TINJAUAN PUSTAKA
Usaha Sapi Perah di Indonesia Peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19, yaitu sejak pengimporan sapi-sapi perah Milking Shorthorn, Ayrshire, dan Yersey dari Australia yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu sapi perah umumnya dikelola dalam bentuk perusahaan, yaitu pemeliharaan sapi perah yang bertujuan untuk menghasilkan susu yang selanjutnya dijual kepada konsumen. Konsumen susu pada saat itu umumnya orang-orang Eropa atau orang asing lainnya, karena orang-orang Indonesia belum suka minum susu (Sudono, 2002:1). Pada periode pemerintahan Indonesia mulailah timbul peternakan sapi perah rakyat yang memelihara sapi perah dewasa antara 2-3 ekor per peternak. Jenis sapi perah yang dipelihara adalah Peranakan Fries Hollands (PFH) yang berasal dari perusahaan-perusahaan susu yang telah mengalami kehancuran pada masa Penjajahan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Peternak umumnya para petani di daerah dataran tinggi seperti di daerah Pangalengan dan Lembang (Jawa Barat), Boyolali (Jawa Tengah), serta Pujon dan Nongkojajar (Jawa Timur), yang memelihara sapi perah dengan tujuan utama untuk mendapatkan pupuk kandang, susu merupakan tujuan kedua (Sudono, 2002:4). Pada sekitar tahun limapuluhan, Jawatan Kehewanan di Grati membangun Pusat Penampungan Susu, karena sejak pemerintahan Indonesia berdaulat, rakyat dianjurkan untuk memerah sapi perahnya guna menghasilkan susu. Sebagaimana di Grati, maka Boyolali pun akhirnya berkembang menjadi daerah penghasil sapi perah rakyat dan didirikan pula Pusat Penampungan Susu yang disponsori oleh Jawatan Kehewanan. Menurut Sudono (2002:19-20), keuntungan-keuntungan mengelola usaha peternakan sapi perah adalah: (1) peternakan sapi perah adalah suatu usaha yang tetap, produksi susu tidak banyak bervariasi dari tahun ke tahun, konsumsi susu tidak berubah dan tidak
12
musiman, serta harga susu dari tahun ke tahun tidak berubah bahkan senantiasa meningkat. (2) sapi perah sangat efisien mengubah pakan ternak menjadi protein hewani dan kalori. (3) jaminan pendapatan yang tetap. Pendapatan peternak sapi perah diperoleh setiap hari berdasarkan jumlah susu yang diproduksi oleh ternaknya, sepanjang tahun. (4) penggunaan tenaga buruh yang tetap. Usaha ternak sapi perah menggunakan tenaga kerja secara terus menerus sepanjang tahun, tidak ada waktu menganggur, sehingga mengurangi pengangguran. (5) sapi perah dapat menggunakan berbagai jenis hijauan yang tersedia atau sisasisa hasil pertanian, seperti jerami jagung, dedak, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, ampas tahu, ampas bir, ampas kecap dan lain-lainnya. (6) kesuburan tanah dapat dipertahankan. Dengan memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk kandang, maka fertilitas dan kondisi fisik tanah dapat dipertahankan. Keuntungan-keuntungan di atas menyebabkan banyak orang tertarik untuk mengusahakan sapi perah. Namun, 90 persen sapi perah diusahakan sebagai usaha rakyat dengan kepemilikan ternak 1-3 ekor (Yusdja, 2005:257). Menurut Wardojo dan Djarsanto (Saragih, 1998:10), pada masa yang akan datang cara pandang usaha peternakan sapi perah sebagai budidaya ternak perlu diperluas menjadi industri biologis peternakan yang mencakup empat aspek, yaitu: (1) peternak sebagai subyek yang harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya, (2) ternak sebagai obyek yang harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya, (3) lahan sebagai basis ekologi budidaya yang harus dilestarikan, (4) teknologi dan pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi yang perlu selalu diperbaharui serta disesuaikan dengan kebutuhan. Peternakan sapi perah di Indonesia mayoritas diusahakan oleh peternakan rakyat. Menurut SK Menteri Pertanian Nomor 404 Tahun 2002, usaha peternakan rakyat adalah usaha peternakan sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha
13
sampingan yang tidak memerlukan ijin usaha dari instansi dan pejabat berwenang, Batasan peternakan rakyat untuk usaha sapi perah adalah pemilikan kurang dari 10 ekor sapi laktasi/dewasa atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Perusahaan peternakan sapi perah adalah usaha peternakan sapi perah untuk tujuan komersial dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki 10 ekor laktasi/dewasa atau lebih atau memiliki jumlah keseluruhan 20 ekor sapi perah campuran atau lebih (Sudono,2002:13).
Karakteristik Peternak Setiap pembangunan pada dasarnya harus mampu membangun manusianya. Pembangunan fisik yang tanpa membangun perilaku manusia, seringkali berakibat tidak termanfaatkannya hasil-hasil pembangunan secara maksimal. Sebaliknya, pembangunan yang diawali dengan upaya mengubah perilaku manusia menghasilkan orang-orang yang penuh inisiatif, kreatif, dinamis, bekerja keras, efisien, mampu memanfaatkan sumberdaya lokal (alam, modal, kelembagaan, dan kemudahan-kemudahan yang ada secara efektif) dan memiliki keterampilan yang handal untuk melaksanakan pembangunan secara mandiri. Anggota-anggota suatu segmen khalayak memiliki sejumlah karakteristik yang sama, sedangkan masyarakat umum mempunyai anggota yang heterogen. Anggota-anggota suatu segmen lebih homogen dalam hal-hal tertentu. Dengan kata lain, anngota suatu segmen memiliki banyak persamaan pada beberapa atribut atau karakteristik (Jahi, 1988:21). Menurut Kotler (Jahi, 1988:21), kesamaan atribud yang dapat dimiliki khalayak dikelompokkan menjadi: (1) geografik, seperti: desa, kecamatan, kabupaten, atau seluruh negeri, (2) demografik, seperti: umur, jenis kelamin, status perkawinan, penghasilan dan pekerjaan, (3) perilaku, misalnya: petani disegmentasikan atas dasar luas sawahnya, atau intensitas petani mendengarkan siaran radio, dan (4) psikografik yang dikembangkan atas dasar gaya hidup atau bagaimana orang hidup, bekerja dan menggunakan waktu luang.
14
Pendidikan Pendidikan adalah kegiatan manusia untuk membangun pengertian, wawasan, keyakinan dan kapasitas kognitif, konatif, dan motorik dari dirinya agar perilaku manusia tersebut tampil sebagai ”khalifah di atas bumi,” dan karena itu, pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan secara teratur sejak lahir sampai mati, dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan dianggap sebagai kewajiban generasi untuk menjadikan angkatan selanjutnya lebih sempurna. Tilaar (2000: 14) menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan yang berkualitas bukan mengembangkan intelijensi akademik saja tetapi juga mengembangkan seluruh spektrum intelijensi manusia yang meliputi berbagai aspek kebudayaan (seni, teknologi, ilmu pengetahuan, moral dan agama). Sejalan dengan Tillar, Raharto (1998:34) juga mengemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pemberdayaan untuk mengungkapkan potensi manusia sebagai individu, yang selanjutnya dapat memberikan sumbangan kepada kebudayaan masyarakat lokal, bangsa dan masyarakat global. Dengan demikian fungsi pendidikan bukan hanya menggali potensi yang ada dalam diri manusia tetapi juga bagaimana manusia bersangkutan mengontrol potensi yang telah dikembangkan agar bermanfaat bagi pengembangan kualitas hidup (Raharto, 1998:40). Pendidikan merupakan investasi dalam modal manusia dan merupakan hal yang sangat krusial bagi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan perlindungan lingkungan (Pekerti, 1998:95). Penelitian yang dilakukan Inkeles dan Smith (Budiman, 1996:35) menunjukkan bahwa pendidikan merupakan faktor yang paling efektif untuk mengubah manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus memperhatikan kedua dimensi hakiki manusia, individualitas dan sosialitas. Masing-masing individu memiliki keunikan, bakat, dan karakter masing-masing harus mendapat perhatian, tetapi di sisi lain pendidikan juga berfungsi untuk membangun sosialitas manusia sejak dini. Pendidikan harus memupuk ”modal sosial,” yaitu serangkaian nilai dan norma sosial yang harus dihayati oleh setiap anggota kelompok, seperti keadilan sosial, teng-
15
gang rasa, saling percaya, dan sebagainya (Sastrapratedja, 2004:16). Hasil pendidikan seharusnya adalah pemberdayaan (empowerment) yaitu membantu pertumbuhan tiga macam daya kekuatan yakni: (1) power to, yaitu daya kekuatan kreatif yang membuat seseorang mampu melakukan sesuatu, membantu seseorang agar memiliki kemampuan berpikir, menguasai IPTEK, mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan, (2) power-with, yaitu daya untuk membangun kekuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, dan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama, (3) power-within, yaitu daya kekuatan batin pada peserta didik, khususnya harga diri, kepercayaan diri, dan harapan akan masa depan (Sastrapratedja, 2004:19-20). Becker seorang ahli ekonomi pemegang hadiah Nobel membahas hubungan antara pelatihan, umur, dan pendapatan. Seseorang yang tidak meningkat kemampuan dirinya dengan bertambahnya umur, cenderung mempunyai pendapatan tetap, tetapi seseorang yang melaksanakan pelatihan (pendidikan non formal) untuk dirinya akan menerima pendapatan rendah pada awalnya karena pelatihan harus dibayar, tetapi pada akhirnya akan menerima pendapatan yang tinggi dan meningkat (Hasibuan, 2001:45). Pelatihan merupakan salah satu bentuk pendidikan non formal selain magang, kegiatan penyuluhan, ataupun lainnya. Tuntutan pendidikan lanjutan bagi peternak sebagai manajer sangatlah mungkin muncul, ini terjadi karena peternak menyadari kebutuhan dan mempertanyakan cara memenuhinya. Kebutuhan tersebut tidak untuk memperbaiki kelemahannya saja, tetapi juga untuk aktualisasi diri dan pemanfaatan potensi (McGregor, 1988:151). Pendidikan bagi orang-orang yang telah memiliki pekerjaan merupakan kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum termasuk di dalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan memutuskan persoalanpersoalan yang menyangkut kegiatan mencapai tujuan. Pendidikan berhubungan dengan menjawab how (bagaimana) dan why (mengapa) dan biasanya lebih banyak menekankan pada teori. Pendidikan bagi karyawan berfungsi membantu dalam mengembangkan pengetahuan dan kemampuan ke tingkat yang lebih tinggi (Ranupandojo dan Husnan dalam Suwatno dan Rasto, 2003:141).
16
Penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan di luar sekolah untuk keluarga petani, di mana petani belajar sambil bekerja untuk menjadi tahu, mau, dan mampu melaksanakan kegiatan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya secara baik, menguntungkan dan memuaskan. Namun, menurut Verner dan Davison (Lunadi, 1993: 6-7), ada enam faktor yang secara fisiologis menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam program pendidikan : (1) bertambahnya usia, menyebabkan titik dekat penglihatan atau titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas, mulai bergerak menjauh, (2) bertambahnya usia, menyebabkan titik jauh penglihatan, atau titik terjauh yang dapat dilihat secara jelas mulai berkurang, makin pendek, (3) bertambahnya usia, makin besar pula jumlah penerangan yang diperlukan dalam suatu situasi belajar, (4) bertambahnya usia, menyebabkan kontras warna cenderung ke arah merah dari pada spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya kornea atau lensa mata, sehingga cahaya yang masuk agak tersaring, akibatnya lensa mata kurang dapat membedakan warna-warna lembut, (5) pendengaran atau kemampuan menerima suara berkurang dengan bertambahnya usia. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal ini dari pada wanita, (6) kemampuan membedakan bunyi makin mengurang dengan melanjutnya usia.
Jumlah Ternak yang Dipelihara Atas dasar tingkat produksi, macam teknologi yang dipakai, banyaknya hasil produksi yang dipasarkan, maka macam usaha peternakan di Indonesia oleh Prawirokusumo (1990: 1-4) digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu: (a) Usaha yang bersifat tradisional. Usaha ini diwakili oleh petani peternak dengan lahan sempit yang memiliki 12 ekor ternak, baik ternak ruminansia besar, kecil ataupun ayam kampung. Tipe usaha ini tidak mengalami kemajuan pesat, karena perkembangannya sangat dipengaruhi oleh daya dukung wilayah dan terbatasnya modal dan pema-
17
kaian teknologi. Usaha ini merupakan usaha sambilan, memanfaatkan limbah pertanian dan sangat berguna untuk tabungan keluarga. (b) Usaha skala rumah tangga. Usaha ini banyak diwakili oleh peternak-peternak ayam ras dan sapi perah. Peternak ini banyak memakai input teknologi, seperti kandang, manajemen, pakan rasional, bibit unggul dan lain-lainnya. Tujuan usaha ini di samping untuk kebutuhan keluarga, juga untuk dijual. Meskipun usaha jenis ini kurang berkembang, namun adanya kredit dari bank, penyuluhan yang intensif serta tersedianya prasarana produksi dan tempat pemasaran yang dikerjakan oleh swasta, menjadikan usaha ini berkembang. Pada usaha sapi perah, dikembangkan proyek PIR dimana plasma adalah peternak yang diproyeksikan untuk mempunyai sapi sampai dengan ukuran efisien yakni 7-10 ekor. (c) Usaha komersial. Merupakan usaha yang benar-benar telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi antara usaha dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam usaha ini, keuntungan merupakan motivasinya yang diproyeksikan kepada pasar-pasar yang ada. Usaha komersial dalam bidang peternakan dapat bermacam-macam, misalnya: usaha pembibitan, usaha pakan ternak, usaha penggemukan (feed lot), usaha ranch, dan lain-lainnya. Pada usaha sapi perah, jumlah ternak yang dipelihara diukur dalam Satuan Ternak (ST). Menurut Direktorat Jenderal Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan (Tanpa tahun:29), Satuan Ternak memiliki arti ganda yaitu ternak itu sendiri dan ukuran yang digunakan untuk menghubungkan berat badan ternak dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Satuan ternak yang berhubungan dengan ternak itu sendiri dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu : -
Sapi dewasa (umur > 2 tahun) dinyatakan dalam 1 ST
-
Sapi muda (umur 1-2 tahun) dinyatakan dalam 0,5 ST
-
Anak sapi (umur < 1 tahun) dinyatakan dalam 0,25 ST Menurut Soekartawi dkk (1988:93), ukuran usahatani selalu berhubungan
positif dengan adopsi inovasi. Banyak teknologi maju yang memerlukan skala operasi yang besar dan sumberdaya ekonomi yang tinggi untuk keperluan adopsi
18
inovasi tersebut. Penggunaan teknologi yang baik selanjutnya menghasilkan produktivitas yang tinggi dan manfaat ekonomi yang memungkinkan perluasan/ pengembangan usahatani selanjutnya.
Tipe Usaha Menurut Soehadji (Saragih, 1998:7), tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, dan diklasifikasikan ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) Peternakan sebagai usaha sambilan. Petani yang mengusahakan berbagai macam komoditi pertanian terutama tanaman pangan, dan ternak sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsistence), dengan tingkat pendapatan berasal dari ternak kurang dari 30%. (2) Peternakan sebagai cabang usaha. Petani peternak yang mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan tingkat pendapatan dari budidaya peternakan 30-70% (semi komersial atau usaha terpadu). (3) Peternakan sebagai usaha pokok. Peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan (single comodity) dengan tingkat pendapatan dari ternak sekitar 70-100%. (4) Peternakan sebagai usaha industri. Peternak sebagai usaha industri, mengusahakan komoditas ternak secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan 100% dari usaha peternakan (komoditi pilihan) Peternakan di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat, namun ada banyak alasan untuk optimis tentang kemampuannya untuk menumbuhkan produktivitas produksi di sub sektor pertanian ini. Hal ini menurut Schultz (Tambunan, 2003:43), disebabkan oleh petani peternak rakyat dan pengusaha kecil lainnya terbukti menggunakan teknologi yang tersedia secara sangat efisien.
