II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Usahaternak Sapi Perah
2.1.1
Pembagian Skala Usahaternak Sapi Perah Usahaternak di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
berdasarkan berdasarkan pola pemeliharaannya, yaitu peternak rakyat, peternak semi komersil, dan peternak komesil. Peternak rakyat adalah peternak dengan cara pemeliharaan ternak secara tradisional. Pemeliharaan cara ini dilakukan setiap hari oleh anggota keluarga peternak dimana keterampilan peterak masih sederhana dan menggunakan bibit lokal dalam jumlah dan mutu terbatas. Tujuan utamanya untuk menambah pendapatan keluarga dan konsumsi sendiri. Peternak komersil dijalankan oleh peternak yang mempunyai kemampuan dalam segi modal dan sarana produksi dengan teknologi yang cukup modern. Semua tenaga kerja dibayar dan makanan ternak dibeli dari luar dalam jumlah yang besar. Usahaternak sapi perah dibagi menjadi dua bentuk berdasakan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/KPTS/10/1982 tentang Pembinaan Pegembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri. Pertama, peternakan sapi perah rakyat yaitu usahaternak sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memilki sapi perah dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Kedua, perusahaan sapi perah yaitu usahaternak sapi perah untuk tujuan komersil dengan produksi susu sapi, yaitu yang memiliki lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor sapi perah campuran (Sudono, 1999). Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006), berdasarkan tipologi usaha peternakan sapi perah rakyat di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi : (1) Usaha peternakan sebagai usaha sampingan, dengan tingkat pendapatan kurang dari 30 persen; (2) usaha peternakan sebagai mix farming dengan tingkat pendapatan sebasar 30-70 persen; dan (3) usaha peternakan sebagai usaha pokok dimana tingkat pendapatan petani dari usaha ini dapat menghidupi peternak secara layak.
11
Erwidodo (1998), menyatakan bahwa peternakan sapi perah di Indonesia umumnya merupakan usaha keluarga di pedesaan dalam skala kecil, sedangan skala usaha yang besar masih terbatas dan umumnya merupakan usaha sapi perah yang baru tumbuh. Komposisi peternak sapi perah diperkirakan terdiri dari 80 persen peternak kecil dengan kepemilikan sapi kurang dari empat ekor, 17 persen peternak dengan kepemilikan sapi perah empat sampai tujuh ekor, dan tiga persen pemilikan sapi perah lebih dari tujuh ekor. Peternakan sapi perah sudah dimulai sejak abad ke 19 yaitu dengan pengimporan sapi bangsa Ayrshire, Jersey dan Milking Shorthorn dari Autralia. Pada permulaan abad ke 20 dilanjutkan dengan mengimpor sapi jenis FriesHolland (FH) dari Belanda. Sapi perah dewasa ini dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah sapi jenis FH yang memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan jenis sapi lainnya (Sudono, 1999). Kondisi peternakan sapi perah di Indonesia saat ini adalah skala usahanya kecil (dua sampai dengan lima ekor), motif usahanya adalah rumah tangga, dilakukan sebagai sampingan atau usaha utama, masih jauh dari teknologi serta didukung oleh manajeman usaha dan permodalan yang masih lemah. 1.
Ternak Sapi Perah Sapi perah merupakan modal utama dalam usahaternak sapi perah. Sapi
perah yang dipelihara adalah sapi perah dewasa, sapi perah betina dara, sapi jantan dan pedet. Sudono (1999) mengemukakan bahwa jumlah produksi susu suatu usahaternak sapi perah ditentukan oleh jumlah sapi laktasi yang dimiliki. Untuk mencapai skala ekonomis yang paling menguntungkan, peternak sapi perah mempunyai sapi laktasi lebih dari 60 persen dari seluruh pemilikan sapi perahnya. Persentase sapi laktasi merupakan faktor yang sangat penting dan tidak dapat diabaikan dalam tata laksana yang baik dalam suatu usahaternak untuk menjamin pendapatan peternak. 2.
