7
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi Bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia dengan populasi yang cukup besar. Populasi sapi Bali di Indonesia pernah dicatat dua kali yaitu pada tahun 1984 dan 1988, pencatatan jumlah sapi Bali setelah itu tidak pernah dilakukan lagi, sehingga jumlahnya saat ini tidak diketahui dengan pasti. Hasil sensus tersebut mencatat sebanyak 2.632.125 ekor atau sekitar 26.9% (Martojo 2012) dari total sapi potong. Pada tahun 2010 total populasi sapi potong di Indonesia adalah 13.633.158 ekor (Ditjennak
2009), dari populasi tersebut
660.000 ekor sapi Bali yang terdiri atas 200.000 ekor betina induk produktif. Hal ini menunjukkan bahwa posisi sapi Bali dalam pemenuhan kebutuhan daging nasional sangat strategis, sehingga upaya peningkatan populasi dan peningkatan mutu genetik tetap harus diupayakan. Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi Bali memperlihatkan kemampuan untuk berkembang biak dengan baik. Keunggulan sapi Bali dibandingkan dengan sapi lain adalah memiliki daya adaptasi sangat baik terhadap lingkungan yang kurang baik (Masudana 1990), dapat memanfaatkan pakan berkualitas rendah (Sastradipradja 1990), mempunyai fertilitas dan conception rate (CR) yang sangat baik (Oka & Darmadja 1996), persentase karkas yang tinggi yaitu antara 52 % sampai dengan 57.7%, memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4%), serta tahan terhadap parasit internal maupun eksternal (Payne & Hodges 1997). Sapi Bali (Bos javanicus) berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Menurut Rollinson (1984) proses domestikasi sapi Bali terjadi sebelum 3.500 tahun SM di Indonesia atau Indochina. Banteng liar saat ini dapat ditemukan di Jawa Barat, Jawa Timur dan Kalimantan, serta di Malaysia (Payne & Rollinson 1973). Hardjosubroto dan Astuti (1993) mengemukakan bahwa di Indonesia saat ini, Banteng liar hanya terdapat di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung Kulon, Jawa Barat, serta di beberapa kebun binatang. Pada keadaan liar, habitat asli banteng di Indonesia, adalah di Jawa Timur (Baluran) dan di Jawa Barat (Ujung Kulon), selain itu banteng juga ditemukan di perbatasan
8
hutan Kalimantan Timur, Laos, Vietnam dan di semenanjung Coubourgh di Australia Utara (Scherf 1995). Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya pengiriman ke Sulawesi, pengiriman dilanjutkan pada tahun 1920 dan 1927. Pada tahun 1927 sapi Bali dimasukkan ke Sulawesi Selatan (Rampi) sebanyak 5 ekor dan pada tahun 1940 jumlahnya telah mencapai 80 ekor. Pada tahun 1947 sapi Bali disebarkan ke provinsi ini secara besar besaran. Sapi-sapi inilah bersama dengan pendahulunya menjadi cikal bakal sapi Bali di Sulawesi Selatan yang telah berkembang menjadi provinsi dengan jumlah sapi Bali terbanyak di Indonesia. Pada tahun 1964 di Bali terjadi musibah penyakit jembrana secara besar-besaran yang menyebabkan sapi Bali tidak boleh dikeluarkan lagi dari pulau Bali sebagai ternak bibit. Mulai periode inilah sumber bibit sapi Bali bagi daerah lain di Indonesia digantikan oleh NTT, Sulawesi Selatan dan NTB (Talib 2002).
Gambar 2 Peta pola penyebaran sapi di dunia (MacHugh 1996).
