BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Bangsa sapi bali memiliki klasifikasi toksonomi menurut Williamson dan Payne (1993) sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Ordo
: Artiodactyla
Sub-ordo
: Ruminantia
Family
: Bovidae
Genus
: Bos
Species
: Bos sondaicus
Sapi bali (Bos sondaicus) adalah sapi berdarah murni karena merupakan hasil domestikasi (penjinakan) langsung dari banteng liar. Banteng liar tersebut kini masih dapat ditemui di hutan Ujung Kulon (Jawa Barat), Ujung Wetan (Jawa Timur), dan Taman Nasional Bali Barat. Guntoro (2002) menyatakan bahwa, sapi bali merupakan ras atau bangsa sapi tersendiri yang asli berasal dari negara kita. Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng) yang mempunyai kekhasan tertentu bila dibandingkan dengan bangsa sapi eropa (Bos taurus) dan bangsa sapi india (Bos indicus). Sapi bali memiliki daya adaptasi tinggi pada daerah dataran tinggi, berbukit dan dataran rendah (Kadarsih, 2004). Tingkat kesuburan (fertilitas) sapi bali termasuk amat tinggi dibandingkan dengan jenis sapi lain, yaitu mencapai 83% (Darmadja, 1980) tanpa terpengaruh oleh mutu pakan. Sapi bali merupakan salah satu ternak yang banyak dimanfaatkan oleh petani sebagai tenaga kerja pertanian. Sapi bali dimanfaatkan untuk mengangkut alat dan hasil kebun kelapa
sawit (Dwatmadji et al., 2004). Sapi bali juga berfungsi sebagai sumber pendapatan, sebagai sarana upacara keagamaan, sebagai hiburan (makepung) dan obyek wisata. Bali merupakan daerah penyebaran utama sapi bali, sedangkan daerah penyebaran lainnya di Indonesia adalah Sulawesi, Kalimantan, Lampung, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selain di Indonesia sapi bali juga dapat ditemukan di beberapa negara seperti di Timor Leste, Malaysia dan Australia ( Kadarsih, 2004; Batan. 2002). Sapi bali sebagai salah satu bangsa sapi yang memiliki ciri-ciri tersendiri (khusus) yang berbeda dengan bangsa sapi lainnya. Pada usia pedet, sapi bali mempunyai rambut warna merah bata baik pedet jantan maupun pedet betina, sedangkan setelah dewasa rambut sapi jantan berubah warna menjadi hitam. Warna rambut pada bagian belakang kedua pahanya berwarna putih yang dikenal dengan white mirror, sedangkan warna rambut dibawah persendian loncat keempat kakinya berwarna putih yang dikenal dengan white stocking. Pada bagian punggung terdapat garis berwarna hitam (alae stipe), serta ujung ekor berwarna hitam (Darmadja, 1980). Sapi bali tidak memiliki punuk seperti halnya banteng, bentuk badannya kompak dan dadanya dalam. Sapi bali lebih agresif bila dibandingkan dengan bangsa sapi lain. Jika hendak memegang atau mendekati sapi bali, pakaian berwarna merah hendaknya dihindari agar tidak diserang. Sapi bali suka menyerang orang berpakaian merah. Guntoro (2002) mengatakan sapi bali akan menjadi penurut pada orang yang biasa dekat dengannya. Pada sapi bali ditemukan beberapa pola warna yang menyimpang seperti dikemukakan Hardjosubroto dan Astuti (1993). Sapi injin adalah sapi bali yang warna rambut tubuhnya hitam sejak kecil, warna rambut telinga bagian dalam juga hitam, pada yang jantan sekalipun dikebiri tidak terjadi perubahan warna. Sapi mores adalah sapi bali yang seharusnya pada bagian bawah tubuh berwarna putih tetapi ada warna hitam atau merah pada bagian bawah