Lahan dan Kandang Lahan dalam usahaternak sapi perah biasanya digunakan untuk tempat
mendirikan kandang dan dapat juga sebagai tempat menanam hijauan untuk pakan
12
ternak. Dalam usahaternak yang pemilikan sapi perahnya relatif kecil, lahan bukan merupakan faktor produksi yang dominan. Kandang adalah tempat penting untuk pemeliharaan ternak. Anonimus (2002) menyatakan bahwa kandang sapi perah yang efektif harus dirancang untuk memenuhi persyaratan dan keyamanan ternak serta mudah untuk dibersihkan. Persyaratan kandang yang sehat adalah cukup luas, alas dibuat padat/keras, ventilasi cukup, terang, bersih dan kering, tenang serta nyaman, ada saluran pembuangan kotoran dan memperhatikan kesehatan lingkungan. 3.
Pakan Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usahaternak sapi perah
adalah pemberian pakan. Sapi perah yang produksi susunya tinggi tidak akan menghasilkan susu yang sesuai dengan kemampuannya bila tidak mendapat pakan yang cukup baik kulitas maupun kuantitas. Cara pemberian pakan yang salah akan mengakibatkan penurunan produksi, gangguan kesehatan bahkan kematian. Pakan sapi perah terbagi atas dua golongan yaitu bahan pakan serat yaitu hijauan dan bahan pakan konsentrat. 4.
Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi utama. Tenaga kerja
data diperoleh dari tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Kegiatan yang pada umumnya dilakukan dalam pemeliharaan sapi perah adalah mencari dan mengarit hijauan makanan ternak, membuat kandang, memberi makan dan minum ternak, menjaga kesehatan ternak, mengawinkan dan seleksi ternak, mengumpulkan hasil (memerah susu), mengolah atau menyimpan hasil dan mengirimkan hasil untuk dijual. Penggunaan tenaga kerja dalam usahaternak umumnya diukur dengan jumlah hari. Dalam satu hari basanya tenaga kerja bekerja delapan jam, waktu bekerja dalam satu hari sering disebut sebagai satu Hari Kerja Pria (HKP). Jika bekerja wanita setara dengan 0,8 HKP dan anak-anak setara 0,5 HKP. 5.
Obat-obatan dan peralatan Program kesehatan pada usahaternak sapi perah harus dijalankan secara
teratur untuk menghindari penyakit yang biasa menyerang sapi perah seperti TBC,
13
brucellosis, penyakit mulut dan kuku, radang limfa dan lainnya (Anonimus, 2002). Peralatan yang digunakan dalam usahaternak sapi perah adalah sabit ember, sikat, sapu, selang, milk can, sekop dan tali. Sekop digunakan untuk mengangkut kotoran, ember digunakan untuk menampung susu saat pemerahan, selang digunakan untuk memandikan sapi dan menyalukan air ke kandang, milk can, digunakan untuk tempat menampung susu yang telah diperah sebelum dipasarkan dan tali untuk mengikat ekor sapi pada saat pemerahaan. 2.1.2
Produksi Susu Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006), susu adalah hasil
pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain. Seekor sapi perah dewasa setelah melahirkan anak akan mampu memproduksi air susu melalui kelenjar susu, yang secara anatomis disebut ambing. Produksi air susu ini dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber pangan dengan kadar protein yang tinggi. Produksi susu sapi perah mengikuti pola yang teratur setiap laktasi. Produksi susu akan naik selama 45-60 hari setelah sapi beranak hingga mencapai puncak produksi dan kemudian turun secara perlahan-lahan hingga akhir laktasi (Sudono, 1999). Masa laktasi adalah periode sapi sedang menghasilkan susu yang berlangsung selama 10 bulan, dari mulai setelah melahirkan hingga masa kering. Lama laktasi tergantung pada persistensi yang dipengaruhi oleh umur sapi, kondisi sapi saat beranak, lama masa kering sebelumya dan banyak makanan yang diberikan
kepada
sapi
yang
sedang
laktasi.
Kemampuan
sapi
dalam
mempertahankan produksi susu disebut persistensi laktasi (Sudono, 1999). Sapi yang bunting 7 sampai 7,5 bulan harus dikeringkan (masa kering). Lamanya masa kering sebelumnya mempengaruhi produksi susu pada laktasi kedua dan berikutnya.
