1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Sapi Bali Sapi bali adalah salah satu sapi unggul Indonesia, diketahui bahwa sapi bali
memiliki kemampuan untuk beradaptasi tinggi terhadap lingkungan setempat yakni dapat beradaptasi dengan kondisi daerah yang tropis dan panas, ataupun basah dan tahan terhadap beberapa jenis ektoparasit. Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang merupakan domestikasi dari banteng liar (Bibos banteng). Sapi bali (Bos sondaicus) telah mengalami domestikasi sebelum 3.500 SM di wilayah pulau Jawa, Bali, dan Lombok (Bandini, 2004). Sapi bali mempunyai beberapa sinonim diantaranya; Bos javanicus, Bos banteng, dan Bos sondaicus (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Banteng merupakan nenek moyang sapi bali yang hidup bebas saat ini yang hanya dapat ditemukan di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung Kulon, Jawa Barat (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004). Keunikan fisik sapi bali yakni memiliki ukuran tubuh yang sedang, dadanya dalam, tidak berpunuk, kaki yang ramping, memiliki cermin hidung, kuku, rambut ujung ekor berwarna hitam, kaki dibawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih, kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantat dan pada paha bagian dalam warna putih tersebut tampak berbentuk oval, serta pada daerah punggung selalu ditemukan rambut hitam yang membentuk garis (garis belut) yang memanjang dari gumbah hingga pangkal ekor (Batan, 2006). Sapi betina berwarna merah bata dan sapi jantan berwarna hitam ketika dewasa. Keunikan lain dari sapi bali yakni perubahan warna yang terjadi pada sapi jantan yang dikebiri dari warna hitam kembali pada warna semula yakni coklat muda keemasan (Darmadja, 1980). Selain keunikan-keunikan di atas sapi bali juga memiliki keunikan seperti bentuk tanduk pada sapi jantan yang paling ideal disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalan tumbuhnya tanduk mula-mula dari dasar yang sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya agak membengkok keluar. Sedangkan bentuk tanduk pada sapi betina yang ideal disebut manggul gangsa dimana jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi ke arah belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya agak mengarah ke bawah dan ke dalam (Hardjosubroto, 1994). Sapi bali tidak hanya memiliki keunikan dan keunggulan seperti yang telah dipaparkan di atas. Sapi
2
bali juga memiliki beberapa kelemahan seperti pertumbuhannya yang lambat, rentan terhadap penyakit Jembrana (JD), ingusan atau Malignant Catarrhal Fever (MCF), dan Bali Ziekta (Pane, 1990). Williamson and Payne (1993) mengklasifikasikan taksonomi sapi bali sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Sub phylum :Vertebrata Class
: Mamalia
Ordo
: Artiodactyla
Sub ordo
: Ruminantia
Family
: Bovidae
Genus
: Bos
Spesies
: Bos Sondaicus
Sapi bali di Bali memiliki beberapa fungsi yakni sebagai tenaga kerja pertanian, sumber pendapatan, sarana upacara keagamaan dan sebagai sarana hiburan atau obyek pariwisata (Batan, 2006). Sistem pemeliharaan sapi bali di Bali masih sangat tradisional hal ini disebabkan masyarakat menganggap pekerjaan beternak sapi hanya sebagai pekerjaan sampingan saja. Sehingga hal tersebut dapat berpengaruh terhadap pemberian pakan yang cenderung seadanya saja. Padahal pemberian konsentrat (pakan tambahan) sangat penting untuk sapi bali baik untuk peningkatan bobot badan dan sistem kekebalan tubuh. Pakan sapi bali di Bali umumnya terdiri dari pakan hijauan, konsentrat (penguat) dan pakan tambahan, karena pemberian pakan tambahan ataupun konsentrat pada sapi bali mampu meningkatkan kualitas dari sapi tersebut baik dari bobot badan ataupun dari segi kualitas daging yang dihasilkan. Selain kebutuhan pakan hijauan dan pakan campuran konsentrat, sapi bali juga membutuhkan pakan tambahan seperti halnya kebutuhan akan mineral yang terkandung di dalam pakan sapi bali. Sistem pemberian pakan yang tradisional bahkan terkesan seadanya menyebabkan sapi bali akan mengalami kekurangan mineral. Pemberian mineral pada sapi terbukti efektif dapat meningkatkan bobot badan sapi mencapai 0,8 kg/hari (Suwiti el al., 2013).
