TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Salah satu bangsa sapi bangsa sapi perah yang dikenal oleh masyarakat adalah sapi perah Fries Holland (FH), di Amerika disebut juga Holstein Friesian disingkat Holstein, sedangkan di Eropa disebut Friesian. Sapi FH merupakan tipe perah yang memiliki produksi tertinggi dibandingkan dengan sapi perah lainnya (Sudono et al., 2003). Taksonomi sapi Friesian Holland yaitu : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Artiodactyla
Family
: Bovidae
Genus
: Bos
Spesies
: Bos taurus
(Tyler dan Ensminger, 2006). Sapi FH memiliki ciri-ciri yang mudah dikenali, yaitu warna bulu hitam dan putih dibeberapa bagian tubuhnya (Sudono et al., 2003). Sapi FH rata-rata produksi susunya mencapai 6000-7000 liter per laktasi di negara yang peternakan sapi perahnya sudah maju, sedangkan di Indonesia menurut Diwyanto et al. (2001) produksi susu sapi FH berkisar 2400-3000 liter per lakasi. Blakely dan Bade (1994) menyatakan Sapi FH mempunyai ukuran tubuh dan kecepatan pertumbuhan yang bagus. Hal ini menyebabkan sapi FH disukai untuk tujuan produksi daging. Peternakan Sapi Perah Berdasarkan
keputusan
Menteri
Pertanian
Republik
Indonesia
No.
36/KPTS/TN.120/5/1990, peternakan rakyat merupakan usaha yang dilakukan oleh rakyat di samping usaha taninya sehingga sifat pemeliharaannya masih tradisional. Perusahaan peternakan merupakan peternakan yang diselenggarkan oleh suatu perusahaan komersial dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya dan mempunyai izin usaha serta dalam proses produksinya telah menggunakan teknologi baru. Selain itu, pada perusahaan peternakan biasanya telah menerapkan hasil penelitian. Usaha peternakan sapi perah di
Indonesia
3
diklasifikasikan berdasarkan skala usahanya yaitu perusahaan peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah rakyat (Sudono, 1999). Usaha peternakan sapi perah rakyat adalah usaha peternakan yang memiliki total sapi perah di bawah 20 ekor dan perusahaan peternakan sapi perah adalah usaha peternakan yang memiliki lebih dari 20 ekor sapi perah (Pulungan dan Pambudy, 1993). Keuntungan usaha peternakan sapi perah yaitu peternakan sapi perah termasuk usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein hewani dan kalori, jaminan pendapatan yag tetap, tenaga kerja yang tetap, pakan yang relatif mudah dan murah, kesuburan tanah dapat dipertahankan, pedet jantan dijual untuk sapi potong dan pedet betina bisa dipelihara hingga dewasa dan menghasilkan susu (Sudono et al., 2003). Menurut Sudono (1999) mengatakan bahwa faktor yang terpenting untuk mendapatkan sukses dalam usaha peternakan sapi perah adalah peternak harus dapat menggabungkan kemampuan tata laksana yang baik dengan menentukan lokasi peternakan yang baik, besarnya peternakan, sapi-sapi yang berproduksi tinggi, pemakaian peralatan yang tepat, tanah yang subur untuk tanaman hijauan makanan ternak dan pemasaran yang baik. Faktor-faktor penentu ternak sapi perah merupakan indikator untuk melihat pengetahuan teknis beternak sapi perah dari para peternak. Faktor-faktor penentu ternak sapi perah meliputi lima aspek sesuai dengan standar penilaian dari Ditjen Peternakan (1983), yaitu 1). Breeding dan Reproduksi, 2). Makanan Ternak, 3). Pengelolaan, 4). Kandang dan Peralatan dan 5). Kesehatan Hewan. Ternak sapi perah yang banyak dipelihara adalah bangsa sapi perah Fries Holland (FH). Bangsa sapi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas produksi susu. Suhu kritis untuk sapi FH adalah 27ºC. Apabila suhu udara naik ke atas suhu kritis akan meyebabkan makannya berkurang karena sapi kesulitan melepaskan kelebihan panasnya, sehingga akan berdampak pada menurunnya produksi susu (Sudono, 1999). Industri peternakan sapi perah di Indonesia mempunyai struktur yang relatif lengkap. Struktur industri peternakan tersebut meliputi pabrik pakan, pabrik pengolahan susu, kelembagaan peternakan, dan peternak yang terdiri atas: 1). Usaha Besar (UB), dengan skala kepemilikan lebih dari 100 ekor. 2). Usaha Menengah (UM), dengan skala kepemilikan 30-100 ekor. 3). Usaha Kecil (UK), dengan skala
4