9
Pada Gambar 2, menunjukkan pola penyebaran sapi di dunia. Peta warna kuning menunjukkan wilayah utama penyebaran sapi Eropa (Bos taurus), warna merah menunjukkan wilayah utama penyebaran sapi berpunuk (Bos indicus), warna orange menunjukkan wilayah utama penyebaran sapi persilangan (Bos taurus dan Bos indicus) dan warna hijau menunjukkan wilayah utama penyebaran sapi (Bos bibos) atau Banteng yang merupakan tetua sapi Bali (Payne & Rollinson 1973). Penelitian mengenai sapi Bali telah banyak dilakukan diantaranya adalah potensi dan keragaman genetik sapi Bali (Noor et al. 2001; Sukmasari et al. 2002; Handiwirawan & Soebandrio 2004). Sapi Bali merupakan tipe sapi yang kecil namun peluang pengembangannya sangat potensial karena dapat dipelihara pada padang penggembalaan ekstensif dengan kualitas rumput rendah, tetapi kemampuan reproduksi dan adaptasi yang tinggi (Talib 2002). Rataan bobot lahir sapi Bali secara umum 18.4 ± 1.6 kg, namun ada variasi kisaran bobot jantan dan betina yaitu pada jantan 10.5 sampai 22 kg rataan 18.9 ± 1.4 sementara betina bobot lahir 13 sampai 26 kg rataan 17.9 ± 1.6 dengan lama kebuntingan 284.4 ± 5.7 (Prasojo et al. 2010). Bobot sapih
60 - 70 kg, bobot badan jantan dewasa
adalah 300 - 384 kg tinggi pundak 128 cm dengan lingkar dada 188 cm, sapi Bali betina mempunyai berat 300 kg, tinggi pundak 110 cm, serta lingkar dada 163 cm (Talib et al. 2002). Dibidang genetika molekuler, Handiwirawan et al. (2003), meneliti keragaman mikrosatelit sebagai penciri khas sapi Bali. Mohamad et al. (2009) menyimpulkan bahwa berdasarkan analisis sequens mtDNA, kromosom Y, ditemukan bahwa sapi Bali mempunyai posisi yang spesifik dari sapi Indonesia lainnya Gambar 3.
Gambar 3 Posisi sapi Bali berdasarkan analisa mtDNA dan kromoson Y (Mohamad et al. 2009)
10
Spermatogenesis Spermatogenesis atau pembentukan sel spermatozoa merupakan fungsi utama dari testis, yang merupakan rangkaian dari diferensiasi sel yang dibedakan menjadi tiga fase utama yaitu: regenerasi dan proliferasi spermatogonia, meiosis, dan spermiogenesis. Proses ini melibatkan pembelahan sel, diferensiasi, dan interaksi antar sel di dalam tubulus seminiferus. Krawetz et al. (2009) menyatakan bahwa spermatogenesis adalah suatu rangkaian proses yang panjang dari stem cell spermatogonia (SSCs) di lapisan dasar tubulus seminiferus. Prosesnya terbagi menjadi mitosis yaitu fase pertumbuhan dari sel germinatif untuk memproduksi spermatosit primer. memproduksi
Selanjutnya proses ini berlanjut menjadi meosis untuk
spermatid
haploid,
selanjutnya
metamorfosis
spermatozoa
dilepaskan dalam proses spermiasi dan ke dalam lumen tubulus seminiferus. Bedasarkan sudut pandang genetik, spermatogenesis dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu fase diploid dan fase haploid. Selama fase diploid terjadi dua kali pembelahan meiosis menghasilkan spermatid yang haploid. Selama fase haploid terjadi proses yang disebut spermiogenesis, perubahan morfologi dan karakteristik fungsi spermatozoa (Clermont et al. 1993).
Gambar 4 Tahapan perubahan sel pada spermatogenesis (Hess & Franca 2008) Di tingkat seluler proses spermatogenesis dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal (sel sertoli dan sel germinal) dan faktor eksternal (hormon androgen dan asam retinoik). Di bagian epitel tubulus seminiferus hanya terdapat
11
satu tipe sel somatis yang ditemukan yaitu sel sertoli, namun setelah ditemukan tahapan seluler oleh Leblond dan Clermon dinyatakan bahwa ditemukan perbedaan tipe sel germinatif (Hess & Franca
2008).
Perbedaan tipe sel
germinatif tersebut menyebabkan para peneliti membagi tahapan proses spermatogenesis menjadi permulaan (early), pertengahan (midle) dan akhir (late) (Gambar 4). Morfologi Spermatozoa Morfologi spermatozoa adalah indikator refleksi normalitas dari tubulus seminiferus dan beberapa bagian dari epididymis (Holroyd et al. 2002). Morfologi spermatozoa sangat berperan pada fertilitas dan kualitas spermatozoa. Di Indonesia morfologi spermatozoa merupakan parameter pengujian semen yang jarang dilakukan, padahal di negara-negara Eropa dan Amerika sudah menjadi faktor penentu, sebelum pengenceran untuk pembuatan semen beku (Arifiantini et al. 2006)a. Morfologi spermatozoa adalah sesuatu yang unik dan terdiri atas tiga bagian yang dapat diketahui yaitu kepala (head), bagian tengah (mid piece), dan ekor (tail), dengan pewarnaan (Sun et al. 2006). mengevaluasi
morfologi
spermatozoa
Beberapa peneliti telah
menggunakan
teknik
pewarnaan
diantaranya adalah pewarna eosin-negrosin (Barth & Oko 1989) dan pewarnaan carbofluchsin (Al-Makhzoomi et al. 2008) serta menggunakan teknologi yang sangat maju sehingga morfologi dan abnormalitasnya dapat diketahui (Morrell et al. 2008).