19
Kemampuan Mengakses Informasi Informasi adalah hasil proses intelektual seseorang. Proses intelektual adalah mengolah atau memproses stimulus yang masuk ke dalam diri individu melalui panca indera, kemudian diteruskan ke otak atau pusat syaraf untuk diolah atau diproses dengan pengetahuan, pengalaman, dan selera yang dimiliki seseorang (Wiryanto, 2004:29). Informasi yang berkualitas ditandai dengan adanya kecermatan, tepat waktu, akurat, efisien dalam biaya, reliabel, dapat digunakan, lengkap, relevan, dan satu kesatuan (Babu dkk, 1997:162). Setiap perusahaan tidak lepas dari kebutuhan informasi dan data. Tersedianya informasi dan data yang lengkap membantu manajemen perusahaan mempertimbangkan strategi pencapaian tujuan perusahaan dengan tepat. The Liang Gie mengungkapkan bahwa informasi merupakan salah satu sumber kekuatan atau faktor hidup organisasi. Oleh karena itu, perusahaan perlu penangan infor-masi dan data secara baik dan memberi tempat yang strategis dalam urutan unsur manajemen dan produksi (Suwatno dan Rasto, 2003:10). Pencarian dan perolehan pengetahuan atau informasi membutuhkan motivasi karena pengetahuan tidak dapat dipompakan ke dalam diri manusia. Pendidikan yang efektif merupakan proses mempengaruhi menggunakan integrasi dan pengendalian diri (McGregor, 1988:150-151). Manajer dituntut menambah wawasan sosial, politik maupun ekonomi yang sedang berkembang, karena wawasan menstimulus lahirnya inovasi serta menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja. Surat kabar, majalah, radio, dan televisi merupakan media massa yang paling murah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Media massa penting untuk menyadarkan adanya inovasi di samping untuk mendorong minat. Namun, media massa memiliki sedikit pengaruh langsung ketika tiba waktunya mengambil keputusan. Pada tahap pengambilan keputusan, penilaian ditentukan oleh orang-orang yang dipercayai dan yang dapat diajak diskusi. Penelitian menunjukkan bahwa media massa kelihatannya dapat mempercepat proses perubahan, tetapi jarang dapat mewujudkan perubahan dalam perilaku (van den Ban dan
20
Hawkins, 2003:112). Hal ini senada dengan yang dikemukakan Harmoko (1994 :59) bahwa pesan-pesan tentang ide atau gagasan yang disampaikan oleh komunikator kepada masyarakat melalui media massa tidak selalu mudah dipahami dan diterima untuk kemudian mempengaruhi dan mengubah perilaku masyarakat, justru hubungan sosial antar pribadi lebih mampu mempengaruhi perilaku seseorang. Menurut Hubeis dkk (1994:15), alir informasi pembangunan menghasilkan perubahan tatanan sosial masyarakat. Mengingat kemajemukan masyarakat Indonesia, maka rekayasa strategi inovasi pembangunan untuk setiap masyarakatpun tidak sama, namun demikian strategi diseminasi inovasi pembangunan ke masyarakat, tujuannya tetap sama yaitu: (a) menyadarkan masyarakat memahami manfaat inovasi, (b) mewujudkan tindakan konkret masyarakat dengan mengadopsi inovasi yang bersangkutan, dan (c) menumbuhkan sumberdaya manusia berkualitas sebagai akibat pemahaman dan praktek inovasi pembangunan yang diajarkan kepada masyarakat. Saat mengakses informasi yang dibutuhkan, diperlukan kemampuan berkomunikasi. Komunikasi didefinisikan sebagai proses dengan mana orang berusaha untuk memperoleh pengertian yang sama melalui pengiriman pesan simbolik. Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat tiga hal penting yaitu: (1) komunikasi, melibatkan orang, pemahaman komunikasi mencakup upaya memahami bagaimana orang berhubungan satu sama lain, (2) komunikasi melibatkan pengertian yang sama, artinya, agar orang dapat berkomunikasi, harus sepakat mengenai definisi dari istilah yang digunakan, dan (3) komunikasi bersifat simbolik, gerak, isyarat, bunyi, huruf, angka, dan kata-kata hanya dapat mewakili atau mengirangirakan gagasan yang hendak dikomunikasikan (Stoner dan Freeman, 1992:139). Ditambahkan oleh Purwanto (2003:24) bahwa secara umum, komunikasi mempunyai dua fungsi penting dalam organisasi: (1) komunikasi memungkinkan orangorang saling bertukar informasi, dan (2) komunikasi membantu menghubungkan sekelompok anggota yang terpisah dari anggota lain.
21
Motivasi Motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang (Wahjosumidjo, 1984:174). Menurut Asnawi (2002:21), motivasi adalah suatu konsep yang digunakan ketika dalam diri seseorang muncul keinginan (initiate) dan menggerakkan atau mengarahkan tingkah laku. Semakin tinggi motivasi semakin tinggi intensitas perilaku. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pola motivasi seseorang mencerminkan lingkungan budaya tempat tinggal seperti keluarga, sekolah, agama, dan buku yang dibaca (Davis dan Newstrom, 1995:87). Menurut Ganguli (Zainun, 2004:32), motivasi tidak mengubah kemampuan kerja, tetapi menentukan meninggi dan merendahkan usaha. Salah satu bentuk proses motivasi yang amat terkenal adalah teori keadilan (equity theory). Teori ini mendasarkan kepada anggapan bahwa kebanyakan manusia terpengaruh dengan situasi seperti penghasilan yang berimbang dibanding dengan penghasilan kelompok yang sederajat, sehingga seorang pekerja dapat saja membatasi produktivitas kerjanya setelah melihat bagaimana teman sebelahnya menghasilkan produk itu. Menurut teori ini, yang paling menentukan kinerja pekerja adalah rasa adil atau tidaknya keadaan di lingkungannya. Menurut Ravianto (1985:23-24), motivasi dapat dibedakan antara motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah rangsangan yang datang dari luar dirinya. Orang bekerja keras jika diberi hadiah atau insentif untuk bekerja baik. Di sini motivasi kerja tinggi karena mengharap suatu imbalan dari luar dirinya. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang datang dari dalam diri sendiri, seseorang bekerja keras karena senang melakukan pekerjaan itu dan mengalami kepuasan kerja. Dalam hal ini insentif terletak pada kepuasan melaksanakan pekerjaan itu sendiri. Orang mengalami kepuasan kerja bila mempunyai kebebasan dalam menentukan pekerjaan yang ingin dilakukan dan dengan cara yang diinginkannya. Demikian pula, peran serta dan pelibatan diri tanpa paksaan, meningkatkan motivasi kerja.
22
Motivasi intrinsik sulit dicapai jika: (a) teknologi tidak memungkinkan individu menentukan sendiri pekerjaannya, seperti pada produksi massa, (b) individu tidak mempunyai dorongan kuat akan perwujudan diri. Selanjutnya motivasi intrinsik tampak pada orang-orang yang berpengetahuan luas dan senang bekerja mandiri serta senang dengan masalah-masalah menantang. Atkinson dkk (Stoner dan Freeman, 1992: 15), berpendapat bahwa semua orang dewasa yang sehat mempunyai cadangan energi potensial. Bagaimana energi ini dilepas dan digunakan tergantung pada: (1) kekuatan kebutuhan atau motif dasar yang bersangkutan, (2) harapan keberhasilan, dan (3) nilai rangsangan yang melekat pada tujuan tersebut. Model Atkinson ini sejalan dengan pendapat Mc Clelland (2005:1) yang menghubungkan perilaku dan kinerja dengan tiga dorongan dasar yang sangat berbeda di antara individu yaitu: motif berprestasi (n-ach), motif kekuasaan (n-pow), dan motif berafiliasi, atau hubungan yang akrab dengan orang lain (n-affil). Keseimbangan antara dorongan-dorongan ini berbeda pada setiap orang. Seorang pemimpin perlu menumbuhkan motivasi intrinsik dalam diri pekerja sehingga mendorong pertumbuhan dan perwujudan diri pekerja. Dengan cara ini pekerja maupun masyarakat pengikut berprestasi lebih baik, produktivitas kerja yang tinggi, kepuasan kerja lebih besar dan lebih berkesempatan mewujudkan diri, yang selanjutnya dapat berprestasi dalam semua peran kehidupan secara lebih efektif (Davis dan Newstrom, 1992:56).
Kompetensi Kewirausahaan Kompetensi Menurut Suparno (2001:27), kata kompetensi diartikan sebagai kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas atau sebagai “memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan.” Kompetensi, menurut Davis dan Newstrom (1995:89), merupakan salah satu motivasi yang dimiliki individu dan merupakan dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan peme-
23
cahan masalah, dan inovatif. Orang-orang yang memiliki kompetensi cenderung melakukan pekerjaan dengan baik karena kepuasan batin dirasakan dari melakukan pekerjaan itu dan penghargaan yang diperoleh dari orang lain. Susilo (2002:6) mendefinisikan kompetensi sebagai kombinasi antara pengetahuan, kemampuan /keterampilan dan sikap yang dimiliki seorang sehingga mampu melakukan pekerjaan yang telah dirancang bagi dirinya baik untuk saat ini, maupun masa mendatang. Menurut Spencer dan Spencer (1993:9), kompetensi merupakan karakter individu yang mempengaruhi cara berfikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia. Sejalan dengan definisi di atas, komponen-komponen atau elemen yang membentuk kompetensi (Spencer dan Spencer, 1993:9-10) adalah: (1) motif (motive) yaitu sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau dikehendaki oleh seseorang, yang selanjutnya mengerahkan, membimbing, dan memilih suatu perilaku tertentu terhadap sejumlah aksi atau tujuan, (2) karakter pribadi (traits) yaitu karakteristik fisik dan reaksi atau respon yang dilakukan secara konsisten terhadap suatu situasi atau informasi, (3) konsep diri (self concept) yaitu perangkat sikap, sistem nilai atau citra diri yang dimiliki seseorang, (4) pengetahuan (knowledge) yaitu informasi yang dimiliki seseorang terhadap suatu area spesifik tertentu, (5) keterampilan (skill) yaitu kemampuan untuk mengerjakan serangkaian tugas fisik atau mental tertentu. Tingkat kompetensi berguna untuk merencanakan penempatan sumberdaya manusia pada suatu posisi kerja tertentu. Pengetahuan dan keterampilan seseorang mudah terlihat dan mudah diamati karena relatif berada di permukaaan karakteristik manusia. Konsep diri, karakter pribadi, dan motif merupakan area yang tersembunyi, di dalam diri seseorang dan merupakan kunci kepribadian. Spenser dan Spencer, (1993:11) menggambarkan Pusat dan Permukaan Kompetensi seperti pada Gambar 1. Pengetahuan dan keterampilan relatif mudah untuk diubah dan dikembangkan melalui pelatihan. Motif dan karakter pribadi merupakan dasar dari gunung es kepribadian, sulit untuk dinilai dan diubah.
24
Model Gunung Es
Keterampilan Terlihat
Konsep diri
Keterampilan Pengetahuan
Tersembunyi
Karakter pribadi, motif
Konsep diri Karakter pribadi Motif
Sikap, Nilai
Pengetahuan
Permukaan Sangat mudah diubah
Kunci kepribadian: Sangat sulit diubah
Gambar 1. Pusat dan Permukaan Kompetensi (Spencer dan Spencer, 1993:11) Johnson (Suparno, 2001:27), memandang kompetensi sebagai perbuatan (performance) rasional yang memuaskan seseorang sesuai tujuan yang diinginkan. Dinyatakan performance rasional, karena orang yang melakukannya harus mempunyai tujuan/arah dan orang tersebut tahu apa dan mengapa berbuat demikian. Menurut White (Hersey dan Blanchard, 1990:223), kompetensi merupakan kemampuan mengendalikan faktor-faktor lingkungan, baik fisik maupun sosial. Orang-orang yang memiliki motif ini tidak ingin menunggu terjadinya hal-hal secara pasif tetapi ingin mengubah lingkungan dan berusaha mewujudkannya. Kompetensi bergantung pada keberhasilan dan kegagalan yang dialami pada waktu-waktu yang lalu. Seseorang yang mengalami keberhasilan lebih besar dari kegagalan, memiliki perasaan kompetensi yang cenderung tinggi, memiliki pandangan positif tentang kehidupan, hampir setiap situasi baru dipandang sebagai tantangan menarik yang perlu ditanggulangi, tetapi bila kegagalan lebih besar dari keberhasilan, maka pandangan lebih negatif dan harapan untuk memenuhi berbagai kebutuhan menjadi rendah, hal ini disebabkan harapan mempengaruhi
25
motif. Orang-orang yang berkompetensi rendah sering tidak termotivasi untuk mencari tantangan baru atau menempuh resiko (Hersey dan Blanchard, 1990:43). Kompetensi terbentuk pada awal kehidupan manusia, yang salah satu unsurnya adalah bakat (Lucia dan Richard, 1999:5), tetapi tidak selalu permanen, sehingga kompetensi perlu diperbaharui. Peternak kompeten tidak selamanya tetap kompeten. Pengetahuan dan keterampilan relatif lebih mudah dikembangkan dan diperbaiki yaitu dengan cara pelatihan untuk meningkatkan kemampuan. Pengetahuan dan keterampilan dapat memburuk dan menjadi usang, untuk itu diperlukan pelatihan guna memperbaharui pengetahuan dan keterampilan. Menurut Robbins (1996:57), keterampilan dibagi dalam tiga kategori yaitu: keterampilan teknik, antarpribadi (sosial), dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan usahanya (manajerial). Keterampilan teknis diperlukan mengingat teknologi baru senantiasa berkembang. Keterampilan antarpribadi, berupaya untuk memperbaiki interaksi, komunikasi, dan menghargai keanekaragaman budaya. Keterampilan pemecahan masalah bertujuan mempertajam logika, penalaran, dan keterampilan mendifinisikan masalah, maupun menilai sebab akibat, mengembangkan alternatif, menganalisis alternatif, dan memilih pemecahan.
Kewirausahaan Salah satu kelemahan pembangunan sumberdaya manusia oleh pemerintah Indonesia pada waktu yang lalu adalah tidak dikembangkan para entrepreneur yang baik, kuat dan banyak jumlahnya. Wirausahawan adalah pencipta kekayaan melalui inovasi, wirausahawan adalah pusat pertumbuhan pekerjaan dan ekonomi, wirausahawan memberikan mekanisme pembagian kekayaan yang bergantung pada inovasi, kerja keras, dan pengambilan resiko (Pambudy dkk, 2000:235). Wirausahawan sering diartikan sebagai seseorang yang mengerti dan dapat membedakan antara tantangan dan peluang lalu memanfaatkannya untuk mencari keuntungan. Kewirausahaan (entrepreneurship) berasal dari bahasa Perancis yang diterjemahkan secara harfiah artinya perantara. Istilah ini pertama dikemukakan oleh Jean Baptista Say (1767–1832). Secara lebih luas kewirausahaan didefinisi-
26
kan sebagai proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul risiko finansial, psikologi, dan sosial yang menyertainya serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan pribadi. Istilah kewirausahaan dapat pula diartikan sebagai sikap dan perilaku mandiri yang mampu memadukan unsur cipta, rasa, dan karsa serta karya atau mampu menggabungkan unsur kreativitas, tantangan, kerja keras, dan kepuasan untuk mencapai prestasi maksimal sehingga memberikan nilai tambah maksimal terhadap produk yang dihasilkan dengan mengindahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Entrepre-
neurship merupakan suatu kualitas sikap seseorang bukan sekedar keahlian. Seorang entrepreneur memiliki kepribadian yang tahan banting, selalu mencari peluang dan memiliki visi dan entrepreneur yang berhasil selalu berangkat dari pandangan untuk berhasil, tidak sekedar berbuat (Sutanto, 2002:11-12). Inti kewirausahaan adalah kemandirian dan kemandirian seseorang ditentukan oleh tingkat kepercayaan diri atas hal-hal yang harus dihadapi. Kemandirian untuk mampu bekerja mandiri sulit dilakukan jika tidak terbiasa belajar, berlatih, dan kerja mandiri yang memberikan pengalaman sukses (Soesarsono dan Sarma, 2004: 31). Secara khusus seorang wirausahawan adalah orang yang mempunyai tenaga, keinginan untuk terlibat dalam petualangan inovatif, kemauan menerima tanggungjawab pribadi dalam mewujudkan suatu peristiwa dengan cara yang dipilih dan keinginan berprestasi yang sangat tinggi, bersikap optimis dan kepercayaan terhadap masa depan (orientasi ke masa depan). Kamus Umum Bahasa Indonesia (2001:130) mengartikan wirausaha sebagai orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi pengadaan produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya. Meng dan Liang (Riyanti, 2003:22-23), merangkum pandangan beberapa ahli, dan mendefinisikan wirausaha sebagai: (1)
seorang inovator (Shumpeter),
(2)
seorang pengambil resiko (a risk-taker) (Yee),
(3)
orang yang punya visi dan misi (Silver),
(4)
hasil dari pengalaman masa kanak-kanak (Kets De Vreis),
27
(5)
orang yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi (Mc Clelland dan Brockhaus),
(6)
orang yang memiliki locus of control internal (Rotter),
(7)
seorang inkubator gagasan baru yang berusaha menggunakan sumberdaya secara optimal mencapai tingkat komersial yang tinggi (Richard Cantillon),
(8)
orang yang memiliki pandangan yang tidak lazim yang dapat mengenali tuntutan potensial atas barang dan jasa (Adam Smith),
(9)
orang yang memiliki seni dan keterampilan tertentu dalam menciptakan usaha ekonomi yang baru (Jean Baptise),
(10) orang yang dapat melihat cara-cara ekstrem dan tersusun untuk mengubah sesuatu yang tidak bernilai atau bernilai rendah menjadi sesuatu yang bernilai tinggi, dengan cara memberikan nilai baru ke barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan manusia (Menger). Menurut Widodo (2005:83), inovasi merupakan alat spesifik kewirausahaan. Secara harfiah inovasi berasal dari kata to innovate, yaitu melakukan sesuatu yang baru atau mengubah sesuatu yang telah ada. Perubahan tidak harus total atau bukan harus berupa penemuan baru. Inovasi dapat dilakukan terhadap produk, sistem, proses, dan metode yang secara ringkas berorientasi kepada nilai tambah. Inovasi dalam kaitan dengan kewirausahaan, adalah tindakan yang memberikan kekuatan dan kemampuan baru untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat atau inovasi adalah menciptakan “sumberdaya” ekonomi. Inovasi memberikan perubahan dengan konsekwensi ketidakpastian, namun memberikan kemajuan sebagai dampak positifnya (Soesarsono dan Sarma, 2004: 30). Holt (Riyanti, 2003:9) menggarisbawahi bahwa sifat kepribadian wirausaha yang perlu dipunyai adalah kreatif dan inovatif. Kreativitas berarti ”menghasilkan sesuatu yang baru.” Kreativitas lebih menekankan kemampuan, bukan kegiatan. Orang disebut kreatif jika memiliki ide/gagasan baru tanpa harus merealisasikan gagasan itu. Inovasi adalah proses melakukan/penerapan sesuatu yang baru itu. Kreativitas merupakan prasarat inovasi. Meredith et al (Soesarsono dan Sarma, 2004:33-34) mengemukakan ciri dan watak entrepreneur seperti tertera pada Tabel 1.