14
Kemampuan produksi sapi perah ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Sapi-sapi yang beranak pada umur yang tua (lebih dari tiga tahun) akan menghasilkan susu yang lebih banyak dari sapi-sapi yang beranak pada umur dua tahun. Kapasitas produksi susu sapi perah akan meningkat terus sampai umur enam sampai dengan delapan tahun dan setelah itu akan menurun dengan penurunan yang semakin besar. Sapi perah umur dua tahun akan menghasilkan susu sekitar 70 sampai 75 persen dari produksi susu tertinggi sapi yang berbersangkutan. Pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu 80 sampai 85 persen, sedangkan umur empat sampai lima tahun menghasilkan susu 95 sampai 98 persen (Schmidt dan Hutjuers dalam Capah, 1998). Hasil penelitian Nurhayati (2000) menunjukan bahwa produksi susu yang dihasilkan di Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung adalah delapan liter per ekor per hari untuk kepemilikan ternak sebanyak satu sampai tiga ekor sapi laktasi, dan untuk skala lebih dari atau sama dengan empat ekor sapi laktasi adalah tujuh liter per ekor per hari. Menurut Sudono (1999), produksi susu sapi perah di Indonesia umumnya masih rendah, yaitu hasil susu rata-rata per ekor per hari adalah 10 liter per ekor per hari dengan bangsa ternak FH. Pada umumnya susu pemerahan susu dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore hari. Jika jarak pemerahan sama, yaitu 12 jam maka jumlah susu yang dihasilkan pagi hari akan sama dengan pemerahan pada sore hari. Setiap kali akan memerah susu, ambing dan tangan atau alat pemerah harus bersih agar susu yang dihasilkan bersih dan sapi tetap sehat. 2.1.3
Struktur Biaya Produksi dan Pendapatan Peternak Biaya produksi adalah nilai fisik penggunaan faktor produksi yang diukur
dengan nilai uang (Rahardja, 2000). Komponen biaya produksi usahaternak sapi perah adalah biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari penyusutan kandang, penyusutan peralatan tahan lama, penyusutan ternak dan lahan tempat pengelolaan ternak yang dianggap sebagai sewa lahan. Biaya variabel terdiri dari
15
biaya pakan, obat-obatan, penyusutan peralatan tidak tahan lama dan biaya tranportasi untuk membeli pakan atau memasarkan susu, air dan listrik. Menurut Sudono (1999) dalam usahaternak sapi perah, biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya variabel, terutama biaya pakan dan tenaga kerja. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan peternakan juga dipengaruhi oleh masa kering dan masa laktasi sapi perah. Hasil penelitian Nurhayati (2000) dengan judul Pendugaan Fungsi Biaya dan Analisis Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah di Wilayah KUD Mukti Kabupaten Bandung, menunjukan menunjukan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh peternak di Kecamatan Ciwidey dengan skala usaha satu sampai tiga ekor sapi laktasi adalah Rp 68.879,00 per peternak perbulan dan skala lebih dari atau sama dengan empat ekor sapi laktasi adalah Rp 72.774,00 per peternak per bulan. Komposisi biaya tetap keseluruh adalah biaya penyusutan kandang dengan rataan Rp 31.207,00 per peternak per bulan atau 5,82 persen, penyusutan ternak Rp 23.121,00 per peternak perbulan atau 4,31 persen dan penyusutan peralatan tahan lama Rp 18.160 per peternak perbulan atau 3,38 persen dari total biaya. Biaya variabel untuk skala usaha sampai tiga ekor sapi laktasi adalah Rp 365.270,00 per peternak perbulan dan untuk skala lebih dari atau sama dengan empat ekor sapi laktasi adalah Rp 576.038,00 per peternak per bulan. Komposisi biaya variabel secara keseluruhan meliputi biaya pakan dengan rataan Rp 420.355,00 per peternak per bulan atau 78,37 persen, biaya tenaga kerja sebesar Rp 29.532,00 per peternak per bulan atau 5,51 persen, obat-obatan Rp 7.674,00 per peternak per bulan atau 1,43 persen dan penyusutan peralatan tidak tahan lama sebesar Rp 6.356,00 per peternak per bulan atau 1,18 persen dari total biaya. Kecenderungan biaya variabel meningkat pada skala lebih dari atau sama dengan empat ekor sapi sesuai dengan jmlah ternak yang dimiliki. Ini berarti bahwa semakin besar skala usaha maka semakin besar biaya variabel yang dikeluarkan. Penelitian Sinaga (2003) dengan judul Pendugaan Fungsi Baya Usaha Ternak Sapi Perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor, menjelaskan bahwa rataan pemilikan sapi perah adalah 11,26 ST (Satuan Ternak) per peternak dengan pemilikan sapi
