BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sapi Bali Indonesia kaya akan plasma nutfah, baik flora maupun fauna.
Diantaranya adalah sapi bali. Sapi bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi langsung dari banteng liar (Bibos banteng). Menurut Williamson dan Payne (1993), bangsa sapi bali memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Phylum
: Chordata.
Sub-phylum
: Vertebrata.
Class
: Mamalia.
Ordo
: Artiodactyla.
Sub-ordo
: Ruminantia.
Family
: Bovidae.
Genus
: Bos.
Species
: Bos sondaicus.
Sapi bali memiliki ciri-ciri khusus jika dilihat dari warna bulunya. Sapi bali betina memiliki warna bulu merah bata. Sedangkan sapi bali jantan, sebelum dewasa kelamin memiliki warna bulu yang sama dengan sapi bali betina, dan setelah dewasa kelamin terjadi perubahan warna bulu dari merah bata menjadi hitam. Hal ini sejalan dengan Guntoro (2002) yang menyatakan bahwa perubahan warna bulu dari merah bata menjadi hitam terjadi pada saat sapi jantan sudah mencapai dewasa kelamin yang disebabkan oleh hormon testosteron. Perubahan warna bulu dimulai dari bagian kepala sampai ke bagian ekor, sedangkan sapi jantan yang sudah dikastrasi mengalami perubahan warna bulu dimulai dari
bagian ekor ke bagian kepala. Handiwirawan dan Subandriyo (2004) menyatakan bahwa terdapat warna putih pada sapi bali di bagian pantat dan paha bagian dalam (white mirror), pinggiran bibir atas, dan pada kaki bawah mulai dari tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku (white stocking). Selain ciri-ciri diatas, sapi bali juga memiliki sifat genetik berupa kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan setempat yakni dapat beradaptasi terhadap kondisi daerah tropik yang panas (Wijono dan Ma’sum, 1981). Menurut Moran (1978), keunggulan lain dari sapi bali yaitu memiliki kemampuan kerja yang baik, fertilitas yang tinggi (45-84%), dan selang beranak kurang dari satu tahun. Presentase karkas sapi bali dapat mencapai 57% apabila diberikan pakan konsentrat. Disamping itu, kadar lemak sapi bali rendah, yaitu 2,0%-6,9% (Arka, 1990). Menurut Gunawan et al. (1998), berat sapi bali dewasa berkisar 350 hingga 450 kg, dan tinggi badannya 130 sampai 140 cm. Sedangkan sapi bali betina relatif lebih kecil dengan berat badan sekitar 250 hingga 350 kg (Gunawan et al., 1998). 2.2
Penggemukan Sapi Bali Penggemukan sapi merupakan pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk
mendapatkan produksi karkas dengan berat optimal, untuk mendapatkan mutu daging yang baik serta dapat dijual dengan harga yang relatif tinggi (Djagra dan Arka, 1994). Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam penggemukan sapi bali adalah pemilihan bakalan, perkandangan, pemberian pakan, pencegahan dan penanganan penyakit, serta pemasaran sapi potong.
2.2.1 Bakalan Sapi Bali Bakalan merupakan sapi jantan yang berumur antara 1-2 tahun dan memenuhi persyaratan sebagai sapi yang akan dipelihara untuk digemukkan. Keterampilan dalam memilih bakalan merupakan langkah awal yang sangat menentukan dalam suatu usaha penggemukan sapi potong. Menurut Annon (1995), secara kualitatif pemilihan bakalan untuk sapi penggemukan harus memperhatikan beberapa hal diantaranya umur sapi bakalan, kondisi awal sapi bakalan, dan tanda-tanda umum sapi bakalan. Sapi bakalan untuk penggemukan sebaiknya dipilih yang berumur muda berkisar antara 1-2,5 tahun, karena pertumbuhannya lebih cepat jika dibandingkan dengan sapi yang berumur tua. Kondisi awal sapi bakalan yang perlu diperhatikan adalah keadaan fisiknya yang tidak terlalu kurus, kondisi tubuhnya sehat, dan tidak cacat. Disamping itu, pemilihan calon sapi bakalan juga perlu memperhatikan beberapa tanda-tanda umum seperti: dada depan lebar, dalam dan menonjol ke depan, berpenampilan tenang, bulu sapi berwarna hitam, serta memiliki kaki yang besar, pendek, dan kokoh. Menurut SNI 7355, pemilihan bakalan sapi bali penggemukan secara kuantitatif dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Persyaratan kuantitatif pemilihan bakalan sapi bali jantan No Umur Parameter Kelas I Kelas II Kelas III (Bulan) Lingkar dada minimum 176 162 155 1. 24 - <36 Tinggi pundak minimum 119 113 107 Panjang badan minimum 124 117 110 Lingkar dada minimum 189 173 167 Tinggi pundak minimum 127 121 115 Panjang badan minimum 132 125 118 Sumber : Standar Nasional Indonesia. SNI 7355:2008. Bibit sapi bali. ICS 65.020. 30. Badan Standarisasi Nasional. 2.
