KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH Pita Sudrajad*, Muryanto, Mastur dan Subiharta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah *
[email protected] ABSTRACT Salah satu implementasi kebijakan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDS/K) 2014 adalah program Penyelamatan Sapi Betina Produktif (PSBP). Untuk itu telah dilakukan kajian keragaan pengembangan ternak sapi potong yang difasilitasi program PSBP di Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan dari bulan September hingga Oktober 2011 di Kabupaten Cilacap, Kebumen, Magelang, dan Semarang. Data yang dikumpulkan meliputi aspek produksi, ekonomi dan kelembagaan yang diperoleh menggunakan metode survai dan Focus Group Discussion (FGD). Analisis data keseluruhan dilakukan secara deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa program PSBP di Jawa Tengah telah dilaksanakan tahun 2010 oleh 14 kelompok tani di 14 kabupaten dengan anggaran Rp.4,785 milyar dan tahun 2011 oleh 53 kelompok tani di 21 kabupaten/kota dengan anggaran Rp.26,5 milyar. Keragaan di lapangan menunjukkan bahwa: a) Pada umumnya peternak mengalami kesulitan apabila pengadaan ternak dilakukan melalui Rumah Potong Hewan (RPH), b) Sistem pengelolaan ternak bervariasi antara 1 – 3 ekor/peternak sampai pada pengelolaan secara bersama, c) Keuntungan yang didapat dari menjual induk bunting lebih kecil dibanding keuntungan menjual induk dengan anak, serta d) Lambatnya laju reproduksi. Oleh karena itu, pelaksanaan program PSBP perlu pendampingan aspek teknologi budidaya dan kelembagaan. Keywords: sapi potong, betina produktif, keragaan, Jawa Tengah
PENDAHULUAN Seiring upaya revitalisasi pertanian, Presiden pernah mencanangkan program swasembada daging sapi 2010. Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak menjumpai hambatan sehingga target swasembada belum tercapai. Berpijak dari pengalaman dan evaluasi program sebelumnya, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian kembali bermaksud mencapai swasembada daging sapi dan kerbau pada tahun 2014, dengan program yang lebih dikenal sebagai Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDS/K). Orientasi program PSDS/K lebih diarahkan kepada aspek peningkatan produksi, kesejahteraan peternak, dan kesinambungan usaha peternak sapi sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan mengurangi tingkat ketergantungan impor daging dan sapi bakalan (Ditjennak, 2010a). Dari aspek produksi saja, upaya peningkatan harus ditinjau secara kualitas maupun kuantitas, yang masing-masing memiliki faktor penghambat. Secara kualitas faktor penghambatnya ialah rendahnya tingkat kebuntingan/kelahiran, sedangkan secara kuantitas faktor penghambatnya terletak pada masih tingginya angka pemotongan sapi betina produktif. Walaupun populasi sapi potong terus meningkat sejak 2006, yakni dari 10,8 juta ekor pada tahun 2006 (BPS, 2011) menjadi 14,8 juta ekor pada Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) tahun 2011 (Anonim, 2011b), namun belum mampu mencukupi konsumsi daging dalam negeri. Sehingga pemenuhannya melalui Artikel ini telah dipublikasikan dalam: Pros.Sem.Nas. Penguatan Sosial Ekonomi Pertanian Menuju Kesejahteraan Masyarakat Faperta UGM, Yogyakarta. 8 Desember 2011.