16
laktasi 6,73 ST per peternak. Rataan baya produksi susu di lokasi penelitian adalah 1.829,01 liter per bulan dengan rataan produktvitas secara kseluruhan adalah 9,06 liter per ekor per hari. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa semakin besar skala usaha maka semakin tinggi produktivitas sapi laktasi. Produksi optimal dicapai pada saat produksi susu 670,99 liter per bulan per petenak atau 99,70 liter per ekor per bulan atau pada saat penermaan peternak hasil penjualan susu sebesar Rp 1.072.769,75 per peternak per bulan. Penelitian Anisa (2008) dengan judul Analisis fungsi Biaya dan Efisiensi Usahaternak Sapi perah di Wilayah kerja KPSBU Lembang Kabupaten Bandung menunjukan bahwa rata-rata peternak memiliki sapi laktasi kurang dari 10 ekor atau hanya 3,18 ST dari rata-rata kepemilikan sapi 4,03 ST. rataan produksi susu didaerah penelitian adalah 14,68 liter per ekor perhari. Produksi susu yang dihitung meliputi jumlah susu yang dijual dan jumlah susu yang dikonsumsi oleh keluarga peternak. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa biaya produksi terbesar yang dikeluarkan peternak adalah biaya pakan yaitu mencapai 54 persen pada peterna skala I dengan pemilikan sapi 3,91 ST dan 69,17 persen, pada peternak skala II dengan pemilikan sapi 4,29 ST. komponen biaya terbesar kedua dan ketiga secara berturut-turut adalah biaya pembelian ternak dan biaya tenaga kerja. Penerimaan usahaternak sapi perah di daerah penelitian yang paling utama adalah dari penjualan susu. Penerimaan sampingan usahaternak sapi perah di lokasi penelitian berasal dari penjualan ternak, penjualan karung, penjualan kotoran ternak, nilai perubahan ternak dan susu yang dikonsumsi oleh keluarga peternak. Rataan penerimaan usahaternak sapi perah adalah Rp 4.292.359,75 per peternak perbulan. Produksi susu rata-rata 1362,l26 liter per peternak per bulan dengan keuntungan maksimal sebesar Rp 1.843.983,11 per peternak perbulan. Kusminah (2003) melakukan penelitian dengan judul Manajemen dan Pendapatan usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Desa Cilebut Bogor. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa besarnya biaya total rata-rata per ST pertahun paling tinggi terdapat pada kelompok I (skala usaha sedang) yaitu sebesar Rp 3.397.905,34. Kelompok II (skala usaha sedang) sebesar Rp 2.663.646,05
17
sedangkan yang paling kecil adalah biaya kelompok III (skala usaha kecil) sebesar Rp 2.389.117,99. Kondisi ini terjadi karena manajemen kelompok I lebih buruk dibanding kelompok II dan III terutama manajemen pakan, karena pemberian pakan konsentrat yang terlalu banyak akan menurunkan kadar lemak susu dan akan menimbulkan kerugian eknomis, selain itu pada kelompok I terdapat biaya tambahan untuk biaya tenaga kerja. Pendapatan rata-rata paling tinggi terdapat pada keompok I sebesar Rp 7.696.144,61 per peternak per bulan atau Rp 292.262,35 per ST per bulan, kelompok II sebesar Rp 2.103.531,25 per peternak per bulan atau Rp 296689,88 per ST per bulan dan kelompok III sebesar Rp 1.139.877,32 per peternak per bulan atau Rp 383.321,58 per ST per bulan. Perbedaan
penelitian
ini
dengan
penelitian sebelumnya terletak pada analisis pendapatan, analisis R/C rasio dan lokasi penelitian yang berbeda. 2.2
Studi Tentang Daya Saing Ada beberapa metode yang digunakan dalam penelitian terdahulu untuk
