BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas nutrien yang terkandung pada tiap bahan pakan yang dikonsumsi. Pada umumnya, kebutuhan akan nutrien dari ternak sapi adalah energi berkisar 60–70% Total Digestible Nutrien (TDN), protein kasar 12%, dan lemak 3–5% (Sastradipradja, 1990). Sapi Bali mempunyai ciri-ciri fisik yang sama dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (Banteng). Warna sapi betina dan anak atau muda biasanya coklat muda dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi Bali jantan adalah coklat ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (whitestocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Peternak menyukai sapi Bali mengingat beberapa keunggulan karakteristiknya antara lain : mempunyai fertilitas tinggi, lebih tahan terhadap kondisi lingkungan 4
yang kurang baik, cepat beradaptasi apabila dihadapkan dengan lingkungan baru, cepat berkembang biak, bereaksi positif terhadap perlakuan pemberian pakan, kandungan lemak karkas rendah, keempukan daging tidak kalah dibandingkan daging impor. Fertilitas sapi Bali berkisar 83-86%, lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa yaitu 60%. Karakteristik reproduktif sapi Bali antara lain : periode kebuntingan 280-294 hari, rata-rata persentase kebuntingan 86,56 persen, tingkat kematian kelahiran anak sapi hanya 3,65 persen, persentase kelahiran 83,4 persen, dan interval penyapihan antara 15,48-16,28 bulan (Wirdahayati dan Bamuallim, 1995).
B. Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi Menurut Sugeng (2006), sistem pemeliharaan sapi potong di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu: intensif, ekstensif, dan usaha campuran (mixed farming). Pada pemeliharaan secara intensif, sapi dikandangkan secara terus menerus atau hanya dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari ternak digembalakan. Pola pemeliharaan sapi secara intensif banyak dilakukan petani peternak di Jawa, Madura, dan Bali. Pada pemeliharaan ekstensif, ternak dipelihara di padang penggembalaan dengan pola pertanian menetap atau di hutan. Pola tersebut banyak dilakukan peternak di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Dari kedua cara pemeliharaan tersebut, sebagian besar merupakan usaha rakyat dengan ciri skala usaha rumah tangga dan kepemilikan ternak sedikit, menggunakan teknologi sederhana (Azis dalam Yusdja dan Ilham 2004).
5
C. Inseminasi Buatan Januar (2006) menyatakan bahwa Inseminasi Buatan (IB) adalah suatu bentuk modifikasi masuknya semen ke dalam saluran kelamin betina melalui suatu alat buatan manusia. Pelaksanaan IB pertama kali dilakukan tahun 1780 oleh Spallanzani, seorang ahli di bidang fisiologi dan berkebangsaan Italia. Laporan lain muncul pada abad ke-19 dimana dilakukan penelitian pada hewan ternak di Rusia dan Jepang. Toelihere (1993) menyatakan bahwa IB pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada pertengahan tahun 50an oleh Prof. Borge Seit dari Denmark di Fakultas Kedokteran Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu teknologi yang diaplikasikan secara luas untuk mendorong swasembada daging sapi. Teknologi IB yang digunakan untuk program peningkatan mutu genetik terutama pada ruminansia besar (sapi dan kerbau) merupakan teknologi unggulan yang masih akan digunakan dalam upaya peningkatan produktivitasnya (Sayuti dkk, 2011). Dalam pelaksanaan IB, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan antara lain seleksi dan pemeliharaan pejantan, cara penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan, dan penentuan hasil inseminasi (Toelihere, 1993). Sebelum dilaksanakan fase akhir prosedur pelaksanaan inseminasi, perlu diketahui terlebih dahulu status birahi dari ternak betina yang akan diinseminasi. Deteksi atau observasi birahi pada sapi potong dapat dilakukan dengan mengamati kebiasaan sapi betina yang sedang estrus seperti sapi tersebut diam sewaktu dinaiki 6
