4
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Sapi Perah Taksonomi sapi perah adalah kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, subfamili Bovinae, genus Bos, spesies B. taurus, dan dengan nama binomial Bos taurus (Linnaeus 1758). Pada jaman pra-sejarah hanya ada dua jenis sapi di dunia, yaitu Auroch (Bos taurus) di Eropa dan Zebu (Bos indicus) di Asia, Afrika, dan India. Domestikasi sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika, dan seluruh wilayah Asia (Bappenas 2000). Jenis sapi dapat digolongkan menjadi sapi potong, sapi dwiguna, dan sapi perah (Suharno & Nazaruddin 1994). Sapi potong merupakan sapi yang dibudidayakan untuk penggemukan dan dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan dagingnya. Beberapa contoh sapi potong yaitu sapi bali, ongol, madura, grati, brahman, aberden angus, dan hereford. Sapi dwiguna merupakan sapi yang dibudidayakan untuk dimanfaatkan susunya dan sebagai sapi pekerja. Beberapa contoh sapi dwiguna yaitu hariana, kankrej, tharpakar, dan angoni (Williamson & Payne 1993). Sapi perah merupakan sapi yang dibudidayakan dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan susunya. Beberapa jenis sapi perah yang yang unggul dan paling banyak dipelihara adalah sapi shorthorn (Gambar 1a), jersey, ayrshire (Gambar 1b), brownswiss (Gambar 1c), dan frisian holstein (Gambar 1d) (Bappenas 2000). Beberapa ciri khas dari masing-masing sapi tersebut diperlihatkan pada tabel 1. Tabel 1 Ciri utama beberapa bangsa sapi perah Bangsa sapi perah
Ciri utama
Sapi shorthorn Sapi jersey Sapi ayrshire Sapi brownswiss Sapi frisian holstein
warna kulit merah tua sampai putih, kepala pendek dan lebar warna kulit coklat dan ekornya berwarna hitam kontras warna kulit merah bercampur putih atau coklat bercampur putih warna kulit perak hingga sawo matang dengan ekor hitam warna kulit hitam dan putih (ada juga yang berwarna merah dan putih), kepala panjang, lebar, dan lurus
Sumber : Williamson & Payne (1993), Suharno & Nazaruddin (1994)
5
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1 Contoh beberapa bangsa sapi perah a) shorthorn, b) ayrshire, c) brownswiss, d) frisian holstein (Friend 1978)
Sejarah Peternakan Sapi Perah di Indonesia Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode pemerintahan Hindia Belanda (abad ke-19 sampai tahun 1940) dan periode pemerintah Indonesia (tahun 1950 sampai sekarang) (Hardjosworo & Levine 1987). Pada periode pemerintahan Hindia Belanda, peternakan sapi perah berbentuk perusahaan susu yang memelihara sapi perah, menghasilkan susu, dan menjualnya kepada konsumen langsung. Konsumen pada umumnya adalah orang-orang Eropa atau orang asing lainnya, karena pada masa itu penduduk Indonesia belum suka minum susu. Periode pemerintahan Hindia Belanda dimulai sejak abad ke-19, yaitu ketika dilakukan impor milking shorthorn, ayrshire, dan jersey dari Australia, serta sapi pejantan FH dari Belanda. Pada perkembangannya, terdapat beberapa jenis sapi perah yang didatangkan di Indonesia yaitu sapi FH, hissar, ayrshire, brownswiss, guernsey, dan jersey (Blakely & Bade 1991). Sapi hissar kemampuan produksi susunya kurang baik dan hanya terdapat di Sumatra Utara. Sapi ayrshire dan jersey didatangkan dari Australia tapi kurang disukai peternak lokal sehingga kurang berkembang. Jenis-jenis sapi tersebut masih kalah unggul dibandingkan dengan sapi FH, sehingga yang terus berkembang di masyarakat
6 sampai dengan sekarang adalah sapi FH (Suharno & Nazaruddin 1994). Sapi FH juga sangat disukai untuk tujuan produksi daging, karena ukuran badan, kecepatan pertumbuhan, dan karkasnya yang bagus (Blakely & Bade 1991). Sapi FH terkenal dengan produksi susu yang tinggi dengan kadar lemak rendah sehingga sering dimanfaatkan untuk pembuatan keju. Pada periode pemerintahan Indonesia, selain terdapat perusahaan susu yang dimiliki oleh pribumi juga terdapat peternakan sapi perah rakyat dengan skala kepemilikan 2-3 ekor/keluarga. Jenis sapi yang biasa dipelihara masyarakat pribumi hingga sekarang adalah sapi FH. Walaupun demikian para peternak sejak jaman dulu telah melakukan