3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Friesian Holstein Neonatus Sapi Friesian Holstein atau FH berasal dari Provinsi Belanda Utara dan Provinsi Friesland Barat. Bulu sapi FH murni pada umumnya bewarna hitam dan putih, kadang-kadang merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas. Selain diambil atau diperah susunya, sapi FH juga baik sebagai sapi pedaging, karena pertumbuhan cepat dan karkas sangat bagus. Sementara itu, lemak daging anak sapi bewarna putih, sehingga baik sekali untuk produksi veal (daging anak sapi). Masa kebuntingan induk sapi adalah 280 hari dengan bobot sapi neonatus mencapai 43 kg (Sudono et al. 2003). Klasifikasi sapi Friesian Holstein menurut Sudono et al. (2003) adalah: Kingdom: Animalia Filum: Chordata Kelas: Mammalia Ordo: Artiodactyla Famili: Bovidae Genus: Bos Spesies: B. taurus
Sistem kebal anak sapi sudah berkembang sejak dini dalam kehidupan fetal, meski periode kebuntingan pada sapi 280 hari, timus fetus dapat dijumpai pada 40 hari setelah konsepsi. Sumsum tulang dan limpa muncul pada hari ke-55, limfonodus ditemukan pada hari ke-60, tetapi peyer pacth belum muncul sampai hari ke-175. Limfosit darah perifer terlihat pada fetus anak sapi pada hari ke-45, IgM terdapat pada hari ke-59, sedangkan IgG pada hari ke-135. Limfosit darah anak sapi mampu berespon terhadap mitogen pada hari ke-75 dan 80. Namun demikian, kemampuan ini menghilang untuk sementara sekitar waktu kelahiran sebagai akibat peningkatan kadar steroid dalam serum. Meskipun sistem kebal pada
neonatus
sudah
berkembang
dengan
baik
sebelum
lahir,
tetapi
kemampuannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan hewan dewasa, karena sistem kekebalannya belum berfungsi secara sempurna. Oleh karena itu sapi
4
neonatus rentan terhadap penyakit menular bukan karena ketidakmampuan mengadakan tanggap kebal yang menjadi sifatnya tetapi karena status sistem kebalnya yang belum prima (Tizard 2000).
Gambar 1. Sapi Penelitian
Jenis plasenta sapi adalah syndesmochorial dimana epitel korion langsung berhubungan dengan jaringan uterine. Oleh karena itu, pada hewan berplasenta jenis
ini
molekul
imunoglobulin
terhalang
masuk
ke
dalam
uterus
dan antibodi hanya dapat diperoleh melalui kolostrum (Tizard 2000).
2.2. Darah Darah terdiri dari sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit yang tersuspensi dalam plasma darah. Volume darah total yang beredar adalah sekitar 8% dari berat badan. Sekitar 55% volume darah berupa plasma yang merupakan cairan darah (Ganong 1979). Sebagian besar sel- sel darah berada di dalam pembuluh darah, akan tetapi sel darah putih dapat bermigrasi melintasi dinding pembuluh darah menuju jaringan untuk melawan infeksi (Guyton and Hall 1997). Darah berfungsi membawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju jaringan tubuh, membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan sebaliknya membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Darah juga berfungsi membawa produk buangan, hormon, serta berperan dalam pengendalian suhu tubuh, keseimbangan air, dan berperan dalam sistem buffer. Darah sangat penting dalam sistem pembekuan sehingga dapat mencegah kehilangan darah yang berlebihan. Selain itu darah mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan tubuh (Frandson 1992).
