Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
MASALAH KETIDAKBERLANJUTAN KANDANG KOMUNAL DALAM PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI JAWA (Unsustainable Implementation of Communal Stall System in Beef Cattle Development in Java) AGUS HERMAWAN, SUBIHARTA dan B. UTOMO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Bukit Tegalepek, Desa Sidomulyo, PO Box 101, Ungaran 50501
ABSTRACT Communal stall system is one of important component in beef cattle development, as well as in PSDS program. Even though the innovation is well accepted in some areas, in others did not sustain. Farmers withdrew and placed back their beef cattle in their previous cattle housing along with the less intensive of extension activities, regardless of the participative approach used in the process. A technically sound of communal stall system is not enough to foster adoption. In the contrary, small scale beef cattle raising (1 – 2 heads per farmer) and additional cost incurred in newly stall system caused the innovation were less economically sound. Furthermore, beef cattle communal stall system potentially would not be accepted in Java due to moral hazard and free rider attitudes of some farmers as well as the failure of head of farmer’s group leader and head of village to solve conflicts and problems faced. Beef catle withdrawal from communal stall back to their previous individual stall as well as farmer membership resignation from farmer’s group are farmer strategies either to eliminate conflicts or to create harmony in the community. However, the suitable location and farmer candidate selection in communal stall development are very important to guarantee innovation adoption. Key Words: Communal Stall, Beef Cattle, Adoption ABSTRAK Kandang komunal merupakan salah satu komponen dalam pengembangan peternakan rakyat, termasuk dalam program PSDS. Tidak dipungkiri bahwa pada beberapa lokasi sistem kandang komunal dapat diterima, namun di banyak lokasi lainnya kandang komunal tidak bertahan lama. Peternak secara berangsur memindahkan kembali ternaknya ke kandang individu walaupun sudah diupayakan untuk melibatkan peternak sejak awal proses, sejalan dengan mengendurnya intensitas pembinaan. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kandang komunal yang layak secara teknis tidak cukup mendorong adopsi. Skala usaha yang terbatas (1 – 2 ekor per peternak) dan tambahan biaya sebagai konsekuensi dari implementasi kandang komunal menyebabkan inovasi tersebut kurang layak secara ekonomi. Sementara itu, menurut budaya Jawa, kandang komunal secara sosial berpotensi tidak diterima karena adanya perilaku moral hazard dan free rider pada sebagian anggota kelompok serta adanya masalah dan konflik yang tidak mampu diselesaikan oleh pimpinan kelompok dan aparat desa. Penarikan ternak dari kandang komunal dan pengunduran diri peternak dari keanggotaan kelompok merupakan upaya peternak untuk mengurangi konflik dan menjaga keharmonisan. Oleh karena itu ketepatan pemilihan calon lokasi dan calon peternak dalam pengembangan kandang komunal sangat penting untuk menjamin adopsi kandang komunal. Kata Kunci: Kandang Komunal, Ternak Sapi, Adopsi
PENDAHULUAN Peningkatan pendapatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan mendorong meningkatnya permintaan daging sapi. Laju
332
peningkatan permintaan daging sapi ternyata tidak seimbang dengan laju peningkatan populasi ternak sapi di dalam negeri. Dalam hal ini menurut DITJENNAK (2010a), laju pertumbuhan populasi sapi potong nasional dalam 4 tahun terakhir, mengalami tren
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