oleh sapi lainnya, tetapi apabila sapi betina tersebut yang mencoba menaiki teman sekelompoknya, maka ternak betina tersebut masih berada pada fase menjelang birahi (Toelihere 1993). Ciri-ciri birahi yang mudah untuk diamati adalah warna vagina merah, vagina bengkak dan terasa hangat disertai keluarnya lendir serviks. Pada masa kapasitasi, perlu untuk memperhatikan waktu optimum inseminasi. Proses kapasitasi membutuhkan waktu 2-4 jam di dalam uterus atau Tuba Fallopii. Oleh sebab itu, waktu terbaik untuk inseminasi pada sapi tidak kurang dari 4 jam sebelum ovulasi dan tidak melebihi 6 jam sesudah akhir estrus Toelihere (1993),. Menurut Triberger dan Davis (1943) dalam Toelihere (1993), inseminasi pada sapi antara 8-24 jam khususnya 7-18 jam sebelum ovulasi akan memberikan angka konsepsi yang paling tinggi. Pada sapi potong, dengan kemungkinan periode birahi yang pendek, waktu inseminasi optimal akan lebih singkat sehingga apabila estrus pertama kali terlihat pagi hari harus sudah diinseminasi pada hari yang sama, sedangkan apabila estrus teramati pada sore hari, inseminasi dapat dilakukan hari berikutnya (pagi-siang). Pelaksanaan inseminasi dapat dilakukan dengan metode rektovaginal karena lebih praktis dan lebih efektif. Agar dalam pelaksanaan IB pada hewan ternak atau peternakan memperoleh hasil yang lebih efektif, maka deteksi dan pelaporan birahi harus tepat disamping pelaksanaan dan teknik inseminasi itu sendiri dilaksanakan secara cermat oleh tenaga terampil. Penggunaan semen fertil pada waktu inseminasi adalah sangat esensial untuk mendapatkan tingkat kesuburan yang tinggi, sedangkan hewan betina yang akan di IB haruslah dalam kondisi reproduksi yang optimal. Semen yang 7
diinseminasikan ke dalam saluran betina pada tempat dan waktu yang terbaik untuk memungkinkan pertemuan antara spermatozoa dan ovum sehingga berlangsung proses pembuahan (Toelihere, 1993). Kekurangan Inseminasi Buatan menurut Yasin dan Dilaga (1993) yaitu: (1) Apabila indentifikasi birahi dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat akan terjadi kebuntingan, (2) Akan terjadi kesulitan kelahiran, apabila semen beku yang digunakan berasal dari pejantan dengan breed/ turunan yang besar dan diiseminasikan pada sapi betina keturuan/breed kecil, (3) Bisa terjadi kawin sedarah apabila menggunakan semen beku dari pejantan yang sama dalam jangka waktu yang lama dan (4) Dapat menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang jelek apabila pejantan donor tidak dipantau sifaf genetiknya dengan baik.
D. Tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan Penilaian keberhasilan IB dapat dihitung melalui pengamatan yaitu (a) Jumlah Inseminasi per Kebuntingan atau Service per Conception (S/C) adalah jumlah pelayanan inseminasi yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2. (b) Angka Konsepsi atau Conception Rate (C.R) adalah persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosis kebuntingan dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi. Angka konsepsi merupakan cara penilaian fungsi daya fertilisasi dari contoh semen. Angka konsepsi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya fertilitas dan kualitas semen, 8
ketrampilan inseminator, peternak serta kemungkinan adanya gangguan reproduksi atau kesehatan hewan betina. (c) Non-Return Rate (NRR) Merupakan presentase ternak betina yang tidak kembali minta kawin atau bila tidak ada permintaan IB lebih lanjut dalam waktu 28 sampai 35 hari atau 60 sampai 90 hari. (d) Jarak Beranak atau Calving Interval (CaR) adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode antara saat kelahiran dengan terjadinya perkawinan yang subur berikutnya (Toelihere, 1993). Selain itu, Nurhayadi dan Wahjuningsih (2011) juga menyatakan bahwa Calving Interval ditentukan oleh lama kebuntingan dan lama waktu kosong. Evaluasi hasil Inseminasi Buatan dengan cara pemeriksaan kebuntingan berkaitan erat dengan upaya memperpendek jarak beranak. Jarak beranak merupakan salah satu faktor yang menentukan efisiensi usaha. Selang beranak yang berkepanjangan di Indonesia adalah salah satu masalah utama dalam upaya meningkatkan populasi ternak. Diagnosis kebuntingan dan upaya mengetahui status reproduksi sapi setelah perkawinan merupakan hal yang sangat tepat dilakukan untuk memperpendek jarak beranak (Sayuti dkk, 2011). Hasil penelitian dari Koibur (2005) yaitu Obyek pada penelitiannya adalah 48 ekor sapi di Kecamatan Nimbokrang dan 50 ekor sapi di Kecamatan Skanto, Kabupaten Jayapura. Jumlah sapi tepilih merupakan dari l0% populasi ternak sapi peserta IB, pada 30 peternakan peserta program IB untuk setiap kecamatan. Hasil penelitian menunjukkan berturut-turut nilai Service per Conception (S/C), Conception Rate (CR), dan angka kelahiran ternak sapi Bali di Kabupaten Jayapura 9