5
2.3. Sel Darah Putih Sel darah putih atau leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit berasal dari bahasa Yunani, leukos berarti putih dan cytos yang berarti sel. Istilah leukosit berasal dari sampel darah yang telah disentrifugasi, leukosit akan ditemukan pada Buffy coat, yaitu lapisan tipis bewarna putih khas yang terletak diantara lapisan sel darah merah yang tersedimentasi dengan lapisan plasma darah. Sel darah putih tidak berwarna, memiliki inti, dapat bergerak secara amoeboid, dan dapat menembus dinding kapiler (diapedesis). Sel darah putih berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh (Guyton and Hall 1997). Sel darah putih sebagian dibentuk dalam sumsum tulang (granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Pembentukan sel tipe granulosit pada masing-masing pool dalam sumsum tulang meliputi beberapa bagian, yaitu stem cell pool, proliferating pool dan maturation-storage pool (Brown 1980). Setelah dibentuk, sel-sel diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan (Guyton and Hall 1997). Sel darah putih memiliki nukleus dan organel-organel sel. Berdasarkan hal tersebut, sel darah putih dapat digolongkan menjadi sel darah putih granular dan sel darah putih agranular (Gambar 2). Ciri yang menonjol dari sel darah putih tipe granulosit adalah adanya granula di dalam sitoplasma. Tiap jenis granulosit mempunyai jenis granula yang berbeda serta memiliki sifat khas pada nukleusnya yang berlobus banyak. Berdasarkan reaksinya terhadap pewarnaan, sel darah putih granulosit dibedakan menjadi tiga yaitu neutrofil, eosinofil, dan basofil. Nukleus granulosit disebut juga polimorfonuklear. Sel darah putih agranulosit dibedakan menjadi dua yaitu limfosit dan monosit (Bevelander and Judith 1988).
6
a.
b.
c.
d.
Gambar 2. a. Limfosit b. Monosit c. Neutrofil d. Basofil (Sumber : Harvey 2001) Respon sel darah putih dapat terjadi dalam bentuk penurunan (leukopenia) maupun peningkatan jumlah total sel darah putih (leukositosis). Leukopenia sering terjadi akibat penggunaan bahan-bahan immunosuppressive dan kerusakan limfosit (Meyer and John 1998). Leukositosis dapat berlangsung secara normal (leukositosis fisiologis) maupun sebagai bentuk respon adanya penyakit (reaktif leukositosis). Leukositosis fisiologis terjadi pada hewan yang stres akibat fisik maupun sebagai induksi dari penyakit. Peningkatan jumlah total sel darah putih dimediasi oleh hormon epinefrin dan hormon kortikosteroid (Jain 1993). Leukositosis juga dipengaruhi oleh kinetika neutrofil yang akan mengubah penghitungan jumlah total sel darah putih (Brown 1980).
Perubahan respon
leukositosis terlihat pada anak sapi yang terserang kolibasilosis pertama kali (Jain 1993). Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah total sel darah putih dalam sirkulasi darah, antara lain pertambahan umur. Jumlah total sel darah putih tinggi pada sapi yang baru lahir dan pada masa pertumbuhan (umur 1-2 tahun) serta akan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya umur, aktivitas otot, dan kondisi emosi (stres) saat pengambilan darah (Schalm et al. 1975). Jumlah total sel darah putih juga dipengaruhi oleh hormon epinefrin dan hormon kortikosteroid. Epinefrin akan meningkatkan jumlah limfosit dan neutrofil yang bersirkulasi dalam darah, sedangkan peningkatan kortikosteroid dapat mempengaruhi jumlah neutrofil yang lebih tinggi dari limfosit. Pelepasan kortikosteroid secara endogenous akan berpengaruh pada penghitungan jumlah total sel darah putih (Jain 1993). Respon sel darah putih terhadap kortikosteroid
7
diantaranya berupa neutrofilia, limfopenia, monositosis, dan eosipenia (Meyer and John 1998). Hormon epinefrin akan meningkatkan sirkulasi darah dan limfe. Sebagai konsekuensinya sel darah putih dalam pembuluh darah dan limfonodus dikerahkan menuju sirkulasi darah. Hal ini menyebabkan terjadinya leukositosis yang disertai neutrofilia dan limfositosis. Perbedaan utama antara respon yang diperantarai hormon epinefrin dan hormon kortikosteroid adalah pada sekresi epinefrin terjadi leukositosis yang bersifat sementara dan sangat singkat, sedangkan pada kortikosteroid leukositosis berlangsung lebih lama (Jain 1993). Neutrofil
merupakan
sel darah putih
tipe
granulosit.
Neutrofil
mengandung tiga tipe granula sitoplasma, yaitu tipe azurophilic (primary), specific (secondary), dan tertiary. Granula tersebut memiliki substansi yang berbeda yang berperan dalam regulasi neutrofil dan perlawanan terhadap infeksi bakteri. Tipe granula specific dan azurophilic bekerja sama dalam memfagosit bakteri (Tabel 1) (Dellmann and Eurell 1998).
