7
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah di Indonesia Rumpun sapi perah Fries Holstein (FH) banyak dipelihara di Indonesia. Rumpun sapi perah ini berasal dari daerah subtropis atau lebih jelasnya dari provinsi Holland Utara dan Friesland Barat Belanda. Berdasarkan asal usulnya, rumpun sapi ini dikembangkan dari nenek moyang sapi liar Bos (Taurus) Typicus primigenius dan telah diternakkan di negeri Belanda sekurang-kurangnya 2000 tahun. Sapi FH mempunyai ciri-ciri kepala panjangnya sedang, mulut lebar dengan hidung terbuka lebar, rahang kuat, dahi lebar, leher panjang dan pipih. Selain itu, sapi FH mempunyai punggung kuat dan rata dengan ruas-ruas tulang belakang yang rapih hubungannya, dan pinggang lebar dan kuat. Kedudukan keempat kaki sapi FH membentuk empat persegi panjang, dan bentuk kaki halus tetapi tampak kuat. Warna tubuh pada umumnya belang hitam putih, tetapi di negeri Belanda bagian timur dan di Jerman terdapat kelompok sapi yang berwarna belang merah putih (Sosroamidjojo & Soeradji 1978). Pada umumnya sapi-sapi Eropa mempunyai kisaran suhulingkungan nyaman yang rendah sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin dibandingkan suhu lingkungan panas. Agar sapi perah FH dapat memberikan produksi maksimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, perlu lokasi yang mempunyai lingkungan mikro yang hampir menyamai tempat asalnya. Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang memiliki suhu lingkungan antara 0 dan 20ºC, sedangkan suhu kritis untuk sapi Holstein, Brown Swiss, dan Brahman secara berturut-turut adalah 21; 24-27; 32ºC (Hafez 1968). Sapi perah akan berproduksi maksimal pada suhu lingkungan antara 4,4 dan 21,1ºC dengan tingkat kelembaban berkisar antara 60 dan 80%. Kenaikan suhu lingkungan akan menurunkan konsumsi pakan dan produksi susu sementara konsumsi air meningkat (Schmidt 1971). Sekitar abad ke-19 sapi FH pertama kali didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan susu bagi bangsa Belanda yang ada di Indonesia. Indonesia terletak di daerah tropis yang sangat sedikit daerah curah hujan rendah dan musiman, radiasi sinar matahari yang sangat kuat
8
sehingga kombinasi tersebut menyebabkan fluktuasi suhu harian dan kelembaban yang sangat luas. Secara geografis, Indonesia terletak antara 5 dan 7º Lintang Utara dan Lintang Selatan, yang mempunyai suhu yang relatif konstan (± 27ºC), curah hujan yang tinggi berkisar dari 2 032 sampai 3 048 mm (Williamson & Payne 1993). Dalam kurun waktu yang cukup panjang sapi-sapi asal Belanda tersebut
mengalami aklimatisasi dengan lingkungan tropis Indonesia, bahkan
pada saat ini telah berkembang pesat peranakan FH yang telah lebih beradaptasi dengan lingkungan. Suhu optimal untuk produksi susu sapi yang berasal dari daerah subtropis adalah 10°C (Williamson & Payne 1993). Penampilan produksi masih cukup baik walau suhu lingkungan meningkat sampai 21,1°C (Sutardi, 1981). Suhu kritis yang berdampak pada penurunan produksi susu yang tajam adalah antara 21 sampai 27°C (Williamson & Payne 1993). Tidak mengherankan apabila pemeliharaan sapi FH sebagian besar terkonsentrasi pada daerah-daerah dataran tinggi (±1000 m dpl) seperti Garut, Lembang, Pangalengan, Pujon, Nongkojajar, yang lingkungannya hampir menyamai daerah asalnya (Siregar et al. 2003). Populasi sapi perah di Indonesia menunjukkan perkembangan. Selama kurun waktu 1970 hingga 2001 terjadi peningkatan populasi dari 52 000 ekor menjadi 347 000 ekor, sedangkan sejak tahun 1994 produksi susu tercatat 426 727 ton dan meningkat menjadi 550 000 ton pada tahun 2004 (Direktorat Jenderal Peternakan 2005). Sapi Fries Holstein mempunyai produksi susu yang tinggi (4 000 sampai 5 000 L/tahun), dan di daerah tropis dalam kisaran dari 2 500 sampai 5 000 kg/ laktasi (Pane 1986). Tampaknya sapi Fries Holstein mengalami penurunan produktivitas khususnya pada peternakan rakyat: produksi susu mencapai 8 L/hari dan pada peternakan sapi perah komersial berkisar dari 3 000 sampai 5 000 L/305 hari, sedangkan di negara asalnya rata-rata produksi mencapai 7 342 kg/laktasi (Talib et al. 2003).