tersebut. Sapi tutul adalah sapi bali yang bertutul putih pada bagian tubuhnya. Sapi bang adalah sapi bali yang kaos putih pada kakinya berwarna merah. Sapi panjut adalah sapi bali yang ujung ekornya berwarna putih. Sapi cundang adalah sapi bali yang dahinya berwarna putih dan yang terakhir menurut Masudana (1990) adalah sapi lembu, yaitu sapi yang berwarna putih albino. Sapi bali memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap beberapa jenis penyakit. Sapi bali sangat peka terhadap penyakit Jembrana/Ramadewa dan Malignant Catarrhal Fever (MCF). Penyakit Jembrana hanya menyerang sapi bali. Penyakit tersebut selain pernah terjadi di Propinsi Bali juga pernah terjadi di Propinsi Lampung, Sumatera Selatan (disebut penyakit Ramadewa) dan Jawa Timur (disebut Penyakit Banyuwangi). Tingkat insidens penyakit Jembrana per tahun dilaporkan Peranginangin (1990) sebesar 0,55% dengan persentase kematian dari hewan yang terserang mencapai 11,18%. Sapi bali juga sangat rentan terhadap penyakit Malignant Catarrhal Fever. Kematian dapat mencapai 100% dari ternak yang sakit. Sapi madura dan kerbau adalah jenis ternak yang rentan terhadap penyakit tersebut. Sapi keturunan Bos indicus dan Bos taurus relatif tahan terhadap penyakit MCF. Kambing dan domba diketahui merupakan ternak yang sering menyimpan virus MCF dalam jangka waktu lama tanpa menjadi sakit (reservoir) setelah terinfeksi. Daerah-daerah dengan populasi kambing dan domba yang tinggi menyebabkan serangan MCF pada sapi bali menjadi tinggi. Daerah pengembangan sapi bali menjadi agak terbatas dan harus dipilih daerah-daerah yang mempunyai populasi kambing dan domba yang rendah.
2.2 Status Praesen Status praesen adalah kondisi fisiologis hewan saat ini, atau keadaan umum normal dari hewan. Hal yang termasuk status praesen adalah temperatur tubuh, respirasi, detak jantung, dan pulsus. 2.2.1 Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur tubuh hewan dihasilkan dari keseimbangan antara produksi panas tubuh yang dihasilkan oleh metabolisme basal dan aktivitas otot tubuh dengan panas yang dikeluarkan oleh tubuh (Pieterson dan Foulkes, 1988). Panas tubuh yang hilang lewat kulit kira-kira sejumlah 85%, sisanya dikeluarkan melalui respirasi dan urinasi. Pusat pengaturan temperatur tubuh (termoregulasi) terletak di hipotalamus. Fungsi dari pusat pengatur temperatur tubuh adalah mempertahankan agar temperatur tubuh selalu dalam keadaan normal dan konstan. Temperatur tubuh normal merupakan kondisi optimal untuk berlangsungnya semua proses fisiologis atau metabolisme di dalam tubuh seperti berdetaknya jantung, proses respirasi, pencernaan dan lain-lain (SchÖnbaum & Peter 1991). Abnormal dari temperatur ini digunakan oleh dokter hewan untuk membantu mendiagnosis penyakit dan merupakan simptom visual yang pertama dan mudah digunakan oleh pemilik hewan untuk mengetahui hewannya sakit. Temperatur rektum dianggap dapat mewakili temperatur tubuh dan paling sedikit dipengaruhi oleh perubahan temperatur lingkungan sehingga lebih stabil dibandingkan dengan tempat lain. Temperatur tubuh hewan diukur dengan cara memasukkan termometer ke dalam rektum. Temperatur tubuh pada hewan domestikasi selalu bervariasi tergantung atas aktivitas fisik (Upadhyay dan Madan 1985; Pieterson dan Foulkes, 1988; Dwatmadji et al., 2004), status kebuntingan, waktu pemeriksaan, kondisi tertidur (Beatty et al., 2006) dan
kondisi lingkungan. Temperatur tubuh dinyatakan dalam derajat celcius, tetapi di beberapa negara digunakan skala pengukuran Fahrenheit. Pemeriksaan temperatur tubuh hewan pada umumnya dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi hari dan sore hari. Hewan yang sehat memiliki temperatur tubuh pada pagi hari yang lebih rendah dibandingkan dengan temperatur tubuh pada siang dan sore hari. Secara fisiologis, temperatur tubuh akan meningkat hingga 1.5ºC pada saat setelah makan, saat partus, terpapar suhu lingkungan yang tinggi, dan ketika hewan banyak beraktifitas fisik maupun psikis (Kelly 1984). Menurut Rosenberger (1979), temperatur tubuh sapi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu . Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi temperatur tubuh normal pada sapi Umur
Temperatur tubuh sapi pada pedet adalah 38.5-39.5 ºC, pada sapi muda 38.5-39.5 ºC, dan pada sapi dewasa 38.0-39.0 ºC.