3
2.2
Mineral Mineral merupakan senyawa alami yang terbentuk melalui proses geologis,
dan mineral adalah unsur anorganik yang dibutuhkan oleh tubuh untuk proses metabolisme selain karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin.
Mineral yang
terdapat dalam tubuh hewan atau tumbuhan tidak lebih dari 50 mg/kg dalam bentuk kompartemen (McDonald et al., 2010). Mineral memiliki fungsi yang penting bagi tubuh makhluk hidup. Pada ruminansia mineral berfungsi sebagai katalitik dalam sel, baik makro maupun mikro mineral. Mineral seperti halnya Fe, Cu, Zn, Mn, Mo dan Se terikat pada protein suatu enzim dan memiliki fungsi tertentu pada enzim tersebut. Selain itu beberapa mineral dapat berbentuk chelate, yaitu senyawa yang dibentuk oleh unsur organik dan ion logam.
Ada beberapa jenis contoh chelate yakni
hemoglobin dan vitamin B12 (McDonald et al., 2010). Unsur besi (Fe) memiliki peranan sebagai pembentuk hemoglobin dan mioglobulin, sedangkan tembaga (Cu) sangat penting dalam proses metabolisme energi dalam sel dan sangat berperan pada sistem saraf, kardiovaskuler serta imun (Darmono, 2007). Sistem kekebalan tubuh memerlukan mineral untuk menjalankan fungsinya, baik imunitas spesifik maupun nonspesifik.
Mineral yang berfungsi dalam sistem
imun adalah Cu, Se dan Zn (Arthington, 2006; Ahola et al., 2010). Defisiensi mineral merupakan suatu keadaan dimana ternak mengalami kekurangan asupan mineral sehingga dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan baik yang dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas.
Defisiensi
mineral merupakan hal yang harus dihindari agar tidak menyebabkan penyakit (Suwiti et al., 2012). Penyakit yang disebabkan karena defisiensi mineral dapat menyebabkan penurunan bobot badan, kekurusan, penurunan daya tahan tubuh, daya produksi dan reproduksi (Darmono, 2007).
Beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya defisiensi mineral pada ternak, yakni : (1) kondisi tanah dan jenis tanaman, pada tanah yang berpasir sangat miskin unsur mineral, kondisi tanah yang tidak dipupuk, dan kondisi tanah yang ditanami terus-menerus akan mempengaruhi kandungan mineral pada tanaman yang tumbuh di tanah tersebut. (2) tingkat keasaman (pH) tanah, pada tanah alkalis yaitu dengan pH 8 akan terjadi defisiensi Fe, Mn, dan Zn, sebaliknya pada pH 5 terjadi defisiensi Cu.
4
Beberapa penyakit dapat terjadi akibat dari defisiensi mineral pada ternak, seperti : rapuh tulang, kelumpuhan, dan grass tetani (Ahmed, 2002). Berdasarkan kebutuhan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, mineral dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu mineral esensial dan nonesensial.
Mineral
esensial merupakan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh untuk melakukan kerja enzim dan perbaikan organ. Mineral esensial dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan atas jumlah mineral yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu mineral makro dan mineral mikro. Makro mineral merupakan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang besar dan merupakan unsur yang sangat penting yang dibutuhkan untuk proses fisiologis.