Tabel 1. Tipe granula dan jenis proteinnya (Dellmann and Eurell 1998) Tipe Granula Azurophilic (primary granules)
Protein Myeloperoxidase,
serine
proteases,
neutrophil elastase dan cathepsin G, asam hidrolitik enzim dan lisosim. Specific (secondary granules)
Lactoferrin dan cathelicidin, bacterial
lisosim,
cationic
protein,
myeloperoksidase. Tertiary
Cathepsin, gelatinase.
Neutrofil merupakan jenis sel darah putih yang paling banyak ditemukan dalam sirkulasi darah. Neutrofil pada anak sapi yang baru lahir berkisar antara 40-70% (Dellmann and Eurell 1998), dan diproduksi setiap 6-8 hari oleh sumsum tulang (Jubb et al. 1991). Neutrofil dewasa meninggalkan storage pool setelah dewasa, selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah.
Sekitar 50% neutrofil
berada dalam sirkulasi darah (circulating pool) dan 50% menempel pada
8
pembuluh darah (marginal pool). Setelah dari marginal pool, neutrofil menuju jaringan tubuh (Brown 1980). Neutrofil berperan sebagai garis pertahanan pertama dalam melawan mikroorganisme asing khususnya melawan infeksi bakteri (Dellmann and Eurell 1998; Meyer and John 1998). Saat terjadi infeksi bakteri akut, bakteri akan merusak sel dan sel akan melepaskan faktor kemotaktik ke jaringan.
Faktor
kemotaktik tersebut akan menarik neutrofil ke dalam jaringan melalui proses diapedesis dan neutrofil akan menuju ke lokasi infeksi untuk melakukan fagositosis (Meyer and John 1998; Brown 1980). Setelah memfagositosis benda asing, enzim lisosom akan mencerna benda asing tersebut kemudian neutrofil mengalami otolisis dan melepaskan zat-zat hasil degradasi ke dalam jaringan limfe.
Jaringan limfe akan mengeluarkan histamin dan faktor leukopoietik
(sitokin dan interleukin) yang merangsang sumsum tulang melepaskan cadangan neutrofil sehingga produksi neutrofil meningkat (Meyer and John 1998). Jumlah neutrofil yang meningkat dalam sirkulasi darah (neutrofilia) disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan, pengaruh hormon, serta adanya infeksi. Hormon kortikosteroid akan mengurangi laju diapedesis neutrofil menuju jaringan sehingga neutrofil berada lebih lama dalam sirkulasi darah sehingga terjadi hipersegmentasi (Jain 1993). Selain itu kortikosteroid menyebabkan demarginasi neutrofil yang berakibat pada meningkatnya jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah. Hormon epinefrin akan meningkatkan jumlah neutrofil yang bersirkulasi dalam darah (Meyer and John 1998). Eosinofil termasuk sel darah putih granulosit yang berukuran hampir sama dengan neutrofil. Persentase eosinofil dalam sirkulasi darah berkisar antara 2 sampai 8% dari jumlah total sel darah putih (Meyer and John 1998). Eosinofil berada dalam sirkulasi darah hanya dalam waktu yang singkat (kurang dari satu hari) sebelum sel-sel tersebut meninggalkan darah dan masuk ke dalam jaringan pada waktu tertentu (Brown 1980). Eosinofil merupakan sel fagosit yang motil dan memiliki kemampuan memfagosit dan membunuh bakteri, walaupun kemampuannya lebih rendah dibandingkan dengan neutrofil (Dellmann and Eurell 1998; Jubb et al. 1991). Peningkatan jumlah eosinofil dalam sirkulasi darah (eosinofilia) dapat terjadi karena penyakit yang disebabkan oleh parasit, inflamasi
9
pada organ yang mengandung sel mast, sedangkan eosinopenia terjadi akibat pengaruh glukokortikoid (Meyer and John 1998). Basofil berperan dalam alergi sistemik yang berlangsung akut dengan melepaskan histamin dan heparin. Seperti halnya eosinofil, basofil juga berada dalam sirkulasi darah hanya dalam waktu yang singkat (kurang dari satu hari) sebelum sel-sel tersebut meninggalkan darah dan masuk ke dalam jaringan pada waktu tertentu.