Waktu pengukuran
Temperatur tubuh pada umumnya lebih tinggi 0.5-1.0 ºC pada sore hari dibandingkan pagi hari.
Kondisi lingkungan
Suhu dan kelembaban lingkungan memberikan pengaruh pada temperatur tubuh.
Aktifitas fisik
Exercise dan makan akan meningkatkan temperatur tubuh akibat peningkatan metabolisme.
Fungsi Peningkatan temperatur tubuh (0.5-1.0 ºC) terjadi pada 24 jam reproduksi pada sebelum estrus dan partus sapi betina Sumber : Rosenberger, 1979 Panas tubuh dihasilkan dari hasil metabolisme yang berasal dari dalam tubuh. Energi dari pakan akan diubah dalam bentuk panas yang akan disebarkan ke lingkungan dan ke seluruh permukaan tubuh. Apabila suhu lingkungan melebihi temperatur tubuh hewan dan hewan terpapar oleh radiasi panas, maka hewan akan berusaha melawan panas tersebut. Begitu juga jika hewan terpapar oleh sinar matahari langsung atau berada di dekat dengan benda padat yang lebih hangat dibandingkan dengan temperatur tubuhnya. Panas tubuh akan
beradaptasi menuju lingkungan sekitar melalui pemancaran dari permukaan tubuh menuju obyek yang lebih dingin (Cunningham 2002). Apabila temperatur tubuh terlalu panas, maka sistem regulasi temperatur akan mengaktifkan tiga mekanisme untuk menurunkan temperatur tersebut dengan cara: 1. Vasodilatasi. Pada hampir semua area tubuh akan terjadi vasodilatasi. Hal tersebut disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi pembuluh darah tersebut akan meningkatkan perpindahan panas ke kulit, sehingga panas akan dilepaskan. 2. Berkeringat. Peningkatan temperatur akan menyebabkan tubuh mengaktifkan mekanisme berkeringat, sehingga panas tubuh akan dilepaskan melalui evaporasi. 3. Penurunan pembentukan panas. Apabila terjadi peningkatan temperatur maka mekanisme pembentukan panas dalam tubuh seperti menggigil dan termogenesis kimia akan dihambat. Apabila temperatur tubuh terlalu dingin, maka sistem termoregulasi akan mengaktifkan reaksi : 1. Vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Hal tersebut terjadi karena adanya rangsangan pada pusat simpatis hipotalamus posterior. Vasokonstriksi akan menyebabkan terjadinya perpindahan panas ke kulit berkurang sehingga kehilangan panas dapat dicegah. 2. Piloereksi. Rangsangan simpatis akan menyebabkan otot erektor pili pada folikel rambut akan berkontraksi sehingga akan membentuk lapisan tebal “isolator udara” yang akan mencegah pelepasan panas dari tubuh. 3. Peningkatan
pembentukan
panas.
Mekanisme
tubuh
yang
akan
meningkatkan
pembentukan panas adalah menggigil, rangsangan simpatis pembentuk panas dan sekresi tiroksin. Ketiga hal tersebut akan meningkatkan metabolisme basal tubuh sehingga panas akan terbentuk (SchÖnbaum & Peter 1991; Guyton & Hall 1997).
