0DQDMHPHQGDQ.LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
PROSPEK PENGEMBANGAN SAPI PERAH DI INDONESIA Bambang Sudaryanto dan Agus Hermawan
PENDAHULUAN Wawasan pembangunan peternakan sapi perah dipandang sebagai industri biologis yang dikendalikan oleh manusia dengan 4 aspek (Soehadji, 2009) yaitu: (1) peternak sebagai subjek pembangunan yang harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya, (2) ternak sebagai objek pembangunan yang harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya, (3) lahan sebagai basis ekologi pendukung pakan dan budidaya yang harus diamankan, dan (4) teknologi sebagai alat untuk mencapai sasaran pembangunan peternakan. Menurut Subandriyo dan Adiarto (2009), ciri usaha peternakan sapi perah rakyat adalah: (1) skala usaha kecil, motif produksi rumah tangga, (2) dilakukan sebagai usaha sambilan (VXEVLVWHQFH), (3) menggunakan teknologi sederhana, (4) bersifat padat karya dan berbasiskan pada anggota keluarga, dan (5) kualitas produknya bervariasi. Pengembangan usaha industri sapi perah di Indonesia mempunyai prospek strategis untuk pembangunan sumber daya manusia (Bamualim, 2009). Lebih lanjut Bamualim (2009) melaporkan bahwa pemerintah telah berupaya keras untuk meningkatkan produksi dan produktivitas susu sapi, yang sebagian besar dari Peternakan Sapi Perah Rakyat (PSPR). Ironisnya, 70 % kebutuhan susu yang pada tahun 2005 saja sudah mencapai 1,3 juta ton harus diimpor dari manca negara karena produksi domestik baru mencapai 0,4 juta ton (Kusmaningsih HW DO., 2008). Selanjutnya beliau menangkap suatu indikasi meningkatnya gairah masyarakat Jawa Tengah (Jateng) untuk bangkit kembali melakukan budidaya sapi perah sebagai dampak kenaikan harga susu internasional. Pada kesempatan yang sama beliau juga menyatakan bahwa dari tahun 2002 hingga 2003 populasi sapi perah di Jawa Tengah berkurang drastis (berkurang sekitar 8.000 ekor), dan kemudian sampai tahun 2006 meningkat lamban atau cenderung stagnan. Perkembangan menarik yang dilaporkan DPKH Provinsi Jateng (2012) adalah populasi sapi perah di Jateng sejak tahun 2007-2011 bertambah dari 115.158 ekor menjadi 149.931 ekor dan meningkatkan produksi susu sekitar 6.723.382 liter/tahun sehingga secara global kenaikan ini tampak bermakna. Walaupun demikian, berdasarkan data tersebut estimasi produksi susu sapi perah individual di Jawa Tengah ternyata sangat rendah (bervariasi antara 5,83 – 6,62 liter/ekor/hari) bila dibandingkan dengan potensi produksinya (>15 liter/ekor/hari).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
261
3URVSHN3HQJHPEDQJDQ6DSL3HUDKGL,QGRQHVLD
Agribisnis sapi perah sebagai salah satu usahatani dengan produksi susu selama ini berkembang dengan lamban. Hal ini disebabkan rendahnya keuntungan yang diperoleh para peternak. Menurut Priyanti HW DO (2009) hasil analisis menunjukkan harga pokok produksi susu atau titik impas di tingkat peternak sudah mencapai Rp. 2.200,-/liter jika produksi per ekor adalah 13 liter/hari. Oleh sebab itu, untuk memacu perkembangan agribisnis sapi perah harus dapat meningkatkan keuntungan yang diterima peternak. Untuk itu, diperlukan suatu tuntutan bagi setiap peternak sapi perah agar diperoleh usaha agribisnis yang efisien dan ekonomis sehingga dapat meningkatkan keuntungan (Djaja HWDO, 2009). Kelembagaan peternak bedasarkan sifatnya, dapat dibedakan antara kelembagaan sosial budaya (QRW SURILW RUJDQL]DWLRQ dan kelembagaan yang bersifat ekonomi (Firman dan Tawaf, 2008). Kelembagaan sosial budaya biasanya organisasinya tidak terstruktur dengan mapan sebagai contoh adalah "gotong royong" dan arisan. Kelembagaan ekonomi yang berkembang di pedesaan antara lain koperasi. Mempertimbangkan informasi di atas dapat ditegaskan bahwa terdapat peluang untuk meningkatkan produksi sapi perah yang seharusnya segera dapat diwujudkan. Meskipun kualitas genetik sangat menentukan tingkat produksi ternak, tetapi dalam waktu yang relatif sempit perbaikan pengelolaan pemeliharaan sapi perah termasuk pakan, reproduksi, kebersihan ternak dan kandang, serta perlakuan terhadap hewan (DQLPDOZHOIDUH) tampaknya akan lebih mudah diterapkan.
PERKEMBANGAN INDUSTRI SUSU DAN PRODUK TURUNANNYA Sejak jaman dahulu manusia telah menggunakan susu sebagai bahan pangan. Manusia mengambil susu dari hewan yang memiliki kelenjar susu, seperti sapi, kuda dan domba. Masyarakat Indonesia sendiri baru mengenal susu sapi dari para penjajah Hindia Belanda pada abad ke 18. Tidak mengherankan apabila konsumsi susu sapi masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Tren permintaan susu nasional diperkirakan akan terus meningkat. Kebutuhan susu nasional terus naik lantaran pertumbuhan populasi dan makin membaiknya kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi, khususnya protein hewani (Agrina, 2014). Selain itu, bertambahnya pendapatan rumah tangga akan mendorong peningkatan konsumsi susu masyarakat sebagai sumber protein hewani. Tren peningkatan konsumsi susu penduduk Indonesia dapat diihat pada (Gambar 1). Walaupun sempat mengalami penurunan konsumsi pada medio pertengahan tahun 1990-an yang dipicu oleh krisis ekonomi, secara berangsur-angsur konsumsi susu kembali meningkat mengikuti tren awalnya. Data Pusdatin (2013) juga menunjukkan adanya tren peningkatan konsumsi susu. Pada tahun 2008 konsumsi susu per kapita per tahun penduduk Indonesia adalah 9,51 kg. Angka konsumsi susu nasional menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2011 konsumsi susu penduduk Indonesia sempat mencapai
262
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
0DQDMHPHQGDQ.LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
angka 14,26 kg/kapita/tahun, tetapi pada tahun berikutnya kembali menurun menjadi 11,01 kg/kapita/tahun. Konsumsi susu Indonesia tersebut jauh di bawah negara lain. Malaysia, misalnya, tingkat konsumsi susu segarnya telah mencapai 36,2 kg, sementara Thailand 22,2 kg/kapita/tahun dan Philipina 17,8 kg/kapita/tahun (REPUBLIKA, 2 Juni 2014). Produk susu yang dikonsumsi masyarakat tidak terbatas pada susu segar, tetapi juga produk susu yang telah diolah menjadi berbagai bentuk turunan. Kajian profil konsumsi susu di Indonesia menunjukkan bahwa susu segar hanya memberikan kontribusi sebesar 17,9% dari total konsumsi susu nasional, sisanya sebesar 82,1% merupakan konsumsi susu bubuk (Tawaf HWDO, 2009). Sejalan dengan perkembangan teknologi, jenis susu yang dikonsumsi masyarakat menjadi semakin beragam. Dalam lima tahun terakhir, susu dan produk turunan yang paling banyak diminta adalah susu kental manis, disusul oleh susu cair pabrik dan susu bayi (Tabel 1).