perkawinan silang diantara jenis sapi, untuk mendapatkan turunan yang sesuai dengan kehendak mereka. Salah satunya, terjadi persilangan antara sapi peranakan ongole dengan sapi perah FH di Grati, Jawa Timur untuk memperoleh sapi perah jenis baru yang sesuai dengan iklim dan kondisi di Indonesia (Bappenas 2000). Inilah yang merupakan peletakan dasar dari terbentuknya sapi Grati. Pada tahun 1950-an Jawatan Kehewanan di Grati membangun Pusat Penampungan Susu (milk centre) sehingga Grati menjadi pusat pengembangbiakan sapi perah dan menghasilkan susu sapi rakyat. Pada tahun 1956 pemerintah mengimpor sapi perah red danish dari Denmark, namun sapi tersebut tidak berkembang karena tidak sesuai dengan lingkungan di Indonesia. Pada tahun 1962 sapi FH diimpor dari Denmark sebanyak 1000 ekor, dan pada tahun 1964 dari Belanda sebanyak 1354 ekor. Pada masa-masa tersebut beberapa peternakan sapi perah rakyat diarahkan menjadi koperasi peternakan yang dapat diandalkan secara nasional. Maka terbentuklah koperasi-koperasi sapi perah, antara lain Koperasi Peternakan dan Pemerahan Air Susu SAE (Sinau Andadani Ekonomi) di Pujon (Malang) (1962), Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan di Bandung Selatan (1967), dan Koperasi Peternakan Lembu Perah Setia Kawan di Pasuruan (1967) (Hardjosworo & Levine 1987). Koperasi-koperasi peternakan tersebut diikuti koperasi-koperasi yang lain dan berkembang sampai sekarang. Salah satunya yaitu Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1971.
7 Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah Keberhasilan suatu peternakan tergantung dari manajemen pemeliharaan yang dilakukan (Santosa 2004). Beberapa manajemen pemeliharaan sapi perah yang penting dilakukan dan diperhatikan oleh peternak antara lain adalah pengelolaan pakan, kandang, dan pemeliharaan kesehatan.
Pemberian Pakan Pengelolaan pemberian pakan dapat dilakukan dengan cara ad libitum (jumlah yang selalu tersedia) atau diberikan dalam jumlah dibatasi (Santosa 2004). Cara pemberian ad libitum seringkali tidak efisien karena pakan banyak terbuang dan yang tersisa menjadi busuk sehingga akan membahayakan ternak bila termakan. Cara pemberian pakan yang baik yaitu membatasi jumlah pakan namun dengan kualitas dan kuantitas yang mencukupi kebutuhan. Sumber pakan sapi perah umumnya dibagi menjadi tiga yaitu hijauan, konsentrat, dan limbah pertanian (Santosa 2004). Sumber pakan hijauan antara lain meliputi rumput-rumputan dan kacang-kacangan. Rumput-rumputan yang biasanya diberikan antara lain rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput benggala (Pennisetum maximum), rumput lapangan, dan rumput signal (Brachiaria decumbens). Kacang-kacangan yang biasa diberikan antara lain daun lamtoro, turi, dan gamal. Bahan konsentrat yang umum diberikan sebagai pakan antara lain dedak, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, jagung, kedelai, atau campuran dari bahan-bahan tersebut. Limbah pertanian yang umum dimanfaatkan untuk pakan antara lain jerami padi, jerami jagung, dan jerami kedelai. Jumlah pakan hijauan yang diberikan biasanya sekitar 10% sedangkan konsentrat sekitar 2% dari bobot badan sapi (Suharno & Nazaruddin 1994). Pemberian pakan dengan rasio hijauan tinggi akan menstimulasi produksi saliva dan pH tinggi, sehingga yang tinggi akan meningkatkan produksi asetat dan lemak susu. Sedangkan rasio konsentrat yang tinggi akan menurunkan produksi saliva dan meningkatkan fermentasi asam propionat, sehingga dapat menurunkan pH dan mengurangi asupan pakan karena menurunkan produksi mikroba di rumen (Kelly 2000).
8 Pemberian air minum sebaiknya dilakukan secara ad libitum untuk mencukupi kebutuhan minum ternak sapi (Suharno & Nazaruddin 1994). Air berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme dan sebagai kontrol suhu tubuh sehingga ketersediaan air harus selalu ada. Air minum harus bersih, segar, jernih, dan tidak mengandung mikroorganisme berbahaya. Kebutuhan air minum dapat berasal dari air minum khusus yang disediakan pada bak-bak air di padang penggembalaan, di kandang atau di halaman pengelolaan.