Kalsium (Ca), fosfor (P), natrium (Na),
kalium (K), klorin (Cl), sulfur (S), dan magnesium (Mg) merupakan unsur mineral makro yang sangat dibutuhkan untuk menyusun struktur tubuh seperti tulang dan gigi, sebagai penyusun organik, seperti lipid dan protein yang ditemukan dalam jaringan sel, otot, dan organ tubuh. Sedangkan mikro mineral di dalam tubuh dijumpai dalam jumlah yang sedikit, karena diperlukan dalam jumlah yang sedikit pula, yang berfungsi untuk membantu kerja enzim tertentu, mencegah kerusakan oksidatif pada sel, berfungsi sebagai katalis dan regulator, serta berperan dalam reproduksi dan kekebalan tubuh. Unsur mikro mineral yaitu : besi (Fe), seng (Zn), tembaga (Cu), molibdenum (Mo), selenium (Se), iodin (I), mangan (Mn) dan kobalt (Co) (McDonald et al., 2010; Darmono, 2007). 2.2.1 Makro mineral Unsur makro mineral memiliki berbagai fungsi fisiologis dan apabila terjadi kekurangan unsur tersebut akan dapat mengakibatkan suatu penyakit. Unsur makro mineral adalah Ca (kalsium), P (fosfor), Na (natrium), K (kalium), Cl (klorin), S (sulfur) dan Mg (magnesium). Fungsi dari mineral natrium (Na), kalium (K) dan klorin (Cl) yakni sebagai pemelihara keseimbangan asam dan basa, permeabilitas membran sel dan sebagai kontrol osmotik air. Unsur mineral yang berfungsi sebagai unsur pembentuk struktur tubuh yakni unsur mineral kalsium dan fosfor. Unsur sulfur memilki peranan dalam sintesis struktur protein. Sedangkan magnesium memiliki fungsi sebagai katalis dan elektrokimia. Kalsium (Ca) merupakan unsur mineral yang melimpah dalam tubuh ternak, dimana unsur ini banyak ditemukan pada tulang dan gigi. Hal ini karena sekitar 99% kalsium berfungsi sebagai pembentuk tulang dan gigi. Kandungan
5
tulang terdiri dari 360 g/kg kalsium, 170 g/kg fosfor dan 10 g/kg magnesium. Sumber kalsium dapat diperoleh secara alami yaitu dapat diperoleh dari susu, tanaman berdaun hijau, kacang-kacangan dan leguminosa
(McDonald et al.,
2010). Defisiensi kalsium dapat menyebabkan penyakit milk fever pada sapi yang baru saja melahirkan (Arifin, 2008). Penyakit lain yang dapat terjadi akibat dari defisiensi kalsium yaitu penyakit rachitis yang terjadi akibat fetus tidak memperoleh kalsium yang tercukupi dari induknya. Sedangkan pada sapi usia tua dapat terserang penyakit osteomalacia akibat defisiensi kalsium. Ada beberapa gejala defisiensi kalsium yang dapat dilihat yaitu berupa kecacatan tulang, kepincangan, pembesaran sendi, kelumpuhan dan kerapuhan pada tulang. Fosfor (P) terdapat pada setiap sel yang berperan dalam proses metabolisme dan sebagai buffer cairan tubuh, sedangkan fungsi dari fosfor (P) adalah sebagai komponen tulang, gigi, adenosine triphosphate (ATP) dan asam nukleat. Sebanyak 80-85% fosfor di dalam tubuh terdapat pada tulang. Penyerapan fosfor di dalam tubuh dibantu oleh adanya peranan dari vitamin D (Soetan et al., 2010). Pada ternak ruminansia fosfor digunakan sebagai komponen yang terdapat di dalam air liur yang digunakan untuk membantu proses regurgitasi. Defisiensi fosfor dapat menyebabkan penyakit rachitis dan osteomalacia merupakan penyakit yang sama yang terjadi pada defisiensi kalsium.