Gambar 1. Konsumsi susu segar dan produk turunan susu penduduk Indonesia tahun 1961-2011 (Sumber: FAOSTAT, data diolah)
Tabel 1. Konsumsi Produk Turunan Susu Per Kapita di Indonesia, 2009-2012 2009
2010
2011
2012
2013
1 Susu Murni (Liter)
0,10
0,10
0,16
0,16
0,10
2 Susu Cair Pabrik (250 ml)
0,83
0,94
1,15
1,46
1,46
3 Susu Kental Manis (397 gr)
3,02
3,34
3,29
2,71
3,02
4 Susu Bubuk (Kg)
0,73
0,78
0,73
0,37
0,73
5 Susu Bubuk Bayi (400 gr)
1,20
1,20
1,36
1,41
1,41
6 Keju (Ons)
0,05
0,05
0,10
0,10
0,05
0,31
0,37
0,37
0,42
0,21
7 Hasil Lain dari Susu (Ons) Sumber: FAOSTAT, data diolah
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
263
3URVSHN3HQJHPEDQJDQ6DSL3HUDKGL,QGRQHVLD
Diferensiasi produk susu yang diminta masyarakat juga tergambar dari impor susu dan produk turunannya yang semakin beragam (Gambar 2). Jika diperhatikan lebih mendalam, masyarakat kita kurang menyukai untuk mengkonsumsi susu segar dibandingkan dengan susu olahan. Secara konsisten, produk susu yang banyak diimpor dari waktu ke waktu adalah susu bubuk. Volume produk susu yang diimpor untuk mencukupi kebutuhan masyarakat semakin meningkat dari waktu ke waktu, misalnya, pada tahun 2006 ke 2010 terjadi peningkatan kebutuhan sekitar 64,95%. Impor susu dari beberapa negara dilakukan karena produksi dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan, walaupun berbagai upaya peningkatan produksi sudah dilaksanakan oleh pemerintah. Gap antara produksi dalam negeri dengan kebutuhan riil masyarakat dapat dilihat pada (Gambar 3). Upaya yang dilaksanakan memang dapat meningkatkan produksi. Namun demikian peningkatan produksi susu domestik tidak dapat mengejar laju peningkatan permintaan susu yang dipenuhi dari impor. Kesenjangan kapasitas produksi dan permintaan susu dan produk turunannya terus meningkat dari waktu ke waktu. Kusmaningsih HWDO., (2008) menyatakan bahwa pada tahun 2005 kebutuhan produk susu Indonesia mencapai 1,3 juta ton. Dari jumlah kebutuhan susu Indonesia tersebut, 70% diantaranya harus diimpor dari manca negara karena produksi domestik baru mencapai 0,4 juta ton. Soehadji (2009) menyatakan bahwa setelah kenaikan produksi susu yang cepat pada periode 19791984, sampai dengan tahun 2007 dengan produk nasional 1,2 juta liter/hari kontribusi susu dalam negeri hanya 25% dari kebutuhan. Di tengah-tengah impor susu dan produk turunannya yang terus meningkat, sebenarnya sejak akhir tahun 1980an, Indonesia juga telah mengekspor produk susu dan turunannya ke berbagai negara (Gambar 4). Namun demikian volume dan nilai ekspor produk susu ini masih jauh dari volume dan nilai impornya, sehingga pada hakekatnya Indonesia merupakan QHWLPSRUWHU susu.
Gambar 2. Impor susu dan produk turunan susu ke Indonesia tahun 1961-2011 (Sumber: FAOSTAT, data diolah).
264
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
0DQDMHPHQGDQ.LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
Gambar 3. Produksi dan penyediaan susu Indonesia, 1961-2012 (Sumber: FAOSTAT: data diolah).
Gambar 4.
Ekspor susu dan produk turunan susu Indonesia, 1961-2011 (Sumber: FAOSTAT, data diolah)
Sebagaimana halnya dengan komoditas lain, secara umum importasi susu dan produk turunannya dimungkinkan oleh adanya disparitas harga susu di pasar internasional dan di pasaran domestik. Perkembangan harga susu Indonesia, New Zealand, dan Australia sebagai negara pengekspor susu dan harga susu di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
265
3URVSHN3HQJHPEDQJDQ6DSL3HUDKGL,QGRQHVLD
Gambar 5. Perkembangan harga susu segar di Indonesia, Australia, dan Selandia Baru, 1991-2011 (Sumber: FAOSTAT, data diolah).
Hampir di sepanjang waktu, harga susu Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Australia dan Selandia Baru. Hanya pada tahun 1998 harga susu Indonesia di bawah dua negara tersebut karena terjadinya pelemahan rupiah yang ekstrim terhadap dolar sebagai akibat krisis ekonomi. Pada tahun 2008, disparitas harga susu Indonesia terhadap Australia (446,3 US$/ton vs 404,3 US$/ton) dan Selandia Baru (446,3 US$/ton vs 444,9 US$/ton) merupakan yang paling rendah. Hal ini dipicu oleh terjadinya krisis pangan dunia. Krisis pangan dunia pada tahun 2008 telah menyebabkan tergoncangnya harga susu. Walaupun fluktuasi harga susu yang tinggi tampaknya masih akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan akibat terjadinya perubahan iklim global, namun demikian terdapat kecenderungan bahwa harga susu di pasar internasional terus mengalami peningkatan. Komparasi antara nilai ekspor dan impor susu dan produk turunan Indonesia diperlihatkan pada Gambar 6. Nilai importasi Indonesia atas produk susu dan turunannya yang terus meningkat akan menguras devisa negara. Nilai impor susu dan produk turunannya sempat turun pada tahun 2009 sehingga mencapai 946,4 juta US$. Pada tahun-tahun berikutnya impor kembali naik. Pada tahun 2011 nilai impor mencapai 1.838 juta US$ dan sementara ekspor hanya mencapai 123,5 juta US$. Dengan demikian nilai devisa Indonesia yang terkuras untuk susu dan produk turunanya mencapai 1.714,6 juta US$. Berdasarkan data dan informasi, kesenjangan antara produksi susu dan penyediaan dari tahun ke tahun semakin melebar. Untuk memperkecil gap tersebut, diperlukan upaya untuk meningkatkan produksi dalam negeri dengan cara meningkatkan produktivitas dan menambah populasi sapi perah sebagai penghasil susu utama.
266
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
0DQDMHPHQGDQ.LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
Gambar 6. Perkembangan nilai ekspor dan impor susu dan produk turunannya di Indonesia, 1961-2011 (Sumber: FAOSTAT, data diolah).