impor bakalan sapi potong (Ditjennak, 2010b). Di sisi lain, sapi betina yang masih memiliki potensi reproduksi optimal (produktif) banyak dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH), padahal sapi betina produktif tersebut dapat terus dipelihara untuk perbibitan sapi, sehingga dapat meningkatkan populasi sapi di Indonesia. Provinsi Jawa Tengah menempati urutan kedua sebagai daerah terbanyak terjadinya pemotongan sapi betina produktif (Ditjennak, 2011). Program Penyelamatan Sapi Betina Produktif (PSBP) dilaksanakan sebagai salah satu implementasi yang dapat mendukung swasembada daging sapi. Dalam pelaksanaannya, PSBP mengadopsi pola pemberdayaan dan fasilitasi kelembagaan peternak sapi potong, terutama yang berada di wilayah sentra ternak. Sangat dimungkinkan muncul berbagai hal yang bisa menjadi pendukung atau pun permasalahan. Oleh karena itu, telah dilakukan penelitian mengenai keragaan pengembangan ternak sapi potong yang difasilitasi program PSBP di Jawa Tengah. Hasil penelitian dapat dijadikan bahan evaluasi dan rekomendasi kebijakan pelaksanaan program PSBP. Kedepan, diperlukan kontrol dan pola pendampingan yang tepat agar PSBP dapat berjalan dengan baik, lancar, dan tepat sasaran. METODE PENELETIAN Penelitian dilakukan di wilayah sentra program PSDS/K yaitu di Kabupaten Cilacap, Kebumen, Magelang, dan Semarang pada bulan September hingga Oktober 2011. Data awal diperoleh dengan metode survai dan dipertajam melalui Focus Group Discussion. Data yang diperoleh meliputi data produksi, ekonomi, dan kelembagaan. Keseluruhan data dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Daging sapi merupakan salah satu makanan sumber protein hewani yang disukai oleh masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 angka perhitungan konsumsi daging sapi yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mencapai
1,27 kg per kapita, Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian 1,69 kg per kapita, Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI) 2,1 kg per kapita, dan Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) 2,09 kg per kapita (Anonim, 2011a). Sedangkan tingkat konsumsi daging sapi di Provinsi Jawa Tengah lebih tinggi dari rata-rata tingkat konsumsi nasional. Laju peningkatan konsumsi daging sapi penduduk Jawa Tengah mulai dari 4,11 kg/kapita pada tahun 2008 menjadi 4,29 kg/kapita pada tahun 2009 (Disnakkeswan Prov. Jateng, 2011). Diperkirakan angka ini akan semakin naik pada tahun 2011 dan 2012 seiring dengan peningkatan taraf pendidikan, daya beli, dan jumlah penduduk. Semakin tingginya permintaan daging sapi oleh masyarakat Indonesia ternyata belum dapat dipenuhi dari produksi daging lokal sebab populasi sapi di Indonesia yang masih terbatas. Populasi ternak sapi potong di Jawa Tengah pada tahun 2009 sekitar 1,5 juta ekor atau meningkat 5,7% dari tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sapi yang dipotong sebesar 255.524 ekor dengan produksi daging sapi mencapai 48.340.155 kg. Perbandingan antara Populasi sapi potong, jumlah pemotongan sapi, dan produksi daging sapi di Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009 tersaji pada Tabel 1.
Artikel ini telah dipublikasikan dalam: Pros.Sem.Nas. Penguatan Sosial Ekonomi Pertanian Menuju Kesejahteraan Masyarakat Faperta UGM, Yogyakarta. 8 Desember 2011.
Tabel 1. Populasi sapi potong, jumlah pemotongan sapi, dan produksi daging sapi di Jawa Tengah Tahun 2006 - 2009 Populasi Sapi Potong (ekor) 2006 1.392.590 2007 1.416.464 2008 1.442.033 2009 1.525.250 Sumber: BPS Jawa Tengah (2010) Tahun
Pemotongan Sapi (ekor) 235.668 244.082 202.998 255.524
Produksi Daging Sapi (kg) 50.326.159 46.855.213 45.735.802 48.340.155
