4
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein) Sapi perah yang umum digunakan sebagai ternak penghasil susu di Indonesia adalah sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH). Sapi PFH merupakan sapi persilangan Bos taurus dengan Bos indicus. Persilangan ini dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan keturunan yang memiliki performa produksi susu tinggi dan tingkat adaptasi yang baik terhadap lingkungan tropis. Pemilihan sapi perah PFH sebagai ternak perah disesuaikan dengan keadaan iklim tropis di Indonesia. Menurut Hardjosubroto (1994), pemuliaan sapi perah di Indonesia dilakukan dengan menyilangkan sapi-sapi yang berasal dari Australia dengan sapi lokal seperti sapi Jawa dan Madura. Persilangan tersebut dilakukan dengan tujuan agar sifat genetik produksi susu tinggi dari sapi impor dan tingkat adaptasi yang baik diiklim tropis dari sapi lokal diturunkan ke anaknya. Produktivitas sapi PFH sebanding dengan sapi FH karena akibat dari heterosis dan daya adaptabilitas terhadap iklim tropis di Indonesia (Praharani et al., 2009). Praharani (2014) menambahkan bahwa produksi dan reproduksi sapi PFH hasil persilangan yang dikembangkan di Indonesia menghasilkan performa yang lebih baik jika dibandingkan dengan sapi FH murni yang dikembangbiakan dan dipelihara di daerah tropis. Sistem pemeliharaan sapi perah di Indonesia sebagian besar masih menggunakan kaidah usaha ternak keluarga secara individu dan kelompok. Penelitian Suherman (2008) menunjukkan bahwa selain memberikan pakan hijauan, sebagian peternak rakyat juga menambahkan konsentrat dalam manajemen pemeliharaan ternak sapi perah. Pemberian pakan hijauan telah dilakukan oleh semua peternak dengan frekuensi 2-3 kali sehari. Pemberian konsentrat belum dilakukan oleh semua peternak rakyat karena pertimbangan aspek ekonomi. Jumlah hijauan dan konsentrat yang diberikan juga belum sesuai dengan standar yang telah dianjurkan yaitu 30-40 kg hijauan per hari dan konsentrat 5-9 kg per hari karena para peternak hanya memberikan jumlah pakan yang seadanya. 4
5
B. Produksi susu sapi perah di Indonesia Pertumbuhan populasi sapi perah di Indonesia dapat dikatakan bergerak lambat. Lambatnya pertumbuhan populasi sapi perah secara langsung akan memengaruhi produksi susu dalam negeri. Pada tahun 2013-2014, peningkatan produksi susu segar hanya sebesar 13,11% (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015). Kondisi tersebut ditambah dengan produksi susu sapi perah di Indonesia yang tergolong rendah apabila dibandingkan dengan produksi susu sapi perah di daerah asalnya karena perbedaan keadaan topografi wilayah. Matondang et al. (2012) menjelaskan bahwa sapi FH atau persilanganya mampu berkembang cukup baik di daeraah tropis bersuhu 24-30,5°C, kelembaban udara 61-84% dan kecepatan angin 0,0625-0,35 m/detik. Amelia (2014) menambahkan bahwa curah hujan yang baik sebagai persyaratan standar topografi dalam memilih lokasi peternakan sapi perah di Indonesia adalah 2.230,3 mm/tahun. Manajemen yang kurang baik masih menjadi salah satu faktor tidak optimalnya produksi susu sapi perah di Indonesia. Utomo dan Miranti (2010) membuktikan dalam penelitiannya di Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali bahwa perlakuan perbaikan manajemen pemeliharaan memengaruhi jumlah produksi susu sapi perah. Sapi PFH pada masa laktasi pertama sampai dengan bulan laktasi ketiga di daerah tersebut menunjukkan rata-rata jumlah produksi susu dengan sistem perbaikan manajemen adalah 7,08 liter/ekor/hari dan sistem