TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Ternak Sapi Potong Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah. Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Kariyasa, 2005). Pemeliharaan sapi potong bibit bertujuan untuk pengembangbiakan sapi potong untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi akan memiliki respons yang baik terhadap pakan yang diberikan dan efisiensi pakan yang dicapai tinggi yaitu pedet hasil keturunan. Usaha pengembangbiakan sapi potong untuk tujuan komersial memerlukan suatu perencanaan yang matang merupakan suatu hal yang perlu mendapat prioritas serta perhatian tidak hanya perencanaan fisik namun juga perencanaan non fisik (Anggorodi, 1990). Karakteristik Sapi Aceh Sapi aceh pada awalnya merupakan satu dari empat bangsa sapi asli Indonesia (Aceh, Bali, Madura, Pesisir). Ternak-ternak asli telah terbukti dapat beradaptasi dengan lingkungan lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim, dan penyakit. Dengan demikian, ternak- ternak inilah yang paling cocok untuk dipelihara dan dikembangkan di Indonesia, walaupun produksinya lebih rendah daripada ternak impor. Sapi aceh diduga dimasukkan oleh pedagang – pedagang India yang membawa sapi-sapi dari India ke Aceh pada masa lampau dengan tujuan berdagang dan menguasai perekonomian di Aceh. Selanjutnya sapi ini
Universitas Sumatera Utara
diduga mengalami persilangan dengan banteng liar yang ada di Sumatera, namun belum pernah diverifikasi dan diungkapkan melalui analisis genom (Dahlanuddin et al,.2003). Sapi Aceh memiliki badan kecil, padat, dan kompak dengan pundak pada jantan berpunuk, sedangkan betina tidak berpunuk namun bagian pundaknya tidak rata, sedikit menonjol dibanding sapi bali betina. Pola warna bulu sapi aceh ini pada umumnya berwarna coklat atau merah bata. Pada umumnya sapi aceh bertanduk, tapi juga terdapat juga sapi aceh yang tidak bertanduk 7% hanya dijumpai pada betina (Abdullah dkk, 2006). Bangsa sapi Aceh menurut Blakely dan Bade (1992) mempunyai susunan klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum : Chordata, Sub-phylum : Vertebrata, Class : Mamalia, Sub-Class : Eutheria, Ordo : Artiodactyla, Sub-ordo : Ruminantia, Infra-Ordo : Pecora, Family : Bovidae, Genus : Bos, Group : Taurinae, Species : Bos sundaicus. Produktivitas Ternak Sapi Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu tertentu (Hardjosubroto, 1994) dan Seiffert (1978) menyatakan bahwa produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan. Tomaszewska et al. (1988) menyatakan bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, dapat dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi. Dijelaskan pula bahwa tingkat dan efesiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat dan efesiensi reproduksinya. Produktivitas sapi potong dapat juga dilihat dari jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (Calf
Universitas Sumatera Utara
crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun
(yearling),
bobot
potong
dan
pertambahan
bobot
badan
(Trikesowo et al., 1993). Pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringanjaringan pembangun seperti urat daging, tulang, otak, jantung dan semua jaringan tubuh (kecuali jaringan lemak) serta alat-alat tubuh lainnya. Lebih lanjut dikatakan pertumbuhan murni adalah pertambahan dalam jumlah protein dan zat sedangkan pertambahan akibat penimbunan lemak atau penimbunan air bukanlah pertumbuhan
murni
(Anggorodi,
1984).
Anggorodi
menyatakan
dalam
pertumbuhan seekor hewan ada dua hal yang terjadi : 1. Bobot badannya meningkat mencapai bobot badan dewasa yang disebut pertumbuhan 2. Terjadinya perubahan konfirmasi dan bentuk tubuh serta berbagai fungsi dan kesanggupannyai untuk melakukan sesuatu menjadi wujud penuh yang disebut perkembangan. Sistem Pencernaan Sapi Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik ataupun mikrobial. Proses mekanik terdiri dari mastikasi ataupun pengunyahan dalam mulut dan gerakan–gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksikontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara enzimatik atau kimiawi dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh sel-sel dalam tubuh hewan dan yang berupa getah-getah pencernaan. Pencernaan oleh mikroorganisme ini juga dilakukan
secara
enzimatik
yang
enzimnya
dihasilkan
oleh
sel-sel
mikroorganisme (Tillman et al.,1991).