Pada sistem reproduksi,
defisiensi fosfor dapat menyebabkan fertilitas yang buruk, ketidakteraturan estrus, ovarium mengalami penyumbatan dan penurunan produksi susu bagi ternak yang sedang menyusui. Kalium (K) merupakan mineral yang berperan dalam pengatur osmotik cairan dalam tubuh dan keseimbangan asam basa. Kalium memiliki peranan yang penting pada saraf, otot, terlibat dalam metabolisme karbohidrat dan kofaktor pada sintesis protein. Kalium jarang menimbulkan penyakit walaupun kandungan kalium yang diberikan tidak banyak.
Hal ini terjadi karena kalium banyak
terdapat pada rumput hijau yang banyak mengandung mineral. Apabila terjadi defisiensi dari kalium gejala yang dapat dilihat pada sapi biasanya berupa kelumpuhan yang parah (McDonald et al., 2010 ; Soetan et al., 2010). Natrium (Na) banyak terdapat pada jaringan lunak dan cairan tubuh. Natrium memiliki fungsi yang sama dengan kalium yaitu berperan sebagai pengatur osmotik cairan dalam tubuh dan keseimbangan asam basa. Natrium juga
6
berfungsi sebagai kation plasma darah, berperan pada transmisi impuls saraf dan berperan dalam penyerapan asam amino (McDonald et al., 2010 ; Soetan et al., 2010). Kekurangan natrium gejala yang ditimbulkan dapat berupa penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi dehidrasi dan menurunnya daya cerna asam amino yang menyebabkan pertumbuhan sapi menjadi buruk dan terganggu. Klorin (Cl) adalah anion utama dalam cairan ekstraseluler. Klorin memiliki peranan dalam regulasi osmotik, keseimbangan cairan dan berperan dalam keseimbangan asam basa. Selain fungsi tersebut klorin (Cl) juga memiliki fungsi penting lainnya yaitu berfungsi di dalam sekresi lambung. Kelebihan kandungan klorin di dalam tubuh akan dikeluarkan melalui urin dan keringat. Gejala yang terjadi akibat adanya defisiensi klorin adalah alkalosis (peningkatan alkali darah) karena kekurangan klorin akan dikompensasi dengan bikarbonat sehingga suasana dalam darah menjadi alkali (McDonald et al., 2010). Gejala-gejala lain yang timbul akibat dari defisiensi klorin (Cl) yaitu muntah, deuritik, dan penyakit ginjal (Soetan et al., 2010). Sulfur (S) dalam tubuh sebagian besar merupakan bagian dari asam amino seperti cystine, cysteine dan methionine.
Kondroitin sulfur berfungsi sebagai
pembentukan tulang rawan, tulang, tendon dan dinding pembuluh darah. Defisiensi sulfur dapat mengakibatkan kekurangan protein. Dalam air liur juga mengandung sulfur berupa senyawa cyanate (SCN) (Soetan et al., 2010). Magnesium (Mg) banyak ditemukan di dalam tubuh dan merupakan komponen tulang dan gigi. Magnesium berkaitan erat dengan kalsium dan fosfor karena memiliki fungsi yang sama sebagai komponen pembentuk tulang. Selain itu magnesium juga memiliki fungsi sebagai aktivator enzim misalnya enzim fosfat transferase, piruvat karboksilase dan piruvat oksidase.
Defisiensi
magnesium dapat menyebabkan penyakit grass tetani yang ditandai dengan adanya penurunan magnesium yang sangat cepat. Hilangnya kadar magnesium dari dalam tubuh dapat disebabkan karena muntah yang berlebihan dan diare (McDonald et al., 2010; Soetan et al., 2010) 2.2.2 Mikro mineral Mikro mineral merupakan unsur mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang sedikit. Unsur mikro mineral hanya dibutuhkan sedikit di dalam tubuh yakni berkisar kurang dari 100 mg/hari. Apabila unsur mikro mineral ini
7
diberikan dalam jumlah yang berlebih maka akan dapat mengakibatkan keracunan. Mineral sangat penting untuk berbagai fungsi tubuh, dan sebagian besar mineral dapat diperoleh pada pakan hijauan sapi bali, namun beberapa mineral kandungannya rendah dalam tanah hal ini disebabkan karena faktor geologis dan jenis tanahnya. Makanan yang mengandung Zn, Mn dan Cu mampu meningkatkan kinerja sapi perah melalui peningkatan kesuburan dan kejadian penyakit.
