TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein (FH) Sapi perah FH berasal dari Belanda dengan ciri-ciri khas yaitu warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih pada umumnya, namun ada yang berwarna coklat ataupun merah dengan bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah dari kaki berwarna putih, dan tanduk pendek serta menjurus kedepan (Makin, 2011). Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susu paling tinggi dengan kadar lemak susu rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya di daerah tropis maupun subtropis. Bobot badan ideal sapi FH betina dewasa adalah 682 kg dan jantan dewasa 1000 kg (Sudono et al., 2003). Sapi FH memiliki kemampuan berkembang biak yang baik, rata-rata bobot badan sapi FH adalah 750 kg dengan tinggi bahu 139,65 cm. Kemampuan produksi susu sapi FH lebih tinggi dibandingkan bangsa sapi perah lain. Suhu lingkungan yang optimum untuk sapi dewasa berkisar antara 5-21 oC, sedangkan kelembaban udara yang baik untuk pemeliharaan sapi perah adalah sebesar 60% dengan kisaran 50%-75% (Ensminger, 1995). Di tempat asalnya produksi susu per masa laktasi rata-rata sebanyak 7.245 liter atau sekitar 20 liter per hari (Putranto, 2006). Kualitas Susu Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan (BSN, 2011). Persyaratan mutu susu segar dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan terbesar susu adalah air. Lemak susu mengandung vitamin yang hanya larut dalam lemak yaitu vitamin A, D, E dan K (Hasim dan Martindah, 2012). Kadar lemak susu mulai menurun setelah satu sampai dua bulan masa laktasi. Masa laktasi dua sampai tiga bulan kadar lemak susu mulai konstan, kemudian naik sedikit (Sudono et al., 2003). Kandungan gizi yang terdapat dalam susu yaitu, laktosa berfungsi sebagai sumber energi, kalsium membantu dalam pembentukan massa tulang, lemak menghasilkan energi, protein kaya akan kandungan lisin, niasin dan ferum, serta mineral-mineral lain seperti magnesium, seng dan potasium (Susilorini dan Sawitri, 3
2006). Susu mengandung berbagai macam protein, dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kasein (80%) dan laktoglobulin (20%). Rasa manis susu karena adanya laktosa berkontribusi sekitar 40% kalori dari susu penuh (whole milk). Laktosa terdiri atas dua macam gula sederhana yaitu glukosa dan galaktosa. Secara alami laktosa hanya terdapat pada susu (Hasim dan Martindah, 2012). Tabel 1. Standar Mutu Susu Segar (SNI-01-3141-2011) No
Karakteristik
Satuan
Syarat
g/ml
1,0270
a.
Berat jenis (pada suhu 27,5 oC) minimum
b.
Kadar lemak minimum
%
3,0
c.
Kadar bahan kering tanpa lemak minimum
%
7,8
d.
Kadar protein minimum
%
2,8
e.
Warna, bau, rasa, kekentalan
-
Tidak ada perubahan
SH
6,0 – 7,5
o
f.
Derajat asam
g.
pH
-
6,3 – 6,8
h.
Uji alkohol (70%) v/v
-
Negatif
i.
Cemaran mikroba, maksimum: 1.
Total Plate Count
CFU/ml
1 × 106
2.
Staphylococcus aureus
CFU/ml
1 × 102
3.
Enterobacteriaceae
CFU/ml
1 × 103
sel/ml
4 × 105
-
Negatif
-
Negatif
j.
Jumlah sel somatik maksimum
k.
Residu
antibiotika
(Golongan
penisilin,
Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida) l.
Uji pemalsuan
m.
Titik beku
n.
Uji peroxidase
o.
Cemaran logam berat, maksimum:
o
C
-0,520 s.d -0,560
-
Positif
1.
Timbal (Pb)
µg/ml
0,02
2.
Merkuri (Hg)
µg/ml
0,03
3.
Arsen (As)
µg/ml
0,1
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2011)
4
Sudono (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu yaitu: bangsa, lama bunting, masa laktasi, bobot badan, estrus (birahi), umur, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan serta makanan. Bangsa sapi yang berbeda akan menghasilkan komposisi susu yang berbeda, misalnya sapi perah FH menghasilkan susu dengan kandungan lemak lebih rendah bila dibandingkan sapi Jersey (Palladino et al., 2010).
Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi komposisi susu ialah keragaman akibat musim, hal ini terutama terjadi pada daerah beriklim subtropis dimana kandungan lemak akan menurun pada akhir musim semi dan akan meningkat menjelang musim dingin. Perbedaan tersebut biasanya dihubungkan dengan adanya perubahan pakan ternak dari biji-bijian pada musim dingin menjadi rumput-rumputan pada musim semi (Muchtadi, 2009). Faktor lainnya ialah umur sapi. Umur sapi berpengaruh kecil sekali terhadap komposisi susu. Selama jangka waktu 10 tahun, rata-rata kandungan lemak susu menurun sekitar 0,2% (Muchtadi, 2009). Pakan berpengaruh terhadap komposisi susu. Kurangnya pemberian pakan akan mengurangi produksi susu.
Keragaman cukup besar yang terjadi dalam
kandungan protein dan karbohidrat dalam pakan tidak akan banyak mempengaruhi komposisi susu, akan tetapi pakan yang banyak mengandung lemak atau pakan tersebut secara sengaja dicampuri lemak atau minyak, pengaruhnya akan terlihat jelas kadar dan komposisi lemak susu (Muchtadi, 2009). Usaha Sapi Perah Mukson et al. (2009) menyatakan bahwa secara umum pengelolaan sapi perah oleh petani masih dilakukan secara tradisional. Usaha ternak sapi perah saat ini sebagian besar masih berbentuk usaha kecil yang bersifat sambilan dengan ratarata kepemilikan 2-3 ekor. Pulungan dan Pambudy (1993) menyatakan ciri usaha peternakan rakyat ini antar lain : skala usaha kecil, motif produksi rumah tangga, dilakukan sebagai usaha sampingan, menggunakan teknologi sederhana sehingga produktivitasnya rendah dan mutu produk bervariasi serta bersifat padat karya dengan basis pengorganisasian kekeluargaan. Perusahaan sapi perah adalah usaha komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki 10 ekor sapi laktasi atau lebih, atau memiliki jumlah keseluruhan 20 ekor sapi perah campuran atau lebih. 5
Swastika et al. (2000) menyatakan bahwa rata-rata kepemilikan sapi perah di Indonesia sebanyak 3-5 ekor per peternak sehingga tingkat efisiensi usaha masih rendah. Peternak Cibungbulang didominasi oleh peternakan rakyat, sebab umumnya mereka memiliki sapi tidak lebih dari 10 ekor walaupun demikian, beberapa diantaranya memiliki jumlah sapi yang cukup banyak yaitu lebih dari 10 ekor (Sinaga, 2000). Rata-rata kepemilikan sapi perah di Tajur Halang, Cibeureum dan kabupaten Bandung sebanyak 4 ekor, 7 ekor dan 3 ekor (Agustina, 2001 dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2011). Usaha sapi perah di kecamatan Cepogo, Boyolali belum merupakan usaha komersial, ditandai dengan penguasaan ternak 2-4 ekor per kepala keluarga (Rusdiana dan Praharani, 2009). Good Milking Practice (GMiP) dan Good Hygienie Practice (GHP) International Dairy Federation Food dan Agriculture Organization of The United Nations (IDF/FAO) (2004) menyatakan bahwa untuk memperoleh susu yang aman dari suatu peternakan sapi perah, maka ada lima bagian besar yang perlu diperhatikan dan dipenuhi yaitu kesehatan ternak, pemerahan yang higienis, pakan ternak, kesejahteraan ternak, dan lingkungan peternakan.