peningkatan rata-rata sebesar 5,03% atau 10.875.120 ekor pada tahun 2006, menjadi 12.610.000 ekor pada tahun 2009. Kesenjangan antara permintaan dengan produksi daging sapi selama ini dipenuhi dari impor. Dalam beberapa tahun terakhir impor bakalan sapi potong dan daging sapi meningkat, berturutturut dengan laju rata-rata 28,3% (yaitu 363.443 ekor pada tahun 2006 menjadi 765,488 ekor pada tahun 2009) dan 4,1% (62.400 ton pada 2006 dan 70.000 ton tahun 2009) (DITJENNAK, 2010b). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mencanangkan program Percepatan Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014. Program PSDS dilaksanakan di 33 propinsi yang dirancang untuk dilaksanakan melalui 5 (lima) kegiatan pokok, yaitu: (1) penyediaan bakalan/daging sapi lokal; (2) peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal; (3) pencegahan pemotongan sapi betina produktif; (4) penyediaan bibit sapi dan (5) pengaturan stock daging sapi dalam negeri (DITJENNAK, 2010a). Upaya peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi sangat diperlukan mengingat sub sektor peternakan saat ini masih didominasi oleh usaha peternakan rakyat yang melibatkan sekitar 4.572.766 Rumah Tangga Petani Peternak (DITJENNAK, 2010b). Peternakan rakyat dicirikan oleh rendahnya pengetahuan peternak tentang teknik budidaya ternak sapi, kepemilikan ternak 1 – 2 ekor, serta pemeliharaan ternak masih bersifat tradisional dengan kualitas pakan seadanya. Disamping itu, secara umum kepemilikan modal usaha dan akses pasar peternak rakyat juga terbatas. Lebih lanjut, rendahnya produktivitas ternak sapi ditandai dengan rendahnya pertambahan bobot badan harian yang rata-rata masih di bawah 0,5 kg/hari, sementara reproduktivitas ternak sapi yang rendah ditandai dengan lamanya jarak beranak (calving interval) sapi betina produktif yang rata-rata di atas 18 bulan serta angka kelahiran (calving rate) yang masih di bawah 60% dari populasi sapi betina produktif. Pada program PSDS, pemerintah banyak memberikan bantuan bibit ternak sapi kepada para peternak. Dalam implementasinya, peternak didorong untuk membentuk kelompok ternak karena bantuan disalurkan kepada para
peternak melalui kelompok. Pembentukan kelompok dipandang penting karena dapat menjadi media antar peternak dalam berkomunikasi, bertukar teknologi dan mengorganisir usaha ternak. Melalui pembentukan kelompok tani ternak, interaksi dalam kelompok menjadi semakin erat, kelembagaan kelompok semakin terbina, terjalin kerja sama antar petani peternak, dan proses penerapan inovasi baru menjadi semakin cepat. Kelompok ternak juga mempermudah dalam penyaluran bantuan dan memudahkan pembinaan dari instansi terkait. Salah satu komponen bantuan ternak biasanya adalah kandang. Kandang merupakan salah satu faktor pendukung produksi yang sangat penting disamping faktor bibit, reproduksi, pakan, pencegahan hama dan penyakit, pascapanen dan pemasaran. Kandang dapat melindungi ternak dari gangguan angin kencang, panas terik dan hujan, serta menjamin agar ternak tetap sehat, mengurangi angka kematian, memberikan rasa nyaman bagi ternak, serta memudahkan dalam pengelolaan sehingga produksinya dapat optimal (BPTP UNGARAN, 2000). Kandang yang disarankan adalah kandang komunal yang dibangun pada satu hamparan lahan tertentu dan dikelola bersama serta dikoordinir oleh seorang ketua kelompok (BPTP UNGARAN, 2000). Kandang komunal dikembangkan sebagai upaya memindahkan ternak beserta kandangnya yang pada peternak rakyat seringkali dipelihara dekat dan bahkan menyatu dengan rumah kediaman peternak. Pengembangan kandang komunal ada yang dilaporkan dapat diterima masyarakat dan berkembang baik, misalnya seperti dilaporkan oleh WIDIYANINGRUM (2005) di Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Di lokasi tersebut sebagian besar peternak sapi potong telah tergabung dalam kelompok tani ternak (KTT) dan menggabungkan kandang ternaknya dalam satu lokasi. Sistem kandang kelompok tersebut diprakarsai dan dibentuk oleh Disnak dan kemudian berkembang serta diikuti oleh beberapa KTT yang dibentuk atas inisiatif pemerintah desa maupun murni inisiatif peternak (swadaya). Pengembangan kandang komunal ternak sapi tidak selalu berhasil dan secara lestari dipertahankan oleh peternak. Dalam banyak kasus, pengandangan ternak sapi di kandang