kebiasaan peternak sebesar 4,59 liter/ekor/hari. Penelitian Putri (2013) juga menjelaskan bahwa pemberian berbagai bahan pakan lokal memberikan hasil jumlah rata-rata produksi susu sapi perah PFH sebesar 6,75-8,38 liter/ekor/hari. Supriyati (2014) menambahkan bahwa perbaikan manajemen pemeliharaan dengan suplementasi probiotik yang ditambahkan pada pakan sapi perah ditingkat peternak mampu meningkatkan produksi susu. Menurut Hertanto et al. (2012), produksi susu sapi perah yang dipelihara di dataran rendah dengan sistem peternakan rakyat yaitu sebesar 9,28 liter/ekor/hari dan sistem perusahaan sebesar 8,45 liter/ekor/hari. Pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi produktivitas susu sapi perah di dataran rendah adalah total nutrien
6
tercerna hijauan, total nutrien tercerna konsentrat dan tipe usaha yang dijalankan oleh peternak. C. Mastitis Berdasarkan gejala klinisnya, penyakit mastitis dapat diklasifikasikan ke dalam mastitis klinis dan subklinis. Mastitis klinis dapat dideteksi melalui kelainan kualitas fisik susu seperti berwarna kemerahan karena bercampur dengan darah, mengental dan terlihat pecah. Mastitis klinis juga menampakkan gejala kebengkakan ambing, terasa panas jika disentuh, warnanya memerah, peningkatan suhu tubuh, penurunan nafsu makan dan ternak akan merasa kesakitan jika diperah. Mastitis subklinis memiliki ciri-ciri berbeda dengan mastitis klinis karena pada kasus ini tidak menampilkan kelainan fisik susu maupun ambing. Mastitis subklinis hanya dapat dideteksi dengan cara tes tertentu seperti uji californian matitis test (CMT) dan kultur bakteri susu (Rolands and Boots, 1998; Sudhan and Sharma, 2010; Suwito dan Indarjulianto, 2013). Kejadian kasus mastitis klinis dan subklinis sampai akhir tahun 2006 adalah sekitar 75-83% dengan prevalensi mastitis di Boyolali sebesar 62,5% (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008). Mastitis dapat terjadi pada semua jenis mamalia. Mastitis pada sapi sering dijumpai pada sapi perah. Penyakit mastitis disebabkan oleh bakteri yang banyak terdapat di alam. Agen umum penyakit yang menyebabkan mastitis antara lain Streptococcus agalactiae, S. disgalactiae, S. uberis, S. zooepidermicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Pseudomonas aeruginosa, Mycoplasma sp dan Nocardia asteroides. Spesifikasi bakteri yang banyak ditemukan pada kasus mastitis subklinis yaitu Streptococcus agalactiae disusul oleh Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis (Poeloengan, 2009). Pada kasus mastitis klinis, bakteri yang banyak ditemukan adalah Staphylococcus aureus, E. coli dan Streptococcus uberis (Sudhan and Sharma, 2010 dan Pyorala, 2009). Bakteri mastitis akan menyebabkan infeksi pada ambing dan memengaruhi jumlah produksi susu serta kualitas susu yang dihasilkan oleh sapi perah (Akoso, 1996; Suryowardojo, 2012 dan Utami et al., 2014). Sudhan and Sharma (2010) menyebutkan bahwa serangan mastitis subklinis maupun
7
klinis dapat menurunkan produksi susu 0,34 hingga 2,66 kg/kuartir ambing (9,0 sampai 43,3%). Aziz et al. (2013) menjelaskan bahwa faktor pendukung atau predisposisi terjadinya mastitis berasal dari ternak dan kebersihan lingkungan kandang. Faktor predisposisi mastitis dilihat dari segi ternak, meliputi bentuk ambing misalnya ambing yang sangat menggantung atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar, adanya lesi pada puting dan letak kuartir. Faktor predisposisi lain adalah dari sistem pemerahan seperti kebersihan peralatan pemerahan, teknik pemerahan dan