9
Masa Laktasi Masa laktasi seekor sapi perah menunjukkan lamanya waktu sapi perah tersebut menghasilkan susu dalam satu periode (Bath et al.1978). Periode laktasi normal berlangsung kira-kira 44 minggu atau 305 hari. Produksi susu sapi perah pada awal laktasi umumnya meningkat secara dramatis dan mencapai puncaknya pada minggu keempat hingga kedelapan setelah partus dan menurun secara perlahan sampai ahir masa laktasi (NRC 1988). Produksi susu selama 2 bulan pertama laktasi mencapai 145% dari rataan produksi satu periode laktasi, sedangkan pada bulan ketiga dan keempat menunjukkan penurunan menjadi 120%, bulan laktasi kelima dan keenam produksi susu sama dengan rataan produksi dalam satu periode laktasi dan setelah itu produksi menjadi 78% pada bulan laktasi ketujuh dan kedelapan, akan menurun hingga 70% ketika menjelang beranak (Tanuwiria 2004). Sebagai gambaran kurva produksi susu selama laktasi
Produksi Susu (Kg)
disajikan pada Gambar 1.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
BULAN
Gambar 1 Kurva Produksi Susu selama Laktasi (Alim et al. 2001) Produksi susu setiap periode laktasi akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur, dan puncak prestasi produksi dicapai pada umur antara 6 dan 7 tahun. Laktasi pertama sapi betina yang sehat akan terjadi pada umur dua tahun dengan produksi susu 75% dari produksi umur dewasa, laktasi kedua terjadi pada umur tiga tahun dengan produksi 85% dari produksi umur dewasa, laktasi ketiga dan keempat terjadi pada umur antara 4 dan 5 tahun dengan produksi susu antara
10
92% dan 98% dari produksi umur dewasa. Umur dewasa dicapai pada 6 tahun, keadaan ini sedikit bervariasi di antara sapi perah. Jika sapi betina berumur dari 8 sampai 9 tahun atau lebih maka produksi susu akan menunjukkan penurunan setiap laktasi (Schmidt et al. 1988). Jumlah produksi susu per laktasi dari seekor sapi perah sangat dipengaruhi oleh bangsa sapi, umur, musim kelahiran, geografis, masa laktasi, manajemen, nutrien, dan frekuensi pemerahan (Homan & Wattiaux 1996). Selain itu, jumlah produksi susu per laktasi dipengaruhi juga oleh manajemen sehingga lambatnya pengaturan perkawinan dalam periode laktasi akan memungkinkan periode laktasi lebih panjang. Homeostasis Semua ternak merupakan hewan homeotermis yang
mempunyai suhu
tubuh yang relatif tetap atau mempunyai kisaran suhu tubuh yang sempit. Untuk dapat mempertahankan suhu tubuh yang tetap, ternak harus mampu mengatur keseimbangan antara panas yang diproduksi dari hasil metabolisme seluler dan yang diperoleh dari lingkungan dengan pengeluaran panas dari tubuh (Hafez 1968). Produksi panas tubuh berlangsung secara berkesinambungan di dalam protoplasma sebagai hasil oksidasi zat-zat makanan terutama yang terjadi di dalam tenunan-tenunan otot dan kelenjar. Ternak tetap memerlukan energi untuk menyelenggarakan proses-proses untuk mendukung hidup pokok, yaitu sirkulasi darah, respirasi, gerak otot, ekskresi, dan lain-lainnya (Soeharsono 1984). Selain itu, panas diperoleh secara langsung dari luar tubuh berupa penyerapan melalui permukaan tubuh dari panas matahari (Cole 1962; Hafez 1968). Proses fisiologis hanya akan berlangsung baik apabila kondisi lingkungan luar tubuh (millieu exterieur) dan di dalam tubuh (millieu interieur) berada dalam keseimbangan. Perubahan kondisi lingkungan luar tubuh akan mengubah kondisi lingkungan di dalam tubuh. Pada ternak homoiotermis, perubahan dari luar akan berdampak pada serangkaian proses dalam tubuh untuk mengembalikan ke dalam keadaan yang relatif tetap. Proses tersebut dikenal dengan homeostasis. Setiap individu akan dihadapkan pada dua tipe lingkungan, yakni lingkungan luar (external
11
environment) dan lingkungan dalam tubuh (internal enviroment). Perubahan lingkungan eksternal akan menimbulkan banyak perubahan reaksi biokimia yang berdampak pada gangguan kerja sel dan kerja organ yang mengakibatkan banyak energi yang digunakan hanya untuk mempertahankan kondisi tubuh atau hidup pokok (Soeharsono 1984). Konsep homeostasis menyangkut keseimbangan panas, pengaturan suhu tubuh, keseimbangan kimiawi air, persenyawaan karbon, elektrolit, kardiovaskular dan lain-lain. Kondisi luar yang menimbulkan perubahan di dalam tubuh terjadi terus menerus sehingga lambat laun ternak akan terbiasa dengan perubahan di luar tersebut dan kegiatan proses homeostasis semakin ringan menandakan ternak telah mengalami proses penyesuaian fisiologis. Dalam jangka panjang akan terjadi proses adaptasi, namun tidak memperlihatkan produktivitas yang tinggi (Soeharsono 1984). Somatotropin dan mekanisme kerja Somatotropin (ST) adalah nama ilmiah hormon pertumbuhan (growth hormone atau GH) yang merupakan hormon protein atau hormon polipeptida dengan rangkaian 190-191 residu asam amino yang membentuk satu molekul polipeptida. Somatotropin disintesis dan disekresikan oleh sel-sel somatotrof yang terletak dalam lobus anterior kelenjar pitiutari (Djojosoebagio 1990; Manalu 1994; Soeharsono 2001), dan sekresinya sangat dipengaruhi oleh faktor neural, metabolik, dan hormonal (Djojosoebagio 1990). Fungsi fisiologis hormon ini adalah mempengaruhi proses metabolisme yang menyangkut pertumbuhan melalui stimulasi sintesis protein, meningkatkan transportasi asam amino ke dalam sel, mempengaruhi metabolisme karbohidrat, glukoneogenesis dalam hati, memacu mobilisasi lemak tubuh, dan mempengaruhi metabolisme mineral (Hardjopranjoto 2001; Koentjoko 2001; Soeharsono 2001). Bovine somatotropin (bST) mampu mempercepat pengangkutan asam amino melalui dinding sel ke dalam sitoplasma sehingga dapat menambah konsentrasi asam amino dalam sel. Selain itu, bST juga mampu meningkatkan pembentukan asam ribonukleat (RNA) dalam inti sel sehingga dapat mendorong proses transkripsi dan translasi dalam ribosom di dalam sitoplasma sel (Hardjopranjoto 2001).