333
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
komunal tidak bertahan lama. Secara berangsur-angsur peternak menarik kembali ternak yang telah ditempatkan di kandang komunal, seiring dengan mengendurnya intensitas pembinaan oleh instansi terkait. Makalah ini memaparkan faktor-faktor yang diduga berpengaruh dominan terhadap kurang berhasilnya pengembangan kandang komunal, khususnya dalam konteks nilai budaya Jawa. KOMPARASI ANTARA SISTEM KANDANG KOMUNAL DAN KANDANG INDIVIDU Kandang pada dasarnya adalah bangunan tempat tinggal ternak yang berfungsi untuk menghindarkan ternak dari hujan, sinar matahari langsung, pencurian (keamanan), binatang buas dan memudahkan dalam pemeliharaan. Dalam makalah ini digunakan istilah kandang individu yang merujuk pada kandang ternak yang dimiliki dan digunakan oleh peternak, sementara kandang komunal menunjuk pada kandang milik bersama yang dibangun/didirikan secara mengelompok pada satu hamparan lahan dengan luasan tertentu yang dikelola secara bersama dan dikoordinasikan oleh seorang ketua kelompok (BPTP UNGARAN, 2000). Kandang komunal dibangun di suatu lokasi yang relatif jauh dari pemukiman atau lingkungan yang ramai, sementara kandang individu dibangun dekat dan bahkan menyatu dengan rumah tinggal peternak. Ada peternak yang bahkan membuat kandang ternak bersebelahan dengan kamar tidur, dapur atau ruang tamu. Kandang komunal idealnya didirikan dengan mengakomodasi keinginan seluruh anggota berdasarkan musyawarah kelompok dan persetujuan pimpinan wilayah (aparat desa) setempat. Kandang komunal didirikan pada suatu tempat atau lahan yang memenuhi syarat teknis (ukuran dan tata letak, akses masuk cukup lebar, ketersediaan air mencukupi), sosial (diterima oleh masyarakat setempat) dan ekonomis (lahan tidak terlalu jauh dari rumah para peternak dan nilai sewa lahannya tidak terlalu tinggi). Lahan lokasi kandang komunal biasanya diarahkan pada lahan milik desa (lahan bengkok perangkat desa) atau lahan milik salah seorang peternak
334
yang kemudian disewa untuk satu waktu tertentu. Kandang komunal didirikan atas nama kelompok, sehingga organisasi kelompok harus aktif dengan pengaturan antara hak dan kewajiban yang seimbang. Termasuk dalam pengaturan hak dan kewajiban adalah pengaturan jadwal jaga yang disepakati oleh seluruh anggota kelompok untuk menjamin keamanan ternak. Tata cara perkandangan yang baik akan membuat ternak merasa lebih nyaman dan kesehatan ternak lebih terjamin, sehingga produktivitas dan produksi ternak dapat maksimal. Sistem kandang komunal juga memungkinkan para peternak untuk saling memotivasi, saling tukar menukar informasi, sekaligus meningkatkan efisiensi dalam pengendalian hama dan penyakit. Pengelolaan limbah kandang untuk kompos juga dimungkinkan karena tercapainya skala usaha minimum, sebagaimana dikemukakan dalam pedoman teknis Pengembangan Unit Pengolah Pupuk Organik (UPPO) yang dikeluarkan oleh DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN (2011). Secara rinci beberapa kelebihan dan kekurangan sistem kandang komunal dibandingkan dengan kandang individu ditampilkan pada Tabel 1. Pada dasarnya kandang komunal dipandang merupakan strategi yang tepat dalam intensifikasi usaha dan mempermudah pembinaan. Namun demikian, pengembangan kandang komunal juga mempunyai konsekuensi pada perlunya kerjasama yang erat dan harmonis antar peternak. Ada beberapa pola operasionalisasi pengelolaan kandang komunal. Pertama setiap peternak yang tergabung dalam kelompok dan mendapat bantuan ternak bertangggung jawab terhadap pengelolaan ternak masing-masing, khususnya dalam membersihkan kandang, mencari hijauan pakan dan memberikan pakan. Pupuk kandang juga merupakan hak masingmasing peternak. Pada pola pertama ini, paket ternak bantuan sudah dibagi kepada peternak dan masing-masing peternak bertanggung jawab penuh terhadap ternak bantuan yang diberikan. Pola kedua, setiap peternak bertanggung jawab dalam pengadaan hijauan pakan dan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Tabel 1. Kelebihan dan kekurangan sistem kandang komunal dan kandang perseorangan Kandang komunal