Berdasarkan kondisi secara nasional, kebijakan impor daging sapi masih diberlakukan. Impor dilakukan sebagai alternatif solusi jangka pendek dalam memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri. Bahkan dari tahun 2006 hingga 2009 terjadi kenaikan trend impor bakalan sapi potong sekitar 28,3% yaitu dari 363.443 ekor menjadi 765.488 ekor, kenaikan trend impor daging sekitar 4,1% yaitu dari 62.400 ton menjadi 70.000 ton (Ditjennak, 2010b). Penyebab terjadinya kenaikan trend impor ini diduga karena sulitnya para pelaku industri penggemukan sapi mendapatkan sapi bakalan di dalam negeri, terkait masih rendahnya kinerja usaha budidaya peternak rakyat skala rumah tangga. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya tingkat pemotongan sapi betina produktif yang masih tinggi, padahal sapi betina produktif dapat dijadikan sebagai ternak perbibitan. Dalam buku pedoman teknis yang diterbitkan oleh Ditjennak (2011) yang dimaksud dengan sapi betina produktif adalah sapi yang telah melahirkan kurang dari 5 (lima) kali, atau berumur dibawah 8 (delapan) tahun, atau sapi betina yang berdasarkan pemeriksaan reproduksi dinyatakan masih memiliki organ reproduksi normal dan berfungsi optimal sebagai sapi induk serta bebas dari penyakit hewan menular. Pada umumnya peternak tidak memperhatikan status ternak yang dipotong, mengingat pola peternakan rakyat hanya sebagai sambilan dan investasi keluarga, belum sebagai usaha pokok. Sehingga ternak akan dijual atau dipotong ketika peternak membutuhkan uang terutama pada musim paceklik. Selain itu, banyak peternak yang juga beranggapan bahwa memelihara sapi betina kurang menguntungkan sebab terlalu lama memanen hasilnya. Kasus pemotongan sapi betina produktif Mengacu kepada Pasal 18 Ayat 1 dalam Undang-undang No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan maka ternak ruminansia betina yang masih produktif harus diseleksi untuk pemuliaan, sedangkan untuk keperluan pemotongan dipilih ternak yang sudah tidak produktif. Sejak tahun 2005 kasus pemotongan sapi betina produktif di Jawa Tengah sudah dikaji oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah bekerjasama dengan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah. Hasilnya menunjukkan bahwa prosentase sapi betina yang dipotong sebesar 37.165 ekor atau 12,55% dari total pemotongan sapi, dan 31,23% diantaranya adalah sapi betina produktif (BPTP Jateng dan Disnak Prov Jateng, 2005). Hingga saat ini, oleh karena lemahnya pengawasan di RPH maka kasus pemotongan sapi betina produktif masih tinggi. Dalam angka yang disebutkan oleh Ditjennak (2011) prosentase pemotongan sapi betina produktif mencapai 11,8% dari total
Artikel ini telah dipublikasikan dalam: Pros.Sem.Nas. Penguatan Sosial Ekonomi Pertanian Menuju Kesejahteraan Masyarakat Faperta UGM, Yogyakarta. 8 Desember 2011.
sapi yang dipotong. Jumlahnya sekitar 150 – 200 ribu ekor per tahun (Inounu et al., 2008). Jumlah tertinggi justru berasal dari daerah-daerah sentra sapi potong di Indonesia, secara urut dari terbanyak yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, NTT, Jawa Timur, NAD, dan Sulawesi Selatan. Tingginya tingkat pemotongan sapi betina produktif dipengaruhi oleh harga sapi betina yang lebih murah dibanding sapi jantan, sehingga para pengusaha jagal/RPH cenderung memilih sapi betina yang dipotong untuk memenuhi target pendapatan. Program penyelamatan sapi betina produktif Tindakan penyelamatan sapi betina produktif tidak dapat dilakukan secara instan, akan tetapi harus bertahap dengan program yang jelas. Berbagai upaya yang mungkin dilakukan antara lain: a) Pengendalian pemotongan sapi betina produktif dan distribusi bibit sapi dari daerah padat ke daerah kosong ternak, b) Perbaikan mutu dan penyediaan bibit, c) Penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan, d) Intensifikasi kawin alam dan IB, e) Pengembangan dan pemanfaatan pakan lokal, dan f) Pengembangan sumber daya manusia dan kelembagaan (Inounu et al., 2008). Implementasi dari tahapan program di atas salah satunya adalah pelaksanaan Program PSBP. Mekanisme pelaksanaan program PSBP dilaksanakan di sektor hulu yaitu di pasar hewan dan sektor hilir yaitu di RPH, seperti dalam Gambar 1.