meganalisis daya saing diantaranya : 2.2.1 Pengukuran Daya Saing dengan Domestic Resource Cost (DRC/BSD) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kridiarto (2003) tentang analisis daya saing dan efisiensi tataniaga pisang ambon lumut menunjukan hasil bahwa usahatani pisang pada semua pola menghasilkan R/C rasio diatas biaya total. Hasil analisis keunggulan komparatif menunjukan bahwa ketiga pola pengusahaan pisang seluruhnya memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukan oleh nilai KBSD yang lebih kecil dari satu. Pola usahatani lahan garapan dengan budidaya semi internal memiliki nilai KBSD terkecil baik pada tingkat efisiensi maupun keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Hal ini menunjukan bahwa usahatani lahan garapan dengan budidaya semi intensif memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dengan pola usaha tersebut mampu menghasilkan keunggulan komparatif dan keunggulan
18
kompetitif dibandingkan pola usaha tani lahan milik dengan budidaya semi intensif atau pola usahatani lahan garapan dengan budidaya non intensif. 2.2.2 Pengukuran Daya Saing dengan Policy Analysis Matrix (PAM) Dewi (2004) dalam penelitiannya tentang analisis keunggulan komparatif da keunggulan kompetitif serta dampak kebjakan pemerintah pada pengusahaan kedelai menyatakan bahwa usahatani kedelai menguntungkan secara finansial dan ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Dampak kebijakan pemrintah yang ditunjukan oleh transfer output dan koefisien proteksi output nominal menghasilkan nilai positif. Artinya produsen menerima harga output diatas harga sosialnya kebijakan harga baik terhadap outpt maupun input bersifat efektif melindungi produsen. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sebesar empat persen dan penurunan harga pupuk sebesar 20 persen menyebabkan usahatani kedelai tetap masih memiliki keungulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Kuraisin (2006) menganalisis daya saing dan dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu sapi. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa usahaternak sapi perah pada tiga skala usaha di Desa Tajur Halang menguntungkan secara finansial dan secara ekonomi. Artinya komoditas susu sapi layak untuk diusahaakan dan dikembangkan di lokasi penelitian baik dengan atau tanpa kebijakan pemerintah kebijakan pemerintah tehadap komoditas susu menyebabkan surplus produsen berkurang. Dengan demikian secara keseluruhan kebijakan
pemerintah
tidak
memberikan
insentif
bagi
produsen
untuk
berproduksi. Kebijakan pemerintah berupa pengurangan subsidi pakan ternak dan obat-obatan
menyebabkan
peternak
tidak
memperoleh
insentif
untuk
meningkatkan skala usahanya. Begitu juga kebijakan tarif impor susu sebesar lima persen sangat rendah sehingga meningkatkan impor. Berdasarkan analisis sensitifitas dengan peningkatan harga pakan 30 persen dan penurunan harga susu sebesar lima persen usahaternak masih tetap menguntungkan. Zulkarnaini (2007) menganalisis daya saing buah pisang di Kabupaten Cianjur. Diperoleh hasil bahwa pengusahaan pisang memiliki daya saing (nilai
19
PCR dan DRC < 1), hal ini menunjukan usahatani pisang layak dilakukan dengan kondisi ada atau tidak ada kebijakan pemerintah. Dampak kebijakan terhadap input dan output di Desa Kubang berdampak disinsentif. Sementara berdasarkan analisis sensitifitas terhadap nilai tukar dan peningkatan harga pupuk anorganik menyebabkan usahatani pisang tetap memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, sehingga tetap layak diusahakan. Dari hasil penelitian terdahulu yang menganalisis daya saing diperoleh kesimpulan bahwa pengukuran daya saing dengan menggunakan alat analisis PAM, selain dapat menganalisis tingkat daya saing suatu sistem usahatani, perhitungannya juga dapat mengidentifikasi dampak intrvensi atau dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem usahatani. Kebijakan pemerintah di negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia masih perlu dilakukan untuk melindungi konsumen maupun produsen dalam negeri, kebijakan tersebut masih diperlukan mengingat komoditas pertanian yang memiliki karakteristik yang khas dan memiliki peranan strategis dalam struktur perekonomian nasional.
20