2.2.2 Respirasi Sistem pernafasan memiliki fungsi utama untuk menyuplai oksigen (O2) ke seluruh tubuh dan mengeluarkan karbondioksida (CO2) dari tubuh. Oksigen berfungsi pada proses metabolisme dan pengatur konsentrasi ion hidrogen dalam cairan tubuh sehingga proses metabolisme di dalam tubuh dapat berjalan baik. Pusat pernafasan diatur oleh medulla oblongata dan pons. Medulla oblongata memiliki substansi retikularis berfungsi sebagai pengatur inspirasi dan ekspirasi dalam mengatur irama dasar pernafasan. Pons berfungsi sebagai pneumotaksik dan pusat apneumotaksik yang dapat mempengaruhi kecepatan dan irama pernafasan (Frandson, 1992). Respiratory rate adalah jumlah frekuensi inspirasi dan ekspirasi yang dilakukan dalam setiap menit. Proses inspirasi dan ekspirasi terjadi akibat selisih tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus disebabkan kerja mekanik otot-otot di wilayah rongga thoraks (Frandson, 1992). Volume tidal dan frekuensi respirasi (respiration rate) akan menghasilkan volume respirasi per menit (minute volume). Respirasi yang lebih dangkal akan menurunkan volume tidal dan respirasi yang dalam akan meningkatkan volume tidal (Frandson,1992; Ganong 2002). Respirasi adalah aktivitas bernafas atau yang lebih spesifik adalah proses pengambilan oksigen untuk digunakan oleh jaringan dan melepaskan karbondioksida. Proses respirasi terdiri atas inspirasi dan ekspirasi. Frekuensi respirasi merupakan upaya ternak untuk mengurangi panas tubuh yang disebabkan oleh lingkungan. Pengukuran respirasi dapat dilakukan dengan melihat gerakan otot abdomen dan tulang iga, merasakan hembusan nafas dengan cara meletakkan punggung tangan di depan lubang hidung atau dengan mendengarkan suaran nafas menggunakan stetoskop di daerah dada. Peningkatan respirasi dapat disebabkan oleh peningkatan aktivitas hewan (Upadhyay dan Madan 1985; Pieterson dan Foulkes, 1988; Dwatmadji et al., 2004).
Penghitungan respirasi pada sapi dilakukan dengan cara menghitung gerakan flank dan tulang rusuk yang bergerak simetris pada saat inspirasi selama satu menit. Respirasi normal pada sapi dewasa adalah 15-35 kali per menit dan 20-40 kali pada pedet (Jackson & Cockroft 2002). Frekuensi respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, adanya gangguan pada saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly 1984). Tabel berikut merupakan kisaran normal respirasi beberapa ternak: Tabel 2. Kisaran normal respirasi pada beberapa ternak Nomor 1. 2. 3 4 5
Spesies
Kisaran Respirasi (kali/menit)
Sapi Kambing Domba Kelinci Ayam
24-42 26-54 26-32 25-27 18-23
Sumber : Frandson, 1992 Tipe pernafasan pada sapi adalah abnominal. Kelainan yang ditunjukkan dengan dominasi pernafasan kostal dikarenakan adanya gangguan otot diafragma akibat paralisis, ruptur, abses, dan tekanan dari neoplasma, serta akibat dari akumulasi gas ataupun cairan pada rongga perut dan peritoneum, penyakit paru-paru seperti pneumonia dan edema paruparu yang menyebabkan udara yang masuk ke dalam paru-paru terhalangi dan juga akibat peritonitis yang menyebabkan pergerakan dinding diafragma dan abdominal menjadi sakit (Kelly 1984). 2.2.3 Detak Jantung Sistem kardiovaskuler merupakan suatu sistem sirkulasi atau alat transport darah yang terdiri atas jantung dan pembuluh darah. Sistem kardiovaskular berperan mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Jantung merupakan struktur otot berbentuk kerucut yang bekerja otonom, memiliki basis pada bagian dorsalnya dan berongga, sedangkan pembuluh darah berperan untuk mendistribusikan darah ke seluruh tubuh.