Berdasarkan pewarnaan tersebut abnormalitas dibagi pada bagian
kepala meliputi pearshaped (pyriform), narrow at the base (tapered), abnormal countour,
undeveloped,
narrow
heads,
variable
size
(macrocephalus,
microcephalus), double head, serta abnormalitas bagian ekor meliputi abaxial, coiled tails (simple bent, under the head, double folded) dan abnormal midpiece (Barth & Oko 1989). Saacke (2008) menyatakan bahwa abnormalitas morfologi spermatozoa dan metode kriopreservasi juga berpengaruh pada kegagalan fertilisasi bahkan ke tingkat kegagalan embriogenesis. Sader (2004) menyatakan bahwa morfologi spermatozoa sangat berkaitan langsung dengan persentase motilitas dan kemampuan sperma untuk penetrasi.
12
Morfometri Spermatozoa Morfometri merupakan ukuran dari spermatozoa yang masih jarang dilaporkan. Pengkajian terhadap morfometri spermatozoa perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik ukuran-ukuran spermatozoa pada berbagai hewan. Selain itu pengetahuan terhadap morfometri spermatozoa diperlukan untuk pengkajian pengaruh kriopreservasi semen mengingat terdapat perbedaan yang signifikan terhadap ukuran spermatozoa semen segar dengan semen yang telah mengalami kriopreservasi (Arruda et al. 2002). Mekanisme FSH sub-unit beta pada Spermatogenesis Regulasi hormonal spermatogenesis terjadi melalui kontrol closedloop feed back melibatkan hipotalamus, lobus anterior dari kelenjar hipofisa dan testis. Hipotalamus memproduksi gonadotrophin realeasing hormone (GnRH) yang akan menginduksi sekresi (FSH) follicle stimulating hormone dan luteinizing hormone (LH) dari kelenjar hipofisa. Luteinizing hormone berikatan dengan reseptor yang berlokasi di sel Leydig dan menstimulasi produksi testosteron. Sedangkan, FSH berikatan dengan reseptor yang berlokasi di sel-sel Sertoli dan menstimulasi produksi androgen-binding protein (ABP). Testosteron berikatan ke ABP dan selanjutnya mampu melewati ikatan kompleks sertoli, kemudian selsel sertoli akan mensekresikan inhibin dan aktivin yang berperan masing-masing secara negatif dan positif feedback pada kedua produksi GnRH oleh hipotalamus dan sekresi LH/FSH oleh kelenjar hipofisa (O’Donnel et al. 2006). Gen FSH sub-unit beta Follicle stimulating hormone (FSH) adalah hormon glikoprotein yang disekresi oleh kelenjar hipofisa dan berfungsi mengontrol aktivitas reproduksi pada mamalia (Ulloa-Aguirre et al.1995; Grigorova et al. 2007). Pada jantan FSH dan testosteron merupakan hormon yang penting untuk mengatur fungsi sel-sel sertoli yaitu dibutuhkan untuk inisiasi, proliferasi, perkembangan sel sperma baik secara kuantitas maupun kualitas pada proses spermatogenesis (Heckert & Griswold 2002). Pada Gambar 5 menunjukkan mekanisme kontrol endokrin pada proses spermatogenesis.
LH dan FSH disekresi ke dalam aliran darah dari anterior
pituitary untuk merespon GnRH. Target LH adalah sel Leydig pada testis untuk
13
memproduksi steroid terutama testosteron (T) dan untuk aromatase estradiol (E2). Pada saat itu pula T dan E2 mempunyai pengaruh pada spermatogenesis, dan steroid mempunyai pengaruh negatif pada hypothalamus untuk mengontrol sekresi GnRH yang berpengaruh ke pituitary untuk membatasi sekresi LH dan FSH. FSH menstimulasi sel sel Sertoli untuk inisiasi spermatozon. Epitelium seminiferus memproduksi inhibin B untuk menekan produksi FSH.