kepemilikan 10-30 ekor. 4). Usaha Rakyat (UR), dengan skala kepemilikan 1-9 ekor. Umumnya usaha rakyat merupakan anggota koperasi sedangkan usaha dengan skala lebih besar dimiliki oleh perusahaan swasta (Yusdja, 2005). Pakan Sapi Perah Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha peternakan sapi perah adalah pemberian pakan. Pemberian pakan sebaiknya harus sesuai dengan bobot badan sapi, kadar lemak susu, dan produksi susu (Sudono et al., 2003). Pakan yang diberikan pada sapi perah digolongkan menjadi tiga yaitu, pakan hijauan, pakan konsentrat dan pakan tambahan (Ensminger, 1971). Kebutuhan sapi perah akan pakan terdiri atas kebutuhan untuk hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi, dan produksi air susu (Bath et al., 1978). Pakan menjadi salah satu faktor penting dalam usaha ternak sapi perah. Jenis pakan yang diberikan akan mempengaruhi produksi dan kualitas susu, serta bisa berpengaruh terhadap kesehatan sapi perah. Pakan sapi perah adalah rumput dan konsentrat sebagi penguat. Sapi perah dapat mengkonsumsi berbagai jenis hijauan yang tersedia atau sisa-sisa hasil pertanian, seperti jerami, jagung, serta sisa pabrik misalnya ampas tahu atau bungkil kelapa. Konsentrat dapat berupa limbah hasil ikutan industri pertanian seperti dedak padi dan pollard (Sudono et al., 2003). Penelitian Hidayat (2001) di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali, rata-rata pakan hijauan ternak yang diberikan oleh peternak adalah 19.92 kg/ST/hari, konsentrat sebesar 2.71 kg/ST/hari, ubi kayu sebesar 3.14 kg/ST/hari, bekatul sebesar 0.84 kg/ST/hari, dan ampas tahu sebesar 0.32 kg/ST/hari. Kebutuhan sapi perah akan zat pakan diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu kebutuhan bahan kering (BK), kebutuhan energi, kebutuhan protein kasar (PK), dan kebutuhan zat-zat mineral (Sutardi, 1981). Pemberian zat-zat pakan harus dalam keadaan seimbang untuk mencapai produksi yang optimal (Makin, 1982). Pakan sapi perah yang sedang berproduksi susu terdiri dari sejumlah hijauan dan konsentrat (Siregar, 2007). Peranan hijauan pakan menjadi lebih penting karena berpengaruh terhadap kadar lemak susu yang dihasilkan (Aryogi et al., 1994). Konsentrat adalah pakan yang mengandung nutrisi tinggi dengan kadar serat yang rendah. Pakan konsentrat meliputi susunan bahan pakan yang terdiri dari biji-bijian dan beberapa limbah hasil proses industri bahan pangan bijian seperti jagung giling, tepung
5
kedelai, menir, dedak, bekatul, bungkil kelapa, tetes dan umbi. Peranan pakan konsentrat adalah untuk meningkatkan nilai nutrisi yang rendah agar memenuhi kebutuhan normal hewan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat (Akoso, 1996). Menurut Sutardi (1980) menyatakan bahwa pakan yang terlalu banyak mengandung konsentrat akan menyebabkan menurunnya produksi asam asetat dalam rumen. Penurunan ini akan mengakibatkan kadar lemak susu rendah karena asam asetat merupakan bahan baku utama bagi pembentukan lemak air susu. Kebutuhan energi untuk sapi perah adalah berdasarkan kebutuhan untuk hidup pokok, produksi susu, kadar lemak susu dan kebutuhan untuk reproduksi (Schmidt et al., 1988). Apabila mengkonsumsi energy yang berlebihan akan menyebabkan kegemukan, kesulitan melahirkan, meningkatkan gangguan metabolis dan infeksi penyakit pada masa yang akan dating (Etgen et al., 1987). Disamping energi, protein merupakan zat pakan yang penting untuk proses metabolisme tubuh (Sudono, 1999). Jumlah protein yang dibutuhkan sapi laktasi tergantung pada berat badan, jumlah susu yang dihasilkan dan kadar lemak susu yang dihasilkan (Siregar, 1972). Kadar protein ransum sekitar 17-18%. Penurunan protein ransum biasanya lebih banyak mempengaruhi tingkat produksi susu (Despal et al., 2008). Produksi Susu Total produksi susu secara umum meningkat pada bulan pertama setelah melahirkan dan menurun secara berangsur-angsur, sebaliknya kandungan lemak meningkat menjelang akhir laktasi (Ensminger dan Howard, 2006). Penurunan produksi pada bulan ketujuh hingga delapan disebabkan sapi sudah kembali bunting. Produksi susu berbanding terbalik dengan persentase protein dan lemak yang dihasilkan. Ketika susu yang dihasilkan meningkat persentase komposisi protein dan lemak cenderung menurun. Persentase protein dan lemak berada dititik terendah ketika produksi berada di puncak laktasi dan berangsur-angsur meningkat menjelang akhir laktasi (Schmidt et al., 1988). Setiap bangsa sapi perah mempunyai sifat-sifat yang berbeda dalam menghasilkan volume, warna air susu, dan komposisi susu (Sudono et al., 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu yaitu : bangsa, lama bunting, masa laktasi, bobot badan, estrus (birahi), umur, selang beranak (calving interval), masa kering, frekuensi pemerahan serta makanan dan tata laksana. Sapi yang mempunyai
6
bobot badan besar akan menghasilkan susu yang lebih banyak daripada sapi yang berbobot badan kecil dalam bangsa dan umur yang sama (Sudono, 1999). Jumlah pemerahan dalam sehari dapat menyebabkan terjadinya variasi dalam produksi susu, namun umumnya pemerahan di peternakan rakyat dilakukan dua kali dalam sehari (Subandriyo, 1994). Phillips (2001) membagi masa laktasi kedalam tiga periode bisa dilihat dalam bentuk kurva masa laktasi dibawah ini.