Menurut Direktorat
Penanganan Pasca Panen Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (2006), beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan susu yang berkualitas baik diantaranya: 1) pemeliharaan kesehatan ternak agar selalu sehat dengan memberikan pakan yang bergizi dan sesuai dengan kebutuhan ternak, serta melakukan pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin, 2) pekerja yang menangani ternak dan pemerahan harus dalam kondisi yang sehat, menjaga diri agar tidak melakukan kebiasaan menggaruk, batuk-batuk, merokok ataupun bersin untuk menghindarkan kontaminasi pada susu, 3) upaya menjaga lingkungan lingkungan agar selalu bersih sangat dianjurkan agar dapat mencegah bahaya pencemaran susu pada saat pemerahan, 4) pemerahan dilakukan di tempat yang bersih, peralatan yang higienis dan kebersihan ternak, serta dengan metode yang tepat, 5)
penyimpanan susu pada suhu dibawah 3-4 °C dilakukan secepat mungkin agar bakteri tidak berkembang biak, 6
6) pengujian kualitas susu dengan parameter yang sesuai dengan parameter yang dipersyaratkan IPS agar diketahui tingkat kualitas susu yang diterima oleh IPS tersebut dan 7) pencucian serta sanitasi semua peralatan untuk penanganan susu setelah digunakan. Tujuan pemerahan menurut Williamson dan Payne (1993) adalah untuk mendapatkan jumlah susu maksimal dari ambingnya, apabila pemerahan tidak sempurna sapi induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi total cenderung menjadi kering terlalu cepat dan produksi total menjadi menurun. Menurut Puspitasari (2008), puting dan ambing perlu dibersihkan dengan air hangat. Membersihkan ambing dan puting dengan air hangat bertujuan untuk membersihkan ambing dan merangsang hormon pengeluaran susu, karena usapan yang hangat pada ambing merangsang otak untuk mengeluarkan hormon oksitosin. Lukman et al. (2009) menambahkan bahwa ambing harus dicuci dengan air hangat selama 15-30 detik kemudian ambing dikeringkan dengan menggunakan lap yang bersih dan kering kemudian ambing diberikan larutan pembersih seperti larutan klor dan ambing dilap dengan kain yang kering. Pemerahan awal dilakukan dengan membuang susu perahan pertama pada mangkuk kuarter untuk pemeriksaan susu terkait dengan kesehatan ambing sapi perah adanya gejala mastitis atau tidak (Zakiah, 2011). Puting susu diberikan sanitaiser (teat dipping) dan peralatan pemerahan harus dibersihkan setelah pemerahan selesai (Lukman et al., 2009). Zakiah (2011) menambahkan susu yang telah diperah, disaring terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam milk can. Menurut Saleh (2004), penanganan susu dilakukan dengan cara: 1) Pemindahan air susu dari kandang. Setelah memerah, air susu dibawa ke kamar susu.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari agar air susu tersebut tidak
berbau sapi ataupun kotoran, 2) Penyaringan air susu untuk menghilangkan kotoran-kotoran dari air susu, sebaiknya air susu disaring dengan menggunakan saringan yang memakai filter kapas atau kain biasa yang dicuci dan direbus setiap kali habis dipakai,
7
3) Sebaiknya setelah diperah, air susu langsung didinginkan. Hal ini dimaksudkan agar dapat menghambat dan mengurangi perkembangan kuman. o
Air susu
o
sebaiknya didinginkan maksimum 7 C dan minimum 4 C; dan 4) Pengawasan terhadap lalat perlu dilakukan. Hal ini dimaksud untuk mengurangi jumlah kuman dan menjaga agar sapi tidak gelisah. Bila pengawasan terhadap lalat dilaksanakan sebaik mungkin, setidak-tidaknya jumlah kuman akan dapat ditekan. Tata Cara Pemerahan Saleh (2004) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi produksi susu antara lain adalah jumlah pemerahan setiap hari, lamanya pemerahan, dan waktu pemerahan. Jumlah pemerahan 3-4 kali setiap hari dapat meningkatkan produksi susu daripada jika
hanya diperah dua kali sehari.
Sudono et al.
(2003)
menambahkan bahwa waktu pemerahan dalam sehari umumnya dilakukan dua kali, yaitu pagi dan sore. Namun pemerahan sebaiknya dilakukan 3 kali jika produksi lebih dari 25 liter per hari. Jarak pemerahan dapat menentukan jumlah susu yang dihasilkan. Jika jaraknya adalah 12 jam, maka jumlah susu yang dihasilkan pada waktu pagi dan sore akan sama.