Perkandangan Kandang diperlukan untuk melindungi ternak sapi dari keadaan lingkungan yang merugikan sehingga dengan adanya kandang ini ternak akan memperoleh kenyamanan (Suharno & Nazaruddin 1994). Kandang dibuat berjauhan dari rumah tinggal dan diusahakan menghadap ke arah matahari terbit. Kandang sapi dapat berupa kandang barak atau kandang individual. Selain itu, sebaiknya disediakan juga kandang pemerahan, kandang khusus untuk pejantan, dan kandang untuk pedet (Williamson & Payne 1993). Luas kandang individu untuk pedet adalah 1.03x1.52 m dan kandang dewasa 1.83x1.22 m (Williamson & Payne 1993). Tinggi kandang 3 m, dan atap dibuat lebih tinggi sehingga ventilasi udara cukup lebar. Ventilasi berfungi untuk mengurangi kelembaban dalam kandang, mengurangi organisme penyakit, mengurangi debu dan udara kotor sehingga mudah diganti dengan udara segar, mengurangi limbah produksi terutama yang berasal dari kotoran dan urine seperti amonia, hidrogen sulfida, karbondioksida, dan gas methan (Santosa 2002). Bangunan kandang sebaiknya dilengkapi dengan sistem drainase atau pengaliran air agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan mengalir lancar (Suharno & Nazaruddin 1994). Lantai kandang diusahakan dibuat dari semen dengan kondisi kedap air dan tidak licin. Atap sebaiknya dibuat dari genting atau asbes. Peralatan kandang yang perlu disiapkan antara lain tempat pakan dan minum, serta alat pembersih kandang seperti sapu lidi dan ember.
9 Pemeliharaan Kesehatan Pemeliharaan kesehatan sapi sangat penting untuk diperhatikan, meliputi tindakan pencegahan terjadinya penyakit dan penanganan/pengobatan jika sudah terjadi penyakit. Manajemen kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit dapat dilakukan dalam beberapa hal, meliputi menjaga kebutuhan pakan dan minum selalu terpenuhi, sanitasi kandang dari parasit maupun mikroorganisme, memantau status kesehatan ternak, melakukan pengobatan dini, pencegahan penyakit dengan menjaga kontak dengan ternak lain yang sakit dan melakukan vaksinasi, mengkarantina hewan yang baru datang dan melalukan tes beberapa penyakit yang relevan, serta melakukan pemerahan yang baik dan benar (Andrews & Gibson 2000, Nababan 2008). Salah satu indikator untuk mengamati kesehatan sapi yaitu melalui tingkah laku sapi (Akoso 1996). Sapi yang sehat akan menampakkan gerakan yang aktif, sikapnya yang sigap, selalu sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan. Tindakan pengobatan dilakukan setelah timbul adanya penyakit. Tindakan pengobatan dilakukan sesuai dengan penyakit yang menyerang. Obat-obatan yang biasa digunakan untuk tindakan pengobatan seperti pemberian antibiotik, antiviral, vitamin, pemberian preparat hormonal, dan lain-lain (Hardjopranjoto 1995). Aplikasi pemberian obat bisa dengan cara peroral, intramuskular, intravena, implan, dan lain-lain. Fasilitas kesehatan sebaiknya dilengkapi dengan tempat dipping atau spraying dan kandang jepit (Santosa 2002). Tempat ini berguna untuk mencegah dan mengobati penyakit yang disebabkan parasit eksternal dengan cara merendam atau menyemprotkan antiparasit. Penggunaan dipping juga dilakukan terhadap puting susu setelah melakukan pemerahan pada sapi perah untuk menghindari masuknya sumber penyakit melalui puting/ambing. Kandang jepit digunakan untuk memfiksir/menjepit hewan pada saat memeriksa atau memberikan perlakuan kesehatan ternak, misalnya vaksinasi dan pengobatan. Beberapa penyakit yang sering dijumpai pada sapi perah adalah antrak, bruselosis, septichaemia epizootica, tripanosomiasis, dan timpani (BPTP 2001). Sapi perah juga sangat rentan terkena mastitis atau peradangan ambing (Suharno & Nazaruddin 1994). Proses penanganan setelah pemerahan yang kurang baik
10 didukung faktor sanitasi lingkungan yang kurang bersih mengakibatkan banyak mikroorganisme yang masuk ke dalam ambing melalui puting susu yang berkelanjutan
menjadi
mastitis.