Kandang individu
Kelebihan
Kekurangan
Ramah lingkungan karena lingkungan lebih sehat
Kurang ramah lingkungan, karena polusi dari kotoran, kencing dan limbah kandang, serta lingkungan menjadi lembab
Lebih memacu peningkatan skala usaha
Peningkatan skala usaha kurang
Selalu ada komunikasi antar peternak, sehingga dapat saling memotivasi untuk meningkatkan usaha
Kurang ada komunikasi
Limbah kandang terkumpul dalam jumlah banyak sehingga memudahkan pengolahan dan penjualan pupuk kandang
Jumlah limbah kandang sedikit dan terpencar sehingga menyulitkan dalam pengolahan dan penjualan pupuk kandang
Memudahkan pembinaan dan pendampingan petugas karena terkumpul dalam satu kawasan
Pembinaan dan pengawasan oleh petugas sulit karena lokasi kandang terpencar
Lebih mudah untuk menarik investor
Lebih sulit menarik investor
Kekurangan
Kelebihan
Sulit mendapatkan lokasi yang tepat dan cukup luas serta perlu mendapatkan ijin dan kesepakatan dari masyarakat sekitar
Pembuatan kandang tidak perlu kesepakatan dengan masyarakat sekitar, desain dan ukuran kandang dapat menyesuaikan kondisi
Membutuhkan kerjasama antar anggota kelompok dan ada kesepakatan yang harus ditaati
Tidak memerlukan kerjasama dan koordinasi kelompok
Pembuatan kandang membutuhkan biaya besar
Tidak memerlukan biaya besar, disesuaikan dengan ketersediaan dana
pemeliharaan ternak, sementara kebersihan kandang dan pemberian pakan dilakukan secara bergilir oleh anggota sesuai jadwal. Yang ketiga-hampir sama dengan yang kedua tetapi tenaga pengelola ternak, mulai dari pembersihan kandang dan pemberian pakan dilakukan oleh tenaga khusus yang dibayar oleh kelompok. Pada ketiga pola, penjagaan ternak dan kandang pada malam hari dilakukan secara bergiliran oleh peternak penerima bantuan. Pada pola keempat, seluruh kegiatan pengelolaan ternak dilakukan oleh tenaga upahan di bawah koordinasi beberapa anggota kelompok peternak. Jadi pada dasarnya peternak lebih bertindak sebagai pemegang saham, sementara pengelolaan usaha dilakukan oleh ‘manajer’. Sumber dana untuk membayar tenaga upahan bisa berasal dari iuran anggota, penjualan pupuk kandang dan keuntungan usaha ternak. Pada ketiga pola terakhir, ternak pada dasarnya tidak dibagi kepada anggota, tetapi tetap menjadi satu unit usaha. Pembiayaan dan pembagian keuntungan pada
motivasi
karena tidak ada
dapat
akhir periode usaha dibagi secara merata di antara anggota. Dari keempat pola pengelolaan kandang komunal, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2, pola pertama tampaknya lebih bisa diterima dan bertahan lama dibandingkan pola lainnya karena secara prinsip pola ini tidak berbeda dengan kandang individu. Yang membedakan hanya lokasi kandang yang semula terpencar dan dekat dengan hunian peternak kemudian dipindahkan dan disatukan pada lahan tertentu. Dari ketiga pola pengelolaan kandang lainnya, pola keempat diduga paling tidak mampu bertahan karena peternak harus mengeluarkan biaya tunai untuk membayar tenaga kerja upahan selama masa pemeliharaan ternak. FAKTOR KETIDAK BERLANJUTAN KANDANG KOMUNAL Kandang komunal dapat dipandang sebagai inovasi untuk suatu masyarakat tertentu. Menurut ROGERS (1983) inovasi merupakan
335
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Tabel 2. Beberapa pola pengelolaan ternak bantuan di kandang komunal Uraian
Pola 1
Pola 2
Pola 3
Pola 4
Pencarian pakan
Peternak
Peternak
Peternak
Upahan
Pemberian ternak
Peternak
Giliran
Upahan
Upahan
Peternak
Giliran
Upahan
Upahan
Giliran/tidak dijaga
Giliran
Giliran
Upahan
pakan/pemeliharaan
Pengelolaan limbah kandang Penjagaan ternak pada malam hari