Gambar 1. Mekanisme penyelamatan sapi betina produktif Diolah dari: Ditjennak, 2011 Pelaksanaan PSBP ini melibatkan kelompok ternak dengan diberi dana pemerintah Rp.500 juta/kelompok. Dari dana yang diberikan, prosentase alokasinya ditentukan sebagai berikut: a) Dana untuk pembelian sapi betina produktif sebesar 51%, b) Dana untuk penyiapan sapi siap potong pengganti sebesar 34%, dan c) Dana untuk manajemen pemeliharaan sapi betina produktif sebesar 15%. Kelompok ternak sebagai motor penggerak dan aktif menyelamatkan sapi betina produktif di pasar hewan atau di RPH dengan cara dibeli atau diganti dengan sapi siap potong. Sapi betina produktif yang didapatkan melalui kegiatan penyelamatan harus dibudidayakan dengan baik dan dikelola secara berkelompok dengan pendekatan agribisnis. PSBP mulai dilaksanakan di Jawa Tengah sejak akhir tahun 2010 yang melibatkan 14 kelompok ternak di 14 kabupaten dengan dana dari APBN-P sebesar Rp.4,785 milyar. Kemudian dilanjutkan di tahun 2011 yang melibatkan 53 kelompok Artikel ini telah dipublikasikan dalam: Pros.Sem.Nas. Penguatan Sosial Ekonomi Pertanian Menuju Kesejahteraan Masyarakat Faperta UGM, Yogyakarta. 8 Desember 2011.
ternak di 21 kabupaten/kota dengan dana Rp.26,5 milyar (Mastur et al., 2011 cit. Disnakkeswan Prov Jateng, 2011). Dari FGD yang dilakukan terhadap kelompok ternak pelaksana program PSBP di Kabupaten Kebumen, Magelang, dan Cilacap menghasilkan beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan sebagai bahan rumusan kebijakan yang akan datang. Catatan tersebut mulai dari sistem pengadaan ternak, sistem pengelolaan di kelompok ternak, teknis budidaya dan reproduksi, dan pemasaran ternak. Pada umumnya, peternak merasa kesulitan apabila sistem penjaringan sapi betina produktif difokuskan di RPH, sebab banyak dari sapi betina di RPH walaupun masih produktif tetapi sudah berumur tua. Dalam pedoman teknis hanya disebutkan batasan umur kurang dari 8 tahun, sedangkan umur 6-7 tahun pun banyak peternak yang sudah tidak suka. Sedangkan batasan yang menyebutkan sapi betina harus pernah beranak kurang dari 5 kali ternyata sulit dideteksi, karena tidak adanya data recording. Pada akhirnya, kelompok peternak penyelamat lebih menyukai menjaring sapi betina produktif dari peternak di desa, kelompok peternak lain, atau di pasar hewan, padahal ternak-ternak di lokasi tersebut belum tentu sapi betina produktif yang terancam dipotong. Sehingga, peran penyelamatan sapi betina produktif dalam program ini seakan tidak berjalan, yang berjalan adalah proses pembibitan yang dilakukan oleh kelompok ternak. Sedangkan kenyataannya, proses pembibitan pun belum berjalan dengan sempurna sebab laju reproduksi yang tidak optimal. Permasalahan ini bisa dilihat dari kelompok ternak penyelamat tahun 2010. Salah satu contoh dari kelompok ternak Lembusari di Kabupaten Kebumen, dari 30 ekor induk yang diadakan sejak 2010 sampai saat ini baru menjual 6 ekor induk bunting, 8 ekor induk sedang menyusui, dan 16 ekor (53,3%) induk lainnya belum bunting walaupun sudah dikawinkan dengan cara inseminasi buatan (IB). Lambatnya laju reproduksi ini mungkin bisa disebabkan oleh: a) Kesalahan pada waktu pembelian sapi betina, bahwa ternyata sapi betina yang dibeli sudah tidak produktif, atau b) Teknis IB yang belum baik. Oleh kelompok ternak, sapi-sapi yang dikembangkan dari program PSBP ini dikandangkan secara komunal. Setiap peternak anggota memelihara sapi berkisar antara 1 – 3 ekor. Apabila tidak adanya komunikasi dan pengelolaan yang baik, sistem kandang komunal ini sebenarnya sangat rentan terhadap terjadinya perselisihan antar anggota kelompok, akibatnya program kelompok ternak tidak berjalan bahkan sampai kepada bubarnya kelompok ternak. Dari hasil pengkajian, pengelolaan secara individu lebih banyak berhasil dibanding dikelola secara bersama (Mastur et al., 2011). Oleh karenanya, suatu inovasi sistem dikembangkan oleh salah satu kelompok ternak di Kabupaten Cilacap. Pengelolaan ternak dilaksanakan secara profesional dengan menggunakan tenaga 2 orang anak kandang yang diberi insentif khusus setiap bulan, untuk memelihara ternak sapi program PSBP. Dengan sistem pengelolaan tersebut paling tidak dapat meminimalisir timbulnya perselisihan penyebab matinya kelompok ternak. Pada tahap penjualan ternak, peternak kurang puas khususnya mengenai mekanisme penjualan ternak saat sapi betina produktif hasil penyelamatan berhasil bunting. Petani merasakan bahwa keuntungan menjual induk yang sedang bunting lebih kecil daripada menjual induk dengan pedet. Selain itu, pembeli juga lebih menyukai membeli induk dengan pedet. Belum lagi dihadapkan kepada kepercayaan budaya masyarakat setempat, seperti contoh masyarakat Kabupaten Kebumen yang mempercayai bahwa membeli sapi yang sedang bunting akan menyebabkan kesulitan hidup dan Artikel ini telah dipublikasikan dalam: Pros.Sem.Nas. Penguatan Sosial Ekonomi Pertanian Menuju Kesejahteraan Masyarakat Faperta UGM, Yogyakarta. 8 Desember 2011.