Gambar 5 Mekanisme FSH pada Spermatogenesis (O’Donnel et al. 2006) Kumar et al. (1997) melaporkan pada tikus, terjadi penurunan 75 % jumlah spermatozoa dan 40%motilitas sebagai akibat tidak disekresinya FSH, hal ini merupakan bukti bahwa FSH sangat penting dalam spermatogenesis. Lin et al. (2006) melaporkan bahwa pada babi jantan, FSH bereaksi di sel kecambah dalam testis (tubulus seminiferus) bertanggungjawab pada spermatogenesis khususnya mendorong pertumbuhan spermatosit sekunder, kemudian androgen dan testosteron dari testis akan mensupport spermatogenesis sampai pada proses akhir. Hafez dan Hafez (2000), Maekawa et al. (1995), Zanella et al. (1999) dan Li et al. (2000) menyatakan hormon FSH juga mengatur fungsi dan bentuk testis serta tingkah laku seksual pada babi jantan. Fertilitas pada sapi jantan merupakan salah satu masalah dalam perbaikan sistem perkawinan, terutama yang menggunakan teknologi IB. Di negara maju
14
seperti Amerika (sapi pedaging) dan Eropa (sapi perah) hampir 80% menggunakan teknologi ini. Status pejantan yang digunakan telah melalui uji yang panjang (progeny test) akan tetapi memerlukan waktu yang lama sehingga penggunaan penanda molekuler genetik untuk fertilitas jantan termasuk pemeriksaan gen yang terekspresi pada spermatogenesis dan gen yang terekspresi pada spermatozoa dapat meningkatkan akurasi hasil uji pejantan (Peddinti et al. 2008). Gen FSH sub-unit beta telah dieksplorasi selama 30 tahun terakhir dan diketahui bahwa FSH terletak pada kromosom 15 mempunyai 2 heterodimer yaitu alfa (FSH- ) dan beta (FSH- ) disebut juga FSHB (Gambar 6). Konservasi gen ini sangat tinggi, terdiri dari 3 exon (1 non coding exon dan 2 exon translated) dan 2 intron. Sequens originalnya 1547 bp dan sequens lengkapnya pada sapi Bos taurus 6601 bp : GenBank No:M83753 (Gambar 7). Pada manusia ditemukan 5 SNP (Single nucleotide polymorphism) yang berhubungan dengan reproduksi sedang pada sapi Bos taurus ditemukan 13 SNP yang berhubungan dengan fertilitas jantan (Grigorova et al. 2007; Dai et al. 2009; Lamminen et al. 2005)
Gambar 6 Gen FSH sub-unit beta pada kromosom 15 (Hediger et al. 1991)
Keterangan : = Exon 1 Exon 2 Exon 3
= = =
Exon
1878-1940 2573-2737 4036-5828
= = = =
Intron
62 bp 164 bp 1792 bp
Intron 1 Intron 2
Gambar 7 Gen FSH sub-unit beta (NCBI. 2011)
= =
1941-2572 2738-4305
= =
631 bp 1567 bp
15
Keterangan : Subtitusi asam amino digambar pada huruf kapital yang digaris bawahi, 4453 A C to Ser 103 Arg
Gambar 8 Situs mutasi pada gen FSH sub-unit beta pada sapi (Dai et al. 2009) Dai et al. (2009) melakukan penelitian mengenai keragaman gen FSH subunit beta terhadap fertilitas sapi jantan, hasil penelitian tersebut menemukan alel A, B, dan C (Gambar 8), dari hasil penelitian tersebut dilaporkan bahwa runutan nukleotida pada ekson 3 yang diindikasikan terdapat keragaman. Dijelaskan pula bahwa keragaman gen FSH sub-unit beta pada sapi jantan (Limousin, Hereford, dan FH) berpengaruh pada volume, kualitas dan motilitas semen cair maupun semen beku. Pada gen ini terjadi mutasi pada ujung intron 2 dan ekson 3 yaitu pada 313 bp. Situs pemotongan enzim 5'... C T G C A G ... 3' menggunakan enzim restriksi Pstl (ctacag). Penelitian tersebut menggunakan SNP pada gen FSH sub-unit beta sebagai marker fertilitas sapi jantan Liu et al. (2009) melaporkan bahwa gen FSH sub-unit beta terdiri dari tiga exon seperti yang terdapat pada babi, sapi dan manusia, selanjutnya Shi et al. (2006) dan Yaofeng et al. (1998) melaporkan bahwa pada babi litter size sangat dipengaruhi oleh polimorfisme gen ini pada ekson 1, dan pada sapi Dai et al.(2009) melaporkan bahwa polimorfisme gen ini signifkan terhadap fertilitas, kualitas semen (Charolais, Simmental dan Limousin) pada ekson 2 dan 3. Gen FSH Reseptor Salah satu fungsi FSH adalah merangsang pertumbuhan folikel pada ovarium dan menginisiasi serta meningkatkan kinerja sel sel sertoli pada proses spermatogenesis (Xing et al. 2001; Simoni et al. 2002; Gromol & Simoni, 2005; Meduri et al. 2008; Cruz et al. 2009), fungsi tersebut didukung oleh aktivasi
16
reseptor spesifik yang disebut FSH reseptor (Simoni et al. 1997), FSH dikontrol oleh gen FSH reseptor yang terletak di kromosom 11.