28
Tabel 1. Ciri dan Watak Entrepreneur No Ciri 1. Kepercayaan diri
Watak a) Percaya diri b) Ketidaktergantungan c) Optimis
2.
Orientasi tugas dan hasil
a) b) c) d) e) f)
Haus prestasi Berorientasi laba Tekun dan tabah Tekad kerja keras Dorongan (karsa) kuat Energik dan penuh inisiatif
3.
Pengambilan resiko
a) Berani mengambil resiko b) Suka pada tantangan
4.
Originalitas
a) b) c) d) e)
5.
Kepemimpinan
a) Bertingkah laku pemimpin b) Dapat bergaul dengan orang lain c) Menanggapi saran/kritik
6.
Orientasi ke depan
a) Pandangan ke masa depan b) Perpektif
Kreatif dan inovatif Luwes Punya banyak sumber Banyak tahu dan banyak akal Serba bisa
Sumber: Soesarsono dan Sarma, 2004:33-34 Ditambahkan oleh Casson (Soesarsono dan Sarma, 2004:34) bahwa beberapa “kriteria mutu” atau kemampuan yang diperlukan untuk memenuhi fungsi sebagai seorang wirausahawan, yaitu: (1) pengetahuan diri, (2) imajinasi, (3) pengetahuan praktis, (4) kemampuan analitis, (5) keterampilan mencari, (6) peramalan, (7) keterampilan menghitung, dan (8) keterampilan komunikasi. Meng dan Liang, serta Hofstede (Riyanti, 2003:63-64) menyatakan bahwa segi-segi yang menghambat pembentukan perilaku wirausaha inovatif adalah: (1) budaya power distance yang tinggi di Indonesia menyebabkan distribuasi kekuasaan tidak seimbang dalam institusi-institusi dan organisasi-organisasi. Kondisi ini menciptakan hubungan kerja atasan bawahan yang birokratis, di mana terdapat jarak dalam interaksi atasan bawahan. Jarak ini menghambat penyampaian ide kreatif dari atasan ke bawahan atau sebaliknya,
29
(2) budaya uncertainty avoidance mengakibatkan orang tidak berani mengambil resiko, padahal salah satu ciri penting wirausaha yang berhasil adalah berani mengambil resiko, (3) budaya collectivism-individualism, masyarakat Indonesia cenderung bersifat kolektivitas dan kompromis sehingga munculnya gagasan-gagasan baru terhambat, (4) budaya masculinity-feminity, yaitu budaya yang berorientasi feminity di Indonesia. Disini hal terpenting dalam interaksi sosial adalah harmoni dan menghambat tumbuhnya orientasi materi dengan memaksimalkan kesempatan.
Kompetensi Kewirausahaan yang Perlu Dimiliki Peternak Sapi Perah
Dalam menjalankan usaha ternak, peternak memegang dua peranan, yaitu sebagai juru tani ternak (cultivator) dan sekaligus sebagai pengelola (manager) (Mosher,1981:37). Sebagai manajer, perlu memiliki kompetensi kewirausahaan meliputi kompetensi teknis dan manajerial. Kompetensi-kompetensi ini diperlukan agar peternak mampu menjalankan perannya sebagai juru tani ternak yang handal dan manajer yang mampu memimpin perusahaannya secara baik, mampu bernegosiasi dengan mitra juga berinteraksi dengan semua pihak dalam posisi yang sejajar (egaliter) sehingga citra peternakan yang dipimpinnya baik dimata masyarakat maupun mitra usaha. Seorang peternak yang memiliki kompetensi kewirausahaan selain menguasai wawasan tentang usaha peternakan, juga memiliki perilaku dasar yang diperlukan untuk menjadi peternak yang baik dan tangguh. Perilaku ini mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memadai untuk menjalankan usahanya. Pengetahuan dasar yang diperlukan seorang peternak adalah pengetahuan teknis dan aplikatif tentang ternak yang diusahakannya (Pambudy dkk, 2000:99-100). Pengetahuan dasar itu mencakup pengetahuan tentang ternak secara umum, kemudian pengetahuan tentang bibit, pakan dan manajemen pemeliharaan, seperti: pengendalian penyakit, pemberian pakan, kesehatan dan sanitasi, serta penataan
30
perkandangan dan lainnya. Sikap yang diperlukan oleh peternak adalah penghayatan tentang ternak. Ternak adalah mahkluk hidup yang memerlukan perhatian ekstra seperti makan, minum, dan penanganan kesehatan. Sudono (2002:20-21) mensyaratkan sifat yang perlu dimiliki peternak sapi perah agar berhasil dalam menjalankan usahanya, yaitu: (1) mempunyai rasa sayang pada hewan. Hewan yang disayangi menjadi jinak dan mudah dipemelihara, demikian pula bila ternaknya sakit, cepat diobati. (2) mempunyai ketekunan bekerja. Ketekunan bekerja adalah syarat yang sangat perlu dalam beternak sapi perah. (3) mempunyai pengetahuan dasar-dasar pemuliaan sapi perah (sistem-sistem perkawinan dan seleksi), pemberian pakan dan tatalaksana sapi perah. (4) memiliki pengetahuan tentang rumput atau hijauan pakan ternak lainnya, sehingga dapat memilih ransum pakan ternak yang ekonomis tetapi memiliki nilai gizi yang cukup tinggi. (5) mempunyai jiwa, semangat kerjasama atau hubungan yang baik dengan peternak sapi perah lainnya. Adanya interaksi peternak sapi perah memudahkan saling bertukar informasi, pengalaman, dan pengetahuan dalam beternak sapi perah, serta memudahkan pemasaran susu dan pembelian pakan ternak. (6) dapat mengatasi kekecewaan. Interaksi para peternak sapi perah dapat memberikan dukungan/semangat kepada peternak yang mengalami keterpurukan usaha. (7) dapat mengambil keputusan-keputusan yang baik. Peternak merupakan seorang manajer sehingga memerlukan kemampuan manajerial yang handal. Menurut Ruky (2003:114-115), profil kandidat untuk jabatan manajerial adalah sebagai berikut: (1) memiliki kompetensi teknis, untuk itu kandidat manajer perlu ditetapkan tingkat pendidikan dasar terrendah yang harus dimiliki, (2) mengikuti latihan-latihan, karena latihan dianggap sebagai sumber pengetahuan/keterampilan bagi kandidat, (3) memiliki pengalaman baik pada pekerjaan yang sama ataupun dalam pekerjaan dengan bobot tanggungjawab yang lebih rendah,
31
(4) memiliki dorongan (motive), (5) memiliki sistem nilai dan sikap. Sistem nilai adalah intisari budaya perusahaan, (6) memiliki kepribadian yang baik, (7) memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatan yang harus diisi. Pengetahuan membentuk pengetahuan teknis, umum, bisnis, manajemen, dan sebagainya, (8) memiliki keterampilan, meliputi keterampilan analitis, keterampilan verbal, keterampilan mekanik, dan sebagainya. (9) memiliki usia yang tepat untuk menduduki sebuah jabatan manajer. (10) memiliki kesehatan dan kondisi fisik yang prima. Hersey dan Blanchard (1990:5-6) menyatakan bahwa paling tidak terdapat tiga bidang kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan proses manajemen yaitu: kemampuan teknis, kemampuan sosial, dan kemampuan konseptual. Kemampuan teknis meliputi kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan, dan training. Kemampuan konseptual meliputi kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang gerak unit kerja masing-masing ke dalam bidang operasi organisasi secara menyeluruh. Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi secara menyeluruh. Kemampuan sosial adalah kemampuan dan kata putus (judgment) dalam bekerja dengan dan melalui orang lain, yang mencakup pemahaman tentang motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif. Pada saat seseorang meningkat kedudukannya dalam kepemimpinan organisasi maka makin sedikit kemampuan teknis yang diperlukan, dan pada saat yang sama makin banyak kemampuan konseptual yang diperlukan. Kemampuan teknis dan konseptual yang diperlukan pada berbagai level manajemen berbeda-beda, kemampuan yang paling penting pada semua level adalah kemampuan sosial. Menurut laporan Perhimpunan Manajemen Amerika (American Management Association), dari 200 manajer yang ikut dalam suatu survei menyetujui bahwa satusatunya kemampuan yang paling penting bagi seorang eksekutif adalah kemam-
32
puan bergaul baik dengan orang lain. Kemampuan ini lebih vital dari kecerdasan, kemampuan memutuskan, pengetahuan, dan kemampuan tentang pekerjaan (Hersey dan Blanchard, 1990:7). Menurut banyak ahli disebutkan bahwa adanya perbedaan hasil atau performance gap dalam usaha ternak adalah akibat perbedaan kecakapan peternak sebagai manajer dalam mengelola informasi sampai terjadinya keputusan yang dilanjutkan oleh tindakan-tindakan yang menguntungkan. Prawirokusumo (1990 :11) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi usaha peternakan maka diperlukan seorang manajer yang mampu meramu program-program berikut: nutrisi, sanitasi dan kesehatan, kandang dan peralatan, kontrol lingkungan (temperatur, ventilasi dan sinar), penambahan berat badan, dan recording (catatan data).
Kompetensi Teknis Sesungguhnya peternak dapat belajar jauh lebih banyak daripada sebelumnya, asal diberi kesempatan dan dorongan. Hasil belajar ini menjadikan peternak lebih percaya diri dalam mengelola usahanya. Sebagai seorang pengelola/manajer, peternak dituntut untuk dapat melakukan seleksi terhadap ternak sapi perahnya untuk dijadikan bibit. Seleksi yang tepat menghasilkan ternak-ternak yang memiliki produktivitas tinggi. Menurut Sudono (1999:55), sebelum melakukan seleksi untuk memilih bibit ternak perlu dilakukan recording. Seleksi adalah memilih ternak-ternak yang mempunyai sifatsifat produksi yang tinggi untuk dijadikan bibit bagi generasi yang akan datang. Seleksi yang umum dipakai mengikuti empat cara yaitu: (1) seleksi berdasarkan atas tampak luar (exterior). Seleksi ini sebenarnya kurang tepat, karena ternak yang mempunyai bentuk badan yang baik, belum tentu menghasilkan produksi tinggi. Penelitian menghasilkan data bahwa korelasi genetik antara tipe sapi perah dengan produksi susu adalah rendah yaitu 0,10. (2) seleksi berdasarkan atas pemenang lomba ternak. Cara seleksi ini sama dengan seleksi tampak luar tiap-tiap individu tetapi seleksi ini dilakukan oleh juri. Ternak-ternak yang menjadi juara dipilih sebagai bibit.
33
(3) seleksi berdasarkan atas silsilah. Cara yang dilakukan adalah dengan mempelajari data tetua ternak mengenai produksi rata-rata induk dan uji keunggulan bapak. Ternak yang mempunyai silsilah baik, dapat dipilih sebagi bibit. Cara seleksi ini dilakukan untuk sapi-sapi yang masih muda, belum menghasilkan susu atau belum ada data yang menunjukkan kinerja sapi-sapi tersebut. (4) seleksi berdasarkan uji produksi. Cara seleksi ini merupakan seleksi yang paling tepat untuk memilih bibit ternak. Uji produksi ini terdapat dua cara yaitu uji produksi individu ternak (individual merit testing) yaitu uji produksi susu tiap-tiap sapi yang ada di peternakan, ternak-ternak yang memiliki produksi tinggi dijadikan bibit dan uji zuriat (progeny test) yaitu pemilihan ternak berdasarkan penilaian prestasi anak-anaknya, cara ini umumnya dilakukan untuk ternak jantan karena ternak jantan mempunyai lebih banyak keturunan daripada ternak betina. Setelah pemilihan bibit dilakukan, maka tugas selanjutnya adalah pemeliharaan ternak. Pemeliharaan sapi perah sangat menentukan keberhasilan usaha sapi perah karena disini dituntut kemampuan peternak untuk mengaplikasikan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang dimilikinya. Pemeliharaan sapi perah dikelompokkan menjadi tiga periode yaitu: pemeliharaan pedet, sapi dara, dan sapi dewasa. Selanjutnya peternak juga perlu menguasai pengetahuan tentang nilai gizi pakan karena pakan yang diberikan menentukan kualitas dan kuantitas susu. Selain itu, proses pemerahan yang teratur dan bersih ikut juga memberi kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas susu sapi yang dihasilkan. Pengetahuan tentang reproduksi ternak diperlukan untuk mendeteksi bihari dan melakukan perkawinan yang tepat bagi ternak sapi perahnya. Pemeliharaan yang baik dan pakan yang cukup baik dalam jumlah maupun nilai gizi, kebersihan yang terjamin, serta pemerahan yang teratur dapat mencegah sapi perah terkena penyakit seperti: mastitis, TBC, Brucellosis, dan lain sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut dapat menular kepada sapi yang sehat, untuk itu peternak juga perlu membangun kandang secara terpisah sesuai umur sapi. Selain menguasai cara pemeliharaan sapi perah, peternakpun perlu menguasai pemasaran susu. American Marketing Association (AMA) mendefinisikan
34
pemasaran sebagai proses perencanaan dan pelaksanaan rencana penetapan harga, promosi, dan distribusi dari ide-ide, barang-barang, dan jasa-jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan-tujuan individual dan organisasional (Anoraga, 1997:215). Dalam kenyataan, kelemahan sistem pertanian di Indonesia termasuk sub sektor peternakan adalah kurangnya perhatian dalam bidang pemasaran. Fungsi-fungsi pemasaran seperti pembelian, sorting (atau grading), penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan, sering tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga efisiensi pemasaran menjadi lemah. Keterampilan untuk melaksanakan efisiensi pemasaran dan mempraktekkan unsur-unsur maupun penguasaan informasi pasar yang dimiliki petani, terbatas, ini menyebabkan peluangpeluang bisnis sulit untuk dicapai dan dampaknya terhadap produktivitas kerja kurang maksimal (Soekartawi, 1993:1-2). Mayoritas pemasaran susu dilakukan melalui koperasi susu atau KUD unit susu. Dahulu, tahap awalnya koperasi dan KUD unit susu secara nasional disatukan dalam wadah Badan Koordinasi Susu Indonesia (BKSI) kemudian dengan pengarahan menteri Muda Urusan Koperasi, sepakat membentuk wadah Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI).