>36
2.2.2 Model Kandang Sapi Kandang merupakan salah satu komponen penting dalam manajemen pemeliharaan. Bagi ternak sapi, kandang memiliki fungsi sebagai tempat berlindung dari terik panas matahari dan guyuran hujan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kesehatan ternak sapi (Yusni B, 2004). Menurut Guntoro (2002), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan kandang antara lain: letak kandang, lahan kandang, arah kandang, model kandang, serta bahan yang digunakan dalam pembuatan kandang. Idealnya kandang dibuat agak jauh dari rumah atau pemukiman penduduk agar kebersihan dan juga kesehatan ternak terjamin. Letak kandang harus mudah dijangkau agar pemberian pakan, minum dan perawatannya mudah dilakukan. Disamping itu, letak kandang harus cukup memperoleh sinar matahari, untuk itu sisi kandang hendaknya dibuat membujur dari utara ke selatan, agar lebih banyak permukaan bangunan yang terkena sinar matahari. Lahan kandang sebaikanya berada pada posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan lahan disekitar agar tidak tergenang air hujan yang menyebabkan ternak mudah terserang penyakit akibat genangan air hujan. Menurut Abidin (2002), secara umum tipe kandang dibagi menjadi dua yaitu kandang individu dan koloni. Tujuan dibuatnya kandang individu adalah untuk memacu pertumbuhan sapi potong lebih pesat dimana ruang gerak sapi menjadi terbatas, sehingga sapi menjadi lebih tenang dan tidak mudah stres. Kandang koloni dipergunakan bagi sapi bakalan dalam satu periode penggemukan yang ditempatkan dalam satu kandang. Model kandang koloni memungkinkan terjadinya persaingan antara sapi dalam memperebutkan pakan, akibatnya sapi
yang mendapat lebih banyak makanan akan memilki pertumbuhan yang cepat. Dibandingkan dengan tipe kandang individu, pertumbuhan sapi dikandang koloni relatif lebih lambat karena ada energi yang terbuang akibat gerakan sapi yang lebih leluasa. Bahan dalam pembuatan kandang merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kandang, dimana bahan-bahan yang dipilih sebaiknya mudah didapat, harganya murah, kuat, dan juga tahan lama (Guntoro, 2002). Hal senada disampaikan juga oleh Sukmawati et al. (2010) yang menyatakan bahwa pemilihan bahan untuk pembuatan kandang sebaiknya disesuaikan dengan tujuan dibuatnya usaha dan juga dengan memperhatikan kemampuan ekonomi. 2.2.3 Pemberian Pakan Sapi Usaha ternak sapi potong yang efisien dan ekonomis bisa menjadi kenyataan apabila tuntutan hidup mereka terpenuhi, salah satu tuntutan utamanya adalah pakan. Dengan adanya pakan, tubuh hewan akan mampu bertahan hidup dan kesehatannya terjamin. Tujuan dari pemberian pakan untuk ternak sapi potong adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan juga untuk memenuhi keperluan berproduksinya (Sugeng, 2005). Untuk mencapai tujuan tersebut ternak sapi harus mendapat pakan yang cukup, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Menurut Sugeng (2005), zat-zat makanan yang diberikan untuk ternak sapi harus disesuaikan dengan tujuannya. Adapun tujuan dari pemberian pakan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pemberian pakan untuk perawatan yang bertujuan agar ternak dapat mempertahankan hidup dan kesehatan, serta pemberian pakan produksi yang bertujuan untuk pertumbuhan dan pertambahan berat. Kebutuhan