Houde et al. (1994)
melaporkan bahwa pada sapi Bos taurus gen FSH reseptor terdiri dari 10 ekson dan 11 intron (Gambar 9), dimana pada ekson 1 - 9 melampirkan ekstraselular domain dan ekson 10 melampirkan domain transmembran atau intraseluler. Polimorfisme gen FSH reseptor pada sapi telah dibuktikan oleh Rahal et al. (2000), Marson et al, (2008), dan Cruz et al. (2009). Perubahan struktur molekul gen FSH reseptor menyebabkan peningkatan sensitivitas FSH reseptor pada membran sel dan efisiensi transmisi signal pada mekanisme kerja hormon. Tombasco et al. (2000), Vasconcellos et al. (2003) dan Allan et al. (2007) melaporkan bahwa terdapat keragaman gen FSH reseptor pada sapi Nelore yang berhubungan dengan produktivitas dan reproduktifitas. Selanjutnya Rahal et al. (2000) menemukan dua situs mutasi gen FSH reseptor pada sapi yang berhubungan pada sifat reproduksi. FSH reseptor hanya terekspresi pada sel-sel granulosa di ovarium dan sel-sel sertoli di testis, level FSH reseptor pada sel-sel sertoli sangat penting untuk merespon hormon FSH ditestis (Leslie et al. 1998), Grover et al. (2005) menyatakan bahwa FSH receptor dibutuhkan pada trans membran
sel-sel
sertoli
di
dalam
testis
untuk
perkembangan
proses
spermatogenesis. FSH reseptor mengontrol mekanisme FSH dan testosteron. Hal ini telah dibuktikan oleh (Leslie & Griswold 2002) yang meneliti kultur sel-sel sertoli pada tikus percobaan umur 10 – 30 hari. Pada penelitian tersebut terlihat adanya peningkatan respon hormon FSH akibat meningkatnya cAMP, diikuti peningkatan sintesa protein dan produksi estradiol. Reseptor FSH termasuk dalam keluarga reseptor (receptor family) yang membentuk ikatan dengan G protein, FSH reseptor adalah kompleks protein transmembran yang dicirikan dengan adanya tujuh helix hidrofobik
(seven
spanning helix) yang tersisip dalam plasmalemma dan domain intraseluler yang bervariasi sesuai dengan tipe ligannya (Gromol et al. 1996). Bagian intraseluler dari reseptor membentuk ikatan dengan G protein dan setelah adanya aktivasi reseptor oleh interaksi hormonal dengan domain ekstraseluler, menginisiasi rangkaian peristiwa yang terutama menyebabkan efek biologi spesifik dari gonadotropin (Leslie & Griswold, 2002).
17
Domain ekstraseluler FSH reseptor terdiri atas 349 asam amino dan domain transmembran terdiri atas 264 asam amino (Meduri et al. 2008). Selanjutnya Houde et al. (1994) melaporkan bahwa domain ekstraseluler FSH reseptor memiliki gugus karboksil yang relatif pendek terdiri atas 65 asam amino. Homologi antara beberapa spesies mencapai 90 persen pada domain transmembran, sedang pada domain ekstraseluler tingkat homolog antar spesies adalah 85 persen.