Kompetensi Manajerial Setiap petani pada hakekatnya menjalankan sebuah perusahaan pertanian di atas usahataninya. Usahatani itu merupakan perusahaan, karena tujuan tiap petani bersifat ekonomis. Oleh karena itu, manajemen usaha perlu diterapkan. Manajemen adalah tugas. Manajemen merupakan suatu disiplin, tetapi manajemen juga manusia (Drucker, 1982:5). Manajemen sangat penting bagi semua organisasi, baik organisasi besar atau kecil, organisasi formal maupun informal. Keberhasilan organisasi mencapai tujuannya tergantung pada proses manajemen yang dijalankan. Manajemen (pengelolaan) usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dan memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan (Hernanto, 1996:88).
35
Fungsi manajerial yang perlu mendapatkan perhatian adalah: perencanaan, pengorganisasian, penumbuhan dan pemeliharaan motivasi pada karyawan, pengawasan dan penilaian (Siagian, 2004:44-45). Perencanaan merupakan dasar mengambil langkah-langkah dalam menjalankan roda perusahaan. Perencanaan juga merupakan salah satu bentuk pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan yang dilakukan oleh manajemen serta dapat memprediksi kondisi masa depan yang akan dihadapi, sehingga perencanaan perlu dibuat secara cermat. Beberapa ahli manajemen organisasi banyak mendefinisikan perencanaan, namun dapat disimpulkan empat langkah kunci dalam definisi perencanaan (Said dan Intan, 2001:35), yakni: (a) pemikiran ke masa depan, yakni memandang masa depan yang gemilang dan bukan merupakan ramalan belaka, tetapi pernyataan berorientasi tindakan, (b) serangkaian tindakan, yakni mengembangkan alternatif-alternatif atau metodemetode untuk terus maju, (c) pemahaman penuh terhadap semua faktor yang terlibat, yaitu memahami dan mempertimbangkan fakta-fakta dan konsekwensi faktor-faktor tersebut yang menjadi penghambat, sehingga dapat diantisipasi sebelumnya, (d) pengarahan kepada sasaran khusus, yakni semua rangkaian kegiatan diarahkan pada sasaran yang ingin dicapai pada masa depan. Perencanaan dapat meliputi perencanaan kegiatan dan keuangan. Dalam kegiatan on-farm, studi kelayakan usaha perlu dilakukan karena adanya keterlibatan modal. Dalam perencanaan analisis finansial, estimasi kemampuan pasar dilakukan dengan mempelajari: perkembangan permintaan, perkembangan penawaran, perkembangan harga, perkiraan pangsa pasar, dan perencanaan strategis pemasaran. Selain itu, pengadaan input juga harus selalu diperhitungkan dan dimasukkan ke dalam perencanaan finansial, meliputi: bibit, pakan, obat-obatan, bahan-bahan lain, peralatan, dan tenaga kerja dari luar keluarga petani. Konsep atau ide yang telah dirumuskan dalam perencanaan dapat digunakan sebagai guideline dalam proses produksi. Perencanaan yang telah dibuat digunakan sebagai informasi bagi mitra strategis apabila produsen mengharapkan adanya keterlibatan mitra bisnis dalam
36
menjalankan usahanya. Selain itu, untuk menjaga kelangsungan usaha, kontinuitas produksi dan pengembangan usaha, produsen perlu membangun kerja sama dengan pemasok, distributor dan lembaga penunjang seperti bank. Ditetapkannya suatu rencana mempunyai konsekwensi pekerjaan dan aktivitas yang harus dilaksanakan, juga departementalisasi yang timbul karena tuntutan spesialisasi dalam pelaksanaan pekerjaan, pembagian kerja, serta pemeliharaan keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab para pelaksana kegiatan teknis dan operasional, semua itu memerlukan koordinasi dibawah komando manajer. Menurut Downey dan Erickson (Said dan Intan, 2001:39), fungsi pengorganisasian meliputi kegiatan-kegiatan: (a) menyusun struktur organisasi, (b)menentukan pekerjaan yang dikerjakan, (c) memilih, menentukan, dan mengembangkan karyawan, (d) merumuskan kegiatan perusahaan, dan (e) membentuk sejumlah hubungan dalam organisasi kemudian menunjuk stafnya. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Teori pengawasan diketengahkan bahwa titik tolak berpikir yang tepat dijadikan dasar dalam melakukan pengawasan ialah bahwa pengawasan tidak ditujukan untuk menemukan siapa yang salah dalam hal terjadinya penyimpangan realisasi rencana kerja, melainkan untuk mencari fakta tentang apa yang tidak beres dalam sistem sehingga terjadi penyimpangan. Oleh karena itu, manajer harus mampu memahami dengan pikirannya yang jernih mengapa terdapat diskrepansi antara hasil pekerjaan yang ditetapkan dalam rencana dengan kinerja yang ditampilkan pelaksana. Faktor-faktor penyebab dapat beragam, seperti: (a) tuntutan rencana yang tidak realistis, (b) kekurangan dukungan sarana dan prasarana, (c) terdapat masalahmasalah organisasional seperti koordinasi, (d) cara penyeliaan yang tidak tepat, dan (e) kedaluwarsanya keterampilan para pelaksana (Siagian, 2004:50-51). Fungsi evaluasi menekankan pada upaya untuk menilai proses pelaksanaan rencana, mengenal ada tidaknya penyimpangan, dan tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan berdasarkan rencana yang telah dibuat. Fungsi evaluasi ditujukan pada suatu objek tertentu dan dalam periode tertentu. Fungsi pengendalian merupakan suatu upaya manajerial mengembalikan semua kegiatan pada rel yang telah ditentukan, sehingga jika diperoleh penyim-
37
pangan dari prosedur kerja dapat dilakukan pengendalian. Pengendalian dapat dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian dari rencana awal karena adanya faktorfaktor yang berubah sehingga pencapaian tujuan organisasi dapat dilakukan. Kepemimpinan manajerial adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas anggota kelompok. Kepemimpinan merupakan bagian sentral dari peran manajer, yang menyangkut kerja sama dengan dan melalui orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Efektivitas manajer ditentukan oleh kemampuannya dalam memotivasi, mempengaruhi, mengarahkan, dan berkomunikasi dengan bawahan (Stoner dan Freeman, 1992:3). Produktivitas tinggi datang dari staf yang mempunyai motivasi, tetapi masing-masing orang termotivasi oleh alasan yang berbeda. Sebagai juru tani ternak, peternak perlu memotivasi diri dan pekerjanya dengan cara memahami tentang kebutuhan yang dirasakan. Siagian (2004:49) menyatakan bahwa teori motivasi menekankan bahwa terdapat tiga elemen yang harus diperhatikan dalam pemberian motivasi, yaitu: (1) upaya yang maksimal dari para pekerja, (2) pencapaian tujuan dan berbagai sasaran perusahaan, dan (3) pencapaian tujuan pribadi para anggota organisasi yang bersangkutan. Bermitra usaha merupakan kemampuan lain yang perlu dimiliki usahawan. Dewasa ini paling tidak terdapat tiga pola kemitraan yang berkembang pada kegiatan agribisnis, yaitu: kemitraan tradisional, kemitraan ”pemerintah,” dan kemitraan pasar (Pranadji, 1999:485)
Kemitraan tradisional mengikuti pola hu-
bungan patron-client. Pelaku ekonomi yang berperan sebagai patron adalah pemilik modal atau peralatan produksi strategis, dan yang berperan sebagai client adalah petani penggarap, peternak, atau nelayan pekerja. Pada pola patron-client seperti ini kemitraan agribisnis yang berkembang lebih bersifat horisontal, yaitu agribisnis yang bergerak di bidang produksi atau usaha tani. Kemitraan yang bersifat vertikal umumnya diwarnai oleh hubungan hutang (panjar atau ijon) antara pedagang (pemberi hutang) dan petani produsen (penerima hutang). Pola kemitraan tradisional ini interdependensi antara patron dan client bersifat sangat asimetris, dan secara terselubung terjadi eksploitasi berkelanjutan dari ”sang kuat” (patron) terhadap ”si lemah” (client). Pada pola ini hampir tidak
38
dijumpai adanya kompetisi ekonomi yang bersifat terbuka, sehingga kreativitas usaha pelaku-pelaku agribisnisnya menjadi sukar ditumbuhkan secara sehat. Di samping itu, pola ini juga sangat kurang kondusif untuk pengadopsian hasil inovasi di bidang iptek, permodalan, dan kelembagaan ekonomi mutakhir. Pola ini condong pada ciri usaha yang padat tenaga kerja, mungkin akibat perkembangan struktur ekonomi yang dualistik dan sangat mudah disusupi oleh budaya feodal. Di samping sangat nyaman untuk pelaku-pelaku ekonomi yang mementingkan rasa aman, pola ini kurang merangsang tumbuhnya semangat mandiri, dan dapat dinilai sebagai salah satu ”biang keladi” berkembangnya kemiskinan massal pedesaan, (Pranadji, 1999:485). Pola kemitraaan program pemerintah condong pada pengembangan kemitraan secara vertikal, dimana model umum yang dianut adalah hubungan ”bapakanak angkat”, yang pada agribisnis perkembangan dikenal sebagai pola Peternakan Inti Rakyat (PIR). Pola kemitraan ini masih kuat diwarnai adanya interdependensi yang bersifat asimetris antara ”sang kuat” atau pemilik modal (bapak angkat) dengan ”si lemah” atau petani pekerja (anak angkat). Dilihat dari kemampuannya mengadopsi inovasi di bidang iptek, permodalan dan kelembagaan ekonomi mutakhir, pola kemitraan ini dapat dinilai sedikit lebih maju dibanding pola patron-client. Mengingat begitu kuatnya posisi tukar ”sang bapak angkat”, pola ini memberi peluang terjadinya ”eksploitasi legal” dari ”sang bapak” terhadap terhadap ”anak angkat”nya. Pola kemitraan pasar berkembang sebagai akibat dari masuknya peradaban ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Jenis usaha pertanian yang dibidik oleh pola ini adalah usaha yang menghasilkan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai permintaan kuat di pasar dunia. Pola ini berkembang dengan melibatkan petani, sebagai pemilik aset tenaga kerja, peralatan produksi, dan pemilik modal besar yang bergerak di bidang industri pengolah dan pemasaran hasil. Dua pelaku ekonomi, petani dan pemilik modal, menggalang kerja sama (kemitraan) karena adanya kepentingan untuk berbagai manfaat ekonomi. Dari segi pengadopsian atas hasil inovasi di bidang iptek, permodalan,
39
dan kelembagaan ekonomi modern, pola ini mempunyai keandalan yang lebih tinggi dibanding dengan dua pola terdahulu, (Pranadji, 1999:486). Bentuk akhir dari kemitraan agribisnis masa depan dicirikan oleh beberapa hal berikut, pertama, petani (produsen) haruslah menjadi pemilik saham keseluruhan jaringan agribisnis, sehingga petani secara kolektif adalah ”pengusaha” tubuh agribisnis. Dengan kata lain, petani adalah penguasa modal. Kedua, keorganisasian petani haruslah tidak dibatasi hanya pada kegiatan produksi bahan baku, namun pada keseluruhan jaringan tubuh organisasi agribisnis. Pada situasi demikian, petanilah yang secara kolektif membangun (organisasi) pasar bersama, termasuk unit-unit prosesingnya. Jaringan kemitraan yang dicapai bukan hanya secara horisontal, namun (yang lebih penting) pada jaringan kemitraan secara vertikal. Ketiga, output usaha pertanian bukanlah bahan mentah yang tidak stabil, melainkan komoditas olahan (akhir) yang telah memperoleh sentuhan iptek dan bernilai tambah tinggi, berciri spesifik, serta berstandar mutu tinggi. Target pasar relatif bervariasi meliputi jaringan pasar lokal, regional, dan global. Keempat, hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis harus dimuati rasionalitas ekonomi dan spesialisasi pembagian kerja secara organik. Azas keterbukaan dan demokrasi diterapkan dalam sistem pengambilan keputusan, melalui musyawarah.
Lingkungan Usaha Sarana, Prasarana, dan Informasi Menurut Mosher (1974:10-11), untuk menciptakan Struktur Pedesaan Progresif dalam pertanian yang modern memerlukan unsur-unsur seperti: (a) tersedianya kota-kota pasar di mana petani dapat membeli sarana produksi dan menjual hasil pertanian, (b) jalan-jalan desa untuk memperlancar dan menekan biaya pengangkutan hasil, serta untuk penyaluran informasi dan jasa-jasa ke pedesaan, (c) percobaan-percobaan yang lokal spesifik, (d) penyuluh sebagai orang yang memberikan informasi tentang teknologi baru dan bagaimana mempergunakan teknologi baru, (e) fasilitas kredit untuk membiayai penggunaan input produksi. Supaya dapat efektif maka masing-masing unsur tersebut bergantung satu sama
40
lain, sehingga unsur-unsur tersebut harus dilaksanakan secara bersama sebagai satu ”kegiatan” tunggal. Sarana dan Prasarana Teknologi baru yang dapat meningkatkan produksi peternakan, memerlukan bahan-bahan dan alat-alat produksi khusus seperti bibit, pakan berkualitas, obat-obatan, vitamin, dan mineral, serta alat-alat untuk kegiatan peternakannya. Menurut Mosher (1981:112), banyak pakan ternak berasal dari tanaman hijauan pakan ternak yang ditanam di atas tanah usahatani, di mana ternak dipelihara. Di samping itu ada pula pakan yang untuk pemeliharaan ternak yang intensif, yang dibuat secara khususPpetani peternak dapat mencampur sendiri bahan-bahan pakan ini, tetapi seringkali lebih efisien membeli pakan yang telah dibuat oleh pabrik. Banyak pakan ternak yang sebagian besar dibuat dari bahan-bahan seperti bekatul, bungkil, dedak, tetes (molasses), dan hancuran gandum yang telah difermentasikan, yang merupakan hasil sampingan dari industri pengolahan makanan manusia. Kebutuhan sarana dan peralatan produksi harus dibuat dalam pabrikpabrik, bagi perkembangan pertanian, memberikan petunjuk bahwa pembuatan pabrik semacam ini harus diberi prioritas tinggi dalam rencana industrialisasi pada tiap-tiap negara. Kadang-kadang lebih ekonomis untuk mengimpor suatu barang input tertentu daripada membuatnya sendiri, tetapi tiap-tiap persoalan harus dipelajari secara seksama (Mosher, 1981:112). Sarana perbankkan sebagai penyedia modal sangat dibutuhkan bagi usaha peternakan, namun sifat bisnis sektor pertanian termasuk sub sektor peternakan di Indonesia yang menurut kacamata perbankkan masih sangat memprihatinkan menyebabkan sektor ini mendapat hambatan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari perbankkan. Sektor pertanian seringkali tidak memberikan return, seperti yang diharapkan bank, baik dalam waktu pengembalian, maupun dalam jumlah jaminan kredit. Selain itu, sifat bisnis sektor pertanian yang tidak seragam, mudah rusak, dan tidak berkesinambungan, sangat sulit diperhitungkan resiko bisnis yang menjadi pertimbangan utama bank dalam menyalurkan kredit (Pambudy
41
dkk, 2000:129). Hal ini berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi pada sektor pertanian yang cenderung lambat dibandingkan dengan sektor industri.
Informasi Usaha Peternakan Sapi Perah Informasi adalah data yang telah diproses ke dalam suatu bentuk yang mempunyai arti bagi penerima dan memiliki nilai nyata yang dibutuhkan untuk proses prngambilan keputusan saat ini maupun saat mendatang (Davis dalam Rochaety, dkk 2005:4). Informasi merupakan peubah yang sangat penting dalam melakukan usaha. Keputusan atau kebijakan usaha ditentukan oleh kualitas dan kuantitas informasi yang dimiliki. Informasi yang harus diperhatikan terutama tentang harga (input maupun output), tingkat kompetisi atau persaingan pelaku, keinginan konsumen (kualitas maupun kuantitas produk), perkembangan teknologi, distribusi, dan informasi lainnya (Krisnamurthi dan Fausia, 2002:33). Berbagai informasi lain yang harus senantiasa diikuti perkembangannya adalah teknologi dalam distribusi produk juga teknologi yang berhubungan dengan kegiatan pascapanen. Demikian juga, informasi yang berhubungan dengan daya beli dan preferensi konsumen, seperti faktor harga, rasa, bentuk/atribut, serta berbagai tuntutan lain yang mungkin saja diajukan oleh berbagai segmen masyarakat. Selain informasi eksternal, sebaiknya seorang pengelola usaha tidak mengabaikan berbagai informasi internal. Informasi internal yang perlu diperhatikan umumnya menyangkut sistem pembukuan, kondisi tenaga kerja, kualitas tenaga kerja dalam bekerja melayani konsumen dan berbagai program kerja yang perlu dipantau proses pencapaiannya (Krisnamurthi dan Fausia, 2002:34-35). Ditambahkan oleh Purwanto (2003:24-25) bahwa kegiatan-kegiatan organisasi atau perusahaan yang membutuhkan informasi adalah: (1) menetapkan tujuan organisasi atau perusahaan, (2) membuat dan melaksanakan keputusan, (3) mengukur prestasi kerja, (4) merekrut dan mengembangkan staf, (5) pelayanan pelanggan, (6) negosiasi dengan pemasok, (7) membuat produk, dan (8) berinteraksi dengan peraturan yang ada.