12
Secara spesifik terdapat 3 macam bentuk somatotropin. Bentuk pertama adalah ST dengan 191 asam amino, dengan berat molekul 22 kDa, yang mengandung dua jembatan disulfida yang menghubungkan asam amino 53 dan 165 membentuk suatu loop besar dan asam amino 182 dan 189 dekat terminus karboksil dari peptida membentuk loop yang kecil. Bentuk ST ini banyak terdapat dalam kelenjar pituitari. Bentuk kedua adalah ST yang mempunyai urutan asam amino yang sama dengan bentuk pertama, tapi kehilangan 15 asam amino nomor 32-46 dari terminal Amino, dengan berat molekul 20 kDa, dan terdapat sekitar 10 sampai 15% dari hormon pituitari. Bentuk ketiga merupakan dimerisasi 2 bentuk 22 kDa peptida yang dihubungkan dengan ikatan disulfida antar-rantai dengan berat molekul 45 kDa dan hanya ditemukan sekitar 1% dari jumlah hormon pituitari. Secara keseluruhan perbedaan bentuk tersebut menyebabkan adanya perbedaan fungsi biologis somatotropin. Bentuk 20 kDa mempunyai ikatan yang kurang efektif terhadap reseptor hati dan kelenjar susu dibandingkan dengan bentuk 22 kDa, walaupun kedua hormon tersebut sama-sama merangsang pertumbuhan (Kamil et al. 2001). Komposisi asam amino penyusun ST berbeda antarspesies (Tabel 1) sehingga aktivitas biologis ST dari satu spesies tidak akan mempunyai pengaruh apabila disuntikkan ke spesies lain, atau dengan kata lain setiap somatotropin dari satu spesies mempunyai kekhususan sendiri (species specifity) (Turner & Bagnara l988; Djojosoebagio 1990; Soeharsono 2001). Sekresi ST oleh kelenjar hipofisa dilakukan sesuai kebutuhan fisiologis melalui dua faktor, yakni growth hormone releasing factor (GHRF) dan growth hormone inhibiting factor (GHIF) atau somatostatin (Gambar 2). Somatotropin (ST) setelah dikeluarkan oleh pituitari akan diangkut melalui sistem aliran darah, namun dengan sifat molekulnya yang besar hormon ini tidak dapat menerobos membran sel sehingga hormon protein memerlukan kehadiran reseptor spesifik di membran sel (Shahib 2001; Manalu 2001).
13
Tabel 1. Komposisi asam amino somatotropin manusia, sapi, domba, dan babi Asam Amino Lisina Histidina Arginina Aspartat Treonina Serina Glutamat Prolina Glisina Alanina Sistina Valina Metionina Isoleusina Leusina Tirosina Fenilalanina Triptofan
Manusia 9 3 11 20 10 18 26 8 8 7 4 7 3 8 26 8 13 1
Sapi 11 3 13 16 12 13 24 6 10 15 4 6 4 7 27 6 13 1
Domba 13 3 13 16 12 12 25 8 10 14 4 7 4 7 22 6 13 1
Babi 11 3 12 15 7 14 24 7 8 16 4 8 3 6 24 7 12 1
Sumber : Hariadi et al. (2001)
Reseptor ST adalah suatu glikoprotein berantai tunggal dari 620 asam amino dengan suatu domain ekstraseluler yang luas (246 residu asam amino), domain transmembran tunggal (24 residu), dan domain sitoplasmik yang panjang (350 residu). Reseptor ST terdapat dalam dua bentuk, yaitu reseptor yang berafinitas tinggi dan rendah. Reseptor berafinitas tinggi sangat spesifik dikaitkan dengan pertumbuhan. Bagian ekstraseluler meliputi hormone binding site dan suatu daerah yang penting untuk dimerisasi reseptor. Reseptor ST banyak didapatkan pada permukaan sel seperti hati, otot, tulang, dan jaringan adiposa (Granner 1997; Kamil et al, 2001). Somatotropin
atau growth hormone yang beredar dalam aliran darah
diikat oleh suatu growth hormone binding proteins (GHBP). Fungsi GHBP ini masih belum jelas, tetapi diyakini bahwa kehadiran GHBP dapat meningkatkan waktu paruh ST, memodifikasi distribusinya, mengurangi efek biologis ST pada preadiposit, dan mengurangi efek biologis sekresi ST pulsatif dengan mengurangi ST bebas selama sekresi pulsatif sekretori. Growth hormone binding protein
14
(GHBP) berada dalam sirkulasi darah beberapa spesies termasuk manusia, kera, kelinci, babi, kuda, sapi, domba, anjing, tikus, ayam, dan kalkun (Kamil et al. 2001). Dalam keadaan normal, kadar hormon di dalam darah dipengaruhi oleh kecepatan sintesis dan degradasi hormon serta kecepatan sekresi, sedangkan kerja hormon dipengaruhi oleh keadaan reseptor pada sel target dan protein pengangkut di dalam darah. Ikatan hormon dengan reseptor (HR) pada permukaan membran sel akan meningkatkan
permiabilitas
membran
plasma
sehingga
meningkatkan