Domain ekstraseluler
Domain intraseluler / transmembran
5’
3’ 1
3
2
Keterangan :
Ekson 1 Ekson 2 Ekson 3 Ekson 4 Ekson 5
4
5
6
= Ekson
= = = = =
251 bp 72 bp 75bp 75 bp 72 bp
7
=
8
9
10
Intron
Ekson 6 Ekson 7 Ekson 8 Ekson 9 Ekson 10
= = = = =
78 bp 69 bp 75 bp 186 bp > 1234 bp
Gambar 9 Gen FSH Reseptor (Leslie & Griswold, 2002) Struktur domain ekstraseluler FSH reseptor mempunyai sekuens asam amino leusine yang banyak LRR (leucine rich repeat) pada protein yang terlibat dalam perlekatan sel yang spesifik dan fenomena ini hampir ditemukan pada semua mamalia. Pola LRR sangat conserve pada ekson 2 – 8, hal sebaliknya terjadi di ekson 9. Ekson 1 dan terminal C dari domain ekstraseluler FSH reseptor tidak memiliki pola LRR. Eksperimen binding menunjukkan bahwa FSH secara spesifik terikat pada reseptor yang terletak pada membran sel-sel sertoli (Simoni et al. 2002). Hasil hibridisasi in situ juga membuktikan bahwa hanya sel-sel sertoli yang mengekspresikan FSH reseptor pada testis. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian yang menggunakan 38 jenis jaringan yang berbeda pada monyet. Hal ini menunjukkan FSH reseptor bersifat gonad dan spesifik terhadap sel (Simoni et al. 1997; Leslie et al. 2002)
18
Cell membrane
Protein substrate phosphorylate Activ Protein kinase
Receptor
Cellular response
Gambar 10 Aksi hormon domain ekstraseluler (Squires 2003)
Nuclear membrane Hormone
DNA responsive
Cell membrane
Receptor
mRNA
Protein syntetesis
Cellular response
Gambar 11 Aksi hormon domain intraseluler (Squires 2003) Mekanisme aksi reseptor sangat unik disebabkan oleh pola reaksi untuk mempengaruhi sel target. Pada domain ekstraseluler (Gambar 10) hormon tidak bereaksi di dalam sel reseptor, tetapi bereaksi dipermukaan sel reseptor, sehingga diperlukan pembawa pesan (second massenger) yang menjadi mediator. Demikian pula pada domain intraseluler, hormon bereaksi di dalam sel reseptor (Gambar 11) dan mengatur ekspresi gen. Gen FSH reseptor merupakan salah satu kandidat gen yang mengontrol kualitas sperma pada sapi. Sang et al. (2011), menemukan keragaman pada posisi runutan nukleotida -234500 yang berasosiasi dengan volume dan konsentrasi sperma. Beberapa peneliti yang telah mengekplorasi gen FSH reseptor adalah (Cruz et al. 2009) menemukan keragaman pada Bos indicus (Nelore dan Zebu), Bos taurus (Brown Swiss) dan persilangannya terdapat keragaman atau bersifat
19
polimorfik. Selanjutnya Rahal et al. (2000) menemukan keragaman pada sapi Nelore menggunakan metode PCR-SSCP. Keragaman gen FSH reseptor juga ditemukan pada babi yang berhubungan dengan jumlah anak sekelahiran (Wang et al. 2006) dan berat lahir (Chansomboon et al. 2009). Motilitas, jumlah dan morfologi sperma pada tikus (Grover et al. 2005) dan jarak beranak pada kerbau (Ahmed et al. 2011). Gen Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone gene) Growth hormone (GH) atau gen hormon pertumbuhan telah dieksplorasi pertama kali oleh Evan’s sejak tahun 1921, dan pada tahun 1944 diekstraksi dari hipofisa anterior sapi (bovine pituitary). Pada penelitian tersebut GH digunakan untuk merangsang pertumbuhan dan kematangan gonad pada hewan percobaan. Penelitian mengenai
GH semakin maju dan penamaannya berdasarkan pada
obyek yang diteliti seperti human growth hormone, bovine growth hormone (Burton et al. 1994, Chowen & Frago, 2005). Selanjutnya Reis et al. (2001) melaporkan bahwa hormon pertumbuhan adalah hormon peptida (protein) /cytokine peptides yang dihasilkan oleh sel hipofisa acidophilic yang terletak di kelenjar hipofisa anterior. Pada sapi, hormon pertumbuhan berukuran 22 kilo Dalton (kDA) disusun oleh 190 – 191 asam amino sebagai produk dari gen pertumbuhan pada sapi (Dybus 2002; Tatsuda et al. 2007), terletak pada kromosom 19 memiliki panjang sekuens 2856 bp dengan bagian open reading frame-nya 1800 bp.
Gen ini terdiri dari 5 ekson dan 4 intron (Gambar 12)
(Gordon et al. 1983; Zakizadeh et al. 2006) dengan panjang sekuens nukleotida yang berbeda pada setiap ekson dan intronnya. Secara umum, gen mempunyai bagian yang mengkode asam amino dan menghasilkan protein disebut daerah penyandi coding sequens (CDS) dan daerah pengapit (5’UTR, 3’UTR). Penggunaan penanda molekuler genetik dalam program pemuliaan ternak lebih tepat dan efisien (Shim et al. 2010). Beberapa marker ini disebut kandidat gen dan termasuk gen GH (Unanian et al. 2002; Rastegari et al. 2010).