Peningkatan ini terjadi karena tercukupinya kebutuhan untuk
metabolismenya (Gentile, 2008). Penyimpanan zat besi di dalam tubuh disimpan di dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Anemia, kelemahan, nafsu makan menurun dan diare adalah penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh defisiensi zat besi (Arifin, 2008) ; McDonald et al., 2010). Anemia yang terjadi akibat adanya defisiensi zat besi tidak umum terjadi pada sapi. Kebanyakan anemia ini terjadi pada anak babi. Pencegahan dapat dilakukan dengan penyuntikan Fe dari luar (Darmono, 2007). Tembaga (Cu) diperlukan dalam sintesis zat besi untuk membantu pembentukan hemoglobin.
Defisiensi tembaga dapat menyebabkan gejala
penyakit seperti anemia, pertumbuhan yang buruk, gangguan tulang, infertilitas, depigmentasi rambut, gangguan pencernaan, lesi pada otak dan pada spinal cord (McDonald et al., 2010). Selenium bermanfaat bagi ternak dan terbukti dapat mencegah terjadinya nekrosis hati dan distrofi otot pada babi. Selenium berkaitan erat dengan vitamin E yang berfungsi untuk melindungi membran dari proses degenerasi. Defisiensi selenium pada ruminansia dapat menyebabkan penyakit otot putih yang merupakan degenerasi otot lurik.
Gejala dari penyakit yang
ditimbulkan akibat defisiensi selenium yakni kelemahan, kekakuan dan kerusakan otot yang mengakibatkan hewan sulit berdiri.
Dalam sistem reproduksi,
kekurangan selenium dapat menyebabkan retensi plasenta (Peterson and Engle, 2005). Fungsi neutrofil akan meningkat karena tercukupinya kebutuhan selenium dan vitamin E di dalam tubuh (Arthington, 2006). Selain fungsi-fungsi di atas selenium juga berperan dalam pembentukan antibodi, proliferasi limfosit B dan T dalam respon terhadap mitogen dan penghancuran sel oleh sel limfosit dan sel natural killer. Seng (Zn) merupakan mineral yang berfungsi dalam sintesis hormon insulin dan glukagon, berperan dalam metabolisme karbohidrat, keseimbangan asam basa
8
serta metabolisme vitamin A. Defisiensi Zn terjadi karena tanah yang alkalis dengan pH 8. Zn juga berperan pada sistem kekebalan tubuh sebagai mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Peran utama Zn dalam sel ialah pada proses replikasi sel, ekspresi gen, metabolisme asam nukleat dan asam amino (Soetan et al., 2010). Efek defisiensi terhadap sistem imun dapat mengurangi respon imun dan ketahanan terhadap penyakit (Gentile, 2008). Dampak negatif kekurangan Zn pada ruminansia dapat menyebabkan gejala seperti : penurunan proliferasi limfosit dan neutrofil, atrofi jaringan limfoid misalnya timus dan penurunan kemampuan fagositosis. Gejala yang ditimbulkan oleh defisiensi Zn yang terjadi pada ruminansia berupa pertumbuhan abnormal, nafsu makan tertekan, konversi makanan buruk, parakeratosis dan pada sapi perah banyak ditemukan sel somatik pada sekresi susunya. Mangan (Mn) berfungsi dalam sistem enzim, sebagai kofaktor dari enzim