permiabilitas ion-ion dan zat-zat lain yang mempunyai konfigurasi sedemikian rupa. Selain itu, HR dapat menyebabkan hiperpolarisasi membran plasma sehingga memungkinkan pemasukan ion-ion dan zat-zat anorganik ke dalam sel. Selanjutnya, perubahan ini akan diikuti dengan proses-proses dalam sitoplasma dan juga modulasi enzim adenilat siklase yang akan merangsang sintesis cyclic adenosine 3, 5–monophosphate (cAMP), yaitu caraka kedua (second messenger), yang bekerja mempengaruhi fungsi sel (Djojosoebagio 1990; Manalu 2001; Shahib 2001). Meskipun ST telah diketahui sejak tahun 30-an, pada permulaan tahun 1937 para peneliti mendapatkan bahwa sapi-sapi yang disuntik dengan ekstrak ST dari hipofisis sapi yang diperoleh dari rumah potong hewan (RPH) memperlihatkan peningkatan produksi susu. Sampai dengan tahun 70-an, kemajuan yang dicapai hanya sebatas aplikasi ST pada ternak untuk tujuan komersial. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan produksi ST. Untuk memperoleh ST yang akan diberikan kepada seekor sapi dibutuhkan ekstrak hipofisis yang berasal dari 200 ekor sapi (Hardjopranjoto 2001). Setelah 50 tahun, pemakaian ST berkembang pesat khususnya ketika ditemukannya sistem rekombinan, ST banyak digunakan untuk meningkatkan produksi ternak daging dan susu (Kamil et al. 2001). Dewasa ini berkembang hormon rekombinan antara lain recombinant growth hormone (rbGH) atau recombinant soamtotropin (rbST). Salah satu produk tersebut dibuat oleh Monsanto Corporation melalui rekayasa genetika, yakni rbGH dengan nama dagang Posilac yang juga dikenal sebagai bST atau bGH atau rbGH. Terdapat tiga macam hormon yang banyak mendapat perhatian
15
dalam penggunaannya dewasa ini, yaitu bovine Somatotropin (bST), ovine Somatotropin (oST), dan porcine Somatotropin (pST) (Hardjopranjoto 2001).
HIPOTALAMUS
MEKANISME UMPAN BALIK
GHRH
SOMATOSTATIN
(+)
(–)
KELENJAR PITUITARI SOMATOTROF SOMATOTROPIN
AKSI TAK LANGSUNG
AKSI LANGSUNG PROLAKTIN KHORIONIK SOMATOTROPIN INSULIN
HATI
SOMATOMEDIN
SEL LEMAK LIPOGENESIS
EFEK ANTI INSULIN
SEL LEMAK
KHONDROSIT
LIPOLISIS
METABOLISME KARBOHIDRAT
FFA DAN GLISEROL
GLUKOSA
OTOT SINTESIS PROTEIN
PEMBENTUKAN KARTILAGO
AKTIVITAS DIABETOGENIK PERTUMBUHAN TULANG
Gambar 2.
Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan dan metabolisme ( Kamil et al. 2001)
Somatotropin berpengaruh pada metabolisme tubuh yang pada gilirannya akan merangsang proses produksi dan proses adaptasi homeostatis yang akan menyediakan nutrien yang digunakan dalam proses tersebut (Vernon 1989). Somatotropin mempunyai dua pengaruh utama. Pengaruh pertama berkaitan dengan proses-proses produksi yang mungkin sebagian diperantarai oleh IGF-I. Pengaruh yang kedua adalah penyediaan zat-zat makanan yang diperantarai oleh ST sendiri, akan tetapi pengaruh ini bergantung pada keadaan fisiologis hewan percobaan karena pada hewan yang sedang tumbuh perlakuan somatotropin bisa
16
mengakibatkan peningkatan akresi protein otot sementara selama laktasi perlakuan ST dapat mengakibatkan kehilangan protein tubuh (Peel et al. 1981; Akers 2002). Somatotropin, IGF-I, dan Produksi susu Telah disepakati bahwa somatotropin tidak saja berperan dalam pengontrolan pertumbuhan, namun juga berperan dalam produksi susu (Manalu 1994). Somatotropin sering juga digunakan sebagai agen galaktopoietis yang dapat meningkatkan produksi susu tanpa memberikan implikasi pada kesehatan konsumen atau ternak itu sendiri (Tucker 2000). Somatomedins atau IGF-I (Insulin-like growth factor I) mempunyai rangkaian 70 asam amino dengan berat molekul 7 649 Dalton sedangkan IGF-II mengandung 67 asam amino dengan berat molekul 7 471 Dalton. Urutan asam amino IGF-I dan IGF-II memiliki kemiripan sekitar 70% dan juga mempunyai struktur yang sama dengan proinsulin. Aktivitas biologis IGF bergantung pada reseptor IGF yang spesifik yang ada pada sel target. Reseptor IGF ada dua macam, tipe I (reseptor IGF-I) dan tipe II (reseptor IGF-II). Reseptor IGF-I merupakan glikoprotein yang mempunyai dua subunit ekstra selluler dan dua subunit B transmembran. Walaupun mempunyai persamaan affinitas ikatan, reseptor IGF-I lebih menyukai ikatan dengan IGF-I diikuti dengan IGF-II dan insulin. Tipe II atau reseptor IGF-II merupakan polipeptida rantai tunggal yang disebut sebagai reseptor mannosa-6-fosfat. Secara struktural reseptor ini tidak berkaitan dengan reseptor IGF-I atau insulin. Reseptor tipe II mengikat IGF-II dengan afinitas yang lebih tinggi daripada IGF-I dan tidak mengenal insulin ( Kamil et al.2001). Hipotesis klasik yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu bahwa aksi ST menstimulasi hati untuk memproduksi somatomedin atau insulin-like growth faktor I (IGF-I) yang selanjutnya akan diangkut melalui darah untuk bereaksi pada organ sasaran yang spesifik (Sharma et al. 1994). Reseptor ST banyak dijumpai pada hati sehingga diyakini sebagian besar peneliti bahwa ST memodulasi hati untuk mensintesis IGF-I. Insulin-like growth factor I (IGF-I) mempunyai peranan penting dalam mengatur metabolisme sel mammalia, pertumbuhan, dan diferensiasi. Insulin-like growth factor I (IGF-I) hampir sebagian besar disintesis dalam hati (55%) (Kamil et al. 2001) walaupun beberapa