Gambar 1. Kurva Produksi Susu, Konsumsi Bahan Kering dan Bobot Badan Saat Masa Laktasi. Produksi susu biasanya cukup tinggi setelah enam minggu masa laktasi sampai mencapai produksi maksimum, setelah itu terjadi penurunan produksi secara bertahap sampai akhir masa laktasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi kira-kira 6% setiap bulannya (Blakely dan Bade, 1994). Produksi puncak tergantung pada kondisi tubuh induk pada saat melahirkan, keturunan/genetik, terbebasnya induk dari pengaruh metabolik dan infeksi penyakit serta pakan setelah melahirkan (Schmidt et al., 1988). Produksi susu total untuk setiap periode laktasi bervariasi, namun umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun atau pada laktasi ketiga dan keempat. Mulai dari laktasi pertama produksi susu akan meningkat sampai umur dewasa (Ensminger, 1971). Soetarno (2000) menyatakan bahwa sapi perah memiliki 3 periode laktasi dalam satu masa laktasi (305) hari yaitu : 1) Periode Awal Laktasi, dimana produksi susu meningkat cepat sampai puncak produksi yang proporsi produksinya 13% dari total produksi susu selama 305 hari; 2) Periode Laktasi Tengah, dimana menurunnya susu
7
dan tes lemak rendah pada bulan ke-3 sampai dengan ke-6 dengan proporsi produksi masing-masing 12%, 12%, 10%,10% dari total produksi masa laktasi (305 hari); 3) Periode Laktasi Akhir, dimana produksi susu makin menurun dengan proporsi produksi susu bulan ke-7, ke-8, ke-9, dan ke-10 masing-masing sebesar 9%, 8%, 7%, dan 6%. Produksi susu sapi perah di Indonesia umumnya masih rendah, yaitu hasil susu rata-rata per ekor per hari adalah 10 liter dengan bangsa sapi perah Fries Holland (FH) (Sudono, 1999). Produksi susu di Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung rata-rata 8 liter/ekor/hari untuk skala kepemilikan ternak sebanyak satu sampai tiga ekor betina dewasa (Nurhayati, 2000). Sapi yang diperah dua kali sehari dengan jarak waktu antar pemerahan sama akan sedikit sekali perubahan susunan susu tersebut dan jika sapi diperah empat kali sehari, kadar lemak akan sedikit tinggi pada besok paginya, yakni pada saat pemerahan pertama. Semakin sering sapi diperah, hasil susu akan naik dan meningkatnya produksi susu ini tergantung dari kemampuan sapi untuk berproduksi, pakan yang diberikan dan manajemen yang dilakukan oleh peternak. Umumnya sapi diperah dua kali sehari pagi dan sore. Pemerahan yang dilakukan lebih dari dua kali dilakukan pada sapi yang berproduksi tinggi (Sudono, 1999). Komposisi Susu Kandungan lemak pada puncak laktasi yaitu sekitar bulan laktasi kedua mencapai titik terendah, lalu berangsur-angsur naik lagi sehingga pada akhir laktasi konsistensi susu menjadi kental. Pada saat produksi susu meningkat kadar lemak menurun, sedangkan pada saat produksi susu menurun kadar lemaknya meningkat (Sutardi, 1981). Hubungan produksi susu dengan kadar lemak terjadi korelasi negatif, artinya pada saat produksi susu mencapai puncaknya, kadar lemaknya mencapai posisi terendah (Soetarno, 2000). Menurut Siregar (1992) faktor-faktor yang mempengaruhi kadar lemak susu antara lain jenis sapi yang dipelihara, umur sapi perah, jenjang laktasi, interval pemerahan, keadaan iklim setempat dan ransum yang diberikan. Penurunan produksi susu dari hari ke hari biasanya diiringi dengan meningkatnya kadar lemak susu, hal ini disebabkan adanya hubungan atau korelasi negatif antara produksi dan kadar
8
lemak susu. Selain lemak, protein juga merupakan salah satu komponen susu yang penting. Sama halnya juga dengan lemak susu, protein susu berkorelasi negatif dengan produksi susu (Schmidt et al., 1988).