Kualitas kardiovaskular dapat digambarkan berdasarkan banyaknya jantung berdetak setiap ukuran waktu (menit), yang disebut dengan detak jantung (Cuningham, 2002). Suatu detakan lengkap terdiri dari kontraksi (sistol) dan relaksasi (diastole). Kedua atrium berkontraksi secara serempak disebut
sistol ventrikel, sedangkan relaksasinya disebut
diastole ventrikel. Bunyi pertama yang terjadi karena menutupnya katub atrioventrikuler dan kontraksi dari ventrikel. Bunyi kedua terjadi karena menutupnya katub aortic dan pulmoner sesudah kontraksi dari ventrikel. Bunyi pertama terdengar “lup” dan bunyi kedua terdengar “dup”. Pengamatan terhadap frekuensi detak jantung pada ruminansia (seperti sapi) dihitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri. Menurut Rosenberger (1979), frekuensi detak jantung dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan berat badan. Faktor yang mempengaruhi detak jantung antara lain, jenis hewan, ras, jenis kelamin, ukuran tubuh, umur kebuntingan, aktifitas tubuh, stres, cekaman lingkungan, dan kesehatan (kellly, 1984). Secara umum kecepatan detak jantung yang normal cenderung lebih besar pada hewan– hewan kecil dan kemudian semakin lambat dengan semakin besarnya ukuran hewan (Frandson 1992). Denyut pulsus dan detak jantung pada hewan sehat akan selalu sinkron. Frekuensi pulsus yang lebih rendah dari frekuensi jantung menandakan adanya insufisiensi jantung yang ditandai dengan kelemahan ventrikular (Rosenberger 1979). Kisaran detak jantung normal untuk berbagai jenis ternak seperti yang dikemukakan oleh Duke’s (1995) adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Kisaran detak jantung ternak normal Nomor
Spesies
Kisaran Detak jantung (kali/menit)
1. Sapi 2. Babi 3. Kambing 4. Kucing 5. Kuda 6. Domba 7. Anjing Sumber : Duke’s, 1995
60-70 55-86 70-135 110-140 23-70 60-120 100-130
Kekuatan kontraksi jantung dipengaruhi oleh sistem saraf otonom. Saraf yang bekerja sebagai penghambat kerja jantung dengan menurunan kontraksi otot jantung, kecepatan kontraksi dan kecepatan konduksi impuls di dalam jantung. 2.2.4 Pulsus Pulsus didefinisikan sebagai denyutan yang dirasakan saat penekanan secara perlahan diatas buluh arteri. Ritme denyut ini merupakan refleksi dari detak jantung. Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan pulsus adalah frekuensi, ritme, dan kualitas. Frekuensi pulsus ditentukan dengan menghitung detak jantung selama satu menit. Ritme dari pulsus yang normal dapat dilihat dari urutan ritme setiap denyut secara teratur dalam interval tertentu. Kualitas yang baik dideskripsikan dari tekanan dinding arteri, hal ini sebagai indikasi aliran darah pada pembuluh darah. Volume darah yang dicurahkan setiap kali jantung memompa akan dialirkan ke pembuluh darah dengan adanya elastisitas aorta untuk mengembang. Setelah darah masuk ke dalam aorta maka aorta akan mengecil kembali dan dengan demikian darah selanjutnya tertekan dan mengalir ke dalam pembuluh darah. Gelombang peregangan sistolik ini akan merambat ke seluruh sistem arteri dengan kecepatan tinggi (4-5 m/detik) tanpa tergantung kepada kecepatan darah (50 cm/detik) dan akan melemah sesuai dengan penurunan energi dan pengecilan pembuluh darah di perifer. Gelombang pulsus sangat tergantung kepada frekuensi detak jantung, besarnya volume pada setiap aksi pemompaan oleh jantung,
kecepatan pemompaan, elastisitas pembuluh darah, lumen pembuluh darah perifer, serta aliran dan resistensi perifer. Perubahan-perubahan yang terjadi pada pulsus dapat berkaitan dengan gangguan pada otot dan klep jantung serta penyakit pembuluh darah, dan sekunder akibat adanya gangguan/penyakit pada organ lain. Arteri yang dapat digunakan untuk memeriksa pulsus adalah arteri yang terletak di bawah kulit dan memiliki ukuran tertentu. Pulsus dapat dipalpasi (dengan jari) pada arteri superfisial yang terletak pada jaringan lunak dan dapat ditekan sampai ke tulang. Jika telah ditemukan arteri tersebut, arteri tetap difiksir dengan jari dan tekanan dikendorkan secara perlahan-lahan, sampai dirasakan ada denyutan, dan frekuensi pulsus dihitung selama satu menit. Pengukuran pulsus pada sapi dilakukan pada arteri maxillaris eksternal. Posisi dari arteri maxillaris eksternal melintang menuju ramus mandibularis bawah