20
Kodon akhir TAG
Kodon awal ATG Coding sequence (CDS)
3 1
2
3
4
5
Keterangan : =
Ekson 1 Ekson 2 Ekson 3 Ekson 4 Ekson 5
= = = = =
Exon
649-723 971-1131 1359-1475 1703-1864 2138-2439
=
= = = = =
Intron
75 bp 161 bp 227 bp 162 bp 302 bp
Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4 Sekuen ujung
= = = = =
724- 970 1132-1358 1476-1702 1865-2137 2440-2865
= = = = =
247 bp 227 bp 227 bp 273 bp 382 bp
Gambar 12 Gen GH (Gordon et al. 1983) Gen hormon pertumbuhan merupakan gen yang masuk kategori kandidat gen untuk seleksi atau Marker Assited Selection (MAS) (Burton et al. 1994). Lucy et al. (1993) dan Curi et al. (2006) menggunakan metode PCR-RFLP dengan enzim AluI pada ekson lima menemukan keragaman yaitu terjadi mutasi runutan pada nukleotida dari sitosin (C) menjadi guanin (G) pada posisi 127 bp menyebabkan perubahan sintesis asam amino leusin menjadi valin. Keragaman gen GH juga telah diteliti oleh (Zakisadeh et al. 2006; Yardibi et al. 2009; Mohammadabadi et al. 2010) ketiganya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan keragaman gen GH terhadap komposisi dan kualitas susu, Bartke (2000) menemukan keragaman yang berasosiasi dengan konsumsi pakan, pertumbuhan / kondisi tubuh. Thomas et al. (2007) menemukan keragaman gen GH berasosiasi dengan pertumbuhan dan kualitas karkas pada sapi. Gen GH juga telah diteliti oleh Jakaria et al. (2005) pada sapi lokal Indonesia yaitu sapi Pesisir, pada penelitian tersebut ditemukan keragaman gen GH menggunakan PCR-RFLP di intron 3 dan ekson 4 dengan enzim MspI. Gen GH telah digunakan secara luas sebagai penanda pada beberapa spesies ternak seperti pada sapi (Bos taurus dan Bos indicus) (Zhou et al. 2005; Beauchemin et al. 2006; Kovacs et al. 2006; Katoh et al. 2008), domba (Ovis aries) (Marques et al. 2006) dan kambing (Capra hircus) (Boutinaud et al. 2003). Gen GH juga sebagai marker reproduksi pada sapi jantan pertama kali diperkenalkan oleh Lechniac et al. (1998) yang meneliti sapi FH, Limousine, Charolais, Piemontese, Hereford dan Angus. Gorbani et al. (2009a) dan Afshar et
21
al. (2011) meneliti keragaman gen GH pada sapi FH di Iran. Unanian et al. (2002), menyatakan terdapat keragaman gen GH terhadap lingkar scrotum dan profil testoteron pada sapi Nelore umur 10 sampai 16 bulan.
Sauerwein et al.
(2000) melaporkan bahwa injeksi bGH pada sapi Simmental berpengaruh nyata terhadap peningkatan kualitas semen (volume, konsentrasi, dan motilitas). Lebih lanjut dilaporkan bahwa terjadi peningkatan fertilitas penggunaan sperma dari pejantan yang diinjeksi bGH yang diamati pada nilai Non Return Rate (NRR). Mekanisme Gen Hormon Pertumbuhan pada Spermatogenesis Gen hormon pertumbuhan juga berpengaruh pada sistem reproduksi sapi jantan (Bartke 2000; Hull & Harvey 2000; Holdcraft & Braun 2004). Sel Leydig dan sel Sertoli merupakan target dari ekspresi gen GH bekerjasama dengan gen IGF1 karena kedua sel tersebut mempunyai GH reseptor maupun IGF1 reseptor. Pada Gambar 13 dijelaskan bahwa pada sel-sel Leydig terekspresi IGF dan reseptornya distimulasi oleh GH. Sel-sel Sertoli dan sel kecambah pada jantan merupakan target potensial aksi GH secara langsung dan tidak langsung. Pada selsel Sertoli terdapat reseptor GH dan IGF-I dan produksi IGF-I (Lobie 1990). Pada tikus kecil ukuran testis akan tereduksi akibat kekurangan GH, hal ini menunjukkan bahwa pada spesies ini GH diperlukan untuk proliferasi sel Sertoli selama perkembangannya (Bartke 2000).