pakan sapi di daerah tropis berbeda dengan sapi di daerah subtropis. Sapi di daerah tropis memiliki adaptasi yang cukup baik terhadap lingkungan dan membutuhkan pakan yang relatif lebih sedikit daripada sapi pada daerah subtropis. Pengelolaan pakan akan sangat menentukan tingkat keberhasilan pemeliharaan sapi. Oleh karena itu, cara-cara pengelolaannya harus dipahami. Ketersediaan padang penggembalaan pada pemeliharaan ternak sapi diperlukan sekali sebagai sumber pakan hijauan. Pemberian pakan dapat dilakukan dengan pemotongan rumput tersebut, kemudian diberikan pada ternak sapi yang ada didalam kandang. Pemberian pakan seperti ini disebut cut and carry. Selain itu, rumput juga dapat dikonsumsi langsung oleh sapi di areal padang penggembalaan berdasarkan pada stocking rate (daya tampung) padang penggembalaan tersebut untuk mencukupi kebutuhan penggembalaan setiap unit ternak (Santosa, 2005). Ketersediaan pakan harus mencukupi kebutuhan ternak, baik yang berasal dari hijauan/rumput, maupun pakan konsentrat yang dibuat sendiri atau berasal dari pabrik. Menurut Santosa (2005), sebelum memilih bahan pakan, ada beberapa hal yang harus diketahui yaitu : 1.
Bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi serta tidak kesulitan saat mencari.
2.
Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan ternak.
3.
Bahan pakan harus mempunyai harga yang layak dan sedapat mungkin mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar.
4.
Bahan pakan diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan tersebut maka usahakanlah agar digunakan satu macam saja.
5.
Bahan pakan harus dapat diganti dengan bahan pakan lain yang kandungan zat-zat makanannya hampir setara.
6.
Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak menampakkan perbedaaan warna, bau atau rasa dari keadaan normalnya.
2.2.4 Pencegahan dan Penanganan Penyakit Manajemen pencegahan dan penangan penyakit merupakan salah satu manajemen yang harus diperhatikan dalam usaha penggemukan sapi bali. Menurut Prihatman (2000), terdapat beberapa tindakan yang dapat mencegah terjadinya penyakit pada sapi antara lain dengan memperhatikan dan menjaga kebersihan
kandang
beserta
peralatannya
(termasuk
memandikan
sapi),
melakukan vaksinasi secara teratur untuk menjaga kekebalan tubuh sapi, dan memberikan pakan yang berkualitas serta vitamin untuk menjaga daya tahan tubuh sapi. Disamping tindakan pencegahan, tindakan penanganan terhadap penyakit juga perlu diperhatikan. Menurut Prihatman (2000), tindakan yang dapat dilakukan untuk penanganan terhadap penyakit yang menyerang sapi yaitu dengan melakukan isolasi atau pengasingan terhadap sapi yang terserang penyakit agar sapi lain tidak tertular, dan dilakukan pengobatan. Menurut Murtidjo (1990),
apabila sapi terserang penyakit dan sulit untuk ditanggulangi atau disembuhkan maka sapi dapat dijual sebagai ternak potong namun dengan catatan penyakit yang diderita sapi tidak berbahaya apabila daging sapi tersebut dikonsumsi. Apabila penyakit tersebut berbahaya bagi yang mengkonsumsinya (zoonosis) sapi yang terserang penyakit tersebut sebaiknya dikubur atau dibakar agar penyakitnya tidak menular. 2.3
Jerami Padi Sebagai Pakan Sapi Salah satu pakan alternatif yang berasal dari limbah pertanian adalah jerami
padi. Jerami padi (Oriza sativa) segar merupakan limbah pertanian yang berpotensi sebagai sumber pakan alternatif pengganti hijauan. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Mariyono dan Romjali (2007) yang menyatakan bahwa limbah pertanian memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber pakan ternak ruminansia. Menurut data Badan Pusat Statistik (2014), luas sawah di Indonesia tahun 2014 adalah 7,39 juta ha dan jerami padi merupakan limbah pertanian terbesar di Indonesia dengan jumlah produksinya sekitar 69 juta ton per tahun. Sedangkan luas sawah di Bali pada tahun 2014 adalah 81.165 ha dengan produksi jerami padi di Bali sebesar 405.825 ton per tahun (Badan Pusat Statistik, 2014). Sutardi (1981) menyatakan bahwa kandungan gizi yang terdapat dalam jerami padi adalah bahan kering 87,5%, abu 19,9%, protein kasar 4,15%, lemak kasar 1,47%, serat kasar 32,5%, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 45%. Walaupun ketersediannya berlimpah dan mudah didapat, pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak masih sangat terbatas yaitu sekitar 35% dari total produksi jerami padi (Haryanto, 2000). Hal ini sejalan dengan Komar (1984) yang menyatakan bahwa jerami padi sebagai salah satu pakan alternatif untuk ternak
sapi masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak di Indonesia baru sekitar 31 - 39 %, 36-62% dibakar atau dikembalikan ke tanah menjadi pupuk, dan digunakan untuk keperluan industri sekitar 7-16%. 2.4
Pemasaran Sapi Potong Pemasaran adalah suatu kegiatan untuk mengantarkan barang dari produsen
ke konsumen, dimana dalam kegiatan tersebut memerlukan beberapa proses hingga barang atau jasa sampai ke tangan konsumen. Hal ini sejalan dengan pernyataan Cahyono (1994) yang menyatakan bahwa pemasaran merupakan suatu kegiatan bisnis yang mengatur barang dan jasa yang diberikan oleh produsen untuk konsumen sesuai dengan tempat, waktu dan juga bentuk yang dikehendaki dan tergantung pada harga yang nantinya akan dibayar oleh konsumen. Menurut Rangkuti (2004), pemasaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses atau kegiatan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Akibat dari beberapa faktor tersebut adalah individu maupun kelompok mendapatkan kebutuhan dan juga keinginan dengan menciptakan, menawarkan serta menukarkan produk yang memiliki nilai komoditas. Menurut Warren J Keegen (2003), saluran pemasaran atau saluran distribusi (marketing channels) merupakan suatu saluran yang digunakan produsen untuk menyalurkan barang agar sampai ke tangan konsumen atau industri pemakai. Menurut Kottler (1993), saluran pemasaran yaitu sekelompok orang (perusahaan) atau perseorangan yang berhak atas produk atau membantu pemindahan hak atas kepemilikan produk yang akan dipindahkan dari produsen ke tangan konsumen.
Menurut Guntoro (2002), rantai pemasaran sapi bali di Indonesia termasuk di Bali masih terbilang panjang. Para peternak tradisional umumnya menjual sapi dalam bentuk hidup kepada para pedagang pengepul yang datang ke lokasi peternakan. Pada saat pemasaran terjadi seperti itu, penentuan berat badan sapi dilakukan dengan sistem perkiraan sehingga hasilnya kurang akurat. Sebagian peternak yang lebih maju menjual ke pasar hewan terdekat. Di pasar hewan ini, peternak ataupun pedagang pengepul berkumpul dan menjual sapi kepada pedagang besar, baik pedagang atau indrustri lokal maupun pedagang antar pulau. Perbedaan sistem pemasaran ternak sapi potong berpengaruh terhadap tingkat pendapatan peternak. Semakin panjang rantai pemasaran yang dilalui, maka pendapatan yang didapatkan oleh peternak akan semakin rendah. 2.5
Analisis Kelayakan Finansial Analisis finansial merupakan hal-hal atau masalah mengenai pengeluaran
dan juga penerimaan didalam melaksanakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan pengembalian dana dari kegiatan tersebut (Gittinger, 1997). Menurut Suryana (2001), analisis finansial adalah salah satu bagian dari studi kelayakan bisnis, yang merupakan suatu penelitian tentang layak atau tidaknya suatu usaha untuk dijalankan dengan mendapatkan keuntungan secara berkelanjutan (kontiyu). Bagi perusahaan, analisis finansial dibutuhkan sebagai informasi mengenai keuangan perusahaan untuk menentukan sejauh mana perkembangan perusahaan. Selain diperlukan oleh perusahaan itu sendiri, analisis finansial juga diperlukan oleh pihak-pihak lain yang berhubungan dengan perusahaan tersebut, seperti pemerintah. Menurut Mamduh dan Abdul Halim (2003), analisis finansial diperlukan oleh pemerintah untuk menganalisis keungan dari suatu perusahaan