periode kering ternak (Berry and Meany, 2005). Handayani dan Purwanti (2010) menambahkan bahwa higiene pemerahan juga menjadi faktor predisposisi karena pada pemerahan yang kurang higienis ditemukan bakteri-bakteri penyebab mastitis. D. Kualitas fisik susu Nilai pH dan berat jenis merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas susu. Hal tersebut dijelaskan oleh Usmiati dan Nurdjannah (2005) yang menggunakan nilai pH dan berat jenis dalam penelitiannya sebagai peubah untuk menentukan kualitas fisik susu dari sapi perah peternakan rakyat. Berat jenis digunakan untuk mengetahui grafitasi spesifik suatu larutan. Berat jenis susu dipengaruhi oleh kadar padatan total dan padatan tanpa lemak (Soeparno, 2007). Menurut Standar Nasional Indonesia (2011), susu sapi perah yang memenuhi persyaratan mutu harus memiliki berat jenis 1,027 g/ml. Berat jenis susu di bawah atau di atas nilai tersebut mengindikasikan bahwa susu mengalami kerusakan atau terkontaminasi oleh bakteri. Berat jenis menjadi salah satu parameter kualitas susu yang perlu diperhatikan karena harga susu akan disesuaikan dengan nilai berat jenisnya (Utami et al., 2014). Nilai pH air susu yang lebih tinggi dari 6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH dibawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum ataupun pembusukan bakteri (Amran, 2013). Sudarwanto dan Sudarnika (2008) menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara kenaikan nilai pH susu dengan tingkat reaksi positif yang diuji menggunakan tes IPB-1. Semakin tinggi
8
nilai pH maka semakin tinggi tingkat reaksi positif (tes IPB-1). Nilai pH susu yang berkisar antara 6,3 dan 7,2 pada reaksi positif menunjukkan serangan mastitis subklinis. Penentuan mastitis subklinis menggunakan pH harus dilanjutkan dengan uji mikrobiologi terutama pada susu dengan nilai pH <6,3 untuk mengantisipasi kontaminasi bakteri patogen pemecah laktosa. Pada kasus mastitis subklinis, gejala yang diperlihatkan agak ringan namun komposisi susu yang dihasilkan tetap rusak (Setiadi, 1997). E. Pengobatan mastitis Salah satu penelitian mengenai pengobatan mastitis pernah dilakukan yaitu dengan menggunakan obat antibiotik penicillin semisintetik dan cloxacilin. Supar dan Ariyanti (2008) menyatakan bahwa pengobatan menggunakan obat antibiotic efektif dilakukan pada sapi mastitis masa kering kandang karena dapat meningkatkan produksi susu dan mencegah mastitis pada masa laktasi selanjutnya. Owen et al. (2001) menambahkan pengobatan antibiotik akan menunjukkan hasil yang efektif jika dilakukan pada sapi perah yang berada pada masa laktasi akhir. Penelitian lain mengenai penggunaan antibiotik terhadap kasus mastitis pada sapi perah masa laktasi pernah dilakukan oleh Poutrel and Ducelliez (1978). Antibiotik yang digunakan oleh peneliti adalah penicillin-streptomycin dengan hasil penelitian dapat menyembuhkan dan memperbaiki produksi dan kualitas fisik (berat jenis dan pH) susu sekitar 50% dari total sapi yang mastitis. Di Indonesia, pada tingkat peternak sekarang ini sudah banyak dilakukan pengobatan dan pengendalian panyakit mastitis. Faktor yang memengaruhi belum tuntasnya penyakit mastitis pada sapi perah adalah kurangnya pemantauan setelah pengobatan dan masih sedikit penelitian mengenai obat-obatan untuk mastitis (Nurdin, 2007; Supar, 1997 dan Zalizar, 2012).
9
HIPOTESIS Hipotesis dari penelitian ini adalah pengobatan antibiotik penicillin G dan streptomicyn sulfate dapat memperbaiki produksi susu dan kualitas fisik susu sapi perah penderita mastitis.