TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Sapi menurut Blakely dan Bade (1992), diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodactile (berkuku atau berteracak genap), sub-ordo Ruminansia (pemamah biak), famili Bovidae (bertanduk rongga), genus Bos (pemamah biak berkaki empat), spesies Bos taurus (sebagian besar bangsa sapi) dan Bos indicus (berpunuk). Sapi PO merupakan sapi yang memiliki punuk dan diklasifikasikan ke dalam species Bos indicus. Menurut Talib et al. (2003), sapi Bali diklasifikasikan ke dalam Bos sondaicus. Sapi Bali Wibisono (2010) dan Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa sapi Bali merupakan tipe banteng (Bos bibos-Banteng Wagner) yang dijinakkan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa sapi Bali berasal dari Indonesia dan dapat ditemukan di Bali, Lombok, Timur, Flores, Sulawesi, Jawa Timur, Kalimantan dan sejumlah kecil di Sabah. Sapi Bali berukuran tubuh sedang, berdada dalam dan kaki bagus. Bulu badan pada saat muda (pedet), berwarna sawo matang sampai kemerahan. Setelah dewasa, Sapi Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur tiga tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi itu dikebiri karena pengaruh hormon testosteron. Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa sapi Bali memiliki bibir, kaki dan ekor berwarna hitam; sedangkan warna putih ditemukan pada bagian lutut ke bawah dan bokong yang berbentuk oval. Garis hitam dari bahu sampai di atas ekor, ditemukan pada punggung. Jantan memiliki warna yang lebih gelap. Sapi Bali memiliki kemampuan tumbuh baik dengan makanan berkualitas rendah. Sapi Bali digunakan sebagai
ternak
kerja, tetapi dianggap sebagai ternak potong karena
memiliki kualitas karkas yang baik. Kulit berpigmen dan halus. Kepala lebar dan pendek dengan puncak kepala yang datar, telinga berukuran sedang dan bediri. Tanduk
jantan berukuran besar tumbuh ke samping kemudian ke atas dan
meruncing. Pane (1991) menyatakan bahwa sapi Bali jantan memiliki ukuran-ukuran tubuh yang meliputi bobot badan 350-400 kg, panjang badan 125-134 cm, lingkar dada 180-185 cm dan tinggi pundak 122-126 cm. Gambar 1 menyajikan sapi Bali jantan.
Gambar 1. Sapi Bali Sapi PO Sapi PO adalah bangsa sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Sumba Ongole (SO) dan sapi betina lokal Jawa. Sapi PO berwarna putih, berpunuk dan gelambir. Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan reproduksi induk cepat kembali normal setelah beranak, jantan memiliki kualitas semen yang baik (Erlangga, 2009).
4
Gambar 2. Sapi Peranakan Ongole Sumber: Erlangga (2009)
Bobot hidup dewasa pada jantan yaitu 350-450 kg dan betina 300-400 kg dan karkas yang dihasilkan atau produksi karkas sebesar 45% dari bobot hidup. Tubuh berwarna putih kelabu atau kehitam-hitaman dengan kaki berukuran panjang. Kepala relatif pendek dengan profil melengkung. Punuk besar, demikian juga dengan lipatan-lipatan kulit di bawah leher dan perut. Bangsa sapi ini tahan terhadap panas dan kualitas pakan yang jelek (Natasasmita dan Mudikdjo, 1985). Gambar 2 menyajikan sapi PO jantan. Pertumbuhan Ternak mengalami pertumbuhan secara cepat sejak lahir sampai ternak mencapai dewasa kelamin. Pada periode ini ternak mengalami pertumbuhan jaringan dan otot secara cepat. Setelah mencapai dewasa kelamin, ternak tetap mengalami pertumbuhan, dengan kecepatan pertumbuhan semakin berkurang sampai dengan pertumbuhan tulang dan otot berhenti (Herren, 2000). Periode pertumbuhan diawali
5
dengan pertumbuhan tulang yang sangat cepat. Laju pertumbuhan otot menurun dan deposisi lemak meningkat setelah ternak mengalami pubertas (Soeparno, 1992). Bobot ternak muda akan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang tinggi sampai pubertas dengan kondisi lingkungan yang terkendali. Bobot badan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin menurun setelah pubertas dan peningkatan bobot badan tidak terjadi setelah dewasa tubuh dicapai (Apriliyani, 2007). Ukuran Tubuh Otsuka et al. (1982) meneliti asal usul dan hubungan genea-logical pada beberapa tipe sapi asli Asia Timur, termasuk beberapa sapi lokal di Indonesia, berdasarkan ukuran tubuh menurut metoda baku dirancang Wagyu Cattle Registry Association Japan. Pengukuran meliputi withers height (tinggi