5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan satu dari empat bangsa sapi lokal utama (aceh, pesisir, madura dan bali). Sapi bali merupakan hasil domestikasi banteng liar selama lebih kurang 3500 SM. Bangsa sapi bali memiliki klasifikasi taksonomi menurut Williamson dan Payne (1993) sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Sub-phylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Ordo
: Artiodactyla
Sub-ordo
: Ruminantia
Family
: Bovidae
Genus
: Bos
Sub-genus
: Bibos
Species
: Bibos sondaicus
Bali merupakan daerah penyebaran utama sapi bali, sedangkan daerah penyebaran lainnya di Indonesia adalah Sulawesi,
Kalimantan, Lampung,
Bengkulu, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selain di Indonesia sapi bali juga dapat ditemukan di beberapa negara seperti di Timor Leste, Malaysia dan Australia (Kadarsih, 2004; Batan, 2006). Sapi bali mempunyai ciri rambut yang khas. Pada usia pedet, sapi bali mempunyai warna merah bata baik pedet jantan maupun pedet betina, sedangkan setelah dewasa sapi jantan berubah warna menjadi hitam. Tanda-tanda khusus yang harus dipenuhi sebagai sapi murni, yaitu kaki di bawah persendian tarsal dan
5
6
karpal berwarna putih (white stocking). Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut tampak berbentuk oval (white mirror) (Batan, 2006). Disamping pola warna yang umum dan standar, pada sapi bali juga ditemukan beberapa pola warna yang menyimpang seperti dikemukakan Hardjosubroto dan Astuti (1993), yaitu : 1. Sapi injin adalah sapi bali yang warna rambut tubuhnya hitam sejak kecil, warna rambut telinga bagian dalam juga hitam, pada yang jantan sekalipun dikebiri tidak terjadi perubahan warna 2. Sapi mores adalah sapi bali yang semestinya pada bagian bawah tubuh berwarna putih tetapi ada warna hitam atau merah pada bagian bawah tersebut 3. Sapi tutul adalah sapi bali yang bertutul-tutul putih pada bagian tubuhnya 4. Sapi bang adalah sapi bali yang kaos putih pada kakinya berwarna merah 5. Sapi panjut adalah sapi bali yang ujung ekornya berwarna putih 6. Sapi cundang adalah sapi bali yang dahinya berwarna putih . Bentuk anatomi tanduk pada sapi bali jantan yang paling ideal adalah bentuk tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada sapi bali betina, bentuk tanduk yang paling ideal adalah bentuk tanduk manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah ke belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam (Hardjosubroto, 1994).
6
7
Banyak laporan yang telah mengemukakan hasil penelitian mengenai keunggulan produksi sapi bali. Keunggulan produksi sapi bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), maupun sifat reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas, jarak kelahiran (calving interval), dan persentase kelahiran (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004). Sapi bali (Bibos sondaicus) mampu beradaptasi pada lingkungan yang marjinal menjadi hal yang penting, disebabkan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh beberapa bangsa sapi lainnya. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan daya adaptasi tinggi pada daerah dataran tinggi, berbukit dan dataran rendah (Kadarsih, 2004), serta memberikan respon cukup baik dalam perbaikan pakan, menunjukkan bahwa sapi bali berpotensi dan cocok untuk dikembangkan pada kondisi lapang di Indonesia pada umumnya (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004). Keunggulan lain yang dikemukakan Dwatmadji et al., (2004) adalah kemampuan kerja dan kenaikan fisiologis akibat kerja pada sapi bali
masih jauh dibawah tingkat
kelelahan atau “fatique score” sapi kerja. Upaya peningkatan mutu genetik ternak sapi bali melalui persilangan telah dilakukan di Indonesia sejak lama, tetapi secara umum kurang berhasil (Chamdi, 2005). Saat ini belum ada penelitian yang khusus mengkaji standar normal sapi bali, khususnya pada sapi bali dara (umur 6-18 bulan). Beberapa peneliti hanya melakukan penelitian profil klinis tentang gambaran darah.
7
8
2.2 Status Praesen Sapi Bali Yang dimaksud dengan status praesen adalah kondisi fisiologis hewan saat ini, atau keadaan umum normal dari hewan. Hal yang termasuk status praesen adalah temperatur tubuh, frekuensi pulsus, frekuensi respirasi, dan frekuensi detak jantung. Yang akan diinventarisasikan adalah status praesen sapi bali dara ( 6-18 bulan) 2.2.1 Temperatur Tubuh Temperatur didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur tubuh hewan dihasilkan dari keseimbangan antara produksi panas tubuh yang dihasilkan oleh metabolisme basal dan aktivitas otot tubuh dengan panas yang dikeluarkan oleh tubuh (Pieterson dan Foulkes, 1988). Panas tubuh yang hilang lewat kulit kira-kira sejumlah 85%, sisanya dikeluarkan melalui respirasi, feses dan urinasi. Penyeimbang temperatur tubuh diatur oleh termoregulator dengan mekanisme umpan balik positif dan negatif (Frandson,
1992).