Basofil bertahan tidak lebih dari sehari dalam jaringan dan
bertahan lebih singkat saat terjadi inflamasi (Jain 1993). Meningkatnya jumlah basofil dalam sirkulasi darah disebut basofilia. Keadaan basofilia biasanya disertai dengan eosinofilia. Kondisi ini terjadi karena eosinofil bereaksi saat terdapat sel mast dan basofil (Meyer and John 1998). Limfosit merupakan jenis sel darah putih yang terlibat dalam sistem kekebalan tubuh (Bevelander and Judith 1988). Jumlah limfosit pada anak sapi yang baru lahir adalah 3.931±1.744/µl. Seiring dengan perkembangan umur yang terus bertambah, maka jumlah limfosit juga meningkat. Jumlah limfosit pada anak sapi umur 24 jam secara fisiologis mengalami peningkatan dan lebih tinggi dibandingkan dengan pada saat lahir (Jain 1993). Peningkatan jumlah limfosit ini terus berlangsung hingga anak sapi berumur 1 tahun (Schalm et al. 1975). Jumlah limfosit menjadi dominan, dan persentasenya mencapai 70-80% pada sapi berumur 1-2 tahun (Dellmann and Eurell 1998; Schalm et al. 1975). Tizard (2000) melaporkan bahwa limfosit berperan penting sebagai efektor khusus dalam menanggapi antigen yang melekat pada makrofag dan untuk menghasilkan antibodi. Antigen akan menyebabkan respon kekebalan seluler (limfosit T) dan humoral (limfosit B) yang dapat menghasilkan antibodi (Brown 1980; Guyton and Hall 1997).
Antigen yang masuk ke dalam tubuh akan
menstimulus limfosit T yang selanjutnya akan menghasilkan migration inhibition factor (MIF), dan faktor kemotaktik yang menjaga makrofag tetap berada di area antigen. Selanjutnya makrofag bersama limfosit T memproses antigen. Limfosit T helper akan menstimulus transformasi limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi yang akan memudahkan neutrofil dan makrofag untuk melakukan fagositosis (Brown 1980). Sel limfosit T (helper) akan dirangsang untuk membelah diri (cell division) serta mengeluarkan limfokin (Brown 1980).
10
Limfokin
berfungsi merangsang pertumbuhan dan proliferasi sel T
(suppressor), merangsang pertumbuhan, dan diferensiasi limfosit B untuk membentuk sel plasma serta aktivasi sistem makrofag. Limfokin memperlambat migrasi makrofag setelah secara kemotaktik makrofag tertarik ke area jaringan yang meradang, sehingga makrofag berkumpul dalam jumlah banyak kemudian mengaktifkan makrofag untuk proses fagositosis yang lebih efisien. Sementara limfosit T (suppressor) menjaga pembentukan antibodi yang berlebihan (Guyton and Hall 1997). Limfosit kembali ke dalam sirkulasi darah setelah migrasi ke jaringan. Sebagian besar limfosit berasal dari organ limfoid. Limfosit secara umum mampu bertahan lebih lama dibandingkan dengan sel darah putih granulosit. Limfosit T dapat bertahan beberapa tahun, begitu juga dengan limfosit B (Meyer and John 1998). Peningkatan jumlah limfosit dalam sirkulasi darah (limfositosis) dapat terjadi akibat pengaruh hormon epinefrin, infeksi akibat benda asing, dan inflamasi yang berlangsung kronik. Sedangkan limfopenia (penurunan jumlah limfosit dalam sirkulasi darah) dapat terjadi karena pengaruh glukokortikoid (endogen/eksogen), penggunaan obat-obatan imunosupresif, dan radiasi yang menyebabkan kerusakan sel darah putih (Meyer and John 1998). Monosit pada sapi berjumlah ± 1000/µl. Keberadaan monosit sebagai indikasi adanya respon inflamasi kronis ditandai dengan peningkatan jumlah monosit dalam sirkulasi darah (Jain 1993). Monosit memiliki sifat motil dan kemampuan fagositosis dalam melawan bakteri dengan lipid kapsul yang dimilikinya (Raphael 1987). Monosit dalam pembuluh darah merupakan sel yang belum aktif. Proses monosit menjadi makrofag terjadi saat monosit meninggalkan pembuluh darah menuju jaringan (Brown 1980). Monosit berada dalam sirkulasi darah sekitar 21 jam, kemudian menuju jaringan dan tidak kembali lagi ke dalam sirkulasi darah (Jubb et al.1991; Jain 1993). Selanjutnya monosit di dalam jaringan menjadi makrofag tetap (fixed macrophag) dan bersifat spesifik untuk tiap organ, misalnya makrofag pada sinus hati disebut dengan sel kupffer, pada jaringan kulit dan jaringan subkutan dikenal sebagai histiosit (Dellmann and Brown 1987).