17
jaringan dapat mensintesisnya sehingga IGF-I bukan saja bereaksi secara endokrin tetapi juga sebagai autokrin atau parakrin (Prosser & Mepham 1989; Sharma et al. 1994; Tucker 2000; Kamil et al. 2001) sehingga level plasma IGF-I merupakan produksi kumulatif dari beberapa jaringan (Tucker 2000). Produksi IGF-I akut sensitif terhadap status nutrien (Prosser & Mepham 1989). Hampir sebagian besar hormon dalam aksi biologisnya mempunyai organ target. Namun, tidak demikian halnya dengan ST. Hormon ini tidak memiliki organ target yang spesifik, tetapi sebagian besar sel tubuh dapat merespons ST (Djojosoebagio 1990). Efek ST pada peningkatan produksi susu sangat kontradiktif karena pada jaringan kelenjar susu hampir tidak ditemukan reseptor untuk ST (Prosser & Mepham 1989; Akers 2002), sedangkan untuk melakukan aktivitasnya kehadiran reseptor spesifik sangat mutlak (Shahib 2001) sehingga diyakini bahwa ST tidak mempunyai efek langsung pada fungsi sel sekretori kelenjar susu (Prosser & Mepham 1989). Pernyataan tersebut didasarkan pada hasil pengamatan in vitro bahwa pemberian infus ST langsung melalui pembuluh darah arteri kelenjar susu mengakibatkan terjadi pengurangan efek ST pada jaringan kelenjar susu dan stimulasi sekresi susu. Hipotesis lain menyatakan bahwa aksi ST dimediasi oleh somatomedin, khususnya IGF-I. Pernyataan ini didasari pengamatan secara in vitro bahwa efek langsung IGF-I pada pertumbuhan kelenjar susu dan perkembangan sistem transport glukosa pada sel-sel epitel kelenjar susu diyakini sebagai aksi ST dalam kelenjar susu yang dimediasi oleh IGF-I. Bukti lain adalah bahwa konsentrasi IGF-I plasma meningkat 3 sampai 4 kali pada sapi laktasi yang diberi injeksi ST dalam
jangka
waktu singkat (short term). Peningkatan IGF-I jika dihitung
berdasarkan peningkatan aliran darah ternyata dapat mencapai 5 kali dari jumlah IGF-I yang beredar dalam kelenjar susu (Prosser & Mepham 1989). Hasil pengamatan in vivo tentang aksi IGF-I untuk meningkatkan sekresi susu pada ternak kambing, dengan cara penyuntikan IGF-I pada arteri tertutup ke dalam satu kelenjar dengan laju 1,1 ηmol/menit selama 6 jam, ternyata dapat meningkatkan laju sekresi sebesar 30 ± 5% dibandingkan dengan yang tidak mendapat infus hanya sebesar 15 ± 4% (Prosser & Mepham 1989). Konsentrasi IGF-I dalam susu telah meningkat sebesar 32 ± 22% dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan perlakuan hanya sebesar 14 ± 9%. Peningkatan jumlah sel
18
kelenjar susu dan peningkatan sekresi susu juga diamati secara in vitro ketika ternak ruminansia kecil diinfus IGF-I melalui pembuluh darah yang langsung menuju kelenjar susu (Sharma et al. 1994). Efek galaktopoietik ST mengantar peningkatan sekresi IGF-I ke dalam susu, walaupun pada puncak produksi masih terdapat dalam rentang fisiologis normal untuk ruminansia penghasil susu. Somatotropin, Metabolisme, dan Produksi Susu Penggunaan somatoropin pada sapi laktasi dapat memodifikasi hampir seluruh aspek metabolisme baik melalui pengaruh langsung atau tidak langsung (Vernon 1989). Pengaruh langsung khususnya dalam rangka penggalangan zat-zat makanan, sedangkan pengaruh tidak langsung bukan berkaitan dengan prosesproses produksi yang mungkin sebagian diperantarai oleh IGF-1. Kerja somatoropin bergantung pada keadaan fisiologis hewan percobaan. Perlakuan ST pada hewan yang sedang tumbuh akan mengakibatkan peningkatan akresi protein otot, sedangkan pada hewan laktasi menyebabkan kehilangan protein tubuh (Peel et al.1981). Glukosa merupakan prekursor laktosa utama dan hampir 80% glukosa darah pada sapi laktasi digunakan untuk sintesis laktosa. Pada ternak ruminansia, konsentrasi glukosa dalam sistem sirkulasi berasal dari ekstraksi propionat dalam hati (Baldwin & Smith 1983; Annison et al. 1984; Collier 1985). Laktosa atau gula susu adalah karbohidrat susu berupa disakarida yang tersusun dari satu molekul glukosa dan satu molekul galaktosa yang bersatu dalam ikatan karbon 1-4 sebagai β-galaktosida (Larson 1985). Kadar laktosa dalam susu relatif konstan dan dipertahankan pada kisaran yang tetap. Laktosa merupakan osmoregulator dan determinan untuk volume susu sehingga produksi susu akan sejalan dengan produksi laktosa. Jalur sintesis laktosa adalah sebagai berikut : Glukosa + ATP ------------------- (1) Æ Glukosa -6-fosfat + ADP Glukosa-6-fosfat ------------------- (2) Æ Glukosa-1-fosfat Uridine trifosfat + glukosa-1-P -- (3) Æ Uridine difosfat-glukosa + Pirofosfat Uridine difosfat glukosa ---------- (4) Æ Uridine Difosfat-galaktosa Uridine-galaktosa + glukosa ----- (5) Æ Laktosa + Uridine Difosfat