42
Dalam pendidikan non formal, media audiovisual merupakan sumber informasi yang dapat menyampaikan pelajaran dalam frekwensi yang lebih banyak dan lebih baik kepada lebih banyak orang, daripada yang dapat dicapai oleh guru. Media siaran telah terbukti sangat efektif untuk menarik orang dewasa pada pendidikan. Menurut Jenkins (Jahi, 1988:131), dengan bantuan media cetak atau media audiovisual dapat melatih orang dewasa yang tidak memiliki kesempatan untuk datang ke kelas Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dalam beberapa kasus, lembaga-lembaga penyuluhan mengintegrasikan aktivitas penyuluhannya dengan dukungan media. Misalnya di Malawi, lembaga penyuluhan menyelenggarakan siaran pedesaan, memutar film dengan mobil van, dan menyediakan buku petunjuk ringkas, untuk mendukung aktivitas demonstrator pertanian. Setiap jenis media memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Nasution (2002:213), media penyiaran (broadcast media) lebih baik dalam menjangkau khalayak dalam jumlah besar, dalam waktu cepat dengan ide-ide yang sederhana. Media cetak paling baik dalam memberikan informasi peringatan yang tepat waktu (timely) yang tidak dapat diharapkan untuk diingat sendiri oleh khalayak. Selain dari media massa dan penyuluh, petani dapat mendapatkan informasi secara tidak sengaja saat melakukan interaksi sosial, pada saat itu terjadi proses belajar. Menurut Soekartawi dkk (1988:88), belajar dari tetangga biasanya lebih berhasil baik daripada belajar pada orang lain (sumber informasi) yang tempat tinggalnya berjauhan. Tetangga biasanya terdiri dari beberapa famili yang mengenal secara pribadi dan mempunyai perasaan saling berhubungan sesamanya serta menuntut pentingnya lokalitas yang sama sebagai tempat tinggal mereka. Ditambahkan oleh Granovetter (Jahi, 1988:33) bahwa orang-orang yang lebih banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok yang berbeda, cenderung mempelajari topik-topik tertentu lebih dulu daripada yang lain. Soekartawi (1988:68) menyatakan bahwa sumber informasi lain yang dapat diakses oleh petani adalah agen pertanian (toko sarana pertanian). Pranadji (2003:52) berpendapat bahwa penelitian dan pengembangan pertanian merupakan salah satu komponen strategis dari sistem pendukung pembangunan pertanian. Output suatu kegiatan penelitian dan pengembangan baru
43
dapat digunakan sebagai sumber informasi yang mempunyai kegunaan tinggi jika output penelitian dan pengembangan tersebut benar-benar menunjang pencapaian tujuan modernisasi dan pembangunan pertanian Oleh sebab itu, kegiatan penelitian dan pengembangan harus diturunkan dari kebutuhan pengguna hasil penelitian yaitu petani. Gagalnya transfer informasi yang dilakukan oleh penyuluh mungkin sebagian disebabkan karena ide yang disampaikan bertentangan dengan adat kebiasaan atau kepercayaan petani setempat, mungkin juga karena ide yang disampaikan tidak sesuai dengan tingkat kemampuan dan jenis kegiatan usahatani yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat yang diberi informasi (Samsudin, 1994:48). Pada umumnya petani lebih cepat menerima ide yang berpengaruh langsung pada produksi pertaniannya atau sesuatu yang sedang populer di kalangan petani. Pada saat ini berkembang teknologi informasi dan komunikasi yang berperan penting dalam memasarkan produk pangan dan pertanian di Asia, khususmya dalam mewujudkan sistem pemasaran yang efisien. Namun, teknologi informasi ini di Indonesia belum berkembang baik ditandai dengan masih lemahnya infrastruktur telekomunikasi, kurangnya tenaga ahli di bidang teknologi informasi, kurangnya kesadaran arti pentingnya teknologi informasi bagi pertanian akibat sifat konservatif petani, cara bertani yang masih tradisional, serta kekhawatiran penggunaan teknologi baru. Pemerintahpun kurang memberi dukungan, baik melalui kampanye pentingnya sistem ini bagi pertanian maupun alokasi finansial. Padahal pertanian merupakan sektor yang amat vital dan strategis khususnya dalam menjamin ketahanan pangan, pembangunan sosial ekonomi, dan sebagai pelindung pada saat kritis. Di negara lain seperti Srilanka, Bangladesh, Myanmar, dan Nepal, pemanfaatan teknologi informasi di bidang pertanian memegang peranan penting. Penggunaan internet dalam bidang pangan dan pertanian berangsur-angsur menggantikan pola konvensional, terutama dalam memperoleh informasi tentang harga pasar. Teknologi informasi juga dimanfaatkan oleh pengambil keputusan dalam mengambil kebijakan pertanian yang tepat di bidang pemasaran, produksi maupun perdagangan produk pertanian.
44
Pengembangan teknologi pertanian untuk pemasaran produk pangan dan pertanian di Malaysia dilakukan oleh Federal Agricultural Marketing Authority (FAMA), suatu badan yang dibentuk tahun 1965 di bawah Departemen Pertanian dengan tujuan untuk supervisi, koordinasi, regulasi, dan meningkatkan pemasaran produk pertanian di Malaysia. Teknologi informasi di India antara lain dikembangkan di Maharashtra, salah satu propinsi di India. Institusi yang terlibat dalam proyek ini antara lain kementerian terkait, perguruan tinggi pertanian, lembaga riset dan penelitian, Lembaga Swadaya Masyarakat, asosiasi petani, perusahaan swasta, pedagang penyedia jasa internet, dan komunitas lain yang bergerak di sektor pertanian. Sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) mengembangkan jaringan virtual antara komunitas petani, pemerintah, penyedia jasa internet, pengambil keputusan, peneliti dan pendidik, yang bekerja demi kemakmuran daerah, (2) mendidik dan melatih stakeholders dalam pengetahuan di bidang jasa pangan dan pertanian, (3) membangun jaringan komunikasi petani, penduduk desa dan kelompokkelompok masyarakat lain (Ismet dan Indiarto, 2006:13-15).
Kelembagaan Peternak Kelembagaan peternak yang diamati dalam penelitian ini adalah kelompok dan koperasi yang menangani persusuan. Individu sebagai makhluk hidup, mempunyai kebutuhan yang menurut Teori Maslow dapat dikelompokkan menjadi: kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan prestasi dan prestise, serta kebutuhan pengembangan kemampuan diri. Setiap individu memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun potensi yang ada pada individu yang bersangkutan terbatas sehingga individu harus meminta bantuan kepada individu lain yang sama-sama hidup satu kelompok. Kelompok terbentuk karena kesamaan kebutuhan dan tujuan yang hendak dicapai, sehingga membutuhkan kerja sama. Kelompok tani ialah kumpulan petani yang bersifat nonformal, berada dalam lingkungan pengaruh seorang kontak tani, memiliki pandangan dan kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan bersama di mana hubungan satu sama lain bersifat luwes, wajar, dan kekeluargaan (Samsudin, 1994:74).
45
Kelompok tani merupakan sistem sosial, yaitu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat oleh kerja sama untuk memecahkan masalah dalam mencapai tujuan bersama. Dalam suatu kelompok sosial, seperti halnya kelompok tani, selalu mempunyai external structure atau socio group dan internal structure atau psycho group. External structure dalam kelompok tani ialah dinamika kelompok, yaitu aktivitas untuk menanggapi tugas yang timbul karena adanya tantangan lingkungan dan tantangan kebutuhan, antara lain termasuk tuntutan meningkatkan produktivitas usaha tani. Internal structure ialah norma atau pranata yang mengatur hubungan antara anggota kelompok sehingga dapat menunjukkan kedudukan, peranan, dan kewajibannya dalam mencapai prestasi kelompok. Internal structure merupakan dasar solidaritas kelompok yang timbul dari adanya kesadaran setiap anggota kelompok tani yang bersangkutan, (Samsudin, 1994:74). Pada masa lalu, banyak kelompok tani terbentuk dari inisiatif seorang pemuka masyarakat atau seorang yang memiliki daya pengaruh kuat dalam mengajak anggota masyarakat lainnya untuk bergabung membentuk wadah kelompok, namun banyak pula yang dibentuk oleh pemerintah berkaitan dengan adanya program yang dibuat oleh pemerintah. Tujuan pembentukkan kelompok tersebut adalah untuk memudahkan administrasi penyaluran bantuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumardjo (2003:169) menghasilkan data bahwa ada kecenderungan perilaku kelompok tani menjadi kurang efektif apabila keberadaannya cenderung artifisial dan formalitas, kurang efektif mengembangkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) sehingga kualitas SDM anggota cenderung lokalit, kurang memiliki kompetensi berorganisasi. Pada kelompok tersebut, kepemimpinan lokal biasanya kurang berfungsi secara efektif membawa kelompok bertahan secara produktif, karena adanya intervensi yang terlalu intensif dari pihak luar, sehingga cenderung menghasilkan ketergantungan pada arahan atau intensitas pembinaan oleh petugas lapang atau pembina lainnya. Menurut Sumardjo (2003:169), berdasarkan berbagai fakta di lapangan dan pemikiran, maka preposisi tentang figur kepemimpinan yang dapat dikaji
46
lebih lanjut atau dicoba diimplementasikan dalam pengembangan kelembagaan kelompok petani: (1) Seorang pemimpin kelompok petani yang efektif apabila mempunyai prasyarat berikut: (a) memiliki pemahaman yang baik tentang potensi, kebutuhan dan minat masyarakat; (b) memiliki keberpihakan pada masyarakat dan berorientasi pada keadilan; (c) memiliki energi yang cukup untuk mewujudkan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat. (2) Ciri kepemimpinan utama dalam kelembagaan petani yang efektif: (a) memiliki kejujuran, berhasil meraih kepercayaan masyarakat, (b) memiliki keteladanan yang nyata, (c) menerapkan gaya kepemimpinan sesuai situasi masyarakat, (d) memiliki visi tentang kondisi lingkungan sosialnya, yang sangat diyakininya dan didukung dengan karakter perilaku nyata yang bermanfaat bagi upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat, (e) memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat dan lingkungan sosialnya. (3) Ciri penunjang kepemimpinan dalam kelembagaan petani diera perubahan sosial: (a) memiliki keterbukaan terhadap perubahan sosial sejalan dengan tuntutan perubahan lingkungan sosialnya, (b) memiliki sifat dan perilaku kosmopolit, (c) memiliki keberanian mengambil resiko untuk berinovasi. Figur kepemimpinan seperti tersebut di atas cenderung diterima oleh masyarakat, serta cenderung efektif membawa masyarakat untuk berkembang ke arah kemajuan kelembagaan kolompok petani yang didukung masyarakat. Pada masyarakat terbuka, figur seperti itu cenderung dimiliki oleh pemimpin yang dipilih oleh masyarakat, pada masyarakat sederhana figur pemimpin yang secara tradisional memiliki hubungan erat dengan kepemimpinan yang diterima oleh masyarakat adat. Pada saat ini kelompok peternak sebagai salah satu kelembagaan peternak, dibentuk bukan berdasarkan inisiatif sendiri tetapi berdasarkan pembentukan koperasi. Pembentukan seperti ini menyebabkan kelompok tidak dinamis. Upaya yang perlu segera ditangani untuk meningkatkan dinamika kelompok adalah melalui penguatan kelembagaan peternak. Menurut Ditjen Bina Produksi Hortikultura (2003:3), penguatan kelembagaan adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh
47
peternak/kelompok dalam meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya baik sumberdaya dari dalam maupun dari luar untuk pencapaian tujuan. Penguatan kelompok peternak merupakan hal yang penting dalam mencapai tujuan pembangunan pertanian termasuk di dalamnya sub sektor peternakan sebab kelompok peternak merupakan kelembagaan terdepan di tingkat pedesaan dan berperan sebagai pelaku utama dalam pengembangan usahaternak. Usahatani yang terus berkembang di masa depan, memerlukan kompetensi yang memadai. Penguatan peternak dilakukan dengan cara memperkenalkan peternak tentang bagaimana cara berorganisasi melalui pembentukan kelompok. Interaksi yang sinergis antar peternak dapat dilakukan dengan wadah kelompokkelompok peternak yang merupakan wahana untuk saling berinteraksi, bersosialisasi, bertukar informasi antar anggotanya dan melakukan kegiatan agribisnis. Melalui forum-forum tersebut peternak berlatih untuk mengambil keputusan menentukan masa depan, mengatasi masalah, tidak menggantungkan nasib pada orang lain sehingga timbul sikap mandiri dalam diri peternak. Dengan melibatkan peternak dalam ikatan-ikatan kelompok, maka peternak lebih mampu bekerjasama dan lebih terjamin apabila terjadi musibah, sakit atau bahkan bargaining position serta self-esteem peternak lebih kuat, dan perasaan aman lebih terjamin. Menurut Pranadji (2003:138), asosiasi petani di tingkat desa, seperti kelompok tani, umumnya mempunyai pengaruh ke dalam. Kemampuan asosiasi petani untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau peraturan daerah masih sangat kecil, atau nyaris tidak ada. Asosiasi petani yang umum dikenal secara terbuka adalah seperti kelompok tani dan Koperasi Unit Desa (KUD). Koperasi merupakan kelembagaan lain yang dimiliki peternak yang diamati dalam penelitian ini. Menurut UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian, koperasi didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi, dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat, yang berdasar atas azas kekeluargaan (Sitio dan Tamba, 2001:18). Prinsip-prinsip koperasi yang berlaku saat ini di Indonesia adalah: (1) keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, (2) pengelolaan dilakukan secara demokrasi, (3) pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dila-
48
kukan secara adil sesuai dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, (4) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, (5) kemandirian, (6) pendidikan perkoperasian, dan (7) kerjasama antar koperasi. Fungsi koperasi yang tertuang dalam pasal 4 UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian adalah: (1) membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya, (2) berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat, (3) memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya, dan (4) berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Selanjutnya untuk menjalankan fungsinya maka koperasi memiliki perangkat organisasi, yaitu: rapat anggota, pengurus, pengawas, dan pengelola (Sitio dan Tamba, 2001:18). Koperasi sapi perah merupakan lembaga peternak yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota melalui penyediaan lapangan usaha yakni beternak sapi perah. Untuk itu, koperasi (pembentukannya bersifat kebijakan top-down) mendapatkan dana dalam bentuk pengadaan bibit sapi perah impor yang dibagikan kepada anggota sebagai pinjaman. Peternak mengembalikan pinjaman melalui hasil susu dan harus mengikuti semua aturan-aturan koperasi. Peternak yang mendapat bantuan sapi perah wajib menjual seluruh produk susu segar kepada koperasi dengan harga yang ditetapkan Industri Pengolahan Susu (IPS) dan koperasi (Yusdja, 2005:257-258). Konsep ini melahirkan pertanyaan apa yang akan dikembangkan, koperasi atau usaha peternakan sapi perah? Hal ini dilihat dari keberhasilan koperasi yang dilihat dari kemampuan koperasi memupuk modal, jumlah anggota yang banyak, dan keberhasilan usaha. Semakin banyak anggota berarti semakin tinggi produksi susu dan semakin banyak pendapatan kope-rasi baik melalui simpanan, iuran anggota, dan penjualan susu.