11
Makrofag bertahan selama beberapa minggu atau bulan dalam jaringan (Meyer and John 1998). Monosit atau makrofag berperan penting bagi tubuh untuk melawan infeksi mikroba dan pada kondisi stres.
Hal ini dikarenakan monosit dalam
keadaan normal merupakan sumber pembentukan makrofag tetap pada Mononuclear Phagocytes System (MPS) serta secara tidak langsung monosit memberi tanda pada MPS untuk menjalankan fungsinya (Jain 1993). Menurut Brown (1980), makrofag memiliki fungsi dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme. Mekanisme ini berlangsung ketika antibodi memberi respon terhadap adanya antigen. Selanjutnya makrofag menempel pada antigen oleh kemotaksis, makrofag
mengelilingi antigen dengan pseudopodia yang
membentuk fagosom. Makrofag juga berfungsi mengganti sel yang rusak, memproses informasi keberadaan antigen untuk limfosit, dan memproduksi interferon (senyawa anti viral). Peningkatan jumlah monosit dalam sirkulasi darah (monositosis) terjadi saat inflamasi kronis. Istilah monositopenia jarang digunakan karena jumlah monosit pada hewan domestik normal relatif sedikit (Meyer and John 1998).
2.4. Kolostrum Sapi Kolostrum merupakan nutrisi utama yang pertama kali dikonsumsi oleh anak neonatus. Kolostrum dihasilkan oleh kelenjar ambing pada akhir kebuntingan dan beberapa hari setelah melahirkan. Kolostrum dikenal sebagai susu pertama (Anonimus 2008a; Ruckebusch et al.1991). Kolostrum mengandung imunoglobulin dengan konsentrasi tinggi, yang tidak terdapat dalam darah anak sapi yang baru lahir.
Imunoglobulin (Ig)
kolostrum terdiri dari IgG (85-90 %), IgM (5%), dan IgA (7%). Anak dari sapi, domba, kambing, babi, kuda, sangat tergantung pada kolostrum untuk dapat memperoleh antibodi. Disamping mengandung limfosit dan monosit, kolostrum juga mengandung protein, vitamin A, E, karoten, dan riboflavin yang sangat tinggi, sedangkan kadar laktosa, vitamin D, dan besi lebih rendah dibandingkan dengan susu (Frandson 1992).
12
Kandungan IgG dan IgA dalam kolostrum sangat penting sebagai perlindungan terhadap enteric E. coli (Tizard 2000). Imunoglobulin G di dalam kolostrum akan menetralkan toksin E. coli, IgA disekresikan kembali ke dalam lumen usus, sedangkan IgM membantu mengontrol respon antibodi tahap awal dan membunuh E. coli (Widiasih 2005 ). Selain itu kolostrum mampu mencegah infeksi E. coli dengan cara menghambat perlekatan bakteri pada membran mukosa usus, kolonisasi dan pertumbuhan bakteri pada saluran usus, serta mencegah penyerapan bakteri oleh tubuh akibat adanya laktoferin yang merupakan sistem kekebalan tidak spesifik di dalam kolostrum dan berfungsi menghambat dan membunuh bakteri melalui proses oksidasi. Antibodi yang terkandung di dalam kolostrum akan diabsorpsi ke dalam sirkulasi darah untuk mencegah invasi mikroorganisme, sedangkan antibodi kolostrum yang tidak diabsorpsi (karena usus halus tidak lagi permeabel), tetap berada di dalam lumen usus dan berperan sebagai kekebalan pasif lokal (Stott 1979). Konsumsi kolostrum sangat penting untuk kekebalan pasif dan memenuhi kebutuhan nutrisi (karbohidrat, lemak, potein, mineral dan vitamin). Kolostrum juga mengandung hormon, faktor pertumbuhan, sitokin, enzim, polyamine, dan nukleotida. Insulin sebagai faktor pertumbuhan I ditemukan dalam kolostrum dengan konsentrasi yang tinggi untuk membantu perkembangan sistem gastrointestinal pada sapi neonatus (Blum and Hammon 2000). Kolostrum sebaiknya diberikan sesegera mungkin setelah anak sapi lahir untuk efisiensi dan kesempurnaan dalam penyerapan antibodi (Blum and Hammon 2000). Menurut Esfandiari (2005), kolostrum sapi berubah menjadi susu sepenuhnya dalam waktu sekitar 2-10 hari. Menurut Blum and Hammon (2000), konsentrasi masing-masing zat aktif dalam kolostrum akan berubah setelah onset laktasi. Oleh karena itu, kolostrum harus diberikan kepada anak sapi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran (Arthington et al. 2000; Hasnawi 2008).