19
(1) Heksokinase (2) Fosfoglukomutase (3) Uridine difosforil glukosa pirofosforilase (4) Uridine difosforil galaktosa-4-epimerase (5) Laktosa sintetase ( terdiri atas galaktosil transferase dan α-laktalbumin) Protein susu disintesis dari asam amino yang beredar dalam darah hasil penyerapan dari saluran pencernaan maupun hasil perombakan protein tubuh. Glukosa dan beberapa sumber nitrogen diperlukan untuk sintesis asam amino di kelenjar susu ruminansia (Annison et al. 1984; Collier 1985). Sintesis lemak susu terjadi dalam sitoplasma sel-sel kelenjar susu. Pada ternak ruminansia, asetat dan β-OH butirat (hasil metabolisme asam butirat), selain untuk sumber energi juga digunakan untuk sintesis lemak di dalam kelenjar susu oleh enzim asetil KoA karboksilase (Annison et al. 1984; Collier 1985). Oksidasi glukosa melalui siklus pentosa oleh enzim glukosa 6-p dehidrogenase menghasilkan NADPH yang diperlukan untuk sintesis asam lemak di kelenjar susu. Laju sintesis komponen air susu terutama laktosa, lemak, dan protein akan semakin berkurang jika ketersediaan substrat di kelenjar susu semakin sedikit sehingga dalam keadaan seperti ini sejumlah besar cadangan zat-zat makanan akan dimobilisasi untuk mempertahankan produksi susu (Bines & Hart 1982). Neraca nutrien negatif akan terjadi bila tingkat konsumsi tidak memenuhi kebutuhan untuk sintesis susu, dan keadaan ini sering dijumpai pada awal laktasi karena hampir 65% sampai 83% dari metabolisme energi akan diubah untuk sintesis susu selama laktasi (Gardner & Hogue 1985). Hasil mobilisasi asam lemak menyebabkan penumpukan asetil KoA yang tak dapat memasuki siklus asam sitrat sehingga akan diubah menjadi benda-benda keton seperti aseton, β-OH butirat, maupun asetoasetat sebagai hasil kondensasi 2 molekul asetil KoA (Foot et al. 1984). Pada ternak yang berada dalam neraca nitrogen negatif akan terjadi katabolisme protein yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi nitrogen urea darah (Peel et al. 1981). Produksi susu merupakan fungsi jumlah sel-sel sekretoris yang aktif dan aktivitas metabolik kelenjar susu sehingga tingkat produksi susu selama laktasi
20
hanya akan bergantung pada jumlah sel-sel sekretoris yang aktif dan tersedianya subtrat (zat-zat makanan) untuk sintesis komponen air susu (Davis & Collier 1983). Lebih lanjut dikemukakan Sumaryadi & Manalu (1996) bahwa dengan meningkatkan aliran substrat, sel-sel sekretoris akan lebih aktif sehingga keadaan tersebut diduga akan dapat memperlambat laju involusi sel-sel sekretoris. Proses modulasi aliran substrat ke kelenjar susu sangat ditentukan oleh konsentrasi substrat dan laju aliran darah ke kelenjar susu. Substrat atau zat-zat makanan yang berada dalam sistem sirkulasi berasal dari penyerapan dari sistem saluran pencernaan (Davis & Collier 1983) dan mobilisasi cadangan energi tubuh (Collier 1985; Vernon 1989), yang selanjutnya masuk ke dalam sel-sel sekretori dengan sistem transportasi melalui pengaturan hormonal. Hormon-hormon metabolisme, melalui pengaktifan beberapa enzim pada saat laktasi, akan meningkatkan aktivitas sintesis komponen susu dalam sel-sel sekretoris yang telah siap bersama semua perangkat enzimnya untuk merangkai substrat berupa glukosa, asam amino, asam lemak, dan gliserol secara berturut menjadi laktosa, protein (kasein), dan lemak untuk menghasilkan susu (Anderson 1985). Penggunaan bST dalam memacu produksi akan menyebabkan terjadinya adaptasi metabolik yang sangat dinamis dan sangat variatif sesuai dengan status hewan yang bersangkutan. Koordinasi antarjaringan dalam regulasi homeorhetik stimulasi bST pada sintesis susu dapat dilihat pada Gambar 3. Kehadiran reseptor ST pada hati (Pocious & Herbein 1986) menyebabkan pemberian ST akan berpengaruh langsung pada metabolisme glukosa, dan ST pada situasi ini mampu bekerja mirip insulin, khususnya dalam meningkatkan glukosa darah, sementara dalam keadaan lain ST akan bersifat antiinsulin dengan cara mengurangi glukosa dengan mengorbankan cadangan lemak (Manalu 1994). Perlakuan bST akan menyebabkan perubahan dalam metabolisme karbohidrat karena terjadinya peningkatan kebutuhan glukosa yang tinggi untuk sintesis susu. Dengan demikian, terjadi peningkatan produksi glukosa hati dan terjadi penurunan oksidasi oleh jaringan tubuh dalam upaya meningkatkan glukosa untuk sintesis susu. Pada hewan ruminan, produk fermentasi rumen adalah volatile fatty acid (VFA) dan hanya sedikit persentase (15%) pada glukosa darah yang berasal dari makanan. Suplai glukosa tubuh dipenuhi melalui
21
glukoneogenesis hati yang mana produksinya dapat bertambah 3 kg/hari pada sapi laktasi yang tinggi.