hidrolase, dekarboksilase, phosphohydrolase, phosphotransferase dan transferase (Soetan et al., 2010). Organ yang memiliki kandungan mangan yang banyak ialah tulang, hati, ginjal, pankreas dan glandula pitutuary. Defisiensi mangan yang terjadi pada ruminansia dapat menyebabkan kelainan bentuk tulang, pertumbuhan terhambat, ataksia pada anak baru lahir dan kegagalan reproduksi. Gangguan pada sistem reproduksi dapat menyebabkan gangguan berupa penekanan estrus, penurunan conception rates, peningkatan kejadian aborsi dan berat lahir yang rendah (Gentile, 2008). Pembentukan hormon tiroksin pada kelenjar tiroid diperankan oleh mineral iodine (I). Penyerapan iodin dilakukan di usus halus kemudian diedarkan ke kelenjar tiroid, hanya sebagian kecil saja yang berada di darah (Arifin, 2008). Penyakit defisiensi iodin dapat menyebabkan pembengkakan kelenjar tiroid (gondok) dan gangguan sistem reproduksi (McDonald et al, 2010). Anak yang dilahirkan dengan kekurangan iodin akan lemah, perkembangan otak terganggu dan dapat menyebabkan kematian di usia muda. Selain itu siklus estrus akan terganggu dan menyebabkan penurunan kesuburan pejantan. Kobalt (Co) berfungsi sebagai bagian dari vitamin B12. Ruminansia akan mengkonversi kobalt yang diperankan oleh bakteri di dalam rumen yang menjadi vitamin B12.
Vitamin yang dihasilkan kemudian akan diedarkan ke seluruh
jaringan tubuh (Arifin, 2008).
Pembentukan methylating kolin dan thamine,
9
sintesis DNA, serta mengatur pembelahan sel dan pertumbuhan di perankan oleh vitamin B12.
Defisiensi kobalt pada ruminansia memiliki gejala seperti :
anoreksia, gangguan otot, hati berlemak, haemosiderosis limpa dan anemia (Soetan et al., 2010). Molybdenum (Mo) merupakan komponen dari beberapa metaloenzim seperti xantin oksidase, aldehida oksidase, nitrat reduktase dan hydrogenase. Ensim ini berperan dalam pengikatan mineral besi (Fe) yang berfungsi untuk metabolisme sel dalam transport elektron. Pada sapi dan domba, asupan Mo yang tinggi dapat menghambat penyerapan mineral tembaga (Cu). Namun defisiensi Mo pada hewan dapat menyebabkan gout dan merupakan predisposisi terjadinya batu ginjal xanthine (Soetan et al., 2010). 2.3
Struktur Histologi Sel Granulosit Darah merupakan cairan yang di dalamnya tersuspensi benda darah antara
lain eritrosit, leukosit, trombosit, protein-protein, vitamin-vitamin, hormonehormone, dan mineral (Frandson, 1980).
Sel-sel darah dapat dibagi menjadi
eritrosit, leukosit, dan trombosit (Subroto, 1980).
Sel darah putih (leukosit)
berasal dari bahasa Yunani dari kata leuco yang berarti putih dan cyte yang berarti sel. Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Leukosit memiliki bentuk khas pada keadaan tertentu, inti, sitoplasma, dan organelnya mampu bergerak keluar dari pembuluh darah untuk menjalankan fungsinya. Leukosit bening, bentuknya lebih besar dari sel darah merah tetapi jumlahnya lebih sedikit (Pearce, 1979).