PERKEMBANGAN USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH Perkembangan sapi perah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah yang berawal dari kebijakan pemerintah zaman Hindia Belanda. Seiring dengan berjalannya waktu, dunia persusuan di Indonesia dibagi menjadi tiga tahap, yaitu Tahap I (periode sebelum tahun 1980) disebut fase perkembangan sapi perah, Tahap II (periode 1980 – 1997) disebut periode peningkatan populasi sapi perah, dan Tahap III (periode 1997 sampai sekarang) disebut periode stagnasi. Pada Tahap I, usaha peternakan sapi perah pada awalnya ditumbuhkan untuk memenuhi kebutuhan orang Belanda di Indonesia. Pada mulanya usaha sapi perah diusahakan oleh warga non pribumi dan diperkirakan baru tahun 1925 berdiri perusahaan sapi perah pertama (Prawirokusuma, 1979 GDODP Subandriyo dan Ardiarto, 2009). Sampai dengan tahun 1980an, perkembangan peternakan sapi perah dirasakan masih cukup lambat karena usaha ini masih bersifat sampingan oleh para peternak. Pada tahap II, pemerintah melakukan upaya pengembangan secara intensif dan terencana untuk meningkatkan produksi dalam negeri dengan 3 paket kebijakan, yaitu : (1) pemerintah melakukan impor sapi perah secara besar-besaran pada awal tahun 1980-an, yang bertujuan untuk merangsang peternak agar lebih meingkatkan produksi susu sapi perahnya, (2) melakukan program Inseminasi Buatan (IB) untuk meningkatkan mutu genetik dan meningkatkan populasi, dan (3) perbaikan manajemen melalui paket kredit (Menmuda, Koperasi, PUSP, Banpres, PIR dan MEE).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
267
3URVSHN3HQJHPEDQJDQ6DSL3HUDKGL,QGRQHVLD
Kebijakan tersebut diikuti keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri (Perdagangan dan Koperasi, Perindustrian, dan Pertanian) pada tahun 1982, dan dimantapkan dengan INPRES No. 2 tahun 1985 tentang Industri Pengolahan Susu (IPS) wajib menyerap susu produksi peternakan sapi perah rakyat, terkenal dengan bukti serap susu (BUSEP). Berbagai kebijakan tersebut di atas telah dinilai berhasil dengan indikator: (1) populasi sapi perah meningkat dari 94.000 ekor menjadi 325.000 ekor, dengan jumlah impor 125.000 ekor, (2) produksi susu meningkat dari 25.000 ton menjadi 382.000 ton, (3) rasio impor susu dibanding produksi dalam negeri menurun dari 20:1 menjadi 2:1, (4) jumlah koperasi susu meningkat dari 11 menjadi 201 buah, dan (5) IPS yang semula masih berupa UHSDFNLQJVXVXUHFRPELQH menjadi industri ILQLVKHGSURGXFW. Pada tahun 1988 BUSEP dihapus, dan sejak itu peternak sapi perah menghadapi banyak tantangan. Hal ini tercermin hingga 2007 kontribusi susu dalam negeri hanya 25 persen dengan produk nasional 1,2 jt liter/hari, setelah kenaikan produksi susu yang cepat pada periode 1979-1984 (Soehadji, 2009). Sejak 1998, posisi tawar peternak terhadap IPS sangat lemah, apalagi dalam menghadapi persaingan global. Selain itu, peningkatan populasi sapi perah ditunjang oleh permintaan produk olahan susu yang semakin meningkat dari masyarakat. Di samping itu, pemerintah mencoba melalukan proteksi terhadap peternak rakyat dengan mengharuskan Industri Pengolahan Susu (IPS) untuk menyerap susu dari peternak. Pada tahap III, populasi sapi perah mengalami penurunan dan stagnasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh kejadian krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Di samping itu, pemerintah mencabut perlindungan terhadap peternak rakyat dengan menghapus kebijakan rasio susu impor dan susu lokal terhadap IPS (Inpres No.4/1998). Kebijakan ini sebagai dampak adanya kebijakan global menuju perdagangan bebas hambatan (EDUULHU). Berdasarkan kebijakan tersebut, maka peternak harus mampu bersaing dengan produk susu dari luar negeri, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Seiring dengan perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia, berbagai permasalahan persusuan pun semakin bertambah pula, baik permasalahan dari sisi peternak, koperasi, maupun dari industri pengolahan susu. Sejak dilakukan impor sapi perah secara besar-besaran dari Australia dan Selandia Baru pada awal tahun 1980-an, ternyata produktivitas usaha ternak rakyat masih tetap rendah dan seolah jalan di tempat, karena manajemen usaha ternak dan kualitas pakan yang diberikan sangat tidak memadai. Memperbaiki manajemen peternakan rakyat merupakan problema yang cukup komplek, tidak hanya merubah sikap peternak tetapi juga bagaimana menyediakan stok bibit yang baik dan bahan pakan yang berkualitas dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan. Dampaknya terlihat pada rendahnya kualitas susu yang ditunjukkan oleh tingginya kandungan bakteri (7RWDO 3ODWH &RXQW=TPC), rata-rata di atas 10 juta/cc. Padahal, yang direkomendasikan harus di bawah 1 juta/cc. Di sisi lain, nilai 7RWDO6ROLG (TS) masih di bawah rata-rata, yaitu di bawah 11,3%. Dengan kata lain, permasalahan
268
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
0DQDMHPHQGDQ.LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
yang terjadi di tingkat peternak adalah tingkat kualitas susu yang dihasilkan masih sangat rendah, belum sesuai dengan persyaratan SNI 01-3141-1998 ( Murti, HW DO 2009), baik dari sisi total bakteri (TPC) ataupun 7RWDO6ROLG(TS). Pengembangan industri sapi perah di Indonesia dipandang mempunyai prospek strategis bagi pembangunan sumber daya manusia (Bamualim, 2009) karena merupakan penghasil susu sebagai sumber protein hewani. Wawasan pembangunan peternakan sapi perah dipandang sebagai industri biologis yang dikendalikan oleh manusia dengan 4 aspek (Soehadji, 2009), yaitu: (1) peternak sebagai subjek pembangunan yang harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya, (2) ternak sebagai objek pembangunan yang harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya, (3) lahan sebagai basis ekologi pendukung pakan dan budidaya yang harus diamankan, dan (4) teknologi sebagai alat untuk mencapai sasaran pembangunan peternakan. Menyadari nilai strategis pengembangan usaha sapi perah, pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan produksi dan produktivitas susu sapi (Bamualim, 2009), yang sebagian besar berasal dari Peternakan Sapi Perah Rakyat (PSPR). Menurut Subandriyo dan Adiarto (2009), ciri usaha peternakan sapi perah rakyat adalah: (1) skala usaha kecil, motif produksi rumah tangga, (2) dilakukan sebagai usaha sambilan (VXEVLVWHQFH), (3) menggunakan teknologi sederhana, (4) bersifat padat karya dan berbasiskan anggota keluarga, dan (5) kualitas produknya bervariasi. Perlu diketahui bahwa usaha peternakan sapi perah tidak secara merata menyebar di Indonesia. Tabel 2 menampilkan sebaran populasi sapi perah di Indonesia berdasarkan survei nasional tahun 2011 menurut kepulauan. Usaha sapi perah berpusat di Pulau Jawa (99,21%). Menurut provinsi, populasi sapi perah terbesar adalah Jawa Timur sekitar 296,3 ribu ekor atau 49,61 persen dari total populasi sapi perah Indonesia. Provinsi lain yang memiliki populasi sapi perah cukup besar adalah Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing 149,9 ribu ekor atau 25,11 persen dan 140 ribu ekor atau 23,44 persen dari total populasi sapi perah Indonesia. Sementara itu beberapa provinsi Tabel 2. Populasi Sapi Perah di Indonesia Menurut Pulau 2011. Populasi
