan salah satu pabrik pengolahan minyak kelapa sawit (PT Astra)
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Tabel 5. Kenaikan berat badan sapi yang diberi pakan tambahan dedak selama 3 bulan pemeliharaan di Kabupaten Barito Selatan, Barito Timur dan Kapuas, Kalimantan Tengah PBBH (kg/ekor/hari)
Kabupaten
Pola petani (rumput alam)
Barito Timur (Lahan kering)
Introduksi (rumput alam + dedak + bioplus)
Sapi Bali: 0,299
0,497
Sapi PO: 0,347
0,697
Kapuas (Lahan pasang surut)
Sapi Bali: 0,148
0,354
Sapi PO: 0,196
0,474
Barito Selatan (Lahan kering)
Sapi Bali: 0,349
0,701
Sumber: SISWANSJAH dan NURDIN AHMAD (2004)
juga ikut memberikan bantuan secara gratis solid dan angkutannya hingga ke lokasi peternak dalam kurun waktu tertentu. Kelompok tani ternak yang sudah secara mandiri mengambil dan memanfaatkan solid adalah kelompok tani di Pangkalan Lada SP 1 dan 3. Mereka adalah anggota PIR perkebunan kelapa sawit sehingga memiliki akses untuk ke pabrik relatif lebih mudah. Dapak pemanfaatan solid ternyata juga terdengar sampai ke kabupaten yang lain, yaitu di Kabupaten Lamandau. Salah satu perusahan kayu yang salah satu kegiatannya adalah reboisasi hutan, yaitu PT Korindo tengah mengembangkan sapi dengan populasi sekitar 165 ekor, dimana selain rumput sebagai pakan tambahannya adalah limbah solid. Pihak Korindo secara rutin mengambil limbah solid yang pabrik pengolahannya tidak terlalu jauh dari lokasi pemeliharaan sapi untuk digunakan sebagai pakan tambahan. Informasi pemanfataan limbah solid untuk pakan ternak mereka peroleh dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kotawaringin Barat. Informasi tersebut juga menyebar ke Kabupaten Barito Utara (Barut), salah satu penyuluh peternakan telah mencoba memanfaatkan limbah solid karena di Kabupaten Barut tersebut juga telah berdiri pabrik pengolahan minyak kelapa sawit dan menghasilkan limbah solid. KESIMPULAN 1. Limbah pengolahan minyak kelapa sawit “solid” dan bungkil kelapa bisa menjadi sumber pakan lokal untuk ternak
(khususnya ruminansia) di Kalimantan Tengah karena mampu meningkatkan pertambahan berat badan secara signifikan, aman bagi ternak, ketersediaannya melimpah, kontinyu, murah dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. 2. Pengembangan ternak di daerah sentra produksi padi dapat meningkatkan pertambahan berat badan harian ternak secara siginifikan dengan memanfaatkan pakan tambahan berupa dedak padi. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2002. Integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. DARMADJI. 2001. Kepala Dinas Kehewanan, Kalimantan Tengah. Personal Communication. Palangka Raya. DINAS PERKEBUNAN KALIMANTAN TENGAH. 2004. Potensi dan peluang investasi pengembangan perkebunan Propinsi Kalimantan Tengah. Palangka Raya. DINAS KEHEWANAN KALIMANTAN TENGAH. 2001. Kebijakan dan strategi pembangunan peternakan di Kalimantan Tengah tahun 20012005. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi dan Temu Informasi Pertanian, Sub Sektor Peternakan, Tanggal 1314 Nopember 2001. BAMBANG NGAJI UTOMO dan ERMIN WIDJAJA. 2004. Limbah padat pengolhan minyak kelapa sawit sebagai sumber nutrisi ternak ruminansia. Jurnal Litbang Pertanian. 23(1): 22-28.
147
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
DIWYANTO, K., A. PRIYANTI dan D. ZAINNUDIN. 1996. Pengembangan ternak berwawasan agribisnis di pedesaan dengan memanfaatkan limbah pertanian dan pemilihan bibit yang tepat. Jurnal Litbang Pertanian. KETAREN, P.P. 1986. Bungkil inti sawit dan ampas minyak sawit sebagai pakan ternak. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 8(46): 10-11. MATHIUS, I-W. dan A.P. SINURAT. Pemanfaatan bahan pakan inkonvensional untuk ternak. Wartazoa 11(2): 20-31. PURWADARIA, T., A.P. SINURAT, SUPRIYATI, H. HAMID dan I.A.K. BINTANG. 1999. Evaluasi nilai gizi lumpur sawit fermentasi dengan Aspergillus niger setelah proses pengeringan dengan pemanasan. JITV 4(4): 257-263. SISWANSJAH, D.S. dan S.N. AHMAD. 2004. Data unpublished. STONAKER, H.H. 1975. Beef production system in the tropic. J. Anim. Sci. 41(4). UTOMO, B.N., E. WIDJAJA, S. MOKHTAR, S.E. PRABOWO dan H. WINARNO. 1999. Laporan hasil pengkajian ternak potong pada sistim usahatani kelapa sawit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangka Raya.
148
UTOMO, N.U. 2001. Potential of oil palm solid wastes as local feed resource for cattle in Central Kalimantan, Indonesia. MSc. Thesis. Wageningen University, The Netherlands. WIDJAJA, E., B.N. UTOMO, R. RAMLI, S.E. PRABOWO dan D. HARTONO. 2000a. Laporan akhir pengkajian sistim usaha pertanian domba berwawasan agribisnis. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangka Raya. WIDJAJA, E, B.N. UTOMO dan R. RAMLI. 2000b. Potensi limbah kelapa sawit “solid” sebagai pakan suplemen ternak sapi. Prosiding Hasilhasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Palangka Raya 10 Oktober 2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangka Raya. Palangka Raya, hlm. 145-154. WIJONO, D.B., L. AFFANDHY dan A. RASYID. 2003. Integrsi ternak dengan perkebunan kelapa sawit. Makalah disampaikan pada Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Lahan Kering dan Lokakarya Nasional Sistim Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, Bengkulu, 9-10 September 2003. WINUGROHO, H.M., M. SABRANI dan E. SUHARYA. 1997. Pedoman teknis penyiapan induk sapi penghasil Bakalan Lokal (Balok) melalui perbaikan pakan. Direktorat Bina produksi. Jakarta.