Universitas Sumatera Utara
Ruminansia berasal dari kata latin “ruminate” yang berarti “mengunyah berulang-ulang”. Proses ini disebut proses ruminansi yaitu suatu proses pencernaan pakan yang dimulai dari pakan dimasukkan ke dalam rongga mulut dan masuk ke rumen setelah menjadi bolus-bolus dimuntahkan kembali (regurgitasi),
dikunyah
kembali
(remastikasi),
lalu
penelanan
kembali
(redeglutasi) dan dilanjutkan proses fermentasi di rumen dan ke saluran berikutnya. Proses ruminansi berjalan kira – kira 15 kali sehari, dimana setiap ruminansi berlangsung 1 menit sampai 2 jam (Prawirokusumo, 1994). Pertumbuhan dan aktivitas mikroba selulolitik yang efisien, sama halnya dengan mikroba rumen lain, membutuhkan sejumlah energi, nitrogen, mineral dan faktor lain (misalnya vitamin). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa energi merupakan faktor essensial utama yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba rumen. Mikroba rumen menggunakan energi untuk hidup pokok, teristimewa untuk melakukan transport aktif (Bamualim,1988). Pakan Sapi Pakan adalah semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak dalam hidupnya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan air (Parakkasi, 1995). Wahyono dan Hardianto (2004) menyatakan kebutuhan nutrisi pakan sapi untuk tujuan produksi (pembibitan dan penggemukan) dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Kebutuhan nutrisi pakan sapi
Uraian bahan (%)
Tujuan Produksi Pembibitan Penggemukan Bahan Kering 88 88 Protein kasar 10,4 12,7 Lemak kasar 2,6 3 Serat kasar 19,1 18,4 Kadar abu 6,8 8,7 TDN 64,2 64,4 Sumber : Wahyono dan Hardianto (2004) Menurut Parakkasi (1995) pakan merupakan semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk kehidupannya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral dan air. Pakan yang di berikan sebaiknya jangan sekedar untuk mengatasi rasa lapar atau sebagai pengisi perut saja melainkan harus benar-benar bermamfaat untuk kebutuhan hidup, membentuk sel-sel baru, mengganti sel-sel yang rusak dan untuk produksi (Widayati dan Widalestari, 1996). Fermentasi Fermentasi adalah proses penguraian unsur-unsur organik kelompok terutama karbohidrat untuk menghawsilkan energi melalui reaksi enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Proses fermentasi dapat dikatakan sebagai proses “protein enrichment” yang berarti proses pengkayaan protein bahan dengan menggunakan mikroorganisme tertentu (Sarwono, 1996). Menurut Parakkasi (1995) pakan merupakan semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk kehidupannya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral dan air. Melalui fermentasi terjadi pemecahan subtrat oleh enzim - enzim tertentu terhadap bahan
Universitas Sumatera Utara
yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang yang dihasilkan oleh protein hasil metabolisme dari kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein (Sembiring, 2006). Amoniasi Urea Amoniasi merupakan proses perlakuan terhadap bahan pakan limbah perkebunan dengan menambahkan bahan kimia berupa kaustik soda, sodium hidroksi atau urea. Umumnya masyarakat lebih banyak menggunakan urea ini sebagai bahan kimia yang digunakan karena lebih mudah untuk memperolehnya. Urea dengan rumus molekul CO(NH2)2 banyak digunakan dalam ransum ternak ruminansia karena mudah diperoleh, harganya murah dan sedikit resiko keracunan (Ernawati, 1995). Urea yang diberikan pada ransum ternak ruminsia di dalam rumen akan dipecah oleh enzim urease menjadi amonium. Amonium bersama mikroorganisme rumen akan membentuk protein mikroba dengan bantuan energi. Apabila urea berlebihan atau tidak dicerna oleh tubuh ternak maka urea akan diabsorbsi oleh dinding rumen, kemudian dibawa oleh aliran darah ke hati dan di dalam hati dibentuk kembali amonium yang pada akhirnya diekreasikan melalui urine dan feses (Sutardi, 1980). Urea adalah merupakan senyawa kimia yang mengandung 40% – 45% nitrogen mikroorganisme yang terdapat dalam saluran pencernaan ternak dapat dikombinasikan N dalam urea dengan C, H2 dan O2 yang terdapat dalam karbohidrat dan membentuk asam amino. Oleh karena itu urea dapat digunakan sebagai sebagai sumber nitrogen pada ternak ruminansia (Kartadisastra, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Urea merupakan bahan pakan sumber nitrogen yang dapat difermentasi. Urea dalam proporsi tertentu mempunyai dampak positif terdapat peningkatan konsumsi protein kasar dan daya cerna urea bila diberikan pada ruminansia dirubah menjadi protein oleh mikroba dalam rumen (Anggorodi, 1984). Potensi Kelapa Sawit di Indonesia Kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat sejak awal tahun 80-an dan saat ini telah menjadi salah satu komoditas yang berperan sangat penting dalam penerimaan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, serta pengembangan perekonomian rakyat dan daerah. Pada tahun 2002 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 4,1 juta ha dengan produksi minyak sawit (crude palm oil) lebih dari 9 juta ton (Elisabeth dan Ginting, 2003). Produk samping industri kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah yang banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah daun, lumpur sawit, dan bungkil inti kelapa sawit khususnya sebagai bahan dasar ransum ternak ruminansia. Pola integrasi atau diversifikasi tanaman dan ternak khususnya ternak ruminansia diharapkan merupakan bagian dari integrasi dari usaha perkebunan. Oleh karena itu, pemanfaatan produk samping industri kelapa sawit seperti pelepah pada wilayah perkebunan sebagai pengadaan bahan pakan ternak, khususnya ruminansia diharapkan banyak memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung (Jalaludin et al.,1991). Perkebunan PT Agricinal menyatakan bahwa setiap pohon rata-rata dapat menghasilkan 22 ton pelepah/tahun dengan rataan bobot pelepah 3,25 kg. Dengan demikian setiap hektar tanaman dapat menghasilkan pelepah 9,929 kg. Total bahan kering pelepah yang dihasilkan dalam setahun untuk setiap hektar adalah
Universitas Sumatera Utara
1.640 kg. Apabila 2,014 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Indonesia tanaman produktif maka bahan kering yang tersedia mencapai 3.302 metrik ton. Setiap pelepah rata-rata menyediakan daun 0,5 kg setara dengan 658 kg bahan kering/ha/tahun (http://www.pustakabogor.net, 2014). Kandungan gizi pelepah kelapa sawit berdasarkan hasil analisis proksimat dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Kandungan gizi pelepah kelapa sawit
Zat nutrisi Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar BETN TDN Ca P Energi (Mcal/ME)
Kandungan 26,07a 5,02b 1,07a 50,94a 39,82a 45,00a 0,96a 0,08a 56,00c
Sumber: a. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2003) b.Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Peternakan FP-USU (2000) c..Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor (2000)
Dilihat dari kandungan serat kasar, maka pelepah kelapa sawit dapat digantikan sebagai sumber penggaanti serat kasar. Pemanfaatan pelepah kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia disarankan tidak melebihi 30 %. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat ditambahkan produk samping lain dari kelapa sawit seperti bungkil inti sawit, lumpur kelapa
sawit
dan
serat
perasan
buah
kelapa
sawit
(Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Bahan Penyusun Konsentrat Bungkil Inti Sawit Bungkil inti sawit merupakan produk samping yang berkualitas karena mengandung protein kasar yang cukup tinggi 16 – 18%. Sementara kandungan serat kasar mencapai 16%. Pemanfaatan perlu disertai produk samping lainnya untuk mengoptimalkan penggunaan bungkil ini bagi ternak. Untuk lebih lanjut diinformasikan bahwa bungkil inti sawit dapat diberikan 30% dalam pakan sapi (Batubara et al, 1993). Bungkil inti sawit adalah limbah ikutan proses ekstrasi inti sawit. Bahan ini dapat diperoleh dengan proses kimia atau dengan cara mekanik (Davendra, 1997). Zat makanan yang terkandung dalam bungkil inti sawit cukup bervarisi, tetapi kandungan terbesar ialah protein yaitu berkisar antara 18 - 19%. Tabel 3. Kandungan nilai gizi bungkil inti sawit
Uraian Protein kasar TDN Serat kasar Lemak kasar Bahan kering Ca P
Kandungan (%) 15,4a 81b 16,9a 2,4a 92,6a 0,1c 0,22c
Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak FP USU (2005). b. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak IPB, Bogor (2000). c. Siregar (2000).