Pulau
(ekor)
Sumatera Jawa Bali+Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku+Papua Jumlah
(%)
2.388 592.436 194 365 1.741
0,40 99,21 0,03 0,06 0,29
11
0,00
597.135
100,00
Sumber:Pusdatin 2013, Statistik Pertanian 2013
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
269
3URVSHN3HQJHPEDQJDQ6DSL3HUDKGL,QGRQHVLD
seperti Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat tidak dijumpai sama sekali sapi perah (PSPK, 2011). Selama 2005–2009, trend pertumbuhan populasi sapi perah di Jawa Barat meningkat 5,72 persen, di Jawa Tengah meningkat 3,86 persen, dan di Jawa Timur meningkat 15,61 persen. Sangat menarik bahwa walaupun Jawa Tengah pertumbuhan populasi sapi perahnya terendah, tetapi pertumbuhan produksi susu segarnya mencapai 18 persen, jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan di Jawa Barat dan Jawa Timur yang hanya tumbuh masing-masing sebesar 4 persen dan 9 persen (Direktorat Ternak Budidaya Ruminansia, 2010). Harga susu hasil usaha sapi perah merupakan daya tarik bagi peternak untuk meningkatkan usahanya. Hal ini misalnya disampaikan oleh Kusmaningsih HWDO., (2008) bahwa terdapat indikasi meningkatnya gairah masyarakat Jawa Tengah untuk bangkit kembali melakukan budidaya sapi perah sebagai dampak kenaikan harga susu internasional. Dikemukakan oleh Kusmaningsih HWDO., (2008) bahwa dari tahun 2002 hingga 2003 populasi sapi perah di Jawa Tengah berkurang drastis (berkurang sekitar 8.000 ekor), dan kemudian sampai tahun 2006 meningkat lamban atau cenderung stagnan. Perkembangan yang menggembirakan dilaporkan oleh DPKH Provinsi Jateng (2012) bahwa populasi sapi perah di Jawa Tengah selang kurun waktu 2007-2011 meningkat dari 115.158 ekor menjadi 149.931 ekor, sehingga meningkatkan produksi susu sebanyak 6.723.382 liter/tahun. Kenaikan produksi susu ini sehingga secara nasional tampak bermakna. Namun demikian, estimasi produksi susu sapi perah individual di Jawa Tengah ternyata sangat rendah (bervariasi antara 5,83 – 6,62 liter/ekor/hari) bila dibandingkan dengan potensi produksinya (>15 liter/ekor/hari).
Gambar 7.
270
Perkembangan populasi Sapi Perah di Indonesia (Sumber: Direktorat Ternak Budidaya Ruminansia, 2010)
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
0DQDMHPHQGDQ.LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
Menurut Agrina (2014), situasi populasi sapi perah di Indonesia dalam lima tahun terakhir tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Bahkan dalam dua tahun terakhir, banyak peternak menjual sapi perahnya sebagai sapi potong. Penyebabnya antara lain harga susu segar tak kunjung meningkat, sementara harga pakan makin mencekik. Di sisi lain, harga daging sapi sangat menggiurkan, bahkan dipercaya termahal di dunia, karena pernah mencapai Rp 140.000/kg. Sampai sekarangpun harga referensi yang pernah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 76.000/kg tidak tercapai. Harga daging sapi hingga saat ini relatif stagnan pada kisaran Rp 85.000/kg. Seorang profesional budidaya sapi perah di Bandung, memperkirakan, Indonesia kehilangan 40 persen dari populasi sapi laktasi dalam dua tahun terakhir. Diperkirakan kontribusi produksi susu domestik terhadap pemenuhan kebutuhan susu nasional tinggal 10 persen. Mempertimbangkan informasi di atas dapat ditegaskan bahwa terdapat peluang untuk meningkatkan produksi sapi perah yang seharusnya segera dapat diwujudkan. Meskipun kualitas genetik sangat menentukan tingkat produksi ternak, tetapi dalam waktu yang relatif sempit perbaikan pengelolaan pemeliharaan sapi perah termasuk pakan, reproduksi, kebersihan ternak dan kandang, serta perlakuan terhadap hewan (DQLPDOZHOIDUH) tampaknya akan lebih mudah diterapkan.
PELUANG PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH Beberapa pertimbangan yang diyakini mendukung sangat besarnya peluang pengembangan sapi perah di Indonesia di waktu yang akan datang antara lain: 1.
Industri Pengolahan Susu (IPS) Tumbuh dan Berkembang
Peluang pengembangan peternakan sapi perah masih sangat terbuka, karena tingginya laju permintaan masyarakat akan susu dan produk turunannya. Peluang ini ditangkap oleh beberapa pabrikan yang berusaha mendapatkan nilai tambah dengan memproduksi susu olahan. Misalnya adalah Ultra Jaya, industri sapi perah terintegrasi yang berbasis di Bandung, Jawa Barat. Ultra Jaya sudah ancang-ancang membangun peternakan baru di daerah Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Mereka mentargetkan Desember 2015, produksi susu segar akan segera mengalir dari sapi laktasi yang jumlahnya 10 ribu ekor lebih. Jeremy Hockin, manajer peternakan Ultra, menaksir Indonesia memerlukan tambahan satu juta sapi perah agar mampu melayani kebutuhan susu domestik. Kelompok usaha Great Giant Livestock dikabarkan juga akan membangun FRPSDQ\IDUP di Lampung dengan menerapkan modifikasi teknologi yang sanggup mengakali kondisi agroklimat yang kurang sesuai bagi pertumbuhan sapi perah. Peternak sapi perah dapat menangkap peluang dengan mengembangkan skala usaha dan meningkatkan produktivitas usahanya. Kalau tidak, maka masyarakat peternak hanya akan menonton pasarnya diambil manfaatnya oleh industri susu yang terpaksa mengimpor bahan baku susu bubuk dari luar negeri. Kondisi akan menjadi
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
271
3URVSHN3HQJHPEDQJDQ6DSL3HUDKGL,QGRQHVLD
lebih parah, ketika pasar bebas ASEAN dibuka pada 2015 sehingga para pelaku dari negara tetangga yang lebih siap berpeluang untuk aktif meraup laba. Peluang tersebut disadari pula oleh jajaran pemerintah daerah misalnya melalui regulasi/kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang memberikan insentif pada swasta agar mendirikan Industri Pengolahan Susu (IPS). Kebijakan ini pada tahun 2014 telah terwujud dengan terbangunnya pabrik pengolahan susu di Semarang, Jawa Tengah oleh PT Cimory (Cisarua Mountain Dairy) dengan total nilai investasi lebih dari Rp 20 miliar. Pabrik ini telah beroperasi dengan target produksi awal 2.000 liter/jam, kemudian secara bertahap akan ditingkatkan menjadi 8.000 liter. Industri susu ini akan mengandalkan bahan baku susu dari para peternak di sekitar pabrik dan diperkirakan dapat menyerap susu segar sekitar 15.000–17.000 liter/hari. Susu berkualitas bagus akan dibeli oleh perusahaan dengan harga sampai Rp 4.000-Rp 5.000/liter. Pada saat ini harga jual susu di tingkat peternak hanya berkisar Rp 2.700– Rp 3.500/liter. Harga peternak ini kurang menguntungkan karena tidak seimbang dengan biaya produksi, terutama harga pakan konsentrat yang relatif mahal. PT Indolakto di Boyolali juga telah berdiri sejak tahun 2013. Dengan kapasitas tampung 120.000 liter/hari, siap menerima penjualan susu dengan harga Rp 4.000-Rp 4.500/liter). Disayangkan, pada awal tahun 2014 perusahaan pengolahan susu ini baru dapat menyerap 10 persen dari kapasitas tampung pabrik. Hal ini disebabkan karena peternak belum mau pindah dari langganan lama dan ada rasa ketakutan kalau pembayarannya tidak lancar. 2.