Gambar 2. Kurva Lemak, Protein, dan Laktosa Susu dalam Fase Laktasi. Sumber : Phillips (2001). Tabel 1. Syarat Mutu Susu Segar Berdasarkan SNI 01-3141-1998 No
Parameter
Syarat
1
Berat jenis (BJ) pada suhu 27,5ºC
Minimal 1,0280
2
Kadar lemak
Minimal 3,0%
3
Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) Minimal 8,0% atau Solid Non Fat (SNF)
4
Kadar protein
5
Cemaran logam berbahaya :
Minimal 2,7%
a. Timbal (Pb)
Maksimal 0,3 ppm
b. Seng (Zn)
Maksimal 0,5 ppm
c. Merkuri (Hg)
Maksimal 0,5 ppm
d. Arsen (As)
Maksimal 0,5 ppm
6
Titik Beku
0,520 s/d 0,560ºC
7
Kotoran dan benda asing
Negatif
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1998)
Ditinjau dari komposisi susu, Ensminger (1971) menyatakan bahwa lemak merupakan salah satu komponen susu yang mempunyai kepentingan secara ekonomi,
9
terutama dalam penentuan harga yang diterima dari penjualan susu. Rata-rata kadar lemak susu untuk setiap bangsa sapi berbeda, untuk sapi FH yaitu berkisar antara 3,8% (Leaver, 1983). Interval pemerahan akan mempengaruhi kadar lemak susu. Interval pemerahan 12 jam – 12 jam adalah interval pemerahan yang seimbang dan optimal untuk sapi perah dengan potensi produksi yang tidak terlalu tinggi (Foley et al., 1973). Ketika sapi diperah pada interval pemerahan 10 jam – 14 jam, maka perbedaan antara kadar lemak pagi dan sore adalah 1%. Pada umumnya susu hasil pemerahan sore mempunyai kadar lemak lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak pada hasil pemerahan pagi (Schmidt et al., 1988). Pemberian hijauan dalam jumlah yang cukup juga akan berpengaruh terhadap kadar lemak susu, karena hijauan akan diubah oleh mikroba rumen menjadi VFA yang terdiri atas 65% asam asetat, 20% asam propionate, dan 15% asam butirat (Barret dan Larkin, 1979). Asam asetat merupakan bahan baku utama untuk membentuk lemak susu. Kadar lemak susu akan menurun dua sampai tiga bulan pertama periode laktasi, kemudian akan meningkat lagi dengan bertambahnya bulan laktasi (Foley et al., 1973). Kadar lemak susu sangat ditentukan oleh kandungan serat kasar dalam pakan. Pakan yang banyak mengandung hijauan akan menyebabkan kadar lemak susu tinggi dan pakan yang banyak mengandung konsentrat akan menyebabkan kadar lemak susu rendah (Sudono et al., 2003). Tabel 2. Kandungan Susu pada Berbagai Bangsa Sapi Bangsa Sapi
Air
Protein
Lemak
Laktosa
Abu
BK
………...……………(%) Persen………………………… Jersey
85,27
3,80
5,41
5,04
0,75
14,73
Guernsey
85,45
3,45
4,98
4,98
0,75
14,55
Ayrshire
87,10
3,34
3,85
5,02
0,69
12,90
Fries Holland
88,01
3,15
3,45
4,65
0,68
11,57
Shorthorn
87,43
3,32
3,36
4,89
0,73
12,57
Sumber : Sudono et al., (2003)
Ada tiga faktor yang menyebabkan susu mudah rusak yaitu: 1). Air susu telah terkontaminasi oleh bakteri. 2). Temperatur kamar yang tinggi. 3). Periode selang waktu diperah sampai didinginkan atau diproses (Hall et al., 1963). Ketahanan air susu dipengaruhi oleh banyaknya bakteri dalam air susu dan suhu tempat penyimpanan air susu (Napitupulu, 1963). Air susu merupakan media yang paling
10
baik ubtuk pertumbuhan berbagai jenis bakteri dan air susu dengan suhu lingkungan yang tinggi akan mempercepat pertumbuhan bakteri (Barret dan Larkin, 1974). Semakin pesatnya perkembangan industri susu di Indonesia perlu adanya pengawasan dan jaminan kualitas air susu, terlebih lagi adanya sistem penyaluran melalui koperasi diharapkan akan meningkatkan permintaan konsumen terhadap susu segar.
11