sebuah ide, praktek, atau obyek yang dipahami sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang atau individu. Berdasarkan pengalaman, operasionalisasi kandang komunal umumnya tidak bertahan lama, padahal tujuan akhir dari inovasi adalah adopsi. Menurut ROGERS (1983), adopsi mengandung arti sebuah keputusan untuk menggunakan inovasi sepenuhnya karena dianggap sebagai praktek terbaik yang ada saat itu sehingga tidak sekedar mencoba inovasi. Begitu suatu inovasi didiseminasikan, keputusan pengadopsian inovasi tersebut akan melalui suatu proses tertentu yang ditentukan oleh karakteristik inovasi, yaitu: (1) keuntungan relatif (aspek ekonomi, sosial, kenyamanan dan kepuasan); (2) kesesuaian/kompatibilitas (konsistensi nilai, pengalaman, dan kesesuaian kebutuhan pengguna); (3) kerumitan/kompleksitas; (4) triabilitas/daya uji coba, dan (5) kemudahan hasil inovasi untuk diamati/observabilitas (ROGERS, 1983). Selanjutnya sebelum pengambilan keputusan adopsi suatu inovasi, terjadi suatu proses dalam diri individu. Proses tersebut dimulai dari (1) pengetahuan awal tentang inovasi, diikuti dengan (2) pembentukan sikap terhadap inovasi dan menuju ke arah (3) pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau menolak; diikuti (4) implementasi inovasi baru serta diakhiri dengan (5) konfirmasi keputusan (ROGERS, 1983). Pada kandang komunal, proses tersebut telah berjalan sampai tahap konfirmasi, tetapi dalam banyak kasus, secara berangsur seiring dengan berakhirnya masa pembinaan, ternak ditarik dari kandang komunal dan kembali dipelihara peternak di rumah masing-masing. Artinya berdasarkan hasil konfirmasi ternyata kandang komunal kurang dapat diterima peternak.
336
Bila ditelusuri, terdapat beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi ketidak berlanjutan operasionalisasi kandang komunal. Perlu diingat bahwa sama halnya dengan petani kecil di negara Asia lainnya, ternak mempunyai berbagai macam fungsi (DEVENDRA dan THOMAS, 2002). Berbeda dengan peternak skala besar, bagi peternak rakyat di Jawa, ternak sapi tidak hanya mempunyai nilai ekonomi tetapi juga membantu petani dalam mengolah tanah, sumber pupuk kandang, sumber pendapatan dan tabungan, serta mempunyai fungsi sosial. Dengan berkembangnya teknologi, fungsi ternak sapi sebagai pengolah tanah telah banyak digantikan oleh traktor, sementara fungsi ternak sapi lainnya tetap dan tidak berubah. Pembahasan tentang keberlanjutan teknologi kandang komunal dapat dilakukan dengan mengaitkan karakter inovasi dengan kelayakannya secara teknis, ekonomi, dan sosial-dalam konteks budaya masyarakat Jawa. KELAYAKAN TEKNIS Kandang komunal dibangun sesuai rancangan dengan memperhatikan berbagai persyaratan teknis, antara lain ketepatan lahan/lokasi kandang, ukuran, bentuk dan bahan bangunan, kelengkapan kandang, kesesuaian arah matahari, serta ketersediaan air. Oleh karena itu kandang komunal layak secara teknis. Tata cara perkandangan yang baik akan membuat ternak merasa nyaman dan kesehatan ternak terjamin. Kandang yang baik penting untuk melindungi ternak dari gangguan angin kencang, panas terik dan hujan, dan menjamin agar ternak tetap nyaman dan sehat sehingga mengurangi angka kematian serta memudahkan pengelolaan sehingga produksinya dapat optimal.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
KELAYAKAN FINANSIAL/EKONOMI Pada sistem kandang komunal, lokasi kandang terletak jauh dari rumah hunian. Peternak, dengan demikian, harus mengalokasikan waktu dan tenaga kerja lebih banyak untuk melakukan kegiatan pemeliharaan ternak, baik untuk mengantar hijauan pakan ke kandang, memberikan pakan, membersihkan kandang, dan secara bergiliran melakukan penjagaan ternak pada malam hari. Biaya tunai juga harus dikeluarkan oleh peternak, misalnya untuk penerangan dan membayar tenaga kerja upahan khususnya pada pola pengelolaan kandang komunal ketiga dan keempat. Selain tambahan korbanan dan biaya tersebut, menurut WIDIYANINGRUM (2005) pada kandang komunal peternak juga terikat dengan berbagai peraturan kelompok, antara lain harus membayar kompensasi karena tidak dapat memenuhi kewajiban