Dedak Padi Dedak padi adalah bahan pakan yang diperoleh dari pemisahan beras dengan kulit gabahnya melalui proses penggilingan padi dari pengayakan hasil ikutan penumbukan padi. Sedangkan menurut sebagai bahan makanan asal nabati, dedak memang limbah proses penggilingan padi menjadi beras. Oleh sebab itu kandungan nutrisinya juga cukup baik, dimana kandungan protein dedak halus
Universitas Sumatera Utara
sebesar 12% - 13%, kandungan lemak 13%, dan serat kasarnya 12%(Parakkasi, 1995). Tabel 4. Kandungan nilai gizi dedak padi
Uraian Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar TDN
Kandungan (%) 89,6 13,8 7,2 8,0 67,0
Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU(2005).
Molases Molases dapat digunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan penggunaan molasses untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (48 - 60% sebagai gula), kadar mineral cukup yang disukai ternak. Tetes tebu juga mengandung vitamin B kompleks dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak seperti kobalt, boron, iodium, tembaga, dan seng, sedangkan kelemahannya ialah kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi terlalu banyak (Thalib, 2001).
Uraian Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar TDN
Kandungan (%) 92,6 3 0,08 0,38 81
Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU(2005).
Urea
Urea adalah suatu senyawa organikyang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea juga dikenal dengan nama carbamide yang terutama digunakan di kawasan Eropa. Nama lain yang juga sering dipakai adalah carbamide resin, isourea, carbonyl
Universitas Sumatera Utara
diamide dan carbonyldiamine. Senyawa ini adalah senyawa organik sintesis pertama yang berhasil dibuat dari senyawa anorganik. Parakkasi (1995) menyatakan bahwa disamping dapat menguntungkan, urea dapat pula merugikan karena dapat menyebabkan keracunan (minimal tidak bermanfaat) bila penggunaannya tidak semestinya. Oleh karena itu beberapa prinsip dasar penggunaanya perlu diketahui, dimana batas penggunaan urea dalam ransum sekitar 8%. Garam Garam diperlukan oleh sapi sebagai perangsang menambah nafsu makan. Garam juga sebagai unsur yang dibutuhkan dalam kelancaran pekerjaan faali tubuh. Menurut Lassiter and Edward (1982) garam yang dimaksud adalah garam dapur (NaCl), dimana selain berfungsi sebagai mineral juga berfungsi meningkatkan palatabilitas. Garam tersebut merangsang sekresi saliva. Terlalu banyak garam akan menyebabkan retensi air sehingga menimbulkan odema. Defisiensi garam lebih sering terdapat dalam hewan herbivora daripada hewan lainnya. Ini disebabkan hijauan dan butiran mengandung sedikit garam. Gejala defisiensi garam adalah nafsu makan hilang, bulu kotor, makan tanah, keadaan badan tidak sehat, produksi menurun sehingga menurunkan bobot badan (Anggorodi, 1990). Ultra Mineral Mineral adalah zat anorganik yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, namun berperan penting agar proses fisiologi dapat berlangsung dengan baik. Mineral digunakan sebagai kerangka pembentuk tulang, gigi, pembentukan jaringan tubuh, darah serta sebagai komponen enzim yang berperan dalam proses
Universitas Sumatera Utara
metabolisme di dalam sel. Penambahan mineral dalam pakan dilakukan untuk mencegah kekurangan mineral dalam pakan (Setiadi dan Inounu, 1991). Urea Ureaadalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hydrogen,
oksigendan
nitrogendengan
rumus
CON2H4atau
(NH2)2CO.
Penggunaan urea dapat meningkatkan nilai gizi makanan dari bahan yang berserat tinggi serta berkemampuan untuk merenggangkan ikatan kristal molekul selulosa sehingga memudahkan mikroba rumen memecahkannya.Pemberian urea tidak lebih dari 1% ransum lengkap atau 3% campuran penguatsumber protein, urea hendaknya dicampur sehomogen mungkin dalam ransum dan perlu disertai dengan penambahan mineral (Basya, 1981). Urea mempunyai kandungan nitrogen (N) kurang lebih 45 %. Karena nitrogen mewakili 16 % dari protein atau bila dijabarkan protein setara dengan 6,25kali kandungan nitrogen, maka ternak kambing rata-rata diberi 5 gram/ekor/hari akan sebanding dengan 19,63 gram protein kasar (Murtidjo, 1993).