Gambar 13 Skema mekanisme kerja GH dan IGF1 (Bartke 2000)
22
Penciri molekuler DNA restriction fragmen length polymorphism (RFLP) Sejak ditemukannya struktur molekul DNA oleh Watson dan Crick pada tahun 1953 maka berkembang pula teknologi pemanfaatan DNA sebagai penciri genetik (genetik marker) berdasarkan variasi dari runutan nukleotida penyusun DNA. Theophillus dan Rafley (2002); Bartlett dan Stirling (2004) dan Dale dan Schanzt
(2002),
menyatakan
bahwa
dengan
berkembangnya
teknologi
perbanyakan DNA secara in vitro menggunakan mesin thermo cycler metode reaksi polimerase berantai atau polymerase chain reaction (PCR), maka PCR semakin berkembang sehingga lahir teknik PCR untuk menganalisis variasi runutan nukleotida pada suatu bagian/fragmen DNA. Pada tahun 1974 (Botstein et al. 1980) memperkenalkan teknologi penciri genetik Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Target utama dari penciri ini adalah variasi runutan nukleotida pada fragmen DNA yang didasarkan pada enzim pemotong yang mampu memotong runutan nukleotida DNA spesifik. Bagian DNA spesifik yang mampu dipotong oleh enzim tertentu mempunyai polimorfisme yang tinggi dan telah digunakan secara luas di bidang genetika molekuler terutama pada gen pengontrol sifat penting seperti sifat produksi yang bernilai ekonomi. Pada metode RFLP, terpotong atau tidaknya suatu bagian atau fragmen DNA oleh enzim dapat tervisualisasi melalui teknik elektroforesis. Ge et al. (2003) menggunakan RFLP untuk melihat polimorfisme gen GH yang berhubungan dengan pertumbuhan pada sapi, selanjutnya Jakaria et al. (2005); Jakaria et al. (2007); Zulkarnaim et al. 2010) menggunakan RFLP untuk meneliti polimorfisme gen GH dan GHR pada sapi lokal di Indonesia. Teknik ini juga digunakan untuk melihat polimorfisme gen untuk produksi susu sapi (Zhou et al. 2005; Balogh et al. 2008), sifat reproduksi (Gorbani et al. 2009b; Zhang et al. 2011). Teknik penciri ini semakin berkembang karena metode perbanyakan DNA-nya secara in vitro menggunakan mesin thermocycler dengan metode PCR, sedang untuk mendeteksi polimorfisme fragmennya menggunakan enzim pemotong (restriction). Secara spesifik proses PCR berlangsung secara eksponensial pada bagian DNA yang ditentukan menggunakan sepasang oligonukleotida atau primer. Produk PCR yang dihasilkan dipotong dengan enzym
23
restriksi. Perbedaan performa dari hasil pemotongan diamati untuk menentukan keragamannya. Penciri molekuler DNA Single- strand comformation polymorphism (SSCP) Salah satu metode penciri DNA yang telah dikembangkan menjadi penciri genetik dalam genetika molekuler adalah PCR-SSCP (Hayasi 1992; Nallou & Wagener 1997; Hidayat & Pancoro 2010). Teknik SSCP merupakan rangkaian analisis lanjutan produk PCR. Prinsip utama dalam metode ini adalah panjang fragmen dan karakteristik sequens DNA mempunyai laju yang berbeda pada elektroforesis menggunakan poliakrilamida nondenaturasi (Fujita & Silver 1994; Barosso et al. 1999). Perbedaan tersebut dapat diamati pada pewarnaan perak (silver staining).
Pada awalnya metode ini menggunakan radio aktif untuk
menandai DNA target, namun dengan kemajuan teknologi penggunaan radio aktif dihentikan dengan alasan teknologi harus memperhatikan unsur ramah lingkungan (Hoffman 2012). Beberapa faktor yang menentukan keberhasilan penggunaan metode PCR-SSCP menurut Zhu et al. (2008) adalah : 1) hasil amplifikasi DNA atau produk PCR; 2) non denaturasi produk PCR; 3) kondisi gel (persentase akrilamida dan bis- akrilamida); 4) penggunaan gliserol; 5) suhu elektroforesis; 6) kondisi buffer; 7) proses pewarnaan (silver staining). Pengembangan metode PCR-SSCP telah digunakan oleh Bonifacio et al. (2001), Bastos et al. (2001) dan Marques et al. (2003) melihat keragaman gen casein menggunakan metode PCR-SSCP untuk menganalisis keragaman gen GH pada kambing Serrena di Portugis, Gupta et al. (2009) dan Jaini et al. (2008) pada kambing Jakhrana di India, Hua et al. (2009) pada kambing Boer. Lagziel et al. (2000) melaporkan bahwa terdapat hubungan persentase protein susu dengan keragaman bGH (bovine growth hormon) pada sapi FH di Israel. Bao et al. (2010) menggunakan metode PCR-SSCP untuk menganalisis keragaman gen STAT5A yang berhubungan dengan produksi, kadar lemak dan kadar protein pada sapi FH di Cina, Pang et al. (2011) melaporkan bahwa terdapat hubungan keragaman gen Flt 1 dengan pertambahan berat badan sapi lokal di Cina. Shivanand et al. (2011) mengindentifikasi sekues gen CXCR2 yang mengontrol antibody pada penyakit mastitis menggunakan PCR-SSCP.