Pengobatan
mastitis
dilakukan
dengan
memberikan antibiotik, dan sapi mastitis diberi tanda untuk memisahkan dalam pemerahan serta susunya tidak dicampur dengan susu sapi yang lain sehingga tidak mengkontaminasi susu yang lain (Nababan 2008). Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari kejadian mastitis adalah dengan melakukan sanitasi kandang dan celup ambing. Kasus lain yang sering terjadi berupa gangguan reproduksi antara lain adalah retensio sekundinae, distokia, abortus, kelahiran prematur, dan endometritis (Dascanio et al. 2000, Ratnawati et al. 2007).
Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah Proses reproduksi dimulai sejak hewan mencapai dewasa kelamin yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan luar tubuh. Tidak munculnya salah satu faktor dapat menyebabkan hambatan proses reproduksi sehingga dapat terjadi gangguan reproduksi (Hardjopranjoto 1995). Gangguan reproduksi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok (Partodihardjo 1980). Pertama, gangguan reproduksi karena faktor pengelolaan termasuk teknik inseminasi, tenaga pelaksana yang kurang terampil, kurang pakan, dan defisiensi mineral. Kedua, gangguan reproduksi karena faktor internal hewan, dalam hal ini dapat dibagi menjadi hewan jantan dan betina. Di daerah yang menerapkan perkawinan secara IB faktor pejantan dapat diabaikan, sedangkan di daerah non-IB faktor pejantan ikut mengambil peranan dalam keberhasilan reproduksi. Faktor internal dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelompok, antara lain karena kelainan bentuk anatomi, kelainan fungsi endokrin, dan penyakit. Ketiga, faktor-faktor lain yang bersifat aksidental (kecelakaan atau kelainan dapatan) yang pada umumnya ditemukan secara sporadis, misalnya distokia dan torsio uteri. Beberapa gangguan reproduksi yang sering terjadi pada sapi perah di antaranya adalah retensio sekundinae dan endometritis (Dascanio et al. 2000, Ratnawati et al. 2007). Retensio sekundinae yaitu tertahannya plasenta atau selaput fetus setelah partus melebihi batas normalnya. Secara fisiologik selaput
11 fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus. Apabila plasenta menetap lebih lama dari 8-12 jam kondisi ini dianggap patologik, sehingga disebut retensio sekundinae (retensi plasenta) (Manan 2002). Patologi kejadian retensio sekundinae adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal. Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai darah berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu vili kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensio sekundinae, pemisahan dan pelepasan vili fetal dari kripta maternal terganggu, sehingga pertautan diantara keduanya masih terjadi. Endometritis merupakan peradangan pada endometrium, dan apabila terjadi pengumpulan sejumlah eksudat purulen dalam lumen uterus disebut dengan piometra (Ratnawati et al. 2007). Patogenesa terjadinya endometritis bisa disebabkan oleh penularan dari berbagai mikroorganisme langsung pada endometrium (primer) atau karena peradangan sekunder dari bagian tubuh yang lain. Endometritis juga bisa terjadi karena kelanjutan kelahiran yang tidak normal, seperti abortus, retensio sekundinae, kelahiran prematur, distokia, dan penanganan kelahiran yang tidak lege artis. Selain itu juga bisa terjadi karena infeksi yang diakibatkan karena perkawinan alam, yaitu betina terinfeksi dari pejantan yang menderita penyakit seperti brucelosis, trichomoniasis, dan vibriosis. Pelaksanaan inseminasi buatan intrauterin juga mempunyai resiko terjadinya endometritis, karena mungkin saja bakteri atau mikroba lain terbawa oleh alat inseminasi karena pelaksanaan IB yang tidak lege artis, atau terbawa oleh semen. Adanya infestasi mikroorganisme
tersebut
mengakibatkan
terjadinya
peradangan
pada
endometrium, sehingga terjadilah endometritis (Hardjopranjoto 1995). Retensio sekundinae biasanya berlanjut dengan terjadinya infeksi di dalam uterus, sehingga retensio sekundinae menjadi salah satu predisposisi endometritis (Hardjopranjoto 1995). Infeksi uterus postpartus yang diawali dari kejadian retensio sekundinae atau karena kelahiran yang sukar (distokia) tanpa penanganan yang baik, menyebabkan terjadinya peradangan pada uterus (endometritis) yang
12 bersifat akut. Retensio sekundinae dan atau endometritis dapat menurunkan kesuburan (infertilitas) pada penderita sampai pada kemajiran, sehingga mengganggu proses reproduksi. Infertilitas yang terjadi dapat berbentuk matinya embrio yang masih muda karena pengaruh mikroorganisme atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus (kegagalan implantasi). Sehingga dengan adanya gangguan pada saluran reproduksi khususnya uterus akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dari perkawinan. Sapi yang mengalami endometritis ringan masih dapat menunjukkan gejala birahi, namun bila dikawinkan akan gagal menjadi bunting karena terjadi kematian embrio dini. Oleh karena itu, endometritis juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kawin berulang pada sapi perah. Penurunan fertilitas betina akibat terjadinya gangguan pada uterus dapat dilihat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Akibat dalam jangka pendek adalah dapat menurunkan kesuburan, yaitu memperpanjang calving interval (CI), menurunkan nilai conception rate (CR), meningkatkan service per conception (S/C), dan kegagalan perkawinan (Santosa 2002). Oleh karena itu dapat dikatakan efisiensi reproduksi menurun. Akibat dalam jangka panjang adalah dapat menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan pada saluran reproduksi.
Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah Efisiensi reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor sapi untuk bunting dan menghasilkan keturunan yang layak dalam waktu satu tahun (Niazi & Aleem 2003). Secara umum, hewan dikatakan memiliki tingkat efisiensi reproduksi yang baik jika setiap tahun dapat menghasilkan anak. Efisiensi reproduksi tercapai apabila kapasitas reproduksi sudah dimanfaatkan secara maksimum (Jainudeen & Hafez 2000b). Beberapa parameter yang umum digunakan untuk menilai efisiensi reproduksi pada sapi perah adalah conception rate (CR), service per conception (S/C), dan calving interval (CI). Conception rate (CR) merupakan angka kebuntingan hasil IB pertama, nilai CR yang ideal adalah sekitar 50% (Jainudeen & Hafez 2000a). Service per conception (S/C) merupakan jumlah inseminasi yang dibutuhkan untuk terjadinya
13 satu kebuntingan, dan nilai S/C yang ideal adalah mendekati 1 yang artinya 1 straw menghasilkan 1 kebuntingan. Calving interval (CI) merupakan jarak antara kelahiran ke kelahiran berikutnya, nilai CI yang ideal pada sapi perah adalah 12 bulan. Kapasitas reproduksi yang tinggi disertai pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi reproduksi dan produktivitas ternak yang tinggi. Adanya gangguan reproduksi dapat menyebabkan penurunan efisiensi reproduksi dan dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak, seperti pertumbuhan populasi ternak yang lambat dan rendahnya produksi ternak (daging dan susu) (Hardjopranjoto 1995). Kejadian retensio sekundinae dan endometritis yang tinggi dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi. Hal ini dapat terjadi akibat dari retensio sekundinae yang tidak segera sembuh dan berlanjut menjadi infeksi uterus (endometritis) sehingga mengganggu tingkat fertilitas sapi betina. Hubungan efisiensi reproduksi terhadap musim (curah hujan) terkait dengan menejemen pemeliharaan khususnya terhadap keberadaan pakan (Manan 2002). Pada musim penghujan banyak rumput yang berkualitas baik, ketersediaan pakan terpenuhi dengan baik. Namun, keadaan lingkungan pada musim penghujan yang buruk, kandang tergenang air, dan sanitasi kandang yang buruk mengakibatkan banyak rumput yang menjadi kotor dan basah. Selain itu, adanya parasit pada rumput dapat menginfeksi ternak. Apabila daya tahan tubuh ternak turun maka akan menimbulkan kesakitan pada ternak. Pada musim kemarau ketersediaan rumput menjadi berkurang atau rumput menjadi tua atau kering dan dalam kualitas yang buruk. Kekurangan pakan dalam waktu yang lama menyebabkan kekurusan, daya tahan tubuh menurun, pertumbuhan lambat, dan fertilitas menurun. Penurunan fertilitas dapat menurunkan tingkat efisiensi reproduksi (Rakhwana 2007). Produksi ternak yang efisien setidaknya dapat dicapai melalui empat cara (Wodzicka-Tomaszewska et. al. 1991). Pertama, perbaikan sistem pemeliharaan ternak, merangsang pertumbuhan dan laktasi, kontrol penyakit, dan penerapan ekonomi pertanian. Kedua, perbaikan mutu genetika untuk menyediakan ternak yang tumbuh lebih cepat, produksi susu lebih tinggi baik kualitas maupun kuantitas, atau mempunyai banyak anak. Ketiga, mengembangkan teknologi
14 untuk memaksimalkan potensi performans reproduksi ternak jantan dan betina. Keempat, mengurangi kerugian produksi hasil ternak, terutama dengan cara perbaikan teknik atau metode pengawetan dan penyimpanannya.