Daya dukung pakan memadai
Ketersediaan hijauan pakan ternak pada tahun 2011 dapat menampung 5.337.535 Satuan Ternak (ST) yang berasal dari limbah pertanian, rumput langan, dan rumput unggul. 3.
Dukungan Kultur sosial budaya masyarakat di sentra produksi
Budaya masyarakat di sentra produksi sangat mendukung. Masyarakat di beberapa kabupaten/kota di Jateng (Boyolali, Banyumas, Wonosobo, Klaten, Semarang, Banyumas, Tegal, dan Salatiga) secara turun temurun sudah terbiasa memelihara ternak sapi perah secara tradisional 4.
Keuntungan finansial usaha ternak sapi perah
Usaha ternak sapi perah memungkinkan peternak untuk memperoleh pendapatan harian (menjual susu), bulanan (menjual kotoran/pupuk organik), dan pendapatan tahunan (menjual anak sapinya), serta menghasilkan energi untuk memasak/penerangan dari pembuatan biogas berbahan baku kotoran ternak. 5.
Peningkatan konsumsi produk susu akibat pendapatan masyarakat meningkat
Peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak pada peningkatan kesadaran pentingnya pemenuhan gizi seimbang dan mengkonsumsi protein hewani, khususnya susu lebih banyak.
272
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
0DQDMHPHQGDQ.LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
6.
Peluang peningkatan nilai tambah dari usaha pengolahan susu skala kecil/menengah
Diversifikasi usaha dan kesempatan berusaha melalui pengembangan industri susu skala kecil/menengah sangat terbuka. Susu dapat dipasteurisasi untuk langsung dijual kepada konsumsi dalam bentuk susu segar atau diolah menjadi berbagai produk pangan antara lain yoghurt, keju, tahu, karamel, dan pie susu. Teknologi tepat guna yang tidak membutuhkan modal besar dapat diterapkan sehingga industri olahan berbahan baku susu dapat dilaksanakan oleh pengusaha skala kecil dan menengah. 7.
Dukungan modal usaha dengan bunga murah dari perbankan
Komitmen pemerintah untuk mengembangkan usaha ternak sapi perah cukup tinggi. Selain regulasi, pemerintah juga memberikan fasilitas berupa subsidi bunga perbankan agar peternak dapat mengembangkan usahanya. Kredit perbankan bersubsidi bunga murah seperti misalnya Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), dan Kredit Usaha Perbibitan Sapi (KUPS). 8.
Dukungan pengembangan usaha oleh CSR dari BUMN
Peternak juga dapat mengembangkan usahanya dengan mengakses dana CSR dari perusahaan swasta dan BUMN. Pemerintah mendorong agar usaha besar swasta dan BUMN dapat mengalokasikan sebagian keuntungannya untuk membantu para pengusaha skala kecil, termasuk peternak sapi perah. 9.
Bantuan langsung pada masyarakat (BLM) untuk peternak sapi perah
Bantuan langsung masyarakat dapat berasal dari pemerintah pusat melalui Ditjen Teknis, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota. BLM bisa berwujud bantuan bibit ternak, sarana prasarana, maupun layanan pendukung lainnya. 10. Program asuransi induk ternak sapi perah Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah mengembangkan asuransi induk ternak sapi perah. Asuransi ini dapat menggairahkan peternak untuk mengembangkan usahanya. Peternak akan mendapat ganti rugi sebesar Rp. 15.000.000,-/ekor jika ternak sapinya mati atau hilang. Polis yang harus dibayar oleh peternak adalah sebesar Rp. 300.000,-/th/ekor.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI OLEH USAHA SAPI PERAH RAKYAT Beberapa kendala dalam pengembangan populasi dan produktivitas sapi perah di Indonesia sudah lama diketahui. Kendala tersebut baru sebagian kecil yang dapat terselesaikan secara nasional. Masalahnya, meskipun kajian akademis sudah banyak dilakukan namun belum sepenuhnya dapat diterapkan dan menjangkau akar masalah
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
273
3URVSHN3HQJHPEDQJDQ6DSL3HUDKGL,QGRQHVLD
karena kurangnya sinergisme dan aksi nyata di dalam penyelesaian permasalahan. Kendala-kendala tersebut antara lain menyangkut (ipmbogor49.wordpress.com): 1.
Kondisi iklim yang kurang mendukung
Iklim tropis yang cenderung panas menyebabkan performa, produksi dan reproduksi sapi perah mengalami gangguan baik secara langsung maupun secara tidak langsung karena menurunnya kualitas pakan dan berkembangnya penyakit (McDowell, 1989), 2.
Konsentrasi peternakan sapi perah di Pulau Jawa
Usaha ternak sapi perah terkonsentrasi di Pulau Jawa yang didiami oleh lebih dari 60 persen penduduk Indonesia (Atmadilaga, 1989). Kondisi ini menyebabkan kompetisi penggunaan lahan menjadi sangat tinggi, sehingga tidak tersedia cukup lahan untuk menanam hijauan. Belum tersedia kelembagaan yang membantu peternak dalam pengadaan hijauan secara efisien dan berkesinambungan. Persyaratan kondisi lingkungan optimal yang dibutuhkan oleh sapi perah (dataran tinggi dengan iklim sejuk) menjadi hambatan pengembangan usaha karena lahan-lahan tersebut umumnya merupakan tempat favorit bagi kelompok masyarakat kelas menengah-atas untuk menghabiskan waktu luang sambil menatap hamparan lingkungan yang bersih dan tidak berbau. 3.
Skala usaha ternak sapi perah yang rendah
Skala usaha ternak sapi perah yang rendah (3–4 ekor) per peternak (Suryahadi HW DO., 2007) menyebabkan pendapatan rumah tangga dari sapi perah belum dapat menjadi sebagai sumber pendapatan utama yang layak bagi peternak. 4.
Keterbatasan modal dan penguasaan teknologi
/DFN RI FDSLWDO DQG WHFKQRORJ\ (Atmadilaga, 1989) menyebabkan peternak kurang mampu mengembangkan usahanya dan berproduksi pada taraf optimum. Bahkan pemberian pakan sesuai kebutuhan ternak sebagai minimum PDLQWHQDQFH pun sering kali terpaksa dilewatkan oleh peternak terutama untuk ternak-ternak yang tidak mendatangkan FDVK LQFRPH (Suryahadi HW DO., 2007). Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa EUHHGLQJ VWRFN UHSODFHPHQW VWRFN di tingkat peternak kurang berjalan dengan baik. Sementara ketersediaan sistem permodalan di Indonesia belum dapat dimanfaatkan karena kurang sesuai dengan skema dan kemampuan peternak. 5.