49
Kelembagaan Sosial Kelembagaan dapat diartikan sebagai suatu norma/kaidah peraturan atau organisasi yang memudahkan koordinasi dalam membentuk harapan masingmasing yang mungkin dapat dicapai dengan saling bekerjasama. Secara sederhana kelembagaan diartikan sebagai ”aturan main” (rule of the game). Kelembagaan tidak identik dengan organisasi tetapi keduanya berkaitan secara erat. Dianalogikan dengan sebuah komputer yang memiliki dua komponen utama yaitu ”piranti keras” (hardware) dan ”piranti lunak” (software) maka organisasi merupakan hardware-nya dan kelembagaan sebagai software-nya. Selanjutnya, berdasarkan sifatnya, kelembagaan dibagi menjadi dua yaitu formal dan informal. Kelembagaan formal diatur oleh Undang-undang Dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, dan lainnya yang sejenis. Kelembagaan informal merujuk kepada aturan main seperti adat-istiadat dan kebiasaan (Susanto, 2006:115) Lembaga menunjuk pada sesuatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturanperaturan tertentu yang menjadi ciri dari lembaga tersebut. Di dalam perkembangan selanjutnya, norma-norma tersebut berkelompok-kelompok pada berbagai keperluan pokok kehidupan manusia. Kebutuhan hidup kekerabatan menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti keluarga batih, perkawinan, perceraian, dan lain sebagainya. Kebutuhan matapencaharian menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pertanian, peternakan, koperasi, industri, dan lain-lain. Kebutuhan pendidikan menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti, pesantren, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, perguruanperguruan tinggi, dan lain sebagainya. Lembaga adalah alat masyarakat, dan keberadaannya untuk menyumbangkan hasil yang dibutuhkan masyarakat. Alat ini tidak pernah ditentukan oleh apa yang dikerjakan, juga bukan oleh bagaimana mengerjakannya, alat ini ditentukan oleh sumbangannya (Drucker, 1982:5). Menurut Pranadji (2003:3), krisis ekonomi yang melanda masyarakat Indonesia merupakan resultan dari interaksi banyak aspek internal yang ada dalam
50
masyarakat Indonesia sendiri. Dari sudut pandang sosiologi, krisis ekonomi ini akibat lemahnya kelembagaan yang menopang sendi-sendi kehidupan masyarakat desa. Secara teoritis beberapa elemen kelembagaan yang diperkiraan berpengaruh terhadap kemajuan masyarakat pedesaan adalah tata nilai masyarakat, kompetensi manusia (individual maupun kolektif), manajemen dan keorganisasian masyarakat, hukum, kepemimpinan dan sistem penyelenggaraan pemerintah setempat. Menurut Bunch (Rintuh dan Miar, 2003;3) pentingnya kelembagaan bagi masyarakat di pedesaan, karena: (a) banyak masalah yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga, (b) dapat memberi kelanggengan pada masyarakat desa untuk terus menerus mengembangkan usahanya seperti untuk mengembangkan teknologi dan penyebarannya, (c) dapat mengorganisasi masyarakat desa untuk dapat bersaing dengan pihak luar. Lembaga sosial memiliki beberapa karakteristik yang melekat padanya (Rahardjo, 1999:160), yakni: (1) memiliki tujuan utama, (2) relatif permanen, (3) memiliki nilai-nilai pokok yang bersumber dari anggotanya, dan (4) pelbagai lembaga dalam suatu masyarakat memiliki keterkaitan satu sama lain. Lembaga sosial bukan fenomena yang statis tetapi berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Mengingat fungsinya yang berkaitan dengan kebutuhan tertentu anggota masyarakat, maka dinamikanya juga ditentukan oleh proses dan pola perubahan yang terjadi. Penyebab perubahan atau perkembangan lembaga sosial cenderung berakibat munculnya kebutuhan-kebutuhan baru, dan tuntutan terhadap kebutuhan baru tersebut belum tentu dapat dipenuhi oleh lembagalembaga lama. Menurut Horton dan Hunt (Rahardjo, 1999:62), masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan masyarakat tersebut. Kebudayaan adalah way of life suatu masyarakat. Way of life tidak sekedar berkaitan dengan bagaimana cara orang hidup secara biologis, melainkan dijabarkan secara lebih rinci. Way of life mencakup way of thinking (cara berpikir, bercipta), way of feeling (cara berasa, mengekspresikan rasa), dan way of doing (cara berbuat, berkarya).
51
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang diciptakan manusia melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 1986:180). Ada tiga wujud kebudayaan, yaitu: (1) kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, normanorma, peraturan dan sebagainya, (2) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, ini disebut sebagai sistem sosial, (3) kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Struktur dan kebudayaan merupakan konsep yang abstrak dan memerlukan proses panjang untuk dapat mempengaruhi perilaku manusia. Proses panjang ini disebut inkulturasi (untuk kebudayaan) dan proses instrukturasi (untuk struktur). Lembaga sosial yang secara ringkas diartikan sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang penting dalam masyarakat, merupakan wadah dan perwujudan yang lebih konkrit dari struktur dan kebudayaan. Dalam suatu lembaga, setiap orang yang termasuk di dalamnya pasti memiliki status dan peran tertentu. Status merupakan refleksi struktur, sedangkan peran merupakan refleksi kultur. Mata pencaharian sebuah masyarakat erat kaitannya dengan kebudayaan yang dimiliki. Budaya menurut Davis dan Newstrom (1995:46) adalah perilaku konvensional masyarakat yang mempengaruhi semua tindakan anggotanya meskipun sebagian besar tidak menyadarinya. Budaya mayoritas negara di dunia Barat menekankan pekerjaan sebagai aktivitas yang diinginkan dan memenuhi hasrat. Sikap ini juga menonjol di beberapa bagian Asia, seperti Jepang dan hasilnya adalah etika kerja bagi banyak orang, pekerjaan sebagai pusat kepentingan dan tujuan yang diinginkan dalam kehidupan. Menurut Hoselit (Budiman, 1996:33), upaya menumbuhkan wirausahawan dalam sebuah negara memerlukan sebuah masyarakat dengan kebudayaan tertentu. Kebudayaan yang dimaksudkan adalah kebudayaan yang beranggapan bahwa mencari kekayaan bukan merupakan hal yang buruk. Apabila nilai-nilai budaya semacam ini tidak ada, akan sulit muncul jiwa kewirausahaan. Pendapat Hoselitz
52
disempurnakan dengan pendapat Inkeles dan Smith yang menekankan pentingnya faktor manusia sebagai komponen terpenting penopang pembangunan. Pembangunan bukan sekedar pemasokan modal dan teknologi saja, tetapi dibutuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material tersebut menjadi produktif. Untuk itu, dibutuhkan manusia modern. Ciri-ciri manusia modern menurut Inkeles (Asngari, 2003:183) adalah: (1) terbuka dan siap menerima perubahan (pembaharuan), (2) orientasi realistik/demokratis (cenderung membentuk/menerima pendapat lingkungannya), (3) berorientasi masa depan dan masa kini, bukan masa silam, (4) hidup perlu direncanakan dan diorganisasikan, (5) belajar menguasai lingkungannya (tidak pasrah), (6) rasa percaya diri tinggi/optimis (dunia di bawah kontrolnya), (7) menghargai pendapat orang lain, (8) memberi nilai tinggi kepada pendidikan formal (juga informal dan non formal), (9) percaya pada IPTEK (dan perkembangannya), dan percaya bahwa imbalan harus seimbang dengan prestasi. Nilai budaya masyarakat Indonesia masih menekankan kehidupan yang berorientasi “kepentingan kekinian.” Hal ini ditunjukkan dengan hasil karya seseorang yang lebih diarahkan pada upaya memperoleh kedudukan atau status sosial dalam masyarakat dari pada untuk mengembangkan karya itu sendiri. Kecenderungan ini mendorong pada orientasi nilai budaya yang bersifat materialistis (Anoraga, 1997:71). Dalam kehidupan masyarakat selalu berkiblat pada kebudayaan dan diatur oleh adat-istiadat juga aturan-aturan lingkungan di mana seseorang hidup dan bergaul. Adat istiadat secara khusus terdiri dari nilai-nilai budaya, pandangan hidup, dan cita-cita, norma-norma dan hukum, pengetahuan dan keyakinan. Mayoritas masyarakat Indonesia bermatapencaharian sebagai petani kecil atau sering disebut dengan istilah peasant. Menurut Rogers (Purba, 2002:54), masyarakat peasant mempunyai beberapa ciri-ciri kultural yang dominan seperti: (1) kurang punya kegairahan untuk capital cummulative, karena anggapan bahwa segala sesuatu yang ada di atas dunia sudah pasti dan terbatas jumlahnya. Segala sesuatu didistribusikan secara merata, apabila seseorang mengumpulkan sesuatu terlalu banyak, berarti dia telah mengambil bagian orang lain,
53
(2) kurang punya kemampuan untuk bekerjasama dalam sebuah organisasi yang besar, dengan pembagian kerja yang kompleks, karena hidup terlalu terpusat pada kehidupan individual dan keluarga sendiri. Akibatnya di desa jarang ditemukan organisasi-organisasi kerjasama yang mapan dan kuat, kecuali di Bali, karena itu di desa hampir tidak mungkin untuk membangun koperasi, karena koperasi adalah sebuah organisasi modern yang membutuhkan kerjasama dan saling percaya, (3) kurang bersahabat, kurang tunduk, dan kurang menghargai penguasa/pejabat pemerintah, karena pengalaman hidup mereka selalu diperlakukan tidak adil dan dijadikan objek pemerasan. Meskipun orang desa nampak seolah-olah tunduk dan takut kepada pemerintah/pejabat, tetapi dalam hati selalu curiga pada sesuatu yang berasal dari luar desa, termasuk pejabat, (4) kurang inovatif dan kreatif, cenderung hidup rutin sebagaimana pola kehidupan yang telah diwarisi dari nenek moyangnya. Menyimpang dari pola yang sudah lazim dianggap sebagai perbuatan yang beresiko tinggi, bisa mengganggu keselamatan hidup keluarga, (5) kurang aspirasi dan kurang punya cita-cita tinggi sehingga tidak begitu bergairah untuk menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang lebih tinggi, (6) kurang dapat menahan diri dalam memenuhi nafsu, khususnya nafsu konsumtif, sehingga ketika memperoleh penghasilan yang agak besar, segera dibelikan keperluan-keperluan konsumtif. Menabung tidak menjadi bagian peasant kecuali menyimpan dalam bentuk perhiasan, yang lebih berfungsi sebagai lambang prestise daripada untuk menabung. Pandangan Rogers tentang peasant lebih menyoroti tentang kekurangan dari sifat-sifat petani kecil. Tidak semua sifat petani kecil di pedesaan berkonotasi negatif, terdapat sifat-sifat positif yang dimiliki petani di pedesaan, misalnya rasa solidaritas yang tinggi. Solidaritas merupakan bagian esensial dari nilai-nilai budaya yang tidak dapat diabaikan pada kehidupan di desa. Perwujudan nyata solidaritas antara lain, adanya selamatan dan kesripahan dan beberapa peringatan yang berkaitan dengan kematian, adanya upacara atau tradisi dalam acara pernikahan. Solidaritas juga mendasari kegiatan pertanian. Solidaritas ketetanggaan ini
54
terkandung norma hukum, walaupun tidak tertulis, yang jika dilanggar ada sangsinya. Sifat lainnya adalah gotong royong yang merupakan kekayaan kehidupan ketetanggaan yang dalam praktek semacam kewajiban sosial atau norma (hukum) yang tidak tertulis, (Pranadji, 2003:86). Solidaritas tinggi yang dimiliki petani menyebabkan langkah-langkah yang diambil sangat dipengaruhi oleh sikap dan hubungan dalam masyarakat disekitarnya. Masyarakat sekitar sangat mempunyai arti bagi kehidupan petani. Petani bersandar kepada teman dan tetangga untuk menolongnya dalam keadaan kritis, atau untuk membantu keluarganya jika terjadi sesuatu terhadap dirinya. Disebabkan saling membutuhkan inilah maka petani dituntut mampu berinteraksi sehingga struktur masyarakat yang telah ada tidak terganggu dengan usahanya. Menurut Mosher (1981:47), nilai-nilai sosial dan tradisi masyarakat pedesaan sangat bervariasi. Di setiap tempat dan pada setiap saat nilai-nilai sosial dan tradisi dimaksudkan untuk melindungi kelompok dari bencana ataupun malapetaka lain daripada untuk mendorong diselenggarakan percobaan dengan gagasan dan teknik produksi baru, namun bila teknologi pertanian telah mulai berubah dan masyarakat telah mulai dapat merasakan hasil dari teknologi tersebut, maka tradisi dan nilai sosial berubah ke arah yang lebih menghargai percobaan-percobaan pemakaian metode baru. Nilai-nilai sosial yang dimiliki menyebabkan petani perlu mendapatkan restu dari sistem sosialnya sebelum memilih dan menjalankan usahataninya. Menurut Scott (1981:35), banyaknya jumlah petani dengan lahan sempit dan penyewa yang ada di Indonesia menjadikan prinsip “dahulukan selamat” berlaku bagi petani-petani kecil dan penyewa karena petani dalam keadaan “terendam sampai ke leher,” salah mengambil keputusan/kebijakan maka matilah seluruh keluarga petani itu. Prinsip “dahulukan selamat” menyebabkan petani enggan berusaha mencari keuntungan, apabila hal itu mengacaukan kegiatan-kegiatan subsisten yang rutin yang sudah terbukti memadai di waktu yang lampau. Keterbatasan modal, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki keluarga petani membuat tidak ada keberanian untuk mencoba hal-hal yang baru ini (inovatif).
55
Berkaitan dengan tradisi, kebudayaan, dan fisik dalam suatu masyarakat menyebabkan terdapat perbedaan tingkat partisipasi angkatan kerja antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki ditempatkan pada posisi kepala rumah tangga dengan tanggung jawab yang menyertainya. Perempuan dipandang tidak pantas untuk bekerja, kebudayaan mengharuskan mereka untuk memeras tenaganya tidak di arena pasar tenaga kerja melainkan di rumah tangga (Arfida, 2003:75). Dalam rangka memperbaiki kehidupan, kesejahteraan dan martabat masyarakat serta menunjang/mengisi pembangunan otonomi daerah dan desentralisasi maka sudah saatnya dibicarakan tentang nilai sebuah masyarakat madani (civil society) untuk dapat diwujudkan. Salah satu komponen penting pencapaian kondisi masyarakat madani adalah tumbuh dan berkembangnya modal sosial (social capital) yang kental, di mana faktor-faktor terpentingnya adalah keterpercayaan (trust) di dalam struktur masyarakat, juga kebersamaan antar individu dalam masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan (Susanto, 2003:205). Indikator encer/kentalnya modal sosial masyarakat adalah sejauh mana anggotaanggota masyarakat tahu, mau dan mampu memanfaatkan waktu-waktu senggang (leisure time) menjadi waktu yang “berharga,” produktif dan bahkan dapat menghasilkan uang. Semboyan masyarakat yang bermodal sosial kental adalah: time is money, time is productive asset.
Kelembagaan Penyuluhan Kegiatan perubahan ataupun pembangunan, senantiasa mensyaratkan partisipasi masyarakat, namun masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, seringkali berada dalam kedudukan yang lemah. Masyarakat pada umumnya mempunyai posisi tawar lemah dalam pengambilan keputusan, lemah dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta persepsinya terhadap setiap upaya pembangunan atau perubahan yang ditawarkan (Mardikanto, 2003:188). Oleh karenanya, Lippitt dkk (1958:5) mensyaratkan pentingnya keberadaan “agen-agen perubahan” yang kemudian lebih dikenal sebagai “penyuluh” untuk melaksanakan fungsi penyuluhan pembangunan.
56
Organisasi penyuluhan pertanian di Indonesia sebagai bidang fungsional merupakan satu unit kerja di dalam Departemen Pertanian bersama-sama dengan unit struktural. Pengkajian tentang keberadaan penyuluhan pertanian tidak dapat dilepaskan dari kebijaksanaan pembangunan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah secara umum. Dengan demikian pengkajian hubungan antara pemerintah dengan tenaga penyuluh pertanian yang semata-mata dianggap sebagai ”perpanjangan tangan pemerintah,” berada dalam kontek hubungan antara negara dengan petani dan masyarakat dari masa ke masa. Pilihan pendekatan kelembagaan yang menjadikan lembaga penyuluhan pertanian pada posisi subordinasi menyebabkan lemahnya tingkat kemandirian lembaga tersebut. Pengertian penyuluhan menurut Slamet (2003:18), adalah suatu sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar petani mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki/meningkatkan kesejahteraan sendiri dan masyarakatnya. Menurut Asngari (2003:183), penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku kelayan sesuai dengan yang direncanakan/dikehendaki yakni orang makin modern. Penyuluhan merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu kelayan agar lebih berdaya secara mandiri. Mardikanto (2003:197) menyatakan bahwa fungsi penyuluhan adalah: edukasi, diseminasi, inovasi, fasilitasi, konsultasi, supervisi, pemantauan, dan evaluasi. Mardikanto menawarkan penggunaan istilah edfikasi sebagai pengganti istilah penyuluhan. Melihat kompleknya fungsi penyuluh maka perlu ditumbuhkan sikap profesionalisme di kalangan penyuluh. Apakah profesionalisme berkaitan dengan persyaratan ilmiah?