Konsumsi Pakan dan Efisiensi Pakan Jumlah konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi beberapa variabel meliputi palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan komposisi kimia serta kualitas bahan pakan. Ketersediaan zat makanan yang dibutuhkan oleh mikroba rumen untuk menjalankan fungsi yang normal harus mendapatkan perhatian khusus misalnya pertambahan suplai sumber N pada bahan makanan yang rendah proteinnya akan meningkatkan konsumsi dari bahan pakan tersebut. Tingkat perbedaan konsumsi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor
Universitas Sumatera Utara
ternak dan kualitas pakan (bobot badan, umur, tingkat kecernaan pakan dan palatabilitas). Tingkat konsumsi ransum banyak ditentukan oleh palatabilitas ransum (bau, warna dan tekstur), sistem tempat pakan dan pemberian pakan serta kepadatan kandang (Wahyuni, 2000). Konversi pakan adalah perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan) dalam kurun waktu yang sama. Konversi pakan adalah indikator teknis yang dapat menggambarkan tingkat efisiensi penggunaan pakan, semakin rendah angka konversi pakan berarti semakin efisien (Anggorodi, 1984). Menurut Tillman (1991) nilai koefisien cerna tidak tetap untuk setiap bahan pakan atau setiap ekor ternak, tetapi dipengaruhi faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi, yaitu: 1. Komposisi kimiawi Daya cerna berhubungan erat dengan komposisi kimiawinya. Serat kasar berisi selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa dapat dicerna oleh ternak ruminansia secara enzimatis. 2. Pengolahan Pakan Beberapa
perlakuan
terhadap
bahan
pakan
seperti
pemotongan,
penggilingan dan pelayuan mempengaruhi daya cerna. Penggilingan yang halus dari hijauan menambah kecepatan jalannya bahan makanan melalui usus sehinggga menyebabkan pengurangan daya cerna 5-15%. 3. Jumlah Pakan yang diberikan Penambahan jumlah pakan yang dimakan ternak akan mempercepat arus makanan ke dalam usus, sehingga mengurangi daya cerna. Penambahan jumlah
Universitas Sumatera Utara
pakan sampai dua kali lipat dari jumlah kebutuhan hidup pokok mengurangi daya cerna1-2% penambahan yang lebih besar akan menyebabkan daya cerna akan semakin turun. 4. Jenis Ternak Ternak ruminansia dapat mencerna serat kasar yang lebih tinggi karena N metaboliknya lebih tinggi sehingga daya cerna protein pada ruminansia lebih rendah dibandingkan non ruminansia, disamping adanya peran mikroorganisme pada rumen. Kecernaan Menurut Tillman et al. (1998) kecernaan dapat diartikan banyaknya atau jumlah proporsional zat-zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat makanan yang terdapat di dalam feses dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan kembali sedangkan sistem kecernaan adalah sebuah sistem yang terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggungjawab atas pengambilan, penerimaan dan pencernaan bahan pakan dalam perjalanannya menuju saluran pencernaan mulai dari rongga tubuh sampai ke anus. Disamping itu pencernaan bertanggung jawab atas pengeluaran (ekskresi) bahan pakan yang tidak terserap atau tidak dapat kembali (Parakkasi, 1995). Anggorodi (1984) menyatakan bahwa pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan pakan adalah usaha menentukan jumlah nutrisi dari suatu bahan pakan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan presentasi nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrisi yang dimakan
Universitas Sumatera Utara
dan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi yang tidak terdapat dalam feses inilah yang diamsusikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap. Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, difisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan dan gangguan saluran pencernaan (Crurch dan Pond, 1998). Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk ke saluran pencernaan (Tillman et al., 1998). Daya cerna (digestibility) adalah bagian zat makanan dari bahan yang tidak diekreasikan dalam feses biasanya dinyatakan dalam bentuk bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase disebut “koefisien cerna” (Tillman et al., 1991). Menurut Wodzicka-Tomaszewska et al., (1988) jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang paling penting yang menentukan jumlah zat-zat makanan yang tersedia bagi ternak. Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi tingkat produksi, akan tetapi pengaturan konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat kompleks karena banyak factor yang terlibat seperti sifat pakan, faktor ternak dan faktor lingkungan. Tomaszewska (1988) menyatakan juga bahwa tingkat konsumsi sangat dipengaruhi oleh koefisien cerna, kualitas pakan, fermentasi dalam rumen, serta status fisiologi ternak. Kualitas pakan ditentukan oleh tingkat kecernaan zat - zat makanan yang terkandung pada pakan tersebut. Zat makanan yang terkandung dalam ransum tidak seluruhnya tersedia untuk tubuh ternak, sebagian akan dikeluarkan lagi melalui feses. Kecernaan pakan pada ternak ruminansia sangat erat hubungannya dengan jumlah mikroba dalam rumen.