Pusat
termoregulator tubuh terletak di hipotalamus, sedangkan sensor panas tubuh terdapat diseluruh permukaan kulit (Kelly, 1984). Pada saat hipotalamus mendapatkan informasi tubuh terlalu panas atau dingin maka tubuh akan memberikan respon dengan meningkatkan atau menurunkan suhu. Mekanisme penurunan suhu adalah dengan cara berkeringat, vasodilatasi, dan penurunan pembentukan panas tubuh, sedangkan untuk meningkatkan temperatur tubuh adalah dengan vasokontriksi dan meningkatkan produksi panas tubuh. Temperatur tubuh pada hewan domestikasi selalu bervariasi tergantung atas aktivitas fisik (Dwatmadji et al., 2000), waktu saat pengukuran, dan kondisi
8
9
lingkungan (Beatty et al., 2006). Temperatur tubuh dinyatakan dalam derajat Celcius, tetapi di beberapa negara digunakan skala pengukuran Fahrenheit. Tabel 1. Temperatur tubuh normal pada sapi FH, kerbau dan ternak lain Jenis Hewan Temperatur Tubuh (0C) Pedet 39,5 Pedet > 1 tahun 38,5 Kerbau 38,2 Anak domba 39,5 Domba > 1 tahun 39,5 Anak kambing 39,8 Kambing dewasa 40 Sumber : Akoso (1996)
2.2.2 Frekuensi Pulsus Volume darah yang dicurahkan pada setiap kali jantung memompa akan dialirkan ke pembuluh darah dengan adanya elastisitas aorta untuk mengembang. Setelah darah masuk ke dalam aorta maka aorta akan mengecil kembali dan dengan demikian darah selanjutnya tertekan dan mengalir ke dalam pembuluh darah. Gelombang peregangan sistolik ini akan merambat ke seluruh sistem arteri dengan kecepatan tinggi (4 – 5 m/detik) tanpa tergantung kepada kecepatan darah (50 cm/detik) dan akan melemah sesuai dengan penurunan energi dan pengecilan pembuluh darah di perifer. Oleh sebab itu gelombang pulsus sangat tergantung kepada frekuensi detak jantung, besarnya volume pada setiap aksi pemompaan oleh jantung, kecepatan pemompaan, elastisitas
pembuluh darah, lumen
pembuluh darah perifer, serta aliran dan resistensi perifer. Frekuensi pulsus ditentukan dengan menghitung denyut arteri selama satu menit. Ritme dari pulsus yang normal dapat dilihat dari urutan ritme setiap detak
9
10
secara teratur dalam interval tertentu. Kualitas yang baik dideskripsikan dari tekanan dinding arteri, hal ini sebagai indikasi aliran darah pada pembuluh darah. Pulsus dapat dipalpasi (dengan jari) pada arteri superficial yang terletak pada jaringan lunak dan dapat ditekan sampai ke tulang. Jika telah ditemukan arteri tersebut, arteri tetap difiksir dengan jari dan tekanan dikendorkan secara perlahan-lahan, sampai dirasakan ada denyutan, dan frekuensi pulsus dihitung selama satu menit. Pengukuran pulsus pada sapi dilakukan pada arteri maxillaries eksternal dan arteri coccygea yang terletak di ventral pangkal ekor. Posisi dari arteri maxillaries eksternal melintang menuju ramus mandibularis bawah,
di
depan otot maseter atau di daerah incisura fassorum (di bawah mandibula). Frekuensi normal dari pulsus bervariasi dari masing-masing spesies dan individu. Variasi dari pulsus dipengaruhi oleh faktor umur, ukuran tubuh, jenis kelamin, ras, kondisi atmosfer, waktu pengukuran, aktifitas (Upadhyay dan Madan 1985; Pieterson dan Foulkes, 1988; Dwatmadji et al., 2000), makan, dan terkejut. Pulsus meningkat dapat terjadi secara fisiologis pada saat bekerja, gerak dan terkejut akibat adanya simpatikotoni. Pada keadaan patologis, pulsus meningkat (takikardia) dapat ditemukan pada kasus demam, keracunan, anemia serta penyakit jantung. Sedangkan frekuensi pulsus yang menurun dapat terjadi pada kasus penurunan aktivitas jantung (bradikardia).