dan juga untuk menentukan besarnya pajak yang nantinya dibayarkan oleh suatu perusahaan atau dapat digunakan untuk menentukan tingkat keuntungan dari suatu perusahaan. Ibrahim (2003) menyatakan bahwa ada beberapa ukuran yang digunakan untuk menilai kelayakan finansial yaitu analisis kriteria investasi, analisis Pay Back Period (PBP), dan Break Even Point (BEP). 2.5.1 Analisis Kriteria Investasi Tujuan dari dilakukannya perhitungan kriteria investasi adalah untuk mengetahui apakah gagasan usaha (proyek) yang direncanakan dapat memberikan manfaat (benefit), jika dilihat dari financial benefit maupun social benefit (Ibrahim, 2003). Hasil perhitungan kriteria investasi merupakan indikator dari modal yang diinvestasikan, yaitu perbandingan antara total benefit yang diterima dengan total biaya yang dikeluarkan dalam bentuk present value selama umur ekonomis proyek. Menurut Ibrahim (2003), bila hasil perhitungan menunjukkan hasil yang layak (feasible) maka usaha yang akan dilaksanakan akan jarang mengalami kegagalan. Menurut Ibrahim (2003), kriteria investasi yang biasa dipakai dalam menentukan kelayakan sebuah usaha antara lain: Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). Net Present Value (NPV) merupakan jumlah net benefit yang telah didiskon dari tahun ke 0 sampai tahun ke n dalam bentuk present value (nilai sekarang). Dimana net benefit merupakan selisih antara pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan. Menurut Ibrahim (2003), perhitungan Net Present Value (NPV) merupakan net benefit yang telah didiskon dengan menggunakan social opportunity cost of capital (SOCC) sebagai diskon faktor. Sebuah usaha dapat
dikatakan layak apabila hasil perhitungan NPV-nya lebih besar dari nol, dan apabila hasil perhitungan NPV-nya lebih kecil dari nol maka usaha tersebut tidak layak dan apabila hasil perhitungan NPV-nya sama dengan nol, maka usaha ini mencapai titik impas (BEP). Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat discount rate yang menghasilkan net present value sama dengan 0 (nol). Dengan demikian apabila hasil perhitungan IRR lebih besar dari SOCC maka dapat dikatakan proyek/usaha tersebut feasible (layak), apabila hasil perhitungan IRR lebih kecil dari SOCC maka usaha ini tidak layak untuk dijalankan (Ibrahim, 2003). Menurut Ibrahim (2003), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah perbandingan antara jumlah net benefit positif dengan jumlah net benefit negatif. Nilai Net B/C ratio menunjukkan besarnya net benefit yang diperoleh dari biaya yang dikeluarkan. Apabila hasil perhitungan Net B/C lebih besar dari satu maka usaha ini layak untuk dijalankan. Apabila hasil Net B/C lebih kecil dari satu, maka usaha ini tidak layak untuk dijalankan dan apabila hasil Net B/C sama dengan satu, maka usaha ini berada pada titik impas (break even point). 2.5.2 Analisis Pay Back Period (PBP) dan Break Even Point (BEP) Menurut Ibrahim (2003), perhitungan analisis Pay Back Period dalam studi kelayakan perlu juga ditampilkan untuk mengetahui berapa lama suatu usaha atau proyek yang dikerjakan dapat mengembalikan biaya investasi yang telah dikeluarkan. Jika pay back period ini lebih pendek dari umur investasi, maka usaha ini layak untuk terus dikembangkan dan sebaliknya bila lebih lama, maka pengembangan usaha tidak layak.