Bila penyuluh dikaitkan dengan persyaratan
ilmiah implikasinya adalah penyuluh disyaratkan harus kaum intelektual. Padahal kaum intelektual belum tentu seorang penyuluh yang baik. Implikasi lain adalah bahwa penyuluh menjadi fungsi dan kompetensi yang bersifai elitis-intelektualitas, sedangkan kondisi masyarakat begitu pluralitis, baik dalam tingkat kecerdasan, taraf hidup, maupun latar belakang sosial budaya. Melihat kenyataan de-
57
mikian, maka profesionalisme dan kualitas penyuluhan merupakan dua substansi yang saling mendukung (Rudini, 1994:33). Profesionalisme penyuluh ditandai oleh tiga hal pokok yaitu: keahlian, tanggung jawab, dan pengejawantahan. Seorang penyuluh harus tahu benar tentang hal-hal yang akan disuluhkan kepada masyarakat. Penyuluh harus memiliki etos kerja positif (motivasi untuk maju, bekerja dengan baik, penuh pengabdian), dan menyadari bahwa dirinya adalah penentu keberhasilan program yang sedang dikerjakan saat itu, penuh disiplin serta berdedikasi tinggi (Levis,1996:59). Selanjutnya dinyatakan juga bahwa penyuluh yang profesional memenuhi enam kriteria pokok, yaitu: (1) mengikuti perkembangan hasil penelitian terbaru serta kecenderungan pembangunan yang dilaksanakan; (2) memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang sasaran dan sistem sosial sasaran penyuluhan; (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang proses produksi pertanian; (4) mengakui aspek bio-fisik dan lingkungan alam dalam kegiatan produksi pertanian; (5) memiliki pengetahuan tentang manajemen dan ekonomi pertanian; (6) memiliki pengetahuan serta memahami hubungan atau jaringan produksi pertanian dan pendapatan usaha tani sebagai ukuran (Levis,1996:158-159). Selaras dengan strategi penyuluhan yang diarahkan bersifat partisipatif, maka perencanaan dan evaluasi penyuluhan harus dilaksanakan secara partisipatif. Berkaitan dengan itu, Mardikanto (2003:197) menyatakan bahwa penyuluhan perlu didesain sebagai kegiatan kaji-tindak yang partisipatif dalam upaya pengembangan masyarakat secara berkelanjutan, melalui proses sebagai berikut: pengumpulan data yang dilakukan oleh pihak luar melalui teknik penilaian cepat (rapid rural appraisal/RRA) dan survei mandiri oleh masyarakat (community self survei /CSS) dengan difasilitasi oleh penyuluh: (1) penilaian keadaan secara partisipatif melalui teknik participatory rural appraisal/PRA, (2) perencanaan dilakukan secara partisipatif melalui analisis SWOT terhadap hasil penilaian keadaan yang berhasil dirumuskan, (3) pelaksanaan kegiatan yang dirancang sebagai proses belajar (pelatihan) yang partisipatif,
58
(4) pemantauan dan evaluasi partisipatif, sejak perumusan tujuan, indikator, kriteria, dan penarikan kesimpulan dan rekomendasi, serta pelaporannya. Mengingat banyaknya perubahan yang telah dan sedang terjadi di lingkungan pertanian, baik pada tingkat individu petani, lokal, daerah, nasional, regional maupun internasional maka diperlukan paradigma baru prinsip-prinsip penyuluhan (Slamet, 2003:60-67) yaitu: (1) Jasa Informasi Dalam kaitan profesinya sebagai petani, mereka memerlukan informasi baru yang berkaitan dengan usahataninya seperti teknologi budidaya pertanian, sarana prasarana produksi, permintaan pasar, harga pasar, cuaca, serangan dan ancaman hama penyakit, alternatif usahatani lainnya dan lain sebagainya. Konsekuensinya: penyuluhan harus mampu menyiapkan, menyediakan dan menyajikan segala informasi yang diperlukan oleh petani. (2) Lokalitas Adanya desentralisasi dan otonomi daerah, menyebabkan penyuluhan pertanian harus lebih memusatkan perhatian pada kebutuhan pertanian dan petani di daerah kerja masing-masing. Informasi-informasi yang disediakan harus sesuai dengan kondisi daerah, teknologi yang dianjurkan sudah dicoba dan berhasil baik di daerah yang bersangkutan. Konsekuensinya: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan lembaga sejenisnya lebih difungsi-aktifkan dan dikembangkan kegiatannya, tidak hanya berkaitan dengan teknologi tetapi juga aspek sosial ekonominya. (3) Berorientasi Agribisnis Usahatani adalah kegiatan bisnis, karenanya petani melakukan usahatani dengan motif mendapatkan keuntungan.
Untuk mendapatkan keuntungan
maka petani perlu mengadopsi prinsip-prinsip agribisnis. Konsekuensinya: penyuluh harus mereorientasi dirinya ke arah agribisnis. Prinsip-prinsip dan teknologi-teknologi yang berkaitan dengan agribisnis harus dikembangkan dan dipelajari, meliputi aspek ekonomi, teknologi pasca panen, teknologi pengolahan, pengemasan, pengawetan, pengangkutan, dan pemasaran.
59
(4) Pendekatan Kelompok Materi-materi penyuluhan disajikan melalalui pendekatan kelompok tidak dengan pendekatan individual kecuali pada kasus-kasus tertentu yang memang memerlukan pendekatan individual. Terjadinya interaksi dalam kelompok merupakan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar rumput. Melalui forum-forum itulah pemberdayaan ditumbuhkan yang berlanjut pada tumbuh dan berkembangnya kemandirian petani, tidak menggantungkan nasibnya pada orang lain yakni penyuluh sebagai aparat pemerintah. Konsekuensinya: penyuluh perlu membina dan mengembangkan kepemimpinan kelompok agar kelompok tumbuh menjadi kelompok tani dinamis. (5) Fokus Pada Kepentingan Petani Kepentingan petani harus selalu menjadi titik pusat perhatian penyuluhan pertanian. Kepentingan petani sebenarnya sederhana yaitu mendapatkan imbalan yang wajar dan adil dari jerih payah dan pengorbanan lainnya dalam berusahatani, dan mendapatkan kesempatan untuk memberdayakan dirinya sehingga mampu mensejajarkan dirinya dengan unsur masyarakat lainnya. Konsekuensinya: penyuluh lebih mendekatkan dirinya dengan petani dan lebih menghayati kepentingan-kepentingannya. Prinsip ini dapat dilaksanakan bila penyuluhan pertanian di tingkat lapangan diberi otonomi untuk menentukan sendiri bersama kelompok tani program-program yang dilaksanakan. (6) Pendekatan Humanistik-Egaliter Penyuluhan pertanian harus disajikan kepada petani dengan menempatkan petani dalam kedudukan yang sejajar dengan penyuluhnya, dan diperlakukan secara humanistik. Pendekatan humanistik-egaliter menumbuhkan sikap saling menghargai antara penyuluh dengan petani, kepentingan petani mendapatkan perhatian utama dari penyuluh, sebaliknya petani menghargai usahausaha penyuluh. Konsekuensinya: penyuluh pertanian perlu dibekali pengetahuan dan keterampilam yang berkaitan dengan komunikasi sosial, psikologi sosial, dan lainlain, agar mampu memerankan penyuluhan humanistik-egaliter.
60
(7) Profesionalisme Penyuluhan pertanian di masa depan harus dapat dilaksanakan secara profesionalisme artinya penyuluhan harus tepat dan benar secara teknis, sosial, budaya, dan politik serta efektif karena direncanakan, dilaksanakan dan didukung oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam suatu sistem penyuluhan pertanian yang baik pula. Konsekuensinya: perlu dipersiapkan generasi penyuluh yang profesional. Penyuluh yang ada dan belum profesional perlu ditatar agar meningkat menjadi profesional/sub profesional. Kerjasama dengan perguruan tinggi perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan potensi-potensi SDM yang ada di dalamnya. (8) Akuntabilitas Akuntabilitas atau pertanggungjawaban adalah pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian harus dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Sistem pertanggungjawaban harus ada dan mengandung konsekuensikonsekuensi tertentu bagi penyuluh yang bersangkutan, berupa konsekuensi positif (penghargaan) ataupun negatif (hukuman). Prinsip akuntabilitas diperlukan sebagai penyeimbang prinsip otonomi penyuluhan yang sudah disarankan sebelumnya. Konsekuensinya: harus diciptakan sistem evaluasi dan akuntabilitas yang dapat dioperasikan secara tepat dan akurat. Setiap kegiatan penyuluhan harus jelas dan terukur tujuannya, biaya harus dipertimbangkan dengan hasil dan dampak penyuluhan. Indikator keberhasilan penyuluhan jangka pendek yang digunakan sebagai pertanggungjawaban kegiatan penyuluhan yang dilakukan. (9) Memuaskan Petani Petani merasa puas bila kegiatan penyuluhan memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan dan harapan petani, sehingga kegiatan penyuluhan harus direncanakan untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan petani. Kepuasan petani terpenuhi apabila materi penyuluhan sesuai dengan kebutuhan, juga cara penyampaiannya mempengaruhi kepuasan petani. Konsekuensinya: pendidikan, pelatihan dan keteladanan yang tepat, dapat menghasilkan tenaga-tenaga penyuluh yang mampu menyuluh dengan sepe-
61
nuh hati. Fasilitas yang memadai di lembaga-lembaga penyuluhan pertanian seperti perpustakaan, internet dan jaringan kerjasama dengan instansi-instansi terkait membantu penyuluh untuk dapat memberi pelayanan penyuluhan yang sepenuh hati. Selain hal-hal tersebut di atas maka pada masa depan tugas penyuluh semakin penuh tantangan karena penyuluh pertanian tidak lagi berorientasi pada peningkatan produksi tetapi juga harus berorientasi untuk mencari komoditi yang menguntungkan petani di pasaran, dan menggalakkan teknologi yang terpilih. Seperti yang diamatkan Undang-undang nomer 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pasal 4 menyebutkan bahwa fungsi sistem penyuluhan meliputi: (1) (2)
(3) (4)
(5)
(6) (7)
memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha, mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usaha, meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha, membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkankembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan, membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha, menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan, dan melembagakan nilai-nilai budaya pembanguan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan. Kebijakan Pemerintah Pertumbuhan produktivitas masyarakat Indonesia sebagai sumber pertum-
buhan ekonomi nasional masih kecil, tidak lebih dari 0,5 persen, bahkan dalam periode 1984-1990 mencapai angka nol atau negatif. Menurut Hasibuan (2001 :52-54), rendahnya produktivitas masyarakat Indonesia dalam pertumbuhan sosial ekonomi disebabkan pengutamaan modal sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan kompetensi manusia. Pengabaian manusia dalam pertumbuhan sosial ekonomi dapat dilihat dari sasaran operasional yang diupayakan dan cara-
62
cara pokok yang ditempuh selama ini. Sasaran operasional pokok yang dituju adalah pertumbuhan ekonomi, yaitu materi. Ada anggapan dan sekaligus harapan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi, maka sasaran-sasaran yang menyangkut kemanusiaan dapat tercapai, namun kenyataannya belum seluruhnya harapan tersebut tercapai, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum merasakan dampak pertumbuhan ekonomi, khususnya petani kecil dan masyarakat pinggiran. Sejak jaman penjajahan Belanda, yakni sekitar abad 19 sudah mulai diperkenalkan usaha peternakan sapi perah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Pemerintah Belanda mendatangkan bibit sapi perah untuk diternakkan daerah perkebunan teh Pangalengan, dan daerah lainnya yang iklimnya ideal untuk budidaya ternak sapi perah. Saat pendudukan Jepang dan Perang Dunia II banyak perusahaan peternakan sapi perah yang berantakan, akibatnya mereka menutup usahanya, namun banyak sapi yang dipelihara atau berpindah tangan dan dimiliki oleh rakyat. Mulai saat itu usaha peternakan sapi perah dilakukan oleh rakyat. Berkat pembinaan terus menerus dari pemerintah pada saat itu maka budidaya sapi perah pada saat itu cukup berkembang dan selanjutnya peternak bergabung dalam wadah koperasi. Di beberapa daerah jalur persusuan mulai berdiri koperasi, di antaranya di Jawa Barat terdapat di Pangalengan dan Lembang, di Jawa Timur terdapat di Pujon, Tutur Nongkojajar, dan Grati, serta di Jawa Tengah terdapat di Boyolali. Kebijakan pemerintah yang mengundang investor asing untuk menanam modal dalam industri persusuan dalam bentuk Industri Pengolahan Susu (IPS) membuat masalah bagi usaha peternakan lokal. Hal ini disebabkan IPS lebih senang mengimpor bahan baku olahan dari pada membeli dari peternakan rakyat dengan alasan selain harganya lebih murah juga IPS mempunyai kewajiban menyerap bahan baku dari masing-masing negara investor bersangkutan. Pada saat itu IPS merupakan kerjasama dari berbagai negara yang tergabung dalam MNC (Multi National Corporation). Kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut menarik perhatian Menteri Muda Urusan Koperasi dengan membentuk Tim Teknik Penelitian dan Pengem-
63
bangan Koperasi Susu. Tim tersebut mengadakan pertemuan dan negosiasi dan hasilnya pada tahun 1978 diputuskan bahwa koperasi dapat menjual susu ke PT. Food Spesialis Indonesia. Dengan adanya kesediaan dari IPS untuk membeli susu dari koperasi merupakan ”angin segar” bagi pengembangan pemasaran susu. Perhatian Menteri Muda Urusan Koperasi ini sekaligus juga merupakan awal kebangkitan koperasi persusuan di Indonesia, yang selanjutnya terbentuklah Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) di Jakarta. Undang-undang yang berkaitan dengan persusuan di Indonesia pertama kali dikeluarkan pada awal Orde Baru menjelang dilaksanakan Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 yang menggariskan Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembar Negara Tahun 1967 No.10) sebagai perubahan terhadap Veterinaire Politie yang dibuat pada jaman sebelum kemerdekaan. Memasuki PJP II dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-undang terdahulu. Terdapat beberapa kelemahan dalam Peraturan Perundang-Undangan Nomor 6, antara lain: (1) Wacana serta ruang lingkup Undang-undang No.6/1967 tidak atau belum mengatur tentang keterkaitan antara ketentuan sarana produksi (bibit, pakan, peralatan, dan lahan), teknik budidaya, pengolahan, pemasaran, kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, perlindungan hewan, serta kerjasama usaha antara pengusaha besar, menengah dan kecil. (2) Undang-undang No 6/1967, belum merumuskan suatu suatu substansi yang mencerminkan azas pemandu seperti azas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME, azas manfaat, azas keseimbangan-keserasian-keselarasan dalam kehidupan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. (3) Undang-undang No.6/1967, belum menjelaskan dengan gamblang bagaimana pengaturan pembangunan berkesinambungan dan berwawasan lingkungan, pengembangan sumberdaya manusia yang bergerak di bidang peternakan. Selain hal-hal tersebut di atas, terdapat suatu wacana penting di dalam dunia global yang perlu dipertimbangkan, seperti: (a) perlunya mengantisipasi berbagai ketentuan impor dan ekpor komoditi peternakan dalam menghadapi
64
pengaruh globalisasi ekonomi, kebijakan deregulasi, pajak, dan peraturan lain yang berlaku di jaman liberalisasi ekonomi, serta (b) pengelolaan sektor pertanian (termasuk peternakan) mengalami pergeseran dari perencanaan terpusat ke peningkatan otonomi daerah, skala subsisten ke skala komersial, teknologi padat karya ke teknologi tepatguna dan ramah lingkungan, produksi komoditas primer ke produk yang mempunyai nilai tambah, perubahan orientasi pengembangan produksi komoditas dari substitusi impor ke promosi ekspor. Sangat lama Undang -undang No.6/1967 diberlakukan yaitu sekitar 25 tahun. Mengingat rentang waktu yang sangat lama ini maka sangat logis bila telah berubah keadaan peternakan di Indonesia serta struktur masyarakat peternaknya. Langkah perbaikan yang ditempuh pemerintah adalah pada tanggal 21 Juli 1982 menerbitkan SKB tiga menteri, dengan tujuan untuk menjamin dan terpeliharanya penyerapan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) oleh IPS. Ketiga menteri tersebut adalah Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, serta Menteri Perdagangan dan Koperasi, dengan Nomer sebagai berikut: No.236/Kpd/VII/82, No.341/M/SK/7/ 1982, dan No.521/Kpts/Um/7/1982. Kebijakan tersebut berisi tentang pengembangan usaha peningkatan produksi, pengolahan, dan pemasaran susu di dalam negeri (SSDN). SKB ini terutama mengatur ketentuan impor susu sebagai bahan baku industri pengolahan susu dengan kewajiban menyerap SSDN melalui mekanisme bukti serap (BUSEP) dengan perhitungan rasio susu impor terhadap SSDN yang diserap IPS. SKB tersebut kemudian dimantapkan oleh Inpres RI No.2/1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional. Kebijakan tersebut menginstruksikan agar Industri Pengolahan Susu yang telah ada dapat menampung dan menyerap produksi susu segar dalam negeri. SKB ini sangat menolong peternak sapi perah dalam memasarkan produksinya. Dari tahun ke tahun perbandingan pemakaian SSDN dengan bahan susu impor terus membaik, meski cenderung fluktuatif. Pada tahun 1982 rasio pengguaan SSDN dengan susu impor 1:7, kemudian terus meningkat dan puncak rasio tertinggi dicapai pada tahun 1990, yaitu sekitar 1:53. Tujuh tahun kemudian yakni pada tahun setelah terjadi fluktuasi terus menerus, rasio menurun menjadi 1:1,6.