Universitas Sumatera Utara
Serat kasar mempunyai pengaruh terbesar terhadap daya cerna. Dinding sel tanaman terutama terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang akan sukar dicerna terutama bila mengandung lignin. Tanaman tua biasanya mengandung serat kasar yang tinggi dan diiringi penambahan lignifikasi dari selulosa dan hemiselulosa pada dinding sel (Tillman et al.,1998). Kecernaan setiap bahan makanan atau ransum dipengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik makanan, komposisi bahan makanan atau ransum, tingkat pemberian makanan, temperatur lingkungan dan umur hewan (Ranhjan dan Pathak, 1979). Jenis kelamin, umur dan strain mempunyai pengaruh terhadap daya cerna protein dan asam asam amino, tetapi pengaruhnya tidak konsisten (Doeschate et al., 1993). Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam ransum (Ranjhan, 1980). Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman et al., 1998). Tingkat kecernaan suatu pakan menggambarkan besarnya zat - zat makanan yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses hidup pokok (maintenance), pertumbuhan, produksinya, maupun reproduksi (Ginting, 1992). Tingkah kecernaan bahan kering pelepah daun kelapa sawit pada sapi 45%. Daun kelapa sawit dapat digunakan sebagai sumber atau pangganti pakan hijauan. Namun, adanya lidi pada pelepah daun kelapa sawit akan menyulitkan ternak dalam mengkonsumsinya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan. Pemanfaatan pelepah daun sawit sebagai bahan pakan ruminansia disarankan tidak melebihi
Universitas Sumatera Utara
30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah daun sawit, dapat ditambahkan produk samping lain dari kelapa sawit. Pemberian pelepah daun sawit sebagai bahan pakan dalam jangka panjang, dapat menghasilkan kualitas karkas yang baik (Balai Penelitian Ternak, 2003). Kecernaan Bahan Kering Padakondisi normal, konsumsi bahan kering dijadikan ukuran konsumsi ternak. Konsumsi bahan kering bergantung pada banyak faktor, diantaranya adalah kecernaan bahan kering pakan, kandungan energy metabolis dan kandungan serat kasar. Bahan kering yang dikonsumsi dikurangi jumlah yang disekresikan merupakan jumlah yang dapat dicerna. Kualitas dan kuantitas bahan kering harus diketahui untuk meningkatkan kecernaan bahan makanan yang akan mempengaruhi jumlah konsumsi pakan. Kualitas dari bahan kering akan mempengaruhi kualitas bahan organik dan mineral yang terkandung dalam bahan pakan. Konsumsi bahan kering merupakan faktor penting untuk menunjang asupan nutrien yang akan digunakan untuk hidup pokok dan produksi (Parakkasi, 1999). Kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dicerna terutama yang dicerna oleh mikroba rumen. Semakin tinggi nilai persentase kecernaan bahan pakan tersebut, berarti semakin baik kualitasnya. Kisaran normal kecernaan bahan kering yaitu 50,7-59,7%. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering, yaitu jumlah ransum yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam ransum tersebut. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering ransum adalah tingkat proporsi bahan
Universitas Sumatera Utara
pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein ransum, persentase lemak dan mineral. Salah satu bagian dari bahan kering yang dicerna oleh mikroba di dalam rumen adalah karbohidrat struktural dan karbohidrat non struktural (Osuji dan Khalili, 1993).
Kecernaan Bahan Organik Bahan organik merupakan bahan kering yang telahdikurangiabu, komponen bahan kering bila difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat-zat makanan berupa komponen bahan organic seperti karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat-zat tersebut menjadi zat-zat yang mudah larut. Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan. Kecernaan bahan organic erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan organik. Penurunan kecernaan bahan kering akan mengakibatkan kecernaan bahan organik menurun atau sebaliknya (Parakkasi, 1999).
Universitas Sumatera Utara