Break Even Point (BEP) atau titik pulang pokok merupakan suatu kondisi usaha dalam keadaan yang tidak untung namun juga tidak rugi, dimana total revenue (TR) sama dengan total cost (TC). Jika dilihat dari jangka waktu pelaksanaan sebuah proyek, terjadinya titik pulang pokok atau TR=TC tergantung pada lama arus penerimaan sebuah proyek dapat menutupi segala biaya operasi dan pemeliharaan beserta biaya modal lainnya (Ibrahim, 2003). BEP dapat dilihat dari jangka waktu, titik impas produksi, dan titik impas harga. 2.6
Penelitian Terdahulu Suastina dan Kayana (2005) melakukan penelitian tentang Analisis
Finansial Usaha Agribisnis Peternakan Sapi Daging. Metode yang digunakan dalam perhitungan aspek finansialnya adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (B/C) dan juga Break Even Point (BEP). Penelitian dilakukan di Desa Petang, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung dengan populasi sapi potong sebanyak 50 ekor sapi. Hasil penelitian ini menunjukkan usaha tersebut akan mencapai Break Even Point (BEP) pada penjualan 80.479.452,05 atau 17 ekor sapi. Selain itu dari perhitungan NPV-nya didapatkan hasil sebesar 5.651.378,00, yang berarti bahwa usaha ternak sapi potong layak karena NPV-nya bernilai positif. Selain dari 2 perhitungan diatas, dilakukan juga perhitungan Benefit Cost Ratio (B/C) yang menunjukkan hasil B/C sebesar 1,008. Dimana hal ini menunjukkan bahwa dengan discount factor 30% menghasilkan B/C > 1. Sedangkan Internal Rate of Ratio (IRR) didapatkan sebesar 44,04%. Dari perhitungan NPV dan IRR juga menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi potong di Desa Petang layak untuk dilanjutkan.
Putri dan Sukanata (2012) melakukan penelitian mengenai Kelayakan Finansial Pemanfaatan Skim Kredit KUPS pada Pengembangbiakan Sapi Bali di Desa Tangkas Kabupaten Klungkung. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa berdasarkan biaya tunai, usaha pengembangbiakan sapi bali di Desa Tangkas layak untuk dijalankan. Sedangkan apabila dihitung berdasarkan biaya total, maka usaha tersebut tidak layak untuk dijalankan. Berdasarkan perhitungan biaya tunai, usahatani pengembangbiakan sapi bali di Desa Tangkas masih tetap layak dilaksanakan jika bunga KUPS masih di bawah 19,97%/tahun. Namun berdasarkan perhitungan biaya total, usahatani pengembangbiakan sapi bali di Desa Tangkas Kabupaten Klungkung tidak layak dilaksanakan jika suku bunga KUPS masih di atas 2,24%. Nomleni (2005) melakukan Analisis Finansial pada Usaha Peternakan Sapi Potong dengan Menerapkan Hasil Teknologi Pakan Ternak (Kasus Amanda Farm di Kabupaten Gianyar, Bali). Metode yang digunakan dalam perhitungan aspek finansial adalah analisis laporan keuangan, yaitu rasio likuiditas, rasio solvabilitas, dan rasio provabilitas. Selain itu juga digunakan analisis kriteria investasi yaitu menghitung Net Present Value (NPV) dan analisis Pay Back Period (PBP) serta titik impas (break even) harga jual dan skala pemeliharaan sapi potong. Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap usaha peternakan sapi potong dari tahun 2001-2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi potong Amanda Farm memiliki tingkat rasio yang likuid, solvabel dan menguntungkan. Titik impas harga penjualan dan skala pemeliharaan sapi potong yang dicapai dari tahun 2001-2004 berturut-turut adalah Rp 32.632.352,94 atau 7 ekor, Rp 58.910.714,29 atau 15 ekor, Rp 56.879.310,34 atau 15 ekor dan Rp 51.546.875
atau 11 ekor. Kelayakan investasi peternakan sapi potong Amanda Farm ditunjukkan dengan nilai NPV sebesar Rp 441.481.529,26 dengan discount factor sebesar 16% dan nilai PBP selama 4 tahun 3 bulan 28 hari, sehingga usaha ini layak untuk dijalankan. Adiwinarti et al. (2011) melakukan penelitian tentang Pertumbuhan sapi jawa yang diberi pakan jerami padi dan konsentrat dengan level protein berbeda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan pakan yang berbeda dan 4 kelompok bobot badan sebagai ulangan. Penelitian ini dilakukan menggunakan 12 ekor sapi jantan yang berumur 1-1,5 tahun. Hasil penelitian yang didapatkan dari penelitian ini adalah perbedaan tingkat protein pada pakan sapi mempengaruhi pertambahan lingkar dada, namun pertambahan bobot badan, panjang badan dan tingkat pundak yang diperoleh relatif sama. Pemberian pakan berupa jerami padi 30% dan konsentrat 70% sebaiknya menggunakan level protein 11,03% karena pertambahan lingkar dada hariannya yang dihasilkan paling besar. Lingkar dada yang besar mengindikasikan bobot badan yang besar pula, dimana pertambahan berat bobot badan rata-rata adalah 0,5 kg.