JARINGAN TUBUH PENGAMBILAN GLUKOSA OKSIDASI ASAM AMINO UNTUK ENERGI
GLUKOSA NEFA ASAM AMINO
HATI GLUKONEOGENESIS
GUDANG LEMAK PENGAMBILAN GLUKOSA DAN ASETAT LIPOGENESIS SELAMA NERACA ENERGI POSITIF LIPOLISIS SELAMA NERACA ENERGI NEGATIF GLUKOSA DARI GLISEROL MELALUI LIPOLISIS
KELENJAR SUSU ALIRAN DARAH SINTESIS SUSU PENGAMBILAN GLUKOSA DAN SINTESIS LAKTOSA PENGGUNAAN NEFA UNTUK SINTESIS LEMAK SUSU PENGGUNAAN ASAM AMINO UNTUK PROTEIN SUSU PEMELIHARAAN JUMLAH SEL SEKRETORI
Gambar 3 Koordinasi antarjaringan dalam adaptasi metabolik pada sapi laktasi yang diinjeksi bST (Aker 2002) Pada sapi yang mendapat injeksi bST akan terjadi peningkatan glukoneogenesis hati, yang paling tidak menjelaskan kemampuan antiinsulin untuk menghambat glukoneogenesis. Glukosa akan digunakan sebagai substrat untuk sintesis laktosa di dalam kelenjar susu, dan
pada sapi laktasi dengan
produksi yang tinggi hampir mendekati 85% total glukosa digunakan untuk sintesis susu. Injeksi bST dapat meningkatkan pemanfaatan netto glukosa pada jaringan kelenjar susu dan menurunkan penggunaan glukosa pada jaringan nonkelenjar susu. Adaptasi metabolik ini cukup untuk memenuhi kebutuhan glukosa untuk sintesis susu (Akers 2002). Menurut Cohick et al. (1989) bahwa pada ruminansia, peningkatan kehilangan karbon secara irrevesibel mempunyai implikasi peningkatan glukosa, terutama oleh hati. Dalam jangka pendek (yaitu dalam tempo beberapa jam)
22
peningkatan ini bisa disebabkan oleh peningkatan glikogenolisis, akan tetapi dalam tempo beberapa hari keadaan itu pasti disebabkan oleh glukoneogenesis. Beberapa hormon yang terlibat dalam metabolisme dalam tubuh adalah tiroksin, insulin, prolaktin, dan somatotropin (McDonald & Pineda 1980; Collier 1984; Bauman et al. 1985) dan beberapa hormon yang turut andil dalam metabolisme mineral dalam penyediaan aliran mineral ke kelenjar susu di antaranya, paratiroid, kalsitonin, dan vitamin D (McDonald & Pineda 1980; Collier et al. 1984; Tucker 1985). Tiroksin (triiodotironin dan tetraiodotironin) berperan sangat vital dalam penyediaan energi ATP (McDonald & Pineda 1980; Ultiger 1987) bagi perakitan glukosa, asam amino, asam lemak, dan gliserol menjadi glikogen, protein, dan lemak. Hormon tiroksin telah diketahui dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme pada kelenjar susu (Sumaryadi & Manalu 1995b). Kortisol berfungsi dalam memobilisasi glukosa, asam amino, dan asam lemak untuk tujuan sintesis pada jaringan dan menghambat penggunaan zat-zat makanan untuk tujuan oksidasi dalam sel (McDonald & Pineda 1980; Manalu & Sumaryadi 1995b) dengan merombak cadangan energi tubuh yang akan dibebaskan ke dalam sistem sirkulasi untuk mendukung proses sintesis di kelenjar susu (Annison et al. 1984). Insulin mempunyai peran dalam mengangkut glukosa, asam amino, dan asam lemak ke dalam sel (Bines & Hart 1982). Namun, insulin tidak memiliki reseptor pada sel-sel kelenjar susu sehingga tidak menunjukkan pengaruh pada pengangkutan substrat ke dalam sel-sel sekretoris kelenjar susu (Manalu 1994). Prolaktin sangat spesifik dan selalu dikaitkan dengan produksi susu, namun berperan hanya sebatas mengaktifkan (menginisiasi) bukan memelihara atau mempertahankan sintesis air susu (Forsyth 1986).