2.5. Escherichia coli Escherichia coli (E. coli) termasuk bakteri gram negatif, berbentuk batang (Gambar 3), anaerobik fakultatif dan tidak berspora. Bakteri ini tumbuh optimal pada suhu 37°C, namun demikian beberapa galur laboratorium dapat
13
bermultiplikasi pada temperatur hingga 49ºC (Anonimus 2008b; Tizard 2000). Berikut klasifikasi E. coli menurut Songer and Post (2005): Kingdom: Bakteri Divisi:
Proteobacteria
Kelas:
Gamma Proteobacteria
Ordo:
Enterobacteriales
Famili:
Enterobacteriaceae
Genus :
Escherichia
Spesies:
Escherichia coli
Dinding bakteri gram negatif berstruktur rumit dan terdiri dari suatu kompleks polisakarida, lipida, dan protein. Kompleks ini dikenal sebagai endotoksin.
Aktivitas pada bagian lipopolisakarida dari kompleks endotoksin
mempengaruhi sasaran sistem tertentu. Endotoksin yang dihasilkan bakteri gram negatif akan menyebabkan respon yang memiliki karakteristik, antara lain konstriksi arteri, demam, hipoglikemia, leukopenia yang diikuti leukositosis (Schalm et al. 1975). Endotoksin yang masuk dalam tubuh akan diproses oleh sistem fagosit mononuklear. Endotoksin akan merangsang aktivitas makrofag dan pembersihan partikel dari aliran darah serta menyebabkan peningkatan lisozim serum. Selain itu akan mempengaruhi neutrofil yang menyebabkan pelepasan pirogen leukosit. Produksi antibodi meningkat dan berlangsung lama pada tanggap kebal I serta memacu mitogen sel B, yaitu merangsang sel B untuk melepas limfosit (Tizard 2000). Escherichia coli merupakan jenis mikroorganisme yang biasa terdapat dalam sistem pencernaan ternak. Galur E. coli pada umumnya tidak berbahaya, tapi beberapa strain diantaranya dapat menyebabkan diare parah bahkan kematian. Biasanya E. coli menyebabkan terganggunya jaringan epitel usus sehingga fungsi absorbsi nutrisi berkurang. Seringkali E. coli diduga sebagai penyebab utama diare pada sapi (Navade et al. 2000)
14
Gambar 3. Escherichia coli (Sumber : Anonimus 2008b)
Jenis E. coli penyebab diare pada anak sapi antara lain enteric E. coli, merupakan jenis paling umum dengan tanda klinis utama berupa diare hebat. Biasanya diawali dengan demam, kemudian dengan cepat kembali normal atau mendekati normal, anak sapi menjadi lemas dan mengalami dehidrasi serta dapat menyebabkan kematian (Navade et al. 2000). Berdasarkan faktor virulensinya menurut Andrew et al. (2004), enteric E.coli dapat diklasifikasikan menurut serotipenya sebagai berikut : 1. Enterotoxigenic E.coli (ETEC) Enterotoxigenic E.coli merupakan enteric E. coli yang disebabkan oleh bakteri E. coli dari jenis K-99. Infeksi dari strain ini berakibat fatal. Racun menyebabkan cairan yang dipompa ke dalam usus sedemikian banyak sehingga anak sapi biasanya mati bahkan sebelum gejala diare muncul. Diare seperti ini dapat muncul pada anak sapi berumur kurang dari 3 hari (Gordon and Daria 2004). Enterotoxigenic E.coli memproduksi heat labile (LT) dan heat stabile (ST) enterotoksin yang menyebabkan akumulasi cGMP (cyclic Guanosin Monofosfat) pada sel target dan sekresi cairan elektrolit yang terus-menerus ke dalam lumen usus (Raphael 1987). Enterotoxigenic E.coli menggunakan adhesin fimbrae untuk berikatan dengan sel enterosit pada usus kecil (Andrew et al. 2004). Patogenesa diare yang terjadi akibat ETEC meliputi terjadinya kolonisasi pada usus kecil dan produksi serta aksi enterotoksin yang bertanggung jawab dalam merusak keseimbangan pergerakan cairan dan elektrolit di dalam epitel usus. Kolonisasi pada usus kecil oleh enterotoxigenic E. coli tergantung pada pili. Pili berperan dalam penempelan bakteri pada titik sel epitel yang spesifik. Pili K-
15
99 ditemukan pada ETEC dari serogrup 8,9,20,64, dan 101. Produksi antigen K99 dimediasi oleh plasmid dan bergantung pada suhu. Strain dari O grup 101 menghasilkan K-99 yang paling banyak dibandingkan dengan strain yang lain dari grup O (Gyles and Charles 1993).