Posisi tawar peternak sapi perah yang rendah
Posisi tawar peternak diantara mata rantai produksi dan pemasaran masih lemah. Posisi lemah para peternak dimulai dari penyediaan lahan untuk hijauan, penyediaan pakan penguat, penyediaan input produksi, penilaian hasil (kualitas dan kuantitas produksi), dan penentuan harga. Peternak seringkali menanggung risiko usaha paling awal dan paling banyak, khususnya apabila terjadi gejolak harga.
274
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
0DQDMHPHQGDQ.LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
6.
Keterbatasan akses informasi
Akses peternak terhadap informasi secara umum terbatas./DFNRILQIRUPDWLRQ untuk mempelajari kondisi peternakan sapi perah di Indonesia disebabkan sistem UHFRUGLQJ yang belum berjalan pada tingkat peternak (McDowell, 1989). Peternak juga mempunyai akses terbatas pada publikasi informasi baik pada tingkat koperasi, perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga lain yang dapat diakses oleh semua VWDNHKROGHUV. Data yang ada sebenarnya cukup tersedia tetapi belum dapat dijadikan informasi yang berguna karena belum diolah dan disampaikan kepada masyarakat peternak. Selain itu, seringkali perencanaan pengembangan sapi perah di Indonesia diperoleh dengan menganalisis dan memodelkan data statistik dari institusi resmi dengan asumsi kondisi normal. Padahal kenyataannya perkembangan sapi perah dan produksi susu tidak pernah normal, cenderung bergejolak sejalan dengan perkembangan harga susu. Oleh karena itu peternak seringkali berproduksi pada kondisi VXE RSWLPDO jika harga susu kurang bergairah atau saat input jauh di luar jangkauan peternak, Masalah lainnya yang memerlukan perhatian adalah kualitas susu yang diproduksi oleh PSPR pada umumnya dinilai rendah. Hal ini terefleksi dari keluhan PSPR bahwa Koperasi Unit Desa (KUD) Susu dan Industri Pengolahan Susu (IPS) sering menolak atau memberikan nilai rendah terhadap susu sapi perah hasil peternakan rakyat (9LOODJHGDLU\IDUP). Menggunakan alasan tersebut dan terbatasnya volume produksi susu dalam negeri, akhirnya IPS mengimpor bahan susu bubuk dari luar negeri untuk memenuhi target produksi pabriknya. Dalam teori klasik yang sampai saat ini masih digunakan, Judkins dan Keener (1960) menyebutkan bahwa kualitas susu sapi segar ditentukan oleh kandungan bahan padat (7RWDO 6ROLG), konsentrasi QXWULHQW (contohnya lemak) derajad keasaman (pH), rendahnya kandungan mikroorganisme, tanpa mikroorganisme SDWKRJHQ, dan tanpa endapan (VHGLPHQW) maupun materi dari luar (H[VWUDQHRXV PDWWHU). Berhubung peternak tidak paham ”Bahasa Pengujian Susu” ini, maka seringkali timbul kecurigaan bahwa nilai kualitas susu yang disetorkan peternak telah direkayasa oleh KUD (KUD sebagai penampung pertama) sehingga harga beli susu sangat rendah (Rp 2.900 – Rp 3.500/liter). 7.
Dukungan pemerintah yang kurang memadai
Dukungan pemerintah untuk pengembangan sapi perah di Indonesia di pandang belum memadai. Pemerintah dinilai kurang IDLU karena membiarkan peternak kecil menghadapi persaingan bebas serta menghadapi industri sapi perah skala besar dan kompetitor lainnya. Kebijakan pemerintah pada tataran nasional cenderung masih memberikan prioritas tinggi dan lebih berpihak pada konsumen dan industri pengolahan susu. Sejak 1998, posisi tawar peternak terhadap IPS sangat lemah apalagi dalam menghadai persaingan global. Salah satu kebijakan pemerintah yang tidak berpihak adalah ditetapkannya tarif bea masuk rendah untuk produk olahan susu seperti: susu fermentasi yoghurt, sampai 0 persen lebih rendah dari tarif bea masuk susu bubuk
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
275
3URVSHN3HQJHPEDQJDQ6DSL3HUDKGL,QGRQHVLD
sebagai bahan baku industri persusuan sebesar 5 persen. Tarif 5 persen ini dinilai tidak sesuai dengan kesepakatan yang ditentukan oleh WTO, sehingga IPS tidak bergairah untuk berkembang jadi penggerak peningkatan produksi susu nasional (Soehadji, 2009). Lembaga koperasi yang mengelola persusuan dari peternak dan mendistribusikan kepada IPS serta sebagai perwakilan peternak dalam memperjuangkan aspirasi peternak, koperasi mempunyai peran cukup besar (Firman, 2007). Namun demikian dalam banyak kasus lembaga koperasi susu ini masih lemah dan belum dapat secara optimal mengatasi permasalahan yang dihadapi pada peternak dan persusuan di Indonesia. 8.
Kurangnya apresiasi terhadap multi fungsi usaha ternak sapi perah
Apresiasi terhadap fungsi-fungsi sapi perah dalam masyarakat dipandang kurang memadai. Sebagian besar apresiasi hanya difokuskan pada aspek ekonomis semata. Fungsi lain, seperti penyedia lapangan kerja, penyedia ELRIHUWLOL]HU, pengentasan kemiskinan, pengentasan gizi buruk, perbaikan lingkungan, dan fungsi sosio-kultural lainnya belum banyak dipertimbangkan.
LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTATIF YANG MENDESAK UNTUK DILAKUKAN Faktor-faktor pemicu daya saing dalam pengembangan sapi perah di Indonesia terkait dengan teknologi, produktivitas, struktur harga dan biaya input, struktur industri, serta jumlah susu dan produk turunan yang diminta, baik susu domestik maupun impor. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya penelitian dan pengembangan, (2) Faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah: lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar uang), kebijakan perdagangan, kebijakan penelitian dan pengembangan, pendidikan, pelatihan dan regulasi, (3) Faktor semi terkendali: kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik dan impor, serta (4) Faktor yang tidak dapat dikendalikan: lingkungan alam. Jika pemerintah mampu memperbaiki faktor-faktor pemicu tersebut diatas, diharapkan komoditas susu lokal dapat berkembang sebagai komoditas subsitusi susu impor (epetani.pertanian.go.id/blog/pengembangan-usaha-sapi-perah-di-indonesia-1598). Untuk memperbaiki performa industri sapi perah dalam negeri tidak mudah. Ada semacam lingkaran setan yang mesti diurai (Agrina, 2014). Perbaikan tersebut menyangkut: 1.
Aspek Pemeliharaan
Kualitas genetik sapi milik perusahaan dengan milik peternak sapi rakyat sebenarnya tidak jauh berbeda, yaitu umumnya berasal dari Australia. Bibit sapinya pun bukan bibit kualitas terbaik yang boleh dilepas ke negara lain. Dengan demikian
276
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
0DQDMHPHQGDQ.LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
permasalahan utamanya adalah pemeliharaan. Pemeliharaan yang baik akan dapat meningkatkan produktivitas ternak. 2.