sebaliknya apabila membeli sapi dengan pedet akan mendatangkan keberuntungan. Dalam penjualan, kelompok ternak juga dapat melakukan inovasi yaitu mensinergikan program PSBP dengan program lain, misalnya sapi betina produktif yang telah bunting dijual kepada kelompok ternak penerima program bantuan lain. Demikian juga dengan pupuk kandang yang dihasilkan bisa dijual kepada petani, karena saat ini juga sedang digalakkan mengenai budidaya pertanian organik. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Program PSBP merupakan salah satu program yang direkomendasikan untuk dilaksanakan pada tahun mendatang. Beberapa catatan mengenai teknis pelaksanaan yang antara lain mengenai sistem pengadaan ternak, sistem pengelolaan di kelompok ternak, teknis budidaya dan reproduksi, dan pemasaran ternak perlu dikaji dan diberikan solusi terbaik. Kelompok ternak yang difasilitasi program PSBP perlu mendapatkan pendampingan mulai dari aspek teknologi budidaya sampai dengan kelembagaan. REFERENSI Anonim. 2011a. Angka kebutuhan daging nasional simpang siur. Diakses 28 November 2011 dari www.surabayapost.co.id. _______. 2011b. Distribusi sapi tantangan serius untuk swasembada. Sinar Tani Edisi No.3421. BPS. 2011. Populasi Ternak 2000 – 2008. Diakses 28 November 2011 dari www.bps.go.id. BPS Jawa Tengah. 2010. Jawa Tengah dalam Angka 2010. Kerjasama Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah dan Bappeda Provinsi Jawa Tengah. BPTP Jateng dan Disnak Prov Jateng. 2005. Studi Pemotongan Ternak Sapi di Jawa Tengah. Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah dan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah. Disnakkeswan Prov Jateng. 2011. Tingkat konsumsi daging, telur, dan susu serta protein hewani penduduk Jawa Tengah. Diakses 1 Desember 2011 dari www.jatengprov.go.id. Ditjennak. 2010a. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi (PSDS). Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. Jakarta. ________. 2010b. Pedoman Pelaksanaan. Penyelamatan sapi betina produktif tahun 2010. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian RI. Jakarta. ________. 2011. Pedoman Teknis. Insentif dan penyelamatan sapi/kerbau betina produktif tahun 2011. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. Jakarta. Inounu, I., K. Diwyanto, Subandriyo, B. Haryanto, A. Priyanti, E. Martindah, dan R.A. Saptati. 2008. Upaya Peningkatan Populasi Sapi Betina Produktif di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Mastur, Muryanto, Subiharta, E. Kushartanti, B. Prayudi, dan Indriyono. 2011. Laporan Kegiatan. Kajian pola pendampingan inovasi pada program strategis Kementerian Pertanian di Provinsi Jawa Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Ungaran.
Artikel ini telah dipublikasikan dalam: Pros.Sem.Nas. Penguatan Sosial Ekonomi Pertanian Menuju Kesejahteraan Masyarakat Faperta UGM, Yogyakarta. 8 Desember 2011.