2. Enteropathogenic E. coli (EPEC) Enteropathogenic E. coli merupakan penyebab diare pada kelinci, anjing, kucing dan kuda. Enteropathogenic E. coli juga menyebabkan diare, namun mekanisme kolonisasi molekuler dan etiologinya berbeda dengan ETEC. Enteropathogenic E. coli tidak mempunyai fimbrae, toksin ST dan LT. Enteropathogenic E. coli menggunakan intimin untuk berikatan dengan sel usus inang. Perubahan pada ultrastruktur sel usus merupakan penyebab utama terjadinya diare (Gyles and Charles 1993). Enteropathogenic E. coli disebut juga Attaching E. coli (AEEC). Perlekatan bakteri pada permukaan usus menyebabkan kerusakan bahkan hilangnya mikrofili (Quinn et al. 2002).
3. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC) Enterohemorrhagic E. coli sering ditemukan menyerang sapi dan kambing. Satu-satunya anggota dari virotipe ini adalah strain O157: H7, yang menyebabkan diare berdarah. Enterohemorrhagic E. coli dapat menyebabkan hemolytic uremic syndrome dan gagal ginjal yang tiba-tiba. Enterohemorrhagic E. coli menggunakan fimbrae bakteri untuk berikatan dengan sel enterosit inang. Escherichia coli biasanya menjangkiti anak sapi yang baru berusia dibawah 14 hari, namun pada banyak kasus dapat terjadi pada umur kurang dari 1 minggu. Escherichia coli akan menyebabkan infeksi dan seringkali menyebabkan kematian tanpa gejala klinis diare terlebih dahulu. Anak sapi yang tidak memperoleh kolostrum biasanya mati karena septisemik (Gyles and Charles 1993).
4. Enteroinvasive E. coli (EIEC) Enteroinvasive E. coli (EIEC) dapat menyebabkan infeksi akut pada sapi neonatus, yang dikarakteristikkan oleh bakteremia dan septikemia. Infeksi ini
16
terjadi melalui pakan atau kontaminasi dari umbilikal, biasanya menyerang sapi neonatus berumur 1 minggu (Quinn et al. 2002).
5. Nekrotoksigenic E. coli (NTEC) Nekrotoksigenic E. coli (NTEC) menyebabkan terjadinya enteritis, haemorrhagic colitis, dan diare. Kerusakan meliputi organ usus sampai pembuluh darah. Perlekatan terjadi pada enterosit. Cytotoxic yang menjadi faktor kerusakan adalah Cytotoxic Necrotizing Factor 1 (CNF1) dan Cytotoxic Necrotizing Factor 2 (CNF2) (Quinn et al. 2002).
6. Verotoxigenic E. coli (VTEC) Penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri ini meliputi oedema pada babi, haemorrhagic enterocolitis pada anak sapi. Verotoxin (VT) terdiri dari VT1, VT2, dan VT2e. Toksin yang dihasilkan dapat membunuh vero cell in-vitro. Perlekatan toksin terjadi pada enterosit, dan akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada usus (Quinn et al. 2002).