Jaminan harga dan pembinaan untuk peningkatan nilai tambah
Harga jual susu menjadi faktor pemicu semangat peternak dalam mengelola usaha. Bila harga menguntungkan, peternak akan terdorong untuk memberi pakan yang berkualitas. Sebaliknya apabila tingkat harga hanya dapat mengimbangi ongkos produksi, peternak tidak akan memberikan sapi dengan pakan yang mengandung bergizi baik. Bagi peternak yang mampu menciptakan nilai tambah susu, tingkat harga jual susu tidak akan menjadi masalah. 3.
Pengembangan kelembagaan peternak sapi perah
Harga jual susu segar diakui peternak tidak mampu mengikuti lonjakan harga pakan. Akibatnya margin keuntungan yang dikantongi peternak cenderung semakin tipis. Oleh karena itu dibutuhkan kelembagaan peternak yang mampu mengorganisir para peternak sapi perah agar aktivitasnya menjadi lebih efisien. 4.
Peningkatan efisiensi pembinaan melalui pengembangan kandang koloni
Kandang koloni (kelompok) menjadi salah satu jalan keluar dan perlu dimasyarakatkan. Dengan berkelompok, peternak akan terpacu untuk menaikkan kelas ketrampilannya agar sejajar para koleganya. Biaya perawatan juga menjadi lebih irit karena dapat ditanggung bersama, misalnya waktu inseminasi buatan atau pemeriksaan rutin oleh dokter hewan. Contoh, koloni ternak sapi perah yang dikoordinasikan oleh Gabungan Kelompok Ternak Sugih Mukti Mandiri di Kasomalang, Subang, Jawa Barat yang melaporkan bahwa keuntungan tetap dapat diraih walaupun harga susu masih rendah. 5.
Revitalisasi koperasi susu peternakan rakyat
Koperasi penampung susu peternak rakyat harus bersikap transparan dan adil dan mengapresiasi kualitas susu peternak. Untuk itu koperasi harus mulai memisahkan kualitas susu yang dihasilkan anggotanya. Susu berkualitas baik mendapat insentif harga yang memadai, sebaliknya yang berkualitas buruk “dihukum” dengan harga yang lebih rendah. Kalau kualitas susu jauh di bawah standar minimal, koperasi harus menolak susu tersebut. Koperasi sebagai tumpuan ekonomi peternak, perlu membina peternak anggota yang kualitas susunya rendah. Koperasi juga harus bersedia membina dan mendorong para peternak agar mereka dapat meningkatkan ketrampilan pemeliharaan sapi. Aspek pembinaan yang penting dilakukan meliputi pengetahuan tentang pakan yang baik, perawatan, maupun tata cara membuntingkan sapi. Diharapkan melalui pembinaan produktivitas sapi perah rakyat akan membaik sehingga pendapatan peternak juga menjadi lebih baik lagi.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
277
3URVSHN3HQJHPEDQJDQ6DSL3HUDKGL,QGRQHVLD
6.
Dukungan kebijakan pemerintah
Pengembangan usaha peternakan sapi perah rakyat memerlukan dukungan kebijakan pemerintah, khususnya menyangkut: (1) peningkatan konsumsi serta kualitas susu untuk meningkatkan jumlah permintaan susu, (2) pembinaan kepada koperasi susu sehingga koperasi mampu memberdayakan para pelaku usaha peternakan sapi perah domestik dalam menghadapi liberalisasi perdagangan, (3) revitalisasi pengembangan kemitraan usaha antara industri pengolahan susu (IPS) dengan koperasi susu dan peternakan rakyat, dan (4) perlindungan usaha peternakan sapi perah rakyat melalui pengetatan peraturan karantina hewan untuk mengurangi impor produk susu dan turunannya.
PRIORITAS KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN DALAM PERIODE 2014-2019 Periode tahun 2014-2019 merupakan periode pemerintahan presiden RI yang ke 7, dalam penyampaian visi dan misinya waktu debat calon presiden disampaikan bahwa kedaulatan pangan adalah salah satu prioritas yang akan segera dilaksanakan, dalam hal tersebut tentunya termasuk komoditas susu, yang melibatkan masyarakat pertanian dari tingkat akar rumput sampai lapisan masyakarat tingkat menengah ke atas, oleh sebab itu, prioritas kebijakan pembangunan persusuan secara nasional yang perlu dilakukan adalah: (1) mengimplementasikan gerakan minum susu yang dikemas setiap tahun pada “Peringatan Hari Susu Nasional”, dimasukkan menjadi salah satu programnya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan, agar anak-anak sekolah dan ibu-ibu rumah tangga menyadari pentingnya meningkatkan konsumsi susu agar dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, (2) menjadikan komoditas susu yang dapat menarik perhatian konsumen, diperlukan diversifikasi olahan susu menjadi beraneka ragam jenis olahan, maka peran Kementerian Perindustrian dan Perdagangan sangat diperlukan dalam mensukseskan “Gerakan Minum Susu”, (3) terjaminnya pasar susu dari peternak, diperlukan kerjasama tiga Kementerian yaitu: Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan, dan Koperasi di bawah Menko Perekonomin, agar Industri Pengolahan Susu (IPS) dapat memberikan harga susu yang wajar sesuai dengan kualitasnya. Sebagai syarat mengimpor bahan baku susu oleh IPS jika produksi susu dalam negeri belum mencukupi, (4) untuk mencukupi kebutuhan bahan pakan yang berkualitas tinggi dan harga terjakau oleh peternak, maka hasil limbah industri pengolahan sawit diprioritaskan untuk kebutuhan peternak sapi perah, yang selama ini diekspor, sehingga perlu dukungan kerjasama/kebijakan antara Kementerian BUMN, Pertanian serta Perindustrian dan Perdagangan, (5) agar peternak mempunyai posisi tawar yang tinggi untuk mejual susu sapinya, memperjuangkan aspirasinya, dan memperoleh perlindungan/jaminan terhadap usaha peternakannya, maka diperlukan wadah/organisasi yang kuat, seperti misalnya Asosiasi Peternak Sapi Perah Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota, (6) Dewan Persusuan Nasional yang didirikan beberapa tahun yang lalu, perlu dioptimalkan
278
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
0DQDMHPHQGDQ.LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
perannya dalam melindungi dan memperjuangkan kepentingan peternak sapi perah, diselaraskan dengan program pemerintah dan IPS, (7) program asuransi sapi perah yang telah dicanangkan oleh pemerintah tahun 2013, hendaknya dapat dipercepat implementasinya di lapangan oleh pemangku kepentingan yang terkait agar peternak sapi perah dapat jaminan/perlindungan yang wajar dan dapat meningkatkan skala usahanya, (8) rendahnya realisasi penyaluran kredit perbankkan untuk mengembangkan skala usaha peternakan sapi perah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), serta Kredit Usaha Pembibitan Sapi Perah (KUPS) dari plafon anggaran yang telah disiapkan perlu ditinjau kembali oleh pemerintah dan perbankan, (9) untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat peternak sapi perah diperlukan program pelatihan, pendampingan dan studi banding oleh pemerintah, swasta dan BUMN, (10) usaha peternakan sapi perah adalah multifungsi, menghasilkan susu untuk meningkatkan konsumsi protein hewani dan bahan baku industri, menghasilkan kotoran yang dapat diolah menjadi energi panas dan listrik (biogas), dan menghasilkan pupuk organik untuk kesuburan lahan. Oleh sebab itu dapat disinergikan dengan sektor lainnya untuk mewujudkan konsep bioindustri berkelanjutan di pedesaan, dan (11) untuk merangsang dan meningkatkan gairah/motivasi usaha peternakan sapi perah, pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada masyarakat peternakan sapi perah yang berprestasi dalam mengembangkan usahanya.