10
11
Tabel 2. Frekuensi pulsus normal sapi Frisien Holstein Jenis hewan Frekuensi pulsus Pedet (umur beberapa hari) 116 – 141 Pedet (umur 1 bulan) 105 Pedet (umur 6 bulan) 96 Sapi muda (umur 1 tahun) 91 Sapi dewasa 40 – 60 Sapi tua 35 – 70 Sumber : Akoso (1996)
2.2.3 Frekuensi Respirasi Respirasi adalah aktivitas bernafas atau yang lebih spesifik adalah proses pengambilan oksigen (O2) untuk digunakan oleh jaringan dan melepaskan karbondioksida (CO2). Dalam satu kali respirasi, terdapat dua mekanisme penting yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah masuknya udara atmosfir ke dalam saluran paru-paru dan ekspirasi adalah keluarnya udara alveoler dari paru-paru dan saluran pernafasan (Cunningham, 2002). Pusat pernafasan diatur oleh medulla oblongata dan pons. Medulla oblongata memiliki substansi retikularis berfungsi sebagai pengaturan inspirasi dan ekspirasi dalam mengatur irama dasar pernafasan. Pons berfungsi sebagai pusat pneumotaksik dan pusat apneumotaksik yang dapat memengaruhi kecepatan dan irama pernafasan (Frandson, 1992). Frekuensi pernafasan merupakan salah satu indikator yang tepat bagi status kesehatan hewan ternak. Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran tubuh, umur hewan, aktifitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kondisi kesehatan hewan dan posisi hewan (Kelly, 1984). Pengukuran respirasi dapat dilakukan dengan melihat gerakan otot abdomen dan tulang iga, merasakan hembusan nafas dengan cara meletakan punggung
11
12
tangan di depan lubang hidung atau dengan mendengarkan suaran nafas menggunakan stetoskop di daerah dada. Tabel 2. Frekuensi respirasi normal sapi Frisien Holstein Jenis hewan Frekuensi respirasi Pedet (umur beberapa hari) 56 Pedet (umur 1 bulan) 37 Pedet (umur 6 bulan) 30 Sapi muda (umur 1 tahun) 27 Sapi dewasa 12 – 16 Sapi tua 12 – 16 Sumber : Akoso (1996)
2.2.4 Frekuensi Detak Jantung Sistem kardiovaskular merupakan suatu sistem sirkulasi atau alat transport darah yang yang terdiri atas jantung dan pembuluh darah. Sistem kardiovaskular berperan mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Jantung merupakan struktur otot berbentuk kerucut yang bekerja otonom, memiliki basis pada bagian dorsalnya dan
berongga. Jantung berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh,
sedangkan pembuluh darah berperan untuk mendistribusikan darah ke seluruh tubuh. Kualitas kardiovaskular dapat digambarkan berdasarkan banyaknya jantung berdetak setiap ukuran waktu (menit), yang disebut dengan detak jantung (Cunningham, 2002). Kekuatan kontraksi jantung dipengaruhi oleh sistem saraf otonom. Saraf vagus bekerja sebagai penghambat kerja jantung dengan menurunkan kontraksi otot jantung, kecepatan kontraksi dan kecepatan konduksi impuls di dalam jantung. Rangsangan simpatis berfungsi meningkatkan kerja jantung, kontraksi otot dan konduksi impuls. Faktor yang memengaruhi detak jantung antara lain,
12
13
jenis hewan, ras, jenis kelamin, ukuran tubuh, umur, kebuntingan, aktifitas tubuh, stres, lingkungan, dan kesehatan (Kelly, 1984). Pengamatan frekuensi detak jantung dapat dihitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan di atas apeks jantung di rongga thoraks sebelah kiri, pada intercostae 2-5. Tabel 4. Kisaran detak jantung ternak normal Spesies Kisaran detak jantung (x/menit) Kuda Babi Kambing Sapi Domba Anjing
23-70 55-86 70-135 60-70 60-120 100-130
Sumber : Duke’s (1995)
2.3 Sentra Pembibitan Sapi Bali Sentra pembibitan sapi bali berlokasi di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Sentra pembibitan ini memelihara 346 ekor sapi bali yang terdiri dari 288 ekor indukan, 21 ekor pejantan dan 37 pedet. Sentra pembibitan sapi bali ini memiliki lahan seluas 10 Ha, yang terdiri dari 8 Ha yang digunakan untuk hijauan dan 2 Ha untuk bangunan.
13