Pembuluh darah merupakan tempat
transportasi bagi leukosit. Jumlah leukosit pada setiap spesies bervariasi dan dipengaruhi oleh keadaan tubuh individu tersebut (Gartner and Hiatt, 2014; Dharmawan, 2002). Jumlah leukosit normal pada sapi berkisar 8000/µL. Neutrofil dan limfosit merupakan leukosit dominan yang terdapat pada hewan dalam keadaan normal. Sedangkan jumlah monosit, eosinofil dan basofil yang rendah merupakan hal normal pada mamalia. Pengukuran histomorfometri telah dilakukan pada tikus baik untuk mengukur sel epididimis, testis, dan sebagai penanganan pada fraktur. Pada sel darah putih nutrofil matang berbentuk bulat dengan diameter 10-12 µm. Sedangkan eosinofil
10
berdiameter 10-15 µm dan basofil memiliki ukuran yang hampir sama dengan neutrofil yaitu dengan diameter 10-12 µm (Dharmawan, 2002). Berdasarkan intinya sel darah putih diklasifikasikan menjadi inti bersegmen (polimorfonuklear) dan tidak bersegmen (mononuklear). Sedangkan dilihat dari sitoplasmanya, leukosit diklasifikasikan menjadi granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan agranulosit (limfosit dan monosit) (Harvey, 2012). 2.3.1 Leukosit granulosit Granulosit adalah sel darah putih yang mengandung granula di dalam sitoplasmanya yakni neutrofil, eosinofil, dan basofil. Granulosit juga digolongkan menjadi tiga tipe sel berdasarkan sifatnya terhadap zat warna tertentu. Basofil granulnya bersifat basofil (ungu), eosinofil granulnya bersifat asidofil, sedangkan neutrofil granulnya tidak bersifat asidofil ataupun basofil.
Gambar 2.1. Neutrofil (Harvey, 2012)
Neutrofi merupakan sel darah putih yang terdapat paling banyak dalam kebanyakan hewan. Neutrofil dalam peredaran darah memiliki waktu hanya 5-10 jam dan pada jaringan hanya beberapa hari kemudian akan diapoptosis oleh makrofag dalam limpa dan hati (Harvey, 2012). Neutrofil memiliki granul halus dalam sitoplasma dan intinya bergelambir. Inti kromatinya terlihat pekat dan bergerombol.
Inti neutrofil tidak berbentuk bulat melainkan berlobus yang
berjumlah 2-5 lobus bahkan dapat lebih. Pada ruminansia neutrofil memiliki benang kromatin antar gelambir. Neutrofil tua memiliki gelambir lebih banyak dan lebih jelas dari pada neutrofil muda. Bentuk dari neutrofil muda (band cell) berbentuk seperti huruf U, V atau S (Dharmawan, 2002). Permukaan sel neutrofil memiliki pseudopodia kecil yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Pseudopodia ini berguna untuk meningkatkan
11
luas permukaan neutrofil dalam rangka proses fagositosis (Weiss and Wardrop, 2010).
Terdapat tiga jenis granul (butir) yang dimiliki oleh neutrofil serta
memiliki fungsi tertentu, yaitu granul spesifik, granul azurofilik dan granul tersier (Gartner and Hiatt, 2014), Weiss and Wardrop, 2010).
Granul spesifik
mengandung agen fagositosis. Granul azurofilik merupakan lisosom. Granul tersier mengandung glikoprotein yang dimasukkan ke membran sel.
Gambar 2.2. Eosinofil (Harvey, 2012)
Eosinofil merupakan sel darah besar yang mengandung granula dalam sitoplasmanya, serta dapat dicat dalam pewarnaan yang bersifat asam dan intinya bergelambir dua polymorph dikelilingi oleh granul asidofil yang cukup besar berukuran 0,5-1,0 µm. Eosinofil dapat hidup hanya 3 sampai 5 hari (Dharmawan, 2002). Ukuran bentuk dan jumlah granul eosinofil berbeda tiap spesiesnya. Pada sapi dan babi eosinofil ukurannya sangat kecil. Inti eosinofil mirip dengan inti neutrofil namun hanya memiliki dua lobus. Lobus tersebut biasanya tertutup oleh granul (Harvey, 2012). Ada tiga jenis granul yang dimiliki oleh eosinofil yaitu granul spesifik, granul primer dan granul padat kecil (dense). Granul spesifik mengandung protein sitotoksik kuat yang merupakan granul mayoritas. Granul eosinofil pada ruminansia berwarna orange cerah (Weiss and Wardrop, 2010).