Somatotropin, Kesehatan Ternak, dan Keamanan Pangan Sebelumnya telah diramalkan bahwa penggunaan bST akan menimbulkan pengaruh yang membahayakan bagi kesehatan sapi yang mengakibatkan permasalahan ketosis, milk fever, dan “burn-out” (Manalu 2001). Injeksi bST pada sapi perah menunjukkan terjadinya perubahan metabolisme dalam tubuh, yang disebabkan mekanisme pengaturan metabolisme
23
seiring dengan peningkatan produksi (Akers 2002). Peningkatan pengaliran subtrat ke kelenjar susu membawa konsekuensi peningkatan aliran darah, namun selama penggunaan bST ini tidak nyata berpengaruh pada pengukuran klinis seperti suhu tubuh ataupun pernapasan (Eppard et al. 1987; Manalu et al. 1991), tapi denyut nadi tampak sedikit meningkat khususnya pada pemakaian dosis tinggi (Soderholm et al. 1988). Perubahan-perubahan kimia darah yang terjadi selama perlakuan bST umumnya berkaitan dengan peningkatan produksi dan tetap berada dalam kisaran normal yang dapat diterima secara klinis. Angka hemoglobin dan nilai hematokrit termasuk dalam kategori ini, dan kelihatannya penurunan tersebut terlalu kecil untuk menggambarkan anemia fungsional (Manalu 1994). Dari hasil beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika, pemakaian hingga dosis 40,5 mg/hari tidak menunjukkan kejadian mastitis (Manalu 1994). Injeksi bST secara berlebihan dapat mendorong terjadinya pemakaian lemak yang berlebihan sehingga menghasilkan asam asetoasetat dalam hati yang akan dikeluarkan ke dalam cairan tubuh dan menyebabkan terjadinya penyakit metabolik seperti ketosis (Harjopranjoto 2001). Injeksi bST tidak menghasilkan pengaruh yang konsisten pada kejadian mastitis klinis atau hitungan sel somatis (Phipps 1989). Pada suatu percobaan selama dua tahun di U.K, hitungan sel somatis untuk kontrol dan sapi perlakuan lebih rendah dibandingkan rata-rata kejadian secara nasional (Phipps 1989). Bahkan, bovine somatotropin (bST) secara positif bisa mempengaruhi pemulihan fungsi kelenjar susu setelah kejadian mastitis (Phipps 1989). Hasil penelitian dari Cornell University menunjukkan bahwa sapi-sapi yang diinjeksi bST setiap hari, mulai hari ke-84 sampai hari ke-272 postpartum, ternyata tidak menunjukkan adanya gangguan pada kesehatan maupun status reproduksi (Hariadi et al. 2001). Lebih lanjut diungkapkan bahwa hasil tersebut di atas diperoleh dari sapi-sapi yang dikelola dengan baik, namun sampai sejauh mana injeksi bST bila diberikan pada sapi-sapi yang dikelola secara sederhana masih belum diketahui (Hariadi et al. 2001). Hasil diskusi The Standing Senate Committee on Agriculture and Forestry, Canada pada tahun 1999 yang dikutip Soeharsono (2001) menyatakan bahwa penggunaan bST dapat meningkatkan produksi hingga 10% namun akan
24
menyebabkan adanya metabolit IGF-I yang disebut miotropin pada susu yang dapat menyebabkan mastitis pada sapi perah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa penyuntikan bST/rbGH di California (sebelum tahun 1995) dapat menurunkan harapan hidup sapi perah, meningkatkan risiko penyakit, penurunan bobot hidup, kadang-kadang menyebabkan sapi jadi infertile dan lebih peka terhadap mastitis. Dampak injeksi bST pada keamanan pangan sudah banyak dipublikasikan, namun masih menyisakan kontroversi di antara peneliti. Injeksi bST pada sapi perah dapat meningkatkan produksi susu secara tajam, namun bagaimana pengaruhnya pada orang yang mengkonsumsi produk susu tersebut masih perlu kajian lebih lanjut. Kandungan hormon, faktor pertumbuhan, dan peptida lainnya telah banyak diteliti. Konsentrasi ST pada susu sapi hampir sama dengan susu manusia masing-masing kurang dari 1 ηg/mL. Konsentrasi IGF-I, suatu mediator untuk aksi ST berkisar antara 1,5 sampai 8 ηg/mL pada susu sapi dan 1 sampai 3 ηg/mL pada susu manusia, konsentrasi tersebut akan meningkat pada penggunaan bST antara 2 sampai 5 ηg/mL, sedangkan konsentrasi IGF-II tidak meningkat (Budinuryanto 2001). Lebih lanjut diungkapkan adanya kontroversi antarpeneliti, khususnya yang berkaitan dengan jumlah IGF-I dan kanker. Insulinlike growth factor I dan II diidentifikasi merupakan regulator pertumbuhan autokrin dan endokrin yang ikut memacu berbagai karsinoma. Insulin- like growth factor I (IGF-I) memainkan peranan sangat penting pada proliferasi sel kanker pankreas, serta berperan dalam metabolisme glukosa dalam tumor, bahkan pasteurisasi yang menginaktifkan dan merusak bST tidak mempengaruhi IGF-I. Berkaitan dengan dugaan sebagian peneliti bahwa bST yang diberikan secara oral akan tercerna dalam traktus digestivus dan tidak terabsorbsi, dan tidak masuk ke pembuluh darah, namun peneliti lainnya berpendapat bahwa IGF-I tidak rusak, kandungan kasein akan melindungi IGF-I dan selanjutnya diabsorbsi dan masuk ke dalam darah.