didepan otot maseter atau didaerah insisura fassorum (di bawah
mandibula). Pemeriksaan pulsus dapat juga dilakukan pada arteria saphena magna dan arteria coccygea mediana. Pulsus hewan dapat dirasakan dengan menempelkan tangan pada pembuluh darah arteri coccygeal di bawah ekor bagian tengah sekitar 10 cm dari anus (Kelly 1984). Frekuensi normal dari pulsus bervariasi dari masing-masing spesies dan individu. Variasi dari pulsus dipengaruhi oleh faktor umur, ukuran tubuh, jenis kelamin, bangsa sapi, kondisi atmosfer, waktu pengukuran, latihan/beban kerja sapi (Upadhyay dan Madan 1985; Pieterson dan Foulkes, 1988; Dwatmadji et al., 2000). Tabel 4. Kisaran normal pulsus pada beberapa ternak Hewan Rata-Rata Pulsus(kali/menit) Sapi 65 Kambing 90 Kelinci 125 Ayam 225 Sumber : Smith, 1988
Kisaran(kali/menit) 60-70 70-175 123-304 180-450
2.3 Status Reproduksi Kebuntingan Trimester Pertama Kebuntingan dimulai sejak bersatunya sel kelamin jantan (spermatozoa) dengan sel kelamin betina (ovum) menjadi sel baru yang dikenal dengan istilah zigot (Nancarrow et al., 1981; McDonald, 1989). Stabenfeld dan Edqvist (1984) mengatakan bahwa periode kebuntingan dimulai dengan fertilisasi dan diakhiri dengan kelahiran. Lama kebuntingan pada sapi bali sekitar 280-294 hari (Devendra et al., 1973). Berdasarkan ukuran individu dan perkembangan jaringan serta organ, periode kebuntingan dibedakan atas tiga bagian yaitu periode ovum, periode embrio dan periode fetus. Periode ovum terjadi selama 10-12 hari sejak pembuahan, periode embrio berlangsung selama 12-45 hari masa kebuntingan dan periode fetus berlangsung dari hari ke 45 masa kebuntingan hingga partus (Feradis, 2010) Sapi yang bunting akan menunjukkan ciri-ciri yang berbeda jika dibandingkan dengan sapi yang tidak bunting. Pada kebuntingan trimester pertama terjadi perubahan-perubahan organ reproduksi yaitu vulva semakin edomatus dan vaskuler, mukosa vagina terlihat kering dan pucat, os ekterna servik tertutup rapat, kripta endoservikal bertambah jumlahnya dan menghasilkan mukus yang sangat kental dan menyumbat saluran servik, uterus membesar secara progresif sesuai usia kebuntingan serta uterus mengalami perubahan berupa vaskularisai endometrium setelah fertilisasi, adanya korpus luteum kebuntingan (verum) sehingga siklus estrus terhenti, adanya fibrasi arteri uterina mediana, dan pada ligamentum pelvis dan symphisis pubis terjadi releksasi sejak awal kebuntingan dan meningkat secara progresif menjelang partus (Toelihere, 1993). Kelenjar hormon yang berperan selama kebuntingan adalah corpus luteum yang menghasilkan hormon progesteron, fungsinya untuk memelihara kebuntingan. Level progesteron pada sapi bunting mulai berbeda nyata dengan sapi yang tidak bunting pada hari
ke-10 dan meningkat secara tajam setelah hari ke-18. Pada akhir kebuntingan kadar hormon progesteron akan menurun. Hormon progesteron ini menghambat sekresi hormon LH sehingga tidak terjadi pemasakan corpus luteum selama kebuntingan.Plasenta yang menghasilkan hormon progesteron dan estrogen. Progesteron berada dalam darah plasenta dan organ sasarannya adalah uterus sehingga uterus akan menjadi tenang selama kebuntingan dan fetus aman berada dalam uterus. Estrogen bekerja timbal balik dengan progesteron. Sekresi estrogen meningkat sesuai dengan umur kebuntingan dan lebih meningkat menjelang kelahiran (Frandson, 1992). 2.4 Sentra Pembibitan Sapi bali di Desa Sobangan Sentra pembibitan sapi bali terletak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Tempat ini telah diresmikan pada tahun 2010. Sentra Pembibitan memelihara 346 ekor sapi bali yang terdiri dari 288 ekor indukan, 21 ekor pejantan dan 37 pedet. Luas area lahan sebesar 10 Hekta are (Ha), yang terdiri dari 8 Ha digunakan untuk hijauan, dan 2 Hekta are (Ha) digunakan untuk kandang dan ruang administrasi. Kondisi geografis Kecamatan Mengwi berada pada ketinggian 350 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata sepanjang tahun 2013 mencapai sekitar 2.029,0 mm. Kecamatan Mengwi mempunyai suhu yang relatif tinggi yaitu 26°C sampai 37°C dengan kelembaban 81-87% (Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2011).