sebesar 1,74; 76,73% dan 73,5%. Hasil ini dapat dikatakan baik karena telah memenuhi standar nasional. Terdapat hubungan yang signifikan antara S/C, C.R, dan Calving rate. Diperolehnya nilai S/C yang baik di Kabupaten Jayapura sangat ditunjang terutama oleh ternak betina (66%) yang memenuhi syarat yaitu subur, bebas dari penyakit, berstatus reproduksi sudah pernah beranak, dan berkondisi tubuh rata-rata baik, kesiagapan inseminator melayani pelaporan peternakan tentang tanda birahi ternaknya dengan pengalaman bekerja rata-rata 13 tahun, semen beku yang qualified dari Balai Inseminasi Buatan Singosari, dan yang utama peran aktif peternakan, dalam mengikutkan ternaknya pada program IB (Khoibur, 2005). Menurut hasil penelitian dari Ramli (2013) yaitu Berdasarkan hasil pengamatan yang di lakukan di Kecamatan Telaga Biru Kabupaten Gorontalo dengan jumlah ternak 37 ekor diantaranya 24 ekor sapi Bali dan 13 ekor sapi Lokal, diperoleh hasil tingkat keberhasilan IB cukup baik dengan nilai Service per Conception pada sapi Bali adalah 1,22 dan sapi lokal 1,46 dan nilai Conception Rate sapi sapi Bali sebesar 77,8% dan sapi lokal 61,5%. Penelitian Beberapa Kendala pelaksanaan IB di Kecamatan Telaga Biru antara lain minimnya pakan dan obat-obatan, pengetahuan estrus kurang, dan jarak peternak dengan Pos IB cukup jauh. Penyuluhan dan sosialisasi terhadap peternak tentang identifikasi ternak sapi potong yang birahi perlu dilakukan baik oleh pemerintah setempat maupun akademisi.
10
E. Evaluasi Keberhasilan Inseminasi Buatan Pencatatan dalam pelaksanaan Inseminasi Buatan hampir sama pentingnya dengan semen dari pejantan. Pencatatan diperlukan untuk menentukan maju mundurnya program Inseminasi Buatan pada suatu individu betina, sekelompok ternak betina dalam suatu peternakan atau wilayah IB, bahkan maju mundurnya program IB secara nasional (Toelihere, 1993). Penilaian tingkat keberhasilan suatu program IB, ukuran akhir yang paling baik digunakan adalah kelahiran seekor anak sapi yang dapat hidup namun metode ini dirasa terlalu lambat untuk mengambil keputusan sehari-hari yang penting untuk mensukseskan program IB. Faktor-faktor
pembatas
yang
mempengaruhi
rendahnya
kinerja
IB
diantaranya: kualitas semen pejantan, kesuburan betina, keterampilan inseminator, pengetahuan zooteknis peternak, serta ketepatan waktu inseminasi. Keberhasilan menjalankan tugas sebagai inseminator dipengaruhi beberapa faktor, antara lain keterampilan dan pengalaman petugas, keterampilan peternak dalam mendeteksi birahi ternaknya, dan komunikasi yang harmonis antara inseminator dengan peternak sapi potong (Sutrisno dkk, 2010). Faktor-faktor penyebab rendahnya kebuntingan yaitu fertilitas dan kualitas mani beku yang jelek/ rendah, kemungkinan adanya gangguan reproduksi kesehatan sapi betina, inseminator yang kurang terampil, peternak tidak terampil mendeteksi birahi, dan Pelaporan yang terlambat dan pelayanan Inseminator yang lamban. Untuk memperoleh informasi secepat mungkin, perlu digunakan teknik-teknik fertilitas, yang dapat memberikan gambaran umum untuk penilaian pelaksanaan IB, 11
seperti Conception Rate (C.R), Calving Interval (C.I) dan Service per Conception (S/C). Ukuran terbaik dalam penilaian hasil IB adalah presentase sapi bunting pada inseminasi pertama, dan disebut Conception Rate (C.R) atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnose kebuntingan dalam waktu 40 – 60 hari sesudah IB (Toelihere, 1993).
12