12
Gambar 2.3. Basofil (Harvey, 2012)
Basofil merupakan sel darah putih yang jumlahnya paling sedikit di dalam darah hanya berkisar 0,5-1,5%. Inti basofil terdiri atas dua gelambir dengan bentuk tidak beraturan. Granul yang terdapat pada sitoplasma dapat di cat dengan pewarnaan yang bersifat alkalis sehingga akan berwarna biru tua atau ungu agak cerah dan menutupi inti. Granul pada basofil bersifat asam sehingga memiliki ketertarikan terhadap warna biru pada pewarnaan darah rutin. Terkadang inti dari basofil bersegmen-segmen atau bahkan tidak teratur. Inti satu, besar berbentuk irregular umumnya seperti huruf S, sitoplasma basofil berisi granul yang lebih besar, yang seringkali menutupi inti, sehingga tidak mudah untuk mengamati intinya. Granul pada basofil tidak sebanyak granul yang terdapat pada eosinofil, namun ukurannya bervariasi, tidak begitu berhimpitan dan terpulas biru tua atau coklat (Dharmawan, 2002). 2.4 Kerangka Konsep Produktivitas ternak, terutama untuk pertumbuhan dan kemampuan produksinya dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sedangkan 30% lainnya dipengaruhi oleh faktor genetik.
Diantara faktor lingkungan tersebut, faktor
pakan, kandungan nutriennya, dan teknologi memformulasi ransum berpengaruh paling besar, yakni 60%. Besarnya pengaruh faktor lingkungan, terutama faktor nutrisi menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi.
Namun,
produksi yang tinggi tidak akan mampu dicapai tanpa pemberian ransum yang memenuhi persyaratan, terutama mampu memenuhi kebutuhan ternak akan nutrient. Manfaat pemberian konsentrat pada sapi bali berpengaruh terhadap respon kekebalan seluler.
Sapi bali yang diberikan tambahan konsentrat ke dalam
13
pakannya dalam waktu yang lama akan mengakibatkan terjadinya peningkatan respon kekebalan seluler. Demikian juga dengan mineral dalam tubuh hewan khususnya sapi bali sangatlah diperlukan, karena keberadaan mineral pada sapi bali sangat berpengaruh terhadap respon imun. Kurangnya kadar mineral pada darah sapi bali dapat menyebabkan gangguan seperti penurunan produksi sel leukosit, penurunan fungsi sel, penurunan sekresi sel leukosit (seperti antibodi dan sitokin). Dua faktor yang dapat berpengaruh terhadap keberadaan leukosit darah yaitu : faktor internal dan eksternal. Faktor internal yakni umur hewan, bangsa, spesies, kebuntingan, estrus dan digesti, sedangkan faktor eksternal meliputi infeksi, pendarahan, keracunan, tumor, leukemia, trauma, agen fisik, agen kimiawi, gangguan hemopoietik, shock anafilaksis, stress, gangguan sumsum tulang (degenerasi, depresi, deplesi dan detruksi) dan kaheksia karena defisiensi nutrisi. Sehingga penurunan fungsi sel dapat menyebabkan perubahan bentuk (histologi) atau perubahan ukuran (histomorfometri) sel-sel leukosit tersebut. Kebutuhan mineral sangatlah penting dalam sistem pertahanan, terutama proses hematopoiesis. Mineral dapat diberikan dalam berbagai bentuk, seperti mencampurnya dalam pakan. Bentuk pakan dapat diberikan berupa : bentuk mix dan cetak. 2.5
Hipotesis Hipotesis yang dapat ditarik adalah sebagai berikut : a. Bentuk pemberian mineral mix berpengaruh terhadap histomorfometri sel granulosit sapi bali. b. Bentuk pemberian mineral cetak berpengaruh terhadap histomorfometri sel granulosit sapi bali.