PENUTUP Sejarah pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai lebih dari satu abad yang lalu, yang merupakan tahap introduksi pada jaman penjajahan Belanda. Peternakan sapi perah di Indonesia oleh warga pribumi diawali oleh para pekerja perusahaan sapi perah milik Belanda, sebagai usaha rumah tangga. Dalam perkembangannya, usaha peternakan sapi rakyat didukung oleh importasi sapi perah dalam bentuk hidup dan mani beku untuk meningkatkan produksi maupun meningkatkan mutu genetik, membangun kelembagaan sapi perah dalam bentuk koperasi dan non koperasi, serta dukungan kebijakan pemerintah misalnya kebijakan ekualisasi berdasar SKB 3 Menteri (Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian, dan Menteri Pertanian) dimana impor bahan baku susu dipersyaratkan dengan bukti serap (BUSEP) susu segar produksi dalam negeri. Untuk mendukung SKB, telah diterbitkan INPRES 2 tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional. Sangat disayangkan kebijakan ekualisasi tersebut dicabut pada awal tahun 1988 yang berdampak pada sangat lemahnya posisi tawar peternak terhadap IPS, apalagi menghadapi pesaingan global. Globalisasi yang diiringi dengan kebijakan yang tidak tepat telah menekan pertumbuhan industri susu rakyat. Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada peternak misalnya adalah penetapan tarif bea masuk yang rendah (0%) untuk produksi olahan susu fermentasi-yoghurt yang lebih rendah dari
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
279
3URVSHN3HQJHPEDQJDQ6DSL3HUDKGL,QGRQHVLD
tarif bea masuk susu bubuk sebagai bahan baku industri persusuan yang besarnya mencapai 5 persen. Komitmen pemerintah untuk mengembangkan industri susu nasional cukup tinggi, yang dapat dilihat ditetapkannya industri pengolahan susu sebagai salah satu industri prioritas oleh Kementerian Perindustrian, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. Peta panduan atau URDGPDS pengembangan klaster industri pengolahan susu juga telah disusun dengan melibatkan semua pemangku kepentingan usaha persusuan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 122/M-IND/PER/10/2009. Kebijakan industri pengolahan susu tidak akan bermakna apabila tidak ditunjang dengan pengembangan usaha peternakan sapi perah rakyat sebagai penyedia bahan baku susu. Dengan terbentuknya era pemerintahan baru pasca PILPRES 9 Juli 2014, diharapkan agar pemerintah baru dapat menetapkan kebijakan yang dapat memberikan regulasi dan perlindungan yang lebih baik bagi peternak rakyat dan kebijakan yang mendukung pengembangan industri peternakan sapi perah di Indonesia. Perlu diingat bahwa usaha peternakan sapi perah rakyat sangat strategis karena: (1) menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, mulai dari pra produksi, produksi, panen, pasca panen/pengolahan hingga pemasaran, (2) menghasilkan pangan bergizi/sumber protein hewani yang murah untuk meningkatkan kualitas/kecerdasan bangsa Indonesia, (3) mampu memberikan pendapatan harian pada peternak sapi perah, (4) limbah/kotorannya mampu menghasilkan energi alternatif terbarukan (biogas) dan merupakan sumber pupuk organik penting, dan (5) budidaya sapi perah dapat disinergikan dengan usahatani tanaman pangan, perkebunan dan industri, berupa pemanfaatan limbah/hasil samping usahatani menjadi pakan murah dan berkualitas dan meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani dengan memanfaatkan limbah kandang sebagai sumber pupuk organik.
DAFTAR PUSTAKA Agrina, 2014. Mengurai Lingkaran Setan Sapi Perah. Tabloit Agribisnis Dwi Mingguan. Inspirasi Agribisnis Indonesia. Bamualim, A.M., Kusmartono dan Kuswandi. 2009. Aspek Nutrisi Sapi Perah. Dalam 3URILO 8VDKD 3HWHUQDNDQ 6DSL 3HUDK GL ,QGRQHVLD (K.A. Santosa, K. Diwiyanto, dan T. Toharmat, Editor), hlm: 165-208. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Djaja. W, R.H Matondang dan Haryono, 2009. Aspek Manajemen Usaha Sapi Perah. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. DPKH Jateng (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah). 2012. Statistik 2012: Peternakan. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah. Ungaran.
280
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
0DQDMHPHQGDQ.LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
Direktorat Jendral P2HP, 2011. Keragaan Database Kinerja Pengolahan & Pemasaran Hasil Pertanian. Bekerjasama dengan PT Swastika Perdana. Direktorat Ternak Budidaya Ruminansia, 2010 Epetanipet.go.id/blog/pengembangan-usaha-sapi-perah-di-Indonesia-1598 Firman, A., 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah: Suatu Telaah Pustaka. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung. Firman, A dan R. Tawaf. 2008. Manajemen Agribisnis Peternakan : Teori dan Contoh Kasus. Universitas Padjadjaran. Press. IMPBogor49, 2012. Pengembangan Sapi Perah Indonesia. Ipmbogor49.wordpress.com Judkins, H.F. and Keener, H.A. 1960. Milk production and processing. John Willey & Sons, Inc. New York. Kusmaningsih, Susilowati Dan Diwiyanto, K. 2008. Prospek Dan Pengembangan Usaha Sapi Perah Di Jawa Tengah Menyongsong MDG’s 2015. Prosiding 6HPLORND1DVLRQDO3URVSHN,QGXVWUL6DSL3HUDK0HQXMX%HEDV, Hlm: 404-412. Puslitbang Peternakan. Bogor. Murti. T.W, H. Purnomo, dan S.Usmiati, 2009. Pasca Panen dan Teknologi Pengolahan Susu. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. PSPK, 2011. Rilis Hasil Awal 2011. Kementrian - BPS Priyanti. A, S.Nurtini, dan A.Firman, 2009. Analisis Ekonomi dan Aspek Sosial Usaha Sapi Perah. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Pusdatin. 2013. Statistik Pertanian 2013. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian. 316 hal. Soehadji, 2009. Sejarah Perkembangan Industri Persusuan. Direktorat Jendal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian, Jakarta. Subandriyo dan Ardiarto. 2009. Sejarah Perkembangan Sapi Perah. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Tawaf. R, Tridjoko W. Murti dan R.A.Saptati. 2009. Kelembagaan dan Tata Niaga Susu. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. www.kampoengternak.or.id. Kampoeng Kewiusahawan Sosial.
Ternak
Nusantara.
Membangun
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
281