pundak), hip height (tinggi pinggul), body length (panjang badan), chest width (lebar dada), chest depth (dalam dada), hip width (lebar pinggul), thurl width (lebar kelangkang), pin bones width (lebar tulang duduk), rump length (panjang kelangkang), hearth girth (lingkar dada) dan cannon circumference (lingkar tungkai bawah). Muhibbah (2007) menyatakan bahwa ukuran-ukuran linear tubuh ternak merupakan bagian tubuh ternak yang berhubungan secara linier mengalami pertambahan satu sama lain sampai dengan pertumbuhan berhenti. Margawati et al. (2010) menyatakan bahwa bobot badan yang meningkat akan dimanifestasikan ke dalam peningkatan ukuran-ukuran linear tubuh. Rahayu (2003) menyatakan bahwa terdapat korelasi antara tinggi pinggul dan bobot badan. Tinggi pundak memiliki korelasi positif terhadap bobot badan, pertumbuhan tinggi pundak akan berhenti setelah dewasa tubuh. Ternak akan tetap mengalami pertumbuhan, namun kecepatan pertumbuhan semakin berkurang sampai dengan pertumbuhan tulang dan otot berhenti (Herren, 2000). Suin (2001) menyatakan bahwa deposit otot dan lemak akan terbentuk akibat pengaruh lingkungan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa sapi karapan yang mendapatkan sistem pemeliharaan yang lebih teratur dan latihan rutin memiliki tinggi pundak yang lebih besar pada umur 2-3 tahun. Utami (2008) menyatakan bahwa panjang badan, lebar dada, dalam dada dan lingkar dada merupakan ukuran tubuh yang mempengaruhi bobot badan pada ternak ruminansia. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dalam dada merupakan diameter vertikal 6
dari badan ternak yang dianggap volume ruang tabung sehingga dalam dada memiliki korelasi positif terhadap bobot badan ternak. Bentuk tubuh yang silinder dipengaruhi diameter alas dan tinggi silinder (Utami, 2008). Kadarsih (2003) menyatakan bahwa panjang badan memiliki peranan sebesar 84% pada betina sapi Bali pada umur dewasa tubuh. Lingkar dada pada sapi yang berumur dewasa tubuh dapat digunakan sebagai peramal bobot badan dengan nilai determinasi sebesar 22,2% Rachma et al. (2009) menyatakan bahwa panjang kelangkang dan lebar kelangkang dapat digunakan sebagai variabel ukuran tubuh untuk menduga bobot badan dengan koefisien determinasi sebesar 82,9%. Mulliadi (1996) menyatakan bahwa tedapat korelasi positif lingkar cannon terhadap bobot badan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa hewan yang mempunyai dimensi tulang kaki yang besar cenderung tumbuh lebih cepat dan menghasilkan daging yang banyak (Utami, 2008). Menurut Suin (2001) lingkar metakarpus sapi karapan lebih kecil daripada sapi non-karapan karena sapi karapan membutuhkan lari cepat. Estimasi Bobot Hidup Sapi Dewasa Apriliyani (2007) menyatakan bahwa bobot badan sapi dapat diduga berdasarkan ukuran tubuh. Darmayanti (2003) menyatakan bahwa bobot badan pada umumnya mempunyai hubungan positif terhadap semua ukuran linear tubuh. Rahayu (2003) menyatakan bahwa pendugaan bobot badan pada sapi dapat dilakukan dengan menggunakan ukuran lingkar dada. Apriliyani (2007) menyatakan bahwa ukuran tubuh yang dapat digunakan untuk menduga bobot badan adalah panjang badan, dalam dada, tinggi gumba, tinggi pinggul dan lingkar dada. Mulliadi (1996) menyatakan tinggi pundak, panjang badan, lebar dada, tinggi pinggul, tinggi pundak, dalam dada, panjang kelangkang, lebar dada, lebar kelangkang dan lingkar cannon berpengaruh terhadap bobot badan domba Garut. Muhibbah (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan ukuran-ukuran linier tubuh ternak satu sama lain berhubungan secara linier. Wirdateti et al. (2009) menyatakan bahwa penggunaan variabel bebas yang semakin banyak dalam menduga bobot badan akan diperoleh derajat ketepatan yang semakin tinggi.
7
Analisis Regresi Komponen Utama (ARKU) Analisis Regresi Komponen Utama (ARKU) merupakan kombinasi klasik antara Analisis Komponen Utama dan Analisis Regresi. Analisis Komponen Utama dijadikan sebagai tahap analisis antara untuk memperoleh hasil akhir dalam analisis regresi. Penggunaan ARKU biasa dilakukan dalam studi penelitian yang melibatkan variabel bebas dan saling ketergantungan satu dengan yang lain sehingga ARKU merupakan analisis regresi dari variabel tak bebas terhadap komponen-komponen yang berkorelasi (Gaspersz, 1992).
8