mengelola kandang kominal sesuai ketentuan. Masalah muncul karena jumlah ternak yang diusahakan sangat terbatas (1 – 2 ekor) dan jauh dari jumlah ternak minimal untuk dapat mencapai titik impas atau break even point (BEP). Sebagian peternak penerima bantuan sebelumnya bahkan tidak mempunyai ternak. Apabila seluruh biaya diperhitungkan, maka usaha ternak di kandang komunal akan merugi. Menurut penelitian SUASTINA dan KAYANA (2005) di Desa Petang, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, jumlah sapi potong yang harus dipelihara peternak untuk mencapai BEP adalah 17 ekor. Sementara itu jumlah induk sapi perah untuk mencapai BEP menurut hasil penelitian HERTIKA (2008) di satu perusahaan ternak sapi perah di Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor adalah sebanyak 68 ekor. Pada ternak sapi yang dikandangkan di rumah, banyak biaya yang dapat ditekan dan atau tidak diperhitungkan sebagai biaya. Hal ini disebabkan biasanya peternak juga melakukan kegiatan budidaya pertanian di lahan sawah atau tegalan sementara usaha ternak hanya sebagai sambilan. Petani tidak secara khusus mengalokasikan tenaga kerja dan biaya untuk pemeliharaan ternak. Kegiatan pencarian dan pengambilan hijauan pakan, misalnya, dilakukan sambil mengontrol tanaman di lahan usahatani. Pemberian pakan dapat dilakukan oleh anggota keluarga yang
ada di rumah. Peternak juga tidak mengalokasikan waktu dan tenaga khusus untuk penjagaan ternak di kandang, khususnya pada malam hari. KELAYAKAN SOSIAL Menurut SOEKANTO (l987), terdapat sejumlah faktor penyebab hambatan adopsi inovasi, yaitu: (1) inovasi baru bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku; (2) perangkat kaidah-kaidah masyarakat yang tidak sesuai dengan inovasi; (3) pola interaksi sosial yang mendukung inovasi baru; (4) tingkat pendidikan formal dan informal tertentu kurang memadai; (5) tradisi yang dipelihara secara turun temurun; (6) sikap tidak terbuka pada inovasi baru dan (7) adanya tokoh masyarakat yang tidak mampu menyerasikan konservatisme dengan inovatisme. Sejalan dengan pendapat SOEKANTO (1987) di atas, kandang komunal berpotensi tidak dapat diterima masyarakat karena adanya perasaan ‘hilang’ atau berkurangnya nilai/status sosial peternak. Hal ini merujuk pada fungsi ternak sapi yang tidak terbatas sebagai barang ekonomi dan sarana mendapatkan keuntungan tetapi merujuk pada fungsi sosial dari ternak sapi. Keberadaan ternak di rumah peternak dipandang dapat meningkatkan status sosial, sehingga penempatan ternak di kandang komunal menjadi kurang diterima oleh petani. Kandang komunal kurang dapat diterima karena adanya potensi konflik sebagai hasil interaksi sosial dalam pengelolaan ternak di kandang komunal. Ketidak setujuan mungkin sudah muncul pada awal proses pendirian kandang komunal, bahkan pada saat sosialisasi dan musyawarah yang difasilitasi oleh aparat desa, staf teknis dan penyuluh lapangan. Sosialisasi tentang manfaat dan keunggulan kandang komunal serta hak dan kewajiban calon penerima bantuan merupakan langkah awal yang selanjutnya ditindak lanjuti dengan musyawarah teknis pelaksanaannya. Secara ideal, musyawarah adalah prosedur dimana semua suara dan pendapat didengarkan. Semua suara dan pendapat adalah benar dan dapat membantu untuk memecahkan masalah. Musyawarah berusaha untuk mencapai kebulatan kehendak atau kebulatan pikiran. Kebulatan itu merupakan jaminan
337
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