Jarak pemerahan yang tidak sama akan
menyebabkan jumlah susu yang dihasilkan pada sore hari akan lebih sedikit daripada susu yang dihasilkan pada pagi hari. Pemerahan pada pagi hari mendapatkan susu sedikit berbeda komposisinya daripada susu hasil pemerahan sore hari. Mahardhika et al. (2012) menyatakan bahwa metode pemerahan dengan tangan antara lain yaitu whole hand milking, kneevelen dan strippen, diantara ketiga metode tersebut yang terbaik adalah dengan menggunakan metode whole hand milking. Saleh (2004) menyatakan bahwa pemerahan menggunakan tangan ataupun menggunakan mesin tidak memperlihatkan perbedaan dalam produksi susu, kualitas ataupun komposisi susu. Menurut Sudono et al. (2003) tahapan pemerahan dengan cara manual atau dengan tangan adalah sebagai berikut: 1) Membersihkan kandang dari segala kotoran; 2) Mencuci daerah lipatan paha sapi yang akan diperah; 3) Memberi konsentrat kepada sapi yang akan diperah, sehingga ketika dilakukan pemerahan, sapi sedang makan dalam keadaan tenan; 8
4) Membersihkan alat-alat pemerahan susu (ember dan alat takar susu) dan cane susu; 5) Membersihkan tangan pemerah; 6) Mencuci ambing dengan air bersih, kemudian melapnya dengan lap yang bersih; dan 7) Melakukan uji mastitis setiap sebelum dilakukan pemerahan. Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air Lukman et al. (2009) menyebutkan bahwa, susu merupakan bahan makanan dengan nilai gizi
tinggi, komponen nutrisi yang lengkap, dan komposisi yang
berimbang. Di sisi lain, susu termasuk produk yang mudah rusak. Susunan yang sempurna dari susu sekaligus menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme. Susu sangat peka terhadap cemaran kuman dan mudah rusak. Kerusakan susu akibat kontaminasi kuman membahayakan konsumen, karena dapat terjadi penularan penyakit seperti brucellosis dan tubercullosis (TBC). Kontaminasi mikroorganisme dapat mempengaruhi kualitas dan masa simpan. Cara beternak sapi perah pada umumnya masih bersifat tradisional sehingga peternak perlu dibekali pengetahuan tentang sanitasi peralatan pemerahan dan air untuk memperpanjang daya
tahan
produk
susu
sekaligus
menekan
pencemaran
mikroorganisme. Dairy Hygiene Inspectorate (DHI) (2006) menyatakan bahwa untuk mencapai keamanan pangan, peralatan yang digunakan untuk pemerahan dan penanganan susu harus selalu dibersihkan setelah digunakan. Pencucian peralatan pemerahan dan penanganan susu harus dengan menggunakan larutan pembersih. Total Bakteri Menurut Sanjaya et al.
(2007), susu yang keluar dari ambing selalu
mengandung mikroba. Pencemaran dapat berasal dari ambing sendiri atau masuk melalui puting susu.
Usmiati dan Nurdjannah (2007) menyebutkan bahwa
pemerahan secara manual menimbulkan kontaminasi bakteri jumlahnya cukup banyak dan semakin bertambah saat susu dikumpulkan di tempat penampungan susu dan koperasi. Kontaminasi bakteri juga disebabkan pemerahan yang tidak tuntas.
9
Santoso et al. (2012) menambahkan kontaminasi susu oleh bakteri bersumber dari tubuh sapi, tangan pemerah dan kandang kotor. Total mikroba yang terdapat pada susu di KUNAK Bogor sebanyak 2,8 × 105cfu/ml (Aryana, 2011). Total mikroba pada peternakan sapi perah di Cisarua Bandung sebanyak 3,5 × 106 cfu/ml (Budiyanto dan Usmiati, 2008). Hasil penelitian Usmiati dan Nurdjannah (2007) menunjukkan bahwa TPC di daerah KUD Sarwamukti dan Tandangsari Sumedang masing-masing sebesar 1,32 × 108 cfu/ml dan 4,86 × 106 cfu/ml. TPC di daerah Semarang sebesar 1,1 × 106 cfu/ml.
10