65
Usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi, populasi, dan mutu ternak serta pendapatan peternak maka dipandang perlu untuk memasukkan bibit ternak unggul dari luar negeri. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah mengeluarkan surat keputusan (SK) Menteri Pertanian No.750/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 oktober 1982. SK ini mengatur tentang persyaratan masuknya bibit ternak dari luar negeri seperti Australia, New Zealand, dan Amerika Serikat. Masalah kualitas dan kuantitas susu dan gizi masyarakatpun tidak luput dari perhatian pemerintah. Kebijakan yang mengatur tentang itu diatur melalui SK Menteri Pertanian No.751/Kpts/Um/10/1982, tentang pembinaan dan pengembangan usaha peningkatan produksi dalam negeri. Kebijakan pemerintah mengenai pembatasan investasi Industri Pengolahan Susu (IPS) tertuang dalam KEPPRES No.54 Tahun 1983. Dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa investasi untuk industri susu bubuk dan susu kental manis sama sekali telah tertutup perijinannya kecuali apabila dilakukan terpadu dengan peternakan baik industri Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan tertutup bagi investor non PMA atau PMDN. Peluang yang masih terbuka adalah investasi baru bagi industri mentega, keju, dan yoghurt, selain pengembangan atau perluasan investasi dalam IPS yang telah ada, masih terbuka untuk industri untuk industri susu cair (dengan jenis produk susu segar tidak manis dan susu cair manis). Industri cream susu untuk PMDN dan Non PMA/PMDN, dan jenis industri susu lainnya (susu pasteurisasi) untuk investor Non PMA/PMDN. Penerapan kebijakan tersebut memberikan dampak positif bagi perkembangan industri persusuan nasional, namun juga menimbulkan dampak negatif bagi konsumen produk susu, sebab konsumen harus membayar harga produk susu jauh lebih tinggi dibandingkan harga tanpa adanya proteksi harga yang sesungguhnya harus dibayar. Mengingat kebijakan SKB tiga menteri pada tahun 1982 tentang penyerapan SSDN dipandang sebagai kebijakan non-tarif yang bertentangan dengan semangat perdagangan pasar bebas, maka melalui Inpres No. 4/1998, kebijakan tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional, tidak berlaku lagi. Konsekwensi dari pencabutan keputusan tersebut maka penyerapan
66
SSDN oleh IPS ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar yang berlaku dan oleh tingkat kemampuan bersaing produk SSDN dengan bahan baku produk susu negara lain di pasar dunia. Pada tahun 1998, pemerintah juga membuat kebijakan dengan menerbitkan SKB tiga menteri yaitu Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Pertanian, serta Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil yang mulai diberlakukan pada tanggal 2 Februari 1998, yaitu Surat Keputusan No.24/MPP/Kep/1998; No.30/Kpts/TN.320/1998, dan No.01/SKB/M/1/ 1998 tanggal 22 Januari tentang pencabutan SKB tiga menteri yang telah diberlakukan pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu Surat Keputusan No.236/Kpb/VII/82; No.341/M/SK/7/1982 dan No.521/Kpts /Um/7/1982. Pencabutan SKB sebelumnya dilakukan dalam rangka reformasi nasional yang bertujuan mendorong peningkatan efisiensi industri dalam negeri dan kelancaran arus barang. Sejalan dengan SKB tanggal 22 Januari 1998, pemerintah membuat kesepakatan dengan IMF antara lain dalam rangka penyehatan kerangka makro ekonomi dan restrukturisasi struktural. Kesepakatan ini antara lain memuat: (1) perdagangan domestik produk peranian sepenuhnya dideregulasi, (2) aturan pemasaran dihapus, sehingga perusahaan bebas memproduksi serta mengekspor sesuai permintaan pasar per 1 Februari 1998, dan (3) terhitung 1 Februari 1998, pajak bahan makanan akan dipotong menjadi maksimum lima persen poin, dan pajak produk pertanian bukan makanan dikurangi menjadi maksimum lima persen poin. Langkah pemerintah mempersiapkan industri persusuan dalam menghadapi pasar bebas tahun 2005, dengan cara mengadakan kesepakatan dengan pemerintah Selandia Baru sebagai pemegang INR (Initial Negotiating Right) yang dituangkan dalam Agreed Minute yang ditanda tangani pada tahun 1994. Isi kesepakan tersebut adalah: (1) kebijakan rasio masih dapat dilaksanakan sampai dengan tahun 2005 dengan ketentuan rasio susu tidak lebih rendah dari rasio susu bulan januari 1994, (2) harga Bukti Serap (Busep) tidak lebih rendah dari tingkat harga yang telah disepakati pada bulan Januari 1994, dan (3) Indonesia telah menetapkan suatu tarif kuota global untuk produk-produk yang tertuang dalam Agreed Minute sebesar 414.700 ton (setara susu segar) dengan tarif maksimum yang berlaku sebesar 40 persen.
67
Kebijakan pemerintah selanjutnya adalah penerapan bea masuk yang tinggi bagi produk bahan baku susu maupun bahan susu olahan hingga 30-40 persen. Hal ini merupakan bentuk perlindungan pemerintah terhadap industri persusuan dalam negeri. Saat ini pemerintah mengenakan tarif impor sebesar lima persen untuk bahan baku susu impor seperti anhydrous milk fat, bubuk susu skim dan laktase. Produk susu yang tidak dipekatkan dan tidak mengandung gula serta diawetkan, dihomogenisasi, dipeptonase dikenakan bea masuk sebesar 30 persen. Produk susu yang dipekatkan atau mengandung tambahan gula atau pemanis lainnya dikenakan bea masuk sebesar 40 persen.
Produktivitas Konsep produktivitas berkembang pertama kali dalam bidang niaga (bisnis) dan ekonomi klasik. Produksi dan produktivitas merupakan dua pengertian berbeda. Peningkatan “produksi” menunjukkan pertambahan hasil yang dicapai, sedangkan peningkatan “produktivitas” mengandung pengertian pertambahan hasil dan perbaikan cara pencapaian produksi. Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan peningkatan produktivitas karena produksi dapat meningkat walau produktivitas tetap maupun menurun. Produktivitas memiliki dua dimensi, pertama, efektivitas yang mengarah kepada pencapaian unjuk kerja yang maksimal yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan waktu. Kedua, efisiensi yang berkaitan dengan upaya membandingkan input dengan realisasi penggunaannya atau bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, untuk melihat produktivitas bukan hanya dilihat dari kuantitas, tetapi juga kualitas produk yang dihasilkan, yang harus juga dipakai sebagai pertimbangan mengukur tingkat produktivitas. Bagi sektor publik produktivitas dimaknai sebagai memberi kepuasan kepada pelanggan terhadap pelayanan tanpa melakukan pemborosan. Produktivitas di sini diukur dari tingkat kepuasan pelanggan dan biaya yang dikeluarkan untuk mencapai kepuasan pelanggan. Balk (Kasim, 1993:18) menyatakan bahwa produktivitas organisasi pemerintah juga harus diukur dari segi kualitas hasil yang dipersem-
68
bahkan kepada masyarakat, yaitu sampai seberapa jauh hasil tersebut sesuai dengan standar yang diinginkan. Unsur standar kualitas tidak tercermin dari rasio output terhadap input organisasi pemerintah karena tidak ada harga pasarnya. Produktivitas menurut Dewan Produktivitas Nasional mempunyai pengertian sebagai sikap mental yang selalu berpandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini, sedangkan menurut buku-buku teks tentang produktivitas, produktivitas mengandung arti sebagai perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input) (Umar, 2004:9). Produktivitas dapat diartikan sebagai keefektifan keseluruhan organisasi dan setiap hal yang memberikan kontribusi kepada hal itu mendapat penghargaan. Kontribusi yang amat potensial dari manusia bersumber pada kemampuan berfikir, merencanakan, melakukan penilaian, menjadi kreatif, dan mengendalikan perilaku (McGregor, 1988:83). Drucker (1982:56) menyatakan bahwa produktivitas adalah keseimbangan antar semua faktor produksi yang memberikan keluaran terbesar dengan usaha terkecil. Definisi lain dikemukakan oleh Mali (1978:6) bahwa produktivitas adalah suatu kegiatan dalam organisasi yang memanfaatkan sumber yang tersedia dan memanfaatkannya untuk menghasilkan produk atau menyempurnakan produk. Produktivitas adalah meningkatkan performan hasil dengan sedikit pengeluaran biaya. Schermerhorn (1984:17) menyatakan bahwa produktivitas merupakan hasil tindakan yang menghasilkan kualitas dan kuantitas kinerja tenaga kerja dengan betul-betul memanfaatkan sumberdaya yang ada. Produktivitas merupakan representasi kombinasi semua faktor produksi (Darwin, 2001:82) dan ini dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan motivasi.
Esensi dari peningkatan produktivitas
adalah bekerja dengan lebih cerdik bukan bekerja lebih keras. Hasil penilitian menunjukkan peningkatan produktivitas kerja dibatasi oleh kemampuan kerja seseorang sehingga perlu melakukan kerja dengan cerdik (Prokopenko,1987:4). Produktivitas berkaitan dengan input dan output. Input adalah semua sumberdaya (resources) meliputi sarana dan prasarana yang digunakan dalam proses produksi. Sumberdaya yang digunakan dalam perusahaan meliputi tenaga kerja (man), bahan-bahan baku (material), mesin (machine), metode kerja (method),
69
dan pemasaran (market). Output ialah hasil produksi. Hubungan input-output dapat mengukur produktivitas (Prawirosentono, 2002:109). Output lebih besar dari input menandakan proses produksi produktif dan efisien. Produktivitas tenaga kerja adalah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja per satuan waktu. Tenaga kerja produktif jika mampu menghasilkan keluaran lebih banyak dari tenaga kerja lain, untuk waktu yang sama. Produktivitas tenaga kerja= jumlah hasil produksi/satuan waktu. Produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan tenaga kerja maupun faktor-faktor lain, seperti: pendidikan, keterampilan, disiplin, sikap dan etika kerja, motivasi, gizi dan kesehatan, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja, teknologi, sarana produksi, manajemen, kesempatan kerja, dan kesempatan berprestasi (Ravianto, 1985:4). Menurut Suwatno dan Rasto (2003:144), produktivitas seseorang dipengaruhi oleh besarnya pendapatan, jaminan sosial, pendidikan dan pelatihan, sikap, disiplin, kinerja, motivasi, kesehatan, lingkungan dan iklim kerja, hubungan insani, kepuasan, teknologi, dan kebijakan pemerintah. Pengukuran produktivitas dilakukan untuk mengukur hasil guna atau efisiensi kerja, misalnya dengan membandingkan suatu norma yang dipakai sebagai patokan. Produktivitas tenaga kerja berpengaruh besar terhadap total biaya perusahaan. Salah satu pendekatan mengukur hasil guna tenaga kerja adalah parameter indeks produktivitas (Soeharto, 1997:162-163), dirumuskan sebagai berikut: Jumlah jam-orang yang sesungguhnya digunakan untuk menyelesaikan Indeks pekerjaan tertentu Produktivitas = _______________________________________________ Jumlah jam-orang yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan identik pada kondisi standar Dari Gambar 2 terlihat ada tiga kekuatan internal yang berpengaruh terhadap produktivitas, yaitu: managerial processes, managerial leadership, dan motivation. Managerial processes, menyangkut merencanakan organisasi, mengintegrasikan, dan mengawasi segala kegiatan. Managerial leadership, berhubungan dengan tujuan perusahaan, penyediaan kondisi kerja, ruangan, peralatan yang mendorong pekerja bekerja giat dan semangat, serta motivation yaitu faktor-faktor
70
yang memotivasi karyawan bekerja lebih produktif, meningkatkan prestasi, mengurangi kesalahan, dan meningkatkan efisiensi. Beberapa peubah yang mempengaruhi produktivitas suatu usaha atau organisasi, terlihat pada Gambar 2. Government regulation
Motivation
Unions
PRODUCTIVITY Manajerial Processes
Innovation, technology, and capital investment
Managerial leadership
Gambar 2. Peubah yang Mempengaruhi Produktivitas (Alma, 2003:63) Tiga kekuatan eksternal yang mempengaruhi produktivitas, yaitu: Government regulation, Unions, dan Innovation. Government regulation, yaitu peraturanperaturan yang dibuat oleh pemerintah. Unions, yaitu organisasi karyawan, serikat pekerja. Upaya meningkatkan produktivitas perlu dijaga melalui hubungan harmonis antara manajemen dengan karyawan melalui serikat pekerja. Innovation, menyangkut penemuan baru dalam bidang teknologi. Menurut Drucker (1982: 56), peningkatan produktivitas dalam ekonomi modern tidak pernah dicapai dengan usaha otot, melainkan menggantinya dengan peralatan modern yakni tenaga mekanis sehingga membutuhkan kerja pengetahuan dan karyawan pengetahuan. Karyawan pengetahuan adalah karyawan dengan biaya tinggi. Balum optimalnya produktivitas peternak bukan disebabkan masalah insentif ekonomi saja tetapi juga karena kurangnya insentif politik yaitu tersumbatnya partisipasi peternak dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pembangunan nasional pada umumnya, khususnya pembanguan pertanian, (Soetrisno, 1999:75).
Hal ini terjadi karena petani peternak belum memiliki
71
organisasi mandiri yang memiliki kekuatan politik untuk memperjuangkan kepentingan petani di forum nasional.
Selain itu rendahnya produktivitas juga
disebabkan karena adanya ketimpangan dalam pemilikan lahan. Untuk membuat paradigma itu dapat mencapai tujuannya maka dibutuhkan perubahan visi dan kebijaksanaan dari pemerintah dan aparat pelaksana dalam memahami proses-proses yang hakiki dari suatu pembangunan pertanian. Selama ini pemerintah dan aparat perencana, serta pelaksana pembangunan pertanian melihat bahwa petani Indonesia bukan merupakan informasi pembangunan. Oleh karena itu maka pembangunan pertanian peternakan di Indonesia selalu diartikan dengan sempit yakni suatu proses introduksi dan adopsi teknologi baru pada petani. Maka petani peternakpun dibanjiri dengan teknologi-teknologi baru yang pada akhirnya justru sering menambah beban finansial dan menambah resiko kegagalan. Padahal justru pengetahuan petani yang sederhana mampu menghasilkan panen yang lebih banyak tanpa biaya yang memberatkan petani. Alat-alat mekanis dan karyawan pengetahuan merupakan sumberdaya paling produktif jika ditempatkan dan diterapkan secara benar, tetapi juga paling mahal dan sama sekali tidak produktif jika salah penggunaannya. Menjadi manajer bagi karyawan dan kerja pengetahuan membutuhkan imajinasi dan keberanian luar biasa, serta kepemimpinan yang memiliki kemampuan tinggi. Hal ini karena karyawan pengetahuan, tidak mungkin produktif dalam suasana tertekan, serta hanya motivasi diri. Bagi karyawan tersebut bimbingan sendirilah yang membuatnya produktif. Secara kualitatif dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan yang erat antara lingkungan kerja yang sehat dan nyaman dengan ketenteraman kerja para karyawan. Lingkungan kerja yang baik meliputi keserasian antara manusia dengan mesin (peralatan), keseimbangan beban kerja, sikap kerja yang memadai, udara segar, dan imbalan jasa langsung maupun tidak langsung yang lebih baik (Prawirosentono, 2002:110).