kebenaran dan ketepatan keputusan yang akan diambil karena kebenaran dan ketepatan keputusan termuat dalam kesatuan dan keselarasan kelompok masyarakat yang musyawarah (SUSENO, 1996). Masalahnya pada struktur masyarakat Jawa yang hierarkis, masyarakat petani sebagai golongan masyarakat kelas bawah, cenderung tidak akan berani menyatakan pendapat secara langsung dalam forum, khususnya apabila para tokoh desa setempat telah menyatakan persetujuannya, karena dianggap tidak sopan, mempermalukan pimpinan dan dapat menimbulkan konflik. Budaya Jawa sebenarnya cenderung terbuka dan akomodatif terhadap hal-hal baru. Menurut penelitian DJASMI (2003) etnis Jawa cenderung mengutamakan masa depan keluarga, orientasi usahanya bersifat komersial, mempunyai etos kerja tinggi, dengan dinamika kelompok yang tinggi dan performa usahatani lebih tinggi dibandingkan etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara. Namun demikian, sesuai karakter budaya Jawa yang selalu menjaga keselarasan dan keserasian, kandang komunal sebagai inovasi baru tidak akan serta merta ditolak, walaupun tidak pula berarti diterima. Inovasi tersebut akan dicoba terlebih dahulu dan bila perlu akan dimodifikasi agar dapat masuk dalam sistem dan tata nilai yang sudah ada. Sisi lain dari kandang komunal adalah terjadinya relasi sosial baru dengan intensitas sangat tinggi antar anggota kelompok disertai dengan serangkaian kewajiban selama proses pemeliharaan ternak. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik, baik sebagai akibat dari interaksi sosial (baik disengaja maupun tidak) serta adanya tindakan moral hazard dan free rider. Dua perilaku terakhir sangat mungkin terjadi dan memunculkan ketidak puasan diantara anggota kelompok tani ternak karena biaya pemeliharaan dan keuntungan akhir nantinya akan dibagi merata di antara anggota. Masyarakat Jawa mempunyai karakter mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian sistem nilai dan tatanan masyarakat. Ketidakpuasan dan ketidaksetujuan tentang sesuatu tidak akan disampaikan secara langsung, khususnya dalam forum musyawarah karena akan dianggap tidak sopan. Konflik yang muncul sebagai hasil interaksi antar individu dalam kelompok akan dicoba untuk dikurangi dengan memendam dan meredam masalah sebagai upaya menjaga kerukunan.
338
Kelakuan sosial Jawa memang ditentukan oleh prinsip-prinsip kerukunan dan hormat pada keluarga, saudara dan tetangga. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis . Karakter lain dari Budaya Jawa adalah cenderung menggeser permasalahan ke atas dalam menyelesaikan konflik dan ketidakserasian yang muncul baik antara masyarakat dengan alam maupun antar individu dalam masyarakat. Masalah muncul karena tidak semua masalah dan konflik berhasil ditangkap dan diselesaikan oleh pimpinan (dalam hal ini ketua kelompok atau aparat desa). Padahal menurut JAUHARI (no date) pada masyarakat Jawa, kritik sebagai kontrol sosial hanya dimungkinkan berjalan satu arah, yaitu dari atas ke bawah (top down) atau dari pimpinan (ketua kelompok atau aparat desa) yang dianggap lebih tinggi kelas sosialnya kepada bawahan (anggota kelompok). Kritik dari bawah ke atas (bottom up) atau dari bawahan kepada atasan cenderung terhambat oleh kendala budaya. Penyimpanganpenyimpangan perilaku oleh atasan atau pimpinan akibatnya tidak bisa segera dikontrol. Bawahan cenderung diam dan hanya melakukan kritik dalam hati. Hal ini berkaitan dengan struktur masyarakat Jawa yang hirarkis. Menurut KOENTJARANINGRAT (dalam SUSENO, 1996) fakta seperti itu dapat memberikan suasana yang kondusif untuk melakukan korupsi. Masalah yang berlarut-larut dan tidak terpecahkan dalam kelompok mendorong anggota untuk mengundurkan diri dari keanggotaan dan menarik kembali ternak ke rumah, sebagai upaya menghindari konflik dengan peternak lain, khususnya apabila pimpinan (ketua kelompok dan aparat desa) dipandang kurang kuat dan tidak mampu menyelesaikan konflik antar anggota atau bahkan dipandang telah melakukan penyimpangan. Dari uraian tersebut, dari karakteristik inovasi maka kandang komunal oleh kebanyakan peternak memang berpotensi memberikan keuntungan bagi peternak di mana banyak investor mungkin akan tertarik untuk menanamkan modalnya, mudah dicoba, serta hasilnya dapat dilihat, misalnya pupuk kandang yang terkumpul dalam jumlah besar akan memperlancar penjualannya. Namun demikian,
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
tambahan biaya, baik dalam bentuk tenaga kerja, waktu, biaya tunai, serta ‘hilangnya’ kesempatan untuk meningkatkan status sosial menyebabkan kandang komunal mungin akan dipandang kurang menguntungkan. Selain itu pengelolaan ternak secara bersama dalam kandang komunal yang berpotensi memunculkan konflik baru dan ketidak puasan, menyebabkan sistem ini dalam batas tertentu tidak sesuai/kompatibel dengan tata nilai dan kebutuhan peternak. KESIMPULAN Kandang komunal merupakan inovasi baru yang walaupun layak secara teknis, pada beberapa kasus tidak secara berlanjut diterapkan oleh peternak. Kandang komunal ini tidak layak secara ekonomi karena rendahnya jumlah penguasaan/ kepemilikan ternak serta adanya tambahan biaya yang pada kandang individu tidak diperhitungkan. Kandang komunal juga tidak berlanjut karena secara sosial berpotensi memunculkan konflik karena adanya perilaku moral hazard dan free rider pada sebagian anggota kelompok serta masalah dan konflik yang tidak mampu diselesaikan oleh pimpinan kelompok dan aparat desa. Penarikan ternak dari kandang komunal dan pengunduran diri peternak dari keanggotaan kelompok merupakan upaya peternak untuk mengurangi konflik dan menjaga keharmonisan dengan lingkungan sekitar. Mengingat strategisnya peran pimpinan kelompok peternak dan aparat desa dalam masyarakat Jawa, maka pemilihan calon lokasi dan calon peternak dalam pengembangan kandang komunal sangat penting untuk menjamin adopsi. DAFTAR PUSTAKA BPTP UNGARAN. 2000. Kandang komunal sapi potong (LIPTAN). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran. Departemen Pertanian. http://www.pustaka.litbang.deptan. go.id/agritek/lip50013.pdf. DEVENDRA, C. dan D. THOMAS. 2002. Crop–animal systems in Asia: Importance of livestock and characterisation of agro-ecological zones. Agricultural Systems 71: 5 – 15.
DITJENNAK. 2010b. Pedoman pelaksanaan penyelamatan sapi betina produktif tahun 2010. Direktorat Jenderal Peternakan. Kementerian Pertanian. Jakarta. http://ditjennak.go.id/regulasi%5CPEDPEL% 20BETPROD.pdf. DITJENNAK. 2010a. Rapat kerja nasional pembangunan pertanian 2010 – 2014. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. http://www.ditjennak.go.id/berita.asp?id=123. DIREKTORAT PERLUASAN dan PENGELOLAAN LAHAN. 2011. Pedoman teknis pengembangan unit pengolah pupuk organik (UPPO) Ta. 2011. Direktorat Perluasan Dan Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian. http://pla.deptan.go.id/pdf/UPPO.pdf. DJASMI. 2003. Kebudayaan Etnis Tolaki dan Jawa: Etos Kerja, Dinamika Kelompok dan Performa Usahatani. Kasus Dua Kelompok Tani di Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/ handle/123456789/6585/2003dja.pdf?sequenc e=4. HERTIKA. S. 2008. Analisis Pendapatan Usahaternak Sapi Perah (Studi Kasus Di Perusahaan X, Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor). Skripsi. Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. http://repository.ipb .ac.id/bitstream/handle/123456789/10774/D08 she_abstract.pdf?sequence=1. JAUHARI, E. (no date). Kritik dalam masyarakat Jawa: Sebuah kajian pemberdayaan fungsi bahasa sebagai sarana kontrol sosial http://sastra.um.ac.id/wpcontent/uploads/2010/01/075-Edy-JauhariFIB-UnAir-Kritik-dalam-Masyarakat-Jawa-.-..pdf. ROGERS, E.M. 1983. Diffusion of Innovation. 3rd Ed. The Free Press. A division of Macmillan Pub. Co. Inc., New York. SOEKANTO, S. l987. Memperkenalkan Sosiologi. Rajawali Press, Jakarta. SUASTINA, I.G.P.B. dan I.G.N. KAYANA. 2005. Analisis Finansial Usaha Agribisnis Peternakan Sapi Daging (Suatu Studi Kasus). Majalah Ilmiah Peternakan 8(2), Juni 2005 Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/ bagus%20suastina%20080202005.pdf.
339
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
SUSENO, F.M. 1996. Etika Jawa. Gramedia, Jakarta.
340
WIDIYANINGRUM, P. 2005. Motivasi keikutsertaan peternak sapi potong pada sistem kandang komunal (studi kasus di Kabupaten Bantul Yogyakarta). Majalah Ilmiah Peternakan 8(3), Oktober 2005.